INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA (Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk)
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Oleh : YUNIYAR KRISTI NIM. E0005321
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skipsi)
INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA (Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk)
Oleh : YUNIYAR KRISTI NIM. E0005321
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 9 Maret 2010 Dosen Pembimbing
Soehartono, S.H.,M.Hum Nip.195604251985031002
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skipsi) INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA (Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk)
Oleh : YUNIYAR KRISTI E0005321
Telah diterima dan disahkan oleh Tim penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 30 Maret 2010
TIM PENGUJI
1. Th. Kussunayatun, S.H. M. H
1. ________________
Ketua 2. Harjono, S.H. M.H
2. ________________
Sekretaris 3. Soehartono, S.H. M.Hum
3. ________________
Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP. 196109301986011001
4
MOTTO “Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga” (Q.S Ar-Ra’d : 11) “Orang harus cukup tegar untuk memaafkan kesalahan, cukup pintar untuk belajar dari kesalahan dan cukup kuat untuk mengoreksi kesalahannya” (John C. Maxwell)
5
PERNYATAAN
Nama
: Yuniyar Kristi
NIM
: E0005321
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : Intervensi Dalam Sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara ( Putusan Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN Yk) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 9 Maret 2010 Yang membuat pernyataan
Yuniyar Kristi NIM. E0005321
6
KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan rasa puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan
PENYELESAIAN
Skripsi
dengan
SENGKETA
judul
TATA
“INTERVENSI USAHA
DALAM
NEGARA
DI
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA (Studi Kasus Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk).” Penulisan Hukum ini disusun dan diajukan untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Pada
kesempatan
ini
dengan
rendah
hati
penulis
bermaksud
menyampaikan ucapan terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberi bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupun imateriil selama penyusunan skripsi ini terutama kepada: 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan izin untuk melakukan penulisan hukum dan atas pemberian izin kepada penulis untuk melakukan penelitian hukum ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. Selaku Ketua Bagian Hukum Acara. 3. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing dengan segala
kesabarannya
membimbing
penulis
dalam,
menyelesaikan
penulisan hukum ini. 4. Ibu
Gayatri Dyah S, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik
penulis. 5. Bapak Syafrudin Yudowibowo, SH. selaku Pembimbing Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) 6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk penulis selama penulis menempuh studi di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7
7. Seluruh Karyawan dan Karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah banyak membantu segala kepentingan penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Mami dan Papi
tercinta terima kasih untuk cinta kasih, do’a dan
dukungannya. 9. Buat Primastya Dryan Maestro memberikan dorongan untuk segera menyelesaikan skripsi ini 10. Teman-teman angkatan 2005 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta untuk kekompakkannya 11. Semua pihak yang telah turut membantu dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang tentunya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diperlukan guna kelengkapan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini mampu memberikan suatu manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 9 Maret 2010
Penulis
8
ABSTRAK
YUNIYAR KRISTIE, 2010. INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA (Studi Kasus Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2010 Penelitian Hukum ini untuk menjawab mengenai Intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara dan apa akibat hukumnya dan dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara dalam hal adanya intervensi terhadap putusan 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk. Penelitian mi termasuk penelitian hukum empiris, dalam penelitian hukum empiris yang diteliti pada awalnya data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan wawancara atau interview. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis menyimpulkan bahwa Intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara adalah intervensi oleh pihak ketiga atas kemauan sendiri, intervensi oleh pihak ketiga atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa yaitu penggugat atau tergugat dan intervensi oleh pihak ketiga atas prakarsa Hakim yang memeriksa sengketa tersebut, dalam hal ini pihak ketiga ditarik kedalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan. Dalam putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk, intervensi pihak ke tiga (Rektor UIN Sunan Kalijaga) yang masuk dalam proses sengketa yang sedang berjalan adalah karena adanya inisiatif dari hakim, Akibat hukum atas adanya intervensi adalah apabila pemohon intervensi dirugikan haknya dalam putusan hakim, maka pemohon intervensi dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara akan tetapi para pihak tidak mengajukan banding dan menerima putusan dan pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk adalah bahwa surat keputusan Bupati Sleman No. 410/kep. KDH/A/2006 tertanggal 17 November 2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum pedukuhan Ngentak Sapen Desa Catur Tunggal kecamatan Depok tidak memenuhi unsur individual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU PTUN.
9
ABSTRACTS YUNIYAR KRISTIE, 2010. INTERVENTION IN STATE ADMINISTRATIVE LAWSUIT RESOLUTION IN STATE ADMINISTRATIVE COURT OF YOGYAKARTA (a Case Study on Verdict No. 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk). Law Faculty of Sebelas Maret University of Surakarta. A Law Writing (Minithesis). 2010. This law research is to answer a question about possible intervention held by third party in state administrative lawsuit resolution and what is the legal consequence and judge consideration base in examining and deciding the state administrative lawsuit in case of intervention on Verdict No. 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk occurred. This research is included in empirical law research, in which in the empirical law research, secondary data being examined first and then proceeded with examination on primary data in field or on society. Data collection method used is documentary study and interview. Data analysis technique using qualitative data analysis. Based on research held by the researcher, then the research concluded that the possible intervention held by third party in state administrative lawsuite resolution is the third party intervention on their own intention, the third party intervention on either lawsuit-involved party request, that is the litigant or defendant and the third party intervention on judge initiative who examine the lawsuit, in such case the third party drew in the case examination process. In verdict No. 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk, the third party intervention (Rector of UIN Sunan Kalijaga) drew in the lawsuit examination process due to the judge initiative. Legal consequence due to the intervention is if the intervention applicant had inflicted on his/her right in judge verdict, then the intervention applicant can appeal to the State Administrative High Court, but the parties could not propose appeal and accept the verdict and the judge legal consideration in the verdict No. 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk is that the Regional Government Head of Sleman decree No. 410/Kep.KDH/A/2006 dated on 17 November 2006 on The Occlusion of Public Graveyard in Village of Ngentak, Sapen, Catur Tunggal, Subdistrict of Depok is not in meeting with individual elements such intended in Article 1 verse 3 UU PTUN.
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
v
KATA PENGANTAR.................................................................................. vi ABSTRAK........................................................................................ ..........
viii
DAFTAR ISI........................................................................................... ....
x
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ................................................................
7
E. Metode Penelitian .................................................................
8
F. Sistematika Penulisan Hukum ..............................................
13
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
15
A. Kerangka Teori ...................................................................
15
BAB II
1. Tinjauan Tentang Negara Hukum dan Peradilan Administrasi ................................................................
15
2. Tinjauan Peradilan Tata Usaha Negara .........................
19
3. Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara .....................
27
4. Keikutsertaan Pihak Ketiga (Intervensi) .......................
35
B. Kerangka Berpikir ...............................................................
38
11
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..........................
40
A. Intervensi Pihak Ke Tiga Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara dan Akibat Hukumnya .........................
47
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa Tata Usaha Negara Dalam Hal Adanya Intervensi Terhadap Putusan
Nomor. 03/G/TUN/2007/
PTUN.Yk ..............................................................................
50
BAB IV PENUTUP ..................................................................................
56
Simpulan ...............................................................................
56
Saran .....................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
58
LAMPIRAN
12
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Negara hukum menghendaki agar setiap tindakan penguasa haruslah berdasar atas hukum yang berlaku. Selanjutnya, pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasar hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi rakyat atas tindakan pemerintah dibatasi oleh dua prinsip; prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum (Zairin Harahap, 2007: 2). Pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien. Pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara juga merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyeleggara negara dan pemerintahan. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara (sengketa
TUN).
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor
5
Tahun
1986
sebagaimana telah di rubah oleh UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
1
13
Usaha Negara (UU PTUN), PTUN diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga
dan/atau masyarakat. UU PTUN
memberikan dua macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke PTUN. PTUN menjalankan peranan sangat penting dalam melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan Badan atau Pejabat TUN negara agar tidak bertindak melampaui kewengangan yang dimilikinya, bertindak secara rasional dan terutama tidak melanggar hukum. Wewenang yang dimiliki Badan atau Pejabat TUN tidak boleh digunakan untuk lain-lain tujuan dari maksud diberikan wewenang itu kepadanya, terlebih tidak mungkin dibenarkan kalau wewenang itu digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan Pejabat TUN yang memangku jabatan TUN yang bersangkutan, kalau sampai terjadi demikian, maka hal itu berarti telah melanggar larangan de’tournement de pouvoir (Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, 1996: 51). Di dalam PTUN, dapat diajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihakpihak yang berperkara di PTUN ada dua (2) yaitu, pihak penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara (pejabat TUN), serta pihak tergugat, yaitu Badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Pelaksanaan proses peradilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang berpuncak pada Mahkamah Agung. PT TUN pada dasarnya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh PTUN, kecuali dalam sengketa kewenangan mengadili antar PTUN di daerah hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang
14
digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan sengketa TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan. Dalam pelaksanaan proses peradilan sudah diatur kompetensi absolut maupun relatif dari masing-masing lembaga peradilan, baik untuk Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Pembagian tugas untuk setiap lembaga peradilan tersebut tentunya bertujuan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam melaksanakan wewenangnya. Kekuasaan absolut PTUN terdapat dalam Pasal 47 UU PTUN yang menentukan bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sementara itu yang dimaksud sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 UU PTUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (hukum acara PTUN) pada dasarnya di dalam suatu sengketa atau perkara, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat (sebagai pihak yang menggugat) dan pihak tergugat (sebagai pihak yang digugat oleh penggugat). Dalam sengketa tata usaha negara pihak yang berkedudukan sebagai penggugat adalah orang atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat. Hal ini sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa tata usaha negara adalah akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Oleh karenanya tidak mungkin badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara sebagai pihak penggugat (Hassan Suryono, 2005: 71).
15
Dalam pelaksanaannya ada kemungkinan selama pemeriksaan perkara berjalan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga (intervencient) yang membela kepentingannya (Zairin Harahap, 2007: 42). Keikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian perkara perdata yang sedang berlangsung tanpa memperhatikan bahwa dalam sengketa tata usaha negara, yang dapat bertindak sebagai penggugat sudah ditentukan, yaitu hanya orang atau badan hukum perdata, sedang yang dapat bertindak sebagai tergugat hanya badan atau pejabat tata usaha negara (R. Wiyono, 2007: 65). Masuknya pihak ketiga dalam sengketa yang sedang berlangsung diatur dalam Pasal 83 UU PTUN yang menyebutkan : 1.
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara dan bertindak sebagai:
2.
a.
Pihak yang membela haknya; atau
b.
Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersangkutan.
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
3.
Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa. Masuknya pihak ketiga tersebut adalah dalam rangka sebagai pihak yang
membela haknya dan ingin bertindak selaku penggugat mandiri, maka pihak ketiga tersebut tetap terikat pada tenggang waktu mengajukan gugatan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 55 UU PTUN yang menyebutkan “gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara”.
16
Upaya hukum yang masih terbuka yang dapat ditempuh oleh pihak ketiga tersebut untuk membela kepentingannya adalah bertindak sebagai pihak yang menggabungkan diri kepada salah satu pihak yang bersengketa, maka pihak ketiga tersebut tidak terikat tenggang waktu. Begitu diketahui ada sengketa, dan ada hak atau kepentingan yang dilanggar maka seseorang dapat mengajukan permohonan kepada hakim. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa tata usaha negara adalah keputusan tata usaha negara, maka masuknya pihak ketiga pihak ketiga dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak. Apabila pihak ketiga tersebut adalah badan atau pejabat tata usaha negara, maka tidak mungkin bertindak sebagai penggugat atau bergabung dengan pihak penggugat. Demikian pula, apabila pihak ketiga tersebut adalah seseorang atau badan hukum perdata tidak mungkin bertindak sebagai pihak tergugat atau ditarik untuk bergabung dengan pihak tergugat (Zairin Harahap, 2007: 45). Salah satu sengeka TUN yang terdapat intervensi oleh pihak ketiga dapat dilihat pada kasus gugatan dari beberapa anggota masyarakat Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok kepada Bupati Sleman terkait dengan adanya Keputusan Bupati Sleman yang berisi penutupan tempat pemakaman umum (Areal Pekuburan Ngentak, Sapen) Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang akan dijadikan kompleks perluasan UIN Yogyakarta. Padahal diketahui bahwa tanah areal pekuburan tersebut adalah tanah milik kas desa, Desa Catur Tunggal. Berdasarkan uraian kasus tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti apakah yang menjadi upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga beserta akibat hukumnya dan pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara yang didalamnya terdapat intervensi dari pihak ketiga.
B. Perumusan Masalah Dalam suatu penelitian ilmiah hal penting yang pertama kali harus dilakukan adalah merumuskan masalah, hal ini dikarenakan perumusan masalah menjadi suatu acuan mengenai hal atau obyek apa yang akan diteliti untuk
17
ditemukan jawabannya. Pada hakikatnya seorang peneliti sebelum menentukan judul dalam suatu penelitian, maka harus terlebih dahulu menentukan rumusan masalah, dimana masalah pada dasarnya adalah suatu proses yang mengalami halangan dalam mencapai tujuan, maka harus dipecahkan untuk mencapai tujuan suatu penelitian (Soerjono Soekanto, 2006: 109). Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang diteliti, sehingga memudahkan dalam pencapaian sasaran. Dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Intervensi apakah yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara dan apa akibat hukumnya? 2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa tata
usaha
negara
dalam
hal
adanya
intervensi
terhadap
putusan
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, agar penelitian lebih terarah maka diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan pernyataanpernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto, 2006: 118-119). Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. Tujuan obyektif merupakan tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan tujuan subyektif berasal dari peneliti. Tujuan objektif dan subjektif yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara dan akibat hukumnya. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara dalam hal adanya intervensi terhadap putusan 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk.
18
2.
Tujuan Subjektif a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti dalam bidang ilmu hukum baik dalam teori maupun praktek dalam lingkup Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar Sarjana dibidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberikan faedah atau manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yang meliputi: 1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dibidang Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur dan juga referensi yang memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan kalangan akademisi pada khususnya yang menggeluti Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan peran bagi perkembangan teoritis dalam lingkup Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.
2.
Manfaat Praktis a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir kritis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
19
E. Metode Penelitian Pemilihan jenis metode tertentu dalam suatu penelitian sangat penting karena akan berpengaruh pada hasil penelitian. Dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan salah satu faktor penting yang menunjang suatu kegiatan dan proses penelitian. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkunganlingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto, 2006: 6). Agar data dari suatu penelitian yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah perlu adanya ketepatan dalam memilih metode penelitian supaya sesuai dan mengenai pada masalah yang akan menjadi obyek penelitian. Dalam penelitian ini metode yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan hukum ini adalah penelitian hukum empiris. Dalam penelitian hukum empiris yang diteliti pada awalnya data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 2006: 52). Pada penelitian ini penulis mendeskripsikan mengenai intervensi dalam sengketa tata usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (Putusan Nomor :03/G/TUN/2007/PTUN.Yk).
2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud penelitian yang bersifat deskriptif terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun sebelumnya, yaitu intervensi dalam sengketa tata usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (Putusan Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk).
3.
Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, penulis ingin menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara penggambaran yang seteliti-telitinya
20
untuk mendekati obyek penelitian maupun permasalahan yang telah dirumuskan. Penelitian dengan judul “Intervensi Dalam Sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (Putusan Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk) dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. Pengambilan lokasi tersebut dengan pertimbangan bahwa terdapatnya sumber data yang dimungkinkan dan memungkinkan untuk dilakukan penelitian. 4.
Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini bersifat kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan responden secara lisan atau tertulis, dan juga perilaku yang nyata, diteliti, dipelajari sebagai suatu yang utuh. Dengan
menggunakan
data
yang
dinyatakan
secara
empiris
dan
kualifikasinya bersifat teoritis yang diolah dan ditarik kesimpulannya dengan metode berfikir induktif. Penyajian secara deduktif adalah metode penyajian yang mendasarkan pada hal–hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik kesimpulan secara khusus. 5.
Jenis Data Dalam sebuah penelitian suatu data dibedakan menjadi dua yaitu: data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Pertama disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic data), dan yang kedua dinamakan data sekunder (secondary data). Data primer diperoleh dari sumber pertama, yaitu perilaku warga masyarakat melalui penelitian. Sementara itu, data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku-buku harian dan seterusnya (Soerjono Soekanto, 1986: 12).
6.
Sumber Data Berdasarkan jenis data yang ada, maka dapat ditentukan sumber data yang digunakan untuk penelitian. Untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan arah penelitian ini, sumber data yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:
21
a.
Sumber data primer Sumber data primer merupakan sumber data yang terkait langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah penjelasan atau keterangan yang diperoleh dari pejabat Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, dalam hal ini Hakim yang ditunjuk untuk memberikan keterangan guna pengumpulan data yang lebih lengkap yaitu Bapak Kusman dan Ibu Ratna Harmani.
b.
Sumber data sekunder Sumber data sekunder yaitu sumber data yang secara tidak langsung memberi keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Sumber data ini biasanya diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data dengan membaca, mempelajari dan mencatat dari buku-buku literatur, dokumen-dokumen dari berkas-berkas perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, diantaranya adalah UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan putusan Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk. Dalam penelitian ini penulis menggunakan ketiga sumber tersebut
secara bersamaan untuk memperoleh data yang akurat, mengingat penelitian ini menggunakan metode pendekatan secara empiris atau yuridis sosiologis, yaitu mengungkapkan aturan-aturan secara normatif atau bersifat yuridis yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dengan mencari kecocokan pada kenyataannya di lapangan atau di masyarakat. 7.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul betul - betul memiliki nilai validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
22
a. Studi Dokumen Untuk memperoleh data sekunder ini, penulis melakukan studi dokumen atau kepustakaan guna memperoleh bahan - bahan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan acuan, antara lain arsip arsip, dokumen - dokumen, dan berkas acara mengenai masalah yang diteliti serta buku - buku ilmiah, makalah, paper, surat kabar dan internet yang berhubungan dengan permasalahan penulisan hukum ini. Dokumen yang dipelajari adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor : 03/G/Tun/2007/PTUN.Yk. b. Wawancara atau interview Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka, ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan–pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban–jawaban yang relevan dengan masalah yang akan diteliti kepada seorang responden (Amiruddin 2006:82). Wawancara dilakukan dalam situasi formal maupun informal. Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data primer, digunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara (interview), wawancara yang dilakukan adalah wawancara secara terarah, terpimpin dan mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. Untuk memperoleh informasi yang diperlukan bagi penulis untuk penelitian ini agar mendapatkan hasil secara tepat dan akurat maka dilakukan wawancara dengan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang memeriksa perkara pada putusan No. 03/G/Tun/2007/PTUN.Yk. 8.
Teknik Analisis Data Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Teknis analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif dengan menggunakan metode interaktif. Analisis data kualitatif merupakan pengolahan data berupa pengumpulan data, penguraiannya kemudian membandingkan dengan teori yang berhubungan masalahnya, dan akhirnya menarik kesimpulan. Metode interaktif adalah model analisa yang terdiri dari empat komponen yaitu
23
penarikan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, maka data-data diproses melalui tiga komponen tersebut. (HB. Sutopo, 1988 : 37). Model Analisis Interaktif tersebut digambarkan sebagai berikut : PENARIKAN DATA
REDUKSI DATA
PENYAJIAN DATA
PENARIKAN KESIMPULAN Gambar 1. Teknik Analisa Data Kegiatan komponen itu dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Pengumpulan data Merupakan proses pengumpulan data yang berupa data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan berupa hasil wawancara, informasi, keterangan, dan sikap atau perilaku serta segala hal yang berhubungan dengan implementasi putusan pidana mati terhadap kasus pembunuhan berencana. Selain itu digunakan pula data sekunder berupa peraturan perundang–undangan, dan literatur.
b.
Reduksi data Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus, bahkan sebelum data benar - benar terkumpul sampai laporan akhir lengkap tersusun.
c.
Penyajian data Merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
d.
Penarikan kesimpulan Dari permulaan data, seorang penganalisis kualitatif mencari arti
24
benda-benda, keteraturan, pola-pola, penjelasan konfigurasi, berbagai kemungkinan, alur sebab akibat dan proporsi. Kesimpulan akan ditangani secara longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula - mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar pada pokok.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk lebih memudahkan penulisan hukum ini, maka penulis dalam penelitiannya membagi menjadi empat bab dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub bab yang disesuaikan dengan luas pembahasannya. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, sistematika penulisan hukum, dan jadwal penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama kerangka teori yang terdiri dari hukum dan peradilan administrasi, peradilan tata usaha negara, prosedur beracara di pengadilan tata usaha negara, masuknya pihak ke tiga (intervensi), yang kedua kerangka pemikiran.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA Dalam bab ini penulis membahas tentang intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara dan akibat hukumnya serta dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara dalam hal adanya intervensi terhadap putusan 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk.
25
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan serta saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
26
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1.
Tinjauan Tentang Negara Hukum dan Peradilan Administrasi a.
Negara Hukum Negara
hukum
pada
dasarnya
terutama
bertujuan
untuk
memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Philipus M. Hadjon dalam Zairin Harahap (2005: 2) menjelaskan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah dibatasi oleh dua prinsip; prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia pada Pasal 4 menyebutkan bahwa ombudsman bertujuan untuk; 1) Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; 2) Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; 3) Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; 4) Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek mal administrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme; 5) Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan. Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasar hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Konsep negara hukum mulai berkembang dengan pesat sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di Eropa Barat Kontinental, Immanuel kant dan Frederich Julius stahl menyebutnya dengan istilah
15
27
rechtsstaat, sementara itu di negara-negara anglo saxon, A.V. Dicey menggunakan istilah rule of law. Menurut F.J Stahl sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji dalam S.F. Marbun (2003: 7) merumuskan unsur-unsur rechtsstaat dalam arti klasik sebagai berikut: 1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hakhak asasi manusia; 3) Pemerintahan berdasarkan peraturan; 4) Adanya peradilan administrasi. Adapun unsur-unsur rule of law menurut A.V Dicey dalam S.F. Marbun (2003:7) adalah sebagai berikut: 1) Supremasi aturan-aturan hukum (the absolute supremacy or predominance of regular law); 2) Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law or the equal subjection of all classes the ordinary law of the land administrated by ordinary law courts); 3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (a formula pressing the fact that with us the law of constitution, the rules which in foreign countries naturally from parts of a constitutional code, are not the source but the consequence of the rights of individuals as defined and enforced by the countrias) Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut, baik rechtsstaat maupun rule of law mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok antara rechtsstaat dengan rule of law adalah
adanya
keinginan
untuk
memberikan
perlindungan
dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Perbedaan pokok antara rechtsstaat dengan rule of law ditemukan pada peradilan administrasi. Di negara-negara anglo saxon penekanan terhadap prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) lebih ditonjolkan, sehingga dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan khusus untuk pejabat administrasi negara. Berbeda dengan Eropa Kontinental yang memasukkan unsur peradilan admistrasi sebagai salah satu unsur
28
rechtsstaat. Dimasukkannya unsur peradilan administrasi kedalam unsur rechtsstaat, maksudnya untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap tindak pemerintah yang melanggar hak asasi dalam lapangan administrasi negara. Kecuali itu kehadiran peradilan administrasi akan memberikan perlindungan hukum yang sama kepada administrasi negara yang bertindak benar dan sesuai dengan aturan hukum. b. Negara Hukum dan Peradilan administrasi Undang-undang Dasar 1945 merupakan manifestasi dari konsepkonsep dan alam pikiran Bangsa Indonesia yang lazim disebut hukum dasar tertulis. Undang-undang dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis hanya memuat dan mengatur hal-hal yang bersifat prinsip dan garis-garis besar saja. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, silasilanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak bercerai berai. Ketuhanan yang Maha Esa adalah sila yang pertama yang kemudian disusul dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Philipus M. Hadjon dalam S.F Marbun (2005:14) menjelaskan bahwa konsekuensi logis dari sila-sila tersebut adalah konsekuensi logis dari pengakuan terhadap eksistensi Tuhan, yang berarti sekaligus pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Demikian pula sila persatuan Indonesia, berarti mengakui manusia sebagai makhluk sosial yang berkehendak untuk hidup bersama dalam suatu masyarakat yakni negara Republik Indonesia. Pengaturan hidup bersama itu didasarkan atas musyawarah yang dibimbing oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Tujuan dari hidup bersama dalam suatu negara merdeka adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama seperti rumusan sila ke lima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Philipus M. Hadjon dalam S.F. Marbun (2005:14) menjelaskan bahwa adanya pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dalam
29
negara hukum Indonesia, secara intrinsik melekat pada pancasila dan bersumber pada pancasila. Jadi harkat dan martabat manusia merupakan pemberian Allah. Bertitik tolak dari falsafah negara pancasila tersebut, Philipus M. Hajdon dalam S.F Marbun (2005: 15) merumuskan elemen-elemen atau unsur-unsur negara hukum pancasila sebagai berikut : 1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; 2) Hubungan fungsional yang proporsional anatar kekuasaan negara; 3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; 4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut dalam negara hukum Indonesia, diharapkan akan melahirkan asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut akan menciptakan keserasian hubungan antara pemerintah adan rakyat. Meskipun tercipta keseimbangan, keserasian dan kerukunan antar pemerintah dan rakyat bukan berarti sama sekali tidak mungkin timbul sengketa antara pemerintah dan rakyat. Sengketa mungkin saja dapat timbul dalam pergaulan yang semakin kompleks. Dalam hal terjadi sengketa antara pemerintah dan rakyat, prinsip musyawarah harus tetap diutamakan dan peradilan merupakan sarana terakhir. Demikian pula sengketa yang timbul dalam peradilan administrasi. Sengketa dalam bidang administrasi diselesaikan antara lain oleh peradilan administrasi. Peradilan administrasi bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara hak perseorangan dengan hak masyarakat atau kepentingan umum, sehingga tercipta keseimbangan, keselarasan keserasian dan kerukunan antara pemerintah dan rakyat. Jadi peradilan administrasi bukan semata-mata berfungsi melindungi kepentingan individu atau perseorangan.
30
Tujuan pembentukan peradilan administrasi dalam suatu negara hukum selalu terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Dalam negara yang menganut faham rechtsstaat pembentukan peradilan administrasi adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sehingga tercipta keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum (S.F Marbun, 2003: 20). Menurut
Sjachran
Basah
(1985:
154)
tujuan
peradilan
administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administrasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
2.
Peradilan Tata Usaha Negara a.
Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Negara hukum menghendaki agar setiap tindakan penguasa haruslah berdasar atas hukum yang berlaku. Tujuan akhir dari faham negara hukum ini adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan sewenangwenang para penguasa. Bertitik tolak dari apa yang dikemukan oleh F.J Stahl mengenai unsur-unsur negara hukum yang salah satunya adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara, dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian tindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991, dengan dimulailah pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Menurut A. Siti Soetami (2007: 9) Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sarana control on the administration. Peradilan Tata Usaha
31
Negara adalah salah satu pelaksana kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Sementara itu menurut Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra (1996: 51), Peradilan Tata Usaha Negara merupakan institusi untuk menyelesaikan timbulnya sengketa TUN antara Badan atau Pejabat TUN dengan warga masyarakat pencari keadilan sebagai implikasi peran positif aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Melalui kontrol yudisial yang dijalankan oleh Peradilan Tata Usaha Negara, secara tidak langsung, juga dilakukan pembinaan terhadap aparatur negara sebagai pelaku birokrasi. Dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal tersebut adalah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sementara itu dalam ayat (2) menyebutkan “badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”. Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas mandiri ternyata cukup kuat sama halnya dengan keempat peradilan lainnya yang sudah lama yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer. Sebagaimana diketahui, bahwa untuk memperkuat ketentuan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara adalah dilahirkannya UndangUndang nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
32
b.
Susunan dan Tempat Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Susunan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari 2 (dua) tingkat, yaitu : 1) Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama; 2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan tingkat Banding; (Pasal 8 UU PTUN). Sementara itu susunan pengadilan terdiri atas: 1) Pimpinan; 2) Hakim anggota; 3) Panitera; 4) Sekretaris (Pasal 11 UU PTUN) Pimpinan pengadilan terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua, baik di Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Selanjutnya ketua dan wakil ketua pengadilan dapat diberhentikan dengan hormat dan tidak dengan hormat dari jabatannya. Seorang hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara disebut “Hakim” dan seorang hakim pada pengadilan tinggi Tata Usaha Negara disebut “Hakim Tinggi”. Hakim pada pengadilan Tata Usaha Negara merupakan seorang pejabat yang berfungsi sebagai pelaksana tugas di bidang kekuasaan kehakiman. Syarat-syarat untuk diangkat menjadi hakim pada PTUN adalah sebagai Berikut : 1) Warga Negara Indonesia; 2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) Setia kepada pancasila dan Unadng-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 4) Sarjana Hukum; 5) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun; 6) Sehat jasmani dan rohani;
33
7) Berwibawa, jujur, dan berkelakuan tidak tercela, dan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam gerakan dalam gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (Pasal 14 ayat (1) UU PTUN). Untuk dapat diangkat menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang hakim harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf h; 2) Berumur serendah-rendahnya 40 tahun; 3) Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai Ketua, Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara atau 15 tahun sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara; 4) Lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pada setiap Pengadilan Tata Usaha Negara ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang panitera (Pasal 27 ayat (1)). Selanjutnya, pada setiap Pengadilan Tata Usaha Negara ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris yang dibantu oleh seorang wakil sekretaris (Pasal 40 UU PTUN). c.
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan atau mumutus sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN yang dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata. Kemungkinan timbulnya sengketa tersebut berkaitan dengan peran positif aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat dalam suatu modern rechtsstaat sebagai implikasi dianutnya model welfare state (Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, 1996:73).
34
PTUN berwenang mengadili sengketa TUN pada tingkat pertama, sedangkan PT TUN berwenang mengadili sengketa TUN di tingkat banding, sementara itu Mahkamah Agung berwenang mengadili sengketa TUN di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Menurut Hassan Suryono (2005: 75) Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang mengadili dan menilai secara hukum hanya terbatas pada keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat TUN maupun Badan TUN. Pasal 47 UU PTUN menyebutkan, pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : 1) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Subyek dan Obyek Sengketa Tata Usaha Negara Yang berhak menjadi subjek sengketa di PTUN dapat dilihat pada ketentuan Pasal Pasal 53 UU PTUN yang menyebutkan “seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/rehabilitasi”. Dari ketentuan Pasal 53 UU PTUN dapat dilihat bahwa pihak yang dapat mengajukan gugatan (penggugat) adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan pejabat atau badan yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara selalu berkedudukan sebagai pihak tergugat, hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU PTUN yang menyebutkan tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
35
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Seseorang atau badan hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 UU PTUN hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja (penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN). Sementara itu, yang menjadi objek sengketa di PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Keputusan TUN yang bisa dijadikan objek sengketa TUN haruslah memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (3) UU PTUN yang menyebutkan sengketa tata usaha negara “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU PTUN, menurut A. Siti Soetami (2007: 7), istilah penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi dan bukan kepada bentuk formalnya. Sebab persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan dalam segi pembentukan, sehingga sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis menurut ketentuan tersebut asal dalam memo atau nota tersebut dengan jelas menyebut: 1) Badan atau jabatan TUN mana yang mengeluarkannya; 2) Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; 3) Kepada siapa tulisan tersebut ditujukan dan apa yag ditetapkan di dalamnya. e. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Pada umumnya dalam hukum acara dikenal adanya kompetensi (kewenangan) suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Menurut Sjachran Basah (1985: 67) salah satu cara untuk mengetahui
36
kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dapat dilihat dengan melakukan pembedaan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Sebagai salah satu pelaksana proses peradilan, PTUN juga dilekati 2 (dua) kompetensi tersebut. Di bawah ini diuraikan mengenai kompetensi relatif dan kompetensi absolut yang melekat pada PTUN. 1) Kompetensi relatif Menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 65), kompetensi relatif menyangkut pembagian kekuasaan kehakiman (distribusi kekuasaan kehakiman). Jelasnya, kompetensi relatif ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Sementara itu Zairin Harahap (2005: 30) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan PTUN yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Selanjutnya S.F Marbun (2003: 175) mengatakan kompetensi merupakan kewenangan suatu pengadilan ditentukan berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya. Suatu pengadilan berwenang memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya. Kompetensi relatif PTUN dapat dikaitkan dengan pengadilan itu sendiri, dan dapat pula dikaitkan dengan kedudukan para pihak. Pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan domisili tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka diajukan ke PTUN dari keduukan salah satu tempat tergugat. Gugatan dapat diajukan melalui PTUN tempat kedudukan tergugat. PTUN Jakarta, apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri sedangkan penggugatnya berkedudukan diluar negeri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.
37
2) Kompetensi Absolut Pasal 47 UU PTUN menyebutkan, pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sudikno Mertokusumo (1998: 63), yang dimaksud kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (PTUN, PT TUN) maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan Negeri, PTUN). Sementara itu menurut S.F Marbun (2003: 175) kompetensi absolut berhubungan dengan kewenangan pengadilan mengadili suatu sengketa menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Kompetensi absolut PTUN adalah menyelesaikan sengketa TUN yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, yang termasuk ke dalam kompetensi absolut PTUN adalah ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 UU PTUN yaitu dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang dimohonkan kewajibannya.
kepadanya,
sedangkan
hal
tersebut
merupakan
38
3.
Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara a.
Cara mengajukan gugatan Seseorang
atau
badan
hukum
perdata
yang
merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1)). Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam pengajuan gugatan adalah (Pasal 53 ayat (2)): 1) Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik Menurut Martiman Projohamidjojo (2005: 33), gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, atau dibubuhi cap jempol penggugat yang tidak pandai membaca tulis. Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan
keinginannya
untuk
menggugat
kepada
panitera
pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatan dalam bentuk tertulis. Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan. Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara
39
yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat (Pasal 54 UU PTUN). Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 55 UU PTUN). Gugatan dapat diajukan sendiri oleh penggugat maupun dikuasakan. Dalam hal dikuasakan, maka gugatan haruslah disertai surat kuasa yang sah. Dalam gugatan yang akan diajukan harus memuat (Pasal 56 PTUN). 1) Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya; 2) Nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; 3) Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan. Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan. Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang ditentukan. Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis (Pasal 59 UU PTUN). Menurut A. Siti Soetami (2005: 28), yang dimaksud dengan biaya perkara adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai panjar oleh pihak penggugat terhadap perkiraan biaya perkara yang diperlukan dalam
40
proses berperkara seperti biaya kepaniteraan, biaya meterai, biaya ahli dan lain-lain. Penggugat
dapat
mengajukan
permohonan
kepada
Ketua
Pengadilan untuk bersengeketa dengan cuma-cuma. Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat kediaman pemohon. Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara (Pasal 60 UU PTUN). Permohonan bersengketa secara cuma-cuma harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir. Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan kasasi (Pasal 61 UU PTUN). Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan
suatu
penetapan
yang
dilengkapi
dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal (Pasal 62 ayat (1) UU PTUN): 1) Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan; 2) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU PTUN tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperringatkan; 3) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; 4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat; 5) Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
41
Penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan (Pasal 62 ayat (2) UU PTUN). Terhadap penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU PTUN (Pasal 62 ayat (3) PTUN). Perlawanan penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat (Pasal 62 ayat (4) UU PTUN). Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa (Pasal 62 ayat (5) UU PTUN). Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 62 ayat (6) UU PTUN). b. Pemeriksaan Perkara di Tingkat Pertama Pemeriksaan di tingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 tahap, yaitu : 1) Pemeriksaan dengan acara biasa 2) Pemeriksaan dengan acara cepat (Rozali Abdullah, 2001: 48) Pemeriksaan Dengan Acara Biasa, Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan satu majelis yang terdiri dari tiga (3) orang hakim dan salah seorang di antaranya ditunjuk sebagai hakim ketua sidang. Sesuai dengan Pasal 70 UU PTUN Hakim Ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. Dalam hal tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk menyatakan sidang tertutup untuk umum dan pada waktu pembukaan sidang Hakim Ketua Sidang tidak menyatakan sidang terbuka untuk umum maka putusan
42
yang diambil dalam persidangan dapat dinyatakan batal demi hukum. Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya berturut-turut dua (2) kali sidang tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan dapat dipertanggungjawabkan maka Hakim Ketua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat untuk hadir dan menggapai gugatan. Setelah lewat waktu dua (2) bulan sejak dikirimkannya penetapan tersebut ternyata tidak ada berita, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa segera dilanjutkan tanpa kehadiran tergugat (in absentia). Dalam hal kepentingan penggugat yang cukup mendesak, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat, baik proses pemeriksaannya maupun proses pemutusannya. Kepentingan yang mendesak ini disimpulkan dari alasan-alasan
pengajuan
gugatan
yang
dikemukakan
dalam
permohonannya. Jika permintaan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan maka pemeriksaan sengketa dilakukan dengan hakim tunggal. Ketua Pengadilan dalam jangka waktu Tujuh (7) hari setelah dikeluarkannya penetapan yang mengabulkan permohonan penggugat untuk diadakan pemeriksaan dengan acara cepat, menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat
sidang
tanpa
melalui
prosedur
pemeriksaan
persiapan
sebagaimana yang dilakukan dalam pemeriksaan sengketa secara biasa. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi ke dua belah pihak, masing-masing tidak melebihi 14 hari (Pasal 99 UU PTUN). c. Pemeriksaan di Tingkat Banding Berdasarkan Pasal 122 UU PTUN terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pasal 123 UU PTUN menyebutkan permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasa hukumnya
43
yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara sah. Rozali Abdullah (2001: 58) menjelaskan bahwa Putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir atau putusan sela hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama putusan akhir. Selambat-lambatnya 30 hari sesudah permohonan banding dicatat, panitera memberitahukan kepada ke dua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dengan sengketa harus dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang di dalam daerah hukumnya berada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan selambatlambatnya 60 hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding. Pemeriksaan di tingkat banding ini dilakukan oleh suatu majelis sekurang-kurangnya tiga (3) orang hakim. Setelah pemeriksaan di tingkat bandings selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dalam jangka waktu 30 hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut bersama surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dan memeriksa perkara pada tingkat pertama dan selanjutnya meneruskan pada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127 UU PTUN). d.
Pemeriksaan di Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali 1) Pemeriksaan di Tingkat Kasasi Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam permohonan kasasi yaitu ;
44
a) Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang atau telah melampaui batas kewenangan dalam memeriksa dan memutus sengketa yang bersangkutan. b) Pengadilan telah salah dalam menerapkan hukum atau telah melanngar hukum yang berlaku. c) Pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan putusan yang bersangkutan (Rozali Abdullah, 2001: 61)
Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memutus sengketanya pada tingkat pertama, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan atau penetapan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 hari telah lampau, tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa maka pihak yang bersengketa dianggap telah menerima putusan tersebut. Dalam permohonan kasasi, pemohon wajib menyertakan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya dalam tenggang 14 hari setelah permohonan tersebut dicatat dalam buku daftar. Selanjutnya panitera memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan selambat-lambatnya 30 hari. Sebaliknya pihak lawan berhak untuk mengajukan jawaban terhadap memori kasasi kepada panitera paling lambat 14 hari sejak diterimanya salinan memori kasasi tersebut. Setelah menerima memori kasasi dan jawabannya, panitera yang bersangkutan mengirimkannya ke Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari. Pemeriksaan di tingkat kasasi dilakukan berdasarkan suratsurat, hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi atau memerintahkan Pengadilan Tata
45
Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang memutus sengketa tersebut untuk mendengar kembali para pihak atau para saksi. Salinan putusan Mahkamah agung terhadap sengketa yang dimohonkan kasasi tersebut dikirimkan kepada Ketua Pengadilan yang memeriksa dan memutus sengketa tersebut pada tingkat pertama. Salinan putusan tadi, oleh Pengadilan Tingkat Pertama diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas sengketa diterima kembali oleh Pengadilan tingkat pertama. 2) Peninjauan Kembali Permohonan Peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan - alasan : a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat. b) Apabila seelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan. c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut. d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. e) Apabila antara para pihak mengenai suatu hal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain. f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (Rozali Abdullah, 2001: 65)
46
4.
Keikutsertaan Pihak Ketiga (Intervensi) Masuknya pihak ketiga dalam sengketa yang sedang berlangsung diatur dalam Pasal 83 UU PTUN. Rozali Abdullah (2001: 54) menjelaskan bahwa dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan adanya pihak ketiga, yaitu seseorang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan sutu sengketa berjalan. Sementara itu, R. Wiyono (2005: 64) juga menjelaskan bahwa keikutsertaan pihak ketiga dalam sengketa TUN disebut intervensi. Menurut Rozali Abdullah (2001: 55), secara umum, keikutsertaan pihak ketiga dalam proses berperkara di pengadilan dimungkinkan dalam beberapa bentuk, yaitu: a.
Tussenkomst Tussenkomst, yaitu pihak ketiga dengan kemauan sendiri dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk serta dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, guna mempertahankan atau memebela hak dan kepentingannya sendiri, agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan pengadilan. Kalau permohonan itu dikabulkan, pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses pemeriksaan sengketa tersebut dan disebut intervenient. Tussenkomst ini juga biasa dipakai sebagai istilah mengenai masuknya pihak ke tiga pada hukum acara perdata. Tussenkomst pada hukum acara peradilan tata usaha negara dapat dicontohkan dengan: adanya keputusan tata usaha Negara untuk penggusuran suatu lahan yang diatasnya didirikan perumahan rakyat, ada sebuah rumah yang akan digusur, rumah tersebut oleh pemilik rumah dikontrakkan ke pihak lain, pada proses persidangan di pengadilan maka si pemilik rumah dapat ikut serta masuk ke proses persidangan dengan ninisiatifnay sendiri karena jika ia tidak ikut serta kemungkinan ia akan dirugikan haknya.
b. Voeging Voeging, adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan tata usaha negara yang sedang berjalan atas permintaan salah satu pihak yang
47
bersengketa yaitu penggugat atau tergugat. Permohonan diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan agar pihak ketiga tersebut yang dimaksud dapat diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan untuk bergabung dengan pihak pemohon guna memperkuat posisi hukum pihak yang memohon. Voeging merupakan salah satu istilah untuk ikut sertanya pihak ketiga dalam proses persidangan acara perdata. Voeging dapat dicontohkan dengan : surat keputusan tata usaha negara berkaitan dengan mutasi pejabat, misalnya seorang X dimutasi ke jabatan yang ada dibawahnya padahal menurut golongan dan pangkat seharusnya X tidak menempati jabatan yang ada dibawahnya, maka X dapat menarik pihak ke tiga (pejabat yang ada diatasnaya) untuk memperkuat posisinya. c.
Intervensi khusus Intervensi
khusus
yaitu
masuknya
pihak
ketiga
dalam proses
pemeriksaan perkara yang sedang berjalan adalah prakarsa hakim yang memeriksa sengketa tersebut, disini pihak ketiga ditarik kedalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, bergabung sebagai tergugat II. Sifat khusus ini karena ikut sertanya pihak ketiga yang sedang berjalan tersebut adalah atas perintah hakim guna mempermudah penyelesaian sengketa. Intervensi khusus dapat dicontohkan dengan hakim menarik pihak ke tiga untuk masuk ke proses sengketa dan pihak ke tiga tersebut ditarik karena punya kepentingan yang parallel terhadap tergugat. Secara yuridis, masuknya pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa TUN diatur dalam Pasal 83 ayat (1) yang menyebutkan “selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai pihak yang membela haknya atau bertindak sebagai peserta yang bergabung dengan salah satu
48
pihak yang bersengketa”. Sementara itu dalam ayat (2) disebutkan bahwa “permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyebutkan “permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa”. Dalam penjelasan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata yang berada diluar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan. Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut: a. Pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan. Untuk itu pemohon harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya. Putusan sela Pengadilan atas permohonan tersebut dimasukkan dalam berita acara sidang. Apabila permohonan tersebut dikabulkan, pemohon di pihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut sebagai penggugat intervensi. Apabila permohonan tidak dikabulkan, maka terhadap putusan sela Pengadilan itu tidak dapat dimohonkan banding. b. Adakalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan karena permintaan salah satu pihak penggugat atau tergugat. Disini pihak yang memohon agar pihak ketiga itu diikutsertakan dalam proses perkara bermaksud agar pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya. c. Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berlangsung dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu. Terkait keikutsertaan pihak ketiga dalam proses sengketa TUN,
49
Wiyono (2005: 67) mengatakan bahwa mengenai prakarsa pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa TUN yang sedang berjalan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 83 ayat (1) dapat diketahui bahwa pihak ketiga tersebut bertindak : a. Atas prakarsa sendiri; atau b. Atas prakarsa hakim
B. Kerangka Berpikir Sengketa Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara
Majelis Hakim Intervensi Dasar Pertimbangan Hakim
Putusan Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir
Sengketa Tata Usaha Negara timbul karena ada peraturan tertulis pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang berwenang untuk itu akan tetapi
peraturan
tersebut
bertentangan
dengan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik. Apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara maka yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Tata Usaha Negara karena Pengadilan Tata Usaha Negara hanya berwenang mengadili dan menilai secara hukum hanya terbatas pada keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat maupun Badan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata usaha Negara berkewajiban mengadili Sengketa Tata Usaha Negara sesuai dengan kompetensi absolut dan kompetensi
50
relatif Pengadilan Tata Usaha Negara. Proses pemeriksaan perkara Tata Usaha Negara berbeda dengan pemeriksaan perkara pada umumnya, perbedaan ini misalnya saja terletak pada tahap pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh Hakim. Pada proses persidangan Sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimungkinkan masuknya pihak ketiga (intervensi). Masuknya pihak ketiga tersebut dapat terjadi atas prakarsa para pihak atau atas prakarsa Hakim. Masuknya pihak ketiga dalam proses persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu hal yang digunakan Majelis hakim untuk menetukan putusan.
51
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Paparan perkara intervensi dalam penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (Studi Kasus Putusan No.03/G/TUN/2007/PTUN.Yk) Kasus Posisi Pengajuan gugatan oleh para penggugat tertanggal 26 Februari 2007 yang diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 2007 dengan Register Perkara Nomor. 03/G/TUN/2007/PTUN-Yk dan telah dilakukan pemeriksaan persiapan tertanggal 21 Maret 2007 menggugat Bupati sebagai tergugat dengan mengemukakan dasar dan alasan-alasan pengajuan gugatan. Para penggugat menerima pemberitahuan dan foto copy atas Keputusan Tergugat berupa Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor : 410/kep. KDH/A/2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum (Areal Pekuburan Ngentak Sapen) Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok. Adapun salah satu alasan pengajuan gugatan oleh para penggugat karena para penggugat memiliki pewaris dan atau leluhur yang dimakamkan di areal pemakaman tersebut. Sementara tanah areal pekuburan tersebut adalah tanah milik kas desa, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Tanah tersebut berada di dalam lokasi pengembangan kampus UIN Yogyakarta yang keseluruhan lokasinya itu dalam rangka kegiatan pengembangan kampus UIN telah menjadi obyek Studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Pihak UIN sendiri telah melakukan konsultasi publik kepada masyarakat sekitar kampus UIN yang mana menjanjikan bahwa pengembangan kampus tersebut tidak akan mengubah peruntukan, menutup, menggusur maupun memindahkan areal kompleks pekuburan tersebut. Studi AMDAL sendiri sebagaimana yang telah termaktub dalam dokumen AMDAL yang bersangkutan sama sekali tidak menyatakan dan tidak pula merekomendasikan bahwa areal
40
52
pekuburan Ngentak, Sapen tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai tempat untuk penguburan jenazah dan dalam studi AMDAL tersebut sama sekali tidak memuat adanya rencana kegiatan pemrakarsa untuk melakukan perubahan peruntukan areal pekuburan Sapen tersebut. Berkaitan dengan studi AMDAL tersebut telah terbit Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor : 200/Kep. KDH/A/2005 tanggal 5 Desember 2005 Tentang
KELAYAKAN
LINGKUNGAN
RENCANA
KEGIATAN
PENGEMBANGAN UIN DI JALAN MARSDA ADISUTJIPTO, DESA CATUR TUNGGAL, KECAMATAN DEPOK; KABUPATEN SLEMAN (Selanjutnya disebut SK KELAYAKAN LINGKUNGAN) yang berdasarkan SK Kelayakan Lingkunan itulah UIN Yogyakarta secara hukum
diperbolehkan untuk
melanjutkan pengembangan fisik kampusnya. Kenyataanya, yang semasa penyusunan studi AMDAL berjanji kepada masyarakat sekitar kampusnya bahwa tidak akan menggusur atau memindahkan areal pekuburan Ngentak Sapen, ternyata telah melanggar janjinya sebagaimana pelanggaran janjinya itu termaktub pada Surat Keputusan Rektor UIN Nomor : UIN/2/R/KS.1.01/0925/2006 tanggal 13 April 2006 yang pada pokok intinya memohon kepada Pejabat Tata Usaha Negara untuk melakukan penutupan terhadap areal pekuburan Ngentak Sapen. Identitas Para Pihak dan Kedudukan Para Pihak a.
Identitas penggugat 1) Cokrosumarto 2) Gatot Berkah Hendardji 3) Sastro Mulyono 4) Setyo Purwantoro 5) Agus Hendrajdat 6) Lilik Sugiarto 7) Mardi Suamarto 8) Surasa Surya Sudarmo 9) Doemadi Harjdosaswojo
53
10) Ginah Djojowiharjo 11) Icuk Suciati 12) Mardiyahti 13) Srio Mardiyah 14) Sri Endri astute 15) Sukasno, Hu 16) Soerojo sastro diharjo 17) Imam santosa 18) Sulistyo 19) Sugiarto 20) Nuryono 21) Baryanto 22) Yohanes Bero 23) Kistilah 24) Suhendro 25) Slamet fajar Wijiana 26) Sarwidji 27) Slamet santosa 28) Hendro agus Riyanto 29) Subariyo 30) Kesowo 31) Nur setiyana 32) Sudiyanto 33) Mursito 34) Supardjiono 35) Endro handoko 36) Djajusman 37) Sri Murtini 38) Sri Rahayu ningsih 39) Astarti 40) Saminah
54
41) Sudirahayu 42) Sariyem 43) Yustina Djumairah 44) Sumilah 45) Pariyem 46) Warjilah 47) Gunadi 48) Ginem 49) Djujuk julianto 50) Dahat Pangprito 51) Berliana dewi 52) Prapti handayani 53) Flotrentika ika 54) Kusminem 55) Sri mungkasi 56) Wagiyem 57) Moelyono purwosusilo 58) Sri Kartini 59) Poniyem 60) Kusmi Sri Harini 61) Nuryadi 62) Budi Riyanto 63) Sutardjo Ciptosutarjo 64) Jumadi 65) Agus suparno 66) Triyono 67) Sudjali 68) Suminah Para penggugat tersebut telah memberikan kuasanya kepada : 1) Garda Utama Siswadi (advokat)
55
2) Widhi Nugraha (advokat) 3) Zahru Arqom (Advokat) Dengan ditunjuknya ke tiga orang tersebut, maka secara hukum ketiga orang tersebut telah sah sebagai kuasa hukum dari para penggugat dan berhak mewakili para penggugat dalam pengadilan. b.
Identitas Tergugat Nama Jabatan
: Bupati Sleman
Tempat kedudukan
: Jalan Pasaramnya, Beran, Sleman
Tergugat telah memberikan kuasanya untuk mewakili dirinya kepada ; 1) Jazim samirat, SH (Jabatan : Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Sleman) 2) Edi Dharmana, SH, M.Hum (jabatan : Kepala subbagian Bnatuan Hukum Setda Kabupaten Sleman) 3) C. Wibisono Tanggono, SH (Jabatan Staf Subbagian Bantuan Hukum Setda Kabupaten Sleman) 4) Aris Juni Kurniawan, SH (Jabatan : Staf Subbagian Hukum Seta Kabupaten Sleman) Kesemua pihak tersebut adalah kuasa pihak tergugat. Selain pihak tergugat tersebut terdapat pula Tergugat II intervensi yaitu dalam hal ini adalah pihak UIN, karena lokasi pekuburan yang disengketakan telah digunakan untuk pengembangan kampus UIN. Adapun yang disebut sebagai pihak Tergugat II Intervensi adalah sebagai berikut : 1) Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA jabatan Pembantu Rektor Bidang Kerjasama UIN Sunan kalijaga, Yogyakarta 2) H. Oom Komarudin Maskar, SH, Msi jabatan Kepala Bagian Tata Usaha fak. Usluhuddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 3) Drs. Zainal Abidin, M.Pd Jabatan Ketua LPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
56
Alasan Mengajukan Gugatan : Keputusan Tergugat berupa Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor : 410/kep. KDH/A/2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum (Areal Pekuburan Ngentak Sapen) Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok. Warga padukuhan Ngentak, Desa sapen, desa catur Tunggal, Kecamatan Depok menganggap bahwa Keputusan Tergugat tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. a.
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Areal pekuburan Ngentak Sapen adalah tanah milik kas desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman yang tertuang pada Surat Keputusan Gubernur Provinsi Yogyakarta Nomor : 82 Tahun 2003 tertanggal 30 Juni 2003 yang disebut SK Gubernur DIY. Keputusan tergugat yang “menutup tempat pekuburan umum pedukuhan Ngentak sapen, Desa Catur Tunggal kecamatan Depok”. Jelas sekali bahwa keputusan tergugat sama sekali tidak mencantumkan adanya izin dari Gubernur provinsi DIY atas pengubahan peruntukkan tanah kas desa tersebut. Dengan demikian keputusan tergugat tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu bertentangan dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 82 Tahun 2003. Areal pekuburan Sapen merupakan bagian yang integral dari lingkungan hidup tempat pelaksanaan kegiatan pengembangan kampus UIN Yogyakarta. Atas hal tersebut telah terbit Sk yang intinya “apabila dilakukan perluasan, pemindahan dan atau perubahan rencana kegiatan sehingga dokumen AMDAL, RKL, dan RPL tidak sesuai lagi untuk dijadikan acuan pengelolaan lingkungan hidup kegiatan tersebut, maka wajib dilakukan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang baru”.
57
Keputusan tergugat yang menutup areal pekuburan Ngentak, Sapen tanpa didahului dengan analisis “Studi Analisis Mnegenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang baru” dan nyata-nyata bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. b.
Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik 1) Bertentangan dengan asas tertib penyelengaaraan Negara Dalam hierarki piramida perundang-undangan di Indonesia, urusan tempat pemakaman umum di Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1987 Tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Pemakaman Maupun Oleh Keputusdan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1989 Tentang Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman. Kedua peraturan tersebut jelas mengatur bahwa Tempat Pemakaman Umum (TPU) wajib didasarkan kepada Peraturan Daerah. Keputusan tergugat tersebut telah secara nyata melanggar tindakan pengelolaan TPU, antara lain karena keputusan tergugat yang menutup areal pekuburan Ngentak dan memindahkan areal pekuburan tersebut ke tempat lain berarti tindakan tersebut tidak didasarkan pada Peraturan Daerah, karena Kabupaten Sleman memiliki perauran khusus yang mengatur mengenai tempat pekuburan umum. Selain itu dalam Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1987 dan KEPMENDAGRI no.26 Tahun 1989 telah dijelaskan bahwa penutupan areal pekuburan hanya dapat dilakukan dengan seijin dan persetujuan dari DPRD, padahal faktanya adalah penutupan lokasi pekuburan tersebut tanpa didahului dengan persetujuan dari DPRD. 2) Bertentangan dengan asas profesionalitas Keputusan tergugat yang didasarkan pada apa yang oleh konsiderannya disebut sebagai Peraturan Pemerintah
Nomor 9
Tahun 1997, namun faktanya adalah peraturan pemerintah tersebut
58
telah gagal dalam parameter legal, parameter profesionalitas penyelenggaran Negara termasuk di dalamnya adalah kepentingan publik, maupun dalam parameter logis ataupun selebihnya sama sekali tidak memiliki keterkaitan apapun dengan urusan tempat pemakaman umum tersebut, sehingga keputusan tersebut telah melanggar asas profesionalitas.
A. Intervensi Pihak Ke Tiga Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara dan Akibat Hukumnya Pembahasan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Kusman dan Ibu Ratna Harmani selaku Hakim Pengadilan Tata usaha Negara Yogyakarta yang mengadili, memeriksa dan memutus perkara tersebut pada Hari Kamis, 12 November 2009 bertempat di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, dan dari mempelajari berkas perkara putusan nomor 03/G/TUN/2007/PTUN/Yk. Gugatan yang dilayangkan Warga Padukuhan Ngentak, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok kepada pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang menggugat Bupati Sleman atas
Keputusan Tergugat
berupa Surat
Keputusan Bupati Sleman Nomor : 410/kep. KDH/A/2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum (Areal Pekuburan Ngentak Sapen) Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok disertai dengan masuknya pihak ke tiga kedalam perkara. Masuknya pihak ketiga dalam perkara ini disebut dengan tergugat II intervensi. Tergugat II intervensi dalam hal ini Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, di dalam persidangan tidak memberikan tanggapan secara langsung, baik tertulis maupun lisan atas gugatan para Penggugat, namun Tergugat II intervensi hanya menyampaikan surat-surat bukti yang berkaitan dengan pokok perkara, sebagaimana telah diuraikan tentang duduknya perkara tentang Penutupan Tempat pemakaman Umum Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok Sleman, dan berdasarkan putusan sela Majelis Hakim Nomor: 03/G.TUN/2007/PTUN-YK tanggal 19 April 2007, tentang masuknya pihak ke tiga Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
59
dalam sengketa a quo dengan kedudukannya sebagai Tergugat II Intervensi. Penetapan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga sebagai Tergugat II intervensi dalam sengketa tersebut karena tergugat II Intervensi dalam sengketa tersebut mempunyai kepentingan yang pararel dengan kepentingan tergugat, hal-hal yang berkaitan dengan tergugat telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya maka haruslah diartikan juga sebagai Tergugat II Intervensi (wawancara dengan Bapak Kusman selaku Hakim pada Hari Kamis, 12 November 2009) Hal senada juga dikemukakan oleh Ratna Harmani yang menyatakan bahwa dalam kasus ini (kasus gugatan atas surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Sleman No.410/Kep.KDH/A/2006 tanggal 17 November 2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman umum Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok Sleman) terdapat tergugat II intervensi yang kedudukannya sejajar dan menjadi pihak ke tiga. (wawancara dengan Ibu Ratna Harmani selaku Hakim pada Hari kamis, 12 November 2009) Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 83 UU PTUN yang menjelaskan bahwa dapat dimungkinkan bagi seorang atau badan hukum perdata yang berada di luar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan. Dalam kasus ini, pihak Universitas Islam Indonesia (UIN) Yogyakarta adalah merupakan pihak ke tiga yang masuk dalam proses sengketa yang sedang berjalan karena prakarsa hakim atau ditarik oleh hakim dan atas inisiatif hakim, karena apabila pihak Universitas Islam Indonesia (UIN) Yogyakarta tidak ditarik pada perkara tersebut untuk mempertahankan haknya hal tersebut akan merugikan kepentingannya. Dengan adanya pihak ke tiga yang melakukan intervensi pada proses penyelesaian sengketa, menimbulkan akibat hukum yaitu putusan pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang dalam amar putusannya mengabulkan eksepsi tergugat dan menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvanklijverklaard) dan menghukum Penggugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara sejumlah Rp. 1.625.000,00 untuk itu bagaimanapun pihak ke tiga dalam hal ini UIN harus dilibatkan karena jika tidak dilibatkan,
60
maka akan dirugikan. Hal ini sesuai dengan Pasal 118 UU PTUN yang pada intinya adalah keberadaan pihak ke tiga harus di ikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada pengadilan yang mengadili sengketa pada tingkat pertama. Masuknya pihak ke tiga tersebut hanya dapat diajukan sebelum putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Perlawanan pihak ke tiga tersebut dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya. Dengan adanya perlawanan tersebut tidak mengakibatkan ditundanya pelaksaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan SEMA Nomor : 222/Td.TUN/X/1994 ditentukan bahwa permohonan Intervensi selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan saksi-saksi, adanya ketentuan tersebut adalah untuk menghindari pemeriksaan persiapan yang diulang kembali. Dalam praktek ada pendapat bahwa kalau mengurangi maksud Pasal 83 UU PTUN, maka sebaiknya ketentuan SEMA Nomor : 222/Td.TUN/X/1994 patut dicermati kembali. Kemungkinan pihak ke tiga tipis sekali mengetahui kepentingannya sampai dengan pemeriksaan persiapan yang tertutup, kecuali Pejabat Tata Usaha Negara memberitahukan kepada pihak ke tiga bahwa kepentingan pihak ke tiga kurang dilindungi. Begitu juga pada ketentuan kapan Hakim dapat menetapkan Putusan Sela. Apakah perlu diberikan tanggapan oleh pihak-pihak atas permohonan yang diajukan oleh pihak ke tiga atau pihak Penggugat atau Tergugat sendiri, sehubungan dengan hal tersebut, MA RI telah memberikan pedomannya dalam Surat MA RI Nomor : 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 pada angka 4, sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya yang bermaksud untuk menarik pihak ke tiga, atas inisiatif Hakim yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberikan penjelasan-penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang diperiksa. Pihak ke tiga yang bukan badan atau Pejabat TUN yang bergabung dengan pihak Tergugat asal
61
seyogyanya berkedudukan sebagai saksi yang membantu Tergugat, karena ia mempunyai kepentingan yang paralel dengan Tergugat asal dan ia tidak dapat berkedudukan sebagai pihak tergugat. Pihak ketiga yang membela haknya sendiri harus mengajukan gugatan intervensi dan berkedudukan sebagai penggugat intervensi. Sebelum Majelis menolak atau mengabulkan permohonan gugatan intervensi sebaiknya didengar juga tanggapan Penggugat dan Tergugat asal apakah benar pihak ke-III yang mengajukan
permohonan
intervensi
tersebut
mempunyai
kepentingan
Ditolak atau dikabulkan permohonan intervensi tersebut harus dituangkan dalam putusan sela yang dicantumkan dalam berita acara sidang seperti ketentuan Pasal 83 ayat (2) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undangundang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan tata usaha Negara.
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa Tata Usaha Negara Dalam Hal Adanya Intervensi Terhadap Putusan Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk Terhadap tuntutan para penggugat
kepada
tergugat
atas pokok
permasalahan yang berupa penutupan areal pekuburan tersebut adalah terkait dalam hal penundaan pelaksanaan dan dalam hal pokok perkara. Dalam hal pelaksanaan penundaan, para penggugat memohon pelaksanaan terhadap Surat keputusan Bupati Sleman No. 410/kep. KDH/A/2007 tertanggal 17 November 2006 Tentang penutupan Tempat Pemakaman Umum Pedukuhan Ngentak Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman tersebut ditunda untuk sementara waktu dan mewajibkan serta memerintahkan tergugat
membuka
kembali pemagaran ataupun akses rakyat terhadap areal pekuburan tersebut sampai dengan terbitnya putusan Badan Peradilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap gugatan tersebut, yang apabila pembukaan akses tersebut dapat dilakukan secara paksa dengan menggunakan aparat kepolisian dan/atau aparat kekuasaan negara yang berwenang untuk itu. Dalam hal pokok perkara, para penggugat memohon agar majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut untuk mengabulkan
62
gugatan para penggugat untuk seluruhnya. Selain itu, para penggugat juga memohon agar Majelis Hakim membatalkan atau menyatakan tidak sahnya untuk seluruhnya keputusan Bupati Sleman Nomor :. 410/kep. KDH/A/2006 tertanggal 17 November 2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum pedukuhan Ngentak Sapen Desa Catur Tunggal kecamatan Depok dan memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan tersebut dan mewajibkan tergugat untuk membayar ganti rugi kepada para penggugat sebesar Rp. 250.000,(Dua ratus Lima Puluh Ribu Rupiah). Atas permohonan yang telah dikemukakan oleh penggugat, selanjutnya pihak tergugat mengajukan jawaban yaitu: 1. Salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat yaitu bersifat individual karena keputusan Bupati sleman Nomor 410/Kep.KDH/A/2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum Ngentak Sapen, Catur Tunggal, Depok, Sleman ditujukan pada setiap orang yang berkepentingan untuk memakamkan anggota keluarganya yang meninggal dunia di Pemakaman Umum Ngentak Sapen dan Keputusan tersebut tidak menyebutkan nama-nama orang atau badan hukum perdata tertentu. Selain hal tersebut, keputusan Bupati Sleman Nomor 410/Kep. KDH/A/2006 tersebut diberlakukan kepada semua orang yang dimakamkan di pemakaman umum Ngentak Sapen tidak hanya diberlakukan terhadap para leluhur dari para penggugat. Dengan demikian sifat keputusan Individual pada keputusan tersebut diatas tidak terpenuhi. 2. Keputusan Bupati Sleman tersebut tidak berakibat secara langsung kepada para penggugat dan tidak ada kepentingan dari para penggugat yang dirugikan karena hak atau kesempatan dari mereka (para Penggugat) untuk menziarahi makam lelulurnya tidak hilang dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, sehingga kepentingan para penggugat dalam hal ini tidak cukup untuk dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun dasar pertimbangan Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut antara lain:
63
Salah satu unsur yang harus terpenuhi oleh suatu Keputusan tata Usaha Negara yang dapat digugat yaitu bersifat individual. Keputusan tergugat tersebut ditujukan pada setiap orang yang berkepentingan untuk memakamkan keluarganya yang meninggal di pemakaman tersebut dan keputusan tersebut tidak menyebutkan nama-nama atau badan hukum perdata tertentu serta surat keputusan tergugat tersebut diberlakukan bagi semua yang dimakamkan di pemakaman umum tersebut dan tidak hanya diberlakukan kepada leluhur dari para penggugat, sehingga sifat individual keputusan tergugat yang menjadi obyek sengketa tersebut tidak terpenuhi. Keputusan yang menjadi obyek sengketa tidak berakibat hukum terhadap para penggugat secara langsung dan tidak ada kepentingan dari para penggugat yang dirugikan karena hak atau kesempatan dari para penggugat untuk menziarahi para leluhurnya tidak hilang dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, sehingga kepentingan para penggugat dalam perkara ini tidak cukup untuk mengajukan gugatan melalui Pengadilan tata Usaha Negara, selain itu alasan-alasan yang dikemukakan oleh para penggugat sangat tidak jelas (obscuur libel) karena tidak ada hubungan kausalitas antara posita dengan petitum gugatan. Pertimbangan-pertimbangan lain mengingat eksepsi Tergugat yang pada intinya adalah sifat individualistis dari keputusan tergugat telah terpenuhi tatkala diktum keputusan tergugat itu nyata-nyata berbunyi : “Pemerintah Desa Catur Tunggal untuk berkoordinasi dengan instansi teknis dalam keputusan ini menjadi nyata pula bahwa keputusan tergugat adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang didefinisikan pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan demikian Pasal 53 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah oleh Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara para penggugat yang merasa dirugikan atas terbitnya Keputusan tersebut berhak menggugat di pengadilan Tata Usaha Negara”. Selain hal tersebut, keputusan tergugat nyata-nyata telah menimbulkan akibat hukum secara langsung kepada para penggugat karena telah mengakibatkan para penggugat tidak akan lagi dapat
64
memakamkan anggota keluarganya pada areal pekuburan tersebut. Keputusan tergugat nyata-nyata berkaitan dengan kepentingan para penggugat karena Keputusan tergugat tersebut telah memutuskan pula untuk memindahkan makam pewaris para penggugat dari areal pekuburan tersebut dan denga demikian pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta memang mempunyai kewenangan absolut tehadap perkara tersebut. Sehubungan yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (beshikking) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan Hukum Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Berdasarkan dari pengertian atau definisi Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat diambil unsur-unsur suatu keputusan Tata Usaha Negara yang secara kumulatif harus terpenuhi untuk dapat disebut sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara, unsur-unsur dari Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (S.F Marbun, 2003: 109): 1. Bentuk penetapan tersebut harus tertulis, artinya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan secara lisan tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara ini; namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu surat Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikatagorikan dalam suatu penetapan tertulis oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikatagorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat
65
(menjadi obyek gugatan) apabila sudah jelas. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkannya, maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu, kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seorang atau Badan hukum perdata. 2. Dikeluarkan oleh Badan/ Pejabat Tata Usaha yang berwenang, artinya suatu keputusan Tata Usaha Negara, penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrument yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. 3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, artinya bahwa suatu penetapan tertulis adalah salah satu bentuk dari Keputusan Badan dan Pejabat Tata Usaha Negara dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum Tata Usaha Negara dan suatu tindakan Hukum Tata Usaha Negara itu adalah suatu keputusan yang menciptakan atau mnentukan mengikatnya atau menghapuskanya suatu hubungannya suatu hubungan hukum Tata Usaha Negara yang telah ada. 4. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, artinya bahwa kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh badan atau pejabat TUN (pemerintah). 5. Bersifat konkret, artinya Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, yaitu obyek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu dan dapat ditentukan. 6. Bersifat Individual, artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju, jadi sifat individual itu secara langsung
66
penggugat sehingga para penggugat tidak mempunyai kepentingan dalam sengketa aquo serta gugatan para penggugat menjadi kabur (obscuur libel). Majelis Hakim berpendapat bahwa tergugat telah mengakui bahwa surat keputusan Bupati Sleman No.410/kep.KDH/A/2007 sebagaimana telah diuraikan telah memenuhi dua unsur yaitu unsur individual dan unsur menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Terhadap
ada
tidaknya
unsur
individual,
sebagaimana
yang
dipertentangkan dalam eksepsi Tergugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa walaupun secara faktual Majelis hakim tidak melihat secara tersurat dalam keputusan tersebut adanya pihak individu yang dituju dan atau disebutkan secara langsung oleh surat keputusan tersebut, baik seseorang ataupun badan hukum perdata untuk para penggugat. Pihak Penggugat mendalilkan bahwa sifat individualitas Tergugat telah terpenuhi tatkala diktum keputusan Tergugat itu nyata-nyata berbunyi : “ Ketiga : Pemerintah Desa Catur tunggal untuk koordinasi dengan instansi teknis dalam pelaksanaan ini”, artinya para penggugat mendalilkan bahwa sebagaimana diktum “ketiga” surat keputusan in litis, tersurat bahwa surat keputusan tersebut ditujukan kepada Pemerintah Desa Catur Tunggal, sehingga terpenuhi unsur individualnya. Terhadap hal tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa sebagaimana telah diuraikan yang dimaksud dengan sifat individual adalah Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Oleh karenanya perlu dibuktikan lebih lanjut apakah benar surat keputusan tersebut ditujukan kepada Pemerintah Desa Catur Tunggal sebagai suatu individu sebagaimana pengertian dari unsur individual dimaksud, sehingga berakibat menimbulkan akibat hukum bagi para penggugat, dan kemudian apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Peraturan, apakah benar para Penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk menggugat keputusan tersebut yang juga didalilkan oleh tergugat dalam eksepsi tersebut. Dari fakta-fakta yang didapatkan dari proses persidangan maka Majelis Hakim mengabulkan eksepsi dari tergugat dan menyatakan gugatan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima
67
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan
1. Intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara adalah intervensi oleh pihak ketiga atas kemauan sendiri, intervensi oleh pihak ketiga atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa yaitu penggugat atau tergugat dan intervensi oleh pihak ketiga atas prakarsa Hakim yang memeriksa sengketa tersebut, dalam hal ini pihak ketiga ditarik kedalam proses pemeriksaan perakra yang sedang berjalan. Dalam putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk, intervensi pihak ke tiga (Rektor UIN Sunan Kalijaga) yang masuk dalam proses sengketa yang sedang berjalan adalah karena adanya inisiatif dari hakim. Akibat hukum atas adanya intervensi ini adalah apabila pemohon intervensi tidak dimasukkan kedalam proses perkara maka pihak ketiga dapat dirugikan haknya karena apabila sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetapa maka pihak ke tiga tidak dapat masuk ke proses perkara. 2. Pertimbangan
hukum
majelis
hakim
dalam
putusan
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk adalah bahwa surat keputusan Bupati Sleman No. 410/kep. KDH/A/2006 tertanggal 17 November 2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum Pedukuhan Ngentak Sapen Desa Catur Tunggal kecamatan Depok tidak memenuhi unsur individual sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU PTUN sehingga majelis hakim mengabulkan eksepsi tergugat dan menyatakan bahwa gugatan yang diajukan penggugat tidak dapat diterima.
B. Saran 1. Kepada para pihak untuk menghormati dan melaksanakan putusan pengadilan tata usaha Yogyakarta dengan penuh tanggung jawab. Bagi para pihak yang merasa belum terpenuhi haknya atas putusan pengadilan tata usaha negara dapat melakukan upaya hukum sesuai dengan prosedur yang sudah ada. 56
68
2. Kepada Pejabat Tata Usaha Negara, untuk ke depannya diharapkan memperhatikan unsur-unsur kumulatif yang harus ada dalam sebuah Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga meminimalisir adanya gugatan pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara oleh pihak yang tidak menerima Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
69
DAFTAR PUSTAKA
A.Siti Soetami. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung : Refika Aditama. Burhan Ashofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Rineka Cipta HB. Sutopo. Metode Penilitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. Martiman Prodjohamidjojo. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004. Bandung : Ghalia Indonesia. Rozali Abdullah. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. R. Wiyono. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : Sinar Grafika. Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. S. F. Marbun. 2003. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia. Yogyakarta : UII Press. Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra. 1996. Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Zairin Harahap. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.