Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PENGANTAR Perubahan besar yang berjalan teramat cepat melanda kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara abad 21, membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia yang diikuti berbagai permasalahan. Perkembangan dunia yang sedemikian pesat memberi implikasi berupa tantangan-tantangan global. Tantangan tersebut salah satunya adalah masuknya arus budaya manca ke Indonesia. Arus budaya tersebut akan berhadapan dengan budaya lokal Indonesia. Pertemuan tersebut dapat mengakibatkan benturan, yang kemudian berpadu, atau bahkan saling melibas. Seni pertunjukan tradisional sebagai salah satu unsur budaya Indonesia juga tidak terlepas dari fenomena tersebut. Masuknya seni pertunjukan manca ke Indonesia akan berhadapan dengan seni pertunjukan tradisional sebagai produk budaya lokal. Seni pertunjukan manca yang masuk bisa mempengaruhi sikap masyarakat. Ada kecenderungan masyarakat Indonesia lebih menyukai produk-produk dari luar dari pada produk lokal Indonesia. Masyarakat cenderung lebih menyukai seni pertunjukan dari luar dan meninggalkan seni pertunjukan tradisional. Dalam konteks Indonesia, bangsa ini kian lama semakin kehilangan mentalitas bangsanya. Pemerintah melalui lembaga pendidikan sudah berusaha untuk menumbuhkan sikap mental untuk mencintai pertunjukan tradisional sebagai bagian dari kepribadiannya. Pembangunan “mental” sebagai solusi paradigmatik yang digadang-gadang merupakan solusi efektif, namun masih belum maksimal. Perlu usaha yang lebih keras untuk membumikan seni pertunjukan tradisional melalui sebuah revolusi mental masyarakatnya baik sebagai seniman, maupun sebagai penikmat. Revolusi mental melalui seni pertunjukan tradisional sejalan dengan program nawa cita pemerintah sekarang menuju pembangunan yang berkepribadian.. Lantas, bagaimana revolusi mental melalui seni pertunjukan tradisional dan penddian seni dilaksanakan? Pertama, perlu menumbuhkembangkan wawasan yang lebih luas dan kreatif tentang seni pertunjukan tradisional. Kedua, memberikan landasan mental atau karakter yang kuat pada masyarakat dalam mencapai tujuan yang berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan akademik dan kebutuhan nyata masyarakat. Proceding ini berisi kumpulan artikel yang terkait dengan isue sperti tersebut di atas, yaitu tentang bagaimana membumikan seni tradisional melalui revolusi mental menuju pembangunan yang berkepribadian. Proceding ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangsih dalam kehidupan seni tradisional di Indonesia. Ucapan terima kasih disampaikan kepada penulis artikel sehingga dapat terbentuk buku yang berupa proceding . Semoga buju proceding ini bermanfaat. Semarang, 11 Oktober 2016
1
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
DAFTAR ISI PENGANTAR ..............................................................................................................1 DAFTAR ISI ................................................................................................................2 MAKALAH UTAMA ..................................................................................................3 KESENIAN TRADISIONAL (KEBUDAYAAN NASIONAL, PERANAN DAN SUMBANGANNYA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA) Oleh Rahayu Supanggah ..............................................................................................6-14 TRADISI DAN PERUBAHAN: TIDAK ADA JALAN PINTAS UNTUK HASIL BERKUALITAS: MENYIMAK PERKEMBANGAN TARI TRADISI DI INDONESIA Oleh Sal Murgiyanto ....................................................................................................15-31 OPTIMALISASI SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DALAM JAGAT PENDIDIKAN SENI Oleh M. Jazuli ..............................................................................................................32-43 PEMBELAJARAN MUSIK TRADISIONAL SEBAGAI RUANG KOMUNIKASI BUDAYA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK Oleh M. Totok Sumaryanto ..........................................................................................44-52 MAKALAH PENDAMPING ......................................................................................53 PENGGUNAAN ARANSEMEN MUSIK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN DAN HASILBELAJAR PADA MATA KULIAH BAND DI JURUSAN SENDRATASIK PROGRAM STUDI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Oleh Bagus Susetyo......................................................................................................54-68 DISCONTINUITY LUDRUK Oleh Autar Abdillah .....................................................................................................69-79 PROSES PENCIPTAAN TARI SERASAN SEANDANAN SEBAGAI TARI PENYAMBUTAN TAMU DI KABUPATEN OKU SELATAN Oleh Destryanti.............................................................................................................80-87 JEPIN LANGKAH SIMPANG KOTA PONTIANAK Oleh Dwi Oktariani ......................................................................................................88-99 PENGGUNAAN “ALGADIAPERTANA” UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SENI BUDAYA PADA MATERI TANGGA NADA DIATONIS MAYOR BAGI SISWA KELAS 7C SMP NEGERI 2 PADAMARA PADA SEMESTER GASAL TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Oleh Ely Susiana ..........................................................................................................100-109
2
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
REVOLUSI LAGU KERONCONG DALAM KARYA MUSIK KAJIAN: GRUP KERONCONG CONGROCK 17 Oleh Ibnu Amar Muchsin .............................................................................................110-117 PENANAMAN NILAI-NILAI KONSERVASI MELALUI KEGIATAN BERMAIN ORKESTRA MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Oleh Irfanda Rizki Harmono Sejati ..............................................................................118-131 STRUKTUR DAN FUNGSI PERTUNJUKAN KUDA LUMPING TURONGGO CIPTO BUDOYO DI DESA GUNUNGSARI KECAMATAN BAWANG KABUPATEN BATANG Oleh Jovita Agni Priutami, R. Indriyanto & Eny Kusumastuti ....................................132-145 ESTETIKA KESENIAN ANGGUK PUTRI SRIPANGLARAS DI DESA HARGOMULYO KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO Oleh Khoirunisa’, Indriyanto, Wahyu Lestari ..............................................................146-158 PENGINTEGRASIAN MATERI MUATAN LOKAL WAYANG BEBER KEDALAM MATA PELAJARAN SENI BUDAYA DI SMA NEGERI PUNUNG PACITAN Oleh Margana ...............................................................................................................159-171 RELASI AGAMA, IDIOLOGI, DAN SENI (TELAAH AWAL REVOLUSI MENTAL) Oleh Mukhsin Putra Hafid ...........................................................................................172-177 NILAI MISTIS DALAM PERTUNJUKAN SENI BARONGAN KUSUMO JOYO DI KECAMATAN BONANG KABUPATEN DEMAK Oleh Nirmala Purnama Puspa, R. Indriyanto, Usrek Tani Utina .................................178-188 KAJIAN SEMIOTIKA TEATER VERSI KEIR ELAM TERHADAP DRAMA “PERLAWANAN DIPONEGORO” Oleh Nur Sahid .............................................................................................................189-202 INOVASI PEMBELAJARAN TARI KREATIF MELALUI SENI ACTION PAINTING Oleh Olivia Fonna dan Nida Sholiha ...........................................................................203-212 STRATEGI BERKARYA SENI SEBAGAI WUJUD REFLEKSI TRADISIKONTEMPORER DI ERA GLOBAL Oleh Rani Qurotal Ayuni dan Sari Apriliani ................................................................213-221
3
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
BENTUK PENYAJIAN TARI NGANTAR PANOMPO DALAM UPACARA ADAT NAIK DANGO PADA SUKU DAYAK KANAYATN KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KALIMANTAN BARAT Oleh Regaria Tindarika dan Ahmad Zaini ...................................................................222-229 KREATIVITAS DAN KONSISTENSI BERKESENIAN MASYARAKATBARIKIN DI KALIMANTAN SELATAN: RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA Oleh Sumasmo Hadi .....................................................................................................230-237 MEMBANGUN KARAKTER RELIGIUS MELALUI KESENIAN TRADISI DIDONG Oleh Yuli Astuti dan Fitri Ulandari ..............................................................................238-246
4
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
MAKALAH UTAMA
5
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
KESENIAN TRADISIONAL (KEBUDAYAAN NASIONAL, PERANAN DAN SUMBANGANNYA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA)
1
Rahayu Supanggah Institut Seni Indonesia Surakarta Judul itulah yang diberikan kepada kami untuk kami bicarakan pada seminar nasional yang sangat penting yang diselenggarakan di UNNES pada kesempatan ini. Kebudayaan atau kesenian merupakan cermin bangsa. Begitu bunyi kalimat kalimat yang sering kita dengar disekeliling kita. Hampir pada setiap hari atau kesempatan kita mendengar kalimat:”Kesenian atau kebudayaan sebagai identitas bangsa”. “Kebudayaan atau kesenian sebagai cermin kepribadian bangsa” dan beberapa kalimat atau statement lain yang mirip, dan yang juga sering diucaokan oleh para pemimpin kita, tokoh masyarakat dan sebagian besar anggauta masyarakat pada umumnya. Seringnya diucapkan/diwacanakan kalimat kalimat tersebut kita boleh percaya bahwa pernyataan itu benar adanya atau setidaknya merupakan sebuah harapan besar bahwa hal tersebut benar - benar akan terjadi. Bahkan Bapak kita, Gubernur Jawa Tengah periode, tahun 90-an Bapak Ismail dengan menggunakan musik gamelan menyerukan pentingnya Strategi Wawasan identitas Jawa Tenah. Dan pada saat yang bersaman hampir semua pemerintah Daerah Kabupaten di Jawa Tengah memberi jargon jargon cita - cita dan atau strategi arah atau karakter pemvangunan wilayahnya dengan kata kata yang kemudian dimusikkan seperti Solo Berseri, Sukaharjo Makmur, Semarang Atlas, Kendal Beribadat, Boyolali tersenyum, Wonogiri Sukses, Karanganyar Tenteram, dan sebagainya.. Dalam tradisi etnomusikologi maupun kesenimanan. Peristiwa kesenian (baca musik atau tari) bukan sekedar persitiwa bunyi atau gerak melainkan peristiwa budaya, dimana unsure unsure tersebut berbicara dan menyiratkan ide atau pikiran dari seseorang atau sekelompok orang seniman. Unsure unsure tersebut bebricara menyampaikan pesan (dalam bahasa seni sering disebut mengekspresikan perasaan atau gagasan dari seniman atau sekelompok seniman dengan menggunakan bahasa yang lebih sering adalah bahasa non verbal. Seniman berbiacara dengan menggnakan bahasa atau idiom idiom yang simbolik dan atau metaforik. Perbdaan penggunaan materi dan bahasa ini sering dapat menimbulkan tafsir yang berbeda dan berakibat
1
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kesenian Tradisional sebagai sarana pembentukan karakter Bangsa di Universitas Negeri Semarang 22 Oktober 2016. 6
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
salah menilai. Namun perbdaan ini juga yang dapat juga memberi cirri khas dari masing masing kebudayaan maupun kesenian. Bahan, ramuan, menjadi karya seni dengan segala bentuk, ruang, waktu, irama, volume dinamika dan sebagainya semuanya dapat digunakan sebagai bahasa ungkap rasa maupun kehendak seniman yang ingin disampaikan jepada kepada audiensnya dengan memaknai lambing, simbol atau metafor sesuai kesepakatan atau tradisi yang biasa digunakan oleh masyarakat tertentu atau kalangan tertentu yang masing masing tempat dan waktu yang bisa berbeda maknanya. Terdapat kebiasaan kebiasaan dari masyarakat atau seniman tertentu dalam menggunakan maupun memaknai lambang atau symbol tersebut. Di Solo bendera merah memberi informasi tentang adanya keluarga yang sedang berduka karena ada anggota keluarganya yang meninggal, lain hanlnya dengan di Klaten, bila ada keluarganya yang meninggal, mereka menggunakan bendera berwrna putih. Di Lain tempat bisa juga menggunakan bendera berwarna hitam. Perbedan pebeaan atau kekhasan ini kemudian sering diangkat sebagai cirri perorangan, masyarakat atau daerah yang kemdian sering dianggap sebagai identitas. Kesenian Jawa misalnya cenderung menggunakan garakan yang mengalir dan pelan, orang dari luar Jawa dengan demikian menyebut bahwa orang Jawa cenderung memiliki karakter halus atau pelan, tidak sedinamin orang Bali yang cenderung dinamis sesuai dengan karakter tari musiknya yang lebih dinamis, cepat dan juga mengarah ke keras. Musik Jawa yang menggunakan pola permainan maupun bentuk gendhingnya yang cyclic, berputar , dan datar juga mnyiratkan, atau merefleksikan (tidak menggunakan kata mencerminkan, karena cermin meunjuukkan yang ada di dalam cerpin Nampak hampir seperti sesutau yang di cerminkan. Musik Jawa merefleksikan sikap dan karakter orang Jawa yang cenderung pelan, muleg, berputar putar menanti seseorang yang memutuskan apa yang harus dikerjakan dengan ditandai oleh pukulan gong sebagai penentu final. Demikian juga musik pop dan rock /cadas merefleksikan karakter atau kehidupan kawula muda yang hingar bingar sedang sedangnya menikmati kehidupan masa mudanya yang cenderung dinamis, berubah ubah atau belum stabil namun dengan penuh keceriaan dan diwarnai dengan semangat cinta yang masih membara. Sedangkan musik Ndang Ndut dianggap sebagai musik yang mewakili akar rumput yang luas db bebas, setara, dan membicarakaan segala persoalan kehidupan manusia di berbagai lapisan masyrakat, senang, sedih, reliius, juga profan dan bahkan bisa yang seronok pun masuk dalam ranah musik ndang ndut. Musik ini mewakili segenap lapisan masyarakat. Karakter dari suatu kesenian tentu saja bukan karakter tunggal namun bisa ganda bahkan jamak. Yang jelas bahwa seperti juga karakter manusia, tentu ada sisi baik dan buruk, positif dan negatif
7
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
TRI GITA KARANA Masyarakat dan kesenian. siapa yang menentukan apa? Berapa jenis kesenian dan atau musik dianggap sebagai refleksi sdari masyarakat pemilik/ pendukungnya. Sebenarnya sapakah yang menentukan siapa. Musik gamelan yang lambat datar dan muleg itu kemudian menentukan perilaku dan karakter masyarakatnya ataukah masyarakat yang menentukan karakter musik Jawa?. Kasusnya adalah mirip dengan mana yang lebih dulu :ayam atau telur?. Jawabannya bisa relatif. Didalam masyarakat tradisi di Indonesia. Kesenian meupakan bagian dari kehidupab sehari hari Hampir tidak ada kegiatan manusia terutama sekarang masih sangat kental adalah di Bali hampir pelaksnaan kegiatan upacara yang berhubungan dengn siklus kehidupan manusia terutama yang menyangkut interaksi dengan lingkungannya: manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, nereka hampir selalu melibatkan kesenian. Sejak Mnusia lahir sampai mati selalu ditengarai dengan keterlibatan kesenian. Di Bali ada upacara kelahiran, potong gigi, perkawinan, kematian dan juga sesudah kametian. Seperti juga di Jawa terdapat upacara mitoni, kelahiran, puputan, wetonan, khitanan, perkawinan, kematian, 40 hari-an, 100-am hari, mendhak, dan nyewu sampai pada kol dan sebagaimana, sebagian besar masyarakat masih melakukan peringatan atau upacara dengan melibatkan keseian, baik yang masih bernuansa keagamaan maupun yang sudah bersifat hiburan. Nalarnya. Kesenian adalah auatu produk dari seorang atau sekelompok seniman yang membuat karya tergantung dari tujuan dibuatnya karya dan dipengaruhioleh desa kala patra. Tentu saja seorang seniman dalam embuat karya tidak bisa meninggalkan berbagai hal yang melatar belakanginya : genetika, pendidikan, kesenian baik formal maupun non formal, lingkungan dan factor internal maupun eksternal, dan yang paling penting adalah fungsi dan gunanya ketika karya seni dibuat dan atau disajikan. Satu hal lain yang perlu kita perhatikan bahwa hanpir semua cabang kesenian (tradisional) di Indonesia aalah multi media.. Sebut saja seni pedalangan misalnya , didalamnya ada seni musik (gamela) seni tari ( gerak ara saet wayang), seni sastra, (dialog narasi dan poapan, teks suluk , seni rupa, wayang dan sunggingan wayag. Dan masih banyak lagi. Seni tari sampai saat ini juga masih memerlukan musik untuk membantu membuat tari bisa lebih hidup. Dan sebagainya. Demikian pula seniman senimannya. Mereka berkesenimanan paa dasarnya bukan hanya mengandalkan kesenimannya untuk hidup, mereka juga petani, pedagang, nelayang pegawai negri, pejabat pemerintah, anggota DPR dan sebagainya. bahkan seorang seniman dapat berprofesi seniman ganda. Penari jsejaligus juga pemusik atau sebaliknya. Kebanyakan dhalang juga pemusik dan dapat menari atau membuat wayang atau pembuat topeng. Penyanyi atau pesinden juga penari seperti dalam knasus tayub atu lengger. Dan sebagainya.
8
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Kasus Pada Seni Gamelan Jawa (karawitan). Sedikit sudah disinggung di atas. Kasus kesenian jawa atau khususnya gemalan jawa, sering disebut sebagai kesenia yang lamban, datar kalau bukannya monoton, muleg (beputar atau cyclic). Karakter karakter iniLAH yang sering digunakan sebagai menyiratkan atau merefleksikan karakter orang Jawa, yang sering digunakan sebagai sebuah ejekan. Namun pada era post modern seperti sekarang ini justru karakter semacam ini sering sangat diperlukan sebagai balance atau untuk merespon karakter kehidupan jaman dengan manusianya yang bergrak serba cepat, bising dan individualistis. Manusia sekaran yang sudah kehilangan sikap kntemplatif maupun meditative. Orang tidak lagi sempat merenung berffikir dengan jernih atau khilangan pertimbangan karena keterbatasan waktu. Maka pada awkhir abd 20 atau awal abat 21 lahirlah karya karya seni yan super lambat seperti butoh die pang. Karya karya tetaer dan tari opera yang lambat seperti karya teater mahabarata eter Brook yang berlangsung 9 jam atau karya Robert Wilson yang pada bagian awalnya (prolog) hanya menyajikan gerakan yang berjalan pelan selama lebih dari 45 menit dan juga karta koreografer Canad Andre Gingras yang berjudul Transform yang memang sangat lambat, sehingga perubahan geraknya nyaris tak kelihatan. Karya Opera yang berjudul Flowering Tree yang melibatkan bedaya gaya Surakarta, Bahkan 2 tahun yang lalu, Opera de Paris di Bastille, mengundang menampilkan bedaya Duradasih yang berdurasi sajian lebih dari satu jam tanpa ada pemadatan maupun pemotongan. .sejak akhir abad 19. Musik gamelan jawa atau yang disebut dengan karawitan mulai merambah dunia, dan meberi ibspirasi seorang komponis muda Perancis yang bernama Jean Claude Debusy mempelopori lahirnya genre musik baru yang disebut musik Modern stelh Debussy kesengsem melihat pertunjukan gamelan Jawa pada sat exposition mondial di Paris tahun 1879. dunia dengan kraya ciptaannya yang bersejarah berjudul Prélude d’après Midi d’un faune.. Komposisi nya yang menggunakan konsep harmoni yang tidak lazim bahkan tidak dibenarkan dalam hukum musik barat ini ( Debussy mengenalkan konsep harmoni yang disebut dengan dissonant yang banyak diguakana dalam karawitan jawa inilah yang membidani lahirnya musik modern di dunia, dan cara kerja Debussy ini kemudian di ikuti oleh komposer komposer kenamaan dunia sepeti Messaien, Stockhausen Apergis, dan beberapa komposer lainnya di Inggris dan Amerika seperti Benyamin Britten, John Cage dan Lou Haarrison. Ton de Leeuw dari Belanda. Dan beberapa komposer lainnya dari Jepang, Shin Nakagawa, dari Philipina Jose Maceda dan Jose Evangelista dari Kanada2.. Karya karya baru berikutnya oleh komposer diunia yang mendapa pengaruh daru musik JawaSunda maupun Bali terus bermunculan smpai sekarang ini. Festiak Gamelan dunia makin banyak bermunculan di berbagai kota di berbagai elahan dunia seperti di Inggris, Belanda, Malaysia, 2
L’influence de la musique Jacvanaise en France. De Debussy à Apergis. 9
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Singapura namun justru di Indoneia malah sangat jarang diselenggarakan . terakhir kali disiselenggarakan pada tahun 1995 di Prambanan untuk memperingati 50 kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah itu belum lagi diselenggarakan. Setelah mengilhami kelahiran musik modern, musik gamelan kemudian mengilhami beberapa komposer dunia (Steve Reich, Philip Glass, Terry Relei, Philip Corner dan sebagina dengan melahirkan genre musik baru yang disebut musik Minimalis. Kemudian di akhir abad 20 lahir lagi musik baru yang disebut World Music dimana musik gamelan mengambil peran yang cukup besar, Tokoh musik World music dunia antara lain Robert Brown, Barbara Benary, Lou Harrison, Jarrad Powell (semuanya dari Amerika) Alec Roth, Adrian Lee, (dari Inggris) Dieter Mach( dari Jerman) , Jack Body (New Zealand), Toshi Tsucitoridan Yuki Takahashi dari Jepang. dan sebagainya termasuk beberapa diantaranya dari Indonesia. Fenomena peristiwa kesenia yang pnting mengakhiri abad 20 adalah maraknya kolborasi berkaryaa seni antar bangsa, dan antar disiplin. Kolaborasi seni antar bangsa memang sudah sering dilakukan biasanya adalah antar dunia utara dengan selatan atau antara duniabarat dengan timur, dengan porsi utara atau barat mengambil peran yang lebih besar dari pada selatan atau timur. Utara atau Barat yang nota bene memilikiteknologi dan dana yanag lebih maju dan ffinansial yang lebih kuat, pastinya pantas untuk menjadi inisiator da atau pemimpin proyrk kolaborasiii. Selatan atau timur berada dalam fihak pelengkap, atau pembantu. Namun mulai akhir abad 20 ini tiur atau selata mulai lebih aktif mengambil peran yang lebih besar baiksebgi pemrakarsa, maupu penyandang dana. Munculnya macan macan ekonomi dan teknologi baru dunia seperti Jepang, Korea, Taiwan dan sekarng ini juga Cina dan Brasilia, merka mulai berbicara ditingkat dunia. LEAR Lear adalah salahsatu kasus yang dapat dijadikan contoh kasus kolaborasi antar bangsa dn antar budaya serta antar disiplin ini. Proyek mega dolar ini di prakarsi oleh Jepang melalui Japan / Asia Foundation di Tokyo yang bekerja sama dengan Asia Foundation di New York. Karya ini di picu oleh kegelisahan seniman dan budayawan Jepang yang setelah kalah perang dengan tentara sekutu di tahun 1945. Mereka sadar bahwa kekuatan dewa Matahari ternyata dapat dikalahkan oleh teknologi. Oleh karena itu Jepang kemudian berusaha mengejar ketinggalannya terhadap barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan dalam waktu yang relatif singkat mereka berhasil melakukannya. Bahkan melampauinya. Lihat pekembangan mereka dalam bidang industri otomotif, elektronik, komputer dan sebagainya , Jepang berhasil menyisihkan Amerika dan Eropa. Demkian juga uga Korea, dan sekarang ini juga Taiwan dan China. Namun apa yang mereka capai itu ternyata tidak serta merta
10
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
memberikan kebanggan bagi mereka. Mereka kemudian menyadari dan merasa bahwa mereka kemudian telah mlangkah terlalu jauh dan telah menjadi lebih barat dri pada orang barat. Hal itu dapat dilihat dari pla dan gaya hidup mereka, cara berpakaian, cara makan, berpakaian berkesenia, dan ritme hdup mereka, terutama yang mereka gelisahkan adalah orang Jepang terutama generasi mudanya sudah tidak lagi memahami apalagi mencintai budaya (termasuk kesenian) mereka sendiri. Di sekolah formal kesenian (conservatoire) dan universitas2v di Jepangtidak lagi mengajarkan kesenian tradisi Jepang seperti bunraku Noh, shamisen, biwa dn sebagainya, mereka mengajarkan musik barat, tari barat. Anak aak muda barat bersekolh di Consevatiore di Paris Wina London, mereka emenangkankompetisi internasiolan tetapi dalam seni budaya barat. Oleh karena itu mereke ingin membuat karya yan melibatkan maestro maestro dari bebeapa Negara Asia, rerutama Indonesia yang anehna menurut oranf Jepang, seniman seniman Indonesia adalah yang paling berhasil dalam membuat karya baru yang modern namun tetap mempeahankan nilai nilai maupun materi materi seni tradisi. Jepang menginginka mereka menajdi modern namun tidak harus menjadi barat. Mdernisasi adalah sesuaru yang berbeda dengan esternisasi. Karya kolaborasiini ternyata berhasil dan dianggap menjadi masterpice karya seni dunia yang kemudian memberi inspirasi karya karya baru hasil kolaborasi antar bangsa bangsa timur dengn timur atau selatan deangan selatan. REALIZING RAMA. Menyusul kolaborasi Asia Lear adalah kolaborasi 10 negara ASEAN dalam produksi karya yang bertajuk Realizing Rama. Latar belakang lahirnya karya kolaborasi ini bukan tentang modernisasi ASEAN tetapi masalah krisis kepemimpinan ASEAN yang pada waktu itu Indonesia dipimpin jendral HM Suharto, Malaysia dipimpin oleh Dr Mahathir Mohammad dan Malaysia dipimpin oleh Ferdinand Marcos yang ketiga tiganya dianggap sebagai dictator. Realizing Rama menggambarkan rakyat Ayodya yang menanyakan kembali sosok Rama sebagai pemimpin Negara. Ceritera ini diakhiri oleh kesadaran Rama yang telah menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Tema ini kemudian ditampilkan kembali ketika mas Garin Nugroho menggarap karya film musikalnya yang pertama yang berjudul OPERA JAWA. Tema yang sama juga ketika pada tahun 1997 SENAWANGI (Sekretariat Pewayangan Indonesia) pada menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dengan Lakon RAMA TAMBAK. Lakon ini intinya menggambarkan tokoh Rama yang dikenal sebagai idola masyarakat Jawa yang dianggap sebagai raja yang arif bijaksana, sakti adil ternyata menghabiskan harta, rakyat, tentara kerajaan hanya demi kepentingan diri sendiri, “menyelamatkan Sita”..
11
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
GOOD VIBRATION Moral Kata itu, sejak sekitar setengah abad yang lalu menjadi masalah yang serius bagi kehidupan manusia Indonesia. Dia menjadi sesuatu yang langka dan susah ditemukan di negara kita atau di dunia pada umumnya. Krisis moral telah menjadi kosa kata populer sejak menjelang kita mengakhiri abad ke 20. Dia yang dianggap sebagai “basis” yang potensial menyebabkan timbulnya krisis berbagai dimensi: kepemimpinan, politik, ekonomi, sosial, budaya, identitas dan sebagainya di negeri kita yang tercinta ini. Peperangan, kekerasan, perampokan, pelecehan, perkosaan, permusuhan antar etnik, ras, golongan dan agama, ketidak jujuran, kemunafikan, kemiskinan, narkoba, muncul di mana mana. Penjara di berbagai penjuru dunia juga semakin padat dengan penghuni. Bahkan di beberapa negara maju di dunia, mereka mengajak fihak swasta untuk juga menyediakan LP (lembaga pemasyarakatan) swasta. Rumah sakit di berbagai negara (termasuk di Indonesia) juga semakin padat penghuninya, terutama merawat orang orang yang sudah enggan atau tidak lagi memiliki harapan untuk hidup karena stress atau problem problem sosial dan kemanusiaan lainnya, seperti narkoba, dan krisis moral dan sebagainya. Rumah sakit itu sekarang biasa disebut dengan Secure Hospital. Dua lembaga yang menangani pemulihan kesehatan moral atau mental manusia inilah yang sekarang dicoba digarap oleh seorang relawan yang bergerak dalam bidang kemanusiaan lewat musik gamelan, - karawitan. Adalah seorang Cathy Eastburn, lewat lembaga swadaya masyarakatnya yang bernama Good Vibration yang bermarkas di London, ia mulai dan selalu menebarkan nilai nilai kemanusiaan melalui kegiatan berkarawitan sampai saat ini. SBC (Southbank Centre) adalah salah satu pusat kebudayaan terbesar di Inggris berlokasi di pinggir sungai Thames. Selain sebagai ajang pentas seniman dunia, Lembaga ini juga merupakan markas 4 orkes terkenal di dunia: London Philharmonic Orchestra, Philharmonia Orchestra, London Simfonietta, dan Orchestra of the Age of Enlightment plus Southbank Gamelan Players. SBC juga menaungi Hayward Gallery dan British Film Institute) yang setelah dua tahun ditutup untuk renovasi, sekarang telah kembali melakukan aktivitasnya lagi. Cathy mulai belajar bermain gamelan sejak tahun 2003 di London. Kemudian beberapa kali ke Solo (Indonesia) untuk belajar langsung dengan seniman seniman karawitan di Jawa. Atas dasar pengalamannya bergamelan secara professional di London, ia menjalani, menghayati dan merasakan bahwa selama bergamelan lebih dari sepuluh tahun ia mendapatkan pengalaman yang menarik dan berharga. Ia kemudian berpendapat bahwa pengalaman dan penghayatan berkarawitan tersebut alangkah baiknya dapat ditularkan kepada orang lain untuk dapat digunakan dan mendapat manfaat bagi kepentingan dan tujuan yang beragam. Bukan saja hanya untuk hal hal yang bersifat kesenian, kesenimanan kreatif ataupun yang sifatnya akademik/ilmiah, tetapi juga dan yang terutama adalah untuk aktivitas dan tindakan
12
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
yang berkaitan dengan tata kehidupan masyarakat yang bernilai sosial dan kemanusian. Pengalaman yang serupa, walau tidak sama, sebenarnya juga dialamai oleh mereka mereka, - terutama mahasiswa di berbagai universitas atau masyarakat di negeri maju di luar Indonesia -, yang belajar dan atau berolah karawitan. Mereka mendapatkan nilai nilai (tambah) yang bukan saja bermusik dan berakademik, tetapi nilai nilai yang telah beberapa tahun tidak lagi mereka dapatkan. nilai nilai itu antara lain memupuk rasa kekeluargaan, memupuk perasaan berada (being) dalam satu komunitas, semangat kebersamaan, kegotong royongan dengan tidak mengedepankan pamrih pribadi menekan atau mengurangi sifat dan sikap ke-egoisan atau individualistis, memupuk cara bekerja dengan semangat kerjasama dan bekerja bersama, membiasakan pada sikap keterbukaan, mau mendengar orang lain, atau mau berdialog dengan orang lain untuk mehindari konflik karena hal hal yang tidak terlalu prinsip atau karena adanya keberbedaan, mempertinggi sikap tolerans, kelenturan, tenggang rasa, mad – sinamadan dalam hidup bersama dan atau bermasyarakat, pengendalian emosi, tidak cepat marah atau tersinggung gara gara hal yang “sepele” kelembutan atau ketenangan. seperti juga karakter gamelan Jawa yang cenderung menghindari ekstrisme baik dalam kecepatan, kekerasan dan penggunaan langkah (interval) nada dan sebagainya. Nilai nilai atau sikap dan perilaku tersebutlah yang sejak beberapa abad yang lalu mulai tergusur oleh – menurut banyak orang dianggap sebagai efek samping dari - kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu ketika orang seolah olah telah berubah menjadi “mesin”. Nilai nilai yang mereka rasa hilang itu mereka dapatkan kembali ketika mereka bermusik gamelan atau berkarawitan. Berkarawitan adalah mengedepankan sifat, karakter, nilai seperti yang saya dan mereka sebut seperti pada butir butir di atas. Aspek tersebut antara lain merupakan beberapa aspek yang mendukung atau memberi peluang kepada program gamelan makin banyak di lakukan dan diterima di berbagai belahan dunia, terutama di negara negara maju. Di Inggris, Australia dan Jepang misalnya, gamelan telah masuk dalam kurikulum pendidikan di sekolah menengah. Tidak lagi mengherankan kalau sekarang ini banyak orang orang dari negara tersebut “mahir” bergamelan, bahkan beberapa diantara mereka yang memiliki kemampuan di atas rata rata orang Indonesia (Jawa), karena mereka memang belajar secara serius dan bekerja secara professional. Tidak sedikit dari mereka yang mencari nafkah lewat bergamelan, baik sebagai musisi, guru maupun komponis. Di Perancis kemudian juga menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran musik dunia di sekolh umum. Hal ini dilakukan untuk menjembatani atau memfasilitasi gerakan anti rasisme, sehubungan dengan sebagian besar warganegara Perancis berasal dari etnik yang majemuk3. Menjelang akhir abad 20 – an Singapura menekankan perlunya pembentukan dan atau 3
Pemerintah Perancis pernah menjadikan tahun 2002 sebagai tahun gamelan. 13
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
penguatan karakter atau kepribadian bangsa (baca : manusia) sejak dini mungkin melalui berolah seni. Dalam hajadan besar ini Singapura juga menggunakan gamelan (Jawa) dan angklung sebagai sarana pembentukan dan penguatan karakter bangsa, sebelum anak anak diperkenalkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Singapura selalu menyelenggarakan festival gamelan secara rutin yang diselenggarakan setahun sekali, - biasanya dalam bulan April -, diikuti oleh puluhan sekolah (ratusan murid murid) dari tingkat sekolah dasar samapai menengah atas. Sejak satu decade yang lalu, Malaysia mewajibkan gamelan masuk kurikulum sekolah menengah dan menggunakan gamelan sebagai sarana upacara kenegaraan di seluruh Malaysia. Ratusan perangkat gamelan dipesan dari Solo, dan sampai sekarang masih terus berlanjut. Sedangkan di Indonesia yang sampai saat ini mudah mudahan masih menjadi pusat dan kiblat dunia pergamelanan, nampak masih adem – ayem saja. Mungkin masih menunggu saat saat gamelan di klaim oleh bangsa atau negara lain sebagai miliknya, atau saat saat orang Indonesia harus mencari gelar master atau doctor karawitan atau membuat/menciptakan komposisi baru musik karawitan ke negara lain atau setidaknya dibimbing oleh orang asing. Apapun yang terjadi, sampai saat ini, berkat kemenarikan ujud instrument dan perangkat gamelan, kemampuan teknis dan kekayaan bunyi yang luar biasa dan berkwalitas, perangkat dan ricikan gamelan yang memberi berbagai kemungkinan dan terbukaan untuk eksplorasi (musical) yang nyaris tak terbatas bagi seniman seniman dengan latar belakang pendidikan dan sosial budaya yang beragam, kemampuan ekspresi musikal, kemenarikan audio dan visual, ke – eksotisan, keberagaman, kemajemukan dan keluwesan fungsi dan guna gamelan di masyarakat dalam berbagai konteks, serta kandungan nilai nilai kultural dan aplikasi kemanusiaa seperti yang baru saya sebut, maka gamelan mampu mempertahankan hidupnya di tanah kelahirannya, bahkan berkembang, berkelana menjalajahi dunia. Gamelan telah mendunia.
14
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
TRADISI DAN PERUBAHAN: TIDAK ADA JALAN PINTAS UNTUK HASIL BERKUALITAS: Menyimak Perkembangan Tari Tradisi di Indonesia4 Sal Murgiyanto [Saya ingin mengawali presentasi ini dengan menayangkan dua karya tari tradisi yang sudah berubah. Pertama, Kama (2012) karya I Gusti Putu Agus Yustika (Bali), kedua Fire! Fire! Fire! (2013) karya Eko Supriyanto (Jawa). Dua Tari Tradisi Masa Kini Kedua karya tari yang baru saja kita saksikan bertolak dari tradisi—yang pertama Bali dan yang kedua Jawa. Keduanya berbicara tentang cinta. Kama (lengkapnya Kamajaya) adalah Dewa Asmara yang pasangannya bernama Dewi Ratih. Komposisi berpasangan ini bisa ditafsir menggambarkan Kamajaya dan Kamaratih tetapi bisa juga dua insan muda lain jenis yang sedang dimabuk asmara. Kedua penari memakai busana tradisi Bali, tetapi gerak tari dan iringannya tidak sepenuhnya tradisional. Dalam karya pendek ini, “narasi” cinta digambarkan dengan lembut dan indah sehingga pesan relasi-kasih mudah ditangkap, dirasakan dan dinikmati pemirsa. Dengan kata lain cukup menghibur. Fire! Fire! Fire! juga berkisah tentang cinta tetapi dari perspektif yang beda. Karya tari ini mempersoalkan kalau bukan mempertanyakan kenapa tidak semua cinta berakhir indah dan mesra? Pendekatan garapnya juga lain: tidak naratif atau dramatik tetapi “post-dramatic” (Hans -Thies Lehman 2006). Setiap peristiwa cinta bermula dari ”api” asmara—yang dalam kebudaya-an Jawa diteguhkan menjadi satu bentuk tembang macapat Asmara-dahana. Dalam kehidupan nyata, tidak semua kisah kasih berakhir mesra dan penuh makna seperti diidealisasikan dalam hubungan Kama dan Ratih. Kobaran api-asmara bisa saja tak terkendali dan membakar salah satu atau kedua insan yang menjalin hubungan. Fire! Fire! Fire! adalah program tari lintas budaya bertajuk Satu Cerita Tiga Tarian (One Story, Three Dances) yang diprakarsai oleh Goethe Institut tahun 2013. Kisah yang dipilih adalah episoda Ramayana Sita’s Trial by Fire yang dalam pewayangan Jawa dikenal sebagai lakon Sinta Obong. Tiga penata tari Asia Tenggara masa kini—Sophiline Saphiro dari Kamboja, Pichet Klunchun dari Thailand, dan Eko Supriyanto dari Indonesia—dipertemukan di Kamboja dalam beberapa kali loka-karya, masing-masing membawa 6 penari pilihannya. Kepada setiap penata tari diberikan kebebasan untuk menginterpretasikan episoda Sinta Obong tersebut ke 4
Makalah ini saya kembangkan dari ceramah tari saya di rumah seni Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selipan frasa “Tidak Ada Jalan Pintas untuk Hasil Berkualitas” saya pinjam dari judul laporan diskusi-ekonomi Harian Kompas, 12 Oktober 2016, hal. 15. 15
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
dalam garapan tari sepanjang 20 menit. Hasilnya dipertontonkan di ketiga negara peserta: Kamboja, Thailand, dan Indonesia. Saya menyaksikan pertunjukannya di kampus ISI Surakarta 2 Februari 2013. Bagi seniman pelaku (maupun pencipta) dan juga pemirsa yang membaca luas literatur Ramayana dan mendalami bagaimana kisah-kasih Rama-Sinta dituturkan, ditulis, dan dipertun-jukkan dalam berbagai genre tontonan tradisi di ke4 negara (termasuk di negara asalnya India) lakon ini unik dan pelik. Lebih memikat lagi kalau kita memahami masing-masing tradisi serta perspektif ruang, masa, dan konteks sosial-budaya di mana cerita ini dikisahkan. Menurut satu tradisi di India, Sitha (Jawa: Sinta) sesungguhnya adalah anak Rahwana dari perkawinannya dengan bidadari Mandodari yang diramalkan Dewa kelahirannya akan membawa petaka bagi sang ayah.5 Oleh sebab itu Rahwana memerintahkan untuk membunuh bayi merah Sitha. Tetapi punggawa yang ditugasi Rahwana merasa iba dan hanya membuang Sitha di tengah sawah di celah bumibasah bekas bajakan. Seorang petani menemukan bayi jelita itu dan membawanya ke istana raja Manthili di mana permaisuri sudah lama ingin menimang bayi. Maka bayi yang “lahir dari tanah” dan akrab dengan alam itu dibesarkan di istana yang megah dan mewah. Menanjak dewasa Sitha dipertemukan dengan Rama lewat sebuah swayembara memanah yang ia menangkan. Tetapi putera mahkota kerajaan Ayodhya itu bernasib malang, karena sumpah ayahnya ia harus dibuang dan selama 13 tahun hidup di hutan Dandaka bersama Sitha, isteri tercinta. Bagi pembaca perempuan masa kini, apalagi yang hidup di kota metropolitan, hidup di tengah hutan tentu merupakan sebuah siksaan yang tak tertahankan. Tetapi bagi Sitha sekian ratus tahun silam, seperti digambarkan seorang sastrawan, ia sangat menikmati karena boleh kembali merasakan “kebebasan” hidup di tengah alam, dekat tanah—dari mana ia berasal—bebas mencelup kaki telanjang ke air sungai yang dingin, sebuah sendang, atau air terjun alami. Sayang kenikmatan yang dirasakan Sitha tak berlangsung lama. Di kerajaan Alengka, raja Rahwana yang merasa telah bebas dari kutukan karena telah “membinasakan” anaknya, mendapat wangsit akan adanya seorang perempuan cantik bernama Sitha, “puteri” raja Manthili. Siapa pun yang dapat memperisteri Sitha akan dapat memerintah negaranya dengan aman, damai, dan sejahtera. Tanpa sadar bahwa Sitha adalah puterinya sendiri, Rahwana yang perkasa mengawali petualangannya untuk mendapatkan Sitha dengan cara apa pun. Ketika tahu bahwa Sitha telah diperisteri Ramawijaya, Rahwana pun mengatur strategi untuk merebutnya. Ringkas kata, Rahwana berhasil mencuri Sitha yang sedang bercengkerama di hutan Dandaka dan melarikannya ke Alengka.
5
Kisah tragis (tragedy) serupa kita temui lintas bangsa: Watugunung (Jawa), Sangkuriang (Sunda), dan Oidipus Sang Raja (Yunani) misalnya. 16
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Tiga belas tahun hidup di istana Rahwana, sebagai isteri yang baik Sitha tahu sekali menjaga diri. Tegas ia bersumpah, akan mengakhiri hidupnya jika Rahwana sampai menyentuh kulitnya. Dan bagai kerbau dicocok-hidung, Rahwana patuh dan menghormati sikap Sitha. “Cinta harus dimenangkan lewat sentuhan hati, bukan kekuatan badani!” katanya kepada diri sendiri. Karena itu ia tak jemu melakukan upaya untuk membuka hati Sitha, orang yang dikasihinya dan demi kemakmuran negara yang diperintahnya. Namun, hemat saya, bukan tak mungkin secara sembunyi-sembunyi, sekali-kali Sitha juga menikmati kesempatan hidup bersama ayah dan bunda biologisnya: Rahwana dan Mandodari, yang telah mengukir jiwaraganya dan melahirkannya ke bumi.6 Kenyataan yang sama sekali tidak diketahui oleh Mandodari, Rahwana, bahkan Rama sang suami tercinta. Bagi Rama, Sitha adalah “miliknya” yang tak boleh membagikan kasihnya kepada orang lain, sekali pun itu ayah dan ibu sendiri. Bagi Rama, suami yang selama 13 tahun tidak didampingi isteri yang dicintai, kenyataan ini menyakitkan hati. Akibatnya api cinta itu menyulut rasa cemburu berlebih. Sehingga ketika akhirnya bertemu kembali dengan Sitha, ia rasakan bukan hanya rindu yang mendalam tetapi juga harga diri yang ternoda. Di akhir cerita, pencitraan diri mengalahkan rasa rindu. “Apa kata khalayak jika saya menerima Sitha begitu saja tanpa bukti akan kesucian isteriku?” Maka ia perintahkan Laksmana memasang api unggun bagi Sitha membakar diri di depan khalayak. Sitha melakukannya dengan patuh, tetapi mencatat tandas di dalam hati sikap Rama yang meragu-kan kesetiaannya. Dan bahwa bagi Rama “pencitraan” itu jauh lebih penting dari pada derita yang telah ditanggungnya selama 13 tahun. Sitha pun ragu dan merasa hidup sia-sia.7 Nampaknya koreografer Eko Supriyanto sadar bahwa rajutan cerita-cinta yang rumit itu takkan dapat tuntas ia tuangkan dalam sebuah karya tari sepanjang 20 menit. Ia memilih setia menggunakan substasi dasar sebuah tontonan tari yakni tubuh para penari yang tampil di atas panggung. Melalui karyanya Eko tidak ingin “bercerita” tetapi memperlihatkan “apa yang bisa dilakukan” oleh tubuh penari. Bagaimana “api” cinta ganas membakar tubuh dan jiwa sehingga memporakporandakan tata-krama dan aturan kehidupan. Gerak tubuh dan jiwa yang terbakar itu kuat dirasakan tetapi sulit dinikmati penonton yang gemar mengisolasi tari dalam ruang keindahan yang manis bak madu tetapi kurang bergizi . Kita pun tak 6
Kerinduan semacam ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang tidak tumbuh bersama ayah dan ibu kandungnya. Saya sendiri, yang kehilangan ayah pada usia dini, sering merasakan kerinduan semacam ini yang tak pernah bisa terpuaskan. Kecuali berkompensasi untuk mencoba menjadi ayah yang baik bagi anak-anak. 7 Menurut versi Jawa (Serat Rama), konon bukan Rama tetapi Sitha-lah yang meminta Laksmana memasang api unggun baginya untuk membakar diri membuktikan kesuciannya. 17
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
tahu lagi tubuh dan jiwa siapakah yang terbakar api kemarahan: Sitha, Rama, Rahwana, atau pemirsa yang semuanya berang karena tak terpenuhi tuntutan batinnya. “Tetapi kalau bukan untuk menikmati keindahan, untuk apa kita menyaksikan pertunjukan seni?” Mudah-mudahan kita bisa kembali ke masalah ini nanti. Pakem atau Aturan Baku dalam Tradisi Memang, cinta tak selalu dapat diwujudkan secara mulus dan terbuka. Saya teringat bait tembang “tradisi” macapat Jawa (Kinanthi) yang sering didendangkan almarhumah ibu semasa kanak-kanak saya, yang maknanya baru saya ketahui ketika sudah dewasa. Sebuah kisah-kasih yang dilakoni secara sembunyi-sembunyi. Saking pundi dhuh wong ayu (1) Kudung lendang mbrebes mili mata (2) Saking madosi paduka (3) Wasana kapanggih mriki (4) Kewan alit kadya lintang bintang (5) Yen konangan kadi pundi? ketahuan? (6)
(8u) Dari manakah dindaku cantik (8i) Berkerudung selendang berurai air (8a) Dari mencari kakanda (8i)
Akhirnya kutemukan [kau] disini
(8a) Hewan kecil [yang] berkedip seperti (8i)
Apa
yang
terjadi
kalo
sampai
Kalau anda ahli atau penggemar sastra Jawa, maka anda akan mengkritisi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang saya lakukan di atas hanya terbatas pada isi atau muatan pesan, tetapi tak mampu mewadahi estetika atau keindahan tembang “macapat” yang dibatasi oleh tiga jenis pakem atau pedoman: guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Sekar atau tembang Kinanthi itu memiliki enam baris (gatra) dalam setiap bait, delapan suku kata dalam setiap baris (guru wilangan), yang secara berturut-turut setiap baris diakhiri dengan vokal: u, i, a, i a, I (guru lagu). Aturan ini, di satu sisi, membatasi kebebasan kreatif atau sebaliknya menantang kreatifi-tas seorang sastrawan dalam menyusun teks atau cerita. Di lain pihak, membantu pendengar atau penikmat menghayati keindahan cerita yang dikisahkan. Pakem atau aturan keindahan ini dibuat pada suatu waktu untuk memudahkan seorang seniman (pelaku dan pencipta), serta pemirsa menghayati isi dan keindahan bentuk tembang macapat. Hal serupa berlaku bagi setiap tari tradisi yang selalu dipandu oleh seperangkat aturan (pakem) yang ketat dipedomani baik oleh seniman maupun awam pendukung tradisi yang bersangkutan. Tetapi tidak mustahil dalam
18
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
perkembangannya sebuah pakem atau aturan dirasakan oleh para pendukungnya tak lagi sesuai dengan tuntutan jaman sehingga terasa menyesakkan dan oleh karena itu harus dirubah atau disesuaikan. Tradisi dan Perubahan Peran penting tradisi di dalam kesenian maupun kehidupan bersama ditekankan oleh dua seniman senior, “…kesenian tidak [akan] ada tanpa tradisi— kalau kita menerima konsep tradisi sebagai proses,” kata Sapardi Djoko Damono (2015). Sementara W.S. Rendra menegas-kan pentingnya tradisi dalam kehidupan bermasyarakat. “Tradisi memiliki peran penting di dalam pertumbuhan sebuah masyarakat: tanpa tradisi pergaulan bersama akan kacau dan hidup manusia akan bersifat biadab.“ (1971). Sikap kritis Rendra dalam memandang tradisi memberi inspirasi kepada banyak anak muda, saya sendiri salah satunya. Tradisi harus diapresiasi, dipertanyakan, dan diinterpretasi-kan sesuai perubahan jaman. Seni tradisi bukan hanya dilestarikan dan dikeramatkan tetapi juga diperkembangkan. Tetap dimanfaatkan jika memang masih relevan dan diganti jika tak lagi memadai. Sikap serupa diyakini oleh Sardono W. Kusumo di bidang tari. Satu-satunya yang abadi di dalam kehidupan manusia adalah perubahan. Dunia tempat kita hidup disebut dunia fana karena yang ada di dunia kita ini selalu berubah. Konon, hidup kekal baru bisa dicapai setelah manusia mati, itu pun kalau “rapor hidup” kita bagus. Perubahan berjalan seiring perjalanan waktu dan bisa mengarah ke dua akibat yang berbeda: positif atau negatif. Manusia menyikapi perubahan dalam tiga cara: menolak perubahan dan memperta-hankan kemapanan (bagi pemegang kekuasaan atau status quo), merayakannya dengan gempita (bagi golongan yang ditindas dan ingin mendapat kebebasan atau keadaan baru yang lebih baik), dan mensiasati atau melakukan negosiasi. Sepuluh tahun setelah kemerdekaan R.I. tokoh tari modern Amerika, Martha Graham, berkunjung ke Indonesia penuh rasa was-was sebelum pentas . Tahun 1957 tiga penari muda Indonesia—Setiarti Kailola, Wisnoe Wardhana, dan Bagong Kussudiarja—mendapat hibah untuk belajar tari Modern di sekolah musim panas di Connecticut College dan studio Martha Graham di New York. Kembali ke Indonesia, Wisnoe dan Bagong mencoba menubuhkan “tari modern” versi Graham tetapi pemirsa Indonesia belum siap. Akibatnya keduanya kembali ke khitah, memadu teknik gerak tari tiga daerah yang digemari pemirsa Indonesia: Jawa, Sunda, dan Bali. Nampaknya bukan hanya penonton yang belum siap bagi perubahan besar dalam tari tetapi juga: ruang, kesempatan, dan konteksnya. Pertemuan lintas budaya kedua terjadi pada akhir dekade 1960-an. Dua tokoh seni pertunjukan Indonesia berikutnya yang berkesempatan memperdalam pengetahuan di A. S. adalah dramawan W.S. Rendra dan penata tari Sardono W.
19
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Kusumo. Keduanya asal Solo, walau Rendra kemudian menetap di Yogyakarta dan Sardono di Jakarta. Tahun 1964, Rendra mengikuti sebuah Seminar International di Universitas Harvard dan kemudian belajar di American Academy of Dramatic Arts sampai tahun 1967. Kembali ke Indonesia, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogya. Sardono menjadi penari Sendratari Ramayana Prambanan sejak didirikan tahun 1961, dan 1964 terpilih mengikuti misi kesenian pemerintah R.I. ke New York World Fair. Selesai menjalankan tugas sebagai penari misi tahun 1965, Sardono muda yang penuh idealisme dan semangat menggelora memperpanjang tinggal di New York selama setahun untuk belajar tari modern di studio Jean Erdman, mantan penari Graham. Tahun 1966 Sardono kembali ke Indonesia dan mendapati ajang pertemuan dan tempat latihan tari yang ideal di Taman Ismail Marzuki (TIM). Karya awal Sardono antara lain adalah Samgita Pancasona I-XII (1969-71) dan Kecak Rina (1972). Di tempat lain saya pernah menegaskan keyakinan saya bahwa kehidupan tari yang sehat memerlukan empat pilar utama, yakni hadirnya seniman pelaku dan pencipta; pemirsa yang apresiatif; produser; dan kritikus tari yang berwibawa. Nampaknya “the time is right” bagi kepulangan Rendra dan Sardono ke Indonesia dan mengawali kariernya di paruh kedua dekade 1960-an . Berdirinya Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki sebagai wadah kegiatan seni dan dibentuknya Dewan Kesenian Jakarta yang berperan sebagai dewan kurator atau penentu kebijakan pertumbuhan dan kualitas produk kesenian di Jakarta pada tahun 1968 dengan dukungan dana dari Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, membuka peluang besar bagi lahir, tumbuh dan berkembangnya tari kontemporer Indonesia. Meniti karier sebagai seniman kontemporer bersama lahir dan berkembangnya TIM, saya melihat cara kerja baik W.S. Rendra maupun Sardono lebih dekat dengan pendekatan kreatif Grotowski dari pada dengan Merce Cunningham. Sardono W. Kusumo yang terpilih sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta termuda (23 th) berada di tengah proses pertumbuhan tari Indonesia baru ini. Di TIM-lah Sardono bertemu dengan tokoh-tokoh tari seangkatan dari berbagai latar budaya: Huriah Adam, Farida Oetoyo, Yulianti Parani, Senthot Sudiharto, I Wayan Diya, I Made Netra, Retno Maruti dan seniman-seniman terpilih bidang seni lain— sastra, film, musik, teater, seni rupa, dan sinematografi dengan gagasan-gagasan unggul mereka. Bersama penari-penari inilah secara rutin Sardono menyelenggarakan workshop tari di PKJ-TIM dengan fokus mengembang-kan kepekaan serta kebebasan artistik, kreativitas, dan inovasi. Dari workshop tari inilah dihasilkan bukan saja penata tari tetapi juga penari-penari Indonesia “kontemporer. “ Ketika tahun 1970 didirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ)—yang di kemudian hari menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ)--banyak di
20
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
antara peserta workshop Sardono yang diangkat sebagai pengajar di Jurusan tari LPKJ sekaligus menjadi anggota Komite Tari DKJ. Sepuluh tarhun setelah DKJ ditahbiskan (1978), sebagai anggota Komite Tari, Dewan Kesenian Jakarta saya mendorong DKJ untuk memacu perkembangan tari kontemporer Indonesia dengan menyelenggarakan Festival/Pekan Penata tari Muda yang diikuti oleh penata tari dari berbagai kota di Indonesia, al., Jakarta, Bandung, Solo, Yogya, Surabaya, dan Denpasar. Beberapa penata tari kontemporer yang muncul dari forum ini antara lain Deddy Luthan, I Wayan Dibia, Wiwiek Sipala, Tom Ibnur, Sukardji Sriman, dan Gusmiati Suid. Penyelenggaraan Festival Penata Tari Muda terhenti ketika saya berangkat ke Amerika Serikat untuk meneruskan studi di Departe-men Kajian Pertunjukan, New York University tahun 1985. Tahun 1991 saya menyelesaikan studi doktoral saya dengan menulis sebuah disertasi yang membahas karier empat perintis tari kontemporer Indonesia: Bagong Kussudiardja, Sar-dono W. Kusumo, Huriah Adam, dan Retno Maruti. Tahun berikutnya (1992) bersama Nungki Kusumastuti, Maria Darmaningsih, dan Melina Surjadewi atas nama Fakultas Seni Pertunjukan IKJ kami menyelenggarakan Indonesian Dance Festival (IDF) yang masih terus berlangsung sampai sekarang. Penata tari kontemporer Indonesia yang muncul dari forum ini antara lain Mugiyono Kasido, Ery Mefri, Martinus Miroto, Hartati, Jecko Kurniawan Siompo, dan Eko Supriyanto. Merawat Tari Tradisi Yang menarik hampir semua penata tari yang disebutkan dapat dirunut akarnya ke salah satu perintis tari kontemporer yang pernah saya teliti. Perlu pula dicatat bahwa masing-masing penata tari mengawali karier tarinya dengan belajar tari tradisi. Menurut Rendra, menjaga perannya sebagai pembimbing, tradisi yang menjadi pedoman bersama sebuah masyarakat, perlu dirawat dengan baik dan dikritisi. Sebab jika tidak, …nilainya sebagai pembimbing akan merosot apabila tradisi mulai bersifat absolut. Dalam keadaan serupa itu ia tidak lagi menjadi pembimbing, melainkan menjadi penghalang bagi pertumbuhan pribadi dan pergaulan bersama yang kreatif… Apabila [tradisi] mulai membeku (atau dibekukan), maka ia lalu menjadi merugikan pertumbuhan pribadi dan kemanusiaan, oleh karena itu harus diberontak, dicairkan, dan diberi perkembangan yang baru. Fitrat hidup itu bertumbuh dan berkembang. Tradisi yang tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrat hidup….[S]ebagai seniman, sangat sering saya mengadakan eksperimen-eksperimen yang menyalahi tradisi kesenian yang sudah ada. Tetapi itu terjadi bukan karena saya anti tradisi, melainkan karena tradisi yang sudah ada tidak bisa lagi menampung perkembangan yang baru dari gairah hidup saya….
21
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Saya tidak pernah dengan sadar mencari sesuatu yang baru. Kalau yang ada sudah cukup baik dan lapang, maka tak perlu saya merintis satu pembaruan. Dalam berkarya tidak pernah saya mengkonsentrasikan diri terhadap orisinalitas atau kebaruan, tetapi konsentrasi saya kerahkan untuk setia pada hati nurani saya dan kepada hidup…. Tidak ada alasan orang untuk anti pada tradisi selama ia yakin pada kemampuan berdialog dalam dirinya….Tetapi setelah saya menghayati tradisi itu, dalam pergaulan yang erat, setelah berdialog dan saling memberi dengannya, bagaimana mungkin saya hanya sekadar meng-copy-nya saja? Konsekuensi dari pergaulan yang penuh penghayatan ialah: saya memperkembangkan tradisi dan tradisi memperkembangkan saya. Tradisi Jawa sebenarnya sangat kaya, tetapi sayang masyarakatnya tidak bisa bergaul baik-baik dengan tradisi itu, sehingga mereka merupakan benalu bagi tradisi. Mereka hanya bisa menempel dan mengeksploitir saja dan tak mampu memperkembangkannya….Tradisi bukanlah sesuatu benda mati. Seharusnya ia adalah sesuatu yang tumbuh dan berkembang, sesuai dengan kehidupan.8 Kini, saya akan menayangkan sebuah karya tari yang mendekati apa yang dikatakan Rendra: di mana penata tari bukan sekedar meng-copy yang ada di dalam tradisi tetapi berusaha memperkembangkan tradisi sehingga pada gilirannya tradisi juga akan memperkembangkan penata tari: (1) Barangan karya Otniel Tasman (2015) Penutup Merawat tradisi bisa dilakukan dalam dua cara, melestarikan dan menginterpretasikan. Yang pertama berorientasi ke “dalam” kalau bukan ke masa silam yang kedua berorientasi ke “luar” atau ke masa depan. Anda boleh mengkritisi bahwa tokoh dan contoh yang saya ajukan dalam ceramah ini cenderung ke yang kedua. Mas Sapardi, Rendra, dan Sardono adalah seniman-cendekia yang ketiganya dibesarkan dalam tradisi Jawa—yang karya-karyanya berorientasi ke masa kini, bahkan ke masa depan. Di Indonesia, seniman “intelijensia” kreatif semacam ini tidak banyak jumlahnya. Di bidang tari, yang mendominasi adalah seniman cendekia golongan “literati” yang orientasi nilai dan kekaryaannya ke dalam. Para literati merawat tradisi—meminjam istilah Rendra—dengan membuat “copy” atau merekonstruksi karya-2 masa lalu. Saya tak bermaksud mengatakan bahwa pendekatan yang satu lebih baik dari yang lain. Rekonstruksi Bedaya Semang yang dilakukan beberapa W.S. Rendra, “Mempertimbangkan Tradisi” dalam Mempertimbangkan Tradisi yang disunting Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, 1984): 3-6. Pernah dimuat di majalah Basis, Mei 1971, hal. 237-39. 8
22
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
tahun silam di keraton Yogya, misalnya, sangat berguna. Hemat saya, kedua pendekatan penting dan harus dibuat seimbang seperti yang acap saya kutip dari pernyataan Winston Churchill, Without tradition, art is like a flock of sheeps without a shepherd; without innovation it is a corpse. Apa yang dilakukan I Gusti Putu Yustika, berada di tengah-tengah. Garap bentuk Kama cukup menarik: kuat bertelekan pada tradisi Bali tetapi ada keinginan untuk melangkah ke depan. Dengan tema kisah kasih dua insan lain jenis yang banyak dikenal, karya ini cukup memikat dan mudah dicerna pemirsa awam. Akibatnya, dari sudut garap isi kurang menantang. Di dalam sebuah negara demokratis, saya berharap karya “tari tidak sekedar mengungkapkan perasaan dan pengalaman estetik tetapi [dan] terutama sebagai hasil pengamatan dan pendapat kritis akan situasi kehidupan masyarakat.” Esensi isi ini mendominasi di dalam karya Eko Supriyanto dan Bobby AS tetapi tak terasa dalam karya Putu. Saya kira Putu Yustika memilih posisi “aman” bukan tanpa alasan: banyak pemirsa tari di Bali belum siap mengapresiasi karya tari yang mempertanyakan estetika dan nilai-nilai budaya tradisi Bali. Tak berarti seorang literati tak bisa membuat karya tari yang menyentuh hati. Retno Maruti dan puterinya Ruri Nostalgia banyak membuat karya tradisi yang saya sebut neo-klasik yang bernas. Menurut Arnold Haskell ada 5 tahapan menikmati pertunjukan tari klasik.9 Tingkat paling bawah adalah kenikmatan yang diperoleh pemirsa karena menyaksikan seorang penari mampu menguasai teknik gerak yang sulit-rumit. Tahap kedua, lebih dari menguasai teknik yang pelik, seorang penari bisa melakukannya dengan anggun (elegant) tanpa banyak kesulitan. Tahap ketiga adalah menikmati gerakan penari yang memuat rasa musikal yang tinggi: lebih dari sekedar mengikuti irama sehingga pemirsa seakan-akan melihat musik di dalam tubuh para penari. Keempat, penonton menikmati kemampuan interpretasi penari yang dapat menghidup-kan peran yang dibawakannya, sehingga “putri Aurora [dari negeri dongeng] bukanlah sekedar seorang balerina yang brilyan tetapi mampu membuat kita percaya ia salah seorang di antara kita,” tulis Haskell.10 Kenikmatan tingkat ke5 tercapai jika para penari mampu mengangkat tema tarian menjadi sebuah kebenaran yang universal. Apa yang kita saksikan di dalam sebuah pertunjukan tari klasik adalah sebuah idealisasi dari hidup manusia, dan oleh sebab itu nampak serba bagus, serba tampan, dan serba indah yang hanya terjadi di dalam mimpi. Bedanya dengan keadaan hidup Arnold L. Haskell, “The Meaning of Classical Dance,” British Journal of Aesthetics, vol. 2. No. 1. Jan 1962: 56-57. 10 Ibid. 9
23
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
yang senyatanya bagaikan bumi dan langit. Kenikmatan dan keindahan tidak selalu menjadi sasaran seni pertunjukan kontemporer. Silahkan bertanya ke diri sendiri, apakah anda termasuk orang yang gemar menikmati tiruan dari kehidupan yang ideal atau gambaran dari kehidupan nyata sehari-hari? Dua contoh karya tari “neo-klasik” masa kini bisa saya sebutkan di sini yang keduanya bertolak dari narasi tradisi dan bertemakan kasih. Awal tahun ini, ISI Yogyakarta mengirimkan sebuah rombongan tari ke Amerika. Judy Mitoma, pihak pengundang dari Amerika, meminta saya memberikan saran terhadap program yang akan ditampilkan di University of Hawaii, UCLA dan Calarts di Los Angeles, California. Saya mengkritisi sebuah nomor tari klasik terkenal Karno Tandhing yang menggambarkan pertempuran hidup-mati dua saudara Arjuna dan Karno di medan laga Bharatayudha. Tema kepahlawanan yang ditarikan dua penari alusan (halus) itu saya rubah menjadi kisah-kasih yang mendalam antara seorang ibu (Kunthi) dengan kedua puteranya yang harus bertempur sampai salah satunya menemui ajalnya. Saya sarankan untuk menambahkan adegan “dramatik” di bagian awal yang mempertemukan Karno dengan ibunya (Kunthi) dan pada bagian akhir yang mempertemukan Kunthi dengan kedua puteranya —Karno dan Arjuna--dan mempertahankan adegan perang tanding di tengah-tengah. Judy Mitoma tertarik dan meminta saya menuliskan apa yang saya tuturkan dalam naskah 1000 kata guna membantu penonton Amerika mencermati tarian yang saya sarankan diberi judul Karno-Kunthi (2015). Saya menerima pembatasan 1000 kata itu sebagai tantangan kreatif. Hasilnya saya sertakan sebagai Lampiran I makalah ini agar anda bisa ikut mencermatinya. Garap isi ini kemudian diwujudkan menjadi sebuah koreografi oleh Bambang Pujaswara yang didukung komposisi musik (gamelan) mas Anon, keduanya dosen ISI Yogyakarta. Beribu maaf, saya sendiri belum menyaksikan pertunjukannya atau mendapatkan rekaman pentasnya. Tetapi menurut Judy Mitoma dan teman-teman yang menyaksikan pertunjukannya di Honolulu, Hawaii dan di Los Angeles, California penonton Amerika sangat menikmati dan memberikan apresiasi yang tinggi. “Karya tari” neo-klasik yang kedua, Wiwoho Girisapto (2013), menyangkut diri saya dan tidak dimaksudkan sebagai tontonan tetapi bagian dari upacara. Wiwoho adalah perjamuan dan Girisapto adalah nama senuah makam bagi senimanbudayawan yang didirikan oleh perupa Sapto Hoedojo di kawasan Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Purna tugas dari mengajar tari di TNUA, Taipei, tahun 2012 saya dan isteri Alexia Endang Nrangwesti, pindah ke Yogyakarta untuk menkmati masa senja. Namun Tuhan menghendaki lain. Pada bulan Juli 2013 Endang, isteri tercinta, terdeteksi kangker paru akut. Kami sekeluarga berjuang sekuat tenaga tanpa membawa hasil. Timbul frustasi mendalam dan sempat protes kepada Tuhan, tetapi akhirnya kami sadari bahwa kami hanyalah manusia yang di
24
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
hadapan Bapa tak punya kuasa. Di malam-malam sunyi menunggu isteri di R.S. Panti Rapih dengan hati yang tertindih, saya tuangkan kesedihan hati itu ke dalam bait-bait macapat Mijil (Wigaringtyas) yang saya kuasai (Lihat–bait-bait Mijil Wigaringtyas—hati yang terhempas—dalam Lampiran II). Ketika bertemu mas Sunardi, Kepala Sekolah SMKI di mana Endang pernah belajar menari semasa remaja, saya meminta sekiranya mas Nardi dapat mengumpulkan sekelompok siswa untuk menyanyikannya nanti dalam upacara pemakaman Endang; sebagai ungkapan rasa duka saya yang mendalam dan selamat jalan kepada isteri yang sangat saya cintai, mengantar-kannya kembali ke rumah Bapa. Beberapa hari kemudian, ketika mas Nardi menjenguk ke Panti Rapih, saya bertanya, “Mungkinkah koor macapat itu diiringi dengan gamelan?” Mas Nardi menyanggupinya. Tetapi nampaknya gagasan yang tidak biasa itu belum juga mau berhenti. Ketika saya bertemu ibu Sasmintamurti, teman kuliah Endang semasa di ASTI, saya menunjuk-kan puisi Jawa yang saya buat sambil memberanikan diri memohon apakah beliau bersedia menyusun sebuah tarian pendek untuk mengantar Endang ke peristirahatan abadi. Membaca teks Mijil saya, mbak Tiyah (begitu saya biasa memanggilnya di masa kuliah), sambil berurai air mata beliau mengiyakan. Segera bu Tiyah mengumpulkan empat penari putri senior—Tutiek Winarti, Heny Winahyuningsih, Retno Nooryastuti, dan Retnaningsih—untuk berlatih marathon di pendapa Pujakusuman dan di ruang kelas SMKI. Ketika pada tanggal 31 Maret 2014 ibu Tiyah melakukan “gladi resik” di halaman Makam SenimanBudayawan “Girisapto” di Imogiri, Endang dipanggil menghadap Bapa. Keesokan harinya, Srimpi Wiwoho Girisapto “dipertunjukkan” di halaman Gerbang kedua, sebagai bagian upacara mengantar perjalanan isteri tercinta kembali ke rumah Bapa. Martinus Miroto, yang dalam busana tradisi Jawa menjadi cucuking lampah berbisik kepada saya, “Mas Sal, ini untuk yang pertama kali upacara pemakaman disertai pertunjukan tari.” Saya membentak lirih, “Ini bukan pertunjukan tetapi bagian dari upacara pemakaman!” Saya terharu ketika beberapa orang—ada yang saya kenal banyak yang tidak— sambil berurai air mata menyalami saya. Saya bertanya kepada diri sendiri, “Inikah yang dimaksud Schechner—“From Ritual to Theater and Back?” Inikah sebabnya kenapa Grotowski di akhir kariernya yang sukses meninggalkan panggung untuk masuk ke dalam apa yang ia sebut sebagai “para”theater: sebuah kegiatan yang ditata sebagai upacara di mana “peserta upacara” yang dibatasi jumlahnya ikut terlibat dalam proses kreatif sehingga terjadi pertemuan dari hati ke hati di dalam sebuah perjumpaan? Saya ingin menutup ceramah ini dengan mengutip sebait sajak Sapardi Djoko Damono, yang dengan cerdas, tangkas, dan laras berhasil memboyong tokoh Dewi Sitha ke dunia masa kini kita:
25
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Sinta nama saya, ya, Sinta nama saya setiap hari mengendarai motor agar tidak terlambat sampai di kantor. Tak tahu lagi di mana suami saya mungkin ia tidak ingin merdeka dari penjara aksara di Buku Purba menyalakan api yanag sia-sia.11 Yogyakarta, 12 Oktober 2016.
11
Sapardi Djoko Damono, Namaku Sita: Seuah Sajak (Jakarta: Editum 2014), hal. 55. 26
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Lampiran I KARNO-KUNTHI Retold by Sal Murgiyanto To serve their darma as a ksatria, Karno and Arjuno -will fight against each other at the battle field till one of them dies. “Why it should happen to my sons?” Kunthi asks bewilderedly. She has been walking along Gajah Oya for twelve hours. Feet swollen, body bruised, and exhausted, Kunthi climbs a stone-platform to take a rest. Surprisingly, she finds a young man sitting there in meditation. She recognizes him as the person she has been looking for. Paying sembah, she addresses him respectfully, “Prince Karno, have pity on me. I come a long way to meet you in the hope that you could grant me my one and only wish: as your mother, I neither want to lose you nor Arjuno. Kindly withdraw from the battle and join your five Pandhava brothers instead.” “Auntie, what you have just said and done deeply upset me. First, you have made me come out of my meditation. Second, unreasonably you claim to be my mother and then arrogantly told me to withdraw from the battle. Dear the daughter of King Manduro, I was born twice into this world: first by an irresponsible mother who threw me as a newly born baby into the bed of Gajah Oya; secondly by a simple woman, who saved me from the great danger of Gajah Oya. “Ooh Prince Karno, I was only twelve years old and was not ready to be a mother when I found that I was pregnant as a result of my meeting with the God of Sun, your father. This made your grandfather, the King of Manduro, furious. To keep my purity, following the guidance of your father, I had to give birth through my ear and without my agreement the newly born baby was then put into a floating cradle and thrown into the Gajah Oya. My father didn’t give me any chance to raise you. I feel numb and useless not able to understand the will of my father. Nobody knows how I have suffered day and night for not being able to give life to my own son since then.” Kunthi stops abruptly unable to continue her story. “Auntie, your story is moving. But the fact remains that I was an unwanted child. So I have no reason to return to you and the Pandhava. For long I have regarded my first existence passed; my second life began when Nyi Adirata, a simple woman wife of the charioteer of the King of Astina, save and take care of me with deep love and sincere heart to give me a new life. Later, my adopted father, the charioteer of the king of Astina, brought me to work for the king. This land and my status as the regent of Awangga was given by him as a reward. People call me Karno and say that my biological mother was Kunthi the mother of the five Pandawa.” “Oh Prince Karno, I more than understand if you want to erase my name from your life. Unable to pay my debt to you as a mother then, you are welcome to end my life.”
27
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
“Auntie, let me continue my story. You must be joking to ask me to withdraw from the battle? It is true that my step father was a simple man. But he and his wife raised me well to be ksatria. As a ksatria it is my duty to pay back the rewards I have received from the king of Astina. The one thing I could promise you, as Nyi Adirata has taught me, is to help ease your pain. Lets the world hear to what I promise, you will not lose Arjuno by the end of the battle. Excuse me Auntie, I have to leave, I promised to meet my wife before sun set!.” When the sun rise the following day, Kaurava’s and Pandava’s troops have lined up facing each other ready to battle. Kunthi goes to meditate. Riding a battle chariot with Krishna as the charioteer, Arjuno leads the Pandava’s troops. Karno leads the Kaurava’s on his mighty chariot with the king Salya, as the charioteer. To end the battle before sun set, Karno takes his magical arrow Kuntowijaya to shoot Arjuno but missed. Arjuno retaliates with his magical arrow the Pasopati to shoot Karno successfully. A thunderous shriek ends the battle. Coming down from the prayer house, Kunthi brings a kerosene lamp to go to the battle field. She walks among dead bodies along the path full of blood in search of her sons. From afar she sees two chariots surrounded by troops with hundreds of torches. Kunthi struggles to reach that place where she sees Arjuno stands still mightily with his bow and arrow on his hands. Across, Karno laying down on his chariot holding Arjuno’s arrow on his chest. Hurriedly, Kunthi approaches Karno to carefully put his head on her lap. “Mother, I am most happy you come to meet me at the end of my life. Forgive me for my harsh words. I am doing it to cover my weaknesses. Step-mother Adirata has never tired telling me to be patient, to always respect and love you. You must have a reason to do what you did and I have to find the truth. Mother I have forgiven you long time ago. But I am only human: too arrogant to acknowledge my weaknesses; to acknowledge that I missed you. Beloved mother, you know better that life is such a mystery. Kunthi turns to Arjuno asking him to come down, “Pay respect to your eldest brother. Ask forgiveness and blessings from him. You have been with me all my life but this is the only time I can be with your brother Karno.” Arjuno pays respect and asks forgiveness from Karno. Embracing him, Karno says, “Arjuno my dear brother, please forgive me. I fail to be a good brother. “ Karno smiles and dies peacefully laying on Kunthi’s lap embracing Arjuno.
28
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Lampiran II Kidung Pungkasan12
Selamat Jalan Mama Tercinta
Farewell Beloved Wife13:
Mangu-2 ing tyas ingsun yayi Maos karsa Manon Dene sira tega nilapake Ngrumiyini sowan maring Gusti Priyangga ing bumi Liwung polah ingsun
Bimbang, ragu, sulit aku mengerti Kehendak Tuhan yang tersembunyi Sampai hati mama mendahului Meninggalkanku menghadap Illahi Hidup sendiri di bumi Goyah pijakan hidupku
I am bewildered, dearest one, Trying to grasp the will of God, That He would let you leave me To go to Him first. I am just a creature on this earth, adrift, in a daze
Warsa wingi sapta ingkang sasi Panandang wit katon Yayi mikul sang Kristus salibe Rikma risak kang iga kaeksi Dres mijil luh mami Tan kwawi andulu
Tahun lalu di bulan Juli Derita mama mulai kulihat Berat kaupikul Salib Kristus Rambut rontok & iga-2mu menyeruak Deras mengalir air mataku Jika kutatap derita ragamu
Banget panarimaningsun yayi nggenira wus momong Galuh Ajeng Lukitasarine diwasa wus pantes sih ngabekti tanpa sira yayi tanna gunaningsun
Mama, terima kasihku padamu Tlah kaubesarkan dua buah-cinta kita G. Ajeng Nariswari dan Soca Lukitasari Keduanya dewasa cakap & berbakti Tanpa bantuan mama Tak mungkin kulakukan tugas mulia ini
Last year in the seventh month, The pain first appeared; You, dear, were to bear Christ’s cross Your hair in shreds, your ribs visible, My tears streamed, Unable to look.
Gung panuwun katur Kristus aji paringsih maringong lumantar yayi ing panandange ingsun lila yayi wangsul Gusti tinuntun sang Dewi Maria satuhu (R.S. Panti Rapih,Yogyakarta 3 February 2014)
Akhirnya, terima kasih kepada Kristus Yang tlah curahkan kasihNya padaku Melalui derita mama Kurela mama menghadap Bapa Dibimbing Maria Ibunda Yesus
1
Karipta mawi sekar macapat Mijil Wigaringtyas dening Matheus B. Sal Murgiyanto kagem garwa-kinasih Alexia Maria Endang NrangwestI
Dear one, I thank you so For raising and nurturing Galuh Ajeng and Lukitasari, Both now grown and respectful. Without you, dear one. I feel useless. Great is my gratitude to Christ Almighty For giving me love Through you, dear one, in your pain. I now let you return to Him Accompanied by Maria the Mother of God Yogyakarta, 31 March 2014 1
A poem by Sal for Endang originally written in Javanese macapat song Mijil Wigaringtyas. Translated into English by Allan Feinstein; reviewed by Pak Sumarsam and Joan Suyenaga.
29
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Biografi
Dr. Sal Murgiyanto, adalah seorang penari-penata tari, pendidik, pemikir, dan kritikus seni pertunjukan yang lahir di Solo, Jawa Tengah, 27 Desember 1945. Sal memperoleh gelar Seniman Seni Tari dari ASTI Yogyakarta (1975), M.A. dari Departemen Tari & Teater Universitas Colorado (1976), dan Ph.D. dari Departemen Kajian Pertunjukan Universitas New York (1991). Sebagai penari Sal pernah menari di Sendratari Ramayana Prambanan (1962-72) dan terlibat dalam Teater Sardono. Karya tarinya antara lain, Damarwulan, Candrakirana, dan Sukosrono-Sumantri. Sal pernah menjadi Dosen antara lain di ASTI Yogyakarta, IKJ Jakarta, Pasca Sarjana UGM, ISI Surakarta, ISI Yogyakarta, dan Taipei National University of the Arts. Sal pernah menduduki posisi sebagai Wakil Ketua Asian Dance Association, Anggota Dewan Kesenian Jakarta, Konsultan Yayasan Kesenian Jakarta, Pendiri dan Ketua Pelaksana Indonesian Dance Festival, Anggota World Dance Alliance-Asia Pacific, Ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Anggota Yayasan Kelola, dan Anggota Yayasan Seni Budaya Jakarta (IKJ). Beberapa buku yang ditulisnya adalah Koreografi (1980), Penata Tari Muda, ed. (1978-82), Seni Menata Tari, terj. Doris Humprey (1983), Ketika Cahaya Merah Memudar: Sebuah Kritik Tari (1993), Teater Daerah Indonesia (1996 bersama I Made Bandem), Kritik Tari: Bekal dan Kemampuan Dasar (2002), sertaTradisi dan Inovasi (2004). Dua bukunya yang terakhir terbit berjudul Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat (2015) dan Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan (2016). Dua bukunya yang akan segera terbit adalah Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari dan Membaca Jawa. Tulisan-tulisannya di penerbitan internasional a. l., “Bridging the Gap through Dance: Taiwan and Indonesia,”dalam Identity and Diversity: Celebrating Dance in Taiwan (Routledge, 2012); “New Dance in Indonesia: Rebuilding an identity in a local and global context,” dalam Identites culturelles, identites esthetiques. (Pantin: Centre national de la danse, 2011); “Interrogating Tradition, Interrogating Self,” Taipei Theatre Journal. No. 12. July 2010; “Sardono: Ongoing Dialogues with Humankind and Nature,” Dignity in Motion: Dance, Human Rights
30
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
and Social Justice” (Scarecrow, 2008); “Searching for the Contemporary in the Traditional: Contemporary Indonesian Dance in Southeast Asia,” Contesting Dance and Performance: Emerging Sites of Research (Palgrave MacMillan, 2010); dan “From Village to Theatrical Stage and Back,” Asia-Pacific Forum No. 39. March 2007-2008, yang diterbitkan oleh Centre for Asia-Pacific Area Studies, Academica Sinica, Taipei, Taiwan. Sal pernah menerima penghargaan a.l., dari Smithsonian Institution, Washington D.C., A.S., dalam rangka Smithsonian Folkways Festival (KIAS 1991), Museum Rekor Dunia sebagai Pemrakarsa dan Penyelenggara Indonesian Dance Festival (MURI 2008), IDF Lifetime Achievement Award 2014 dan Satyalancana Kebudayaan (2013) dari Presiden RI sebagai penari, penulis seni, kritikus seni, dan akademisi. Terakhir Sal menerima Penghargaan Seni Sasminta Mardawa 2016. Sal Murgiyanto adalah pendiri dan penggerak Komunitas Seni Senrepita di Yogyakarta (2014). Tahun 2016 Dr. Murgiyanto ditunjuk pemerintah RI sebagai kurator bidang tari bagi Festival Europalia di Belgia (Oktober 2017-Januari 2018) yang akan menampilkan seni dan budaya Indonesia.
31
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
OPTIMALISASI SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DALAM JAGAT PENDIDIKAN SENI Oleh: M. Jazuli / FBS UNNES
[email protected]. Universitas Negeri Semarang Pendahuluan Seni pertunjukan tradisional sebagai bagian dari budaya tradisi banyak memberikan harapan, kemanfaatan, dan kebermaknaan bagi kehidupan manusia. Untuk itu perlu dilakukan pelestarian, perlindungan, pemanfaatan, dan pedayagunaan atau pengembangan seni pertunjukan tradisional untuk tujuan identitas budaya (lokal) daerah, penanaman nilai etika dan norma adat istiadat yang sudah mengkristal serta berlangsung secara turun-temurun. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara pembelajaran seni pertunjukan tradisional di lembaga pendidikan (formal maupun nonformal), mengadakan lomba atau festival, dimanfaatkan untuk peristiwa-peristiwa penting di daerahnya, pelengkap suatu upacara tertentu, dan peningkatan frekuensi pementasan. Sungguhpun seni pertunjukan tradisional banyak memberikan harapan, kemanfaatan, dan kebermaknaan bagi kehidupan manusia tetapi realitas yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa banyak seni pertunjukan tradisional kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat pemiliknya sendiri. Upaya dan pemikiran tentang pelestarian seni pertunjukan tradisional terasa kering dan terbatas (sarana dan dana), cara pewarisan belum sistematis, banyak generasi muda kurang peduli, lemahnya database, dan rapuhnya kelembagaan adat. Sebagai dampaknya, banyak jenis pertunjukan tradisional yang hidup segan mati tak mau, bahkan sebagian telah punah dan tidak fungsional lagi (lihat Jazuli, 2001). Pada sisi lain, ketika muncul fenomena pengklaiman (peng-aku-an) oleh pihak (negara) asing terhadap seni budaya tradisi masyarakat-bangsa ini merasa kebakaran jenggot yang kemudian bertindak reaktif demonstratif, sungguh ironis. Tulisan ini mencoba mendiskusikan tentang optimalisasi posisi dan peran seni pertunjukan tradisional dalam jagat pendidikan seni (dalam konteks kebudayaan). Apa yang dioptimalkan? Mengapa dioptimalkan? Siapa yang mengoptimalkan? Bagaimanakah cara mengoptimalkan? Seni Pertunjukan Tradisional Seni pertunjukan merupakan kegiatan kesenian yang dilaksanakan secara kolektif dan dipersiapkan untuk dipertunjukkan di depan penonton agar memperoleh santapan dan pengalaman estetis (keindahan). Suatu seni pertunjukan sekurangkurang mensyaratkan adanya: (1) Materi kegiatan kesenian (tari, musik, teater), (2) Seniman atau pelaku seni yang melakukan kegiatan berkesenian, dan (3) Penonton yang menyaksikan kegiatan kesenian.
32
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Tradisional dapat dipahami sebagai pelembagaan pola pewarisan yang berkait dengan pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, adat istiadat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suatu yang tradisional senantiasa terkait dengan kehidupan masa lalu, bernuansa simbolis yang lekat dengan mitos. Sungguhpun tradisi itu sendiri bukanlah sesuatu yang beku, statis, melainkan bisa dinamis dan berkembang sesuai tuntutan situasi. Kehidupan tradisi menampakkan dua sisi, yakni bertahan dan berubah. Bertahan karena untuk tujuan ketaatan dan perlindungan (pelestarian), sedangkan berubah karena kapasitas reflektif manusia (berpikir, bertindak, merasakan, berimajinasi) untuk melahirkan sesuatu yang lebih baru. Oleh karena itu, tradisi selain ditemukan juga diciptakan. Suatu yang tradisional dapat menjadi sumber inspirasi dan inovasi masa depan bagi pembangunan tradisi yang lebih baru. Tradisi menjadi signifikan dalam jagat pendidikan seni budaya karena memiliki implikasi terhadap pengembangan wawasan (budaya) maupun wahana pembentukan jati diri (Jazuli, 2016). Dengan demikian seni pertunjukan tradisional dapat dipahami sebagai kegiatan seni pertunjukan yang memuat nilai dan makna pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, norma, adat istiadat untuk diwariskan dari generasi ke generasi (turun-temurun). Pendidikan Seni Pendidikan seni (konteks budaya) merupakan usaha sadar untuk mewariskan atau menularkan kemampuan berkesenian sebagai perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh para seniman pelaku seni, pendidik seni dan atau siapapun yang memiliki kemampuan berkesenian dan mampu untuk membelajarkan. Tujuannya untuk menyiapkan siswa melalui kegiatan pembimbingan, pembelajaran, dan pelatihan agar siswa memiliki kemampuan berkesenian. Transformasi kebudayaan melalui pendidikan seni merupakan keniscayaan karena kebudayaan yang telah melahirkan kesenian. Pada sisi lain fungsi kesenian di dalam kebudayaan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti kebutuhan religius, sosial, politik, ekonomi, psikologi, dan pendidikan. Ada sebagian jenis kesenian, dalam hal ini seni pertunjukan tradisional yang berfungsi untuk persembahan kepada Tuhan, upacara ritual, meningkatkan status sosial, komunikasi/propaganda, sarana mencari nafkah, pendidikan, dan sebagainya. Dengan demikian siapa pun (termasuk siswa) yang belajar seni menyadari akan kehadiran sebuah kebudayaan tertentu karena kesenian adalah salah satu refleksi dari budaya masyarakat yang mendukungnya. Dengan atau melalui pendidikan seni dapat ditanamkan pemahaman dan wawasan budaya sehingga memungkinkan terjadinya internalisasi nilai-nilai budaya yang melatarbelakangi kesenian yang bersangkutan. Oleh karena itu wajar bila Plato pernah berkata: ‘pendidikan seni harus menjadi dasar bagi pendidikan, ’art education should be the basic of education’. Sesungguhnya transformasi budaya
33
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
melalui pendidikan seni telah berlangsung sejak awal peradaban manusia hingga sekarang. Kemampuan berkesenian ditinjau dari sasarannya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, pendidikan seni yang diarahkan agar siswa memiliki kompetensi yang terkait dengan kesenimanan atau aktor pelaku seni (tekstual), seperti memiliki kompetensi penghayatan seni, kemahiran dalam memproduksi karya seni, dan piawai mengkaji seni. Kedua, pendidikan seni yang diarahkan agar siswa mempunyai kompetensi berkesenian sebagai bentuk pengalaman belajar dalam rangka pendewasaan potensi individu sehingga dapat menjadi ’manusia seutuhnya’ (kontekstual). Misalnya: kegiatan berapresiasi seni merupakan wujud kemampuan penghayatan dan pemahaman nilai-nilai seni, dan berkreasi seni sebagai wujud pengalaman mencipta. Dari pengalaman berapresiasi dan berkreasi siswa diharapkan mampu merefleksikan ke dalam kehidupannya, seperti mampu memecahkan masalah yang dihadapi, kreatif menghadapi tantangan hidup, dan dapat mempersiapkan masa depannya. Justifikasi kontekstual tersebut menempatkan seni (pertunjukan) sebagai alat, media, instrumen pendidikan, dengan kata lain pendidikan melalui seni Education Throught Art. Dalam terminologi Eisner (1972) justifikasi tekstual disebut pembenaran esensial (essential justification) yakni bila penguasan substansi seni menjadi tujuan, sedangkan justifikasi kontekstual disebut pembenaran kontekstual (contextual justification) bila pembelajaran seni lebih menekankan pada dampak ikutan, artinya tidak langsung berhubungan dengan substansi seni. Menurut Read (1958) pendidikan seni sebagai media pendidikan mampu memberikan serangkaian pengalaman estetik yang besar pengaruhnya bagi perkembangan jiwa individu. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan seni merupakan kurikulum humanitas yang mengutamakan pembinaan kemanusiaan, dan bukan kurikulum yang berorientasi hasil praktis (Ross, 1983). Jadi makna pendidikan seni adalah pemberian ‘pengalaman estetik’ (aesthetic experience) kepada siswa. Pengalaman estetik adalah pengalaman menghayati nilai keindahan, bagaimana keindahan itu dimaknai. Pemberian pengalaman estetik melalui dua kegiatan yang saling berkaitan, yakni apresiasi (appreciation) dan kreasi (creation). Kompetensi Dasar Standar kompetensi merupakan sebuah terobosan yang dikeluarkan oleh kementerian pendidikan yang berusaha untuk memberikan gambaran mengenai halhal yang harus dimiliki oleh seorang guru yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan meningkatkan keprofesionalitasan guru sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Guru dan Dosen yang menyebutkan, bahwa seorang guru harus memiliki empat kemampuan atau kompetensi diantaranya kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian, bahkan ada rumusan lain dengan menambahkan kompetensi leadership yang
34
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
tentunya bagi para mahasiswa Pendidikan Keguruan haruslah dapat memahami dan memiliki kelima kompetensi tersebut sebelum benar-benar menjadi seorang pendidik/guru. Kompetensi dapat dipahami sebagai spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapanya dalam pekerjaan, sesuai dengan setandar kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat atau dunia kerja. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar isi kelompok mata pelajaran estetika (mapel Seni Budaya dan Prakarya) dipaparkan, bahwa kompetensi dasar adalah kemampuan yang memadai atas pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan perilaku yang harus dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa maupun guru. Kompetensi dasar yang penting dikembangkan dalam pendidikan seni adalah kemampuan yang dapat menjembatani dan mendukung pencapaian tujuan pendidikan umum serta memberikan kesempatan untuk meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Standar kompetensi mencakup dua kegiatan, yaitu mengapresiasi karya seni dan mengekspresikan diri melalui karya seni (rupa, musik, tari, teater). Kemudian masing-masing kegiatan dalam standar kompetensi dijabarkan secara lebih rinci ke dalam kompetensi dasar. Kompetensi dasar inilah yang harus dikembangkan secara konkret dan operasional oleh guru mata pelajaran. Oleh karena itu kompetensi dasar tidak hanya diberlakukan bagi siswa, tetapi juga penting bagi guru. Sehubungan dengan kompetensi dasar bagi siswa, dalam tulisan ini ditawarkan suatu kriteria untuk menentukan kemampuan yang harus dimiliki siswa. Kemampuan yang dimaksud meliputi: (1) kemampuan mengantisipasi masa depan secara kritis dengan mendasarkan kepada pengetahuan dan pengalamannya; (2) kemampuan dalam memecahkan dan mengatasi masalah yang dihadapi; (3) kemampuan mengakomodasi atas perubahan-perubahan yang terjadi; (4) kemampuan mengaplikasikan dan mengembangkan nilai-nilai, sikap dan perilaku, pikiran sesuai dengan identitas diri dan budayanya. Masing-masing dari keempat kompetensi dasar itu kemudian dirinci sehingga memungkinkan untuk dapat dilakukan (dioperasionalkan) oleh setiap siswa. Agar siswa dapat mencapai kompetensi tersebut perlu dilatih dan dibimbing dengan kegiatan seni yang mengarah kepada: (1) kemampuan dan keterampilan menyajikan bidang seni yang diminati, seperti musik, tari, dan atau rupa; (2) kemampuan berapresiasi dan berkreasi untuk keperluan aktualisasi diri; (3) kemampuan untuk mengembangkan gagasan dan keinginan sebagai dasar kreativitas; dan (4) kemampuan merefleksikan fenomena sosial budaya yang terjadi di sekitarnya. Keempat kemampuan tersebut masing-masing dibuat atau ditransformasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Dari sini lah pentingnya kemampuan, pemahaman dan kesadaran dari guru untuk menciptakan bentuk kegiatan belajar yang konkret dan proporsional. Artinya bentuk kegiatan belajar yang
35
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
senantiasa berorientasi (stressing point) pada pemaknaan aktivitas pembelajaran estetik adalah ‘proses,’ bukan berorientasi ‘produk’ seperti siswa harus menghasilkan produk karya seni tertentu. Penekanan pembelajaran pada ‘proses’ adalah penting dan prinsip karena selaras dengan fungsi pendidikan seni atau pemberian pengalaman estetik dalam konteks pendidikan. Proses itu sendiri sebenarnya dapat dimaknai sebagai produk atau hasil sementara. Misalnya jika siswa mampu menciptakan suatu karya seni tertentu. Hal itu harus dipandang sebagai ‘proses menjadi’ secara terus-menerus dan berkesinambungan. Dengan kata lain bahwa apa yang dihasilkan siswa merupakan proses “menjadi” dan akan terus berproses menjadi. Untuk itu pembimbingan dan pelatihan penciptaan karya seni hendaknya selalu disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis atau usia siswa. Dengan demikian bentuk kegiatan belajar mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai konstruktif pada diri siswa. Nilai konstruktif yang dimaksud adalah nilai yang mampu memproduksi manusia menjadi sensitif, imajinatif, kreatif, reflektif, simpati, empati, dan memproduksi nilai-nilai yang bermakna bagi kehidupannya. Oleh karena itu, bentuk kegiatan belajar perlu dirumuskan secara konkret dan operasional, baik yang berkaitan dengan materi, strategi, metode pencapaian hasil belajar, dan tetap berorientasi pada tujuan. Dengan demikian esensi pendidikan seni sebagai pendidikan nilai dapat dimanifestasikan dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dalam arti yang sesungguhnya. Mengenai kompetensi guru dapat memilih prinsip pendidikan sebagai landasan fungsi, peran, dan tugasnya yang hendak dilakukan dalam jagat pendidikan. Macam prinsip pendidikan secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) prinsip pendidikan untuk semua (Education for All), (2) prinsip pendidikan yang sesuai dengan bakat manusia, (3) prinsip wajib belajar dan mengajar, (4) prinsip pendidikan yang menyenangkan dan menggembirakan, (5) prinsip pendidikan yang berbasis pada riset dan rencana, (6) prinsip pendidikan yang unggul dan profesional, (7) prinsip pendidikan yang rasional dan objektif, (8) prinsip pendidikan yang berbasis masyarakat, (9) prinsip pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman, (10) prinsip pendidikan sejak usia dini, (11) prinsip pendidikan yang terbuka, dan (12) prinsip pendidikan sepanjang hayat (long life education). Pemilihan dan penetapan atas prinsip-prinsip tersebut akan berpengaruh kepada guru dalam penentuan model, karateristik, dan proses pembelajarannya, meskipun tidak semuanya digunakan. Pemahaman guru seni terhadap konsep seni misalnya, akan mengarahkan bagaimana cara memotivasi dan membimbing kegiatan seni, memilih bentuk kegiatan, media dan cara mengevaluasi pembelajarannya. Sungguhpun konsep seni sendiri relatif beragam, bergantung dari cara pandang atau pendekatannya. Sekurangkurangnya seni dapat ditinjau dari asal kata, dari pendapat para pakar, dan dari pandangan masyarakat. Contoh konsep seni dari pandangan masyarakat, seperti seni
36
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pertunjukan sebagai ekspresi, penikmatan, dan sistem perlambangan, bahkan pedoman perilaku. Seni pertunjukan sebagai bagian dari tradisi budaya masyarakat senantiasa hidup baik sebagai ekspresi pribadi maupun ekspresi kolektif warga masyarakat. Oleh karena itu, seni pertunjukan lahir dari masyarakat dan tumbuh berkembang selaras dengan kepentingan masyarakat (nilai fungsi). Seni pertunjukan mempunyai nilai penikmatan, sehingga suatu aktivitas dapat disebut seni bila mampu memberikan kesenangan, kebahagiaan, santapan rasa melalui pengalaman imajinasi setiap orang sesuai tingkat persepsinya. Seni merupakan pernyataan idealisasi intelektual yang didasari oleh seperangkat sistem perlambangan. Untuk itu setiap karya seni pertunjukan selalu memiliki keunikan yang berasal dari loncatan imajinasi seniman yang tak terduga, tidak lazim, yang kemudian mempengaruhi dan menarik gairah sekitarnya sebagai pemberian pengalaman baru. Pengalaman imajinasi memang berawal dari sang seniman dan baru memperoleh kesempurnaan bila diterima oleh penikmatnya. Dalam konteks tertentu seni pertunjukan berfungsi sebagai pedoman perilaku manusia yang berkaitan dengan ekspresi simbolik, keindahan, dan interaksi sosial (Lihat Jazuli, 2016). Sesungguhnya kompetensi guru akan terlihat dari kualitas guru dalam memahami fungsi, peran, dan tugasnya. Kualifikasi seorang guru dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: (1) fungsi yang berkaitan dengan agen pembaharuan yang berperan sebagai komunikator, (2) fungsi pelayanan yang berperan sebagai fasilitator, (3) fungsi profesional yang berperan sebagai motivator, dan (4) fungsi tutor atau sumber informasi yang berperan sebagai reproduktor (Jazuli, 2016). KOMPETENSI GURU FUNGSI
PERAN
TUGAS
AGEN PEMBAHARUAN Menyampaikan nilai kehidupan PELAYANAN Dasarnya pengabdian
KOMUNIKATOR
Sebagaitransfomator informasi/ ilmu pengetahuan yang hidup
FASILITATOR
Memfasilitasi bagi tumbuhnya rasa kebersamaan, kepekaan, kepeduli-an, komitmen, konsisten, dan pengem-bangan diri siswa.
PROFESIONAL Ahli dan tanggung jawab atas profesinya
MOTIVATOR
TUTOR Nara sumber terpercaya, selalu memproduksi dan mereproduksi informasi/ilmu pengetahuan
REPRODUKTOR
Memacu siswa agar berpikir ke masa depan, bersikap positif dan konstruktif, menumbuhkan nilai-nilai kearifan/keluhuran budi siswanya, serta selalu mengembangkan potensinya sendiri. Menjaga keamanan lahir batin dan menjamin hasil pemikiran para siswanya dalam proses pembelajaran agar menjadi ikon yang berwibawa dalam
37
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pembelajaran dan lingkungan belajarnya
Fungsi agen pembaharuan yaitu sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai kehidupan yang positif dan konstruktif dalam masyarakat. Sebagai agen, guru harus terpanggil untuk menjadi guru karena guru adalah manusia pilihan dengan profesi yang juga pilihan. Agar dapat menyampaikan nilai-nilai, guru harus mampu berperan sebagai komunikator yang ulung dan bersifat bijaksana dalam menjiwai informasi yang sarat nilai moral, etika dan spiritual. Guru seyogyanya juga seorang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya, humoris, syukur juga memiliki kemampuan setara dengan ’seniman atau pelaku seni’. Dengan mengajak siswa untuk tertawa, sedih, prehatin, empati, tolerans, dan selalu ingin mengetahui segala sesuatu termasuk pengetahuan tentang diri sendiri. Tugas guru adalah mengkomunikasikan berbagai informasi (ilmu pengetahuan) baik yang tertulis maupun lisan dan informasi yang berupa cetak maupun elektronik secara menarik sehingga para siswa termotivasi untuk mempelajarinya. Dengan demikian guru menjadi transfomator yang hidup, dan di dalam dirinya senantiasa terbersit untuk menjadi manusia yang berjiwa, berinisiatif, dan berinovatif. Untuk itu guru harus sanggup berkomunikasi dan berinteraksi sesuai cara dan gaya yang dimilikinya. Fungsi pelayanan hanya mungkin dapat digapai bilamana di dalam jiwa guru selalu dilandasi oleh rasa pengabdian kepada kehidupan yang beradab. Untuk itu guru harus mampu berperan sebagai fasilitator yaitu senantiasa memenuhi berbagai kebutuhan siswa untuk mengaktualisasikan diri dan mengembangkan bakatnya sehingga tercipta kondisi yang sehat untuk belajar. Oleh karena itu sangat penting bagi guru memahami karakteristik setiap siswa, terutama untuk mewujudkan hasil pembelajaran secara bertanggung jawab. Kondisi yang sehat termasuk di dalamnya adalah kemampuan mencegah terjadinya perpecahan karena SARA, apalagi kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Tugas guru adalah memfasilitasi bagi tumbuhnya rasa kebersamaan, kepekaan, kepedulian, komitmen, dan konsisten di kalangan siswa. Guru sebagai salah satu pelaku pembangunan nasional harus berusaha menangkal perlakuan deskriminasi, penetrasi, dominasi, ketergantungan, dan selalu memberi peluang kepada siswa untuk berkembang dan membina kerukunan dalam kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila. Fungsi profesional adalah selalu sadar akan keahlian bidang profesinya, termasuk kewajiban, hak, dan tanggung jawab yang melekat pada profesinya. Profesional dalam arti menjadikan keahlianya, tugasnya, dan fungsinya sebagai sandaran hidupnya. Agar profesional guru harus berperan sebagai motivator yaitu membentuk pribadi siswa yang mampu mandiri dan bertanggung jawab, serta membuka peluang yang luas bagi siswa sehingga tercipta situasi dan kondisi yang bebas dan kreatif, khususnya dalam menentukan pilihan-pilihannya. Guru harus memiliki keluwesan yang mampu memberi kesempatan dan menerima hasil karya ciptaan siswa tanpa merasa disaingi. Oleh karena itu menjadi hal yang penting dan 38
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
mendasar bahwa guru perlu mempunyai kemampuan ekonomi yang memadai (tidak miskin) dan tidak ’alien’ (Satmoko, 1992). Kemampuan ekonomi bukan saja mendorong guru agar lebih fokus kepada tugas dan tanggung jawab profesinya, tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan diri dihadapan siswanya. Guru yang ’alien’ biasanya akan merasa seperti diasingkan, dikucilkan, tidak diakui hak-haknya, dan selalu ditentang pendapatnya. Sebagai dampak lanjutnya guru cenderung merasa rendah diri, tidak memiliki aspirasi dan inisiatif, dan tidak mempunyai prakarsa untuk bertindak (pesimis). Sementara itu rasa keterasingan guru dapat berupa perasaan tertinggal dari kepribadiannya sendiri maupun dari dinamika masyarakat lingkungannya. Tugas guru yang utama adalah memacu siswa agar selalu berpikir ke masa depan, bersikap positif dan bertindak konstruktif, menumbuhkan nilai-nilai kearifan atau keluhuran budi siswanya, serta tidak lupa selalu mengembangkan potensinya sendiri. Fungsi tutor atau narasumber merupakan salah satu sumber informasi mengenai hal ikhwal kesenian yang dibelajarkan kepada siswanya, meskipun fungsi ini mulai berkurang karena diambil alih oleh peran teknologi komunikasi yang semakin canggih. Guru merupakan sumber informasi berperan sebagai reproduktor yaitu selalu memproduksi dan mereproduksi setiap perkembangan informasi (ilmu pengetahuan) dan fenomena kehidupan dengan cara mencari, menggali, menganalisis, mengkritisi khasanah keilmuan beserta metodenya yang akan terus berkembang. Hal ini berarti guru harus tetap menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) secara luas, dan menjadi elit intelektual yang bijaksana (warga negara kelas satu). Di sini guru memiliki kebebasan dalam mengembangkan dan menafsirkan setiap informasi yang diperolehnya, dan kemudian mereproduksi dan memproduksi untuk disampaikan kepada siswanya. Mereproduksi dalam arti selalu mengolah dan merumuskan pengetahuan yang diperolehnya, sedangkan memproduksi dalam arti mengembangkan pengetahuannya untuk kemudian disampaikan kepada siswanya. Oleh karena itulah menjadi tugas guru untuk senantiasa menjaga keamanan lahir batin dan menjamin hasil pemikiran para siswanya dalam proses pembelajaran. Dengan peran dan tugas seperti itu, guru menjadi insan yang cerdas, arif dan bijaksana, sehingga menjadi ikon yang berwibawa dalam proses pembelajaran maupun lingkungan belajarnya. Keempat fungsi, peran, dan tugas guru tersebut merefleksikan profil guru masa depan. Artinya guru perlu memosisikan diri sebagai ’begawan yang cerdas dan bijaksana’ yakni memadukan antara cara berpikir analisis Barat dan bertindak arif ke-Timuran. Profil guru semacam itu bisa diwujudkan manakala guru senantiasa meningkatkan kompetensinya, baik melalui kesadaran dirinya maupun melalui pembinaan profesionalisme, penciptaan peluang yang luas untuk meningkat diri, sekurang-kurangnya dalam bidang keahlian masing-masing.
39
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Guru pendidikan seni yang kompeten bila dapat memenuhi persyaratan di antaranya adalah: (1) berwawasan luas, terampil, dan bertanggungjawab terhadap profesinya; (2) menguasai bidang ilmu (seni) dan kreatif dalam mengembangkan materi pembelajaran; (3) mamahami maturitas dan perkembangan siswa dalam belajar seni; (4) menguasai teori dan praktik dalam kerangka pembelajaran seni; (5) mampu merancang dan mengelola pembelajaran seni; (6) benar-benar memahami bahwa pendidikan seni merupakan pendidikan nilai dan alat pendidikan yang terus berproses dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi, lingkungan sekitarnya. Untuk dapat mencapai kompetensi tersebut guru harus selalu berupaya: pertama, selalu menjalin interaksi akademik antarguru; kedua, harus senantiasa berusaha untuk memperoleh umpan balik dari siswanya; ketiga, perlu refleksi diri kepada sesama guru untuk meningkatkan kemampuannya; keempat, terlibat dalam komunitas guru, seperti ikutserta dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau asosiasi pendidik seni; kelima, aktif dalam forum ilmiah untuk meningkatkan wawasan dan profesinya. Berikut ini ditawarkan sebuah langkah alternatif yang bisa dilakukan oleh guru sebagai strategi menyiasati kehidupan seni pertunjukan tradisional untuk proses pendidikan seni (budaya). Terdapat hubungan dialektik antara tradisi, inovasi, partisipasi, dan profesi. Logika demikian menandakan, bahwa kehidupan seni pertunjukan tak terlepas dari kreativitas dan hubungan dengan bidang kehidupan lainnya. Untuk mengembangkan seni pertunjukan tradisional dalam pendidikan perlu landasan pemikiran (konseptual) yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) hubungan antara seni tradisional dan inovasi memerlukan pengaturan atau sistem manajeman, (2) hubungan antara inovasi dan patisipasi membutuhkan pengkayaan dan rekayasa, (3) hubungan partisipasi dengan profesi dimediasi oleh legalitas, (4) hubungan tradisional dan profesi dimediasi oleh tatanan etis dan normatif, (5) hubungan antara tradisional dan partisipasi memerlukan subsidi, (6) hubungan antara inovasi dan profesi memerlukan sikap proaktif dan kreatifitas (Jazuli, 2000). Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini. TRADISIONAL
Proaktif + Kreatif
Subsidi
Etika + Norma
PROFESI
INOVASI
Manajemen
PEMBELAJARAN SP TRADISIONAL
Legalitas
40
Pengayaaan + Rekayasa
PARTISIPASI
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Pemaknaan dari bagan di atas dapat dijabarkan seperti berikut ini. Tradisional (materi pembelajaran), inovasi (misi dan tujuan pembelajaran), partisipasi (siswa belajar), dan profesi (guru). Seni pertunjukan tradisional yang dimanfaat untuk pembelajaran yang inovatif memerlukan manajemen pengelolaan yang proporsional sesuai misi dan tujuan pembelajaran, artinya untuk kepentingan pembelajaran materi seni pertunjukan tradisional tidak sekedar apa adanya (sebagaimana adanya) tetapi juga perlu modifikasi, pengemasan, dan penataan ulang. Bukan saja bentuk-wujudnya tetapi yang lebih utama adalah ruh, nilai, dan tujuan dari karya seni pertunjukan tradisional itu sendiri. Misalnya dalam seni tari dapat berupa pemadatan dan pengembangan ragam gerak maupun durasi waktunya. Misi atas nilai-nilai seni pertunjukan tradisional dan tujuan pembelajaran agar dapat diterima oleh siswa belajar. Ruh atau visi macam apa yang terkandung di dalam ekspresi pertunjukan tradisional. Semua itu memerlukan strategi pemberdayaan dan rekayasa, artinya guru harus piawai dalam menggunakan cara (metode, pendekatan, teknik) agar tujuan pembelajaran pertunjukan tradisional dapat diserap atau diterima oleh para siswa. Hubungan guru (profesi) dalam proses pembelajaran kepada siswa (partisipasi) dimediasi oleh kompetensi (kurikulum, sertifikasi) sebagai bentuk legalitas dalam menjalankan tugas maupun fungsi masing-masing. Hal ini terkait dengan kedudukan dan peran guru maupun siswa. Hubungan antara guru (profesi) dengan pertunjukan tradisional dimediasi oleh norma dan etika. Artinya guru dalam memanfaatkan seni tradisi harus memahami norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebab di dalam pertunjukan tradisional biasanya memiliki aturan dan prosedur tertentu yang dipatuhi dan dilakukan, seperti tari istana Jawa selalu terdapat sikap sembahan. Hal ini dimaksudkan agar guru dalam memanfaatkan seni pertunjukan tradisional tidak terjadi kesalahpahaman memaknai nilai dan tujuan seni tradisi sehingga dapat dianggap merusak tradisi. Hubungan antara materi seni pertunjukan tradisional dengan siswa belajar (partisipasi) dimediasi subsidi yang dapat berupa sarana prasarana, dukungan dari penentu kebijakan (penguasa), pendanaan, dan sebagainya. Selama ini banyak seni pertunjukan tradisional yang terseok-seok bahkan punah karena tidak diinfus oleh mediasi tersebut. Hubungan antara guru (profesi) dengan hal-hal yang inovatif memerlukan sikap dan perilaku yang proaktif dan kreatif. Suatu profesionalitas hanya mungkin terbentuk bila ada etos kerja yang kuat, aktif, kreatif, ulet, disiplin, dan tentunya semangat membara (optimis). Misalnya guru yang memahami profesinya tentu tidak akan merasa kekurangan bahan ajar maupun metode mengajar karena guru semacam itu selalu berusaha mencari wawasan baru untuk menunjang dan mengembangkan profesinya. Bertolak dari uraian di atas, jawaban permasalahan dalam tulisan ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, mengenai apa yang dioptimalkan pada seni
41
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pertunjukan tradisional adalah semua jenis dan bentuk berikut nilai dan maknanya sebagai materi pembelajaran seni. Hal ini terutama berkaitan dengan fungsinya bagi setiap daerah pemilik seni pertunjukan tradisional. Kedua, seni pertunjukan tradisional perlu dioptimalkan karena di dalamya terkandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehudpan manusia dan diwariskan melalui pendidikan. Ketiga, mengenai siapa yang paling berperan dalam pewarisan nilai yang terkandung dalam seni pertunjukan tradisional adalah guru. Oleh karena itu guru harus mampu memosisikan fungsi, peran, dan tugasnya yang dilandasi oleh prinsip pendidikan yang ditentukannya. Keempat, mengenai bagaimana cara mengoptimalkan seni pertunjukan tradisional dalam jagat pendidikan seni. Hal ini dapat dilakukan guru selain berdasarkan pilihan dan penentuan fungsi, peran, tugas yang dilandasi oleh suatu prinsip pendidikan, juga dengan strategi yang digunakan dalam pembelajarannya. Dalam konteks ini dapat mengacu pada pemahaman dan penerapan tentang hubungan dialektik antara tradisional, inovasi, partisipasi, dan profesi pada kehidupan seni pertunjukan tradisional dalam proses pendidikan seni. Penutup Pemanfaan seni tradisional dalam jagat pendidikan seni menjadi sangat relevan ketika kita semakin jauh dari nilai-nilai budaya sendiri, bahkan ketika merasa kehilangan pedoman-identitas. Terpaan media komunikasi dan berbagai hiburan lain yang dahsyat berpengaruh kepada selera dan gaya hidup warga masyarakat, termasuk kepedulian para siswa. Seni pertunjukan tradisional bagian kebudayaan yang hidup dan dinamis perlu dilestarikan, diberdayakan, dan diaktualisasikan (ruh, nilai, tujuan) melalui kepedulian maupun kreativitas dalam kerangka peneguhan identitas lokal dalam percaturan global. Pengembangan seni pertunjukan tradisional dilakukan lewat pendidikan kompetensi, dengan memegang prinsip pendidikan, konsep seni, tujuan pembelajaran, dan penerapan jaringan kehidupan seni pertunjukan tradisional. Daftar Pustaka Eisner, Elliot W. 1992. “Alternatuve Approaches to Curriculum Development in Art Education.” Studies in Art Education. Vol 45 No 1. Hal 16-24. _____. 1997. The Educating Artistic Vision. New york: The Macmillan Company. Jazuli, M. 2000. “Tiada Keunggulan Tanpa Kekuasaan”. Makalah Kongres Pendidikan Nasional, Hotel Indonesia Jakarta 11-20 September _____. 2001. Manajemen Produksi Seni Pertunjukan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Lentera Budaya. _____. 2008. Pendidikan Seni Budaya: Suplemen Pembelajaran Seni Tari. Semarang: UNNES Press.
42
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
_____. 2012. Model Kajian Estetika Tari Prajuritan di Kabupaten Semarang. Laporan Penelitian DIPA UNNES. ____. 2016. Paradigma Pendidikan Seni.(edisi 2) Sukoharjo: CV. Farishma Indonesia Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta: Gramedia. Peraturan Pemerintah RI Nomor. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Read, Herbert. 1958 dan 1970. Education Trought Art. London: Faber and Faber. _____.1972. The Meaning of Art. London: Faber and Faber. _____. 1968. The Meaning of Art. Great Britain: Whitstable Litho Ltd. Rader, Malvin. 1980. Modern Book of Aesthetics. New York: Holt Rinehart&Winston, Inc. Ross, Malcom. 1983. The Aesthetic Impuls. Oxford: Pergamon Press. Wiskiser, Ralph L. 1974. Menuju ke Pendidikan Seni. (terj. Art Education to Art Education). Malang: P3T IKIP Malang
43
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PEMBELAJARAN MUSIK TRADISIONAL SEBAGAI RUANG KOMUNIKASI BUDAYA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK Oleh: Totok Sumaryanto F. Jurusan Pendidikan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang email:
[email protected] Abstrak Tujuan pendidikan melalui pembelajaran musik tradisional adalah memahami secara mendalam musik yang sesuai dengan konteks yang mereka alami dalam budayanya untuk pengembangan dirinya secara utuh. Dalam mencapai tujuan tersebut secara utuh dan menyeluruh, perlu dan sangat penting mrmpelajari musik tradisional secara lintas budaya, sebagai bentuk apresiasi dan ruang komunikasi budaya. Pendidikan seni mempunyai tujuan ganda, yaitu tujuan pribadi dan tujuan masyarakat. Bertujuan pribadi karena pendidikan seni bersifat unik. Dengan keunikannya, pendidikan seni berbeda dengan bidang studi lainnya, sehingga dimasukkan dalam kurikulum (dalam konteks sekolah). Dalam tujuan masyarakat, pendidikan seni diajarkan karena memiliki kekhususan (dalam konteks masyarakat) dengan melihat dimensi ruang dan waktu. Keunikan pendidikan seni terletak pada dimensi estetik, dimensi ekspresif dan dimensi kreatif. Pada hakekatnya pendidikan seni adalah pendidikan melalui kegiatan estetik, ekspresif dan kreatif. Dengan kepekaan rasa yang tinggi mental seseorang cenderung mudah diisi dengan nilai-nilai hidup dan kehidupan, seperti nilai religius, nilai moral, nilai budi pekerti dan nilai kehidupan lainnya. Kata Kunci: Musik Tradisional, Komunikasi Budaya, Karakter dan Kepribadian PENDAHULUAN Pendidikan merupakan keterpaduan antara etika, iptek dan seni. Ketiga bidang ini saling melakukan aksi dan interaksi seperti mata rantai yang tidak terputus, sehingga perlu adanya keseimbangan antara ketiga bidang tersebut. Tujuan pendidikan adalah mencapai manusia yang utuh. Pembelajaran seni dan budaya di dalamnya mengandung makna kebebasan. Kebebasan berekspresi berdasarkan lingkungan sosial budaya. Kebebasan dalam berkreasi dan menginterpretasi sesuai perkembangan konteks sosial budaya. Budaya dalam konteks tempat hidup. Salah satu diantaranya, budaya seni musik tradisional. Untuk mencapai kebebasan individu, secara sederhana, tujuan pendidikan melalui pembelajaran musik tradisional adalah memahami secara mendalam musik yang sesuai dengan konteks yang mereka alami dalam budayanya untuk pengembangan dirinya secara utuh.
44
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Dalam mencapai tujuan tersebut secara utuh dan menyeluruh, perlu dan sangat penting mrmpelajari musik tradisional secara lintas budaya, sebagai bentuk apresiasi dan ruang komunikasi budaya. Melalui pembelajaran ini dapat membentuk dan membangun komunikasi yang baik dalam memahami budaya-budaya lain. Pemahaman budaya tersebut kita pahami melalui berbagai istilah, seperti musik inkulturasi dalam gereja, kesenian Marawis, kesenian sufis pada agama Islam, akulturasi, enkulturasi, dalam disiplin antropologi. Semua menuju komunikasi dan informasi dalam dan lintas budaya. Pembelajaran musik tradisional pada tingkat pendidikan formal, menjadi jalan untuk memahami budaya lain secara lebih praktis menuju ruang komunikasi budaya tersebut. Di sinilah musik tradisional berperan dan berfungsi sebagai media atau ruang komunikasi dan informasi budaya yang efektif. Fungsi dan tujuan pembelajaran musik tradisional tidak saja mencapai sasaran subtansinya, akan tetapi lebih dari itu. Pembelajaran musik tradisi memiliki makna komunikasi budaya bukan saja pada budaya setempat tetapi juga budaya yang ada di sekitarnya. MUSIK TRADISI SEBAGAI RUANG KOMUNIKASI BUDAYA Musik tradisi sebagai hasil olah budi, rasa dan karsa dari masyarakat budaya merupakan ruang refleksi yang menemukan nilai-nilai hidup. Nilai-nilai inilah yang membentuk mentalitas pribadi dan sebagai acuan tatanan hidup dalam berkomunikasi. Ruang komunikasi budaya dalam prosesnya membutuhkan pendekatan-pendekatan yang komprehensif. Sutrisno(2010) menawarkan suatu pendekatan budaya. Pendekatan ini melihat suatu realitas dari masyarakat dari sudut pandang mentalitas orang, nilai yang diacu individu atau bersama. Penyatuan nilai merekatkan bangsa majemuk dengan keikaan, saling hormat menghormati, toleransi pada perbedaan, serta hak hidup etnik, agama, golongan tanpa saling mendeskriminasi satu sama lain. Dalam proses pembelajaran musik tradisi, keberagaman melodi, ritme, harmoni ditemukan. Pembelajar di sini akan merasakan perbedaan itu. Dengan keindahan musik yang berbeda itu akan merasuk pikiran dan perasaan. Dalam proses itu akan muncul keanehan musik, akan tetapi bersamaaan dengan itu akan muncul perasaan simpatik. Bunyi musik pasti akan direspon dengan perilaku-perilaku. Misalnya menggerakkan tubuh atau imajinasi akan dibangkitkan. Seiring dengan itu respons kognitif membangun analisis terhadap bunyi musik yang dipelajari. Perjalanan terhadap musik tradisi ini perlahan akan memberi pemahaman, dan pengalaman budaya bagi pembelajar baik dalam budayanya maupun budaya dari luar dirinya. Bentuk komunikasi budaya melalui musik tradisional yang dapat dijadikan contoh seperti musik ”Bon Bali” (sukarta, 2011). dalam struktur komposisinya menggabungkan beberapa alat musik tradisional dari berbagai daerah, sasando dari
45
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pulau Rote NTT, Suling, Rebab, gamelan, dan alat perkusi dari pulau jawa dan bali terkolaborasi membentuk karya musik yang menarik. Dalam proses penciptaan karya tentu komposer merasakan nuansa etnis yang ingin dibangun. Makna-makna yang menjadi simbol kedaerahan yang hadir melalui alat musik tradisional menyatu dalam pikiran dan rasa musikal. Perpaduan berbagai alat musik ini disadari sebagai langkah menuju ruang dialog budaya, yang merupakan jatidiri budaya bangsa. Dari contoh tersebut kuat sekali peran musik tradisional dalam membangun dan membentuk komunikasi. Komunikasi budaya memiliki peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Pembelajaran musik tradisional akan lebih efektif membuka ruang komunikasi tersebut. Maka diperlukan strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas seperti diuraikan di atas. Langkah-langkah bagi guru dalam mencapai tujuan melalui konsep dan strategi dalam pembelajaran musik tradisional. Konsep pembelajaran musik tradisional sebagai wadah ruang komunikasi budaya, bersumber pada kesenian musik tradisi yang sudah barang tentu di dalamnya memiliki nilai-nilai budaya entah itu nilai estetis, etika dan spiritual. Nilai-nilai inilah yang mengarah kepada terwujudnya perubahan tingkah laku siswa melalui apresiasi, pemahaman dan kreasi terhadap musik tradisional. Dengan demikian melalui pembelajaran musik tradisional terjadi proses komunikasi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam seni musik tradisi tersebut. Untuk mendukung konsep tersebut strateginya adalah: (1) Sadar kepada siapa kita membagi informasi, (2) Mencari, mengumpulkan, memilah, menentukan dan menetapkan materi yang akan diajarkan, (3) Menentukan tujuan yang hendak dicapai, dalam hal ini disesuaikan dengan standar kompetensi, (4) Merancang metode atau pendekatan yang sesuai untuk digunakan, materi yang diberikan, serta tujuan dari kompetensi yang akan dicapai, (5) Menentukan sarana dan prasarana yang digunakan atau media yang dipilih, (6) Proses pembelajaran, (7) Evaluasi proses pembelajaran. Pada akhirnya pembelajaran musik tradisi akan mengacu pada nilai untuk hidup sehari-hari. Melalui proses ini potensi estetis dikembangkan untuk merasai kehidupan dari keindahannya (Sutrisno, 2009). karena musik tradisi merupakan ruang tempat pengolahan kognitif, afektif dan psikomotor. Musik tradisional merupakan kekuatan yang mampu menghadirkan waktu tempat yang berbeda dalam waktu dan tempat yang sama. Keunikan pendidikan seni itu terletak pada kekhasan seni itu sendiri. Pengalaman estetik merupakan intisari dari seni maka pendidikan seni tanpa melibatkan pengalaman estetik bukanlah pendidikan seni dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu, pengalaman estetik pulalah yang membedakan pendidikan seni dengan pendidikan bidang studi lainnya. Dalam pendidikan seni, pengalaman estetik adalah sesuatu yang esensial, sedang dalam pendidikan studi yang lain, pengalaman estetik (kalaulah pengalaman tersebut dihadirkan) hanyalah
46
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
sekedar alat bantu untuk mencapai atau menegaskan tujuan tertentu yang utama dalam bidang studi tersebut. Pengalaman estetik dimaksudkan untuk menggambarkan sejenis pengalaman yang spesial karena terjadinya sentuhan dengan gejala keindahan (bagaimanapun gejala keindahan itu dimaknai). Pengalaman ini muncul bila kualitas keindahan tersebut dikenali atau disadari. Sseorang merasakan pengalaman estetik dalam kurun waktu tertentu saat jiwanya menyatu dalam menikmati, mengimajinasikan atau mengekspresikan keindahan. Keunikan seni tercermin pada upaya pengembangan potensi pengalaman estetik yang diberikan. Upaya pengembangan tersebut dilakukan melalui penciptaan (creation), pelakonan (performance), penanggapan (respone). Penciptaan biasanya dipandang sebagai proses menghasilkan sesuatu yang baru. Penciptaan merupakan suatu yang hakiki dalam pemberian pengalaman estetik di sekolah. Proses penciptaan dalam dunia seni menuntut keterlibatan intelektual, emosional, dan fisik secara penuh agar mampu dilahirkan sesuatu ciptaan yang orisinal/kreatif. Dengan penciptaan, tersirat adanya kebebasan bagi seseorang dalam menemukan beragam cara atau pendekatan pemecahan masalah. Itulah sebabnya mengapa proses penciptaan karya seni tidak mengikuti langkah yang serba pasti dan beraturan. Dalam dunia pendidikan, seorang anak yang menciptakan sesuatu yang baru bagi dirinya (meskipun temuannya tersebut bukanlah hal baru karena telah ditemukan oleh orang lain) dapat disebut sebagai kegiatan kreatif(Sumaryanto, 2009). Pelakonan merupakan cara lain bagi seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya. Perbedaannya dengan kegiatan penciptaan adalah: pada pelakonan, seseorang mengulangi sebuah ciptaan yang telah ada sebelumnya sebagaimana yang dilakukan pemain teater, penari, penyanyi atau pemusik. Meskipun hanya menghadirkan kembali suatu penciptaan, pelakonan dipandang sebagai kegiatan yang kreatif. Alasannya karena seorang pemain teater, penyanyi atau pemain musik tidak begitu saja mengikuti skenario, pedoman, atau notasi lagu yang ada tetapi secara bebas memberikan penafsiran sendiri sehingga mampu melahirkan karya yang unik. Kegiatan pelakonan menjadi salah satu aspek penting dalam pendidikan seni untuk mengembangkan potensi pengalaman estetik anak. Bila pada kreasi dan pelakonan seseorang secara aktif menghasilkan atau mempertunjukkan sesuatu, dan karena itu ia berperan sebagai seniman, maka pada penanggapan, seseorang berperan sebagai pengamat atau penonton. Di sini, faktor kepekaan rasa dalam mencerap rangsang keindahan menjadi aspek utama yang dibina. Kepekaan rasa keindahan seorang anak akan menjadikannya bersikap apresiatif terhadap nilai keindahan. Pendidikan seni merupakan bagian dari rumpun pendidikan nilai. Dalam konteks kebangsaan, pendidikan nilai erat kaitannya dengan pembentukan dan pengembangan watak bangsa. Pendidikan nilai adalah suatu proses budaya yang
47
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
selalu berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia, membantu manusia berkembang dalam dimensi intelektual, moral, spiritual, dan estetika yang memuat nilai-nilai (Jazuli, 2008: 26). Kesadaran dan komitmen untuk memanfaatkan seni dalam program pendidikan di sekolah formal karena pendidikan seni memiliki karakteristik yang unik, bermakna, dan bermanfaat terhadap pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana membangun karakter peserta didik melalui pembelajaran seni budaya di sekolah? Kegiatan-kegiatan apa saja yang menunjang pembelajaran seni budaya dapat diselenggarakan di sekolah untuk mengembangkan karakter dan kepribadian siswa? PENGEMBANGAN KARAKTER DAN KEPRIBADIAN MELALUI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA Pendidikan karakter merupakan investasi nilai kultural yang membangun watak, moralitas dan kepribadian masyarakat yang dilakukan dalam waktu panjang, kontinyu, intens, konstan dan konsisten. Dengan demikian pendidikan karakter memberikan kepada siswa ilmu, pengetahuan, praktik-praktik budaya perilaku yang berorientasi pada nilai-nilai ideal kehidupan, baik yang bersumber dari budaya lokal (kearifan lokal) maupun budaya luar (Indra, 2010: 27) Ditinjau secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baikburuk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona:1992). Pendidikan karakter dinilai berhasil apabila peserta didik menunjukkan kebiasaan berperilaku baik. Perilaku baik akan muncul dan berkembang pada diri peserta didik apabila memiliki sikap positif terhadap konsep karakter yang baik dan terbiasa melakukannya. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dikemas dalam wadah yang komprehensif dan bermakna. Pendidikan karakter perlu diformulasikan dan dioperasionalkan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Pendidikan karakter mempunyai misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Secara konseptual kata etika dan moral mempunyai makna yang serupa yaitu sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Namun penerapannya etika lebih pada tataran teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, dan moral lebih pada tataran praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan seseorang. Sedangkan karakter lebih menekankan pada aplikasi nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari dan tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi pendidikan karakter menanamkan kebiasan
48
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
(habitution) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Sejalan dengan hal tersebut di atas Doni berpendapat bahwa pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai, berupa pemahaman-pemahaman , tata cara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta bagamana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata.( Doni, 2007: 193). Ditinjau dari makna pendidikan karakter, Darmiyati (2009,10) berpendapat sesugguhnyalah pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan ( domain afektif) nilai baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Dengan demikian pendidikan karakter harus ditanamkan melalui cara-cara yang rasional, logis, dan demokratis. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang akan datang. Karena itu pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran koginitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui berbagai mata pelajaran. Dalam Permendiknas N0.23/2006 tentang Standar kompetensi lulusan secara formal sudah digariskan untuk masing-masing jenis atau satuan pendidikan sejumlah rumusan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Jika dicermati secara mendalam, sesungguhnya hampir pada setiap rumusan SKL tersebut implisit atau eksplisit termuat substansi nilai/karakter.(BSNP, 2006). Berikut ini substansi nilai/karakter yang ada pada setiap SKL tersebut. antara lain: iman dan taqwa, jujur, disiplin, terbuka, nasionalistik, bernalar, kreatif, peduli, tanggung jawab, bersih, santun, gotong royong, gigih, bervisi, dan adil. (Tim Pendidikan Karakter) Pembelajaran seni budaya diberikan karena keunikan, kebermaknaan dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi. melalui pendekatan : “ belajar dengan seni”, “belajar melalui seni”, dan “ belajar tentang seni.” Peran ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain. Pengalaman estetik yang diberikan pada pendidikan seni pada prinsipnya berfungsi melatih dan mengembangkan kepekaan rasa. Dengan kepekaan rasa yang tinggi
49
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
mental seseorang cenderung mudah diisi dengan nilai-nilai hidup dan kehidupan, seperti nilai religius, nilai moral, nilai budi pekerti dan nilai kehidupan lainnya. Pendidikan seni budaya dalam aktivitas pembelajaran harus menampung kekhasan tersebut yang tertuang dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Pembelajaran seni budaya di sekolah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; (1) Memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3) Menampilkan kreativitas melalui seni budaya, (4) Meningkatkan peran serta seni budaya pada tingkat lokal, regional, maupun global, (5) Mengolah dan mengembangkan rasa humanistik.(BSNP, 2006) Pembelajaran seni budaya merupakan pelaksanaan pendidikan seni menurut PP 19 tahun 2005 diformulasikan dalam Kelompok Mata Pelajaran Estetika merupakan kolompok mata pelajaran yang tergolong unik karena melekatnya "pengalaman estetik" pada diri seseorang. Pengalaman estetik merupakan sesuatu yang esensial. Menurut Linderman (1977), pengalaman estetik mencakup pengalaman-pengalaman perseptual, kultural, dan artistik. Pengalaman perseptual dikembangkan melalui kegiatan kreatif, imajinatif, dan intelektual. Pengalaman kultural melalui kegiatan pemahaman terhadap hasil warisan budaya lama dan baru, sedangkan pengalaman artistik melalui kegiatan kreatif dan apresiatif. Dengan demikian pengalaman estetik memberi peluang untuk memahami dunia dari sudut pandangan yang berbeda dengan aspek pengetahuan. Cara memahami dunia yang ditawarkan oleh seni bersifat intuitif, tak terduga, dan kreatif, serta dikomunikasikan dalam bahasa warna, bunyi, gerak, atau isyarat yang simbolis. Kelompok Mata Pelajaran Estetika dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat dengan nama mata pelajaran Seni Budaya untuk SMP dan SMA atau sederajat, sedang pada tingkat SD nama mata pelajarannya Seni Budaya dan Ketrampilan. Sedangkan Standar Kompetensinya disebutkan dalam PP 19 tahun 2005 kelompok mata pelajaran Estetika sebagai berikut: membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan (BSNP, 2006). Dengan demikian cakupan kelompok mata pelajaran Estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengapresiasi dan kemampuan mengekspresikan keindahan dan harmoni. Kemampuan tersebut mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga menciptakan kebersamaan yang harmonis.
50
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Pengintegrasian nilai-nilai dan karakter pada pendidikan seni dapat pula dilakukan dengan mencantumkan dalam silabus mata pelajaran Seni Budaya. Cara yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Menentukan kandungan nilai-nilai karakter dengan mengkaji lebih dahulu Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Seni Budaya, (2) Mencamtumkan kandungan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dengan melihat keterkaitan SK/KD dengan indikator pada kolom terakhir pada silabus, (3) Mencantumkan nilai-nilai karakter yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP. PENUTUP Tujuan pendidikan melalui pembelajaran musik tradisional adalah memahami secara mendalam musik yang sesuai dengan konteks yang mereka alami dalam budayanya untuk pengembangan dirinya secara utuh. Dalam mencapai tujuan tersebut secara utuh dan menyeluruh, perlu dan sangat penting mrmpelajari musik tradisional secara lintas budaya, sebagai bentuk apresiasi dan ruang komunikasi budaya. Pendidikan seni mempunyai tujuan ganda, yaitu tujuan pribadi dan tujuan masyarakat. Bertujuan pribadi karena pendidikan seni bersifat unik. Dengan keunikannya, pendidikan seni berbeda dengan bidang studi lainnya, sehingga dimasukkan dalam kurikulum (dalam konteks sekolah). Dalam tujuan masyarakat, pendidikan seni diajarkan karena memiliki kekhususan (dalam konteks masyarakat) dengan melihat dimensi ruang dan waktu. Keunikan pendidikan seni terletak pada dimensi estetik, dimensi ekspresif dan dimensi kreatif. Pada hakekatnya pendidikan seni adalah pendidikan melalui kegiatan estetik, ekspresif dan kreatif. DAFTAR PUSTAKA Djohan, 2010. Respons Emosi Musikal. Bandung: CV. Lubuk Agung. Dunn, W., Kirova, A,. Cobey, H, 2009. Fostering Intercultural Inquiry in Sabjec Area Curriculum, The Journal of Multiculturalism in Education. Vol. 7. OnLine.http://www.highscope.org/file/research/linkloscupe-curriculum/training pdf, (diunduh 9 Oktober 2016) Mehmet, Buldu, & Mohamed S. Shaban. 2010. Visual Arts Teaching in Kindergarten through 3rd-Grade Classrooms in the UAE: Teacher Profiles, Perceptions, and Practices. Journal of Research in Childhood Education, Vol. 24, No. 4. http://www.questia.com/library/1G1-242590974/visual-arts-teaching-in-kindergartenthrough-3rd-grade, (diunduh 9 Oktober 2016). Rohidi, Rohandi, Tjepjep .2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STISI Bandung Pres. Salam, Sofyan .2002. Paradigma Pendidikan Seni. Semarang: PPs. UNNES. Sukerta, M. Pande. 2011. Metode Penyusunan Karya Musik. Sebuah Alternatif. Surakarta: ISI Press Solo.
51
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Sutrisno, Muji. 2009. Ranah-ranah Kebudayaan dalam Esai. Yogyakarta: Kanisius. Sumaryanto, Totok. 2009. Menjadi Pembelajar Dengan Seni. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
52
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
MAKALAH PENDAMPING
53
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PENGGUNAAN ARANSEMEN MUSIK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN DAN HASIL BELAJAR PADA MATA KULIAH BAND DI JURUSAN SENDRATASIK PROGRAM STUDI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Oleh: Bagus Susetyo Universitas Negeri Semarang ABSTRACK Penelitian ini diberi judul : penggunaan aransemen musik untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran dan hasil belajar pada mata kuliah Band di Jurusan Sendratasik program studi Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Latar belakang penelitian ini dilakukan karena selama ini dalam mata kuliah band maupun dalam pementasan-pementasan band mahasiswa musik sendratasik selalu membawakan lagu ciptaan orang dengan apa adanya tanpa diaransemen sehingga hasilnya berupa apa adanya , tentunya kurang menarik , monoton dan mudah ditebak apa yang akan dimainkan , untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan aransemen musik band oleh mahasiswa musik agar musik yang dimainkan lebih menarik dan berkualitas .Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Apakah dengan menggunakan aransemen musik band dapat meningkatkan kualitas musik band yang dibawakan. 2) Apakah dengan menerapkan musik band yang telah diaransemen dapat merubah perilaku dan etika bermain musik band bagi mahasiswa musik Unnes . Tujuannyaagar mahasiswa musik mempunyai keterampilan mengaransir lagu-lagu yang aa dibawakan . Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dikombinasikan dengan penelitian tindakan kelas (classroom action research ) , pengambila datanya meliputi : observasi , wawancara , dan dokumentasi sedangkan analisis datanya adalah dikelompokan diinterpretasikan dan diverifikasikan . Sedangkan prosedur penelitiannya adalah terdiri dari beberapa siklus yaitu : prasiklus , siklus 1 dan siklus 2 masing-masing meliputi perencanaan , tindakan , observasi dan refleksi. Luaran yang diharapkan adalah 1) sebuah rumusan atau modul tentang aransemen musik band yang dapat digunakan untuk perkuliahan , 2) sebuah perubahan perilaku setelah penelitian ini berlangsung berupa pola permainan band yang berkualitas dan beretika . Obyek penelitiannya adalah mahasiswa jurusan sendratasik prodi musik fakultas bahasa dan seni Universitas Negeri Semarang . Dari hasil penelitian selama 6 bulan , 4 bulan efektif kegiatan dan 2 bulan bersifat perencanaan dan pelaporan . Setelh melalui 2 tahap siklus dengan perlakuan yang berbeda diperoleh hasil pada siklus I trdapat peningkatan hasil belajar yang cukup baik , kemudian pada siklus II setelah melalui penambahan perlakuan situasi perkuliahan terutama memperhatikan aspek refleksi pada ujian akhir semester terjadi
54
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
peningkatan hasil belajar yang cukup baik , dari 96 mahasiswa 90 orang mendapat nilai A dan 6 orang mendapat nilai AB . Pada peningkatan kualitas pembelajaran terjadi peningkatan kegiatan pembelajaran antara lain : proses kehadiran 100 % , variasi lagu meningkat , penambhan alat bantu musik meningkat , penggunaan lighting , tata panggung dan pada ujian akhir semester dilaksanakan di gedung pertemuan dan sisaksikan oleh masyarakat umum . Kata Kunci : Aransemen musik , kualitas pembelajaran , hasil belajar , band . PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Band adalah salah satu mata kuliah yang dipelajari di Jurusan Sendratasik Program Studi Pendidikan Seni Musik, Pelaksanaan kegiatannya hampir seratus persen praktek, evaluasi sepenuhnya praktek, Adapun isi pokok bahasannya adalah memainkan beberapa alat musik secara bersama dalam beberapa suara dan mempelajari partitur lagu-lagu yang telah diaransir sebagai naskah bahan lagu Bandl. Pada kurikulum Program Studi musik,Band terletak pada semester 6 dengan nama Mata Kuliah Praktek Band atau Musik masa kini Kegiatan yang dilakukan adalah mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok alatseperti : Gitar listrik, bas Elektrik, Keyboard atau organ dan Drum set Naskah lagu dalam musik Band adalah partitur lagu yang telah diaransir oleh tokoh-tokoh musik tertentu atau lagu-lagu standar musik Band, misalnya Paul Widyawan,DS.Suwito, buku lagu-lagu Band terbitan Gramedia atau buku –buku lagu band yang lain atau juga lagu-lagu yang telah diaransir oleh dosen pengampu mata kuliah yang bersangkutan, sepintas proses pembelajaran Band ini cukup baik, berjalan lancar, mahasiswa mempelajari lagu dan dimainkan, dipentaskan saat ujian, kesulitannya hanya pada naskah lagu yang mempunyai kesulitan cukup tinggi. Permasalahan yang timbul di lapangan atau pada proses pembelajaran di kelas, adalah mahasiswa tidak bisa mengaransir/mengaransemen lagunya sendiri. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sub pokok bahasan yang membahas aransemen lagu Band mahasiswa hanya memainkan lagu dengan sebaik-baiknya dan ujian hasilnya bagus, sepintas terlihat baik dan sukses, namun ada kerisauan, karena mahasiswa tidak bisa mengaransemen lagunya sendiri, dan ini sesungguhnya proses pembelajaran Mata Kuliah Band di Program Studi musik, sendratasik belum optimal, walaupun sudah dianggap cukup baik, lebih merisaukan kedepannya adalah bahwa lulusan seni musik S1 Unnes belum bisa sepenuhnya mengaransemen lagu untuk musik Band, Hal ini tentu jauh dari harapan sebagai guru musik yang profesional.
55
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka perlu adanya tambahan sub pokok bahasan aransemen khusus pada mata kuliah musik Band, sehingga setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa dapat memainkan lagu-lagu Band, mengkoordinir dan membentuk kelompok Band, melatih sampai pada pementasannya serta mampu mengaransir lagu-lagunya. Mengingat bahwa mahasiswa musik yang mengambil mata kuliah Band terletak pada semester 6 yang tentunya mereka telah mendapat mata kuliah sebelumnya yaitu teori musik, metode kelas tiup dan gesek, ilmu harmoni dan sebagainya, sehingga apabila materi sub pokok bahasan aransemen Musik Band ini diterapkan tentunya dapat dipastikan bisa dilaksanakan. Untuk itu dalam penelitian ini dicoba dikembangkan teknik aransemen Band pada pertengahan mata kuliah musik band.Metode yang digunakan dapat deskriptif kualitatif. Hasilnya harus diterapkan dalam waktu yang bersamaan atau berurutan pada metode yang sama, untuk dilihat bagaimana proses pelaksanaannya dan hasil yang dicapai maka yang dominan tentunya adalah classroom actions research atau penelitian tindakan kelas. Hal ini diperlukan agar hasil penelitian ini menjadi legitimasi atau dasar pemikiran yang syah dan ilmiah untuk peningkatan pembelajaran mata kuliah Musik Band. Berdasarkan pemikiran dan latar belakang yang diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian pengembangan pembelajaran dalam sub, penelitian Unggulan Universitas Negri Semarang ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakah dengan menggunakan aransemen Musik Band dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar mata kuliah Musik Band di Jurusan Sendratasik Program Studi Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Apakah dengan penggunaan aransemen Musik Band dapat merubah perilaku mahasiswa dalam proses pembelajaran ansambel musik di Jurusan Sendratasik Program Studi Musik Fakultas Bahasa dan Seni UNNES Berdasarkan rumusan masalah diatas amaka penelitian ini bertujuan : Untuk mengetahui apakah dengan menggunakan aransemen Musik Band dapat meningkat kualitas pembelajaran dan hasil belajar mata kuliah Band di Jurusan Sendratasik Program Studi musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Untuk mengetahui apakah dengan menggunakan aransemen Musik Band dapat merubah perilaku mahasiswa dalam proses pembelajaran musik Band di Jurusan Senratasik Program Studi Musik Keluaran Penelitian Secara teoritis diharapkan diperoleh suatu konsep model pembelajaran sub pokok bahasan aransemen khusus Musik Band, yang dapat ditambahkan pada pokok-
56
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pokok bahasan materi pembelajaran mata kuliah Musik Band sehingga proses pembelajaran dan hasil belajar lebih optimal. Secara praktis, meliputi : Bagi mahasiswa diharapkan memperoleh pengetahuan baru tentang aransemen Musik Band sehingga mahasiswa dapat mengaransir sendiri ansambel lagu-lagu yang dimainkan pada kelompok musik Bandl. Ketrampilan ini bersifat melekat dan dapat digunakan membuat tugas-tugas Musik Band selama masih kuliah atau sebagai ketrampilan setelah lulus nanti. Bagi dosen seni musik yang mengampu mata kuliah ansambel, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai legitimasi secara ilmiah untuk menambahkan materi tambahan aransemen Musik Bandmusik pada mata kuliah Band Bagi jurusan seni musik di harapkan dapat sebagai tambahan perbaikan Hand Out, SAP, Silabi, Materi Kuliah Mata Kuliah Musik Band. Bagi peneliti sendiri sebagai dasar pemikiran perbaikan dan pengembangan penelitian selanjutnya, untuk mengoptimalkan proses-proses pembelajaran. TINJAUAN PUSTAKA Aransemen Aransemen berasal dari kata Arangement (ING) yang mempunyai arti merubah, menambah dan atau mengurangi suatu karya musik agar lebih baik (Banue, 1995:34). Dengan kata lain Aransemen adalah suatu karya musik yang telah dirubah, ditambah dan atau dikurangi bagian-bagian komposisi musiknya dengan tidak menghilangkan ciri aslinya untuk tujuan agar karya musik tersebut lebih berkualitas, lebih baik secara komposisi, penyajian maupun estetikanya. Orang yang melakukannya disebut aranger.Prosesnya disebut aransir, karyanya disebut aransemen. Dalam melakukan aransemen atau mengaransir diperlukan suatu keterampilan pendahuluan yang meliputi : teori musik, ilmu harmoni, metode kelas tiup dan gesek, organologi dan pengetahuan lain yang diperlukan. Kegiatan dasar yang dilakukan adalah merubah karya musik satu suara dijadikan beberapa suara yang diperlukan misalnya : dijadikan sopnan, alto, tenor, bas atau bahkan S1, S2, teonor, bairton, alto bas, kontra bas dan sebagainya. Sedangkan bentuk-bentuk penyajian musik yang sering menggunakan karya aransemen adalah paduan suara, ansambel, big band, orkes syamphoni, ataupun bentuk-bentuk sederhana seperti : duet, trio, quintent, dan lain-lain. Bagian-bagian komposisi yang diaransir, yaitu pada melodi asli yang dijadikan suara kedua dengan jarak interval terts, kemudian suara ketiga dengan jarak interval kwint, suara keempat dengan cara contra melodi, suara bas di ambil dari tonica akor yang mengiringinya dan sebaginya. Cara tersebut dapat dikombinasi
57
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
dengan menempatkan not-not asing seperti : passing tone, neighborn, antisipation tone (Drier, 1984:) Bagian-bagian lain yang perlu dikembangkan adalah dengan membuat introduction (musik awal lagu), interlude (musik tengah lagu) dan coda (musik akhir lagu) yang kesemuanya tidak boleh melebihi panjangnya melodi asei.Birama kosong antara kalimat lagu dapat diisi dengan melodi filler dan ritmie filler. Pengembangan aransemen Musik Band dapat pula dengan kombinasi pengurangan nilai not atau penambahan nilai not pada motif, frase atau kalimat lagu dengan cara resitatif, sequen, diminusi, augmentasi dan lain-lain. Meningkatkan Menurut pusat bahasa Indonesia pendidikan nasional (2005 : 1197 – 1198) pengertian meningkatkan berasal dari kata tingkat yang artinya susunan yang berlapis-lapis, dan meningkatkan juha mempunyai arti menaikan, mempertinggi derajat, taraf. Jadi meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar artinya menaikan, derajat, taraf menjadi lebih baik dibanding sebelumnya, dengan cara memasukan materi aransemen pada mata kuliah Musik Band. Menurut Slameto (2003 : 1) untuk meningkatkan suatu proses belajar diperlukan lingkungan yang mana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuanpenemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip yang sudah diketahui, sesuatu dikatakan meningkat apabila terjadi perubahan dari hal yang rendah menjadi lebih tinggi, dari hal yang buruk menjadi leih baik. Hasil Belajar Pengertian Belajar Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar. Pada umumnya ahli-ahli tersebut, baik ahli dalam bidang pendidikan maupun psikologi mernpunyai pendapat yang sama bahwa hasil semua aktivitas belajar adalah perubahan. Bahwa perubahan itu terjadi akibat pengalaman, juga tidak ada perbedaan antara ahli yang satu dengan ahli yang lain. Beberapa pendapat tentang pengertian belajar sebagai suatu perubahan (dalam Max Darsono, 2002:2-4) antara lain adalah: Morris L. Bigge Menyatakan bahwa belajar adalah perubahan yang rncnetap dalam kehidupan seseorang yang tidak diwariskan secara genetic.Selanjutnya Morris menyatakan bahwa, perubahan itu terjadi pada pemahaman, perilaku, persepsi, motivasi atau campuran dari semuanya secara sistematis sebagai akibat pengalaman dalam situasisituasi tertentu. Morle J. Moskowitz dan Arthur R. Orgel
58
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Pada dasamya belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil langsung dari pengalaman dan bukan akibat hubungan-hubungan dalam sistem syaraf yang dibawa sejak lahir. Menurut Marie dan Orgel perilakuyang dipelajari dapat diramalkan bukan dari apa yang kita ketahui tentang sifat-sifat umum dari sistem syaraf seseorang, melainkan dari apa yang kita ketahui tentang pengalaman-pengalaman yang khusus dan unik dari orang tersebut. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yang berjudul “Pengembangan aransemen musik band untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar mata kuliah Band di Jurusan Sendratasik Musik Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang” ini adalah penelitian tindakan kelas atau classroom actions research yang terdiri beberapa siklus tindakan pada mahasiswa seni musik, sendratasik Unnes yang mengambil mata kuliah Band. Materi musik band dipersiapkan tersendiri secara terpisah dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah seluruh mahasiswa seni musik sendratasik, FBS, Unnes yang mengambil mata kuliah Band pada semester genap tahun 2015/2016, jumlah mahasiswa 2 rombel masing-masing rombel terdiri 30 orang mahasiswa, proses penelitian direncanakan pada bulan april s/d Juli 2016. Data pra siklus dan jumlah mahasiswa, berdasarkan hasil perkululiahan mata kuliah band yang terletak pada semester awal gasal tahun 2015 / 2016. Teknik Pengambilan Data Teknik observasi Menurut Arikunto (2006 : 155) observasi dalam pengertian psikologi dan sebagainya pula pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indra. Dengan metode ini peneliti akan mencari data langsung ke lapangan melalui pengamatan, penyelidikan terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran mata kuliah band di Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri semarang. Teknik wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang mendalam yaitu suatu bentuk wawancara yang bertujun mengarah pada kedalaman informasi, guna menggali pandangan subyek penelitian tentang banyak hal yang sangat bermanfaat unuk menjadi dasar penelitian lebih lanjut (Sutopo, 1996 : 56) Teknik dokumentasi
59
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis, dalam pengerrtian luas, dokumen bukan hanya berwujud tulisan saja, tetapi dapat berupa benda-benda peninggalan, prasasti, simbol-simbol dan sebagainya (Arikunto, 2006 : 158 – 159). Dokumen-dokumen dalam penelitian ini adalah foto-foto kegiatan, partiturpartitur musik dalam proses aransemen lagu musik band, rekaman video audio hasil belajar, dokumentasi lokasi penelitian, proses belajar, yang kesemuanya akan dijadikan parameter dalam penelitian ini. Teknik Pengamatan dan Tes Teknik pengamatan adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi serta data dengan cara mengadakan pengamatan langsung pada obyek penelitian. Tes dilakukan pada saat tiap-tiap siklus berakhir, adapun materi tes siklus I adalah tes terhadap proses dan hasil aransemen lagu musik band dengan 2 suara 2 alat, 3 suara 3 alat, 4 suara 4 alat, kemudian proses dan hasil tugas terstruktur dirumah. Tes siklus II berlaku sama, namun ada beberapa materi tes bersifat memperbaharui hasil tes siklus I di tambah materi tes siklus II dengan lagu-lagu dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Hasil akhir dari hasil belajar mata kuliah Band juga ditentukan dengan hasil nilai ujian tengah semester da ujian akhir semester. Prosedure Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, selain prasiklus dimana masingmasing siklus dengan tahapan-tahapan perencanaan, pelaksanaan (tindakan), pengamatan (observasi) dan refleksi, prosedur penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut :
Perencanaan
Pelaksanaan
: Perlakuan
Refleksi
Pengamatan
: Perlakuan
Skema Prosedur Penelitian Model Kurt Lewin
60
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Teknik Analisi Data Analisis Kuantitatif Analisis ini untuk mengolah data dari hasil tes mahasiswa seni musik yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada akhir siklus I dan akhir siklus II atau bersamaan dengan ujian tengah semester dan ujian akhir semester mata kuliah band pada semester genap tahun 2016 sebagai nilai hasil belajar. Nilai hasil tiap-tiap tes dihitung jumlahnya dalam satu rombel, kemudian jumlah tersebut dihitung dalam prosentase (100%). Dihitung dengan cara sebagai beerikut : 𝑁𝑃 =
𝑅 𝑆𝑀
100%
Keterangan : NP = nilai dalam persen R = skor rata-rata yang diperoleh mahasiswa SM = skor maksimal ideal Analisis Kualitatif Analisis ini digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan peningkatan kualitas pembelajaran Band, dengan cara deskriptif kualitatif yang meliputi : angket, observasi, wawancara, dokumentasi dan pengamatan non tes. Data non tes dianalisa dengan cara dikelompokkan berdasarkan aspek-aspek yang diteliti, diinterpretasi per bidang kemudian diverifikasi/ kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran lokasi penelitian Penelitian dengan judul , “ Penggunaan Aransemen Musik Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dan Hasil Belajar Pada Mata Kuliah BAND di Jurusan Sendratasik Program Studi Pendidikan Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni Unniversitas Negeri Semarang “ , ini dilakukan pada Prodi pendidikan seni musik FBS UNNES , yang mana Prodi ini merupakan bagian dari fakultas bahasa dan seni yang mempunyai visi mampu mengembangkan pengajaran seni musik serta menghasilkan enaga kependidikan yang profesional dibidang pengajaran musik serta dapat mandiri dalam hidup di masyarakat sesuai dengan keahlihannya . Sedangkan misinya adalah menghasilkan lulusan yang profesional dalam tenaga pendidikan seni musik serta dapat hidup mandiri di masyarakat sesuai dengan bidangnya. Berdasarkan visi dan misi nya maka penyebaran mata kuliah terbagi dalam beberapa kelompok baik teori maupun praktek , pada mata kuliah praktek terdapat mata kuliah yang bernama praktek Band mata kuliah ini diharapkan dapat menjawab tantangan masyarakat pada dunia kerja dala hal musik hiburan yang pada umunya cukup digemari oleh masyarakat umum maupun yang sering terlihat pada media
61
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
sosial , televisi , pentas-pentas hiburan baik di luar sekola maupun dalam sekolah dari SD , SMP , SMA sampai kampus-kampus perguruan tinggi. Mata kuliah Band Pada Prodi pendidikan seni musik sebaran matakuliah sesuai dengan kurikulumnya BAND yang dahulu bernama musik masa kini dengan nomor mata kuliah KB262473 dengan bobot 2 sks terdapat pada semester IV , dahulu musik masa kini pada semester VIII . Pada mate kuliah BAND tahun ajaran 2015/2016 pada semester genap dilaksanakan di Lap. Musik ged. B7 FBS dengan mahasiswa sebanyak 96 dan terbagi menjadi 6 rombel dengan dosen pengampu yaitu Antonius Nugroho Spd.dan Abdurahman Spd . Mpd masing-masing 3 rombel . Mata kuliah BAND ini dijadwalkan dengan 16 kali pertemuan dari akhir februari 2016 – akhir juni 2016 . Kuliah ini dilasanakan dengan 2 jam pelajaran pada pokok bahasan yang meliputi : pengenalan alat band , penyetelan , penyetelan sound system , pola ritme genre musik mulai dari pop indonesia , barat , slow rock , rock , mars , waltz, swing , bossanova , jazz , dan blues . Kemudian pada periodisasi masa lagu tahun 60 an , 70 an , 80 an , 90 an , sampai sekarang . Kelas BAND dibagi menjadi beberapa kelompok tiap kelompok terdiri dari 5 orang masing masing memegang alat : gitar , bass , drum , keyboard , dan vocal , yang masing- masing akan diroling atau diputar secara bergantian . Evaluasi dilakukan pada perorang perkelompok dan hasil evaluasi nanti akan di lihat pada kualitas belajar dan hasil belajar . Perbedaan kualitas belajar dan hasil belajar akan dibandingkan dengan hasil belajar tahun sebelumnya yaitu 2015 / 2016 . Secara keseluruhan kegiatan penelitian pada matakuliah BAND Prodi musik sendratasik FBS UNNES dapat dijabarkan sebagai berikut : Pelaksanaan penelitian di Jurusan Sendratasik, program studi seni musik , FBS, Unnes dilaksanakan dalam waktu 4 bulan pada masa studi semester genap 2015/2016, yaitu dari bulan februari s/d mei 2016. Aransemen musik Sebelum mahasiswa melakukan aransemen musik harus menguasai terlebih dahulu teori-teori musik sebelumnya , yang diperoleh dari semester sebelumnya halhal terebut antara lain : 1. Teori dasar musik yang meliputi : not angka , not balok , para nada, tanda diam , tanda kunci , kruis , tanda mall , an semua yang mencangkup teori dasar musik secara umum . 2. Pengetahuan tentang tangga nada :
62
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
C = do 1
2
3
4 5 6
7
1
3
4
5 6
7
1
3
4
5 6
7
1
G=do 1
2
F=do 1
2 dst
3. Pengetahuan dan keterampilan tentang interval . 1
2
1
2
1 1
3
2 2
3
4
5
Kwint
3
Terts
3
4
Kwart
4
5 6
7
1
Septim
dst
4. Pengetahuan dan keterampilan tentang progresi akord. C=do
C – Dm – Em – F – G – Am – Bdim – C
G=do
G – Am – Bm – C – D – Em – FISdim – G
F=do
F- Gm – Am – BES – C – Dm- Edim – F
dst
5. Pengetahuan dan keterampilan tentang not-not asing . 1) Passing Tone Dm
C C=do
ǀ1 23 4
G
C
5 ǀ5 43 2 3 ǀ1 23 1 ·ǀǀ
2) Neighborn tone C C=do
F
G
ǀ1 2323 4 ·ǀ6 6565 4 3 ǀ2 ···ǀǀ
3) Antisipation tone C C=do
G
C–C
ǀ1 23 4 3 ǀ5 54372 1 ǀ1 ···ǀǀ
63
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
6. Keterampilan dalam pembuatan introduction , interlude , dan koda
Gambar 5.2 Proses kegiatan kuliah praktek band di prodi musik Sendratasik FBS UNNES
Aransemen Musik Band untuk meningkatkan kualitas belajar dan hasik belajar mata kuliah Band Proses menaransir lagu-lagu band diberikan pada awal setengah semester pertama dan nantinya akan dimainkan pada setengah semester 2 setelah MID semester , proses tersebut meliputi : 1. Membuat melodi lain berdasarkan melodi asli dengan jarak terts. C=do
ǀ1 2 3 4 ǀ54 5 4 3 ǀ2 34 2 ǀ1
Terts ǀ 3 4 56ǀ 76 7 6 5ǀ 4 5 6 4 ǀ3
2. Membuat melodi lain berdasarkan melodi asli dengan jarak kwint C=do
ǀ5 6 7 1 ǀ2 3 2 17 ǀ6 5 4 ·ǀ5 ǀ1 2 3
4ǀ 5
6
Kwint
5 4 5ǀ 2 3 2 ·ǀ 1
3. Membuat meodi lain berdasarkan melodi asli yang bersifat berlawanan arah atau kontra melodi . C=do
ǀ1 2 3 4 ǀ4 56 5 4 ǀ3 23 2 3 ǀ1···ǀǀ
ǀ1 7 6 5ǀ5
43 4 5 ǀ 6 76 7 6ǀ 1···ǀǀ
C=do
Kontra Melodi
64
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
4. Harmoni 4 suara C C=do
C
G
F
S ǀ 3 4 56 5ǀ 1··76ǀ 7 · 5 ·ǀ 4 ···
A ǀ 5 6 71 7 ǀ 3 ·· 21 ǀ 1 · 7 ·ǀ 6 ··· Tǀ 1 2 34 3 ǀ 4 ·· 43 ǀ 3 · 2 ·ǀ 1 ··· Bǀ 1···ǀ 1 ···ǀ 5 · 5·ǀ 4 ···
Berdasarkan proses dari aransemen di atas dapat dibuat intro , interlude , koda yang dibebankan pada alat musik gitar ataupun keyboard dan sebagai tonica adalah bass sedangkan drum tetap pada ritme musik yang dimainkan proses aransemen lagu tersebut dapat diterapkan pada aransemen musik band . Intro
Lagu
Interlude Lagu
Coda
Gambar pertiturnya adalah sebagai berikut .
Vocal
···
···
···dst
···
···
···dst
Gitar 34 5
5···
5···dst
7 ···
7···dst
Em···
Em···ds
Drum
6 7 Bass 1··· Keyboard C···
t
Gambar 5.3 Sound System Band yang penyeteman dan pengaturannya di pelajari mahasiswa prodi musik
65
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Meningkatkan kualitas belajar Peningkatan kualitas belajar diperoleh dengan membandingkan proses belajar mengajar matakuliah Band tahun sebelumnya atau 2 semester sebelumnya melalui lembar pengamatan dan catatan proses pembelajarannya proses pembelajaran tahun lalu tidak menggunakan aransemen musik Band , dengan diterapkannya aransemen musik Band setangah semester pertama ganjil 2015/2016 maka dapat dilihat adanya peningkatan kualitas belajarnya beberapa peningkatan tersebut adalah : 1. Prosentase kehadiran mahasiswa meningkat . 2. Variasi lagu yang dimainkan semakin banyak dengan genre musik yang lebih banyak mulai dari pop , mars, slow rock , swing , bossanova sampai ke aliran musik jazz dan blues. 3. Keterampilan perorangan meningkat. 4. Penambahan aksesoris musik meningkat dan lebih bervariasi seperti : synthziser , booster distorsi , double symbal , double drum dll. 5. Ujian semester yang dilakukan di ged.Pertunjukan tidak di dalam kelas atau di studio , ujian akhir semester dilaksanakan di ged. B6 FBS UNNES ditonton oleh masyarakat umum . 6. Penggunaan lighting dengan tata panggung yang lengkap . 7. Kegiatan pementasan diliput dengan kamera dan dilaporkan serta dipublikasikan secara umum . 8. Hasil ujian di dokumintir oleh bagian laboratorium jurusan sendratasik FBS UNNE dan dibuat dalam bentuk CD dan bisa diperoleh lah mahasiswa lain baik jurusan musik maupun bukan . 9. Hasil ujian akhir semester matakuliah praktek Band dengan lagu-lagu yang telah di aransemen di dokumentir oleh jurusan di simpan di perpustakaan dalam bentuk CD , flasdisk , softcopy , di bukukan dalam partitur musik dan dapat menjadi acuan referensi mahasiswa-mahasiswa yang ada di kelas awal. 10. Dokumen – dokumen hasil aransemen musik band pada matakuliah band bisa menjadi referensi scripsi bagi mahasiswa yang melaksanakan tugas akhir.
Gambar 5.4 Ujian akhir semester matakuliah Band prodi musik jurusan sendratasik FBS UNNES di ged . B6 66
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Meningkatkan hasil belajar Peningkatan hasil belajar dapat dilihat pada nilai mata kuliah Band yang dibandingkan dengan nilai setahun sebelumnya tanpa adanya aransemen musik dianggap sebagai prasiklus pada siklus pertama setengah semester awal pertama pada semester ganjil 2015/2016 hasil belajar meningkat dari 96 mahasiswa yang terbagi dalam 6 rombel tercatat 80 anak memperoleh nilai diatas 86 (A) , 10 anak mendapat nilai 80 – 85 (AB) dan 6 orang anak mendapat nilai di bawah 80 (B) dengan prosentase kehadiran rata-rata 90 % (data terlampir ) Setelah setengah semester pertama perlakuan di berikan dengan meningkatkan materi aransemen musik sebagai siklus I melalui tahapan perencanaan , peaksanaan , observasi dan refleksi terutama pada refleksi . Dengan denikian dapat dikatakan bahwa dengan adanya aransemen musik yang diterapkan pada mata kuliah band dapat meningkatkan hasil belajar , peningkatan pertama pada pemberian materi awal setengah semester pertama sebagai siklus 1 setelah melalui tahapan perencanaan , pelaksanaan , observasi dan refleksi terjadi peningkatan. Pada siklus II nilai diambil pada ujian akhie semester , setelah ada penambahan latihan diluar studio yang dianggap mampu meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga diperoleh hasil belajar akhir semester adalah : dari 96 anak , 90 anak mendapat nilai diatas 86 (A) , dan 6 anak mendapat nilai antara 80 – 85 (AB) dengan prosentase kehadiran 100 %, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan materi aransemen musik dapat meningkatan hasil belajar mata kuliah Band di prodi seni musik , jurusan Sendratasik FBS UNNES . KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian selama 6 bulan , 4 bulan efektif kegiatan dan 2 bulan bersifat perencanaan dan pelaporan . Setelh melalui 2 tahap siklus dengan perlakuan yang berbeda diperoleh hasil pada siklus I trdapat peningkatan hasil belajar yang cukup baik , kemudian pada siklus II setelah melalui penambahan perlakuan situasi perkuliahan terutama memperhatikan aspek refleksi pada ujian akhir semester terjadi peningkatan hasil belajar yang cukup baik , dari 96 mahasiswa 90 orang mendapat nilai A dan 6 orang mendapat nilai AB . Pada peningkatan kualitas pembelajaran terjadi peningkatan kegiatan pembelajaran antara lain : proses kehadiran 100 % , variasi lagu meningkat, penambhan alat bantu musik meningkat, penggunaan lighting, tata panggung dan pada ujian akhir semester dilaksanakan di gedung pertemuan dan sisaksikan oleh masyarakat umum . Saran 1. Dari keseluruhan hasil penelitian diarankan :
67
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
2. Mata kuliah Band sebaiknya diberi materi aransemen musik Band dan diberikan pada semester lebih atas yaitu smester 6 agar mahasiswa mempunyai bekal yang cukup untuk menempuhnya. 3. Tersedianya ruang studio Band yang lebih banyak yaitu 3 – 4 ruang . 4. Dosen pengampu yang lebih banyak yaotu 3-4 oarang . 5. Peralatan-peralatan Band yang lebih memadai dan cukup banyak mengingat jumlah mahasiswa setiap angkatan selalu lebih dari 100 orang . 6. Peralatan-peralatan musik klasikal diperbanyak seperti : keyboard , drum dll DAFTAR PUSTAKA Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta : PT. Rineka Cipta Banue Pono. 1985. Kamus Istilah Musik. Jakarta: CV. Dewi . 1984. Pengantar Pengetahuan Alat Musik. Jakarta: CV. Dewi Darsono Max. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Press. Djamarah dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hadi Sutrisno. 1981. Statistik I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Jumhur E. 2006. Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya. Prier Edmund Sj. 1984.Ilmu Harmoni. Yogyakarta: PML Pusat Bahasa Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Supardi FX. Dkk. Ansambel Musik Sekolah. Yogyakarta: PPPG Kesenian. Sutopo. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Depdiknas UNS Sukohardi AL. 1990. Teori Dasar Musik. Yogyakarta: PML.
68
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Discontinuity Ludruk by AutarAbdillah Surabaya State University
[email protected]
Abstract Ludruk is one of the traditional theater in East Java roomates have plays based on oral literature sources. The plays Ludruk guide the lives of its people. However, plays Ludruk largely contradicts the historical (write) a classic. The play Ludruk be strengthening the awareness of the struggle and militancy face discrimination, Injustice, and murder the character as a nation. The problem of how deviations history (writing) is a classic in Ludruk and how the concept of discontinuity offered Foucault became the focus in this paper. Qualitatively, analyzing the play Ludruk items, namely Sawunggaling, and Panji Pulang Jiwo. The third shows a discontinuity Ludruk its play in every performance. In addition to analysis of the play, Also conducted interviews and field notes when Ludruk performed in front of the audience. Discontinuity Ludruk is a community effort to build a spirit of togetherness to take the fight against the Dutch and Javanese Arek discourse effect against Mataram Javanese culture. Keywords: Discontinuity, Ludruk, Foucault Ludruk Traditional Theatre Ludruk traditional theater was born in pre-independence era as a media struggle against Dutch colonialism and Japanese. In the pre-Independence era, has emerged a number of performances that have Persian cultural treasures, such as Stamboel Comedy (1891), and the Dardanelles (1924). At the same time, the performing arts in Indonesia so many demonstrated in various parts, such as Tayuban, Sandur and Wayang. In almost all corners of the village has a performing arts groups that represent the cultural treasures owned by each region. Intersection of culture and forms of performance can not be avoided, because each show is oriented toward a public audience. Ludruk emerged gradually through a single show known as "Ludruk Garingan" that begins cak Markeso. Another commentary in the presence of various Ludruk is the emergence of the Mr.Santik in Jombang which also originated from a single show with simple equipment. Followed by performances featuring Lerok dance began to Besut which has a dramatic element, and the play that brought certain stories, such as "Besut looking for job, and so on. The entry of the play in Besut show more show contestation performing arts world in the times of pre-Independence, because they represented the Besut show "Stambulan" the first known, is characterized by the cap he wore. 69
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Ludruk more prominent presence when the era of Japan, although Cak Durasim known own group Ludruk in 1930, and perform a variety of social criticism and encourage a sense of Indonesian nationalism, especially the region of Javanese culture Arek, such as Jombang, Mojokerto, Gresik, Surabaya, Malang and Sidoarjo. One of the criticisms made cak Durasim is famous parikan reads "pagupon omahe doro, melok Nipon, tambah sengsoro" (Pagupon is pigeonholes, joined Japan added miserable). Parikan conducted Cak Durasim in 1943 took him to prison and died a year later. Post-independence, the traditional theater Ludruk growing and contestation with a variety of performing arts, both modern (dramas Western and Persian), Islamic (Hadrah) and are derived from the Arabic culture, and traditional (Kethoprak, Puppet, Tayub, Sandur) , Ludruk play is also growing rapidly, both by the resistance of oral history and plays problematic households, and lead to a growing political interest until finally stuck on politics are banned by the government in power at that time, namely the New Order. At the beginning of the New Order, the groups Ludruk led by government officials, particularly the military and police, only a small part by the Civil Service or the civil authorities and non-governmental community. Entering the era of reform, began to appear non-governmental Ludruk founder. The plays Ludruk began converging on the formation of people's struggles against colonialism, the struggle for power, and the play of households. The Play Ludruk The play Ludruk can be grouped into three categories, namely the play backgrounds of history, a play that background events seizure of power, and play the background in domestic life. The play is sourced from the historical background of oral literature, for example, play Panji Pulang Jiwo (history invasion Mataram), play Sawunggaling (takeover Tumenggung Surabaya leadership), and play Untung Suropati (resistance to Dutch colonization). The play backgrounds seizure of power, such as Naga Baru Klintihing play. The play that background domestic life, such as play Balada Gadis Desa, and Dewi Sonngolangit. Historical background plays that become the focus in this paper. Panji Pulang Jiwo A Play Panji Pulang Jiwo is unique and problematic, because in this play clearly and explicitly states that this act stems from anxiety Tumenggung Jumeno Ronggo of the Duchy of Malang to Mataram which already began to colonize Brang Wetan. Problematic this play lies in the presence of the so-called Panji Pulang Jiwo from Madura, but no mention of where the royal Panji Pulang Jiwo, and whether to seek help from Mataram relationship with marriage finally achieved Panji Pulang Jiwo through a contest. If Panji Pulang Jiwo derived from Sumenep royal affiliated
70
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
with Mataram, why should pass a contest? Is this contest to meet the wishes of Probo Retno, that to be able to marry should be able to defeat him through a fight. Why had this happened in the duchy Malang? Told that Tumenggung Jumeno Ronggo match Probo Retno with a young man in order to fortify the Duchy Malang from colonial Mataram. Probo Retno would marry if her husband was able to defeat him with supernatural power test of her future husband. Senopati Mangun Darmo spread of Probo Retno contest in Regol. From Japanan, a married couple that is Safitri and Kromo Yudo were arguing. Safitri pregnant farewell Kromo Yudo her husband that he would join the competition get in the Duchy Probo Retno Malang. Safitri not agree because the young pregnant and does not agree with her husband remarried. Yudo Kromo Safitri angry with the attitude and beat him. A Bujang intervene, but Kromo Yudo getting angry, so Safitri ran away. Kromo Yudo pursuit against Safitri. Safitri also went to his home in Purwodadi to ask for protection. Safitri father, Prince Wongso ask Safitri to come to his teacher in Nongko Jajar, because the Prince Wongso afraid Koromo Yudo. Arriving in Purwodadi and met with Prince Wongso and his wife, Kromo Yudo furious because they do not meet Safitri. Yudo Kromo beat both law and leave it alone. Both laws Kromo Yudo condemn in order to get the same. While karma, in the next section tell Panji Pulang Jiwo of Madura rest in the company of his servant on the way to the Duchy Malang join the competition for the purpose of finding love Probo Retno. Padepokan Nongko Jajar was crowded, because Resi Wacono Sidik was giving a sermon to his disciples. Safitri come to ask for help and protection. Safitri tell what had just happened and is being chased by her husband, who was about to get married again to join the competition in the Duchy Malang. Kromo Yudo arrived at the hermitage Nongko Jajar which is also where he studied. Yudo Koromo requested to submit Safitri, but the Master Resi Sidik Wacono not approve. Yudo Kromo also kill the Master, and before his death the Master curse that before arriving in the duchy Malang, chromo judo is dead. Seeing something killing the Master, Safitri ran away. Yudo Kromo proceeded to kedipaten Malang. On the way to the Duchy of Malang, Kromo judo meet Panji Pulang Jiwo, then get acquainted. Kromo Yudo and Panji Jiwo communicating his desire to join the competition get Probo Retno. Yudo Kromo angry and prohibit Panji Pulang Jiwo join the competition. Both were each issued a miracle. Panji Panjang Jiwo successfully won the battle, and Kromo Yudo killed. Panji Pulang Jiwo continued on to the Duchy Malang followed the servant who faithfully accompanied. Meanwhile, in the main square of Malang has been ongoing contest that followed many warriors from across aware of any competition. The warrior who has done battle with the Probo Retno, none was able to beat Probo Retno. Panji Pulang Jiwo entering the competition arena. Finally, the fierce
71
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
battle going on and Panji Pulang Jiwo conquered Probo Retno, so Panji Panjang Jiwo entitled to marry Probo Retno and appointed the duchy Senopati in Malang. Tumenggung Ronggo Juweno likely to feel happy because of his desire to get someone who is able to provide protection against colonization Mataram has been acquired. Colonization Mataram to Brang Wetan literally began to take place in the early 17th century AD. In the period of the 17th century was a time of transition of power Portuguese and Spanish in the archipelago, and is followed by the Netherlands and the UK, as well as the establishment of the VOC in Batavia in 1602 AD. At this time, the invasion of Mataram to different areas affected more by the desire to enlarge the territory outside Mataram. The word used in the colonial Mataram Panji Panjang Jiwo play against Brang Wetan and events selected were the duchy Malang shows that Mataram was not alone. Mataram committed the attack to the region of Javanese culture Arek can also be regarded as an area Brang Wetan, began to be influenced by the strength of the Company, not by the power of Mataram itself. But in this play is not mentioned literally VOC their role in the effort to colonize Mataram Brang Wetan. Similarly, the role of the kingdom in Madura who were represented by prominent Panji Panjang Jiwo. No mention literally that Panji Panjang Jiwo derived from Sumenep representing Mataram. However, if the feared Hero Member Jumeno Ronggo is Mataram and needed protection, then it is very likely Panji Panjang Jiwo is a representation of the Mataram kingdom in Sumenep, but in reference to the others mentioned are in Sampang. The strong influence or Javanese Mataram and Mataram in this play is also evident from the naming Tumenggung, Senopati and the square representing the influence of Mataram and Mataram in Ludruk and directly or indirectly to Ludruk Mojokerto cultural work in the context of the play. In addition, this play also believe in karma, as it is ejected from the Prince Wongso and Resi Sidik Wacono against Kromo Yudo. Karma in many plays Ludruk rarely spoken, but implicit in the stories that are not directly indicated as a karma. According Henricus Supriyanto (conversations conducted in the library belongs to Prof. Wendit Henricus, July 4, 2016), the play is Panji Panjang Jiwo presentation of events Mataram invasion in 1625. However, in the historical record, the invasion of Mataram in 1620-1625 occurred in the area of Surabaya. This difference is understandable that the invasion Mataram intrinsically in the play is Flag Round Jiwo Arek cultural sphere in general and shows that the action of the Mataram kingdom has made various efforts to control Brang wetan. Panji Panjang Jiwo play for the actors Ludruk indeed considered as Ludruk Malangan play, or play is better known in circles Ludruk in Malang for the location of the event is duchy Malang.
72
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Sawunggaling The play tells the story of characters Sawunggaling, Sawunggaling which is the son of Hero Member Jayengrono from unofficial marriage. Called unofficial, because Sawunggaling don’t know or don’t rcognize his father, and he's looking for his father whose become a Hero Member of Surabaya. Sawunggaling who started growing up are always getting laughed by his friends because he don’t have a father (in a dialogue spoken by Sawunggaling, the father called Sipak. This pronounciation patterns is also much closer to Java pronunciation patterns Mataram, not Java Arek). Mother Sawunggaling initially assured that the grandfather (mbah lanang) as his father, but Sawunggaling still do not believe it. Sawunggaling finally allowed to look for his father to Surabaya. Sawunggaling equipped with Rooster and heritage Puspo (Supriyanto, 2001: 122; call heirloom Cinde Puspito). In conducting a search of his father in Surabaya, Sawunggaling met with Sawungsari and Sawungkarno later identified as a subsidiary Jayengrono. They then compete rooster as a condition Sawunggaling allowed to enter the territory of Surabaya. However Sawungsari and Sawungkarno cheating and stealing by running rooster belonging Sawunggaling (Supriyanto, 2001: 121; call Rooster named Wiring Galing or Sawunggaling, and Sawunggaling previously named Jim Bereg). In the pursuit, came Sawunggaling or Joko Bereg to Jayengrono residence. Sawunggaling introduced himself, and this is where open veil that Sawunggaling is Jayengrono child by showing Aji Puspo form of a special fabric sheets. Jayengrono was introduced Sawungsari and Sawungkarno as his own brother. Along with these events, came the Dutch captain who claimed that power (beslit) Hero Member Jayengrono revoked for not siding with the government of Kingdom of the Netherlands (Supriyanto, 2001: 122; calls for the lifting of governmental power Jayengrono beslit or fail to meet their areas of taxation). Jayengrono give voluntarily, because Jayengrono was adamant that he was not in favor of the Dutch. To find a replacement Jayengrono do contest in Surakarta. Sawungsari and Sawungkarno also participated in the contest. Untu Sawunggaling also intends to participate in the contest, but were blocked by Sawungsari and Sawungkarno, even when it is in the arena of competition also had prevented. Sawunggaling only given one chance to be able to shoot, if that fails, then lives are at stake. Sawunggaling not afraid to receive this challenge. While Sawungsari gets a chance more than once, unconditional will lose their lives. After Sawungsari and Sawungkarno fails, then the next opportunity Sawunggaling. Before releasing the dart, Sawunggaling convey spells. Finally, Sawunggaling shoots one time flag only in archery. Sawunggaling success is certainly not desired by the Dutch and the Mataram Surakarta. Then made a strategy that Sawunggaling slain by giving the condition that the board must cut Sawunggaling Surabaya. Even this tactic failed, because Sawunggaling did. The
73
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
murder attempt was made, but in vain. Sawunggaling eventually lead into Hero Member Surabaya. Supriyanto (2001: 123) states that Sawunggaling required to destroy Kelingan Nambas Island, but once we do, the Dutch Company of broken promises. When Sawunggaling sued the Dutch Company, it is a battle that caused the death Sawunggaling and buried in Surabaya. The play Sawunggaling shows that the events that happened in Surabaya and cultural area of Java Arek, has strong relations with the Javanese Mataram, particularly with Mataram Surakarta. Traditions rooster known for nobility Mataram. Similarly, the tradition of archery and tripe found in oral literature in the area of Mataram. Setting or background story of this kind is certainly not a coincidental. However, a story emerged as a result of historical ties and the relationship between culture and politics are inevitable and inseparable. Recognized or not, agreed or not, and whether consciously or not, the presence of Ludruk have cultural relationships integral to their powers that make up the play Ludruk Mataram. The play formed his time and give you guidance and markers relations clue the expectations and the will of human life at any given time, so that a play can be a reflection and guidance for his time and for the people. A play is never established itself as an object of storytelling. The play is precisely as a marker for the occurrence of social ties as well as the history and culture of a society. The play represents the circumstances, situation and conditions facing their communities. Author in the play can be seen verbally, can also be hidden behind the storytelling. Author (ouevre) the source of the ideas that emerged from someone who encourages the occurrence of an event. For the purposes harm "safety" of an author, it is not uncommon disguised or author's name is not mentioned at all. Inside, the author's name is almost never mentioned or not recognized at all and simply known as the literature says. Ludruk plays in the last two decades, began to emerge awareness to mention the author, because a lot of plays Ludruk new, like the play Nyai Cinde Amoh written by Edy Karya. This play is also based on the history that has ever happened in the Majapahit era. The play is the story background Sawunggaling history, the history Tumenggung Surabaya. Politically, in the 18th century AD Surabaya is still in the shadow of the power of Mataram began to rule the land of Java. In addition, through the figure Madura named Cakraningrat which became one of the determinants in participation following the contest conducted in Surakarta Mataram rulers show that Cakraningrat under the authority of Mataram. The language used was a language that is in the tradition of Javanese Mataram, not the Java language Arek. This is where the power of Mataram form Mataram Javanese tradition, as well as forming the knowledge of Javanese Mataram. Knowledge of the Javanese Mataram formed through Ludruk play, like play Sawunggaling, make Mataram Javanese culture are well known and used as the basis
74
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
of thinking for the Javanese culture Arek. Nevertheless, it does not mean that the Javanese culture Arek just disappear. The process of cultural transformation takes place through battle or war, or through resistance, although eventually happen synthesis and contestation. Language Ludruk make adjustments to the character or the character of the figures the play is played. Although temperaments figures nonetheless established a group Ludruk authority in establishing the appropriate interpretation of the effort to build the local character of the local language which is owned by the local community. The play Sawunggaling which has a long duration when compared with other plays. Historically well-known affinity for the people in the cultural environment Arek Java, Surabaya in particular, was able to encourage the spirit or the spirit of heroism and struggle to maintain an area very well known people, namely Surabaya. Ludruk spectators community in the region of Javanese culture Arek feel remains part of the story / play Sawunggaling. Society still feel part of a historic struggle, however, because people in the cultural environment of Java Arek are people who believe that their existence is part of a long struggle and won with sweat and blood sacrificed by a struggle which is not easy. The spirit of struggle is owned by the Javanese culture Arek is a form of togetherness received through storytelling hereditary or a tradition, so that young people now can understand and believe in life they are going through now is a struggle that deserves to be known and maintained, although only by playing Ludruk play. According Jabbar Abdullah (33 years) "before the show Ludruk conducted a review of the historical play". However, historical plays understood "general line" "Do or do not adequately examined through studies already published written history and is recognized as a classic learned history in schools. Naswan (72 years old) who has been in the Ludruk more than 47 years also realized that plays Ludruk not concerned with the review of the history in detail, but through the telling of hereditary or a tradition of his predecessors. One very important thing is that the play is able to give meaning to contemporary life of Ludruk actors and the audience, especially in giving meaning to the struggles of the past and can be continued at the present time. Discontinuity Foucault (2012: 20) believes that "the history of ideas, knowledge, philosophy and literature, seems to be increasingly found discontinuity, though history itself as if forego all sorts of events form the structure established". Furthermore, for Foucault (2012: 27), discontinuities actually paradoxical, because the discontinuity is an instrument and object of research. Foucault (2012: 27-28) asserts that On one side of the discontinuity breaks down the history of the field, on the other hand the effect of the field of history itself. By discontinuity, a historian
75
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
can determine differences in a wide range of domains, while at the same time the domains could have come only by way comparing one another. Finally, perhaps we can say that the discontinuity is not merely a concept of heaven that fell to the middle of the discourse of the historians, but discontinuity is something that has been estimated to exist in the minds of the historians themselves. If not so, then on what basis the historians can speak out if discontinuities that gave him a history-and history themselves historians themselves-not as object. One of the most important details of the history of this "new" is the replacement processes is not sustainable. The displacement of which was originally focused on obstacles and impediments to the work process itself, from history are integrated to the discourse of the historians. In this case, history no longer plays a role as the external conditions which must be reduced as much as possible, but his role now is a concept that works. Therefore, the system of signs in the history that has been understood negatively (such as error, limited capacity, etc.) turn out to be a positive element that the determinant of the object of analysis. Discontinuity Ludruk which is reflected in the plays give the impression that the actors prefer Ludruk storytelling mission to give the public morale. Classical History newly formed created a new form of expression without intending to commit irregularities, but has been estimated as a form of storytelling that provide benefits for the establishment of public solidarity and spectacle Ludruk. Domain culture formed is strengthening the culture of Ludruk, namely Arek Javanese culture. Arek cultural domain as opposed to the egalitarian domain like a feudalistic Javanese Mataram as well as efforts to establish the legitimacy of resistance to Mataram Javanese culture that began to dominate cultural relations. Suratno (2013: 2) argues that "in the stratification system of traditional Javanese culture is formed feudal culture, such as the exaltation and orientation towards social status and symbolism gentry class on the little people. Mataram Javanese culture was seen as a culture that dominates the middle of the effort to maintain the character of Javanese culture Arek owned Ludruk. Discourse of Arek Javanese and Mataram Javanese Culture The culture discourse is an integral part of the whole fabric of life together of a community. Arek Javanese and Mataram Javanese Culture build his discourse of each line with the origin and the point of emergence of cultural footing. Arek Javanese culture formed from the challenges of nature and a trading center of various nationalities as evidenced by the number of ports large and small, such as in Pulo Wonokromo, Prapen Kidul and Lor and Kutisari, and there are ports that connect them. According Abdillah (2007: 110) "In the era of the Majapahit kingdom, Brantas which has many waterways that connect the island to the other islands. Thus, each island is also home to expand the powers of every monarch or troops war of each
76
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
kingdom ". Arek Javanese cultural region in the beginning (4-9 century AD) is an archipelago. In contrast to the Javanese Mataram which is a remote area and was formed through a huge empire, from the Ancient Mataram Kingdom to Mataram Islam. Mataram Javanese culture is formed in an agricultural area and not a trade, such as by Lapian (2008: 59), "Sultan Agung of Mataram (1613-1645) when it received the envoy VOC, Rijckkloff van Goenes, stating that he was not a trader such as the Sultan of Banten "Mataram is a manufacturer of products trade potential, so that the colonial government and VOC control of the massif of the Javanese Mataram area. Mataram ambition to master Java, after the collapse of Majapahit gave rise to resistance. Since 1609-1613 AD, Mataram attempted invasion to the territory Arek Javanese culture which is one of the central power of Islam in Java. Mataram invasion first failure, and continued with the second invasion in AD 1620-1625 assisted the Dutch colonialists and VOC to Surabaya successfully conquered. Conquest of Surabaya as a base region of Javanese culture Arek itself with the whole cultural operation Mataram to control the territory Arek Javanese culture. The leaders of the region were from the nobility, at least can be seen from the title of Raden owned by the Regents and the leader in the level beneath it. Rules how to behave Mataram speaking style began to be applied, and gradually take root in people's lives Arek region of Javanese culture. Transformation of cultural discourse Arek Java and Java Mataram take place gradually and continuously, in spite of the resistance and negotiation of community Arek Javanese culture. Resistance is done by rejecting attributes or discursive practices derived from Mataram Javanese cultural sphere, like a character from the King, the people who hold Reden, feudalistic practices, to polarize Ludruk (Javanese culture Arek) with Kethoprak (Javanese Mataram). Rahardjo (2011: 67) says that "The mention of officials representing the center at the village level, in particular common before the Kediri. The role played by the officials at the Colonial period, the role of tax collection for the benefit of VOC reappear and more massive. But according Lapian (2008: 122), "VOC competition from Chinese merchants". Thus, efforts to Mataram and the colonial government or VOC collecting taxes and Chinese traders are rivals in the process of VOC. Trading activity involving the army and political Strategy VOC. Santosa (2014: xviii) stipulates that "In the 20th century when the Pacific War will erupt, mobilization of reserve corps, Kort Verband by Mangkunegaran Legion since 1837. Soemardjan (2009: 11) argues that the European forces, or more precisely VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie ) intended Santosa is "armed forces to protect all commercial interests, in addition to expanding its trade area" in Surakarta. Soemardjan (2009: 11) explains that "until 1705, VOC has made 111 trade agreements with the Kingdom of Mataram represented king, His Majesty. This agreement is purely commercial and does not contain any political ties.
77
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Foucault (2002: 23) considers that "Colonization have another way to separate the elements of proletarian and non-proletarian. They were sent to the colony are not given the status of the proletariat, but rather used as cadres, functionaries of administrative, supervisory and control as a means of colonial peoples ". Mataram kingdom utilize VOC Dutch troops and to establish dominance over the region Arek Javanese culture. Mataram domination synonymous with colonization efforts for Mataram put his royal figures to occupy an important position in the region Arek Javanese culture, such as being Tumenggung or regent. The domination of power always breeds resistance and exclusion, as confirmed Haralambos (2000: 635) "The power never enable total control and, indeed, continue produce resistance and exclusion as people try and often succeed in sleep from his clutches " . Arek Javanese cultural discourse and Javanese Mataram had a hand in the discontinuity Ludruk by creating a historical marker system, and formed a resistance to the Javanese Mataram for Javanese culture Arek experiencing such domination of Javanese Mataram. Sedemkian due to strong resistance, then plays Ludruk diametrically positioned themselves. However, on the other hand makes the play diametrically Ludruk and performances transform Ludruk Mataram Javanese culture in certain parts, such as using the Java language pronunciation Mataram and Mataram Java multiple cultural icons such as the scene Bedayan and use some of the musical, like gising Gondo Kusuman. Discontinuity Ludruk also spawned a discursive practices such as the meaning of social reality Javanese Mataram is smooth and has ancestral advice or guidance can be an example in living everyday life. Arek rough Javanese culture and egalitarian not need to be removed just like that, because this kind of character then becomes the starting point in the formation of figures antagonists on the one hand, and as the formation of cultural identity in the Java Arek Ludruk on the other side. The discourse of Javanese culture Arek and Javanese Mataram accumulated in the show Ludruk with all possible resistance without any guilt and was not regarded as an aberration of history, because the Javanese culture Arek and Javanese Mataram is one cluster of the same culture, even though there has been a struggle for power and domination of the Mataram kingdom such a massif in the past. Conclusion Discontinuity Ludruk shows that Ludruk an important medium in the people's struggle to establish his identity. Irregularities in the history of this case, as Foucault stated that "history will no longer play a role as the external conditions which must be reduced as much as possible, but his role now is a concept that works. Therefore, the system of signs in the history that has been understood negatively (such as error, limited capacity, etc.) turn out to be a positive element that the determinant of the object of analysis ". The play Ludruk play marks owned system's history, such as
78
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Untung Suropati and Sawuggaling struggle against injustice Netherlands and affect Mataram to invade and dominate the cultural mark on Ludruk system. The dominance of cultural signs seen in the play Ludruk as well as in the behavior and manner of speaking that is partly refers to the cultural system Mataram Javanese culture. Perversions of history can be seen as a positive element for the needs of the show that gives spirit and motivation to struggle in the face of Dutch colonization nor the ambition Mataram controlled the region Arek Javanese culture. Discontinuity of Ludruk based theories and concepts of Foucault also is the meaning of social reality through discursive practices. Ludruk social reality which is a picture of rural, agrarian and less orderly, requires plays to build morale could reverse the trend of his life. Strength to live a better life in order to provide strength in the face of social faced everyday. BIBLIOGRAPHY Abdillah., Autar 2007, Culture Arek Suroboyo, Thesis S-2 , Surabaya: Graduate University of Airlangga (not yet published). Foucault, Michel ,, 2012, Archaeology of Knowledge (translated from the original book The Archeology of Knowledge (1976) by Inyiak Ridwan Muzir), Jogjakarta: IRCiSoD. Haralambos, Michael, Martin Holborn, and Robin Heald, 2000, Sociology, Themes and Perspectives , London: HarperCollins Publishers Limited. Lapian., Adrian B., 2008, Sailing and Commerce Nusantara 16-17 century , Depok: Bamboo Community. Rahardjo., Supratikno 2011, Civilization Java, from the Ancient Mataram to Majapahit End , cet. Second, Jakarta: Bamboo Community. Supriyanto., Henri, 2001, Ludruk East Java, exposure history, tonel of directors, management and the set play , Surabaya: Dinas P & K East Java Province. Suratno., Pardi, 2013, the Javanese Society and Western Culture: Study of Literature Colonial Period Java , Yogyakarta: Adi Wacna.
79
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PROSES PENCIPTAAN TARI SERASAN SEANDANAN SEBAGAI TARI PENYAMBUTAN TAMU DI KABUPATEN OKU SELATAN Oleh: Destryanti 6 Desember 1992 Jl. Negla utara, No.14 kota Bandung, kode pos 40154 Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Tari serasan seandanan merupakan tarian yang berasal dari kabupaten OKU Selatan dan diciptakan oleh Orpen Malhadi. Fungsi tarian ini adalah untuk menyambut tamu kehormatan yang datang menginjakkan kaki di bumi serasan seandanan. Permasalahan penelitian membahas tentang bagaimana proses penciptaan tari serasan seandanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seperti apa proses penciptaan tariannya. Metode yang digunakan adalah metode konstruksi tari yang dikemukakan oleh Jaqueline Smith dan penelitian ini termasuk dalam kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Objek penelitiannya tari serasan seandanan, subyek penelitiannya Orpen Malhadi selaku pencipta tarian. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang dipakai yakni analisis data wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan antara lain: ide tarian ini menggunakan rangsang visual dan kinestetik, tipe tari ini adalah tari dramatik, mode penyajiannya adalah mode simbolik. Tari serasan seandanan memiliki 33 motif gerak. Ragam geraknya terdiri dari salam pembuka, tolak arus, ninjau, junjung, undur udang pincang urungan dan salam penutup. Pola lantainya menggunakan proscenium stage. Pendukung tarian terdiri dari 4 bagian, yaitu para penari, pembawa tepak, pemegang tombak dan pembawa payung. Busana tarian dinamakan kawai, properti tarian yang dipakai terdiri dari tepak dan kipas bermotif siger, tombak, dan payung. Musik pengiring tarian bergenre melayu, alat musik terdiri dari akordion, gendang borda, gong dan kulintang, jimbe serta tambor (drum). Sampai saat ini keberadaan tari serasan seandanan masih terus dilestarikan sebagai salah satu ikon kesenian yang khas dari OKU Selatan. Kata kunci: Tari Serasan Seandanan, Metode Konstruksi. PENDAHULUAN Seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan jiwa dan bersifat indah, hingga dapat menggerakan indera manusia untuk mengepresikan sesuatu. Menurut Langer (dalam Sumardjo, 2000:66) karya seni adalah bentuk ekspresi yang diciptakan bagi presepsi lewat indera dan pencitraan, dan yang diekpresikan dalah perasan manusia. Menurut Matller (dalam Smith, 1985:5) seni adalah pembentukan beberapa materi untuk memberikan pengalaman estis. Setiap daerah memiliki hasil keseniaan tari-tarian. Seni tari menduduki fungsi dan nilai-nilai
80
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
didalam masyarakat yang melambangkan atau menyimbolkan suatu tujuan tertentu dalam pementasan. Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan sendiri memiliki banyak hasil kebudayaan berupa tari-tarian, salah satunya adalah tari serasan seandanan. Tarian ini khusus untuk menerima tamu – tamu kehormatan yang datang di bumi serasan seandanan. Tarian ini diciptakan oleh seniman daerah, Orpen Malhadi. Kata serasan berarti seiya sekata, searah setujuan sedangkan seandanan berati saling asih saling asuh. Secara harifah kata serasan seandanan berarti masyarakat Kabupaten OKU Selatan dalam mencapai tujuan untuk mensukseskan pembangunan di berbagai bidang selalu di dasari musyawarah dan dilaksanakan secara gotong royong. (Buklet Tim Penggerak Pemerdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten OKU Selatan, 2010:05) Menurut Sedyawati (1984:27) mengapa seniman menciptakan itu karena mereka di karuniai kepekatan rasa keindahan. Mereka mempunyai dorongan yang lebih kuat untuk mengekpresikan. Mereka punya kemampuan untuk mengalihkan penghayatan inside-nya ke media-media ungkapan yang sesuai dengan bakat masing -masing seperti manusia motorik ke seni gerak, manusia auditif ke musik, manusia visual ke seni rupa serta yang vocabulair ke seni sastra dan masih banyak yang lainnya. Proses penciptaan karya tari adalah bagian terpenting dalam keberadaan sebuah hasil karya tari karena menduduki posisi sebagai asumsi dasar dalam sebuah penggarapan tari sebelum unsur pendukung lainnya terbentuk. Penata tari harus memahami unsur apa saja yang menjadi daya tarik penata tari dan hal itu tersebut merupakan rangsangan awal yang selanjutnya bisa di kembangkan menjadi motif dan terbentuk satu ragam gerak secara utuh. Penata tari pemula akan mengenal teori penciptaan tari yang dikenalkan oleh Jaqueline Smith. Pakar tari, Smith dalam bukunya yang berjudul “ Dance Composition : A Partical Guide For Teachers” terjemahan Ben Suharto (Komposisi Tari : Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru) yang membangun sebuah elemen yang membangun proses kerja penciptaan tari yaitu metode konstruksi. Metode kontruksi dalah metode atau petunjuk penyusunan dan pengkombinasian dari berbagai elemen untuk mencapai keberhasilan yang harus dipahami bagi seorang koreografer (Smith, terj. Suharto, 1985:4). Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana proses penciptaan tari serasan seandanan yang diciptakan oleh Orpen Malhadi, yang kemudian akan metode konstruksi tari Jaqueline Smith sebagai landasannya. METODE PENELITIAN Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif karena pada hasil akhirnya peneliti akan memaparkan apa saja yang dilihat selama proses penelitian. Subyek penelitian ini berhubungan dengan narasumber yang akan diteliti, yakni Orpen Malhadi selaku pencipta tari serasan seandanan. Objek penelitian ini adalah tari serasan seandanan sebagai bahan utama yang akan di teliti. Untuk kelengkapan data yang akan diperoleh, peneliti mengumpulkan informasi melalui informan atau narasumber yang berhubungan dengan penelitian, ke lingkup pemerintah yang tertuju kepada kepala
81
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
dinas kebudayaan dan pariwisata, ibu Dra. Lia Tirtayana, M.Se, selanjutnya kepala bidang kebudayaan dinas kebudayaan dan pariwisata, bapak Umar Husin, S.Ip, dan juga para pemain musik tari serasan seandanan. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Teknik observasi dilakukan dengan menemui para narasumber. Teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara terbuka. Sugiono (2010:329) mengatakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Hasil dari catatan tersebut diproses dalam bentuk dokumentasi dalam bentuk pernyataan tertulis dan media elektronik. Tarian ini belum memiliki bentuk pernyataan tertulis seperti artikel atau hasil penelitian sebelumnya, arsip yang di dapat hanya berbentuk video pertunjukan dan foto-foto penampilan yang disimpan di kantor dinas pariwisata. Jadi penggunaan dokumentasi ini hanya memakai alat perekam handycam dan handphone untuk merekam peristiwa penelitian melalui video, foto-foto dan rekaman suara. Teknik analisis data ini berguna dalam pengambilan data secara sistematis mengikuti prosedur penelitian yang dikehendaki oleh peneliti. Hasil wawancara diuraikan dalam bentuk tulisan deskriptif dan dianalisis untuk dijadikan bentuk penelitian sebagai pendukung dalam penelitian ini. HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKU Selatan) adalah salah satu kabupaten di provinsi Sumatera Selatan yang merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) yang diresmikan dengan UU No. 37 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003. Kabupaten ini diresmikan pada 16 januari 2004 di kota Muara Dua, ibukota kabupaten OKU Selatan. Wilayah ini berbatasan dengan provinsi Lampung kabupaten Lampung Barat bagian selatan, bagian timur berbatasan dengan kabupaten OKU Timur dan kabupaten Way Kanan provinsi Lampung, pada bagian utara berbatasan dengan kabupaten OKU, berbatasan pula dengan kabupaten Muara Enim dan provinsi Bengkulu pada bagian barat. Kabupaten OKU Selatan dialiri dua sungai besar yaitu sungai selabung dan sungai saka yang bermuara ke sungai Komering. Di kabupaten OKU Selatan terdapat 5 suku besar yang mendiami wilayah kabupaten OKU Selatan, yaitu: suku ranau, suku daye, suku semende, suku kisam, dan suku aji. Latar Belakang Penciptaan Tari Serasan Seandanan Tarian ini lahir karena niat yang tulus dari hati seorang seniman asli daerah, yaitu Orpen Malhadi. Beliau adalah seorang seniman tari yang lahir dan dibesarkan di daerah Muaradua Kisam. Niat dan dorongan hati untuk menciptakan sebuah tari sambut tersebut dilandasi oleh berbagai macam pemikiran beliau bahwasanya setiap daerah pasti memiliki hasil kesenian dan salah satunya adalah tari-tarian. Sebelumnya beliau pernah menimba ilmu tentang kesenian diberbagai daerah di luar wilayah OKU Selatan. Beliau telah mengetahui beberapa tarian yang daerah lain ditujukan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan yang datang ke wilayah tersebut. Beberapa contoh tariannya adalah tari sebimbing sekundang dari kabupaten OKU dan tari serasan sekundang dari kabupaten Muara Enim yang masing-masing tarian
82
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
lahir dari motto daerah. Oleh karena itu tergeraklah hati beliau menciptakan sebuah tarian yang juga berfungsi menyambut tamu kehormatan yang datang ke bumi serasan seandanan yaitu tari sambut serasan seandanan. Kata serasan seandanan itu sendiri berasal dari bahasa daerah kisam semende yang merupakan motto daerah OKU Selatan yang berarti ‘seiya’ dan ‘sekata’. Motto ini mengandung makna bermasyarakat kabupaten OKU Selatan dalam mencapai tujuan untuk mensukseskan pembangunan diberbagai bidang selalu didasari musyawarah dan dilaksanakan secara gotong royong. Selain Orpen Malhadi sebagai pencipta tari, ada pula orang-orang yang berperan penting dalam proses penciptaan tari serasan seandanan pada saat itu, karena pejabat pemerintah belum ikut andil dalam hal ini. Para seniman daerah itu antara lain: saudara kembar Indani dan Indanis sebagai pemusik, Herli sebagai perancang busana dan Serial Junisman yang juga sebagai pemusik. Penyusunan pola lantai sempat menjadi kendala dalam proses penciptaan tari ini, karena menurut beliau konsep pembentukan pola lantai harus pas dan serasi dengan tema tarian. Akhirnya pola lantai pun dibentuk menyesuaikan dengan filosofi terbentuknya ibukota Muaradua. Nama kota ini berasal dari terbentuk 2 muara sungai, yaitu sungai Saka dan sungai Selabung yang bermuara di sungai Komering. Jadi dapat disimpulkan bahwa nama ibukota Muaradua itu sendiri merupakan pertemuan 2 muara sungai. Sumber dasar gerak tari serasan seandanan adalah gerak tari tradisi yang berangkat dari beberapa tarian tradisi yang dari daerah Muaradua Kisam, yaitu tari besawai, tari Begandai, tari betinjauan, tari junjung, tari elang menarap dan tari besisir. Kabupaten OKU Selatan sendiri sebelum memisahkan diri dari kabupaten OKU dulunya masih menggunakan tari sambut sebimbing sekundang untuk keperluan berbagai acara yang dilakukan oleh pejabat daerah setempat guna menyambut tamu kehormatan yang datang, dan pada saat yang sama pula sebenarnya keberadaan tari serasan seandanan ini sudah ada namun masih menjadi tari sambut hanya di wilayah kecamatan Muaradua Kisam saja. Pada masa itu, tari ini belum bisa menjadi tari sambut OKU Selatan, karena status daerahnya masih dalam wilayah pemerintah kabupaten OKU dan belum mengalami pemekaran. Sebenarnya tarian ini sudah ada sejak sekitar tahun 1989, setelah kabupaten OKU Selatan resmi menjadi kabupaten pada tahun 2004 barulah tari serasan seandanan ini disahkan atau diresmikan sebagai tari sambut oleh pemerintah dan pemangku adat pada tanggal 06 september 2006 bertempat di PUSRI kecamatan Banding Agung. Acara ini diketuai oleh almarhum Thamrin Akib dalam rapat acara “Pemantapan Pemangku Adat” bersama dengan pejabat pemerintah daerah lainnya. Tari serasan seandanan ini pertama kali ditampilkan dalam acara pelantikan bupati pada tanggal 16 september 2006 dihalaman kantor Diknas Pendidikan yang lama. Proses Penciptaan Tari Serasan Seandanan Proses penciptaan tari ini di analisis dengan menggunakan metode Konstruksi tari yang dikemukakan Jaqueline Smith. Pada penelitian ini metode Konstruksi yang dipakai adalah metode Konstruksi I, II, dan III. a) Metode Konstruksi I
83
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Pada bagian ini yang akan dibahas mengenai rangsang, tipe tari dan mode penyajian tari. Rangsang awal penciptaan tari di awali dengan observasi terhadap beberapa tarian tradisional yang sudah ada, lalu beberapa ragam gerak yang diambil mengalami perkembangan dari gerak semula, proses tersebut menghasilkan beberapa ragam gerak yang terangkum dalam bentuk karya tari serasan seandanan secara utuh. Jadi dapat disimpulkan tarian ini terbentuk dari rangsang visual dan kinestetik pencipta tari. Tipe tarian ini dikategorikan sebagai tari dramatik. Dikatakan demikian karena hal yang disuguhkan kepada penonton memiliki daya pikat yang kuat dengan anggungnya si pembawa tepak berjalan menuju tamu kehormatan untuk memberikan suguhan berupa tepak yang berisikan daun sirih, gambir, pinang, kapur, dan tembakau sebagai simbol dari kebahagiaan dan bentuk rasa syukur masyarakat menerima tamu. Posisi pembawa tepak ini menjadi fokus perhatian sebagai tokoh yang menggerakan fungsi dari pada tarian ini, yaitu sajian pertunjukan seni tari yang disuguhkan dan difungsikan menyambut tamu-tamu kehormatan yang datang. Mode penyajiannya tari ini termasuk dalam kategori simbolis, karena tarian ini mengandung makna yang disimbolkan dengan hal-hal yang bersangkutan setiap makna yang ada dalam penyajian tarinya. Terdapat dalam properti tari, yakni kipas yang bermotif siger. Siger dimaksudkan adalah istilah untuk mahkota. 5 motif siger yang terdapat dalam kipas tersebut melambangkan 5 suku adat terbesar yang mendiami wilayah OKU Selatan, yaitu suku kisam, suku aji, suku Daye, suku semende dan suku Ranau. b) `Metode Konstruksi II Menurut Dunlop (dalam Smith, 1985:35) motif gerang adalah pola gerak sederhana, tetapi di dalamnya terdapat sesuatu yang memiliki kapabilitas untuk dikembangkan. Menurut Smith (1985:34) motif harus ada dasar pengembangan logis atau bentuk dasar tari dlam motif awal. Ini telah muncul pada waktu improvisasi melalui pengaruh rangsang, imajinasi artistik penata tari dan interprestasi gerak keduanya. Metode konstruksi II ini, pembahasan karya tari di fokuskan sebagai motif gerak sebagai bahan utama dalam mengembangan gerak tari dan pengulangan gerak sebagai elemen konstruksi. 1) Motif Motif merupakan bola gerak dasar yang dihasilkan penata tari dari rangsangan awalan yang telah di imajinasikan sebelumnya. Setelah menemukan motif gerak, penata tari kemudian menghubungkan motif – motif gerak tersebut menjadi saling berkaitan dimulai dari motif satu ke motif yang lainnya dalam satu ragam gerak tari. Hubungan antar motif tersebut kemudian mengalami pengembangan gerak serta pengulangan gerak untuk memperjelas komponen satu ragam gerak secara utuh. Tari serasan seandanan memiliki 6 ragam gerak antara lain: salam pembuka, tolak arus (ragam gerak inti), ninjau (ragam gerak inti). Dan salam penutup. Jumlah motif yang ada pada tari serasan seandanan sebanyak 33 motif dengan rinian sebagai berikut: gerak salam pembuka terdiri dari 2 motif, gerak tolak arus memiliki 12 motif, gerak ninjau memiliki 6 motif, gerak junjung memiliki 6
84
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
motif, gerak undur udang pincang urungan memiliki 5 motif, dan gerak salam penutup memiliki 2 motif. 2) Pengembangan dan variasi Berikut ini Smith membagi pengembangan dan variasi motif yang terdiri dari 4 sudut pandang yang berbeda: 1) Penggunaan segi aksi, 2) Penggunaan segi effort (pengarahan tenaga, usaha), 3) Pengunaan segi ruang, 4) Penggunaan segi tata hubungan. Pada gerakan tari serasan seandanan dinkembangkan melalui pengembangan dan variasi menggunakan segi aksi. Dikatakan menggunakan segi aksi, karena motif yang dikembangkan dapat diulangi sama persis seperti pola sebelumnya. Pengembangannya menggunakan beberapa bagian tubuh, lalu penambahan aksi tekukan, rentangan dan gerak tangan. Pengmbangan segi aksi ini ditemukan pada ragam gerak tolak arus. Sebelumnya pada gerak tolak arus dilakukan di pada arah hadap kanan dan kiri. Pengembangannya dilakukan pada arah posisi arah hadap depan, yakni terjadi pada rentangan kedua kanan, gerak kedua tangan di perluas pada sisi kanan dan kiri. Posisi kaki dan badan juga berada di arah hadap depan dengan sikap mendhak bersamaan dengan kaki yang ditekuk. 3) Pengulangan Sebagai Elemen Konstruksi Menurut konsep pengulangan Smith, ada beberapa konsep yang dipakai untuk penata tari guna melakukan proses pengulangan gerak sebagai elemen konstruksi tari. Smith (1985:40-41) kata “pengulangan” berati sesuatu yang sama persis sama lagi. Menurut Smith, pengulangan menjadi elemen konstuksi yang apabila dijabarkan terdiri atas : 1) Pernyataan kembali atau pengulangan kembali secara persis., 2) Penguatan kembali dengan membuat bagian atau keseluruhan gerak, 3) Gema ulang , 4) Re-kapitulasi, 5) Revisi, 6) Mengingat kembali (recall), 7) Mengulang kembali (reterate). Untuk gerak tolak arus terjadi pengulangan sama persis seperti gerak sebelumnya namun terjadi diarah hadap depan, yaitu pengulangan pada fokus rentangan tangan yang melebar disisi kanan atau kiri penari. Gerak ninjau mengalami pengulangan sama seperti gerak intinya sebanyak 1 kali di arah hadap kiri atas dan gerak penjeda undur udang pincang urungan juga mengalami pengulangan sama persis seperti gerak intinya sebanyak 3 kali di arah hadap kanan dan 2 kali di arah kiri secara bergantian antara gerakan dibagian kanan dan kiri. 4) Metode Konstruksi III Pada bagian ini membahas tentang penempatan dan wujud kelompok serta motif pengembangan dan variasi meliputi aspek ruang dan waktu. a) Penempatan wujud kelompok Pada tari serasan seandanan, penempatan dan wujudnya berada dalam kelompok yang membentuk busur panah. Setiap penari ditempatkan pada posisi masing-masing-masing posisi dan fungsi dalam pementasan tarinya. Wujud kelompok ini diartikan untuk membuat gerak tarian yang dinamis memiliki mana serta memberikan efek yang indh dan bagus terhadap penonton. b) Aspek waktu dan ruang 85
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Aspek waktu dijabarkan Smith dla rapak dan selang-seling. Rapak yang berarti gerakan yang dilakukan sama dalam kelompok (Smith 1985:51). Selangseling berarti bahwa pada waktu tertentu salah satu bagian diiuti oleh bagian yang lain. Banyaknya waktu yang dibutuhkan bagian tertentu tersebut dapat dilakukan berbagai variasi. Tari serasan seandanan membutuhkan ruang bagi penarinya untuk bergerak. Jarak antar penari dalam melakukan gerak adalah sebatas rentangan tangan penari yang menggunakan kipas, lalu pada bagian kaki juga bergerak namun tidak melalmpaui batas ruang gerak tangan. Ragam gerak tari serasan seandanan terdiri dari, gerak salam pembuka, gerak tolak arus, gerak ninjau, gerak junjung, gerak undur udang pincang urungan, dan gerak salam penutup. Setiap gerakan diawali dengan gerak penghubung yang menghubungkan ragam geerak satu ke ragam gerak yang lainnya. Pola lantai menggunakan bentuk panggung proscenium stage. Makna gerak tari serasan seandanan, salam pembuka dan salam penutup memiliki makna sebagai wujud atau sikap dari rasa hormat dan kebahagiaan masyarakat terhadap tamu kehormatan yang datang ke bumi serasan seandanan. Gerak tolak arus adalah simbol dari keberadaan wilayah OKU Selatan yang secara geografis berada di ulu sungai dan ulu arus. Hal ini dimaksudkan bahwa simbol gerak tolak arus berguna untuk menghalangi atau melawan hal-hal yang tidak baik yang akan datang menghampiri artinya bahwa masyarakat OKU Selatan jika igin melakukan sesuatu harus ditinjau terlebih dahulu agar tidak salah langkah. Gerak junjung kaum wanita selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat dirinya dan keluarganya dengan simbol gerakan menjunjung kedua tangan di atas kepala. Gerak undur udang pincang urungan bermakna bahwa wanita yang diliputi rasa was-was dengan simbol gerak yang maju mundur. Maksudnya wanita harus berhati-hati dalam bertindak agar tidak merugikan diri sendiri maupung orang lain. Properti tarian menggunakan kipas, tombak, payung, tepak. Tata rias penari menggunakan tata rias cantik. Busana tarian dinamakan kawai. Kawai adalah pakaian adat tradisional suku daye. Busana kawai terdiri dari kanduk (penutup kepala), baju kawai, kain kawai, selendang kawai, selendang pelangi dengan penambahan aksesoris. Properti tarian menggunakan kipas sebagai properti utama yang dipakai dikedua tangan penari, kipas ini dinamakan siger, tombak ini memiliki simbol keamanan dan kekuatan yang ada dalam diri, payung melambangkan keagungan dan keteduhan, serta tepak yang merupaka sarana utama sebagai bentuk penghormatan. Dalam tepak 7 lembar sirih, 5 lembar gambir, 3 siung pinang, kapau dan tembakau secukupnya. Musik pengiring tari serasan seandanan bergenre melayu, dengan alat musik antara lain: akordion, gendnag borda, gong dan kulintang, jimbe dn tambor (drum). KESIMPULAN Tari serasan seandanan merupakan tarian yang berasal dari kabupaten OKU Selatan dan diciptakan oleh Orpen Malhadi. Fungsi tarian ini adalah untuk menyambut tamu kehormatan yang datang menginjakkan kaki di bumi serasan seandanan. Hasil penelitian diperoleh bahwa ide tarian ini menggunakan rangsang visual dan kinestetik, tipe tari ini adalah tari dramatik, mode penyajiannya adalah mode simbolik. Ragam geraknya terdiri dari salam pembuka, tolak arus, ninjau, junjung, undur udang pincang urungan dan salam penutup. Tari serasan seandanan 86
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
memiliki 33 motif gerak. Adapun rincian sebagai berikut: gerak salam pembuka terdiri dari 2 motif, tolak arus memiliki 12 motif, gerak ninjau memiliki 6 motif, gerak junjung memiliki 6 motif, gerak undur udang pincang urungan memiliki 5 motif, dan gerak salam penutup memiliki 2 motif. Pola lantainya menggunakan proscenium stage. Pendukung tarian terdiri dari 4 bagian, yaitu para penari, pembawa tepak, pemegang tombak dan pembawa payung. Busana tarian dinamakan kawai, properti tarian yang dipakai terdiri dari tepak dan kipas bermotif siger, tombak, dan payung. Musik pengiring tarian bergenre melayu, alat musik terdiri dari akordion, gendang borda, gong dan kulintang, jimbe serta tambor (drum). Sampai saat ini keberadaan tari serasan seandanan masih terus dilestarikan sebagai salah satu ikon kesenian yang khas dari OKU Selatan. Daftar Pustaka Buklet Tim Penggerak Pemerdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten OKU Selatan. Meri, La. 1975. Komposisi Tari, Elemen-elemen Dasar. Yogyakarta: Laligo. Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sedyawati, Edi. 1984. Tari Tinjauan dari Berbagai Segi. Bandung: Pustaka Jaya. Smith, Jacqueline. 1985. Komposisi Tari Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru. Yogyakarta: Ikalasti Yogyakarta. Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Institut Tekhnologi Bandung.
87
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
JEPIN LANGKAH SIMPANG KOTA PONTIANAK Dwi Oktariani 23 Oktober 1993 Jl. Kapten Abdul Hamid Panorama no 45 RT 3, RW 1, kec. Cidadap Kota Bandung 40153 Program Studi Pendidikan Seni, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi kurangnya minat masyarakat terhadap kesenian tradisi, satu di antaranya yaitu Tari Jepin Langkah Simpang yang berkembang di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bentuk penyajian dan struktur gerak tari tersebut. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan bentuk kualitatif, melalui pendekatan etnokoreologi. Data penelitian adalah hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi dari para seniman sebagai narasumber. Bentuk penyajian musik iringannya berupa musik Melayu, permainan alat musik beruas harus serasi dengan gerak kaki penari, penari harus memiliki konsentrasi tinggi. Syairnya berisi nasihat, pantun, dan pujipujian untuk orang yang membuat gawai. Tema tari rakyat ini bersifat non literer. Wanita dan pria menggunakan pakaian adat khas Melayu. Fungsi tarian ini ialah sebagai tari hiburan serta terdapat tiga gugus gerak utama yang dihubungkan dengan gerak tahto. Kata kunci : Bentuk Penyajian Tari, Jepin Langkah Simpang, Pontianak. Abstract This research is motivated by the lack of public interest in the arts tradition, one of them is Jepin Langkah Simpang growing in Pontianak, West Kalimantan. The purpose of this study was to examine the form of presentation and the structure of dance. The method used is descriptive analysis with qualitative form, through etnokoreologi approach. The research data is the result of observation, interviews, and documentation from artists as a informant. Form of presentation of musical accompaniment in the form of Malay music, which play a musical instrument should be in harmony with the segmented footwork dancers, dancers must have a high concentration. Poem contains advice, rhymes, and praise for the people who make the device. This folk dance theme is non literary. Women and men use the traditional Malay outfit. The function of this dance is an entertainment, there are three main groups of motion associated with the motion tahto. Keywords : form of dance presentasion, Jepin Langkah Simpang, Pontianak. Pendahuluan Berangkat dari minimnya kesadaran masyarakat atas warisan budaya yang telah ditinggalkan bahkan tidak pernah didengar lagi, serta kurangnya pendokumentasian akan pewarisan budaya nusantara yang dapat menjadi referensi ilmu kajian seni tradisional nusantara. Artikel ini merupakan artikel hasil penelitian
88
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Dwi Oktariani mengenai tari Jepin Langkah Simang di Kota Pontianak Kalimantan Barat pada tahun 2015 mengenai Analisis Struktur Gerak Tari Jepin Langkah Simpang di Kota Pontianak Kalimantan Barat.. Seni tari juga menunjukan sebuah identitas dari penciptanya atau koreografernya, dimana mencakup masalah-masalah pendukung terciptanya sebuah karya tari. Setiap penciptaan sebuah karya seni tari, tentunya memiliki latar belakang yang kuat yaitu pola masyarakatnya, bagaimana letak geografisnya, filosofi pembentuk sebuah kesenian itu tercipta, sejarah, antropologi, dan latar belakang pendukung lainnya. Sebuah karya tari tradisional juga erat hubungannya dengan tingkah laku, khususnta menandai peralihan tingkatan kehidupan seseorang, baik secara individu maupun dalam kelompok masyarakat. Sejalan dengan perkembangan dan peradaban, budaya dan sistem keyakinan berubah. Seni pertunjukan, khususnya seni tari juga mengalami perkembangan hingga saat ini. Seni gerak ini perlahan-lahan mengalami perubahan bentuk, yakni gerakan-gerakan badan yang teratur dalam ritme dan ekspresi yang indah, yang mampu menggetarkan perasaan manusia. Penelitian seni tari merupakan sorot utaman dalam menganalisis tari-tari tradisional di Indonesia yang berangkat dari perbedaan etnis-etnis yang ada. Etnokoreologi yang mulai diperkenalkan di Indonesia sejak akhir abad ke-20 merupakan pengganti istilah Barat yang lazim disebut sebagai etnologi tari Etnokoreologi merupakan pendekatan multidisiplin karena mencakup aspek-aspek tekstual dan kontekstual dalam penelitian, istilah ini juga sering disebut sebagai ilmu yang mengkaji tari berdasarkan etnis. Penelitian seni tari kali ini menggunakan pendekatan etnokoreologi karena meneliti sebuah tarian yang berangkat dari suatu etnis tertentu yaitu etnis Melayu Kalimantan Barat. dengan mengangkat bentuk penyajian tari Jepin Langkah Simpang. Penelitian ini menganalisis bentuk penyajian tari Jepin Langkah Simpang. Pendekatan kepada masyarakat yang masih melestarikan kesenian tari tersebut menjadi sorot utama dalam mendapatkan informasi dan data-data untuk dianalisis lebih lanjut, karena tarian ini adalah tarian asli masyarakat Melayu Pontianak, dan masih ditarikan beberapa kali oleh seniman setempat, namun keeksistensiannya dan penyebarannya masih belum maksimal dalam penyebarluasannya. Artikel ini bertujuan untuk berbagi informasi akan bentuk penyajian dan struktur gerak tari yang dimiliki tari Jepin Langkah Simpang itu sendiri guna memperkenalkan kebudayaan nusantara. Tari Jepin Langkah Simpang merupakan tari tradisi suku Melayu yang berkembang di Kota Pontianak Kalimantan Barat. Tarian ini merupakan tari rakyat yang berfungsi sebagai tari hiburan. Menurut Soedarsono ( 1978:12) tari tradisional ialah semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama, yang selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada. Tari rakyat menurut Soedarsono (1978:13) adalah hasil garapan rakyat yang masih tetap sederhana dan banyak berpijak pada warisan seni tradisionil. Tari Jepin Langkah Simpang dikatakan tari tradisional karena tari tersebut merupakan tarian yang cukup lama berkembang sampai saat ini sebagai warisan budaya yang turun temurun dari leluhur. Tarian ini merupakan tari rakyat karena tumbuh dan berkembang dikalangan rakyat, dimana gerakan-gerakannya masih berpijak pada gerak-gerak khas tari suku Melayu. Arti kata simpang sendiri berarti berbelok, memisah, atau bercabang. Tari Jepin Langkah Simpang menjadi lebih apik dan enak untuk ditonton, ditambah lagi dengan syair yang penuh nasihat
89
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Tari Jepin tradisi yang berkembang di Kota Pontianak memiliki berbagai macam langkah tari. Satu diantaranya ialah langkah simpang, yang dikembangkan menjadi sebuah tari Jepin. Dapat dikatakan tarian ini sangat menarik karena bentuk gerak langkah kakinya dengan arah bersimpang-simpang. Penari harus memiliki konsentrasi tinggi karena gerak langkah kaki penari bergantung pada irama dari beruas yang dipukulkan para pemain musik. Menurut Yusuf (70), Tari Jepin Langkah Simpang telah berkembang di kota Pontianak sekitar tahun 1960. Tari Jepin Langkah Simpang berfungsi sebagai tarian hiburan masyarakat. Tarian ini sering dibawakan pada acara-acara formal maupun non formal. Dimana dari segi gerak, tidak meninggalkan gerakan khas dari gerak Jepin yaitu banyaknya pergerakan kaki dengan menitikan tumit di awal gerakan. Pada jaman dahulu penari tari Jepin hanyalah pria, seiring perkembangan zaman pada tahun 1960an wanita juga turut menarikan tarian tersebut. Fungsi tari Jepin pada mulanya sebagai media dakwah atau syiar agama Islam, terlihat dari syair-syair yang dibawakan dalam musik pengiring tari Jepin yang berisikan sejarah nabi dengan segala perbuatan baiknya yang patut diteladani sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain sebagai media dakwah, Tari Jepin juga merupakan suatu hiburan dan tontonan bagi masyarakat. Pada mulanya Tari Jepin Langkah Simpang juga sebagai sarana dalam penyebaran agama Islam, karena syair-syair dalam musik iringannya mengandung puji-pujian terhadap kebesaran Allah SWT dan teladan sikap Rasulullah SAW. Bukan hanya itu syair-syairnya juga berisi tentang nasihat, pantun jenaka dan puji-pujian untuk yang mempunyai hajatan. Saat ini tari Jepin Langkah Simpang berfungsi sebagai tari hiburan masyarakat, dimana tarian ini sering ditampilkan untuk mengisi acara baik acara formal maupun nonformal. Tari Jepin Langkah Simpang memiliki keunikan pengembangan gerak kaki dari setiap gerak langkah simpang, hingga membentuk ragam gerak satu, dua, dan tiga yang sangat menarik untuk dikupas. Struktur gerak tari dapat dilihat dari beragamnya motif gerak yang terbentuk dari gerakan kepala, tubuh, tangan dan kaki yang digabungkan hingga menjadi sebuah tarian. Bentuk sajian berhubungan dengan berbagai ragam gerak tari yang memiliki makna tari sebagai media komunikasi antara penari dan penonton sehingga penonton dapat menikmati, mengamati, dan memaknai gerakan tari yang ditampilkan oleh penari. Bentuk sajian dapat dilihat dari elemen-elemen komposisi tari yaitu: tema, gerak, desain atas, desain bawah, musi iringan, tata rias, busana, dan tempat pertunjukan. Tari Jepin Langkah Simpang merupakan tarian yang diwariskan secara turuntemurun oleh orang-orang terdahulu. Tari ini sempat berjaya di tahun 1960an dan 1970an. Seiring perkembangan zaman gerak Langkah Simpang yang awal mulanya sangat sederhana, dikembangkan dan diperhalus pada tahun 1960an. Tari Jepin Langkah Simpang sempat tidak pernah ditarikan lagi sekitar tahun 1980an – 2000an. Keinginan untuk bisa mendokumentasikan ragam gerak tersebut dalam sebuah tulisanpun tertuang dalam penelitian ini. Fungsinya agar dapat digunakan dan memudahkan pembaca yang belum pernah melihat tari Jepin Langkah Simpang itu sendiri. Penulis juga berharap jika generasi penerus ingin mengembangkan tari tersebut, mereka tidak akan terlepas jauh dari pola-pola garapan tradisi yang dimiliki oleh Tari Jepin Langkah Simpang. Penulisan notasi tari dengan Laban Notation menjadi cara dalam penulisan pendokumentasian, jadi tidak hanya mendeskripsikan
90
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
gerakan-gerakan tersebut dengan kalimat, namun juga dituliskan dalam bentuk notasi tarinya agar dapat dimengerti tidak hanya untuk masyarakat Indonesia, namun juga masyarakat dunia dimana notasi tari merupakan penulisan gerak tari yang telah dimengerti dalam skala internasional. Penelitian ini memiliki daya guna bagi repertoir khasanah budaya lokal agar dapat memberikan kontribusi bagi pengayaan seni tradisional untuk kegiatan pengembangan bahan apresiasi seni bagi masyarakat akademis dan non akademis. Diharapkan pula penelitian ini dapat diimplementasikan pada pembelajaran seni budaya dan keterampilan dalam kurikulum yang sedang berlaku. Tari Jepin Langkah Simpang adalah satu diantara contoh tari tunggal daerah setempat yang ditampilkan secara berkelompok dan berkembang di Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Tari ini dapat dipelajari dan dilestarikan oleh sekolah-sekolah di seluruh daerah Kalimantan Barat. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan mengimprestasikan objek penelitian dengan apa adanya. Pendekatan ini dilakukan untuk membahas tentang permasalahan yang menyangkut dengan bentuk analisis bentuk penyajian tari Jepin Langkah Simpang. Bentuk penelitian kualitatif digunakan oleh peneliti karena ingin mendeskripsikan data secara apa adanya dilapangan. Menurut Sugiyono (2012:60) dalam penelitian kualitatif segala sesuatu akan dicari dari objek penelitian belum jelas dan pasti masalahnya, sumber datanya, hasil yang diharapkan semuanya belum jelas. Rancangan penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian memasuki objek penelitian. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif “the researches is the key instrumen”. Jadi penelitian merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif. Tujuan penelitian seni adalah memahami, mendeskripsikan, menemukan teori, dan bahkan dapat juga memunculkan hipotesis baru berkenaan dengan seni yang dipandang sebagai suatu fenomena (Rohidi, 2011:74). Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan etnokoreologi yaitu peneliti berasumsi bahwa penelitian ini adalah khas milik etnik Melayu dan terfokus pada bagian atau lapis teks dan konteks tarinya. Analisis tekstual merupakan analisis tari tentang hal-hal yang bisa dilihat secara langsung diantaranya, gerak, busana, rias, musik Tari Jepin Langkah Simpang. Menurut Soedarsono (2001:15) etnokoreologi merupakan penelitian kombinasi antara penelitian tekstual yang sampai lengkap dengan analisis geraknya yang menggunakan Labanotation, serta penelitian kontekstual yang menekankan pada aspek kesejarahan, ritual, psikologi, phisiognomi, filologi, dan linguistik, bahkan juga perbandingan. Kajian etnokoreologi merupakan sebuah pendekatan yang multidisiplin, karena etnokoreologi banyak menerapkan teori-teori dari berbagai disiplin, baik disiplin sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, ikonografi, phisiognomi, dan sudah barang tentu juga semiotik pertunjukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik observasi, teknik wawancara, dan pendokumentasian. Teknik ini digunakan untuk melengkapi data-data hasil observasi, wawancara serta untuk mempertimbangkan 91
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
keraguan dalam proses penganalisaan data, sehingga seluruh peristiwa yang berkenaan dengan data yang disampaikan informan dapat dilihat dengan melihat hasil foto-foto, video serta rekaman suara saat melakukan wawancara dan observasi. Peneliti telah mendokumentasikan musik dengan cara merekam ulang dengan teknologi modern agar menghasilkan kualitas musik yang lebih baik. Setelah itu, peneliti juga mendokumentasikan tarian tersebut dalam bentuk video. Penelitian ini menggunakan jenis triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Dalam penelitian ini menggunakan sistem triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Sugiyono (2013:127) triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi teknik menurut Sugiyono (2013:127) untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Pedoman observasi, pedoman wawancara serta pengambilan gambar dan foto juga digunakan saat penelitian di lapangan. Peneliti melakukan wawancara kepada Yusuf Dahyani pada tanggal 5 September 2014. Dari wawancara tersebut peneliti mendapatkan informasi tentang Bentuk sajian pertunjukan Jepin Langkah Simpang di Kota Pontianak. Peneliti selanjutnya mewawancarai Syarif Ahmad pada 21 September 2014. Peneliti menanyakan informasi tentang pelaku tari, busana, tata rias, tempat pertunjukan dan musik yang mengiringi Tari Jepin Langkah Simpang. Sumber data dalam penelitian ini adalah informan sebagai penari tari Jepin Langkah Simpang yang mengetahui, menguasai, dan memahami tari tersebut. Peneliti juga mendatangi Untung pada hari yang sama untuk mencari informasi tentang perkembangan tari di Pontianak, khususnya Tari Jepin Langkah Simpang. Peneliti kemudian mewawancarai Anwar Djafar yang merupakan seniman aktif yang masih aktif mengiringi Tari Jepin Langkah Simpang pada tanggal 20 September 2014, peneliti mencari informasi tentang musik iringan, gerak tari, serta kostum. Dari wawancara-wawancara tersebut peneliti mendapatkan informasi tentang bentuk sajian pertunjukan tari Jepin Langkah Simpang di Kota Pontianak. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bentuk Sajian Tari Jepin Langkah Simpang di Kota Pontianak Kalimantan Barat Tari Jepin Langkah Simpang merupakan sebuah sajian tari yang ditarikan oleh penari dengan jumlah maksimal 10 orang. Tari Jepin Langkah Simpang dapat ditarikan dengan penari yang berjumlah genap maupun ganjil. Tarian ini merupakan tari tunggal, karena tidak ada keterkaitan gerak antara satu penari dan penari lainnya, maka dari itu tarian ini juga dapat ditarikan sendiri. Tari ini pada awalnya ditarikan oleh pemuda atau kaum pria dewasa saja. Hingga mengikuti perkembangan zaman sekitar tahun 1960an tarian ini sudah mulai ditarikan oleh kaum pria dan wanita. Dapat dikatakan tarian ini sangat menarik karena bentuk langkah kakinya yang sedikit bersimpang-simpang. Menurut Yusuf Dahyani (70), awal mula terbentuknya langkah simpang di desa Tanjung Bunga Paloh kecamatan Teluk Pa’kedai. Tarian-tarian Jepin dibawa oleh Unggal Jaiz dan Ibun Talibun, yang merupakan guru dari Dahyani yaitu ayahanda Yusuf Dahyani selaku narasumber. Pada suatu hari ada enam orang
92
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pemuda yang sedang mencari kelapa, salah seorang diantara pemuda itu tanpa sengaja berjalan dengan bentuk langkah kaki yang bersimpang-simpang. Dan para pemuda lainnya mengganggap langkah kaki tersebut unik, dan mereka memutuskan untuk membuat sebuah langkah Jepin yang disebut Langkah Simpang. Diceritakan pula saat itu mereka mendatangi sebuah acara seni yang memainkan musik-musik khas tari Jepin, saat itu salah satu pemuda menarikan langkah tari simpang yang telah ia dapat dengan diiringi musik. Para pemuda yang bermain musik pun mulai menemukan pukulan atau tabuhan yang pas untuk gerak kaki pada tari Jepin Langkah Simpang, sejak saat itu langkah simpang diberi nama sebagai tari Jepin Langkah Simpang yang masih sangat sederhana. Tari Jepin Langkah Simpang berfungsi sebagai tarian hiburan masyarakat. Tarian ini sering dibawakan pada acara-acara formal maupun non formal, seperti peresmian Penanaman Tiang Pertama Mesjid Jami Kota Pontianak, festival-festival budaya, acara pernikahan, selamatan,khitanan dan lain-lain. Berdasarkan hasil wawancara Menurut Yusuf Dahyani (70) “tari Jepin Langkah Simpang diperkirakan muncul sebelum jaman Kemerdekaan di Teluk Pa’Kedai. Jaman dulu banyak terdapat nama-nama langkah tari, seperti langkah simpang,langkah bujur, langkah gersik,langkah serong,pancar bulan, susun sirih, selendang. Tari lainnya yang berkembang yaitu tari jepin Bintang, jepin Jerangkang, jepin Tali Buih, Jepin anyaman pukat, tari jepin Rotan 3, Tari Jepin Rotan 4,tari Jepin Rotan 5,6, 12, jepin Tembung panjang, jepin Tembung 4 pendek, dan Jepin Pecah 5. Langkah tari Jepin banyak berkembang di daerah Kalimantan Barat hampir setiap tempat mempunyai ciri khas gerak langkah jepinnya masing-masing. Makna Tari Jepin Langkah Simpang merupakan sebuah tari Hiburan masyarakat. Dari ke tujuh jenis langkah Jepin tersebut memiliki ciri khas atau karakter sesuai dengan tema/cerita tari”. Tarian ini tidak menggunakan properti tari. Menurut Soedarsono (1978:21), Eelemen-elemen pokok bentuk sajian tari yaitu gerak tari, desain lantai, desain atas, desain dramatik, musik, tema, rias dan busana, tempat pertunjukan dan perlengkapan tari. Elemen-elemen pokok dalam bentuk sajian tari tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1.
Gerak tari Gerak Tari Jepin Langkah Simpang sebagian besar merupakan gerak murni yang tidak memiliki arti khusus dan hal terpenting dalam gerak tersebut ialah keindahan gerak tarinya. Soedarsono (1986:105) Gerak murni ialah gerak yang digarap sekedar untuk mendapatkan bentuk yang artistik dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan sesuatu. Gerak maknawi menurut Soedarsono (1978:17) gerak tari yang telah distilisasi dan mengandung arti di dalam dunia. Gerak maknawi yang terdapat dalam tari Jepin Langkah Simpang yaitu gerakan Tahto yang merupakan gerak sembah atau penghormatan pada penonton. Pada jaman dahulu tarian ini pernah dibawakan dalam acara-acara yang diadakan oleh raja Kota Pontianak. Pada masing-masing gugus gerak memiliki desain lantai atau floor design. Desain lantai adalah pola yang dilintasi oleh gerak-gerak dari komposisi si atas lantai dari ruang tari ( Meri, 1975:4). Desain atas atau air design adalah desain yang berada
93
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
di udara di atas lantai, yaitu desain yang dilihat oleh penonton, terlintas pada backdrop (Meri, 1975:9). Struktur penyajian gerak Tari Jepin Langkah Simpang yaitu pertama-tama disebut gerak Tahto atau penghormatan,dilanjutkan dengan ragam pertama, ragam kedua dan ragam ketiga. Keunikan lainnya dari rangkaian geraknya ialah tahto yang ditarikan setiap perubahan ragam dari ragam satu ke ragam berikutnya hingga keragam yang terakhir. Tahto merupakan gerakan penyambung antar ragam yang merupakan gerakan ciri khas dari Jepin-jepin tradisi. Penari harus memiliki konsentrasi tinggi karena gerak langkah kaki penari bergantung pada irama dari beruas yang dipukulkan para pemusik. Pada Tari Jepin Langkah Simpang gerak tarinya terdiri dari tiga bagian yaitu awal, tengah dan akhir. Dari ketiga bagian tersebut terdapat juga gerak pokok, gerak khusus, dan gerak peralihan. Pada gerak Tari Jepin Langkah Simpang, masih mempertahankan tata krama. Maka dari itu gerak tangan pada tarian ini tidak menggunakan banyak bentuk gerak tangan yang membuka dengan ruang yang besar. Suharto (dalam Putraningsih, 2007:11) menguraikan bagian terkecil merupakan bagian dari yang lebih besar dengan menggunakan istilah motif, frase, kalimat, gugus, dan bagian tari. Pada Tari Jepin Langkah Simpang struktur tarinya terdiri dari tiga bagian, yaitu gugus pertama, kedua, dan ketiga dimana masing-masing gugus di hubungkan dengan gerak tahto sebagai cirikhas dari Tari Jepin. Menurut Yusuf Dahyani (70) gerakan awal dan penutup atau gerak masuk dan keluar dapat dikreasikan sesuai iringan beruas, gerak intinya hanya gerak pertama kedua dan ketiga yang dihubungkan dengan tahto. Kebutuhan penampilan seperti pola lantai, lintasan saat membentuk pola lantai, tambahan selang seling maupun canon dapat dibubuhkan dalam tarian ini asal tidak merubah ragam gerak satu,dua, dan tiga yang telah ada menurut Yusuf Dahyani (70). Tidak ada makna khusus dalam setiap gerak tari Jepin Langkah Simpang, kata simpang atau cabang terlihat dalam gerakan simpang 1 dan simpang 2 dimana gerak tersebut membuat penari merubah arah hadapnya, dari lintasan gerak tersebut terlihat seperti sebuah cabang. Struktur gerak Tari Jepin Langkah Simpang di bagi menjadi empat bagian, yaitu motif, frase, kalimat gerak atau ragam gerak, dan gugus hingga membentuk suatu kesatuan yang disebut Tari Jepin Langkah Simpang itu sendiri. Dalam penulisan gerak, ada beberapa media yang dapat digunakan seperti notasi Laban dan gambar. Pada penelitian ini media yang digunakan dalam penulisan gerak adalah gambar, dengan deskriptif dan bantuan notasi Laban. Media yang dipilih peneliti bertujuan agar gerak dapat lebih dimengerti dan dipahami oleh peneliti maupun pembaca, sedangkan notasi Laban untuk memastikan kembali kebenaran deskriptif gambar yang di tulis oleh peneliti. Penamaan dalam penelitian ini peneliti tetapkan agar memudahkan pembaca untuk mengelompokan nama ragam geraknya, nama ragam gerak asli dari narasumber hanyalah tahto dan gerak sempring. Gugus Duduk Pembuka digunakan untuk memulai tari Jepin duduk pembuka merupakan gerak sebelum tahto dan gugusgugus gerak inti. Duduk pembuka merupakan gerak setelah gerak pembuka, dimana gerak pembuka menurut narasumber Yusuf Dahyani merupakan gerak yang dapat dikreasikan sesuai ketukan pada beruas. Maka dari itu peneliti tidak membakukan gerak pembuka, dan memulainya dari gerak duduk awalan. Gerak terseut diawali
94
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
dengan duduk yang bertumpuan pada kaki dan tangan kanan berada di atas lutut, tangan kiri memegang daerah pangkal paha. Gerak duduk awalan diartikan seperti memberi hormat kepada penonton. Gerakan ini dengan hitungan 1 x 8 tempo lambat, pada hitungan ke 8 kaki yang dijinjit diturunkan. Setelah gerak duduk awalan di sambung dengan gerak tahto. Gugus duduk pembuka memiliki desain asimetris, bersudut, lantai dan bawah. Gugus Tahto sebagai gerakan awal pada setiap gugus dari tari Jepin Langkah Simpang setelah gugus gerak sebelumnya selesai. Maka dari itu, peneliti tidak mematenkan gerak masuk atau pembuka. Tahto menjadi awal serta penyambung dari setiap gugus gerak lainnya. Tahto memiliki tiga macam gerak, tahto pertama berputar sembari bertepuk tangan pada hitungan 1x4 dan dilanjutkan gerakan yang sama dengan lintasan lurus 1x4 dan ditutup dengan sembah pada hitungan 1x2. Tahto ke dua dan ketiga sama dengan gerakan tahto sebelumnya yaitu bertepuk sembari mengangkat satu kaki, di awali kaki kiri, dilanjutkan pada tepukan kedua dengan mengangkat kaki kanan. Tepukan pada tahto dua dan tiga sebanyak 3 kali, dengan hitungan 7 dan 8 sembah. Langkah kaki pada tahto harus selaras dengan pukulan beruas. Gugus tahto memiliki desain lantai lurus dimana pola lantai yang digunakan bebas, penari dapat membentuk pola lantai sesuai dengan keinginan penari tanpa adanya keterikatan ketentuan tertentu. Desain atas yang pada gugus tahto yaitu balance, simetris, asimetris, rotasi, balance, medium, bawah, dan bersudut. Gugus satu merupakan gerakan inti dalam tari Jepin Langkah Simpang dan dilakukan setelah tahto pertama. Gerak pada gugus satu dimulai dengan langkah awalan sebanyak 2 kali. Gerak awalan merupakan gerak langkah awalan pada setiap gugus setelah tahto. Penari berdiri sambil melakukan gerak awalan diawali tangan kanan didepan, kaki kiri menitik dengan tumit hingga hitungan dua, dilanjutkan dengan berjalan mundur dan maju, tangan mengikuti kaki dengan jari-jari menggenggam kedalam. Setelah itu mengayunkan badan sembari melangkah ke kiri dan ke kanan, dilanjutkan dengan gerak nitik, simpang 1, nanggok 1, sempring 1, dan ditutup dengan ayun. Gerakan nitik hingga ayun diulang sebanyak enam kali, ditutup dengan gerak penutup tahto pada hitungan 1-2. Pada gugus pertama, gerak-geraknya mengandung desain lantai garis lurus, karena lintasan gerak penari ke arah depan, ke belakang, ke samping atau serong. Pada gugus pertama, lintasan gerak tarian aslinya merupakan langkah-langkah dengan arah bujur. Pola lantai pada gugus pertama boleh dalam bentuk bebas, baik bentuk V, T, vertikal, horizontal, maupun lingkaran. Desain atas yang terdapat pada gugus pertama yaitu desain bersudut, balance, medium, asimetris, simetris, dalam. Gugus 2 merupakan gugus tengah dari tari Jepin Langkah Simpang, gugus ini diulang hingga tujuh kali. Setiap gugus diiringi dengan syair yang berbeda. Syair yang digunakan berjudul mengenal seni, dimana berisikan nasihat-nasihat. Pada gerakan di gugus 2 ini banyak lintasan yang dilalui penari yang bersimpang-simpang atau bercabang-cabang. Gugus dua dimulai dengan langkah awalan sebanyak 2 kali, gerak nitik simpang 1, nanggok 1, sempring 1, putaran nanggok, kembali ke nanggok 1, sempring 1, simpang 1. Gerakan tersebut diulang sesuai dengan panjang iringan musik ditandai dengan syair yale dan ditutup dengan gerak penutup gugus. Desain lantai yang dimiliki gugus ke dua, sama dengan desain lantai gugus pertama. Pada
95
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
gugus kedua memiliki desain atas yang dimiliki diantaranya desain bersudut, balance, medium, asimetris, simetris, dan dalam. Gugus 3 merupakan gugus terakhir dalam tari Jepin langkah Simpang, gerakan awal tetap diawali dengan tahto dan langkah awalan. Gerakannya merupakan pengembangan gerak di gugus 1 dan 2. Terdapat gerak nanggok 2, nanggok 3, sempring 3, nanggok 4, simpang 2 dan gerakan penutup. Gugus tiga diawali dengan langkah awalan yang diulang sebanyak dua kali, dilanjutkan dengan gerak nitik dan nanggok 2 yang berlawanan arah dengan nanggok 1. Setelah nanggok dua, terdapat gerak simpang 1 yang merubah arah hadap penari sehingga membentuk cabang dari lintasan tarian tersebut, dilanjutkan nanggok 3 yang merupakan pengembangan gerak nanggok sebelumnya. Setelah itu terdapat Sempring 3 yang merupakan pengembangan dari gerak sempring, dilanjutkan dengan nanggok 4 yang merupakan gerak nanggok 2 dengan hitungan yang berbeda. Rangkaian gerak pertama menghadap ke penonton sedangkan rangkaian gerak berikutnya membelakangi penonton, setelah itu kembali menghadap penonton dan begitu seterusnya. Gerakan ini di ulang sesuai dengan panjang musik iringan dengan ketentuan sama dengan gugus-gugus sebelumn. Diakhiri dengan gerak penutup, dan tahto yang di ulang tiga kali dengan lintasan yang bebas. Arah hadap, lintasan pola lantai dan tambahan canon atau selang seling dalam gugus tiga sama dengan ketentuan pada gugus satu dan dua, boleh di kreasikan tetapi tidak merubah ragam gerak yang telah ada. Desain lantai yang dimiliki gugus ke tiga, sama dengan desain lantai gugus pertama dan kedua. Pada gugus ketiga, desain atas yang dimiliki di antaranya desain bersudut, medium, asimetris, simetris, balance, dan dalam. 2.
Tema Tema dalam Tari Jepin Langkah Simpang dekat dengan peristiwa kehidupan manusia. Menurut Yusuf Dahyani (70) pada wawancara tanggal 5 September 2014, Tari Jepin Langkah Simpang pada awalnya hanyalah gerakan kaki dengan lintasan menyimpang-nyimpang oleh beberapa pemuda yang sedang mengambil buah ke hutan, dirasa unik karena gerak kaki yang menyimpang-nyimpang maka dibuatlah tarian tersebut. Menurut Sumaryono (2006:43) tema literer adalah yang penggambarannya seolah bercerita, pengungkapan gerak-geraknya naratif, karena mengandung suatu lakon yang ingin diungkapkan. Peneliti mengambil kesimpulan dari hasil wawancara dan analisis bahwa tari Jepin Langkah Simpang memiliki tema non-literer. Dikatakan non-literer karena gerak-gerak dan alur cerita pada tari Jepin Langkah Simpang diolah berdasarkan penjelajahan dan penggarapan keindahan unsur-unsur gerak. 3.
Tata iringan atau musik Pada Tari Jepin Langkah Simpang selain gerak, musik iringan juga mempunyai peranan penting dalam Tari Jepin tersebut. “Tarian yang pada mulanya Tari Jepin langkah simpang yang merupakan pengembangan dari langkah simpang, diirngi oleh alat musik gendang, slodang, gambus dan beruas sekitar jaman sebelum kemerdekaan”, ucap narasumber Yusuf Dahyani (70) saat diwawancarai pada tanggal 5 September 2014. Seiring perkembangan zaman, pada tahun 1960an alat musik yang mengiringi Tari Jepin Langkah Simpang telah di tambah dengan alunan biola. Menurut Syarif 96
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Ahmad (45) yang diwawancarai tanggal 21 September 2014, alat musik yang digunakan dalam Tari Jepin Langkah Simpang yaitu biola, beruas, gambus dan diiringi dengan syair-syair penuh nasihat dan doa untuk yang mempunyai hajat. Menurut Anwar Djafar yang diwawancarai pada tanggal 30 Oktober 2014, perkusi yang mengiringi langkah Tari Jepin Langkah Simpang adalah marawis, atau sekarang disebut beruas dengan bantuan slodang, dan sekarang telah dibantu oleh biola dan gambus. Dalam musik iringan juga terdapat syair-syair yang dilantunkan. Isi dari syarir-syair tersebut berupa petuah-petuah atau nasehat-nasehat dalam kehidupan, juga seringkali menggunakan kata-kata pujian yang di tujukan kepada tuan rumah yang sedang menggunakan Tari Jepin Langkah Simpang sebagai hiburan dalam acaranya. 4.
Tata rias dan busana Pengertian busana menurut Soedarsono (1978:34) menyatakan, “Pada prinsipnya kostum harus enak dipakai dan sedap dilihat penonton. Dimana kostum untuk tari-tarian tradisional harus dipertahankan. Namun apabila ada bagian yang kurang menguntungkan dari segi pertunjukan, harus ada pemikiran lanjut.” Tata rias yang digunakan dalam Tari Jepin Langkah Simpang ialah tata rias cantik, tata rias yang menonjolkan wajah asli dari penarinya. Kostum sangat berpengaruh pada Tari Jepin Langkah Simpang ini, kostum yang juga merupakan identitas karakter dan penghias dalam tari tersebut juga mendapat bagian pentingnya tersendiri. Kostum atau busana yang digunakan penari dalam menarikan Tari Jepin Langkah Simpang sama seperti busana Melayu pada umumnya. Menurut Yusuf Dahyani (70) yang diwawancarai pada tanggal 5 September 2014, pada mulanya tari-tari pada jaman dahulu hanya menggunakan kapuak dengan model kurung seperti telok belanga, setelah adanya kain maka menggunakan bahan kain untuk membuat baju kurung dan telok belanga. Riasan yang digunakan wanita dalam menarikan Tari Jepin Langkah Simpang yaitu sanggul lipat pandan, kembang goyang, bunga melati dan dapat ditambahkan dengan bunga-bunga lainnya. untuk pria menggunakan kopiah atau tanjak. Menurut Pak Untung (74) yang diwawancarai pada tanggal 21 September 2014, Tari Jepin pada tahun 1970an menggunakan kostum khas suku melayu untuk wanita baju kurong, kain corak insang, sanggul lipat pandan, kembang goyang. Untuk pria menggunakan telok belanga, corak insang dan tanjak atau kopiah. 5.
Tempat pertunjukan tari Tempat pertunjukan tari adalah tempat atau panggung yang digunakan oleh penari selama pentas. Tarian ini sering dibawakan pada acara-acara formal maupun non formal, seperti peresmian Penanaman Tiang Pertama Mesjid Jami Kota Pontianak, festival-festival budaya, acara pernikahan, selamatan,khitanan dan lainlain. Yusuf Dahyani (70) saat diwawancarai pada tanggal 5 September 2014, “Tari ini dibawakan pada acara-acara perayaan di jaman dahulu, acara pernikahan, pembukaan atau peresmian, acara pesta pada jaman raja”. Menurut Syarif Ahmad (50) yang merupakan seniman Kota Pontianak era 1960an, “Dulu saya sering memainkan Jepin Langkah Simpang saat acara Festival Jepin maupun acara-acara pesta orang.” Tari Jepin Langkah Simpang dapat ditarikan di panggung manapun
97
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
baik panggung arena, proscernium, panggung tertutup, panggung terbuka, dan lapangan. Tari ini sangat bebas di tarikan di panggung manapun karena tari ini bersifat hiburan, dan tidak ada syarat apapun untuk menarikannya, tari ini juga merupakan tari tunggal yang tidak akan berpengaruh antara satu penari dan penari lainnya. Sekian pemaparan mengenai tari Jepin Langkah Simpang dan eksistensinya yang memiliki estetika ciri khasnya tersendiri dalam penelitian seni. Hasil penelitian ini selain dapat dinikmati oleh para seniman, lembaga kesenian, serta masyarakat, penelitian ini juga dapat diimplementasikan dalam pembelajaran seni tari di sekolah. Dimana tari ini dapat diimplementasikan kedalam kurikulum yang berlaku sebagai seni tari budaya setempat di Kalimantan Barat maupun seni nusantara di Indonesia. Tari ini juga sebagai bentuk apresisasi siswa dan ekspresi siswa terhadap materi pembelajaran seni tari. untuk berlanjut kepada praktis menyaji karya seni tari yang bersumber dari tari tradisi, seyogyanya siswa dibimbing guru dalam mengamati tari dari perspektif gerak, busana, iringan hingga akirnya menemukan karakteristik tari tersebut. Karakteristik tari bisa dianalisis dari kategori gerak (pure movement, gesture, locomotion, boton signal) yang khas atau paling banyak muncul, sehingga terlacak ciri khas dari tari tersebut (Narawati, 2013:73). Simpulan Berdasarkan analisis data, terdapat tiga gugus dalam tari Jepin Langkah Simpang dimana setiap gugus tersebut di awali dengan tahto, yang merupakan ciri khas dari gerak-gerak pada tari Jepin. Motif-motif gerak dideskripsikan oleh peneliti untuk memudahkan pembaca dalam mempelajari tarian tersebut dengan bantuan notasi tari terlampir. Peneliti membakukan gerak tari Jepin Langkah Simpang yang dikembangkan oleh seniman daerah setempat yaitu Yusuf Dahyani (70). Tari Jepin Langkah Simpang merupakan tari tunggal etnis Melayu yang dapat ditarikan lebih dari 1 orang baik pria atau wanita dewasa dan remaja. Tari Jepin Langkah Simpang berfungsi sebagai tari hiburan masyarakat. Tari Jepin Simpang pada awalnya juga sebagai media dakwah agama Islam, karena syair dari musik tarian tersebut berisi nasihat, dan kebesaran Rasulullah. Penari menggunakan kostum khas Melayu. Penari harus memiliki konsentrasi tinggi karena gerak langkah kaki penari bergantung pada irama dari beruas yang dipukulkan para pemusik. Demikian sedikit sumbang informasi mengenai tari Jepin Langkah Simpang bagi para calon pendidik/pendidik tari, dan pegiat seni yang berjuang demi melestarikan budaya dan menegakkan pendidikan seni tari. Semoga melalui tari, dapat meningkatkan kecintaan masyarakat dalam kebudayaan yang dimiliki Indonesia, serta turut ambil andil dalam menegakan Bhineka Tunggal Ika. KEPUSTAKAAN Ben, Suharto. 1985. “ Komposisi Tari Sebuah Pertunjukan Praktis Bagi Guru “. Yokyakarta : Ikalasti Meri, La. 1975. Dance Compotition : The Basic Elements. Yogyakarta : Akademi Seni Tari Yogyakarta.
98
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Putraningsih, Titik. 2007. Diktat Perkuliahan Mata Kuliah Analisis Tari. Yogyakarta : Program Studi Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi Penelitian Seni. Semarang : Cipta Prima Nusantara. Soedarsono. 1978. Diktat Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari. Yogyakarta : Akademi Seni Tari Indonesia. Soedarsono. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung : MSPI. Suanda, Endo dan Sumaryono. 2006. Tari Tontonan. Jakarta : Lembaga Pendidikan Nusantara. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta. Sukidjo,dkk. 1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Susmiarti,dkk. 2013. E-Jurnal Sendratasik FBS Universitas Negeri Padang Vol 2 No 1 2013 Seri E (http://ejournal.unp.ac.id/index.php dikutip pada 5 Mei 2014 jam 11. 20 WIB
99
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PENGGUNAAN “ALGADIAPERTANA” UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SENI BUDAYA PADA MATERI TANGGA NADA DIATONIS MAYOR BAGI SISWA KELAS 7C SMP NEGERI 2 PADAMARA PADA SEMESTER GASAL TAHUN PELAJARAN 2015/2016 ELY SUSIANA, S. Pd. GURU SMP NEGERI 2 PADAMARA KABUPATEN PURBALINGGA
Abstrak Pembelajaran Seni Budaya sangat diperlukan untuk dilaksanakan di sekolah karena didalamnya terdapat penanaman dan penerapan nilai-nilai edukasi dan keindahan yang berakar pada tradisi budaya bangsa. Hal ini sangat berguna bagi proses penanaman jati diri siswa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, dalam pembelajaran Seni Budaya hendaknya dilaksanakan dengan semaksimal mungkin sehingga dapat tercipta suasana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan. Model pembelajaran yang diterapkan hendaknya diarahkan pada penggunaan metode dan media pembelajaran yang berorientasi pada CTL ( Contextual Teaching and Learning). Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilisator dan motivator yang diharapkan dapat membantu siswa untuk memahami materi dengan menyenangkan. Upaya membangkitan motivasi belajar siswa untuk dapat menyenangi mata pelajaran Seni Budaya guru dituntut untuk dapat meningkatkan kinerja secara profesional dengan selalu senantiasa melakukan inovasi dan kreasi terutama dalam penggunaan media atau alat peraga pendidikan. Penggunaan media atau alat peraga pendidikan haruslah yang sesuai dan menarik, sehingga dapat membangkitkan motivasi belajar siswa.Dalam pembelajaran Seni Budaya pada materi tangganada diatonis mayor diperlukan adanya media atau alat peraga pendidikan yang tepat. Alat peraga yang dimaksud adalah “ALGADIAPERTANA” karena didalam alat peraga ini dapat membantu anak untuk menemukan konsep tangganada diatonis mayor dengan susunan yang berubah-ubah. Konsep tangganada diatonis mayor dipelajari oleh siswa kelas 7 semester 1 dengan kompetensi dasar yaitu mengaransir secara sederhana lagu daerah setempat dan menampilkan hasil aransemen karya lagu daerah setempat. Salah satu indikator dalam hal ini adalah tangganada diatonis mayor yang harus dikuasai oleh siswa terlebih dahulu sebelum membuat aransemen. Penggunaan “ALGADIAPERTANA” dalam mencari susunan tangganada diatonis mayor diharapkan dapat membantu siswa dalam belajar sehingga akan terjadi peningkatan pada hasil belajar. Penelitian tindakan kelas membuktikan bahwa ada kenaikan hasil belajar siswa setelah mengalami pembelajaran dengan menggunakan “ALGADIAPERTANA”. Kenaikan hasil belajar siswa dapat dilihat dari nilai ratarata sebesar 90 % dan ketuntasan secara klasikal sebesar 100 % ( terjadi kenaikan 100
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
yang cukup signifikan dari rata- rata 50, 50 menjadi 84 dengan tingkat kelulusan secara klasikal mencapai 100 % ). Kata Kunci : Hasil Belajar, ALGADIAPERTANA, Diskusi Kelompok PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Keberhasilan belajar harus diukur dengan tingkat pencapaian hasil belajar yang otentik. Salah satu indikasi keberhasilan dalam mencapai tujuan ditunjukkan dengan dikuasainya materi pembelajaran . Kenyataan di lapangan, ditempat peneliti bertugas menunjukkan bahwa hasil belajar Seni Budaya di SMP Negeri 2 Padamara belum memuaskan. Hal ini terlihat dari hasil nilai ulangan harian pada semester gasal kelas 7C tahun pelajaran 2015/2016 dengan nilai rata-rata tidak memenuhi standar nilai KKM .Pada ulangan harian pertama siswa lulus 10 anak, ulangan harian kedua siswa yang luluspun hanya 26 siswa dari jumlah 30 siswa. Hasil pembelajaran belum memuaskan, rata-rata nilai masih dibawah KKM . Hal ini kemungkinan disebabkan karena guru kurang tepat dan kreatif dalam menggunakan metode . Oleh karena itu, perlu di cari jalan keluarnya. Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti termotivasi untuk mencoba melakukan upaya perbaikan pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Adapun salah satu cara yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggunakan alat peraga disertai dengan diskusi kelompok. Penggunaan “ALGADIAPERTANA” diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar . Cara pembelajaran yang dilakukan adalah dengan melakukan dua tindakan, yaitu : langkah pertama; siswa memperhatikan demonstrasi guru kemudian mencoba melakukan pendemonstrasian, langkah ke-dua ; siswa mencoba melakukan kegiatan dengan menggunakan alat peraga yang dibuat dan dilakukan secara kelompok. Dengan dua langkah tindakan tersebut, diharapkan dapat merubah suasana pembelajaran menjadi suatu kondisi pembelajaran yang menyenangkan dan kondusif. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut : 1). Rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran Seni Budaya; 2). Guru kurang menggunakan metode yang bervariatif; 3). Pemanfaatan alat peraga pendidikan pembelajaran yang belum optimal. Rumusan Masalah Bertolak dari identifikasi permasalahan tersebut, maka rumusan masalah yang perlu diteliti dalam penelitian tindakan kelas ini adalah “Apakah melalui penggunaan “ALGADIAPERTANA” dapat meningkatkan hasil belajar Seni
101
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Budaya pada materi tangganada diatonis mayor bagi siswa kelas 7C SMP Negeri 2 Padamara pada semester gasal tahun pelajaran 2015/2016? Tujuan Penelitian Penelitian tindakan kelas ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Meningkatkan pengetahuan siswa terhadap materi tangganada diatonis mayor. 2. Meningkatkan kemampuan siswa pada materi tangganada diatonis mayor sehingga siswa mempunyai pengalaman kreatif dalam musik. 3. Meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Seni Budaya. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, antara lain : 1. Untuk para guru diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dan referensi dalam mencari strategi pembelajaran yang bervariatif . 2. Bagi siswa dapat membantu dalam memahami materi pembelajaran mata pelajaran Seni Budaya pada materi tangganada diatonis mayor. 3. Dapat meningkatkan mutu sekolah melalui proses pembelajaran pada mata pelajaran Seni Budaya khususnya pada materi tangganada diatonis mayor. METODE PENELITIAN Setting Penelitian 1. Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 sampai bulan November 2015. 2. Tempat penelitian Tempat penelitian tindakan kelas di SMP N 2 Padamara. 3. Subyek Penelitian Subyek penelitian tindakan kelas adalah siswa kelas 7C SMP N 2 Padamara. 4. Sumber Data Sumber penelitian berasal dari observasi berupa nilai test dan nilai sikap. 5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan test, angket, observasi, dan wawancara, sedangkan alat pengumpulan data adalah butir soal dan lembar observasi. 6. Validasi Data Untuk memperoleh validitas data kuantitatif dilakukan analisis butir soal . Sedangkan untuk data kualitatif berupa observasi validitas data. 7. Analisis Data
102
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Perubahan hasil belajar dapat dilihat dengan perbandingan antara hasil belajar pre test, dan(post test). Rumus yang digunakan adalah Nilai akhir – Nilai awal = Perbedaan hasil. Analisis data dilakukan dengan deskripsi komparatif yang dilanjutkan refleksi. 8. Indikator Kerja Indikator kinerja dikatakan berhasil apabila keberhasilan pembelajaran mencapai 85% siswa mencapai nilai diatas KKM yaitu 72. 9. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian melalui tiga tahap yaitu kondisi awal, Sikulus I dan Siklus II.
PEMBAHASAN Kajian Teori, Kerangka Berpikir, dan Hipoteseis Tindakan 1. Kajian Teori a. Hakekat Hasil Belajar Hasil belajar menurut Kimble dan Garmezi ( dalam Muhammad Ali, 1998) merupakan sifat dari perubahan perilaku dalam belajar yang bersifat permanen. Hasil belajar diperoleh orang yang belajar dengan menggunakan inderanya . b. Pengertian ALGADIAPERTANA “ALGADIAPERTANA” merupakan akronim dari Alat Peraga Diagram Pergeseran Tangganada. Yang dimaksud dengan alat peraga adalah alat yang digunakan untuk proses belajar mengajar, sedangkan Diagram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2000 : 261) adalah gambaran ( buram, sketsa) untuk memperlihatkan atau menerangkan sesuatu. Pergeseran dalam Kamus Bahasa Indonesia (2000: 361) yaitu peralihan, perpindahan atau pergantian. Tangganada menurut Kamus Musik (1992:132) adalah susunan berjenjang dari nada-nada pokok suatu sistem nada. Dari beberapa pengertian diatas,dapat disimpulkan pengertian “ALAGADIAPERTANA” adalah alat yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran yang berupa gambaran untuk memperlihatkan atau menerangan sesuatu dalam bentuk Diagram Tangganada yang dapat dialihkan atau dipindahkan dengan cara digeser. c. Bentuk ALGADIAPERTANA Bentuk “ALGADIAPERTANA” terdiri dari 2 jenis yaitu Diagram Pergeseran Tangganada Berkres, dan Diagram Pergeseran Tangganada Bermol.
103
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Bentuk “ALGADIAPERTANA” berkres adalah berupa dua buah kertas panjang yang dibuat berpetak-petak dengan ukuran yang sama. Kertas pertama berisi susunan nada-nada tangganada mayor dengan not angka., setiap satu petak mewakili jarak ½ nada . Kertas yang ke-dua, berisi susunan nada-nada pokok beserta nada sisipan berkres ditulis dengan not mutlak. Pada “ALGADIAPERTANA” bermol bentuknya sama namun kertas yang ke-dua, berisi susunan nada-nada pokok dengan nada sisipan bermol ditulis dengan not mutlak. d. Penggunaan “ALGADIAPERTANA” Cara menggunakan :ALGADIAPERTANA’ dengan menggeserkan kertas I pada kertas II. Lebih lanjut akan dijelaskan langkah- langkah penggunaan sebagai berikut : 1) Letakkan kertas II pada papan tulis atau meja . 2) Letakkan kertas I diatas kertas II sesuai dengan tangganada kromatis yang diinginkan. Cara mencari tangganada mayor perubahan dengan cara menggeser- geserkan kertas I di atas kertas II. Kerangka Berpikir KONDISI AWAL
TINDAKAN
Guru :
Siswa :
Belum menggunakan “ALGADIAPERTANA” dalam pembelajaran Seni Budaya
Hasil belajar Seni Budaya pada konsep Tangganada Diatonis Mayor rendah
Menggunakan “ALGADIAPERTANA” disertai diskusi kelompok
Mengamati Demonstrasi Guru dan mencoba menggunakan “ALGADIAPERTANA”
SIKLUS I
KONDISI AKHIR SIKLUS II
Diduga melalui penggunaan “ALGADAPERTANA" disertai diskusi kelompok dapat meningkatkan hasil belajar Seni Budaya pada materi Tangganada Diatonis Mayor bagi siswa kelas 7C SMP Negeri 2 Padamara pada Semester Gasal Tahun Pelajaran 2015/2016
Menggunakan “ALGADIAPERTANA” disertai diskusi kelompok
Gambar 3. Kerangka Berpikir Secara garis besar langkah- langkah yang dilakukan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah sebaga berikut : 104
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
a. Guru melaksanakan pembelajaran tanpa menggunakan “ALGADIAPERTANA”. b. Test belajar untuk mengetahui kemampuan awal tentang materi . c. Menganalisis hasil test (Kondisi Awal) d. Masuk siklus I dengan memperhatikan demonstrasi guru dalam menggunakan “ALGADIAPERTANA” untuk mencari tangganada perubahan bermol dan berkres e. Memberikan tugas siswa mencoba menggunakan “ ALGADIAPERTANA” . f. Menunjuk beberapa siswa mencoba mendemonstrasikan “ALGADIAPERTANA”. g. Memberikan tugas siswa membuat “ALGADIAPERTANA” di rumah. h. Evaluasi pembelajaran (Siklus I) i. Masuk siklus II dengan pembentukan kelompok dan di beri nama lagu daerah. j. Memberikan tugas berlatih dan mencoba menggunakan “ALGADIAPERTANA”. k. Diskusi informasi dan sekaligus evaluasi secara klasikal l. Evaluasi pembelajaran ( Post test di akhir siklus II) m. Evaluasi dianalisis untuk melihat efektifitas pembelajaran n. Pembuatan laporan o. Di akhir pembelajaran siswa diberi tugas. 2. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah : Dengan penggunaan “ALGADIAPERTANA” pada pembelajaran Seni Budaya materi tangganada diatonis mayor maka terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas 7C SMP Negeri 2 Padamara pada semester gasal tahun pelajaran 2015/2016. Hasil Penelitian dan Pembahasan Masalah 1. Hasil Penelitian a. Kondisi Umum Sekolah SMP Negeri 2 Padamara termasuk sekolah pingiran. Kondisi alam banyak terdapat area persawahan dan perkebunan, sehingga mata pencaharian penduduk adalah petani. Melihat keadaan tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap proses pendidikan sehingga akan berpengaruh pula terhadap hasil belajar. b. Kondisi Awal Guru membuka pelajaran dengan menanyakan materi sebelumnya. Akhir pelajaran diadakan evaluasi. Dari hasil test kondisi awal diperoleh hasil belajar rendah. Setelah dilakukan analisis diperoleh nilai tertinggi 75 dan terendah 25, sedangkan
105
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
nilai rata-rata kelas mencapai 50,50. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut: Tabel 1 Nilai Ulangan Kondisi Awal No Uraian Nilai 1 Nilai Terrendah 25 2 Nilai Tertinggi 75 3 Rerata 50,50 4 Rentang Nilai 50 c. Hasil Siklus I 1) Pelaksanaan Pembelajaran kurang berjalan dengan baik karena keterbatasan waktu. Guru melakukan tindakan dengan menggunakan “ALGADIAPERTANA” . 2) Hasil Pengamatan Hasil pengamatan dilakukan oleh kolaborator pada siklus I diperoleh data bahwa terjadi peningkatan keaktifan. 3) Refleksi Hasil belajar pada siklus I ada peningkatan, terlihat mencapai nilai kelulusan sebanyak 27 siswa , nilai hasil belajar rata-rata 67,50 % . Hasil refleksi setelah pembelajaran siklus I dapat dilihat dalam tabel berikut
No 1 2 3 4
Tabel 4 Nilai Ulangan Kondisi Awal dan Siklus I Uraian Nilai Kondisi Awal Nilai Terrendah 25 Nilai Tertinggi 75 Rerata 50,50 Rentang Nilai 50
Nilai Siklus I 40 100 72,62 60
d. Hasil Siklus II 1. Pelaksanaan Pembelajaran siklus II terlaksana dengan baik, siswa sudah menggunakan “ALGADIAPERTANA” yang disertai metode diskusi kelompok. 2. Hasil Pengamatan Proses pembelajaran siklus II terjadi peningkatan keaktifan siswa. Siswa yang belum paham dapat meminta penjelasan pada teman satu kelompoknya. 3. Refleksi 106
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Tingkat belajar siklus II mengalami peningkatan, terlihat kelulusan kelas mencapai 100%, dengan nilai rata-rata 84 nilai tertinggi 100 dan terendah 72.Secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3 Nilai Ulangan Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus II No Uraian N Kondisi Awal N Siklus I N Siklus II 1 Nilai Terrendah 25 40 65 2 Nilai Tertinggi 75 100 100 3 Rerata 50,50 72,62 84 4 Rentang Nilai 50 60 35 2. Pembahasan Masalah Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dengan dua siklus yang terdiri dari empat kegiatan yaitu perencaan , implementasi , pemantauan dan umpan balik. Kegiatan penelitian akan dijabarkan sebagai berikut : a. Kondisi Awal Berdasarkan hasil test kondisi awal nilai siswa sangat rendah. Bertolak dari itu diadakan perlakuan penelitian tindakan kelas berupa pembelajaran dengan “ALGADIAPERTANA” . b. Siklus I Pembelajaran siklus I menggunakan “ALGADIAPERTANA” oleh guru. Hasil belajar pada siklus I kurang memuaskan terbukti ketuntasan hasil belajar secara klasikal mencapai 67,50 %. Kemudian guru merefleksi diri dengan membentuk kelompok kecil . c. Siklus II
No 1.
2. 3.
Terdapat perubahan tingkah laku dan sikap pada siklus II. Guru memberikan kesempatan siswa mencari susunan tangganada diatonis mayor pada kelompoknya dengan “ALGADIAPERTANA”. Hasil belajar yang dicapai meningkat, terbuktikan dengan diperolehnya nilai rata-rata siswa mencapai nilai rata-rata 84. Lebih jelasnya lihat tabel 4 di bawah ini: Tabel 4 Rekapitulasi Hasil Penelitian Test (Kondisi Siklus I Siklus II Tingkat Perbedaan/ Hal Awal) (Proses) (Kondisi Akhir) Kenaikan Jumlah Lulus / 4 anak 27 anak 40 anak + 36 anak Prosentase 10,00 % 67,50 % 100,00 % 90,00 % Kategori Kurang Cukup Baik Sekali Jumlah T. Lulus 36 anak 13 anak 0 anak - 36 anak Prosentase 90,00 % 32,50 % 0,00 % -90,00 % Rerata NK / 50,50 72,62 84,00 33,50 Kategori Kurang Baik Baik Cukup Signifikan 107
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan dari hasil pos test yang dilakukan terhadap perolehan test pada awal dan setelah siswa mengalami proses pembelajaran. Setelah mengetahui dan membandingkan perolehan nilai kondisi awal dan nilai siklus II , maka jelaslah bahwa pembelajaran dengan menggunakan “ALGADIAPERTANA” pada materi tangganada diatonis mayor dapat dikatakan berhasil dengan ketuntasan belajar siswa mencapai 100 %. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Seni Budaya pada materi tangganada diatonis mayor dengan menggunakan “ALGADIAPERTANA” yang disertai diskusi kelompok dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa dengan ketuntasan belajar secara klasikal mencapai kenaikan sebesar 90 %, dengan demikian makin jelaslah bahwa perubahan tersebut mengalami kenaikan secara signifikan. Saran Dengan melihat seluruh rangkaian kegiatan dan tindakan yang telah dilaksanakan dan dianalisis, maka penulis dalam kesempatan ini ingin memberikan masukan-masukan sebagai berikut : 1. Hendaknya guru memperhatikan penggunaan metode dan alat peraga pendidikan dengan sungguh-sungguh sehingga pembelajaran tidak membuat jenuh dan membosankan bagi siswa. 2. Hendakanya guru dapat meningkatkan profesionalitasnya dengan mengembangkan daya inovasi dan kreasi dalam pembelajaran untuk menutup kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan pada masa sekarang ini. 3. Diperlukan penelitian tindak lanjut dalam penelitian ini agar selalu dapat mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan DAFTAR PUSTAKA Astono Sigit. 2004. Pendidikan Seni Musik dan Seni Tari. Jakarta : Yudistira. Depdikbud.1998. Pokok-Pokok Pengajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian . Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca Jakarta : Depdikbud. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Seni Budaya SMP dan MTs. Jakarta : Depdiknas. Emi Riyanti, SE. 2008. LKS Cerah Mata Pelajaran Seni Budaya Untuk Kelas VII Semester gasal. Solo : CV. Teguh Karya. M. Soeharto. 1992. Kamus Musik. Jakarta : PT Gramedia. Mas`ud Khasan Abdul Qohar. 2000. Kamus Istilah Pengetahuan Populer. Yogyakarta : CV Bintang Pelajar. 108
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Novita Dyah Pratiwi. 2013. Alat Peragadan Media Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://novitadyahpratiwi.blogspot.co.id/2013/04/alat-peraga-danmedia-pembelajaran.html [25 Juli 2015] Panji Amboro. 2013. Pengertian, Tujuan, dan Manfaat Alat Peraga. [Online] Tersedia: https://panjiamboro.wordpress.com/2013/05/17/pengertiantujuan-dan-manfaat-alat-peraga [25 Juli 2015] RM Yoyok, Siswadi. 2007. Pendidikan Seni Budaya Untuk Kelas VII. Jakarta : Yudistira. Sapto W, dkk. 2008. LKS Berlian Mata Pelajaran Seni Budaya Untuk Kelas VII Semester Gasal. Solo :Bima Jaya. Sugiyanto. 2004. Kesenian Untuk SMP Kelas VII. Demak : Erlangga. Sumber Work Shop. 2006. Power Point Materi Work Shop tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi di Solotigo. Winataputra, Udin S. dan Rosita, T. 1995. Belajar dan Pembelajaran. Proyek Peningkatan Mutu Guru. Jakarta : Depdiknas. ------------. 2005. Kesenian Untuk SMP Kelas VII. Demak : Erlangga.
109
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
REVOLUSI LAGU KERONCONG DALAM KARYA MUSIK KAJIAN: GRUP KERONCONG CONGROCK 17 Ibnu Amar Muchsin Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran, Gunungpati Semarang E-mail:
[email protected] Abstrak Revolusi lagu dalam karya musik keroncong menjadi sebuah tuntutan bagi perkembangan musik tersebut. Hierarki musik keroncong yang terlahir dari proses Hybridasi yang panjang dan kompleks menjadikan musik keroncong memiliki bentuk (form) yang baku dan memiliki ciri khas identitas tersendiri. Revolusi merupakan perubahan sepenuhnya dari satu aturan ke yang lainnya serta modifikasi terhadap aturan yang ada. Aturan di dalam bentuk lagu langgam keroncong dan lagu keroncong asli mempunyai peluang untuk di revolusi. Revolusi dilakukan dengan tanpa meninggalkan kaidah-kaidah dasar dari bentuk lagu tersebut. Alterasi dan subtitusi akor, gerak melodi pada lagu ciptaan baru dengan melihat pergerakan subtitusi akor tersebut, serta pembawaan vokal dan aransemen yang mengikuti ‘zaman’ atau musik yang sedang popular dan berkembang saat ini. Abstract Revolution songs in the musical work kroncong be a demand for the development of the music. Hierarchies Keroncong born of the long and complex Hybridasi make Keroncong has the form (form) that is raw and has a characteristic of its own identity. Revolution is change completely from one rule to another as well as modifications to the existing rules. Rules in the form of songs and song style kroncong original kroncong have the opportunity for revolution. Revolution be done without leaving the basic rules of the form of the song. Alteration and substitution chords, melody motion on songs new creation by looking at the movement of the chord substitution, as well as the innate vocal and arrangements that follow the 'age' or music that are popular and growing today. PENDAHULUAN “Bengawan solo riwayatmu kini…..” begitulah cuplikan lagu yang berjudul Bengawan Solo Ciptaan Gesang (alm) yang ‘membumi’ dan sangat lekat diingatan setiap anak muda ketika penulis tanya: “lagu keroncong apa yang kalian ketahui?”. Dari 10 anak muda yang penulis beri pertanyaan tersebut sekitar 7 orang menjawab dengan judul lagu Bengawan Solo.14 14
Hasil analisis penulis terhadap anak muda yang ditanya secara acak dalam waktu dan tempat yang berbeda. 110
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Musik Keroncong merupakan contoh musik Hybrid yang terbaik, dimana berbagai sumber budaya dapat dilebur menjadi suatu identitas tersendiri.15 Musik keroncong di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah melalui proses serta seleksi di masyarakat sampai saat ini dan masih tetap bertahan. Sebagai musik popular yang pertama di Indonesia keroncong telah mengalami perkembangan bentuk dan gaya musiknya. Kehadiran musik keroncong merupakan bagian dari proses sejarah masuknya musik Barat ke Indonesia yang diperkenalkan melalui tiga jalur yaitu (1) melalui institusi keagamaan dalam bentuk musik liturgy Gerejani berbasis musik Barat; (2) melalui lembaga pendidikan dan media siaran radio; (3) melalui jati dirinya sebagai sebuah seni baru (ars nova). Seni yang mampu memberikan hiburan bagi masyarakat perkotaan yang bersifat egaliter, melalui proses akulturasi dengan berbagai warna lokal.16 Musik keroncong menjadi musik yang ‘minoritas’ di Indonesia pada masa sekarang (tahun 2016) seiring derasnya pengaruh musik pop dari Barat. Musik pop Indonesia secara umum memiliki karakter musikal Barat. Instrumentasinya didominasi alat-alat musik Barat, seperti gitar elektrik/akustik, drum, organ atau piano elektrik.17 Selanjutnya pengaruh teknologi informatika yang semakin terbuka dan mudah di akses menjadikan segala informasi tentang musik seperti tanpa batas. Youtube menjadi salah satu website yang dapat menggunggah dan mengunduh segala macam informasi musik dalam bentuk audio visual. HAMKRI (Himpunan Artis Musik Keroncong) yang menjadi wadah resmi berskala nasional bagi keberlangsungan musik keroncong telah membuat kegiatan lomba orkes musik keroncong sebagai upaya pelestarian dan pengembangan musik keroncong. Namun upaya tersebut masih belum signifikan dapat dirasakan dalam melawan derasnya arus perkembangan musik pop dan musik dangdut di kalangan masyarakat pada umumnya, serta generasi muda pada khususnya. Dua tahun ini (2015 dan 2016) Sekolah Pilar Indonesia di Bogor, telah mengadakan ajang bergengsi bagi anak muda khususnya yaitu Festival Keroncong Muda Pilar Indonesia tingkat nasional. Peserta yang mengikuti ajang tersebut pada tahun 2016 berjumlah 10 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.18 Sebagai bentuk usaha mengembangkan musik keroncong di kalangan anak muda di Indonesia patut kita beri apresiasi tinggi. Namun penulis menilai kreativitas yang Bronia Kornhauser dalam makalah “In Defence of Keroncong”, di dalam: Kartomi, Margret (ed) “Studies in Indonesia Music”, Clayton, Victoria 1978. 16 Victor Ganap, Krontjong Toegoe (Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2011), 126. 17 Ben M. Pasaribu, Musik Populer (Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006), 72. 18 Sumber http://www.sekolah-pilar-indonesia.sch.id/Events/festivalkeroncong-muda-pilar-indonesia-2016.html 15
111
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
muncul dalam ajang lomba tersebut masih sebatas pada kreativitas aransemen/garap musik dan bentuk pertunjukannya. Harapan sebuah revolusi musik sebagai upaya ‘membumikan’ kembali musik keroncong pada masa sekarang masih nampak terasa berat. Secara sejarah dan kebudayaan musik keroncong merupakan identitas asli musik Indonesia, serta layak dipertahankan dan dilestarikan oleh rakyat Indonesia. Ibarat seperti oase di gurun pasir, revolusi lagu keroncong dalam musik keroncong sangat dibutuhkan pada saat ini. Sebagai salah satu alternatif bagi upaya pelestarian dan perkembangan musik keroncong di Indonesia. PEMBAHASAN Secara etimologi kata revolusi berasal dari kata latin revolutio yang berarti “berputar arah” adalah perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relative singkat. Kata kuncinya adalah perubahan dalam waktu singkat. Aristoteles menggambarkan pada dasarnya ada 2 jenis revolusi yaitu: (1) perubahan sepenuhnya dari satu aturan ke yang lainnya; (2) modifikasi terhadap aturan yang ada.19 Musik keroncong memiliki pengertian yang kompleks. Secara definisi istilah keroncong merupakan sebuah istilah yang berasal dari unsur onomatopoetis (katakata yang dibentuk dengan mencontoh bunyi atau suara alamiah) yaitu alat musik yang berbunyi seperti “crong-crong”.20 Pengertian istilah keroncong telah mengalami perkembangan menurut situasi dan kondisi di Indonesia, sehingga menjadikan bangsa Indonesia memiliki hak atas kekayaan intelektual musik keroncong melalui pertimbangan sebagai berikut: (1) keroncong sebagai alat musik sejenis gitar lahir di Indonesia; (2) keroncong sebagai sebuah bentuk ensambel musik merupakan produk bangsa Indonesia; (3) keroncong sebagai sebuah pola ritmik yang khas merupakan hasil kreasi bangsa Indonesia; (4) keroncong sebagai sebuah permainan melodi yang mengalir (banyu mili) merupakan keberhasilan musikalitas ganda bangsa Indonesia; (5) keroncong sebagai jenis musik hiburan masyarakat perkotaan merupakan diakroni sejarah bangsa Indonesia; (6) keroncong sebagai musik hibrida dengan unsur pembentuknya yang multikultural mencerminkan kebhinekaan bangsa Indonesia; (7) keroncong merupakan istilah
19
Sumber http://revo-mental.blogspot.co.id/2014/07/pengertian-revolusimental.html 20 Dieter Mack, Sejarah Musik Jilid IV (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi,2009), 581. 112
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Indonesia untuk menamakan jenis musik milik bangsa Indonesia; (8) pengakuan dari para pakar musikologi akan kepemilikan Indonesia terhadap musik keroncong.21 Dari delapan pengertian keroncong yang disampaikan Victor Ganap, memberikan peluang bagi perkembangan musik keroncong di Indonesia tidak hanya sekedar perkembangan pada bentuk pertunjukan dan aransemen musik keroncong saja, tetapi dapat mengambil salah satu unsur dari pengertian tersebut. Istilah revolusi di dalam musik keroncong merupakan istilah yang tidak baru. Pada tahun 1945 sampai tahun 1950 terdapat istilah jenis “Keroncong Revolusi” yaitu lagu-lagu dengan teks khusus mengenai revolusi dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Upaya khusus ini memanfaatkan keroncong secara politis yang diprakarsai oleh Jenderal Rudi Pirngadie dengan membentuk orkes keroncong Tetap Segar.22 Bentuk revolusi yang nampak adalah penggunaan alat tradisional keroncong dengan mempergunakan musik elektronik, bahkan memasukan harpa dalam formasi orkesnya. Serta tidak hanya memainkan lagu tradisional keroncong tetapi juga menyanyikan lagu-lagu barat dalam irama keroncong.23 Pada awal tahun 2016 grup keroncong alternatif Congrock 17 membuat album lagu dengan tema “Revolusi”. Grup Congrok merupakan grup keroncong yang terbentuk pada 17 Maret 1983. Nama Congrok diambil dari genre musik yang dibawakan, yakni gabungan antara musik keroncong dan rock. Sedangkan angka 17 diambil dari almamater para pemainnya yaitu Universitas Tujuh Belas Agustus. Usia yang tak lagi muda bagi grup musik Congrock yaitu 33 tahun konsisten dengan bentuk sajian yang tak ‘lazim’ atau tidak sesuai dengan ‘pakem’ keroncong asli. Dalam perjalanannya grup ini tak lepas dari pro dan kontra. Terlepas dari itu Congrok sebagai grup keroncong inovasi yang berupaya ‘menyegarkan’ dan ‘membebaskan’ musik keroncong dari kuatnya arus musik pop dan dangdut yang sedang membumi pada masyarakat saat ini. Kornhauser menyatakan bahwa musik keroncong terdiri dari 7 buah instrumen yaitu: (1) Ukulele/Cuk; (2) Banyo/Cak; (3) Gitar melodi string; (4) Cello; (5) Contrabass; (6) Flute; (7) Biolin.24 Ketujuh instrument tersebut merupakan bentuk formasi dari keroncong asli. Hingga saat ini di Indonesia grup-grup keroncong asli masih mempertahankan bentuk formasi tersebut. Formasi tersebut di dalam grup Congrock tetap dipertahankan, akan tetapi formasi tersebut 21
Victor Ganap, dalam makalah Keroncong Indonesia: Identitas dan Sejarahnya yang disampaikan dalam Rembug Keroncong Indonesia di Semarang pada 31 Mei 2014. 22 Dieter Mack, Sejarah Musik Jilid IV (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), 583. 23 Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 219. 24 Bronia Kornhauser dalam makalah “In Defence of Keroncong”, di dalam: Kartomi, Margret (ed) “Studies in Indonesia Music”, Clayton, Victoria 1978. 113
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
dikembangkan (ditambahkan) beberapa alat musik diantaranya adalah Perkusi (Drum), dan Keyboard (synthesizer). Album Revolusi Congrock 17 berisi 5 lagu, 3 diantaranya merupakan karya orisinil dari Congrock 17 yaitu lagu dengan judul Revolusi (Cipt.Tony Q.) merupakan jenis lagu genre Reggae. Lagu ini diaransemen dengan ‘gaya’ ciri khas Congrock 17 yaitu gabungan antara musik keroncong, dan musik Reggae. Selanjutnya lagu berjudul Ada Didekapmu (Cipt. Hery Pethek) lagu ini merupakan sebuah revolusi dari lagu jenis langgam keroncong. Terdapat 3 jenis lagu di dalam musik keroncong, yaitu: (1) lagu keroncong asli/ disingkat “Kr.” yang ditulis di depan judul lagu; (2) lagu langgam keroncong/ disingkat “Lgm.” yang ditulis di depan judul lagu; (3) Stambul/ disingkat “Stb.” yang ditulis di depan judul lagu. Lagu jenis langgam keroncong adalah terdiri dari 32 birama dengan rangka berbentuk A-A-B-A. Bagian B disebut refrain.25 Revolusi yang nampak pada lagu ini adalah pada bagian awal lagu, melodi lagu tidak dimulai pada akor tonika (yang lazim terjadi pada jenis lagu langgam keroncong, contoh: Bengawan Solo, Jembatan Merah, rangkaian melati, dll), akan tetapi dimulai pada akor subdominan mayor seven (IVM7) serta gerakan melodi pada awal lagu dimulai pada nada kelima dari akor tersebut, dan pada birama kedua melodi dari nada kelima tersebut bergerak turun setengah, maka terjadilah volhart pada birama kedua ketukan ketiga. Contoh cuplikan lagu langgam keroncong Bengawan Solo:
Contoh cuplikan revolusi lagu keroncong grup Congrock 17:
25
Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 218. 114
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Revolusi lagu langgam keroncong grup Congrock 17 di atas tetap menjaga kaidah bentuk (form) lagu langgam keroncong, dimana biramanya tetap berjumlah 32 dan rangka lagunya berbentuk A-A-B-A serta pada prinsipnya revolusi lagu tersebut meng-alterasi serta menyubtitusi akor/harmoni yang biasa/lazim digunakan dalam lagu-lagu langgam keroncong pada umumnya. Penggunaan akor dominan 7 menjadi ciri khas yang sedang trend dan berkembang pada musik pop pada masa ini serta banyak disukai dan diminati anakanak muda. Kesan (‘sance’) yang ditimbulkan dari lagu langgam tersebut terasa ‘kekinian’ dan tema syair lagunya berisi tentang ‘percintaan’ yang juga sedang menjadi trend lagu-lagu pop pada saat ini. Lagu ketiga Congrock 17 berjudul Kr.Kenangan (Cipt.Yono CR), lagu tersebut merupakan lagu dengan bentuk lagu keroncong asli. Secara bentuk keroncong asli berdasarkan suatu kerangka dengan jumlah 28 birama, yang dibagi frase-frase masing-masing sepanjang empat birama.26 Jenis lagu keroncong asli ini diawali oleh introduksi yang disebut voorspel, merupakan rangkaian kadensa yang terdiri dari tiga frase. Kadensa tersebut biasanya dimainkan oleh flute, biola, atau gitar. Kaden pada frase pertama berakhir pada akor I yang diikuti/disambut oleh ‘seksi ritm’. Kaden pada frase kedua berakhir pada akor V yang juga diikuti/disambut oleh seksi ritem. Kaden ketiga atau terakhir berakhir pada akor I yang diikuti oleh seksi ritem yang lansung memainkan pola irama (biasanya irama engkel). Setelah itu biola atau flute memainkan melodi yang disebut dengan istilah ‘senggaan’ (sebuah melodi yang berjumlah empat birama, yang diambil dari delapan birama terakhir, termasuk birama gantungnya). Jenis keroncong asli ini biasanya dinyanyikan dua kali. Setelah penyanyi menyanyikan satu lagu utuh, musik memainkan interlude berupa ‘senggaan’ seperti yang pertama tersebut. Contoh lagu: Kr. (Keroncong) Bandar Jakarta, Kr. Tanah Airku, Kr. Moritsko.27 Lagu bentuk keroncong yang di revolusi Congrock 17 tidak menggunakan Voorfel sebagai intoduksi, akan tetapi menggunakan intro musik seperti pada musik pop pada umumnya. Selain pada bagian introduksi, melodi pada lagu tersebut tidak seperti pada lagu keroncong pada umumnya. Dimana melodi lagu sangat terpengaruhi oleh lagu-lagu pop pada masa sekarang. Pembawaan vokal pada jenis lagu keroncong asli dan langgam keroncong tidak lagi seperti pada pembawaan vokal pada umumnya dimana terdapat teknik nggandul, cengkok, gregel, dan luk yang menjadi ciri khas serta ‘ruh’ dari keroncong
26
Dieter Mack, Sejarah Musik Jilid IV (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), 583. 27 Singgih Sanjaya, dalam makalah "KERONCONG" Sebuah Genre Musik Hibrid Antara Musik Diatonis Barat Dengan Idiom Gamelan Jawa yang disampaikan pada Rembug Keroncong Indonesia di Semarang pada 31 Mei 2014. 115
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
asli. Pembawaan lagu pada jenis lagu keroncong asli dan langgam keroncong pada album revolusi Congrock 17 menggunakan pembawaan lagu musik pop. Sebagai akhir usaha merevolusi lagu keronocong adalah pada bagian aransemen lagu. Dimana pada grup Congrock 17 pada album Revolusi aransemen lagu yang digunakan sangat kental dengan gaya (style) aransemen musik pop masa kini (yang sedang berkembang). SIMPULAN Keroncong sebagai warisan budaya leluhur asli Indonesia, yang terlahir dari proses panjang Hybridasi dari berbagai budaya yang melebur menjadi satu identitas tersendiri. Musik keroncong yang dapat menyesuaikan dengan keadaan hierarki budaya nusantara dapat menjadi identitas yang menarik bagi bangsa Indonesia. Perkembangan musik pada era digital yang semakin terbuka dan tanpa batas menuntut revolusi pada musik keroncong agar dapat diterima semua lapisan masyarakat (multi etnis) seperti musik dangdut dan pop saat ini. Revolusi musik keronocong dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya: (1) meng-alterasi serta menyubtitusi harmoni/akor pada lagu langgam keroncong dan lagu keroncong asli; (2) melodi yang disusun untuk lagu keroncong asli maupun langgam keroncong merupakan bagian dari harmoni yang disubtitusi; (3) pembawaan vokal pada lagu keroncong asli dan langgam keroncong menggunakan teknik vokal pop (mengikuti zaman); (4) aransemen musik dibuat dengan gaya (style) musik masa kini yang sedang berkembang. Kepustakaan Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. Ganap, Victor. 2011. Krontjong Toegoe, Yogyakarta:BP-ISI Yogyakarta. Harmunah. 1980. Sejarah, Gaya Dan Perkembangan Y o g y a k a r t a : Pusat Musik Liturgi.
Musik
Keroncong,
Hastanto, Sri. 2011. Kajian Musik Nusantara-1. Solo:ISI Press Solo. Kornhauser, Bronia. 1978. dalam makalah “In Defence of Keroncong”, di dalam: Kartomi, Margret (ed) “Studies in Indonesia Music”, Clayton, Victoria.
Mack, Dieter. Sejarah Musik Jilid 4, Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, Yogyakarta,1995. Pasaribu, Ben M. 2006. Musik Populer. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Sanjaya, Singgih. 2014. "KERONCONG" Sebuah Genre Musik Hibrid Antara Musik Diatonis Barat Dengan Idiom Gamelan Jawa, makalah. Semarang: Rembug Keroncong
116
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Indonesia. Simatupang, Landung. 2016. Merenungkan Gema Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sumber Website: http://www.sekolah-pilar-indonesia.sch.id/Events/festival-keroncong-muda-pilarindonesia-2016.html http://revo-mental.blogspot.co.id/2014/07/pengertian-revolusi-mental.html
117
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PENANAMAN NILAI-NILAI KONSERVASI MELALUI KEGIATAN BERMAIN ORKESTRA MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Irfanda Rizki Harmono Sejati, S.Sn.,M.A. Jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang Email:
[email protected] Abstrak Orkestra merupakan salah satu wadah kegiatan bermusik mahasiswa Jurusan Sendratasik Program studi Seni Musik yang ada di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Orkestra merupakan sekelompok besar pemain musik yang memainkan instrumen musik secara bersama-sama, yang termasuk didalamnya adalah instrumen gesek (string section), instrumen tiup kayu (woodwind section), instrumen tiup logam (brass section) dan , instrumen perkusi ( percussion section). Bentuk penyajian Orkestra di Universitas Negeri Semarang lebih bersifat fleksibel tidak ada mata kuliah khusus praktek Orkestra yang dapat membentuk mahasiswa dapat bermain orkestra. Adapun mata kuliah yang ada hanya bersifat teori atau membuat karya partitur musik yang disebut dengan mata kuliah Orkestrasi. Orkestrasi juga merupakan mata kuliah pilihan, sehingga mahasiswa bisa jadi tidak mengambil mata kuliah tersebut. Padahal mata kuliah ini juga menjadi bagian terpenting dari ilmu-ilmu musik yang lain sebagai modal mengajar dan berkarya dibidang musik. Dalam hal ini, bentuk Orkestra hanya bisa disajikan di Unnes ketika acara Wisuda dan Dies natalis kampus. Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti mengadakan penelitian tentang Penanaman Nilai-Nilai Konservasi Melalui Kegiatan Bermain Orkestra Mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Musik Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keterampilan mahasiswa dalam memainkan Instrumen pokok yang sudah didapat pada mata kuliah PIIP dan diaplikasikan ke dalam permainan Orkestra, dan bagaimakah Penanaman nilai-nilai Konservasi tiap-tiap pemain yang berbeda instrumen dapat menjadi satu kesatuan bunyi yang Harmonis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan paparan secara deskriptif. Subjek penelitian adalah mahasiswa aktif Seni Musik yang tergabung dalam Orkestra Universitas negeri Semarang. Hasil pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan analisis data. Teknik analisis data terbagi dalam tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil wawancara dan observasi yang sudah terkumpul termasuk di dalamnya dokumnetasi, gambar-gambar, foto-foto, catatan lapangan, catatan pribadi,
118
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
serta dokumen-dokumen lainnya setelah dipelajari, ditelaah serta diteliti kemudian direduksi menjadi sebuah abstraksi. Kata Kunci: Konservasi, Orkestra, Keterampilan, Musik. PENDAHULUAN Progam studi Pendidikan Seni Musik merupakan salah satu program studi di Jurusan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Prodi Pendidikan Seni Musik menyiapkan tenaga pendidik professional dalam bidang seni musik yang beriman, bertakwa, mandiri, yang memiliki: Pemahaman teori-teori dan praktek kependidikan seni musik; sikap nasionalis, profesionalitas yang tinggi, tenggang rasa; kemampuan berkomunikasi, mengapresiasi seni musik, menguasai berbagai macam pendekatan ilmu yang berhubungan dengan musik, menganalisis berbagai macam fenomena kesenian, dan memberikan kontribusi pikiran kepada perkembangan seni musik, kemampuan mengapresiasi karya seni musik, melakukan kajian ilmiah di bidang seni musik, memahami teknik presentasi dan perspektif seni musik; kemampuan mengeksplorasi kreativitas, eksperimen kreatif, dan mewujudkan karya kreatif di bidang seni musik tanggungjawab keilmuan dan perspektif sosial, keterbukaan terhadap perkembangan sosial budaya. Di dalam Prodi Pendidikan Seni Musik terdapat bermacam-macam mata kuliah yang bersifat teori maupun praktek. Mata kuliah praktek ini terutama dalam penguasaan berbagai macam instrumen musik yang salah satunya adalah mata kuliah instrumen pokok atau PIIP yang harus terbekali oleh Mahasiswa Seni Musik. Berbagai macam mata kuliah PIIP seperti PIIP gesek, PIIP Piano, PIIP Tiup Kayu, PIIP tiup logam, PIIP Vokal, PIIP gitar, mahasiswa dituntut untuk dapat bermain praktek instrumen secara individu dengan baik dan benar. Dalam hal ini, selain mahasiswa mendapat bekal penguasaan instrumen individu, mahasiswa juga harus dibekali penguasaan instrumen bermain secara ansambel atau orkestra. Adapun mata kuliah aplikasi untuk permainan instrumen berkelompok di Jurusan Sendratasik Prodi Seni Musik adalah mata kuliah ansambel musik yang lebih memfokuskan pada ansambel musik sekolah belum kearah musik orkestra. Untuk bisa menjadi pemain orkestra yang baik diperlukan pengetahuan teori dan praktek yang memadai. Yang dimaksud disini adalah bahwa untuk bisa bermain orkestra dengan baik harus menguasai skill tiap-tiap instrument, teknikteknik musik, solfegio yang baik dan wawasan yang cukup. Orkestra yang dimiliki oleh Universitas Negeri Semarang adalah kumpulan yang dibentuk oleh beberapa Mahasiswa Seni Musik dan beberapa dosen yang mempunyai pengalaman di bidang musik Orkestra. Artinya bahwa Orkestra belum menjadi matakuliah sendiri yang didalamnya mencakup aplikasi dari matakuliah PIIP atau Instrumen Pokok atau individu. Dengan adanya komunitas Orkesrtra Mahasiswa Seni Musik, mahasiswa dapat mengaplikasikan kegiatan praktek individu
119
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
ke dalam bentuk bermain orkestra. Beberapa kegiatan orkestra yang menjadi kegiatan rutin di Unnes adalah sebagai pengiring acara Wisuda Universitas Negeri Semarang dan sebagai pengiring kegiatan Dies Natalis Universitas Negeri Semarang dan beberapa kegiatan-kegiatan lain baik di dalam lingkungan Unnes maupun di luar kampus dengan tetap membawa nama Orkestra Mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Selain Orkestra sebagai wadah mahasiswa untuk meningkatkan skill dalam bidang praktek musik, di dalam orkestra mahasiswa juga dituntut untuk bermain dengan kerjasama yang tinggi, Tanggug jawab waktu dan semua hal yang mendukung di dalam orkes, peduli terhadap sesama pemain orkestra atau partner orkestra dan bersikap toleran juga diperlukan di dalam bermain orkestra. Dalam hal ini jelas bahwa di dalam Orkestra sangat berhubungan dengan banyak orang yang berbeda perilaku, pola pikir dan karakter. Begitu juga dengan instrumen musik yang dimainkan berbeda-beda instrumen, berbeda karakter suara, berbeda jenis suara, seperti: instrumen string yang meliputi violin, viola, cello dan Contrabass ; instrumen woodwind atau tiup kayu yang meliputi flute, saxophone, oboe klarinet dan fagot ; instrumen brass atau tiup logam yang meliputi terompet, trombone, tuba, horn ; instrumen perkusi yang meliputi xylophone, timpani dan instrumen combo band yang meliputi piano, gitar, bass dan Drumset, berbeda instrumen tetapi tetap menghasilkan satu suara yang indah dan harmonis. METODE Dalam penelitian tentang Penanaman Nilai-nilai Konservasi Melalui Kegiatan Bermain Orkestra Mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Secara umum metode penelitian yang dipakai adalah metode deskriptif analisis dan interpretative dengan memanfaatkan data kualitatif. Artinya, dalam penelitian kualitatif seorang peneliti harus mampu mengeksplanasikan semua bagi yang bisa dipercaya dengan informasi yang diketahuinya serta tidak menimbulkan kontradiksi dengan interpretasi yang disajikan. Batasan masalah dalam penelitian ini berdasarkan data-data yang bersifat kualitatif dan untuk selanjutnya ditarik kesimpulan. Sedangkan data-data adalah berupa penjelasan, uraian serta gambaran yang nyata mengenai subyek yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Orkestra Universitas Negeri Semarang Orkestra merupakan gabungan dari sekelompok musisi yang kemudian membentuk menjadi sebuah komunitas. Menurut Wartaya winangun (1990 : 40) dalam artikel yang ditulis oleh Fu’adi menyatakan bahwa komunitas itu bercirikan anti struktur, dalam arti bahwa relasi-relasi yang terjadi itu bercirikan tak terbedakan,
120
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
equalitarian, langsung, ada, non-rasional, eksistensial dan I-Thou (Buber). Hubungan yang terjadi dalam sebuah komunitas merupaka hubungan yang tak terbedakan. Perbedaan dalam sebuah komunitas disebabkan oleh struktur social yang menempatkan setiap manusia pada posisinya sendiri-sendiri. Istilah orkestra menurut John Spitzer (Stanley Sadie. ed. 2001:530) pada masa Yunani dan Romawi kuno menunjuk tentang tingkatan dasar dari sebuah panggung terbuka, yang digunakan kembali pada jaman Renaissance untuk menunjukkan tempat di depan panggung. Pada awal abad XVII tempat ini digunakan untuk menempatkan para pemain musik yang mengiringi nyanyian dan tarian. Pada abad XVIII arti dari istilah orkestra diperluas untuk para pemain musik sendiri dan sebagai identitas mereka sebagai sebuah ansambel. Orkestra mahasiswa Unnes merupakan salah satu dari bentuk komunitas yang dibentuk oleh dosen dan mahasiswa prodi Pendidikan Seni Musik. Terbentuknya orkestra mahasiswa Unnes berdasarkan atas kebutuhan Unversitas dalam upacara kegiatan rutin yaitu wisuda dan Dies Natalis sebagai musik pengiring upacara. Orkestra merupakan bentuk pengaplikasian atau penerapan serta pengembangan dari berbagai macam mata kuliah yang ditempuh oleh mahasiswa khususnya matakuliah PIIP atau instrument mayor. Di dalam orkestra terdapat banyak teknik-teknik pengembangan dari PIIP Gesek, PIIP Tiup, PIIP Perkusi, Band dan mata kuliah orkestrasi. Pada mata kuliah PIIP mahasiswa dituntut untuk mampu bermain dengan baik dan benar, secara teknik, dan cakap dalam membaca partitur music secara individu. Pada mata kuliah orkestrasi mahasiswa dituntut untuk bisa menulis fullscore musik atau partitur musik. Capaian dari kegiatan orchestra adalah setelah mahasiswa mengambil mata kuliah instrument mayor atau PIIP diharapkan mahasiswa dapat menguasai pengetahuan dan ketrampilan memainkan beragam genre music yang sudah di arrasnemen dan di orkestrasikan dengan membaca partitur menggunakan instrument masing-masing dengan berbagai macam nada dasar dengan benar. Dengan melihat capaian dari pembelajaran dalam sebuah pertunjukan orchestra selain harus memiliki teknik dasar instrument secara individu, pemain orkes juga harus memiliki wawasan yang baik tentang ilmu solfeggio, ilmu melodi, ilmu harmoni dan ilmu dalam bersosialisasi yang tinggi. Dalam hal ini sosialisasi yang tinggi diwujudkan dalam penerapan nilai-nilai konservasi yang baik pada sebuah kegiatan orchestra. Karena orchestra merupakan bentuk permainan ansambel yang sifatnya melibatkan banyak orang dalam memainkan suatu lagu. Sehingga seorang pemain orkes yang baik harus dapat bekerjasama secara team yang terbagi menjadi string section, brass section, woodwind section, percussion section dan combo band. Tentu tidak mudah bermain orchestra yang melibatkan puluhan pemain sehingga dapat bersatu menjadi satu kekuatan music yang harmonis kalau tidak dipandu oleh seorang pemimpin. Pemimpin dalam sebuah orchestra adalah seorang kondakter yang sangat berperan
121
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
penting dalam jalannya sebuah music orchestra. Jadi tidak begitu mudah untuk menjadi seorang pemain orkes yang baik. Materi Orkestra Universitas Negeri Semarang Materi orchestra yang digunakan adalah beberapa lagu-lagu wajib Unnes yang sudah di arransemen oleh beberapa dosen Prodi Pendidikan Seni Musik dengan melihat kapasitas skill atau kemampuan dari mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Musik. Karena orchestra belum menjadi satu mata kuliah praktek khusus yang ada pada jurusan Sendratasik, maka materi lagu belum banyak menggunakan karya-karya klasik untuk diajarkan. Adapun materi lagu lain yang digunakan selain lagu-lagu wajib Unnes adalah beberapa lagu-lagu pop, Jazz, dangdut yang sudah di arransemen untuk menambah literature lagu mahasiswa pada orkes Unnes. Lagu Mengheningkan Cipta Materi lagu yang pertama adalah Mengheningkan Cipta yang sudah di arransemen oleh bapak Hafid Bahtiar selaku dosen Seni Musik. Dalam arransemen mengheningkan cipta lebih banyak di ekplorasi pada instrument gesek. Berikut adalah contoh partitur arransemen dan orkestrasi lagu Mengheningkan Cipta yang biasa dimainkan oleh orkes Unnes. Materi lagu mengheningkan cipta dimainkan oleh 13 instrumen diantaranya adalah woodwind instrument yang meliputi flute dan alto saxophone, brass instrument yang meliputi terompet dan trombone, harpa dalam hal ini digantikan oleh instrument piano, glockenspiel atau instrument perkusi bernada, timpani, bass drum dan cymbal,instrument gesek yang meliputi violin 1, violin 2, viola dan cello. Untuk instrument gesek biasanya pada format orchestra terdapat instrumen kontra bass. Roger Kamien ( 2004 : 15 ) Pada sebuah instrumen musik dapat didefinisikan secara mekanis dari sebuah suara biasa menjadi sebuah suara musikal. Para musisi barat selalu mengklasifikasikan instrumen menjadi enam kategori yaitu: instrumen berdawai (string) seperti gitar dan biola; instrumen tiup kayu (woodwind) seperti flute, klarinet, dan oboe; instrumen tiup logam (brass) seperti terompet dan trombone; instrumen pukul (percussion) seperti drum dan cymbals; keyboard seperti organ dan piano; dan instrumen musik elektronik seperti synthesizer. Dalam hal ini tidak terdapat kontra bass karena di Prodi Pendidikan Seni Musik tidak terdapat PIIP kontra bass dan tidak memiliki ketersediaan alat. Lagu mengheningkan Cipta selalu dimainkan pada acara Wisuda Universitas Negeri Semarang dan Upacara Dies Natalis Universitas Negeri Semarang Lagu Hymne Unnes Materi lagu berikutnya adalah Hymne Universitas Negeri Semarang arransemen bapak Ibnu Amar selaku dosen Seni Musik. Lagu ini merupakan
122
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
arransemen yang sangat banyak menunjukkan tingkat kesulitan atau skill dalam masing-masing bagian instrument. Tidak cukup bisa memainkan secara individu dalam memainkan arransemen ini karena diperlukan tingkat ilmu solfegio yang tinggi sehingga setiap pemain orkes dapat memahami dan saling mendengar terhadap satu sama pemain. Materi lagu Hymne Unnes dimainkan oleh 16 instrumen diantaranya adalah woodwind instrument yang meliputi flute, Klarinet dan alto saxophone, brass instrument yang meliputi terompet dan trombone, Bass gitar, glockenspiel dan xylophone atau instrument perkusi bernada, timpani, bass drum, cymbal dan snare drum yang merupakan instrument ritmis ,instrument gesek yang meliputi violin 1, violin 2, viola dan cello. Kontra bass juga tidak digunakan dalam arransemen lagu Hymne Unnes karena ketersediaan alat yang tidak ada dan pemainnya. Lagu Hymne Unnes juga selalu dimainkan pada acara Wisuda Universitas Negeri Semarang dan Upacara Dies Natalis Universitas Negeri Semarang atau kegiatan acara yang lain seperti pengukuhan Guru besar dan sebagainya. Pada materi lagu Hymne Unnes sangat dituntut skill yang tinggi khususnya pada instrument tiup dan perkusi karena banyak nada-nada melodi notasi seperenambelas dalam memainkannya sedangkan string memainkan harmonisasi akord.
Lagu Mars Universitas Negeri Semarang Materi lagu berikutnya adalah Mars Universitas Negeri Semarang arransemen bapak Moh.Muttaqin dan Bapak Slamet Haryono selaku dosen Prodi Pendidikan Seni Musik. Lagu ini merupakan arransemen yang sangat banyak menunjukkan tingkat kesulitan atau skill dalam masing-masing bagian instrument. Tidak cukup bisa memainkan secara individu dalam memainkan arransemen ini karena diperlukan tingkat ilmu solfegio yang tinggi sehingga setiap pemain orkes dapat memahami dan saling mendengar terhadap satu sama pemain. Materi lagu Mars Unnes dimainkan oleh 10 instrumen yang terbagi menjadi flute 1 dan flute 2, saxophone 1 dan saxophone 2, terompet, trombone 1 dan trombone 2, timpani, bass gitar dan instrument gesek. Lagu Mars Unnes juga selalu dimainkan pada Upacara Dies Natalis Universitas Negeri Semarang atau kegiatan acara yang lain seperti pengukuhan Guru besar dan sebagainya. Sebagai perwujudan dari kelompok music orchestra yang menjunjung nilainilai konservasi, selain memainkan lagu-lagu nasionalis orkes Unnes juga memainkan lagu tradisi seperti Gambang Semarang. Selain lagu Gambang Semarang orkes Mahasiswa Unnes juga sangat terhormat dan bangga karena dapat memainkan salah satu lagu yang paling terkenal karya Presiden Republik Indonesia ke 6 yaitu bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang berjudul Untuk Bumi Kita yang dimainkan ketika upacara Dies Natalis Universitas Negeri Semarang tahun 2016. Lagu Untuk
123
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Bumi Kita pernah di mainkan juga oleh Orkestra Gita Bahana Nusantara di Istana Negara dalam rangka upacara Hari Kemerdekaan RI. Lagu Untuk Bumi Kita yang dimainkan oleh Orkestra Mahasiswa Unnes merupakan arransemen dan orkestrasi dari bapak Irfanda Rizki selaku dosen dan kondakter. Formasi orkestra yang digunakan pada lagu Untuk Bumi Kita adalah flute, alto saxophone, tenor saxophone, terumpet, terombone, violin 1, violin 2, viola, cello, Xylophone, gitar, bass, piano, dan drum set. Berikut adalah fullscore music lagu Untuk Bumi Kita karya bapak Susilo Bambang Yudhoyono.
Gambar 1. Fullscore Untuk Bumi Kita (sumber: Irfanda Rizki 2016) Lagu Untuk Bumi Kita yang dimainkan oleh Orkes mahasiswa Unnes merupakan salah satu perwujudan nilai konservasi yang tertanam pada setiap pemain orkes. Untuk Bumi Kita dimainkan orkes mahasiswa Unnes dengan interpretasi dan dinamika yang sangat baik sehingga menjadi music yang harmonis dan megah. Selain lagu Gambang Semarang dan Untuk Bumi Kita masih banyak lagi materi lagu yang dimainkan oleh orchestra mahasiswa Unnes seperti pop, dangdut, rock, dan jazz. Dalam hal ini, perbendaharaan materi lagu yang dimiliki orkes mahasiswa Unnes sangatlah banyak sehingga mahasiswa dapat sering berlatih dengan materi-materi lagu yang sudah ada. Proses Latihan Orkestra Mahasiswa Unnes
124
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Selama proses latihan orkestra dibagi menjadi beberapa sesi yaitu yang pertama adalah string section atau disebut dengan seksi gesek yang diantaranya terdapat pemain biola sopran 1, biola sopran 2, biola alto, dan cello. Pada umunya seksi gesek pada sebuah orchestra simfoni dibagi menjadi lima bagian yaitu biola sopran 1, biola sopran 2, biola alto, cello, dan kontra bass atau biasa disebut dengan string family atau keluarga gesek. Dalam hal ini, orchestra di Unnes tidak menggunakan instrumen kontra bass karena keterbatasan pemain dan juga ketersediaan instrumen. Berikut adalah gambar dari hasil penelitian untuk seksi gesek mahasiswa prodi seni musik Unnes.
Gambar 2. String Section 1st violin&2nd violin (sumber: Irfanda Rizki 2016) Dari masing-masing instrument dan masing-masing seksional sangatlah dibutuhkan kerja tim yang sangat baik. Mahasiswa tidak hanya dituntut bermain instrument secara individu tetapi bermain secara berkelompok dengan partitur masing-masing instrument. Tiap seksional instrument dipimpin oleh seorang koordinator yang disebut dengan principal dan dipimpin oleh seorang pemain biola 1 yang disebut dengan concert master. Wujud dari pada nilai konservasi yang terkandung didalam sebuah proses latihan orkestra adalah kedisiplinan dan tanggung jawab yang tinggi. Dr.Puji Hardati,M.Si (2010), dalam bukunya Pendidikan Konservasi,seorang mahasiswa harus memiliki 11 nilai karakter konservasi salah satunya adalah tanggung jawab. Tanggung jawab berarti bekerja sesuai hak dan kewajiban,mampu mengemban kepercayaan dari orang lain,berani mengakui kesalahan dan kekurangan diri sendiri dan mengakui kelebihan orang lain. Tanggung jawab sangat diperlukan selama mahasiswa tergabung dalam komunitas orkestra dari mahasiswa tanggung jawab
125
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
terhadap kemampuan bermain musik yang mereka miliki dan partitur lagu yang dibawa. Dalam hal ini, tanggung jawab terbesar adalah bagi seorang concert master dan principal tiap-tiap instrument, berani bertanggung jawab memegang kendali masing-masing tim section instrument. Selain tanggung jawab yang besar karakter yang dapat membentuk mahasiswa melalui orkestra adalah sikap kedisiplinan. Disiplin adalah berani menghargai waktu, dan tepat waktu saat latihan orkes akan dimulai. Dalam sebuah manajemen orkes terdapat aturan khusus tentang waktu yang harus dipatuhi yaitu semua pemain orkes diharapkan wajib hadir paling lambat setengah jam sebelum latihan dimulai dan didahului dengan Tunning instrument masing-masing pemain yang dipimpin oleh seorang concertmaster. Dalam hal ini mahasiswa akan belajar untuk disiplin dan menghargai waktu selama proses latihan. Dalam pembelajaran orkestra mahasiswa juga diajarkan untuk mempunyai jiwa religiusitas yang tinggi. Maksud dari nilai religius yakni seorang mahasiswa hendaknya, mampu menghargai perbedaan agama, memiliki kepercayaan tentang keEsaan Tuhan, memiliki jiwa amanah tulus,ikhlas,dan dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas. Orkestra merupakan komunitas yang tidak membeda-bedakan kepercayaan dan agama. Music yang dibangun melalui orchestra dapat menyatukan perbedaan baik agama, suku adat dan budaya. Dalam hal ini mahasiswa diajarkan untuk selalui memulai dan mengakhiri latihan orchestra dengan berdoa. Selain memiliki nilai religiusitas yang tinggi ,dalam sebuah kegiatan pembelajaran orchestra mahasiswa juga diwajibkan untuk selalu jujur terhadap apa yang diperbuat baik selama proses latihan maupun diluar kegiatan orkestra. Maksud dari jujur disini yaitu berani mengatakan yang benar, menepati janji, berperilaku sesuai dengan norma kebenaran dalam segala aspek kehidupan. Melalui kegiatan orchestra mahasiswa selalu dituntut untuk selalu jujur baik dalam memainkan instrumennya, jujur terhadap sesama pemain orkes baik satu team section instrument maupun dengan teman pemain instrument yang lain. Dengan adanya sikap kejujuran dan keterbukaan yang tinggi maka orchestra dapat berjalan dengan baik. Perlu dipahami bahwa sebuah komunitas orchestra tidak hanya sebagai hiburan dalam sebuah acara melainkan mempunyai manajemen yang perlu diatur dan dikelola dengan baik seperti sebuah perusahaan. Dalam hal ini sebagai contoh orkestraorkestra besar yang ada dan berkembang di Indonesia adalah Twilite Orkestra yang dipimpin oleh Adie MS, Erwin Gutawa Orkestra, Jakarta Philharmonic Orchestra, Surabaya Symphonie Orchestra, dan sebagainya. Selain itu adalah melalui kegiatan orchestra mahasiswa dituntut untuk menjadi orang yang cerdas tidak hanya dapat memainkan instrument music dengan bagus tetapi mempunyai wawasan yang berkembang. Nilai Cerdas disini maksudnya adalah mampu menemukan solusi yang logis,mampu berpikir logis dan metodologis sesuai iptek,kreatif dan inovatif. Kreatif dalam mengembangkan sesuatu yang baru.
126
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Melalui orkestra mahasiswa menjadi belajar untuk kreatif dan inovatif dalam mengembangkan sebuah ide baru, karya-karya musik yang baru dan bertaraf internasional. Saat ini mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Musik sudah mampu membentuk sebuah komunitas-komunitas baru seperti chamber string, orkes tiup, dan ansambel perkusi yang dikerjakan oleh mahasiswa dan akan dipergelarkan dengan karya-karya music yang baru. Pengalaman dalam bermain orchestra membentuk mahasiswa untuk selalu ingin belajar membuat inovasi-inovasi yang kreatif dan spektakuler dalam membuat sebuah karya seni umumnya dan karya seni music pada khususnya. Melalui Orkestra bisa mengcover berbagai aspek dalam pembelajaran musik, seperti yang dikatakan oleh Riky Rachmawan salah satu mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Musik angkatan dan aktif sebagai pemain orkestra Unnes sebagai pemain cello. Ricky mengatakan bahwa hasil dari pembelajaran orchestra yang selama ini didapat bisa mengcover berbagai aspek ilmu musik didalamnya. Ilmu musik yang lain adalah kondakting, arransemen, komposisi, manajemen orkestra, kreatifitas musik dan sebagainya. Hal ini lah yang mendorong Riky dan beberapa mahasiswa musik yang lain khususnya pemain gesek untuk membuat sebuah inovasi baru yang belum pernah ada di jurusan Sendratasik yaitu komunitas chamber string atau kumpulan pemain-pemain gesek untuk mengadakan latihan secara rutin. Gerakan-gerakan baru yang dibuat oleh mahasiswa adalah hasil dari pemikiran yang kreatif dan inovatif untuk membuat sebuah perubahan pada sebuah karya musik. Pilar konservasi berikutnya yang terkandung di dalam orchestra adalah Nilai Adil. Adil disini memiliki arti mampu berperilaku seimbang, serasi, dan selaras dalam hubungan manusia dan lingkungan, tidak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif terhadap orang lain, tidak membeda-bedakan hak orang yang satu dengan yang lain, berperilaku objektif dan proporsional dalam menyelesaikan masalah. Melalui kegiatan orchestra mahasiswa juga belajar untuk selalu bersikap adil terhadap sesama. Sebagai contoh adalah ketika mahasiswa membuat sebuah karya orkestrasi mereka harus mampu untuk membagi bagian-bagian dari karya musik mereka yang akan dimainkan oleh seluruh pemain orkes. Hal yang terpenting pada saat proses latihan orchestra adalah sikap peduli terhadap sesame pemain, dalam hal ini sama seperti nilai konservasi pada butir nilai peduli. Dikatakan bahwa maksud dari Maksud dari nilai peduli yaitu seseorang hendaknya memiliki kepekaan dalam segala hal baik itu kepekaan tehadap kesulitan orang lain,kerusakan lingkungan, perilaku menyimpang, serta peka terhadap perubahan pola – pola kehidupan sosial dan peka terhadap kebutuhan masyarakat yang dinamis. Melalui kegiatan bermain orchestra mahasiswa dituntut untuk tidak menjadi seorang pemain musik yang professional namun idealis, melainkan sikap professional yang dibuktikan dengan sikap peduli terhadap sesama professional pemain musik. Dibuktikan oleh seorang mahasiswa bernama Reksada Belly
127
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
mahasiswa aktif Prodi Pendidikan Seni Musik dan anggota dari orchestra Unnes mengatakan bahwa ada kepedulian terhadap sesama pemain yaitu saling memberikan ilmu, memberikan motivasi, berbagi pengalaman bahkan ikut membantu mengajarkan praktek instrument terhadap beberapa teman yang merasa kurang latihan. Disinilah peran penting bagi sesame pemain orkes dibutuhkan kerjasama yang baik saling mendukung satu sama lain. Terutama pada pemain gesek sikap peduli sangat diperlukan selama menjadi bagian dari pemain orchestra yaitu sebagai pemain gesek yang duduk disebelah kiri untuk biola 1 dan 2 mereka wajib untuk membalika bagian partitur saat berlatih maupun konser, begitu juga untuk pemain yang ada di sebelah kanan bagi pemain biola alto dan cello. Ketika musik sedang berlangsung ada salah satu pemain gesek yang salah satu dari dawainya putus maka pemain yang berada pada posisi belakang harus siap untuk menggantikan dawai yang putus tadi. Dalam hal ini jelas sekali sikap nilai peduli yang muncul dari kegiatan bermain orchestra. Selain sikap peduli yang ditanamkan selama proses berlatih orkes adalah sikap toleransi yang tinggi. Nilai toleran maksudnya adalah seseorang hendaknya mengakui perbedaan ras, status sosial, gender, dan budaya. Mampu mendahulukan kepentingan umum dan mampu menjaga perasaan orang lain.Misalnya dalam sebuah rapat ada berbagai macam pendapat sikap yang seharusnya kita tunjukan adalah menghargai setiap pendapat individu ,bukan mencela pendapat orang lain karena berbeda dengan pendapat kita. Nilai toleran yang dituntut selama proses latihan orkes adalah saling menghargai pendapat dari sesama pemain, pendapat yang berkaitan dengan penggarapan musik dan sebagainya. Nilai demokratis juga diperlukan selama mengikuti kegiatan musik orchestra. Seseorang dikatakan mencerminkan nilai demokratis ketika orang tersebut mampu mengakui persamaan hak, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban,menghargai perbedaan atau keragaman ,mematuhi aturan yang ada, serta mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Orchestra mempunyai aturan-aturan baik secara tekstual maupun kontekstual yaitu semua pemain orkes harus memahami dan mematuhi aturan waktu selama proses latihan. Sikap demokratis merupakan bagian yang tidak mudah untuk dilakukan terutama mahasiswa yang masih memiliki idealis yang tinggi. Dalam kegiatan orchestra di Unnes mahasiswa harus belajar untuk mempunyai sikap demokratis tidak asal datang latihan terlambat, tidak membawa partitur, tidak memperhatikan saat latihan dan kurang bertanggung jawab terhadap skill yang dimilikinya. Akan tetapi mahasiswa dituntut untuk latihan orkes datang tepat waktu, menempati posisi yang sudah ditentukan, membawa partitur musik masing-masing dan memperhatikan kondakter saat latihan orkes sedang berlangsung. Berikutnya adalah bagian yang juga sangat penting dalam latihan orchestra adalah sikap cinta tanah air. Cinta tanah air berarti berani membela kepentingan
128
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
bangsa dan negara,berjiwa patriot, mencintai budaya nasional, serta mencintai produk dalam negeri dan selalu mau menjaga lingkungan hidup yang ada di Negara. Melalui orchestra mahasiswa selalu memainkan lagu-lagu nasionalis yang selalu dimainkan saat wisuda dan Dies Natalis Universitas Negeri Semarang. Mencintai budaya nasional dengan memainkan lagu-lagu tradisi seperti gambang semarang dan caping gunung. Kendala Selama Proses Latihan Orkestra Dalam setiap pembelajaran atau kegiatan dalam menjalani sebuah proses tentu tidak lepas dari adanya kendala-kendala yang dihadapi. Orchestra Universitas Negeri Semarang merupakan sebuah komunitas yang dibentuk oleh mahasiswa jurusan Sendartasik khususnya Prodi Pendidikan Seni Musik dan beberapa dosen musik. Orchestra di Unnes bukan merupakan wadah atau bagian dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang dikelola jelas oleh universitas seperti yang bisa dicontohkan tidak jauh dari musik adalah PSM (Paduan Suara Mahasiswa) atau yang mempunyai nama saat ini adalah VOC. Orchestra di Unnes juga bukan bagian dari Fakultas atau Jurusan karena memang belum ada matakuliah yang disebut dengan matakuliah orchestra. Adapun mata kuliah yang hampir sama istilahnya adalah mata kuliah orkestrasi. Sangat berbeda bahwa orkestrasi adalah matakuliah teori dalam membuat sebuah penulisan karya musik, tetapi orchestra merupakan matakuliah praktek seperti mata kuliah ansambel dimana mahasiswa yang sudah mendapatkan matakuliah PIIP atau mayor dapat mengikuti orchestra. Hal ini menjadi salah satu bagian dari kendala-kendala bagi mahasiswa untuk berlatih orkestra. Bahwa tidak ada satu program khusus yang menuntut mahasiswa dapat berlatih orkestra secara rutin baik secara teknik atau manajemen dalam sebuah orkestra. Mahasiswa orkes hanya mulai berlatih jika mendekati event-event yang diadakan universitas seperti Wisuda atau Dies Natalis Unnes dengan waktu yang sangat sedikit. Sudah tentu tidak menjadi sebuah orchestra yang maksimal karena tidak ada wadah yang dapat memberikan ruang dan waktu tersendiri diluar acara wisuda ataupun Dies untuk mahasiswa dapat berlatih secara rutin dalam setiap minggu bahkan setiap bulan. Sangat berbeda dengan Paduan Suara Mahasiswa yang menjadi bagian dari UKM bahwa paduan suara mendapat tempat tersendiri mempunyai waktu khusus dimana harus diadakan latihan secara rutin. Kendala yang lain adalah tempat latihan dan peralatan soundsystem yang tidak memadai. Selama mahasiswa berlatih orkes mempersiapkan materi yang akan disajikan ketika wisuda, tidak ada ruangan yang dapat digunakan untuk berlatih orkes karena waktu yang digunakan latihan adalah malam hari sedangkan ruangan kelas diatas pukul 17.00 sudah terkunci, karena jika mengambil jadwal latihan di pagi atau siang hari mahasiswa masih disibukkan dengan jadwal perkuliahan yang juga padat, sehingga latihan orkes hanya menggunakan tempat seadanya dan tidak dapat
129
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
maksimal atau satu hari sebelum acara universitas dimulai mahasiswa baru bisa berlatih di gedung auditorium Unnes pada malam hari. Kendala lain yang dihadapi selama proses latihan adalah peralatan lain yang mendukung kegiatan orkestra seperti soundsystem, instrument musik, standpart untuk membaca partitur. Selama ini mahasiswa berlatih menggunakan standpart masing-masing dan tidak dilengkapi dengan soundsystem sehingga mahasiswa tidak dapat berlatih dengan sungguhsungguh dan maksimal dalam mempersiapkan sajian musik yang baik untuk segala kegiatan besar yang dilaksanakan Universitas. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai konservasi khususnya pilar humanis dapat diwujudkan melalui kegiatan berkesenian khususnya adalah kegiatan bermain orkestra. Orkestra merupakan bentuk permainan musik ansambel dengan jumlah banyak dengan jenis instrumen musik yang berbeda-beda, karakter suara yang berbeda-beda, dengan para pemain musik yang mempunyai budaya berbeda-beda dan disatukan dalam sebuah komunitas membangun sebuah harmoni lagu yang sudah di arransemen ke dalam bentuk orkestra. Melaui kegiatan bermain orkestra di Unnes mahasiswa tidak hanya sekedar mendapat ilmu bermain musik dengan baik, membaca partitur dengan cepat (prima vista), melainkan mendapat ilmu mengenai manajemen dalam mengelola sebuah orkestra. Selain itu adalah ilmu tentang nilai-nilai konservasi yang mahasiswa dapatkan selama mengikuti kegiatan bermain orkestra. Orkestra juga mengajarkan mahasiswa untuk menjadi seorang yang dewasa, mandiri dan berkembang untuk menjadi seorang sarjana pendidikan Musik yang kelak berani bersaing dengan lulusan-lulusan sarjana musik baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Perwujudan 11 nilai karakter konservasi yang harus dimiliki oleh mahasiswa sudah muncul ketika awal proses latihan orkestra itu dimulai yaitu sikap religius, sikap jujur, cerdas, adil dan mempunyai tanggung jawab yang tinggi, peduli terhadap sesama yang diwujudkan dengan sikap pemain musik yang mau bekerja sama, jiwa toleransi yang tinggi, mempunyai pola pikir yang demokratis tidak mementingkan diri sendiri, serta cinta tanah air dengan selalu menjujung tinggi karya-karya lagu nasional untuk selalu dikembangkan dalam sebuah pertunjukan musik, membuat inovasi-inovasi dan kreasi-kreasi baru dengan mengembangkan lagu-lagu daerah untuk dikemas kedalam sebuah bentuk musik orkes simfoni. Selain dari pada itu melalui kegiatan orkestra mahasiswa sangat dituntut untuk menjadi mahasiswa yang tangguh berani menghadapi aneka tantangan, berani menghadapi segala bentuk persaingan akademis khususnya sesama mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang mempunyai program studi seni atau Pendidikan Seni Musik. Mahasiswa berani bersaing secara sehat baik dari segi praktisi musik atau
130
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
ilmuwan musik. Pilar humanis yang terakhir adalah sikap santun yang harus dan wajib dimiliki oleh semua mahasiswa. Melalui kegiatan bermain orkestra mahasiswa diwajibkan untuk dapat selalu berperilaku dengan baik, mempunyai etika baik dalam bertindak dan bertutur kata terhadap sesama. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003. Fuadi, 2014. Conductor Orchestra Dalam Kegiatan Concert Overture. Jurusan Pendidikan Seni Musik FBS UNY. Fuadi, 2014. Mengenal Lebih Dekat Musik Orkestra. Jurusan Pendidikan Seni Musik FBS UNY. Hardati, Puji. 2010. Pendidikan Konservasi. Semarang: UNNES Press. Jamalus. 1998. Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Kamien, Roger. Music: An Apreciation, 2nd Brief Ed, Fifth Edition. USA: Mc GrawHill, Inc., 1994. Maryoto. 1989. Sejarah Musik. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Moleong, Lexi J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. R.M. Soedarsono, 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Spitzer, John. 2001. The New Grove Dictionary of Music and Musicians. London: Macmillan Publishers Limited. Sunarko. 1985. Pengantar Pengetahuan Musik. Jakarta. Depdikbud. Winangun, Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Strutur, Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
131
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
STRUKTUR DAN FUNGSI PERTUNJUKAN KUDA LUMPING TURONGGO CIPTO BUDOYO DI DESA GUNUNGSARI KECAMATAN BAWANG KABUPATEN BATANG Jovita Agni Priutami, R. Indriyanto & Eny Kusumastuti Gedung B2 FBS Unnes, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
[email protected] Abstrak Kuda Lumping merupakan kesenian tradisional yang masih hidup dan berkembang dikalangan rakyat.Kuda Lumping berbentuk tarian kelompok memainkan gerakan dinamis dan agresif yang menggambarkan semangat juang para prajurit menunggang kuda. Kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo memiliki struktur dan fungsi pertunjukan di setiap pementasannya.Struktur pertunjukan Kuda Lumping dapat dilihat dari keterkaitan elemen-elemen yang membentuk karya seni tersebut. Fungsi pertunjukan mengungkapkan kegunaan kesenian yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, guna mempertahankan kesinambungan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural mengacu pada teori Strukturalisme Levi Strauss. Pengumpulan data diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif teori Janet Adshead meliputi mengenali dan mendiskripsikan data, memahami hubungan antara komponen, menginterpretasi dan evaluasi data.Hasil penelitian menunjukkan struktur pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo membahas struktur luar dan dalam. Struktur luar merupakan bangunan luar yang terlihat secara empiris, mengungkap pola pertunjukan, meliputi pembuka, inti, penutup, dan mengungkap elemen pertunjukan, meliputi lakon, pelaku, gerak, iringan, rias busana, properti, pentas, waktu, tata cahaya dan tata suara, serta penonton. Struktur dalam merupakan susunan tertentu yang dibangun berdasarkan struktur luar,mengungkapkan tata hubungan antar elemen-elemen pertunjukan yang saling berkaitan. Fungsi pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo bagi masyarakat Desa Gunungsari adalah sebagai sarana upacara, sarana hiburan dan presentasi estetis. Kata Kunci : Struktur; Fungsi; Pertunjukan; Kuda Lumping Abstract
Kuda Lumping is a traditional art which still exist and develop among the people. Kuda Lumping shaped dance group plays a dynamic and aggresive movement which describes the fighting spirit of the warrior horsemen.Kuda Lumping art Turonggo Cipto Budoyo have a structure and function of performance at every show. Structure of performance can be seen from the linkage elements form the arts creation. Function of performance revealed the usefulness of art that can provide benefits for society, in order to maintain continuity of social life supporters. This research use structural approach which refers to the theories of structuralism Levi Strauss. The collection of data obtained from the results of observation, interviews and documentation. Analysis of data using qualitative descptive of theory Janet Adshead includes recognizing and describing the data, understanding relationship
132
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
between components, interpretating and evaluating data. The results showed the structure of performance Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo discuss of surface structure and deep structure. Surface structure is an outer of built that looks empirically, consist of pattern show includes early opener, the cores of performance, and cover, and reveal elements of performance, consists of the play, actors, motion, music, make up and fashion, property, stage, time, lighting and sound, and audience. Deep structure is a specific arrangement that built from surface structure, explained the relationship between elements of performace that are interelated. Function of performance pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo for the peaple of the village Gunungsari includes as a means of ceremony, entertainment, and presentation aesthetic. Keywords : Structure; Function; Performance; Kuda Lumping PENDAHULUAN Kuda Lumping merupakan seni tradisional kerakyatan yang sampai saat ini masih eksis dan sering ditemukan dalam event kebudayaan di masyarakat. Kesenian Kuda Lumping berbentuk tarian kelompok menggambarkan semangat juang para prajurit yang menunggang kuda. Keunikan kesenian Kuda Lumping terlihat pada sajian pertunjukan yang selalu memainkan gerakan dinamis dan agresif menggunakan properti kuda buatan. Kesenian ini juga menyuguhkan atraksi memukau beraliran sakral seperti adegan kesurupan (trance) dan kekebalan tubuh yang tidak sembarang orang bisa melakukannya, sehingga juga melibatkan pawang dalam setiap pementasannya. Hadi (2007: 15) mengungkapkan jenis tarian tradisional kerakyatan semacam ini pada umumnya apabila dilihat secara struktur dan bentuk geraknya masih sederhana, tidak banyak ungkapan variasi gerak yang rumit, namun bila dikaji secara teks dalam konteksnya juga sarat dengan muatanmuatan makna dan nilai. Keberadaan kesenian Kuda Lumping tidak lepas dari pembahasan unsurunsur yang membangun karya seni tersebut. Sebuah pertunjukan Kuda Lumping di dalamnya terdiri atas bagian-bagian yang membentuk dan saling berkaitan. Keterkaitan bagian-bagian unsur dalam pertunjukan dapat menimbulkan kesan tertentu sehingga membentuk suatu struktur. Struktur dimaksudkan cara-cara bagaimana unsur-unsur dasar dari masing-masing kesenian telah tersusun hingga berwujud (Djelantik 1999: 21). Elemen/ unsur yang terdapat pada pertunjukan Kuda Lumping saling berkaitan untuk mewujudkan satu kesatuan penyajian karya yang utuh. Kuda Lumping mempunyai struktur pertunjukan tari yang dapat dilihat dari tata hubungan elemen yang menyusunnya, seperti gerak, iringan, tata rias dan busana. Tata hubungan isi atau bentuk sajian pertunjukan Kuda Lumping dapat mewujudkan suatu nilai keindahan dari kesan masyarakat yang menyaksikannya.Unsur-unsur atau elemen yang terdapat dalam seni pertunjukan tari merupakan pola teoritis yang sekaligus juga merupakan sasaran kajian yang memiliki kompetensi sebagai bentuk kasus yang harus diungkap fungsinya (Maryono 2012: 89). Keberadaan struktur pertunjukan juga dapat melibatkan fungsi bagi masyarakat pendukungnya.
133
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Segala aktivitas yang dilakukan manusia pada dasarnya difungsikan untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, termasuk kegiatan berkesenian (Jazuli 2008: 45). Asumsi dasar fungsi dari adanya struktur lebih menekankan kepada kebutuhan sosial kelompok masyarakat. Fungsi pertunjukan mengungkapkan kegunaan kesenian yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, guna mempertahankan kesinambungan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Fungsi seni dalam masyarakat dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu yang disebabkan oleh dinamika masyarakat, kreativitas pelaku seni dan pola tingkah laku dalam konteks budaya masyarakat. Kelompok kesenian Kuda Lumping di Desa Gunungsari bernama “Turonggo Cipto Budoyo”. Turonggo berarti kuda, cipto berarti menciptakan atau melestarikan, dan budoyo berarti budaya (kesenian) atau sistem norma sosial, sehingga mempunyai arti melestarikan kesenian kuda/ Jaranan. Kesenian Kuda Lumping di Gunungsari muncul pada tahun 1971. Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo memiliki struktur dan fungsi pertunjukan di setiap pementasannya. Permasalahan yang perlu diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimanakah struktur dan fungsi pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo. Berdasarkan permasalahan yang dikaji, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasi struktur dan fungsi pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo. Kajian struktur seni pertunjukan dalam penelitian ini mengacu pada teori strukturalisme Levi Strauss. Pandangan Levi Strauss (dalam Pradoko 2001:4-5) terhadap analisis struktur kebudayaan (kesenian) dapat dilihat sebagai bahasa, dalam seni pertunjukan tari bisa disebut dengan bahasa komunikasi. Maksud dari bahasa komunikasi ini bahwa seniman ingin mengkomunikasikan pesan kepada penonton melalui tari dengan medium gerak. Fenomena seni pertunjukan (budaya) sebagai bahasa di dalamnya terdapat rantai urutan secara horisontal dan secara vertikal yang menghasilkan struktur dasar (luar) dan struktur dalam. Struktur luar (surface structure) merupakan bangunan unsur yang terlihat berdasar atas ciri-ciri empiris, sedangkan struktur dalam (deep structure) merupakan susunan tertentu yang dibangun berdasarkan struktur luar. Struktur luar mengungkapkan bangunan unsur yang terlihat meliputi pola pertunjukan dan elemen bentuk pertunjukan tari.Pola garapan karya pada umumnya terdiri dari tiga pola dasar yaitu pola awal atau pola pembuka, pola tengah atau pola pokok, dan pola akhir atau pola penutup (Senen 2005: 135). Pola pertunjukan tari mengungkapkan tata urutan penyajian dari pertunjukan seni yang dipentaskan. Seni pertunjukan tari melibatkan banyak elemen. Masing-masing elemen sangat penting dan menentukan terbentuknya entitas seni pertunjukan tersebut. Sebagai contoh dikemukakan sebuah pertunjukan wayang wong Jawa gaya Yogyakarta. Dalam seni pertunjukan tersebut elemen-elemen yang hadir menyatu adalah penari, gerak tari, rias dan busananya, musik iringannya, dialognya, serat kandha, pembaca serat kandha, serat pocapan, lantai pentas bahkan juga penontonnya (Soedarsono 2001: 70). Hermien Kusmayati (dalam Wijayadi dan Sahid 2000: 173) mengungkapkan bahwa seni pertunjukan menyampaikan berbagai makna yang hendak diserukan di belakang kelugasan aspek-aspek yang dibawakannya. Gerak, suara, desain lantai,
134
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
busana, rias, aksesori, dan properti yang menjadi media ungkapnya merupakan aspek-aspek yang sarat akan makna, di samping beberapa penunjang lain, seperti waktu penyelenggaraan, tempat pelaksanaan dan para pelakunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaannya. Pembahasan elemen bentuk pertunjukan pada penelitian ini ialah penggabungan dari teori Soedarsono dan Hermien Kusmayati sehingga elemen bentuk yang terdapat dalam pertunjukan tari terdiri atas lakon, pelaku (pemain), gerak, iringan (musik), rias dan busana, properti (perlengkapan), tempat pertunjukan (pentas), waktu pertunjukan, tata cahaya dan tata suara, serta penonton. Struktur dalam dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan atau dibangun. Struktur dalam mengungkapkan tata hubungan yang terjadi pada elemen atau aspek-aspek yang diungkap. Soedarsono (1998:57) mengungkapkan bentuk seni pertunjukan tari memiliki fungsi primer dan sekunder yang berbeda. Secara garis besar seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi dan sebagai presentasi estetis. Fungsi primer seni pertunjukan dijelaskan sebagai berikut. Seni pertunjukan sebagai Sarana Ritual Fungsi ini memiliki ciri-ciri khas yaitu: (1) diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih yang kadang-kadang dianggap sakral; (2) diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral; (3) diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual; (4) diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya; (5) tujuan lebih dipentingkan daripada penampilan secara estetis; dan (6) diperlukan busana yang khas (Soedarsono 1998: 60). Seni pertunjukan sebagai Hiburan Pribadi Fungsi ini melibatkan diri sebagai penikmat dalam pertunjukan (art by participation). Bentuk pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan pribadi disajikan oleh penari wanita sebagai penghibur dan pihak yang berperan sebagai penikmat adalah kaum pria. Dalam jenis tari yang berfungsi sebagai hiburan pribadi tak ada aturan yang ketat di atas pentas, asal penikmat bisa mengikuti irama lagu yang mengiringi tari serta merespon penari wanita pasangannya kenikmatan pribadi akan tercipta (Soedarsono 1998:98). Seni pertunjukan sebagai Presentasi Estetis Fungsi seni pertunjukan ini merupakan seni kolektif, penampilannya menuntut biaya yang tidak sedikit. Untuk menampilkan sebuah pertunjukan tari diperlukan, penari, busana tari, penata rias, pemusik, panggung pertunjukan, penata panggung dengan perlengkapannya dan sebagainya. Oleh karena penikmat sebagai penyandang dana produksi (production cost) menuntut sajian pertunjukan yang baik, sehingga sebagai penyajian estetis seni pertunjukan memerlukan penggarapan yang serius. (Soedarsono 1998: 108).
135
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
METODE Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif, yang mana peneliti menekankan analisisnya pada proses penyimpulan data dan analisis terhadap fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.Metode kualitatif inimemaparkan mengenai hasil penelitian berdasarkan konsep-konsep atau cara berfikir formal timbul dari data empiris yang telah diperoleh di tempat penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural-fungsional yang mengacu pada teori strukturalisme Levi Strauss. Pendekatan berperspektif antropologi ini, aspek pembahasannya dilihat dari kerangka tata hubungan elemen budaya yang membingkainya. Analisis dari pembahasan penelitian ini juga menggunakan pendekatan emik dan etik. Lindolf (dalam Ratna 2010:390) menjelaskan bahwa menganalisis adalah melakukan proses dengan cara mengungkapkan kembali semua proses pengumpulan data (emik), menganalisis melalui tanggapan peneliti (etik), kemudian menyimpulkan (emik dan etik). Sasaran penelitian ini ialah kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo di Desa Gunungsari Kecamatan Bawang Kabupaten Batang. Peneliti menggali objek ini perhatian utamanya untuk mengungkap struktur (tata hubungan antar elemen pertunjukan) dan fungsi pertunjukannya. Teknik pengumpulan data diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Langkah-langkah analisis data pada penelitian ini menggunakan teori Janet Adshead (dalam Murgiyanto 2002: 9-10) yang membagi proses analisa ke dalam empat tahap meliputi mengenali dan mendiskripsikan data, memahami hubungan antara komponen, menginterpretasi dan evaluasi data. Teknik pemaparan analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber. Triangulasi sumber digunakan untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Sugiyono 2015:373). HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo Pembahasan struktur pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyoberdasarkan teori yang digunakan dibagi atas struktur luar dan struktur dalam. Surface Structure Struktur luar pada pertunjukan Kuda Lumping ini membahas pola pertunjukan dan elemen bentuk pertunjukan. Pola pertunjukan membahas tata urutan penyajian dari keseluruhan pertunjukan pada kelompok kesenian Turonggo Cipto Budoyo yang terdiri atas pembuka atau pra tontonan, inti pertunjukan dan penutup. Pembuka berisi sambutan-sambutan dan gendhing Manyar Sewu. Pada acara inti dipertontonkan beberapa tarian diantaranya Warok Gundul, Kuda Lumping, OndelOndel dan Barongan. Penutup berisi sambutan penutup dan gendhing Sampak Manyuro. Elemen bentuk pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyoterdiri dari lakon, pelaku (pemain), gerak, iringan (musik), rias dan busana, properti
136
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
(perlengkapan), tempat pertunjukan (pentas), waktu pertunjukan, tata cahaya dan tata suara, serta penonton. Lakon Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo terdapat beberapa lakon yang diperankan dalam tari dan pengadeganan (babak) di setiap pertunjukannya. Lakon dalam pertunjukan Kuda Lumping yaitu Landhang (Wiroyudho), Lengger, Buto Cakil dan Prajurit. Landhang merupakan tokoh utama dalam adegan cerita tarian yang memiliki karakter gagah dan pemberani dan bertindak sebagai ketua dari para prajurit berkuda. Lenggermerupakan seorang putri raja sebagai kekasih dari Landhang yang memiliki karakter anggun dan berparas cantik. Buto Cakilbertindak sebagai pengganggu Lengger yang memiliki karakter ganas. Prajuit berkuda berperan sebagai pengawal dari Wiroyudho yang memiliki karakter patuh dan penuh semangat. Pertunjukan para lakon dalam kesenian Kuda Lumping terbagi atas enam adegan/ babak. Babak pertama ialah penampilan dari Putri raja (Lengger) berjalan memainkan sampur mengelilingi area pementasan menggambarkan bahwa putri pergi meninggalkan istana kerajaan. Babak kedua ialah pertunjukan tarian Kuda Lumping oleh Wiroyudho dan Prajurit, menggambarkan latihan perang dan pencarian Putri / Lengger yang hilang. Pada babak ketiga ialah penampilan tari oleh lakonWiroyudho dan Lengger menceritakan bahwa putri raja telah ditemukan, para Prajurit duduk melingkar menyaksikkan tarian yang menggambarkan adegan percintaan. Babak keempat adalah adegan tarian dimainkan oleh Lengger dan Buto Cakil, sebagai penggambaran Lengger yang sedang diganggu oleh siluman jahat Buto Cakil. Babak kelima ialah pertunjukan Kuda Lumping antara Wiroyudho dan Buto Cakil, menampilkan tarian yang menggambarkan adegan perang yaitu perjuangan Wiroyudho untuk menolong Putridari gangguan siluman jahat Buto Cakil. Babak keenam atau pertunjukan terakhir menampilkan tarian Kuda Lumping Wiroyudho dan Prajurit, yang berupa tari prajuritan sampai selesai sebagai penggambaran kegembiraan atas kemenangan Wiroyudhoyang dapat mengalahkan Buto Cakil dan putri/ Lengger yang dapat diselamatkan. Pelaku (Pemain) Pelaku pada kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo terdiri atas penari, pemusik (yogo) dan pawang. Penari dalam kesenian Kuda Lumping ini terbagi atas lakon-lakon yang dimainkan. Pemusik atau biasa disebut “yogo” atau niyaga dalam kelompok kesenian Turonggo Cipto Budoyo sebagai penabuh iringan untuk penari. Pawang berperan dan bertanggung jawab mengendalikan jalannya pertunjukan serta mengkondisikan para pemain apabila terjadi kesurupan. Gerak Bentuk gerak tari dalam kesenian Kuda Lumping sebagai seni tradisonal kerakyatan tergolong sederhana, tidak terlalu mengutamakan makna gerak yang terkandung di dalamnya namun tetap variatif. Perhatian utama dalam gerak ialah penampilan yang energik dan rampak dari penarinya yang dapat menyesuaikan
137
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
iringan. Gerak tari didasari oleh daya kreativitas dari pelaku seni atau pelatih yang tidak menutup kemungkinan untuk pengubahan gerak setiap dekade tertentu. Gerak dalam kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyoberdasarkan masing-masing peran/ lakon. Tari Kuda Lumping ini menjadi fokus tarian yang utama, meskipun terdiri atas beberapa lakon dalam pertunjukannya. Tari berdasarkan lakon dalam kesenian Kuda Lumping ini meliputi: 1) Tari Kuda Lumping, 2) Tari Lengger, dan 3) Tari Buto Cakil. Gerak tari Kuda Lumping diadopsi dari gaya Temanggung dan gaya Banyumas Gerak tari Kuda Lumping Prajuritan sebagai gerak utama dalam kesenian Kuda Lumping terdiri atas beberapa ragam yaitu junjungan, ngipas jaran, onclang, nggebes jaran, anjrot jaran, tranjal dengak, langkah blendrong, trecet, bendenan, laku jinjit, dolanan jaran, srudukan, jogedan, dan sembahan. Gerak yang dilakukan penari Lengger sebenarnya bebas dan belum dipatenkan, ragamnya mengambil dari gerak gaya tari putri. Penari Lengger mengikuti alunan musik bergerak sesuai dengan gaya penari itu sendiri, namun tetap terlihat anggun dan kenes. Ragam gerak tari Lengger dalam kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyoterdiri dari jalan pembuka, srisig, dolanan sampur, ukel lumaksono, dan ulap-ulap. Gerak untuk penari Buto Cakil dilakukan atas dasar kreatifitas penari namun tetap berkiblat pada ragam gerak gaya cakilan jawa yang lincah dan atraktif. Ragam gerak Buto Cakilterdiri dari lompat cakilan, ngilo asta, trap sumping, dan kebar sampur.
Iringan (Musik) Alat yang digunakan sebagai iringan pada kesenian ini ialah seperangkat gamelan tradisional yang terdiri atas: saron pelog dan slendro, bonang barung, bonang penerus, kendang, kempul, gong, kethuk, kenong dan satu tambahan alat modern (non tradisi) yaitu drum. Iringan atau gending yang digunakan dalam pertunjukan kesenian untuk mengiringi tari Kuda Lumping antara lain gendhing Laras Pelog, Laras Slendro, Lancaran, Srepeg, Sampak, Gending Kumudo Rangsang dan Sampak Manyuro. Ada beberapa jenis musik iringan untuk mengiringi tari Kuda Lumping sesuai dengan karakteristik gerak yang ditampilkan yaitu iringan dengan tempo cepat, sedang dan lambat. Iringan saat tari Kuda Lumping ialah Dawet Ayu menggunakan gendhing larasslendro, pada waktu Lengger menggunakan gendhing Jangkrik Genggong, dan pada saat Buto Cakil menggunakan iringan Kumudo Rangsang. Rias dan Busana Rias dan busana yang digunakan pada kesenian Kuda Lumping dibedakan atas lakon/ peran yang dibawakannya. Wiroyudho dan Prajurit masuk dalam kategori rias karakter. Rias karakter untuk penari ini bertujuan untuk membentuk karakter tokoh Wiroyudho dan Prajurit yang gagah, pemberani dan tangguh. Busana Prajurit dan Landhang antara lain: bagian atas yang dikenakan di kepala yaitu wig berwarna kuning atau merah dan irah-irahan, bagian atas pada wajah menggunakan kumis palsu. Busana yang dikenakan pada bagian tengah yaitu
138
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
di bagian tubuh memakai badong (baju), gelang tangan untuk dipakai di pergelangan tangan, kelat bahu dikenakan di lengan atas kanan dan kiri. Busana bagian bawah terdiri atas jarit, rampek, sampur, angkin atau stagen, celana, krincingan (binggel). Rias untuk putri Lengger ialah korektif cantik, karena untuk mempertegas garis-garis wajah penari Lengger supaya terlihat cantik dan anggun. Busana yang dipakai penari Lengger terdiri atas: irah-irahan yang dipakai di bagian kepala, rompi dikenakan di badan, selendang atau sampur, jarit dikenakan di bagian bawah yang menutupi kaki, angkin (stagen) serta perlengkapan atau aksesoris seperti anting, kelat bahu,gelang tangan. Buto Cakil tidak menggunakan riasan pada wajah, melainkan menggunakan topeng sebagai pengganti rias sebagai penguat dari penggambaran karakter yang diperankan. Busana yang dipakai penari Buto Cakil (Warok) terdiri atas: iket yang dipakai di kepala, rompi (baju), gelang tangan, kelat bahu, selendang, jarit, sampur, angkin, celana, krincingan. Properti (Perlengkapan) Properti atau perlengkapan pada pertunjukan Kuda LumpingTuronggo Cipto Budoyo terbagi atas properti sebagai penunjang gerak penari dan sebagai perlengkapan pertunjukan. Perlengkapan pertunjukan dalam kesenian Kuda Lumping ini yang dianggap penting dan wajib di setiap pertunjukan berlangsung ialah sajen. Properti sebagai penunjang gerak penari menggunakan jaranan (kuda buatan), cemeti (pecut) dan topeng. Tata Cahaya dan Tata Suara Tata cahaya/ lighting yang digunakan dalam pertunjukan Kuda Lumping di malam hari menggunakan penerangan lampu putih biasa dan lampu general. Perpaduan lampu modern warna putih dan general kuning selain sebagai penerangan juga bertujuan untuk mewujudkan suasana pertunjukan yang merakyat. Pertunjukan kesenian Kuda Lumping ini juga selalu menggunakan tata suara (soundsystem) untuk pengeras suara, supaya di setiap pementasannya, iringan terdengar jelas oleh para penonton. Pentas Pentas bagi pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo merupakan tempat untuk mengekspresikan tari dengan tujuan mempertontonkan kepada masyarakat sekitar. Bentuk tempat pertunjukan/ pentas kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo berupa bentuk tradisional maupun bentuk modern, bergantung pada event/ acara yang diselenggarakan. Tempat pertunjukan tradisional biasanya berada di lapangan terbuka, sedangkan area pertunjukan modern berada di dalam gedung dan panggung. Tempat pentas untuk kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo membutuhkan ruang yang luas, karena selain penari banyak, juga volume gerakannya besar. Waktu Pertunjukan Waktu pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyobiasanya terjadi pada siang hari (ba’da dhuhur) sampai dengan sore dan dilanjut malam hari apabila
139
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
kelompok kesenian tampil semua (termasuk Warok Gundul, Tari Jathilan, OndelOndel, dan Barongan). Pertunjukan juga bisa terjadi hanya selang waktu 30 menit sampai satu jam sesuai dengan acara atau pun permintaan penanggap. Penonton Penonton pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyohampir semua kalangan usia, baik anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, simbah-simbah, lakilaki maupun perempuan, baik masyarakat desa sendiri maupun luar desa. Semua masyarakat turut mengapresiasi atas pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo yang diselenggarakan di acara tertentu. Penonton dalam pertunjukan Kuda Lumping ini ada beberapa yang paham mengenai seni, umumnya biasa saja, dan bahkan ada yang tidak mengetahui seni sama sekali. Penonton yang paham terhadap seni mampu menilai pertunjukan dari keseluruhan aspek sajian pementasan, memahami setiap unsur pertunjukan yang ada. Penonton yang umum bisa menilai secara sederhana, tanggapannya antara bagus atau tidak, menghibur atau membosankan. Penonton yang sebelumnya tidak mengenal seni sama sekali, saat mendengar musik gamelan dan terjadi keramaian disekitarnya, pasti merasa penasaran sehingga muncul hasrat ingin menonton dan menyaksikan pertunjukan. Deep Structure Struktur dalam atau deep structure mengungkap tata hubungan yang terjadi antar elemen pertunjukan. Tata hubungan elemen pertunjukan yang terjadi antara lain tata hubungan gerak, iringan, rias busana, properti dan pentas. Tata Hubungan Gerak Struktur gerak tari Kuda Lumping terdiri atas tata hubungan antar elemen dasar dan tata hubungan hirarkis. Tata hubungan antar elemen dasar mengungkap analisis dan interpretasi ragam gerak di dalamnya terdapat sikap maupun gerak dari bagian-bagian tubuh sebagai media ekspresi yang diungkapkan melalui empat bagian yaitu kepala, badan, tangan dan kaki. Tata hubungan hirarkis yang terjadi dalam gerak tari Kuda Lumping terdiri dari dua puluh delapan motif, sembilan belas frase, tiga belas kalimat dan satu gugus. Berdasarkan tata hubungan hirarkis dalam gerak tari Kuda Lumping, ditemukan adanya tata hubungan sintagmatis, yang merupakan hubungan gerak saling berkaitan seperti mata rantai, dan tata hubungan paradigmatis, yaitu ragam gerak dapat ditukar atau saling mengganti di setiap pola irama tertentu. Tata Hubungan Iringan Gerak dengan iringan merupakan bagian dari aspek pertunjukan tari yang tidak dapat dipisahkan. Gerak dalam tari Kuda Lumping sangat bergantung dengan iringan atau gendhing yang dimainkan oleh niyaga. Iringan/ musik bagi gerak tari Kuda Lumping ini berfungsi sebagai pengiring, pemberi suasana pada bentuk pertunjukan tari secara menyeluruh, dan sebagai ilustrasi atau pengantar tari. Tata hubungan gerak tari Kuda Lumping dengan iringan/ gendhingnya terletak pada irama dan tempo.
140
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Hubungan gerak dengan iringan utamanya tertuju pada musik kendangan. Musik/ iringan yang kuat dan cepat geraknya cenderung agresif dan lincah, bahkan ketika tempo dari musik kendangan semakin cepat bisa terjadi trance. Iringan dan pukulan kendang dengan tempo lambat dan lemah, gerakan tari mengalun dan santai. Gerak dan iringan harus berjalan bersama untuk mewujudkan struktur pertunjukan tari secara maksimal. Tata Hubungan Rias dan Busana Setiap pertunjukan tari, rias busana menjadi salah satu pusat perhatian bagi para penonton, begitu juga dengan pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo. Rias dan busana dalam pertunjukan Kuda Lumping ini memiliki tata hubungan dengan gerak. Perpaduan yang terjadi antara ketiganya untuk menunjukkan keserasian dan keselarasan dari wujud ekspresi visual yang ingin disampaikan kepada penonton. Keterkaitan dari perpaduan garis, corak maupun warna pada tata rias dan busana yang dikenakan penari Kuda Lumping membantu gerak dalam mewujudkan karakter atau peran penari. Penari Kuda Lumping menunjukkan karakter pemberani dan gagah melalui coretan garis, warna pada rias dan perpaduan warna pada busana, sehingga gerakannya lincah, atraktif dan dinamis untuk mewujudkan keutuhan pada gerak tari sesuai dengan karakter/ lakon kepenarian. Hal tersebut menunjukkan adanya keselarasan atau keterkaitan antara elemen gerak dengan rias dan busana. Tata Hubungan Properti Properti dengan gerak tari dalam kesenian Kuda Lumping memiliki tata hubungan yang saling melengkapi. Properti yang menunjang gerak tari dalam pertunjukan seni kerakyatan ini mempunyai maksud untuk menyatukan gerak tari dengan kesesuaian tema/ isi tari. Properti dalam pertunjukan tari Kuda Lumping berfungsi sebagai media untuk menyampaikan makna atau pesan dari gerak tari yang dibawakan. Fungsi properti tari ini selain sebagai penunjang gerak juga dimanfaatkan untuk menambah nilai keindahan dari gerak tari yang ditampilkan. Tata Hubungan Pentas Pentas atau panggung dalam pertunjukan Kuda Lumping memiliki tata hubungan dengan gerak tari, karena panggung dimanfaatkan sebagai wadah/ ruang ekspresi penari yang diwujudkan melalui gerak. Pemanfaatan ruang pentas tari Kuda Lumping diantaranya untuk membentuk pola lantai penari agar tampilan gerakannya terlihat bervariasi, tidak monoton dan menambah nilai keindahan struktur pertunjukan tari. Ruang pentas juga dimanfaatkan untuk mengatur jarak antar penari, misalnya saat tempat pementasan di lapangan jarak penari harus lebar untuk memenuhi ruang pentas dan menghindari terjadinya tabrakan saat penari bergerak. Fungsi Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo di Desa Gunungsari dapat mengalami perubahan fungsi sesuai dengan acara/ keperluan pertunjukan.
141
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Fungsi pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyodiklasifikasikan menurut fungsi upacara, fungsi hiburan dan fungsi presentasi estetis. Fungsi Upacara Kesenian Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo masih terikat kuat dengan adat istiadat di Desa Gunungsari, sehingga sebagai salah satu potensi kebudayaan yang ada, kesenian ini masih sering digunakan untuk kegiatan upacara tertentu. Kuda Lumping di Desa Gunungsari dipertunjukkan menurut fungsi upacara terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu upacara bersih desa, bukakan tutupan, dan suronon (kebar). Upacara bersih desa dimaksudkan untuk mengucap rasa syukur atas hasil panen. Pelaku dalam kegiatan ini dipimpin oleh sesepuh dan Kepala Desa Gunungsari. Waktu pertunjukan biasanya dilaksanakan setelah panen padi berakhir. Kegiatan upacara bersih desa ditandai dengan acara sedekah bumi berwujud tumpeng yang merupakan hasil sumbangan dari keluarga-keluarga desa dan isi acaranya adalah panjatan doa-doa dalam muslim. Pelaksanakan kegiataan bersih desa diantaranya membersihkan gogo, pekarangan, sawah, alat cangkul, dan makam. Acara inti sebagai ritual sekaligus hiburan, beberapa kesenian yang ada di Desa Gunungsari dimainkan. Urutan sajian kesenian yang dimainkan mulai dari penampilan Warok Gundul, Kuda Lumping dan Barongan. Pertunjukan Kuda Lumping di Desa Gunungsari dalam rangka upacara ‘bukakan’ dilaksanakan sesudah syawalan, yaitu setelah hari raya Idul Fitri yang biasanya main antara tanggal 6 atau 7 syawal. Upacara dalam rangka ‘tutupan’ ialah acara yang dilaksanakan ketika mau memasuki bulan puasa atau bulan suci Ramadhan. Upacara bukakan tutupan ini dilakukan khusus untuk penampilan acara keseniannya tanpa ada rangkaian acara yang lain. Proses rangkaian acara dimulai dari sambutan-sambutan, penampilan Warok Gundul dan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo, kemudian yang mengiringi diadakan tutupan supaya diistirahatkan. Begitu juga sebaliknya, untuk acara bukakan dengan memulai lagi nguri-urinya. Upacara/ ritual suronan di Desa Gunungsari sering disebut dengan ‘kebar’ dilaksanakan ketika memasuki bulan suro dengan maksud sebagai tolak balak agar tidak ada musibah di desa, karena anggapan masyarakat bulan suro ini merupakan bulan yang mengerikan. Kegiatan bulan suro di Desa Gunungsari ini dilaksanakan pengajian Akhirussanah dan pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo.
Fungsi Hiburan Pertunjukan Kuda Lumping sebagai fungsi hiburan merupakan aktivitas pentas dengan maksud sebagai tontonan dan pemuas kebutuhan estetis bagi masyarakat yang menyaksikkan. Tujuan utamanya untuk memberikan kesenangan kepada orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan. Suatu pertunjukan sebagai fungsi hiburan biasanya dapat menyenangkan hati, menumbuhkan rasa takjub dan dapat menghilangkan rasa penat atau stres. Fungsi hiburan ini saling berkaitan antara pemain (pelaku seni), penanggap dan penonton. Fungsi Presentasi Estetis
142
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyomerupakan salah satu seni kerakyatan yang kolektif, dalam artian bahwa kesenian ini memerlukan pendanaan di setiap pertunjukannya, karena setiap pertunjukan Kuda Lumping ini harus menggunakan perlengkapan tertentu, seperti sajen. Sebuah pertunjukan Kuda Lumping ini pada setiap pertunjukannya menampilkan penari lengkap dengan rias dan busana, serta pemusik dengan iringan secara live. Fungsi pertunjukan sebagai presentasi estetis ini dapat dimaksudkan bahwa penyajian suatu karya seni tentunya mempunyai tujuan untuk mempertunjukkan aspek-aspek yang berkaitan dengan keindahan dan kualitas seni secara totalitas atau maksimal. Hal ini berarti bahwa Kuda Lumping yang dipentaskan didasarkan atas pencapaian hasil, sehingga akan mewujudkan pertunjukan Kuda Lumping dengan menjunjung tinggi nilai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dari tiap-tiap unsur yang terlibat. Salah satu tujuan kesenian Turonggo Cipto Budoyoini memang untuk mempresentasikan karya yang bernilai estetis atau indah, dan ingin sesuatu yang dipandang masyarakat itu menarik dan bagus. SIMPULAN Struktur pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo di Desa Gunungsari Kecamatan Bawang Kabupaten Batang merupakan tata hubungan dari bagian atau rangkaian keseluruhan pertunjukan yang menghasilkan struktur dasar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur dasar terdiri atas pola pertunjukan dan elemen atau aspek pertunjukan. Pola pertunjukan meliputi pembuka atau pra tontonan, inti pertunjukan dan penutup. Elemen atau aspek pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo terdiri dari lakon, pelaku, gerak, iringan, tata rias dan busana, properti atau perlengkapan, tempat dan waktu pertunjukan, tata cahaya dan tata suara, serta penonton. Struktur dalam mengungkapkan tata hubungan antara elemen-elemen pertunjukan yang dibangun yang menghasilkan tatanan hubungan elemen gerak, iringan, rias dan busana, properti atau perlengkapan dan pentas. Fungsi pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Cipto Budoyo di Desa Gunungsari Kecamatan Bawang Kabupaten Batang digolongkan atas fungsi upacara, fungsi hiburan dan fungsi presentasi estetis. Fungsi upacara yang ada meliputi upacara bersih desa, bukakan-tutupan, dan suronan (kebar). Fungsi hiburan kesenian Kuda Lumping sebagai pemenuhan kebutuhan hiburan untuk memperoleh rasa senang terkait dengan pelaku seni, penanggap maupun penonton. Fungsi presentasi estetis dalam kesenian ini untuk mempresentasikan atau mempertunjukkan kesenian yang estetis atau untuk dinikmati nilai keindahannya dan juga diartikan sebagai seni kolektif, yaitu perlunya pendanaan di setiap pertunjukan dengan sistem manajemen secara komersial.
DAFTAR PUSTAKA Djelantik, M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Hadi, Sumandiyo. 2007. Kajian Tari: Teks dan Konteks.Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
143
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Jazuli, M. 2008. Pendidikan Seni Budaya Suplemen Pembelajaran Seni Tari. Semarang: Unnes Press Maryono. 2012. Analisa Tari. Surakarta: ISI Press Solo Murgiyanto, Sal. 2002. Kritik Tari Bekal dan Kemampuan Dasar. Jakarta: MSPI Pradoko, Susilo. 2001. Penerapan Paradigma Strukturalisme Levi Strauss dalam Menganalisa Fenomena Seni Pertunjukan. Seminar Nasional Bahasa, Sastra dan Seni dalam Perspektif Pluralisme Budaya. Yogyakarta 29-30 Oktober 2001 Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Senen, I Wayan. 2005. Perempuan dalam Seni Pertunjukan di Bali. Jogjakarta: BP ISI Yogyakarta Soedarsono R.M. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ------. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesi (MSPI) Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Wijayadi, Agus Sri dan Nur Sahid (Eds.). 2000. Mencari Ruang Hidup Seni Tradisi. Yogyakarta: BP FASPER ISI Yogyakarta
144
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
ESTETIKA KESENIAN ANGGUK PUTRI SRIPANGLARAS DI DESA HARGOMULYO KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO Khoirunisa’, Indriyanto, Wahyu Lestari Universitas Negeri Semarang Abstrak Penelitin ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan Estetika Kesenian Angguk Putri Sripanglaras di Desa Hargomulyo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini menggunakan pendekatan estetis koreografis, dengan fokus penelitian Estetika Kesenian Angguk Putri Sripanglaras di Desa Hargomulyo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan melalui empat tahap, yaitu mengenali dan mendeskripsikan, memahami hubungan antar komponen, melakukan interpretasi, dan yang terakhir melakukan evaluasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa estetika Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui bentuk pertunjukan, bobot/isi, serta penampilan. Pertunjukan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras terbagi ke dalam tiga tahapan, yaitu awal, inti, dan penutup. Tahap awal pertunjukan penari menarikan tarian pembuka. Masuk pada tahap inti, penari menarikan beberapa tarian inti yang selanjutnya ada salah seorang penari yang mengalami trance. Penari menarikan tarian penutup pada tahap penutup. Kata Kunci : Kesenian Angguk, estetika, pertunjukan. Abstract This study aims to identify and describe aesthetics of girl Angguk Sripanglaras arts in the Village District Hargomulyo Kokap Kulon Progo regency.This study uses a choreography aesthetics, with a focus on form aesthetics of girl Angguk Sripanglaras arts in the Village District Hargomulyo Kokap Kulon Progo regency. Data collection techniques used observation, interview, and documentation. Data analysis techniques do by four steps, there are identify and describe, understanding the relationships between components, interpretation, and evaluation. The result showed that the aesthetics of girl Angguk Sripanglaras arts can be seen through form Angguk performing arts, contents, and showing. Performing of girl Angguk Sripanglaras divided into three stages, there are early on, the core, and the cover. The initial stage of the show the dancers perform the opening dance.Sign on the core stage the dancers danced several dances core then there is one of the dancers who experienced trance. Dancers dance to cover the closing stages. Key words : Angguk, aesthetics, performing
145
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PENDAHULUAN Sebuah seni menjadi indah apabila tercipta satu kesatuan yang utuh diantara elemen-elemen pertunjukannya. Bentuk dan bobot/isi merupakan elemen pertunjukan yang dapat mewujudkan suatu keindahan dalam karya seni. Gerak termasuk aspek pokok pada bentuk yang dapat menghasilkan keindahan. Sebuah karya seni tari membutuhkan gerak sebagai sesuatu yang pokok untuk memperoleh keindahan. Gerak sebagai media tari ditata secara artisitik melalui suatu proses sehingga tercipta keindahan dalam sebuah karya seni. Rias busana, iringan, pola lantai, waktu dan tempat, serta struktur penyajian merupakan aspek pendukung gerak sehingga menghasilkan nilai keindahan yang utuh. Setiap karya seni terkait dengan keindahan. Sebuah karya seni yang tercipta pasti memiliki nilai estetis atau keindahan. Karya seni yang memiliki nilai keindahan dapat berwujud gerak, suara, dan rupa. Kesenian Angguk misalnya, kesenian Angguk memiliki nilai keindahan yang berwujud gerak, didukung oleh aspek pendukung lainnya seperti rias busana, pola lantai, iringan, serta struktur penyajian. Keindahan pada suatu karya seni berfungsi untuk memenuhi kebutuhan rohani seseorang. Orang akan merasa senang, gembira, bahkan puas ketika melihat sesuatu hal yang indah, hal tersebut merupakan dampak langsung dari apa yang diakibatkan dari sebuah keindahan. Keindahan merupakan sebuah persepsi, yang ketika penikmatnya mengadakan reseptif mereka tidak sadar telah masuk dalam jiwa sehingga dibuatnya tidak kuasa menolak bahkan harus menyerah dikuasainya (Maryono, 2012:97). Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo seperti tak kuasa apabila melihat atau menyaksikan pertunjukan Kesenian Angguk. Kesenian ini sangat diminati oleh masyarakat luas hingga sekarang. Masyarakat merasa bahagia apabila menonton kesenian Angguk, bahkan tak jarang ada yang sampai ikut menari-nari dikarenakan menghayatinya. Angguk adalah kesenian rakyat yang berkembang di daerah pedesaan Kabupaten Kulon Progo, khususnya di wilayah barat dan utara. Kesenian Angguk Putri merupakan tari kerakyatan unggulan yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Kesenian Angguk menggambarkan para muda-mudi yang bersuka ria menyambut panen tiba. Angguk adalah kata jawa yang memiliki arti menggerakkan kepala ke atas-bawah berulang-ulang atau mengganguk. Tarian ini selalu diawali dan diakhiri dengan menganggukan kepala sebagai bentuk penghormatan kepada penonton. Gerakan anggukan kepala merupakan khas tarian angguk dan kemudian dipatenkan menjadi nama. Kesenian Angguk itu indah. Keindahan pada Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui bentuk pertunjukan, bobot/isi, serta penampilan. Suasana, gagasan, dan pesan merupakan bagian bobot/isi dalam sebuah pertunjukan. Penampilan dalam pertunjukan meliputi bakat, keterampilan, dan sarana. Bentuk
146
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pertunjukan, bobot/isi, serta penampilan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam sebuah pertunjukan, sehingga menghasilkan keindahan dalam sebuah tarian. Seni tradisional kerakyatan merupakan produk budaya rakyat yang memiliki ciri-ciri kerakyatan yaitu spontan dan sederhana, sama dengan kesenian Angguk yang bersifat sederhana. Kesederhanaan pada pertunjukan justru membuat Kesenian Angguk memiliki nilai keindahan. Gerak sederhana dan alat musik yang sederhana seperti kendang, bedug, dan rebana dapat menghadirkan satu kesatuan yang menarik antara gerakan dengan iringan. Gerak yang digunakan pada Kesenian Angguk dapat dikatakan sederhana. Gerak utama yang digunakan adalah megol atau ngegol dan kirig. Megol atau ngegol merupakan gerakan menggerakkan pinggul ke kanan dan ke kiri. Megol atau ngegol digunakan untuk perpindahan tempat. Kirig merupakan gerakan yang dilakukan oleh kedua bahu ke depan dan ke belakang dengan cepat sehingga bahu penari terlihat seperti bergetar. Penyajian kesenian Angguk menggunakan sesaji yang bertujuan supaya pementasan Angguk berjalan lancar. Masyarakat percaya bahwa sesaji merupakan sarana memanjatkan doa kepada dhanyang atau penguasa alam ghaib desa yang menjadi lokasi pertunjukan. Kesenian Angguk dikenal dengan adanya adegan ndadi atau trance, dimana masyarakat percaya bahwa roh halus telah masuk ke dalam tubuh penari yang hadir melalui doa-doa dan sesaji yang telah disiapkan. Adegan ndadi atau trance merupakan adegan yang paling banyak diminati oleh penonton. Angguk Sripanglaras identik dengan penari-penari perempuan yang cantik dan muda dengan balutan busana yang terbilang sexy, yaitu baju lengan panjang dan celana pendek (hot-pants). Pemakaian busana yang sexy dengan ditambah gerakan pinggul dan gerakan bahu penari merupakan sebuah keindahan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmatnya. Keindahan Angguk Putri Sripanglaras, selain terletak pada gerak dan busananya, juga terletak pada iringan serta tata riasnya. Bentuk pertunjukan, bobot/isi, dan penampilan pertunjukan juga menjadi unsurunsur penting dalam terciptanya Kesenian Angguk yang memiliki nilai keindahan tersendiri bagi penikmatnya. Estetika Secara etimologis kata estetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu aistheta, yang juga diturunkan dari aisthe, yang artinya hal-hal yang dapat ditanggapi dengan indra / tanggapan indra (Shipley dalam Nyoman, 2011:3). Menurut Djelantik (1999:9) ilmu estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang disebut keindahan. Keindahan tari tidak hanya keselarasan gerakan-gerakan badan dengan iringan musik gamelan saja, tetapi seluruh ekspresi itu harus mengandung maksudmaksud isi tari yang dibawakan (Sumandiyo Hadi, 2007: 15).
147
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Gerak Gerak merupakan perpindahan tempat dari satu titik ke titik yang lainnya. Gerak merupakan elemen pokok yang harus ada dalam sebuah karya tari. Menurut Soerjodiningat (dalam Sumandiyo Hadi, 2007:25) gerak adalah dasar ekspresi, oleh sebab itu gerak kita temui sebagai ekspresi dari semua pengalaman emosional yang diekspresikan lewat medium yang tidak rasional, yakni gerakan tubuh (ebahing sadaya sarandhuning badhan) gerakan seluruh tubuh. Pelaku Pelaku yang dimaksud disini yaitu penari. Menurut Maryono (2012:56) penari adalah seorang seniman yang kedudukannya dalam seni pertunjukan tari sebagai penyaji. Kehadiran penari dalam pertunjukan tari merupakan bagian pokok yaitu sebagai sumber ekspresi jiwa dan sekaligus bertindak sebagai media ekspresi atau media penyampai. Tata Rias dan Busana Tata rias merupakan seni merias atau memperindah wajah menggunakan alat make up atau kosmetik. Beberapa macam jenis rias, yaitu rias cantik/korektif; rias karakter; rias fantasi; serta rias tua. Rias cantik/korektif merupakan rias yang digunakan untuk mempercantik diri atau menyempurnakan wajah sehingga terlihat lebih sempurna. Rias karakter biasa digunakan dalam sebuah pertunjukan tari yang berfungsi untuk memperkuat karakter yang sedang dibawakan, misalnya tokoh dalam pewayangan seperti rahwana, arjuna, dan shinta. Rias fantasi merupakan rias yang berfungsi untuk merubah seseorang sehingga terlihat menyerupai suatu benda atau hewan. Rias tua merupakan rias yang digunakan untuk membuat seseorang terlihat tua. Fungsi rias dalam sebuah pertunjukan tari antara lain untuk mengubah karakter pribadi menjadi karakter tokoh yang sedang dibawakan, untuk memperkuat ekspresi, dan menambah daya tarik penampilan (Jazuli, 2008:23). Menurut Maryono (2012:61) busana merupakan sesuatu yang dapat mengarahkan penonton pada pemahaman beragam jenis peran atau figur tokoh dalam sebuah pertunjukan tari. Iringan Iringan merupakan musik yang digunakan untuk mengiringi sebuah pertunjukan tari. Menurut Maryono (2012:64) musik merupakan salah satu cabang seni yang memiliki unsur-usur baku yang mendasar, yaitu nada, ritme, dan melodi. Lain halnya dengan pendapat Jazuli (2008:13) yang menyatakan bahwa keberadaan musik didalam tari memiliki tiga aspek dasar yang erat kaitannya dengan tubuh
148
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
manusia, yaitu melodi, ritme, dan dramatik. Pada sebuah tarian, musik memiliki fungsi sebagai pengiring tari, pemberi suasana dan sebagai ilustrasi. Bobot/Isi Bobot yang dimaksud disini merupakan isi atau makna yang terkandung dalam sebuah karya seni. Karya seni yang satu dengan yang lainnya memiliki bobot (isi/makna) yang berbeda-beda. Menurut Djelantik (1999:60-61) bobot dalam kesenian terbagi menjadi tiga hal, yaitu suasana, gagasan/ide, dan pesan. Penampilan Penampilan merupakan wujud dari sesuatu yang bersifat kongkrit. Pada sebuah karya seni, khususnya tari penampilan yang dilihat meliputi cara penyajiannya serta bagaimana kesenian itu disuguhkan kepada penonton. Menurut Djelantik (1999:76-77) ada tiga unsur yang berperan dalam penampilan, yaitu bakat, keterampilan, dan sarana. METODE Metode yang digunakan yaitu kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu keadaan sebagaimana adanya serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pendekatan estetis koreografis juga digunakan dalam penelitian mengenai estetika Kesenian Angguk Putri di Desa Hargomulyo. Pendekatan estetis koreografis merupakan pendekatan yang bertujuan mencari daya tarik keindahan pada sebuah tarian melalui struktur koreografi yang terdapat dalam tarian. Pendekatan estetik adalah pendekatan yang khusus menekankan aspek-aspek seni dan desain dalam kaitannya dengan daya tarik estetik (Walker, 2010: xxiii). Pendekatan koreografis merupakan pendekatan yang mengkaji mengenai bentuk dan gaya suatu tata susunan tari. Bentuk merupakan salah satu prinsip dasar koreografi yang hadir sebagai organisasi kekuatan dari hasil struktur internal dalam tari (Widyastutieningrum, Wahyudiarto, 2014:3). Pendekatan estetis koreografis digunakan untuk mendeskripsikan aspek-aspek yang terdapat dalam pertujukan Kesenian Angguk Putri seperti bentuk, isi, penampilan, serta keindahan yang ada pada Kesenian Angguk Putri di Desa Hargomulyo. Obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah kelompok kesenian Angguk Putri Sripanglaras, sedangkan sasaran dalam penelitian ini yaitu pada estetika kesenian Angguk Putri Sripanglaras di Desa Hrgomulyo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, yang dilihat melalui bentuk pertunjukan, bobot/isi, serta penampilan.
149
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Tari Kesenian Angguk merupakan tarian tradisional yang dibawakan secara berkelompok dan berpasangan. Angguk adalah kata jawa yang memiliki arti menggerakkan kepala ke atas-bawah berulang-ulang atau mengganguk. Gerakan mengangguk merupakan khas tarian angguk dan kemudian dipatenkan menjadi nama. Masyarakat mengenal tarian ini dengan sebutan Angguk. Terlepas dari nama yang memang disesuaikan dengan gerakan kepala penarinya yang menganggukangguk, tarian ini dikenal sebagai kesenian unggulan Kabupaten Kulon Progo. Kesenian Angguk merupakan satu dari jenis kesenian rakyat yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Kesenian angguk berbentuk tarian disertai dengan pantunpantun rakyat yang berisi berbagai aspek kehidupan manusia, seperti pergaulan dalam hidup bermasyarakat, budi pekerti, nasihat-nasihat dan pendidikan. Tidak mudah merunut asal mula dari mana pertama kali kesenian ini berasal, namun yang pasti kesenian ini tidak hanya terdapat di Kulon Progo. Diakui sendiri oleh Sri Wuryanti, seorang seniman pendiri sanggar tari Angguk Sripanglaras yang berada di Dusun Pripih, Hargomulyo, Kokap, Kulon Progo, bahwa kesenian Angguk tidak hanya terdapat di Kabupaten Kulon Progo, tetapi juga di beberapa daerah lain seperti Purworejo, bahkan Wonosobo. Sri Wuryanti mengakui bahwa Kesenian Angguk ditengarai memang berasal dari Desa Bagelen, yang kini secara administratif masuk wilayah Kabupaten Purworejo yang lokasinya berdekatan dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo. Sanggar milik Sri Wuryanti bisa dikatakan sebagai satusatunya sanggar yang pertama kali kembali mempopulerkan kesenian Angguk di Kulonprogo pada tahun 1991. Menurut Sri Wuryanti, sekitar tahun 1950an, sebenarnya kesenian Angguk pertama kali masuk ke Kulon Progo. Kesenian ini awalnya dimainkan sebagai tarian pergaulan para remaja dan biasa digelar setelah musim panen tiba sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Tarian ini dimainkan oleh kaum laki-laki ketika masuk ke Kulon Progo. Sekitar tahun 1970, terjadi pergeseran sehingga dimainkan oleh kaum perempuan. Beberapa kelompok kesenian merintis Kesenian Angguk Putri, salah satunya yang dirintis oleh Sripanglaras, dimana saat itu masih bernama Sri Lestari. Hingga kini belum ditemukan keterangan yang jelas alasan perubahan penari laki-laki menjadi perempuan, namun faktor komersialisme dan tuntutan pasar hiburan diperkirakan menjadi tolok ukur perubahannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia hiburan penari perempuan lebih menarik jika dibandingkan dengan penari pria. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Sri sendiri. Menurut Sri Wuryanti selain lebih luwes, ternyata masyarakat, dalam hal ini penonton, lebih menyukai seorang penari perempuan dari pada laki-laki.
150
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Kesenian Angguk sering dipentaskan untuk acara–acara pernikahan, khitanan, hajatan, festival-festival, tujuh belasan, atau acara-acara peresmian bergantung dari pihak yang menanggap Kesenian Angguk. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo selalu menampilkan kesenian Angguk sebagai salah satu kekayaan budayanya setiap ada festival kesenian daerah, acara peresmian, maupun acara kebudayaan. Estetika Kesenian Angguk Putri Sripanglaras Estetika Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui bentuk pertunjukan, bobot/isi, serta penampilan. Bentuk pertunjukan meliputi aspek pokok dan aspek pendukung. Aspek pokok berupa gerak, dan aspek pendukung meliputi pola lantai, tata rias dan busana, pelaku, waktu dan tempat, musik pengiring serta struktur penyajian. Bentuk Pertunjukan Pola Pertunjukan Pola pertunjukan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras di Desa Hargomulyo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo terdiri atas tiga bagian yang meliputi bagian awal pertunjukan atau pembuka, inti dan penutup. Awal pertunjukan, sebelum para penari mulai menari, pemusik memainkan alat musik terlebih dahulu. Permainan alat musik dimaksudkan untuk mengundang penonton supaya segera merapat ke lokasi pementasan untuk menyaksikan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras. Lagu yang dimainkan biasanya lagu tombo ati. Penari menarikan tari pembukaan sebagai tari pembuka pada pertunjukan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras. Tari pembuka dimaksudkan untuk memberi penghormatan kepada tuan rumah dan juga penonton yang menyaksikan kesenian angguk. Tari pembukaan merupakan tarian berkelompok, sehingga tarian ini dibawakan oleh seluruh penari yang berjumlah 12 penari. Inti pertunjukan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras diawali dengan tarian ikan cucut. Tari ikan cucut dimainkan oleh dua orang penari. Tari ikan cucut merupakan tarian berpasangan. Gerakan yang ada pada tari ikan cucut cenderung lincah, karena pada tarian ikan cucut banyak menggunakan gerakan melompat. Tarian selanjutnya setelah ikan cucut yaitu tari pagi-pagi. Tari pagi-pagi merupakan tarian berpasangan. Tari pagi-pagi dibawakan oleh 3 pasang penari, sehingga berjumlah 6 orang. Tari pagi-pagi termasuk tarian yang lincah, karena tari pagi-pagi banyak menggunakan gerakan bahu yang biasa disebut kirig. Tari Pagi-Pagi selesai dilanjutkan dengan Tari Saya Cari. Tari Saya Cari juga merupakan tarian berpasangan yang dibawakan oleh 4 orang penari. Tari Saya Cari selain menggunakan gerak bahu yang cepat (kirig) juga menggunakan gerak pinggul serta gerak badan yang meliuk-liuk.
151
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Tari selanjutnya yaitu Tari Jejeran Ndadi. Tari Jejeran Ndadi merupakan tarian berkelompok yang dibawakan oleh seluruh penari. Tari Jejeran Ndadi merupakan tarian pengantar ketika salah satu penari akan mengalami trance. Beberapa menit setelah menari Tari Jejeran Ndadi, salah satu penari mengalami trance. Adegan trance merupakan hal yang menarik dan paling diminati masyarakat dalam kesenian Angguk. Masyarakat percaya bahwa ketika penari sedang mengalami trance, penari sedang kemasukan suatu roh. Pengiring menyanyikan lagu khas Angguk untuk memanggil roh. Walaupun masih dalam tarian kelompok, para penari mulai asyik dengan dirinya sendiri, masuk dalam irama menghanyutkan, gerakangerakan semakin dinamis, sampai pada puncaknya salah satu penari mengalami trance atau kemasukan roh. Dua atau tiga penari menolong penari yang mengalami trance dan memakaikan kacamata hitam dan mengikatkan tali (lawe) ke tangan penari yang mengalami trance. Penari yang lain keluar meninggalkan panggung. Penari yang trance terus menari, dengan gerakan individual yang bebas dan erotis, sehingga membuat penonton semakin bersemangat untuk menyaksikan kesenian Angguk. Sesekali penari yang trance meminta air putih dan bunga mawar atau sesaji yang disediakan. Penari yang mengalami trance didampingi oleh dua penari yang lain. Tugas kedua penari yang mendampingi yaitu melayani semua permintaan dari penari yang trance, mulai dari mengelap keringat, mengecek kerapian kostum, hingga mengambilkan dan menyuapi makanan serta minuman yang diminta oleh penari yang mengalami trance. Penari yang trance, setelah menari sekitar 5 lagu kemudian dinyanyikan sebuah lagu sebagai penghantar kepulangan. Tarian selanjutnya yaitu Tari Pagi Sore. Tari Pagi Sore dibawakan oleh 4 penari. Tari Pagi Sore merupakan tarian berpasangan yang memiliki gerak-gerak sederhana, namun terlihat indah. Gerakan pacak gulu (menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri) yang terdapat pada Tari Pagi Sore dengan ditambah lirikan mata membuat penari terlihat kenes. Tari Pagi Sore selesai dilanjutkan dengan Tari Jalan-Jalan Keras. Tari JalanJalan Keras merupakan tarian berkelompok yang biasanya dibawakan oleh 5 orang penari. Tari Jalan-Jalan Keras banyak menggunakan gerakan berputar. Gerak meloncat-loncat juga terdapat pada Tari Jalan-Jalan Keras, sehingga Tarian JalanJalan Keras terlihat lincah. Tarian inti yang terakhir yaitu Tari Pintu Kayu. Tari Pintu Kayu merupakan tarian berpasangan yang dibawakan oleh 4 orang penari. Gerak-gerak bahu seperti kirig, dan gerak pinggul seperti megol juga terdapat pada Tari Pintu Kayu. Tari Pintu Kayu, walaupun geraknya sederhana tetapi tetap terlihat menarik apabila dipadukan dengan iringan musik yang sesuai dengan gerakannya.
152
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Pola penyajian yang terakhir yaitu penutup. Kesenian Angguk Putri Sripanglaras diakhiri dengan Tari di Barat Gunung. Tari di Barat Gunung merupakan tarian berkelompok sehingga dibawakan oleh seluruh penari. Gerak pada Tari di barat Gunung menggunakan gerak-gerak yang lembut. Gerakan seperti hormat dan ulap-ulap banyak digunakan pada Tari di Barat Gunung. Terakhir, setelah Tari di Barat Gunung selesai, pemusik memainkan lagu sebagai tanda berakhirnya pertunjukan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras. Gerak Gerak pada Kesenian Angguk Putri Sri Panglaras lebih banyak menggunakan gerakan berupa megol atau ngegol dan kirig. Megol atau ngegol merupakan gerakan menggerakkan pinggul ke kanan dan ke kiri. Gerakan megol atau ngegol biasanya digunakan sebagai gerak untuk berpindah tempat. Kirig merupakan gerakan menggerakkan kedua bahu ke depan dan kebelakang dengan cepat sehingga seolaholah bahu penari bergetar. Kesenian Angguk Putri Sri Panglaras lebih banyak menggunakan gerakgerak murni yang tidak memiliki makna dalam setiap geraknya dibandingkan dengan gerak-gerak maknawi. Gerak-gerak yang ditampilkan lebih mengutamakan keindahan dan keluwesan gerak. Gerak pada Kesenian Angguk Putri Sri Panglaras tidak mengandung makna/pesan khusus yang hendak disampaikan kepada penonton. Gerak maknawi yang ada pada kesenian angguk hanya terletak di akhir pertunjukan, yaitu ketika penari menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan kepada penonton. Ragam tarian pada Kesenian Angguk Putri Sri Panglaras dibedakan menjadi dua, yaitu berpasangan dan kelompok. Tarian berpasangan meliputi tari ikan cucut, saya cari, pagi-pagi, pergi sore, dan pintu kayu. Tarian berkelompok meliputi tari pembukaan, jalan-jalan keras, jejeran, dan dibarat gunung. Nilai keindahan gerak pada Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui gerakan-gerakan yang dilakukan oleh penari. Secara keseluruhan gerak yang dilakukan menggunakan unsur gerak kepala badan, tangan, dan kaki. Gerak yang dilakukan banyak menggunakan aksen dengan intensitas gerak dan volume gerak yang sedang serta tempo yang relatif cepat, sehingga gerak yang dilakukan memberikan kesan gerak yang lincah dan energik. Pelaku Penari pada kesenian Angguk biasanya berjumlah 12 orang, sedangkan pemusiknya berjumlah 10 orang. Penari-penari Angguk rata-rata berumur 15 sampai 25 tahun. Status penari angguk ada yang SMP, SMA, dan mahasiswi. Pemusik pada Kesenian Angguk Putri Sri Panglaras terdiri dari anak remaja hinggga tua. Berusia sekitar 17 sampai 40 tahun.
153
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Nilai keindahan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui pelaku Kesenian Angguk.Pelaku yang dimaksud yaitu penari. Penari terlihat indah ketika penari dapat bergerak luwes sesuai dengan irama musik yang mengiringi gerak penari. Penari dapat menghayati setiap gerakan yang dihasilkan oleh tubuh. Ekspresi berupa senyuman atau lirikan juga merupakan nilai keindahan dari penari. Tata Rias dan Busana Tata rias pada kesenian Angguk menggunakan jenis rias korektif. Rias korektif merupakan rias yang digunakan untuk mempercantik wajah penari-penari. Busana yang digunakan penari terdiri atas topi, baju lengan panjang, celana pendek, sampur warna merah, sabuk timang, dan kaos kaki warna merah. Kaca mata hanya digunakan untuk penari yang mengalami trance. Kacamata yang digunakan penari yang mengalami trance berwarna hitam. Warna hitam dimaksudkan untuk menghilangkan kesan menakutkan pada perasaan penonton, ketika penonton melihat ketajaman sorot mata penari yang mengalami trance. Kesenian Angguk Putri Sripanglaras tidak menggunakan tata rias rambut yang rumit. Bagian kepala penari hanya menggunakan topi dengan rambut yang terurai. Nilai keindahan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui salah satu elemen pendukung pertunjukan yaitu tata rias dan busana. Balutan rias cantik pada penari angguk membuat penari angguk lebih terlihat cantik, sehingga membuat penonton tak segan untuk memandang paras penari angguk yang cantik. Perpaduan antara eye shadow berwarna emas dan coklat, serta pemakaian eye liner dan bulu mata memberikan kesan tajam pada mata penari. Penggunaan shading pada hidung memberi kesan mancung pada hidung, serta blush on berwarna merah agak orange membuat pipi menjadi merona. Lipstik berwarna merah memberi kesan sexy pada bibir penari. Perpaduan pemakaian eye shadow, eye liner, bulu mata, blush on, serta lipstick yang sesuai memberikan kesan cantik terhadap wajah penari. Baju yang dipenuhi dengan payet dan gombyok akan berkilau ketika terkena cahaya, sehingga memberikan kesan glamour/mewah. Gombyok menambah keindahan penari ketika sedang bergerak, karena ketika penari bergerak gombyok juga akan bergerak, sehingga gombyok dapat memberikan kesan gerak penari terlihat lebih bertenaga dan bersemangat. Paduan warna merah pada topi, baju, sampur, serta kaos kaki membuat busana pada kesenian angguk terkesan meriah dan berani. Iringan Kesenian Angguk pada dasarnya tidak menggunakan alat musik yang bernada, karena alat musik yang digunakan merupakan alat-alat perkusi. Alat musik pokok yang digunakan pada Kesenian Angguk yaitu kendang, bedhug, rebana, dan kecrek.
154
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Nilai keindahan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui musik pengiring Kesenian Angguk. Perpaduan permainan alat musik perkusi seperti kendang, bedug, rebana, dan kecrek, ditambah dengan alat-alat musik diatonis seperti organ, saron diatonis, serta bass memberikan kesan meriah pada suasana perunjukan Kesenian Angguk. Suara yang keras dengan tempo yang sedang pada permainan alat musik memberikan suasana yang ramai sehingga dapat menarik perhatian penonton untuk menyaksikan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras. Suara kendang dan bedug berfungsi sebagai penegas pada setiap gerakan sehingga memberikan kesan suasana yang semangat. Ketepatan dan kesesuaian gerak dengan iringan, disertai dengan tempo yang lambat memberikan kesan suasana yang tenang. Bobot/Isi Penamaan Kesenian Angguk diambil dari kata angguk yang berarti mengangguk.Gerakan mengangguk para penari ketika sedang menari inilah, yang menjadi nama dari sebuah kesenian yang disebut Angguk. Rias korektif dipadukan dengan baju yang dipenuhi dengan payet-payet yang dapat berkilau ketika terkena cahaya, memberikan suasana yang glamour/mewah. Warna merah yang dominan pada busana yang dikenakan penari memberikan suasana yang meriah dan berani. Lirik lagu pada Kesenian Angguk Putri Sripanglaras berupa pantun-pantun yang berisi berbagai aspek kehidupan manusia. Lirik tersebut secara tidak langsung mengajarkan kepada penonton mengenai berbagai aspek kehidupan manusia seperti etika pergaulan, nasehat-nasehat, serta pendidikan bermasyarakat. Penampilan Penari-penari angguk memiliki bakat menari yang luar biasa. Keluwesan gerak dan ketepatan irama belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang. Beberapa penari memang sudah mempunyai bakat sejak kecil, karena orang tua dari penari juga merupakan pelaku seni. Penari yang tidak memiliki bakat seni bukan berarti penari tidak bisa bergerak dengan luwes. Keluwesan gerak penari yang tidak memiliki bakat dapat tercipta melalui proses latian yang rutin. Keterampilan penari-penari angguk tercipta berkat latihan yang rutin. Latihan diadakan setiap satu minggu sekali, yaitu pada hari Minggu. Latihan dimaksudkan untuk melatih keterampilan penari-penari angguk supaya lebih mahir. Penari diajarkan bagaimana caranya bergerak sesuai dengan irama sehingga dapat dinikmati penonton yang melihat. Ketekunan dalam berlatih akan membuat penari dapat menghayati setiap gerakan yang sedang dilakukan, sehingga penari akan terlihat lebih luwes ketika sedang menari. Sarana yang dibutuhkan meliputi sound system dan make up yang berfungsi sebagai tata rias wajah. Sound system ini berfungsi sebagai pengeras suara, sehingga
155
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
iringan yang dihasilkan dari alat musik yang dimainkan terdengar lebih keras dan lebih greget. Tata rias wajah sangat diperlukan dalam pertunjukan Kesenian Angguk. Rias korektif membuat penari terlihat lebih cantik ketika di atas panggung. Busana yang dipenuhi payet-payet akan terlihat berkilau ketika terkena sorot lampu ataupun cahaya matahari. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Estetika Kesenian Angguk Putri Sripanglaras di Desa Hargomulyo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, dapat disimpulkan bahwa estetika kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui bentuk pertunjukan dan nilai estetisnya. Bentuk pertunjukan dapat dilihat melalui struktur pertunjukan kesenian Angguk Putri Sripanglaras. Struktur pertunjukan meliputi tari pembukaan, inti, dan penutup. Pembukaan pada kesenian angguk meliputi adanya tarian pembukaan, selanjutnya yaitu inti. Inti pada kesenian angguk meliputi adanya tarian berpasangan, seperti ikan cucut, pergi sore, pagi-pagi, dan saya cari. Tarian berkelompok seperti jalan-jalan keras dan jejeran ndadi juga merupakan bagian dari inti pertunjukan. Inti pertunjukan yang tidak kalah penting yaitu adanya adegan trance yang dipercaya bahwa ada roh yang masuk ke dalam tubuh penari. Terakhir adalah tari dibarat gunung yang merupakan tarian penutup dari pertunjukan kesenian angguk. Nilai estetis Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dapat dilihat melalui bentuk tari, bobot/isi, serta penampilannya. Bentuk tari dapat dilihat melalui gerak yang merupakan unsur pokok tari, dan melalui unsur pendukung tari seperti tata rias dan busana, pelaku, serta iringan. Gerak dominan yang digunakan dalam Kesenian Angguk Putri yaitu gerak megol dan kirig. Kesenian Angguk Putri Sripanglaras dibawakan oleh penari perempuan dengan balutan rias yang cantik serta menggunakan kostum berupa celana pendek (hot-pants) dan baju lengan panjang. Bobot/isi meliputi suasana, gagasan, dan pesan. Kesenian Angguk Putri Sripanglaras memberikan suasana yang meriah pada tiap pertunjukannya. Penampilan meliputi bakat, ketrampilan, serta sarana. Sarana yang diperlukan dalam pertunjukan Kesenian Angguk Putri Sripanglaras meliputi tata rias dan busana, serta sound system. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, Rosjid. Iyus Rusliana. 1979. Seni Tari III. Jakarta: C.V. Angkasa. Bernaddien, Win Usuluddin. 2011. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Djelantik. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
156
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Ellfeldt, Lois. 1977.Pedoman Dasar Penata Tari. Terjemahan Sal Murgiyanto. Jakarta: Lembaga Kesenian Jakarta. Endraswara, Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hadi, Sumandiyo. 1996. Aspek-Aspek Dasar Koreografi Kelompok. Yogyakarta: Pustaka. _______2007. Kajian Tari Teks dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. _______2007. Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka. Iswidiyati, Sri. Triyanto. 2007. Bahan Ajar Tertulis Estetika Timur. Semarang: UNNES. Jazuli. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Surabaya: Unesa University Press. _____2008. Pendidikan Seni Budaya Suplemen Pembelajaran Seni Tari. Semarang: UNNES Press. Junaedi, Deni. 2013. Estetika Jalinan Subjek, Objek, dan Nilai. Yogyakarta: ISI Yogyakarta. Margono. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Rieneka Cipta. Maryono. 2012. Analisa Tari. Surakarta: ISI Press Solo. Moleong, Lexy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Maryono. 2102. Analisis Tari. Solo: ISI Press Solo. Murgiyanto, Sal. 1983. Koreografi Pengetahuan Dasar Komposisi Tari. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ______________. 1992. Koreografi untuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ______________. 2002. Kritik Tari Bekal & Kemampuan Dasar. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI). Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Retnowati, Endang. 2008. Kesenian Rakyat Di Tengah Globalisasi. Jakarta: Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI. Royce, Anya Peterson. 1976. Antropologi Tari. Terjemahan F.X. Widaryanto. Bandung: Sunan Ambu PRESS. Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol, dan Daya. Bandung: ITB. Sedyawati, edi. 2007. Budaya Indonesia:Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Smith, Jaqueline. 1985. Komposisi Tari Sebuah Pertunjukan Praktis Bagi Guru. Edisi ke-1. Terjemahanan Ben Suharto, S. S. T.. Yogyakarta: Ikalasti Yogyakarta.
157
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumardjo, Jakob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press. Sumaryanto, Totok.2010.Metodologi Penelitian 2. Semarang: Jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, Kementrian Pendidikan Nasional. Sumaryono. 2011. Antropologi Tari dalam Perspektif Indonesia. Yogyakarta: ISI Yogyakarta. Susetyo, Bagus. 2009. Handout Materi Pembelajaran: Kajian Seni Pertunjukan. Semarang. Unnes Press. Walker, John A. 2010. Desain, Sejarah, Budaya Sebuah Pengantar Komprehensif. Terjemahan Laily Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra. Widyastutieningrum, Sri Rochana, dan Dwi Wahyudiarto. 2014. Pengantar Koreografi. Surakarta: ISI Press Surakarta
158
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PENGINTEGRASIAN MATERI MUATAN LOKAL WAYANG BEBER KEDALAM MATA PELAJARAN SENI BUDAYA DI SMA NEGERI PUNUNG PACITAN Margana Dosen Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS Surakarta
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui proses pembelajaran materi muatan lokal wayang beber pada mata pelajaran seni budaya di SMA Negeri Punung, Kabupaten Pacitan, (2) Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses pembelajaran seni budaya materi muatan lokal wayang beber di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Jenis data yang diperlukan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dengan beberapa teknik yakni; observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Teknik sampling yang digunakan untuk memilih informan kunci/nara sumber adalah purposive sampling. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) proses pembelajaran seni budaya dengan materi wayang beber dilakukan dengan beberapa tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Pada tahap persiapan, guru menyusun RPP, menyusun materi, menyiapkan media pembelajaran, serta menyusun instrumen penilaian. Tahap pelaksanaan pembelajaran guru menerangkan materi tentang wayang beber antara lain; pengertian wayang beber, asal usul, bentuk pertunjukan wayang beber, fungsi, tema cerita, serta nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam cerita wayang beber. Tahap evaluasi, guru memberi tes tulis untuk mengetahui hasil proses pembelajaran yang dilakukan dan hasil tes diatas KKM; (2) Faktor pendukung; seluruh siswa SMA Negeri Punung sangat antusias dan serius dalam mengikuti pembelajaran materi wayang beber. Faktor penghambat; sebagian besar siswa SMA Negeri Punung belum mengenal wayang beber, karena selama ini belum pernah menerima materi wayang beber pada pembelajaran seni budaya dan para siswa belum pernah nonton wayang beber, meskipun tempat tinggalnya sebagian besar dekat dengan tempat asal wayang beber yakni di Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Kata Kunci: wayang beber, nilai kearifan lokal Pendahuluan Salah satu karya seni tradisional Nusantara peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia adalah wayang beber. Jenis wayang ini berbeda dengan wayang lainnya, karena wayang ini berupa gambar atau lukisan di atas kain atau kertas gulungan yang cara mempertunjukkannya dengan cara dibentangkan (dibeberkan).
159
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Wayang beber adalah wayang berupa lukisan yang dibuat pada kertas gulung; berisikan cerita inti dari lakon yang akan dikisahkan oleh dalang, dimainkan dengan cara membeberkannya (KBBI, 2001:1271). Wayang beber adalah salah satu jenis pertunjukkan wayang dengan gambargambar sebagai objek pertunjukkan. Gambar-gambar tersebut dilukiskan pada selembar kertas atau kain, gambar dibuat dari satu adegan menyusul adegan lain, berurutan sesuai dengan narasi cerita (Bagyo Suharyono, 2008:2). Wayang Beber merupakan jenis kesenian tradisional yang sudah langka dan hampir punah. Keberadaan wayang beber yang asli saat ini hanya terdapat di dua tempat yakni di Desa Gelaran, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, dan di Desa Karangtalun, Donorojo, Kabupaten Pacitan. Kondisi kedua jenis wayang beber tersebut sudah lapuk dan tidak layak untuk dipertunjukkan di depan umum. Oleh karena itu, jika ada masyarakat yang ‘nanggap’ yang digunakan untuk pertunjukan wayang beber hanya duplikat atau tiruannya saja. Dewasa ini jarang dan langka ada pertunjukan wayang beber. Hal ini berbeda dengan wayang kulit yang masih sering dipertunjukkan di masyarakat maupun di media elektronik seperti televisi. Jika ada pertunjukan wayang beber itupun hanya pada bulan-bulan dan waktu-waktu tertentu untuk keperluan upacara ritual, misalnya pada bulan Syura ada masyarakat yang mengadakan ruwatan, nadar dan lain-lain dengan menggelar wayang beber. Masyarakat yang nanggap hanya terbatas mereka yang menjadi komunitas pendukungnya. Hal ini bisa terjadi karena tidak semua masyarakat mengenal dan paham tentang wayang beber, sehingga apresiasi masyarakat terhadap wayang beber masih rendah. Pada umumnya pergelaran wayang beber dikaitkan dengan upacara ritual yang terkait dengan daur hidup. Wayang beber merupakan jenis kesenian asli Indonesia yang selama ini masih disakralkan. Oleh karena itu, cara menyimpannya, tata upacara sebelum pertunjukan dimulai perlu dilakukan dengan tata urutan yang telah menjadi ‘pakem’ dalam pertunjukan wayang beber. Demikian pula tidak semua dalang yang mampu memainkan wayang beber berhak menyandang dalang wayang beber, karena yang berhak menyandang ‘dalang’ wayang beber adalah keturunan dalang wayang beber asli yaitu dalang Nolodremo. Sebagai seni tradisional peninggalan nenek moyang, wayang beber memiliki keunikan dibandingkan dengan jenis wayang lainnya. Keunikan wayang beber dapat dilihat dari bentuk, fungsi, dan maknanya. Bentuk wayang beber berbeda dengan wayang kulit yang dibuat satu persatu dan diberi pegangan, namun wayang beber dibuat dalam bentuk lukisan rumit pada gulungan kertas atau kain. Dalam satu cerita (lakon) ada enam gulungan, dan setiap gulungan memuat empat adegan atau empat jagong. Jadi semuanya terdiri atas 24 adegan (jagong). Setiap jagong dilukis banyak tokoh dan gambar-gambar lain berupa flora dan fauna. Ada unsur manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan disetiap lembar gambarnya berbeda-beda disesuaikan dengan ceritanya. Disamping lukisan flora, fauna dan tokoh utama, dalam setiap adegan juga
160
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
terdapat beberapa gambar tambahan seperti gaman atau senjata (misalnya keris, tombak), dan obyek lainnya. Hal ini disesuaikan dengan isi cerita dalam adegan tersebut. Tokoh-tokoh dalam cerita wayang beber dilukis di atas lembaran kertas yang jumlahnya enam gulung. Setiap gulung terdiri atas empat adegan yang menampilkan sejumlah tokoh maupun suasana di sekitarnya yang berbeda-beda. Kertas Jawa yang digunakan sebagai media untuk melukis wayang beber yang asli berasal dari Kabupaten Ponorogo dan dikenal sebagai kertas Ponorogo. Struktur tinggi atau lebar wayang kurang lebih 1 meter dan panjang satu gulungan wayang berisi empat adegan sekitar 3,5 meter. Pada ujung kiri kanan diikat atau dijepit dengan sebatang tongkat yang tingginya 1,5 meter. Tongkat ini selain befungsi sebagai penjepit juga sebagai alat untuk membeberkan atau membentangkan wayang ketika sedang dipertunjukkan. Keberadaan wayang beber saat ini sangat memprihatinkan karena sebagian besar masyarakat pendukungnya telah meninggalkannya. Apalagi generasi muda sebagian besar tidak paham terhadap jenis kesenian yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal tersebut. Agar generasi muda kenal dan paham tentang wayang beber, maka perlu upaya untuk memasukkan wayang beber kedalam materi pelajaran seni budaya di sekolah menengah atas. Salah satu usaha tersebut telah dilakukan di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan. Metode Penelitian Jenis kegiatan penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dan menghasilkan deskripsi hasil identifikasi kajian. Penelitian dilakukan di SMA Negeri Punung, Kabupaten Pacitan, JawaTimur. Pemilihan lokasi penelitian dengan beberapa pertimbangan antara lain; SMA Negeri Punung merupakan sekolah menengah atas yang paling dekat dengan Kecamatan Donorojo, Kebupaten Pacitan dimana wayang beber asli berasal, selain wayang beber Wonosari Gunung Kidul. Pemilihan jenjang pendidikan SMA dengan pertimbangan bahwa isi cerita (lakon) wayang beber berkisah tentang percintaan (asmara) yang dalam hal ini mulai dikenal pada masa remaja di tingkat sekolah menengah atas. Kegiatan penelitian ini dibutuhkan data primer dan sekunder. Untuk memperoleh data primer diperlukan informan, tempat dan peristiwa. Data sekunder dikumpulkan melalui analisis dokumen, catatan, kurikulum bermuatan lokal, silabi mata pelajaran seni budaya maupun, mata pelajaran muatan lokal yang berkaitan dengan wayang beber sebagai produk kearifan lokal Kabupaten Pacitan yang diberlakukan di SMA Negeri Punung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu metode observasi (survey lapangan), wawancara, dan analisis dokumen. Wawancara dilakukan terhadap key informants yang dipilih dengan menggunakan purposive
161
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
sampling. Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan dengan guru bidang studi seni budaya, Kepala Sekolah, dan sebagian siswa SMA Negeri Punung. Kegiatan observasi difokuskan pada pengamatan dan pembuatan catatan lapangan mengenai pelaksanaan proses pembelajaran materi muatan lokal wayang beber pada mata pelajaran seni budaya di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan. Pengumpulan data sekunder melalui analisis dokumen dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen tertulis yang relevan yang berkaitan dengan tema penelitian, yakni mengkaji seluruh dokumen yang berkaitan dengan wayang beber, kurikulum sekolah menengah atas, materi mata pelajaran seni budaya dan muatan lokal di Kabupaten Pacitan sebagai bahan untuk melengkapi data penelitian. Ke-tiga macam metode pengumpulan data tersebut digunakan untuk saling melengkapi sehingga data-data yang diperoleh dapat memenuhi target secara optimal dan dapat membantu dalam proses pengolahan dan analisis data. Untuk memperoleh validitas data, maka dalam penelitian ini digunakan triangulasi sumber data, yaitu sebuah teknik untuk memperoleh derajat kepercayaan yang lebih tinggi dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari satu sumber melalui sumber informasi yang berbeda. Prosedur ini dilakukan dengan cara: 1) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dilakukan secara pribadi mengenai; 2) Membandingkan data hasil pengamatan (observasi) dengan data hasil wawancara; 3) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen. Melalui teknik triangulasi tersebut diharapkan hasil penelitian dapat dijamin validitasnya. Teknik analisis dalam penelitian ini digunakan teknik analisis interaktif. Teknik analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1984) mencakup (1) pengumpulan data (data collection), (2) reduksi data (data reduction), (3) sajian data (data display), dan (4) penarikan kesimpulan (conclusion/verification). Penerapan teknik analisis ini dengan cara dilakukan secara terus menerus dari awal pengumpulan data hingga proses verifikasi yang berlangsung mulai dari awal penelitian sampai dengan penelitian selesai. Dengan demikian proses analisis terjadi secara interaktif dan menguji antar komponen secara siklus yang berlangsung terus menerus, sehingga hasil penelitian benar-benar valid. Hasil dan Pembahasan Materi yang disajikan dalam proses pembelajaran seni budaya di SMA Negeri Punung dapat dibedakan menjadi dua yaitu; materi yang bersifat teori dan praktek. Materi yang bersifat teori mengarah pada ranah kognitif, sedangkan materi yang bersifat praktek mengarah pada ranah psikomotorik. Yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi hanya proses pembelajaran yang sifatnya teori yakni pengetahuan tentang asal usul wayang beber, bentuk pertunjukan, fungsi wayang beber, tema cerita wayang beber, dan lain-lain.
162
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
a. Asal Usul dan Bentuk Pertunjukan Wayang Beber Pertunjukan wayang beber berbeda dengan pertunjukan wayang kulit. Wayang beber dibuat berbeda dengan wayang kulit yang bisa dimainkan setiap tokohnya, sedangkan wayang beber berupa gambar-gambar sebagai objek pertunjukan. Gambar-gambar tersebut dilukiskan pada kertas atau kain, gambar dibuat dari satu adegan (jagong) yang disusul dengan adegan lain, berurutan sesuai dengan narasi/jalannya cerita. Kertas atau kain yang dipakai untuk melukiskan wayang beber berukuran 1x4 meter. Setiap gulung terdiri atas 4 adegan (jagong), jika akan dipertunjukkan gulungan tersebut dibentangkan, selanjutnya setiap adegan satu persatu akan dituturkan oleh ki dalang sesuai dengan alur ceritanya. Pada pertunjukan wayang beber diiringi dengan musik gamelan. Wayang beber bila sedang tidak dipertunjukkan disimpan di sebuah kotak kayu khusus yang bernama ampok. Cara mempertunjukkan wayang beber yaitu dengan cara membentangkan (mbeber) gulungan kertas, kayu sebagai pegangan sekaligus penggulung wayang ditancapkan di sisi kanan kiri kotak kayu. Wayang beber di Pacitan tidak hanya dipandang sebagai sarana atau alat berkesenian belaka, melainkan juga diperlakukan seperti pusaka (jimat). Oleh karena itu, cara merawatnyapun dilakukan secara unik yaitu menggabungkan unsur-unsur teknis dan magis. Proses pembersihan atau penyimpanan wayang beber di Desa Gedompol Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan dilakukan dengan cara memasang bulu merak di ujung kanan kotak wayang. Penggunaan bulu merak ini tidak sekedar karena alasan magis (sajen), melainkan juga ada dasar logikanya. Bulu merak terbukti mampu mengusir ngengat yang bisa merusak gulungan wayang beber yang terbuat dari kertas itu. Aroma bulu merak mampu mengalihkan perhatian ngengat sehingga tidak merusak gulungan wayang beber. Satu cerita wayang beber, terdiri dari enam gulungan dan satu gulungan berisi empat jagong atau adegan yang disajikan satu persatu. Jadi, dalam pertunjukan wayang beber di Pacitan, gambar dalam gulungan disajikan seperempat demi seperempat. Bentuk wayang beber Pacitan yang asli disimpan di rumah Mbah Mangun di Dusun Karangtalun kabupaten Pacitan. Wayang ini dipercaya berasal dari zaman Kediri (abad ke-13) sesuai dengan jalan cerita dalam wayang beber yaitu cerita Panji yang menceritakan tokoh-tokoh kerajaan Kediri. Wayang beber yang asli ini dianggap sakral dan dijadikan pusaka. Kondisi yang semakin lapuk tidak memungkinkan lagi untuk digelar di muka umum. Untuk keperluan pementasan, dibuat duplikasi wayang beber yang dibuat sesuai dengan aslinya. b. Fungsi Wayang Beber Fungsi pertunjukan wayang beber dari tahun ketahun mengalami perubahan. Pada masa dahulu pertunjukan wayang beber berfungsi sebagai sarana pertunjukan
163
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
ritual, yang berakitan dengan peringatan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia seperti mitoni, kelahiran, khitanan, pernikahan, dan peristiwa daur hidup lainnya. Selain itu, pertunjukan wayang beber berfungsi untuk selamatan, syukuran, kaul/nadar, tolak bala, bersih desa, ruwatan, dan lain-lain. Sedangkan pada masa kini pertunjukan wayang beber digunakan untuk hiburan, menyuguh tamu terutama tamu dari mancanegara. Selain itu, wayang beber banyak digunakan untuk barang cinderamata ataupun sebagai elemen estetik pada sebuah bangunan seperti untuk menghias ruang tamu, kamar hotel maupun sebagai hiasan pada rumah tempat tinggal. c. Tema Ceritera Wayang Beber Tema isi cerita wayang beber mengambil cerita kisah kasih asmara antara Dewi Sekartaji dari kerajaan Kediri dengan Raden Panji Asmarabangun dari Jenggala. Ceritera wayang beber dilukiskan pada kertas atau kain yang terdiri atas beberapa gulungan. Setiap gulungan terdiri atas 4 adegan (jagong), sehingga dalam satu cerita ada 6 gulungan terdiri atas 24 adegan. Adapun cerita ringkasnya adalah sebagai berikut:
Gulungan 1 Jagong 1 Dewi Sekartaji, putri Prabu Brawijaya mempunyai seorang kekasih yaitu Panji Jaka Kembang Kuning, putra Ki Demang Kuning. Sementara itu ada berita bahwa Raden Klana dari negeri seberang akan datang melamar Dewi Sekartaji untuk dijadikan permaisurinya. Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan di Sitinggil dihadiri para punggawa keraton memberi tahu bahwa Sekartaji menghilang dari istana dan mengumumkan mengadakan sayembara; barang siapa dapat menemukannya bila pria akan dijadikan menantu dan bila wanita akan diangkat sebagai saudara sang putri. Kemudian masuklah seorang pemuda dari kademangan mengaku bernama Jaka Kembang Kuning diiringi oleh dua punakawannya, yakni Tawangalun dan Naladerma. Kemudian datang Kebo Lorodan, patih raja Klana dari negeri seberang bermaksud melamar Dewi Sekartaji untuk rajanya. Karena Sekartaji menghilang dari istana, maka keputusan ditunda sampai Sekartaji ditemukan kembali. Gulungan 1 Jagong 2 Panji Joko Kembang Kuning pergi mencari Sekartaji dalam perjalanan bertemu 3 orang kesatria yang ingin mengabdi kepada Panji Jaka Kembang Kuning. Namun Panji Jaka Kembang Kuning menghindar karena sedang dalam perjalanan penyamaran dan mengemban tugas untuk meneruskan pencarian Sekartaji.
164
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Gulungan 1 Jagong 3 Sekartaji pergi dan sampai di rumah seorang tumenggung bernama Tumenggung Cona-Cani di Paluamba yang masih termasuk wilayah kerajaan Kediri. Ia bersembunyi di rumah tumenggung tersebut karena tidak mau diperistri oleh raja Klana. Gulungan 1 Jagong 4 Dalam pengembaraannya mencari Dewi Sekartaji, Panji Jaka Kembang Kuning dan punakawannya mengamen dengan main terbang kentrung. Sekartaji menonton pertunjukan terbang kentrung tersebut dan dia mengenali Panji Jaka Kembang Kuning yang sedang menyanyi. Demikian pula sebaliknya, Panji Jaka Kembang Kuning juga mengenali Sekartaji yang sedang menonton pertunjukan tersebut, karena Panji Jaka Kembang Kuning tidak lain adalah Panji Asmarabangun, kekasihnya. Akhirnya keduanya bertemu pandang dan dengan demikian tugas Panji Jaka Kembang Kuning untuk mencari Dewi Sekartaji sudah terpenuhi. Keduanya tetap menjaga rahasia, sehingga tidak ada orang lain yang mengenalnya. Setelah itu, Panji Jaka Kembang Kuning pulang menuju tumenggungan. Gulungan 2 Jagong 1 Panji Jaka Kembang Kuning menemui Ki Demang Kuning, pamannya dan melaporkan bahwa Dewi Sekartaji sudah ditemukan. Naladerma dikirim ke Pangreburan, yaitu keputrian (keputren) istana kerajaan Kediri untuk menyerahkan sasarahan berupa kotak emas kepada Retno Mindaka, adik raja Kediri. Naladerma ditemani oleh Demang Kuning. Tawang Alun juga diutus oleh Panji Jaka Kemang Kuning menghadap raja Kediri untuk menyampaikan berita bahwa putrid Sekartaji yang hilang sudah ditemukan kembali oleh Panji Jaka Kembang Kuning. Tawang Alun ditemani oleh Tumenggung Cona-Cani. Gulungan 2 Jagong 2 Sementara itu raja Klana yang sedang berkemah di Teratebang di alun-alun Kediri sudah tidak sabar lagi dan mengutus Retno Tegaron, adiknya, untuk menyampaikan mahar perkawinan untuk Sekartaji melalui Retna Mindaka di Pangreburan. Pada saat itu Retna Mindaka dan dayang-dayang bernama Ni Pengilon sedang menenun. Mahar yang disampaikan oleh Retno Pegaron ditolak, akhirnya Retno Tegaron pun menantang perang. Gulungan 2 Jagong 3 Retno Mindaka melayani tantangan tersebut. Keduanya berpakaian keprajuritan dan mulai bertanding menggunakan senjata alat tenun dan wajan sebagai tamengnya.
165
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Gulungan 2 Jagong 4 Tawang Alun yang ditugasi melapor kepada raja Kediri tentang Sekartaji yang sudah ditemukan kembali mampir ke alun-alun Kediri tempat perkemahan bala tentara Kediri di Teratebang dan perkemahan balatentara raja Klana di Kedungrangga. Kedatangan Tawang Alun bertemu dengan patih Arya Deksa Negara dan Sedah Rama, senapati Kediri. Kebo Lorodan akhirnya tahu bahwa Sekartaji sudah ditemukan, lalu melapor kepada raja Klana dan mengatur siasat untuk mendapatkan Sekartaji. Gulungan 3 Jagong 1 Tawang Alun diantar oleh Patih Arya Deksa Negara menghadap raja Kediri untuk melapor ditemukannya Sekartaji oleh Jaka Kembang Kuning. Ternyata raja Klana sudah lebih dahulu menghadap raja Kediri. Raja Klana menagih janji, berhubung Sekartaji sudah ditemukan kembali. Raja Kediri juga terikat janji akan mengawinkan Sekartaji dengan orang yang menemukannya. Keputusan raja Kediri untuk menyelesaikan masalah ialah dengan mengadakan perang tanding antara raja Klana dengan Panji Jaka Kembang Kuning. Oleh karena Panji Jaka Kembang Kuning belum hadir, maka Tawang Alun tampil untuk mewakili Panji Jaka Kembang Kuning. Gulungan 3 Jagong 2 Raja Klana memanggil Kebo Lorodan untuk bertanding menghadapi Tawang Alun. Gulungan 3 Jagong 3 Panji Jaka Kembang Kuning yang sudah lama menunggu di Kademangan akhirnya merasa lega karena Naladerma yang ditemani oleh Ki Demang Kuning sudah kembali dari Kediri. Naladerma melaporkan bahwa sasrahan sudah diserahkan kepada Retna Mindaka. Panji Jaka Kembang Kuning menari-nari karena suka citanya. Naladerma juga melaporkan tentang situasi terakhir di Kediri bahwa raja Kediri telah memutuskan perang tanding dan pemenangnya akan dijodohkan dengan Sekartaji. Panji Jaka Kembang Kuning segera berangkat ke Kediri untuk memasuki arena perang tanding. Gulungan 3 Jagong 4 Perang tanding antara Kebo Lorodan dengan Tawang Alun dimulai dan berakhir dengan kemenangan Kebo Lorodan. Tang Alun menderita luka berat dan harus dirawat. Raja Klana menantang siapa lagi yang akan tampil di gelanggang pertandingan.
166
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Gulungan 4 Jagong 1 Panji Jaka Kembang Kuning lalu turun ke gelanggang pertandingan menghadapi Kebo Lorodan, sedangkan Tawang Alun dibawa oleh Naladerma ke Katumenggungan untuk perawatan. Ki Tumenggungan Cona-Cani, isitrinya dan para wanita terkejut melihat Naladerma yang membawa Tawang Alun yang terluka. Nyi Tumenggung lalu merawat Tawang Alun dengan sebaik-baiknya. Gulungan 4 Jagong 2 Perang tanding antara Panji Jaka Kembang Kuning dengan Kebo Lorodan disaksikan oleh Dewi Kilisuci, kakak raja Kediri, dan Patih Arya Deksa Negara. Ki Tumenggung Cona-Cani dan Ki Demang Kuning juga sudah datang untuk menyaksikan perang tanding tersebut. Kebo Lorodan didukung oleh dewa pelindungnya yang berkepala kerbau. Panji Jaka Kembang Kuning juga mendapat dukungan dari dewa pelindungnya. Akhirnya Panji Jaka Kembang Kuning berhasil membunuh Kebo Lorodan. Raja Klana marah dan menyatakan perang dengan kerajaan Kediri dan tetap ingin memiliki Sekartaji. Gulungan 4 Jagong 3 Perang tanding telah usai dan kedua belah pihak balatentara bersiap-siap untuk berperang. Raja Kediri mengutus Gandarepa, putranya pergi ke Kademangan untuk meminta bala bantuan. Ki Demang Kuning bersedia untuk memperkuat balatentara Kediri. Gulungan 4 Jagong 4 Raja Kediri juga mengutus senapati Sedhah Rama untuk meminta bantuan ke tumenggungan Paluamba dan memanggil Sekartaji agar segera pulang ke Kediri. Sementara itu Tawang Alun sudah sembuh kembali. Sedah Rama menyerahkan keris sakti dan pusaka baju perang yang nantinya akan dipakai oleh Tawang Alun untuk menghadapi perang besar melawan balatentara Klana. Diramalkan bahwa Tawang Alun akan berhasil membunuh raja Klana. Gulungan 5 Jagong 1 Selama menunggu pecahnya peperangan, raja Klana mengatur siasat bagaimana caranya untuk mengetahui apakah Putri Sekartaji suka kepadanya atau tidak. Bila ternyata suka, sang putri akan dibawa lari. Raja Klana menyelundup masuk ke Kebon Pangkuran di istana Kediri dimana Sekartaji sering bercengkerama di taman tersebut. Agar tidak mudah ketahuan, raja Klana menyamar sebagai Gandarepa (kakak Sekartaji). Ia datang ke Kedungrangga dan meminta Retna Tegaron merias dirinya menjadi Gandarepa palsu. Retna Tegaron mengkhawatirkan keinginan kakaknya dan mencoba menasihati agar kakaknya mengurungkan niatnya.
167
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Siasat Klana akan menimbulkan malapetaka yang melibatkan Gandarepa asli yang sangat ia kenal. Justru karena Retna Tegaron mengenal baik, maka raja Klana memintanya untuk merias dirinya menjadi Gandarepa palsu. Gulungan 5 Jagong 2 Di kebun Pangkuran, Sekartaji sedang duduk-duduk ditemani oleh dayangdayang. Gandarepa palsu masuk ke dalam taman menemui Sekartaji. Sekartaji merasa bahwa yang datang bukan Gandarepa sebenarnya karena baunya sangat lain dan menduga bahwa yang datang adalah Klana dengan jalan menyamar diri. Sekartaji segera menghunus keris. Klana menyadari bahwa Sekartaji ternyata memang tidak suka kepadanya. Dengan perasaan malu ia mengundurkan diri. Kini tak ada jalan lain untuk memilih Sekartaji kecuali dengan peperangan karena penyamarannya diketahui oleh raden Gandarepa yang asli. Gulungan 5 Jagong 3 Perang besar antara pihak Klana melawan Kerajaan Kediripun terjadi. Seluruh pasukan dan juga pejabat kerajaan dikerahkan dalam peperangan tersebut. Pada saat itu Tawang Alun dipercaya membawa pusaka andalan milik kerajaan Kediri dan dapat membunuh raja Klana, karena sudah diramalkan bahwa yang dapat membunuh Raden Klana hanyalah Tawang Alun. Gulungan 5 Jagong 4 Setelah pihak Klana kalah dan rajanya tewas dalam pertempuran, Gandarepa dibantu oleh Tawang Alun dan Naladerma ditugasi memboyong putri-putri raja Klana di keputrian Kedungrangga dan dibawa ke istana Kediri. Gandarepa datang menemui Sekartaji dan memberitahukan bahwa raja Klana telah tewas dan balatentaranya telah berhasil ditaklukkan. Retna Tegaron bertemu dengan Gandarepa tersipu-sipu karena hatinya memang jatuh cinta kepada Gandarepa. Gulungan 6 Jagong 1 Gandarepa membawa putri-putri Klana menghadap Panji Jaka Kembang Kuning di perkemahannya. Retna Tegaron memohon kepada Panji Jaka Kembang Kuning agar dijodohkan dengan Gandarepa. Selanjutnya Panji Jaka Kembang Kuning, Patih Arya Deksa Negara, dan Tawang Alun bersiap-siap untuk membawa putri-putri boyongan menghadap raja Kediri. Gulungan 6 Jagong 2 Raja Kediri menerima laporan tentang tewasnya raja Klana dan kemenangan balatentara Kediri yang berhasil menumpas musuhnya. Raja Kediri bergembira mendengar laporan itu dan selanjutnya akan memenuhi janjinya untuk menjodohkan
168
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Sekartaji dengan Panji Jaka Kembang Kuning. Raja memerintahkan agar segera menyiapkan pesta perkawinan. Gulungan 6 Jagong 3 Sekartaji dirias oleh Kilisuci, kakak raja Kediri, sebagai dukun penantin dan berhasil memancarkan kecantikan wajah Sekartaji dengan rambut terurai. Kilisuci memberikan nasehat kepada Sekartaji untuk bekal hidupnya sebagai seorang istri dan siap menghadapi pernikahan. Gulungan 6 Jagong 4 Jagong 24 dianggap sakral dan oleh karena iu tidak diperbolehkan untuk dibuka dan diketahui gambar maupun isinya. Namun demikian setidaknya dari rangkaian cerita pada adegan-adegan (jagong-jagong) sebelumnya, dapat disimpulkan berdasarkan asumsi dari berbagai kalangan sebagai berikut. Upaya perkawinan antara Dewi Sekartaji dengan Panji Jaka Kembang Kuning berlangsung meriah dipimpin oleh dukun pengantin Kilisuci. Setelah beberapa lama berada dipihak pengantin putri di Kediri, maka setelah tiba saatnya pada hari yang baik, Sekartaji diboyong ke Jenggala. Para dayang dari Kediri ikut serta. Setelah cukup lama tinggal di Jenggala, Sekartaji mengandung dan akan melahirkan seorang putra yang kelak diharapkan dapat menduduki tahta Kerajaan Jenggala. Dari isi cerita wayang beber tersebut mengandung nilai-nilai kearifan lokal antara lain: kesetiaan pada janji, keteguhan iman dalam menggapai cita-cita, dibutuhkan pengorbanan dalam memperjuangkan cita-cita, dan perlu strategi dalam meraih cita-cita. Kesimpulan Wayang beber sebagai karya seni rupa peninggalan nenek moyang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda. Salah satu caranya melalui pengintegrasian wayang beber dalam pembelajaran seni budaya di sekolah menengah atas. Hal tersebut telah dicobakan di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan. Proses pembelajaran seni budaya dengan materi wayang beber di SMA Negeri Punung dilakukan dengan tiga tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Dari proses pembelajaran dengan materi wayang beber secara teoritis menunjukkan bahwa materi teori tentang wayang beber telah dipahami oleh peserta didik hal ini dibuktikan hasil tes tulis diatas nilai KKM. Dalam pelaksanaan pembelajaran ada beberapa faktor pendukung yaitu: (1) adanya dukungan dari pihak sekolah dan adanya pemahaman guru mengenai pentingnya memasukkan muatan lokal wayang beber yang mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal, (2) adanya kemauan guru untuk memasukkan muatan lokal berupa wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya, serta 3) adanya antusiasme siswa untuk mempelajari muatan kearifan lokal yang ditunjukkan dalam proses
169
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
pelaksanaan pembelajaran seluruh siswa sangat tertarik dan serius mengikuti pembelajaran. Sedangkan faktor penghambat antara lain: (1) terbatasnya jam mata pelajaran seni budaya di sekolah menengah atas, (2) minimnya guru mata pelajaran seni rupa, serta (3) sebagian besar siswa SMA Negeri Punung belum mengenal wayang beber, karena selama ini belum pernah menerima materi wayang beber pada pembelajaran seni budaya dan para siswa belum pernah nonton wayang beber, meskipun tempat tinggalnya dekat dengan tempat asal wayang beber yakni di Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. DAFTAR PUSTAKA Endah Susilantini. 2007. Eksistensi Wayang Wong Panggung Purawisata Yogyakarta, Jantra, Vol. II No. 4, ISSN 1907-9605. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Diah Harianti. 2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Seni Budaya. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Jakarta:Balai Pustaka Leila Retno Komala. 2003. “Peranan Nilai-Nilai Tradisional dalam Kehidupan Modern dan Integrasi Bangsa”, naskah pidato pembukaan Simposium Nasional ’Peranan Nilai-Nilai Tradisional dalam Kehidupan Modern dan Integrasi Bangsa’, tanggal 13 Januari di Surakarta (Kerjasama Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara dan Bappenas). Luqman Haroni Said. 2008. Seni Pertunjukan Wayang Beber di Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan Dalam Telaah Bentuk, Fungsi, dan Makna. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang. Miles M. B. & Huberman. A. M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. London: Sage Publications. Lexy J Moleong. 1987. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Remaja Karya. Petrus Suwaryadi. 1982. “Wayang Beber di Gunung Kidul dan Pacitan”. Laporan Penelitian. Universitas Sebelas Maret Surakarta Rudhi Prasetyo. 2007. Ragam tutur dalam pertunjukan wayang beber Pacitan. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Bagyo Suharyono.2005. Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Media. Warto & Rara Sugiarti. 2009. “Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional Reog Ponorogo sebagai Identitas Budaya Nasional melalui Pengembangan Pariwisata”, (Laporan Penelitian Stranas, LPPM UNS).
170
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Warto, Supariadi, Margana. 2011. Revitalisasi Wayang Beber untuk Memperkokoh Identitas Budaya Bangsa dan Untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata Daerah di Kabupaten Pacitan, Surakarta: LPPM UNS (Laporan Penelitian Hibah Bersaing).
171
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
RELASI AGAMA, IDIOLOGI, DAN SENI (TELAAH AWAL REVOLUSI MENTAL) Mukhsin Pura Hafid Dosen Program Studi Sendratasik FKIP Unsyiah
[email protected] [email protected] Pendahuluan Sebagaimana diketahui, selama ini sejak zaman Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi yang dianggap ancaman dan musuh negara ada dua: Pertama, ekstrim kiri, yakni komunisme dan seluruh kelompok atau negara yang berhaluan Komunis. Kedua, ekstrem kanan, yakni Islam, yang kemudian dilabeli dengan label ‘radikal’. Komunisme tentu saja layak dijadikan musuh negara. Seluruh bangsa Indonesia pasti tidak akan pernah melupakan tragedi kekejaman PKI sebagai pengusung utama Komunisme saat itu. Namun, jika Islam juga dianggap sebagai ancaman, tentu saja salah kaprah. Pasalnya istilah radikal adalah label sepihak dan bertedensi politis yang mengancam kepentingan Barat. Padahal Barat dengan Kapitalisme-Liberalismenya telah nyata membangkrutkan dan merusak negara bangsa ini. Anehnya, itu tidak dianggap sebagai ancaman atau musuh negara yang terus menancapkan hegemonina di negeri ini, khususnya di bidang ekonomi dan politik (Al-Wa’ie, 2016: 1). Perjalanan sejarah ketiga idiologi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan suatu idiologi dapat dibangun dari berbagai sisi, seperti angkatan bersenjata yang kuat, pemerintahan yang efesien, kesejahteraan, ekonomi, maupun kepemimpinan yang hebat. Namun demikian, salah satu kekuatan idiologi yang tidak banyak diketahui manfaatnya dalam mempersatukan seluruh potensi rakyat adalah kebudayaan mereka. Kebudayaan yang mempengaruhi bentuk berbagai kesenian yang ada, pola arsitektur bangunan, ragam bahasa, model pendidikan, formulasi hukum, dan filsafat kehidupan, maupun berbagai cita rasa yang menyangkut pakaian, makanan, serta etika moral dan perbuatan. Indonesia dengan keragaman budaya, bahasa, seni, kepercayaan, dan agama, walaupun pada kenyataannya pemeluk agama Islam sebagai mayoritas penduduk muslim terbesar di Indonesia, kini dihadapi dengan pilihan peliknya pertentangan ketiga idiologi tersebut di atas, yakni; Islam, Sekulerisme, dan Komunis, yang menuntut jawaban dari para pimpinan nasional kita. Dipimpin bergantian oleh empat pemimpin kita antara tahun 1998 dan 2014, di bawah bendera reformasi melalui proses yang demokratis, juga belum bisa memberikan perubahan yang mendasar bagi kehidupan kita saat ini. Kritik pemimpin yang terpilih saat ini mempertanyakan kepada pemimpin sebelumnya bahwa, 172
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
mengapa setelah 16 tahun melaksanakan reformasi masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, galau istilah anak muda. Disadari atau tidak dalam kenyataannya pembangunan bangsa ini, cenderung menerapkan prinsip-prinsip faham liberalisme yang tidak sesuai dan kontradiktif dengan Islam. Pemimpin yang saat inipun juga sedang mencari cara dalam membangun bangsa ini “nation building” yang menurutnya juga masih liberal, dan tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya dan karakter bangsa Indonesia, walaupun paham sekulerisme tetap menjadi satu-satunya asas dalam membangun bangsa ini. Melalui tindakan korektif dengan mencanangkan revolusi mental dengan menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan oleh Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963, dengan tiga pilar; “ Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial budaya” (Jokowi, 2016). Pilar ketiga Indonesia yang berkepribadian secara sosial budaya yang kini semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir, bukan tidak memungkinkan identitas bangsa ini akan berubah, bahkan mengganti budaya yang baru bukan berarti buruk atau kehilangan identitas bangsa itu sendiri, tetapi menjadi satu paradigma baru dalam menerima budaya baru untuk membentuk kepribadian yang baru juga. Usaha mengembalikan budaya Indonesia dengan konsep Nusantara sebagaimana tema besar yang diusung oleh panitia adalah salah satu usaha yang patut kita hargai untuk membumikan seni pertunjukan melalui sebuah revolusi mental masyarakatnya baik sebagai sebagai seniman maupun sebagai pelaku, sejalan dengan program nawacita pemerintah sekarang menuju pembangunan yang berkepribadian. Namun, untuk memperoleh gambaran yang akurat tentang kekuatan budaya Nusantara, sepertinya kita perlu melakukan pengamatan sekilas mengenai perjalanan sejarah kebudayaan Nusantara kita, yang tidak berkuasa penuh atau tidak memiliki kekuatan idiologi yang kuat karena dibentuk dari berbagai latar belakan tertentu. Tulisan ini memberikan masukan bagaimana sebaiknya menyikapi hal tersebut di atas ketika Islam dijadikan tolak ukur perbuatan dan pemikiran dengan hubungannya seni dan idiologinya. Sebab, jika landasan keberagaman yang dijadikan azas pokok dan seni pertunjukan sebagai objek dalam membentuk kepribadian bangsa, sepertinya akan mengalami gesekan dan sangat sulit untuk dipersatukan dengan berbagai keberagaman, walaupun di dalam Islam sendiri juga memiliki keberagaman namun hanya berdiri di dalam satu azas, yakni Akidah Islam. Pembahasan Transformasi dan Kebangkitan Ummat Islam
173
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Bagi kaum muslim, tidak ada cara lain untuk meraih kemajuan kecuali dengan membuang jauh-jauh budaya yang bertentangan dengan kepribadiannya sebagai orang Islam. Harus ada kesiapan mental kaum Muslim untuk menerima sebutan “reaksioner” sebagaimana yang diarahkan orang-orang di luar dari Islam. Kaum Muslim bisa saja menolak apa pun dan segala sesuatu yang bersifat merugikan akidah kita. Namun, yang paling penting saat ini adalah kita perlu belajar untuk mengidentifikasi elemen-elemen budaya di luar Islam, seperti perkara-perkara normal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan akidah dan budaya di luar Islam. Perkara-perkara ini justru tidak boleh tergesa-gesa ditolak dan ditentang. Suatu karya seni secara umum dapat saja mengakibatkan benturan estetis dan dapat mempengaruhi karya seni tersebut oleh si pembuat karya seni demikian juga penikmatnya (Deni, 2013: 8). Nilai estetis sebagai parameter penentu selera keindahan atau kejelekan sangat dipengaruhi oleh idiologi pengusungnya, baik secara individu maupun yang diusung oleh pemerintah. Dihapuskannya Khilafah secara resmi pada 28 Rajab 1342/3 Maret 1924 M, oleh Musthafa Kamal yang disokong oleh Inggris (Muhammad, 2012: 29). Saat ini umat kehilangan identitas ke-Islamannya, untuk itu harus ada aktivitas (amalan nyata) yang bertujuan mengembalikan kehidupan tersebut, guna mendukung kembali kehidupan Islam dalam bentuk Daulah Khilafah Islamiyah. Salah satu contoh amalan nyata yang ada adalah sekelompok seniman Muslim yang mendirikan KHAT (Khilafah Arts Network), yaitu salah satu jejaring seniman untuk peradaban Islam yang saat ini melakukan aktifitas pewacanaan karya, diskusi, kajian fiqih, dan kursus seni Islam. Proyek utama KHAT adalah sampaikan Islam lewat karya dan wacana seni baik lewat penerbitan website dan kegiatan-kegiatan off-line, ushaha tersebut memberikan dampak yang positif tidak lain untuk mempresentasikan peradaban Islam masa depan dalam bingkai Khilafah (Joko Prasetyo, 2016: 23). Meskipun realitas masyarakat dan negara yang rusak ini telah begitu menelikung kehidupan umat, namun ketahuilah bahwa dasar dari Islam adalah akidah Islam yang bersumber dari Al’Quran dan Hadis. Dengan menapaki kebangkitan yang dituntun oleh al-wahyu (yaitu Islam), ummat Islam bisa kembali bangkit untuk merubah realitas yang buruk menuju realitas yang diinginkan Allah SWT. Sebagai kaum Muslim, untuk membumikan seni pertunjukan lewat revolusi mental, perlu kiranya terlebih dahulu dikaji kembali melalui seminar ini, mengingat status ukuran perbuatan manusia di dalam Islam sudah diatur oleh Allah SWT (berdasarkan hukum syara’). Secara umum peraturan hidup Islam dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hubungan manusia dengan sang Pencipta, yakni Allah SWT, kedua hubungan manusia dengan manusia, dan yang ketiga menyangkut hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
174
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Hubungan manusia dengan Allah SWT adalah menyangkut dengan akidah dan ibadah, bahwa di balik alam, semesta, manusia, dan kehidupan ada pencipta yaitu Allah SWT yang memberikan perintah/aturan untuk hidup di dunia, dan nantinya akan dimintai pertanggungjawaban setelah kehidupan dunia berakhir. Sementara hubungan manusia dengan manusia menyangkut urusan ekonomi, kesehatan, pendidikan, pemerintahan, politik, dakwah dan jihad, hukum, dan sosial. Aspek yang ketiga terkait dengan dirinya sendiri adalah menyangkut urusan dengan kebutuhan pemenuhan hidupnya, seperti; makanan, pakaian, ibadah, akhlah (kepribadian). Dengan demikian Islam merupakan idiologi mabda, yakni pandangan hidup manusia di dunia, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dibangun berdasarkan akidah Islam (An-Nabhani, 2001). Penciptaan karya seni pertunjukan termasuk dalam mempertunjukkan adalah salah satu bentuk kegiatan manusia khususnya bagi para pelaku seni termasuk penikmatnya yang diatur dalam Islam. Sebab, aktifitas manusia jatuh pada status perbuatan kegiatannya dan dapat dihukumi apakah wajib, haram, makruh, dan mubah. Ini berkesesuain dengan Ushul al-Fiqh, sebagai kaidah yang mendasari diraihnya potensi kemampuan menguasai hukum-hukum perbuatan manusia dari kasus per kasus (Abdurrahman, 2012, 22-26), lihat juga (Khalil, 2010: 10-34, dan Zahra, 2008: 30 dalam Deni, 2013). Oleh karena itu, tidak aneh jika pembahasan tentang halal haram menyertai perjalanan berkesenian dalam mengusung revolusi mental, menjadi bagian dalam hukum fiqih, agar kita dapat memahami terlebih dahulu boleh tidaknya aktifitas tersebut?. Kesimpulan atas fiqih tersebut bukan berarti tidak ada perbedaaan, sebab perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa, selama pendapatnya Islami, berdasarkan sumber al-Quran atau Hadis, bukan semata berdasarkan akal. Dan sebagai kaum Muslim adalah mengambil hukum syara yang paling kuat. Madaniyah, Hadlarah, dan Tsaqofah Aspek kebudayaan Islam dapat dipandang bersifat Qurani dalam basis dan motivasinya, demikian juga dalam implementasi dan sasarannya. Begitu juga seni peradaban Islam harus dipandang sebagai ungkapan estetis yang asal-usul dan realisasinya sama, yakni seni Islam sungguh merupakan seni Qurani. Pernyataan ini mungkin mengejutkan kaum non Muslim yang sudah lama memandang Islam sebagai agama yang menentang menyembah berhala. Demikian juga orang Muslim sendiri, menjauhi bentuk, tipe seni tertentu, serta estetis filosofi yang melatar belakanginya (Isma’il dan Lois Lamya, 2003:196). Karya seni, terutama karya seni rupa dapat tergolong sebagai benda atau artefak. Dalam Islam, kaidah fiqih tentang benda berbunyi, “Hukum asal atas benda adalah ibahah (boleh/halal) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya” (Khalil, 2010:10-13 dalam Deni, 2013). Karya seni yang berupa konsep, dan dipertunjukkan,
175
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
seperti seni sastra dapat dipertimbangkan perbedaan ilmu dan tsaqofahnya. Demikian juga halnya karya seni pertunjukan tradisional yang digolongkan sebagai warisan budaya tidak benda yang tidak dapat diraba atau tidak dinyatakan secara jelas adalah masuk dalam katogori konsep, bentuknya ada di dalam ruang dan waktu di saat dipertunjukkan. Konsep tsaqofah, madaniah, dan hadharah dapat digunakan sebagai patokan dalam menyikapi seni pertunjukan tersebut. Tsaqofah adalah sekumpulan pengetahuan yang mempengaruhi akal dan sikap seseorang terhadap fakta (benda maupun perbuatan), ia bersifat khusus dinisbahkan kepada masayarakat. Tsaqofah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hadharah (peradaban). Sebab, tsaqofah adalah pemikiran-pemikiran yang menjelaskan sudat pandang tertentu dalam kehidupan. Pemikiran-pemikiran tersebut nantinya akan menjadi sebuah mafahim (persepsi) yang akan menghantarkan kepada terciptanya peradaban (Husain, 2002: 149-150). Adapun madaniah adalah segala bentuk materi fisik yang terindra. Madaniah dapat dibagi dua, pertama madaniah yang berhubungan dengan hadharah, sekaligus menjadi elemen dari hadharah. Madaniah semacam ini adalah segala bentuk madaniah yang bersifat maateri dan lahir dari suatu sudut pandang kehidupan tertentu. Misalnya mendirikan rumah tempat tinggal, sebagai Muslim akan mendirikan rumahnya dengan bentuk yang tidak memperlihatkan aurat wanita. Oleh karena itu disekeliling rumahnya akan memasang pagar agar tidak menampakkan aurat bagi penghuninya. Kedua, madaniyah yang merupakan hasil dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri seperti alat-alat laboratorium, furniture, dan lain sebagainya. Semua itu adalah bentuk-bentuk madaniyah yang besifat universal dan boleh digunakan oleh siapa saja (Husain, 2002: 149-150, lihat juga An-Nabhani, 2001: 92-98). Kesimpulan dan Saran Sebagai umat Islam, kebolehan menggunakan seni pertunjukkan dapat diketahui apakah seni pertunjukan tersebut mengandung tsaqofah tertentu atau tidak, dan bagaimana tata cara seni pertunjukkan tersebut di laksanakan. Boleh tidaknya menggunakan seni pertunjukan dalam mengusung revolusi mental tersebut, tergantung dari fakta yang kita lihat. Berbeda halnya dengan seni Islam, dengan kata lain perbedaan penilain berdasarkan atas status hukum perbuatan manusia yang dilandasi oleh akidah Islam dengan menempatkan diri pada posisi tsaqofah Islam yang murni. Kuncinya terletak pada sejauh mana kaum Muslim mengidentifikasi secara akurat bahaya yang ditimbulkan kebudayaan seni pertunjukan kita sendiri di Indonesia dan juga Barat. Terakhir, akan sangat membantu bila kita juga menunjukkan karakteristik budaya di luar tsaqofah Islam sebagai informasi dan pengetahuan umat.
176
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Daftar Pustaka An-Nabhani, Taqiuddin. Peraturan Hidup dalam Islam, terj. Abu Amin, et al. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001. Abdurrahman, Hafidz. Ushul Fiqih. Membangun Paradigma Berpikir Tasryi’i. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2012. Al-Faruqi, Ismail dan Lois Lamya. Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Mizan, 2003. Al-Wa’ie. Media Politik dan Dakwah. No. 193 Tahun XVI. Jakarta: HTI, 2016. Husain, Abdullah. Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. Penerjemah, Zamroni. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002. Junaedi, Deni. “Benturan Estetis Antara Liberalisme, Sosialisme, dan Islam”. Jakarta: Jakarta International Conference Of Muslim Intellectual (JICM), 2013. Muhsin, Muhammad. Tsaqafah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2012. Prasetyo, Joko. “Jejaring Seniman Untuk Peradaban Islam”. Jakarta: Media Umat, Edisi 182, 2016. Widodo, Jokowi. “Revolkusi Mental”. http://presidenri.go.id/ulasan/revolusimental.html
177
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
NILAI MISTIS DALAM PERTUNJUKAN SENI BARONGAN KUSUMO JOYO DI KECAMATAN BONANG KABUPATEN DEMAK Nirmala Purnama Puspa, R. Indriyanto, Usrek Tani Utina Universitas Negeri Semarang Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk pertunjukan Barongan Kusumo Joyo dan nilai mistis yang terkandung di dalam pertunjukannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif , teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seni Barongan mempunyai dua fungsi yaitu untuk ritual sunatan dan untuk hiburan. Bentuk pertunjukannya terdiri dari tiga adegan yaitu adegan pembuka, adegan inti, adegan penutup. Nilai mistis yang terkandung di dalam pertunjukan Barongan Kusumo Joyo yaitu terletak pada sebelum pertunjukan, saat pertunjukan dan setelah selesai pertunjukan. Malam hari pawang melakukan semedi supaya pertunjukan lancar dan terdapat slametan sebelum pertunjukan dimulai. Nilai mistis saat pertunjukan terdapat pada gerak, lakon, pemusik, busana barongan, properti, rias pawang, penari jaranan, penonton. Saat pertunjukan selesai pawang juga melakukan semedi untuk ungkapan rasa syukur karena pertunjukan berjalan lancar. Abstract This study aims to elaborate the forms of Barongan Kusumo Joyo and to investigate the mystical values contained in the Barongan art. This study uses qualitative methods and data collection techniques triangulation (combined). Meanwhile, the data analysis is inductive/ qualitative that emphasizes the significance of the generalization. The result of the study showed that the Barongan art has two functions, namely for ritual circumcisionand for entertainment. The forms of the show consist of three scenes, which are the opening scene, the core scene, and the closing scene that contains dancers performing rooster, setanan dancers, Barongan dancers, tiger dancers, parades, guyon maton, and kanuragan attraction. The mystical values contained in Barongan Kusumo Joyo can be seen before the show, during the show and after the show. A night before the show, there is a ceremony and a magician who meditates in order to make the performance goes smoothly. The mystical elements in the show can be found in its motions, players, musicians, barong outfits, jaranan dancers, and audiences. When the show finished, the magician does a meditation again as a gratitude expression for the performance that goes well.
178
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
PENDAHULUAN Seni dan mistik tidak dapat dipisahkan karena dalam pertunjukan seni membutuhkan sebuah ritual supaya pertunjukan seni berjalan dengan lancar. Mistik adalah sebuah kepercayaan orang Jawa, lebih khususnya orang yang mendalami dunia seni. Dalam sebuah pertunjukan seni harus melakukan ritual dan memberi persembahan berupa sesasi agar arwah penunggu di sekitar tempat pertunjukan merasa dihargai dan tidak terganggu dengan adanya pertunjukan seni. Barongan berasal dari kata dasar Barong, artinya adalah tarian yang memakai kedok yang menggambarkan sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu didepan, yaitu dibagian kepala dan satu dibelakang, yaitu dibagian ekor), dipertunjukkan dengan cerita Calon Arang (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2011:142). Barong adalah sejenis binatang yang menyerupai singa untuk memberikan hiburan dikalangan anggota masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Kesenian Barongan tidak lepas dari kepercayaan mistik. Hubungan kesenian Barongan dengan kepercayaan animistik ini dapat dilihat dari pementasan barongan secara umum. Pertunjukan seni Barongan selalu diawali dengan sesaji dan doa-doa , dan pada akhir pertunjukan menghadirkan atraksi (ndadi). Konsep atraksi (ndadi) ini sebenarnya merupakan bagian dari sebuah acara ritual. Keterkaitan upacara ritual dengan komunitas itu menghasilkan pola-pola tradisi yang sudah ada dan hidup di masyarakat. Sebagai ritual, penciptaannya dilatarbelakangi oleh nilai-nilai luhur yang merupakan nilai kehidupan masyarakat. Nilai Mistis di dalam pertunjukan Barongan juga tampak sebelum pertunjukan dimulai yang ditandai dengan slametan atau berdoa bersama supaya diberi kelancaran yang dilengkapi sajen yang sudah disediakan. Pertunjukan Barongan ada yang disebut dengan pawang. Pawang adalah pengatur dalam pertunjukan Barongan dari sebelum dimulainya pertunjukan sampai sudah berakhirnya pertunjukan Barongan. Pawang melakukan semedi atau berdoa kepada Tuhan pada malam hari sebelum melakukan pertunjukan, di tempat khusus yang sepi sehingga bisa tenang dalam berdoa supaya pertunjukan Barongan lancar. Pawang juga mengadakan slametan sebelum melakukan pertunjukan Barongan. Pertunjukan Barongan masih menggunakan sesaji-sesaji sebagai alat yang dipercaya untuk menghormati penunggu Barongan. Barongan yang digunakan dianggap bukan sosok yang biasa karena sebelum barongan dipakai, terlebih dahulu dibawakan sesaji-sesaji serta dibacakan mantra oleh pawang. Setiap sebulan sekali pada malam jumat kliwon Barongan selalu dimandikan dengan kembang agar penunggu Barongan tenang. Hal ini dipercaya masyarakat bahwa saat barongan dimainkan terdapat sosok-sosok makhluk halus yang merasuki barongan.
179
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Nilai mistis pada pertunjukan terakhir pertunjukan barong sangat terlihat ketika para penari jaranan kesurupan dan mereka menari-nari sambil melakukan atraksi yang tidak sewajarnya dilakukan oleh manusia. Semua itu bisa dilakukan jika sang pelaku mempunyai keberanian dan keyakinan di dalam hati jika Allah SWT akan melindunginya dan tentunya tidak terlepas adanya unsur mistis di dalam pertunjukan atraksi tersebut. Pada saat penari Jaranan melakukan atraksi (ndadi), pawang juga yang memanggil arwah yang ingin merasuki para penari dan yang mengeluarkan arwah di dalam tubuh penari jaranan juga pawang. Nilai budaya dalam hal ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil berbudaya), antara lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban beragama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan, yang melibatkan manusia dalam hubungannya dengan manusia, dengan hidup, dengan kerja, dengan waktu, dan dengan alam. Nilai merupakan sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut sesuatu yang baik dan yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat (Djajasudarma 1997:10-11). Adapun kualitas nilai yang bervariasi yaitu : 1. Nilai yang memiliki konsepsi mendalam, bukan hanya sekedar emosi/sensasi atau kebutuhan, dalam hal ini nilai dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari pengalaman seseorang; 2. Nilai yang menyangkut pengertian yang memiliki unsur emosi(yang diungkapkan sebenarnya sebagai potensi) ; 3. Nilai yang bukan tujuan konkret dari tindakan, tetapi memiliki hubungan dengan tujuan, sebab nilai itu berfungsi sebagai kriteria dalam mencapai tujuan. Abimanyu (2014:16-17) Menurut versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ilmu Antropologi, Filsafat, maupun yang lainnya. Khasanah pengetahuan seputar pengertian mistik, berikut diberikan beberapa pengertian mengenai mistik. a. Mistik merupakan hal gaib yang sangat diyakini hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa. b. Mistik merupakan subsistem yang ada dihampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. c. Mistik merupakan betuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal di alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan. d. Mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami oleh rasio. e. Mistik merupakan perkataan mitos atau mythical sebagai pertimbangan nilai yang negatif tentang suatu kepercayaan atau riwayat.
180
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
f.
Mistik merupakan pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indra dan rasio. Melalui tapa dan samadi orang bisa menembus semesta alam dan memperoleh kekuasaan serta inspirasi dari kekuatan-kekuatan sakti. Dengan sadar ia juga bisa menghubungi makhluk-makhluk supranatural tingkat rendah seperti jiwa-jiwa nenek moyang, bermacam-macam jagoan dunia pewayangan, setan dan malaikat, para dewa, hantu dan arwah (Mulder 2001:50). Seni Pertunjukan Sebagai Sarana Ritual Fungsi-fungsi ritual seni pertunjukan di Indonesia banyak berkembang di kalangan masyarakat yang dalam tata kehidupannya masih mengacu pada nilai-nilai budaya agraris, serta masyarakat yang memeluk agama yang dalam kegiatankegiatan ibadahnya sangat melibatkan seni pertunjukan. Secara garis besar seni pertunjukan ritual memiliki ciri khas, yaitu : (1) diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih yang biasanya dianggap sakral ; (2) diperlukan pemilihan hari yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral ; (3) diperlukan pemain yang terpilih biasanya mereka yang dianggap suci atau ysng telah memebersihkan diri secara spiritual ; (4) diperlukan seperangkat sesaji, yang terkadang sangat banyak jenis dan macamnya ; (5) tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis; dan (6) diperlukan busana yang khas (Soedarsono 2002 : 125-126). Seni Pertunjukan Sebagai Sarana Hiburan Hiburan lebih menitik beratkan kepada pemberian kepuasan perasaan, tanpa mempunyai tujuan yang lebih dalam seperti untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari apa yang dilihatnya. Oleh karena itu, tari hiburan dapat diidentikan atau dikategorikan sebagai tari yang bobot nilainya ringan atau show (Jazuli 2008:58). Seni pertunjukan sebagai sarana hiburan memiliki penikmat tersendiri bagi pelaku seni dan penikmat seni. Penikmat tidak diikat aturan-aturan yang membatasi dalam upaya memperoleh hiburan untuk dirinya sendiri. Pelaku seni pertunjukan dan penikmat saling merespon atau mendukung sehingga keduanya sama-sama mendapatkan hiburan. Pelaku seni pertunjukan mendapatkan hiburan karena pertunjukannya mendapatkan antusias dari para penikmat atau penonton seni. Semakin keras atau semakin banyak yang bertepuk tangan ketika pertunjukan akan segera dimulai dan ketika berakhir, itulah kepuasan tersendiri bagi pelaku seni. Sedangkan penikmat mendapat hiburan dengan mengikuti irama ataupun mengikuti gerakan para pelaku seni pertunjukan. METODE
181
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Menurut Sugiyono (2015:15) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang ilmiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Peneliti menggunakan pendekatan tentang nilai ritual yaitu keindahan yang dilihat dari aspek-aspek atau struktur ritualnya. Pendekatan pertama yang digunakan sebagai landasan berfikir yaitu pada bagian ritualnya supaya mampu mengetahui lebih dalam tentang nilai mistisnya. Pendekatan yang kedua yaitu pendekatan bentuk pertunjukan merupakan pendekatan untuk mengetahui urutan penyajian pada pertunjukan Barongan Kusumo Joyo. Aspek-aspek yang ada dalam pertunjukan barongan baik bentuk, isi dan penampilan Barongan serta Nilai Mistis yang ada dalam pertunjukan Barongan Kusumo Joyo. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi partsisipan, wawancara dan studi dokumentasi. Namun analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data (Sugiyono 2015:336) analisis data sebelum di lapangan, analisis data di lapangan, kesimpulan. teknik pemeriksaan data yang digunakan oleh peneliti untuk memastikan derajat kepercayaan dari data kualitatif, antara lain: perpanjangan pengamatan, trianggulasi, menggunakan bahan referensi, uraian rinci. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Pertunjukan Barongan Adegan Pembuka Sebelum acara dimulai seluruh anggota Seni Barongan Kusumo Joyo melakukan slametan atau doa bersama supaya pertunjukan berjalan dengan lancar. Pada adegan pembuka dimulai dengan tabuhan musik Singo Barong yang riuh dan rancak dipandu oleh MC untuk mengundang penonton supaya berkumpul di lokasi pertunjukan. Penari ayam jago masuk memulai pertunjukan dan bergerak seperti layaknya ayam yang sedang mengepakkan sayapnya dan sedang bertarung. Penari Setanan masuk dan berjoged mengikuti irama disusul dengan penari barongan yang sedang kelaparan dan ingin memakan para setanan. Penari jaranan memasuki arena dan menjadi penampil terakhir dalam adegan pembuka. Adegan Inti Adegan inti menampilkan arak-arakan untuk mengiringi anak yang sedang dikhitan yang akan diarak keliling kampung menggunakan kuda hias dan akan berhenti di rumah saudara yang punya hajat (menanggap Barongan). Jika fungsinya tidak sebagai pertunjukan pada acara khitanan, maka arak-arakan menggunakan
182
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
kuda hias akan dihilangkan, tetapi pada acara karnaval tetap ada acara arak-arakan walaupun jarak berjalannya arak-arakan tidak sejauh pada acara khitanan. Pada acara lain seperti pentas untuk Grebeg Besar tidak menggunakan arak-arakan. Penari jaranan, penari Barongan menampilkan aksinya secara singkat di lokasi pemberhentian arak-arakan. Setelah selesai arak-arakan seluruh rombongan kembali lagi ke rumah yang di khitan dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan rangkaian adegan penutup. Adegan Penutup Adegan penutup dimulai dengan penari jaranan yang diiringi musik gamelan Jawa yang dipadukan dengan musik dangdut yang tujuannya untuk menarik perhatian para penonton, dilanjut dengan hiburan (guyon maton), pertunjukan terakhir menjadi pertunjukan yang paling ditunggu dan menjadi puncak acara yaitu pertunjukan atraksi (kanuragan). Sebelum pertunjukan Barongan dimulai semua anggota mengadakan slametan dan doa bersama untuk kelancaran dan keselamatan saat pertunjukan berlangsung. Slametan Semua grup melakukan slametan atau do’a supaya diberi kelancaran yang dilengkapi sajen yang sudah disediakan diantaranya yaitu ingkung (ayam yang dibumbu kuning dicampur dengan kelapa), bubur merah putih yang wajib ada, jadah pasar, kendi kecil di isi air, klowohan (kendi di isi beras dan telur mentah), sisir, kaca, bedak, kembang telon, neon mati 2 batang, kelapa muda tiga butir, silet tatra 1 pak, rokok 6 pres, batu bata 10 biji, menyan dan cowek 2 buah. Tarian Pembuka (Adegan Pembuka) Penari ayam jago dalam pertunjukan Barongan Kusumo Joyo melambangkan pertarungan ayam jago milik Sunan Kalijaga warna hitam dan pertarungan ayam jago milik Ranggata Jiwa warna merah. Gerakan penari ayam jago melambangkan seperti ayam yang lagi bertengkar dan akhirnya dimenangkan oleh ayam jago warna hitam milik Sunan Kalijaga. Penari setanan Penari Setanan dalam pertunjukan Barongan Kusumo Joyo adalah visualisasi dari makhluk halus atau lelembut. Makhluk halus yang dimaksud biasanya menjadi tokoh antagonis yang ingin mengganggu yang punya hajat, Sesuai dengan karakter raksasa yang kejam dan kasar juga menakutkan. Gerakan penari setanan mengikuti alunan musik dan sebagian besar gerakannnya dilakukan secara spontan dan sederhana.
183
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Penari Barongan Penari barongan ada dua pasang dan melambangkan dewa penyelamat untuk yang akan diruwat karena penari barongan akan memakan para penari setanan yang ingin mengganggu . Gerakan yang ditunjukan oleh penari Barongan mengikuti alunan musik. Sebagian besar gerakan yang ditunjukan seperti menggelengkan kepala membuka tutup mulutnya sampai berbunyi “klak klak klak”. Adegan membuka tutup mulutnya pada Barongan membuat kesan Barongan terlihat lapar dan ingin memakan para penari setanan. Penari Macan Penari macan dalam pertunjukan Barongan melambangkan kegembiraan karena singo barong telah berhasil memakan para setanan yang ingin mengganggu dan membuat rusuh, yang artinya seluruh malapetaka yang punya hajat sudah hilang karena para setanan (setan) sudah dimakan oleh Barongan. Gerakan yang diperlihatkan sangat sederhana dan layaknya seekor singa yang sedang merangkak ketika ingin berpindah tempat dan mengikuti alunan musik dengan tempo sedang serta didukung dengan suasana gembira. Penari Jaranan Penari jaranan dalam pertunjukan Barongan Kusumo Joyo melambangkan para prajurit berkuda. Gerakan yang begitu lincah dan rampak membuat penari jaranan tampak begitu gagah, penggunaan properti kuda juga sangat mempengaruhi gerakan, karena dengan menggunakan properti kuda, penari jaranan lebih terlihat gagah. Kegagahannya tampak juga pada gerakan meloncat dengan menonjolkan gerakan pada kaki yang lincah. Memasuki adegan inti yaitu arak-arakan yang artinya pengantin yang disunat akan diarak keliling kampung dan merupakan adegan inti dari pertunjukan Barongan.
Arak-arakan Arak-arakan dilakukan untuk mengiringi anak yang baru di khitan. Anak yang dikhitan biasanya dinaikkan kuda atau kendaraan hias lainnya dan diarak keliling kampung diiringi dengan musik dan tarian barongan. Penari jaranan sebagai pembuka pertunjukan, pembuka pertunjukan dimulai setelah beristirahat usai melakukan arak-arakan. Publikasi (Adegan Penutup)
184
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Penari jaranan menampilkan aksinya kembali sebagai pembuka tarian setelah arak-arakan selesai dilakukan. Tenaga para penari tetap terjaga dan masih terlihat gagah layaknya seorang prajurit berkuda. Gerakan mereka tetap tegas dan kompak juga meskipun masih banyak melakukan gerakan yang cukup menguras tenaga. Iringan tari jaranan pada bagian ini musiknya dipadukan dengan musik dangdut sehingga ada gerakan yang bebas mengikuti irama musik dangdut. Guyon Maton pertunjukan hiburan (guyon maton) membutuhkan durasi sekitar 30 menit. Materi yang dibawakan biasanya berisi guyonan ringan sehari-hari, seperti membuat tebaktebakan sambil bernyanyi, dan saling mengejek satu sama lain. Kuncung peran penting pada adegan guyon maton juga melakukan atraksi berupa memakan bola api yang panas, meskipun demikian lidahnya tidak terbakar. Atraksi Kanuragan Keberanian dan tentunya dengan seringnya latihan, menjadi syarat penting untuk bisa melakukan atraksi kanuragan yang sangat berbahaya yang tidak semua orang mampu melakukannya. Atraksi yang dilakukan di luar batas kemampuan manusia biasa, contohnya: memakan lampu neon, memakan jarum, mengupas serabut kelapa dengan mulut, memakan silet, membengkokan besi.. Penari jaranan sebelumnya harus yakin dan berani jika semuanya akan baik-baik saja dan mereka akan dilindungi oleh Allah SWT. Sebelum melakukan atraksi penari jaranan melakukan siraman yang dipandu oleh pawang supaya mereka suci seperti setelah melakukan wudhu. Setelah selesai melakukan siraman penari jaranan bersiap-siap untuk dirasuki oleh para roh halus, badan mereka bergetar dan mata mereka menatap tajam ke arah sang pawang dan akhirnya roh halus berhasil dimasukkan ke dalam tubuh penari jaranan. Penari jaranan mulai melakukan atraksi dan melakukan gerakan seperti hewan macan dan monyet dengan mata melotot dan pandangan yang kosong. Tata Busana Seni pertunjukan Barongan tentu membeda-bedakan busana yang dipakai disetiap pemain. Pemain barongan tentunya menggunakan kostum barongan, penari jaranan tentunya menggunakan properti jaranan serta segala perlengkapan kostum yang mendukung sebagai penari jaranan. Penari setanan menggunakan topeng setanan atau buto. Penari macan juga menggunakan kostum macan serta penari ayam jago juga menggunakan busana layaknya seperti ayam jago. Semua busana yang dikenakan asli buatan sendiri oleh grup Barongan Kusumo Joyo. Tata Rias
185
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Rias yang dipakai penari jaranan pada pertunjukan Barongan Kusumo Joyo. Rias yang digunakan yaitu rias gagah yang menunjukan kegagahan seorang laki-laki. Rias yang digunakan oleh pawang menggunakan rias yang menyeramkan yang cenderung memakai warna merah dan hitam yang memberi efek seram pada wajah. Musik Iringan Iringan pada pertunjukan Kesenian Singo Barong Kusumo Joyo berfungsi untuk membantu mempertegas irama tari, pemberi suasana atau illustrasi, mempertegas ekspresi gerak dan merangsang penari sehingga penari tetap bersemangat untuk menari walaupun di bawah panas teriknya matahari, penari juga harus menyesuaikan antara musik dengan tariannya. Properti Penari Jaranan tidak akan bisa sempurna tanpa adanya properti kuda. Kata jaranan dalam bahasa Indonesia berarti kuda, jadi tanpa properti kuda penari jaranan tidak akan terlihat gagah. Properti kuda dapat menambah kegagahan para penari jaranan karena gerakan ketika menggunakan properti kuda kebanyakan menggunakan kaki dan gerakannya kebanyakan melompat, melambangkan kaki kuda yang sedang berlari kencang. Tempat Pentas Jenis tempat untuk pertunjukan kesenian Singo Barong Kusumo Joyo dapat dipentaskan di dua tempat sekaligus yaitu : berbentuk lapangan terbuka atau arena terbuka dan pemanggungan atau staging yang disiapkan oleh pihak penghelat. Biasanya terletak di lapangan, di kebun, atau di halaman depan rumah dan di jalan keliling kampung pada saat arak-arakan. Arena terbuka bisa dengan beratap tratag atau tanpa tratag, untuk adegan pertunjukan Singo Barong, tarung Ayam Jago, tarung Setanan, tari Jaranan dan atraksi yang mendebarkan sedangkan pemanggungan untuk tempat pentas dangdut kreasi Sagita Ria dan Guyon Maton. Penonton Penonton pertunjukan Seni Barongan Kusumo Joyo sangat diminati oleh berbagai kalangan, dari orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Pertunjukan Barongan Kusumo Joyo selalu ramai dan diminati oleh penonton dan berhasil membuat mereka terpukau dengan pertunjukannya. Gerakan, musik, busana, yang selalu diperbarui membuat penontonnya tidak merasa bosan. Tepuk tangan penonton sangat mendukung dan membuat semangat para pemain Barongan. Nilai Mistis Barongan Kusumo Joyo
186
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Nilai mistis yang terdapat di dalam pertunjukan Barongan Kusumo Joyo yaitu Sebelum diadakannya pertunjukan pada malam hari pawang melakukan samedi di kamar khusus supaya bisa berkonsentrasi memanjatkan doa kepada Tuhan supaya pertunjukan lancar. Paginya sebelum dimulai pertunjukan dilakukan slametan dan doa bersama semua grup Barongan Kusumo Joyo supaya diberi kelancaran dilengkapi sesaji yang sudah disediakan. Gerak penari jaranan saat kesurupan, lakon yang diangkat juga mengandung mistis karena termasuk cerita legenda, pemusik fikirannya juga dalam keadaan bersih artinya jangan sampai berfikir kotor ketika sedang bermain musik saat pertunjukan berlangsung, busana Barongan Kusumo terdapat roh penunggu yang harus didoakan jika sudah melakukan banyak pertunjukan, Properti yang digunakan terdapat isinya dalam arti ada roh di dalamnya yang memunjulkan kegagahan bagi yang membawakannya, rias pawang yang menyeramkan membuat kesan semakin menyeramkan dan terlihat sangat menakutkan, penari jaranan saat kesurupan dan bergerak seperti roh hewan yang merasuki dan melakukan atraksi di luar kemampuan manusia biasa, Penonton yang menyaksikan pertunjukan Barongan Kusumo Joyo juga ikut dalam merasakan aura mistis. Saat selesai pertunjukan pawang juga melakukan semedi untuk mengungkapkan rasa syukur karena pertunjukan telah selesai. SIMPULAN Bentuk Pertunjukan Barongan Kusumo Joyo terdiri dari tiga adegan yaitu adegan pembuka, adegan inti, adegan penutup. Nilai Mistis di dalam pertunjukan terletak pada sebelum pertunjukan, saat pertunjukan dan setelah selesai pertunjukan. Nilai mistis yang terkandung di dalam pertunjukan Barongan Kusumo Joyo yaitu terletak pada sebelum pertunjukan, saat pertunjukan dan setelah selesai pertunjukan. Malam hari pawang melakukan semedi supaya pertunjukan lancar dan terdapat slametan sebelum pertunjukan dimulai. Nilai mistis saat pertunjukan terdapat pada gerak, lakon, pemusik, busana barongan, properti, rias pawang, penari jaranan, penonton. Saat pertunjukan selesai pawang juga melakukan semedi untuk ungkapan rasa syukur karena pertunjukan berjalan lancar. Kesenian Barongan memiliki dua fungsi yaitu sebagai ritual dan sebagai hiburan. Sebagai ritual karena Barongan Kusumo Joyo berfungsi sebagai acara ritual sunatan yang sudah dipercaya oleh sebagian masyarakat Demak. Berfungsi sebagai hiburan karena sebuah kesenian pasti dituntut untuk dapat menghibur para penontonnya dan pelaku seni juga merasa terhibur dengan antusias penonton dan ditambah dengan tepuk tangan yang diberikan oleh penonton. Saran untuk kesenian terutama penari yaitu membuat jadwal rutin supaya kualitas gerak semakin bagus. Saran untuk dinas pariwisata, untuk lebih mengenalkan kesenian Barongan Kusumo Joyo pada daerah lain.
187
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Petir. 2014. Mistik Kejawen. Jogjakarta:PALAPA Djajasudarma. 1997. Nilai Budaya Dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Proyek Pembinaan Bahasa dan Daerah Pusat Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2011. Jakarta: PT Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa Ideologi Di Indonesia. LKis Yogyakarta Soedarsono, M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Gadjah Mada University Press. Jazuli, M. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Semarang: Unesa University Press. Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabet:Bandung.
188
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
KAJIAN SEMIOTIKA TEATER VERSI KEIR ELAM TERHADAP DRAMA “PERLAWANAN DIPONEGORO” Nur Sahid Nur Sahid adalah pengajar Jurusan Teater, Fak. Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta. Email”
[email protected] Abstrak Penelitian terhadap drama “Perlawanan Diponegoro” karya Lephen Purwanto ini bertujuan untuk menggali makna tanda-tanda yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan teori pendekatan semiotika teater dari Keir Elam. Metode penelitian yang dipakai dalam kajian ini adalah content analysis dari Krippendorf. Krippendorf mengatakan bahwa metode content analysis merupakan metode yang dikembangkan secara khusus untuk meneliti fenomena-fenomena simbolik dengan tujuan untuk menggali dan mengungkapkan fenomena lain yang teramati yang merupakan isi, makna, dan unsur esensial karya sastra. Keyword: semiotika teater, tema, tanda, makna, content analysis INTRODUCTION Pangeran Diponegoro adalah salah seorang pahlawan pejuang kemerdekaan cukup terkenal berasal dari Jawa. Pangeran Diponegoro (1785-1855) dikenal sebagai seorang mistikus, muslim yang saleh, dan pemimpin perang yang suci melawan penjajahan Belanda antara tahun 1825-1830. Pangeran Diponegoro merupakan salah satu pahlawan nasional kesohor dalam sejarah nasional Indonesia. Perang gerilya yang dijalankan Pangeran Diponegoro dalam perang di sebagian besar Pulau Jawa sempat membuat pasukan Belanda kalang kabut. Pangeran Diponegoro menjadikan perangnya melawan Belanda sebagai perang suci melawan kedholiman penjajah. Hal inilah yang mendorong banyak rakyat bersimpati dan membantu perjuangan Diponegoro. Hal ini karena perjuangan Pangeran Diponegoro dianggap memiliki dua makna sekaligus: 1 sebagai perang suci (perang sabil) menegakkan Agama Islam dari serangan kaum kafir (Belanda) (Carey, 2011: 700); 2 sebagai perang melawan kolonialisme pejajahan Belanda. Perang Diponegoro yang berlangsung selama tahun 1825-1830 membawa korban cukup banyak baik dari pihak Diponegoro maupun Belanda. Kemudian, perang itu berakhir setelah lewat perundingan di Magelang yang dimulai 8 Maret 1930 di Magelang (Carey, 2011: 778). Pangeran Diponegoro berunding dengan Kolonel Jan Baptist Cleerens pada Februari 1830. Kolonel Jan Baptist Cleerens adalah panglima pasukan tempur Belanda di Bagelen dan Banyumas (Carey, 2011: 778). Ternyata Belanda berkhianat, terbukti kemudian Pangeran Diponegoro ditangkap tgl 28 Maret 1830. Diponegoro dibawa Ke Jakarta untuk
189
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
kemudian diasingkan di Sulawesi Utara. Secara mendadak bulan Juli 1933 Diponegoro dipindahkan ke Makasar. Diponegoro wafat di Makasar 8 Januari 1855. Sejarah perlawanan Diponegoro dalam menumpas Kompeni telah menjadi sumber inspirasi penciptaan berbagai jenis karya seni. Misalnya, Raden Saleh Syarif Bustaman menciptakan lukisan cat minyak yang cukup bersejarah berjudul “Penangkapan Pemimpin Pangeran Diponegoro” (1857). Seniman serba bisa Remy Sylado pernah menulis novel Pengeran Diponegoro (2008). Penari kenamaan “Sardono W. Kusumo” menciptakan Opera Diponegoro (2012). Tidak ketinggalan dramawan Yogyakarta Lephen Purwanto pun menciptakan naskah drama untuk drama radio berjudul “Perlawanan Diponegoro” (2016). Tentu saja karya-karya tersebut hanyalah sebagai kecil dari karya-karya yang mengambil sumber inspirasi penciptaan karya seni dari sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. Berbagai fakta di atas membuktikan bahwa sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro tidak pernah kering menjadi sumber penciptaan karya seni. Hal ini tidaklah berlebihan sebab Diponegoro adalah sosok pejuang yang memiliki nasionalisme, patriotisme, semangat kerakyatan, dan rasa relijiusitas Islami yang tinggi. Perjuangan Diponegoro yang penuh patriotisme, tanpa pamrih, dan suka membela rakyat kecil layak diketahui generasi masa kini. Perjuangan Dipengoro layak diteladani oleh generasi sekrang, sehingga mereka tidak hanya mengenal Diponegoro sebagai nama universitas (Undip), nama jalan dsb. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji naskah drama radio Pangeran Diponegoro, khsusunya pada episode berjudul “Perlawanan Diponegoro” karya Lephen Purwanto (2011) dengan menggunakan pendekatan semiotika teater versi Keir Elam (1991). Oleh karena episode drama radio ini jumlahnya cukup banyak, tentu saja tidak mungkin semua episode itu dikaji. Pemilihan epidose berjudul “Perlawanan Diponegoro” didasarkan pada pertimbangan bahwa pada episode ini mengandung tanda-tanda yang cukup intensif. Tanda adalah sebuah unsur yang menghubungkan antara wahana material (signifier) dengan makna (signified). Tanda-tanda dalam berjudul “Perlawanan Diponegoro” terutama dijumpai dalam unsur penokohan. Seperti diketahui bahwa unsur penokohan adalah satu unsur yang membentuk cerita naratif yang bergenre drama. Tokoh-tokoh cerita seperti Pangeran Diponegoro, Patih Danurejo, Adipati Mangarto, Residen Smissaert, dan Pangeran Mangkubumi adalah sebagain penanda yang yang dalam konteks semiotika teater dapat dicari maknanya (petanda). Peristiwa-peristiwa dan permasalahan dalam drama “Perlawanan Diponegoro” terjadi akibat konfil-konflik antar tokoh. Oleh karena itu, menganalisis tema drama ini tidak dapat dilepaskan dengan analisis penokohan. Makna-maka yang terkait dengan unsur tema inilah yang dikaji lebih jauh melalui pendekatan semiotika teater.
190
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Berangkat dari pemaparan di atas dapat diambil rumusan sebagai berikut: 1 bagaimanakah tema n drama berjudul “Perlawanan Diponegoro”?; 2 bagaimanakah makna tanda-tanda yang terimplisir dalam drama berjudul “Perlawanan Diponegoro”? Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1 menganalisis tema drama “Perlawanan Diponegoro”; 2 menganalisis makna drama berjudul “Perlawanan Diponegoro”. RESEARCH METHOD Bertolak dari rumusan permasalahan dan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini akan menggunakan metode content analysis. Krippendorf (Nuryanto, 1992) mengatakan bahwa metode content analysis merupakan metode yang dikembangkan secara khusus untuk meneliti fenomena-fenomena simbolik dengan tujuan untuk menggali dan mengungkapkan fenomena lain yang teramati yang merupakan isi, makna, dan unsur esensial karya sastra. Metode ini menyiratkan pengertian bahwa kegiatan intelektual yang terpenting adalah membuat inferensi atau kesimpulan mengenai sasaran kajiannya. Metode content analysis memiliki langkah-langkah kerja sebagai berikut. a. Tahap inventarisasi, yakni menginventarisasi tema “Perlawanan Diponegoro”. yang dijadikan sebagai objek kajian. b. Kedua, tahap identifikasi, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan konflik-konflik antar tokoh dalam drama “Perlawanan Diponegoro”. c. Ketiga, tahap klasifikasi, yaitu mengklasifikasikan tanda-tanda yang terdapat dalam drama yang diteliti. d. Keempat, tahap interpretasi, yakni menginterpretasikan makna tanda-tanda yang terdapat dalam drama “Perlawanan Diponegoro”. RESULTS AND DISCUSSION Penelitian ini menggunakan teori semiotika teater dari Keir Elam (1992). Sebagaimana diketahui bahwa miotika memiliki implikasi-implikasi yang jelas untuk studi drama dan teater. Dalam wacana drama, semiotika memungkinkan investigasi teks drama secara struktural. Dalam wacana teater, semiotika memberikan suatu metabahasa yang dapat dipakai untuk menganalisis bahasa-bahasa gambar, fisik, dan aural (auditif) dalam teater. Istilah “teater” cenderung berkaitan dengan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan transaksi peformer-audiens (pemeran-penonton), yakni berhubungan dengan produksi dan komunikasi makna dalam pertunjukan itu sendiri dengan sistem-sistem yang mendasarinya (Elam, 1991: 2). Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kejelasan bahwa kajian semiotika terhadap teater dapat dilakukan salah satu unsur pertunjukan teater, misalnya pada dramanya saja, dan atau pertunjukan teater secara menyeluruh. Dalam penelitian ini, kajian difokuskan pada drama (teks tertulis) dari drama radio
191
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
“Perlawanan Diponegoro” (2011), bukan drama radio sebagai sebuah pertunjukan auditif. Elam (1991, 2) menyebutkan “drama” sebagai karya fiksi yang didesain untuk representasi panggung dan dikonstruksi menurut konvensi-konvensi drama yang spesifik. Dengan kata lain, “teater” terbatas pada apa yang terjadi antara pemeran dan penonton, sedangkan “drama” mengindikasikan jaringan faktor-faktor yang bertalian dengan fiksi yang direprentasikan. Dengan demikian, ruang lingkup kerja semiotikawan teater berhadapan dengan dua materi teks sekaligus, yaitu teks drama (tertulis), dan teks teater (pertunjukan teater). Mukarovsky (Elam, 1991: 7) mengatakan bahwa tanda mampu mengidentifikasi karya seni, termasuk teater, sebagai unit semiotika yang “signifier”nya adalah karya itu sendiri sebagai “benda”, sedangkan “signified”nya adalah “objek estetika” yang bersemayam dalam kesadaran kolektif masyarakat. Dalam konteks ini, tanda dalam karya seni sebagai suatu entitas berwajah dua yang menghubungkan wahana material atau “signifier” dengan konsep mental atau “signified”. Teks drama dapat dianggap sebagai suatu tanda makro, dan maknanya ditentukan berdasarkan efek totalnya. Tanda makro ini harus dibagi lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil sebelum dimulai tahap analisis. Jadi, karya drama bukanlah sebagai suatu tanda tunggal, melainkan sebagai jaringan unit-unit semiotika yang di dalamnya terdapat sistem-sistem yang saling bekerja berkaitan. Karya drama dibentuk oleh unit-unit kecil yang berupa unsur tema, penokohan, dan plot. Keempat unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain, sehingga membentuk sebuah kesatuan yang utuh (unity). Analisis Struktur Keberadaan tema dalam sebuah cerita adalah mutlak. Tanpa tema pengarang tidak bisa mengembangkan ceritanya, sebab tema dalam suatu roman atau drama merupakan patokan untuk membangun cerita (Saad, 1967, 62). Pengarang akan selalu memadukan tema bersama dengan fakta-fakta cerita dan alat-alat penceritaan sehingga tersusunlah sebuah cerita. Herman J. Waluyo (2007: 24) menyebut tema sebagai gagasan pokok yang terdapat dalam drama. Dikatakan lebih lanjut oleh Waluyo bahwa dalam drama tema akan dikembangkan melalui plot dramatik dalam plot melalui tokoh protagonis dan antagonis dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan dalam wujud dialog. Pengarang memasukkan tema itu secara bersama-sama dengan kenyataankenyataan dan kejadian-kejadian dalam cerita. Tema merupakan suatu unsur yang berfungsi sebagai pemersatu elemen elemen cerita yang lain seperti tokoh, plot, dan dialog. Kernodle (1978: 270) mengatakan bahwa kadang-kadang seorang pengarang mengungkapkan tema cerita secara implisit melalui karakter tokoh-tokoh, dan
192
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
setting. Dikatakan lebih jauh oleh Kernodle bahwa seringkali tema dapat berupa nilai moral dari sikap yang berkembang dalam sebuah kehidupan. Drama “Perlawanan Diponegoro” memperlihatkan konflik-konflik masalah sosial tokoh cerita seperti Pangeran Diponegoro pada satu sisi dan Patih Danurejo di pihak yang lain. Pelukisan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama perjuangan Diponegoro melawan kesewenang-wenangan Patih Danurejo yang didukung Belanda tampak semakin mempertajam konflik antara kedua belah pihak. Keadaan sosial yang digambarkan pengarang dalam drama ini menunjukkan terjadi peristiwa kersesahan sosial yang melanda seluruh negeri. Keresahan sosial itu diakibatkan oleh Patih Danurejo yang sengaja menyerobot tanah warga Tegalrejo untuk pembangunaan rel kereta api Belanda. Warga Tegalrejo yang dipimpin Dipenogoro tidak dapat menerima penyerobotan tanah warga Tegalrejo. Para pengikut Diponegoro mencabuti patok-patok yang ditanam prajurit Danurejo. Keresahan sosial itu menyebabkan kondisi sosial politik semakin tidak menentu. Pada satu sisi, Diponegoro berusaha mempertahankan hakhak kaum pribumi yang selalu ditindas Kompeni. Namun tidak sedikit kaum pribumi, khsususnya Patih Danurejo dan pengikutnya justru menjadi tangan panjang Belanda dalam merampok hak milik rakyat. Sebagai pribumi Patih Danurejo tidak menaruh iba melihat penderitaan rakyat Tegalrejo yang tanahnya disrobot untuk jalan kereta api. Ia justru meminta bantuan Residen Missaert untuk melawan Diponegoro. Padahal Pangeran Mangkubumi sebagai penasehat Sultan Menol (yang saat itu masih muda) tidak menyetujui jalan peperangan yang ditempuh Danurejo dan Missaert. Fakta demikian menunjukkan betapa Danurejo tidak menghormati Sultan Menol yang berkuasa di Kasultanan Yogyakarta. Jiwa Nasionalisme Pangeran Diponegoro tampak memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Baginya Belanda tidak boleh sedikitpun menguasai tanah Jawa. Diponegoro bersumpah lebih baik mati berkalang daripada tanah Jawa dikuasai Kompeni. Hal ini tampak jelas pada ucapan Diponegoro di bawah ini. Diponegoro: Ini Pangeran Diponegoro tidak akan tunduk kepada kompeni Belanda. Sedumuk batuk senyari bumi. Tidak ada tanah untuk penjajah. Allahu akbar. Kita tak bisa diam dijajah dan diinjak kompeni Belanda. Ayo lawan….. Allahu Akbar! Allahu Akbar..!! (Musik pelan kemudian berubah ke nada timggi heroik. Terdengar lirih suara ringik kuda). ..................
193
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Diponegoro bersama rakyat Jawa akan melawan kompeni sampai mati berkalang tanah, dan tak akan menyerah! Ayo rakyatku berjihad fi sabilillah sekarang! (Purwanta, 2011: 38). Sikap Dipenogero yang demikian dilandasi keyakinan bahwa mempertahankan tanah kelahiran adalah bagian dari jihad fi sabililillah (perang demi agama melawan para musuh Islam) mempertahankan agama Islam dari serangan kaum non Islam). Tindakan Diponegoro yang melawan Kompeni sebenarnya bukan merupakan bentuk pemberontakan atau perlawanan terhadap Kasulatanan Mataram. Apalagi Diponegoro pun masih keturunan dari keluarga Kasultanan Yogyakarta. Akan tetapi yang dilawan adalah kesewenang-wenangan Kompeni yang telah menginjak-injak secara paksa hak-hak rakyat Mataram. Sebagai sorang guru tarekat Islam, Diponegoro adalah seorang yang bijak, adil, santun, dan halus budi pekertinya. Karena itu, sesungguhnya ia tidak mau berperang.
Pangeran Mangkubumi: Jangan berperasaan begitu. Kita semua wong Jawa dijajah dan didholimi Belanda. Warga Ngayogya kini semakin berani melawan Belanda, setelah Nak Pangeran meneladani mereka. Mengobarkan perlawanan kepada kompeni. Pangeran Diponegoro: Paman apa kita berdamai saja? Agar tidak terjadi korban jiwa dan darah siasia akan membanjiri Tegalreja. Pangeran Mangkubumi: Insya Allah dengan membaca basmalah. Allah akan mengampunimu Nak Pangeran. Niatkanlah sebagai jihad. Bukan semata-mata berperang melawan kelaliman. Pangeran Diponegoro: Begitu paman mendukung niat suci untuk berjihat. Akan kuucap basmallah. Saya sendiri tak berarti. Pangeran Mangkubumi: Ucapkan basmalah. Insya Allah paman akan berada di depan dan dibelakangmu Nak! Diponegoro: Alhamdullilah paman. Semoga perjuangan ini memang karena hidayah Allah. Bukan niat dendam dan amarah dari diri Ontowiryo. Pangeran Mangkubumi: Insya Allah, akan kami bela. Akan kutinggalkan tahta dan penuh iman berada di belakang Pangeran Diponegoro. Allahu Akbar!!! 194
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
(Purwanta, 2011: 51-52). Setelah mendapatkan dukungan Pangeran Mangkubumi selaku pamannya, Diponegoro baru berani memutuskan siap berperang melawan Kompeni. Sikap demikian inilah yang digelorakan Diponegoro kepada rakyat Mataram, sehingga ia mendapat dukungan luas. Para pengikut Diponegoro terbakar semangatnya setiap mendengar ceramah keagamaan sekaligus ajakan mempertahankan bumi kelahiran dari serangan. Malahan salah seorang kepercayaan Diponegoro bernama Panglima Arkiya segera akan mencabuti patok jalan kereta api bila utusan Patih Danureja memasang patok lagi (Purwanta, 2016: 30). Sikap Arkiya itu mencerminkan rasa nasionalisme yang tinggi. Ia tidak takut dengan serangan prajurit Danureja. Pada pihak lain, tokoh Mangarto yang semula menjadi pengikut Patih Danureja saat menyerang perkampungan Tegalreja mulai menyadari kesalahan yang dilakukannya. Dikisahkan bahwa setelah kegagalannya menyerang Tegalrejo, sebagian para prajurit Kepatihan (pengikut Patih Danurejo) yang masih hidup justru membelot kepada Pangeran Diponegoro. Mereka mengagumi Diponegoro sebagai pemimpin yang adil, bijaksana, berbudi luhur, dan tidak mau menyakiti bangsa sendiri (Purwanta, 2016: 34). Kepribadian Diponegoro bertolak belakang dengan Patih Danurejo. Hal inilah yang pelan-pelan membuka hati nurani Mangarto untuk bersikap kritis, dan akhirnya memihak kepada Pangeran Diponegoro. Dalam jiwa Mangarto tumbuh kesadaran untuk membela rakyat Mataram yang telah dijajah oleh Kompeni. Sehubungan dengan hal itu, wajar apabila Mangarto kemudian memberi tahu Sultan Menol dan Pangeran Mangkubumi (pesehat Sultan) tentang rencana buruk Danurejo dan Residen Smissaert yang akan menyerang Tegalrejo. Tindakan Mangarto merupakan cermin dari nasionalisme terhadap bangsa sendiri. Tindakan Pangeran Mangkubumi sebagai penasehat Sultan Menol yang tidak mudah dibujuk maupun dipaksa Residen Smissaert dan Patih Danurejo agar mengeluarkan keputusan perang terhadap Diponegoro menujukkan sikap kehatihatiannya, sekaligus juga menunjukkan sikap nasionalismenya. Residen Smissaert: Pangeran itu hanya penasehat Sultan Menol, bukan sebagai Patih. Jadi tidak berhak menghalangi kami menanyakan sesuatu kepada Sultan Menol. Patih Danurejo: Patih Mangku! Ini soal darurat kok harus dengan aturan adat berbelit. Biar Sultan Menol langsung memberi titah! Pangeran Mangkubumi: Kanjeng Sultan Menol masih perlu bimbingan sebelum memutuskans sesuatu. Saya, Ibunda Ratu Sultan dan Kanjeng Pangeran Diponegoro
195
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
berhak bertanya kepada Patih dan Tuan duduk soalnya, sebelum ada titah dari Sultan Menol (Purwanta, 2011: 41). Mangkubumi tidak gentar dengan desakan Danurejo dan Missaert. Ia berkayakinan bahwa Diponegoro tidak mungkin melakukan pemberontakan. Diponegoro berhati lembut, santun, pemahaman agamanya cukup mendalam, sehingga tidak mungkin melawan keraton. Malahan saat Mangkubumi disindir Danurejo dengan ucapan kepada Missaert agar tidak takut dengan penasehat Sultan Minol, ia pun menanggapi dengan dingin (Purwanta, 2011: 42). Mangkubumi percaya bahwa Diponegoro seorang kesatria yang baik. Ia menganggap ucapan Danurejo hanya fitnah belaka. Pengkhianat Rakyat Apabila tokoh-tokoh di atas merupakana manusia-manusia mendedikasikan hidupnya untuk rakyat Mataram melalui perjuangan melawan berbagai kebijakan Belanda yang menyengsarakan rakyat, maka beda halnya dengan Patih Danurejo. Sebagai patih ia sering mengambil keputusan dengan caranya sendiri. Ia cenderung dekat dengan Residen Smissaert daripada dengan keluarga Keraton. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang ada. Misalnya, saat pasukan Danurejo di bawah pimpinan Adipati Mangarto kalah saat menyerang Diponegoro, maka Danurejo langsung ke Benteng Vredebrug untuk meminta bantuan Residen Smissaert (Purwanta, 2011: 35-36). Patih Danureja: Berapa yang mati? Pihak musuh? Adipati Mangarto Seratus prajuritku mati hanya ditatap Pangeran Diponegoro. Patih Danureja Apa? Kurangajar!!! Adipati Mangarto Saya yang dibiarkan hidup dan menyampaikan salam kepada Kanjeng Patih. Patih Danureja Salam apa? Aku harus segera melapor ke Residen Smissaert di Beteng. Ayo kamu ikut! (Purwanta, 2011: 35). Tindakan Patih Danurejo yang langsung melapor ke Residen Missaert mencerminkan sikapnya yang lebih memihak kepada Belanda daripada rakyat Mataram. Bahkan untuk meyakinkan Sultan Menol bahwa semua ucapannya benar maka Danurejo memfitnah Diponegoro. Dikatakan kepada Sultan Menol bahwa
196
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Diponegoro adalah pemberontak, telah membunuh ratusan prajurit kepatihan, dan prajurit Diponegoro suka mengganggu para pekerja rel kereta api. Tujuaannya tidak lain agar Sultan Menol mengijinkan dirinya dan Misseart memerangi Diponegoro. Pengkhianatan terhadap bangsa sendiri semakin tampak saat pada akhirnya ia dan Misseart memutuskan menyerang Tegalrejo. Menjadi jelas bahwa ternyata Patih Danurejo tidak memiliki nasionalisme kepada bangsanya. Sekalipun tindakannya mengaku sebagai pejabat Kasultanan Mataram, tetapi orientasi tindakannya justru untuk membantu Belanda. Pemasangan patok yang mengenai tanah warga Tegalrejo sesungguhnya merupakan proyek Kompeni untuk memperlancar pengangkutan produk-produk pertanian milik mereka. Rakyat Mataram tidak merasa mendapatkan keuntungan dari proyek itu. Karena itu, Diponegoro dan rakyat Tegalrejo melawan pemasangan patok untuk pembuatan rel kereta api. Dalam hal ini, tokoh Residen Misseart ikut berperan penting dalam mempengaruhi sikap-sikap Danurejo. Ia cenderung mengikuti perintah dan programprogram Smisseart. Hal ini karena ia menganggap Sultan Menol masih anak-anak dan belum cukup drwasa cukup memimpin Kasultanan Yogyakarta. Namun demikian hal ini sesungguhnya tidak benar. Dalam memerintah Sultan Menol didamping seorang penasehat kerajaan bernama Pangeran Mangkubumi dan Ibu Ratu yang merupakan ibu kandungnya. Dengan demikian, kepemimpinan Sultan Menol tidak diragukan lagi. Permasalahan Utama Demikianlah permasalahan-permasalahan yang terimplisir dalam lakon “Perlawanan Diponegoro”. Permasalahan utama yang mendasari konflik-konlik dalam lakon ini adalah terjadinya usaha-usaha hegemoni kekuasaan pihak penjajah Belanda terhadap rakyat Mataram. Belanda ingin membangun rel kereta api untuk memperlancar pengiriman produk-produk pertanian hasil tanam paksa ke Batavia. Pembangunan rel dimulai dengan mematok tanah-tanah milih warga Tegalrejo, termasuk Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dan warga Tegalrejo menganggap tindakan Belanda yang mematok tanah-tanah mereka sebagai perampasan warisan leluhur yang harus dilawan. Perlawanan Diponegoro mendapat dukungan luas dari rakyat Mataram. Diponegoro menganggap peperangan melawan Belanda sebagai jihad fi sabilillah atau perang suci membela agama Islam dari serang kaum Kafir (Purwanta, 2011: 38). Akibatnya, perlawanan Diponegoro memiliki motivasi duniawi dan akherati. Inilah yang menyebabkan perang Diponegoro tidak mudah dihentikan. Tindakan Pangeran Magkubumi (paman Diponegoro) yang memberi restu perjuangan Diponegoro menambah motivasi Diponegoro.
197
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Bertolak dari permasalahan-permasalahan di atas dapat diambil kejelasan bahwa tema drama “Perlawanan Diponegoro” dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat, “penajajahan terhadap bangsa lain akan selalu mendapat perlawanan keras manakala penjajah tidak menghormati hak-hak rakyat terjajah”. Tema tersebut tampak menjiwai jaan cerita cerita dan penokohan secara keseluruhan. Perbedaan perwatakan dan sikap hidup tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita seperti Pangeran Diponegoro, Patih Danurejo, Residen Misseart, Pangeran Mangkubumi, Adipati Mangarto, Panglima Arkiya dll. tampak terakumulasi menjadi tema cerita. Konflik-konflik yang terjadi sepanjang cerita sesungguhnya bersumber dari perbedaan perwatakan dan sikap hidup antar tokoh. Konflik-konflik tersebut melahirkan berbagai permasalahan sebagai telah dipaparkan di atas. Selanjutnya, berbagai permasalahan yang ada dalam cerita dapat dirumuskan menjadi tema cerita seperti disebutkan di atas. Pada pihak lain, perbedaan dan perwatakan tokoh yang melahirkan berbagai konflik pada gilirannya menyebabkan cerita terus bergerak maju (plot). Cerita berkembang secara dinamis dimulai dari konflik antara prajurit pengikut Diponegoto (Panglima Arkiya) dengan para prajurit kepatihan akibat mereka mencabuti patokpatok tanah yang digunakan untuk rel kereta api. Setelah itu, konflik antara Residen Misseart dan Patih Danurejo dengan Sultan Menol dan Pangeran Mangkubumi akibat mereka tidak mau membuat keputusan untuk memerangi Diponegoro. Akhirnya, konflik antara Diponegoro dengan Patih Danurejo dan Residen Misseart yang berakhir perang besar di Tegalrejo. Jalan cerita yang berkembang dalam drama ini tampak dijiwai oleh tema cerita. Dengan demikian sebenarnya terdapat relasi yang padu antara tema dengan penokohan, penokohan dengan plot cerita, dan plot cerita dengan tema. Makna Tanda-tanda Perlu diketahui bahwa setiap aspek pertunjukan diatur oleh dialektika denotasi-denotasi seperti setting, tubuh aktor, gerak aktor dan tuturannya yang semua itu menentukan dan ditentukan oleh suatu jaringan makna-makna primer dan sekunder yang berubah-ubah secara konstan (Keir Elam, 1991: 11). Sebuah penanda tertentu tidak hanya bisa mengandung satu makna tertentu, melainkan juga maknamakna tatanan kedua dalam sebuah pertunjukan. Misalnya, sebuah pakaian dapat menunjukkan sifat-sifat sosial-ekonomi, psikologi, bahkan moral pemakainya. Sudah barang tentu, pada semiotika teater konotasi tidak bersifat unik, sebaliknya, kemampuan audien untuk menangkap makna-makna penting tatanan kedua tergantung pada nilai-nilai ekstra-teater dan kultural yang dikandung oleh objek-objek tertentu, modus-modus wacana tertentu atau bentuk-bentuk perilaku tertentu. Bisa jadi secara sosial para penonton tak sadar akan makna-makna yang mereka berikan ke fenomena-fenomena teater, namun komunikasi teater
198
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
memungkinkan makna-makna ini berpengaruh terhadap fungsi-fungsi praktis, yakni segala sesuatu berfungsi hanya sampai pada tingkatan ia memiliki makna (Nur Sahid, 2016: 121). Dalam bersandar pada nilai-nilai yang dikodifikasi secara sosial, semiotika teater senantiasa mengkonotasikan ‘dirinya sendiri’. Maksudnya, aspek konotatif berlaku pada keseluruhan pertunjukan yang memungkinkan audiens untuk menggolongkan segala sesuatu yang dipresentasikan kepadanya dari praksis sosial normal, dan karenanya mempersepsi pertunjukan sebagai ‘sebuah jaringan maknamakna’ atau sebagai ‘sebuah teks’. Dalam kaitannya dengan transformabilitas atau mobilitas tanda-tanda Bogatyrev mengatakan bahwa penanda dapat memiliki berbagai makna semantis tidak hanya pada level konotasi, tetapi kadang-kadang juga pada level denotasi (Keir Elam, 1991: 12). Dalam analisis makna tanda-tanda drama “Perlawanan Diponegoro” berikut ini, maka makna yang digali selain makna yang bersifat denotatif juga konotatif seperti halnya dimaksudkan oleh Keir Elam dalam paparan di atas. 1. Makna Tokoh Diponegoro Dalam konteks semiotika teater, eksistensi tokoh Pangeran Diponegoro yang berjuang membela rakyat Mataram dengan tulis ikhlas (penanda) dapat dimaknai sebagai manusia memiliki nasionalisme yang tinggi (petanda). Sebagai keturunan bangsawan Keraton Yogyakarta, sesungguhnya Diponegoro dapat hidup enak tanpa harus bersusah payah berjuang melawan Kompeni. Namun rasa kebangsaan dan kemanusiaannya yang tinggi telah menuntunnya menjadi pejuang daripada hidup enak di istana. Pada tataran makna berikutnya atau makna secara konotatif, perjuangan Diponegoro dapat disejajarkan dengan perjuangan para anak bangsa yang selalu melawan kekuasan asing di negeri ini, baik kekuasaan asing di bidang politik ekonomi, budaya dsb. Seperti diketahui bahwa sekalipun Indonesia telah merdeka, namun dalam bidang-bidang tertentu seperti ekonomi, budaya, pendidikan dsb. belum sepenuhnya merdeka. Intervensi asing dalam bidang-bidang tersebut cukup kuat di negeri ini. Karena itu, wajar apabila ada sejumlah anak bangsa yang memperjuangkan adanya kedaulatan ekonomi, politik, budaya, pendidikan dsb. 2. Makna Tokoh Patih Danurejo Secara semiotis tindakan Danurejo yang lebih memihak Residen Misseart dan selalu kejam terhadap bangsanya sendiri (penanda) dapat dimaknai sebagai simbol pengkhianat bangsa (petanda). Dalam sejarah perjuangan Indonesia, orang-orang seperti Patih Danurejo selalu ada. Mereka cenderung mencari keuntungan pribadi di atas penderitaan rakyat. Danurejo selalu menjadikan Misseart sebagai tumpuan harapan bagianya saat menghadapi perlawanan Diponegoro.
199
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Secara konotatif, pengkhianatan yang dilakukan Danurejo dalam konteks masyarakat Indonesia masa kini dapat dimaknai sebagai simbolisasi dari para tokoh masyarakat, ilmuwan, konglomerat, pejabat, pemimpin bangsa yang suka menjual aset negara, kebijakan, pengaruh kepada bangsa lain agar menguasai sosial ekonomi Indonesia. Orang-orang semacam ini tidak memiliki nasionalisme. Mereka rela menjadi pengkhianat untk mengeruk keuntungan pribadi. 3. Makna Tokoh Residen Misseart Secara semiotis tindakan tokoh Residen Misseart semena-mena terhadap atau Diponegoro dan rakyat Tegalrejo dengan mematok tanah mereka untuk rel kereta api (penanda) dapat dimaknai bentuk arogansi kekuasaan (petanda). Misseart berlaku kejam terhadap rakyat pribumi demi tujuan membuat rel kereta api untuk memperlancar pengiriman komoditi pertanian dari tanah Jawa ke Batavia. Secara konotatif, tindakan Misseart yang sewenang-wenang terhadap rakyat pribumi dalam konteks masa kini dapat dimaknai sebagai tindakan berbagai perusahaan asing (global) yang selalu sewenang-wenang dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia. Mereka ingin mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa cukup banyak perusahaan global yang dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia semata-mata hanya mencari keuntungan. Mereka tidak memikirkan dampak negatif bisnis mereka bagi masyarakat setempat. Kasus limbah dari perusahaan tambang multinasional di berbagai tempat membuktikan sedikitnya respon para pengusaha terhadap masyarakat lokal yang terdampak pertambangan. Malahan juga ada sebuah perusahaan teknologi informasi global yang tidak membayar pajak kepada pemerintah. 4. Makna Pematokan Kampung Tegalrejo Pematokan kampung Tegalrejo untuk rencana jalan kereta api oleh para prajurit suruhan Patih Danurejo (penanda), secara semiotis mengandung makna tentang perampasan hak-hak rakyat kecil (petanda). Keberadaan mereka sebagai rakyat Mataram telah dilecehkan oleh Danurejo. Fakta inilah yang membuat Diponegoro geram sehingga melawan mereka. Secara konotatif, peristiwa pemasangan patok tersebut identik dengan penggusuran berbagai tempat tinggal, sawah, ladang dll milik rakyat oleh sebagian penguasa di negeri ini dengan atas nama pembangunan nasional. Pembangunan dengan model penggusuran tanah milik rakyat sudah terjadi sejak era Orde Baru hingga saat ini. Seringkali rakyat tidak bisa berbuat apa-apa atas penggusuran itu, kecuali pasrah.
200
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
5. Makna Pencabutan Patok Dapat dikatakan bahwa pencabutan patok-patok di tanah rakyat Tegalrejo oleh para prajurit Pangeran Diponegoro (penanda) dapat dimaknai sebagai sebagai bangkitnya kesadaran menegakkan kebenaran dan keadilan di kalangan warga Tegalrejo (penanda). Mereka dengan gagah berani melawan kebijakan Patih Danurejo dan Residen Misseart yang dianggap telah merampas tanah hak milik warisan para leluhur. Peristiwa di atas secara konotatif dapat ditafsirkan sebagai kebangkitan rakyat kecil dalam memperjuangkan hak-hak mereka baik hak milik kebendaan, sosial, kultural dll. Sejak era Reformasi kesadaran memperjuangkan kepentingan rakyat di kalangan rakyat sipil, baik dalam kaitannya dengan para penguasa, maupun pemodal dsb. Sekalipun belum tentu berhasil, namun mereka mulai berani memperjuangkan hak-hak mereka manakala dirampas oleh penguasa dan pengusaha. Beberapa kasus menunjukkan bahwa demi membuka investasi, kadang-kadang pengusaha yang nakal merampas tanah milik masyarakat untuk membangun usaha. 6. Makna Perlawanan Diponegoro dengan Residen Misseart Perlawanan Diponegoro terhadap Kompeni di bawah Residen Misseart (penanda) dapat dimakna sebagai perlawanan kaum santri dengan kaum kafir atau kaum sekuler. Diponegoro menyebut penjajah Belanda yang telah merampas tanah rakyat Tegalrejo sebagai kaum kafir. Sesungguhnya bukan masalah kafirnya yang dilawan, tetapi tindakannya yang merampas tanah tumpah darah mereka. Peristiwa perlawanan Diponegoro terhadap Kompeni secara konotatif identik dengan perlawanan organisasi sosial keagamaan di tanah air sudah sejak lama melawan segala dampak buruk nilai-nilai budaya Barat seperti minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dsb. Perlawanan itu tidak kunjung usai, sebab hingga saat ini dampak buruk nilai-nilai budaya Barat belum hilang. Kesimpulan Berangkat dari seluruh kajian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama, drama “Perlawanan Diponegoro” mengangkat tema kepahlawan yang dapat dirumuskan menjadi sebuah kalimat, “penjajahan terhadap bangsa lain akan selalu mendapat perlawanan keras manakala penjajah tidak menghormati hakhak rakyat terjajah”. Tema ini menjiwai cerita secara keseluruhan. Secara semiotis, makna-makna yang terkandung dalam drama “Perlawanan Diponegoro” selain bermana denotatif (makna tingkat pertama), juma memiliki makna konotatif atau makna tingkat kedua. Makna-makna konotatif tersebut kontekstual dengan berbagai permasalahan masyarakat Indonesia masa kini.
201
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Daftar Pustaka: Carey, Peter. 2011. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (1785-1855). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan KITLV (Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde). Elam, Keir. 1991. The Semiotics of Theatre and Drama. London: Rout-Ledge. Kernodle, 1978, George & Portia Kernodle, Invitation to the Theatre, Edisi Kedua, Harcourt Brace Javanvich, Inc, Atlanta. Nuryanto, “Penerapan Metode Content Analysis dalam Bidang Penelitian Bahasa dan Seni”, Makalah Lokakarya Fak. Pendidikan bahasa dan Seni, IKIP Yogyakarta, 11-13 Mei 1992. Purwanto, Lephen. 2011. “Perlawanan Diponegoro”. Tidak Diterbitkan. Sahid, Nur, 2016, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film, Gigih Pustaka Mandiri, Semarang. Saad, Saleh, 1975, “Penelitian dan Pengembangan Sastra” dalam Budaya Jaya, Jakarta. Sylado, Remi. 2007. Pengeran Diponegoro. Solo: Tiga Serangkai. Waluyo, J. Herman, 2007, Drama, Naskah, Pementasan, dan Pengajarannya, Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UPT Penerbiatan dan Pencetakan UNS (UNS Press), Surakarta.
202
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
INOVASI PEMBELAJARAN TARI KREATIF MELALUI SENI ACTION PAINTING Olivia Fonna, Nida Sholiha Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]/
[email protected] Abstrak Artikel ini bertujuan untuk memaparkan inovasi pembelajaran tari kreatif melalui seni Action Painting. Tari kreatif merupakan salah satu konsep pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengolah dan mengembangkan potensi kreatifnya dengan menekankan pada kebebasan untuk menemukan gerak melalui pengalaman dalam kegiatan apresiasi, eksplorasi, kreasi, dan produksi seni. Sedangkan seni Action Painting adalah lukisan yang tidak mementingkan bentuk tetapi lebih mengedepankan aksi atau cara dalam melukis. Mengacu pada hal tersebut tari kreatif dan action painting dapat dipadukan dalam satu karya seni sehingga mampu memicu keterampilan berfikir kritis siswa. Hal yang terpenting dari inovasi pembelajaran tersebut, tidak terletak pada hasil akhir pembelajaran, namun bagaimana proses pembelajaran tari kreatif melalui aksi melukis mampu memberikan ruang ekspresi diri dan pengalaman estetik sehingga dapat meningkatkan kreativitas siswa. Inovasi pembelajaran tari kreatif melalui seni Action Painting diharapkan dapat mengasah kepekaan rasa, kreativitas, dan potensi diri siswa. Sehingga menghasilkan generasi yang memiliki kompetensi yang kuat secara keterampilan dalam menghadapi masalah dan tantangan yang terjadi dalam lingkup globalnya. Kata Kunci:Inovasi Pembelajaran, Tari Kreatif, Seni Action Painting PENDAHULUAN Hingga saat ini pembelajaran seni yang diajarkan di sekolah masih memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan potensi setiap siswa serta memberikan pengalaman estetik dalam kegiatan berekspresi, berkreasi serta berapresiasi, guna mengasah kepekaan rasa,mengembangkan kreativitas, dan mengasah kemampuan berfikir kritis. Setiap peran tersebut tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain. Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas dalam Masunah (2012, hlm. 268) mengemukakan bahwa: Tujuan pembelajaran seni adalah sebagai berikut: (1) Mengembangkan sikap toleransi, demokrasi, beradab, dan rukun dalam masyarakat majemuk, (2) Mengembangkan intelektual, imajinasi, dan ekspresi melalui seni, (3) Mengembangkan kepekaan rasa, keterampilan, dan kreativitas, (4)
203
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Menerapkan teknologi dalam berkarya dan dalam menampilkan karya seni, (5) dan Menanamkan pemahaman tentang dasar berkesenian. Hal tersebut menegaskan bahwa, perlu diterapkan proses pembelajaran yang berpusat pada pengembangan potensi siswa dengan menerapkan pembelajaran yang berinovasi. Apalagi sistem kurikulum yang berlaku sekarang ini menuntut siswa agar selalu aktif dalam proses pembelajaran yang diikutinya. Rohman (2012, hlm. 1) mengemukakan bahwa saat ini berkembang tuntutan untuk perubahan kurikulum pendidikan yang mengedepankan perlunya membangun karakter bangsa dan juga membimbing siswa agar bersifat positif terhadap segala hal untuk kebaikan masa depan mereka sendiri. Oleh karena itu, sekolah perlu membimbing siswa untuk kuat secara karakter dan kemampuan kreatif dalam menghadapi masalah dan tantangan yang terjadi dalam lingkup globalnya. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Sani (2015), Keterampilan yang seharusnya dibentuk dalam diri peserta didik adalah 1) keterampilan bekerja sama, 2) keterampilan berkomunikasi, 3) kreativitas, 4) keterampilan berfikir kritis, 5) keterampilan menggunakan teknologi informasi, 6) keterampilan numerik, 7) keterampilan menyelesaikan masalah, 8) keterampilan mengatur diri, dan 9) keterampilan belajar. Jika, keterampilan-keterampilan tersebut dapat ditanamkan pada siswa, maka akan melahirkan manusia yang terampil dan berkreativitas tinggi. Berkenaan dengan kreativitas, Indonesia menempati peringkat dari 82 negara yang dilansir oleh Global Creativity Indeks tahun 2011 yang dipublikasikan oleh Martin Prosperity Institute. Sepuluh negara paling kreatif adalah Sweden, United States, Finlad, Denmark, Australia, New Zealand, Canada, Norway, Singapore dan Notherlands. Indeks kreativitas tersebut berkorelasi dengan daya saing negara. Posisi Indonesia dalam daya saing global pun tidak lebih baik, yaitu menempati peringkat ke 46 dari 142 negara berdasarkan Global Competitiveness Report 2011-2012 yang dipublikasikan oleh Word Economi Forum. Ironis memang jika melihat hasil riset yang ada. Problematika lainnya yang muncul, Sani (2015) menyatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru di Indonesia pada umumnya masih berpusat pada guru. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang masih belum memadai dan paradigma pembelajaran yang belum sesuai dengan tindakan yang seharusnya dilakukan. Penelitian membuktikan bahwa perbedaan tentang paradigma pembelajaran ternyata berdampak pada hasil belajar siswa. Perbandingan hasil tes TIMSS dan PISA pada beberapa periode tes menunjukkan bahwa siswa di Jepang memperoleh hasil yang jauh lebih tinggi dari pada siswa di Jerman (kelompok sedang) dan di Amerika (kelompok rendah). Guru di Amerika percaya bahwa pembelajaran terjadi dengan penguasaan materi secara bertahap sehingga perlu dilakukan pembelajaran sedikit demi sedikit dengan meminimalkan kesalahan.
204
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Sementara itu, guru di Jepang percaya bahwa siswa akan belajar dengan baik jika dimulai dengan berupaya memecahkan masalah. Hal tersebut juga muncul dari hasil pengamatan di beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Kota Bandung. Pelaksanaan pembelajaran seni tarinya masih sangat memerlukan pembaruan dan pembenahan, dimana pembelajaran yang dilakukan belum menfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensinya. Proses pembelajaran yang berlangsung, guru masih menjadi model didepan kelas dan siswa hanya mengikuti apa yang dicontohkan guru, siswa menghafal gerak yang diberikan guru tanpa memaknai tujuan pembelajaran yang dimaksud demi mengasah kepekaan rasanya. Apalagi guru yang mengajar seni di sekolah tidak memiliki latar pendidikan dari seni. Sehingga yang terjadi adalah siswa tidak mampu mengembangkan daya kreatifnya. Sedangkan pada pembelajaran seni rupa, ruang untuk siswa mempertunjukan kreasinya hanya sebatas pada hasil karyanya saja. Hal yang terjadi siswa tidak percaya diri untuk tampil didepan khalayak ramai. Padahal belajar melalui seni, siswa akan memperoleh kebermaknaan melalui proses dalam kegiatan bereksplorasi, berkreasi, dan berapresiasi yang mengasah potensinya karena pada dasarnya, kodrat setiap anak adalah kreatif. Kondisi tersebut harus mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang intensif demi mencapai pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, pembelajaran seni yang diberikan harus menyediakan ruang secara bebas bagi siswa untuk mengembangkan imajinasi serta daya kreasinya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Maka dengan hal ini kreativitas akan berkembang secara baik dan rasa sosial antara siswapun dapat ditumbuhkan. Solusi untuk permasalahan tersebut dapat diatasi dengan memberikan inovasi pembelajaran yang kreatif. Salah satunya dengan menerapkan pembelajaran tari kreatif melalui Seni Action Painting. Pembelajaran tari kreatif merupakan salah satu konsep pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengolah dan mengembangkan potensi kreatifnya dengan menekankan pada kebebasan untuk menemukan gerak melalui pengalaman serta kegiatan apresiasi, eksplorasi, kreasi dan produksi seni, sehingga proses pembelajarannya terasa menyenangkan tanpa tekanan. Desfina (2009, hlm. 54) menyatakan bahwa seni tari kreatif mengajak pelajar untuk menemukan ide-ide baru serta membangun jiwa kreatif, dalam komposisi tari yang diciptakan oleh pelajar mampu memberikan motivasi bagi pelajar serta dapat dapat membangun kepercayaan diri pelajar. Sedangkan Seni Action Painting adalah lukisan yang tidak mementingkan bentuk tetapi lebih mengedepankan aksi atau cara dalam melukis. Rachmawati dan Kurniati dalam Wahyuni (2013) mengemukakan bahwa Action painting dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berbuat kreatif serta mengembangkan kemampuan dalam mengungkapkan nilai-nilai estetika dengan menggambar karya-karya kreatif.
205
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Seni Action Painting dapat digunakan dalam pembelajaran tari kreatif untuk memunculkan inovasi pembelajaran yang mengedepankan pada pengembangan kreativitas dan potensi siswa dalam berkarya seni. Jadi, pembelajaran tari kreatif melalui seni action painting diharapkan dapat memperbaiki mutu pembelajaran dalam upaya memenuhi kebutuhan siswa dalam hidup di masyarakat, sehingga mereka mampu menghadapi problematika dan tantangan dalam era global. PEMBAHASAN Teori Tari Kreatif Rudolf Laban (1879-1958) adalah pencetus tari pendidikan (modern educational dance), tari kreatif (creative dance), gerak dan tari kreatif (creative movement and dance) serta tari eskpresif (expressive dance) yaitu suatu model pembelajaran tari yang menekankan pada proses belajar menari anak (child-centred approach), aktivitas belajar menari anak-anak dengan metode kreatif yang menekankan pada kebebasan berekspresi dalam menemukan gerak pribadi sebagai materi dasar tari. Pemikiran Laban tersebut didukung oleh Smith dalam Dewi (2013) bahwa konstribusi afektif dalam pengalaman belajar menari kreatif akan menyumbang kepada perkembangan kepribadian anak. Mengajar dan belajar menari menggunakan metode kreatif tidak menekankan pada produk, namun kepada proses siswa dalam menemukan dan menciptakan gerak tarinya. Ini diperkuat oleh Tisnasomantri dalam Astuti (2015, hlm. 24) bahwa metode kreatif mampu membentuk kepribadian anak, karena setiap kegiatan berpihak pada anak. Tari kreatif lebih menekankan pada kebebasan berekspresi dan berimprovisasi melalui hal-hal yang dialami siswa, baik itu melalui proses mendengar, melihat, maupun merasakan. Hal tersebut diperkuat oleh beberapa pendapat dalam Desfina (2009, hlm. 54) diantaranya: ....(a) Girbert, tari kreatif menggabungkan penguasaan gerakan dengan seni ekspresi, (b) Hawkins, kreativitas tidak dihasilkan melalui peniruan, penyesuaian, maupun adaptasi terhadap pola-pola yang telah dibuat sebelumnya. Kreativitas melibatkan pemikiran imajinatif: merasakan, menghayati, menghayalkan, dan menemukan kebenaran, (c) Joyce, tujuan dari tari kreatif adalah berkomunikasi melalui gerakan, (d) Paulette, tarian diperkenalkan sebagai suatu bentuk seni melalui pengalaman, penghasilan, persembahan dan rasa penghargaannya, (e) Flemming, penyelesaian masalah, pengujian, penemuan, pengambilan peluang untuk mereka cipta, pencetus, pembuatan pilihan dan penilaian, penggabungan antara keterkaitan dan peluang yang diwujudkan melalui pengalaman gerakan kreatif, (f) Hanna, tarian berkomunikasi dengan ide-ide, cerita-cerita, emosi dan perasaan.
206
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka disimpulkan bahwa tari kreatif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang mengembangkan kreativitas siswa melalui kegiatan eksplorasi, karena eksplorasi adalah bagian terpenting dalam pengembangan tari kreatif dimana siswa dituntut untuk mampu menemukan gerak sendiri berdasarkan kemampuan, pengalaman, imajinasi, dan dari lingkungannya. Itu berarti siswa tidak dituntut untuk terampil menari di atas pentas maupun untuk tujuan pertunjukan festival. Murgianto (1993) dalam Masunah (2012, hlm. 263) menyatakan bahwa Nilai tari dalam dunia pendidikan, bukan terletak pada latihan kemahiran dan keterampilan gerak (semata-mata) tetapi lebih kepada kemungkinannya untuk memperkembangkan daya ekspresi anak. Hal tersebut juga diperkuat oleh Desfina (2009, hlm. 53) bahwa proses pembelajaran tari di sekolah, memerlukan pembelajaran seni yang berorientasi pada pengembangan kreativitas, karena sifat kreativitas adalah aktif dan inovatif, yang sangat penting dalam mengembangkan potensi siswa. Hal tersebut juga didukung oleh Gilbert dalam Astuti (2015, hlm. 21) bahwa pembelajaran seni tari yang berorientasi kepada kreativitas merupakan hal yang sangat menyenangkan bagi pelajar, karena tari kreatif merupakan penggabungan dan penguasaan gerak dengan seni ekspresi yang menjadikan tari kreatif sungguh kuat. Teori Action Painting Harold Rosenberg adalah pengamat seni yang mencetus seni action painting. Beliau menciptakan istilah action painting pada tahun 1952. Jackson Pollock adalah seniman yang pertama kali membuat action painting/lukisan aksi/gestural abstraction di kanvas. Susanto dalam Kurnia (2015) mengemukakan seni lukis (painting) adalah bahasa ungkapan dari pengalaman artistik maupun ideologis yang menggunakan warna dan garis, guna mengungkapkan perasaan, mengeskpresikan emosi gerak, ilusi maupun ilustrasi dari kondisi subjektif seseorang. Sedangkan Brewer dalam Kurnia (2015) menyatakan bahwa melukis (painting) adalah kegiatan yang mengajak anak-anak untuk mengeksplorasi tekstur. Sedangkan Pekerti dalam Kurnia (2015) mengemukakan bahwa Action Painting atau melukis dengan aksi merupakan pengalaman yang menarik dan mengesankan bagi setiap anak untuk melatih pengembangan imajinasi, memperluas kemampuan motorik serta mengasah bakat seni rupa. Jadi, melalui action painting siswa diajak untuk beraksi langsung melalui teknik dalam warna namun tidak mengutamakan produk paintingnya. Hal tersebut juga diperkuat oleh Jackman dalam Kurnia (2015) bahwa painting atau melukis adalah kegiatan seni yang dapat dilakukan oleh anak-anak dengan mengutamakan prosesnya. Oleh karena itu, Pembelajaran action painting termasuk ke dalam pendekatan ekspresi bebas. Jazuli (2008, hlm. 169) mengemukakan bahwa:
207
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Pendekatan ekspresi bebas atau pendekatan berbasis anak adalah suatu kegiatan pembelajaran yang senantiasa memperdulikan atau memberikan kesempatan yang relatif luas kepada siswa untuk menyatakan diri secara bertanggung jawab. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah ekspresi kreatif harus berasal dari dalam diri siswa sendiri karena ekspresi bebas pada dasarnya tidak bisa diajarkan oleh siapapun. Tarjo (2004) menyatakan bahwa model pengembangan ekspresi dan kreasi mengutamakan pengembangan kemampuan menyatakan gagasan, perasaan, dan mengembangkan daya cipta anak. Hal ini menegaskan bahwa pembelajaran yang inovatif akan membawa anak dalam proses kreatif pula. Terkait pembelajaran action painting, siswa diberi kebebasan melakukan aksi-aksi melukis sambil menari. Hal tersebut akan membuat siswa mampu berekspresi seni rupa dengan bebas. Kurnia (2015) melakukan penelitian tentang Pengaruh Kegiatan Painting dan Keterampilan Motorik Halus Terhadap Kreativitas Anak Usia Dini dalam Seni Lukis. Hal temuannya membuktikan bahwa kreativitas dapat dimunculkan melalui kegiatan painting dan keterampilan motorik yang melibatkan gerakan anggota tubuh. Hal tersebut sama halnya dengan konsep inovasi pembelajaran tari kreatif melalui action painting yang melibatkan gerakan tubuh siswa melalui aksi-aksi bebasmelukis dalam menari kreatif. Inovasi Pembelajaran Tari Kreatif melalui Action Painting Secara sederhana inovasi dimaknai sebagai proses pembaharuan/pemanfaatan/pengembangan dengan ditandai oleh adanya hal yang baru. Rogers dalam Wahyuddin (2009) menyebutkan bahwa inovasi merupakan suatu ide, gagasan, praktik atau obyek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang/kelompok untuk diadopsi. Jadi, inovasi adalah suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memperbaiki produk/proses. Hal ini didukung juga oleh Robbins dalam Wahyuddin (2009) bahwa inovasi adalah gagasan baru dari suatu olah pikir dalam mengamati suatu fenomena yang sedang terjadi, termasuk dalam bidang pendidikan. Inovasi akan memunculkan produk/jasa yang ditindak lanjuti dengan berbagai aktivitas, kajian, penelitian/percobaan, sehingga melahirkan konsep yang bertujuan untuk melakukan penyempurnaan dan perbaikan sehingga ada manfaatnya yang berguna. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran tari kreatif melalui seni action painting merupakan suatu inovasi pembelajaran yang memberikan konstribusi dalam pembelajaran seni sehingga dianggap dapat menjadi hal yang berguna demi penyempurnaan dan perbaikan mutu pengajaran seni. Alexi dan Hafianti (2001, hlm. 2) mengemukakan bahwa dalam tari kreatif, yang diutamakan adalah kemampuan seseorang dalam cara berpikir yang
208
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
menghasilkan sesuatu yang baru. Sumber kreatif pada siswa berasal dari siswa sendiri, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam membimbing dan membangkitkan motivasi siswa secara individu. Wena (2009, hlm. 140) menyatakan bahwa ada 5 (lima) tahap strategi pembelajaran kreatif-produktif, yaitu (a) Orientasi, keterlibatan siswa secara intelektul dan emosional dalam pembelajaran, (b) Eksplorasi, siswa didorong mengonstruksi konsep/teori dengan berbagai cara, (c) memberi kesempatan siswa untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas secara bersama dan (d) rekreasi, untuk menjadi kreatif, seseorang harus bekerja keras, berdedikasi tinggi serta percaya diri. Tahapan tersebut juga didukung oleh Hawkins dalam Yulianti (2014) bahwa dalam proses kreatif terbagi dalam beberapa fase, yaitu (1) Sensing (merasakan), belajar mengamati yang ada disekililingnya atau peristiwa yang sering terjadi yang dialami kemudian dirasakan secara mendalam, (2) Feeling (menghayati), menghayati rasa yang ditangkap dari peristiwa kehidupan atau temuan yang menari, (3) Imaging (mengkhayalkan) menjadi respon untuk menciptakan sesuatu yang baru, (4) Transforming (merubah) menemukan dan mencurahkan segala pikir untuk diwujudkan menjadi ide-ide gerak yang diinginkan, dan (5) Forming (memberi bentuk) gerak terbentuk secara alami berdasarkan khayalan kemudian digabungkan dengan unsur estetik tari. Eksplorasi merupakan proses pencarian berbagai macam gerak yang menuntut pada kemampuan dan pengalaman pribadi siswa. Sedangkan improvisasi adalah pembuatan/penyediaan sesuatu berdasarkan bahan yang ada seadanya atau yang muncul tiba-tiba, proses improvisasi adalah melakukan sesuatu tanpa persiapan, biasanya terjadi secara merta karena didukung oleh kondisi dan keadaan. Lioyd dalam Desfina (2009, hlm. 55) mengemukakan bahwa tari kreatif memberikan kebebasan berekspresi dalam proses eksplorasi dan improvisasi dengan tahap mencoba, mengalami, dan melakukan pergerakan untuk membangun sikap kreatif dan inisiatif peserta didik. Tisnasomantri dalam Astuti (2015) menyatakan bahwa dalam pembelajaran tari kreatif ada beberapa tahapan yang harus dilalui siswa, diantaranya (1) Tahap Pengenalan, siswa memahami materi dasar tari dan melukis (action painting). Hal ini dilakukan untuk merangsang pemikiran siswa terhadap ide-ide tema sekaligus bentuk-bentuk gerak dan bentuk action painting, (2) Tahap Eksplorasi, kegiatan menuju kreativitas melalui kreasi gerak, berfikir, berimajinasi, melakukan pencarian ide tema, serta mencoba. Kemudian siswa melakukan aksi dengan melukis pada kanvas. Siswa dapat menggunakan media karet gelang, kuas ataupun langsung melukis dengan menggunakan jari (finger painting). Pada tahap ini siswa diarahkan untuk beraksi dalam action painting sambil bergerak kreatif sesuai imajinasinya, dan(3) Tahap Membentuk, kegiatan dimana siswa merangkai dan mengkombinasikan gerakan yang sudah mereka susun/rangkai dengan aksi lukis bebas. Pada tahap ini
209
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
siswa mulai memasukkan unsur ruang, waktu, dan tenaga sambil melukis dengan bebas. Lukisan yang tercipta berdasarkan hasil cipratan karet gelang yang sebelumnya dilumuri oleh cat akrilik. Hasil karya action painting kaya akan kombinasi warna, tekstur, dan komposisi yang spontan karena dilakukan dengan bebas atau cara main-main (playfulness). Hasil karya tersebut termasuk ke dalam aliran abstrak ekspresionisme. Penjelasan di atas diperkuat oleh Desfina (2009) bahwa eksplorasi gerak dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan, salah satunya melalui pembelajaran yang menuntun siswa untuk ikut aktif baik menggunakan benda/properti sebagai media kreasinya. Jadi, pembelajaran tari kreatif melalui action painting adalah pembelajaran yang aktif dan berpusat pada siswa dimana proses pembelajarannya membuat siswa terjun langsung dalam kegiatan eksplorasi dan improvisasi. Sehingga pada akhirnya siswa mampu menghasilkan sebuah karya kreasi yang unik. Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat Hawkins dalam Yulianti (2014, hlm. 34) bahwa melalui improvisasi penari mempunyai keterbukaan yang bebas untuk mengeksresikan perasaanya lewat media gerak. Improvisasi diartikan sebagai penemuan gerak secara kebetulan atau spontan, walaupun gerak-gerak tertentu muncul dari gerak yang pernah dipelajari atau ditemukan sebelumnya, tetapi ciri spontanitas menandai hadirnya improvisasi. Dari pengalaman ini hadirlah suatu kesadaran baru yang bersifat ekspresif yaitu gerak kreatif. Hasil penelitian Taschuk (2012) menegaskan bahwa salah satu cara yang dapat membuat siswa mampu untuk berpikir secara kritis dan kreatif adalah melalui tari kreatif. Tari kreatif dapat diterapkan pada siswa tingkat dasar dan siswa tingkat remaja. Wahyuni dkk (2013) meneliti tentang eksplorasi bentuk kupu-kupu sebagai gagasan berkarya seni lukis abstrak melalui teknik Flicked Painting (Cipratan). Hasil temuannya menunjukkan bahwa melukis dengan teknik cipratan (Flicked Painting) adalah sebagai media fluktuasi emosi, ekspresi, dan imajinasi seni. Melukis dengan teknik cipratan (Flicked Painting) hampir sama dengan teknik seni action painting yang mengutamakan aksi-aksi bebas siswa dalam melukis. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa tari kreatif dan aksi melukis bebas (action painting) adalah sebuah cara baru yang dapat menuntun siswa kepada proses aktif dan kreatif melalui pengalaman yang bermakna. KESIMPULAN Inovasi Pembelajaran tari kreatif melalui seni action painting, diharapkan mampu memberikan ruang ekspresi diri dan pengalaman estetik kepada siswa sehingga mereka mampu mengembangkan kreativitas melalui menari kreatif disertai dengan melakukan aksi melukis. Kegiatan tersebut akan mengasah kepekaan rasa dan potensi dirinya. Maka dari inovasi pembelajaran tersebut mampu menghasilkan
210
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
generasi yang memiliki kompetensi yang kuat secara keterampilan dalam menghadapi masalah dan tantangan yang terjadi dalam lingkup global. DAFTAR PUSTAKA Alexi, P & Hafianti, D. (2001). Ayo Menari: Pengantar Sedyawati, E. Jakarta: PT Gramedia Widiasrana Indonesia. Astuti, Yuliani. (2015). Tari Kreatif Berbasis Kaulinan Barudak Budak Lembur di SDN Mekarsari Kab. Sumedang. Tesis. Pendidikan Seni UPI. Tidak diterbitkan. Desfina. (2009). Tari kreatif: Paradigma dalam Pembelajaran Tari di Sekolah.Jurnal Pendidikan Seni Kagunan, 3(2). Pg 51. Jakarta: Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI). Dewi, M. S. (2013). Meningkatkan Hasil Belajar Menari Kreatif Melalui Pendekatan Pembelajaran Piaget dan Vygotsky.Jurnal Seni dan Budaya Panggung, 23(1). Hal. 1-81. Institute, Martin Prosperity. (2015). The Global Creativity Index. Tersedia [Online] http://martinprosperity.org/diakses tanggal 16 Oktober 2016. Jazuli, M. (2008). Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Semarang: Unesa University Press. Kurnia, S. D. (2015). Pengaruh Kegiatan Painting dan Keterampilan Motorik Halus Terhadap Kreativitas Anak Usia Dini dalam Seni Lukis.Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 9(2). Hal. 285-301. Laban, Rudolf. (1976). Modern Educational Dance. Ed 3. Revised by Ulmnn. London: Macdonald and Evans. Masunah, J. & Narawati. T. (2012). Seni dan Pendidikan Seni: Sebuah Bunga Rampai. Bandung: P4ST UPI. Rohman, M. (2012). Kurikulum Berkarakter. Jakarta: Prestasi Pustakakarya. Sani, Ridwan Abdullah. (2015). Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Tarjo, Enday. (2004). Strategi Belajar Megajar Seni Rupa.Bandung: Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI. Taschuk, Heather. (2012). Creative Dance for Secondary School Students: A Foundation for Success.Physical and Health Education Journal. Volume 78 No. 1. Page 28-29 Yulianti, Ratna. (2014). Pembelajaran Tari Kreatif Untuk Meningkatkan Pemahaman Cinta Lingkungan Pada Anak Usia Dini. Tesis. Pendidikan Seni UPI Bandung. Tidak diterbitkan. Wahyudin, Dinn. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
211
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Wahyuni, Tri. Dkk. (2013). Eksplorasi Bentuk Kupu-kupu Sebagai Gagasan Berkarya Seni Lukis Abstrak Melalui Teknik Flicked Painting (Cipratan). Jurnal Edukasi, 1(3). Hal. 1-12. Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara
212
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
STRATEGI BERKARYA SENI SEBAGAI WUJUD REFLEKSI TRADISI-KONTEMPORER DI ERA GLOBAL Rani Qurotal Ayuni, Sari Apriliani Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]/
[email protected] Abstrak Artikel ini bertujuan untuk memaparkan mengenai strategi dalam berkarya seni di era globalisasi. Perkembangan di era global saat ini dapat menimbulkan terjadinya perubahan besar baik dalam pola hidup manusia, nilai-nilai kehidupan dan nilai budaya. Sebagai salah satu dampak dari era globalisasi, adanya keinginan manusiawi untuk menunjukkan jati diri budayanya. dalam keadaan seperti ini, sering terjadi akulturasi budaya dimana dapat menghasilkan transformasi budaya yang nantinya dibutuhkan untuk menuju modernisasi. Salah satu contoh akulturasi budaya bisa melalui proses berkarya seni lukis dan batik sebagai media untuk mengintegrasikan antara seni kontemporer dan tradisi dalam menjawab tantangan di era global. Penggabungan karya seni kontemporer dan seni tradisi penting untuk dilakukan dimana dalam kedua seni tersebut memiliki batas-batas, aturan, dan karakteristik yang berbeda. Dalam proses berkarya seni tidak terlepas dari nilai estetika yang terkandung didalam karya tersebut, estetika dihasilkan melalui kolaborasi media, bahan dan teknik. Tujuan dari adanya kolaborasi ini diharapkan mampu bertahan diera global, tanpa meninggalkan unsur-unsur tradisi. Kata kunci : Strategi, Tradisi-kontemporer, Globalisasi Pendahuluan Dalam beberapa waktu terakhir, istilah globalisasi menjadi ramai diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Globalisasi dianggap menjadi sebuah arus yang mampu merubah tatanan kehidupan dengan mengeksploitasi berbagai nilai lingkungan dan nilai budaya setempat. Tidak adanya batas antara suatu bangsa dengan bangsa yang lainnya sehingga mampu memberikan kemudahan untuk mengakses, mengetahui sesuatu yang berada diluar baik itu dibidang informasi, teknologi, gaya hidup, interaksi sosial, sehingga menjadi satu kesatuan yang global. Globalisasi menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan keanekaragaman pandangan dan interpretasi dikalangan masyarakat. Globalisasi menurut Arifin dalam (Winarno, 2006, hlm. 23) adalah : proses globalisasi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia dan ini merupakan suatu gelombangan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang digerakkan oleh perkembangan teknologi yang cepat dan muncul hampir serentak yang tengah mengubah pola dan sifat kehidupan 213
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
umat manusia di berbagai bidang dan tingkatan lewat dampaknya yang sangat luas dan intensif di ketiga sektor :tansportasi, turisme dan telekomunikasi yang dikenal dengan triple-T Technology. Sejalan dengan pendapat Arifin, Soyomukti (2007, hlm. 42) mengungkapkan bahwa “globalisasi adalah arus utama yang membawa dampak maha hebat terhadap ruang dan waktu yang mengalami percepatan atau terjadinya time distanziaton”. Dari kedua pendapat diatas dapat dipahami bahwa globalisasi ini merupakan sebuah arus yang memberikan keterbukaan dan kemudahan untuk berinteraksi antar bangsa dan negara meliputi segala aspek kehidupan. Ciri dari arus globalisasi ini yaitu pesatnya perkembangan teknologi dan informasi saat ini dimana dunia seakan dibuat sempit dengan kemudahan interaksi dan berbagi informasi. Dari adanya arus globalisasi ini memberikan dampak pada kehidupan. Dampak yang ditimbulkan berupa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya bahwa adanya keterbukaan sehingga dengan mudah dapat mengetahui segala aspek yang sebelumnya tidak bisa dijangkau. Namun berdampak negatif ketika suatu bangsa atau negara hanyut dalam arus globalisasi tanpa adanya persiapan. Sehingga nantinya globalisasi itu bisa menjadi peluang atau ancaman. Menjadi peluang baik yang menjanjikan kemakmuran, demokrasi dan keadialan jika dapat dikelola dengan baik. Menjadi ancaman jika tidak dapat dikelola dengan baik dan menimbulkan ketimpangan dalam segala sektor dalam kehidupan, diantaranya lingkungan hidup, sosial, budaya ekonomi dan politik. Globalisasi ini dibuat dan dipimpin oleh negara-negara Barat dimana mereka menganut paham kapitalis. Tujuan dari kaum kapitalis sebenarnya ingin mengubah realitas kenyataan alam diantaranya dengan menghimpun modal, menguasai sumber daya alam negara-negara dunia ketiga, mencari tenaga kerja yang bisa diupah murah dan mencari pasar baru meskipun orang-orang kapitalis tidak ingin mengubah sistem sosial. Indonesia sebagai negara berkembang dalam hal selaku negara ketiga yang terkena dampak, perlu diberikan kesempatan untuk menunjukan eksistensi dirinya untuk menentukan arah globalisai yang dipilih. Menurut Winarno (2006, hlm. 24) “pembuka sukses ke masa depan yaitu keunggulan, inovasi, tenologi, pemasaran dan informasi”. Inovasi dapat dikatakan sebagai cara meningkatakan kemampuan bersaing. Namun banyak diantara kita yang masih belum peka, kreatif dan produktif dalam menghadapi globalisasi. Salah satu sektor yang mendapat dampak dari adanya globalisasi adalah kebudayaan. Menurut Tilaar (1997, hlm. 17) bahwa dalam area budaya proses globalisasi menyatakan diri dalam pengaturan sosial dalam kaitannya dengan pertukaran dan ekspresi simbol mengenai fakta, pengertian, kepercayaan, selera dan nilai-nilai. Dalam hal ini globalisasi mengancam sektor kebudayaan dimana
214
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
keberadaan budaya dikenal terikat pada ruang dan waktu yang beraneka ragam dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bagi bangsa Indonesia sendiri hal ini merupakan suatu ancaman dan kekhawatiran akan kelangsungan keberadaan budaya dimana nilai-nilai yang dimiliki terkikis oleh pengaruh budaya asing. Serta suatu tantangan untuk menghadapi dan menjaga eksistensi keberadaan budaya serta mewarisi kepada generasi selanjutnya. Karena budaya lokal Indonesia memiliki keanekaragaman dan keunikan tersendiri. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa arus globalisasi ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sejalan dengan Tilaar (1997, hlm. 26) bahwa “kontak dengan budaya lain merupakan suatu keharusan dan tidak dapat dihindarkan lagi karena hubungan komunikasi yang tidak mengenal batas negara dan lokal”. Dalam hal ini diperlukan cara pandang dan sikap yang bijak dalam menghadapi arus ini. Kebudayaan bangsa akan tetap bertahan jika setiap individu ataupun masyarakat masih menghargai dan menjunjung tinggi arti keberadaan budaya. Budaya merupakan nilai-nilai yang muncul akiba adanya interaksi manusia. Adapun menurut Marvin Harris dalam Nasrullah (2012, hlm. 16) bahwa kebudayaan sebagai berbagai pola tingkah laku yang tidak bisa dilepaskan dari ciri khas kelompok msyarakat tertentu misalnya adat istiadat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Sumardi dalam Sumaartmadja (2012, hlm.48) bahwa “kebudayan adalah hasil karya, rasa dan cipta masyarakat”. Adapun menurut Koentjaningrat dalam Sumaatmadjaja (2012, hlm. 4) bahwa “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar”. Secara luas bahwa kebudayaan meliputi berbagai aspek mulai dari aspek perilaku, tradisi, adat-istiadat, seni, kepercayaan dan segala perilaku manusia. Pembahasan Kedudukan Seni Tradisi dan Kontemporer di Era Global Kekuatan-keuatan global telah menyebabkan transformasi kehidupan manusia dewasa ini dan di masa depan (tilaar, 1997, hlm.50). dalam keidupan global timbul paradoks mengenai perkembangan kebudayaan bangsa kita. Apakah di dalam proses gloalisasai akan berdampak pada hilangnya citra atau identitas suatu bangsa/ hilangnya budaya bangsa? (1997, hlm. 53) bahwa berbagai jenis paradoks tersebut dapat diatasi dan akan terbentuk pola-pola kehidupan bersama manusia yang lebih serasi dan diterima oleh beragai bangsa. Adapun kiprah seni, budaya dan filsafat menurut Tilaar (2007, hlm. 264) bahwa globalisasi membuat dunia terbuka, adanya kemajuan teknologi yang menunjang peningkatan derajat kehidupan manusia dan membutuuhkan kegiatankegiatan rekreasi dan apresiasi seni yang semakin berkembang karena waktu luang
215
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
yang semakin panjang. Implikasinya membukan dimensi baru pebanguna dalam bidang rohaniah sepertia seni, agama, dan filsafat dan dibutuhkan lemaga-lembaga kesenian yang kreatif, pariwisata budaya dan ekoturisme, pengetahuan berrkomunikasi dan keterampilan serta pengetahuan tentang aneka ragam dan budaya dunia. “Menurut Sachari dan Sunarya (2001, hlm. 8) bahwa kebudayaan adalah suatu totalitas dari prosesi dan hasil segala aktivitas sesuatu bangsa dalam bidang estetis, moral dan ideasional yang terjadi mealui proses progresi, baik integrasi historis maupun jangka penjangnya”. Transformasi Budaya di Era Global Transformasi menurut Sachari dan Sunarya (2001, hlm. 8) bahwa transformasi dalam konteks budaya merupakan tahap penting dalam perkembangan dan pertumbuhan peradaban umat manusia. Biasanya diawali oleh dialog antar budaya untuk menemukan titik temu. Sintesis budaya dalam hal ini adalah dialog tanpa ada konflik biasanya diawali oleh inkulturasi kemudain akulturasi yang nantiny akan menghasilkan sosok akhir kebudayaan yang baru. Kekuatan-keuatan global telah menyebabkan transformasi kehidupan manusia dewasa ini dan di masa depan (tilaar, 1997, hlm.50). dalam keidupan global timbul paradoks mengenai perkembangan kebudayaan bangsa kita. Apakah di dalam proses globalisasi akan berdampak pada hilangnya citra atau identitas suatu bangsa/ hilangnya budaya bangsa? (1997, hlm. 53) bahwa berbagai jenis paradoks tersebuut dapat diatasi dan akan terbentuk pola-pola kehidupan bersama manusia yang lebih serasi dan diterima oleh beragai bangsa. Menurut tilaar (1997, hlm. 54) berpendapat bahwa budaya umat manusia yang beraneka ragam yang lahir dari hakikat manusia itu sendiri tidak akan dikorbankan dalam proses globalisasi. Malahan keanekaagaman tersebut merupakan aset bagi kelangsngan proses lobalisasi yang semakin marak, semakin kaya semakin bervisi dan semakin maneraik. Karena jika tidak semikian makan kehidupan manusia akan hamabr tanpa sentuhan seni, gaya dan manusia. Oleh kaena itu dipersiapkan manusia yang dapat menghayati dan menanggulangi proses tersebut dengna benar (pengembangan sumber daya manusia dan proses. Kesadaran akan pentingnya suatu tradisi diera global ini, menuntut suatu strategi baru yang mengharuskan peningkatan nilai-nilai sosial, dan budaya, Sebagai salah satu aspek dari kebudayaan, seni tradisi dapat kita kembangkan melalui pemanfaatan arus global inovasi dan strategi baru dalam menyelamatkan seni tradisi. Berbicara mengenai budaya/tradisi, tradisi merupakan kebiasaan atau prilaku yang berdasarkan kepada tata cara atau aturan dengan norma tertentu baik secara tertulis, maupun tidak tertulis yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun yang berasal dari masa lalu hingga saat ini yang masih ada keberadaannya. Dari pemahaman tersebut maka apapun yang dilakukan oleh manusia secara turun temurun dari setiap aspek kehidupannya itu merupakan suatu
216
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
upaya manusia dalam menjalani kehidupannya yang disebut dengan tradisi atau kebiasaan. Sejalan dengan pendapat Shils dalam buku Piotr Sztompka, (hlm.74-75) bahwa “manusia tidak bisa hidup tanpa tradisi, karena tradisi memiliki fungsi bagi masyarakat yaitu sebagai kebijakan turun temurun, yang berada di dalam kesadaran, keyakinan, norma dan nilai yang dianut di dalam benda yang diciptakan”. Maka dari itu tradisi dapat disimpulkan sebagai kesenian masa lalu yang diciptakan oleh nenek moyang sampai sekarang masih dijalankan oleh masyarakat kontemporer. Apabila kita kaitkan, karya seni rupa tradisi itu merupakan karya seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan landasan filosofis yang berada dibalik bentuk karya seni rupa tradisional tersebut pun umumnya relatif tidak berubah dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem keyakinan atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di masyarakat, oleh sebab itu ketika kita akan membuat sebuah karya seni tradisi khususnya kita harus mengacu pada pakem-pakem yang ada. Sejalan dengan pendapat Arnold Hauser dalam Wolff (1981, hlm. 26) menyebutkan bahwa “produksi artistik yang ada pada abad ke 15 sebuah bagian dari organisasi sosial yang komunal dan berdasarkan pada apa yang disebut “guild workshop” yang berdasarkan adanya pakem-pakem tertentu dalam mencipta karya seni”. Contohnya seni batik, batik memiliki pakem pada setiap jenisjenis motif, motif tersebut tercipta karena adanya bentuk produk budaya masyarakat setempat, jadi setiap motif yang berada didalam suatu daerah pastinya memiliki filosofisnya masing-masing. Menurut Hasanudin (2001, hlm. 13) bahwa “konsep artistik tradisi seni rupa Indonesia adalah perwujudan dari nilai-nilai integral sebagai perpaduan dari dualisme yang saling melengkapi atau konsep dwitunggal”. Oleh karenanya, seni rupa tradisional biasanya banyak terungkap dari bentuk ragam hiasnya yang memiliki sifat dekoratif, simbolik dan dinamis. Merujuk pada eksistensi seni rupa tradisi di masyarakat modern saat ini tentunya harus adanya eksplorasi atau gagasan baru yang berbeda, supaya karya seni yang diciptakan masih diminati oleh masyarakat modern tetapi tidak meninggalkan unsur-unsur dan pakem-pakem yang ada pada budaya tradisi. Menurut Sumaatmadjaja (2012, hlm. 68) bahwa modernisaasi merupakan proses yang dillandasi oleh seperangkat rencana dan kebijakan yang disadari untuk mengubah masyarakat kearah kehidupan masyarakat kontemporer yang menurut pemikiran para pemimpin lebih maju dalam derajat tertentu. Namun harus diingat dalam proses modernisasi ini ada seleksi, dimana segala sesuatu yang masuk diseleksi terlebih dulu sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan menurut Kasim Achmad dari Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan non-tradisional/modern, yaitu suatu bentuk seni yang penggarapannya didasarkan atas cita rasa baru di kalangan
217
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
masyarakat pendukungnya. Cita rasa baru ini umumnya adalah hasil pembaruan atau penemuan (inovasi atau sebagai akibat adanya pengaruh dari luar dan bahkan sering pula ada yang bersumber dari cita rasa orang barat, dimana tidak lagi mementingkan refresentasi subjek secara realistik yang menyebabkan seni menjadi absolut, dimana para seniman modern bereksperimen mengeksplorasi cara baru dalam melihat sesuatu, dengan gagasan yang berasal dari alam, material inilah yang biasanya dijadikan sebuah media dalam berkarya seni yang bergerak menuju kearah abstraksi. Dapat disimpulkan bahwa modernisasi merupakan proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju dalam rangka untuk peningkatan kualitas sebuah karya seni. Cara tersebut bisa dengan mengembangkan teknik, memanfaatkan media yang ada pada jaman modern dan objek yang dibuat pun tidak harus terpaku ke dalam pakem-pakem tradisi yang menghasilkan sebuah pembaruan atau inovasi. Contohnya dengan mengintegrasikan antara seni lukis dengan batik. Integrasi kedua bidang tersebut dapat dilakukan misalnya membuat karya seni lukis abstrak dengan menggunakan media jahit dan dipadukan dengan etnis motif batik. Sehingga unsur tradisi masih tetap terjaga di era globalisasi ini. Hal ini sejalan dengan Hasan Zaver Dogan dalam Tilaar (1997, hlm. 124) mengemukakan lima bentuk penyesuaian dalam proses budaya sebagai respon terhadap modernisasi, yaitu: Penolakan, kebangkitan budaya lokal, menjaga batasbatas anatar budaya lokal dan budaya asing, pemulihan atau menghidupkan kembali budaya lokal, penerimaan modernisasi. Namun di Indonesia sudah ada politik kebudayaan yang tetap mempertahankan nilai-nilai luhur dari budaya Nusantara dengan membuka diri atau mengadopsi nilai-nilai baru yang cocok dengan kehidupan bangsa Indonesia seperti yang dicantumkan dalam UUD 1945 yaitu mengembangkan kebudayaan Nasional yang merupakan puncak kebudayaan daerah. Kebudayaan akan berkembang terus sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kepandaian manusia. Pada abad keterbukaan ini pengaruh budaya luar begitu derasnya, maka akan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan budaya lokal sendiri. Proses yang demikian itu perlu diantisipasi oleh generasi penerus melalui proses pendidikan seni atau proses pembudayaan seni tradisi. Sejalan dengan itu seperti yang dikemukakan Kneller dalam Pidarta (1997) bahwa dalam pengembangan kebudayaan meliputi tiga unsur, pertama, originasi yaitu suatu penemuan baru yang dapat menggeser suatu penemuan yang lama. Dan apabila ditinjau dari pandangan bahwa tradisi dan kemodernan terjadi pada waktu dan masa yang berbeda, nilai tradisi di sini tidak sepenuhnya dilampaui (dimatikan) oleh nilai-nilai modern, melainkan menjadi sebuah nilai yang hidup bersama, seperti diungkap oleh Irianto (2011, hlm. 26) bahwa “Itu sebabnya selalu ada persoalan pada saat kita berupaya menetapkan ruang lingkup seni tradisi secara kaku, sebab batas-batas tersebut tidak pernah ada,
218
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
sehingga pengertian seni tradisi bisa sangat cair, menyangkut segala aspek budaya material dalam masyarakat tradisi” yang biasa disebut dengan seni kontemporer. Seni kontemporer berawal dari praktek seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas serta penolakan (pelecehan) non-Barat. (I. M. Pirous, 2000). Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apa-apa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000). Di barat kontemporer berasal dari berakhirnya masa modernisme, yang selanjutnya berkembang menjadi post-modern. Jadi dapat disimpulkan bahwa seni kontemporer ini berkembang karena dipengaruhi oleh dampak modernisasi. Dalam berkarya seni rupa khususnya di era global pengaruh modernisasi sangat mempengaruhi sebuah karya seni, oleh sebab itu maka setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda-beda dalam menghadapi arus globalisasi, bisa dengan tetap mempertahankan tradisi atau etnisetnis tertentu dalam karya seninya atau mengikuti era modern dengan mengintegrasikan nilai-nilai tradisi dengan sesuatu yang baru sesuai dengan jamannya yang nantinya akan menghasilkan suatu karya kontemporer. Berkesenian Tradisi-Kontemporer di Era Global Dalam berkesenian, khususnya bidang seni rupa, cara atau strategi terbaik menghadapi era global saat ini dengan cara mengikuti arus perkembangan jaman, karena akan meningkatkan kwalitas kita dalam berkesenian baik itu dari segi gagasan, teknik, dan media yang akan digunakan. Akan tetapi tidak meninggalkan unsur-unsur tradisi yang ada. Dengan cara mengeksplorasi dan mengintegrasikan media, teknik dan bahan dalam membuat karya seni tradisi dan modern yang tujuannya selain untuk mendapatkan nilai estetis dalam karya seni juga akan semakin beragamnya karya seni rupa yang dihasilkan dan mampu bertahan di era global saat ini. salah satu contoh karyanya misalnya membuat seni lukis abstrak dengan menggunakan media jahit yang mengandung unsur lokal salah satu contohnya bisa memanfaatkan motif batik. Tujuan mengintegrasikan antara bidang seni lukis dan batik sebagai gagasan dalam berkarya seni untuk menjawab tantangan diera global. pengintegrasian kedua bidang ini sebetulnya lebih menekankan pada teknik baru dengan menggabungkan teknik lukis dan teknik lainnya, akan tetapi kehadiran batik disini hanya sebagai ciri khas atau identitas suatu daerah dan sebagai nilai estetis dalam berkarya seni. Inovasi tersebut dilatarbelakangi oleh kebiasaan atau pola hidup manusia pada jaman modern yang beranggapan bahwa tradisi itu, ketinggaan jaman dan membosankan padahal
219
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
apabila kita eksplorasi antara tradisi dengan modern bisa digabungkan menjadi karya seni yang nantinya menghasilkan karya seni kontemporer atau kekinian, melalui proses transpormasi budaya. Penutup Masuknya era globalisasi saat ini,merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari oleh berbagai negara khususnya Indonesia. Oleh sebab itulah setiap negara harus mempersiapkan arus global yang dapat mempengaruhi berbagai bidang, politik, kebudayaan, sosial dan ekonomi. Dengan adanya arus globalisasi ini bisa menjadi tantangan atau peluang apabila dimanfaatkan dengan strategi yang bijak dalam menghadapinya, karena globalisasi menuntut kita untuk lebih kreatif, inovatif dan produktif. Jika tidak kita hanya akan menjadi manusia yang konsumtif. Dalam aspek kebudayaan kedatangan arus globalisasi perlu diwaspadai karna jika tidak akan menurunkan nilai-nilai budaya kita dengan masuknya budaya asing, sehingga kita harus mempersiapkan sumberdaya manusia yang berpotensi dalam menghadapi tantangan di era global. Kesadaran akan pentingnya suatu tradisi diera global ini, menuntut suatu strategi baru yang mengharuskan peningkatan nilai-nilai sosial, dan budaya, Sebagai salah satu aspek dari kebudayaan, seni tradisi contohnya dapat kita kembangkan melalui pemanfaatan arus global dengan memunculkan inovasi dan strategi baru misalnya dalam berkarya seni, kita harus mampu mengeksplorasi dan mengintegrasikan berbagai bidang yang mampu menembus pasar global. Daftar Pustaka Nasrullah, Rulli. (2012). Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Pernada Media Grup, 2007), Hal 74 Pirous, Iwan Meulia, “Makna Modernitas bagi Seniman Seni Rupa Modern Indonesia”, dalam Antropologi Indonesia, Th. XXIV. No 62, Jurusan Antropologi FISIP UI dan Yayasan Obor, Jakarta, 2000 Sachari, Agus dan Sunarya, Yan Yan. (2001). Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya. Bandung: ITB. Sumaatmadjaja, Nursid. (2012). Manusia dalam konteks sosial, budaya dan lingkungan hidup. Bandung: Alfabeta. Soyomukti, Nurani. (2007). Pendidikan berprespektif global. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Tilaar, H.A.R .(1997). Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Grasindo.
220
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
TIM Kreatif LKM UNJ. (2010). Restorasi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Arruz Media. Winarno, Budi. (2006). Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga. Wolff, Janet. (1981). The Social Production of Art. Macmillan Press
221
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
BENTUK PENYAJIAN TARI NGANTAR PANOMPO DALAM UPACARA ADAT NAIK DANGO PADA SUKU DAYAK KANAYATN KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KALIMANTAN BARAT Regaria Tindarika dan Ahmad Zaini Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascsarjana Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan bentuk penyajian tari Ngantar Panompo dalam Upacara Naik Dango pada masyarakat suku Dayak Kanayatn Kecamatan Sungai Ambawang Kalimantan Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Bentuk penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan upacara adat Naik Dango hanya diselenggarakan pada kecamatan-kecamatan yang berbeda secara bergiliran setiap tahun sesuai dengan keputusan hasil rapat para Dewan Adat Dayak (DAD). Bentuk pertunjukan dalam sebuah tarian memiliki beberapa aspek-aspek penting, seperti musik, aspek rias dan aspek busana. Ngantar Panompo merupakan tarian ritual bertujuan untuk memberikan upeti berupa hasil pertanian dan peternakan untuk tuan rumah yang mengadakan upacara. Tarian ini merupakan satu di antara warisan nenek moyang yang harus dilestarikan karena tarian ini memiliki nilai moral yang sangat penting, yaitu kekeluargaan, solidaritas, dan persatuan. Memberikan panompo sama artinya dengan memberikan bantuan. Hal ini didorong karena sifat dasar masyarakat Dayak Kanayatn sangat erat rasa persaudaraannya. Kata Kunci: Bentuk Penyajian, Tari Ngantar Panompo, Upacara adat Naik Dango. PENDAHULUAN Masyarakat Dayak Kanayatn mayoritas hidup sebagai petani. Mereka mengungkapkan rasa syukur kepada Jubata (Sang Pencipta) atas keamanan, kesehatan, panen padi yang diperoleh, dan berharap panen selanjutnya akan lebih baik lagi dengan melakukan upacara adat yang diselenggarakan setahun sekali. Upacara adat tersebut dinamai Naik Dango. Kata “dango” dalam bahasa Dayak Kanayatn berarti lumbung yaitu tempat atau gudang untuk menyimpan padi. Jadi Naik Dango adalah upacara untuk mendoakan kemudian menaikan atau menyimpan padi ke dalam lumbung. Dengan melaksanakan upacara Naik Dango seluruh masyarakat secara bersama-sama saling bergotong royong mempersiapkan upacara agar dapat berjalan
222
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
dengan lancar. Hal ini menunjukan bahwa orang Dayak Kanayatn masih menjunjung tinggi semangat kebersamaan. Dengan kegiatan tersebut, masyarakat dapat memperkuat solidaritas di antara mereka. Selain itu upacara ini dijadikan sebagai sarana untuk melestarikan budaya yang telah diturunkan dari nenek moyang mereka. Tari Ngantar Panompo merupakan ritual penutup dalam upacara adat Naik Dango. Dalam tradisi masyarakat Dayak, Panompo adalah upeti. Panompo memiliki macam-macam bentuk, seperti burung Enggang, rumah betang dan sampan, tergantung pada kebiasaan atau ciri khas masyarakat di setiap kecamatan. Tari Ngantar Panompo berfungsi sebagai tari ritual yang bertujuan untuk meringankan beban yang ditanggung oleh kecamatan yang sedang melakukan upacara Naik Dango. Menurut Langer (1978: 15-16) istilah penyajian sering didefinisikan cara menyajikan proses pengaturan dan suatu pementasan. Dalam penyajian tari meliputi gerak, iringan, busana dan tata rias, tempat pertunjukan, dan perlengkapan. Bentuk penyajian tari adalah penampilan yang di dalamnya terdapat aspek-aspek atau elemen-elemen pokok yang ditata dan diatur sedemikian sehingga memiliki nilai estetis yang tinggi. Sejalan dengan pendapat Langer, Jazuli (1994:9) meyatakan bahwa penyajian tari merupakan serangkaian gerak yang tertata baik, rapi dan indah dilengkapi dengan unsur pendukung yang meliputi: iringan (musik), tema, tata busana (kostum), tata rias, tata tempat (panggung), tata lampu, dan tata suara. Jadi, bentuk merupakan struktur atau susunan dalam sebuah tari yang terbentuk melalui elemen-elemen didalam tari secara keseluruhan yang memiliki hubungan. Sedangkan Penyajian adalah penataan tari yang terbentuk melalui elemenelemen dasar pada tari yang mencakup segala sesuatu yang dapat diperlukan dan dipergunakan agar tarian itu terwujud dengan optimal sesuai dengan yang dikehendaki. Tulisan ini akan mendeskripsikan secara umum mengenai bentuk penyajian tari Ngantar Panompo dalam upacara adat Naik Dango pada suku dayak Kanayatn kecamatan Sungai Ambawang Kalimantan Barat. Teori Fungsi Menurut Soedasono (2002) Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai ritual ini memiliki ciri-ciri khusus yang telah ditentukan, yaitu tempat, hari, pemainpemain, seperangkat sesaji, tujuan diadakannya pertunjukan, busana yang dikenakan oleh para pemain. Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, tari Ngantar Panompo termasuk ke dalam sarana ritual atau tari ritual karena masuk ke dalam kriteria ciri-ciri khas seni pertunjukan ritual. Teori Bentuk Penyajian Menurut AM Hermin K (1989/1990) mengatakan dalam bentuk penyajiannya tari ditopang oleh berbagai elemen yaitu: gerak tari, pola lantai, iringan, tata rias dan
223
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
busana, properti tari, tempat dan pementasan. Dalam penelitian ini, penulis ingin membahas bentuk penyajian yang disajikan dalam beberapa unit komposisi tari tersebut yaitu, gerak yang terdapat didalam tarian tersebut, pola lantai, tata busana, tata rias, properti dan tempat pementasan yang terdapat pada tari Ngantar Panompo dalam upacara adat Naik Dango. METODE PENELITIAN Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hal ini dimaksudkan untuk menggali data yang masih ada, untuk memperoleh informasi dalam penelitian ini. Populasi dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Desa Lingga Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya serta Timanggung atau ketua adat suku Dayak Kanayatn yang mengetahui seluk beluk ritual dalam upacara adat Naik Dango. Adapun beberapa narasumber dalam penelitian ini antara lain Bapak Laitus selaku penari dan pendiri sanggar tradisi Malahia yang masih ada di Desa Lingga, Adang selaku pelatih tari Ngantar Panompo untuk kecamatan Sungai Ambawang, Agus Frengki selaku panitia acara dalam pelaksanaan upacara adat Naik Dango dan Bapak Saena selaku Timanggung Binua Sungai Samak. Sumber data diambil saat peneliti melakukan survei di Kecamatan Anjungan Kabupaten Mempawah dan Desa Lingga Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk deskriptif, yang berkaitan dengan fungsi tari Ngantar Panompo dalam upacara adat Naik Dango pada suku Dayak Kanayatn. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Upacara Adat Naik Dango Kata “Dango” dalam bahasa Dayak Kanayatn berarti lumbung yaitu tempat atau gudang untuk menyimpan padi. Jadi menurut bahasa, Naik Dango adalah upacara untuk mendoakan kemudian menaikan atau menyimpan padi ke dalam lumbung. Lumbung ini letaknya bersebelahan dengan rumah adat Betang. Sebelum menaikkan padi ke dango, masyarakat Kanayatn terlebih dahulu mengukur atau menakar, karena tidak semua padi yang akan dimasukkan. Padi yang disisihkan tersebut untuk keperluan sehari-hari mereka, sedangkan padi yang telah didoakan kemudian disimpan ke dalam dango akan dijadikan bibit. Padi ini dipercaya merupakan bibit unggulan untuk ditanam kembali pada musim tanam. Upacara adat Naik Dango adalah ungkapkan rasa syukur Masyarakat Dayak Kanayatn yang mayoritas hidup sebagai petani kepada Jubata (Sang Pencipta) atas keamanan, kesehatan, panen padi yang diperoleh, dan berharap panen selanjutnya akan lebih baik lagi.
224
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Berdasakan kesepakatan yang dilakukan oleh masyarakat Adat Kanayatn Kabupaten Pontianak Nomor: XV/Kep/Musdat/K.Kab.Ptk/85 diputuskan bahwa perayaan upacara adat Naik Dango diselenggarakan satu kali setiap tahun, tepatnya pada tanggal 27 April (Ajisman, 1998). Adapun batas waktu mengadakan upacara adat Naik Dango adalah sampai dengan 28 Mei. Upacara-upacara tidak boleh lagi diadakan atau disebut dengan batas tolak nagari. Barang siapa yang melanggar batasan tersebut akan dihukum oleh Timanggung. Tradisi Naik Dango sudah ada dalam masyarakat adat Dayak Kanayatn sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat Dayak Kanayatn mendiami wilayah Kabupaten Landak, Kabupaten Mempawah, dan Kabupaten Kubu Raya. Struktur upacara adat Naik Dango terdiri dari beberapa upacara ritual. Menurut pemaparan dari informan yaitu Agus Frengki dan Saena, upacara dimulai pada tiga hari sebelum diadakan upacara inti yaitu Naik Dango. H-3 dilaksanakan upacara Nabo’ Padagi yaitu upacara untuk memohon izin kepada “Penunggu Air Tanah”. Masyarakat dayak Kanayatn percaya bahwa bumi yang kita pijak di kuasai oleh Penunggu Air Tanah. H-2 dilaksanakan upacara Bapinta’ yaitu upacara memohon izin kepada Penunggu Rumah Betang untuk kelancaran acara yang akan dilaksanakan. Upacara ini berlangsung pagi hari sebelum matahari tinggi (siang). H1 dilaksanakan upacara Bahapun yaitu rapat antara pihak penyelenggara (Timanggung tuan rumah) dengan Timanggung (ketua adat) dari setiap Binua (desa atau kampung) dan dihadiri pula oleh ketua-ketua DAD dari tiap kecamatan. Rapat ini membahas tentang pemilihan tuan rumah untuk upacara adat Naik Dango selanjutnya serta pelaksanaan upacara tersebut agar dapat terselenggara lebih baik lagi. Pada hari H, gong dibunyikan tujuh kali dibukanya upacara adat Naik Dango. Setelah itu dilaksanakan upacara Nyangahatn, kemudian dilanjutkan dengan ritual tari Nimang Padi. Terakhir adalah ritual tari Ngantar Panompo. Laporan panitia DAD dan pengumuman pemenang lomba merupakan penutup dari acara hiburan. Lomba ini berfungsi sebagai sarana untuk menggalang persaudaraan karena bertanding secara sportif, selain itu untuk unjuk kebolehan atau kemampuan masingmasing kecamatan untuk meraih peringkat pertama. Fungsi upacara adat Naik Dango antara lain, sebagai upacapan rasa syukur kepada Jubata atas hasil yang telah diterima dalam bentuk padi dan hasil pertanian yang lainnya, sebagai media sosial untuk mempererat hubungan antra warga masyarakat, penunjang pariwisata untuk menarik wisatawan asing maupun lokal sehingga dapat menambah pemasukan negara. Bentuk Penyajian Tari Ngantar Panompo Dalam Upacara Adat Naik Dango Pada Masyarakat Suku Dayak Kanayatn Kecamatan Sungai Ambawang
225
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Masyarakat Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Kabupaten Landak, Kabupaten Mempawah, dan Kabupaten Kubu Raya. Di tiap kabupaten terdiri atas beberapa kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut secara bergiliran menarikan Ngantar Panompo. Tari Ngantar Panompo yang dibawakan oleh tiap kecamatan berbeda-beda antara satu dan lainnya. Pada penelitian ini lebih memfokuskan tarian yang dibawakan oleh Kecamatan Sungai Ambawang dan kecamatan lain hanya sebagai pembanding. Selain berbeda bentuk panompo, terdapat juga perbedaan pada gerak, pola lantai, jumlah penari, iringan tari, tata rias dan busana. Berikut ini adalah penjelasan tari Ngantar Panompo dari Kecamatan Sungai Ambawang. Unsur utama tari adalah gerak. Menurut pemaparan informan yaitu Adang, pada dasarnya tari Ngantar Panompo terdapat beberapa motif gerak untuk perempuan, di antaranya gerak bakayuh, yaitu gerak tangan seperti mendayung ke kanan dan ke kiri dengan menghentakan kaki kanan, dan dilanjutkan dengan gerak bawakng dengan hentakan kaki yang sama seperti gerak bakayuh, perbedaannya terletak pada tangan yang di ungkel. Kaki dihentakkan sambil mengepak-kepakkan pergelangan tangan di sisi kanan dan kiri badan penari dan memainkan caping sebagai properti tari. Pemakaian caping sebagai properti bukanlah sebuah kewajiban, melainkan sebagai pemanis dalam membawakan tarian ini. Makna gerak bakayuh adalah mengayuh sampan. Para leluhur masyarakat Dayak Kanayatn memiliki sawah yang jauh dari tempat tinggalnya. Perlu sampan untuk ke sawah karena harus menyeberangi anak sungai Kapuas. Setelah sampai ditujuan, barulah memetik padi yang dituangkan dalam gerak bawakng. Gerak bawakng yaitu gerak tangan di ungkel seperti sedang memetik padi. Gerak untuk laki-laki pembawa panompo hanya menghentak-hentakkan kaki sambil membawa panompo di bahunya. Gerak untuk ketua adat lebih dinamis, bergerak kesana kemari sambil mengayunkan Mandau (senjata khas suku Dayak) seperti sedang menebas rumput atau pohon. Biasanya penari ketua adat ini membawa perisai yang berguna sebagai perlindungan diri dari musuh sewaktu perjalanan ke tempat acara Naik Dango berlangsung. Tari Ngantar Panompo memerlukan musik sebagai pengiringnya. Musik menjadi roh dari sebuah tarian. Terutama dalam tari dalam suatu upacara, musik menjadi sangat penting sebagai pengiring yang juga membuat para penari bersemangat untuk menari. Terdapat banyak jenis alat musik tradisi yang ada pada suku Dayak Kanayatn. Namun alat musik tersebut dapat dipergunakan dalam tariantarian tertentu yang sesuai dengan fungsi dan kebutuhan tarian. Musik tersebut antara lain bawakng dan Jubata yang terdiri dari alat musik dau, ketebung, dan gong. Bentuk Dau menyerupai alat musik Bonang yang merupakan satu diantara instrument pendukung dalam Gamelan Jawa. Dau biasanya terdiri dari dau anak dan induk. Tangga nada yang terdapat di dau adalah do, re, mi,
226
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
so, la, do re, mi. Dalam seperangkat dau terdapat delapan buah dau yang berdiameter kurang lebih 15-20 cm. Dimainkan dengan cara dipukul. Selain dau, terdapat juga ketebung (gendang) yang merupakan kelompok alat musik pukul atau membranofon yang dimainkan dengan cara ditabuh. Kayu sebagai badan ketebung ini biasanya terbuat dari kayu nangka yang dibolongkan pada bagian tengah. Membran yang digunakan biasanya dari kulit sapi atau kambing. Ketebung ini dimainkan oleh seorang pemusik. Selanjutnya terdapat juga gong. Memiliki bentuk yang hampir sama jenisnya dengan dau dengan ukuran yang lebih besar, dimainkan dengan cara dipukul. Gong yang digunakan sebanyak 3 buah dengan satu orang pemain musiknya. Pada tarian ini tidak ditentukan jumlah penarinya. Jumlah penari sesuaikan dengan peranan dalah tarian ini. Peran dalam tarian ini antara lain, ketua adat sebagai pembuka jalan, pembawa panompo, dan pengiring panompo. Ketua adat biasanya adalah seorang laki-laki, jadi yang menarikan tarian ini adalah laki-laki yang terdiri dari 1 sampai 3 orang. Pembawa panompo disesuaikan dengan besarnya bentuk panompo. Jika panomponya kecil hanya membutuhkan satu hingga dua orang lakilaki apabila ukurannya besar maka diperlukan tiga sampai empat orang untuk mengangkat panompo. Tugas mengangkat panompo biasanya untuk kaum laki-laki karena panompo adalah benda yang berat, para lelaki suku Dayak Kanayatn menghormati dan tidak ingin para perempuan melakukan tugas yang berat selagi mereka masih mampu melakukannya. Sementara tugas membawa panompo adalah para lelaki, para perempuan bertugas mengiringi para lelaki yang membawa panompo. Posisi penari dalam tarian ini berbeda pula ditiap kecamatan. Pada Kecamatan Sungai Ambawang posisi ketua adat terletak paling depan dibarisan, hal ini dikarenakan ketua adat bertugas membuka jalan untuk pembawa dan pengiring panompo masuk ke arena yang telah disediakan oleh panitia acara dalam upacara adat Naik Dango. Pembawa panompo berada tepat dibelakang ketua adat dan para pengiring berada di kiri, kanan dan belakang pembawa panompo. Pola lantai yang digunakan dari kecamatan Ambawang lebih dominan garis lurus dalam bentuk diagonal, horizontal dan vertikal. Garis lurus memiliki makna simbolis kuat dan tegas. Biasanya banyak digunakan pada tarian yang mengungkapkan kegembiraan, sama halnya dengan tari Ngantar Panompo yang bergembira mengucapkan rasa syukur kepada Jubata dan memberikan panompo untuk meringankan beban tuan rumah yang mengadakan upacara. Penari maju, mundur dan berputar. Hanya salah satu ketua adat dan pembawa panompo yang maju hingga naik ke atas rumah betang untuk menyerahkan panomponya, sedangkan ketua adat yang lain memutari pengiring panompo dan setelah selesai memberikan panompo, mereka kemudian kembali tempatnya masing-masing.
227
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Busana atau kostum penari dan riasan. Busana yang dikenakan sangat berpariasi, tergantung dari asal daerah masing-masing. Ada yang memakai baju dari bahan bludru atau satin berhiasakan manik-manik dan adapula baju berbahan kulit kayu atau kapua. Warna yang digunakan berpariasi pula. Busana yang dikenakan oleh penari perempuan berupa baju tanpa lengan (biasanya kemban) dan rok selutut atau semata kaki. Riasan para penari perempuan cukup sederhana, dengan polesan bedak, lipstik dan eyeshadow sudah menunjukkan kecantikan alami perempuan Dayak khususnya Dayak Kanayatn. Fungsi Tari Ngantar Panompo Dalam Upacara Adat Naik Dango Pada Suku Dayak Kanayatn Kecamatan Sungai Ambawang Tari Ngantar Panompo merupakan satu diantara ritual yang ada di dalam upacara adat Naik Dango. Ngantar Panompo merupakan tarian ritual bertujuan untuk memberikan upeti berupa hasil pertanian dan peternakan untuk tuan rumah yang mengadakan upacara. Setiap kecamatan secara bergantian menari sambil membawa panomponya masing-masing, sesuai urutan yang telah ditentukan oleh panitia penyelenggara upacara adat Naik Dango. Isinya dari panompo tersebut berupa sekapur sirih sebagai lambang terimakasih kepada Jubata, ayam, beras, beras ketan, tepung, kelapa, minyak kelapa, gula, kopi, babi, telur, solenkng, tangkeatn (padi), rokok daun, tumpi, dan lain-lain. Upeti ini kemudian akan dimanfaatkan oleh pihak tuan rumah penyelenggara sebagai sajian makanan untuk para undangan setelah serangkaian upacara adat Naik Dango selesai diselenggarakan. Naik Dango diselenggarakan satu kali dalam setahun yang diadakan oleh kecamatan yang berbeda pula tiap tahunnya. Menurut Laitus yang merupakan satu di antara informan dalam penelitian ini, bentuk dari panompo itu sendiri berbeda-beda disetiap kecamatan. Ada yang berbentuk burung Enggang, rumah betang dan sampan. Kecamatan Sungai Ambawang memiliki panompo berbentuk sampan berkepala Nabau (naga) tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Besar kecil ukuran panompo tergantung dari banyaknya barang-barang yang akan diberikan sehingga dapat masuk seluruhnya ke dalam panompo tersebut. Pemilihan kepala Nabau sebagai maskot oleh masyarakat Dayak yang berdomisili di kecamatan Sungai Ambawang karena menurut legenda setempat, Nabau adalah salah satu dewa yang mendiami air yang mengalir di sungai Sungai Ambawang. Sungai Ambawang ini merupakan anak sungai dari sungai Kapuas. Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Masyarakat percaya sungai yang panjang dan berkelok-kelok itu merupakan badan dari Nabau. Bagi masyarakat suku Dayak Kanayatn di Sungai Ambawang yang sebagian besar merupakan nelayan, sangat menghormati dan mempercayai adanya Nabau. Dengan melakukan hal tersebut mereka percaya akan terhindar dari malapetaka ketika menyeberang atau mencari ikan di sungai.
228
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa tari Ngantar Panompo berfungsi sebagai tari ritual yang bertujuan untuk meringankan beban yang ditanggung oleh kecamatan yang sedang melakukan upacara Naik Dango. Terdapat beberapa komposisi penyajian tari yaitu, gerak, pola lantai, tata busana, tata rias, properti dan tempat pementasan yang terdapat pada tari Ngantar Panompo dalam upacara adat Naik Dango. Alat musik yang digunakan sebagai pengiringnya adalah dau, gong dan ketebung. Pada tari Ngantar Panompo terdapat gerak bakayuh, bawakng, dan gerak kaki kanan menghentak. Jumlah penari tidak ditentukan dan sesuaikan dengan peranan dalah tarian ini. Peran dalam tarian ini antara lain, ketua adat sebagai pembuka jalan, pembawa panompo, dan pengiring panompo. Pola lantai yang digunakan adalah garis lurus. Ngantar Panompo merupakan tarian ritual bertujuan untuk memberikan upeti berupa hasil pertanian dan peternakan untuk tuan rumah yang mengadakan upacara. DAFTAR PUSTAKA A.M. Hermin, Kusmayati. Makna Tari Dalam Upacara di Indonesia. Pidato Ilmiah pada Dies Natalis VI Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. 1989/1990. Ajisman. 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya di Daerah Kalimantan Barat. Kalimantan Barat: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jazuli, 1994. Sosiologi Tari edisi 1, Yogyakarta, Graha Ilmu. Langer, Suzane K, 1998. Problematika Seni Tari, Terjemah F.X. Widaryanto, Bandung: Akademi Seni Tari Indonesia. Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
229
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Kreativitas dan Konsistensi Berkesenian Masyarakat Barikin di Kalimantan Selatan: Relevansinya bagi Pendidikan Karakter Bangsa Sumasno Hadi Program Studi Pendidikan Sendratastik, FKIP ULM Banjarmasin Email:
[email protected] Abstraksi Masyarakat banjar di Kalimantan Selatan yang cukup dipengaruhi oleh kultur Melayu-Islam dapat diketahui dari bentuk-bentuk kesenian tradisionalnya. Musik Panting sebagai salah satu kesenian tradisi masyarakat Banjar sangat erat hubungannya dengan kesenian Japin. Musik Panting yang pada era kekinian telah mengalami perkembangan menjadi populer di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan. Popularitas Musik Panting pada masyarakat Kalimantan Selatan ini menarik untuk dikaji secara sosiologis. Kajian sosiologi seni ini memiliki fokus analisis pada hubungan antara kesenian dengan budaya masyarakat seninya, serta analisis pada kreativitas kesenian dalam ketokohan senimannya. Desa Barikin di Kalimantan Selatan sebagai lingkungan masyarakat tempat tumbuhnya kesenian Musik Panting dan kesenian tradisional Banjar lainnya menjadi objek utama kajian ini. Setelah melakukan observasi di Desa Barikin serta didukung oleh studi literatur, peneliti menemukan nilai-nilai moral yang terkandung dalam kehidupan berkesenian masyarakat Barikin. Yakni nilai tanggung jawab, gotong-royong dan kreatif. Nilainilai moralitas tersebut dipandang memiliki potensi yang relevan dalam rangka usaha memperkuat pependidikan karakter bangsa secara kultural dan estetis. Kata kunci: Desa Barikin, Musik Panting, Seni Tradisi, Banjar Pendahuluan Masyarakat Kalimantan Selatan diketahui terdiri dari beberapa etnis seperti Banjar, Jawa, Dayak, Bugis dan Madura. Sukubangsa Banjar adalah etnis beridentitas Islam yang paling mendominasi, 76, 34 % (Suryadinata, 2003) dan dapat dikatakan mewakili kultur masayrakat Kalimantan Selatan. Secara historis dapat dikatakan bahwa inti masyarakat Banjar ini adalah sukubangsa Melayu (dari Sumatera) yang memeroleh pengaruh kultur penduduk asli Dayak, kultur Jawa, Bugis juga budaya Islam dari Arab. Setelah terjadi pembauran kultur itu maka lambat-laun terbentuklah identitas sukubangsa Banjar (Daud, 1997). Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat Banjar adalah suatu identitas sosial yang bernilai plural dan heterogen. Heterogenitas ini pun telah menjalin suatu interaksi sosial atau kehidupan bersama sehingga membentuk identitas masyarakat Banjar. Telah diketahui bahwa salah satu kultur yang cukup memengaruhi budaya masyarakat Banjar adalah kultur atau budaya Melayu. Hal ini misalnya dapat dilihat 230
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
dari bentuk-bentuk kesenian tradisionalnya. Beberapa kesenian tradisional Banjar dimaksud adalah Tater Rakyat Japin Carita, Tari Japin (Japen/Bajapen) dan Musik Panting. Seni pertunjukan tradisional Japin Carita ini merupakan bentuk pengembangan dari tari dan musik Japin di Kalaimantan Selatan. Instrumen musik yang dipakai dalam kesenian Japin ini di antaranya adalah: Gambus, Biola, Babun, Suling, Keprak, Tamborin dan Agung atau Gong (Sanderta, 1990). Mengenai instrumen Gambus, alat musik petik dari budaya Arab yang cukup mewakili musikmusik Melayu ini, dalam masyarakat Banjar kemudian mengalami perkembangan dan perubahan penyebutan menjadi Panting. Musik Panting dan kesenian (Tari) Japin dalam masyarakat Banjar sangatlah berkaitan dan bahkan tidaka bisa dipisahkan. Jika Tari Japin Melayu khas Sumatera diringi oleh musik yang terdiri instrumen Gambus, Marwas dan Akordeon, maka iringan musik pada Tari Japin di Banjar agak berbeda. Hal ini diperkirakan karena adanya pengaruh Gamelan Jawa dan Musik Barat. Ini terlihat pada pergantian instrumen Marwas (sejenis Gendang) yang digantikan oleh jenis Gendang lain yang disebut Babun, dengan dilengkapi Agung (Gong) dan Tamborin. Sedangkan instrumen Akordeon digantikan oleh Rebab, yang kemudian digantikan oleh Biola. Adapun Gambusnya telah digantikan oleh instrumen Panting yang bentuknya lebih kecil dari Gambus. Istilah “panting” berasal dari Bahasa Banjar, yaitu “mamanting” atau memetik. Pada mulanya, Musik Panting ini digunakan untuk mengiringi pertunjukan teater rakyat tutur seperti Baandi-andi juga untuk mengiringi tari-tarian, seperti Tari Japin. Dalam perkembangannya, Musik Panting ini sering dimainkan secara intrumentalia maupun untuk mengiringi lagu-lagu dareah Kalimantan Selatan. Di masa kini, Musik Panting begitu populer di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan. Yakni dengan sering diadakannya pertunjukan Musik Panting di berbagai acara seperti pada pesta perkawinan, hiburan di restoran, hotel, perayaan hari-hari besar maupun dalam penyambutan tamu di acara Pemerintah. Selain itu, popularitas Musik Panting bagi masyarakat Kalimantan Selatan juga masuk ke dalam dunia pendidikan formal. Yakni dengan tumbuhnya berbagai kegiatan ekstrakurikuler Musik Panting di berbagai sekolah. Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa aspek perkembangan dan popularitas Musik Panting di Kalimantan Selatan merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Oleh karenanya penulis berusaha untuk mengkaji fenomena kesenian tesebut secara sosiologis. Beberapa aspek kajian sosiologi seni yang dapat dilakukan dalam mengkaji fenomena sosial adalah proses kreatif seni, struktur sosial pelaku seni, aktivitas seni sebagai representasi nilai budaya, serta hubungan masyarakat seni dengan masyarakat pada umumnya (Jazuli, 2011). Dua aspek yang menjadi fokus kajian ini adalah proses kreatif seni dalam masyarakat dan aktivitas seni sebagai cermin nilai budayanya. Dan kedua aspek itulah yang penulis kaji pada
231
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Desa Barikin sebagai lingkungan sosial tempat tumbuhnya seni tradisi Banjar. Kemudian terkait aspek-aspek sosial Desa Barikin dalam sosiologi seni tersebut, penulis pun telah mengumpulkan data lapangan dengan mengunjungi dan mengobservasi Desa Barikin selama tiga hari. Proses observasi ini dilakukan dalam rangkaian kegiatan akademik Program Studi Pendidikan Sendratasik FKIP ULM Banjarmasin. Yakni dalam bentuk kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) dosen tahun 2016. Pada kegiatan ini, dilibatkan pula sejumlah mahasiswa Pendidikan Sendratasik FKIP ULM untuk mengumpulan data melalui wawancara dan observai, terkait kehidupan masyarakat Barikin. Adapaun yang menjadi narasumbernya adalah beberapa tokoh seniman Barikin yang dipilih menurut ketokohannya yaitu: Syarbaini, Sunarno, Lupi Anderiani dan Taufik. Mengenai bentuk kegiatan PKM yang berlangsung selama tiga hari tersebut antara lain menyelenggarakan Workshop Musik Panting oleh seniman Desa Barikin dan Sarasehan Musik Tradisi Banjar. Seluruh proses kegiatan PKM tersebutlah yang penulis libati sebagai pengamat (observer) partisipan. Kemudian, studi literatur yang terkait dengan penelitian ini digunakan pula untuk memperkuat analisis data-datanya. Profil dan Sejarah Desa Barikin Desa Barikin (Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah) terletak sekitar 135 kilometer dari arah Utara Kota Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Kampung atau Desa Barikin yang pada awalnya bernama Pinang Anggang kemudian Campaka Baris ini, pada masa dahulu dipercayai masyakatnya sebagai tempat persinggahan para bangsawan Kerajaan Negara Dipa pada abad ke-14. Barikin dapat dikatakan sebagai desa atau kampung seniman tradisional Banjar. Demikian karena hampir seluruh anggota masyarakatnya bisa memainkan Gamelan dan mampu menari tari-tarian tradisional Banjar. Beberapa jenis kesenian tradisional Banjar yang ada di Barikin adalah Wayang Gung, Wayang Kulit, Tari Kuda Gipang, Tari Topeng, Gandut, Musik Panting dan lain-lain. Dan hampir kesemua kesenian tersebut digeluti serta dikuasai oleh warga masyarakat Barikin. Nama “Barikin” (berhitung) terkait dengan kebiasaan warga atau senimannya ketika akan berangkat ke kampung atau daerah lain untuk memenuhi undangan pentas. Dalam kondisi itu mereka biasanya akan menghitung/berhitung terlebih dahulu. Yang diperhitungkan atau dipertimbangkan biasanya terkait dengan “hari baik” serta hitungan untung-rugi atau nilai ekonomis. Keterangan lainnya, perhitungan itu terkait dengan jumlah warga Barikin yang tidak bisa menabuh Gamekan Banjar (berkesenian) yang mudah dihitung jumlahnya. Artinya, sebagian besar warganya bisa berkesenian atau menjadi seniman. Selain kreatif dalam seni pertunjukan tradisional, masyarakat Barikin juga produktif menghasilkan seni kerajian tradisioanl seperti mainan kayu, kerajinan
232
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
tembikar, sapu tradisional yang terbuat dari serabut pohon enau (Sapu Ijuk), dan kerajinan sejenisnya. Hasil kerajinan itu dipajang pada kios-kios di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan Desa Barikin. Sebagai masyarakat yang sangat menjaga dan melestarikan seni tradisionalnya, para seniman Barikin selalu mengatakan bahwa sikap itu adalah pesan luhur dari juriat atau nenek moyang asli mereka. Satu tokoh moyang mereka yang sering disebut adalah Datu Taruna, yang diperkirakan hidup pada masa Kerajaan Negara Daha dan pernah mengabdi pada sang penguasa. Pada masa itu, Datu Taruna ini dikisahkan sebagai pakar pengrawit atau penabuh Gamelan, sedangkan pakar dalangnya adalah yang disebut Datu Taya. Dua tokoh klasik seniman Banjar di masa Kerajaan Daha inilah yang dipercayai sebagai pelopor kesenian tradisi di Kalimantan Selatan. Kisah keduanya kemudian, masing-masing mengembangkan keseniannya di daerah yang berbeda. Datu Taruna di Kampung Pinang Anggang (sekarang Barikin), sedangkan Datu Taya di daerah Barito Kuala. Dari garis moyang Datu Taruna itulah kemudian keturunannya mewarisi kesenian tradisi Banjar yang masih eksis hingga saat ini. Kreativitas Berkesenian Masyarakat Barikin Yang dimaksud sebagai kreativitas berkesenian di sini adalah nilai-nilai kreatif yang terepresentasikan dalam kehidupan berkesenian masyarakat Barikin. Bentuk nilai kreatif ini dapat berwujud konsep-konsep maupun praktik-praktik berkesenian. Kedua bentuk ini dapat dikatakan saling mendukung dan mengisi (resiprokal) kualitas kehidupan berkesenian masyarakat Barikin. Secara konseptual, berkesenian, bagi masyarakat Barikin adalah bentuk pelaksanaan dari suatu komitmen sosial. Dan secara psikologis, kesadaran mereka untuk menjalankan amanat lelubur mereka dengan menghidup-hidupi kesenian traadisi mereka adalah dasar dari komitmen dan konsistensi berkeseniannya. Artinya nilai tanggung-jawab pewaris keturuan seniman menjadi pijakan moralnya untuk menjaga dan melestarikan kesenian tradisi mereka. Dalam hal ini posisi ketokohan seniman memiliki peran penting. Beberapa tokoh klasik seniman Barikin yang sering mereka rujuk adalah Datu Taruna, Dalang Tulur, dan paling kekinian adalah Syarbaini. Nilai ketokohan seniman bagi masyarakat Barikin ini pun mengandaikan adanya pola kepemimpinan, sehingga para seniman yang ditokohkan tersebut dijadikan patron atau referensi inspiratifnya. Dampak konkret dari hal tersebut adalah aktivitas berkesenian yang terus terjaga. Bentuk aktivitas kesenian masyarakat Barikin tersebut kemudian menemukan sistem organisme yang signifikan melalui organisasi sanggar seni. Dua sanggar seni yang perlu disebut di antara beberapa lainnya yang cukup signifikan dalam aktivitas seni masyarakat Barikin adalah Sanggar Ading Bastari dan Sanggar Anak Pandawa. Dan secara praktis, aktivitas seni dalam sanggar tersebut menjadi arena produktivitas
233
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
kreatifnya. Sanggar Ading Bastari ini membawahi beberapa kelompok kesenian. Bagi kelompok kesenian Wayang Kulit akan tergabung dalam kelompok Panji Sukma. Bagi kelompok Tari Topeng tergabung dalam kelompok Panji Sumirang, kesenian Wayang Gung pada kelompok Antaboga, dan kesnian Kuda Gipang pada kelompok R. Brantasena Biasanya anggota/seniman pada tiap kelompok tersebut masing-masing berjumlah antara 14 hingga 35 seniman. Mengenai Sanggar Anak Pandawa, sanggar ini berada di Kampung/Desa Panggung yang bersebelahan dengan Desa Barikin. Desa Panggung adalah pemekaran wilayah dari Desa Barikin. Dan tokoh-tokoh atau pelaku seni di Sanggar Anak Pandawa masih memiliki hubungan darah (kerabat) dengan Sanggar Ading Bastari di Barikin. Melalui sanggar itulah kreativitas seni tradisi Banjar di Barikin terus berjalan dan eksis, yakni dengan terus menggelar jenis-jenis kesenian tradisi Banajr seperti Karawitan/Gamelan Banjar, Musik Panting, Tari Japin, Japin Carita/Bakisah, Wayang Kulit, Wayang Gung. Perlu ditambahkan, bahwa selain produk kreatif dalam bentuk seni pertunjukan melalui aktivitas di sanggar-sanggar seni, ada aktivitas lain yang merepresentasikan kreativitas seni masyarakat Barikin. Yaitu aktivitas produksi alat musik tradisi seperti instrumen Agung (Gong) dan lainnya. Artinya, kreativitas seni mereka tidak terbatas hanya pada seni pertunjukan, tapi juga menyasar pada produksi media keseniannya. Dan sebagaimana disebut sebelumnya, merek juga memproduksi berbagai kerajinan seperti mainan anak, alat kebersihan seperti sapu, tembikar dan sejenisnya. Mengenai nilai kreativitas berkesenian masyarakat Barikin, dapat diamati pada pola pendidikan atau pembelajaran non formalnya sebagai media pewarisan seni-budayanya. Di sini diketahui bahwa anak-anak mereka semenjak usia diri sudah diajak atau dilibatkan dalam sebuah pentas atau pertunjukan seni. Ada keterangan bahwa untuk pembelajaran musik tradisi, Gamelan Banjar misalnya, dilakukan tanpa ada pengajaran-pengajaran praktis, atau lebih banyak ke model pembiasaan empiris. Anak-anak dibiasakan untuk mendengarkan musik tradisi yang dimainkan oleh para orangtuanya sedini mungkin. Hal tersebut berbeda pada pembelajaran tari yang menuntut adanya pengajaran secara instruktural (pelatihan-pelatihan). Proses belajar-mengajar seni tradisional di Barikin memang tidak dalam bentuk pendidikan formal seperti dalam kelas-kelas tertentu. Tempat pembelajaran tidak menggunakan gedung atau tempat yang khusus. Kalau ada yang mau belajar Wayang Kulit misalnya, maka orang tersebut cukup membuat tenda sederhana dengan panggung secukupnya di belakang rumah mereka. Pada proses pembelajaran tari, biasanya banyak dilakukan di pekarangan samping rumah seniman Syarbaini. Jika mau belajar Wayang Gung, maka biasanya akan meminjam kantor Pembakal (Kepala Desa).
234
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Kesenimanan A.W. Syarbaini di Barikin: Suatu Representasi Budaya Ketokohan seniman A.W. (Abdul Wahab) Syarbaini (1955—2016) bagi aktivitas kesenian tradisi di Barikin memiliki peran yang cukup penting. Satu hal penting tersebut adalah perannya dalam konteks perkembangan Musik Panting. Diketahui bahwa bentuk pertunjukan Musik Panting yang kemudian populer di Kalimantan Selatan ini dipelopori oleh Syarbaini. Sejak tahun 1969, Syarbaini diketahui mulai mempelajari kesenian dari para orang tuanya (ayahnya adalah Pambakal/Kepala Desa Sasera) yang kemudian mendasari bentuk Musik Panting, yaitu kesenian Japin atau Bajapin. Syarbaini juga dapat dikatakan sebagai seniman Karawitan Banjar dan juga sekaligus dalang. Sebelum mendalang, Syarbaini memang lebih dulu menguasai tetabuhan Gamelan Banjar (karawitan). Setelah itu baru ia mempelajari Tari Topeng dan baru kemudian Japin. Pengetahuan dan keterampilan mendalangnya diperoleh langsung dari Dalang Tulur. Pada tahun 1973, Syarbaini membentuk kelompok kesenian Musik Japin dengan beberapa alat musik sederhana sebagai pendukungnya, yaitu instrumen Panting, Babun dan Agung. Pada masa itu Musik Japin lebih banyak dipergelarkan untuk mengiringi atau membawakan lagu-lagu Melayu serta Tari Japin. Keadaan itu berubah dan mengalami momen penting pada saat resepsi pernikahan Syarbaini, yakni pada tanggal 15 November 1977. Ketika itu, Musik Japin ditampilkan Syarbaini sebagai hiburan atau sambutan persembahan bagi tamu undangan dan rekan-rekannya. Kemudian di hadapan rekan-rekan senimannya, antara lain Yustan Azidin, Marsudi, Anang Ardiansyah dan Bakhtiar Sanderta, Musik Japin mendapatkan perhatian khusus dari mereka. Lantas, Yuztan Abidin yang tertarik dengan pertunjukan Musik Japin itu menanyakan jenis atau nama musik apa itu. Dan Syarbaini pun tidak punya jawaban. Maka berdasarkan instrumen utamanya, Panting, dan cara memainkannya, kemudian diusulkan oleh Yuztan Abidin (?) untuk menamai kesenian Musik Japin itu sebagai Musik Panting. Selain melatih kesenian tradisional Banjar bagi generasi muda di Barikin, Syarbaini juga mampu menciptaan karya-karya tari kreasi baru. Beberapa tari kreasinya diciptakan dengan mengambil unsur-unsur seni dari kultur Dayak (Meratus dan Maanyan). Salah satunya karya tari kreasinya adalah Tari Tandi Balian, yang tercipta dari akulturasi unsur tari Dayak Maratus, Maayan dan Banjar sendiri. Tarian ini diciptakannya dalam rangka memenuhi permintaan Pemerintah untuk membuat tarian kolosal dan mementaskannya pada Hari Pendidikan Nasional di Kantor Gubernur Kalsel tahun 1985 (saat itu melibatkan sekitar 250 pelajar yang menari). Syarbaini adalah pemimpin Sanggar Ading Bastari. Tak hanya memimpin, ia juga terlibat praktis dalam hampir semua kelompok di bawah Sanggar Ading Bastari tersebut. Saat menjadi Pegawai Seksi Kesenian di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Hulu Sungai Tengah pada tahun 1981, Syarbaini menciptakan tari keasi
235
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
Tantanyungan dan disertakan sebagai peserta festival tari tingkat Provinsi Kalsel. Kemudian tariannya menjadi juaranya. Tari Tantayungan ini adalah tari yang menggambarkan lolongan anjing dalam tradisi berburu orang Dayak Meratus. Dan tradisi Dayak itu dikemas atau ditarikan dengan dasar-dasar tarian melayu. Pada tahun 1981 hingga 1983, Syarbaini pun diminta pemerintah Kalimantan Selatan untuk menjadi pelatih seni dan musik tradisional di Taman Budaya, Banjarmasin. Mencoba memaknai peran seniman di Barikin, khususnya kesenimanan Syarbaini dalam menghidupi aktivitas seni tradisi masyarakat Barikin, dan bahkan Kalaimantan Selatan, beberapa nilai budaya di dalamnya bisa menjadi referensinya. Pertama, nilai moral tanggung jawab sosial mereka untuk terus berkesenian adalah pondasi nilai budaya masyarakatnya yang cukup penting. Demikian karena, berdasarkan moralitas tanggung jawab yang bersumber pada kesadaran akan perlunya menjaga nilai-nilai warisan nenek moyang mereka, maka para seniman Barikin telah menggerakkan tradisi budayanya melalui kesenian. Dari nilai tanggung jawab itulah yang kemudian menemukan penopang organismenya pada nilai yang kedua, yaitu nilai gotong-rotong. Mengenai gotong-royong atau spirit kekeluargaan pada aktivitas kesenian masyarakat Barikin nampak pada sistem pembelajaran kesenian mereka serta pengaturan organisasi sanggar-sanggar mereka. Kemudian, dengan pondasi kesadaran moral tentang tanggung jawab berkesenian serta didukung oleh nilai gotong-royong kekeluargaan itu telah menghasilkan nilai-nilai etetiknya, yakni nilai konsistensi dan nilai kreatif. Inilah yang terwujud dalam bentuk-bentuk aktivitas kesenian mereka beserta karya-karya seni mereka yang terus berjalan. Penutup Di bagian penutup tulisan ini, penulis akan merefleksikan bahasan serta analisis sosiologi seni pada masyarakat Barikin di atas ke dalam tema pendidikan karakter bangsa. Karakter Bangsa itu sendiri adalah suatu bentuk kualitas dari perilaku kolektif kebangsaan. Kualitas perilaku tersebut akan tercermin dalam kesadaran dan perilaku manusianya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, pendidikan karakter bangsa dapat dikembangkan dari beberapa sumber nilainya, yakni agama, ideologi bangsa/Pancasila, budaya dan konsep/orientasi Penedidikan Nasional. Terkait dengan bahasan tulisan ini, budaya merupakan sumber pendidikan karakter bangsa yang sangat penting untuk digali dan dikembangkan. Dan kesenian tradisi sebagai salah satu wujud budaya bangsa Indonesia disadari punya potensi untuk mendukung penguatan pendidikan karakter bangsa. Khusus pada analisis sosiologis kesenian masyarakat Barikin, beberapa nilai yang telah terbahas sebelumnya adalah nilai moral tanggung jawab, gotongroyomg atau kekeluargaan serta nilai kreatif (praktis). Nilai-nilai tersebut telah menjadi dasar
236
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
yang kokoh dalam kehidupan berkesenian masyarakat Barikin. Hal ini dapat menjadi inspirasi edukatif bagi proses pembelajaran formal di sekolah-sekolah. Secara konseptual, nilai tanggung jawab, gotong-royong dan kreativitas dapat pula dijadikan landasan konsep pembelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan edukatifnya. Dan secara material, pelajaran-pelajaran yang berada pada matra estetika menjadi media yang trategis untuk mengembangkan nilai-nilai dimaksud. Misalnya melalui aktivitas bermusik, menari, drama, bersastra, melukis/menggambar dan sejenisnya.*** Kepustakaan Daud, Alfani. 1997. Islam & Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Jazuli, M. 2011. Sosiologi Seni: Pengantar dan Model Studi Seni. Solo: Sebelas Maret University. Sanderta, Bakhtiar. 1990. Beberapa Materi Seni Tradisional Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan. Sjarifuddin. 1985. Musik Panting dari Tapin. Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan. Suryadinata, Leo dkk. (Ed.) 2003. Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Syaifullah, M. dan Werdiono Defri. 2010. “Sarbai dan Kampung Budaya”. Daring:http://nasional.kompas.com/read/2010/06/09/11495776/sarbai.dan.kampung.budaya . Diakses 5 Oktober 2016
237
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
MEMBANGUN KARAKTER RELIGIUS MELALUI KESENIAN TRADISI DIDONG Yuli Astuti, Fitri Ulandari Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Email :
[email protected] Abstrak Artikel ini bertujuan untuk membangun karakter religius melalui kesenian didong. Bermula dari derasnya arus globalisasi yang mulai mengikis identitas bangsa menyebabkan generasi penerus tidak lagi peka terhadap budayanya. Kesenian didong merupakan kesenian yang berfungsi sebagai media dakwah masyarakat Gayo dan mengandung nilai keindahan, nilai religius, dan nilai kebersamaan. Penanaman nilai religius melalui kesenian didong merupakan suatu upaya membentuk karakter peserta didik yang akhlakul karimah dan berpegang teguh kepada ketauhidan. Dalam hal ini guru dituntut mampu memberikan stimulus dengan pemilihan strategi belajar yang tepat untuk memproduksi penerus bangsa yang mencintai budayanya. Pengajaran dan pembelajaran dengan menanamkan nilai-nilai kesenian didong ke dalam proses pembelajaran seni diharapkan dapat menghasilkan generasi penerus yang memiliki integriti, bermoral, beretika, dan faham dengan adat istiadat endatu mereka sesuai dengan kaidah ilmu yang berlaku. Kata kunci: Karakter Religius, Kesenian didong PENDAHULUAN Di era globalisasi sekarang ini identitas kebangsaan merupakan permasalahan yang penting untuk diperhatikan. Kemajuan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan iptek menimbulkan keprihatinan terhadap pergeseran nilai-nilai budaya pada kalangan generasi muda. Perkembangan teknologi ibarat dua mata pisau, tidak hanya memberikan pengaruh positif tetapi disaat yang bersamaan juga memberikan dampak negatif. Namun secara kasat mata dampak negatif perkembangan teknologi justru yang lebih terlihat. Aceh yang terkenal dengan nilai budaya Islam menjadi salah satu daerah yang mendapat pengaruh dari perkembangan teknologi yang semakin canggih. Salah satu contohnya di bidang teknologi yaitu penggunaan ”gadget” yang sudah menjadi prioritas utama dalam kehidupan seharihari sehingga menyebabkan identitas budaya Islam Aceh semakin terkikis. Melihat keadaan seperti ini perlu ditanamkan nilai-nilai budaya Islam kepada peserta didik untuk membentuk karakter yang mencintai budaya, salah satunya melalui pembelajaran seni tradisi Aceh. Pendidikan kesenian, sebagaimana yang dinyatakan Ki Hajar Dewantara (dalam Bastomi, 1993, hlm. 20), “merupakan salah satu faktor penentu dalam 238
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
membentuk kepribadian anak. Pendidikan seni di sekolah, dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan dalam membentuk jiwa dan kepribadian (berakhlak karimah)”. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat (dalam Umar Kayam, 1981, hlm. 60) merinci ciri khas kesenian tradisional: (1) Kesenian tradisional mempunyai jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya. (2) Kesenian tradisional merupakan cerminan dari suatu kultur yang berkembang sangat perlahan-lahan karena dinamika masyarakat penunjangnya memang demikian. (3) Kesenian tradisional merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat yang tidak terbagibagi dalam pengkotaan spesialisasi. (4) Kesenian tradisional bukan merupakan hasil kreativitas individu-individu tetapi tercipta secara anonim bersama-sama dengan sifat kolektifitas masyarakat yang menunjangnya. Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kesenian tradisi merupakan representasi dari kehidupan masyarakat pemiliknya. Dalam hal ini masyarakat Aceh yang dikenal dengan budaya Islam merepresentasikan budayanya melalui kesenian tradisi yang kental dengan nilai-nilai religius. Dengan demikian kesenian yang merupakan unsur dari kebudayaan dapat dijadikan sebagai tombak untuk membentuk karakter peserta didik yang akhlakul karimah dan berpegang teguh kepada ketauhidan. Sehingga untuk mengembalikan nilai-nilai tradisi Islam di Aceh yang mulai pudar diperlukan upaya penanaman nilai-nilai religius kepada generasi penerus melalui pembelajaran seni di sekolah. Juaini (2014, hlm. 3) “pengaruh kebudayaan Islam yang beraliran Syi’ah dan imaji mistik bercampur dengan seni budaya Aceh, kemudian seni budaya tersebut berkembang seiring berjalannya waktu. Ini yang membuat kesenian Aceh memiliki tema Islam yang sangat dominan disamping ajaran falsafah Islam yang begitu kuat”. Dalam hal ini penulis mengambil kesenian didong sebagai kesenian yang memiliki nilai-nilai Islam. Kesenian didong merupakan kesenian rakyat masyarakat gayo di kabupaten Aceh Tengah yang memiliki fungsi sebagai sarana media dakwah. Kesenian ini memadukan unsur vokal, tari, dan sastra yang dimainkan secara berkelompok. Hasil temuan Akbar (2015) mengatakan “nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian didong adalah nilai keindahan, nilai religius, dan nilai kebersamaan”. Dalam pertunjukan Didong masyarakat mendapat suatu pendidikan Islami untuk menjadi panutan dalam menjalankan kehidupan, pendidikan tersebut tidak terlepas dengan kearifan yang sudah mentradisi. Didong sebagai seni pertunjukan yang terkenal pada suku Gayo digunakan sebagai media dakwah dan pendidikan. Dakwah atau pendidikan yang terinternalisasi melalui seni didong merupakan bentuk keyakinan, pengetahuan yang menuntut masyarakat dalam kehidupannya. Kesenian ini menyimpan nilai estetika yang bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai realitas akan
239
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
kehidupan para Nabi dan tokoh yang seseuai dengan Islam. Nilai Islam yang diterapkan pada kesenian didong menghasilkan perpadun antara kebudayaan manusia dan proses ibadah masyarakat Gayo. Seni didong yang merupakan hasil masyarakat gayo tidak terlepas dari konteks kawasan yang menunjang syari’at Islam. Jadi, dalam pertunjukan seni didong yang menjadi tradisi dalam masyarakat tersebut terkandung dalam nilai keislaman. Islam dan hasil budaya masyarakat menjadi tonggak dalam aktualisasi kesenian didong. PEMBAHASAN Konsep Karakter Islam Pendidikan seni merupakan salah satu cara memberikan bentuk perubahan karakter peserta didik untuk menjadi yang lebih baik. Soehardjo (2011, hlm. 66) berpendapat bahwa belajar berkesenian dengan diberikan rambu-rambu perubahan perilaku menunjukkan karakteristik pembelajaran yang akademik. Helen G. Dauglas (dalam Samani dan Hariyanto, 2012, hlm. 41) mengatakan bahwa “character isn’t inherited. One builds its daily by the way one thinks and acts, thought, action by action”. Artinya karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. Selanjutnya Lickona (2015, hlm. 13) mengatakan bahwa “karakter adalah kepemilikan akan hal-hal baik”. Dari beberapa teori di atas dapat diambil kesimpulan bahwa melalui pembelajaran seni kita dapat membentuk pola pikir dan karakter siswa sehingga dapat mengubah perilaku yang bermoral dan memiliki rasa sosial serta cinta kepada budayanya sendiri dengan penuh kesadaran. Muslich (2013, hlm. 136-137) mengatakan bahwa pada dasarnya, pendidikan sebagai proses alih nilai mempunyai tiga sasaran: (1) Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif dan psikomotorik di satu pihak serta kemampuan afektif di pihak lain. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan akan menghasilkan manusia yang berkepribadian, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang luhur, serta mempunyai wawasan dan sikap kebangsaan dan menjaga serta memupuk jati dirinya. Dalam hal ini proses alih nilai dalam rangka proses pembudayaan; (2) Dalam sistem nilai yang “dialihkan” juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, yang terpancar pada ketundukan manusia untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing, berakhlak mulia, serta senantiasa menjaga harmoni hubungan dengan Tuhan dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Implementasinya alih nilai ini merupakan proses pembinaan imtak; (3) Dalam alih nilai juga dapat ditransformasikan tata nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti penghargaan atas waktu, etos kerja tinggi, disiplin, kemandirian,
240
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
kewirausahaan dan sebagainya. Dalam hal ini proses alih nilai merupakan proses pembinaan iptek. Oleh karena itu pembelajaran seni dapat dilakukan dengan penanaman nilai budaya Islam kepada peserta didik mengingat saat ini sudah terjadi krisis moral pada kehidupan anak-anak dan remaja. Menyikapi secara kritis begitu pentingnya menanamkan unsur budaya islam dalam proses pembelajaran seni seorang guru harus mampu memberikan rangsangan positif yang bersifat islami seperti memberikan contoh ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa dengan belajar berkesenian seseorang juga telah belajar ilmu agama. Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, keuletan, dan ketabahan. Mengingat pembelajaran seni berbasis karakter islam penting dilakukan, Samani dan Haryanto (2012, hlm. 79) berbagai karakter yang harus dimiliki oleh kaum muslimin baik menurut Al-Qur’an maupun hadist antara lain adalah: (1) menjaga harga diri; (2) rajin bekerja mencari rezeki; (3) bersilaturahmi, menyambung komunikasi; (4) berkomunikasi dengan baik dan menebar salam; (5) jujur, tidak curang, menepati janji dan amanah; (6) berbuat adil, tolong menolong, saling mengasihi dan saling menyayangi; (7) sabar dan optimis; (8) bekerja keras, bekerja apa saja asal halal; (9) kasih sayang dan hormat pada orang tua, tidak menipu; (10) pemaaf dan dermawan; (11) berempati, berbela rasa sebagai manifestasi kebaikan; (12) berkata benar, tidak berdusta; (13) selalu bersyukur; tidak sombong dan angkuh; (14) tidak sombong dan angkuh; (15) berbudi pekerti (akhlak) luhur; (16) berbuat baik dalam segala hal; (17) haus mencari ilmu, berjiwa kuriositas; (18) punya rasa malu dan iman; (19) berlaku hemat; (20) berkata yang baik atau diam; (21) berbuat jujur, tidak korupsi; (22) konsisten, istiqamah; (23) teguh hati, tidak putus asa; (24) bertanggung jawab; (25) cinta damai. Membentuk karakter religius kepada peserta didik dibutuhkan konsep karakter islam yang mendasarinya. Sebagaimana yang telah dijelaskan berdasarkan teori di atas bahwa karakter seseorang dapat dibentuk melalui dunia pendidikan kesenian dengan memanfaatkan kesenian tradisi sebagai upaya penanaman nilai-nilai budaya. Nilai-nilai Kesenian Didong Kesenian Didong merupakan karya yang dibentuk oleh masyarakat Gayo yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan ini dijadikan sarana dakwah
241
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan & Pendidikan Seni
atau penyampai pesan-pesan yang mendidik bagi masyarakat Gayo dalam melakukan aktualisasi kehidupan bermasyarakat demi syari’at Islam. Dengan kesenian didong semua kendala dalam kehidupan masyarakat gayo dapat dipecahkan melalui pertunjukan yang dipertontonkan. Pesan dalam kesenian ini tidak terlepas dengan apa yang sudah ditekstualkan dalam Al-Qur’an maupun apa yang menjadi tradisi masyarakat yakni syrai’at Islam. Semua keindahan yang terbentuk dari kesenian didong merupakan kebijaksanaan setempat atau kearifan lokal dan sebagai sarana dakwah dan pendidikan bagi masyarakat. Hasil temuan Eliyyil Akbar (2015) nilai kesenian didong yang terinternalisasi nilai kearifan adalah nilai keindahan, nilai religius, dan nilai kebersamaan. a. Nilai Keindahan Keindahan pada kesenian didong terdapat pada perpaduan antara unsur tari, vokal, dan sastra. Dalam kesenian ini terdapat lirik syair dimana antara lirik dan makna menunjukkan kualitas isi didong yang indah. Rangkaian demi rangkaian yang dirajut mencerminkan halusnya pencipta. Keindahan tersebut menjadi lengkap dengan adanya bunyi dan irama didong dan seni gerak atau tari serasi. Gerak tari didong dengan bertepuk menggunakan alat. Gerakan tersebut menjadi tambah syahdu dengan lantunan para ceh yang menjadi vokalis. Tradisi didong menjadi tontonan yang spesial pada masyarakat Gayo karena makna yang tersurat dan tersirat dalam didong memiliki daya tarik kata dan gaya bahasa yang indah dengan penghayatan yang disajikian oleh pemain didong. Selanjutnya perintah-perintah yang mengandung unsur kebaikan pada seni didong mempunyai keindahan Islam karena pada hakikatnya perintah dari Allah semuanya mengandung unsur keindahan. b. Nilai Religius Eliyyil Akbar (2015) dalam temuannya mengatakan bahwa dalam kesenian didong mewujudkan religiusitas sudah terbukti dengan masyarakat Gayo yang mayoritas beragama Islam, maka dalam syair didong mentransformasikan keislaman dengan tujuan masyarakat mudah memahami atau menerima pemahaman tentang Islam. Nilai religius dalam kesenian didong tampak pada tema dan syairnya yang berkaitan dengan keimanan seperti yang Mahmud sampaikan dalam (Eliyyil Akbar, 2015, hlm. 57) bahwa setiap memulai didong harus dengan ucapan salam. Ucapan salam bukan hanya lafadz “assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh”, namun dengan selingkung bahasa gayo misalnya “salam bewente” (salam buat kamu semua), “kite mulai didong dengan rahmat Tuhan” (kita mulai didong dengan rahmat Tuhan). Contoh nilai religius terdapat pada teks berikut:
242
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan dan Pendidikan Seni 2016
Murip kanung edet buletni pakat Baro selamat akherat dunie
Hidup beradat sepakat bulat Supaya selamat dunia akhirat
Teks di atas mengindikasikan bahwa jelas terlihat unsur nilai religius yang mengharapkan rahmat Tuhan sebagai jalan selamat dunia dan akhirat dengan menjalankan adat yang berlandaskan Islam. Perintah untuk menjalankan syari’at Islam dan larangan untuk tidak berbuat dosa dan kesalahan agar umat manusia dapat selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. c. Nilai Kebersamaan Hasil temuan Eliyyil Akbar tentang nilai kebersamaan dapat diuraikan bahwa didong yang mengekspresikan perbuatan hidup bersatu dapat dilihat pada syair didong yang dibuat ceh Salih berjudul umah pitu ruang (rumah tujuh ruang). Pendidikan yang diperoleh dari pesan yang tersampaikan oleh didong bahwa gayo yang berada dalam satu atap merupakan satu kesatuan yang utuh diharapkan untuk tidak saling berpecah belah walaupun nafas sukuisme masih berhembus. Masyarakat Gayo selalu menjunjung tinggi nilai kebersamaan, hal tersebut mengaktualisasikan perintah Islam tentang anjuran untuk senantiasa menjaga kebersamaan sebagaimana firman Allah dalam (Q.S Ali Imran: 103) yang artinya “Dan berpeganglah kamu pada tali (agama) Allah, dan jangnlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu lalu menjadilah kamu karena ni’mah Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” Membangun Karakter Religius Melalui kesenian Didong
Merujuk pada teori Samani dan Haryanto (2012, hlm. 37) secara sederhana pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha untuk membentuk peserta didik mengembangkan seluruh potensinya (hati, pikir, rasa, dan karsa, serta raga) untuk menghadapi masa depan. Berbicara tentang masa depan maka nilai-nilai budaya hendaknya dapat diwarisi secara baik melalui proses pendidikan. Zamroni (2001) mengemukakan bahwa untuk menemukan wajah ke Indonesiaan dalam pendidikan, maka diperlukan kajian untuk memenuhi nilai-nilai dan orientasi budaya daerah yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan kajian dalam proses pembelajaran di kelas yang melibatkan unsur budaya, khususnya dalam proses pembelajaran seni Untuk membangun karakter religius kesenian didong dalam hal ini dibutuhkan strategi yang tepat dalam menanamkan nilai-nilai yang telah dibahas sebelumnya. Nilai-nilai kesenian didong seperti nilai keindahan, nilai religius, dan nilai kebersamaan dapat diaplikasikan pada pembelajaran di sekolah khususnya sekolah di Aceh. Berdasarkan konsep karakter Islam yang telah diuraikan sebelumnya diharapkan guru mampu 243
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan dan Pendidikan Seni 2016
menerapkan proses pembelajaran seni tradisi untuk membentuk kembali generasi penerus yang memiliki akhlak yang baik dan berpegang teguh pada ketauhidan. Selanjutnya untuk mencapai tujuan pembelajaran yakni menanamkan nilai-nilai yang terdapat di dalam didong, guru harus memahami kosep tentang kesenian didong baik teks maupun konteks. Tak hanya itu ketercapaian tujuan pembelajaran juga dipengaruhi oleh strategi atau model pembelajaran yang digunakan guru dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Adapun model disini merupakan suatu kompleksitas yang di dalamnya terdapat metode, teknik, prosedur yang saling bersinggungan satu sama lain. Di dalam dunia pendidikan model pembelajaran ada beragam macamnya jenisnya, dimana setiap model itu memiliki sintaks atau langkah yang berbeda-beda. Diharapkan dengan pemahaman guru dalam pemilihan model pembelajaran yang tepat, tujuan pembelajaran dapat tercapai, dalam hal ini adalah penanaman nilai-nilai didong kepada siswa. Untuk itu seyogyanya guru perlu memahami tentang konsep model pembelajaran sehingga guru bisa mengaplikasikan model apa yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Uraian di atas sejalan dengan pendapat Barnawi dan Arifin (2012, hlm. 65-66) mengemukakan bahwa “pembelajaran yang diciptakan membutuhkan perencanaan yang matang, sesuai alokasi waktu, mengandung setidaknya satu kompetensi dasar, terdapat langkah-langkah pembelajaran, menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi dan faktor pendukung lainnya, menyajikan model evaluasi, dan menunjukkan sumber referensi yang digunakan”. Dalam melaksanakan pembelajaran dibutuhkan desain pembelajaran yang meliputi empat komponen yang memiliki hubungan fungsional antara materi pembelajaran, kompetensi pembelajaran, strategi pembelajaran dan evaluasi pembelajara. Hubungan keempat komponen tersebut digambarkan sebagai berikut: Materi
Evaluasi
Kompetensi
Strategi Sumber: Muslich (2012, hlm. 66) Berdasarkan teori di atas membangun karakter religius melalui kesenian didong dapat dilakukan dengan menerapkan nilai kesenian didong seperti: Nilai keindahan; dalam hal ini sebagai seorang guru dapat memberikan contoh keindahan seni dalam islam, misalnya dengan mengaitkan seni keindahan dengan ayat AlQur’an. Rizali (2012) mengemukakan bahwa seni Islam adalah seni yang dapat 244
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan dan Pendidikan Seni 2016
mengungkapkan keindahan dan konsep tauhid sebagai esensi aqidah, tata nilai dan norma Islam, yaitu menyampaikan pesan Ke-Esaan Tuhan. Nilai religius; nilai ini sudah tampak pada kesenian didong dari segi fungsinya, yaitu sebagai media dakwah masyarakat Gayo. Guru dapat menjelaskan atau menggunakan cara apresiasi seni dalam membentuk karakter peserta didik agar lebih religius. apresiasi disini berperan untuk memberikan stimulus kepada peserta didik untuk menggali pengetahuan yang berkaitan dengan nilai religius. Nilai kebersamaan; dalam hal ini guru yang memilki potensi dalam membangun karakter yang religius dapat memberikan contoh ayat Al-Qur’an sebagai pedoman pembentukan karakter siswa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada nilai-nilai kesenian didong bahwa nilai kebersamaan dapat dilihat pada QS. Ali Imran: 103. Penjelasan di atas merupakan sedikit contoh untuk mengaplikasikan nilai religius pada kesenian didong. Materi yang berkaitan dengan nilai-nilai kesenian didong tentunya memiliki tujuan kompetensi untuk membentuk karakter siswa yang lebih religius. Pembelajaran ini dapat pula disusun dengan berbagai macam strategi pembelajaran demi mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Apabila penerapan pembelajaran sudah dilakukan dengan benar, maka guru dapat melakukan kegiatan evaluasi untuk melihat apakah siswa sudah mencapai tujuan pembelajaran. Mulyana (2004) mengungkapkan “pendidikan sangat memerlukan penanaman nilai karena gejala-gejala kehidupan saat ini yang disebabkan oleh arus globalisasi berpotensi mengikis jati diri bangsa”. Berdasarkan penerapan nilai-nilai dari kesenian didong ini dapat membentuk karakter siswa yang aklakul karimah dan memiliki jiwa mencintai budaya Islam yang sudah mendarah daging di Aceh. Kebudayaan Aceh sudah diatur dalam Qanun No.12 Tahun 2004, pada pasal 4 menyebutkan bahwa kebudayaan Aceh berfungsi untuk memperkokoh hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta. PENUTUP Pengajaran dan pembelajaran dengan menanamkan nilai-nilai kesenian didong ke dalam proses pembelajaran seni diharapkan dapat menghasilkan generasi penerus yang memiliki integriti, bermoral, beretika, dan faham dengan adat istiadat endatu mereka. Serta selalu menjunjung tinggi Allah SWT dan menjalankan sunnah Rasululllah Saw. Karakter anak harus dibina secara baik, peran orang tua, guru atau sekolah, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk meciptakan peserta didik yang memahami nilai-nilai budayanya. Seperti halnya di Aceh yang memiliki aturan syari’at Islam diharapkan siswa dapat mentaati peraturan dan norma-norma yang berlaku sesuai dengan hukum agama. Peserta didik yang memiliki karakter Islami adalah peserta didik yang Insyaa Allah akan senantiasa selalu meneladani Nabi Muhammad Saw.
245
Proceding Seminar Nasional Seni Pertunjukan dan Pendidikan Seni 2016
DAFTAR PUSTAKA Akbar, Eliyyil. (2015). Pendidikan Islami Dalam Nilai-nilai Kearifan Lokal Didong. Jurnal Al-Tahrir, 43-65 Barnawi dan Arifin. (2012). Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidkan Karakter. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Bastomi, S. 1993. Nilai-nilai seni pewayangan. Semarang: Dahara Prize. Juani, Imam. (2014). Saman di Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh Kayam, Umar. (1981). Seni, Tradisi, dan Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan Lickona, Thomas. (2015). Character Matters. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Suatu pengantar. Bandung: Alfabeta Muslich, Masnur. (2013). Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya Rizali, Nanang. (2012). Kedudukan Seni dalam Islam. Jurnal Kajian Seni Budaya Islam, 18 Samani, Muchlas dan Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya Soehardjo. (2011). Pendidikan Seni: Strategi penataan dan Pelaksanaan Pembelajaran Seni. Malang: Bayumedia Publishing Zamroni, (2001). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraff Publishing.
246