1
POTENSI EKSTRAK TEMPE SEBAGAI ANTIAGING PADA TIKUS BETINA SEBAGAI HEWAN MODEL
SAFRIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Potensi Ekstrak Tempe sebagai Antiaging pada Tikus Betina sebagai Hewan Model adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Safrida NRP B161080021
4
ABSTRACT
SAFRIDA. The Potential of Tempeh Extract as an Antiaging Using Female Rats as Animal Models. Supervised by NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, and HERA MAHESHWARI.
Aging is a decline in physiological functions of the body. In women, when entering old age, the function of ovaries is decline thus causing a reduction of estrogen hormone production. The decline of this hormone has an impact on the function of several organs, including the uterus, skin, and bones. One approach taken to improve organs function in the process of aging is hormone replacement therapy. Medically, hormone replacement therapy has been performed using synthetic hormone. However, the use of synthetic hormone replacement therapy could increase the risk of breast cancer and cardiovascular diseases. To decrease the unfavorable risk of treatment of synthetic hormone, the research was focused on the use of natural materials. Extract tempeh is a natural substance that contains phytoestrogens, having similar estrogen activity. This study was designed to determine the condition of an animal model for premenopausal and postmenopausal using uterus, skin, and bone quality parameters, and to study the role of tempeh extract for improvements premenopausal and postmenopausal conditions. The research was conducted in three stages. The first stage was designed to study the condition of an animal model for premenopausal and postmenopausal using uterus, skin, and bone quality parameters. The second stage was designed to study the potential effects of tempeh extract to improve the qualities of uterus, skin, and bone in premenopausal conditions. The third stage was designed to study the potential effects of tempeh extract to improve the qualities of uterus, skin, and bone in postmenopausal conditions. The results showed that rats aged 18 months were marked by a decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, DNA and RNA concentrations of the uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of the skin, RNA concentrations of the bone, and these parameters were used as premenopausal conditions. Rats aged 30-36 months were marked by a drastic decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, RNA concentrations of the uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of the skin, bone collagen concentrations, RNA concentrations of the bone, bone calcium concentrations, ratio of Ca/P in tibial bone, and bone density and this parameters were used as postmenopausal conditions. The ovariectomized rats having similar appearances to postmenopausal conditions were found in rats aged 12 months with 3 months postovariectomy. Supplementations of tempeh extract for two months in premenopausal rats could maintain the quality of the uterus, improved the qualities of skin and bone. At postmenopausal conditions, tempeh extract could improve the qualities of uterus, skin, and bone. Keywords: Animal models of aging, bone, skin, tempeh extract, uterus
5
6
RINGKASAN SAFRIDA. Potensi Ekstrak Tempe sebagai Antiaging pada Tikus Betina sebagai Hewan Model. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, dan HERA MAHESHWARI.
Penuaan adalah penurunan fungsi tubuh secara fisiologis. Pada wanita, saat memasuki usia tua terjadi penurunan fungsi ovarium sehingga kadar hormon estrogen berkurang. Penurunan hormon ini memiliki dampak pada fungsi beberapa organ tubuh, di antaranya uterus, kulit, dan tulang. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi proses penuaan ialah dengan terapi sulih hormon. Secara medis, terapi sulih hormon sudah dilakukan menggunakan preparat hormon sintetis. Namun, penggunaan preparat hormon sintetis dapat meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit kardiovaskuler. Untuk mengatasi risiko yang tidak menguntungkan pada terapi preparat hormonal sintetis, maka penelitian diarahkan pada penggunaan bahan alami. Ekstrak tempe merupakan bahan alami yang mengandung fitoestrogen dan mempunyai aktivitas mirip estrogen. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang serta mengetahui potensi ekstrak tempe dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause dan pascamenopause. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah penentuan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause. Tahap kedua bertujuan untuk mempelajari potensi ekstrak tempe pada kondisi premenopause. Tahap ketiga bertujuan untuk mempelajari potensi ekstrak tempe pada kondisi pascamenopause. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus umur 18 bulan ditandai dengan mulai terjadinya penurunan hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus, kadar kolagen dan RNA kulit, kadar RNA tulang, dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi premenopause. Tikus umur 30-36 bulan ditandai dengan penurunan secara drastis kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar RNA kulit, kadar kolagen tulang, kadar RNA tulang, kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan densitas tulang dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi pascamenopause. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model pascamenopause menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang adalah tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Pemberian ekstrak tempe selama dua bulan pada tikus premenopause dapat mempertahankan kualitas uterus, yang ditandai dengan bobot uterus, kadar kolagen uterus, kadar DNA uterus, dan kadar RNA uterus dalam keadaan normal; meningkatkan kualitas kulit, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit; meningkatkan kualitas tulang, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, kadar abu tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang. Pemberian ekstrak tempe pada tikus ovariektomi sebagai hewan model pascamenopause dapat memperbaiki kualitas uterus yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen uterus dan peningkatan kadar RNA. Ekstrak tempe dapat meningkatkan
7
kualitas kulit tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit. Pemberian ekstrak tempe memberikan efek positif pada kualitas tulang tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kolagen tulang, kadar RNA tulang, bobot tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang. Pemberian ekstrak tempe dapat berfungsi sebagai antiaging dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause dan pascamenopause
Kata kunci: Ekstrak tempe, hewan model penuaan, kulit, tulang, uterus
8
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
9
POTENSI EKSTRAK TEMPE SEBAGAI ANTIAGING PADA TIKUS BETINA SEBAGAI HEWAN MODEL
SAFRIDA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
10
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc, AIF Prof. Dr. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, M.S, Ph.D
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SP. MP, M.Sc Dr. Drh. I Nyoman Suarsana, M.Si
11
12
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 sampai April 2012 ini ialah antipenuaan, dengan judul Potensi Ekstrak Tempe sebagai Antiaging pada Tikus Betina sebagai Hewan Model. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, Bapak Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D dan Ibu Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc, AIF dan Bapak Prof. Dr. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, M.S, Ph.D selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup, dan Bapak Drh. Agus Setiyono, Ph.D, sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SP. MP, M.Sc dan Bapak Dr. Drh. I Nyoman Suarsana, M.Si, atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka, dan Bapak Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, sebagai pimpinan sidang pada ujian terbuka. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat Bapak Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc, AIF dan semua staf pengajar Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat IPB, Ibu Hj Asmarida, Ibu Sri, dan Pak Wawan dari Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi IPB, Bapak Edy di kandang hewan Percobaan FKH, Bapak Dr. drh. Deni Noviana dan Bapak Drh. M Fakhrul Ulum dari Laboratorium Bedah FKH IPB, Ibu Dian Anggraeni dari Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, Bapak Bachtiar Effendi dan Mas Irfan dari Laboratorium Keteknikan Kayu Fakultas Kehutanan IPB, Ibu Siti Nurvah beserta staf laboran dari Laboratorium BALITTRO, Bapak Yudi beserta staf laboran dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor atas bantuan dan kerja samanya. Terima kasih juga kepada Adri, Eddy, rekan-rekan mahasiswa IFO, serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami tercinta Tgk. Muksin, SE dan anak-anak penulis Almas Mubarak Muksin, dan Ayatullah Mubarak Muksin serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Maret 2013
Safrida
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mon Alu Aceh Besar pada Tanggal 5 Agustus 1980 sebagai anak keempat dari pasangan Bapak Anwar Achmad dan Ibu Suwardiah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2006, penulis diterima di Progam Studi Biologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2008. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sejak tahun 2005. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah fisiologi hewan. Selama mengikuti program S-3, penulis menjadi anggota Ikatan Ahli Ilmu Faal Indonesia (IAIFI). Artikel berjudul Penurunan Kadar Progesteron Serum dan Komponen Matriks Ekstraseluler dan Seluler Kulit sebagai Indikator Penuaan pada Tikus diterbitkan pada Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 7. No. 1 tahun 2013 (Terakreditasi Dirjen Dikti S.K. No.81/Dikti/Kep/2011). Karya ilmiah tersebut bagian dari program S-3 penulis.
14
15
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
i ii iii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Kebaruan Kerangka Pemikiran
1 1 3 4 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Tempe Fitoestrogen Isoflavon Penuaan Penuaan pada Wanita Hormon Estrogen Hormon Progesteron Uterus Kulit Tulang DNA dan RNA Tikus sebagai Hewan Model
7 7 9 10 16 17 20 30 31 32 34 37 37
3 PENENTUAN KONDISI PREMENOPAUSE DAN PASCAMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan Daftar Pustaka
39 39 40 41 42 46 61 61
16
4 SUPLEMENTASI EKSTRAK TEMPE UNTUK PERBAIKAN KONDISI PREMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan Daftar Pustaka
65 66 67 68 72 81 81
5 PERAN PEMBERIAN EKSTRAK TEMPE UNTUK PERBAIKAN KONDISI PASCAMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan Daftar Pustaka
85 86 87 88 93 102 103
6 PEMBAHASAN UMUM
107
7 SIMPULAN DAN SARAN
111
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
113 121
17
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Komposisi rata-rata zat gizi tempe kedelai murni dan tempe pasar per 100 g Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe dalam kg bahan Afinitas-afinitas relatif ikatan ligan-ligan yang berbeda untuk reseptor estrogen α dan reseptor estrogen β Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Rataan bobot, kadar kolagen, DNA, dan RNA uterus pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA kulit pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Rataan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Rataan panjang, bobot, dan densitas tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Perbandingan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi dengan tikus umur 12 bulan Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada tikus premenopause Rataan bobot, kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA uterus pada tikus premenopause Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA kulit pada tikus premenopause Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA tulang pada tikus Premenopause Rataan kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada tikus premenopause Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus premenopause Rataan panjang, bobot, densitas, dan kekuatan tulang tibia pada tikus premenopause Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada tikus pascamenopause Rataan bobot, kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA uterus pada tikus pascamenopause
9 11 26 46 49 31 53 55
57 58 60 72
73 75 76 77 79 80 93
95
18
21 22 23 24 25 26
Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA kulit pada tikus Pascamenopause
96
Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA tulang pada tikus pascamenopause Rataan kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang pada tikus pascamenopause
99
Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus Pascamenopause
100
Rataan panjang, bobot, densitas, dan kekuatan tulang tibia pada tikus pascamenopause Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina
101 132
98
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bagan alir kerangka pemikiran Perbandingan kemiripan struktur equol isoflavon dengan estradiol Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel Diagram skematik pengaturan siklus reproduksi pada hewan betina Diagram skematik ikatan estrogen dengan reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta dapat memodulasi ekspresi gen yang berbeda Diagram skematik aksi estrogen secara genomik dan nongenomik Diagram skematik ikatan IGF-1 dengan reseptor estrogen (IGF-1/ER) pada uterus Bagan alur penelitian Tahap I Profil rataan kekuatan tulang pada tikus normal Bagan alur penelitian Tahap II Bagan alur penelitian Tahap III Pengujian tekan tegak lurus tulang Gambaran ulas vagina tikus putih galur Sprague-Dawley
5 12 21 23 27 28 32 45 59 71 92 130 131
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Prosedur pengukuran bobot badan dan bobot uterus Prosedur penentuan kadar hormon progesteron Prosedur penentuan kadar kolagen Prosedur penentuan kadar DNA Prosedur penentuan kadar RNA Prosedur penentuan kadar kalsium dan fosfor Prosedur pengukuran kadar abu
123 123 124 124 125 126 129
19
8 9 10 11 12 13 14 15 16
Prosedur penentuan densitas dan massa tulang tibia-fibula tikus Prosedur pengujian kekuatan tulang Prosedur penentuan fase diestrus Prosedur pembuatan tempe Prosedur pembuatan ekstrak tempe Prosedur analisis kandungan bioaktif isoflavon dan komposisi zat gizi ekstrak tempe Hasil analisis kadar isoflavon ekstrak tempe dan tempe segar Hasil analisis kandungan rata-rata zat gizi ekstrak tempe Konversi dosis ekstrak tempe dari tikus ke manusia
129 130 131 133 133 133 135 135 136
20
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang diolah melalui proses fermentasi kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedelai dan produk olahannya mengandung senyawa isoflavon. Isoflavon yang dominan pada tempe adalah aglikon (genistein dan daidzein) yang dihasilkan dari pelepasan glukosa dari glikosida. Tempe mengandung lebih banyak senyawa isoflavon aglikon bila dibandingkan dengan kedelai mentah (Safrida 2008). Isoflavon terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Aktivitas estrogenik isoflavon diketahui terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan dietilstilbesterol, yang biasanya digunakan sebagai obat yang memiliki sifat estrogenik (Pawiroharsono 2007). Struktur isoflavon dapat ditransformasikan menjadi equol yang mempunyai struktur fenolik mirip dengan hormon estrogen (Setchell dan Cassidy1999). Struktur molekul equol isoflavon memiliki kemiripan dengan struktur estrogen sehingga isoflavon disebut estrogen like. Isoflavon kedelai adalah senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia (Setchell dan Adlercreutz 1988). Isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen (RE) yang terdapat dalam sel berbagai jaringan tubuh dan berpotensi secara agonis maupun antagonis terhadap kerja estrogen (Brzozowski et al. 1997). Penelitian Persky et al. (2002) mengungkapkan bahwa isoflavon dapat bertindak sebagai estrogen antagonis (menghambat) pada saat estrogen endogen dalam konsentrasi tinggi, dan bertindak sebagai estrogen agonis (menstimulir) pada saat hormon estrogen endogen dalam konsentrasi rendah. Afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangatlah rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen sehingga diperlukan jumlah fitoestrogen yang sangat besar untuk memperoleh efek yang memadai menyamai efek estrogen endogen. Fitoestrogen diketahui berpotensi lebih rendah, yaitu 10-3-10-5 kali dibanding estrogen endogen, namun mampu berikatan kuat dengan reseptor estrogen beta (Klein 1998).
21
Isoflavon merupakan salah satu bagian dari kelompok fitoestrogen, suatu substansi yang berasal dari tumbuhan yang memiliki struktur mirip dengan 17beta-estradiol dan dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Isoflavon mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor estrogen beta daripada reseptor estrogen alfa dan memiliki potensi untuk mengaktifkan jalur sinyal estrogen, baik secara genomik maupun nongenomik. Dewasa ini dilaporkan bahwa isoflavon mempunyai efek positif pada kesehatan manusia, seperti dapat mencegah kanker yang disebabkan atau berkaitan dengan hormon, penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, keluhan menopause, dan penuaan. Isoflavon dapat memberikan wawasan baru tentang mekanisme pengaturan fisiologi dan menambah berbagai kemungkinan bagi intervensi medis (Pilšáková et al. 2010). Penuaan menyebabkan penurunan beberapa fungsi tubuh. Penurunan fungsi organ tubuh berbeda bergantung pada waktu (Rastogi 2007). Wanita mengalami masa transisi dari reproduktif ke nonreproduktif yang disebut masa klimakterium (Wirakusumah 2004). Masa klimakterium dibagi dalam empat tahap, yaitu premenopause, perimenopause, menopause, dan pascamenopause. Premenopause ditandai dengan mulai terjadi penurunan fungsi reproduksi (Kasdu 2004). Perimenopause ditandai dengan perubahan pada pola perdarahan haid, yang diakibatkan karena defisiensi atau berfluktuasinya estrogen dan progesteron (Zulkarnaen 2003). Menopause merupakan suatu proses penuaan alami dalam kehidupan wanita. Pada saat memasuki menopause, kadar estrogen menurun, namun tidak seluruhnya menghilang (Sibuea et al. 1996). Pada masa ini, fungsi ovarium berkurang sehingga kadar hormon estrogen dan progesteron menjadi berkurang (Timiras et al. 1995). Pascamenopause ditandai dengan kadar estrogen dan progesteron yang rendah (Zulkarnaen 2003). Salah satu efek menopause ialah menyebabkan gangguan metabolik pada tulang atau osteoporosis (Winarsi 2005). Hasil penelitian pada tikus ovariektomi yang diberikan genistein sebanyak 0.25 mg/kg/hari selama tujuh minggu ternyata dapat meningkatkan densitas tulang (Chanawirat et al. 2006). Selanjutnya, penelitian Bitto et al. (2008) menyatakan bahwa pemberian genistein aglikon sebanyak 10 mg/kg/hari selama 12 minggu pada tikus ovariektomi menunjukkan peningkatan densitas mineral tulang (bone mineral density) yang signifikan
22
apabila dibandingkan dengan perlakuan lain yang diberikan alendronate, raloxifine, dan estradiol. Kulit dipengaruhi oleh hormon estrogen. Berkurangnya kadar estrogen dan progesteron memiliki dampak negatif pada kulit. Kulit para wanita yang berada dalam masa menopause menjadi lebih tipis, mengendur dan kehilangan elastisitasnya, produksi kolagen menurun, fungsi kelenjar minyak menurun, dan kulit juga menjadi kering (Brincat 2000; Datau dan Wibowo 2005). Semakin bertambahnya umur, kelarutan (solubility) kolagen menurun dan terjadi penumpukan insoluble kolagen di ruang ekstraseluler sehingga mencegah aliran nutrien dan oksigen ke sel yang menyebabkan sel tersebut mengalami kelaparan dan kematian. Hal ini memberikan kontribusi terhadap penuaan karena penurunan aktivitas mRNA sel, termasuk juga sel otot (Kanungo 1994). Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi proses penuaan ialah dengan terapi sulih hormon (TSH). Penggunaan TSH merupakan perawatan medis yang dilakukan untuk menghilangkan gejala atau keluhan selama dan setelah menopause. Saat ini, jenis TSH yang digunakan merupakan kombinasi estrogen dan progesteron sintesis, namun penggunaan TSH ini dilaporkan dapat meningkatkan risiko kanker payudara (Rossouw et al. 2002), dan penyakit kardiovaskuler (Grady et al. 2002). Mencermati hal tersebut di atas, ekstrak tempe yang mengandung fitoestrogen mempunyai harapan untuk dijadikan sebagai salah satu obat oral dalam terapi sulih hormon sebagai pengganti hormon estrogen yang relatif aman yang bermanfaat sebagai antiaging.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme fitoestrogen yang terkandung dalam ekstrak tempe kedelai mempunyai potensi sebagai antiaging pada hewan betina. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Penentuan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang. 2. Mengetahui potensi ekstrak tempe untuk perbaikan kondisi premenopause. 3. Mengetahui
potensi
pascamenopause.
ekstrak
tempe
untuk
perbaikan
kondisi
23
Hipotesis Pemberian ekstrak tempe berfungsi sebagai antiaging melalui perbaikan kualitas uterus, kulit, dan tulang.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan ekstrak tempe sebagai obat oral dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause dan pascamenopause. Data ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan dalam ilmu kedokteran serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama dalam bidang farmasi.
Kebaruan (Novelty) Sejauh ini penentuan usia premenopause dan pascamenopause pada manusia dilakukan dengan menggunakan parameter kadar hormon progesteron. Penelitian ini tidak hanya menentukan masa premenopause dan pascamenopause berdasarkan
kadar
hormon
progesteron,
tetapi
kondisi
hewan
model
premenopause dan pascamenopause ditentukan dengan menggunakan parameter uterus, kulit, dan tulang pada tikus. Hingga saat ini belum pernah dilaporkan penelitian tentang penentuan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause menggunakan parameter uterus, kulit, dan tulang pada tikus. Selain itu, penggunaan ekstrak tempe dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada tikus premenopause dan pascamenopause juga belum pernah dilaporkan.
Kerangka Pemikiran Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit. Proses penuaan pada wanita berlangsung lebih dramatis, karena pada saat memasuki usia tua terjadi penurunan fungsi organ reproduksi sehingga kadar hormon estrogen menurun. Penurunan hormon ini juga memiliki dampak pada fungsi beberapa organ tubuh, di antaranya uterus, kulit, dan tulang. Saat ini, ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi proses penuaan, yaitu terapi sulih hormon,
24
penanggulangan obesitas, dan terapi sel punca. Secara medis, terapi sulih hormon menggunakan preparat hormon sintetis. Untuk mengatasi risiko yang tidak menguntungkan pada terapi preparat hormonal sintetis dalam jangka panjang, saat ini penelitian lebih banyak diarahkan pada penggunaan bahan alami. Tempe adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang digemari masyarakat dan mempunyai kandungan fitoestrogen (estrogen nabati) yang tinggi. Senyawa fitoestrogen mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia dan dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Hal ini menjadi dasar pemikiran penggunaan ekstrak tempe sebagai bahan alami yang dapat memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang untuk mengatasi penurunan kualitas hidup pada saat memasuki usia tua, yakni premenopause dan pascamenopause (Gambar 1).
Penuaan wanita
Ekstrak tempe
Fungsi ovarium
Fitoestrogen Estrogen like
+
+
Estrogen
-
+
Uterus
-
Kulit
+
-
Tulang
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa penuaan akan menurunkan kualitas hidup. Sejauh mana perbaikan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada saat penuaan dengan menggunakan ekstrak tempe dapat diketahui dari kegiatan penelitian yang dibagi atas tiga tahapan ini. Masing-masing penelitian dilakukan dengan metode yang spesifik yang hasil dan pembahasannya disampaikan pada bagian tersendiri dari disertasi ini, dengan judul: 1. Penentuan Kondisi Hewan Model Premenopause dan Pascamenopause dengan Menggunakan Tikus sebagai Hewan Model.
25
2. Suplementasi Ekstrak Tempe untuk Perbaikan Kondisi Premenopause Menggunakan Tikus sebagai Hewan Model 3. Peran
Pemberian
Ekstrak
Tempe
untuk
Perbaikan
Pascamenopause Menggunakan Tikus sebagai Hewan Model
Kondisi
58
PENENTUAN KONDISI PREMENOPAUSE DAN PASCAMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2 1
Mahasiswa Program Doktor Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB, 2Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, IPB. ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan sembilan kelompok perlakuan dan tiga kali ulangan. Kelompok perlakuan tersebut dengan tiga kondisi hewan. Pertama, hewan normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2) tikus umur 18 bulan (U18), 3) tikus umur 24 bulan (U24), 4) tikus umur 30 bulan (U30), 5) tikus umur 36 bulan (U36). Kedua, kondisi 1 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV12a), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV18), 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV24). Ketiga, kondisi 3 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi (OV12b). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen matriks ekstraseluler dan matriks seluler pada uterus, kulit, dan tulang menurun seiring dengan bertambahnya usia. Tikus umur 18 bulan ditandai dengan mulai terjadinya penurunan hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus, kadar kolagen dan RNA kulit, kadar RNA tulang, dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi premenopause. Tikus umur 30-36 bulan ditandai dengan penurunan secara drastis kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar RNA kulit, kadar kolagen tulang kadar RNA tulang, kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan densitas tulang, dan hal ini menjadi dasar penentuan kondisi pascamenopause. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model pascamenopause menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang adalah tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Kata kunci: Kulit, ovariektomi, premenopause, pascamenopause, tulang, tikus, uterus
59
The Determination of Premenopausal and Postmenopausal Condition Using Rats as Animal Models Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2 1
Student of Doctoral Programme Majoring in Physiology and Pharmacology, School of Graduate, Bogor Agricultural University, 2Majoring in Physiology and Pharmacology, Bogor Agricultural University.
ABSTRACT This study was designed to determine the condition of an animal model for premenopausal and postmenopausal using uterus, skin, and bone quality parameters. Experimental design used was Completely Randomized Design (CRD) consisted of 9 experimental groups, each consisted of 3 rats i.e.,1) rats aged 12 months (U12), 2) rats aged 18 months (U18), 3) rats aged 24 months (K24), 4) rats aged 30 months (U30), 5) rats aged 36 months (U 36), 6) rats aged 12 months with one month postovariectomy (OV12a), 7) rats aged 12 months with 3 months postovariectomy (OV12b), 8) rats aged 18 months with one month postovariectomy (OV18), and 9) rats aged 24 months with one month postovariectomy (OV24). The data obtained were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) followed by Duncan test. The results showed that extracellular matrix components and cellular matrix of the uterus, skin, and bone were decreased with the increasing of age. Rats aged 18 months were marked by a decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, DNA and RNA concentrations of uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of the skin, RNA concentrations of the bone, and these parameters were used as premenopausal conditions. Rats aged 30-36 months were marked by a drastic decline in serum progesterone concentrations, uterus collagen concentrations, DNA and RNA concentrations of the uterus, skin collagen concentrations, RNA concentrations of skin, bone collagen concentrations, RNA concentrations of bone, bone calcium concentrations, ratio of Ca/P in tibial bone, and bone density and this parameters were used as postmenopausal conditions. The ovariectomized rats having similar appearances to postmenopausal conditions were found in rats aged 12 months with 3 months postovariectomy. Ovariectomized rats that were suitable to be used as animal models of postmenopausal using uterus, skin, and bone parameters were rats aged 12 months with three months postovariectomy.
Keywords: Bones, ovariectomy, premenopausal, postmenopausal, rats, skin, uterus
60
PENDAHULUAN Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit serta kehilangan mobilitas dan ketangkasan (Datau dan Wibowo 2005). Proses menua merupakan proses fisiologis yang akan terjadi pada semua makhluk hidup yang meliputi semua organ tubuh. Perbedaan penurunan fungsi organ tubuh bergantung pada waktu (Rastogi 2007). Pada proses penuaan, juga terjadi penurunan fungsi kelenjar endokrin, termasuk kelenjar reproduksi, pada laki-laki disebut andropause dan pada wanita disebut menopause (Ranakusuma 1992). Masa klimakterium adalah masa peralihan dari fase reproduktif menjadi fase nonreproduktif (Wirakusumah 2004). Pada manusia, masa ini dibagi menjadi empat tahap. Pertama, premenopause, yaitu masa sejak fungsi reproduksi mulai menurun (Kasdu 2004; Gebbie dan Glasier 2006).
Pada masa ini kadar
progesteron mulai menurun (Walker 1995). Kedua, perimenopause, yaitu masa perubahan antara premenopause dan menopause, yang ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur dan disertai pula dengan perubahan-perubahan fisiologik (Zulkarnaen 2003). Pada masa ini produksi estrogen mulai berkurang dan fungsi ovarium juga mulai menurun (Wirakusumah 2004). Ketiga, menopause, yaitu kondisi fisiologis pada wanita yang mana menstruasi berhenti secara permanen akibat penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi hormon estrogen (Cassidy et al. 2006). Keempat, pascamenopause, yang ditandai dengan kadar LH dan FSH yang tinggi serta kadar estrogen dan progesteron yang rendah (Zulkarnaen 2003). Menurunnya konsentrasi estrogen dan progesteron dalam darah pada saat pascamenopause menyebabkan atropi uterus, yang ditandai dengan tidak terjadinya penebalan endometrium dan kelenjar uterus berada dalam keadaan tidak mengeluarkan sekresi sehingga uterus mengecil dan bobotnya menurun (Binkley 1995). Penurunan estrogen dan progesteron juga memiliki dampak pada fungsi beberapa organ tubuh, di antaranya kulit dan tulang. Berkurangnya kadar estrogen dan progesteron memiliki dampak negatif pada kulit, yaitu kulit menjadi lebih tipis, mengendur, dan kehilangan elastisitasnya, produksi kolagen menurun dan kulit juga menjadi kering. Atropi kolagen merupakan faktor utama yang
61
menyebabkan penuaan kulit (Datau dan Wibowo 2005). Selain itu, penurunan kadar estrogen dapat menyebabkan gangguan metabolik pada tulang yang dikenal sebagai osteoporosis (Winarsi 2005). Penelitian tentang penuaan banyak dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup pada saat memasuki usia tua. Hewan model yang banyak digunakan dalam penelitian penuaan adalah tikus putih. Pada hewan percobaan, manipulasi hilangnya estrogen sebagai indikator menopause dilakukan dengan ovariektomi (Shirwaikar et al. 2003; Devareddy et al. 2008). Namun hingga saat ini hewan model kondisi premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan kualitas uterus, kulit, dan tulang belum dilaporkan. Tujuan penelitian ini ialah untuk menetapkan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang. Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang penggunaan tikus sebagai hewan model penuaan pada kondisi premenopause dan pascamenopause.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan September 2010-April 2011 dan dilakukan pada beberapa tempat. Pemeliharaan dan ovariektomi tikus dilaksanakan di kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, analisis hormon progesteron, kadar kolagen, kadar DNA, dan kadar RNA di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, analisis kadar abu tulang dan analisis kalsium dan fosfor pada tulang dan serum di laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dan pengukuran kekuatan tulang di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
62
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelet dari PT. Comfeed Indonesia, kit Progesteron, BNF, serta bahan pengujian kolagen, RNA, kalsium, dan fosfor. Alat yang digunakan adalah timbangan, alat-alat bedah, sentrifuge, Automatic Gamma Counter, spektrofotometer, eksikator, tanur listrik, dan spektrofotometer serapan atom (AAS).
Metode Penelitian Hewan yang digunakan dalam penelitian ini 27 ekor tikus betina strain Sprague Dawley, yang dibagi ke dalam sembilan kelompok percobaan yang masing-masing terdiri atas tiga ekor. Kelompok perlakuan tersebut dengan tiga kondisi hewan. Pertama, kondisi normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2) tikus umur 18 bulan (U18), 3) tikus umur 24 bulan (U24), 4) tikus umur 30 bulan (U30), dan 5) tikus umur 36 bulan (U36). Kedua, kondisi 1 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV12a), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV18), dan 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV24). Ketiga, kondisi 3 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi (OV12b). Tikus-tikus percobaan tersebut ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup yang terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan dan air minum disediakan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembap, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dengan lama terang 14 jam dan lama gelap 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu. Tindakan ovariektomi dilakukan oleh dokter hewan. Semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Pada status fase diestrus, semua tikus dikorbankan. Sebelum dilakukan pembedahan, tikus terlebih dahulu dibius dengan eter, kemudian masing-masing tikus diambil darahnya secara intrakardial sebanyak kurang lebih 1 mL. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum. Serum digunakan untuk analisis kadar hormon progesteron, kalsium, dan fosfor. Setelah tikus dikorbankan, uterus dipisahkan
63
dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, kemudian ditimbang bobot basahnya, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan BNF (buffer formalin) 10% untuk analisis kadar kolagen, DNA, dan RNA. Kulit bagian dorsal dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting, selanjutnya dibersihkan dengan menggunakan alat pencukur dan dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% untuk analisis kadar kolagen, DNA, dan RNA. Tulang tibia-fibula sebelah kiri dan sebelah kanan dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, selanjutnya tulang tibia sebelah kiri dimasukkan ke dalam BNF 10% untuk analisis kadar kolagen, DNA, RNA, densitas tulang, dan kekuatan tulang, sedangkan tulang tibia sebelah kanan disimpan di freezer pada suhu -20 oC untuk analisis kadar kalsium, kadar fosfor, dan kadar abu (Gambar 8).
Parameter yang Diamati Parameter yang diamati ialah bobot badan, kadar hormon progesteron menggunakan metode RIA, kadar kolagen, kadar DNA, dan kadar RNA uterus, kulit, dan tulang sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998), kadar kalsium serum dan tulang (Reitz et al. 1960), kadar fosfor serum dan tulang (Taussky & Shorr 1953), kadar abu tulang (AOAC 1990), panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang (metode Arjmandi et al. 1996), serta uji kekuatan tulang tibia merupakan adopsi dari metode uji kekuatan tekan glulam yang dilakukan oleh Bahtiar (2008) dan uji kekuatan tekan kayu (Mardikanto et al. 2011). Adapun prosedur kerja masing-masing parameter dapat dilihat pada Lampiran 1-9.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05), serta uji korelasi dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1.3 (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
64
Bagan alur penelitian sebagai berikut:
Tikus betina dibagi dalam 9 kelompok
Kondisi normal
kondisi 1 bulan pascaovariektomi
umur 12 bulan (U12) umur 18 bulan (U18) umur 24 bulan (U24) umur 30 bulan (U30) umur 36 bulan (U36)
kondisi 3 bulan pascaovariektomi
umur 12 bulan (OV12a) umur 18 bulan (OV18) umur 24 bulan (OV24)
umur 12 bulan (OV12b)
dibedah pada fase diestrus
Tulang: kadar kolagen tulang, kadar DNA dan RNA tulang, panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang, kadar abu, kadar kalsium dan fosfor pada tulang dan serum.
Kulit: kadar kolagen kulit, kadar DNA dan RNA kulit
Uterus: kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus
Luaran: Penetapan kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause Gambar 8 Bagan alur penelitian Tahap I
65
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Progesteron dan Bobot Badan Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan tikus normal dan ovariektomi pada berbagai tingkatan umur disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus normal berpengaruh nyata (P<0.01) pada kadar hormon progesteron serum dan bobot badan. Rataan kadar progesteron serum menurun seiring dengan bertambahnya umur, sedangkan bobot badan pada tikus normal meningkat dengan bertambahnya umur.
Tabel 4
Rataan kadar progesteron serum dan bobot badan pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
Para Meter
Kondisi hewan
Kadar proges teron (ng/mL)
Normal OV-1 OV-3
12 56.46±3.89a 56.93±3.89a 16.33±5.97
18 50.15±1.97b 39.47±8.61b -
Umur (bulan) 24 46.82±1.61b 29.28±0.70b -
30 18.80±2.78c -
36 17.74±1.43c -
Normal 230±0.57e 243±2.64d 256±2.00c 282±2.00b 288±1.52a b b a OV-1 247±1.52 251±1.52 290±11.35 OV-3 261±3.51 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi. Bobot badan (g)
Dengan bertambahnya umur, terjadi penurunan fungsi organ reproduksi sehingga kadar estrogen dan progesteron menurun. Hal ini sependapat dengan Ganong (2003) bahwa penurunan fungsi organ reproduksi menyebabkan kadar estrogen dan progesteron menurun. Pada usia 12 bulan, terlihat kadar progesteron paling tinggi. Tikus umur 12 bulan merupakan middle-aged rats (Markow 1999). Pada usia ini, tikus masih dapat bereproduksi, walaupun tingkat kesuburannya mulai menurun, dan umumnya memiliki siklus estrus yang normal, namun beberapa individu memperlihatkan siklus estrus yang irreguler (Lu et al. 1979, Ganong 2003). Pada umur 18 bulan terlihat bahwa mulai terjadi penurunan kadar progesteron sebesar 11,17% bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan. Menurut Affandi (1997) pada wanita saat premenopause, yaitu kira-kira umur 40 tahun, mulai terjadi penurunan sekresi hormon progesteron. Berdasarkan data Tabel 1 menunjukkan bahwa tikus umur 18 bulan mulai mengalami penurunan kadar progesteron. Dari data tersebut di atas dapat
66
disimpulkan bahwa premenopause pada tikus terjadi pada umur 18 bulan. Selanjutnya, kadar progesteron menurun secara drastis pada tikus normal umur 30 bulan dan 36 bulan. Pada wanita, pascamenopause ditandai dengan kadar estrogen dan progesteron yang rendah (Zulkarnaen 2003). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa tikus mengalami pascamenopause pada umur 30-36 bulan. Kadar progesteron pada kelompok tikus yang diovariektomi dengan kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat pola yang sama dengan tikus normal. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur dan tindakan ovariektomi pada tikus berpengaruh nyata (P= 0.0031) pada kadar progesteron. Penurunan kadar progesteron serum pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi seiring dengan bertambahnya umur. Lamanya waktu pascaovariektomi juga berpengaruh nyata (P <0.01) pada kadar progesteron serum. Hal ini terbukti bahwa pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi memiliki kadar progesteron yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12 bulan dan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Apabila tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa kadar progesteron tidak berbeda nyata. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hewan model yang cocok digunakan untuk kondisi pascamenopause adalah tikus dengan umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata (P <0.01) pada peningkatan bobot badan (Tabel 4). Demikian juga tindakan ovariektomi berpengaruh pada bobot badan, yang terlihat dari bobot badan tikus umur 12, 18, 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi meningkat bila dibandingkan dengan tikus normal pada umur yang sama. Lamanya waktu pascaovariektomi juga berpengaruh nyata pada bobot badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi memiliki bobot badan yang lebih meningkat bila dibandingkan dengan tikus dengan umur yang sama, tetapi dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan tikus normal umur 12 bulan.
67
Peningkatan bobot badan tikus diduga akibat kekurangan estrogen sehingga terjadi peningkatan simpanan lemak pada jaringan adiposa. Ovariektomi menyebabkan berkurangnya kadar estrogen (Safrida 2008) dan progesteron (Tabel 4). Hal ini senada dengan Bimonte-Nelson et al. (2003) bahwa ovariektomi pada tikus menyebabkan penurunan level progesteron. Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lainnya, seperti estrogen (Cole dan Cupps 1977). Hal ini disebabkan progesteron secara normal bekerja sama dengan estrogen dan steroid-steroid lainnya dan menghasilkan hanya sedikit pengaruh-pengaruh khusus bila bekerja sendiri. Kekurangan hormon estrogen dan progesteron di duga menyebabkan terjadinya penurunan katabolisme lemak. Jones et al. (2000) menyatakan bahwa kekurangan estrogen menyebabkan peningkatan massa jaringan adiposa. Adanya gangguan penggunaan dan penyimpanan glukosa otot pada tikus yang kekurangan estrogen akan menyebabkan penurunan lean body mass. Penurunan penggunaan glukosa oleh otot akan menyebabkan meningkatnya jumlah glukosa yang tersedia untuk proses lipogenesis sehingga mendorong terjadinya penimbunan lemak. Kualitas Uterus Rataan bobot uterus, kadar kolagen uterus, kadar DNA uterus, dan kadar RNA uterus pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus normal berpengaruh nyata (P < 0.05) pada kadar kolagen uterus, kadar DNA uterus, dan kadar RNA uterus, namun tidak berpengaruh pada bobot uterus. Dengan bertambahnya umur tikus, kadar kolagen uterus semakin menurun. Begitu juga dengan bertambahnya umur, jumlah sel yang terdapat dalam jaringan uterus menjadi berkurang yang digambarkan oleh kadar DNA. Aktivitas sintesis sel uterus, yang digambarkan oleh kadar RNA sel uterus, juga menurun dengan bertambahnya umur. Lebih lanjut, penurunan kadar kolagen uterus sebesar 17,47% pada umur 18 bulan, 46,44% pada umur 24 bulan, 47,67% pada umur 30 bulan, dan 52,15% pada umur 36 bulan bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan. Penurunan kadar kolagen uterus secara drastis terjadi pada tikus normal umur 24 bulan, 30 bulan, dan 36 bulan.
68
Tabel 5 Rataan bobot, kadar kolagen, DNA, dan RNA uterus pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Parameter
Kondisi Umur (bulan) hewan 12 18 24 30 36 Bobot uterus Normal 0.85±0.25 0.61±0.16 0.59±0.05 0.60±0.19 0.37±0.02 (g) OV-1 0.43±0.01 0.50±0.03 0.43±0.04 OV-3 0.22±0.03 Kadar kolagen Normal 45.73±2.16a 37.74±3.65b 24.49±2.70c 23.93±3.62c 21.88±4.38c uterus OV-1 24.51±4.66a 23.44±1.71a 10.86±1.57b (mg/g sampel) OV-3 16.64±4.05 Kadar DNA Normal 2.72±0.22a 2.36±0.08b 2.36±0.06b 2.24±0.04b 2.17±0.06b uterus OV-1 2.38±0.42 2.27±0.10 2.12±0.09 (mg/g sampel) OV-3 2.15±0.73 Kadar RNA Normal 36.96±4.12a 22.90±4.66b 22.86±3.33b 16.39±3.86b 15.70±3.21b uterus OV-1 17.56±1.11 19.51±1.28 20.70±2.16 (mg/g sampel) OV-3 17.56±1.11 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi.
Hal yang berbeda dengan kelompok normal, pada kelompok hewan yang diovariektomi terlihat bahwa umur pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata (P < 0.05) pada kadar kolagen uterus, namun tidak berpengaruh nyata pada bobot uterus, kadar DNA uterus, dan kadar RNA uterus. Tindakan ovariektomi mempengaruhi penurunan kualitas uterus. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12, 18, 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dengan tikus normal pada umur yang sama. Pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan kadar RNA uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12 bulan. Pada tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa kadar kolagen uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 18 bulan. Kemudian pada tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menunjukkan bahwa bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan kadar DNA uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 24 bulan. Lebih lanjut, lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.05) pada bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan RNA uterus. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Bobot uterus dan kadar RNA uterus pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menurun bila dibandingkan
69
dengan tikus normal umur 12 bulan, namun sama dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Kadar kolagen uterus pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi menurun bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan tikus normal umur 12 bulan. Artinya, dengan bertambahnya waktu pascaovariektomi maka kadar kolagen uterus semakin menurun. Apabila tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa kadar kolagen uterus, kadar DNA, dan RNA uterus tidak berbeda nyata. Penurunan kolagen uterus mempunyai risiko terjadinya prolapse uterus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Price et al. (2010) bahwa prolapse uterus terjadi ketika organ-organ panggul wanita jatuh dari posisi normal, ke dalam atau melalui vagina. Salah satu hal yang dapat meningkatkan risiko terjadinya prolapse adalah gangguan jaringan ikat. Menurut Iwahashi dan Muragaki (2011) bahwa kelainan kolagen, komponen utama matriks ekstraseluler, dapat meningkatkan kerentanan wanita untuk mengalami prolapse uterus. Proses penuaan berkaitan dengan radikal bebas. Dengan bertambahnya umur, maka semakin banyak radikal bebas. Radikal bebas bisa dihasilkan secara endogen atau diperoleh secara eksogen (Kevin et al. 2006). DNA dan RNA dirusak oleh radikal bebas, sehingga terjadi penurunan kadar DNA dan RNA seiring dengan bertambahnya umur.
Kualitas Kulit Rataan kadar kolagen kulit pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur tikus berpengaruh nyata (P<0.01) pada kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit, namun tidak berpengaruh pada kadar DNA kulit. Rataan kadar kolagen kulit pada tikus menurun seiring dengan bertambahnya umur. Demikian juga dengan aktivitas sintesis sel kulit, yang digambarkan oleh kadar RNA sel kulit, menurun dengan bertambahnya usia. Penurunan kadar kolagen kulit sebesar 14,86% pada umur 18 bulan, 35,58% pada umur 24 bulan, 41,82% pada umur 30 bulan, dan 51,06% pada
70
umur 36 bulan bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan. Penurunan kadar kolagen kulit secara drastis terjadi pada tikus normal umur 24 bulan, 30 bulan, dan 36 bulan.
Tabel 6
Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA kulit pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
Parameter
Kondisi Umur (bulan) hewan 12 18 24 30 36 Kadar kolagen Normal 35.58±2.41a 30.29±2.30b 22.92±2.94c 20.70±0.96cd 17.41±2.73d kulit OV-1 27.18±0.71 20.85±1.41 20.85±1.41 (mg/g sampel) OV-3 20.51±0.76 Kadar DNA Normal 2.36±0.14 2.28±0.06 2.22±0.09 2.13±0.11 2.11±0.10 kulit OV-1 2.24±0.14 2.23±0.08 2.20±0.07 (mg/g sampel) OV-3 2.13±0.11 Kadar RNA Normal 42.94±5.60a 23.32±1.14b 21.16±5.70b 13.32±2.83c 10.19±2.61c kulit OV-1 30.77±1.29a 21.63±3.14b 12.19±3.45c (mg/g sampel) OV-3 13.53±1.57 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi.
Kadar kolagen dan kadar RNA kulit tikus mempunyai nilai korelasi (0.94054) dan menunjukkan korelasi yang berbeda nyata (P<0.05), yang berarti semakin rendah kadar kolagen maka semakin menurun kadar RNA kulit tikus normal pada berbagai tingkatan umur. Kadar kolagen kulit dan kadar progesteron tikus mempunyai nilai korelasi (0.8827) dan menunjukkan korelasi yang berbeda nyata (P<0.05), yang berarti semakin rendah kadar kolagen maka semakin menurun kadar progesteron tikus normal pada berbagai tingkatan umur. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar RNA kulit, namun tidak berpengaruh nyata pada kadar kolagen kulit dan kadar DNA kulit. Apabila tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan tikus normal pada umur yang sama maka terlihat bahwa kadar RNA kulit tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12 bulan. Lebih lanjut, lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Dengan bertambahnya waktu pascaovariektomi maka kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit semakin menurun. Apabila tikus umur 12
71
bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa kadar kolagen kulit, kadar DNA, dan RNA kulit tidak berbeda nyata. Berkurangnya kadar kolagen menyebabkan penurunan elastisitas atau kekencangan kulit. Datau dan Wibowo (2005) menyatakan selama proses menua, terdapat penurunan jumlah fibroblas yang mensintesis kolagen dan pembuluh darah yang mensuplai kulit. Penurunan sintesis fibroblas ini menimbulkan keriput. Kolagen disintesis oleh fibroblas dari molekul prokolagen oleh aksi endoprotease. Benang-benang kolagen mengalami beberapa modifikasi pascatranslasi untuk meningkatkan stabilitasnya dan kekuatan. Atropi kolagen adalah faktor besar pada penuaan kulit. Mays et al. (1995) menyatakan tikus tua mengalami penurunan produksi kolagen dan penurunan sintesis protein pada sel fibroblas kulit secara in vitro. Menurut Zague et al. (2011), pemberian kolagen hidrolisat dapat meningkatkan kadar kolagen tipe I dan IV, serta peningkatan ekspresi kolagen kulit pada tikus. Bertambahnya massa matriks ekstraseluler atau kolagen dirangsang oleh proses anabolik jaringan kulit. Thomas (2005) melaporkan bahwa pada tikus tua terjadi penurunan persentase fraksi kolagen dan perubahan ketebalan pada epidermis dan dermal kulit bagian dorsal. Selanjutnya Nomura et al. (2003) menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan panjang glikosaminoglikan (GAG) pada kulit tikus. Penelitian Schulze et al. (2012) menunjukkan hasil bahwa fibroblas yang berasal dari manusia umur 80 tahun memperlihatkan peningkatan kekakuan (stiffening) sebesar 60% bila dibandingkan dengan manusia umur 28 tahun. Penurunan jumlah fibroblas menimbulkan keriput/kaku yang secara langsung mengakibatkan perubahan pada elastisitas matriks kolagen. Perubahan mekanisme ini mempengaruhi fungsi sel, termasuk sitoskeleton, seperti kontraktilitas, motilitas, dan proliferasi, yang penting untuk reorganisasi matriks ekstraseluler. Menurut Biben (2001) bahwa kekurangan estrogen dapat menurunkan mitosis kulit sampai atropi, menjadikan ketebalan kulit berkurang, menyebabkan berkurangnya sintesis kolagen, dan meningkatkan penghancuran kolagen. Estrogen mempengaruhi aktivitas metabolik sel-sel epidermis dan fibroblas, serta aliran darah.
72
Untuk mengevaluasi adanya suatu pertumbuhan atau perkembangan dari suatu jaringan dapat dihitung dari kandungan DNA-nya dengan asumsi bahwa kandungan DNA per sel adalah konstan atau tetap. Menurut Rastogi (2007), salah satu penuaan pada tingkat molekuler dapat dilihat dari perubahan kuantitatif asam nukleat. Jumlah DNA per sel pada setiap spesies adalah konstan. Kehilangan DNA atau RNA per organ menggambarkan pada penurunan efisiensi fungsional. Penelitian Valle et al. (2008) menyatakan atropi jaringan adiposa terjadi pada tikus umur 24 bulan yang ditandai dengan penurunan total DNA dan protein mitokondria. Kualitas Tulang Tulang terbentuk dari unsur mineral, matriks organik ekstraseluler, sel-sel osteoblas, osteoklas, osteosit, serta air. Rataan kadar kolagen, kadar DNA, dan kadar RNA tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus normal berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar kolagen dan kadar RNA tulang, namun tidak berpengaruh pada kadar DNA. Penurunan kadar kolagen tulang nyata terlihat pada tikus umur 36 bulan, yakni menurun sebesar 25,01% bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan, sedangkan aktivitas sintesis sel tulang, yang digambarkan oleh kadar RNA sel tulang, menurun dengan bertambahnya umur.
Tabel 7
Rataan kadar kolagen, DNA, dan RNA tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
Parameter
Kondisi Umur (bulan) hewan 12 18 24 30 36 Kadar kolagen Normal 20.67 ±1.42a 20.87±1.93a 20.93±3.81a 19.37±0.93a 15.50±0.49b tulang OV-1 20.73±0.35a 19.39±0.96a 16.72±1.62b (mg/g sampel) OV-3 16.89±1.28 Kadar DNA Normal 2.54±0.36 2.26±0.31 2.01±0.03 2.06±0.05 2.05±0.04 tulang OV-1 2.32±0.13 2.16±0.13 2.04±0.007 (mg/g sampel) OV-3 2.04±0.13 Kadar RNA Normal 19.90±2.25a 11.46±1.38b 9.39±1.54bc 9.09±1.56bc 7.82±2.26c tulang OV-1 14.86±2.48a 9.86±0.77b 7.52±2.23b (mg/g sampel) OV-3 7.99±1.05 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3 = 3 bulan pascaovariektomi.
Pada kondisi hewan ovariektomi terlihat bahwa umur pada tikus dengan kondisi 1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.01) pada kadar kolagen
73
dan kadar RNA tulang, namun tidak berpengaruh pada kadar DNA tulang. Apabila tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan tikus normal pada umur yang sama maka terlihat bahwa kadar kolagen, kadar DNA, dan kadar RNA tulang tidak berbeda nyata. Artinya bahwa kondisi 1 bulan pascaovariektomi tidak berpengaruh pada penurunan kadar kolagen, DNA, dan RNA tulang. Lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.01) pada kadar kolagen dan kadar RNA tulang. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Kadar kolagen dan kadar RNA tulang pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi menurun bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Selanjutnya, tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa kadar kolagen, DNA, dan RNA tulang tidak berbeda nyata. Penurunan kadar kolagen membuat tulang menjadi tidak elastis dan mudah patah. Menurunnya kadar kolagen mengindikasikan adanya gangguan fisiologi tulang yang bisa mengakibatkan osteopenia atau mengarah pada osteoporosis. Menurut Guyton (1996), matriks organik tulang kira-kira 95 persen merupakan serabut-serabut kolagen. Serabut-serabut ini membuat tulang menjadi kuat. Estrogen dapat berpengaruh langsung pada kesehatan tulang melalui reseptor estrogen beta. Estrogen dapat menekan produksi IL-6 oleh osteoblas sehingga menekan produksi osteoklas (Girasole et al. 1992). Estradiol juga mempunyai efek anabolik pada tulang sehingga menambah pertumbuhan tulang (Granner 1990). Estrogen dapat menstimulasi sel tulang untuk menghasilkan IGF-1. Selanjutnya IGF-1 akan menstimulasi proliferasi dan produksi kolagen tipe 1 oleh osteoblas (Gowen 1991). Mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran utamanya
kristal
kalsium
fosfat
atau
kristal
kalsium
hidroksiapatit
[3Ca3(P04)2Ca(OH)2]. Rataan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 8. Rataan kadar kalsium tulang, dan rasio Ca/P
74
tulang tibia pada tikus normal menurun (P<0.01) seiring dengan bertambahnya umur, sebaliknya rataan kadar fosfor tulang meningkat (P<0.01) dengan bertambahnya umur, sedangkan dengan bertambahnya umur tidak mempengaruhi kadar abu tulang.
Tabel 8 Rataan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Parameter
Kondisi hewan Normal OV-1 OV-3
12 40.07±4.06a 22.76±1.36a 10.08±1.82
18 40.03±1.30a 15.54±0.39b -
Umur (bulan) 24 41.12±1.06a 8.57±1.25c -
30 36 Kadar 15.23±4.99b 13.13±4.16b kalsium tulang (%) Kadar Normal 23.12±3.05b 28.23±3.70b 27.46±1.64b 36.00±2.78a 36.1±4.70a fosfor OV-1 11.57±2.14c 25.29±6.12b 33.46±2.73a tulang OV-3 36.53±1.15 (%) Rasio Ca/P Normal 1.76±0.35a 1.43±0.15a 1.50±0.09a 0.41±0.11b 0.36±0.08b a b b tulang OV-1 2.03±0.54 0.64±0.17 0.25±0.04 (%) OV-3 0.27±0.04 Kadar abu Normal 38.57±0.08a 36.33±1.74ab 36.33±1.74ab 35.23±6.95ab 31.79±5.03ab tulang OV-1 38.02±0.43 33.29±7.57 34.33±3.58 (%) OV-3 30.55±0.37 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3= 3 bulan pascaovariektomi.
Demikian juga pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat pola yang sama dengan tikus normal. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.01) pada kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, namun tidak berpengaruh pada kadar abu tulang. Rataan kadar kalsium tulang, rasio kadar Ca/P tulang pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menurun seiring dengan bertambahnya umur, sebaliknya rataan kadar fosfor tulang meningkat dengan bertambahnya umur. Tindakan ovariektomi mempengaruhi penurunan kualitas tulang. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dengan tikus normal pada umur yang sama. Pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa kadar kalsium tulang menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12 bulan. Pada tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi, kadar kalsium dan rasio Ca/P tulang menurun bila dibandingkan dengan tikus normal
75
umur 18 bulan. Demikian juga pada tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menunjukkan bahwa kadar kalsium dan rasio Ca/P tulang menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 24 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi 1 bulan pascaovariektomi tidak berpengaruh pada penurunan kadar abu tulang. Lamanya waktu pascaovariektomi berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar kalsium tulang, fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang, yang diketahui dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal dengan tikus umur 12 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Hasil penelitian ini terbukti bahwa kondisi 3 bulan pascaovariektomi berpengaruh pada penurunan kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang. Selanjutnya, tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang tidak berbeda nyata. Proses remodelling tulang tidak seimbang akibat penurunan hormon estrogen dan progesteron. Seperti yang dikemukakan oleh Setyohadi (2000), penurunan
kadar
hormon
estrogen
memiliki
hubungan
erat
dengan
ketidakseimbangan remodelling tulang, karena estrogen mempunyai reseptor pada sel-sel osteoblas. Seifert-Klauss dan Prior (2010) melaporkan estradiol dan progesteron bekerja sama dalam proses remodelling tulang, estradiol berperan pada resorbsi atau penyerapan dan progesteron berperan pada proses pembentukan (formasi) tulang. Selain itu, seiring dengan proses penuaan, tingkat penyerapan kalsium pada tubuh akan menurun (Hollick 1996). Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 9. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus normal tidak berpengaruh nyata pada kadar kalsium dan fosfor serum. Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada berbagai tingkatan umur tikus normal tidak mengalami perubahan, yakni berada dalam kisaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa kadar kalsium dan fosfor serum selalu diupayakan dalam keadaan tetap. Penelitian Campos et al. (1998) menunjukkan bahwa pemberian pakan defisiensi besi tidak berpengaruh pada
76
kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus. Kadar kalsium selalu diupayakan dalam keadaan tetap atau berada dalam kisaran normal melalui mekanisme kelenjar tiroid dan paratiroid (Murray et al. 2003).
Tabel 9 Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi Parameter Kadar kalsium serum (mg/dL) Kadar fosfor serum (mg/dL)
Kondisi hewan Normal OV-1 OV-3
12 15.64±0.18 15.46±0.40a 14.43±1.89
18 15.76±0.36 10.70±2.11b -
Umur (bulan) 24 15.96±0.21 11.93±0.68b -
30 15.17±0.06 -
36 15.44±0.20 -
Normal 17.97±0.71 16.64±1.84 14.72±2.27 17.58±1.46 17.24±1.89 OV-1 18.70±1.24 23.43±2.11 23.43±2.11 OV-3 25.93±4.97 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3= 3 bulan pascaovariektomi.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus dengan kondisi 1 bulan pascaovariektomi pada tikus berpengaruh nyata (P<0.05) pada kadar kalsium serum, namun tidak berpengaruh nyata pada kadar fosfor serum. Kadar kalsium serum menurun pada tikus umur 18 dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Apabila tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan tikus normal pada umur yang sama terlihat bahwa kadar kalsium serum pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi tidak berbeda nyata dari tikus normal umur 12 bulan, namun kadar kalsium serum menurun pada tikus umur 18 dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan tikus normal umur 18 dan 24 bulan. Lamanya waktu pascaovariektomi tidak berpengaruh nyata pada kadar kalsium dan fosfor serum, yang diketahui dengan membandingkan tikus umur 12 bulan dalam kondisi normal dengan tikus umur 12 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi dan kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Selanjutnya, tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa kadar kalsium dan fosfor serum tidak berbeda nyata.
77
Densitas adalah kerapatan massa tulang. Rataan panjang tulang, bobot tulang, dan densitas tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 10. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur tikus tidak berpengaruh nyata pada panjang tulang dan bobot tulang, namun berpengaruh nyata (P<0.05) pada densitas tulang. Densitas tulang menurun seiring dengan bertambahnya umur.
Tabel 10
Rataan panjang, bobot, dan densitas tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi
Parameter
Kondisi Umur (bulan) hewan 12 18 24 30 36 Panjang tulang Normal 3.86±0.02 3.85±0.01 3.84±0.07 3.84±0.05 3.83±0.01 (cm) OV-1 3.85±0.02 3.84±0.007 3.82±0.05 OV-3 3.83±0.03 Bobot tulang Normal 0.47±0.03 0.45±0.02 0.43±0.04 0.43±0.02 0.41±0.009 (g)) OV-1 0.44±0.02 0.44±0.01 0.41±0.02 OV-3 0.41±0.02 Densitas tulang Normal 1.57±0.10a 1.45±0.10ab 1.34±0.07bc 1.22±0.07c 1.18±0.02d (g/mL) OV-1 1.49±0.07 1.35±0.12 1.32±0.09 OV-3 1.19±0.01 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). OV-1 = 1 bulan pascaovariektomi, OV-3= 3 bulan pascaovariektomi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah tikus berumur 12 bulan tidak terjadi lagi pertumbuhan tulang tibia, berarti tikus umur 12 bulan sudah mencapai puncak massa tulang. Pada saat mencapai puncak massa tulang, terjadi remodelling tulang, yaitu mempertahankan keseimbangan biokimia tulang melalui proses pembentukan (formasi) dan penyerapan atau resorbsi sejumlah tulang (removal bone). Menurut Wronski dan Yen (1991) bahwa pertumbuhan tulang longitudinal meningkat setelah tikus diovariektomi pada usia muda, tetapi tikus umur 9-12 bulan pertumbuhan tulangnya minimal. Tikus jantan muda tidak cocok digunakan sebagai hewan model osteoponia karena pertumbuhan tulang (growth plate) belum menutup pada usia di bawah 30 bulan (Turner 2001). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi tidak berpengaruh nyata pada panjang tulang, bobot tulang, dan densitas tulang. Apabila tikus umur 12, 18, dan 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dibandingkan dengan tikus normal pada umur yang sama terlihat bahwa panjang tulang, bobot tulang, dan densitas tulang tidak berbeda nyata. Artinya, kondisi 1 bulan pascaovariektomi tidak berpengaruh pada
78
penurunan panjang tulang, bobot tulang, dan densitas tulang. Selanjutnya, lamanya waktu pascaovariektomi tidak berpengaruh nyata pada panjang tulang dan bobot tulang, namun berpengaruh nyata (P<0.01) pada densitas tulang. Hal ini terlihat bahwa kondisi 3 bulan pascaovariektomi berpengaruh pada penurunan densitas tulang. Lebih lanjut, tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi bila dibandingkan dengan usia tua (36 bulan) menunjukkan bahwa panjang tulang, bobot tulang, dan densitas tulang tidak berbeda nyata. Densitas tulang memiliki kaitan dengan proses formasi tulang (Winarno 1998). Berkurangnya hormon estrogen pada saat menopause bertanggung jawab atas kehilangan sejumlah massa tulang.
Kekurangan hormon estrogen
menyebabkan osteoblas mensekresi IL-6 dan sitokin yang dapat merekrut prekursor osteoklas. Adanya osteoklas menyebabkan meningkatnya resorbsi tulang (Hollick 1996). Rataan kekuatan tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal disajikan pada Gambar 9. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada
Kekuatan tulang (kg/cm2)
tikus normal berpengaruh nyata (P<0.05) pada kekuatan tulang.
Gambar 9
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
84,74
54,08 44,84 29,44
32,61
U3
U6
U9
U12 Umur
38,03
U17
U30
Profil rataan kekuatan tulang pada tikus normal umur 3 bulan (U3), tikus umur 6 bulan (U6), tikus umur 9 bulan (U9), tikus umur 12 bulan (U12), tikus umur 17 bulan (U17), dan tikus umur 30 bulan (U30).
Kekuatan tulang mencapai puncaknya pada tikus umur 12 bulan. Setelah umur 12 bulan kekuatan tulang menurun seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini sejalan dengan penurunan kadar kalsium dan densitas tulang. Faibish et al. (2006) melaporkan bahwa kekuatan tulang manusia meningkat sebanding dengan kandungan mineral yang ditemukan. Boivin dan Meunier (2003) menyatakan
79
kekuatan tulang bergantung selain pada volume matriks tulang dan distribusi mikroarsitektur tulang, juga tingkat mineralisasi jaringan tulang sangat mempengaruhi kekuatan tulang, tidak hanya ketahanan mekanik tulang tetapi juga kepadatan mineral tulang. Tabel 11 memperlihatkan bahwa pada tikus umur 18 bulan mulai terjadi penurunan fungsi uterus, kulit, dan tulang. Fungsi uterus sudah mulai menurun yang ditandai dengan penurunan kadar kolagen uterus, kadar DNA uterus, dan kadar RNA uterus. Penurunan fungsi kulit mulai terjadi yang ditandai dengan menurunnya kadar kolagen dan kadar RNA kulit. Begitu juga terjadi penurunan fungsi tulang yang ditandai dengan menurunnya kadar RNA. Tikus umur 18 bulan terlihat kualitas uterus, kulit, dan tulang mulai mengalami penurunan, namun beberapa parameter penurunannya tidak signifikan. Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa premenopause terjadi pada umur 18 bulan. Tabel 11 Perbandingan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi dengan tikus umur 12 bulan Parameter U18
U24
U30
Umur U36
OV12a
OV18
OV24
OV12b
Bobot uterus (g) ------Kolagen uterus (mg/g spl) ----------------DNA uterus (mg/g spl) RNA uterus (mg/g spl) ----------Kolagen kulit (mg/g spl) ------DNA kulit (mg/g spl) RNA kulit (mg/g spl) -----------Kolagen tulang (mg/g spl) ---DNA tulang (mg/g spl) RNA tulang (mg/g spl) --------Kadar Ca tulang (%) -------------Kadar P tulang (%) ++ ++ --++ ++ Rasio Ca/P tulang (%) ----------Kadar abu tulang (%) Kadar Ca serum (mg/dl) Kadar P serum (mg/dl) ++ ++ Panjang tulang (cm) Bobot tulang (g) Densitas tulang (g) -------------Keterangan : U18 = Tikus umur 18 bulan, U24 = Tikus umur 24 bulan, U30 = Tikus umur 30 bulan, U36 = Tikus umur 36 bulan, OV12a =Tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi, OV18 = Tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi, OV24 = Tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi, OV12b = Tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Pada tabel ini tikus umur 12 bulan (U12) dijadikan pembanding bagi kelompok lain. Jika memberikan hasil yang sama dengan tikus umur 12 bulan, maka pada tabel akan diberikan tanda . Jika hasilnya lebih kecil atau menurun diberi tanda – (negatif), dan jika hasilnya lebih besar atau meningkat diberi tanda + (positif). Jumlah tanda – (negatif) dan tanda + (positif) menunjukkan intensitas perbedaan.
Rataan kolagen uterus, kadar RNA uterus, kolagen kulit, kadar RNA kulit, kolagen tulang, kadar RNA tulang, kalsium tulang, rasio Ca/P tulang, dan densitas
80
tulang menurun secara drastis pada tikus normal umur 30-36 bulan. Usia ini diduga memasuki usia pascamenopause yang menunjukkan bahwa organ reproduksi tidak berfungsi lagi sehingga mengakibatkan penurunan hormon estrogen dan progesteron, yang akhirnya berefek pada penurunan kualitas kulit dan tulang. Pada hewan yang diovariektomi, terlihat bahwa kelompok hewan yang diovariektomi pada usia 12 bulan dengan kondisi 3 bulan pascaovariektomi menunjukkan nilai yang sama dengan kelompok hewan usia 36 bulan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hewan model yang pas untuk kondisi pascamenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang adalah tikus dengan umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi.
SIMPULAN 1. Kondisi premenopause dengan menggunakan kualitas uterus, kulit, dan tulang terjadi pada tikus umur 18 bulan, sedangkan kondisi pascamenopause terjadi pada tikus usia 30-36 bulan. 2. Tikus
ovariektomi
yang
cocok
digunakan
sebagai
hewan
model
pascamenopause adalah tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pacaovariektomi.
26
TINJAUAN PUSTAKA
Tempe Tempe merupakan salah satu produk olahan hasil fermentasi kedelai. Tempe sebagai produk makanan telah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat luar. Komponen dan nilai gizi dalam kedelai mengalami perubahan selama fermentasi menjadi tempe. Nilai gizi protein tempe meningkat setelah proses fermentasi karena terjadinya pembebasan asam amino hasil aktivitas enzim proteolitik dari tempe. Fermentasi juga menyebabkan jumlah kandungan isoflavon dalam tempe meningkat dibandingkan dengan kedelai tanpa fermentasi (Cahyadi 2007). Komponen bioaktif sering disebut sebagai komponen nongizi dan telah terbukti secara ilmiah mempunyai efek positif pada kesehatan. Komponen bioaktif lebih ditujukan pada komponen bahan pangan yang mempunyai fungsi fisiologis dalam peningkatan kesehatan (Zakaria et al. 1997). Manfaat tempe, di samping kandungan gizinya yang tinggi, kandungan bioaktif (isoflavon aglikon) yang dihasilkan dalam proses fermentasi kedelai menyebabkan tempe menjadi sangat bermanfaat bagi kesehatan (Nakajima et al. 2005). Jumlah kandungan isoflavon pada tempe dengan menggunakan inokulum Rhizopus oryzae lebih tinggi bila dibandingkan dengan
inokulum
Rhizopus
oligosporus
(Wuryani 1995).
Keterlibatan mikroorganisme pada proses pembuatan tempe terutama terjadi pada saat perendaman oleh bakteri pembentuk asam dan saat fermentasi oleh aktivitas kapang. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut, tempe menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih mudah dicerna. Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbentuknya senyawa-senyawa isoflavon aglikon (daidzein
dan
genistein)
dan
terbentuknya
senyawa
faktor-II
(6,7,4’-
trihidroksiisoflavon) dalam jumlah yang paling kecil (Pawiroharsono 2007). Pawiroharsono (1995) melaporkan bahwa isoflavon glikosida (genistin dan daidzin) dapat terhidrolisis menjadi isoflavon aglikon oleh enzim β-glukosidase. Barz et al. (1993) menyatakan hidrolisis terjadi akibat aktivitas enzim β-glukosidase yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus sp. Selanjutnya Wuryani (1995) melaporkan bahwa hidrolisis juga mudah terjadi karena asam.
27
Menurut Pawiroharsono (1995), peningkatan konsentrasi isoflavon aglikon pada proses fermentasi lebih besar jika dibandingkan dengan pada proses perendaman. Barz et al. (1993) menyatakan bahwa biosintesis faktor-II dapat dilakukan oleh bakteri asal tempe, yaitu Micrococcus luteus dan Brevibacterium epidermidis melalui demetilasi glisitein dan hidroksilasi daidzein oleh Microbacterium arborescens. Kandungan zat aktif isoflavon, khususnya daidzein, genistein, serta isoflavon faktor II yang dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen dalam tubuh dapat mengurangi keluhan psikovasomotor khususnya semburan atau hentakan panas di dada sebagaimana yang dialami perempuan saat memasuki masa menopause (Pawiroharsono 2007). Menurut Wang dan Murphy (1994), senyawa faktor II berpotensi tinggi sebagai antioksidan. Tempe mengandung lebih banyak senyawa isoflavon aglikon bila dibandingkan dengan kedelai mentah. Bentuk aglikon merupakan bentuk aktif yang diperlukan tubuh karena mudah diserap usus. Tempe merupakan bahan makanan yang berkadar protein tinggi, yaitu sekitar 20%, juga mengandung lemak berkadar rendah. Tempe yang baik dan bermutu tinggi memiliki cita rasa, aroma, serta tekstur yang khusus. Warna utama harus putih seperti kapas (Cahyadi 2007). Komposisi rata-rata zat gizi tempe kedelai murni dan tempe pasar per 100 g dapat dilihat pada Tabel 1. Tempe kedelai murni dibuat dengan menggunakan ragi murni, sedangkan tempe pasar dibuat dengan menggunakan ragi yang telah dicampur dengan bahan lain yang disebut laru. Beberapa penelitian mengenai kedelai dan produk olahannya sudah dilaporkan. Penambahan tepung tempe dan tepung tahu dalam pakan pada tikus ovariektomi tidak berpengaruh pada massa dan densitas tulang femur, serta massa tulang lumbar keempat (Nurdin 2002). Bakteri yang terdapat pada tempe berperan dalam pembentukan rasa pahit pada tempe (Barus 2008). Pemberian ekstrak metanol tempe sebanyak 300 mg/kg BB/hari mempunyai aktivitas hipoglikemik dan antioksidatif pada tikus diabetes (Suarsana 2009). Pemberian tempe sebanyak 160 gram setiap hari selama 4 minggu pada wanita menopause dapat memperbaiki profil lipid, yaitu menurunkan kadar kolesterol total sebesar 6%, kolesterol-LDL sebesar 5.8%, dan trigliserida sebesar 11.7% (Utari 2011). Pemberian makanan
28
cair yang diperkaya dengan tempe menurunkan kadar glukosa darah penyandang diabetes melitus (Aitoman 2011). Pemberian bubuk tempe instan sebanyak 35% dapat menurunkan kadar malonaldehid (MDA) pada tikus hiperglikemik (Desminarti et al. 2012).
Tabel 1
Komposisi rata-rata zat gizi tempe kedelai murni dan tempe pasar per 100 g Jumlah Tempe kedelai murni 201.0
Tempe pasar
Protein(g)
20.8
14.0
Lemak (g)
8.8
7.7
Karbohidrat (g)
13.5
9.1
Serat (g)
1.4
1.4
Abu (g)
1.6
0.9
Kalsium (mg)
155.0
517.0
Fosfor (mg)
326.0
202.0
Besi (mg)
4.0
1.5
Karotin total (mg)
34.0
35.0
Vitamin B1 (mg)
0.19
0.17
Air (g)
55.3
68.3
Zat Gizi Kalori (kal)
150.0
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1995)
Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan suatu substrat yang berasal dari tumbuhtumbuhan yang strukturnya mirip dengan estrogen mamalia, oleh karena itu dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Terdapat tiga kelas utama fitoestrogen, yaitu isoflavon, lignan, dan coumestans. Fitoestrogen yang paling terkenal terutama isoflavon yang berasal dari kacang kedelai dan terdapat dalam jumlah yang banyak. Fitoestrogen dalam jumlah yang lebih kecil telah ditemukan di kacangkacangan lainnya dan dalam beberapa sayuran dan buah-buahan (Kurzer dan Xu 1997; Kurzer 2003). Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause,
29
memperbaiki lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Fitoestrogen adalah senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman dan mempunyai efek biologis yang bervariasi pada sel hewan, baik secara in vitro maupun in vivo. Mekanisme aksi fitoestrogen secara seluler mencakup: a) efek genom melalui jalur klasik pada reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta serta reseptor nuklear lainnya; b) penghambatan aktivitas enzim pada steroidogenesis (3β- dan 17β- hidroksisteroid dehidrogenase, dan aromatase); c) menstimulasi sex hormone binding globulin (SHBG); d) menghambat protein tirosin kinase yang penting untuk transduksi sinyal; e) menghambat DNA topoisomerase I dan II yang berguna untuk replikasi DNA; f) mempunyai aktivitas antioksidan (Dusza et al. 2006). Secara in vitro, fitoestrogen dapat meningkatkan produksi SHBG dan menghambat angiogenesis, juga dapat menghambat tirosin kinase, protein kinase C, atau topoisomerase II. Fitoestrogen dapat menstimulasi atau menghambat ekspresi reseptor estrogen alfa atau reseptor estrogen beta dan mRNA pada jaringan saraf dan reproduksi rodensia. Efek fitoestrogen pada individu sangat bervariasi, bergantung pada spesies dan sel target (Dusza et al. 2006).
Isoflavon Isoflavon merupakan salah satu bagian kelompok fitoestrogen, yaitu komponen bahan alam yang banyak terdapat dalam kedelai maupun produk olahannya. King (2002) melaporkan bahwa dalam kedelai terdapat 12 macam isoflavon, yaitu daidzein dengan tiga glukosida konjugasinya, yaitu daidzin, asetidaidzin, dan malonildaidzin; genistein dengan tiga glukosida konjugasinya yaitu genistin, asetilgenistin, dan malonilgenistin; dan glisitein dengan tiga glukosida konjugasinya, yaitu glisitin, asetilglisitin, dan malonilglisitin. Dalam kedelai, glisitein terdapat dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan daidzein dan genistein. Isoflavon pada kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu dalam bentuk aglikon : daidzein, genistein, dan glisitein; bentuk glikosida: daidzin, genistin, dan
30
glisitin; bentuk asetilglikosida: 6-0-asetildaidzin, 6-0-asetilgenistin, dan 6-0-asetil glisitin; dan bentuk malonilglikosida: 6-0-malonildaidzin, 6-0-malonilgenistin, dan 6-0-malonilglisitin (Wang dan Murphy 1994). Menurut Vincent dan Fitzpatrick (2000), isoflavon kedelai merupakan komponen yang diketahui sebagai flavonoid, yang tersusun atas daidzein, genistein, dan sejumlah kecil glisitein. Hasil penelitian Safrida (2008) menunjukkan bahwa di dalam kedelai dan produk olahannya terdapat senyawa isoflavon (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe dalam kg bahan Tepung kedelai Tepung tempe Komponen (mg/kg bk) (mg/kg bk) Daidzein
113.63
555.55
Glisitein
27.59
95.04
Genistein
65.15
250.65
Total isoflavon
206.37
901.24
Keterangan: bk = bobot kering
(Safrida 2008)
Struktur Isoflavon Isoflavon mempunyai kemiripan struktur kimia dengan estrogen pada mamalia (Setchell dan Adlercreutz 1988). Cincin fenol pada isoflavon merupakan struktur penting pada kebanyakan komponen isoflavon yang berfungsi untuk berikatan dengan reseptor estrogen (Leclerq dan Heuson 1979). Struktur kimia isoflavon sangat menentukan aktivitas biologis, bioavailabilitas, dan efek fisiologis. Isoflavon, sebagai senyawa yang mirip estrogen, mengawali kerjanya dengan cara meniru kerja estrogen. Implikasi klinis estrogen bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah reseptor yang dapat berikatan dengan isoflavon, lokasi atau letak reseptor, dan konsentrasi estrogen yang mampu bersaing dengan isoflavon (Kim et al. 1998). Manifestasi ikatan isoflavon dengan reseptor estrogen akan menunjukkan aktivitasnya yang agonis atau antagonis bergantung pada kadar estrogen (Brzozowski et al. 1997). Isoflavon memiliki cincin aromatik dengan 2 gugus – OH atau hidroksil yang jarak 11.0-11.5 A0 pada intinya, yang mirip dengan
31
struktur estrogen (Setchell 1998). Menurut Setchell dan Cassidy (1999), struktur isoflavon hasil metabolisme daidzein ialah equol. Jika ditumpangkan pada struktur estradiol, maka jarak antara gugus hidroksil keduanya sangat identik (Gambar 2).
Gambar 2 Perbandingan kemiripan struktur equol isoflavon dengan estradiol (Setchell dan Cassidy1999) Metabolisme Isoflavon Mikroflora
usus
berperan
penting
dalam
metabolisme
maupun
bioavailabilitas komponen isoflavon dan lignan. Banyaknya metabolit yang terbentuk juga bervariasi di antara individu, dan ini sangat dipengaruhi oleh komponen diet. Bila diet yang mengandung karbohidrat dalam jumlah banyak maka
akan
meningkatkan
fermentasi
intestinal
sehingga
menghasilkan
biotransformasi fitoestrogen yang lebih banyak dan meningkatkan pembentukan equol sebagai hasil metabolisme daidzein mamalia (Setchell et al. 1984). Untuk mencapai sirkulasi plasma, komponen isoflavon dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti waktu konsumsi, usia seseorang, dan banyaknya isoflavon yang dikonsumsi. Setchell (1998) melaporkan bahwa daidzein dan genistein masuk ke dalam sirkulasi plasma orang dewasa dengan kadar optimal dicapai 6-8 jam setelah dikonsumsi. Konsentrasi daidzein, genistein, dan equol dalam plasma orang dewasa sebesar 50-800 ng/mL. Keadaan demikian terjadi ketika orang mengkonsumsi makanan dari kedelai yang mengandung isoflavon sekurangkurangnya 50 mg/hari.
32
Isoflavon sebagai Senyawa yang Mirip Estrogen Struktur molekul isoflavon memiliki kemiripan dengan struktur estrogen. Oleh sebab itu, isoflavon disebut estrogen like atau mirip estrogen. Adanya kemiripan struktur antara dua senyawa tersebut menyebabkan isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang terdapat dalam sel berbagai jaringan tubuh. Isoflavon diketahui berpotensi lebih rendah, yaitu 10 -3 - 10-5 kali dibanding estrogen endogen (Klein 1998), namun mampu berikatan kuat dengan reseptor estrogen beta. Melalui potensi ini, diduga komponen fitoestrogen mampu memberikan efek positif pada jaringan tulang maupun pembuluh darah, tetapi tidak memberikan efek negatif pada jaringan payudara maupun ovarium (Winarsi 2005). Secara fisiologis, efek isoflavon yang mirip estrogen bergantung pada respons yang terjadi, dapat bersifat agonis (menstimulir) atau antagonis (menghambat) reseptor dalam sel targetnya (Ruggiero et al. 2002). Isoflavon genistein mempunyai efek pada proliferasi dan diferensiasi sel. Genistein berpengaruh pada
pematangan oosit,
perkembangan preimplantasi,
dan
postimplantasi baik secara in vitro maupun in vivo (Chan 2009). Isoflavon mempunyai efek estrogenik bagi manusia dan hewan bergantung pada dosis yang digunakan (Yulianto 2003). Dosis isoflavon yang digunakan oleh manusia berkisar 0.4-10 mg/kg bobot badan/hari, sedangkan dosis isoflavon pada rodensia mempunyai respons pada dosis rendah berkisar 0.005-0.2 mg/kg bobot badan/hari dan dosis tinggi berkisar 10-100 mg/kg bobot badan/hari. Dosis isoflavon yang diberikan secara oral sebanyak 3-8 mg/kg bobot badan/hari dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kanker payudara pada tikus (Whitten dan Patisaul 2001). Suatu
penelitian
yang
dilakukan
dengan
subjek
114
wanita
pascamenopause yang diberi kedelai berpengaruh pada hot flushes dan dryness vaginal. Penurunan hot flushes terjadi pada minggu ke-12 (Brzezinski et al. 1997). Selanjutnya, penelitian lain dengan subjek 104 wanita pascamenopause, setelah diberikan suplemen tepung kedelai sebagai diet reguler sebanyak 60 g/hari, ternyata pada minggu ke-12, sebanyak 45% subjek pada kelompok yang diberi tepung kedelai merasakan penurunan hot flushes, sedangkan kelompok kontrol
33
hanya 25%. Dengan demikian, isoflavon memberikan hasil yang lebih berefek pada gejala hot flushes (Albertazzi et al. 1998). Bentuk atau wujud isoflavon dapat berupa isolat protein kedelai, susu kedelai, tepung kedelai, atau makanan apa pun yang mengandung kedelai. Para peneliti, umumnya memberikan suplemen isoflavon dengan dosis berkisar 7-200 mg/hari, sedangkan lama intervensi berkisar 2 minggu hingga 6 bulan. Dilaporkan juga bahwa wanita premenopause yang mengkonsumsi isoflavon 45-200 mg/hari, baik berupa isolat protein kedelai, susu kedelai atupun Textured Vegetable Protein, ternyata kadar hormon LH dan FSH pada siklus pertengahan (midcycle) turun (Duncan et al. 1999), sedangkan panjang siklus menstruasi meningkat, dan estrogen urin turun, yang didukung oleh penurunan metabolit estrogen genotoksik (Xu et al. 1998).
Isoflavon sebagai Antioksidan Antioksidan
merupakan
substansi
yang
dapat
menetralisir
atau
menghancurkan radikal bebas. Secara fisiologis, tubuh mempunyai dua sistem pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu sistem enzim dan sistem nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja secara intraseluler yang sebagian besar terdapat pada mitokondria dan sitoplasma. Ada tiga macam enzim oksidan, yaitu superoksidase dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH Px), namun sering kali ketiga enzim ini kurang efektif sehingga membutuhkan suplai antioksidan nonenzimatik yang terletak di bagian ekstraseluler yang mempunyai kemampuan memberikan dan menyediakan ion hidrogen sehingga radikal bebas menjadi molekul yang stabil (Hanim 1996). Suatu senyawa dikatakan memiliki sifat antioksidatif bila senyawa tersebut mampu mendonasikan satu atau lebih elektron kepada senyawa prooksidan, kemudian mengubah senyawa oksidan menjadi senyawa yang lebih stabil (Winarsi 2005). Zat antioksidan dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah oksigen reaktif menjadi kurang toksik, dan memperbaiki kerusakan yang timbul. Antioksidan bekerja sebagai sebuah sistem untuk menghentikan kerusakan akibat radikal bebas (Sizer
34
dan Whitney 2000). Terdapat tiga jenis antikosidan, yaitu antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase. Antioksidan alami yang diperoleh dari tumbuhan atau hewan ialah tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid, dan senyawa fenolik. Antioksidan sintetik yang dibuat dari bahan-bahan kimia, seperti Butylated Hroayanisole (BHA), Butil Hydroksil Toluen (BHT), Tert Butil Hidroksi Quinon (TBHQ), dan Propil Galat (PG) (Kumalaningsih 2007). Sifat antioksidan isoflavon ditunjukkan melalui gugus hidroksilnya. Ketika isoflavon berinteraksi dengan senyawa oksidan, maka senyawa isoflavon memberikan satu gugus H kepada senyawa oksidan. Kemudian senyawa isoflavon berubah menjadi radikal isoflavon, sementara senyawa oksidan menjadi senyawa yang stabil. Meskipun isoflavon berubah menjadi senyawa radikal, senyawa tersebut tidak memiliki potensi untuk melakukan propagasi. Radikal tersebut akan dinonaktifkan oleh senyawa radikal lain sehingga kembali menjadi senyawa yang stabil (Winarsi 2005). Sebagai antioksidan, isoflavon dalam kedelai mampu meredam aktivitas radikal bebas dengan cara mengikat dan mencegah reaksi berantainya (Kameoka et al. 1999, Kapiotis et al. 1997). Isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Komponen antioksidan flavonoid yang tinggi di dalam tubuh akan menangkap radikal bebas sehingga radikal bebas tidak sempat bereaksi dengan nitrit oksida. Dengan berperannya komponen flavonoid tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan membran sel secara berlebihan (Shutenko et al. 1999). Mekanisme lain yang bertanggung jawab dalam penangkapan radikal bebas turunan oksigen oleh flavonoid ialah melalui imobilisasi leukosit dan memperkuat adesi leukosit pada dinding endotel (Winarsi 2005). Status antioksidan tubuh yang rendah menyebabkan tubuh tidak dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas. Kondisi seperti ini ditunjukkan oleh tingginya kadar malonaldehid (MDA) plasma. Di sisi lain, tingginya kadar MDA plasma juga membuktikan kerentanan komponen membran sel terhadap reaksi oksidasi (Wijaya 1996).
35
Penuaan Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit serta kehilangan mobilitas dan ketangkasan (Datau dan Wibowo 2005). Penuaan (aging) merupakan suatu proses yang secara normal terjadi di dalam tubuh. Proses penuaan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu gizi, radikal bebas, sistem kekebalan tubuh, dan sebagainya. Proses penuaan dapat dihambat bila dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari terkandung antioksidan yang cukup (Siswono 2003). Proses menua erat kaitannya dengan menurunnya aktivitas suatu organel dan menumpuknya sisa metabolisme. Sisa metabolisme dapat mengganggu reaksi kimia dan peredaran suatu bahan metabolit dalam sel sehingga menyebabkan penurunan ketahanan organisme terhadap penyakit selama hidup yang dapat menyebabkan kematian (Ismadi 1987). Menurut Meydani et al. (1995) menua merupakan proses multifaktor yang terjadi pada tingkat sel, organ, dan organisme. Proses penuaan berkaitan dengan radikal bebas. Imbangan normal antara produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan pertukaran antioksidan alami mengalami gangguan sehingga menggoyahkan dan mengganggu suatu rantai reduksi oksidasi yang normal. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan oksidatif jaringan. Keadaan ini diduga sebagai salah satu faktor pendorong terjadinya beberapa penyakit sistemik, seperti katarak, aterosklerosis, kerusakan hati, diabetes, kanker, dan dapat menyebabkan penuaaan dini (Shahidi 1997; Hariyatami 2004). Penuaan dini pada kulit dikarenakan berkurangnya elastisitas jaringan kolagen dan otot sehingga kulit menjadi keriput dan munculnya bintik-bintik pigmen kecokelatan (Kumalaningsih 2007). Ada beberapa teori penuaan, antara lain jaringan menua akibat mutasi acak pada DNA untuk sel somatik yang menyebabkan penumpukan berbagai kelainan. Teori lain menyatakan bahwa akumulasi kelainan tersebut ditimbulkan oleh ikatan silang kolagen dan protein lain, mungkin sebagai hasil akhir kombinasi nonenzimatik glukosa dengan gugus-gugus amino pada molekul-molekul tersebut (Weindruch dan Sehal 1997).
36
Teori lain juga menjelaskan bahwa penuaan sebagai akumulasi kerusakan jaringan akibat radikal-radikal bebas yang terbentuk. Hal ini sangat menarik karena spesies yang memiliki rentang hidup yang lebih panjang menghasilkan lebih
banyak
superoksida
dismutase
(SOD),
yaitu suatu enzim
yang
menginaktifkan radikal bebas oksigen (Wallace 1999). Beberapa mekanisme penuaan secara molekuler meliputi kerusakan oksidatif, ketidakstabilan gen, dan penurunan kadar hormon dalam tubuh (Johnson et al. 1999). Perubahan transkripsi yang diinduksi penuaan meliputi penurunan tingkat transkripsi yang terlibat dalam metabolisme energi dan peningkatan produksi ekspresi gen yang terlibat dalam respons terhadap stress. Sejak awal sudah ada spekulasi bahwa peningkatan umur berhubungan dengan peningkatan disfungsi mitokondria yang kemungkinan disebabkan oleh peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) pada hewan-hewan tua (Lee et al.1999). Menurut Amway (2010), ada tiga teori penuaaan. Teori pertama ialah kerusakan oleh radikal bebas dan radikal bebas dapat dinetralisir dengan antioksidan. Teori kedua ialah kerusakan DNA, yaitu radikal bebas dan sinar UV dapat mengganggu dan merusak DNA di dalam nukleus. Teori ketiga ialah kerusakan mitokondria, yaitu semakin banyak mitokondria yang rusak akan menyebabkan penurunan produksi ATP sehingga berakibat buruk pada kulit.
Penuaan pada Wanita Seiring dengan proses penuaan, terjadi penurunan dramatis fungsi kelenjar reproduksi pada wanita (Ranakusuma 1992). Masa klimakterium, yaitu masa transisi dari reproduktif menjadi nonreproduktif, dibagi ke dalam empat tahap, yaitu premenopause, perimenopause, menopause, dan pascamenopause. Premenopause Tahap ini terjadi sejak fungsi reproduksi mulai menurun (Kasdu 2004; Gebbie dan Glasier 2006). Premenopause ditandai penurunan fungsi ovarium secara berangsur-angsur, ovarium mengecil dan bobotnya berkurang. Pada manusia, premenopause terjadi pada usia sekitar 40 tahun (Zulkarnaen 2003). Penurunan fungsi ovarium pada tikus dapat terjadi dari umur 6 sampai 18 bulan, bergantung pada strain (Felicio et al. 1984). Premenopause merupakan
37
keseluruhan waktu ketika siklus menstruasi berjalan normal sampai mulai mengalami
perubahan-perubahan
yang
menandakan
mendekatnya
masa
menopause. Istilah ini juga mengacu pada fase di mana mulai terjadi perubahan kadar hormon yang menyebabkan perubahan dalam siklus dan karakteristik menstruasi (Wirakusumah 2004). Menurut Walker (1995), kadar estrogen sering relatif stabil atau bahkan meningkat di masa premenopause, kadar progesteron mulai menurun dan terjadi ovulasi yang tidak teratur. Menurut Affandi (1997) pada wanita saat premenopause, yaitu kira-kira umur 40 tahun, mulai terjadi penurunan sekresi hormon progesteron. Hasil penelitian Karaguzel dan Holick (2010) menunjukkan bahwa umumnya wanita premenopause memiliki densitas tulang yang normal, namun pada wanita Kaukasia dengan badan kurus ditemukan osteopenia, yakni densitas tulang tidak normal atau mulai menurun.
Perimenopause Definisi perimenopause adalah masa perubahan antara premenopause dan menopause, yang ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur dan disertai pula dengan perubahan-perubahan fisiologik, termasuk juga masa 12 bulan setelah menopause. Perimenopause ditandai dengan fluktuasi dari hormon yang didefinisikan
sebagai
“irregularly
irregular”.
Menurut
WHO
definisi
perimenopause adalah 2-8 tahun sebelum menopause dan 1 tahun setelah berakhirnya haid.
Perimenopause, yaitu suatu fase sebelum menopause yang
umumnya terjadi antara umur 40-50 tahun, dimana terjadi transisi dari siklus haid yang teratur menjadi suatu bentuk siklus yang tidak teratur dan periode amenore yang berhubungan dengan perubahan hormonal. Lamanya perimenopause berkisar 2-8 tahun. Secara klinik durasinya bisa saja 10 tahun. Tanda awal dari perimenopause adalah perubahan pada pola perdarahan haid. Keadaan ini diakibatkan defisiensi atau berfluktuasinya estrogen dan progesteron (Zulkarnaen 2003). Perimenopause merupakan masa transisi menuju menopause yang meliputi beberapa tahun sebelum menstruasi mulai benar-benar berhenti. Pada masa ini mulai mengalami gejala-gejala seperti pendarahan yang tidak teratur, hot flush, dan lain sebagainya. Pada sebagian orang, menstruasi bisa terjadi lebih banyak dan pada sebagian lain justru menjadi lebih sedikit. Pada masa ini produksi
38
estrogen mulai berkurang dan fungsi ovarium juga mulai menurun dan akhirnya berhenti (Wirakusumah 2004).
Menopause Menopause didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana berhentinya siklus menstruasi yang terjadi secara permanen dan hormon yang dihasilkan dari ovarium berangsur-angsur hilang. Fungsi ovarium berkurang sehingga kadar hormon estrogen dan progesteron rendah. Pada wanita, usia mulai menopause bervariasi dimulai sekitar 45 tahun hingga 55 tahun (Timiras et al. 1995). Menopause merupakan haid terakhir yang masih dikendalikan oleh fungsi hormon ovarium. Saat menopause, kapasitas reproduksi seorang wanita berhenti, ovarium tidak lagi berfungsi, produksi hormon steroid dan peptida berangsur-angsur hilang, dan terjadi sejumlah perubahan fisiologik. Sebagian disebabkan oleh berhentinya fungsi ovarium dan sebagian lagi disebabkan oleh proses penuaan. Perubahan lain yang terjadi pada wanita menopause adalah perubahan pada sistem skeletal (tulang) dan kardiovaskular berupa osteoporosis, penyakit jantung dan pembuluh darah (Zulkarnaen 2003), terjadi penurunan kadar kolagen kulit (Brincat 2004), dan menurunkan densitas tulang (Walker 1995). Tikus betina tua memiliki periode diestrus yang panjang dan peningkatan sekresi gonadotropin (Ganong 2003). Pada wanita, gejala awal yang terjadi pada masa menopause adalah menstruasi yang tidak teratur yang disebabkan oleh penurunan kadar estrogen dan progesteron. Selain itu, penurunan kadar estrogen berpengaruh pada jaringan kolagen yang berfungsi sebagai jaringan penunjang tubuh, hilangnya kolagen menyebabkan kulit menjadi kering dan keriput, rambut rontok, gigi mudah goyang dan gusi berdarah, sariawan, serta timbul rasa sakit dan nyeri pada persendian. Gejala sindrom menopause yang lain adalah hot flush, kenaikan bobot badan, sembelit, osteoporosis dan sakit punggung, atropi vagina, insomnia, gangguan psikis, dan emosi (Shimp dan Smith 2000, Kasdu 2004, Wirakusumah 2004).
39
Pascamenopause Pascamenopause didefinisikan sebagai keadaan amenorea 12 bulan (12 bulan setelah menopause), yang ditandai dengan kadar LH dan FSH yang tinggi serta kadar estrogen dan progesteron yang rendah (Zulkarnaen 2003). Pada tikus strain Long Evans, pascamenopause ditandai dengan kadar estradiol dan progesteron plasma yang rendah, serta sedikit atau tidak ada folikel ovarium yang tersisa berkembang (Lu et al. 1979). Pada mamalia, saat pascamenopause terdapat jumlah folikel atresia yang lebih banyak (Johnson et al. 2004).
Hormon Estrogen Kimia dan Biosintesis Estrogen Estrogen yang terdapat secara alamiah adalah 17β-estradiol (E2), estron (E1), dan estriol (E3). Hormon-hormon ini disekresikan oleh sel-sel teka interna folikel di ovarium secara primer, dan dalam jumlah lebih sedikit juga diproduksi di kelenjar adrenal melalui konversi hormon androgen (Ganong 2003). Sintesis hormon estrogen terjadi di dalam sel-sel teka dan sel-sel granulosa ovarium, yang pembentukannya melalui beberapa rangkaian reaksi enzimatik. Pada tahun 1959, Ryan dan Smith mengemukakan hipotesis 2 sel, yakni mekanisme produksi hormon steroid dalam ovarium untuk menerangkan kerja sama antara sel teka dan sel granulosa dalam pembentukan hormon (Hiller et al. 1994) Prekursor hormon estrogen adalah kolesterol. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukannya dari androgen juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi. Aromatase adalah enzim yang mengkatalisis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna memiliki banyak reseptor LH, dan LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan perubahan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol, yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion pada sel granulosa. Sel granulosa memberikan estradiol bila mendapat androgen. Sel granulosa memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dan bekerja melalui siklik AMP untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga memiliki reseptor LH, dan LH juga
40
merangsang pembentukan estradiol (Johnson dan Everitt 1984, Ganong 2003) (Gambar 3).
Gambar 3 Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel (Johnson dan Everitt 1984). Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat bergantung pada kehadiran FSH dan LH karena kedua hormon tesebut sangat essensial dalam sintesis estrogen, sedangkan bila LH secara tunggal tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan folikel. Level hormon reproduksi bersifat fluktuatif sesuai dengan pola reguler dan tetap. Pola tersebut merupakan hasil interaksi dari sejumlah organ dengan hormon. Pada mamalia dewasa, fluktuasi berbagai hormon reproduksi dikenal sebagai siklus estrus yang terdiri atas proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus atau secara global umumnya dikenal dengan fase folikel (fase pertumbuhan, yang ditandai dengan level estrogen tinggi), sedangkan fase luteal memiliki waktu yang cukup panjang yang ditandai
41
dengan perkembangan korpus luteum dan kadar progesteron tinggi. Sekresi FSH terjadi secara ritmis selama 4-5 hari sebelum berahi, menjelang fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat dan secara sinergis dengan LH, akan merangsang pertumbuhan folikel dan folikel akan mencapai stadium folikel tersier yang matang. Dalam waktu yang cukup singkat, di bawah pengaruh FSH dan 17β-estradiol, terjadi pembentukan reseptor-reseptor untuk kedua jenis hormon tersebut, sedangkan pada sel-sel granula juga terjadi induksi pembentukan reseptor untuk LH (Pineda 1989). Folikel ovari matang dan kadar estrogen di atas ambang (threshold) akan berespons terhadap hipotalamus untuk menekan pelepasan FSH dan selanjutnya memfasilitasi pelepasan LH untuk menandai proses ovulasi (Pineda 1989). Pada saat tersebut, sel-sel granulosa memproduksi inhibin yang bekerja khusus untuk menghambat produksi FSH (feedback negatif). Tingginya kadar estrogen merupakan sinyal untuk pelepasan LH dalam kaitannya dengan persiapan ovulasi. Hipothalamus, hipofisis, gonad, dan plasenta merupakan kelenjar endokrin reproduksi. Kelenjar ini akan bekerja sama secara padu dan mempunyai suatu putaran interkoneksi yang dikenal sebagai poros Hipotalamus-hipofisis-gonad. Pada hipotalamus bagian median eminentia dan preoptik diduga gonadotropin releasing factor (GnRH) diproduksi oleh sel-sel neuron endokrin setelah mendapat rangsangan dari sistem saraf pusat (CNS). GnRH diangkut dan dikirim kelenjar pituitari anterior melalui sistem portal hipothalamus-hipophyseal. Pelepasan GnRH dari terminal saraf dan median eminence ke dalam sistem portal darah hipofisis merupakan sinyal neuroendokrin untuk merangsang proses ovulasi. GnRH akan menstimulasikan sel-sel gonadotropin kelenjar pituari untuk mensekresikan follicle stimullating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). GnRH, FSH, dan LH akan dilepaskan dengan lonjakan-lonjakan tertentu, FSH dan LH akan bekerja pada sel target pada gonad. FSH akan merangsang sel-sel granulosa untuk memfasilitasi proses oogenesis dan bertanggung jawab atas perkembangan dan pematangan folikel. LH berfungsi merangsang sintesis androstenedion dari kolesterol, dan selanjutnya dikonversi menjadi testosteron. Pada sel-sel granulosa terjadi aromatisasi 17ß-estradiol di bawah pengaruh FSH membentuk estrogen (Ganong 2003).
42
Hormon ataupun target organ memiliki suatu sistem umpan balik homeostatik, yaitu semua mekanisme hormon diatur oleh sekresi hormon itu sendiri.
Estrogen dapat menyebabkan feedback positif pada hipotalamus dan
pituitari anterior, yakni peningkatan kadar estrogen akan menyebabkan peningkatan sekresi GnRH, demikian pula akan terjadi peningkatan kadar gonadotropin dari pituitari anterior (Ganong 2003). Suatu mekanisme umpan balik negatif terdapat dalam pengaturan pelepasan estrogen oleh hipofisis, yaitu kadar FSH dan LH dikontrol oleh konsentrasi estrogen dan progesteron dalam darah. Kadar estrogen yang sangat rendah menstimulir pelepasan FSH yang bekerja sama dengan LH menyebabkan pertambahan pelepasan estrogen. Apabila kadar estrogen dalam darah cukup tinggi, estrogen akan bekerja balik pada hipofisis untuk menghambat pelepasan FSH lebih lanjut dan terjadi penurunan kadar estrogen. Sekresi progesteron dirangsang oleh LH dan pada fase luteal sekresi progesteron akan meningkat (Binkley 1995) (Gambar 4).
Gambar 4
Diagram skematik pengaturan siklus reproduksi pada hewan betina (Binkley 1995)
43
Transpor dan Metabolisme Estrogen Estrogen yang beredar terikat pada protein plasma dan proses pengikatannya terjadi di dalam hati. Hati melaksanakan peranan ganda dalam metabolisme estrogen, yaitu menginaktifkan steroid ini dan juga memberikan pengaruh mengaktifkan lewat pembentukan estoprotein. Kira-kira 50 persen estrogen dalam darah dikonjugasi dengan glukoronida dan sulfat; dan hampir seperlima dari produk konjugasi ini diekskresikan lewat empedu, sedangkan sebagian besar diekskresikan ke dalam urin dan feses (Gruber et al. 2002; Ganong 2003).
Mekanisme Kerja Estrogen Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor dalam sitoplasma sel target membentuk kompleks hormon reseptor, kemudian bermigrasi ke inti. Di dalam inti kompleks hormon reseptor ini segera memulai proses transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel. Perubahan pada tingkat pascatranskripsi adalah faktor yang mempengaruhi level steady-state-specific dan protein. Oleh karena itu, steroid mengatur fisiologis sel target dengan cara mengontrol mRNA dan protein dalam sel (Guyton 1996). Seperti yang dilaporkan oleh Kuiper et al. (1996) bahwa di dalam tubuh terdapat dua macam reseptor, yaitu reseptor estrogen beta dan reseptor estrogen alfa. Menurut Paech et al. (1997) dua reseptor estrogen ini memainkan peran yang berbeda, demikian pula distribusinya dalam jaringan dan afinitas pengikatannya dengan ligan juga berbeda. Reseptor estrogen beta terdistribusi dalam jaringan otak, tulang, ovarium, prostat, kandung kemih, dan epitel pembuluh darah. Selanjutnya menurut Warner et al. (1999) reseptor alfa terdistribusi dalam jaringan uterus, ovarium, payudara, liver, ginjal, testis, hipofisis, epididimis, dan adrenal. Menurut Ganong (2003), pengaturan fungsi ovarium oleh sumbu hipofisis-ovarium diperantarai oleh reseptor estrogen alfa, sedangkan estrogen yang disekresikan ke dalam folikel ovarium bekerja melalui reseptor estrogen beta.
44
Menurut penelitian Pelletier dan El-Alfi (2000), pewarnaan dengan imunohistokimia pada berbagai jaringan reproduksi manusia memiliki dua subtipe reseptor estrogen. Dalam ovarium terdapat dua reseptor estrogen, yaitu reseptor estrogen beta dan alfa. Reseptor estrogen beta ditemukan pada inti sel granulosa folikel dari tahap folikel primer sampai folikel matang, kelenjar interstisial, dan sel epitelium germinal, sedangkan reseptor estrogen alfa terdapat pada sel teka, kelenjar interstisial, dan sel epitelium germinal. Uterus mempunyai reseptor estrogen alfa yang terdapat pada epitelium, stroma dan sel otot, begitu juga dengan reseptor estrogen beta. Vagina mempuyai reseptor estrogen alfa yang terdapat di epitelium berlapis banyak (stratified epithelium), stroma dan sel otot, namun reseptor estrogen beta pada vagina tidak dapat dideteksi. Pada kelenjar mammae terdapat dua reseptor estrogen, yaitu reseptor estrogen beta dan alfa yang ditemukan pada sel epitelium dan stroma. Sebagian besar efek estrogen bersifat genomik, yaitu diperantarai oleh reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta. Namun, beberapa efek terjadi sedemikian cepat sehingga sulit dipercayai bahwa efek tersebut diperantarai oleh pembentukan mRNA. Efek-efek tersebut meliputi efek pada pencetusan impuls neuron di otak dan efek umpan balik pada sekresi gonadotropin. Adanya efek-efek ini berarti estrogen memiliki efek nongenomik dan genomik yang mungkin diperantarai oleh reseptor-reseptor membran (Ganong 2003). Aksi Molekuler Estrogen Kerja utama estrogen yang spesifik ditentukan oleh struktur hormon, subtipe, atau isoform reseptor estrogen yang terlibat, karakteristik promotor gen target, dan keseimbangan koaktivator dan koreseptor yang memodulasi respons transkripsional akhir dengan kompleks estrogen dan reseptor estrogen (Gruber et al. 2002). Sebagai estrogen bebas yang berdifusi ke dalam sel, estrogen mengikat domain ikatan ligan dari reseptor, yang dipisahkan dari pengantar sitoplasmanya; kompleks estrogen dan reseptor estrogen selanjutnya berdifusi ke dalam nukleus sel. Kompleks estrogen-reseptor estrogen ini berikatan dengan bagian spesifik dari DNA yang disebut elemen-elemen respons estrogen sebagai homodimer atau heterodimer (Pettersson et al. 1997). Kompleks estrogen-reseptor estrogen tidak berikatan hanya pada elemen respons, tetapi juga dengan koaktivator atau represor
45
reseptor inti. Mekanisme pasti dari translokasi inti kompleks estrogen-reseptor estrogen tidak juga sepenuhnya diketahui, tetapi diketahui bahwa protein sitosolik Kaveolin-1 menstimulasi proses translokasi ini melalui interaksi langsung dengan molekul reseptor (Schlegel et al. 1999). Reseptor estrogen merupakan anggota dari superfamili reseptor-hormon inti, yang memiliki kira-kira 150 anggota yang telah dikenal. Reseptor estrogen memiliki beberapa domain fungsional. Domain yang berikatan dengan DNA terdiri atas dua ikatan seng yang terlibat dalam pengikatan dan dimerisasi reseptor. Subtipe pertama, reseptor estrogen α yang klasik, pertama kali diklon tahun 1986. Subtipe kedua, reseptor estrogen β ditemukan paling terkini. Kedua subtipe reseptor ini bervariasi dalam struktur dan gen-gen pengkode, serta terdapat dalam kromosom-kromosom yang berbeda. Gen reseptor estrogen α telah dipetakan pada lengan panjang 13 kromosom 6, sedangkan gen reseptor estrogen β berlokasi pada pita q22-24 dari kromosom 14. Walaupun domain ikatan DNA dari reseptor estrogen α dan β sangat mirip, derajat keseluruhan homologi dari reseptor adalah rendah (Gruber et al. 2002; Kuiper et al. 1996). Beberapa ligan mempunyai afinitas yang berbeda untuk reseptor estrogen α dan reseptor estrogen β (Tabel 3). Tabel 3 Afinitas-afinitas relatif ikatan ligan-ligan yang berbeda untuk reseptor estrogen α dan reseptor estrogen β Ligan 17 β- estradiol 17α-estradiol Estriol Estron 4-hidroksiestradiol 2-hidroksiestron Tamoxifen Raloxifen Genestein Coumestrol Daidzein Roctylfenol Nonylfenol
Reseptor estrogen α 100 58 14 60 13 2 4 69 4 20 0.1 0.02 0.05
Sumber : Gruber et al. 2002
Reseptor estrogen β 100 11 21 37 7 0.2 3 16 87 140 0.5 0.07 0.09
46
Reseptor estrogen berinteraksi dengan beberapa protein koregulator yang menghubungkan antara reseptor teraktivasi dan perlengkapan transkripsi. Untuk membentuk kompleks transkripsi-inisiasi, kumpulan berbagai faktor, seperti protein yang berikatan dengan kotak TATA (deret DNA yang ditemukan pada area promotor inti dari gen eukariota) dan faktor yang berhubungan lainnya di kotak TATA, dibutuhkan oleh RNA polimerase II. Dalam proses transkripsi, kotak TATA menentukan ketepatan awal proses transkripsi. Protein koregulator reseptor-nukleus berinteraksi dengan molekul reseptor untuk memodulasi kapasitas transkripsionalnya (Gruber et al. 2002). Reseptor estrogen alfa (ERα) dan reseptor estrogen beta (ERβ) dalam berbagai jaringan dapat memodulasi ekspresi gen yang berbeda (Gambar 5). Penelitian secara in vitro telah menunjukkan bahwa ERβ dan ERα dapat bersifat heterodimer, yang megindikasikan adanya kemungkinan aksi untuk bekerja sama, sinergis atau penghambat antara kedua reseptor (Thornton 2002).
Gambar 5 Diagram skematik ikatan estrogen dengan reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta dapat memodulasi ekspresi gen yang berbeda. 17β-estradiol dapat mengaktifkan ekspresi gen yang berbeda melalui dua reseptor. 17βestradiol dapat berikatan dengan ERα dan ERβ dengan afinitas yang sama. Setelah mengikat ligan, reseptor steroid dalam bentuk homodimer berinteraksi pada bagian spesifik dengan elemen respons estrogen (ERE) dari gen target. Dalam sel, ekspresi reseptor estrogen heterodimer mungkin terjadi, yang mana menghasilkan ekspresi gen yang berbeda. Ligan selektif berikatan dengan salah satu reseptor estrogen (misalnya ERβ) akan memungkinkan ekspresi gen selektif (Thornton 2002)
47
Selain jalur genom, estrogen bekerja secara nongenomik mengakibatkan efek seluler yang cepat pada berbagai jaringan (Levin 2002). Estrogen telah terbukti mempunyai respons yang cepat yang melibatkan second messenger (Nadal et al. 1995). Estradiol telah dapat mengaktifkan sinyal mitogen-activated protein kinase (MAPK), juga dapat menyebabkan stimulasi cepat fluks kalsium, generasi cAMP dan IP3, dan aktivasi fosfolipase C (Kato et al. 1995; Levin 2002). Lebih lanjut kompleksitas dari sinyal estrogen diketahui bahwa estradiol dapat berinteraksi dengan reseptor membran dan dapat berinteraksi dengan faktorfaktor pertumbuhan dan reseptornya. Hubungan estrogen dan faktor pertumbuhan di sejumlah jaringan telah dilaporkan, termasuk insulin-like growth factor-1 (IGF1) (Cardona-Gomez et al. 2002, Klotz et al. 2002), epidermal growth factor (EGF) (Filardo 2002) dan transforming growth factor-α (TGF-α) (Seo dan Leclercq 2002). Aksi estrogen secara genomik dan non genomik, mencakup reseptor membran untuk sinyal estrogen dan interaksinya dengan sinyal intraseluler lain dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6
Diagram skematik aksi estrogen secara genomik dan nongenomik. Estrogen dapat melakukan aksinya melalui reseptor estrogen intraseluler dan reseptor estrogen di permukaan sel. Secara genomik, estrogen dapat masuk ke dalam sel dan berikatan dengan reseptor nuklear intraseluler yang dimer dan berinteraksi dengan elemen respon estrogen (ERE) untuk memulai transkripsi gen (gen X). Secara non-genomik, estrogen dapat berikatan dengan reseptor membran plasma yang kemudian berinteraksi dengan jalur sinyal sel termasuk jalur MAP kinase dan mengaktifkan gen yang berbeda (gen Y). Melalui membran plasma, estrogen juga dapat berinteraksi dengan jalur sinyal intraseluler lainnya (?) (Thornton 2002).
48
Efek Estrogen pada Saat Menopause Pada
saat
menopause,
terjadi
penurunan
fungsi
ovarium
yang
mengakibatkan penurunan produksi hormon estrogen (Cassidy et al. 2006). Estrogen mempengaruhi kulit, terutama kadar kolagen, jumlah proteoglikan, dan kadar air kulit. Kolagen dan serat elastin berperan untuk mempertahankan stabilitas dan elastisitas kulit. Turgor kulit dapat dipertahankan oleh proteoglikan yang dapat menyimpan air dalam jumlah besar. Estrogen mempengaruhi aktivitas metabolik sel-sel epidermis dan fibroblas, serta aliran darah (Baziad 2003). Kekurangan estrogen dapat menurunkan mitosis kulit sampai atropi, menjadikan ketebalan kulit berkurang, menyebabkan berkurangnya sintesis kolagen, dan meningkatkan penghancuran kolagen. Kehilangan kolagen ini juga berjalan paralel dengan hilangnya massa tulang. Kekurangan estrogen juga menyebabkan berkurangnya sintesis dan polimerisasi asam hialuron sehingga terjadi pengurangan pengambilan dan penyimpanan air, yang pada akhirnya terjadi dehidrasi kulit. Hal ini membuat kulit kehilangan elastisitasnya, atopik, tipis, kering, dan berlipat-lipat (Baziad 2003). Estrogen merupakan hormon yang mempunyai peranan dalam terjadinya osteoporosis pada saat pascamenopause, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pertama, efek berkurangnya estrogen secara tidak langsung akan meningkatkan sensitivitas tulang terhadap hormon paratiroid (PTH), yang dengan demikian akan meningkatkan resorpsi tulang. Dengan kata lain, estrogen dapat menurunkan aktivitas PTH terhadap tulang dengan menurunkan mekanisme PTHmediated bone resorpsi. Estrogen juga berpengaruh pada tulang melalui kalsitonin. Kalsitonin dalam darah cenderung menurun dengan bertambahnya usia dan menopause. Dengan demikian, pada wanita menopause akan lebih cepat terjadi defisiensi kalsitonin secara relatif. Penurunan respons kalsitonin berpengaruh pada kadar kalsium. Kedua, efek estrogen secara langsung, estrogen berpengaruh langsung pada metabolisme tulang melalui reseptor estrogen pada sel osteoblas yang terdapat di dalam trabekula tulang (Ranakusuma 1992).
49
Hormon Progesteron Progesteron adalah anggota dari progestin yang terpenting karena dari sekian banyak anggota progestin hanya progesteronlah yang banyak berfungsi, sedang yang lain merupakan metabolit dari progesteron. Meskipun demikian, sejumlah progesteron lain, yaitu 17-α-hidroksiprogesteron juga disekresikan bersama dengan progesteron dan mempunyai efek yang pada dasarnya sama (Guyton 1996). Progesteron adalah hormon steroid yang memiliki 21 atom C dengan struktur dasar inti pregnan. Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lainnya, seperti estrogen. Hal ini disebabkan progesteron secara normal bekerja sama dengan estrogen dan steroid-steroid lainnya dan menghasilkan hanya sedikit pengaruh-pengaruh khusus bila bekerja sendiri (Cole dan Cupps 1977). Salah satu organ utama sasaran progesteron adalah uterus. Progesteron berperan dalam perubahan progestasional di endometrium dan perubahan siklik di serviks dan vagina (Ganong 2003). Hormon steroid utama yang dihasilkan oleh ovarium ada dua, yaitu estrogen dan progesteron. Estrogen dihasilkan oleh sel-sel folikel graafian dan progesteron dihasilkan oleh korpus luteum dan beberapa jaringan lain pada mamalia (Rastogi 2007). Selain korpus luteum, progesteron juga disekresikan oleh plasenta, folikel, dan korteks adrenal. 17β-hidroksiprogesteron disekresikan bersama estrogen dari ovarium, dan sekresinya setara dengan sekresi 17βestradiol. Sekitar 2% progesteron dalam darah berada dalam keadaan bebas, sementara 80% terikat ke albumin dan 18% terikat ke globulin pengikat kortikosteroid. Progesteron memiliki waktu paruh yang singkat dan diubah menjadi pregnandiol di hati, yang kemudian dikonjugasi dengan asam glukuronat dan diekskresikan dalam urin (Ganong 2003). Pada saat menopause, ovarium tidak lagi mensekresikan progesteron dan estradiol dalam jumlah yang bermakna sehingga kadar estrogen dan progesteron dalam darah menjadi rendah. Uterus dan vagina perlahan-lahan menjadi atropi. Karena efek umpan balik negatif estrogen dan progesteron menurun, maka sekresi FSH dan LH meningkat (Ganong 2003). Tikus betina afkir ditandai dengan kadar estradiol dan progesteron plasma yang rendah, serta sedikit atau tidak ada folikel ovarium yang tersisa berkembang (Lu et al. 1979).
50
Uterus Tikus mempunyai uterus berbentuk dupleks, dengan dua serviks (Rastogi 2007). Dinding uterus terdiri atas suatu mukosa yang disebut endometrium, disekelilingi oleh lapisan otot polos miometrium yang membentuk hampir seluruh ketebalan dinding dan akhirnya membran serosa luar peritoneum, yang menutupi uterus disebut perimetrium. Pada endometrium terdapat kelenjar uterus yang berbentuk tubular, yang terbuka langsung ke permukaan mukosa. Kelenjar meluas ke bawah pada seluruh ketebalan stroma sampai dekat miometrium, kadangkadang ujungnya bercabang (Geneser 1994). Kelenjar uterus selama fase folikuler terlihat sederhana dan lurus dengan sedikit cabang, sedangkan selama fase luteal saat progesteron bekerja terhadap uterus akan terlihat endometrium bertambah tebal secara mencolok, diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat, menjadi bercabang dan berkelok-kelok. Estrogen menyebabkan meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis yang diberikan pada tikus dan mencit mengakibatkan akumulasi air pada lumen uterus (Guyton 1996). Kolagen ditemukan pada beberapa organ tubuh, di antaranya uterus. Pada lapisan endometrium uterus terdapat jaringan ikat kolagen. Kolagen adalah struktur penunjang pada uterus sebagai indikasi kepesatan pertumbuhan kelenjar yang akan berfungsi sebagai wadah penyedia nutrisi bagi embrio yang disebut dengan susu uterus (Satyaningtijas 2001). Perubahan struktur kolagen uterus dipengaruhi oleh estrogen (Pastore et al. 1992). Iwahashi dan Muragaki (2011) menyatakan pada wanita yang menderita prolapse uterus terjadi sebagai akibat adanya penurunan kolagen uterus. Uterus memiliki reseptor estrogen alfa lebih dominan bila dibandingkan dengan reseptor estrogen beta (Brandenberger et al. 1997). Reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta terdapat pada epitelium, stroma, dan sel otot uterus (Pelletier dan El-Alfi 2000). Peranan ERα tidak hanya untuk mendorong faktor pertumbuhan seperti IGF-1, yang kemudian menyebabkan respons proliferatif. Pemberian IGF-1 tidak menimbulkan respons pada uterus jika tidak ada Erα. Ikatan IGF-1 dengan reseptor estrogen (IGF-1/ER) secara in vivo menunjukkan bahwa IGF-1 dapat mengaktifkan transkripsi reseptor estrogen yang termediasi
51
(ER-mediated transcription) pada uterus tikus. Sintesis DNA uterus dimulai dengan aktivasi ERα baik secara langsung oleh estradiol (E2), atau secara tidak langsung oleh jalur aktivasi reseptor IGF-1 (IGF-1R) yang termediasi pada ERα (Klozt et al. 2002) (Gambar 7).
IGF-1 yang diinduksi aksi estradiol pada sel stroma
Reseptor IGF-1
Sel epitel uterus
IGF-1 terinduksi sinyal MAPK IGF-1 terinduksi sinyal P1-3 kinase
terjadi di inti sel
“Respons estrogenik"
Gambar 7
Diagram skematik ikatan IGF-1 dengan reseptor estrogen (IGF-1/ER) pada uterus. E2 (estradiol) dapat mengaktifkan reseptor estrogen (ER) secara langsung melalui mekanisme ikatan E2/ER klasik (garis panah berwarna merah dan bulatan oval merah). IGF-1 juga dapat mengaktifkan ER (garis panah berwarna biru dan bulatan oval biru), melalui mekanisme yang melibatkan PI 3-kinase/Akt dan MAPK (mitogen-activated protein kinase) (garis panah terputus). Mekanisme aktivasi ER memperlihatkan respons sintesis DNA dan ekspresi proliferasi (PCNA). Aktivasi ER menunjukkan adanya aspek molekuler yang penting untuk respons estrogenik, contohnya pada uterus tikus ERα knockout (αERKO) yang diinduksi IGF-1, yang mana sintesis DNA tidak terjadi jika tidak ada ER (Klozt et al. 2002)
Kulit Kulit merupakan organ terluas pada tubuh, dan merupakan organ pelindung primer terhadap serbuan kuman penyebab infeksi dan pelindung terhadap dehidrasi. Kulit tersusun atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan subkutis. Kulit juga mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat. Epidermis terdiri atas sel keratin dan melanosit dan membentuk lapisan
52
tipis terluar. Lapisan dermis merupakan lapisan yang lebih dalam membentuk ketebalan utama kulit yang fungsinya ialah menyediakan ruangan yang potensial untuk menunjang pembuluh darah, saraf, dan anggota tubuh lainnya yang terdapat di dalamnya (Geneser 1994). Kolagen adalah komponen protein pembentuk struktur kulit, otot, dan pembuluh darah yang berbentuk serat tripel heliks. Protein ini tersusun atas fragmen residu asam amino glisin-prolin-X, dengan X sebagai asam amino apa pun, secara berulang-ulang (Nurachman 2003). Kolagen merupakan protein struktural yang secara alami berbentuk serat, yang tersusun atas 25-30% total protein tubuh hewan. Kolagen ini disintesis pada semua tipe sel dan didepositkan pada semua tipe jaringan. Komponen utama tendon dan ligamen adalah kolagen. Serabut-serabut kolagen jaringan ikat mempunyai diameter antara 1-12 μm, sedangkan ikatan-ikatan paralel fibril penyusun serabut kolagen tersebut berdiameter antara 20 dan 100 nm (Soeparno 1992). Semakin bertambah umur, kelarutan kolagen menurun dan rantai polipeptida semakin menyempit serta kolagen yang tidak larut semakin menumpuk di ruang ekstraseluler. Akibat penumpukan ini, aliran nutrien dan oksigen ke sel terhambat yang menyebabkan sel tersebut mengalami kelaparan dan kematian. Kejadian ini akan memberikan kontribusi terhadap penuaan. Penurunan kelarutan kolagen dengan bertambahnya umur terjadi akibat penurunan enzim kolagenase secara tajam. Penurunan ini meningkatkan ikatan silang antara fibril kolagen dan perubahan daya regang kolagen yang menyebabkan terjadinya kekerutan pada kulit. Konsentrasi radikal bebas dan makromolekul meningkat dengan bertambahnya usia karena superoxide dismustase (SOD) yang dikode oleh gen semakin menurun (Kanungo 1994). Serat yang terdapat pada organ konektif dermis secara garis besar ada dua yang dominan, yaitu kolagen dan elastin. Dari total bobot badan orang dewasa, 80% adalah kolagen. Serat kolagen yang diproduksi oleh fibroblas dan tersusun paralel pada permukaan kulit memberikan kulit kekuatan untuk dapat diregangkan dan mencegahnya menjadi robek akibat robekan minor. Hanya 5% dari dermis berupa serat elastin. Serat elastin menyebabkan kulit menjadi elastis dan kenyal. Serat elastin tersusun setipis distribusi jaringan subepidermis, dan juga diproduksi
53
oleh fibroblas. Pada jaringan pengikat dermal terdapat reseptor sensorik dan glikosaminoglikan (GAGs). Kualitas kulit menurun seiring dengan bertambahnya usia karena efek sinergik dari penuaan, sinar matahari, defisiensi hormon, dan faktor lingkungan (Datau dan Wibowo 2005). Estrogen memiliki efek penting pada jaringan nonreproduksi, dan ekspresi dari reseptor estrogen bergantung pada jaringan. Selain jaringan reproduksi baik pada pria dan wanita, reseptor estrogen alfa (ERα) dan reseptor estrogen beta (ERβ) terdapat pada berbagai jaringan, seperti tulang, otak, paru-paru, kandung kemih,
timus,
hipofisis,
hipotalamus,
jantung,
ginjal,
adrenal,
sistem
kardiovaskular, dan kulit termasuk folikel rambut (Thornton 2002, 2005). Terdapat dua mekanisme aksi estrogen dalam pembentukan kolagen kulit, yaitu secara nongenomik dan secara genomik (Stevenson dan Thornton 2007). Pertama, estrogen bekerja secara nongenomik mengakibatkan efek seluler yang cepat pada berbagai jaringan (Levin 2002). Kedua, estrogen bekerja secara genomik yang diperantarai oleh reseptor estrogen yang terdapat pada sel-sel fibroblas kulit (Thornton 2002, 2005).
Tulang Tulang
merupakan suatu organ metabolisme aktif
yang
secara
berkesinambungan mengalami perubahan, baik perubahan ukuran maupun bentuk (modelling) atau pembaharuan struktur tanpa perubahan bentuk tulang (remodelling). Modelling adalah proses yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja, yaitu pembentukan tulang baru pada daerah yang berbeda dan tulang yang diresorbsi sehingga menyebabkan perubahan bentuk tulang. Modelling tepatnya terjadi di bagian growth plate atau lempeng pertumbuhan. Pertumbuhan tulang berlangsung secara bertahap, dimulai dengan proliferasi dan kalsifikasi lempengan pertumbuhan atau perubahan tulang
rawan menjadi tulang
termineralisasi (Eriksen et al. 1994). Remodelling tulang ialah proses mempertahankan keseimbangan biokimia tulang melalui proses pembentukan (formasi) dan penyerapan atau resorbsi sejumlah tulang (removal bone) yang dilakukan sel-sel tulang osteoklas dan osteoblas (Favus 1993).
54
Secara fisiologis, penurunan kadar hormon estrogen pada saat menopause memiliki hubungan erat dengan ketidakseimbangan remodelling tulang karena estrogen mempunyai reseptor pada sel-sel osteoblas (Setyohadi 2000). Estrogen diperlukan untuk pemeliharaan densitas tulang dan pelaksanaan fungsi mekanik pada wanita sejak pubertas sampai perimenopause (Kasra dan Grynpas 1995). Selain peran mekanik, estrogen juga dapat menurunkan resorbsi tulang melalui penurunan berbagai sitokin, seperti interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-1 (IL-1). IL-6 diketahui banyak terdapat pada lingkungan mikro tulang dan berperan merangsang resorbsi tulang, sedangkan IL-1 menstimulasi pembentukan osteoklas (Raisz 2008). Peran estrogen pada pembentukan tulang adalah menurunkan resorpsi tulang. Pada masa premenopouse, estrogen sangat dibutuhkan untuk pembentukan dan pemeliharaan massa tulang. Estrogen diduga menghambat aktivitas hormon paratiroid (PTH) pada proses resorpsi tulang, melalui peningkatan kadar kalsitonin. Estrogen juga berperan pada resorpsi tulang melalui reseptor estrogen yang terdapat pada osteoklas dan osteoblas. Penurunan estrogen pada masa perimenopause menyebabkan hilangnya hambatan terhadap hormon PTH sehingga resorpsi tulang meningkat (Badawy dan Frankel 1999). Secara mikroskopis, tulang dibentuk oleh komponen seluler dan matriks tulang. Komposisi tulang secara umum terdiri atas 30% matriks, 70% mineral sedangkan tulang yang baru terbentuk mengandung 95% matriks organik yang juga merupakan jaringan kolagen dan 5% bahan homogen yang disebut sebagai substrat dasar (ground substance). Matriks organik menyusun sekitar 35% dari bobot tulang dan terdiri atas dua macam protein, yaitu kolagen dan nonkolagen (Favus 1993, Ott 2002). Proses pembentukan tulang terutama melibatkan osteoblas sebagai sel utama penghasil matriks tulang. Osteoblas mengatur konsentrasi ion kalsium pada matriks melalui pelepasan kalsium dari intraseluler. Osteoblas merupakan sel jaringan tulang yang berperan mensintesis kolagen untuk membentuk osteoid sebagai bahan dasar tulang dan mempunyai fungsi utama mensintesis komponen organik tulang, yaitu kolagen dan glikoprotein. Sel ini biasanya terletak pada permukaan jaringan tulang, berbentuk kuboid atau kolumnar, dengan posisi saling
55
bersebelahan seperti jaringan epitel. Apabila osteoblas sedang mensintesis matriks tulang, bentuknya kuboid dangan sitoplasma basofilik, sedangkan bila aktivitasnya menurun, bentuknya menjadi lebih fusiformis dengan sitoplasma yang kurang basofilik. Pada permukaan tulang terdapat deretan osteoblas yang tersusun menyerupai epitel selapis. Osteoblas yang aktif mensintesis matriks, berbentuk kubus, sedangkan osteoblas yang aktivitasnya menurun berbentuk pipih. Pada tulang yang sedang mengalami pertumbuhan, terdapat sel besar yang berinti banyak (osteoklas) yang berfungsi meresorpsi tulang. Di sekitar tulang yang sedang mengalami pertumbuhan ini terdapat jaringan mesenkim (Guyton 1996). Densitas tulang adalah kerapatan massa tulang. Densitas tulang memiliki kaitan dengan proses formasi tulang, terutama dengan metabolisme mineral tulang atau metabolisme kalsium. Penurunan densitas tulang mengarah pada kerapuhan tulang (porous) atau dikenal dengan osteoporosis (Compston et al. 1993). Osteoporosis adalah kelainan tulang akibat gangguan metabolik, yang disebabkan oleh kosongnya matriks tulang sehingga tulang menjadi rapuh, mudah pecah, dan cenderung menjadi fraktur. Keadaan demikian umumnya banyak terjadi pada wanita pascamenopause dan laki-laki berusia tua, akan tetapi wanita memiliki risiko lebih tinggi dibanding pria. Penyebab utama osteoporosis adalah menurunnya kadar estrogen, yang terjadi ketika wanita memasuki usia tua. Perubahan kadar estrogen ini menyebabkan massa tulang menurun. Selain disebabkan oleh defisiensi estrogen, osteoporosis juga disebabkan oleh defisiensi kalsium (Ca) dan vitamin D, yang semuanya itu akan memperberat keadaan osteoporosis (Winarsi 2005). Salah satu terapi untuk mengobati atau mencegah osteoporosis adalah dengan Estrogen Replacement Therapy (ERT), akan tetapi penggunaan ERT memberikan risiko dan efek yang tidak menyenangkan, dan bahkan memicu munculnya sel kanker (Lien dan Lien 1996). Hasil penelitian epidemiologis di negara barat menunjukkan bahwa kejadian osteoporosis lebih rendah pada populasi yang dietnya tinggi kedelai dibanding dengan populasi yang dietnya rendah kedelai (Tham et al. 1998).
56
Deoxyribonuceic Acid (DNA) dan Ribonuceic Acid (RNA) Asam deoksiribosanukleat (DNA) adalah komponen kromosom yang membawa pesan genetik untuk semua sifat-sifat yang diwariskan oleh sel dan turunannya. Setiap kromosom mengandung sebuah segmen heliks ganda DNA. Untuk heliks ganda DNA tidak saja memperbanyak dirinya, tetapi berfungsi juga sebagai cetakan dengan menjejerkan basa-basa komplementer di inti untuk membentuk messenger RNA (mRNA), transfer RNA (tRNA) dan RNA dalam ribosom (rRNA) dan berbagai RNA jenis lain (Ganong 2003). Untuk mengevaluasi adanya suatu pertumbuhan atau perkembangan dari suatu jaringan dapat dihitung dari kandungan DNA-nya dengan asumsi bahwa kandungan DNA per sel adalah konstan atau tetap. Menurut Rastogi (2007), salah satu penuaan pada tingkat molekuler dapat dilihat dari perubahan kuantitatif asam nukleat. Jumlah DNA per sel pada setiap spesies adalah konstan. Kehilangan DNA atau RNA per organ menggambarkan pada penurunan efisiensi fungsional.
Tikus sebagai Hewan Model Rodgers et al. (1993) memberikan tiga kategori utama pemeliharan hewan sebagai hewan model penyakit manusia, yaitu 1) convenience, 2) comparability, 3) appropriateness. Rachman (1999) menyatakan bahwa penelitian klinik pada bidang biomedis dengan objek langsung menggunakan manusia mempunyai kesulitan karena beberapa faktor kendala, antara lain jenis pakan beragam, pola makan tidak bisa diatur, faktor lingkungan dan risiko sangat riskan. Secara luas pada bidang biomedis, tikus ovariektomi merupakan model juvenile osteopenia (Cesnjaj et al. 1991), dan dapat menjadi model wanita pascamenopause (Devareddy et al. 2008). Kalu et al. (1993) dan Dempster et al. (1995) menyatakan bahwa ovariektomi akan menyebabkan perubahan dan penurunan volume tulang, peningkatan jumlah osteoklas, serta peningkatan kadar enzim alkalin fosfatase serum. Arjmandi et al. (1996) melaporkan bahwa ovariektomi kedua ovarium pada tikus percobaan akan menginduksi osteoporosis pada trabekula tulang rahang karena ovariektomi akan menstimulasi kerja osteoklas. Ovariektomi menyebabkan kehilangan massa tulang di daerah trabekula tetapi tidak terjadi pada tulang kortikal.
57
81
SUPLEMENTASI EKSTRAK TEMPE UNTUK PERBAIKAN KONDISI PREMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2 1
Mahasiswa Program Doktor Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB, 2Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, IPB.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak tempe dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause, dan membandingkan produk alami dari ekstrak tempe dengan produk hormon yang sudah dipasarkan (genistein, etinilestradiol, dan somatotropin). Penelitian ini menggunakan metode eksperimental, yaitu pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan tujuh kelompok perlakuan dan tiga kali ulangan. Kelompok perlakuan tersebut ialah 1) K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, 2) P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, 3) TEM = Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200g BB, 4) GEN = Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, 5) EST = Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10 -3 mg/hari /200g BB, 6) SO=Tikus premenopause yang disuntik sesame oil/ somatotropin 0 mg/hari/kg BB, 7) BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB. Parameter yang diamati ialah bobot badan, kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar air uterus, dan kadar RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar air, dan kadar RNA kulit, kadar kalsium dan fosfor serum, kadar kalsium dan fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kolagen tulang, kadar air tulang, kadar RNA tulang, panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang. Pemberian ekstrak tempe selama dua bulan pada tikus premenopause dapat mempertahankan kualitas uterus, yang ditandai dengan bobot uterus, kadar kolagen uterus dan kadar RNA uterus dalam keadaan normal; meningkatkan kualitas kulit, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit; meningkatkan kualitas tulang, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, kadar abu tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang. Kata kunci: Ekstrak tempe, kulit, tulang, tikus premenopause, uterus
82
Supplementation of Tempeh Extract for Improving Premenopausal Conditions Using Rats as Animal Models Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2 1
Student of Doctoral Programme Majoring in Physiology and Pharmacology, School of Graduate, Bogor Agricultural University, 2Majoring in Physiology and Pharmacology, Bogor Agricultural University.
ABSTRACT This study was designed to determine the potential of tempeh extract in improving the quality of uterus, skin, and bone in premenopausal conditions, and to compare the natural product of tempeh extract with commercially availabe hormones (genistein, ethinylestradiol, and somatotropin). Experimental design used was Completely Randomized Design (CRD) consisted of 7 experimental groups, each consisted of 3 rats i.e.,1) K = premenopausal rats as a negative control, 2) P = premenopausal rats given distilled water orally as a placebo, 3) TEM = premenopausal rats given tempeh extract 300 mg/day/200g body weight, 4) GEN = premenopausal rats given genistein 0.25 mg/day/kg body weight, 5) EST = premenopausal rats given ethinylestradiol 9x10 -3 mg/day/200g body weight, 6) SO = premenopausal rats injected with sesame oil/day/kg body weight, 7) BST = premenopausal rats injected somatotropin 9 mg/day/kg body weight. The parameters observed were body weight, serum progesterone concentrations, the uterine collagen concentratios, uterine water concentrations, and uterine RNA concentrations, the skin collagen concentrations, skin water concentrations, and skin RNA concentrations, the calcium and phosphorus concentrations of serum and bone, bone ash concentrations, bone collagen concentrations, bone water concentrations, bone RNA concentrations, bone length, bone weight, bone density, and bone strength. Supplementations of tempeh extract for two months in premenopausal rats could maintain the quality of the uterus, which was characterized by the uterine weight, uterine collagen concentrations and uterine RNA concentrations in normal ranges; improve the quality of skin, which was characterized by increased levels of skin collagen and skin RNA concentrations, improve the quality of bone, which was characterized by the increased bone calcium concentrations, ratio of Ca/P on tibia bone, bone ash levels, bone density, and bone strength. Keywords: Bones ,extract tempe, rats premenopausal, skin, uteru
83
PENDAHULUAN Pada dasarnya, penuaan adalah suatu proses fisiologis umum dan berlangsung secara terus-menerus yang ditandai dengan perubahan sel-sel tubuh. Penuaan ini terjadi karena sel-sel menjadi rusak, tua, dan mati sehingga penuaan sangat berkaitan erat dengan kematian sel (Ganong 2003). Sebenarnya, tubuh mempunyai kemampuan untuk memperbaiki serta mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Namun, sejalan dengan bertambahnya usia, proses perbaikan dan pergantian sel ini menjadi lambat dan penumpukan sel-sel yang mati mengganggu fungsi jaringan, organ, dan fungsi fisiologis tubuh secara umum. Pada manusia, usia memasuki masa premenopause kira-kira usia 40 tahun, yang ditandai dengan fungsi ovarium berangsur-angsur menurun (Zulkarnaen 2003), dan kadar progesteron mulai menurun (Walker 1995). Dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada kulit, yakni kulit menjadi lebih tipis, mengendur dan kehilangan elastisitasnya, produksi kolagen menurun, dan kulit juga menjadi kering. Atropi kolagen merupakan faktor utama yang menyebabkan penuaan kulit (Datau dan Wibowo 2005). Selain kulit, penuaan juga mempengaruhi kualitas tulang. Setelah usia antara 35-40 tahun, penyerapan tulang sedikit melebihi pembentukan tulang sehingga diperkirakan kehilangan massa tulang sebesar 1% per tahun (Endris dan Rude 1994). Compston et al. (1993) menyatakan densitas massa tulang yang lebih tinggi pada masa premenopause dapat mempertahankan deposit kalsium tulang sehingga kehilangan atau penurunan kalsium pada masa menopause dan peningkatan
usia
akan
terhindar
dari
osteoporosis
dan
patah
tulang
pascamenopause. Tempe mengandung senyawa isoflavon aglikon dan glikosida (King 2002), serta mengandung zat gizi (Direktorat Gizi Depkes RI 1995). Tepung tempe mengandung lebih banyak senyawa isoflavon aglikon bila dibandingkan dengan tepung kedelai (Safrida 2008). Struktur isoflavon dapat ditransformasikan menjadi equol, dan equol ini mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen (Setchell dan Cassidy1999). Penggunaan tempe dalam bentuk segar memerlukan jumlah yang besar untuk memperoleh efek yang memadai
84
seperti efek estrogen, maka tempe diproses dalam bentuk ekstrak tempe agar dosis penggunaannya dalam jumlah kecil dan praktis untuk dikonsumsi. Penelitian ini menarik untuk diteliti karena suplementasi ekstrak tempe sebagai bahan alami pada usia premenopause merupakan salah satu alternatif preventif terhadap risiko penyakit pada saat memasuki pascamenopause. Adapun tujuan penelitian ini ialah (1), mengetahui potensi ekstrak tempe dalam memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause; (2), Membandingkan produk alami dari ekstrak tempe dengan produk hormon yang sudah dipasarkan (genistein, etinilestradiol, dan somatotropin).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Mei 2011-April 2012. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat, yaitu pembuatan tempe kedelai (Lampiran 11) di pabrik tempe Desa Ciherang Bogor, pembuatan ekstrak tempe (Lampiran 12) di Laboratorium BALITTRO, analisis kandungan isoflavon dan komposisi zat gizi ekstrak tempe di Laboratorium Balai Besar Pascapanen Pertanian Bogor (Lampiran 13), pemeliharaan tikus di kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, analisis hormon, kadar kolagen, kadar RNA dan kadar air di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH, IPB, analisis kadar abu tulang dan analisis kalsium dan fosfor pada tulang dan serum di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, dan pengukuran kekuatan tulang di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan, IPB.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelet dari PT Comfeed Indonesia, kedelai varietas Americana, ragi tempe mengandung inokulum Rhizopus oryzae yang diproduksi oleh PT Aneka Fermentasi Industri, Bandung (BPOM RI MD 262628001051), kit Progesteron, BNF, serta bahan pengujian kolagen, RNA, kalsium, dan fosfor. Alat yang digunakan adalah timbangan, sentrifuge, Automatic Gamma Counter, spektrofotometer, eksikator, tanur listrik,
85
spektofotometer serapan atom (AAS), dan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Metode Penelitian Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah tikus betina strain Sprague Dawley, yang dibagi ke dalam tujuh kelompok percobaan yang masingmasing terdiri atas tiga ekor. Tikus-tikus percobaan tersebut ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup yang terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan yang diberikan adalah bentuk pelet dan air minum disediakan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembap, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dengan lama terang 14 jam dan lama gelap 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu. Tikus betina umur 12 bulan diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan dan dipelihara selama 3 bulan, setelah tikus berumur 15 bulan kemudian diberikan perlakuan selama 2 bulan. Tikus-tikus tersebut dibagi ke dalam 7 (tujuh) kelompok perlakuan, yaitu 1) K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, 2) P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, 3) TEM = Tikus premenopause diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200g BB, 4) GEN = Tikus premenopause diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, 5) EST = Tikus premenopause diberi etinilestradiol (estrogen sintetik) sebanyak 9x10 -3 mg/hari/200g BB, 6) SO = Tikus premenopause disuntik sesame oil/somatotropin 0 mg/hari/kg BB, 7) BST = Tikus premenopause disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB. Semua kelompok tikus diberikan perlakuan selama 2 bulan. Ekstrak tempe, genistein, dan etinilestradiol diberikan secara oral (pencekokan)
sebanyak sehari sekali,
sedangkan
somatotropin disuntik sebanyak sehari sekali secara intramuskuler pada bagian paha belakang. Di akhir percobaan dan pada status fase diestrus (Lampiran 10), semua tikus dikorbankan. Sebelum dilakukan pembedahan, tikus terlebih dahulu dibius dengan eter, kemudian masing-masing tikus diambil darahnya secara intrakardial sebanyak kurang lebih 1 mL. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum. Serum digunakan untuk analisis kadar hormon
86
progesteron, kalsium, dan fosfor. Setelah tikus dikorbankan, uterus dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, kemudian ditimbang bobot basahnya, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan BNF (buffer formalin) 10% untuk analisis kadar kolagen dan RNA. Kulit bagian dorsal dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting, selanjutnya dibersihkan dengan menggunakan alat pencukur dan dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% untuk analisis kadar kolagen dan RNA. Tulang tibia-fibula sebelah kiri dan sebelah kanan dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, selanjutnya tulang tibia sebelah kiri dimasukkan ke dalam BNF 10% untuk analisis kadar kolagen, RNA, densitas tulang, dan kekuatan tulang, sedangkan tulang tibia sebelah kanan disimpan di freezer pada suhu -20°C untuk analisis kadar kalsium, kadar fosfor, dan kadar abu (Gambar 10).
Parameter yang Diamati Parameter yang diamati ialah bobot badan, kadar hormon progesteron menggunakan metode RIA, kadar kolagen, dan kadar RNA uterus, kulit, dan tulang sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998), kadar kalsium serum dan tulang (Reitz et al. 1960), kadar fosfor serum dan tulang (Taussky & Shorr 1953), kadar abu tulang (AOAC 1990), panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang (metode Arjmandi et al. 1996), serta uji kekuatan tulang tibia merupakan adopsi dari metode uji kekuatan tekan glulam yang dilakukan oleh Bahtiar (2008), dan uji kekuatan tekan kayu (Mardikanto et al. 2011). Adapun prosedur kerja masing-masing parameter dapat dilihat pada Lampiran 19. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05), serta uji korelasi dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1.3 (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
87
Bagan alur penelitian sebagai berikut: Tikus umur 12 bulan Dipelihara selama 3 bulan Tikus umur 15 bulan
Perlakuan dilakukan selama 2 bulan, terdiri atas 7 kelompok perlakuan, masing-masing 3 ekor tikus K
: Kontrol
P
: Pencekokan dengan aquades/Plasebo
TEM
: Pencekokan ekstrak tempe 300 mg/hari /200g BB, 300mg ET mengandung 0,72 mg isoflavon, penentuan dosis berdasarkan jumlah isoflavon (Whitten & Pattisaul 2001)
GEN
: Pencekokan genistein 0, 25 mg/hari/kg BB (Chanawirat et al. 2006)
EST
: Pencekokan etinilestradiol (estrogen murni) 9x10-3 mg/hari /200g BB (Konversi dari dosis manusia 0,05 mg /hari/70 kg BB)
SO
: Penyuntikan sesame oil/somatotropin 0 mg/hari/kg BB
BST
: Penyuntikan somatotropin 9 mg/hari/kg BB (Azain et al. 2006).
dibedah pada fase diestrus
Tulang: kadar kolagen tulang, kadar air tulang, kadar RNA tulang, kadar kalsium dan fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kalsium dan fosfor serum, panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang dan kekuatan tulang
Kulit: kadar kolagen kulit, kadar air, dan kadar RNA kulit
Uterus: kadar kolagen uterus, kadar air uterus, dan kadar RNA uterus.
Luaran: Ekstrak tempe dapat diberikan secara oral sebagai produk antiaging dalam memperbaiki kondisi premenopause
Gambar 10. Bagan alur penelitian Tahap II
88
HASIL DAN PEMBAHASAN Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kadar Progesteron dan Bobot Badan Tikus Premenopause Rataan kadar progesteron serum tikus premenopause disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar progesteron serum pada tikus premenopause tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin (Tabel 12). Rataan kadar progesteron tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe sama dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Tabel 12 Rataan kadar progesteron serum dan premenopause Kelompok Kadar progesteron (ng/mL) 50.65±3.62 K 49.68±2.32 P 53.30±4.82 TEM 48.81±6.79 GEN 52.93±3.36 EST 51.77±2.51 SO 53.10±4.95 BST
bobot badan pada tikus Bobot badan (g) 240±1.52b 242±9.53ab 243±3.51ab 246±7.63ab 248±12.34ab 239±1.52b 255±5.29a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300mg/hari/200g BB, GEN= Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus premenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin pada tikus premenopause tidak berpengaruh pada kadar hormon progesteron, yakni kadar hormon progesteron berada dalam keadaan homeostasis. Level hormon progesteron di dalam tubuh dipertahankan dalam ambang batas normal melalui aksi umpan balik positif dan negatif pada hipotalamus oleh progesteron. Hal ini sesuai dengan pendapat Ganong (2003) bahwa hormon ataupun target organ memiliki homeostatic feedback system, yaitu semua mekanisme hormon diatur oleh sekresi hormon itu sendiri.
89
Rataan bobot badan pada tikus premenopause disajikan pada Tabel 12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan pada tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol sama dengan kontrol, sedangkan pemberian somatotropin lebih tinggi (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian ekstrak tempe yang mengandung isoflavon genistein dan daidzein serta zat gizi tidak menyebabkan kegemukan. Hal ini menguntungkan karena fitoestrogen yang terdapat pada ekstrak tempe diduga tidak menyebabkan deposit cadangan lemak. Arjmandi et al. (1996) menyatakan pemberian protein kedelai yang kaya isoflavon dapat mencegah kegemukan. Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kualitas Uterus pada Kondisi Premenopause Rataan bobot, kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA uterus pada tikus premenopause disajikan pada Tabel 13. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa bobot uterus, kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA uterus pada tikus premenopause tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin. Tabel 13
Rataan bobot, kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA uterus pada tikus premenopause Kelompok Bobot uterus Kadar kolagen Kadar air Kadar RNA (g) uterus uterus uterus (mg/g sampel) (%) (mg/g sampel) 0.46±0.16 31.57±7.07 82.59±0.75 20.62±4.90 K 0.43±0.20 31.13±6.44 80.52±0.45 21.54±2.64 P 0.53±0.01 34.92±3.77 80.66±0.35 22.01±3.28 TEM 0.48±0.10 31.48±2.19 82.43±1.20 20.43±4.29 GEN 0.62±0.17 33.28±2.59 81.93±6.40 23.04±4.06 EST 0.43±0.13 30.82±3.97 81.13±3.08 21.35±4.95 SO 0.32±0.09 33.10±2.63 80.37±2.14 22.97±4.83 BST Keterangan : K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300mg/hari/200g BB, GEN= Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus premenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Tikus premenopause kemungkinan masih dapat bereproduksi, walaupun tingkat kesuburannya tidak sama dengan tikus masa reproduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak tempe yang mengandung isoflavon
90
aglikon yang bersifat estrogenik dapat mempertahankan kualitas uterus. Pemberian ekstrak tempe pada tikus premenopause tidak mengganggu keseimbangan hormon progesteron sebagai salah satu hormon reproduksi utama di dalam tubuh sehingga uterus dalam keadaan normal. Hal ini sesuai dengan penelitian Persky et al. (2002) yang mengungkapkan bahwa isoflavon dapat bertindak sebagai estrogen antagonis pada saat estrogen endogen dalam konsentrasi tinggi, dan bertindak sebagai estrogen agonis pada saat hormon estrogen endogen dalam konsentrasi rendah. Menurut Ruggiero et al. (2002) bahwa secara fisiologis, efek isoflavon yang mirip estrogen bergantung pada respons yang terjadi, yaitu bisa bersifat agonis (menstimulir) atau antagonis (menghambat) reseptor dalam sel targetnya. Menurut Binkley (1995), hormon reproduksi mempunyai aksi umpan balik positif dan negatif. Aksi umpan balik positif seiring dengan stimulasi sekresi dari hormon hipofisis atau hipotalamus di bawah pengaruh hormon spesifik atau stimulus lainnya, sedangkan aksi umpan balik negatif berarti menghambat kerja senyawa spesifik produk sekresi hormon hipofisis atau hipotalamus. Penurunan kadar RNA pada tikus premenopause dapat dihambat dengan pemberian ekstrak tempe. Kandungan isoflavon yang terdapat di dalam ekstrak tempe mempunyai aktivitas antioksidan. Antioksidan dapat menetralisir senyawasenyawa radikal bebas sehingga tidak merusak RNA. Menurut Valko et al. (2007), isoflavon merupakan antioksidan sekunder atau antioksidan eksogen yang bekerja dengan cara berperan sebagai donor hidrogen dan mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Reaksi ini dikenal dengan pemutusan rantai propagasi dari radikal bebas (free radical chain breaking). Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kualitas Kulit pada Kondisi Premenopause Rataan kadar kolagen, kadar air, dan RNA kulit pada tikus premenopause disajikan pada Tabel 14. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA kulit pada premenopause dipengaruhi oleh perlakuan (P<0.05) (Tabel 14). Rataan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit pada tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin lebih tinggi (P<0.05), bila dibandingkan dengan tikus kontrol.
91
Sebaliknya, rataan kadar air kulit pada tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin sama dengan tikus kontrol.
Tabel 14
Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA kulit pada tikus premenopause Kelompok Kadar kolagen Kadar air Kadar RNA kulit kulit kulit (mg/g sampel) (%) (mg/g sampel) b b 29.44±1.74 60.24±2.98 23.39±3.83b K 28.16±1.95b 64.74±1.75ab 23.17±5.33b P a ab 43.90±1.48 65.91±3.12 29.76±1.11a TEM a ab 43.92±5.02 64.70±4.72 28.92±1.42a GEN 43.84±9.27a 64.58±1.57ab 28.36±2.34ab EST b ab 28.73±2.99 64.62±0.23 23.01±2.84b SO 43.97±1.30a 67.67±4.77a 29.82±0.64a BST
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300mg/hari/200g BB, GEN= Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus premenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Pemberian ekstrak tempe dapat meningkatkan kadar kolagen kulit. Bertambahnya kadar kolagen kulit menyebabkan peningkatan elastisitas atau kekencangan kulit. Menurut Datau dan Wibowo (2005), kolagen kulit disintesis oleh sel fibroblas. Penelitian Schulze et al. (2012) menunjukkan bahwa penurunan jumlah fibroblas menimbulkan keriput/kaku yang secara langsung mengakibatkan perubahan pada elastisitas matriks kolagen.
Perubahan mekanisme ini
mempengaruhi fungsi sel, termasuk sitoskeleton, seperti kontraktilitas, motilitas, dan proliferasi yang penting untuk reorganisasi matriks ekstraseluler. Ekstrak tempe mengandung isoflavon, senyawa bioaktif yang mirip estrogen yang dapat berfungsi dalam meningkatkan aktivitas sintesis sel kulit tikus, yang digambarkan oleh kadar RNA kulit. Peran isoflavon pada kulit ialah melalui ekspresi gen, yaitu senyawa isoflavon genistein dan daidzein berikatan dengan reseptor estrogen beta yang ada pada kulit melakukan aksinya sama dengan estrogen endogen. Menurut Guyton (1996), estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor dalam sitoplasma sel target membentuk kompleks hormon
92
reseptor, kemudian bermigrasi ke inti. Ia segera memulai proses transkripsi DNARNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel. Isoflavon kedelai adalah senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia (Setchell dan Adlercreutz 1988). Isoflavon memiliki cincin aromatik dengan 2 gugus –OH atau hidroksil yang jarak 11.0-11.5 A0 pada intinya, yang mirip dengan struktur estrogen (Setchell 1998). Oleh karena itu, isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen (RE) yang terdapat dalam sel berbagai jaringan tubuh, dan berpotensi secara agonis maupun antagonis terhadap kerja estrogen (Brzozowski et al. 1997). Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kualitas Tulang pada Kondisi Premenopause Rataan kadar kolagen, kadar air, kadar RNA tulang pada tikus premenopause disajikan pada Tabel 15. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin tidak mempengaruhi kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA tulang pada kondisi premenopause. Tabel 15 Rataan kadar kolagen, kadar premenopause Kelompok Kadar kolagen tulang (mg/g sampel) 17.69±0.32 K P 17.31±0.47 19.29±1.81 TEM 19.08±0.64 GEN 19.46±2.01 EST 16.90±1.41 SO 19.02±0.61 BST
air, dan kadar RNA tulang pada tikus Kadar air tulang (%) 28.67±7.59 28.62±5.07 28.16±0.41 28.77±5.12 26.82±3.20 28.31±1.55 31.74±2.29
Kadar RNA tulang (mg/g sampel) 10.69±0.78 9.59±1.30 11.67±1.57 9.98±0.54 10.86±0.59 10.23±0.76 11.17±0.95
Keterangan : K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300mg/hari/200g BB, GEN= Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus premenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB. .
Ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin dapat meningkatkan kadar kolagen tulang, namun secara statistik tidak signifikan.
93
Peningkatan kolagen tulang menyebabkan tulang menjadi lebih kuat dan tidak mudah patah. Menurut Guyton (1996) bahwa serabut kolagen membuat tulang menjadi kuat. Serabut kolagen tulang mempunyai daya rentang yang besar, sedangkan garam-garam kalsium mempunyai daya kompresi yang besar. Sifat gabungan ini ditambah dngan derajat ikatan antara serabut kolagen dan kristal, memberikan suatu struktur tulang yang
mempunyai daya rentang dan daya
kompresi. Rataan kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada tikus premenopause disajikan pada Tabel 16. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada tikus premenopause dipengaruhi oleh perlakuan (P<0.05) (Tabel 16). Pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin dapat meningkatkan kadar kalsium dan rasio Ca/P tulang (P<0.05) pada tikus premenopause. Rataan kadar abu pada tikus premenopause dipengaruhi (P<0.05) oleh pemberian ekstrak tempe, namun tidak dipengaruhi oleh pemberian genistein, etinilestradiol, dan somatotropin.
Tabel 16 Rataan kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio Ca/P tulang tibia, dan kadar abu tulang pada tikus premenopause Kelompok Kadar kalsium Kadar fosfor Rasio Ca/P Kadar abu tulang tulang tulang tulang (%) (%) (%) (%) 32.69±1.94cd 31.10±5.33ab 1.076±0.22cd 31.90±3.86b K 32.96±2.05cd 29.82±1.52b 1.105±0.05cd 31.04±1.45b P 52.14±2.28a 24.60±1.59b 2.122±0.10a 37.31±1.20a TEM ab b ab 46.24±8.12 25.11±2.22 1.861±0.44 33.93±2.20ab GEN 41.06±6.54bc 27.38±1.70b 1.510±0.30bc 34.97±4.56ab EST d b 30.03±3.82 29.89±1.84 1.008±0.16d 30.26±1.83b SO b a cd 43.31±4.47 36.27±6.03 1.021±0.16 32.60±1.12ab BST Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300mg/hari/200g BB, GEN= Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus premenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
94
Pemberian ekstrak tempe dapat mengatasi osteopenia pada saat premenopause. Penelitian Karaguzel dan Holick (2010) melaporkan pada wanita premenopause ditemukan osteopenia, salah satu penyebabnya adalah kekurangan kalsium. Peningkatan kalsium tulang menyebabkan matriks tulang akan padat dan tulang menjadi tidak rapuh. Garam-garam kalsium mempunyai daya kompresi yang besar pada struktur tulang (Guyton 1996). Rasio kadar kalsium dan fosfor pada tulang tibia pada tikus yang diberi ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin masih berada dalam kisaran normal. Rasio relatif kalsium dan fosfat pada tulang bisa sangat berbeda pada keadaaan nutrisi yang berlainan, rasio Ca/P berdasarkan bobot berkisar antara 1,3 sampai 2,0 (Guyton 1996). Kadar abu tulang menggambarkan total jumlah mineral anorganik yang terdapat pada tulang. Pemberian ekstrak tempe menunjukkan peningkatan kadar abu tulang, selain kalsium dan fosfor, yang berarti kandungan mineral lain pada tulang juga meningkat. Menurut Djojosoebagio (1996) mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran utamanya kristal hidroksiapatit. Selain kalsium dan fosfor, tulang juga mengandung sitrat, natrium, barium, strontium, timah, karbonat, flour, klor, magnesium, dan kalium. Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus premenopause disajikan pada Tabel 17. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin selama dua bulan pada tikus premenopause tidak mempengaruhi kadar kalsium serum, namun mempengaruhi (P<0.05) kadar fosfor. Hal ini sesuai dengan pendapat Guyton (1996) yang menyatakan bahwa tulang dan jaringan tubuh lainnya mengandung sejenis kalsium yang dapat bertukar yang selalu berada dalam keadaan keseimbangan dengan ion kalsium dalam cairan ekstrasel. Kadar fosfor serum pada tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe, genestein, etinilestradiol, dan somatotropin lebih rendah bila dibandingkan dengan tikus kontrol. Penurunan kadar fosfor serum pada tikus yang diberi ekstrak tempe, yakni sebesar 18.07%, diduga tidak menyebabkan efek yang bermakna bagi tubuh. Menurut Guyton (1996), penurunan konsentrasi fosfat dalam cairan ekstrasel sebanyak tiga sampai empat kali di bawah normal tidak akan menyebabkan pengaruh yang bermakna pada tubuh dalam waktu cepat,
95
sebaliknya peningkatan atau pengurangan ion kalsium dalam cairan ekstrasel menyebabkan pengaruh yang ekstrim dalam waktu yang sangat cepat . Tabel 17 Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus premenopause Kelompok Kadar kalsium Kadar fosfor serum (mg/dL) serum (mg/dL) 15.35±1.01 17.21±4.94ab K 15.69±1.48 18.67±0.61a P 16.46±1.07 14.10±1.32bc TEM 15.76±0.41 12.69±1.37c GEN 13.95±1.41 12.61±1.68c EST 15.51±0.20 18.06±0.59ab SO 15.85±2.23 18.20±2.66ab BST Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300mg/hari/200g BB, GEN= Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus premenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Rataan panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang tibia pada tikus premenopause disajikan pada Tabel 18. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa panjang tulang pada tikus premenopause tidak dipengaruhi oleh perlakuan, sedangkan bobot, densitas dan kekuatan tulang tibia pada tikus premenopause dipengaruhi oleh perlakuan (P<0.05) (Tabel 18). Rataan bobot tulang tibia pada tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe, genestein, etinilestradiol, dan somatotropin sama dengan tikus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa densitas dan kekuatan tulang tibia pada tikus premenopause dipengaruhi (P<0.05) oleh pemberian ekstrak tempe, tetapi tidak dipengaruhi oleh pemberian genistein, etinilestradiol, dan somatotropin. Hasil
pengamatan
menunjukkan
bahwa
panjang
tulang
tikus
premenopause kelompok perlakuan sama dengan kontrol. Hal ini disebabkan karena penelitian ini menggunakan tikus umur 15 bulan yang sudah tidak mengalami pertumbuhan tulang lagi, tetapi sudah memasuki periode remodelling tulang, yaitu mempertahankan keseimbangan biokimia tulang melalui proses pembentukan (formasi) dan penyerapan atau resorbsi sejumlah tulang (removal
96
bone). Menurut Wronski dan Yen (1991) pertumbuhan tulang menjadi minimal pada tikus umur 9-12 bulan.
Tabel 18 Rataan panjang, premenopause Kelompok Panjang tulang (cm) 3.86±0.01 K 3.83±0.03 P 3.85±0.05 TEM 3.81±0.07 GEN 3.84±0.11 EST 3.85±0.01 SO 3.84±0.02 BST
bobot, densitas, dan kekuatan tulang tibia pada tikus Bobot tulang (g) 0.44±0.06ab 0.43±0.01ab 0.51±0.03a 0.46±0.03ab 0.47±0.003ab 0.42±0.03b 0.49±0.04ab
Densitas tulang (g/mL) 1.35±0.05b 1.34±0.19b 1.61±0.13a 1.46±0.09ab 1.42±0.13ab 1.33±0.07b 1.48±0.15ab
Kekuatan tulang (kg/cm2) 54.08±17.35b 52.66±14.68b 93.74±2.183a 74.37±23.75ab 72.37±32.56ab 56.66±6.723b 68.80±13.45ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K = Tikus premenopause sebagai kontrol negatif, P = Tikus premenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus premenopause yang diberi ekstrak tempe 300mg/hari/200g BB, GEN= Tikus premenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus premenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus premenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus premenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Densitas tulang dan kekuatan tulang pada tikus premenopause mempunyai nilai korelasi (0.96) dan menunjukkan korelasi yang berbeda nyata (P<0.01), yang berarti semakin tinggi densitas tulang maka semakin meningkat kekuatan tulang. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan densitas tulang diikuti dengan peningkatan kekuatan tulang. Meningkatnya densitas tulang pada tikus premenopause mencegah terjadinya osteoporosis pada saat memasuki usia pascamenopause. Hal ini senada dengan penelitian Compston et al. (1993) yang menyatakan bahwa densitas massa tulang yang lebih tinggi pada masa premenopause dapat mempertahankan deposit kalsium tulang sehingga kehilangan atau penurunan kalsium pada masa menopause dan peningkatan usia akan terhindar dari osteoporosis dan patah tulang pascamenopause. Pemberian ekstrak tempe pada kondisi premenopause dapat meningkatkan kekuatan tulang (93,74 kg/cm2) sama dengan kekuatan tulang tikus umur 12 bulan (84,74 kg/cm2). Peningkatan kekuatan tulang penting untuk menjaga tulang agar tidak mudah patah. Pemberian ekstrak tempe dapat meningkatkan kadar kalsium
97
tulang yang diikuti dengan meningkatnya kekuatan tulang. Hal ini senada dengan penelitian Faibish et al. (2006) yang melaporkan bahwa kekuatan tulang manusia meningkat sebanding dengan kandungan mineral yang ditemukan. Pemberian ekstrak tempe pada kondisi premenopause menunjukkan peningkatan kualitas tulang, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, kadar abu tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang.
SIMPULAN Pemberian ekstrak tempe selama dua bulan pada tikus premenopause dapat: 1. Mempertahankan kualitas uterus, yang ditandai dengan bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan kadar RNA uterus dalam keadaan normal. 2. Meningkatkan kualitas kulit, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit. 3. Meningkatkan kualitas tulang, yang ditandai dengan kadar kalsium tulang, rasio kadar Ca/P tulang tibia, kadar abu tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang.
99
PERAN PEMBERIAN EKSTRAK TEMPE UNTUK PERBAIKAN KONDISI PASCAMENOPAUSE MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2 1
Mahasiswa Program Doktor Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB, 2Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, IPB. ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran ekstrak tempe dalam perbaikan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi pascamenopause; dan membandingkan produk alami dari ekstrak tempe dengan produk hormon yang sudah dipasarkan (genistein, etinilestradiol, dan somatotropin). Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan tujuh kelompok perlakuan dan tiga kali ulangan. Kelompok perlakuan tersebut ialah 1) K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, 2) P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, 3) TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200g BB, 4) GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, 5EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol (estrogen sintetik) sebanyak 9x10 -3 mg/hari/200g BB, 6) SO=Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil/somatotropin 0 mg/hari/kg BB, 7) BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB. Parameter yang diamati ialah bobot badan, kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar air uterus, dan kadar RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar air, dan kadar RNA kulit, kadar kalsium dan fosfor serum, kadar kalsium dan fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kolagen tulang, kadar air tulang, dan kadar RNA tulang, panjang, bobot, densitas tulang dan kekuatan tulang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak tempe pada tikus ovariektomi sebagai hewan model pascamenopause dapat memperbaiki kualitas uterus yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen uterus dan peningkatan aktivitas sintesis sel uterus. Ekstrak tempe dapat meningkatkan kualitas kulit tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit. Pemberian ekstrak tempe memberikan efek positif pada kualitas tulang tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kolagen tulang, kadar RNA tulang, berat tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang. Pemberian ekstrak tempe selama dua bulan pada tikus pascamenopause dapat memperbaiki kualitas uterus, terbukti mempunyai efek antipenuaan pada kulit, serta dapat meningkatkan kualitas tulang.
Kata kunci: Ekstrak tempe, kulit, tulang, tikus model pascamenopause, uterus.
100
The Role of Tempeh Extract for Improving Postmenopausal Conditions Using Rats as Animal Models Safrida1, Nastiti Kusumorini2, Wasmen Manalu2, Hera Maheshwari2 1
Student of Doctoral Programme Majoring in Physiology and Pharmacology, School of Graduate, Bogor Agricultural University, 2Majoring in Physiology and Pharmacology, Bogor Agricultural University. ABSTRACT This study was designed to determine the potential of tempeh extract in improving the quality of uterus, skin, and bone in postmenopausal conditions, and compare the natural product of tempeh extract to commercial hormone products (genistein, ethinylestradiol, and somatotropin). Experimental design used was Completely Randomized Design (CRD) consisted of 9 experimental groups, each consisted of 3 rats i.e.,1) K = postmenopausal rats as a negative control, 2) P = postmenopausal rats given oral distilled water as placebo, 3) TEM = postmenopausal rats given tempeh extract 300 mg/day/200 g body weight, 4) GEN = postmenopausal rats given genistein 0.25 mg/day/kg body weight, 5) EST = postmenopausal rats given ethinylestradiol 9x10 -3 mg/day/200 g body weight, 6) SO = postmenopausal rats injected with sesame oil day/kg body weight, 7) BST = postmenopausal rats injected with somatotropin 9 mg/day/kg body weight. The parameters observed were body weight, serum progesterone concentrations, the uterine collagen concentrations, uterine water concentrations, and uterine RNA concentrations, the skin collagen concentrations, skin water concentrations, and skin RNA concentrations, the bone and serum calcium and phosphorus concentrations, bone ash concentrations, bone collagen concentrations, bone water concentrations, bone RNA concentrations, bone length, bone weight, bone density, and bone strength. The results showed that the supplementation of tempeh extract in ovariectomized rats as an animal model of postmenopausal condition could improve the quality of uterus as indicated by the increased levels of uterine collagen and its synthetic activity (RNA concentrations). Tempeh extracts supplementation could improve skin quality in postmenopausal rats as characterized by the increased levels of skin collagen and skin RNA concentrations. Supplementation of tempeh extract had a positive effect on bone quality in postmenopausal rats as characterized by the elevated calcium concentrations, phosphorus concentrations, ash concentrations, collagen concentrations, RNA concentrations, bone weight, bone density, and bone strength. Supplementation of tempeh extract for two months in postmenopausal rats could improve the qualities of uterus and bone and showed anti-aging effects on the skin. Keywords: Bones, rat model of postmenopausal, skin, tempeh extract, uterus.
101
PENDAHULUAN Usia harapan hidup di dunia dan Indonesia terus meningkat. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan bahwa abad ke-21 sebagai Era of Population Ageing (era penduduk menua). Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia membawa konsekuensi bertambahnya jumlah lansia. Abad ke-21 ini merupakan abad lansia karena pertumbuhan lansia di Indonesia akan lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain. Karena itu, lansia perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan nasional (Syauqi 2011). Saat wanita memasuki usia pascamenopause, terjadi penurunan fungsi organ reproduksi sehingga kadar hormon estrogen dan progesteron menurun. Penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron menyebabkan penurunan fungsi beberapa organ tubuh, di antaranya uterus, kulit, dan tulang. Menurunnya konsentrasi estrogen dalam darah menyebabkan tidak terjadi penebalan endometrium sehingga uterus mengecil dan bobotnya menurun (Binkley 1999). Pada wanita pascamenopause, kulit menjadi kering (Sator et al. 2004), elastisitas menurun (Henry et al. 1997; Sumino et al. 2004), serta produksi kolagen menurun. Atropi kolagen merupakan faktor utama yang menyebabkan penuaan kulit (Datau dan Wibowo 2005). Penurunan kadar estrogen dan progesteron dapat menyebabkan penurunan massa tulang dan gangguan metabolik pada tulang yang dikenal sebagai osteoporosis. Selain disebabkan oleh defisiensi estrogen, osteoporosis juga disebabkan oleh defisiensi kalsium (Ca) dan vitamin D, yang semuanya itu akan memperberat keadaan osteoporosis (Winarsi 2005). Osteoporosis sering disebut silent disease karena tidak memiliki gejala atau tanda-tanda sampai patah tulang terjadi. Patah tulang yang berhubungan dengan keropos tulang dapat menyebabkan kualitas hidup berkurang, bahkan kematian (Pollycove dan Simon 2012). Saat ini, ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi proses penuaan, yaitu terapi sulih hormon, penanggulangan obesitas, dan terapi sel punca. Secara medis, ada beberapa obat sintetik yang dipakai sebagai terapi sulih hormon. Namun, dalam praktiknya, obat tersebut tidak efisien karena harus dikonsumsi seumur hidup. Selain itu, pengobatan hormonal sintetik memiliki
102
banyak kelemahan, misalnya meningkatkan risiko kanker payudara, karsinoma endometrium, perdarahan pervagina, tromboflebitis, dan tromboemboli (Nguyent et al. 1995, Genant et al. 1998). Pemberian kombinasi estrogen dan progestin diketahui dapat menurunkan risiko patah tulang pinggul hingga 34%, namun dapat meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 29%, stroke sebesar 41%, dan kanker payudara sebesar 26% (Cosman 2009). Untuk mengatasi adanya kemungkinan terjadinya risiko yang tidak menguntungkan pada terapi preparat hormonal sintetis dalam jangka panjang, saat ini penelitian lebih diarahkan pada penggunaan bahan alami. Tempe adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang digemari masyarakat, dan mempunyai kandungan fitoestrogen (estrogen nabati) yang tinggi. Hal ini menjadi dasar pemikiran penggunaan ekstrak tempe sebagai bahan alami yang dapat memperbaiki kualitas uterus, kulit dan tulang untuk mengatasi penyakit penuaan pada kondisi pascamenopause. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk (1) mengetahui peran ekstrak tempe dalam perbaikan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi pascamenopause; (2), membandingkan produk alami dari ekstrak tempe dengan produk
hormon
yang
sudah dipasarkan (genistein,
etinilestradiol,
dan
somatotropin). Mencermati hal tersebut, ekstrak tempe mengandung fitoestrogen yang mempunyai harapan untuk dijadikan sebagai salah satu obat oral dalam terapi sulih hormon sebagai pengganti hormon estrogen yang relatif aman yang bermanfaat sebagai antiaging, terutama dalam peningkatan kualitas uterus, kulit, dan tulang pada saat memasuki pascamenopause.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Mei 2011-April 2012. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat, yaitu pembuatan tempe kedelai (Lampiran 11) di pabrik tempe Desa Ciherang Bogor, pembuatan ekstrak tempe (Lampiran 12) di BALITTRO, analisis kandungan isoflavon dan komposisi zat gizi ekstrak tempe
103
di Laboratorium Balai Besar Pascapanen Pertanian Bogor (Lampiran 13), pemeliharaan dan ovariektomi tikus di kandang hewan percobaan Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, analisis hormon, kadar kolagen, kadar RNA, dan kadar air di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, analisis kadar abu, kalsium, dan fosfor pada tulang dan serum di laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dan pengujian kekuatan tulang di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih betina (Rattus norvegicus) yang berasal dari galur Sprague-Dawley berumur dua belas bulan.
Tempe yang digunakan dibuat di pabrik tempe dengan menggunakan
kedelai varietas americana, ragi tempe mengandung inokulum Rhizopus oryzae yang diproduksi oleh PT Aneka Fermentasi Indonesia Bandung (BPOM RI MD 262628001051), pelet dari PT. Japis Comfeed Indonesia (kandungan pellet berupa protein kasar 18.0-20%, lemak kasar min 40%, serat kasar max 7.0%, kalsium max 2.0%, phosfor max 2.0%, abu max 13%, air max 10%), ekstrak tempe, genistein, lynoral, somatotropin, sesame oil, kit Progesteron, BNF, serta bahan pengujian kolagen, RNA, kalsium dan fosfor. Alat yang digunakan adalah timbangan, sentrifuge, Automatic Gamma Counter, spektofotometer, eksikator, tanur listrik, AAS dan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Metode Penelitian Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah 21 ekor tikus betina strain Sprague Dawley. Tikus-tikus percobaan tersebut ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup yang terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan yang diberikan adalah bentuk pelet dan air minum disediakan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembap, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dengan lama terang 14 jam dan lama gelap 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu. Tindakan ovariektomi dilakukan oleh dokter hewan. Tikus betina umur 12 bulan setelah diovariektomi,
104
kemudian diadaptasikan dan dipelihara di lingkungan kandang percobaan selama 3 bulan pascaovariektomi. Tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi tersebut dibagi ke dalam 7 (tujuh) kelompok perlakuan, yang masing-masing terdiri atas tiga ekor, yaitu 1) K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, 2) P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, 3) TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200g BB, 4) GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, 5) EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol (estrogen sintetik) sebanyak 9x10 -3 mg/hari/200g BB, 6) SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil/somatotropin 0 mg/hari/kg BB, 7) BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB. Semua kelompok tikus diberikan perlakuan selama 2 bulan. Ekstrak tempe, genistein, dan etinilestradiol diberikan secara oral (pencekokan) sebanyak sehari sekali, sedangkan somatotropin disuntik sebanyak sehari sekali secara intramuskuler pada bagian paha belakang. Di akhir percobaan, dilakukan penimbangan bobot badan dan pada status fase diestrus (Lampiran 10), semua tikus dikorbankan. Sebelum dilakukan pembedahan, tikus terlebih dahulu dibius dengan eter, masing-masing tikus diambil darahnya secara intrakardial sebanyak kurang lebih 1 mL. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum. Serum digunakan untuk analisis kadar progesteron, kadar kalsium dan fosfor. Setelah tikus dikorbankan, uterus dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, kemudian ditimbang bobot basahnya, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan BNF (buffer formalin) 10% untuk analisis kadar kolagen, dan RNA. Kulit bagian dorsal dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting, selanjutnya dibersihkan dengan menggunakan alat pencukur dan dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% untuk analisis kadar kolagen, dan RNA. Tulang tibiafibula sebelah kiri dan sebelah kanan dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, selanjutnya tulang tibia sebelah kiri dimasukkan ke dalam BNF 10% untuk analisis kadar kolagen, RNA, densitas tulang dan kekuatan
105
tulang, sedangkan tulang tibia sebelah kanan disimpan di freezer pada suhu -20°C untuk analisis kadar kalsium, kadar fosfor, dan kadar abu (Gambar 11).
Parameter yang Diamati Parameter yang diamati ialah bobot badan, kadar hormon progesteron menggunakan metode RIA, kadar kolagen, dan kadar RNA organ uterus, kulit, dan tulang sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998), kadar kalsium serum dan tulang (Reitz et al. 1960), kadar fosfor serum dan tulang (Taussky & Shorr 1953), kadar abu tulang (AOAC 1990), panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang (metode Arjmandi et al. 1996), serta uji kekuatan tulang tibia merupakan adopsi dari metode uji kekuatan tekan glulam yang dilakukan oleh Bahtiar (2008) dan uji kekuatan tekan kayu (Mardikanto et al. 2011). Adapun prosedur kerja masing-masing parameter dapat dilihat pada Lampiran 1-9.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA), dilanjutkan dengan Uji Duncan dan uji korelasi dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Analisis keseluruhan dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1.3 (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
106
Bagan alur penelitian sebagai berikut: Tikus umur 12 bulan
Dilakukan ovariektomi, dipelihara selama 3 bulan
Tikus ovariektomi umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi (Tikus model pascamenopause) Perlakuan dilakukan selama 2 bulan, terdiri atas 7 kelompok perlakuan, masing-masing 3 ekor tikus
K: Kontrol P: Pencekokan dengan aquades/Plasebo TEM: Pencekokan ekstrak tempe 300mg/hari /200g BB GEN: Pencekokan genistein 0,25 mg/hari/kg BB EST: Pencekokan etinilestradiol (estrogen murni) 9x10-3 mg/hari /200g BB SO: Penyuntikan sesame oil/somatotropin 0 mg/hari/kg BB BST: Penyuntikan somatotropin 9 mg/hari/kg BB
dibedah pada fase diestrus
Tulang: kadar kolagen tulang , kadar air tulang, kadar RNA tulang, kadar kalsium dan fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kalsium dan fosfor serum, panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang dan kekuatan tulang
Kulit: kadar kolagen kulit , kadar air kulit, dan kadar RNA kulit
Uterus: kadar kolagen uterus, kadar air uterus, dan kadar RNA uterus.
Luaran: Ekstrak tempe dapat diberikan secara oral sebagai produk antiaging dalam memperbaiki kondisi pascamenopause meningkatkan kualitas kulit, dan pada tikus pascamenopause Gambar 11tulang Bagan alur penelitian Tahap III
107
HASIL DAN PEMBAHASAN Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kadar Progesteron dan Bobot Badan Tikus Pascamenopause Rataan kadar progesteron serum tikus pascamenopause disajikan pada Tabel 19. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin tidak mempengaruhi kadar progesteron serum pada tikus pascamenopause (P<0.05). Rataan kadar progesteron tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin sama dengan kontrol. Tabel 19 Rataan kadar progesteron serum dan pascamenopause Kelompok Kadar progesteron (ng/mL) 19.09±1.23 K 19.72±7.83 P 24.15±5.61 TEM 22.61±4.73 GEN 23.21±4.89 EST 19.65±5.19 SO 24.12±6.12 BST
bobot badan pada tikus Bobot badan (g) 281±7.21a 282±10.40a 260±8.02b 266±2.64b 265±4.58b 257±3.05b 266±1.52b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200 g BB, GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Ekstrak tempe yang mengandung fitoestrogen dan yang bersifat estrogenik diduga lebih berefek dalam meningkatkan hormon estrogen, dan tidak mempunyai efek pada kadar progesteron. Pemberian tepung tempe dapat meningkatkan estrogen serum tikus ovariektomi (Safrida 2008). Menurut Cosman (2009), untuk mengatasi gejala menopause biasanya menggunakan terapi kombinasi hormon estrogen dan progesteron sintesis. Namun, penggunaan pil estrogen dan progestin tidak direkomendasikan karena meningkatnya risiko penyakit jantung, stroke, dan kanker payudara.
108
Rataan bobot badan pada tikus pascamenopause disajikan pada Tabel 19. Hasil penelitian menunjukkan bobot badan tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin lebih rendah (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian ekstrak tempe pada tikus pascamenopause terlihat bahwa bobot badan menurun. Hal ini diduga karena fitoestrogen yang terkandung di dalam ekstrak tempe dapat meningkatkan katabolisme lemak sehingga lemak di jaringan adiposa dan organ visceral menjadi berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Arjmandi et al. (1996) yang menunjukkan bahwa bobot badan pada tikus ovariektomi yang diberi protein kedelai yang kaya isoflavon menurun. Hal ini disebabkan karena senyawa isoflavon mempengaruhi proses metabolisme lemak. Jones et al. (2000) menyatakan mencit yang defisiensi estrogen endogen dapat menyebabkan peningkatan cadangan lemak, yakni peningkatan jaringan lemak putih (White Adipose Tissue), sehingga bobot badan meningkat.
Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kualitas Uterus Tikus Pascamenopause Rataan bobot uterus, kadar kolagen, kadar air, dan RNA uterus pada tikus pascamenopause disajikan pada Tabel 20. Pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin dapat meningkatkan bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan kadar RNA uterus (P<0.05) pada tikus pascamenopause. Sementara itu, kadar air uterus pada tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe, genistein, dan somatotropin lebih rendah (P<0.05) bila dibandingkan dengan tikus kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak tempe pada tikus pascamenopause dapat meningkatkan bobot uterus bila dibandingkan dengan tikus kontrol, namun bobot uterus yang diberi etinilestradiol lebih meningkat bila dibandingkan dengan tikus yang diberi ekstrak tempe. Estrogen dapat menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Seperti yang dilaporkan oleh Binkley (1995) untuk menstimulasi perkembangan uterus dibutuhkan estrogen. Estradiol berikatan dengan reseptor estrogen yang berperan dalam pertumbuhan dan differensiasi sel epitelium uterus (Wada-Hiraike
109
et al. 2006). Isoflavon dapat berikatan dengan reseptor estrogen alfa dan beta, namun mempunyai afinitas yang lebih tinggi dengan reseptor estrogen beta (Whitten dan Pattisaul 2001) sehingga isoflavon lebih responsif pada jaringan yang mengandung lebih banyak reseptor estrogen beta. Tabel 20 Rataan bobot, kadar kolagen, kadar tikus pascamenopause Kelompok Bobot uterus Kadar kolagen (g) uterus (mg/g sampel) 0.126±0.04cd 15.88±2.01b K 0.111±0.01d 15.82±1.65b P bc 0.161±0.008 25.03±1.56a TEM 0.152±0.03bcd 25.66±4.03a GEN a 0.251±0.01 25.87±6.53a EST 0.144±0.01bcd 15.04±2.84b SO b 0.182±0.004 26.00±2.56a BST
air, dan kadar RNA uterus pada Kadar air uterus (%) 77.04±3.34ab 75.86±1.70abc 72.66±0.09bc 72.95±3.61bc 80.37±0.70a 76.30±1.38ab 71.23±4.09c
Kadar RNA uterus (mg/g sampel) 16.52±2.33b 16.87±3.84b 21.99±1.42a 18.21±3.40ab 18.35±2.03ab 16.86±0.82b 22.34±2.03a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200 g BB, GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin dapat meningkatkan kadar kolagen uterus dan aktivitas sintesis sel uterus yang digambarkan oleh peningkatan kadar RNA uterus pada tikus ovariektomi sebagai hewan model pascamenopause. Lin et al. (2012) menyatakan bahwa kolagen yang terdapat pada organ uterus tikus akan berikatan dengan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) yang dapat menyebabkan regenerasi endometrium, sel otot, dan vaskularisasi. Menurut Iwahashi dan Muragaki (2011) bahwa penurunan kadar kolagen dapat meningkatkan kerentanan wanita mengalami prolapse uterus. Terdapat tiga mekanisme aksi estrogen dalam pembentukan kolagen uterus. Pertama, estrogen bekerja secara nongenomik mengakibatkan efek seluler yang cepat pada berbagai jaringan (Levin 2002). Efek-efek tersebut meliputi efek pada pencetusan impuls di otak dan efek umpan balik pada sekresi gonadotropin (Ganong 2003). Kedua, estrogen bekerja secara genomik yang diperantarai oleh reseptor estrogen yang terdapat pada uterus. Uterus memiliki reseptor estrogen
110
beta dan reseptor estrogen alfa yang terdapat pada sel-sel epitelium, stroma, dan sel otot (Pelletier dan El-Alfy 2000). Ketiga, menstimulasi sel uterus untuk menghasilkan IGF-1 (insulin-like growth factor-I). Selanjutnya IGF-1 akan menstimulasi proliferasi dan produksi kolagen (Klotz et al. 2002).
Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kualitas Kulit Tikus Pascamenopause Rataan kadar
kolagen,
kadar
air,
dan
RNA kulit
pada tikus
pascamenopause disajikan pada Tabel 21. Pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin dapat meningkatkan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit tikus pascamenopause (P<0.05), bila dibandingkan dengan tikus kontrol, sedangkan kadar air kulit pada tikus pascamenopause tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin. Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA kulit pada tikus pascamenopause Kelompok Kadar kolagen Kadar air Kadar RNA kulit kulit kulit (mg/g sampel) (%) (mg/g sampel) 21.48±6.57b 61.71±0.59 11.55±2.35b K 20.65±5.95b 62.05±2.08 12.86±3.50b P a 48.16±0.48 64.41±0.64 26.51±0.95a TEM 46.01±1.92a 62.28±3.90 24.31±5.82a GEN a 44.65±2.61 63.70±1.32 24.13±1.54a EST 21.51±4.88b 62.72±3.61 10.80±4.65b SO a 44.97±2.56 65.18±1.88 26.40±1.15a BST
Tabel 21
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200 g BB, GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak tempe mempunyai efek antipenuaan pada kulit. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit pada tikus yang diberi ekstrak tempe. Ekstrak tempe mempunyai keunggulan karena mengandung zat bioktif isoflavon berupa genistein dan daidzein. Menurut Polito et al. (2012) bahwa genistein, isoflavon kedelai, telah diuji sebagai antipenuaan untuk persiapan kosmetik dengan hasil
111
yang menarik pada elastisitas kulit, fotoaging, dan pencegahan kanker kulit. Selanjutnya, pemberian estrogen baik secara oral maupun topikal dapat meningkatkan kolagen kulit dan ketebalan kulit (Stevenson dan Thornton 2007). Pemberian estradiol pada wanita pascamenopause dapat meningkatkan jumlah kolagen (hydroxyproline) kulit secara signifikan selama pengobatan (Varila et al. 1995). Pemberian estrogen telah terbukti memiliki efek positif pada kulit dengan menunda atau mencegah manifestasi penuaan kulit (Brincat 2000; Sator et al. 2004). Terdapat dua mekanisme aksi estrogen dalam pembentukan kolagen kulit, yaitu secara nongenomik dan genomik (Stevenson dan Thornton 2007). Pertama, estrogen bekerja secara nongenomik mengakibatkan efek seluler yang cepat pada berbagai jaringan (Levin 2002), meliputi efek pada pencetusan impuls di otak dan efek umpan balik pada sekresi gonadotropin (Ganong 2003). Estrogen telah terbukti dapat mengaktifkan second messenger seperti siklase adenilat dan cAMP (Aronica et al. 1994), fosfolipase C (Lieberherr et al. 1993), dan protein kinase C (Marino et al. 2002). Kedua, estrogen bekerja secara genomik yang diperantarai oleh reseptor estrogen yang terdapat pada sel-sel fibroblas kulit. Kulit mengandung reseptor estrogen beta dan reseptor estrogen alfa (Thornton 2002, 2005). Selain isoflavon, ekstrak tempe juga mengandung zat gizi berupa serat kasar, lemak, protein, karbohidrat, Fe, Ca, P, total karoten, vitamin B12, dan vitamin B1 (Lampiran 14 dan 15). Zat-zat gizi yang terdapat dalam ekstrak tempe tersebut diduga berefek pada produksi kolagen kulit. Penelitian Park et al. (2012) menunjukkan bahwa suplemen makanan yang mengandung ekstrak royal jelly 1% dapat meningkatkan produksi kolagen tipe I pada kulit tikus ovariektomi. Royal jelly adalah produk lebah madu yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, asam amino bebas, vitamin, dan mineral. Efek Pemberian Ekstrak Tempe pada Kualitas Tulang Tikus Pascamenopause Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA tulang pada tikus pascamenopause disajikan pada Tabel 22. Hasil penelitian menunjukkan kadar kolagen dan kadar RNA tulang pada tikus pascamenopause yang diberi ekstrak
112
tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin lebih tinggi (P<0.05) bila dibandingkan dengan tikus kontrol. Kadar air tulang pada tikus pascamenopause tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin.
Tabel 22 Rataan kadar kolagen, kadar air, dan kadar RNA tulang pada tikus pascamenopause Kelompok Kadar kolagen tulang Kadar air tulang Kadar RNA tulang (mg/g sampel) (%) (mg/g sampel) 15.56±1.92bc 28.50±0.50 6.25±0.31b K 14.49±5.23c 29.66±6.68 6.33±0.59b P 19.86±0.06a 30.26±7.09 7.85±0.71a TEM ab 18.48±0.35 28.13±2.91 7.09±1.21ab GEN 18.77±0.89ab 29.36±0.42 7.26±0.19ab EST bc 15.69±2.31 29.53±2.72 6.12±0.45b SO 19.58±1.27a 32.14±1.89 8.24±0.08a BST Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200 g BB, GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Kadar kolagen tulang dan kadar RNA tulang pada tikus pascamenopause mempunyai nilai korelasi (0.92) dan menunjukkan korelasi yang berbeda nyata (P<0.01), yang berarti semakin tinggi kadar kolagen tulang maka semakin meningkat kadar RNA tulang. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kolagen tulang diikuti dengan peningkatan RNA tulang. Pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin dapat meningkatkan kadar kolagen tulang sehingga akan menurunkan risiko patah tulang. Kandungan ekstrak tempe berupa isoflavon genistein dan daidzein dapat berikatan dengan reseptor estrogen yang terdapat pada se-sel osteoblas tulang sehingga berperan dalam pembentukan kolagen tulang. Menurut Anderson et al. (1995), jaringan tulang lebih banyak mengandung reseptor estrogen beta daripada reseptor estrogen alfa dan isoflavon lebih bersifat agonis terhadap reseptor estrogen beta sehingga dapat memelihara jaringan tulang atau minimal dapat menjaga keseimbangan antara aktivitas osteoblastik dan osteoklastik.
113
Rataan kadar kalsium dan fosfor tulang, rasio kadar Ca/P tulang, dan kadar abu tulang pada tikus pascamenopause disajikan pada Tabel 23. Pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin dapat meningkatkan kadar kalsium, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang (P < 0.05) pada tikus pascamenopause.
Rataan kadar kalsium tulang, kadar fosfor tulang, rasio Ca/P tulang, dan kadar abu tulang pada tikus pascamenopause Kelompok Kadar kalsium Kadar fosfor Rasio Ca/P Kadar abu tulang tulang tulang tulang (%) (%) (%) (%) d b c 11.21±5.21 30.32±5.89 0.40±0.26 27.00±2.03b K d b c 8.85±1.33 22.76±4.00 0.40±0.13 27.27±2.12b P 66.61±5.02a 47.65±5.23a 1.40±0.17b 34.84±0.88a TEM c b b 40.30±7.36 28.31±6.04 1.43±0.10 34.33±4.85a GEN b b a 50.97±7.05 24.82±0.96 2.04±0.06 33.02±3.94ab EST 9.00±2.49d 28.48±9.31b 0.33±0.15c 27.72±2.35b SO c b b 34.63±4.40 28.26±6.31 1.24±0.14 30.12±1.70ab BST
Tabel 23
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200 g BB, GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Pemberian ekstrak tempe pada kondisi pascamenopause menunjukkan peningkatan kalsium dan fosfor tulang yang lebih baik bila dibandingkan dengan pemberian genistein, etinilestradiol, dan somatotropin. Ekstrak tempe tidak hanya mengandung fitoestrogen, tetapi juga mengandung kalsium dan fosfor. Peningkatan kualitas tulang akan lebih berefek dengan adanya fitoestrogen dan penambahan kalsium. Kalsium dan fosfor merupakan mineral yang sangat berpengaruh pada kesehatan tulang (Heaney 1999). Percobaan dengan menggunakan tikus menunjukkan bahwa estrogen dapat meningkatkan absorbsi kalsium dari pakan, meningkatkan deposisi kalsium di dalam tulang, dan menurunkan ekskresi kalsium dari tubuh (Djojosoebagio 1996). Peningkatan kalsium dan fosfor tulang pada tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe menguntungkan karena berkontribusi pada kekuatan tulang. Faibish et al. (2006)
114
melaporkan kekuatan tulang meningkat sebanding dengan kandungan mineral yang ditemukan. Kisaran rasio Ca/P tulang tibia pada tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe masih dalam kisaran normal. Rasio relatif kalsium dan fosfor pada tulang dapat sangat berbeda pada keadaaan nutrisi yang berlainan, rasio Ca/P berdasarkan bobot berkisar antara 1,3 sampai 2,0 (Guyton 1996). Pemberian ekstrak tempe menunjukkan peningkatan kadar abu tulang. Hal ini diduga selain kalsium dan fosfor, mineral lain yang terdapat pada tulang juga meningkat. Menurut Djojosoebagio (1996) selain kalsium dan fosfor, tulang juga mengandung sitrat, natrium, barium, strontium, timah, karbonat, flour, klor, magnesium, dan kalium. Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus pascamenopause disajikan pada Tabel 24. Kadar kalsium dan fosfor serum tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin. Tabel 24 Rataan kadar kalsium dan fosfor serum pada tikus pascamenopause Kelompok Kadar kalsium serum Kadar fosfor serum (mg/dL) (mg/dL) 14.24±012 14.41±3.87 K 14.32±0.19 16.60±4.55 P 14.17±1.30 15.59±3.65 TEM 13.89±1.21 13.84±2.17 GEN 14.96±2.26 15.37±1.95 EST 13.92±0.53 16.55±5.74 SO 14.10±1.13 16.96±0.90 BST Keterangan : K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200 g BB, GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan ekstrak tempe, genistein, dan etinilestradiol pada tikus pascamenopause tidak mempengaruhi kadar kalsium dan fosfor serum. Hal ini senada dengan penelitian Arjmandi et al. (1996) yang melaporkan bahwa tidak ada perbedaan kadar kalsium serum pada tikus yang diberi protein kedelai yang kaya isoflavon. Isoflavon meningkatkan laju pembentukan tulang sehingga melampaui laju resorpsinya.
115
Rataan panjang tulang, bobot tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang pada tikus pascamenopause disajikan pada Tabel 25. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa bobot tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang pada tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin lebih tinggi (P<0.05) bila dibandingkan dengan tikus kontrol. Panjang tulang pada tikus pascamenopause tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin. Tabel 25 Rataan panjang, bobot, densitas, pascamenopause Kelompok Panjang Bobot tulang tulang (cm) (g) 3.82±0.03 0.42±0.01c K 3.83±0.02 0.42±0.01c P 3.83±0.01 0.58±0.01a TEM 3.81±0.04 0.50±0.03b GEN 3.87±0.11 0.49±0.03b EST 3.82±0.03 0.42±0.02c SO 3.87±0.01 0.57±0.01a BST
dan kekuatan tulang tibia pada tikus Densitas tulang (g/mL) 1.06±0.03c 1.06±0.03c 1.47±0.02a 1.25±0.09b 1.24±0.09b 1.05±0.60c 1.43±0.02a
Kekuatan tulang (kg/cm2) 39.23±9.235b 40.14±2.476b 81.17±16.79a 64.91±5.565a 67.61±9.782a 38.95±8.659b 62.41±12.29a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( p<0.05). K= Tikus pascamenopause sebagai kontrol negatif, P= Tikus pascamenopause yang dicekok aquades sebagai plasebo, TEM= Tikus pascamenopause yang diberi ekstrak tempe 300 mg/hari/200 g BB, GEN= Tikus pascamenopause yang diberi genistein 0,25 mg/hari/kg BB, EST= Tikus pascamenopause yang diberi etinilestradiol sebanyak 9x10-3 mg/hari /200g BB, SO= Tikus pascamenopause yang disuntik sesame oil / somatotropin 0 mg/hari/kg BB, BST= Tikus pascamenopause yang disuntik somatotropin 9 mg/hari/kg BB.
Pemberian ekstrak tempe tidak mempengaruhi panjang tulang tikus pascamenopause. Hal ini disebabkan karena tindakan ovariektomi pada penelitian ini menggunakan tikus umur 12 bulan, yang berarti tikus sudah mencapai puncak massa tulang sehingga tidak terjadi lagi pertumbuhan tulang. Menurut Wronski dan Yen (1991), pertumbuhan tulang menjadi minimal pada tikus umur 9-12 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bobot tulang pada tikus yang diberi ekstrak tempe meningkat sebesar 38,09% bila dibandingkan kontrol. Studi epidemiologis yang dilakukan di Jepang menunjukkan bahwa konsumsi yang tinggi terhadap produk olahan kedelai dapat meningkatkan massa tulang wanita pada saat menopause (Somekawa et al. 2001).
116
Densitas tulang dan kekuatan tulang pada tikus pascamenopause mempunyai nilai korelasi (0.90) dan menunjukkan korelasi yang berbeda nyata (P<0.01), yang berarti semakin tinggi densitas tulang maka semakin meningkat kekuatan tulang. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan densitas tulang diikuti dengan peningkatan kekuatan tulang. Sejalan dengan peningkatan kadar kalsium, rasio Ca/P, kadar abu, kadar kolagen, kadar RNA, dan bobot tulang, pemberian ekstrak tempe, genistein, etinilestradiol, dan somatotropin menyebabkan peningkatan densitas dan kekuatan tulang tibia (P<0.05). Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarsi (2005) bahwa peningkatan aktivitas estrogen dalam tulang terjadi karena reseptor estrogen di dalamnya terinduksi oleh isoflavon sehingga aliran nutrisi dan kalsium meningkat, dan berefek pada peningkatan densitas mineral tulang. Potter et al. (1998) menyatakan bahwa asupan protein kedelai yang mengandung isoflavon kadar tinggi juga mampu meningkatkan densitas mineral tulang lumbar spinal pada wanita postmenopause. Boivin dan Meunier (2003) menyatakan bahwa kekuatan tulang
bergantung
selain
pada
volume
matriks
tulang
dan distribusi
mikroarsitektur tulang, juga pada tingkat mineralisasi jaringan tulang. Tingkat mineralisasi jaringan tulang sangat mempengaruhi kekuatan tulang, tidak hanya ketahanan mekanik tulang, tetapi juga kepadatan mineral tulang.
SIMPULAN 1. Pemberian ekstrak tempe pada kondisi pascamenopause dapat memperbaiki kualitas uterus yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen uterus dan aktivitas sintesis sel uterus. 2. Ekstrak tempe terbukti mempunyai efek antipenuaan pada kulit tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kolagen kulit dan kadar RNA kulit. 3. Pemberian ekstrak tempe memberikan efek positif pada kualitas tulang tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang, fosfor tulang, kadar abu tulang, kadar kolagen tulang, kadar RNA tulang, bobot tulang, densitas tulang, dan kekuatan tulang. 4.
117
PEMBAHASAN UMUM Penuaan menyebabkan penurunan beberapa fungsi organ tubuh, di antaranya uterus, kulit, dan tulang. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dapat diketahui kondisi hewan model premenopause dan pascamenopause. Hasil penelitian yang diperoleh pada tahap pertama ini digunakan untuk tahap penelitian kedua dan ketiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi premenopause dengan menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang ialah tikus umur 18 bulan, yang ditandai dengan mulai terjadi penurunan kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar DNA dan RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar RNA kulit, dan kadar RNA tulang. Menurut Zulkarnaen (2003) dan Affandi (1997) pada wanita saat premenopause, yaitu kira-kira umur 40 tahun, mulai terjadi penurunan sekresi hormon progesteron dan penurunan fungsi ovarium secara berangsur-angsur. Kondisi pascamenopause, yaitu tikus umur 30-36 bulan, ditandai dengan penurunan secara drastis kadar hormon progesteron, kadar kolagen uterus, kadar RNA uterus, kadar kolagen kulit, kadar RNA kulit, kadar kolagen tulang, kadar RNA tulang, kadar kalsium tulang, rasio Ca/P tulang, dan densitas tulang. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model
pascamenopause
menggunakan parameter kualitas uterus, kulit, dan tulang adalah tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pascaovariektomi. Pascamenopause pada wanita terjadi sekitar usia 55 tahun, yang mana ovarium tidak lagi berfungsi, produksi hormon steroid dan peptida berangsur-angsur hilang dan terjadi sejumlah perubahan fisiologis (Zulkarnaen 2003). Menopause pada wanita menyebabkan beberapa perubahan fisik dan fisiologis, seperti osteoporosis, hilangnya elastisitas kulit, dan gejala penuaan lainnya (Binkley 1995). Pemberian ekstrak tempe dan hormon yang telah dipasarkan (genistein, etiniestradiol, dan somatotropin) dapat memperbaiki kualitas hidup pada kondisi premenopause dan pascamenopause yang tercermin dari adanya peningkatan kualitas uterus, kulit, dan tulang. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian tahap kedua dan ketiga.
118
Hasil penelitian tahap kedua ialah pemberian ekstrak tempe dapat memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada tikus premenopause. Kualitas uterus dapat dipertahankan dengan adanya pemberian ekstrak tempe pada tikus premenopause, yang ditandai dengan bobot uterus, kadar kolagen uterus, dan kadar RNA uterus dalam keadaan normal. Selain itu, pemberian ekstrak tempe pada tikus premenopause terbukti sebagai antipenuaan pada kulit. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan kolagen dan RNA kulit, masing-masing sebesar 49,11% dan 24,92%, bila dibandingkan dengan kontrol. Demikian juga, pemberian ekstrak tempe pada tikus premenopause dapat meningkatkan kualitas tulang, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang sebesar 59,49%, rasio Ca/P tulang sebesar 97,21%, kadar abu tulang sebesar 16,95%, densitas tulang sebesar 19,25%, dan kekuatan tulang sebesar 73,33%. Isoflavon aglikon yang terdapat dalam ekstrak tempe berupa genistein dan daidzein mempunyai efek positif pada kesehatan uterus, kulit, dan tulang pada tikus premenopause. Menurut Ruggiero et al. (2002) bahwa, secara fisiologis, efek isoflavon yang mirip estrogen bergantung pada respons yang terjadi, dapat bersifat agonis (menstimulir) atau antagonis (menghambat) pada reseptor dalam sel targetnya. Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa pada kondisi pascamenopause terlihat jelas penurunan kualitas uterus, kulit, dan tulang. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian ekstrak tempe sebagai bahan alami yang relatif aman. Pemberian ekstrak tempe pada hewan model pascamenopause dapat memperbaiki kualitas uterus yang ditandai dengan peningkatan bobot uterus sebesar 27,77%, kadar kolagen uterus sebesar 57,61%, dan peningkatan aktivitas sintesis sel uterus sebesar 33,11%. Pembentukan kolagen uterus dipengaruhi oleh estrogen. Ekstrak tempe mengandung fitoestrogen yang mempunyai aktivitas mirip estrogen. Aksi estrogen dalam pembentukan kolagen uterus melalui tiga mekanisme, yaitu pertama, estrogen bekerja secara nongenomik melalui reseptor membran plasma dan mengakibatkan respons seluler yang cepat (Thornton 2002), contohnya efek pada pencetusan impuls di otak dan efek umpan balik pada sekresi gonadotropin (Ganong 2003). Kedua, estrogen bekerja secara genomik yang diperantarai oleh reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta yang terdapat pada uterus. Uterus memiliki reseptor estrogen alfa lebih dominan bila
119
dibandingkan dengan reseptor estrogen beta (Brandenberger et al. 1997). Ketiga, menstimulasi sel uterus untuk menghasilkan IGF-1 (insulin-like growth factor-I). Selanjutnya IGF-1 akan menstimulasi proliferasi dan produksi kolagen (Klotz et al. 2002) Peningkatan kadar kolagen kulit dan peningkatan kadar RNA kulit yang masing-masing sebesar 124,20% dan 129,52% pada tikus pascamenopause merupakan bukti bahwa pemberian ekstrak tempe dapat memperbaiki kualitas kulit, yang menyarankan bahwa ekstrak tempe bisa berfungsi sebagai antipenuaan pada kulit. Ada dua mekanisme aksi estrogen dalam pembentukan kolagen kulit, yaitu secara nongenomik dan secara genomik. Pertama, estrogen bekerja secara nongenomik mengakibatkan
efek seluler yang cepat pada berbagai jaringan
(Levin 2002). Estrogen telah terbukti mempunyai respons yang cepat yang melibatkan second messenger (Nadal et al. 1995). Estradiol telah dapat mengaktifkan sinyal mitogen-activated protein kinase (MAPK), juga dapat menyebabkan stimulasi cepat fluks kalsium, generasi cAMP dan IP3, dan aktivasi fosfolipase C (Levin 2002). Kedua, estrogen bekerja secara genomik yang diperantarai oleh reseptor estrogen beta dan reseptor estrogen alfa yang terdapat pada sel-sel fibroblas kulit (Thornton 2002, 2005). Kulit pada bagian dermis memiliki reseptor estrogen beta yang lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor estrogen alfa (Surazynski 2003). Pemberian ekstrak tempe juga dapat memperbaiki kualitas tulang tikus pascamenopause, yang ditandai dengan peningkatan kadar kalsium tulang sebesar 494,20%, fosfor tulang sebesar 57,15%, kadar abu tulang sebesar 27,70%, kadar kolagen tulang sebesar 27,63%, kadar RNA tulang sebesar 25,60%, bobot tulang sebesar 38,09%, densitas tulang sebesar 38,67%, dan kekuatan tulang sebesar 106,90%. Isoflavon aglikon berupa genistein dan daidzein yang terdapat dalam ekstrak tempe mempunyai aktivitas yang mirip estrogen yang disebut estrogen like. Terdapat tiga mekanisme aksi isoflavon dalam pembentukan kolagen tulang. Pertama, isoflavon bekerja secara genomik yang diperantarai oleh reseptor estrogen beta dan reseptor estrogen alfa yang terdapat pada sel-sel osteoblas tulang (Ganong 2003). Menurut Anderson (1998), jaringan tulang lebih banyak mengandung reseptor estrogen beta dari pada reseptor estrogen alfa. Kedua,
120
isoflavon bekerja secara nongenomik mengakibatkan respons seluler yang cepat, meliputi efek pada pencetusan impuls di otak dan efek umpan balik pada sekresi gonadotropin (Thornton 2002, Ganong 2003). Ketiga, menstimulasi sel tulang untuk menghasilkan IGF-1 (insulin-like growth factor-I) (Gowen 1991). Selanjutnya IGF-1 akan menstimulasi proliferasi dan produksi kolagen tipe I oleh osteoblas. Oxlund et al. (1998) menyatakan bahwa IGF-I memacu sel-sel prekursor osteoblas sebagai salah satu sel yang berperan dalam pembentukan kolagen tulang. Penelitian yang menggunakan tikus dilaporkan bahwa genistein memberikan efek anabolik pada se-sel osteoblas tulang (Yamaguchi dan Gao 1998, Sugimoto dan Yamaguchi 2000). Pemberian ekstrak tempe pada tikus pascamenopause mempunyai efek positif pada kesehatan tulang. Ekstrak tempe tidak hanya mengandung fitoestrogen, tetapi juga mengandung kalsium dan fosfor. Peningkatan kualitas tulang akan lebih berefek dengan adanya fitoestrogen serta penambahan mineral kalsium dan fosfor. Peningkatan mineral kalsium dan fosfor akan menyebabkan matriks tulang padat sehingga kerapatan massa tulang atau densitas tulang meningkat. Selain itu, peningkatan kolagen akan menyebabkan tulang menjadi kuat dan tidak mudah patah. Peningkatan mineral, densitas tulang, dan kolagen tulang berkontribusi pada peningkatan kekuatan tulang. Hal ini senada dengan penelitian Faibish et al. (2006) yang mengatakan bahwa kekuatan tulang manusia meningkat sebanding dengan kandungan mineral yang ditemukan. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa ekstrak tempe dapat dikonsumsi pada saat premenopause dan pascamenopause untuk memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang.
121
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN 1. Kondisi premenopause dengan menggunakan parameter uterus, kulit, dan tulang ialah tikus usia 18 bulan, sedangkan kondisi pascamenopause ialah tikus usia 30-36 bulan. 2. Tikus
ovariektomi
yang
cocok
digunakan
sebagai
hewan
model
pascamenopause adalah tikus umur 12 bulan dalam kondisi 3 bulan pacaovariektomi. 3. Pemberian ekstrak tempe
dapat
berfungsi
sebagai
antiaging
dalam
memperbaiki kualitas uterus, kulit, dan tulang pada kondisi premenopause dan pascamenopause. SARAN 1. Penggunaan hewan model kondisi premenopause dan kondisi pascamenopause pada tikus dapat diaplikasikan pada penelitian lain. 2. Berdasarkan potensi fitoestrogen dan mineral yang terkandung dalam ekstrak tempe, perlu adanya penelitian pada bahan alami lain yang mengandung fitoestrogen dan mineral untuk memperbaiki perubahan fisiologis pada saat premenopause dan pascamenopause. 3. Perlu penelitian lanjutan kombinasi ekstrak tempe dengan bahan alami lain yang mengandung hormon pertumbuhan untuk mengatasi perubahan fisik dan fisiologis pada saat memasuki usia tua dan gejala-gejala penuaan lainnya.
123
DAFTAR PUSTAKA Affandi B. 1997. Masalah Kesehatan pada Menopause. Ed ke-1. Pokja endokrinologi reproduksi. POGI/PERMI. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Aitoman M. 2011. pengaruh pemberian makanan cair yang diperkaya dengan tempe terhadap respons glukosa darah penyandang diabetes melitus di RSCM Jakarta. [Tesis]. Program Pascasrjana IPB. Bogor. Albertazzi P, Pansini F, Bonaccorsi G, Zanotti L, Forini E, De Aloysio D. 1998. The effect of dietary soy supplementation on hot flushes. Obstet Gynecol. 91 (1):6-11 Amway 2010. Sains Sebenar Penemuan. http://www.amway2u.com/miniweb/cre Anderson JJ, Ambrose WW, Garner SC. 1995. Orally dosed genistein from soy and prevention of cancellous bone loss in two ovariectomized rat models. J.Nutr. 25: 789-799S. Arjmandi BH, Alekel L, Hollis BW, Amin D, Stacewicz M, Guo P, Kukreca SC, 1996. Dietary soybean protein prevent bone loss in an ovariectomized rat model of osteoporosis. J Nutr.126: 161-167. Badawy SZA, Frankel LB. 1999. The pathophysiology of perimenopause. Di dalam: Badawy SZA, ed. Clinical Management of the Perimenopause. Ed ke-1. London, Arnorld: 1-10. Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The labaratory rat. Vol II. Research applicatiaons. Academic Press Inc. London. Barus T. 2008. Peran komunitas bakteri dalam pembentukan rasa pahit pada tempe: analisis mikrobiologi dan terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP). [Disertasi]. Program Pascasrjana IPB. Bogor. Barz WH, Papendorf GB, Rehms H. 1993. Characterization of glycohidrolases, phosphatases, and isoflavone metabolism in tempe forming Rhizopus Strains. Disampaikan pada Second Asia Symposium on Non-Salted Soybean Fermentation. Jakarta. Baziad A. 2003. Menopause dan Andropause. Jakarta: Penerbit Sagung Seto. Binkley SA. 1995. Endocrinology. New York: Harper Collins College Publisher. Bitto A, Burnett BP, Polito F, Marini H, Levy RM, Armbruster MA, LMinutoli L, Stefano VD, Irrera N, Antoci S, Granese R, Squadrito F and Altavilla D. 2008. Effects of genistein aglycone in osteoporotic, ovariectomized rats: a comparison with alendronate, raloxifene and oestradiol. Br J Pharmacol. 155(6): 896–905. Brandenberger AW, Tee MK, Lee JY, Chao V, Jaffe RB. 1997. Tissue distribution of estrogen receptors alpha (ER-alpha) and beta (ER-beta) mRNA in the midgestational human fetus. J Clin Endocrinol Metab 82: 3509–3512. Brincat MP. 2000. Hormone replacement therapy and the skin. Maturitas. 35:107–17. Brzezinski A, Adlercreutz H, Shaoul R, Rosier A, Shmueli A, Tanos V, Schenker JG. 1997. Short-term effects of phytoestrogen-rich diet on postmenopausal women. Menopause. 4:89-94.
124
LAMPIRAN
126
Lampiran 1 Prosedur Pengukuran Bobot Badan dan Bobot Uterus Bobot badan badan tikus ditimbang menggunakan alat timbangan khusus untuk tikus percobaan (Triple Beam Balance, OHAUS). Bobot uterus tikus ditimbang menggunakan timbangan analitis (Sartorius 2432).
Lampiran 2 Prosedur Penentuan Kadar Hormon Progesteron Pada fase diestrus, masing-masing tikus diambil darahnya secara intrakardial sebanyak kurang lebih 1 mL. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum yang kemudian digunakan untuk penentuan kadar progesteron. Konsentrasi
progesteron
dalam
serum
diukur
dengan
metode
Radioimmunoassay (RIA) dengan teknik fase padat menggunakan kit progesteron coat-a-count yang berisi progesteron berlabel 125I. Seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G berturut-turut berisi progesteron dengan konsentrasi 0, 0.1, 0.5, 2, 10, 20, dan 40 ng/mL yang diperoleh dari Diagnostic Product Corporation (Los Angeles, CA). Tabung untuk Non Spesific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label dan masing-masing dibuat duplo. Sebanyak 14 tabung diberi label masingmasing A (MB), B, C, D, E, F dan G (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100 µL larutan standar konsentrasi 0, 0.1, 0.5, 2, 10, 20, dan 40 ng/mL dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 µL larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 100 µL. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 mL progesteron berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan Automatic Gamma Counter selama 1 menit. Pencacahan dilakukan di laboratorium Balitnak Ciawi Bogor. Persen radioaktivitas yang terikat dihitung dengan membagi CPM sampel maupun standar dengan CPM standar A (MB). Persamaan kurva standar dihitung dengan persamaan regresi linear persen radioaktivitas yang terikat sebagai Y dan log konsentrasi standar
127
sebagai X. Konsentrasi estrogen sampel dihitung dengan memasukkan nilai persen radioaktivitas terikat sampel ke persamaan kurva standar. Lampiran 3 Prosedur Penentuan Kadar Kolagen Penentuan kadar kolagen dilakukan sesuai dengan yang dilakukan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998). Pengukuran kadar kolagen dilakukan setelah uterus, kulit, dan tulang yang sudah dikeringkan dan dihaluskan diekstraksi dengan cara menimbang seberat 25 mg ke dalam tabung reaksi dan menambahkan sebanyak 5 mL HCl 6 N pada setiap sampel. Semua tabung diletakkan pada penangas air 130oC selama 3 jam (air mendidih ± 5 jam) sampai larutan homogen kuning muda. Jika terjadi penguapan selama pemanasan ditambahkan lagi HCl 6 N sebanyak 5 mL. Isinya dituangkan dan dibaca pada pH 6-7 (seragam) dengan menambahkan NaOH 2 N jika keasaman atau HCl 6 N jika kebasaan, dan tetap menghitung pelarutannya. Selanjutnya, tabung reaksi disiapkan kemudian dilabel untuk blanko, standar, dan sampel yang masing-masing dibuat duplo. Masingmasing tabung diisi reagen sehingga akan berwarna kuning, setelah itu pada setiap tabung ditambahkan 1 mL Chloramin- T dan dikocok (vorteks). Larutan dibiarkan selama 20 menit pada suhu kamar. Setiap tabung ditambahkan 1 mL PCA, kemudian dikocok dan divorteks dan dibiarkan selama 5 menit. Setiap tabung ditambahkan 1 mL p-dimetilaminobenzaldehide dan dikocok kemudian diletakkan pada penangas air 60 oC selama 20 menit. Larutan didinginkan pada kran air mengalir (tabung direndam dalam wadah berisi air dingin) selama 5 menit. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 557 nm, yang dilakukan dalam waktu 1 jam.
Lampiran 4 Prosedur Penentuan Kadar DNA Ekstraksi DNA menggunakan kit komersial, yaitu DNA Mini Kit Tissue, dan prosedurnya mengikuti instruksi perusahaan Geneaid (PT Genetika Science Indonesia). Pengukuran kadar DNA dilakukan setelah uterus, kulit, dan tulang dikeringkan dan dihaluskan. Sebanyak 10 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung microcentrifuge ukuran 1,5 mL dan menambahkan sebanyak 200 μL GT Buffer pada setiap sampel kemudian diaduk dengan menggunakan Micropestle. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 20 μL proteinase K berlabel kemudian
128
divorteks. Larutan diinkubasi selama 20 menit pada suhu 60°C. Setiap tabung ditambahkan 200 μL etanol absolut, kemudian dikocok (vorteks) selama 10 detik. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam Collection Tube ukuran 2 mL melalui GD Column, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Larutan dituang melalui GD Column ke dalam Collection Tube ukuran 2 mL yang baru. Setiap tabung ditambahkan 100 μL W1 Buffer ke dalam GD Column, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 2 menit dan dituang melalui GD Column ke dalam Collection Tube ukuran 2 mL. Setiap tabung ditambahkan 600 μL Wash Buffer (etanol) ke dalam GD column, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 2 menit dan dituang melalui GD Column ke dalam Collection Tube ukuran 2 mL. Selanjutnya larutan tersebut disentrifugasi kembali dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Larutan dimasukkan ke dalam tabung microcentrifuge ukuran 1,5 mL melalui GD Column, selanjutnya ditambahkan 100 μL Elution Buffer yang sebelumnya telah diovenkan pada suhu 60°C dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 2 menit. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm.
Lampiran 5 Prosedur Penentuan Kadar RNA Penentuan kadar RNA dilakukan sesuai dengan yang dilakukan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998). Pengukuran kadar RNA dilakukan setelah uterus, kulit, dan tulang yang sudah dikeringkan dan dihaluskan diekstraksi dengan cara menimbang seberat 25 mg dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 3 mL KOH 1 N ditambahkan pada setiap tabung reaksi dan diletakkan pada penangas air 37oC selama 5 jam. Kemudian ditempatkan dalam wadah berisi es dan ditambahkan 300 mikroliter HCl 6 N. Pada wadah yang sama, ke dalam tabung reaksi ditambahkan TCA 5% atau PCA 10% sehingga terbentuk larutan putih keruh dan disentrifuge dengan kecepatan 1800 rpm selama 10 menit. Supernatan dituangkan dan disimpan dalam tabung 15 mL. Endapan yang diperoleh diesktraksi ulang dengan 5 ml TCA 5%, kemudian disentrifus dengan kecepatan 1800 rpm selama 15 menit. Hasil supernatan diekstraksi ulang kemudian diencerkan sampai volume 15 mL dengan TCA 5%. Ekstraksi dan
129
reaksi pewarnaan harus dilakukan pada hari yang sama. Kemudian tabung reaksi dilabel dan disiapkan untuk blanko, standar, dan sampel masing-masing dibuat duplo. Selanjutnya masing-masing tabung diisi reagen seperti yang disajikan pada Tabel A. Semua tabung ditutup dengan aluminium foil dan diletakkan pada penangas air mendidih selama 30 menit dan diusahakan pemanasan merata untuk setiap tabung sehingga larutan akan berwarna hijau. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 670 nm.
Tabel A
Tabung Blanko Standar a Standar b . . Standar h Sampel 1 Sampel 2 . . Sampel n
Pemberian label tabung reaksi untuk blanko, standar, dan sampel pada pewarnaan dan pengujian kadar RNA FeCl3 0.1%
Orcinol
Vol.akhir
3 mL
0.3 mL
6.3 mL
3 mL
0.3 mL
6.3 mL
3 mL standar 0 3 mL sampel-1 3 mL sampel-2
3 mL 3 mL 3 mL
0.3 mL 0.3 mL 0.3 mL
6.3 mL 6.3 mL 6.3 mL
3 mL sampel-n
3 mL
0.3 mL
6.3 mL
3 mL HCl 6N 3 mL TCA 5% 3 mL standar 2000 3 mL standar 1000
Lampiran 6 Prosedur Penentuan Kadar Kalsium dan Fosfor Prosedur preparasi sampel untuk analisis mineral kalsium dan fosfor tulang dengan menggunakan Wet Ashing (Reitz et al. 1960). Cara kerjanya: 1. Ditimbang ± 1 g sampel tulang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 125 mL/100 mL 2. Ditambahkan 5 ml HNO3 (p) didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. 3. Dipanaskan di atas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). 4. Dibiarkan semalam (sampel ditutup).
130
5. Ditambahkan 0.4 mL H2SO4 (p), lalu dipanaskan di atas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), biasanya ± 1 jam. 6. Ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap di atas hot plate, karena pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari cokelat menjadi kuning tua, kemudian menjadi kuning muda (biasanya ± 1 jam) 7. Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit 8. Sampel dipindahkan, didinginkan, dan ditambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl (p). 9. Dipanaskan kembali agar sampel larut (±15 menit) kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. 10. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool 11. Hasil pengabuan basa dianalisis dengan menggunakan AAS (untuk analisis mineral kalsium) atau spektrofotometer (untuk analisis mineral fosfor pada panjang gelombang 660 nm). Tapi sebelumnya dipreparasi dulu dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan dan penambahan bahan kimia untuk menghilangkan ion-ion pengganggu (Cl3La.7H2O). Analisis Mineral Kalsium Serum 1. Dibuat larutan standar untuk : Ca : 2,4 dan 6 ppm 2. Ke dalam tabung reaksi dipipet 0,25 mL serum dan menambahkan 0,05 mL Cl3La.7H2O 3. Ditambahkan aquadest sampai volume larutan 5 mL 4. Disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit 5. Dibaca konsentrasi pada AAS (Spektrofotometer Serapan Atom).
Analisis Kadar Fosfor Analisis mineral fosfor dengan menggunakan spektrofotometer (Taussky & Shorr 1953). Preparasi Larutan: Larutan A : (Asam Trikhloro acetat= TCA 17%)
131
Larutan B ((NH4)6Mo7O24.4H2O 10%=ammonium molibdat 10%) -
10 g ammonium molibdat ditambah 60 mL aquadest
-
Ditambahkan 28 mL H2SO4 pekat secara bertahap
-
Dibuat larutan sampai 100 mL dengan menambah aquadest
-
Didinginkan larutan tersebut dalam suhu kamar
Larutan C (dibuat sesaat sebelum analisis) -
10 mL larutan B + 60 mL aquadest + 5 g FeSO4.7H2O
-
Dibuat larutan sampai 100 mL dengan menambah aquadest
Larutan standar untuk P -
Larutkan 4.394 g KH2PO4 dalam aquadest sampai 1000 mL (untuk mendapatkan konsentrasi P=1000 ppm) Perhitungan:
BM KH2PO4=136.09
BA: P = 30.9738
136.09/30.9738 X 1000 mg X 1000 mL/1000 mL = 4.394 g KH2PO4 Larutan pengikat anion-anion pengganggu (Cl3La.7H2O) : -
Larutkan 6.6838 g Cl3La.7H2O dalam aquadest sampai 25 mL
-
Larutan Cl3La.7H2O berfungsi mengikat anion-anion pengganggu seperti anion sulfat (SO4) dan fosfat (PO4). Perhitungan : BM Cl3La.7H2O=371.38
BA: La = 138.91
371.38/138.91 X 100 g X 25 ml/1000 mL = 6.6838 Cl3La.7H2O (Konsentrasi La dalam larutan = 100.000 ppm). Prosedur Kerja: 1. Dibuat konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4, dan 5 ppm dalam 5 mL sehingga diperlukan :
2 ppm = 2 ppm/25 ppm X 5 mL = 0.4 mL KH2PO4
3 ppm = 3 ppm/25 ppm X 5 mL = 0.6 mL KH2PO4
4 ppm = 4 ppm/25 ppm X 5 mL = 0.8 mL KH2PO4
5 ppm = 5 ppm/25 ppm X 5 mL = 1.0 mL KH2PO4
2. Masing-masing volume tersebut ditambah 2 mL larutan C dan aquadest sampai volume akhir 5 mL.
132
3. Filtrat sampel dipipet ke dalam tabung (ukuran volume sampel yang dipipet bergantung pada kadar P dalam sampel. sebelumnya dilakukan pemipetan berbagai
Oleh karena itu,
volume, dan ditetapkan
apabila warna sampel ada di dalam range warna standar), kemudian di tambah 2 mL larutan C. 4. Dibaca segera (5 menit-2 jam) pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
Analisis Mineral Fosfor Serum 1. Ditambahkan 1 mL aquadest dalam 0,2 mL serum, kemudian ditambahkan larutan A. 2. Larutan dikocok dengan vorteks, kemudian disentrifuge 2500 rpm selama 10 menit. 3. Filtrat larutan dipipet 3 mL ke dalam tabung, kemudian ditambahkan larutan C. 4. Dibaca segera (5 menit-2 jam) pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
Lampiran 7 Prosedur Pengukuran Kadar Abu Pengukuran kadar abu (AOAC 1990) dilakukan dengan cara mencuci bersih cawan porselen dengan air kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan menimbang
bobotnya (X). Sebanyak 3 g tulang yang sudah dihaluskan dan
dimasukkan ke dalam porselen (Y). Cawan beserta isinya dipijarkan di atas nyala bunsen sampai tidak berasap lagi. Kemudian cawan ini dimasukkan ke dalam tanur listrik untuk dibakar atau diabukan pada suhu 400-800ºC. Sesudah abu menjadi putih, seluruhnya diangkat dan didinginkan dengan cara memasukannya ke dalam dessikator. Setelah 1 jam cawan ditimbang kembali dengan bobot (Z) Penentuan kadar mineral atau abu dilakukan dengan menggunakan rumus: (Z-X) x 100% Kadar abu/mineral = Y
133
Lampiran 8 Prosedur Penentuan Densitas dan Massa Tulang Tibia-fibula Tikus Prosedur penentuan densitas dan massa atau bobot tulang tibia-fibula tikus dilakukan dengan mengikuti metode Arjmandi et al. (1996). Tulang tibia-fibula sebelah kiri dipisahkan dari jaringan lunak menggunakan gunting kecil, jepitan, dan cotton gauze. Sebelum pengukuran densitas tulang tibia-fibula, sumsum tulang dibuang terlebih dahulu. Volume dan densitas tulang diukur dengan memasukkan setiap tulang ke dalam syringe (ukuran 5 mL untuk tulang tibiafibula) yang tidak tertutup yang berisi air bebas ion yang telah diletakkan pada eksikator (ruang vakum) hingga bebas gelembung udara. Tulang dalam syringe tersebut kemudian dimasukkan ke dalam eksikator kembali untuk memastikan bahwa air yang terperangkap sudah terdifusi keluar tulang. Setelah pengukuran volume, tulang-tulang tersebut dipindahkan dari syringe dan dikeringkan dalam kertas tisu, kemudian ditimbang. Densitas tulang dihitung dalam g/mL volume tulang.
Lampiran 9. Prosedur Pengujian Kekuatan Tulang Prosedur pengujian kekuatan tulang merupakan adopsi dari metode uji kekuatan tekan glulam yang dilakukan oleh Bahtiar (2008) dan uji kekuatan tekan kayu (Mardikanto et al. 2011). Tulang tibia sebelah kiri dipisahkan dari jaringan lunak menggunakan gunting kecil, kemudian dipotong dengan ukuran 15 mm dan dirapikan kedua ujungnya. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu tulang diukur diameter dalam dan diameter luar kedua ujungnya dengan menggunakan kaliper digital, kemudian tulang tersebut diletakkan pada alat Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Pengujian kekuatan tulang pada penelitian ini menggunakan uji kekuatan tekan dengan analisis tipe pembebanan tekan, yaitu tekan tegak lurus, seperti gambar di bawah ini:
134
Gambar 12 Pengujian tekan tegak lurus tulang Rumus pengujian kekuatan tulang: P
Fc =
A Ket: Fc P A
= Kekuatan tulang dalam menahan beban (kg/cm2 ) = beban (kg) = Luas Permukaan (cm2 )
Lampiran 10. Prosedur Penentuan Fase Diestrus Setelah selesai masa perlakuan tikus dibedah pada fase diestrus dengan cara melakukan ulas vagina. Preparat ulas vagina selanjutnya difiksasi dengan metanol selama 5 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit, dicuci dengan air mengalir setelah itu dikeringkan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Penentuan fase siklus estrus dari hasil ulas vagina dilakukan berdasarkan keberadaan sel-sel epitel vagina (Gambar 13) dan jumlah kualitatif sel-sel epitel vagina seperti yang tertulis pada Tabel 26.
135
Sel kornifikasi
Sel epitel berinti a
b
d
c
Sel pavement
Leukosit
Gambar 13 Gambaran ulas vagina tikus putih galur Sprague-Dawley dengan pembesaran 40x10. a = proestrus, b = estrus, c = metestrus, d = diestrus.
Tabel 26 Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina Fase siklus estrus
Ulasan vagina Sel epitel berinti ± 75%
Proestrus Sel kornifikasi (sel tanduk) ± 25% Sel kornifikasi ± 75% Estrus Sel pavement (menumpuk) ± 25% Sel pavement 100% Metestrus Sel pavement dan leukosit Leukosit 100% Diestrus Leukosit dan sel berinti mulai muncul Sumber : Baker et al. (1980)
136
Lampiran 11. Prosedur Pembuatan Tempe Proses pembuatan tempe pada penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tahapan sebagai berikut: pembersihan biji kedelai kering, pencucian dan perendaman, perebusan (100°C, 30 menit), perendaman dengan air rebusan (22 jam), pengupasan kulit, penirisan dan pendinginan, peragian (2 g/kg kedelai), pembungkusan dan inkubasi (suhu 31°C, RH 78-85%, 24 jam), selanjutnya diperoleh tempe. Lampiran 12. Prosedur Pembuatan Ekstrak Tempe Tempe terlebih dahulu dipotong kecil, kemudian digiling hingga menjadi bubuk. Bubuk tersebut dilarutkan dengan pelarut etanol 70% dengan perbandingan 1:5. Setelah ditambahkan etanol, kemudian dihomogenkan selama dua jam dengan menggunakan stirrer elektrik, lalu didiamkan selama 24 jam lalu disaring sehingga diperoleh filtrat. Filtrat tersebut diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40ºC selama 2 hari sampai kental, kemudian cairan kental tersebut dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer) sehingga terbentuk serbuk ekstrak tempe. Lampiran 13.
Prosedur Analisis Kandungan Bioaktif Isoflavon dan Komposisi Zat Gizi Ekstrak Tempe
Pengujian analisis kadar isoflavon ekstrak tempe berdasarkan metode yang dilakukan Pawiroharsono (1995), yaitu dengan metode kromatografi cairan tingkat tinggi / HPLC (High Performance Liquid Cromatography). Adapun prosedurnya sebagai berikut: serbuk ekstrak tempe dikeringkan oven dengan suhu 40ºC selama 6 jam. Selanjutnya diekstrak dengan metanol absolut menggunakan labu pemisah. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali dengan metanol absolut masing-masing 50 mL. Ekstrak yang diperoleh ditampung dalam gelas ukur dan diinkubasi pada suhu 40°C selama 24 jam, kemudian cairan ekstrak tersebut dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer) sampai kering. Ekstrak yang telah kering dilarutkan dalam 25 mL asam asetat 30% dalam asetonitril, selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 20 menit dengan tujuan untuk mendapatkan filtrat yang bening dan memisahkan endapan yang
137
terbentuk. Filtrat yang jernih disaring dengan Milipore, lalu diinjeksikan ke HPLC. Pemurnian Isoflavon Filtrat yang terbentuk diambil 1.5 mL dan dimurnikan dalam kolom kromatografi volume 12 mL yang berisi MN-Poliamida CC6 dengan ukuran partikel 0.05-0.16 mm. Sebelum filtrat dituangkan ke dalam kolom, MNPoliamida CC6 direndam semalam dalam kromatografi dengan larutan metanol 25%. Elusi dalam kolom dilakukan secara bertahap dengan metanol 25%, 50%, 70%, masing-masing 50 mL. Eluen yang didapat dari elusi metanol 70% (fraksi 70%) ditampung dan dikeringkan dengan rotavapor pada suhu 40°C sampai kering. Residu (endapan kering yang diperoleh) dilarutkan dalam 1 mL metanol absolut dan disentrifuse pada 4000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan endapan yang ada, kemudian disaring. Filtrat yang bening siap untuk dianalisis dengan menggunakan HPLC. Identifikasi Isoflavon Analisis kuantitatif dilakukan dengan kromatografi cairan tekanan tinggi (HPLC). HPLC yang digunakan berada pada kondisi sebagai berikut: Kondisi Alat Kolom : Li-Chrosorb RP-18 (250 x 4mm x 5 µm) Eluen : Asam Asetat 30% (Pel A) Asetonitril (Pel B) Detektor : UV 261 Kec. Alir : 1 mL/menit Suhu : 35 0C Analisis terhadap komposisi zat gizi ekstrak tempe adalah kadar air, serat kasar, dan kadar abu dengan menggunakan metode Gravimetri, kadar lemak (Metode soxhlet), kadar protein (Metode Kjeldahl), karbohidrat (by difference), kadar Fe, Ca dan P (Metode AAS), total karoten (Spektrofotometer), vitamin B1, dan B12 (HPLC).
138
Lampiran 14. Hasil Analisis Kadar Isoflavon Ekstrak Tempe dan Tempe Segar Komponen
Genistein
Daidzein
Total Isoflavon
(mg/100g bk)
(mg/100g bk)
Genistein + Daidzein (mg/100g bk)
Ekstrak Tempe
239,82
1,92
241,74
27,95
39,37
67,32
Tempe Segar
bk = bobot kering.
Lampiran 15. Hasil Analisis Kandungan Rata-rata Zat Gizi Ekstrak Tempe Nutrien Serat kasar (%)
Kadar Zat Gizi Ekstrak Tempe 0,10
Kadar abu (%)
0,56
Lemak (%)
0,98
Protein (%)
3,32
Karbohidrat (%)
0,75
Fe (mg/100g)
2,06
Ca (mg/100g)
205,48
P (mg/100g)
226,61
Total karoten (cfu/g)
0,685
Vitamin B12 ( mcg/100g)
1,94
Vitamin B1 (mg/100g)
0,59
139
Lampiran 16. Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis (Laurence dn Bacharah 1964) * 20 g
200 g
400 g
1,5 kg
2,0 kg
4,0 kg
12,0 g
70,0 kg
mencit
tikus
marmut
kelinci
kucing
kera
anjing
manusia
20 g mencit
1,0
7,0
12,25
27,8
29,7
64,1
124,2
387,9
200 g tikus
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
400 g marmut
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
1,5 kg kelinci
0,04
0,25
0,44
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
2,0 kg kucing
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,4
13,0
4,0 kg kera
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
12,0 g anjing
0,008
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
70,0 kg manusia
0,0026
0,018
0,031
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
*
)Laurence DR, Bacharah AL. 1964. Evaluation of Drug Activities Pharmacometrics. Volume 1. Academic Press. London and New York. Hlm 61.
Perhitungan: -
1 kg tempe menghasilkan 20 g ekstrak tempe 100 g (bobot kering = bk) ekstrak tempe mengandung total isoflavon aglikon (genistein + daidzein): 241,74 mg. 300 mg ekstrak tempe mengandung 0,72522 mg isoflavon aglikon
Konversi ke manusia: -
-
Dosis ekstrak tempe yang digunakan pada tikus = 300 mg/hari /200 g BB Berdasarkan faktor konversi dari tikus (bobot badan 200 g) ke manusia (bobot badan 70 kg) adalah 56 (tabel di atas), maka dosis manusia (70 kg) adalah: 300 x 56 = 16800 mg (16,8 g) ekstrak tempe Konsumsi ekstrak tempe untuk manusia = 16,8 g ekstrak tempe / hari /70 kg BB