perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1
PERAN KUMIAI PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI JAWA TAHUN 1942-1945
Skripsi Oleh: WAHYUDI NIM K4404054
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
PERAN KUMIAI PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI JAWA TAHUN 1942-1945
Oleh: WAHYUDI NIM K4404054
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Sri Wahyuning S. M.Pd.
Isawati S.Pd.
NIP.19531024 198103 2 001
NIP.19830401 200604 2 001
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari : Tanggal :
Tim Penguji Skripsi : Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. Djono, M.Pd
(..............................)
Sekretaris
: Drs. Tri Yuniyanto M.Hum
(..............................)
Penguji I
: Dra. Sri Wahyuning S. M.Pd.
(..............................)
Penguji II
: Isawati. S.Pd.
(..............................)
Disahkan oleh, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. H. M. Furqon H, M.Pd NIP : 19600727 198702 1 001
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
ABSTRAK
Wahyudi. K4404054. PERAN KUMIAI PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI JAWA TAHUN 1942-1945. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Agustus 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang pembentukan Kumiai di Jawa, (2) Dapat mengetahui bagaimana proses pembentukan kumiai di Jawa, (3) Peranan Kumiai pada masa penjajahan Jepang di Jawa, (4) Dampak dari adanya Kumiai bagi para petani di Jawa. Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer. Sumber primer yang digunakan antara lain surat kabar terbitan tahun 1944 seperti Asia Raya dan Djawa Baroe dan majalah berita pemerintah Kanpo dari tahun 1942-1945. Sumber sekunder yang digunakan berupa buku, surat kabar, majalah dan artikel internet yang berkaitan dengan judul skripsi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Analisis yang digunakan analisis historis, yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi fakta sejarah melalui pendekatan kerangka pemikiran yang mencakup beberapa teori. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang pembentukan kumiai di Jawa adalah: (a) Keadaan sosial ekonomi masyarakat Jawa awal penjajahan Jepang yang belum teratur. (b) kebutuhan suplai makanan dan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk kepentingan perang Jepang di pasifik. (2) Pembentukan Kumiai di Jawa dibentuk atas dasar dikeluarkannya kebijakan antara lain: (a) Kumiai dibentuk setelah di keluarkan Undang-Undang No.23 Tahun 1942 sebagai pengganti Undang-Undang koperasi No.91 Tahun 1927 yang berisi larangan berkumpul dan setiap perkumpulan harus mendaftarkan diri pada pemerintah Jepang. (b) Kumiai didirikan di setiap Karesidenan aturan dan struktur kepengurusan kumiai diserahkan pada pembesar karesidenan sehingga satu kumiai dengan kumiai di daerah lain berbeda aturan; (3) Peran Kumiai Di Jawa masa Penjajahan Jepang antara lain: (a) Kumiai berperan sebagai pengumpul bahan dan barang yang dibutuhkan pemerintah seperti padi dan bahan makanan lain. (b) Kumiai mempunyai peran sebagai distributor barang di perkotaan sehingga suplai makanan ke kota-kota besar dapat terpenuhi. (4) Kumiai memiliki dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat petani di pedesaan Jawa (a) Kumiai berdampak pada keadaan ekonomi masyarakat dengan maraknya kemiskinan dan rendahnya taraf hidup masyarakat. (b) Dampak sosial Kumiai antara lain munculnya banyak penyakit-penyakit dan kelaparan serta pada akhir pendudukan Jepang muncul banyak pemberontakan sporadis yang terjadi di beberapa wilayah di Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
ABSTRACT
Wahyudi. K4404054. THE ROLE OF KUMIAI DURING JAPANESE COLONIALISM TIME IN JAVA DURING 1942-1945 PERIOD. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University. August 2010. The objective of research is to find out: (1) the background of Kumiai establishment in Java, (2) how to process of kumiai establishment in Java, (3) the role of kumiai during Japanese colonial time in Java, and (4) the effect of kumiai presence on the farmers in Java. This research employed a historical method. The data source employed was primary one. The primary source employed was newspapers published in 1944 like Asia Raya and Djawa Baroe and the government news magazine Kanpo from 1942-1945. The secondary sources employed were books, newspaper, magazine and internet article relevant to the thesis title. Technique of collecting data used was historical analysis, the one emphasizing on the acuity of historical fact interpretation using framework approach encompassing several theories. Considering the result of research, it can be concluded that: (1) the background of Kumiai establishment in Java is: (a) irregular social economic condition of Javanese people in the beginning of Japan colonialism, (b) food supply of natural resource requirement for the sake of Japan war interest in pacific. (2) the establishment of Kumiai in Java is established based on the release of policy including: (a) Kumiai has been established following the passage of Act No. 23 of 1942 as the substitution for cooperatives Act No. 91 of 1921 containing the assembly restriction and each association should register itelf to Japan government. (b) Kumiai was established in each residency, the rule and administration structure of Kumiai was handed offer to the residency officials so that the rule of one Kumiai is different from others; (3) the role of Kumiai in Java during Japan government included: (a) Kumiai served as a collector of materials and goods needed by the government such as rice and other food materials. (b) Kumiai functions as the goods distributor in urban areas so that the food supply to big cities is fulfilled. (4) Kumiai has social and economic impact on the farmer society in Javanese rural areas (a) Kumiai affects the society’s economic condition in the term of increased poverty life and low life standard of society. (b) the social effect of Kumiai included considerable diseases and starvation as well as sporadic revolt in the end of Japanese occupation frequently occurring in some areas of Java.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
MOTTO
”Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Alam Naysrah : 6)
“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya” (Q.S. Ar-Ra’du: 11)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan kepada: Ibu dan Bapak Kakakku Teman-teman Sejarah ‘04
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaIkum Wr. Wb Untaian puji syukur senantiasa penulis panjatkan teruntuk Illahi Robbi yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah limpah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta umatnya yang setia hingga akhir zaman. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang ada dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah berkenan mengizinkan penulis untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah berkenan pula mengizinkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberi petunjuk dan pengetahuan kepada penulis. 4. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd, selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberikan bimbingan, dorongan serta motivasi kepada penulis. 5. Dra. Sri Wahyuning S, M.Pd., selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan saran kepada penulis. 6. Isawati S.Pd., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan saran kepada penulis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
7. Segenap dosen dan staf pengajar Program Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat berharga bagi penulis. 8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga mendapat balasan yang lebih baik dari Allah.
Penulis menyadari bahwa “tiada gading yang tak retak”, begitu juga dalam penulisan skripsi ini. Dari ketidaksempurnaan ini kiranya dapat diambil hikmah dan pelajaran yang berharga, sehingga tidak terulang kesalahan untuk kedua kalinya. Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Surakarta, Agustus 2010
Penulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .......................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................... v ABSTRACT ................................................................................................
vi
HALAMAN MOTTO................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii KATA PENGANTAR .................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xiv
BAB I.
PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Perumusan Masalah .................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian........................................................................ 7 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 7
BAB II.
LANDASAN TEORI ................................................................ 9
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 9 1.
Kolonialisme........................................................................ 9
2.
Politik Ekonomi ................................................................... 12
3.
Organisasi............................................................................ 14
4.
Perubahan Sosial................................................................
18
B. Kerangka Berfikir ....................................................................... 20 BAB III.
METODE PENELITIAN ......................................................... 23
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 23 B. Metode Penelitian ....................................................................... 24
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
C. Sumber Data............................................................................... 25 D. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 26 E. Teknik Analisis Data ................................................................
28
F. Prosedur Penelitian ..................................................................... 29 BAB IV.
HASIL PENELITIAN ............................................................. 33
A. Latar Belakang Pembentukan Kumiai ......................................... 33 1. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Awal Penjajahan Jepang................................................................ 33 2. Kebutuhan Sumber Daya untuk mendukung Jepang............. 46 B. Pembentukan Kumiai................................................................
49
1. Dasar Pendirian Kumiai ....................................................... 49 2. Struktur dan Kepengurusan Kumiai ..................................... 53 C. Peran Kumiai pada masa Penjajahan Jepang di Jawa................... 58 1. Peran Kumiai dalan Pengumpulan Padi................................ 58 2. Peran Kumiai dalam Distribusi Padi..................................... 61
BAB V.
D. Dampak Kebijakan Kumiai bagi Petani di Jawa.........................
64
1. Dampak Ekonomi................................................................
64
2. Dampak Sosial.....................................................................
67
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ................................ 70 A. Kesimpulan ................................................................................ 70 B. Implikasi..................................................................................... 71 C. Saran .......................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 74 LAMPIRAN ................................................................................................ 78
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ......................................................... 20 Gambar 2. Skema Prosedur Penelitian........................................................... 29 Gambar 3 Skema Mekanisme Penyerahan Padi............................................... 63
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Peta pendaratan Jepang di Jawa................................................
78
Lampiran 2.Undang-undang pemerintah Jepang No 23 ................................
79
Lampiran 3. Peraturan Pendirian Nogyo Kumiai ..........................................
81
Lampiran 4. Maklumat Gunseikan mengenai Kyoodoo Kumiai....................
83
Lampiran 5. Surat Pendirian Noosanbutu Kumiai.........................................
87
Lampiran 6. Peraturan Pendirian Seimagyo Kumiai .....................................
89
Lampiran 7. Pernyataan Jepang Mengenai Ekonomi Jawa Baru ...................
91
Lampiran 8. Hasil Sidang Komite Perekonomian Jawa Baru ........................
99
Lampiran 9. Jurnal Sejarah........................................................................... 114 Lampiran 10. Surat ijin Skripsi ..................................................................... 117
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara-negara di dunia yang mengalami masa penjajahan, merasakan keadaan yang hampir sama. Keadaan tersebut antara lain, hak berpolitik dibatasi, adanya
tekanan
ekonomi,
bahkan
negara
penjajah
dapat memaksakan
kebudayaannya kepada bangsa yang dijajah. Indonesia telah mengalami beberapa kali masa penjajahan, yaitu Inggris, Belanda, dan Jepang. Negara-negara penjajah dalam melaksanakan kekuasaan di Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi dan politik yang berbeda-beda. Kebijakan pemerintah terhadap negara yang dikuasai banyak menimbulkan penderitaan dan ketidakpuasan sehingga membangkitkan semangat rakyat jajahan untuk melawan kaum penjajah. Semua bentuk perlawanan tersebut dilakukan dengan harapan rakyat dapat lepas dari penjajahan dan memperoleh kemerdekaan dengan pemerintahan sendiri tanpa campur tangan negara lain. Negara yang pernah menjajah Indonesia antara lain Belanda, Inggris, dan Jepang. Dalam melaksanakan kekuasaannya di Indonesia negara-negara tersebut menerapkan kebijakan politik dan ekonomi yang berbeda-beda. Alasan diberlakukannya kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk mengatur jalannya kehidupan politik dan ekonomi rakyat Indonesia. Cultuurstelsel yang diterapkan oleh Belanda pada tahun 1830-1870 pada masa pemerintahan Van Den Bosch dan sistem sewa tanah atau landrente tahun 1813 pada masa Raffles yang diterapkan Inggris merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial untuk mengatur jalannya perekonomian di Indonesia. Namun, kenyataannya kebijakan tersebut hanya membawa keuntungan bagi para penjajah tetapi menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Pada saat Jepang berkuasa di Indonesia, Jepang melihat potensi yang besar dimiliki oleh bangsa Indonesia, khususnya dari segi ekonomi dan tenaga kerja. Indonesia memiliki nilai ekonomi yang strategis bagi Jepang dalam menghadapi sekutu di perang pasifik. Sudah sejak lama sumber-sumber alam Indonesia yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
berupa minyak, bauksit, karet, timah dan bahan-bahan strategis lainya adalah penting di mata Jepang. Jepang membutuhkan kekayaan alam Indonesia dan sumber daya manusianya yaitu tenaga kerja yang murah untuk menopang kebutuhan perang Jepang. Strategi penjajahan Jepang mendasarkan pada kepentingan untuk kemenangan perang Asia Timur Raya. Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas yaitu menghapuskan pengaruh-pengaruh barat dan memobilisasikan rakyat demi kemenangan perang Jepang. Kebijakan itu dijalankan dengan tiga prinsip yaitu mencari dukungan, memanfaatkan struktur pemerintahan yang telah ada dan mengusahakan agar daerah yang diduduki dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Di bawah pemerintahan Jepang, Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah antara lain Sumatra yang di tempatkan di bawah angkatan darat ke-25, sedangkan Jawa berada dibawah angkatan darat ke-16, dan Kalimantan yang ditempatkan berada dibawah kekuasaan angkatan laut. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju namun secara ekonomi kurang penting, sumber dayannya yang utama adalah manusia. Kebijakan-kebijakan disana membangkitkan rasa kesadaran nasional yang jauh lebih mantap daripada dikedua wilayah lainnya, dan dengan demikian semakin memperbesar tingkat kecanggihan politik antara Jawa dan wilayah-wilayah lainnya. Sampai bulan Agustus 1942 Jawa tetap berada dibawah struktur-struktur pemerintahan sementara, tetapi kemudian dibentuk suatu pemerintahan militer yang diketuai oleh seorang gubernur militer (Gunseikan). Untuk membantu orang Jepang mengatur negeri ini pihak Jepang di Jawa juga mencari pemimpinpemimpin politik guna memobilisasikan rakyat. Pihak Jepang mulai menyadari bahwa apabila ia ingin memobilisasi rakyat di Jawa maka mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis sebelum perang. Pertama-tama mereka menghapuskan seluruh organisasi politik dari jaman sebelum Jepang. Pada bulan Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang dan semua perkumpulan yang ada secara resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Pemerintah militer Jepang menggunakan berbagai macam cara untuk mendekati dan mempengaruhi rakyat Indonesia. Salah satu contoh ialah dengan Sedenbu. Sedenbu merupakan alat propaganda Jepang yang berfungsi mendekati dan mempengaruhi masyarakat lapisan bawah, tokoh politik maupun penguasa lokal. Media utama yang paling sering digunakan adalah dengan film, seni panggung, wayang dan musik.
Upaya Jepang dengan mendekati dan
mempengaruhi tokoh-tokoh politik Indonesia dilakukan dengan membebaskan pemimpin Indonesia yang ditawan oleh Belanda seperti Sjarir dan Moh. Hatta, serta Sukarno dan menawarkan kerja sama dengan para tokoh pergerakan nasional Indonesia melalui organisasi massa bentukan Jepang. Dalam bidang niliter dan Keamanan Jepang mendirikan organiasi-organisasi semi militer, sebut saja Seinendan (Korps Pemuda) dan Keibodan (Korps Kewaspadaan) yang merupakan organisasi semi militer yang berisi para pemuda berusia 25 sampai 35 tahun yang diberi tugas sebagai organisasi polisi, kebakaran dan serangan udara pembantu. Selain organisasi militer organisasi politik juga muncul di jawa misalnya organisasi Putera (Pusat tenaga Rakyat) dan Jawa Hokokai yang ketuanya diambil dari para pemimpin nasionalis Indonesia. Dalam bidang ekonomi Jepang menerapkan kebijakan mengatur dan mengontrol seluruh kehidupan ekonomi di Indonesia. Hal itu disebabkan karena pada saat Jepang berhasil merebut Indonesia, pemerintah Hindia Belanda sudah memperhitungkan bahwa invasi yang dilakukan oleh Jepang ke Indonesia sudah tidak dapat dibendung lagi oleh Belanda, maka dimulailah dilaksanakan aksi bumi hangus. Obyek vital yang sebagian besar terdiri dari aparat produksi dihancurkan, sehingga pada awal penjajahan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh total dan berubah dari keadaan ekonomi normal menjadi ekonomi perang. Pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa peraturan yang bersifat kontrol terhadap kegiatan ekonomi, misalnya peraturan pengendalian harga dan hukuman yang berat terhadap pelanggar peraturan. Harta milik bekas musuh atau harta yang dibiayai dengan modal musuh disita dan menjadi milik pemerintah Jepang, seperti perkebunan-perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik, perusahaan vital seperti pertambangan, listrik dan telekomunikasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
Setelah Jepang menduduki Jawa kebijakan ekonomi mulai dibuat. Jawa merupakan salah satu pulau Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan sumber tenaga kerja yang yang luar biasa. Kebijakan ekonomi yang dijalankan tentara Jepang yang secara ketat memperlakukan keharusan memenuhi kebutuhan pangan sendiri oleh setiap karesidenan membuat penderitaan yang sangat parah. Kebijakan itu sebagian besar didorong oleh kurangnya sarana pengangkutan baik di dalam maupun ke luar Jawa, tetapi hal itu dimaksudkan juga untuk memungkinkan perlawanan setempat yang mampu membiayai diri sendiri kalau nanti menghadapi serangan sekutu di daerah masing-masing. Penetapan sistem penyerahan paksa padi yang ditetapkan pada tahun 1943 menyebabkan petani terpaksa menjual padinya dengan harga murah ke instansi-istansi pemerintah. Kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang itu dalam banyak hal mempengaruhi kehidupan penduduk pribumi. Daerah atau pedesaan di Indonesia khususnya Jawa oleh Jepang dianggap mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa karena memiliki tanah yang subur dan penduduk yang banyak. Sasaran utama eksploitasi Jepang di Jawa adalah hasil pertanian dan tenaga kerja. Pemerintah Jepang tidak dapat mencapai tujuan tanpa kerja sama dengan para penduduk pribumi. Untuk mencapai tujuan itu mengharuskan pemerintah militer mengadakan kontak dan campur tangan secara mendalam dengan orang pribumi. Untuk memperlancar kebijakan tersebut maka Jepang mulai melakukan reorganisasi terhadap lembaga ekonomi yang ada yaitu koperasi. Para pemikir seperti Moh. Hatta dan para ekonom lain sudah menganjurkan pembentukannya sejak pemerintah kolonial menguasai Indonesia sebagai sarana untuk memperkuat kedudukan ekonomi bagi kaum pribumi. Koperasi pada zaman Belanda tidak berkembang dengan baik, karena Belanda sendiri takut koperasi yang pada awalnya hanya bergerak dalam bidang ekonomi kemudian akan bisa dimanfaatkan untuk menjadi organisasi yang bergerak dibidang politik yang akan merugikan pemerintah kolonial. Membahas mengenai koperasi tidak terlepas dari pengertiannya itu sendiri, koperasi berasal dari kata Co dan Operation yang berarti bersama-sama bekerja, koperasi berusaha mencapai tujuan serta kemanfaatan bersama. Koperasi sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
alat untuk mengatasi kepincangan-kepincangan dan kelemahan dari perekonomian kapitalis. Koperasi muncul pertama kali di Inggris tahun 1884 yang berusaha mengatasi masalah keperluan konsumsi bagi para anggotanya dengan cara kebersamaan yang dilandasi atas dasar prinsip keadilan. Setelah itu koperasi muncul dan berkembang ke berbagai negara di Eropa dan juga di Asia termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia baru mulai mengenal bentuk koperasi pada awal abad ke XIX. Pada masa penjajahan Belanda, tahun 1896 seorang pamong praja patih R. Aria Wirya Atmaja di Purwokerto mendirikan sebuah bank untuk para pegawai negeri (priyayi). Ia terdorong keinginan untuk menolong para pegawai negeri yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Ia ingin mendirikan koperasi kredit model Raiffeisen di Jerman, dan untuk itu ia dibantu oleh seorang Asisten Residen Belanda. Asisten tersebut yang menganjurkan untuk mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian seperti yang ada di Jerman. Selain pegawai negeri juga para petani juga perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan para pengijon (pelepas uang). Gagasan tersebut ternyata tidak sesuai dengan politik penjajahan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Badan-badan ekonomi rakyat seperti Bank dan Tabungan dan lumbung desa yang mulai tumbuh tidak dijadikan koperasi. Sebagai gantinya maka, Belanda mengeluarkan undang-undang Ordonansi Perkumpulan Koperasi Bumi Putera untuk mengatur perkoperasian di Indonesia tahun 1927 dan 1933 karena Belanda takut koperasi yang pada awalnya bergerak dalam bidang ekonomi akan menjelma menjadi kekuatan politik yang besar. Pada zaman pendudukan tentara Jepang bukanlah penyempurnaan usaha koperasi yang dialami akan tetapi sebaliknya apa yang telah ada bahkan dihancurkan sama sekali oleh Jepang yang fasistis. Kantor pusat Jawatan Koperasi dan Perdagangan oleh pemerintah balatentara Jepang diganti namanya menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo, sedang Kantor daerah menjadi Syomin Kumiai Sodandyo. Kemudian di Jawa dibentuk Jawa Yumin Keizei Sintasei Konsetsu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
Jumbi Inkai, panitia susuna perekonomian baru di Jawa. Hasil perekonomian baru yang dikemukakan dengan kata-kata yang muluk-muluk kepada rakyat ialah tidak lain dari kesengsaraan semata-mata. Koperasi-koperasi yang telah berdiri pada zaman Hindia Belanda diambil alih pengaturannya oleh Jepang. Badan koperasi yang demokratis dirubah menjadi alat-alat distribusi dan pengumpul untuk kepentingan tentara Jepang. Jepang melakukan reorganisasi terhadap koperasi yang ada untuk membentuk yang baru sehingga koperasi sebelum perang mengalami kemunduran bahkan ada yang terpaksa dibubarkan. Akhirnya dibentuk lembaga ekonomi yang bernama Kumiai, lembaga ini adalah koperasi model Jepang yang bertindak sebagai unit dasar untuk memanipulasi seluruh struktur perekonomian yang dikendalikan pada masa perang. Kumiai sebagai sebuah organisasi yang dibentuk atas peraturan pemerintah dan melibatkan seluruh desa, dalam banyak hal tidak dapat dianggap sebagai koperasi. Dalam penerapannya Jepang memerintahkan setiap wiraswasta untuk menyelengarakan Kumiai sehingga seluruh wiraswasta besar dan kecil bisa dikontrol lewat ini. Dengan demikian, koperasi Kumiai diselenggarakan hampir disetiap bidang perpabrikan, pertanian dan perdagangan di Jawa. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan diatas kedalam skripsi yang berjudul “Peran Kumiai Pada Masa Penjajahan Jepang Di Jawa Tahun 1942-1945”.
B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang pembentukan Kumiai? 2. Bagaimana proses pembentukan Kumiai? 3. Bagaimana peran Kumiai pada masa penjajahan Jepang di Jawa tahun 1942-1945? 4. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan Kumiai bagi para petani di Jawa?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang tersurat dari perumusan masalah diatas yaitu antara lain: a. Untuk mengetahui latar belakang pembentukan Kumiai. b. Untuk mengetahui proses pembentukan Kumiai. c. Untuk mengetahui peran Kumiai pada masa penjajahan Jepang di Jawa tahun 1942-1945. d. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan Kumiai bagi para petani di Jawa. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian harus dapat diketahui kegunaan dari setiap kegiatan ilmiah. Adapun kegunaaan penelitian ini adalah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a) Menambah pengetahuan dan wawasan, khususnya tentang peran Kumiai pada masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945. b) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya tentang peran kumiai pada masa penjajahan Jepang di Indonesia.
2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a) Bagi peneliti sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana kependidikan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b) Sebagai bahan referensi bagi pemecahan masalah yang relevan dengan masalah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
c) Sebagai salah satu karya ilmiah yang diharapkan dapat melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kolonialisme a. Pengertian Kolonialisme Kolonialisme bukan kata asing bagi bangsa Indonesia sebab kolonialisme identik dengan penjajahan sedangkan bangsa Indonesia adalah bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Menurut Poerwodarminto (1976 : 516) secara etimologi kata kolonialisme berasal dari kata koloni yang artinya daerah jajahan tempat menempatkan penduduk atau kelompok orang yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari tanah air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau tanah asal. Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya yang sering kali bertujuan, untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Kolonialisme juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem kolonialisme, terutama kepercayaan bahwa moral dari penjajah lebih hebat daripada yang dijajah. Pendukung dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk modernisasi dan demokrasi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme). Menurut C.S.T. Kansil dan Yulianto (1986 :7) kolonialisme adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukan bangsa lain di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan dengan jalan mendominasi politik eksplotasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Sukarno ( 1983:19) berpendapat kolonialisme juga dapat dipandang sebagai nafsu, suatu sistem yang merajai atau mengendalikan ekonomi atas negeri lain. Sedangkan Suhartoyo Hardjosatoto (1985:51) menyatakan kolonialisme adalah rangkaian nafsu menguasai dan seruan penguasaan oleh suatu negara atas daerah bangsa lain dengan maksud untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
memperluas negeri itu. Pendapat lain tentang kolonialisme adalah menurut Roeslan Abdulgani (1987:2) yang menyatakan bahwa kolonialisme adalah rangkaian adanya upaya bangsa untuk menaklukan bangsa lain dalam segala lapangan. Dalam hal ini kolonialisme adalah dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang dijalankan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain. Dari pendapat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kolonialisme adalah upaya suatu bangsa untuk menaklukan dan menguasai bangsa lain dengan jalan mendominasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam rangka memperluas wilayahnya.
b. Tujuan Kolonialisme Eksploitasi kekuasaan kolonial pada abad XIX merupakan gerakan kolonialisme yang besar pengaruhnya terhadap perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya dinegara-negara yang mengalami banyak penjajahan seperti negaranegara di Asia. Dominasi politik dan eksploitasi ekonomi kolonial telah mengakibatkan terjadinya proses transformasi struktural politik dan ekonomi tradisional ke arah struktural politik kolonial dan modern. Adapun tujuan kolonialisme adalah: 1) Tujuan ekonomi Eksploitasi ekonomi terutama sumber daya alam yang dipengaruhi sepenuhnya untuk kepentingan kolonial, demi kelangsungan industrinya. Daerah kolonial juga dijadikan pasar paksaan bagi barang-barang Eropa (Ania Lomba, 2000 : 5). 2) Tujuan Politik Proses
membentuk
komuitas
dalam
negara
baru
yang
berarti
membubarkan atau membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada akibat terjadi praktek perdagangan, penjarahan dan negosiasi, perang, pembunuhan
massal
dan
pemberontakan-pemberontakan.
Dengan
demikian kolonialisme merupakan penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain (Ania Lomba: 2000 : 2).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
3) Tujuan sosial Kolonialisme bukan hanya penguasaan ekonomi dan politik saja tetapi juga hasrat penguasaan identitas. Pada saat perkembangan kolonialisme digerakan
dalam
kerangka
kekerasan
yang
sama
sekali
tidak
memanusiakan manusia yang kemudian ditajamkan lewat adanya gap kehidupan sosial ekonomi. Manusia dibagi berdasarkan kasta dan faktor nilai milik suatu ras tertentu (Muhiddin M. Dahlan, 2001 : 6). 4) Tujuan budaya Salah satu ciri kolonialisme yaitu diskriminasi ras dan etnis. Perspektif kolonial superioritas-inferioritas mendasari prinsip diskriminasi. Sistem kolonial menghendaki diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola hubungan sosial dalam masyarakat kolonial yang secara hirarkis menempatkan golongan bangsa yang memerintah dipuncak teratas dari struktur masyarakat tanah jajahan (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991 : 6). Kolonialisme pada dasarnya mendominasi penguasaan pribumi dan memperalatnya
untuk
kepentingan
pemerintah
kolonial
tetapi
dengan
menggunakan pengusaha pribumi untuk memerintah rakyat. Masyarakat pribumi dijadikan alat eksploitasi bahan dasar bagi kolonialis dan daerah koloni dijadikan pemasaran barang-barang industri (Suhartono, 1994: 7). Ada dua macam kolonialisme, yaitu kolonialisme kuno dan kolonialisme modern. kolonialisme kuno adalah kolonialisme yang bertujuan untuk mengejar kejayaan (glory), kekayaan (gold) dan semangat keagamaan (gospel).
Sedangkan Pada sistem
kolonialis modern atau kapitalis kekuasaan kolonial bertujuan pada pengambilan sumber bahan mentah dari tanah jajahan, penyediaan buruh atau tenaga kerja murah dan sebagai pasar hasil produksi kaum kapitalis. Sistem kolonial ini ditandai dengan empat ciri pokok yaitu : dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi (Noer Fauzi 1999: 19). Dalam kolonialisme terdapat dua faktor yang penting yaitu bangsa penjajah dan bangsa yang terjajah. Ciri-ciri dari penjajah dipengaruhi oleh faktor obyektif negerinya yaitu kekayaan alam, kemajuan teknologi, dan sistem produksi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
barang. Penggolongan penjajah dibedakan menjadi empat yaitu: (1). Penjajah kaya dan royal, artinya kaya akan bahan tambang dan industrinya maju, sehingga tidak bersifat eksploitatif dan bahkan pendidikan
pribumi dimajukan serta
dijadikan partner; (2) Penjajah yang semi kaya, yaitu yang tidak banyak memiliki bahan tambang, tetapi industrinya maju sehingga memerlukan pasaran hasil industrinya; (3) Penjajah miskin, yaitu yang industrinya telah maju tetapi tidak memiliki bahan tambang, sehingga mendatangkan dari daerah jajahan, dengan pertimbangan ekonomi upah buruh pribumi dibuat murah; (4) Penjajah yang sangat miskin, biasanya penjajah ini menekan dan menghisap kekayaan penduduk negeri yang dijajah (Suhartoyo Djoyosatoto, 1980: 25). Dalam perkembangan kolonialisme di Indonesia, Indonesia telah mengalami masa penjajahan kolonial, terutama Belanda dan Jepang. Pertama, pada masa kolonialisme Belanda yaitu Belanda mengeksploitasi seluruh kekayaan Indonesia dan bahkan melakukan politik rasialis dengan membedakan warna kulit dan status. Kedua, pada masa penjajahan Jepang, Indonesia diduduki dengan tujuan dieksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerjanya guna ‘memperkuat’ peranan Jepang di Asia Timur, sehingga janji-janji kemerdekaan Indonesia yang di dengungkan Jepang pada awal pemerintahan bukan merupakan tujuan dari Jepang, tetapi merupakan kompensasi bagi rakyat Indonesia dari pemerintah Jepang.
2. Politik Ekonomi a. Pengertian Politik Ekonomi Istilah politik ekonomi atau sering juga digunakan istilah kebijakan ekonomi adalah usaha untuk mempengaruhi secara sadar kehidupan ekonomi untuk mencapai kemakmuran yang tidak bisa terlepas dari kebijaksanaan pemerintah. Politik ekonomi adalah campur tangannya pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Di dalam kehidupan ekonomi terdapat tiga pihak yang bersama-sama melakukan proses ekonomi yaitu pihak pemerintah, dunia usaha dan rumah tangga konsumsi. Masing-masing pihak saling mempengaruhi, tetapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
pihak pemerintah diberi peranan khusus yaitu peranan untuk mempengaruhi kehidupan ekonomi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut buku pengantar ilmu ekonomi karangan E.C Winardi (1975: 354) yang dimaksud dengan politik ekonomi adalah: Usaha untuk mempengaruhi secara sadar, totalitas kehidupan ekonomi; makanya penyatuan dari pada semua rumah-rumah tangga independent. Yang ada dalam lingkungan ekonomi tertentu yakni rumah rumah tangga pemerintah dan swasta, serta rumah-rumah tangga konsumsi hingga mencapai satu kesatuan ekonomis kontinu, guna mencapai kemakmuran. Miriam Budiarjo (1992:23) dalam bukunya dasar-dasar ilmu politik mengatakan bahwa politik ekonomi (political economy) adalah pemikiran dan analisa kebijaksanaan yang hendak digunakan untuk memajukan kekuatan dan kesejahteraan negara. Politik ekonomi dapat diartikan suatu tindakan pemerintah untuk mengatur bidang ekonomi. Menurut H.M.A. Van Der Valk yang dikutip oleh E.C. Winardi (1976:30) mengatakan bahwa ”politik ekonomi adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi kehidupan ekonomi secara langsung dengan satu atau lain cara”. Sedangkan Rochmat Soemitro mendefinisikan politik ekonomi adalah pemakaian teori ekonomi untuk mempengaruhi keadaan. Dari beberapa definisi-definisi dari para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi adalah segala perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan ekonomi guna mencapai kesejahteraan ekonomi. Menurut Herbert Gierch (1868:1) bahwa tujuan politik ekonomi adalah semua usaha-usaha, perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan dengan maksud untuk mengatur, mempengaruhi atau langsung menetapkan jalannya kejadiankejadian ekonomi di dalam suatu daerah atau wilayah. Menurut J Van Zwijnderght yang dikutip oleh Suharni (1991:20) mengatakan bahwa tujuan dari politik ekonomi adalah untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Sedangkan tugas dari politik ekonomi adalah untuk mempertimbangkan tindakan-tindakan yang akan diambil guna mencapai atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari politik ekonomi adalah untuk mengatur dan mempengaruhi kejadian-kejadian di bidang ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara-nagara penjajah melaksanakan politik ekonomi atau kebijakan di bidang ekonomi dalam menjalakan pemerintahan di negara jajahan. Tujuan diterapkanya politik ekonomi ini untuk mengatur roda perekonomian rakyat jajahan. Dengan diterapkannya politik ekonomi dari pemerintah penjajah tersebut, mendapat reaksi yang keras dari rakyat yang dijajah.
3. Organisasi
a. Pengertian Organisasi Organisasi sudah menyatu dengan kehidupan manusia sejak manusia itu ada. Hal ini sehubungan dengan adanya kebutuhan manusia yang pemenuhanya tidak dapat dilakukan seorang diri. Organisasi senantiasa berkembang seiring dengan berkembangnya kebutuhan manusia. Moekiyat (1990:46) memberikan beberapa definisi tentang organisasi, antara lain: 1) Organisasi adalah suatu hubungan struktur antara bermacam-macan faktor atau fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan. 2) Organisasi adalah proses dimana anggota organisasi dapat bekerja sama ke arah pencapaian tujuan kelompok. 3) Organisasi adalah pembagian secara sistematis dari tugas-tugas, fungsifungsi dan tanggung jawab dari para anggota suatu kelompok atau suatu sistem. Sedangkan menurut Sondang P. Siagian (1981:20) pengertian organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama dan tertenu yang secara formal adanya suatu ikatan hierarkhi hubungan antara seseorang atau sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Winardi dalam bukunya Teori Organisasi (2003:15) memberikan pengertian organisasi, sebagai berikut: ”Sebuah organisasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari aneka macam elemen atau subsistem, diantara mana subsistem manusia mungkin merupakan subsistem terpenting dan dimana terlihat bahwa masingmasing subsistem saling berinteraksi dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan-tujuan organisasi yang bersangkutan”. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi merupakan sekelompok orang yang berserikat membentuk suatu unit sosial (pengelompokan) untuk mengadakan kerja sama dan kerja sama itu untuk mencapai tujuan bersama. Jadi sesuatu dapat dikatakan organisasi jika memenuhi persyaratan yaitu, adanya tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama, adanya anggota didalammnya dan adanya kerja sama diantara anggota organisasi. Sedangkan menurut pendapat Schein, terdapat empat ciri organisasi yaitu : pertama, adanya koordinasi dalam usaha dan upaya. Kedua, pencapaian tujuan secara bersama-sama melalui koordinasi. Ketiga, pembagian kerja untuk menciptakan koordinasi. Keempat, adanya suatu hierarki otoritas wewenang diantara anggota organisasi (Winardi,2003:27).
b. Unsur-Unsur Organisasi Menurut Moekiyat (1990:48) dalam asas perilaku berorganisasi unsur unsur organisasi adalah tujuan bersama, pembagian kerja dan hierarki otoritas. Schein
(1980:1) mengatakan unsur organisasi terdiri dari, koordinasi upaya,
tujuan umum bersama, pembagian kerja dan Hierarki otoritas. Unsur-unsur organisasi tersebut dapat diperinci sebagai berikut: 1) Tujuan bersama Setiap organisasi pasti mempunyai tujuan, sebab tujuan ini merupakan salah satu unsur dari organisasi, selain unsur manusia serta adanya kerja sama. Tujuan tersebut bukanlah tujuan individu dalam organisasi melainkan tujuan organisasi sebagai kolektivitas. Menurut Moekiyat (1990:48) tujuan organisasi adalah untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa. Menurut Amiral Eztoni (1982:8) Tujuan organisasi adalah keadaan yang dikehendaki pada masa yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
akan datang yang semata akan dikejar oleh organisasi agar dapat tercapai. Pada saat berdirinya organisasi telah terlebih dahulu menetapkan tujuan, yaitu tujuan yang ditetapkannya untuk masa mendatang bagi organisasi atau sifatnya lebih pada untuk mencapai tujuan yang berorientasi jangka panjang tersebut setidaknya melalui beberapa tahap, hal ini diwujudkan melalui sasaran–sasaran yang lebih pendek jangka waktunya. 2) Pembagian kerja Suatu organisasi terdiri dari berbagai macam pekerjaan serta individuindividu yang mengerjakan pekerjaan tersebut. Diantara pekerjaan itu dalam pelaksanaannya ada yang saling berkaitan satu sama lain. Pekerjaan yang semacam atau yang erat kaitannya tersebut di kelompokan untuk selanjutnya dikerjakan individu-individu dalam organisasi. Inti dari pada setiap organisasi adalah usaha atau kegiatan manusia. Proses menguraikan pekerjaan menjadi bagian-bagian kecil yang berguna bagi tujuan organisasi dan dilaksanakan oleh individu atau kelompok disebut pembagian kerja. Melalui pembagian kerja inilah organisasi mengerahkan pekerjaan dari banyak orang untuk mencapai tujuan bersama (Moekiyat,1990:48). Sondang P. Siagian menyebutkan tentang tiga sebab utama mengapa pentingnya pembagian kerja yaitu: a) pembagian kerja yang harus dipikul; b) jenis pekerjaan yang bermacam-macam; c) berbagai spesialisasi yang diperlukan. Untuk melaksanakan tujuannya organisasi menentukan pekerjaan yang berkaitan dengan tujuan tersebut. Organisasi menanggung beban kerja yang tidak ringan dengan pekerjaan yang beraneka ragam tersebut, sehingga dirasa perlu untuk membagi-bagikan pekerjaan yang ada kepada individu-individu. Dengan dibagi-bagikannya pekerjaan kepada individu maka mereka akan tertuju pada suatu pekerjaan tertentu, sehingga kebutuhan organisasi dengan adanya spesialisasi yang dibutuhkan dapat terpenuhi. 3) Koordinasi Upaya Melaksanakan pembagian kerja tanpa melaksanakan koordinasi upaya akan menumbuhkan peristiwa dimana tiap-tiap pejabat berjalan sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan arah. Oleh karena itu dalam suatu organisasi ditetapkan suatu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
koordinasi yang bertujuan untuk mengatur seluruh komponen yang ada dalam organisasi tersebut. Pendapat mengenai pengertian koordinasi dikemukakan oleh James D. Mooney yang dikutip Sutarto (1985:128) yaitu koordinasi sebagai pengaturan usaha sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan bersama. Apabila dalam organisasi dilakukan suatu koordinasi maka ada beberapa manfaat yaitu adanya rasa tanggung jawab antara satuan-satuan organisasi dan dapat dihindarkan kemungkinan timbulnya pertentangan antar satuan organisasi. 4) Hierarki Otoritas Menurut Moekiyat (1990:48) otoritas adalah hak untuk memerintah orang lain. Apabila organisasi-organisasi membagi pekerjaan menjadi komponenkomponen yang kecil maka harus ada yang dilakukan untuk mengkoordinasikan usaha-usaha yang dihasilkan untuk menjamin agar mereka menyatukan dan mencapai tujuan organisasi, Sehingga diperlukan susunan hierarki otoritas untuk mengatur organisasi. Tanpa hierarki otoritas yang jelas koordinasi upaya akan mengalami kesulitan bahkan kadang-kadang tidak mungkin dilaksanakan.
c. Tipe-Tipe Organisasi. Ada bermacam macam bentuk organisasi yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, yaitu sudut pandang sosial dan tujuan khusus dari organisasi tersebut. Berdasarkan kebutuhan sosial, Talcot pearson membedakan 4 bentuk organisasi: 1) Organisasi ekonomi, tujuannya mendapatkan keuntungan dari produk atau jasa yang dihasilkan. 2) Organisasi politik (political organization), kegiatan dibidang kekuasaan, pengambilan keputusan, pengaruh mempengaruhi. 3) Organisasi pengabdian masyarakat (integrative organization), bertujuan untuk mengabdikan diri untuk kepentingan mereka. 4) Organisasi pelestarian (pattern maintenance organization) tujuannya untuk melestarikan dan memelihara kesenian, pendidikan, kebudayaan dan lain-lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Winardi dalam bukunya teori organisasi (2003:12) membedakan macam organisasi berdasarkan tujuan atau sasaran khususnya sebagai berikut: 1) Organisasi pelayanan, yang siap membantu orang tanpa menuntut pembayaran penuh dari masing-masing pihak yang menerima servis yang bersangkutan. 2) Organisasi ekonomi, yaitu organisasi-organisasi yang menyediakan barang-barang dan jasa sebagai imbalan untuk pembayaran dalam bentuk tertentu. 3) Organisasi religius yang memenuhi kebutuhan spiritual dari para anggotanya. 4) Organisasi perlindungan, organisasi yang memberikan perlindungan kepada orang-orang dari bahaya. 5) Organisasi pemerintah yaitu organisasi yang memenuhi kebutuhan akan keteraturan dan kontinuitas. 6) Organisasi sosial, organisasi yang memenuhi kebutuhan sosial orang untuk mencapai kontak dengan orang lain.
4. Perubahan Sosial
a. Pengertian perubahan sosial Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang dialami manusia berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan tingkah laku. Menutut Nursyid Suriatmadja (1986:79) perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang meliputi berbagai aspek kehidupan, sebagai akibat adanya dinamika anggota masyarakat dan yang didukung oleh sebagian besar anggota masyarakat, merupakan tuntutan dalam mencari kestabilan. Soerjono Soekanto (1982:22) berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosial termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku diantara kelompokkelompok masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut ada yang dikehendaki dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
direncanakan serta ada yang tidak direncanakan atau tidak dikehendaki. Sedangkan menurut Daldjoeni (1979: 21) mengatakan bahwa perubahan sosial sebagai bagian dari proses sosial mencakup perubahan dalam struktur fungsi, dan budaya kelompok manusia atau lembaga kemasyarakatan. Dalam konteks sosial ekonomi perubahan memiliki pengertian suatu proses pergerakan atau perkembangan masyarakat dalam aspek sosial ekonomi dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi yang lain berupa kemajuan atau penurunan yang disebabkan oleh peristiwa tertentu.
b. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial Terjadinya suatu perubahan sosial dalam masyarakat tidak terlepas dari sebab-sebab-sebab yang membawa perubahan tersebut. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh dua faktor yaitu: faktor yang berasal dari dalam, dengan adanya pengenalan dan unsur-unsur gagasan baru. dan faktor yang berasal dari luar. Penyebab perubahan itu dapat berupa ilmu pengetahuan atau mental manusia, kemajuan teknologi, komunikasi dan trnsportasi, urbanisasi, perkembangan, harapan dan tuntutan manusia dan masyarakat.(Astrid S, Susanto,1983:33). Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan sosial adalah : (1) Kontak atau hubungan dengan kebudayaan bangsa lain; (2) Sistem pendidikan yang maju; (3) Penduduk yang heterogen; (4) Sikap yang menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju; (5) Sistem stratifikasi yang terbuka; (6) Orientasi berfikir ke masa depan. Di samping itu ada faktor penghambat perubahan seperti : (1) kurangnya ilmu pengetahuan masyarakat; (2) perekembangan ilmu pengetahuan yang lambat; (3) sikap masyarakat yang sangat tradisional; (4) adanya kepentingan kepentingan yang telah tetanam dengan kuat; (5) prasangka terhadap hal-hal yang baru. Samoel Koenig yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1982:66) mengatakan bahwa faktor-faktor perubahan sosial meliputi faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi: (1) bertambah dan berkurangnya penduduk; (2) adanya pemberontakan-pembarontakan; (3) konflik dalam masyarakat; (4) adanya penemuan-penemuan baru. Sedangkan Faktor ekstern meliputi : (1) Sebab–sebab
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
yang berasal dari lingkungan fisik yng ada disekitar manusia; (2) Peperangan; (3) Adanya pengaruh dari kebudayaan lain. Pada waktu Jawa di jajah oleh Jepang, diterapkan sistem yang menekan kehidupan sosial masyarakat Jawa, Jepang mulai membangun infra struktur yang rusak setelah ditinggalkan Belanda. Salah satunya dengan membangun organisasi ekonomi baru yang disebut Kumiai yang pada prakteknya sangat merugikan dan menyengsarakan para petani yang ada di desa-desa sehingga menimbulkan reaksi dari para petani yaitu dengan pemberontakan-pemberontakan diberbagai daerah, karena tidak puas terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Jepang.
B. Kerangka Pemikiran
Politik Pemerintah Kolonial Jepang Di Jawa
Keadaan Sosial Ekonomi Di Jawa
Politik Ekonomi
Organisasi Ekonomi
Kumiai
Dampak
Sosial
commit to user
Ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Dari skema tersebut dapat diuraikan tentang kerangka berfikir dari penelitian sebagai berikut : Jepang menguasai Indonesia tanggal 8 maret 1942, dan melakukan politik kolonialismenya setelah mengalahkan pemerintah Hindia Belanda dalam peperangan. Tujuan kolonialismenya di Indonesia adalah untuk mendapatkan bahan pangan bagi kebutuhan perang tentara Jepang. Khususnya diwilayahwilayah besar seperti Jawa. Pada awal pendudukan di Jawa, pemerintah militer Jepang segera melakukan tindakan yang tercakup dalam kebijakan yang harus dilaksanakan di wilayah pendudukan dengan harapan agar usaha untuk menguasai Indonesia dapat tercapai. Kebijakan tersebut meliputi budaya politik dan ekonomi. Pemerintah militer Jepang dalam bidang budaya melarang penggunaan bahasa Belanda dan diganti bahasa Jepang. Rakyat diperbolehkan mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia. Para seniman juga diperbolehkan menuangkan hasil karya sastra dalam bentuk karya sastra yang ditujukan untuk kemenangan Asia Timur Raya. Pada bidang politik Jepang bekerja sama dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara serta tokoh-tokoh lain. Tujuan diadakan kerja sama untuk menggerakkan massa guna membantu Jepang ke arah kemenangan Asia Timur Raya. Kerja sama tersebut bagi bangsa Indonesia sebagai taktik untuk meraih simpati dari pemerintah militer Jepang sehingga dapat terlibat kegiatan politik. Keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia pada masa pemerintah Jepang berbeda dengan keadaan sosial ekonomi pada masa Belanda, karena ketika Jepang datang semua perusahaan vital telah dihancurkan oleh Jepang sehingga terjadi kemiskinan serta keadaan ekonomi yang lumpuh total. Melihat kondisi sosial ekonomi yang ada pada awal penjajahannya yang parah, pemerintah Jepang menerapkan politik ekonomi guna mengatur roda perekonomian rakyat. Salah satu kebijakan di bidang ekonomi Jepang membentuk organisasi-organisasi ekonomi baru yang disebut Kumiai dimana Kumiai dibawah kontrol langsung oleh Jepang. Kumiai mengatur tiga hal penting dibidang ekonomi yaitu pertanian, industri,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
perdagangan. Perencanaan dan persiapan Kumiai dilakukan di masing-masing karesidenan sesuai dengan prakarsa dan kebijakan mereka sendiri. Struktur dan fungsi Kumiai diatur di masing-masing karesidenan. Dampak Kumiai mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dampak sosial Kumiai adalah adanya pemberontakan-pemberontakan sporadis di berbagai wilayah di Jawa karena ketidakpuasan terhadap sistem Kumiai. Sedangkan dampak ekonomi dari Kumiai adalah pedagang pedagang yang tidak tergabung dengan Kumiai maka tidak akan mendapat pasokan. Begitu pula penentuan harga panen dari rakyat, mereka hanya menjual dengan harga rendah kepada pemerintah, apalagi dengan adanya Kumiai penjualan hasil panen pada tengkulak dilarang sehingga rakyat sangat menderita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.
Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-buku literatur, majalah dan bentuk pustaka lainnya. Data-data tertulis yang berhasil penulis kumpulkan dari perpustakaan atau tempat-tempat lain, di mana data tersebut dapat diketemukan. Adapun perpustakaan atau tempat-tempat yang penulis gunakan untuk mencari / mengumpulkan data-data antara lain: a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta. d. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta. e. Perpustakaan Taman Siswa Yogyakarta. f. Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta. g. Perpustakaan Ignatius Kolese Yogyakarta. h. Perpustakaan Rekso Pustoko Surakarta. i. Internet.
2. Waktu Penelitian Waktu pelaksanaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak pengajuan judul skripsi yaitu bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan September 2010.
B. Metode Penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Menurut Koentjaraningrat (1977:16) kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata methodos yang berarti jalan atau cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah-masalah kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut Helius Sjamsuddin (1996:2) metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penelitian suatu ilmu tertentu untuk mendapatkan suatu bahan yang diteliti. Husnaini Usman (1996 :42) menyebutkan bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sejarah (historis). Menurut Louis Gottschlak (1985: 32) metode historis adalah suatu cara yang meliputi kegiatan untuk mengumpulkan, menguji serta menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan masa lalu untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah serta untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan masa yang akan datang. Sartono Kartodirjo (1992: 37) berpendapat bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami lagi fakta yang diselidikinya. Sedangkan menurut Hadari Nawawi (1985: 67) mengatakan bahwa metode sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data peninggalan masa lampau untuk memahami masa sekarang dalam hubungannya dengan masa lampau. Mohammad Nazir mengatakan bahwa: Metode penelitian sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interaksi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang. (Mohammad Nazir, 1985: 33) Berdasar pandangan-pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian historis adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menguji dan menelitinya secara kritis mengenai peninggalan masa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
lampau sehingga menghasilkan suatu cerita sejarah. Dalam penelitian ini diusahakan pembuatan rekonstruksi peristiwa sejarah tentang peran Kumiai pada masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945. Pertimbangan yang mendasar digunakannya metode historis dikarenakan metode ini lebih sesuai dengan data yang dikumpulkan, diuji dan dianalisis secara kritis terhadap semua sumbersumber sejarah yang terkait. C. Sumber Data “Sumber sejarah seringkali disebut sebagai data sejarah. Perkataan data berasal dari bahasa latin yaitu datum yang berarti pemberitaan” (Kuntowijoyo, 1995: 94). “Sumber data sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung memberitahukan kepada masyarakat tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu” (Helius Sjamsuddin, 1996: 73). Menurut Sidi Gazalba (1981: 88) sumber data sejarah dapat diklasifikasikan menjadi: (1) sumber tertulis yaitu sumber yang berupa tulisan, (2) sumber lisan yaitu sumber yang berupa cerita yang berkembang dalam suatu masyarakat, (3) sumber benda atau visual yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan berupa. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Louis Gosttchalk (1986: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis dibedakan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah kesaksian daripada seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca yang lain, atau alat mekanis seperti dektafon yaitu orang atau alat yang hadir pada peristwa-peristiwa yang diceritakannya, sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis yang ada kaitannya dengan Penjajahan Jepang di Jawa khususnya peranan kumiai di Jawa, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer yang digunakan antara lain: (1) surat kabar, yaitu:, Sinar Matahari, 13 Desember 1943, Tjahaja, 9 Januari 1945, Asia Raya, Juni 1944 (3) majalah, yaitu: Kan Po, bulan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
Juni 1943 - Juli 1945, Djawa Baroe No 5, 1944. Adapun sumber data sejarah sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) Mobilisasi dan Kontrol Sosial Pedesaan Jawa, yang ditulis oleh Aiko Kurasawa; (2) Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, yang ditulis oleh Ben Anderson; (3) Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis oleh Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto; (4) Perkembangan Koperasi Indonesia yang ditulis oleh Arifinal Chaniago; (5) Bulan Sabit dan Matahari Terbit Hidia Belanda dan Jepang, yang ditulis oleh Benda Harry J Benda; (6) Pendudukan Jepang di Indonesia yang ditulis oleh L. De Jong; (7) Pemberontakan Indonesia di Masa Pendudukan Jepang yang tulis oleh Akira Nagazumi; (8) Artikel-artikel dari internet, yang didapat melalui e-journal dan e-book.. D. Tehnik Pengumpulan Data Menurut Moh. Nazir (1988: 211) teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan, yaitu memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data Koentjaraningrat (1983: 3) menyatakan bahwa dalam metode sejarah, teknik pengumpulan data disebut heuristik. Pengumpulan data heuristik merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu penelitian. Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam pengumpulan data digunakan teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur. Kartini Kartono (1983:28) mengungkapkan bahwa penelitian dengan menggunakan studi kepustakaan adalah penelitian dengan mengumpulkan data dan informasi yang terdapat di ruang perpustakaan, misalnya buku-buku, majalah, naskah, catatan kisah sejarah dan dokumen. Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-buku literatur,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
majalah dan bentuk pustaka lainnya. Dalam pengumpulan data ini penulis melakukan kegiatan mengumpulkan, membaca dan mengkaji berbagai materi atau data yang sesuai dengan tema penelitian. Adapun langkah-langkah operasional yang digunakan dalam penelitian ini yaitu seperti yang diuraikan oleh Nugroho Notosusanto (1971: 50-54) sebagai berikut: (1) menentukan pokok judul penelitian, (2) menyusun daftar sumber-sumber sementara, (3) membaca sumbersumber sementara dengan melakukan penilaian terhadap sumber primer dan sumber sekunder, (4) menyusun kerangka sementara yang berguna sebagai pedoman bagi pembagian tulisan, (5) meneliti sumber-sumber tulisan, (6) mencatat data-data hasil penelitian. Kegiatan studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu mengumpulkan sumber-sumber baik primer maupun sekunder yang berupa bukubuku literaur, maupun majalah yang berkaitan dengan Peranan Organisasi Kumiai pada masa penjajahan Jepang di Jawa tahun 1942-1945. Kegiatan pengumpulan sumber tersebut dilakukan antara lain di berbagai perpustakaan di lingkungan civitas akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta dan Perpustakaan Universitas Daerah Yogyakarta. Kegiatan studi pustaka juga dilakukan di Perpustakaan Taman Siswa Yogyakarta dan dari internet. Kegiatan berikutnya dengan membaca, mencatat, meminjam maupun mengcopy sumber-sumber tertulis yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian sehingga diperoleh data-data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi. E. Teknik Analisis Data Menurut Moh. Nazir (1988: 405) data yang dikumpulkan oleh peneliti tidak akan berguna jika tidak dianalisis. Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah karena dengan analisis, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian Penelitian ini diadakan dengan tujuan pokok menjawab pertanyaanpertanyaan yang mengungkapkan tentang peranan kumiai pada masa penjajahan Jepang di Jawa, maka untuk mencapai tujuan itu dilakukan analisis data. Teknik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis historis. Menurut Sartono
Kartodirdjo
(1992:46)
analisis
historis
adalah
analisis
yang
mengutamakan ketajaman dalam melakukan interpretasi data sejarah. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak terlepas dari unsur-unsur subyektifitas sehingga diperlukan konsep-konsep dan teori sebagai kriteria menyeleksi dengan pengklasifikasian. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam menganalisis data sejarah di dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengumpulan data yang kemudian diklasifikasikan sesuai tema penelitian. Dalam menganalisis sebuah sumber diperlukan adanya kritik intern dan kritik ekstern untuk menentukan kredibilitas dan otentisitas sumber yang didapatkan. Langkah ini berguna untuk mengetahui sumber yang benar-benar diperlukan dan relevan dengan permasalahan yang diteliti. Kritik ekstern yaitu menganalisis fisik sumber data sejarah yang tertulis. Berbagai data tersebut digolongkan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Kedua jenis sumber yang telah digolongkan tersebut diidentifikasikan tentang penulis, tempat penulisan, dan tahun terbit, serta orisinilitas penulis ataupun editor terhadap hasil penelitian. Kritik intern yaitu menganalisis isi sumber data sejarah tertulis untuk mendapatkan data yang kredibel, dilakukan dengan mengidentifikasi gaya bahasa, ejaan, tata bahasa, lingkungan dan pola pikir yang berkembang pada masa penulisan dilakukan. Data-data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diseleksi atau dibandingkan satu dengan yang lainnya sehingga diperoleh fakta sejarah
yang
benar-benar
relevan.
Langkah
selanjutnya
adalah
menginterpretasikan data yang telah terkumpul, yaitu merangkaikan fakta-fakta tersebut untuk mengetahui hubungan sebab–akibat antar peristiwa satu dengan peristiwa lainnya dengan cara membandingkan, mengaitkan atau menghubungkan antara data yang satu dengan data yang lain sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Fakta – fakta yang sudah didapat, dihubungkan/disusun menjadi sebuah karya yang menyeluruh.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
F. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan langkah-langah penelitian yang harus dilakukan seorang peneliti sebagai proses dalam penulisan skripsi yang menggunakan metode sejarah. Dalam metode penelitian sejarah prosedur penelitian yang penulis lakukan, yaitu: (1) Heuristik atau pencarian jejak-jejak sejarah, (2) Kritik, atau kegiatan mengidentifikasi sumber-sumber sejarah, (3) Interpretasi atau penafsiran terhadap sumber-sumber yang relevan, dan (4) Historiografi atau penyampaian hasil rekontruksi sejarah dalam bentuk penulisan sejarah. Berdasar prosedur diatas dapat digambarkan skema metode historis adalah sebagai berikut:
Heuristik
Jejak-jejak Sejarah
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Keterangan: 1. Heuristik Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari jejak-jejak sejarah. Menurut G. J Rener (1997:37) heuristik adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum, dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang pendek. Pada tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan sumber atau data-data yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji. Kegiatan pengumpulan data, dicari data yang relevan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu berusaha mendapatkan data tertulis yang berupa buku-buku dan sumber tertulis lainnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Pada tahap ini merupakan tahap pengumpulan data yang ada hubungannya dengan masalah Peranan Kumiai pada masa penjajahan Jepang di Jawa tahun 1942-1945.
2. Kritik Setelah sumber terkumpul, tahap berikutnya yaitu langkah verifikasi atau kritik guna memperoleh keabsahan sumber. Kritik sumber adalah salah satu kegiatan dalam metode sejarah, yang dilakukan untuk memilih, menyeleksi, mengidentifikasi serta menilai sumber atau data yang akan digunakan dalam penulisan sejarah kritis. Dalam penelitian ini, kritik sumber dilakukan dengan dua cara, yaitu: a. Kritik Ekstern Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain. Helius sjamsudin (1996 : 105) mengemukakan kritik ekstern adalah “suatu penileian atas asal usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mugkin dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak mulanya sumber itu telah diubah oleh orang tertentu atau tidak”. Uji otensitas dilakukan dengan dengan melihat jenis kertas, bentuk tulisan, bahasa yang digunakan, tahun pembuatan, siapa yang membuat, serta dimana arsip, buku atau majalah dibuat. Kritik ekstern dilakukan dengan melihat siapa yang menulis sumber, seperti digunakan buku karya Aiko Kurasawa, seorang penulis yang merupakan dosen School of Internasional Development (pasca sarjana) di Universitas Nagoya, Jepang yang menulis buku dengan judul Mobilisasi dan Kontrol Sosial Pedesaan Jawa 1942-1945 diterbitkan di Jakarta oleh PT Gramedia Widiasarana Indonesia dan dialih bahasakan oleh Hermawan Sulistiyo. Kritik ekstern terhadap Surat kabar “Sinar Matahari dan Asia Raya” serta majalah “Kan Po” dan “Djawa Baroe” dilakukan dengan melihat bentuk tulisan, bahasa yang digunakan serta tahun pembuatan, siapa yang membuat, dan dimana surat kabar itu dibuat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
b. Kritik Intern Kritik intern yaitu suatu kritik yang diberikan terhadap aspek-aspek dalam atau isi sumber sejarah. Kritik intern dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat dipercaya kebenarannya atau kredibel. Kritik internal sebagaimana dikemukakan Helius Sjamsuddin (1996: 111) menekankan aspek ”dalam” yaitu isi dari sumber dan kesaksian (testimony). Sejarawan akan mengadakan evaluasi terhadap kesaksian setelah fakta kesaksian (fact of testimony) ditegakan melalui kritik internal. Kritik intern dalam penelitian dilakukan dengan cara mengientifikasi gaya, tata bahasa dan ide yang digunakan penulis sumber data, kecenderungan politik dan pendidikan penulis sumber data, situasi disaat penulisan dan tujuan dalam mengemukakan peristiwa yang berkaitan dengan tema peran kumiai di Jawa tahun 1942-1945, kemudian membandingkan isi sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain, antara karangan yang satu dengan yang lain, serta antara buku yang satu dengan yang lain. Kebenaran isi dari sumber tersebut dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. 3. Interpretasi Intepretasi merupakan kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari data yang telah diseleksi pada tahap sebelumnya untuk selanjutnya dilakukan analisis data. Interpretasai harus didasarkan pada obyektifitas yang besar dan menekan subyektifitas semaksimal mungkin. Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Sumber tersebut kemudian ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji, yaitu Peranan Kumiai Pada Masa Penjajahan Jepang Di Jawa Tahun 1942-1945. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
4. Historiografi Menurut Helius Sjamsudin (1992: 153) historiografi merupakan langkah terakhir di dalam prosedur penelitian historis yang berupa karya sejarah dari hasil penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan apa yang ditemukan beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam historiografi seorang penulis tidak hanya menggunakan keterampilan teknis, penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut menggunakan pikiran kritis dan analisis. Historiografi yaitu suatu kegiatan penyusunan fakta sejarah menjadi kisah sejarah yang disajikan dalam bentuk tulisan. Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan untuk merangkai fakta satu dengan fakta yang lain, sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Historiografi penelitian ini diwujudkan berupa karya ilmiah skripsi yang berjudul Peran Kumiai Pada Masa Penjajahan Jepang Di Jawa Tahun 1942-1945.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Pembentukan Kumiai 1. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Awal Penjajahan Jepang. Masa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada awal pendudukannya, Jepang menunjukan tindakan-tindakan yang sangat baik. Berbagai kebijakan berpihak kepada bangsa Indonesia. Jepang mengijinkan pengibaran bendera merah putih dan masyarakat diperbolehkan menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Posisi yang kosong dalam pemerintahan juga didistribusikan kepada kaum terpelajar Indonesia. Oleh karena itu rakyat Indonesia berpandangan bahwa bangsa Indonesia sebentar lagi akan merdeka. Bagi Jepang, tindakan tersebut hanya upaya jangka pendek untuk mendapat dukungan rakyat Indonesia sebelum menunjukan tujuan utama kedatanganya. Pada perkembangan selanjutnya kebijakan Jepang terhadap Indonesia berubah. Orientasi yang sebenarnya lebih diarahkan pada upaya eksploitasi sumber daya alam, mobilisasi sumber daya manusia, serta mengupayakan mobilisasi sumber daya kerja untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Pada masa penjajahan Jepang telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut merupakan dampak dari pendudukan Jepang yang represif dan eksploitatif. Masa pendudukan Jepang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada kususnya selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat, tetapi akibat yang ditimbulkan sebanding dengan masa penjajahan
Belanda.
Namun
demikian,
meskipun
pendudukan
Jepang
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, tetapi pendudukan Jepang juga memiliki segi-segi yang menguntungkan dan dirasakan pula oleh rakyat Indonesia khususnya masyarakat Jawa (Cahyo Budi Utomo, 1995: 108). Pada tanggal 1 Maret 1942, di bawah pimpinan Vince Admiral Takahashi, bala tentara Jepang mendarat di pulau Jawa. Jepang sebelumnya telah menguasai Tarakan, Balikpapan, dan Banjarmasin di Kalimantan. Pasukan Jepang mendarat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
di tiga tempat pendaratan. Pendaratan pertama dilakukan di Merak, Teluk Banten. Dibawah pimpinan Letnan Jendral Hitoshi Imamura. Pendaratan kedua dilakukan di Pantai Eretan Wetan, pantai utara bagian Jawa Barat, dibawah pimpinan Kolonel Shoji. Pendaratan ketiga dilakukan di Sragen, Jawa Tengah, di bawah komando Brigade Sakaguci. Jepang memilih ketiga pendaratan tersebut dengan perkiraan bahwa pertahanan di ketiga tempat tersebut lemah. Perkiraan tersebut tepat sebab pada saat Jepang mendarat tidak ada perlawanan yang berarti. Usaha pendaratan tersebut diikuti dengan gerakan pasukan untuk menguasai kota-kota pedalaman. Gerakan pasukan Jepang dari arah Banten berhasil menduduki Batavia dan kota-kota lain seperti Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Bandung. Pada tanggal 8 maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada Jepang dan Jawa resmi menjadi Jajahan Jepang (Hendri F Isnaeni dan Apid, 2008: 24). Pada awal Penjajahan Jepang, kebijakan-kebijakan serta undang-undang tidak banyak dibuat oleh pemerintah Jepang, sebab pemerintah Jepang sibuk memulihkan keamanan di daerah-daerah. Jepang menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan untuk memanamkan kekuasaan di Indonesia. Pulau Jawa menjadi pusat pemerintahan yang terpenting, bahkan jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda dihapus dan diambil alih oleh panglima tentara Jepang di Jawa. Sementara status pegawai sipil dan undang-undang di masa Belanda tetap diakui sah untuk sementara, dengan syarat tidak bertentangan dengan Undang-undang. Langkah pertama Jepang adalah membuat pemerintahan militer yang dikepalai oleh seorang Gunseikan. Berdasarkan Osamu Sirei ( Undang-undang yang dikeluarkan
oleh
Jepang)
Jepang
mengeluarkan
kebijakan
membentuk
Pemerintahan militer di Jawa yang terdiri atas: Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi/Panglima Tentara) yang merupakan pucuk pimpinan. Dibawah panglima tertinggi terdapat Gunseikan (kepala pemerintah militer). Gunseikan sendiri dibantu oleh staf pemerintahan militer pusat yang disebut Gunseikanbu yang terdiri atas 5 macam bu (Departemen) yaitu Somubu (Departemen Urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan). Kotsubu (Departemen Lalu Lintas) dan Shihobu (Departemen Kehakiman). Pemerintah Jepang juga membagi pemerintahan daerah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
yaitu Syu, Syi, Ken, Gun, Son, dan Ku, dan terdapat dua daerah Istimewa yang disebut Kochi. Menurut Undang-undang No.27 tentang pemerintahan daerah, pulau Jawa dan Madura selain Surakarta dan Yogyakarta dibagi atas Syu, Syi, Ken, Gun, Son, dan Ku. Syu sama dengan Karesidenan. Syi sama dengan Kotapraja, Ken sama dengan Kabupaten, Gun sama dengan Kawedanan atau distrik, Son sama dengan Kecamatan dan Ku sama dengan Kelurahan atau Desa. Sedangkan Surakarta dan Yogyakarta disebut Kochi atau daerah Istimewa Pembagian daerah pemerintahan seperti pada zaman Belanda yang terdiri atas Jawa
Barat,
Jawa
Tengah
dan
Jawa
Timur
dihapuskan
(Kanpo No. 27 Tahun 1942). Jepang tidak hanya membuat peraturan tentang perubahan pemerintahan daerah, tetapi Jepang juga membentuk organisasi-organisasi semi militer yang berfungsi untuk membantu Jepang dalam pertempuran Asia Timur Raya. Ketika kedudukan militer Jepang semakin terdesak di medan perang pasifik, pemerintah Jepang melakukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan serangan sekutu ke wilayah Nusantara. Jepang kemudian mengerahkan sejumlah anggota masyarakat untuk dilatih dan dididik menjadi kelompok semi militer dan militer. Mereka diharapkan akan mampu membantu pasukan Jepang mempertahankan wilayah Indonesia dari kemungkinan serangan sekutu. Tanggal 29 April 1943 diumumkan secara resmi terbentuknya Seinendan dan Keibondan, tujuan utama dibentuknya kedua organisasi pemuda tersebut adalah untuk dijadikan tenaga cadangan menghadapi serangan sekutu yang mulai menguasai hampir semua front pertempuran dalam perang pasifik. Sebagai propaganda mereka dinyatakan sebagai pemuda yang harus mampu mempertahankan tanah air dengan kekuatan sendiri. Pada akhir perang pasifik di pulau Jawa diperkirakan terdapat 500 ribu orang yang telah dilatih menjadi anggota Seinendan. Mereka mendapat latihan militer baik bertahan maupun menyerang. Sedangkan Keibondan merupakan organisasi untuk membantu kepolisian, seperti menjaga lalu lintas, pengamanan desa dan lain-lain. Keibondan dibentuk di hampir seluruh wilayah Indonesia dan hanya berangotakan laki-laki saja. Jumlah anggotanya lebih besar dari Seinendan yaitu sekitar satu juta orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
Selain kedua organisasi diatas terdapat pula Heiho dan PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) yang diistilahkan sebagai embrio TNI (Tentara Nasional Indonesia) dilatih dan ditempatkan di lingkungan angkatan darat dan angkatan laut. Jumlah pasukan Heiho sebanyak 42 ribu orang dan mereka lebih terlatih daripada PETA karena mereka langsung diberi tugas menggantikan pasukan Jepang di medan perang. Pada tahun 1944 Jepang semakin terdesak dan banyak membuat pasukan Semi militer lainnya yang disebut Barisan Pelopor (Suishintai) pada tanggal 1 November 1944, Barisan Berani Mati (Jibakutai) pada tanggal 8 Desember 1944, Hizbullah (Kaikyo Seinen Teishintai) pada tanggal 15 Desember 1944 (Abdul Irsan, 2007: 217). Pada masa awal penjajahan Jepang di Jawa, pemerintah Jepang belum menentukan kebijakan baru di bidang perekonomian terutama masalah bahan makanan karena Jepang masih sibuk memulihkan ketertiban di wilayah-wilayah yang baru diduduki. Jepang hanya meneruskan kebijakan Belanda yang sudah ada dan baru pada bulan Agustus pemerintah militer Jepang, mengambil langkahlangkah yang sistematis untuk mengelola bahan makanan dengan mendirikan organisasi yang mengatur tentang bahan makanan dan hasil pertanian di Jawa. Tujuan pokok penyerbuan Jepang ke Jawa ialah untuk mengeksploitasi sumber daya ekonomi. Pedesaan yang tanahnya subur dan penduduknya yang padat merupakan wilayah yang tepat untuk dikuasai serta di eksploitasi. Jepang melakukan eksploitasi-eksploitasi sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia secara penuh dan seefisien mungkin (Aiko Kurasawa, 1993: 3). Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang sehingga seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan, pabrik, Bank dan perusahaan penting. Lahan pertanian banyak yang terbengkelai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis. Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga untuk mencegah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
meningkatnya harga barang. Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu, gula, pohon jarak, kapas dan sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perang (Hendri F Isnaeni dan Apid, 2008: 37-38). Hasil bumi yang paling dibutuhkan Jepang adalah padi oleh karena itu usaha menggandakan hasil bumi dibuat sebaik mugkin, teknologi pertanian yang baru dan lebih modern serta jenis padi baru mulai diperkenalkan oleh Jepang. Jepang juga mulai memperluas areal persawahan dengan cara membuka tanah baru terutama bekas perkebunan tanah lainya yang belum pernah ditanami. Disamping itu Jepang yang memperkenalkan teknik penanamam padi yang baru, yaitu menanam bibit padi yang benar tanaman padi garis lurus yang biasa di lakukan oleh para petani Jawa terbukti tidak efisien dan Jepang mengemukakan bahwa hal ini adalah penyebab rendahnya produktivitas padi. Petani diharapkan menanam bibit padi lebih dari 2 centimeter dan tidak membiarkan tanaman terlalu besar di tempat pembibitan sebelum dipindahkan. Cara penanaman padi yang diperkenalkan oleh Jepang ini akhirnya diterima oleh petani Jawa, karena cara tersebut
lebih
efektif
dalam
rangka
meningkatkan
produksi
padi
(Kanpo No 32 Tahun 1943). Dari bentuk eksploitasi-eksploitasi yang dilakukan oleh Jepang diberbagai bidang, yang paling dirasakan penduduk adalah politik penyerahan padi secara paksa. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang terberat bagi mayoritas penduduk dari sekian banyak kebijakan pemerintah militer. Jepang mengambil dan membeli kekayaan alam bangsa Indonesia secara paksa. Rakyat dibawah pimpinan pangreh praja diwajibkan menyerahkan padi serta hasil bumi lainnya secara paksa dan ditentukan jumlahnya dan pembayarannya sepihak dari penguasa. Jepang membayar dengan uang kertas yang dibuat secara sepihak. Wajib serah padi secara resmi diawali dengan dekrit yang dikeluarkan di setiap karesidenan dan setiap karesidenan diizinkan untuk menerapkan dekrit itu diwilayahnya. Otonomi karesidenan seperti itu merupakan salah satu ciri terpenting dari kebijakan pemerintahan Jepang. Suatu karesidenan dianggap sebagi unit otonom untuk produksi dan sirkulasi komoditi. Sirkulasi bebas untuk hampir seluruh komoditi di luar batas karesidenan dilarang. Setiap karesidenan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
diwajibkan untuk sedapat mungkin berswadaya dalam setiap produk. Apabila sebuah karesidenan benar-benar kekurangan suatu produk tertentu, tidak diizinkan mengimpor produk secara langsung dari karesidenan yang lain. Kekurangan akan dipasok dari pemerintah pusat. Kebanyakan kebijakan ekonomi yang terperinci dibuat pada tingkat karesidenan dan pengaturan ditetapkan oleh masing-masing karesidenan, serta sebagian organisasi kegiatan ekonomi dikelola dengan karesidenan sebagai unit dasar. Terdapat pula petunjuk dasar mengenai penyerahan padi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, antara lain:(1) petani diharuskan menjual sejumlah kuota tertentu dari produksi padi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan; (2) padi harus diserahkan ke penggilingan beras yang ditunjuk oleh pemerintah desa; (3) jika petani masih memiliki surplus untuk dijual setelah menyerahkan kuota yang ditetapkan maka petani hanya diperbolehkan menjual padi ke penggilingan yang terdaftar dan tidak diizinkan untuk menjual kepada tengkulak atau ke pasar setempat. Petani juga dilarang menumbuk gabah untuk kepentingan komersial tanpa izin pemerintah (Kanpo No 32 Tahun 1943). Sistem penyerahan padi paksa ini mirip dengan sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah Belanda pada abad ke 19. Menurut Linblad (2002 : 117) Cultuur Stelsel atau tanam paksa adalah gagasan Gubernur Jenderal Van Den Bosch, yang menganggap Indonesia sebagai wingewest bermanfaat atau koloni yang menguntungkan dimana rakyat dapat di subordinasikan demi kepentingan negara induk. Berdasarkan alasan tersebut Van Den Bosch memperkenalkan sistem tanam paksa sebuah sistem eksploitasi ekonomi yang dipandang paling menguntungkan. Eksploitasi ini mampu memberikan dana bagi pemerintah kolonial dan yang paling penting menyumbang kekayaan bagi negara Belanda. Sistem tanam paksa merupakan sistem manajemen perkebunan yang dikontrol pemerintah kolonial menggunakan tenaga kerja dan tanah petani. Sistem tanam paksa juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem industri agraris yang di dalamnya pemerintah kolonial memanipulasi kekuasaan dan pengaruhnya untuk memaksa para petani menanam komoditas tertentu dan kemudian petani menyerahkan produk-produk mereka dengan harga yang sangat rendah. Hal ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
mirip dengan serah padi masa Jepang dimana petani dituntut untuk menanam dan menyerahkan padi dengan kuota tertentu untuk pemenuhan kebutuhan Jepang. Pada saat Jepang menjadi pihak yang defensif dan posisi Jepang dalam peperangan melemah, penguasa memerintahkan semua pasukan di wilayah jajahanya untuk dapat berswasembada. Jepang melaksanakan kebijakan politik ekonomi mencukupi kebutuhan sendiri atau Genchi Jikatsu di wilayah jajahannya. Kebijakan inilah yang mendasari kewajiban paksa mengumpulkan semua hasil perkebunan oleh pemerintah Jepang, pembagian dan penjatahan surplus produksi pertanian rakyat, khususnya padi dan bahan kebutuhan hidup lainnya yang semakin langka serta perekrutan paksa tenaga kerja untuk berbagai proyek di wilayah masing-masing maupun di luar Jawa (Anton Lucas, 1989 : 54). Terputusnya komunikasi pemerintah Jepang dengan daerah-daerah di wilayah selatan, menyebabkan daerah-daerah di wilayah selatan harus mencukupi sendiri kebutuhan ekonominya, sehingga Syu (karesidenan) harus mampu mengelola kebutuhan ekonominya sendiri. Apalagi kenyataan bahwa antara kenyataan dan target penyetoran padi tidak sebanding. Di karesidenan Kedu misalnya, dari bulan April 1943 sampai dengan bulan Maret 1944 dari target setoran sebanyak 54.000 ton, ternyata hanya dapat dipenuhi 25.237 ton atau sekitar 46,7% dari target. Bahkan dari April sampai dengan September 1945 dari total target 80.000 ton, hanya dipenuhi 17.464 ton atau sekitar 21,8%. Selain disebabkan oleh target setoran yang tidak rasional, kemungkinan kedua adalah faktor produksinya. Pada tahun 1944 terjadi penurunan secara umum hasil panen sebanyak 20 % dibandingkan pada tahun 1937 dan tahun 1941. kemungkinan lain ialah faktor kesulitan pengangkutan dan buruknya tempat penyimpanan sehingga padi menjadi busuk (Cahyo Budi Utomo, 1995: 192). Penetapan penyerahan padi pada pemerintah secara paksa membuat petani tidak mempunyai pilihan lain selain membeli bibit dengan harga yang tinggi. Petani sangat menderita akibat dari kebijakan pemasaran yang dikenakan oleh pemerintah militer yang sewenang-wenang atas produk mereka. Proses eksploitasi tersebut terlihat secara mendasar pada kehidupan masyarakat pedesaan. Padahal perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani Jawa, menurut James Scott
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
dalam bukunya Moral Ekonomi Petani (1989 : 194) ialah petani yang subsisten, yaitu sekaligus satu unit produksi dan konsumsi. Oleh karena itu, masalah yang dihadapi petani ialah bagaimana dapat menghasilkan beras untuk kebutuhan pangan, sandang sekeluarga. Implikasi dan penyerahan wajib tersebut ialah meningkatnya angka kematian dan menurunnya derajad kesehatan masyarakat. Bahkan keadaan sosial serta tingkat kesejahteraan sosial yang sangat buruk sebagai akibat kelangkaan bahan pangan. Angka kematian lebih tinggi dari angka kelahiran. Di Kudus misalnya angka kematian mencapai 45,0 %, sedangkan di Purworejo dan Wonosobo mencapai 42,7% dan 53,7%. Pola makan yang berubah, pola hidup yang bergeser serta tekanan-tekanan sosial-ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologis (Cahyo Budi Utomo, 1995: 192). Dalam aspek fisik yang nyata terlihat kemiskinan endemis yang semakin meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam aspek non fisik terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman kultural yang makin meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di Jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang penting adalah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situsi yang makin memburuk dan suasana yang semakin tidak menentu. Pada awal pemerintahan Jepang di Jawa keadaan ekonomi semakin lama semakin buruk. Kehidupan rakyat sangat menyedihkan akibat pemerasan yang dilakukan oleh Jepang. Rakyat kekurangan makanan dan pakaian, pemenuhan kebutuhan pangan semakin bertambah berat dan rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang sangat memprihatinkan. Pakaian rakyat hanya terbuat dari karung goni yang berdampak pada timbulnya penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Ada yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup. Hasil-hasil panen rakyat, besi-besi kereta api, intan dan berlian juga dibawa ke negara Jepang. Tanah Jawa pernah mengalami paceklik dan kurang sandang pangan karena hasil panen tidak dapat mencukupi kebutuhan. Pemerintah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
daerah pernah membuat larangan tidak boleh membawa beras ke karesidenan lain di kereta-kereta dan jalan raya sering diadakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Keibodan, dengan tujuan memeriksa barang bawaan para pejual dan orang yang sedang berpergian. Bahan pangan rakyat di jatah menurut adanya persediaan bahan pangan (Jayabaya, 6 Desember 1987). Kondisi masyarakat petani semakin menyedihkan dan diperburuk dengan panen yang buruk dan hasil yang jauh dari harapan akibat musim kemarau yang panjang. Kondisi di desa-desa selama masa penjajahan sedemikian buruknya sehingga rakyat berpaling kepada pengganti beras yang secara tradisional hanya dimakan pada masa kelaparan misal tanaman singkong. Politik swasembada beras Jepang juga memaksa penanaman pohon jarak di setiap karesidenan karena tanaman jarak mengahasilkan minyak yang nantinya dapat digunakan untuk keperluan perang. Penanamannya diawasi oleh seorang mantri ynag ditunjuk oleh pangreh praja setempat. Penguasa Jepang juga mewajibkan beberapa hal yang tampaknya kurang penting namun digunakan oleh Jepang. Sejenis tumbuhan yang bernama iles-iles juga dikumpulkan, konon digunakan untuk keperluan pengobatan serta bahan pembuat mesiu. Bunga matahari dan ubur-ubur juga dikumpulkan karena diambil kandungan minyaknya. Sebagai bagian dari politik swasembada Jepang juga, dilembagakan penjatahan barang sandang dan bahan keperluan pokok lainnya. Seperti halnya pengumpulan beras dan pengerahan tenaga kerja, pangreh prajalah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan sistem penjatahan (Anton Lucas, 1989 : 51-53). Keadaan ekonomi semakin sulit terutama dalam sandang dan pangan. Pengadaan bahan bahan di berbagai sektor kehidupan keadaannya sangat menyedihkan, harga bahan makanan dan pakaian sangat tinggi. Keadaan perekonomian diperburuk dengan adanya inflasi. Jepang kemudian mengeluarkan maklumat pengendalian harga barang dan hukuman bagi semua orang yang melanggar (Kanpo no 3 tahun 1942). Kekejaman Jepang, tuntutan mereka yang semena-mena untuk tenaga kerja dan hasil bumi, dan upah yang diterima terlalu sedikit membuat rakyat tidak dapat membeli apa-apa untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari seperti baju, alat-alat pertanian dan sebagainya. Inflasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
yang berkembang besar-besaran selama dua tahun penjajahan Jepang membuat hutang yang besar bagi petani. Bahkan petani harus membuat hutang baru untuk menutupi hutangnya dari para Cina yang menjadi lintah darat (Kahin, 1995: 162). Kampanye-kampanye mulai diluncurkan secara besar-besaran kepada rakyat melalui lembaga-lembaga rakyat seperti Jawa Hokokai, Tonarigumi dan lembaga lainnya supaya meningkatkan penyetoran padi yang dipropagandakan untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Petani biasanya menjual 42 % padi dan 20% di jual ke penggilingan beras yang ditunjuk pemerintah dan sisa 38% dipakai sendiri untuk penanaman bibit baru serta untuk konsumsi, sedangkan buruh tani biasanya meminta 15 sampai 20% dari hasil panen (L.D.E Jong, 1987 : 35). Pemerasan oleh pemerintah militer Jepang tidak hanya mengenai masalah bahan makanan saja. Tetapi juga pengerahan tenaga kerja romusha untuk proyekproyek pertahanan dan perang. Di pulau Jawa sumber daya yang melimpah dan dapat di manfaatkan adalah penduduknya. Penduduk tersebut dimanfaatkan tenaganya sebagai sumber daya penting selain sumber daya alam. Jutaan orang dimobilisasi sebagai romusha untuk melakukan pekerjaan berat di dalam dan diluar pulau Jawa bahkan sampai keluar wilayah Indonesia. Menurut artikel (www.wikipedia.com) Romusha adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia dari tahun 1942 sampai 1945. sebagian besar dari romusha adalah petani, pada awalnya romusha direkrut secara sukarela tetapi sejak oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Romusha dikirim untuk bekerja diberbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah orang yang bekerja tidak diketahui pasti, namun diperkirakan mencapai 4 sampai 10 juta orang. Luasnya daerah penjajahan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan romusha. Romusha ini dikoordinir melalui program Kinrohosi atau kerja bakti. Pada awalnya dilakukan dengan sukarela, tetapi lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
(Romukyokai) yang ada di setiap desa. Banyak tenaga romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat kondisi kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang mencukupi. Kurang lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian dari 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak (Aiko Kurasawa, 1993 : 9). Para romusha terdiri dari para petani di desa-desa dan laki-laki yang kuat sehingga jumlah tenaga keja petani menjadi semakin berkurang. Para romusha juga mendapatkan perlakuan yang kasar dan tidak manusiawi seperti kurangnya makan, tidak adanya jaminan kesehatan, sangat beratnya pekerjaan serta perlakuan yang kasar serta semena-mena dari pemerintah militer Jepang. Romusha merasakan beratnya beban kerja secara fisik dan psikis. Secara fisik pekerjaan sebagai romusha bertolak belakang dengan pekerjaan dulu sebagai petani. Pola kerja yang dibatasi waktu berbeda dengan pola kerja petani yang longgar sehingga hal itu menimbulkan masalah. Secara psikis, bahwa perekrutan petani pada awalnya direkrut dengan paksaan dan tipuan sehingga secara emosional petani merasa tertekan. Bagi rakyat pengerahan tenaga romusha ini semakin memperburuk keadaan. Keluarga para romusha menjadi terlantar dan mengalami
kelaparan,
karena
kehilangan tulang punggung keluarganya
(Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990 :138-139). Para romusha ini diperlakukan dengan sangat buruk. Pengerahan tenaga yang awalnya bersifat sukarela ini berubah menjadi paksaan karena kebutuhan yang terus meningkat di wilayah Asia Tenggara. Pengerahan tenaga romusha tersebut telah membawa akibat jauh dari struktur sosial Indonesia. Dari Pulau Jawa diperkirakan 300 ribu orang di direkrut dan diperkirakan lebih dari 70 ribu orang yang meninggal atau dalam keadaan sakit. Jumlah petani yang dikerahkan sebagai romusha sangat banyak sehingga pemuda-pemuda desa banyak yang pergi ke kota karena takut akan dijadikan romusha dan akibatnya semakin kurangnya produksi pertanian dan meluasnya kelaparan (Abdul Irsan, 2007:221). Untuk menghilangkan ketakutan di kalangan penduduk karena sudah menjadi rahasia umum bahwa para romusha diperlakukan sangat buruk maka Jepang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
melancarkan kampanye propaganda untuk melancarkan usaha pengerahan tenaga romusha yang menjadi susah. Saiko Shikikan dalam pembelaannya di depan sidang Chuo Sangi In (Dewan Rakyat) atas pertanyaaan-pertanyaan mengenai romusha seperti yang dikutip dari buku O.D.P Sihombing (1962 : 147) menyatakan: Romusha-romusha itu sesengguhnya adalah juara-juara rakyat dan prajurit pekerja di belakang garis depan peperangan. Mereka harus dihormati juga sebagai Pembela Tanah Air dan Heiho, karena merekalah prajurit yang memegang palu dan cangkul ditangan sebagai pengganti senapan. Oleh karena itu, bersama-sama tuan (Chuo Sangi In) sekalian pemerintah hendak memberi kehormatan besar kepada romusa-romusa itu sebagai perajurit pekerja serta hendak menganjur-anjur hal itu…Seluruh penduduk pulau Jawa yang lima puluh juta dengan serentak dan seia sekata harus maju terus dalam kebaktian bekerja. Dalam kampanye tersebut para romusha dijuluki pahlawan prajurit atau prajurit pekerja. Para romusha tidak disebut kuli karena penggunaan kata kuli dianggap merendahkan derajad mereka. Dalam banyak poster dan gambar oleh Jepang romusha digambarkan sedang menjalankan tugas suci demi kemenangan perang Asia Timur Raya. (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990:39). Dengan demikian perekrutan romusha dibawah kekuasaan Jepang meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Perekrutan romusha tidak hanya menghilangkan nyawa besar-besaran tetapi juga mengganggu kegiatan ekonomi yang normal di pedesaan. Penurunan produksi yang serius pada zaman Jepang sebagian dilakukan karena perekrutan romusha, disamping kerugian material juga kerugian psikologi. Persoalan romusha ini menimbulkan ketakutan bagi penduduk pada para penguasa yang akhirnya rakyatlah yang menjadi korban (Aiko Kurasawa, 1993 :184). Praktik eksploitasi atau pengerahan sosial lainnya adalah bentuk penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu) dan disekap dalam kamp tertutup. Para wanita ini awalnya diberi iming-iming pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko, atau akan disekolahkan, ternyata dijadikan pemuas nafsu untuk melayani prajurit Jepang di kamp-kamp: Solo, Semarang, Jakarta, Sumatera Barat. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak gadis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
yang sakit (terkena penyakit kotor), stress bahkan ada pula yang bunuh diri karena malu. Militer Jepang tidak bekerja sendirian melakukan operasi tersebut. Mereka didukung pejabat setempat seperti lurah dan camat serta melalui Tonarigumi (RT/RW). Jika operasi ini mendapat kecaman masyarakat, maka militer Jepang memakai tangan penguasa setempat untuk menutupi perbuatan biadab mereka. Desa juga mengalami perubahan khususnya dengan munculnya lembagalembaga baru seperti Tonarigumi atau rukun tetangga dan Kumiai atau koperasi gaya Jepang. Adapun kebijakan pemerintah Jepang di bidang sosial adalah pembentukan Tonarigami (RT), satu RT terdiri dari 10 - 12 kepala keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan memudahkan dalam mengorganisir kewajiban rakyat serta memudahkan pengawasan dari pemerintah desa (Hendri F Isnaeni, 2008: 40). Tujuan Tonarigumi antara lain adalah agar penduduk berusaha meningkatkan produksi hasil buminya dan menyerahkannya untuk negeri. Perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia terjadi pada masa pemerintahan Jepang berupa diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam pemerintahan di Indonesia sehingga terjadi perubahan dalam institusi atau lembaga sosial di berbagai daerah (Kanpo No 34 Tahun 1944). Pembentukan Tonarigumi dan Kumiai ini sampai ke pelosok-pelosok daerah. Maksud yang sebenarnya dari pembentukan Tonarigumi dan Kumiai adalah untuk meningkatkan pergerakan maupun pengawasan terhadap penduduk seperti tercantum dalam berita pembentukannya yaitu agar penduduk berusaha meningkatkan hasil bumi serta menyerahkannya untuk Pemerintah Jepang (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990 : 40). Pada akhir masa pemerintahan militer Jepang di Indonesia situasi sosial ekonomi Indonesia semakin buruk, kewajiban menyetorkan padi, menanam jarak mengumpulkan pakaian dan lain-lain serta kontrol yang ketat dalam segala hal sangat menekan rakyat. Organisasi yang didirikan serta tekanan yang dirasakan rakyat ternyata menyadarkan rakyat akan pentingnya nasionalisme.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
2. Kebutuhan Sumber Daya untuk Mendukung Perang Asia Tenggara adalah salah satu wilayah yang dianggap penting bagi Jepang khususnya untuk mendapatkan sumber bahan mentah dan bahan industri perang. Wilayah Asia Tenggara perlu dikuasai Jepang dan salah satunya Indonesia. Indonesia memiliki barang tambang seperti minyak bumi, bauksit, timah dan juga karet serta bahan bahan tambang srtategis lainnya yang penting bagi Jepang untuk mendorong atau mensuplai kebutuhan perang Jepang. Minyak bumi merupakan salah satu faktor pendorong yang penting bagi Jepang untuk membantu kelancaran perang Jepang dalam melawan sekutu di pasifik. Indonesia juga kaya akan bahan makanan, selain barang tambang yang banyak Indonesia juga terkenal dengan daerah yang subur banyak bahan makanan yang dapat diperoleh juga untuk membantu Jepang seperti jagung, kacang, dan bahan-bahan makanan lain yang penting dan berguna untuk keperluan perang Jepang. Indonesia juga mempunyai tenaga kerja manusia. Sumber daya manusia sangat penting bagi Jepang untuk membangun benteng-benteng pemerintahan serta digunakan sebagai pekerja. Jepang mengatur seluruh sumber daya manusia dan sumber daya alam dengan sistem perekonomian dengan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang ada. Prioritas utama Jepang adalah eksploitasi untuk kebutuhan perang dan bahan baku industri perang. Jawa adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan sumber tenaga manusia yang melimpah. Tujuan pokok penyerbuan Jepang ke Jawa sebagaimana ke bagian-bagian lain di wilayah Hindia Belanda adalah untuk mengekspoitasi sumber daya ekonomi di wilayah ini. Pedesaan di Jawa yang tanahnya subur dan memiliki jumlah penduduk yang banyak membuat Jepang tertarik untuk melakukan eksploitasi ekonomi dan tenaga manusia di Jawa (Aiko Kurasawa, 1993 : 3). Tujuan Jepang adalah memperoleh sumber bahan pangan supaya dapat meneruskan operasi militer mereka. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat penghasil beras yang setiap tahunnya menghasilkan 8,5 juta ton beras (Akira Nagazumi, 1988: 86). Hal ini sangat penting bagi Jepang sebagai pensuplai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
makanan bagi militer, sehingga Jepang berusaha mengeksploitasinya seefisien mungkin dengan cara kontrol intensif atas pulau Jawa. Setelah Jepang menduduki Jawa kebijakan ekonomi mulai dibuat. Jawa merupakan salah satu pulau Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan sumber tenaga kerja yang yang luar biasa. Kebijakan ekonomi yang dijalankan tentara Jepang yang secara ketat memperlakukan keharusan memenuhi kebutuhan pangan sendiri oleh setiap karesidenan membuat penderitaan yang sangat parah. Kebijakan itu sebagian besar didorong oleh kurangnya sarana pengangkutan baik di dalam maupun ke luar Jawa, tetapi hal itu dimaksudkan juga untuk memungkinkan perlawanan setempat yang mampu membiayai diri sendiri kalau nanti menghadapi serangan sekutu di daerah masing-masing. Dengan kebijakan ekonomi
diatas
semua
kebijakan
ekspor
dibatasi
(Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990 : 135). Kegiatan ekonomi seperti produksi pengumpulan padi dan lain-lain dikontrol langsung secara ketat oleh pemerintah. Hasil-hasil pertanian terutama padi tidak boleh dijual keluar daerah masing-masing dan penduduk hanya boleh membeli dari tempat yang sudah disediakan pemerintah Jepang (Kanpo No.32 Tahun 1943). Petani diperintahkan untuk menyerahkan sebagian panen mereka kepada pemerintah. Para petani terpaksa menjual panen padinya dengan jumlah yang besar di instansi-instansi milik pemerintah dengan harga yang sangat rendah (Ben Anderson, 1988 : 31). Selain itu untuk mengatasi langkanya komoditi maka distribusi dan sirkulasi tanaman harus dibatasi dengan sistem penjatahan. Untuk memperlancar kebijaksanaan tersebut maka dibuat lembaga ekonomi dibawah tanggung jawab pangreh praja yang bernama Kumiai atau koperasi gaya Jepang yang dibentuk di desa-desa. Kumiai atau koperasi gaya Jepang sebenarnya sudah berdiri di Jepang pada tahun 1900 atau tepatnya 33 tahun setelah pembaharuan oleh Kaisar Meiji, bersamaan waktunya dengan pelaksanaan undang-undang koperasi industri kerajinan. Walaupun dibawah nama industri kerajinan, koperasi ini pada hakekatnya bergerak juga di lapangan pertanian. Dengan dimulainya kegiatan pembelian dan pemasaran bersama hasil pertanian, koperasi terus tumbuh dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
berkembang terlebih-lebih dalam tahun 1920-an ketika Jepang sedang mengembangkan industrinya maka koperasi menjadi tulang punggung bagi pembangunan pertanian yang menunjang industrialisasi. Gerakan koperasi pertanian mengalami kemajuan yang pesat sejak tahun 1930 an dan dalam menghadapi akibat krisis ekonomi yang melanda dunia sekitar tahun 1933-1940. rencana pembangunan koperasi 5 tahun diikuti dengan rencana pembangunan 3 tahun telah menghasilkan pembangunan koperasi ditiap kota dan desa di Jepang dan mempersatukan semua petani dalam satu gerakan koperasi-koperasi (Pengetahuan Perkoperasian, 1981 : 20). Koperasi di promosikan Jepang di bawah rencana 5 tahun untuk perluasan wilayah koperasi industri 1933-1937, dan menjelang tahun 1938 terdapat 276.157 koperasi pertanian ukuran kecil yang diorganisasikan di seluruh Jepang (Aiko Kurasawa, 1993: 223). Koperasi bukan hal yang baru bagi orang Jawa. Sudah ada beberapa koperasi pada zaman Belanda, hanya saja koperasi-koperasi tersebut tidak berkembang dengan baik. Pada tahun 1939 di Jawa terdapat 516 koperasi lokal yang terdiri dari koperasi kredit, koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi lumbung. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, pemerintah Jepang mualai melakukan usaha reorganisasi koperasi yang ada serta membentuk koperasi yang baru. Pada bulan agustus 1943 jumlah koperasi di karesidenan Priangan telah meninkat sampai 39, padahal tahun 1941 total koperasi di Jawa Barat hanya 311, sehingga ada peningkatan yang mengesankan hanya dalam kurun waktu 2 tahun. Upaya-upaya diperkuat dengan membuat program baru yang disebut susunan perekonmian baru untuk rakyat Jawa atau yang disebut Jawa Zumin Keizei Shintasei. Tatanan ekonomi baru ini berdasarkan pada gagasan tentang perekonomian terkendali sebagai lawan perekonomian laissez-faire. Para pemimpin Jepang masa itu menyatakan bahwa perekonomian laissez faire merupakan produk liberalisme Inggris dan Amerika yang harus dihancurkan, yaitu dengan berdasar semangat gotong royong. Salah satu dari lima program ekonomi baru
ini
adalah
pembentukan
koperasi
(Harry J. Benda dan Irikura, 1965: 112).
commit to user
ekonomi
rakyat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
B. Pembentukan Kumiai 1. Dasar Pendirian Kumiai Pada masa penjajahan Jepang ruang gerak koperasi terbatas, karena kegiatan rapat anggota koperasi tahunan tidak boleh mengambil keputusan. Semua keputusan diambil oleh pemerintah Jepang. Pembatasan-pembatasan lainnya adalah dalam hal mendirikan koperasi. Koperasi yang didirikan harus berdasar izin dari pemerintah Jepang. Pada awalnya pengaturan koperasi diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh pemerintah Belanda yaitu UU No.91 tahun 1927, setelah Jepang menyadari potensi yang dimiliki koperasi untuk mempengaruhi rakyat maka Jepang mengeluarkan undang-undang No.23 Tahun 1942 dan peraturan koperasi No.91 Tahun 1927 tidak berlaku lagi. Berdasarkan undang-undang No.23 pasal 2 yang isinya barang siapa hendak mendirikan perkumpulan harus mendapat izin dari pembesar-pembesar yang ada ditempatnya. Dengan sendirinya koperasi yang sudah didirikan dan akan didirikan harus mendapat izin dari pembesar setempat (Arifinal Chaniago,1984 : 117). Semua organisasi Kumiai sama-sama disebut penduduk sebagai Kumiai. Istilah Kumiai dalam bahasa Jepang secara harafiah disebut koperasi. Tetapi banyak penduduk yang tidak mengerti bahwa istilah Kumiai adalah koperasi. Dalam bahasa Jepang. Mereka tidak bisa memahami bahwa sifat dari Kumiai adalah koperasi. Kumiai yang mereka rasakan di masyarakat desa tidak sesuai dengan bayangan mereka tentang koperasi yang asli. Dalam pemahaman mereka, koperasi adalah sebuah organisasi dengan anggota yang memiliki sejumlah andil tertentu. Penduduk tidak tahu bahwa Kumiai adalah koperasi yang dibentuk pasukan Jepang untuk mengatur perekonomiain di desa-desa seperti
yang dikutip dari buku Aiko
Kurasawa (1993:211) menyatakan: Penduduk membedakan antara koperasi pada jaman Belanda yang merupakan koperasi “sesungguhnya” dan Kumiai pada jaman Jepang. Istilah koperasi tidak dipakai untuk Kumiai yang dipakai pada jaman Jepang. Ketika penulis bertanya kepada petani, “apakah Kumiai itu?”, penduduk memberi jawaban yang berbeda-beda banyak yang menjawab toko “milik pemerintah”. Sementara lainnya menyatakan “agen penggilingan beras yang mengumpulkan padi”. Beberapa mengatakan “bagian dari Hokokaki” karena Hokokai terlibat dalam distribusi barang dibeberapa daerah. Beberapa lainnya menyatakan, “seperti Koperasi”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Kumiai sebagai sebuah organisasi yang dibentuk atas peraturan pemerintah dan melibatkan seluruh desa, menurut pengertian petani tidak bisa disamakan dengan koperasi namun lebih seperti kantor pemerintah dibawah pengawasan pangreh praja. Penduduk desa baru menyadari bahwa Kumiai pada zaman Jepang mirip dengan KUD Koperasi Unit Desa yang ada sekarang ini. Kemiripan Kumiai dan KUD terletak pada tugas atau fungsi dari kedua organisasi tersebut. Kumiai atau KUD mempunyai tugas antara lain a)
KUD dan Kumiai sama-sama menyediakan alat-alat produksi, bahanbahan dan hasil hasil pertanian yang ada untuk dijual kembali pada anggotanya.
b)
KUD dan Kumiai sama-sama bertugas untuk memasarkan atau mendistribusikan hasil-hasil pertanian yang sudah dihasilkan oleh anggotanya.
c)
KUD dan Kumiai sama-sama memberikan pendidikan dan penyuluhan terutama masalah teknologi baru dan pendidikan administrasi serta berorganisasi (Sri Edi Swasono,1987:262). Jepang menganggap koperasi yang ada mempuyai peran yang penting
dalam perekonomian dan dapat digunakan oleh Jepang untuk mengatur dan memonopoli kegiatan perekonomian. Jepang kemudian memberi mandat kekuasaan kepada para Syucokan atau pembesar Karesidenan untuk mendirikan Kumiai di setiap karesidenan yang mereka pimpin. Setiap Karesidenan berhak mendirikan dan membuat aturan sesuai dengan keadaan yang ada pada karesidenan mereka. Sehingga pendirian dan aturan setiap Kumiai berbeda antara satu karesidenan dengan karesidenan yang lain. Jepang juga memerintahkan para Syucokan supaya setiap kelompok kejuruan harus menyelenggarakan satu koperasi atau Kumiai, sehingga seluruh wiraswasta yang ada besar atau kecil dapat dikontrol dan diawasi oleh pemerintah Jepang. Para wiraswasta tersebut dipaksa untuk masuk koperasi atau pabrik mereka tidak akan mendapat pasokan barang atau penyaluran produk-produk mereka. Koperasi ini diselenggarakan hampir di semua bidang industri, pertanian, dan perdagangan di Jawa (Tjahaya, 6 juli 1943).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
Kumiai kemudian memiliki peran yang sangat penting bagi Jepang untuk mengontrol perekonomian sejak keluarnya Susunan Perekonomian Jawa Baru yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang 2 April tahun 1944. Kumiai tidak lagi menjadi alat pengumpul makanan namun juga sebagi alat distribusi dan penjatahan pangan kepada rakyat di pedesaan maupun perkotaan. Untuk menyusun kembali koperasi sebagai badan gotong royong serta sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui Susunan Perekonomian Jawa Baru maka dibentuklah komite untuk mengembangkan kebijakan koperasi tersebut. Komite itu mempunyai anggota yang terdiri dari orang Indonesia dan Jepang seperti Margono Djoyohadikusumo, Mohamad Hatta, Nakamura, Nazaki dan perwakilan lainnya. Komite ini bertugas untuk merancang asas dan mencari cara supaya koperasi yang ada agar dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan pemerintah Jepang. Pemerintah bermaksud untuk mengatur koperasi yang bergerak di bidang pertanian, Industri dan perdagangan dan niaga menjadi mitra Jepang di masa perang (Asia Raya, 6 september 1944). Keterlibatan orang-orang Indonesia sangat penting dalam Kumiai karena sebagai propaganda, oleh karena itu Jepang perlu memasukan
orang-orang
Indonesia
seperti
Mohamad
Hatta,
Margono
Djoyohadikusumo dan lain-lain yang secara tidak langsung mempropagandakan pentingnya Kumiai bagi masyarakat. Koperasi ini bertujuan untuk mendukung perang yang sedang dilakukan Jepang dalam usahanya untuk mencapai Asia Timur Raya. Pembentukan koperasi ini adalah untuk melindungi kepentingan ekonomi pribumi Indonesia dari golongan cina serta membantu pengembangan industri nasional namun pada kenyataannya koperasi ini adalah untuk memperkuat pengaruh dan kontrol atas kegiatan
ekonomi
pribumi
bahkan
juga
dengan
orang
cina
(Aiko Kurasawa, 1993: 210). Tujuan utama adalah untuk mengontrol seluruh komoditi barang dan makanan sesuai dengan ekonomi perang. Di daerah pedesaan sebagai penghasil bahan makanan Kumiai bertugas untuk mengumpulkan hasilhasil panen dari para petani yang ada untuk pemerintah Jepang sedangkan di perkotaan Kumiai menjadi bahan penyalur atau pembagi jatah keperluan rumah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
tangga pada konsumen atau penduduk. Kumiai ini biasanya disebut Haikyu Kumiai (Wahyu Sukotco, 1978 : 32). Dalam sidang Bunkakai ke IV komite yang sudah terbentuk berhasil merancang asas koperasi. Komite membagi asas koperasi ke dalam tiga lapangan ekonomi penting. Tiga lapangan penting itu adalah pertanian, industri, perniagaan. Pada lapangan pertanian koperasi ini bertugas mengatur pembagian dan pengumpulan serta menghasilkan bahan-bahan makanan yang penting pada masa perang. Tujuan koperasi pertanian adalah memajukan perekonomian orang pribumi, mempercepat produksi serta mendistribusikan hasil-hasil panen secara adil pada rakyat. Pada sektor industri adalah untuk menumbuhkan industri rakyat, memperluas tenaga produksi dalam hal ini adalah barang-barang yang diperlukan guna mendukung pertempuran tentara Jepang. Pada sektor perdagangan, yaitu untuk menormalisasikan kegiatan perdagangan dan meningkatkan manajemen dalam hal perdagangan komoditi barang dan makanan dengan menyesuaikan struktur pedagangan kaum pribumi pada masa perang. Khusus koperasi perdagangan ini hanya ada di kota-kota saja Untuk mengefektifkan kerja koperasi maka pemerintah mengaktifkan propaganda-propaganda yang dilakukan oleh lembaga propagandanya yaitu Sedenbu, untuk lebih meningkatkan pengabdiannya pada pemerintah Jepang. Koperasi yang terbentuk ditiap desa berada dibawah pengawasan Jepang. Keputusan-keputusan yang diambil oleh rapat anggota harus sesuai dengan keinginan Jepang sehingga koperasi-koperasi yang seharusnya merupakan suatu lembaga yang bergotong royong seperti dalam asasnya namun pada masa Jepang kontrol berada pada pemerintah. Untuk sektor lapangan lainnya misalnya perikanan, kelautan, jasa pengangkutan dan lain-lain, dibentuk pula perkumpulan koperasi yang diambil dari jenis dan dasar yang sama dan sesuai dengan tujuan yang telah tercantum dalam asas koperasi yang telah dibuat oleh koperasi dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ekonomi yang telah dibuat. Untuk menjalankan koperasi yang telah dibuat, pemerintah membentuk kantor Jawatan urusan
ekonomi
rakyat
atau
(Harry J. Benda dan Irikura, 1965:115).
commit to user
Jumin
Keizaikyoku
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
Jepang
memerintahkan
supaya
setiap
kelompok
kejuruan
harus
menyelenggarakan satu koperasi, sehingga seluruh wiraswasta yang ada besar atau kecil dapat dikontrol dan diawasi oleh pemerintah Jepang. Para wiraswasta tersebut dipaksa untuk masuk koperasi atau pabrik mereka tidak akan mendapat pasokan
barang
atau
penyaluran produk-produk mereka.
Koperasi ini
diselenggarakan hampir di semua bidang pepabrikan, pertanian, dan perdagangan di Jawa. Koperasi tersebut antara lain: koperasi produsen tapioka, koperasi pembuat batik, koperasi produsen benang karet, koperasi pabrik tenun, koperasi pengemudi dokar, koperasi penggilingan beras, koperasi pedagang besar, koperasi penjual sayur, koperasi nelayan, koperasi pembuat bata dan lain-lain semua tercatat oleh pemerintah Jepang (Aiko Kurasawa, 1993: 210). Dari berbagai jenis koperasi yang ada hanya koperasi bidang pertanian saja yang mempunyai dampak penting dalam kehidupan masyarakat serta dalam hal mengumpulkan hasil bumi. Jepang membuat persis koperasi pertanian di Jepang sama dengan koperasi pertanian di Jawa.
2. Struktur dan Kepengurusan Kumiai Sebelum kantor Jawatan urusan ekonomi rakyat terbentuk pengawasan Kumiai berada dibawah Syomin Kumiai Tyoo Dzimuso yang kantornya terletak di Jakarta. Banyaknya Kumiai yang berada di daerah-daerah menyebabkan banyak permasalahan yang timbul, sehingga untuk mengatasi masalah koperasi di daerahdaerah tersebut, maka kantor pusat mempunyai kantor cabang di setiap daerah. Kantor cabang yang mengurusi masalah kebutuhan makanan dibagi dalam tiga daerah yaitu Jakarta, Semarang, dan Surabaya antara lain: a) Seibu DJawa Syomin Kumiai Sodandyo (kantor penerangan koperasi dan perdagangan dalam negeri daerah Jawa Barat) b) Tyubi DJawa Syomin Kumiai Sodandyo (kantor penerangan koperasi dan perdagangan dalam negeri daerah Jawa Tengah) c) Toobu DJawa Syomin Kumiai Sodandyo (kantor penerangan koperasi dan perdagangan dalam negeri daerah Jawa Timur)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Kantor-kantor cabang ini mengurus keperluannya masing-masing dan diberi kuasa penuh untuk menerapkan kebijakan-kebijakan dan kontrol atas perekonomian kususnya koperasi di daerah masing-masing, sehingga orang-orang yang ingin mendirikan koperasi atau hal-hal yang berkaitan dengan koperasi tidak perlu datang ke kantor pusat yang berada di Jakarta, mereka bisa ke kantor cabang. Hal itu dilakukan selain untuk menghemat ongkos dan biaya perjalanan juga karena di berbagai daerah penerangan dan kebijakan perkoperasian yang berbeda satu dengan yang lain (Tjahaya, 25 juni 1942). Setiap daerah punya perwakilan sehingga pemerintah Jepang lebih mudah untuk mengontrol dan mengawasi seluruh proses produksi serta peredaran tanaman dan komoditi yang penting bagi Jepang. Dalam perkembangannya banyak perlakuan staf kantor pusat dan daerah yang banyak merugikan rakyat sehingga perekonomian di daerah menjadi terganggu, karena Syomin Kumiai Tyoo Sodandyo dan Syomin Kumiai Sodandyo sangat merugikan perekonomian rakyat maka kepercayaan rakyat pada mereka mulai pudar dan hasilnya pada tanggal 1 agustus 1944, didirikan Zumin Keizaikyoku (kantor perekonomian rakyat) dan bertugas mengurus seluruh perekonomian rakyat. Sebagai tindakan untuk memperbesar kegiatan perekonomian maka pemerintah pemerintah Jepang membentuk badan perekonomian baru yang disebut Zumin Keizaikyoku (kantor perekonomian rakyat) yang terdiri dari 3 bagian yaitu: a) Soomuka (bagian urusan umum) bertugas mengatur dan mengurus perhubungan dan berbagai kantor gunseikanbu yang lain tentang soal ekonomi rakyat. b) Kigyooka (bagian urusan perusahaan) memberi pimpinan kepada rakyat di berbagai lapangan pekerjaan serta mendidik ahli tehnik di samping menjalankan pemeriksaan, penyelidikan dan pimpinan yang berhubungan dengan usaha membantu serta memlihara perusahaan rakyat di lapangan pertanian, perindustrian, perniagaan, peternakan dan lain-lain. c) Kumaika (bagian urusan koperasi) menyelenggarakan penyelidikan, pemeliharaan, pimpinan serta pengawasan atas koperasi-koperasi yang di usahakan oleh rakyat (Kanpo No 48 tahun 1944).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
Untuk mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan koperasi di bogor shu telah didirikan kantor penerangan dan perdagangan Syomin Kumiai Chuo Zimusho yang dipimpin oleh R.P.S Permana yang dibantu oleh Usman. Koperasi yang belum memperoleh surat pengesahan harus melapor pada pimpinan cabang di Bogor. Untuk mengetahui keterangan tentang koperasi bisa diperoleh dari pimpinan koperasi dan perdagangan, koperasi harus mempunyai anggaran dasar yang baik dan menunjukan pada yang berwajib bahwa itu baik. Dalam kegiatannya koperasi tidak boleh berhubungan dengan urusan politik dan mengusahakan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan politik. Jika syaratsyarat telah terpenuhi, maka kantor pusat akan segera melakukan pengesahan terhadap koperasi (Sinar baroe 12 juli 1942). Gambaran mengenai susunan pengurus dalam sebuah Kumiai diambil contoh dalam Nosanbutu Sukka Kumiai (koperasi usaha hasil bumi) di Priangan shu yang anggotanya adalah petani dan diwajibkan untuk menggabungkan dirinya pada kantor setempat. Adapun kedudukan kantor Nosanbutu Sukka Kumiai antara lain: a) Kantor besar pusat di Bandung shi b) Kantor cabang di Bandung ken c) Kantor cabang di Sumedang ken d) Kantor cabang di Garut ken e) Kantor cabang di Tasikmalaya ken f) Kantor cabang di Ciamis ken Semua pengurus diangkat oleh Priangan Shucokan, yang terdiri dari: 1. Penasehat : terdiri dari beberapa orang Terdiri dari kepala Keizabu, Priangan Shucokan, kepala gudang bala tentara di Bandung dan beberapa orang ahli Indonesia di pertanian. 2. Pemimpin: 1 orang Mewakili koperasi dan mengatur segala pekerjaan. 3. Wakil: 1 orang Wakil ini bertugas membantu pemimpin 4. Kepala komisaris: 1 orang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
Bertanggung jawab pada semua produksi koperasi. 5. Komisaris: 1 orang Membantu kepala komisaris 6. Pengurus dan penilik: terdiri dari beberapa orang Masing-masing cabang Notasanbutu Sukka Kumiai mempunyai kepala cabang untuk mengerjakan perintah dari kepala komisaris. Penasehat, pemimpin, kepala komisaris masuk dalam pemimpin kehormatan. keperluan dari Kumiai ini dibayar dari pendapatan pungutan komisi uang, komisi tersebut besarnya 5% dari keuntungan kotor penjualan, urusan keuangan koperasi ini dikumpulkan dalam buku dan diadakan rapat tahunan. Sebulan sekali koperasi ini harus mengirimkan laporan kepada Priangan Shu. Dibawah ini adalah pengurus Notasanbutu Sukka Kumiai di Priangan: a) Penasehat: Hayashi keizabutyo Priangan shu, Pr butatyo dari yasenko bandung seibu, tuan Kencho dari masing-masing ken di Priangan shu. b) Penilik: tuan Soejoed dari dinas pertanian Priangan shi, tuan Rohiyat dari dinas perkebunan Priangan, tuan mr Tayeb dari Shomin Kumiai Sodandyo Bandung sisyo. c) Pelaksana: Ketua
dipimpin oleh Azuni sedang wakilnya adalah
Kartasasmita d) Pegawai : diambil dari pusat Nosanbutu Sukka Kumiai dan masing-masing ken diambil pegawai seperlunya (Kanpo Bulan 1 Tahun 1943). Jepang membentuk Kumiai disetiap kecamatan dan dikepalai oleh seorang soncho. Setiap unit mempunyai cabang pada tingkat desa yang diawasi oleh Kucho. Setiap cabang Kumiai di sebuah desa biasanya mempunyai beberapa anggota staf. Mereka ditunjuk dan diangkat oleh Kucho atau kepala desa sesuka hati. Ada beberapa staf yang ditunjuk yang berasal dari kalangan keluarga sendiri atau anak buahnya sendiri, karena sulitnya menemukan orang-orang yang mampu dan berpengalaman. Namun ada juga staf yang diambil dari luar kepemimpinan desa yang ada. Mereka yang diambil dari luar biasanya adalah orang yang masih muda dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar atau yang bepengalaman dalam bidang administratif, beberapa diambil dari pemuda yang sudah lulus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
sekolah namun belum mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Beberapa lainnya adalah mereka yang mempunyai pengalaman praktis seperti mandor dan perkebunan atau pemborong atau tengkulak. Orang-orang seperti itu sangat berguna sebagai staf Kumiai karena cukup banyak kegiatan Kumiai yang berkaitan dengan peredaran komoditi. Secara khusus adalah peran tengkulak yang kehilangan pekerjaan pokok mereka karena perekonomian yang dikontrol Jepang tidak memperbolehkan adanya pengumpulan padi oleh tengkulak tradisional ini (Aiko Kurasawa, 1993 : 215). Untuk mendapat tenaga koperasi yang cerdas maka Gunseikanbu membuka tempat pendidikan calon pengurus koperasi yaitu Kyodo Kumiai Yooin Yoesisyo (tempat pendidikan untuk menjadi pengurus koperasi). Zumin Kezaikyoku telah mengadakan kursus selama 2 bulan untuk medidik 170 orang dari pulau Jawa. Kursus yang dilakukan akan menjadi dasar untuk mengadakan kursus sekanjutnya. Kursus-kursus itu meliputi antara lain: 1. Pendidikan rohani; 2. Cita-cita perekonomian baru; 3. Pengetahuan umum tentang koperasi; 4. Undang-undang mengenai koperasi; 5. Urusan koperasi yang praktis; 6. Memegang buku koperasi; 7. Pengetahuan umum dalam ekonomi; 8. Sejarah dan bahasa nipon. Bagi peserta yang ingin ikut kursus untuk menjadi pengurus koperasi hendaknya mengajukan surat permintaan kepada pengurus koperasi atas persetujuan dari Shucokan dan kemudian pengurus koperasi akan menerima mereka menjadi pelajar sesudah lebih dulu lulus dari dalam ujian umum dan pemeriksaan badan. Selama menempuh pendidikan pelajar tinggal di asrama dan lama pendidikan sementara menempuh 2-3 bulan. Bagi pemerintah Jepang tempat dan hasil pendidikan ini sangatlah penting karena yoseisyo atau tempat kursus ini memberikan pengetahuan dalam perekonomian kepada rakyat yang belum mengerti tentang Kumiai (Kanpo No 68 Tahun 1945).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
C. Peran Kumiai Pada Masa Penjajahan Jepang di Jawa 1. Peran Kumiai dalam Pengumpulan Padi Jawa dibawah pemerintahan Jepang ditetapkan sebagai pemasok beras bagi pulau-pulau di luar Jawa, Malaya-Inggris, dan Singapura serta untuk medan pertempuran di pasifik selatan. Meskipun kapasitas produksi Jawa tidak sebesar Siam atau Burma dan Chococina, yang mengekspor jutaan ton beras, Jawa merupakan salah satu dari sedikit daerah penghasil beras di daerah kepulauan Indonesia. Pada masa perang ketika angkutan jarak jauh sangat sulit karena langkanya perkapalan mermburuknya keamanan dilaut, arti beras dari Jawa untuk Asia Tenggara tersebut semakin meningkat bahkan beras Jawa dikenal bermutu tinggi dan rasanya enak yang lebih disukai oleh orang Jepang dibandingkan beras berbutir panjang yang dihasilkan di daratan Asia Tenggara. Oleh karena itu Jepang berkeinginan memperoleh beras Jawa dan kebijakan mereka ditujukan untuk memaksimumkan produksi dan mengumpulkan beras dan komoditi penting lainnya (Aiko Kurasawa, 1993 : 3). Pada mulanya orang Jepang sangat sibuk dalam usaha memulihkan keamanan dan ketentraman sehingga tidak ada kesempatan untuk mulai dengan politik beras. Jepang hanya meneruskan politik Belanda yang memperbolehkan pemasaran bebas dengan memberlakukan pengawasan harga. Para petani masih dapat menyalurkan hasil mereka dan orang Jepang membeli beras yang dibutuhkan melalui Rijst Verkoop Centraal pusat pembelian beras yang ada. Karena kebutuhan beras yang besar dan banyak untuk keperluan perang di pasifik maka Jepang kemudian mengganti Rijst Verkoop Centraal atau RVC menjadi Beikoku Tosei Kai (BTK). Padi yang berada di bawah pengawasan Negara dan hanya pemerintah yang diizinkan melakukan seluruh proses pungutan dan penyaluran padi. Untuk tujuan itu didirikan sebuah badan pengelola pangan yang dinamakan Shokuryo Kanri Zimusyo disingkat SKZ, yang berada dibawah Gunseikanbu. SKZ bertanggung jawab menguasai proses pembelian dan penyaluran padi di bawah monopoli negara serta menentukan jumlah padi yang akan dibeli pemerintah. Badan ini juga bertanggung jawab menentukan harga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
resmi padi. Badan ini kemudian membuat rencana terinci mengenai penyaluran padi untuk penduduk perkotaan (Akira nagazumi, 1988 : 88). Dalam Osamu Sirei No. 14 Tahun 1943, SKZ pada bulan September 1943 disatukan ke dalam Zyuuyo Bussi Koodan (badan pengawasan barang-barang penting) yang baru saja dibentuk, tetapi pada bulan April seksi pangannya di dipisah dan sebuah organisasi independen bernama Shokuryoo Kanri Kyoku (Biro Pengelolaan Pangan) dibentuk dengan cabang di Semarang, Surabaya serta sebuah agen di Bandung (Abdoel Karim, 1942 : 147). Pengusaha penggilingan maupun pedagang tidak diizinkan beroperasi dengan prakarsa sendiri. Penggilingan padi dapat beroperasi hanya sebagai wakil SKZ serta menggiling padi dengan komisi tertentu,
tapi
tidak
boleh
ikut
membeli
dan
menjual
padi
(Kanpo No 32 Tahun 1943). Seluruh
penggilingan
beras
dan
pedagang
beras
yang
ada
direorganisasikan ke dalam persekutuan bergaya Jepang yaitu Kumiai yang ada disetiap karesidenan, keanggotaan mereka bersifat wajib dan mereka tidak diizinkan beroperasi kecuali jika bergabung didalamnya. Kumiai disetiap karesidenan diawasi oleh tiga federasi, masing-masing untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan penggati Riijst Verkoop Centraal atau Beikoku Tosei Kai atau Persatuan Kontrol Beras. Persatuan penggilingan beras mula-mula disebut dengan nama Beisho Kumiai namun kemudian berubah nama menjadi Seimagyo Kumiai yang fungsinya sama dengan Rijst Verkoop Centraal atau Beikoku Tosei Kai. Pedagang beras bahkan juga disatukan kedalam sebuah organisasi semi pemerintah yang disebut Beikoku Oshuri Kumiai atau BOK (Koperasi Pedagang Beras) yang dibentuk disetiap karesidenan. Anggota persatuan ini menerima beras melalui persatuan penggiling beras dikaresidenan mereka
dan
mendistribusikannya
pada
toko-toko
eceran
(Aiko Kurasawa, 1993 : 71-72). Beikoku Oshuri Kumiai membeli beras dari Seimagyo Kumiai beras yang dijual merupakan beras yang dibeli oleh badan pengawas makanan sebanyak 5 % dari hasil panen yang ada dari petani-petani di desa. Beikoku Oshuri Kumiai kemudian membagikan beras yang telah dibeli tadi kepada Kumiai yang disebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
Haikyu Kumiai dan Beikoku Kouri Kumiai yang diambil di daerah dalam gun. Orang-orang yang memainkan peran penting dalam BOK dan BKK sebagian besar adalah orang-orang cina, namun pemerintah militer Jepang juga mendorong agar rakyat pribumi juga mengatur pengelolaaan agar kelihatan bahwa orang pribumi tidak diasingkan di pasar beras. SKZ menentukan jumlah padi dan beras yang diperlukan oleh pasukan Jepang, serta untuk Konsumsi Lokal. SKZ menentukan jumlah permintaan tiap Shu berdasarkan kemampuan atau kapasitas daerah itu, dengan cara yang sama maka shu menentukan permintaan pada ken, ken pada gun, gun pada son dan son pada ku. Kucho berdasarkan pemberitahuan dari soncho kemudian menentukan kuota dengan caranya yaitu mengalokasikan sejumlah tertentu dari hasil per hektar terlepas dari kualitas tanah dan ukuran kepemilikannya. Ia membagi kuota yang telah ditetapkan dengan seluruh areal sawah yang ada didesanya untuk memperoleh angka berapa kuintal yang harus dikumpulkan oleh petani. Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk susunan Pemerintahan Jawa baru yang diberlakukan April 1943 maka dilakukan politik penyerahan paksa padi. Jepang menetapkan aturan bahwa pasar bebas sama sekali dilarang, dan petani diharuskan utntuk menyerahkan sejumlah padi dari hasil panen mereka kepada pemerintah. Padi yang diserahkan akan digiling dan didistribusikan melalui tangan pemerintah. Penggiling dan pedagang beras yang ada tidak lagi diizinkan untuk beroperasi atas prakarsa mereka sendiri beroperasi sebagai
tetapi hanya boleh
agen-agen teknis SKZ yang diizinkan mengolah atau
menangani beras dengan imbalan tertentu. (Cahyo Budi Utomo, 1987 : 185) Pada sidang Chuo Sangi In pada bulan april tahun 1944 yang digelar Gunseikanbu hasilnya adalah pada tingkat desa dibentuk lembaga sosial yaitu Nogyo
Kumiai
(Koperasi
Pertanian).
Lembaga
ini
diharapkan
dapat
memaksimalkan hasil pertanian. Dalam sidang itu juga diusulkan cara penyerahan padi secara bijaksana yaitu dengan memberikan penjelasan pentingnya melipat gandakan hasil bumi. Pemerintah Jepang memberikan janji kepada para petani jika dapat memberikan padi sebanyak-banyaknya maka petani akan diberi hadiah (Kanpo No 44 tahun 1944). Penetapan padi yang belum teratur diajukan usulan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
bahwa tiap ken hendaknya membentuk koperasi pertanian. Pangreh praja bertanggung jawab di ken, gun, son dan ku. Padi milik petani yang disimpan di lumbung padi diatur seadil-adilnya oleh Nogyo Kumiai. Dengan pengendalian harga yang dilakukan oleh pemerintah Jepang diusahakan petani tetap dapat membeli padi dengan harga yang terjangkau dan murah oleh petani (Kanpo No 55 tahun 1944). Inilah saran yang diberikan Badan Penasehat Pusat pada pemerintah di Jakarta.
b. Peran Kumiai dalam Distribusi Padi Dalam
usahanya
untuk
mengatasi pemenuhan
kebutuhan pokok
diantaranya komoditi beras, tahu, tempe, minyak kelapa, garam, gula, kopi, teh, rokok dan bahan sandang untuk rakyat maka dibentuk sebuah organisasi yang disebut Haikyu Kumiai sebagai organisasi distribusi
yang ada di tiap desa.
Namun menjelang akhir pendudukan Jepang sebuah koperasi baru yang dibentuk langsung berurusan dengan sandang pangan yang di sebut Shokuryo Haikyu Kumiai (Koperasi Distribusi Makanan) (Tjahaya, 1 Juni 1945). Mengenai masalah beras seluruh Kumiai daerah baik Haikyu Kumiai maupun Beikoku Kouri Kumiai menerima beras dari Beikoku Oshuri Kumiai di dalam kawedanan mereka. Orang-orang yang memainkan peran penting dalam Beikoku Oshuri Kumiai dan Beikoku Kauri Kumiai kebanyakan pada pada tingkat karesidenan adalah pedagang beras cina (Aiko Kurasawa, 1993 : 212). Adapun untuk kecamatan lebih dikontrol oleh pribumi Indonesia. Orang yang bertanggung jawab atas Haikyu Kumiai dan Beikoku Kauri Kumiai pada tingkat kecamatan adalah orang-orang pensiunan pejabat pemerintah dan kaum terpelajar setempat yang berpengalaman. Tetapi, dibeberapa kecamatan orang cina lah yang memiliki peran tersebut. Penduduk tidak diperkenankan untuk membeli beras diluar daerah kecuali warung yang sudah di tunjuk oleh pemeritah Jepang sebagai distributor. Biasanya warung yang sudah ada ditunjuk oleh distributor namun ada juga warung yang baru dibangun untuk pendistribusian pemerintah dalam hal ini mereka yang bertanggung jawab atas warung bukanlah orang yang berpengalaman namun biasanya orang yang berpengaruh dalam masyarakat seperti pemimpin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
agama atau guru (Aiko Kurasawa, 1993 : 212-213). Warung-warung seperti inilah yang disebut warung Kumiai. Penyempurnaan terhadap pembagian beras pada masyarakat telah dilakukan di mangkungara dengan jalan membubarkan Kochi Beikoku Kaouri Kumiai dan kemudian diganti dengan 150 warung Kumiai yang ditempatkan di 10 Ku jadi ada 15 tempat pembagian beras untuk rakyat (Asia Raya 5 Juli 1945). Di beberapa daerah distributor resmi beras ini diberi ukuran standart 625 g mangkuk pengukur kayu model jepan, dengan tulisan resmi ken-etsu atau sudah diperiksa. Hanya distributor resmi yang memiliki mangkuk pengukur kusus inilah yang berhak menangani masalah beras (Aiko Kurasawa, 1993 : 213). Hasil-hasil non pertanian biasanya didistribusikan dari agen pabrik atau grosir ke toko yang ditunjuk di setiap daerah misalnya minyak tanah disediakan oleh kantor distribusi pemerintah atau Sekiyu Haikyu Zimusho di setiap karesidenan. Minyak tanah di setiap KK di jatah 2,4 liter minyak tanah per bulan. Mengenai tekstil yang sangat langka pencatuan dimulai pada tahun 1943 dan di tangani
oleh
Kigyo
Tosekai
(Pengurus
Pabrik
Tenun)
(Aiko Kurasawa, 1993 : 214). Distribusi dari distributor kepada penduduk setempat dibantu oleh ketua rukun tetangga yang disebut kumicho. Pemberian catu kepada para penduduk dengan menggunakan kartu dengan kumicho sebagai penanggung jawab di setiap rukun tetangga. Setiap KK diberi nomor rumah dan kartu distribusi untuk setiap bulan oleh kumicho. Jumlah kartu yang diberikan oleh pemerintah Jepang terbatas dan tidak merata disetiap desa sehingga tidak cukup dibagi rata oleh seluruh penduduk (Kanpo, No.2 Tahun 1942).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
Mekanisme Penyerahan Padi
Shokuryo Kanri Zimusho (kemudian Shokuryo Kanri Kyoku) Cabang SKZ Surabaya dan Jakarta
Beikoku Tosei Kai B.T.K
Perintah penyerahan Kencho
Cabang B.T.K
Guncho
Perintah distribusi
Soncho
Organisasi pengumpul padi (Kumiai, dll)
Penggiling Beras
Penyerahan padi
Petani
distribusi Persediaan untuk sipil Beikoku Oshuri Kumiai (B.O.K)
Persediaan untuk militer Depot pengangkutan
Beikoku Kouri Kumiai atau Shokuryo Haikyu Kumiai
Pasukan
Distributor beras desa/kota Tonarigumi
Konsumen
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
D. Dampak Kebijakan Kumiai bagi Petani di Jawa 1. Dampak Ekonomi Untuk memperlancar kepentingan ekonomi maka pemerintah Jepang membentuk Kumiai secara paksa tidak hanya untuk distribusi tapi juga mengumpulkan makanan dengan harga yang rendah. Dengan adanya tindakan pemerintah Jepang yang represif dan melarang pendirian perkumpulanperkumpulan dan koperasi maka koperasi-koperasi yang yang sudah ada dan berkembang dengan baik seperti koperasi karet di Bogor, koperasi batik di Pekalongan, surakarta dan yogyakarta dan koperasi peikanan yang terdapat di pantai utara pulau Jawa semua di bubarkan oleh pemerintah Jepang (Sri Edi Swasono, 1987 : 28). Dari berbagai jenis Kumiai yang ada yang paling berdampak keras adalah Nogyo Kumiai atau koperasi pertanian. Pada tahun 1944 Jepang mulai kekurangan pasokan bahan makanan bagi tentaranya untuk berperang sehingga pemerintah Jepang memerintahkan penyerahan barang dan menambah bahan pangan dilakukan oleh Jawa Hokokai dan Nogyo Kumiai (Kanpo, No 20 tahun 3 April 1944 halaman 17). Dari semua jumlah hasil panen yang dikumpulkan. Rakyat memperoleh bagian 40%, pemerintah dapat 30% dan 30% lagi untuk pemerintahan yang diserahkan ke lumbung desa (Sinar Matahari, 15 mei 1944). Pada tingkat desa petani tidak diijinkan membawa hasil panen ke rumah. Petani hanya diperbolehkan membawa barang seperlunya saja yaitu untuk kebutuhan rumah tangga dan untuk makan dan hasil lainnya diserahkan ke Kumiai. Proses sesungguhnya dari pemungutan padi ini adalah sebelum panen para petani harus melapor kepada balai desa, sehingga Kucho dapat mengirim orang untuk mengawasi pelaksanaan panen di sawah. Misalnya, di Karang ampel son, sesudah bawon atau para pemotong padi di bayar upahnya semua padi basah yang dihasilkan dibawa ke tempat yang disebut lamporan untuk ditimbang. Kuota tetap per hektar diambil oleh pejabat desa pada saat itu juga. Jika panen kurang dari kuota yang telah ditentukan, petani harus menambah kekurangannya dari persediaan rumah tangganya yang biasanya diperoleh sebagai bawon ketika menolong sawah milik orang lain (Akira Nagazumi, 1988: 91). Pungutan padi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
tidak selalu dijalankan dengan adil. Ada laporan-laporan yang mengatakan bahwa pejabat para pejabat desa dan staf Kumiai tidak melaporkan atau menyerahkan kuota mereka dan kekurangannya dipenuhi dari panen para petani yang lain. Orang-orang yang bekerja di lamporan juga sering menipu para petani dengan cara menaksir kelembaban padi lebih tinggi dari kedaan sebenarnya dan mengurangi beratnya sesuai dengan taksiran tersebut. Mereka yang telah menyerahkan padi kepada pemerintah diberi sejumlah uang, tetapi pada tahun pertama uang ini dipotong untuk pajak tanah dan hanya sisanya yang dibayarkan pada para petani. Uang yang diberikan pemerintah sangat sedikit dan sangat kecil artinya bagi para petani. Hal itu dikarenakan harga diri pemerintah yang terlalu rendah dan karena inflasi yang tinggi maka nilei uang tersebut segera berkurang. Lagipula pemerintah juga menganjurkan agar penduduk menabungkan uangnya di kantor pos sebanyak mungkin dan sekali uang itu di tabung sulit sekali untuk di tarik kembali (Akira Nagazumi, 1988: 92). Semua setoran harus wajib disetorkan dalam bentuk padi dan harus diserahkan pada Seimagyo Kumiai. Setelah diambil untuk kebutuhan militer dan sipil tentara Jepang, barulah sisanya didistribusikan pada melalui koperasi pertanian Nogyo Kumiai. Dengan adanya penggilingan padi setoran oleh pabrikpabrik ini berarti bahwa hasil sampingan seperti meniran, dedak, dan sekam yang berharga bagi petani jika dihitung jumlahnya hampir 33% dari hasil panen para petani lenyap, sehingga petani terpaksa harus membeli kembali dari pabrik penggilingan
guna
memberi
makan
ternak
dan
unggasnya
(Anton Lucas, 1989 : 44). Mekanisme melalui tengkulak dipatahkan tengkulak dilarang beroperasi dan masyarakat dilarang menjual padi secara bebas sehingga tengkulakpun banyak yang kehilangan pekerjaannya. Masyarakat kota mulai sulit untuk mendapat pasokan makanan karena hasil panen yang sangat sedikit juga karena banyaknya pungutan yang dilakukan pemerintah Jepang terhadap para petani. Selain itu Haikyu Kumiai yang merupakan koperasi distribusi tidak dapat menjalankan tugasnya dengan benar karena barang tidak sampai di tangan konsumen dikarenakan banyaknya staf-staf Kumiai yang korupsi terhadap hasilhasil panen (Lapian AB dan Chaniago, 1988 : 25).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
Jumlah komoditi yang sangat terbatas dan ketidakadilan berpusat pada disekitar staf Kumiai dan distributor. Seorang pedagang di ajatan indramayu mangatakan bahwa komoditi berkurang sedikit demi sedikit saat turun dari atas ke bawah, dan hanya sekitar 10% dari jumlah semula yang benar-benar sampai ke penduduk. Sisanya secara ilegal diambil staf Kumiai dan dijual ke pasar gelap (Aiko Kurasawa, 1993: 214). Ketidakadilan seringkali terjadi, korupsi banyak dilakukan oleh pangreh-pangreh praja yang seharusnya menjadi pejabat yang membantu petani. Cara-cara korupsi yang dilakukanpun bermacam-macam diantaranya adalah: (1) pangreh praja atau lurah menaksir setoran kurang dari berat sebenarnya dengan dalih padi terlalu basah, sehingga mengurangi rata-rata 3% per kuintal dari berat sebenarnya; (2) banyak gabah jatuh ditanah sewaktu di timbang sehingga satu kilogram dari setiap kuintal gabah jatuh ke tangan pangreh praja; (3) dengan menilei sangat rendah panenan lurah sendiri dari tanah bengkoknya, dan menutup jatah setorannya dengan padi penduduk sedangkan padinya sendiri dilempar ke pasar gelap; (4) dengan menggunakan timbangan yang hanya berkapasitas 60 kilogram sehingga harus menimbang dua kali setiap 1 kuintal. Kecurangan gampang terjadi karena lurah bisa mengambil 1-2 kilogram padi setiap kali timbang. Bila petani memrotesnya lurah dengan mudah mengatakan bahwa kekurangan timbangan itu untuk mengganti kekurangan padi yang jatuh ketika dalam pengangkutan ke penggilingan. Jika nantinya daerah tersebut kekurangan kuota yang telah ditetapkan oleh pemrintah pusat maka petani lagi yang terkena imbasnya dengan membayar dengan hasil panennya sendiri (Anton Lucas, 1989 : 46-47). Untuk mengatasi hal seperti ini maka di Tonjong (Brebes) tidak ada distribusi dari Kumiai melainkan memalui rukun kampong dan rukun tetangga sehingga akan memudahkan pengawasan (Anton Lucas, 1989 : 47). Kumiai berhenti beroperasi seiring dengan menyerahnya Jepang dan diberbagai daerah di Jawa, Nogyo Kumiai yang disponsori Jepang digantikan rukun tani di bawah bimbingan para pemimpin politik. Rukun tani dibentuk atas prakarsa para petani berdasarkan gagasan yang sama sekali berbeda dengan Kumiai. Dengan demikian sejauh menyangkut Nogyo Kumiai atau Kumiai-Kumiai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
semacamnya yang lain jarang ada kesinambungan dengan organisasi petani pasca kemerdekaan. Kecuali beberapa kasus di daerah-daerah yang meneruskan Kumiai yang sudah ada dan hanya mengganti namanya saja namun asas dan gagasanya berbeda dengan Kumiai (Aiko Kurasawa, 1993: 217).
2. Dampak Sosial. Penyerahan padi yang luar biasa besarnya telah menekan ekonomi petani secara terus menerus. Pada zaman Belanda saja rakyat hanya makan 60% dari apa yang dibutuhkan, pada penjajahan Jepang ini rakyat harus lebih banyak lagi mengurangi konsumsi mereka, dan akan menderita kelaparan. Untuk mengatasi kekurangan tersebut pemerintah juga menganjurkan agar rakyat makan bubur perjuangan dan bubur asia raya. Dimana sebagaian besar menu yang dianjurkan pemerintah adalah menggunakan singkong, jagung, kedele dan palawija lainnya bukan dari padi. Makanan pengganti yang seharusnya mudah didapat juga sulit di dapat oleh rakyat karena harga makanan pengganti ini naik cepat di pasaran bebas, karena produksi berkurang sedangkan permintaan bertambah. Keadaan di pedesaan lebih buruk dari pada di perkotaan, dan yang lebih menyedihkan penghasil makanan lebih banyak menderita kelaparan dibandingkan dengan konsumen di kota. Hal ini dikarenakan di kota-kota beras disalurkan melalui koperasi distribusi Haikyu Kumiai dengan harga yang sangat murah. Sebagai akibatnya hongoroedeem atau busung lapar menjalar di masyarakat pedesaan. Banyaknya kematian, penyakit-penyakit membuat keadaan penduduk semakin menderita. Kesejahteraan sosial sudah mulai buruknya sehingga pada tahun 1944 disemua karesidenan tingkat kematian lebih tinggi dari tingkat kelahiran, dan jumlah penduduk menurun untuk pertama kalinya dalam sejarah penduduk Jawa (Akira Nagazumi, 1988: 92-93). Merosotnya jumlah penduduk di Jawa adalah akibat keadaan penduduk yang susah dan memprihatinkan karena kekurangan pangan dan penyakit, menurut taksiran pada masa penjajahan Jepang jumlah kelahiran di Jawa merosot dari 20% sampai 18 %. Namun tingkat kematian naik dari 16% sampai 40%. Hal ini berbeda dengan pada saat penjajahan Belanda,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
walaupun Belanda juga menjajah namun kesejahteraan rakyat masih diperhatikan sehingga jumlah kematian karena kekurangan pangan dan penyakit tidak terlalu parah ( Praduji Atmosudirjo, 1970:26). Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang semakin menakutkan dan menghina penduduk. Pada tahap inilah terjadi pemberontakanpemberontakan petani secara besar-besaran. Pemberontakan petani ini misalnya pemberontakan petani yang terjadi di desa Kaplongan Kabupaten Indramayu. Pada tahun 1944 ketika panen baru saja dimulai. Para petani di Desa Kaplongan Indramayu diberitahu oleh pejabat desa atau Kucho bahwa petani harus menyerahkan semua padi mereka kecuali padi gedeng per rumah tangga. Satu gedeng kira-kira seberat 5 kilogram. Dengan adanya peraturan ini maka para petani tidak boleh menyimpan padi lebih dari 10 kilogram. Keadaan ini tentu saja membuat para petani merasa tertekan dan akhirnya menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah Jepang. Dalam keadaan apapun selalu Kucho yang bertanggung jawab paling terakhir sebagai wakil dari pemerintah sehingga Kucho tidak bisa bertindak selain sangat kejam pada penduduk. Misalnya Kucho yang melakukan penggeledahan di rumah-rumah untuk mencari beras yang disembunyikan. Para Kucho biasanya lebih bertindak otoriter dan sangat mempunyai pengaruh di dalam masyarakat sehingga kebencian penduduk biasanya terpusat pada Kucho yang semena-mena dan otoriter (Aiko Kurasawa, 1993: 448-449). Berdasarkan laporan dari polisi setempat menyatakan yang menyebabkan pemberontakan terjadi di Indramayu dalah adanya pengumuman pemerintah supaya seluruh padi termasuk yang di cadangkan untuk bibit dan konsumsi rumah tangga harus diserahkan pada pada pemerintah. Salah satu mantan Azacho (kepala rukun tetangga) di desa umerah menyatakan secara tegas yang mendorong pemberontakan tersebut adalah cara penanganan Kumiai di daerah ini, menurut sumber lain dari desa singaparna ketua koperasi bernama ketos adalah seorang komunis yang sangat membenci masyarakat Islam (Aiko Kurasawa, 1993: 466-491). Kemudian juga di Indramayu tepatnya di Bugis ken pemberontakan dimulai dengan serangan terhadap rumahrumah pamong desa. Rumah kucho Perwata mengalami rusak ringan, sedangkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
rumah sekretaris desa Tohir dan Daspin rusak berat. Dua orang ini bekerja sebagai staf Nogyo Kumiai dan dianggap tidak berlaku adil dalam penyaluran minyak tanah dan bahan makanan lainnya (Akira Nagazumi, 1988: 101). Selain itu masih banyak pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Indramayu dan sekitarnya serta daerah-daerah lainnya yang selama ini merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Jepang. Pada intinya terjadi pemberontakan di berbagai daerah, akan tetapi Kumiai juga mempunyai peranan dalam pemberontakan yang terjadi di daerah tersebut. Kumiai juga mempunyai dampak positif kususnya menambah pengalaman staf sehingga mampu mengangkat diri sebagai pemimpin potensial di masa depan. Melalui pengalaman mereka memeperoleh keuntungan karena sebagai staf Kumiai mereka mendapatkan pengaruh dari reputasi di masyarakat desa, sehingga dapat menjadi pemimpin di desanya. Biasanya orang yang pernah menjadi staf Kumiai dan mempunyai reputasi yang baik di desanya maka ia akan cepat menjadi pemimpin di desanya. Selain itu mereka yang aktif dalam staf Kumiai dapat dengan mudah menanamkan pengaruh atas penduduk. Mereka juga lebih mudah mendapatkan akses kepemimpinan di desa-desa (Aiko Kurasawa, 1993: 216-219).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Latar belakang pembentukan organisasi Kumiai di Jawa antara lain adalah: a)
Keadaan sosial ekonomi masyarakat Jawa pada awal masa penjajahan Jepang yang masih belum teratur karena Jepang sibuk memulihkan keamanan pasca penjajahan Belanda.
b)
Kebutuhan sumber daya alam untuk mendukung perang. Jawa adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan sumber tenaga manusia yang melimpah supaya dapat meneruskan perang melawan sekutu.
2. Kumiai atau koperasi gaya Jepang didirikan disetiap karesidenan yang ada dengan memiliki peraturan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Pembentukan Kumiai berdasarkan pada undang-undang yang dikeluarkan oleh Jepang yang menyadari potensi yang dimiliki koperasi untuk dapat mempengaruhi rakyat, Jepang mengeluarkan Undang-undang No.23 untuk menggantikan UU No.91 Tahun 1927 yang isinya larangan berkumpul dan melakukan persidangan-persidangan yang tidak diketahui oleh Jepang. Kumiai didirikan di berbagai sektor yaitu perdagangan, perindustrian dan pertanian. Struktur kepengurusan Kumiai terdiri dari penasehat, pemimpin, wakil pemimpin, kepala komisaris, komisaris dan pengurus. 3. Peran Kumiai pada masa penjajahan Jepang adalah mengontrol kegiatan perekonomian. Dalam bidang pertanian Kumiai berperan sebagai pengumpul dan pendistribusian makanan untuk mendukung kepentingan Jepang. Di desa-desa Kumiai yang bertugas mengumpulkan hasil panen adalah Nogyo Kumiai. Untuk memenuhi kebutuhan makanan di kota-kota besar maka dibentuk Haikyu Kumiai sebagai distributor makanan dari desa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
dan sebagai penanggung Jawab dari Kumiai adalah kepala desa atau kepala rukun tetangga. 4. Kumiai mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dampak sosial Kumiai adalah kekurangan makanan sehingga munculnya busung lapar dan penyakit yang menyerang masyarakat. Dampak sosial Kumiai lainnya
adalah adanya
pemberontakan-pemberontakan sporadis di
berbagai wilayah di Jawa karena ketidakpuasan terhadap sistem Kumiai. Sedangkan dampak ekonomi dari Kumiai adalah pedagang pedagang yang tidak tergabung dengan Kumiai maka tidak akan mendapat pasokan. Begitu pula penentuan harga panen dari rakyat, mereka hanya menjual dengan harga rendah kepada pemerintah.
A. Implikasi 1.Teoritis Implikasi secara teoritis dalam penelitian ini adalah bahwa Kumiai muncul karena adanya kebutuhan besar Jepang terhadap sumber daya alam maupun manusia untuk membantu Jepang dalam perang pasifik. Kebutuhan Jepang akan sumber daya alam membuat Jepang mengeluarkan kebijakan politik dalam bidang ekonomi yaitu dengan mendirikan badan ekonomi baru di masyarakat yang disebut Kumiai (koperasi gaya Jepang). Kumiai menjadi alat pemerintah untuk melakukan politik ekonomi dan melakukan eksploitasi secara besar besaran terhadap rakyat. Organisasi Kumiai dibentuk oleh Jepang secara khusus yang bertujuan untuk mengontrol dan mengatur kegiatan perekonomian yang di khususkan di pedesaan sebagai penghasil bahan makanan. Badan-badan Kumiai ini dibentuk di setiap karesidenan berdasar pada peraturan masing-masing karesidenan sehingga pemerintah dapat mengontrol langsung hasil-hasil pertanian yang diserahkan oleh petani. Petani menjadi lebih tertekan karena banyaknya hasil panen yang harus disetorkan langsung ke pemerintah Jepang. Hal-hal seperti inilah yang mendorong munculnya perubahan-perubahan sosial di masyarakat karena banyaknya pajak bagi petani maka timbul masalah sosial seperti penyakit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
dan bahkan sampai pada pemberontakan-pemberontakan yang ada di daerahdaerah.
2. Praktis Kumiai di propagandakan oleh Jepang sebagai badan organisasi yang akan memakmurkan rakyat dan mendorong perekonomian rakyat. Sehingga para petani hanya ikut saja dan setuju dengan kebijakan-kebijakan Jepang tersebut. Walaupun dalam perkembangannya rakyat merasa apa yang dikatakan Jepang adalah bohong karena Kumiai hanya memonopoli hasil-hasil panen rakyat untuk kepentingan Jepang. Dengan adanya Kumiai rakyat makin menderita hal ini terlihat seperti munculnya meningkatnya kematian dan menurunnya derajad kesehatan manusia. Akibatnya muncul banyak penyakit seperti tipes, diare, kolera busung lapar karena kekurangan makanan dan penyakit kulit. Walaupun sifatnya mirip dengan koperasi yang sudah dikenal petani yaitu sebagai penyedia, pelatihan dan pemasaran namun dalam penerapannya Kumiai sama sekali jauh dari yang diharapkan oleh petani. Pada awal kemerdekaan rakyat tidak lagi percaya dengan Kumiai atau koperasi hal ini mencerminkan bahwa Kumiai sangat membuat rakyat menderita bahkan nama-nama Kumiai dihilangkan atau diganti dengan nama yang berbau Indonesia agar rakyat kembali percaya dengan koperasi.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut : 1. Bagi Mahasiswa Sebagai generasi muda khususnya calon pendidik Kumiai dapat dijadikan contoh pentingnya mempelajari sejarah perekonomian Indonesia. Sesuai dengan metode pembelajaran terintegratif dimana kita sebagai pendidik dituntut untuk dapat menjelaskan sejarah di lihat dari beberapa sudut pandang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
2. Bagi peneliti lain Penulis juga menyarankan kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai peran Kumiai dalam bidang yang lain seperti perdagangan dan perindustrian, karena keterbatasan sumber maka diharapkan peneliti lain mampu untuk meneruskan penelitian dibidang perekonomian masa Jepang ini karena masih banyak hal-hal menarik yang belum dikaji pada masa penjajahan Jepang di Indonesia.
commit to user