PERILAKU PENJAJA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH TENTANG GIZI DAN KEAMANAN PANGAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH DASAR KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
ACI DEBBY OKTORI NASUTION
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERILAKU PENJAJA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH TENTANG GIZI DAN KEAMANAN PANGAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH DASAR KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
ACI DEBBY OKTORI NASUTION
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Perilaku Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah tentang Gizi dan Keamanan Pangan di Lingkungan Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor
Nama
: Aci Debby Oktori Nasution
NIM
: I14076033
Disetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Siti Madanijah, MS NIP. 19491130 197603 2 001
Diketahui Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. NIP. 19621204 198903 2 002
Tanggal lulus:
ABSTRACT ACI DEBBY OKTORI NASUTION. The Behavior of Snack Hawker for Students About Nutrition and Food Safety at the Elementary School Environment in the Bogor City and Bogor District. Supervised by SITI MADANIJAH. The purposes of this research are to identify and to analyze the view of snack hawker for students about nutrition and food safety at the elementary school environment in the Bogor city and Bogor District. The design is a cross-sectional study. The subjects of this research are 47 snack hawkers for students around the Bogor City Bogor District whom are picked by the purposive sampling method. Descriptive statistical method is used to process all the data. The subjects are dominated by man (72.3%) and about 68.1% of them are in the early-adult age (18 – 40). Most of the subjects are elementary school graduated and at the same percentage of it, subjects are not poor. Most of them has been doing this job for about 1- 5 years (44.7%) and 90% of all the subjects received nutrition and food safety information from television. As the result of it, 68.0% of the subject’s lack of knowledge about nutrition and food safety and 40.4% of them had quite good knowledge about it. There are no significant differentiation about knowledge of nutrition and food safety between the subjects which had been classified by area, accreditation status. About 48.9% of subjects lack of nutritional behavior and 53.2% of them had a quite good behavior for food safety. Subject’s behavior about nutrition and food safety had no significant differentiation which had been classified by area, accreditation status. Among all of the subjects, only 6.4% of them applying a good hygiene practice on the food and drink preparation, also on the food service. About 44.7% of subject did not apply a good hygiene practice on preparing and handling food/drink, and also 42.5% of them are not applying good pest control, sanitation of food preparation area and lack of tools. There are no significant differentiation between subjects which had been classified by area, accreditation status and seller group (p<0.05) about applying good food safety. Only 44.6% of subjects who admit using food additive, 61.9% of them get the food additive from local grocery store and 66.7% of them admit using flavoring additive. Pearson’s correlative test shows that there is a positive correlation between nutrition knowledge and nutrition behavior (r=0.645**; p<0.05) and also between food safety knowledge and food safety behavior (r=0.454; p<0.05), but there are no signifficance correlation between the nutrition and food safety knowledge/behavior with the practice and also no signifficance correlation between the access of nutrition and food safety information with the practice of nutrition and food safety.
RINGKASAN ACI DEBBY OKTORI NASUTION. Perilaku Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah tentang Gizi dan Keamanan Pangan di Lingkungan Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH. Salah satu prioritas pangan yang menjadi perhatian khusus Badan POM RI adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Hal ini dianggap penting mengingat anak sekolah merupakan cikal bakal SDM suatu bangsa, dan pada masa ini jika status gizi anak kurang akan mempengaruhi perkembangan kognitif, pertumbuhan, dan kecerdasan sehingga kebutuhan akan zat gizi sangat penting untuk diperhatikan. Selain masalah keamanan pangan masalah perilaku penjaja PJAS juga sangat penting mengingat perilaku merupakan faktor kedua terbesar setelah lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan seseorang maupun kelompok, hal ini akan berdampak pada kulaitas SDM pada masa akan datang. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis perilaku penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) Mengidentifikasi karakteristik contoh, 2) Mengidentifikasi Profil PJAS meliputi jenis, dan register PJAS, 3) Mempelajari akses informasi contoh tentang gizi dan keamanan pangan, 4) Mempelajari perilaku (pengetahuan, sikap, dan praktek) contoh tentang gizi dan keamanan pangan 5) Membandingkan tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek penjaja PJAS, serta akses informasi, berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual, 6) Menganalisis hubungan antar variabel (pengetahuan, sikap, dan praktek contoh), serta hubungan antara tingkat akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan perilaku contoh. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di sekolah dasar dengan status akreditasi A dan B di Kota dan Kabupaten Bogor yang terdiri dari empat sekolah dasar yaitu SDN Lawang Gintung 01, SDN Cimanggu Kecil, SDN Pajeleran, dan SDN Kota Batu 01. Pemilihan sekolah dasar dilakukan secara purposive. Pengambilan data dilakukan dari bulan Mei hingga Juli 2009. Sampel berjumlah 47 penjaja PJAS. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner meliputi karakteristik contoh, pengetahuan, sikap, dan praktek contoh tentang gizi dan keamanan pangan, dan akses informasi contoh terhadap informasi gizi dan keamanan pangan. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain gambaran umum lokasi penelitian. Hubungan antar variabel yang berupa data kategori diuji dengan menggunakan uji korelasi Pearson sedangkan untuk melihat perbedaan perilaku contoh berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual menggunakan uji t. Sebagian besar contoh (72.3%) berjenis kelamin laki-laki dan persentase umur terbesar (68.1%) berada pada usia dewasa awal 18 – 40 tahun. Sebagian besar (61.7%). Contoh memiliki tingkat pendidikan SD, dan termasuk golongan tidak miskin. Lama bekerja sebagai penjaja PJAS terbesar berada pada kisaran 1 - 5 tahun yaitu 44.7%. Jenis PJAS yang dijual di kantin bagian terbesar (75.0%) adalah makanan camilan, begitu juga dengan penjaja PJAS luar. Kelompok makanan sepinggan bagian terbesar yaitu 50.0% di kantin merupakan hasil olahan mie, dan 75.0% pada penjaja PJAS luar. Hanya 44.6% contoh yang menggunakan BTP, dan 61.9% contoh membeli BTP di warung. Dari 44.6% contoh yang menggunakan BTP, sebanyak 66.7% contoh menggunakan jenis BTP penyedap rasa dan penguat rasa.
Sebanyak 90.0% contoh mengakses informasi gizi dan keamanan pangan melalui televisi, dan 66.0% memiliki tingkat akses tergolong rendah. Berdasarkan uji t menujukkan tidak ada perbedaan tingkat akses informasi gizi dan keamanan pangan berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Secara umum pengetahuan gizi 68.0% contoh tergolong kurang, dan 40.4% contoh memiliki pengetahuan keamanan pangan tergolong cukup. Berdasarkan uji t, pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan tidak memiliki perbedaan yang nyata antara contoh berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Sebanyak 48.9% contoh memiliki sikap gizi tergolong kurang, dan 53.2% contoh memiliki tingkat pengetahuan keamanan pangan tergolong baik. Berdasarkan uji t, sikap tentang gizi dan keamanan pangan contoh berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual, tidak memiliki berbeda secara nyata. Praktek gizi contoh tergolong rendah dimana hanya 3.0% contoh penjaja luar menyediakan buah-buahan , sedangkan kantin tidak menyediakan buah, Hanya sebanyak 6.4% contoh yang mempraktekkan hiegene penjual/penyaji makanan/minuman tergolong baik. Sebanyak 44.7% Contoh menerapkan praktek penanganan dan penyimpanan makanan/minuman tergolong kurang, dan 42.5% contoh mempraktekkan pengendalihan hama, sanitasi tempat, dan peralatan tergolong kurang. Berdasarkan uji t praktek keamanan pangan contoh berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan signifikan positif antara pengetahuan gizi dengan sikap gizi (r=0.645**; p<0.05), ada hubungan signifikan positif antara pengetahuan dengan sikap keamanan pangan (r=0.454; p<0.05), namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap tentang gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan perilaku contoh tentang gizi dan keamanan pangan.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 26 Oktober 1986, merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, putri dari pasangan Zulkarnain Nasution, BA dan Nurhaida Kasri. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Ummi Fatimah pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 12 Medan. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Medan dan lulus pada tahun 2004. Penulis diterima di Politeknik Kesehatan Medan Jurusan Gizi Program DIII Departemen Kesehatan pada tahun 2004 dan lulus tahun 2007. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor program penyelenggaraan khusus Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi ini yang berjudul “Perilaku Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah tentang Gizi dan Keamanan Pangan di Lingkungan Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini, penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberikan waktunya untuk membimbing penulis serta kesabarannya dalam membimbing dan telah membantu penulis dalam perkulihan awal semester.
2.
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS, selaku dosen pemandu dalam seminar dan dosen penguji hasil penelitian ini.
3.
Papa yang selalu sabar dan memberikan kasih sayang yang tulus yang ingin anak-anaknya bisa melihat dunia lebih jauh dan kesempatan untuk belajar yang lebih besar dari pada dirinya, tanpa Mu penulis tidak bisa seperti ini. Terima kasih atas semua yang papa berikan baik dukungan moril maupun materi.
4.
Mama yang selalu memberi perhatian dan doa dalam setiap sujudnya, terima kasih tak terhingga atas nasehat dan perhatian yang diberikan.
5.
Kakak-kakakku tersayang kak Noni, kak Qori, kak Maria, Me dan Adik-adikku yang selalu memberikan semangatnya Doy, Anggi dan Beby.
6.
Rekan-rekan seperjuangan dalam pengumpulan data Mba Zulaikhah, SP, yang telah berbagi pengalaman dan ilmu, Veni, Rika, Kak Nurma, Yunita, Hani, Ida, dan Nenden yang telah membantu pengumpulan data serta semangat dan candanya yang membuat penulis tetap semangat.
7.
Seluruh rekan-rekan penyelenggaran jalur khusus Ilmu Gizi angkatan 01 yang telah memberikan dukungan pada penulis. I Love U All. Terima Kasih ya Allah, atas izin dan ridho-Mu skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Bogor,
September 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................vi PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 Latar Belakang........................................................................................... 1 Perumusan Masalah .................................................................................. 3 Tujuan........................................................................................................ 4 Hipotesis .................................................................................................... 4 Kegunaan .................................................................................................. 4 TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah..................................................................................... 5 Kantin dan Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah.................................... 6 Pangan Jajanan ......................................................................................... 8 Akses terhadap Informasi............................................................................12 Perilaku tentang Gizi dan Keamanan Pangan ...........................................12 KERANGKA PENELITIAN ................................................................................18 METODELOGI PENELITIAN Desain,Tempat dan Waktu........................................................................20 Jumlah dan Penarikan Contoh ..................................................................20 Jenis dan Cara Pengumpulan Data...........................................................20 Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................21 Definisi Operasional..................................................................................23 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Sekolah..........................................................................25 Karakteristik Contoh .................................................................................28 Akses Informasi Gizi dan Keamanan Pangan ...........................................28 Perilaku Gizi dan Keamanan Pangan .......................................................43 Hubungan berbagai Variabel ....................................................................52
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan...............................................................................................57 Saran........................................................................................................58 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................59 LAMPIRAN........................................................................................................61
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Profil sekolah dasar berdasarkan jumlah murid kelas IV dan V, dan jumlah guru........................................................................................26 Tabel 2. Kondisi fisik sekolah di daerah kota dan kabupaten ..........................27 Tabel 3. Sebaran contoh berdasarkan lama berusaha.....................................30 Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan jenis BTP yang digunakan...................38 Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan sumber informasi gizi dan keamanan pangan .............................................................................40 Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar mengenai pertanyaan gizi dan keamanan pangan .............................................43 Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan...............................................................................................44 Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan sikap setuju tentang gizi dan keamanan pangan .............................................................................46 Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan sikap gizi dan keamanan pangan ........47 Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan praktek keamanan pangan ..................50 Tabel 11. Hubungan pengetahuan gizi dan sikap gizi ......................................52 Tabel 12. Hubungan pengetahuan keamanan pangan dengan sikap keamanan pangan .............................................................................52 Tabel 13. Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan .............................................................................53 Tabel 14. Hubungan sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan .............................................................................54 Tabel 15. Hubungan akses informasi dengan pengetahuan gizi dan keamanana pangan ...........................................................................55 Tabel 16. Hubungan akses informasi dengan sikap gizi dan keamanan pangan...............................................................................................55 Tabel 17. Hubungan akses informasi dengan praktek keamanan pangan .........56
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka pemikiran perilaku penjaja pangan jajanan anak sekolah tentang gizi dan keamanan pangan di lingkungan sekolah ...........19 Gambar 2. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin` ..................................28 Gambar 3. Sebaran contoh berdasarkan usia .................................................29 Gambar 4. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ...........................29 Gambar 5. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan .....................................31 Gambar 6. Sebaran PJAS berdasarkan kelompok pangan di kantin sekolah ..32 Gambar 7. Persentase kelompok makanan sepinggan di kantin sekolah ........33 Gambar 8. Sebaran PJAS berdasarkan jenis makanan camilan di kantin sekolah..........................................................................................34 Gambar 9. Sebaran PJAS berdasarkan jenis minuman di kantin sekolah........34 Gambar 10. Sebaran PJAS berdasarkan register di kantin sekolah...................34 Gambar 11. Sebaran PJAS berdasarkan kelompok pangan di penjaja luar.......35 Gambar 12. Sebaran PJAS berdasarkan kelompok makanan sepinggan di penjaja luar ...................................................................................35 Gambar 13. Sebaran PJAS berdasarkan jenis makanan camilan di penjaja luar................................................................................................36 Gambar 14. Sebaran PJAS berdasarkan jenis minuman di penjaja luar ............36 Gambar 15. Sebaran PJAS berdasarkan register di penjaja luar.......................37 Gambar 16. Sebaran PJAS berdasarkan praktek penggunaan BTP..................37 Gambar 17. Sebaran contoh berdasarkan tempat pembelian BTP....................38 Gambar 18. Sebaran contoh berdasarkan tingkat akses informasi gizi dan keamanan pangan.........................................................................42
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Karakteristik contoh di kota dan kabupaten ...................................62 Lampiran 2. Hasil uji t berbagai variabel pengetahuan, sikap, praktek gizi dan keamanan pangan, dan akses informasi ........................................64 Lampiran 3. Hasil uji korelasi berbagai variabel pengetahuan, sikap, praktek gizi dan keamanan pangan, dan akses informasi .................................64
PENDAHULUAN Latar Belakang Kualitas
SDM
merupakan
faktor
utama
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan pembangunan nasional, untuk mencapai SDM berkualitas, faktor gizi memegang peranan penting, dimana gizi yang baik akan menghasilkan SDM yang berkualitas yaitu sehat, cerdas dan memiliki fisik yang tangguh serta produktif. Perbaikan gizi diperlukan pada seluruh siklus kehidupan, mulai sejak masa kehamilan, bayi, anak balita, prasekolah, anak SD, remaja, dan dewasa hingga usia lanjut. Kualitas SDM yang menjadi penggerak pembangunan dimasa yang akan datang ditentukan oleh bagaimana pengembangan SDM saat ini, termasuk pada usia
sekolah.
Pembentukan
kualitas
SDM
sejak
masa
sekolah
akan
mempengaruhi kualitasnya pada saat mereka mencapai usia produktif (Andarwulan et al. 2009). Dengan demikian, kualitas anak sekolah penting untuk diperhatikan karna pada masa ini merupakan masa pertumbuhan anak dan sangat pentingnya peranan zat gizi serta keamanan makanan yang dikonsumsi disekolahnya. Peraturan pemerintah No 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, memberikan wewenang kepada Badan POM untuk melakukan pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan yang beredar. Salah satu prioritas pangan yang menjadi perhatian khusus Badan POM RI adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Pangan jajanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, selain harga yang murah dan jenisnya yang beragam, pangan jajanan juga menyumbangkan kontribusi yang cukup penting akan kebutuhan gizi dimana pangan jajanan memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah. Berdasarkan hasil penelitian Guhardja dkk di Bogor tahun 2004 menunjukkan bahwa 36.9% kebutuhan energi anak sekolah diperoleh dari makanan jajanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang, terutama anak-anak sekolah sangat menyukai pangan jajanan. Oleh sebab itu, para pedagang berupaya untuk memberikan penampilan yang menarik dan rasa yang disenangi anak-anak dengan menambahkan bahan-bahan tertentu tanpa memperdulikan keamanannya. Data KLB keracunan pangan yang dihimpun oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) Badan POM dari 26 Balai
POM di seluruh Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan (21.4%) kasus terjadi di lingkungan sekolah dan (75.5%) kelompok siswa anak sekolah dasar (SD) paling sering mengalami keracunan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) (Andarwulan et al. 2009). Tingkat keamanan pangan jajanan konsumsi anak sekolah yang masih buruk, sebagaimana hasil temuan diatas jika tidak ditanggulangi akan memperparah masalah rendahnya status gizi anak-anak sekolah. Apalagi dampak mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan kimia berbahaya berlebihan secara terus menerus baru akan terlihat dalam jangka panjang. Rendahnya status gizi anak-anak sekolah akan menyebabkan mereka terkena penyakit infeksi, hal ini akan berdampak terhadap angka ketidakhadiran anak-anak di sekolah yang cukup tinggi, kemampuan belajar dan hasil belajar karena sakit. Hal ini akan berdampak kepada kualitas SDM Indonesia pada masa yang akan datang Dari hasil pengawasan pangan jajanan anak sekolah tahun 2005 yang dilakukan oleh 18 balai besar/ Balai BOM dengan cakupan pengambilan sampel makanan jajanan anak sekolah seluruhnya 861 sampel yang diperiksa/diuji, yang memenuhi syarat sebanyak 517 sampel (60.04%), dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 344 sampel (39.96%). Sedangkan pada tahun 2006 hasil pengawasan PJAS oleh Badan POM menunjukan bahwa dari 2.903 sampel yang diambil dari 478 SD di 26 ibukota propinsi di Indonesia sebesar 50.6% sampel yang memenuhi syarat (MS) dan 49.4% tidak memenuhi syarat (TMS). Selain masalah BTP, perilaku penjaja PJAS juga menjadi masalah yang perlu diperhatikan, dimana masalah yang sering timbul mulai dari proses persiapan, pengolahan dan saat penyajian makanan dilokasi jualan serta kebiasaan penjual makanan jajanan yang patut mendapat perhatian adalah penggunaan bahan tambahan non pangan seperti pemanis, pewarna, pengeras dan lain-lain yang digunakan hampir pada setiap makanan. Residu insektisida berbahaya seperti dieldrin dan aldrin juga ditemui pada sebagian makanan jajanan yang dijual (Fardiaz & Fardiaz, 1994). Hasil monotoring dan verifikasi profil keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) nasional tahun 2008 oleh SEAFAST, PT. Sucofindo dan Badan POM RI menunjukkan (71.4%) penjaja PJAS menyatakan bahwa pangan jajanan yang mereka jual aman dan 14.3% mempunyai presepsi bahwa PJAS yang dijual tidak aman, untuk praktek keamanan pangan (>70.0%) penjaja PJAS
menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang baik, dan (<53.0%) penjaja PJAS yang mengaku menambahkan BTP ke dalam produk minuman. Kondisi usaha makanan jajanan yang belum dibarengi dengan perhatian khusus terhadap aspek fisik, lokalisasi, kontrol higiene, pembinaan manajemen, ketiadaan pengaturan dan ketidakpastian keamanan dalam berusaha akan menimbulkan ketiadaan kontrol dan pengarahan terhadap kualitas makanan yang dijual dan pengolahan makanan yang higiene menyebabkan penjaja PJAS menangani pengolahan makanan menurut pengetahuan yang mereka miliki. (Fardiaz & Fardiaz, 1994). Kurangnya praktek keamanan pangan penjaja PJAS di lingkungan sekolah, dikarenakan kurang perhatian pihak sekolah dan kemungkinan masih kurangnya akses informasi mengenai gizi dan keamanan pangan. Wilayah sekolah serta mutu sekolah juga sangat menentukan kualitas penjaja PJAS di lingkungan sekolah. Hasil monotoring dan verifikasi profil keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) nasional tahun 2008 menunjukkan bahwa pengetahuan gizi dan keamanan penjaja PJAS di luar jawa lebih baik dibandingkan di jawa, serta pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS di sekolah dengan status akreditasi A labih baik daripada akreditasi B. Mengingat pentingnya peranan perilaku penjaja PJAS yang memenuhi kaidah-kaidah keamanan pangan serta pentingnya pangan jajanan yang sehat bagi anak sekolah dan masih banyaknya sekolah terutama SD yang belum memiliki kantin yang memenuhi standart kantin sehat, dan adanya perbedaan praktek penjaja PJAS berdasarkan wilayah serta berdasarkan mutu sekolah, maka perlu dikaji perilaku penjaja PJAS tentang keamanan pangan jajanan di lingkungan Sekolah kota dan kabupaten. Perumusan Masalah Rendahnya
kualitas
pangan
jajanan
mungkin
berkaitan
dengan
rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan dari penjaja PJAS yang mananganinya, sehingga perilaku penjaja PJAS yang memenuhi kaidah-kaidah keamanan pangan sangat diharapkan karena mengingat banyaknya anak sekolah yang menyukai jajan di sekolah. Selain itu penjaja PJAS perlu memahami konsep keamanan dan sanitasi pangan selama mengolah, menyajikan dan menyimpan pangan agar keamanan pangan yang dijual dapat terjaga. Berdasarkan kondisi di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai
perilaku penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan jajanan di lingkungan Sekolah. Tujuan Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perilaku penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan jajanan PJAS di lingkungan Sekolah Dasar. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik penjaja PJAS yang meliputi umur dan jenis kelamin, keadaan sosial ekonomi (tingkat pendidikan, lama bekerja dan tingkat pendapatan). 2. Mengidentifikasi pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di lingkungan sekolah. 3. Mempelajari akses informasi tentang gizi dan keamanan pangan 4. Mempelajari perilaku penjaja PJAS (pengetahuan, sikap,dan praktek) tentang gizi dan keamanan pangan. 5. Membandingkan tingkat pengetahuan, sikap dan praktek gizi dan keamanan pangan, serta tingkat akses informasi penjaja PJAS berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. 6. Menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktek tentang gizi dan keamanan pangan, serta tingkat akses informas gizi dan keamanan pangan dengan perilaku penjaja PJAS. Hipotesa 1.
Tidak ada perbedaan pengetahuan, sikap, dan praktek gizi dan keamanan pangan, serta tingkat akses informasi penjaja PJAS berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual.
2.
Adanya hubungan positif antara pengetahuan dengan sikap tentang gizi dan keamanan pangan.
3.
Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan, serta tidak ada hubungan antara akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) penjaja PJAS. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pihak
sekolah dalam pelaksanaan pangan jajanan di sekitar sekolah, dan sebagai informasi bagi penjaja PJAS tentang tentang jajanan sehat serta praktek penyediaan jajanan sehat di sekolah yang benar. Selain itu juga penelitian ini
dapat memberi informasi yang nyata kepada para pelaku kebijakan yang berwenang dalam upaya perlindungan kesehatan dan gizi anak sekolah.
TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Sekolah merupakan institusi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolahan sekolah yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota. Sedangkan Departemen Pendidikan hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Lingkungan sekolah memiliki peranan penting dalam pendidikan.
Lingkungan
merupakan faktor
yang
sangat
penting
dalam
membentuk perilaku anak sekolah (Notoatmodjo 2003). Periode pertengahan masa kanak-kanak, yaitu anak usia sekolah (6-12 tahun) merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak. Walaupun pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif lambat, tetapi terdapat perubahan yang mencengangkan dalam hal intelektualnya dan dalam hubungan dengan orang lain (Harris & Liebert 1991). Anak usia sekolah merupakan anak yang sudah memasuki sekolah dasar hingga dua belas tahun. Masa ini di tandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Sedangkan para ahli psikologi menyebut masa ini dengan sebutan usia berkelompok, usia penyesuain diri, usia kreaktif dan usia bermain (Hurlock 1980). Hasil analisis data Riskesdas (2007) menunjukkan secara nasional masih rendahnya kualitas kesehatan dan perilaku tidak sehat pada anak sekolah dasar (6-14 tahun). Rata-rata status gizi kurus (IMT< 2SD) pada anak usia sekolah (6-14 tahun) adalah 13,3% laki-laki dan 10,9% perempuan. Prevalensi anemia untuk anak-anak (5-14 tahun) sebesar 9,4%, selain itu anak sekolah beresiko terhadap penyakit tidak menular, yaitu ditunjukkan kurangnya konsumsi sayur dan buah 93,6% dan sudah biasa merokok 2.0% (Depkes 2008). Kantin dan Penjaja PJAS Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja PJAS diluar sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan pangan jajanan di sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan pagi dan
makan siang di rumah serta cemilan dan minuman yang sehat, aman dan bergizi. Keberadaan kantin sekolah memberikan peranan penting karena mampu menyediakan ± ¼ konsumsi makanan keluarga karena keberadan peserta didik di sekolah yang cukup lama. Kantin sekolah sehat yang memenuhi standar kesehatan telah ditetapkan sebagai salah satu indikator sekolah sehat (Nuraida, et al. 2009). Pangan Jajanan Pangan jajanan adalah makanan/minuman yang dipersiapkan dengan teknologi yang sangat sederhana, dimana seringkali faktor hiegine atau kebersihan kurang diperhatikan, baik kebersihan bahan yang digunakan, peralatan yang dipakai maupun kebersihan lingkungannya. Selain itu, karena tingkat pendidikan pedagang yang relatif rendah dan ketidaktahuannya, mengakibatkan mereka seringkali
menggunakan
bahan-bahan tambahan
makanan seperti pemanis, pewarna, pengawet, dan lain-lain, yang sebenarnya tidak
diijinkan
untuk
bahan-bahan
tersebut
dapat
lebih
murah
(Fardiaz & Fardiaz 1994). Pangan jajanan menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsng dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (Februhartanty & Iswarawanti, 2004). Jenis Pangan Jajanan Pangan jajanan menurut Nuraida et al (2009) dapat dikelompokkan sebagai makanan sepinggan, makanan camilan, minuman dan buah Makanan sepinggan merupakan kelompok makanan utama yang dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di kantin. Contoh makanan sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain. Makanan adalah makanan yang dikonsumsi di antara dua waktu makan. Makanan camilan terdiri dari: 1. Makanan camilan basah seperti pisang goreng, lemper, lumpia, risoles dan lain-lain. Makanan camilan dalam kemasan seperti teh, minuman sari buah, minuman berkarbonasi dan lain-lain serta minuman yang disiapkan di rumah terlebih dahulu. 2. Makanan camilan kering, seperti produk ekstruksi (brondong), keripik, biskuit, kue kering dan lain-lain.
Kelompok minuman yang biasa dijual di kantin sekolah melliputi: 1. Air putih, baik dalam kemasan atau disiapkan sendiri 2. Minuman ringan meliputi minuman dalam kemasan seperti teh, minuman sari buah dan lain-lain. 3. minuman campur seperti es buah, es campur, es cendol, dan lain-lain. Buah merupakan salah satu jenis makanan sumber vitamin dan mineral yang penting untuk anak sekolah. Buah-buahan sebaiknya dikonsumsi setiap hari dalam bentuk: 1. Utuh, misalnya pisang, jambu, jeruk, dan lain-lain. 2. Kupas atau potong misalnya pepaya, nanas, mangga, dan lain-lain. Pangan jajanan yang paling banyak dijual di lingkungan sekolah adalah sekelompok makanan ringan (54.1%), dibanding dua kelompok minuman (26.0%) dan makanan utama (2.0%). Dari keseluruhan kelompok pangan jajanan dijual, lebih dari separuh (55.8%) PJAS dalam bentuk pangan siap saji, selanjutnya 36.0%. (Andarwulan et al, 2009). Winarno (1991) menyatakan jenis pangan jajanan yang dijual oleh pedagang kecil lebih besar peluangnya terhadap kontaminan dan bahaya kesehatan dbanding yang berasal dari pedagang besar dengan peralatan yang memadai. Anak-anak sekolah umumnya setiap hari menghabiskan ¼ waktunya di sekolah. Sebuah penelitian di Jakarta menemukan bahwa uang jajan anak sekolah rata-rata sekarang berkisar antara Rp 2000 – Rp 4000 per hari. Bahkan ada yang mencapai Rp.7000. Lebih jauh lagi, hanya sekitar 5% anak-anak tersebut membawa bekal dari rumah. Karenanya mereka lebih terpapar pada pangan jajanan kaki lima dan mempunyai kemampuan untuk membeli makanan tersebut. Menariknya, pangan jajanan kaki lima menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36%, protein 29% dan zat besi 52%. Karena itu dapat dipahami peran penting pangan jajanan kaki lima pada pertumbuhan dan prestasi belajar anak sekolah. Namun demikian, keamanan jajanan tersebut baik dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih dipertanyakan (Februhartanty & Iswarawanti, 2004). Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terpenting dalam menjaga kesehatan tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta kecerdasan masyarakat. Oleh karena itu, pangan yang dikonsumsi harus dapat memenuhi kebutuhan manusia baik dari segi jumlah,
jenis maupun mutu, sehingga tidak akan menimbulkan penyakit bagi yang mengkonsumsinya. Keamanan pangan didefiniskan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang- undang RI no.7 tentang Pangan Tahun 1996). Makanan yang sehat, aman dan bergizi adalah makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan seorang anak untuk hidup sehat dan produktif. Makanan tersebut harus bersih, tidak kadarluasa, dan tidak mengandung bahan kimia maupun mikroba berbahaya bagi kesehatan. Gizi yang baik dan cukup akan membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, dan akan meningkatkan kemampuan kecerdasan seorang anak. Sebaliknya, jika anak kurang gizi maka pertumbuhan dan perkembangan akan terhambat. Program pembinaan kesehatan dan keamanan pangan jajanan anak sekolah selama ini bertumpu pada kegiatan usaha kesehatan sekolah (UKS). Kegiatan yang pernah dilakukan adalah pengembangan model pendidikan gizi dan kesehatan yang terintegrasi dengan kurikulum oleh Syarief dkk (1997). Namun pengembangan model tersebut belum ditindaklanjuti dengan strategi implementasi dan penyediaan pendukungnya di sekolah, seperti belum dilakukan uji-coba teknik pembelajaran, pelatihan guru, penyediaan modul pelajaran, model dan peraga untuk pengajaran. Karena implementasi program gizi dan kesehatan tersebut belum optimal, sehingga status gizi, kesehatan serta perilaku konsumsi jajanan pada anak sekolah masih sangat memprihatinkan seperti yang ditunjukkan dari publikasi Riskesdas di atas (Depkes 2008). Bahaya keamanan pangan terdiri dari : 1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti Salmonella, E. Coli, virus, parasit dan kapang penghsil mikotoksin. 2. Bahaya Kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan, misalnya logamdan polutan lingkungan, Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih, racun/ toksin asal tumbuhan/hewan, dan sejenisnya. 3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka misalnya pecahan gelas, kawat stepler, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.
Badan POM RI mengidentifikasi beberapa faktor yang diduga turut mempengaruhi rendahnya mutu dan keamanan PJAS antara lain: pada saat ini program nasional pengawasan jajanan anak sekolah belum optimal, fasilitas (kantin sekolah tidak memadai, fasilitas sekeliling sekolah tidak memadai, sanitasi), dan sumberdaya manusia (guru tidak melakukan komonikasi risiko, anak sekolah jajan sembarangan, orang tua tidak menyediakan bekal, pedagang menjual PJAS tidak aman, IRTP/produsen menghasilkan PJAS tidak aman) (Andarwulan, et al. 2009). Masalah keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks yang merupakan dampak dari hasil interaksi mikrobiologik, toksisitas kimiawi, dan status gizi yang berkaitan satu sama lain. Ditinjau dari mata rantai timbulnya masalah keamanan pangan, pada dasarnya masalah keamanan pangan dapat timbul di: (1) tingkat produksi, (2) tingkat pengolahan, dan (3) tingkat distribusi termasuk penyajian untuk konsumsi (Wirakartakusumah, et al. 1994). Bahan Tambahan Pangan Salah satu masalah pangan yang masih memerlukan pemecahan adalah penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) untuk berbagai keperluan baik industri pengelolahan pangan, maupun dalam pembuatan berbagai pangan yang dihasilkan industri kecil dan rumah tangga. Menurut peraturan Menkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998 tentang bahan tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Cahyadi 2008). Bahan tambahan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan tersebut (Badan POM, 2003). Dari hasil pengawasan pangan jajanan anak sekolah tahun 2005 yang dilakukan oleh 18 Balai Besar/Balai POM, yaitu Balai Besar POM Mataram, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Jayapura, Makassar, Manado, Surabaya, Jakarta, Pekanbaru, Denpasar, Bandar Lampung, Semarang, Palu, Palangkaraya, Kendari, Kupang, dan Bengkulu, dengan cakupan pengambilan sampel pangan jajanan anak sekolah seluruhnya 861 sampel dimana di setiap propinsi jumlahnya bervariasi, antara 9 sampel (Kupang) sampai 144 sampel (Kendari), diperoleh data sebagai berikut : dari 861 sampel yang diperiksa/diuji, yang memenuhi syarat sebanyak 517 sampel (60.04%), dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 344 sampel (39.96%), terdiri dari Benzoat 10 sampel, Siklamat 93 sampel , Sakarin 29 sampel,
Rhodamin B 85 sampel, Amaranth 3 sampel, Methanyl yellow 2 sampel , Boraks 34 sampel , Formalin 7 sampel , ALT 60 sampel, MPN Coliform 48 sampel, Kapang/kamir 32 sampel, E.coli 32 sampel, Salmonella thypii 12 sampel, Staphylococcus aureus 12 sampel, dan Vibrio cholerae 2 sampel (Februhartanty & Iswarawanti, 2004). BTP dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum seperti pusing dan mual, karenanya Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang penggunaan bahan kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan
Departemen
Kesehatan
RI
melalui
Peraturan
Menkes
No. 722/Menkes/Per/IX/1998 (gizi net, 2004). Penggolongan bahan tambahan berdasarkan pengunaanya: 1. Bahan tambahan untuk makanan, adalah bahan tambahan yang dapat digunakan dalam pengelolahan makanan sampai jumlah tertentu tanpa menimbulkan akibat yang merugikan orang yang mengkonsumsiya. 2. Bahan tambahan bukan untuk makanan Bahan tambahan yang dibuat dan digunakan untuk keperluan industri, dan bukan untuk makanan. Fungsi bahan tambahan pangan
Memperoleh bentuk, rupa, konsistensi, dan rasa yang menarik.
Tidak untuk tujuan menutupi mutu yang rendah atau untuk pemalsuan/ penipuan.
Bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam pangan jajanan: 1. Pewarna Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak bewarna agar kelihatan lebih menarik. 2. Pemanis Pemanis
buatan
adalah
bahan
tambahan
makanan
yang
dapat
menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak
mempunyai nilai gizi (winarno, 1994). Biasanya digunakan pada makanan yang ditujukan pada penderita diabetes melitus atau makanan diit agar badan langsing. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan makanan jajanan umumnya adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan 300 kali gula alami. 3. Pengawet Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah dan menghambat fermentasi, pengasam atau pengurai lain terhadap makanan yang disebabkan oleh organisme (Winarno, 1994), umumnya dikenal dipasaran dengan sebutan anti basi. 4. Penyedap
rasa
Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Jenis bahan penyedap yaitu (1) Penyedap alami terdiri; a). dari bumbu alami, herba, dan daun, b). Minyak esensial dan turunannya, c). Oleoresin, d). Isolat penyedap, e). Penyedap dari sari buah, f). Ekstra tanaman atau hewan. (2) Penyedap sintesis 5. Bahan Pengemas, Selain bahan-bahan tambahan makanan yang telah disebutkan, bahan pengemas juga dapat mencemari makanan, sebab jenis pengemas umumnya digunakan pada makanan jajanan adalah plastik. Selain kemasan plastik, kemasan kertas juga dapat mencemari makanan (Fardiaz & Fardiaz, 1994). Akses terhadap Informasi Informasi dapat diakses oleh siapapun melalui media massa atau lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lain televisi, radio, majalah dan koran, buku, dan sebagainya. Menurut Hurluck (1999) pada masa dewasa awal, seseorang cenderung menyukai membaca surat kabar ataupun majalah. Selain itu, radio merupakan media yang
mereka senangi dalam
rangka mencari hiburan maupun
mendengarkan berita. Media massa dapat memicu respon yang berdampak pada tindakan nyata seseorang. Namun pengaruh dari media massa sulit diidentifikasi karena banyak faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku dalam kehidupan dan tidak
dapat dipisahkan. Media massa saja tidak dapat membuat perubahan perilaku yang bertahan dalam jangka panjang pada seseorang (Ewles & Simnet 1994). Diskusi tatap muka penting dilakukan karena lebih efektif untuk membuat perubahan perilaku pada seseorang. Diskusi tatap muka yag dapat dilakukan adalah konsultasi atau diskusi dengan tenaga medis dan paramedis, kader, dan lainnya (Ewles & Simnet 1994). Perilaku Gizi dan Keamanan Pangan Perilaku adalah tanggapan atau reaksi dari seseorang, baik yang berupa tanggapan, atau gerakan fisik, maupun tanggapan verbal berdasarkan acuan-acuan subyektifnya (Taryoto, 1991). Menurut Skiner (1983) diacu dalam (Notoatmodjo 2003) perilaku merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Namun, respon yang diberikan sangat tergantung dengan karakteristik individu masing-masing. Oleh karena itu, walaupun stimulus yang diberikan sama tetapi respon yang timbul pada setiap orang berbeda. Faktor yang membedakannya adalah respon yang timbul pada setiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respon itu disebut determinan perilaku, diantaranya: 1. Determinan atau faktor internal meliputi karakteristik individu yang bersifat genetik, seperti tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2.
Determinan atau faktor esternal meliputi lingkungan baik fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya (Notoatmodjo 2003). Perilaku terbagi dalam 3 dominan yaitu kognitif, efektif , dan psikomotor.
Ketiga domain ini dapat dinilai dari pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan peraktek (practice) (Notoatmodjo 2003). Oleh karena itu, perilaku meliputi pengetahuan, sikap, dan praktek seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan. Perilaku penjaja adalah seluruh kegiatan atau aktivitas penjaja yang terlihat maupun tidak terlihat dalam penanganan pangan jajanan. Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau
kurang informasi tentang gizi yang memadai (Gizi dan kesehatan masyarakat, 2008). Definisi pengetahuan secara luas yaitu hasil penginderaan seseorang melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba terhadap suatu objek tertentu. Selain itu pengetahuan, dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama dibanding tidak disadari dengan pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Terbentuknya perilaku (tindakan) seseorang dimulai dari arah kognitif dalam arti subjek mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut selanjutnya menimbulkan respon dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahuinya. Akhirnya rangsangan menimbulkan respon lebih jauh berupa tindakan atau praktek sehubungan dengan stimulus tersebut (Notoatmodjo, 1993). Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan dalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan diantaranya, yaitu: 1. Tahu (know) Tingkatan tahu (know) ini merupakan tingkatan dari pengetahuan yang terendah. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang telah dipelajari termasuk ke dalam tingkat ini. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata
kerja,
seperti
menyebutkan,
menguraikan,
mendefinisikan,
menyatakan, dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension) Memahami merupakan kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu objek
serta
dapat
menginterpensikannya
dengan
benar.
Tingkat
pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menjelaskan, menyebutkan contoh, meramalkan, menyimpulkan, dan sebagainya. 3. Aplikasi (aplication) Aplikasi merupakan kemampuan seseorang untuk menerapkan materi yang pernah dipelajarinya, seperti penggunaan rumus, metode, prinsip, dan sebagainya. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan suatu materi ke dalam komponen-komponen secara berkaitan dan terstruktur. Tingkat
pengetahuan
ini
dapat
diukur
melalui
seperti
menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis mengarah kepada kemampuan seseorang dalam membentuk formulasi
baru
dari
formulasi-formulasi
yang
telah
ada.
Tingkat
pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi merupakan kemampuan seseorang melakukan penilaian terhadap suatu objek yang didasari dengan kriteria-kriteria tertentu. Hasil penelitian Fatima dan Yuliati tahun 2002 tentang pengetahuan, sikap dan tindakan penjamah makanan terhadap aspek keamanan pangan di usaha katering menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan keamanan pangan penjamah umumnya (88.2%) berada dalam kategori baik. Tingkat pengetahuan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang dalam memilih makanan yang akan mempengaruhi status gizinya. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan perlu dimiliki oleh semua orang. Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peran makanan dan zat gizi, serta sumber-sumber zat gizi pada makanan (Notoatmodjo 1993). Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, sebab lain yang penting dari gangguan gizi karena kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo,1996). Sedangkan pengetahuan keamanan pangan merupakan pengetahuan tentang jenis-jenis BTP, penggunaanya dan bahaya yang akan ditimbulkan jika digunakan dalam jumlah yang tidak dianjurkan serta pengetahuan tentang jenis-jenis BTP yang tidak dijinkan digunakan dalam pengelolahan makanan/ minuman. Hasil surveilan Seafast Center-IPB, Sucofindo dan Badan POM RI tahun 2008 dengan sampel panjaja PJAS di SD menunjukkan bahwa pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS di daerah kabupaten tidak jauh berbeda dengan penjaja PJAS di daerah kota dan pengetahuan gizi dan keamanan pangan penaja PJAS di luar Jawa lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan
penjaja PJAS di Jawa. Pengetahuan gizi dapat diukur dengan cara wawancara atau angket yang mencakup materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo 1993). Sikap Gizi dan Keamanan Pangan Sikap adalah perasaan, keyakinan, dan kecendrungan untuk bertindak/ berperilaku terhadap orang lain, kelompok lain, suatu pemikiran, ataupun suatu objek tertentu. Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sikap sangat menentukan bagaimana perilaku (behavior) manusia terhadap sesamanya dalam lingkungan kehidupan manusia. Sikap juga sangat
mempengaruhi
tanggapan
manusia
terhadap
masalah-masalah
kemasyarakatan yang dihadapi, baik yang berhubungan dengan intervensi pemerintah, maupun yang berkaitan dengan tata kehidupan manusia di dalam lingkungan tempat tinggalnya (Taryoto, 1991). Sikap gizi merupakan perasaan, keyakinan, dan kecendrungan untuk bertindak dalam pengolahan pangan jajanan yang memperhatikan kandungan gizi, serta keamananan pangan agar menghasilkan pangan jajanan yang aman. Sikap seseorang sangat menentukan bagaimana tindakan orang tersebut. Terdapat suatu spekulasi bahwa sikap seseorang terhadap suatu hal dapat diketahui, maka dapat diduga bentuk tindakan apa yang akan dilakukan oleh seseorang itu. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa ternyata tindakan yang dilaksanakan tidak sejalan dengan sikap yang telah diambilnya (Taryoto, 1991). Terdapat tiga jenis ketidaksesuaian antara sikap seseorang dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya yaitu: (1) ketidaksesuaian antara sikap seseorang
dengan
informasi
mengenai
kenyataan
yang
terjadi,
(2) ketidaksesuaian antara sikap seseorang dengan sikap panutannya, dan (3) ketidaksesuaiannya antara sikap seseorang dengan tindakan seseorang itu sendiri ( Taryoto, 1991). Faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku adalah kebiasaan (habits), norma sosial (social norms), dan pandangan mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang akan diambil. Kebiasaan menunjuk pada tindakan yang secara otomatis dilakukan seseorang pada suatu keadaan tertentu, tanpa atau dengan dasar pemikiran yang sangat terbatas. Norma sosial menunjuk pada adanya harapan-harapan mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, yang secara umum maupun secara khusus ada pada kelompok dimana seseorang itu berada. Apabila norma sosial lebih kuat pengaruhnya,
maka individu akan bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh
norma
sosial daripada menurut pada kehendak sikapnya. Sedangkan pandangan mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang akan menunjuk pada adanya sanksi atau penghargaan atau suatu perilaku yang dilakukan (Taryoto, 1991). Praktek Gizi dan Keamanan Pangan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior) Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata. Praktek tejadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya mengadaakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang sudah diketahuinya (Notoatmodjo 2003). Hasil monotoring dan verifikasi profil keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) nasional tahun 2008 diantara sekolah yang disurvei sebagian besar (>70.0%) panjaja PJAS menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang baik, dan hanya sebagian kecil (<35%) penjaja PJAS yang mengaku menambahkan BTP kedalam produk minuman yang dijual. Sementara itu, jumlah penjaja PJAS di SD swasta yang mengaku menambahkan BTP pada produk minuman lebih banyak dibandingkan panjaja PJAS di SD Negri (Andarwulan, et al, 2009). Hasil penelitian Fatima, Laksmi dan Yuliati tahun 2002 tentang pengetahuan, sikap dan tindakan penjamah makanan terhadap aspek keamanan pangan di usaha katering menunjukan bahwa sikap keamanan pangan penjamah umumnya (71.2%) dalam kategori baik dan untuk tindakan keamanan pangan penjamah, sebagian besar penjamah (63.2%) berada dalam kategori sedang. Praktek penjaja dalam penggunaan air cucian yang berulangkali, penggunaan peralatan yang kurang bersih, kontaminasi, penggunaan bahan tambahan non pangan, bahkan penggunaan air mentah untuk komponen makanan siap makan merupakan hal yang biasa bagi sebagian besar penjual makanan jajanan (Fardiaz & Fardiaz, 1994).
KERANGKA PEMIKIRAN Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memperoleh zat- zat yang diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan. Tetapi makanan yang masuk ketubuh beresiko sebagai pembawa penyakit, kuman, mikroba, bahan tambahan pangan, logam berat, dan sebagainya yang dapat mengancam kesehatan. Pangan jajanan oleh Regional Workshop on Street foods di Yogyakarta 1986 didefinisikan sebagai jenis jenis makanan yang disiap dimakan termasuk di dalamnya minuman yang dipersiapkan atau dijual oleh penjual kaki lima di pinggir jalan atau ditempat- tempat lain yang mirip dengan itu (Winarno, 1997). Pengetahuan dan sikap penjaja PJAS sangat mempengaruhi tindakannya dalam melakukan pengolahan. Hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktek dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat dipisahkan. Adanya pengetahuan tentang suatu hal yang positif akan menyebabkan orang tersebut mempunyai sifat yang positif, kemudian akan mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan diwujudkan dalam suatu praktek. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan akan mempengaruhi perilaku penjaja PJAS yang meliputi praktek sanitasi serta penggunaan bahan tambahan pangan. Terbentuknya perilaku (tindakan) seseorang dimulai dari arah kognitif dalam arti subjek mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut selanjutnya menimbulkan respon dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahuinya. Akhirnya rangsangan menimbulkan respon lebih jauh berupa tindakan atau praktek sehubungan dengan stimulus tersebut (Notoatmodjo, 1993). Banyak faktor yang mempengaruhi pengetahuan, sikap dan praktek penjaja PJAS. Faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor internal, yakni karakteristik penjaja PJAS itu sendiri, yang nantinya akan berhubungan dengan perilaku serta presepsi diri terhadap pangan jajanan yang dimiliki oleh penjaja PJAS. Selain faktor internal faktor esternal juga nantinya akan mempengaruhi perilaku yakni lingkungan, sosial budaya dan lainnya, dalam hal ini akses informasi akan mempengaruhi perilaku penjaja PJAS (Notoatmodjo 2003).
Karakteristik Contoh • Usia • Jenis kelamin Keadaan sosial ekonomi • Tingkat Pendidikan • Lama Berusaha • Pendapatan
Perilaku Akses/ Sumber Informasi • Keikutsertaan Penyuluhan • Media Massa, Elektronik dan Media lain
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan
Sikap Gizi dan Keamanan Pangan
Wilayah dan Mutu Sekolah Praktek Gizi dan Keamanan Pangan
Mutu Gizi dan Keamanan Pangan
Status Gizi
Status Kesehatan
Gambar 1: Perilaku penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan di lingkungan sekolah dasar Kota dan Kabupaten Bogor Keterangan:
: Diteliti : Tidak diteliti : hubungan dianalisis : hubungan tidak dianalisis
Kebijakan Sekolah
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain adalah cross-sectional study yaitu mengumpulkan informasi dengan satu kali survei. Penelitian ini dilakukan di sekolah dasar, dimana peserta penelitian ini dipilih dari empat sekolah dasar di Kota/Kabupaten Bogor dengan status akreditasi A dan B. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian “Pengembangan Model Pendidikan Makanan Jajanan Sehat Berbasis Sekolah untuk Tingkat Sekolah Dasar” yang dilakukan oleh Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2009. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Penentuan lokasi sekolah dasar ditetapkan secara purposive sampling, dengan persyaratan sebagai berikut: 1) mempunyai kantin sekolah; 2) komitmen dari pengelola sekolah; 3) mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat, 4) Dengan Akreditasi A dan B. Dari persyaratan tersebut diambil dua sekolah dari Kota dan Kabupaten Bogor, yang masing-masing terdiri dari sekolah berdasarkan status akreditasinya. Populasi penelitian adalah penjaja PJAS di Sekolah Dasar (SD) di Kota dan Kabupaten Bogor. Contoh adalah penjaja PJAS yang diambil secara purposive sampling dengan pertimbangan penjaja menetap yaitu yang berjualan sepanjang hari yang lokasinya tetap di suatu tempat baik di kantin sekolah maupun lingkungan luar sekolah. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan dan wawancara langsung dengan penjaja PJAS menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer yang digunakan meliputi data karakteristik contoh (umur dan jenis kelamin), keadaan sosial ekonomi (tingkat pendidikan, lama usaha dan pendapatan) dan perilaku penjaja PJAS meliputi pengetahuan gizi dan keamanan pangan, sikap (pernyataan setuju dan tidak setuju mengenai gizi dan keamanan pangan) dan praktek gizi dan keamanan pangan. Akses/sumber informasi diperoleh dengan memberikan pertanyaan kepada penjaja PJAS mengenai pernah tidaknya mengikuti pelatihan/penyuluhan tentang jajanan sehat, dan sumber informasi tentang jajanan sehat yang diperoleh penjaja PJAS. Data sekunder yang dikumpulkan
berasal dari sekolah dan kantor Diknas setempat, meliputi profil sekolah di kota dan kabupaten, jumlah kantin, keadaan umum sekolah serta fasilitas yang tersedia dari pihak sekolah. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul selama penelitan diproses dengan beberapa tahap yaitu; entri data, coding data, dan cleaning kemudian data ditabulasi dan dianalisa secara statistik dengan program microsoft exell 2007, dan SPSS 16,0 for windows. Data primer yang bersifat kualitatif yaitu perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan diperoleh dengan alat bantu kuesioner, kemudian dikuantifikasikan berdasarkan skor dan dikelompokkan sesuai dengan kategori yang telah ditetapkan. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS diukur dengan pertanyaan yang seluruhnya berjumlah 20 pertanyaan. Jawaban yang diperoleh kemudian diolah dengan dengan pemberikan skor pada setiap pertanyaan dengan skor 1 jika jawaban benar dan 0 jika jawaban salah. Skor pengetahuan gizi dan keamanan pangan berkisar antara 0-20. Hasil yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi baik, sedang dan kurang sebagai berikut (Khomsan, 2000). •
Skor > 80%
: tingkat pengetahuan baik
•
Skor : 60%- 80%
: tingkat pengetahuan sedang
•
Skor < 60%
: tingkat pengetahuan kurang
Sikap diukur dari kecenderungan penjaja PJAS dalam menerima atau menolak pernyataan yang berkaitan dengan aspek gizi dan keamanan pangan. Seluruh pernyataan yang diajukan terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Respon terhadap masing-masing pernyataan diukur dengan dua tingkatan skala setuju dan tidak setuju. Penentuan skor dilakukan sebagai berikut: •
Pernyataan positif : setuju (1), dan tidak setuju (0)
•
Pernyataan negatif
: setuju (0), dan tidak setuju (1)
Penilaian sikap dikategorikan kedalam dua kategori, yakni baik bila skor ≥ 80% dari nilai total dan kurang baik bila skor < 80% dari nilai total. Praktek gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS diukur dengan pertanyaan yang menggunakan dua tingkatan skala jawaban, yaitu “Ya” dan “Tidak”. Kemudian praktek penjaja tentang gizi dan keamanan pangan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yakni:
•
skor > 80%
•
skor 60%- 80%
: Sedang
•
skor < 60%
: Kurang
: Baik
Data diolah menggunakan microsoft excel dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16 for Window. Hubungan antar variabel menggunakan uji korelasi Pearson sedangkan untuk melihat perbedaan perilaku dan tingkat akses contoh berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual menggunakan uji t.
Definisi Operasional Penjaja PJAS Luar : Penjual pangan jajanan sekolah yang berada di luar sekolah. Kantin Sekolah
:Tempat jajan anak sekolah selain penjaja PJAS di luar sekolah.
Tingkat pendidikan penjaja PJAS : Tingkat Pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh penjaja PJAS dan dikategorikan menjadi tidak tamat SD, tamat SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Pendapatan
: Total pendapatan bersih (Rp/bulan) yang diperoleh penjaja dari hasil penjualan PJAS.
Lama Berusaha
: Lama berjualan sebagai penjaja PJAS di lingkungan sekolah.
PJAS
: Semua jenis makanan dan minuman yang dijual disekitar lingkungan sekolah baik di dalam sekolah maupun luar sekolah yang siap dikonsumsi ataupun lebih dahulu diolah/dimasak oleh penjaja PJAS. PJAS dikelompokan ke dalam empat golongan yaitu: makanan sepinggan, makanan camilan, minuman, dan buah.
Bahan Tambahan Pangan : Bahan atau campuran bahan secara alami bukan merupakan bagian dari bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan tersebut. Keamanan Pangan : Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Akses/ Sumber informasi
: Sumber informasi mengenai jajanan sehat, gizi,
dan keamanan jajanan yang diperoleh dari media massa, elektronika, dan media lainnya. Perilaku Gizi dan Keamanan Pangan : Tanggapan atau reaksi, baik berupa tanggapan,
gerakan
fisik,
maupun
tanggapan
verbal
terhadap gizi dan keamanan pangan, meliputi pengetahuan, sikap dan praktek . Pengetahuan Gizi : pengetahuan tentang peran makanan dan zat gizi, serta sumber-sumber zat gizi pada makanan
Pengetahuan tentang keamanan pangan: pengetahuan tentang jenis-jenis BTP, penggunaannya dan bahaya yang akan ditimbulkan jika digunakan dalam jumlah yang tidak dianjurkan. Sikap Gizi
:
Perasaan,
keyakinan,
bertindak/berperilaku
dalam
dan
kecenderungan
proses
pengolahan
untuk PJAS
dengan memperhatikan kandungan gizi, sumber zat gizi, dan fungsi zat gizi. Sikap Keamanan Pangan : Perasaan, keyakinan, dan kecenderungan untuk bertindak/berperilaku dalam proses pengolahan PJAS yang sesuai dengan aturan berlaku sehingga menghasilkan PJAS yang aman. Praktek Gizi
: Kegiatan-kegiatan penjaja PJAS pada saat proses persiapan,
pengolahan,
dan
penyajian
dengan
memperhatikan fungsi zat gizi, serta sumber zat gizi. Praktek keamanan pangan jajanan: Kegiatan-kegiatan penjaja PJAS pada saat proses persiapan, pengolahan, dan penyajian dengan memperhatikan hiegene personal , sanitasi, mencegah PJAS tercemar, dan penggunaan BTP. Sanitasi
:Penciptaan
dan
pemeliharaan
kondisi
yang
mampu
mencegah terjadinya kontaminasi makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan. Higiene
: Kondisi atau kebiasaan dan praktek yang dapat membantu terciptanya keadaan yang sehat.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Oleh kerana itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat. Penelitian ini dilakukan di 4 Sekolah dasar (SD) yaitu SDN Lawang Gintung 01 dan SDN Cimanggu Kecil, SDN Pajeleran 01 dan SDN Kota Batu 01. Berikut gambaran umum sekolah yang menjadi lokasi penelitian Sekolah Dasar Negeri (SDN) Lawang Gintung 01 berada di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor Jl Lawang Gintung. SDN Lawang Gintung memiliki status akreditasi A dengan NPSN 20220450. Sekolah ini memiliki luas tanah 1.593 m2, dan luas bangunan 865 m2.. Fasilitas yang dimiliki sekolah yaitu 13 kelas, perpustakaan, masjid, kantin, dan lapangan olahraga. SDN Lawang Gintung 1 merupakan salah satu sekolah dasar yang memiliki siswa-siswa berprestasi baik dalam akademik maupun estrakurikuler seperti; juara olimpiade, juara 1 karate, dan masih banyak prestasi lainnya yang didapatkan. Banyaknya prestasi yang didapatkan dikarenakan kedisiplinan yang diterapkan dari pihak sekolah, serta banyaknya kegiatan-kegiatan estrakurikuler, sehingga dengan adanya kegiatan ini, siswa dapat mengembangkan bakat yang mereka miliki. Kegiatan estrakurikuler lainnya
adalah tari, mading, dan kegiatan olahraga
seperti volly, dan bulu tangkis. Kegiatan belajar di sekolah ini yaitu masuk pagi dan masuk siang, untuk pagi kegiatan belajar dimulai dari pukul 07.00-13.00 Wib sedangkan siang kegiatan belajar dimulai dari pukul 13.00-17.00 sore. Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimanggu Kecil merupakan sekolah dasar yang berada di Kelurahan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Jalan Cimanggu Kecil. SDN Cimanggu Kecil memiliki status akreditasi B dengan NPSN 20220013, sekolah ini memiliki luas bangunan 1.660m2.. Fasilitas yang dimiliki sekolah yaitu 16 kelas, perpustakaan, musholah, kantin, koprasi sekolah, dan lapangan olahraga. Kegiatan belajar di sekolah ini yaitu masuk pagi dan masuk siang, untuk pagi kegiatan belajar dimulai dari pukul 07.00-13.00, sedangkan siang kegiatan belajar dimulai dari pukul 13.00-17.00 sore. Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pajeleran 01 terletak di Jalan Dadi Kusmayadi RT 01, kelurahan Sukahati, Kecamatan Cibinong, Kabupeten Bogor. SDN ini merupakan sekolah yang memiliki status akreditasi A dengan NPSN
20200515, sekolah ini berdiri sejak tahun 1982 dengan luas tanah 3.697 m2 , dan luas bangunan 972 m2. Fasillitas yang dimiliki sekolah yaitu 26 kelas lab komputer, perpustakaan, mushola, UKS, pramuka, pendopo, dan lapangan olahraga. Sekolah ini memiliki luas bangunan yang paling besar serta memiliki fasilitas yang lengkap dibandingkan dengan sekolah lainnya. Kegiatan estrakurikulernya yaitu tari, bahasa inggris, drama, mading, serta kegiatan olahraga (sepak bola, basket ball, dan lainnya). Kegiatan belajar di sekolah ini yaitu masuk pagi dan masuk siang, untuk pagi kegiatan belajar dimulai dari pukul 07.00-12.00, sedangkan siang kegiatan belajar dimulai dari pukul 12.30-17.00 sore. Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kota Batu 01 terletak di Jalan Kapten Yusup No 1, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. SDN ini merupakan sekolah yang memiliki status akreditasi B dengan NPSN 20229018. Fasilitas yang dimiliki sekolah ini yaitu 6 kelas, musholah, perpustakaan, lapangan olahraga, dan kantin. Kegiatan estrakurikulernya adalah seni bela diri dan mading. Kegiatan belajar di sekolah ini yaitu masuk pagi dan masuk siang, untuk pagi kegiatan belajar dimulai dari pukul 07.30 - 12.15, sedangkan siang kegiatan belajar dimulai dari pukul 13.00 - 17.00 sore. Profil sekolah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Profil sekolah dasar berdasarkan jumlah murid kelas IV dan V, dan jumlah guru. Profil Sekolah Jumlah murid kelas IV (orang)
Jumlah murid kelas V (orang)
Jumlah guru (orang) PT(D1/D2/D3/D4/S1/S2)
SDN Lawang Gintung 01 152
SDN Cimanggu Kecil 62
SDN Pajeleran 01 176
SDN Kota Batu 01 50
86 66 104
34 28 84
90 86 165
26 24 73
56 48 31 4 27
39 45 21 0 17
74 91 31 6 25
43 30 16 0 16
Berdasarkan Tabel 1 SDN Pajeleran 01 memiliki jumlah siswa yang paling besar dari sekolah lainnya dalam penelitian ini. Besarnya jumlah siswa di karenakan luas bangunan yang lebih besar dan jumlah kelas yang lebih banyak, dimana SDN Pajeleran 01 memiliki 26 kelas, dengan jumlah murid keseluruhan adalah 1.089 siswa yaitu 585 orang siswa laki-laki, dan 504 orang siswa perempuan. SDN Lawang Gintung jumlah murid keseluruhan adalah 632 siswa
yaitu 326 orang siswa laki-laki, dan 306 siswa perempuan, SDN Cimanggu Kecil jumlah murid keseluruha adalah 555 siswa, yaitu 276 orang siswa laki-laki, dan 279 siswa perempuan, sedangkan SDN Kota Batu 01 jumlah murid keseluruhan adalah 443 siswa, yaitu 221 orang siswa laki-laki, dan 212 orang siswa perempuan. Kondisi fisik lingkungan sekolah, sebagian besar lingkungan sekolah tertutup. Kondisi sekolah SDN Cimanggu Kecil, SDN Lawang Gintung 1, SDN Pajeleran 01, dan SDN Kota Batu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kondisi fisik sekolah di daerah kota dan kabupaten Kota Kondisi Sekolah
SDN Lawang Gintung
SDN Cimangu Kecil
Kabupaten SDN Pajeleran 01
SDN Kota Batu 01
1. Memiliki taman 2. Lingkungan tertutup 3. Kebersihan lingkungan 4. Sekolah dekat dengan sumber bau 5. Tempat sampah dikelas 6. Tempat sampah di luar kelas 7. Ada TPA 8. Penjaja PJAS diluar
Ada Ya Bersih Tidak Ada
Ada Ya Bersih Tidak Tidak ada
Ada Ya Bersih Ya Ada
Ada Ya Bersih Tidak Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak Ada
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Tidak ada penjaja luar
Ada
9. Jumlah penjaja PJAS luar (Orang) 10. Jumlah di kantin (Orang) 11. Kondisi kantin
10
7
18
2 Agak kotor
2 Agak kotor
Tidak ada penjaja luar 8 Tidak ada
12. Jarak saluran air/ limbah (m) dengan penjaja luarPJAS 13. Jarak pembuangan sampah (m) dengan penjaja luar PJAS 14. Ketersediaan air 15. Sumber air 16. Kualitas air 17. Tersedia air untuk penjaja PJAS 18. Tempat cuci tangan di sekolah 19. KM/WC 20. Kebersihan KM/WC
≤10
≤ 10
Tidak ada penjaja luar
≤ 10
≤10 meter
≤ 10
Tidak ada penjaja luar
≤ 10
Ada PDAM Bersih Ada
Ada PAM Bersih Tidak Ada
Ada PAM Bersih Tidak ada
Ada Sumur Bersih Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada Sebagian bau dan kotor Ada
Ada Sebagian Bau dan Kotor Ada
Ada Seluruhnya bersih
Ada Sebagian bau dan kotor Ada
21. Aliran listrik
Ada
1 Bersih
Karakteristik Contoh Contoh terbagi atas dua kelompok berdasarkan lokasi penjualan. Kedua kelompok tersebut terdiri dari pengelola kantin yang berjualan di dalam lingkungan sekolah dan penjaja PJAS yang berjualan di luar lingkungan sekolah dengan lokasi sekolah yang berbeda berdasarkan wilayah kota dan kebupaten. Jumlah contoh sebanyak 47 orang, terdiri dari pengelola kantin 13 orang dan penjaja PJAS di luar sekolah sebanyak 34 orang. Contoh di kota terdiri 20 orang, dan di kabupaten 27 orang, sedangkan di sekolah dengan akreditasi A terdapat 19 orang, dan di sekolah dengan akreditasi B 28 orang. Jenis Kelamin Contoh Bagian
terbesar
(72.3%)
contoh
berjenis
kelamin
laki-laki.i
Kecenderungan penjaja PJAS yang berjenis kelamin laki-laki banyak berasal dari penjaja PJAS luar, dan pengelola kantin sebanyak 76.9% berjenis kelamin perempuan. Secara rinci karakteristik contoh dapat dilihat di Lampiran 1.
Total
27.7 72.3
Kelompok
Penjual
Status
akreditasi
8.8 Penjaja PJAS l uar
B
kanti n
91.2 76.9
23.1 24.1
75.9 33.3
A
66.7
Wilayah
29.6 kab
70.4 25
75
kota 0 Laki-laki
50
100
Perempuan
Gambar 2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Usia Pengelompokan usia contoh berkisar antara 18 – 63 tahun. Bagian terbesar (68.1%) contoh adalah usia dewasa 18 – 40 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok usia dewasa awal yang memiliki produktivitas tinggi. Usia contoh yang lebih tinggi kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik daripada contoh dengan usia muda karena pengalaman dalam memperoleh akses informasi tentang gizi dan keamanan pangan yang lebih banyak, baik dari televisi, radio, majalah/koran, petugas kesehatan (Dokter/Bidan/Perawat/Kader) maupun media lainnya, namun juga
memiliki kemungkinan kekurangan informasi tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang terbaru sehingga dapat mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan emosi seseorang. Sebaran contoh berdasarkan usia disajikan pada Gambar 3. Secara rinci sebaran usia contoh dapat dilihat pada Lampiran 1. USIA
Kelompok
Penjual
Status
68.1
26.5
73.5
Penjaja PJAS Luar
Wilayah
Akreditasi
Total
31.9
46.2 53.8
Kanti n 35.7
64.3
B 29.3
73.7
A 29.6
70.4
Kab 35
65
Kota 0 18-40 tahun
20
40
60
80
41-65 tahun
Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan usia Tingkat Pendidikan Contoh Pendidikan
adalah
segala
upaya
yang
direncanakan
untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo 2003). Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan contoh dalam penelitian ini antara tidak tamat sekolah hingga PT (Perguruan Tinggi). Sebanyak 61.7% contoh memiliki tingkat pendidikan setingkat SD atau kurang (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan SD) . Hanya sebanyak 4.3% contoh memiliki tingkat pendidikan PT (perguruan tinggi).
Tingkat pendidikan contoh di sekolah dengan status akreditasi A cenderung lebih baik dibandingkan dengan akreditasi B. Begitu pula halnya dengan tingkat pendidikan pengelola kantin cenderung lebih baik dibanding dengan penjaja PJAS luar, hal ini kemungkinan dikarenakan status ekonomi contoh lebih baik. Tingkat
pendidikan
seseorang
akan
mempengaruhi
pengetahuan
seseorang. Pendidikan contoh merupakan faktor penting, selain itu, pendidikan juga merupakan usaha untuk mengadakan perubahan perilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan, tinggi rendahnya pendidikan contoh erat kaitannya dengan pengetahuan, sikap dan praktek yang baik. Sesuai dengan pendapat Barselon (1964) diacu dalam Notoatmodjo (2003) bahwa belajar adalah salah suatu perubahan perilaku yang
dihasilkan dari perilaku terdahulu.
Ini
menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting untuk merubah perilaku seseorang. Lama Berusaha Contoh Diharapkan semakin lamanya berusaha sebagai penjaja PJAS, maka pengetahuan, pengalaman, dan informasi tentang jajanan sehat yang diperoleh lebih baik, dan dengan pengetahuan, pengalaman, dan informasi yang baik akan membentuk perilaku yang baik. Pengetahuan, pengalaman, dan sumber informasi
merupakan
dasar
untuk
terjadinya
perubahan
perilaku
(Notoatmodjo 2003). Sebaran contoh berdasarkan lama berusaha disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan lama berusaha Wilayah Lama usaha (Thn)
Kota n
%
Akreditas Kab
A
Kelompok penjual B
n
%
n
%
n
%
Pengelola kantin n %
Total (n= 47)
Penjaja Luar n %
n
%
<1
1
5.0
8
29.6
4
21.1
5
17.9
4
30.8
5
14.7
9
19.2
1–5
7
35.0
52.0
7
36.8
5
38.5
3.6
3
15.8
7.1
1
7.6
2 1 5
44.7
20.0
1 6 4
47.1
4
1 4 2
50.0
6 – 10
1 4 1
> 10
8
40.0
4
14.8
5
26.3
7
25.0
3
23.1
9
26.5
25.5
Total
2 0
100. 0
2 7
100. 0
1 9
100. 0
2 8
100.0
1 3
100.0
3 4
100. 0
1 2 4 7
11.7
10.6
100. 0
Secara umum lama berusaha contoh sebagai penjaja PJAS tersebar pada 1 – 5 tahun yaitu 44.7%, begitu juga halnya dengan contoh di sekolah dengan status akreditasi B, dan contoh di wilayah kabupaten, tetapi contoh di wilayah kota secara umum yaitu 40.0% contoh bekerja sebagai penjaja PJAS
lebih dari 10 tahun. Sebagian besar contoh pada awalnya sudah bekerja sebagai penjaja PJAS dengan alasan pendapatan yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pendapatan Contoh Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Diharapkan dengan pendapatan tinggi dapat memberikan peluang yang besar dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya sehingga kualitas seseorang akan lebih baik, selain itu pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Sebagian besar (>50.0%) pendapatan keluarga pada kisaran Rp 1 juta - Rp 5 juta, hanya sebanyak 11.0% yang memiliki pendapatan keluarga di bawah Rp 500.000,00. Pendapatan perkapita per bulan berkisar antara Rp 60.000,00 sampai Rp 1.5 juta dengan rata-rata Rp 423.400,00. Sebaran contoh berdasarkan kategori pendapatan perkapita keluarga disajikan pada Gambar 5 Total
61.7 38.3
Kelompok Penjual Status Akreditasi
B
Kota/Kab
55.9 Penjaja PJAS luar
Kab
44.1 76.9
Kantin
23.1 89.5 41.5 66.7
A
33.3 55.6 44.6 70
Kota
30 0
20 Miskin
40
60
80
100
Tidak Miskin
Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan Berdasarkan batas kemiskinan yang ditetapkan BPS Propinsi Jawa Barat tahun 2008, sebanyak 61.7% contoh di kota maupun kabupaten tergolong tidak miskin dengan pendapatan lebih dari Rp.176.216,00. Begitu juga sekolah dengan status akreditasi A dan B sebagian besar contoh tergolong tidak miskin dimana pada sekolah dengan status akreditas A memiliki persentase terbesar yaitu 68.4%, antara pengelola kantin dan penjaja PJAS luar sebanyak 61.7% tergolong tidak miskin. Dengan tingginya tingkat pendapatan diharapkan dapat memilih dan membeli pangan yang bermutu dan beragam dalam jumlah yang cukup. Semakin besar pendapatan, maka akan semakin besar pengeluaran untuk alokasi pangan.
Profil PJAS di Lingkungan Sekolah Dasar Pangan jajanan di sekolah umumnya dapat dikelompokan menjadi empat kategori, yaitu: 1. Makanan sepinggan, misalnya nasi goreng, nasi soto, mie baso, mie ayam, gado-gado, siomay, batagor, dan sejenisnya 2. Makanan camilan, seperti tahu goreng, cilok, martabak mini, martabak telur, keripik, produk ekstrusi, dan sejenisnya 3. Minuman, seperti es campur, es teh, es sirup, es mambo, aneka jus, dan sejenisnya 4. Buah-buahan, seperti pepaya potong, melon potong, semangka, nenas dan sejeninya Pada penelitian ini dilakukan pengamatan/observasi terhadap jenis-jenis produk pangan jajanan yang dijual di lingkungan sekolah untuk mengetahui profil pangan jajanan yang dijual di kantin sekolah dan di sekitar sekolah. Profil PJAS di Kantin Sekolah Kelompok dan Jenis PJAS Hasil pengumpulan data PJAS yang dijual di kantin dikelompokkan sebagai makanan sepinggan, makanan camilan, minuman dan buah. Dari sejumlah lebih dari 100 jenis pangan jajanan yang dijual, jumlah makanan camilan paling banyak dibanding tiga kelompok lainnya, yaitu sebesar 59.0% (Gambar 6), bahkan pengelola kantin tidak menyediakan buah-buahan.
Gambar 6 Sebaran PJAS berdasarkan kelompok pangan di kantin sekolah Kelompok makanan sepinggan sebesar 50.0% merupakan olahan mie dan bihun, selanjutnya hasil olahan beras. Hanya 6.0% jenis makanan olahan protein hewani yaitu daging, unggas, ikan dan telur, bahkan pengelola kantin tidak menyediakan makanan olahan sayuran.
Gambar 7 Persentase kelompok makanan sepinggan di kantin sekolah Diantara hasil olahan mie, mie rebus yang paling banyak dijual. Tiga jenis pertama makanan olahan mie adalah mie rebus, goreng, dan bihun goreng. Selanjutnya olahan beras, tiga jenis pertama olahan beras adalah nasi uduk, lontong, dan nasi goreng. Diantara olahan beras nasi uduk paling banyak dijual. Berdasarkan pengumpulan data terhadap PJAS, terlihat bahwa masih kurang beragamnya jenis olahan makanan sepinggan yang dijual di kantin, dimana pengelola kantin tidak menyediakan olahan sayur, padahal
sayur-sayuran
sangat penting untuk dikonsumsi. Kelompok olahan daging, ikan unggas, dan telur dalam kelompok makanan sepinggan adalah bakso, batagor, dan siomay. Kelompok makanan camilan sebanyak 59.0% merupakan jumlah terbesar dari seluruh kelompok PJAS yang dijual di lingkungan sekolah. Diantara kelompok ini, produk ekstrusi (aneka chiki) dan wafer merupakan dua jenis makanan camilan yang terbanyak, 25.0% - 23.0%. Berikutnya adalah jenis coklat dan kacang sebesar 10.0%, diikuti jajanan lainnya (cilok, cireng. dan lainnya) dan aneka gorengan (tahu, tempe, dan bala-bala) sebesar 5.0%. Dari kelompok minuman, jenis minuman ringan kemasan terbanyak dijual, sebesar 50.0%. Beberapa contoh minuman adalah sari buah, teh serta susu. Selanjutnya jenis minuman aneka jus sebesar 25.0%, yang termasuk dalam jenis ini antara lain jus mangga, jeruk, dan melon.
Dalam hal makanan camilan yang merupakan jumlah terbesar dari seluruh contoh sebanyak 80.0% mempunyai register MD, selanjutnya SS sebanyak 12.0 %, masih ditemukan sebanyak 8.0% makanan camilan tidak terdaftar. Hal ini perlu mendapat perhatian baik dari Badan POM maupun Dinas Kesehatan setempat. Hampir sama dengan kelompok makanan camilan, kelompok minuman sebanyak 60.0% merupakan minuman dengan register MD dan sisanya hanya 12.0% kelompok minuman memiliki register SS. Terlihat bahwa register MD pada kelompok makanan camilan, dan minuman terdapat pada jenis-jenis minuman maupun snack kemasan berbagai merek. Selebihnya merupakan minuman yang disiapkan sendiri, atau dengan register SS.
Profil PJAS di Penjaja Luar Sekolah Kelompok dan Jenis PJAS Hasil pengumpulan data PJAS yang dijual di lingkungan luar sekolah dikelompokkan sebagai makanan sepinggan, makanan camilan, minuman dan buah. Dari sejumlah 180 jenis pangan jajanan yang dijual, jumlah makanan camilan paling banyak dibanding tiga kelompok lainnya, yaitu sebesar 75.0%, selanjutnya kelompok minuman yaitu 18.0%. Pada penjual PJAS
sekolah,
kelompok pangan lebih beragam dibanding pengelola kantin, dimana penjaja PJAS luar ada yang menyediakan buah-buahan, khususnya buah potong.
Gambar 11 Sebaran PJAS berdasarkan kolompok pangan di penjaja luar
Gambar 12 Persentase kelompok makanan sepinggan di penjaja luar
Di antara hasil olahan mie yang merupakan kelompok makanan sepinggan, indomie merupakan olahan yang paling banyak dijual sebagai jajanan anak sekolah. Mie merupakan makanan sumber KH yang memiliki fungsi sebagai
zat pembangun, banyaknya mie yang dijual kemungkinan karena kemasan yang praktis serta kemungkinan anak-anak sekolah lebih cenderung menyukai mie dibanding nasi. Terlihat dari Gambar 12, penjaja PJAS luar tidak ada menyediakan olahan beras.
Gambar 13 Sebaran PJAS berdasarkan jenis makanan camilan di penjaja luar
Gambar 14 Sebaran PJAS berdasarkan jenis minuman di penjaja luar
Kelompok makanan camilan sebanyak 75.0% merupakan jumlah terbesar dari seluruh jenis makanan yang dijual di lingkungan sekolah. Diantara kelompok ini, wafer dan permen merupakan dua jenis makanan camilan terbanyak yaitu 22.0% - 15.0%. Berikutnya adalah jajanan lain (cimol, cilok, dan martabak mini) yaitu sebanyak 13.0%, diikuti produk ekstrusi (aneka chiki) sebesar 11.0%. Antara penjaja PJAS luar dengan pengelola kantin terlihat bahwa penjaja PJAS luar lebih banyak menyediakan makanan camilan, dan tidak ada yang menyediakan makanan sepinggan olahan beras, padahal peran makanan olahan beras sangat besar dalam memberikan kontribusi energi pada anak sekolah. Profil PJAS Berdasarkan Ijin Edar pada Penjaja Luar Produsen pangan olahan dengan kemasan perlu mendaftarkan produk pangan olahannya apabila mempunyai umur simpan lebih dari tujuh hari. Register PJAS meliputi MD, ML, SP-PIRT, ataupun SS (bagi makanan siap saji) dan TTD ( tidak terdaftar).
Gambar 15 Sebaran PJAS berdasarkan register di penjaja luar Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan kelompok PJAS yang dijual sebanyak 79.0% PJAS termasuk dalam register MD, bahkan tidak ditemui PJAS dengan register ML. Namun masih terdapat PJAS tanpa register apapun, yaitu sebanyak 14.9% dari seluruh kelompok PJAS yang dijual penjaja PJAS luar. Pada umumnya kelompok PJAS makanan sepinggan dipersiapkan sendiri oleh penjaja, serta kelompok minuman khususnya aneka es. Melihat besarnya jumlah PJAS yang termsuk SS, sehingga perlu mendapat perhatian mulai dari proses pengelolahan sampai penyajian. Praktek Penggunaan BTP pada PJAS Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan secara alami bukan merupakan bagian dari bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan tersebut (BPOM 2003). Praktek penggunaan BTP
Status Kelompok Wilayah Akreditasi Penjual Total
disajikan pada Gambar 16. 55.4 44.6 55.9 44.1 53.8 46.2 64.3 35.7 42.1 57.9
Penjaja PJAS Luar Kantin B A
30
Kab Kota
70 65
35 0
Ya
50
100
Tidak
Gambar 16 Sebaran contoh berdasarkan praktek penggunaan BTP
Sebanyak 44.6% contoh menggunakan BTP. Contoh di sekolah akreditasi A lebih banyak yang menggunakan BTP dibanding dengan sekolah dengan akreditas B, sedangkan penjaja PJAS dan pengelola kantin yang menggunakan
BTP hampir sama yaitu 44.1% - 46.2%. Banyaknya contoh yang masih menggunakan BTP. Sebagian besar contoh mengaku dengan menggunakan BTP makanan/minuman lebih enak rasanya, serta penampilan yang lebih menarik dan harga BTP yang relatif murah dan mudah diperoleh. Dengan penampilan yang menarik maka jajanan lebih disukai oleh anak-anak sekolah, dan contoh mendapatkan untung yang lebih banyak. Masih kurangnya akses informasi yang diperoleh mengenai gizi dan keamanan pangan, merupakan penyebab masih banyaknya penjaja PJAS yang menggunakan BTP.
4.8
Total
33.3
Penjaja PJAS
61.9
33.3
50
16.7 0
33.3
20 Warung
66.7
40 Pasar
60 Toko plastik
80
Gambar 17 Sebaran contoh berdasarkan tempat pembelian BTP Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum contoh baik pengelola kantin dan penjaja PJAS luar sebanyak 61.9% contoh membeli BTP di warung. Hal ini diduga karena lokasi pembelian yang dekat dengan tempat tinggal contoh, serta sebagian besar contoh mengaku telah berlangganan dengan warung tertentu dikarenakan pembayaran belanja tidak secara tunai. Jenis BTP Dari berbagai jenis BTP yang dikenal, pemanis dan pewarna sintetik merupakan BTP yang paling sering digunakan. Sebaran contoh berdasarkan jenis BTP yang digunakan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis BTP yang digunakan Wilayah
n 2
% 28.6
n 3
% 21.4
n 3
% 27.3
n 2
% 20.0
Kelompok penjual Pengelola Penjaja kantin Luar n % N % 1 16.7 4 26.7
0
0.0
1
7.1
0
0.0
2
20.0
0
0.0
2
5
71.4
10
71.4
8
72.7
6
60.0
5
83.3
7
100.0
14
100.0
11
100.0
10
100.0
6
100.0
Jenis BTP Pewarna Sintetik Pemanis Buatan Penyedap rasa Total
Kota
Akreditas Kab
A
B
Total (n= 21) n
% 5
23.8
13.3
2
9.5
9
60.0
14
66.7
15
100.0
21
100.0
Hasil
penelitian
menunjukkan
sebanyak
44.7%
contoh
yang
menggunakan BTP, dan sebanyak 66.7% contoh menggunakan jenis BTP penyedap rasa dan penguat rasa. Banyaknya contoh menggunakan jenis BTP ini kemungkinan karena penyedap rasa dikenal luas di Indonesia. Penyedap rasa mengandung senyawa yang disebut monosodium glutamat (MSG). Dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88, penggunaan MSG dibatasi secukupnya, yang berarti tidak boleh berlebihan (BPOM 2003). Dari sekian banyak contoh yang menggunakan BTP sebanyak 23,8% menggunakan pewarna sintetik pada pangan jajanan yang dijual. Berdasarkan hasil survey BPOM tahun 2008 tentang keamanan pangan jajanan dimana ditemukan 2.2% makanan ringan mengandung Rhodamin. Penggunaan pewarna yang aman pada pangan telah diatur melalui peraturan Menteri kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88,
sedangkan
peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
No.239/Menkes/Per/V/85 mengatur tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya, termasuk Methanil Yellow yang berwarna kuning dan Rhodamin B yang berwarna merah. Karena kedua pewarna ini dibuktikan menyebabkan kanker yang gejalanya terlihat secara tidak langsung setelah mengkonsumsinya sehingga penggunaan pewarna ini dilarang walaupun dalam jumlah yang sedikit, kenyataan di lapang masih banyak produsen pangan, terutama pengusaha kecil, yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan (BPOM 2003). Sebanyak 9.5% contoh menambahkan pemanis pada makanan/minuman yang mereka jual. Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minuman sebagai pengganti gula karena mempunyai kelebihan rasa yang lebih manis daripada gula alami, dan mengandung kalori jauh lebih rendah, serta harganya yang murah. Sejumlah faktor maupun alasan menjadi penyebab penggunaan BTP, seperti ketidaktahuan akan bahaya jenis BTP yang dipakai, ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih untung karena pangan menjadi lebih menarik dan awet, serta kurangnya akses informasi gizi dan keamanan pangan. Akses Informasi Contoh tentang Gizi dan Keamanan Pangan Informasi dapat diakses oleh siapapun melalui media massa atau lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lain televisi, radio, majalah dan koran, buku, dan sebagainya. Sebaran
contoh berdasarkan sumber informasi gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan sumber informasi gizi dan keamanan pangan Wilayah Kategori Praktek
Kota
Status Akreditasi Kab
A
B
Kelompok Penjual Pengelola Penjaja kantin Luar n % n %
n % n % n % n % 1. Sumber informasi gizi dan keamanan pangan Televisi 13 93.0 14 87.5 13 86.7 14 93.3 10 91.0 Majalah 1 7.0 2 12.5 2 13.3 1 6.7 1 9.0 /koran Total 14 100.0 16 100.0 15 100.0 15 100.0 11 100.0 2. Sumber informasi mendengar istilah pendidikan gizi dan penyuluhan gizi Televisi 8 80.0 6 42.9 9 81.8 5 35.7 Radio 0 0.0 1 7.1 0 0.0 1 14.3 Majalah 1 10.0 1 7.1 1 9.1 1 14.3 /koran P. Kes 1 10.0 6 42.9 1 9.1 7 Total 10 100.0 14 100.0 11 100.0 14 100.0 3. Instansi yang menyelenggarakan pelatihan/penyuluhan gizi Sekolah 3 50.0 2 50.0 3 50.0 2 50.0 Sudin 1 16.7 0 0.0 1 16.7 0 0.0 kec lainnya 2 33.3 2 50.0 2 33.3 2 50.0
Total (n= 47) n
%
17 2
89.5 10.5
27 3
90.0 10.0
19
100.0
30
100.0
5 0 0
62.5 0.0 0.0
9 1 2
56.2 6.3 12.5
14 1 2
73.7 5.3 10.5
3 8
37.5 100.0
4 16
25 100.0
7 19
36.8 100.0
0 0
0.0 0.0
5 1
62.5 12.5
5 1
50.0 10.0
2
100.0
2
25.0
4
40.0
Total 6 100.0 4 100.0 6 100.0 4 100.0 2 4. Sumber informasi peraturan penggunaan BTP Televisi 8 72.7 13 86.6 12 92.3 9 69.2 9 Radio 2 18.2 0 0.0 0 0.0 2 15.4 0 Majalah 1 9.1 1 6,7 1 7.7 1 7.7 0 /koran P.Kes 0 0.0 1 6,7 0 0.0 1 7,.7 0 Total 11 100.0 15 100.0 13 100.0 13 100.0 9 5. Media yang paling mudah diakses untuk informasi jajanan sehat Televisi 17 85.0 23 85.2 16 84.2 24 85.8 13 Radio 0 0.0 2 7.4 0 0.0 2 7.1 0 Majalah 2 10.0 2 7.4 2 10.5 2 7.1 0 /koran P. Kes 1 5.0 0 0.0 1 5.3 0 0.0 0 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13
100.0
8
100.0
10
100.0
100 0.0 0.0
12 2 2
70.6 11.8 11.8
21 2 2
80.8 7.7 7.7
0.0 100
1 17
5.9 100.0
1 26
3.8 100.0
100.0 0.0 0.0
27 2 4
79.4 5.9 11.8
40 2 4
85.1 4.3 8.5
0.0 100.0
1 34
3.0 100.0
1 47
2.1 100.0
Pada Tabel 5 sumber informasi gizi dan keamanan pangan sebanyak 90.0% diakses oleh contoh melalui televisi. Secara umum contoh di wilayah kota mengakses informasi gizi dan keamanan pangan melalui televisi, begitu juga halnya dengan contoh di wilayah kabupaten, penjaja PJAS di luar sekolah, dan pengelola kantin mengakses informasi gizi dan keamanan pangan melalui televisi. Contoh mengakses informasi istilah pendidikan/penyuluhan gizi sebesar 73.7% melalui televisi, diikuti 36.8% diakses melalui petugas kesehatan (Dokter/Perawat/Bidan/Kader). Contoh di wilayah kota lebih banyak mengakses sumber informasi istilah pendidikan/penyuluhan gizi melalui televisi dibanding
dengan kabupaten yang lebih banyak mengakses sumber informasi tersebut melalui petugas kesehatan, hal ini diduga kerena kegiatan penyuluhan gizi lebih banyak dilakukan di wilayah kabupaten karena dianggap masyarakat di desa lebih sulit memperoleh akses informasi daripada masyarakat yang tinggal dikota. Sementara itu pengelola kantin lebih banyak mengakses informasi melalui televisi, serta contoh di sekolah dengan status akreditasi B lebih banyak mengakses informasi gizi melalui televisi. Hanya 21.3% contoh yang pernah mendapat pelatihan/penyuluhan gizi, dimana sebanyak 50.0% instansi yang menyelenggarakan pelatihan/penyuluhan gizi adalah dari pihak sekolah, diikuti dari instansi lainnya (Puskesmas, Perusahaan makanan, dan Posyandu) sebesar 40.0%. Kegiatan pelatihan/penyuluhan gizi yang rendah diduga kerena masih kurangnya perhatian pihak sekolah terhadap keamanan jajanan di sekolah, hal ini terlihat sebagian besar pihak sekolah tidak pernah memberikan pengawasan terhadap penjaja PJAS yang berada di lingkungan sekolah. Hal ini terbukti dari hasil penelitian diketahui bahwa hanya satu sekolah dari empat sekolah dalam penelitian ini yang memiliki peraturan tertulis terhadap pangan jajanan yang dijual di lingkungan sekolah oleh penjaja PJAS yaitu SDN Pajeleran 01, sedangkan sekolah lainnya tidak memiliki peratutan tertulis, bahkan ada sekolah yang sama sekali tidak pernah memberikan pengawasan terhadap PJAS yang dijual di lingkungan sekolah. Pada Tabel 5 terlihat secara umum contoh mengakses sumber informasi peraturan penggunaan BTP sebanyak 80.8% melalui televisi, dan 85.1% contoh mengaku bahwa media yang paling mudah diperoleh untuk mengakses sumber informasi gizi dan keamanan pangan adalah melalui televisi. Hal ini dikarenakan akses contoh terhadap televisi mengenai informasi gizi dan keamanan pangan lebih mudah dibanding sumber informasi lainnya. Banyaknya contoh yang mengakses informasi tentang gizi dan keamanan pangan melalui televisi diduga karena penampilan iklan yang menarik dan pesan yang lebih mudah dimengerti. Media massa dapat memicu respon yang berdampak pada tindakan nyata seseorang. Namun pengaruh dari media massa sulit diidentifikasi karena banyak faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan. Akses terhadap informasi gizi dan keamanan pangan diharapkan dapat menambah pengetahuan contoh khususnya mengenai gizi dan keamanan pangan. Oleh karena itu semakin tinggi akses informasi gizi dan
keamanan pangan seseorang diduga akan semakin baik prakteknya tentang gizi dan keamanan pangan. Tingkat akses informasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu baik, cukup, dan kurang. Pengelompokan ini berdasarkan sebaran data akses informasi yang diperoleh. Sebaran contoh berdasarkan tingkat akses informasi gizi dan keamanan pangan dapat dilihat pada Gambar 18.
Status Kelompok WilayahAkreditasiPenjual Total
Tingkat akses informasi gizi dan keamanan pangan
penjaja PJAS Luar
10.7 10.7
Kota 0 Baik
46.2 78.6 47.4
26.3 26.3
A kab
73.5
23.1 30.8
Kantin B
66
17 17 11.8 14.7
14.8 14.8 20 20 20 Cukup
70.4 60
40
60
80
Kurang
Gambar 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat akses informasi gizi dan keamanan pangan Pada Gambar 18 dapat diketahui sebanyak 66.0% contoh memiliki tingkat akses informasi gizi dan keamanan pangan tergolong kurang. Berdasarkan wilayah, contoh di kota memiliki tingkat akses informasi lebih baik dibanding di kabupaten, berdasarkan status akreditasi, akreditasi A lebih baik dibanding B, dan berdasarkan kelompok penjual pengelola kantin memiliki tingkat akses informasi yang lebih baik dibanding penjaja PJAS luar. Namun berdasarkan uji t menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0.05) tingkat akses informasi contoh berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Ini diduga karena sumber informasi yang diperoleh dari sumber yang sama, serta tingkat pendidikan contoh yang relatif sama, selain itu masih kurangnya peran pihak sekolah dalam hal pembinaan penjaja PJAS, dan kurangnya kegiatan penyuluhan dari pihak sekolah maupun instansi terkait, terlihat dari data yang diperoleh hanya 21.3% contoh yang pernah mendapatkan penyuluhan dari pihak sekolah.
Perilaku Gizi dan Keamanan Pangan Contoh Pengetahuan gizi dan keamanan pangan contoh Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo 2003). Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar mengenai pertanyaan tentang gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar mengenai pertanyaan gizi dan keamanan pangan Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Gizi 1. Makanan/minuman yang bergizi 2. Zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh 3. Susunan makanan yang baik 4. Makanan jajanan yang baik 5. Makanan jajanan sumber KH 6. Apabila tubuh kekurangan KH 7. Makanan sumber Protein 8. Akibat kekurangan zat besi 9. Makanan sumber vitamin A 10. Apabila tubuh kekurangan vitamin Keamanan Pangan 11. Ditemukan sehelai rambut di dalam es cendol, maka es cendol tersebut 12. Akibat mengkonsumsi pangan yang tidak bersih dan tidak sehat 13. Mencuci tangan sebaiknya 14. Es sirup terasa manis tetapi agak pahit sesaat setelah ditelan, maka 15. Bukan BTP 16. Air mentah yang digunakan untuk es bantu 17. Kegiatan menimbulkan cemaran makanan 18. Apa yang dilakukan saat ingin bersin ketika mengolah/menyajikan makan 19. Informasi yang penting dari kemasan pangan 20. Jenis kemasan apa yang baik untuk membungkus jajanan gorengan
Pengelola kantin Kota Kab (n=4) (n=9) n % n %
Penjaja luar Kota Kab (n=16) (n=18) n % n %
Total (n= 47) n
%
3
75.0
7
77.8
1
6.25
12
66.7
23
48.9
4
100.0
5
55.6
5
31.3
9
50.0
23
48.9
4 3 3 2 2 2 4 2
100.0 75.0 75.0 50.0 50.0 50.0 100.0 50.0
7 8 5 6 3 4 6 3
77.8 88.9 55.6 66.7 33.3 44.4 66.7 33.3
10 10 7 10 3 6 9 4
62.5 62.5 43.8 62.5 18.8 37.5 56.3 25.0
14 15 12 11 4 11 12 7
77.8 83.3 66.7 61.1 22.2 61.1 66.7 38.9
31 36 27 29 12 23 31 16
66.0 76.6 57.4 61.7 25.5 48.9 66.0 34.0
2
50.0
6
66.7
8
50
15
83.3
31
48.9
3
75.0
7
77.8
12
75
16
88.9
38
80.9
4 3
100.0 75.0
9 9
100 100
11 13
68.8 81.3
17 14
94.4 77.8
41 39
87.2 83
2 3
50.0 75.0
5 5
55.6 55.6
4 7
25 43.8
9 9
50 50
20 24
42.6 51.1
3
75.0
6
66.7
7
43.8
14
77.8
30
63.8
4
100.0
9
100
15
93.8
16
88.9
44
93.6
3
100.0
8
88.9
9
56.3
14
77.8
34
72.3
2
50.0
7
77.8
11
66.8
16
88.9
36
76.6
Secara umum contoh dapat menjawab benar yaitu sebanyak 76.6% dengan menyebutkan pangan jajanan yang baik, sebanyak 93.6% contoh
menjawab benar mengenai apa yang harus dilakukan saat ingin bersin ketika mengolah/menyajikan makanan, banyaknya contoh yang menjawab benar menunjukkan bahwa contoh sudah memahami dan mengetahui tentang jajanan yang baik serta telah memahami tindakan yang dilakukan pada saat bersin ketika mengolah/menyajikan makanan, hal ini kemungkinan dikarenakan berdasarkan pengalaman, dan sumber informasi yang diperoleh. Skor dari jawaban pertanyaan tentang gizi dan keamanan pangan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu; baik, cukup, dan kurang. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan Wilayah Kategori pengetahuan
Kota
Status Akreditasi
%
n
%
n
%
Kelompok Penjual Pengelola Penjaja kantin Luar n % n %
22.2 14.8 63.0 100.0
4 4 11 19
21.1 21.1 57.8 100.0
4 3 21 28
14.3 10.7 75.0 100.0
4 2 7 13
30.8 15.4 53.8 100.0
4 5 25 34
11.8 14.7 73.5 100.0
8 7 32 47
17.0 15.0 68.0 100.0
33.3 48.1 18.6 100.0
6 6 7 19
31.6 31.6 36.8 100.0
7 13 8 28
25.0 46.4 28.6 100.0
5 5 3 13
38.5 38.5 23.0 100.0
8 14 12 34
23.5 41.2 25.5 100.0
13 19 15 47
27.7 40.4 31.9 100.0
26.0 26.0 48.0 100.0
5 4 10 19 66.1
26.3 21.1 52.6 100.0
17.8 28.6 53.6 100.0
4 3 6 13 70.0
30.7 23.1 46.2 100.0
6 9 19 34 60.7 p=0.404
17.6 26.5 55.9 100.0
Kab
n % n Pengetahuan gizi Baik 2 10.0 6 Cukup 3 15.0 4 Kurang 15 75.0 17 Total 20 100.0 27 Pengetahuan keamanan pangan Baik 4 20.0 9 Cukup 6 30.0 13 Kurang 10 50.0 5 Total 20 100.0 27 Pengetahuan secara keseluruhan Baik 3 15.0 7 Cukup 5 25.0 7 Kurang 12 60.0 13 Total 20 100.0 27 Rata-rata 56.0 68.7 P=0.307
A
B
5 8 15 28 61.4 P=0.629
Total (n=47) N
%
10 12 25 47
Secara umum pengetahuan gizi conoh tergolong kurang yaitu sebanyak 68.0%. Berdasarkan wilayah, penjaja PJAS di kabupaten memiliki tingkat pengetahuan gizi lebih baik daripada di kota, namun berdasarkan status akreditasi penjaja PJAS di sekolah dengan status akreditasi A lebih baik dibanding dengan akreditasi B, serta berdasarkan kelompok penjual pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS di luar sekolah. Begitu juga halnya dengan pengetahuan keamanan pangan. Hal ini diduga karena pada sekolah dengan status akreditasi A, peran pihak sekolah serta pembinaan yang diberikan terhadap pengawasan penjaja PJAS jauh lebih baik daripada akreditasi B, terlihat dari data yang dikumpulkan salah satu sekolah yang berada di wilayah kabupaten dengan akreditasi A sudah memiiki peraturan sekolah secara tertulis tentang pengawasan PJAS, sedangkan pengelola kantin yang cenderung lebih
21.3 25.5 53.2 100.0
baik daripada penjaja PJAS kemungkinan dikarenakan tingkat pendidikan pengelola kantin jauh lebih baik. Dalam penelitian ini, contoh memiliki tingkat pengetahuan keamanan pangan lebih baik dibanding tingkat pengetahuan gizi. Rendahnya pengetahuan gizi contoh ditunjukkan lebih dari separuh contoh tidak dapat menjawab pertanyaan tentang akibat tubuh jika kekurangan KH, zat besi, vitamin dan bahan pangan sumber protein pada Tabel 6. Begitu juga dengan pengetahuan keamanan pangan, dimana sebagian besar contoh tidak menjawab benar jenis bahan yang bukan BTP, jenis kemasan yang baik, serta penyebab makanan tercemar. Hai ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya akses informasi contoh tentang keamanan pangan, serta kurangnya waktu contoh untuk mencari sumber informasi, dimana dari hasil wawancara terhadap contoh sebagian besar contoh tidak sempat untuk menonton televisi, mendengar radio, bahkan membaca koran/majalah, karena waktu lebih banyak digunakan untuk berjualan. Pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan seseorang, tetapi sumber informasi, pengalaman, serta kegiatan penyuluhan juga mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang (Notoatmodjo 2003). Berdasarkan uji t pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan tidak memiliki perbedaan yang nyata (p>0.05). Hal ini terlihat dari rata-rata skor pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan antara contoh tidak berbeda jauh. Hal ini diduga karena tingkat pendidikan contoh yang relatif sama dan masih
dalam
kategori
rendah,
yaitu
sebanyak
50.0%
contoh
tingkat
pendidikannya adalah SD, baik contoh di wilayah kota dan kabupaten, sekolah dengan status akreditas A dan B, sedangkan antara pengelola kantin dan penjaja PJAS luar hanya 2.1% tingkat pendidikan S1 pada pengelola kantin, sehingga tingkat pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan tidak berbeda. Selain tingkat pendidikan, kemungkinan juga akses informasi mengenai gizi dan keamanan yang diperoleh dari sumber informasi yang sama dan lingkungan yang sama, serta instansi yang sama dalam memberikan penyuluhan mangenai gizi dan keamanan pangan, sehingga informasi yang diperoleh tidak berbeda. Sikap gizi dan keamanan pangan contoh Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan dan belum menunjukkan tindakan atau aktivitas, tetapi
sikap merupakan predoposisi tindakan dari suatu perilaku (Notoatmodjo 2003). Pada Tabel 8 terlihat sebaran contoh berdasarkan sikap setuju terhadap sikap gizi dan keamanan pangan. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan sikap setuju tentang gizi dan keamanan pangan Pengelola kantin Sikap gizi dan keamanan pangan
Kota (n=4)
Kab (n=9)
Penjaja luar Kota (n=16)
n
%
n
%
n
4
100.0
8
90.0
3
75.0
6
3 3 1 4 1
75.0 75.0 25.0 100.0 25.0
2
Kab (n=18)
Total (n= 47)
%
n
%
n
%
15
90.0
16
88.9
43
91.5
66.7
14
87.5
11
61.1
34
72.3
7 6 1 9 2
77.8 66.7 11.1 100.0 22.2
11 14 11 15 7
68.8 87.5 68.8 93.8 43.8
13 2 7 17 9
72.2 11.1 38.9 94.4 50.0
26 25 20 45 19
55.3 53.2 42.6 95.7 40.4
50.0
3
33.3
10
62.5
6
33.3
21
44.7
4
100.0
9
100.0
13
81.3
15
83.3
41
87.2
1
25.0
4
44.4
8
50.0
7
38.9
20
42.6
3
75.0
6
66.7
9
56.3
13
72.2
31
66.0
4
100.0
9
100.0
16
100.0
17
94.4
46
97.9
4
100.0
9
100.0
13
81.3
10
55.6
36
76.6
4
100.0
9
100.0
14
87.5
17
94.4
44
93.6
3
75.0
7
77.8
12
75.0
17
94.4
39
83.0
4
100.0
9
100.0
12
75.0
17
94.4
42
89.4
4
100.0
7
77.8
12
75.0
11
57.9
34
72.3
4
100.0
9
100.0
14
87.5
15
83.3
42
89.4
4
100.0
7
77.8
14
87.5
16
88.9
41
87.2
4
100.0
7
77.8
12
75.0
13
72.2
36
76.6
Gizi 1. Tubuh membutuhkan beragam zat gizi 2. Bubur ayam, lontong sayur dan nasi uduk sumber vitamin 3. Jajanan sumber zat gizi 4. jajanan sehat, adalah 5. Minum air ketika kita haus saja 6. Sarapan menunjang aktivitas 7. Tidak pernah memperhatikan nilai gizi jajanan 8. kebiasaan makanan camilan sambil menonton TV baik untuk kesehatan 9. Pangan sumber zat besi agar tidak anemia 10. Kandungan vitamin dan mineral pada jus buah kemasan sama dengan pada jus asli.
Keamanan Pangan 11. Tumpukan sampah menyebabkan makanan tercemar 12. Kebersihan tempat jualan penting untuk keamanan pangan 13. Makanan dalam kondisi terbuka hal yang biasa saya lakukan 14. Mencuci tangan sebelum mengolah/menyajikan hal yang penting 15. Membungkus makanan dengan kertas koran/plastik bekas baik 16. Menggunakan pemanis buatan yang berlebihan 17. Bersin kearah makanan pada saat mengolah hal biasa 18. Informasi label gizi dan tanggal kadarluasa, penting 19. Memakai penutup kepala menghindari makanan dari cemaran 20. Tangan yang belum dicuci menyebabkan makanan tercemar.
Sikap contoh tentang gizi dan keamanan pangan dinilai berdasarkan hasil jawaban dari 20 pernyataan baik positif maupun pernyataan negatif. Pada Tabel
8 dapat dilihat bahwa sikap contoh hampir 80.0% setuju bahwa untuk dapat hidup sehat, tubuh membutuhkan beragam zat gizi seperti KH, P, L, Vitamin, Mineral dan Air, selanjutnya contoh baik di wilayah kota dan kabupaten setuju bahwa kebersihan tempat jualan adalah hal yang penting untuk menunjang keamanan pangan. Selanjutnya pengelola kantin sebanyak 100.0% setuju untuk pernyataan sarapan menunjang aktivitas, sumber zat besi untuk mencegah anemia, kebersihan tempat jualan penting, dan mencuci tangan sebelum mengolah makanan penting, sedangkan penjaja PJAS di daerah kota sebanyak 100.0% setuju bahwa keamanan tempat jualan adalah hal yang penting untuk menunjang keamanan pangan. Pengelola kantin di wilayah kota maupun di kabupaten sebesar 100.0% setuju bahwa menyajikan makanan dalam kondisi terbuka sehingga lalat mudah hinggap adalah hal yang biasa dilakukan, serta lebih dari 80.0% contoh setuju bahwa menggunakan pemanis buatan yang diijinkan dengan jumlah yang berlebihan adalah aman bagi kesehatan, hal ini menunjukkan masih banyak contoh yang belum memahami penyajian makanan serta pengunaan BTP yang benar. Pada Tabel 9 dapat dilihat sebaran contoh berdasarkan tingkat sikap contoh tentang gizi dan keamanan pangan.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan sikap gizi dan keamanan pangan Sikap gizi dan keamanan pangan
Wilayah Kota
Status Akreditasi A B
Kab
Kelompok Penjual Pengelola Penjaja kantin luar n % n %
Total (n= 47) N
n
%
n
%
n
%
n
%
%
1 7 12 20
5.0 35.0 60.0 100.0
5 11 11 27
18.6 40.7 40.7 100.0
3 8 8 19
15.8 42.1 42.1 100.0
3 10 15 28
10.7 35.7 53.6 100.0
2 7 4 13
15.4 53.8 30.8 100.0
4 11 19 34
11.7 32.4 55.9 100.0
6 18 23 47
12.8 38.3 48.9 100.0
11 6 3 20
55.0 30.0 15.0 100.0
14 10 3 27
51.9 37.0 11.1 100.0
12 5 2 19
63.2 26.3 10.5 100.0
13 11 4 28
46.4 39.3 14.3 100.0
8 5 0 13
61.5 38.5 0.0 100.0
17 11 6 34
50.0 32.4 17.6 100.0
25 16 6 47
53.2 34.0 12.8 100.0
6 10 4 20
30.0 11 40.7 50.0 11 40.7 20.0 5 10.6 100.0 27 100.0 72.0 76.3 P=0.902
10 16 8 34 72.1 P=0.737
29.4 47.1 23.5 100.0
17 21 9 47
36.1 44.7 19.2 100.0
Sikap gizi
Sikap keamanan pangan
Sikap secara keseluruhan
Rata-rata
8 42.1 9 32.1 9 47.4 12 42.9 2 10.5 7 25.0 19 100.0 28 100.0 77.9 72.1 P=0.0820
7 53.8 5 38.5 1 7.7 13 100.0 80.8
Komponen kognitif sikap menggambarkan pengetahuan seseorang tentang suatu objek. Komponen afektif sikap menggambarkan perasaan dan emosi seseorang terhadap suatu objek, sedangkan komponen konatif sikap menggambarkan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan yang berkaitan dengan objek sikap. Sikap juga memiliki dimensi positif, netral, dan
negatif. Berdasarkan Tabel 9, sebanyak 48.9% contoh memiliki sikap masih tergolong kurang terhadap gizi. Berdasarkan wilayah sikap gizi penjaja PJAS di kabupaten lebih baik daripada kota, namun berdasarkan status akreditasi sikap gizi penjaja PJAS di sekolah dengan status akreditasi A lebih baik dibanding B, sedangkan berdasarkan kelompok penjual, pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS luar. Masih rendahnya sikap tentang gizi terlihat dari sikap yang setuju terhadap pernyataan negatif yaitu minum pada saat haus saja, tidak memperhatikan nilai kandungan gizi, dan kandungan gizi pada buah asli dan kemasan sama. Serta sikap setuju terhadap pernyataan negatif pada pengetahuan keamanan pangan, yaitu; penyajian makanan dalam kondisi terbuka sehingga lalat mudah hinggap, membungkus makanan dengan kertas koran/plastik bekas, dan penggunaan pemanis yang berlebihan. Sikap setuju contoh ini diduga karena keyakinan dan kepercayaan contoh terhadap suatu objek tersebut, serta masih kurangnya pengetahuan contoh tentang gizi, dan ketidakpedulian contoh terhadap kandungan gizi pangan jajanan yang mereka jual, dan bagi seorang penjual pangan jajanan sekolah yang terpenting adalah mereka memperoleh keuntungan yang besar tanpa memperdulikan aspek gizi dan keamanan makanan/minuman yang dijual. Hal ini sesuai dengan pendapat Allport (1954) diacu dalam Notoatmodjo (2003), sikap terdiri dari tiga komponen pokok, salah satunya yaitu kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Sifat yang penting dari sikap adalah kepercayaan dalam memegang kepercayaan tersebut, karena hal ini dapat mempengaruhi kekuatan hubungan di antara sikap dan praktek, sikap yang dipegang dengan penuh kepercayaan biasanya akan jauh lebih diandalkan untuk membimbing tindakan (Engel et all 1992). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dalam menentukan sikap. Sebanyak 53.2% contoh memiliki sikap terhadap keamanan pangan tergolong baik. Berdasarkan wilayah contoh di kota lebih baik dibanding kabupaten, dan berdasarkan status akreditasi contoh di sekolah dengan status akreditasi A lebih baik dibanding akreditasi B, serta berdasarkan kelompok penjual pengelola kantin memiliki sikap keamanan pangan lebih baik dibanding penjaja PJAS luar. Terlihat bahwa pengetahuan keamanan pangan lebih baik daripada pengetahuan gizi, ini terlihat dari sikap setuju terhadap kebersihan
tempat jualan penting, penutup kepala dapat mencegah makanan tercemar, mencuci tangan penting, dan informasi label penting. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh sudah mengetahui hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari makanan tercemar. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson (P=0.000) menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara tingkat pengetahuan gizi dengan sikap gizi. Menurut Taryoto (1991) sikap seseorang dipengaruhi pengetahuan, pengalaman, dan respon yang diperolah. Sementara itu, contoh dengan sikap pengetahuan gizi dan keamanan pangan sebanyak 44.7% tergolong cukup, rata-rata menunjukkan sikap setuju bahwa makanan jajanan dapat memberikan sumbangan zat gizi pada anak dan mengambil
makanan
yang
dengan
tangan
yang
belum
dicuci
dapat
menyebabkan makanan tercemar. Contoh yang baik kecendrungan memiliki sikap sangat setuju terhadap pernyataan positif dan memiliki sikap tidak setuju terhadap pernyataan negatif, sedangkan contoh yang cukup hanya mencapai taraf setuju terhadap beberapa pernyataan positif, dan mencapai taraf tidak setuju terhadap beberapa pernyataan negatif. Berdasarkan uji t, sikap tentang gizi dan keamanan pangan berdasarkan wilayah, kelompok penjual, dan status akreditasi tidak memiliki perbedaan yang nyata (p>0.05). Tidak adanya perbedaan diduga karena sebagian contoh memiliki tingkat pendidikan yang relatif sama, sehingga sikap gizi dan keamanan pangan yang dimiliki contoh tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fatimah dan Yuliati (2002) bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap, selain itu tidak adanya perbedaan kemungkinan dikarenakan akses informasi yang diperoleh berasal dari sumber informasi yang sama, ini dapat terlihat dari sumber informasi tentang gizi dan keamanan sebagian besar contoh memperolehnya dari televisi. Praktek gizi dan keamanan pangan contoh Suatu
sikap
belum
otomatis
terwujud
dalam
suatu
tindakan
(overt behavior). Praktek gizi penjaja PJAS di luar sekolah berdasarkan data yang dikumpulkan hanya 3.0% yang menyediakan buah-buahan pada jualannya. Masih rendahnya praktek gizi dalam penyediaan PJAS untuk kelompok buah-buahan diduga karena kurangnya pengetahuan gizi contoh, khususnya manfaat zat gizi, terlihat dari pengetahuan gizi 50.0% contoh tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai sumber zat gizi. Sedangkan untuk praktek keamanan contoh, dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan praktek keamanan pangan Wilayah Kategori Praktek
Kota
Status Akreditasi Kab
A
Kelompok Penjual Pengelola Penjaja kantin luar n % N %
n
%
10.7 25.0 64.3 100.0
0 6 7 13
0.0 46.2 53.8 100.0
3 10 21 34
8.8 29.4 61.8 100.0
3 16 28 47
6.4 34.0 59.6 100.0
24.6 20.7 51.7 100.0
0 6 7 13
23.0 38.5 38.5 100.0
11 7 16 34
32.4 20.5 47.1 100.0
14 12 21 47
29.8 25.5 44.7 100.0
32.2 21.4 46.4 100.0
3 5 5 13
30.8 23.1 46.2 100.0
11 9 14 34
23.4 26.5 41.1 100.0
15 12 20 47
31.9 25.5 42.5 100.0
4 11.8 18 52.9 12 35.3 34 100.0 65.0
5 25 17 47
10.6 53.2 36.2 100.0
B
N % n % n % N A.Hiegene penjual/penyaji makanan/minuman Baik 0 0.0 3 11.1 0 0.0 3 Cukup 8 40.0 8 29.6 9 47.4 7 Kurang 12 60.0 16 59.3 10 52.6 18 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 B.Penanganan dan penyimpanan makanan/minuman Baik 8 40.0 6 22.2 7 36.8 7 20.0 8 29.6 6 31.6 6 Cukup 4 Kurang 8 40.0 13 48.2 6 31.6 15 Total 20 100.0 27 100.0 19 100 29 C.Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan Baik 8 40.0 7 25.9 6 31.6 9 Cukup 7 35.0 5 18.5 6 31.6 6 Kurang 5 25.0 15 55.6 7 36.8 13 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 Praktek keamanan pangan penjaja secara keseluruhan Baik 3 15.0 2 7.4 1 5.3 4 50.0 15 55.6 13 68.4 12 Cukup 10 Kurang 7 35.0 10 37.0 5 26.3 12 Total 20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 Rata-rata 68.0 62.5 66.0 64.0 P=0.068 P=0.027
%
14.2 42.9 42.9 100.0
1 7.7 7 53.8 5 38.5 13 100.0 65.0 P=0.362
Total (n= 47)
Praktek gizi dan keamanan pangan merupakan bentuk aplikasi dari pengetahuan gizi dan keamanan pangan. Praktek keamanan pangan sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan jajanan yang dijual oleh penjaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum contoh memiliki tingkat praktek keamanan pangan sebanyak 53.2% tergolong cukup. Berdasarkan wilayah contoh
di
kabupaten
yang
mempraktekkan
hiegene
penjual/penyaji
makanan/minuman lebih baik dibanding di kota, dan berdasarkan status akreditasi contoh di sekolah dengan status akreditasi B lebih baik daripada akreditasi A, serta penjaja PJAS luar lebih baik dibanding pengelola kantin dalam praktek hiegene penjual/penyaji makanan/minuman. Untuk praktek penanganan dan penyimpanan makanan/minuman contoh di daerah kota lebih baik daripada kabupaten, dan contoh di sekolah dengan status akreditasi A lebih baik dibanding akreditasi B, begitu juga pengelola kantin lebih baik dibanding penjaja PJAS luar. Dalam praktek pengendalian hama, sanitasi tempat, dan peralatan sebesar 42.5% contoh tergolong kurang, berdasarkan
wilayah
di
kota
sebesar
40.0%
contoh
memiliki
praktek
pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan yang lebih baik dibanding kabupaten yaitu sebanyak 25.9% contoh, dan berdasarkan status akreditasi, contoh di sekolah dengan status akreditasi A, serta berdasarkan kelompok
penjual pengelola kantin memiliki praktek pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan yang lebih baik. Hasil survey PJAS nasional tahun 2008 oleh Badan POM menunjukkan lebih dari 70.0% penjaja PJAS menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang baik. Hasil penelitian Fatimah dan Yuliati (2002) menunjukkan sebanyak 63.2% penjamah makanan tata boga memiliki praktek keamanan pangan dalam kategori sedang. Masih banyaknya contoh yang menerapkan praktek keamanan pangan yaitu sebanyak 36.2% tergolong kurang kemungkinan kurangnya sumber informasi yang diperoleh contoh. Walaupun pengetahuan keamanan pangan sebanyak 27.7% contoh tergolong baik, belum menentukan contoh akan menerapkannya, kemungkinan contoh hanya sekedar tahu, tetapi tidak memahami ilmu tersebut dan tidak mengaplikasikan ilmu yang mereka tahu dalam kehidupannya, sehingga tingkat praktek contoh hanya mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil (Persepsi), tetapi belum merespon secara benar dan melakukannya sebagai suatu kebiasaan (Mekanisme) dan praktek belum berkembang dengan baik (Adopsi). Berdasarkan uji t praktek keamanan pangan berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (p>0.05). Hal ini diduga karena praktek keamanan pangan merupakan respon dari stimulus, dimana respon dari setiap contoh berbeda-beda tergantung pada karakteristik individu tersebut. Menurut Notoatmodjo (2003) faktor yang membedakan respon atau praktek tentang keamanan pangan setiap individu, meliputi karakteristik individu yang bersifat genetik (tingkat kecerdasan, tingkat emosional, dan sebagainya) dan faktor esternal (lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya). Hubungan Berbagai Variabel Hubungan pengetahuan dengan sikap tentang gizi dan keamanan pangan Perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Perilaku mencakup tiga domain, yakni; pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik (practice). Tingkat pengetahuan tentang gizi diduga memiliki hubungan dengan sikap tentang gizi. Menurut Khomsan (1997), sikap gizi merupakan tahapan lebih
lanjut dari pengetahuan gizi. Pembentukan sikap gizi akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan/sosial budaya yang ada di masyarakat. Pada Tabel 11 dan 12 disajikan mengenai hubungan pengetahuan dab sikap gizi dan keamanan pangan. Tabel 11 Hubungan pengetahuan gizi dengan sikap gizi Sikap gizi pengetahuan gizi Baik Cukup Kurang Total
Baik
Cukup
Kurang
Total (n= 47) n %
n
%
N
%
n
%
3 1 2 6
50.0 16.7 33.3 100.0
5 4 9 18
27.8 22.2 50.0 100.0
0 2 21 23
0.0 8 17.0 8.7 7 14.9 91.3 32 68.1 100.0 47 100.0 p= 0.000 ; r=0.649
Tabel 12 Hubungan pengetahuan keamanan pangan dengan sikap keamanan pangan Pengetahuan keamanan pangan n Baik Cukup Kurang Total
Sikap keamanan pangan Cukup Kurang
Baik
9 12 4 25
% 36.0 48.0 16.0 100.0
N 4 6 6 14
% 28.6 42.8 42.8 100.0
n
%
Total (n= 47) n %
0 0.0 13 1 16.7 19 5 83.3 15 6 100.0 47 p= 0.005; r=0.042
27.6 40.4 32.0 100.0
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi Pearson, terlihat bahwa adanya hubungan yang nyata (p<0.05) antara pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan sikap contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Pengetahuan tentang gizi secara positif dan nyata berkorelasi dengan sikap terhadap gizi, sama halnya dengan pengetahuan tentang keamanan pangan dengan sikap keamanan pangan secara positif dan nyata (p<0.05) berkorelasi dengan sikap terhadap keamanan pangan. Hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap gizi terlihat dari jawaban contoh yang diketahui oleh sebagian besar contoh adalah pertanyaan No 2, bahwa tubuh membutuhkan zat-zat gizi. Hal ini serupa pada sikap gizi, yaitu sebagian besar contoh memiliki sikap setuju terhadap pernyataan untuk dapat hidup sehat, tubuh membutuhkan beragam zat gizi seperti KH, Protein, Lemak, Vitamin, Mineral, dan Air. Hasil
penelitian
menunjukkan
adanya
hubungan
positif
antara
pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang dengan sikap gizi dan keamanan pangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik akan memiliih sikap yang baik/positif. Sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan rendah biasanya akan
bersikap kurang baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fatimah dan Yuliati (2002) bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat pengetahuan dengan sikap penjamah tentang keamanan pangan. Namun dalam penelitian, terdapat contoh yang memiliki pengetahuan gizi kurang tetapi memiliki sikap tentang gizi yang baik. Hal ini diduga contoh tersebut bersikap menduga jawaban yang menurutnya benar. Sebagaimana yang dinyatakan Engel et al (1994), bahwa sikap dapat muncul dari pengalaman yang sangat terbatas. Jadi, seseorang dapat bersikap berdasarkan pengalaman dan persepsi contoh terhadap objek tertentu tanpa mengerti situasinya secara lengkap sehingga walaupun seseorang memiliki pengetahuan yang kurang gizi tetapi sikapnya dapat tergolong baik. Hubungan pengetahuan dan sikap tentang gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan Perilaku dalam menerapkan sesuatu informasi terbentuk dimulai dengan domain kognitif yang merupakan rangsangan dari luar, yaitu pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Tabel 13 menunjukkan hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Tabel 13 Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Praktek keamanan pangan Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Baik Cukup Kurang Total
Baik n 1 0 4 5
% 20.0 0.0 80.0 100.0
Cukup N 6 7 12 25
% 24.0 28.0 48.0 100.0
Total (n= 47) % n % 17.6 10 21.3 29.4 12 25.5 53.0 25 53.2 100.0 47 100.0 p=0.712; r=-0.55
Kurang N 3 5 9 17
Analisis hubungan antara variabel tersebut menggunakan korelasi Pearson. Berdasarkan Tabel 13, hasil analisis korelasi Pearson antara pengetahuan dengan praktek contoh tentang gizi dan keamanan pangan tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05). Hal ini diduga karena tidak hanya pengetahuan gizi dan keamanan pangan saja yang mempengaruhi praktek keamanan pangan. Hal ini berarti pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang baik belum bisa mencerminkan praktek keamanan dari segi kuantitas. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi praktek, seperti karakteristik individu, sikap, kebiasaan, norma sosial, dan kepercayaan seseorang (Notoatmodjo 2003). Hasil penelitian Mawadda (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) positif antara tingkat pengetahuan gizi ibu hamil
dengan tingkat konsumsi energi, protein, dan zat besi. Hubungan sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Hubungan sikap gizi dan keamanan pangan dengan dengan praktek keamanan pangan Praktek keamanan pangan Sikap gizi dan keamanan pangan
Baik n
Baik Cukup Kurang Total
2 3 0 5
% 40.0 60.0 0.0 100.0
Cukup N 9 12 4 25
% 36.0 48.0 16.0 100.0
Kurang n 6 6 5 17
Total (n= 47)
% n % 35.3 17 36.2 35.3 21 44.7 29.4 9 19.1 100.0 47 100.0 p=0.497; r=0.102
Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sikap sangat menentukan bagaimana perilaku (behavior) manusia terhadap sesamanya dalam lingkungan kehidupan manusia. Berdasarkan Tabel 14 hasil analisis korelasi Pearson antara sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) positif. Meskipun dalam penelitian ini, contoh memiliki sikap keamanan sebanyak 44.7% tergolong cukup, hal ini berarti sikap yang baik belum bisa mencerminkan perilaku yang diharapkan. Dalam pandangan MS/AM(Model sikap/Attutude Model) terdapat suatu hubungan yang erat antara sikap dengan perilakunya, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa ternyata tindakan yang dijalankan tidak sejalan dengan sikapnya (Taryoto 1991). Dalam hal ini Kelman (1974) diacu dalam Taryoto (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis ketidaksesuaian antara sikap seseorang dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya; (1) informasi mengenai kenyataan yang terjadi, (2) ketidaksesuaian sikap seseorang dengan sikap panutannya, dan (3) ketidaksesuaian antara sikap seseorang dengan tindakan seseorang itu sendiri. Selanjutnya Schuman dan Johnson (1976) diacu dalam Taryoto (1991) menyatakan bahwa keterkaitan antara sikap dan perilaku memang dibatasi oleh berbagai keadaan dan objek dari sikap dan perilaku tersebut. Selain itu faktor kebiasaan (habits), norma-norma sosial (social norms), dan pandangan mengenai
akibat
atau
konsekuensi
dari
perilaku
yang
akan
diambil
(Taryoto 1991). Hubungan akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan perilaku contoh tentang gizi dan keamanan pangan Informasi dapat diakses oleh siapapun melalui media massa atau lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara
lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lain televisi, radio, majalah dan koran, buku, dan sebagainya. Tabel 15 Hubungan akses informasi dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Total Baik Cukup Kurang (n=47) % N % n % n %
Akses informasi n Baik Cukup Kurang Total
2 3 5 10
20.0 30.0 50.0 100.0
3 1 8 12
25.0 8.3 66.7 100.0
3 4 18 25
12.0 8 17.0 16.0 8 17.0 72.0 31 66.0 100.0 47 100.0 p=0.067; r=0.269
Pada Tabel 15 dapat dilihat tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) antara akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan pengetahuan contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Sebagaimana yang dinyatakan Engel et all (1994) bahwa kemampuan informasi, seperti iklan yang disukai atau dievaluasi secara menguntungkan dapat menghasilkan sikap yang lebih positif. Hubungan akses informasi gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hubungan akses informasi dengan sikap gizi dan keamanan pangan Sikap gizi dan keamanan pangan Akses informasi Baik Cukup Kurang Total
Baik
Cukup
Kurang
n
%
N
%
n
3 4 10 17
17.6 23.5 58.8 100.0
5 4 12 21
23.8 19.0 54.2 100.0
0 0 9 9
%
Total (n=47) n %
0.0 8 17.0 0.0 8 17.0 100.0 31 66.0 100.0 47 100.0 p= 0.061; r=0.269
Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) antara akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan sikap gizi dan keamanan pangan. Hal ini diduga karena tidak hanya akses informasi gizi dan keamanan pangan saja yang mempengaruhi sikap contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Hal ini berarti akses informasi belum bisa mencerminkan perilaku yang baik. Hasil penelitian Afianti (2008) menunjukan bahwa akses informasi tentang pesan-pesan PUGS mempengaruhi praktek contoh. Oleh karena itu, akses informasi tentang gizi dan keamanan pangan diduga berhubungan dengan perilaku contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Hubungan akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Hubungan akses informasi dengan praktek keamanan pangan Praktek keamanan pangan Akses informasi
Baik Cukup Kurang Total
Baik
Cukup
Kurang
n
%
N
%
n
%
0 1 4 5
0.0 20.0 80.0 100.0
7 5 13 25
28.0 20.0 52.0 100.0
1 2 14 17
5.9 11.8 82.4 100.0
Total (n= 47) n % 8 17.0 8 17.0 31 66.0 47 100.0 p= 0.301; r=0.154
Berdasarkan hasil analsis korelasi Pearson menunjukkan tidak ada hubungan (p>0.05) antara akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Hal ini diduga karena tidak hanya akses informasi gizi dan keamanan pangan saja yang mempengaruhi praktek keamanan contoh Tidak adanya hubungan antara akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan perilaku contoh, kemungkinan bukan hanya akses informasi yang mempengaruhi perilaku. Hal ini berarti akses informasi belum bisa mencerminkan perilaku yang baik. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku gizi dan keamanan pangan, yakni 1) faktor internal seperti karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, dan jenis kelamin, 2) faktor esternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya (Notoatmodjo 2003).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai perilaku penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan di lingkungan Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor, dapat disimpulkan bahwa: 1. Bagian terbesar penjaja PJAS berjenis kelamin laki-laki, dan tersebar pada kelompok usia dewasa awal pada 18 – 40 tahun, umumnya contoh memiliki tingkat pendidikan ≤ SD, dan contoh tidak termasuk golongan miskin dengan pendapatan perkapita lebih besar dari Rp 176.216,00, lebih dari 50.0% keluarga contoh mempunyai pendapatan keluarga berkisar 1 – 5 juta rupiah; hanya sebagian kecil (11.0%) penjaja PJAS yang memiliki pendapatan keluarga di bawah Rp 500.000,00. Pendapatan perkapita
per
bulan
berkisar
antara
Rp
60.000,00
sampai
Rp 1.500.000,00.dengan rata-rata Rp 423.400,00. 2. Berdasarkan kelompok dan jenis PJAS, di kantin penyediaan makanan camilan merupakan kelompok terbesar yaitu 75.0%, dan merupakan hasil olahan mie sebesar 50.0%. Sebanyak 59.0% penjaja PJAS luar menyediakan makana camilan. Jenis makanan camilan yang paling banyak disediakan kantin adalah jenis aneka chiki, dan umumnya penjaja PJAS luar lebih banyak njual produk wafer. Sebanyak 44.6% penjaja PJAS yang menambahkan BTP ke dalam makanan/minuman yang dijual, dan 61.9% penjaja PJAS membeli BTP di warung, dan hampir 70.0% penjaja PJAS memakai penyedap rasa. 3. Informasi gizi dan keamanan pangan sebanyak 90.0% diakses melalui televisi. Tingkat akses informasi 66.0% tergolong kurang; contoh di kota memiliki tingkat akses lebih baik dibanding di kabupaten, 26.3% contoh di sekolah dengan akreditasi A tergolong baik, dibanding akreditasi B yaitu 10.7%. Pengelola kantin memiliki tingkat akses informasi lebih baik dibanding penjaja PJAS luar. 4. Tingkat pengetahuan keamanan pangan cenderung lebih baik dibanding pengetahuan gizi. Contoh di kabupaten memiliki tingkat pengetahuan gizi lebih baik dibanding di kota, demikian pula sekolah dengan akreditasi A lebih baik dibanding B, dan pengelola kantin lebih baik dibanding penjaja PJAS luar. Demikian pula tingkat pengetahuan keamanan pangan contoh di kabupaten, akreditasi A, dan pengelola kantin lebih baik dibanding
contoh di kota, akreditasi B, dan penjaja luar. Umumnya sikap gizi dan keamanan pangan contoh di kabupaten, akreditasi A, dan pengelola kantin lebih baik. Dalam hal praktek gizi, hanya 3.0% penjaja luar yang menyediakan buah. Secara umum praktek keamanan pangan sebanyak 53.2% tergolong cukup. 5. Berdasarkan uji t menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan, sikap gizi dan keamanan pangan, praktek keamanan pangan, serta tingkat akses informasi gizi contoh berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. 6. Berdasarkan uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan (p<0.05), antara tingkat pengetahuan gizi dengan sikap gizi, antara pengetahuan keamanan pangan dengan sikap keamanan pangan, dan tidak ada hubungan (p>0.05) antara pengetahuan dan sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. SARAN 1. Mengingat masih kurang beragamnya penyediaan PJAS berdasarkan kelompok pangan, diharapkan penjaja PJAS dapat menyediakan pangan yang lebih beragam, khususnya dalam penyediaan buah. 2. Mengingat masih rendahnya pengetahuan penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan, perlu dilakukan penyuluhan mengenai pendidikan gizi dan jajanan sehat dari pihak yang terkait. 3. Praktek keamanan pangan PJAS kurang memadai, sehingga dibutuhkan pembinaan bagi kantin dan penjaja di sekitar sekolah tentang praktek keamanan pangan oleh pihak yang terkait. 4. Perlu dilakukan survei lanjutan yang lebih mendalam terkait dengan mutu gizi dan keamanan PJAS.
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan, et al. 2009. Monotoring dan verifikasi profil keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) Nasional tahun 2008. Bogor : Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST Center-IPB). Anonimous. 2006. Keamanan www.pom.go.id
Pangan
Jajanan
Anak
Sekolah
(PJAS).
Badan POM. 2003. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Cahyadi, W. 2008. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta Depkes. 2005. Pedoman Perbaikan Gizi Anak SD & Madrasah Ibtidaiyah. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. PT. RajaGrafindo Persada. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Engel et al. 1994. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara. Ewles, L & Simnet. 1994. Promosi Kesehatan Petunjuk Praktis (2n ed). UGM Press. Yogyakarta. Februhartanty & Iswarawanti. 2004. Amankah makanan jajanan anak sekolah di Indonesia. www. Gizi net. [24 April 2009]. Fardiaz & Fardiaz. 1994. Proyek Makanan Jajanan. Materi Semiloka Program Intervensi Pembinaan Usaha Makanan jajanan. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarlwakat (LPM- IPB). Fatima, dan Yuliati. 2002. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Penjamah Makanan terhadap Aspek Keamanan Pangan di Usaha Katering. Media Gizi & Keluarga, 26 (2). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gamman, P.M. & K.B. Sherrington. 1992. Pengantar Ilmu Pangan: Nutrisi dan Mikrobiologi(2nd ED). Gajah Mada University press. Yogyakarta. Gunarsa. 1991. Psikologi Praktis: Anak Remaja, dan Keluarga. BPK Gunung Mulia. Jakarta. Hurlock. E, 1990. Perkembangan anak. Erlangga Press. Jakarta. Jenie, B. S. L. 1989. Sanitasi dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Khomsan, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan. Diktat yang tidak dipubliksikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. ,2002. Pangan dan Gizi Kesehatan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Kompas. 2006. Makan sehat hidup sehat. Buku kompas, PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Moehji, S. 1982. Ilmu Gizi. Bhrata, Jakarta.
Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta , S. 2005. Promosi Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta. Nuraida et al. 2009. Pedoman menuju kantin sehat. Bogor: Seafast Center. Papalia & Olds. 1986. Human Devolepment, USA: Mc. Geaw- Hill Book Company. Puspitasari. 2008. Pengaruh faktor individu, keluarga, dan sekolah terhadap prestasi belajar siswa SD. Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhardjo. 1996. Sosial Budaya. Bumi Aksara. Jakarta. Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB Taryoto. Andin H. 1991. Konsumsi Bahan Pangan Suatu Tinjauan Sikap dan Perilaku Individu. Majalah Pangan, vol II (9) Winarno, F.G. 1984. Street Food Study. FAO- UN dan FTDC- IPB Winarno, F.G. 1991. Proyek Makanan Jajanan. Majalah Pangan, Jakarta. ___________. 1994. Sterilisasi komersil produk Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. ___________. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta Pustaka Sinar harapan. ___________. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. ___________.1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widodo et al. 1993. Metode Penelitian dan Statistik Terapan. Airlangga University Press. Surabaya. Wirakartakusumah et al. 1994. Keamanan Pangan. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi V. LIPI- PERSAGI. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Karakteristik Contoh di Kota dan Kabupaten Bogor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29 30. 31. 32
Nama Toha Agustina Sugiarti Dian Yuni Ita Yani Artika Lin Herlina Yurnawati Anan Risti Usep Supriadi Badrul Khoir Yus Kusdinar Saefudin Yunus Jalaludin Suhana Solehudin Narto Dwijanarko Yayan Ali Ojang Adroni Tatang Aji Suryana Noing Chatma Irwan Jo Fajar
Kota
Status Akreditas B
Kelompok Penjual Kantin
Kota Kota Kota Kabupaten
B B B B
Kantin Kantin Kantin Kantin
Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
A A A A A A
Kantin Kantin Kantin Kantin Kantin Kantin
Kabupaten
A
Wilayah
Kabupaten
A
Kota Kota Kota Kota Kota Kota
A A A A A A
Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kabupaten Kabupaten Kabupaten
A A A B B B B B B B B B B
Kantin Kantin Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar Luar
Jenis Kelamin L P P P P P P P P L P L
Pendidikan SD SMP S1/PT SMP SD SD SD D2 SMA SMP SMA SD
L SMP L L L L L L L L L L L L L L L L L L L
SD SD SD SD SD SD STM SD SD SD SD SD Tidak Sekolah SMP SMP SD SMP SMP SMA
Lampiran 1 (lanjutan)
Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Status Akreditasi B B B B B B
Kelompok Penjual Luar Luar Luar Luar Luar Luar
Mahmudin
Kabupaten
B
Luar
Asep Otang Asyiah Edi Suparman Pepen Eyok Nani Mulyani Yana
Kabupaten Kabupaten Kabupaten
B B B
Luar Luar Luar
L L P
SLTP SD SMA SMP SMP SD TIDAK TAMAT SD SD SD SD
Kabupaten
B
Luar
L
SD
Kabupaten Kabupaten
B B
Luar Luar
L L
SD SD
Kabupaten
B
Luar
P
SD
Kabupaten
B
Luar
P
SD
No.
Nama
33. 34. 35. 36. 37. 38.
Erik Mulyana Maman Triyono Aceng Iwan
39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
Wilayah
Jenis Kelamin L L L L L L L
Pendidikan
Lampiran 2 Hasil uji t berbagai variabel Pengetahuan, Sikap, dan Praktek tentang Gizi dan Keamanan Pangan, dan Akses Informasi No 1
Variabel Pengetahuan gizi dan keamanan pangan
2
Sikap gizi dan keamanan pangan
3
Praktek keamanan pangan
4
Akses Informasi
• • • • • •
Berdasarkan Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual
p • 0.307 • 0.629 • 0.404 • 0.902 • 0.082 • 0.737
• • • • • •
Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual Wilayah Status Akreditasi Kelompok Penjual
• 0.068 • 0.027 • 0.362 • 0.712 • 0.614 • 0.343
Hasil uji korelasi pearson berbagai variabel Pengetahuan, Sikap, Praktek tentang Gizi dan Keamanan Pangan, dan Akses Informasi No 1 2 3 4 5
6 7
Variabel Pengetahuan gizi dengan sikap gizi Pengetahuan keamanan pangan dengan sikap keamanan pangan Pengetahuan gizi dan keamanana pangan dengan praktek keamanan pangan Sikap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan Akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan Akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan sikap gizi dan keamanan pangan Akses informasi gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan
r ** 0.645 0.454**
p 0.000 0.001
-0.05
0.712
0.102
0.497
0.276
0.061
0.272
0.064
0.206
0.166