Bab IV
Pengumpulan dan Pengolahan Data
IV.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa cara , yaitu melalui studi lapangan atau laboratorium dan dari berbagai sumber yang berbeda (Sekaran, 2003). Pengumpulan data melalui studi lapangan dapat dilakukan dengan melakukan wawancara (interview) atau melalui kuesioner. Wawancara merupakan proses interaksi dan komunikasi dengan cara bertanya langsung baik bertemu langsung ataupun melalui media misalnya telepon, teleconference atau chatting kepada responden untuk mendapatkan informasi
Wawancara terdiri dari dua jenis yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara yang terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun dan fokus pada faktor-faktor yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Wawancara yang tidak terstruktur adalah wawancara yang tidak menggunakan rangkaian pertanyaan yang terencana dengan tujuan mendapatkan informasi awal yang mendasari peneliti menentukan variabelvariabel yang memerlukan penelitian secara lebih mendalam (Sekaran, 2003).
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara dengan petani, penyuling, koperasi, ketua Asosiasi Petani Podusen dan Pelaku Agribisnis Minyak Atsiri (AP3MA) Jawa Barat, dan lain-lain. Pengumpulan data juga dilakukan melalui kantor-kantor dinas antara lain, Agroindustri Jawa Barat, Bappeda Jawa Barat, Biro Pusat Statistik Jawa Barat, Kantor dinas Perkebunan Jawa Barat, Kantor dinas Perindustrian dan penanaman Modal Kabupaten Garut dan lain-lain.
IV.1.1. Karakteristik Wilayah Kabupaten Garut Kabupaten Garut, adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Garut. Kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Sumedang di Utara, kabupaten Tasikmalaya di Timur, Samudra Hindia di Selatan, serta kabupaten Cianjur dan kabupaten Bandung di Barat.Kabupaten Garut terdiri atas
56
42 kecamatan, yang dibagi lagi atas 420 desa dan 19 kelurahan. Pusat pemerintahan di kecamatan Garut. Sebagian besar wilayah kabupaten ini adalah pegunungan, kecuali di sebagian pantai Selatan berupa dataran rendah yang sempit. Di antara gunung-gunung di Garut adalah: Gunung Papandayan (2.262 m) dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya terletak di perbatasan dengan kabupaten Bandung, serta Gunung Cikuray (2.821 m) di Selatan kota Garut.
Gambar IV-1 Peta Kabupaten Garut
IV.1.2. Profil Minyak Atsiri Akar Wangi Akar wangi adalah hasil perkebunan rakyat atau tanah usaha pekebun yaitu usaha tani tanaman perkebunan yang dimiliki dan atau diselenggarakan oleh perorangan tidak berbadan hukum (Disbun Jabar, 2006). Perkebunan rakyat dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1. Pengelola tanaman perkebunan yaitu perkebunan rakyat yang diusahakan tidak secara komersial dan mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih besar dari batas minimal usaha (BMU). 2. Pemelihara tanaman perkebunan yaitu perkebunan rakyat yang diusahakan tidak secara komersial dan mempunyai jumlah pohon yang lebih kecil dari batas minimal usaha (BMU).
57
Akar wangi adalah tanaman perkebunan rakyat yang termasuk tanaman semusim yaitu tanaman perkebunan yang pada umumnya berumur pendek dan panennya dilakukan satu atau beberapa kali masa panen untuk satu kali penanaman (Disbun Jabar, 2006). Hasil produksi minyak atsiri akar wangi Kabupaten Garut dan harga rata-rata pada periode 1997 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada Tabel IV-1.
Tabel IV-1. Produksi dan Harga Rata-rata Minyak Atsiri Akar Wangi Garut Harga Rata-rata Tahun Volume (Kg) (Rp./Kg) 1997 30,000 32,000.00 1998 35,000 60,000.00 1999 22,500 80,000.00 2000 30,000 125,000.00 2001 35,000 112,000.00 2002 25,000 95,000.00 2003 28,000 85,000.00 2004 35,550 162,500.00 2005 36,650 147,500.00 Sumber: Disperindag & PM Kabupaten Garut, 2005
IV.1.3. Potensi Minyak Atsiri Akar Wangi Akar wangi merupakan tanaman khas Kabupaten Garut, yang sebagian besar (± 90%) diusahakan di wilayah ini. Tanaman ini dapat tumbuh subur di ketinggian 400 sampai dengan 1300 m dari permukaan laut, dengan kondisi tanah yang subur dan berpasir, umur tanaman dapat dipanen minimal umur 12 sampai 24 bulan (Disbun Jabar, 2007).
Mengingat komoditas ini memiliki arti penting bagi perekonomian daerah, maka wilayah maupun luas areal tanaman diatur dengan Surat Keputusan Bupati Garut No. 520/SK.196/HUK/90, tentang penempatan areal tanaman akar wangi. Berdasarkan Surat Keputusan ini luas areal yang diizinkan adalah 2400 Ha tersebar di empat kecamatan sebagai berikut:
1. Kecamatan Samarang
:
1200 Ha
2. Kecamatan Cilawu
:
250 Ha
58
3. Kecamatan Bayongbong
:
200 Ha
4. Kecamatan Leles
:
750 Ha
Produktivitas lahan/Ha mencapai 12 sampai dengan 15 ton akar basah dengan produksi rata-rata 11,6 ton/Ha (Damanik ,1995), sedangkan rendemen akar jika disuling mencapai rata-rata 0,3 %. Variasi rendemen akar pada umumnya dipengaruhi oleh kesuburan tanah, teknik budidaya pemanenan. Dari areal luas 2400 Ha telah dibudidayakankan tanaman akar wangi mencapai 1700 Ha, sedangkan sisanya digunakan untuk pertanian dalam arti umum (Disperindag & PM Garut, 2007)
Potensi IKM minyak atsiri akar wangi Kabupaten Garut dengan jumlah unit penyulingan yang diijinkan adalah adalah 45 unit: 1. Kecamatan Samarang
:
16 unit
2. Kecamatan Cilawu
:
8 unit
3. Kecamatan Bayongbong
:
7 unit
4. Kecamatan Leles
:
14 unit
Akan tetapi kondisi sekarang ini dari potensi yang ada, luas areal yang ditelah ditanami tanaman akar wangi 1700 Ha. Jumlah unit usaha penyulingan akar wangi adalah: 1. Kecamatan Samarang
: 9 unit, jumlah ketel suling 15 unit
2. Kecamatan Cilawu
: 6 unit, jumlah ketel suling 6 unit
3. Kecamatan Bayongbong : 5 unit, jumlah ketel suling 10 unit 4. Kecamatan Leles
: 9 unit, jumlah ketel suling 12 unit
Dari 29 unit usaha (43 unit ketel suling) mampu menghasilkan produk sebanyak 59,65 ton minyak atsiri akar wangi per tahun. Sedangkan IKM Minyak atsiri akar wangi yang sudah ada di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel IV-4.
59
Tabel IV-2. IKM Minyak Atsiri Akar Wangi Kabupaten Garut No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Nama PerusahaanPemilik "Usar Patrol"H. Yayat "Hardja Laksana" H. Apud "Patrol Wangi" Amid "Rosi Wangi" Andi "Mitra Mandiri" Engkos Koswara "PD Osid" Osid "PD Lancar" Ajah Juhana "PD Sanggar Aroma" Ajun Sondjaya H. Ede Kadarusman, SE H. Asep Tanu Demsi Tete Daman Edih Didin "UD Astrid Aromatik" Ahmad Sobari "PD Ciseupan Jaya" Dodi "PD Setia Wangi Jaya Aman" Suhria "KPM Kec. Bayongbong" H. Abdullah S. Rosadi "PD Usar Wangi" "PD Jalan Terus" Risam Hadiyanto "PD Cidangan Sari" Uum Surahman "PD Akar Wangi Cibogo" Nandang "PD Jalan Terang" Setiawan Yoso Sudarmo
Kecamatan Leles Leles Leles Leles Leles Leles Samarang Samarang Samarang Samarang Samarang Samarang Samarang Samarang Samarang Samarang Samarang Bayongbong Bayongbong
Jumlah Tenaga Kerja 4 6 3 3 3 4 4 4 6 4 4 3 3 3 3 4 3 4 4
Bayongbong Bayongbong Cilawu Cilawu Cilawu Cilawu Cilawu
10 3 4 5 4 4 4
Sumber: Disperindag & PM Kab. Garut, 2006
IV.1.4. Kondisi Sekarang Minyak Atsiri Akar Wangi Kondisi saat ini pengrajin yang aktif berproduksi hanya 15 orang dengan produksi 14,4 ton. Produk tersebut dipasarkan ke pedagang lokal (pengumpul) di Garut serta distributor (eksportir) di Jakarta. Proses produksi penyulingan terhadap akar tanaman dilakukan dengan menggunakan peralatan berupa: 1. Ketel perebusan 2. Tungku perebusan 3. Burner 4. Tangki BBM dan pipa penyaluran 5. kondensator dan bak pendingin
60
6. Separator (air dan minyak) 7. Tabung penampung minyak 8. Jerigen (packing)
Bahan pembantu utama adalah air sedangkan bahan bakar yang digunakan adalah minyak tanah. Penggunaan batu bara sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah masih dalam proses uji coba. Salah satu penentu kualitas minyak atsiri akar wangi yang dihasilkan dalam proses produksi adalah tinggi rendahnya tekanan. Kebanyakan industri penyulingan menggunakan tekanan pada kisaran 5 bar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk mempercepat proses produksi agar terjadi penghematan biaya produksi terutama penghematan bahan bakar. Akan tetapi teknik ini menyebabkan hasil produksi minyak atsiri akar wangi yang kurang bagus ditandai dengan bau gosong dan warna yang gelap.
Berdasarkan permintaan pasar sebagaimana yang telah dinformasikan Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Departemen Perindustrian dan beberapa pembeli bahwa pasar lebih mengutamakan minyak atsiri akar wangi yang dihasilkan dengan tekanan yang berkisar antara 3 sampai dengan 3,5 bar, karena minyak atsiri akar wangi yang dihasilkan lebih baik. Minyak atsiri akar wangi yang dihasilkan tidak berbau gosong dan warnanya coklat cerah bening (light brown) (Dumadi, 2006).
Kedua teknik tersebut memiliki kesamaan jumlah hasil yaitu setiap kali proses penyulingan terhadap 2,5 ton akar wangi dapat menghasilkan minyak atsiri akar wangi antara 6 sampai dengan 8 Kg, tergantung kepada kualitas akar wangi yang disuling. Minyak atsiri akar wangi yang dihasilkan IKM, kandungan vetiverol hasil sulingan relatif rendah, kotor dan bau gosong. Untuk diterima dipasaran dunia kualitas dan spesifikasi tertentu harus dipenuhi sesuai standar mutu minyak atsiri akar wangi untuk diekspor dapat dilihat pada Tabel IV-4.
61
Tabel IV-3. Standar Mutu Minyak Atsiri Akar Wangi No. Parameter Mutu Persyaratan 1. Warna Coklat kekuning- Coklat kemerahan 2. Bobot jenis 25• C/25• C 0,9765-1,0345 3. Indeks bias 25• C 1,5180-1, 5280 4. Putaran optik 17•-32• 5. Kelarutan dalam etanol 95% 1:1 jernih, seterusnya jernih 6. Bilangan asam 10-35 7. Bilangan Ester 5-25 8. Bilangan Ester setelah 100-150 9. Kadar kusimol 6-11% Sumber: Internasional Standard (ISO) 4716:2002 (E)
IV.1.5. Pemasaran Minyak Atsiri Akar Wangi Minyak atsiri akar wangi hasil penyulingan dimasukkan ke dalam jerigen plastik dengan kapasitas 30 Kg untuk kemudian dijual ke pedagang pengumpul. Minyak atsiri akar wangi yang dibeli dari pengusaha penyulingan yang sudah terkumpul kemudian oleh pedagang pengumpul dikemas dalam drum yang terbuat dari besi yang dilapisi sejenis cat di bagian dalam drum untuk mencegah karat atau mencegah kontaminasi terhadap minyak akar wangi dengan kapasitas 200 Kg. Kemudian dijual ke distributor (eksportir) tanpa pengolahan lebih lanjut.
Minyak atsiri akar wangi selain dijual kepada pembeli luar negeri juga dijual kepada industri kosmetika dalam negeri. Konsumsi domestik relatif sedikit, maka konsumen dalam negeri langsung membeli ke eksportir. Untuk menjaga mutu minyak akar wangi dan memenuhi permintaan konsumen luar negeri, maka dilakukan pengujian mutu/standarisasi. Penyeragaman mutu minyak akar wangi dilakukan pada blending tank
Minyak akar wangi yang akan diekspor harus dikemas dalam drum aluminium atau drum dari plat timah putih. Drum tersebut harus dalam keadaan baik bersih, kering, berukuran volume 200 liter, berat bersih 200 Kg. Bagian merk disebutkan produksi Indonesia, nama barang, nama perusahaan (eksportir), nomor drum, nomor lot, berat bersih, berat kotor, negara tujuan dan lain-lain yang diperlukan.
62
Kegiatan usaha tani akar wangi dan pengolahan menjadi minyak akar wangi merupakan kegiatan yang saling melengkapi dalam pengusahaan minyak akar wangi. Usaha tani dengan output akar wangi yang menjadi input untuk usaha penyulingan minyak atsiri akar wangi akar wangi. Akar wangi merupakan input untuk usaha penyulingan minyak atsiri akar wangi dengan output minyak atsiri akar wangi.
Komponen biaya produksi yang dikeluarkan pada pengusahaan minyak atsiri akar wangi terdiri dari biaya yang dikeluarkan pada kegiatan usaha tani dan biaya yang dikeluarkan pada kegiatan pengolahan. Sedangkan untuk seluruh kegiatan pengusahaan minyak atsiri akar wangi terdapat biaya lain yang harus dikeluarkan yaitu biaya tata niaga Biaya tata niaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan tempat, bentuk dan waktu (Suhardi, 2007).
Nilai tambah untuk jalur distribusi minyak atsiri akarwangi untuk petani dan penyuling adalah selisih harga jual dengan biaya produksi. Untuk pedagang pengumpul dan distributor terdapat biaya tata niaga. Biaya tata niaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang, yaitu kegunaan tempat, kegunaan bentuk dan kegunaan waktu (Suhardi, 2007). Komponen biaya yang termasuk dalam pengusahaan minyak akar wangi adalah biaya tata niaga. Biaya tata niaga terdiri dari biaya pengangkutan dan biaya penanganan.
IV.1.6. Jalur Distribusi Minyak Atsiri Akar Wangi A. Petani akar wangi 1. Petani ke petani 13 % dari total produksi tanaman akar wangi diolah langsung oleh petani. Petani akar wangi yang sekaligus mengolah akar wangi menjadi minyak atsiri akar wangi (penyuling minyak atsiri akar wangi). 2. Petani ke penyuling 60% dari total produksi tanaman akar wangi dijual oleh petani ke industri penyulingan untuk diolah mendapatkan minyak atsiri akar wangi. Petani
63
yang menjual akar basah dengan bongol dijual dengan harga Rp. 900,-. Petani yang menjual akar basah tanpa bongol dengan harga Rp. 2000,-. 3. Petani ke permintaan akhir, Petani yang menjual akar wangi langsung setelah dikeringkan sebesar 27% ke konsumen akhir dengan harga Rp. 10.000,-/Kg Nilai tambah yang terjadi pada rantai distribusi petani akar wangi diperoleh dari selisih antara total hasil penjualan akar dikurangi dengan biaya produksi usaha tani Akar wangi. B. Penyuling minyak atsiri akar wangi (penyuling) 1. Penyuling ke pedagang pengumpul Sebagian besar penyuling, menjual minyak atsiri akar wangi ke pengumpul (59,8% dari total produksi minyak akar wangi) karena volume minyak atsiri akar wangi yang dihasilkan tidak mencukupi untuk dijual ke distributor. Penyuling yang menjual minyak atsiri akar wangi ke pedagang pengumpul dengan harga berkisar Rp. 650.000,- sampai Rp. 700.000,-/Kg. 2. Penyuling ke distributor Penyuling yang menjual minyak atsiri akar wangi ke distributor harus dalam bentuk kemasan drum yang berkapasitas 200 Kg, sehingga hanya 40 % dari total produksi minyak akar wangi yang bisa dijual langsung ke distributor dengan harga Rp. 850.000,-/Kg. 3. Penyuling ke konsumen akhir Penyuling menjual minyak atsiri akar wangi ke konsumen akhir. Penyuling yang menjual minyak atsiri akar wangi (0,2 % dari total produksi minyak) ke konsumen dengan harga Rp. 1.000.000,-/Kg. Nilai tambah untuk rantai distribusi industri penyulingan minyak atsiri akar wangi dihitung berdasarkan selisih antara penjualan minyak atsiri akar wangi dikurangi dengan dengan biaya produksi penyulingan. C. Pedagang pengumpul (pengumpul) 1. Pedagang pengumpul ke distributor Pada tahap distributor terdapat tambahan biaya yang disebut dengan biaya tata niaga karena harus mengemas minyak atsiri akar wangi yang dikumpulkan dari penyuling dalam bentuk kemasan drum yang
64
berkapasitas 200 Kg. Pengumpul menjual minyak atsiri akar wangi ke distributor (90 % dari total minyak akar wangi) dengan harga berkisar Rp. 700.000,- sampai Rp. 750.000,-/Kg. 2. Pedagang pengumpul ke konsumen akhir Minyak atsiri akar wangi sebagian besar diekspor ke luar negeri, tetapi ada juga industri kosmetik dalam negeri yang membeli ke pengumpul (10 % dari total minyak akar wangi) dengan harga berkisar Rp. 900.000,- sampai Rp. 1.000.000,-/Kg Nilai tambah pedagang pengumpul berasal dari selisih harga jual ke distributor dengan harga beli dari penyuling tambah biaya tata niaga. D. Distributor 1. Distributor melakukan refraksinasi terhadap minyak atsiri untuk memurnikan minyak atsiri akar wangi supaya dapat meningkatkan mutunya sebelum dijual ke konsumen akhir. 2. Distibutor disini mempunyai posisi sebagai eksportir yang menjual minyak atsiri akar wangi ke konsumen akhir baik untuk dalam negeri maupun luar negeri. Pada permintaan pasar dunia terdapat perbedaan harga yaitu: a. Membeli langsung dari distributor b. Membeli melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Harga minyak atsiri akar wangi yang dijual langsung oleh distributor biasanya lebih murah daripada atas nama negara asal (Public Ledger, 2005) Pada rantai distribusi distributor terdapat biaya tata niaga yaitu biaya penanganan, pengemasan dan uji mutu. Nilai tambah distributor berasal dari selisih harga jual minyak atsiri akar wangi dikurangi dengan harga beli minyak dari penyuling tambah biaya tata niaga. Biaya tata niaga terdiri dari biaya pengemasan, pengujian mutu, dan biaya handling di pelabuhan (Suhardi, 2007).
65
IV.2. Pengolahan Data Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan dan setelah diolah dengan persamaan (3.1), (3.2) dan (3.3) (lihat Lampiran A) diperoleh Tabel IV-4 yaitu tabel input output jalur distribusi minyak atsiri akar wangi (jutaan rupiah).
Tabel IV-4. Tabel Input Output Jalur Distribusi Minyak Atsiri Akar Wangi Penyuling
Pengumpul
Distributor
Permintaan akhir
452.40
2,784.00
0
0
6,264.00
9,500.40
Penyuling
0
0
2,018.25
1,700.00
10.00
3,728.25
Pengumpul
0
0
0
9,396.00
1,368.00
10,764.00
Distributor Nilai tambah
0
0
0
4.64
2,448.00
2,452.64
91,524.00
3,203.25
10,756.80
2,443.36
Tot. Input
91,976.40
5,987.25
12,775.05
13,544.00
Petani Petani
Tot. Output
Berdasarkan hasil yang didapat pada Tabel IV-4 dilanjutkan membuat Tabel koefisien teknologi dengan menggunakan persamaan (3.7) dengan menggunakan software Excel (lihat Lampiran B).
Tabel IV-5. Tabel Koefisien Teknologi
Petani Penyuling Pengumpul Distributor
Petani 0.0049 0.0000 0.0000 0.0000
Penyuling Pengumpul 0.4650 0.0000 0.0000 0.1580 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Distributor 0.0000 0.1255 0.6937 0.0003
Untuk menghitung indeks daya penyebaran (Backward Linkages) dan indeks daya kepekaan (Forward Linkages) dibutuhkan unsur matriks invers Leontief dari jalur distribusi yang diberi notasi α persamaan (3.19) (lihat Lampiran C).
Pada Tabel IV-6 adalah hasil perhitungan dari angka keterkaitan ke belakang (Backward Linkages) dan keterkaitan ke depan (Forward Linkages) dari jalur
66
distribusi minyak atsiri akar wangi, menggunakan persamaan (3.23) dan persamaan (3.26) dengan menggunakan Software Phyton (Command Line) (lihat pada Lampiran D).
Tabel IV-6. Indeks Keterkaitan pada Rantai Jalur Distribusi Minyak Atsiri Akar Wangi
Kegiatan Petani Penyuling Pengumpul Distributor
Forward Linkages 1.1579 0.9687 1.1780 0.6954
Kegiatan Petani Penyuling Pengumpul Distributor
67
Backward Linkages 0.6989 1.0264 0.8567 1.4179