1
PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERWAWASAN KONSERVASI
ABDUL MUIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013
Abdul Muin E361080041
4
RINGKASAN ABDUL MUIN. Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, BAMBANG HERO SAHARJO dan TRI WISMIARSI. Pengembangan kebun sawit memberi konsekuensi terhadap kebutuhan lahan yang semakin besar, yang dalam prakteknya memanfaatkan lahan dari mengkonversi kawasan hutan sehingga menyebabkan rusaknya ekosistem hutan hujan tropis, terganggunya hidupan liar (flora dan fauna) dan fragmentasi habitat hingga kepunahan sejumlah besar spesies, khususnya jenis langka. Penelitian ini dilakukan pada 3 (tiga) unit perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Tengah dengan tujuan untuk (1) mengetahui penggunaan dan perubahan tutupan lahan, (2) menduga jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang hilang (biodiversity loss) dan bertambah (biodiversity gain) sebagai akibat dari perubahan tutupan lahan, (3) melakukan perhitungan finansial pengusahaan di lahan gambut dari berbagai tipe tutupan lahan, dan memasukan biodiversity loss dan biodiversity gain dalam analisisnya, (4) merumuskan model alternatif dan profile pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi. Pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi didefinisikan sebagai pengusahaan yang apabila tidak terjadi kehilangan biodiversitas, dengan kata lain hipotesisnya adalah biodiversity loss (bio-loss) sama dengan nol. Berdasarkan RTRWP Kalimantan Tengah Tahun 2003 (Perda Nomor 8 Tahun 2003), bahwa status lahan sebelum dibuka menjadi kebun sawit adalah bukan kawasan hutan. Analisis penggunaan lahan sebelum kebun sawit dibuka, menunjukkan bahwa lahan sebelum diambil alih merupakan areal eks konsesi HPH, bekas lahan perkebunan perusahaan lain, bekas ladang dan semak. Tutupan lahan berdasarkan hasil penafsiran citra landsat sebelum menjadi kebun sawit berupa hutan sekunder, semak belukar, pertanian campuran dan tanah kosong. Areal berhutan yang masih terdapat di dalam perkebunan dipertahankan sebagaimana kondisi awalnya, dan ditunjuk sebagai areal konservasi yang dilapangannya berupa areal sempadan sungai dan areal hutan bergambut. Identifikasi dan analisis potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar di areal berhutan (hutan primer, hutan sekunder) dan semak belukar dilakukan untuk mengetahui spesies yang patut diduga hilang (biodiversity loss). Hasilnya menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi di areal konservasi dalam perkebunan kelapa sawit lebih sedikit dibanding di hutan primer dan di hutan sekunder, volume tegakan di areal konservasi perkebunan lebih sedikit potensinya dibanding pada hutan primer dan di hutan sekunder. Keragaman jenis Shannon (Indeks Shannon H’) menujukkan jenis di hutan primer masih lebih berlimpah dibanding pada areal berhutan dalam perkebunan. Kekayaan jenis Margalef (Indeks Margalef DMg) di perkebunan tergolong dalam kriteria sedang hingga tinggi kekayaan jenisnya. Akibat adanya perubahan tutupan lahan hutan yang merupakan habitat penting bagi primata arboreal, menjadi kebun kelapa sawit menyebabkan beberapa jenis primata seperti orangutan dan owa yang sangat bergantung hidupnya dari keberadaan hutan menjadi tidak mampu bertahan hidup lebih lama. Demikian pula dengan jenis trenggiling yang semakin langka karena perburuannya yang meningkat akibat permintaan pasar. Beberapa jenis tumbuhan
5
dan satwa liar (TSL) yang dulunya hidup di areal tertentu kemudian setelah habitatnya berubah menjadi sulit bahkan tidak dijumpai lagi keberadaanya, diterjemahkan sebagai suatu kehilangan potensi biodiversitas atau “biodiversity loss”. Biodiversity loss (bio-loss) ini menjadi penting dan merupakan keharusan atau wajib diperhitungkan dalam pengusahaan perkebunan kelapa sawit berdasarkan skema konservasi. Namun di sisi lain akibat perubahan tutupan lahan yang awalnya berupa lahan yang kurang potensi (seperti tutupan lahan tanah terbuka/kosong) menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, diyakini menguntungkan bagi perkembangan satwa liar predator seperti burung hantu dan ular sawa yang menguntungkan bagi pengelolaan kebun sawit terutama dalam pengendalian hama tikus yang sangat merugikan produksi tanaman sawit. Hal ini diterjemahkan sebagai “biodiversity gain”, meskipun pemanfaatan potensinya dalam pengelolaan kebun bagi pengusaha bukan merupakan keharusan melainkan suatu pilihan alternatif dan sifatnya voluntary. Berkaitan dengan skema pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi, maka penilaian kelayakan investasi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut berdasarkan ukuran kriteria investasinya (NPV, IRR dan PBP), menghasilkan 8 (delapan) model alternatif yang layak dilaksanakan (menguntungkan), yaitu: pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada LGDang (03 m) dari tutupan lahan (1) Semak belukar nilai NPV Rp 278.246.174,-,IRR 38%, PBP 4.50 tahun; (2) Hutan sekunder nilai NPV Rp 183.779.650,-, IRR 15%, PBP 7.90 tahun; (3) Tanah terbuka nilai NPV Rp 282.597.650,-, IRR 41%, PBP 4.30 tahun; (4) Hutan primer nilai NPV Rp 89.141.650,-, IRR 9%, dan PBP 10.70 tahun; dan pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada LGDal (>3 m) dari tutupan lahan (5) Semak belukar nilai NPV Rp 220.570.287,-, IRR 32%, PBP 5.00 tahun; (6) Hutan sekunder nilai NPV Rp 126.040.287,-, IRR 13%, PBP 8.81 tahun; (7) Tanah terbuka nilai NPV Rp 224.858.287,-, IRR sebesar 35%, PBP 4.80 tahun; dan (8) Hutan primer nilai NPV Rp 40.320.287,-, IRR 8% , dan PBP 11.80 tahun. Model alternatif terbaik yang terpilih dan prioritas dilaksanakan adalah pengusahaan kelapa sawit pada lahan gambut dari tutupan lahan tanah terbuka dengan nilai NPV tertinggi per ha-nya Rp 282.597.650,-, IRR sebesar 41% (di atas suku bunga diskonto yang 6.5%), dengan PBP selama 4.3 tahun. Sebagai konsekuensi dari skema pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi yang menjawab hipotesis atas tidak terjadinya kehilangan potensi biodiversitas (bio-loss sama dengan nol), maka profil pengusahaannya harus (1) dilakukan pada tutupan lahan tanah terbuka (bukan berasal dari tutupan lahan berhutan); namun jika terjadi pada tutupan lahan hutan maka (2) harus ada penggantian biaya terhadap bio-loss tersebut; dan (3) investasi tersebut harus layak dilaksanakan (menguntungkan) yang ditunjukkan dari NPV bernilai positif, nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) dan jangka waktu pengembalian modal (PBP) yang relatif singkat. Kata kunci: Perkebunan kelapa sawit, perubahan tutupan lahan, biodiversity loss, dan analisis kelayakan finansial
6
SUMMARY ABDUL MUIN. Conservation-based Oil Palm Cultivation. Supervised by YANTO SANTOSA, BAMBANG HERO SAHARJO and TRI WISMIARSI The development of oil palm plantations has given a number of consequences on the great demand in land; however, in practice, there are a lot of accusations that land utilized comes from the conversion of forest areas, and this is suspected to be the cause of the loss of biodiversity of tropical rain forest ecosystems, cause of disruption of wildlife (flora and fauna), habitat fragmentation, and extinction of a large number of species, especially endangered species. The research was conducted in three (3) units of oil palm plantations located in Central Kalimantan Province in order to (1) determine the use and land cover change, (2) assume the plant species of wildlife suspected to be lost (biodiversity loss) and thought to be increased (biodiversity gain) as consequences of changes in land cover due to oil palm plantations (3) demonstrate the calculation of the financial analysis of oil palm cultivation carried out on various types of land cover and different peat depths, and perform analysis by taking biodiversity loss and gain biodiversity into account, and (4) formulate alternative models and describe the profile of conservation-based oil palm cultivation. Conservation-based oil palm cultivation in this research was defined as an activity with no biodiversity loss; in other words, the hypothesis indicated that biodiversity loss (bio-loss) was equal to zero. Based on the Provincial Spatial Plan of Central Kalimantan Province Year 2003 (Local Law Number 8 Year 2003), it is stated that the status of the land before it is opened for oil palm plantation is not a forest, but is located in the cultivation area/or in an area for other uses (APL). The result of analysis of land use prior to the opening of oil palm plantation showed that land for palm oil development was not entirely derived from wooded land cover (tuplah), but also from the areas of shrubs, mixed farming land/communal farms, and open land. Oil palm land developed came from the former concession, former estates of other companies, including land owned by the community through the process of compensation. Land cover based on the interpretation of land satellite images before land opening for oil palm plantations showed no identification of primary forests but only secondary forests, shrubs, mixed farming land and vacant land. The forested area that is still present in the plantation has retained its initial conditions and is designated as a conservation area in the forms of a riparian area and peaty forest area. Identification and analysis of the diversity potential of plants and wildlife in the forested areas (primary and secondary forests) and in shrubs were performed to determine the suspected missing species (biodiversity loss). The result showed that the density of vegetation in the conservation area inside the plantations was less than that in the primary and secondary forests, and the stand volume in the conservation area in the plantations had less potential than that in the primary and secondary forests. The abundance of Shannon species (Shannon H' Index) showed the species in the primary forest were still more abundant than those in the forested areas in the plantations. The Margalef species richness (Margalef DMg Index) in the plantations belonged to the criteria of moderate to
7
high species richness. Changes in forest land cover which is an important habitat for arboreal primates and has turned into palm oil plantations have caused some primates such as orangutans and owas that are highly dependent on the presence of forest life unable to survive safely and comfortably, and anteaters have become endangered as result of hunting to meet their high demand in market. Some species that used to live in the area, after their habitat had changed, are difficult to find; as a result, it can be said there has been a loss in plant and wildlife potential or "biodiversity loss", and this becomes an important and compulsory factor in conservation-based oil palm utilization/concession scheme. On the other hand, due to changes in land cover that was originally in the form of less potential land (such as land cover of open/vacant land) before it was changed into oil palm plantations, it is believed that the land cover can be beneficial for the development of wildlife predators such as owls and sawa snakes which will be beneficial for the oil palm plantation management, especially in pest control of mice because they disturb the oil palm crop production, and this is translated as part of "biodiversity gain". Although the utilization of biodiversity potentials in plantation operations for the business agents is not a must, it should be voluntary. In relation to the conservation-based oil palm concession scheme, the appraisal of the investment feasibility of oil palm utilization on peat land was based on the size of its investment criteria (NPV, IRR and PBP), producing eight feasible (profitable) alternative models, including cultivation of oil palm plantations in LGDang (0-3 meters) from the land cover of (1) shrubs with an NPV of Rp 278.246.174,-, an IRR of 38%, and a PBP of 4.50 years; (2) a secondary forest with a NPV of Rp 183.779.650,-, an IRR of 15%, and a PBP 7.90 years; (3) open land with a NPV of Rp 282.597.650, an IRR of 41%, and a PBP of 4.30 years; (4) a primary forest with a NPV of Rp 89.141.650,-, an IRR of 9%, and a PBP 10.70 years. Furthermore, the oil palm cultivation in LGDal (> 3 meters) from the land cover of (5) shrubs with, a NPV of Rp 220.570.287,-, an IRR of 32%, and a PBP of 5.00 years; (6) a secondary forest with a NPV of Rp 126.040.287,-, an IRR of 13%, and a PBP of 8.81 years; (7) open land with a NPV of Rp 224.858.287,-; an IRR of 35%, a PBP 4.80 years; and a primary forest with a NPV of Rp 40.320.287,- ; an IRR of 8% , and a PBP of 11.80 years Cultivation model selection which has the highest priority and provides the highest NPV per ha is Rp 282.597.650,- with an IRR of 41% (well above the disconto rate of 6.5 %) and a PBP for 4.30 years. As a consequence of the conservation-based oil palm cultivation scheme in answering the hypothesis whether there was a potential biodiversity loss (bio-loss was equal to zero), (1) the utilization should be conducted on open land cover (not on forested land cover). However, (2) if it should be conducted on forested land cover, there must be a replacement cost for the bio-loss, and (3) the investment must be feasible (profitable) indicated by a positive value of NPV, a greater IRR value than the discount rate and a shorter term of capital repayment (PBP). Keywords: Oil palm plantations, changes in land cover, biodiversity loss and financial feasibility analysis.
8
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
9
PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERWAWASAN KONSERVASI
ABDUL MUIN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
10
Penguji pada Ujian Tertutup
:
1. Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS 2. Dr Ir Lalang Buana, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka
:
1. Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA 2. Dr Ir Novianto Bambang W, MSi
11
12
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ialah pendekatan konservasi dalam perkebunan kelapa sawit, dengan judul Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang Berwawasan Konservasi. Penghargaan dan terimakasih yang setinggi tingginya penulis ucapkan kepada: 1. Dr Ir H Yanto Santosa, DEA selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MScAgr dan Dr Ir Tri Wismiarsi, MSc selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran dan semangat dalam menyelesaikan penulisan disertasi. 2. Dr Ir Lalang Buana, MSc dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS (penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup); Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA dan Dr Ir Novianto Bambang W, MSi (penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka), atas kesediaan waktunya, memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. 3. Dekan Fakultas Kehutanan, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) dan Ketua Program Studi/Mayor KVT dan dosendosen yang telah memberikan dukungan dan fasilitas kepada penulis selama menjalani pendidikan di kampus. 4. Kementerian Kehutanan cq Pusdiklat Kehutanan dan Ditjen PHKA yang telah memberikan izin dan kesempatan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Kepada Setditjen PHKA cq Bag Program Anggaran dan BKSDA Kalteng atas segala dukungannya hingga studi berjalan lancar dan selesai pada waktunya. Ucapan terimakasih tertuju kepada Ibu Ir Listya Kusumawardhani, MSc; Ir Jefri Susyafrianto, MM; dan Bapak Ir Suherti Reddy GT beserta Ibu atas dukungan selama penulis menjalani program studi S3. 5. Kepada almarhum Ayahanda H M Arief dan almarhumah Ibunda Hj Siti Aminah, kakak dan adik-adik atas doa dan dukungannya, secara khusus kepada Isteri Dra Lusiana yang dengan sabar dan penuh pengertian mendampingi dan mendukung penuh dalam penyelesaian studi ini, serta anakanakku tersayang Natasya CM Januatisa (Tasya), Alyssa JZ Anditha (Alyssa), Muhammad Althaf Muinurraja (Althaf) dan almarhum Ananda MP Pratama (Nanda) yang memberikan inspirasi, semangat dan suasana keceriaan. 6. Teman seangkatan U Mamat Rahmat (TN Ujung Kulon), Ivan Yusfi Noor (Dit KKBHL, PHKA) dan Mufti Sudibyo (Universitas Negeri Medan) atas kebersamaan, kekompakan dan kerjasama dalam suka dan duka selama studi dan semoga dapat terus berlanjut kedepannya. 7. Reni Sri Mulyaningsih, Moh Sofwan, Umi Uum yang siap sedia memberikan bantuan untuk kelancaran tugas pembelajaran dan senyum keramahtamahannya Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2013 Abdul Muin
13
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTRA LAMPIRAN 1
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Kebaruan Kerangka Penelitian
2
22 24 27 40
ANALISIS (VALUASI) FINANSIAL PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA BERBAGAI TUTUPAN LAHAN DAN KEDALAMAN LAHAN GAMBUT Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
5
8 9 11 21
ANALISIS KOMPARATIF POTENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
4
1 3 4 4 4 4
ANALISIS TUTUPAN LAHAN AREAL PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
3
xiii xiv xv
41 43 46 56
MODEL ALTERNATIF DAN PROFIL PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERWAWASAN KONSERVASI Pendahuluan Model Alternatif Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi Profil dan Implikasi Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi Simpulan
57 59 62 66
14
6
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
68 70 71 79 123
DAFTAR TABEL 2.1 Status lahan berdasarkan TGHK dan RTRWP Kalimantan Tengah sebelum menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit 2.2 Luas lahan hasil pelepasan kawasan HPK berdasarkan Permenhut P.17/Menhut-II/2011 2.3 Sejarah penggunaan lainnya pada lahan perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B dan PT.C 2.4 Data luas dan kedalaman gambut pada lokasi perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B dan PT.C 2.5 Kondisi penutupan lahan pada masing-masing areal kebun lingkup PT.A, PT.B, dan PT.C di Provinsi Kalimantan Tengah 2.6 Alokasi areal konservasi di dalam kebun kelapa sawit 3.1 Luas total areal kerja sesuai perizinan dan areal yang dibiarkan seperti sebelum dibuka sebagai kebun sawit (areal konservasi) 3.2 Beberapa jenis dan kerapatan tumbuhan yang teridentifikasi di kawasan konservasi (hutan primer) dan di areal konservasi (hutan sekunder) dalam perkebunan kelapa sawit 3.3 Kerapatan vegetasi, volume tegakan, dan keragaman jenis pada tutupan lahan hutan primer dan hutan sekunder pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon 3.4 Besaran kerapatan, potensi tegakkan dan nilai ukuran keragaman hayati hasil penelitian lainnya pada tutupan lahan hutan primer dan hutan sekunder 3.5 Jenis satwa liar yang teridentifikasi berdasarkan perjumpaan langsung, jejak dan informasi pada berbagai tutupan lahan 3.6 Jenis satwa liar yang dianggap sebagai perwakilan indikator biodiversity loss akibat perubahan tuplah hutan (primer dan sekunder) menjadi perkebunan kelapa sawit 3.7 Kepadatan satwa liar dan potensi tumbuhan sebagai indikator biodiversity loss pada berbagai tutupan lahan 4.1 Biaya dan pendapatan (rupiah per hektar) pengusahaan perkebunan kelapa sawit berdasarkan kedalaman gambut di berbagai tutupan lahan (2007-2032) 4.2 Ukuran kelayakan investasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit (per hektar selama 25 tahun) berdasarkan besaran NPV, IRR dan PBP 4.3 Potensi “biodiversity loss” yang diperhitungkan dalam analisis
12 13 15 16 18 20 28
30
32
33 34
36 37
49
50
15
4.4 4.5
4.6 4.7
5.1
ekonomi pengusahaan perkebunan kelapa sawit Nilai ekonomi (rupiah per ha) dari biodiversity loss pada berbagai tipe tutupan lahan Total biaya investasi per hektar (investasi kebun dan biodiversity loss yang diperhitungkan sebagai biaya investasi) pengusahaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dari berbagai tutupan lahan Perbandingan investasi kebun (%) dengan investasi untuk biodiversity loss (bio-loss) terhadap biaya total investasi Kelayakan finansial investasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit (per hektar selama 25 tahun) yang memperhitungkan biodiversity loss dan biodiversity gain berdasarkan besaran NPV, IRR dan PBP Kelayakan finansial dari model terbaik pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi
53 54
55 55
56 62
DAFTAR GAMBAR 1.1 Kerangka Penelitian 2.1 Lokasi perkebunan kelapa sawit PT A, PT B dan PT C di Provinsi Kalimantan Tengah 2.2 Perkembangan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan hilangnya hutan alam di Indonesia dan Malaysia periode 1990-2008 2.3 Perubahan kondisi tutupan lahan pada sebagian areal PT.A di Kabupaten Kobar : (A) Tutupan lahan tahun 1989, dan (B) Tutupan lahan tahun 2010 2.4 Kenampakan tutupan lahan pada perkebunan kelapa sawit yang diteliti: (A) Tutupan lahan pertanian campuran (Pc), (B) Semak belukar (B), (C) Hutan sekunder (Hs), dan (D) kebun kelapa sawit (Pkb) 3.1 Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi 3.2 Areal konservasi di perkebunan kelapa sawit berupa areal sempadan sungai (A) dan areal ekosistem gambut (B) 3.3 Jenis satwa predator yang menguntungkan bagi pengendalian hama tikus di perkebunan kelapa sawit yang dianggap sebagai “biodiversity gain” 4.1 Produksi tandan buah segar (TBS) pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dan LGDal (>3 m) (2010-2032) 4.2 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalam gambut (LGDang 0-3 m) dan berbagai tutupan lahan 4.3 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalam gambut (LGDal > 3 m) dan berbagai tutupan lahan 5.1 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalam gambut (LGDang 0-3 m) dan berbagai tutupan lahan dengan memperhitungkan bio-loss atau bio-gain 5.2 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa
7 10 16
18
19 25 28
39 49
51
52
61
16
sawit pada kedalam gambut (LGDang > 3 m) dan berbagai tutupan lahan dengan memperhitungkan bio-loss atau bio-gain
61
LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13
14
15
16
17
18
Peruntukan/status lahan di Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Peta TGHK Tahun 1989 dan RTRWP Tahun 1993 Peta sebaran areal konservasi Perkebunan PT. B di Kabupaten Kotawaringin Timur Peta sebaran kawasan lindung (sempadan sungai dan areal bergambut) pada areal konsesi PT. C di Kabupaten Seruyan Peta citra satelit di areal PT.A di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) Peta citra satelit di areal PT.B di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Peta citra satelit di areal PT.C di Kabupaten Seruyan Jenis tumbuhan teridentifikasi pada areal kebun kelapa sawit dan hutan sekitar kebun Jenis tumbuhan teridentifikasi pada tutupan lahan hutan primer di kawasan konservasi Jenis tumbuhan teridentifikasi pada tutupan lahan hutan sekunder (areal konservasi) di perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B, dan PT.C Jenis satwa liar teridentifikasi di areal perkebunan kelapa sawit dan hutan sekitar kebun Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Selama 1 Daur Pengelolaan (25 tahun) Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Semak belukar (B) (rupiah per ha per tahun) Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Hutan sekunder (Hs) (rupiah per ha per tahun) Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Tanah terbuka (T) (rupiah per ha per tahun) Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Hutan primer (Hp) (rupiah per ha per tahun) Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Semak belukar (B) (rupiah per ha per tahun) Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Hutan sekunder (Hs) (rupiah per ha per tahun) Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Tanah terbuka (T) (rupiah per ha per tahun)
79 81 82 83 85 87 89 91 93 96 99
100
102
104
106
108
110
112
17
19
20
21
22
23
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Hutan primer (Hp) (rupiah per ha per tahun) Perbandingan hasil analisis kelayakan financial pada kedalaman gambut (LGDang & LGDal) dan berbagai tutupan lahan (semak belukar, hutan sekunder, tanah terbuka & hutan primer) sebelum dan setelah memperhitungkan biodiversity loss & biodiversity gain berdasarkan parameter NPV (Rp), IRR (%) dan PBP (Tahun) Perbandingan parameter kelayakan finansial (NPV,IRR, PBP) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalaman lahan gambut (LGDang) 0-3 mt dengan berbagai tutupan lahan Perbandingan parameter kelayakan finansial (NPV,IRR, PBP) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalaman lahan gambut (LGDal) > 3 mt dengan berbagai tutupan lahan Daftar questioner
114
116
117
118 119
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor andalan pemerintah diluar sektor migas dan bahkan menjadi sektor penyumbang devisa negara terbesar non migas dari nilai pendapatan yang diperoleh (total ekspor CPO 2012 mencapai 18,14 juta ton dengan nilai 20,78 milyar dolar AS) (Charles 2013). Dari sisi pelaku usaha/investor, bisnis kelapa sawit merupakan primadona karena selain keuntungan yang diperoleh berjangka panjang, juga peluang pasar yang terbuka luas (saat ini pasar CPO dikuasai 44% dari Indonesia, 39% Malaysia dan 17% negara-negara penghasil minyak sawit lainnya) (Wihardandi 2013). Tingginya permintaan minyak sawit oleh masyarakat dunia, membuat Indonesia mentargetkan untuk terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit dan bertekad menjadi penghasil minyak sawit terbesar dunia. Total produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia pada tahun 2012 mencapai 26,5 juta ton yang dihasilkan dari lahan 9 juta hektar (diperkirakan di tahun 2013 produksinya akan mencapai 28 juta ton). Dari total produksi tersebut, total ekspor mencapai 18.14 juta ton (sebagai perbandingan di tahun 2011 total ekspor 16.5 juta ton) (GAPKI 2011, Ditjen Perkebunan 2011, Suhendra 2013, Wihardandi 2013). Pada sisi lainnya yaitu pemerintah, usaha perkebunan sawit mendapat sambutan dan dukungan yang baik karena mampu memberikan devisa bagi negara (dengan nilai ekspor mencapai 20,78 milyar dolar AS tahun 2012), dapat meningkatkan pendapatan petani kebun (50% atau sekitar 4,5 juta hektar merupakan perkebunan rakyat berskala kecil), menyerap tenaga kerja (sekitar 3 - 3,6 juta kepala keluarga atau 10 juta jiwa yang terlibat langsung) (GAPKI 2011, Ditjen Perkebunan 2011), dan mendorong perputaran perekonomian lokal karena multiplier effect yang ditimbulkan. Berdasarkan roadmap pengembangan industri sawit nasional yang dicanangkan pemerintah, ditargetkan pada tahun 2020 produksi CPO bisa mencapai 40 juta ton. Oil World memaparkan bahwa minyak kelapa sawit kini telah menjadi minyak nabati dunia paling penting di pasar internasional. Diantara seluruh jenis produksi minyak nabati, kelapa sawit berada di posisi teratas (30%), diikuti kedelai (29%), biji rape (14%), bunga matahari (8%) dan lainnya (GAPKI 2012). Negara-negara yang mengembangkan budidaya tanaman kelapa sawit adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand di Asia Tenggara, Nigeria di Afrika, Kolombia, Brasil dan Ekuador di Amerika Selatan serta Papua Nugini di kawasan Oceania (FAO 2009). Kelapa sawit mempunyai beberapa keunggulan komparatif dibanding tanaman penghasil minyak nabati lainnya, yaitu dengan produksi minyak sawit per hektar yang tinggi, umur ekonomis yang panjang, dan daya adaptasi terhadap cekaman lingkungan yang baik, serta pengolahan dan pemanfaatan yang luas baik di bidang pangan maupun non-pangan (Green Network Indonesia 2010, UNEP-UNESCO 2007). Diperkirakan 74% minyak sawit digunakan untuk produk bahan makanan, sementara sekitar 24% sisanya untuk kebutuhan industri lainnya (USDA 2010). Minyak kelapa sawit secara global menguasai hampir seperempat minyak konsumsi dunia (sekitar 60% perdagangan internasional minyak nabati) (Worldbank 2010).
2
Fakta dari aspek ekonomi sebagaimana digambarkan di atas, memberi suatu konsekuensi pada aspek ekologi atau lingkungannya. Berdasarkan praktek yang telah dilakukan dimasa yang lalu, bahwa bahwa penyediaan lahan untuk budidaya kelapa sawit diperoleh dari hasil mengkonversi hutan alam (hutan produksi), memanfaatkan lahan terlantar berupa semak belukar (diperkirakan ada sekitar 30 juta hektar) akibat aktivitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk bermacam keperluan (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan 2000), atau pada areal yang sudah dicadangkan untuk pengembangan perkebunan yaitu di APL (Areal Penggunaan Lainnya). Namun ironisnya, kegiatan konversi hutan alam dan pembukaan areal berhutan di APL disangkakan telah menjadi salah satu sumber perusakan hutan alam Indonesia, ancaman terhadap hilangnya habitat bagi beberapa spesies yang bersifat endemik, berkurangnya atau bahkan hilangnya populasi sejumlah besar spesies, dan menyebabkan timbulnya bencana alam (Sjahfirdi 2011). Bahkan lebih jauh lagi dari suatu studi mengungkapkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit cenderung akan menurunkan kualitas air tawar dan tanah serta menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat lokal yang bergantung pada produk-produk ekosistem. (Fitzherbert et al. 2008). Penelitian lainnya mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai pendorong utama penggundulan hutan di hutan tropis (Fitzherbert et al. 2008; Koh & Ghazoul 2008). Padahal hutan tropis diyakini memiliki kekayaan keragaman ekosistem terrestrial (daratan) yang besar (Corley and Tinker 2003) termasuk biodiversitas di dalamnya, mempunyai nilai manfaat ekonomi yang besar antara lain sebagai penyedia barang bagi kebutuhan manusia seperti makanan dan obat-obatan dan jasa-jasa ekosistem seperti pengaturan siklus hidrologis, perlindungan tanah, jasa wisata, fungsi penyimpanan karbon, stabilitas iklim, dan lain sebagainya. Nilai manfaat ekonomi tersebut dikelompokkan sebagai nilai penggunaan (use values) mencakup nilai guna langsung (direct value) yaitu hasil yang dapat dikonsumsi langsung seperti kayu, makanan, rekreasi; nilai guna tidak langsung (indirect value) seperti fungsi ekologis, pengendali banjir, stabilitas iklim; nilai pilihan (option values) yaitu nilai ekonomi yang masih tersimpan seperti keanekaragaman hayati, dan nilai non penggunaan (non use values) yang meliputi nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value) seperti kekayaan dan keindahan alam kawasan konservasi, lansekap/habitat dan spesies langka (Pearce 1992 dalam Munasinghe 1993; Pearce & Moran 1994; dan Simpson 2007). Nilai manfaat tersebut dari berbagai teori dan penelitian yang ada telah diterapkan dan dapat diukur melalui suatu penilaian ekonomi yang lazim digunakan dan dikenal sebagai penilaian total ekonomi atau total economic value (TEV) yang memberikan nilai yang terukur moneter (nilai uang) (Peterson & Sorg 1987; Pillet 2006; Plottu et al. 2007) melalui penghitungan menggunakan metode pendekatan harga pasar dan kesediaan untuk membayar atau willingness to pay (WTP) (Darusman et al. 2004). Sebagai contoh bahwa total nilai ekonomi (TEV) dari manfaat/keuntungan biodiversitas global (sebagian besar dari Negara sedang berkembang) dengan perkiraan kasar ditaksir mencapai ratusan juta dolar AS pertahun (Pearce et al. 1999 dalam Barbier 2000). Berdasarkan fakta keunggulan ekonomi dan fakta kerugian ekologi terhadap barang dan jasa lingkungan yang ditimbulkan, maka menjadi penting artinya kedepan bagaimana pengembangan perkebunan kelapa sawit disatu sisi diarahkan tetap menghasilkan manfaat ekonomi secara nyata dan disisi lain secara
3
ekologis tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya hutan yang lebih luas lagi termasuk kelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa liar beserta habitatnya. Oleh karena itu permasalahan mendasarnya yang pertama adalah terletak pada lahan yang digunakan baik dari aspek tutupan lahan maupun peruntukkannya secara hukum. Artinya asal usul lahan yang akan digunakan untuk perkebunan sawit menjadi topik yang penting untuk diketahui. Kedua, adalah ketika terjadi perubahan tutupan lahan dari areal berhutan menjadi kebun kelapa sawit, maka diduga terjadi perubahan berupa kehilangan potensi biodiversitasnya. Oleh karena itu perlu dikaji mengenai kandungan potensi keanekaragaman hayati, yakni penilaian sejauh mana kehilangan potensi tersebut (biodiversity loss). Faktor biodiversity loss (bio-loss) ini menjadi suatu pertimbangan yang harus atau wajib dikedepankan dalam mengembangkan suatu pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempertimbangkan kelestarian atau konservasi lingkungan. Oleh karena itu dalam penelitian ini, pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi dimaksudkan apabila dalam pengusahaannya tidak terjadi kehilangan biodiversitas, atau dengan kata lain hipotesisnya adalah biodiversity loss (bio-loss) sama dengan nol. Demikian juga sebaliknya, pengembangan kelapa sawit dapat memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas, maka penambahan potensi yang ada (biodiversity gain) perlu dilakukan pengukuran/penilaian juga. Namun berbeda dengan bio-loss, maka bio-gain yang dimaksud bagi pelaku usaha sifatnya sukarela atau voluntary. Artinya dalam kegiatan operasionalnya, pemanfaatan potensi biodiversitas dalam perkebunan tidak menjadi suatu keharusan, melainkan suatu alternatif pilihan. Ketiga, adalah sehubungan dengan potensi kehilangan atau penambahan tersebut (biodiversity loss/gain), maka diperlukan adanya suatu analisis (valuasi) finansial dari pengusahaan sawit dengan memperhitungkan nilai-nilai tersebut. Untuk menjawab permasalahan dan pertanyaan tersebut di atas, maka suatu penelitian dilakukan dengan mengambil topik tentang pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi, yang dimaksudkan sebagai suatu usaha perkebunan yang dalam pengusahaannya selain untuk memperoleh manfaat (keuntungan) finansial, juga memperhatikan aspek asal-usul lahan dan mempertimbangkan faktor biodiversity loss dan biodiversity gain dalam perhitungan analisis kelayakan usahanya. Penelitian ini mengambil contoh lokasi perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Tengah yang melakukan kegiatan operasionalnya mulai tahun 2007.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan profile pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka dilakukan beberapa tahapan penelitian untuk mencapai tujuan antaranya, yaitu melalui: 1) Analisis Tutupan Lahan Areal Perkebunan Kelapa Sawit yang bertujuan untuk mengetahui sejarah asal usul penggunaan lahan dan peruntukkannya serta perubahan tutupan lahan yang terjadi akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit.
4
2) Analisis Komparatif Potensi Keanekaragaman Hayati pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan yang bertujuan untuk menduga jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang patut diduga hilang (biodiversity loss) dan yang diduga bertambah (biodiversity gain) sebagai konsekuensi dari perubahan tutupan lahan akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit. 3) Analisis (Valuasi) Finansial Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit pada Berbagai Tutupan Lahan dan Kedalaman Lahan Gambut yang bertujuan untuk melakukan perhitungan analisis finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan pada berbagai tipe tutupan lahan dan kedalaman gambut yang berbeda, berikut analisis dengan memperhitungkan biodiversity loss dan biodiversity gain dalam analisis finansialnya. 4) Penyusunan Model Alternatif dan mendiskripsikannya sebagai Profil Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi
Manfaat Penelitian 1) Memberikan pemahaman yang jelas dan bertanggungjawab terhadap pengembangan kelapa sawit yang mensinergikan kepentingan ekonomi dan kelestarian ekologis khususnya kepada pelaku usaha/investor, dan pemerintah serta pemerhati/pegiat konservasi atau lingkungan pada umumnya. 2) Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan di sektor perkebunan kelapa sawit khususnya terkait penyediaan lahan budidaya kelapa sawit. 3) Mendorong dilakukannya penelitian lanjutan terkait dengan aspek sosial, valuasi ekonomi sumberdaya lingkungan yang lebih luas dalam penentuan kelayakan pengusahaan kebun sawit.
Hipotesis Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah tidak terjadi kehilangan biodiversitas akibat perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit atau dengan kata lain biodiversity loss sama dengan nol.
Kebaruan Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah suatu Profil Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi.
Kerangka Penelitian Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta yaitu semakin meningkatnya ekspansi perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut diperkuat dari kebijakan pemerintah yang semakin gencar akan mengembangkan pengusahaan perkebunan, khususnya komoditas kelapa sawit ke wilayah bagian timur Indonesia yaitu pulau Papua, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Hal tersebut sangat beralasan mengingat
5
permintaan pasar dunia yang tinggi (Indonesia termasuk negara produsen minyak nabati terbesar bersama Malaysia), telah secara nyata terbukti memberikan pemasukan yang sangat signifikan bagi keuangan negara (merupakan penyumbang devisa terbesar dari sektor non migas) dan memberikan efek domino (multiplier effect) lainnya seperti penyerapan tenaga kerja hingga mengembangkan infrastruktur (jalan dan pemukiman) pada daerah-daerah terpencil. Namun disisi lain fakta (hasil studi dan penelitian) juga mengungkapkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Beberapa contoh, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera yang penyediaan lahannya dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan/areal berhutan yang memang merupakan habitat penting satwa liar langka dan dilindungi seperti orangutan, gajah dan harimau, pada akhirnya memicu terjadinya konflik kepentingan antara satwa liar dan pihak perkebunan (orangutan mati, harimau ditangkap, gajah terusir, mengamuk dan masuk ke kebun dan pemukiman masyarakat sekitar kebun). Hutan tropis diyakini memiliki kekayaan keragaman ekosistem terrestrial (daratan) yang besar termasuk biodiversitas di dalamnya, mempunyai nilai manfaat ekonomi yang besar antara lain sebagai penyedia barang bagi kebutuhan manusia seperti makanan dan obat-obatan dan jasa-jasa ekosistem seperti pengaturan siklus hidrologis, perlindungan tanah, jasa wisata, fungsi penyimpanan karbon, stabilitas iklim, dan lain sebagainya. Nilai manfaat ekonomi tersebut oleh para ahli dibidang ekonomi lingkungan kemudian dikelompokkan sebagai nilai penggunaan (use values), nilai pilihan (option values) dan nilai non penggunaan (non use values) dari sumberdaya hutan dan kemudian dikenal sebagai konsep nilai ekonomi total (TEV). Konsep teori nilai ekonomi total berikut metode penilaiannya mencoba memberikan “nilai” terhadap seluruh manfaat yang dihasilkan hutan berupa produk dan jasa lingkungan hutan, baik yang bersifat diperdagangkan dan memiliki harga pasar maupun yang tidak memiliki harga pasar. Salah satu diantaranya adalah potensi biodiversitas (tumbuhan dan satwa liar) yang sering “dimarginalkan” dan tidak diperhitungkan dalam suatu analisis ekonomi finansial suatu usaha termasuk pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit dengan cara mengkonversi hutan dan atau yang dalam penyiapan lahannya diduga dilakukan dengan cara membakar khususnya pada lahan bergambut, meskipun secara aturan tidak dibenarkan, namun hal itu terjadi dan mengakibatkan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Ada biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi dan seharusnya turut diperhitungkan dalam analisis investasi perkebunan kelapa sawit, yang tidak pernah dilakukan, tidak pernah memasukan biaya lingkungan dan biaya sosial ini dalam analisis finansial pengusahaannya. Hal ini terjadi karena biaya biaya lingkungan dan sosial yang timbul tidak ditanggung (dibayar) oleh perusahaan perkebunan pada saat melakukan investasi. Sementara disisi lain masyarakat (khususnya masyarakat setempat) yang mengalami dampak negatif dari perubahan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit, merupakan pihak yang menanggung biaya sosial dan biaya lingkungan yang terjadi sejak awal dimulainya proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit. Semua biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi sesungguhnya menjadi biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat/negara Indonesia, bahkan turut ditanggung oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan dan khususnya para pengambil keputusan di pemerintahan dalam
6
mengevaluasi (menilai) analisis biaya dan manfaat proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit harus turut memperhitungkan berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial tersebut. Berdasarkan fakta dan persoalan tersebut di atas, maka diperlukan suatu penelitian tentang bagaimana model alternatif dan profil pengusahaan kelapa sawit yang dijalankan secara bertanggungjawab dengan memperhitungkan kelestarian tumbuhan dan satwa liar serta habitatnya. Dengan kata lain bagaimana suatu pengusahaan perkebunan kelapa sawit dijalankan sehingga dapat dikatakan berwawasan konservasi. Untuk tujuan tersebut, maka dilakukan serangkaian analisis yang menyangkut (1) bagaimana kondisi lahan perkebunan kelapa sawit pada awalnya dibuka, artinya persoalan asal-usul penggunaan lahan dan status tutupan lahannya menjadi topik yang menarik untuk diteliti dan sekaligus mengkonfirmasi atas dugaan/tuduhan pemanfaatan kawasan hutan dalam penyediaan lahan kelapa sawit; (2) yaitu bahwa telah terjadi perubahan-perubahan terhadap kondisi keanekaragaman hayati pada lahan sebelum kebun sawit dikonsesi/dibuka dengan setelah kebun sawit dikelola, artinya potensi keanekaragaman hayati (dalam penelitian ini dibatasi pada tumbuhan dan satwa liar) perlu diketahui dan membandingkannya terhadap potensi yang ada di habitat alaminya. Berkaitan dengan adanya dugaan terjadinya perubahan potensi pada berbagai tutupan lahan, maka patut diduga disatu sisi adanya kehilangan potensi yang diistilahkan sebagai “biodiversity loss”, dan di sisi lain patut juga diduga terjadi penambahan potensi, menggunakan istilah “biodiversity gain” sebagai akibat terbentuknya kebun kelapa sawit. Faktor biodiversity loss (bio-loss) ini menjadi suatu pertimbangan yang harus atau wajib diperhitungkan dalam pengembangan pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempertimbangkan kelestarian atau berwawasan konservasi. Dalam penelitian ini, pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi diterjemahkan sebagai suatu usaha perkebunan kelapa sawit yang apabila dalam pengusahaannya tidak terjadi kehilangan biodiversitas, atau dengan kata lain hipotesisnya adalah biodiversity loss (bio-loss) sama dengan nol; (3) terkait dengan adanya perbedaan kondisi biodiversitas tersebut (kehilangan dan penambahan) sebagai akibat perubahan tutupan lahan, maka diperlukan suatu analisis (valuasi) ekonomi dari pengusahaan sawit dengan memperhitungkan nilai “environmental cost” (dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai bio-loss) sebagai wujud pertanggungjawaban menerapkan kaidah konservasi dalam pengelolaannya. Biodiversity loss tersebut akan dinilai secara moneter atau dalam bentuk uang dan turut diperhitungkan sebagai bagian dari komponen biaya investasi (biaya kompensasi) saat berinvestasi dalam usaha perkebunan kelapa sawit. Dalam perjalanan pengelolaannya, maka biodiversity gain juga akan turut diperhitungkan sebagai bagian pendapatan dari pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Pada akhirnya, akan diperoleh suatu model pengusahaan kelapa sawit yang dalam analisis finansialnya telah memasukkan variabel/parameter bio-loss dan bio-gain. Analisis ini dilakukan pada pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang lahannya berasal dari berbagai tutupan lahan dan kedalaman lahan gambut yang berbeda, sehingga nantinya akan dihasilkan berbagai pilihan model alternatif pengusahaan perkebunan kelapa sawit berikut Profil pengusahaan perkebunan kelapa sawit dalam skema konservasi.
7
Pengembangan Kelapa Sawit Analisis Tutupan Lahan
Asal usul, Status & Tuplah
Analisis Finansial Kelayakan Investasi
Analisis Keragaman Hayati
Lahan Kebun Sawit
Investasi Perkebunan
Keanekaragaman Hayati Jenis TSL
Biaya & Pendapatan (Moneter)
Biodiversity Loss & Biodiversity Gain
Analisis (Valuasi) Finansial
Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi
Model Alternatif 3
Model Alternatif 2
Model Alternatif 1
Profile Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi
Gambar 1.1 Kerangka Penelitian
8
2 ANALISIS TUTUPAN LAHAN AREAL PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Pendahuluan Cerahnya prospek komoditas minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia mengembangkan usaha investasi perkebunan kelapa sawit secara lebih luas. Sebagai konsekuensinya adalah kebutuhan lahan akan areal tanaman kelapa sawit juga semakin meningkat, meskipun persoalan perluasan lahan menjadi terkendala manakala pemerintah memberlakukan moratorium pembukaan lahan sawit baru pada hutan alam primer dan lahan gambut untuk berbagai kepentingan selama dua tahun terakhir sejak 2011 (GAPKI 2012) dan telah diperpanjang pada tahun 2013. Secara global lahan perkebunan kelapa sawit telah bertambah tiga kali lipat sejak tahun 1961 hingga mencapai lebih dari 15 juta hektar (FAO 2009, Fitzherber et al. 2008; Koh and Ghazoul 2008; Koh and Wilcove 2008a). Data lainnya menunjukkan sejak tahun 1990an, luas areal yang ditanami kelapa sawit meningkat 43% khususnya karena tingginya permintaan dari Negara India, China dan Uni Eropa (RSPO 2011). Selama periode 1985-1997 perubahan hutan menjadi perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit, memberikan kontribusi signifikan terhadap berkurangnya tutupan hutan di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang mencapai angka sekitar 2,4 juta ha (Holmes 2002), sementara data analisa tutupan lahan yang dikompilasi oleh FAO menunjukkan bahwa selama periode 1990-2005, sekitar 55%-59% perluasan kebun kelapa sawit di Malaysia, dan sedikitnya 56% di Indonesia berasal dari tutupan lahan hutan (Koh et al. 2008). Fitzherbert et al. (2008), Koh & Ghazoul (2008) mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit diduga menjadi pendorong utama penggundulan hutan di hutan tropis. Namun data lainnya menunjukkan terdapat lahan kurang lebih seluas 60,5 juta hektar berupa areal penggunaan lainnya (APL), yang umumnya oleh pemerintah daerah areal tersebut dicadangkan untuk pengembangan perkebunan termasuk kelapa sawit. Artinya, masih terbuka peluang memperoleh lahan untuk kelapa sawit dari hasil membuka areal berhutan meskipun areal tersebut secara hukum bukan merupakan kawasan hutan. Data sampai dengan tahun 2012 menunjukkan luas lahan kebun kelapa sawit di Indonesia mencapai 9 juta hektar. Minyak kelapa sawit diproduksi pada awalnya secara tradisional sebagai bagian dari praktek pertanian campuran di Afrika Barat. Saat ini, produksi minyak sawit telah berkembang pada skala industri sebagai tanaman pertanian monokultur yang secara lingkungan berisiko serta memberi dampak bagi kehidupan masyarakat lokal, khususnya orang-orang yang memiliki kemampuasn ekonomi secara terbatas (Colchester 2010). Sebagai akibat dari berkembang dan bergesernya praktek bertanam kelapa sawit secara besar-besaran tersebut, memberikan konsekuensi pada perubahan penggunaan lahan dan atau tutupan lahannya. Liliesand & Kiefer (2000) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan (Sitorus et al. 2006). Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan
9
lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan. Sebagai akibat dari terjadinya perubahan penggunaan lahan, maka akan tervisualisasikan pada penutupan lahannya. FAO (1997a) dalam IPCC (2000) mengatakan bahwa penutupan lahan adalah kemampuan tutupan fisik dan biologi dari daratan bumi, seperti vegetasi. Sebaliknya, penggunaan lahan adalah keseluruhan dari rencana, aktivitas, dan input yang manusia lakukan dalam sebuah tipe penutupan lahan tertentu. Berbagai studi atau penelitian mengungkapkan bahwa penyediaan lahan untuk berbagai kepentingan dengan cara membuka hutan telah menyebabkan hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati ekosistem hutan hujan tropis, menyebabkan kepunahan sejumlah besar spesies, fragmentasi habitat, hingga meningkatkan emisi gas rumah kaca yang selalu dikaitkan dengan aktivitas deforestasi yang berkontribusi terhadap perubahan iklim (Noon dan MacKelvey, 1996; Dale, 1997; Powell, 2006; van Aarde dan Jackson, 2007; Abdullah et al,. 2007; Dixon et al., 2007; Fitzherbert et al., 2008; Fayle et al., 2010; Sjahfirdi, 2011; Puan et al., 2011). Dari fakta tersebut di atas, pengembangan perkebunan kelapa sawit seharusnya diarahkan agar selain menghasilkan manfaat ekonomi secara nyata, namun secara ekologis diharapkan tidak menimbulkan dampak kerusakan yang luas bagi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman flora fauna dan habitatnya. Penelitian analisis tutupan lahan areal perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk mengetahui apakah menganalisis sejarah penggunaan lahan termasuk status/peruntukkannya, dan menganalisis perubahan kondisi tutupan lahan sebelum dan setelah kebun sawit dibuka. Informasi ini menjadi sangat penting artinya sebagai bagian dari pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan pengusahaan kelapa sawit yang berwawasan konservasi. Diharapkan dari hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai bahan evaluasi bagi kebijakan pengembangan kebun kelapa sawit dimasa mendatang.
Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di 3 (tiga) areal konsesi perkebunan kelapa sawit, yaitu perkebunan PT.A (kebun X) di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), perkebunan PT.B (kebun Y) di Kabupaten Seruyan, dan perkebunan PT.C (kebun Z) yang terletak di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Propinsi Kalimantan Tengah (Gambar 2.1). Penelitian berlangsung dari Juli 2012 hingga Maret 2013. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi laporan perusahaan yang dipublikasikan, dokumen perizinan usaha perkebunan, peta penafsiran citra landsat sebelum dan sesudah kebun sawit dibuka (citra tahun 1989 dan 2010) dan perangkat alat komputer. Pengumpulan Data Data mengenai status/peruntukkan lahan dan penggunaan lahan diperoleh dari dokumen-dokumen perijinan, laporan yang dipublikasikan, hasil klasifikasi peta citra landsat dan browsing internet. Data yang dikumpulkan berupa data luas
10
areal yang diperoleh untuk kebun sawit, dari mana saja asal lahan diperoleh dan data perubahan tutupan lahan (tuplah) seperti apa pada saat sebelum dibuka dan setelah dijadikan lahan kebun sawit.
PT.B
PT.C
PT.A
Gambar 2.1 Lokasi perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B dan PT.C di Provinsi Kalimantan Tengah Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif (yaitu dengan mengolah data dalam bentuk angka dan tabel) dan kualitatif (dengan cara mendiskripsikan data olahan dalam bentuk kalimat/paparan sehingga mudah diinterpretasikan dan dipahami). Analisis diskriptif mengenai peruntukkan/status lahan dimaksudkan untuk mengetahui apakah asal lahan diperoleh dari kawasan hutan atau bukan kawasan hutan berdasarkan studi dokumen dan laporan. Analisis penggunaan lahan diarahkan untuk mengetahui sejarah berbagai jenis aktivitas penggunaan yang pernah dilakukan di atas lahan yang saat ini menjadi areal kebun sawit. Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan melalui hasil penafsiran peta citra landsat sebelum lahan dibuka menjadi kebun sawit (citra tahun 1989), dan setelah lahan dibuka menjadi kebun sawit (citra tahun 2010). Sumber data menggunakan citra landsat 7 ETM+ band 542 path 119, 120 row 61, 62 tanggal 9 Februari, 5 April dan 1 Juni 2010. Hasil interpretasi citra landsat berupa klasifikasi tutupan lahan pada masing-masing kebun (jenis tutupan lahan dan luasannya) kemudian ditabulasikan menggunakan program microsoft excel untuk selanjutnya dilakukan analisis secara diskriptif. Batasan yang digunakan dalam mendefinisikan tipe tutupan lahan adalah berdasarkan istilah dan definisi yang digunakan dalam klasifikasi tutupan lahan oleh Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan, yang dalam penelitian ini berupa:
11
-
-
-
-
-
-
Hutan Primer (Hp), yanitu kenampakan hutan yang ditandai dengan belum adanya bekas aktivitas penebangan, ditandai dengan tidak adanya kenampakan alur pembukaan areal dan bercak bekas penebangan; Hutan sekunder (Hs) adalah merupakan kenampakan hutan di dataran rendah dan perbukitan yang telah menampakan bekas aktivitas penebangan, ditandai dengan kenampakan alur pembukaan areal dan bercak bekas penebangan; Semak belukar (B), merupakan kenampakan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi), atau areal dengan liputan pohon jarang, serta umumnya sudah tidak ada kenampakan bekas alur-alur bercak penebangan lagi; Pertanian campuran (Pc), merupakan kenampakan semua aktivitas pertanian di lahan kering campur yang berselang seling atau bercampur dengan semak belukar, kebun campur dan bekas tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah; Tanah terbuka (T), merupakan keseluruhan lahan tanpa vegetasi dan lahan terbuka bekas kebakaran maupun tanah terbuka yang polos ataupun ditumbuhi rumput maupun alang-alang; Perkebunan (Pkb) yang merupakan seluruh kenampakan kebun, baik yang sudah jadi tanaman tua maupun yang masih merupakan tanaman muda; Tubuh air (A), merupakan kenampakan berupa sungai, rawa, wilayah tergenang yang pada citra Landsat akan berwarna biru dengan tekstur halus; Tertutup awan (TA) kenampakan obyek tidak dapat atau sulit diidentifikasi/ diinterpretasikan karena daerahnya berawan.
Hasil dan Pembahasan 2.1 Status/ Peruntukkan Lahan Lahan yang dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit bila dilihat dari status lahannya berdasarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1982 adalah merupakan kawasan hutan, yaitu hutan produksi tetap (HP), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimanatan Tengah Tahun 2003 yang tertuang dalam Peraturan Daerah No 8 Tahun 2003), bahwa areal yang dimohonkan untuk pengembangan kebun sawit tersebut, status/peruntukkan lahannya adalah sebagai Areal Penggunaan Lainnya (APL), yaitu areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan hutan. Perda No 8 Tahun 2003 tersebut merupakan strategi operasionalisasi arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional pada wilayah provinsi, yang menjadi acuan dan pedoman dalam alokasi ruang untuk pembangunan di daerah. Dengan demikian berdasarkan RTRWP Tahun 2003 tersebut, ketiga perkebunan tersebut status/peruntukkan lahannya adalah bukan kawasan hutan. Dalam hukum Indonesia, istilah hutan dibatasi sebagai kawasan/areal yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai hutan, meskipun areal/kawasan tersebut tidak berpenutupan vegetasi. Sebaliknya, areal yang rimbun dengan vegetasi tapi tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan, maka areal tersebut secara hukum bukanlah
12
hutan. Itulah sebabnya, diperlukan Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan oleh Menteri Kehutanan bilamana ada kawasan hutan yang diperlukan untuk peruntukkan selain kehutanan (pertanian, perkebunan, pemukiman, transmigrasi, dan lain-lain). Mengacu kepada ketetapan hukum tersebut, maka pengembangan perkebunan sawit di areal dengan peruntukkan adalah APL, KPP dan atau KPPL tidak dapat dianggap sebagai suatu proses pengurangan luas kawasan hutan (Santosa et al., 2010). Data luas lahan dan statusnya berdasarkan TGHK dan RTRWP dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan acuan petanya pada Lampiran 1 (lihat hlm 82). Tabel 2.1 Status lahan berdasarkan TGHK dan RTRWP Kalimantan Tengah sebelum menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit Perkebunan
Periode proses perizinan
PT A
1995-2003
PT B
PT C
2004-2007
2003-2007
Luas lahan (ha) 4203 (1997)
14300 (2004)
23011 (2006)
Status lahan TGHK (1982) HPK
666
HP
3537
HPK
7604
HPT
6696
HPK
13198
HP
9813
RTRWP (1993) APL
4203
APL
14300
APL
23011
Keterangan: HPK (hutan produksi konversi); HP (hutan produksi tetap); HPT (hutan produksi terbatas); APL (areal penggunaan lainnya) . Sumber: Santosa et al. (2010).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Kepmenhutbun) Nomor 376 Tahun 1998 tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan Untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit, selain menyebutkan bahwa kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi usaha perkebunan budidaya kelapa sawit adalah kawasan hutan yang berdasarkan kesesuaian lahannya cocok untuk perkebunan budidaya kelapa sawit (pasal 1), juga disebutkan bahwa kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi perkebunan budidaya kelapa sawit memiliki kriteria berdasarkan RTRW Propinsi berada pada kawasan budidaya non kehutanan (pasal 3). Sebagai gambaran bahwa luas lahan provinsi Kalimantan Tengah yaitu sekitar 15.3 juta ha., yang terdiri dari kurang lebih 12.7 ha berupa kawasan hutan dan 2,6 juta ha berstatus APL (Kemenhut 2012). Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, luas lahan yang sudah digunakan untuk perkebunan kelapa sawit seluruhnya adalah 226696 hektar (Total luas lahan konsesi PT.A, PT.B, PT.C sebesar 41603 ha atau hanya sekitar 18.35%). Permasalahannya adalah berdasarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1982 yang diacu oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan, areal yang diizinkan dan diberikan untuk perkebunan tersebut adalah kawasan hutan, yaitu berupa hutan produksi tetap (HP), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPT). Dengan demikian terdapat perbedaan status/peruntukkan kawasan yang dijadikan lahan perkebunan, dimana hal yang sama juga banyak terjadi di pemerintah daerah lainnya.
13
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (pengganti UU Penataan Ruang sebelumnya Nomor 24 Tahun 1992), mengharuskan semua peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah agar disusun atau disesuaikan, termasuk juga untuk RTRW Provinsi Kalimantan Tengah yang harus mengalami revisi. Kemudian terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012 (pengganti PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan), menyatakan bahwa perubahan peruntukkan kawasan hutan dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan atau melalui pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan dimaksud hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan dilakukan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan. Dengan merujuk PP Nomor 60 Tahun 2012 tersebut, pada dasarnya atas suatu permohonan, Menteri dapat mengeluarkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan (untuk fungsi HPK), dan tukar menukar kawasan hutan (untuk kawasan hutan dengan fungsi HP dan/atau HPT). Pengaturan lebih lanjut tentang pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan di atur didalam Permenhut P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, diantaranya menyatakan bahwa luas kawasan HPK yang dilepaskan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, untuk pembangunan perkebunan diberikan paling banyak 100000 (seratus ribu) hektar, secara bertahap dengan luas paling banyak 20000 (dua puluh ribu) hektar. Kemudian terbit Permenhut Nomor: P.17/Menhut-II/2011 (pengganti Permenhut P.33/Menhut-II/2010), yang menyatakan kawasan HPK yang dilepaskan untuk kepentingan perkebunan, komposisinya 80% untuk perusahaan perkebunan dan 20% untuk kebun rakyat dari total luas kawasan hutan yang dilepas. Berdasarkan Permenhut P.17/MenhutII/2011 tersebut, maka luas lahan kelola yang diperoleh dari hasil mengkonversi HPK pada ketiga perkebunan adalah seperti terlihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Luas lahan hasil pelepasan kawasan HPK berdasarkan Permenhut P.17/Menhut-II/2011 Status Lahan Perkebunan
Luas Konsesi
PT A
4.203 (1997)
PT B
PT C
14.300 (2004)
23.011 (2006)
Permenhut No 17/2011
TGHK (1982)
HPK
666
HP
3.537
HPK
7.604
HPT
6.696
HPK
13.198
HP
9.813
Perusahaan (80%)
Kebun masyarakat (20%)
532,80
133,20
6.083
1.520,80
10.558,40
2.639,60
Keterangan: HPK (hutan produksi konversi); HP (hutan produksi tetap); HPT (hutan produksi terbatas); APL (areal penggunaan lainnya). Sumber: Data diolah dari Santosa et al. (2010).
2.2 Sejarah Penggunaan Lahan Pengembangan investasi perkebunan di provinsi Kalimantan Tengah mengacu pada peraturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun
14
2004 tentang Perkebunan; Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit; Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan; dan Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 154 Tahun 2004 jo Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman Perizinan Pengelolaan Usaha Perkebunan (Disbun Kalteng, 2013). Untuk melakukan penelusuran sejarah penggunaan lahan dan status lahan di 3 (tiga) unit perkebunan yang diteliti, digunakan berbagai dokumen yang menyangkut perizinan yaitu diantaranya berupa surat Persetujuan prinsip dari Menteri Pertanian, Izin lokasi dan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dari BPN, Rekomendasi tentang kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten dari Gubernur/Bupati, Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan, dan Izin usaha perkebunan (IUP) dari Bupati. Hasil studi dokumen/laporan dan telaah peta penggunaan lahan sebelum kebun dibuka, menunjukkan bahwa areal-areal yang dimohonkan tersebut diatas sebelumnya berupa bekas konsesi (eks) Hak Pengusahaan Hutan (HPH), bekas lahan perkebunan dari perusahaan perkebunan lainnya dan bekas ladang, lahan pertanian dan semak belukar. Dari sejarah kehutanan, dimulai pada tahun 1970 Menteri Pertanian yang membawahi urusan Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 291 /Kpts / Um /1970 tentang penetapan areal kerja pengusahaan hutan, dimana kawasan-kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan Hak Pengusahaan Hutan, kemudian dikukuhkan sebagai Hutan Produksi. Pada era tahun 1970an, pengusahaan hutan dalam bentuk HPH mulai beroperasi, dan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah PN Perhutani Kalimantan diubah antara lain menjadi PT. IH3 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 (Lisman, 2007). Berdasarkan penelusuran terhadap berbagai jenis aktivitas yang pernah dilakukan di atas lahan yang akan menjadi perkebunan kelapa sawit, hasilnya adalah bahwa Perkebunan PT.A areal konsesinya 4203 ha diperoleh dari lahan eks perkebunan sawit lainnya (1500 ha), lahan semak belukar (yang sudah melalui proses ganti rugi) seluas 1835 ha dan eks HPH (868 ha); PT.B areal konsesinya 14300 ha berasal dari lahan eks perkebunan sawit lainnya (524 ha), bekas ladang dan semak belukar (2481 ha) dan eks HPH (11295 ha); dan PT.C yang areal areal konsesinya bersumber dari bekas ladang dan semak belukar (14366 ha) dan eks HPH (8675 ha) sebagaimana disajikan pada Tabel 2.3. Pada umumnya terjadi di wilayah Kalimantan Tengah, bahwa setelah areal HPH dan kebun sawit tidak aktif beroperasi (menjadi lahan terlantar), maka lahan tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk berladang dengan sistem ladang berpindah, dalam beberapa kasus lahan tersebut telah diakui sebagai lahan milik. Hal tersebut dapat terlihat pada saat proses pembebasan lahan dilakukan sebagian besar areal yang diganti rugi lahan telah berwujud semak belukar, bekas pertanian/ladang atau kebun karet. Lillesand & Kiefer (2000) menjelaskan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia mengubah lahan pada waktu yang berbeda, dan peubah sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan (dalam penelitiannya di
15
Taman Nasional Gunung Halimun Salak) adalah kepadatan dan pertumbuhan penduduk, pemukiman dan perluasan lahan pertanian (Yatab 2008). Tabel 2.3 Sejarah penggunaan lainnya pada lahan perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B dan PT.C Dibebani HPH
Penggunaan Izin Oleh Pihak Lain
Penggunaan Lainnya
Kebun
PT.A
PT.B
PT.C
Perusahaan
Luas (ha)
Tahun
Perusahaan
PT. KSM
1500
2007
PT. SSS
1999
PT.IH3
524
2007
PT.AWL
123077
2000
PT.BCT
84600
1972
PT.PKDR
83610 262544
1972
PT.IH3 PT.SPT
Luas (ha) 41994
Tahun
85840
-
2004
Luas (ha)
Periode
Keterangan
1835
1998 2007
Semak
2481
2007 2010
2170 ha ladang 311 ha semak
-
-
-
14336
2005 2010
9577 ha ladang 4759 ha semak
Sumber: Santosa et al. (2010).
Terdapatnya banyak dugaan, bahwa perkebunan kelapa sawit dikembangkan dengan cara mengkonversi kawasan hutan, sehingga menyebabkan hutan berkurang dan berdampak pada kerusakan lingkungan, untuk kasus perkebunan yang diteliti adalah tidak seluruhnya benar. Pada ketiga perkebunan yang diteliti, status lahan sebelum dikonsesi adalah bukan kawasan hutan berdasarkan rencana tata ruang, dan asal-ususl lahannya diperoleh dari bekas eks HPH, eks perusahaan perkebunan lainnya, bekas ladang masyarakat yang ditelantarkan dan berupa semak belukar yang diperoleh melalui proses ganti rugi. Berdasarkan data analisa tutupan lahan yang dikompilasi oleh FAO menunjukkan bahwa dalam periode 1990-2005, sekitar 55%-59% perluasan kebun kelapa sawit di Malaysia, dan sedikitnya 56% di Indonesia berasal dari tutupan lahan hutan (Koh et al. 2008), namun data lainnya menunjukkan bahwa hilangnya hutan alam di Malaysia dan Indonesia tidak berjalan linear dengan dibukanya lahan untuk perkebunan kelapa sawit, sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.2. Isu lainnya adalah terkait dengan dibukanya lahan untuk sawit dengan cara mengkonversi lahan gambut, yang menimbulkan banyak kekhawatiran para pemerhati lingkungan akibat dimana hal ini akan memicu proses pelepasan gas rumah kaca baik melalui deforestasi dan pengeringan gambut stok karbon. Gambut yang terdegradasi rentan terhadap kebakaran yang akan melepas banyak gas rumah kaca ke udara.
16
Gambar 2.2 Perkembangan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan hilangnya hutan alam di Indonesia dan Malaysia periode 1990-2008 Sumber: Mongabay.com (2011)
Perkebunan kelapa sawit yang diteliti sebagian arealnya berada pada lahan gambut. Berdasarkan pengukuran kedalaman gambut oleh Tim IPB, telah teridentifikasi luasan lahan gambut yang telah ditanami kelapa sawit di berbagai kedalaman gambut seperti disajikan pada Tabel 2.4. Persoalannya adalah, bahwa tanah bergambut letaknya berupa spot-spot secara sporadis bercampur dengan tanah mineral, sehingga tidak dapat dihindari penanaman sawit di tanah bergambut. Berdasarkan validasi lapangan dan wawancara kepada “key person”, penanaman sawit di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter sudah dihentikan. Tabel 2.4 Data luas dan kedalaman gambut pada lokasi perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B dan PT.C Gambut ditanami sawit (ha)
Kebun
Total luas gambut
Jumlah
PT.A
2079
866
Kedalaman 104 (<1.5 m)
Gambut tidak ditanami (ha) 1213
364 (1.5-3 m) 398 (>3 m) PT.B PT.C
Tidak ada data 1042
709
157 (<1.5 m)
333
304 (1.5-3 m) 248 (>3m) Sumber: Santosa et al. (2010)
Pertanyaannya, mengapa pengembangan kelapa sawit sampai harus merambah pada lahan gambut yang berdampak pada lingkungan? Ada beberapa argumentasi untuk menjawab pertanyaan ini, diantaranya adalah pertama, bahwa
17
dari sisi aturan yang berlaku (Permentan Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit), bahwa lahan gambut dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit namun harus memenuhi kriteria antara lain yaitu berada pada kawasan budidaya, yaitu kawasan yang berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lain (APL) untuk usaha budidaya kelapa sawit; lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit yaitu dalam bentuk hamparan yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 3 (tiga) meter dan proporsi lahan dengan ketebalan gambutnya kurang dari 3 (tiga) meter minimal 70% (tujuh puluh persen) dari luas areal yang diusahakan; areal gambut yang boleh digunakan adalah gambut matang (saprik) dan gambut setengah matang (hemik) sedangkan gambut mentah dilarang untuk pengembangan budidaya kelapa sawit. Kedua, bahwa luas lahan provinsi Kalimantan Tengah yaitu sekitar 15.3 juta ha, yang terdiri dari kurang lebih 12.7 ha berupa kawasan hutan dan 2.6 juta ha berstatus APL (Kemenhut 2012) dan 3 juta ha diantaranya berupa lahan gambut yang tersebar di kawasan hutan dan APL. Dengan banyak ketertarikan pihak-pihak pada tanah mineral (untuk pembangunan, pemukiman, pertanian, dan lain-lain), maka lahan gambut menjadi alternatif berinvestasi untuk kelapa sawit karena dianggap aman dari berbagai klaim masyarakat atau tidak rawan konflik. Ketiga, investasi kebun kelapa sawit sangat menjanjikan secara ekonomi dan menguntungkan, sehingga menjadi daya tarik pelaku usaha untuk berinvestasi. Disisi lain, bagi pemerintah daerah (khususnya provinsi atau kabupaten pemekaran) yang sedang giat-giatnya membangun tentu akan membutuhkan “modal” bagi pembangunan di daerahnya, sehingga investasi seperti kebun kelapa sawit diharapkan dan ditawarkan kepada pelaku usaha dengan berbagai kemudahan fasilitas, termasuk di Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki potensi lahan (termasuk lahan gambut) untuk pengembangan investasi dibidang perkebunan. 2.3 Perubahan Kondisi Tutupan Lahan Sebelum PT.A, PT.B dan PT.C mengambil alih lahan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, tidak ditemukan tutupan lahan berupa hutan primer, sebagaimana terlihat pada hasil penafsiran peta citra landsat (Lampiran 4-6 pada hlm 84-89). Lahan tersebut berasal dari eks perusahaan HPH yang sudah beroperasi sejak tahun 1972, dan sebagian areal lainnya merupakan bekas lahan perkebunan perusahaan lainnya dan lahan pertanian garapan oleh masyarakat. Banyak aktivitas penebangan liar dilakukan oleh kelompok masyarakat selama kurun waktu 1998-2001 yang saat itu lebih diuntungkan dengan euphoria reformasi yang mengusung isu ketidakadilan bagi rakyat kecil dan ketimpangan pembangunan dan perekonomian di luar pulau Jawa. Lisman (2007) dalam bukunya “Konflik Sosial Kehutanan” menyebutkan bahwa pada era bergulirnya reformasi tahun 1998, telah terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan masyarakat, termasuk huru hara yang menghancurkan prasarana bisnis, fasilitas publik dan di bidang kehutanan terjadi penjarahan hutan dan penebangan liar. Sejak awal dimulainya aktivitas land clearing dan dilanjutkan dengan penanaman di tiga perkebunan yang diteliti, telah terlihat perubahan-perubahan atas tutupan lahannya. Perubahan kondisi penutupan lahan (tuplah) pada unit usaha perkebunan kelapa sawit berdasarkan hasil interpretasi citra landsat sebelum (citra
18
tahun 1989) dan setelah dibuka (citra tahun 2010) menjadi kebun kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Kondisi penutupan lahan pada masing-masing areal kebun lingkup PT.A, PT.B, dan PT.C di Provinsi Kalimantan Tengah Tutupan lahan
Perkebunan PT.A
Perkebunan PT.B
Perkebunan PT.C
Luas (ha)
Luas (ha)
Luas (ha)
1989
2010
1989
2010
1989
2010
Pkb
0
2443
0
1474
0
14082
Hs
1945
1044
0
0
15382
1134
B
2254
142
1305
4341
818
1820
Pc
0
0
11628
7596
6507
2909
T
0
295
265
475
66
2631
TA
0
275
689
0
233
435
A
0
0
0
0
0
0
4.199
4.199
13.887
13.886
23.006
23.011
TOTAL
Keterangan: Pkb (perkebunan sawit), Hs (hutan sekunder), B (semak belukar), Pc (pertanian campuran), T ( tanah terbuka), TA ( tertutup awan), dan A (tubuh air).
Hasil penafsiran peta citra landsat sebelum dan setelah dibuka menjadi kebun sawit, luas lahan perkebunan PT.A adalah 4199 ha. Sebelum dibuka, klasifikasi tuplahnya berupa hutan sekunder (Hs) seluas 1945 ha dan semak belukar (B) 2254 ha. Setelah ada aktivitas pembukaan lahan (land clearing) dan kegiatan penanaman, terlihat perubahan klasifikasi tuplahnya (citra landsat tahun 2010) yaitu berupa kebun yang sudah ditanami kelapa sawit (Pkb) seluas 2443 ha (58.18%), tuplah hutan sekunder berkurang menjadi 53% (1044 ha) dari luas semula, tuplah semak belukar yang jauh berkurang luasannya menjadi 6.29% (142 ha) dari luasan semula. Artinya berdasarkan data tersebut diatas, mengindikasikan adanya aktivitas land clearing yang terjadi pada tuplah hutan sekunder dan semak belukar (Gambar 2.3).
A. B. Gambar 2.3 Perubahan kondisi tutupan lahan pada sebagian areal PT.A di Kabupaten Kobar : (A) Tutupan lahan tahun 1989, dan (B) Tutupan lahan tahun 2010.
19
Perkebunan kelapa sawit PT.B berdasarkan interpretasi citra landsat secara keseluruhan luas lahan yang dikelola sebesar 13886 ha. (berdasarkan ijin lahan yang diperoleh luasnya 14300 ha). Berbeda dengan kebun PT.A, Perkebunan PT.B hasil interpretasi citra landsat kondisi awal sebelum dilakukan land clearing tutupan lahannya berupa semak belukar (B), pertanian campuran (Pc), tanah terbuka (T), dan tidak terdapat tutupan lahan berupa hutan sekunder (Hs). Berdasarkan penafsiran peta citra tahun 2010, telah terbentuk sekitar 1474 ha perkebunan sawit, terjadi penambahan luas tuplah semak belukar dan pengurangan luasan tuplah pertanian campuran (lihat Lampiran 3 hlm 84). Perkebunan kelapa sawit lingkup PT.C berdasarkan penafsiran peta citra landsat sebelum dan setelah dibuka menjadi kebun sawit luas lahan secara keseluruhan yang dikelola adalah 23011 ha. Kondisi awal tuplah perkebunan dilingkup PT.C berdasarkan interpretasi citra landsat terdapat tuplah hutan sekunder seluas 15382 ha, setelah pembukaan lahan dan aktivitas penanaman kelapa sawit luasan hutan sekundernya berkurang hingga berkisar 7.4% dari luasan semula (±1134 ha). Ini berarti sama seperti di PT.A, bahwa telah terjadi pembukaan areal hutan untuk membangun kebun kelapa sawit (lihat Lampiran 4 hlm 86). Gambar 2.4 memperlihatkan kenampakan tutupan lahan hasil interpretasi citra landsat yang kemudian diklarifikasi atau divalidasi di lapangan.
(A)
(B)
(C) (D) Gambar 2.4 Kenampakan tutupan lahan pada perkebunan kelapa sawit yang diteliti: (A) Tutupan lahan pertanian campuran (Pc), (B) Semak belukar (B), (C) Hutan sekunder (Hs), dan (D) kebun kelapa sawit (Pkb)
20
Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan. Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan (Sitorus et al. 2006). Wijaya (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya pertumbuhan penduduk, mata pencaharian dan kebijakan pemerintah. Alih fungsi lahan dalam kurun waktu tertentu dapat mempengaruhi perubahan penutupan lahan. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan berasal dari faktor alam (bencana alam, kebakaran hutan, letusan gunung berapi) dan faktor manusia berupa faktor sosial ekonomi, pertumbuhan penduduk dan kebijakan pemerintah (Puspawati, 2012). Berdasarkan laporan yang ditelaah, sejumlah hotspot teridentifikasi didalam wilayah konsesi perkebunan yang diteliti yaitu sebanyak 53 titik untuk tahun 2006 dan 26 titik untuk tahun 2007. Adanya fire hotspot tersebut bukan disebabkan karena pihak perkebunan menggunakan proses pembakaran dalam kegiatan pembersihan, akan tetapi penyebabnya adalah pembersihan lahan yang dilakukan oleh penduduk untuk berladang sebelum lahannya dibebaskan oleh perusahaan (sebelum proses ganti rugi) (Santosa et al. 2010). Demikian pula faktor kebijakan pemerintah (dalam hal ini kebijakan dalam RTRWP Kalteng) yang mengalokasikan areal untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit (kawasan budidaya berupa KPP/KPPL/APL), akan berpengaruh terhadap perubahan tutupan lahannya yang secara fungsinya adalah memang dikembangkan untuk produksi hasil perkebunan kelapa sawit. Dari hasil penafsiran tutupan lahan diatas menjadi jelas bahwa pembukaan lahan untuk budidaya kelapa sawit tidak seluruhnya berasal dari areal berhutan seperti banyak dugaan yang berkembang, melainkan juga dari tutupan lahan yang awalnya sudah ada berupa semak belukar, pertanian campuran (ladang/kebun masyarakat) atau tanah kosong. Hutan sekunder yang tersisa di areal perkebunan saat ini diperuntukkan sebagai areal konservasi/areal lindung seperti areal sempadan sungai dan ekosistem hutan gambut. Tabel 2.6 menyajikan data mengenai proporsi lahan yang ditanami sawit dengan alokasi areal konservasi di lokasi perkebunan. Tabel 2.6 Alokasi areal konservasi di dalam kebun kelapa sawit Perkebunan
Luas keseluruhan ( ha)
Luas kebun penelitian (ha)
Areal Konservasi
Luas areal yang ditanami (ha)
Luas (ha)
Prosentase (%)
PT.A
4203
4203 (kebun X)
2443
77
1.83
PT.B
14300
2619 (kebun Y)
1474
76,6
2.93
PT.C
23011
4500 (kebun Z)
4184
440.32
9.75
Sumber: Data diolah dari Santosa et al. (2010)
21
Simpulan 1. Peruntukkan/status lahan perkebunan kelapa sawit sebelum dikonsesi berdasarkan RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah (Perda No 8 Tahun 2003) adalah bukan kawasan hutan melainkan sebagai Areal Penggunaan Lainnya (APL). 2. Lahan yang dibuka menjadi kebun kelapa sawit sebelumnya berasal dari lahan eks perusahaan HPH, bekas lahan perkebunan dari perusahaan kelapa sawit lainnya, semak belukar dan bekas ladang atau lahan pertanian garapan masyarakat. Perkebunan PT.A lahannya berasal dari eks HPH (868 ha), bekas perkebunan sawit lainnya (1500 ha), dan semak belukar (1835 ha), PT.B lahannya diperoleh dari eks HPH (11295 ha), bekas perkebunan sawit lainnya (524 ha), ladang masyarakat (2171 ha), dan semak belukar (310 ha); dan lahan PT.C berasal dari bekas HPH (8675 ha), semak belukar (9536 ha), dan ladang masyarakat (4800 ha). 3. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat sebelum diambil alih menjadi kebun kelapa sawit, tutupan lahan pada perkebunan PT.A berupa Hutan sekunder (46%) dan Semak belukar (54%); perkebunan PT.B tidak teridentifikasi adanya hutan sekunder, melainkan berupa Semak belukar (9.4%), Pertanian campuran (83.7%), Tanah kosong (1.9%) dan Tertutup awan (5%); dan PT.C berupa Hutan sekunder (68%), Semak belukar (3.4%), Pertanian campuran (27.3%), Tanah kosong (0.3%) dan Tertutup awan (1%). Perbandingan antara luas lahan yang ditanami kelapa sawit dengan areal konservasinya hingga tahun 2012 masing-masing adalah: perkebunan PT.A lahan ditanami sawit 2443 ha (98.17%) dan areal konservasinya 77 ha (1.83%); lahan PT.B berupa kebun sawit 1474 ha (97.07 ha) dan areal konservasi 76.6 ha (2.93%); lahan PT.C berupa kebun sawit luasnya 4033 ha (90.22%) dan areal konservasinya 440.32 ha (9.79%).
22
3 ANALISIS KOMPARATIF POTENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN Pendahuluan Seiring dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan pembangunan, dan peningkatan kebutuhan akan produksi berbagai komoditas, memberi konsekuensi pada kebutuhan dan ketersediaan lahan yang memadai. Menurut Lier (1998), dalam suatu perencanaan penggunaan lahan umumnya ada dua dimensi yang saling bertentangan, yakni aspek konservasi dan aspek ekonomi. Dari aspek ekonomi penggunaan lahan ditujukan bagi peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh antara lain melalui peningkatan produksi, relokasi bangunan, pengembangan desa dan lain-lain; sementara dalam perspektif konservasi penggunaan lahan harus mampu menjaga terpeliharanya fungsi perlindungan tata air, udara, tanah, tumbuhan dan satwa. Penggunaan lahan dari berbagai aktivitas dalam waktu tertentu akan berpengaruh pada perubahan tutupan lahannya, yang dalam banyak kasus tutupan lahan (tuplah) hutan yang banyak dimanfaatkan. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan, dan dalam kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan (Sitorus et al. 2006). Meskipun laju kerusakan/hilangnya hutan alam tidak berjalan linear dengan tumbuh kembangnya perkebunan kelapa sawit (sumber Mongabay.com edisi March 2011), namun pengembangan kebun kelapa sawit pada berbagai tutupan lahan (khususnya pada areal berhutan) diyakini berpengaruh pada ekosistem lahan tersebut, termasuk keberadaan dan kelestarian produk dan jasa-jasa lingkungan ekosistemnya. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penyediaan lahan untuk pengembangan kebun kelapa sawit dengan cara membuka tutupan lahan berhutan telah menimbulkan kerusakan ekosistem hutan hujan tropis tempat hidup spesies terrestrial, menyebabkan fragmentasi habitat, hilangnya koridor hidupan liar yang menghubungkan antar wilayah sumber keragaman genetik sehingga menyebabkan terancam punahnya spesies langka (Abdullah et al. 2007; Dixon et al. 2007; Fayle et al. 2010). Danielson et al (2009) menyatakan bahwa dari sudut pandang ekologi, sistem monokultur seperti perkebunan kelapa sawit akan membentuk suatu penghalang (barrier) bagi spesies-spesies bermigrasi yang pada akhirnya akan menghasilkan daya kerentanan terhadap suatu penyakit. Ekosistem hutan memiliki peranan yang sangat penting yaitu antara lain sebagai tempat bernaungnya keanekaragaman flora maupun fauna, menyimpan potensi yang sangat besar sebagai penyedia jasa lingkungan (environmental services) seperti pengatur tata air (water management), memberikan kesejukkan udara (air purification), pencegah erosi (erosion control), dan sebagai habitat hidupan liar (wildlife habitat), sumber material obat-obatan (bio-prospecting), dan berperan untuk penyerapan CO2 (carbon sinks) (Pearce 1996; Constanza et al. 1997). Pemanfaatan produk hutan hujan tropis secara besar-besaran yang telah berlangsung sejak tahun 1970, melalui berlangsungnya praktek perladangan berpindah, serta konversi areal hutan menjadi kawasan budidaya/non hutan telah
23
memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi kelestarian keanekaragaman hayati (Santosa et al. 1995). Biodiversitas dalam hal ini tumbuhan dan satwa liar adalah merupakan produk-produk suatu ekosistem yang akan mengalami perubahan, manakala terjadi perubahan terhadap tutupan lahan (habitat hutan). Pengaruh yang ditimbulkan dapat berupa berkurang bahkan hilangnya potensi biodiversitas (biodiversity loss), termasuk tumbuhan dan satwa liar. Pembukaan areal berhutan menjadi ancaman bagi hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati ekosistem hutan hujan tropis, menyebabkan terganggunya hidupan liar (flora dan fauna) dan fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat akan membuat habitat satwaliar yang kompak terpecah ke dalam areal-areal sempit yang disebut “patch habitat” yaitu satu atau beberapa blok hutan tersisa yang terletak di tengah-tengah areal tak berhutan (kebun, pemukiman). Suatu penelitian menunjukkan bahwa fragmentasi merupakan penyebab utama terancam punahnya sejumlah besar spesies (Noon & MacKelvey 1996; Powell 2006; Van Aarde & Jackson 2007). Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa di hutan primer Malaysia teridentifikasi 80 jenis mamalia, pada hutan yang terganggu (logged forest) ditemukan hanya sekitar 30 jenis mamalia, sementara di perkebunan kelapa sawit hanya terdapat sekitar 11 atau 12 jenis (Wakker 1998; Clay 2004). Pengurangan tersebut juga terjadi pada beberapa jenis insekta, burung, reptil dan mikroorganisme tanah (WWF 2008; WWF 2013). Berdasarkan penelitian sebagaimana dikutip dalam Deforestation due to Palm Oil Plantations in Indonesia menyebutkan bahwa rata-rata hanya 15% spesies dari hutan primer yang bisa hidup di kebun kelapa sawit (WWF 2008). Tindakan konversi hutan primer atau sekunder/hutan bekas tebangan menjadi kebun kelapa sawit akan menghasilkan kehilangan keanekaragaman hayati yang signifikan, sementara mengkonversi kebun karet menjadi kebun kelapa sawit lebih sedikit kehilangannya (Koh 2008). Hutan yang terfragmentasi memiliki 60 kali lebih sedikit kelimpahan spesies burung yang mempunyai arti konservasi tinggi dan 1,8 kali lebih sedikit dari keseluruhan burung dibanding hutan yang berdekatan, dan lebih buruk lagi hasilnya di perkebunan kelapa sawit yaitu 200 kali lebih sedikit kelimpahan burungnya dari pada di hutan (Edwards et al. 2010). Dengan perhitungan yang paling konservatif sekalipun dikatakan bahwa laju kepunahan spesies berkisar 1-5% setiap sepuluh tahun (Reid 1992 dalam Barbier 2000). Disisi lain bagi perkebunan kelapa sawit yang lahannya berasal dari suatu tutupan lahan yang kurang potensinya (terkait tumbuhan dan satwa liar) seperti tuplah tanah terbuka, perubahan menjadi hamparan kebun kelapa sawit atau semak belukar di areal kebun sawit akan memberikan ekosistem yang baik bagi perkembangan spesies-spesies tertentu. Berkembangnya spesies-spesies tersebut akan berdampak positif bagi pengelolaan kebun khususnya terkait dengan pengendalian hama tikus di lingkungan kebun kelapa sawit. Pemanfaatan potensi biodiversitas di lingkungan perkebunan kelapa sawit, terlebih apabila dapat dikelola dengan baik, dapat dianggap sebagai suatu “biodiversity gain”. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akibat perubahan berbagai tutupan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit akan berpengaruh terhadap kondisi dan potensi keanekaragaman hayati yang hidup didalamnya. Pengaruh itu dapat berupa berkurangnya atau bahkan hilangnya potensi tersebut (biodiversity loss), namun sebaliknya ada kemanfaatan dari berkembangnya potensi biodiversitas (biodiversity gain) pada ekosistem yang baru. Faktor biodiversity loss (bio-loss)
24
ini menjadi suatu pertimbangan yang harus atau wajib dikedepankan dalam mengembangkan pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempertimbangkan kelestarian/ konservasi lingkungan. Oleh karena itu dalam penelitian ini, pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi didefinisikan sebagai usaha perkebunan yang apabila dalam pengusahaannya tidak terjadi kehilangan biodiversitas, atau dalam hipotesisnya adalah bahwa biodiversity loss (bio-loss) sama dengan nol. Namun berbeda dengan bio-loss, maka biodiversity gain (bio-gain) yang dimaksudkan bagi pelaku usaha bersifat sukarela atau voluntary. Artinya dalam kegiatan operasionalnya, pemanfaatan potensi biodiversitas dalam perkebunan tidak menjadi suatu keharusan, melainkan suatu alternatif pilihan. Terhadap perubahan–perubahan tersebut di atas, akan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap potensi yang ada pada berbagai tipe tutupan lahan untuk kemudian memperbandingkannya. Oleh karena itu dalam penelitian ini tujuannya adalah: (1) mengidentifikasi dan menganalisis potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar pada beberapa tipe tutupan lahan berupa areal berhutan (hutan primer, hutan sekunder), semak belukar dan tanah terbuka; (2) menduga jenis tumbuhan dan satwaliar yang hilang (biodiversity loss) akibat areal berhutan (hutan sekunder dan hutan primer) dan semak belukar berubah menjadi perkebunan kelapa sawit ; dan (3) mengidentifikasi potensi biodiversitas yang dapat berkembang baik dalam lingkungan kebun sawit (biodiversity gain) akibat perubahan tutupan lahan tanah terbuka menjadi hamparan kebun sawit. Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di 3 (tiga) areal konsesi perkebunan kelapa sawit, yaitu perkebunan PT.A di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), perkebunan PT.B di Kabupaten Seruyan, dan perkebunan PT.C yang terletak di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), dan di kawasan konservasi (Taman Nasional Tanjung Puting) yang berdekatan lokasinya dalam satu wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini berlangsung pada periode bulan Januari-April 2013. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan berupa peta lokasi kebun, laporan dan publikasi hasil inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa liar diperkebunan sawit, tally sheet serta lembar questioner. Perlengkapan lapangan berupa teropong binokuler, pencatat waktu, kompas, GPS, kamera, tali rapia dan tambang (yang sudah ditandai 2, 5, 10, 20 meter), pita meteran kain (untuk mengukur diameter/keliling pohon), alat tulis dan perangkat komputer. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan mencakup luas total areal perkebunan sesuai izin (hektar), luas areal yang dibiarkan sebagaimana dulunya sebelum dibuka menjadi kebun sawit (hektar), potensi jenis tumbuhan pada tutupan lahan hutan primer (kawasan konservasi) dan hutan sekunder (areal konservasi di perkebunan), dan
25
data potensi satwa liar pada hutan primer (kawasan konservasi), hutan sekunder, semak belukar dan tanah terbuka (di dalam perkebunan kelapa sawit). Pengumpulan data berupa luas total areal perkebunan sesuai izin dan luas areal sebagaimana asalnya/sebelum dibuka menjadi sawit diperoleh dari analisis dokumen atau desk study dari dokumen perizinan, laporan yang dipublikasikan, dan hasil interpretasi citra landsat sebelum (peta tahun 1989) dan setelah kebun sawit dibuka (peta tahun 2010). Metode pengumpulan data komunitas tumbuhan dan satwa liar (TSL) dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan konservasi. Data komunitas tumbuhan dikumpulkan melalui survey menggunakan metode jalur berpetak (Soerianegara & Indrawan 1988), yakni melalui pengamatan vegetasi pada petakpetak berukuran 20x20 m2, 10x10 m2, 5x5 m2 dan 2x2 m2 untuk mendapatkan data kerapatan jenis tumbuhan (ind/ha) dan volume tegakan (m3/ha). Masingmasing di kawasan hutan konservasi (hutan primer) dan areal konservasi (hutan sekunder) dibuat petak sebanyak 20 petak berukuran 20x20 m2 dengan total panjang jalur 400 m (ukuran luas areal survey 800 m2) (Gambar 3.1). C
D
B A A 2 m 10 m B D 5m C
Arah rintisan
Gambar 3.1 Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi Pengumpulan data komunitas satwa liar dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap keberadaan satwa liar yang ditemukan langsung atau tidak langsung (jejak kaki, sarang, tanda suara/bunyi, kotoran) dengan metode transek jalur (stripe transect) di sepanjang jalur pengamatan. Data yang dicatat berupa keberadaan/kehadiran (ada atau tidak) dan jenis satwa liar. Panjang jalur 1000 meter dan lebar kiri-kanan 40 meter pada masing-masing tutupan lahan hutan primer (kawasan konservasi), hutan sekunder (areal konservasi), semak belukar dan tanah terbuka di perkebunan (Kartono 2000). Pengamatan dilakukan 2 (dua) kali untuk setiap jalurnya, yaitu periode pagi hari (06.30) dan sore hari (16.00). Pengamatan dilakukan pada tuplah hutan primer di kawasan konservasi, dan di tuplah hutan sekunder, semak belukar dan tanah terbuka pada perkebunan kelapa sawit. Hasil penelitian yang diperoleh dari beberapa publikasi mengenai komunitas tumbuhan di hutan alam primer digunakan sebagai pembanding (data sekunder). Wawancara terstruktur dilakukan untuk menggali informasi mengenai keberadaan jenis TSL di berbagai tutupan lahan dimaksud (lihat daftar quesioner pada Lampiran 23 hlm ).
26
Analisis Data Data berupa luas total areal perkebunan dan luas areal dalam kebun yang kondisinya sebagaimana asalnya/sebelum dibuka menjadi sawit (areal konservasi) dianalisis secara kuantitatif dengan mengolah data dalam bentuk angka dalam tabel yang selanjutnya secara kualitatif didiskripsikan data olahan tersebut dalam bentuk kalimat/paparan sehingga mudah diinterpretasikan dan dipahami. Data vegetasi hasil pengukuran di kawasan hutan konservasi dan areal konservasi dalam perkebunan kelapa sawit diolah dan dianalisis untuk mengetahui nilai kerapatan jenis (ind/ha), volume tegakan (m3/ha) pada tingkatan tiang dan pohon (limit diameter 10 cm), keragaman /kelimpahan jenis (species abundance) dan kekayaan jenis (species richness), dengan metode analisis berikut ini: Kerapatan jenis dihitung berdasarkan rumus (Soerianegara & Indrawan 1988): Kerapatan (K)
=
Jumlah individu suatu jenis (N) Total luas unit contoh (Ha)
Volume tegakan dihitung menggunakan rumus: Volume (V) = ¼.π.d2.t.f dimana: t (tinggi pohon total); f (angka bentuk pohon 0,7857) dan d (diameter) = keliling pohon/π . Kelimpahan jenis (species abundance) tumbuhan dihitung dengan pendekatan nilai indeks, Indeks Shannon-Wiener (Magurran 1988) dengan rumus: s
H'
pi ln pi i 1
dimana: H' (indeks diversitas Shannon); S (jumlah jenis); pi (proporsi individu pada jenis ke i). Kekayaan jenis (species richness) tumbuhan diduga dengan menggunakan pendekatan nilai indeks Margalef (Clifford dan Stephenson 1975) dengan rumus (Magurran 1988): S 1 ln N dimana: DMg (indeks kekayaan Margalef); S (jumlah jenis); N (jumlah individu) DMg
Kriteria kekayaan jenis adalah tinggi jika DMg > 5,0; sedang jika DMg berkisar antara 3,5-5,0; dan rendah jika DMg < 3,5 (Magguran 1988). Parameter tersebut diatas akan diperbandingkan antara kondisi di hutan primer dan di hutan sekunder dalam bentuk tabel. Dan data sekunder dari beberapa publikasi hasil penelitian terkait parameter tersebut diatas digunakan sebagai pembanding secara diskriptif. Data jenis satwaliar ditabulasi menggunakan program microsoft excel dan dianalisis secara diskriptif kuantitatif untuk mengetahui jenis-jenis satwaliar yang
27
dijumpai dan membandingkannya pada tutupan lahan yang berbeda (hutan primer, sekunder, semak belukar dan tanah terbuka).
Hasil dan Pembahasan 3.1 Areal berhutan dalam perkebunan kelapa sawit (areal konservasi) Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, disebutkan bahwa perkebunan diselenggarakan dengan tujuan antara lain untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selain perkebunan memiliki fungsi ekonomi untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional, juga berfungsi ekologi yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung. Kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang), yaitu antara lain dapat berupa (1) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, termasuk di dalamnya kawasan bergambut dengan kriteria yaitu tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa; dan (2) kawasan perlindungan setempat antara lain terdiri atas sempadan sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai (Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung). Areal konservasi yang ditunjuk di dalam perkebunan kelapa sawit (Tabel 3.1), di lapangan berwujud sempadan sungai dan areal/lahan hutan bergambut (Gambar 3.1), sedangkan sebaran gambut dan sebaran areal konservasi dapat dilihat dalam Lampiran 2 dan 3 hlm 82-83). Penelitian Gervais et al. (2012) di perkebunan kelapa sawit menemukan terdapatnya korelasi positif antara jumlah spesies burung dan kedekatannya dengan hutan sekunder, pentingnya keberadaan daerah penyangga riparian/ sempadan sungai dalam perkebunan yang memberikan pengaruh positif bagi keragaman spesies burung. Hasil tersebut memberi kesimpulan betapa pentingnya keberadaan habitat alami, memperbanyak konektivitas diantara daerah riparian, habitat alam lainnya dan perlindungan terhadap tegakan yang tersisa. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, disebutkan bahwa kawasan gambut adalah suatu wilayah ekosistem gambut, baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, yang berfungsi sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya. Artinya lahan bergambut tidak berarti harus selalu merupakan kawasan lindung tapi juga dapat dimanfaatkan untuk budidaya seperti budidaya tanaman kelapa sawit, namun harus memenuhi kriteria yaitu (a) berada pada kawasan budidaya, yaitu berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lainnya (APL) untuk usaha budidaya kelapa sawit. Peruntukkan lahan yang diteliti berdasarkan RTRWP Kalimantan Tengah adalah kawasan budidaya atau APL (lihat Bab 2); (b) mempunyai ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter dalam bentuk hamparan dan proporsi lahannya minimal
28
70% dari luas areal yang diusahakan; dan (c) lapisan tanah mineral dibawah gambut. Berdasarkan hasil studi dokumen perizinan yang disesuaikan dengan hasil interpretasi citra landsat, luas areal kerja perkebunan PT.A yaitu 4.203 ha, PT.B seluas 14.300 ha dan PT.C 23.011 ha. Sedangkan areal sebagaimana kondisi asalnya/sebelum dibuka menjadi sawit berdasarkan pencermatan peta lokasi kebun dan hasil pengamatan di lapangan, lahan tersebut telah ditunjuk atau dialokasikan sebagai areal konservasi yang umumnya berupa sempadan sungai dan areal hutan gambut luasnya 77,00 ha (areal konservasi PT.A), 76,60 ha (areal konservasi PT.B) dan 440,32 ha (areal konservasi PT.C) seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.2. Tabel 3.1 Luas total areal kerja sesuai perizinan dan areal yang dibiarkan seperti sebelum dibuka sebagai kebun sawit (areal konservasi) Perkebunan Kelapa Sawit
Luas areal
Luas areal
Kerja (ha)
Konservasi (ha)
PT A
4.203
77,00
PT B
14.300
76,60
PT C
23.011
440,32
(A)
(B) Gambar 3.2 Areal konservasi di perkebunan kelapa sawit berupa areal sempadan sungai (A) dan areal ekosistem gambut (B) Berdasarkan undang-undang perkebunan diatur luasan (maksimum dan minimum) penggunaan tanah untuk usaha perkebunan, namun tidak mengatur luasan areal untuk dijadikan areal konservasi/lindung di dalamnya. Hal tersebut
29
berbeda dengan pengelolaan hutan produksi yang dalam konsesi pengusahaannya yakni Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), dimana pemegang konsesi diwajibkan menunjuk sebagian areal kerjanya sebagai kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) yaitu suatu tipe kawasan pelestarian di dalam habitat aslinya (in-situ) di kawasan hutan produksi untuk kepentingan pelestarian plasma nutfah baik jenis tumbuhan maupun hewan jasad renik dengan luas minimum 300 (tiga ratus) hektar dan maksimum 500 (lima ratus) hektar. Kewajiban ini tertuang dalam Kepmenhut Nomor: 375/kpts – II/1998 Tentang Pengelolaan Dan Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah Di Hutan Produksi. Setiap pemegang Hak pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri wajib bertanggung jawab atas keberadaan dan keamanan kawasan pelestarian plasma nutfah yang berada di areal kerja. Keberadaan areal konservasi di lahan perkebunan kelapa sawit menjadi penting, meskipun tidak secara implisit disebutkan dalam peraturan perundangundangan, namun sangat berkaitan dengan instrument global yaitu RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang merupakan suatu inisiatif global dan multipihak mengenai pembangunan industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, RSPO menetapkan standar produksi yakni 8 (delapan) prinsip, diantaranya prinsip yang kelima yaitu tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati (RSPO 2011). Berdasarkan ketentuan peraturan RSPO, pada perkebunan kelapa sawit disyaratkan melakukan kajian High Conservation Value (HCV) atau Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dengan melakukan identifikasi dan analisis keberadaan NKT, menyusun rencana pengelolaan dan pemantauannya dalam upaya untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan. Pada sektor sumber daya terbaharui, HCV digunakan sebagai alat perencanaan untuk meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang negatif dalam pembangunan perkebunan. Implikasi dari kriteria kelapa sawit yang terbaharui yaitu mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan dari RSPO, pembangunan perkebunan baru harus menghindari konversi areal yang diperlukan untuk mengelola HCV yang ada, dalam hal ini di lapangan berwujud areal konservasi (sempadan sungai, areal berhutan, koridor satwa). Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah bahwa yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan HCV tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan terhadap areal konservasi yang ada, misalnya dengan tetap mempertahankan keberadaan areal berhutan yang tersisa, melindungi, memelihara dan mengembangkan daerah penghubung (koridor) antar “patch forest” yang ada, atau dengan areal berhutan disekitar kebun. Pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. Pada umumnya negara-negara Uni Eropa dan Amerika mensyaratkan standar dan kriteria yang ditetapkan RSPO dalam perdagangan minyak kelapa sawit sebagai yang berkelanjutan. Instrumen lainnya adalah Indonesia Sustaiable Palm Oil (ISPO) yang diatur melalui Permentan Nomor 19 Tahun 2011, yaitu sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
30
ISPO menerapkan 7 (tujuh) prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan diantaranya pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan peningkatan usaha secara berkelanjutan. 3.2 Komunitas Tumbuhan Kerapatan tumbuhan (ind per hektar) Hasil pengukuran komunitas tumbuhan di areal konservasi (hutan sekunder) pada 3 (tiga) perkebunan yang diteliti berdasarkan parameter kerapatan vegetasinya (tingkat semai, pancang, tiang dan pohon) berkisar 130-200 ind/ha, jumlah jenis sebanyak 19-26 jenis diantaranya dari family dipterocarpaceae, yaitu jenis Meranti (Shorea brunescens), dan Kruing (Dipterocarpus grandiflorus); Ubar (Syzigium lineatum) dari famili myrtaceae; Kumpang darah (Knema conferta) famili myristicaceae dan Getah merah (Palaquium borneensis) dari sapotaceae. Sedangkan pada kawasan konservasi (hutan primer) jenis yang teridentifikasi lebih banyak yaitu 44 jenis dengan kerapatan jenis lebih tinggi sebesar 1.587 ind/ha, antara lain dari famili hypericaceae yaitu jenis Butun (Cratoxylum formosum), dari famili myrtaceae jenis Jamai (Rhodamnia cinerea) dan Pempaning (Quercus bennettii) dari famili fagaceae (Tabel 3.2). Tabel 3.2 Beberapa jenis dan kerapatan tumbuhan yang teridentifikasi di kawasan konservasi (hutan primer) dan di areal konservasi (hutan sekunder) dalam perkebunan kelapa sawit. Tutupan Lahan Hutan Primer
Nama Lokal
Nama Jenis
Famili
Butun
Cratoxylum formosum
Hypericaceae
Jamai
Rhodamnia cinerea
Myrtaceae
Pempaning
Quercus bennettii
Fagaceae
Medang
Litsea sp
Lauraceae
Kemanjing
Garcinia dioica
Guttferae
Luwari
Schima wallichii
Theaceae
Geronggang
Cratoxylon glaucum
Guttaceae
Ubar Merah
Syzigium lineatum
Myrtaceae
350 138 150 113 75 38 38 63 25 25
Getah merah
Palaquium borneensis
Sapotaceae
75
Kumpang darah
Knema conferta
Myristicaceae
Medang
Litsea sp
Lauraceae
150
Mendarahan
Myristicaceae maxima
Myristicaceae
125
Meranti
Shorea brunescens
Dipterocarpaceae
100
Lowari
Schima wallichii
Theaceae
150
Ubar
Syzigium lineatum
Myrtaceae
275
Pempaning
Quercus bennettii
Fagaceae
62.5
Sindur
Garcinia parvifolia
Clusiaceae
Keruing
Dipterocarpus grandiflorus
Dipterocarpaceae
Behiju
Rampuk Gigi
Hutan Sekunder
Kerapatan (ind/ha)
137.5
50 62.5
31
Nama jenis tumbuhan yang teridentifikasi di areal konservasi (hutan sekunder) dan kawasan konservasi (hutan primer) dapat dilihat pada Lampiran 8-9 (hlm 91-95). Perbandingan dengan data dari hasil penelitian lainnya, bahwa kerapatan vegetasi di areal konservasi pada perkebunan ini lebih jarang dibanding kerapatan dari hasil penelitian di hutan primer (data sekunder) yaitu 260 ind/ha (Heryati et al. 2002), 461-647 ind/ha (Susanty 2013), 383-576 ind/ha (Sist & Ferreira 2007) dan 625 ind/ha (Gourlet-Fleury et al. 2005). Demikian juga dibandingkan dengan hasil pengukuran kerapatan di hutan sekunder (data sekunder) yaitu sebesar 113-607 ind/ha (Muhdi 2012), 250-511 ind/ha (Setiawan 2013) dan 431 ind/ha (Krisnawati 2003). Hasil kerapatan dan jumlah jenis di hutan sekunder (areal konservasi di perkebunan) lebih sedikit dapat difahami bila melihat dari sejarah penggunaan lahan sebelum diambil alih merupakan areal bekas diekploitasi oleh perusahaan HPH. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa tegakan hutan 17 tahun setelah penebangan akan mendekati kondisi hutan primer tetapi masih didominasi oleh kelompok jenis non Diphterocarpacea (Susanty 2013). Kerapatan tegakan merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi bagaimana struktur tegakan terbentuk. Struktur tegakan hutan menyatakan sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter (Suhendang 1985). Kegunaan struktur tegakan hutan diantaranya adalah selain untuk penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, juga untuk penentuan volume tegakan dan nilai komersil tegakan. Volume tegakan (m3 per hektar) Dari hasil pengukuran Volume tegakan pada areal konservasi di ketiga perkebunan yang diukur, hasilnya berkisar antara 29-57 m3/ha. Potensi tegakannya ini lebih sedikit dibanding hasil pengukuran pada kawasan hutan konservasi yaitu sebesar 99.91 m3/ha, dan bila dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya juga masih lebih sedikit yaitu 67.69 m3/ha pada kelompok hutan Seruyan di Kalimantan Tengah (Heryati et al. 2002). Volume tegakkan erat kaitannya dengan kerapatan tegakkan yang mempengaruhi bagaimana struktur tegakkan terbentuk yang dikaitkan dengan sebaran jumlah pohon. Dapat dikatakan bahwa semakin baik struktur tegakkan terbentuk semakin besar potensi (volume) tegakkan yang dihasilkan. Ukuran keanekaragaman hayati (indeks Shannon & indeks Margalef) Analisis keanekaragaman spesies digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies (Soegianto 1994). Untuk menduga keanekaragaman spesies ada beberapa indeks yang dapat dipakai dalam analisis komunitas tumbuhan, antara lain yang umum digunakan adalah Indeks Shannon dan Indeks Margalef (Odum 1993; Soegianto 1994; Magguran 1988). Pendekatan indeks kekayaan Margalef (Dmg) untuk menghitung kekayaan jenis (species richness) tumbuhan yang ada di areal berhutan. Indeks kekayaan jenis pada dasarnya merupakan indikator keragaman jenis yang didasarkan pada pengukuran terhadap banyaknya jenis yang dijumpai
32
dalam suatu habitat yang homogen. Dari beberapa indeks yang merupakan ukuran kekayaan jenis, metode indeks Margalef merupakan indeks yang relatif mudah dan sering digunakan oleh para ahli ekologi (Santosa 1995). Pendekatan indeks diversitas Shannon (H') ditetapkan hanya berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap jenis yang teramati. Oleh karena itu, Magurran (1988) memberikan istilah lain terhadap konsep ini, yaitu dengan sebutan “spesies abundance” atau “kelimpahan jenis”. Hasil pengukuran keanekaragaman hayati pada areal konservasi di perkebunan berdasarkan indeks keragaman Shannon (H’) besarnya berkisar antara 2.63-3.05, sementara hasil pengukurannya di kawasan konservasi (hutan primer) besarnya 3.12. Berdasarkan kriteria yang ada bahwa nilai indeks Shannon lebih dari 3 tergolong ekosistem yang memiliki keragaman jenis yang tinggi. Namun besaran ini akan lebih bermakna apabila diperbandingkan dengan lokasi lain dengan tipe ekosistem yang sama. Berdasarkan perbandingannya, areal konservasi di PT. A dapat dikatakan lebih beragam jenis tumbuhannya dibanding areal konservasi di PT.B dan PT.C. Hasil penghitungan indeks kekayaan Margalef (DMg) di perkebunan antara 4.5-6.21 (tergolong dalam kriteria sedang sampai dengan tinggi kekayaan jenisnya), sedangkan pengukuran kekayaan jenis di hutan primer di kawasan konservasi tergolong tinggi dengan besaran 10.53. Tabel 3.3 menyajikan data-data besaran kerapatan, potensi (volume) tegakkan, dan ukuran keragaman hayati pada tutupan lahan hutan primer di kawasan hutan konservasi, dan tuplah hutan sekunder di areal konservasi dalam perkebunan kelapa sawit. Tabel 3.3 Kerapatan vegetasi, volume tegakan, dan keragaman jenis pada tutupan lahan hutan primer dan hutan sekunder pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon Tuplah Hutan Primer *) Pengukuran Komunitas Tumbuhan Lokasi Pondok Ambung Jumlah jenis Kerapatan (ind/ha) Indeks Shannon Indeks Margalef Potensi Tegakan (m3/ha)
44
Tuplah Hutan Sekunder **) PT.A
PT.B
26
20
PT.C 19
1.587
200
130
190
3,12
3,05
2,65
2,63
10.53
6,21
4,45
4,88
99.91
56,80
29,19
44,25
Keterangan: *)Lokasi hutan primer di kawasan konservasi Taman Nasional Tanjung Puting dan **)lokasi hutan sekunder berupa areal konservasi dalam perkebunan kelapa sawit.
Sebagai perbandingan hasil penelitian lainnya, pada Tabel 3.4 menunjukkan pada hutan alam primer di Kalimantan Tengah indeks keragamannya antara 3,20-3,26 (Muhdi 2012), pada kelompok hutan di Kalimantan Timur 3,37 (Indrawan 2006), kisaran besaran yang hampir sama dengan pengukuran hutan primer di kawasan konservasi. Di hutan pasca penebangan (hutan sekunder) di Kalimantan Tengah indeks Shannon nya 2,73 (Pamoengkas 2006), suatu besaran yang juga dapat mengkonfirmasi nilai keragaman pada areal konservasi (PT.B dan PT.C). Hasil lainnya juga menyajikan
33
besaran yang termasuk kriteria tinggi pada hutan alam sekunder di Kalimantan Tengah yaitu 3,49 (Krisnawati 2003) seperti hutan sekunder (areal konservasi) perkebunan PT.A. Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa kelimpahan jenis di kawasan hutan konservasi lebih beragam dibanding di areal berhutan dalam perkebunan akibat pengaruh kegiatan ekploitatif pada lahannya dimasa lalu. Makana dan Thomas (2006) mengungkapkan bahwa keanekaragaman jenis lebih rendah pada hutan setelah penebangan 5-10 tahun dibandingkan pada hutan setelah pemanenan tua (> 40 tahun) dan hutan primer. Dibandingkan dengan kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Tabel 3.4 Besaran kerapatan, potensi tegakkan dan nilai ukuran keragaman hayati hasil penelitian lainnya pada tutupan lahan hutan primer dan hutan sekunder Parameter
Hutan primer
Hutan sekunder
Kerapatan (ind/ha)
2601); 461-6477);
4314); 250-5115); 113-6076)
383-5768); 6259) Keragaman Shannon
3,3711); 3,204-3,2636)
2,072); 3,494); 2,7310); 3,198-3,2406)
Volume pohon (m3/ha)
67,691); 298,293)
138,613)
1
Heryati et al. 2002 pada kelompok hutan Seruyan Kalimantan Tengah, 2Samsoedin 2009 pada hutan produksi, Kalimantan Timur, 3Bismark et al. 2007 pada kelompok hutan di cagar biosfer pulau Siberut, 4Krisnawati 2003 pada hutan alam, Kalimantan Tengah, 5 Setiawan 2013 pada Hutan bekas tebangan di Kalimantan Timur, 6Muhdi 2012 pada Hutan alam di Kalimantan, 7Susanty 2013 pada hutan dipterocarpaceae campuran, Kalimantan Timur, 8Sist & Ferreira 2007 di Amazon Timur, 9Gourlet-Fleury et al. 2005 di French Guiana, 10Pamoengkas 2006 hutan pasca penebangan di Kalimantan Tengah, 11 Indrawan 2000 hutan di Kalimantan Timur.
3.3 Komunitas Satwa Liar Dari hasil pengamatan pada tutupan lahan hutan primer (kawasan konservasi) dan tutupan lahan hutan sekunder (areal konservasi, semak belukar dan tanah terbuka (perkebaunan kelapa sawit), untuk beberapa jenis satwaliar indikator dapat dilihat pada Tabel 3.5, dan sebagai perbandingan jenis satwa liar yang ditemukan pada areal pengamatan di perkebunan kelapa sawit berdasarkan hasil survey dan laporan (data sekunder) dapat dilihat pada Lampiran 7 (hlmn 89). Berdasarkan data pada Tabel 3.5, beberapa jenis satwa liar ada yang teridentifikasi keberadaannya hanya pada kawasan konservasi (seperti beberapa jenis primata) yang tidak dijumpai pada lokasi lainnya seperti di areal konservasi dan semak belukar dalam perkebunan. Hal ini dapat difahami karena hutan alam bagi berbagai hidupan liar, merupakan rumah yang mampu memberikan kondisi bagi hidupan liar untuk dapat bertahan dan berkembang. Sebagai habitat alami, hutan memberikan banyak kebutuhan akan makanan, tempat berlindung, melangsungkan berbagai aktivitas secara aman. Terjadinya perubahan tutupan lahannya menjadi perkebunan kelapa sawit akan berdampak pada kondisi hidupan
34
liar yang ada didalamnya. Beberapa contoh relevan dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa di hutan primer Malaysia terdapat 80 jenis mamalia, pada hutan yang terganggu (logged forest) ditemukan hanya sekitar 30 jenis mamalia, sementara di perkebunan kelapa sawit hanya terdapat sekitar 11 atau 12 jenis (Wakker 1998, Clay 2004). Pengurangan tersebut juga terjadi pada jenis insekta, burung, reptil dan mikroorganisme tanah (WWF 2008, 2013). Tabel 3.5 Jenis satwa liar yang teridentifikasi berdasarkan perjumpaan langsung, jejak dan informasi pada berbagai tutupan lahan No
Nama Ilmiah
A
Nama Indonesia
1
Mamalia Helarctos malayanus
2
Hylobates muelleri
3
Macaca fascicularis
Owa-owa Monyet ekor panjang
4
Manis javanica
Trenggiling
5
Nycticebus caucang
Kukang bukang
6
Pongo pygmaeus
Orangutan
7
Presbytis rubicunda
Lutung merah
8
Rusa unicolor
Rusa sambar/Payau
9
Beruang Madu
Sus barbatus
Babi hutan
10
Tragulus javanicus
Kancil
11
Nasalis larvatus
Bekantan
B
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Semak Belukar
Tanah Terbuka
√
√
x
x
Sumber jejak
√
√
x
x
langsung, suara
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ x √ x √ √ √ x
x √ x x x x √ x x
x x x x x x x x x
langsung
√ x √ x √ √ √ x √ √ √ √ √ x √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
x √ x √ √ √ x √ x √ x x √ x x x x √ x √
x x x x √ x x x x x x x x x x x x x √ √
langsung
Keterangan
informasi informasi langsung, sarang langsung informasi langsung, jejak informasi langsung
Burung 1
Alcedo meninting
Raja udang
2
Amandava amandava
Pipit benggala
3
Bucheros rhinoceros
Rangkong badak
4
Celeus brachyurus
Platuk kijang
5
Centropus bengalensis
Bubut alang-alang
6
Centropus sinensis
Bubut besar
7
Copsychus malabaricus
Murai Batu
8
Copsychus saularis
Kacer
9
Dicrurus aeneus
Srigunting
10
Ducula badia
Pergam gunung
11
Elanus caeruleus
Elang tikus
12
Gracula religiosa
Beo
13
Ketupa ketupu
Beluk ketupa
14
Orthotomus ruficeps
Cinenen kelabu
15
Prinia flaviventris
Prenjak rawa
16
Pycnonotus zeylanicus
Cucak rawa
17
Streptopelia chinensis
Tekukur
18
Strix leptogrammica
Beluk ketupa
19
Treron curvirostra
Punai
20
Treron fulvicollis
Punai bakau
informasi langsung informasi langsung informasi suara, informasi informasi langsung suara informasi langsung informasi langsung informasi informasi langsung informasi informasi langsung
35
Tabel 3.5 lanjutan ....... No
Nama Ilmiah
C
Nama Indonesia
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Semak Belukar
Tanah Terbuka
√ √ √ √ √ x
√ x √ √ √ √
√ √ √ √ √ x
√ x √ √ x x
Keterangan
Reptil 1
Varanus salvator
Biawak
2
Cuora amboinensis
Kura-kura
3
Amyda cartilaginea
Labi-labi
4
Ptyas corros
5 6
Python reticulatus Tropidolaemus subannulatus
Ular wagleri
langsung informasi informasi informasi informasi langsung
Keterangan: √ artinya teridentifikasi, x artinya tidak teridentifikasi saat pengamatan
Perkebunan kelapa sawit mendukung lebih sedikit spesies dibanding hutan dan hutan tanaman. Tingginya permintaan minyak nabati dan bahan bakar nabati dan tumpang tindihnya areal yang cocok untuk kebun dengan habitat yang penting bagi keanekaragaman hayati, menjadi bagian yang diduga mempengaruhi kehilangan potensi keanekaragaman hayati. Substansi kehilangan biodiversitas (biodiversity loss) hanya akan dapat dihindari apabila pengembangan kelapa sawit kedepannya diarahkan dengan menghindari pengurangan kawasan hutan (Fitzherbert et al. 2008). Sebagai contoh dari data keragaman burung dan kupukupu pada kawasan hutan dan perkebunan di Malaysia, terungkap bahwa akibat konversi baik hutan primer maupun hutan sekunder (logged forest) menjadi perkebunan kelapa sawit menunjukkan adanya kehilangan potensi keragaman (biodiversity losses) secara signifikan, sementara dari konversi lahan perkebunan karet (yang sudah ada) menjadi kebun kelapa sawit menghasilkan kehilangan yang lebih sedikit. Oleh karena itu perlu menghindari konversi hutan menjadi kebun sawit, dan agar pengembangan kelapa sawit kedepannya dibatasi konversinya kepada pemanfaatan lahan perkebunan komoditas lain yang sudah ada atau habitat yang terdegradasi. (Koh et al. 2008). Dalam penelitian ini, ditemukan adanya beberapa spesies, khususnya jenis primata yang sulit bahkan tidak ditemukan tanda-tanda jejak di areal perkebunan kelapa sawit bila dibandingkan dengan hasil pengamatan pada kawasan hutan seperti di taman nasional. Hal ini dapat difahami, mengingat beberapa primata seperti Orangutan, Owa dan Bekantan adalah mahluk arboreal sejati, yang membutuhkan banyak pohon-pohon sebagai komponen habitat yang harus tersedia baik sebagai sumber pakan, melakukan berbagai aktivitas hingga sebagai tempat berlindung. Meskipun pepohonan tersedia pada areal berhutan (areal konservasi) dalam perkebunan, namun jumlah, kualitas dan luasan sebagai habitat yang tersisa diyakini tidak mampu menjamin keberlangsungan hidup lebih lama bagi jenis primata tersebut. Bila dilihat dari sejarah keberadaan orangutan, hampir sebagian besar hutan di Kalimantan merupakan daerah sebaran Orangutan dan menjadi habitat penting satwa langka terancam punah tersebut (PHVA 2004, Husson 2009). Hal ini berarti bahwa jauh sebelum perkebunan dibuka, sebelum kegiatan pembalakan berlangsung, lahan tersebut berupa hutan yang merupakan habitat Orangutan dan satwa primata lainnya. Selama pengamatan di areal perkebunan (areal konservasi), tidak dijumpai lagi baik secara langsung maupun
36
tidak langsung keberadaan jenis mahluk arboreal tersebut, sebaliknya pengamatan di kawasan hutan konservasi yang berdekatan dengan perkebunan sawit (Taman Nasional Tanjung Puting) dapat dengan mudah dijumpai keberadaan primata jenis Orangutan (perjumpaan langsung ataupun sarang), Bekantan (langsung ditemui disepanjang tepi sungai) dan Owa (langsung dan deteksi suara). Demikian pula jenis mamalia Trenggiling yang merupakan jenis dilindungi dan sudah semakin langka populasi di alamnya. Jenis yang bersarang diatas pohon, di lubang-lubang dibawah pohon atau semak belukar ini marak diburu untuk diperjualbelikan di pasar lokal atau bahkan diseludupkan sebagai akibat meningkatnya permintaan pasar. Berdasarkan survei pasar bahwa di kota terdekat dengan kebun sawit ratarata 3-5 ekor Trenggiling di jual pasar lokal per bulannya. Selama pengamatan dan berdasarkan informasi yang diperoleh adalah sulit mendeteksi keberadaan spesies ini di alam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis primata Orangutan dan Owa yang dulunya ditemukan pada areal berhutan, setelah terjadinya perubahan tutupan lahannya akibat aktivitas pembangunan, pembalakan termasuk pembukaan lahan untuk perkebunan, saat ini sulit ditemukan bahkan sudah tidak dijumpai lagi dalam areal perkebunan, demikian pula habitat penting bagi satwa Trenggiling yang berkurang atau menyusut menyebabkan semakin tidak terlindunginya jenis ini terhadap aktivitas perburuan. Dengan demikian berkurang atau hilangnya jenis-jenis tersebut dapat diterjemahkan sebagai suatu potensi biodiversitas yang hilang (biodiversity loss). Tabel 3.6 memperlihatkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang dijadikan sebagai indikator biodiversitas yang dianggap hilang (biodiversity loss) akibat adanya perubahan tutupan lahan areal berhutan menjadi hamparan kebun kelapa sawit. Tabel 3.6 Jenis satwa liar yang dianggap sebagai perwakilan indikator biodiversity loss akibat perubahan tuplah hutan (primer dan sekunder) menjadi perkebunan kelapa sawit Hutan Primer
Hutan Sekunder
Kebun Kelapa Sawit
Pongo pygmaeus
√
√
x
Owa-owa
Hylobates muelleri
√
√
x
3
Trenggiling
Manis javanica
√
√
x
4
Potensi (volume) tegakan
√
√
x
Nama Indonesia
Nama Ilmiah
1
Orangutan
2
No
Kriteria Pemilihan
Satwa langka, dilindungi, banyak diburu, dipelihara, diperjualbelikan dan ada harga pasar internasional Satwa dilindungi, banyak diburu dan diseludupkan, nilai komersial, berkhasiat obat dan penggunaan fashion
Nilai manfaat pohon hilang karena hutan berubah menjadi kebun
37
3.4 Kehilangan Potensi Biodiversitas (Biodiversity loss) Kehilangan potensi biodiversitas (biodiversity loss) didefinisikan sebagai hilang atau berkurangnya jumlah jenis tumbuhan dan satwaliar tertentu yang dulunya mudah dijumpai atau dapat diidentifikasi karena adanya perubahan tutupan lahan (habitat alaminya) akibat kegiatan manusia (dalam hal ini pengembangan kebun kelapa sawit). Dalam penelitian ini, yang diidentifikasi sebagai bagian dari biodiversitas yang dianggap hilang dibatasi terdiri atas tumbuhan dan satwa liar, yaitu berupa tegakan pohon di hutan (primer dan sekunder) yang hilang karena telah berubah menjadi kebun sawit, dan jenis primata arboreal Orangutan dan Owa yang hidupnya sangat bergantung dari keberadaan pohon-pohon di habitat alaminya yang hilang karena menjadi lahan sawit. Selain itu juga dimasukkan jenis mamalia Trenggiling yang banyak diburu untuk diperjualbelikan di pasar lokal atau diseludupkan sebagai akibat meningkatnya permintaan pasar dan harga pasaran yang tinggi. Tabel. 3.7 Kepadatan satwa liar dan potensi tumbuhan sebagai indikator biodiversity loss pada berbagai tutupan lahan Potensi yang hilang Orangutan1) Owa-owa
2) 3)
Trenggiling
Potensi tegakan4)
Kepadatan satwa liar (ind/km2) Hutan Hutan Semak Tanah primer sekunder belukar kosong 2
2
-
-
7
7
-
-
1 1 3 Volume (m /ha)
-
1 99.91
56.80
-
-
Keterangan: *) kepadatan berdasarkan penelitian Galdikas (1978), 2Sugardjito (1975) di Kalimantan Tengah, 3 Asumsi (tidak ada data); 4 potensi tegakan dar hasil penelitian ini
Orangutan (Pongo pygmaeus). Spesies ini termasuk bangsa primata yang membangun sarangnya di kanopi pohon, menggunakannya untuk beristirahat termasuk tidur, bermain sepanjang hari, tempat untuk kawin, melahirkan anak, dan mengasuh anak sampai siap disapih (MacKinnon 1971, Rijksen 1978; Galdikas 1978). Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer dari hutan rawa, hutan dataran rendah/ dipterocarpace sampai ke hutan pegunungan (MacKinnon 1972 dalam Rijksen 1978), mendiami hutan rawa gambut (Galdikas 1978), bertahan hidup di areal hutan bekas pembalakan, walaupun untuk jangka panjang kelangsungan hidupnya tidak terjamin karena kepadatannya yang rendah (IUCN 1982). Berdasarkan ketentuan IUCN (badan konservasi dunia), pedoman nasional (Strategi Nasional dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan) dan pendapat para ahli Orangutan, diperkirakan ukuran populasi minimum yang layak (minimum viable population) dan dapat bertahan hidup berjumlah 250 individu. Untuk membangun populasi tersebut dibutuhkan areal/kawasan hutan sekitar 16.000-25.000 hektar (1 individu dalam 100 hektar) dengan kepadatan berkisar 1-1.5 individu per km2 (Husson et al. 2009). Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa Orangutan mampu hidup di habitat yang
38
sesuai dengan kerapatan populasi rata-rata 2 individu/km2 di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Galdikas 1978); 1.7 ind/km2 (Rieley, Page & Shepard 1996) dan berkisar 0.2-2.12 ind/km2 (Husson et al. 2000) di Sebangau Kalimantan Tengah; 1-2 ind/km2 di Ula Segama (MacKinnon 1971; MacKinnon 1974); 2 ind/km2 di Lokan (Horr 1975); 3 ind/km2 di TN Kutai (Rodman 1973). Owa-owa (Hylobates agilis). Primata jenis Owa-owa mampu hidup dengan baik pada habitat berhutan dengan kerapatan populasi 7 ind/km2 di Tanjung Puting (Sugardjito 1975; Sutanto 1976; Nata 1977 dan Mafhud 1977 dalam Galdikas 1972), 8 ind/km2 di Tanjong Triang, Malaysia (Ellefson 1967, 1968), 9 ind/km2 di Muangthai utara (Carpenter 1940), 9-14.6 ind/km2 di Taman Nasional Kutai, 6.9-9.9 ind/km2 di Taman Nasional Kayan Mentarang, 7.9-9.5 ind/km2 di Hutan Lindung Sungai Wain (Nijman and Menken 2005). Perkiraan secara konservativ total populasi berkisar 250.000-375.000 individu (Geissmann & Nijman 2008). Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822). Dari hasil survey pasar penjualan satwa di Sampit (ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur), diperoleh informasi tentang meningkatnya permintaan satwa jenis Trenggiling. Jenis yang tergolong dilindungi di Indonesia dan secara internasional ditetapkan oleh IUCN, sebagai “endangered species” yaitu jenis terancam punah. Negara asal jenis satwa ini adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand dan VietNam. Di Indonesia keberadaannya tersebar di pulau Sumatra, Jawa, Borneo/Kalimantan, Bangka dan Belitung, Nias, Bali dan pulau kecil lainnya (Corbet & Hill 1992). Habitatnya berada di hutan primer, hutan sekunder termasuk areal budidaya dan areal terbuka dekat pemukiman (Davies & Payne 1982; Foenander 1953; Medway 1977; Zon 1977; Bain and Humphrey 1982). Trenggiling memiliki wilayah jelajah yang luas dan menempati sarangnya selama beberapa bulan yang terdapat di atas pohon, di lubang-lubang pada akar pohon besar atau membuat lubang di dalam tanah yang digalinya sendiri. Satwa trenggiling diburu di Indonesia (dan juga Malaysia) untuk diperdagangkan secara illegal ke Negara China, Singapur, Thailand, Vitenam, dan Laos dalam bentuk daging dan kulitnya (sisik). Bagian satwa ini (sisik) lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan obat penyakit kulit dan kanker di China, sedangkan kulitnya untuk keperluan fashion (Duckworth 2012). 3.5 Biodiversity gain Seperti telah dijelaskan di atas, adanya perubahan tutupan lahan (hutan dan semak belukar) akibat aktivitas manusia dan pembangunan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, akan berdampak pula pada perubahan kondisi dan potensi keanekaragaman hayatinya. Perubahan itu dapat berwujud pada berkurangnya atau bahkan hilangnya potensi biodiversitas (biodiversity loss) yang tadinya ada atau mudah dijumpai. Namun disisi lain mungkin pula terjadi sebaliknya, yaitu akibat perubahan tutupan lahan yang awalnya berupa lahan (tutupan lahan tanah terbuka) yang dianggap tidak cukup mempunyai potensi keanekaragaman hayati (tumbuhan dan satwa liar) menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, maka diyakini akan menguntungkan bagi berkembangnya beberapa satwa liar khususnya satwa predator seperti burung hantu dan ular sawah. Dalam lingkungan perkebunan kelapa sawit terdapat banyak populasi tikus yang menjadi hama perkebunan tanaman kelapa sawit. Tikus merupakan hama
39
yang paling merugikan karena akibat serangan hama tikus dapat mengakibatkan kerusakan buah sawit sekitar 10%. Untuk mengendalikan hama tikus, pihak pengelola kebun biasanya memasang racun tikus (rodentisida). Pembelajaran dari pengelolaan perkebunan di Sumatera, bahwa populasi ular sawah (Pyton reticulatus) semakin bertambah populasinya karena jumlah makanan yang berlimpah berupa tikus. Dengan berkembangnya satwa predator ular sawah akibat mangsa yang berlimpah, maka pengelolaan terhadap keberadaan satwa predator jenis ular ini menjadi penting untuk mendorong budidaya tanaman kelapa sawit berproduksi lebih optimal. Satwa predator lainnya adalah burung hantu yang umumnya ditemukan pada perkebunan kelapa sawit dari jenis beluk ketupa (Ketupa ketupu) dan kukuk beluk (Strix leptogrammica). Burung hantu juga merupakan predator tikus yang efektif di perkebunan kelapa sawit, karena mampu menurunkan serangan tikus pada tanaman kelapa sawit muda hingga di bawah 5 persen.
(A) Kukuk beluk (Strix leptogrammica)
(B) Beluk ketupa (Ketupa ketupu)
Gambar 3.3 Jenis satwa predator yang menguntungkan bagi pengendalian hama tikus di perkebunan kelapa sawit yang dianggap sebagai “biodiversity gain” Pemanfaatan jenis-jenis pemangsa (predator) yang membantu pengelola perkebunan dalam pengendalian hama tikus yang merupakan “prey” predator jenis burung hantu dan ular sawah, adalah merupakan suatu keuntungan yang diperoleh dari adanya perubahan tutupan lahan menjadi kebun sawit dari lahan terbuka. Dengan demikian dapat dikatakan, berkembangnya populasi satwa predator merupakan keuntungan bagi perkebunan dalam hal menghemat biaya operasional pengendalian hama perkebunan dengan menggantikan peran penggunaan racun tikus dan pemasangan perangkap tikus, sehingga potensi ini dapat diterjemahkan sebagai suatu “biodiversity gain”.
40
Simpulan Analisis komparatif hasil identifikasi potensi tumbuhan dan satwa liar pada berbagai tipe tutupan lahan, dapat disimpulkan hasilnya sebagai berikut: 1. Untuk komunitas tumbuhan: a) Kerapatan vegetasi pada areal konservasi dalam perkebunan lebih sedikit (130-200 ind/ha) bila dibanding kerapatan di hutan primer 1587 di kawasan hutan konservasi. b) Potensi (volume) tegakan pada areal konservasi perkebunan juga lebih sedikit potensinya (29.19-56.80 m3/ha) bila dibandingkan potensi tegakan pada hutan primer (99.91 m3/ha). c) Ukuran keanekaragaman atau kelimpahan jenis pada areal konservasi di perkebunan berdasarkan nilai Indeks Shannon (H’) bervariasi antara 2.633.05 relatif tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian lain di hutan sekunder (2.07-3.49), sedangkan keragaman jenis di hutan primer (kawasan hutan konservasi) yaitu 3.12. d) Ukuran kekayaan jenis Margalef (Indeks Margalef DMg) di perkebunan termasuk dalam kriteria sedang sampai dengan tinggi kekayaan jenisnya (4.45-6.21), sedangkan di hutan primer pada kawasan hutan konservasi (hutan primer) yang lokasinya berdekatan dengan perkebunan tersebut tergolong tinggi sebesar 10.53. Implikasi nya bahwa areal berhutan yang ada di perkebunan (areal konservasi) dapat menjadi benteng perlindungan bagi keberagaman komunitas tumbuhan yang harus dipertahankan sebagaimana kondisi awalnya sebelum dikonsesi untuk perkebunan sawit. 2. Untuk komunitas Satwa liar Beberapa jenis satwa liar yang teridentifikasi pada tutupan lahan berhutan (hutan primer dan sekunder) sulit dijumpai bahkan tidak dapat hidup akibat perubahan tutupan lahannya menjadi kebun kelapa sawit, khususnya jenis primata arboreal seperti orangutan, owa dan bekantan yang sepenuhnya hidup bergantung dari keberadaan tegakkan pohon. Berdasarkan informasi dan survey pasar, jenis trenggiling banyak diburu, diperdagangkan dan diselupkan karena bernilai komersial (daging, kulit/sisiknya). Identifikasi keberadaan satwa liar melalui perjumpaan langsung atau berdasarkan jejak (suara, sarang, bekas jejak kaki/cakar) dan informasi dari masyarakat pada lokasi perkebunan (areal konservasi, semak belukar dan tanah kosong) dan kawasan hutan konservasi (hutan primer) dari kelompok mamalia ditemukan 11 jenis, burung (20 jenis), dan reptil (6 jenis). 3. Biodiversity loss dan biodiversity gain a) Beberapa jenis primata (sebagai mahluk arboreal orangutan dan owa) dan jenis trenggiling dijadikan sebagai satwa indikator dari potensi biodiversitas yang berkurang atau hilang (biodiversity loss), sebagai konsekuensi perubahan tutupan lahan hutan primer dan hutan sekunder (kepadatan orangutan 2 ind/km2, owa 7 ind/km2, trenggiling 1 ekor/km2), semak belukar (trenggiling 1 ekor/km2) yang menjadi kebun kelapa sawit.
41
b) Sebaliknya, perubahan tutupan lahan dari lahan tanah terbuka (dianggap tidak cukup memiliki potensi tumbuhan dan satwa liar) menjadi lahan kebun sawit, bagi beberapa spesies jenis predator (burung hantu dan ular) memiliki potensi untuk berkembang dan dikembangkan lebih baik karena membantu pengelola perkebunan dalam pengendalian hama tikus. Potensi berkembangnya populasi jenis satwa predator ini dan pemanfaatannya diterjemahkan sebagai “biodiversity gain” yang mampu memberikan keuntungan bagi pengelola perkebunan (dalam hal penghematan biaya operasional pengendalian hama perkebunan yang tadinya dilakukan menggunakan pestisida atau racun tikus dan pemasangan perangkap tikus).
4 ANALISIS FINANSIAL PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA BERBAGAI TUTUPAN LAHAN DAN KEDALAMAN LAHAN GAMBUT Pendahuluan Ekspor nasional subsektor perkebunan tercatat di tahun 2011 mencapai lebih dari US$ 32 miliar atau 382 triliun rupiah, yang sebagian besar bersumber dari kelapa sawit sekitar US$ 15 miliar atau 53.56% nya. Kontribusi yang tinggi terhadap ekspor non migas, pendapatan petani kebun yang meningkat (50% perkebunan rakyat berskala kecil), penyerapan tenaga kerja (sekitar 3–3.5 juta petani yang terlibat langsung), mendorong pemerintah untuk terus mempertahankan kesinambungan peningkatan kelapa sawit sebagai sumber daya alam yang potensial (Gapki 2011). Tingginya permintaan pasar akan minyak nabati, memacu Indonesia sebagai produsen terbesar untuk berproduksi lebih banyak lagi (saat ini pasar CPO dikuasai 44% oleh Indonesia, 39% Malaysia dan 17% negara penghasil minyak sawit lainnya). Komitmen tersebut kemudian tertuang dalam roadmap pengembangan industri sawit nasional yang menargetkan pada tahun 2025 produksi CPO harus sudah mencapai 40 juta ton setahun, naik sekitar 70% produksinya dibanding produksi tahun 2012 sebesar 26.5 juta ton (dihasilkan dari lahan seluas 9 juta hektar, dan 18.14 juta ton diantaranya diekspor terutama ke India, China dan Uni Eropa), dan produksi tahun 2013 ini yang ditargetkan akan mencapai 28 juta ton (9.2 juta ton untuk konsumsi dalam negeri dan sisanya 19 juta ton untuk konsumsi ekspor). Untuk mencapai target tersebut, dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu perluasan areal, budidaya yang optimum dan pemakaian bibit unggul yang memiliki produktivitas tinggi (Gapki 2012; Ditjen Perkebunan 2011; Sitompul 2013). Berkaitan dengan perluasan lahan, diperkirakan tersedia lahan sekitar 15.30 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia yang diperuntukkan bagi perluasan lahan perkebunan, dan lahan tersebut terdiri atas lahan mineral dan lahan gambut dengan tutupan lahan mulai dari hutan primer sampai semak belukar dan padang alang-alang (Mulyani dan Las 2008; Ditjen Planologi 2012). Perubahan status kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pertanian/perkebunan sampai tahap SK Pelepasan hingga tahun 2011 luasnya mencapai 5255279 hektar (untuk tahun 2012 saja luas pelepasan HPK 520121 hektar, 43.746 hektar
42
diantaranya berada di Provinsi Kalimantan Tengah). Sedangkan untuk kawasan hutan yang dimohon untuk budidaya pertanian/perkebunan berdasarkan hasil penafsiran citra satelit dari areal yang dimohonkan seluas 3318988 ha, diantaranya 1387360.20 ha (41.80%) klasifikasi lahannya berupa semak dan belukar (Ditjen Planologi, 2012) Ketersediaan lahan mineral yang makin terbatas dan sering bermasalah (dari sisi penguasaan lahan), menyebabkan sebagian investor mengajukan izin pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut yang diyakini kurang bermasalah. Data statistik kehutanan hingga bulan Desember 2012 luas kawasan hutan dan perairan Indonesia mencapai kurang lebih 134 juta hektar (Kemenhut 2012), dengan potensi lahan gambut terluas di antara negara tropis yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua dengan luas 14905594 ha (Ritung et al. 2011), 20802200 ha (Wahyunto et al. 2003,2004,2006); sekitar 20 juta ha (Rieley 1996). Namun demikian tantangan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit sedikit terbentur dengan dikeluarkannya sebuah kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013 tentang Ketentuan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang akan berlaku selama 2 (dua) tahun. Inpres 2013 tersebut merupakan perpanjangan dari Inpres sebelumnya (Inpres Nomor 10 Tahun 2011), dengan melampirkan peta indikatif penundaan izin baru seluas 69144073 ha. Kebijakan tersebut tentunya antara lain dilatarbelakangi oleh berkembangnya isuisu kerusakan lingkungan (sumber daya hutan). Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya penting bagi Indonesia yang terletak di daerah tropika basah. Oleh karena itu hutan mempunyai nilai ekologis yang strategis baik ditingkat lokal, regional maupun global. Sementara itu hutan juga mempunyai nilai ekonomis, karena hasil hutan terutama kayunya merupakan salah satu sumber devisa negara (Pratiwi dan Mulyanto 2002). Kerusakan ekosistem hutan dapat mengakibatkan berbagaimasalah lingkungan lokal maupun regional, seperti erosi, banjir, pengeringan mata air, perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss). Pengembangan perkebunan kelapa sawit seringkali dianggap sebagai penyebab kerusakan ekosistem hutan tropis yang disebutkan tadi (Hamilton 1991; Manurung 2001; Edwards et al. 2010; Fitzherbert et al. 2008; Koh at al. 2008). Data analisis tutupan lahan yang dikompilasi oleh FAO menunjukkan bahwa selama periode 1990-2005, sekitar 55%-59% perluasan kebun kelapa sawit di Malaysia, dan sedikitnya 56% di Indonesia berasal dari tutupan lahan hutan dalam (Koh et al. 2008). Sebaliknya, fakta yang ada menunjukkan bahwa pembukaan kebun kelapa sawit tidak seluruhnya memanfaatkan lahan yang berasal dari areal/kawasan hutan. Dari hasil penelusuran sejarah penggunaan lahan dan tutupan lahan untuk kebun sawit (lihat Bab 2), terlihat bahwa asal lahan kebun sawit dapat berupa semak belukar, pertanian/ladang dan tanah kosong. Implikasinya adalah bahwa apabila tutupan lahan tanah terbuka menjadi kebun kelapa sawit, ternyata ada potensi biodiversitas (satwa liar predator) yang dapat berkembang dan dimanfaatkan bagi pengelola kebun dalam operasionalnya (lihat Bab 3). Hal ini kemudian diterjemahkan sebagai “biodiversity gain”, yang berarti ada penambahan dan nilai tambah dari keberadaan biodiversitas (satwa liar) yang dapat dimanfaatkan dan menguntungkan bagi pengelolaan perkebunan. Disisi lain, fakta mengungkapkan bahwa kekayaan dan keunikan biodiversitas termasuk
43
habitatnya (hutan) mempunyai nilai manfaat ekonomi yang besar antara lain sebagai penyedia barang dan jasa bagi kebutuhan manusia. Pearce & Moran (1994) dan Simpson (2007) mengelompokkan nilai manfaat ekonomi menjadi 1) nilai penggunaan (use values) mencakup direct, indirect dan option values; dan 2) nilai non penggunaan (non use values) yang meliputi nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Nilai manfaat tersebut dari berbagai teori dan penelitian yang ada telah diterapkan dan diukur melalui suatu penilaian ekonomi yang lazim digunakan dan dikenal sebagai penilaian total ekonomi atau Total Economic Value (TEV) yang memberikan nilai yang terukur moneter (nilai uang) (Peterson & Sorg 1987; Pillet 2006; Plottu et al. 2007) melalui penghitungan menggunakan metode pendekatan harga pasar (market price) dan kesediaan untuk membayar atau willingness to pay (WTP) (Darusman et al. 2004). Sebagai contoh yang dikemukakan dalam tulisan Darusman (1992), bahwa kawasan hutan di puncak Gunung gede Pangrango seluas ± 15000 ha mampu memberikan nilai manfaat rekreasi sebesar 1.4 milyar rupiah/ha/tahun, nilai manfaat hidrologi (terbatas pada pertanian dan rumah tangga) sebesar 130 triliun rupiah/tahun. Disebutkan dalam penelitian lainnya, bahwa suatu areal seluas 600 ha dapat menghasilkan kera ekor panjang ± 1500 ekor per tahun dengan nilai sebesar Rp 670000/ha/tahun. Permasalahannya kemudian adalah bahwa perhitungan ekonomi pengusahaan perkebunan kelapa sawit seringkali tidak memasukkan faktor “environmental cost” (termasuk didalamnya biodiversity loss) kedalam perhitungan analisis finansialnya (Manurung 2001), meskipun kerusakan yang ditimbulkan (seperti yang diungkapkan dari fakta dan hasil penelitian di atas) telah dan akan dirasakan dan harus ditanggung oleh masyarakat secara luas. Dalam penelitian ini akan didemonstrasikan (1) bagaimana perhitungan analisis finansial kelayakan investasi suatu pengusahaan perkebunan kelapa sawit selama 1 (satu) periode pengusahaan yaitu 25 tahun, dan (2) bagaimana pula hasil analisisnya apabila dalam perhitungan finansialnya menyertakan faktor biodiversity loss dan biodiversity gain kedalam komponen biaya dan pendapatan yang diperhitungkan.
Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada areal konsesi perkebunan kelapa sawit yang memiliki lahan gambut dan sudah ditanami, yaitu perkebunan PT.A di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) dan perkebunan PT.C di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Propinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini berlangsung pada bulan Maret-April 2013. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan berupa data produksi TBS (Tandan Buah Segar); komponen biaya yang dikeluarkan; luas kebun, areal konservasi dan lahan gambut; hasil identifikasi tumbuhan dan satwa liar (TSL) dan data harga pasar TSL. Sedangkan peralatan yang digunakan berupa komputer, fasilitas internet dan alat tulis.
44
Pengumpulan Data Data produksi TBS (ton per tahun) selama 1 daur pengusahaan (25 tahun) diperoleh dari laporan/dukumen perusahaan, dan harga TBS yang merupakan harga rata-rata yang berlaku di tahun 2007 (untuk harga hingga tahun 2032 menggunakan asumsi kenaikan 2% setiap tahunnya). Data komponen biaya (terdiri atas harga jual lahan, biaya pengadaan sertifikat lahan, pembukaan lahan/land clearing, investasi tanaman, investasi non tanaman, pemeliharaan, panen dan transport dan biaya umum) diperoleh dari perusahaan dan selanjutnya diolah. Data luas areal konsesi, luas gambut dan areal konservasi dikumpulkan dari hasil studi laporan, diskusi dan wawancara dengan pelaku usaha dan staf. Wawancara dilakukan kepada key informan yaitu Regional Controler (RC) di kantor perwakilan di Kalimantan Tengah, Estate Manager (EM), Asisten Kepala (Askep), staf RC di kantor perwakilan, dan staf ahli di kantor pusat, Jakarta. Validasi data dilakukan kepada nara sumber yang sama. Analisis Data Untuk menghitung nilai finansial pengusahaan kebun kelapa sawit metode analisis yang digunakan adalah analisis kelayakan finansial berdasarkan biaya dan pendapatan. Pendapatan diperoleh hanya dibatasi dari hasil produksi TBS selama satu periode pengusahaan (25 tahun). Harga jual TBS ditetapkan berdasarkan harga rata-rata TBS per kilogram yang berlaku di tahun 2007 (data dari BPS) dengan eskalasi kenaikan sebesar 2% per tahun. Biaya yang dikeluarkan terdiri atas pengeluaran (rupiah) sejak investasi dilakukan tahun 2007 dan pengeluaran berupa biaya operasional sampai tahun 2032. Analisis kelayakan finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit didalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan Payback Period (PBP), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Payback Period (PBP) digunakan untuk mengetahuiberapa lama investasi bisa kembali. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investasi semakin baik suatu investasi. Net Present Value (NPV) adalah present value aliran kas masuk dikurangi dengan present value aliran kas keluar. Suatu kegiatan dikatakan layak secara finansial (menguntungkan) bila nilai NPV-nya positif (NPV> 0), dan ini juga berarti nilai IRR-nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV. Jadi, ketiga nilai tersebut dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu kegiatan akan menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial. Dalam penelitian ini tingkat suku bunga diskonto (discount rate) nya sebesar 6.5% (besarannya mengikuti tingkat suku bunga perbankan di Indoesia yang berlaku saat ini, per Juli 2013). Net Present Value (Abelson 1979): NPV
n = ∑ CFt/(1=r)t - Io t=1
dimana: NPV : Nilai bersih sekarang CFt : Aliran kas pada tahun ke-t Io : Modal investasi awal
45
r t n
: Tingkat suku bunga diskonto : Periode waktu atau tahun ke t : umur usaha
Berdasarkan metode diatas, maka proyek yang mempunyai NPV tertinggi adalah proyek yang mendapat prioritas untuk dilaksanakan. Internal Rate of Return (IRR): IRR dimana: IRR i i’ NPV NPV’
= I+ : : : : :
NPV / (NPV’ + NPV) + (i+i’)
Tingkat pengembalian internal Bunga diskonto yang menghasilkan NPV positif Bunga diskonto yang menghasilkan NPV negatif Nilai sekarang yang positif Nilai sekarang yang negatif
Ruang lingkup, batasan dan beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit berdasarkan biaya dan pendapatan adalah sebagai berikut: 1) Analisis finansial investasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit adalah merupakan sebuah penghitungan berdasarkan pendapatan yang diperoleh dari produksi TBS selama periode pengusahaan (25 tahun), dan biaya yang dikeluarkan sejak dilakukan investasi tahun ke-1 (2007) serta biaya operasional hingga tahun ke-25 (2032). 2) Analisis finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit dengan memasukan penggantian biodiversity loss kedalam komponen biaya investasinya dan nilai (rupiah) yang diperoleh dari biodiversity gain kedalam komponen pendapatan/keuntungannya merupakan analisis (valuasi) finansial perkebunan kelapa sawit berdasarkan skema konservasi. 3) Biodiversity loss diartikan sebagai kehilangan produk sumber daya hutan berupa potensi tegakan (pohon) dan satwa liar langka dan dilindungi (orangutan, owa dan trenggiling). Potensi ini hanya dilihat dari nilai moneter (rupiah) dari jenis tanpa memperhitungkan nilai ekologis lainnya. Dalam penelitian ini produk dibatasi berupa potensi tegakan kayu dan beberapa jenis satwa liar. 4) Biodiversity gain diartikan sebagai potensi biodiversitas yang dapat dikembangkan, dikelola dan dimanfaatkan untuk pengendalian hama dilingkungan perkebunan, sehingga berdampak pada penghematan (rupiah) terhadap biaya operasionalnya. Dalam penelitian ini potensi biodiversitas yang termanfaatkan berupa satwa predator burung hantu dan ular sawa yang menggantikan peran/penggunaan racun tikus dan peramasangan perangkap mekanis dalam pemberantasan hama. 5) Pendapatan diperhitungkan hanya dari hasil kebun berupa TBS (tandan buah segar) yang dihasilkan dari lahan gambut selama tahun panen (2010-2032), dan penghematan pengeluaran operasional melalui pemanfaatan peran potensi biodiversitas (biodiversity gain).
46
6) Harga TBS ditetapkan berdasarkan harga rata-rata dari bulan JanuariDesember tahun 2007 dengan eskalasi kenaikan 2% (BPS 2010) 7) Potensi tegakan yang ada sebelum dilakukan pembukaan lahan diasumsikan bukan menjadi sumber pendapatan bagi pengusahaan kebun kelapa sawit, melainkan pemanfaatannya oleh pihak lain. 8) Biaya dibedakan sebagai biaya investasi, biaya operasional/pemeliharaan dan pengeluaran pengganti biodiversity loss. Biaya investasi terdiri atas biaya pembelian lahan, pengadaan sertifikat, pembukaan lahan/land clearing, investasi tanaman, investasi non tanaman, pemeliharaan selama 3 tahun pertama sebelum panen dan biaya umum). Biaya operasional terdiri atas biaya pemeliharaan, biaya panen dan transport serta biaya umum. 9) Lahan gambut dibedakan berdasarkan kedalamannya sebagai lahan gambut LGDang dengan kedalaman gambut antara 0-3 meter dan lahan gambut LGDal dengan kedalaman gambut > 3 meter. 10) Land clearing atau pembukaan lahan meliputi kegiatan Imas (underbrushing) yaitu memotong rapat kepermukaan tanah semak dan pohon/tumbuhan; Tumbang (pembersihan lahan dari pepohonan atau bekas kayu tebangan atau terbakar), Perun (membersihkan lahan dengan bulldozer), Merumpuk (merupakan kegiatan untuk merumpuk kayu memanjang dengan menggunakan alat berat buldozer atau excavator) hingga kegiatan membuat jalan dan parit. 11) Investasi tanaman meliputi kegiatan mulai pancang tanam, membuat lobang, pembibitan dan penanaman 12) Investasi non tanaman meliputi biaya untuk pembuatan perumahan karyawan dan sarana pendukung 13) Pemeliharaan adalah kegiatan dengan konsekuensi biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan tanaman, termasuk upah tenaga kerja, agrochemical, pengerasan jalan, pembuatan jembatan dan titi panen 14) Biaya umum merupakan biaya yang diperlukan selain untuk operasional di lapangan, mencakup biaya staff, biaya administrasi kantor, dan lain lain.
Hasil dan Pembahasan Investasi sektor pertanian, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit terus meningkat. Besarnya prospek investasi pengembangan sawit di Indonesia dapat dilihat dari tren peningkatan harga minyak sawit di pasar dunia. Bank Dunia (2010) mencatat, selama periode Februari 2005–2008 harga minyak sawit dunia terus mengalami peningkatan, meskipun sempat mengalami penurunan di akhir tahun 2008 namun kemudian kembali naik seiring pulihnya perekonomian dunia pada tahun 2009 dan tahun 2010 lalu (Cifor 2011). Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang menjadi primodana dunia. Dalam dua dekade tersebut bisnis sawit tumbuh diatas 10% per tahun, jauh meninggalkan komoditas perkebunan lainnya yang tumbuh dibawah 5%. Kecenderungan tersebut semakin mengerucut, dengan ditemukannnya hasil-hasil penelitian terhadap diversifikasi yang dapat dihasilkan oleh komoditas ini, selain komoditas utama berupa minyak sawit, sehingga menjadikan komoditas ini sangat digemari oleh para investor perkebunan. Masa umur ekonomis kelapa sawit yang cukup lama sejak mulai
47
tanaman mulai menghasilkan, yaitu sekitar 25 tahun menjadikan jangka waktu perolehan manfaat dari investasi di sektor ini menjadi salah satu pertimbangan yang ikut menentukan bagi kalangan dunia usaha (Krisnohadi 2001). Usaha yang mempunyai umur lebih panjang dari satu tahun akan mengalami kesulitan dalam menilai manfaat dan biaya yang akan diterima pada waktu yang akan datang karena adanya faktor ketidakpastian dan faktor diskonto yaitu faktor yang menerjemahkan keuntungan finansial yang diharapkan atau biaya pada suatu tahun di masa yang akan datang ke dalam nilai sekarang. Faktor diskonto tersebut dapat dijelaskan dengan konsep nilai uang yang akan datang dan nilai uang sekarang (Agus 2001) Dengan demikian penilaian kelayakan berinvestasi pada usaha berjangka panjang seperti perkebunan kelapa sawit adalah menjadi penting dan diperlukan, khususnya bagi investor/pelaku usaha dan bagi kepentingan pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Kelayakan bisnis adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang kegiatan atau usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidaknya usaha tersebut dijalankan, artinya apakah usaha yang akan dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain kelayakan diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial sesuai tujuan yang diinginkan. Layak diartikan juga dapat memberikan keuntungan tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankannya, akan tetapi juga bagi investor, kreditur, pemerintah dan masyarakat luas (Kasmir et al. 2003; Sofyan 2003). Investor biasanya akan sangat berkepentingan dengan penilaian dana yang diinvestasikannya, untuk itu diperlukan suatu kajian finansial terhadap usaha investasinya untuk melihat layak (menguntungkan) atau tidaknya (merugikan) usaha tersebut. Dalam analisis finansial ada 3 (tiga) kegiatan utama yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) membuat rekap penerimaan (pendapatan) sebagai akibat dari adanya kegiatan usaha, (2) membuat rekap dari semua biaya yang dikeluarkan dan (3) menguji apakah aliran kas masuk yang dihasilkan oleh suatu usaha ini layak berdasarkan kriteria finansial yang ada. Untuk menilai apakah dana yang akan diinvestasikan itu layak atau tidak akan diukur dengan menggunakan kriteria investasi antara lain berupa Payback Periode (PBP), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Net present value (nilai tunai sekarang netto) adalah aliran manfaat dan biaya masa depan yang dikonversi menjadi nilai setara hari ini. Hal ini dilakukan dengan menentukan nilai finansial untuk manfaat dan biaya, mendiskonto manfaat dan biaya masa depan dengan menggunakan tingkat diskonto yang sesuai, dan mengurangi jumlah total biaya yang didiskonto dari jumlah total manfaat yang didiskonto, atau dengan kata lain nilai bersih suatu proyek merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat diskonto yang berlaku. 4.1 Analisis finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai tutupan lahan berdasarkan peubah biaya dan pendapatan. Sebagaimana telah dibahas pada Bab 2 mengenai tutupan lahan areal perkebunan sawit, bahwa pada lokasi perkebunan yang diteliti lahannya ada yang
48
berupa lahan gambut dengan kedalaman dan luas seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.4. Berdasarkan hasil penafsiran peta citra landsat (lihat Bab 2 Tabel 2.5), bahwa lahan perkebunan sawit pada awalnya adalah lahan yang berasal dari tutupan lahan hutan sekunder (Hs), semak belukar (B), pertanian campuran/ladang (Pc) dan Tanah kosong/terbuka (T). Dalam penelitian ini analisis kelayakan finansialnya dilakukan terhadap usaha perkebunan kelapa sawit yang diusahakan pada lahan gambut dengan berbagai tutupan lahan. Kedalaman gambut dikelompokkan sebagai lahan gambut LGDang dengan kedalaman 0-3 meter dan lahan gambut LGDal kedalaman > 3 meter. Selain berdasarkan kedalaman gambut, analisisnya juga dibedakan berdasarkan tutupan lahan yang berbeda yaitu hutan sekunder, semak belukar dan tanah terbuka. Dan sebagai perbandingannya akan dilakukan perhitungan finansial pengusahaan yang dilakukan pada tutupan lahan hutan primer. Pada tahun pertama berinvestasi, biaya yang harus dikeluarkan pada pokoknya terdiri atas biaya pembebasan/pengadaan tanah dan pengadaan sertifikat, biaya land preparation (land clearing); biaya investasi tanaman yang meliputi pancang tanam, pembuatan lubang tanam, pengadaan bibit hingga penanaman; biaya investasi non tanaman antara lain berupa biaya pembangunan perumahan keryawan dan sarana pendukung lainnya; biaya pemeliharaan tanaman termasuk upah tenaga kerja, pengadaan agrochemical, pengerasan jalan, titian untuk panen dan pembuatan jembatan; dan biaya umum yaitu biaya yang diperlukan selain untuk operasional di lapangan antara lain berupa biaya staff, administrasi kantor. Total biaya investasi terbagi atas biaya investasi tahun ke-1 (2007) hingga biaya investasi menjelang panen pertama (2008-2009), dan biaya sejak panen pertama (2010) hingga habis 1 (satu) periode pengusahaan di tahun ke-25 (2032) yang terdiri atas biaya pemeliharaan, panen dan transport serta biaya umum. Pendapatan diperoleh dari hasil produksi tandan buah segar (TBS) yang baru mulai berproduksi tahun ke-3 (2010) pasca penanaman hingga 22 tahun kedepan (2032). Produksi TBS yang dihasilkan berbeda jumlahnya (ton per hektar), yaitu antara TBS dihasilkan dari LGDang (0-3 m) lebih banyak dibanding TBS yang dihasilkan pada gambut LGDal (> 3 m) (Lampiran 11 hlm 99). Harga TBS yang digunakan dalam perhitungan, adalah harga rata-rata (januaridesember) TBS tahun 2007 yang diasumsikan mendapat eskalasi kenaikan 2% setiap tahunnya.Besaran biaya investasi dan pendapatan dari usaha perkebunan pada lahan gambut yang berbeda dan berbagai tutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan Tabel 4.1, terlihat bahwa total biaya investasi, yaitu biaya investasi tahun ke-1 hingga biaya sebelum panen dan biaya operasional sejak panen pertama, besarnya berbeda antar kedalaman gambut dan asal tutupan lahan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pada (1) biaya investasi yang dilakukan pada LGDang dan LGDal, dimana pada gambut LGDal (>3 mt) berbiaya lebih besar pada tuplah yang sama (selisih Rp 3.000.000,- per ha) dibanding pada lahan gambut LGDang (0-3 mt). Hal ini dapat dijelaskan karena pada gambut yang lebih dalam memerlukan pengerjaan fisik yang lebih berat terutama dalam pembuatan dan pengerasan jalan dan perlakuan; (2) biaya investasi antar tutupan lahan di masing-masing kedalaman gambut berbeda, yaitu antara tuplah hutan selisih sekitar Rp 1.000.000,- per ha dengan tuplah semak belukar dan ± Rp 1.400.000,dengan tuplah tanah terbuka. Hal tersebut terutama dikarenakan adanya perbedaan
49
pengerjaan pada land clearing, terutama kegiatan Imas (memotong rapat kepermukaan tanah semak dan pohon/tumbuhan), Tumbang (pembersihan lahan dari pepohonan atau bekas kayu tebangan atau terbakar), Perun (membersihkan lahan dengan bulldozer) hingga kegiatan Merumpuk (merupakan kegiatan untuk merumpuk kayu memanjang dengan menggunakan alat berat buldozer atau excavator). Tabel 4.1 Biaya dan pendapatan (rupiah per hektar) pengusahaan perkebunan kelapa sawit berdasarkan kedalaman gambut di berbagai tutupan lahan (2007-2032) Kedalaman Lahan Gambut
LGDang (0-3 m)
LGDal (> 3 m)
Tipe Tutupan Lahan
Biaya Investasi
Biaya Operasional
Total Biaya
Total Pendapatan
Semak belukar
27.811.923
311.700.000
339.511.923
744.764.636
Hutan sekunder
28.748.447
311.700.000
340.448.447
744.764.636
Tanah terbuka
27.348.447
311.700.000
339.048.447
744.764.636
Hutan primer
28.748.447
311.700.000
340.448.447
744.764.636
Semak belukar
30.748.447
311.700.000
342.448.447
611.489.923
Hutan sekunder
31.748.447
311.700.000
343.448.447
611.489.923
Tanah terbuka
30.348.447
311.700.000
342.048.447
611.489.923
Hutan primer
31.748.447
311.700.000
343.448.447
611.489.923
Pendapatan usaha akan berbeda besarannya berdasarkan kedalaman gambut, namun tidak ada pengaruhnya terhadap asal tutupan lahan. Jika diambil rata-rata per tahunnya, maka pendapatan di LGDang dari produksi TBS sebesar Rp 33.852.937,- per tahun sedangkan di LGDal lebih kecil yaitu Rp 27.794.996,per tahunnya. Perbedaan ini disebabkan produksi TBS pada lahan gambut LGDang (0-3 mt) lebih banyak dibanding pada LGDal (>3 mt). Produksi TBS pada lahan gambut dengan kedalaman yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Produksi tandan buah segar (TBS) pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dan LGDal (>3 m) (2010-2032) Sumber: data produksi diolah dari laporan produksi perusahaan.
50
Berdasarkan Gambar 4.1 terlihat bahwa produksi TBS di LGDang lebih banyak dibanding di LGDal, dan puncak produksinya dicapai pada tahun ke-7 sampai tahun ke-12 (2016-2020). Tanaman kelapa sawit memproduksi buah (TBS) dimulai tahun ke-3 sejak penanaman, dan pemanenannya setiap pokok tanaman akan meningkat secara bertahap. Berdasarkan data FAO (2002) puncak produksinya dicapai saat mendekati tahun ke-20, namun kelapa sawit ini ditanam pada lahan mineral. Wahid et al. (2005) menyatakan setelah periode puncak tersebut berangsur-angsur akan menurun dan kemudian dimusnahkan untuk dilakukan penanaman kembali dengan interval sekitar 25-30 tahun kemudian (Wahid et al. 2005). Kelayakan finansial dalam studi ini ditunjukkan oleh nilai NPV. Bila keseluruhan manfaat yang dihasilkan selama jangka waktu umur kegiatan lebih besar daripada keseluruhan biaya investasi, maka nilai NPV positif. Artinya, kegiatan secara finansial layak untuk dilaksanakan karena dapat memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan. Net Present Value (NPV) merupakan kriteria investasi yang banyak digunakan dalam mengukur apakah proyek yang akan jalani layak atau tidak. Berdasarkan data penerimaan (dari produksi TBS) dan biaya yang dikeluarkan (investasi), maka dilakukan penilaian apakah dana yang diinvestasikan itu layak (menguntungkan) atau tidak (merugikan) akan diukur dengan menggunakan kriteria investasi berupa nilai NPV, IRR dan PBP. Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansialnya, dengan menggunakan tingkat suku bunga diskonto (discount rate) sebesar 6.5%, maka hasilnya terlihat seperti pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Ukuran kelayakan investasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit (per hektar selama 25 tahun) berdasarkan besaran NPV, IRR dan PBP Kedalaman Lahan Gambut
LGDang (0-3 m)
LGDal (> 3 m)
Tipe Tutupan Lahan
NPV (Rp)
IRR (%)
PBP (Thn)
Semak belukar
278.834.174
38
4.47
Hutan sekunder
277.897.650
37
4.52
Tanah terbuka
279.297.650
38
4.45
Hutan primer
277.897.650
37
4.52
Semak belukar
221.158.287
32
4.99
Hutan sekunder
220.158.287
32
5.04
Tanah terbuka
221.558.287
33
4.97
Hutan primer
220.158.287
32
5.04
Tabel 4.2 menunjukkan bagaimana hasil perhitungan analisis finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan baik di lahan gambut LGDang maupun LGDal dari berbagai tutupan lahan, semuanya menunjukkan hasil NPV positif, IRR lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang 6.5% serta lamanya waktu pengembalian modal investasi berkisar 4.55.0 tahun. Artinya bahwa pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan berbagai tipe tutupan lahan dikatakan layak dilaksanakan karena
51
menguntungkan, meskipun pendapatannya diperoleh hanya dari produksi TBS yang dihasilkan. Namun pilihan terbaiknya adalah pengusahaan yang mempunyai NPV tertinggi yang mendapat prioritas untuk dilaksanakan, yaitu pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan pada gambut LGDang (0-3 m), dari tutupan lahan Tanah terbuka (T) dengan nilai NPV sebesar Rp 279.297.650,- per hektar selama 25 tahun, dan besaran IRR 38% jauh diatas suku bunga diskonto yang 6.5%, serta PBP 4.5 tahun yang berarti lamanya waktu pengembalian modal investasi (kembali modal) yaitu selama 4.5 tahun. Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 memperlihatkan perbandingan besaran NPV, IRR dan PBP dari pengusahaan perkebunan kelapa sawit dari berbagai tutupan lahan dan kedalaman gambut yang berbeda.
(a)
(b)
(c) Gambar 4.2 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalam gambut (LGDang 0-3 m) dan berbagai tutupan lahan
52
(a)
(b)
(c) Gambar 4.3 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalam gambut (LGDal > 3 m) dan berbagai tutupan lahan 4.2 Pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang memperhitungkan biodiversity loss dan biodiversity gain dalam analisis finansialnya Berbeda dengan analisis finansial pada umumnya, dalam konteks pengusahaannya perkebunan kelapa sawit berdasarkan skema konservasi, analisis (valuasi) finansial dilakukan dengan memasukkan biaya biodiversity loss dan pendapatan biodiversity gain dalam menilai kelayakan investasi pengusahaannya dengan kriteria kelayakan investasi tetap sama, yaitu berdasarkan NPV. Biodiversity loss dibatasi untuk produk-produk hutan berupa potensi tegakan dan satwa liar yang dianggap hilang. Oleh karena itu diperlukan data mengenai berapa banyak potensi tegakan (m3/ha) dan ukuran kepadatan satwa liar orangutan (ind/km2), owa (ind/km2), trenggiling (ind/km) yang diperhitungkan sebagai potensi yang hilang. Selain itu diperlukan juga data mengenai harga masing-masing dari produk yang dianggap hilang tersebut, yang dalam penelitian ini menggunakan harga pasar yang berlaku di pasar internasional (untuk jenis primata arboreal) dan harga di pasar lokal (untuk potensi tegakan kayu). Nilai moneter (rupiah nya) dihitung berdasarkan harga pasar per hektarnya pada
53
masing-masing tutupan lahan (hutan primer/Hp, hutan sekunder/Hs dan semak belukar/B) (Tabel 4.3). Sedangkan untuk “biodiversity gain” diperhitungkan hanya pada lahan kebun kelapa sawit yang berasal dari tutupan lahan tanah terbuka (T) dengan pendekatan yang digunakan adalah memanfaatkan potensi satwa predator (burung hantu dan ular sawa) dalam pengendalian hama tikus pada perkebunan kelapa sawit. Besaran biaya yang biasa digunakan untuk mengendalikan hama tikus dengan pembelian racun tikus dan biaya pemasangan perangkap per hektar nya diasumsikan akan menjadi penghematan (pendapatan) bagi perkebunan dengan memanfaatkan potensi satwa predator tanpa harus mengeluarkan ongkos pengendalian hama. Tabel 4.3 Potensi “biodiversity loss” yang diperhitungkan dalam analisis ekonomi pengusahaan perkebunan kelapa sawit Parameter
Potensi yang hilang Orangutan Owa Trenggiling Kayu (rimba campuran)
Kerapatan 2 ind / km21 7 ind / km22 1 ind/ km23 99.91 m3/ha di hutan primer & 56.80 m3/ha di hutan sekunder
Harga5 25.000 dolar AS/ind 5.000 dolar AS/ind 600 dolar AS/kg Rp 1.800.000,-/ m3 Rp 1,500,000,-/m3
Sumber: 1Galdikas (1978) di Kalimantan Tengah, 2Sugardjito 1975 dalam Galdikas (1978) di Kalimantan Tengah, 3 Asumsi (tidak ada data); 4 Kerapatan hasil penelitian yang diambil rata-ratanya; 5 nilai 1 dolar AS = Rp 9800.
Berdasarkan data Tabel 4.3 tersebut di atas, maka analisis (valuasi) ekonomi yang memasukkan faktor biodiversitas yang dianggap hilang (bio- loss) dan pemanfaatan biodiversitas yang bertambah (bio-gain) menggunakan harga pasar, diperoleh hasil sebagai berikut: -
Pada tutupan lahan hutan primer (Hp) potensi biodiversitas yang dianggap hilang adalah primata arboreal yaitu orangutan (2 ind/km2 dengan harga pasar internasional 25.000 dolar AS per ind), jenis owa (7 ind/km2 dengan harga 5000 dolar AS per ind) dan trenggiling (1 ind/km2, dimana 1 ekor rata-rata beratnya 10 kg dengan harga 600 dolar AS per kg), dan potensi tegakan (volume kayau) yang diperhitungkan sebesar 99.91 m3/ha (harga pasar lokal Rp 1800000 per m3), maka nilai (moneter) ekonomi yang hilang akibat perubahan tutupan lahan hutan primer menjadi kebun kelapa sawit sebesar Rp 18.875.6000,- per hektar.
-
Pada tutupan lahan hutan sekunder (Hs), potensi satwa liar yang dianggap hilang terdiri atas satwa liar yaitu orangutan dengan kepadatan 2 ind/km2, jenis owa dengan kepadatan 7 ind/km2, trenggiling (1 ind/km2) (diasumsikan sama dengan di hutan primer), namun potensi tegakan (volume kayu) kerapatan yang diperhitungkan sebesar 56.80 m3/ha dengan harga Rp 1.500.000,- per m3. Dengan berpatokan pada harga pasar internasional (satwa liar) dan harga lokal (kayu) sebagaimana pada Tabel 4.3, maka nilai (moneter)
54
ekonomi yang hilang akibat perubahan tutupan lahan hutan sekunder menjadi kebun kelapa sawit sebesar Rp 94.118.000,- per hektar. -
Sementara pada tutupan lahan berupa semak belukar yang bukan merupakan habitat primata arboreal dan tidak ada potensi tegakan didalamnya, maka yang diperhitungkan sebagai biodiversity loss-nya adalah jenis trenggiling dengan nilai ekonomi yang hilang sebesar Rp 588.000,- per hektar.
Tabel 4.4 berikut menyajikan data mengenai nilai moneter (rupiah) per hektar yang harus ditanggung oleh pihak pelaku usaha perkebunan kelapa sawit akibat kehilangan potensi biodiversitas (orangutan, owa, trenggiling dan potensi tegakan kayu) pada tutupan lahan yang berbeda. Biaya bio-loss ini (dianggap sebagai biaya lingkungan) menjadi pengeluaran yang masuk dalam komponen biaya investasi. Sedangkan perhitungan bio-gain dalam pengusahaan hanya dilakukan pada perkebunan kelapa sawit yang lahannya berasal dari tanah terbuka (T). Pemanfaatan satwa predator (burung hantu dan ular sawa) dalam pengendalian hama tikus di perkebunan ternyata cukup efektif karena mampu menurunkan serangan hama tikus pada tanaman kelapa sawit muda hingga di bawah 5 persen. Implikasi dari berkembangnya potensi satwa predator di perkebunan kelapa sawit, berkonsekuensi pada biaya penghematan yang seharusnya dikeluarkan oleh pengelola untuk pengendalian hama tikus (mangsa satwa predator). Penghematan biaya operasional ini kemudian oleh perkebunan menjadi manfaat/keuntungan yang besarnya rata-rata Rp 3.300.000,- per hektarnya. Tabel 4.4 Nilai ekonomi (rupiah per ha) dari biodiversity loss pada berbagai tipe tutupan lahan Tutupan Lahan Hutan primer Hutan sekunder Semak belukar Tanah terbuka
Biodiversity loss (Rp)
Biodiversity gain (Rp)
188.756.000 94.118.000 588.000 0
0 0 0 3.300.000
Tabel 4.5 berikut memperlihatkan total biaya investasi pada masingmasing tutupan lahan yang terdiri atas biaya investasi untuk kebun (mulai dari pembebasan tanah, pembukaan lahan, hingga pengeluaran pemeliharaan sebelum panen pertama dilakukan) dan biaya bio-loss. Bagaimana proporsi (%) biaya bioloss dan biaya investasi kebun terhadap biaya investasi keseluruhan disajikan pada Tabel 4.6.
55
Tabel 4.5 Total biaya investasi per hektar (investasi kebun dan biodiversity loss yang diperhitungkan sebagai biaya investasi) pengusahaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dari berbagai tutupan lahan Kedalaman Lahan Gambut
LGDang (0-3 m)
LGDal (> 3 m)
Tutupan Lahan
Total Biaya Investasi (Rp) Investasi Kebun
Biodiversity Loss
Semak belukar
27.811.923
588.000
Hutan sekunder
28.748.447
94.118.000
Tanah terbuka
27.348.447
0
Hutan primer
28.748.447
188.756.000
Semak belukar
30.748.447
588.000
Hutan sekunder
31.748.447
94.118.000
Tanah terbuka
30.348.447
0
Hutan primer
31.748.447
188.756.000
Tabel 4.6 Perbandingan investasi kebun (%) dengan investasi untuk biodiversity loss (bio-loss) terhadap biaya total investasi Kedalaman Gambut
Tuplah Semak
LGDang (0-3 mt)
Sekunder Terbuka
LGDal (> 3 mt)
Biaya Total (Rp)
Investasi Bioloss (%)
Investasi Kebun (%)
28.399.923
2
98
122.866.447
77
23
27.348.447
-
100
Primer
217.504.447
87
13
Semak
31.336.447
2
98
125.866.447
75
25
30.348.447
-
100
220.504.447
86
14
Sekunder Terbuka Primer
Berdasarkan Tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa proporsi investasi kebun 98% dibandingkan investasi bio-loss nya yang 2% dari lahan semak belukar, sebaliknya lahan berasal dari hutan sekunder proporsi investasi kebun 23% dibanding 77% untuk bio-loss nya, dan di hutan primer 87% investasi bio-loss dan 13% investasi untuk kebun. Di lahan tanah terbuka 100% adalah investasi kebun, artinya bagi pelaku usaha/investor harus berhitung secara cermat dengan modal yang harus disediakan untuk investasi awal pengusahaan perkebunan dengan skema konservasi. Melakukan pengusahaan pada lahan gambut biaya investasinya akan lebih mahal (per hektar lahan) apabila dilakukan pada tutupan lahan hutan (primer dan sekunder), karena besarnya biaya bio-loss yang harus dikompensasi. Sebaliknya biaya bio-loss pada semak belukar jauh lebih kecil nilai rupiahnya dibanding areal berhutan, dan bahkan tidak menanggung bio-loss pada tuplah tanah terbuka. Bagi pemerintah kondisi ini menjadi momentum untuk bisa mendorong pengusaha berinvestasi kebun sawit melalui skema konservasi, yakni dengan jalan menyiapkan insentif (reward dalam bentuk kemudahan atau keringanan pajak misalnya) agar pengusaha tertarik untuk berinvestasi tetap menguntungkan dan sekaligus turut menjaga kelestarian hutan. Berdasarkan nilai rupiah yang diperoleh dan dikeluarkan dari biodiversity loss dan biodiversity gain tersebut, bila diperhitungkan dalam analisis finansial
56
kelayakan investasinya, maka kelayakan usahanya dapat dinilai berdasarkan ukuran kriteria NPV, IRR dan PBP sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.7. Hasil analisis finansial yang memperhitungkan biodiversity loss dan biodiversity gain (Tabel 4.7), menunjukkan bahwa pengusahaannya pada lahan gambut dari berbagai tutupan lahan (semak belukar, hutan sekunder, tanah terbuka dan hutan primer) memberikan nilai NPV semuanya positif, artinya investasinya layak untuk dilaksanakan karena menguntungkan, dengan jangka waktu pengembalian modal bervariasi tergantung tipe tutupan lahannya, yaitu berkisar 4-12 tahun. Namun, pilihan terbaik yang mendapatkan prioritas untuk dilaksanakan adalah pengusahaan yang dilakukan pada lahan terbuka dengan nilai NPV paling besar yaitu Rp 282.597.650,-, nilai IRR 41% dan jangka pengembalian modal yang singkat (PBP) yaitu 4.3 tahun. Tabel 4.7 Kelayakan finansial investasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit (per hektar selama 25 tahun) yang memperhitungkan biodiversity loss dan biodiversity gain berdasarkan besaran NPV, IRR dan PBP Kedalaman Lahan Gambut
LGDang (0-3 m)
LGDal (> 3 m)
Tipe Tutupan Lahan
NPV (Rp)
IRR (%)
PBP (Thn)
Semak belukar
278.246.174
38
4.5
Hutan sekunder
183.779.650
15
7.9
Tanah terbuka
282.597.650
41
4.3
Hutan primer
89.141.650
9
10.7
Semak belukar
220.570.287
32
5.0
Hutan sekunder
126.040.287
13
8.8
Tanah terbuka
224.858.287
35
4.8
Hutan primer
40.320.287
8
11.8
Simpulan 1. Berdasarkan analisis kelayakan finansial investasi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dengan berbagai tutupan lahan dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Bahwa pengusahaan kelapa sawit baik di lahan gambut LGDang (0-3 m) maupun LGDal (>3 m) dari berbagai tutupan lahan (semak belukar, hutan sekunder, tanah terbuka dan hutan primer) menunjukkan nilai NPV positif, IRR lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (disconto rate) dengan lama waktu pengembalian modal investasi yang singkat (dibanding usia pengusahaan yang 25 tahun), yakni berkisar 4.5-5.0 tahun. Nilai atau besaran tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan perkebunan kelapa sawit dikatakan layak dilaksanakan karena menguntungkan, meskipun pendapatannya diperoleh hanya dari produksi TBS yang dihasilkan dari lahan gambut tanpa menghitung pendapatan kayu. b. Untuk menentukan pilihan yang terbaik dari ke-8 (delapan) pilihan bentuk pengusahaan tersebut, maka pengusahaan yang mempunyai NPV tertinggi yang mendapat prioritas untuk dilaksanakan, yaitu pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan pada lahan gambut LGDang (0-3
57
m) dari tutupan lahan tanah terbuka (T) dengan nilai NPV sebesar Rp 279.297.650,- per hektar, dengan besaran IRR 38% (jauh diatas suku bunga diskonto yang 6.5%), dan PBP 4.5 tahun. 2. Nilai ekonomi (rupiah) dari biodiversitas yang hilang (bio-loss) akibat perubahan tutupan lahan menjadi kebun kelapa sawit, masing-masing untuk tutupan lahan hutan primer sebesar Rp 188.756.000,-; dari hutan sekunder Rp 94.118.000,- dan dari tuplah semak belukar Rp 588.000,- untuk setiap hektarnya. Sedangkan pemanfaatan potensi biodiversitas satwa predator (biogain) mampu menghemat biaya untuk pengendalian hama tikus di perkebunan (sebagai biodiversity gain) sebesar Rp 3.300.000,- per hektar. 3. Berdasarkan analisis (valuasi) finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai tutupan lahan yang memasukan faktor bioloss dan bio-gain, maka 8 (delapan) bentuk pengusahaan dengan skema konservasi, seluruhnya memberikan nilai NPV positif, yaitu pengusahaan pada gambut LGDang dan LGDal dari tuplah berupa semak belukar, hutan sekunder tanah terbuka dan hutan primer. Artinya investasinya layak untuk dilaksanakan, namun pilihan terbaiknya yang mendapatkan prioritas untuk dilaksanakan adalah pengusahaan yang dilakukan pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dari tuplah tanah terbuka dengan nilai NPV Rp 282.597.650,-; besaran IRR-nya 41% dengan lama waktu pengembalian modal (PBP) 4.3 tahun.
5 MODEL ALTERNATIF DAN PROFIL PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERWAWASAN KONSERVASI Pendahuluan Sebagai suatu usaha berjangka panjang (25 tahun), maka kelayakan investasinya perlu diketahui apakah pada akhirnya menguntungkan atau tidak. Oleh karena itu secara finansial, aliran uang baik berupa pengeluaran (biaya) dan pemasukan (pendapatan) selama berjalannya sutu usaha/proyek harus diketahui, tercatat untuk kemudian diuji apakah aliran kas (cash flow) yang dihasilkan tersebut layak berdasarkan kriteria finansial yang ada. Dalam teori analisis finansial kelayakan suatu usaha, metode penilaian yang digunakan diantaranya berupa Payback Periode (PBP), Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR). Adanya perubahan tutupan lahan sebagai konsekuensi dari pembukaan kebun kelapa sawit, khususnya apabila dilakukan dengan membuka areal berhutan, ada dampak lingkungan yang ditimbulkan yang sebenarnya berkonsekuensi pada biaya sebagai biaya lingkungan (environmental cost). Namun seringkali biaya lingkungan yang timbul tidak turut diperhitungkan dalam analisis finansial usahanya. Hal ini terjadi karena biaya lingkungan yang timbul tidak ditanggung atau dibayarkan oleh perusahaan perkebunan pada saat melakukan investasi. Masyarakat yang mengalami dampak negatif kerusakan dari keberadaan usaha pembangunan perkebunan kelapa sawit, merupakan pihak yang
58
menanggung biaya lingkungan yang terjadi yaitu berupa hilangnya akses memanfaatkan sumberdaya alam/hutan, menurunnya kualitas lingkungan, perlindungan daerah tangkapan air, hilangnya nilai jasa lingkungan hutan seperti wisata, fungsi penyimpanan karbon dan nilai produk hutan seperti tegakan kayu dan biodiversitas. Pengurangan bahkan kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) akibat pembukaan kebun kelapa sawit yang lahannya berasal dari hutan adalah merupakan bagian dari biaya environmental cost yang harus diperhitungkan dalam analisis (valuasi) ekonominya. Sebaliknya pembukaan kebun kelapa sawit dari lahan yang tidak bervegetasi atau lahan kosong menjadi kebun, akan ada manfaat yang ditimbulkan diantaranya potensi biodiversitas berupa satwa predator yang secara alami dapat berkembang baik dan apabila dikelola akan lebih memberikan nilai tambah bagi pengelolaan kebun (biodiversity gain). Dalam hal ini biodiversity gain diartikan sebagai potensi biodiversitas (satwa liar predator dari jenis burung hantu dan ular sawa) yang dapat dikembangkan, dikelola dan dimanfaatkan untuk pengendalian hama (tikus) dilingkungan perkebunan, sehingga pada akhirnya akan ada penghematan (rupiah) terhadap biaya operasionalnya dengan cara menggantikan peran/penggunaan racun tikus dan pemasangan perangkap mekanis. Penambahan dan pengurangan keanekaragaman hayati dalam pengusahaan perkebunan kelapa sawit akan memberi implikasi terhadap nilai ekonomi pengusahaannya. Penilaian terhadap nilai manfaat ekonomi sumberdaya lingkungan/hutan yang diantaranya berupa potensi biodiversitas sudah banyak dikembangkan dan dihitung oleh para ahli ekonomi lingkungan, diantaranya dengan metode pendekatan harga pasar, memberikan nilai yang terukur moneter (nilai uang) dalam teori nilai total ekonomi atau Total Economic Value (TEV) (Peterson & Sorg 1987; Pillet 2006; Plottu et al. 2007; Darusman et al. 2004). Dengan demikian potensi kehilangan dan penambahan biodiversitas dapat diukur secara moneter. Oleh karena itu dalam konteks penelitian ini, pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi didefinisikan sebagai sebuah usaha perkebunan yang apabila dilakukan tidak terjadi kehilangan potensi biodiversitasnya (hipotesisnya adalah biodiversity loss sama dengan nol). Artinya, sebagai konsekuensi tidak terjadi biodiversity loss, maka untuk membuka kebun kelapa sawit, lahannya harus berasal dari bukan areal berhutan. Namun apabila terjadi pembukaan lahan pada areal berhutan, maka ada suatu keharusan untuk menggantikan biodiversity yang hilang (bio-loss) tersebut. Sebaliknya apabila terjadi pada lahan yang diduga kurang potensinya menjadi tutupan lahan kebun sawit, maka akan ada potensi biodiversitas yang berkembang baik dan memberi kemanfaatan bagi pengelolaan kebun sawit yang dianggap sebagai biodiversity gain (bio-gain). Namun berbeda dengan bio-loss sebagai suatu keharusan dalam pengusahaan kelapa sawit yang konservasi, maka bio-gain sifatnya bagi pelaku bisnis merupakan sebuah pilihan alternatif atau bersifat voluntary, karena pemanfaatan potensinya sebagai peran pengganti (dalam hal ini menggantikan peran penggunaan racun tikus atau pemasangan perangkap). Berbeda dengan analisis finansial usaha pada umumnya, maka dalam analisis (valuasi) finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi berbagai biaya lingkungan (bio-loss) dan penghematan biaya dari potensi biodiversitas yang berkembang baik (bio-gain) yang mungkin atau potensial terjadi turut
59
diperhitungkan dalam menilai kelayakan investasi suatu kegiatan. Dan sebagai suatu pengusahaan, maka kelayakan investasinya harus memberikan nilai positif, artinya menguntungkan yang ditunjukkan dari besarnya nilai NPV, IRR dan PBP nya.
Model Alternatif Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi Seperti pada umumnya dalam suatu pengusahaan, berdasarkan prinsip dasar ekonomi, bahwa pengusahaan investasi kebun kelapa sawit pada akhirnya diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha. Artinya, dalam proyeksi analisis finansialnya diharapkan pada akhir daur pengusahaannya akan memberikan nilai positif, dimana biaya yang dikeluarkan (berupa biaya penggantian lahan, pengurusan sertifikat, pembukaan lahan/land clearing, investasi tanaman, non tanaman, pemeliharaan, pemanenan dan transport serta biaya umum) nilainya masih berada dibawah pendapatan yang diperoleh (pendapatan dihitung hanya dari produksi TBS kebun) sehingga diperoleh keuntungan. Dalam konteks pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi, apabila terjadi perubahan tutupan lahan berhutan maka harus menggantikan biodiversity loss sebagai biaya lingkungan dalam perhitungan analisis finansial kelayakan usahanya. Setelah mendemonstrasikan perhitungan kelayakan usahanya, telah dihasilkan beberapa bentuk atau model yang menjadi alternatif pilihan dalam berinvestasi dibidang kelapa sawit. Terhadap beberapa model alternatif yang layak pengusahaannya, terdapat pilihan terbaik yang paling menguntungkan secara ekonomi dan yang dari aspek ekologi/lingkungan akan memberi pesan konservasi yang baik dalam pengusahaannya. Pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi secara kelayakan finansial pengusahaannya (selama 25 tahun) pada lahan gambut dan dari berbagai tipe tutupan lahan, adalah layak dilaksanakan (menguntungkan). Secara lengkap penjabaran model-model alternatif yang dihasilkan dari perhitungan pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi pada lahan gambut berdasarkan kedalaman dan berbagai tipe tutupan lahan adalah sebagai berikut: 1. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah semak belukar memberikan nilai NPV sebesar Rp 278.246.174,- nilai IRR sebesar 38%, dan PBP selama 4.5 tahun. 2. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah hutan sekunder memberikan nilai NPV sebesar Rp 183.779.650,- nilai IRR sebesar 15%, dan PBP selama 7.9 tahun. 3. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah tanah terbuka memberikan nilai NPV sebesar Rp 282.597.650,- nilai IRR sebesar 41%, dan PBP selama 4.3 tahun.
60
4. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah hutan primer memberikan nilai NPV sebesar Rp 89.141.650,- nilai IRR sebesar 9%, dan PBP selama 10.7 tahun. 5. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah semak belukar memberikan nilai NPV sebesar Rp 220.570.287,- nilai IRR sebesar 32%, dan PBP selama 5.0 tahun. 6. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah hutan sekunder memberikan nilai NPV sebesar Rp 126.040.287,- nilai IRR sebesar 13%, dan PBP selama 8.8 tahun. 7. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah tanah terbuka memberikan nilai NPV sebesar Rp 224.858.287,- nilai IRR sebesar 35%, dan PBP selama 4.8 tahun. 8. Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah hutan primer memberikan nilai NPV sebesar Rp 40.320.287,- dengan nilai IRR sebesar 8%, dan PBP selama 11.8 tahun. Secara ringkas gambaran mengenai kelayakan investasi pengusahaan berwawasan konservasi yang memperhitungkan faktor biodiversity loss dan biodiversity gain pada lahan gambut dari berbagai tutupan lahan berdasarkan kriteria ukuran NPV, IRR dan PBP dapat diilustrasikan melalui Gambar 5.1 dan Gambar 5.2 berikut ini:
(a)
(b)
61
(c) Gambar 5.1 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalam gambut (LGDang 0-3 m) dan berbagai tutupan lahan dengan memperhitungkan bio-loss atau bio-gain
(a)
(b)
(c) Gambar 5.2 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalam gambut (LGDang > 3 m) dan berbagai tutupan lahan dengan memperhitungkan bio-loss atau bio-gain
62
Secara keseluruhan dari pilihan model alternatif yang ada, maka model terbaiknya adalah apabila pengusahaan perkebunan kelapa sawit dilakukan pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tutupan lahan tanah terbuka dengan memperhitungkan biodiversity gain yang secara kelayakan finansial investasinya memberikan keuntungan per hektarnya yang paling besar, ditunjukkan dari nilai NPV sebesar Rp 282.597.650,- IRR sebesar 41%, dan jangka waktu pengembalian modal (PBP) selama 4.3 tahun (Tabel 5.1). Tabel 5.1 Kelayakan finansial dari model terbaik pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi Parameter Total Biaya (Rp): - Investasi - Operasional Total Pendapatan NPV (Rp) IRR (%) PBP (Tahun)
Tuplah Tanah Terbuka (per Ha) 339.048.447 27.348.447 311.700.000 744.764.636 282.597.650 41 4.3
Biodiversity Gain (per Ha)
3.300.000
Profil dan Implikasi Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi Sebagaimana dijelaskan sebelumnya (pada bab analisis tutupan lahan dan analisis keanekaragaman hayati), bahwa ketika terjadi perubahan tutupan lahan dari areal berhutan menjadi kebun kelapa sawit, maka diduga terjadi perubahan pada kondisi keanekaragaman hayati yaitu berupa kehilangan potensi biodiversitasnya. Maka kemudian dilakukan pengamatan dan penilaian mengenai sejauh mana kehilangan potensi keanekaragaman hayati (biodiversity loss) yang terjadi pada berbagai tutupan lahan (hutan primer, hutan sekunder, semak belukar). Dalam suatu pengusahaan perkebunan kelapa sawit dengan skema konservasi (berwawasan konservasi), maka potensi biodiversity loss (bio-loss) harus dan wajib dihindari, sebagaimana definisi dan hipotesis pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi yaitu apabila dalam pengusahaannya tidak terjadi kehilangan biodiversitas, atau biodiversity loss (bioloss) sama dengan nol. Sebagai konsekuensi, maka pengusahaannya harus diarahkan pada tutupan lahan tanah terbuka (dalam penelitian ini merupakan model alternatif terbaik yang dihasilkan), yang dianggap atau diduga tidak banyak memiliki potensi biodiversitas (dalam pengertian tumbuhan dan satwa liar). Namun apabila terjadi konversi atau perubahan tutupan lahan berhutan menjadi kebun kelapa sawit, maka harus mengganti potensi kehilangan biodiversitas (bioloss) tersebut yang berkonsekuensi pada biaya. Artinya, biaya kehilangan bio-loss tersebut harus turut diperhitungkan sebagai biaya yang harus dikeluarkan dalam analisis finansial pengusahaannya. Disisi lain bagi perkebunan kelapa sawit yang lahannya berasal dari suatu tutupan lahan yang kurang potensinya (terkait tumbuhan dan satwa liar) seperti tutupan lahan tanah terbuka, perubahan menjadi hamparan kebun kelapa sawit dan atau tutupan lahan semak belukar di areal
63
kebun sawit akan memberikan ekosistem yang baik bagi perkembangan spesiesspesies tertentu dan kondisi ini dianggap sebagai suatu “biodiversity gain”(biogain). Berbeda dengan bio-loss yang menjadi wajib hukumnya dalam pengusahaan sawit dengan skema konservasi, maka faktor bio-gain bagi pelaku bisnis akan menjadi sukarela sifatnya atau voluntary, artinya dalam pengelolaan kebun kelapa sawit potensi bio-gain merupakan alternatif pilihan bagi pengelola karena perannya (satwa liar predator) sebagai pengganti penggunaan rodentisida (racun tikus) atau pemasangan perangkap dalam pengendalian hama tikus di lingkungan perkebunan. Dari hasil penelitian ini (lihat pada bab analisis tutupan lahan areal perkebunan kelapa sawit), berdasarkan hasil penafsiran peta citra landsat telah terjadi perubahan tutupan lahan areal berhutan (hutan sekunder) dan semak belukar menjadi kebun kelapa sawit, yang berarti ada potensi biodiversitas yang hilang. Berdasarkan perhitungan, besarnya biaya biodiversity loss yang harus dibayarkan/diganti bila berasal dari hutan sekunder Rp 94.118.000,- dan dari semak belukar Rp 588.000,- per hektar nya. Sebagai perbandingannya apabila berasal dari hutan primer nilai kehilangan yang harus ditanggung sebesar Rp 188.756.000,-. Artinya bagi pengusaha yang akan menginvestasikan modalnya di bisnis kebun kelapa sawit secara bertanggungjawab dan “menghargai” kelestarian ekologis, maka untuk setiap hektar tutupan lahan yang akan dibuka pengusaha diwajibkan membayar sejumlah rupiah tertentu (tergantung tipe tutupan lahan yang dibuka) dan akan diperhitungkan dalam investasinya. Dari demonstrasi perhitungan analisis finansial kelayakan investasi dalam penelitian ini (dengan pembatasan bahwa pendapatan hanya dihitung dari produksi TBS yang dihasilkan, sedangkan biaya kompensasi biodiversity loss “hanya” diperhitungkan dari satwa liar indikator, terbatas pada primata arboreal yakni orangutan, owa, trenggiling, dan potensi tegakan kayu yang dianggap hilang akibat penebangan dengan harga lokal minimum), memberikan hasil yang positif, artinya pengusahaan dari berbagai tipe tutupan lahan (semak belukar, hutan sekunder, tanah terbuka dan hutan primer) dinilai layak untuk dilaksanakan berdasarkan indikator nilai NPV, IRR dan PBP. Meskipun dianggap menguntungkan/layak secara finansial pengusahaan dengan skema konservasi pada lahan gambut dari tutupan lahan berhutan (hutan primer dan hutan sekunder), ada pertimbangan-pertimbangan lainnya yang perlu diperhatikan, antara lain bahwa: 1) Pengusahaan kebun sawit pada lahan gambut khususnya dari tutupan lahan hutan primer, bila dilihat nilai NPV (40-89 juta rupiah per ha selama 25 tahun) dengan besaran IRR yang berkisar 8-9% (tidak jauh berbeda atau sedikit berada diatas tingkat suku bunga diskonto yang digunakan 6.5%), namun sebagai pertimbangannya akan lebih baik dan aman apabila uang tersebut disimpan pada bank dengan tingkat suku bunga yang sama (6.5%), atau diinvestasikan pada usaha lain yang lebih cepat mendapatkan hasil dan keuntungan, dibandingkan bila diinvestasikan pada sektor kebun kelapa sawit yang membutuhkan waktu usaha yang panjang (25 tahun) dan jangka waktu pengembalian modal yang relatif cukup lama (PBP) yaitu 11-12 tahun; 2) Bila pengusahaannya dilakukan dari lahan hutan sekunder, nilai NPV-nya berkisar 126-183 juta rupiah per ha dengan besaran IRR nya antara 13-15%
64
dan PBP nya 8-9 tahun, adalah layak usaha meskipun jauh lebih menguntungkan apabila diusahakan pada lahan semak belukar dan tanah terbuka yang NPV-nya 220-280 juta rupiah per hektar selama 25 tahun, IRR nya 38-41% (jauh dari discount rate 6.5%) dengan waktu pengembalian modal jauh lebih singkat 4-5 tahun; 3) Apabila investor akan tetap berinvestasi pada usaha kelapa sawit yang lahannya berasal dari tuplah hutan primer dan sekunder, perlu mempertimbangkan proporsi biaya investasinya yang harus dikeluarkan, yang apabila dari hutan primer 87% berupa investasi bio-loss (biaya penggantian bio-loss) sementara untuk investasi kebunnya (pengeluaran yang berkaitan langsung dengan operasional kebun) hanya 13%. Bila di hutan sekunder besarnya proporsi tersebut adalah 77% untuk investasi bio-loss dan 33% untuk keperluan investasi kebun. Memperhatikan hasil perhitungan analisis finansial kelayakan usaha dengan skema konservasi dan beberapa pertimbangan yang disebutkan di atas, maka Profil dari suatu pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi dapat didiskripsikan sebagai berikut: a) Terkait definisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi yang mencantumkan tidak terjadi kehilangan biodiversitas (biodiversity loss sama dengan nol), maka sebagai konsekuensi akan kebutuhan lahannya adalah dengan memanfaatkan tutupan lahan tanah terbuka (tidak dari tutupan lahan berhutan); b) Jika pada prakteknya terjadi dari tutupan lahan berhutan, maka harus ada perhitungan penggantian/kompensasi terhadap biodiversity loss (sebagai suatu keharusan) dan pemanfaatan dari biodiversity gain (yang sifatnya voluntary) dalam analisis (valuasi) finansial kelayakan investasinya c) Sebagai suatu bentuk pengusahaan, maka tentu saja usaha tersebut harus menguntungkan. Oleh karena itu kriteria kelayakan investasinya berupa NPV harus bernilai positif, dan besaran IRR nya berada diatas suku bunga diskonto yang berlaku (perbedaan besarannya harus cukup signifikan) serta jangka waktu pengembalian modal (PBP) yang relatif singkat. Setelah perhitungan investasi yang memasukkan nilai biodiversity loss telah dilakukan dan dianggap layak dengan beberapa pertimbangan tersebut di atas, timbul pertanyaan kemudian tentang kapan dan bagaimana uang atau investasi bio-loss tersebut harus dibayarkan. Banyak muncul ide atau pendapat bagaimana hal ini harus dilakukan, diantaranya yang bisa dikemukakan disini adalah (1) bahwa biaya kompensasi tersebut sudah harus dikeluarkan pada saat pengusaha akan melakukan kegiatan investasi awal. Dalam penelitian ini biaya investasi awal (tahun pertama hingga sebelum tanaman menghasilkan di tahun ke3) rata-rata sekitar 28-29 juta rupiah per ha di lahan gambut gambut 0-3 m dan sedikit lebih mahal di gambut >3 m yaitu berkisar 30-32 rupiah juta per ha. Dari beberapa sumber (Pusat Informasi Kelapa Sawit 2013; WSP 2013) menyebutkan angka investasi awal sekitar 30-40 juta rupiah per ha). Jadi angka investasi awal tersebut seharusnya akan ditambah lagi dengan biaya biodiversity loss yang besarnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.5. Kompensasi tersebut diwajibkan untuk dibayarkan sejak awal, hal ini dianggap logis sebagai suatu
65
bentuk “konsekuensi” yang harus dilakukan mengingat hasil perhitungan analisis finansialnya menunjukkan bahwa usaha tersebut menguntungkan. Disamping itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa periode pengembalian modal (Payback Period) dapat dicapai dalam waktu yang cukup singkat dibanding panjang usia pengusahaan (sekitar 4-5 tahun khususnya apabila lahan berasal dari tanah terbuka dan semak belukar), maka adalah menjadi suatu keharusan bagi pengembang untuk segera mengalokasikan biaya kompensasi rupiah dimaksud sejak awal berinvestasi; (2) bahwa kompensasi rupiah tersebut disarankan untuk diarahkan peruntukannya antara lain untuk melakukan konservasi tanah dan air termasuk pengaturan drainase, khususnya pada lahan gambut dimana usaha perkebunan itu dijalankan; merehabilitasi areal-areal kritis; melindungi dan mempertahankan areal berhutan (areal konservasi) yang masih tersisa di dalam perkebunan; mengembangkan, memelihara dan mengelola lintasan satwa/koridor dilingkungan perkebunan seperti daerah sempadan sungai dan areal penghubung dengan areal berhutan diluar perkebunan (riparian buffer zone); hingga melakukan advokasi, kampanye peduli konservasi, dan lain sebagainya. Disisi lain sebagai pertimbangan (merupakan pilihan yang bersifat voluntary) bagi pengusaha kelapa sawit, adalah bahwa dengan menjalankan skema pengusahaan berwawasan konservasi dapat diperoleh pula biodiversity gain yang dapat diperhitungkan sebagai konsekuensi perubahan tutupan lahan yang diduga tidak berpotensi, dari lahan tanpa vegetasi, lahan terbuka bekas kebakaran, maupan tanah terbuka yang polos atau ditumbuhi alang-alang, berubah menjadi hamparan kebun kelapa sawit. Potensi perubahan tutupan lahan ini dapat memberikan kesempatan berkembangnya satwa predator untuk mengendalikan hama tikus di lingkungan perkebunan. Didalam suatu penelitian di perkebunan sumatera, penggunaan predator burung hantu mampu menurunkan serangan tikus pada tanaman kelapa sawit muda hingga 5%. Disebutkan bahwa tikus merupakan hama yang paling merugikan karena akibat serangan hama tikus dapat mengakibatkan kerusakan buah sawit sekitar 10%. Pemanfaatan peran satwa predator untuk mengendalikan hama tikus, apabila dikembangkan dan dikelola dengan baik, maka akan menghemat biaya operasional pengendalian hama yang biasa dikeluarkan untuk pembelian racun tikus dan pengadaan serta pemasangan perangkap tikus. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan untuk pengendalian tikus berkisar antara Rp 200.000,- - Rp 300.000,- per hektar. Apabila potensi biodiversitas ini dikelola dengan baik, disatu sisi akan menguntungkan pengelola perkebunan dari sisi penghematan biaya operasional, dan di sisi lain merupakan strategi konservasi yang baik dengan melindungi, meningkatkan populasi dan melestarikan satwa predator, mengingat satwa predator burung hantu merupakan satwa yang dilindungi dan sudah semakin langka keberadaannya karena banyak diburu dan diperjual belikan (harga di pasar lokal Rp 150.000,- per ekor). Sedangkan Ular sawa banyak diburu untuk diambil kulitnya (harga kulit dipasar lokal Rp 100.000,- - Rp 300.000,- per meter panjang). Pertanyaan berikutnya yang muncul kemudian adalah apa bentuk penghargaan atau “reward” yang mungkin bisa diperoleh oleh pebisnis/pengusaha perkebunan kelapa sawit sehingga mau berinvestasi di sektor kebun kelapa sawit dengan mengikuti skema konservasi? Khususnya dengan memanfaatkan lahan tanah terbuka (bukan areal berhutan), sehingga tidak akan ada kehilangan potensi biodiversitas (bio-loss). Terlebih lagi bila perkebunan
66
mampu memanfaatkan potensi biodiversitas dalam pengelolaan kebunnya (satwa predator untuk pengendalian hama tikus), yang secara tidak langsung berarti turut serta melestarikan jenis-jenis satwa liar yang dilindungi dan mempunyai nilai komersialisasi yang tinggi. Kondisi demikian bisa menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan pemerintah kepada investor dengan mendukung, mendorong, dan mempromosikan gerakan “konservasi” tersebut. Tentu saja sebagai konsekuensinya harus ada “reward” yang perlu dipersiapkan antara lain melalui insentif (atau bahkan juga disinsentif) yang bermanfaat bagi pengusaha sehingga mau melakukan investasi perkebunan kelapa sawit dengan skema konservasi. Insentif tersebut misalnya bisa dalam bentuk kemudahan dalam proses perizinan, insentif pajak (tax incentive) atau bahkan seruan atau himbauan kepada para konsumen, yaitu negara pengimport minyak sawit yang pada umumnya cukup menaruh perhatian/kepedulian terhadap kelestarian lingkungan termasuk produkproduk yang ramah lingkungan, agar dapat memberlakukan harga khusus (“premium price”) bagi TBS yang diproduksi dari pengusahaan perkebunan dengan skema konservasi. Pertanyaannya kemudian adalah, kapan dan kepada siapa hasil model perhitungan pengusahaan perkebunan kelapa sawit dengan skema konservasi, tersebut diberlakukan? Bahwa model perhitungan dengan skema konservasi akan bermanfaat dan dapat diterapkan utamanya bagi perkebunan kebun kelapa sawit yang baru akan dibuka, mengingat masih banyak luasan lahan yang tersedia meskipun status arealnya adalah APL namun memiliki areal berhutan bahkan dengan tutupan lahan hutan primer. Namun demikian, informasi atau kriteria profil yang dihasilkan dari penelitian ini hendaknya juga dapat diterapkan kepada perkebunan kelapa sawit yang lama (sudah operasional) yang asal lahan dulunya bukan dari tutupan lahan tanah terbuka. Disamping itu, khususnya bagi pengusaha/pebisnis, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih model alternatif berinvestasi pada sektor kelapa sawit, karena selain menguntungkan dari sisi finansial, juga secara ekologi memberi pesan konservasi yang baik yakni membuka lahan sawit dengan memanfaatkan tanah terbuka/lahan kosong. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit, khususnya terkait pemanfaatan lahan yang tidak berasal dari hasil mengkonversi kawasan hutan, dan disisi lainnya mendorong pemanfaatan areal tidak berhutan (semak belukar, lahan terlantar) untuk memenuhi kebutuhan akan lahan kelapa sawit. Simpulan Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalaman gambut yang berbeda dan berbagai tutupan lahan dengan memasukkan biaya biodiversity loss dan memanfaatkan penghematan operasional dari biodiversity gain, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil perhitungan kelayakan finansial usaha selama 25 tahun dengan menggunakan tingkat suku bunga diskonto perbankan sebesar 6.5% dan pendapatan hanya dihitung dari produksi TBS telah menghasilkan 8 (delapan) model bentuk pengusahaan yang dinilai layak untuk diusahakan berdasarkan kriteria investasi dari nilai NPV, IRR dan PBP nya, yaitu:
67
a) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah semak belukar memberikan nilai NPV sebesar Rp 278.246.174,-, nilai IRR sebesar 38%, dan PBP selama 4.5 tahun. b) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah hutan sekunder memberikan nilai NPV sebesar Rp 183.779.650,-, nilai IRR sebesar 15%, dan PBP selama 7.9 tahun. c) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah tanah terbuka memberikan nilai NPV sebesar Rp 282.597.650,-, nilai IRR sebesar 41%, dan PBP selama 4.3 tahun. d) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDang (0-3 m) dengan tuplah hutan primer memberikan nilai NPV sebesar Rp 89.141.650,-, nilai IRR sebesar 9%, dan PBP selama 10.7 tahun. e) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah semak belukar memberikan nilai NPV sebesar Rp 220.570.287,-, nilai IRR sebesar 32%, dan PBP selama 5.0 tahun. f) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah hutan sekunder memberikan nilai NPV sebesar Rp 126.040.287,-, nilai IRR sebesar 13%, dan PBP selama 8.8 tahun. g) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah tanah terbuka memberikan nilai NPV sebesar Rp 224.858.287,-, nilai IRR sebesar 35%, dan PBP selama 4.8 tahun. h) Usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut LGDal (>3 m) dengan tuplah hutan primer memberikan nilai NPV sebesar Rp 40.320.287,-, nilai IRR sebesar 8%, dan PBP selama 11.8 tahun. 2. Diantara ke-8 (delapan) model pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi yang menguntungkan tersebut, maka pilihan model terbaik yaitu model pengusahaan yang memberikan nilai NPV tertinggi per ha-nya (Rp 282.597.650,-) dengan IRR sebesar 41% (jauh diatas suku bunga diskonto), dan PBP selama 4.3 tahun, artinya model pengusahaan ini yang paling prioritas layak untuk dilaksanakan. 3. Profil pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi adalah (1) dilakukan pada tutupan lahan tanah terbuka dengan pertimbangan tidak ada terjadi biodiversity loss (tidak boleh dari tutupan lahan berhutan); namun (2) jika terjadi pada lahan yang berasal dari tutupan lahan hutan, maka harus ada penggantian biaya terhadap bio-loss (memperhitungkan faktor bio-loss); dan (3) investasi dimaksud harus layak dilaksanakan (menguntungkan) yang ditunjukkan dari NPV yang bernilai positif, nilai IRR nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) dan berjangka waktu pengembalian modal (PBP) yang singkat.
68
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak seluruhnya memanfaatkan lahan dari hasil mengkonversi hutan (areal berhutan maupun kawasan hutan). Berdasarkan sejarah penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit yang diteliti, menunjukkan bahwa sebelum lahan diambil alih untuk perkebunan kelapa sawit, lahan tersebut berasal dari eks HPH, bekas lahan perkebunan kelapa sawit dari perusahaan lainnya, semak belukar, ladang yang tidak terkelola dan tanah/lahan terbuka yang diambil alih melalui proses ganti rugi. Meskipun demikian, hasil penelitian ini juga mengungkapkan terdapatnya sebagian lahan yang dibuka berasal dari hutan sekunder (tidak teridentifikasi adanya hutan primer). Konsekuensi dari perubahan tutupan lahan yang tadinya berupa hutan sekunder, semak belukar dan tanah terbuka menjadi hamparan kebun kelapa sawit antara lain berpengaruh pada kondisi dan potensi keanekaragaman hayati (bertambah dan berkurang). Kondisi demikian dapat dianggap sebagai suatu potensi biodiversitas yang hilang (biodiversity loss) dan pemanfaatan dari potensi biodiversitas yang berkembang baik di lingkungan perkebunan (biodiversity gain). Kehilangan potensi dan kemanfaatan biodiversitas ini yang melatarbelakangi perlunya memasukkan faktor biodiversity loss dan biodiversity gain dalam analsisi finansial investasi/pengusahaan di sektor kelapa sawit. Dalam penelitian ini, pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi didefinisikan sebagai suatu usaha perkebunan yang dalam pengusahaannya tidak terjadi kehilangan biodiversitas atau biodiversity loss (bio-loss) nya sama dengan nol. Sebagai konsekuensinya, maka pengusahaannya harus diarahkan pada tutupan lahan tanah terbuka (dalam penelitian ini menjadi model alternatif terbaik yang dihasilkan), yang dianggap atau diduga tidak banyak memiliki potensi biodiversitas (dalam pengertian tumbuhan dan satwa liar). Apabila terjadi pada tutupan lahan berhutan, maka harus mengganti potensi kehilangan biodiversitas (bio-loss) tersebut yang berkonsekuensi pada biaya. Artinya, biaya kehilangan bio-loss tersebut harus turut diperhitungkan sebagai biaya yang harus dikeluarkan dalam analisis finansial pengusahaannya. Demikian juga halnya dengan pemanfaatan spesies-spesies tertentu yang dianggap sebagai suatu bio-gain, namun berbeda dengan bio-loss yang menjadi wajib hukumnya dalam pengusahaan sawit dengan skema konservasi, maka faktor bio-gain bagi pelaku bisnis merupakan suatu pilihan yang bersifat voluntary. Delapan model alternatif pengusahaan perkebunan kelapa sawit dengan skema konservasi dinyatakan layak atau menguntungkan untuk dilaksanakan. Namun pengusahaannya apabila dilakukan pada lahan dengan tuplah areal berhutan (khususnya di hutan primer), meskipun layak secara finansial, namun tidak memberikan hasil yang memuaskan apabila dibandingkan pengusahaannya dari tutupan lahan semak belukar dan tanah terbuka. Dasar pertimbangannya adalah yang pertama, dapat terlihat dari indikator kelayakan usahanya, dimana nilai IRR-nya (8-9%) yang tidak terpaut jauh besarnya dengan tingkat suku bunga diskonto (6.5%). Artinya dengan pengusahaan berjangka waktu panjang (25
69
tahun) akan lebih baik, aman dan menguntungkan bila modal tersebut di simpan di bank misalnya; dan tingkat pengembalian modalnya yang relative lebih lama sekitar 11-12 tahun; yang kedua, bahwa proporsi biaya bio-loss nya (87%) berbeda jauh dengan biaya investasi untuk kebun itu sendiri (13%); dan yang ketiga bahwa biaya kompensasi tersebut harus sudah dibayarkan pada saat awal mulai berinvestasi. Berdasarkan model alternatif terbaiknya, maka kemudian tersusun sebuah diskripsi tentang profil pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi yaitu (1) bahwa dengan hipotesis pengusahaan yang konservasi (tidak terjadi kehilangan biodiversitas atau biodiversity loss sama dengan nol), maka sebagai konsekuensi kebutuhan lahannya harus dari tutupan lahan tanah terbuka (tidak dari lahan berhutan, (2) bila terjadi dari tutupan lahan berhutan, maka harus mengganti/mengkompensasi biodiversity loss (sebagai suatu keharusan) dan memanfaatkan biodiversity gain (sebagai suatu pilihan/voluntary) dalam analisis (valuasi) finansial kelayakan investasinya; dan (3) sebagai suatu pengusahaan, maka harus menguntungkan yang tercermin dari kriteria NPV bernilai positif, besaran IRR nya berada diatas suku bunga diskonto yang berlaku serta jangka waktu pengembalian modal (PBP) yang relatif singkat. Implikasi dari hasil penelitian ini antara lain (1) bahwa model perhitungan dengan skema konservasi akan bermanfaat dan dapat diterapkan utamanya bagi perkebunan kebun kelapa sawit yang baru akan dibuka, mengingat masih banyak luasan lahan yang tersedia meskipun status arealnya adalah APL namun memiliki areal berhutan termasuk hutan primer. Namun demikian informasi atau kriteria profil yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diterapkan kepada perkebunan kelapa sawit yang lama (sudah operasional) yang asal lahan dulunya bukan dari tutupan lahan tanah terbuka; (2) bagi pelaku usaha menjadi pertimbangan dalam memilih model alternatif pengusahaan di sektor kelapa sawit yang secara ekonomi layak dan secara ekologi memberi pesan konservasi yang baik, dengan tidak membuka kebun sawir dari tutupan lahan berhutan melainkan memanfaatkan tanah terbuka/lahan kosong karena menguntungkan secara finansial; (3) bagi pemerintah sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam pengembangan kebun kelapa sawit terkait pemanfaatan lahan yang tidak harus dari hasil mengkonversi hutan, dan mendorong pemanfaatan areal tidak berhutan (semak belukar, lahan terbuka/terlantar) baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan; (4) untuk mendorong ketertarikan investor menjalankan pengusahaannya dengan skema konservasi ini, maka pemerintah perlu menyiapkan “reward” yang menarik antara lain melalui insentif (atau bahkan juga disinsentif) yang bermanfaat bagi pengusaha. Insentif tersebut misalnya bisa dalam bentuk kemudahan dalam proses perizinan, insentif pajak (tax incentive), membantu loby-loby promosi kepada negara pengimport minyak sawit (buyer) yang pada umumnya perhatian/peduli terhadap isu-isu lingkungan termasuk produk-produk yang ramah lingkungan, untuk dapat memberikan harga khusus (“premium price”) bagi TBS yang diproduksi dari pengusahaan perkebunan dengan skema konservasi.
70
Saran 1. Skenario pengusahaan perkebunan kelapa sawit dengan memperhitungkan “environmental cost” dalam analisis ekonominya, diharapkan tidak menyederhanakan persoalan kemanfaatan nilai ekologis atau environmental services lainnya, yang dalam penelitian ini tidak dibahas, termasuk opportunity loss (stok karbon dan penyerapannya) dari perkebunan yang mencadangkan sebagian areal berhutannya tidak dimanfaatkan untuk berproduksi. Sehingga perlu dilakukan penelitian lainnya dengan mengikutsertakan jasa-jasa biodiversitas lainnya dalam pengusahaannya. 2. Aspek sosial merupakan hal yang belum dibahas dari penelitian ini, sehingga perlu dilakukan penelitian dengan fokus pada kemanfaatan perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat sekitarnya serta mengidentifikasi dampak-dampak sosialnya untuk dipertimbangkan sebagai social cost bersama dengan environmental cost dalam analisis (valuasi) ekonominya.
71
DAFTAR PUSTAKA Abdullah SA, Nakagoshi N. 2007. Forest fragmentation and its correlation to human land use change in the state of selangor, Peninsular Malaysia. Forest Ecology and Management (241): 39–48. Adriana M. 2004. Mempertanyakan komitmen parpol terhadap isu lingkungan. www.conservation.or.id/site/modules/detail.php?textid Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. World Agroforestry Centre. Bogor. Anonim. 2013. Biaya Pembuatan Kebun Sawit [internet]. [diacu Mei 2013]. Tersedia dari: http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2013/03/biayapembuatan-kebun-sawit.html Barbier EB, Acreman M, dan Knowler D. 1997. Economic Valuation of Wetlands. Ramsar Convention Bureau Gland Switzerland. Barbier EB. 2000. Biodiversity, Trade and International Agreements. Journal of Economic Studies. Vol. 27 No. 1/2, 2000, pp. 55-74. MCB University Press. Bismark M, Heriyanto NM. 2007. Dinamika potensi dan struktur tegakan hutan produksi bekas tebangan dalam Cagar Biosfer Siberut. Info Hutan 4(6): 553-563. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Carpenter CR. 1940. A field study in Siam of the behavior and social relation of the Gibbon (Hylobates lar). Comparative Psychology Monographs 16 No.5. Charles. 2012. Nilai Ekspor CPO 2012 Diprediksi Turun 4,2% [internet]. [diacu 2012 April 24]. Tersedia dari: http://ekonomi.inilah.com. [CIFOR] Center for International Forestry Research Center for International Forestry Research . 2011. Lokakarya: Peran investasi sektor kehutanan dan perkebunan di tanah Papua dalam implementasi pembangunan rendah karbon. Jayapura Clay, JW. 2004. World Agriculture and Environment: A Commodity-byCommodity Guide to Impacts and Practices. Island Press/Washington. Covelo. London. Colchester M. 2010. Land acquisition, human rights violations and indigenous peoples on the palm oil frontier, Forest Peoples Programme and International Land Coalition. Moreton-in Mash UK Dale V. 1997. The relationship between land-use change and climate change. Ecological Application 7(30): 753-769 Danielsen F, Beukema H, Burgess PF, Brühl CA, Donald, PF, Murdiyarso D, Phalan B, Reijnders L, Struebig M & Fitzherbert EM. 2009. Biofuel plantations on forested lands: double jeopardy for biodiversity and climate. Conservation Biology 23: 348–358 Darusman D, dan Widada. 2004. Konservasi Dalam Perspektif Ekonomi Pembangunan. Ditjen PHKA-JICA-Laboratorium Politik, Sosial dan Ekonomi Kehutanan-Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Darusman D. 1992. Nilai Ekonomi Biodiversity Di Hutan Produksi: Menuju Integritas Antara Konservasi dan Ekonomi. Makalah Utama Lokakarya
72
Konservasi Biodiversity di Hutan Produksi, Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dan Biro Kerjasama Luar Negeri Sekretaris Jenderal Kehutanan. Bogor. [Disbun Kalteng] Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah. 2013. 84 Perusahaan Kuasai 57 Persen Perkebunan Kalteng [internet]. [diacu 2013 April 25]. Tersedia dari: http://www.antarakalteng.com/berita/215014/84perusahaan-kuasai-57-persen-perkebunan-kalteng Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Road Map Kelapa Sawit (Elaeis guineensis). Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Kebijakan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Seminar Implementasi RSPO di Indonesia, Bogor, 10 Juni 2008. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Luas Areal Dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan [internet]. [diacu 2011 April 5]. Tersedia dari http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Luas areal dan produksi perkebunan seluruh Indonesia menurut pengusahaan [internet]. [diacu 2012 Juni 23]. Tersedia dari http://ditjenbun.deptan.go.id/ cigraph/ index.php/ viewstat/ komoditiutama/. Dixon JD, Oli MK, Wooten MC, Eason TH, McCown JW, & Cunningham MW. 2007. Genetic consequences of habitat fragmentation and loss: The case of the Florida Black Bear (Ursus americanus floridanus). Conservation Genetics, 8(2): 455-464. Duckworth, J.W., Pattanavibool, A. Newton, P. & Nguyen Van Nhuan 2008. Manis javanica. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. <www.iucnredlist.org> Edwards D, Hodgson J, Hamer K, Mitchell S, Ahmad A, Cornell S, & Wilcove D. (2010). Wildlife-friendly oil palm plantations fail to protect biodiversity effectively. Conservation Letters. doi: 10.1111/j.1755-263X.2010.00107.x. Edwards FA, Edwards DP, Hamer KC, Davies RG. 2013. Impacts of logging and conversion of rainforest to oil palm on the functional diversity of birds in Sundaland. Ibis 155 (2): 313–326. doi: 10.1111/ibi.12027. Ellefson JO. 1968. Territorial behavior in the Common White-Handed Gibbon, Hyllobates lar Linn. In Primates, Studies in Adaptation and Variability. Ellefson JO.1067. A natural history of Gibbon in the Malay Penninsula [PhD dissertation]. Barkley: University of California. FAO. 2002. Small-Scale Palm oil processing in Africa. FAO Agricultural Services Bulletin 148 ISSN 1010-1365. Rome, Italy FAO. 2009. FAOSTAT online statistical service. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy [internet]. [accessed August 2011]. Available via URL. http://faostat.fao.org/ Fayle TM, Turner EC, Snaddon JL, Chey VK, Chung AYC, Eggleton P, Foster WA. 2010. Oil palm expansion into rain forest greatly reduces ant biodiversity in canopy, epiphytes and leaf-litter. Basic and Applied Ecology (11): 337-345. Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, Brühl CA, Donald PF, and Phalan B. 2008. How will oil palm expansion affect biodiversity? Trends in Ecology & Evolution 23(10): 538-545
73
Galdikas BFM. 1978. Adaptasi Orangutan Suaka Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia. Jakarta. Galdikas BFM. 1988. Orangutan Diet, Range and Activity at Tanjung Puting, Central Borneo. International Journal of Primatology. [GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2011. Palm oil development & deforestation. Seminar dan lokakarya nasional pengembangan perkebunan kelapa sawit vs konservasi hidupan liar. IPB International Convention Center. Bogor. [GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2012. Masalah ekspansi lahan beratkan industri sawit [internet]. [diacu 2012 Des 16]. Tersedia dari: http://id.berita.yahoo.com/ gapki-masalah-ekspansi-lahan-beratkanindustri-sawit-054011193--finance.html. Geissmann T, Nijman V. 2008. Hylobates muelleri. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. <www.iucnredlist.org>. Gervais M, Bakewell D, Azmi R, Aziz A. 2012. Preliminary bird diversity study in oil palm plantation suggests positive effects of biodiversity enhancement: Technical Communication. Journal of Oil Palm & the Environment (3): 30-37. doi:10.5366/jope.2012.04. Gourlet-Fleury S, Cornu G, Jesel S, Dessard H, Jourget JG, Blanc L, Picard N. 2005. Using models to predict recovery and assess tree species vulnerability in logged tropical forests: A case study from French Guiana. Forest Ecol Manag. 209:69-86. doi:10.1016/j.foreco.2005.01.010. Hamilton, Schucking dan Anderson. 1991. Voice unheard and unheeded in Biodiversity, Social and Ecological Perspective, Penang. Juta Print. Herman1, Fahmuddin Agus2, dan Irsal Las. 2009. Analisis Finansial Dan Keuntungan Yang Hilang Dari Pengurangan Emisi Karbon Dioksida Pada Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009. Heryati Y, Alrasjid H. 2002. Pengaruh penebangan mekanis dengan system TPTJ terhadap kerusakan tegakan tinggal di Kelompok Hutan Seruyan, Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian Hutan (630): 59-76. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Holmes D. 2002, Deforestation in Indonesia: A Review of the situation in Sumatra, Kalimantan, and Sulawesi. ,World Bank, Jakarta, Indonesia. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006). Indrawan A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2000. Land use, land-use change, and forestry. USA: Cambridge University Press. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Data dan informasi Ditjen Planologi Kehutanan tahun 2012Koh LP, & Wilcove DS. 2008. Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity? Conservation Letters 1(2): 60–64. doi: 10.1111/j.1755-263X.2008.00011.x. Koh LP and Ghazoul J. 2008. Biofuels, biodiversity and people: understanding the conflicts and finding opportunities. Biololgy Conservation 141: 2450-2460
74
Koh LP and Wilcove DS. 2008a. Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity? Conservation Letters 1: 60-64 Koh LP and Wilcove DS. 2008b. Oil palm: disinformation enables deforestation. Trends in Ecology and Evolution 24: 67-68 Koh LP, Miettinen J, Chin Liew S & Ghazoul J. 2011. Remotely sensed evidence of tropical peatland conversion to oil palm. PNAS 108(12): 5127-5132 Koh LP. 2008. Can oil palm plantations be made more hospitable for forest butterflies and birds? Journal of Applied Ecology 45 (4): 1002-1009. doi: 10.1111/j.1365-2664.2008.01491.x. Krisnawati H.2003. Struktur tegakan dan komposisi jenis hutan alam bekas tebangan di Kalimantan Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Buletin Penelitian Hutan (639): 1-19. Krisnohadi, A. 2011.Analisis Pengembangan Lahan Gambut Untuk Tanaman Kelapa Sawit Kabupaten Kubu Raya. Perkebunan dan Lahan Tropika. J. Tek. Perkebunan & PSDL. Vol 1, Juni 2011, hal 1-7. Lester RB. 2006, Plan B 2.0 Rescuing a planet under stress and a civilization in trouble (NY: WW Norton & Co.). Earth Policy Institute. Lillesand TM, Kieffer RW. 2000. Remote sensing and image interpretation – fourth edition. Wiley, New York. Lisman S. 2007. Konflik sosial kehutanan: Mencari pemahaman untuk penyelesaian terbaik [internet]. [diacu 2013 April 25]. Tersedia dari: www.konflik.rimbawan.com/pdf-16sept05/400sejarah-FINALE.pdf Lubis, A.U. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. MacKinnon JR. 1971. The Orangutan in Sabah Today. Oryx (11): 141-191 MacKinnon JR. 1974. The Behavior and Ecology of Wild Orangutan (Pongo pygmaeus). Animal Behaviour (22): 3. Magurran AE. 1988. Ecological diversity and its measurement. Croom Helm Australia. Makana JR, Thomas SC. 2006. Impact of selective logging and agricultural clearing on forest structure, floristic composition and diversity, and timber tree regeneration in the Ituri Forest, Democratic Republic of Congo. Biodiver Conserv. 15:1375-1397. doi:10.1007/s10531-005-5397-6. Manurung 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC. OUT-PCE-I-806-96-00002-00. Laporan Teknis. Natural Resources Management Program. Manurung EGT, dan Saragih DJ. 1999. Potret Konversi Hutan Alam Indonesia. Makalah disampaikan pada acara diskusi panel tentang Praktek Konversi Hutan Alam: “Hutan Alam Indonesia Terancam Punah”. Diselenggarakan oleh Yayasan WWF Indonesia. Jakarta, 7 September 1999. Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan hasil hutan kayu berdasarkan jumlah pohon (kasus pada areal bekas tebangan hutan alam hujan tropika dataran rendah tanah kering di Kalimantan) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
75
Mujihono R. 2005. Pengkajian Uji Adaptasi Variestas Unggul Baru Padi, Jagung dan Kedelai: Laporan Kegiatan Penelitian dan Pengkajian TA 2005. BPTP Yogyakarta. Yogyakarta Mulyani, A. dan I. Las. 2008. Potensi sumber daya lahan dan optimalisasi pengembangan komoditas penghasil bioenergi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(1): 31−41. Munasinghe, M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development. World Bank Enviroment Paper Number 3. The World Bank. Washington DC. Noon BR, McKelvey KS. 1996. A Common framework for conservation planning: Linking individual and metapopulation models. Metapopulations and Wildlife Conservation (editor Dale R. McCullough): 139-165. Island Press, Washington, D.C. Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi kasus di areal PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pearce D, dan Moran D. 1994. The Economic Value of Biodiversity, in Assiciation with the Biodiversity Programme of IUCN. The World Conservation Union. Earthscan Publications, Ltd. London. Pearce, D. 1996. Economic valuation and health damage from air pollution in the developing world. Energy Policy (24): 627-630. Pearce, D.W. 2001. The economic value of forest ecosystems. Ecosystems Health 7(4): 84−296. Peterson dan Sorg. 1987. Towards the Measurements of Total Economic Value. [PIKS] Pusat Informasi Kelapa Sawit. 2013. Hitung Biaya Kebun Kelapa Sawit [internet]. [diacu 2013 Mei 1]. Tersedia dari: http://informasikelapasawit.blogspot.com/2013/03/hitung-biaya-kebun-kelapa-sawit.html. Pillet G. 2006. Total Economic Value. Lecture 6. MESO Comparative, PSUT Academic and Practical Training. Plottu E. dan Beatrice P. 2007. The Concept of Total Economic Value of Environment: A reconsideration within a Hierarchical Rationality. Ecological Economics 61(2007) 52–61. 2006 Elsevier B.V. Powell AN. 2006. Are Southern California’s Fragmented Saltmarshes Capable of Sustaining Endemic Bird Populations? Studies in Avian Biology (32):198–204. Pratiwi, Mulyanto B. 2002. Pengaruh penebangan hutan terhadap tanah dan usaha perbaikannya. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (3): 2002. Prugh, L.R., K.E. Hodges, A.R.E. Sinclair and J.S. Brashares. 2008. Effect of Habitat Area and Isolation on Fragmented Animal Population. PNAS 105 (52): 20770-20775. Puan CL, Goldizen AW, Zakaria M, Baxter GS. 2011. Understanding of relationships between ground cover and rat abundances: An integrative approach for management of the oil palm agroecosystem. Crop Protection (30):1263-1268. Pusat informasi Kelapa Sawit. 2013. Hitung Biaya Kebun Kelapa Sawit [Internet]. [diunduh 2013 Mei 1]. Tersedia pada http://informasikelapasawit.blogspot.com/2013/03/hitung-biaya-kebun-kelapa-sawit.html.
76
Rieley, J.O., R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wösten, A. Hooijer, F. Siegert, S.H. Limin, H. Vasander and M. Stahlhut. 2008. Tropical peat lands: carbon stores, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. pp. 148-182.In M. Strack (Ed.) Peat Lands and Climate Change. International Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyväskylä, Finland. Rijksen HD. 1978. A Field Study on Sumatran Orangutans (Pongo pygmaeus abelli Lesson 1872). Ecology, Behaviour and Conservation 78-2. Wageningen, The Netherlands.. Ritung S, Wahyunto, Nugroho K, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia SKala 1:250.000 (Indonesian peatland map at the scale 1:250.000). Indonesia Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor, Indonesia. Robert Costanza; , Ralph d’Arge; Rudolf de Groot; Stephen Farber; Monica Grasso; Bruce Hannon; Karin Limburg; Shahid Naeem; Robert V. O’Neill; Jose Paruelo; Robert G. Raskin; Paul Sutton; and Marjan van den Belt. 1997. The value of the world’s ecosystem services and natural capital. Nature (387): 253-260. Rodman PS. 1973. Synecology of Bornean Primates [PhD dissertation]. Harvard University. RSPO. 2011. Promoting the growth and use of sustainable palm oil. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Zurich Samsoedin I. 2009. Dinamika keanekaragaman jenis pohon pada hutan produksi bekas tebangan di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 4(1): 69-78. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Santilli M, Moutinho P, Schwartzman S, Nepstad D, Curran L & Nobre C. 2005. Tropical deforestation and the kyoto protocol. Climatic Change (2005) 71: 267–276. DOI: 10.1007/s10584-005-8074-6 Santosa Y, Bambang HS. 2010. Verification exercice of the greenpeace report “burning of borneo and illegal forest clearance and RSPO greenwash. Case study of Sinar Mas. Unpublished Report. Bogor (ID): Bogor Agricultural University. Santosa Y, Haryanto. 1995. Permasalahan konservasi keanekaragaman hayati di hutan produksi. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor [internet]. [diacu 19 mei 2013]. Tersedia dari http://repository.ipb.ac.id. Santosa Y. 1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Makalah pada Pelatihan Teknik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fahutan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan Setiawan A. 2013. Keragaan struktur tegakan dan kepadatan tanah pada tegakan tinggal di hutan alam produksi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Simpson D. 2007. David Pearce and the Economic Valuation of Biodiversity. Environ Resource Econ (2007) 37:91-109. 2007 Springer Science+Bussines Media. B.V.
77
Sist P, Ferreira FN. 2007. Sustainability of reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecol Manag. (243):199-209 Sitompul DM. 2013. Polemik perluasan perkebunan kelapa sawit. Dapot M Sitompul, Anggota Indonesian Oil Palm Society – IOPS – Bogor. Media perkebunan. http://www.mediaperkebunan.net Sitorus J, Purwandari, Luwin ED, Rina, Suharno W. 2006. Kajian model deteksi perubahan penutupan lahan menggunakan data Inderaja untuk aplikasi perubahan lahan sawah. Bidang Pengembangan Pemanfaatan Inderaja Pusbangja Lapan. Sjahfirdi L. 2011. Dampak konversi hutan menjadi perkebunan sawit terhadap keanekargaman hayati. Seminar dan lokakarya nasional pengembangan perkebunan kelapa sawit vs konservasi hidupan liar. IPB International Convention Center. Bogor. Sodhi NS, Koh LP, Clements R, Wanger TC, Hill JK, Hamer KC, Clough Y, Tscharntke T, Posa MRC, Lee TM. 2010. Conserving Southeast Asian forest biodiversity in human-modified landscape. Biol Conserv. (143):2375-2384. doi:10.1016/j.biocon. 2009.12.029. Soetriono. 2010. Modul Perbedaan Analisis Finansial Dan Ekonomi. Pascasarjana Agribisnis Unej. http://irtusss.blogspot.com/2011/02/analisisfinansial-dan-ekonomi.html. [2 Mei 2012] Suhendang E. 1985. Studi model struktur tegakan alam hujan tropika dataran rendah di Bengkunat. Propinsi Daerah Tingkat I Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhendra. 2013. Volume Ekspor CPO Indonesia Naik Tipis 5,7% [internet]. [diacu 2013 Apr 24]. Tersedia dari: http://finance.detik.com. Sujarwo W. 2012. Pentingnya keanekaragaman hayati dan konservasi [internet]. [diacu 2013 Mei 1]. Tersedia dari: http://www.kebunrayabali.com/id/ berita_kebunlama.php? module=detailberita&id=11 Suparmoko, M. 2000. Ekonomi Lingkungan, Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta Susanty FH. 2013. Keragaan karakteristik biometric hutan diphterocarpaceae campuran di Kalimantan Timut [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Titenberg T. 2001. Enivronmental Economics Policy 3rd edition. Addison Wesley. 498 p UNEP and UNESCO. 2007. The last stand of the orangutan. State of emergency: illegal logging, fire and palm oil in Indonesia’s National Parks. USDA. 2010. Indonesia: rising global demand fuels palm oil expansion. United States Department of Agriculture. van Aarde RJ, & Jackson TP. 2007. Megaparks for metapopulations: addressing the causes of locally high elephant numbers in Southern Africa. Biological Conservation (134): 289–297. van Lier HN. 1998. The role of land use planning in sustainable rural systems. Landscape and Urban Planning 41(2):83-91. Wahyunto, Ritung S, and Subagjo H. 2003. Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Sumatera 1990-2002. Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor & Wildlife Habitat Canada.
78
Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagjo H. 2004. Map of peatland distribution area and carbon content in Kalimantan, 2000–2002. Wetlands International – Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC): Bogor. Wahyunto, Suparto, Bambang H., dan H. Bhekti. 2006. Sebaran lahan gambut luas dan cadangan karbon bawah permukaan di Papua. Wetland International. Indonesian Programme, Bogor Wakker, E. 1998. Lipsticks from the Rainforest. Palm Oil, Crisis, and Forest Loss in Indonesia. The Role of Germany. November. World Wildlife Fund Germany. Wana Sukses Prima. General Trading and Agrobisnis. 2013. Program Plasma Perkebunan Kelapa Sawit Mandiri [Internet]. [diunduh 2013 Mei 1]. Tersedia pada http://wsp-agro.com/kebun/program-plasma-perkebunankelapa-sawit-mandiri. Wicke B, Richard S, Veronika D, Andre F. 2011. Exploring land use changes and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia. Land Use Policy (28): 193-206. Wihardandi A. 2013. GAPKI Lebih Pilih Pertukaran Lahan Untuk Tekan Deforestasi Ketimbang Moratorium [internet]. [diacu 2013 Apr 24]. Tersedia dari http://www.mongabay.co.id/2013/04/22/gapki-lebih-pilihpertukaran-lahan-untuk-tekan-deforestasi-ketimbang-moratorium/ Wijaya H. 2008. Pengaruh peubah social ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Winardi H. 2011. Land Clearing (Pembukaan Lahan ) Gambut Kelapa Sawit [Internet]. [diunduh 2013 Mei 1]. Tersedia pada http://duniaazunk.blogspot.com Wiratmoko, D., Winarna, S. Rahutomo, dan H Santoso. 2008. Karakteristik gambut topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara untuk budi daya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 16(3): 119−126 [WSK] Wana Sukses Prima. 2013. Program Plasma Perkebunan Kelapa Sawit Mandiri [internet].[diacu 2013 Mei 1]. Tersedia dari: http://wspagro.com/kebun/program-plasma-perkebunan-kelapa-sawit-mandiri/ WWF. 2008. Palm oil & biodiversity loss [internet]. [diacu 2013 Mei 3]. Tersedia dari: http://wwf.panda.org/ WWF. Priority Species impacted by oil palm plantations. Orangutans [internet]. [diacu2013Mei3].Tersedia dari: http://wwf.panda.org/ Yatab H. 2008. Pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap penggunaan dan penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yeager CP. 1992. Conservation status of proboscis monkey (Nasalis larvatus) at Tanjung Putting National Park, Kalimantan Tengah Indonesia. Forest Biology and Conservation (2):133-137. Zakiya Z. 2013. Degradasi Lingkungan di Balik Keuntungan Sawit. Ekspansi sawit di Sumatra dan Kalimantan memaksa keanekaragaman hayati untuk menyingkir. National Geographic Indonesia [internet]. [diacu 2013 Mei 1]. Tersedia dari: http://nationalgeographic.co.id/berita /2012/12/keuntungan-sawit-dibayar-kerusakan-lingkungan.
Lampiran 1 Peruntukan/status lahan di Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Peta TGHK Tahun 1989 dan RTRWP Tahun 1993
79
Lanjutan lampiran 1 ……….
80
Lampiran 2
81
Lampiran 3
82
Lampiran 4 Peta citra satelit di areal PT.A di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar)
(A)
(B)
Keterangan: Hasil pencitraan keseluruhan lahan konsesi perkebunan PT. A di Kotawaringin Barat pada tahun 1989 (A) dan tahun 2010 (B).
83
Lanjutan lampiran 4……………….
(A)
(B)
Perubahan tutupan lahan perkebunan PT.A sebelum (A) dan setelah (B) dibuka menjadi kebun kelapa sawit Keterangan: Hs (Hutan sekunder), B (Semak belukar), TA (Tertutup awan/tidak teridentifikasi), T (Tanah terbuka) dan Pk (kebun kelapa sawit)
84
Lampiran 5 Peta citra satelit di areal PT.B di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim)
(A)
(B)
Keterangan: Hasil pencitraan keseluruhan lahan konsesi perkebunan PT. B di Kotawaringin Timur pada tahun 1989 (A) dan tahun 2010 (B).
85
Lanjutan lampiran 5……………….
(A)
(B)
Perubahan tutupan lahan perkebunan PT.B sebelum (A) dan setelah (B) dibuka menjadi kebun kelapa sawit Keterangan: Pc (Pertanian campuran)), B (Semak belukar), TA (Tertutup awan/tidak teridentifikasi) dan T (Tanah terbuka)
86
Lampiran 6 Peta citra satelit di areal PT.C di Kabupaten Seruyan
(A)
(B)
Keterangan: Hasil pencitraan keseluruhan lahan konsesi perkebunan PT. C di kabupaten Seruyan pada tahun 1989 (A) dan tahun 2010 (B).
87
Lanjutan lampiran 6 …………
(A) (B) Perubahan tutupan lahan perkebunan PT.C sebelum (A) dan setelah (B) dibuka menjadi kebun kelapa sawit Keterangan: Hs (Hutan sekunder), Pc (Pertanian campuran), B (Semak belukar), TA (Tertutup awan/tidak teridentifikasi), T (Tanah terbuka) dan Pkb (kebun kelapa sawit)
88
Lampiran 7 Jenis tumbuhan teridentifikasi pada areal kebun kelapa sawit dan hutan sekitar kebun No
Nama lokal
Nama spesies
Famili
No
Nama lokal
Nama spesies
Famili
1
Amang
Hopea dryobalanoides
Dipterocarpaceae
23
Jelutung/Pantung
Dyera constulata
Apocynaceae
2
Arang
Diospyros companulata
Ebenaceae
24
Kantong semar
Nepenthes gracilis
Nepenthaceae
3
Asam-asam
Garcinia parvifolia
Clusiaceae
25
Kapur naga
4
Batu
Dacryodes costata
Burseraceae
26
Kariwaya
5
Bedaru
Cantleya corniculata
Icacinaceae
27
Karet
Hevea brasiliensis
Euphorbiaceae
6
Bedurin
28
Kempas
Koompassia malaccensis
Fabaceae
7
Bekacang
29
Kertum
8
Bekunyit
30
Keruing
Dipterocarpus grandiflorus
Dipterocarpaceae
9
Benggaris
31
Ketapang
10
Bengkirai
Shorea laevifolia
Dipterocarpaceae
33
Ketiau
Ganua montleyana
Sapotaceae
11
Bentan
Parastemon urophyllus
Rosaceae
32
Ketimpun
12
Butun
Cratoxylum formosum
Hypericaceae
34
Kladin
13
Durian hutan
Durio carinatus
Bombacaceae
35
Kubung
Santiria tomentosa Blume
Bursecarcae
14
Empilik
36
Kumpang darah
Knema conferta
Myristicaceae
15
Gaharu
Aquilaria malaccensis
Thymelaeaceae
37
Laban/Halaban
Vitex pubescens
Verbenaceae
16
Galam
38
Lanan
17
Getah merah
Palaquium borneensis
Sapotaceae
39
Lowari
Schima wallichii
Theaceae
18
Idat/geronggang
Cratoxylon glaucum
Guttaceae
40
Mahang
Macarenga hypoleuca
Euphorbiaceae
19
Jamai
Rhodamnia cinerea
Myrtaceae
41
Mangga hutan
Mangifera foetida Lour
Anacardiacea
20
Jambu-jambuan
Eugenia sp
Myrtaceae
42
Manggis hutan
Garcinia bancana
Guttaceae
21
Jangkang
Palaquium ieocarpum
Sapotaceae
43
Markupat
22
Jangkar
44
Medang
Litsea sp
Lauraceae
Diospyros polyalthioides
89
Lanjutan lampiran 7……….. No
Nama lokal
Nama spesies
45
Melaban
Sterculia rubiginosa
46
Mendarahan
Myristicaceae iners
47
Mentangur
49
Merang
Gonystilus sp
50
Meranti
Shorea brunescens
52
Mersawa
Anisoptera marginata
51
Mertibo
53
Nyatoh
54
Panempelaan
55
Pantung
Palaquium conthocymum
Famili
No
Nama lokal
Nama spesies
63
Pisulan
64
Pudu
65
Ramin
Gonystilus bancanus
Thymelaeaceae
66
Rasak
Vattica rassak
Diphterocarpacea
Dipterocarpaceae
67
Rengas
Gluta renghas
Anacardiacea
Dipterocarpaceae
68
Ribu-ribu
Anisophyllea disticha (Jack)
Anisophylleaceae
69
Sasai
70
Sindur
71
Sirih hutan
Piper caninum
Piperaceae
Myristicaceae
Sapotaceae
Kibessia sp
Famili Melastomataceae Diphterocarpacea
72
Tembaras
Memecylon spp
Melastomataceae
73
Tengkawang
Shorea pinanga
Dipterocarpaceae
74
Tepus
56
Pavung
Sandoricum einarginatum
57
Pelawan
Tristania maingayi
58
Pelawi
Alstonia sphatulata BI
Apocynaceae
75
Terantang
Campnosperma macrophylla
Anacardiacea
59
Pempaning
Quercus bennettii
Fagaceae
76
Tumih
Combretocarpus rotundatus
Dipterocarpaceae
60
Penaga
77
Ubar merah
Syzigium lineatum
Myrtaceae
61
Perapat
Garcinia balica
Clusiaceae
78
Ubar putih
Eugenia cerina
Myrtaceae
62
Pisang-pisang
Musa sp
Musaceae
79
Ulin
Eusiredoxylon zwagerii
Lauraceae
90
Lampiran 8 ……
91
Lanjutan lampiran 8….
92
Lampiran 9……
93
Lanjutan lampiran 9…..
94
Lanjutan lampiran 9…..
95
Lampiran 10 Jenis satwa liar teridentifikasi di areal perkebunan kelapa sawit dan hutan sekitar kebun No
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Status Satwaliar
Nama Indonesia
PP No 7 Tahun 1999 A
CITES
Sumber
IUCN
Mamalia 1
Balionycteris maculata
Bengamat
Codot sayap totol
TD
TT
LC
Laporan
2
Callosciurus notatus
Bajing kelapa
Bajing kelapa
TD
TT
LC
Laporan
3
Cyanocephalus variegatus
Kubung, kuwung
Kubung
D
TT
LC
Laporan
Puput
Tupai ekor kecil
TD
TT
DD
Laporan
4
Dendrogale melanura
5
Felis bengalensis
Kucing hutan
Kucing kuwuk
D
App.ii
TT
Laporan
6
Helarctos malayanus
Beruang
Beruang Madu
D
App. I
VU
Survey (jejak)
7
Hylobates muelleri
Kalaweit
D
App.I
EN
Survey (langsung, suara)
8
Hystrix brachyura
Tabatung
Owa-owa Landak raya
D
TT
LC
Laporan
Macaca fascicularis
Bakai
Monyet ekor panjang
TD
App. II
LC
Survey (langsung)
10
Manis javanica
Ahem
D
App. I
EN
Survey (informasi)
11
Muntiacus muntjak
Kijang
Trenggiling Kijang
D
TT
LC
Laporan
Sigung
Teledu sigung
D
TT
LC
Laporan
9
12
Mydaus javanensis
13
Nycticebus caucang
Kukang
Kukang bukang
D
App.I
VU
Survey (informasi)
14
Paradoxurus hermaphroditus
Musang
Musang luwak
TD
App.III
LC
Laporan
15
Pardifelis marmorata
Cancan
Kucing batu
D
App.I
VU
Laporan
TD
TT
LC
Laporan
16
Penthetor lucasi
Pandan
Codot kecil abu
17
Pongo pygmaeus
Kehiu, Mawas
App.I
EN
Survey (langsung)
Presbytis rubicunda
Kelasi
Orangutan Lutung merah
D
18
D
App.II
LC
Survey (langsung)
19
Rusa unicolor
Rusa
Rusa sambar/Payau
D
TT
VU
Survey (informasi)
20
Sus barbatus
Babuy
TD
TT
VU
Survey (langsung, jejak)
21
Tragulus javanicus
Kancil
Babi hutan Kancil
D
TT
DD
Survey (informasi)
22
Nasalis larvatus
Kera belanda
Bekantan
D
App. I
EN
Survey (langsung)
96
B
Burung 1
Alcedo meninting
Bakekak
Raja udang
D
TT
LC
Survey (langsung)
2
Amandava amandava
Pipit
Pipit benggala
TD
TT
LC
Survey (informasi)
3
Bucheros rhinoceros
Tingang
Rangkong badak
D
App.II
NT
Survey (langsung)
4
Celeus brachyurus
Pelatuk
Platuk kijang
TD
TT
LC
Survey (informasi)
5
Centropus bengalensis
Bubut
Bubut alang-alang
TD
TT
LC
Survey (langsung)
6
Induk
Bubut besar
TD
TT
LC
Survey (informasi)
7
Centropus sinensis Copsychus malabaricus
Kelaka
TD
TT
LC
Survey (suara, informasi)
8
Copsychus saularis
Bejau
Murai Batu Kucica kampung, kacer
TD
TT
LC
Survey (informasi)
9
Kaak
Gagak kampung
TD
TT
LC
Laporan
10
Corvus macrorhynchos Cymbirhynchus macrorhynchos
Kangkang
Sumpur hujan sungai
TD
TT
LC
Laporan
11
Dendrocopos moluccensis
Belatok
Caladi, Tilik
TD
TT
LC
Laporan
12
Dicrurus aeneus
Tangkasiang
Srigunting
TD
TT
LC
Survey (langsung)
13
Ducula badia
Peregam jala
Pergam gunung
TD
TT
LC
Survey (suara)
14
Elanus caeruleus
Lang
Elang tikus
D
App.II
LC
Survey (informasi)
15
Gracula religiosa
Tiung
Beo
TD
App. II
LC
Survey (langsung)
16
Halycon smyrnensis
Cekakak belukar
Cekakak belukar
D
TT
LC
Laporan
17
Haliastur indus
Antang
Elang bondol
D
App.II
LC
Laporan
18
Ictinaetus malayensis
Antang alem
Elang hitam
D
App.II
LC
Laporan
19
Iole olivacea
Empulu sakep
Brinji mata putih
TD
TT
NT
Laporan
20
Ketupa ketupu
Kube
Beluk ketupa
TD
TT
LC
Survey (informasi)
21
Lanius schach
Bentet
TD
TT
LC
Laporan
22
Lophura ignita
Sakan
Sempidan biru
D
TT
NT
Laporan
23
Loriculus galgulus
Serindit
Serindit melayu
TD
App.II
LC
Laporan
24
Megalaima chrysopogon
Kokoh
Takur gadang
TD
TT
LC
Laporan
25
Nectarinia jugularis
Kuncit
Madu sriganti
D
TT
LC
Laporan
97
26
Oriolus xanthonotus
Kepudang
Kepudang hutan
TD
TT
NT
Laporan
27
Orthotomus ruficeps
Kanjik
Cinenen kelabu
TD
TT
LC
Survey (langsung)
28
Pelargopsis capensis
Bakakak
Pekaka emas
D
TT
LC
Laporan
29
Pericrocotus flammeus
Kecek
Sepah hutan
TD
TT
LC
Laporan
30
Prinia flaviventris
Jeruwit
Prenjak rawa
TD
TT
LC
Survey (informasi)
31
Psittacula longicauda
Bentet loreng
Betet ekor panjang
TD
App.II
NT
Laporan
32
Pycnonotus atriceps
Empulu kuning
Cucak kuricang
TD
TT
LC
Laporan
33
Pycnonotus eutilotus
Kempulu
Cucak rumbai
TD
TT
NT
Laporan
34
Pycnonotus plumosus
Empulu
Merbah belukar
TD
TT
LC
Laporan
35
Pycnonotus zeylanicus
Brukau
Cucak rawa
TD
App.II
VU
Survey (informasi)
36
Streptopelia chinensis
Tekukur
Tekukur
TD
TT
LC
Survey (langsung)
37
Strix leptogrammica
Kukuk beluk
Beluk ketupa
TD
TT
LC
Survey (informasi)
38
Treron curvirostra
Tagok
Punai
TD
TT
LC
Laporan
39
Treron fulvicollis
Punai tanah/daun
Punai bakau
TD
TT
NT
Survey (langsung)
40
Treron vernans
Punai hijau
Punai gading
TD
TT
LC
Laporan
C
Reptil 1
Varanus salvator
Biawak
Biawak
TD
App. II
NT
Survey (langsung)
3
Cuora amboinensis
App.II
LC
Survey (informasi)
Amyda cartilaginea
Kura-kura Labi-labi
TD
4
Kura batok Bidawang, Bulus
TD
App. II
T
Survey (informasi)
5
Naja sp Tropidolaemus subannulatus
Tadung
Ular kobra
TD
App. II
TT
Laporan
6
Ular gambut
Ular wagleri
TD
TT
TT
Survey (langsung)
7
Ptyas corros
App.II
LC
Survey (informasi)
8
Ular tikus Ular banyu/sawa
TD
Python reticulatus
TD
App.II
LC
Survey (informasi)
Sumber: Pengamatan langsung melalui survey dan data-data yang di rekapitulasi dan diolah berdasarkan laporan final identifikasi dan analisis keberadaan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di areal perkebunan kelapa sawit yang diteliti (PT.A, PT.B, PT.C).
98
Lampiran 11 Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Selama 1 Daur Pengelolaan (25 tahun) Tahun Investasi Awal
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
Kelas Lahan Gambut 2007
2008
2009
2010 3
2011 4
2012 5
2013 6
2014 7
2015 8
2016 9
2017 10
2018 11
2019 12
Kedalaman Gambut 0-3 meter (LGDang)
0
1
2
5.7
11.3
17.7
23.7
25.7
26.7
27.7
27.7
27.7
27.7
Kedalaman Gambut > 3 meter (LGDal)
5
9
14
19
21
22
23
23
23
23
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
Kelas Lahan Gambut 2020 13
2021 14
2022 15
2023 16
2024 17
2025 18
2026 19
2027 20
2028 21
2029 22
2030 23
2031 24
2032 25
Kedalaman Gambut 0-3 meter (LGDang)
27.7
26.7
26.7
26.7
26.7
25.7
25.7
25.7
24.7
24.7
22.3
22.3
21.3
Kedalaman Gambut > 3 meter (LGDal)
23
22
22
22
22
21
21
21
20
20
18
18
18
99
Lampiran 12
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Semak belukar (B) (rupiah per ha per tahun) Investasi
Biaya-Pendapatan (Rp)
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Semak Belukar (B) Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
7963476
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
1120000
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
0
680000
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
22811923
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
5.7
11.3
17.7
23.7
25.7
26.7
27.7
27.7
27.7
27.7
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
Pendapatan TBS
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
TOTAL PENDAPATAN
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS
100
Lanjutan lampiran 12…… Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Semak Belukar (B) Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
Produksi TBS
27.7
26.7
26.7
26.7
26.7
25.7
25.7
25.7
24.7
24.7
22.3
22.3
21.3
Harga TBS
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
Pendapatan TBS
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL PENDAPATAN
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL BIAYA (Cost)
101
Lampiran 13
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Hutan sekunder (Hs) (rupiah per ha per tahun) Investasi
Biaya-Pendapatan (Rp)
2007
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2008
0
1
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Hutan Sekunder (Hs) Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
8900000
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
1120000
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
0
680000
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
23748447
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
5.7
11.3
17.7
23.7
25.7
26.7
27.7
27.7
27.7
27.7
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
Pendapatan TBS
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
TOTAL PENDAPATAN
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS
102
Lanjutan lampiran 13 ……. Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Hutan Sekunder (Hs) Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
Produksi TBS
27.7
26.7
26.7
26.7
26.7
25.7
25.7
25.7
24.7
24.7
22.3
22.3
21.3
Harga TBS
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
Pendapatan TBS
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL PENDAPATAN
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL BIAYA (Cost)
103
Lampiran 14
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Tanah terbuka (T) (rupiah per ha per tahun) Investasi
Biaya-Pendapatan (Rp)
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Tanah Terbuka (T) Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
7500000
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
1120000
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
0
680000
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
22348447
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
5.7
11.3
17.7
23.7
25.7
26.7
27.7
27.7
27.7
27.7
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
Pendapatan TBS
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
TOTAL PENDAPATAN
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS
104
Lanjutan lampiran 14 …….. Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Tanah Terbuka (T) Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
Produksi TBS
27.7
26.7
26.7
26.7
26.7
25.7
25.7
25.7
24.7
24.7
22.3
22.3
21.3
Harga TBS
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
Pendapatan TBS
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL PENDAPATAN
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL BIAYA (Cost)
105
Lampiran 15
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan Hutan primer (Hp) (rupiah per ha per tahun) Investasi
Biaya-Pendapatan (Rp)
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Hutan Primer (Hp) Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
8900000
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
1120000
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
0
680000
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
23748447
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
5.7
11.3
17.7
23.7
25.7
26.7
27.7
27.7
27.7
27.7
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
Pendapatan TBS
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
TOTAL PENDAPATAN
6084251
12411872
19734876
26966033
29829750
31611787
33453173
34122237
34804681
35500775
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS
106
Lanjutan lampiran 15 …….. Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Hutan Primer (Hp) Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
Produksi TBS
27.7
26.7
26.7
26.7
26.7
25.7
25.7
25.7
24.7
24.7
22.3
22.3
21.3
Harga TBS
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
Pendapatan TBS
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL PENDAPATAN
36210791
35600006
36312006
37038246
37779011
37089544
37831335
38587962
37826226
38582750
35631691
36344325
35411306
TOTAL BIAYA (Cost)
107
Lampiran 16 Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Semak belukar (B) (rupiah per ha per tahun) Investasi Biaya-Pendapatan (Rp)
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambut LGDal (> 3 m), Tuplah Semak Belukar Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
10900000
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
1120000
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
0
680000
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
25748447
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS
5
9
14
19
21
22
23
23
23
23
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
Pendapatan TBS
5368457
9856487
15638959
21648787
24406159
26079724
27810469
28366679
28934012
29512693
TOTAL PENDAPATAN
5368457
9856487
15638959
21648787
24406159
26079724
27810469
28366679
28934012
29512693
Harga TBS
108
Lanjutan lampiran 16……….
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDal (> 3 m), Tuplah Semak Belukar Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS
23
22
22
22
22
21
21
21
20
20
18
18
18
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
Pendapatan TBS
30102946
29370005
29957405
30556553
31167684
30345991
30952911
31571969
30669913
31283311
28718079
29292441
29878290
TOTAL PENDAPATAN
30102946
29370005
29957405
30556553
31167684
30345991
30952911
31571969
30669913
31283311
28718079
29292441
29878290
Harga TBS
109
Lampiran 17 Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Hutan sekunder (Hs) (rupiah per ha per tahun) Investasi Biaya-Pendapatan (Rp)
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
Gambut LGDal ( > 3 m), Tuplah Hutan sekunder (Hs) Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
11900000
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS
1120000
0 1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
26748447
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
5
9
14
19
21
22
23
23
23
23
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
Pendapatan TBS
5368457
9856487
15638959
21648787
24406159
26079724
27810469
28366679
28934012
29512693
TOTAL PENDAPATAN
5368457
9856487
15638959
21648787
24406159
26079724
27810469
28366679
28934012
29512693
Harga TBS
110
Lanjutan lampiran 17………. Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDal ( > 3 m), Tuplah Hutan sekunder (Hs) Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
23
22
22
22
22
21
21
21
20
20
18
18
18
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
Pendapatan TBS
30102946
29370005
29957405
30556553
31167684
30345991
30952911
31571969
30669913
31283311
28718079
29292441
29878290
TOTAL PENDAPATAN
30102946
29370005
29957405
30556553
31167684
30345991
30952911
31571969
30669913
31283311
28718079
29292441
29878290
TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS
111
Lampiran 18 Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Tanah terbuka (T) (rupiah per ha per tahun) Investasi Biaya-Pendapatan (Rp)
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambut LGDal ( > 3 m ), Tuplah Tanah Terbuka (T) Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
10500000
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
1120000
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
0
680000
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
25348447
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS
5
9
14
19
21
22
23
23
23
23
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
Pendapatan TBS
5368457
9856487
15638959
21648787
24406159
26079724
27810469
28366679
28934012
29512693
TOTAL PENDAPATAN
5368457
9856487
15638959
21648787
24406159
26079724
27810469
28366679
28934012
29512693
Harga TBS
112
Lanjutan lampiran 18………. Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDal ( > 3 m ), Tuplah Tanah Terbuka (T) Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
23
22
22
22
22
21
21
21
20
20
18
18
18
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
Pendapatan TBS
30102946
29370005
29957405
30556553
31167684
30345991
30952911
31571969
30669913
31283311
28718079
29292441
29878290
TOTAL PENDAPATAN
30102946
29370005
29957405
30556553
31167684
30345991
30952911
31571969
30669913
31283311
28718079
29292441
29878290
TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS
113
Lampiran 19 Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan Hutan primer (Hp) (rupiah per ha per tahun) Investasi Biaya-Pendapatan (Rp)
Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambut LGDal ( > 3 m ), Tuplah Hutan Primer (Hp) Biaya: Pembelian lahan
5000000
Sertifikat lahan
2000000
Land clearing
11900000
Investasi tanaman
4438799
Investasi non tanaman
1119648
Pemeliharaan
1050000
Panen transport Biaya umum TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS Pendapatan TBS TOTAL PENDAPATAN
1120000
0
1180000
1250000
4580000
4860000
5150000
5460000
5830000
6170000
6540000
6940000
7390000
0
0
1360000
2120000
2840000
3080000
3200000
3320000
3320000
3320000
3320000
1240000
1310000
1390000
1470000
1560000
1650000
1750000
1860000
1970000
2090000
2210000
2350000
2490000
26748447
2430000
2570000
3400000
7500000
8630000
9740000
10400000
11000000
11580000
12070000
12610000
13200000
5
9
14
19
21
22
23
23
23
23
1074
1095
1117
1139
1162
1185
1209
1233
1258
1283
5368456.72
9856486.53
15638958.6
21648787
24406159
26079724
27810469.3
28366678.7
28934012.3
29512692.5
5368457
9856487
15638959
21648787
24406159
26079724
27810469
28366679
28934012
29512693
114
Lanjutan lampiran 19………. Tahun Panen TBS ( produksi ton/ha) Biaya-Pendapatan (Rp)
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Gambut LGDal ( > 3 m ), Tuplah Hutan Primer (Hp) Biaya: Pembelian lahan Sertifikat lahan Land clearing Investasi tanaman Investasi non tanaman Pemeliharaan
7320000
7750000
8220000
8720000
9240000
9790000
8530000
9040000
9580000
10160000
10760000
11410000
12090000
Panen transport
3320000
3200000
3200000
3200000
3200000
3080000
3080000
3080000
2960000
2960000
2680000
2680000
2560000
Biaya umum
2640000
2790000
2960000
3140000
3330000
3530000
3740000
3960000
4200000
4450000
4720000
5000000
5300000
13280000
13740000
14380000
15060000
15770000
16400000
15350000
16080000
16740000
17570000
18160000
19090000
19950000
23
22
22
22
22
21
21
21
20
20
18
18
18
1309
1335
1362
1389
1417
1445
1474
1503
1533
1564
1595
1627
1660
30102946.4
29370005.1
29957405.2
30556553.3
31167684.4
30345990.9
30952911
31571969
30669912.6
31283310.9
28718079.4
29292441
29878289.8
30102946
29370005
29957405
30556553
31167684
30345991
30952911
31571969
30669913
31283311
28718079
29292441
29878290
TOTAL BIAYA (Cost) Produksi TBS Harga TBS Pendapatan TBS TOTAL PENDAPATAN
115
Lampiran 20 Perbandingan hasil analisis kelayakan financial pada kedalaman gambut (LGDang & LGDal) dan berbagai tutupan lahan (semak belukar, hutan sekunder, tanah terbuka & hutan primer) sebelum dan setelah memperhitungkan biodiversity loss & biodiversity gain berdasarkan parameter NPV (Rp), IRR (%) dan PBP (Tahun)
Parameter Kelayakan Finansial
NPV (rp) IRR (%) PBP (thn)
Parameter Kelayakan Finansial
NPV (rp) IRR (%) PBP (tahun)
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Semak Belukar (B)
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Hutan Sekunder (Hs)
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Tanah Terbuka (T)
Sebelum BioLoss
Sebelum BioLoss
Sebelum BioGain
Setelah BioLoss
Setelah BioLoss
Setelah BioGain
Gambut LGDang (0-3 m), Tuplah Hutan Primer (Hp) Sebelum BioLoss
Setelah BioLoss
278834174
278246174
277897650
183779650
279297650
282597650
277897650
89141650
38
38
37
15
38
41
37
9
4.47
4.5
4.52
7.9
4.45
4.3
4.52
10.7
Gambut LGDal (> 3 m), Tuplah Semak Belukar (B) Sebelum BioLoss 221158287
Setelah BioLoss 220570287
Gambut LGDal (> 3 m), Tuplah Hutan Sekunder (Hs)
Gambut LGDal (> 3 m), Tuplah Tanah Terbuka (T)
Gambut LGDal (> 3 m), Tuplah Hutan Primer (Hp)
Sebelum BioLoss
Sebelum BioGain
Sebelum BioLoss
220158287
Setelah BioLoss 126040287
221558287
Setelah BioGain 224858287
220158287
Setelah BioLoss 40320287
32
32
32
13
33
35
32
8
4.99
5.0
5.04
8.8
4.97
4.8
5.04
11.8
116
117
Lampiran 21 Perbandingan parameter kelayakan finansial (NPV,IRR, PBP) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalaman lahan gambut (LGDang) 0-3 mt dengan berbagai tutupan lahan
118
Lampiran 22 Perbandingan parameter kelayakan finansial (NPV,IRR, PBP) pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalaman lahan gambut (LGDal) > 3 mt dengan berbagai tutupan lahan
119
Lampiran 23 Daftar kuesioner PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERWAWASAN KONSERVASI: (Studi Kasus Perkebunan Kelapa Sawit Di Propinsi Kalimantan Tengah) 1. KETERANGAN LOKASI NO PERTANYAAN 1 Kabupaten/KotA 2 Kecamatan 3 Kelurahan/Desa 4 Nama Pewawancara 5 Nama Responden 6 Alamat Responden
PENJELASAN : : : : : :
2. LATAR BELAKANG RESPONDEN NO PERTANYAAN PENJELASAN 1 Jenis Kelamin : laki2/perempuan 2 Berapa umur I/B/S : 3 Apa status perkawinan : a) Belum kawin I/B/S b) Kawin c) Cerai hidup /cerai mati 4 Pendidikan Terakhir IBS : a) Tidak pernah sekolah b) SD/MI c) SLTP/MTS d) SLTA/MA e) Diploma/Akademi f) Sarjana 5 Berapa juml;ah anggota : ………………….. orang rumah tangga I/B/S 6 Sudah berapa lama : …………….. Tahun Bpk/Ibu/ tinggal di Desa ini 7 Apakah pekerjaan utama : a) Pegawai Negeri I/B/S b) Pegawai Sawsta c) Petani d) Pengrajin e) Perdagangan f) Pekerja keluarga, g) Lainnya , sebutkan …………… 8 Berapakah penghasilan : a) kurang dari Rp, 200.00,Bpk/Ibu/Sdr rata – rata b) > Rp.200.000,- Rp.400 . 000 ,dalam 1 bulan dari c) > Rp.400.000,-Rp.600,000,pekerjaan utama d) > Rp.600.000,-Rp.800,000,e) > Rp,800.000,- Rp.1 Juta ,f) > Rp. 1 Juta
120
3. PANDANGAN RESPONDEN/MASYARAKAT TERHADAP HUTAN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI NO PERTANYAAN PENJELASAN 1 Bagaimana penilaian / pendapat : a) Baik sekali Bpk/Ibu/Sdr Mengenai kondisi hutan di b) Cukup baik sekitar / dekat tempat tinggal c) Sudah mulai rusak Bpk/Ibu/Sdr ? d) Rusak sekali 2 Menurut Bpk/Ibu/Sdr I, hutan di sekitar a) Pemerintah /dekat tempat tinggal Bpk/Ibu/Sdr ini b) Masyarakat Adat milik siapa ? c) Pengusaha d) Tidak tahu 3 Apakah Bpk/Ibu/Sdr ,mengetahui batasa) Tahu batas kawasan hutan di sekitar / dekat b) Sedikit tahu tempat tinggal Bpk/Ibu/Sdr ? c) Tidak tahu 4 Bagi Bpk/Ibu/Sdr, apa fungsi dan a) Sumber Makanan manfaat hutan yang di rasakan di b) Sumber Persediaan Air sekitar/ dekat tempat tinggal c) Mencegah Terjadinya Bencana: Bpk/Ibu/Sdr ini ? Banjir, Longsor d) Tidak Tahu 5 Apa yang Bpk/Ibu/Sdr, lakukan dalam a) Mengambil kayu bakar memanfaat hutan? b) Mengambil bahan kayu untuk bahan bangunan c) Mengambil bahan kayu untuk dijual d) Mengambil sayur-sayuran buah2an dan hewan untuk di konsumsi sendiri e) Mengambil sayur-sayuran, buah2an dan hewan untuk dijual f) Mengambil bahan non kayu untuk konsumsi sendiri g) Mengambil bahan non kayu untuk dijual h) Tidak pernah melakukan apa2 i) Lainnya ………………….. 6 Apa nama jenis yang diburu/ Sebutkan nama jenisnya: dimanfaatkan dari hutan sekitar tempat ……………………………………….. tinggal: a) Jenis satwaliar ……………………………………….. b) Jenis pohon/kayu c) Jenis hasil hutan lainnya (kayu api, ……………………………………….. rotan, getah, tanaman obat, dll) d) Jasa air 7 Apabila untuk dikonsumsi sendiri, ……………………………………….. berapa banyak yang dimanfaatkan? 8 Apabila untuk di jual: a) Berapa harga jualnya (Rp)?, ……………………………………….. b) Berapa banyak biasa terjual? ……………………………………….. c) Seberapa sering (per hari,/mgg/bln) ……………………………………….
121
4. PERSEPSI RESPONDEN TERHADAP PILIHAN PENGELOLAAN HUTAN, MEMPERTAHANKAN KEBERADAAN HUTAN NO 1
2
3
4
5 6
PERTANYAAN Apakah Bapak / Ibu / Sdr, setuju jika pemanfaatan hutan dilarang untuk 20 tahun mendatang , agar hutan dapat tumbuh lebih baik ? Jika setuju, apa alasannya bagi Bapak/Ibu/Sdr, menyetujui larangan tersebut Apakah Bapak /Ibu/Sdr ,setuju jika bapak diminta untuk mengurangi pengambilan hasil hutan separoh dari yang diambil sekarang Apakah Bapak /Ibu/Sdr perlu mempertahankan jenis tumbuhan, hewan (satwa) dan tempat-tempat indah yang belum pernah dimanfaatkan dan didatangi, agar tetap ada dan lestari untuk dimanfaatkan pada masa datang Apakah bersedia menyumbang sebagai wujud berpatisipasi Berapa besarnya sumbangan yang akan diberikan
PENJELASAN a) Setuju b) Tidak setuju
a) Agar hutan bisa tumbuh lebih baik b) Agar hutan dapat lebih banyak di panen a) Setuju b) Tidak setuju
122
5. PERSEPSI MENGENAI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT NO 1
2
3
4
5
PERTANYAAN Bagaimana penilaian / pendapat Bpk/Ibu/Sdr , jika hutan di sekitar / dekat tempat tinggal Bpk/Ibu/Sdr , dijadikan Perkebunan Kelapa Sawit ? Jika setuju, Bagi Bpk/Ibu/Sdr, apa fungsi dan manfaat jika ada perkebunan kelapa sawit di sekitar / dekat rtempat tinggal Bpk/Sdr ini ?
Jika dijadikan Perkebunan Kelapa Sawit , maka hutan di sekitar / dekat tempat tinggal Bpk/Ibu/Sdr , akan di tebang habis , apa pendapat atau reaksi Bpk/Ibu/Sdr, ? Menurut Bapak / Ibu / Sdr, lebih menguntungkan mana antara tetap menjadi hutan atau menjadi perkebunan kelapa sawit Menurut Bapak / Ibu / Sdr, Apakah jika dengan adanya perkebunan kelapa sawit dapat menyebabkan kerusakan lingkungan
PENJELASAN a) Setuju saja b) Tidak setuju c) Setuju bersyarat d) Tidak peduli a) Bisa Ikut Bekerja b) Bisa Berdagang di sekitar lokasi , c) Bisa menjadi pemasok keperluan perusaha d) Bisa menikmati fasilitas perusahaan e) Menambah Pendapatan Daerah f) Lainya ……………………….. a) Setuju saja b) Tidak setuju c) Biasa saja d) Tidak tahu a) Lebih menguntungkan tetap hutan , b) Lebih menguntungkan jika menjadi perkebunan kelapa sawit c) Sama saja d) Lainya ……………………… a) Merusak Lingkungan b) Tidak Merusak Lingkungan c) Tidak Terlalu Merusak Lingkungan d) Tidak Tahu
6. PERTANYAAN TAMBAHAN: ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………..
81
Lampiran 2 Peta sebaran areal konservasi Perkebunan PT. B di Kabupaten Kotawaringin Timur
82
Lampiran 3 Peta sebaran kawasan lindung (sempadan sungai dan areal bergambut) pada areal konsesi PT. C di Kabupaten Seruyan
91
Lampiran 8 Jenis tumbuhan teridentifikasi pada tutupan lahan hutan primer di kawasan konservasi No.
Nama lokal
1
Bangan
2
Bedaru
3
Behiju
4
Bentan
5
Berangan
6
Betapai
7
Bintangur
8
Bulu-Bulu
9
Butun
Nama jenis
Nama Famili
Kerapatan jenis (btng/ha) 25
Cantleya corniculata
Icacinaceae
12.5
Parastemon urophyllus
Rosaceae
12.5
350 12.5 12.5 Calophyllum pulcherrimum
Guttiferraceae
25 12.5
Cratoxylum formosum
Hypericaceae
137.5
10
Gambir
12.5
11
Gembor Natai
12.5
13
Gomi
12.5
14
Idat
Cratoxylon glaucum
Guttaceae
100
15
Idur
Pometia pinnata
Sapindaceae
12.5
16
Jamai
Rhodamnia cinerea
Myrtaceae
150
17
Jaring Tupai
18
Jejantik
19
Kapodu
12.5
20
12.5
21
Kariwaya Konsit Kariwaya Tingang
22
Kelantit Koring
12.5
23
Kemanjing
24
Kepayang
25
Ketikal
26
Kratakuai
27
Kumpang darah
28
Lelongu
29
25 Baccaurea sumatrana
Euphorbiaceae
12.5
12.5 Garcinia dioica
Guttferae
Ochanostachys amnetacea
Olacaceae
37.5 12.5 12.5 12.5
Knema conferta
Myristicaceae
12.5
Lowari
Schima wallichii
Theaceae
30
Medang
Litsea sp
Lauraceae
31
Melukan
32
Mendoking
25
33
Nasi-Nasi
25
34
Pamai
25
35
Pempaning
12.5 37.5 75 12.5
Quercus bennettii
Fagaceae
112.5
92
Lanjutan lampiran 8……… No.
Nama lokal
Nama jenis
Nama Famili
Kerapatan jenis (btng/ha)
36
Pudu
12.5
37
Rampuk Gigi
62.5
38
Rasak
39
Riga-Riga
12.5
40
Senala
12.5
41
Sensambil
12.5
42
Sesugi Babi
12.5
43
Tentamo
44
Ubar Merah
Vattica rassak
Diphterocarpacea
12.5
25 Syzigium lineatum
Myrtaceae
25
Lokasi: Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting (kawasan konservasi)
93
Lampiran 9 Jenis tumbuhan teridentifikasi pada tutupan lahan hutan sekunder (areal konservasi) di perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B, dan PT.C No.
Nama lokal
Nama jenis
Nama Famili
Kerapatan jenis (btng/ha)
1
Asam-asam
Garcinia parvifolia
Clusiaceae
25
2
Batu
Dacryodes costata
Burseraceae
25
3
Bedaru
Cantleya corniculata
Icacinaceae
37.5
4
Getah merah
Palaquium borneensis
Sapotaceae
75
5
Idat
Cratoxylon glaucum
Guttaceae
12.5
6
Jambu-jambuan
Eugenia sp
Myrtaceae
37.5
7
Jelutung
Dyera constulata
Apocynaceae
25
8
Kantung semar
Nepenthes gracilis
Nepenthaceae
12.5
9
Kempas
Koompassia malaccensis
Fabaceae
10
Ketiau
Ganua montleyana
Sapotaceae
11
Laban
12.5
12
Lanan
25
13
Lowari
Schima wallichii
Theaceae
14
Medang
Litsea sp
Lauraceae
37.5
15
Meranti
Shorea brunescens
Dipterocarpaceae
37.5
16
Pavung
17
Perapat
18
Pudu
19
Ramin
Gonystilus bancanus
Thymelaeaceae
20
Rasak
Vattica rassak
Diphterocarpacea
21
Rengas
Gluta renghas
Anacardiacea
22
Sindur
23
Tembaras
24
Tepus
25
Terantang
Campnosperma macrophylla
Anacardiacea
12.5
26
Ubar
Syzigium lineatum
Myrtaceae
125
25 37.5
25
12.5 Garcinia balica
Clusiaceae
25 25 12.5 25 37.5 50
Memecylon sp
Melastomataceae
25 12.5
Lokasi: Areal konservasi perkebunan PT. A
94
Lanjutan lampiran 9 …….. No.
Nama lokal
Nama jenis
Nama Famili
Kerapatan jenis (btng/ha)
1
Angrong
12.5
2
Asam-asam
Garcinia parvifolia
Clusiaceae
37.5
3
Batu
Dacryodes costata
Burseraceae
12.5
4
Bekacang
5
Butun
6
Duren
7
Kruing
Dipterocarpus grandiflorus
Dipterocarpaceae
8
Lowari
Schima wallichii
Theaceae
9
Mahang
Macarenga hypoleuca
Euphorbiaceae
10
Medang
Litsea sp
Lauraceae
11
Merang
12
Panempelaan
100
13
Pelawan
37.5
14
Pempaning
Quercus bennettii
Fagaceae
50
15
Pisulan
Kibessia sp
Melastomataceae
25
16
Pudu
17
Rengas
18
Sirih hutan
19
Ubar
Syzigium lineatum
Myrtaceae
275
20
Ulin
Eusiredoxylon zwagerii
Lauraceae
25
25 Cratoxylum formosum
Hypericaceae
12.5 62.5 50 150 112.5 100 25
25 Gluta renghas
Anacardiacea
50 62.5
Lokasi: Areal konservasi perkebunan PT.B
95
Lanjutan lampiran 9 ……..
No.
Nama lokal
Nama jenis
Nama Famili
Kerapatan jenis (btng/ha)
1
Asam
Garcinia parvifolia
Clusiaceae
12.5
2
Butun
Cratoxylum formosum
Hypericaceae
37.5
3
Gaharu
Aquilaria malaccensis
Thymelaeaceae
4
Idat
Cratoxylon glaucum
Guttaceae
37.5
5
Jambu-jambuan
Eugenia sp
Myrtaceae
62.5
6
Kantong semar
Nepenthes gracilis
Nepenthaceae
7
Keruing
Dipterocarpus grandiflorus
Dipterocarpaceae
8
Kumpang darah
Knema conferta
Myristicaceae
9
Laban
25
25 62.5 137.5 25
10
Medang
Litsea sp
Lauraceae
150
11
Mendarahan
Myristicaceae maxima
Myristicaceae
125
12
Meranti
Shorea brunescens
Dipterocarpaceae
100
13
Mersawa
Anisoptera marginata
Dipterocarpaceae
37.5
14
Pelawi
15
Pempaning
Quercus bennettii
Fagaceae
62.5
16
Tengkawang
Shorea pinanga
Dipterocarpaceae
12.5
17
Tumih
Combretocarpus rotundatus
Dipterocarpaceae
25
18
Ubar
Syzigium lineatum
Myrtaceae
175
19
Ulin
Eusiredoxylon zwagerii
Lauraceae
12.5
62.5
Lokasi: Areal konservasi perkebunan PT.C
123
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 1 Juli 1967 sebagai putra kedua dari empat bersaudara dari ayah H. Mohammad Arief (alm) dan ibu Hj. Siti Aminah (alm). Pendidikan sekolah dasar di SD Negeri No.72 Kota Balikpapan tamat tahun 1980, kemudian menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 4 Balikpapan pada tahun 1983 dan lulus dari SMA Negeri 2 Kota Balikpapan pada tahun 1986. Penulis diterima di IPB melalui jalur undangan PMDK pada tahun 1986 dan lulus pada tahun 1990. Tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 di Sekolah Pascasarjana (SPs)-IPB dan diterima pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) dengan kekhususan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan selesai pada tahun 2007. Kesempatan kembali diraih untuk melanjutkan ke jenjang S3 (Doktor) di SPs IPB pada program studi/mayor Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) pada tahun 2008. Kesempatan melanjutkan pendidikan S2 dan S3 diperoleh atas beasiswa pendidikan dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (cq Pusdiklat Kehutanan). Selama mengikuti program S-3, penulis mengikuti program pertukaran mahasiswa ”visiting scholar” di Ehime University, Matsuyama-Japan selama 3 bulan (Januari-April 2011) hasil kerjasama antara IPB dengan Perguruan Tinggi di Jepang, mengikuti Meeting of the Standing Committee Working Group on CITES and Livelihoods di Lima-Peru pada bulan September 2012 sebagai delegasi perwakilan dari CITES Management Authority of Indonesia. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan sejak tahun 1994 yaitu sebagai staf di Sub Direktorat Konservasi jenis (Ditjen PHPA) di Jakarta, Kepala Seksi Konservasi pada Taman Nasional Tanjung Puting (2000-2001), Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng di Palangka Raya (2001-2004) dan terakhir sebagai Kepala Sub Bag Tata Usaha pada BKSDA Provinsi Kalimantan Tengah (2004-2006). Dalam Disertasi ini terdapat 2 bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke berkala ilmiah. Bab 2 berjudul “Analisis Penggunaan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan sebagai Pendekatan dalam Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi” yang akan diterbitkan dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan pada Volume 10 Nomor 3 Tahun 2013, dan bagian pengembangan dari Bab 3 yang berjudul “The Comparison of Diversity Potentials Between Plants and Wildlife Living in the Oil Palm Plantations and in Forested Areas Surrounding the Plantation” yang masih dalam proses pada Jurnal Biotropia. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis, dan merupakan bagian dari Disertasi yang berjudul ”Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi“ dibawah bimbingan Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Sc.Agr. dan Dr. Ir. Tri Wismiarsi, M.Sc, masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing.