RENCANA PENGEMBANGAN
SENI PERTUNJUK AN NA SIONAL
2015-2019
RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019
:
i
Helly Minarti Yudi Ahmad Tajudin Dian Ika Gesuri
PT. REPUBLIK SOLUSI
iv
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019
Tim Studi dan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif: Penasihat Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Pengarah Ukus Kuswara, Sekretaris Jenderal Kemenparekraf Ahman Sya, Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya Cokorda Istri Dewi, Staf Khusus Bidang Program dan Perencanaan Penanggung Jawab Mumus Muslim, Setditjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya Juju Masunah, Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik Tim Studi Helly Minarti Yudi Ahmad Tajudin Dian Ika Gesuri ISBN 978-602-72387-3-2 Tim Desain Buku RURU Corps (www.rurucorps.com) Sari Kusmaranti Subagiyo Penerbit PT. Republik Solusi Cetakan Pertama, Maret 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
v
Terima kasih Kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion (FGD)
Abduh Azis Aisha Pletscher Amna S. Kusumo Bambang Subekti Bre Redana Budi Setiyono Budi Utomo Prabowo Butet Kertaredjasa Dewi Noviami Edy Utama Een Herdiani Ery Mefri Farah Wardani Gianti Giadi Idaman Andarmosoko Iswadi Joned Suryatmoko
vi
Kunci Cultural Studies Kurniawan Linda Hoemar Abidin Lono Simatupang Madia Patra Ismar Maria Tri Sulistyani Mesdin Kornelis Simarmata Naomi Srikandi Nirwan Dewanto Rama Thaharani Ratna Riantiarno Sal Murgiyanto Siti Tri Joelyartini Susi Ivvaty Susiyanti Toto Arto Ubiet Raseuki
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Kata Pengantar Perbincangan tentang seni pertunjukan di Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari maupun tulisan-tulisan di media massa, di satu sisi kerap muncul dalam nada sumbang dan lagu yang sedih. Namun di sisi lain, dari tahun ke tahun, di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia, karya-karya seni pertunjukan (baik yang tradisional maupun kontemporer) terus digelar. Dengan dukungan dan fasilitas yang relatif minim, seniman atau kelompok tari, teater, serta musik terus saja bermunculan dan melahirkan karya. Beberapa di antara mereka bahkan sanggup berprestasi dan berpentas di panggung-pangung internasional. Sementara itu, sejak pertengahan tahun 2000-an, istilah dan gagasan industri kreatif mengemuka dalam perbincangan teater di Indonesia, terutama seiring dengan maraknya fenomena pertunjukan musikal di Jakarta pada tahun-tahun tersebut. Pertunjukan-pertunjukan dengan dana produksi besar dengan harga tiket yang tak bisa dibilang murah itu ramai diperbincangkan dan dianggap sebagai kebangkitan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. Tetapi, benarkah? Pemerintah Indonesia sendiri sejak sekitar pertengahan tahun 2000-an, di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai melontarkan gagasan ekonomi kreatif sebagai salah satu kerangka ekonomi pembangunan Indonesia. Gagasan yang melihat bahwa praktik kreatif sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang cukup signifikan ini pun lalu diadopsi ke dalam rencana kerja pemerintahan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada Desember 2011. Satu hal tampak jelas, praktik kreatif dalam bidang seni apapun, memiliki potensi ekonomi yang besar dan karenanya dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengembangkannya menjadi industri kreatif. Pada tahun 1999, di Inggris misalnya, laporan tahunan Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga (Department of Culture, Media and Sport-DCMS) menunjukkan perolehan ekonomi industri kreatif di Inggris empat kali lebih besar dari industri agrikultural, perikanan dan perhutanan. Sementara di New York, berdasar data dari The Broadway League, pertunjukan-pertunjukan di Broadway pada tahun 2008-2009 menyumbang US$ 9,8 miliar ke dalam pemasukan kota. Industri kreatif yang sangat kuat di New York ini bahkan jauh melampaui kota lain di Amerika. Lalu bagaimana dengan ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia? Buku ini disusun sebagai suatu upaya memetakan kenyataan dan potensi ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia. Lebih dari itu, tim penyusun buku ini sejak awal bersepakat untuk tak hanya berhenti di sana tetapi juga berusaha membuat semacam cetak biru dan rencana kerja pengembangan industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia. Sasaran strategis serta indikasi capaian yang ditulis di buku ini, disusun berdasarkan watak seni pertunjukan sebagai suatu disiplin serta berdasarkan kenyataan, sejarah, potensi serta masalah yang yang ditemukan selama penelitian.
vii
Beberapa kenyataan yang penting disampaikan di sini adalah bahwa industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia belum terolah dan terbangun dengan sistematis, terkoordinasi, transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Infrastruktur kelembagaan dalam bentuk regulasi dan sokongan dana yang mendukung seni pertunjukan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang bisa dibilang masih lemah dan tak terencana dengan baik. Masih ditemukan banyaknya tumpang tindih antara lembaga terkait (Kemenparekraf, Kemendikbud, Kemendag) yang menyebabkan inefisiensi serta pelaksanaan program yang tak tepat sasaran. Soal lain yang tak kalah penting adalah kurikulum dan sistem pendidikan seni pertunjukan di sekolah-sekolah seni Indonesia yang masih lemah dalam bertaut dengan perkembangan seni pertunjukan global dan perkembangan masyarakat penontonnya sendiri. Kami menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Indonesia ini berdasarkan kenyataan-kenyataan dan potensi yang ada, dengan harapan rencana aksi yang diusulkan untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan ini benar-benar memiliki dasar yang kokoh dan terukur capaiannya. Tentu saja masih banyak kelemahan dan ketaksempurnaan dalam rancangan yang kami susun ini. Karenanya, kritik dan saran merupakan bagian penting yang kami harapkan bisa muncul untuk menyempurnakan buku ini. Terakhir, dalam keterbatasan-keterbatasan yang kami hadapi, tim penyusun buku ini tak mungkin bisa merampungkan tugas seluas ini tanpa bantuan dan sumbangan pemikiran dari banyak pihak. Karena itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar pada para narasumber penelitian dan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang kami adakan sepanjang bulan Mei-Juni. Tanpa informasi, saran serta pengetahuan yang dibagi oleh mereka semua tak mungkin kami bisa memetakan masalah, potensi serta menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 ini. Semoga buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait dan bisa ikut menyumbang proses pembentukan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia.
Jakarta, September 2014. Salam Kreatif,
Mari Elka Pangestu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
viii
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Daftar Isi Kata Pengantar................................................................................................................... vii Daftar Isi.............................................................................................................................. ix Daftar Gambar.....................................................................................................................xii Daftar Tabel......................................................................................................................... xiii Ringkasan Eksekutif...........................................................................................................xiv BAB 1 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA....................................... 3 1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia............................................ 4 1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan........................................................................................ 4 1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan....................................................7 1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan................................................................... 24 1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia................................................24 1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia........................................ 27 BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI SENI PERTUNJUKAN INDONESIA........................................................................................................................... 35 2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan.............................................................................................36 2.1.1 Definisi Ekosistem Seni Pertunjukan....................................................................... 36 2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan............................................................................. 36 2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan.........................................................72 2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan.................................................................................72 2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan...............................................................76 2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan...............................................................78 BAB 3 KONDISI UMUM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA........................................... 85 3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan............................................................................ 86 3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)................................................................. 88 3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan.........................................................................................89 3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan.................................................................................. 90 3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah Tangga.......................................................................... 91 3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor............................................................................................... 92
ix
3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan.....................................................................94 3.2.1 Retribusi Daerah......................................................................................................94 3.2.2 Pajak Daerah........................................................................................................... 96 3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa...................................................................................... 97 3.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian........................................................ 98 3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni........................................................................100 3.2.6 Kepabeanan.............................................................................................................101 3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan.......................................................................................103 3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan........................................................................................... 105 3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan.............................................107 BAB 4 RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN INDONESIA...................................115 4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019......................................... 116 4.2 Visi, Misi, Dan Tujuan Pengembangan Seni Pertunjukan.................................................117 4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan......................................................................119 4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan.....................................................................119 4.2.3 Tujuan Pengembangan Seni pertunjukan................................................................. 120 4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni Pertunjukan.................... 121 4.4 Indikator dan Target Pengembangan Ekonomi Kreatif......................................................124 4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan Yang Berdaya (Empowered)............................................................................................. 124 4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan............................................... 124 4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang Berkualitas............. 125 4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses Kreasi Dan Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses
126
4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas Dan Berkelanjutan......................................................................................................... 126 4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan......................................................... 126 4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 127 4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan............................................127 4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan Karya Seni Pertunjukan...........................................................................................127
x
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan............................................................................................................ 128 4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan Budaya Seni Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik.........................................................129 4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal .......129 4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri, Berjejaring, Dan Berkualitas ..............................................................................................................130 4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan ............................................................ 130 4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses ............................. 131 4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri ................................131 4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan .............................................................................................. 132 4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang Kondusif Bagi Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 132 4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Seni Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan ................................................ 133 4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk Penyelenggaraan Kegiatan Seni Pertunjukan ....................................................................................................133 4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan Indonesia Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan ...............................................134 4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni Pertunjukan............134 BAB 5 PENUTUP...................................................................................................................137 5.1 Kesimpulan......................................................................................................................138 5.2 Saran................................................................................................................................140 LAMPIRAN............................................................................................................................143
xi
Daftar Gambar Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan.............................. 23 Gambar 1-2 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia.....................................................32 Gambar 2-1 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan.........................................................................38 Gambar 2-2 Bagan Struktur Organisasi Produksi Seni Pertunjukan Berskala Menengah-Besar yang Umum Digunakan...................................................................................... 46 Gambar 2-3 Peta Industri Seni Pertunjukan........................................................................... 73 Gambar 3-1 Nilai Tambah Seni Pertunjukan......................................................................... 88 Gambar 3-2 Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan..................................................................... 89 Gambar 3-3 Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan................................................................. 90 Gambar 3-4 Jumlah Nilai Konsumsi Rumah Tangga untuk Seni Pertunjukan........................ 91 Gambar 3-5 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan............................................................................ 92 Gambar 3-6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013................................. 93 Gambar 3-7 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMTRADE..................... 94 Gambar 3-8 Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan.............................................................. 105 Gambar 4-1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019..... 118
xii
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Daftar Tabel Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013..................................................86 Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Seni Pertunjukan.............................................................107
xiii
Ringkasan Eksekutif Seni pertunjukan adalah salah satu dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang diidentifikasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang potensial dikembangkan. Buku ini disusun berdasarkan penelitian literatur, statistik serta masukan para pemangku kepentingan yang bertemu dalam tiga sesi Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas isuisu penting seputar seni pertunjukan. Buku ini pada dasarnya adalah upaya memetakan potensi sektor seni pertunjukan dalam kerangka pembangunan nasional yang meski memusatkan perhatian pada ruang lingkup kerja Kemenparekraf namun juga mendiskusikan pentingnya koordinasi dengan lembaga-lembaga negara terkait lainnya seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdiknas) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) termasuk instrumen di bidang perpajakan. Karena fokus bahasan utama ada pada ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif, mengukur potensi ekonomi sektor seni pertunjukan pun menjadi prioritas dalam buku ini. Upaya ini dilakukan pertama-tama dengan memaparkan konteks kesejarahan seni pertunjukan Indonesia dari segi etimologis maupun pengalaman-pengalaman kultural yang khas, dengan langsung menghadapkannya pada hegemoni wacana global yang berlaku. Misalnya saja, istilah-istilah kategorikal seperti ‘tradisi’, ‘modern’ dan ‘kontemporer’ terlebih dahulu dibedah secara kritis agar dapat memahami perbedaan pengertian maupun daerah-daerah irisan antara konteks pengalaman berkesenian Indonesia dan mancanegara (terutama perspektif Barat—Eropa-Amerika—yang mendominasi). Pasalnya, apa yang dianggap ‘modern’ oleh Barat belum tentu sama dengan pengertian yang dipahami oleh para praktisi kesenian Indonesia, yang memang bertolak dari perspektif kesejarahan yang berbeda. Agar memperjelas uraian, problematika terminologis ini dilengkapi dengan contoh-contoh pengalaman lokal. Contoh kasus pengecualian pun juga diselipkan sebagai narasi pelengkap seperti bahasan khusus tentang Komedi Stamboel ataupun Srimulat yang dengan unik sesungguhnya telah menyodorkan contoh kasus kelompok kesenian yang mencapai parameter ekonomi kreatif dalam lokalitasnya yang khas. Pemetaan ini pun segera menukik ke dalam identifikasi permasalahan, terutama dari sudut kebijakan dan struktural. Salah satu kesimpulan penting adalah praktik seni pertunjukan—meski berpotensi menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif andalan Indonesia –masih jauh dari ukuran-ukuran sebuah subsektor ekonomi (yakni sebagai ‘produk’ yang siap dipasarkan secara kompetitif). Pasalnya, kebijakan nasional yang mendukung perkembangan sektor ini relatif masih minim—bahkan bisa dibilang tidak ada—sehingga berdampak pada absennya infrastruktur yang menjadi prasyarat minimum diterapkannya parameter-parameter ekonomi kreatif tadi. Hal ini tercermin antara lain dari jumlah dan kualitas prasarana seperti gedung-gedung pertunjukan milik publik yang tidak dikelola secara profesional, sulitnya bagi para seniman untuk mengakses gedung-gedung teater publik ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme dukungan dana yang terbuka, transparan dan akuntabel bagi para seniman untuk mencipta dan untuk mementaskan karyanya di tempat atau kota lain (touring).
xiv
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Sehingga, tidak heran jika tidak ada mekanisme ‘pasar’ dalam seni pertunjukan Indonesia dalam pengertian yang sesungguhnya, karena pertunjukan seni hiburan yang terhitung paling laris sekalipun seperti drama-musikal Laskar Pelangi yang sempat pentas 70 kali dan selalu dipenuhi penonton pun masih terhitung merugi. Rata-rata pertunjukan seni lainnya sudah cukup beruntung jika bisa mentas 2-4 kali di dua kota berbeda. Permasalahan serta ketegangan situasi lokal dan global ini pun dibahas secara detil untuk tiga subsektor seni pertunjukan, yaitu tari, teater dan musik panggung (live). Pada keadaannya yang sekarang, seni pertunjukan Indonesia masih jauh dari berskala industrial, karena profesionalisasi dalam bidang ini bahkan belum terjadi. Disimpulkan bahwa agar seni pertunjukan Indonesia bisa menjadi sebuah subsektor ekonomi kreatif yang kuat, dibutuhkan kebijakan nasional yang menyeluruh: mulai dari reformasi di sektor pendidikan (umum maupun sekolah-sekolah seni), maksud baik negara (political will) untuk berinvestasi dalam membangun infrastruktur seni pertunjukan yang saling terkait, terkoordinasi dengan rapi dan berstrategi, mulai dari peningkatan prasarana, kualitas sumber daya manusia sektor pendukungnya (manajemen, akademisi dan kritik seni) hingga insentif berupa kebijakan perpajakan yang adil seperti pajak penonton serta pajak bagi sektor swasta jika mereka ingin mensponsori kegiatan di bidang seni pertunjukan nonkomersial. Dinamika seni pertunjukan lokal ini harus dihidupkan hingga profesionalisasi di bidang ini tercapai, sambil jeli mempromosikan ‘produk-produk’ kesenian yang dianggap potensial untuk bersaing di fora internasional yang memang tepat sasaran. Untuk porsi kerja Kementerian atau lembaga yang membidangin urusan ekonomi kreatif, pemasaran adalah salah satu sasaran yang penting. Untuk itu, selain pemahaman akan produk, mutlak dibutuhkan pengetahuan akan pasar (market knowledge) berupa informasi seputar wacana serta praktik seni pertunjukan global yang sarat diwarnai oleh arah kuratorial dan dialektika akademis yang berkembang. Yang terakhir adalah perumusan mendetil tentang rancangan (cetak biru) Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 dalam rangka mencapai visi seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut. 1. Seni pertunjukan Indonesia mencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer Indonesia. 2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (finansial). 3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang dimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. xv
“
“
If you fail to plan, you are planning to fail. Benjamin Franklin
xvi
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
2
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
BAB 1 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
3
1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia Untuk mengembangkan seni pertunjukan di Indonesia, perlu dipahami posisi seni pertunjukan Indonesia jika dilihat dari perspektif ekonomi kreatif sebagai salah satu subsektor yang potensial. Pemahaman terhadap seni pertunjukan dalam konteks ekonomi kreatif dapat ditelusuri dari sejarah dan parameter-parameter global sebagai sebuah subsektor ekonomi kreatif. Sebagai sebuah paradigma yang relatif baru dalam melihat serta mengukur perkembangan kesenian di Indonesia, perbedaan serta kompleksitas yang ditimbulkan dari parameter-parameter global ini pun akan dipaparkan, beserta upaya mengadaptasi ukuran-ukuran tersebut ke dalam situasi serta kebutuhan Indonesia. Pada dasarnya, definisi dan ruang lingkup subsektor seni pertunjukan harus mempertimbangkan konteks serta situasi kultural yang khas Indonesia pada tingkat tertentu, sebelum merefleksikannya pada parameter-parameter global tadi. Tentu saja definisi serta ukuran-ukuran global dalam seni pertunjukan tetap bisa digunakan untuk melihat dan memetakan praktik seni pertunjukan yang berlangsung di Indonesia, tetapi pada saat yang sama kenyataan-kenyataan lain (watak kultural, situasi-situasi pascakolonial, dan lain-lain) yang ikut menentukan situasi serta bentuk-bentuk seni pertunjukan di Indonesia mesti juga dilihat dan ditimbang. Sehingga, ukuran, gagasan serta rencana fasilitasi serta pengembangan seni pertunjukan di Indonesia bisa lebih membumi dan relevan. Pemetaan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual ini penting sebagai upaya pertama membentuk ekosistem yang ideal bagi seni pertunjukan Indonesia agar mampu beroperasi di dalam ukuran-ukuran ekonomi kreatif yang sesuai dan relevan dengan situasi Indonesia. Karena, bahkan gagasan dan kerangka ‘ekonomi kreatif’ serta ‘industri kreatif’ itu sendiri (yang melatari pemetaan dan penyusunan rencana aksi jangka menengah ini), kita tahu, tidak tumbuh dari bumi seni pertunjukan kita. Hal ini tak lantas berarti kerangka dan gagasan ekonomi serta industri kreatif tak bisa kita gunakan dan aplikasikan di Indonesia karena dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia sendiri, (sebagaimana yang terlihat pada sejarah Komedi Stamboel, Ketoprak Tobong, atau Srimulat), pada tingkat tertentu, dengan ukuran-ukuran yang sedikit berbeda, praktik ekonomi serta industri kreatif itu telah dan sedang berlangsung. Apa yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk bisa melihatnya secara dialektis, sehingga niat untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia bisa berjalan dengan produktif karena berdasarkan bentuk serta situasi yang ada.
1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan Dilihat dari sejarah perkembangan etimologisnya, istilah seni pertunjukan sendiri merupakan serapan dari istilah bahasa Inggris “performing arts” yang berkembang di Eropa pada 1300-an. Kata “perform” diserap dari bahasa Prancis, “parfornir (“par” dalam bahasa Inggris berarti “completely” + “ fornir” dalam bahasa Inggris berarti “to provide”) yang berarti melakukan, menyelenggarakan, menyelesaikan, ataupun mencapai. Seiring dengan berkembangnya aktivitas teatrikal atau musikal pada 1600-an, kata “perform” kemudian sering dipahami melalui sudut pandang tata bahasa Inggris yang artinya mencakup:1
(1) Online Etymology Dictionary: http://www.etymonline.com
4
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
1. to make (membuat), construct (membangun); produce (memproduksi), bring about (menimbulkan), atau come true (mencapai). 2. ‘present’ (kata kerja transitif - memerlukan objek dalam kalimatnya) yaitu mempersembahkan, menyajikan (kepada penonton). Ketika istilah tersebut diserap dan diterjemahkan ke dalam pengalaman serta sejarah kebudayaan di Indonesia, maknanya harus beradaptasi dan dilihat dalam konteks-konteks lokal yang spesifik secara kultural. Hal ini terkait dengan kenyataan kultural di negeri kepulauan di Indonesia sebagai salah satu yang paling beragam di dunia, apalagi ragam tradisi pertunjukan telah menjadi bagian dari dinamika perkembangan masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia. Selain itu, sejarah kebudayaan Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah mengalami penjajahan (Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang), sebagaimana banyak negara di Asia dan Afrika, menyusun sejarah kebudayaan dengan kompleksitas yang berbeda dengan sejarah dan pengalaman kebudayaan di Barat, dari mana asal istilah ini berakar. Seni pertunjukan di Indonesia, dengan latar belakang di atas, tersusun oleh pertemuan dan persilangan kebudayaan yang relatif lebih rumit ketimbang pengalaman paralel historis di Eropa Barat yang relatif lebih linear dan ditandai oleh patahan-patahan (rupture) yang tegas yang menandai peralihan dari satu masa ke masa lainnya. Untuk mempermudah pengamatan, pembatasan dasar kerap disusun mengikuti konfigurasi kesejarahan: pembagian serta pengelompokan seni pertunjukan di antara yang ‘modern’ dan pramodern (atau tradisional). Pemilahan dasar ini secara kronologis bisa diterima, karena bentuk-bentuk teater (juga seni pertunjukan) modern di sebagian besar negara Asia bisa dibilang baru muncul, sementara teater pramodern memiliki asal-usul yang sangat tua dan banyak yang masih berlangsung dalam keberlanjutan yang utuh.2 Wayang kulit di Jawa Tengah maupun Indang di Minangkabau adalah dua dari sekian banyak contoh pertunjukan pramodern. Kedua pertunjukan ini baru dimulai larut malam (sekitar pukul 21:00 atau bahkan sesudahnya) dan berlangsung hingga lima-enam jam berikutnya hingga dini hari. Kadang mereka bersanding atau bahkan menghadapi tegangan ketika berhadapan dengan seni pertunjukan komersial, seperti campur sari di Jawa Tengah maupun dangdut organ tunggal di Sumatera Barat (yang terakhir ini menjadi lebih populer di beberapa wilayah Sumatera Barat dan menggantikan ruang yang tadinya diisi oleh kesenian tradisional seperti indang). Oleh karena itu, adalah penting mengadaptasi pendekatan etimologis ini ke dalam konteks serta situasi kultural Indonesia. Komposer terkenal Rahayu Supanggah yang juga seorang pakar seni pertunjukan pernah berujar, “Bisa jadi istilah ‘seni tontonan’ atau ‘seni menonton’ lebih tepat digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman khas Indonesia, mengingat praktik-praktik unik yang masih berlangsung, seperti contoh menonton pertunjukan wayang kulit atau pun Indang yang bisa memakan waktu berjam-jam, dan tidak mengenal relasi spasial (hubungan ruang) yang seketat pertunjukan Barat.” Dalam menonton wayang kulit yang berdurasi panjang, misalnya, penonton bisa duduk dengan leluasa dan mengikuti jalannya pertunjukan yang lebih mengalir dan alamiah ketimbang penonton di ruang teater modern yang berbentuk prosenium.
(2) “ Don Rubin (ed.), The World Encyclopedia of Contemporary Theatre Volume 5 (New York: Routledge, 1998), hlm.21.
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
5
Dalam mendefinisikan seni pertunjukan, maka pertama-tama harus disadari bahwa kebudayaantermasuk kesenian-tidak pernah berlangsung dalam ruang yang vakum, sehingga ia harus dilihat sebagai sebuah dinamika yang terkait dengan kompleksitas perkembangan lingkungan di mana seni pertunjukan itu lahir dan tumbuh. Jika dilihat dari sudut pandang seni pertunjukan modern di Barat, maka seni pertunjukan dapat diartikan sebagai:
Kegiatan bernilai seni yang melibatkan para penampil (performers) yang menginterpretasikan suatu materi kepada penonton (audiences); baik melalui tutur kata, musik, gerakan, tarian dan bahkan akrobat. Unsur terpenting dari seni pertunjukan adalah terjadinya interaksi secara langsung (live) antara penampil dan penonton, walaupun elemen pendukung seperti film atau materi rekaman termasuk di dalamnya. A Guide to the UK Performing Arts (2006)
Sejarah pascakolonial dalam seni pertunjukan di Indonesia mencerminkan suatu kompleksitas kenyataan yang pada tingkat tertentu berbeda dengan kenyataan seni pertunjukan di Barat, sehingga perbandingan seni pertunjukan di Indonesia dengan di Barat pun harus dilakukan dengan kritis. Hingga kini, di banyak desa di Indonesia, misalnya, masih banyak ditemukan pertunjukan yang terjadi di ruang ritual (religius maupun spiritual), sosial maupun komersial. Kategori-kategori ini (ritual religius atau spiritual, sosial maupun komersial) terjadi dalam geografi kultural yang sama, yaitu Indonesia, sehingga tidak jarang yang ritual (religius) disusul oleh yang sosial, bahkan juga berimpitan atau bertautan dengan yang bersifat komersial. Disesuaikan dengan konteks perkembangan seni pertunjukan yang terjadi di Indonesia dan berdasarkan kerangka pemetaan potensi ekonomi, maka seni pertunjukan didefinisikan sebagai:
Cabang kesenian yang melibatkan perancang, pekerja teknis dan penampil (performers), yang mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu gagasan kepada penonton (audiences); baik dalam bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan tubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live) di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini (hic et nunc). Sumber: Focus Group Discussion Subsektor Seni Pertunjukan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Mei-Juni 2014)
6
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Dalam definisi seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menjelaskan definisi seni pertunjukan secara lebih mendalam, yaitu: 1. Gagasan adalah struktur pemikiran yang berasal dari perumusan atau perenungan tentang sesuatu yang dapat dituangkan atau memandu pengolahan serta pembentukan suatu wujud atau pementasan karya seni pertunjukan; 2. Perancang adalah pelaku seni yang menggagas dan merancang konsep awal dan kerangka penciptaan seni pertunjukan; 3. Penampil adalah pelaku seni yang mewujudkan gagasan pertunjukan dalam bentukbentuk yang dapat disaksikan (didengar dan ditonton) oleh pemirsa dalam pementasan karya seni pertunjukan; 4. Pekerja teknis adalah pekerja seni yang mewujudkan rancangan pertunjukan yang bersifat teknis dalam sebuah produksi seni pertunjukan; 5. Penonton adalah orang yang secara sadar dan aktif datang menyaksikan suatu karya seni pertunjukan; 6. Langsung (live) adalah keadaan dimana peristiwa pergelaran pertunjukan berlangsung di dalam ruang dan waktu yang sama di mana penonton dan penampil berada, di sini dan kini (hic et nunc).
1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan Berdasarkan perkembangan serta ‘kategori’ yang mengikuti garis modernitas dan modernisme global, maka seni pertunjukan dapat dibagi menjadi seni pertunjukan tradisional, modern dan kontemporer. Kategori atau terminologi ini bukannya tanpa perdebatan, karena, lagi-lagi, istilahistilah tersebut berasal dari rahim pemikiran serta perkembangan sejarah seni Barat yang tidak selalu bisa begitu saja diterjemahkan ke dalam konteks historis Indonesia, terlebih jika hanya semata-mata dicangkok seperti yang umumnya menjadi kecenderungan. Namun, dalam khazanah wacana global-baik dalam dunia akademisi (kajian) maupun praktik (produksi pementasan dan kuratorial)-sedang terjadi fenomena menarik berupa adanya kesadaran untuk bersikap kritis terhadap konstelasi pemikiran tradisional-modern-kontemporer yang selama abad ke-20 menjadi hegemoni Barat, dengan munculnya penelitian, kajian serta pendekatan serta arah kuratorial yang berlawanan. Adalah penting untuk ikut mengambil posisi kritis ini bagi seni pertunjukan Indonesia, terutama dalam mengaitkan praktik seni pertunjukan dengan kajian yang beredar di dunia global. Seni pertunjukan tradisional—dalam konteks Indonesia—seringkali menjadi basis inspirasi bagi perkembangan seni modern serta kontemporer. Sebagai bagian dari budaya yang integral, seni tradisi atau tradisional hadir dan mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang beragam. Ia mewujud dalam berbagai ritual: baik yang bersifat sosial, adat maupun religius (upacara-upacara keagamaan). Selain hidup dan dilakoni dalam kehidupan sehari-hari—yang ditandai oleh transmisi (penyampaian) dari satu generasi ke generasi berikutnya—apa yang disebut ‘seni tradisi’ atau ‘tradisional’ juga mengalami kodifikasi (pembakuan) melalui media (televisi, misalnya) atau pun proses belajar-mengajar di institut-institut seni (seperti Institut Seni Indonesia). Seringkali tranformasi yang terakhir ini mengubah gaya ungkap seni tradisi yang cenderung diadopsi ke dalam konteks-konteks lainnya seperti konteks komersial. Hal ini terjadi misalnya pada seni
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
7
tari, sebagai salah satu contoh, Tari Piring (Sumatera Barat) mengalami perubahan dari konteks aslinya ketika ia dipertontonkan di TVRI pada tahun 1970—1980-an. Tarian-tarian ini banyak yang dipendekkan durasinya untuk kepentingan tayangan televisi atau menjadi komersial untuk konsumsi acara-acara pariwisata. Dalam konteks Indonesia, istilah modern dan kontemporer dalam seni pertunjukan (teater-tari-musik) bisa dikatakan masih berada dalam tahap diskusi, belum betul-betul mewacana (diskursus). Dalam dunia teater, paling tidak sudah menjadi konsensus para teoretis dan praktisi teater bahwa apa yang dimaksud sebagai teater modern Indonesia merujuk pada teater yang berdasarkan naskah tertulis yang menggunakan bahasa Indonesia.3 Pengaruh idiom-idiom teater Barat klasik atau modern (Shakespeare, Brecht, ataupun Ibsen) maupun a na sir-a na sir teater lok a l (ketopra k, Komed ie Sta mboel) da la m teater modern Indonesia pun diana lisis dan dibeda h oleh beberapa pengkajinya. 4 Sedangkan dalam seni tari, istilah modern dan kontemporer masih cenderung tumpang-tindih, dan masih dalam proses awal pewacanaan seperti tercermin dari minimnya tulisan-tulisan seputar topik ini.5 Sementara itu, musik (pertunjukan live, bukan musik rekaman), terbagi dalam tiga kategori, yaitu tradisional, klasik, dan populer. Pada setiap kategori ini terjadi pengembangan bentuk yang kontemporer atau merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (tradisional-kontemporer, klasik-kontemporer, dan populer-kontemporer). Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional, komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam istilah atau genre ‘modern’ dan ‘kontemporer’). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi, karena banyak ekspresilokal yang sebetulnya tidak mengenal pemisahan klasifikasi demikian. Teater tradisional dari Minangkabau (Sumatera Barat), Randai misalnya, adalah perpaduan sastra, musik dan tari (yang berdasar pada pencaksilat), meski dalam definisi kajian cenderung direduksi menjadi sekedar bentuk ‘teater’. Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus, opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.
(3) Baca Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992) dan Michael H. Bodden, Resistance on the National Stage: Theater and Politics in Late New Order Indonesia (Athens: Ohio University Press, 2010). (4) Ibid, Soemardjo, 1992; Bodden, 2010. Baca pula Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891–1903 (Ohio: Ohio University Press, 2006). (5) Setidaknya ada dua kajian mengenai seni tari di Indonesia oleh akademisi Indonesia, yaitu Sal Murgiyanto, The Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia, an M.A research project, University of Colorado, 1976; dan Helly Minarti, Modern and Contemporary Dance in Asia: Body, Routes and Discourse, manuskrip disertasi doktoral, London: University of Roehampton, 2014.
8
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht, pada sekitar 1910 Sumber: Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891–1903 Ohio: Ohio University Press, 2006
Komedi Stamboel Komedie Stamboel adalah teater campuran (hibrida) pada zaman kolonial yang dengan kompleks menggabungkan beragam teater, kesusastraan, dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu genre pertunjukan populer di Indonesia, asal-muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu kelompok teater dengan nama yang sama pada 1891 di Surabaya, dengan aktor keturunan Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering dideskripsikan sebagai versi Melayu dari teater musikal Eropa. Teater ini memberi sumbangan besar pada perkembangan teater kontemporer—seperti keroncong, ketoprak (yang pernah disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitas dan representasi.
Julukan stamboel diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya, cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada sepuluh bulan pertama mereka merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa. Suasana dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, riasan, plot—mirip dengan dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19. Pengaruh lain yang tidak kalah penting adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay (India) dan banyak berkeliling di Hindia Belanda semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal). Pada dasawarsa pertama abad ke-20, komedi stambul sudah punya koleksi drama (repertoar) yang sangat beragam, mulai dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra hingga folklor populer Eropa (misalnya lakon Dr. Faust atau Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima, hingga Perang Lombok 1899–1900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare. Perubahan pesat di Hindia Belanda mengiringi sejarah awal berdirinya stambul. Saluran transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, fonograf, litografi, percetakan, dan sebagainya pun bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok. “Komedie Stamboel ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki, dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.”
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
9
TARI Salah satu definisi tari yang umum dikenal adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan menjadi ungkapan si pencipta. Definisi ini tidak selalu bisa menjelaskan perkembangan tari di wilayah eksperimentasi artistik (modern dan kontemporer) di ranah global, misalnya jika ia diterapkan untuk menjelaskan tari garda depan (avant-garde) atau pun apa yang kerap disebut sebagai tari kontemporer konseptual yang berkembang di Eropa Barat (kontinental) dari tahun 1990 sampai 2000-an, ketika karya koreografi tidak selalu terlihat atau berbentuk ‘tarian’ dalam pengertian konvensional (‘menari’). Menurut perkembangannya, maka tari dapat dibagi menjadi beberapa genre yaitu: 1. Tari tradisi atau tradisional merujuk pada tarian yang dipentaskan sebagai bagian dari tradisi setempat, dan ini bisa terdiri dari tari ritual atau klasik seperti Tari Bedhaya Ketawang dari Kesultanan Surakarta, juga tarian rakyat yang bentuknya beragam dan umumnya membawa identitas suku bangsa (Tari Jathilan dari Jawa Tengah, Tari Piringdi dari Sumatra Barat atau Tari Zapin dari dari khazanah Melayu). 2. Tari kreasi baru atau garapan baru didefinisikan pertama kali oleh R.M. Soedarsono sebagai komposisi tari yang masih menggunakan idiom-idiom tari tradisi, namun telah digarap ulang dengan memasukkan elemen-elemen baru seperti irama paduan gerak ataupun kostum. Tarian massal yang digarap Bagong Kussudiardjo seperti Tari Yapong bisa menjadi salah satu contoh tari kreasi baru atau bahkan Tari Kukupu gubahan Tjetje Soemantri yang digarap pada 1950-an. 3. Tari modern, sebagai istilah baku dalam kajian tari global, istilah ini awalnya merujuk pada eksperimentasi artistik di Barat (Eropa-Amerika) pada awal abad ke-20 ketika tari masuk ke dalam ruang teater modern, saat ekspresi individualitas menjadi penanda utama. Tokoh-tokoh generasi ini adalah Isadora Duncan (1877–1927), Ruth St. Denis (1879–1968), Mary Wigman (1886–1973), dan Martha Graham (1894–1991). St. Denis pernah tur ke Asia Timur, antara lain ke Hindia Belanda pada pertengahan 1920-an, sementara Graham pernah pentas di Jakarta ketika Indonesia telah menjadi Republik Indonesia, pada 1955 dan 1974. Pada akhir abad ke-20, wacana yang sangat berpusat pada pengalaman historis Eropa-Amerika (Euro-American centric) ini lantas dikoreksi oleh para ahli tari dunia dengan mulai memasukkan tokoh-tokoh tari modern nonEropa-Amerika, antara lain Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno (dua penari yang melahirkan Butoh di Jepang) atau Wu Xiao Bang dan Dai Ai Lan dari Tiongkok.6 Di Indonesia, tarian Sardono W. Kusumo melalui karya-karya awalnya seperti Samgita Pancasona I-IX pada akhir 1960-an, ketika pertanyaan eksistensial tentang apa itu tari dan gerak menari muncul, bisa dimaknai sebagai awal munculnya tari modern Indonesia. Selain karya-karya Sardono, karya-karya awal koreografer yang berkumpul di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1968–1971 juga dapat digolongkan sebagai rintisan tari modern Indonesia, seperti karya koreografer Farida Oetoyo (1939–2014), Hoerijah Adam (1936–1977) maupun Julianti Parani (lahir 1941). Farida dan Julianti mewakili penari atau penata tari Indonesia yang berlatar belakang tari balet klasik Barat dan teknik tari modern (6) Taryn Benbow-Pfalzgraf (ed.), International Dictionary of Modern Dance (St. James Press, 1998).
10
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Barat. Sekalipun tari yang mereka pelajari adalah tari Barat, mereka mengadaptasinya menjadi apa yang disebut balet Indonesia, yaitu gaya serta sensibilitas balet klasik Barat yang diterapkan ke dalam narasi-narasi Nusantara seperti Rama dan Shinta atau Sangkuriang. Baik dalam pemakaian sehari-hari dalam media maupun dalam lingkungan akademis, di Indonesia, pengertian tari modern masih cenderung melenceng dari alur sejarah modernisme global. Seringkali, tari modern dianggap sebagai garapan baru (tari kreasi) atau malah disalahtafsirkan sebagai tari latar (hiburan). 4. Tari kontemporer adalah kategori yang cenderung ditumpang-tindihkan dengan tari modern, namun juga yang secara lentur juga dipahami sebagai garapan tari baru yang motivasinya mendasarkan diri pada eksperimentasi artistik. Dalam konteks pengalaman Indonesia, inspirasi sebuah karya tari kontemporer bisa bersumber dari satu atau lebih teknik tari, mulai dari teknik tari tradisi, tari balet klasik (Barat), teknik tari modern Barat, hip hop, dan lain sebagainya. Sebuah komposisi tari kontemporer juga bisa mengambil sumber dari idiom-idiom pertunjukan lainnya seperti teater. Eksperimentasi bisa berpusat pada gerak, komposisi maupun situs (sites) di luar panggung prosenium atau pun gedung teater lainnya. Koreografer yang aktif menggarap tari kontemporer adalah Jecko Siompo (1976-) yang memiliki dua kelompok: Jecko Dance (kontemporer) dan Animal Pop (hiburan dan anak-anak), Fitri Setyaningsih (1978-) di Yogyakarta serta sekelompok koreografer muda berdomisili di Surakarta seperti Danang Pamungkas, Windarti, Bobby Ari Setiawan, Agus “Mbendol” Maryanto dan beberapa nama dari generasi yang lebih muda seperti Darlane Litaay (asal Papua berdomisili di Yogyakarta). Kebanyakan dari mereka adalah lulusan Institut Seni Indonesia (Yogyakarta, Surakarta, Padang Panjang) maupun Institut Kesenian Jakarta.
Bintang Hening, karya Fitri Setyaningsih, 2011 Foto: Afrizal Malna
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
11
Di luar keempat kategori ini, sendratari adalah kategori khas Indonesia yang muncul setelah produksi Ballet Ramayana (1961) atau yang kemudian diberi nama baru sebagai Sendratari Ramayana (1970). Kedua produksi Ramayana yang masih dipentaskan hingga kini adalah proyek nasional yang semula dirancang dan didanai pemerintah (dulu didanai Departemen Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata) untuk mendongkrak perolehan pariwisata.
TEATER Istilah teater diserap dari bahasa Inggris “theatre”, yang berakar pada bahasa latin “theatron” (tempat untuk melihat) atau “theaomai”(yang berarti melihat, menyaksikan atau mengamati). Dengan sejarah etimologis seperti ini, penggunaan istilah teater kerap tidak jelas batas-batasnya, atau terlalu luas. Di samping merujuk pada gedung tempat digelarnya pertunjukan atau sinema, pengertian kata ini juga mencakup hampir seluruh bentuk seni pertunjukan yang terentang dari ritual purba, upacara keagamaan, pertunjukan rakyat ( folk theatre), dan jalanan (street theatre), sampai pada bentuk seni pertunjukan yang muncul kemudian (termasuk di dalamnya pantomim dan tableaux atau pentas gerak tanpa kata). Kata atau istilah lain yang kerap dipadankan dengan istilah ini adalah drama, yang sesungguhnya lebih spesifik mengacu pada bentuk seni pertunjukan yang melibatkan kata-kata (lakon) yang diucapkan aktor di atas panggung. Sebagai kata sifat, drama menunjuk pada peristiwa atau keadaan yang bergairah dan emosional. Dalam bahasa Indonesia, kata lain yang juga kerap dianggap sepadan adalah sandiwara, yang berasal dari bahasa Sansekerta. Di samping itu, watak teater sebagai seni pertunjukan yang sejak awal multidisiplin (melibatkan banyak disiplin seni seperti seni visual untuk set atau dekorasi, properti, serta kostum; seni musik pada ilustrasi; sastra pada naskah lakon) membuat istilah ini sulit ditentukan batas kategorikalnya, terutama ketika disandingkan dengan kategori lain dalam seni pertunjukan (tari dan musik pertunjukan). Belum lagi jika kita hendak membicarakan praktik atau bentuk teater eksperimental atau garda depan (avant-garde), yang kerap secara sengaja melintasi batas disiplin dan mengolah medium-medium lain (film dan video, misalnya) dalam pertunjukannya. Merujuk pada sejarah teater di Indonesia sendiri, pentas-pentas improvisasi Bengkel Teater Rendra pada akhir 1960an dan awal 1970-an, yang minim dialog (dikenal sebagai teater mini kata) dan lebih banyak menggunakan bahasa tubuh, gerak, bunyi, dan visual, misalnya, sulit dikategorikan sebagai pentas drama atau sandiwara. Dengan menimbang problem kategorikal itu, untuk kepentingan pemetaan potensi ekonomi kreatif dalam buku ini, teater diklasifikasikan menjadi: 1. Teater tradisi. Pengertian teater tradisi dibatasi pada: 1) bentuk seni pertunjukan tradisi yang sudah berlangsung lama—puluhan atau ratusan tahun—dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; 2) watak multidisiplin teater tradisi yang cukup dominan, tak hanya melibatkan olah gerak dengan iringan musik, tapi juga pengucapan dialog atau syair, serta ekspresi dramatik lainnya, baik berdasar pakem, lakon tertulis, atau hanya improvisasi; 3) berakar pada serta mengolah idiom budaya dan menggunakan bahasa suku bangsa setempat serta menjadi bagian dari proses solidaritas warga; 4) terkait dengan nilai serta kepercayaan komunitas masyarakat tempat seni pertunjukan itu hadir dan tumbuh;7 5) berlangsung di luar ruangan (outdoor) atau di tempat-tempat yang sifatnya sementara (bukan gedung atau bangunan yang dirancang khusus); 6) banyak teater tradisi dari (7) Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
12
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
suatu daerah berangkat dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan cerita-cerita rakyat setempat (folklore). Contoh teater tradisi Indonesia: Makyong (Riau), Mamanda (Kalimantan Selatan), Longser (Jawa Barat), Wayang Wong (Jawa Tengah). 2. Teater modern. Seperti yang sudah disampaikan di awal bab ini, klasifikasi-klasifikasi yang dikenakan pada seni pertunjukan di Indonesia sesungguhnya selalu problematis. Hal ini terkait dengan sejarah serta situasi pasca-kolonial Indonesia yang memiliki sejarah dan situasi kebudayaan yang berbeda dari Barat (Eropa) dari mana klasifikasi itu berasal. Di Barat misalnya, istilah teater modern terkait erat dengan perubahan besar di Eropa pada sekitar abad ke-17, dengan lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai masa pencerahan (Enlightenment) atau zaman rasionalitas (Age of Reason atau Renaissance) yang mengakhiri zaman kegelapan (Dark Age) di Eropa. Dalam keterkaitan ini, teater modern di Eropa merupakan bagian dari perubahan masyarakat Eropa yang digerakkan oleh revolusi industri yang diawali di Inggris, revolusi demokratis di Prancis, serta arus besar revolusi intelektual yang mencoba menegakkan akal (reason) dalam memandang dan mengolah kehidupan. Oleh karena itu, realisme dalam teater, sebagaimana dalam novel-novel yang terbit waktu itu, merupakan penanda yang paling kuat atas teater modern, sebagai upaya teater memotret dan menampilkan masalah sosial saat itu dalam tatapan yang lebih objektif di hadapan penonton yang dibayangkan mencernanya secara objektif (atau rasional pula). Sementara pada kasus di Indonesia, teater modern adalah bagian dari produk kultural yang dibawa oleh kontak Indonesia dengan Barat pada zaman kolonial. Meskipun demikian, sebagai bagian dari kegairahan untuk menjadi Indonesia modern, prinsip dan bentuk teater modern (realisme) itu lalu dipelajari, ditiru, dan diadopsi di Indonesia sejak awal abad ke-19. Secara akademis, setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an, banyak berdiri sekolah seni semacam Akademi Teater Nasional Indonesia-ATNI (Jakarta) dan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia-ASDRAFI (Yogyakarta) yang mengajarkan teater modern bergaya realis pada anak didiknya, yang kemudian meneruskan dan menurunkan paham serta gaya teater realis ini sampai sekarang (yang juga dikembangkan di jurusan-jurusan teater Institut Seni Indonesia di banyak kota di Indonesia). Oleh karena itu, untuk memudahkan, pengertian teater modern dalam buku ini mengikuti garis sejarah tersebut. Sementara untuk praktik dan bentuk teater nonrealis diklasifikasikan dalam kategori ‘teater eksperimental atau garda depan atau garda depan baru’, yang akan dibahas kemudian. Batas-batas teater ‘modern’ dalam buku ini melingkupi: 1) berdasarkan naskah lakon (baik terjemahan maupun orisinal); 2) melisankan naskah dengan iringan musik yang terbatas; 3) kebanyakan berlangsung di panggung prosenium yang memisahkan dan menghadapkan penonton dengan pemain secara frontal; serta 4) mengutamakan akting realistik, meskipun ditempatkan dalam konteks dan situasi-situasi nonrealis. Contoh teater modern dalam batas klasifikasi ini, misalnya pertunjukan-pertunjukan oleh Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya (1937-2001), Studiklub Teater Bandung (STB) dengan sutradara Suyatna Anirun (1936-2002), Teater Lembaga (Insitut Kesenian Jakarta), Teater Koma dengan sutradara Nano Riantiarno (1949-), kelompok Mainteater (Bandung) dengan sutradara Wawan Sofwan (1965-), Teater Satu-Lampung dengan sutradara Iswadi Pratama (1971-), Teater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko (1976-).
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
13
3. Teater Transisi. Teater transisi adalah teater yang jejak tradisinya masih terasa namun sudah menggunakan elemen-elemen atau praktik-praktik modern, seperti pada bentuk panggung (prosenium, dalam ruang), tema yang digarap (mulai mengangkat tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat), maupun pengelolaan organisasinya. Contoh teater transisi di Indonesia di antaranya: Srimulat (Surabaya dan Jakarta), Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih (Jakarta), Wayang Orang Bharata (Jakarta), Pusat Latihan Opera Batak (Siantar), Ketoprak (Jawa Tengah), Ludruk (Jawa Timur), Lenong (Jakarta) dan Drama Gong (Bali). 4. Teater Eksperimental, atau Garda Depan (avant-garde). Sesungguhnya, dalam konteks sejarah teater di Eropa, teater eksperimental, atau teater garda depan juga merupakan bagian dari gerakan modernisme, terutama dalam konteks penolakan atas ‘yang lama’ (yang kerap ditafsir sebagai konvensi, pakem atau tradisionalisme) dan keinginan untuk menemukan bahasa dan idiom ungkap teater yang baru. Pencarian atas wilayah estetika yang belum dirambah inilah yang menjadi dasar dari istilah avant-garde yang dipopulerkan pertama kali oleh seorang anarkis Rusia, Michael Bakunin pada 1878. Dalam konteks di Indonesia, dengan kompleksitas sejarah yang berbeda, arus lain dari modernisme (yang kebanyakan justru menyangkal realisme ini), ditempatkan dalam klasifikasi yang terpisah dengan teater modern, seturut pemahaman yang berlangsung pada publik teater di Indonesia yang lebih mengasosiasikan teater modern dengan gaya teater realis, atau realistik.8 Bentuk pertunjukan teater eksperimental atau teater garda depan tak dapat digeneralisasi karena semangat eksperimentasi yang ada membuat setiap pertunjukan akan memiliki gaya atau percampuran gaya yang bisa berbeda dengan tajam. Klasifikasi ini dimungkinkan sejauh kita menempatkan amatan pada semangat eksperimentasi tersebut dan upaya untuk mencari bahasa-bahasa ‘baru’ dalam ekspresi mereka. Semangat dan upaya yang kerap mendorong praktik penciptaan teater garda depan melintasi banyak disiplin dan menggunakan beragam medium dalam pertunjukan mereka. Contoh teater eksperimental atau teater garda depan dalam sejarah teater di Indonesia, misalnya: nomor-nomor improvisasi (mini kata) Bengkel Teater arahan Rendra, karyakarya pertunjukan Teater Mandiri arahan Putu Wijaya, atau yang muncul kemudian pada 1980 dan 1990-an: Teater SAE dengan sutradara Budi S. Otong dan Teater Kubur dengan sutradara Dindon (keduanya dari Jakarta); Teater Payung Hitam dengan sutradara Rahman Sabur, Teater Republik dengan sutradara Benny Johanes (Bandung); dan Teater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca (Makassar). Sementara beberapa nomor pertunjukan Teater Garasi dengan sutradara Yudi Ahmad Tajuddin dan Gunawan Maryanto, seperti trilogi pentas teater visual Waktu Batu, teater-tari Je.ja.l.an, Repertoar Hujan dan Tubuh Ketiga juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini. Begitu pun nomor pertunjukan Teater Satu-Lampung, Nostalgia Sebuah Kota, Ayahku Stroke tapi Nggak Mati oleh Teater Gardanalla, untuk menyebut beberapa bentuk dan praktik teater garda depan pada era 2000-an. (8) Untuk pembacaan awal mengenai teater garda depan di Eropa, lihat: Christopher Innes, Avant Garde Theatre 1892–1992 (London: Routledge, 1993).
14
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Je.ja.l.an (The Streets). Produksi Teater Garasi. Sutradara:Yudi Ahmad Tajudin. Yogyakarta, Jakarta, Shizuoka dan Osaka (2008-2010). Foto: Mohamad Amin
Catatan yang penting diungkapkan dalam konteks buku ini merujuk pada sejarah teater di Barat. Eksperimentasi yang dilakukan teater-teater garda depan, pada gilirannya, menginspirasi serta menyegarkan bentuk pertunjukan-pertunjukan teater komersial (profesional) dan memulihkan antusiasme penonton. Contoh paling representatif atas hal ini adalah dengan ditunjuknya Julie Taymor (sutradara teater garda depan Amerika) oleh produser Broadway untuk menyutradarai pentas musikal Lion King, yang kemudian menjadi sukses besar dan ikut memulihkan antusiasme penonton Broadway (salah satu dari empat pentas terlama dan pentas dengan pemasukan terbesar sepanjang masa di Broadway). Dalam skala yang berbeda, eksperimentasi-eksperimentasi antarbudaya yang dilakukan Peter Brook di tahun 1960-an, turut menyegarkan pertunjukan-pertunjukan di The Royal Shakespeare Company London, serta memulihkan antusiasme penonton untuk menyaksikan gelaran karya-karya maestro Shakespeare.
Julie Taymor, sutradara The Circle of Life - Disney’s The Lion King . Foto: Joan Marcus
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
15
Di sisi lain, berdasarkan tujuan penciptaan serta watak pengelolaan kelompok karya, teater dapat dibagi menjadi: 1. Teater Amatir. Di banyak kota di Indonesia, teater atau drama sesungguhnya menyebar hampir merata, baik di kota maupun di perdesaan. Biasanya, setiap penyelenggaraan acara hari besar kerap diisi dengan pentas-pentas drama, baik oleh kelompok spontan dan temporer maupun oleh kelompok yang relatif lebih permanen. Akan tetapi praktik teater mereka tak dijalani dengan disiplin yang serius—lebih bersifat hobi dan ekspresi diri. Watak pengelolaan pertunjukan maupun kelompok seperti ini juga bisa disebut amatir (tidak dengan pengetahuan serta disiplin manajemen yang kuat). Kelompok-kelompok teater pelajar sekolah menengah juga bisa dimasukkan dalam kategori ini. 2. Teater Nonkomersil atau Teater Ketiga atau teater sebagai aktivisme kultural. Sedikit lebih jauh dari teater amatir adalah praktik teater yang dilakukan dengan dasar pembacaan atau refleksi atas kenyataan dan masalah yang lebih luas dari si seniman: kenyataan dan problem masyarakatnya. Sebagaimana pekerja sosial di organisasi nonpemerintah, atau ilmuwan dan peneliti sosial di kampus maupun di ruang dan media publik, praktik berkesenian kerap dilandasi oleh keinginan untuk menyampaikan (atau membela) masalah yang ada di masyarakat. Penciptaan dan pertunjukan teater semacam ini bisa kita lihat sebagai aktivisme kultural. Di samping hiburan, penonton juga diajak untuk memikirkan persoalan-persoalan di masyarakat yang menjadi pijakan berkarya. Praktik teater rakyat (popular theatre) untuk pemberdayaan masyarakat, yang terinspirasi dari gagasan dan pendekatan popular theatre Augusto Boal dan mulai berkembang di Indonesia pada 1970-an, termasuk dalam kategori ini. Sementara itu, istilah teater ketiga merujuk pada istilah yang dipopulerkan oleh pemikir dan sutradara teater dari Italia, Eugenio Barba, yang menunjuk pada praktik dan pengelolaan teater yang memiliki disiplin (serta pengetahuan) sebagaimana teater profesional tetapi tidak bekerja di dalam lingkungan dan ukuran teater komersial.9 Jika dilihat dari dua batasan di atas, maka sebagian besar kelompok teater yang karyakaryanya banyak diperbincangkan dalam sejarah teater di Indonesia masuk dalam kategori ini. Untuk menyebut beberapa, kelompok-kelompok teater yang termasuk dalam kategori Teater Ketiga ini adalah Bengkel Teater (W.S.Rendra), Teater Kecil (Arifin C. Noer), juga teater-teater yang masih aktif sampai sekarang seperti Teater Satu (Lampung), Laboratorium Teater Sahid (Jakarta), Teater Garasi atau Garasi Performance Institute (Yogyakarta), Teater Gardanalla (Yogyakarta), Papermoon Puppet Theatre (Yogyakarta), Mainteater Bandung, Teater Sakata (Padang Panjang), dan Teater Kala (Makassar). 3. Teater Komersial adalah praktik teater yang diciptakan dan dipentaskan dengan tujuan serta niatan komersial (profit-oriented), dengan standar profesionalisme dalam ukuran relatif berdasarkan konteks masing-masing. Memasuki milenia baru, kelompok Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) mulai memproduksi drama-musikal, dengan penampil para penari yang mereka didik sendiri sejak akhir 1990-an, maupun bintang tamu dari dunia hiburan, mulai dari almarhum Indra Safera hingga Sarah Sechan dan selebritis lainnya.
(9) Lihat: Ian Watson, Towards a Third Theatre: Eugenio Barba and Odin Teatret (London: Routledge, 1995). 16
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pementasan “Jakarta Love Riot”, Juli 2010 (E.K.I Dance Company)
EKI DANCE COMPANY EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) mewakili model seni pertunjukan yang menarik karena berawal dari komunitas religius yang kebetulan dipimpin oleh seorang pandita modern yang peduli pada kesenian, khususnya seni tari. Menjadi pemimpin sebuah komunitas religius, pasangan Rusdi Rukmarata (koreografer) dan Aiko Senosoenoto kerap didatangi para remaja bermasalah yang kemudian mereka tampung dalam sebuah asrama; bahkan mereka pun menanggung kebutuhan makan serta pengeluaran sehari-hari dari para remaja itu. Mereka lantas diberi beragam pelatihan teknik tari serta pengetahuan tentang seni budaya oleh para pakar yang sengaja diundang untuk mengajar. EKI mulai dari produksi-produksi kecil, awalnya berusaha mendalami tari kontemporer sebelum akhirnya mulai menjelajah ke drama musikal. EKI juga sempat membentuk semacam biro manajemen seni yang berperan sebagai manajer beberapa seniman seperti almarhum dalang Slamet Gundono dan penari atau koreografer Mugiyono pada akhir 1990-an.
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
17
Pada pertengahan 2000-an di Jakarta, genre drama musikal ini pun menjadi booming dengan mobilisasi dana produksi dan penonton yang besar, di antaranya seperti pertunjukan Laskar Pelangi yang disutradarai Riri Reza dan diproduksi oleh Mira Lesmana dan Toto Arto atau Onrop yang disutradarai Joko Anwar dengan produser Afi Shamara. Pertunjukan musikal ini dapat dibilang merupakan varian baru dari teater komersial yang muncul berdasarkan aspirasi dan kebutuhan kelas menengah baru di Jakarta. Praktik teater komersial sendiri sesungguhnya bisa dirujuk jauh dalam sejarah teater di Indonesia pada maraknya pentas-pentas kelompok Komedi Stamboel di kota-kota di Jawa dan kepulauan Melayu (sampai Malaka), pada kisaran awal abad ke-19.10
Musikal “Laskar Pelangi”, 2010-2011 Sumber: Musikal Laskar Pelangi
Praktik dan pengelolaan kelompok semacam itu menurun pada Teater Dardanella, yang bahkan pernah pentas keliling sampai Amerika Utara pada 1930–1940-an; juga pada teater hiburan keliling yang muncul kemudian seperti Ketoprak Tobong di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang juga menjadi inspirasi kelompok Srimulat yang pernah sangat terkenal pada 1980-an, lalu dihidupkan kembali oleh anggotanya melalui medium televisi pada pertengahan 1990-an, yang masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.Karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Oleh karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Unsur musik (dan lagu) populer serta pertunjukan kerupaan (spektakel) mendapat porsi yang besar di panggung-panggung komersial. (10) Op. cit. Cohen, 2006.
18
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Finding Srimulat (Charles Gozali, 2013),film yang terinspirasi oleh eksistensi Srimulat sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia,
SRIMULAT Srimulat, grup atau kelompok lawak yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo di Solo pada 1950 ini, terus berkibar di tengah pentas seni pertunjukan lawak selama 60 tahun lebih. Sepanjang sejarah berdirinya kelompok lawak Indonesia, Srimulat merupakan kelompok yang memiliki paling banyak anggota dan mencetak pelawak-pelawak andal seperti Asmuni, Timbul, Gepeng, Bambang Gentolet, Basuki, Tarzan, Polo, Nunung, Mamiek, dan Gogon. Srimulat mencapai puncak kejayaannya pada 1970–1989. Pada masa puncaknya, kelompok humor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membuka franchise panggung yang juga laris di Jakarta dan Solo dengan menampilkan 300 lebih pelawak dan penghibur. Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan karismatik. Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini terjadi karena Srimulat dikelola secara kekeluargaan dan berbasis komunal. Anggota yang umumnya berpendidikan rendah juga turut berperan membuat kepemimpinan Srimulat bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan cerita, hingga keputusan untuk mengembangkan usaha, ada di tangan Teguh sebagai pendiri.
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
19
Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan di dalam Srimulat. Kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan masalah secara rasional-modern: tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat pada satu orang, tidak adanya sistem penghargaan yang jelas, persoalan suksesi, dan munculnya hegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama bubarnya Srimulat pada 1989. Dua tahun sebelum dibubarkan, serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang, kerinduan para personel untuk berkumpul kembali memuncak. Pada 1995, Gogon mengusulkan reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak penonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya dan Srimulat tampil kembali di layar perak pada 1995–2003. Pada 2004, Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006, Srimulat kembali mendapat tawaran manggung di Indosiar untuk 36 episode. Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, membuatnya bersentuhan langsung dengan dunia bisnis. Masuknya manajemen bisnis ke dalam Srimulat bukan saja diperlukan untuk menjual jasa, tetapi juga membuat Srimulat sebagai suatu company yang mempunyai visi dan kemahiran wirausaha; bahwa Srimulat harus mampu bersikap proaktif dalam mengelola sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran secara lebih profesional. Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber
MUSIK Dalam konteks penulisan buku ini, seni pertunjukan musik merujuk pada bentuk penyajian musik secara langsung (live) di hadapan penonton (audiences). Seni pertunjukan musik dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Pertunjukan musik populer merujuk pada pertunjukan musik yang memiliki daya tarik yang luas dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat, yang terdiri dari sejumlah genre termasuk musik pop, rock, jazz, soul, R&B, reggae, dan sebagainya. Pertunjukan musik populer terkait erat dengan aktivitas rekaman musik, yaitu sebagai aktivitas pendukung (promosi penjualan lagu) dari musisi yang bersangkutan. Adapun pertunjukan musik populer yang merupakan fokus pengembangan seni pertunjukan musik dalam kerangka ekonomi kreatif adalah pertunjukan musik populer kontemporer, yaitu musik dengan genre populer (seperti rock, jazz, soul) yang mempunyai tingkat eksperimentasi tinggi dan digunakan sebagai medium penyampaian gagasan penciptaan senimannya (komponisnya). Musik populer kontemporer tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat luas dan didistribusikan secara luas pula, oleh karena itu, dalam penciptaan dan penyajian karyanya, pertunjukan musik populer kontemporer tidak selalu berkaitan dengan rekaman musik (industri musik). Dengan demikian, konser atau pertunjukan musik ditempatkan sebagai aktivitas utama dalam berkesenian, bukan pendukung seperti halnya yang terjadi dalam pertunjukan musik populer.
20
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Karya-karya yang ditampilkan oleh Duo Ubiet & Tohpati pada pertunjukan “Eclectic Jazz Session” untuk memperingati 100 tahun kelahiran komponis legendaris Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juni 2014 di Teater Salihara adalah contoh pertunjukan musik jazz yang dipadukan dengan nyanyian eklektik. Musik yang dihasilkan merupakan musik kontemporer karena keduanya menggali berbagai spektrum musikal yang luas dalam ritme, metrum, melodi, harmoni, maupun tekstur, dan warna bunyi. Foto: Komunitas Salihara.
2. Pertunjukan musik yang berakar pada kebudayaan lokal: •
Pertunjukan musik tradisional - musik yang diwariskan secara turun-temurun dan berkelanjutan pada masyarakat suatu daerah, dan mempunyai ciri khas masingmasing baik dari alat, gaya dan bahasa yang digunakan. Contoh: Gondang (Batak), Gambus dan Orkes Melayu (Riau), Gambang Kromong (Betawi), Angklung (Sunda), Gamelan (Jawa dan Bali).
•
Pertunjukan musik dunia (world music) - kategori ini secara umum merujuk pada sebuah genre yang pada dasarnya merupakan perpaduan (fusion) antara musik-musik yang mengambil sumber dari lokalitas tertentu (non-Barat) tertentu dengan genre musik lainnya.
3. Pertunjukan musik klasik Barat, yang dapat dibagi menjadi: •
Orkestra, adalah sekelompok musisi yang memainkan alat musik Klasik bersama, seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi. Selain tiga kategori tersebut, piano dan gitar juga terkadang dapat dijumpai dalam orkestra. Orkestra yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkestra simponi. Orkestra simponi memiliki sekitar 100 pemain, sementara orkestra yang kecil hanya memiliki 30 atau 40 pemain. Contoh kelompok orkestra Indonesia misalnya Jakarta Concert Orchestra, Twilite Orchestra, dan Yayasan Musik Jakarta.
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
21
•
Musik kamar (chamber music), adalah musik klasik yang dimainkan oleh sekelompok musisi berjumlah kecil (biasanya empat orang) dan dipentaskan di ruangan berskala kecil.
•
Paduan suara
•
Seriosa
Berdasarkan gubahan bentuk, maka seni pertunjukan musik dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Pertunjukan musik kontemporer atau eksperimen. Pengembangan bentuk yang ‘kontemporer’ berlaku pada setiap genre di atas, artinya merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (disemangati oleh pencarian kemungkinan baru), menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut pandang kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik ‘baru’ yang dibuat dengan kaidah dan suasana yang baru, berkembang dari gagasan yang menempatkan proses eksplorasi bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi gagasan penciptanya—yang pada akhirnya lepas dari konsep musik yang enak didengar saja. Gubahan bentuk musik kontemporer dapat dilakukan di semua genre. Komponis kontemporer Indonesia seperti Amir Pasaribu, Dua Srikandi piano (Trisutji Kamal dan Marusya Nainggolan Abdullah) menggarap musik kontemporer dalam idiom tradisi Barat, yaitu materi garapannya dapat berupa musik tradisional, namun teknik garapannya memakai prinsip-prinsip musik barat, misalnya nuansa gending gamelan Jawa yang ditranskripsikan ke dalam piano. Lain halnya dengan A.W. Sutrisna, Rahayu Supanggah, Wayan Sadra, Dody Satya Ekagustdiman, dan Peni Candra Rini yang menggarap musik kontemporer yang bersumber dari unsur tradisional, misalnya, memetik kecapi dengan gesekan kuku jari, atau mengubah fungsi degung sebagai instrumen solo padahal seharusnya dimainkan dalam sebuah ensemble bersama. Sedangkan Slamet Abdul Sjukur, Sapto Rahardjo, Ben Pasaribu, Tony Prabowo, dan Otto Sidharta menggarap musik kontemporer dengan mencampurkan budaya Indonesia dan budaya Barat. Tony Prabowo misalnya, dikenal akan kemahirannya dalam melakukan eksplorasi teknik permainan yang tidak biasa pada alat-alat akustik untuk menciptakan tuntutan karakter suara yang dibutuhkan, yang tidak hanya mengubah karakteristik bunyi, tetapi juga mempengaruhi spektrum harmoni warna musik. Begitu pula dengan karya Slamet Abdul Sjukur, berjudul Tetabuhan Sungut, yang sesungguhnya adalah karya canon vocal, namun strukturnya menggunakan teknik garapan gending. 2. Pertunjukan musik nonkontemporer atau noneksperimen. Musik nonkontemporer atau noneksperimen merujuk pada gubahan musik yang bentuknya relatif tidak berubah dari zaman ke zaman dan tidak terjadi eksplorasi dalam teknik permainan maupun bunyi diluar dari apa yang lazimnya dilakukan. Elaborasi mengenai pembagian seni pertunjukan di atas mencakup semua jenis seni pertunjukan baik dari genre, maupun tujuan penciptaan. Namun demikian, tidak semua jenis seni pertunjukan tersebut dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi kreatif karena selain potensi nilai sosial dan budaya, potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh seni pertunjukan tersebut, baik langsung (direct economic benefit) maupun tidak langsung (indirect economic benefit) adalah salah satu faktor utama yang harus dipertimbangkan.
22
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Oleh karena itu, pengembangan ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan membatasi ruang lingkupnya pada jenis-jenis pertunjukan: • tari—tradisional, kreasi baru, modern, kontemporer; •
teater—tradisional, modern, transisi, kontemporer-eksperimental (avant-garde), komersial, nonkomersial;
•
musik—populer-kontemporer (eksperimentasi); tradisional, world music, klasik Barat (kontemporer dan nonkontemporer);
•
lintas disiplin—contoh: wayang, sendratari, sastra lisan, musikalisasi puisi.
Seni pertunjukan yang dimaksud dalam kerangka ekonomi kreatif adalah yang disajikan sebagai produk seni yang dipentaskan untuk dinikmati atau dikonsumsi sebagai produk seni, bukan sebagai jasa seni. Seni pertunjukan sebagai jasa dapat dilihat pada seni pertunjukan sebagai pengisi acara nonseni budaya, pengisi acara TV, wedding singer, maupun home band. Tidak termasuk dalam ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif adalah jenis seni pertunjukan yang dilakukan sebagai bagian dari proses ritual sosial, adat, maupun religius. Gambar 1 - 1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan BERDASARKAN PERKEMBANGAN /GENRE
SENI PERTUNJUKAN
Tradisional
KATEGORI BESAR Kreasi Baru Tari Modern
Kontemporer
Lintas Disiplin
BERDASARKAN PENGELOLAAN KELOMPOK
Tradisional
Amatir
Modern
Non-Komersial
Transisi
Komersial
Teater
BERDASARKAN BENTUK PENYAJIAN DAN KONSUMSI
Produk Seni Avant Garde Jasa Seni
Bagian dari ritual sosial, adat, dan religius
Populer
Tradisional Pertunjukan Musik
BERDASARKAN GUBAHAN BENTUK
World Music
Kontemporer /Eksperimen
Klasik Barat
Non-Kontemporer /Non-Eksperimen
Fokus pengembangan Seni Pertunjukan
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
23
1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan 1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia Perkembangan teater di Inggris pada abad ke-16 bisa dijadikan salah satu titik awal berkembangnya seni pertunjukan menjadi sebuah industri. Sebelum memasuki masa penyair dan penulis drama legendaris William Shakespeare, naskah drama hanya ditulis oleh beberapa orang (kolektif) dan anonim. Seiring berkembangnya teater menjadi seni populer dan semakin menarik lebih banyak penonton, permintaan dan kebutuhan akan naskah-naskah baru pun meningkat. Selama beberapa abad, seni pertunjukan hadir semata-mata sebagai hiburan orang kebanyakan. Memasuki abad ke-19, forum kolonial seperti ‘colonial exhibition’ di Paris, menjadikan seni pertunjukan sebagai ajang pementasan beragam kesenian negeri jajahan. Sementara di Amerika Serikat, Civil War atau Perang Saudara (1860-1865) membawa perubahan besar pada dunia seni pertunjukan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya peran manajerial sejalan dengan perkembangan tur, yang juga dipacu oleh pesatnya pembangunan jalur kereta api pada saat itu. Sejarah perkembangan seni pertunjukan dan manajemennya terkait erat dengan sejarah perkembangan teater. Sejalan dengan kebutuhan fungsi yang semakin banyak—seperti fungsi manajer, administrator, dan penampil utama—para seniman terpaksa merangkap beberapa fungsi sekaligus. Perubahan kebutuhan fungsi inilah yang mengawali perkembangan peran pemilik dan manajer gedung seni pertunjukan sebagai pihak yang tepat untuk melakukan fungsi-fungsi manajemen seni pertunjukan tersebut—yang seharusnya tidak dibebankan kepada seniman. Kemudian pada awal abad ke-20, Eropa Barat menjadi pemicu gerakan modernisme seni, termasuk dalam seni pertunjukan. Salah satu tokoh pada masa ini adalah Isadora Duncan, yang mendirikan sekolah tari modern pertama di Berlin pada tahun 1905, diikuti oleh Martha Graham pada tahun 1926 dengan penampilan 18 orang penari bertelanjang kaki (barefoot) dan kostum mencolok di New York—menjadikannya pioner revolusi tari modern di Amerika. Sementara itu, para seniman dan artisan Rusia Putih (atau orang-orang Rusia yang menolak Revolusi Bolshevik di tahun 1917) melarikan diri ke Paris, dan di bawah pimpinan impresariat Serge Diaghilev, mereka mendirikan Ballets Russes (1909-1929), sebuah dance company yang legendaris. Memasuki abad ke-21, negara-negara Eropa Barat yang menerapkan kebijakan kebudayaan ala negara-negara kemakmuran (welfare state) saling terhubung melalui jejaring teater publik mereka. Kedekatan geografis negara-negara Eropa Barat, juga sistem kuratorial (wacana dan arah artistik) yang mirip, serta referensi pendidikan seni yang relatif serupa, membuat mereka saling mengundang seniman (touring) serta mementaskan karya masing-masing seniman. Pada akhirnya, jejaring ini diperluas dengan skema koproduksi. Artinya, selain dapat menawarkan karyanya untuk dipentaskan di teater-teater publik negara-negara yang berbeda itu, seorang seniman juga dapat mencari dukungan produksi (berupa dana, tempat berlatih, dan lainnya). Tentu hal ini bisa terjadi karena kesamaan arah kuratorial teater-teater tersebut, misalnya, gedung teater yang mengkhususkan pada pertunjukan balet klasik seperti Royal Opera House (ROH) di London, Inggris, kemungkinan besar akan menjalin kerjasama dengan gedung pertunjukan balet klasik
24
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
lainnya di Prancis ataupun Spanyol. Pada pertengahan dekade pertama abad ke-21, jejaring di Eropa ini juga meluas ke negara-negara bekas blok timur seperti Polandia dan Estonia. Secara artistik, seni pertunjukan kontemporer di Eropa Barat cenderung mempertahankan eksperimentasi yang konseptual, yang telah dimulai sejak pertengahan 1990-an. Dalam bidang tari kontemporer misalnya, Brussels menjadi pusat baru yang menandingi—jika bukan akhirnya menyamai—Berlin, terutama setelah kemunculan koreografer Anne Teresa de Keersmaeker. Di sini, tari tidak lagi dipentaskan dengan cara yang konvensional (sebagai gerak gemulai yang indah yang semata-mata bersandar pada virtuositas kepenarian serta komposisi ruang), namun lebih sebagai obyek yang dipertanyakan kembali atau diinvestigasi. Sementara itu, baik di negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara (Amerika Serikat), muncul tren yang merupakan perluasan dari performance art yang secara historis sesungguhnya berakar pada seni rupa. Di Inggris, jenis ini dinamai live arts. Seringkali, kesenian jenis ini mencampur-baurkan sisi teatrikal, performatif, dan seni visual yang landasannya lagi-lagi adalah gagasan sebagai konsep itu sendiri. Unsurunsur dramatik dan representasional yang amat mewarnai seni pertunjukan periode sebelumnya (modern) lantas dipertanyakan kesahihannya dalam kaitan muatan gagasan dengan kenyataan tubuh keseharian. Di Indonesia—dan kebanyakan Asia—kecenderungan ini masih pelan-pelan terjadi, sehingga terjadi kesenjangan pemahaman bahkan di antara para praktisi. Itulah salah satu alasan mengapa seni pertunjukan karya seniman Indonesia dapat dibilang jarang terwakili dalam forum-forum (festival) seni kontemporer yang dianggap paling progresif di Eropa Barat. Seringkali, pengalaman modernisme di pentas seni pertunjukan Indonesia masih disalah-tafsirkan sebagai ‘ketertinggalan’ secara artistik, sehingga forum-forum festival yang tertarik dengan seni pertunjukan Indonesia masihlah forum-forum khusus yang dibingkai oleh identitas ‘ke-Asia-an’, misalnya seperti pusat kesenian Asia Society di New York atau House of the World Arts di Berlin. Perkembangan seni pertunjukan di Asia Tenggara sendiri mengalami pergerakan yang berbeda dengan negara-negara Eropa. Perkembangan seni pertunjukan di negara-negara Asia Tenggara menunjukkan kesamaan historis, karena mendapatkan pengaruh dari kolonialisme negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugal dan Spanyol, juga sebagai persinggahan pedagang-pedagang dari negara-negara sekitar seperti Tiongkok dan India. Masa kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad ini membuat friksi antar budaya menjadi tidak terelakkan, terutama antara seni ‘modern’ yang berkembang di negara-negara Barat dengan seni tradisional Asia Tenggara. Di negara yang menerapkan sistem demokrasi sosialis atau negara kemakmuran (welfare state), pemerintah mengambil peran aktif dalam mendukung seniman. Mereka membentuk dewan-dewan kesenian (arts council) antara lain sebagai badan pendanaan ( funding body) yang memberikan dukungan finansial dan lainnya bagi seniman berdasarkan prestasi (merit). Di Indonesia, kebijakan kultural semacam ini tidak pernah dilakukan.
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
25
Pertunjukan Nang Yai Wat Khanorn di Provinsi Ratchaburi Sumber: flickriver.com
Perkembangan Seni Pertunjukan di Thailand Seni pertunjukan di Thailand berevolusi selama berabad-abad dan telah berkembang dengan ciri khasnya sendiri. Praktik-praktik seni pertunjukan kontemporer Thailand telah jauh melampaui praktik-praktik yang berasal dari negara-negara Barat dan Asia Tenggara lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi dapat mendorong terciptanya tradisi baru. Sebagai contoh, Nang Yai (wayang kulit berukuran besar), tidak dapat ditemukan dalam teater Melayu atau Jawa, di mana wayang kulit dominan di kedua daerah ini. Meskipun teknik pedalangan Jawa dan Melayu masih digunakan, dalang Nang Yai tampil di depan layar—sebuah gaya yang tidak ditemukan di Jawa maupun Melayu. Selain pengaruh dari negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara, seni pertunjukan Barat juga turut mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan kontemporer Thai. Sebagai contohnya adalah pertunjukan teater pada masa pemerintahan Raja Rama VI. Meskipun di tengah tekanan pengaruh imperialisme, teater pada masa itu tetap mengadopsi teori dan praktik teater Eropa namun mengadaptasi dan menggubahnya ke dalam konteks Thai, menyesuaikan penonton Thailand. Selanjutnya pada 1970-an, terjemahan naskah-naskah drama Barat sangat berpengaruh pada munculnya lakon phutsamai mhai (drama lisan modern). Selain itu, fakultas tari, musik, dan teater di universitas-universitas Thailand pun mempekerjakan pengajar-pengajar dari Eropa dan Amerika untuk mengembangkan kurikulum dan mendidik seniman-seniman baru. Seniman-seniman ini lalu melanjutkan pendidikan pascasarjana, memperoleh pelatihan tingkat lanjut, dan bekerja di luar negeri. Sekembalinya ke Thailand, mereka direkrut oleh universitas di mana mereka mengenyam pendidikan sarjananya dahulu atau oleh professional companies, di mana mereka menerapkan ilmu Barat yang mereka miliki lalu menciptakan karya yang merupakan gabungan antara teori dan praktik Barat dan tradisi yang merespons isu-isu global pada masanya, juga menciptakan genre seni pertunjukan baru seperti lakon khanob niyom mhai (teater tradisi baru, atau amalgam dari teater tradisi dan modern).
26
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Sikap yang diambil oleh Thailand dalam mengembangkan seni pertunjukannya tercermin dari pernyataan Raja Rama VII dalam wawancaranya dengan New York Times pada saat kunjungannya ke Amerika Serikat tahun 1931: “Our slogan is to adapt, not to adopt. The Siamese people are an adaptable people.” Sumber: “Asian Arts Theatre: Research on the Actual Condition of Performing Arts in Asia.” disunting oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea. Seoul: Yu, In Chon
1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia Ragam tradisi lokal mewarnai kekayaan khasanah seni pertunjukan Indonesia, yang juga kental mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan Indonesia pada umumnya. Terminologi tradisi atau tradisional; modern dan kontemporer—yang lagi-lagi diadaptasi dari wacana pengetahuan Barat—cenderung diterapkan sebagai kategori atau genre yang tidak selalu jelas batas-batasnya dalam seni pertunjukan di Indonesia. Selain tema serta bentuk pertunjukan, salah satu penanda kunci perbedaan kategorial ini adalah proses transmisi sebuah bentuk kesenian. Misalnya, dalam konteks tradisional atau kesenian tradisi, transmisi terjadi antar generasi atau diturunkan di dalam lingkup komunitas kultural yang homogen dan terikat oleh nilai-nilai yang sama. Sementara dalam konteks modern, transmisi seringkali terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi modern, atau dimotivasi oleh pengalaman-pengalaman bertemu dengan yang liyan (the other) yang diserap melalui perjalananperjalanan sang seniman yang membuat mereka keluar dari konteks budayanya (ke luar negeri, misalnya). Meski demikian, dalam praktiknya tidak selalu ada perbedaan yang jelas antara keduanya, karena ada proses transisi bagaimana sebuah generasi seniman Indonesia—misalnya mereka yang lahir antara 1930—1940-an—yang menyerap inspirasi serta mengasah kemampuan artistiknya baik melalui lingkup tradisi maupun modern. Berbeda dengan kesenian yang mediumnya memang berakar pada modernitas (seperti fotografi dan film), seni pertunjukan adalah bentuk ekspresi kesenian yang dilansir telah ada di bumi Nusantara sejak zaman purba. Maka, pertaliannya dengan seni pertunjukan global tidak semulus cabang seni berbasis media seperti fotografi dan film yang memang berakar pada modernitas tadi. Kontekstualisasi adalah kata kunci dalam mengaitkan pertalian lokal-global ini. Pada awalnya, praktisi kesenian Indonesia—pemain musik, penari, aktor, sutradara serta pendukung-pendukung artistik lainnya—memang berasal dari lingkungan tradisi lokal yang beragam tersebut, yang umumnya terkait erat dengan identitas kesukuan serta ikatan-ikatan primordial lainnya. Modernitas serta proses modernisasi yang menyertai, mengubah bentuk serta konteks seni pertunjukan Indonesia dari waktu ke waktu—baik melalui proses yang organik yang tak terelakkan terjadi di dalam berbagai komunitas kesenian, maupun melalui intervensi atau strategi kebudayaan nasional seperti tercermin dalam kebijakan kebudayaan serta proses perlembagaan (institusionalisasi) pendidikan seni pertunjukan yang dilakukan negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Seni pertunjukan modern, sebagaimana puisi modern, novel modern, ilmu pengetahuan sosial modern, mula-mula masuk di tengah-tengah masa kolonial pada sekitar abad ke-17, sebagai
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
27
sesuatu yang datang dari Eropa. Kehadirannya merupakan bagian dari sikap kebudayaan yang terbuka: menerima serta mengadaptasi secara bertahap kebudayaan-kebudayaan asing yang datang, sembari mencari padanannya dalam konteks lokal. Mula-mula ia bekerja dengan orientasi ‘publik’ Eropa: kerani-kerani perusahaan dagang Inggris, lalu perusahaan dagang dan kerajaan Belanda di Hindia dan bangsawan dan intelektual tanah jajahan yang mempelajari alam pikir (dan gaya hidup) tuannya. Guliran selanjutnya, seni pertunjukan (teater, tari, musik) modern berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat kelas menengah perkotaan, yang mulai memasuki kultur baru (modernisme).11 Keterkaitan dan pertalian Indonesia dengan yang global mulai marak di penghujung abad ke-19, ketika kelompok-kelompok seni dari Hindia Belanda—umumnya gamelan Jawa dan Bali— berpentas di kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat.12 Pementasan dalam konteks kolonial ini —di panggung beragam ajang world fair atau pameran keberhasilan industrialisasi oleh para negara penjajah—menciptakan imajinasi-imajinasi awal tentang seni pertunjukan Indonesia selanjutnya yang diproyeksikan melalui lensa Orientalisme seperti yang dapat ditemukan di dalam pembacaan-pembacaan para seniman Eropa waktu itu, misalnya Antonin Artaud tentang Bali (1938) ataupun karya-karya seni mereka seperti perintis tari modern Amerika Ruth St. Denis yang melakukan tur ke Asia Timur Jauh pada 1925-1926, termasuk ke Batavia dan beberapa kota di Jawa. Setelah Proklamasi Republik Indonesia pada 1945, sifat keterhubungan dengan dunia seni pertunjukan global pun berubah, bergeser dari Orientalisme menuju masuknya pengaruh agendaagenda politik pasca Perang Dunia II. Para seniman Indonesia pun mulai menjelajahi dunia: dari Peking hingga Paris, dari Moskow hingga New York. Pada penghujung akhir 1960-an, misalnya, banyak seniman atau praktisi seni pertunjukan Indonesia (teater, tari, dan musik) belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan Amerika Serikat, selain juga ke negara-negara lain seperti Uni Soviet (untuk film dan tari) bahkan India.13 Beberapa di antara para seniman itu mengambil gelar pascasarjana di jurusan seni di universitasuniversitas di Amerika Serikat, yang waktu itu, masih menggolongkan seni-seni non-Barat ke dalam rubrik Seni Etnik. Setelah lulus, mereka kembali ke Indonesia dan mengajar di akademi seni nasional sehingga mereka pun ikut menentukan arah kurikulum pendidikan tinggi kesenian, misalnya, R.M. Soedarsono di bidang tari dan I Made Bandem di bidang musik—keduanya menuntut ilmu di Amerika Serikat pada 1960-an dan awal 1970-an.14 Setelah Indonesia merdeka, seni pertunjukan pun mengalami transformasi, baik dengan menjadi menasional atau menjadi bagian dari identitas kebudayaan nasional, antara lain melalui proses pelembagaan di dalam sistem pendidikan modern yang mengadaptasi pendidikan seni di dunia
(11) Op. cit., Umar Kayam, 1981. (12) Op. cit., Cohen, 2010.Lihat: Marieke Bloembergen, Colonial Spectacles: The Netherlands and the Dutch East Indies at the World Exhibitions, 1880-1931, diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Beverly Jackson (Singapore: Singapore University Press, 2006). (13) Lihat: Jennifer Lindsay dan Maya Liem, “Heirs to World Culture 1950–1965: An Introduction,” dalam Jennifer Lindsay dan Maya Liem (ed.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012). Versi elektroniknya dapat diunduh di: www.kitlv.nl/book/show/1307. Terakhir diakses pada 9 Januari 2012; R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan: Dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003); dan op. cit., Helly Minarti, 2014. (14) Ibid., R.M Soedarsono, 2003.
28
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Barat (konservatori). Awalnya, konservatori nasional ini bertujuan untuk melahirkan senimanseniman Indonesia di bidangnya, dengan perkembangan sebagai berikut: •
Konservatori Karawitan atau dikenal sebagai KOKAR (1950) di Yogyakarta dapat dibilang sebagai cikal-bakal lembaga pendidikan semacam ini. KOKAR berevolusi menjadi beragam akademi seni seperti ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) pada 1960-an, dan pada 1980-an kembali berevolusi menjadi Sekolah Tinggi Seni (STSI) sebelum akhirnya menjadi Institusi Seni Indonesia (ISI) pada 1990–2000-an yang tersebar di empat kota (Surakarta, Yogyakarta—keduanya di Jawa, Denpasar di Bali, Padang Panjang di Sumatra Barat). Saat ini, beberapa kampus ISI ditugaskan untuk merintis pembentukan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) yang akan dibuka di Banda Aceh, Tenggarong, Makassar, dan Jayapura.
•
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang dibentuk belakangan pada 1970 memiliki sejarah yang agak berbeda dari keempat ISI di atas sebelum akhirnya menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Jika keempat ISI berada langsung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemdiknas), maka IKJ adalah bagian dari latar historis empat lembaga terkait yang bernaung di bawah Pemerintah Kota DKI Jakarta. Keempat lembaga tersebut adalah PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki), Akademi Jakarta (AJ), serta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diprakarsai dan dibentuk oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966–1977. IKJ berstatus sebagai akademi swasta yang dananya tergantung dari perolehan hibah Pemda DKI Jakarta serta dari pemasukan-pemasukan lainnya.
Model konservatori yang tujuannya melahirkan seniman perlahan dilengkapi dengan bidang kajian yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, dapat dibilang bahwa kajian di bidang seni pertunjukan terbilang baru dalam konteks dan praktik Indonesia. Padahal, kajian adalah syarat dan penanda utama bagi perkembangan seni pertunjukan sebagai sebuah sistem pengetahuan—atau sebuah sektor yang memiliki parameterparameter tertentu—terlebih jika Indonesia ingin terlibat secara aktif, berkontribusi hingga tingkat wacana di dalam konteks global. Secara bertahap mulai dari 1980-an dan seterusnya, pertunjukan-pertunjukan mengalir antara Indonesia dan dunia, dan bentuk-bentuknya mulai terbuka dan beragam. Kebangkitan Jepang dan Singapura sebagai pusat pertunjukan antarbudaya, dengan fokus kolaborasi antar-Asia, telah memberikan kesempatan yang besar bagi seniman-seniman Indonesia untuk menampilkan karya-karyanya. Singapura, khususnya Singapore Arts Festival, telah menjadi tempat pertunjukan bagi banyak produksi karya seni pertunjukan Indonesia. Sedangkan Jepang telah menjadi tujuan utama bagi kelompok-kelompok teater untuk melakukan touring, sekaligus produksi kolaborasi dengan seniman-seniman Jepang. Memasuki abad ke-21, proses akademisasi kesenian pertunjukan Indonesia pun melengkapi siklusnya dengan dibukanya program pascasarjana S2 (master) dan S3 (doktoral) di beberapa ISI, yang terbagi ke dalam bidang kajian dan penciptaaan. Proyek nasionalisasi inipun berlanjut dengan dirintisnya ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) sejak paruh kedua dekade abad ke-21 di kota-kota seperti Banda Aceh (Nanggroe Aceh), Tenggarong (Kalimantan Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Jayapura (Papua).
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
29
Sementara itu, di luar ruang akademis, proses profesionalisasi seni pertunjukan itu sendiri berkembang lambat dan sporadis. Seniman lulusan institut-institut seni ini belum tentu mampu bekerja sebagai seniman penuh waktu, karena minimnya dukungan dan infrastruktur. Hanya segelintir yang berani menjalani pilihan menjadi seniman mandiri (independen), dengan konsekuensi harus selalu bernegosiasi dengan situasi yang tidak kondusif. Sebagai perbandingan, di Inggris, proses profesionalisasi di bidang teater telah berlangsung sejak abad ke-16 di zaman penyair dan penulis naskah William Shakespeare, ketika naskah drama mulai ditulis oleh perorangan (tidak lagi kolektif dan anonim) untuk memenuhi kebutuhan pentas yang makin sering hingga empat kali seminggu. Model profesionalisasi seni pertunjukan lainnya adalah intervensi negara. Pada masa setelah Perang Dunia II, misalnya, beberapa negara berkembang membentuk national performing arts company (kelompok seni pertunjukan nasional). Misalnya saja RRC (Tiongkok) maupun Vietnam. Dengan model ini, banyak seniman pertunjukan terserap bekerja penuh waktu dan bergaji dengan status pegawai negeri. Pada 2003, disinyalir ada sekitar 6.000 penari di seluruh RRC yang bergabung dalam berbagai kelompok seni pertunjukan lokal dan nasional yang dibentuk oleh beragam instansi pemerintah. Intervensi seperti ini tidak pernah sepenuhnya terjadi di Indonesia. Seni pertunjukan di Indonesia umumnya masih dikonsumsi secara tradisional, yaitu seniman hanya akan menerima bayaran ketika pertunjukan ditampilkan (commisioned performance) sebagai pengisi acara upacara atau perhelatan khusus. Hanya sebagian kecil seniman pertunjukan (baik individual maupun kelompok atau kolektif) yang mampu mengakses pendanaan yang ditawarkan secara transparan dengan sistem terbuka, yang biasanya hanya diterapkan oleh lembaga-lembaga asing. Sejak 1999, Yayasan Kelola (yang antara lain didanai Ford Foundation selama paling tidak 10 tahun pertama) merintis model hibah berupa dukungan finansial untuk karya baru maupun touring ke tiga kota di Indonesia, yang bisa diakses secara transparan (melalui aplikasi atau lamaran yang harus memenuhi persyaratan tertentu). Sementara itu, sampai saat ini, dukungan pemerintah untuk seni pertunjukan masih sporadis dan hanya berfokus pada pemberian dana atau sponsor untuk penyelenggaraan pertunjukan-pertunjukan tertentu, bukan pada dukungan terus-menerus terhadap kelompok seni. Akibatnya, seni tradisi saat ini berkembang menjadi komoditas pariwisata dan hiburan (entertainment) sementara seni modern atau kontemporer dibiarkan mencari jalan keberlangsungannya sendiri. Namun demikian, terjadi perkembangan menarik di dunia seni pertunjukan Indonesia yang ditandai dengan banyaknya interaksi internasional yang berlangsung di dalam festival-festival lokal dan ruang-ruang independen yang berdiri sejak berakhirnya masa Orde Baru Soeharto. Teater Salihara adalah contoh dari ruang independen yang telah menjadi tempat pertunjukan utama bagi pementasan kelompok-kelompok teater, musik dan tari eksperimental, juga sebagai tuan rumah touring dari Eropa, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya, serta pementasan kolaborasi lokalinternasional. Beasiswa internasional dan program-program residensi untuk seniman-seniman Indonesia, yang membuka wawasan mengenai praktik-praktik seni pertunjukan di luar negeri, memberikan kontribusi signifikan pada meningkatnya jumlah pertunjukan-pertunjukan Indonesia di kancah internasional, begitu pula pertunjukan-pertunjukan internasional di Indonesia. Aliran pertunjukan internasional saat ini begitu banyak dan lebih kolaboratif dibandingkan dengan masa lalu.
30
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pementasan “Ontosoroh” di Festival OzAsia 2013, Adelaide. Foto: Sam Oster
“Ontosoroh” Ontosoroh adalah karya yang menggabungkan lagu, musik, dan tarian yang terinspirasi dari karakter Jawa Nyai Ontosoroh dalam novel bersejarah Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer. Ontosoroh merupakan hasil kolaborasi antara penyanyi dan komposer klasik Jawa-kontemporer Indonesia, Peni Candra Rini, dengan penari dan koreografer Australia keturunan Indonesia, Ade Suharto, diiringi perkusi oleh Plenthe, gender oleh Iswanto, dan biola oleh Prisha Bashori Musthofa. Ontosoroh dipentaskan di Adelaide Festival Centre dalam Festival OzAsia, September, 2013. Walaupun terlatih untuk menyanyi klasik Jawa, Peni tidak segan untuk mengeksplorasi teknik baru dalam kolaborasinya dengan Ade. Karena sosoknya yang cukup kompleks, karakter utama Nyai Ontosoroh dinilai sebagai inspirasi yang tepat untuk mewujudkan karya Ontosoroh sebagai wadah untuk menunjukkan keragaman kemampuan artistik para seniman yang terlibat di dalamnya. Keragaman instrumen yang dimainkan, baik yang berasal dari Timur maupun Barat, dibawakan dengan luwes dan mahir, dengan menggunakan teknik yang menyelaraskan gaya tradisional dan kontemporer. Sumber: dirangkum dari berbagai sumber.
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
31
Gambar 1 - 2 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
32
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
34
Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah Kuliner 2015—2019
BAB 2 Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
35
2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan 2.1.1 Definisi Ekosistem Seni Pertunjukan Peta ekosistem subsektor seni pertunjukan adalah peta yang dibuat dengan menggunakan pendekatan kondisi ideal atau modelling untuk menggambarkan bentuk ideal industri seni pertunjukan secara komprehensif dan mendalam serta untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan secara berkelanjutan. Peta ini menggambarkan aktivitas yang terjadi di setiap tahapan kreatif, para pelaku yang terlibat di dalamnya, dan keterkaitan tiap-tiap komponen sebagai sebuah ekosistem secara berkelanjutan, sehingga seni pertunjukan dapat berkembang dalam konteks industri. Modeling dilakukan dengan memetakan ekosistem yang meliputi empat komponen, yaitu: 1. Rantai nilai kreatif (creative value chain); 2. Lingkungan pengembangan (nurturance environment); 3. Pasar: presenter, penonton (presenter-audiences); 4. Pengarsipan (archiving). Rantai nilai kreatif yang terdapat dalam peta ekosistem adalah proses yang pada dasarnya dilalui oleh para pelaku seni pertunjukan, baik seni pertunjukan tari, teater, dan musik, komersial maupun nonkomersial, dalam memproduksi sebuah karya atau pertunjukan. Di dalam rantai nilai kreatif inilah terjadi pertambahan nilai dari satu proses ke proses berikutnya. Nilai yang diciptakan dalam proses ini, mencakup nilai ekonomi (tangible) dan nilai sosial-budaya (intangible). Di dalam setiap proses dalam rantai nilai kreatif, terdapat aktivitas utama, aktivitas pendukung, dan peran utama yang melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Lingkungan pengembangan (nurturance environment) adalah lingkungan yang dapat menggerakkan dan meningkatkan kualitas proses penciptaan nilai kreatif, yang terdiri atas pendidikan dan apresiasi. Pendidikan dalam seni pertunjukan tidak hanya ditujukan untuk seniman, tetapi juga untuk penonton, pengelola atau penyelenggara pertunjukan, serta kritikus seni. Sementara itu, literasi masyarakat terhadap seni dan budaya diperlukan agar karya seni pertunjukan dapat terus diapresiasi, demikian juga apresiasi berupa penghargaan yang diberikan kepada seniman, karya, dan proses kreatif seni pertunjukan.
2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan A. Rantai Nilai Kreatif A.1. Proses Kreasi Proses kreasi adalah proses penciptaan sebuah karya seni berupa pertunjukan yang melibatkan berbagai tahapan mulai dari konseptualisasi ide (gagasan), eksplorasi di ruang studio hingga detail dramaturgis (pemanggungan) lainnya.
Aktivitas Utama dalam Proses Kreasi Proses kreasi mencakup: 1. Konseptualisasi ide: penciptaan ide atau konsep awal karya seni pertunjukan yang hasilnya dapat berupa draf naskah atau musical score, ide visual, maupun ide koreografis (untuk 36
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
seni tari). Kegiatan utama dalam proses ini adalah penelitian dan pengembangan. Pelaku utama dalam proses ini dikategorikan sebagai generative artists, yaitu para seniman yang memicu lahirnya sebuah karya dengan membuat konsep dan kerangka acuan produksi. Seniman yang termasuk dalam kategori ini pada umumnya adalah koreografer, sutradara, penulis naskah (playwright), komposer, dan penulis lagu. 2. Proses eksplorasi, interpretasi, dan finalisasi secara menyeluruh atas sebuah ide karya seni pertunjukan sehingga menghasilkan sebuah desain. Kegiatan utama dalam proses ini adalah interpretasi, realisasi, dan finalisasi naskah atau musical score, ide visual, dan ide koreografis. Pelaku utama dalam proses ini: a. Generative artists atau seniman pencipta, yaitu seniman yang mencetuskan konsep awal dan kerangka produksi. Yang termasuk seniman pencipta pada umumnya: •
Koreografer atau penata tari, yaitu orang yang menciptakan konsep sebuah pertunjukan tari (koreografi).
•
Komposer atau komponis, yaitu orang yang menciptakan hasil karya musik, baik berupa komposisi musik instrumental, maupun vokal dalam format solo, duo, trio, kuartet maupun kuintet dan seterusnya sampai dengan orkestra, kemudian meneruskan kepada orang lain untuk memainkannya atau ditafsir oleh konduktor.
•
Pengaransir musik, yaitu orang yang merancang aransemen musik untuk sebuah lagu.
•
Penulis naskah, yaitu orang yang menulis naskah drama.
•
Sutradara, yaitu orang yang menafsir lakon atau menyusun ide dasar serta visi estetika pertunjukan lalu memimpin kerja tim kreatif dalam perwujudan ide serta visi tersebut. Dalam kajian teater, berkembang pemilahan antara sutradara penafsir (interpretive director) dan sutradara pencipta (author director). Meskipun klasifikasi ini bisa saling berkelindan, pembagian dasarnya disusun berdasarkan penjelasan di bawah ini: ɽɽ
Sutradara penafsir, sutradara yang menginterpretasikan naskah lakon lalu menyusun ide penciptaan berdasarkan pembacaan dan tafsir (yang biasanya tak jauh dari pengertian yang disarankan naskah lakon).
ɽɽ
Sutradara pencipta, menyusun ide penciptaan lebih dari gagasan di pikirannya sendiri. Biasanya pertunjukan dengan sutradara pencipta disusun tidak melulu berdasarkan naskah lakon, atau menggunakan lebih daripada satu sumber teks. Sekalipun menggunakan dasar naskah lakon, sutradara pencipta melakukan tafsir yang jauh dari pengertian yang disarankan naskah lakon yang digunakan dan kerap menyandingkannya dengan teks-teks lain.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
37
Gambar 2 - 1 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan
38
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Mira Lesmana bersama tim kreatif Musikal Laskar Pelangi: Andrea Hirata, Riri Riza, Toto Arto, Jay Subiakto, dan Erwin Gutawa. Foto: Musikal Laskar Pelangi
•
Produser individu atau independen, yaitu orang yang memiliki ide untuk memproduksi sebuah pertunjukan dengan orientasi serta target-target tertentu, lalu menyusun suatu rencana produksi dengan mengundang (atau mengontrak) senimanseniman pertunjukan sebagai tim kreatif untuk mewujudkan ide pertunjukan tersebut. Produser bisa sekaligus merangkap sutradara atau koreografer, tetapi bisa juga bukan dari kalangan seniman. Pak Teguh pendiri Srimulat, misalnya, adalah produser dari sekian banyak pertunjukan Srimulat. Contoh yang lebih dikenal generasi muda, Mira Lesmana, misalnya, adalah orang yang memiliki gagasan awal untuk membuat drama-musikal Laskar Pelangi, lalu meminta Riri Riza, Erwin Gutawa, Jay Subiakto, dan seniman-seniman lain untuk mewujudkan ide pertunjukan tersebut. Meskipun bukan sutradara atau koreografer, produser biasanya juga terlibat dalam rancangan gagasan dasar pertunjukan.
b. Interpretive artists atau seniman pelaku, yaitu seniman yang mengolah konsep dan kerangka yang diciptakan oleh seniman pencipta sebagai acuan pengembangan konsep menjadi sebuah desain utuh. Interpretive artists pada umumnya adalah penampil, seperti aktor, penari, penyanyi, konduktor, serta musisi atau seniman visual seperti skenografer. Pada prinsipnya, kerja seniman tidak berbeda dengan ilmuwan. Karya artistik lahir dari buah pemikiran seniman yang dilakukan melalui pengamatan atau penelitian yang dalam dan tak jarang memakan waktu yang cukup panjang. Penelitian yang dilakukan tidak hanya untuk mendapatkan data, tetapi juga menciptakan atmosfer serta pengalaman artistik terkait dengan
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
39
tema yang akan diusung dalam karya yang ingin ditampilkan. Dengan demikian, estetika yang dihasilkan benar-benar melayani proses investigasi terhadap tema tersebut. R iset keaktoran, sebagaimana riset yang dilakukan oleh fungsi-fungsi lain dalam pertunjukan (sutradara atau para desainer), juga banyak ditempuh melalui studi literatur pendukung dari naskah lakon atau gagasan penciptaan sutradara. Untuk naskah lakon realis, misalnya, aktor kerap dituntut untuk mempelajari psikologi peran dan melakukan kajian sosiologis serta antropologis dalam batas tertentu untuk memahami konteks sosial-budaya lakon yang hendak dipentaskan. Dari kajian-kajian ini, sang aktor bisa membangun dan menyusun imajinasi peran yang akan dimainkannya. Di Indonesia, aktivitas penelitian yang menjadi elemen proses kreatif seorang seniman seperti yang dipaparkan di atas jarang menjadi perhatian dan mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga pada akhirnya seniman harus melakukan penelitian ini secara swadaya. Tidak ada dukungan pendanaan Sampul buku naskah dan catatan proses Goyang secara berkala yang menjamin mereka untuk Penasaran. terus-menerus dapat melakukan penelitian yang menghasilkan ide-ide segar yang dimanifestasikan dalam setiap karya. Pada 2010, Naomi Srikandi sebagai sutradara Goyang Penasaran mendapatkan dana hibah dari program Empowering Woman Artist (EWA) dari Yayasan Kelola, berupa kesempatan untuk menghasilkan karya dalam dua tahun berturut-turut. Goyang Penasaran adalah karya tahun kedua, yang merupakan adaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya Intan Paramaditha. Catatan selama proses penelitian mengenai tema yang diangkat, proses latihan hingga tahap menghasilkan naskah drama, semuanya dibukukan lalu kemudian diterbitkan. Hal ini tergolong langka karena hanya sedikit penerbit yang bersedia membukukan naskah drama yang dipentaskan. Padahal, buku naskah drama merupakan sumber literatur yang sangat berguna bagi calon-calon seniman seni pertunjukan yang ingin mengetahui proses kreatif di balik produksi sebuah karya teater. Melalui contoh di atas, dapat kita lihat betapa pentingnya proses penelitian dan pengembangan dalam konseptualisasi ide yang sampai saat ini tidak banyak menjadi perhatian pemerintah
Aktivitas Pendukung dalam Proses Kreasi Proses kreasi adalah proses yang didominasi oleh para insan kreatif seperti seniman. Para seniman dalam proses ini bisa berstatus sebagai pekerja lepas (freelancer) yang tidak tergabung dalam organisasi seni apapun atau menjadi anggota sebuah kelompok (komunitas atau kolektif). Terkadang, kolaborasi dan kelompok baru terbentuk ketika sebuah produksi akan dibuat.
40
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Di dalam organisasi atau kelompok seni pertunjukan, diperlukan kegiatan-kegiatan lain di luar pengembangan nilai artistik untuk mendukung jalannya sebuah organisasi, yang mencakup: 1. Tata kelola organisasi: pengelolaan organisasi atau kelompok seni, manajemen sumber daya manusia dan keuangan, serta administrasinya. 2. Penggalangan dana ( fund-raising): penggalangan dana untuk operasional organisasi atau disebut juga contributed income, seperti misalnya pengajuan dana hibah, donasi, subsidi, dan bantuan nontunai (in-kind) yang ditujukan pada pemerintah, perusahaan swasta, maupun donatur individu. Sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki lembaga pemerintah yang melakukan investasi berkelanjutan terhadap seni dan budaya (funding body), di mana para seniman dapat mengajukan proposal untuk mendapatkan dana hibah bagi organisasi, kelompok atau produksi
Contoh lembaga pendanaan: The National Arts Council di Singapura The National Arts Council (NAC) adalah badan yang dibentuk pada September 1991 sebagai perpanjangan tangan pemerintah Singapura untuk mengembangkan kesenian di Singapura. NAC mempunyai misi untuk mengembangkan seni dan menjadikannya bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Singapura. Sejak 2012, induk organisasi NAC adalah Kementerian Kebudayaan, Masyarakat dan Pemuda Singapura (The Ministry of Culture, Community and Youth, disingkat MCCY). NAC mempunyai dua strategi untuk mengembangkan keunggulan dan partisipasi seni, yaitu menciptakan lingkungan kondusif agar seni dapat diakses oleh siapa saja dan memberikan talenta artistik (para seniman) sumber daya dan kemampuan yang diperlukan untuk unggul dan mencipta secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Fungsi utama dewan adalah membangun landasan kapabilitas kesenian sebagai sektor yang berkelanjutan. Melalui program pelatihan, pendidikan dan infrastruktur fisik, NAC menggunakan sarana seperti hibah, beasiswa, dan skema lainnya untuk mendorong berkembangnya talenta para pelaku seni dan profesional lainnya seperti teknisi gedung teater dan administrator seni. Di kancah internasional, NAC juga berkolaborasi dengan badanbadan pemerintah lainnya untuk mempromosikan kesenian Singapura demi memasuki pasar baru dan menumbuhkan pangsa penonton (audiences) internasional. Penghargaan diberikan setiap tahunnya kepada seniman-seniman yang memiliki keunggulan artistik dan patron-patron yang memberikan sponsorship. Anggota dewan terdiri atas tokoh-tokoh penting dari unsur swasta, pemerintah, dan praktisi seni. Mereka bertugas untuk mengarahkan program-program NAC dalam mengembangkan dan mempromosikan seni di Singapura, mengawasi pengelolaan korporasi dan finansial, serta memberi masukan untuk pengelolaan dan perencanaan inisiatif-inisiatif dan skemaskema hibah besar. Sumber: www.nac.gov.sg
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
41
Menurut data yang dimiliki oleh Yayasan Kelola tahun 2004, terdapat lebih dari 2.800 organisasi (umumnya berbentuk kelompok, bukan company) seni pertunjukan di Indonesia, yang saat ini jumlahnya diperkirakan menurun hingga hanya berkisar 1.000 organisasi. Anggaran kelompok yang meliputi biaya operasional, peningkatan kapasitas, produksi, dan pameran atau showcase nasional, tidak termasuk showcase internasional, latihan (rehearsal) dan persiapan, dan sewa tempat (venue) sampai saat ini, masih banyak ditanggung oleh seniman sendiri (self-funded), sehingga seniman juga kerap berperan sebagai produser eksekutif dan tak jarang menjadi seorang filantropi. Selain dari seniman sendiri, pendanaan untuk kelompok-kelompok seni saat ini bersumber dari bantuan donor lembaga asing, institusi nirlaba (Lembaga Swadaya Masyarakat), individu, dan perusahaan swasta. Bentuk donasi yang diberikan bermacam-macam, mulai dari one-off donation, bantuan dana operasional, donasi biaya produksi, dan donasi untuk showcase yang dapat bersumber dari: 1. Pendanaan Pemerintah. Idealnya, paling tidak seniman dapat mengajukan bantuan dana kepada pemerintah dalam bentuk pembebasan dari biaya atau potongan harga sewa gedung pertunjukan milik atau disubsidi pemerintah atau dalam bentuk dana produksi, terutama bagi sanggar-sanggar untuk pertunjukan berskala kecil. Namun demikian, pada praktiknya dukungan dana pemerintah seringkali diberikan kepada sanggar-sanggar yang telah ditunjuk langsung oleh pihak pemerintah. Padahal, seharusnya proses mengajukan dana ini sebaiknya jelas, transparan, dan terbuka yang diseleksi berdasarkan prestasi (merit-based) bukan berdasarkan koneksi. 2. Pendanaan Swasta. Seniman harus tetap mencari sumber-sumber pendanaan dari perusahaan swasta agar bisa mewujudkan gagasan kreatifnya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto merupakan satu-satunya peraturan pemerintah yang menjadi harapan terbukanya peluang donasi dari pihak perusahaan swasta untuk operasional kelompok seni melalui insentif pajak. Namun, pada praktiknya peraturan ini belum cukup memotivasi perusahaan untuk memberikan bantuan kepada kelompok seni, karena kesenian sebagai sektor yang terkena insentif pajak masih menjadi bagian dari fasilitas pendidikan, yang meliputi prasarana dan sarana untuk kegiatan pendidikan kepramukaan, olahraga, dan program bidang seni dan budaya nasional, yang termaktub dalam bab penjelasan, bukan pasal. 3. Pendanaan Lembaga Internasional. Tidak banyak lembaga internasional yang mendukung kegiatan seni budaya yang membuka kantor di Indonesia. Untuk jangka waktu yang cukup lama, Ford Foundation (Amerika Serikat) mengisi kekosongan ini dengan mendanai banyak kegiatan di bidang kesenian, mulai dari produksi, distribusi hingga pengarsipan. Sayang, dukungan ini berhenti sejak 2009 karena perubahan orientasi program. Hivos (Belanda) mulai aktif sejak tahun-tahun terakhir era 1990-an, namun arah kebijakannya kini juga berubah. Sementara lembaga internasional di luar seperti Prince Claus Fund juga membuka kesempatan namun dengan agenda tertentu. 4. Lembaga Seni Nirlaba. Satu-satunya lembaga seni nirlaba yang membuka peluang hibah seni untuk produksi karya baru dan touring ke tiga kota Indonesia adalah Yayasan Kelola yang didirikan sejak 1999. Selama lebih-kurang 10 tahun, Yayasan Kelola didanai terutama oleh lembaga donor asing—Ford Foundation—dan menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga asing di luar negeri seperti Asian Arts Council di New York dan Asialink di Melbourne untuk program residensi bagi manajer seni, yang sayangnya, terhenti beberapa
42
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
tahun silam. Yayasan Kelola memperkenalkan sistem mengakses hibah seni yang transparan dan rasional (persyaratan aplikasi yang jelas, berkala, dan sistem seleksi yang dikerjakan oleh panel yang selalu berubah dan terbatas (untuk menjaga kemandirian). Sejak 2010, Yayasan Kelola harus mencari sumber dana lain agar program lainnya tetap berlangsung. Lembaga nirlaba lainnya yang menyediakan dana bagi produksi seni adalah Djarum Foundation (Apresiasi Budaya). Meski tercatat telah aktif bergerak di bidang seni budaya sejak 1992, yayasan yang dibentuk oleh salah satu kelompok konglomerat Indonesia ini baru terlihat aktif sejak pertengahan 2000-an. Sayangnya, prosedur mengakses dana masih belum transparan dan terkesan masih menitikberatkan pada lobi personal. Dilihat dari jenis produk seni pertunjukan yang didukungnya, nilai komersial masih terlihat penting ketimbang nilai eksperimentasi seni sehingga dukungan diberikan lebih sebagai bagian dari kegiatan humas sang induk korporasi ketimbang filantropi. 5.
Crowdfunding. Perkembangan dunia teknologi informasi saat ini turut mendukung terciptanya metode-metode baru dalam pencarian dana, salah satunya adalah crowd-funding. Crowd-funding, yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pendanaan ramai-ramai atau patungan, memungkinkan seniman pertunjukan mendapatkan modal bagi terwujudnya suatu produksi, baik komersial maupun nonkomersial atau untuk membiayai operasional suatu kelompok seni. Penyumbang crowd-funding pada dasarnya adalah individu (investor), bersama-sama dengan seniman sebagai kreator dalam mewujudkan sebuah karya. Oleh karena itu, seniman harus mengemas dan mengomunikasikan produksi dengan baik agar menarik perhatian para calon investor. Contoh situs crowd-funding internasional di antaranya IndieGogo, PledgeMe dan Kickstarter. Contoh situs crowd-funding Indonesia yang terbilang aktif, misalnya patungan.net dan wujudkan.com.
6. Donasi Autodebit. Beberapa kelompok seni sudah melakukan skema donasi autodebit. Skema ini diakui cukup berhasil sebagai sumber pendanaan berkelanjutan, karena secara psikologis lebih mengikat pendonor untuk terus menyumbang tanpa harus memantaunya setiap saat. Di samping itu, para pendonor pun dapat terdata dengan baik. Untuk sumber pendapatan seniman, di Indonesia belum dikenal sistem pendanaan untuk kelompok kesenian atau seniman independen yang berlangsung transparan seperti yang diterapkan di beberapa negara (terutama negara maju). Oleh karena itu, seniman Indonesia harus siap mengurus dan menghidupi dirinya sendiri dari sumber-sumber pendanaan alternatif. Tidak seperti di beberapa negara lain, terutama negara maju, di Indonesia pemerintah tidak memiliki kelompok seni pertunjukan yang disubsidi sebagian, apalagi secara penuh. Program pemerintah di bidang kesenian umumnya berbasis acara (event-based) seperti penyelenggaraan festival atau lomba, yang sayangnya, seringkali dilaksanakan tanpa bersinergi dengan pelaku seni yang relevan sehingga tidak tepat sasaran. Seniman Indonesia dapat memperoleh pendapatan dengan beberapa cara, di antaranya melalui: •
Honorarium ketika mereka tampil;
•
Pertunjukan yang dikomisi (dipesan);
•
Dana yang dikumpulkan melalui penajaan (sponsorship) swasta;
•
Sebagian penjualan tiket (biasanya berdasarkan sistem bagi hasil dengan gedung pertunjukan, tetapi presentasinya kecil sekali karena harga tiket juga ditekan agar terjangkau, serta jumlah pertunjukan yang amat terbatas).
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
43
Pilihan lainnya, kadang seniman penampil pertunjukan (performers) seperti aktor dan penari dapat bekerja penuh-waktu di stasiun televisi, tetapi pada umumnya hanya dibayar per tiap kali pertunjukan. Seniman papan atas, terutama jika bersinggungan dengan dunia komersial (hiburan), dapat hidup dari honor yang mereka peroleh dari setiap kali pementasan. Seniman ternama seperti penari Didik Nini Thowok, musisi serta konduktor Erwin Gutawa dan Addie MS dapat menetapkan harga tinggi dalam produksi yang bersifat komersial sehingga mereka dapat menerapkan prinsip subsidi silang ketika harus berkontribusi pada upaya kreatif yang lebih eksperimental. Erwin Gutawa misalnya, adalah salah satu seniman pendukung kunci yang bersedia tidak menerima honorarium dalam tahap awal produksi drama musikal Laskar Pelangi. Aktor dan staf administratif kelompok-kelompok teater di Indonesia tidak ada yang mendapatkan gaji tetap. Segelintir kelompok teater yang populer seperti Teater Koma, biasanya menerima sponsorship dari perusahan-perusahaan pada saat pementasan, yang dapat mereka gunakan untuk melakukan pementasan dalam jangka waktu tertentu (1 minggu sampai 1 bulan). Namun, honor ini sesungguhnya tidak cukup untuk menutup biaya selama masa-masa latihan (rehearsal) yang berlangsung cukup lama. Memang kini ada beberapa kelompok tari yang telah berusaha memasukkan biaya latihan (jumlah penari x durasi waktu latihan) ke dalam biaya produksi, tetapi hal ini terbatas pada proyek-proyek komersial yang diistilahkan secara kasual sebagai peye. Beberapa universitas utama di Indonesia mempunyai unit-unit kesenian mahasiswa, baik itu tari maupun musik, seperti Liga Tari UI (Universitas Indonesia). Para anggota menerima honor setiap kali mereka tampil dalam pementasan, terutama pementasan di luar negeri yang dikomisi oleh pemerintah. Namun, mereka biasanya menggalang dana secara swadaya dan tak jarang harus merogoh kocek sendiri. Salah satu kesempatan bagi para seniman seni pertunjukan untuk memperoleh pendapatan tetap adalah dengan cara menjadi pengajar, baik di institusi pemerintah atau swasta, formal, maupun nonformal. Mayoritas musisi klasik di Indonesia adalah pekerja lepas (freelancer) yang tidak bekerja tetap pada organisasi atau kelompok musik apa pun. Mereka harus mengurus sendiri perlindungan tenaga kerja, karena tidak mempunyai standar Pertunjukan “Sampek Engtay” karya Teater Koma gaji tertentu. Pada masa-masa tertentu (peak yang didukung oleh beberapa sponsor korporasi season), dalam satu hari, seorang musisi bisa tampil dalam tiga konser sekaligus. Hal ini menyebabkan lemahnya kontrol kualitas seorang pemain. Tidak ada regulasi yang mengatur jam kerjanya, misalnya seperti di Eropa. Di sana, seorang musisi hanya dapat bermain dari satu konser ke konser lainnya jika sudah melakukan istirahat minimal 10 jam.
44
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
A.2. Proses Produksi Proses produksi adalah proses persiapan dari segi artistik, teknis, dan manajerial, untuk menghasilkan sebuah karya seni (produksi) pertunjukan yang siap untuk dikonsumsi oleh para penonton (manufacture process).
Aktivitas Utama dalam Proses Produksi Pelaku utama dalam proses produksi adalah produser, yaitu pihak yang menginisiasi produksi suatu karya seni pertunjukan, dengan tugas-tugas mencakup (namun tidak terbatas pada): mengawasi standar artistik sebuah produksi, mencari dan memastikan produksi tersebut dapat ditampilkan di venue yang diinginkan, menggalang dana, merekrut sutradara dan para pemain serta membayar honor mereka selama proses produksi berlangsung. Berdasarkan bentuknya, produser terbagi menjadi dua yaitu: 1. Perusahaan • Perusahaan Terbatas (PT): biasanya yang bergerak dalam dunia komersial (hiburan), •
Perusahaan hiburan besar.
2. Organisasi (kelompok) • Kelompok teater (komersial dan nonkomersial) ɽɽ Teater komersial: beroperasi tanpa subsidi, ɽɽ Teater nonkomersial: beroperasi dengan subsidi, menerima hibah filantropi,contohnya teater komunitas, sanggar teater, kolektif seniman, teater mahasiswa. • Sanggar tari atau dance company. •
Grup musik atau orkestra atau paduan suara.
•
Pick-up company, yaitu gabungan beberapa seniman yang dibentuk dan dipimpin oleh individu (baik seniman, maupun nonseniman) yang mengambil peran sebagai produser untuk memproduksi suatu karya tertentu.
Kegiatan utama dalam proses produksi mencakup (namun, tidak terbatas pada): 1. Artistik, meliputi audisi pemain, latihan (rehearsal), desain dan pembuatan kostum/wig/ properti dan tata rias, desain visual, desain panggung (set design), desain tata suara dan pencahayaan, serta desain multi-media. Pelaku-pelaku artistik utama dalam produksi karya di antaranya: • Sutradara atau koreografer atau konduktor; •
Penata artistik;
•
Penata musik;
•
Manajer panggung (stage manager).
2. Manajerial, mencakup baik hal-hal yang berhubungan dengan sisi pelaksanaan pertunjukan dan sisi operasional. Pada umumnya, sisi pertunjukan diisi oleh fungsi-fungsi sebagai berikut: •
Manajer produksi, bertanggung jawab dalam penghitungan biaya, penjadwalan kerja atau latihan, serta mengoordinasikan berbagai hal terkait dalam persiapan hingga pelaksanaan. Manajer produksi juga memastikan segala hal yang dilaksanakan sesuai dengan perencanaan namun tetap sesuai anggaran.
•
Direktur teknis, bertanggung jawab mengawasi semua teknisi dan pengrajin yang terlibat dalam proses produksi serta mengimplementasikan rancangan yang dibuat oleh desainer produksi. Direktur teknis juga bertugas untuk mengoordinasikan kebutuhan
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
45
perangkat keras yang harus disediakan dalam pertunjukan dan mengomunikasikannya kepada supplier. Manajer panggung (stage manager), bertindak sebagai perpanjangan tangan penata artistik,. yaitu mengoordinasikan keputusan-keputusan yang ditetapkan penata artistik kepada desainer untuk kemudian dilanjutkan dan disiapkan ke bagian-bagian terkait.
•
•
Manajer kelompok, bertanggung jawab atas kebutuhan kelompok kesenian, termasuk transportasi dan akomodasi yang terlibat dalam produksi.
•
General manager, bertanggung jawab atas hal-hal nonartistik dari sebuah produksi, seperti administrasi, pemasaran dan sponsorship, keuangan, penjualan tiket, dan lain sebagainya.
•
Teknikal, mencakup pembangunan set, pembuatan dan pengaturan teknis tata suara dan cahaya, serta pembuatan efek visual (multimedia) yang dilakukan oleh para teknisi.
Gambar 2 - 2 Bagan struktur organisasi produksi seni pertunjukan berskala menengah-besar yang umum digunakan PRODUSER
Penata Artisttik
Manajer Produksi
Desainer Produksi
Direktur Teknis
Manajer Panggung (Stage)
General Manager
Manajer Kelompok Box Office (Ticketing) Manajer Bisnis Akuntan
Aktor
Humas
Kru
Teknisi Panggung
Penata Panggung (Scenery)
Teknisi Kostum
Penata Kostum
Teknisi Prop
Penata Prop
Teknisi Listrik
Desainer Tata Cahaya
Teknisi Suara
Desainer Tata Suara
SISI PERTUNJUKAN
Direktur Pemasaran
Pemasaran & Sponsorship
Promosi
SISI OPERASIONAL
Keterangan: Artistik Manajerial Teknikal
46
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Ada juga desainer produksi yang mempunyai fungsi ganda, yaitu artistik dan manajerial. Desainer produksi berfungsi sebagai orang yang membantu sutradara dalam merealisasikan ide kreatif berupa suasana, gambaran sebuah tempat atau set, kostum, dan lain-lain, ke dalam suatu adegan yang dibayangkan oleh sutradara atau koreografer. Desainer produksi umumnya membawahi: •
Penata panggung (set designer);
•
Penata kostum dan properti;
•
Perancang tata cahaya (lighting designer);
•
Perancang tata suara (sound designer atau sound engineer).
Sebagai catatan, komposisi fungsi-fungsi dalam struktur organisasi produksi pada gambar 2-1 umumnya dipakai untuk produksi pertunjukan berskala besar yang melibatkan banyak orang. Struktur ini bisa jadi sangat fleksibel dan sederhana, disesuaikan dengan skala dan kebutuhan produksi itu sendiri.
Aktivitas Pendukung dalam Proses Produksi Seperti halnya dalam proses kreasi, untuk dapat melakukan proses produksi pun diperlukan aktivitas pendukung yaitu pendanaan, hanya saja sifatnya berbeda. Pendanaan untuk kreasi bersifat terus-menerus dan dilakukan dalam jangka waktu panjang, sedangkan pendanaan produksi cenderung insidental. Penggalangan dana (fund-raising) untuk membiayai proses produksi dan penyelenggaraan sebuah karya seni pertunjukan mencakup semua biaya dan pemasukan agar estimasi anggaran dapat diperkirakan yang meliputi: 1) honor seniman atau produser, 2) penyewaan gedung dan fasilitas pendukungnya, 3) honor kru atau teknisi, 4) biaya pemasaran, periklanan, dan publikasi, 5) pendapatan box office (tiket), 6) laba presenter, dan 7) royalti. Pertunjukan drama musikal yang marak diselenggarakan pada saat ini memang spektakular, tetapi masih sporadis alias kagetan, tidak seperti siklus di area West End di London atau Broadway di New York. Tidak ada mekanisme industri yang jelas, sehingga produser bisa jadi hanyalah orang yang kebetulan punya akses ke pemilik dana besar. Penyelenggaraan pertunjukan tidak jarang selalu merugi, meski karcis laris terjual. Salah satu contoh kasus ini adalah drama musikal Laskar Pelangi, yang bahkan sudah dipentaskan 70 kali, di Jakarta, Yogyakarta dan di luar negeri (Esplanade-Theatres on the Bay, Singapura). Terbatasnya jumlah gedung pertunjukan, tingginya biaya sewa, ditambah belum terjadinya profesionalisasi di bidang seni pertunjukan membuat produksi tidak bisa berlangsung dalam waktu cukup lama untuk bisa menutup biaya. Bandingkan kasus Laskar Pelangi dengan drama musikal West End atau Broadway Billy Elliot. Produser Laskar Pelangi harus selalu mengudisi pemain cilik dan secara konsisten melatih mereka, karena tidak ada pemain cilik yang terbiasa .dengan irama profesional seperti di Amerika dan Inggris ketika produksi Billy Elliot berlangsung. Itu baru sebuah kendala diantara kendala-kendala lainnya.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
47
Harrison Dowzell dan The Ballet Girls dalam Billy Elliot. Sebanyak 30 penari balet anak-anak berusia 10-16 tahun mengikuti kasting musikal Billy Elliot di West End. Sumber: london.broadway.com
A.3. Proses Distribusi Produser seringkali berkolaborasi dengan pihak lain untuk mengelola dan mendistribusikan karyanya kepada presenter (presenter di sini bisa berupa venue atau gedung pertunjukan maupun festival), yang biasa disebut manajer. Dalam proses rantai nilai seni pertunjukan, manajer dapat dikategorikan sebagai penyelia yang mempunyai fungsi serupa dengan distributor, yaitu mencari peluang pasar dan berjejaring (networking) untuk menghubungkan sebuah produksi dengan presenter melalui proses pemasaran. Manajer dapat berdiri menjadi entitas sendiri, seperti: •
Agensi pemasaran atau promotor yang masih belum ada di Indonesia. Promotor juga dapat berfungsi sebagai produser tur, bila pementasan dilakukan di luar kota atau negara;
•
Rumah produksi.
Ada juga yang tergabung dengan atau menjadi perwakilan produser, misalnya sebagai: •
Manajer artis (personal manager);
•
Manajer kelompok atau sanggar (company manager).
Distribusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
48
•
Distribusi karya perdana, distribusi karya yang baru pertama kali dipentaskan. Aktivitas utamanya adalah pemasaran karya untuk mendapatkan satu presenter.
•
Distribusi touring, distribusi karya untuk penampilan karya kesekian kalinya, yang biasanya dilakukan di beberapa venue, kota, atau negara berbeda, dalam satu periode waktu tertentu (misalnya 1—3 minggu, bahkan bisa mencapai tahunan).
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Aktivitas Utama dalam Proses Distribusi Pemasaran merupakan aktivitas utama dalam proses distribusi. Pemasaran dapat ditujukan untuk presenter atau langsung kepada penonton, tergantung dari fungsi presenter, apakah hanya sebagai presenter atau produser, atau merangkap keduanya. Lebih lanjut mengenai presenter dijelaskan di bab berikutnya. Pemasaran suatu karya seni pertunjukan mencakup serangkaian aktivitas promosi, publikasi, PR (public relation) dan pengiklanan. Namun tidak hanya itu, pemasaran akan berhasil jika mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Menempatkan (positioning) karya dan kelompok seniman dengan cara tertentu sehingga membuat karya tersebut tercitrakan (branding) dan diasosiasikan dengan nilai-nilai artistik yang ingin disampaikan kepada target pembeli (presenter atau penonton) yang dituju. Kesadaran akan posisi kuratorial venue dan festival-festival yang berbeda-beda ini sangat penting. 2. Menentukan bagaimana cara mengomunikasikan karya produksi untuk calon pembeli. Sebagai contoh, karya yang dipasarkan untuk festival dan masyarakat umum akan dikomunikasikan dengan cara yang berbeda. Festival pun memiliki arah kuratorial yang beragam dan seniman harus jeli sekaligus peka terhadap relasi antara arah atau posisi artistik yang diambil berhadapan dengan posisi kuratorial yang berbeda-beda ini. 3. Membangun pembeli setia yang akan terus-menerus menikmati dan mendukung karyakarya yang dibuat oleh kelompok seniman. Kegiatan distribusi sebuah produksi seni pertunjukan tidak berhenti di aktivitas pemasaran saja, tetapi dilanjutkan dengan aktivitas mencari dan memesan presenter, mengajukan proposal dan melakukan persetujuan kontrak. Aktivitas-aktivitas ini banyak memerlukan keterampilan administrasi yang sejatinya merupakan ruang lingkup pekerjaan manajer, terpisah dari ruang lingkup pekerjaan artistik (seniman). Pemasaran dapat ditempuh secara: 1. Online melalui Internet dan media sosial, contoh: mengunggah publikasi video profil kelompok seniman atau teaser produksi di Youtube, Vimeo, membuat website, fanpage di Facebook, dan lain sebagainya. Pemasaran jenis ini banyak melibatkan pihak media (cetak dan elektronik) untuk mendistribusikan informasi. 2. Offline, misalnya, melalui jejaring pasar (Performing Art Mart), mengirimkan portfolio dan mengajukan proposal kepada beberapa presenter yang dituju. Performing art mart atau market adalah suatu wadah tempat bertemunya para pelaku seni pertunjukan termasuk di dalamnya presenter, manajer seni, promotor, agen, produser, akademisi, dari berbagai negara dengan seniman pertunjukan. Pertemuan semacam ini diharapkan dapat menjadi tempat terjadinya transaksi atau komitmen dalam bentuk kontrak atau perjanjian penyelenggaraan pertunjukan. Beberapa performing art mart yang diselenggarakan di berbagai negara, contohnya: •
Indonesia Performing Art Mart (IPAM), terakhir diselenggarakan pada 2013 oleh Kemenparekraf;
•
Asian Arts Mart, di Singapura, tetapi berhenti setelah 2—3 periode;
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
49
•
Performing Arts Market in Seoul (PAMS) di Korea, diselenggarakan oleh KAMS (Korea Arts Management Service) yang hingga kini masih berjalan dan menjadi salah satu yang terbesar di Asia.
Karya atau produk seni dalam seni pertunjukan adalah pertunjukan yang dipentaskan secara langsung (live). Idealnya, produk ini dipentaskan berulang-ulang di beberapa kesempatan dan tempat (gedung, kota, bahkan dalam konteks tertentu juga negara) yang berbeda-beda. Proses distribusi ini penting untuk menjaga agar diseminasi gagasan yang dikandung dalam sebuah produk tetap berlangsung, sehingga bisa mendapat tanggapan dari penonton baik yang awam maupun yang ahli (berupa kritik). Di Indonesia, proses distribusi ini tidak selalu terjadi karena satu dan lain hal, antara lain belum terbangunnya infrastruktur yang memungkinkan proses distribusi/diseminasi ini berlangsung terus-menerus. Di samping itu, para presenter–terutama gedung-gedung pertunjukan yang ada di kota-kota–belum terhubung dalam sebuah jejaring. Sesungguhnya jika gedung-gedung pertunjukan, baik milik publik (dan dikelola oleh pemerintah) termasuk Taman Budaya di beberapa kota, dan milik swasta (seperti Komunitas Salihara), menjalin jejaring touring, maka rantai distribusi bisa menjadi rangsangan untuk kesinambungan produksi. Idealnya, para presenter ini juga memiliki kemampuan untuk memproduksi melalui komisi (seperti Komunitas Salihara) dan arah kuratorial yang kuat sehingga jejaring juga bisa dijalin dalam skema koproduksi (atau memproduksi karya pertunjukan bersama) seperti model yang diterapkan di banyak negara di Eropa Barat.
Publikasi hasil kerjasama KAMS dengan IETM (International European Theatre Meeting) yang dapat diunduh gratis di situs KAMS & IETM (www.ietm.org)
50
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Korea Arts Management Service (KAMS) Didirikan pada 2006, KAMS memfokuskan dirinya sebagai lembaga nirlaba publik yang memberikan dukungan dan layanan di bidang pertukaran kebudayaan internasional untuk meningkatkan daya saing seni pertunjukan di Korea Selatan. Didukung oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, KAMS memberikan berbagai bentuk bantuan yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kelompok-kelompok dan organisasiorganisasi seni, sekaligus memperkuat daya saing mereka dengan cara mengembangkan beragam dukungan yang efektif demi menajemen seni yang lebih efisien. Selain melakukan beragam proyek penelitian, KAMS juga memberikan program konsultasi dan pendidikan bagi para profesional yang ingin berkiprah di dunia seni pertunjukan. KAMS ingin menjadi kendaraan yang tepat untuk mencapai tujuan itu dan membantu para seniman pertunjukan Korea Selatan untuk dapat lebih banyak bertukar pengalaman dengan masyarakat internasional. Beberapa program utama KAMS: International Market Development, yang terbagi menjadi dua jenis program: 1) Center Stage Korea Focus, menampilkan karya-karya seni pertunjukan Korea Selatan di venue besar dan festival-festival mancanegara untuk memperkenalkan seni pertunjukan Korea Selatan; dan 2) Center Stage Korea International Touring, yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pementasan seni pertunjukan Korea melalui 2–3 tur internasional. Funding for International Exchange, yaitu dukungan biaya perjalanan bagi senimanseniman yang ingin tampil di pentas intenasional. KAMS Connection, yaitu menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi, dewan kesenian, festival, dan teater di Korea Selatan dan mancanegara, serta mengembangkan proyek kolaborasi. KAMS Connection juga memberi dukungan bagi penyelenggaraan pertemuan, penelitian bersama (joint research), dan forum berbagi ide oleh para praktisi seni pertunjukan, termasuk produser, para penyusun program, penyelenggara festival, perencana, dan administrator. Arts Management Consulting Services, yaitu program yang ditujukan untuk organisasi seni dan budaya untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam segala hal yang terkait dengan administrasi seni, seperti hukum dan kontrak, manajemen keuangan dan akuntansi, manajemen SDM dan personel–dengan cara mendatangkan para pakar untuk melatih mereka. T-CAM: Training for Culture & Arts Management, adalah program pendidikan dan pelatihan berkelanjutan - juga kerja praktik di lapangan, untuk menyiapkan dan menghasilkan para profesional di bidang perencanaan dan manajemen seni pertunjukan agar dapat siap bekerja di organisasi-organisasi seni dan budaya. Sumber: www.eng.gokams.or.kr
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
51
A.4. Proses Presentasi Proses presentasi adalah proses pelaksanaan sebuah produksi seni pertunjukan yang bersifat repetitif (performance process).
Aktivitas Utama dalam Proses Presentasi Aktivitas utama dalam proses ini bersifat manajerial, yang mencakup: 1. Manajemen panggung (stage management); 2. Manajemen venue: front of house, manajemen penonton, manajemen fasilitas; 3. Manajemen pertunjukan: box office, hubungan masyarakat (public relation), promosi dan pemasaran, audience outreach; 4. Manajemen tur atau festival. Pelaku utama di dalam proses ini adalah presenter. Presenter biasanya berbentuk venue (gedung pertunjukan yang dikuratori khusus) atau program (festival) yang memfasilitasi pertemuan antara para seniman dengan penonton melalui program kreatif, pendidikan, dan pertunjukan. Dalam beberapa kasus, presenter juga bisa menjadi koproduser, bekerja sama dengan presenter-presenter lain dalam jejaringnya. Model ini adalah pola standar di negara-negara Eropa Barat khususnya, dan mulai merambah ke bagian dunia lainnya, termasuk negara-negara Asia seperti Singapura, Jepang dan Korea Selatan yang memiliki infrastruktur pendanaan seni yang mirip. Fungsi utama presenter adalah memilih program dan produksi yang tidak hanya dapat memuaskan para penonton (audiences) dari sisi artistik, tetapi juga realistis secara finansial. Selain itu, presenter juga bertugas untuk mengontrak masing-masing kelompok penampil, menyewakan tempat (bila presenter tidak memiliki venue sendiri), mempromosikan acara yang akan ditampilkan dan menyelesaikan urusan administrasi keuangan dengan pihak produser. Presenter adalah: 1. Individu atau kelompok, contoh: direktur eksekutif, sponsor, atau pemilik (owner). 2. Presenter nonkomersial, contoh: pusat kebudayaan yang disubsidi pemerintah (gedung pertunjukan publik termasuk Taman Budaya), pusat kebudayaan komunitas, museum, organisasi mahasiswa, perpustakaan, community centre. 3. Presenter komersial, contoh: gedung pertunjukan nonpublik, ruang-ruang komersial seperti kafe, klub, restoran dan lainnya. 4. Venue (gedung pertunjukan) • Building-based company, yaitu venue yang berfungsi sebagai home base (tempat latihan atau rehearsal dan pertunjukan) bagi suatu kelompok seni. Segala kegiatan administrasi dan artistik grup tersebut dilakukan dalam satu atap. •
Venue untuk disewakan (venue for rent).
5. Kompleks multi-fungsi (arts centre) yang menyediakan sarana kesenian—termasuk di dalamnya ruangan pertunjukan, bioskop, galeri, dan outlet makanan atau minuman— dan tidak memproduksi suatu pertunjukan, seperti: gedung pertunjukan besar, fasilitas serbaguna (komersial dan nonkomersial), fasilitas pertunjukan yang dimiliki oleh sekolah, auditorium, dan fasilitas publik lainnya. 6. Tur dan festival, menampilkan seni pertunjukan dalam jangka waktu tertentu (misalnya 1—2 minggu), baik di satu lokasi yang sama atau beberapa lokasi yang berbeda. Tur dan festival dapat berperan sebagai produser dan atau atau presenter, dan sangat bergantung pada ketersediaan venue di suatu tersebut. 52
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
PACT ZOLLVEREIN, Ruhr, Essen, Jerman Sejak awal berdirinya pada 2002 di pusat area metropolitan Ruehr, PACT Zollverein telah mengukuhkan posisinya sebagai inisiator, katalis, sekaligus venue untuk mendukung pengembangan seni–khususnya tari, pertunjukan, teater, media, seni rupa murni, dan seni rupa berbasis media–yang inovatif. PACT Zollverein mempunyai sistem kerja yang unik, di mana mereka menggabungkan tiga program pengembangan sebagai respons terhadap isu-isu sosial dan budaya dalam skala regional, nasional, maupun internasional—yang pada akhirnya mendorong peningkatan apresiasi terhadap tari dan pertunjukan sebagai bentuk kesenian yang independen. Ketiga program tersebut itu adalah: 1) program residensi, yang terbuka untuk seniman di seluruh dunia—PACT berfungsi sebagai pusat kesenian yang menawarkan tempat untuk seniman berkonsentrasi penuh pada proses penciptaannya; 2) platform, yang menginisiasi terjadinya pertukaran ilmu antara seniman, akademisi, dan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dan mendorong terjadinya dialog-dialog kritis dan reflektif terhadap metodologi-metodologi dan temuan-temuan; 3) stage programme, menampilkan pertunjukan-pertunjukan perdana, koproduksi, dan pertunjukan tamu (guest performances). Alih-alih mendapatkan hasil yang instan, PACT justru memberi ruang untuk–perlahan, tetapi terus-menerus–untuk mencari model organisasi yang tepat. Ciri khas PACT adalah konsepnya yang menggabungkan tiga aktivitas utama di atas yang saling terkait dan melengkapi. PACT menciptakan ruang untuk pertukaran ide, aksi, pengalaman, dan diskursus teori yang dapat mendukung dan mendorong kerjasama, kolaborasi, dan kemitraan jangka panjang. Sumber: www.pact-zollverein.de
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
53
Pementasan seni pertunjukan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pertunjukan-pertunjukan yang disponsori oleh pihak-pihak individu dan swasta yang ditujukan untuk para undangan tertentu dalam peringatan suatu acara (event) dan bukan pertunjukan yang memang diselenggarakan dengan basis penjualan tiket masuk untuk penonton umum. Pertunjukan seperti ini lumrah terjadi di daerah-daerah luar Jakarta. Bahkan di Jakarta sekali pun, para elit biasanya berharap mendapatkan undangan (gratis), daripada membeli tiket untuk menonton suatu pertunjukan.
Harga Tiket dan Pajak Venue Harga tiket bervariasi tergantung tempat pelaksanaan pertunjukan dan terkadang kualitas artistiknya. Harga tiket pertunjukan pun menjadi relatif mahal. Harga tiket pertunjukan teater umumnya berkisar (Rp50.000–500.000), drama musikal (Rp150.000–750.000), tari (Rp50.000–100.000), konser musik populer Indonesia (Rp150.000–3.500.000), konser musik populer mancanegara (Rp400.000–3.500.000), konser musik jazz (Rp200.000–500.000) dan konser musik klasik (Rp100.000–500.000). Tempat-tempat di Jakarta yang menyelenggarakan pertunjukan lokal (bukan luar negeri) dibebankan biaya pajak hiburan sebesar 10 persen dari total jumlah pemasukan tiket dengan asumsi tiket laku terjual semua. Pada kenyataannya, tiket jarang terjual habis. Besar pajak berbeda untuk wilayah luar Jakarta. Walaupun demikian, ada beberapa gedung pertunjukan milik pemerintah yang membebankan pajak kurang dari 10 persen, jika pertunjukan yang diselenggarakan bersifat nonkomersial.
Kondisi Venue (gedung pertunjukan) Dukungan teknis di gedung-gedung pertunjukan di Indonesia, terutama milik pemerintah atau milik sekolah atau universitas (bersifat nonkomersial), sangatlah lemah. Dukungan teknis yang seharusnya menjadi standar fasilitas sebuah venue seperti teknisi tata lampu dan suara atau bahkan staf tetap administrasi seringkali berjumlah terbatas, dan mereka umumnya adalah para otodidak bukan profesional terdidik. Teknisi tambahan (honorer) seringkali harus direkrut sesuai kebutuhan pertunjukan. Kondisi fasilitas teknis gedung-gedung pertunjukan di Indonesia umumnya masih buruk. Lumrah untuk menemukan gedung pertunjukan dengan peralatan yang minim, rusak, ataupun baru tapi tidak terawat dengan baik; pasokan listrik yang kurang memadai, jalur kabel yang tidak rapi, ketiadaan petugas keamanan, dan seterusnya. Meskipun demikian, ada beberapa gedung pertunjukan yang cukup memenuhi standar. Dengan fasilitas yang minim, biaya sewa venue pertunjukan terbilang sangat mahal.
Perizinan Diperlukan izin dari kepolisian untuk setiap penyelenggaraan pertunjukan untuk publik. Penting bagi seniman untuk mempertahankan relasi dan jejaring orang-orang yang mempunyai pengaruh atas sponsorship, pengiklanan dan dukungan moral jika suatu saat menemui kesulitan dalam memperoleh izin.
Promotor Promotor seni pertunjukan di Indonesia disinyalir belum ada.
54
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Festival Ada beberapa festival seni pertunjukan di Indonesia yang bertaraf internasional, meski keberlangsungannya masih sesuatu yang harus diperjuangkan dari tahun ke tahun. Festival internasional yang diselenggarakan di Indonesia di antaranya: •
Indonesian Dance Festival (IDF) sejak 1992, yang awalnya didirikan oleh para pengajar dan mahasiswa Jurusan Tari IKJ, dan kini berkembang menjadi satu-satunya festival tari internasional di Indonesia dua tahunan;
•
Art Summit Indonesia (ASI) yang digagas pemerintah (waktu itu Depdikbud) sejak 1995 dan kini diserahkan ke Kemenparekraf;
•
Solo International Performing Arts (SIPA), yang programnya cenderung bersifat populer;
•
Sawah Lunto International Music Festival (SIMFEST) yang telah menjadi agenda tahunan (kerjasama produser atau kurator independen dan kotamadya);
•
International Gamelan Festival di Yogyakarta;
•
Bali Spirit Festival, sebuah festival bertema spiritualitas seperti yoga, qigong, dan meditasi yang kini bertaraf internasional dan memasukkan unsur seni pertunjukan di dalamnya seperti pertunjukan world music dari seniman lokal, nasional, maupun internasional;
•
Jazz Gunung di Probolinggo, sebuah pergelaran musik bertaraf internasional yang menampilkan komposisi jazz bernuansa etnik, digelar setiap tahun di daerah pegunungan Bromo.
Sementara itu, festival lokal di antaranya: •
Festival Teater Jakarta (FTJ), program Dewan Kesenian Jakarta yang sudah berlangsung sejak 1974, dan masih bersifat lokal meski diarahkan untuk menanjak menjadi bertaraf nasional dan akhirnya internasional.
•
Festival Salihara, diadakan selama sebulan penuh. Festival ini akan memadukan seni musik, tari, teater, instalasi, dan kesusastraan. Program utamanya adalah apresiasi seni musik, tari, dan teater dari seniman dalam dan luar negeri, sedangkan program pendamping di antaranya apresiasi musik dan instalasi dari musisi dalam negeri.
Jazz Gunung 2014 dengan latar belakang keindahan pegunungan Bromo Tengger Semeru Sumber: indonesia.travel
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
55
Aktivitas Pendukung dalam Proses Presentasi Agar proses presentasi dapat berlangsung berulang-ulang, diperlukan promosi yang pada saat ini bisa didukung oleh adanya rekaman video pertunjukan. Karena pementasan karya seni pertunjukan sifatnya live, pihak produser dan atau presenter kerap kali merasa perlu untuk mendokumentasikan secara penuh pertunjukan yang sedang berlangsung melalui rekaman video dalam bentuk CD atau DVD. Bagi pihak produser atau seniman, dokumentasi ini menjadi penting selain sebagai bahan portfolio (promosi) yang dikirimkan kepada para presenter potensial agar proses presentasi dapat berlangsung berulang-ulang (terutama untuk produksi-produksi besar yang berhasil memasuki jejaring distribusi atau diseminasi), juga sebagai bahan pengembangan karya berikutnya. Bagi presenter, dokumentasi ini penting untuk diarsipkan sehingga dapat diakses oleh publik yang ingin mengetahui pertunjukan-pertunjukan apa saja yang telah diselenggarakan oleh presenter tersebut. Selain menjual CD atau DVD, ajang pementasan kerap kali digunakan seniman untuk menjajakan merchandise yang berkaitan dengan karya-karya seni mereka. Hal ini dilakukan selain untuk mendapatkan pemasukkan tambahan, juga sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada penonton dan memperdalam pemahaman penonton akan karya-karya yang ditampilkan.
Beragam merchandise Papermoon Puppet Theatre yang bertemakan karya-karya mereka Sumber: Papermoon Puppet Theatre
B. Pasar Daya tarik seni pertunjukan bagi penontonnya dapat dipahami melalui konsep modal budaya atau cultural capital.20 Norma-norma, nilai, kepercayaan dan respon psikologis penonton membentuk pilihan untuk membeli dan mengkonsumsi sebuah aktivitas.21 Aktivitas budaya misalnya, (20) Pierre Bourdieu, Distinct: A Social Critique of the Judgement of Taste (Boston: Harvard University Press, 1984) (21) Douglas Holt, “Does cultural capital structure American consumption?,” Journal of Consumer Research, Vol. 25, 1998, hlm. 1-25.
56
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
diasosiasikan dengan selera yang lebih tinggi yang berarti memiliki modal budaya yang lebih tinggi pula dan sebaliknya. Menyaksikan suatu karya seni pertunjukan mengandung modal budaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan menonton program televisi. Konsep pasar dalam seni pertunjukan dapat dilihat dari dua sudut pandang: 1) penonton dan 2) presenter, yang bisa berupa festival, maupun venue yang mempunyai program.
B.1. Penonton Seni Pertunjukan Penonton adalah orang yang secara sadar dan berkemauan menonton karya seni pertunjukan terlepas dari apakah pertunjukan tersebut menarik tiket masuk atau tidak (gratis). Secara garis besar, penonton dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu, penonton umum dan penonton ahli. 1. Penonton umum adalah penonton awam yang tidak memiliki referensi tentang perkembangan artistik dunia seni pertunjukan secara spesifik. 2. Penonton ahli adalah penonton yang telah memiliki pengalaman menonton dan secara akumulatif membangun referensi kritis tentang wacana seputar seni pertunjukan. Penonton umum bisa berkembang menjadi penonton ahli jika mereka juga tertarik membekali diri dengan mengikuti diskusi seputar tontontan yang mereka nikmati dari waktu ke waktu. Apresiasi adalah sesuatu yang bisa berkembang dan dikembangkan. Selama ini, karya seni pertunjukan cenderung dianggap terlalu eksperimental dan eksklusif, sehingga tidak dapat dimengerti oleh penonton awam. Tingkat ketertarikan penonton tidak dipupuk. Seringkali, penonton pun menjadi kapok untuk menonton seni pertunjukan. Padahal, ketika membuat suatu karya seniman harus memikirkan pengalaman seperti apa yang akan didapat oleh penonton atau apa yang bisa didapatkan penonton dari menonton suatu karya seni pertunjukan, seperti nilai hiburan (dikemas dengan menarik), nilai pendidikan (mempunyai pesan moral), dan nilai artistik. Walaupun pasar nasional seni pertunjukan Indonesia masih sempit dan belum terbentuk, publik Indonesia saat ini sudah relatif lebih terbuka dan apresiatif terhadap ide-ide menantang maupun inovasi-inovasi baru yang ditampilkan oleh seniman kita. Sebagai contohnya adalah kemunculan Papermoon Puppet Theatre, satu-satunya teater boneka di Indonesia yang berdiri pada 2011. Pementasan karyanya selalu dinantikan oleh para penonton yang relatif masih awam tentang teater boneka. Selalu ada penonton baru untuk setiap pertunjukan. Penonton dalam negeri saat ini mulai didominasi oleh kalangan anak muda perkotaan kelas menengah yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik.
Selama ini karya seni pertunjukan cenderung dianggap terlalu eksperimental dan eksklusif sehingga tidak dapat dimengerti oleh penonton awam.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
57
Pementasan Laki-laki Laut karya Papermoon Puppet Theatre di ART|JOG 2013 (Yogyakarta). Sumber: Papermoon Puppet Theatre
Reaksi penonton terhadap boneka setelah pementasan Sumber: Papermoon Puppet Theatre
58
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
B.2. Presenter Nasional dan Internasional Pasar nasional merujuk pada potensi penonton seni pertunjukan yang masih belum tergarap dengan baik, baik hiburan yang bermutu (drama musikal, misalnya) maupun seni pertunjukan yang lebih eksperimental (kontemporer). Belum tergarapnya potensi penonton ini penyebabnya adalah bahwa hampir semua venue atau gedung pertunjukan di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah (gedung pertunjukan publik) hanya berfungsi sebagai ruang untuk disewakan dengan harga yang relatif mahal. Dengan demikian, pementasan karya tidak kontinu untuk dapat menjaring banyak penonton. Venue yang mempunyai program dengan kuratorial yang relatif jelas dan ikut menanggung biaya produksi pertunjukan dimiliki oleh swasta seperti Komunitas Salihara. Festival dalam negeri yang awalnya dikuratori dengan saksama adalah Arts Summit Indonesia di tiga edisi pertama (1995, 1998, dan 2001). Indonesian Dance Festival (IDF) mengundang kurator internasional sejak 2006 yang bingkainya masih terhitung probono, tetapi proses penyesuaian kerja kuratorial ini masih tetap berjalan dalam mencari bentuknya. Tahun ini, untuk pertama kalinya, IDF merintis koproduksi internasional dengan sebuah dance company berbasis di Eropa, selain membantu serta menginisiasi beberapa produksi lokal. Sebagai sebuah presenter venue, Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) rutin menyelenggarakan Festival Schouwburg, tetapi kuratorialnya masih bergantung pada produksi insidental yang kebetulan terjadi dan agenda pusat-pusat kebudayaan internasional yang menjadi mitranya. Pasar internasional merujuk pada peluang bagi seniman Indonesia untuk tampil di ranah global. Hal ini bisa diterjemahkan sebagai gedung-gedung pertunjukan dan festival-festival tertentu yang menerapkan kebijakan kuratorial yang sesuai dengan muatan artistik sang seniman. Festival internasional mencakup venue maupun festival di seluruh dunia yang program kuratorialnya menawarkan peluang bagi seni pertunjukan Indonesia untuk mengambil peran. Di tingkat regional (kawasan Asia Tenggara), ada beberapa presenter utama seperti (untuk kategori venue): Esplanade-Theatres on the Bay (Singapura), Kalang Theatre (Singapura), Istana Budaya (Malaysia), Bangkok Arts Centre (Thailand), dan Pusat Kebudayaan di Manila (Filipina). Festival seni pertunjukan kontemporer yang terhitung bereputasi internasional di kawasan Asia Tenggara adalah Singapore International Festival of Arts (SIFA) yang tahun ini berubah format. Di kawasan Asia yang lebih luas, beberapa festival seni pertunjukan kontemporer utama adalah Hong Kong Arts Festival (HKAF) dan Festival Tokyo, keduanya diselenggarakan tahunan. Beberapa festival yang tergolong baru dan garda depan juga mulai muncul seperti Festival Bo:m di Seoul (Korea Selatan), yang baru dan mencoba mainstream seperti Georgetown Festival di Penang; dan forum menarik seperti TPAM: Performing Arts Meeting di Yokohama, yang awalnya berformat art mart dan berubah sejak 2010 menjadi meeting (mirip festival) dan berhasil menarik para presenter kaliber internasional utama dari seluruh dunia.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
59
Facing Goya, salah satu karya yang dipentaskan di SIFA 2014, koproduksi oleh Spoleto Festival USA dan SIFA. Foto: Julia Flynn
Singapore International Festival of Arts (SIFA) Festival of The Arts pertama kali diselenggarakan pada 1977 sebagai bienial dan sempat vakum tahun lalu sebelum berganti format menjadi Singapore International Festival of the Arts (SIFA) dengan citra, konsep, dan pendekatan baru. Diselenggarakan dan dikelola secara independen oleh Arts House Limited, SIFA menampilkan karya-karya seni pertunjukan teater, tari, dan musik bermutu yang bertujuan untuk menginspirasi beragam penontonnya melalui pengalaman artistik yang mengesankan. Mulai dari 2014 sampai 2017 penyelenggaraan SIFA dipimpin oleh Ong Keng Sen, sutradara Theatreworks, kelompok teater berbasis di Singapura. SIFA 2014 mengambil tema “Legacy and the Expanded Classic” yang dibuka selama empat minggu dengan kegiatan prafestival The O.P.E.N (Open, Participate, Enrich, Negotiate)—sebuah rangkaian acara yang melibatkan publik seperti pemutaran film, diskusi, lokakarya, juga demo pertunjukan-pertunjukan khusus yang dilakukan dengan format kasual dan inklusif. Setelah itu, SIFA menampilkan sederet produksi seni pertunjukan selama lebih dari enam minggu (12 Augustus –21 September 2014). Sumber: www.sifa.sg
60
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Jake & Pete’s Big Reconciliation Attempt for the Disputes from the Past karya Jakob Ampe & Pieter Ampe/Campo (Belgia) yang ikut ditampilkan di Festival Bo:m 2014. Sumber: Festival Bo:m
Festival Bo:m Festival Bo:m adalah festival seni pertunjukan dan seni rupa internasional yang menampilkan beragam karya dari seniman-seniman Korea Selatan dan mancanegara yang multidisiplin, multikultural, multigenre, dan memiliki konsep unik. Festival yang pertama kali diselenggarakan pada 2007 dengan nama Springwave Festival ini telah rutin diselenggarakan setiap tahunnya selama tiga minggu sampai satu bulan pada musim semi (Maret–April)—berkat dukungan Arts Council Korea serta Seoul Foundation for Arts and Culture. Pada 2014, Festival Bo:m berhasil menghadirkan karya seni tari, drama, dan musik 25 seniman dari Korea Selatan, Jepang, Spanyol, Jerman, Myanmar, Tiongkok, Belgia, Norwegia; juga beberapa kuliah umum dan workshop di berbagai venue di kota Seoul, Busan, dan Yokohama. Selain ingin memperkenalkan karya-karya seni inovatif dan garda depan, Festival Bo:m juga ingin memberikan apresiasi kepada semangat eksperimentasi dan tantangan dan berfokus pada pencarian talenta-talenta baru. Festival Bo:m berusaha untuk memperkenalkan seniman-seniman dengan berbagai latar belakang, terutama dari Asia, di panggung internasional. Sumber: www.festivalbom.org
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
61
Untuk contoh yang lebih spesifik (menurut cabang seni) ada Festival da:ns (tari kontemporer, Singapura), Wifi Body (tari kontemporer, Manila), dan My Dance Alliance Festival (Kuala Lumpur). Untuk musik ada Java Jazz di Jakarta, WOMAD (World Music and Dance) Festival di Singapura, dan Rainforest World Music Festival di Kuching (Malaysia). Australia adalah negara tetangga yang mulai menyadari betapa minimnya pengetahuan mereka tentang seni pertunjukan kontemporer di Indonesia paling mutakhir. Beberapa seniman seni pertunjukan kontemporer Indonesia mulai merambah kemungkinan residensi di Australia dan menjajaki kemungkinan produksi. Dua di antaranya adalah Pappermoon Puppet Theatre dan kelompok musik eksperimental Senyawa. Jazirah Eropa menawarkan ratusan presenter baik dalam bentuk venue maupun festival, seperti Edinburgh Fringe Festival (Skotlandia), Festival d’Avignon (Prancis), tetapi profil mereka sebaiknya dipilih dan pilah melalui analisis kuratorial masing-masing—mana yang sesuai dengan kelompok seni Indonesia. Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) adalah kawasan yang juga harus dibaca dengan saksama dari sudut pandang kuratorial, selera, dan peredaran wacana tentang seni pertunjukan mereka yang bisa bertemu atau berdialog dengan apa yang terjadi dalam konteks Indonesia.
C. Lingkungan Pengembangan (Nurturance Environment) C.1. Apresiasi Apresiasi merupakan tanggapan terhadap karya, orang kreatif, serta proses penciptaan nilai kreatif yang menstimulasi peningkatan kualitas karya, orang, dan proses kreatif tersebut. Apresiasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: 1. Apresiasi oleh pasar (penonton), ditunjukkan dari konsumsi serta tanggapan penonton terhadap karya, orang (personel), dan proses kreatif seni pertunjukan. Kegiatan apresiasi oleh penonton dapat ditingkatkan melalui proses peningkatan literasi masyarakat terhadap kreativitas. 2. Apresiasi terhadap orang, karya, dan proses kreatif seni pertunjukan, dapat berupa penghargaan, pemberian insentif, dan juga apresiasi terhadap HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Contohnya Tony Awards di Amerika dan Prince Claus Awards di Belanda. Penghargaan seperti ini tidak ada di Indonesia, yang ada hanyalah penghargaan oleh instansi pemerintah (seperti kementerian) atau institusi pendidikan, misalnya penghargaan Institut Kesenian Jakarta terhadap seniman pertunjukan Indonesia. Apresiasi ini dapat ditingkatkan dengan mengomunikasikan seniman dan karyanya kepada masyarakat. Dengan adanya kegiatan apresiasi yang baik maka orang-orang kreatif seni pertunjukan—baik seniman, manajer, maupun teknisi—akan terdorong untuk terus berkreasi, menghasilkan karyakarya, dan pencapaian-pencapaian yang berkualitas.
62
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Penghargaan Internasional Seni Pertunjukan Penghargaan internasional seni pertunjukan yang prestisius di antaranya: Prince Claus Awards Sejak 1997 Prince Claus Fund telah menyerahkan penghargaan tahunan yang disebut Prince Claus Awards kepada seniman, pemikir, dan lembaga budaya, terutama dari Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Karibia untuk bidang kebudayaan dan perkembangan. Lewat Prince Claus Award, organisasi ini ingin memberikan penghargaan kepada para penerimanya atas karya dan pengabdian mereka di bidang sosial dan budaya. John D. Rockefeller 3rd Award John D. Rockefeller 3rd Award adalah penghargaan yang diberikan oleh Asian Cultural Council kepada individu-individu di Asia atau Amerika Serikat yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman internasional, praktik, dan studi di bidang seni rupa atau seni pertunjukan Asia. Penghargaan diberikan bagi prestasi profesional luar biasa dalam rangka memperingati dedikasi John D. Rockefeller 3rd terhadap seni dan budaya Asia. Seniman dan praktisi seni pertunjukan Indonesia penerima penghargaan internasional: Amna S. Kusumo (Direktur Yayasan Kelola), John D. Rockefeller 3rd Award, 2013 Penghargaan diberikan atas kontribusinya untuk menyatukan dunia seni Indonesia yang terpencar-pencar. Amna membawa model program berstandar internasional ke dalam pengelolaan seni di Indonesia dan membuat kebijakan yang mendukung perkembangan kelompok-kelompok seni Indonesia. Yayasan Kelola, organisasi yang didirikannya pada 1999, konsisten memberikan lokakarya tentang pengelolaan festival dan institusi kebudayaan, serta mendorong pertukaran budaya. Teater Garasi, Prince Claus Awards, 2013 Penghargaan atas semangat penjelajahan dan terobosan karya-karya mereka yang merangsang seni pertunjukan di Asia Tenggara; atas karya-karya inovatif mereka yang menggairahkan (vibrant) dan beragam, serta menawarkan pengalaman keterlibatan serta ide-ide yang menantang; atas kemampuan Teater Garasi menerobos batas-batas teater sebagai seni tinggi (high art), menggabungkan yang modern dan yang tradisional, melibatkan publik luas melalui (di dalam) kekuatan seni pertunjukan; dan atas kemampuan Teater Garasi menekankan serta merayakan watak masyarakat Indonesia yang majemuk dan kompleks dalam karya-karya mereka. Alm. Slamet Gundono, Prince Claus Awards, 2005 Penghargaan atas jasanya dalam mengembangkan seni tradisional dengan mengadaptasi idiom dan gaya modern, yang menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan penggerak kuat bagi ekspresi kontemporer. Slamet Gundono adalah seorang dalang interaktif yang memakai unsur humor dan satir dengan cara yang tidak konfrontatif untuk mengeluarkan suara masyarakat marjinal dan populer di kalangan luas. Lewat karyanya, ia menyelidiki masalah-masalah sosial seperti gender, eksploitasi, kefanatikan agama, dan perusakan lingkungan.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
63
Sardono W. Kusumo Distinguished Artist Award dari International Society of Performing Arts (ISPA), 2003 Penghargaan atas pengaruhnya terhadap perkembangan kesenian tradisional dan modern. Sardono memberi warna lain dalam pertunjukan kontemporer, terutama untuk negaranegara Asia Tenggara. Prince Claus Awards, 1997 Penghargaan atas prestasinya sebagai koreografer, penari, dan pembuat film, yang menggabungkan tari tradisional dengan teknik-teknik dan bentuk-bentuk improvisasi tari modern. Sardono menciptakan campuran gerakan yang berakar pada latihan klasik pencak silat Jawa dan tari Keraton dengan gagasan kontemporer teater. Dances of Sumatera: Aceh and Minangkabau, oleh Gusmiati Suid, Gumarang Sakti Dance Company, dan dua kelompok tari dari Aceh, Bessie, New York Dance and Performance Awards, 1991. Penghargaan atas prestasi kreatif luar biasa lewat penampilan di Joyce Theatre, New York, Amerika Serikat, yang menyuguhkan karya tari tradisional (Aceh) dan modern (Sumatera Barat) yang dibangun dari dalam dan di luar batas tradisi budaya klasik musik dan tari Sumatera: Aceh dan Minangkabau.
Proses peningkatan literasi merupakan kunci dari pembinaan penonton (audience development). Pembinaan penonton adalah sebuah proses membina hubungan dengan penonton yang sudah ada (existing audiences) dan menjaring calon penonton (potential audiences) yang dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui program-progam seperti pemasaran dan pendidikan. Terdapat 5 prinsip utama yang dilakukan dalam pembinaan penonton: 1. Merupakan proses jangka panjang; 2. Membutuhkan komitmen organisasi; 3. Melibatkan penonton yang sudah ada (existing audiences) dan calon penonton (potential audiences); 4. Merupakan proses terus-menerus bukan hanya proyek jangka pendek; 5. Memerlukan rencana, evaluasi, dan review untuk setiap kegiatan yang dilakukan. Proses literasi dapat dilakukan melalui: 1. Lembaga pendidikan umum di mana kesenian terintegrasi dalam kurikulum pendidikan nasional, misalnya melalui intra maupun ekstra kurikuler. Kesenian seperti musik atau tari adalah sama pentingnya dengan mata pelajaran lain seperti matematika ataupun ilmu alam; 2. Organisasi nonprofit seperti lembaga kebudayaan lokal dan internasional, contoh: GoetheInstitut, Yayasan Kelola, dan Erasmus Huis; 3. Venue, yang membuat program untuk pembinaan penonton seperti kelas diskusi, kuliah umum, dan artist talk (diskusi dengan seniman); 4. Kegiatan apresiasi oleh komunitas seni pertunjukan berupa riset, pengembangan wacana, publikasi buku, dan lain sebagainya; 5. Media cetak seperti buku, surat kabar, majalah, dan media elektronik. 64
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Festival menciptakan wadah bagi pengembangan wacana teater, karena di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan lain seperti peluncuran buku dan diskusi yang bertujuan meningkatkan tingkat apresiasi teater, baik di kalangan pelaku maupun penonton. Saat ini, literasi mengenai seni pertunjukan, misalnya seni tari, hanya diajarkan di sekolah (pendidikan umum) sebagai pelajaran pilihan, bukan wajib. Apresiasi terhadap seni pertunjukan tidak dibangun sejak dini. Selain itu, walaupun mempunyai daya beli yang tinggi, banyak masyarakat yang masih menganggap seni pertujukan sebagai sesuatu yang eksklusif dan membutuhkan pemahaman khusus untuk mengapresiasi karya.
C.2. Pendidikan Pendidikan adalah proses pembelajaran yang meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap serta perilaku yang sangat berpengaruh pada penciptaan orang kreatif yang terkait dengan seni pertunjukan. Berdasarkan latar belakang pendidikan, seniman pertunjukan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) seniman lulusan institusi pendidikan formal seni; 2) seniman otodidak yang bergabung dengan kelompok atau sanggar seni (institusi nonformal); serta 3) seniman yang mendapat pendidikan baik secara nonformal, maupun formal. Menurut tokoh tari Indonesia, Sal Murgiyanto,22 terdapat empat jenis sumber daya manusia yang diperlukan untuk keberlangsungan seni pertunjukan, yaitu: 1) seniman, baik pelaku maupun pencipta; 2) penonton; 3) pengelola atau penyelenggara pertunjukan; dan 4) kritikus seni. Sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia yang diungkapkan di atas, maka diperlukan lembaga pendidikan yang dapat mendidik calon-calon pelaku seni pertunjukan, sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Institusi pendidikan untuk seni pertunjukan idealnya dapat dibagi menjadi: 1. Pendidikan Seni Pertunjukan Berdasarkan fokus bidang pengajarannya, pendidikan seni pertunjukan dapat dibagi menjadi: •
Pendidikan konservatori, berfokus pada pengembangan keterampilan seni melalui teori dan praktik untuk menciptakan seniman (contoh: aktor, penari, musisi);
•
Pendidikan kajian, yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya untuk menciptakan kritikus, kurator, dan pengkaji.
Tujuan dari pendidikan seni ini adalah berkembangnya seni pertunjukan sebagai ilmu pengetahuan, pengembangan wacana, dan ekplorasi estetika. a. Pendidikan Formal, adalah institusi pendidikan yang disubsidi oleh pemerintah nasional atau daerah: •
Perguruan Tinggi Seni (Diploma, Sertifikat, Sarjana, Pascasarjana) Pendidikan seni pertunjukan Indonesia masih berfokus pada pendidikan akademis dan cenderung melahirkan seniman-seniman birokrat (seniman yang berkarier sebagai akademisi di kampus). Institusi pendidikan tinggi utama di Indonesia,
(22) Sal Murgiyanto, Menuliskan Seni Pertunjukan, Catatan Lokakarya Penulisan Seni Pertunjukan Sesi 1, Yayasan Kelola, 2012.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
65
seperti ISI (Instititut Seni Indonesia) dan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sedangkan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) berada di bawah naungan pemerintah daerah Jakarta. Kurikulum sekolah tinggi seni di Indonesia cenderung berfokus pada penguasaan keterampilan dan teknik, dan mengabaikan muatan kesejarahan serta konteks kultural yang lebih rumit dan substansial. Ada beberapa jenis lembaga pendidikan seni di Indonesia, di antaranya:
66
•
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). IKJ membuka tiga fakultas: Fakultas Film dan Televisi Indonesia (FFTV), Fakultas Seni Rupa, dan Fakultas Seni Pertunjukan. Khusus untuk seni pertunjukan, IKJ menawarkan program studi Diploma 3 Seni Musik, Penata Tari, dan Pemeranan. Sedangkan untuk program studi Strata 1 Seni Musik, Seni Tari, Seni Teater, Etnomusikologi, Antropologi Tari, dan Antropologi Tari peminatan Pengelolaan Seni Pertunjukan. Selain itu, IKJ juga memiliki program pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni Urban dan Industri Budaya yang berfokus pada penguasaan keahlian seni, ilmu dan teknologi serta keahlian pendukung seperti pengelolaan kegiatan, kewirausahaan, hak kekayaan intelektual, dan keahlian komunikasi, serta promosi mutakhir.
•
Universitas Sumatera Utara, merupakan satu-satunya universitas yang memiliki departemen etnomusikologi di Indonesia.
•
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung menawarkan tiga program studi Strata 1 di bidang seni pertunjukan, yaitu program studi Seni Tari, Seni Karawitan, dan Seni Teater; dan satu program studi Diploma 4 Angklung dan Musik Bambu.
•
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta memiliki dua fakultas, yaitu Fakultas Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Untuk Fakultas Seni Pertunjukan, ISI memiliki empat jurusan, yaitu Jurusan Karawitan, Jurusan Tari, Jurusan Etnomusikologi, dan Jurusan Pedalangan yang terbagi menjadi dua program studi yaitu, Program Studi Pedalangan dan Program Studi Seni Teater. Semua jurusan tersebut berada di jenjang Strata 1.
•
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memiliki tiga fakultas untuk tingkat kesarjanaan Strata 1: Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Pertunjukan, dan Fakultas Seni Media Rekam. Fakultas Seni Pertunjukan memiliki jurusan Tari, Karawitan, Teater, Etnomusikologi, Pedalangan, dan Seni musik. Untuk program pascasarjana—di luar program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni dan Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni–sejak 2010, ISI Yogyakarta telah mempunyai program studi Magister Tata Kelola Seni dengan tiga konsentrasi yang terdiri dari: (1) Manajemen Budaya dan Pariwisata, (2) Manajemen Seni Pertunjukan, dan (3) Manajemen Seni Rupa.
•
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), Surabaya. STKW memiliki tiga jurusan di Strata 1 (S1) bidang seni pertunjukan, yaitu Seni Teater, Seni Tari, dan Seni Karawitan. Kurikulum Seni Tari dan Seni Karawitan berorientasi pada kesenian Jawa Timur.
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
•
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, memiliki dua fakultas yaitu Fakultas Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Fakultas Seni Pertunjukan mempunyai lima program studi: Seni Tari, Seni Karawitan, Seni Pedalangan, Sendratasik (seni drama, tari, dan musik) dan Seni Musik yang semuanya berada di jenjang Strata 1.
•
Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang (Sumatera Barat) memiliki Fakultas Seni Rupa dan Desain serta Fakultas Seni Pertunjukan (FSP). FSP memiliki jurusan Karawitan, Tari, Musik dan Teater. FSP juga menawarkan program pascasarjana dengan dua jalur program, yaitu Pengkajian Seni dan Penciptaan Seni. Masing-masing jalur memiliki mata kuliah khusus Manajemen Seni (2 SKS).
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan spesialisasi seni pertunjukan: •
SMK Negeri 8 Surakarta, atau lebih dikenal dengan nama Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, adalah sekolah yang khusus didirikan untuk menjadi konservatorium bagi kesenian karawitan yang ada di daerah Surakarta. SMIK 8 ini telah memiliki lima kejuruan, yaitu Seni Karawitan, Seni Tari, Seni Pedalangan, Seni Musik, dan Seni Teater.
•
SMKN 10 Bandung adalah sekolah kejuruan yang memiliki program khusus Seni Pertunjukan.
•
SMKN 1 Bantul (lebih dikenal sebagai Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) setara sekolah menengah atas yang khusus didirikan untuk menjadi konservatorium bagi kesenian karawitan yang ada di daerah Yogyakarta dan sekitarnya.
•
SMKN 5 Denpasar, awalnya bernama Sekolah Menengah Musik Negeri Denpasar. Adapun program studi yang terdapat di sekolah menengah tersebut adalah program studi Musik Diatonis (modern), Tari, dan Teater Nasional
•
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Negeri Denpasar (SMKI) yang sekarang telah berubah nama menjadi SMKN 23 Sukowati dan berlokasi di kampus Batubulan, Gianyar, Bali. Program studi yang disediakan di sekolah ini adalah program studi Seni Tari, Seni Musik (musik daerah atau karawitan), dan Seni Teater (daerah atau pedalangan).
b. Lembaga pendidikan nonformal, adalah organisasi pendidikan berbentuk kelompok atau sanggar seni yang umumnya dikelola dan didanai oleh swasta atau perorangan, seperti sanggar tari, teater komunitas, dan paguyuban seni. Di luar intitusi pendidikan, pengembangan pengetahuan seni pun dapat diperoleh dari berbagai kegiatan lainnya yang sering diadakan oleh lembaga-lembaga kebudayaan, seperti program magang (internship), residensi seniman (artist residency) serta program pertukaran budaya. Tantangan terbesar bagi seni pertunjukan Indonesia adalah bagaimana membangun medannya (nurturance environment) sendiri, misalnya pendidikan. Kekurangan pendidikan seni di Indonesia di antaranya: 1) pengaturan syarat pendidikan bagi pengajar institut seni mengakibatkan siswa kehilangan kesempatan diajar oleh maestro seni; 2) mayoritas pengajar seni tidak berkarya, sehingga ada kesenjangan antara teori dan praktik (meski menurut sebagian narasumber, antara
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
67
berkreasi dan mengajar adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan); 3) praktik pengajaran seni di Indonesia hanya menekankan pada apresiasi estetika, tidak berusaha memahami seni secara holistik dengan sistem masyarakat penciptanya; 4) pendidikan kesenian yang modernis membuat pelajar sulit mengapresiasi kesenian tradisi.23 Oleh karena itu, pendidikan seni pertunjukan yang diajarkan institusi besar seperti ISI, STSI, dan IKJ diakui tidak cukup memberi calon seniman pertunjukan bekal ilmu yang cukup, sehingga seringkali mereka harus mengambil kelas lokakarya, berjejaring (networking) ke luar negeri dengan biaya sendiri, bahkan menerbitkan publikasi sendiri untuk mendidik masyarakat agar lebih mengapresiasi seni pertunjukan. 2. Pendidikan Manajemen Ilmu manajemen sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan berkesenian yang dilakukan oleh seniman, terutama agar seniman dapat terus berkarya secara berkesinambungan. Pendidikan manajemen dapat dibagai menjadi: • Manajemen seni, yaitu manajemen semua bentuk kesenian dan organisasi seni, termasuk kelompok seni, venue, pameran, konser dan festival; •
Manajemen pertunjukan, mencakup pengetahuan teori dan praktik penyelenggaraan pertunjukan, seperti manajemen proses kreasi, produksi, dan presentasi seni pertunjukan.
Pendidikan manajemen dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu: • Pendidikan formal: perguruan tinggi (sarjana, pascasarjana); •
Nonformal: kursus, pelatihan, dan lokakarya.
Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga pendidikan yang layak untuk bidang manajemen dan teknis seni pertunjukan. Dalam tingkat nonformal, Yayasan Kelola bekerja sama dengan PPM Manajemen (Pendidikan dan Pembinaan Manajemen) untuk mengembangkan modul pelatihan manajemen seni pertunjukan intensif dan sempat melatih ratusan pelaku seni. IKJ pernah membuka program studi manajemen seni pertunjukan dan beberapa lulusannya kini bekerja di berbagai organisasi. 3. Pendidikan Produksi, Desain dan Teknis Pendidikan produksi, desain dan teknis seni pertunjukan mencakup pengetahuan interpretasi, dan teknis penyelenggaraan pertunjukan seperti desain, konstruksi atau pembuatan panggung dan manajemen dalam pengembangan proses produksi. •
Manajemen, seperti manajemen panggung dan manajemen produksi;
•
Desain dan pengoperasian, seperti desain panggung dan kostum, desain dan pengoperasian tata cahaya dan tata suara;
•
Teknis, seperti konstruksi properti dan dekorasi panggung (scenery), dan mekanis backstage.
Pendidikan produksi, desain dan teknis seni pertunjukan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu: •
Pendidikan formal: perguruan tinggi (diploma, sertifikasi).
•
Nonformal: kursus, pelatihan, dan magang.
(23) Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009. 68
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Secara umum, profesi teknisi tata lampu dan suara di Indonesia masih dipandang sebelah mata dan tidak dianggap sebagai profesi yang memerlukan kreativitas. Kebanyakan dari teknisi tersebut belajar sambil bekerja, karena tidak ada pelatihan profesional khusus untuk keahlian tata lampu dan suara. Oleh karena itu, banyak teknisi panggung di Indonesia yang mempunyai keterampilan teknis pas-pasan. Namun, bukan berarti tak ada teknisi panggung di Indonesia yang memiliki kemampuan profesional di bidangnya.
Sertifikasi pengajar Pada beberapa bidang seni tertentu dapat diterapkan sertifikasi pengajar, misalnya sertifikasi yang diberikan kepada pengajar profesional tari untuk teknik tertentu. Ada beberapa sertifikasi pendidikan tari dengan kurikulum baku internasional, seperti dari Commonwealth Society of Teachers of Dancing (CSTD), Royal Academy of Dance London (balet), dan Vaganova (balet Rusia). Namun, sertifikasi seperti ini jika tidak diregulasi dengan baik justru akan memberikan efek yang tidak baik. Misalnya, orang cenderung hanya mengejar sertifikasi tanpa menggubris makna pendidikan sesungguhnya. Selain dari lembaga sertifikasi internasional, sertifikasi untuk pengajar juga seharusnya dapat diberikan oleh lembaga pendidikan nonformal seperti kursus musik, sanggar tari, dan kelompok teater yang telah diakreditasi oleh pemerintah.
International Artist Residency Tidak banyak kelompok seni pertunjukan Indonesia yang melakukan residensi di luar negeri dalam rangka meningkatkan kapasitas organisasi dan keterampilan artistik. Padahal, pertukaran pengetahuan antara seniman Indonesia dan seniman asing terjadi selama residensi. Seniman asing umumnya berbagi pengetahuan dengan cara memberikan lokakarya terkait dengan fokus keahliannya masing-masing, serta melakukan proyek kolaborasi dengan seniman-seniman Indonesia. Saat ini, seniman-seniman asing masih dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan modern dan keterampilan teknis yang lebih maju. Namun, dalam kolaborasi internasional, seniman-seniman Indonesia berpartisipasi setara dengan seniman asing, bukan sebagai seniman tamu yang dianggap eksotis dan berbeda.
Kritikus seni pertunjukan Seni pertunjukan memerlukan lingkungan kritik dan peneliti. Namun karena di Indonesia lingkungan ini belum terbentuk, maka praktisi seni pertunjukan Indonesia menciptakan lingkungan pengkritiknya sendiri. Hal ini didasari atas pemahaman bahwa keberlanjutan gagasan (ideas sustainability) sama pentingnya dengan keberlanjutan ekonomi (financial sustainability), sehingga kesenjangan pengetahuan antar seniman harus diperkecil. Kritikus adalah salah satu pilar penting dalam siklus kehidupan seni pertunjukan. Kritikus yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang genre yang ia ulas dan menawarkan sudut pandang kritis tentang apa yang ia tonton, bukan hanya sekadar menilai pertunjukan tersebut baik atau tidak. Masukan (input) dari kritikus yang baik tidak hanya bermanfaat bagi pendidikan penonton, tetapi juga menjadi masukan bagi sang seniman. Seni pertunjukan yang disukai kebanyakan penonton awam belum tentu mencerminkan kualitas yang baik. Dominasi kebudayaan yang berkembang saat ini masih merupakan dominasi ekonomi, sehingga seringkali pertunjukan yang dinilai bagus adalah pertunjukan yang meriah
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
69
dan spektakuler. Akibatnya, penilaian intrinsik atas karya seni pertunjukan tidak berfokus pada substansi tetapi hanya berdasarkan tampak luarnya belaka. Media massa mempunyai peran besar dalam penciptaan tren. Banyak kritikus seni pertunjukan di Indonesia yang terafiliasi dengan media tertentu, seperti jurnalis dan kritikus lepas (reviewer). Hanya segelintir media yang mendidik jurnalis di bidang seni pertunjukan dengan merekrut orang dengan latar belakang yang tepat (filsafat dan estetika, misalnya). Kebanyakan media menerapkan sistem rotasi di mana para jurnalis wajib berganti rubrik spesialisasinya setiap beberapa bulan. Akibatnya, ada generasi baru wartawan seni Indonesia yang tidak memiliki pengetahuan cukup—atau bahkan buta sama sekali—tentang seni pertunjukan Indonesia, apalagi pertaliannya dengan yang global.
Riset dan ulasan seni pertunjukan Untuk merawat sisi intelektual seni pertunjukan, diperlukan pengembangan wacana melalui penelitian serta ulasan-ulasan seni pertunjukan yang bermutu. Dengan demikian, akan tercipta akumulasi pengetahuan berupa referensi dan ulasan kritis yang ikut membangun dialektika di ruang publik sehingga pengalaman-pengalaman tampil dan menonton tersebut menjadi sebuah sistem pengetahuan. Ulasan dapat ditulis cetak seperti dalam surat kabar, majalah populer; diterbitkan sebagai majalah dan buku khusus, ataupun jurnal akademis atau nonakademis. Ada beberapa jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh jurusan seni pertunjukan (STSI Bandung dan ISI), tetapi penyebarannya masih belum merata. Teater Garasi—dengan bantuan dana dari Hivos—pernah menerbitkan Lebur, jurnal seni pertunjukan, tetapi kini terhenti. Buku-buku tentang kajian seni pertunjukan—baik tulisan para akademisi di bidang ini maupun terjemahan teks-teks kunci internasional—masih terhitung minim, padahal elemen yang membangun wacana ini penting untuk perkembangan praktik seni pertunjukan Indonesia.
D. Pengarsipan Terdapat beberapa organisasi di Indonesia yang menaruh perhatian pada pemeliharaan arsip juga pelestarian praktik seni dan budaya. Namun, dalam pelaksanaannya selalu ada kendala yang menghambat, seperti perubahan sosial yang dapat mengikis seni tradisi dan juga keterbatasan biaya untuk melakukan perawatan arsip dan keterbatasan ruang pamer. Bila keterbatasan ini bisa dilampaui, arsip-arsip tersebut dapat sangat berguna bagi beberapa pemangku kepentingan seperti praktisi, peneliti dan masyarakat luas. Sayangnya, kebanyakan arsip seni pertunjukan—terutama dalam bentuk rekaman atau dokumentasi audio visual—saat ini masih disimpan atau menjadi koleksi pribadi seniman sendiri. Ada beberapa koleksi arsip seni pertunjukan seperti milik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, arsip sejak 1968) atau Yayasan Kelola (arsip sejak 1999) yang dapat diakses publik secara khusus. Arsip DKJ sedang didigitalisasi sementara arsip di Yayasan Kelola masih dikelola secara mandiri dan belum maksimal dimanfaatkan.
70
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
The New York Public Library for The Performing Arts Sumber: Wikipedia
New York Public Library for the Performing Arts, Dorothy and Lewis B. Cullman Center The New York Public Library for the Performing Arts (NYPL) adalah salah satu perpustakaan yang memiliki koleksi terlengkap—termasuk sirkulasi, referensi, dan arsip langka—di bidang seni pertunjukan. Selain memiliki materi yang dapat diakses dengan gratis, NYPL juga menyelenggarakan beragam program khusus, termasuk pameran, seminar, dan pertunjukan. Jenis materi yang ada mencakup nonbuku seperti rekaman sejarah, kaset video, manuskrip, korespondensi, notasi musik, desain panggung, kliping, buku program, poster, dan foto-foto. Di samping koleksi-koleksi tersebut, ada juga koleksi penelitian yang didanai oleh pemerintah kota New York dan swasta. Sumber: www.nypl.org
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
71
2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan 2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan Peta industri adalah peta yang menggambarkan hubungan antar pelaku dan entitas usaha yang membentuk industri utama, mulai dari proses kreasi hingga ekshibisi atau presentasi, serta pelaku dan entitas pendukung yang memberikan suplai pada pelaku dan entitas usaha di industri utama (backward linkage) dan entitas pendukung yang memberikan permintaan (demand) kepada pelaku dan entitas usaha industri utama (forward linkage). Sifat seni pertunjukan yang serba multidisiplin dan kerap multimedia membuat proses produksi karya seni pertunjukan selalu melibatkan banyak orang (baik seniman perancang, penampil maupun teknisi). Sementara itu, karena watak seni pertunjukan yang langsung (live), di sini dan kini, maka proses konsumsi atau resepsinya pun mesti melibatkan sejumlah pelaku yang sama banyaknya dengan proses produksinya. Konsekuensi ekonomis dari watak seni pertunjukan yang seperti itu membuat biaya produksi dan distribusi karya seni pertunjukan menjadi relatif besar. Dibandingkan dengan film, misalnya, proses produksi film juga melibatkan banyak pelaku, tetapi karena watak karya film sebagai (berada di dalam) medium terekam maka proses distribusinya– setelah proses penciptaan (perekaman dan pengeditan) selesai–menjadi lebih ringan dan lebih mudah ketimbang seni pertunjukan. Kerangka ekonomi dan industri kreatif atas seni pertunjukan mesti menimbang dan bertolak dari watak dasar seni pertunjukan tersebut.
Konsekuensi ekonomis dari watak seni pertunjukan membuat biaya produksi dan distribusi karya seni pertunjukan menjadi relatif besar A. Pelaku Industri dalam Proses Kreasi Pada industri utama seni pertunjukan, proses awal penciptaan karya dimulai dari proses kreasi. Dalam awal proses kreasi, para seniman pencipta adalah pelaku yang kaya akan ide dan merupakan sumber pengetahuan dalam perwujudan karya yang kemudian dituangkan menjadi konsep atau rancangan pertunjukan. Konsep dan rancangan pertunjukan ini bentuknya bermacam-macam; untuk seorang penulis naskah misalnya, konsep ide dituangkan ke dalam naskah drama. Naskah drama ini kemudian dapat dicetak menjadi sebuah buku dan diterbitkan. Untuk seorang komposer, konsep dan rancangan musiknya dituangkan dalam bentuk notasi (music score). Lembaranlembaran music score ini juga dapat dicetak menjadi buku dan diterbitkan. Oleh karena itu, industri penerbitan dan percetakan merupakan industri forward linkage yang disuplai oleh karya buku yang ditulis oleh seniman pencipta. Contoh entitas usaha yang menjual buku-buku/notasi-notasi musik misalnya Boosey & Hawkes (www.boosey.com), yang saat ini menjadi penerbit utama notasi-notasi musik klasik Barat yang digunakan oleh musisi klasik Indonesia.
72
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Gambar 2 - 3 Peta Industri Seni Pertunjukan
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
73
Sejak 2014, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2013-2015 mulai menerbitkan enam seri Antologi Musik, berupa buku notasi (music score) karya para komponis Indonesia yang dibagi ke dalam tema-tema (musik klasik Barat, musik untuk seriosa, musik untuk ilustrasi film, dan lain sebagainya). Gagasan-gagasan kreatif yang ada di kepala sutradara kerap menyimpan banyak hal yang menarik, seperti: sumber inspirasi kreatif, alasan dan orientasi penciptaan, sampai pendekatanpendekatan kreatif yang digunakan dalam mewujudkan ide-ide tersebut. Karena itu, banyak sutradara menuliskan gagasan dan proses kreatifnya baik dalam bentuk esai (tulisan panjang) atau sketsa-sketsa yang menjelaskan gagasan atau pendekatan kreatif mereka. Banyak dari kumpulan tulisan gagasan atau pendekatan kreatif yang diterbitkan sebagai buku, sehingga bisa menjadi panduan belajar bagi mahasiswa maupun sutradara-sutradara muda. Buku semacam The Empty Space dan Shifting Point yang merupakan kumpulan tulisan gagasan dan pendekatan kreatif sutradara teater terkemuka dari Inggris, Peter Brook, misalnya, terus mengalami cetak ulang. Lain halnya dengan seorang aktor seni pertunjukan, kemampuan aktingnya yang matang kerap kali diperlukan untuk mendukung industri film ataupun televisi, baik sebagai pemain film maupun sebagai pelatih akting (acting coach). Di Jakarta, misalnya, Wendy Nasution (aktor Teater Mandiri) dan Norman Akyuwen (aktor dan penulis Teater Stock), banyak terlibat di industri film sebagai acting coach. Generasi selanjutnya, seperti Joind Bayuwinanda, yang dengan kelompoknya memenangkan Festival Teater Jakarta hingga dua kali, menjadi acting couch untuk produksi drama musikal.
B. Pelaku Industri dalam Proses Produksi Pada tahapan produksi, seniman pencipta (sutradara, koreografer, dan komposer) membutuhkan peran perancang (desainer) untuk merealisasikan dan mengembangkan gagasan penciptaan mereka ke dalam ruang dan lokasi (set dan dekorasi), suasana serta mood peristiwa (cahaya dan atau musik ilustrasi), kostum, dan lain sebagainya, sehingga menyusun peristiwa-peristiwa pertunjukan (adegan) yang lengkap dan meyakinkan. Perancang utama yang diperlukan dalam produksi di antaranya perancang panggung (set designer atau skenografer), perancang tata cahaya (lighting designer), perancang tata suara (sound designer atau sound engineer), dan perancang kostum dan properti. Para perancang dan seniman pencipta (sutradara, komposer, koreografer) yang terlibat dalam proses produksi ini berada dalam platform kerja tim yang dipimpin oleh produser. Dalam banyak kasus, seniman pencipta utama (sutradara, komposer, koreografer) kerap menjadi produser yang dibantu oleh produser pelaksana untuk mengorganisir proses produksinya. Siapapun yang menjadi produser, yang jelas ia bertugas untuk mengoordinasikan proses produksi. Oleh karena itu, produser membutuhkan pihak-pihak lain yang dapat mendukung terwujudnya konsep dan rancangan suatu pertunjukan. Pihak-pihak lain yang memberi bantuan dalam perwujudan rancangan produksi ini disebut sebagai industri pendukung (backward linkage), yang terdiri atas berbagai entitas usaha penyedia jasa, seperti jasa penyewaan (alat pencahayaan panggung, sound system, alat musik, juga teknisi tata cahaya dan suara, serta studio latihan); jasa pembuatan (panggung, kostum dan props, jasa tata rias dan rambut); penjual wig; dan jasa desain komunikasi visual (yang diperlukan untuk membantu promosi pertunjukan).
74
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
C. Pelaku Industri dalam Proses Distribusi Seperti yang telah disampaikan di bab awal, karena watak seni pertunjukan yang langsung (live), maka proses penikmatannya (konsumsi) juga berlangsung secara kini dan di sini (hic et nunc). Hal ini membuat proses distribusinya relatif lebih kompleks jika dibanding dengan disiplin seni lain seperti yang terekam (film atau musik rekaman), atau tertulis (sastra), atau material (seni rupa: lukis, patung, instalasi). Akan tetapi, dalam konteks pemasaran, sebagai awal proses distribusi karya seni pertunjukan maka pelaku utama yang kerap mengambil peran adalah produser atau manajer seniman atau manajer kelompok. Seperti telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya, manajer dapat berdiri sebagai entitas sendiri seperti agensi (promotor) atau tergabung dengan perwakilan produser seperti manajer kelompok. Produser yang berupa kelompok (kelompok teater, sanggar tari, grup musik) biasanya menggunakan manajer yang berdiri sebagai entitas terpisah dari kelompok untuk mendistribusikan karya, sedangkan produser yang berupa perusahaan besar biasanya mempunyai fungsi manajer yang sudah menjadi bagian dari produser itu sendiri, seperti general manager. Baik manajer kelompok atau produser, peran penting di awal proses produksi adalah mengidentifikasi pasar yang tepat untuk karya seni pertunjukannya. Pasar itu bisa berarti festival yang kerangka kuratorialnya relevan dengan watak karya atau acara yang cocok dengan watak karya. Jika pasar yang dimaksud adalah festival, maka peran produser atau manajer kelompok adalah mempertemukan seniman atau karya seni pertunjukan dengan kurator atau direktur festival yang kerangka serta selera artistiknya relevan. Dalam kerangka ini, peran yang dibutuhkan adalah semacam mak comblang (match maker) untuk karya atau seniman pertunjukan. Karena itu, pengetahuan atas pasar (market knowledge) sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini. Selain itu, untuk mendukung proses distribusi ini, maka manajer memerlukan dukungan industri media (cetak, elektronik, digital) untuk mempromosikan dan memasarkan karya seni pertunjukan. Promosi pertunjukan yang dilakukan oleh manajer kemudian ditindaklanjuti oleh agen penjualan tiket sebagai pengelola box office. Walaupun demikian, tidak semua pertunjukan menggunakan agen penjualan tiket sebagai pengelola tiket masuk. Hal ini tergantung dari skala produksi yang dilakukan dan banyaknya tiket yang dijual. Untuk pertunjukan skala kecil dan menengah, penjualan tiket biasanya dilakukan in-house oleh pihak manajer kelompok. Atau, apabila presenter yang dituju mempunyai program dan sistem box office, maka penjulan tiket dilakukan oleh presenter, seperti yang dilakukan oleh Komunitas Salihara untuk setiap pertunjukan yang diselenggarakannya.
D. Pelaku Industri dalam Proses Presentasi Presenter adalah pelaku utama dalam proses produksi. Presenter yang berada dalam industri utama seni pertunjukan adalah venue (gedung pertunjukan yang selayaknya dikuratori khusus), sedangkan presenter berupa program (festival) merupakan industri yang didukung oleh presentasi karya di venue (forward linkage). Sebab, festival sendiri merupakan industri lain yang kebutuhan penyelenggaraannya membutuhkan sumber daya yang berbeda dengan penyelenggaraan pertunjukan itu sendiri. Begitu pun halnya dengan stasiun televisi. Pada saat suatu pertunjukan dipentaskan, terdapat entitas-entitas usaha lain yang mendukung kegiatan pementasan (backward linkage) seperti jasa rekaman audio/video, produser DVD, jasa dokumentasi, dan merchandiser.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
75
2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Seperti telah dijabarkan di dalam uraian-uraian sebelumnya, jelaslah bahwa seni pertunjukan Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai ‘industri’ dalam pengertian yang ‘ideal’ seperti yang dicangkok dari konteks negara tertentu, misalnya, Inggris Raya yang menyatakan bahwa industri seni pertunjukan meliputi usaha fasilitas venue dan pekerjanya, usaha (kelompok seni) kecil dan para pekerja lepas di sektor teater, tari, opera, dan industri pertunjukan musik (termasuk pertunjukan musik klasik, pop, rock dan genre musik kontemporer lainnya). Termasuk pula para pekerja atau profesi yang bekerja di dalamnya seperti penampil (performer), promotor, dan para teknisi dan staf administrasi, tidak termasuk industri musik rekaman dan pekerjaan-pekerjaan yang terkait di dalamnya (Blueprint Performing Art UK , 2010). Untuk bisa mencapai tahapan industrial, banyak rantai produksi dan distribusi yang harus dilengkapi berdasarkan modelling yang ditawarkan di atas dan dijabarkan pada bagian sebelumnya.
Sebagai sebuah model ideal, ruang lingkup subsektor industri seni pertunjukan bisa mencakup tenaga kerja yang bekerja di dalam sektor ini, seperti misalnya di gedung-gedung pertunjukan (venue), kelompok kesenian (kolektif, sanggar), serta pekerja lepas di dunia tari, teater dan musik nonrekaman (baik seniman penampil, promotor, staf administrasi dan manajemen dan teknisi). Jika mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) bidang Ekonomi Kreatif 2009, maka seni pertunjukan didefinisikan sebagai kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi pertunjukan (misalnya: pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik), desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan. KBLI Seni Pertunjukan pun dibagi ke dalam kelompok-kelompok kode industri yaitu: Kode 79990: Jasa Reservasi Lainnya ybdi (yang berhubungan dengan itu) dan ytdl (yang tidak diklasifikasikan di tempat lain) Kelompok ini mencakup usaha jasa perjalanan wisata lainnya yang belum termasuk pada subgolongan 7991 s.d. 7993, seperti penyediaan jasa pemesanan lainnya yang berkaitan dengan perjalanan, seperti transportasi, hotel, restoran, sewa mobil, kegiatan hiburan dan olahraga; penyediaan jasa time share exchange (akomodasi); kegiatan penjualan tiket untuk acara tertentu seperti teater, olahraga dan acara hiburan, pertunjukan seni budaya, serta kunjungan obyek dan daya tarik wisata dan kesenangan lainnya dan kegiatan ybdi ytdl. Kode 90001: Kegiatan Seni Pertunjukan Kelompok ini mencakup kegiatan atau usaha menyelenggarakan pertunjukan kesenian dan hiburan panggung, seperti pertunjukan drama, pagelaran musik, opera, sandiwara, perkumpulan
76
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
kesenian daerah (wayang orang, lenong), jasa hiburan band, orkestra dan sejenisnya. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti panggung, televisi, dan radio. Kode 90002: Kegiatan Pekerja Seni Kelompok ini mencakup kegiatan pekerja seni, seperti novelis, penulis cerita, dan pengarang lainnya, aktor, penyanyi, penari sandiwara, penari, dan seniman panggung lainnya yang sejenis. Termasuk pula usaha kegiatan produser radio, televisi, dan film, pelukis, kartunis dan pemahat patung. Kode 90003: Jasa Penunjang Hiburan Kelompok ini mencakup usaha jasa penunjang hiburan, seperti jasa juru kamera, juru lampu, juru rias, penata musik, dan jasa peralatan lainnya sebagai penunjang seni panggung. Kode 90004: Jasa Impresariat Bidang Seni Kelompok ini mencakup kegiatan pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan baik yang berupa mendatangkan, mengirim, maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu, dan jenis hiburan. Kegiatan usaha jasa impresariat pada kelompok ini khusus bidang seni. Misalnya Java Musikindo. Kode 93191: Promotor Kegiatan Olahraga Kelompok ini mencakup kegiatan pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan, baik yang berupa mendatangkan, mengirim, maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu dan jenis hiburan. Kegiatan usaha jasa impresariat pada kelompok ini khusus bidang olahraga. Dalam ruang lingkup industri seni pertunjukan yang dikemukakan oleh negara Inggris dalam Blueprint Performing Art UK 2010, ditemukan elemen-elemen profesi atau usaha utama dalam seni pertunjukan, yaitu: 1. Usaha fasilitas gedung pertunjukan (venue) dan pekerjanya; 2. Usaha kelompok kesenian (kolektif, sanggar); 3. Usaha pekerja lepas di dunia tari, teater dan musik nonrekaman, yang mencakup: a. Seniman penampil b. Promotor c. Staf administrasi dan manajemen d. Teknisi Sementara itu, dari definisi seni pertunjukan yang tercantum pada KBLI Ekonomi Kreatif 2009 dan ruang lingkup industrinya, usaha-usaha utama yang muncul adalah: 1. Jasa reservasi, mencakup penjualan tiket pertunjukan; 2. Kegiatan seni pertunjukan, mencakup penyelenggaraan pertunjukan/festival; 3. Kegiatan pekerja seni, mencakup seniman penampil; 4. Jasa penunjang hiburan, mencakup usaha penunjang teknis penyelenggaraan pertunjukan; 5. Jasa impresariat bidang seni, mencakup promotor seni pertunjukan; 6. Promotor kegiatan olahraga.
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
77
Membandingkan antara keduanya, maka terdapat perbedaan mencolok, yaitu tidak adanya klasifikasi usaha fasilitas gedung pertunjukan (venue) dalam KBLI Ekonomi Kreatif 2009, padahal fasilitas gedung pertunjukan merupakan elemen usaha penting dalam penyelenggaraan pertunjukan. Dalam kode 4 digit KBLI 2009, subgolongan kode 9000 Kegiatan Hiburan, Kesenian dan Kreativitas mencakup: •
Proses produksi dari persembahan teater yang disajikan secara langsung, konser dan opera atau tari serta proses produksi dari pertunjukan panggung lainnya, seperti kegiatan kelompok sirkus atau kegiatan sejenis, pertunjukan orkestra atau band dan kegiatan artis perorangan, seperti penulis, aktor, sutradara, produser, musisi, penceramah atau ahli pidato, pendesain dan pembangun panggung pertunjukan;
•
Kegiatan operasional ruang konser dan ruang teater serta fasilitas seni lainnya;
•
Kegiatan dari pemahat, pelukis, kartunis, pengukir, pengetsa, dan lain-lain;
•
Kegiatan penulis, untuk semua subjek mencakup penulis fiksi, penulis teknis dan lain-lain;
•
Kegiatan jurnalis independen;
•
Kegiatan memperbaiki atau restorasi hasil karya seni seperti lukisan dan lain-lain.
•
Kegiatan produser atau wirausaha seni pertunjukan,dengan atau tanpa fasilitas.
Terlihat dari cakupan subgolongan 9000 diatas, bahwa “Kegiatan operasional ruang konser dan ruang teater” termasuk di dalamnya. Namun, kegiatan ini tidak dikembangkan menjadi kode 5 digit, karena di lapangan usaha ini dianggap jumlah dan perkembangannya di Indonesia tidak signifikan. Agar perhitungan kontribusi ekonomi seni pertunjukan Indonesia dapat dilakukan secara komprehensif di semua elemen usaha, maka pemerintah sebaiknya membuat kode 5-digit untuk usaha kegiatan operasional ruang konser dan ruang teater (fasilitas gedung seni pertunjukan atau venue). Klasifikasi lapangan usaha bidang seni pertunjukan yang digunakan saat ini memang belum sepenuhnya mencerminkan realitas paling mutakhir dari situasi Indonesia. Namun, klasifikasiklasifikasi tersebut tetap diuraikan di sini sebagai panduan informasi yang terbuka untuk masukan-masukan di masa depan.
2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan Dengan tiadanya infrastruktur kesenian yang memadai, seniman Indonesia harus memaksimalkan kreativitasnya agar proses kreatifnya tetap berlangsung. Pendanaan adalah salah satu hambatan dalam mewujudkan kreativitas. Untuk itu, para seniman Indonesia mencoba beberapa pendekatan yang dalam konteks penulisan buku ini didefinisikan sebagai model bisnis. Pendekatan kolektif terhadap kreativitas melalui pengembangan kelompok lebih mampu diadopsi dalam mengembangkan model bisnis atau kewirausahaan, baik model bisnis kreatif dan tradisional.24 Pendekatan ini kemudian dihubungkan dengan pemikiran bahwa wirausahawan budaya (cultural enterpreneur) adalah individu yang tidak hanya mampu mengidentifikasi dan mengembangkan (24) G. Akehurst, J.M.Comeche, dan M.A. Galindo, Job satisfaction and commitment in the entrepreneurial SME, Small Business Economics, Vol. 32, hlm. 277-89, 2009. 78
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
peluang-peluang artistik, tetapi juga mampu menyampaikan nilai artistik tersebut kepada penonton dan mengomunikasikannya secara efektif baik dalam konteks lokal atau internasional. Kelompok seni pertunjukan yang mampu berkembang dan berkelanjutan secara finansial pada umumnya memiliki pengetahuan dasar yang kuat, dan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang dan mempunyai jejaring yang luas. Secara umum, ada beberapa contoh model bisnis di dalam seni pertunjukan, beberapa diantaranya juga diterapkan oleh para seniman kita, antara lain: •
Kelompok seni yang disubsidi penuh oleh pemerintah melalui sistem pendanaan untuk kesenian, seperti Singapore Dance Theatre (SDT) yang memang dibentuk sebagai flagship company. Selain bersandar pada subsidi pemerintah, biasanya arts company model ini juga mencari sponsor eksternal berupa donatur-donatur individual (patron) ataupun korporasi. Sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki kelompok kesenian nasional seperti ini.
•
Gedung pertunjukan (venue) komersial. Saat ini gedung-gedung pertunjukan utama di Indonesia kepemilikannya masih didominasi oleh pemerintah, yang seharusnya beroperasi secara nonkomersial. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Gedung-gedung pertunjukan milik pemerintah ini menetapkan biaya sewa dan retribusi yang sangat tinggi sehingga mudah untuk memasukkannya ke dalam kategori komersial (lihat Bab 2.1.2.A.4: Proses Presentasi untuk penjelasan lebih detail).
•
Promotor. Berbeda dengan promotor seni pertunjukan yang saat ini belum ada di Indonesia, promotor pertunjukan musik populer sudah berkembang menjadi sebuah industri yang menjanjikan karena adanya permintaan pasar yang terus-menerus akan pertunjukan musik populer, seperti Java Musikindo. Di luar negeri, usaha promotor seni pertunjukan sudah lebih berkembang, sebagai contohnya adalah From Sweden Production (www. fromswedenproductions.com) yang mempromosikan karya-karya seni pertunjukan Swedia, terutama pertunjukan musik klasik ke luar negeri. From Sweden Production menawarkan beragam jasa bagi kliennya, mulai dari strategi penggalangan dana, branding, public relation (PR), pemasaran, konsultasi, manajemen, hingga promosi sebuah konser, festival, dan event yang berhubungan dengan Swedia.
•
Kelompok seni yang dikelola oleh tim kecil (seperti kelompok teater atau tari) contohnya: •
Teater Koma yang berdiri pada 1977 adalah satu-satunya kelompok teater nonprofit yang masih aktif berkarya hingga saat ini (dua pertunjukan per tahun). Meskipun tidak berbentuk perusahaan, Teater Koma tetap menjalankan sistem manajemennya dengan profesional. Para anggotanya paham bahwa mereka tidak dapat hidup dari penghasilan teater, sehingga mereka tidak mengandalkan honor dari pementasan. Sebagian besar memiliki pekerjaan lain di luar teater. Pendapatan Teater Koma di setiap pementasannya adalah dari penjualan tiket, yang rata-rata tingkat penjualannya sebesar 80 persen, hal yang sangat jarang ditemui di kelompok-kelompok teater lainnya. Dengan harga tiket berkisar Rp75.000–300.000 untuk umum dan Rp50.000 untuk mahasiswa, Teater Koma kerap kali berpentas di Graha Bhakti Budaya (800 kursi). Selain dari penjualan tiket, sumber pendanaan Teater Koma juga berasal dari: ɽɽ Sponsor korporasi seperti Unilever, Djarum Foundation, dan perusahaanperusahaan lain yang memberikan kontribusi in-kind. Kekuatan Teater Koma terletak pada para simpatisan, donatur, dan sponsornya. Setiap anggota harus bisa berpromosi, menjadi humas dan menjual tiket di lingkaran komunitas diluar
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
79
komunitas seniman. Prinsip ‘menjemput bola’ adalah prinsip yang dijalankan Teater Koma dalam membinapenonton (audience development). ɽɽ
Honor diskusi di sekolah-sekolah yang mempunyai ekstrakurikuler teater yang kuat seperti di Al Izhar, Pelita Harapan, dan JIS.
ɽɽ
Undangan korporasi-korporasi besar untuk tampil di acara perayaan korporasi.
ɽɽ
Kerjasama program Akhir Pekan dengan Museum Nasional.
Teater Koma saat memainkan peran dalam lakon Sampek Engtay di Gedung Kesenian Jakarta, 13 Maret 2013. Foto: Fernando Randy, VIVAnews
80
•
Gigi Art of Dance (GAOD), Jakarta—dance company. Agar dapat berkelanjutan secara finansial, GAOD mempunyai 3 lini usaha, yaitu: 1) edukasi (kursus tari ekstensif), 2) kelompok tari (dance company) baik untuk jasa komersial maupun pendidikan lanjut bagi siswa kursusnya; 3) Gigi Foundation. Pendapatan dari masing-masing lini usaha dapat digunakan untuk mensubsidi silang.
•
Namarina Jakarta adalah sekolah tari balet klasik Barat (kursus ekstensif ) yang mengajarkan gaya Inggris. Didirikan oleh almarhum Nani Lubis, Namarina juga membuka kelas jazz dance dan teknik tari Barat lainnya. Namarina juga menerbitkan sertifikasi tari internasional bekerjasama dengan Royal Ballet.
•
Papermoon Puppet Theatre Yogyakarta, sebagai kelompok teater melakukan subsidi silang dari pentas-pentas di luar negeri, tur, festival dan berjualan merchandise (secara online, maupun pada saat pementasan).
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Choreography Night Dance for Earth 2014, sebuah showcase tahunan yang diselenggarakan oleh Gigi Art of Dance sebagai platform untuk menunjukkan kreasi para koreografer pemula Sumber: Gigi Art of Dance
Pementasan produksi “Namarina Ballet & Jazz School”: La Fille mal gardée, 3 Mei 2014, Graha Bhakti Budaya Sumber: Namarina
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
81
•
Sumber Cipta, sekolah tari yang didirikan oleh Farida Oetoyo–balerina lulusan Bolshoi Academy (Moskow)–yang mengajarkan tari klasik balet gaya Rusia (Vaganova), tari jazz, dan kontemporer Barat. Sekolah ini juga memiliki Kreativitaet Dance Company, sebuah kelompok tari yang sesekali berproduksi sebagai latihan kreatif para murid seniornya. Setelah Farida meninggal dunia pada Mei 2014 lalu, sekolah ini dipimpin oleh anaknya, koreografer Yudi Sjuman (lulusan Folkwang Tanzschule, Essen, Jerman) yang juga berafiliasi dengan sekolah musik yang didirikan oleh putra Farida lainnya, Aksan Sjuman.
•
Teater Garasi, di samping mendapatkan hibah institusional dari lembaga donor internasional Seperti Hivos (Belanda) dan Open Society Institute (Amerika), juga membuka kelas keaktoran sebagai bagian dari Garasi Performance Institute. Sebagaimana kelompok lain, pendapatan dari pentas-pentas Teater Garasi di luar negeri juga menjadi subsidi silang untuk lembaga. Seniman-seniman Teater Garasi pun banyak terlibat dalam proyek proyek serta produksi perunjukan lain (baik nasional maupun internasional) dengan ketentuan: honor yang didapat dari pekerjaan di luar Teater Garasi didonasikan sebagian untuk kelompok.
•
Padneçwara, sebuah sanggar tari tari klasik Jawa aliran Surakarta yang didirikan oleh penari dan koreografer Retno Maruti sejak 1976 di Jakarta. Berbentuk sanggar informal, Padneçwara membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin belajar tari klasik Jawa ala Surakarta tanpa bayaran. Prinsip ini dipercaya oleh Retno Maruti untuk meneladani salah satu gurunya, KRT Kusumokesowo, empu tari Jawa Kraton Surakarta pada era 1950 sampai 1960-an. Padneçwara menarik minat kelas menengah Jakarta yang berlatih secara tekun di bawah bimbingan Maruti yang berusaha untuk menciptakan dan memanggungkan paling tidak satu karya drama tari setiap tahunnya. Untuk merealisasikan produksinya, Maruti bergantung pada donatur pribadi dan korporasi. Meski berformat sanggar, mutu artistik karya-karya yang lahir di bawah payung Padneçwara dinilai profesional.
Retno Maruti dan para penari Pandeçwara dalam Abimanyu Gugur, memperingati ulang tahun Padneçwara ke-38 di Gedung Kesenian Jakarta Foto: Danny Tumbelaka
82
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Poster pertunjukan tari Kreativitat Dance di Salihara, 2010. Sumber: Sumber Cipta
BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia
83
84
Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah Kuliner 2015—2019
BAB 3 Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
85
3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan Seni pertunjukan merupakan potensi ekonomi kreatif yang besar bagi Indonesia, baik yang berupa dampak ekonomi langsung (direct economic benefit) dan dampak ekonomi tidak langsung (indirect economic benefit). Oleh karena itu, perlu dilakukan pendataan yang spesifik terhadap kontribusi ekonomi seni pertunjukan Indonesia. Kontribusi seni pertunjukan terhadap perekonomian dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu kontribusi ekonomi berdasarkan produk domestik bruto, ketenagakerjaan, aktivitas perusahaan, konsumsi rumah tangga, dan berdasarkan kontribusi terhadap ekspor nasional. Secara umum kontribusi ekonomi subsektor seni pertunjukan dapat dilihat pada Tabel 3-1. Tabel 3 - 1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013
INDIKATOR
SATUAN
2010
2011
2012
2013
RATA RATA
1,897.53
2,091.25
2,294.11
2,595.32
2,219.55
1 BERBASIS PRODUK DOMESTIK BRUTO a
Nilai Tambah Subsektor (ADHB)*
Miliar Rupiah
b
Kontribusi Nilai Tambah Subsektor Terhadap Ekonomi Kreatif (ADHB)
Persen
0.40
0.40
0.40
0.40
0.40
c
Kontribusi Nilai Tambah Subsektor Terhadap Total PDB (ADHB)*
Persen
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
d
Pertumbuhan Nilai Tambah Subsektor (ADHK)**
Persen
-
2.72
2.98
6.88
4.19
2 BERBASIS KETENAGAKERJAAN a
Jumlah Tenaga Kerja Subsektor
Orang
72,010
75,494
78,131
79,258
76,223
b
Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja terhadap Ketenagakerjaan Sektor Ekonomi Kreatif
Persen
0.63
0.65
0.66
0.67
0.65
c
Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja terhadap Ketenagakerjaan Nasional
Persen
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
d
Pertumbuhan Jumlah Tenaga Kerja Subsektor
Persen
-
4.84
3.49
1.44
3.26
e
Produktivitas Tenaga Kerja Subsektor
Ribu Rupiah/ Pekerja Pertahun
26.351
27,701
29,362
32,745
29,039.90
22,237
22,859
23,488
24,236
23,205
3 BERBASIS AKTIVITAS PERUSAHAAN a
Jumlah Perusahaan Subsektor
Perusahaan
b
Kontribusi Jumlah Perusahaan terhadap Jumlah Perusahaan Ekonomi Kreati
Persen
0.42
0.43
0.44
0.45
0.43
c
Kontribusi Jumlah Perusahaan terhadap Total Usaha
Persen
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
d
Pertumbuhan Jumlah Perusahaan
Persen
2.80
2.75
3.18
2.91
e
Nilai Ekspor Subsektor
Juta Rupiah
252,880
253,521
259,318
254,195
86
251,059
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
INDIKATOR
SATUAN
2010
2011
2012
2013
RATA RATA
f
Kontribusi Ekspor Subsektor Terhadap Ekspor Sektor Ekonomi Kreatif
Persen
0.26
0.24
0.23
0.22
0.24
g
Kontribusi Ekspor Subsektor Terhadap Total Ekspor
Persen
0.02
0.01
0.01
0.01
0.01
Persen
-
0.73
0.25
2.29
1.09
1,506,915
1,742,645
2,024,875
2,407,812
1,920,562
h
Pertumbuhan Ekspor Subsektor
4
BERBASIS KONSUMSI RUMAH TANGGA
a
Nilai Konsumsi Rumah Tangga Subsektor
b
Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga Persen Subsektor terhadap Konsumsi Sektor Ekonomi Kreatif
0.23
0.25
0.26
0.28
0.25
c
Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga terhadap Total Konsumsi Rumah Tangga
0.04
0.04
0.05
0.05
0.04
Juta Rupiah
Persen
*ADHB: Atas Dasar Harga Berlaku **ADHK: Atas Dasar Harga Konstan Sumber: Badan Pusat Statistik 2013, diolah
Seni pertunjukan merupakan potensi ekonomi kreatif yang besar bagi Indonesia, baik yang berupa dampak ekonomi langsung (direct economic benefit) dan dampak ekonomi tidak langsung (indirect economic benefit).
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
87
3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB) Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS yang dapat dilihat di Gambar 3-1, subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi sebesar 0,4% terhadap total PDB Industri Kreatif. Nilai ini berada di urutan kedua terbawah setelah Seni Rupa dari 15 subsektor industri kreatif. Berdasarkan nilai rata-rata pertumbuhan NTB 2010-2013, maka pertumbuhan pada subsektor seni pertunjukan sebesar 4,20%, berada di bawah laju rata-rata pertumbuhan ekonomi kreatif 5,08% dan pertumbuhan nasional 6,15%. Walaupun demikian, seni pertunjukan mengalami peningkatan pertumbuhan yang sangat drastis dari 2,98% pada 2012 dan 6,89% pada 2013. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh banyaknya kegiatan dan festival seni pertunjukan berskala internasional yang dilakukan di Indonesia pada 2012-2013, di antaranya: Indonesian Dance Festival (2012), Solo Internasional Performing Arts (2012), Indonesia Performing Art Mart (2013) serta Art Summit Indonesia (2013). Nilai Tambah Bruto (NTB) subsektor seni pertunjukan pada 2013 maka bernilai Rp2,6 triliun. Gambar 3 - 1 Nilai Tambah Seni Pertunjukan
Sumber: Badan Pusat Statistik
88
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan Subsektor seni pertunjukan menyerap tenaga kerja sebesar 0,67% dari total tenaga kerja industri kreatif, yaitu sejumlah 79.258 orang. Angka kontribusi tersebut berada di peringkat ketujuh dari 15 subsektor industri kreatif. Seperti dapat dilihat pada Gambar 3-2, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja subsektor seni pertunjukan sejumlah 3.26%, di atas tingkat pertumbuhan ekonomi kreatif yang sebesar 1,09% dan juga pertumbuhan nasional sebesar 0,79%. Gambar 3 - 2 Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan
Sumber: Badan Pusat Statistik
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
89
3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan Gambar 3 - 3 Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan Gambar 3-3, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi 0,45% terhadap total unit usaha industri kreatif. Dengan kontribusi tersebut, subsektor seni pertunjukan berada di peringkat ketujuh dari 15 subsektor. Angka pertumbuhan rata-rata tenaga kerja seni pertunjukan sebesar 2,91%, dan berada di atas rata-rata pertumbuhan unit usaha ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan, yang masing-masing sebesar 0,98% dan 1,05%. Terdapat 24.236 unit usaha seni pertunjukan pada 2013.
90
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah Tangga Gambar 3 - 4 Jumlah Nilai Konsumsi Rumah Tangga untuk Seni Pertunjukan
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan gambar 3-4, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi 0,28% atau sebesar Rp2,4 triliun terhadap total konsumsi rumah tangga industri kreatif. Kontribusi tersebut berada di posisi kesembilan dari 15 subsektor industri kreatif. Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga di subsektor seni pertunjukan adalah 16,92%, di atas pertumbuhan konsumsi rumah tangga ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan yang masing-masing bernilai 10,5% dan 11,15%.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
91
3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor Berdasarkan gambar 3-5, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi 0,22% (Rp259 miliar) terhadap nilai ekspor industri kreatif. Kontribusi tersebut berada di posisi keempat terbawah dari 15 subsektor industri kreatif. Rata-rata pertumbuhan nilai ekspor di subsektor seni pertunjukan adalah 1,09% dan berada di bawah pertumbuhan nilai ekspor ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan yang masing-masing bernilai 7,16% dan 9,89%. Gambar 3 - 5 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan
Sumber: Badan Pusat Statistik
92
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pada Gambar 3-6, terlihat perbedaan jumlah impor dan ekspor subsektor seni pertunjukan. Jumlah impor subsektor seni pertunjukan jauh lebih besar dibandingkan ekspor, begitu pula dengan rata-rata pertumbuhan impor (21,43%) dibandingkan pertumbuhan ekspor yang hanya sebesar 1,08%. Rata-rata pertumbuhan impor tersebut lebih besar daripada rata-rata impor skala industri kreatif sebesar 15,2% dan nasional sebesar 15,4%. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan ekspor seni pertunjukan masih jauh lebih kecil daripada rata-rata pertumbuhan ekspor skala industri kreatif yang sebesar 7,2% dan nasional sebesar 9,9%. Gambar 3 - 6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berbeda dengan data BPS, data UN COMTRADE (The United Nations Commodity Trade Statistics Database) menunjukan nilai ekspor seni pertunjukan yang lebih kecil, yaitu Rp88 miliar, dengan rata-rata pertumbuhan 0,02% untuk periode 2010-2013. Yang termasuk dalam kategori ekspor menurut data COMTRADE untuk seni pertunjukan adalah perayaan (celebration) dengan kode sebagai berikut: •
Kode 950510 untuk barang-barang perayaan Natal (tidak termasuk lilin dan lampu, pohon Natal, dan penyangga pohon Natal)
• •
Kode 950590 untuk festival, karnaval, dan barang-barang hiburan (entertainment) Kode 950810 untuk sirkus keliling dan hewan-hewan sirkus
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
93
Gambar 3 - 7 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMTRADE
Sumber: COMTRADE
3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan Terdapat banyak peraturan yang berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan seni pertunjukan di Indonesia. Di bawah ini dijelaskan beberapa peraturan saja yang mempunyai dampak langsung dan signifikan terhadap perkembangan seni pertunjukan Indonesia.
3.2.1 Retribusi Daerah Retribusi berlaku untuk gedung-gedung pertunjukan di daerah se-Indonesia dan besarannya diatur dalam PERDA masing-masing–yang jumlahnya berbeda-beda di setiap daerah. Analisis di bawah ini mengambil contoh kasus Perda DKI Jakarta yang mempunyai gedung-gedung pertunjukan publik utama. Retribusi daerah adalah pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Tempat rekreasi dan olahraga pada bidang kebudayaan dan permuseuman dipunguti retribusi dengan nama Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, yang termasuk ke dalam golongan dan jenis Retribusi Jasa Usaha. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa usaha yang diberikan pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial, karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh swasta.
94
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
1
NAMA PERATURAN
Perda DKI Jakarta Nomor 3/2012 tentang Retribusi Daerah, Bagian Keempat Bidang Kebudayaan
2
PENJELASAN SINGKAT
Perda DKI Jakarta Nomor 3/2012 tentang Retribusi Daerah dibuat sebagai penyempurnaan PERDA Nomor 1 Tahun 2006 yang berisi pengaturan tentang Retribusi Daerah, dengan menimbang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Perda ini mencakup golongan dan jenis retribusi; nama dan objek retribusi; subjek retribusi; cara mengukur tingkat penggunaan jasa; prinsip penetapan struktur, dan besarnya tarif.
3
KELEMAHAN PERATURAN
Perda retribusi dan pajak daerah merupakan jenis perda yang paling sering ditemukan di tiap daerah. Setelah penerapan otonomi daerah, tiap daerah berlomba untuk meningkatkan pendapatannya dengan pembentukan perda retribusi. Retribusi dan pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Asumsinya, semakin besar pendapatan daerah. maka semakin besar anggaran untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Hal tersebut dijelaskan pada pasal 46 ayat: Atas pelayanan tempat rekreasi dan olahraga pada bidang Kebudayaan dan Permuseuman dipungut retribusi dengan nama Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga. Objek Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, yaitu Tempat Untuk Rekreasi dan Jasa Konservasi. Yang kemudian dijelaskan maksud diberlakukannya retribusi tersebut pada Pasal 49 ayat (1): Prinsip penetapan tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) adalah untuk memperoleh keuntungan yang layak dengan mempertimbangkan biaya administrasi, biaya pengadaan, biaya perawatan/ pemeliharaan, dan biaya pembinaan. Walaupun demikian, pada praktiknya, retribusi yang dikembalikan kepada pengelola gedung tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga pihak pengelola membebankan juga biaya sewa kepada penyewa gedung. Oleh karena itu, penyewa gedung dikenai dua kali biaya: sewa dan retribusi. Padahal, gedung-gedung ini dibangun oleh pajak rakyat dan merupakan milik publik. Jadi, adalah keliru jika ia diperlakukan sebagai gedung komersial. Ia selayaknya harus dianggap sebagai modal untuk investasi kultural (cultural investment) yang menjadi sebuah keharusan bagi suatu daerah.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
95
4
KESIMPULAN
Dalam kerangka pengembangan seni pertunjukan sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif, perda semacam ini harus dihapus. Sebaliknya, gedung-gedung pertunjukan publik harus diberdayakan dengan seperangkat keahlian dan fasilitas agar bisa berfungsi maksimal sebagai produser (karya maupun kegiatan seni seperti festival) maupun presenter yang memiliki wawasan cukup untuk menyusun kuratorial yang strategis dan kritis. Gedung pertunjukan publik harus menerapkan manajemen profesional agar siap berjejaring secara lokal, nasional maupun internasional. Kesenian dan kebudayaan seharusnya tidak semata dipandang sebagai objek yang mampu memberi sumbangan pendapatan besar bagi daerah. Akan tetapi, ia juga perlu dipandang sebagai aset daerah yang berpotensi dengan mendapatkan stimulus dan kontribusi dari pemerintah daerah. Dengan berkembangnya seni budaya di daerah, akan terdorong pula pariwisata yang mampu mendongkrak pendapatan daerah (efek tidak langsung).
3.2.2 Pajak Daerah Dalam sampel-sampel perda tentang pajak hiburan, pertunjukan kesenian dikenakan pajak yang besarannya bervariasi, dan analisis di bawah ini mengambil contoh Perda DKI Jakarta. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah untuk kemakmuran rakyat. 1
NAMA PERATURAN
Perda DKI Jakarta Nomor 3/2010 tentang Pajak Hiburan.
2
PENJELASAN SINGKAT
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pajak Hiburan sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan.
3
KELEMAHAN PERATURAN
Perda DKI Jakarta Nomor 3/2010 menetapkan pajak pergelaran kesenian, musik, tari, dan busana sebesar 10%. Pajak untuk pergelaran kesenian, musik, tari, dan busana disamakan dengan pajak untuk permainan biliar, boling, dan seluncur es yang notabene adalah usaha berorientasi pada laba. Seharusnya, pemerintah daerah mempertimbangkan penghapusan atau setidaknya keringanan pajak bagi pertunjukan kesenian tertentu yang berada di luar mekanisme pasar (misalnya seni tradisional atau seni rakyat), tetapi penting bagi penguatan komunitas. Hal ini perlu dilakukan, selain sebagai stimulus perkembangan seni-seni tertentu yang tersisih, juga untuk menumbuhkan minat masyarakat atas seni tersebut sehingga nantinya mampu bersaing.
96
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Selain hal di atas, dasar penetapan tarif yang besarannya rata-rata sama tersebut (undang-undang memberikan batas maksimal 35%), juga belum terlihat didasarkan pada kondisi objektif tertentu pada daerah terkait. Indikasinya, antara lain, dapat terlihat dari kategorisasi yang tidak tepat sasaran. Mengapa pagelaran seni, misalnya disetarakan dengan kontes kecantikan? Lalu mengapa kegiatan olahraga dibebani pajak lebih ringan daripada pergelaran musik atau tari? Padahal, terkait dengan pungutan pajak, ketentuan di dalam Perda membuka kemungkinan untuk pengajuan pengurangan, keringanan, dan pembebasan. Tata cara untuk mendapatkannya diatur oleh kepala daerah. Agar ketentuan tersebut dapat efektif dan tepat sasaran, tentu dibutuhkan data empiris di sektor tersebut, seperti misalnya pertunjukan seni apa yang sudah dapat berjalan sendiri mengikuti mekanisme pasar dan pertunjukan seni apa yang masih butuh dukungan pemerintah karena bersifat eksperimental. Tanpa adanya data objektif, maka sulit untuk menggunakan instrumen pajak dan retribusi ini sebagai alat pemerintah untuk mengembangkan sektor seni dan budaya. 4
KESIMPULAN
Pajak hiburan harus diterapkan secara adil dan berimbang berdasarkan tipe serta kategori kegiatan seni (komersial versus nonkomersial). Jadi, penerapannya tidak bisa disamaratakan.
3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa Peraturan Presiden atau Perpres adalah adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh undangundang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. 1
NAMA PERATURAN
Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
2
PENJELASAN SINGKAT
Perlu adanya sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang efisien, terbuka, dan kompetitif bagi ketersediaan barang atau jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Peraturan Presiden mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah ditetapkan untuk mengatur tata cara pengadaan barang atau jasa yang sederhana, jelas, dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik sehingga dapat menjadi pengaturan yang efektif bagi para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah.
3
KELEMAHAN DARI PERATURAN
Peraturan ini awalnya disusun untuk melibatkan pihak swasta agar turut aktif menjalankan kegiatan kesenian, yaitu dengan merekrut event organiser (sering disingkat EO) untuk mengikuti tender terbuka.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
97
Dalam praktiknya, banyak masalah yang ditimbulkan oleh pendekatan ini, seperti: mayoritas EO (jika tidak semua) membangun portfolionya dalam menyelenggarakan kegiatankegiatan komersial yang melibatkan jasa seni pertunjukan (lihat definisi). Sementara itu, pada umumnya para EO tidak punya pengalaman mengurus acara-acara kesenian sehingga dalam skema peraturan ini mereka semata-mata hanya berperan dalam prapembiayaan (pre-financing), dengan tujuan menalangi anggaran pemerintah yang hanya bisa dicairkan setelah acara berjalan. Konsekuensinya, EO sering meminta keuntungan sangat besar (kadang lebih dari 30%) karena tidak ada lagi keuntungan bagiannya (seperti akumulasi pengetahuan yang ikut membentuk kredibilitas profesionalismenya sebagai sebuah perusahaan yang menjalankan kegiatan kesenian). Praktik pemberian persentase (komisi) kepada pihak-pihak lain jadi tidak terkontrol dan seringkali pemberian ekstra (semacam bonus) ini dibebankan ke dalam biaya produksi. 4
KESIMPULAN
Pertama-tama, logika anggaran harus diubah secara mendasar. Bagaimana mungkin pendanaan hanya bisa dicairkan setelah acara selesai? Pendanaan sebuah kegiatan seharusnya sudah disediakan begitu anggaran disetujui, sesuai dengan koridorkoridor transparansi yang diberlakukan. Dalam tahap berikutnya, model pembiayaan yang paling baik dan masuk akal dalam hal pengadaan barang dan jasa bukan melalui mekanisme EO, tetapi dengan cara bersinergi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang kesenian terkait. Jika program yang dijalankan adalah festival yang diselenggarakan oleh pemerintah, misalnya dengan tujuan menjadi agenda yang berkelanjutan, kepanitiaan adhoc dapat dibentuk, terdiri dari para birokrat dan pemangku kepentingan (seniman, kurator, manajer seni) yang kinerjanya selalu dievaluasi secara berkala, tetapi dengan niatan berkelanjutan (bukan diganti setiap kali). Asas transparansi serta profesionalisme harus diterapkan dalam proses kerja kepanitiaan ini.
3.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian Peraturan mengenai pemberian insentif pajak bagi korporasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010. Sementara itu, tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, seperti yang tercantum pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010, dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011.
98
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Peraturan Pemerintah atau PP adalah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan undang-undang. 1
NAMA PERATURAN
PP Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Dan penjelasan tata caranya pada: Permen Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan
2
PENJELASAN SINGKAT
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah—terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan—perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Insentif pajak ini belum memasukkan kategori kesenian sehingga kegiatan kesenian harus masuk di bawah kategori lainnya seperti penelitian dan pengembangan, fasilitas pendidikan serta biaya pembangunan infrastruktur sosial. Pendekatan semacam ini bisa diterapkan pada kasus-kasus khusus yang memang masuk ke dalam kategori-kategori tersebut. Namun, hal ini bisa jadi terkesan agak kompleks bagi pembayar pajak (pihak swasta) yang ingin mendukung kegiatan kesenian di luar kategori tersebut. kibatnya, mereka enggan memakai kanal kebijakan ini untuk membantu programprogram kesenian dengan kategori umum, misalnya program yang mendukung produksi karya seni.
3
KELEMAHAN PERATURAN
Tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan pun seharusnya mengikuti asas pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel, jika perlu (melewati jumlah tertentu), diaudit oleh akuntan publik.
4
KESIMPULAN
Peraturan ini sebaiknya direvisi agar juga memasukkan kategori kesenian ke dalam subsektor yang secara langsung dinyatakan dalam peraturan (bukan merupakan bagian dari subsektor lainnya) dan bisa dikenai insentif pajak.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
99
3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni 1
NAMA PERATURAN
PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
2
PENJELASAN SINGKAT
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dalam Peraturan Pemerintah ini, perseroan yang kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kegiatan dalam memenuhi kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3
KELEMAHAN DARI PERATURAN
Pasal 74 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 telah mengatur bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, sedangkan yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Hal tersebut kemudian diperkuat oleh Pasal 74 ayat (2) yang mengatur bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Pasal 74 ayat (3) menambahkan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Lebih lanjut, pada Pasal 74 ayat (4) terdapat ketentuan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
100
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Sangat disayangkan justru pada pengaturan di tingkat pelaksanaan inilah ada sebuah loophole atau celah yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk menghindari kewajiban melakukan CSR. Hal tersebut terdapat pada Pasal 4 ayat (1) di mana pelaksanaan CSR tersebut baru dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar dari perusahaan tersebut. Dengan adanya Pasal 4 ayat (1) ini maka keputusan untuk menjadikan CSR wajib atau tidak wajib jatuh sepenuhnya kepada internal perusahaan (dewan komisaris atau RUPS). Pasal tersebut juga melucuti kuasa negara untuk memaksa perseroan yang tidak memasukkan mata anggaran CSR dalam daftar biayanya. 4
KESIMPULAN
CSR di Indonesia masih bersifat imbauan dan belum ada sanksi yang mengatur hal tersebut ataupun insentif bagi yang menjalankannya. Padahal, dana CSR sangat potensial untuk mendukung para seniman agar lebih aktif berkarya dan mendorong perkembangan seni. Oleh karena itu, undang-undang ini sebaiknya direvisi, termasuk tata cara pelaksanaannya yang mencakup audit, pemberian sanksi (bagi korporasi yang tidak menjalankan), dan insentif (bagi korporasi yang menjalankan) di mana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan pemerintah, bukan internal perusahaan.
3.2.6 Kepabeanan 1
NAMA PERATURAN
Permen Keuangan No. 223 PMK.011/2008 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dengan Tarif Bea Keluar
2
PENJELASAN SINGKAT
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor, Maka perlu ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar
3
KELEMAHAN PERATURAN
Praktik kegiatan seni dan budaya berhubungan dengan masalah kepabeanan. Masalah timbul akibat tidak adanya praktik yang pasti dalam pemberlakuan bea masuk dan bea keluar atas barang-barang yang digunakan untuk pengadaan pementasan seni pertunjukan di luar negeri. Praktik adanya pungutan terhadap barang-barang keperluan pameran di luar negeri, berupa pungutan pajak ekspor ketika barang tersebut dibawa ke luar negeri dan berupa bea masuk ketika barang pementasan tersebut dibawa kembali ke dalam negeri, ternyata tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
101
Seperti sudah disebutkan di bagian hasil penelitian di atas (baik UU No. 10/1995 ataupun UU No. 17/2006), pada dasarnya terdapat dua pasal yang dapat dijadikan dasar pengecualian atas barang-barang untuk keperluan pameran seni. Untuk keperluan pameran benda seni dari luar negeri di wilayah Indonesia, pada dasarnya pasti akan pembebasan dari peraturan ini sejauh untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antar negara. Meskipun begitu, undang-undang juga mengatur perlunya rekomendasi dari departemen terkait (untuk konteks saat ini adalah Kemenparekraf atau Kemendikbud) yang belum tentu fasih akan isi aturan ini. Sementara itu, untuk pameran seni di luar negeri dengan barang-barang dari Indonesia, pada dasarnya ada ketentuan pembebasan bea impor ketika barang tersebut masuk kembali ke Indonesia. Kriteria ini dalam UU No. 10/1995 termasuk ke dalam pengecualian relatif, sedang menurut perubahan dalam UU No. 17/2006 dimasukkan ke dalam pengecualian mutlak. Seperti sudah disinggung di atas, masalah-masalah di lapangan timbul akibat tidak adanya aturan yang pasti mengenai pemberlakuan bea masuk dan bea keluar. Dari pengalaman seorang perupa terkemuka di Indonesia, setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan catatan: 1. Tidak ada kejelasan akan aturan main dalam memasukkan atau mengeluarkan barang di wilayah pabean Republik Indonesia. 2. Ketidakjelasan juga menyangkut prosedur penyimpanan (termasuk untuk pengambilan barang) dan tarif yang dikenakan oleh pihak pabean. 3. Adanya ketidakjelasan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik tindakan sewenang-wenang oleh aparat pabean, baik berupa pemberlakuan prosedur yang lama dan berbelit-belit, hingga praktik pemerasan. 4. Seniman sendiri berharap adanya pemisahan antara barang komersial dan nonkomersial, karena harga benda-benda seni tentu tidak dapat diukur setara dengan benda-benda komersial biasa. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi komunitas seni. Adanya pameran—atau pementasan yang memerlukan properti yang harus dikirim terpisah—di luar negeri, dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan potensi kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Walaupun demikian, untuk memanfaatkan potensi ini, perlu ada perlawanan terhadap kesewenang-wenangan aparat di lapangan. Setidaknya ada dua alternatif yang mungkin ditempuh, yaitu dengan memanfaatkan bantuan hukum (baik dengan melalui konsultasi sebelum kegiatan dilaksanakan, maupun meminta advokasi ketika mendapat masalah dengan aparat pabean), serta menghidupkan perdebatan mengenai masalah ini.
102
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4
KESIMPULAN
Dari paparan di atas bisa disimpulkan bagaimana aturan yang tak jelas ditambah pengetahuan yang minim dari warga negara, menimbulkan peluang besar terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat negara. Di sisi lain, sekalipun perubahan diharapkan terjadi dari lembaga negara (pemerintah), pemerintah sendiri belum tentu tahu atau mau tahu permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, diperlukan peran aktif dari warga negara untuk dapat memanfaatkan terjadinya perubahan dari bawah ke atas, antara lain melalui optimalisasi bantuan hukum. Selain itu, perlu dimunculkan perdebatan publik untuk menggalang kekuatan komunitas seni untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Banyak orang selama ini tak peduli, karena tak banyak orang mengetahui hal tersebut
3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan Kelompok Seni dan Persebarannya Berdasarkan pendataan terakhir yang dilakukan oleh Yayasan Kelola, yang didanai oleh Ford Foundation, pada 2004 terdapat 2.800 organisasi atau kelompok seni di Indonesia dengan sebaran utama sebagai berikut: 24% (684 kelompok) di Jawa, 17% (463 kelompok) di Sumatera, 13% (361 kelompok) di Kalimantan, 12% (333 kelompok) di Sulawesi, 3.3% (94 kelompok) di Bali, 2% (55 kelompok) di Papua, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain. Tidak ada pendataan lagi setelah tahun 2004 karena tidak ada pendanaan.
Produser Tidak ada mekanisme industri yang jelas, sehingga produser bisa jadi hanyalah orang yang kebetulan punya akses ke pemilik dana besar. Produser berbentuk perusahaan besar saat ini hanya bersifat one-off, dalam artian tidak rutin memproduksi karya. Dengan biaya produksi karya seni pertunjukan yang cukup besar, seniman kerap berperan sebagai produser eksekutif dan tak jarang menjadi seorang filantropis.
Distribusi Idealnya, para presenter yang ada (venue) terhubung dalam sebuah jejaring sehingga bisa saling berbagi informasi serta sumber daya lainnya (dana atau fasilitas) untuk mengadakan turing produksiproduksi bermutu. Selama ini, karya pertunjukan Indonesia cenderung hanya dipentaskan sekali atau dua kali, terutama yang bertipe eksperimental (kontemporer). Para presenter ini seharusnya dibekali kemampuan untuk memproduksi, sehingga mereka bisa bekerja sama (koproduksi), serta didorong untuk perlahan tapi pasti mengembangkan market knowledge tentang seni pertunjukan lokal maupun global melalui pengasahan di tingkat profesionalisme dan wacana. Oleh karena itu, belum ada promotor seni pertunjukan di Indonesia. Promotor seni pertunjukan bisa hadir jika rantai produksi dan distribusi benar-benar berjalan sebagai prasyarat.
Festival Festival seni pertunjukan harus dibedakan dengan pesta rakyat ataupun perayaan yang lebih bersifat kultural. Festival seni pertunjukan selayaknya dibingkai dengan sebuah posisi kuratorial yang secara spesifik memang ingin mengartikulasikan sebuah wacana, yang hanya bisa terbentuk
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
103
bila akumulasi pengetahuan telah terjadi melalui serangkaian pengalaman yang dibentuk oleh pendidikan, kontinuitas pertunjukan, serta terbangunnya apresiasi penonton yang cerdas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kemenparekraf, sejak 24 Februari 2014 sampai 4 April 2014, ditemukan 117 kegiatan kesenian bertaraf lokal, nasional, dan internasional yang diselenggarakan di Indonesia, dengan komposisi 65 (55,5%) bertaraf lokal, 36 (30,8%) bertaraf internasional, dan 16 (13,7%) bertaraf nasional. Penyelenggaraan festival-festival tersebut tersebar di enam provinsi di Indonesia, dengan persebaran utama sebagai berikut: 25% di DKI Jakarta, 17% di Jawa Tengah, 15,5% di Jawa Barat, 8,55% di Jawa Timur, 7,7% di Bali, dan 6% di DI Yogyakarta. Untuk festival yang diselenggarakan di seluruh dunia, dari 83 festival besar, penyelenggaraan terbanyak dilakukan di Eropa (34%), Asia (24%), Amerika Utara (20,5%), Afrika (10%), dan Amerika Selatan (3,5%).
Asosiasi Industri Seni Pertunjukan Asosiasi Nasional 1. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), didanai oleh Ford Foundation, yang sayangnya kini sudah tidak aktif. MSPI sempat menerbitkan jurnal dan membiayai penelitian-penelitian serta upaya menjalin jejaring. 2. Asosiasi Komposer Indonesia, awalnya dirintis oleh komposer musik elektronik Otto Sidharta. Sayangnya, asosiasi ini juga sudah tidak aktif. Salah satu sebabnya adalah makin sedikit komisi pembuatan musik baru (no commission no composition).
Asosiasi Internasional Ada banyak asosiasi internasional atau jejaring dalam seni pertunjukan, dan biasanya bersifat keanggotaan (membership). Beberapa di antaranya adalah: 1. Association for Performing Arts Presenters (APAP) adalah asosiasi internasional yang beranggotakan lebih dari 5.000 presenter dan organisasi profesional di bidang seni pertunjukan, termasuk di dalamnya pusat seni pertunjukan, venue (gedung pertunjukan), fasilitas seni pertunjukan yang dimiliki oleh universitas dan pemerintah lokal, agen atau manajer seni, perusahaan turing, jasa konsultan, vendor, dan seniman itu sendiri. APAP secara rutin setiap tahunnya menyelenggarakan konferensi dan marketplace internasional, yang diikuti oleh 3.600 presenter, seniman, manajer, agen, dan para pemimpin seni baru dari 50 negara bagian Amerika Serikat dan lebih dari 30 negara lainnya, melalui rangkaian kegiatan pengembangan profesional, kesepakatan bisnis, dan pertunjukan-pertunjukan yang berlangsung selama lima hari di kota New York. 2. International Society for Performing Arts (ISPA) adalah jejaring global yang mewadahi lebih dari 400 pelaku (pemimpin) di sektor seni pertunjukan, mewakili lebih dari 185 kota diseluruh dunia. Anggota ISPA terdiri atas penyedia fasilitas (venue atau gedung pertunjukan), organisasi seni pertunjukan, manajer seniman, penyelenggara kompetisi, donor, konsultan, dan para profesional lainnya di bidang seni pertunjukan. 3. IETM (International European Theatre Meeting) adalah jejaring yang didirikan oleh para praktisi teater di Eropa Barat yang kini telah meluas dan menjangkau tidak hanya teater, tetapi juga seni pertunjukan. Sejak 2005, IETM telah menjangkau Asia melalui program Asia Satellite Meeting yang diselenggarakan bergantian di kota-kota Asia yang berbeda (antara lain Beijing, Jakarta, Yogyakarta, Melbourne, dan Sydney).
104
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan Gambar 3 - 8 Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan SUMBER DAYA KREATIF 10 8 KELEMBAGAAN
SUMBER DAYA PENDUKUNG
6 4 3,1 2,4
2
3,5
0
2,3
3,6 1,7
INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI
INDUSTRI
2,8
PEMASARAN
PEMBIAYAAN
Sumber Daya Kreatif Sumber daya kreatif seni pertunjukan dinilai cukup rendah, yaitu dengan skor 3,1. Indonesia kaya akan talenta di bidang seni pertunjukan dan banyak dari mereka yang mampu berprestasi dengan praktik-praktik seni yang sudah mendobrak batas-batas bentuk masa lalu, bahkan tanpa bantuan negara. Talenta yang sangat potensial ini tidak diiringi dengan tersedianya pendukung seniman seperti manajer, pengelola venue & festival, kurator, kritikus, teknisi, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Padahal, justru SDM pendukung seniman inilah yang dapat meningkatkan produktivitas seniman dan menjamin kontinuitas produksi karya-karya seni pertunjukan untuk dapat terus dikonsumsi oleh masyarakat luas. Kontinuitas produksi seni pertunjukan adalah kunci untuk mempertahankan dan meningkatkan permintaan terhadap pementasan seni pertunjukan dan menjadikan seni pertunjukan berdaya saing.
Sumber Daya Pendukung Budaya merupakan sumber daya pendukung seni pertunjukan. Pengarsipan sumber daya budaya masih dinilai kurang (skor 3,5) karena tidak disimpan dalam suatu sistem direktori yang memungkinkan untuk diakses oleh banyak pihak. Walaupun sudah banyak lembaga-lembaga kebudayaan nonprofit dan para seniman yang menyimpan dokumentasi (direktori) secara mandiri, arsip yang dimiliki masih terpencar-pencar dan hanya dapat diakses secara terbatas. Karena sulitnya akses, maka sumber daya budaya Indonesia yang ada menjadi kurang termanfaatkan untuk pengembangan wawasan seni pertunjukan. Hal ini ditunjukan dengan kurangnya publikasi serta sosialisasi karya-karya penelitian, buku, dan majalah seni pertunjukan.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
105
Pembiayaan Lemahnya pembiayaan (skor 1,7) disebabkan karena sampai saat ini Indonesia tidak memiliki lembaga pemerintah yang melakukan investasi berkelanjutan terhadap seni dan budaya (funding body) yang menyediakan skema hibah dan memungkinkan organisasi, kelompok, atau produksi karya untuk berkompetisi secara adil. Saat ini seluruh biaya, mulai dari biaya operasional kelompok, produksi, sampai showcase nasional dan internasional, masih banyak ditanggung oleh seniman sendiri (self-funded), karena bantuan pendanaan yang bersumber dari pemerintah, donor lembaga asing, institusi nirlaba (LSM), individu, dan perusahaan swasta masih berupa one-off donation dan insidental.
Pemasaran Dari sisi pemasaran pun masih dinilai kurang (skor 2,8) karena meskipun jumlah venue (gedung pertunjukan) milik publik sudah ada dan tersebar di beberapa provinsi, peruntukannya belum tepat. Saat ini gedung pertunjukan milik publik masih berfungsi sebagai gedung penyewaan (dengan harga sewa tinggi), bukan sebagai produser atau presenter produk kesenian bermutu atau eksperimental; dan juga tidak terhubung dengan suatu jejaring yang dapat dengan mudah diakses oleh seniman. Event atau festival seni pertunjukan di Indonesia masih didominasi oleh event atau festival yang diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan tidak ada strategi atau pendekatan kuratorial dalam merancang programnya. Festival-festival ini cenderung dibuat dalam format perayaan, bukan sebagai ajang artikulasi wacana dalam kerangka kuratorial. Tari dan musik masih mendominasi pertunjukan di festival-festival ini dan hanya sedikit yang memberi ruang bagi pertunjukan teater. Di sisi lain, sistem pembinaan penonton tidak terjadi, sehingga apresiasi terhadap eksperimentasi di seni pertunjukan belum bisa berkembang. Untuk pemasaran di luar negeri, permintaan presenter atau festival luar negeri untuk seni pertunjukan Indonesia sulit untuk diukur, meski minat untuk itu ada dan bisa jadi cenderung tinggi. Terdapat ratusan festival seni pertunjukan di dunia dengan kerangka kuratorial dan selera artistik yang berbeda-beda. Namun sayangnya, tidak ada promotor, agensi, atau produser Indonesia yang mempunyai market knowledge yang berfungsi untuk menghubungkan karya seni pertunjukan Indonesia dengan pasar yang relevan. Diplomasi kebudayaan juga sering diterjemahkan ke dalam beragam program berlabel misi kesenian yang cenderung mengedepankan produk-produk yang lebih sesuai untuk promosi pariwisata ketimbang mewakili kebudayaan Indonesia yang eklektik.
Infrastruktur dan Teknologi Infrastruktur dan teknologi, terutama yang mendukung pementasan seni di venue atau gedunggedung seni pertunjukan juga dinilai masih lemah (skor 2,3). Fasilitas teknis yang mencakup pencahayaan, sound system, flooring panggung, dan sebagainya masih jauh dari standar dan tidak lengkap, sehingga seniman harus membawa peralatannya sendiri jika ingin melakukan pementasan. Selain itu, infrastruktur lain seperti studio tempat latihan yang memadai dan terjangkau juga tidak tersedia, terutama di kota-kota besar ketika segala sesuatu cenderung mahal.
Kelembagaan Isu kelembagaan untuk seni pertunjukan adalah isu yang kritis dan harus ditangani segera (skor 2,4), karena pada dasarnya pemerintah sampai saat ini belum menyusun kebijakan yang mendukung industri seni pertunjukan secara komprehensif, yang mempunyai pengaruh besar terhadap isu-isu lainnya terutama infrastruktur seni dan pembiayaan.
106
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Dari segi regulasi, walaupun sudah ada regulasi pemerintah mengenai insentif pajak bagi korporasi untuk menjadi filantropis seni melalui dana CSR, implementasinya masih lemah. Di samping itu, masih terdapat banyak regulasi kebudayaan yang menghambat seniman dalam berkreasi, seperti: regulasi dan penghargaan—terutama pemberian insentif—yang mengatur soal pembiayaan alternatif atau sponsor swasta; dan regulasi pemanfaatan venue atau gedung-gedung pertunjukan milik publik yang tidak berpihak pada seniman (biaya sewa & retribusi tinggi). Termasuk di dalamnya adalah regulasi yang mengatur pengelolaan tempat-tempat kesenian publik yang saat ini masih dikelola oleh birokrat seni yang umumnya masih minim kapasitas manajerialnya di bidang seni pertunjukan. Partisipasi aktif seni pertunjukan Indonesia dalam forum internasional saat ini sudah banyak dan semakin meningkat, hal ini dibantu oleh semakin terbukanya kontak dengan para pengelola festival internasional melalui forum-forum dan kanal-kanal komunikasi yang tersedia. Walaupun demikian, tidak pernah dilakukan studi mendalam yang kritis mengenai peta forum kesenian di tataran internasional, lengkap dengan analisis kuratorial masing-masing yang penting untuk dipahami oleh Indonesia, jika ingin meningkatkan eksistensinya di kancah internasional. Saat ini peran negara dalam memfasilitasi, mendukung, dan membangun jejaring kerja di tingkat lokal dan nasional belum maksimal; sedangkan di tingkat global tak dilakukan, karena minimnya pengetahuan tentang pasar dan wacana kuratorial yang mendasari praktiknya.
3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan Tabel 3 - 2 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan POTENSI (Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN (Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
SUMBER DAYA KREATIF
1
Anggaran pendidikan yang tinggi (20% APBN).
1
Penyebaran lembaga pendidikan formal dan nonformal terlalu terpusat di Jawa dan kota-kota besar.
2
Perguruan Tinggi: 7 sekolah tinggi atau institut seni dan 12 program studi seni di universitas negeri seperti IKIP dan universitas swasta di bidang seni.
2
Tidak ada pendataan atau pemetaan, standardisasi, klasifikasi, evaluasi atau kontrol, dan rencana pengembangan yang jelas dan berkelanjutan.
3
Sistem penggajian pengajar yang sudah diperbaharui sehingga mencukupi (berlaku untuk ISI).
3
Kualitas pengajar seni pertunjukan ratarata tidak memadai.
4
Telah tersedianya beasiswa pascasarjana Dikti bagi tenaga pengajar kreatif–baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan tinggi negeri–yang ingin menempuh studi baik di dalam maupun luar negeri dengan kompensasi ikatan kerja.
4
Kurikulum yang tidak terbarui (tidak up to date) dengan perkembangan seni pertunjukan terakhir.
5
Telah tersedianya beragam beasiswa pascasarjana dari lembaga-lembaga internasional bagi tenaga kreatif dan pengkaji seni.
5
Pola transfer pengetahuan (belajarmengajar) yang tak inspiratif dan tak merangsang peserta didik.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
107
POTENSI (Peluang dan kekuatan)
6
7
Indonesia kaya akan orang-orang yang bertalenta di bidang seni pertunjukan. Dalam praktiknya para pelaku seni mampu berprestasi tanpa bantuan negara.
Ada kecenderungan praktik seni di Indonesia sudah mendobrak batas-batas bentuk masa lalu dan lebih melihat keluar (Asia).
PERMASALAHAN (Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
6
Manajemen seni pertunjukan belum berkembang sebagai cabang ilmu di dalam sistem pendidikan kesenian Indonesia. Oleh karena itu, kebanyakan para manajer (penyelia) seni pertunjukan adalah mereka yang mendidik diri sendiri (otodidak), sehingga tidak terjadi akumulasi pengetahuan yang sistematis dan terlembagakan.
7
Pendekatan kreativitas cenderung masih kaku dan diseragamkan.
8
Tidak ada data kebutuhan pasar, sehingga dunia pendidikan tidak mempunyai orientasi link and match.
9
Pola rekruitmen Dikti masih pasif, belum proaktif mengidentifikasi calon-calon penerima beasiswa yang potensial.
10
Belum ada database serta portal satu pintu tentang skema beasiswa seni yang tersedia serta bagaimana mengaksesnya.
11
Kuantitas dan kualitas SDM pendukung seniman (manajer, pengelola venue & festival, kurator, kritikus, teknisi) masih kurang.
12
Persaingan seniman Indonesia dengan seniman negara-negara ASEAN lainnya menyambut AFTA.
13
Belum ada regulasi profesi untuk seniman dan standar honorarium.
SUMBER DAYA PENDUKUNG
1
Lembaga-lembaga kebudayaan nonprofit dan para seniman sudah cukup banyak yang menyimpan dokumentasi (direktori).
1
Tidak ada pusat arsip dan pusat kajian seni pertunjukan.
2
Lembaga pendidikan seni formal mempunyai hasil-hasil riset yang belum terpublikasikan kepada publik.
2
Tidak ada skema yang menautkan data dan dokumen pengetahuan yang dimiliki seniman maupun lembaga kebudayaan yang ada dengan perpustakaan di perguruan tinggi kesenian.
3
Kurangnya publikasi serta sosialisasi karya-karya penelitian, buku, dan majalah seni pertunjukan.
4
Tidak dibuatnya program pengembangan dan pemanfaatan riset.
1
Promotor dan agensi seni pertunjukan tidak ada di Indonesia.
INDUSTRI
1
108
Tersedianya potensi para profesional yang terlihat berminat menekuni seni pertunjukan.
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
POTENSI (Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN (Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
2
Banyak seniman pertunjukan yang telah mampu membangun jejaring global dengan upaya mandiri (tanpa bantuan negara).
2
Kurangnya kapasitas wirausaha seni pertunjukan dalam merancang dan mengembangkan program yang sesuai dengan konteks lokal-nasional-global.
3
Mulai munculnya entitas usaha di seni pertunjukan yang potensial berkembang lebih besar dan luas seperti kursus tari dan musik ekstensif.
3
Peran negara dalam memfasilitasi, mendukung, dan membangun jejaring kerja di tingkat lokal dan nasional belum maksimal; sedangkan di tingkat global tak dilakukan karena minimnya pengetahuan tentang pasar dan wacana kuratorial yang mendasari praktiknya.
4
Saat ini potensi terbesar linkage dunia seni pertunjukan adalah dengan dunia pariwisata.
4
Sistem industri seni pertunjukan belum terbentuk.
5
Besarnya potensi karya kreatif di bidang seni pertunjukan, baik teater, tari maupun musik serta genre lintas disiplin.
5
Tidak ada pemetaan karya seni pertunjukan yang komprehensif (di tingkat provinsi, antar provinsi, antar negara, atau misalnya ASEAN saja).
6
Motivasi seniman Indonesia untuk tetap berkarya di tengah kondisi sulitnya memproduksi.
6
Kualitas karya kreatif ini amat beragam dan seringkali tidak diimbangi dengan kajian yang bermutu sebagai prasyarat berkembangnya praktik seni pertunjukan.
7
Tidak ada standar kurasi (kuratorial) karya seni pertunjukan.
8
Seni pertunjukan belum bisa bersaing dengan kegiatan pengisi waktu luang lain.
PEMBIAYAAN
1
Adanya alokasi dana untuk kegiatan seni dan budaya di hampir setiap Kementerian maupun lembaga tinggi pemerintah, contoh: dana untuk promosi kesenian Indonesia di luar negeri.
1
Tidak ada skema hibah nasional yang adil, transparan, dan akuntabel untuk seniman.
2
Adanya alokasi dana dari sektor swasta (korporasi) dalam bentuk CSR, sebagai salah satu alternatif pembiayaan dengan skala tertentu.
2
Jumlah hibah yang masih sangat minim.
3
Tidak adanya sosialisasi berupa informasi berkala, database atau portal tunggal tentang skema hibah yang tersedia.
3 4
Mulai munculnya minat pihak swasta untuk menggandeng kegiatan seni dan budaya sebagai salah satu alat promosi. Ada beberapa organisasi internasional yang menawarkan hibah terbatas seperti biaya perjalanan (travel grant).
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
4
Belum ada kanal untuk biaya perjalanan yang dapat diakses oleh seniman secara transparan dari waktu ke waktu (selama ini yang terjadi adalah insidental dan berdasarkan lobi pribadi).
5
Sponsorship swasta masih minim dan insidental.
109
POTENSI (Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN (Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
6
Belum muculnya filantropis seni budaya yang berminat mendalami permasalahan di dunia seni pertunjukan (seperti Rockefeller Foundation di Amerika Serikat atau Ford Foundation di Indonesia hingga 2009).
PEMASARAN
1
Potensi pasar yang besar (penduduk Indonesia dengan daya beli tertentu) dan meningkatnya kelas menengah yang mulai membutuhkan hiburan alternatif.
1
Pasar dalam seni pertunjukan belum terbentuk akibat siklus kreatif yang belum bisa dijaga (proses penciptaan dan distribusi). Jika tidak dibenahi segera, potensi pasar ini akan dilindas oleh jenisjenis hiburan dan pengisi waktu luang lainnya.
2
Meningkatnya minat masyarakat Indonesia dan internasional yang tinggi terhadap kebudayaan Indonesia.
2
Tidak adanya jejaring yang menghubungkan gedung pertunjukan milik publik yang seharusnya dapat diakses seniman berdasarkan kualitas karya.
3
Banyaknya festival yang diadakan baik di tingkat nasional maupun lokal.
3
Tidak adanya strategi atau pendekatan kuratorial dalam merancang program seni yang melibatkan seni pertunjukan (baik gedung teater publik maupun festival yang diorganisasi pemerintah).
4
Ada segmen penonton Indonesia yang sudah relatif terbuka menonton pertunjukan yang eksperimental, seperti para penonton di Surakarta.
4
Tidak ada jalur atau kanal untuk mengorbitkan potensi yang layak tampil (kanal distribusi) seperti promotor yang mempunyai pengetahuan tentang pasar (market knowledge) di tingkat global.
5
Potensi pasar internasional seni pertunjukan Indonesia besar, banyak dicari oleh presenter di luar negeri.
5
Diplomasi kebudayaan sering diterjemahkan ke dalam beragam program berlabel misi kesenian yang cenderung mengedepankan produk-produk yang lebih sesuai untuk promosi pariwisata ketimbang mewakili kebudayaan Indonesia yang eklektik.
6
Adanya minat masyarakat Barat terhadap tradisi-tradisi Timur.
6
Tidak ada pemahaman tentang sistem kuratorial dalam seni pertunjukan global dan apa konsekuensinya.
1
Fasilitas teknis yang dimiliki gedunggedung pertunjukan seperti pencahayaan, sound system, flooring panggung, dan sebagainya masih jauh dari standar dan tidak lengkap, sehingga seniman harus membawa peralatannya sendiri.
2
Tidak tersedianya studio tempat latihan yang memadai dan terjangkau (ini terutama berlaku di kota-kota besar ketika segala sesuatu cenderung mahal).
INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI
1
110
Kecanggihan teknologi informasi memperbesar peluang berjejaring, promosi, dan pembelian tiket pertunjukan melalui dunia maya atau website (online).
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
POTENSI (Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN (Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
KELEMBAGAAN
1
Tempat-tempat pertunjukan publik sudah tersedia (contoh: Taman Budaya di 25 provinsi, Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Wayang Orang Bharata, Gedung Teater Miss Tjitjih).
1
Gedung pertunjukan milik publik yang masih berfungsi sebagai gedung penyewaan bukan berfungsi sebagai produser atau presenter produk kesenian bermutu atau eksperimental; belum dikelola dengan profesional dan belum ada jejaring yang menghubungkan fasilitas teater-teater publik tersebut.
2
Regulasi mengenai insentif pajak bagi korporasi untuk menjadi filantropis seni melalui dana CSR sudah ada.
2
Birokrat seni yang mengelola tempattempat kesenian publik tersebut tidak memiliki kapasitas manajerial yang memadai di bidang seni pertunjukan.
3
Mulai munculnya sinergi di antara praktisi seni pertunjukan (seniman, pekerja lepas, intelektual serta aktivis) seperti mereka yang tergabung dalam perkumpulan Koalisi Seni Indonesia (KSI).
3
Belum dimilikinya pengetahuan untuk menyusun program kesenian yang berdasarkan kuratorial yang cerdas bagi tempat-tempat pertunjukan publik tersebut.
4
Kreativitas telah begitu merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari, bahkan hingga ke politik (baru-baru ini), sehingga kreativitas telah menjadi bagian dari identitas individual maupun kelompok serta mata uang sosial bagi yang memilikinya.
4
Infrastruktur dan kebijakan yang mendukung industri seni pertunjukan belum disusun.
5
Bergesernya tren atau kecenderungan berupa kesediaan para orangtua untuk melihat kreativitas sebagai salah satu profesi di masa depan bagi anak-anaknya.
5
Banyak regulasi kebudayaan yang masih menghambat seniman dalam berkreasi, seperti: regulasi dan penghargaan— terutama pemberian insentif—yang mengatur soal pembiayaan alternatif atau sponsor swasta; dan regulasi pemanfaatan venue atau gedung-gedung pertunjukan milik publik yang tidak berpihak pada seniman (biaya sewa & retribusi tinggi).
6
Munculnya beragam perkumpulan formal maupun informal yang berkenaan dengan profesi di bidang industri kreatif maupun sekadar hobi yang digeluti secara serius.
6
Tidak adanya sinergi antara pemerintah dengan pelaku seni pertunjukan di lapangan dalam menyelenggarakan festival sehingga tidak terjadi akumulasi pengetahuan.
7
Munculnya dan dibenahinya ruang publik alternatif seperti taman-taman kota, plazaplaza terbuka, sebagai ajang kreativitas berbagai kalangan masyarakat.
7
Tidak ada sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam program pengembangan seni dan budaya, sehingga pemanfaatan fasilitas-fasilitas publik (gedung teater, misalnya) tidak maksimal.
8
Tersedianya anggaran pemerintah untuk program-program misi kesenian baik di tingkat bilateral, regional maupun multilateral.
8
Penyelenggaraan event kesenian oleh pemerintah tidak berkelanjutan karena selalu berganti kepanitiaan.
BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia
111
POTENSI (Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN (Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
9
Terbukanya kontak dengan para pengelola festival internasional melalui forum-forum dan kanal-kanal komunikasi yang tersedia.
9
Lemahnya program-program kesenian disebabkan oleh ketidakpahaman para birokrat dan para pengambil kebijakan terhadap dinamika kebudayaan, termasuk kesenian.
10
Adanya penghargaan yang diberikan oleh lembaga-lembaga tertentu terhadap pencapaian di dunia seni pertunjukan.
10
Belum adanya studi mendalam dan kritis tentang peta forum kesenian di tataran internasional, lengkap dengan analisis kuratorial masing-masing.
11
Mulai adanya kesadaran akan nilai tambah kreativitas dalam kepribadian seseorang dan munculnya kebutuhan akan hal-hal baru, termasuk menonton pertunjukan teater, konser musik maupun pagelaran tari.
11
Peran negara dalam memfasilitasi, mendukung, dan membangun jejaring kerja di tingkat lokal dan nasional belum maksimal; sedangkan di tingkat global tak dilakukan karena minimnya pengetahuan tentang pasar dan wacana kuratorial yang mendasari praktiknya.
12
Perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual telah diberlakukan.
12
Belum terlembaganya penghargaanpenghargaan kesenian sehingga tidak kontinu.
13
Munculnya beragam program tentang sumber daya budaya lokal dalam media massa lokal seperti televisi.
13
Kurikulum pendidikan umum yang belum terintegrasi dengan seni (mata pelajaran kesenian cenderung masih dianggap kegiatan ekstrakurikuler), yang menyebabkan minimnya apresiasi terhadap karya seni pertunjukan.
14
Tidak ada atau minimnya program-program outreach yang mendekatkan masyarakat dengan praktik seni pertunjukan (menonton, mengetahui proses backstage, mendengar uraian sejarah, dan lain sebagainya).
15
Minimnya sosialisasi tentang HKI.
16
Inkonsistensi penegakan hukum yang jelas bagi mereka yang melanggar HKI.
17
Program pengenalan sumber daya budaya lokal sejatinya harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan nasional secara nyata (tidak hanya abstrak berupa hafalan).
112
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
114
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
BAB 4 Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
115
4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019 Arahan RPJPN 2005-2025, pembangunan nasional tahap ketiga (2015-2019) adalah ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat. Pembangunan periode 2015-2019 tetap perlu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi haruslah inklusif dan berkelanjutan, yaitu meminimasi permasalahan sosial dan lingkungan. Pembangunan inklusif dilakukan terutama untuk mengurangi kemiskinan, ketimpangan antar penduduk dan ketimpangan kewilayahan antara Jawa dan luar Jawa, kawasan barat dan kawasan timur, serta antara kota-kota dan kota-desa. Pembangunan berkelanjutan dilakukan untuk memberikan jaminan keberlanjutan manfaat yang bisa dirasakan generasi mendatang dengan memperbaiki kualitas lingkungan (sustainable). Tema pembangunan dalam RPJMN 2015- 2019 adalah pembangunan yang kuat, inklusif dan berkelanjutan. Untuk dapat mewujudkan apa yang ingin dicapai dalam lima tahun mendatang, maka fokus perhatian pembangunan nasional adalah: 1. Merealisasikan potensi ekonomi Indonesia yang besar menjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang menghasilkan lapangan kerja yang layak (decent jobs) dan mengurangi kemiskinan yang didukung oleh struktur dan ketahanan ekonomi yang kuat. 2. Membuat pembangunan dapat dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia di berbagai wilayah Indonesia secara adil dan merata. 3. Menjadikan Indonesia yang bersih dari korupsi dan memiliki tata kelola pemerintah dan perusahaan yang benar dan baik. 4. Menjadikan Indonesia indah yang lebih asri, lebih lestari. Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019 terdapat enam agenda pembangunan nasional, yaitu: (1) Pembangunan Ekonomi; (2) Pembangunan Pelestarian Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana (3) Pembangunan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan; (4) Pembangunan Kesejahteraan Rakyat; (5) Pembangunan Wilayah; dan (6) Pembangunan Kelautan. Pembangunan Ekonomi Kreatif pada lima tahun mendatang ditujukan untuk memantapkan pengembangan ekonomi kreatif dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Memantapkan pengembangan ekonomi kreatif yang dimaksud adalah memperkuat landasan kelembagaan untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif yang mengarusutamakan kreativitas dalam pembangunan dengan melibatkan seluruh pemangku kebijakan. Landasan yang kuat akan menjadi dasar untuk mewujudkan daya saing nasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kreativitas serta kedinamisan masyarakat untuk berinovasi, dan menciptakan solusi atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi dengan memanfaatkan sumber daya lokal untuk menciptakan industri kreatif yang berdaya saing, beragam, dan berkelanjutan.
116
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Secara strategis pengembangan ekonomi kreatif tahun 2015-2019 bertujuan untuk menciptakan ekonomi kreatif yang berdaya saing global. Tujuan ini akan dicapai antara lain melalui peningkatan kuantitas dan kualitas orang kreatif lokal yang didukung oleh lembaga pendidikan yang sesuai dan berkualitas, peningkatan kualitas pengembangan dan pemanfaatan bahan baku lokal yang ramah lingkungan dan kompetitif, industri kreatif yang bertumbuh, akses dan skema pembiayaan yang sesuai bagi wirausaha kreatif lokal, pasar yang makin beragam dan pangsa pasar yang makin besar, peningkatan akses terhadap teknologi yang sesuai dan kompetitif, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap karya kreatif lokal. Sejalan dengan tujuan pengembangan ekonomi kreatif 2015-2019, pengembangan seni pertunjukan sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif juga diarahkan untuk
membangun landasan yang kuat agar mampu memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuan yang dimiliki oleh semua sumber daya manusia seni pertunjukan sehingga tercipta profesionalisme—yang diperlukan untuk membentuk mekanisme yang dapat mendukung terbentuknya industri seni pertunjukan— sehingga mampu untuk terus menghadirkan karyakarya berkualitas dan meginspirasi kehidupan bermasyarakat di Indonesia sehingga menjadi mandiri secara ekonomi (finansial). Pengembangan seni pertunjukan dalam lima tahun mendatang dilakukan melalui peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered ); peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan; peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan; peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses; perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan; peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan; serta peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan.
4.2 Visi, Misi, Dan Tujuan Pengembangan Seni Pertunjukan Visi, misi, tujuan dan sasaran strategis merupakan kerangka strategis pengembangan seni pertunjukan pada periode 2015-2019 yang menjadi landasan dan acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan program kerja di masing-masing organisasi/lembaga terkait secara terarah dan terukur. Secara umum, kerangka strategis pengembangan seni pertunjukan pada periode 2015-2019 dapat dilihat pada Gambar 4-1.
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
117
VISI
Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya seni pertunjukan lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan
Mengembangkan seni pertunjukan menjadi industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas
Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered)
Peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan
TUJUAN
Seni pertunjukan indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat indonesia
MISI
Gambar 4 - 1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019
Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan
Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan
Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal
Meningkatnya ketersediaan dan akses pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses
SASARAN STRATEGIS
Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan
Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik
Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas
Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan
Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan
Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan
Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan
Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan
118
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan Berdasarkan kondisi seni pertunjukan di Indonesia saat ini, tantangan yang mungkin dihadapi, serta dengan memperhitungkan daya saing serta potensi yang dimiliki dan juga arahan strategis pembangunan nasional dan juga pengembangan ekonomi kreatif periode 2015-2019 maka visi pengembangan seni pertunjukan selama periode 2015–2019 adalah:
Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut: 1. Seni pertunjukan Indonesia mencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer Indonesia. 2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (finansial). 3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang dimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan Visi pengembangan seni pertunjukan akan diwujudkan melalui tiga misi utama, sebagai berikut: 1. Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan. Misi ini memiliki beberapa konsep dasar, meliputi: a. Mengembangkan SDM seni pertunjukan lokal yang dinamis dan berdaya saing artinya: (1) mengembangkan SDM seni pertunjukan secara inklusif, yaitu merata di seluruh wilayah Indonesia dan melibatkan seluruh pelaku seni pertunjukan di seluruh rantai nilai kreatif; (2) mengembangkan SDM seni pertunjukan sehingga mampu meningkatkan kualitas artistik dengan mengangkat nilai-nilai lokal dengan semangat kekinian sehingga dapat bersaing di pasar global. b. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya budaya lokal artinya menjaga keseimbangan nilai-nilai asli dengan pengemasan konsep kekinian sehingga seni pertunjukan memiliki peran yang sentral dalam pelestarian budaya lokal yang dapat memperkuat karakter dan jati diri Bangsa Indonesia. c. Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangan sumber daya lokal harus dilakukan secara bekelanjutan, artinya upaya pemanfaatan dan pengembangan yang dilakukan secara terus-menerus, sistematis, dan memiliki capaian-capaian yang terukur. BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
119
2. Mengembangkan seni pertunjukan menjadi industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas, artinya menghidupkan ekosistem seni pertunjukan yang dapat mendorong tumbuhnya wirausaha, usaha serta meningkatnya kualitas karya seni pertunjukan yang dihasilkan. 3. Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Misi ini memiliki beberapa konsep dasar, meliputi: a. Mengembangkan lingkungan yang kondusif, artinya pemerintah memfasilitasi terciptanya infrastruktur kesenian yang kondusif untuk perkembangan seni pertunjukan Indonesia, yang mencakup: seluruh institusi, ruang, dan sistem pendukung sosial baik formal maupun nonformal, regulasi yang dapat memberikan insentif pada penciptaan rantai nilai kreatif seni pertunjukan, organisasi seni (profit & nonprofit), akses pembiayaan, jejaring dan asosiasi; b. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan, artinya adanya upaya-upaya nyata pemerintah untuk meningkatkan partisipasi aktif para akademisi dan praktisi dengan kapasitas yang mumpuni di bidang seni pertunjukan dalam mengembangkan seni pertunjukan, yang sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
4.2.3 Tujuan Pengembangan Seni pertunjukan Dalam pengembangan seni pertunjukan terdapat tujuh tujuan yang ingin dicapai berdasarkan 3 (tiga) misi utama yang diemban untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered). Sumber daya manusia seni pertunjukan mencakup seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus seni pertunjukan. Sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered) artinya mempunyai pengetahuan dan keahlian untuk mendukung penciptaan karya seni pertunjukan yang berkualitas. 2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan. Sumber daya budaya seni pertunjukan yang dimaksud adalah semua pengetahuan, tradisi dan kearifan lokal (local wisdom) yang terkait dengan dan mendukung perkembangan seni pertunjukan di Indonesia. Perlindungan artinya pengarsipan dengan baik. Pengembangan artinya penggunaan sumber daya budaya sebagai sumber inspirasi penciptaan karya seni pertunjukan. Pemanfaatan artinya sumber daya budaya harus dapat diakses untuk dimanfaatkan oleh publik dengan cepat dan mudah. 3. Peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan, artinya terbentuk suatu sistem kelembagaan dan infrastruktur yang memungkinkan tumbuhnya usaha dan wirausaha baru yang berkualitas, dalam mendukung konsistensi penciptaan karya seni pertunjukan bermutu. 4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses. Transparan atau terbuka artinya segala informasi yang berkaitan dengan pembiayaan dapat diketahui oleh publik. Akuntabel artinya adanya sistem pengelolaan dan pelaporan pembiayaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Mudah diakses artinya adanya sistem informasi dan pengelolaan yang memudahkan publik untuk mengakses pembiayaan tersebut.
120
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan, artinya meningkatnya jumlah penonton seni pertunjukan di dalam dan luar negeri melalui strategi program dukungan dan promosi yang berkualitas serta dilakukan secara terus-menerus (berkelanjutan). 6. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan, artinya meningkatnya jumlah gedung pertunjukan serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai panggung presentasi karya pertunjukan serta studio atau ruang tempat latihan yang dilengkapi dengan infrastruktur teknis yang memadai atau mutakhir. 7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan. Dalam mengembangkan seni pertunjukan, diperlukan kelembagaan yang kondusif yang mencakup: 1) regulasi mendukung penciptaan rantai kreatif seni pertunjukan; 2) adanya pelibatan partisipasi aktif pemangku kepentingan yang terdiri dari elemen praktisi dan akademisi seni pertunjukan, pemerintah, dan swasta; 3) terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaran kegiatan seni pertunjukan; 4) meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional; serta 5) apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan (baik tradisi maupun kontemporer) di Indonesia.
4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni Pertunjukan Untuk mencapai tujuan pengembangan seni pertunjukan maka terdapat empat belas sasaran strategis yang dapat diindikasikan oleh 42 indikasi strategis. Sasaran dan indikasi strategis pengembangan seni pertunjukan meliputi: 1. Sasaran 1: Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya Seni Pertunjukan yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya kuantitas dan kualitas perguruan tinggi seni di luar Jawa, dengan fokus wilayah Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua; b) Terdapat bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni di Indonesia, yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta); c) Meningkatnya kuantitas dan kualitas pengajar, artinya jumlah dan kualitas tenaga pendidik yang sesuai di bidang keahlian seni pertunjukan yang dibutuhkan semakin bertambah; rutin dilakukannya pembaharuan kurikulum dan metode pengajaran (minimum setiap 2 tahun sekali); serta dilakukannya pemisahan antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni di Indonesia yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta); d) Terakreditasinya lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari) di kota-kota besar di Indonesia meliputi Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, dan Medan. 2. Sasaran 2: Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang dapat diindikasikan oleh: a) Tersedianya data profil profesi dan pelaku seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik secara cepat, mudah, dan akurat. Profil profesi menunjukkan beragam fungsi dan keahlian yang dibutuhkan dalam penciptaan karya seni pertunjukan sampai karya tersebut ditampilkan dan diapresiasi. Profil profesi
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
121
diharapkan sudah dapat diselesaikan pada hingga akhir 2019; b) Meningkatnya kuantitas dan kualitas SDM seni pertunjukan yang mendapatkan program beasiswa dan fellowship untuk mengikuti program residensi seniman, menghadiri festival serta fora pasar seni pertunjukan internasional, maupun untuk menempuh pendidikan formal. SDM seni pertunjukan yang dimaksud yaitu: manajer, produser; desainer tata cahaya dan desainer tata suara, seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus seni pertunjukan. 3. Sasaran 3: Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik, yang dapat diindikasikan oleh: a) Terciptanya sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan Indonesia yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional, bekerja sama dengan ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia); b) Terciptanya distribusi keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia baik di kalangan praktisi seni pertunjukan maupun masyarakat umum, yang ditunjukan oleh meningkatnya jumlah penelitian dan penerbitan hasil penelitian yang memanfaatkan sumber daya budaya yang diarsipkan. 4. Sasaran 4: Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya kuantitas dan kualitas (profesionalisme) produser produser, manajer, promotor, presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan Indonesia yang terlibat dalam penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan; b) Meningkatnya jumlah koproduksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat lokal, nasional dan global. 5. Sasaran 5: Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya jumlah usaha seni pertunjukan yang memiliki kemampuan manajemen dan tatakelola organisasi/ usaha; b) Meningkatnya jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) tingkat lokal, nasional, maupun global yang ditunjukkan dengan pelaksanaan pertemuan atau konferensi rutin tahunan. 6. Sasaran 6: Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya pengetahuan dan pengalaman (artistik, psiko-sosial) seniman dalam penciptaan karya seni pertunjukan, yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah penelitian seniman dalam rangka produksi karya seni; b) Meningkatnya jumlah kokreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional; c) Meningkatnya kapasitas pengelola gedung-gedung atau tempattempat pertunjukan publik utama, yang ditunjukkan oleh mampunya gedung-gedung/ tempat-tempat pertunjukan publik utama di kota-kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura, untuk melakukan kurasi dan mengembangkan program. 7. Sasaran 7: Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses, yang dapat diindikasikan oleh meningkatnya jumlah skema hibah untuk organisasi, program, dan kegiatan seni yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN). 8. Sasaran 8: Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya kapasitas dan fungsi venue (gedung pertunjukan) dalam melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan, yang ditunjukkan dari meningkatnya jumlah venue atau gedung pertunjukan yang melakukan programprogram ‘outreach’ yang mendekatkan masyarakat dengan praktik seni pertunjukan 122
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
seperti menonton, mengetahui proses belakang panggung (backstage), mendengar uraian sejarah, dan lain sebagainya.; b) Meningkatnya jumlah jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil, yang ditunjukkan dari meningkatnya jumlah manajer atau promotor seni pertunjukan Indonesia yang menghadiri internasional performing art market; c) Meningkatnya fungsi kedutaan besar RI di luar negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia (tradisi dan kontemporer); d) Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia. 9. Sasaran 9: Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan, yang dapat diindikasikan oleh meningkatnya ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana gedung-gedung pertunjukan publik utama yang tersebar di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan. 10. Sasaran 10: Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan oleh: a) Terciptanya regulasi alokasi dana CSR korporasi yang memiliki keberpihakan bagi kegiatan seni dan budaya di Indonesia; b) Terciptanya regulasi pemerintah daerah yang melakukan pembebasan biaya retribusi dan pengurangan biaya sewa untuk kegiatan-kegiatan kesenian; c) Terciptanya regulasi insentif pajak yang memasukkan kesenian sebagai bidang penerima sumbangan; d) Tersusunnya kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/festival sebagai pendukung regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. 11. Sasaran 11: Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya koordinasi antar pemangku kepentingan di bidang seni pertunjukan, yang ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah konferensi tahunan organisasi-organisasi yang melakukan resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan (termasuk praktisi, komunitas, akademisi, pemerintah, dan swasta) ; b) Terbentuknya organisasi pengelola dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta; c) Meningkatnya kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan. 12. Sasaran 12: Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan oleh teraktivasinya taman-taman kota, plaza-plaza terbuka yang dapat digunakan publik sebagai ajang menampilkan kreativitas seniman seni pertunjukan. 13. Sasaran 13: Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya jumlah negara-negara yang menjalin kemitraan strategis dengan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kapasitas produksi karya seni pertunjukan; b) Meningkatnya tingkat partisipasi seniman-seniman Indonesia di forum-forum International Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika), PAMS (Korea), TPAM (Jepang) dan IETM; dan festival-festival seni pertunjukan internasional yang prestisius. 14. Sasaran 14: Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya jumlah anugerah atau penghargaan seni pertunjukan yang dilakukan secara berkelanjutan dan prestisius; b) Terciptanya kurikulum pendidikan umum yang mengintegrasikan seni di sekolah-sekolah (dari PAUD-SMA).
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
123
4.4 Arah Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia Arah pengembangan seni pertunjukan dijabarkan berdasarkan tujuan pengembangan seni pertunjukan, meliputi 7 tujuan utama, yaitu: 1) peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered); 2) peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan; 3) peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan; 4) peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses; 5) perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan; 6) peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan; dan 7) peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan.
4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan Yang Berdaya (Empowered) Sumber daya manusia seni pertunjukan merupakan input utama dalam pengembangan seni pertunjukan. Pengembangan seni pertunjukan dalam kerangka ekonomi kreatif membutuhkan sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya. Hal ini dicapai melalui peningkatan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan formal vokasional dan nonformal, didukung oleh adanya bidang studi manajemen dan teknologi panggung bagi seni pertunjukan; dan penciptaan SDM seni pertunjukan yang dinamis dan profesional di tingkat nasional dan global. Peningkatan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikanyang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan formal seni vokasional seni pertunjukan yang diharapkan dapat mencetak seniman-seniman yang tidak hanya terampil, tetapi juga berwawasan lokal dan global. Pengembangan juga difokuskan kepada lembaga-lembaga pendidikan nonformal seni seperti sanggar tari, teater komunitas, dan paguyuban seni sebagai lembaga pendidikan alternatif yang pada praktiknya, banyak menghasilkan seniman-seniman berkualitas. Turut menjadi bagian dari pengembangan lembaga pendidikan formal seni adalah pengembangan bidang studi manajemen seni dan teknologi panggung – yang merupakan pendukung utama penciptaan karya seni pertunjukan. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan diarahkan untuk menciptakan SDM seni pertunjukan yang dinamis dan profesional di tingkat nasional dan global. Dalam mengembangkan seni pertunjukan, selain seniman, dibutuhkan SDM seni pertunjukan lainnya yang mendukung penciptaan karya yang mencakup manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus. SDM pendukung seni pertunjukan ini diharapkan menjadi SDM yang dinamis—yang dapat terus maju dan berkembang menjawab tantangan dan kebutuhan dunia seni pertunjukan—dan juga dapat bekerja dengan profesional baik untuk pengelolaan maupun penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan di tingkat nasional dan global.
4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik diarahkan untuk mengembangkan sistem informasi pengetahuan budaya seni pertunjukan yang akurat dan terpercaya yang dikelola secara profesional. Sistem informasi berupa pengarsipan praktik seni dan budaya, terutama dokumentasi audio-visual seni pertunjukan yang akurat dan terpercaya, perlu dikelola secara profesional agar dapat diakses dan dimanfaatkan oleh praktisi dan peneliti seni pertunjukan, juga masyarakat luas. 124
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang Berkualitas Untuk mendorong potensi seni pertunjukan industri kreatif, maka dibutuhkan suatu keberlanjutan dalam rantai nilai kreatifnya. Di dalam rantai nilai kreatif, ketersediaan wirausaha, usaha, dan karya merupakan elemen-elemen penting yang bersinergi dalam membentuk keberlanjutan proses penciptaan karya seni pertunjukan. Peningkatan kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal diarahkan untuk memfasilitasi penciptaan dan peningkatan profesionalisme (skill-knowledge-attitude) wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal yang dapat mengembangkan program yang sesuai dengan konteks lokal-nasional-global. Dengan mendorong para SDM seni pertunjukan (terutama seniman, manajer, dan produser) untuk menjadi wirausaha yang profesional, maka penciptaan karya dan penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan dapat menjadi lebih mandiri dan terdorong untuk terus mengembangkan program dengan konteks lokal-nasional-global. Selain menjadi profesional, kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan ini ditingkatkan dengan cara memfasilitasi kolaborasi dan penciptaan jejaring kreatif antar wirausaha kreatif seni pertunjukan Indonesia di tingkat nasional dan internasional. Artinya, semakin banyak kolaborasi (kokreasi dan koproduksi) yang dihasilkan oleh para wirausaha kreatif seni pertunjukan Indonesia baik di tingkat nasional maupun internasional, semakin banyak referensi, ilmu, dan kesempatan yang mereka dapatkan. Peningkatan usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas diarahkan untuk memperkuat kemampuan kelompok seni pertunjukan lokal menjadi usaha kreatif seni pertunjukan yang mandiri secara finansial dan efektif dalam berproduksi. Tidak semua kelompok seni pertunjukan (sanggar tari, grup musik, kelompok teater) harus beroperasi layaknya sebuah usaha. Namun demikian, bagi kelompok-kelompok seni pertunjukan yang ingin berkarir secara profesional dan terus menghasilkan karya dengan konsisten, maka menjalankan kelompok layaknya usaha merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini menjamin adanya pengelolaan SDM dan keuangan yang lebih terstruktur, terarah, dan akuntabel; sehingga kelompok dapat menjadi mandiri secara finansial dan lebih efektif dalam berproduksi. Selain untuk memperkuat kapasitas usaha, peningkatan usaha kreatif seni pertunjukan juga diarahkan untuk memfasilitasi kolaborasi dan keterkaitan antar usaha dalam industri seni pertunjukan maupun antara industri seni pertunjukan dengan industri lainnya di tingkat lokal, nasional, dan global. Agar seni pertunjukan dapat tumbuh menjadi sebuah industri kreatif, maka keterkaitan antar usaha dalam seni pertunjukan baik antar usaha dalam industri utama, maupun antar usaha dalam industri utama dengan usaha-usaha dalam industri pendukung yaitu backward linkage dan forward linkage. Peningkatan mutu karya seni pertunjukan diarahkan untuk memfasilitasi pengembangan wacana dan eksplorasi bentuk-bentuk baru dalam penciptaan karya seni pertunjukan yang memanfaatkan sumber daya budaya lokal secara berkelanjutan. Hal ini berarti, pengembangan wacana dan bentuk-bentuk baru dapat terus dilakukan dengan semangat kekinian, namun tetap menunjukkan karakter dan jati diri Bangsa Indonesia dengan memanfaatkan dan melestarikan kebudayaan lokal. Selain itu, peningkatan mutu karya seni pertunjukan juga diarahkan untuk mengembangkan sistem penilaian mutu karya seni pertunjukan yang sesuai dengan kuratorial seni pertunjukan nasional maupun global. Artinya, gedung-gedung atau tempattempat pertunjukan publik utama didorong untuk mempunyai kapasitas dalam melakukan kurasi
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
125
karya-karya seni pertunjukan dengan kritis dan dapat mengaitkan praktik seni pertunjukan dengan kajian yang beredar di dunia global. Adanya sistem penilaian seperti ini penting sebagai acuan dalam menilai mutu karya seni pertunjukan, yang mendorong seniman-seniman untuk menghasilkan karya yang lebih bermutu.
4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses Kreasi Dan Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses Peningkatan ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses diarahkan untuk menciptakan dan mengembangkan lembaga dan alternatif pembiayaan bagi organisasi, program dan kegiatan seni yang mudah diakses. Lembaga-lembaga pemerintah seperti Kementerian dan BUMN merupakan lembagalembaga yang potensial untuk dikembangkan sebagai lembaga alternatif bagi pembiayaan seni, yaitu dengan menciptakan alternatif pembiayaan skema hibah yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan.
4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas Dan Berkelanjutan Perluasan pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri diarahkan untuk mengembangkan penonton karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri. Pengembangan penonton di dalam negeri dilakukan melalui pengembangan kapasitas venue atau gedung pertunjukan dan lembaga pendidikan untuk dapat melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan. Sedangkan pengembangan penonton di luar negeri dilakukan melalui pengembangan jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil di presenterpresenter internasional. Selain pengembangan penonton, perluasan pasar juga diarahkan untuk mengembangkan sistem informasi pasar karya kreatif yang dapat diakses dengan mudah dan informasinya didistribusikan dengan baik. Sistem informasi yang dikembangkan meliputi sistem informasi offline yaitu berupa pusat informasi seni pertunjukan Indonesia yang berada di Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, juga sistem informasi online berupa portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia.
4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan diarahkan untuk menjamin ketersediaan, kesesuaian, jangkauan harga/biaya, sebaran/penetrasi, dan performansi sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional yang tersebar di beberapa provinsi dan tempat latihan melalui pemanfaatan ruang-ruang kreatif publik. Peningkatan prasarana mencakup prasarana teknis seperti tata lampu, tata suara, flooring, dan lain sebagainya.
126
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk Pengembangan Seni Pertunjukan Lingkungan yang kondusif merupakan infrastruktur utama yang dibutuhkan dalam pengembangan seni pertunjukan. Upaya penciptaan regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan diarahkan untuk pencapaian 1) harmonisasi-regulasi penciptaan rantai nilai kreatif (creative value chain); 2) meningkatkan sinergi, koordinasi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan seni pertunjukan (pemerintah pusat dan daerah, lintas kementerian, dan pelaku seni pertunjukan); 3) mengembangkan, memfasilitasi pembentukan dan peningkatan kualitas organisasi yang dapat mempercepat pengembangan seni pertunjukan; 4) meningkatkan ketersediaan dan aktivasi ruang publik yang dapat memfasilitasi pementasan seni pertunjukan; 5) meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian serta kepemimpinan Indonesia dalam forum diplomasi bilateral, regional dan multilateral; 6) meningkatkan partisipasi Indonesia dalam forum-forum/festival-festival seni pertunjukan tingkat internasional yang dapat mengangkat citra Indonesia sebagai bangsa yang kreatif; 7) memfasilitasi dan memberikan penghargaan bagi seniman, karya, dan profesional seni pertunjukan di tingkat nasional; dan 8) meningkatkan literasi masyarakat terhadap seni pertunjukan.
4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan Strategi pengembangan jangka menengah seni pertunjukan merupakan pendekatan pelaksanaan perencanaan dan rencana aksi dalam kurun waktu 2015-2019, yang dilaksanakan dengan beberapa prinsip dasar, sebagai berikut: 1. Dalam melaksanakan rencana aksi pengembangan seni pertunjukan, pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, yaitu pihak yang memfasilitasi pengembangan bukan sebagai penyelenggara acara atau event. Sebagai fasilitator, pemerintah menjembatani berbagai kepentingan para pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan dan memberi dana fasilitasi. 2. Perencanaan dan pelaksanaan rencana aksi pengembangan seni pertunjukan dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli di bidang seni pertunjukan, yakni mencakup para akademisi dari sekolah tinggi seni dan praktisi di luar sekolah tinggi seni. 3. Pemberian dana fasilitasi dilakukan dengan transparan dan akuntabel.
4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan Karya Seni Pertunjukan Peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan memiliki 4 strategi utama yang dapat diindikasikan oleh 4 indikasi strategis, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Memfasilitasi penguatan dan pengembangan lembaga pendidikan formal di luar Jawa. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah: fasilitasi penguatan dan pengembangan lembaga pendidikan tinggi seni di luar Jawa, yaitu Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Penguatan dan pengembangan termasuk penyediaan dana pengembangan, infrastruktur, kurikulum yang sesuai dengan perkembangan seni pertunjukan, dan menyediakan tenaga pendidik yang diperlukan. 2. Strategi 2: Mengembangkan bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di lembaga pendidikan seni pertunjukan yang sudah ada. Untuk melaksanakan
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
127
strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pengembangan bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta). 3. Strategi 3: Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengajar, pembaharuan kurikulum, metode pengajaran, pemisahan antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta). Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Pengembangan pemisahan pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian seni pertunjukan, yang jenjangnya setara Strata 1. b. Fasilitasi pemutakhiran kurikulum pendidikan seni pertunjukan, sesuai dengan perkembangan seni pertunjukan terkini. c. Fasilitasi akademisi (pengajar) seni pertunjukan (formal dan nonformal) seni pertunjukan untuk mengikuti seminar yang mempertemukan mereka dengan peneliti dan seniman yang aktif dan bereputasi di tingkat lokal maupun internasional. Fasilitasi dapat berupa pemberian hibah partisipasi seminar. d. Fasilitasi persiapan kemampuan bahasa asing (mis. Inggris) para akademisi (pengajar) seni pertunjukan (formal dan nonformal) sebelum menempuh sekolah di luar negeri. 4. Strategi 4: Mengakreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari). Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah pengembangan akreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari) di kota-kota besar Indonesia, meliputi Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, dan Medan.
4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan
Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan memiliki 2 strategi utama yang dicapai melalui 5 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Mengembangkan profil profesi seni pertunjukan yang diindikasikan oleh tersedianya data profil profesi dan pelaku seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik secara cepat, mudah dan akurat. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pengembangan profil profesi seni pertunjukan dan pemetaan SDM seni pertunjukan berdasarkan profil profesi yang telah diidentifikasi. 2. Strategi 2: Memfasilitasi pemberdayaan SDM seni pertunjukan (manajer, pengelola venue & festival, kurator, kritikus, teknisi, seniman) untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi SDM seni pertunjukan non seniman untuk mengikuti pendidikan formal, yaitu: manajer dan produser setaraf S2 nonkajian; dan desainer tata cahaya dan desainer tata suara setara S2. Saat ini Indonesia belum memiliki perguruan tinggi yang menawarkan program-program manajemen seni dan keproduseran yang baik, begitu pula dengan program desain tata cahaya dan tata suara yang sesuai dengan kebutuhan pementasan. Oleh karena itu, pendidikan sebaiknya ditempuh di luar negeri. b. Fasilitasi SDM seni pertunjukan (seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus) untuk mengikuti program workshop yang diselenggarakan secara mandiri oleh pemerintah. 128
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
c. Fasilitasi SDM seni pertunjukan (termasuk seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus) untuk mengikuti program residensi dan workshop (yang sudah ada) di tingkat lokal maupun internasional. d. Fasilitasi penulisan kritik seni pertunjukan tahunan. Fasilitasi dapat berupa penyelenggaraan sayembara penulisan kritik seni pertunjukan, yang hasilnya kemudian diterbitkan berupa buku kumpulan kritik seni.
4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan Budaya Seni Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik Penciptaan pusat pengetahuan dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik memiliki 2 strategi utama yang dicapai melalui 4 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Mengembangkan sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan Indonesia yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan (Join Katalog Online). Pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan membutuhkan sumber dana, sumber daya manusia dan kapasitas penyimpanan yang besar. Oleh karena itu, sistem pengarsipan sebaiknya dilakukan bekerja sama dengan ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). b. Fasilitasi pengembangan kapasitas pengelola pengarsipan dan pusat penyimpanan data seni pertunjukan. 2. Strategi 2: Memfasilitasi penelitian untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi hibah penelitian seni pertunjukan untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan seni pertunjukan. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang memanfaatkan sumber daya budaya yang diarsipkan. b. Fasilitasi penerbitan hasil penelitian keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia.
4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Penciptaan kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal memiliki 2 strategi utama yang dicapai melalui 4 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Memfasilitasi program pendampingan, magang, dan mentoring dalam penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan (skala lokal, nasional, dan internasional) secara berkesinambungan untuk meningkatkan profesionalisme produser, manajer, promotor, presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan Indonesia. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi pendampingan dan pelatihan penyelenggaraan pementasan atau festival seni pertunjukan. Pendampingan dan pelatihan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan para profesional seni pertunjukan. Pendampingan penyelenggaraan pementasan atau festival juga sebaiknya dilakukan selama setidaknya selama tiga tahun beturut-turut untuk memastikan terjadinya akumulasi pengetahuan dan pembelajaran yang terukur diantara para pelakunya, termasuk pemerintah. BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
129
b. Fasilitasi program magang/bekerja untuk manajer, produser, promotor, dan pekerja teknis seni pertunjukan dalam penyelenggaraan pementasan atau festival seni pertunjukan. Peserta magang dipilih melalui seleksi sesuai dengan organisasi atau tuan rumah tempat magang yang tersedia. c. Fasilitasi program mentoring untuk para manajer, produser dan presenter seni pertunjukan. Program mentoring terbuka untuk umum, tanpa melalui proses seleksi. 2. Strategi 2: Memfasilitasi koproduksi antar produser/presenter seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi koproduksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional.
4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri, Berjejaring, Dan Berkualitas Peningkatan usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas memiliki 2 strategi dan 4 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Memfasilitasi pendampingan kepada kelompok seni pertunjukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan tata kelola organisasi/ usaha kreatif seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi pendampingan manajemen dan tata kelola kelompok seni pertunjukan secara berkelanjutan, yang melibatkan tenaga ahli di bidang manajemen seni pertunjukan. b. Fasilitasi pelatihan manajemen dan tata kelola kelompok seni pertunjukan, yang terbuka untuk umum. 2. Strategi 2: Mengembangkan jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) di tingkat lokal, nasional, maupun global. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi pertemuan/konferensi rutin nasional praktisi seni pertunjukan di seluruh Indonesia, yang meliputi seniman, produser, manajer, dan presenter seni pertunjukan. b. Fasilitasi praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) Indonesia untuk mengikuti pertemuan/konferensi asosiasi seni pertunjukan internasional. Fasilitasi dapat berupa pemberian hibah dengan metode seleksi.
4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan Peningkatan mutu seni pertunjukan memiliki 3 strategi dan 4 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Memfasilitasi penelitian seniman untuk mendapatkan pengalaman artistik, seperti studi literatur dan kajian psikososial untuk mendukung gagasan penciptaan karya seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi penelitian seniman dalam rangka produksi karya. 2. Strategi 2: Memfasilitasi kokreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi pengalaman keberagaman di Indonesia melalui kerja kolaborasi antar pelaku seni pertunjukan daerah di seluruh Indonesia. Fasilitasi dapat berupa pemberian hibah kolaborasi yang mengutamakan kolaborasi seniman antar daerah di Indonesia. b. Fasilitasi seniman untuk menonton festival di tingkat lokal dan internasional. Fasilitasi dapat berupa pemberian hibah dana perjalanan (travel grant).
130
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3. Strategi 3: Memfasilitasi pengembangan kapasitas pengelola gedung-gedung/tempat-tempat pertunjukan publik utama. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pelatihan dan studi banding untuk pengelola gedung-gedung pertunjukan publik utama di kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura, untuk meningkatkan kapasitas kurasi dan pengembangan program. Topik pelatihan adalah pengembangan program dan kapasitas kurasi. Di dalam negeri, studi banding dapat dilakukan ke gedung/ venue pertunjukan yang merupakan best practice (contoh: Komunitas Salihara, Jakarta). Sedangkan untuk studi banding ke luar negeri dapat dilakukan ke negara-negara yang mempunyai gedung atau venue pertunjukan yang baik, seperti India, Thailand, Korea Selatan.
4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses Peningkatan ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses dicapai melalui strategi memfasilitasi pengembangan skema hibah yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan bagi organisasi, program dan kegiatan seni oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN). Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi pengembangan skema hibah bagi program dan kegiatan seni oleh lembagalembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN). Skema hibah mencakup biaya produksi karya, biaya residensi, biaya penelitian dan pengembangan, biaya perjalanan (travel grant) dan pentas keliling (touring) nasional dan internasional. b. Pengembangan portal yang menjadi hub skema hibah atau pembiayaan yang tersedia bagi kegiatan seni dan budaya.
4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri Perluasan pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri memiliki 4 strategi dan 5 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Memfasilitasi pengembangan kapasitas venue (gedung pertunjukan) dan lembaga pendidikan umum untuk dapat melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Fasilitasi pendampingan dan pelatihan untuk venue (gedung-gedung pertunjukan) dalam melakukan pembinaan penonton. Materi pelatihan termasuk: manajemen program, manajemen venue, pemasaran, dan teknis. Program pembinaan penonton meliputi program-program ‘outreach’ yang mendekatkan masyarakat dengan praktik seni pertunjukan seperti menonton, mengetahui proses belakang panggung (backstage), mendengar uraian sejarah, dan lain sebagainya. b. Fasilitasi kelompok-kelompok seni yang melakukan pengenalan seni pertunjukan di sekolah-sekolah umum (PAUD-SMA); misalnya diundang sebagai pengajar, menampilkan karya di sekolah, ataupun mengadakan kegiatan bersama dengan siswa-siswi sekolah.
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
131
2. Strategi 2: Mengembangkan jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensipotensi yang layak tampil. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi manajer seni pertunjukan (produser, presenter) Indonesia untuk mengikuti/menghadiri performing art mart internasional (misalnya di Asia, Eropa, Amerika dan Australia). Fasilitasi dapat berupa pemberian dana perjalanan (travel grant). 3. Strategi 3: Mengoptimalkan fungsi Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia (tradisi dan kontemporer). Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah pengembangan pusat informasi seni pertunjukan Indonesia baik tradisi dan kontemporer melalui pusat budaya di Kedutaan Besar Republik Indonesia, dengan menyiapkan materi-materi promosi seni pertunjukan yang dibutuhkan di pusat budaya tersebut. 4. Strategi 4: Mengembangkan portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah pengembangan portal informasi seni pertunjukan online yang memuat: perkembangan seni pertunjukan dalam negeri dan mancanegara, informasi suplai dan permintaan terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri.
4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan dicapai melalui strategi meningkatkan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana (seperti tata lampu, tata suara, flooring, dan lain sebagainya) gedung-gedung pertunjukan publik utama yang tersebar di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi peningkatan jumlah gedung pertunjukan publik utama serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruanganruangan tempat latihan serta pemutakhiran infrastruktur teknis (seperti tata lampu, tata suara, flooring) yang ada didalamnya. Fokus peningkatan sarana dan prasarana adalah di kota-kota strategis seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura.
4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang Kondusif Bagi Pengembangan Seni Pertunjukan Pengembangan regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan memiliki 4 strategi dan 4 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Harmonisasi-regulasi alokasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) korporasi untuk bidang seni dan budaya. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi dana CSR korporasi (Corporate Social Responsibility). Harmonisasi dilakukan agar perundang-undangan CSR memiliki keberpihakan bagi kegiatan seni dan budaya di Indonesia. 2. Harmonisasi-regulasi retribusi gedung pertunjukan publik utama agar dapat mudah diakses oleh seniman dan mendukung terjadinya siklus produksi dan distribusi karya seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi sewa dan retribusi gedung pertunjukan publik utama, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Makassar. 132
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3. Harmonisasi-regulasi insentif pajak korporasi untuk dapat lebih termotivasi membantu program-program kesenian. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi insentif pajak korporasi. Harmonisasi dilakukan untuk melihat kemungkinan memasukkan kesenian sebagai bidang penerima sumbangan atau meningkatkan persentase nilai tax deduction. 4. Harmonisasi-regulasi pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan program kesenian/ festival oleh pemerintah. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah untuk penyelenggaraan program kesenian/festival. Harmonisasi dilakukan untuk mendapatkan model pembiayaan yang paling baik dan masuk akal dalam penyelenggaraan acara-acara kesenian, serta bersinergi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang kesenian terkait.
4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Seni Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan Peningkatan partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan memiliki 3 strategi dan 3 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Memfasilitasi resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan berupa forum. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan berupa forum. Fasilitasi dapat berupa pemberian hibah untuk organisasi-organisasi yang melakukan resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan, serta penyelenggaraan konferensi tahunan organisasi-organisasi penerima hibah (sebagai progress report) dengan mengikutsertakan pemerintah. 2. Strategi 2: Memfasilitasi pembentukan organisasi gabungan dari pemerintah, pelaku seni, dan pengusaha, yang berkualitas sebagai rekan pemerintah dalam yang menciptakan sebanyak mungkin peluang bagi praktisi seni pertunjukan Indonesia untuk berkarya dan berjejaring di tingkat nasional maupun internasional. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi terbentuknya organisasi pengelola dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta. Pembentukan organisasi tersebut dilakukan melalui proses studi bentuk kelembagaan dan sumber pendanaan organisasi. 3. Strategi 3: Meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pelatihan/seminar untuk meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan. Aparatur negara mencakup aparatur negara yang berada di kementerian-kementerian dan dinas-dinas terkait seni dan budaya di tingkat pusat, provinsi, maupun kota.
4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk Penyelenggaraan Kegiatan Seni Pertunjukan Peningkatan ketersediaan ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan memiliki strategi memfasilitasi pengembangan dan aktivasi taman kota, plaza-plaza terbuka, sebagai ajang menampilkan kreativitas seniman seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi aktivasi taman kota dan plaza-plaza terbuka. Peningkatan ketersediaan ruang-ruang publik dilakukan melalui penyusunan kebijakan penggunaan ruang publik.
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia
133
4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan Indonesia Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan Peningkatan posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan memiliki 2 strategi dan 2 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Menjalin kemitraan strategis dengan negara Jepang, Korea, Jerman, Perancis, Australia, dan Amerika, dan lain sebagainya, dalam peningkatan kapasitas produksi karya seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi kemitraan strategis untuk peningkatan kapasitas produksi karya seni pertunjukan dengan negara-negara tersebut. Kunjungan diplomasi ke lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi pemerintahan yang menaungi seni dan budaya di negara-negara terkait, dilakukan dengan melibatkan praktisi seni pertunjukan. 2. Strategi 2: Memfasilitasi keikutsertaan/penampilan seniman-seniman Indonesia di forum-forum International Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika), PAMS (Korea Selatan), TPAM (Jepang) dan IETM (Asia Satellite Meeting di kota yang berganti-ganti) dan lain sebagainya; dan festival-festival seni pertunjukan internasional yang prestisius. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi keikutsertaan/penampilan seniman-seniman Indonesia di forum-forum tersebut. Fasilitasi dapat berupa hibah dana perjalanan (travel grant) dan keikutsertaan, serta persiapan materi pemasaran yang berstandar internasional.
4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni Pertunjukan Peningkatan apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan memiliki 2 rencana strategis dan 2 rencana aksi, sebagai berikut: 1. Strategi 1: Memfasilitasi terlembaganya anugerah/penghargaan seni pertunjukan agar dilakukan secara berkelanjutan dan prestisius. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi terlembaganya anugerah/penghargaan seni pertunjukan (untuk seniman, praktisi, dan venue) yang diberikan oleh lembaga pemerintah, di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. 2. Strategi 2: Mengembangkan kurikulum pendidikan umum yang terintegrasi dengan seni sejak dini, yaitu sejak PAUD sampai dengan pendidikan menengah atas. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah pengembangan kurikulum pendidikan umum yang terintegrasi dengan seni sejak dini, yaitu sejak PAUD sampai dengan pendidikan menengah atas.
134
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
136
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
BAB 5 Penutup
BAB 5: Penutup
137
5.1 Kesimpulan Dalam penyusunan rencana pengembangan seni pertunjukan nasional 2015-2019, seni pertunjukan didefinisikan sebagai: “Cabang kesenian yang melibatkan perancang, pekerja teknis dan penampil (performers), yang mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu gagasan kepada penonton (audiences); baik dalam bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan tubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live) di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini (hic et nunc)”. Definisi tersebut merupakan hasil elaborasi dari proses analisis yang meliputi: kajian pustaka, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion, yang melibatkan para narasumber yang mewakili pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, praktisi seni pertunjukan, komunitas, dan kalangan intelektual. Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional, komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam istilah atau genre ‘modern’ dan ‘kontemporer’). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi. Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus, opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi. Untuk menggambarkan hubungan saling ketergantungan antara setiap peran di dalam proses penciptaan nilai kreatif dengan lingkungan sekitar, dikembangkan peta ekosistem seni pertunjukan yang terdiri atas empat komponen utama, yaitu: rantai nilai kreatif, lingkungan pengembangan, pasar, dan pengarsipan. Rantai nilai kreatif seni pertunjukan meliputi proses kreasi, produksi, distribusi, dan presentasi. Lingkungan pengembangan seni pertunjukan meliputi pendidikan dan apresiasi. Konsep pasar dalam seni pertunjukan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu penonton dan presenter, yang bisa berupa festival, maupun venue yang mempunyai program. Sedangkan pengarsipan yang dimaksud dalam seni pertunjukan meliputi pemeliharaan arsip juga pelestarian praktik seni dan budaya. Dampak ekonomi dari pengembangan seni pertunjukan dapat dilihat dari peta industri yang menggambarkan hubungan antar pelaku dan entitas usaha yang membentuk industri utama seni pertunjukan, mulai dari proses kreasi hingga presentasi, serta pelaku dan entitas pendukung yang memberikan suplai pada pelaku dan entitas usaha di industri utama (backward linkage) dan entitas pendukung yang memberikan permintaan (demand) kepada pelaku dan entitas usaha industri utama (forward linkage). Para pelaku dan entitas usaha yang termasuk backward linkage ditemukan terutama dalam proses produksi karya seni pertunjukan. Pada proses ini, seniman sebagai pelaku di industri utama membutuhkan pelaku-pelaku pendukung, seperti para perancang, untuk merealisasikan dan mengembangkan gagasan penciptaan mereka ke dalam ruang dan lokasi (set dan dekorasi), suasana serta mood peristiwa (cahaya dan atau musik ilustrasi), kostum, dan lain sebagainya. Perancang utama yang diperlukan dalam produksi di antaranya perancang panggung (set designer atau skenografer), perancang tata cahaya (lighting designer), perancang tata suara (sound designer atau sound engineer), dan perancang kostum dan properti. Sedangkan pelaku dan entitas usaha yang termasuk forward linkage dapat terlihat terutama dalam proses kreasi. Dalam proses ini, banyak sutradara yang menuliskan gagasan dan proses kreatifnya untuk diterbitkan sebagai buku, sehingga bisa menjadi panduan belajar bagi mahasiswa maupun sutradara-sutradara
138
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
muda. Lain halnya dengan seorang aktor seni pertunjukan, kemampuan aktingnya yang matang kerap kali diperlukan untuk mendukung industri film ataupun televisi, baik sebagai pemain film maupun sebagai pelatih akting (acting coach). Sifat seni pertunjukan yang serba multidisiplin dan kerap multimedia membuat proses produksi karya seni pertunjukan selalu melibatkan banyak orang (baik seniman perancang, penampil maupun teknisi). Sementara itu, karena watak seni pertunjukan yang langsung (live), di sini dan kini, maka proses konsumsi atau resepsinya pun mesti melibatkan sejumlah pelaku yang sama banyaknya dengan proses produksinya. Konsekuensi ekonomis dari watak seni pertunjukan yang seperti itu membuat biaya produksi dan distribusi karya seni pertunjukan menjadi relatif besar. Dibandingkan dengan film, misalnya, proses produksi film juga melibatkan banyak pelaku, tetapi karena watak karya film sebagai (berada di dalam) medium terekam maka proses distribusinya– setelah proses penciptaan (perekaman dan pengeditan) selesai–menjadi lebih ringan dan lebih mudah ketimbang seni pertunjukan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi sebesar 0,4% terhadap total PDB Industri Kreatif. Nilai ini berada di urutan kedua terbawah dari 15 subsektor ekonomi kreatif. Berdasarkan nilai rata-rata pertumbuhan NTB 20102013, maka pertumbuhan pada subsektor seni pertunjukan sebesar 4,20%, berada di bawah laju rata-rata pertumbuhan ekonomi kreatif 5,08% dan pertumbuhan nasional 6,15%. Walaupun demikian, seni pertunjukan mengalami peningkatan pertumbuhan yang sangat drastis dari 2,98% pada 2012 dan 6,89% pada 2013. Berdasarkan kondisi seni pertunjukan di Indonesia saat ini, tantangan yang mungkin dihadapi, serta dengan memperhitungkan daya saing serta potensi yang dimiliki dan juga arahan strategis pembangunan nasional serta pengembangan ekonomi kreatif periode 2015–2019, maka visi pengembangan seni pertunjukan selama periode 2015–2019 adalah ”Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.”
BAB 4: Penutup
139
5.2 Saran Pengembangan seni pertunjukan dalam lima tahun kedepan akan difokuskan pada: 1. Fasilitasi pengembangan bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni di Indonesia, termasuk pembaharuan kurikulum dan metode pengajarannya; fasilitasi SDM seni pertunjukan untuk mengikuti pendidikan formal, workshop dan residensi baik di dalam maupun luar negeri. 2. Fasilitasi pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan (Join Katalog Online). 3. Fasilitasi program pendampingan, magang, dan mentoring dalam penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan (skala lokal, nasional, dan internasional) secara berkesinambungan serta fasilitasi ko-produksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional. 4. Fasilitasi penelitian seniman, ko-kreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional. 5. Fasilitasi pengembangan skema hibah bagi program dan kegiatan seni oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN) yang transparan, akuntabel dan mudah diakses. 6. Fasilitasi peningkatan jumlah gedung pertunjukan publik utama serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan serta pemutakhiran infrastruktur teknis yang ada didalamnya. 7. Harmonisasi-regulasi alokasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) dan insentif pajak korporasi dan untuk bidang seni dan budaya; regulasi retribusi gedung pertunjukan publik utama agar dapat mudah diakses oleh seniman dan mendukung terjadinya siklus produksi dan distribusi karya seni pertunjukan, serta regulasi pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan program kesenian/festival oleh pemerintah. Untuk penyempurnaan studi dan penulisan buku rencana aksi periode selanjutnya, perlu dilakukan beberapa hal seperti: meningkatkan intensitas kolaborasi antar pemangku kepentingan di bidang seni pertunjukan, meningkatkan intensitas komunikasi lintas kementerian, dan memutakhirkan data kontribusi ekonomi dengan perbaikan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Kreatif.
140
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
142
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
LAMPIRAN
LAMPIRAN
143
144
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
ARAH KEBIJAKAN
STRATEGI
Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) seni pertunjukan
Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan
b
a
Menciptakan SDM seni pertunjukan yang dinamis dan profesional di tingkat nasional dan global
Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan formal seni vokasional dan nonformal, serta mengembangkan bidang studi manajemen seni dan teknologi panggung bagi seni pertunjukan
Memfasilitasi pemberdayaan SDM seni pertunjukan (manajer, pengelola venue & festival, kurator, kritikus, teknisi, seniman) untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
Mengakreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari)
4
6
Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengajar, pembaharuan kurikulum, metode pengajaran, pemisahan antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian
3
Mengembangkan profil profesi seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik secara cepat, mudah dan akurat.
Mengembangkan bidang studi manajemen seni dan teknologi panggung seni pertunjukan di lembaga pendidikan seni pertunjukan yang sudah ada
2
5
Memfasilitasi penguatan dan pengembangan lembaga pendidikan formal di luar Jawa
1
2.1
Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik
a
Mengembangkan sistem informasi pengetahuan budaya seni pertunjukan yang akurat dan terpercaya yang dikelola secara profesional
Mengembangkan sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan Indonesia yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional Memfasilitasi penelitian untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia
1
2
2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan
1.2
1.1
1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered)
MISI 1: Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan
MISI/TUJUAN/SASARAN
MATRIKS TUJUAN, SASARAN, ARAH KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN
LAMPIRAN
145
MISI/TUJUAN/SASARAN
ARAH KEBIJAKAN
Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal
Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas.
Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan
3.1
3.2
3.3
Memfasilitasi pengembangan wacana dan eksplorasi bentuk-bentuk baru dalam penciptaan karya seni pertunjukan yang memanfaatkan sumber daya budaya lokal secara berkelanjutan Mengembangkan sistem penilaian mutu karya seni pertunjukan yang sesuai dengan kuratorial seni pertunjukan nasional maupun global.
b
Memfasilitasi kolaborasi dan keterkaitan antar usaha dalam industri seni pertunjukan maupun antara industri seni pertunjukan dengan industri lainnya di tingkat lokal, nasional, dan global
b
a
Memperkuat kemampuan kelompok seni pertunjukan lokal menjadi usaha kreatif seni pertunjukan yang mandiri secara finansial dan efektif dalam berproduksi
Memfasilitasi kolaborasi dan penciptaan jejaring kreatif antar wirausaha kreatif seni pertunjukan Indonesia di tingkat nasional dan internasional
b
a
Memfasilitasi penciptaan dan peningkatan profesionalisme (skill-knowledge-attitude) wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal yang dapat mengembangkan program yang sesuai dengan konteks lokal-nasional-global
a
3. Peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan
MISI 2: Mengembangkan seni pertunjukan menjadi sebuah industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas
Memfasilitasi ko-kreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional Memfasilitasi pengembangan kapasitas pengelola gedung-gedung/tempat-tempat pertunjukan publik utama
3
Memfasilitasi penelitian seniman untuk mendapatkan pengalaman artistik, seperti studi literatur dan kajian psikososial untuk mendukung gagasan penciptaan karya seni pertunjukan
Mengembangkan jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) di tingkat lokal, nasional, maupun global
Memfasilitasi pendampingan kepada kelompok seni pertunjukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan tatakelola organisasi/usaha kreatif seni pertunjukan
Memfasilitasi ko-produksi antar produser/ presenter seni pertunjukan
Memfasilitasi program pendampingan, magang, dan mentoring dalam penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan (skala lokal, nasional, dan internasional) secara berkesinambungan untuk meningkatkan profesionalisme produser, manajer, promotor, presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan Indonesia
2
1
2
1
2
1
STRATEGI
146
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
ARAH KEBIJAKAN
STRATEGI
Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses
a
Menciptakan dan mengembangkan lembaga dan alternatif pembiayaan bagi organisasi, program dan kegiatan seni yang mudah diakses.
Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri
Mengembangkan penonton karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri
Mengembangkan sistem informasi pasar karya kreatif yang dapat diakses dengan mudah dan informasinya didistribusikan dengan baik
a
b
6.1
Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
a
Menjamin ketersediaan,kesesuaian,jangkauan harga/biaya, sebaran/penetrasi, dan performansi sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
6. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
5.1
5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan
4.1
Meningkatkan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana (seperti tata lampu, tata suara, flooring, dan lain sebagainya) gedung-gedung pertunjukan publik utama yang tersebar di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan
Mengembangkan portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia
4
1
Mengoptimalkan fungsi kedutaan besar RI di luar negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia (tradisi dan kontemporer)
Mengembangkan jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil
2
3
Memfasilitasi pengembangan kapasitas venue (gedung pertunjukan) dan lembaga pendidikan umum untuk dapat melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan
Memfasilitasi pengembangan skema hibah yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan bagi organisasi, program dan kegiatan seni oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN)
1
1
4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses
MISI 3: Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan
MISI/TUJUAN/SASARAN
LAMPIRAN
147
MISI/TUJUAN/SASARAN
ARAH KEBIJAKAN
Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan
Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaran kegiatan seni pertunjukan
7.1
7.2
7.3
Meningkatkan ketersediaan dan aktivasi ruang publik yang dapat memfasilitasi pementasan seni pertunjukan
Mengembangkan, memfasilitasi pembentukan dan peningkatan kualitas organisasi yang dapat mempercepat pengembangan seni pertunjukan
b
a
Meningkatkan sinergi, koordinasi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan seni pertunjukan (pemerintah pusat dan daerah, lintas kementerian, dan pelaku seni pertunjukan
Harmonisasi-regulasi penciptaan rantai nilai kreatif (creative value chain)
a
a
Harmonisasi-regulasi insentif pajak korporasi untuk dapat lebih termotivasi membantu programprogram kesenian Harmonisasi-regulasi pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan program kesenian/festival oleh pemerintah
3
4
Memfasilitasi pengembangan dan aktivasi taman kota, plaza-plaza terbuka, sebagai ajang menampilkan kreativitas seniman seni pertunjukan
Meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan
3 1
Memfasilitasi pembentukan organisasi gabungan dari pemerintah, pelaku seni, dan pengusaha, yang berkualitas sebagai rekan pemerintah dalam yang menciptakan sebanyak mungkin peluang bagi praktisi seni pertunjukan Indonesia untuk berkarya dan berjejaring di tingkat nasional maupun internasional
2
Memfasilitasi resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan berupa forum
Harmonisasi-regulasi retribusi gedung pertunjukan publik utama agar dapat mudah diakses oleh seniman dan mendukung terjadinya siklus produksi dan distribusi karya seni pertunjukan
2
1
Harmonisasi-regulasi alokasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) korporasi untuk bidang seni dan budaya
STRATEGI
1
7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
148
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
7.5
7.4
MISI/TUJUAN/SASARAN
Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan
Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan
Memfasilitasi dan memberikan penghargaan bagi seniman, karya, dan profesional seni pertunjukan di tingkat nasional Meningkatkan literasi masyarakat terhadap seni pertunjukan
a
b
Meningkatkan partisipasi Indonesia dalam forum-forum/ festival-festival seni pertunjukan tingkat internasional yang dapat mengangkat citra Indonesia sebagai bangsa yang kreatif
b
ARAH KEBIJAKAN Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian serta kepemimpinan Indonesia dalam forum diplomasi bilateral, regional dan multilateral
a
2
1
2
1
STRATEGI
Mengembangkan kurikulum pendidikan umum yang terintegrasi dengan seni sejak dini, yaitu sejak PAUD sampai dengan pendidikan menengah atas
Memfasilitasi terlembaganya anugerah/ penghargaan seni pertunjukan agar dilakukan secara berkelanjutan dan prestisius
Memfasilitasi keikutsertaan/penampilan senimanseniman Indonesia di forum-forum International Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika), PAMS (Korea), TPAM (Jepang) dan IETM (Australia), dll; dan festival-festival seni pertunjukan internasional yang prestisius
Menjalin kemitraan strategis dengan negara Jepang, Korea, Jerman, Perancis, Australia, dan Amerika, dll, dalam peningkatan kapasitas produksi karya seni pertunjukan
LAMPIRAN
149
INDIKASI STRATEGIS
Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan
1.2
Meningkatnya kuantitas dan kualitas perguruan tinggi seni di luar Jawa Terdapat bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di 6 perguruan tinggi seni di Indonesia Meningkatnya kuantitas dan kualitas pengajar; rutin dilakukannya pembaharuan kurikulum dan metode pengajaran; serta dilakukannya pemisahan antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian di 6 perguruan tinggi seni di Indonesia Terakreditasinya lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari) di kota-kota besar di Indonesia Tersedianya data profil profesi dan pelaku seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik secara cepat, mudah, dan akurat. Meningkatnya kuantitas dan kualitas SDM seni pertunjukan, yaitu: manajer, produser; desainer tata cahaya dan desainer tata suara, seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus
a b c
d a b
Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik
Terciptanya sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan Indonesia yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional Terciptanya distribusi keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia baik di kalangan praktisi seni pertunjukan maupun masyarakat umum
a b
3.1
Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal
Meningkatnya kuantitas dan kualitas (profesionalisme) produser produser, manajer, promotor, presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan Indonesia Meningkatnya jumlah ko-produksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat lokal, nasional dan global
a b
3. Peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan
MISI 2: Mengembangkan seni pertunjukan menjadi sebuah industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas
2.1
2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan
Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan
1.1
1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered)
MISI 1: Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan
MISI/TUJUAN/SASARAN
MATRIKS INDIKASI STRATEGIS PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN
150
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan
3.3
Meningkatnya pengetahuan dan pengalaman (artistik, psiko-sosial) seniman dalam penciptaan karya seni pertunjukan Meningkatnya jumlah ko-kreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional Meningkatnya kapasitas pengelola gedung-gedung /tempat-tempat pertunjukan publik utama
b c
Meningkatnya jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) tingkat lokal, nasional, maupun global
b a
Meningkatnya jumlah usaha seni pertunjukan yang memiliki kemampuan manajemen dan tatakelola organisasi/usaha
a
INDIKASI STRATEGIS
Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses
a
Meningkatnya jumlah skema hibah untuk organisasi, program, dan kegiatan seni yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN)
Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri
Meningkatnya kapasitas dan fungsi venue (gedung pertunjukan) dalam melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan Meningkatnya jumlah jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil Meningkatnya fungsi kedutaan besar RI di luar negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia (tradisi dan kontemporer) Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia
a b c d
6.1
Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
a
Meningkatnya ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana gedung-gedung pertunjukan publik utama yang tersebar di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan
6. Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia
5.1
5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan
4.1
4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses.
MISI 3: Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan
Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas
3.2
MISI/TUJUAN/SASARAN
LAMPIRAN
151
MISI/TUJUAN/SASARAN
INDIKASI STRATEGIS
Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjuka
Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan
Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan
Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan
Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan
7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
Terciptanya regulasi insentif pajak yang memasukkan kesenian sebagai bidang penerima sumbangan Tersusunnya kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/festival sebagai pendukung regulasi pengadaan barang dan jasa pemerinta Meningkatnya koordinasi antar pemangku kepentingan di bidang seni pertunjukan Terbentuknya organisasi pengelola dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta Meningkatnya kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan
c d a b c
Meningkatnya jumlah anugerah/penghargaan seni pertunjukan yang dilakukan secara berkelanjutan dan prestisius Terciptanya kurikulum pendidikan umum yang mengintegrasikan seni di sekolah-sekolah (dari PAUDSMA)
b
Meningkatnya tingkat partisipasi seniman-seniman Indonesia di forum-forum International Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika), PAMS (Korea), TPAM (Jepang) dan IETM (Australia), dll; dan festival-festival seni pertunjukan internasional yang prestisius
b
a
Meningkatnya jumlah negara-negara yang menjalin kemitraan strategis dengan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kapasitas produksi karya seni pertunjukan
a
Teraktivasinya taman-taman kota, plaza-plaza terbuka yang dapat digunakan publik sebagai ajang menampilkan kreativitas seniman seni pertunjukan
Terciptanya regulasi pemerintah daerah yang melakukan pembebasan biaya retribusi dan pengurangan biaya sewa untuk kegiatan-kegiatan kesenian
b
a
Terciptanya regulasi alokasi dana CSR korporasi yang memiliki keberpihakan bagi kegiatan seni dan budaya di Indonesia
a
7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
152
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH PENANGGUNG JAWAB
2
1
Fasilitasi pengembangan bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di perguruan tinggi seni
Fasilitasi penguatan dan pengembangan perguruan tinggi seni di luar Jawa
Menyediakan infrastruktur pendidikan Menyiapkan tenaga pendidik yang diperlukan Monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh orang-orang yang kompeten dalam bidang seni
e f g
Mengevaluasi kurikulum bidang studi seni pertunjukan yang ada
Mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan seni pertunjukan baik dalam kontekstual tradisi maupun kekinian
d
b
Membentuk tim penyusun kurikulum dan program pengajaran yang melibatkan praktisi seni pertunjukan
c
Membentuk tim penyusun kurikulum untuk melakukan studi dan penyusunan kurikulum bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan
Menyiapkan dana pengembangan
b
a
Memilih lembaga pendidikan tinggi seni sebagai proyek percontohan
a
ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, IKJ (Jakarta)
Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Papua
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
SASARAN 1: Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
MATRIKS RENCANA AKSI PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN 2015-2019
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
X
2019
LAMPIRAN
153
3
Fasilitasi pengembangan pemisahan pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
Mengevaluasi kurikulum bidang studi seni pertunjukan yang ada
Menyiapkan tenaga pendidik yang diperlukan untuk bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan
f
b
Menyusun kurikulum bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan
e
Membentuk tim penyusun kurikulum untuk melakukan studi dan penyusunan kurikulum jurusan vokasional dengan kajian seni pertunjukan
Melakukan diskusi dengan pihakpihak luar yang terkait atau menyerap tenaga kerja dengan kompetensi yang dihasilkan oleh bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan seperti praktisi seni pertunjukan, seniman, swasta/ industri, pemerintah, dsb.
d
a
Melakukan studi pengembangan kurikulum bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan
c
DESKRIPSI RENCANA AKSI
ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, IKJ (Jakarta)
ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, IKJ (Jakarta)
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
X
2019
154
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4
Fasilitasi pemutakhiran kurikulum pendidikan seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
Mengevaluasi kurikulum bidang studi seni pertunjukan Melakukan studi pengembangan kurikulum jurusan vokasional dengan kajian seni pertunjukan Melakukan diskusi dengan pihak-pihak lain seperti praktisi seni, seniman, swasta/industri, pemerintah, dsb. Menyusun kurikulum baru berdasarkan evaluasi dan studi yang dilakukan
c
d
e
Menyiapkan tenaga pendidik yang diperlukan untuk jurusan vokasional dengan kajian seni pertunjukan
f
b
Menyusun kurikulum jurusan vokasional dengan kajian seni pertunjukan berdasarkan evaluasi dan studi yang dilakukan
e
Pembentukan tim penyusun kurikulum
Melakukan diskusi dengan pihakpihak luar yang terkait atau menyerap tenaga kerja dengan kompetensi yang dihasilkan oleh jurusan vokasional dengan kajian seni pertunjukan seperti praktisi seni, seniman, swasta/ industri, pemerintah, dsb.
d
a
Melakukan studi pengembangan kurikulum jurusan vokasional dengan kajian seni pertunjukan
c
DESKRIPSI RENCANA AKSI
ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, IKJ (Jakarta)
ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, IKJ (Jakarta)
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
X
2019
LAMPIRAN
155
Fasilitasi akademisi (pengajar) seni pertunjukan (formal dan nonformal) seni pertunjukan untuk mengikuti seminar yang mempertemukan mereka dengan peneliti dan seniman yang aktif dan bereputasi di tingkat lokal maupun internasional
Fasilitasi persiapan kemampuan bahasa asing (mis. Inggris) para akademisi (pengajar) seni pertunjukan (formal dan nonformal) seni pertunjukan sebelum menempuh sekolah di luar negeri
Pengembangan akreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari) Terciptanya pembiayaan yang sesuai, mudah diakses, dan kompetitif
5
6
7
SASARAN/RENCANA AKSI
Melakukan studi pengembangan kurikulum jurusan vokasional dengan kajian seni pertunjukan
Menyusun pedoman akreditasi sekolah-sekolah musik dan tari nonformal Pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/assesor, survei, verifikasi data, pembersihan data) kursus musik dan sekolah tari di kotakota besar
a
b
Monitoring dan evaluasi program pemberian hibah seminar
f
c
Fasilitasi pemberian hibah seminar
e
Fasilitasi pemberian pelatihan bahasa asing
Sosialisasi dan distribusi informasi pemberian hibah seminar
d
b
Mengembangkan sistem informasi program hibah seminar
c
Pembentukan tim penyusun kurikulum
Pembentukan panel seleksi bagi pengajar seni pertunjukan yang ingin mengikuti seminar di dalam dan luar negeri
b
a
Menyusun pedoman fasilitasi pemberian hibah mengikuti seminar di dalam dan luar negeri
a
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Denpasar
ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, IKJ (Jakarta)
ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, IKJ (Jakarta)
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
X
X
2015
X
X
X
2016
X
X
X
2017
TAHUN
X
X
X
2018
X
X
X
2019
156
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pembentukan tim assessor yang terdiri dari tenaga ahli seni pertunjukan di bidang musik dan tari Penyelenggaraan penilaian (assesment) oleh tim assessor Pemberian akreditasi
c
d
e
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
Fasilitasi pengembangan profil profesi seni pertunjukan dan pemetaan SDM seni pertunjukan berdasarkan profil profesi yang telah diidentifikasi
Fasilitasi SDM seni pertunjukan non seniman untuk mengikuti pendidikan formal, yaitu: manajer dan produser setaraf S2 nonkajian; dan desainer tata cahaya dan desainer tata suara setara S2
1
2 Membentuk panel seleksi bagi aplikasi beasiswa Mengembangkan sistem informasi program beasiswa seni pertunjukan
b
c
Mengembangkan database online (pengembangan sistem data base, input data, pembuatan sistem pelaporan) SDM seni pertunjukan
c
Menyusun pedoman fasilitasi beasiswa seni pertunjukan
Melakukan pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/ assesor, survei, verifikasi data, pembersihan data) SDM seni pertunjukan
b
a
Melakukan studi mengenai profil profesi seni pertunjukan yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
a
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
SASARAN 2: Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
157
Fasilitasi SDM seni pertunjukan (seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus) untuk mengikuti program workshop yang diselenggarakan secara mandiri
Fasilitasi SDM seni pertunjukan (termasuk seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus) untuk mengikuti program residensi dan workshop (yang sudah ada) di tingkat lokal maupun internasional
3
4
SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panel seleksi bagi aplikasi hibah program residensi dan workshop Mengembangkan sistem informasi program hibah residensi dan workshop seni pertunjukan
b
c
Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan workshop seni pertunjukan
d
Menyusun pedoman fasilitasi hibah mengikuti program residensi dan workshop
Menyelenggarakan workshop seni pertunjukan
c
a
Mengembangkan sistem informasi program fasilitasi workshop
Melakukan monitoring dan evaluasi program pemberian beasiswa
g
b
Membuat ikatan dinas untuk alumni mengajar sekembalinya dari sekolah di luar negeri.
f
Mengembangkan konsep dan konten (kurikulum dan bahan ajar) workshop yang melibatkan tenaga ahli di bidang seni pertunjukan
Memfasilitasi pemberian beasiswa
e
a
Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi pemberian beasiswa
d
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
X
2019
158
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
5
Fasilitasi penulisan kritik seni pertunjukan tahunan
SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panel dewan juri sayembara Menyelenggarakan sayembara penulisan kritik seni Mengembangkan sistem informasi program sayembara penulisan kritik seni Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan sayembara Memberikan penghargaan kepada pemenang sayembara Menerbitkan (penyusunan, editorial, desain, cetak) buku (fisik atau digital) kumpulan kritik seni pertunjukan. Melakukan sosialisasi dan distribusi buku kumpulan kritik seni pertunjukan
b
c
d
e
f
g
h
Membuat ikatan dinas untuk alumni mengajar sekembalinya dari sekolah di luar negeri. Melakukan monitoring dan evaluasi program pemberian beasiswa
f
Mengembangkan konsep dan panduan program sayembara penulisan kritik yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
Memfasilitasi pemberian hibah
e
a
Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi pemberian hibah
d
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
159
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
PENANGGUNG JAWAB
Fasilitasi pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan (Join Katalog Online)
Fasilitasi pengembangan kapasitas pengelola pengarsipan dan pusat penyimpanan data seni pertunjukan
1
2
Menyelenggarakan pelatihan Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan
c
d
Melakukan aktivasi dan distribusi pengetahuan arsip seni pertunjukan
e
Mengembangkan sistem informasi program pelatihan pengelola pengarsipan dan pusat penyimpanan data seni pertunjukan
Mengembangkan sistem database online (pengembangan aplikasi data base, input data, pembuatan sistem pelaporan) SDM seni pertunjukan
d
b
Melakukan pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/ assesor, survei, verifikasi data, pembersihan data)
c
Mengembangkan konsep dan materi pelatihan yang melibatkan tenaga ahli di bidang pengarsipan seni pertunjukan
Mengembangkan kerjasama pengelolaan sistem pengarsipan seni pertunjukan antar lembaga pemerintah terkait
b
a
Mengembangkan konsep sistem pengarsipan seni pertunjukan
a
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan, dan ekonomi kreatif, serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
X
2015
SASARAN 3: Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik
SASARAN/RENCANA AKSI
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
2019
160
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Fasilitasi penerbitan hasil penelitian keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia
Fasilitasi hibah penelitian seni pertunjukan untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan seni pertunjukan
Memfasilitasi penerbitan hasil penelitian meliputi: penyusunan, editorial, desain, cetak buku dalam bentuk fisik maupun digital Melakukan distribusi buku yang telah diterbitkan
b
Melakukan sosialisasi hasil penelitian
f
a
Menyelenggarakan hibah penelitian
e
Mengembangkan sistem informasi program hibah penelitian
c Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan hibah penelitian
Membentuk panel seleksi bagi pemberian hibah penelitian
b
d
Menyusun pedoman program hibah penelitian seni pertunjukan yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
a
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
1
Fasilitasi pendampingan dan pelatihan penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan
a
Mengembangkan konsep pendampingan dan materi pelatihan yang melibatkan tenaga ahli di bidang penyelenggaraan festival seni pertunjukan skala lokal, nasional dan internasional
Seluruh Indonesia
SASARAN 4: Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal
4
3
SASARAN/RENCANA AKSI
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif, serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
X
X
2017
TAHUN
X
X
X
2018
X
X
X
2019
LAMPIRAN
161
SASARAN/RENCANA AKSI Melakukan pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/ assessor, survei/assesment, verifikasi data, pembersihan data) tenaga ahli bidang festival seni pertunjukan lokal dengan kemampuan penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan Melakukan pemetaan festival-festival (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/assessor, survei/assesment, verifikasi data, pembersihan data) yang diselenggarakan oleh pemerintah di Indonesia (skala lokal, nasional, internasional) Mengembangkan sistem database tenaga ahli lokal bidang penyelenggaraan pementasan /festival seni pertunjukan dan pementasan/ festival seni pertunjukan di Indonesia Menyelenggarakan pendampingan dan pelatihan oleh para tenaga ahli lokal dalam bidang penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pendampingan dan pelatihan pementasan/festival seni pertunjukan
b
c
d
e
f
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
PENANGGUNG JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN 2018
2019
162
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
2
Fasilitasi program magang/bekerja untuk manajer, produser, promotor, dan pekerja teknis seni pertunjukan dalam penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI Mengembangkan konsep magang dan mekanisme seleksi pemagang yang melibatkan tenaga ahli di bidang seni pertunjukan Membentuk panel seleksi pemagang Melakukan pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/assesor, survei, verifikasi data, pembersihan data) organisasi/festival tuan rumah tempat magang di seluruh Indonesia Mengembangkan sistem database organisasi/festival tuan rumah tempat magang Mengembangkan sistem informasi program magang Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan magang Menyelenggarakan program magang Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan magang
a
b
c
d
e
f
g
h
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
2015 X
2016 X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
163
Fasilitasi program mentoring untuk para manajer, produser dan presenter seni pertunjukan
Fasilitasi ko-produksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional
3
4
SASARAN/RENCANA AKSI
Mengembangkan sistem informasi program hibah (matching grant) koproduksi
c
Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pendampingan
e
Membentuk panel seleksi bagi pemberian hibah (matching grant) koproduksi
Menyelenggarakan program pendampingan oleh para produser dan presenter kelas internasional kepada produser/presenter dalam negeri
d
b
Mengembangkan sistem database produser dan presenter seni pertunjukan kelas internasional
c
Menyusun pedoman fasilitasi hibah (matching grant) ko-produksi yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
Melakukan pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/assesor, survei, verifikasi data, pembersihan data) produser dan presenter seni pertunjukan kelas internasional yang dapat diundang sebagai mentor
b
a
Mengembangkan konsep, mekanisme dan materi mentoring yang melibatkan tenaga ahli di bidang seni pertunjukan
a
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
2019
164
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan program hibah (matching grant) ko-produksi Menyelenggarakan program pemberian hibah (matching grant) untuk para produser/presenter yang telah mempunyai kontrak produksi dengan produser/presenter nasional dan internasional
d
e
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
PENANGGUNG JAWAB
1
Fasilitasi pendampingan manajemen dan tata kelola kelompok seni pertunjukan secara berkelanjutan
Mengembangkan konsep pendampingan yang melibatkan tenaga ahli di bidang manajemen seni pertunjukan Melakukan pemetaan kelompokkelompok seni pertunjukan yang dapat mengikuti pendampingan manajemen dan tata kelola Mengembangkan sistem database kelompok-kelompok seni pertunjukan yang mengikuti pendampingan manajemen dan tata kelola Menyelenggarakan pendampingan manajemen dan tata kelola untuk kelompok-kelompok seni pertunjukan Melakukan monitoring dan evaluasi program dan kelompok-kelompok hasil pendampingan manajemen dan tata kelola seni pertunjukan
a
b
c
d
e
Seluruh Indonesia
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
SASARAN 5: Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas
SASARAN/RENCANA AKSI
X
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
165
Fasilitasi pelatihan manajemen dan tata kelola kelompok seni pertunjukan
Fasilitasi pertemuan/ konferensi rutin nasional praktisi seni pertunjukan di seluruh Indonesia
2
3
SASARAN/RENCANA AKSI
Menyelenggarakan pertemuan nasional praktisi seni pertunjukan Indonesia secara rutin setiap tahun Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pertemuan/ konferensi nasional praktisi seni pertunjukan Indonesia
c
d
Melakukan monitoring dan evaluasi program pelatihan manajemen dan tata kelola seni pertunjukan
e
Mengembangkan sistem informasi pertemuan/konferensi nasional seni pertunjukan Indonesia
Menyelenggarakan pelatihan manajemen dan tata kelola seni pertunjukan
d
b
Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan pelatihan
c
Mengembangkan konsep pertemuan/ konferensi nasional praktisi seni pertunjukan Indonesia (seniman, produser, manajer, presenter) yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
Mengembangkan sistem informasi program pelatihan
b
a
Mengembangkan konsep dan materi pelatihan yang melibatkan tenaga ahli di bidang manajemen seni pertunjukan
a
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
X
2019
166
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4
Fasilitasi praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) Indonesia untuk mengikuti pertemuan/konferensi asosiasi seni pertunjukan internasional
SASARAN/RENCANA AKSI Menyusun pedoman fasilitasi dana perjalanan (travel grant) yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan Membentuk panel seleksi bagi pemberian dana perjalanan (travel grant) Mengembangkan sistem informasi program pemberian dana perjalanan (travel grant) Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi pemberian dana perjalanan (travel grant) Menyelenggarakan program pemberian dana perjalanan (travel grant) Melakukan pengarsipan laporan pertemuan/konferensi dan publikasi laporan secara online Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program pemberian dana perjalanan (travel grant)
a
b
c
d
e
f
g
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
2015 X
2016 X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
167
DESKRIPSI RENCANA AKSI
1
Fasilitasi penelitian seniman dalam rangka produksi karya
Mengembangkan panduan program hibah penelitian seniman yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan Membentuk panel seleksi bagi pemberian hibah penelitian seniman Mengembangkan sistem informasi program hibah penelitian seniman Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan hibah penelitian seniman Menyelenggarakan program hibah penelitian seniman Melakukan sosialisasi hasil penelitian seniman
a
b
c
d
e
f
SASARAN 6: Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
168
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3
2
Fasilitasi seniman untuk menonton festival di tingkat lokal dan internasional
Fasilitasi pengalaman keberagaman di Indonesia melalui kerja kolaborasi antar pelaku seni pertunjukan daerah di seluruh Indonesia
SASARAN/RENCANA AKSI
Menyusun pedoman fasilitasi dana perjalanan (travel grant) yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan Membentuk panel seleksi bagi pemberian dana perjalanan (travel grant) Mengembangkan sistem informasi program pemberian dana perjalanan (travel grant) Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi pemberian dana perjalanan (travel grant) Menyelenggarakan program pemberian dana perjalanan (travel grant)
a
b
c
d
e
Menyelenggarakan program hibah kolaborasi
e
Mengembangkan sistem informasi program hibah kolaborasi
c Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan program hibah kolaborasi
Membentuk panel seleksi bagi pemberian hibah kolaborasi
b
d
Mengembangkan panduan program pemberian hibah kolaborasi yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
a
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
X
2018
X
X
2019
LAMPIRAN
169
4
Fasilitasi pelatihan dan studi banding untuk pengelola gedung-gedung pertunjukan publik utama untuk meningkatkan kapasitas kurasi dan pengembangan program
SASARAN/RENCANA AKSI
Mengembangkan konsep dan materi pelatihan yang melibatkan tenaga ahli di bidang seni pertunjukan Melakukan pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/assesor, survei, verifikasi data, pembersihan data) gedung-gedung pertunjukan publik utama Mengembangkan sistem database gedung-gedung pertunjukan publik utama Menyelenggarakan program pelatihan untuk pengelola gedung-gedung pertunjukan publik utama. Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan
b
c
d
e
Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program pemberian dana perjalanan (travel grant)
g
a
Melakukan pengarsipan laporan festival yang dikunjungi dan publikasi laporan secara online
f
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan, serta seluruh Pemerintah Daerah
PENANGGUNG JAWAB
2015
X
2016
X
2017
TAHUN 2018
2019
170
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
PENANGGUNG JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN 2018
2
1
Pengembangan portal yang menjadi hub skema hibah atau pembiayaan yang tersedia bagi kegiatan seni dan budaya
Fasilitasi pengembangan skema hibah bagi program dan kegiatan seni oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN)
Mengembangkan sistem database dan portal skema hibah Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi portal
d
Melakukan monitoring dan evaluasi program hibah seni
f
c
Menyelenggarakan hibah seni
e
Melakukan pemetaan (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/ assesor, survei, verifikasi data, pembersihan data) skema-skema hibah yang tersedia untuk kegiatan seni dan budaya di seluruh Indonesia
Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan hibah seni
d
b
Mengembangkan sistem informasi program hibah seni
c
Mengembangkan konsep portal yang melibatkan tenaga ahli di bidang seni pertunjukan
Membentuk panel seleksi bagi pendaftar hibah seni
b
a
Menyusun pedoman program skema hibah seni yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
a
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan keuangan, ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
X
X
X
X
X
X
X
SASARAN 7: Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses
SASARAN/RENCANA AKSI
X
2019
LAMPIRAN
171
Merawat portal Meningkatkan kapasitas pengelola portal Melakukan monitoring dan evaluasi performa portal
e
f
g
DESKRIPSI RENCANA AKSI
1
Fasilitasi pendampingan dan pelatihan untuk venue-venue (gedung-gedung pertunjukan) dalam melakukan pembinaan penonton
Mengembangkan konsep pendampingan dan materi pelatihan yang melibatkan tenaga ahli di bidang pembianaan penonton seni pertunjukan Mengembangkan sistem database penonton (pengembangan instrumen, pelatihan surveyor/assessor, survei/assesment, verifikasi data, pembersihan data) yang dapat digunakan oleh venue-venue Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan pendampingan dan pelatihan venuevenue Menyelenggarakan pendampingan dan pelatihan oleh para tenaga ahli seni pertunjukan Memfasilitasi kerjasama antara venuevenue dengan sekolah-sekolah umum Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pendampingan dan pelatihan pembinaan penonton
a
b
c
d
e
f
SASARAN 8: Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri
SASARAN/RENCANA AKSI
Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
172
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3
2
Fasilitasi manajer seni pertunjukan (produser, presenter) Indonesia untuk mengikuti/menghadiri performing art mart internasional (Asia, Eropa, Amerika dan Australia)
Fasilitasi kelompok-kelompok seni yang melakukan pengenalan seni pertunjukan di sekolah-sekolah
SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panel seleksi bagi pemberian dana perjalanan (travel grant) Mengembangkan sistem informasi program pemberian dana perjalanan (travel grant) Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi pemberian dana perjalanan (travel grant) Menyelenggarakan program pemberian dana perjalanan (travel grant)
b
c
d
e
Melaksanakan fasilitasi pengenalan seni pertunjukan oleh kelompokkelompok seni ke sekolah-sekolah
c
Menyusun pedoman fasilitasi dana perjalanan (travel grant) yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
Membuat MoU antara kementeriankementerian terkait bidang seni dengan sekolah-sekolah
b
a
Menyusun pedoman fasilitasi pengenalan seni pertunjukan oleh kelompok-kelompok seni ke sekolahsekolah
a
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayan
PENANGGUNG JAWAB
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
173
4
Pengembangan pusat informasi seni pertunjukan Indonesia baik tradisi dan kontemporer melalui pusat budaya di kedutaan besar RI
SASARAN/RENCANA AKSI
Mengembangkan kelembagaan kemitraan pengembangan pusat informasi seni pertunjukan indonesia Mempersiapkan materi yang dibutuhkan untuk mempromosikan seni pertunjukan melalui kedutaan besar RI Mempersiapkan materi yang dibutuhkan untuk mempromosikan seni pertunjukan melalui kedutaan besar RI
b
c
Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program pemberian dana perjalanan (travel grant)
g
a
Melakukan pengarsipan laporan pertemuan/konferensi dan publikasi laporan secara online
f
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan hubungan luar negeri, ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
2015
X
2016
X
2017
TAHUN 2018
2019
174
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pengembangan portal informasi seni pertunjukan online yang memuat: perkembangan seni pertunjukan dalam negeri dan mancanegara, informasi suplai dan permintaan terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri
Mengembangkan konsep portal yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan Mengumpulkan data dan pembuatan katalog profil dan karya seniman pertunjukan Indonesia, serta informasi pasar seni pertunjukan dalam dan luar negeri Mengembangkan database online (pengembangan sistem data base, input data, pembuatan sistem pelaporan) informasi pasar dan perkembangan seni pertunjukan Indonesia Merawat portal Meningkatkan kapasitas pengelola portal Melakukan monitoring dan evaluasi performa portal
a
b
c
d
e
f
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, kebudayaan, dan hubungan luar negeri
PENANGGUNG JAWAB
1
Fasilitasi peningkatan jumlah gedung pertunjukan publik utama serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan serta pemutakhiran infrastruktur teknis (seperti tata lampu, tata suara, flooring) yang ada didalamnya
Peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur teknis di gedung pertunjukan publik utama (termasuk Taman Budaya) dan ruang-ruang kreatif publik tempat latihan Pengembangan kapasitas SDM pengelola gedung-gedung pertunjukan publik
a
b
Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan, serta seluruh Pemerintah Daerah
SASARAN 9: Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
5
SASARAN/RENCANA AKSI
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
175
Pembiayaan dana perawatan infrastruktur gedung-gedung pertunjukan publik Peningkatan akses publik terhadap penggunaan ruang-ruang kreatif (tempat latihan & studio)
c
d
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
PENANGGUNG JAWAB
2015
1
Harmonisasi-regulasi dana CSR korporasi (Corporate Social Responsibility)
Membentuk panitia lintas sektor untuk melakukan pembahasan terhadap substansi perundang-undangan yang mengatur tentang CSR korporasi Melakukan kajian terhadap substansi perundang-undangan CSR Melakukan koordinasi lintas sektor untuk menyusun perbaikan bersama perundang-undangan CSR Melakukan diskusi publik rancangan perbaikan perundang-undangan CSR (terutama PP No. 47/2012) dengan para pemangku kepentingan (pemerintah, swasta, praktisi seni) Melakukan proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi terhadap perundang-undangan CSR bagi kegiatan seni dan budaya sehingga memiliki keberpihakan bagi kegiatan seni dan budaya di Indonesia Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan CSR kepada publik
a
b
c
d
e
f
Seluruh Indonesia
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan keuangan, hukum, dan ekonomi kreatif
X
SASARAN 10: Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
X
2016
X
2017
TAHUN 2018
2019
176
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
2
Harmonisasi-regulasi sewa dan retribusi gedung pertunjukan publik
SASARAN/RENCANA AKSI Membentuk panitia lintas sektor (pemerintah pusat dan daerah) untuk melakukan pembahasan terhadap substansi perundang-undangan yang mengatur tentang retribusi gedung pertunjukan publik utama di kota-kota besar Melakukan kajian terhadap substansi perundang-undangan retribusi gedung pertunjukan publik utama Melakukan koordinasi lintas sektor untuk menyusun perbaikan bersama perundang-undangan retribusi gedung pertunjukan publik utama Melakukan diskusi publik rancangan perbaikan perundang-undangan retribusi gedung pertunjukan publik utama dengan para pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan praktisi seni) untuk melihat kemungkinan pembebasan biaya retribusi dan pengurangan biaya sewa untuk kegiatan-kegiatan kesenian Melakukan proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi terhadap perundang-undangan retribusi gedung pertunjukan publik utama Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan retribusi gedung pertunjukan publik utama kepada publik
a
b
c
d
e
f
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Makassar
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan keuangan, hukum, ekonomi kreatif, dan Pemerintah Daerah terkait
PENANGGUNG JAWAB
X
2015 X
2016 X
2017
TAHUN 2018
2019
LAMPIRAN
177
3
Harmonisasi-regulasi insentif pajak korporasi
SASARAN/RENCANA AKSI Membentuk panitia lintas sektor untuk melakukan pembahasan terhadap substansi perundang-undangan insentif pajak korporasi Melakukan kajian terhadap substansi perundang-undangan insentif pajak korporasi Melakukan koordinasi lintas sektor untuk menyusun perbaikan bersama perundang-undangan insentif pajak korporasi untuk untuk melihat kemungkinan memasukkan kesenian sebagai bidang penerima sumbangan atau meningkatkan persentase nilai tax deduction untuk kesenian pada PP No 93/2010 Melakukan diskusi publik rancangan perbaikan perundang-undangan insentif pajak korporasi Melakukan proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi terhadap perundang-undangan insentif pajak korporasi Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan insentif pajak korporasi
a
b
c
d
e
f
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan keuangan, pajak, dan hukum
PENANGGUNG JAWAB
X
2015 X
2016 X
2017
TAHUN 2018
2019
178
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
4
Harmonisasi-regulasi pengadaan barang/ jasa pemerintah untuk penyelenggaraan program kesenian/festival
SASARAN/RENCANA AKSI Membentuk panitia lintas sektor untuk melakukan pembahasan terhadap substansi perundangundangan pengadaan barang dan jasa pemerintah (PERPRES Nomor 54/2010 ) Melakukan kajian terhadap substansi perundang-undangan pengadaan barang dan jasa pemerintah Melakukan koordinasi lintas sektor untuk menyusun kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/ festival dalam kerangka PERPRES No 54/2010 Melakukan diskusi publik rancangan kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/festival oleh pemerintah Melakukan proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi terhadap kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/ festival Melakukan sosialisasi kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/ festival oleh pemerintah
a
b
c
d
e
f
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pengadaan barang/jasa, keuangan, hukum, dan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
X
2015 X
2016 X
2017
TAHUN 2018
2019
LAMPIRAN
179
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
PENANGGUNG JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
Fasilitasi resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan berupa forum
Fasilitasi terbentuknya organisasi pengelola dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta
1
2
Penyusunan rencana kerja organisasi pengelola Pelaksanaan kegiatan organisasi pengelola
d
Menyelenggarakan konferensi tahunan organisasi-organisasi penerima hibah (sebagai progress report) dengan mengikutsertakan pemerintah, yang perencanaannya melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
f
c
Menyelenggarakan program hibah organisasi
e
Pembentukan organisasi pengelola
Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan hibah organisasi
d
b
Mengembangkan sistem informasi program hibah organisasi
c
Studi bentuk kelembagaan dan sumber pendanaan organisasi pengelola
Membentuk panel seleksi bagi pemberian hibah organisasi
b
a
Mengembangkan panduan program hibah untuk organisasi-organisasi yang melakukan resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan
a
Seluruh Indonesia
Seluruh Indonesia
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
X
X
X
X
X
X
SASARAN 11: Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan
SASARAN/RENCANA AKSI 2018
2019
180
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Fasilitasi pelatihan/seminar untuk meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan
Mengembangkan konsep dan materi pelatihan/seminar peningkatan kapasitas aparatur negara di semua elemen pemerintahan terkait (termasuk lintas kementerian, pengelola pusat kebudayaan, dsb) yang melibatkan tenaga ahli di bidang pengarsipan seni pertunjukan Mengembangkan sistem informasi program pelatihan peningkatan kapasitas aparatur negara Menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas aparatur negara Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan kapasitas aparatur negara
a
b
c
d
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia Pemerintah pusat (Kementerian), Dinas provinsi dan kota
FOKUS WILAYAH
1
Fasilitasi aktivasi taman kota dan plaza-plaza terbuka
Memfasilitasi terbentuknya forum komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk perancangan kebijakan penggunaan taman-taman kota/plazaplaza untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan Membuat MoU antara pemerintah pusat dan daerah mengenai penggunaan taman-taman kota/plazaplaza untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan
a
b
Seluruh Indonesia
SASARAN 12: Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan
3
SASARAN/RENCANA AKSI X
2015
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, serta seluruh Pemerintah Daerah
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
2018
2019
LAMPIRAN
181
Menyusun kebijakan penggunaan taman-taman kota/plaza-plaza untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan Sosialisasi kebijakan penggunaan taman-taman kota/plaza-plaza untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan
c
d
DESKRIPSI RENCANA AKSI
FOKUS WILAYAH
PENANGGUNG JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
1
Fasilitasi kemitraan strategis untuk peningkatan kapasitas produksi karya seni pertunjukan dengan negara Jepang, Korea, Jerman, Perancis, Australia, Amerika, dll
Kunjungan diplomasi dengan lembagalembaga/organisasi-organisasi pemerintahan yang menaungi seni dan budaya di negara-negara terkait, yang melibatkan praktisi seni pertunjukan Perumusan dan penandatanganan kerjasama strategis Perumusan dan pelaksanaan program kerjasama Monitoring dan evaluasi
a
b
c
d
Seluruh Indonesia
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, kebudayaan, dan hubungan luar negeri
X
X
X
SASARAN 13: Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI 2018
2019
182
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Fasilitasi keikutsertaan/ penampilan seniman-seniman Indonesia di forum-forum International Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika), PAMS (Korea), TPAM (Jepang) dan IETM (Australia), dll; dan festivalfestival seni pertunjukan internasional yang prestisius
Mengembangkan panduan program hibah untuk keikutsertaan (travel grant) dan materi pemasaran (berstandar internasional) kelompok seni (seniman) yang melibatkan tenaga ahli seni pertunjukan Membentuk panel seleksi bagi pendaftar hibah Mengembangkan sistem informasi program pemberian hibah Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi program pemberian hibah Menyelenggarakan program pemberian hibah Melakukan pengarsipan laporan keikutsertaan dan publikasi laporan secara online Melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program pemberian hibah
a
b
c
d
e
f
g
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
1
Fasilitasi terlembaganya anugerah/penghargaan seni pertunjukan (untuk seniman, praktisi, dan venue-venue) yang diberikan oleh lembaga pemerintah
Menyusun pedoman penyelenggaraan anugerah/penghargaan seni pertunjukan Membentuk panel dewan juri bagi seleksi penerima penghargaan seni pertunjukan
a
b
Seluruh Indonesia di tingkat Provinsi, Kota, dan Kabupaten)
SASARAN 14: Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan
2
SASARAN/RENCANA AKSI
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan ekonomi kreatif, pendidikan, dan kebudayaan
PENANGGUNG JAWAB
X
X
2015
X
X
2016
X
X
2017
TAHUN
X
2018
X
2019
LAMPIRAN
183
2
Pengembangan kurikulum pendidikan umum yang terintegrasi dengan seni sejak dini, yaitu sejak PAUD sampai dengan pendidikan menengah atas
SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk tim penyusun kurikulum yang melibatkan akademisi dan tenaga ahli seni pertunjukan Menyusun kurikulum yang mengintegrasikan seni ke dalam pendidikan umum
c
Penyelenggaraan acara penghargaan seni pertunjukan
f
b
Pelaksanaan seleksi penerima penghargaan seni pertunjukan
e
Mengevaluasi efektivitas mata pelajaran/ekstrakurikuler seni kurikulum pendidikan umum di tingkat PAUD-SMA
Melakukan sosialisasi dan distribusi informasi penyelenggaraan penghargaan seni pertunjukan
d
a
Mengembangkan sistem informasi penyelenggaraan penghargaan seni pertunjukan
c
DESKRIPSI RENCANA AKSI
Seluruh Indonesia
FOKUS WILAYAH
Kementerian/ Lembaga yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif
PENANGGUNG JAWAB
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
X
2018
2019
IklanParekraf.pdf
1
9/22/14
3:27 PM
C
M
Y
CM
MY
CY
CMY
K
348
Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah 2015-2019
186
Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019