EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DAN METAN (CH4) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN
ETIK PUJI HANDAYANI
PROGRAM STUDI ILMU TANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juni 2009
Etik Puji Handayani NRP A36106011
ii
ABSTRACT ETIK PUJI HANDAYANI. Carbon dioxide (CO2) and Methane (CH4) emission on Oil Palm Peatland with various peat thickness and plant age. Under supervision of KOMARUDDIN IDRIS, SUPIANDI SABIHAM, SRI DJUNIWATI, MEINE VAN NOORDWIJK. The total area of peatland in Indonesia is about 20 million ha and average oil palm yield on peatland can reach 23 tons Fresh Fruit Bunches (FFB)/(ha year). Therefore, peatlands have considerable potential for development of oil palm agribussines in Indonesia. However, peatlands contain one-third of global soil carbon and total stocks represent 70 years of current annual global emissions from fossil fuel burning. This carbon store is now being released to the earth’s atmosphere through fire and respiration, both increased by drainage. CO2 and CH4 gases are part of the greenhouse effect on global warming. CO2 and CH4 gas fluxes vary with stage of plant growth, depending on management practices for soil and plant (such as drainage and fertilization) and characteristics of peatland, including water level, and the thickness and maturity of peat deposit. The research was conducted on Meulaboh (West Aceh) from May 2008 until May 2009. Measurements of CO2 and CH4 flux were carried out by applying a closed chamber method and subsequent laboratory analysis. The objectives of this study were (1) to characterize physicochemical conditions of peatland used for oil palm, (2) to study the effect of N application on peat soil with different levels of maturity to the CO2 flux, (3) to evaluate CO2 and CH4 flux in rhizosphere and non rhizosphere soil in oil palm field in relation to drainage, peat thickness and plant age. Peatlands around Meulaboh characteristically have pH H2O 2.9 – 3.9, pH KCl 2.23 - 3.07. Water content per unit dry weight depends on peatland maturity level (fibric: 540 - 1187%, hemic: 268 - 480% and sapric: 106 - 242%). Ash content per unit dry weight varied from 1.8 – 5.9%, and C-organic content 53.4 – 57.6%. Peat total acidity is 4.2 – 6.4 me g-1, COOH content 0.02 - 0.16 me g-1 and phenolic-OH content 4.2 – 6.2 me g-1. In a laboratory study, application of nitrogen fertilizer on peat soil was found to increase CO2 emission. The rate of CO2 emission was 10 - 40 t ha-1 yr-1. The CO2 emission showed that: (1) there was a tendency in CO2 flux to be higher in the rainy season than in the dry season, (2) measured flux in oil palm fields decreased with age (1-10 years), (3) CO2 flux in rooted peat was on average 50% higher than non- rooted peat, (4) there was a tendency for the CO2 flux to decrease with increasing peat thickness, (5) the type land used was one of factors affecting the CO2 flux, (6) In general, CO2 flux increased with increasing the depth of water table. However, reverse pattern was also found, and another pattern where CO2 flux was independent on the depth of water table. The increasing depth of water table seemingly impacted on the decrease of CH4 flux. Keywords: CO2 and CH4 fluxs, depth of water table, peat thickness, oil palm, West Aceh.
iii
RINGKASAN ETIK PUJI HANDAYANI. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman.
Dibimbing oleh KOMARUDDIN
IDRIS, SUPIANDI SABIHAM, SRI DJUNIWATI, MEINE VAN NOORDWIJK. Gambut menyimpan fraksi besar sumber karbon di daratan bumi hingga 528.000 Mt yang dapat hilang karena proses dekomposisi.
Lahan gambut
memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan kebun kelapa sawit, hal ini terkait dengan Indonesia sebagai negara yang memiliki lahan gambut tropik terluas dari total gambut tropik di Asia Tenggara (20,073 juta ha) dan adanya fakta bahwa kelapa sawit pada lahan gambut mampu berproduksi tinggi terutama pada lahan gambut saprik yang dapat mencapai produksi rata-rata 23,08 ton tandan buah segar per hektar per tahun. Namun pengembangan agribisnis kelapa sawit di lahan gambut dapat merupakan sumber emisi gas rumah kaca seperti gas CO2 and CH4. Oleh karena itu, dengan semakin pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit, kajian mendalam tentang emisi CO2 dan CH4 yang sangat dipengaruhi oleh teknik pengelolaan kebun kelapa sawit dan karakteristik inhern dari gambut perlu dilaksanakan, karena pelepasan CO2 dan CH4 dari lahan gambut ke atmosfer sangat berpengaruh nyata dalam pemanasan global. Penelitian emisi CO2 dan CH4 dilaksanakan di lahan gambut Meulaboh, Aceh Barat dan di Laboratorium Kesuburan Tanah dan Bioteknologi Tanah Fakultas Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO2 dan CH4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut, umur tanaman dan tingkat kematangan gambut, (2) mempelajari pengaruh dosis N terhadap fluks CO2 pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda, (3) mengevaluasi emisi CO2 dan CH4 di rhizosfer dan non rhizosfer pada perkebunan kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman.
iv
Sampel bahan gambut yang digunakan untuk karakterisasi sifat fisiko kimia gambut dan percobaan pengaruh dosis N berasal dari kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Suak Raya dan Cot Gajah Mati yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut. Percobaan pengaruh dosis N disusun dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk N (N) yang terdiri dari 5 taraf yaitu: 0 g/100 g gambut (n0), 0,25 g/100 g tanah (n1), 1 g/100 g tanah (n2), 4 g/100 g tanah (n3), 16 g/100 g tanah (n4). Faktor kedua adalah tingkat kematangan gambut (G) yang terdiri dari fibrik (g1), hemik (g2), dan saprik (g3). Dengan demikian diperoleh 15 kombinasi percobaan yaitu n0 g1, n0 g2, n0 g3, n1 g1, n1 g2, n1 g3,n2 g1, n2 g2, n2 g3, n3 g1, n3 g2, n3 g2, n4 g1, n4 g2, n4 g3. Sedangkan untuk mengkaji emisi CO2 dan CH4 dilakukan serangkaian kegiatan yang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, pembuatan transek, pemasangan sungkup permanen, pengambilan sampel gas dan analisis gas di lapang dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Beberapa karakteristik tanah gambut Meulaboh, Aceh Barat menunjukkan bahwa pH H2O=2,9 - 3,9 dan pH KCl= 2,23 - 3,07, kadar air tergantung pada tingkat kematangan gambut (gambut fibrik= 539,9 - 1187,4%, hemik=268,5 479,8%, dan saprik=105,7 - 242,5%), kadar abu 1,8 - 5,9%, kandungan C-organik 53,4-57,6%, kandungan bahan organik 94,1 - 98,1%, kandungan kemasaman total gambut 4,2 - 6,4 me g-1, kandungan COOH 0,02 - 0,16 me g-1 dan kandungan fenolat-OH 4,2 - 6,2 me g-1. Hasil pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO2 bahan gambut. Pemupukan urea dengan dosis 0,25 - 4 g/100 g gambut yang diinkubasi satu minggu berkontribusi terhadap peningkatan fluks CO2. Rata-rata emisi CO2 berkisar antara 10 - 40 t ha-1 th-1. Hasil evaluasi data emisi CO2 menunjukkan bahwa: (1) terdapat kecenderungan emisi CO2 musim hujan lebih besar daripada musim kemarau, (2) pengukuran emisi CO2 pada kebun kelapa sawit menurun dengan umur (1-10 tahun), (3) emisi CO2 di rhizosfer dapat mencapai 4 kali lebih besar daripada emisi CO2 di non rhizosfer, (4) Terdapat
v
kecenderungan emisi CO2 semakin menurun dengan semakin tebal gambut, (5) tipe penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2, (6) secara umum emisi CO2 semakin meningkat dengan semakin dalam muka air tanah, namun dijumpai juga pola hubungan sebaliknya dan pola lain dimana emisi CO2 tidak bergantung pada kedalaman muka air tanah. Untuk emisi CH4, semakin dalam muka air tanah, jumlahnya semakin menurun. Kata kunci: Fluks CO2 dan CH4, kedalaman muka air tanah, ketebalan gambut, kelapa sawit, Aceh Barat.
vi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
vii
EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DAN METAN (CH4) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN
ETIK PUJI HANDAYANI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
PROGRAM STUDI ILMU TANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 viii
Judul Disertasi
: Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman.
Nama
: Etik Puji Handayani
NPM
: A 361060011
Program Studi
: Ilmu Tanah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S. Ketua
Dr.Ir. Sri Djuniwati Anggota
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham Anggota
Dr. Meine van Noordwijk Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 3 Desember 2009
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena hanya atas pertolongan dan kekuatan dari-Nya disertasi berjudul: “Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut
yang
Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur
Tanaman” telah dapat penyusun selesaikan.
Disertasi ini
tidak mungkin
terselesaikan tanpa bimbingan komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan memperbaiki segala kekurangan selama proses penelitian. Untuk itu penghargaan dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S. selaku ketua komisi, Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr., Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc, dan Dr. Meine van Noordwijk selaku anggota komisi yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc dan Dr. Fahmudin Agus sebagai penguji di luar komisi pembimbing dalam ujian tertutup atas bimbingan dan saran yang diberikan guna penyempurnaan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Daniel Murdiyarso dan Prof. Kurniatun Hairiah yang berkenan menjadi penguji utama dalam ujian terbuka. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktrat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, dana Program Sandwich, dan dana Hibah Penelitian Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah pascasarjana IPB beserta staf atas
kesempatan studi yang diberikan, sehingga penulis dapat
menempuh pendidikan jenjang S3 pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Kepada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, khususnya Program Studi Ilmu Tanah penulis sangat berterima kasih atas kesungguhan hati para dosen dalam mentransfer ilmu pengetahuan selama perkuliahan, diskusi dan seminar. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua STIPER Dharma Wacana Metro beserta staf yang telah memberikan izin meninggalkan aktivitas Kampus Dharma Wacana Metro untuk melanjutkan studi.
x
Penghargaan diberikan kepada ICRAF yang telah memberikan dana melalui proyek Rebuilding Green Infrastructure with Trees People Want” (ReGrIn) yang
merupakan kemitraan antara Balai Penelitian Tanah, World
Agroforestry Centre (ICRAF), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) dan University of Hohenheim (Jerman) hingga terlaksananya penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Richard Bell atas diskusi dan fasilitas yang diberikan dalam mendapatkan berbagai literatur di Murdoch University, West Australis selama mengikuti program sandwich. Penulis menyampaikan ungkapan maaf dan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta S. Amanto, S.H. yang dengan penuh kesabaran, pengertian dan selalu menyalakan semangat kepada penulis selama proses pendidikan. Teruntuk anak-anakku Irfan Primantiko, Muthia Fahiratunnisa Amany, Faisal Mahdy Amanda, terima kasih atas pengertian dan ketabahan selama ini. Rasa terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda Hery Kasidjan (Alm) dan Ibunda Hj. Sukirah, juga kepada ayah mertua Bapak Suwandar dan Ibu Sarah Sumini, yang telah tanpa lelah berdoa untuk keberhasilan penulis dan memberikan kasih sayangnya sepenuh jiwa. Ucapan terima kasih kepada kakak-kakak (mas Wid, mbak Tuti, mbak Wiwik beserta sekeluarga) dan adik-adikku (Siswi, Bekti dan Dewi beserta keluarga) serta keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan doa, dukungan dan perhatian. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan untuk keluarga mas Budi Yuwono di Jakarta. Kepada rekan-rekan di Program Studi Ilmu Tanah senasib seperjuangan dan khususnya kepada satu-satunya teman angkatan 2006 (Pak Maswar) penulis mengucapkan terima kasih atas diskusi yang konstruktif dan bantuan dalam pengumpulan data di lapang. Penulis sangat berterima kasih atas persaudaraan yang indah selama ini teruntuk Nazli, Nurmi dan Sardji selama hidup di Bogor. Demikian juga kepada para laboran di Laboratorium Bioteknologi tanah (Pak Jito, Bu Asih, Bu Jule dan Mbak Nia), laboratorium kesuburan tanah (Pak Dadi, Pak Herman, Pak Ade, Pak Koyo, Pak Soleh, mbak Upik) laboratorium mineralogi tanah (Bu Otori dan Bu Yani) yang telah banyak membantu dalam analisis tanah. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada mbak Miranti dan pak Jumari
xi
dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jakenan yang telah membantu analisis gas di lapang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung, yang telah membantu terlaksananya penelitian hingga tersusunnya disertasi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga semua amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah Subhana Wata’ala. Akhirnya semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin Bogor, Juni 2009 Penulis
Etik Puji Handayani
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Lampung Tengah pada tanggal 17 Maret 1968 sebagai anak keempat dari pasangan Bapak H. Hery Kasidjan dan Ibu Hj. Sukirah. Penulis menikah dengan S. Amanto, S.H dan telah dikaruniai putra-putri yang bernama Irfan Primantiko, Muthia Fahiratunnisa Amany, Faisal Mahdy Amanda. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah, Universitas Lampung dan meraih gelar Insinyur (Ir) pada tahun 1991.
Pada tahun 1994 penulis mulai
bekerja sebagai dosen diperbantukan pada Akademi Pertanian Ragam Tunas Lampung, Kotabumi, Lampung Utara dan mutasi ke STIPER Dharma Wacana Metro pada tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 1999 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana jenjang Program Master (S2) pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Master of Science (MSi) pada tahun 2001. Pada tahun 2006 semester ganjil penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana jenjang Program Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti program S3 penulis pernah mengikuti
program sandwich selama 4 bulan di Murdoch University, West Australia pada tahun 2008. Dua artikel yang telah disetujui di terbitkan adalah: (1) EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) PADA KEBUN KELAPA SAWIT DI GAMBUT ACEH BARAT: Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Fluks CO2 pada Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer di Jurnal Tanah Tropika, Universitas Lampung dan (2) EMISI CO2 PADA KEBUN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT: Evaluasi fluks CO2 di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer di Jurnal Tanah Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Karya-karya tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
xx
PENDAHULUAN................................................................................... Latar Belakang................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................... Hipotesis............................................................................................ Kerangka Pemikiran........................................................................... Pendekatan Pelaksanaan Penelitian...................................................
1 1 3 4 4 6
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana .......... Tanah Gambut dan Emisi Karbon Dioksida...................................... Tanah Gambut dan Emisi Metana...................................................... Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit dan Emisi Karbon............ Hubungan Ketebalan dan Tingkat Dekomposisi Gambut dengan Emisi karbon.......................................................................... Tanaman Dalam Kaitannya dengan Emisi karbon.............................
9 9 10 13 15
KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA GAMBUT YANG BERKAITAN ERAT DENGAN EMISI CO2 DAN CH4...................... Rasional............................................................................................. Bahan dan Metode............................................................................. Hasil dan Pembahasan...................................................................... 1. Derajat Kemasaman Gambut (pH H2O dan pH KCl)............. 2. Kadar Air, Kadar Abu, C-Organik, dan Bahan Organik Gambut.................................................................................... 3. Kemasaman Total Gambut, Kandungan COOH, dan Fenolat-OH.............................................................................. Kesimpulan....................................................................................... PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO2..................................................................... Rasional............................................................................................. Bahan dan Metode............................................................................ Hasil dan Pembahasan...................................................................... 1. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Kadar Air, Kadar Abu, C-Organik dan Bahan Organik Gambut......................... 2. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Fluks CO2, Total Populasi Mikroba, dan Nisbah C/N ..................... Kesimpulan.......................................................................................
xiv
17 20 24 24 24 25 25 29 34 38
39 39 40 41 41 45 49
EMISI CO2 DAN CH4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN..................................................................... Rasional............................................................................................. Bahan dan Metode............................................................................ Hasil dan Pembahasan...................................................................... 1. Evaluasi Metode Analisis Sampel Gas CO2 .......................... 2. Evaluasi Emisi CO2 pada Musim Kemarau dan Hujan........... 3. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2 dan CH4.di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer Tanaman Kelapa Sawit......................................................... 4. Pengaruh Ketebalan Gambut terhadap Emisi CO2................. 5. Evaluasi Emisi CO2 Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit........................................................................................ 6. Evaluasi Emisi CO2 pada tiga Tipe Penggunaan Lahan......... Kesimpulan.......................................................................................
51 51 53 58 64 65 68 81 85 87 89
PEMBAHASAN UMUM.......................................................................
91
KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
100
Kesimpulan........................................................................................ Saran..................................................................................................
100 101
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
102
LAMPIRAN............................................................................................
110
xv
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.
Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiyarso, 2003).................
2.
Variabel yang diamati pada analisis sifat fisiko kimia bahan gambut pada perkebunan kelapa sawit yang berhubungan erat dengan emisi CO2 dan CH4...............................................................
9 25
Nilai rata-rata pH H2O dan pH KCl di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut ......................................
26
Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, C-organik, dan bahan organik, di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut ..............................................................................................
30
Nilai rata-rata kemasaman total gambut, kandungan COOH, dan kandungan fenolat-OH di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut..............................................................
35
Variabel yang diamati pada percobaan pengaruh dosis pupuk urea pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO2............................................................................
41
Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea................................................................
42
Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea (Hasil konversi).....................................
43
Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Mei-Juni 2008 (musim kemarau).............................................................................
66
10. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan OktoberNovember 2008 (musim hujan).........................................................
66
11. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah...................................................................................
69
12. Emisi CH4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah.................................................................
78
13. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai ketebalan gambut...............................................................................................
82
3. 4.
5.
6.
7. 8. 9.
xvi
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
Kerangka pemikiran kajian emisi CO2 dan CH4 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman................................................
7
Derajat kemasaman tanah aktual (pH H2O) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut..............................
27
Derajat kemasaman tanah potensial (pH KCl) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut..............................
27
Rata-rata pH H2O dan pH KCl berdasarkan tingkat kematangan gambut...............................................................................................
28
Kadar air gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut...........................................................................
31
Kadar abu gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut .............................................................
32
Kandungan C-organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut................................................
33
Kandungan bahan organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut ...............................................
33
Kemasaman total gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut..............................................................
36
10. Kandungan gugus karboksil (COOH) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut.......................................
37
11. Kandungan gugus fenolat (-OH) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut.............................
37
12. Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut................................................
41
13. Kandungan C-organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut...............................
44
14. Kandungan bahan Organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut......................
44
15. Fluks CO2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut................................................
45
16. Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut.................................
47
17. Total populasi mikrob bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut...............................
48
18. Peta lokasi penelitian.........................................................................
59
19. (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase..
58
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
xvii
(b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong.......... 20. (a) Pengambilan sampel gas dititik pengamatan terdekat dengan drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong......................... (b) Kondisi semak diantara pohon kelapa sawit pada titik pengamatan terjauh dari drainase................................................
58 60 60
21 (a) Kondisi tanaman kelapa sawit kebun desa Suak Raya ............... (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Raya................
61 61
22 (a) Sungkup saat pengambilan sampel gas........................................ (b) Kondisi saluran drainase di kebun desa Suak Raya....................
61 61
23 (a) Kondisi drainase kebun kelapa sawit desa Cot Gajah Mati ........ (b) Kondisi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati ..................
62 62
24 (a) Pemasangan Sungkup rhizosfer................................................... (b) Kondisi akar dimasukkan dalam sungkup rhizosfer....................
62 62
25 (a) Pemasangan sungkup non rhizosfer berjarak 1 m dari sungkup rhizosfer ...................................................................................... (b) Sungkup rhizosfer dan non rhizosfer saat pengambilan sampel gas................................................................................................
63
26 (a) Kondisi drainase di hutan desa Simpang..................................... (b) Kondisi hutan gambut di desa Simpang......................................
63 63
27 (a) Kondisi semak di lahan gambut desa Simpang........................... (b) Pengambilan sampel gas di titik 250 m dari drainase pada vegetasi semak..............................................................................
64
28. (a) Pengambilan sampel tanah dengan bor gambut........................... (b) Salah satu profil sampel tanah.....................................................
64 64
29. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 di rhizosfer..........................................................
68
30. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 di non rhizosfer...................................................
70
31. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai kedalaman muka air tanah..........................................
71
63
64
32. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai kedalaman muka air tanah..........................................
71
33. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai kedalaman muka air tanah..................................................
71
34. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai kedalaman muka air tanah..................................................
72
35. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai kedalaman muka air tanah..................................................
72
36. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai kedalaman muka air tanah.................................................
72
xviii
37. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai kedalaman muka air tanah..................................................
73
38. Emisi CO2 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah................................
76
39. Emisi CH4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah.................................................................
79
40. Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO2 di rhizosfer.................................................................................
81
41. Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO2 di non rhizosfer..........................................................................
81
42. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai ketebalan gambut.......................................................
83
43. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai ketebalan gambut.......................................................
83
44. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai ketebalan gambut................................................................
83
45. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai ketebalan gambut................................................................
84
46. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai ketebalan gambut................................................................
84
47. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai ketebalan gambut................................................................
84
48. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai ketebalan gambut................................................................
85
49. Emisi CO2 pada kebun kelapa sawit berdasarkan umur tanaman............................................................................................
86
50. Emisi CO2 di tiga tipe penggunaan lahan gambut pada berbagai kedalaman muka air tanah.................................................................
88
51. Emisi CO2 di tiga tipe penggunaan lahan pada berbagai ketebalan gambut...............................................................................................
88
52. Hubungan antara nisbah C/N dengan emisi CO2..............................
91
53. Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2......................................................................................................................................................
95
54. Skema profil kedalaman yang menunjukkan distribusi komunitas bakteri metanogen (penghasil CH4) dan bakteri metanotrop (konsumsi CH4) dalam hubungannya dengan rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al., 1997).......................................................
96
55. Hubungan antara emisi CO2 di rhizosfer dan non rhizosfer………..
99
xix
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Halaman
Kemasaman tanah aktual (pH H2O) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut..............................
110
Kemasaman tanah potensial (pH KCl) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut..............................
111
Kadar air gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%)....................................................................
112
Kadar abu gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%).......................................................
113
Kandungan C- organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%).........................................
114
Kandungan bahan organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%).........................................
115
Data kemasaman total gambut, kandungan COOH, dan fenolat-OH gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (me g-1) ............................................................
116
Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%).....................................................................
117
Kadar abu bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%).....................................................................
118
10. Kandungan C- organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%)..................................................
119
11. Kandungan Bahan Organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%).........................................
120
12. Fluks CO2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (mg CO2 kg tanah -1 hari -1)................................
121
13. Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit............................................................................
122
14. Total populasi mikrob bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (SPK g gambut -1)...........................
123
15. Posisi geografis titik-titik pengamatan, kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut .......................................................................
124
16. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Mei - Juni 2008 (musim kemarau)............................................................................................
126
17 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Puntong, transek 1........
128
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
xx
18 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Puntong, transek 2........
129
19 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 3.............
130
20 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 4.............
131
21 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 5.............
132
22 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 6.............
133
23 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 7.............
134
24 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Cot Gajah Mati, transek 8.....
135
25 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Cot Gajah Mati, transek 9.....
135
26 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di hutan Cot Gajah Mati, transek 10.........................
136
27 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di semak Simpang, transek 11..................................
136
28 Analisis konsentasi gas CO2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di hutan Simpang, transek 12....................................
137
29 Analisis konsentasi gas CO2 dan CH4 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di hutan Cot Gajah Mati..................................
138
30 Tinggi efektif sungkup (h) pada analisis konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan).............
140
31 Suhu dalam sungkup pada analisis konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan)......................
142
32 Hasil pengukuran konsentrasi CO2 dengan metode titrasi pada bulan Mei - Juni 2008 (musim kemarau)..........................................
144
33 Hasil pengukuran konsentrasi CO2 dengan metode titrasi pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan)................................
146
34 Analisis ragam karakteristik pH H2O gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda ................................................................
148
35 Analisis Duncan karakteristik pH H2O gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda.................................................................
148
36 Analisis ragam karakteristik pH KCl gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda.................................................................
148
xxi
37 Analisis Duncan karakteristik pH KCl gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda ................................................................
148
38 Analisis ragam karakteristik kadar air gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda ................................................................
148
39 Analisis Duncan karakteristik kadar air gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda.................................................................
149
40 Analisis ragam karakteristik kadar abu gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda................................................................
149
41 Analisis Duncan karakteristik kadar abu gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda ................................................................
149
42. Analisis ragam karakteristik kandungan C-Organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda ....................................................
149
43 Analisis Duncan karakteristik kandungan C-Organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda........................................
149
44 Analisis ragam karakteristik kandungan bahan organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda .......................................
150
45 Analisis Duncan karakteristik kandungan bahan organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda........................................
150
46 Analisis ragam karakteristik kemasaman total gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda ....................................................
150
47 Analisis Duncan karakteristik kemasaman total gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda .................
150
48 Analisis ragam karakteristik kandungan COOH gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda ....................................................
150
49 Analisis Duncan karakteristik kandungan COOH gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda.....................................................
151
50 Analisis ragam karakteristik kandungan fenolat-OH gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda .......................................
151
51 Analisis Duncan karakteristik kandungan fenolat-OH gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda........................................
151
52 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar air (Suak Puntong).............................................................................
151
53 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar air (Suak Raya) .................................................................................
151
54 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar air (Cot Gajah Mati)..........................................................................
152
xxii
55 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar abu (Suak Puntong)...........................................................................
152
56 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar abu (Desa Suak Raya) ......................................................................
152
57 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar abu (Cot Gajah Mati).........................................................................
152
58 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan C-organik (Suak Puntong)..............................................
153
59 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan C-organik (Suak Raya) ..................................................
153
60 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan C-organik (Cot Gajah Mati)...........................................
153
61 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Suak Puntong) .......................................
153
62 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Suak Raya) ............................................
154
63
Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Cot Gajah Mati).....................................
154
64 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap fluks CO2 (Suak Puntong)..........................................................................
154
65 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap fluks CO2 (Suak Raya) ..............................................................................
154
66 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap fluks CO2 (Cot Gajah Mati).......................................................................................
155
67 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap nisbah C/N (Suak Puntong)..........................................................................
155
68 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap nisbah C/N (Suak Raya) .............................................................................
155
xxiii
69 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap nisbah C/N (Cot Gajah Mati) ......................................................................
155
70 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap total populasi mikrob (Suak Puntong) ......................................................
156
71 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap total populasi mikrob (Suak Raya) ...........................................................
156
72 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap total populasi mikrob (Cot Gajah Mati)....................................................
156
73 Hasil regresi dan korelasi Spearman antara kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 rhizosfer...........................................................
156
74 Hasil regresi dan korelasi Spearman antara kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 non rhizosfer....................................................
157
75 Hasil regresi dan korelasi Spearman antara ketebalan gambut dan emisi CO2 rhizosfer ..........................................................................
157
76 Hasil regresi dan korelasi Spearman antara ketebalan gambut dan emisi CO2 non rhizosfer....................................................................
158
xxiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen dalam mempelajari pola perubahan iklim global masa lalu dan masa sekarang. Lahan gambut menutupi 3% (4 juta km2) dari permukaan bumi dan menyimpan fraksi besar sumber karbon di daratan bumi ini hingga 528.000 Mt (Gorham, 1991).
Menurut Hooijer et al. (2006), jumlah
karbon ini setara dengan 1/3 karbon tanah global atau 70 kali emisi pembakaran bahan bakar fosil global per tahun (≈7.000 Mt C/tahun 26.000 Mt CO2/tahun pada tahun 2006).
Simpanan C ini mempunyai pengaruh nyata terhadap
konsentrasi CO2 atmosfer. Akhir-akhir ini banyak penelitian tentang gambut tropik secara global karena pentingnya gambut sebagai carbon sink (penambat C) dan peranan penting gambut tropik dalam dinamika karbon biosfer yang merupakan hasil dari akumulasi bahan organik selama ribuan tahun. Luas Gambut tropik di dunia meliputi 30,631-45,961 juta ha (10-12% dari luas global gambut). Sebagian besar lahan gambut tropik berada di Asia Tenggara (26,216 juta ha) dan Indonesia memiliki lahan gambut terluas (20,073 juta ha) dari total gambut tropik di Asia Tenggara (Rieley et al., 1996). Oleh karena itu kajian mendalam tentang faktorfaktor di lapang yang mempengaruhi emisi CO2 dan CH4 dari lahan gambut yang sangat diperlukan untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan gambut dan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah penting dalam kegiatan pembangunan sub sektor perkebunan dalam rangka revitalisasi sektor pertanian, dimana lahan gambut memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan kebun kelapa sawit.
Hal ini
terkait dengan masih luasnya lahan gambut di Indonesia yang siap dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan adanya fakta bahwa kelapa sawit pada lahan gambut mampu berproduksi tinggi terutama pada lahan gambut saprik yang dapat
2 mencapai produksi rata-rata 23,08 ton tandan buah segar per hektar per tahun (Winarna, 2007). Beberapa penelitian telah dilakukan di Asia Tenggara tentang emisi gas karbon dari gambut tropik dalam kondisi alami, terdegradasi dan terkonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan (Hirano et al., 2007; Jauhiainen et al., 2001; Melling et al., 2005 a, b, c).
Konversi hutan gambut menyebabkan
perubahan siklus karbon dan mempunyai pengaruh terhadap fluks karbon global. Pengelolaan sumber karbon merupakan konservasi keberadaan stok karbon dan penambatan karbon dari atmosfer untuk menambah C tersimpan dalam pohon atau C-sequestration, karena keseimbangan antara input C dan mineralisasi akan terganggu dengan adanya konversi lahan hingga tercipta keseimbangan baru. Besarnya peningkatan emisi CO2 akibat konversi hutan gambut sangat bergantung pada berbagai proses seperti drainase, penggenangan, konsolidasi, pemadatan, pencucian hara, pemupukan yang mempunyai pengaruh terhadap berbagai faktor seperti bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Faktor-faktor ini menentukan aktivitas mikrob dalam tanah yang berhubungan dengan emisi gas rumah kaca. Dengan demikian, pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO2 dan CH4. Tindakan drainase dan teknik budidaya dalam perkebunan kelapa sawit mengakibatkan terganggunya stabilitas gambut seperti terjadinya subsiden. Subsiden merupakan resultante dari proses oksidasi dan pemadatan (compaction) akan memacu proses dekomposisi cadangan bahan organik, sehingga emisi CO2 dan N2O cenderung meningkat (Aerts dan Caluwe, 1999; Inubushi et al., 2003), walaupun terjadi penurunan emisi CH4 (Klemedtssons et al., 1997).
Oleh karena itu, dengan semakin pesatnya
perkembangan agribisnis kelapa sawit, kajian mendalam karakteristik sifat fisiko kimia lahan gambut akibat perubahan pola penggunaan lahan perlu dilaksanakan karena perubahan ini akan merubah keseimbangan dan pelepasan CO2 dan CH4 ke atmosfer yang mempengaruhi pemanasan global. Hasil penelitian aplikasi pupuk N pada lahan gambut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap proses dekomposisi (Aerts dan de Caluwe, 1999; Saarnio dan Silvola, 1999). Aplikasi pupuk N juga memberikan dampak yang
3 bervariasi terhadap emisi CH4 pada lahan gambut (Granberg et al., 2001; Nikanen et al., 2002; Aerts dan de Caluwe, 1999; Saarnio dan Silvola, 1999; Saarnio et al., 2000ab). Oleh karena itu, perlu dikaji lebih mendalam pengaruh aplikasi pupuk N pada lahan gambut terhadap emisi CO2 dan CH4. Penelitian pengaruh tanaman padi terhadap emisi CO2 dan CH4 telah banyak dilakukan (Mariko et al., 1991; Shalini-Sigh et al., 1997; Hou et al., 2000; Allen et al., 2003), namun tidak demikian dengan penelitian tanaman kelapa sawit. Rinnan et al. (2003) menyatakan bahwa akar tanaman yang menembus horizon anaerob gambut akan memberikan substrat kepada bakteri metanogen dalam bentuk eksudat akar sehingga pada zone ini memproduksi gas CH4. Produksi gas-gas pada daerah perakaran dilepaskan ke atmosfer dengan cara difusi, ebulisi, atau transpot tanaman. Dengan demikian jenis tanaman sangat mempengaruhi besarnya emisi gas CO2 dan CH4. Proses di bawah tanah juga memainkan peranan penting dalam siklus karbon biosfer. Respirasi tanah dan respirasi akar merupakan jalur utama untuk pergerakan karbon dari ekositem ke atmosfer (Dannoura dan Jomura, 2005). Kerapatan efflux CH4 pada sistem lahan basah berkorelasi linier dengan rata-rata uptake CO2 dalam fotosintesis (Allen et al., 2003), sehingga perlu dihitung produksi CO2 dan CH4 dari rhizosfer selain produksi gas dari bahan gambut. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO2 dan CH4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan, tingkat kematangan gambut, dan umur tanaman. 2. Mempelajari pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO2. 3. Mengevaluasi emisi CO2 dan CH4 di rhizosfer dan non rhizosfer pada perkebunan kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman.
4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bahan gambut dari kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan tingkat kematangan gambut serta umur tanaman mempunyai karakteristik sifat fisiko kimia gambut yang berbeda. 2. Semakin meningkat dosis pupuk N yang diberikan semakin tinggi fluks CO2 dihasilkan, namun sangat bergantung pada tingkat kematangan bahan gambut. 3. Jumlah emisi CO2 dan CH4 di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer. Kerangka Pemikiran Pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO2 dan CH4 akhir-akhir ini menjadi sorotan utama. Aktivitas pertanian menyumbang sebesar 25% dari total emisi CO2 asal sumber antropogenik (Klemedtsson et al., 1997). Tanah gambut dapat bertindak sebagai sumber (source) dan penambat/rosot (sink) CO2 atmosfer. CO2 yang diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis dapat disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah. Bila lahan gambut dibuka untuk pertanian, praktek-praktek managemen seperti drainase dan penambahan unsur hara dapat berakibat pada meningkatnya emisi CO2 (Rinnan et al., 2003). Karakteristik sifat-sifat fisiko kimia bahan gambut yang sangat berhubungan dengan kestabilan gambut akibat drainase dalam perubahan pola penggunaan lahan perlu dikaji secara lebih mendalam. Dampak aplikasi pupuk N pada lahan gambut terhadap emisi CO2 dan CH4 belum diketahui secara pasti. Terdapat hasil yang berlawanan pada pengaruh N terhadap proses dekomposisi pada gambut. Menurut Aerts dan de Caluwe (1999), penambahan N berakibat pada menurunnya produksi CO2 pada tanah gambut miskin, namun hasil penelitian Saarnio dan Silvola (1999) menyatakan bahwa terdapat peningkatan emisi CO2 setelah aplikasi N. Demikian juga hasil penelitian pengaruh aplikasi N terhadap emisi CH4 masih bervariasi. Granberg et al. (2001) menyatakan bahwa penambahan N dapat menurunkan secara nyata emisi CH4
5 pada gambut miskin, namun Nikanen et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan 100 kg NH4NO3-N ha−1 th−1 meningkatkan emisi CH4. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan N tidak memberikan pengaruh terhadap emisi CH4 pada lahan gambut (Aerts dan de Caluwe, 1999; Saarnio dan Silvola, 1999; Saarnio et al., 2000ab). Dinamika CH4 juga sangat berkorelasi dengan upaya peningkatan produksi hasil pertanian, yaitu dihubungkan dengan dekomposisi bahan organik. Hampir 70% emisi gas CH4 berasal dari sumber-sumber antropogenik dan dua per tiganya berasal dari aktivitas pertanian (Klemedtsson et al., 1997). CH4 merupakan GRK yang penting karena mempunyai daya absorbsi infra red yang kuat dan kehadirannya di atmosfer semakin meningkat, sehingga berkontribusi dalam pemanasan global (Yang dan Chang, 1997). CH4 dihasilkan oleh aktivitas metanogen baik melalui jalur fermentasi asam asetat maupun reduksi CO2 (Sylvia et al., 1998) akan dilepaskan dari zone reduktif ke atmosfer melalui tiga proses, yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman (Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Suasana oksidasi dan reduksi ditentukan oleh tingginya muka air tanah akibat drainase, berkaitan erat dengan laju dekomposisi serta menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4 (Barchia, 2006). Besarnya emisi gas CO2 dan CH4 sangat bervariasi tergantung pada faktor bahan gambut seperti: ketebalan, tingkat kematangan, dan kondisi hidrologi (Nyman dan DeLaune, 1991) dan faktor tanaman seperti jenis tanaman, varietas dan stadia pertumbuhan (Shalini-Sigh et al., 1997), umur dan ukuran tanaman (Mariko et al., 1991), jumlah jaringan aerenchima (Parashar, 1993). Pengaruh daerah perakaran kelapa sawit terhadap produksi CO2 dan CH4 merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji lebih lanjut karena daerah perakaran merupakan suatu tempat dikeluarkan eksudat-eksudat akar, tempat pusat populasi dan aktivitas mikroorganisme yang jauh berbeda dengan daerah di luar perakaran. Menurut Dannoura dan Jomura (2005), proses respirasi tanah dan respirasi akar di bawah tanah memainkan peranan penting dalam siklus karbon biosfer. Fauzi et al. (2006) menyatakan bahwa penyebaran akar kelapa sawit terkonsentrasi pada lapisan atas tanah, akar tertier dan kuarter yang banyak
6 ditumbuhi bulu-bulu halus akar dan dilindungi dengan tudung akar banyak ditemukan pada 2 - 2,5 m dari pangkal batang dan sebagian besar berada di luar piringan. Tanah disekitar daerah bulu-bulu akar ini diduga akan memproduksi CO2 yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah yang tidak dipengaruhi oleh perakaran tanaman, sehingga fluks CO2 di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer. Kerangka pemikiran pengkajian besarnya emisi CO2 dan CH4 lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman kelapa sawit disajikan pada Gambar 1. Pendekatan Pelaksanaan Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1, maka disusun serangkaian kegiatan sebagai berikut: 1. Judul
:
Karakterisasi sifat fisiko kimia gambut pada perkebunan kelapa sawit yang berkaitan erat dengan emisi CO2 dan CH4.
Tujuan
:
Mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO2 dan CH4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan tingkat kematangan gambut serta umur tanaman.
2. Judul
:
Pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO2.
Tujuan
: 1. Untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk N terhadap terhadap fluks CO2. 2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO2. 3. Untuk mengetahui interaksi yang terjadi antara dosis pupuk N dan tingkat kematangan gambut terhadap terhadap fluks CO2.
7 Pemanasan gas rumah kaca (Global warming potential)
Emisi CO2 dan CH4
Sifat Fisiko Kimia Gambut: Kadar air Kadar kemasaman total Gugus COOH & -OH
Di daerah Perakaran
Bahan Gambut
Produksi CO2 dan CH4
Karakteristik Gambut
Lingkungan oksidatif
Bahan Gambut: Ketebalan gambut Kematangan gambut
Tanaman Kelapa Sawit: Perbedaan Umur
Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Drainase Subsiden = pemadatan + oksidasi
Gambut sebagai Source dan Sink CO2 dan CH4
Gambar 1.
Kerangka pemikiran kajian emisi CO2 dan CH4 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman.
8 3. Judul
:
Emisi CO2 dan CH4 pada Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman
dalam
Ketebalan
Gambut
dan
Umur
Tanaman. Tujuan
: 1. Mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO2. 2. Mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO2 pada musim hujan dan musim kemarau. 3. Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. 4. Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO2. 5. Mengevaluasi emisi CO2 pada kebun kelapa sawit berdasarkan umur tanaman. 6. Mengevaluasi emisi CO2 pada 3 tipe penggunaan lahan..
TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi. Menurut Murdiyarso (2003), GRK terdiri dari terdiri dari gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan Sulfur heksafluorida (SF6). Keberadaan gas CO2 dan CH4 di atmosfer lebih berlimpah dan konsentrasi kedua gas ini terus meningkat, sehingga perlu mendapat perhatian serius. Gas CO2 dan CH4 di atmosfer memiliki sifat seperti kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO2 dan CH4 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiyarso, 2003). CO2
CH4
Konsentrasi pada pra-industri
290 ppmv
700 ppbv
Konsentrasi pada 1992
355 ppmv
1714 ppbv
Konsentrasi pada 1998
360 ppmv
1745 ppbv
Laju pertumbuhan per tahun
1,5 ppmv
7 ppbv
0,4
0,8
5-200
12-17
1
23
Karakteritik
Persen pertumbuhan per tahun Waktu paruh (tahun) Kemampuan memperkuat radiasi
Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi kehidupan.
Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung
meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 1950-an ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO2 di atmosfer baru 290 ppmv, pada tahun 1992 telah mencapai 355 ppmv. Jika pola
10 konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata bumi meningkat hingga 4,5oC dan berpengaruh pada perubahan besaran dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas dalam banyak segi kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan perubahan suhu dan curah hujan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi sistem produksi pangan, sumber daya air, pemukiman, kesehatan, energi, dan kenaikan permukaan air laut. Kenaikan emisi CO2 harus dikendalikan karena waktu paruh gas ini di atmosfer cukup lama hingga mencapai 200 tahun. Meskipun emisi yang dilakukan oleh kegiatan antropologis dihentikan dengan segera, dampak dari akumulasi GRK tersebut masih akan tetap dirasakan untuk jangka waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Demikian juga dengan gas CH4, walaupun masa hidup, konsentrasi dan laju pertumbuhan emisi CH4 relatif rendah, namun kemampuan memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang bersifat panas 20 kali lipat dari kemampuan CO2, sehingga kenaikan sekecil apapun emisi CH4 harus tetap dikendalikan. Tanah Gambut dan Emisi Karbon Dioksida Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang sebagian besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal dari nama suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an. Atas dasar itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan istilah peat sebagai gambut (Sabiham, 2006). Di dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah, gambut dikenal dengan sebutan Histosols, atau yang populer disebut sebagai peat. Menurut Soil Survey Staff (1999), bahan tanah organik adalah bahan tanah dengan diameter < 2 mm dan memenuhi salah satu syarat berikut:
11 1. Jenuh air kurang dari 30 hari (kumulatif) dan mengandung C-organik sebesar 20% atau lebih, atau 2. Jenuh air selama 30 hari atau lebih per tahun (kumulatif) dan mengandung C-organik (tidak termasuk akar-akar hidup) sebesar: a. 18% atau lebih (setara dengan 30% bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral mengandung liat 60% atau lebih, atau b. 12% atau lebih (setara dengan 20% bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral mengandung tanpa liat, atau c. 12% ditambah (persen liat dikalikan 0,1) bila fraksi tanah mineral mengandung kurang dari 60% liat. Sedangkan bahan tanah mineral adalah bahan tanah yang mengandung C-organik lebih rendah dari ketentuan yang berlaku pada tanah organik. Tanah gambut digolongkan ke dalam tanah organik atau histosol dengan sifat-sifat sebagai berikut (Soil Survey Staff, 1999): 1. Tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan diantara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan tanah hingga ke kontak densik, litik, atau paralitik atau duripan, apabila lebih dangkal; dan 2. Mempunyai bahan tanah organik yang tebalnya sebagai berikut: a. Pada tanah berkerikil atau berbatu (bersinder, fragmental, berbatu apung) dan ada kontak litik atau paralitik dibawahnya; tebal bahan organik tidak disyaratkan asalkan di sela-sela kerikil/batu tersebut terisi oleh bahan tanah organik; atau b. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi tidak ada kontak litik atau paralitik dibawahnya, tebal lapisan tanah organik ditambah dengan tebal lapisan berkerikil atau berbatu yang sela-selanya terisi bahan tanah organik 40 cm atau lebih (dihitung dari permukaan tanah hingga kedalaman 50 cm); atau c. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi ada kontak litik atau paralitik dibawahnya, tebal lapisan tanah organik 2/3 tebal tanah atau lebih sampai kontak/paralitik, tebal tanah mineral (bila ada) adalah 10 cm atau kurang; atau
12 d. Jenuh air selama 30 hari atau lebih tiap tahun pada tahun-tahun normal (atau telah drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan tanah dan memiliki ketebalan total salah satu berikut:
Setebal 60 cm atau lebih, apabila ¾ (volume) terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm-3, atau
Setebal 40 cm atau lebih, apabila terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau bahan fibrik < ¾ (volume) terdiri dari serat-serat lumut dan berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm-3 atau lebih.
Karbon dioksida adalah jumlah gas terbesar dalam atmosfer. CO2 akan diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis, kemudian disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah, sehingga tanah gambut dapat bertindak sebagai rosot (sink) CO2 atmosfer (Rinnan et al., 2003). Gambut yang terbentuk 5.000-10.000 tahun yang lalu, menyimpan 329-525 GT karbon atau 15-86% C terestrial yang ada di muka bumi, dimana sekitar 46 GT diantaranya tersimpan di lahan gambut Indonesia (Allen et al., 2003). Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO2 dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan aerasi bahan gambut disamping oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al., 2006). Gas CO2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, tergantung pada faktor lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO2 dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Perbandingan perubahan gas CH4 menjadi CO2 dalam tanah pada suhu dan pH tinggi, bentuk CH4 lebih memungkinkan, karena kondisi tersebut merupakan suhu optimum untuk metanogen (Kirk, 2004).
13 Proses dekomposisi terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) pembentukan asam organik, asetik, propianat dan butirat, ditambah gugus alifatik dan phenolik, (2) konversi asam-asam organik tersebut menjadi gas (Kirk, 2004). Hasil dekomposisi pada aerob berupa CO2, NO3-, SO4-2 dan residu resisten, tetapi hasil dekomposisi pada anaerob berupa CO2, H2, CH4, N2, NH4, H2S, bagian terdekomposisi dan residu humik.
Selama kebutuhan oksidator anorganik
tercukupi, CO2 merupakan hasil akhir utama dalam dekomposisi bahan organik, namun setelah oksidator anorganik habis terpakai, digantikan oleh proses metanogen sehingga proporsi CH4 meningkat seperti digambarkan dengan reaksi sebagai berikut Kirk (2004): SOM0 + a H2O CH3COOH H2 + CO2
SOM1 + b CH3COOH + c H2 + d CO2 CH4 + CO2 CH4 + 2H2O
Oksidasi CH4 tergantung pada populasi dan pertumbuhan bakteri pengoksidasi CH4, difusi CH4 dari tanah anaerobik yang mungkin teroksidasi dari interface tanah atau dari daerah rhizosfer. Tanah Gambut dan Emisi Metan Metan merupakan salah satu komponen GRK yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Laju pembentukan CH4 secara akumulatif ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil CH4 dan lingkungannya (Alexander, 1977). Metabolisme mikrob penghasil CH4 lebih kompleks daripada emisi CO2 dalam tanah. Tanah dapat memproduksi dan mengkonsumsi metana secara simultan dibawah kondisi lingkungan tertentu. Metan mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi sebesar 21 kali dibandingkan dengan CO2 (Shine et al., 1995). Kontribusi CH4 terhadap pemanasan global sebesar 20%, urutan kedua setelah CO2 yaitu sekitar 55% (Shine et al., 1995). Menurut Sylvia et al. (1998), total emisi CH4 diperkirakan sebesar 410 TG CH4-C th-1. Emisi langsung dari lahan basah sekitar 32% dari total emisi ke atmosfer. Di lahan basah, mikrob pengoksidasi CH4 dapat mengkonsumsi lebih dari 90% CH4 di daerah anaerobik sebelum mencapai atmosfer, sehingga oksidasi
14 metana di lahan basah merupakan satu dari faktor terbesar yang mempengaruhi siklus global metana. Metanogen dalam tanah memproduksi metana melalui dua jalan utama, yaitu: CO2 + H2 CH3COOH
CH4 (reduksi CO2) CH4 + CO2 (fermentasi asetat)
Sebagian besar ekosistem gambut menyimpan karbon dan nitrogen dari atmosfer. Peningkatan deposisi N atmosfer memberikan dampak nyata dalam emisi GRK. Dari hasil penelitian Aerts dan Caluwe (1999) tentang emisi CO2 dan CH4 dari tanah gambut eutropik dan mesotropik dengan deposisi N yang berbeda di daerah temperet tanpa perlakuan menunjukkan bahwa tanah gambut eutropik dengan deposisi N tinggi, emisi CH4 lebih tinggi daripada gambut mesotropik dengan deposisi N tinggi dan mesotropik dengan deposisi N rendah. Analisis regresi linier antara emisi CH4 berkorelasi positif dengan variabel kesuburan tanah (r2= 0,42-0,55), walaupun model regresi multipel emisi CH4 tergantung pada variabel N tanah (r2= 0,93), sehingga disimpulkan bahwa peningkatan deposisi N atmosfer menyebabkan peningkatan emisi CH4 dari tanah gambut kesuburan rendah. Pada kondisi anaerobik, dekomposisi bahan organik sangat lambat dan karbon dilepaskan sebagai CH4. Gas CH4 terbentuk dari asam organik atau gas C oleh bakteri methanogen, kemudian CH4 ditranslokasikan ke zone aerasi dari bahan gambut yang memungkinkan untuk teroksidasi dan dilepaskan sebagai CO2. Menurut Roulet et al. (1993), emisi CH4 menurun dengan
meningkatnya
kedalaman muka air tanah. Tingginya emisi CH4 berasosiasi dengan jaringan pembuluh vascular dan dalamnya perakaran tanaman yang meningkatkan efisiensi pergerakan CH4 dari lapisan anaerobik ke atmosfer Emisi CH4 dari lahan gambut tergantung pada produksi dan konsumsi CH4 dan kemampuan transport gas ke permukaan oleh tanah dan tanaman. Metana yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen ini akan dilepaskan dari zone reduktif ke atmosfer melalui tiga proses, yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman (Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Ebulisi merupakan suatu proses lepasnya bentuk gelembung gas dari pelarut yang volatil dari dalam larutan ke permukaan tanah dan ke atmosfer. Bentuk gelembung gas terbentuk secara
15 spontan jika larutan menjadi jenuh dengan pelarut yang volatil. Pembentukan gelembung gas CH4 dalam tanah melebihi CO2 walaupun kedua gas tersebut dalam proporsi yang sama, karena CH4 20 kali lebih volatil daripada CO2 (Kirk, 2004). Melling et al. (2005c) melaporkan fluks CH4 pada ekosistem hutan gambut berkisar dari -4,53 sampai 8,40 μg C m-2 jam-1, pada ekosistem kelapa sawit berkisar dari -32,78 sampai 4,17 μg C m-2 jam-1, dan pada ekosistem sagu berkisar dari -7,44 sampai 102,06 μg C m-2 jam-1. Dengan pendekatan analisis pohon regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH4 pada masing-masing ekosistem dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan source CH4 dengan emisi 18,34 mg C m-2 jam-1 untuk hutan dan 180 mg C m-2 jam-1 untuk sagu, sedangkan ekosistem kelapa sawit merupakan sink CH4 dengan uptake -15,14 mg C m-2jam-1. Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi uptake dan emisi CH4 dengan batas kritis 90,55%. Emisi CH4 tertinggi sebesar 9,23 μg C m-2jam-1 terjadi pada kelembaban udara 90,55% dan muka air tanah lebih dari 49 cm. Pada ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH4 akibat tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki lapisan aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan oksidasi CH4, sehingga uptake CH4 semakin besar. Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit dan Emisi Karbon Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak hanya yang diusahakan oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta, sehingga perlu tersedianya lahan untuk pengembangan area tanam. Lahan gambut memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan kebun kelapa sawit. Secara umum, produksi kelapa sawit pada lahan gambut saprik lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut hemik dan fibrik. Produktivitas kelapa sawit di lahan gambut saprik dengan ketebalan gambut mencapai 48 cm, dengan kadar abu 36,34 %, pH 3,67, dan salinitas 0,65 mS per cm, pada usia produksi 10 tahun mencapai 27,17 ton tandan buah segar
16 (TBS) per hektar per tahun, sedangkan untuk lahan gambut yang sama dengan kedalaman 450 cm, kadar abu 2,71 %, pH 3,55, salinitas 1,41 mS per cm, menghasilkan lebih rendah TBS yakni 23,74 ton TBS per hektar per tahun. Untuk lahan gambut hemik dengan kedalaman 240 cm, kadar abu 3,44 %, pH 3,53, serta salinitas 1,34 mS per cm, mampu menghasilkan 23,20 ton TBS per hektar per tahun pada usia produksi tahun ke 10. Sementara untuk jenis lahan gambut fibrik dengan kedalaman mencapai 220 cm, kadar abu 10,65 %, pH 3,53, dan salinitas 1,11 mS per cm, hanya dapat menghasilkan 20,80 ton TBS per hektar per tahun (Winarna, 2007). Pengelolaan
gambut
mempunyai
pengaruh
yang
besar
terhadap
keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan gambut digunakan untuk mengatasi kandungan air gambut yang dapat mencapai 90% volume. Drainase diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit dan untuk mengakses jalan. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi source CO2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi source CH4 yang lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO2
(Hendriks et al., 2007).
Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah meningkat 1,5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO2 dari gambut sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas maksimum dari fluks CO2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme teramati pada kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase pada tanah organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK (CO2, N2O dan CH4) sekitar 1 t CO2 ha-1 th-1. Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh tingginya muka air tanah akibat drainase sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4. Murase dan Kimura (1994) dalam Barchia (2006) melaporkan bahwa jumlah CH4 biasanya ditemukan paling banyak di dalam tanah tergenang atau tereduksi. Jumlah CO2 di dalam tanah tergenang
17 berkisar antara 2–10% dan CH4 berkisar antara 4–55%. Rendahnya kandungan CO2 pada tanah tergenang dibandingkan dengan kandungan CH4 karena pada tanah tergenang oksigen masuk ke dalam tanah melalui proses difusi, dimana proses difusi O2 ini 10.000 kali lebih lambat daripada difusi O2 di dalam pori terisi gas. Sistem drainase akan berdampak pada terjadinya subsiden dan perubahan kondisi tanah dari reduktif menjadi oksidatif yang berpengaruh pada proses dekomposisi bahan gambut. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003).
Bahan gambut dalam kondisi anaerob
(bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO2. Gambut dapat menghasilkan CO2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang bertindak sebagai donor elektron (Morril et al., 1982). Lingkungan oksidatif dan reduktif berpengaruh nyata terhadap fluks CH4. Pada horizon anoxic gambut, bakteri metanogen memproduksi CH4 (Rinnan et al., 2003). Bakteri metanogen ini hidup pada kondisi anaerob dan sangat sensitif bila ada oksigen, walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Bakteri metanogen membutuhkan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada suhu 30-40oC (Alexander, 1977). Kondisi hidrologi gambut berpengaruh terhadap emisi CO2. Nyman dan DeLaune (1991) melaporkan bahwa terdapat perbedaaan perhitungan emisi CO2 di lapang antara fresh, brackhis, dan saline tanah rawa. Emisi CO2 tertinggi di frest dan terkecil di brackish pada seluruh kedalam air tanah yang terukur. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam proses dekomposisi dan Eh tanah pada tipe-tipe tanah rawa tersebut. Hubungan Ketebalan dan Tingkat Dekomposisi Gambut dengan Emisi karbon Salah satu faktor pembatas dalam pengelolaan gambut adalah hubungan negatif antara ketebalan gambut dengan produktivitas lahan.
Berdasarkan
ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu 1) gambut dangkal dengan
18 ketebalan 0,5-1 m, 2) gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, 3) gambut dalam dengan ketebalan 2-3 m, dan 4) gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m (Sabiham, 2006). Makin tebal gambut, makin besar kendala biofisiknya dan makin rendah produktivitas lahannya. Perubahan pola penggunaan lahan gambut akan mempengaruhi tinggi muka air di lahan gambut dan perubahan suhu secara drastis sehingga akan merubah keseimbangan dan pelepasan CO2 dan CH4. Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan kehilangan C-organik dan subsiden pada bahan gambut.
Proses subsiden
merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Hal ini terkait dengan terjadinya perubahan suhu, ketersediaan O2, pH, dan Eh tanah jika dilakukan drainase pada bahan gambut. Suhu tanah merupakan pengendali utama terhadap laju dekomposisi bahan gambut dan peranannya sangat dominan bila berinteraksi dengan ketersediaan O2. Ketersediaan O2 di dalam bahan gambut dapat mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan CO2 dan CH4. Nilai Eh dan pH berperanan dalam produksi CH4 (Yagi et al., 1994). Dinamika kesetimbangan antara rata-rata produksi CO2 dan
CH4 dan
oksidasi pada profil tanah gambut dan rata-rata perpindahan dari bahan gambut ke atmosfer mengendalikan fluks CO2 dan CH4 dari lahan gambut. Fluks tersebut menunjukkan spatial tinggi dan variasi temporal yang berhubungan dengan faktorfaktor lingkungan, seperti suhu dan kedalaman air (Moore dan Dalva, 1993). Fisiografi gambut (pantai, transisi, dan pedalaman) mempengaruhi sifatsifat inhern gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi 3, yaitu fibrik, hemik dan saprik. Bahan fibrik biasanya diendapkan di lapisan gambut bawah, bahan ini banyak mengandung serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi. Bahan hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang dan saprik apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut, kedua bahan ini biasanya ditemukan di atas lapisan bahan fibrik. Dilapangan, bahan hemik dan saprik sulit dibedakan asal botaninya.
Bobot isi (BI) hemik biasanya berkisar 0,11-0,2 g cm-3,
sedangkan BI bahan saprik > 0,2 g cm-3 (Sabiham, 2006).
19 Riwandi (2001) menyatakan bahwa kehilangan C organik gambut pantai, transisi, dan pedalaman relatif sama, tetapi jumlah kehilangan C organik gambut fibrik lebih tinggi dibandingkan dengan saprik, sedangkan hemik berada diantaranya.
Berdasarkan kehilangan C organiknya, stabilitas gambut fibrik
paling rendah, saprik paling tinggi, dan hemik berada diantara keduanya. Hasil penelitian Sulistyono (2000) menyatakan bahwa tingkat dekomposisi gambut berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 dan CH4 dengan urutan gambut fibrik > hemik > saprik. Dalam kondisi aerob, produksi CO2 meningkat dan CH4 menurun dan sebaliknya pada kondisi anerob, produksi CH4 meningkat dan CO2 menurun. Berdasarkan hal tersebut, kehilangan karbon melalui CO2 dan CH4 dari gambut dapat terjadi baik pada kondisi basah maupun kondisi kering. Dalam kondisi basah atau anaerob masalah kehilangan CO2 sudah dapat ditekan, namun masalah yang berkaitan dengan pemanasan global harus diperhatikan. Meskipun bentuk CH4, secara angka nilainya lebih kecil daripada CO2, namun kemampuan CH4 dalam menyebabkan pemanasan global lebih besar. Dekomposisi anaerob merupakan sumber utama emisi karbon ke atmosfer. Prekusor metanogenesis diproduksi melalui dekomposisi anaerob polimer organik oleh bakteri hidrolitik dan fermentasi.
Faktor lingkungan yang sangat
menentukan degradasi anaerob adalah kelembaban, suhu, konsentrasi substrat, dan pH (Bergman et al., 1997). Menurut Whalen dan Reeburgh (1996), metanotrop pada daerah subsurface bahan gambut secara fisiologi telah beradaptasi dengan konsentrasi CH4 yang berlebihan jumlahnya. Kelembaban tanah dan suhu sangat mempengaruhi konsumsi rata-rata CH4. Pengaruh tersebut terlihat pada suply substrat dan aktivitas enzim. Bakteri pembentuk metan dikelompokkan dalam famili Methano bacteriaceae yang dibedakan dalam dua kelompok bakteri, yaitu (1) rod-shaped bacteria: Methanobacterium, (2) spherical cell: a. sarchinae, Methanosarcina dan b. bukan sarchinae group, Methanococcus. Degradasi bahan organik oleh bakteri methanogen anaerobik membutuhkan kerjasama 4 tipe bakteria yaitu: a) bakteri penghidrolisis dan fermentasi, b) bakteri pereduksi H, c) bakteri homoasetogenik, dan d) bakteri metanogenik (Alexander, 1977). Faktor biotik dan abiotik mengendalikan fluks gas di lahan gambut. Lahan gambut beriklim tropik, suhu tinggi sepanjang tahun dengan sedikit deviasi, tetapi
20 variasi harian dan bulanan terjadi untuk curah hujan, sehingga di daerah tropik, tingkat air tanah lebih penting peranannya daripada suhu dalam fluks gas bahan gambut ke atmosfer. Sylvia et al. (1998) menyatakan bahwa suhu, kelembaban, potensial redoks, dan ketersediaan substrat merupakan empat faktor utama dalam pengendalian dinamika gas dalam ekosistem. Suhu merupakan faktor penting karena seluruh reaksi biologi terpengaruh oleh suhu. Kelembaban merupakan faktor penting karena (1) seluruh kehidupan organisme memerlukan air dan (2) kandungan air tanah mengendalikan difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mempengaruhi potensial redox dan mempunyai kontribusi dalam proses aerobik dan anaerobik.
Ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon
merupakan kunci pengendali dinamika gas. Pengukuran CO2 secara sederhana dapat dilakukan dengan metode titrasi asam basa. CO2 yang dihasilkan ditangkap oleh KOH sehingga akan terbentuk K2CO3 yang kemudian dititrasi dengan HCl dengan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) KCl + KHCO3 K2CO3 + HCl 2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KCl + H2O + CO2 KHCO3 + HCl Tanaman Dalam Kaitannya dengan Emisi karbon Emisi karbon erat kaitannya dengan tanaman, sehingga sangat penting menghubungkan antara komposisi jenis tanaman dengan fungsi ekosistem gambut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan ekosistem jenis tanaman
mempengaruhi
proses-proses
penting
yang
berkaitan
dengan
pengendalian dan interaksi antara fluks CO2 dan CH4 dengan mekanisme dua arah dalam perubahan iklim (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom, Mastepanov dan Cristensen, 2005). Strom, Mastepanov dan Cristensen (2005) melaporkan monolith gambut-tanaman dengan vegetasi dominan Carex memiliki emisi CH4 tertinggi (6,76 mg CH4 m-2h-1) daripada jika didominasi vegetasi Eriophorum (2,38 mg CH4 m-2h-1) atau Juncus (2,68 mg CH4 m-2h-1). Emisi gas melalui tanaman dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas dan stadia pertumbuhan tanaman Shalini-Sigh et al. (1997), begitu juga umur dan ukuran tanaman (Mariko
21 et al., 1991). Menurut Parashar (1993), perbedaan varietas dalam jumlah jaringan aerenchima mempengaruhi kapasitas transport emisi karbon.
Emisi ini akan
meningkat dengan meningkatnya biomas, kondisi tanaman, dan perbedaan varietas. Kerapatan efflux CH4 pada sistem lahan basah berkorelasi linier dengan rata-rata uptake CO2 dalam fotosintesis, dimana umumnya lebih tinggi pada lahan basah yang subur (Allen et al., 2003). Ketersediaan CO2 berkaitan erat dengan aktivitas metanogen. Peningkatan CO2 atmosfer ternyata meningkatkan aktivitas metanogen dalam memproduksi CH4. Beverland et al. (1996) menjelaskan bahwa peningkatan
CO2 akan meningkatkan proses fotosintesis, sehingga jumlah
karbohidrat yang terbentuk semakin besar.
Hal ini memperbesar translokasi
fotosintat ke akar tanaman dan meningkatkan pengeluaran eksudat akar. Ketersediaan substrat organik hasil dekomposisi bahan organik secara anaerob dan hasil eksudasi akar akan mensuplai energi bagi mikrob metanogen untuk memproduksi CH4, yang berakibat pada tingginya emisi CH4. Alexander (1977) menyatakan bahwa produksi CH4 berkaitan erat dengan aspek aktivitas mikrob metanogen yang berlangsung pada ekosistem anaerob. Metan mulai terbentuk pada potensial redoks -100 mV hingga -200 mV. Jauhiainen dan Vasander (2002) melaporkan bahwa pada tanpa vegetasi emisi CO2 menurun dengan meningkatnya kelembaban, hal ini terkait dengan rendahnya aktivitas bakteri aerobik dalam memproduksi CO2 dan lambatnya perubahan gas dalam kondisi tergenang.
Untuk itu sangat perlu dilakukan
pengukuran produksi CO2 dan CH4 di sekitar dan diluar daerah perakaran. Menurut Pendal et al. (2004), ketersediaan CO2, suhu, dan interaksinya berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap siklus C di dalam tanah. Ketersediaan CO2 secara langsung memacu proses respirasi sebagai bahan dasar. Meningkatnya suhu secara langsung memacu proses dekomposisi dengan mempercepat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia. Peningkatan CO2 secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan dekomposisi. Rambut-rambut akar merupakan kunci penghubung bagi uptake air dan unsur hara tanaman, input C tanah, dan aktivitas mikrob tanah. Turnover rambut akar (diameter < 2 mm) berperan sangat penting dalam pengaturan keseimbangan
22 C pada ekosistem (Pendall et al., 2004). Peningkatan fotosintesis pada keadaan CO2 semakin banyak dapat memacu C dalam tanah dan pertumbuhan rambut akar, kecepatan turnover dan biomass akar. Fauzi et al. (2005) menjelaskan bahwa tanaman kelapa sawit mempunyai akar serabut dengan sistem perakaran yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan oleh tumbuhnya akar ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang mengandung unsur hara. Di samping itu, tumbuh pula akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di dalam air tanah. Pendal et al. (2004) mengajukan konsep 3 pool utama untuk menjelaskan siklus karbon di bawah permukaan tanah yaitu pool aktif, lambat dan pasif. Pool aktif menerima input dari rizosfer dan serasah di atas tanah dan mengalami turnover pada jangka waktu sampai beberapa tahun.
Pool lambat atau slow
menerima kebanyakan dari pool aktif, disertai dengan remineralisasi pasif C yang berperan dalam jumlah sedikit, dan juga mengalami turnover dalam jangka waktu sampai beberapa dekade. Pool pasif C terdiri dari kompleks-kompleks organomineral yang dilindungi secara fisik maupun kimia, dimana pool ini mengalami turnover dalam jangka waktu 100 tahun. Efflux CO2 dihasilkan dari dekomposisi berbagai macam pool C termasuk akar dan serasah yang dipengaruhi oleh suhu tanah, kelembaban, dan fenologi tanaman. Dekomposisi pada semua pool karbon tanah menghasilkan CH4 maupun CO2 dengan perbandingan tergantung pada kejenuhan O2. Pembentukan metan lebih bergantung pada pool karbon yang tidak stabil, namun hanya sedikit diketahui mengenai peran berbagai jenis bentuk pool C terhadap pembentukan CH4. Menurut Rinnan et al. (2003), tanaman dapat berperanan sebagai media transportasi CH4 dari tanah tergenang ke atmosfer. Alur emisi CH4 dari lahan basah melalui tiga cara yaitu: (1) tanaman menyediakan substrat untuk metanogen dalam bentuk eksudat tanaman, akar, sisa tanaman periode sebelumnya, (2) sistem aerenchyma menyediakan media transport gas dari tanah ke atmosfer, dan (3) tekanan O2 pada daerah perakaran merupakan salah satu faktor penting untuk
23 mereduksi potensi fluks CH4 dan melalui keberadaan O2 ini tanaman dapat mengoksidasi CH4 di daerah perakaran dan menghambat aktivitas bakteri metanogen. Hasil penelitian Ekberg et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan dalam komunitas mikrob dan dekomposisi di daerah rhizosfer terjadi melalui cara (1) meningkatnya ketersediaan substrat (akar mati) menyebabkan meningkatnya kualitas komunitas dekomposer, (2) eksudar akar dan derivatnya meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C-organik terlarut. Pelepasan CO2 dan CH4 ke atmosfer dipengaruhi oleh umur tanaman. Barchia (2006) melaporkan bahwa emisi CH4 tertinggi pada saat tinggi tanaman dan bobot akar mencapai perkembangan maksimum. Pada fase generatif emisi CH4 menurun bahkan hampir sama dengan emisi pada lahan yang terbuka tanpa tanaman.
Besarnya transpirasi dan jumlah pori mikro pada lembar daun
menentukan pelepasan CH4.
KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA GAMBUT YANG BERKAITAN ERAT DENGAN EMISI CO2 DAN CH4 Rasional Kehilangan C-organik gambut dapat berupa emisi gas CO2 dan CH4. Beberapa sifat fisiko kimia gambut seperti pH, kadar air, kadar bahan organik, kemasaman total gambut, kandungan COOH dan fenolat-OH mempunyai keterkaitan dengan emisi CO2 dan CH4, karena sifat fisiko kimia ini ikut berperan dalam mengendalikan aktivitas mikrob yang mempengaruhi laju proses dekomposisi. Pergerakan gas dalam tanah secara langsung tergantung pada koefisien difusi, tortuisitas saluran pori-pori tanah dan secara tidak langsung tergantung pada bobot isi, porositas, dan fungsi distribusi pori tanah dan jumlah air tanah (Walezak, Bieganowski dan Rovdan, 2002). Analisis kadar air, kadar abu, kandungan C-organik dan bahan organik diperlukan dalam mengevaluasi fluks CO2 dari lahan gambut, karena intensitas proses-proses dalam tanah seperti absorpsi oksigen dan emisi CO2 dalam tanah sama halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer. Gugus karboksil (COOH) dan fenolat –OH merupakan
ion-ion yang
sangat penting kehadirannya dalam senyawa humik, karena proton utama yang mengikat senyawa humik adalah COOH dan fenolat-OH. Gugus COOH dan fenolat-OH ini bersifat polar dan hidrofil, sehingga fungsinya dalam bahan gambut dapat membantu meningkatkan penyerapan air. Kemasaman total gambut, kandungan COOH dan fenolat-OH terkait erat dengan sifat kering tidak balik gambut akibat drainase yang berlebihan pada lahan gambut. Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO2 dan CH4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan tingkat kematangan gambut serta umur tanaman. Bahan dan Metode Analisis sifat fisiko kimia gambut dilakukan pada Laboratorium Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian
25 Bogor. Sampel tanah yang dianalisis merupakan sampel tanah gambut berasal dari kebun kelapa sawit desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati, Kabupaten Meulaboh, Aceh Barat. Pada setiap titik pengamatan sesuai dengan transek yang telah ditentukan, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut, kemudian dikompositkan. Komposit sampel tanah pada masing-masing transek dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut yang ditentukan dengan metode cepat di lapang menjadi fibrik, hemik, dan saprik. Beberapa sifat fisiko kimia gambut yang dianalisis dan metode analisa yang digunakan terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Variabel yang diamati pada analisis sifat fisiko kimia bahan gambut pada perkebunan kelapa sawit yang berhubungan erat dengan emisi CO2 dan CH4. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Variabel Pengamatan pH tanah (pH H2O 1: 5) pH tanah (pH KCl 1 N 1: 5) Kadar air Kadar Abu C-organik Bahan organik Kadar kemasaman total gambut
Kadar COOH Fenolat-OH gambut
Metode pH meter pH meter Gravimetri Pengabuan kering Pengabuan kering Pengabuan kering Titrasi (Stevenson, 1982 & Tan, 1996) Titrasi (Stevenson, 1982 & Tan, 1996) Titrasi (Stevenson, 1982 & Tan, 1996)
Untuk mengetahui pengaruh tingkat kematangan gambut pada masingmasing variabel pengamatan, data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam yaitu membandingkan antara F hitung dengan F tabel pada taraf nyata 5%, Kemudian di lanjutkan dengan uji Duncan. Namun sebelumnya data diuji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett dan ketidakaditifan dengan menggunakan uji Tuckey. Hasil dan Pembahasan 1. Derajat Kemasaman Gambut (pH H2O dan pH KCl). Derajat kemasaman (pH) tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik tanah, karena pertumbuhan dan
26 perkembangan serta aktivitas mikrob yang hidup di dalam tanah termasuk metanogen dan metanotrof sangat dikendalikan oleh pH tanah. Nilai rata-rata derajat kemasaman (pH) gambut baik pH aktual (pH H2O) maupun pH potensial (pH KCl) dari analisis laboratorium dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis pH H2O dan pH KCl berdasarkan tingkat kematangan gambut dari masing-masing transek pada lokasi penelitian diilustrasikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Tabel 3. Nilai rata-rata pH H2O dan pH KCl di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut No
Lokasi
Tingkat kematangan Gambut
Nilai rata-rata pH H20
Nilai rata-rata pH KCl
1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Fibrik
3,43
2,60
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
3,27
2,43
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
3,10
2,50
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
3,23
2,53
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
3,40
2,50
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
3,03
2,30
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
3,23
2,43
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
3,23
2,40
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
2,90
2,23
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
3,33
2,57
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
3,27
2,40
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
3,13
2,67
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
3,43
2,87
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
3,30
2,47
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
2,97
2,33
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
3,53
2,73
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
3,20
2,57
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
3,10
2,60
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
3,83
2,80
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
3,77
2,80
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Saprik
3,20
2,80
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
3,77
3,07
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
3,73
3,00
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Saprik
3,00
2,77
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
3,90
3,00
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
3,87
3,03
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
3,27
2,73
27 4.00 3.50
pH H2O
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6
CGM-7 CGM-8 CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 2. Derajat kemasaman tanah aktual (pH H2O) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut 3.5 3
pH KCl
2.5 2 1.5 1 0.5 0
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6
CGM-7
CGM-8
CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 3. Derajat kemasaman tanah potensial (pH KCl) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pH H2O berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut, sedangkan pH KCl tidak berbeda nyata (Lampiran 34 dan 36). Dengan uji lanjut Duncan, pH H2O pada gambut fibrik sama dengan gambut hemik, tetapi gambut saprik memiliki pH lebih rendah daripada pH gambut hemik dan fibrik (Lampiran 35). Sedangkan untuk pH KCl, dengan uji Duncan menunjukkan nilai yang sama pada gambut fibrik, hemik, dan saprik (Lampiran 37).
28 Nilai pH tanah sangat menentukan laju dekomposisi bahan organik tanah melalui pengendalian aktivitas mikrob tanah. Hasil penelitian Haraguchi et al., (2002) menunjukkan bahwa dekomposisi selulosa mempunyai korelasi positif terhadap pH tanah gambut yang pada umumnya memiliki pH masam. Rendahnya pH tanah ternyata menurunkan aktivitas mikrob perombak selulosa. Menurut van Huissteden et al. (2006), dekomposisi cenderung berjalan lambat pada pH yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pH H2O berkisar pada pH 2,9-3,9 dan pH KCl pada kisaran 2,23-3,07. Berdasarkan tingkat kematangan gambut ternyata rata-rata pH H2O adalah 3,52 untuk gambut fibrik, 3,45 untuk gambut hemik, dan 3,08 untuk gambut saprik. Sedangkan rata-rata pH KCl lebih rendah daripada pH H2O yaitu 2,73 untuk gambut fibrik, 2,62 untuk gambut hemik, dan 2,55 untuk gambut saprik (Gambar 4).
Hasil analisis pH tanah gambut ini
tergolong pH tanah sangat masam.
Rata-rata pH gambut
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Fibrik
Hemik
Saprik
Tingkat Kematangan Gambut pH H2O
pH KCl
Gambar 4. Rata-rata pH H2O dan pH KCl berdasarkan tingkat kematangan gambut Beberapa penelitian melaporkan bahwa bagian topsoil gambut di Belanda memiliki pH sedang berkisar antara 5 - 7, namun tanah gambut di Peninsular Malaysia memiliki pH lebih rendah berkisar antara 2,6 – 3,8 (Yule dan Gomez, 2009). Karakteristik gambut yang masam dan kondisi anaerob (Qual dan Haines 1990) serta air yang bersifat toksik seperti rendahnya oksigen, miskin unsur hara, banyak mengandung tanin dan tingkat kemasaman tinggi akan menghambat aktivitas mikrob dan fungi (Gorham, 1991)
29 Masih banyak diperdebatkan tentang pengaruh langsung pH masam di tanah gambut terhadap aktivitas metanogen. Wang et al. (1993) menyatakan bahwa pH berpengaruh terhadap produksi CH4, produksi CH4 menurun jika pH terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Lebih lanjut Yang dan Chang (1998) melaporkan bahwa setiap satu gram tanah menghasilkan CH4 sebesar 32,7± 2,2 μg hingga 65,1± 6,4 μg antara pH 4,3 sampai dengan 8,7. Produksi CH4 akan terhambat jika pH tanah lebih dari 9,3 atau kurang dari 3,2. Pada pH tanah 6 hingga 7,7 menunjukkan tidak adanya perbedaan jumlah produksi CH4. Menurut Garcia et al. (2000), metanogen tumbuh baik pada kisaran pH 5,6 – 8. Menurut Van Kessel dan Russell (1996), sifat toksik akibat rendahnya pH pada tanah gambut menghalangi aktivitas metanogen, namun Yavitt, Williams, dan Wieder (2005) melaporkan bahwa sifat toksik tidak mengganggu aktivitas mikrob anaerob tersebut. 2. Kadar Air, Kadar Abu, C-organik dan Bahan Organik Gambut. Analisis kadar air, kadar abu, kandungan bahan organik ada kaitannya dengan besarnya fluks CO2 dari lahan gambut, karena intensitas proses-proses biologi seperti absorpsi oksigen dan emisi CO2 dalam tanah sama halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer.
Menurut
Walezak, Bieganowski dan Rovdan (2002), pergerakan gas dalam tanah secara langsung tergantung pada koefisien difusi, tortuisitas saluran pori-pori tanah dan secara tidak langsung tergantung pada bobot isi, porositas, dan distribusi pori tanah dan jumlah air tanah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air gambut sangat tergantung pada tingkat kematangan gambut (Lampiran 38).
Gambut fibrik
memiliki kadar air tertinggi, kemudian diikuti oleh gambut hemik dan gambut saprik (Lampiran 39). Kadar air gambut fibrik berkisar antara 539,897%1187,385%, kisaran kadar air gambut hemik dari 268,556%-479,788% dan kadar air gambut saprik berada pada kisaran 105,673%- 242,506% (Tabel 4).
30 Tabel 4. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, C-organik, dan bahan organik di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Lokasi Suak Puntong, transek 1 Suak Puntong, transek 1 Suak Puntong, transek 1 Suak Puntong, transek 2 Suak Puntong, transek 2 Suak Puntong, transek 2 Suak Raya, transek 3 Suak Raya, transek 3 Suak Raya, transek 3 Suak Raya, transek 4 Suak Raya, transek 4 Suak Raya, transek 4 Suak Raya, transek 5 Suak Raya, transek 5 Suak Raya, transek 5 Suak Raya, transek 6 Suak Raya, transek 6 Suak Raya, transek 6 Cot Gajah Mati, transek 7 Cot Gajah Mati, transek 7 Cot Gajah Mati, transek 7 Cot Gajah Mati, transek 8 Cot Gajah Mati, transek 8 Cot Gajah Mati, transek 8 Cot Gajah Mati, transek 9 Cot Gajah Mati, transek 9 Cot Gajah Mati, transek 9
Tingkat kematangan gambut Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik
Rata-rata kadar air
Rata-rata kadar abu
Rata-rata C-organik
(%) 622,473 418,154 240,707 711,631 387,518 178,750 625,473 370,661 168,576 650,120 434,420 242,506 543,159 268,556 105,673 724,454 433,251 150,341 539,897 275,416 204,295 942,659 479,788 178,624 1187,385 476,045 201,854
(%) 2,000 2,772 3,671 2,263 2,696 3,505 3,984 4,687 5,900 3,438 3,969 5,078 2,440 2,879 4,878 2,942 3,382 3,659 1,852 2,708 3,998 2,488 2,818 4,287 2,615 2,275 5,852
(%) 56,845 56,397 55,875 56,692 56,441 55,972 55,694 55,286 54,582 56,010 55,702 55,059 56,589 56,335 55,175 56,298 56,043 55,882 56,931 56,434 55,686 56,562 56,370 55,518 56,488 56,685 54,610
Rata-rata bahan organik (%) 98,000 97,228 96,329 97,737 97,304 96,495 96,016 95,313 94,100 96,562 96,031 94,922 97,560 97,121 95,122 97,058 96,618 96,341 98,148 97,292 96,002 97,512 97,182 95,713 97,385 97,725 94,148
Gambut di daerah Cot Gajah Mati yang merupakan hutan gambut yang baru dibuka dan diusahakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit memiliki kadar air rata-rata lebih tinggi daripada gambut di Desa Suak Puntong dan Suak Raya pada masing-masing tingkat kematangan gambut (Gambar 17). Tingginya kadar air pada gambut fibrik menunjukkan bahwa gambut tersebut belum mengalami pelapukan lanjut. Hal ini mengindikasikan bahwa subsiden telah terjadi pada gambut yang telah lama digunakan untuk budidaya kelapa sawit seperti di Desa Suak puntong dan Suak Raya. Subsiden ini disebabkan oleh perubahan posisi muka air akibat pemadatan dan proses oksidasi. Ketika muka air rendah, struktur gambut tidak dapat
31 mendukung bahan diatasnya dan pori-pori struktur hancur, sehingga bahan gambut pada permukaan lahan gambut menurun. Dengan terjadinya subsiden, maka
bobot isi meningkat dan konduktivitas hidraulik menurun.
dikarenakan oleh pemadatan pori-pori tanah gambut.
Hal ini
Konsekuensi dari
berubahnya volume pada sifat hidrolik akan berpengaruh langsung pada perubahan simpanan air dan rata-rata aliran air yang menembus tanah (Price, 2003) dan menyebabkan perubahan air dan proses-proses biogeokimia gambut seperti terjadinya perubahan fluks karbon dengan rendahnya muka air (Strack et al., 2004).
Kadar air (%)
1200 1000 800 600 400 200 0
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6
CGM-7 CGM-8 CGM-9
lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 5. Kadar air gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Bila dikaitkan dengan kehilangan C-organik gambut, dengan kadar air yang semakin tinggi, kehilangan C-organik semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang tinggi menyebabkan terjadinya kondisi reduktif dalam gambut. Kondisi reduktif ini akan memacu produksi CH4 dan CO2, sehingga emisi CO2 dan CH4 meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar abu gambut berkisar antara 1,852%-3,984% untuk gambut fibrik, 2,275%-4,696% untuk gambut hemik dan 3,505%- 5,900% untuk gambut saprik (Tabel 4). Berdasarkan tingkat kematangan gambutnya, kadar abu pada masing-masing lokasi kebun kelapa sawit diilustrasikan pada Gambar 6. Analisis ragam kadar abu pada tingkat kematangan gambut yang berbeda menunjukkan bahwa kadar abu berbeda nyata pada setiap
32 tingkat kematangan gambut (Lampiran 40), dan dari hasil analisis Duncan dapat diketahui bahwa kadar abu untuk gambut fibrik lebih rendah daripada kadar abu gambut hemik dan saprik, dimana gambut hemik memiliki kadar abu relatif sama dengan gambut saprik (Lampiran 41). Hasil penelitian ini didukung oleh Klemedtsson et al. (1997) yang menunjukkan bahwa gambut yang belum mengalami tingkat dekomposisi lanjut mempunyai kadar abu lebih rendah. Menurut Berglund (1995), gambut miskin memiliki kadar abu lebih rendah daripada gambut kaya.
6
Kadar abu (%)
5 4 3 2 1 0
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 6. Kadar abu gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan C-organik pada penelitian ini berkisar antara 53,37157,651%. Kisaran besarnya rata-rata kandungan C-organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut yaitu 55,694-56,845% untuk gambut fibrik, 55,28656,685 untuk gambut hemik, 55,059-55,882% untuk gambut saprik (Gambar 7). Berdasarkan analisis ragam, ternyata kandungan C-organik dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut (Lampiran 42). Dengan uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa kandungan C-organik gambut fibrik sama dengan gambut hemik, tetapi gambut saprik memiliki kandungan C-organik yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua gambut tersebut (Lampiran 43).
33
Kandungan C-organik (%)
57.0 56.5 56.0 55.5 55.0 54.5 54.0 53.5 53.0
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6
CGM-7 CGM-8 CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Gambar 7.
Hemik
Saprik
Kandungan C-organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut
Tingkat kematangan gambut juga berpengaruh nyata terhadap kandungan bahan organik (Lampiran 44). Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut saprik memiliki kandungan bahan organik paling rendah. Rata-rata kandungan bahan organik yang terdapat pada gambut berkisar antara 94,148%-98,148% (Tabel 3). Kandungan bahan organik berdasarkan tingkat kematangan gambut pada masing-
Kandungan bahan organik (%)
masing transek diilustrasikan pada Gambar 8. 99 98 97 96 95 94 93 92
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Gambar 8.
Hemik
Saprik
Kandungan bahan organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa gambut fibrik memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi daripada gambut saprik dan hemik (Lampiran
34 45). Menurut Walezak, Bieganowski dan Rovdan (2002), menurunnya kandungan bahan organik merupakan hasil dari menurunnya bahan gambut menahan air. Dalam penelitian ini gambut fibrik yang memiliki kadar air lebih tinggi daripada gambut hemik maupun gambut saprik, sehingga memungkinkan gambut fibrik memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi. Kandungan bahan organik mempunyai pengaruh dalam fluks CO2 dan CH4. Meningkatnya kandungan bahan organik menyebabkan menurunnya bobot isi dan meningkatnya total porositas yang terkait dengan proses transport gas CO2 dan CH4 yang telah diproduksi dalam tanah untuk dilepaskan ke atmosfer. Hasil penelitian Walezak, Bieganowski dan Rovdan (2002) menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan bahan organik dari 0,1 menjadi 57,4% menyebabkan menurunnya bobot isi dari 1,86 menjadi 0,33 g cm-3 dan meningkatnya total porositas dari 38 menjadi 90%. Disamping itu, distribusi ukuran pori pada tanah gambut sangat ditentukan oleh tingkat dekomposisi gambut, pada gambut yang telah terdekomposisi lanjut akan memiliki distribusi ukuran pori yang lebih seragam.
Dengan demikian, produksi dan emisi gas CO2 dan CH4 sangat
ditentukan oleh kadar air, kadar abu, C-organik, bahan organik. penelitian ini ternyata
Dari hasil
kadar air, kadar abu, C-organik, bahan organik
dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut. Ditinjau dari proses biologi tanah, pengaruh kandungan bahan organik terhadap fluks CO2 dan CH4 sangat berkaitan dengan peran bahan organik sebagai sumber energi bagi mikrob di dalam tanah. Peningkatan jumlah ketersediaan C dalam gambut akan memacu mikrob dalam proses degradasi, yang tercermin dari meningkatnya produksi gas CO2 dan CH4. Kandungan C gambut tergantung pada bobot isi dari bahan gambut dan kandungan C pada serat gambut yang keduanya sangat beragam tergantung pada sumber bahan gambut dan tingkat dekomposisi gambut. 3. Kemasaman Total Gambut, Kandungan COOH, dan Fenolat-OH Kemasaman total gambut merupakan jumlah dari gugus fungsional COOH dan fenolat-OH yang menunjukkan besarnya kapasitas tukar kation bahan gambut. Hasil pengukuran kemasaman total gambut, kandungan COOH dan kandungan fenolat –OH disajikan dalam Tabel 5.
35 Tabel 5. Nilai rata-rata kemasaman total gambut, kandungan COOH, dan kandungan fenolat –OH di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Lokasi Suak Puntong, transek 1 Suak Puntong, transek 1 Suak Puntong, transek 1 Suak Puntong, transek 2 Suak Puntong, transek 2 Suak Puntong, transek 2 Suak Raya, transek 3 Suak Raya, transek 3 Suak Raya, transek 3 Suak Raya, transek 4 Suak Raya, transek 4 Suak Raya, transek 4 Suak Raya, transek 5 Suak Raya, transek 5 Suak Raya, transek 5 Suak Raya, transek 6 Suak Raya, transek 6 Suak Raya, transek 6 Cot Gajah Mati, transek 7 Cot Gajah Mati, transek 7 Cot Gajah Mati, transek 7 Cot Gajah Mati, transek 8 Cot Gajah Mati, transek 8 Cot Gajah Mati, transek 8 Cot Gajah Mati, transek 9 Cot Gajah Mati, transek 9 Cot Gajah Mati, transek 9
Tingkat kematangan Gambut Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik
kemasaman total gambut (me g-1) 4,99 5,71 6,37 4,95 5,85 5,91 5,19 4,79 5,03 5,55 5,27 5,07 4,87 5,19 5,43 5,41 4,95 5,17 5,39 4,73 4,26 4,22 4,36 5,11 5,07 5,31 5,47
kandungan COOH (me g-1) 0,13 0,13 0,16 0,08 0,08 0,22 0,06 0,15 0,08 0,05 0,04 0,09 0,04 0,09 0,16 0,04 0,09 0,12 0,04 0,06 0,04 0,04 0,06 0,04 0,02 0,04 0,06
kandungan fenolat -OH (me g-1) 4,86 5,58 6,21 4,87 5,78 5,69 5,13 4,63 4,95 5,50 5,23 4,97 4,83 5,10 5,27 5,37 4,86 5,05 5,35 4,67 4,23 4,19 4,30 5,07 5,05 5,27 5,41
Gugus karboksil (COOH) dan fenolat –OH merupakan ion-ion yang dapat membantu meningkatkan penyerapan air.
Hasil penelitian Kwak, Ayub, dan
Sheppard (1986) dalam Riwandi (2001) menunjukkan bahwa dari jumlah air yang terikat secara kimia pada bahan gambut yang mempunyai kapasitas tukar kation 100 me/100 g tanah, sekitar 4% air terikat pada gugus COOH dan fenolat-OH dan bila kedua gugus fungsi tersebut mengion, maka jumlah air yang terikat padanya meningkat menjadi sekitar 30% dari bobot segar bahan gambut.
Dengan
demikian, ketidakmampuan bahan gambut untuk menyerap air kembali dapat disebabkan salah satunya oleh adanya penurunan fungsi dari gugus COOH dan fenolat-OH. Nilai rata-rata kemasaman total gambut pada masing-masing transek
36 diilustrasikan pada Gambar 9. Berdasarkan hasil analisis ragam data kemasaman total gambut pada bahan gambut fibrik, hemik, dan saprik dapat diketahui bahwa kemasaman total gambut tidak berbeda nyata pada setiap tingkat kematangan gambut (Lampiran 46), sehingga kemasaman total gambut fibrik= hemik = saprik (Lampiran 47).
6 5 -1
(me g )
Kemasaman total gambut
7
4 3 2 1 0
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6
CGM-7 CGM-8 CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 9. Kemasaman total gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kandungan COOH berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut (Lampiran 48). Dengan uji Duncan dapat diketahui bahwa gambut saprik memiliki kandungan COOH tertinggi dan diikuti oleh gambut hemik, kemudian gambut fibrik (Lampiran 49). Sedangkan hasil analisis ragam untuk kandungan OH tidak berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut (Lampiran 50), sehingga gambut fibrik, hemik dan saprik memiliki kandungan OH yang relatif sama (Lampiran 51). Nilai rata-rata kandungan COOH dan OH pada masing-masing transek diilustrasikan pada Gambar 10 dan 11.
37
0.2 -1
(me g )
Kandungan COOH
0.25
0.15 0.1 0.05 0
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6
CGM-7 CGM-8 CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 10. Kandungan gugus karboksil (COOH) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut.
-1
kandungan -OH (me g )
7 6 5 4 3 2 1 0
SP-1
SP-2
SR-3
SR-4
SR-5
SR-6
CGM-7 CGM-8 CGM-9
Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 11. Kandungan gugus fenolat (-OH) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan kemasaman total, gugus COOH dan fenolat-OH sangat berkaitan erat dengan kehilangan C-organik.
Menurut Riwandi (2001), bila
gambut mempunyai kandungan fenolat-OH dan kemasaman total gambut yang bersifat hidrofil lebih tinggi daripada kandungan derivat asam fenolat yang bersifat hidrofob, maka gambut mempunyai kemampuan menyerap air lebih tinggi daripada kemampuan menolak air. Rasio antara air yang dijerap dengan air yang ditolak oleh gambut sangat berpengaruh terhadap kehilangan C-organik.
38 Kesimpulan Dari serangkaian analisis laboratorium yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa karakteristik tanah gambut di Meulaboh, Aceh Barat adalah sebagai berikut: 1. Besarnya pH H2O berkisar antara 2,9 - 3,9 dan pH KCl= 2,23-3,07. 2. Kadar air gambut ditentukan oleh tingkat kematangan gambut yaitu fibrik= 539,897-1187,385%, hemik= 268,556-479,788% dan saprik= 105,673 -242,506%. 3. Rata-rata kadar abu gambut fibrik (1,852-3,984%) relatif sama dengan gambut hemik (2,275-4,696%) dan berbeda dengan gambut saprik (3,505 - 5,900%) 4. Kandungan C-organik berkisar antara 53,371-57,651% dan kandungan bahan organik 94,148-98,148%. 5. Kemasaman total gambut dan kandungan fenolat-OH relatif sama untuk gambut fibrik, hemik dan saprik, masing-masing berkisar antara 4,22-6,37 me g-1 dan 4,19-6,21 me g-1, sedangkan kandungan COOH gambut saprik > hemik > fibrik berkisar antara 0,02-0,16 me g-1.
PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik yang selalu digunakan oleh petani dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Jumlah dan waktu pemupukan urea sangat penting diperhatikan bukan hanya untuk optimalisasi produksi kelapa sawit, namun untuk meminimalkan emisi GRK yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Ketersediaan unsur N dalam tanah mempunyai peranan penting dalam mengendalikan reaksi-reaksi biologi dalam tanah, termasuk mengendalikan mikroorganisme dan akar tanaman yang memproduksi CO2 untuk dilepaskan ke atmosfer, sehingga aplikasi pemupukan N mempunyai pengaruh nyata dalam meningkatkan respirasi (Lai et al., 2002; Zhang et al., 2007). Pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO2 dengan cara memacu pertumbuhan akar, aktivitas mikrob, dan proses dekomposisi bahan organik. Pengaruh pemupukan N terhadap emisi CH4 pada lahan basah masih menjadi perdebatan. Pengaruh pemupukan N terhadap metanogenesis tidak diketahui dengan pasti. Zhang et al. (2007) melaporkan bahwa pemupukan N akan meningkatkan emisi CH4, namun Cai et al. (1997) melaporkan bahwa ratarata fluks CH4 cenderung menurun dengan meningkatnya dosis pupuk N. Berlainan dengan Flessa et al. (2002) yang menunjukkan bahwa pemupukan N tidak mempunyai pengaruh terhadap emisi CH4. Menurut Kruger dan Frenzel (2003), penambahan pupuk N pada lahan basah dapat memacu: (1) pertumbuhan tanaman sehingga emisi CH4 lebih intensif karena pemupukan N akan meningkatnya substrat untuk bakteri metanogen dan membaiknya kondisi aerenkim, (2) oksidasi CH4, karena adanya O2 dari rhizosfer akibat membaiknya saluran aerenkim, sehingga emisi CH4 menurun, dan (3) konsumsi CH4, karena dipacu oleh aktivitas bakteri metanotropik. Berdasarkan uraian di atas, percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis N terhadap fluks CO2 pada bahan gambut dengan tingkat
40 kematangan yang berbeda yang didukung oleh data kadar air gambut, kadar abu, kandungan C-organik, nisbah C/N dan total populasi mikrob. Bahan dan Metode Untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO2 dilakukan percobaan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel bahan gambut yang digunakan untuk percobaan ini berasal dari lahan gambut di Meulaboh, Aceh Barat yang ditanami kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Suak Raya dan Cot Gajah Mati. Pada setiap titik pengamatan sesuai dengan transek yang telah ditentukan, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut. Komposit sampel tanah dari masing-masing titik pengamatan pada transek yang sama dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut yaitu fibrik, hemik, dan saprik yang ditentukan dengan metode cepat di lapang. Percobaan di laboratorium disusun dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk N (N) yang terdiri dari 5 taraf yaitu: 0 g/100 g tanah (n0), 0,25 g/100 g tanah (n1), 1 g/100 g tanah (n2), 4 g/100 g tanah (n3), 16 g/100 g tanah (n4). Faktor kedua adalah tingkat kematangan gambut (G) yang terdiri dari fibrik (g1), hemik (g2), dan saprik (g3).
Dengan demikian
diperoleh 15 kombinasi percobaan yaitu n0 g1, n0 g2, n0 g3, n1 g1, n1 g2, n1 g3,n2 g1, n2 g2, n2 g3, n3 g1, n3 g2, n3 g2, n4 g1, n4 g2, n4 g3. Sampel tanah berasal dari bahan gambut sesuai dengan tingkat kematangannya (fibrik, hemik, dan saprik) sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam toples tertutup. Pupuk N dengan dosis 0, 0,25, 1, 4, dan 16 g dicampurkan ke dalam 100 g bahan gambut tersebut. Tabung film yang telah diisi 10 ml KOH 0,2 N diletakkan di dalam toples, demikian juga tabung film yang berisi sebanyak 10 ml aquades. Kemudian toples ditutup rapat dan diinkubasi selama 7 hari. Pengukuran CO2 hasil respirasi bahan gambut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam yaitu membandingkan antara F hitung dengan F tabel pada taraf nyata 5%, namun sebelumnya data diuji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett dan
41 ketidakaditifan dengan menggunakan uji Tuckey. Pengamatan yang dilakukan pada percobaan ini terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Variabel yang diamati pada percobaan pengaruh dosis pupuk urea pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO2. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Variabel Pengamatan
Metode
Fluks CO2 Kadar air Kadar Abu C-organik Bahan organik Total populasi mikrob Nitrogen Nisbah C/N
Titrasi Gravimetri Pengabuan kering Pengabuan kering Pengabuan kering Media Nutrien Agar Kjeldahl
Hasil dan Pembahasan 1. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Kadar Air, Kadar Abu, C-Organik dan Bahan Organik Gambut Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air gambut hanya dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut, sedangkan penambahan dosis urea tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air gambut. Antara dosis pupuk urea dan tingkat kematangan gambut tidak terdapat interaksi terhadap kadar air gambut (Lampiran 52 – 54). 1000 900
Kadar air (%)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
0.25
1
4
16
Dosis urea (g/100 g gambut) Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 12. Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut
42 Dari Gambar 12 jelas terlihat bahwa gambut dengan tingkat kematangan yang sama memiliki kadar air yang relatif sama. Kadar air gambut fibrik berkisar antara 780-880%, gambut hemik 425-530%, dan gambut saprik 225-250%. Kadar air gambut fibrik lebih tinggi daripada gambut hemik dan saprik. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan dosis urea tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu, namun tingkat kematangan gambut berpengaruh nyata dalam kadar abu gambut, dan tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan tersebut (Lampiran 55 – 57). Pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap kadar abu sangat berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik gambut tersebut terhadap daya serap terhadap air. Semakin besar kandungan air pada gambut tersebut semakin sedikit kadar abu setelah pembakaran gambut pada suhu 700oC. Dengan uji lanjut dapat diketahui bahwa gambut saprik memiliki rata-rata kadar abu tertinggi dibandingkan dengan gambut hemik dan fibrik, dan kadar abu gambut fibrik sama dengan gambut hemik. Hasil analisis kadar abu pada masing-masing lokasi kebun kelapa sawit, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea.
Lokasi kebun Suak Puntong
Suak Raya
Cot Gajah Mati
Tingkat kematangan gambut Fibrik Hemik Saprik
Kadar abu dengan penambahan dosis N (%) 0 0,25 1 4 16 3,200 4,267 5,314 5,533 5,997 3,585 5,074 6,104 7,121 7,773 5,172 6,117 7,642 8,319 9,411
Ratarata 4,862 5,931 7,332
Fibrik
3,308 3,849 4,375
7,082 7,318
5,187
Hemik
3,352 4,573 4,978
7,151 7,558
5,522
Saprik
4,357 5,045 6,291
7,299 7,685
6,135
Fibrik
2,764 4,662 5,419
6,878 7,287
5,402
Hemik
3,676 6,390 6,847
6,888 8,621
6,484
Saprik
4,935 7,236 7,108
8,261 9,620
7,432
Walaupun penambahan dosis urea tidak berpengaruh terhadap kadar abu bahan gambut, namun terdapat kecenderungan peningkatan kadar abu dengan penambahan dosis urea, hal ini terjadi karena ternyata dalam pupuk urea juga
43 menyumbangkan kadar abu sebesar 0,06%. Hasil perhitungan setelah konversi dengan sumbangan kadar abu dari pupuk urea disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea (Hasil konversi).
Lokasi kebun Suak Puntong
Suak Raya
Cot Gajah Mati
Tingkat kematangan gambut Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik Fibrik Hemik Saprik
Kadar abu dengan penambahan dosis N Rata(%) rata 0 0,25 1 4 16 3,197 4,263 5,310 5,528 5,992 4,858 3,583 5,072 6,101 7,117 7,769 5,928 5,170 6,115 7,640 8,317 9,408 7,330 3,305 3,845 4,371 7,076 7,312 5,182 3,350 4,570 4,975 7,147 7,555 5,519 4,356 5,043 6,289 7,297 7,682 6,133 2,761 4,657 5,414 6,871 7,280 5,397 3,674 6,386 6,843 6,884 8,616 6,480 4,933 7,234 7,105 8,258 9,617 7,429
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan C-organik, namun tidak terdapat interaksi antara ke dua perlakuan tersebut (Lampiran 58-60). Peningkatan dosis urea yang ditambahkan ke dalam bahan gambut, diikuti oleh berkurangnya kandungan C-organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut.
Hubungan
kandungan
C-organik
pada
masing-masing
tingkat
kematangan gambut akibat penambahan urea sampai dengan dosis 16 g/100 g gambut diilustrasikan dengan persamaan regresi Y=-0,57x + 56,72 (R2= 0,98) untuk gambut fibrik, Y= -0,61x + 56,38 (R2= 0,97) untuk gambut hemik dan Y = -0,57x + 55,70 (R2= 0,99) untuk gambut saprik (Gambar 13). Penurunan kandungan C-organik ini disebabkan oleh semakin meningkatnya laju dekomposisi cadangan C pada bahan gambut dengan semakin meningkatnya penambahan dosis urea. Demikian halnya dengan kandungan bahan organik, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan bahan organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan tersebut (Lampiran 61-63).
44
Kandungan C-Organik (%)
57 y = -0,568x + 56,721 R 2 = 0,9771
56 55
y = -0,6149x + 56,381
54
R2 = 0,9741
53
y = -0,5797x + 55,703 R 2 = 0,9946
52 51 0
0.25 Fibrik Linear (Fibrik)
1
Dosis urea (g/100 g gambut) Hemik Linear (Hemik)
4
16
Saprik Linear (Saprik)
Gambar 13. Kandungan C-organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Peningkatan dosis urea yang ditambahkan ke dalam bahan gambut, diikuti oleh menurunnya kandungan bahan organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut. Dari persamaan regresi Y=-0,98x + 97,80 (R2= 0,98) untuk gambut fibrik, Y=-1,06x + 97,20 (R2= 0,97) untuk gambut hemik dan Y=-0,99x + 96,03 (R2= 0,99) untuk gambut saprik menunjukkan bahwa respon penurunan kandungan bahan organik pada gambut akibat penambahan dosis pupuk urea
Kandungan bahan organik (%)
bergantung pada tingkat kematangan gambut (Gambar 14). 98 97 96 95 94 93 92 91 90 89 88
y = -0,9792x + 97,787 2
R = 0,9771 y = -1,06x + 97,201 2 R = 0,9741 y = -0,9995x + 96,032 2 R = 0,9946 0
0.25 Fibrik Linear (Fibrik)
1 Dosis urea (g/100 g gambut) Hemik Linear (Hemik)
4
16
Saprik Linear (Saprik)
Gambar 14. Kandungan bahan organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut
45 2. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Fluks CO2, Total Populasi Mikroba, dan Nisbah C/N. Pada penelitian ini pengukuran CO2 hasil respirasi bahan gambut yang telah diberi pupuk urea sesuai dengan dosis perlakuan dan diinkubasi selama satu minggu diukur dengan metode titrasi. Fluks CO2 tanah merupakan salah satu parameter yang sering digunakan untuk menggambarkan aktivitas kehidupan biologi tanah.
Pendekatan respirasi lebih komprehensif karena didalamnya
tercakup informasi variasi populasi, ukuran, dan aktivitas yang secara bersamaan mempengaruhi produksi CO2 dari dalam tanah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO2 dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu (Lampiran 6466). Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO2 gambut pada berbagai tingkat kematangan gambut baik gambut dari kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong, Desa Suak Raya, maupun Desa Cot Gajah Mati. Namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi, fluks CO2 pada masing-masing tingkat kematangan gambut dari ketiga lokasi penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Fluks CO2 gambut fibrik masih meningkat dengan meningkatnya dosis urea, sedangkan fluks CO2 pada gambut hemik dan saprik sudah mengalami penurunan dengan bertambahnya dosis urea dari 4 g/100 g gambut menjadi 16 g/100 g gambut (Gambar 15).
-1
-1
(mg CO2 kg tanah hari )
Fluks CO2 bahan gambut
120 100 80 60 40 20 0 0
4 Fibrik SP Fibrik SR Fibrik CGM
8 12 Dosis urea (g/100 g gambut) Hemik SP Hemik SR Hemik CGM
16 Saprik SP Saprik SR Saprik CGM
Gambar 15. Fluks CO2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut
46 Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa meningkatnya dosis pupuk urea akan meningkatkan respirasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa meningkatnya respirasi akibat pemupukan urea tersebut dapat mencapai 10 kali setelah gambut diinkubasi selama satu minggu, namun respons tersebut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan dosis pupuk urea. Zhang et al. (2007) melaporkan peningkatan respirasi akibat penambahan pupuk N
pada
marsh di timur laut Cina dapat mencapai 140%. Meningkatnya respirasi akibat penambahan pupuk urea menunjukkan adanya percepatan laju aktivitas mikrob karena tersedianya sumber energi yang lebih besar dengan meningkatnya dosis pupuk urea yang diberikan. Menurut Silva et al. (2008), dampak dari meningkatnya respirasi dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO2, namun Yang dan Chang (1998) melaporkan bahwa peningkatan respirasi dapat menghambat produksi metan. Penelitian lain melaporkan bahwa pada tanah yang jarang diberi pupuk, penambahan urea akan meningkatkan pH tanah dan menurunkan produksi CH4 (Shine et al., 1995). Pemupukan urea pada tanah salin tidak mempengaruhi produksi metan, walaupun pemupukan urea akan merangsang pertumbuhan tanaman yang mampu mengeluarkan lebih banyak sekresi bahan organik (seperti gula terlarut, asam-asam organik dan asam amino) yang merupakan substrat untuk produksi CH4 di lapisan bawah (Lindau et al., 1991). Dari dua metode pengukuran hilangnya C menunjukkan hasil yang berbeda. Dengan pengukuran kadar abu dapat diketahui bahwa peningkatan dosis urea sampai dengan dosis 16 g urea/100 g bahan gambut basah menyebabkan 0,1% C gambut hilang, namun dengan metode titrasi untuk menghitung fluks CO2 dapat diketahui bahwa kehilangan CO2 sebesar 2% dalam inkubasi selama satu minggu. Hasil penelitian terhadap nisbah C/N menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut juga terjadi terhadap nisbah C/N (Lampiran 67-69). Secara umum penambahan dosis urea akan menurunkan nisbah C/N gambut, namun besarnya
penurunan tergantung pada tingkat
kematangan gambut dari masing-masing lokasi penelitian.
Gambut saprik
mengalami penurunan nisbah C/N lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik.
47 Respons gambut akibat penambahan dosis urea pada nisbah C/N menunjukkan bahwa penambahan urea sampai dengan dosis 16 g/100 g gambut, menurunkan nisbah C/N, namun besarnya masing-masing penurunan tergantung
Nisbah C/N
pada tingkat kematangan gambut tersebut (Gambar 16). 200 175 150 125 100 75 50 25 0 0
2
4 Fibrik SP Fibri SR Fibrik CGM
6 8 10 Dosis urea (g/100 g gambut) Hemik SP Hemik SR Hemik CGM
12
14
16
Saprik SP Saprik SR Saprik CGM
Gambar 16. Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Dari analisis unsur N dapat diketahui bahwa penambahan dosis urea akan menambah ketersediaan N pada bahan gambut dan kandungan N pada gambut saprik baik dengan maupun tanpa penambahan urea ternyata lebih tinggi daripada gambut hemik dan fibrik. Hal ini menyebabkan nisbah C/N pada gambut saprik lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik, karena kandungan unsur N merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju proses dekomposisi. Semakin banyak N, maka laju proses dekomposisi semakin cepat.
Berglund
(1995) melaporkan bahwa gambut yang kaya unsur N akan memiliki nisbah C/N rendah, namun emisi CO2 lebih tinggi daripada gambut yang memiliki nisbah C/N tinggi. Nilai nisbah C/N pada gambut miskin berada pada kisaran 20 – 100, sedangkan pada gambut kaya dari kisaran 15 – 35 (Berglund, 1995). Nilai nisbah C/N hasil penelitian tergolong tinggi. Tingginya nisbah C/N mengakibatkan ketersediaan N.
kandungan N total yang tinggi tidak diikuti oleh tingginya Hal ini berdampak pada kehidupan mikrob tanah yang
selanjutnya berpengaruh terhadap emisi CO2 dari lahan gambut. Menurut
48 Klemedtsson et al. (1997), gambut dengan nisbah C/N yang tinggi mendukung tingginya rata-rata produksi CO2 karena C selulose labil. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap total populasi mikrob dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu (Lampiran 70-72). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan dosis urea sampai dengan 1 g/100 g gambut, jumlah total populasi mikrob meningkat, namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi berdampak penurunan jumlah total populasi mikrob pada gambut saprik, sedangkan jumlah populasi mikrob pada gambut hemik dan fibrik ada yang masih menunjukkan
Total populasi mikroba (SPK/ g gambut)
peningkatan, namun ada yang sudah menurun (Gambar 17). 200 175 150 125 100 75 50 25 0 0
4 Fibrik SP Fibrik SR Fibrik CGM
8 Dosis urea (g/100 g gambut)
12
Hemik SP Hemik SR hemik CGM
16 Saprik SP Saprik SR Saprik CGM
Gambar 17. Total populasi mikrob bahan gambut yang diberi perlakuan dosis
urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Pupuk N merupakan salah satu faktor pengendali terpenting dalam reaksireaksi biologi dalam tanah, meliputi mikroorganisme heterotropik dan akar tanaman, yang memproduksi gas CO2 ke atmosfer. Dalam penelitian Zhang et al. (2007) ternyata respirasi pada lahan yang dipupuk lebih tinggi daripada yang tidak dipupuk, karena pemupukan meningkatkan respirasi biomas di atas permukaan tanah. Peningkatan biomass akibat pemupukan N dapat mencapai 250% (Lai et al., 2002), 20 - 40 % (Makipaa et al., 1998). Secara umum, pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO2 dengan jalan memacu pertumbuhan akar, jumlah populasi mikrob, dan aktivitas mikrob. Pengaruh pemupukan urea terhadap fluks CO2, jumlah total populasi mikrob, dan
49 nisbah C/N pada penelitian ini menunjukkan pola yang sama antar lokasi penelitian. Pada masing-masing tingkat kematangan gambut, potential fluks CO2 berkorelasi erat dengan total populasi mikrob. Jumlah populasi mikrob Semakin banyak dengan penambahan urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut dan akan diikuti oleh semakin tinginya CO2 hasil respirasi.
Penambahan dosis urea
meningkatkan laju dekomposisi bahan organik baik pada gambut fibrik, hemik, maupun saprik. Hal ini terbukti dengan semakin menurunnya nilai nisbah C/N gambut dengan semakin meningkatnya dosis pupuk urea yang ditambahkan. Kesimpulan Dari serangkaian percobaan laboratorium yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat kematangan gambut berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar abu, namun dosis pupuk urea tidak berpengaruh nyata. Kadar air gambut fibrik (780-880%) > hemik (425-530%) > saprik (225-250%). Kadar abu gambut saprik > hemik = fibrik. 2. Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan C-organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. C-organik fibrik > hemik > saprik. Penurunan kandungan Corganik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,57x + 56,72 (R2= 0,98), hemik Y= -0,61x + 56,38 (R2= 0,97), dan saprik Y= 0,57x + 55,70 (R2= 0,99). 3.
Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan bahan organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. Bahan organik fibrik > hemik > saprik. Penurunan kandungan bahan organik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,98x + 97,80 (R2= 0,98), hemik Y=-1,06x + 97,20 (R2= 0,97), saprik Y=-0,99x + 96,03 (R2= 0,99).
4. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO2 gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO2, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons fluks CO2 tergantung pada tingkat kematangan gambut.
50 5. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap nisbah C/N dan total populasi mikrob. Respons penurunan nisbah C/N dengan penambahan dosis urea tergantung pada tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 1 g/100 g gambut ternyata meningkatkan total populasi mikrob, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons total populasi mikrob tergantung pada tingkat kematangan gambut.
EMISI CO2 DAN CH4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN Rasional Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO2 dan CH4. Konversi hutan gambut ini mengakibatkan perubahan terhadap karakteristik inhern gambut. Tindakan pengelolaan kebun kelapa sawit seperti drainase, pembuatan jalan, pemupukan dan pengapuran yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akan berpengaruh terhadap karakteristik lahan gambut seperti perubahan pada bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Selain itu budidaya monokultur ini akan menurunkan keanekaragaman hayati dan perubahan unsur mikro yang sangat terkait dengan emisi CO2 dan CH4. Besarnya emisi CO2 di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode pengukuran, diantaranya metode titrasi dan menggunakan alat kromatografi gas.
Pengukuran menggunakan metode tertentu pasti disertai
dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan menggunakan metode lainnya. Dengan demikian metode pengukuran sampel gas CO2 sangat menentukan jumlah konsentrasi CO2 yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besarnya hasil pengukuran emisi CO2. Dalam pengukuran emisi CO2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah.
Secara garis besarnya, musim di
Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda daripada musim penghujan, maka emisi CO2 sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut. Besarnya emisi CO2 dan CH4 sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan gambut seperti kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut.
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO2 dan CH4 (Nyman dan DeLaune, 1991; Moore dan Dalva, 1993; Klemedtsson et al,. 1997). Kedalaman muka air tanah
52 akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO2. Gambut juga dapat menghasilkan CO2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron (Morril et al., 1982), namun pada kondisi anaerob, bakteri metanogen akan memproduksi CH4 (Rinnan et al., 2003). Ketebalan gambut sangat berkaitan dengan besarnya cadangan C gambut dan tingkat kesuburan gambut. Menurut Sylvia et al. (1998), ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan gambut untuk tanaman kelapa sawit, karena semakin tebal gambut akan semakin besar juga kendala biofisik yang ditemui dalam pengelolaan gambut. Makin tebal gambut cenderung semakin rendah produktivitas lahannya. Daerah perakaran (rhizosfer) khususnya pada tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar merupakan bagian penting yang memberikan pengaruh dalam emisi CO2 dan CH4 di lahan gambut. Komunitas mikrob dan proses dekomposisi di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada tanah yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan akar tanaman (bulk soil). Hal ini disebabkan oleh (1) meningkatnya ketersediaan substrat seperti akar-akar yang mati di rhizosfer, sehingga kualitas komunitas dekomposer meningkat, (2) meningkatnya ketersediaan eksudat akar dan derivatnya akan meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur Corganik terlarut (Ekberg et al., 2007). Proses dekomposisi yang lebih cepat ini menyebabkan emisi CO2 di daerah rhizosfer lebih tinggi, karena gas CO2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi. Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Emisi CO2 akan meningkat dengan meningkatnya biomas akar dan umur tanaman. Pola hubungan peningkatan biomass tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan
53 bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan. Tanaman dapat berperan sebagai media transportasi CO2 dari dalam tanah ke atmosfer, terutama pada tanaman yang mempunyai jaringan aerenchima. Akar tanaman yang memiliki aerenkim akan menembus horizon yang lebih dalam, sehingga akan menyumbang eksudat akar dan memberikan substrat dalam proses produksi gas CO2. Produksi gas-gas pada daerah perakaran ini dilepaskan ke atmosfer melalui beberapa cara yaitu difusi, ebulisi, dan transport tanaman. Perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO2 dengan mekanisme dua arah antara dalam tanah dan atmosfer (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom et al., 2005), tidak terkecuali pada konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan analisis data hasil pengukuran emisi CO2 dan CH4 yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit, semak belukar dan hutan di lahan gambut dengan tujuan untuk: (1) mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO2. (2) mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO2 pada musim hujan dan musim kemarau. (3) Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. (4) Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO2. (5) Mengevaluasi emisi CO2 pada kebun kelapa sawit dengan umur tanaman yang berbeda. (6) Mengevaluasi emisi CO2 pada 3 tipe penggunaan lahan.. Bahan dan Metode Tahapan kegiatan analisis fluks CO2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan transek dan penentuan titik pengamatan. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon
54 kelima dari saluran drainase, demikian untuk titik pengamatan selanjutnya pada setiap tiga pohon berikutnya yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rhizosfer dan non rhizosfer. Transek yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada lahan gambut Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun dan b) transek ke-2; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun. 2. Pada lahan gambut Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan terdapat lima transek yaitu: a) transek ke-3; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun b) transek ke-4; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun c) transek ke-5; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun d) transek ke-6; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun dan e) transek ke-7; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun. 3. Pada lahan gambut Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek terdapat dua transek yaitu a) transek ke-8; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) pertama yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun baru ditanam dan b) transek ke-9; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) kedua yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun.
Pada
pengamatan bulan Mei-Juni 2008 pada lokasi ini terdapat tiga transek. Masing-masing transek terdiri dari empat pasang (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) titik pengamatan, namun pada pengamatan bulan OktoberNovember sungkup tersebut hilang. 4. Pada lahan gambut Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI terdapat dua transek yaitu a) transek ke-10; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada
55 lahan gambut yang didominasi semak belukar, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan b) transek ke-11; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada hutan sekunder gambut, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama. Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rhizosfer dan non rhizosfer pada masing-masing titik pengamatan.
Sungkup
rhizosfer berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm. Pada paralon tersebut dibuat lubang dengan diameter 5 cm pada titik 20 cm dari atas permukaan paralon. Lubang ini dimaksudkan untuk memasukkan tiga buah akar sedemikian rupa sehingga akar tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam sungkup (Gambar 25b). Sungkup ini dipasang pada jarak 2,5 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 10 tahun (Gambar 23a), 1 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 5 tahun, dan < 1 m untuk kelapa sawit umur 1 tahun (Gambar 25a), hal ini disesuaikan dengan keberadaan bulu-bulu akar. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas non rhizosfer dilakukan dengan memasang paralon silinder dengan ukuran yang sama tetapi tanpa dibuat lubang. Paralon ini dipasang pada 1 m dari paralon rhizosfer dengan perlakuan yang sama (Gambar 26a). Saat pengambilan sampel gas, pada sungkup permanen dipasang tutup sungkup yang telah dilengkapi sebuah septum untuk tempat jarum syringe, sebuah kipas angin kecil yang digerakkan dengan baterei 9 volt untuk mengaduk udara dalam sungkup dan sebuah termometer untuk mengukur suhu dalam sungkup. Untuk metode analisis dengan menggunakan alat kromatografi gas, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 dan 10 ml, dengan frekuensi pengambilan sampel gas 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib. Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Alat ini selain mengukur konsentrasi gas CO2 juga mampu mendeteksi CH4 sekaligus. Dari data perubahan konsentrasi CO2 dan atau CH4 antar waktu pengambilan sampel gas akan diperoleh gradien perubahan konsentrasi per satuan waktu (dc/dt). Dengan diketahuinya gradien ini dan dengan diukurnya data suhu,
56 dan ketinggian efektif sungkup akan dapat dihitung nilai fluks CO2 dan CH4. Perhitungan fluks gas CO2 dan CH4 didasarkan pada metode Hue et al. (2000), dengan rumus: F = m/A/t F = ρ x H x dc/dt (mg CO2-C m-2 jam-1 atau mg CH4- C m-2 jam-1) F = (44/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CO2-C m-2 jam-1) F = (16/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CH4- C m-2 jam-1) Dengan lambang notasi: F = ρ = H = dc/dt = t =
fluks CO2 atau CH4 (mg CH4-C m-2 jam-1 atau mg CH4-C m-2 jam-1) kerapatan CO2-C atau CH4-C pada suhu absolut (g dm-3), tinggi efektif sungkup (m) perubahan konsentrasi CO2 atau CH4-C antar waktu (ppm jam-1) rata-rata suhu dalam sungkup (oC)
Sedangkan untuk analisis gas dengan metode titrasi, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 50 ml dari sungkup yang dipasang di atas paralon silinder permanen yang telah dipasang di lahan gambut. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib dengan frekuensi pengambilan 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Sampel gas dalam syringe dimasukkan ke dalam botol vial berukuran 35 ml yang telah diisi dengan KOH 0,2N sebanyak 5 ml. Untuk mengetahui konsentrasi gas CO2 dilakukan titrasi pada larutan KOH 0,2N yang telah menyerap sampel gas CO2 dengan larutan HCl 0,1N dengan menggunakan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), dengan berpedoman pada perubahan warna sebagai berikut: 1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) K2CO3 + HCl KCl + KHCO3 2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KCl + H2O + CO2 KHCO3 + HCl Perhitungan jumlah CO2 dengan metode titrasi diperoleh dengan menggunakan persamaan: r = (a-b) x t Dengan lambang notasi: a = ml HCl sampel gas b = ml HCl blanko t = normalitas HCl (tentukan normalitas yang tepat dari larutan HCl)
57 Evaluasi metode analisis dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2 dari kedua metode tersebut, sedangkan evaluasi pengaruh musim dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008 mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November mewakili musim hujan. Disamping pengukuran konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada sungkup rhizosfer dan non rhizosfer, dilakukan juga pengukuran kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Untuk mengetahui kedalaman muka air tanah dilakukan kegiatan sebagai berikut: (1) membuat lubang dengan bor tanah pada titik tengah antara sungkup rhizosfer dan non rhizosfer setiap titik pengamatan, (2) lubang dibiarkan selama 2 jam supaya posisi air tanah stabil, (3) memasukkan kayu ke dalam lubang hingga menyentuh air tanah dan mengukur kedalaman muka air tanah dari permukaan gambut dengan alat meteran, dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Untuk mengetahui ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran gambut dari permukaan hingga ditemukan lapisan tanah mineral yang dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Data emisi CO2 dan CH4 pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer, pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran ketebalan gambut yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9,1 untuk mengetahui: (1) regresi dan korelasi antara kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4, (2) regresi dan korelasi antara ketebalan gambut terhadap emisi CO2. Semua pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Untuk mempelajari pengaruh pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman terhadap fluks CO2 dilakukan analisis korelasi dan regresi pada data emisi CO2 non rhizosfer berdasarkan umur tanaman dengan menggunakan SAS versi 9,1. Pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Sedangkan data fluks CO2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak, hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang) dievaluasi untuk mengetahui pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap fluks CO2.
58 Hasil dan Pembahasan Penelitian dilaksanakan di empat lokasi gambut yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat, yaitu (1) kebun kelapa sawit di Desa Suak puntong, Kecamatan Meurebu (2) kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, (3) kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek, dan (4) hutan dan semak belukar di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI (Gambar 18). Deskripsi masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: 1. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu merupakan perkebunan milik perorangan dengan luas kebun sekitar 15 ha. Tanaman kelapa sawit ditanam dengan jarak 9 m x 9 m dan telah berumur 10 tahun (Gambar 19a). Kebun ini tidak terpelihara secara intensif, terbukti dengan tingginya semak belukar diantara pohon kelapa sawit mencapai 1 - 1,5 m (Gambar 20b), tidak dilakukannya pemangkasan dahan yang kering dan pemupukan tidak diberikan secara rutin.
(a)
(b)
Gambar 19. (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Pada blok kebun yang berukuran panjang 1150 m dan lebar 300 m dibuat 2 buah transek, jarak antar transek 1 dan 2 sekitar 150 m ke arah hutan.
59
1. 2. 3. 4.
Lokasi Peat Peat domes Penelitian: domes on on Suak Puntong Tsunami Tsunami Suak Raya affected affected Cotcoastal Gajah Mati coastal Simpang zone zone
3
4 2
1
Gambar 18. Peta lokasi penelitian
60 Pembuatan transek ini berdasarkan perkiraan perbedaan ketebalan gambut. Setiap transek terdiri dari lima pasang titik pengamatan berupa sungkup permanen untuk pengambilan sampel gas CO2 dan CH4 pada daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer (Gambar 20a). Pada saat pembuatan transek masih dilakukan perbaikan saluran drainase. Kedalaman saluran drainase utama dibuat 2 m dan lebar 1,5 m (Gambar 19b).
(a)
(b)
Gambar 20. (a) Pengambilan sampel gas di titik pengamatan terdekat dengan drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong (b) Kondisi semak di antara pohon kelapa sawit pada titik pengamatan terjauh dari drainase 2. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kebun milik perorangan, luas kebun sekitar 12 Ha. Umur tanaman kelapa sawit pada kebun ini terdiri dari umur 5 tahun dan 10 tahun (Gambar 21a dan Gambar 22a). Setelah tsunami, kebun sudah dikelola dengan baik seperti telah dilakukan pemangkasan tanaman di sela-sela pohon kelapa sawit, pengapuran dan pemupukan. Pengapuran dilakukan dengan menambahkan fosfat alam setahun sekali, sedangkan pemupukan nitrogen dilakukan dua kali setahun, pemupukan P dan K hanya satu kali setahun dengan dosis yang tidak konstan setiap aplikasi. Drainase utama lebih sempit dan dangkal yaitu berukuran lebar 0,5 m dan dalam 1 m (Gambar 21b dan 22b). Transek yang dibuat pada kebun ini berjumlah lima.
Dasar penentuan titik pengamatan yang dipasang sungkup
61 paralon adalah umur tanaman dan dugaan ketebalan gambut yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tidak semua transek terdiri dari lima titik pengamatan karena panjang lahan yang tegak lurus dengan saluran drainase utama tidak sama. Pada transek 6 dan 7 hanya terdapat tiga pasang sungkup, karena luas lahan sempit.
(a) (b) Gambar 21. (a) Kondisi tanaman kelapa sawit kebun desa Suak Raya. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Raya
(a) (b) Gambar 22. (a) Sungkup saat pengambilan sampel gas. (b) Kondisi saluran drainase di kebun kelapa sawit Suak Raya 3. Kebun Kelapa Sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek. Kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati merupakan hutan gambut yang baru dibuka pada tahun 2007 untuk perkebunan kelapa sawit (Gambar 23b).
62 Pembukaan hutan yang berukuran 2225 m x 3000 m dilakukan oleh CV Rima kemudian ditanam kelapa sawit yang dibagikan kepada warga masyarakat korban tsunami di Meulaboh.
Jumlah transek ada 3 buah, masing-masing transek
terdapat 4 pasang sungkup paralon untuk pengambilan sampel gas. Namun pada saat pengambilan sampel gas kedua pada bulan Oktober 2008, sungkup paralon yang di tanam di kebun kelapa sawit hilang, sehingga tidak dapat dilakukan pengambilan sampel untuk daerah rhizosfer. Kemudian dipasang paralon lagi untuk pengambilan sampel gas yang mewakili daerah non rhizosfer sebanyak 2 transek di kebun kelapa sawit dan satu transek di hutan sekunder yang terdapat tidak jauh dari kebun kelapa sawit tersebut.
(a) (b) Gambar 23. (a) Kondisi drainase kebun kelapa sawit desa Cot Gajah Mati (b) Kondisi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati
(a)
(b)
Gambar 24. (a) Pemasangan Sungkup rhizosfer (b) Kondisi akar yang dimasukkan dalam sungkup rhizosfer.
63
(a) (b) Gambar 25. (a) Pemasangan Sungkup non rhizosfer berjarak 1 m dari sungkup rhizosfer. (b) Sungkup rhizosfer dan non rhizosfer saat pengambilan sampel gas. 4. Semak Belukar dan Hutan Gambut di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI. Pengambilan sampel gas di desa Simpang dilakukan di hutan sekunder (Gambar 26) pada titik 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan semak belukar (Gambar 27) pada titik 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama. Jarak titik pengamatan tidak sama karena pada jarak 10 m dari saluran drainase utama banyak pohon terbakar. Disamping pengambilan sampel gas, pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan juga pengambilan sampel tanah yang digunakan untuk analisis laboratorium (Gambar 28).
(a)
(b)
Gambar 26. (a) Kondisi drainase di hutan desa Simpang (b) Kondisi hutan gambut di desa Simpang
64
(a)
(b)
Gambar 27. (a) Kondisi semak di lahan gambut desa Simpang (b) Pengambilan sampel gas di titik 250 m dari drainase pada vegetasi semak.
(a)
(b)
Gambar 28. (a) Pengambilan sampel tanah dengan bor gambut (b) Salah satu profil sampel tanah 1. Evaluasi Metode Analisis Sampel Gas CO2. Metode titrasi dapat digunakan untuk mengetahui besarnya konsentrasi CO2 yang dikeluarkan dari bahan gambut, namun jika dibandingkan dengan pengukuran dengan alat gas kromatografi menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Fluks CO2 tidak dapat dihitung dengan menggunakan metode titrasi, karena konsentrasi CO2 dari setiap selang waktu pengambilan sampel menunjukkan nilai yang relatif sama, tidak terdapat kecenderungan meningkat walaupun waktu pengamatan mencapai 35 menit (Lampiran 32 dan 33).
65 Nilai konsentrasi CO2 yang diperoleh dengan metode titrasi masih terlalu kasar dan tidak dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan seperti kedalaman muka air tanah, musim, ketebalan gambut yang sangat mempengaruhi besarnya konsentrasi gas CO2 dari lahan gambut yang dikeluarkan ke atmosfer. 2. Evaluasi Emisi CO2 pada Musim Kemarau dan Hujan Menurut Hirano et al. (2007), hasil pengukuran emisi CO2 dari gambut tropik sangat tinggi variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai di konversi (tingkat humifikasi), variasi tempat (perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara), status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim), sehingga musim berpengaruh terhadap hasil pengukuran emisi gas CO2 di suatu tempat. Untuk mengetahui kecenderungan pengaruh musim terhadap emisi CO2 dilakukan evaluasi data hasil pengukuran pada bulan Mei-Juni 2008 yang mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November 2008 yang mewakili musim hujan. Hasil perhitungan emisi CO2 pada lahan gambut tersebut disajikan pada Tabel 9 dan 10. Jika dibandingkan hasil pengukuran kedua musim tersebut, ternyata emisi CO2 hasil pengukuran pada bulan Mei - Juni 2008 (musim kemarau) tidak sama dengan emisi CO2 hasil pengukuran pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan). Emisi CO2 pada musim hujan lebih tinggi daripada emisi CO2 musim kemarau baik pada kebun kelapa sawit Desa Suak Raya maupun Desa Cot Gajah Mati. Hasil penelitian serupa dilaporkan oleh Liu et al. (2008), bahwa perubahan emisi CO2 mengikuti pola perubahan musim, rata-rata fluks CO2 pada musim hujan (194,4 mg CO2 m-2 h-1) lebih tinggi daripada musim kering (112,81 mg CO2 m-2 h-1). Namun emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan. Hal ini terjadi karena di kebun tersebut pada musim kemarau sedang dilakukan pelebaran dan pendalaman saluran drainase utama, sehingga tercipta kondisi aerobik (ketersediaan O2 meningkat), akibatnya respirasi mikrob bertambah karena populasi dan aktivitas mikrob aerobik meningkat. Disamping itu, keberadaan O2 akan memacu proses
66 Tabel 9. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Mei-Juni 2008 (musim kemarau). Emisi CO2 (t ha-1 th-1) pada titik pengamatan ke
Tipe Penggunaan Lahan/ Umur tanaman/ Transek
Lokasi
1
2
3
Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (NR)
28,1180
28,4265
1,2651
Suak Puntong
Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (R) Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (NR)
64,9027 41,7925
31,9461 8,2373
12,5352 44,0476
Suak Puntong Suak Puntong
Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (R)
58,3791
65,9584
12,8747
Suak Puntong
Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (NR)
22,9611
13,0799
30,0662
Suak Raya
Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (R) Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (NR)
25,2209 21,9223
23,5620 6,7594
36,7686 8,9695
Suak Raya Suak Raya
Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (R)
21,9859
10,9477
9,3080
Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (NR)
16,0119
16,0556
Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (R) Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (NR)
39,9862 5,9603
30,8581 3,8659
16,7815 9,8633
Suak Raya Suak Raya
Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (R) Kelapa Sawit / 1 th/ 7 (NR)
17,0568 25,8798
6,6059 23,1412
24,6667 31,4947
Suak Raya Cot Gajah Mati
Kelapa Sawit / 1 th/ 7 (R) Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (NR)
12,9014
32,8758 14,1492
36,0158 23,3773
Cot Gajah Mati Cot Gajah Mati
Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (R) Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (NR)
56,4520 42,9689
61,0822
48,2409 20,3222
Cot Gajah Mati Cot Gajah Mati
Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (R)
5,2911
53,5136
33,6998
Cot Gajah Mati
Suak Raya Suak Raya
Tabel 10. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan). Tipe Penggunaan Lahan/ Umur tanaman/ Transek Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (NR) Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (R) Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (NR) Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (R) Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (NR) Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (R) Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (NR) Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (R) Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (NR) Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (R) Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (NR) Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (R) Kelapa Sawit / 5 th/ 7 (NR) Kelapa Sawit / 5 th/ 7 (R) Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (NR) Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (NR) Semak 10 (NR) Hutan 11 (NR)
Emisi CO2 (t ha-1 th-1) pada titik pengamatan ke 1 2 3 4 5 16,7795 24,6405 12,7269 15,4158 70,0847 87,1325 15,8871 17,8153 32,4569 42,7116 16,7801 19,0932 17,4539 17,6758 67,5187 33,5007 36,3618 27,4607
24,7497 28,7673 16,2042 16,3532 20,0737 37,0706 18,2393 27,1922 13,0954 15,9136 16,2536 17,6524 1,5868 24,4385 52,1452 100,5915 33,8336 23,8134
23,6947 25,7814 5,7633 6,4692 13,6905 42,6842 28,9473 38,8148 55,8499 78,1906 29,8807 31,0071 11,0816 64,6678 32,4026 8,4641 102,507 8,7568
13,6297 18,8753 4,8714 28,3759 0,1450 27,8723 13,5333 21,9176 16,8393 17,9727
9,8983 16,893 4,8695 30,346 16,523 38,073 23,647 30,342 24,535 36,166
Lokasi Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Cot Gajah Mati Cot Gajah Mati Simpang Simpang
67 oksidasi bahan organik/mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga produksi dan emisi CO2 lebih tinggi. Tingginya emisi CO2 pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau sangat terkait dengan pengaruh kadar air terhadap proses dekomposisi bahan organik pada lahan gambut. Beberapa penelitian melaporkan bahwa dekomposisi sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air (Hilbert et al., 2000) dan fluktuasi muka air (Belyea and Clymo, 2001), sehingga kandungan air mempengaruhi emisi CO2 dari tanah (Smith et al., 2003; Liu et al., 2008). Kandungan air pada musim kemarau diprediksi lebih sedikit daripada musim hujan, sehingga menyebabkan laju proses dekomposisi bahan organik pada musim kemarau lebih lambat daripada musim hujan, sehingga produksi gas CO2 lebih sedikit. Menurut Jia et al. (2006), rendahnya konsentrasi air dalam tanah akan menurunkan aktivitas mikrob karena tekanan osmotik. Emisi CO2 dari tanah yang diinkubasi dengan kapasitas memegang air 50% lebih besar daripada tanah dengan kapasitas memegang air 20% dan 40%. Dengan demikian dalam kondisi kadar air sedikit akan memperlambat laju proses dekomposisi atau bahkan tidak memungkinkan untuk terjadinya proses dekomposisi jika gambut sudah berubah menjadi pseudosand. Ketersediaan air pada musim hujan lebih terjamin, sehingga laju proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO2 cenderung meningkat. Hasil penelitian Jia et al. (2006) menunjukkan bahwa kandungan air tanah yang terlalu tinggi akan menghambat difusi CO2 dan aktivitas mikrob, seperti halnya hasil penelitian Silva et al. (2008) yang menunjukkan bahwa emisi CO2 1.2 kali lebih besar pada tanah yang diinkubasi dengan kapasitas memegang air 40%, 60% dan 80% dibandingkan dengan tanah dengan kapasitas memegang air 100%. Menurut Kirk (2004), reaksi termodinamika yang terjadi pada kondisi reduksi adalah: O2 + CH2O
CO2 + H2O
4NO3- + 5 CH2O + 4H+
2N2 + 5CO2 + 7H2O
2MnO2 + 2 CH2O + 4H+
2Mn2+ + CO2 + 3H2O
4Fe(OH)3 + CH2O + 8H+
4 Fe2+ + CO2 + 11H2O
SO42- + 2CH2O + 4H+
H2S + 2CO2 + 2H2O
2CH2O
CH4 + CO2
68 3. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2 dan CH4 di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer Tanaman Kelapa Sawit. Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase pada areal kebun kelapa sawit di lahan gambut sangat menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah mempunyai pengaruh yang beragam terhadap emisi CO2. Hal ini berkaitan erat dengan beragamnya karakteristik inhern tanah gambut dari masing-masing titik pengamatan seperti ketebalan gambut dan pengelolaan kebun yang sangat berbeda. Hasil pengukuran emisi CO2 masing-masing transek pada lokasi penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober-November 2008 disajikan pada Tabel 11. Apabila seluruh titik pengamatan dianalisis dengan program SAS versi 9,1 tanpa dikelompokan berdasarkan transek diperoleh diagram pencar seperti Gambar 29 dan Gambar 30. Dari diagram pencar antara emisi CO2 (baik rhizosfer maupun non rhizosfer) dengan kedalaman muka air tanah tidak membentuk pola garis lurus, sehingga dikatakan hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air tanah tidak linier. Rata-rata emisi CO2 sebesar 30,53 ± 17,94 t ha-1th-1 untuk rhizosfer dan 19,02 ± 14,22 t ha-1th-1 untuk non rhizosfer.
90
-1
70
-1
Emisi CO 2 (t ha th )
80 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Kedalaman muka air tanah (cm)
Gambar 29. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 di rhizosfer
69 Tabel 11. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah. Tipe penggunaan
Lokasi
lahan/umur / transek
Titik pengamatan ke
Kedalaman muka air tanah (cm)
Emisi CO2 (t ha-1th-1) Non rhizosfer Rhizosfer
Kelapa Sawit /10 th/ 1
Suak Puntong
1
81
16,7795
24,6405
Kelapa Sawit /10 th/ 1
Suak Puntong
2
62
24,7497
28,7673
Kelapa Sawit /10 th/ 1
Suak Puntong
3
60
23,6947
25,7814
Kelapa Sawit /10 th/ 1
Suak Puntong
4
56
13,6297
18,8753
Kelapa Sawit /10 th/ 1
Suak Puntong
5
51
9,8983
16,8935
Kelapa Sawit /10 th/ 2
Suak Puntong
1
86
12,7269
15,4158
Kelapa Sawit /10 th/ 2
Suak Puntong
2
84
16,2042
16,3532
Kelapa Sawit /10 th/ 2
Suak Puntong
3
74
5,7633
6,4692
Kelapa Sawit /10 th/ 2
Suak Puntong
4
67
4,8714
28,3759
Kelapa Sawit /10 th/ 2
Suak Puntong
5
64
4,8695
30,3461
Kelapa Sawit /10 th/ 3
Suak Raya
1
52
70,0847
87,1325
Kelapa Sawit /10 th/ 3
Suak Raya
2
52
20,0737
37,0706
Kelapa Sawit /10 th/ 3
Suak Raya
3
49
13,6905
42,6842
Kelapa Sawit /10 th/ 3
Suak Raya
4
46
0,1450
27,8723
Kelapa Sawit /10 th/ 3
Suak Raya
5
43
16,5227
38,0734
Kelapa Sawit /5 th/ 4
Suak Raya
1
55
15,8871
17,8153
Kelapa Sawit /5 th/ 4
Suak Raya
2
57
18,2393
27,1922
Kelapa Sawit /5 th/ 4
Suak Raya
3
53
28,9473
38,8148
Kelapa Sawit /5 th/ 4
Suak Raya
4
52
13,5333
21,9176
Kelapa Sawit /5 th/ 4
Suak Raya
5
51
23,6470
30,3422
Kelapa Sawit /5 th/ 5
Suak Raya
1
61
32,4569
42,7116
Kelapa Sawit /5 th/ 5
Suak Raya
2
60
13,0954
15,9136
Kelapa Sawit /5 th/ 5
Suak Raya
3
58
55,8499
78,1906
Kelapa Sawit /5 th/ 5
Suak Raya
4
56
16,8393
17,9727
Kelapa Sawit /5 th/ 5
Suak Raya
5
54
24,5346
36,1663
Kelapa Sawit /5 th/ 6
Suak Raya
1
52
16,7801
19,0932
Kelapa Sawit /5 th/ 6
Suak Raya
2
48
16,2536
17,6524
Kelapa Sawit /5 th/ 6
Suak Raya
3
40
29,8807
31,0071
Kelapa Sawit /5 th/ 7
Suak Raya
1
46
17,4539
17,6758
Kelapa Sawit /5 th/ 7
Suak Raya
2
43
1,5868
24,4385
Kelapa Sawit /5 th/ 7
Suak Raya
3
39
11,0816
64,6678
-1
-1
Emisi CO2 (t ha th )
70 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Kedalaman muka air tanah (cm)
Gambar 30. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 di non rhizosfer Tidak liniernya hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air tanah ini didukung oleh nilai korelasi yang lebih mendekati ke nol yaitu r = -0,305 dengan nilai P= 0,09 untuk rhizosfer dan r = -0,073 dengan nilai P=0,68 untuk non rhizosfer. Dengan demikian pola hubungan antara emisi CO2 rhizosfer dan kedalaman muka air tanah tidak membentuk persamaan linier Y= 56,59-0,46x (dimana Y= emisi CO2 rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah) karena nilai P = 0,09 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan R2 hanya 9% yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO2 rhizosfer (Y). Pola hubungan antara emisi CO2 non rhizosfer dan kedalaman muka air tanah juga tidak membentuk persamaan linier Y= 23,97-0,08x (dimana Y= emisi CO2 non rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah) karena nilai P = 0,69 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan R2 hanya 0,3% yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO2 non rhizosfer (Lampiran 73 dan 74). Karena hasil analisis secara keseluruhan tidak dapat menerangkan pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2, maka analisis pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 dilakukan pada masing-masing transek seperti yang diilustrasikan pada Gambar 31-37. Evaluasi emisi CO2 ini dibedakan pada daerah perakaran (rhizosfer) dan non rhizosfer. Emisi CO2 rhizosfer dipergunakan untuk memprediksi adanya pengaruh akar terhadap CO2 hasil respirasi mikrob dan gas CO2 hasil dekomposisi bahan gambut.
71 35
y = 0,2251x + 9,0325 R2 = 0,27
-1
Emisi CO2 (t ha th )
30
-1
25 20 15
y = 0,1547x + 8,1579 R2 = 0,0762
10 5 0 45
50
55
60
65
70
75
80
85
Kedalaman muka air tanah (cm) Non rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non rhizosfer)
Gambar 31. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai kedalaman muka air tanah.
-1
-1
Emisi CO2 (t ha th )
35 y = -0,6457x + 67,819 R2 = 0,4119
30 25 20 15
y = 0,4833x - 27,363 R2 = 0,8217
10 5 0 60
65
70
75
80
85
90
Kedalaman muka air tanah (cm) Non rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non rhizosfer)
Gambar 32. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai kedalaman muka air tanah.
-1
-1
Emisi CO 2 (t ha th )
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 3,2721x - 111,8 R2 = 0,3016
y = 3,9741x - 168,24 R2 = 0,3367
42
44
46
48
50
52
54
Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 33. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai kedalaman muka air tanah.
72
-1
-1
Emisi CO 2 (t ha th )
45 40 y = -0,8557x + 73,082 R2 = 0,0651
35 30 25 20 15 10
y = -0,7004x + 57,59 R2 = 0,0733
5 0 50
51
52
53
54
55
56
57
58
Kedalaman muka air tanah Non rhizosfer
rhizosfer
Linear (rhizosfer)
Linear (Non rhizosfer)
Gambar 34. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai kedalaman muka air tanah. 90
-1
70
y = 0,5348x + 7,2786
-1
Emisi CO2 (t ha th )
80
60
R = 0,0037
2
50 40 30 20
y = 0,6189x - 7,2168
10
R = 0,0109
2
0 53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 35. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai kedalaman muka air tanah. 35
y = -1,0895x + 73,426
-1
Emisi CO2 (t ha th )
30 25
2
-1
R = 0,8248
20 15
y = -1,1791x + 75,996
10
R = 0,8709
2
5 0 35
37
39
41
43
45
47
49
51
53
55
Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizos fer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 36. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai kedalaman muka air tanah.
73 100
-1
-1
Emisi CO2 (t ha th )
90 80
y = -5,9859x + 313,39
70
R = 0,3155
2
60 50 40 30
y = 1,9341x - 42,849
20
R = 0,0237
2
10 0 38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Non Rhizosfer)
Linear (Rhizosfer)
Gambar 37. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai kedalaman muka air tanah. Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka kedalaman muka air tanah semakin berkurang (muka air tanah lebih dangkal). Pada semua transek kecuali transek
SR-4 dan SR-6
menunjukkan korelasi yang sama yaitu semakin jauh dari saluran drainase, muka air tanah semakin dangkal dan emisi CO2 semakin menurun. Hal ini terjadi karena titik yang lebih dekat dengan saluran drainase terjadi penurunan muka air tanah menyebabkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih lanjut pada lapisan di atas muka air tanah. Kondisi aerasi akan lebih memacu meningkatkan ketersediaan O2 di dalam bahan gambut dan dapat mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan CO2, sehingga emisi CO2 di titik yang lebih dekat dengan drainase lebih tinggi. Dari Gambar 31 – 37 terdapat fenomena emisi CO2 meningkat dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 1, 2, 3, 5 dan 7, sedangkan pada transek 4 dan 6 emisi CO2 menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Dengan mempertimbangkan perbandingan antara nilai peningkatan dengan nilai penurunan emisi CO2 ternyata angka peningkatan lebih besar daripada angka penurunan emisi CO2, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh dari saluran drainase, emisi CO2 semakin menurun.
74 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2. Dari transek 1, 2, 3, 5 dan 7 terlihat bahwa titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan titik pengamatan yang lebih jauh dari saluran drainase. Hal ini terjadi karena titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah lebih dalam. Muka air tanah yang dalam pada titik pengamatan yang terdekat dengan saluran drainase utama menyebabkan terciptanya suasana aerob yang memacu laju proses dekomposisi yang melepaskan CO2 dari dalam tanah ke atmosfer. Kirk (2004) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik pada kondisi aerob lebih cepat daripada kondisi anaerob karena perubahan energi bebas untuk terjadinya reaksi lebih besar yaitu ∆G= -199 kJ mol-1 pada pH 7 pada kondisi aerob, sedangkan pada kondisi anaerob ∆G= -17,7 kJ mol-1 pada pH 7. Dengan demikian, mikrob sebagai media dekomposisi mendapat lebih banyak energi, sehingga produksi sel per unit lebih tinggi pada kondisi aerob. Menurut Climo (1983), dekomposisi aerobik 50 kali lebih cepat daripada anaerobik. Keberadaan oksigen pada kondisi aerob akan meningkatkan proses mineralisasi unsur hara (terutama unsur C, N, dan S), sehingga memacu hilangnya unsur hara. Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan subsiden pada bahan gambut. Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah meningkat 1,5 kali. Proses subsiden merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Menurut Yagi et al. (1994), drainase terkait dengan perubahan suhu, ketersediaan O2, pH, dan Eh pada bahan gambut. Morril et al., (1982) menyatakan bahwa bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO2. Dalam kondisi anaerob Gambut akan menghasilkan CO2, jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron. Besarnya emisi gas CO2 dan CH4 sangat bervariasi tergantung pada faktor bahan gambut
75 seperti: ketebalan, tingkat kematangan, dan kondisi hidrologi (Nyman dan DeLaune, 1991). Penyebab menurunnya emisi CO2 dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 6 diduga karena ketebalan gambut pada transek ini paling tipis dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya yaitu sekitar 142-170 cm. Hasil penelitian Yulianti (2009) melaporkan bahwa cadangan C gambut mempunyai korelasi nyata positif terhadap ketebalan gambut (r= 0,93) dan bobot isi (r= 0,65). Kandungan cadangan gambut terendah terdapat pada gambut yang tipis dan semakin besar bobot isi, maka semakin besar juga cadangan C. Jumlah cadangan C dan bobot isi seperti ini menyebabkan menurunnya emisi CO2 pada transek 6. Hasil evaluasi data emisi CO2 di rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit (Tabel 11) menunjukkan bahwa emisi CO2 di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada di non rhizosfer seperti yang diilustrasikan pada Gambar 38. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu merubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999).
Rhizosfer mempunyai lingkungan yang
memungkinkan untuk berkembangnya banyak organisme (Bowen dan Rovina, 1991; Peterson, 2003), sehingga banyak proses yang terjadi pada daerah sekitar akar yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas fungsi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dan buffer lingkungan, seperti: 1) akar tanaman menstabilkan tanah dari gangguan fisik, pergantian siklus pembasahan
dan pengeringan, (2) eksudat
akar jenis
mucilage asam
Poligalakturonat membantu terbentuknya formasi agregat tanah, (3) asam organik seperti asam oksalat, asam tatrat, dan asam sitrat melarutkan unsur hara dan detoksifikasi unsur logam (Thiele et al., 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas akar merupakan tempat yang disukai oleh banyak mikrob dibandingkan dengan bulk soil (Peterson, 2003). Disamping meningkatnya populasi mikrob, aktivitas mikrob di sekitar daerah perakaran juga meningkat.
Peningkatan
aktivitas mikrob ini sebagai akibat tingginya konsentrasi nutrisi, C-labil, dan pengaruh eksudat akar
(Kuzyakov et al., 2000; Subke et al., 2004; Hamer dan
76 Marschner, 2005). Dengan meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas mikrob di daerah rhizosfer menyebabkan respirasi mikrob meningkat dan produksi CO2 dari daerah rhizosfer lebih besar daripada daerah non rhizosfer. Namun mekanisme dua arah proses emisi gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi. -1
-1
Emisi CO2 (t ha th ) 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
39 43 46 48
Kedalaman muka air tanah (cm ))
51 52 52 53 55 56 58 60 62 67
84
Non Rhizosfer
Rhizosfer
Gambar 38. Emisi CO2 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah. Pelepasan CO2 dari topsoil yang banyak dipengaruhi oleh kehadiran akar tanaman lebih besar daripada subsoil. Beberapa penelitian menyatakan produksi CO2 menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah pada tanah yang diinkubasi baik pada kondisi aerobik maupun anaerobik (Bridgham dan Richardson, 1992; McKenzie et al., 1998 dan Waddington et al., 2001). Hal ini disebabkan karena (1) perbedaan dalam populasi mikrob, (2) rendahnya jumlah C-organik tersedia
77 (Nadelhoffer et al., 1991), dan akumulasi senyawa humik (Hogg et al., 1992). Kluge et al. (2008) melaporkan bahwa tingginya jumlah C-organik di topsoil merupakan indikasi C organik lebih mudah tersedia dan munculnya lumpur di subsoil yang merupakan kondisi yang tidak menguntungkan untuk kehidupan mikrob merupakan penyebab tingginya pelepasan CO2 di top soil. Moren and Lindroth (2000) menyatakan bahwa efemisi CO2 dari dalam tanah merupakan hasil dari dua proses yaitu produksi CO2 dan transport CO2. Berkaitan dengan proses transport CO2, maka besarnya produksi CO2 di daerah rhizosfer akan diikuti oleh besarnya emisi CO2 di daerah ini akibat dari lebih memungkinkannya proses difusi gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer. Disamping itu, bobot isi semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah (Walczak, Bieganowski, and Rovdan, 2002). Adanya perbedaan bobot isi tanah di sekitar akar dengan bulk soil memungkinkan produksi CO2 didaerah Rhizosfer lebih tinggi daripada non Rhizosfer. Hinsinger et al. (2005) menyatakan bahwa beberapa cm dari daerah sekitar akar terdapat peningkatan asam atau basa yang tergantung pada spesies tanaman. Untuk tanaman kacang-kacangan pH tanah akan meningkat asam, sedangkan untuk tanaman spruce akan menjadi basa. Pada penelitian pH tanah berada dalam kisaran 2,9 sampai dengan 3,9. Perubahan derajat kemasaman tanah ini tentu akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap jumlah populasi dan aktivitas mikrob yang mempunyai dampak terhadap besarnya emisi CO2 dari dalam tanah ke atmosfer. Bentuk emisi C ke atmosfer selain gas CO2, CH4 merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Kira-kira 80% diproduksi secara biologis oleh grup bakteri anaerobik pada lingkungan yang sangat reduktif (Ehhalt and Schmidt, 1978), dengan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada temperatur 30-40oC (Kirk, 2004). Produksi CH4 tidak akan dimulai sebelum oksigen, nitrat, besi (III), mangan (IV) dan sulfat tereduksi semua (Smith et al., 2003). Proses ini sangat dipengaruhi oleh suhu, kandungan bahan organik, pH, kelembaban dan potensial redoks dalam tanah (Kimura et al., 1993; Moore dan Dalva, 1993; Yang dan
78 Chang, 1997). Sylvia et al., (1998) menjelaskan bahwa metanogen dalam tanah memproduksi CH4 melalui dua jalan utama, yaitu: CO2 + H2
CH4 (reduksi CO2)
CH3COOH
CH4 + CO2 (fermentasi asetat)
Dari pengukuran emisi CH4 di perkebunan kelapa sawit (di Desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak (Desa Simpang), hutan (di Desa Cot Gajah Mati dan Desa Simpang), ternyata CH4 hanya terdeteksi pada hutan Cot Gajah Mati. Hal ini disebabkan karena muka air tanah di Hutan Cot Gajah Mati dangkal dan saluran drainase hanya berupa saluran kecil yang tidak terpelihara Sedangkan hutan di Desa Simpang memiliki saluran drainase utama dengan ukuran lebar 2,5 m dan dalam 3 m dengan kedalaman muka air tanah sekitar 36, 41, dan 53 cm dari permukaan gambut, sehingga CH4 tidak terdeteksi walaupun tipe penggunaan lahannya sama sebagai hutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan drainase akan menurunkan emisi CH4 seperti hasil penelitian yang dilaporkan oleh Martikainen et al. (1992) dan Flessa et al. (1998). Disamping itu, dalamnya muka air tanah dari permukaan gambut di hutan Desa Simpang menyebabkan tebalnya kondisi aerob di horizon atas, sehingga produksi CH4 menurun dan meningkatkan konsumsi CH4 untuk dioksidasi menjadi gas CO2. Yang dan Chang (1998) menyatakan bahwa produksi CH4 tidak terjadi jika kadar air dalam tanah kurang dari 23%. Terdapat korelasi linier positif antara total produksi CH4 dengan kadar air tanah dari 16,7% sampai dengan 66,7%, sehingga produksi CH4 meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam tanah dan maksimum pada kadar air 66,7%. Tabel 12. Emisi CH4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah. Kode Lokasi EIII69 EIII70 EIII71 EIII74 EIII79 EIII85 EIII86
Lokasi Hutan Cot Mati Hutan Cot Mati Hutan Cot Mati Hutan Cot Mati Hutan Cot Mati Hutan Cot Mati Hutan Cot Mati
Emisi CH4 (t ha-1 th-1) 1,4098 4,5255 0,4426 0,2120 0,0776 0,5374 1,0237
Kedalaman muka air tanah (cm) 17 18 15 34 5 4 7
79 -1
-1
Emisi CH4 (t ha th ) 0
1
2
3
4
5
Kedalaman muka air tanah (cm))
4 5 7 15 17 18 34
Gambar 39. Emisi CH4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap terbentuknya gas CH4 sangat jelas terlihat pada penelitian ini. Data yang sangat menarik dari penelitian ini adalah emisi CH4 pada hutan Cot Gajah Mati menurun dengan kedalaman muka air tanah, dan CH4 tidak terdeteksi dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut (Gambar 39).
Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya laju proses oksidasi CH4 diubah menjadi CO2 sebelum mencapai permukaan tanah semakin meningkat, sehingga emisi CH4 menjadi menurun. Kelembaban udara dan muka air tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH4. Saluran drainase di hutan Desa Cot Gajah Mati tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat merubah kondisi mikroagroklimat seperti meningkatnya kelembaban tanah dan dangkalnya muka air tanah dari permukaan gambut yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi CH4, sehingga emisi CH4 terdeteksi di hutan Cot Gajah Mati. Liu et al. (2008) menyatakan bahwa pola emisi CH4 menunjukkan korelasi nyata dengan kelembaban tanah.
Beberapa
penelitian
dominan
juga
melaporkan
bahwa
faktor
lingkungan
yang
mengendalikan emisi CH4 di lahan gambut adalah kedalaman air tanah (Crill et al., 1988; Moore dan Dalva, 1993; Bartlett dan Harriss, 1993). Air tanah yang dekat dengan permukaan gambut menciptakan kondisi anaerobik yang merupakan kondisi sangat baik untuk produksi CH4. Menurut Yang dan Chang (1998), produksi CH4 dalam kondisi anaerob 10 kali lebih besar daripada kondisi aerob,
80 dari 1 gram tanah umumnya memproduksi CH4 344,4 μg dalam kondisi anaerobik dan 33,8 μg dalam kondisi aerobik. Selain sistem drainase, sistem pengelolaan tanah dan tanaman seperti pengapuran dan pemupukan serta pengaturan tanaman pokok dan tanaman sela pada kebun kelapa sawit merupakan salah satu penyebab tidak terdeteksinya CH4 pada semua kebun kelapa sawit. Menurut Yang dan Chang (1998), sterilisasi tanah, kondisi aerobik, penambahan monosakarida, disakarida dan urea dapat mengakibatkan penurunan produksi metana, sedangkan meningkatnya suhu (Crill et al., 1988; Nyakanen et al., 1995), penambahan bahan organik dan penggenangan air dapat meningkat produksi metana. Penggenangan tanah dapat meningkatkan emisi CH4 beberapa kali lipat hingga mencapai 42,84 hingga 57,12 mg m-2h-1 (Przywara dan Stêpniewska, 2002), hal ini karena populasi dan aktivitas bakteri pengoksidasi metan meningkat selama penggenangan, tetapi menurun setelah pengeringan (Inubushi et al., 2003). Sifat bahan gambut seperti pH juga mempengaruhi aktivitas mikrob metanogen (Mosier et al., 1991). Metanogen tumbuh baik pada pH 6,5-7,5 (Mah dan Smith, 1981) dan produksi CH4 menurun jika pH tanah terlalu tinggi atau terlalu rendah (Wang et al., 1993). Derajat kemasaman gambut pada penelitian ini menunjukkan bahwa pH aktual (pH H2O) gambut berada pada kisaran 2,9 sampai dengan 3,9, sedangkan pH potensial (pH KCl) berkisar antara 2,3 sampai dengan 3,07, sehingga bukan merupakan pH optimum untuk perkembangan kehidupan metanogen. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa emisi CH4 banyak ditemukan pada tanah yang tergenang, hal ini menunjukkan pentingnya ebulusi dalam mekanisme emisi CH4. Memang secara umum gas seperti halnya CH4 dapat mencapai atmosfer dengan 3 proses yaitu difusi molekul dengan terlarutnya CH4, transport tanaman, dan ebulisi. Namun karena 60% akumulasi CH4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara (bubbles) bukan dalam bentuk terlarut, maka emisi CH4 lebih dominan melalui ebulusi (Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003).
81 4. Pengaruh Ketebalan Gambut terhadap Emisi CO2. Ketersediaan bahan gambut baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas (Sylvia et al., 1998), sehingga ketebalan gambut berpengaruh terhadap emisi CO2. Hasil pengukuran emisi CO2 pada masing-masing titik pengamatan berdasarkan ketebalan gambut disajikan pada Tabel 12. Evaluasi pengaruh ketebalan gambut dengan emisi CO2 dilakukan pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer dengan melihat hubungan keeratan antara kedua faktor tersebut. Analisis korelasi data antara hasil pengukuran emisi CO2 dengan ketebalan gambut dilakukan dengan SAS versi 9,1.
Jika analisis
dilakukan pada seluruh titik pengamatan tanpa membedakan transek, maka diperoleh diagram pencar yang tidak membentuk pola garis lurus antara emisi CO2 dengan ketebalan gambut baik untuk rhizosfer dan non rhizosfer (Gambar 40 dan 41). 100 -1
80
-1
Emisi CO2 (t ha th )
90 70 60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Ketebalan gambut (cm)
Ga
mbar 40. Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO2 di rhizosfer
-1
-1
Emisi CO2 (t ha th )
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Ketebalan gambut (cm)
Gambar 41. Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO2 di non rhizosfer
82 Hubungan antara kedua peubah tersebut tidak linier, karena nilai r lebih mendekati nol yaitu sebesar r=0,066 untuk rhizosfer dan r= -0,089 untuk non rhizosfer (Lampiran 75 dan 76). Tabel 13. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai ketebalan gambut. Tipe penggunaan
Lokasi
lahan/umur / transek Kelapa Sawit /10 th/ 1 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Kelapa Sawit /5 th/ 7
Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Puntong Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya Suak Raya
Titik pengamatan ke 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 1 2 3
Ketebalan gambut (cm) 150 120 150 165 200 238 320 140 140 335 188 174 195 387 450 225 188 247 385 424 188 174 195 387 450 142 163 170 190 215 238
Emisi CO2 (t ha-1 th-1) Non rhizosfer Rhizosfer 16,7795 24,6405 24,7497 28,7673 23,6947 25,7814 13,6297 18,8753 9,8983 16,8935 12,7269 15,4158 16,2042 16,3532 5,7633 6,4692 4,8714 28,3759 4,8695 30,3461 70,0847 87,1325 20,0737 37,0706 13,6905 42,6842 0,1450 27,8723 16,5227 38,0734 15,8871 17,8153 18,2393 27,1922 28,9473 38,8148 13,5333 21,9176 23,6470 30,3422 32,4569 42,7116 13,0954 15,9136 55,8499 78,1906 16,8393 17,9727 24,5346 36,1663 16,7801 19,0932 16,2536 17,6524 29,8807 31,0071 17,4539 17,6758 1,5868 24,4385 11,0816 64,6678
Karena hasil analisis secara keseluruhan tidak dapat menerangkan pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO2, maka evaluasi pengaruh ketebalan gambut didekati dengan melihat hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO2 pada masing-masing transek seperti pada Gambar 42 - 48.
83 35
-1
Emisi CO2 (t ha th )
30 y = -0,1597x + 48,071 R2 = 0,8801
-1
25 20 15 10
y = -0,1966x + 48,611 R2 = 0,7968
5 0 100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
210
Ketebalan gambut (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 42. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 1 pada berbagai ketebalan gambut 35 y = 0,034x + 11,417 R2 = 0,1038
-1
Emisi CO2 (t ha th )
30
-1
25 20
y = 0,0258x + 2,8366 R2 = 0,2128
15 10 5 0 120
145
170
195
220
245
270
295
320
345
370
Ketebalan gambut (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 43. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 2 pada berbagai ketebalan gambut.
-1
-1
Emisi CO2 (t ha th )
100 80 y = -0,0868x + 70,77 R2 = 0,2334
60 40
y = -0,1006x + 52,164 R2 = 0,2374
20 0 150
200
250
300
350
400
450
500
Ketebalan gambut (cm) Non rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Non rhizosfer)
Linear (Rhizosfer)
Gambar 44. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai ketebalan gambut.
84 45
-1
35
-1
Emisi CO2 (t ha th )
40
30
y = 0,009x + 26,525 R2 = 0,0111
25 20
y = -0,0132x + 18,191 R2 = 0,0246
15 10 5 0 175
200
225
250
275
300
325
350
375
400
425
450
Ketebalan gambut (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 45. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai ketebalan gambut 90
-1
70
-1
Emisi CO2 (t ha th )
80
60
y = -0,0589x + 54,612 R2 = 0,0923
50 40 30 20
y = -0,0443x + 40,896 R2 = 0,1143
10 0 150
200
250
300
350
400
450
500
Ketebalan gambut (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 46. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai ketebalan gambut y = 0,3115x - 26,732 R2 = 0,3834
30
-1
-1
Emisi CO2 (t ha th )
35
25 20 y = 0,3541x - 35,098 R2 = 0,4468
15 10 5 0 140
145
150
155
160
165
170
175
Ketebalan gambut (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 47. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai ketebalan gambut
85 70 y = 0,9688x - 172,04 R2 = 0,8381
-1
Emisi CO2 (t ha th )
60 -1
50 40 30 y = -0,14x + 40,051 R2 = 0,1772
20 10 0 180
190
200
210
220
230
240
250
Ketebalan gambut (cm) Non Rhizosfer
Rhizosfer
Linear (Rhizosfer)
Linear (Non Rhizosfer)
Gambar 48. Emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai ketebalan gambut Dari persamaan regresi pada transek 1, 3, 4, 5, dan 7 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan emisi CO2 semakin menurun dengan semakin meningkatnya ketebalan gambut. Hal ini disebabkan karena gambut dalam memiliki tingkat kesuburan yang lebih rendah daripada gambut dangkal, sehingga pada gambut dangkal dekomposisi akan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi pada gambut dalam. Pada transek 2 dan 6 emisi CO2 cenderung semakin meningkat dengan semakin meningkatnya ketebalan gambut. Hal ini diduga karena pola ketebalan gambut pada transek 2 memiliki variasi yang cukup drastis yakni pada titik pengamatan ke 3 dan 4 dari transek 2 mempunyai ketebalan gambut 140 cm sedangkan pada ketiga titik pengamatan lainnya dalam transek yang sama memiliki gambut yang lebih dalam (238 – 335). Sedangkan gambut pada transek 6 tergolong gambut yang sangat dangkal (142 - 170 cm), sehingga memungkinkan dekomposisi masih terus meningkat hingga ketebalan gambut 170 cm. Tingginya laju proses dekomposisi akan membawa akibat besarnya emisi CO2. 5. Evaluasi Emisi CO2 Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit Umur tanaman kelapa sawit pada penelitian ini mencerminkan lamanya pengelolaan kebun kelapa sawit. Untuk mengetahui pengaruhnya terhadap emisi CO2 dilakukan evaluasi data emisi CO2 non rhizosfer yang dikelompokkan berdasarkan umur tanaman dan dikelompokkan lagi berdasarkan jarak dari
86 drainase. Umur tanaman di lahan gambut pada penelitian terdiri dari 3 yaitu: tanaman kelapa sawit berumur 1 tahun di desa Cot Gajah Mati, kelapa sawit berumur 5 tahun di desa Suak Raya, dan kelapa sawit berumur 10 tahun di desa Suak Puntong dan Suak Raya. Evaluasi pengaruh umur terhadap emisi CO2 disajikan pada Gambar 50.
50
-1
-1
Emisi CO2 (t ha th )
60
40 KS 1 th
30
KS 5 th
20
KS 10 th
10 0 1
2
3
Titik pengamatan KS 10 th
KS 5 th
4
5
KS 1 th
Gambar 49. Emisi CO2 pada kebun kelapa sawit berdasarkan umur Tanaman. Tingginya emisi CO2 pada kebun kelapa sawit umur 1 tahun diduga disebabkan karena lahan gambut tersebut terletak di desa Cot Gajah Mati yang merupakan hutan baru dibuka untuk budidaya tanaman kelapa sawit. Pembukaan hutan dilakukan dengan teknik pembakaran hutan, sehingga emisi CO2 lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran kadar air ternyata gambut desa Cot Gajah Mati lebih tinggi dibandingkan dengan gambut desa Suak Puntong dan Suak Raya. Gambut demikian tergolong pada gambut yang tingkat stabilitas gambut rendah, sehingga mudah terjadi kehilangan C gambut.
Riwandi (2002)
melaporkan bahwa kehilangan C-organik pada gambut yang didominasi oleh bahan Fibrik > hemik > saprik, sehingga stabilitas gambut fibrik paling rendah. Kebun kelapa sawit umur 5 tahun mempunyai emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit umur 10 tahun.
Hal ini diduga karena
pengelolaan kebun yang berbeda pada kedua lahan tersebut. Pengelolaan kebun kelapa sawit di desa Suak Raya yang merupakan tanaman kelapa sawit umur 5 tahun sudah lebih baik dibandingkan dengan kebun kelapa sawit di desa Suak Puntong yang merupakan kelapa sawit umur 10 tahun. Setelah tsunami, kebun
87 kelapa sawit umur 5 tahun sudah diberi kapur setahun sekali dengan menambahkan fosfat alam, pemupukan sudah dilakukan secara rutin (aplikasi pupuk nitrogen dua kali setahun sedangkan pupuk P dan K hanya satu kali setahun) walaupun dosis yang diberikan tidak konstan, dan sudah dilakukan pemangkasan tandan tua dan tanaman sela secara rutin. Penambahan bahan kapur akan meningkatkan pH tanah, sehingga total dan aktivitas mikrob lebih meningkat. Demikian juga dengan penambahan pupuk N, P, K akan meningkatkan ketersediaan unsur hara baik untuk tanaman maupun untuk kehidupan mikrob dalam tanah. Hal ini menyebabkan tingginya emisi CO2 di kebun kelapa sawit umur 5 tahun. 6. Evaluasi Emisi CO2 pada tiga Tipe Penggunaan Lahan Evaluasi ini dilakukan terhadap data emisi CO2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), dibandingkan dengan emisi CO2 semak dan hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang).
Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa emisi CO2 pada musim hujan (Oktober – November 2008) di vegetasi semak lebih tinggi daripada emisi CO2 di hutan maupun di kebun kelapa sawit, namun emisi CO2 di kebun kelapa sawit dapat lebih tinggi atau lebih rendah daripada emisi CO2 di hutan, tergantung pada kedalaman muka air tanah atau posisi titik pengamatan dari saluran drainase utama dan ketebalan gambut (Tabel 10) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 50 dan Gambar 51.
Hal ini
menunjukkan bahwa praktek penggunaan lahan gambut untuk pertanian memiliki dampak yang besar terhadap emisi CO2 dari permukaan tanah, seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu (Smith et al., 2000; Houghton, 2002; Melling et al., 2005b; Liu et al., 2008). Rendahnya emisi CO2 dari kebun kelapa sawit Desa Suak Raya transek 6 dan 7 dibandingkan dengan emisi CO2 dari hutan disebabkan karena rendahnya muka air tanah (39 - 52 cm dari permukaan gambut) dan sangat dangkalnya gambut pada transek tersebut yaitu kurang dari 2 m. Sedangkan pada gambut dengan ketebalan antara 2 - 4 m dan muka air tanah lebih dalam (43 - 60 cm dari permukaan gambut) seperti di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya transek 3, 4, dan 5 merupakan kondisi yang memicu besarnya produksi CO2 di dalam tanah, sehingga emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2 dari hutan yang
88 memiliki ketebalan gambut lebih dari 9 m dan muka air tanah 36 - 53 cm dari permukaan gambut. -1
-1
Emisi CO2 (t ha th ) 0
20
40
60
80
100
120
Kedalaman muka air tanah (cm))
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Kebun kelapa Sawit
Gambar 50.
Hutan Simpang
Semak Simpang
Emisi CO2 di tiga tipe penggunaan lahan gambut pada berbagai kedalaman muka air tanah. -1
-1
Emisi CO 2 (t ha th ) 0
20
40
60
80
100
120
Ketebalan gambut (cm))
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Kebun kelapa Sawit
Gambar 51.
Semak Simpang
Hutan Simpang
Emisi CO2 di tiga tipe penggunaan lahan pada berbagai ketebalan gambut.
Drainase pada lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berakibat pada percepatan subsiden terutama pada lapisan atas gambut, sehingga kondisi fisik bahan gambut berubah. Selain itu terjadi juga percepatan dekomposisi.
Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun kelapa
sawit dengan berbagai pengelolaan yang diterapkan untuk mengoptimalkan produksi kelapa sawit mempunyai kontribusi terhadap meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drainase di ekosistem gambut untuk tujuan agribisnis akan berdampak pada keseimbangan global C.
89 Meningkatnya oksidasi bahan organik pada kondisi aerob akibat drainase akan merubah peranan gambut sebagai C sink menjadi C source.
Hasil
pengukuran emisi CO2 dari gambut tropik sangat tinggi variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai di konversi yang berkaitan erat dengan tingkat humifikasi, variasi tempat atau perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara, status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pendapat. Melling et al. (2004) melaporkan bahwa alih guna lahan gambut untuk kelapa sawit dan sagu dapat menurunkan emisi CO2. Potensial pemanasan global dari hutan gambut lebih besar (7850 g CO2 m-2 th-1) daripada ekosistem kelapa sawit (5706 g CO2 m2
th-1) dan ekosistem sagu (4233 g CO2 m-2 th-1). Tingginya potensial pemanasan
global di ekosistem hutan disebabkan oleh tingginya respirasi tanah (7817 g CO2 m-2 th-1), respirasi di ekosistem sagu dan kelapa sawit masing-masing 4074 g CO2 m-2 th-1 dan 5652 g CO2 m-2 th-1. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Wagai et al. (1998) dan Davidson et al. (2000), tetapi berbeda dengan hasil penelitian Inubushi et al. (2003). Hirano et al. (2007) menyatakan bahwa emisi CO2 hutan gambut lebih besar daripada perkebunan kelapa sawit karena (1) tingkat humifikasi dari lapisan gambut dan (2) tingginya respirasi akar akibat banyaknya biomas di belowground pada hutan daripada di perkebunan Kesimpulan Dari serangkaian evaluasi yang dilakukan terhadap hasil pengukuran emisi CO2 dan CH4 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Emisi CO2 pada musim hujan cenderung lebih tinggi daripada emisi
CO2 musim kemarau di kebun kelapa sawit Suak Raya dan Cot Gajah Mati. 2. Alat kromatografi gas lebih layak digunakan untuk mengetahui emisi CO2 daripada metode titrasi. 3. Pola hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air pada masing-masing transek adalah semakin meningkat kedalaman muka air tanah, maka emisi CO2 semakin bertambah kecuali transek 4 dan 6.
90 4. Pola hubungan antara emisi CO2 dengan ketebalan gambut pada masing-masing transek adalah semakin dalam gambut, emisi CO2 semakin menurun. 5. Emisi CH4 pada hutan Cot Gajah Mati menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah hingga tidak terdeteksi pada kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut. 6. Emisi CO2 di daerah rhizosfer tanaman kelapa sawit lebih besar
daripada emisi CO2 di non rhizosfer. 7. Terdapat kecenderungan emisi CO2 pada kebun kelapa sawit yang
berumur 1 th > umur 5 th > umur 10 th. 8. Emisi CO2 berbeda tergantung pada tipe penggunaan lahan gambut, emisi CO2 pada semak > Hutan.
PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO2, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons fluks CO2 tidak sama yakni tergantung pada tingkat kematangan gambut. Meningkatnya respirasi akibat penambahan pupuk urea disebabkan karena adanya percepatan laju aktivitas mikrob dengan cukup tersedianya sumber energi sumbangan dari pupuk urea. Tersedianya sumber energi ini dibuktikan dengan menurunnya nisbah C/N dengan penambahan urea hingga 16 g/100 g tanah. Dengan meningkatnya dosis urea terjadi penurunan nisbah C/N dari 170 menjadi 33 untuk gambut fibrik, dari 154 menjadi 25 untuk gambut hemik, dan dari 89 menjadi 18 untuk gambut saprik. Penurunan nisbah C/N ini merupakan akibat dari menurunnya C-organik tanah (55,7 menjadi 53,4%) dan meningkatnya kandungan N tersedia tanah (0,4 menjadi 2,6%) pada proses dekomposisi yang dipacu lebih cepat dengan penambahan urea.
Nilai nisbah C/N ini akan
menunjukkan kualitas dari bahan organik tanah dan adanya potensial mineralisasi N atau immobilisasi N. Nisbah C/N juga merupakan indikator tingkat dekomposisi bahan gambut. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO2 hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 53.
-1
Fluks CO2
-1
(mg CO2 kg tanah hari )
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Nisbah C/N Fibrik
Hemik
Saprik
Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO2.
200
92 Dari Gambar 52 jelas terlihat bahwa fluks CO2 tertinggi baik gambut fibrik, hemik maupun saprik berada pada nisbah C/N 20-40, karena pada nilai nisbah ini sudah terjadi mineralisasi N sehingga memacu aktivitas dan jumlah populasi mikrob. Pada nisbah C/N lebih tinggi, fluks CO2 semakin rendah. Meningkatnya
total
populasi
mikrob
juga
dapat
menyebabkan
meningkatnya fluks CO2 hasil respirasi bahan gambut. Hasil percobaan menunjukkan adanya peningkatan total populasi mikrob dengan penambahan urea 1 g/100 g gambut. Hasil perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa meningkatnya respirasi akibat pemupukan urea tersebut dapat mencapai 10 kali setelah gambut diinkubasi selama satu minggu, namun respons tersebut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan dosis pupuk urea. Hasil percobaan laboratorium ini merupakan dasar untuk memprediksi adanya peningkatan fluks CO2 dari lahan gambut dengan penambahan pupuk urea, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk skala penelitian lapang. Dalam penerapan penelitian lapang tersebut hendaknya berlandaskan hasil analisis beberapa karakteristik bahan gambut yang telah diperoleh dari penelitian ini. Karakteristik sifat fisiko kimia gambut ini berasal dari tiga lokasi gambut di desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut. Emisi CO2 dan CH4 tidak dapat dihindarkan dalam budidaya tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan. Selama masa budidaya tanaman kelapa sawit, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi disebabkan berlangsungnya proses dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. Pembuatan drainase pada pembukaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sangat penting untuk membuang kelebihan air, mencuci sebagian asam-asam organik, dan menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, karena tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh pada tanah dengan kandungan kadar air tinggi apalagi jenuh air. Fauzi et al. (2006) menjelaskan bahwa perakaran kelapa sawit sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah, sedangkan akar sekunder, tertier dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air
93 tanah. Sistem perakaran paling banyak ditemukan pada kedalaman 0-20 cm. Saluran drainase yang biasa dibuat untuk tanaman kelapa sawit sedalam 50-80 cm. Kedalaman drainase ini sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi gambut. Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun. Data pengukuran emisi CO2 pada penelitian ini sama seperti yang dikutip dari kebanyakan penelitian lain merupakan data dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan gambaran emisi sesaat, sehingga dapat lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Besarnya angka emisi sangat bervariasi antar berbagai penelitian. Penelitian Furukawa et al. (2005) pada tanah gambut di daerah Jambi dengan kedalaman drainase 24 cm menemukan emisi CO2 sebesar 64 t ha-1 th-1, sedangkan Ali et al. (2005) menyatakan fluks CO2 di daerah pertanian Jambi dengan kedalaman drainase 78 cm sebesar 77 t ha-1 th-1, kemudian Melling et al. (2005a) menyatakan fluks CO2 di perkebunan kelapa sawit Serawak (Malaysia) dengan kedalaman drainase 60 cm sebesar 55 t ha-1 th-1 dan menurut Murayama dan Bahar (1996), fluks CO2 di perkebunan kelapa sawit Johor Barat (Malaysia) dengan kedalaman drainase 80 cm sebesar 54 t ha-1 th-1. Pengukuran emisi GRK jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut ini. Pada penelitian ini, besarnya emisi CO2 sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah. Hasil pengamatan pada bulan Oktober-Novermber 2008 menunjukkan bahwa pada saat kedalaman muka air tanah berkisar antara 3986 cm, emisi CO2 di rhizosfer berkisar antara 6 - 87 t ha-1 th-1 (rata-rata 30,53 ± 17,94 t ha-1 th-1), sedangkan di non rhizosfer berkisar antara 0,1 – 70 t ha-1 th-1 (rata-rata 19,02 ± 14,22 t ha-1 th-1). Nilai emisi CO2 pada penelitian ini mendekati angka perkiraan emisi CO2 dari dekomposisi gambut yang ditanami kelapa sawit yang diusulkan oleh Germer dan Sauerborn (2008) yaitu sebesar 31,4 ± 14,1 t ha-1 th-1. Hooijer et al. (2006) dari review sejumlah literatur mengemukakan bahwa untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi CO2 akan meningkat setinggi 0,91 t ha-1 th-1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1
94 cm, sehingga apabila kedalaman muka air tanah 40-80 cm, maka emisi CO2 berkisar antara 36,4-72,8 t ha-1 th-1. Peningkatan emisi CO2 pada gambut tropik lebih tajam dibandingkan dengan gambut beriklim sedang dan gambut kutub. Hal ini diduga karena tingginya rata-rata dekomposisi pada gambut tropik yang memiliki iklim panas dan curah hujan tinggi. Pada penelitian ini menunjukkan hasil bahwa nilai korelasi antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 tidak selalu linier positif pada semua kisaran kedalaman muka air tanah. Pada penelitian ini ditemukan tiga pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 (Gambar 53) yaitu: 1. Pola 1 (pola paling dominan): semakin dalam muka air tanah, emisi CO2 semakin meningkat. Pada pola ini titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan titik pengamatan yang lebih jauh dari saluran drainase, karena titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah lebih dalam.
Pola hubungan ini umumnya terjadi pada lahan
pertanian baru disertai dengan pembuatan drainase yang didominasi oleh gambut fibrik. Drainase baru ini secara drastis menyebabkan menurunnya permukaan air tanah, terjadinya subsiden pada permukaan gambut dan mulai terjadi emisi CO2 (Hooijer et al., 2006). Emisi CO2 akan meningkat sejalan dengan semakin dalamnya muka air tanah akibat banyaknya air tanah yang hilang ke saluran drainase, sehingga tercipta kondisi oksidatif yang memacu proses dekomposisi. Lahan gambut yang didominasi oleh gambut fibrik memiliki stabilitas rendah dan kadar air relatif tinggi, sehingga kehilangan C pada gambut ini lebih tinggi daripada gambut lebih matang. Pengaruh drainase ini berbeda dengan gambut yang sudah lama untuk budidaya kelapa sawit. Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 di lahan gambut Cot Gajah Mati mengikuti pola 1. 2. Pola 2: muka air tanah semakin dalam, emisi CO2 semakin menurun. Pola ini dapat terjadi pada lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk kebun kelapa sawit yang disertai dengan pendalaman saluran drainase. Lahan gambut pada kondisi seperti ini subsiden sudah lebih stabil, permukaan gambut didominasi oleh gambut hemik dan saprik sehingga
95 emisi CO2 yang dihasilkan tidak meningkat dengan semakin dalamnya muka air tanah, bahkan terjadi sebaliknya. Menurunnya emisi CO2 dengan semakin dalamnya muka air tanah karena gas CO2 hasil proses dekomposisi dari bahan gambut yang lebih matang jauh lebih sedikit daripada gambut mentah. 3. Pola 3: muka air tanah semakin dalam, tidak menyebabkan perubahan terhadap emisi CO2. Pola ini terjadi pada gambut yang didominasi oleh senyawa-senyawa yang telah inert seperti quinon sehingga tidak terbentuk gas CO2, karena proses dekomposisi sudah berakhir. -1
-1
Emisi CO2 (t ha th ) 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 5 10
Kedalaman muka air tanah (cm))
15 20 25
Pola 1
30 35 40 45
Pola 3
Pola 2
50 55 60 65 70 75 80 85 90
Pola 1
Pola 2
Pola 3
Gambar 53. Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 Dari kajian pengaruh faktor-faktor di lapang yang mempengaruhi emisi CO2 dan CH4, nampak jelas bahwa kedalaman muka air tanah sangat
96 mempengaruhi dinamika emisi CO2 dan CH4. Dari hasil pengukuran emisi CO2 dan CH4 dari seluruh lokasi penelitian dengan berbagai kedalaman muka air tanah dapat diketahui bahwa emisi CH4 tidak terdeteksi pada permukaan gambut (kedalaman muka air tanah 0 cm) namun emisi CO2 mencapai 11,903 t ha-1 th-1. Emisi CH4 meningkat dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah sampai 18 cm, namun setelah itu terjadi penurunan bahkan sudah tidak terdeteksi pada kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut. Hal ini berkaitan erat dengan kepadatan populasi bakteri metanogen yang jauh lebih sedikit daripada bakteri metanotrop pada bahan gambut di atas rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al., 1997) seperti yang dilustrasikan pada Gambar 54. Kepadatan populasi organisme
K e d a l a m a n
Permukaan vegetasi. Bakteri metanotropik. Tinggi air rata-rata.
Bakteri metanogen.
Gambar 54. Skema profil kedalaman yang menunjukkan distribusi komonitas bakteri metanogen (penghasil CH4) dan bakteri metanotrop (konsumsi CH4) dalam hubungannya dengan rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al.,1997). Alexander (1977) menjelaskan bahwa laju pembentukan CH4 secara akumulatif ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil CH4 dan lingkungannya. Metanogen membutuhkan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada temperatur 30-40oC. Bakteri metanogen hanya dapat hidup pada kondisi anaerob dan sangat sensitif bila ada oksigen, walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Metana
yang
dihasilkan oleh aktivitas metanogen melalui proses reduksi CO2 atau fermentasi asetat ini akan dilepaskan dari zone reduktif ke atmosfer baik melalui tiga proses difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman.
97 Pada penelitian ini emisi CH4 mulai terdeteksi pada kedalaman muka air tanah 4 cm dari permukaan gambut. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Francez et al. (2000) bahwa pada lapisan atas (0-10 cm) tidak terjadi produksi CH4. Produksi CH4 mulai terjadi pada lapisan gambut kedalaman 10-20 cm dan 65-75 cm, namun rendah yaitu antara 6 x 10–3 dan 53 x 10–3 μg C g–1d–1. Dengan memperhatikan fenomena pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap dinamika emisi CO2 dan CH4 tersebut, maka pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan kunci dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha untuk melestarikan lingkungan. Dalam kondisi tergenang (muka air tanah pada permukaan gambut) kelapa sawit tidak mampu beradaptasi tumbuh, sehingga pembuatan drainase yang menentukan kedalaman muka air tanah merupakan keharusan untuk budidaya kelapa sawit di lahan gambut. Dari hasil penelitian ini ternyata pada kedalaman 4-18 cm disamping akan muncul emisi CH4 sebesar 0,078 - 4,525 t ha-1th-1 dengan rata-rata 1,336 ± 1,63 t ha-1 th-1, juga akan muncul emisi CO2 sebesar 3,194- 32,403 t ha-1 th-1 dengan rata-rata 16,364 ± 11,50 t ha-1 th-1. Sedangkan pada kedalaman muka air tanah di atas 34 cm hanya emisi CO2 saja yang terdeteksi. Jadi secara alami produksi CH4 dan CO2 pada lahan gambut merupakan proses yang tak terhindarkan. Munculnya kedua gas tersebut sangat berpengaruh terhadap potensi pemanasan global (global warming potential/ GWP). Potensi pemanasan global ini dapat dihitung dari hasil kali total fluks masing-masing gas terhadap indeks GWPnya. Menurut IPCC (2001), indeks GWP untuk CO2 dan CH4 masing-masing sebesar 1 dan 23. Semakin besar nilai indeks GWP semakin besar potensinya untuk menyebabkan pemanasan global. Perhitungan GWP dari kedua gas tersebut secara simultan digunakan sebagai dasar trade off keduanya untuk menyusun teknik budidaya kelapa sawit di lahan gambut yang diharapkan mampu meminimalkan potensi dampak negatif terhadap lingkungan. Pengelolaan kedalaman muka air tanah diharapkan akan meminimalisasi munculnya fluks CH4 dan mengurangi suasana oksidatif yang dapat mempercepat laju dekomposisi bahan organik yang akan menghasilkan gas CO2 sehingga diperoleh satu titik pertemuan kedalaman muka air tanah yang menyebabkan emisi CO2 dan CH4 terkecil.
98 Berdasarkan metode perhitungan ini, maka nilai GWP pada kedalaman muka air tanah 4-18 cm sebesar 1,785- 104,086 t CO2 ha-1 th-1 (rata-rata 22,995 t CO2 ha-1 th-1), nilai GWP untuk kedalaman muka air tanah 34 cm sebesar 4,877 t CO2 ha-1 th-1, sedangkan nilai GWP untuk kedalaman muka air tanah 34-86 cm hanya berasal dari fluks CO2 saja yaitu berkisar antara 0,145- 70,085 t ha-1 th-1 (rata-rata fluks 21,284 t CO2 ha-1 th-1). Dengan demikian, kedalaman muka air tanah pada 34 cm merupakan jumlah minimum total emisi C dari lahan gambut pada lokasi penelitian. Pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Kegiatan ini berkaitan erat dengan permasalahan efisiensi dalam pembuatan drainase. Tujuan utama
pembuatan
drainase
adalah
untuk
menciptakan
kondisi
yang
memungkinkan tanaman kelapa sawit dapat tumbuh, berkembang, dan berproduksi baik di lahan gambut. Oleh karena itu pembuatan drainase sebaiknya dibuat secara bertahap disesuaikan dengan umur tanaman kelapa sawit. Pada awal pembukaan gambut belum tentu harus disertai dengan pembuatan drainase sedalam 2 m karena awal pertumbuhan baru terbentuk akar primer tanaman di permukaan atas lahan gambut. Peranan tata air yang baik memang sangat diperlukan pada lahan gambut agar dapat mencegah kehilangan C melalui emisi CO2 sebagai hasil dekomposisi apabila berada dalam suasana oksidatif dan melalui emisi CH4 dalam suasana reduktif. Disamping itu, kehilangan C bisa terjadi melalui drainase air gambut dan terbentuknya pasir semu.
Menurut
Yulianti (2009), pada gambut yang berada di atas permukaan dengan ketebalan 2 cm cenderung terbentuk pasir semu karena mengalami pengeringan yang intensif akibat drainase dan penyinaran matahari. Jumlah C yang hilang dari pasir semu relatif kecil dan peluang untuk terjadinya emisi CO2 pada pasir semu sangat kecil dibandingkan dengan laju erosi yang mungkin terjadi. Hasil penelitian dengan memasukkan 3 buah akar ke dalam sungkup permanen menunjukkan bahwa emisi CO2 di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer. Perhitungan lebih lanjut dari data emisi CO2 rhizosfer dan non rhizosfer menunjukkan bahwa emisi CO2 dari daerah rhizosfer dapat mencapai 4 kali lebih besar daripada daerah non rhizosfer (Gambar 55).
99 200 180
140
-1
-1
Emisi CO2 rhizosfer ( t ha th )
160
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80 -1
100
-1
Emisi CO2 non rhizosfer (t ha th )
Gambar 55. Hubungan antara fluks CO2 di rhizosfer dan non rhizosfer Tingginya fluks CO2 di rhizosfer ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu mengubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999). Rhizosfer mempunyai lingkungan yang memungkinkan untuk berkembangnya banyak organisme (Bowen dan Rovina, 1991; Peterson, 2003) maka banyak proses yang terjadi pada akar/permukaan tanah yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatnya kapasitas fungsi tanah untuk pertumbuhan tanaman dan buffer lingkungan (Gregory dan Hinsinger, 1999). Aktivitas mikrob meningkat sebagai akibat tingginya konsentrasi nutrisi, C-labil, dan eksudat akar di sekitar daerah perakaran (Kuzyakov et al., 2000; Subke at al., 2004; Hamer dan Marschner, 2005). Dengan demikian produksi CO2 yang merupakan resultante dari respirasi mikroorganisme dan respirasi akar di rhizosfer lebih tinggi daripada non Rhizosfer. Respirasi rhizosfer ini sangat berkorelasi dengan respirasi akar dan aerasi akar, sehingga mempengaruhi terjadinya oksidasi CH4 menjadi fluks gas CO2 sebelum mencapai permukaan tanah. Namun mekanisme dua arah proses emisi gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi.
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Dari serangkaian kajian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1
Beberapa karakteristik tanah gambut Meulaboh, Aceh Barat adalah pH H2O=2,9-3,9 dan pH KCl= 2,23-3,07, kadar air tergantung pada tingkat kematangan gambut (gambut fibrik = 539,9-1187,4%, hemik = 268,5479,8%, dan saprik =105,7-242,5%), kadar abu 1,8-5,9%, kandungan Corganik 53,4-57,6%, kandungan bahan organik 94,1-98,1%, kandungan kemasaman total gambut 4,2-6,4 me g-1, kandungan COOH 0,02-0,16 me g-1 dan kandungan fenolat-OH 4,2-6,2 me g-1.
2
Aplikasi urea pada bahan gambut dengan dosis 0,25-4 g/100 g gambut memberi kontribusi terhadap peningkatan fluks CO2.
3
Evaluasi terhadap data emisi CO2 menunjukkan bahwa: a. Terdapat kecenderungan emisi CO2 musim hujan lebih besar daripada musim kemarau. b. Terdapat kecenderungan emisi CO2 pada kebun kelapa sawit umur 1 tahun > umur 5 tahun > 10 tahun. c. Emisi CO2 di rhizosfer dapat mencapai 4 kali lebih besar daripada emisi CO2 di non rhizosfer. d. Terdapat kecenderungan emisi CO2 semakin menurun dengan semakin tebal gambut e. Tipe penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2.
4
Pada umumnya, semakin dalam muka air tanah, emisi CO2 semakin meningkat, namun dijumpai juga pola hubungan sebaliknya dan pola lain dimana emisi CO2 tidak bergantung pada kedalaman muka air tanah. Untuk emisi CH4, semakin dalam muka air tanah, jumlahnya semakin menurun.
101 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang diajukan adalah: 1. Perlu dikaji lebih lanjut pengaruh pemupukan urea terhadap fluks CO2 di lahan gambut. 2. Untuk meminimalkan efek gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dan kehilangan cadangan karbon (C-stock), dalam pengembangan agribisnis kelapa sawit di lahan gambut harus memperhatikan kaidah-kaidah konservasi diantaranya kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut.
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Dari serangkaian kajian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1
Beberapa karakteristik tanah gambut Meulaboh, Aceh Barat adalah pH H2O=2,9-3,9 dan pH KCl= 2,23-3,07, kadar air tergantung pada tingkat kematangan gambut (gambut fibrik = 539,9-1187,4%, hemik = 268,5479,8%, dan saprik =105,7-242,5%), kadar abu 1,8-5,9%, kandungan Corganik 53,4-57,6%, kandungan bahan organik 94,1-98,1%, kandungan kemasaman total gambut 4,2-6,4 me g-1, kandungan COOH 0,02-0,16 me g-1 dan kandungan fenolat-OH 4,2-6,2 me g-1.
2
Aplikasi urea pada bahan gambut dengan dosis 0,25-4 g/100 g gambut memberi kontribusi terhadap peningkatan fluks CO2.
3
Evaluasi terhadap data fluks CO2 menunjukkan bahwa: a. Terdapat kecenderungan fluks CO2 musim hujan lebih besar daripada musim kemarau. b. Terdapat kecenderungan fluk CO2 pada kebun kelapa sawit umur 1 tahun > umur 5 tahun > 10 tahun. c. Fluks CO2 di rhizosfer dapat mencapai 4 kali lebih besar daripada fluks CO2 di non rhizosfer. d. Terdapat kecenderungan fluk CO2 semakin menurun dengan semakin tebal gambut e. Tipe penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya fluks CO2.
4
Pada umumnya, semakin dalam muka air tanah, fluks CO2 semakin meningkat, namun dijumpai juga pola hubungan sebaliknya dan pola lain dimana fluks CO2 tidak bergantung pada kedalaman muka air tanah. Untuk fluks CH4, semakin dalam muka air tanah, jumlahnya semakin menurun.
101 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang diajukan adalah: 1. Perlu dikaji lebih lanjut pengaruh pemupukan urea terhadap fluks CO2 di lahan gambut. 2. Untuk meminimalkan efek gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dan kehilangan cadangan karbon (C-stock), dalam pengembangan agribisnis kelapa sawit di lahan gambut harus memperhatikan kaidah-kaidah konservasi diantaranya kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut.
DAFTAR PUSTAKA Aerts R, Caluwe H. 1999. Nitrogen deposition effects on carbon dioxide and methane emissions temperete peatland soils. Oikos. 84 (1): 44-54. Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. New York: John Wiley and Sons Inc. Allen LH et al. 2003. Methane emissions of rice increased by elevated carbon dioxide and temperatur. Environ. Qual. 32:1978-1991 Ball BC, Dobbie KE, Parker JP, Smith KA. 1997. The influence of gas transport and porosity on methane oxidation in soils. Journal of Geophysical Research. 102: 23301–23308. Barchia MF. 2006. Gambut: Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 196 hlm. Bartlett KB, Harriss RC. 1993. Review and assessment of methane emissions from wetlands. Chemosphere. 26: 261–320. Beverland J, Moncrieff JB, Oneill DH, Hargreaves KJ, Milnez R. 1996. Measurement of methane and carbon dioxide fluxes from peatland ecosystems by the conditional-sampling technique. Q. J. R. Meteorol. Soc. 122: 819-838 Belyea LR, Clymo RS. 2001. Feedback control of the rate of peat formation. Proceedings of the Royal Society London B. 268: 1315–21. Berglund. 1995. Properties of cultivated gyttja soils. International pcat 3umd. 6: 5-23. Bergman I, Stevensson BOH, Nilsson M. 1997. Regulation of methane production in a swedish acid mire by pH, temperatur, and substrat. Soil Biol. and Biochem. 34: 729-741. Bowen GD, Rovira AD. 1991. Are modelling approaches useful in rhizosphere biology. Bull. Ecol. Res. Comm. Stockholm 17. 443–450 Bridgham SD, Richardson CJ. 1992. Mechanisms controlling soil respiration CO2 and CH4 in southern peatlands. Soil Biology and Biochemistry. 24: 1089– 1099. Cai ZC et al. 1997. Methane and nitrous oxide emissions from rice paddy fields as affected by nitrogen fertilizers and water management. Plant Soil. 196:7– 14 Chang HL, Yang SS. 1997. Measurement of methane emission from soil. J. Chinese Agric, Chem.Soc. 35: 475-484. Clymo RS. 1984. The limits to peat bog growth. Phil. Trans. R. Soc. London B 303: 605–654. Crill PM et al. 1988. Methane flux from Minnesota peatlands. Global Biogeochemical Cycles. 2: 371–384.
104 Cristensen TR, Jonasson S, Callaghan TV, Havstrom M. 1999. On the potential CO2 release from tundra soils in a changing climate. Appl. Soil Ecol. 11: 127-134. Darrah PR. 1993. Models of the rhizosphere. I: Microbial population dynamics around a root releasing soluble and insoluble carbon. Plant Soil. 133: 187– 199. Davidson EA, Verchot LV, Cattanio H, Ackerman IL, Carvalho JEM. 2000. Effects of soil water content on soil respiration in forests and cattle pastures of eastern Amazonia. Biogeochemistry. 48: 53–69. Donnaura M, Jomura M. 2005. Measurements of root respiration before and after forest fire-evaluation of the role of root in soil respiration. http://www.ars.usda.gov/research/publication.htm. [23-1-2008] Ehhalt DH, Schmidt U. 1978. Source and sink of atmospheric methane. Pure Appl. Geophys. 116: 452-464. Ekberg A, Buchmann N, Gleixner G. 2007. Rhizospheric influence on soil respiration and decomposition in a temperate Norway spruce stand. Soil Biol and Biochem. 39: 2103-2110. Fauzi Y, Widyastuti YE, Satyawibawa I, Hartono R. 2006. Kelapa Sawit; Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta. I68 hlm. Flessa H, Wild U, Klemisch M, Padenhauer J. 1998. Nitrous oxide and methane fluxes from organic soils under agriculture. European Journal of Soil Science. 49: 327–335. Flessa H et al. 2002. Integrated evaluation of greenhouse gas emissions (CO2, CH4 and N2O) from two farming systems in Southern Germany. Agric Ecosyst Environ. 91: 175–189 Francez AJ, Gogo S, Josselin N. 2000. Distribution of potential CO2 and CH4 productions, denitrification and microbial biomass C and N in the profile of a restored peatland in Brittany (France). Eur. J. Soil Biol. 36: 161−168. Garcia JL, Patel BKC, Ollivier B. 2000. Taxonomic, phylogenetic, and ecological diversity of methanogenic Archaea. Anaerobe. 6: 205–226. Germer J, Sauaerborn J. 2008. Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance. Environ. Development Sustainability 10: 697-716. Goodwin S, Conrad R, Zeikus JG. 1988. Influence of pH on microbial hydrogen metabolism in diverse sedimentary environments. Applied and Environmental Microbiology. 54: 590–593. Gorham E. 1991. Northern peatland: role in carbon cycle and probable responses to climate warning. Ecological Applications 1: 182-195. Granberg G, Sundh I, Svensson BH, Nilsson M. 2001. Effects of increased temperature, and nitrogen and sulfur deposition, on methane emissions from a boreal mire. Ecology. 82: 1982–1988.
105 Gregory PJ, Hinsinger P. 1999. New approaches to studying chemical and psysical changes in the rhizosphere: an overview. Plant and Soil. 211: 1-9. Hamer U, Marschner B. 2005. Priming effects in soils after combined and repeated substrate additions. Geoderma. 128: 38–51 Haraguchi A, Kojima H, Hasegawa C, Takahashi Y. 2002. Decomposition of organic matter in peat soil in a minerotrophic mire. European Journal of Soil Biology. 38: 89−95. Hendriks DMD, Schrier AP, Kroon PS. 2007. The effects of vegetation and soil on methane emissions in a natural fen meadow in the Netherlands. In Proceedings of the first International Symposium on Carbon in Peatlands. 15-18 April 2007, Wageningen, The Netherlands. 141 pp. Hilbert DW, Roulet NT, Moore T. 2000. Modelling and analysis of peatlands as dynamical systems. Journal of Ecology. 88: 230–242. Hinsinger P et al. 2005. Rhizosphere- a challenging environment for the acquistion of nutrients and trace elements by plant roots. In Li, C.J. et al. (eds), plant nutrition for food security, human health and environmental protection: 40-41. Tsinghua University Press. Hirano T et al. 2007. Carbon dioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia. Global Change Biology. 13:1-14 Hogg EH, Lieffers VJ, Wein RW. 1992. Potential carbon losses from peat profiles: effects of temperature, drought cycles, and fire. Ecological Applications. 2: 298–306. Hooijer A, Silvius M, Wosten, H. Page S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Wageningen: Delft Hydraulics report Q3943. Hou AX, Chen GX, Wang ZP, Van Cleemput O, Patrick WH Jr. 2000. Methane and nitrous oxide emissions from a rice field in relation to soil redox and microbiological processes. Soil Sci. Soc. Am. J. 64: 2180-2186. Ikkonen E, Kurets V. 2002. The effect of drainage on CO2 production in peat soils of boreal zone. 17th WCSS, 14-21 August 2002, Thailand. Symposium no 45 paper no 143. Inubushi K, Furukawa Y, Hadi A, Purnomo E, Tsuruta H. 2003. Seasonal changes of CO2, CH4 and N2O fluxes in relation to land-use change in tropical peatlands located in coastal area of South Kalimantan. Chemosphere. 52: 603–608. IPPC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2001. Climate Change. 2001: The Scientific Basis. hhtp://grida.no/climate/ippc_tar/wg1/248.htm [23-1-2008] Jauhiainen J, Heikkinen J, Martikainen PJ, Vasander H. 2001. CO2 and CH4 fluxes in pristine peatswamp forest and peatland converted to agriculture in central Kalimantan, Indonesia. International Peat Journal. 11: 43 – 49.
106 Jia B, Zhou G, Wang Y. 2006. Effects of temperature and soil water-content on soil respiration of grazed an ungrazed leymus chinensis steppes, Inner Mongolia. Journal of Arid Environments. 67: 60-76 Khalil MI, Schmidhalter U, Gutser R. 2005. Urea super granules in a Cambisol: N transformation, nitrous oxide and ammonia emissions at two soil water regimes. In Li CJ et al. (eds), plant nutrition for food security, human health and environmental protection, 1120-1121. Tsinghua University Press. Printed in Beijing, China Kimura M, Minoda T, Murase J. 1993. Water-soluble organic material in paddy soil ecosystem. II. Effects temperature on control of total organic material, organic acids, and methane in leachate from submerged paddy soil amended with rice straw. Soil Sci. Plant Nut. 39: 713-724. Kirk G. 2004. The Biogeochemistry of Submerged Soils. John Wiley & Sons, Ltd. 291 hlm. Klemedtsson AK et al. 1997. Greenhouse gas emissions from farmed organic soils: a review. Soil Use and Management. 13: 245-250. Kluge B, Wessolek G, Facklam M, Lorenz M, Schwa Rzel K. 2008. Long-term carbon loss and CO2-C release of drained peatland soils in northeast Germany. European Journal of Soil Science. 59: 1076–1086. Kruger M, Frenzel P. 2003. Effects of N-fertilization on CH4 oxidation and production, and consequences for CH4 emissions from microcosms and rice fields. Global Change Boil. 9: 773–784 Kuzyakov Y, Friedel JK, Stahr K. 2000. Review of mechanisms and quantification of priming effects. Soil Biology anad Biochemistry. 32: 1485–1498 Lai CT et al. 2002. Modelling the limits on the response of net carbon exchange to fertilization in a south-eastern pine forest. Plant Cell Environ. 25: 1095– 1119. Lindau CW, Bollich PK, DeLaune RD, Patrick WH J, Law VJ. 1991. Effect of urea fertilizer and environmental factors on methane emissions from a Louisiana USA rice field. Plant Soil. 136: 195-203. Liu LC, Fan Y, Wu G, Wei YM. 2008. Using LMDI method to analyze the change of China’s industrial CO2 emissions from final fuel use: an empirical analysis. Energy Policy. 35(11): 5892 – 5900. Mah RA, Schmith MR. 1981. The methanogenic bacteria. In Starr MP et al. (Eds.). The Prokaryotes. Springer. Berlin. pp. 948-977. Makipaa R, Karjalainen T, Pussinen A, Kukkola M. 1998. Effects of nitrogen fertilization on carbon accumulation in boreal forests: model computations compared with the results of long-term fertilization experiments. Chemosphere. 36: 1155–1160. Mariko S, Harazano Y, Owa N, Nouchi I. 1991. Methane in flooded soil water and the emission through rice plant to the atmosphere. Environmental and Experimental Botany. 31 (3): 343-350.
107 Martikainen PJ, Nyakanen H, Crill P, Silvola J. 1992. The effect of changing water table on methane fluxes at two finnish mire sites. Suo. 43: 237–240. McKenzie C, Schiff S, Aravena R, Kelly C, St. Louis V. 1998. Effect of temperature on production of CH4 and CO2 production from peat in a natural and flooded boreal forest wetland. Climatic Change. 40: 247–266. Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2005a. Global Warming Potensial from peatland of Sarawak, Malaysia. Phyton (Austria) Spesial issue: “APGC 2004. 45: 275-284. Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2005b. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus 57B: 1-11. Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2005c. Methane fluxes from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Soil Biol. Biochem. 37: 1445-1453. Moore TR, Dalva M. 1993. The influence of temperature and water table position on carbon dioxide and methane emission from laboratory columns of peatland soil. J. Soil Sci. 44: 651-664. More´n AS, Lindroth A. 2000. CO2 exchange at the floor of a boreal forest. Agric. For. Meteorol. 101: 1–14. Morril L, Mahilum BC, Mohiudin SH. 1982. Organic compounds in soils: Sorption, Degradation, and Persistence. Ann Arbor Sci. Publ., Inc. England. 326pp. Mosier A, Schimel D, Valentine D, Bronson K, Parton W. 1991. Methane and nitrous oxide fluxes in native, fertilized and cultivated grasslands. Nature. 350: 330–332. Murayama S, Bakar ZA. 1996. Decomposition of tropical peat soils – 2. Estimation of in situ decomposition by measurement of CO2 flux. Japan Agricultural Research Quaterly 30: 153-158. Murdiyarso D. 2003. Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara berkembang. Kompas. Jakarta. Nadelhoffer KJ, Giblin AE, Shaver GR, Laundre JA. 1991. Effects of temperature and substrate quality on element mineralization in six arctic soils. Ecology. 72: 242–253. Nykanen H, Alm J, Lang K, Silvola T, Martikainen PJ. 1995. Emissions of CH4, N2O and CO2 from a virgin fen drained for grassland in Finland. Journal of Biogeography. 22: 351–357. Nykanen H, Vasender H, Huttunen JT, Martikainen PJ. 2002. Effect of experimental nitrogen load on methane and nitrous oxide fluxes on ombrotrophic boreal peatland. Plant and Soil 242: 147–155. Nyman JA, DeLaune RD. 1991. CO2 emission and soil Eh responses to different hydrological conditions in fresh, brackish, and saline marsh soils. Limnol. Oceanogr. 36 (7): 1406-1414. Oechel WC et al. 2000. Acclimation of ecosystem CO2 exchange in the Alaskan Arctic in response to decadal climate warming. Nature . 406: 978-980.
108 Parashar DC. 1993. Methane emission estimate from Indian paddy fields. Presented at the International Workshop Methane and Nitrous Oxide, Amersfoort. The Netherlands, 3-5 February 1993. Paterson E. 2003. Importance of rhizodeposition in the coupling of plant and microbial productivity. European Journal of Soil Science. 54: 741–750. Pendall E, et al. 2004. Research review. Below-ground process responses to elevated CO2 and temperature: a discussion of observations, measurement methods, and models. New Phytologist, 162: 311-322. Price JS. 2003. Role and character of seasonal peat soil deformation on the hydrology of undisturbed and cutover peatlands. Water Resources Research. 39: 1241. Przywara G, Stêpniewska Z. 2002. Plant contribution to methane emission after irrigation of peat soil with municipal waste water. Int. Agrophysics. 16: 215–218 Qualls RG, Haines BL. 1990. The influence of humic substances on the aerobic decomposition of submerged leaf litter. Hydrobiologia. 206: 133–138. Raich JW, Schlesinger WH. 1992. The global carbon dioxide flux in soil respiration and its relationship to vegetation and climate. Tellus 44B: 81 99 Redeker KR, Meinardi S, Blake D. 2003. Gaseous emissions from flooded rice paddy agriculture. Journal of Geophysical research. 108: 3.1-3.13. Rieley JO, Ahmad-Shah AA, Brady MA. 1996. The extent and nature of tropical peat swamps. In: Maltby E et al., (eds). Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia, Proceedings of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands held at Cisarua, Indonesia, 3-8 July 1992. IUCN, Gland, Switzerland. 294pp. ISBN 2-8317-0310-7. Rinnan R, Silvola J, Martikainen PJ. 2003. Carbon dioxide and methane fluxes in boreal peatland microcosms with different vegetation cover-effects of ozone or ultraviolet-B exposure. Occologia. 137: 475-483. Riwandi. 2001. Kajian Stabilitas Gambut Tropika Indonesia Berdasarkan Analisis Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisiko Kimia, dan Komposisi Bahan Gambut. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Roulet NT, Moore TR. 1995. The effect of forestry drainage practices on the emission of methane from nothern peatland. Can. J. For.Res. 25: 491-499. Saarnio S, Silvola J. 1999. Effects of increased CO2 and N on CH4 efflux from a boreal mire: a growth chamber experiment. Oecologia. 119: 349–356. Saarnio S, Saarinen T, Vasander H, Silvola J. 2000a. A moderate increase in the annual CH4 efflux by raised CO2 or NH4NO3 supply in a boreal oligotrophic mire. Global Change Biol. 6: 137–144. Saarnio S, Silvola J, Foot J P, Sundh I, Greenup A, Heijmans A, Joabsson A, Mitchell A, Van Breemen N. 2000b. Effects of elevated CO2 and N
109 deposition on CH4 emissions from European bogs. In Abstracts, Invited Papers Symposium 73, Millennium Wetland event, Québec, August 6 – 12, 2000. Sabiham S. 2006. Pengelolaan Lahan Gambut Indonesia Berbasis Keunikan Ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 124 p. Shalini-Sigh, Kumar, S, Jain MC. 1997. Methane emission from two Indian soils planted with different rice cultivars. Biol Fertil Soils. 25: 285-289. Shine KP, Fouquart Y, Ramaswamy V, Solomon S, Srinivasan J. 1995. Radiative forcing. P. 163-203. In Houghton JT et al. (ed.) Climate Change 1994: Radiative forcing of climate change and an evaluation of the IPCC IS92 emission scenarios. Report of the Intergovermental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge Univ. Press. Silva CC, Guido ML, Cebbalos JM, Marsch R, Dendooven L. 2008. Production of carbon dioxide and nitrous oxide in alkaline saline soil of Texcoco at different water content amanded with urea: A laboratory study. Soil Biol & Biochem. 40: 1813-1822. Smith KA et al. 2003. Exchange of greenhouse gases between soil and atmosfer: Interaction of soil physical factors and biological processes. European Journal of Soil Science. 54: 779-791. Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy: A Basic System of Soil Classification for making and Interpreting Soiul Surveys. Soil Conservation Service. USDA, Washington D. C. Strack M, Waddington JM, Tuittila ES. 2004. Effect of water table drawdown on northern peatland methane dynamics: Implications for climate change. Global Biogeochemical Cycles. 18: GB4003–GB40010 Strom L, Mastepanov M, Cristensen TR. 2005. Species-specific effects of vascular plants on carbon turnover and methane emissions from wetlands. Biogeochem. 75: 65-82. Subke JA, Hahn V, Battipaglia G, Linder S, Buchmann N, Cotrufo MF, 2004. Feedback interactions between needle litter decomposition and rhizosphere activity. Oecologia. 139: 551–559. Sulistyono NBE. 2000. Peranan Kation Fe 3+ terhadap produksi karbon dioksida dan metana dari gambut tropika pada inkubasi aerob dan anaerob. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sylvia DM, Furhrmann JJ, Hartel PG, Zuberer DA. 1998. Principles and Applications of Soil Microbiology. Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Tan KH. 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Yogyakarta. 295 hlm.
Gadjah Mada University Press.
Thiele B et al. 2005. Determination of organic acid in soil solution with high spatial-temporal resolution using the rhizotrone methodology. In Li CJ et al.
110 (eds). Plant nutrition for food security, human health and environmental protection, 454-455. Tsinghua University Press. Yagi K, Chairoj P, Tsuruta H, Cholitkul W, Minami K. 1994. Methane emission from rice paddy fields in the central plain of Thailand. Soil Sci. Plant Nutr. 40 (1): 29 – 30. Yang SS, Chang HL. 1998. Effect of environmental condition on methane production and emission from paddy soil. Agric. Ecosystem and Environment. 69: 69-80. Yavitt JB, Williams CJ, Wieder RK. 2005. Soil chemistry versus environmental controls on production of CH4 and CO2 in northern peatlands. European Journal of Soil Science. 56: 169–178. Yule CM, Gomez LN. 2009. Leaf litter decomposition in a tropical peat swamp forest in Peninsular Malaysia. Wetlands Ecol Manage. 17:231– 241. Yulianti N. 2009. Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Van Huissteden J, van den Bos R, Alvarez IM. 2006. Modelling the effect of water-table management on CO2 and CH4 fluxes from peat soils. Netherlands Journal of Geosciences. 85 (1): 3 - 18. Van Kessel JAS, Russell JB. 1996. The effect of pH on ruminal methanogenesis. FEMS Microbiology Ecology. 20: 205–210. Waddington JM, Rotenberg PA, Warren FJ. 2001. Peat CO2 production in a natural and cutover peatland: implications for restoration. Biogeochemistry. 54: 115–130. Wagai R, Brye KR, Gower ST, Norman JM, Bundy LG. 1998. Land use and environmental factors influencing soil surface CO2 flux and microbial biomass in natural and managed ecosystems in Southern Wisconsin. Soil Biol. Biochem. 30 (12): 1501–1509. Walezak BW, Bieganowski A, Rovdan E. 2002. Water-air properties in peat, sand and their mixtures. Int. Agrophysic. 16: 313–318 Wang ZP, DeLaune RD, Masscheleyn PH, Patrick WH Jr. 1993. Soil redox and pH effects on methane production in a flooded rice soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 57: 382 - 385 Whalen SC, WS Reeburgh. 1996. Moisture and Temperature Sensitivity of CH4 Oxidation in Boreal Soils. Soil Biol. and Biochem. 28 (10): 1271-1281. Winarna. 2007. Lahan gambut saprik paling potensial untuk kebun sawit. http:// groups.google.co.id. [25-8-2007]. Zhang L, Song C, Zheng X, Wang D, Wang Y. 2007. Effects of nitrogen on the ecosystem respiration, CH4 and N2O emissions to the atmosphere from the freshwater marshes in Northeast China. Environ Geol. 52: 529–539.
110 Lampiran 1. Kemasaman tanah aktual (pH H2O) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut.
1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Tingkat Kematangan Gambut Fibrik
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
3,2
3,3
3,3
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
3,1
3,1
3,1
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
3,3
3,2
3,2
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
3,5
3,3
3,4
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
3,1
2,9
3,1
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
3,3
3,1
3,3
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
3,2
3,3
3,2
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
2,9
2,9
2,9
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
3,5
3,0
3,5
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
3,2
34
3,2
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
3,0
3,4
3,0
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
3,5
3,3
3,5
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
3,3
3,3
3,3
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
3,1
2,8
3,0
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
3,5
3,6
3,5
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
3,2
3,2
3,2
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
3,1
3,0
3,1
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
4,0
3,6
3,9
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
3,8
3,7
3,8
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Saprik
3,2
3,2
3,2
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
3,8
3,7
3,8
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
3,8
3,7
3,7
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Saprik
3,1
2,9
3,0
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
4,1
3,6
4,0
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
3,9
3,8
3,9
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
3,3
3,2
3,3
No
Lokasi
pH H2O I II III 3,5 3,3 3,5
111 Lampiran 2. Kemasaman tanah potensial (pH KCl) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. No
Lokasi
Tingkat Kematangan Gambut
I
pH KCl II III
1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Fibrik
2,6
2,6
2,6
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
2,4
2,5
2,4
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
2,5
2,5
2,5
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
2,5
2,5
2,6
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
2,5
2,5
2,5
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
2,3
2,3
2,3
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
2,4
2,4
2,5
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
2,4
2,4
2,4
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
2,2
2,2
2,3
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
2,6
2,5
2,6
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
2,4
2,4
2,4
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
2,6
2,7
2,7
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
2,9
2,8
2,9
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
2,5
2,5
2,4
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
2,3
2,4
2,3
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
2,7
2,8
2,7
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
2,5
2,6
2,6
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
2,6
2,6
2,6
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
2,9
2,8
2,7
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
2,8
2,8
2,8
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Saprik
2,8
2,8
2,8
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
3,1
3,0
3,1
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
3,0
3,0
3,0
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Saprik
2,7
2,8
2,8
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
3,0
3,0
3,0
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
3,0
3,1
3,0
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
2,9
2,6
2,7
112 Lampiran 3. Kadar air gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. No
Lokasi
Tingkat Kematangan Gambut
Kadar Air 1
2
Rerata
-------------(%)---------------
1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Fibrik
740,678
504,268
622,473
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
556,000
280,309
418,154
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
330,453
150,962
240,707
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
830,579
592,683
711,631
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
569,630
205,405
387,518
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
203,824
153,676
178,750
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
701,587
549,359
625,473
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
549,367
191,954
370,661
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
205,980
131,172
168,576
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
739,370
560,870
650,120
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
664,662
204,179
434,420
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
343,243
141,769
242,506
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
559,259
527,059
543,159
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
331,984
205,128
268,556
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
105,357
105,988
105,673
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
891,667
557,241
724,454
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
578,947
287,554
433,251
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
184,211
116,471
150,341
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
620,155
459,639
539,897
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
304,490
246,341
275,416
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Saprik
261,056
147,534
204,295
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
1280,282
605,036
942,659
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
750,909
208,667
479,788
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Saprik
218,482
138,765
178,624
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
1210,667
1164,103
1187,385
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
687,597
264,493
476,045
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
210,217
193,491
201,854
113 Lampiran 4. Kadar abu di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. No
Lokasi
Tingkat Kematangan Gambut
Kadar Abu 1
2
Rerata
…………(%)……………... 1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Fibrik
3,390
0,610
2,000
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
4,000
1,544
2,772
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
4,938
2,404
3,671
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
3,306
1,220
2,263
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
3,704
1,689
2,696
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
3,824
3,186
3,505
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
4,762
3,205
3,984
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
5,063
4,310
4,687
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
4,319
7,481
5,900
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
3,150
3,727
3,438
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
3,759
4,179
3,969
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
4,505
5,651
5,078
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
3,704
1,176
2,440
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
4,049
1,709
2,879
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
4,167
5,589
4,878
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
3,125
2,759
2,942
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
3,759
3,004
3,382
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
4,025
3,294
3,659
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
3,101
0,602
1,852
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
3,673
1,742
2,708
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Saprik
3,960
4,036
3,998
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
2,817
2,158
2,488
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
2,970
2,667
2.818
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Sarik
3,636
4,938
4,287
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
2,667
2,564
2.615
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
3,101
1,449
2,275
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
3,715
7,988
5,852
114 Lampiran 5. Kandungan C-organik di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. No
Lokasi
Tingkat Kematangan Gambut
C-organik 1
2
Rerata
…..……..(%)…..……… 1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Fibrik
56,038 57,651 56,845
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
55,684 57,109 56,397
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
55,140 56,610 55,875
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
56,087 57,297 56,692
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
55,856 57,025 56,441
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
55,787 56,156 55,972
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
55,243 56,146 55,694
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
55,068 55,504 55,286
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
55,499 53,665 54,582
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
56,178 55,843 56,010
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
55,824 55,581 55,702
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
55,392 54,727 55,059
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
55,856 57,322 56,589
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
55,656 57,013 56,335
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
55,588 54,763 55,175
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
56,192 56,405 56,298
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
55,824 56,262 56,043
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
55,670 56,094 55,882
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
56,206 57,655 56,931
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
55,874 56,994 56,434
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Sapik
55,707 55,664 55,686
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
56,371 56,753 56,562
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
56,282 56,458 56,370
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Saprik
55,895 55,140 55,518
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
56,458 56,517 56,488
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
56,206 57,164 56,685
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
55,850 53,371 54,610
115 Lampiran 6. Kandungan bahan organik di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. No
Lokasi
Tingkat Kematangan Gambut
Bahan Organik 1
2
Rerata
…………(%)………… 1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Fibrik
96,610 99,390 98,000
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
96,000 98,456 97,228
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
95,062 97,596 96,329
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
96,694 98,780 97,737
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
96,296 98,311 97,304
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
96,176 96,814 96,495
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
95,238 96,795 96,016
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
94,937 95,690 95,313
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
95,681 92,519 94,100
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
96,850 96,273 96,562
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
96,241 95,821 96,031
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
95,495 94,349 94,922
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
96,296 98,824 97,560
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
95,951 98,291 97,121
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
95,833 94,411 95,122
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
96,875 97,241 97,058
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
96,241 96,996 96,618
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
95,975 96,706 96,341
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
96,899 99,398 98,148
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
96,327 98,258 97,292
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Saprik
96,040 95,964 96,002
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
97,183 97,842 97,512
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
97,030 97,333 97,182
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Saprik
96,364 95,062 95,713
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
97,333 97,436 97,385
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
96,899 98,551 97,725
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
96,285 92,012 94,148
116 Lampiran 7. Kemasaman total gambut, kandungan COOH dan fenolat-OH di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut.
No
Lokasi
Tingkat Kematangan Gambut
Kemasaman Total Gambut
COOH
Fenolat -OH
……………(me g-1)………...... 1
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Fibrik
4,99
0,13
4,86
2
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Hemik
5,71
0,13
5,58
3
Suak Puntong, transek 1 (SP-1)
Saprik
6,37
0,16
6,21
4
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Fibrik
4,95
0,08
4,87
5
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Hemik
5,85
0,08
5,78
6
Suak Puntong, transek 2 (SP-2)
Saprik
5,91
0,22
5,69
7
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Fibrik
5,19
0,06
5,13
8
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Hemik
4,79
0,15
4,63
9
Suak Raya, transek 3 (SR-3)
Saprik
5,03
0,08
4,95
10
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Fibrik
5,55
0,05
5,50
11
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Hemik
5,27
0,04
5,23
12
Suak Raya, transek 4 (SR-4)
Saprik
5,07
0,09
4,97
13
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Fibrik
4,87
0,04
4,83
14
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Hemik
5,19
0,09
5,10
15
Suak Raya, transek 5 (SR-5)
Saprik
5,43
0,16
5,27
16
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Fibrik
5,41
0,04
5,37
17
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Hemik
4,95
0,09
4,86
18
Suak Raya, transek 6 (SR-6)
Saprik
5,17
0,12
5,05
19
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Fibrik
5,39
0,04
5,35
20
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Hemik
4,73
0,06
4,67
21
Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7)
Saprik
4,26
0,04
4,23
22
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Fibrik
4,22
0,04
4,19
23
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Hemik
4,36
0,06
4,30
24
Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8)
Saprik
5,11
0,04
5,07
25
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Fibrik
5,07
0,02
5,05
26
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Hemik
5,31
0,04
5,27
27
Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9)
Saprik
5,47
0,06
5,41
Lampiran 8. Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit. No
Perlakuan 1
Suak Puntong 2
3
1
Suak Raya 2
3
1
Cot Gajah Mati 2
3
…………………….……………………………….(%)………………………………………………… 1
n0 g1
883,168
779,487
643,077
938,835
925,510
711,200
1046,914
1297,183
766,372
2
n0 g2
464,444
374,757
383,495
744,737
583,217
475,287
835,135
321,983
594,203
3
n0 g3
304,115
211,315
200,915
252,047
261,397
185,028
248,944
221,935
235,495
4
n1 g1
888,571
735,878
685,484
979,310
857,692
716,260
1200,000
1078,313
649,618
5
n1 g2
405,528
418,848
398,492
725,510
574,400
308,750
570,833
544,805
613,986
6
n1 g3
279,149
210,456
150,765
234,054
258,273
161,067
410,784
216,370
133,028
7
n2 g1
802,941
756,897
725,620
926,168
749,565
869,697
1110,526
894,175
782,456
8
n2 g2
432,308
446,995
353,182
799,194
475,524
368,519
665,101
487,861
499,419
9
n2 g3
220,130
168,539
217,377
265,957
214,474
127,416
456,250
216,667
140,686
10
n3 g1
804,545
708,130
781,416
703,876
796,739
650,376
1157,143
948,235
723,529
11
n3 g2
404,188
416,327
417,614
438,562
464,331
328,509
592,857
566,667
456,983
12
n3 g3
175,758
260,000
192,899
294,783
237,152
191,818
461,765
227,244
148,354
13
n4 g1
804,348
852,381
624,286
669,277
725,424
762,393
618,072
574,497
1389,394
14
n4 g2
538,667
375,472
362,844
419,535
411,616
229,333
466,092
368,349
647,794
15
n4 g3
350,943
233,333
98,817
361,074
310,222
168,817
366,981
242,268
128,668
Lampiran 9. Kadar abu bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit. Suak Puntong No
Perlakuan
1
2
Suak Raya 3
1
2
Cot Gajah Mati 3
1
2
3
……………………………………………………..(%)…………………………………….. 1
n0 g1
3,960
2,564
3,077
3,883
2,041
4,000
3,704
2,817
1,770
2
n0 g2
4,444
2,913
3,398
4,386
2,797
2,874
5,405
3,448
2,174
3
n0 g3
4,527
4,587
6,402
4,678
3,309
5,085
5,282
6,452
3,072
4
n1 g1
5,714
3,053
4,032
4,598
2,885
4,065
3,704
7,229
3,053
5
n1 g2
6,030
3,665
5,528
5,102
3,200
5,417
5,833
8,442
4,895
6
n1 g3
6,383
4,826
7,143
5,405
3,597
6,133
5,882
10,320
5,505
7
n2 g1
5,882
3,448
6,612
5,607
3,478
4,040
5,263
4,854
6,140
8
n2 g2
6,667
4,372
7,273
5,645
4,196
5,093
6,040
5,780
8,721
9
n2 g3
7,143
5,618
10,164
5,674
6,908
6,292
6,250
6,250
8,824
10
n3 g1
5,455
4,065
7,080
6,202
9,783
5,263
6,349
5,882
8,403
11
n3 g2
7,853
6,122
7,386
7,190
6,369
7,895
7,143
6,818
6,704
12
n3 g3
9,091
6,400
9,467
7,826
6,192
7,879
7,353
7,051
10,380
13
n4 g1
6,087
4,762
7,143
6,627
6,780
8,547
7,229
4,027
10,606
14
n4 g2
8,000
6,604
8,716
7,442
6,566
8,667
8,046
8,257
9,559
15
n4 g3
10,849
6,536
10,848
8,054
6,667
8,333
8,962
9,966
9,932
Lampiran 10. Kandungan C-organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit. No
Suak Puntong
Perlakuan 1
2
Suak Raya 3
1
2
Cot Gajah Mati 3
1
2
3
………………………………………….....(%)…………………………………………. 1
n0 g1
55,707
56,517
56,220
55,752
56,821
55,684
55,856
56,371
56,978
2
n0 g2
55,427
56,315
56,034
55,461
56,382
56,338
54,869
56,004
56,744
3
n0 g3
55,379
55,344
54,291
55,291
56,085
55,055
54,941
54,262
56,223
4
n1 g1
54,690
56,234
55,666
55,338
56,331
55,647
55,856
53,812
56,234
5
n1 g2
54,507
55,879
54,798
55,045
56,148
54,863
54,621
53,108
55,165
6
n1 g3
54,302
55,205
53,861
54,869
55,918
54,447
54,593
52,018
54,812
7
n2 g1
54,593
56,004
54,170
54,752
55,987
55,661
54,952
55,189
54,443
8
n2 g2
54,138
55,469
53,786
54,730
55,571
55,051
54,501
54,652
52,946
9
n2 g3
53,861
54,746
52,109
54,714
53,998
54,355
54,379
54,379
52,887
10
n3 g1
54,841
55,647
53,898
54,407
52,330
54,952
54,322
54,593
53,130
11
n3 g2
53,449
54,453
53,720
53,834
54,310
53,425
53,861
54,050
54,116
12
n3 g3
52,731
54,292
52,513
53,465
54,413
53,435
53,740
53,915
51,984
13
n4 g1
54,474
55,243
53,861
54,161
54,072
53,047
53,812
55,669
51,853
14
n4 g2
53,364
54,174
52,949
53,688
54,196
52,978
53,338
53,215
52,460
15
n4 g3
51,712
54,213
51,712
53,333
54,138
53,171
52,806
52,224
52,243
Lampiran 11. Kandungan bahan organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit. No
Perlakuan
Suak Puntong 1
2
Suak Raya 3
1
2
Cot Gajah Mati 3
1
2
3
………………………………………… (%)……………………………………… 1
n0 g1
96,040
97,436
96,923
96,117
97,959
96,000
96,296
97,183
98,230
2
n0 g2
95,556
97,087
96,602
95,614
97,203
97,126
94,595
96,552
97,826
3
n0 g3
95,473
95,413
93,598
95,322
96,691
94,915
94,718
93,548
96,928
4
n1 g1
94,286
96,947
95,968
95,402
97,115
95,935
96,296
92,771
96,947
5
n1 g2
93,970
96,335
94,472
94,898
96,800
94,583
94,167
91,558
95,105
6
n1 g3
93,617
95,174
92,857
94,595
96,403
93,867
94,118
89,680
94,495
7
n2 g1
94,118
96,552
93,388
94,393
96,522
95,960
94,737
95,146
93,860
8
n2 g2
93,333
95,628
92,727
94,355
95,804
94,907
93,960
94,220
91,279
9
n2 g3
92,857
94,382
89,836
94,326
93,092
93,708
93,750
93,750
91,176
10
n3 g1
94,545
95,935
92,920
93,798
90,217
94,737
93,651
94,118
91,597
11
n3 g2
92,147
93,878
92,614
92,810
93,631
92,105
92,857
93,182
93,296
12
n3 g3
90,909
93,600
90,533
92,174
93,808
92,121
92,647
92,949
89,620
13
n4 g1
93,913
95,238
92,857
93,373
93,220
91,453
92,771
95,973
89,394
14
n4 g2
92,000
93,396
91,284
92,558
93,434
91,333
91,954
91,743
90,441
15
n4 g3
89,151
93,464
89,152
91,946
93,333
91,667
91,038
90,034
90,068
Lampiran 12. Fluks`CO2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit No
Perlakuan
Suak Puntong I
II
Suak Raya III
I
II
Cot Gajah Mati III
I
II
III
…………………………….(mg (CO2 kg tanah)-1 hari-1)………………………………... 1
n0 g1
5,486
8,914
5,486
9,429
7,886
8,229
5,314
4,286
4,971
2
n0 g2
5,314
5,314
4,457
8,571
7,200
5,486
4,971
4,114
4,114
3
n0 g3
4,286
4,800
2,571
8,400
6,514
5,486
3,429
3,429
3,257
4
n1 g1
13,200
13,543
13,200
11,657
10,629 11,657
7,371
7,886
7,543
5
n1 g2
13,200
12,686
12,686
10,286
10,114
8,743
6,514
5,829
5,829
6
n1 g3
12,514
11,486
12,171
7,543
8,229
7,200
6,171
5,143
5,486
7
n2 g1
20,743
18,000
15,771
13,029
21,257 16,114
10,114
7,029
10,971
8
n2 g2
18,686
16,800
14,743
10,971
16,114 12,343
4,971
6,686
7,714
9
n2 g3
16,971
15,943
13,714
10,114
13,714 12,000
3,771
4,800
5,829
10
n3 g1
58,114
54,686
58,114
69,086
63,771 58,971
59,829
59,314
52,971
11
n3 g2
57,257
53,486
57,257
52,114
56,914 57,086
55,543
44,914
50,400
12
n3 g3
53,657
52,629
52,114
8,400
48,857 53,829
25,543
19,200
14,400
13
n4 g1
114,686
94,114
105,257 138,857 12,857 20,229
53,486
46,114
39,257
14
n4 g2
57,771
64,114
50,914
12,343
12,343 18,000
28,971
44,743
37,543
15
n4 g3
38,914
49,200
28,114
9,086
9,771
6,686
8,400
28,114
14,743
Lampiran 13. Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit No
Perlakuan
Suak Puntong 1
2
Suak Raya 3
1
2
Cot Gajah Mati 3
1
2
3
1
n0 g1
172,627
162,279
141,188 174,536 171,406 162,679 215,080 171,967 162,193
2
n0 g2
135,559
128,253
119,186 170,178 157,402 173,916 172,804 170,556 154,500
3
n0 g3
108,230
120,412
96,353
4
n1 g1
111,404
122,492
120,505 161,443 146,157 126,814 137,298 121,632 105,594
5
n1 g2
103,119
116,936
105,162 127,786 119,563 128,005 110,715 121,995 136,971
6
n1 g3
95,717
85,011
93,978
59,875
61,904
57,258
71,558
65,206
62,605
7
n2 g1
88,684
80,622
72,802
91,717
96,902
78,318
83,343
77,194
72,402
8
n2 g2
73,015
70,283
69,332
140,783
81,445
102,725
67,610
65,918
58,648
9
n2 g3
59,437
64,579
54,017
44,541
46,002
43,413
60,792
61,999
59,891
10
n3 g1
56,739
52,789
52,633
45,243
42,882
46,558
32,076
29,862
29,650
11
n3 g2
70,932
41,484
54,504
36,298
36,410
35,872
28,895
28,352
27,752
12
n3 g3
44,525
36,937
33,982
36,204
37,014
33,194
52,212
52,909
45,533
13
n4 g1
52,166
44,094
42,803
30,041
35,083
31,307
19,411
23,866
22,449
14
n4 g2
40,671
40,122
39,016
19,650
25,208
21,106
12,146
12,090
12,827
15
n4 g3
27,184
28,290
23,682
16,737
21,568
17,795
11,122
10,296
10,822
70,007
77,334
69,273
100,114
83,982
79,392
Lampiran 14. Total populasi bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit No
Perlakuan
Suak Puntong 1
2
Suak Raya 3
1
2
Cot Gajah Mati 3
1
2
3
………………………………………..(SPK (g gambut)-1)……………………………………… 1
n0 g1
21,75
27,00
15,00
6,50
11,25
12,50
3,00
14,25
11,25
2
n0 g2
29,75
26,50
16,50
12,50
10,50
23,25
17,25
13,00
15,00
3
n0 g3
27,25
20,50
28,50
43,50
73,50
25,75
19,25
16,00
14,75
4
n1 g1
65,00
53,00
34,75
2,00
11,25
15,75
8,00
22,00
17,00
5
n1 g2
60,25
89,75
80,50
41,50
51,75
46,25
61,00
71,50
44,25
6
n1 g3
118,00
115,25
114,00
59,25
60,50
63,00
59,00
63,50
52,75
7
n2 g1
43,25
53,50
73,50
4,25
9,25
28,50
20,75
21,00
25,50
8
n2 g2
97,00
105,00
112,50
46,00
48,50
64,75
103,00
119,25
98,25
9
n2 g3
109,00
113,25
119,00
174,25
188,00
168,25
103,50
96,75
127,75
10
n3 g1
40,25
40,50
55,50
26,75
34,25
33,75
22,75
22,75
27,50
11
n3 g2
82,00
84,50
90,50
27,00
30,50
42,25
115,50
137,00
110,75
12
n3 g3
10,25
10,25
23,00
15,50
58,25
20,25
39,75
44,00
87,25
13
n4 g1
93,25
89,50
15,25
30,75
39,50
23,75
64,50
14,50
12,50
14
n4 g2
66,50
99,25
65,50
3,00
7,50
16,00
65,50
78,75
76,00
15
n4 g3
22,75
3,25
16,00
3,75
10,25
11,25
48,75
24,25
36,75
Lampiran 16. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Mei-Juni 2008 (musim kemarau). Kode sampel I.31 I.32 I.33 I.34 I.35 I.36 I.41 I.42 I.43 I.44 I.45 I.46 II.25 II.26 II.27 II.28 II.29 II.30 II.51 II.52 II.53 II.54 II.55 II.56 II.61 II.62
a
b
14369 26670 21065 16869 10511 15131 14630 16959 16850 18469 11968 13522 12424 11352 8705 7982 7842 8999 10283 12643 12846 13588 12671 12797 16693 13915
13389 14348 15246 13248 8847 7531 11804 14324 13910 12287 12625 13368 8617 9731 7645 9386 5720 6182 12293 18481 7543 14526 10795 11477 12786 13272
Area CO2 c d 13201 14821 10968 10801 8824 14009 11205 16363 17142 11138 12378 14963 11296 10691 9204 10548 5808 6744 12813 14926 12629 13734 10459 12406 12756 11001
15594 15290 12458 11798 5878 15057 12460 17465 20914 30541 10036 20209 12094 6263 9228 9721 8152 8915 14730 19531 14356 15615 14242 16221 14832 13753
Konsentrasi CO2 (ppm) c d e
e
f
a
b
18470 24269 14772 18802 8074 15056 15013 21284 24473 13861 14602 10595 11031 8449 9072 9924 9997 6321 17747 20383 12774 16253 16136 16535 15479 16108
19598 28808 21036 18780 9023 12425 26149 24644 31648 16714 15180 29332 13602 11815 10006 10913 11662 9923 18247 22871 15759 20919 19506 18298 17280
1854 3441 2718 2177 1356 1952 1888 2188 2174 2383 1544 1745 1603 1465 1123 1030 1012 1161 1327 1631 1657 1753 1635 1651 2154 1795
1728 1851 1967 1709 1142 972 1523 1848 1795 1585 1629 1725 1112 1256 986 1211 738 798 1586 2385 973 1874 1393 1481 1650 1712
1703 1912 1415 1394 1139 1808 1446 2111 2212 1437 1597 1931 1457 1379 1188 1361 749 870 1653 1926 1629 1772 1350 1601 1646 1419
2012 1973 1607 1522 758 1943 1608 2253 2698 3941 1295 2608 1560 808 1191 1254 1052 1150 1901 2520 1852 2015 1838 2093 1914 1775
2383 3131 1906 2426 1042 1943 1937 2746 3158 1788 1884 1367 1423 1090 1171 1280 1290 816 2290 2630 1648 2097 2082 2133 1997 2078
f 2529 3717 2714 2423 1164 1603 3374 3180 4083 2157 1959 3785 1755 1524 1291 1408 1505 1280 2354 2951 2033 2699 2517 2361 2230
Kode sampel II.63 II.64 II.65 II.66 II.71 II.72 II.73 II.74 II.79 II.80 III.1 III.2 III.3 III.4 III.5 III.6 III.7 III.8 III.9 III.10 III.11 III.12 III.13 III.14 III.15 III.16 III.17 III.18
a
b
14291 13105 11147 14750 15852 15251 12655 18012 15173 13876 68827 17145 3787 12618 16893 18316 13174 16134 12336 12173 18813 14916 13166 16646 11929 14715 20203 9912
14041 12179 13919 15783 9373 15403 11523 12121 11916 12379 38186 14492 7212 12926 16530 16941 13165 13810 10277 11862 17952 12146 13457 15848 12592 15952 24509 11717
Area CO2 c d 19234 12443 14265 14100 7881 13431 11764 12866 14645 12543 30263 16452 7417 13750 17108 14852 16604 14173 12293 12908 9877 13005 14123 16082 10845 17126 19326 19425
20464 11271 13335 16801 13403 17151 13528 11268 15223 10024 31502 17917 11114 14178 22151 17686 16907 12300 12094 15183 11466 15715 18050 15684 11869 14827 17553 28421
e
f
a
19980 9746 16286 11707 15519 19548 17598 16960 11270 13123 29903 19545 18344 15343 25561 17412 29334 17042 17141 18396 18069 16955 19420 17435 23576 16877 15795 25117
18537 15087 15780 19491 18202 17644 18417 14970 12961 16641 26386 21571 19436 16261 26904 17450 24066 19424 19463 19671 18788 20216 21228 21524 25361 20026 17786 28477
1844 1691 1438 1903 2045 1968 1633 2324 1958 1790 8881 2212 489 1628 2180 2363 1700 2082 1592 1571 2427 1925 1699 2148 1539 1899 2607 1279
Konsentrasi CO2 (ppm) b c d e 1812 1571 1796 2036 1209 1987 1487 1564 1537 1597 4927 1870 931 1668 2133 2186 1699 1782 1326 1531 2316 1567 1736 2045 1625 2058 3162 1512
2482 1605 1841 1819 1017 1733 1518 1660 1890 1618 3905 2123 957 1774 2207 1916 2142 1829 1586 1665 1274 1678 1822 2075 1399 2210 2494 2506
2640 1454 1721 2168 1729 2213 1745 1454 1964 1293 4065 2312 1434 1829 2858 2282 2181 1587 1560 1959 1479 2028 2329 2024 1531 1913 2265 3667
2578 1258 2101 1511 2002 2522 2271 2188 1454 1693 3858 2522 2367 1980 3298 2247 3785 2199 2212 2374 2331 2188 2506 2250 3042 2178 2038 3241
f 2392 1947 2036 2515 2349 2277 2376 1932 1672 2147 3405 2783 2508 2098 3471 2252 3105 2506 2511 2538 2424 2608 2739 2777 3272 2584 2295 3674
126 Lampiran 15. Posisi geografis titik-titik pengamatan, kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut.
KODE
Titik GPS
EI1 EI2 EI3 EI4 EI5 EI6 EI7 EI8 EI9 EI10 EI11 EI12 EI13 EI14 EI15 EI16 EI17 EI18 EI19 EI20 EII21 EII22 EII23 EII24 EII25 EII26 EII27 EII28 EII29 EII30 EII31 EII32 EII33 EII34 EII35 EII36 EII37 EII38 EII39
N 04o06'21.4'' E 096o12'43.7'' elev. 8m N 0m o
'
''
o
N 04 06 21.4 E N 096 12'43.7'' elev. 8m SW 1m N 04o06'20.8'' E N 096o12'44.1'' elev. 7m N 1m N 04o06'20.8'' E N 096o12'44.2'' elev. 8m SE 2m N 04o06'19.8'' E N 096o12'44.7'' elev. 11m E 2m N 04o06'19.8'' E N 096o12'44.6'' elev. 9m W 2m N 04o46'18.8'' E N 096o12'44.9'' elev. 4m S 1m N 04o46'18.9'' E N 096o12'44.9'' elev. 9m N 0m N 04o06'18.1'' E N 096o12'45.1'' elev. 10m E 2m N 04o06'18.2'' E N 096o12'45.2'' elev. 12m SW 3m N 04o06'25.4'' E N 096o12'50.8'' elev. 17m N 1m N 04o06'25.5'' E N 096o12'50.8'' elev. 15m NW 2m N 04o06'24.6'' E N 096o12'51.6'' elev. 6m N 0m N 04o06'24.7'' E N 096o12'51.7'' elev. 7m E 1m N 04o06'23.0'' E N 096o12'52.5'' elev. 11m E 2m N 04o06'23.0'' E N 096o12'52.5'' elev. 13m S 1m N 04o06'22.4'' E N 096o12'53.1'' elev. 8m N 0m N 04o06'22.4'' E N 096o12'53.0'' elev. 9m E 2m N 04o06'21.7'' E N 096o12'53.5'' elev. 14m E 1m N 04o06'21.7'' E N 096o12'53.6'' elev. 14m N 1m
47 UTM N 0180125 0463351 elev. 11m 47 UTM N 0180124 0463350 elev. 13m 47 UTM N 0180101 0463334 elev. 17m 47 UTM N 0180090 0463330 elev. 7m 47 UTM N 0180079 0463304 elev. 8m 47 UTM N 0180079 0463306 elev. 10m 47 UTM N 0180044 0463267 elev. 11m 47 UTM N 0180040 0463269 elev. 12m 47 UTM N 0180025 0463244 elev. 9m 47 UTM N 0180028 0463245 elev. 8m 47 UTM N 0180123 0463342 elev. 14m 47 UTM N 0180121 0463342 elev. 11m 47 UTM N 0180111 0463324 elev. 16m 47 UTM N 0180110 0463323 elev. 14m 47 UTM N 0180089 0463308 elev. 10m 47 UTM N 0180088 0463308 elev. 9m 47 UTM N 0180050 0463270 elev. 10m 47 UTM N 0180049 0463270 elev. 11m 47 UTM N 0180042 0463249 elev. 10m
Kedalaman Muka Air (cm)
Tebal Gambut (cm)
81
150
81 62 62 60 60 56 56 51 51 86 86 84 84 74 74 67
150 120 120 150 150 165 165 200 200 238 238 320 320 140 140 140
67 64 64 52 52 52 52 49 49 46 46 43 43 55 55 57 57 53 53 52 52 51
140 335 335 225 225 188 188 247 247 385 385 424 424 225 225 188 188 247 247 385 385 424
127 Lanjutan. KODE
Titik GPS
EII40 EII41 EII42 EII43 EII44 EII45 EII46 EII47 EII48 EII49 EII50 EII51 EII52 EII53 EII54 EII55 EII56 EII57 EII58 EII59 EII60 EII61 EII62 EIII63 EIII64 EIII65 EIII66 EIII67 EIII68 EIII69 EIII70 EIII71 EIV72 EIV73 EIV74 EIV75 EIV76 EIV77 EIII78 EIII79 EIII80 EIII81 EIII82 EIII83 EIII84 EIII85 EIII86
47 UTM N 0180039 0463249 elev. 9m 47 UTM N 0180162 0463297 elev. 7m 47 UTM N 0180162 0463296 elev. 6m 47 UTM N 0180136 0463283 elev. 8m 47 UTM N 0180137 0463280 elev. 3m 47 UTM N 0180115 0463268 elev. 10m 47 UTM N 0180114 0463269 elev. 8m 47 UTM N 0180071 0463217 elev. 10m 47 UTM N 0180069 0463224 elev. 2m 47 UTM N 0180056 0463204 elev. 7m 47 UTM N 0180059 0463203 elev. 9m 47 UTM N 0179994 0462956 elev. 6m 47 UTM N 0179994 0462957 elev. 5m 47 UTM N 0179974 0462981 elev. 7m 47 UTM N 0179977 0462983 elev. 7m 47 UTM N 0179962 0462995 elev. 6m 47 UTM N 0179964 0462995 elev. 8m 47 UTM N 0179972 0463488 elev. 8m 47 UTM N 0179975 0463484 elev. 5m 47 UTM N 0179951 0463463 elev. 9m 47 UTM N 0179951 0463464 elev. 10m 47 UTM N 0179919 0463428 elev. 10m 47 UTM N 0179918 0463429 elev. 13m 46 UTM N 0821643 0484844 elev. 6m 46 UTM N 0821669 0484883 elev. 13m 46 UTM N 0821675 0484909 elev. 22m 46 UTM N 0821613 0484874 elev. 9m 46 UTM N 0821644 0484915 elev. 10m 46 UTM N 0821670 0484945 elev. 8m 46 UTM N 0821174 0485146 elev. 15m 46 UTM N 0821170 0485155 elev. 6m 46 UTM N 0821236 0485188 elev. 8m N 04o14'17.0'' E 096o08'18.8'' elev. 12m S 1m N 04o14'12.7'' E 096o08'16.9'' elev. 13m NW 3m N 04o14'09.3'' E 096o08'14.9'' elev. 17m W 2m N 04o14'27.2'' E 096o07'44.1'' elev. 44m SW 7m
N 04o14'23.9'' E 096o07'43.6'' elev. 31m E 3m N 04o14'21.8'' E 096o07'43.0'' elev. 43m W 8m
46 UTM N 0821620 46 UTM N 0821620 46 UTM N 0821631 46 UTM N 0821631 46 UTM N 0821654 46 UTM N 0821654 46 UTM N 0821672 46 UTM N 0821672 46 UTM N 0821672
0484860 0484859 0484873 0484873 0484904 0484904 0484926 0484925 0484929
elev. 9m elev. 9m elev. 9m elev. 9m elev. 5m elev. 3m elev. 9m elev. 9m elev. 7m
Kedalaman Muka Air (cm)
Tebal Gambut (cm)
51 61 61 60 60 58 58 56 56 54 54 52 52 48 48 40 40 46 46 43 43 39 39 17 31 73 33 32 31 17 18 15 82 45 34 53 41 36 23 5 8 0 13 9 10 4 7
424 188 188 174 174 195 195 387 387 450 450 142 142 163 163 170 170 190 190 215 215 238 238 281 185 250 280 250 238 690 693 650 >900 >900 >900 -
128 Lampiran 17. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Puntong, transek 1.
Kode EI1a EI1b EI1c EI1d EI1e EI1f EI2a EI2b EI2c EI2d EI2e EI2f EI3a EI3b EI3c EI3d EI3e EI3f EI4a EI4b EI4c EI4d EI4e EI4f EI5a EI5b EI5c EI5d EI5e EI5f EI6a EI6b EI6c EI6d EI6e EI6f EI7a EI7b EI7c EI7d EI7e EI7f EI8a EI8b EI8c EI8d EI8e EI8f EI9a EI9b EI9c EI9d EI9e EI9f EI10a EI10b EI10c EI10d EI10e EI10f
Name
Time [Min]
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,36 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 137 1,37 1,37 1,37 1,36 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37
Quantity [ppm] 872,13 1289,29 1393,83 1380,26 1476,44 1427,35 643,44 305,91 567,25 609,98 800,02 1131,86 1605,55 654,42 693,55 762,99 1255,56 1359,81 775,73 697,06 1108,84 1392,73 1366,04 1386,46 775,73 976,02 1101,96 1108,84 1121,82 1084,55 814,28 909,85 968,54 1384,98 1583,85 1621,96 783,80 826,11 866,77 892,19 1008,07 1144,54 1087,44 480,61 828,33 906,62 944,67 1030,45 760,68 736,14 1025,73 1028,04 1068,55 1126,86 953,02 1094,02 1262,11 1285,79 1365,81 1663,20
Height [uV] 1467,5 2170,4 2345,2 2321,0 2482,9 2401,3 1080,3 514,6 951,7 1023,5 1347,8 1904,8 2714,0 1228,5 1175,9 1285,5 2120,8 2289,7 1308,4 1171,4 1865,5 2327,8 2279,4 2324,3 1308,4 1853,4 1865,5 1643,5 1888,7 1827,3 1377,8 1532,6 1631,1 2331,0 2663,9 2727,6 1321,7 1394,8 1462,0 1505,7 1701,7 1931,6 1830,4 810,6 1126,3 1526,3 1590,8 1734,4 1274,3 1245,0 1728,4 1740,4 1797,6 1904,3 1609,3 1847,8 2132,1 2165,4 2300,7 2799,2
Area [uV.Min] 33,7 49,8 53,8 53,3 57,0 55,1 24,9 11,8 21,9 23,6 30,9 43,7 62,0 28,2 26,8 29,5 48,5 52,5 30,0 26,9 42,8 53,8 52,8 53,6 30,0 42,6 42,8 37,7 43,3 41,9 31,5 35,2 37,4 53,5 61,2 62,7 30,3 31,9 33,5 34,5 38,9 44,2 42,0 18,6 27,3 35,0 36,5 39,8 29,4 28,4 39,6 39,7 41,3 43,5 36,8 42,3 48,8 49,7 52,8 64,3
Area % [%] 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
129 Lampiran 18. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Puntong, transek 2. Kode
Name
Time [Min]
EI11a EI11b EI11c EI11d EI11e EI11f EI12a EI12b EI12c EI12d EI12e EI12f EI13a EI13b EI13c EI13d EI13e EI13f EI14a EI14b EI14c EI14d EI14e EI14f EI15a EI15b EI15c EI15d EI15e EI15f EI16a EI16b EI16c EI16d EI16e EI16f EI17a EI17b EI17c EI17d EI17e EI17f EI18a EI18b EI18c EI18d EI18e EI18f EI19a EI19b EI19c EI19d EI19e EI19f EI20a EI20b EI20c EI20d EI20e EI20f
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,38 1,37 1,37 1,37 1,38 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,36 1,36 1,37 1,37 1,36 1.36 1,37 1,36 1,37
Quantity [ppm] 767,70 391,33 536,91 910,02 938,66 739,61 878,29 360,77 627,73 730,38 750,29 843,72 632,06 618,79 682,11 595,07 838,30 1068,24 528,23 204,09 579,04 622,99 675,19 741,94 442,82 734,63 768,44 776,60 806,25 919,53 538,80 561,44 533,48 559,55 720,48 718,45 648,71 514,66 480,40 583,97 630,45 611,89 1199,76 550,99 894,70 983,97 1028,28 1569,59 735,58 439,53 597,51 525,36 507,70 665,40 348,50 308,92 336,00 622,52 865,81 1076,30
Height [uV]
Area [uV.Min]
Area % [%]
1290,2 658,2 906,3 1533,9 1581,0 1245,1 1480,4 608,3 1058,4 1229,4 1263,1 1421,8 1066,5 1041,8 1150,2 1002,9 1412,5 1796,8 891,6 345,0 976,9 1051,7 1139,3 1247,5 746,2 1236,8 1293,2 1307,0 1357,0 1545,3 900,7 942,5 895,3 936,7 1213,6 1200,3 1090,7 864,7 804,5 978,4 1053,7 1021,8 2014,8 927,8 1505,3 1645,7 1716,1 2633,0 1240,2 741,0 1009,6 890,5 860,9 1121,3 589,4 521,1 568,8 1048,9 1464,1 1819,5
29,7 15,1 20,7 35,2 36,3 28,6 33,9 13,9 24,3 28,2 29,0 32,6 24,4 23,9 26,4 23,0 32,4 41,3 20,4 7,9 22,4 24,1 26,1 28,7 17,1 28,4 29,7 30,0 31,1 35,5 20,8 21,7 20,6 21,6 27,8 27,8 25,1 19,9 18,6 22,6 24,4 23,6 46,4 21,3 34,6 38,0 39,7 60,6 28,4 17,0 23,1 20,3 19,6 25,7 13,5 11,9 13,0 24,0 334,0 41,6
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
130 Lampiran 19. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 3. Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
EII21a EII21b EII21c EII21d EII21e EII21f EII22a EII22b EII22c EII22d EII22e EII22f EII23a EII23b EII23c EII23d EII23e EII23f EII24a EII24b EII24c EII24d EII24e EII24f EII25a EII25b EII25c EII25d EII25e EII25f EII26a EII26b EII26c EII26d EII26e EII26f EII27a EII27b EII27c EII27d EII27e EII27f EII28a EII28b EII28c EII28d EII28e EII28f EII29a EII29b EII29c EII29d EII29e EII29f EII30a EII30b EII30c EII30d EII30e EII30f
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,37 1,36 1,37 1,36 1,37 1,36 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1.37 1,37 1,37 1.37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 136 1,37 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37
2426,39 1917,73 2458,39 3110,74 4353,58 4417,92 2468,79 1555,30 1360,40 1562,53 1901,85 1423,03 759,08 723,96 1021,20 1169,71 1076,30 1411,18 1202,00 1062,48 1243,33 1143,78 1168,07 2461,93 848,23 909,13 1099,32 1067,36 1143,77 1380,70 860,41 881,83 1029,42 1192,67 1486,6 2133,38 1041,16 641,66 633,80 754,60 690,46 633,61 1154,62 335,09 428,23 632,32 755,39 1250,59 856,89 922,37 1123,84 1028,26 1346,17 1436,86 1074,77 1322,20 2025,47 2294,20 2508,48 2518,02
4133,8 3254,5 4180,4 4213,7 7349,4 7475,7 4197,2 2618,7 2304,8 2633,3 3219,9 2376,4 1280,6 1221,1 1722,7 1971,3 1819,5 2375,2 2027,8 1778,3 2080,3 1917,6 1971,4 4146,3 1426,2 1530,2 1850,8 1788,8 1914,8 2398,3 1450,1 1485,6 1734,5 2008,6 2504,3 3605,2 1752,0 1079,9 1067,1 1271,3 1164,2 1067,6 1944,1 564,1 719,4 1063,2 1271,5 2101,8 1445,2 1548,8 1887,2 1734,9 2265,2 2423,2 1817,1 2230,9 3416,5 3869,4 4227,5 4246,4
Area [uV.Min] 93,7 74,1 95,0 50,6 168,2 170,7 95,4 60,1 52,6 60,4 73,5 55,0 29,3 28,0 39,5 45,2 41,6 54,5 46,4 41,0 48,0 44,2 45,1 95,1 32.8 35,1 42,5 41,2 44,2 53,3 33,2 34,1 39,8 46,1 57,4 82,4 40,2 24,8 24,5 29,2 26,7 24,5 44,6 12,9 16,5 24,4 29,2 48,3 33,1 35,6 43,4 39,7 52,0 55,5 41,5 51,1 78,2 88,6 96,9 97,3
Area % [%] 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
131 Lampiran 20. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 4. Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
Area [uV.Min]
Area % [%]
EII31a EII31b EII31c EII31d EII31e EII31f EII32a EII32b EII32c EII32d EII32e EII32f EII33a EII33b EII33c EII33d EII33e EII33f EII34a EII34b EII34c EII34d EII34e EII34f EII35a EII35b EII35c EII35d EII35e EII35f EII36a EII36b EII36c EII36d EII36e EII36f EII37a EII37b EII37c EII37d EII37e EII37f EII38a EII38b EII38c EII38d EII38e EII38f EII39a EII39b EII39c EII39d EII39e EII39f EII40a EII40b EII40c EII40d EII40e EII40f
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,36 1,36 1,37 1,36 1,37 1.36 1,37 1,36 1,37 1,36 1,37 1,37 1,36 1,36 1,37 1,37 1,36 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,38 1,38 1,37 1,37
462,50 551,50 640,92 793,12 796,66 917,30 423,17 816,11 892,82 940,11 1080,24 1352,06 724,38 811,22 866,13 975,51 1088,25 1240,25 710,43 1185,30 1268,40 1506,68 1782,64 1935,75 1211,18 1492,16 1645,32 1184,58 1982,09 2322,86 1462,06 1624,49 2453,49 1307,63 2300,51 1017,92 877,57 966,88 992,36 1124,15 1273,97 1331,64 1233,47 1055,08 1120,27 1158,59 1448,98 1801,56 650,07 655,80 889,53 959,28 1209,49 1435,22 1122,54 1364,94 1768,43 1864,49 2158,28 1861,58
781,8 932,0 1080,0 1346,2 1334,4 1552,9 715,7 1377,8 1501,5 1586,6 1818,9 2278,6 1222,3 1371,1 1456,6 1642,4 1838,2 2096,5 1195,3 1996,9 2133,0 2542,7 3006,7 3262,3 2042,2 2517,7 2770,6 1996,2 3336,7 3909,5 2461,8 2735,2 4108,6 2280,1 3865,5 1709,8 1465,6 1627,5 1692,5 1888,8 2130,1 2222,5 2063,8 1764,0 1869,7 1936,4 2414,1 3013,7 1095,6 1104,3 1489,8 1606,5 2021,0 2396,8 1874,8 2276,9 2949,8 3106,5 3621,9 3122,7
17,9 21,3 24,8 30,6 30,8 35,4 16,3 31,5 34,5 36,3 41,7 52,2 28,0 31,3 33,5 37,7 42,0 47,9 27,4 45,8 49,0 58,2 68,9 74,8 46,8 57,6 63,6 45,8 76,6 89,7 56,5 62,8 94,8 50,5 88,9 39,3 33,9 37,4 38,3 43,4 49,2 51,4 47,7 40,8 43,3 44,8 56,0 69,6 25,1 25,3 34,4 37,1 46,7 55,4 43,4 52,7 68,3 72,0 83,4 71,9
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
132 Lampiran 21. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 5. Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
EII41a EII41b EII41c EII41d EII41e EII41f EII42a EII42b EII42c EII42d EII42e EII42f EII44a EII44b EII44c EII44d EII44e EII44f EII43a EII43b EII43c EII43d EII43e EII43f EII45a EII45b EII45c EII45d EII45e EII45f EII46a EII46b EII46c EII46d EII46e EII46f EII47a EII47b EII47c EII47d EII47e EII47f EII48a EII48b EII48c EII48d EII48e EII48f EII49a EII49b EII49c EII49d EII49e EII49f EII50a EII50b EII50c EII50d EII50e EII50f
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,38 1,36 1,37 1,36 1,36 1,36 1,36 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,36 1,37 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,39 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,37 1,37 1,37
530,58 731,67 731,67 945,99 1257,33 1598,26 990,10 485,09 1266,01 1504,12 1654,23 1967,72 1071,51 1531,03 1781,90 2057,96 2498,48 1360,10 759,08 723,96 1021,20 1169,71 920,55 1411,18 1058,90 842,33 1168,61 1562,92 1845,11 2098,86 1669,94 864,49 1406,78 2988,04 3002,35 3380,55 631,19 654,73 815,02 525,96 1057,42 1167,48 642,79 910,12 1307,47 1436,01 1665,66 1487,25 485,07 346,96 500,44 648,51 771,39 926,89 928,05 454,89 830,04 972,68 1219,04 1721,83
901,9 1238,5 1415,2 1601,0 2125,0 2665,1 1670,7 819,6 2137,8 2537,4 2789,8 3318,6 1805,5 2579,9 2996,8 3462,9 4207,8 2291,3 1280,6 1221,1 1722,7 1971,3 1544,5 2375,2 1768,7 1407,2 2033,3 2626,2 3083,6 3508,7 2792,1 1447,3 2356,2 5061,3 4678,8 5673,2 1059,3 1096,7 1359,2 881,6 1766,1 1949,1 1078,0 1516,3 2192,5 2402,8 2787,1 2485,5 812,0 580,9 837,9 1083,4 1289,7 1550,6 1551,9 762,0 1388,2 1626,7 2037,1 2873,5
Area [uV.Min] 20,5 28,3 32,3 36,5 48,6 61,7 38,3 18,7 48,9 58,1 63,9 76,0 41,4 59,1 68,8 79,5 96,5 52,5 29,3 28,0 39,5 45,2 35,6 54,5 40,9 32,5 45,1 60,4 71,3 81,1 64,5 33,4 54,3 115,4 116,0 130,6 24,4 25,3 31,5 20,3 40,9 45,1 24,8 35,2 50,5 55,5 64,3 57,5 18,7 13,4 19,3 25,1 29,8 35,8 35,9 17,6 32,1 37,6 47,1 66,5
Area % [%] 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
133 Lampiran 22. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 6.
Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
Area [uV.Min]
Area % [%]
EII51a EII51b EII51c EII51d EII51e EII51f EII52a EII52b EII52c EII52d EII52e EII52f EII53a EII53b EII53c EII53d EII53e EII53f EII54a EII54b EII54c EII54d EII54e EII54f EII55a EII55b EII55c EII55d EII55e EII55f EII56a EII56b EII56c EII56d EII56e EII56f
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,38 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37
203,81 374,15 518,46 711,84 800,59 896,62 436,04 648,96 609,31 675,04 705,44 744,25 647,26 550,47 632,93 831,17 851,58 986,93 967,52 649,18 894,86 1205,98 1043,64 1217,63 640,85 383,58 519,02 669,23 823,41 823,41 925,57 809,05 855,02 1017,15 1306,11 1441,45
342,6 627,0 868,0 1194,1 1403,2 1505,1 735,4 1082,9 1016,4 1139,1 1190,4 1250,9 1085,5 818,2 1075,7 1393,5 1425,5 1651,8 1620,1 1151,3 1501,8 2021,2 1749,4 2038,8 1072,4 642,3 882,7 1117,8 1374,4 1374,4 1603,9 1359,6 1439,2 1711,2 2192,9 2419,7
7,9 14,5 20,0 27,5 29,2 34,6 16,8 25,1 23,5 26,1 27,3 28,8 25,0 21,3 24,5 32,1 32,9 38,1 37,4 25,1 34,6 46,6 40,3 47,0 24,8 14,8 20,1 25,9 31,8 31,8 35,8 31,3 33,0 39,3 50,5 55,7
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
134 Lampiran 23. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek 7. Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
Area [uV.Min]
EII57a EII57b EII57c EII57d EII57e EII57f EII58a EII58b EII58c EII58d EII58e EII58f EII59a EII59b EII59c EII59d EII59e EII59f EII60a EII60b EII60c EII60d EII60e EII60f EII61a EII61b EII61c EII61d EII61e EII61f EII62a EII62b EII62c EII62d EII62e EII62f
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,36 1,37 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36
784,46 450,14 726,33 731,30 959,56 1237,06 573,01 662,48 835,97 411,03 1052,65 1114,52 772,52 1018,53 937,91 1122,06 898,46 953,34 822,52 881,50 1086,37 1051,51 1578,02 1611,80 590,56 985,20 1012,71 1022,78 1063,94 1139,04 844,27 376,92 1296,23 572,89 1348,31 35004,62
1317,8 757,2 1217,8 1225,8 1606,8 2069,8 959,3 1108,8 1397,5 688,3 1758,4 1861,2 1290,5 1698,8 1565,2 1871,4 1516,0 1605,1 1384,2 1483,5 1827,2 1773,3 2661,3 2705,0 1003,2 1670,7 1718,0 1731,5 1799,0 1935,1 1428,0 637,1 2188,4 970,0 2279,6 5660,4
30,3 17,4 28,1 28,3 37,1 47,8 22,1 25,6 32,3 15,9 40,7 43,1 29,8 39,3 36,2 43,3 34,7 36,8 31,8 34,1 42,0 40,6 61,0 62,3 22,8 38,1 39,1 39,5 41,1 44,0 32,6 14,6 50,1 22,1 52,1 1352,3
Area % [%] 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
135 Lampiran 24. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Cot Gajah Mati, transek 8.
Kode EIII63a
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
Area [uV.Min]
Area % [%]
CO2
1,36
547,53
930,6
21,2
100
EIII63b
CO2
1,36
633,92
1079,5
24,5
100
EIII63c
CO2
1,36
978,80
1659,8
37,8
100
EIII63d
CO2
1,36
1212,29
2044,6
46,8
100
EIII63e
CO2
1,36
1518,31
2570,2
58,7
100
EIII63f
CO2
1,36
1873,18
3161,9
72,4
100
EIII64a
CO2
1,36
1129,26
1912,2
43,6
100
EIII64b
CO2
1,36
553,15
938,5
21,4
100
EIII64c
CO2
1,36
1494,11
2531,5
57,7
100
EIII64d
CO2
1,36
1594,30
2689,6
61,6
100
EIII64e
CO2
1,36
1623,93
2743,6
62,7
100
EIII64f
CO2
1,36
1867,84
3167,6
72,2
100
EIII65a
CO2
1,36
1527,64
2583,5
59,0
100
EIII65b
CO2
1,36
2255,24
3811,4
87,1
100
EIII65c
CO2
1,36
2369,17
4010,2
91,5
100
EIII65d
CO2
1,36
2404,13
4056,1
92,9
100
EIII65e
CO2
1,36
2607,48
4403,2
100,7
100
EIII65f
CO2
1,36
3002,25
5073,5
116,0
100
Lampiran 25. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Cot Gajah Mati, transek 9.
Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
Area [uV.Min]
Area % [%]
EIII66a EIII66b EIII66c EIII66d
CO2 CO2 CO2 CO2 CH4 CO2 CO2 CH4 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,36 1,36 1,36 1,36 1,05 1,36 1,36 1,05 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36
347,05 442,66 854,26 817,48 10,09 912,10 4068,76 9,63 1328,82 792,69 1020,70 1411,30 1304,81 1990,53 3703,01 1061,22 1161,08 1126,55 1166,84 1218,80 1351,15
581,1 749,1 1450,9 1387,4 11,4 1547,6 6869,1 10,6 2253,6 1340,6 1734,6 2386,6 2202,7 3362,6 6248,9 1794,7 1967,0 1904,1 1975,0 2056,1 2286,5
13,4 17,1 33,0 31,6 0,2 35,2 157,2 0,2 51,3 30,6 39,4 54,5 50,4 76,9 143,1 41,0 44,9 43,5 45,1 47,1 52,2
100 100 100 100 0,086 100 99,897 0,103 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
EIII66e
EIII66f EIII67a EIII67b EIII67c EIII67d EIII67e EIII67f EIII68a EIII68b EIII68c EIII68d EIII68e EIII68f
136 Lampiran 26. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di hutan Cot Gajah Mati, transek 10. Kode EIII69a EIII69b EIII69c EIII69d EIII69e EIII69f EIII70a EIII70b EIII70c EIII70d EIII70e EIII70f EIII71a EIII71b EIII71c EIII71d EIII71e EIII71f
CO2 CO2 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
Area [uV.Min]
Area % [%]
1,36 1,05 1,37 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,36 1,37 1,37 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05 1,36 1,05
2327,56 41,18 832,44 7,45 2268,02 31,75 2615,41 39,57 4995,44 81,46 5731,57 68,02 1405,37 57,41 3150,73 24,92 1704,76 1915,20 2017,25 2673,54 8144,09 30,92 5572,35 12,36 5289,73 10,40 7 123,46 17,62 11680,56 34,03 10328,61 27,93
3940,9 41,3 1407,3 8,4 3831,0 32,2 4419,8 39,8 8436,0 78,5 9671,2 65,9 2371,3 56,0 5322,6 25,8 2879,2 3226,0 3397,7 4502,5 13731,5 31,5 9400,4 14,0 8920,1 11,8 12008,9 18,9 19642,9 34,6 17386,3 29,1
89,9 0,7 32,2 0,1 87,6 0,5 101,0 0,7 193,0 1,4 221,4 1,1 54,3 1,0 121,7 0,4 65,9 74,0 77,9 103,3 314,6 0,5 215,3 0,2 204,4 0,2 275,2 0,3 451,3 0,6 399,0 0,5
99,233 0,767 99,611 0,389 99,392 0,608 99,344 0,656 99,293 0,707 99,484 0,516 99,527 0,473 99,656 0,344 100 100 100 100 99,834 0,166 99,903 0,097 99,914 0,086 99,892 0,108 99,873 0,127 99,882 0,118
Lampiran 27. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di semak Simpang, transek 11. Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
EIII72a EIII72b EIII72c EIII72d EIII72e EIII72f EIII73a EIII73b EIII73c EIII73d EIII73e EIII73f EIII74a EIII74b EIII74c EIII74d
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4
1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,36 1,37 1,36 1,36 1,36 1,37 1,37 1,36 1,36 1,36 1,36 1,05 1,37 1,05 1,36 1,05
698,15 812,47 956,39 981,99 1162,72 1618,74 579,00 712,84 764,45 830,16 1225,45 1603,84 871,76 346,68 764,88 1855,76 11,06 2700,80 18,79 3130,11 22,03
1188,1 1368,0 1613,9 1657,0 1961,5 2744,4 978,1 1204,9 1297,0 1402,6 2065,5 2701,1 1476,2 584,8 1299,7 3133,5 12,6 4555,1 20,1 5282,1 23,1
EIII74e EIII74f
Area [uV.Min] 27,0 31,4 36,9 37,9 44,9 62,5 22,4 27,5 29,5 32,1 47,3 62,0 33,7 13,4 29,5 71,7 0,2 104,3 0,3 120,9 0,4
Area % [%] 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 99,740 0,260 99,697 0,303 99,694 0,306
137 Lampiran 28. Analisis konsentrasi gas CO2 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) di hutan Simpang, transek 12.
Kode
Name
Time [Min]
Quantity [ppm]
Height [uV]
Area Area [uV.Min] % [%]
EIII75a
CO2
1,37
584,41
983,7
22,6
100
EIII75b
CO2
1,36
860,56
1457,4
33,2
100
EIII75c
CO2
1,37
957,55
1613,5
37,0
100
EIII75d
CO2
1,37
1065,67
1798,7
41,2
100
EIII75e
CO2
1,36
1290,14
2181,7
49,8
100
EIII75f
CO2
1,36
1433,89
2422,2
55,4
100
EIII76a
CO2
1,37
524,18
883,7
20,3
100
EIII76b
CO2
1,37
688,00
1159,3
26,6
100
EIII76c
CO2
1,37
673,17
1136,1
26,0
100
EIII76d
CO2
1,37
747,63
1259,5
28,9
100
EIII76e
CO2
1,36
920,11
1556,3
35,5
100
EIII76f
CO2
1,37
984,42
1662,7
38,0
100
EIII77a
CO2
1,37
749,90
1264,8
29,0
100
EIII77b
CO2
1,37
651,78
1099,1
25,2
100
EIII77c
CO2
1,36
764,85
1296,3
29,5
100
EIII77d
CO2
1,36
764,88
1299,7
29,5
100
EIII77e
CO2
137
847,06
1429,1
32,7
100
EIII77f
CO2
1,37
850,21
1434,5
32,8
100
138 Lampiran 29. Analisis konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada bulan OktoberNovember 2008 (musim hujan) di hutan Cot Gajah Mati. Kode EIII78a EIII78b EIII78c EIII78d EIII78e EIII78f EIII79a EIII79b EIII79c EIII79d EIII79e EIII779 EIII80a EIII80b EIII80c EIII80d EIII80e EIII80f EIII81a EIII81b EIII81c EIII81d EIII81e EIII81f EIII82a EIII82b EIII82c EIII82d EIII82e EIII82f
Name
Time [Min]
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CO2 CO2 CO2 CH4 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2
1,36 1,36 1,36 1,37 1,36 1,36 1,37 1,05 1,36 1,09 1,37 1,05 1,37 1,05 1,37 1,05 1,36 1,05 1,37 1,09 1,36 1,36 1,36 1,37 1,09 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,37 1,36 1,37 1,37 1,36 1,37 1,36 1,36
Quantit [ppm] 951,36 1183,63 1372,67 1141,92 2083,78 2512,05 1090,76 13,76 1222,43 12,57 1355,21 18,98 1159,52 11,59 1194,42 10,37 1364,32 11,04 582,67 1498,39 917,85 946,16 1013,05 1040,75 1111,63 1235,96 836,12 665,15 768,80 834,56 704,43 1004,64 1085,00 735,61 1006,96 1496,59 1496,59 1437,20
Height [uV] 1606,2 2016,6 2328,3 1927,5 3529,6 4265,5 1834,0 15,3 2078,2 64,0 2277,5 19,8 1951,4 12,9 2010,9 11,7 2312,7 12,7 981,3 1111,8 1558,5 1596,8 1713,8 1755,1 824,6 2093,4 1423,3 1127,5 1305,2 1409,1 1190,4 1705,9 1827,0 1323,4 1711,2 2522,7 2522,7 2422,3
Area Area [uV.Min] % [%] 36,8 45,7 53,0 44,1 80,5 97,0 42,1 0,2 47,2 7,6 52,4 0,3 44,8 0,2 46,1 0,2 52,7 0,2 22,5 25,3 35,5 36,6 39,1 40,2 18,8 47,7 32,3 25,7 29,7 32,2 27,2 38,8 41,9 28,4 38,9 57,8 57,8 55,5
100 100 100 100 100 100 99,452 0,548 86,159 3,841 99,392 0,608 99,566 0,434 99,622 0,378 99,648 0,352 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
139 Lanjutan.
Kode EIII83a EIII83b EIII83c EIII83d EIII83e EIII83f EIII84a EIII84b EIII84c EIII84d EIII84e EIII84f EIII85a EIII85b EIII85c EIII85d EIII85e EIII85f EIII86a EIII86b EIII86c EIII86d EIII86e EIII86f
Name
Time [Min]
CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CH4 CO2 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4 CO2 CH4
1,37 1,37 1,37 1,36 1,36 1,36 1,36 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,37 1,06 1,37 1,37 1,05 1,37 1,05 1,37 1,05 1,37 1,05 1,37 1,05 1,37 1,05 1,37 1,05 1,37 1,06 1,37 1,05 1,37 1,06
Quantity [ppm] 528,54 629,32 695,24 697,30 726,25 787,36 450,97 681,16 787,48 905,40 975,12 984,32 1347,51 63,46 766,28 738,13 10,61 780,68 10,81 923,24 11,33 1009,96 12,16 1085,22 85,26 581,55 44,11 925,41 57,42 1124,51 78,79 1226,41 76,73 1770,79 110,26
Height [uV] 890,1 1059,8 1172,9 1178,2 1226,2 1330,4 761,4 1146,4 1325,4 1525,3 1645,5 1658,6 2252,5 61,0 1292,2 1240,4 12,2 1312,3 12,4 1553,8 12,7 1697,6 13,5 1821,3 81,4 976,9 42,5 1550,8 55,9 1883,1 75,3 2066,0 73,3 2960,4 103,6
Area Area [uV.Min] % [%] 20,4 24,3 26,9 26,9 28,1 30,4 17,4 26,3 30,4 35,0 37,7 38,0 52,1 1,1 29,6 28,5 0,2 30,2 0,2 35,7 0,2 39,0 0,2 41,9 1,4 22,5 0,7 35,8 1,0 43,4 1,3 47,4 1,3 68,4 1,9
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 97,985 2,015 100 99,376 0,624 99,399 0,601 99,467 0,533 99,477 0,523 96,683 3,317 96,794 3,206 97,362 2,638 97,031 2,969 97,340 2,660 97,353 2,647
140 Lampiran 30. Tinggi efektif sungkup (h) pada analisis konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) Kode Lokasi
Pengamatan Tinggi Sungkup (cm) Pada Menit Ke 0 5 10 15 25 35
Rata-Rata (cm)
EI1
14,3
15,5
14,0
15,9
14,6
15,4
14,95
EI2
10,2
10,6
11,0
11,0
10,4
10,5
10,62
EI3
15,5
17,5
16,2
17,7
17,6
16,1
16,77
EI4
9,5
11,1
9,8
9,9
10,6
10,5
10,23
EI5
10,1
9,6
11,5
11,7
10,7
10,1
10,62
EI6
11,3
11,2
11,0
12,0
10,6
11,7
11,30
EI7
13,4
13,1
14,5
15,9
13,8
14,6
14,22
EI8
13,0
13,2
14,8
13,7
15,5
12,2
13,73
EI9
11,1
11,2
11,8
11,3
11,2
10,5
11,18
EI10
11,6
13,0
10,9
9,7
9,8
10,0
10,83
EI11
11,5
11,5
11,0
11,5
11,7
11,5
11,45
EI12
12,5
12,5
12,4
12,0
13,4
13,5
12,72
EI13
12,0
12,1
12,4
13,5
11,5
11,4
12,15
EI14
13,5
13,6
12,6
12,4
12,7
13,0
12,97
EI15
12,5
10,3
11,5
11,4
12,5
12,0
11,70
EI16
9,0
11,0
11,5
11,6
11,5
9,5
10,68
EI17
13,0
13,2
12,6
13,1
13,4
12,5
12,97
EI18
11,2
11,1
11,0
11,4
12,0
12,6
11,55
EI19
11,9
11,8
12,1
11,5
11,6
11,4
11,72 12,67
EI20
12,7
12,9
11,7
12,4
13,7
12,6
EII21
9,3
9,2
9,4
9,1
9,0
9,3
9,22
EII22
10,0
10,6
10,4
11,3
10,4
10,3
10,50
EII23
10,6
11,4
12,3
12,6
12,6
12,4
11,98
EII24
9,6
8,4
10,8
11,4
10,4
10,0
10,10
EII25
10,6
12,1
12,1
11,2
10,8
12,4
11,53
EII26
11,9
10,4
11,6
12,0
11,5
12,4
11,63
EII27
12,1
12,5
11,6
17,8
12,3
11,0
12,88
EII28
10,3
10,5
9,7
10,6
11,1
10,4
10,43
EII29
10,8
11,7
11,6
10,9
11,0
10,7
11,12
EII30
10,2
10,2
11,6
11,4
11,0
10,3
10,78
EII31
15,4
16,6
15,4
13,3
15,2
15,4
15,22
EII32
11,4
11,2
12,3
11,1
10,4
10,7
11,18
EII33
13,8
14,2
13,1
14,4
13,6
13,4
13,75
EII34
11,5
11,0
10,5
11,6
11,0
11,1
11,12
EII35
11,0
10,1
10,0
11,5
12,1
10,3
10,83
EII36
10,3
9,8
9,4
10,5
10,7
11,1
10,30
EII37
11,4
10,6
10,3
10,6
12,0
10,6
10,92
EII38
11,1
12,4
13,7
12,4
14,0
13,7
12,88
EII39
10,9
10,3
10,5
10,5
10,6
11,6
10,73
EII40
11,5
10,2
11,2
11,3
11,5
11,6
11,22
EII41
11,1
11,5
11,6
11,7
11,3
11.2
11,40
EII42
11,4
10,9
10,6
10,9
11,0
11,6
11,07
EII43
10,7
11,2
11,4
10,6
10,0
10,6
10,75
141 Lanjutan. Kode Lokasi
Pengamatan Tinggi Sungkup (cm) pada Menit Ke 0 5 10 15 25 35
Rata-Rata (cm)
EII44
10,1
10,0
10,4
10,7
10,8
9,6
10,27
EII45
15,5
14,4
14,6
15,7
14,6
15,0
14,97
EII46
10,9
10,6
10,0
10,1
10,6
10,8
10,50
EII47
11,0
11,5
11,7
11,0
11,4
11,6
11,37
EII48
10,5
11,4
11,1
11,6
10,9
11,0
11,08
EII49
14,7
14,8
15,0
15,5
15,4
14,3
14,95
EII50
10,4
10,4
10,4
10,3
10,1
10,6
10,37
EII51
10,6
10,8
11,0
11,6
11,0
10,4
10,90
EII52
10,7
10,5
11,1
9,9
11,2
10,6
10,67
EII53
12,6
14,3
13,2
10,9
11,9
13,6
12,75
EII54
12,5
12,1
13,3
12,4
12,6
12,6
12,58
EII55
14,7
14,1
14,1
14,2
13,7
124,0
13,87
EII56
14,1
14,6
14,4
14,6
15,2
14,6
14,58
EII57
11,5
11,6
11,7
10,5
11,5
11,4
11,37
EII58
12,6
11,0
12,3
12,4
12,4
12,8
12,25
EII59
9,5
9,4
9,4
9,7
9,2
10,1
9,55
EII60
10,1
10,6
10,6
12,1
10,7
10,0
10,68
EII61
10,7
11,2
11,0
11,1
11,5
11,2
11,12
EII62
9,0
9,8
10,1
10,0
10,1
10,7
10,10
EIII63
19,2
18,4
18,6
19,7
19,1
19,0
19,00
EIII64
17,0
18,0
17,0
18,0
17,0
17,9
17,48
EIII65
14,7
14,6
14,6
14,2
15,6
15,3
14,96
EIII66
15,7
15,7
14,7
13,4
15,6
15,4
15,08
EIII67
13,8
13,4
13,3
14,0
12,2
12,4
13,18
EIII68
13,4
13,6
12,7
13,4
15,8
14,4
13,88
EIII69
16,4
16,6
16,8
15,2
16,9
16,1
16,33
EIII70
22,6
22,3
21,5
20,4
19,2
20,0
21,00
EIII71
19,5
19,0
18,4
17,6
19,4
18,7
18,77
EIV72
16,4
16,5
17,0
16,7
13,3
16,6
16,08
EIV73
11,3
11,7
11,9
11,8
12,6
11,0
11,72
EIV74
12,9
10,5
11,6
13,2
12,1
11,4
11,95
EIV75
15,4
15,5
16,0
13,4
14,3
17,5
15,35
EIV76
24,2
23,3
23,0
24,0
23,0
21,9
23,23
EIV77
15,1
17,1
15,4
16,1
17,4
16,9
16,33
EIII78
12,7
12,4
11,6
11,3
12,0
11,1
11,85
EIII79
13,4
15,6
15,0
15,1
15,4
15,8
15,05
EIII80
14,8
14,6
14,4
14,4
14,5
12,5
14,20
EIII81
15,4
16,3
17,3
15,8
16,4
14,0
15,87
EIII82
17,1
16,6
14,2
14,3
16,0
17,6
15,97
EIII83
16,6
18,2
18,6
17,7
17,0
17,6
17,62
EIII84
12,4
12,3
16,0
16,0
15,1
12,4
14,03
EIII85
15,5
15,8
16,6
17,1
17,4
15,5
16,32
EIII86
16,0
16,3
14,4
15,3
15,4
15,7
15,52
142 Lampiran 31. Suhu dalam sungkup pada analisis konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) Kode Lokasi
Pengamatan Suhu Sungkup (oC) pada Menit Ke 0 5 10 15 25 35
RataRata (oC)
EI1
28,5
28,7
29,1
29,1
29,1
29,4
28,98
EI2
25,7
25,9
25,9
26,7
26,7
26,7
26,27
EI3
33,1
33,6
34,3
35,5
37,5
37,6
35,27
EI4
32,3
32,9
33,7
35,1
37,4
37,2
34,77
EI5
38,6
39,3
40,0
40,4
42,3
41,5
40,35
EI6
40,2
40,6
39,7
40,5
41,8
40,3
40,52
EI7
33,6
33,7
34,3
34,3
36,4
37,9
35,03
EI8
33,8
33,9
33,9
33,9
34,7
35,5
34,28
EI9
33,9
33,8
33,5
33,3
33,0
32,6
33,35
EI10
30,1
30,0
29,9
29,8
29,8
29,9
29,92
EI11
28,4
28,6
29,8
30,9
31,3
31,5
30,08
EI12
28,1
30,5
30,9
32,0
32,2
32,5
31,03
EI13
37,1
37,7
39,8
40,8
44,1
46,8
41,05
EI14
35,3
35,8
36,8
38,1
39,5
42,2
37,95
EI15
40,4
42,0
43,2
43,7
44,5
43,9
42,95
EI16
43,1
43,5
45,1
45,4
45,1
44,4
44,43
EI17
46,8
48,2
48,6
50,1
51,5
52,5
49,62
EI18
48,5
49,9
51,1
51,1
52,4
52,5
50,92
EI19
46,7
47,9
49,7
50,4
50,7
50,4
49,30
EI20
43,9
43,7
43,1
43,1
41,9
40,6
42,72
EII21
51,0
51,6
52,0
52,9
53,1
54,1
52,45
EII22
45,3
46,2
46,9
47,5
48,7
49,3
47,32
EII23
24,0
24,4
25,0
25,9
26,6
26,7
25,43
EII24
23,9
24,1
25,3
256,0
25,9
26,0
25,13
EII25
32,1
34,3
35,0
37,1
39,2
40,1
36,30
EII26
30,5
31,4
31,9
32,5
33,7
35,1
32,52
EII27
29,8
29,8
29,5
29,4
29,7
31,0
29,87
EII28
29,4
29,4
29,3
29,2
29,9
30,0
29,53
EII29
39,2
40,1
40,5
42,1
45,3
47,1
42,38
EII30
32,9
33,4
33,7
34,3
35,3
35,1
34,12
EII31
24,3
24,5
24,7
25,0
25,5
26,1
25,02
EII32
25,0
25,4
25,9
26,5
28,4
30,7
26,98
EII33
26,8
26,7
26,7
26,3
26,6
27,7
26,80
EII34
26,7
26,3
26,6
26,9
27,4
27,4
26,88
EII35
32,2
34,1
35,3
35,9
40,0
40,2
36,28
EII36
36,5
38,5
36,9
40,0
44,0
44,9
40,13
EII37
31,8
32,1
32,3
32,3
32,5
33,1
32,35
EII38
31,9
31,9
31,9
31,9
31,8
32,1
31,92
EII39
39,2
39,3
39,4
39,5
39,3
37,2
38,98
EII40
35,9
36,1
37,0
37,1
37,1
35,5
36,45
EII41
25,5
25,6
25,8
26,0
26,4
26,8
26,02
EII42
25,3
25,7
25,8
25,9
26,3
26,9
25,98
143 Lanjutan. Kode Lokasi
Pengamatan Suhu Sungkup (oC) pada Menit Ke 0 5 10 15 25 35
RataRata (oC)
EII43
29,0
29,1
29,5
29,7
29,7
29,5
29,42
EII44
31,3
31,9
32,1
31,9
31,9
31,9
31,83
EII45
30,1
30,2
29,9
29,8
30,2
30,5
30,12
EII46
29,6
29,6
29,5
29,5
29,6
29,7
29,58
EII47
35,9
36,9
38,1
37,9
33,1
37,7
36,60
EII48
32,3
32,4
32,5
32,7
31,9
33,9
32,62
EII49
36,5
37,5
38,5
39,5
40,8
43,1
39,32
EII50
32,7
33,0
33,2
33,5
34,3
35,5
33,70
EII51
27,1
28,1
28,8
29,2
29,8
30,2
28,87
EII52
28,4
28,5
28,7
28,9
29,7
31,1
29,22
EII53
27,0
27,3
27,9
29,3
30,2
30,2
28,65
EII54
26,6
26,9
27,1
27,5
27,5
27,5
27,18
EII55
24,9
25,0
25,5
25,7
26,1
26,1
25,55
EII56
24,8
25,0
25,3
25,4
25,9
25,4
25,30
EII57
33,0
33,2
34,1
35,1
35,0
35,9
34,38
EII58
29,7
30,1
30,7
31,5
31,9
32,1
31,00
EII59
37,4
38,8
39,0
40,0
41,1
41,3
39,60
EII60
32,3
32,7
33,1
33,6
33,9
34,2
33,30
EII61
42,9
43,4
43,6
43,0
43,2
44,2
43,38
EII62
35,9
36,2
36,5
36,3
36,3
36,7
36,32
EIII63
32,2
33,1
33,3
34,5
34,7
35,7
33,92
EIII64
35,9
35,6
35,3
35,2
35,0
35,0
35,33
EIII65
33,3
33,2
33,1
32,9
32,2
29,8
32,42
EIII66
30,2
30,5
308,0
31,5
33,1
33,1
31,53
EIII67
31,5
31,5
31,4
31,3
30.2
30,0
30,98
EIII68
31,6
32,3
32,8
33,3
34,1
34,1
33,03
EIII69
33,1
33,5
33,4
33,3
33,6
33,5
33,40
EIII70
32,3
32,0
31,6
31,6
31,5
31,2
31,70
EIII71
33,5
33,6
33,6
33,8
33,8
38,8
34,52
EIV72
31,8
32,5
33,2
33,9
33,9
40,2
34,25
EIV73
24,8
24,9
25,1
25,2
25,4
25,6
25,17
EIV74
38,2
39,4
39,9
39,9
40,0
38,8
39,37
EIV75
31,3
31,3
31,3
31,3
31,3
31,3
31,30
EIV76
36,1
37,0
36,0
36,3
34,4
34,4
35,70
EIV77
41,9
40,7
39,0
3,0
38,7
37,5
39,47
EIII78
29,1
29,1
29,7
29,9
30,1
30,1
29,67
EIII79
29,4
29,7
29,8
30,1
30,5
30,9
30,07
EIII80
32,3
33,0
33,0
33,5
34,4
45,4
35,27
EIII81
28,1
28,1
28,1
27,9
27,1
27,1
27,73
EIII82
29,2
29,8
30,2
32,1
32,1
34,9
31,38
EIII83
26,5
26,5
26,5
26,5
26,5
26,5
26,50
EIII84
29,7
29,7
29,5
29,5
29,3
29,3
29,50
EIII85
29,9
29,8
29,5
29,5
29,5
29,1
29,55
EIII86
29,1
29,0
29,0
28,1
28,5
28,3
28,67
144 Lampiran 32. Hasil pengukuran konsentrasi CO2 dengan metode titrasi pada bulan Mei – Juni 2008 (musim kemarau). Tipe penggunaan lahan Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 5 (NR) Kelapa Sawit TBM 5 (R) Kelapa Sawit TBM 5 (NR) Kelapa Sawit TBM 5 (R) Kelapa Sawit TBM 5 (NR) Kelapa Sawit TBM 5 (R)
Titik Pengamatan
0
1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 1 1 2 2 3 3
0,19 0,19 0,10 0,17 0,09 0,14 0,12 0,19 0,17 0,18 0,12 0,14 0,11 0,17 0,12 0,10 0,10 0,12 0,12 0,13 0,17 0,13 0,13 0,19 0,10 0,10 0,13 0,09 0,15 0,11 0,12 0,14 0,06 0,17 0,12 0,14 0,13 0,18 0,18 0,17 0,07 0,16 0,18 0,12 0,13 0,11
Konsentrasi CO2 (ppm) pada menit ke 5 10 15 25 35 0,20 0,29 0,17 0,20 0,12 0,12 0,17 0,20 0,13 0,18 0,13 0,12 0,11 0,16 0,06 0,15 0,12 0,12 0,25 0,12 0,18 0,08 0,13 0,14 0,14 0,14 0,17 0,12 0,13 0,15 0,15 0,18 0,12 0,19 0,14 0,18 0,14 0,17 0,18 0,16 0,10 0,12 0,17 010 0,12 0,15
0,17 0,21 0,16 0,15 0,11 0,08 0,17 0,19 0,12 0,15 0,11 0,16 0,12 0,15 0,12 0,08 0,19 0,13 0,13 0,17 0,13 0,19 0,16 0,20 0,12 0,11 0,13 0,15 0,07 0,13 0,18 0,09 0,10 0,11 0,14 0,13 0,12 0,14 0,15 0,17 0,11 0,07 0.13 0,14 0.17 0,17
0,11 0,15 0,08 0,12 0,10 0,14 0,16 0,15 0,09 0,12 0,10 0,03 0,13 0,15 0,12 0,14 0,17 0,12 0,10 0,08 0,09 0,17 0,16 0,12 0,12 0,08 0,11 0,12 0,16 0,17 0,14 0,15 0,10 0,12 0,12 0,10 0,21 0,13 0,13 0,13 0,13 0,11 0,05 0,12 0,13 0,18
0,97 0,13 0,15 0,09 0,12 0,13 0,17 0,11 0,15 0,11 0,10 0,09 0,13 0,13 0,15 0,15 0,16 0,15 0,12 0,10 0,22 0,18 0,16 0,12 0,19 0,13 0,13 0,19 0,16 0,11 0,12 0,14 0,13 0,15 0,15 0,28 0,14 0,11 0,20 0,16 0,15 0,12 0,13 0,11 0,08 0,15
0,14 0,15 0,14 0,12 0,14 0,21 0,15 0,15 0,20 0,14 0,09 0,14 0,10 0,12 0,14 0,11 0,15 0,17 0,12 0,10 0,15 0,10 0,19 0,14 0,15 0,12 0,13 0,17 0,12 0,12 0,16 0,13 0,15 0,15 0,12 0,10 0,18 0,12 0,16 0,12 0,08 0,12 0,13 0,13 0,18 0,15
145 Lanjutan: Tipe penggunaan lahan
Konsentrasi CO2 (ppm) pada menit ke
Titik Pengamatan
0
5
10
15
25
35
Kelapa Sawit TBM 6 (NR)
1
0,17
0,12
0,12
0,19
0,24
0,17
Kelapa Sawit TBM 6 (R)
1
0,15
0,17
0,18
0,13
0,14
0,17
Kelapa Sawit TBM 6 (NR)
2
0,12
0,17
0,15
0,12
0,05
0,07
Kelapa Sawit TBM 6 (R)
2
0,11
0,12
0,17
0,16
0,17
0,17
Kelapa Sawit TBM 6 (NR)
3
0,15
0,17
0,12
0,09
0,13
0,12
Kelapa Sawit TBM 6 (R)
3
0,15
0,16
0,12
0,12
0,07
0,17
Kelapa Sawit TBM 7 (NR)
1
0,11
0,10
0,12
0,20
0,20
0,09
Kelapa Sawit TBM 7 (R)
1
0,10
0,15
0,11
0,11
0,12
0,07
Kelapa Sawit TBM 7 (NR)
2
0,10
0,09
0,12
0,22
0,14
0,12
Kelapa Sawit TBM 7 (R)
2
0,12
0,07
0,03
0,15
0,13
0,08
Kelapa Sawit TBM 7 (NR)
3
0,10
0,12
0,07
0,15
0,22
0,14
Kelapa Sawit TBM 7 (R)
3
0,10
0,08
0,13
0,11
0,09
0,12
Kelapa Sawit kecil 8 (NR)
1
0,14
0,07
0,03
0,19
0,16
0,08
Kelapa Sawit kecil 8 (R)
1
0,12
0,09
0,07
0,08
0,11
0,10
Kelapa Sawit kecil 8 (NR)
2
0,17
0,09
0,09
0,09
0,07
0,07
Kelapa Sawit kecil 8 (R)
2
0,12
0,10
0,09
0,06
0,10
0,07
Kelapa Sawit kecil 8 (NR)
3
0,11
0,15
0,08
0,09
0,12
0,09
Kelapa Sawit kecil 8 (R)
3
0,10
0,08
0,10
0,12
0,11
0,19
Kelapa Sawit kecil 8 (NR)
4
0,12
0,09
0,08
0,07
0,11
0,07
Kelapa Sawit kecil 8 (R)
4
0,11
0,15
0,13
0,23
0,09
0,10
Kelapa Sawit kecil 9 (NR)
1
0,07
0,07
0,04
0,11
0,13
0,16
Kelapa Sawit kecil 9 (R)
1
0,06
0,08
0,13
0,15
0,10
0,12
Kelapa Sawit kecil 9 (NR)
2
0,07
0,09
0,07
0.08
0,09
0,12
Kelapa Sawit kecil 9 (R)
2
0,08
0,08
0,08
0,09
0,08
0,04
Kelapa Sawit kecil 9 (NR)
3
0,05
0,12
0,48
0,10
0,12
0,11
Kelapa Sawit kecil 9 (R)
3
0,08
0,09
0,07
0,12
0,08
0,07
Kelapa Sawit kecil 9 (NR)
4
0,23
0,13
0,12
0,11
0,10
0,14
Kelapa Sawit kecil 9 (R)
4
0,17
0,10
0,13
0,11
0,10
0,14
Kelapa Sawit kecil 10 (NR)
1
0,07
0,10
0,08
0,14
0,14
0,22
Kelapa Sawit kecil 10 (R)
1
0,10
0,19
0,09
0,07
0,07
0,10
Kelapa Sawit kecil 10 (NR)
2
0,21
0,07
0.12
0,09
0,07
0,07
Kelapa Sawit kecil 10 (R)
2
0,07
0,11
0,08
0,13
0,14
0,19
Kelapa Sawit kecil 10 (NR)
3
0,11
0,09
0,12
0,11
0,11
0,10
Kelapa Sawit kecil 10 (R)
3
0,11
0,09
0,07
0,05
0,52
0,08
Kelapa Sawit kecil 10 (NR)
4
0,12
0,10
0,13
0,08
0,08
0,11
Kelapa Sawit kecil 10 (R)
4
0,08
0,09
0,12
0,10
0,22
0,11
146 Lampiran 33 . Hasil pengukuran konsentrasi CO2 dengan metode titrasi pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan). Tipe penggunaan lahan Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 1 (NR) Kelapa Sawit TM 1 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 2 (NR) Kelapa Sawit TM 2 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TM 3 (NR) Kelapa Sawit TM 3 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R) Kelapa Sawit TBM 4 (NR) Kelapa Sawit TBM 4 (R)
Titik Pengamatan 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5
Konsentrasi CO2 (ppm) pada menit ke 0
5
10
15
25
35
0,03 0,06 0,03 0,04 0,06 0,08 0,09 0,11 0,13 0,05 0,06 0,07 0,06 0,07 0,08 0,08 0,12 0,03 0,06 0,06 0,06 0,06 0,10 0,05 0,05 0,06 0,09 0,08 0,03 0,06 0,07 0,08 0,07 0,08 0,04 0,06 0,08 0,06 0,06 0,04
0,05 0,04 0,03 0,03 0,03 0,11 0,04 0,14 0,06 0,08 0,06 0,10 0,05 0,08 0,06 0,08 0,10 0,08 0,09 0,10 0,06 0,06 0,06 0,08 0,09 0,09 0,03 0,06 0,08 0,06 0,12 0,05 0,06 0,06 0,07 0,04 0,10 0,06 0,08 0,10
0,04 0,07 0,03 0,09 0,01 0,05 0,05 0,10 0,05 0,07 0,02 0,06 0,08 0,06 0,08 0,06 0,06 0,09 010 0,10 0,08 0,06 0,06 0,04 0,06 0,05 0,06 0,10 0,06 0,06 0,06 0,04 0,02 0,07 0,08 0,09 0,10 0,10 0,08 0,08
0,06 0,05 0,03 0,03 0,05 0,06 0,03 0,09 0,10 0,08 0,08 0,11 0,02 0,08 0,03 0,08 0,07 0,11 0,13 011 0,04 0,09 0,07 0,10 0,06 0,08 0,04 0,07 0,10 0,11 0,07 0,07 0,05 0,06 0,07 0,14 0,04 0,10 0,09 0,08
0,09 0,03 0,15 0,04 0,03 0,08 0,04 0,02 0,08 0,04 0,06 0,06 0,10 0,08 0,09 0,07 0,08 0,08 0,01 0,06 0,08 0,08 0,07 0,07 0,09 0,05 0,11 0,05 0,03 0,09 0,06 0,08 0,01 0,05 0,04 0,03 0,02 0,04 0,07 0,08
0,16 0,03 0,14 0,03 0,02 0,04 0,02 0,06 0,09 0,07 0,07 0,04 0,08 0,08 0,06 0,06 0,13 0,09 0,09 0,11 0,11 0,13 0,07 0,08 0,10 0,10 0,11 0,10 0,10 0,06 0,06 0,08 0,12 0,06 0,14 0,05 0,06 0,09 0,14 0,11
147 Lanjutan. Tipe penggunaan lahan
Titik Pengamatan
Konsentrasi CO2 (ppm) pada menit ke 0
5
10
15
25
35
Kelapa Sawit TBM 5 (NR)
1
0,06
0,10
0,06
0,08
0,08
0,07
Kelapa Sawit TBM 5 (R)
1
0,07
0,07
0,15
0,09
0,07
0,11
Kelapa Sawit TBM 5 (NR)
2
0,05
0,07
0,14
0,11
0,04
0,11
Kelapa Sawit TBM 5 (R)
2
0,03
0,06
0,07
0,10
0,06
0,14
Kelapa Sawit TBM 5 (NR)
3
0,04
0,06
0,07
0,11
0,10
0,09
Kelapa Sawit TBM 5 (R)
3
0,04
0,06
0,05
0,08
0,11
0,10
Kelapa Sawit TBM 6 (NR)
1
0,07
0,07
0,09
0,12
0,10
0,04
Kelapa Sawit TBM 6 (R)
1
0,06
0,07
0,06
0,09
0,04
0,08
Kelapa Sawit TBM 6 (NR)
2
0,05
0,08
0,04
0,12
0,05
0,07
Kelapa Sawit TBM 6 (R)
2
0,02
0,08
0,10
0,07
0,08
0,07
Kelapa Sawit TBM 6 (NR)
3
0,06
0,06
0,04
0,02
0,05
0,12
Kelapa Sawit TBM 6 (R)
3
0,07
0,04
0,10
0,09
0,08
0,11
Kelapa Sawit TBM 7 (NR)
1
0,08
0,08
0,05
0,06
0,06
0,08
Kelapa Sawit TBM 7 (R)
1
0,07
0,04
0,02
0,04
0,10
0,12
Kelapa Sawit TBM 7 (NR)
2
0,06
0,01
0,10
0,05
0,03
0,06
Kelapa Sawit TBM 7 (R)
2
0,03
0,08
0,05
0,07
0,04
0,04
Kelapa Sawit TBM 7 (NR)
3
0,07
0,11
0,07
0,06
0,02
0,06
Kelapa Sawit TBM 7 (R)
3
0,07
0,06
0,08
0,08
0,03
0,10
Kelapa Sawit kecil 8 (NR)
1
0,06
0,08
0,08
0,08
0,03
0,04
Kelapa Sawit kecil 8 (R)
1
0,05
0,09
0,07
0,06
0,12
0,14
Kelapa Sawit kecil 8 (NR)
2
0,08
0,10
0,09
0,10
0,08
0,09
Kelapa Sawit kecil 8 (R)
2
0,09
0,08
0,10
0,08
0,09
0,13
Kelapa Sawit kecil 8 (NR)
3
0,05
0,06
0,07
0.08
0,08
0,10
Kelapa Sawit kecil 8 (R)
3
0,06
0,03
0,08
0,06
0,03
0,13
Kelapa Sawit kecil 9 (NR)
1
0,02
0,08
0,10
0,10
0,06
0,09
Kelapa Sawit kecil 9 (R)
1
0,02
0,11
0,07
0,09
0,07
0,12
Kelapa Sawit kecil 9 (NR)
2
0,02
0,01
0,04
0,13
0,05
0,10
Kelapa Sawit kecil 9 (R)
2
0,03
0,07
0,08
0,09
0,12
0,15
Kelapa Sawit kecil 9 (NR)
3
0,03
0,08
0,06
0,04
0,15
0,12
Kelapa Sawit kecil 9 (R)
3
0,08
0,04
0,12
0,09
0,04
0,06