PENERAPAN PERATURAN DAN PRAKTEK KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
RIKA WIJAYA I 14076032
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PENERAPAN PERATURAN DAN PRAKTEK KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
RIKA WIJAYA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
: Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor
Nama
: Rika Wijaya
NRP
: I 14076032
Disetujui :
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Siti Madanijah, MS.
Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes.
NIP. 19491130 197603 2 001
NIP. 19660725 199002 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. NIP . 19621204 198903 2 002
Tanggal Lulus :
ABSTRACT Rika Wijaya. The Application of Food Safety Rules and Practice on Student’s Meal in Elementary School at City and District of Bogor. Siti Madanijah and Ikeu Ekayanti. The main purpose of this research is to analyze the application of food safety rules and practice on student’s meal in elementary school at city and district of Bogor. This research use a cross-sectional study design. This research was located in two elementary schools at the city and district which have caffetaria and similar other facilities. Selection of the research location was determined by purposive sampling methode, with criterias 1) The school has a caffetaria, 2) Has a strong commitment, 3) Recomended government. Based on the criterias, two elementary school from city and district of Bogor was taken as the subjects based on the acreditation status. All population of the snack hawkers are also taken as the subjects (total 47 hawkers). The process of data analyzing was done by descriptive and inferencial methode. The correlation between variables were analyzed with Pearson’s correlation test, whereas the difference between variables were analyzed by Independent Sample T-Test. The result of this research is that the application Most of the subjects (53% of subjects) are lack of information about nutrition and food safety. Statistical test shown that there are no significant differentiation for nutritional education rate and food safety knowledge based on location, accreditation status and seller groups classification. However, correlation test shown that there is a positive relation between education rate and nutrition and food safety knowledge of the subjects (r=0.356*, p=0.014). As a whole result of subject’s food safety practice, about 51.1% of them are in the category of inadequate. Statistical differential test shown that there are no significant differentiation on food safety for student’s snack in the categories based on location, accreditation status and seller groups. Correlation test result shown that nutritional and food safety knowledge has a negative relation with food safety practice for student’s snack (r=-0.079, p>0.05). Based on the application of the student’s snack rules, every school have rules for student’s snack which most of them are unwritten. Most of the rules are about food sanitation, discipline of the street hawker’s and the use of food additive. Those rules are not applied in an optimal fashion because most of the subjects are in the category lack of knowledge about food safety and they are still using food additives. The applications of those rules by most of the schools are in the medium category and only one of them applied the rules perfectly. The school has a committee who involved in the making of those rules. The street snack hawkers’ perception about application of those rules have varieties, even 51.1% of them do not know that there are some rules from the schools. This might be because lack of socialization about the rules. Correlation test result shown that there is no significant relation between the application of the rules with nutrition and food safety knowledge (p>0.05), and also no significant relation between the application of the rules with food safety practice (p>0.05).
Keyword: Rules, Food Safety, Snack Hawker
RINGKASAN RIKA WIJAYA, Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan IKEU EKAYANTI. Pangan dan gizi merupakan komponen penting dalam tumbuh kembang anak usia sekolah, salah satunya adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), selain berkontribusi positif makanan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat masalah keamanan pangan. Penyebab terjadinya masalah keamanan pangan yaitu tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan, ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah & guru) akan pangan jajanan yang aman. Dalam rangka upaya mencegah dan mengatasi masalah keamanan pangan dibutuhkan suatu peraturan mengenai PJAS yang dibentuk oleh pihak sekolah maupun instansi lain yang terkait. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji penerapan peraturan dan praktek keamanan PJAS di sekolah dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Adapun tujuan khususnya adalah (1) Mengetahui karakteristik penjaja PJAS, (2) Mengidentifikasi penerapan peraturan yang dibentuk oleh sekolah mengenai PJAS, (3) Mengidentifikasi pengetahuan dan praktek keamanan penjaja PJAS, (4) Menganalisis perbedaan pengetahuan, praktek keamanan penjaja PJAS dan penerapan peraturan berdasarkan wilayah, status akreditasi sekolah dan kelompok penjual, (5) Menganalisis hubungan antar variabel (karakteristik individu, pengetahuan, praktek keamanan penjaja PJAS dan penerapan peraturan). Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2009. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan pada dua sekolah dasar yang berlokasi di Kota dan Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi sekolah dasar ditetapkan secara purposive, yaitu berdasarkan: 1) Mempunyai kantin sekolah; 2) Komitmen dari pengelola sekolah; 3) Mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat. Dari persyaratan tersebut diambil dua sekolah dari kota dan kabupaten, yang masing-masing terdiri dari sekolah dengan status akreditasi A dan B. Seluruh populasi penjaja merupakan sampel penelitian sebanyak 47 responden. Sedangkan seluruh kepala sekolah merupakan informan yang memberi informasi. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer meliputi karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), profil PJAS (jenis pangan, kemasan dan register), data peraturan sekolah mengenai PJAS, pengetahuan gizi dan keamanan pangan, praktek keamanan PJAS (higiene dan sanitasi, penanganan dan penyimpanan pangan, sarana dan fasilitas, serta penggunaan BTP). Data sekunder berasal dari sekolah meliputi profil sekolah. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan SPSS 15,0 for Windows. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan perbedaan antar variabel menggunakan uji t (Independent Sample t-Test). Umur responden sebagian besar (68.1%) tergolong pada dewasa awal. Sebagian besar (72.3%) responden berjenis kelamin laki-laki sedangkan perempuan hanya 27.7%. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin berdasarkan wilayah, namun pada status akreditasi dan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Sebagian besar (57.4%)
responden berpendidikan SD, sedangkan responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya 4.3%. Hasil uji beda statistik berdasarkan wilayah, dan kelompok penjual masing-masing menunjukkan tidak adanya perbedaan tingkat pendidikan, namun berdasarkan status akreditasi menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan BPS 2008, sebagian besar (61.7%) responden umumnya tidak miskin. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapatan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun untuk kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Secara keseluruhan sarana penjualan yang digunakan adalah gerobak dan pikulan berkisar 34.0% hingga 36.2%. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan sarana penjualan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun berdasarkan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan sarana penjualan. Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan, kemasan, dan jenis register. Secara keseluruhan jenis pangan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan sebesar 67.1%, sedangkan jenis kemasan sebagian besar (78.4%) penjaja PJAS banyak menggunakan plastik. PJAS umumnya memiliki register pangan MD sebanyak 68.5% dan register makanan yang paling sedikit adalah register PIRT. Umumnya BTP yang paling banyak digunakan adalah jenis penguat rasa dengan merk dagang Sasa, Royco, Masako dan bumbu penyedap sebanyak 44.7%. Sebagian besar (53.2%) responden memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan kurang. Hasil uji beda statistik, pengetahuan gizi dan keamanan pangan menunjukkan tidak adanya perbedaan berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Namun berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden (r=0.356*, p=0.014). Secara keseluruhan praktek keamanan pangan responden berkategori kurang sebesar 51.1%. Hasil uji beda statistik praktek keamanan PJAS menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan berhubungan negatif dengan praktek keamanan PJAS (r=-0.079, p>0.05). Berdasarkan penerapan peraturan mengenai PJAS, semua sekolah mempunyai peraturan mengenai PJAS yang sebagian besar sekolah memiliki peraturan secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan makanan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS, dan penggunaan BTP. Peraturan tersebut masih belum diterapkan secara optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS responden berkategori kurang dan responden masih menggunakan BTP. Sebagian besar penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori sedang hanya satu sekolah yang terkategori baik. Sekolah tersebut memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Penerapan peraturan menurut penjaja PJAS memiliki persepsi yang berbeda-beda bahkan 51.1% responden tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah, hal ini diduga bahwa peraturan mengenai PJAS masih kurang disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan, dan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan.
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 3 Juni 1986. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan M. Budi Wijaya dan Rasidah Rusli. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Inpres Tanjung Morawa pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjung Morawa. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 4 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2004. Penulis diterima di Politeknik Kesehatan Medan Jurusan Gizi Program D-III Departemen Kesehatan pada tahun 2004 dan lulus tahun 2007. Penulis pernah mengikuti praktikum lapang di RSU. Pirngadi Medan dan Hotel Dharma Deli.
Penulis
melanjutkan
kuliah
di
Institut
Pertanian
Bogor
Program
Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2007.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi ini yang berjudul “Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, dan Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan motivasi selama bimbingan serta kesabarannya dalam membimbing.
2.
Ir. Eddy Setyo Mudjajanto, selaku dosen penguji yang banyak memberikan kritikan serta saran yang membangun untuk perbaikan skripsi.
3.
Katrin Roosita, SP, MSi, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu penulis dalam perkuliahan awal semester.
4.
Papa dan Mama yang selalu sabar dan memberikan kasih sayang yang tulus dan berdoa dalam setiap sujudnya. Terima kasih atas semua yang papa dan mama berikan baik dukungan moril maupun materi selama menempuh pendidikan ini.
5.
Bang Riki dan adikku Rini, terima kasih atas kasih sayang dan support selama ini.
6.
PJAS Crew dalam pengumpulan data Mba Zulaikhah, SP, yang telah berbagi pengalaman dan ilmu, Aci, Veni, Kak nurma, Nyit2, Hani, Ida dan Nenden yang telah mambantu pengumpulan data serta semangat dan candanya yang membuat penulis tetap semangat.
7.
Tak lupa untuk teman-teman di WPN dan Pondok Mutiara atas semangat dan kebersamaannya.
8.
Seluruh peserta Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi angkatan 01 yang telah memberikan dukungan pada penulis. I Love U FUll. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dalam
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak. Bogor,
September 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang..................................................................................
1
Perumusan Masalah .........................................................................
3
Tujuan...............................................................................................
4
Hipotesis ...........................................................................................
4
Kegunaan .........................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar .........................................................................
5
Peranan pangan Jajanan ..................................................................
6
Kantin dan Penjaja PJAS ..................................................................
7
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan .......................................
8
Peraturan Makanan Jajanan .............................................................
10
Praktek Keamanan PJAS..................................................................
11
KERANGKA PEMIKIRAN .........................................................................
19
METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu ................................................................
21
Cara Pengambilan Contoh ................................................................
21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data...................................................
22
Pengolahan dan Analisis Data ..........................................................
22
Definisi Operasional ..........................................................................
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah................................................................
27
Karakteristik Penjaja PJAS................................................................
32
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan .......................................
38
Praktek Keamanan Pangan ..............................................................
42
Penerapan Peraturan PJAS..............................................................
51
Hubungan Berbagai Variabel ............................................................
59
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................
63
Saran ................................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
65
Lampiran ..................................................................................................
67
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data ..............................................
22
Tabel 2 Pengkategorian beberapa variabel penelitian .............................
24
Tabel 3 Kondisi fasilitas sekolah ..............................................................
28
Tabel 4 Kondisi kantin sekolah ................................................................
30
Tabel 5 Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status akreditasi..
32
Tabel 6 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan .........................
34
Tabel 7 Sebaran responden menurut sarana penjualan...........................
36
Tabel 8 Sebaran profil PJAS berdasarkan jenis pangan ..........................
36
Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan.......................................................................
38
Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan pengetahuan gizi dan keamanan pangan .................
41
Tabel 11 Sebaran responden menurut praktek keamanan pangan............
43
Tabel 12 Sebaran responden menurut penggunaan BTP ..........................
50
Tabel 13 Sebaran sekolah menurut penerapan peraturan PJAS ...............
52
Tabel 14 Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan peraturan umum..........................................................................................
52
Tabel 15 Sebaran penerapan peraturan mengenai sarana dan fasilitas ....
53
Tabel 16 Sebaran penerapan peraturan mengenai pembinaan .................
54
Tabel 17 Sebaran penerapan peraturan mengenai pengawasan...............
55
Tabel 18 Hubungan karakteristik responden dengan praktek keamanan PJAS ...........................................................................................
59
Tabel 19 Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan PJAS .............................................................
61
Tabel 20 Hubungan penerapan peraturan PJAS dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan .........................................................
61
Tabel 21 Hubungan penerapan peraturan PJAS dengan praktek keamanan PJAS .........................................................................
62
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek keamanan PJAS.....
20
Gambar 2 Cara penarikan contoh penelitian..............................................
21
Gambar 3 Sebaran responden menurut umur ...........................................
33
Gambar 4 Sebaran responden menurut jenis kelamin ...............................
33
Gambar 5 Sebaran responden menurut pendapatan .................................
35
Gambar 6 Profil kemasan PJAS ................................................................
37
Gambar 7 Profil register PJAS ...................................................................
37
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Gambaran keadaan kantin dan penjaja luar di kota dan kabupaten..........................................................................
67
Lampiran 2
Karakteristik responden......................................................
68
Lampiran 3
Uji perbedaan antar variabel dengan Uji-t ...........................
69
Lampiran 4a Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan responden mengenai higiene dan sanitasi penjual .............
70
Lampiran 4b Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan responden mengenai penanganan dan penyimpanan ........
72
Lampiran 4c Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan
Lampiran 5
responden mengenai sarana dan fasilitas...........................
73
Hubungan berbagai variabel dengan Korelasi Pearson ......
68
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan dan gizi merupakan komponen yang sangat penting dalam pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar dalam meningkatkan status gizi. Oleh karena itu anak sekolah dasar perlu mendapatkan pembinaan mengenai pengetahuan bagaimana memilih makanan jajanan yang sehat baik di lingkungan sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas, karena anak usia sekolah adalah investasi bangsa. Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa makanan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya makanan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), golongan minuman, dan buah-buahan segar. Makanan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga. Pangan jajanan termasuk kategori pangan siap saji yaitu makanan dan atau minuman yang merupakan hasil proses dengan cara atau metode tertentu, untuk langsung disajikan, sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah, hampir setiap hari dikonsumsi sebagian besar anak usia sekolah, dan harga terjangkau oleh anak-anak. Dimana pangan jajanan sangat strategis untuk memberi tambahan asupan gizi bagi anak-anak. Ada tiga alasan mengapa anak suka jajan. Pertama karena anak tidak sempat makan pagi sebelum ke sekolah (karena ibu tidak sempat menyiapkan, anak tidak nafsu makan, atau anak lebih senang jajan). Kedua, alasan psikologis pada anak (gengsi, anak bisa mendapat uang saku). Ketiga, kebutuhan biologis yang perlu dipenuhi (kegiatan fisik yang memerlukan tambahan asupan). Masalah keamanan pangan jajanan di sekitar sekolah antara lain ditemukannya (1) produk pangan olahan yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis & kimia), (2) pangan siap saji yang belum memenuhi syarat higiene & sanitasi, dan sumbangan pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Penyebabnya, tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan, ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah & guru) akan pangan jajanan yang aman (Artista 2009).
Pada tahun 2005, Badan POM RI telah melakukan pengujian terhadap 861 contoh/responden makanan jajanan anak di sekolah di 195 sekolah dasar di 18 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar, dan Padang. Hasil uji menunjukkan bahwa 39.9% (344 contoh/responden) tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Misalnya, es sirup atau buah (48.2%) dan minuman ringan (62.5%) yang banyak dikonsumsi anak-anak mengandung bahan berbahaya dan tercemar bakteri patogen. Jenis lain yang tidak memenuhi syarat adalah saus dan sambal (61.5%) serta kerupuk (56.3%). Dari total contoh/responden tersebut, 10.5% mengandung pewarna yang dilarang, yaitu Rhodamin B, Methanil Yellow dan Amaranth (BPOM 2005). Menurut Kepala DKK Sukoharjo Suryono (2008) dalam melakukan Sidak (inspeksi mendadak) di SD 1 Gayam dan SD Jetis 1 Sukoharjo, dengan hasil 75% kantin sekolah yang ada kurang memenuhi syarat kesehatan. Sebab ratarata kantin sekolah dikelola tukang kebun atau juru kunci sekolah yang kurang memperhatikan kualitas dan keamanan makanan jajanan yang dijualnya. Parahnya kondisi serupa juga dilakukan pada pedagang jajanan yang berjualan di luar sekolah. Di satu sisi jajanan yang disediakan pedagang kurang memenuhi standar kesehatan, namun di sisi lain siswa sangat suka jajanan tersebut. Masih banyak sekolah, terutama SD dan SMP yang belum memiliki kantin yang memenuhi standar kantin sehat. Dari hasil pemetaan sekolah sehat di 115 kabupaten/kota di 20 provinsi yang
dilakukan oleh Depdiknas (2007)
menunjukkan 40,2% kantin masih berada di bawah standar. Selain itu banyak ditemukannya produk jajanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, termasuk perilaku pengelola kantin yang tidak mencerminkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Penyediaan makanan jajanan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari kepala sekolah. Berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Sebanyak 55 % sekolah yang di survei telah memiliki peraturan tentang PJAS dan terdapat 37 % sekolah yang tidak memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95%) dikeluarkan oleh sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh suku dinas kecamatan maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68,4%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65,7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57,0%).
Banyaknya berbagai masalah keamanan pangan jajanan disebabkan karena penjaja pada umumnya belum memenuhi syarat sesuai Permenkes Nomor 236/Menkes/Per/IV/1997 yang telah disempurnakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan higiene dan sanitasi makanan jajanan. Hal ini menyebabkan perlunya pengawasan dari pihak sekolah dalam membuat peraturan mengenai makanan jajanan sehat dan menggiatkan kembali peran usaha kesehatan sekolah (UKS). Perumusan Masalah Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan, namun banyak terdapat permasalahan mengenai praktek keamanan PJAS yang meliputi kurangnya higiene sanitasi dari penjaja PJAS maupun penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Permasalahan keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) disebabkan kurangnya perhatian dari pihak sekolah, orang tua, murid, dan penjaja pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Pengawasan dari pihak sekolah dalam membuat peraturan mengenai PJAS yang mengatur tentang murid sekolah, penjaja, dan kantin sekolah sangat mempengaruhi dalam mengurangi risiko bahaya terhadap anak sekolah akibat makanan jajanan yang tidak sehat dan aman. Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi praktek keamanan PJAS, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi saran yang mendukung peningkatan praktek keamanan PJAS oleh penjaja. Berdasarkan hal tersebut, maka yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah peraturan mengenai PJAS, apabila ada peraturan dipatuhi atau tidak, fasilitas yang diberi pihak sekolah pada penjaja PJAS, menganalisis hubungan antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan PJAS, menganalisis perbedaan penerapan peraturan dan praktek keamanan PJAS di kota dan kabupaten.
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik penjaja PJAS. 2. Mengidentifikasi penerapan peraturan yang dibentuk oleh sekolah mengenai PJAS. 3. Mengidentifikasi pengetahuan dan praktek keamanan PJAS. 4. Mengananalisis perbedaan pengetahuan, praktek keamanan PJAS dan penerapan peraturan berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. 5. Menganalisis
hubungan
antar
variabel
(karakteristik
responden,
pengetahuan, praktek keamanan PJAS dan penerapan peraturan). HIPOTESIS 1. Tidak ada hubungan penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor. 2. Tidak ada perbedaan penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat terutama pada pihak sekolah, penjaja PJAS, orang tua dan anak usia sekolah tentang pentingnya keamanan makanan jajanan yang sehat dan bebas dari penggunaan BTP yang tidak diperbolehkan oleh pemerintah. Selain itu, diharapkan pula penelitian ini dapat berguna untuk pihak sekolah dalam menentukan kebijakan peraturan mengenai praktek keamanan PJAS di sekitar sekolah.
TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar Pada golongan anak sekolah, gigi geligi susu tanggal secara berangsur dan diganti secara permanen. Anak sudah lebih aktif memilih makanan yang disukai. Kebutuhan energi lebih besar karena mereka lebih banyak melakukan aktifitas fisik, misalnya berolah raga, bermain, dan sekolah. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Golongan anak sekolah biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan, untuk mencegah hipoglikemia dan supaya anak lebih mudah menerima pelajaran (Almatsier 1994). Pada usia sekolah dasar diharapkan memperoleh dasar pengetahuan sebagai bekal penyesuaian pada kehidupan selanjutnya. Sebutan lain untuk anak sekolah dasar yaitu periode kritis karena masa ini merupakan motivasI untuk berprestasi sehingga membentuk kebiasaan untuk berusaha mencapai sukses atau bersikap santai. Sekali terbentuk kebiasaan, kebiasaan tersebut akan terus dibawa sampai dewasa (Nasoetion 1991). Anak-anak mempunyai pemikiran yang terbuka dibandingkan orang dewasa dan pengetahuan yang diterima merupakan dasar bagi pembinaan kebiasaan makannya. Anak-anak umumnya mempunyai hasrat besar untuk ingin tahu dan mempelajarinya lebih jauh. Anak-anak sebagaimana orang dewasa juga memerlukan dorongan yang kuat agar anak itu mau belajar. Misalnya diberi gambaran bahwa anak yang gizinya baik itu dapat tumbuh dengan baik, badannya menjadi besar, kuat, sehat, kulitnya bagus, pintar mudah masuk sekolah lanjutan, dan lain sebagainya (Suhardjo 2003). Beberapa hasil penelitian menunjukkan anak
yang makan pagi
mempunyai sikap dan prestasi sekolah yang lebih baik daripada anak yang tidak sempat sarapan. Penelitian oleh Pollitt, Leibel, dan Greenfield menunjukkan pada anak usia 9-11 tahun dengan gizi baik, makan pagi mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah. Penelitian lain menunjukkan konsentrasi berpikir anak yang tidak makan pagi lebih rendah secara bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agar otak dan sel darah merah dapat bekerja diperlukan energi dari glukosa (karbohidrat). Tanpa sarapan, pada siang hari persediaan glukosa
menurun sehingga anak kekurangan energi yang dibutuhkan otak untuk dapat berkonsentrasi (Muhilal dan Damayanti 2006). Anak yang tidak sempat makan pagi di rumah, anak biasanya membawa bekal makanan ke sekolah. Makanan bekal juga dapat menjadi tambahan makan pagi anak. Makanan tambahan atau makan pagi dibutuhkan sebab kebutuhan gizi anak semakin meningkat sedangkan kemampuan saluran cerna untuk mengonsumsi masih terbatas, sehingga diperlukan makanan bekal (Muhilal dan Damayanti 2006). Peranan Pangan Jajanan Pangan jajanan adalah makanan atau minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasaboga, rumah makan/restoran dan hotel (Kepmenkes RI No 942/Menkes/SK/VII/2003). Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa pangan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya pangan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), golongan minuman, dan buah-buahan segar. Pangan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga. Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), pangan jajanan adalah makanan siap makan atau diolah di lokasi jualan seperti di daerah pemukiman, pertokoan, terminal, pasar, atau dijajakan dengan cara berkeliling. Selain berkontribusi positif di bidang ekonomi, pangan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat kontaminasi mikroba, bahan kimia dan pemakaian bahan tambahan non pangan. Persoalan ini timbul mulai dari proses persiapan, pengolahan, dan saat penyajian makanan di lokasi jualan. Berdasarkan cara kerjanya, pangan jajanan dibagi menjadi dua golongan. Pertama, pangan jajanan stationer yaitu yang bekerja pada lokasi tetap atau pada saat-saat tertentu. Sedangkan yang kedua pangan jajanan ambulatory yaitu yang bekerja dengan menjajakan kemana-mana, misal para pedagang yang menjajakan dagangannya dengan cara berjalan sambil memikul, menyunggi diatas kepala, menggendong di punggungnya, atau dengan menggunakan gerobak dorong, atau sepeda roda tiga (Winarno 1991). Salah satu tujuan makan adalah agar tubuh sehat. Di sisi lain makanan dapat menjadi salah satu sumber penyakit. Oleh karena itu, hindari makan
makanan dan jajanan yang sudah busuk, tercemar oleh mikroorganisme atau yang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh. Pangan jajanan yang sehat selain keadaannya segar juga harus bersih, tidak dicemari oleh debu, bahan-bahan pengotor lainnya, dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya. Pangan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi pangan jajanan di masyarakat diperkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan pangan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto 2005) Berdasarkan hasil penelitian Husaini (1993), pangan jajanan rata-rata menyumbang 14% protein, 22% karbohidrat, 29% lemak, 16% kalsium, 17% zat besi, 8% vitamin A, 43% vitamin B1 dan 12% vitamin C dari total konsumsi setiap hari. Namun, sebanyak 88% dari macam makanan dan minuman jajanan yang dijual di sekitar sekolah mempergunakan satu macam atau lebih zat pewarna. Jenis makanan jajanan dapat dibagi menjadi tiga kelompok meliputi, minuman (es cendol, es teler, teh, kopi, es sirup, es susu, es kolang-kaling), panganan/snack
(combro,
pisang
goreng,
rempeyek,
kacang
dan
lain
sebagainya), makanan (meals) contohnya nasi rames, nasi goreng, nasi pecel, lotek, ketoprak dan lain sebagainya (Winarno 1991). Namun menurut Nuraida et al (2009) pangan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok meliputi, (1) makanan sepinggan (gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain); (2) makanan camilan dibagi menjadi dua kelompok yaitu camilan basah (goreng pisang, lemper, lumpia, risoles, dan lain-lain) dan camilan kering (produk ekstrusi, keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain); (3) minuman (air putih, minuman ringan dalam kemasan, minuman campur seperti es campur, es cendol, es doger); (4) buah yang dijual dalam bentuk utuh (pisang, jambu, jeruk) maupun kupas dan potong (pepaya, nenas, melon, mangga, dan lain-lain). Kantin dan Penjaja PJAS Kantin merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan jajanan di sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai
pengganti makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman yang sehat dan bergizi (Nuraida et al 2009). Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga yang belum, kepala sekolah dan guru sepertinya belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan makanan sesuai dengan PUGS. Selain itu pihak sekolah, kelompok orang tua murid dapat merangsang perubahan agar kantin menyediakan makanan yang sehat, bergizi, dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti 2006). Menurut Depkes RI 2001 penjaja makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan penanganan pangan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Tidak menderita penyakit yang mudah menular misalnya batuk, pilek, influenza, diare dan penyakit perut serta penyakit sejenisnya; b. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul atau luka lainnya); c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian; d. Memakai celemek dan tutup kepala; e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan. Disamping itu penjaja makanan jajanan dalam memberikan pelayanan dilarang antara lain : a. Menjamah makanan tanpa alat perlengkapan atau tanpa alas tangan; b. Sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya; c. Batuk atau bersin dihadapan pangan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung. Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Menurut Madrie (1981) dalam Fatima (2002), pengetahuan dan pengalaman akan membentuk sikap seseorang. Pengetahuan merupakan fase awal dari keputusan dimana akhirnya seseorang akan bertindak seperti pengetahuan yang diperolehnya. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang gizi dan keamanan pangan.
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh penjaja PJAS. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan praktek dalam pemilihan pangan, pengolahan pangan, dan penyajian pangan. Dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang baik diharapkan para penjaja PJAS akan menerapkan cara pengolahan pangan dan penyajian pangan yang benar (Andarwulan et al 2009). Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun seseorang berpendidikan rendah, jika orang tersebut rajin mendengarkan
atau
melihat
informasi
mengenai
gizi,
bukan
mustahil
pengetahuan gizinya akan lebih baik (Syafiq et al 2007). Penjaja PJAS harus memiliki pengetahuan mengenai gizi seimbang, cara pengolahan pangan yang baik, keamanan pangan yang baik, keamanan pangan dan praktek sanitasi dan higiene. Pengetahuan tentang gizi seimbang dan beragam diperlukan dalam menyusun menu sehari-hari yang diperlukan oleh masing-masing kelompok umur anak sekolah, sehingga anak-anak tercukupi kebutuhan gizinya dan tidak bosan mengkonsumsinya. Pengetahuan cara pengolahan pangan yang baik diperlukan dalam memilih cara-cara pengolahan yang tepat, pemilihan bahan baku dan bahan tambahan untuk menghasilkan makanan yang bergizi dan aman. Pengetahuan tentang keamanan pangan diperlukan untuk mengenali bahaya-bahaya
dalam
pangan
dan
menentukan
cara
pencegahannya.
Pengetahuan tentang sanitasi dan higiene diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri dan bahan kimia berbahaya ke dalam pangan. Sedangkan pengetahuan mengenai sarana dan prasarana minimum yang harus dipenuhi oleh penjaja PJAS adalah mewujudkan sarana makanan jajanan yang sehat. Berdasarkan Semiloka makanan jajanan 1991, terdapat kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku nyata. Produsen dan penjaja makanan jajanan umumnya mengetahui tentang pentingnya higiene dalam penanganan makanan
walaupun alasannya tidak terlalu jelas. Para penjaja mengetahui masalah yang berhubungan dengan nilai gizi makanan dan penggunaan bahan tambahan tertentu yang membahayakan. Peraturan Makanan Jajanan Peraturan makanan jajanan adalah suatu standar atau persyaratan kesehatan
yang
didasarkan
atas
peraturan
perundang-undangan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijaksanaan hendaknya tidak hanya restriktif tetapi juga stimulatif, konstruktif dan fasilitatif yang berbeda-beda menurut kategori usaha makanan jajanan. Keragaman produk yang tinggi mengharuskan agar pendekatan kebijaksanaan hendaknya berorientasi makro dan nasional, artinya program pembinaan terkait dengan berbagai sektor dalam kerangka pembangunan daerah, dan dapat dilaksanakan oleh pimpinan-pimpinan Daerah di Indonesia (Sanim 1991). Untuk peraturan makanan jajanan di sekolah pada umumnya diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah. Kepala sekolah adalah pejabat berwenang tertinggi dalam penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan pangan di sekolah termasuk keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS), juga menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pihak sekolah dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah (Andarwulan et al 2009). Di Amerika Serikat diberlakukan aturan makanan yang di jual di kantin sekolah atau mesin penjual makanan harus mengandung sedikitnya 5% dari angka kecukupan gizi anak sekolah yaitu untuk satu atau lebih zat gizi yaitu protein, vitamin A, vitamin C, niasin, vitamin B1, vitamin B12, kalsium, dan zat besi. Aturan ini membatasi penjualan air minum bersoda atau soft drink, permen karet, es, dan beberapa permen lainnya. Selain PUGS di Indonesia belum ada aturannya, kebijakan di negeri adidaya dapat diadopsi sebagai pedoman dalam mengatur penjualan makanan di kantin maupun penjaja di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006). Berdasarkan penelitian BPOM dan SUCOFINDO 2008 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Sebanyak 55% sekolah yang di survei telah memiliki peraturan tentang PJAS dan terdapat 37% sekolah yang tidak memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95%) dikeluarkan oleh sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh suku dinas kecamatan
maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68,4%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65,7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57,0%). Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan misalnya dengan memberikan penyuluhan kepada penjaja PJAS, melatih penjaja agar membuat pangan jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain sebagainya. Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga dapat membantu mengatasi masalah ini dengan cara mengatur makanan yang diperbolehkan untuk dijual di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006). Pengawasan pangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan pangan di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang memdapat pengawasan (Yusuf 2004). Pembinaan dan pengawasan makanan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya, dll. Pembinaan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap serta keterampilan penjaja makanan dari informal menjadi formal (Anonimous 1990). Ketiadaan kontrol dan pengarahan terhadap kualitas makanan yang dijual dan pengelolaan makanan yang higienis menyebabkan penjual makanan jajanan menangani pengolahan makanan menurut pengetahuan yang mereka miliki (Fardiaz dan Fardiaz 1994). Pihak pengelola sekolah juga diharapkan terlibat aktif memperbaiki keamanan pangan melalui unit kesehatan sekolah. Salah satunya dengan menginventarisasi siapa saja pedagang jajanan yang berjualan di sekitar sekolah dan menanyakan proses pengolahannya (Rachmawati 2005). Praktek Keamanan Pangan Jajanan Keamanan pangan didefenisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang- undang RI no.7 tentang Pangan Tahun1996).
Pangan aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologis/ mikrobiologis, kimia dan fisik. Bahaya keamanan pangan terdiri dari (Depdiknas 2009): 1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti Salmonella, E. Coli, virus, parasit dan kapang penghasil mikotoksin. 2. Bahaya Kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih, racun/ toksin asal tumbuhan/hewan, dan sejenisnya. 3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka misalnya pecahan gelas, kawat stepler, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya. Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan dan berat badan. Higiene dan Sanitasi Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dengan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring dan melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi kebutuhan makanan secara keseluruhan dan sebagainya.Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewaspadai sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI 2001) . Pengertian
dari
prinsip
higiene
dan
sanitasi
makanan
adalah
pengendalian terhadap empat faktor penyehatan makanan, yaitu faktor tempat/bangunan, peralatan, orang dan bahan makanan. Penyehatan makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang, dan makanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau keracunan
makanan. Untuk mengetahui apakah faktor tersebut perlu dilakukan analisis terhadap rangkaian kegiatan dari faktor-faktor tersebut secara rinci. Pedoman persyaratan higiene dan sanitasi makanan jajanan terdapat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 yang terdiri dari 12 BAB dan 22 pasal yang menjelaskan peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh penjaja makanan, yaitu mengenai ketentuan umum, penjamah makanan, peralatan, air, bahan makanan, bahan tambahan pangan, penyajian, sarana penjaja, sentra pedagang, pembinaan dan pengawasan. Penggunaan
peralatan juga
belum
memenuhi
syarat
kesehatan.
Kebanyakan penjual makanan jajanan mempunyai peralatan terbatas untuk berbagai pemakaian dan belum menggunakan sabun untuk mencuci peralatan yang kotor. Karena peralatan yang digunakan umumnya terbuat dari bambu dan kayu, maka cenderung menjadi sarang pertumbuhan mikroba. Piring, gelas, sendok sering dilap dengan kain yang basah dan kotor karena keterbatasan jumlahnya. Lalat dan debu yang berasal dari sampah yang dibiarkan berceceran di lantai waktu persiapan, pengolahan, maupun di lokasi berjualan semakin memperparah keadaan (Fardiaz dan Fardiaz 1994). Salah satu masalah keamanan pangan yang sering dijumpai adalah praktek higiene dan sanitasi yang masih kurang sehingga bahaya mikrobiologi sangat mungkin berada di produk pangan. Bahaya biologi (mikroba) pada pangan perlu mendapat perhatian karena jenis bahaya ini yang sering menjadi agen penyebab kasus keracunan pangan. E.coli merupakan bakteri patogen yang sering menyebabkan keracunan pangan dan juga menjadi salah satu mikroba indikator sanitasi. Sedangkan S.aureus merupakan bakteri yang biasa menghuni hidung, mulut, tenggorokan, maupun kulit. Keberadaan E.coli pada pangan dapat menunjukkan praktek sanitasi lingkungan yang buruk sedangkan adanya S.aureus mengidentifikasi praktek higiene yang kurang (Andarwulan et al 2009). Berdasarkan hasil penelitian dasar Fardiaz dan Fardiaz (1994), menunjukkan bahwa banyak penjual makanan jajanan yang menjadikan tempat pengolahan makanan sekaligus sebagai ruang tamu, tempat bermain anak, atau bahkan ruang tidur. Ventilasi dan cahaya yang kurang menyebabkan ruangan menjadi pengap. Celah-celah, lubang-lubang dan langit-langit penuh dengan jelaga, dinding serta lantai kotor tak bersemen menyebabkan bersarangnya binatang-binatang kecil dan mikroba : sebanyak 60% penjual makanan jajanan
bekerja di lantai dengan kondisi ini dan hanya 20% yang memakai meja. Sebanyak 12,5% penjual makanan menggunakan air sungai untuk mencuci bahan mentah dan peralatan masak. Mereka yang menggunakan air sumur juga tidak lebih bersih karena letaknya acapkali berdekatan dengan WC karena keterbatasan tempat. Penanganan dan Penyimpanan Pangan Bahan pangan memerlukan tempat penyimpanan khusus yang dibedakan menjadi dua yaitu tempat penyimpanan bahan makanan kering dan bahan makanan segar. Tempat penyimpanan bahan makanan kering harus selalu bersih, tertata dengan baik, tidak dijangkau oleh serangga dan tikus, sirkulasi udara harus baik, diberi penerangan yang cukup, jarak rak terbawah dengan lantai ± 10 cm. Sedangkan untuk tempat penyimpanan bahan makanan segar disimpan di dalam ruang pendingin, refrigerator ataupun freezer dengan suhu tertentu dan suhu harus selalu diawasi (Subandriyo 1994). Penanganan bahan makanan memiliki dua tahapan pengerjaan, yaitu persiapan dan pemasakan (pematangan). Persiapan meliputi pengerjaan bahan makanan sejak diterima sampai siap untuk dimasak (menyiangi, membersihkan, mencuci, memotong, merendam, mengiris, menggiling, menumbuk, merajang, mengaduk, mengayak dan membentuk). Tujuan dari persiapan adalah menyiapkan bahan makanan serta bumbu-bumbu untuk mempermudah proses pengolahan. Sedangkan pemasakan bahan makanan merupakan salah satu kegiatan untuk mengubah bahan makanan mentah menjadi makanan siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dari proses pemasakan adalah meningkatkan daya cerna makanan, mempertahankan kandungan gizi, bahkan menambah rasa dan membuat makanan tersebut aman untuk dimakan (Mukrie et al 1990). Menggunakan air yang tidak berwarna dan tidak berbau. Air harus bebas mikroba dan bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan seseorang. Memilih bahan baku yang aman yaitu pangan harus segar dan utuh, jangan menggunakan bahan pangan setelah tanggal kadaluarsanya. Mencuci sayuran dan buah-buahan sebelum disajikan atau digunakan serta membuang bagian yang busuk atau memar (Nuraida et al 2009).
Sarana dan Fasilitas Praktek keamanan PJAS salah satu diantaranya adalah sarana dan fasilitas. Berdasarkan Kepmenkes No. 942/Menkes/SK/VII/2003 pada pasal 12 menyatakan bahwa pangan jajanan yang dijajakan harus memiliki konstruksi sarana yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi pangan dari pencemaran. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain : mudah dibersihkan dan tersedia tempat air bersih, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), serta tempat sampah. Air bersih yang digunakan harus memenuhi syarat baik kualitas maupun kuantitas
yang
sesuai
dengan
peraturan
Menteri
Kesehatan
No.
01/
Birhukmas/I/1975. Hal ini harus dipenuhi karena melalui air dapat ditularkan berbagai penyakit, seperti : penyakit perut, kulit, mata, dan kelumpuhan. Penyakit yang ditularkan melalui air disebut water borne disease. Sedangkan saluran pembuangan air limbah harus dibuat kedap air, dan sebaiknya tertutup dengan kemiringan yang cukup. Saluran pembuangan air kotor /air limbah ini jika memungkinkan dihubungkan dengan saluran umum (Subandriyo 1994). Fasilitas sanitasi dalam kantin maupun penjaja PJAS mempunyai persyaratan yaitu : (1) Tersedia bak cuci piring dan peralatan dengan air mengalir serta rak pengering; (2) Tersedia wastafel dengan sabun/detergen dan lap bersih atau tisue di tempat makan dan tempat pengolahan/persiapan makan; (3) Tersedia suplai air bersih yang cukup, baik untuk kebutuhan pengolahan maupun untuk kebutuhan pencucian dan pembersihan; (4) Tersedia alat cuci/pembersih yang terawat bai seperti sapu lidi, sapu ijuk, selang air, kain lap, sikat, kain pel, dan bahan pembersih seperti sabun/detergen dan bahan sanitasi. Perlengkapan kerja karyawan kantin/ penjaja PJAS harus disediakan antara lain baju kerja, tutup kepala, dan celemek berwarna terang, serta lap bersih. Jika tidak memungkinkan menggunakan tutup kepala, rambut harus tertata rapi dengan dipotong pendek dan diikat (Nuraida et al 2009). Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyimpanan atau pengangkutan makanan yang
bertujuan untuk menghasilkan suatu komponen makanan atau mempengaruhi sifat khas makanan (Depkes.RI 2001). Penggunaan BTP dilakukan bila betul-betul diperlukan dalam pengolahan makanan dan tidak dibenarkan untuk tujuan menyembunyikan dari cara pengolahan yang tidak baik atau mengelabui konsumen, misalnya menutupi mutu bahan baku yang kurang baik. Pengaturan dan pengawasan BTP dimaksudkan agar hanya bahan yang diizinkan saja yang digunakan pada pengolahan makanan, dimana bahan tersebut betul-betul diperlukan untuk pengolahan makanan yang bersangkutan, mutunya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan jumlahnya sesuai dengan cara produksi yang baik dan tidak melebihi batas maksimum yang diizinkan (Depkes.RI 2001). Bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam makanan jajanan: 1. Pewarna Pewarna
adalah
bahan
tambahan
makanan
yang
dapat
dapat
memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak bewarna agar kelihatan lebih menarik. 2. Pemanis Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi (winarno, 1994). Biasanya digunakan pada makanan yang ditujukan pada penderita diabetes melitus atau makanan diit agar badan langsing. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam penolahan makanan jajanan umumnya adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan 300 kali gula alami. 3. Pengawet Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah dan menghambat fermentasi, pengasam atau pengurai lain terhadap makanan yang disebabkan oleh organisme (Winarno, 1994). Umumnya dikenal dipasaran dengan sebutan anti basi. 4. Penyedap rasa Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan yang dapat memberikan, menambah atau
mempertegas rasa dan aroma. Jenis bahan penyedap yaitu penyedap alami terdiri dari bumbu alami, herba, dan daun, minyak esensial dan turunannya, oleoresin, isolat penyedap, penyedap dari sari buah, ekstra tanaman atau hewan. Sedangkan penyedap sintesis merupakan komponen atau zat yang dibuat menyerupai penyedap alami (Cahyadi 2008). Penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan adalah salah satu masalah keamanan pangan yang masih sering dijumpai di lapangan. Bahan berbahaya pada pangan yaitu formalin, boraks, dan pewarna terlarang (Rhodamin B, Methanil Yellow, dan Amaranth). Formalin dan boraks merupakan bahan berbahaya yang tidak boleh digunakan pada pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang bahan tambahan makanan. Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85 mengatur tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dimana didalamnya termasuk Methanil Yellow dan Rhodamin B. Implementasi teknis peraturan ini diperbaharui dengan Keputusan Direktur Jenderal Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 239/Menkes/Per/V/85 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan akan sangat merugikan konsumen karena pada umumnya bahan berbahaya tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan bahkan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kematian (Andarwulan et al 2009). Menurut Judarwanto 2008, makanan jajanan menyumbang asupan energi bagi anak sekolah 36%, protein 29%, dan zat besi 52%, namun masalah keamanan pangan jajanan baik dari segi mikrobiologi maupun penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) masih sangat penting untuk diperhatikan, yaitu dengan menjamin konsumen memperoleh pangan yang aman untuk kesehatan. Dampak dari kurangnya perhatian terhadap keamanan pangan antara lain keracunan pangan karena proses penyiapan dan penyajian yang tidak higiene, risiko berbagai penyakit karena penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Dampak penggunaan BTP selami ini kurang dipahami oleh para produsen maupun konsumen. Dampak dari kesalahan dosis maupun kesalahan pemilihan jenis bahan tambahan memang tidak langsung dirasakan. Dampak ini baru terasa beberapa waktu kemudian, setelah terjadi akumulasi dalam tubuh. Oleh
karena itu, memberi pengertian kepada masyarakat tentang risiko dan manfaat BTP merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan (Saparinto dan Hidayati 2006). Hasil
pengawasan
PJAS
oleh
Badan
POM
pada
tahun
2006
menunjukkan bahwa dari 2903 sampel yang diambil dari 478 SD di 26 ibukota propinsi di Indonesia, 50.57% sampel memenuhi syarat (MS) dan 49.43% tidak memenuhi syarat (TMS). Pada umumnya, TMS mengandung cemaran mikroba, kadar pemanis dan pengawet berlebih, atau penyalahgunaan bahan berbahaya yang tidak boleh ada dalam pangan. Berdasarkan hasil penelitian BPOM dan SUCOFINDO 2009, dari 4500 penjaja PJAS ysng disurvei hanya sebagian kecil (<35%) penjaja PJAS yang mengaku menambahkan BTP ke dalam produk minuman yang dijual. Sebagian besar dari mereka (57,5%) membeli BTP di pasar. Sejumlah faktor maupun alasan yang menjadi penyebab penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan oleh produsen, seperti ketidaktahuan, ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih untung karena pangan menjadi lebih awet, dan kurangnya akses ke tempat yang menjual BTP legal.
KERANGKA PEMIKIRAN Umumnya anak sekolah mengkonsumsi makanan jajanan yang dijajakan di lingkungan sekolahnya. Karakteristik lingkungan sekolah yang meliputi kantin, penjaja PJAS, dan sarana fasilitas yang terdapat di sekitar sekolah akan menggambarkan praktek keamanan PJAS. Karakteristik penjaja yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan merupakan variabel yang dapat membedakan antara masing-masing penjaja . Peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah mengenai kantin sekolah maupun penjaja PJAS di sekitar sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan keamanan makanan jajanan anak sekolah. Peraturan ini dapat mempengaruhi pengelola kantin sekolah maupun penjaja PJAS melakukan pembenahan diri. Makanan yang dijual hendaknya diseleksi dengan ketat sehingga dapat mengurangi risiko bahaya terhadap anak sekolah akibat makanan jajanan yang tidak sehat dan aman. Praktek keamanan PJAS yang meliputi higiene penjaja, penanganan dan penyimpanan PJAS, sarana dan fasilitas yang dimilki oleh penjaja sendiri, pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, serta penggunaan BTP (penggunaan pewarna, pemanis, dan pengawet), sehingga dapat memenuhi standar kantin sehat dan terjaminnya keamanan makanan jajanan yang dijajakan oleh PJAS. Pengetahuan mengenai gizi dan kemanan pangan dapat mempengaruhi praktek yang dilakukan oleh penjaja, dengan pengetahuan maka penjaja lebih mengetahui bagaimana praktek yang sebaiknya dilakukan dalam keamanan PJAS. Dengan adanya praktek keamanan PJAS yang telah memenuhi standar kesehatan, maka mempermudah anak sekolah dalam memilih makanan jajanan yang sehat.
Karakteristik Lingkungan Sekolah : • Sarana dan Fasilitas • Kondisi Kantin • Penjaja PJAS
Karakteristik Penjaja : • Umur • Jenis kelamin • Pendidikan • Pendapatan • Sarana Penjualan
Pengetahuan penjaja mengenai gizi dan keamanan PJAS
Peraturan Sekolah mengenai PJAS
Praktek Keamanan PJAS • Higiene dan sanitasi • Penanganan dan penyimpanan pangan • Sarana dan Fasilitas (penyediaan air bersih) • Penggunaan BTP •
Mutu PJAS
Status Kesehatan
Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek keamanan PJAS
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis
METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study yaitu mengumpulkan informasi dengan satu kali survei yang dilakukan di empat sekolah
dasar
dengan
karakteristik
mutu
sekolah
yang
berbeda
di
Kota/Kabupaten Bogor, yang ditunjukkan dengan status akreditasi A dan B. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli Tahun 2009. Cara Pengambilan Contoh Pemilihan lokasi penelitian akan dilakukan pada dua sekolah dasar yang berlokasi di Kota dan Kabupaten Bogor yang mempunyai karakteristik kantin, fasilitas dan prasarana yang relatif sama. Penentuan lokasi sekolah dasar ditetapkan secara purposive, yaitu berdasarkan: 1) Mempunyai kantin sekolah; 2) Komitmen dari pengelola sekolah; 3) Mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat. Persyaratan tersebut diambil dua sekolah dari kota dan kabupaten, yang masing-masing terdiri dari sekolah berdasarkan status akreditasinya. Sehingga total sekolah yang akan diteliti sebanyak empat sekolah yang terdiri dari kota terakreditasi A pada SDN Lawang Gintung dan terakreditasi B pada SDN Cimanggu, sedangkan untuk kabupaten terakreditasi A pada SDN 01 Pajeleran dan terakreditasi B pada SDN 01 Kotabatu. Populasi penelitian adalah penjaja PJAS di sekolah dasar kota dan kabupaten. Contoh untuk dinilai peubah-peubah penelitian adalah penjaja pangan jajanan di lingkungan sekolah. Seluruh populasi penjaja merupakan sampel penelitian di lingkungan sekolah yang diwawancarai. Sedangkan seluruh kepala sekolah merupakan informan yang memberi informasi. Kota (n=20)
Kabupaten (n=27) Purposive
SDN Akreditasi A Penjaja (n=11)
SDN Akreditasi B Penjaja (n=9)
SDN Akreditasi A Penjaja (n=8)
Gambar 2 Cara Penarikan Contoh Penelitian
SDN Akreditasi B Penjaja (n=19)
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder berasal dari sekolah meliputi profil sekolah yang diperoleh dari arsip data yang ada di sekolah yang bersangkutan. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer meliputi karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), profil PJAS (jenis pangan, kemasan dan register), data peraturan sekolah mengenai PJAS, praktek keamanan PJAS (higiene dan sanitasi, penanganan dan penyimpanan, sarana dan fasilitas, serta penggunaan BTP). Untuk lebih jelasnya, jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No. 1.
2.
4.
Variabel Data Sekunder Profil sekolah - Kantin - Penjaja PJAS di sekitar sekolah - Sarana dan fasilitas Data Primer Karakteristik Individu - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan - Pendapatan Profil PJAS - Jenis pangan - Kemasan - Register
5.
Penerapan peraturan mengenai PJAS
6.
Praktek Keamanan PJAS
7.
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan
Cara Pengumpulan
Responden
Arsip data sekolah
Wawancara menggunakan kuesioner
Penjaja
Observasi langsung
Penjaja
Wawancara menggunakan kuesioner Wawancara menggunakan kuesioner Wawancara menggunakan kuesioner
Kepala Sekolah
Penjaja
Penjaja
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan SPSS 15,0 for windows. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, scoring, entry, dan analisis. Data identitas yang meliputi data karakteristik yang telah diberi kode dan diberi kriteria ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif seperti umur, jenis
kelamin, pendidikan, pendapatan dan informasi penerapan peraturan yang diperoleh dari pihak sekolah. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan jajanan diukur dengan 20 pertanyaan tentang definisi zat gizi, contoh pangan sumber zat gizi tertentu, definisi pangan jajanan, dampak pangan jajanan terhadap kesehatan, higiene dan sanitasi, serta penggunaan BTP (bahan tambahan pangan) melalui wawancara. Penilaian pengetahuan gizi dan keamanan pangan jajanan dilakukan dengan memberi skor. Jawaban yang diperoleh kemudian diolah dengan pemberian skor pada masing-masing pertanyaan dengan skor 1 jika responden menjawab benar dan skor 0 jika jawaban salah. Sehingga skor total minimum 0 dan maksimum adalah 20. Kategori pengetahuan gizi dan keamanan pangan jajanan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kategori pengetahuan gizi dan keamanan pangan kurang bila skor < 60 %, kategori pengetahuan gizi dan keamanan pangan tingkat sedang bila skor 60-80 %, kategori pengetahuan gizi dan keamanan pangan baik bila skor > 80 % (Khomsan 2000). Praktek keamanan PJAS diukur berdasarkan higiene dan sanitasi penjaja, penanganan dan penyimpanan PJAS, sarana dan fasilitas yang dimiliki oleh penjaja sendiri, serta penggunaan BTP (penggunaan pewarna, pemanis, dan pengawet). Praktek keamanan PJAS diukur dengan 49 pertanyaan dengan dua tingkatan skala Ya dan Tidak, untuk jawaban Ya diberi skor (1) dan jawaban Tidak diberi skor (0). Kategori praktek PJAS dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kurang bila skor < 60 %, kategori sedang bila skor 60-80 %, baik bila skor > 80 % (Khomsan 2000). Data penerapan peraturan PJAS terdapat 23 pertanyaan yang memiliki skor yang berbeda-beda tiap pertanyaan, dimana skor maksimal adalah 48 untuk sekolah yang terletak di wilayah kota akreditasi A dan B, dan sekolah yang terletak di wilayah kabupaten dengan akreditasi B, sedangkan sekolah yang terletak di kabupaten akreditasi A diberi skor maksimal 42 dikarenakan sekolah ini tidak memiliki penjaja luar. Penerapan peraturan PJAS dikategorikan berdasarkan Slamet (1993), interval kelas ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut : Interval kelas (A) = Skor maksimum (NT) – Skor minimum (NR) Jumlah kategori
Berdasarkan interval kelas yang telah ditentukan, pengkategorian tiap variabel menggunakan rumus berikut : •
Kurang
: NR sampai (NR + A) (0 – 16)
•
Sedang
: (NR + A) + 1 sampai NR + 2A ( 17 – 32)
•
Baik
: (NR + 2A) + 1 sampai NT ( 33 – 48)
Hubungan antara variabel dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan responden dengan praktek keamanan PJAS, penerapan peraturan dengan pengetahuan,
penerapan
peraturan
dengan
praktek
keamanan
PJAS.
Sedangkan uji beda T-Test digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan berdasarkan wilayah, status akreditasi dan kelompok penjual. Untuk lebih jelasnya, pengkategorian beberapa variabel dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Pengkategorian beberapa variabel penelitian No
Variabel
1.
Karakteristik Penjaja - Umur
Kategori • • •
- Jenis Kelamin - Tingkat Pendidikan
- Pendapatan
• • • • • • • • •
2
3
Pengetahuan dan Praktek keamanan PJAS Penerapan peraturan PJAS
• • • • • •
Dewasa awal 18-40 tahun Dewasa menengah 4165 tahun Dewasa akhir > 65 tahun Laki-laki Perempuan TS (0) SD (1-6 tahun) SMP (7-9 tahun) SMA (10-12 tahun) Perguruan Tinggi Miskin (
Rp.176.216,00) Kurang : skor ≤ 60 Sedang : skor 60-80 Baik : skor ≥ 80 Kurang : NR sampai (NR + A) Sedang : (NR + A) + 1 sampai NR + 2A Baik : (NR + 2A) + 1 sampai NT
Skala Pengukuran Nominal
Keterangan Papalia & Old (1981)
Nominal Ordinal
Ordinal
BPS (2008)
Ordinal
Khomsan (2000)
Ordinal
Slamet (1993)
Definisi Operasional Penjaja PJAS : Orang yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan PJAS dan peralatannya sejak dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian. Pendidikan : Pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti penjaja PJAS, yang ditandai
dengan
surat
tanda
tamat
belajar/ijazah.
Pendidikan
dikategorikan menjadi tidak sekolah, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan : Informasi yang disimpan dalam bentuk ingatan yang menjadi penentu bagi penjaja dalam berperilaku, yang diukur dengan sejumlah pertanyaan sistematis. Pertanyaan berbentuk pilihan berganda (multiple choice test) berisi 20 pertanyaan menggunakan kuesioner. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan dikategorikan menjadi baik (>80%), sedang (60-80%), dan kurang (< 60%). Pendapatan : Total pendapatan perbulan yang diperoleh dari pendapatan bersih penjualan
PJAS
dan
dikategorikan
menjadi
miskin
(<
Rp.
176.216,00/kapita/bulan) dan tidak miskin (>Rp. 176.216,00/kapita/bulan). PJAS : Makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap yang dijual di sekitar lingkungan sekolah. Profil PJAS : data PJAS yang meliputi jenis pangan, kemasan, dan register. Peraturan : Sesuatu yang disepakati dan mengikat antara pihak sekolah, murid, dan penjaja PJAS dalam rangka mencapai suatu tujuan dalam hidup bersama. Keamanan Pangan : Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Praktek Keamanan PJAS : Tanggapan atau reaksi seseorang baik berupa tanggapan maupun gerakan fisik yang meliputi higiene dan sanitasi, penanganan dan penyimpanan pangan, sarana dan fasilitas serta penggunaan bahan tambahan pangan (BTP). Sanitasi : Upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan yang meliputi menyediakan air bersih, menyediakan tempat sampah dan lain sebagainya.
Higiene : Upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan yang meliputi mencuci tangan dengan air bersih dengan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring dan melindungi kebersihan piring dan lain sebagainya. Bahan Tambahan Pangan : Bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti kempal, pemucat dan penetral. Sarana fasilitas Sekolah : fasilitas yang disediakan oleh pihak sekolah yang mendukung dalam praktek keamanan PJAS yang meliputi tempat sampah, tempat cuci tangan, dan lain sebagainya . Sarana fasilitas Penjaja : fasilitas yang dimiliki oleh penjaja yang digunakan untuk praktek keamanan PJAS yang meliputi tersedianya sumber air bersih, peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan maupun penyajian PJAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Sekolah yang diteliti terdiri dari empat sekolah dasar, yaitu dua SDN di Kota Bogor dan dua SDN di Kabupaten Bogor. Sekolah dasar yang terdapat di kota meliputi SDN 01 Lawang Gintung yang berakreditasi A dan SDN Cimanggu Kecil yang berakreditasi B. Sedangkan sekolah dasar yang terdapat di kabupaten meliputi SDN 01 Pajeleran yang berakreditasi A dan SDN 01 Kotabatu yang berakreditasi B. Keempat sekolah dasar ini semuanya memiliki kantin, sedangkan yang mempunyai penjaja luar hanya tiga sekolah yaitu SDN 01 Lawang Gintung, SDN Cimanggu Kecil, dan SDN 01 Kota Batu. Gambaran keadaan kantin dan penjaja luar di kota dan kabupaten dapat dilihat pada Lampiran 1. SDN 01 Lawang Gintung adalah sekolah yang terletak di kota dengan akreditasi A yang beralamat di Jalan Lawang Gintung, berada dekat jalur kendaraan umum. Sekolah ini memiliki luas tanah kurang lebih 1693 m2, yang terdiri dari bangunan seluas 865 m2, halaman seluas 728 m2. Jumlah guru dan staf pegawai sekolah sebanyak 18 orang PNS dan 13 orang Non PNS. Jumlah siswa sebanyak 632 orang dengan jumlah kelas sebanyak 13 kelas. SDN Cimanggu Kecil adalah sekolah yang terletak di kota dengan status akreditasi B yang beralamat di Jalan Cimanggu Kecil No. 35, letaknya berada agak ke dalam sehingga tidak begitu banyak kendaraan umum yang melaluinya. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1977 dan mulai beroperasi pada tahun 1978 yang memiliki luas tanah seluas 1660 m2. Jumlah guru dan staf pegawai sekolah sebanyak 19 orang PNS dan dua orang honorer. Jumlah siswa sebanyak 555 orang yang terdiri dari 276 laki-laki dan 279 perempuan, dengan jumlah kelas sebanyak 16 kelas. SDN 01 Pajeleran adalah sekolah yang terletak di kabupaten dengan status akreditasi A yang beralamat di Jalan Dadi Kusmayadi, letaknya tepat di pinggir jalan raya sehingga banyak dilalui oleh kendaraan umum. Sekolah ini memiliki luas tanah seluas 3697 m2, dengan luas bangunan seluas 972 m2. Jumlah guru dan staf pegawai 24 orang PNS dan 10 orang Non PNS. Jumlah siswa sebanyak 1089 orang yang terdiri dari 585 laki-laki dan 504 perempuan, dengan 26 rombel (rombongan belajar). SDN 01 Kotabatu adalah sekolah yang terletak di kabupaten dengan status akreditasi B yang beralamat Jalan Kapten Jusuf No. 01, letaknya tepat di
pinggir jalan raya sehingga banyak dilalui oleh kendaraan umum. Jumlah guru 16 orang, sedangkan untuk jumlah siswa sebanyak 353 orang yang terdiri dari 182 laki-laki dan 171 perempuan. Fasilitas Sekolah Fasilitas sekolah merupakan faktor pendukung dalam keamanan pangan di lingkungan sekolah. Kondisi fasilitas sekolah menurut wilayah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi fasilitas sekolah menurut wilayah A Tidak ada
B Tidak ada
Kabupaten A B Tidak ada Ada
- Tempat sampah tertutup di sekolah
Ada
Ada
Ada
Ada
- Tempat pembuangan sampah akhir
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
- Jarak saluran pembuangan air/limbah dengan penjaja di luar sekolah (m)
≤ 10
≤ 10
Tidak ada penjaja luar
≤ 10
- Jarak pembuangan sampah dengan penjaja di luar sekolah (m) - Ketersediaan air di sekolah
≤ 10
≤ 10
Tidak ada penjaja luar
≥ 10
Ada
Ada
Ada
Ada
- Sumber air berasal
PAM
PAM
PAM
Sumur
- Kualitas air
Bersih
Bersih
Bersih
Bersih
- Ketersediaan air untuk penjaja di luar sekolah
Ada
Tidak ada
Tidak ada penjaja luar
Tidak ada
-Terdapat tempat cuci tangan -Tersedia sabun
Ada Tidak ada
Ada Tidak ada
Ada Tidak ada
Ada Tidak ada
- Jumlah tempat cuci tangan
6
4
9
4
- Terdapat KM/WC
Ada
Ada
Ada
Ada
- Jumlah KM/WC
9
6
15
4
- Kebersihan KM/WC
Sebagian bau dan agak kotor
Seluruhnya bau dan kotor
Sebagian bau dan agak kotor
Seluruhnya bersih
- Terdapat aliran listrik
Ada
Ada
Ada
Ada
- Jumlah daya listrik
3200 Kw
1350 Kw
2200 VA
900 Kw
Fasilitas - Tempat sampah tertutup di kelas
Kota
Fasilitas sekolah yang memadai diperlukan untuk peningkatan kualitas mutu pendidikan di Indonesia. Kenyamanan belajar dan keberhasilan proses belajar mengajar suatu sekolah sangat tergantung dari peraturan sekolah yang diterapkan maupun keberadaan fasilitas sekolah (Andarwulan et al 2008).
Fasilitas tempat sampah yang disediakan sekolah adalah tempat sampah yang tertutup dan tempat cuci tangan yang tersedia tidak terdapat sabun. Fasilitas sekolah pada wilayah kota dan kabupaten umumnya hampir sama. Yang membedakan fasilitas dari masing-masing sekolah adalah jumlah dari fasilitas yang disediakan oleh sekolah. Sekolah yang berakreditasi A umumnya memiliki fasilitas dalam jumlah yang lebih banyak daripada sekolah yang berakreditasi B, hal ini disebabkan karena jumlah murid pada sekolah dengan status akreditasi A juga lebih banyak daripada sekolah yang berakreditasi B. Kondisi Kantin Kondisi lingkungan kantin secara tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi makanan dan minuman jajanan yang dijual. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha dari pengelola kantin serta warga sekolah lain dalam menjaga kebersihan kantin sekolah. Tiap-tiap sekolah memiliki kondisi kantin yang berbeda-beda, yang dilihat dari kondisi bangunan, kondisi air, tempat penyimpanan, tempat pengolahan dan penyajian, serta sanitasi higiene dan limbah. Berdasarkan kondisi bangunan yang meliputi dinding kantin yang kedap air, kepemilikan ventilasi dan lantai kantin, langit-langit kantin dalam keadaan bersih. Dari tiga bagian kondisi bangunan kantin sekolah yang terletak di kota maupun di kabupaten hampir sama yaitu semua kantin memiliki dinding yang kedap air, tidak memiliki ventilasi dikarenakan kantin berbentuk terbuka. Bentuk kantin yang seperti ini menyebabkan pencemaran udara dari lingkungan sekitar mudah masuk ke dalam ruangan kantin, yang ditambah pula jarak antara kantin dengan jalan raya cukup dekat sehingga sangat mudah terkontaminasi. Menurut Nuraida et al (2009) kantin dengan ruang yang terbuka harus mempunyai tempat tertutup untuk persiapan dan pengolahan serta penyajian makanan dan minuman. Sebagian besar kantin memiliki lantai, dinding, langit-langit kantin dalam keadaan kurang bersih. Dalam hal kondisi air yang terdapat di kantin berdasarkan wilayah kota dan kabupaten, secara keseluruhan sekolah memiliki suplai air yang cukup, tidak berbau dan tidak berwarna yang digunakan untuk pengolahan dan pencucian makanan jajanan yang bersumber dari PDAM. Begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi, dapat dikatakan bahwa status akreditasi tidak mempengaruhi kualitas air yang disediakan oleh pihak sekolah.
Tempat penyimpanan bahan baku, makanan jadi, serta tempat penyimpanan peralatan juga tidak jauh berbeda antara kota dengan kabupaten, begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi. Sebagian besar kantin sekolah mempunyai tempat penyimpanan khusus baik untuk bahan baku, makanan jadi, dan peralatan, hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kontaminasi. Berdasarkan tempat pengolahan dan penyajian terdapat perbedaan antara kantin sekolah yang terletak di kota dengan kabupaten, tempat pengolahan dan penyajian lebih baik di kota daripada kantin sekolah di kabupaten. Begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi terdapat perbedaan, di mana tempat pengolahan dan penyajian pada kantin akreditasi A lebih baik daripada kantin yang berakreditasi B. Data kondisi kantin sekolah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kondisi kantin sekolah menurut wilayah Kondisi Kantin
Kota
Kab
A
B
A
B
1. Kondisi Bangunan - Kedap air - Terdapat ventilasi - Lantai, dinding, langit-langit kantin bersih
Ya Tdk Ya
Ya Tdk Tdk
Ya Tdk Tdk
Ya Tdk Tdk
2. Kondisi Air - Memiliki suplai air yang cukup untuk pengolahan - Air tidak berbau dan berwarna
Ya Ya
Ya Ya
Ya Ya
Ya Ya
3. Tempat Penyimpanan - Terdapat tempat penyimpanan bahan baku - Terdapat tempat penyimpanan makanan jadi - Terdapat tempat penyimpanan peralatan
Ya Ya Ya
Ya Ya Ya
Tdk Ya Ya
Tdk Ya Ya
4. Tempat Pengolahan dan Penyajian - Ruang pengolahan bersih - Terdapat penerangan yang cukup - Terdapat ventilasi udara - Tempat penyajian tersedia meja dan kursi dalam jumlah yang cukup
Ya Ya Ya Ya
Tdk Tdk Tdk Tdk
Ya Ya Tdk Tdk
Ya Ya Tdk Tdk
Tdk Ya Ya
Tdk Ya Tdk
Ya Ya Ya
Ya Tdk Tdk
Tdk Ya Ya
Tdk Ya Tdk
Tdk Ya Ya
Tdk Ya Ya
5. Sanitasi, Higiene dan Pembuangan Limbah - Terdapat bak cuci piring dengan suplai air yang mengalir - Terdapat alat cuci/pembersih - Pengolah menggunakan celemek dan penutup kepala - Terdapat tempat sampah tertutup dan cukup - Kantin bebas sampah di dalam maupun luar - Terdapat saluran pembuangan air
Di lihat dari segi sanitasi, higiene, dan pembuangan limbah, kantin yang terletak di kota dan kabupaten hampir sama, namun jika dilihat berdasarkan status akreditasi sedikit berbeda. Kantin sekolah dengan status akreditasi A memiliki sanitasi, higiene, dan pembuangan limbah lebih baik daripada kantin sekolah dengan status akreditasi B. Dengan kata lain status akreditasi mempengaruhi sanitasi, higiene dan pembuangan limbah di kantin. Kantin yang tidak memiliki bak pencucian piring dengan suplai air yang mengalir namun memiliki alat pencuci/pembersih yaitu menggunakan ember dalam melakukan pencucian. Penjaja PJAS Penjaja PJAS adalah orang yang berjualan makanan jajanan anak sekolah baik itu orang yang mengelola kantin maupun yang berjualan di luar sekolah yang masih berada di sekitar lingkungan sekolah. Penjaja kantin yang dijadikan responden adalah orang yang memiliki kantin karena pemilik kantin juga melakukan praktek yang sama dengan orang yang membantu dalam pengolahan, walaupun yang mengolah kantin biasanya lebih dari satu orang. Menurut Muhilal dan Damanyati (2006) penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Penjaja kantin yang dijadikan responden hanya pemilik kantin, orang yang membantu dalam proses pengolahan tidak dijadikan responden karena pemilik kantin merupakan perwakilan dari masing-masing kantin. Jumlah penjaja PJAS pada masing-masing sekolah berbeda-beda. Jumlah penjaja PJAS di SD yang terletak di wilayah kota (20 orang) lebih sedikit daripada kabupaten (27 orang). Penjaja PJAS di kota dan kabupaten sebagian besar merupakan penjaja luar dengan masing-masing persentase 80% dan 66.7%. Sedangkan penjaja pada status akreditasi A (19 orang) lebih sedikit daripada akreditasi B (28 orang), penjaja PJAS pada status akreditasi A sebagian besar (53%) merupakan pengelola kantin dan akreditasi B sebagian besar (89.3%) penjaja luar. Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status akreditasi disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status akreditasi Kelompk Penjual Kantin Penjaja luar Total
Wilayah Kota Kab n % n % 4 20.0 9 33.3 16 80.0 18 66.7 20 100.0 27 100.0
n 10 9 19
Status Akreditasi A B % n % 53.0 3 10.7 47.0 25 89.3 100.0 28 100.0
Total n 13 34 47
% 27.7 72.3 100.0
Karakteristik Penjaja PJAS Karakteristik penjaja PJAS meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, dan sarana penjualan. Secara rinci karakteristik penjaja PJAS dapat dilihat pada Lampiran 2. Setiap bagian karakteristik penjaja PJAS dianalisis dengan uji-t untuk melihat perbedaan karakteristik berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Secara rinci uji beda karakteristik penjaja PJAS dapat dilihat pada Lampiran 3. Umur Menurut Hurlock (1995) dalam Rahayu (2004) umur dapat mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan emosi seseorang. Dari hasil penelitian diperoleh umur berkisar antara 18-65 tahun. Umumnya umur responden tergolong pada dewasa awal (68.1%) dan tidak terdapat umur yang tergolong dewasa akhir baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Umur responden berdasarkan letak wilayah, rata-rata responden lebih tua di wilayah kota (37.9 tahun) daripada di kabupaten (34.4 tahun). Sedangkan berdasarkan status akreditasi, rata-rata umur responden pada status akreditasi A lebih muda (33.7 tahun) daripada status akreditasi B (37.4 tahun), pada kelompok penjual rata-rata umur responden di kantin lebih tua (39.4 tahun) daripada penjaja luar (34.6 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada usia yang produktif. Menurut Papalia & Old (1986), dewasa awal merupakan masa yang paling ideal dalam periode kehidupan manusia dimana masa penuh vitalitas dan daya tahan paling optimal. Sebaran responden menurut umur disajikan pada Gambar 3. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan umur responden berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual.
Wilayah Akreditasi Penjual Total
Status Kelompok
31.9 Penjaja luar
68.1
26.5
73.5 46.2 53.8
Kantin
Dewasa Menengah
35.7
B
64.3
26.3
A
29.6
Kab
70.4
35
Kota 0
20
Dewasa Awal
73.7
65
40
60
80
Gambar 3 Sebaran responden menurut umur Jenis Kelamin Jumlah responden dalam penelitian adalah 47 orang. Umumnya responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 72.3% sedangkan perempuan hanya 27.7%. Berdasarkan wilayah kota, status akreditasi A dan B, serta penjaja luar terdapat lebih dari 60.0% responden yang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan pada wilayah kabupaten dan kelompok penjual kantin lebih banyak responden yang berjenis kelamin perempuan dengan persentase lebih dari 75.0%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin berdasarkan wilayah, namun untuk status akreditasi dan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Sebaran responden menurut jenis kelamin
Wilayah Akreditasi Penjual Total
Status
Kelompok
disajikan pada Gambar 4. 27.7
72.3
8.8
Penjaja luar
91.2
Kantin
76.9
23.1
Perempuan
21.4
B
78.6 36.8
A
63.2
29.6
Kab Kota
70.4 75
25 0
20
Laki-laki
40
60
80
100
Gambar 4 Sebaran responden menurut jenis kelamin Pendidikan Tingkat pendidikan responden tersebar dari tidak sekolah hingga perguruan tinggi. Sebagian responden berpendidikan SD (57.4%) baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Sedangkan
responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya 4.3%, responden tersebut dengan latar belakang pendidikan S-1 dan D-III. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan tingkat pendidikan berdasarkan wilayah, dan kelompok penjual, namun pada status akreditasi menunjukkan adanya perbedaan, hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya responden dengan akreditasi A mempunyai pendidikan yang cukup baik jika dibandingkan dengan responden pada akreditasi B. Menurut Sumarwan (2002) tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi masalah. Sebaran responden menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan Wilayah Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA PT Total
Kota
Status Akreditasi Kab
A
B
Kelompok Penjual Kantin
Total
Penjaja Luar
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
1 13 4 1 1 20
5.0 65.0 20.0 5.0 5.0 100.0
1 14 7 4 1 27
3.7 51.9 25.9 14.8 3.7 100.0
11 3 3 2 19
57.9 15.8 15.8 10.5 100.0
2 16 8 2 28
7.1 57.1 28.6 7.1 100.0
5 4 2 2 13
38.5 30.8 15.4 15.4 100.0
2 22 7 3 34
5.9 64.7 20.6 8.8 100.0
2 27 11 5 2 47
4.3 57.4 23.4 10.6 4.3 100.0
Pendapatan Pendapatan perkapita responden berkisar antara Rp. 60.000,00 – >Rp. 1.000.000,00. Pendapatan perkapita berdasarkan BPS 2008 dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, miskin (Rp. 176.216,00). Sebagian besar (61.7%) responden umumnya tidak miskin, berdasarkan wilayah, rata-rata pendapatan perkapita responden di kota (Rp. 443.133,00) lebih tinggi daripada di kabupaten (Rp. 409.808,00), sedangkan pada status akreditasi A (Rp. 520.315,00) lebih tinggi daripada B (Rp. 358.625,00), dan berdasarkan kelompok penjual kantin (Rp. 604.307,00) memiliki pendapatan lebih tinggi daripada penjaja luar (Rp. 355.044,00). Berdasarkan wilayah dan kelompok penjual terdapat lebih dari 55.0% responden berkategori tidak miskin. Namun jika dilihat berdasarkan status akreditasi lebih dari 57.0% responden berkategori tidak miskin. Sebaran responden menurut pendapatan disajikan pada Gambar 5.
Wilayah Akreditasi Penjual Total
Status Kelompok
61.7
38.3 Penjaja Luar
44.1
Kantin
55.9 76.9
23.1
B
42.9
A
Miskin 68.4
31.6
Kab
44.4
Kota
55.6 70
30 0
20
Tidak Miskin
57.1
40
60
80
100
Gambar 5 Sebaran responden menurut pendapatan Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapatan perkapita responden berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun pada kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga karena penjualan di kantin umumnya menjual jenis pangan jajanan lebih bervariasi, sedangkan penjaja luar masing-masing hanya menjual pangan jajanan satu jenis sehingga rata-rata pendapatan perkapita untuk kantin lebih besar daripada penjaja luar. Pendapatan perkapita yang diukur bukan hanya berasal dari pendapatan yang diterima oleh individu, tetapi diukur juga dari pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga dimana individu itu berada. Sarana Penjualan Dalam Proyek Makanan Jajanan IPB (1993), usaha makanan jajanan dibagi menjadi tiga ketegori berdasarkan cara berjualannya, yaitu pedagang berpangkal
(Stationary
units),
pedagang
berpangkal
di
perkampungan
(Residential units), dan berdagang keliling (Ambulatory units). Penjaja makanan dalam kantin sekolah termasuk sebagai pedagang berpangkal, namun untuk penjaja luar merupakan gabungan dari pedagang berpangkal dan keliling karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam sekolah habis mereka berdagang keliling. Sebagian besar sarana penjualan yang digunakan adalah gerobak dan pikulan berkisar 34.0% hingga 36.2%. Sarana pikulan yang digunakan paling banyak terdapat di kabupaten dengan akreditasi B oleh kelompok penjaja luar (berkisar 33.3% hingga 47.1%), sedangkan sarana gerobak banyak digunakan di kota dengan akreditasi A oleh penjaja luar (berkisar 31.6% hingga 47.1%). Sarana meja umumnya banyak digunakan di kota dengan akreditasi A oleh kelompok penjual kantin (berkisar 29.6% hingga 69.2%).
Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan sarana penjualan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun berdasarkan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan sarana penjualan. Hal ini dikarenakan penjaja luar merupakan pedagang yang berjualan menetap sementara dan berkeliling sehingga lebih banyak menggunakan sarana penjualan pikulan, sedangkan kelompok penjual kantin hampir keseluruhan sarana seperti meja difasilitasi dari sekolah selain tempat yang telah dibuat sedemikian rupa untuk masing-masing penjaja kantin. Sebaran responden menurut sarana penjualan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran responden menurut sarana penjualan Wilayah Sarana Penjualan
Kota
Gerobak Meja Pikulan Lemari Display Total
Status Akreditasi Kab
A
B
Kelompok Penjual Total
Penjaja Luar
Kantin
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
9 3 7
45.0 15.0 35.0
8 8 9
29.6 29.6 33.3
6 6 4
31.6 31.6 21.1
11 5 12
39.3 17.9 42.9
1 9 -
7.7 69.2 -
16 2 16
47.1 5.9 47.1
17 11 16
36.2 23.4 34.0
1 20
5.0 100.0
2 27
7.4 100.0
3 19
15.8 100.0
28
100.0
3 13
23.1 100.0
34
100.0
3 47
6.4 100.0
Profil PJAS Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan, kemasan, dan jenis register. Secara keseluruhan jenis pangan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan sebesar 67.1% dan sebagian kecil (2.2%) menjual buah. Berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual sebagian besar responden menjual makanan camilan dengan persentase bekisar antara 53.7% hingga 75.9%. Hal ini mencerminkan bahwa banyaknya penjaja PJAS menjual makanan camilan disebabkan karena anak sekolah dasar umumnya lebih menyukai makanan camilan sebagai makanan jajanan dibanding jenis pangan lainnya di sekolah. Sebaran profil PJAS menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran profil PJAS berdasarkan jenis pangan Profil PJAS
Wilayah Kota
Jenis Pangan Makanan Sepinggan Camilan Minuman Buah Total
n
Status Akreditasi Kab
%
n
A %
n
B %
n
%
Kelompok Penjual Penjaja Kantin Luar n % n %
Total n
%
7
4.5.0
15
7.0
11
7.5
11
4.9
18
9.4
4
2.2
22
5.9
102
65.0
147
68.7
79
53.7
170
75.9
113
59.2
136
75.6
249
67.1
48
31.0
44
20.6
57
38.8
35
15.6
60
31.4
32
17.8
92
24.8
0
0
8
3.7
0
0
8
3.6
0
0
8
4.4
8
2.2
157
100.0
214
100.0
147
100.0
224
100.0
191
100.0
180
100.0
371
100.0
Jenis kemasan pangan jajanan anak sekolah bervariasi, sebagian besar kemasan yang paling banyak digunakan oleh penjaja PJAS adalah plastik dengan persentase 78.4% dan yang paling sedikit digunakan adalah sterofoam dan cup plastik dengan persentase yang sama sebesar 0.3%. Penggunaan kemasan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual sebagian besar menggunakan plastik dengan persentase berkisar antara 70.1% hingga 83.9%. Hal ini disebabkan karena plastik merupakan kemasan yang paling praktis, sehingga penjaja lebih memilih plastik sebagai kemasan makanan jajanan yang dijual. Sebaran profil PJAS menurut kemasan disajikan pada Gambar 6. Dengan diberlakukannya UU. No. 8 Tahun 1999 yang memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak kepada pelaku usaha yang tidak benar atau informasi yang menyesatkan melalui label. Register pangan merupakan bagian dari label pangan, oleh karena itu label pangan yang merupakan informasi produk harus jelas dan benar mengenai produk yang bersangkutan. Informasi pada label pada label yang tidak benar dapat menyebabkan kejadian yang dapat berakibat fatal bagi konsumen .
Gambar 6 Profil Kemasan PJAS
Menurut
hasil
penelitian
Gambar 7 Profil Register PJAS
BPOM
2008,
jenis
register
pangan
diikelompokkan menjadi MD (produk dalam negeri), ML (produk luar negeri), SS (siap saji), TTD (tidak terdaftar), dan PIRT (industri rumah tangga). Untuk jenis register umumnya memiliki register MD sebanyak 68.5% dan register makanan yang paling sedikit adalah register PIRT. Profil PJAS menurut register berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian
besar menggunakan register MD dengan persentase berkisar antara 63.3% hingga 71.9%. Makanan jajanan yang paling banyak dijual yaitu dengan register MD, yang berarti makanan ini diproduksi di dalam negeri dan sudah terdaftar. Register pangan merupakan keterangan yang terdapat di kemasan pangan yang menunjukkan keamanan suatu pangan. Jika pangan yang tidak memiliki register atau tidak terdaftar maka pangan tersebut tidak dapat dijamin keamanannya. Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang gizi dan keamanan pangan. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap praktek dalam pemilihan pangan, pengolahan dan penyimpanan pangan (Andarwulan et al 2008). Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan keamanan pangan Pengetahuan
Wilayah Kota Kab n % n %
1. Gizi Baik 2 10.0 6 Sedang 3 15.0 4 Kurang 15 75.0 17 Total 20 100.0 27 2. Keamanan Pangan Baik 4 20.0 9 Sedang 6 30.0 13 Kurang 10 50.0 5 Total 20 100.0 27 3. Gizi & Keamanan Pangan Baik 3 15.0 7 Sedang 5 25.0 7 Kurang 12 60.0 13 Total 20 100.0 27
Status Akreditasi A B n % n %
Kelompok Penjual Total Kantin Penjaja Luar n % n % n %
22.2 14.8 63.0 100.0
4 4 11 19
21.1 21.1 57.9 100.0
4 3 21 28
14.3 10.7 75.0 100.0
4 2 7 13
30.8 15.4 53.8 100.0
4 5 25 34
11.8 14.7 73.5 100.0
8 7 32 47
17.0 14.9 68.1 100.0
33.3 48.1 18.5 100.0
6 6 7 19
31.6 31.6 36.8 100.0
7 13 8 28
25.0 46.4 28.6 100.0
5 5 3 13
38.5 38.5 23.1 100.0
8 14 12 34
23.5 41.2 35.3 100.0
13 19 15 47
27.7 40.4 31.9 100.0
25.9 25.9 48.1 100.0
5 4 10 19
26.3 21.1 52.6 100.0
5 8 15 28
17.9 28.6 53.6 100.0
4 3 6 13
30.8 23.1 46.2 100.0
6 9 19 34
17.6 26.5 55.9 100.0
10 12 25 47
21.3 25.5 53.2 100.0
Pengetahuan yang diteliti terdiri dari dua bagian yaitu pengetahuan gizi dan pengetahuan keamanan pangan. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan dianalisis menggunakan uji beda berdasarkan wilayah, status akreditasi dan kelompok penjual, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengetahuan gizi responden berdasarkan wilayah memperoleh skor rata-rata di kota (50) lebih rendah daripada di kabupaten (59.3), responden pada status akreditasi memperoleh skor rata-rata pengetahuan gizi pada akreditasi A (59) lebih baik daripada akreditasi B (52.9), sedangkan pada kelompok penjual memperoleh
skor rata-rata pengetahuan gizi pada kantin (63.1) lebih tinggi daripada penjaja luar (52.4). Secara keseluruhan umumnya pengetahuan gizi masih kurang sebesar 68.1% dan persentase terkecil adalah berpengetahuan sedang 14.9%. Berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian besar pengetahuan gizi responden berkategori kurang dengan persentase berkisar antara 53.8% hingga 75% responden. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pengetahuan gizi baik berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Hal ini diduga karena tingkat pendidikan dari responden yang relatif sama yaitu SD pada Tabel 6, walaupun jika dilihat berdasarkan skor rata-rata pengetahuan gizi sedikit berbeda antara wilayah, status akreditasi dan kelompok penjual. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi responden (r=0.463**, p=0.001). Artinya bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka diikuti pula dengan pengetahuan responden. Secara
keseluruhan
umumnya
responden
memiliki
pengetahuan
keamanan pangan berkategori sedang sebesar 40.4% dan sebagian kecil memiliki pengetahuan keamanan baik sebesar 27.7%. Pengetahuan keamanan pangan berdasarkan wilayah memiliki perolehan skor rata-rata di kota (62.3) lebih rendah daripada di kabupaten (78.2), dengan persentase masing-masing di kota sebesar 50.0% masih kurang dan pengetahuan keamanan pangan di kabupaten umumnya berpengetahuan sedang sebesar 48.1%. Dalam hal status akreditasi responden memperoleh skor rata-rata pengetahuan keamanan pangan pada akreditasi A dan B hampir sama, dengan persentase pada akreditasi A sebesar 36.8% berkategori kurang dan akreditasi B memiliki pengetahuan keamanan pangan 46.4% sedang. Sedangkan pada kelompok penjual memiliki skor rata-rata pengetahuan keamanan pangan responden di kantin (77) lebih baik daripada penjaja luar (69.3), berdasarkan kelompok penjual kantin berpengetahuan baik dan sedang sebesar 38.5%, sedangkan pada penjaja luar umumnya tersebar pada pengetahuan keamanan pangan berkategori sedang sebesar 41.2%. Hasil
uji
beda
statistik
menunjukkan
tidak
adanya
perbedaan
pengetahuan keamanan pangan berdasarkan status akreditasi dan kelompok penjual, namun berdasarkan wilayah menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga karena adanya komite sekolah di salah satu SD di wilayah kabupaten,
yang diduga berpartisipasi dalam memberikan penyuluhan dan pengawasan secara rutin mengenai keamanan makanan jajanan sehingga pengetahuan keamanan pangan penjaja di kabupaten lebih baik daripada di wilayah kota. Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan keamanan pangan responden diperoleh adanya hubungan positif (r=0.397**, p=0.006). Menurut Notoatmodjo (2003) peningkatan pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki baik yang diperoleh secara formal maupun non-formal. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan gabungan dari total nilai pengtahuan gizi dan pengetahuan keamanan pangan. Berdasarkan wilayah responden yang memperoleh skor rata-rata pengetahuan dan gizi dan keamanan pangan di kota (56) lebih rendah daripada di kabupaten (68.7), pada status akreditasi responden memperoleh skor rata-rata pada akreditasi A (66.1) dan B (61.4) hampir sama, sedangkan berdasarkan kelompok penjual responden memperoleh skor rata-rata di kantin (70) lebih baik daripada penjaja luar (60.7). Secara keseluruhan sebagian besar (53.2%) responden memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan kurang dan sebagian kecil (25.9%) berpengetahuan gizi dan keamanan pangan baik dan sedang dengan persentase yang sama. Berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian besar pengetahuan gizi responden berkategori kurang dengan persentase berkisar antara 46.2% hingga 60.0%. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan pengetahuan gizi dan keamanan pangan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Namun berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden (r=0.481**, p=0.001). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pula pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden. Pada Tabel 10 dapat dilihat sebaran responden berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan responden. Pengetahuan responden terbagi atas dua yaitu pengetahuan gizi dan pengetahuan keamaanan pangan yang masing-masingnya terdiri atas 10 pertanyaan. Sebaran responden berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan Wilayah
Pengetahuan Gizi & Keamanan
Kota
Status Akreditasi
Kab
A
B
Kelompok Penjual Penjaja Kantin Luar n % n %
n
%
n
%
n
%
n
%
9
45.0
19
70.4
13
68.4
15
53.6
10
76.9
19
9
45.0
13
48.1
10
52.6
12
42.9
8
61.5
14
41.2
14
70.0
21
77.8
14
73.7
21
75.0
11
84.6
24
70.6
13
65.0
23
85.2
16
84.2
20
71.4
11
84.6
25
73.5
10
50.0
17
63.0
9
47.4
18
64.3
8
61.5
19
55.9
12
60.0
17
63.0
13
68.4
16
57.1
8
61.5
21
61.8
5
25.0
7
25.9
7
36.8
5
17.9
5
38.5
7
20.6
8
40.0
15
55.6
8
42.1
15
53.6
6
46.2
17
50.0
13
65.0
18
66.7
14
73.7
17
60.7
10
76.9
21
61.8
6
30.0
10
37.0
7
36.8
9
32.1
5
38.5
11
32.4
10
50.0
21
77.8
9
47.4
22
78.6
8
61.5
23
67.6
15
75.0
23
85.2
15
78.9
23
82.1
10
76.9
28
82.4
15
75.0
26
96.3
18
94.7
23
82.1
13
100.0
28
82.4
16
80.0
23
85.2
18
94.7
21
75.0
12
92.3
27
79.4
6
30.0
14
51.9
10
52.6
10
35.7
7
53.8
13
38.2
10
50.0
14
51.9
9
47.4
15
53.6
8
61.5
16
47.1
10
50.0
20
74.1
14
73.7
16
57.1
9
69.2
21
61.8
18
90.0
25
92.6
18
94.7
25
89.3
13
100.0
30
88.2
12
60.0
22
81.5
15
78.9
19
67.9
11
84.6
23
67.6
13
65.0
23
85.2
14
73.7
22
78.6
9
69.2
27
79.4
A. Gizi 1. 2. 3. 4.
Pengertian makanan bergizi Zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh Contoh susunan makanan yang baik Pengertian makanan jajanan yang baik 5. Makanan jajanan sumber karbohidrat 6. Akibat kekurangan sumber karbohidrat 7. Makanan sumber protein 8. Akibat kekurangan zat besi 9. Makanan sumber vitamin A 10. Akibat kekurangan vitamin A B. Keamanan Pangan 11. Es cendol ditemukan sehelai rambut,maka es tersebut 12. Akibat mengkonsumsi pangan yang tidak bersih dan sehat 13. Kebiasaan mencuci tangan 14. Es sirup terasa manis tetapi agak pahit, kemungkinan menggunakan 15. Bahan yang bukan bahan bahan tambahan pangan 16. Akibat es batu terbuat dari air mentah 17. Kegiatan yang menimbulkan cemaran 18. Bersin saat mengolah makanan 19. Informasi yang diperhatikan dari kemasan 20. Jenis kemasan yang baik
55.9
Pengetahuan Gizi Dari 10 pertanyaan yang diajukan, lima diantaranya yang kurang mampu dijawab oleh responden yang berada di kota, dan tiga pertanyaan di kabupaten. Sedangkan pada status akreditasi A terdapat empat pertanyaan yang kurang mampu dijawab dengan benar dan responden pada status akreditasi B hanya tiga pertanyaan. Berdasarkan kelompok penjual kantin dan penjaja luar hanya tiga pertanyaan kurang mampu dijawab oleh responden dengan baik. Contoh pertanyaan mengenai zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh kurang mampu dijawab dengan benar oleh sebagian besar responden di kota, kabupaten, responden dengan akreditasi B, dan penjaja luar (berkisar 41.2% hingga 48.1%). Sebagian besar responden kurang mampu menjawab dengan benar mengenai makanan sumber protein (berkisar 17.9% hingga 38.5%), dan
akibat kekurangan vitamin A (berkisar 30.0% hingga 38.5%) terutama kurang mampu dijawab oleh responden berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Pertanyaan mengenai akibat kekurangan zat besi sebagian besar kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden di kota, terutama responden dengan akreditasi A dan pengelola kantin (berkisar antara 40.0% hingga 46.2%). Sedangkan pertanyaan pengertian makanan bergizi kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden di kota (45.0%), makanan jajanan sumber karbohidrat juga kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden dengan status akreditasi A. Pengetahuan Keamanan Pangan Dari 10 pertanyaan mengenai kemanan pangan yang diajukan, satu diantaranya yang kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden yang berada di wilayah kota dan responden dengan status akreditasi B, dua pertanyaan kurang mampu dijawab oleh responden dengan akreditasi A dan penjaja luar. Pertanyaan yang kurang mampu dijawab dengan benar dari masingmasing wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual hampir sama. Contoh pertanyaan yang kurang mampu dijawab terutama oleh responden yang berada di wilayah kota, status akreditasi B, dan penjaja luar adalah bahan yang bukan bahan tambahan (berkisar 30.0% hingga 38.2%), pertanyaan lain yang kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden dengan status akreditasi A dan penjaja luar adalah mengenai es batu yang berasal dari air mentah (berkisar 47.1% hingga 47.4%), dan pertanyaan yang kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden dengan status akreditasi A yaitu mengenai sehelai rambut mencemari es cendol (47.4%). Namun pada responden dengan status akreditasi B dan pengelola kantin sebagian besar dapat menjawab pertanyaan cukup baik. Praktek Keamanan Pangan Praktek keamanan pangan dibagi menjadi higiene dan sanitasi penjual, penanganan dan penyimpanan, sarana dan fasilitas. Praktek keamanan pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu, baik, sedang, kurang. Praktek keamanan pangan dianalisis dengan menggunakan uji beda untuk melihat perbedaan praktek keamanan pangan berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.
Praktek Higiene dan Sanitasi Penjual Secara keseluruhan umumnya (57.4%) praktek higiene dan sanitasi responden masih kurang dan sebagian kecil (4.3%) memiliki praktek higiene dan sanitasi yang baik. Dalam hal praktek higiene dan sanitasi berdasarkan wilayah memperoleh skor rata-rata di kota (63.7) hampir sama dengan di kabupaten (57.9), jika dilihat pada wilayah kota dan kabupaten sebagian besar mempunyai praktek higiene dan sanitasi kurang sebanyak 55.0% dan 59.3%. Berdasarkan status akreditasi, responden dengan akreditasi A (59.5) memperoleh skor ratarata hampir sama dengan akreditasi B (60.9). Pada status akreditasi A maupun B sebagian besar memiliki praktek higiene dan sanitasi kurang 63.2% dan 53.6%. Praktek higiene dan sanitasi penjual pada kelompok penjual kantin memperoleh skor rata-rata (59.5) juga hampir sama dengan penjaja luar (60.6). Pada kelompok penjual kantin maupun penjaja luar memiliki praktek higiene dan sanitasi kurang sebesar 53.8% dan 58.8%. Sebaran responden menurut praktek keamanan pangan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran responden menurut praktek keamanan pangan Wilayah
Praktek Keamanan Pangan
Kota n
%
Status Akreditasi Kab
n
1. Higiene dan Sanitasi Penjual Baik 0 0 2 Sedang 9 45.0 9 Kurang 11 55.0 16 Total 20 100.0 27 2. Penanganan & Penyimpanan Baik 10 50.0 6 Sedang 6 30.0 10 Kurang 4 20.0 11 Total 20 100.0 27 3. Sarana & Fasilitas Baik 2 10.0 1 Sedang 2 10.0 6 Kurang 16 80.0 20 Total 20 100.0 27 4. Total Praktek Keamanan Pangan Baik 2 10.0 3 Sedang 9 45.0 9 Kurang 9 45.0 15 Total 20 100.0 27
A
%
7.4
n
Kelompok Penjual Penjaja Kantin Luar
B %
n
%
n
%
n
%
Total n
%
1
5.3
1
3.6
1
7.7
1
2.9
2
4.3
33.3
6
31.5
12
42.8
5
38.5
13
38.3
18
38.3
59.3
12
63.2
15
53.6
7
53.8
20
58.8
27
57.4
100.0
19
100.0
28
100.0
13
100.0
34
100.0
47
100.0
22.2
8
42.1
8
28.6
4
30.8
12
35.3
16
34.0
37.0
8
42.1
8
28.6
5
38.5
11
32.4
16
34.0
40.7
3
15.8
12
42.9
4
30.8
11
32.4
15
31.9
100.0
19
100.0
28
100.0
13
100.0
34
100.0
47
100.0
3.7
2
10.5
1
3.6
2
15.4
1
2.9
3
6.4
22.2
6
31.6
2
7.1
4
30.8
4
11.8
8
17.0
74.1
11
57.9
25
89.3
7
53.8
29
85.3
36
76.6
100.0
19
100.0
28
100.0
13
100.0
34
100.0
47
100.0
11.1
2
10.5
3
10.7
2
15.4
3
8.8
5
10.6
33.3
9
47.4
9
32.1
5
38.5
13
38.2
18
38.3
55.6
8
42.1
16
57.1
6
46.2
18
52.9
24
51.1
100.0
19
100.0
28
100.0
13
100.0
34
100.0
47
100.0
Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan praktek higiene dan sanitasi penjual baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Sedangkan hasil uji korelasi praktek higiene dan sanitasi berhubungan sangat signifikan dengan praktek keamanan pangan lain yaitu praktek penanganan dan penyimpanan pangan (r=0.486**, p=0.001), serta berhubungan sangat signifikan dengan praktek sarana dan fasilitas (r=0.528**, p=0.000). Hal ini menunjukkan bahwa praktek higiene dan sanitasi berhubungan dengan beberapa praktek keamanan pangan lainnya. Praktek higiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat kaitannya, apabila praktek higiene dan sanitasi tidak baik maka praktek penanganan dan penyimpanan pangan juga tidak baik, begitu juga dengan praktek sarana dan fasilitas, apabila higiene seseorang sudah baik karena mau mencuci tangan tetapi fasilitas air bersih tidak tersedia maka praktek higiene dan sanitasi tetap akan rendah (Depkes RI 2001). Praktek Penanganan dan Penyimpanan Pangan Praktek penanganan dan penyimpanan pangan secara keseluruhan sebagian besar (34.0%) responden berkategori baik dan sedang dengan persentase yang sama, dan sebagian kecil (31.9%) memiliki praktek penanganan dan penyimpanan pangan kurang. Berdasarkan wilayah responden memperoleh skor rata-rata praktek penanganan dan penyimpanan pangan di kota (81.1) lebih baik daripada di kabupaten (65), di wilayah kota 50.0% responden berkategori baik dalam hal praktek penanganan dan penyimpanan, sedangkan untuk wilayah kabupaten sebagian besar (40.7%) praktek penanganan dan penyimpanan berkategori kurang. Skor rata-rata praktek penanganan dan penyimpanan pangan pada status akreditasi A (79) lebih baik daripada akreditasi B (67.1), sebagian besar (42.1%) responden dengan akreditasi A memiliki praktek penanganan dan penyimpanan tersebar pada kategori baik dan sedang. Sedangkan pada akreditasi B praktek penanganan dan penyimpanan pangan umumnya berkategori kurang sebesar 42.9%. Skor rata-rata praktek penanganan dan penyimpanan pangan pada kelompok penjual kantin (74.4) hampir sama dengan penjaja luar (70.9), sebagian besar (38.5%) praktek penanganan dan penyimpanan pangan responden di kantin berkategori sedang, sedangkan pada penjaja luar berkategori baik sebesar 35.5%.
Hasil uji beda statistik mengenai praktek penanganan dan penyimpanan pangan menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah dan kelompok penjual, sedangkan berdasarkan status akreditasi menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga karena pada sekolah yang berakreditasi A umumnya fasilitas yang disediakan oleh pihak sekolah sedikit lebih baik daripada akreditasi B. Praktek Sarana dan Fasilitas Praktek sarana dan fasilitas sebagian besar (76.6%) responden memiliki praktek berkategori kurang, dan sebagian kecil (3.7%) praktek sarana dan fasilitas berkategori baik. Berdasarkan wilayah, skor rata-rata praktek sarana dan fasilitas di kota (48) hampir sama dengan di kabupaten (46.3), sedangkan berdasarkan status akreditasi praktek sarana dan fasilitas memperoleh skor ratarata pada akreditasi A (55.8) lebih baik daripada akreditasi B (41.1), namun jika dilihat pada kelompok penjual praktek sarana dan fasilitas memperoleh skor ratarata responden di kantin (63.1) lebih baik daripada panjaja luar (40.9). Berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian besar memiliki praktek sarana dan fasilitas kurang berkisar antara 53.8% hingga 89.3%. Hasil uji beda statistik praktek sarana dan fasilitas menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Hal ini disebabkan karena sebagian besar praktek sarana dan fasilitas dari masing-masing responden masih sangat kurang. Total Praktek Keamanan Pangan Total praktek keamanan pangan adalah gabungan dari keseluruhan praktek yaitu, praktek higiene dan sanitasi penjual, praktek penanganan dan penyimpanan, serta praktek sarana dan fasilitas. Secara keseluruhan praktek keamanan pangan responden berkategori kurang sebesar 51.1% dan sebagian kecil (10.6%) berkategori baik. Berdasarkan
wilayah,
skor
rata-rata
praktek
keamanan
pangan
responden di kota (63.7) lebih baik daripada di kabupaten (56.8). Responden di wilayah kota sebagian besar (45.0%) berkategori praktek keamanan pangan sedang dan kurang dengan persentase yang sama, sedangkan pada wilayah kabupaten sebagian besar (55.6%) memiliki praktek keamanan pangan kurang. Dalam hal status akreditasi, skor rata-rata responden mengenai praktek keamanan pangan pada akreditasi A (62.3) lebih baik daripada akreditasi B (58),
sebagian besar (47.4%) responden pada akreditasi A memiliki praktek keamanan pangan sedang, sedangkan pada akreditasi B 57.1% responden memiliki praktek keamanan berkategori kurang. Pada kelompok penjual skor rata-rata responden mengenai praktek keamanan pangan di kantin (63) lebih baik daripada penjaja luar (58.5), pada kelompok penjual kantin dan penjaja luar memiliki praktek keamanan pangan berkategori kurang sebanyak 46.2% dan 52.9%. Hasil uji beda statistik total praktek keamanan pangan menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Namun berdasarkan uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara total praktek keamanan pangan dengan bagian dari praktek itu sendiri, yaitu dengan praktek higiene dan sanitasi (r=0.901**,
p=0.000),
berhubungan
sangat
signifikan
dengan
praktek
penanganan dan penyimpanan pangan (r=0.721**, p=0.000), dan total praktek keamanan pangan juga berhubungan sangat signifikan dengan praktek sarana dan fasilitas (r=0.797**, p=0.000). Hal ini menunjukkan bahwa bagian dari praktek keamanan pangan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan, apabila satu bagian praktek tidak dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan mempengaruhi bagian praktek keamanan pangan lainnya. Praktek keamanan pangan terdiri dari tiga bagian yaitu praktek higiene dan sanitasi penjual yang terdiri dari 30 pernyataan, praktek penanganan dan penyimpanan pangan terdiri dari sembilan pernyataan, praktek sarana dan fasilitas yang terdiri dari 10 pernyataan, total keseluruhan pernyataan adalah 49. Higiene dan Sanitasi Dari 30 penyataan yang diamati, empat diantaranya yang kurang mampu dilakukan oleh responden dengan baik yang berada di kota, dan delapan pernyataan di kabupaten. Sedangkan pada status akreditasi A terdapat lima pernyataan yang kurang mampu dilaksanakan dengan benar dan responden pada status akreditasi B terdapat enam pernyataan. Berdasarkan kelompok penjual responden di kantin terdapat delapan pernyataan dan penjaja luar sembilan pernyataan kurang mampu dijawab oleh responden dengan baik. Dari hasil pengamatan secara langsung terlihat bahwa praktek higiene dan sanitasi penjual di kota lebih baik daripada di kabupaten terlihat dari jumlah pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan benar. Sedangkan berdasarkan status akreditasi A lebih baik daripada akreditasi B. Namun jika dilihat menurut kelompok penjual, praktek higiene dan sanitasi responden di kantin lebih baik
daripada penjaja luar. Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan mengenai higiene dan sanitasi penjual disajikan pada Lampiran 4a. Pernyataan yang kurang mampu dilakukan dengan benar oleh responden dari masing-masing wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual hampir sama. Contoh pernyataan mengenai penjual tidak mengobrol saat mengolah makanan kurang mampu dilakukan dengan benar oleh sebagian besar responden di kota, kabupaten, dan pengelola kantin (berkisar 15.4% hingga 48.1%). Pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan benar oleh responden baik berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual yaitu mengenai penjual selalu mencuci tangan sebelum melayani pembeli /mengolah (berkisar antara 15.0% hingga 23.1%), penjual selalu mencuci tangan sesudah melayani pembeli/mengolah (berkisar antara 0% hingga 11.8%), dan penjual tidak memegang uang secara langsung selama mengolah /menyajikan (berkisar antara 0% hingga 15.4%). Pernyataan lain mengenai penjual tidak menyentuh pangan langsung dengan tangan saat menyajikan melainkan menggunakan sendok (berkisar 42.1% hingga 50.0%) belum dilakukan dengan baik oleh responden yang berada di kabupaten, status akreditasi A, kelompok penjual kantin dan penjaja luar. Pernyataan mengenai tempat penyajian pangan tidak berdekatan dengan saluran pembuangan air masih belum dilakukan oleh responden dengan akreditasi A dan pengelola kantin (berkisar 31.6% dan 38.5%), pernyataan mengenai pencucian peralatan dengan menggunakan air mengalir/selalu diganti masih belum dilaksanakan dengan baik oleh penjaja luar (47.1%), pernyataan mengenai air sabun pembersih selalu diganti masih belum dilakukan dengan baik oleh responden yang berada di kabupaten, dengan status akreditasi B dan penjaja luar (berkisar antara 44.4% hingga 50.0%), pernyataan mengenai tersedia lap kering dan bersih juga masih belum dilaksanakan oleh responden di kabupaten, dengan akreditasi B, kelompok penjual kantin dan penjaja luar (berkisar antara 33.3% hingga 50%), dan pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan baik oleh responden di kabupaten, dengan akreditasi B, dan kelompok penjual kantin mengenai gelas/mangkok/piring dikeringkan terlebih dahulu dengan lap bersih & kering (berkisar antara 37.0% hingga 42.9%). Penanganan dan Penyimpanan Pangan Praktek kemanan pangan mengenai penaganan dan penyimpanan pangan terdiri dari sembilan pernyataan. Sebaran responden berdasarkan
praktek keamanan pangan responden mengenai penanganan dan penyimpanan pangan disajikan pada Lampiran 4b. Pada sembilan pernyataan keamanan pangan mengenai penanganan dan penyimpanan umumnya sudah dilakukan dengan baik dan benar dimana rata-rata responden telah melaksanakan praktek dengan baik lebih dari 50.0% responden, namun masih terdapat satu pernyataan yang kurang mampu dilaksanakan dengan baik oleh responden di kabupaten, dengan akreditasi B, kelompok penjual kantin dan penjaja luar yaitu mengenai pangan yang dijual dikemas selalu ditutup (berkisar antara 38.5% hingga 50.0%). Sarana dan Fasilitas Praktek keamanan pangan mengenai sarana dan fasilitas terdiri dari 10 pernyataan. Pada umumnya praktek keamanan mengenai sarana dan fasilitas masih sangat kurang, terlihat pada Lampiran 5 masih banyak responden yang belum mempraktekkan sarana dan fasilitas dengan baik dan benar. Dari 10 pernyataan yang diamati, enam diantaranya yang kurang mampu dilakukan oleh responden dengan baik yang berada di kota, dan lima pernyataan di kabupaten. Sedangkan pada status akreditasi A terdapat empat pernyataan yang kurang mampu dilaksanakan dengan benar dan responden pada status akreditasi B terdapat tujuh pernyataan. Berdasarkan kelompok penjual responden di kantin terdapat tiga pernyataan dan penjaja luar enam pernyataan kurang mampu dijawab oleh responden dengan baik. Dari hasil pengamatan secara langsung terlihat bahwa praktek higiene dan sanitasi penjual di kabupaten lebih baik daripada di kota terlihat dari jumlah pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan benar. Sedangkan berdasarkan status akreditasi A lebih baik daripada akreditasi B. Namun jika dilihat menurut kelompok penjual, praktek higiene dan sanitasi responden di kantin lebih baik daripada penjaja luar. Praktek sarana dan fasilitas terdiri dari 10 pernyataan, pernyataan mengenai praktek sarana dan fasilitas yang masih kurang dilaksanakan dengan baik dan benar hampir sama antara wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Contoh pernyataan mengenai ketersediaan air bersih masih belum di praktekkan dengan baik oleh responden di kota, kabupaten, dengan akreditasi B, dan penjaja luar (berkisar antara 26.0% hingga 48.1%). Pernyataan yang belum dilakukan dengan baik oleh responden di kota, kabupaten, dengan akreditasi A
dan B, serta penjaja luar yaitu mengenai air tersedia dalam jumlah yang cukup (berkisar 17.6% hingga 42.1%). Pernyataan lain yang masih belum dilaksanakan dengan baik dan benar oleh responden berdasarkan letak wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual yaitu mengenai tersedianya tempat cuci tangan (berkisar antara 10% hingga 30.8%) dan pernyataan mengenai tersedianya tempat sampah sementara dan tertutup (berkisar antara 17.9% hingga 36.8%). Sedangkan responden yang masih belum menerapkan pernyataan mengenai tersedianya lap tangan hanya responden kelompok penjual kantin (46.2%), pernyataan mengenai tersedia tempat pencucian peralatan dengan suplai air mengalir masih kurang dilaksanakan oleh responden di kota, kabupaten, dengan akreditasi A dan B, serta penjaja luar (berkisar antara 22.2% hingga 45%), pernyataan mengenai tersedia peralatan yang bersih, tidak berkarat, dan berfungsi baik juga masih belum dilaksanakan dengan baik oleh responden di kota, dengan akreditasi B, dan penjaja luar (berkisar antara 47.1% hingga 50%), dan pernyataan terdapat saluran pembuangan limbah cair belum di praktekkan dengan baik oleh responden dengan akreditasi B. Sebaran pernyatan berdasarkan praktek keamanan pangan responden mengenai sarana dan fasilitas disajikan pada Lampiran 4c. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Praktek keamanan pangan juga meliputi penggunaan bahan tambahan pangan (BTP). Menurut BPOM (2003), kegunaan BTP di dalam pangan adalah untuk mengawetkan, membentuk pangan lebih baik, memberikan warna, meningkatkan kualitas dan menghemat biaya. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa responden yang mengaku masih menggunakan BTP. Umumnya BTP yang paling banyak digunakan yaitu jenis BTP penyedap dengan merk dagang Sasa, Royco, Masako, bumbu penyedap sebanyak 44.7%. Responden yang menggunakan pemanis hanya sedikit yaitu menggunakan Sodium Siklamat, dan pemanis Cap Cangkir sebanyak 4.3%. Sedangkan untuk penggunaan pewarna, umumnya responden mengaku menggunakan pewarna makanan yang diperbolehkan untuk makanan yaitu pewarna dengan merk dagang Cap Kupu-kupu dan Cap Tawon sebanyak 6.4% dan 44.7% responden tidak menggunakan BTP sama sekali. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan menggunakan BTP. Hal ini diduga karena sebagian besar pedagang makanan jajanan di lokasi penelitian mengolah makanan setengah jadi menjadi
makanan jadi, sehingga mereka berasumsi tidak menambahkan BTP pada pengolahan
makanan
yang
akan
dijual.
Sebaran
responden
menurut
penggunaan BTP disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran responden menurut penggunaan BTP Wilayah Jenis BTP 1. Penyedap Sasa Royco Masako Total 2. Pemanis Sodium siklamat Cap Cangkir Total 3. Pewarna Cap Kupu-kupu Cap Tawon Total
Status Akreditasi A
B
Kelompok Penjual Penjaja Kantin Luar n % n %
n
%
Total
Kota n %
Kab n %
n
%
n
%
4 2 2 8
50.0 25.0 25.0 100.0
5 3 2 10
50.0 30.0 20.0 100.0
3 2 2 7
42.9 28.6 28.6 100.0
6 3 2 11
54.5 27.3 18.2 100.0
3 2 2 7
42.9 28.6 28.6 100.0
6 3 2 11
54.5 27.3 18.2 100.0
9 5 4 18
50.0 27.8 22.2 100.0
-
-
1 1 2
50.0 50.0 100.0
-
-
1 1 2
50.0 50.0 100.0
-
-
1 1 2
50.0 50.0 100.0
1 1 2
50.0 50.0 100.0
1 1 2
50.0 50.0 100.0
1 1
100.0 100.0
2 1 3
66.7 33.3 100.0
-
-
1 1
100.0 100.0
1 1 2
50.0 50.0 100.0
2 1 3
66.7 33.3 100.0
Berdasarkan penggunaan BTP yang menggunakan penguat rasa dari keseluruhan responden sebagian besar (50%) menggunakan Sasa. Sedangkan penggunaan pemanis Sodium Siklamat dan Cap Cangkir hampir sama. Dalam hal penggunaan pewarna sebagian responden menggunakan pewarna Cap Kupu-kupu. Alasan responden yang menggunakan BTP umumnya karena faktor ekonomi, dengan menggunakan penyedap maka makanan jajanan yang dijual akan semakin gurih rasanya sehingga lebih merangsang anak-anak untuk membeli makanan jajanan tersebut.. Sedangkan alasan menggunakan pemanis dan pewarna juga dengan alasan yang sama yaitu ekonomi. Pemanis buatan yang digunakan akan mengurangi jumlah pemakain gula murni dimana harga dari gula murni jauh lebih mahal daripada pemanis buatan, dengan kata lain responden ingin meminimalisasi modal dengan keuntungan yang maksimal. Begitu pula dengan penggunaan pewarna, pewarna makanan sintetik lebih praktis dalam pengolahan daripada pewarna alami. Contohnya dalam pembuatan cendol, untuk memperoleh warna hijau pada cendol ditambahkannya tiga tetes pewarna sintetik makanan, namun jika cendol dibuat dengan pewarna alami responden harus menggunakan daun suji atau daun pandan yang harus diolah
terlebih dahulu sebelum pemakaian, sehingga responden lebih menyukai menggunakan pewarna sintetik makanan yang diperbolehkan. Penerapan Peraturan PJAS Upaya agar masyarakat mengubah perilaku dengan cara-cara tekanan atau paksaan (coertion). Upaya ini bisa dalam bentuk undang-undang atau peraturan-peraturan (law enforcement), instruksi-instruksi, tekanan-tekanan (fisik atau non fisik), sanksi-sanksi dan sebagainya (Notoatmodjo 2003). Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS sangat diperlukan pengawasan dari pihak sekolah dimana salah satunya adalah dengan membentuk suatu peraturan mengenai makanan jajanan anak sekolah. Seluruh sekolah yang dijadikan lokasi penelitian memiliki peraturan mengenai PJAS. Umumnya peraturan sekolah mengenai PJAS meliputi kebersihan penjaja PJAS, kedisiplinan, serta mengenai penggunaan BTP. Sebagian besar sekolah menyampaikan peraturan secara lisan, tetapi juga terdapat sekolah yang memiliki peraturan secara lisan dan tertulis. Pihak sekolah biasanya melakukan pemantauan mengenai pangan jajanan yang dijual oleh penjaja baik di kantin maupun penjaja luar di sekitar sekolah. Berdasarkan hasil jawaban dari pihak sekolah yang telah menerapkan peraturan mengenai PJAS dengan jawaban berbeda-beda dari masing-masing sekolah, dengan mengkategorikan penerapan peraturan berdasarkan Slamet (1993) sehingga diperoleh bahwa sebagian besar sekolah memiliki penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori sedang. Namun terdapat satu sekolah yang memiliki penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori baik yaitu sekolah dengan akreditasi A yang berada di wilayah kabupaten. Hal ini disebabkan karena sekolah tersebut terdapat komite sekolah yang bekerja sama dengan pihak sekolah membentuk peraturan mengenai PJAS. Peraturanperaturan tersebut dibuat sepenuhnya oleh pihak sekolah karena peraturan khusus mengenai PJAS belum ada standar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui UU, namun pada penelitian ini memberikan kuesioner kepada pihak sekolah mengenai peraturan sekolah dengan pendekatan ideal yang sebaiknya dilaksanakan oleh pihak sekolah dalam menjaga keamanan PJAS. Sebaran sekolah menurut penerapan peraturan mengenai PJAS disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran sekolah menurut penerapan peraturan mengenai PJAS Penerapan Peraturan PJAS Kurang Sedang Baik
Kota
Kabupaten
A √ -
B √ -
A √
B √ -
Penerapan peraturan terbagi menjadi empat bagian yaitu peraturan umum, sarana dan fasilitas, pembinaan dan pengawasan. Khususnya mengenai peraturan umum
semua sekolah memiliki peraturan mengenai PJAS secara
lisan dan peraturan tersebut sebagian besar dikeluarkan oleh kepala sekolah, namun ada satu sekolah yang terdapat di kabupaten dengan akreditasi A yang memiliki peraturan tertulis maupun lisan yang dikeluarkan oleh kepala sekolah dan komite sekolah. Peraturan Umum Hasil penelitian PJAS dalam skala nasional oleh SEAFAST Center (2008) peraturan sekolah mengenai PJAS dikeluarkan dari berbagai sektor antara lain Dinas Pusat (1.7%), Dinas Propinsi (1.7%), Dinas Kabupaten/Kota (8.5%), Sudin Kecamatan (7.4%), dan kepala sekolah (95.0%). Hasil penelitian hampir sama dengan penelitian PJAS nasional (2008) dimana peraturan lebih banyak dikeluarkan oleh kepala sekolah. Sebagian besar sekolah tidak membedakan peraturan antara penjaja kantin dengan penjaja luar dan umumnya memberi sanksi kepada penjaja jika melanggar peraturan. Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan pernyataan tentang peraturan umum disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan sistematis peraturan Kota Akreditasi A n %
Kota Akreditasi B n %
Kab Akreditasi A n %
1. Peraturan Umum - Ada peraturan mengenai pangan jajanan
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
- Yang mengeluarkan peraturan
1
20.0
1
20.0
2
40.0
1
20.0
5
100.0
- Peraturan pangan jajanan meliputi
3
50.0
3
50.0
4
66.7
2
33.3
6
100.0
- Penyampaian peraturan
1
50.0
1
50.0
2
100.0
1
50.0
2
100.0
1
100.0
0
0
-
-
0
0
1
100.0
1
33.3
1
33.3
2
66.7
1
33.3
3
100.0
Penerapan Peraturan
- Ada perbedaan peraturan antara kantin dengan penjaja luar - Bentuk sanksi
Kab Akreditasi B n %
Skor Maksimum n
%
Peraturan Fasilitas Penerapan peraturan PJAS berdasarkan peraturan mengenai fasilitas, seluruh sekolah menyediakan fasilitas untuk penjaja PJAS, umumnya fasilitas yang disediakan pihak sekolah adalah fasilitas air bersih, penyediaan listrik, penyediaan tempat berjualan, dan penyediaan tempat sampah. Hampir semua sekolah memberikan fasilitas tersebut pada penjaja kantin, sedangkan penjaja luar sekolah tidak, namun terdapat satu sekolah yang memberikan fasiltas air bersih untuk penjaja luar yaitu sekolah yang berada di wilayah kota dengan akreditasi A. Menurut Notoatmodjo (2003) perubahan perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling factors), faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Untuk memiliki praktek yang baik mengenai PJAS maka memerlukan fasilitas yang mendukung, diantaranya sumber air bersih, menyediakan sarana penjualan karena jika dilihat dari sumber pendapatan perkapita (Gambar 5) rata-rata responden merupakan penjaja kecil menengah ke bawah sehingga sulit untuk menyediakan fasilitas tersebut. Jika sekolah tidak memberikan bantuan fasilitas ini, maka akan selamanya praktek sarana dan fasilitas dari penjaja tidak akan berubah walaupun telah ada peraturan-peraturan lain yang ditetapkan oleh pihak sekolah. Berdasarkan uji korelasi menunjukkan adanya hubungan positif antara penerapan peraturan dengan praktek penanganan dan penyimpanan (r=0.289*, p=0.049), dan berhubungan secara signifikan dengan praktek sarana dan fasilitas (r=0.346*, p=0.017). Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan pernyataan tentang peraturan fasilitas disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan peraturan fasilitas Penerapan Peraturan 2. Fasilitas - Menyediakan fasilitas khusus untuk penjaja PJAS
Kota Akreditasi A n %
Kota Akreditasi B n %
Kab Akreditasi A n %
Kab Akreditasi B n %
Skor Maksimum n
%
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
- Fasilitas yang disediakan untuk kantin
4
100.0
3
75.0
2
50.0
4
100.0
4
100.0
- Fasilitas yang disediakan untuk penjaja luar
1
25.0
0
0
-
-
0
0
4
100.0
Peraturan Pembinaan Peraturan yang dilakukan sekolah dalam tiga tahun terakhir mengenai pembinaan pada penjaja kantin, penjaja luar, serta pada orang tua siswa. Dua sekolah yang melakukan pembinaan pada penjaja kantin dan penjaja luar, sedangkan pembinaan yang diberikan kepada orang tua siswa terdapat tiga sekolah yang menerapkan peraturan tersebut. Penerapan peraturan dalam memberikan pengarahan pada siswa secara keseluruhan sekolah memberikan pengarahan > 6 kali dalam setahun. Pembinaan bisa juga dilakukan dengan cara menambah pengetahuan mengenai pangan, gizi dan keamanan pangan melalui mata pelajaran, umumnya mata pelajaran IPA, pendidikan jasmani dan kesehatan (olah raga) yang lebih sering menambahkan pengetahuan tersebut. Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan pernyataan tentang peraturan pembinaan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan peraturan pembinaan Penerapan Peraturan
Kota Akreditasi A n %
Kota Akreditasi B n %
Kab Akreditasi A n %
Kab Akreditasi B n %
Skor Maksimum n
%
3. Pembinaan -
Pihak sekolah pernah memberikan pembinaan/penyuluhan penjaja luar (dalam 3 tahun terakhir) - Pihak sekolah pernah memberikan pembinaan/penyuluhan penjaja kantin (dalam 3 tahun terakhir) - Pihak sekolah pernah memberikan pembinaan/penyuluhan pada orang tua (1 tahun terakhir) - Frekuensi memberi pengarahan pada siswa mengenai pangan jajanan - Mata pelajaran yang yang menambah pengetahuan pangan,gizi, dan keamanan pangan
1
100.0
0
0
-
-
0
0
1
100.0
0
0
0
0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100
1
100.0
1
100.0
4
100.0
4
100.0
4
100.0
4
100.0
4
100.0
4
80.0
2
40.0
2
40.0
2
40.0
5
100.0
Peraturan Pengawasan Penerapan peraturan dalam hal pengawasan terdiri dari sembilan peraturan. Secara keseluruhan sekolah mengawasi penjaja luar kecuali sekolah yang berada di kabupaten dengan akreditasi A dikarenakan sekolah tersebut tidak memiliki penjaja luar, pengawasan tersebut biasanya dilakukan oleh guru piket. Sebaiknya yang dijadikan sebagai tim pengawas adalah orang yang memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan, mengetahui cara pengolahan pangan yang baik, sanitasi dan higiene serta persyaratan sarana dan fasilitas, serta lebih baik lagi apabila pernah mengikuti pelatihan pembinaan pengawasan kantin sekolah. Hal tersebut sangat diperlukan dalam melakukan pengawasan. Pengawasan untuk penjaja luar lebih sulit dilakukan daripada penjaja kantin karena jumlah penjaja luar lebih banyak daripada penjaja kantin, dengan kata lain makanan jajanan di kantin lebih aman daripada penjaja luar. Sebaran penerapan
peraturan
PJAS
berdasarkan
pernyataan
tentang
peraturan
pengawasan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan pengawasan Penerapan Peraturan 4. Pengawasan - Yang mengawasi penjaja luar
Kota Akreditasi A n %
Kota Akreditasi B n %
Kab Akreditasi A n %
peraturan
Kab Akreditasi B n %
Skor Maksimum n
%
1
100.0
1
100.0
-
-
1
100.0
1
100.0
1
100.0
0
0
1
100.0
0
0
1
100.0
0
0
0
0
1
100.0
0
0
1
100.0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
100.0
0
0
1
100.0
1
100.0
0
0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
0
0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
1
100.0
- Menyeleksi makanan yang diperbolehkan untuk dijual
0
0
1
100.0
1
100.0
0
0
1
100.0
- Pada saat istirahat murid diperbolehkan jajan di luar
0
0
0
0
1
100.0
0
0
1
100.0
- Penjaja PJAS harus memperoleh izin pihak sekolah - Membatasi jumlah penjaja PJAS - Ada peraturan mengenai waktu berjualan - Ada peraturan mengenai jenis makanan yang boleh di jual - Melarang penjaja meenggunakan BTP yang dilarang pemerintah - Mewajibkan penjaja mementingkan kebersihan penyediaan pangan jajanan
Sekolah dengan akreditasi A baik yang terletak di kota maupun di kabupaten menerapkan peraturan harus memiliki izin untuk berjualan sedangkan sekolah dengan akreditasi B tidak. Sebagian besar sekolah tidak membatasi jumlah penjaja PJAS dan secara keseluruhan tidak membatasi waktu yang diperbolehkan untuk berjualan di sekolah. Hal ini akan mempengaruhi keamanan PJAS, dengan adanya izin maka sekolah telah mengetahui identitas penjual dan mengetahui pangan apa yang akan dijual secara tidak langsung hal ini merupakan salah satu pencegahan terjadinya gangguan keamanan pangan jajanan anak sekolah. Sebagian besar peraturan yang belum dilaksanakan dengan baik adalah membatasi jumlah penjaja PJAS, hanya satu sekolah yang menerapkan peraturan membatasi jumlah penjaja namun tiga sekolah lain belum menerapkan peraturan ini. Jumlah penjaja PJAS sangat mempengaruhi konsumsi jajanan anak sekolah, semakin banyak jumlah penjaja maka semakin besar peluang makanan jajanan tidak aman karena sulitnya pengawasan dari pihak sekolah. Idealnya peraturan ini dijalankan karena hal ini mempermudah sekolah dalam mengawasi makanan jajanan yang dijual oleh penjaja PJAS. Penerapan peraturan lain yang semua sekolah belum menerapkan adalah mengenai waktu yang diperbolehkan untuk berjualan. Menurut penelitian Sztainer et al (2005) peraturan sekolah yang menetapkan dengan membatasi waktu tertentu pada mesin penjualan soft drinks dapat menurunkan jumlah pembelian soft drinks daripada sekolah yang tidak menerapkan peraturan tersebut. Hal ini sangat sulit dilaksanakan di Indonesia karena umumnya sekolah di Indonesia tidak menggunakan mesin tetapi langsung dijual oleh penjaja dan pada umumnya sekolah di Indonesia mempunyai kelas bergantian, dimana kelas pagi pulang sekolah pada siang hari dan kemudian ada kelas lain yang masuk sehingga waktu penjualan penjaja tidak dibatasi dimulai dari pagi hingga sore hari. Peraturan mengenai jenis makanan yang boleh dijual hanya diterapkan oleh dua sekolah, dan sebaigian besar sekolah melarang penjaja menggunakan BTP yang dilarang oleh pemerintah. Keseluruhan sekolah menerpakan peraturan yaitu mewajibkan penjaja PJAS mementingkan kebersihan dalam penyediaan makanan jajanan. Dua sekolah yang menerapakan peraturan yang menyeleksi makanan yang diperbolehkan dijual di sekolah, sedangkan sekolah yang tidak
memperbolehkan siswa keluar pada saat istirahat hanya satu sekolah yaitu sekolah yang berada di kabupaten dengan akreditasi A. Penerapan peraturan lain yang belum dilaksanakan adalah menyeleksi makanan yang diperbolehkan untuk dijual di sekolah. Menyeleksi makanan yang diperbolehkan adalah salah satu upaya pencegahan terjadinya gangguan keamanan pangan. Jika sekolah tidak menyeleksi makanan yang dijual oleh penjaja maka besar kemungkinan makanan jajanan yang dijual tidak aman, secara fisik, kimia, maupun biologis. Penerapan peraturan yang masih juga belum dilaksanakan adalah pada saat istirahat murid diperbolehkan jajan di luar. Dari tiga sekolah hanya satu sekolah yang mempunyai peraturan tidak memperbolehkan murid untuk tidak jajan di luar sekolah. Dengan memperbolehkan murid jajan di luar, maka banyak risiko yang akan terjadi (1) karena keamanan makanan jajanan di luar sekolah masih diragukan yang disebabkan kurangnya pengawasan dari pihak sekolah, (2) memungkinkan terjadinya kecelakaan mengingat umumnya letak sekolah yang terdapat di depan jalan umum. Berdasarkan hasil penelitian Sztainer et al (2005), bahwa sekolah yang memiliki peraturan sekolah terbuka pada saat jam istirahat memberikan peluang lebih besar untuk mengkonsumsi fast food daripada sekolah yang menerapkan peraturan menutup sekolah pada jam istirahat. Peraturan ini dapat menurunkan akses makanan yang mengandung tinggi lemak dan gula. Penerapan peraturan sekolah harus disosialisasikan pada penjaja PJAS baik penjaja kantin maupun penjaja luar dan kemudian harus dipatuhi oleh semua penjaja PJAS. Menurut Notoatmodjo (2003), dengan adanya peraturanperaturan yang harus dipatuhi oleh seseorang maka dengan cara ini dapat membantu perubahan perilaku seseorang. Untuk mengetahui seberapa besar penjaja mengetahui dan mengaplikasikan adanya peraturan yang diterapkan oleh pihak sekolah maka dalam penelitian ini juga memberikan kuesioner pada penjaja mengenai penerapan peraturan sekolah sebanyak 10 pertanyaan. Berdasarkan jawaban terdapat 51.1% responden yang tidak mengetahui bahwa sekolah memiliki peraturan mengenai PJAS. Responden yang tidak mengetahui adanya peraturan adalah responden yang berada di wilayah kabupaten, akreditasi B dengan kelompok penjaja luar. Sedangkan yang mengetahui adanya peraturan hanya 48.9% yang umumnya terletak di kota dengan akreditasi A terutama pada kelompok penjual kantin, padahal setiap
sekolah memiliki peraturan mengenai PJAS pada Tabel 14. Responden yang mengetahui adanya peraturan juga menjawab beberapa pertanyaan secara beragam, contoh pertanyaan bentuk penyampaian peraturan, sebagian besar menjawab secara lisan namun ada beberapa responden yang menjawab secara tulisan dan lisan. Penerapan peraturan PJAS dari masing-masing sekolah menerapkan sanksi kepada semua penjaja jika melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pihak sekolah, namun pertanyaan yang diajukan pada responden masih dijawab secara beragam yaitu sebagian besar menjawab ada sanksi, dan masih ada responden yang menjawab tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi pihak sekolah masih kurang karena peraturan yang telah dibuat oleh pihak sekolah masih banyak responden yang belum mengetahuinya. Sebagian besar (76.6%) responden belum pernah mendapatkan pembinaan mengenai keamanan pangan, oleh karena itu menjadi hal yang lumrah apabila pengetahuan dan praktek keamanan pangan responden dalam penelitian ini masih banyak yang tergolong kurang. Pembinaan /penyuluhan memang masih kurang diterapkan oleh masing-masing sekolah. Pembinaan/ penyuluhan merupakan salah satu upaya dalam peningkatan perilaku, karena dengan adanya pembinaan dapat menghimbau, memberikan informasi, serta memberikan kesadaran kepada masyarakat (Notoatmodjo 2003). Namun, jika peraturan tersebut tidak dilakukan secara rutin dan tidak dilakukan pengawasan maka penjaja akan tetap melakukan hal yang sama berdasarkan pengalaman atau kebiasaan yang mereka lakukan. Dalam hal pengawasan mengenai makanan jajanan di sekolah, persentase responden yang menjawab pernah mendapat pengawasan dari pihak sekolah dan yang tidak pernah hampir sama, umumnya yang menjawab tidak pernah diawasi adalah responden yang menjadi penjaja luar. Pengawasan makanan jajanan untuk penjaja luar cukup sulit dilakukan oleh pihak sekolah dikarenakan jumlah penjaja luar yang cukup banyak dan sering berganti.
Hubungan Berbagai Variabel Hubungan berbagai variabel dianalisis untuk mengetahui adanya hubungan antara karakteristik responden dengan praktek keamanan pangan, hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan PJAS,
hubungan penerapan peraturan PJAS dengan pengetahuan gizi dan
keamanan pangan responden, hubungan penerapan peraturan sekolah dengan praktek keamanan pangan responden. Hasil analisis statistik hubungan berbagai variabel secara rinci dilihat pada Lampiran 5. Hubungan Karakteristik Responden dengan Praktek Keamanan PJAS Hubungan karakteristik responden dengan praktek keamanan PJAS disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Hubungan karakteristik responden dengan praktek keamanan PJAS Karakteristik n Umur Dewasa Awal Dewasa Menengah Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA PT Total Pendapatan Miskin Tidak Miskin Total Sarana Penjualan Gerobak Meja Pikulan Lemari Display Total
Baik %
Praktek Keamanan PJAS Sedang Kurang Total n % n % n %
3 2 5
60.0 40.0 100.0
9 9 18
50.0 50.0 100.0
20 4 24
83.3 16.7 100.0
32 15 47
68.1 31.9 100.0
2 3 5
40.0 60.0 100.0
13 5 18
72.2 27.8 100.0
19 5 24
79.2 20.8 100.0
34 13 47
72.3 27.7 100.0
0 4 0 0 1 5
0 80.0 0 0 20.0 100.0
1 9 4 3 1 18
5.6 50.0 22.2 16.7 5.6 100.0
1 14 7 2 0 24
4.2 58.3 29.2 8.3 0 100.0
2 27 11 5 2 47
4.3 57.4 23.4 10.6 4.3 100.0
2 3 5
40.0 60.0 100.0
6 12 18
33.3 66.7 100.0
10 14 24
41.7 58.3 100.0
18 29 47
38.3 61.7 100.0
1 3 0 1 5
20.0 60.0 0 20.0 100.0
8 4 6 0 18
44.4 22.2 33.3 0 100.0
8 4 10 2 24
33.3 16.7 41.7 8.3 100.0
17 11 16 3 47
36.2 23.4 34.0 6.4 100.0
Hasil Uji P= 0.029 r= 0.319
P= 0.053 r= 0.284
P= 0.442 r= 0.115
P= 0.126 r= 0.226
P= 0.515 r= 0.097
Hasil pengujian statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara umur responden dengan praktek keamanan PJAS. Artinya umur responden yang tergolong pada dewasa menengah memiliki praktek keamanan PJAS lebih baik daripada responden yang tergolong pada umur dewasa awal.
Hal ini diduga bahwa, semakin matang umur seseorang maka semakin banyak pengalaman ataupun pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan jenis kelamin terdapat kecenderungan berhubungan dengan praktek keamanan PJAS karena biasanya perempuan lebih teliti daripada laki-laki. Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pendidikan dapat mempengaruhi seseorang agar melaksanakan perilaku yang lebih baik, sedangkan berdasarkan hasil uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan praktek keamanan PJAS. Begitu pula dengan pendapatan dan sarana penjualan tidak menunjukkan adanya hubungan dengan praktek keamanan PJAS. Teori perubahan perilaku menyatakan bahwa perubahan dapat terjadi apabila terjadi perubahan motivasi yang diperoleh dari keterlibatan seseorang dalam suatu aktivitas. Aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dapat menimbulkan kesadaran yang akan menimbulkan keinginan atau dorongan untuk berubah, yakni mengubah keadaan yang buruk menjadi baik (Slamet 1998). Hubungan Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Responden dengan Praktek Keamanan PJAS Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan
terhadap
suatu
objek
tertentu.
Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo 2003). Proporsi terbesar responden yang mempunyai pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan kategori kurang adalah responden yang memiliki praktek dengan kategori kurang (52%). Berdasarkan uji korelasi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan berhubungan negatif dengan praktek keamanan pangan (r=-0.079, p>0.05). Hal ini berarti terdapat kecenderungan di mana pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang semakin baik belum tentu diikuti dengan semakin baiknya praktek keamanan pangan seseorang. Keadaan demikian diduga akibat adanya faktor lain yang mempengaruhi yaitu kebiasaan atau pengalaman. Dari
penelitian-penelitian
yang
ada,
meskipun
kesadaran
dan
pengetahuan masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan, namun praktek atau perilaku kesehatan masih rendah. Setelah dilakukan pengkajian oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terutama di negara berkembang ternyata faktor pendukung atau fasilitas tidak mendukung masyarakat untuk berperilaku sehat
(Notoatmodjo 2003). Sedangkan menurut Suprapti (2004), banyak faktor yang mempengaruhi praktek/tindakan seseorang salah satunya adalah kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun temurun dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan tersebut mungkin kurang baik, tetapi sulit untuk mengubahnya. Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan PJAS disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan PJAS Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Baik Sedang Kurang Total
n 2 0 3 5
Baik % 40.0 0 5.2 100.0
Praktek Keamanan PJAS Sedang Kurang n % n % 3 16.7 5 20.8 6 33.3 6 25.0 9 50.0 13 54.2 18 100.0 24 100.0
n 10 12 25 47
Total % 21.3 25.5 53.2 100.0
Hasil Uji
P = 0.600 r = -0.079
Hubungan Penerapan Peraturan PJAS dengan Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Responden Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Andarwulan et al (2008) pengetahuan gizi dan keamanan pangan dapat diperoleh melalui himbauan/pengarahan dari pihak sekolah yang merupakan bagian dari penerapan peraturan. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan. Hal ini diduga karena bagian dari penerapan peraturan sekolah khususnya mengenai penyuluhan/pembinaan rutin kepada para responden masih kurang, walaupun skor penerapan peraturan berkategori sedang karena peraturan tersebut meliputi banyak hal lain mengenai PJAS. Hubungan penerapan peraturan PJAS dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hubungan penerapan peraturan PJAS dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan Penerapan Peraturan Kurang Sedang Baik Total
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Baik Sedang Kurang Total n % n % n % n % 0 0 0 0 0 0 0 0 8 80 11 92 20 80 39 83 2 20 1 8 5 20 8 17 10 100 12 100 25 100 47 100
Hasil Uji P = 0.767 r = 0.044
Hubungan Penerapan Peraturan Sekolah dengan Praktek Keamanan Pangan Responden Salah satu upaya dalam merubah perilaku atau praktek keamanan pangan PJAS adalah dengan adanya penerapan peraturan. Penerapan peraturan ini meliputi banyak hal, salah satunya adalah dengan diberlakukannya sanksi sehingga penjaja dengan adanya sanksi merasa terawasi dan takut untuk melanggar peraturan tersebut. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan. Hal ini diduga karena masih kurangnya sosialisasi oleh pihak sekolah mengenai peraturan yang ada, dan banyaknya jumlah penjaja luar sehingga sulit bagi pihak sekolah untuk mengawasi secara rutin. Hubungan penerapan peraturan dengan praktek keamanan PJAS disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Hubungan penerapan peraturan dengan praktek keamanan PJAS Penerapan Peraturan Kurang Sedang Baik Total
Baik n
% 0 4 1 5
0 80 20 100
Praktek Keamanan PJAS Sedang Kurang Total n % n % n % 0 0 0 0 0 0 14 77.8 21 87.5 39 83 4 22.2 3 12.5 8 17 18 100 24 100 47 100
Hasil Uji P = 0.183 r = 0.198
Penerapan peraturan sekolah berhubungan positif dengan praktek sarana dan fasilitas (r=0.346*, p=0.017). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan peraturan sekolah mengenai sarana dan fasilitas berhubungan dengan praktek sarana dan fasilitas, dimana dalam penelitian ini sebagian besar sekolah masih kurang menerapkan peraturan mengenai sarana dan fasilitas untuk kantin maupun penjaja luar. Mengingat jenis penjualan PJAS merupakan usaha kecil yang masih kekurangan modal yang cukup untuk memenuhi sarana dan fasilitas yang baik, jika tidak dibantu oleh pihak sekolah maka praktek sarana dan fasilitas ini akan selalu berkategori kurang yang juga akan mempengaruhi praktek keamanan pangan lain seperti praktek higiene dan sanitasi dan praktek penanganan dan penyimpanan pangan. Menurut Winarno (1991) menyatakan jenis pangan jajanan yang dijual oleh pedagang kecil lebih besar peluangnya terhadap kontaminan dan bahaya kesehatan dibanding yang berasal dari pedagang besar dengan perlengkapan yang memadai.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di sekolah dasar Kota dan Kabupaaten Bogor, dapat disimpulkan bahwa : 1. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 72.3% sedangkan perempuan hanya 27.7%, tersebar pada usia dewasa awal berkisar 18-40 tahun, dengan latar belakang pendidikan SD sebanyak 57.4%, 2. Penerapan peraturan mengenai PJAS pada sekolah dengan akreditasi A berdasarkan wilayah kota dan kabupaten berkategori baik, sedangkan sekolah dengan akreditasi B berkategori kurang. Penerapan peraturan sekolah masih kurang disosialisasikan pada penjaja luar, 3. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan sebagian besar tergolong kurang dengan persentase 53.2%, demikian pula dengan praktek keamanan pangan lebih dari 50% responden berkategori kurang, 4. Tidak terdapat perbedaan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dan praktek keamanan PJAS berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. 5. Terdapat hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan praktek keamanan PJAS, namun tidaK terdapat hubungan antara pendidikan, pendapatan, serta sarana penjualan dengan praktek keamanan PJAS. Terdapat hubungan negatif antara pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan PJAS (r=-0.079, p>0.05) hal ini disebabkan bahwa praktek sarana dan fasilitas yang masih kurang memadai. Tidak terdapat hubungan antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan, penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan. Saran 1. Mengingat masih rendahnya pengetahuan dan praktek mengenai gizi dan keamanan pangan penjaja, untuk itu perlunya dilakukan penyuluhan/ pembinaan secara rutin dan merata mengenai PJAS, baik untuk penjaja kantin maupun penjaja luar. 2. Adanya kerjasama pihak sekolah, orang tua murid, penjaja PJAS, dan instansi lain yang terkait dalam melakukan pengawasan keamanan PJAS.
3. Diperlukannya sosialisasi pihak sekolah mengenai penerapan peraturan yang dibentuk oleh pihak sekolah. 4. Serta diberikannya bantuan fasilitas yang cukup untuk penjaja kantin maupun luar, tidak secara cuma-cuma namun dengan memberikan cicilan yang ringan dalam pemenuhan sarana dan fasilitas. 5. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan peraturan secara khusus mengenai BTP pada PJAS.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 1994. Penuntun Diet Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Anonimous. 1990. Lokakarya Program Intervensi Proyek Makanan Jajanan. IPBTNO-VU 27 Desember 1990 Kerjasama Indonesia Belanda. Bogor. Anonimous. 2006. Keamanan www.bpom.go.id
Pangan
Jajanan
Anak
Sekolah
(PJAS).
Andarwulan et al. 2009. Laporan Akhir Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional 2008. Direktorat Surveilan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Pangan Berbahaya. BPOM RI dan SUCOFINDO. Artista.
2009. Keamanan Pangan Jajanan http://www.UNScybernews.co.id. [7 April 2009].
Anak
Sekolah.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Berita Resmi Statistik. http://www.bps.go.id. [ 14 Maret 2009]. Departemen Kesehatan RI. 2001. Kumpulan Modul Kursus Penyehatan Makanan Bagi Pengusaha Makanan Dan Minuman. Jakarta : Yayasan Pesan. Fardiaz D. dan S. Fardiaz. 1994. Proyek Makanan Jajanan. Bogor : Materi Semiloka Program Intervensi Pembinaan Usaha Makanan Jajanan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM IPB). Fatima L. I. dan Liliek, 2002. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Penjamah Makanan Terhadap Aspek Keamanan Pangan di Usaha Katering. Media Gizi & Keluarga, 26(2). Institut Pertanian Bogor. Husaini dkk. 1993. Kebiasaan Makan Konsumsi Jajanan dan Aspek-aspek Kesehatan Anak SD . Laporan Proyek Penelitian Gizi tahun 1992/1993. Pusat penelitian Dan Pengembangan Gizi Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Dep.Kes. RI. Judarwanto W. 2006. Antisipasi Perilaku Makan http:/www.pdpersi.co.id. [ 14 Maret 2009].
Anak
di
sekolah.
Khomsan A. 2000. Tehnik Pengukuran Pengetahuan. Diktat yang tidak dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian Bogor. Mudjajanto E.S. 2005. Keamanan Makanan Jajanan Tradisional dalam Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas. Muhilal, D. Damayanti . 2006. Gizi Seimbang Untuk Anak Usia Sekolah Dasar. Jakarta : PT. Primamedia Pustaka. Mukrie, A. B. Ginting, I. Ngadiarti, A. Hendrorini, N. Budiarti, Tugiman A. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Akademi Gizi, Depkes RI, Jakarta Nasoetion A. dan E. S. Wirakusumah. 1991. Pangan Dan Gizi untuk Kelompok Khusus. Laboratorium Gizi Masyarakat. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Nuraida L. et al. Menuju Kantin Sehat di Sekolah. Bogor : SEAFAST Center. Papalia DE. dan Olds SW. 1981. Human Development. USA : Mc Grow-Hill, Inc.
Rachmawati E. 2005. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas. Sanim B. 1994. Produsen Makanan Jajanan. Semiloka Program Diseminasi Pembinaan Usaha Makanan Jajanan. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IPB dengan Pemda TK. II Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Slamet J.S. 1998. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publisher. Saparinto C dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius. Subandriyo V.U. 1994. Sanitasi dan Keselamatan Kerja Pada Usaha Jasa Boga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Suryono. 2008. Tujuh Puluh Lima Kantin Sekolah Tak Sehat. [2 Maret 2009] Syafiq A. et al. 2007. Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen. Bogor : Ghalia Indonesia. Sztainer D et al. 2005. Associations with School Food Environment and Policies. www.ijbnpa.org. Winarno F.G. 1997. Keamanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor ___________. 1991. Proyek Makanan Jajanan. Majalah Pangan, Vol II (9). Bogor. Yusuf A. L. 2004. Studi Keamanan Mikrobiologis Makanan di Kantin Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama IPB [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.