PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Manfaat Ibadah Haji (Telaah Terhadap Surat Al-Hajj Ayat ;28)”, yang ditulis oleh Rina Kurnia, NIM: 104034001210 telah diuji dan dinyatakan lulus, dalam sidang munaqasyah di Universitas Islam Negeri (UIN)
Fakultas Usuluddin dan Filsafat
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8
September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th.I) Program Strata Satu (S.1) pada Jurusan Tafsir Hadis. Sidang Munaqasyah, Ketua Merangkap Anggota,
Sekertaris Merangkap Anggota,
Dr. M. Suryadinata, MA
Rifqi Muhammad Fathi, MA
NIP.196009081989013005
NIP. 197701202003121003
Anggota, Penguji I
Penguji II
Dr. Bustamin, M.Si NIP. 196307011998031003
Dr. Lilik Ummi Kalsum, MA NIP.197110031999032001
Pembimbing,
Dr. M. Suryadinata, MA NIP.196009081989013005
MANFAAT IBADAH HAJI (TELAAH TERHADAP SURAT AL-HAJJ AYAT : 28)
Oleh : Rina Kurnia NIM: 104034001210
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang diberi nasihat, dan menjadikan kita pandai dari ilmunya ulama-ulama shaleh. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para shahabat beliau yang senantiasa memegang teguh syariatnya. Alhamdulillah, penulis telah berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban berupa sebuah skripsi yang dibebankan kepada setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya (S.1) di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah. Selain itu karya tulis ini, penulis persembahkan kapada Apa dan umi (alm H. M. Irta dan Hj Mardiah) tercinta yang dengan kasih sayang, doa dan dukungan selalu mengharapkan kesuksesan bagi penulis. Untuk itu, patut kiranya penulis ucapan terima kasih yang tulus dan menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada ; 1.
Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F. MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
2. Bapak H. Bustamin, M.Si, selaku ketua jurusan Tafsir Hadis, yang telah memberikan pengesahan judul yang penulis ajukan sekaligus ketua penguji skripsi saya. 3. Bapak DR. H. M. Suryadinata MA. Selaku pembimbing dan anggota penguji, yang sudah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan pengajaran kapada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. i
4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA sebagai penguji yang telah meluangkan waktunya di akhir Ramadhan di mana banyak orang yang sudah mudik (pulang kampung) tapi ibu dapat meluangkan waktunya untuk menguji saya. 5. Suamiku tercinta kanda Achmad Muhajir, MA. yang selalu menemani, mendampingi dan memberikan arahan dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. I Love You Full 6. Kedua orang tua penulis beserta keluarga semuanya, yang memberikan semangat dan dukungan baik materil maupun non materil 7. Bapak Muslim Abdurrasyid, S.Thi., yang telah banyak membantu memberi arahan dalam mengerjakan tugas-tugas perkuliahan 8. Teman-teman angkatan 2004 UIN Jakarta 9. Kepada siapa saja yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Seiring dengan itu, saya berdoa semoga amal kebaikan mereka memperoleh ridha Allah SWT. Tak lupa kami mengharap tegur dan perbaikan dari para pembaca, karena kami sadar dalam pembuatan skripsi ini tak luput dari kekurangan seperti perkataan Imam Al-Ashfahani “Saya tidak pernah melihat sesorang ketika melihat suatu buku kecuali pada hari esok ia berkata “kalau bagian ini dirubah tentu lebih serasi, kalau pembicaraan ini ditambah tentu lebih lengkap, kalau pasal ini diajukan akan lebih utama, dan kalau soal ini dibuang tentu akan lebih baik” ini adalah bukti yang paling tepat bahwa manusia adalah makhluk yang penuh dengan sifat kekurangan dan kekhilafan.
ii
Harapan saya semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangsih penulis bagi pengembangan ilmu Tafsir dan Hadis khususnya dan khazanah peneliti ilmiah umumnya., amin.
Jakarta, 14 Agustus 2010 Peneliti,
Rina Kurnia
iii
DAFTAR ISI MANFAAT IBADAH HAJI (TELAAH TERHADAP SURAT AL-HAJJ AYAT : 28) KATA PENGANTAR........................................................................................ i DAFTAR ISI...................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................. 5 C. Tujuan Penelitian............................................................................... 8 D. Studi Pustaka..................................................................................... 8 E. Metodologi Penelitian........................................................................ 9 F. Sistematika Penulisan......................................................................... 11 BAB II DESKRIPSI IBADAH HAJI A. Pengertian Haji................................................................................. 12 B. Sejarah Haji...................................................................................... 13 C. Tolok Ukur keabsahan Ibadah Haji.................................................. 18 BAB III ANALISA TENTANG MANFAAT IBADAH HAJI A. Ibadah Haji Sebagai Motivasi Spiritualitas........................................ 31 B. Manfaat Ibadah Haji Bagi Kehidupan Manusia................................. 34 1. Aspek Sosial................................................................................. 34 2. Aspek Ekonomi............................................................................ 37 iv
BAB IV MANFAAT IBADAH HAJI DALAM AL-QUR’AN MENURUT ULAMA KONTEMPORER-MODERN A. Interpretasi ayat 28 Menurut M. Quraish Syihab................................... 41 B. Interpretasi ayat 28 Menurut Sayyid Quthb............................................ 48 C. Interpretasi ayat 28 Menurut Hamka...................................................... 52 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................ 59 B. Saran-saran............................................................................................ 60 Daftar Pustaka ........................................................................................................ 62
v
MANFAAT IBADAH HAJI (TELAAH TERHADAP SURAT AL-HAJJ AYAT : 28)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Usuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Tafsir Hadis
Oleh : Rina Kurnia NIM: 104034001210
Di Bawah Bimbingan
Dr. M Suryadinata, MA NIP. 196009081989013005
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Rukun Islam
terdiri dari lima komponen yang menjadi dasar Islam
meliputi: Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan haji. Haji merupakan perjalanan religius menuju Baitullah (Mekkah) merupakan aktivitas kontinuitas yang selalu dilaksanakan setiap tahun dan jatuh pada bulan ke 12 (Zulhijjah) Hijriyah. Selain sebagai perintah agama, aktivitas ini terkesan unik karena walaupun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, umat Islam
selalu
berbondong-bondong untuk sampai ke rumah Allah, bahkan dalam jumlah hitungan angka besar. Ibadah haji sebagai salah satu dari lima rukun yang mempunyai keunikan dan berbagai manfaat yang akan didapatkan. Haji hanya wajib bagi orang yang mampu melaksanakannya secara lahir dan batin. Lahir artinya dia mempunyai harta atau ongkos perjalanan yang relatif mahal, dan batin berarti harus sehat jiwa dan raga sehingga bisa melakukan semua rukun-rukun dan wajib haji secara sempurna. Seseorang yang melakukan ibadah haji tentu saja akan menemukan sesuatu manfaat pada dirinya secara pribadi. Selain itu, keunikan dalam ibadah haji akan terlihat di kala mengerjakan ibadah tersebut. Keunikan tersebut akan memunculkan manfaat yang luar biasa. Ini menunjukkan bahwa ketika orang
1
2
muslim berkeinginan untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima ini,1 maka dia harus sehat jiwa dan raganya, serta mempunyai dana yang cukup untuk biaya perjalanan ataupun biaya bagi yang ditinggalkan.2 Pelaksanaan ibadah haji bagi kaum muslimin ini banyak manfaatnya. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Hajj [22]: 28 yang berbunyi:
)۲۲:
)
Artinya: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Q.S. al-Hajj [22]: 28) Ibadah haji dilaksanakan pada suatu tempat, yaitu Baitullah (Rumah Allah). Rumah Allah adalah sebutan lain dari Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam
seluruh dunia. Namun, satu hal yang tidak patut untuk dilupakan
sehubungan dengan Ka’bah dan haji adalah Nabi Ibrahim. Selain sebagai pendiri agama hanif,3 menurut sejarah, Ibrahim peletak batu pertama pembangunan Ka’bah dan pelaksanaan haji, karena hampir semua aktifitas dalam ibadah haji
1
Berdasarkan fenomena umum, di kalangan masyarakat muslim haji sudah masyhur sebagai rukun Islam kelima. Dalam hal ini, penulis tidak terlalu berpandangan pada hadits yang secara tekstual terdapat perbedaan letak redaksi haji. 2 Dalam kitab-kitab fiqh, bahkan sampai saat inipun kedua factor ini menjadi syarat mutlak bagi orang yang hendak menunaikan ibadah haji, lebih lanjut lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. III libanon: Daar al-Fikr, 1983 3 Agama hanif adalah agama yang menganut paham satu Tuhan yaitu Allah. Lebih lanjut lihat, Khalil Abdul Karim, Hegemony Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan, Ter. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 110
3
mencerminkan perbuatan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar ketika beliau berada di sekitar Ka’bah.4 Serta hampir semua informasi dari beberapa referensi menegaskan bahwa sejarah disyariatkannya haji berawal dari Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim adalah Nabi yang diutus untuk masyarakat Arab, jadi bukanlah suatu hal yang aneh jika penduduk Arab tetap membudayakan tradisi yang pernah diterapkan oleh kakek leluhurnya sampai diutusnya Rasul terakhir Muhammad saw. Itulah sebabnya mengapa haji sudah menjadi tradisi mereka sebelum Muhammad SAW diutus, salah satu manusia yang yang melestarikan ritual haji adalah Qushay. Qushay adalah orang pertama dari keturunan Quraisy yang merenovasi bangunan Ka’bah setelah Nabi Ibrahim, melakukan penjagaan terhadap Ka’bah, memberikan minuman dan penyambutan kepada para haji, mengharuskan kepada orang-orang Quraisy untuk mengeluarkan pajak serta memberikan minuman dan makanan bagi para haji dan yang melakukan Umrah, sebagaimana perintahnya membuat tungku api di gunung-gunung dan tempat-tempat tinggi di Muzdalifah agar perjuangan Quraisy terlihat dari Arafah.5 Terlepas dari Ibrahim sebagai peletak batu pertama pelaksanaan haji, rupanya Qushay sebagai nenek moyang Rasulullah menjadikan haji sebagai salah satu alat untuk menopang legitimasi kekuasaannya. Itu artinya bahwa haji selain 4
Maulana Muhammad Ali, Islamologi, Ter. A. Kaelani, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1977, hal. 607. 5
Abdul Karim, Khalil, Hegemony Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan, Ter. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LKIS, 2004, h. 110
4
menjadi tradisi masyarakat Arab dan warisan dari Nabi Ibrahim dipolitisir untuk menguatkan kekuasaan kaum Quraisy. Sekilas statemen ini mengindikasikan bahwa haji hanya sebagai alat untuk menjunjung kekuasaan suatu kaum tertentu. Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw, demikian juga nabi-nabi yang lain mempunyai tugas yang sama yaitu menyampaikan keyakinan tentang satu Tuhan. Inilah yang menjadi alasan para ilmuan lebih berkenan untuk mengatakan bahwa Muhammad Saw bukan pendiri agama Islam, karena arti dari Islam sebenarnya adalah pemasrahan diri yang sempurna kepada Allah.6 Di samping itu pula bahwa ibadah haji selain sebagai ibadah yang disyariatkan oleh Allah kemudian menyimpan beberapa aspek yang dijadikan pijakan oleh umat Islam itu sendiri. Aspek-aspek tersebut di antaranya: Aspek sosial, meliputi dimensi ekonomi, persaudaraaan (Qurban). Aspek ibadah, meliputi hubungan vertikal dengan Tuhan. Dalam aspek sosial misalnya bahwa para penafsir sepakat dalam ayat 28 surat al-Haj dan 198 surat al-Baqarah ini adalah satu, yaitu tidak terlarang seketika mengerjakan haji itu disambilkan juga niaga, berjual beli, bahkan Hamka mengatakan di dalam kedua ayat itu mendapat kesan, bahwa sebelum “hari-hari tertentu” atau sebelum berbondong-bondong turun dari Arafah. waktu buat urusan yang lain, buat berniaga, buat mencari keuntungan masih ada, sebab sampai di Mekkah bukanlah tepat pada "hari-hari tertentu" itu, melainkan beberapa hari
6
Altaf Gauhar, Tantangan Islam, Bandung : Pustaka, 1995, hal. 3
5
lebih dahulu. Hari-hari yang terlarang itu tidaklah ada salahnya jika digunakan mencari keuntungan yang halal.7 Ibadah haji yang terjadi pada dewasa ini terkesan hanya memiliki aspek ibadah saja8. Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang dipahami oleh para penafsir klasik maupun modern, padahal manfaat dari segi duniawi dalam tafsir Misbah dikatakan memiliki banyak aspek, tetapi pada akhirnya mengatur umat manusia meraih kemajuan dan kemaslahatan bersama terlebih dalam segi ekonomi. Maka dari itu, sesuai dengan pemaparan di atas dan dengan berbagai persoalan terkait dengan ibadah haji, maka penulis menganggap penting mengangkat persoalan ibadah haji terlebih manfaatnya. Dalam hal ini persoalanpersoalan yang di atas semua terangkum dalam sebuah judul : Manfaat Ibadah Haji (Telaah terhadap Surat al-Hajj:28). B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Ibadah haji merupakan sebuah manifestasi dari penyempurnaan rukun Islam yang ke-5. Yang tentunya akan berimplikasi pada perbuatan manusia itu sendiri dan hal ini yang dicita-citakan oleh para hujjaj yang sering dikenal Haji Mabrur. Pembahasan haji atau perintah ibadah haji yang berkenaan dengan
7
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta, Pustaka Panjimas, jus 17, hal. 161 8
Fenomena jama'ah haji indonesia dalam pelaksanaan ibadah haji hanya melaksanakan rukun, wajib dan sunnah haji saja sepserti "tawaf, wukuf, sya'i melontar dll.
6
kaifiah (tatacara; sayarat dan rukun) ibadah haji sudah terangkum dalam kitab suci al-Qur’an, dan dijelaskan di berbagai ayat. Beberapa ayat itu terdapat di berbagai surat yang berbeda, di antaranya: surat Al-Baqarah ayat 128, 158, 196 dan 203, surat Al-Imran, ayat 97, surat AlMaidah ayat 1, 2, surat At-Taubah, 3 dan 19 serta dalam surat Al-Hajj, ayat 25 dan 26. Sedangkan ayat yang menjelaskan tentang manfaat ibadah haji secara sepesific terterah pada ayat 28 surat Al-Hajj, namun demikian tetap ada ayat lain yang mendukung tentang manfaat haji seperti; ayat 198 dalam surat Al-Baqarah dan surat Al-Maidah ayat 97, serta dalam surah al-Hajj ayat 27 sampai dengan ayat 29. Bahkan ibadah haji juga disebutkan sebagai sebuah tradisi bangsa Arab atau umat Nabi Ibrahim. Tapi, tentang pembahasan manfaat ibadah haji belum diterangkan secara eksplisit, dan ulama tafsir juga jarang membahas tentang manfaat ibadah haji walaupun ada hanya secara umum. Tentunya bagi penulis memberikan sebuah gambaran dalam penelitian tentang ibadah haji. Pada pembahasan ini, penulis tidak memaparkan ibadah haji secara keseluruhan. Tetapi lebih kepada pembahasan manfaat haji yang tertulis dalam surat Al-Hajj ayat 28 yang didukung oleh ayat-ayat lainnya seperti pada ayat 27 dan 29 surat Al-Hajj, dalam surat Al-Baqarah ayat 198 dan surat Al-Maidah ayat 96, 97, agar pembahasannya sistimatis dan tidak melebar.
7
Dalam hal ini penulis membatasi masalah ini pada kitab-kitab tafsir kontemporer. Kitab tafsir modern meliputi Tafsir Misbah karya M.Quraish Shihab. Tafsir al-Azhar karya M. Hamka dan Fizalil al-Qur’an karya Sayid Qutb. Penulis memilih Quraish Shihab karena dalam penggunaan tafsir maudhu'i dapat menyajikan pesan-pesan Al-Qur'an yang terdapat pada satu surat saja, ataupun dengan menampilkan (mengaitkan) pesan-pesan yang sama atau yang berkaitan erat dengan surat-surat yang lain9, dan Quraish Shihab merupakan pakar tafsir yang banyak menggunakan methoda maudhu'i, dengan demikian penulis mengagap dengan menggunakan tafsir Al-Misbah sudah refresentatif dalam melakukan kajian ini. Selain itu tafsir Hamka penulis ambil karena kajiannya sangat terpokus pada kajian dan selalu dibubuhi oleh analis yang kuat, sedangkan Sayid Qutb dipilih karena mempunyai kandungan hujjah yang kuat dalam menafsirkan ayat. Dari permaslahan di atas dan untuk tidak melebarnya pembahasan maka penulis akan membatasi perumusan masalah seputar manfaat haji yang terangkum dalam sebuah pertanyaan besar : "Apakah manfaat haji bagi manusia dalam surat Al-Hajj ayat 28?"
9
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'I atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta, Mizan, cet. XIX, 2007, h. xii
8
C. Tujuan Penelitian Setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Demikian pula dengan penulis skripsi ini yang mempunyai tuijuan-tujuan tertentu, antara lain: 1. Membantu memberikan pemahaman al-Quran secara benar dan proporsional melalui pendekatan historis. 2. Sebagai tambahan literature ke-Islaman terutama tentang kajian al-Quran dari segi historis. 3. Sebagai tugas akhir, guna memperoleh gelar sarjana (S.1) pada universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terakhir semoga pembahasan sederhana ini dapat bermamfaat bagi kaum muslimin secara umum, sekaligus sebagai ilmu yang bermamfaat serta menambah wawasan pengetahuan keIslaman.
D. Studi Kepustakaan Dalam penelusuran pustaka yang penulis lakukan, penulis menemukan adanya kajian yang membahas tema ibadah haji yaitu skripsi karya: 1. Abas
(1933410403)
dengan
judul
Konsep
Istitho’ah
dalam
Pelaksanaan Ibadah Haji. 2. Kustiana Arisanti (0034019054) dengan judul Reinterpretasi Haji: Kajian Historis Terhadap Perintah Haji dalam al-Quran.
9
Pada karya Abbas lebih menitik beratkan pada konsep istitho'ah, yakni makna mampu untuk melaksanakan ibadah haji, yang tentunya dengan memaparkan kereteria mampu untuk menunaikan ibadah haji. Sedangkan karya Kustiana membahas masalah pengaruh masyarakat pra Islam terhadap printah haji, dan objek perintah haji pada ayat 97 suarat ali Imaran dan ayat 27 pada surat al Hajj. Kedua kajian tersebut masih memungkinkan penulis untuk mengkaji lebih dalam tentang manfaat dari pelaksanaan ibadah haji yang terinspirasi firman Allah dalam surat al-Hajj {22] ayat 28. Oleh Karena itu, penulis menemukan adanya ruang kosong dalam khazanah kepustakaan Islam yang belum dibahas secara khusus. E. Metodologi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini cara yang ditempuh penulis dalam penyusunan skripsi ini ada tiga aspek metodologi penelitian yang digunakan: 1. Metode Pengumpulan Data Dalam mengerjakan karya tulis ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan untuk memperoleh data dan referensi yang akurat dan memadai dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Dengan demikian, penulis berusaha menjelaskan masalah yang tersebut dengan mencari data dan referensi dari sumber-sumber kepustakaan, baik primer, yaitu referensi yang
10
berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam hal ini adalah Al-Qur'an dan tafsir, maupun skunder yaitu buku-buku penunjang yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. 2. Metode Pemabahasan Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farmawi, hingga kini sedikitnya ada empat macam metode dalam penafsiran al-Quran, yaitu tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.10 Adapun metode yang digunakan adalah metode maudhu’i, karena metode maudhu’ilah yang penulis anggap relevan dengan pembahasan ini karena metode maudhu’i merupakan suatu metode tafsir yang berusaha mencari jawaban dalam al-Quran tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, lalu menganalisanya lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang di bahas, untuk melahirkan konsep yang utuh dari al-Quran tentang masalah tersebut. 3. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang dikeluarkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 2004.
10
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, terj. Suryana Jamrah, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1996), , cet. II, h..11
11
F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka masalah yang akan dibahas secara garis besar dibagi menjadi lima bab. Adapun kelima bab itu jika dirinci adalah sebagai berikut : Pertama, Berupa Pendahuluan. Pada bab pendahuluan ini dikemukakan hal-hal yang menyangkut latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan Kedua, menggambarkan secara umum tentang deskripsi ibadah haji, yang meliputi pengertian haji, sejarah haji, dan tolok ukur keabsahan ibadah haji. Ketiga, membahas analisa tentang manfaat ibadah haji, dan yang menjadi kajian bab ini adalah sejauh mana manfaat ibadah haji dilihat sebagai motivasi spiritualitas, serta bagaimana manfaat ibadah haji bagi kehidupan manusia yang dilihat dari berbagai aspeknya. Kempat, dalam bab ini merupakan inti dari pembahasan yakni pemaparan tentang interpretasi surat al-Hajj ayat 28 dari beberapa pakar tafsir yaaitu; M. Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah), Sayyid Quthb (Tafsir fi Dzilal al-Quran), dan Interpretasi Q.S: al-Hajj ayat 28 menurut M. Hamka (Tafsir al-Azhar). Kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II DESKRIPSI IBADAH HAJI A. Pengertian Haji Haji merupakan ibadah tahunan ke Makkah selama minggu kedua Dzulhijjah, bulan terakhir kalender Islam yang berdasarkan peredaran bulan. Setiap orang muslim dewasa diwajibkan berhaji paling tidak sekali dalam hidupnya. Bagi yang mampu dan tidak menyebabkan kesulitan bagi keluarga yang ditinggalkan.1 Sedangkan untuk menganalisa pengertian haji, di sini penulis memaparkan pengertian terminology ulama empat madzhab tentang haji: 1. Imam Hanafi : haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka'bah) untuk mengerjakan ibadah dengan cara, tempat dan dalam waktu tertentu. Maksud tertentu ialah Tawaf, Sa'i, Wukuf. Tempat tertentu ialah Ka'bah dan Arafah. Waktu tertentu ialah tanggal 10 Dzulhijjah, dan orang yang berhaji harus berniat ketika berihram. 2. Imam Maliki : haji menurut syara' ialah wukuf di padang Arafah pada malam ke sepuluh dari bulan Dzulhijjah, tawaf di Ka'bah tujuh kali, sa'i tujuh kali, yang semuanya harus dikerjakan menurut cara-cara tertentu. 3. Imam Syafi'i : haji menurut syara' adalah sengaja mengunjungi Ka'bah untuk melaksanakan manasik haji. 1
Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Moderen, Mizan, jilid 2, cet. II, 2002, hal 132
12
13
4. Imam Hambali : haji menurut istilah adalah sengaja mengunjungi Mekkah untuk satu perbutan tertentu seperti tawaf, sa'i termasuk wukuf di Arafah.2 Dari pengertian haji di atas penulis juga mengemukakan pengertian haji secara global yang didapati dalam literature fikih sebagai gambaran umum tentang pengertian haji. Haji secara bahasa adalah "al-qhosdu"3 yakni menyengaja mengunjungi Ka'bah (Baitullah) di Mekah untuk beribadah dengan tatacara dan persyaratan tertentu, dan haji merupakan salah satu dari rukun Islam, pengertian ini diambil dari hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar
هلل وَإِقَا ُم ِ لا ُ ى هُحَوَذًا رَسُ ْى َ َى لَا اِلَ َو اِلَا اهلل َوأ ْ َى ْاإلِسْلَا ُم عَلَى خَ ْوسٍ شَهَادَ ُة أ ِ بُ ِن )ّج وَصَىْ ُم رَهَضَاىِ( رواه البخاري والوسلن ُ َالّصَالَ ِة وإٌَِْتَا ُء الّزَكَا ِة وَاْلح Arinya: "Islam itu didirikan atas lima prinsip dasar, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rosulullah, mendirikan shalat, mambayar zakat, mengerjakan haji dan puasa pada bulan Ramadan (HR. Bukhari Muslim)"4
B. Sejarah Haji Di antara ziarah-ziarah besar di dunia, haji menempati posisi unik dan dalam banyak hal, juga paling penting bahkan, dibandingkan dengan system ziarah internasional kuno Kristen dan Hindu, sentralitas doktrin haji, fokus geografisnya, 2
Abdul Rahman al-Jaziri, Fikih Madzhab Empat, ter. Moh Zuhri, at. dll, Semarang, as-Syifa, 1994, h. 537-539 3
Abi Ishak Ibrahim bin Ali ibn yusuf Asyairazi, Al-Muhadzab fiFIkh Imam As-Syafi'I, Darul Fikir, juz 1, hal. 194 4
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Beirut Libanon, Dar Al Ma'rifah, 2004, cet 4, hal. 72
14
dan kesinambungan historisnya jauh lebih luar biasa. Ukuran dan cakupan global haji tak tertandingi.5 Ka'bah adalah sebutan lain dari Rumah Allah yang menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia. Namun, satu hal yang tidak patut untuk di lupakan sehubungan dengan Ka'bah dan haji adalah nabi Ibrahim. Selain sebagai pendiri agama hanif, menurut sejarah, Ibrahim lah peletak batu pertama pembangunan Ka'bah dan pelaksanaan haji, karena hampir semua aktifitas dalam ibadah haji mencerminkan perbuatan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar ketika beliau berada di sekitar Ka'bah.6 Serta hampir
semua informasi dari
beberapa referensi menegaskan bahwa sejarah disyariatkan ibadah haji berawal dari Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim adalah nabi yang juga diutus untuk masyarakat Arab, jadi bukanlah suatu hal yang aneh jika penduduk Arab tetap membudayakan tradisi yang pernah diterapkan oleh kakek leluhurnya samapai diutusnya rasul terakhir Muhammad Saw. Itulah sebabnya mengapa haji sudah menjadi tradisi mereka sebelum Muhammad Saw diutus. Bahkan Khalil Abdul Karim menambahkan : "Qushay adalah orang pertama dari keturunan Quraisy yang merenovasi bangunan Ka'bah setelah Nabi Ibrahim, melakukan penjagaan terhadap Ka'bah, memberikan minuman dan penyambutan kepada para haji, mengharuskan kepada 5
Haji mampu menarik sekitar sejuta jamaah dari hamper setiap bangsa, sekitar 50 persennya dari dunia Arab, 35 persen dari Asia, 10 persen dari Afrika Sub-Sahara serta 5 persen dari Eropa dan belahan bumi Barat. Lihat. Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Moderen, Mizan, hal 132 6
Lihat, Maulana Muhammad Ali, Islamologi, Ter. A. Kaelan, Jakarta, Darul Kutub al-Islamiyah, 1997, h. 607. dan salah satu contohnya adalah ibadah Sa'I yang menjadi potret perjuangan Siti Hajar ketika mencari ait untuk putranya Nabi Ismail.
15
orang-orang untuk mengeluarkan pajak serta memberikan minuman dan makanan bagi para haji dan yang melakukan umrah, sebagaimana perintahnya membuat tungku api di gunung-gunung dan tempat-tempat tinggi di Muzdalifah agar perjuangan Quraisy terlihat dari Arafah.7 Oleh karenanya dalam ibadah haji mencakup serangkaian ritual yang sangat simbolis dan emosional yang dilakukan serentak oleh seluruh jamaah. Urutan ritus yang dijalankan sekarang ini ditentukan oleh Nabi tidak lama sebelum beliau wafat dan dianggap sebagai pengulangan ritual peristiwa-peristiwa kritis pengujian iman dalam kehidupan Nabi Ibrahim, pendiri monoteisme, istrinya, Hajar, dan putra mereka adalah Ismail. Ketika jamaah menirukan gerakan Nabi Muhammad, mereka bukan membangkitkan upacara-upacara pagan Makkah praIslam (yang sebagainya juga dikenal sebagai haji), melainkan model-model para nabi terdahulu yang jauh lebih lama.8 Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw, demikian juga Nabi-nabi yang lain mempunyai tugas yang sama yaitu menyampaikan keyakinan tentang satu Tuhan. Ini lah yang menjadi alasan para ilmuan lebih berkenan untuk mengatakan bahwa Muhammad Saw bukan pendiri agama Islam, karena arti dari Islam adalah pemasrahan diri yang sempurna kepada Allah.9 Mereka tidak terlalu fanatik 7
Khalil Abdul Karim, Hegomony Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan, ter. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LKIS, 2004, h. 9 8
9
Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Moderen, Mizan, hal 132
Altaf Gauhar, Tantangan Islam, h. 3. dan bandingkan dengan pedapat Arkoun, Toshihiko Itsuzu, Noer Chalis Majid, dalam karya-karyanya mereka cenderung mengartikan Islam sebagai sikap pemasrahan yang penuh terhadap Tuhan.
16
mengartikan Islam dalam surat Al Imran ayat 19, namun lebih inklusif dengan merujuk pada akar kata Islam tersebut. Walaupun mempunyai tujuan sama, para rasul diutus untuk umat yang berbeda dengan membawa kitab sebagi bukti kerasulannya. Kitab inilah yang berisi petunjuk dan wahyu yang harus disampaikan pada umatnya. Oleh karena itu, mungkin saja apa yang sudah disyariatkan pada umat terdahulu justru dilarang pada umat kemudian. Ini menunjukan bahwa setiap umat mempunyai syari'ah dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebgaimana yang tersebut dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah:48;
…….. Artinya: Untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Q.S. Al-Maidah/5/48) Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir, tentunya apa yang sudah disyariatkan pada uamat nabi sebelumnya mungkin juga disyariatkan pada umatnya, karena al-Qur'an (sebagai bukti kerasulannya) adalah penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Dengan demikian, dalam prakteknya, setiap ritual dari bibadah haji merupakan penegasan bagi setiap jamaah haji tentang adanya keterkaitan dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut oleh bapak Monotheisme (tauhid), Ibrahim as. Yang intinya adalah:
17
1. pengakuan akan keesaan Allah serta penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan, baik berupa binatang, patung-patung, bulan, bintang, matahari dan segala sesatu selain Allah swt. 2. keyakinan tentang adanya neraca keadilan Allah dalam kehidupan, dimana puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak. 3. keyakinan tentang kemanusiaan yang universal, di mana tiada perbedaan dalam kemanusiaan antar seseorang dengan yang lainnya, betapapun terdapat perbedaan anatar mereka dalam hal lainnya. 4. sarana pendidikan bagi jiwa untuk berlaku sabar serta siap menghadapi setiap cobaan yang datang silih berganti, di sisi lain juga melatih seseorang untuk berdisiplin dalam setiap aspek kehidupan.10
10
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Bandung, Mizan, 1999, h. 333
18
C. Tolok Ukur Keabsahan Ibadah Haji Ibadah haji mempunyai syarat dan rukunnya. Perbuatan atau amalan yang dilakukan oleh para jamaah haji, para ulama mengelompokkan kepada rukun dan wajib haji yang di dalamnya tekandung pebuatan-perbuatan sunat. Perbedaan rukun dan wajib haji adalah; rukun haji merupakan amaliyah yang harus dilakukan dan jika ditinggalkan maka hajinya tidak sah dan tidak bisa diganti dengan dam (denda). Sedangkan yang dimaksud haji adalah amaliyah yang jika ditinggalkan hajinya tetap sah, tetapi harus mambayar dam. a. Syarat dan Rukun Haji 1. Syarat Haji Syarat-syarat haji yang telah disepakati oleh fuqaha antara lain adalah: i. Islam Islam termasuk salah satu dari syarat-syarat haji yang telah disepakati oleh fuqaha, karena "hajinya orang non muslim tidak sah"11 ii. Baligh Baligh juga merupakan syarat haji, karena haji tidak wajib bagi anak kecil yang belum mencapai usia baligh. Hal ini berdasar hadis Nabi:
: ي ثَلَاثَ ٍت ْ َهلل عَلٍَْ ِو وَسَلَ َن " رُفِ َع اْلقَلَ ُن ع ِ لا ُ ل رَسُ ْى َ قَا:ْهلل عَنْهَا قَالَت ُ ي عَائِشَ َت رَضِى ا ْ َع (رواه احوذ.ُي الّصَبًِ حَتَى ٌَكْبَر ْ َي الوُبْتَلِى حَتَى ٌَبْرَِأ وَع ْ َظ وَع َ ِي النَائِ ِن حَتَى ٌَسْتٍَْق ْ َع )وابى داود والنسائى وابي هاجو والحاكن
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Semarang, CV. Asy-Syifa, 1990, cet.1, hal.232
19
Artinya: Dari Aisyah ra. Berkata "Rasulullah bersabda : Tidak dicatat amal dari tiga (orang): orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang terkena penyakit (gila) sampai ia sembuh dan anak kecil sampai ia dewasa" (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, dan ibn Majah dan Hakim) Adapun menurut sayyid Sabiq bahwa "anak-anak itu tidak wajib haji, tetapi bila dilakukan maka hajinya tetap sah, hanya tidak melunasi kewajiban haji dalam Islam".12 iii. Berakal Ketentuan syarat wajib lainnya adalah berakal. Maka haji tidak wajib bagi orang gila, dan hajinya orang gila tidak sah.13 iv. Merdeka Merdeka juga merupakan syarat, karena haji itu ibadah yang menghendaki waktu
dan kesempatan, sedang seorang hamba sibuk
dengan urusan majikannya dan tidak mempunyai kesempatan.14 v.
Kesanggupan Kesanggupan yang mejadi salah satu syarat dari syarat haji, hanya tercapai dengan ketentuan sebagai berikut:
12
Sayyid Sabiaq, Fikh Sunnah, Libanon, Daar al-Fikr, 1983, Cet. III h. 40
13
Abdurrahman Al-Jajiri, Fikih Empat Mazhab, Kairo, Mathba'ah al-Istiqomah, 2002, cet 2, hal
14
Sayyid Sabiaq, Fikh Sunnah, Libanon, Daar al-Fikr, 1983, Cet. III h. 36
180
20
a) Sehat badan, jika tidak sanggup menunaikan haji disebabkan tua, hendaklah diwakilkannya kepada orang lain, jika ia mempunyai harta. b) Hendaklah jalan yang dilaluinya itu aman. Dengan arti terjamin keamanan jiwa dan harta calon haji. c) Memiliki bekal yang cukup. Mengenai bekal yang diperhatikan ialah agar cukup untuk dirinya guna terjamin kesehatan badannya, juga buat keperluan keluarga yang dalam tanggungannya. Cukup di sini berarti lebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok, berupa pakaian, tempat kediaman, kendaraan dan sarana mata pencarian mulai saat keberangkatan hingga waktu kembali nanti. d) Adanya Kendaraan. Mengenai kendaraan syaratnya ialah yang dapat mengantarkannya pergi dan pulang kembali, baik dengan menempuh jalan darat, laut atau udara. e) Tidak ditemui rintangan yang menghalangi orang untuk pergi haji seperti tertahan atau takut terhadap penguasa lalim yang tidak mengizinkan manusia mengunjungi tanah suci.15
15
Sayyid Sabiaq, Fikh Sunnah, Libanon, Daar al-Fikr, 1983, Cet. III h. 36
21
2. Rukun Haji Yang dimaksud dengan rukun haji ialah ketentuan pelaksanaan haji yang apabila salah satu rukun tersebut ditinggalkan, maka ibadah hajinya tidak sah.16 Menurut golongan Syafi'iyah, rukun haji ada enam; ihram, tawaf, sa'i, wukuf, bercukur, dan tertib.17 1) Ihram Sebelum haji dimulai, seluruh jamaah laki-laki mengenakan pakaian khusus (ihram) yang terdiri atas dua helai kain putih yang tidak berjahit yang dapat menutupi bagian atas dan bagian bawah tubuh, satu diselempangkan dan yang satu disarungkan boleh memakai ikat pinggang yang tidak disampul mati. Bagi wanita memakai pakaian yang menutup aurat atau seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.18 Setelah itu dilanjutkan dengan niat, karena maksud dari pelaksanaan Ihram adalah niat mengerjakan haji lengkap berpakaian ihrom. Kesederhanaan dan keseragaman ihram melambangkan persamaan dan kerendahan hati segenap mukmin di hadapan Allah tanpa membedakan atribut duniawi, seperti ras, bangsa, kelas. Usia, jenis kelamin, atau 16
Latif Rosady, Manasik Haji dan Umrah Rosulullah SAW, Medan, Rimbow, 1989, hal. 32
17
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Haji, Jakarta, PT Bulan BIntang, 1994, cet. 3, hal. 137
18
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Haji, ha1. 138
22
budaya. Ihram merupakan kiasan tentang situasi tatkala manusia bangkit dari kubur pada Hari Pengadilan menghadap Sang Pencipta. 2) Wukuf di Arafah Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling agung. Setiap jamaah haji diwajibkan hadir di Arafah pada tempat manapun dan dalam kondisi apapun. Baik ia dalam keadaan tidur ataupun bangun, dalam perjalanan atau berhenti, dalam keadaan berjalan ataupun duduk. Begitu pula dalam keadaan suci maupun tidak suci seperti haid, nifas dan junub. Begitu agungnya amalan ini. Samapai-samapai Rasulullah saw, bersabda:
ّج ُ َ اَ ْلح: قَا َل الَنبِيُ صلى اهلل عليو وسلن: عيْ عَ ْب ِد ال َّرحْوَاى ْبيِ َيعْوَّرْ قَا َل َ اَيَا َم هِنَى ثَلَاثَ ٌة.ُك اْلحَّج َ ي لَيِلَ ِة فَ َق ْد َأدْ َر ْ ع اْل َفجْ ِّر ِه ِ َهيْ جَـاءَ قَبْلَ طُلُ ْى.ٌعَّرَفَة , وَ َهيْ تََأّخَّرَ فَلَا اِ ْثنَ عَلَيْ ِو ( رواه أحود,ِفَ َويْ َت َعجَلَ فِى َيْىهَ ْييِ فَلَا اِ ْثنَ عَلَيْو 19 )واألربعة والحـاكن وابي هـاجو والبيهقى Artinya: Dari Abdurrahman bin Ya'mar berkata: Rasulallah saw. Bersada: "Haji adalah (wukuf) Arafah. Barang siapa datang sebelum terbit fajar dari malam-malam Muzdalifah maka ia benar-benar mencapai haji. Hari-hari Mina adalah tiga (hari), barangsiapa bersegera dalam dua hari maka tidak dosa atasnya, dan barang sipa mengakhirkan diri maka tiada dosa atasnya. (HR. Ahmad, Imam Empat, Hakim, Ibnu Majah, dan Baihaqi).
19
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Jami'I alAhadis, Beirut, Dar al Fikr, 1994, juz, 4, h.30
23
Para ulama sepakat bahwa waktu untuk wukuf di Arafah adalah dari tergelincirnya matahari pada hari kesembilan Dzulhijjah sampai terbit fajar pada tanggal sepuluh Dzulhijjah. 3) Thawaf Thawaf asal kata dari
طـافyang artinya mengelilingi. Adapun dalam
konteks ibadah haji, thawaf dimulai dari tempat Hajar Aswad mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh putaran dengan arah yang berlawanan dengan jarum jam. Dengan demikian Ka'bah akan selalu berada di sebelah kiri, dan bagi orang yang ingin melakukan thawaf, maka ia disyaratkan untuk suci dari hadas kecil maupun besar, baik badan, pakain maupun tempat. Thawaf dapat diklasifikasikan kepada empat macam, yaitu ; thawaf qudum, thawaf ifadhah, thawaf umrah dan thawaf wada.20 a. thawaf qudum disebut juga thawaf dukhul, yaitu thawaf pembukaan atau tawaf selamat datang, dilakukan saat tiba di Mekkah (masjid haram) b. thawaf ifadah disebut pula dengan thawaf rukun, artinya thawaf yang harus dilaksanakan, bila thawaf ini ditinggalkan maka hajinya menjadi batal dan wajib mengulang pada tahun berikutnya. 20
Said Agil Husain al-Munawar, Abdul Hakim, Fikih Haji; Menuntun Jamaah Haji Mabrur, Jakarta, Ciputat press, 2003, cet.1, hal 88
24
c. thawaf umrah, thawaf ini berlaku bagi jamaah yang melaksanakan ibadah umrah. Thawaf umrah merupakan rukun umrah artinya bila thawaf ini tidak dilaksanakan, maka hukumnya menjadi batal. d. thawaf wada' ialah thawaf yang dikerjakan pada waktu para jamaah haji akan meninggalkan Mekkah. 4) Sa'i Pelaksanaan sa'i antara bukit Shafa dan Marwah disyaratkan setelah thawaf qudum atau ifadah. Sa'i dimulai dari Shafa yang terletak di ujung Jabal Qubays dan berakhir di Marwah di Jabal Qaiqa'ah sebanyak tujuh kali putaran. 5) Tahalul Yakni memotong atau mencukur rambut sedikitnya tiga helai rambut. Pelaksanaannya disyaratkan setelah wukuf di Arafah dan setelah pertengahan malam hari nahr.21 Ulama mazhab
Syafi'i berpendapat
bahwa "mencukur rambut
merupakan salah satu rukun haji, bila mencukur rambut tidak dikerjakan maka ibadah hajinya menjadi batal.22 Perintah ini ditetapkan dalam firman Allah: 21
22
Muhammad Amin Al-Kurdi, Tanwir Al-Qulub, Beirut; Dar Al Fikr,1994, h. 222
Said Agil Husain Al-Munawar, Abdul Hakim, Fikih Haji; Menuntun Jamaah Mencapai Haji Mabrur, Jakarta, Ciputat Press, 2003, cet. 1, h. 155
25
)
: ( الفتح
Artinya: Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat (AlFath. 27) 6) Tertib Tertib yaitu "mendahulukan ihram dari keseluruhan rukun lainnya. Mendahulukan wukuf dari thawaf ifadah dan potong rambut dan mendahulukan thawaf atas sa'i, bila sa'i itu tidak dilaksanakan setelah thawaf qudum.23
b. Wajib dan Sunah Haji 1. Wajib Haji Wajib dan rukun haji biasanya mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama harus dikerjakan, namun dalam ibadah haji wajib dan rukun mempunyai arti yang berbeda, yaitu "jika meninggalkan salah satu dari rukun haji maka hajinya tidak 23
Said Agil Husain Al-Munawar, Abdul Hakim, Fikih Haji.., h. 31
26
sah, sedangkan jika meninggalkan salah satu dari wajib haji masih dapat ditebus dengan menyembelih binatang (dam). Wajib haji ada lima: a. Ihram dari miqat Miqat ada dua yaitu zamani dan makani. Miqat zamani adalah waktu kapan haji itu sudah boleh dilaksanakan, yakni waktu-waktu tertentu. Ibadah haji tidak sah jika tidak dilakukan pada waktu-waku tersebut. Telah dijelaskan dalam Al-Qur'an
)
: ( البقرة.....
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji (Q.S. Al-Baqarah 2 : 189)
Jumhur ulama sepakat bahwa waktu-waktu tertentu itu adalah dari bulan Syawal, Zulqo'dah dan sepuluh malam dari bulan Zulhijjah yang berakhir pada malam hari nahr. Sedangkan miqat makani adalah yang menyangkut tempat haji mulai dilaksanakan. Ada lima tempat jamaah bisa memulai ihram yakni Dzulhulaifah, Al Juhfah, Yalamlam, Qarnul Manazil dan Zatu'irqin. b. Melempar Jumrah Al-Jimar adalah bentuk jamak dari al-Jumrah yang artinya adalah bebatuan kecil atau kerikil. Nama ini pada akhirnya digunakan untuk bebatuan kecil yang dilemparkan oleh jamaah haji ke dalam tempat jumrah. Waktu melempar jumrah
27
di Mina ialah empat hari yakni hari raya kurban (10 Dzulhijjah) atau hari petama 'idul Adha dengan melempar jumrah aqabah, dan tiga hari tasyriq (11,12 dan 13 Dzulhijjah) dengan melempar tiga jumrah secara berturut-turut yakni jumrah ula, wustho, dan aqabah. c. Mabit di Muzdalifah Waktu berdiam di Muzdalifah dilakukan setelah tengah malam pada hari nahr walaupun hanya sebentar. d. Mabit di Mina Mabit di Mina dilakukan pada malam-malam hari tasyriq, dan diwajibkan untuk mengagungkan malam-malam.24 e. Melaksanakan thawaf wada' Yakni thawaf yang dilakukan sebelum meninggalkan tanah haram atau yang kita kenal dengan thawaf perpisahan.
2. Sunnah Haji Sunnah haji adalah amalan-amalan yang dianjurkan agar dilaksanakan dalam ibadah haji, bila amalan tersebut dikerjakan maka akan mendapatkan ganjaran pahala. Namun bila amalan tersebut ditinggalkan maka tidak mendapat dosa atau celaan. Sunnah haji menurut pendapat ulama syafi'iyah antara lain: 24
Muhammad Amin Al-Kurdi, Tanwir Al-Qulub, h. 224
28
a. Mabit di Mina pada malam Arafah (9 Dzulhijjah). Yang demikian itu disunahkan tidak lain agar ia dapat beristirahat. Beda halnya dengan mabit pada malam-malam tasyriq, maka yang demikian itu hukumnya wajib, sebagaimana telah dikemukakan di atas. b. Berjalan dengan cepat di lembah Mahsar, yaitu tempat yang membatasi Muzdalifah dan Mina. Dinamakan "Mahsar" (kata ini diambil dari akar kata hasara yang artinya lemah), yakni di tempat itulah tentara gajah Abrahah menjadi lemah ketiak ia hendak mengahancurkan Ka'bah. c. Menyampaikan khutbah pada waktu yang disunahkan yang demikian itu ada empat, yaitu: 1) Pada tanggal 7 Dzulhijjah, yaitu khutbah satu kali yang disampaikan oleh imam atau wakilnya setelah melaksanakan shalat zuhur di masjid haram 2) Pada hari nahar (9 Dzulhijjah) di Namirah sebelum melaksanakan shalat zuhur yaitu dengan dua khutbah. 3) Pada hari nahar (10 Dzulhijjah) di Mina, yaitu satu khutbah setelah sahat zuhur 4) Pada hari nafar awal (hari kedua dari hari-hari tasyrik)di Mina, yaitu satu kali setelah shalat zuhur. d. Bercukur habis bagi laki-laki dan memendekkan bagi wanita
29
e. Wukuf di Mas'ar al-Haram, yaitu di Jabal Quzah, di tempat tersebut mereka dapat berzikir kepada Allah serta berdoa kepada Allah hingga waktu senja sambil menghadap kiblat. f. Tidak cepat-cepat berangkat dari Mina, melainkan hendaklah ia tetap di sana selama malam-malam tasyrik g. Membaca zikir yang disunahkan, misalnya ketika melihat Baitullah membaca doa:
Artinya : "Ya Allah sesungguhnya rumah ini adalah rumah-Mu, ketentraman adalah ketentraman-Mu, dan tempat ini adalah tempat orang memohon perlindunganMu dari api neraka". h. Melunasi hutang-hutang sebelum berhaji i. Memaafkan musuhnya, bertaubat atas segala maksiat yang diperbuatnya, belajar cara-cara haji meminta maaf kepada setiap orang yang pernah menjalin hubungan dan persahabatan dengannya. j. Banyak-banyak melaksanakan shalat, thawaf dan I'tikaf di Masjid Haram setiap kali memasukinya k. Masuk Ka'bah serta melaksanakan shalat di dalamya sekalipun shalat nafilah l. Banyak minum air zam-zam hingga puas sambil menghadap kiblat dan ketika minum hendaklah membaca:
30
Artinya : Ya Allah, sesuai dengan apa yang disampaikan Nabi-Mu kepadaku, beliau bersabda: Air zam-zam itu tergantung kepada tujuan diminumnya. Aku meminumnya untuk kebahagianku di dunia dan akhirat, maka kabulkanlah untuk ku"(doa pemohonanku ini)"25 Setelah itu membaca bismillah, lalu minum dan bernafas tiga kali dan disunnahkan masuk ke sumur zam-zam serta melihat ke dalam, menimbanya, memerciki wajah, kepala dan dadanya sera membawanya untuk bekal perjalanan.
25
h. 254
Abdurrahman Al-Jajiri, Fikih Empat Mazhab, Kairo, Mathba'ah al-Istiqomah, 2002, cet 2,
BAB III ANALISA TENTANG MANFAAT IBADAH HAJI A. Ibadah Haji Sebagai Motivasi Spritual Setiap menjelang musim haji tiba, kalbu semua kaum muslimin amat tergugah hendak pergi haji ke Baitullah Al-Haram untuk menunaikan kewajiban hajinya, sekaligus berziarah ke makam Rasul saw, perjalanan menunaikan ibadah haji merupakan kenikmatan dan kebahagiaan rohaniah yang tiada tara indahnya karena rasanya begitu dekat dengan Allah SWT, sang Pencipta yang Maha Agung. Makkah adalah pusat spiritual, karenanya di Makkah itu akan tercipta suasana yang memberikan disposisi kepada ibadah secara optimal untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman "teofanik", yang juga bisa disebut kasyf atau penyingkapan tabir1. Sebagai gambaran dari pengalaman teofanik ini, yang merupakan pengalaman spiritual yang sukar untuk digambarkan, misalnya ketika kita sendirian sedang membutuhkan pertolongan, tiba-tiba ada orang tak dikenal yang menolong. Pengalaman teofanik itu bersifat pribadi sehingga tidak bisa ditiru oleh orang lain. Sebagai contoh pengalaman teofanik atau metafisik sederhana berikut ini penulis memaparkan cerita yang tertera dalam "Perjalanan Religius Umrah Dan Haji" yang bisa direnungkan; "Suatu ketika ada seseorang yang hendak masuk masjid Haram untuk melakukan I'tikaf karena I'tikafnya ingin agak lama, maka ia membawa bekal air, persiapan kalau ia kehausan. Baru sampai pintu masjid ada orang yang minta bekal airnya. Lalu dikasihlah air yang disisapkan sebagai bekalnya itu. Ternyata 1
Nurkhalis Majid, Perjalanan Religius "Umrah dan Haji", Jakarta, Paramadina, 2008. cet.3,
h. 83
31
32
tidak hanya orang tersbut yang meminta air, teman-temannya yang lain sama sehingga airnya habis. Mengetahui airnya habis orang tersebut ikhlas dan tawakkal kepada Allah SWT pada waktu melakukan I'tikaf, ternyata benar dugaan ia semula, bahwa ia benar-benar merasa haus. Tetapi anehnya kemudian, pada saat ia sedang kehausan, tiba-tiaba, tanpa disangka-sangka, ada orang yang memberi air sebotol penuh. Orang yang memberi air itu sama sekali tidak dikenal. Nah, mungkin semacam ini pengalaman teifanik itu"2.
Dengan demikian seorang musafir yang hendak menunaikan ibadah haji akan memusatkan perhatian hanya untuk beribadah kepada Allah semata. Ia meninggalkan sanak keluarga, harta, handaitaulan, jabatan dan kekuasaannya. Ia rela meninggalkan kebiasaan dan kehidupan rutinnya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan meningkatkan taat dan khusyu dalam shalat, thawaf, talbiyah, zikir dan tasbih tanpa mengenal lelah dan letih. Kalbunya telah ditundukkan dan ditaklukkan dengan Khaliknya dengan memperbanyak taat dan ibadah setiap hari, sehingga bercucuranlah rahmat Allah kepada kalbu orang yang merintih dan berkeluh kesah dengan sendu di hadap-Nya. Dari kedua kelopak mata mengalir air mata haru dan puas, seakan-akan segala dosa yang selama ini memberati pundak sudah jatuh berguguran bersama tetes air mata. Pada saat seperti itu akan sadar bahwa dunia dengan keindahannya tidak berarti apa-apa dibandingkan bila hati dekat kepada Allah dan berusah menggapai ridha-Nya. Berkaitan dengan pencapaian ibadah haji dalam meningkatkan motivasi spiritual maka, harus ditanamkan nilai dari tujuan ibadah haji diantaranya; 2
h. 83
Nurkhalis Majid, Perjalanan Religius "Umrah dan Haji", Jakarta, Paramadina, 2008. cet.3,
33
Pertama, adalah sebagai pelaksanaan dari rukun Islam yang kelima, dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan syariat agama tentang kaifiyatul hajj (tatacara pelaksanaan ibadah haji). Kaifiayatu hajj ini telah diatur oleh syara' dan terdapat hukum-hukum Allah yang berlaku di dalamnya, serta, manusia tidak mampu menawar akan keberadaannya. Dengan demikian, pelaksanaan kaifiyatul hajj secara sempurna akan menjadikan pula kesempurnaan nilai ibadah haji secara dzohir. Kedua, adalah untuk meningkatkan iman dalam hati, yang dipupuk selama ini dengan ibadah, pengajian, dan ketundukan kepada Allah swt selaku hamba yang taat. Hal ini tak dapat diajarkan oleh sebuah badan atau perorangan dan tidak dapat dituangkan ke dalam sebuah buku-buku tuntunan seperti halnya tujuan pertama yakni tentang kaifiyatul hajj, sebab ini adalah merupakan kesadaran seseorang dari dalam lubuk hatinya sampai dimanakah hubungan seseorang tersebut dengan Allah swt selama ini. Tak sedikit orang yang tergerak hatinya naik haji, karena ampunan dosa yang akan didapatinya. Dalam hal ini terasa sekali dan amat penting anjuran Hujjatul Islam Iman alGhozali, agar bagi orang yang menunaikan ibadah haji, sebelum melangkahkan kakinya, ditanamkan dalam kalbunya, perasaan asysyauqillah, rindu kepada Allah swt., karena rindu kepada Allah dalam menunaikan ibadah haji akan sangat besar pengaruhnya bagi seseorang dari pada hanya sekedar memiliki pengertian; haji adalah wajib dan bila tidak dikerjakan akan berdosa.
34
Keberangkatan ke tanah suci didorong oleh semangat dan hati yang penuh dengan asysyauqillah akan membuat perjalanan itu penuh kebanggaan dan kelegaan walaupun nantinya akan menghadapi kesulitan, kesusahan dan kesengsaraan dalam perjalanan. Bahkan bukan hanya itu, ibarat seseorang yang dirindukannya, maka dalam perjumpaan itu hatinya akan berisi nilai-nilai kesucian. Apalagi dia dapat melihat tempat bersejarah dalam Islam, baik di Mekah maupun di Madinah. Kedua tujuan tersebut di atas sangat berkaitan erat. Untuk mencapai haji yang mabrur seperti yang selama ini diidam-idamkan oleh para pelaksana ibadah haji, mereka tentunya harus mengikat erat-erat kedua tujuan tersebut dalam hatinya, serta dilaksanakan atas dasar keikhlasan mencapai ridho Allah swt. Oleh karena itu para ahli hukum syara' melihat, bahwa bila telah terpenuhi syarat dan rukun haji, serta keimanan seseorang setelah menunaikan ibadah haji semakin mengikat, maka disinilah seseorang itu akan mencapai haji yang mabrur. Di antara tanda-tanda bahwa seseorang mendapatkan haji yang mabrur adalah adanya perubahan sikap mental. Perubahan yang semakin baik dalam drinya sekembalinya menunaikan ibadah haji, dan ia dapat menjadi contoh yang baik sebagai panutan dalam masyarakatnya.
B. Manfaat Ibadah Haji Bagi Kehidupan Manusia 1. Aspek Sosial Secara sosiologis manusia adalah makhluk sosial, ia tidak dapat hidup seorang diri dan terpisah dari manusia lain. Manusia senantiasa hidup dalam kelompok-
35
kelompok yang saling menguntungkan, baik kelompok kecil seperti keluarga maupaun kelompok besar atau masyarakat. Ahmad Al-Ghozali mengatakan: "ketahuilah bahwa, setiap manusia itu pasti memerlukan pergaulan dengan orang yang dianggap sebagai sejenis (sama-sama makhluk manusia) dengan dirinya. Oleh sebab itu ia perlu sekali mempelajari norma-norma kesopanan dalam pergaulan. Setiap orang yang bergaul dengan sesuatu golongan, tentu ada cara-cara dan peraturannya sendiri. Kesopanan-kesopanan itu tentulah dengan mengingat kadarnya, dan kadar itu dengan mengingat hubungannya.3 Konsep sosial yang dikemukakan oleh Al-Ghazali di atas bahwa manusia harus hidup bersama
orang
lain,
mula-mula
tumbuh
hidup
pergaulan
dan
akhirnya
berkesinambungan secara maju dan berkembang luas, sehingga memerlukan nilai dan norma masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan secara baik. Adapun nilai sosial yang terdapat dalam ibadah haji antara lain : a. Ihram Pada saat melakukan ibadah haji para haji memulai seragam yang sama. Sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa: "Ketika melalui miqat akan memasuki kota Makkah semua umat Islam yang hendak mengerjakan haji maupun tidak, harus memakai kain ihram dan berniat ihram lebih dahulu. Kain ihram yang tidak berjahit ini menandakan bahwa tidak ada saudagar yang kaya raya, tidak ada kaum bangsawan yang tinggi pangkatnya dan tidak ada pula budak-budak Habsyi yang dianggap hina, mereka semua ketika itu adalah sederajat".4 3
Zainuddin,et-al, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, cet-
1, hal.122 4
Ibnu Mas'ud, Dkk, Fikih Madzhab Syafi'I, Bandung, Pustaka Setia, 2005, cet-2, h. 65
36
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pelaksanan ihram itu dapat mendidik manusia agar tidak membeda-bedakan antara yang kaya dan yang miskin, antara pejabat dan rakyat, akan tetapi manusia semuanya adalah sama. Jika hal ini telah tertanam dalam jiwa seseorang maka akan timbul rasa persaudaraan yang tinggi terhadap sesama. b. Wukuf Aspek sosial lain yang tersirat dalam ibadah haji yaitu pada saat wukuf di Arafah. Hal ini senada dengan yang telah dikutip oleh Ibnu Mas'ud bahwa; "Pada tanggal 9 Dzulhijjah semua jamaah haji berkumpul di padang Arafah, mereka sama-sama berpakian ihram. Ketika itu tidak dapat dibedakan siapa yang memimpin dan siapa yang menjadi pengikut (rakyat), siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Di sana mereka berkumpul memadu rasa keislaman mereka mempererat tali persaudaaraan, hilanglah rasa permusuhan dan persengketaan dan timbullah rasa persatuan dan persahabatan".5 Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pada saat wukuf mereka bersatu pada waktu yang sama dengan seragam yang sama, dalam rangaka menyembah Tuhan yang sama dan dengan tujuan yang sama juga, mereka telah dibawa kepada persatuan persaudaraan dan ukhuwah Islamiah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ibadah haji merupakan kongres umat Islam sedunia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Banani Adam dan Mustafa bahwa: "Pelaksanaan wukuf di padang Arafah ini bagaikan muktamar internasional luar biasa yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan Islam, agar saling kasih mengasihi dan saling kenal mengenal antara bangsa yang beranekaragam yang beraneka ragam warna kulit dan bahasa, bertukar 5
Ibnu Mas'ud, Dkk, Fikih Madzhab Syafi'I. h. 65
37
informasi, memberikan saran bermusyawarah dalam memecahkan berbagai masalah demi kepentingan bangsa dan Negara masing-masing".6 c. Kurban Aspek sosial lainnya juga terdapat dalam pelaksanaan penyembeliahan hewan kurban. Sebagaimana yang dikemukaan oleh Hasan Basri bahwa, "dalam rangkaian ibadah haji tersedia sarana amaliah yang bukan saja mengandung nilai-nilai ubudiah,
tetapi
juga
mempunyai
aspek-aspek
sosiologis
kemasyarakatan
(ijtimaiyah), yaitu menyemblih hewan, dan daging-dagingnya itu disediaakan untuk menyantuni dan menggembirakan fakir miskin umumnya yang tidak berpunya".7
2. Aspek Ekonomi
Dalam surat al-Hajj ayat 28 Allah menyebutkan bahwa di antara maksud dan tujuan penyelenggaraan ibadah haji adalah agar umat manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. Di antara manfaat dari ayat di atas adalah dalam bidang altijarah (perdagangan). Meraka yang berhaji dapat memperoleh pandangan dalam rangka perlasan perekonomian.8
6
A. Banani Adam dan Musthafa As., Hikamah Rahasia Ibadah Haji dan Umrah, Bandung, Lubuk Agung, 1992, cet-4, h.54 7
Hasan Basri, Haji dan Kurban, Mimbar Ulama, VIII, 1983, h. 5 Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji; Telaah intensif dari Perbagai Mazhab, Bandung, Mizan, 1996, cet.5, h. 22 8
38
Selain manfaat dari perdagangan, manfaat lain ialah memperoleh apa yang diridhai Allah, baik dunia maupun akhirat. Hal ini mencakup seluruhnya, baik manasik, perdagangan, ampunan, dan manfaat dunia akhirat. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah;
Artinya: “Tidak ada salahnya kalian mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari „Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy‟aril Haram. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orangorang yang sesat.” (QS. al-Baqarah/2/198)
Yang dimaksud dengan “mencari karunia dari Tuhan” dalam ayat tersebut adalah berdagang. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Adalah Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar (sekitar Makkah) di masa jahiliyyah. Semula orang-orang merasa berdosa jika berdagang ketika musim haji sampai turun ayat ini.”
Demikian juga ad-Daruquthni meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ibnu Umar, dia berkata, “Aku punya usaha sewa-menyewa di sini. Orang-
39
orang mengatakan kepada saya bahwa tidak sah haji saya.” Ibnu Umar berkata, “Rasulullah SAW pernah ditanya dengan pertanyaan yang sama dengan yang anda tanyakan. Kemudian beliau diam sampai turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah berkata, “Engkau dapat melakukan haji.”9
Haji bahkan menjadi sebab utama tumbuhnya berbagai usaha dan bisnis. Di antara industri yang subur musim perjalanan haji adalah:
1) layanan tours and travel dengan berbagai jenis paket dan program 2) perusahaan transportasi baik udara, laut ataupun darat 3) ) usaha food and beverages, baik yang menyangkut beras, gandum, minuman, ice cream, maupun puluhan ragam buah-buahan 4) jasa penginapan dan perhotelan dengan berbagai kelasnya mencakup hotel-hotel berbintang dan network internasionalnya 5) jasa telekomunikasi
baik
lokal, internasional, direct-line hand
phone, fiber optic, maupun satellite based 6) industri garmen dan tekstil untuk kain ihram, jilbab, sorban, tas, kopor dan sajadah; kemudian 7) perbankan untuk penerimaan setoran haji, kartu kredit, dan travel check, serta lalu lintas transfer 9
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta, Pustaka Panjimas, jus 17, hal. 161
40
8) Asuransi untuk penjaminan dan perlindungan keamanan perjalanan, kendaraan, gedung, hotel, dan jiwa jamaah 9) Jasa kurir dan kargo untuk pengangkutan kelebihan barang serta oleholeh 10) Perlengkapan kemah dan tenda untuk jutaan jamaah di Arafah dan Mina
Demikian manfaat pelaksanaan haji dari aspek ekonomi, sehingga ada keselarasan antara surat al-Hajj ayat 28 dengan surat al-Baqarah ayat 198. yang pada akhirnya moment haji dapat bermanfaat bagi kehidupan dunia khususnya kehidupan akhirat.
BAB IV MANFAAT IBADAH HAJI DALAM AL-QUR'AN MENURUT ULAMA KONTEMPORER A. Interpretasi Ayat 28 Menurut M. Quraish Syihab Sebelum membahas ayat 28 surah Al-Hajj, penulis ingin mengantarkan kajian ayat 28 ini dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 27, secara global. Pada ayat 27 Allah memerintahkan nabi Ibrahim as. mengajak semua orang yang mampu untuk berkujung ke Baitullah (ka'bah) dengan menyatakan "dan wahai nabi Ibrahim, berserulah kepada manuisa, memanggil mereka untuk mengerjakan haji yaitu berkunjung ke-masjid al-Haram dan sekitarnya untuk melaksanakan ibadah tertentu pada waktu tertentu pula demi karena Allah. Serukanlah itu, niccaya mereka akan datang kepadamu menyambut panggilanmu itu dengan berjalan kaki bagi mereka yang tinggal dalam jangkauan perjalanan kaki serta bagi yang tidak mampu berkendaraan, atau mengendarai onta (banyak onta yang kurus) karena jauhnya perjanan bagi yang datang dari segenap penjuru yang jauh1. Panggilan pada ayat 27 adalah supaya manusia menyaksikan dengan mata kepala serta dengan mata hati, dengan demikian mereka akan mendapatkan berbagai manfaat baik manfaat duniawi maupun ukhrowi. Untuk membahas manfaat haji lebih mendalam, maka penulis paparkan ayat dan kajian interpretasi menurut Quraish Shihab. 1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keseraian Al-Qur'an), Jakarta, Lentera Hati, 2002, Vol 15, cet- 1, h. 43
41
42
Artinya: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukanatas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (Al-Hajj/22:28)
Secara maknawi, kata (
) terambil dari kata ( ) شهـدyang berarti
menyaksikan baik dengan mata kepala maupun dengan mata hati / pengetahuan. Siapa yang menyaksikan sesuatu dengan mata kepalanya, maka tentu saja dia hadir di tempat apa yang disaksikannya itu. Dari sini kata tersebut diartikan juga dengan menghadiri.2 Manfaat duniawi yang dimaksud di sini berkaitan dengan banyak aspek, tetapi pada akhirnya mengantar umat manusia meraih kemajuan dan kemaslahatan bersama. Ini tentu saja dapat diperoleh karena tidaklah berkumpul banyak orang yang memiliki pandangan dan tujuan yang sama, lalu mereka saling kenal mengenal dan berdiskusi, kecuali perkenalan dan diskusi mereka itu akan menghasilkan kerja sama yang saling menguntungkan. 2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keseraian Al-Qur'an), h. 45
43
Dengan demikian akan saling melengkapi kekurangan yang itu, dan itu membantu menyelesaikan problem yang ini, sehingga akhirnya semua memperoleh keuntungan duniawi. Ini dikukuhkan pula dengan bahwanya Allah tidak menghalangi adanya interaksi ekonomi pada musim haji. Dalam suruh AlBaqarah/2/198:
Artinya: "Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu." (Al-Baqarah/2/198) Pada ayat 198 di atas, menjelaskan bahwa; tidak ada dosa atas kamu, yakni mencari dengan kesungguhan, sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ()ت pada kata ( )تبتغوا, selama yang dicari itu berupa anugerah dari Tuhanmu, yakni berupa rezeki hasil perniagaan dan usaha halal lainnya dari Tuhan kamu pada musim haji. Namun demikian, kamu harus tetap berzikir mengingat Allah dan juga tujuan melaksanakan ibadah haji. Maka apabila kamu telah bergegas, berduyun-duyun bertolak dari Arafah setelah Maghrib menuju ke Muzdalifah, berzikirlah kepada Allah sejak berada di dekat Masy'ar al-Haram, yaitu bukit Quzah di Muzdalifah.3 Ayat ini mengisyaratkan dua tempat perhentian. Persinggahan pertama adalah wuquf di Arafah yang berlangsung dari siang (zuhur) sampai malam (magrib) dan 3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keseraian Al-Qur'an), Jakarta, Lentera Hati, 2002, Vol 1, cet- 1, h. 408
44
persinggahan kedua di Muzdalifah dari malam sampai siang. Persinggahan pertama, yakni wukuf di 'Arafah dalam rukun, tidak sah haji bila ditinggalkan. Sedang persinggahan kedua di malam hari, hukumnya wajib walau sekejap, bila ditinggalkan mengharuskan pembayaran dam. Di kedua tempat itu, jema'ah haji diharapkan memperbanyak zikir. "Berzikirlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada mu, atau disebabkan karena Dia telah memberi petunjuk kepada kamu. Dalam Al-qur'an dan melalui Rasul-Nya Allah mengajarkan empat macam zikir, yaitu dengan lidah melalui ucapan, dengan anggota tubuh melalui pengalaman, dengan pikiran melalui perenungan yang mengantar kepada pengetahuan, serta dengan hati melalui kesadaran akan kebesaran-Nya yang menghasilkan emosi kegamaan dan keyakinan yang benar. Zikir-Zikir tersebut pada akhirnya harus membuahkan amal kebajikan. )supaya mereka menyebut nama Allah, dibatasi
Firman-Nya ( pemahamannya
oleh
sementara
ulama
dalam
arti
"hendaklah
mereka
menyembelih binatang" karena pada penyembelihan itu dianjurkan untuk dilakukan sambil
menyebut
nama
Allah, bukan nama
berhala-berhala
sebagaimana kebiasaan kaum musyrikin.4 Ayat di atas menggunakan bentuk redaksi pesona kedua firman-Nya ( ) maka makanlah sebagian darinya setelah penggalan sebelumnya redaksi 4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keseraian Al-Qur'an), h. 45
45
persona ketiga. Ada ulama yang menyisipkan kalimat "maka Wahai nabi Ibrahim katakanlah kepada mereka bahwa makanlah dan seterusnya". Ada juga yang menyatakan pengalihan redaksi itu ditujukan kepada umat Nabi Muhammad saw. Dengan tujuan menekankan bolehnya memakan daging kurban, karena masyarakat jahiliah enggan memakannya, atau karena Nabi saw, pernah melarang memakan daging kurban. Dengan demikian, perintah makan itu bukanlah perintah wajib. Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk membagi tiga daging kurban. Sepertiga dimakan oleh yang menyembelih bersama keluarganya, sepertiga disedekahkan dagingnya, dan sepertiga lagi buat makanan bagi yang butuh. Ada juga yang berpendapat dibagi dua saja, seperdua bagi yang berkurban, dan seperdua lainnya dibagikan kepada yang butuh dengan alasan bagi kata ( ) اَْلـبَائِس اْلفَقِـيْرmerupakan satu kelompok saja. Kata ( ) اَْلـبَائِسterambil dari kata (
( yang berarti keras atau kesulitan,
yang dimaksud di sini adalah kesulitan dan kesempitan dalam bidang materi. Yang fakir pada hakikatnya tidak memiliki kecukupan materi, namun demikian ayat ini menggandengkan kedua kata itu, untuk mengingatkan orang lain bahwa kehidupan para fakir bersifat keras dan dalam kesempitan sehingga membutuhkan uluran tangan. Ada juga yang memahami kata al-bais dalam arti yang nampak kemiskinan dan kebutuhannya secara lahiriah pada wajah dan pakainnya, sedang
46
faqir adalah semua yang butuh, walau penampilannya tidak memperlihatkan kebutuhan. Perhatikan ayat 28, dan secara seksama perhatikan kalimat, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. Dari sini jelaslah bahwa: pertama, apakah tujuan dari manfaat-manfaat tersebut sehingga para pengunjung Ka’bah mesti menanggung sebuah kesaksian? Kalimat ini dilanjutkan dengan, dan supaya mereka menyebut nama Allah, dengan maksud bahwa Haji memiliki dua aspek yang menjelma dalam mengingat Allah, dan aspek sosial yang ditunjukkan dalam hal menjadi saksi atas manfaat-manfaat yang diberikan Allah. Analisis M. Quraish Shihab Ayat 28 Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa haji adalah ibadah murni yang tidak sah bila dikeruhkan dengan aktivitas keduniaan, seperti jual beli, perdagangan dan lebih-lebih politik. Pendapat ini ada benarnya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Itu baru benar, jika aktivitas yang dilakukan terlepas dari niat ibadah dan atau melengahkan dari tujuan kehadiran ke Baitullah.5 Berkaitan masalah ini setidaknya dalam surat an-Nur memberikan arahan kepada manusia sebagai berikut:
5
M. Quraish Shihab, Haji Bersama Quraish Shihab, Bandung, Mizan, 1999, cet.2. hal. 55
47
Artinya: "… di masjid-masjid yang telah diperintahkan dan dipuji nama-Nya bertasbih di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari melaksanakan shalat dengan sempurna, membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari, yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi guncang. Mereka lakukan itu, agar Allah menganugerahkan kepada mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Q.S. AnNur/24/36-38) Memang, ketika ayat 197 surat Al-Baqarah berbicara tentang "larangan bercumbu, berkata cabul, dan bertengkar" turun, sebagian shahabat Nabi menduga bahwa larangan tersebut mencakup larangan berniaga, karena di sana sering terjadi pertengkaran. Namun dugaan mereka diluruskan oleh Al-Qur'an :
Artinya: ".Tidak ada dosa bagi kamu mencari karunia Ilahi (rezeki perniagaan, pada musim haji).. ((Q.S. Al-Baqarah/2/198) Petunjuk ini memang sangat wajar, terlebih lagi jika disadari bahwa musim haji yang dialami oleh mereka ketika itu berlanjut berbulan-bulan, dan karena itu pula antara lain musim haji oleh Al-Qur'an dinyatakan sebagai terlaksana dalam beberapa bulan tertentu yakni sejak bulan Syawal sampai bulan Dzulhijjah: Alhajj asyhurun ma'lumaat (Q.S. Al-Baqarah/2/197).
48
Ketika itu amat menyulitkan jika jual beli dan perniagaan dilarang, tetapi semua potensi mengarah kepada pelaksanaan ibadah. Ini terutama untuk yang telah membawa bekal cukup dari tanah air, untuk beberapa minggu bahkan belasan hari. Apalagi jika yang dibeli bukan merupakan kebutuhan hidup6. Sekali lagi, berbelanja tidak dilarang, membawa oleh-oleh dari tanah suci untuk teman dan sanak keluarga juga merupakan hal yang baik, namun sebaiknya ditangguhkan hingga selesasi melaksankan thawaf ifadah.
B. Intepretasi Ayat 28 Menurut Sayyid Quthb Sayyid Quthb dalam pembahasan masalah haji serta yang berkenaan dengan haji mengaitkan dari proses pembangunan Masjid Haram di bawah tangan Nabi Ibrahmim dengan arahan dan petunjuk dari Tuhannya. Redaksi kembali mengingatkan tentang kaidah dan fondasi Ka'bah yang berdasrkan kepada tauhid. Juga mengingatkan kembali tujuan dari pembangunannya yaitu untuk menyembah Allah semata-mata. Ka'bah telah dikhususkan bagi orang-orang bertawaf di sekitarnya dan mendirikan shalat menyembah Allah di dalamnya.. Jadi, sejak pertama Baitullah itu didirikan untuk tauhid. Allah telah menunjukkan kepada Ibrahim tempat pembangunannya dan menyerahkan urusan pembangunannya di atas asas "… Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku…" 6
M. Quraish Shihab, Haji Bersama Quraish Shihab, h. 58
49
Karena Ka'bah itu merupakan rumah Allah semata-mata dan bukan milik selain dari-Nya. Juga agar orang-orang yang berhaji dan mendirikan shalat menyucikan Baitullah itu dari kemusyrikan, dan untuk orang-orang itulah Baitullah dibuat, bukan untuk orang-orang yang menyekutukan Allah dan mempersembahkan ibadah kepada selain dari-Nya. Maka ini lah maksud dari seruan nabi Ibrahim yang terkandung dalam ayat 26 ddan 27 surah Al-Hajj untuk selurh manusia agar berhaji kepada-Nya. Selanjutnya dalam ayat 28 Sayyid Quthb membahas tentang tujuan atau kemanfaatan dari pelaksanaan ibadah haji serperti berikut ini:
Artinya: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (Al-Hajj/22:28)
Manfaat yang disaksikan oleh orang-orang yang berhaji sangat banyak. Haji itu merupakan musim muktamar, musim perdagangan, dan musim ibadah. Haji merupakan muktamar perkumpulan dan perkenalan. Juga muktamar konsolidasi dan saling membantu. Haji merupakan ibadah fardhu dunia dan akhirat,
50
sebagaimana kenangan tentang akidah lama dan jauh (akidah Ibrahim) dengan akidah yang baru (Muhammad saw) juga bertemu. Para pedagang dan pemasok barang pada musim haji mendapatkan pasar yang menguntungkan, berbagai macam buah-buahan dan lain-lain dipasok ke Tanah Haram dari segala penjuru bumi. Para haji pun dari seluruh penjuru membawa berbagai perbekalan dan kebaikan dari negeri-negeri mereka dan musim buahbuahan yang bermacam-macam sesuai dengan musim buah yang ada di negerinya. Kemudian semuanya bersatu dalam satu musim, yaitu musim haji. Jadi musim haji itu merupakan musim perdagangan dan pameran segala sesuatu serta pasar dunia yang diselenggarakan sekali setahun.7 Ia juga merupakan musim ibadah, yang dengannya ruh menjadi suci. Ruh itu dapat merasakan kedekatannya dengan Allah di rumah-Nya. Ia merasakan ketenangan dalam zikir dan mengenang yang terjadi padanya, baik yang lama maupun yang baru. Haji merupakan muktamar unttuk perkenalan, musyawarah, dan konsolidasi langkah-langkah serta penyatuan kekuatan. Ia juga merupakan sarana pertukaran manfaat, barang, pengetahuan dan keahlian. Konsolidasi alamislami yang satu, lengkap dan semupurna, sekali dalam setahun di bawah naungan Allah, di dekat Baitullah, di bawah naungan ketaatan orang-orang yang jauh dan dekat, dalam kenangan orang-orang yang telah tiada dan orang-orang yang masih hidup, di 7
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an di Bawh Naungan Al-Qur'an, jilid 15, terj. As'ad Yasin, dkk, Jakarta, Gema Insani Press, 2004, h.175
51
tempat yang paling tepat, suasana yang paling cocok, dan waktu yang paling serasi. Oleh karena itu, ketika Allah berfirman, "supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.." Setiap generasi memiliki kondisi, kebutuhan, tujuan, dan persoalan sendirisendiri. Itulah di antara beberapa hal yang diinginkan Allah atas orang-orang yang beriman sejak pertama haji diwajibkan dan Ibrahim diperintahkan untuk menyeruh seluruh manusia untuk melakukannya. Redaksi ayat 28 menjelaskan sebagian manasik haji, syiarnya dan tujuannya, "… dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.."
Ungkapan merupakan kiasan dari penyembelihan hewan ternak pada hari idul Adha dan tiga hari-hari tasyrik setelahnya. Al-Qur'an mengungkapkan penyebutan nama Allah lebih dahulu dari penyembelihan hewan ternak, karena suasananya adalah suasana ibadah; dan maksud dari penyembelihan itu adalah mendekatkan diri kepada Allah, oleh karena itu proses yang paling diutamakan dalam penyembelihan itu adalah menyebut
nama Allah saat menyembelih.
Seolah-olah itulah tujuan pokok dari pengurbanan hewan bukan penyemblihan itu sendiri. Pengurbanan hewan ternak itu merupakan upacara kenangan tebusan bagi Ismail. Jadi, pengurbanan itu merupakan kenangan dan peringatan terhadap salah satu dari tanda-tanda kekuasan Allah. Juga salah satu bentuk ketaatan dari dua hamba Allah Ibrahim dan Ismail, di atas sedekah dan pendekatan kepada Allah
52
dan memberikan makanan kepada fakir miskin. Binatang ternak itu terdiri dari unta, sapi, kambing dan domba. Hal ini tertera dalam ayat:
"…Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi ) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir." (Al-Hajj/22/28)
Perintah untuk memakan dari daging kurban adalah perintah sunnah. Namun, perintah untuk memberikan dagingnya kepada para fakir miskin adalah perintah wajib. Kemungkinan maksud dari pemilik kurban itu ikut memakan dagingnya, agar para fakir miskin merasakan bahwa daging itu merupakan daging yang baik dan mulia. Dengan menyemblih kurban itu, berakhirlah masa ihram, maka orang berhaji pun mulai mencukur botak atau memendekkan rambutnya, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mandi. Hal itu semua terlarang di masa ihram. Itulah yang dinyatakaan Allah dalam firman-Nya:
Artinya: Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).(Al-Hajj/22/29) C. Interpretasi Ayat 28 Menurut Hamka Dalam menjelaskan masalah haji Hamka memulainya dengan ayat 25 yang mengecam bagi kaum yang menyalah gunakan tempat peribadatan, yakni mereka
53
meletakkan berhala di sekeliling ka'bah, kemudian ayat berikutnya Allah menyerukan nabi Ibarahim untuk menyucikan tempat peribadatan dari hal perbuatan yang mengandung unsur syirik, dan menjadikan ka'bah sebagai tempat untuk berthawaf dan bersembahyang. Setelah itu nabi Ibrahim pun diseruh pada ayat 27 untuk menyeruk kepada umat manusia untuk lakukan ibadah haji, maka manusiapun berdatangan untuk menunaikan ibadah haji dari segenap penjuru. Maksud dari seruhan nabi Ibraham adalah untuk menunaikan ibadah haji yang tentunya mengandung manfaat bagi manusia itu sendiri seperti yang dijelaskan dalam ayat ke-28 surat Al-Hajj sebagai berikut:
Artinya: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (Al-Hajj/22:28)
Pada pangkal ayat ini dijelaskan bahwa sesampai di tempat yang mulia itu kita dapat menyaksikan hal-hal yang ada manfaatnya. Manfaat itu banyak, berbagai ragam ahli tafsir menjelaskan setengah dari manfaat itu ialah perdagangan. Tegasnya kalau ada membawa perniagaan, pergilah terlebih dulu menjualnya,
54
moga-moga dapat laba yang besar, atau memiliki barang yang dapat dibeli buat dijual lagi di tempat lain. Ayat ini sejalan dengan pangkal ayat 198 dari surat AlBaqarah, yang bunyinya:
Artinya: "Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu." (Al-Baqarah/2/198) Maka samalah penafsiran ahli-ahli tafsir bahwa ayat 28 surat Al-Hajj dan 198 surat Al-Baqarah ini adalah satu, yaitu tidak terlarang seketika mengerjakan haji itu disambilkan juga berniaga. Berjual beli. Jika diperhatikan kedua ayat itu, baik ayat 198 surat Al-Baqarah atau ayat 28 surat al-Hajj ini. Pada yang pertama di pangkal ayat diterangkan lebih dahulu boleh mencari keuntungan dari karunia Allah; lanjutnya adalah apabila kami telah berbondong dari Arafah, ingatlah Allah di dekat Masy'aril Haram.8 Di ayat ini, di pangkal dikatakan agar mereka menyaksiskan beberapa manfaat buat mereka, selanjutnya diterangkan "dan mereka menyebut nama Allah pada hari-hari tertentu". Dari kedua ayat ini dapati kesan, bahwa sebelum "hari-hari tertentu" atau sebelum berbondong turun dari Arafah, waktu buat urusan yang lain, buat berniaga, buat mencari keuntungan masih ada, sebab sampai di Mekkah bukanlah 8
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta, Pustaka Panjimas, jus 17, hal. 161
55
tepat pada "hari-hari tertentu" itu, melainkan beberapa hari lebih dahulu. Harihari yang terlarang itu tidaklah ada salahnya jika digunakan mencari keuntungan yang halal. Dalam mengerjakan Jum'at pun demikian pula. Bila waktu Jum'at telah datang tinggalkanlah
jual-beli
dan
pergilah
sembahyang.
Sehabis
sembahyang
bertebarlah di muka bumi mencari karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyakbanyaknya. Berkata Ibnu Abbas, pada permulaan perintah haji dalam Islam. Orang sibuk berjual-beli di Mina dan Arafah dan pasar Dzil Majaz di musim haji. Maka timbullah takut mereka meneruskan kebiasasan itu di dalam melakukan ihram. Tiba-tiba turunlah ayat itu 198 surat Al-Baqarah, yang menyatakan tidak ada salahnya bahwa kamu mengusahakan karunia dari Tuhan kamu pada musim haji9
Abu Amamah at-Tamimi menceritakan dia pernah meminta fatwa kepada Abdullah bin Umar bahwa pekerjaannya ialah mempersewakan kendaraan kepada orang-orang yang menunaikan haji. Ada orang yang mengatakan kepadanya bahwa hajinya tidak sah! Sebab kerjanya hanya mempersewakan kendaraan. 9
Dalam kisah lain Ibnu Abbas ditanya seseorang; " saya berkerja pada rombongan orang-orang yang hendak naik haji, lalu saya pun mengambil kesempatan mengerjakan manasik haji. Apakah haji saya itu diterima Tuhan? Ibnu Abbas menjawab "pasti diterima".
"Bagi mereka itu ada bagian dari sebab apa yang meriak usahakan. Dan Allah cepat sekali perhitungannya." (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni)
56
Lalu Ibn Umar bertanya: "Bukankah engkau berihram dan membaca talbiah? Bukankah engkau tawaf sesudah berkumpul di Arafah? Bukankah engkau pun turut melontar ketiga jumrah? Abu Amamah menjawab: "Semua itu aku kerjakan!" Maka berkata Ibnu Umar: "Telah ada pula orang bertanya semacam pertanyaanmu ini kepada Nabi saw., lalu beliau jawab;"Engkau sudah haji!" hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Said bin Manshur.10 Di samping itu, dalam sejarah juga menyebutkan, "bahwa sebelum jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Andalusia di akhir abad ke-15 Masehi. Kafilah haji itu adalah merangkap kafilah perniagaan. Rombongan-rombongan haji dari dunia Islam sebelah barat, membawa barang-barang dari barat yang diperlukan di timur, berpangkal dari kota-kota besar Andalusia, Kordova, Granada, Sebilla, Mercia, dan lain-lain, lalu berkumpul di pelabuhan Malaga. Dari sana menyebrang ke pantai Addir di Afrika Utara. Di sana mereka bergabung dengan calon-calon haji dari Tunisia, Talemsan (Al-Jazair), Marrakisy (Maroko) untuk meneruskan melalui Mesir, terus ke Jazira Arab, kadang-kadang sampai beribu orang. Yang dari Timurpun demikian pula, perniagaan dari Isfahan, Syiraj, Ghazaa, Samarkand dan lain-lain. Berkafilah-kafilah pula membawa hasil dari Tuhan. Mekkah adalah tempat pertemuan dan pertukaran kepentingan. Permadani yang indah-indah dari Shirasyi, sutra dari Kasmir, bahkan rempah-rempah dari kepulauan Indonesia, 10
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Hamka, Tafsir Al-Azhar, hal. 161
57
termasuk kapur wangi dari barus pulau Sumatra, yang telah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu sebagai barang mewah, sedang adanya hanya di Sumatra. Demikian juga setanggi dari Makasar, pulau Sulawesi, dan system chagu (cek) sudah terpakai waktu itu, dengan secarik kertas kecil seorang saudagar di pelabuhan Malaga minta serahkan sekian dinar uangnya kepada langganannya di Basrah dalam perjalanan wakil itu ke Makkah. 11 Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa "paham yang tidak pada tempatnya orang berkata bahwa haji tidak boleh dicampur dengan berniaga, dan salah satu rangka doa orang naik haji berbunyi :
"Semoga hajinya mabrur, sa'inya disyukuri, dosanya diampuni, dan perniagaannya sekali-kali yang tak akan rugi." Dan yang berniaga tentulah yang ahli perniagaaan juga. Maka bagi yang ahli tidak terlarang. Sedangkan maksud dari "dan mereka menyebut nama Allah pada hari-hari teretentu." Hari-hari tertentu mengerjakan manasik haji itu ialah : 1. 8 Dzul Hijjah: hari tarwiyah (persiapan akan ke Arafah) 2. 9 Dzul Hijjah: hari wukuf (berhenti di Arafah sejak tergelincirnya matahari) sampai berjawat malam 3. 10 Dzul Hijjah: hari Nahar di Mina, menyembelih kurban 11
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Hamka, Tafsir Al-Azhar, hal. 162
58
4. 11,12,dan 13: hari tasyrik, berhenti di
Mina untuk melempar jumrah
ketiganya. 5. tawaf Ifadhah dan Sa'i di antara Shafa dan Marwa serta tahallul.
Tahallul artinya melepaskan diri dari ikatan ihram dengan bercukur atau menggunting rambut beberapa helai. Dengan tahallul selesailah haji dan habislah hari yang tertentu itu, "Atas rezeki yang telah dilimpahkakan Allah dari binatangbinatang ternak" artinya amat banyaklah rezeki yang dikurniakan Allah kepada unta, sapi, kerbau, dan domba. Daginya buat dimakan, susunya buat diminum, kulitnya buat alas kaki, bulunya buat pakaian, dan binatang-binatang itu pula digunakan untuk pembayaran had-yu, kurban dalam berhaji. Dan di akhir ayat 28 menyatakan "Maka makanlah daripadanya dan beri makanlah orang susah melarat". Maksudnya adalah binatang-binatang ternak itu disemblih, sebagai pelengkap haji (bagi haji tamattu' dan qiran), atau sebagai bayaran (dam) jika melanggar beberapa peraturan larangan yang telah ditentukan, ataupun sebagai udhiya (kurban). Dan kita boleh memakan sebagian dagingnya dan yang sebagian lagi diberikan kepada orang fakir12.
12
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Hamka, Tafsir Al-Azhar, hal 164.
BAB. V PENUTUP A. Kesimpulan Interpretasi mufasir moderen dan kontemporer yang penulis paparkan pada bab kempat mengenai manfaat ibadah haji yang terkandung dalam ayat 28 surah al-Hajj, adalah bahwa ada manfaat dalam pelaksanaan ibadah haji, baik dari sisi perniagaan (jual beli) maupun dalam rangka kemajuan umat Islam. Hal ini dapat dilakukan jika tidak menjadi beban (penghalang) dalam pelaksanaan ibadah haji. Mengenai manfaat ibadah haji yang penulis kaji khusunya pada ayat 28 surah alHajj, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa ada manfaat dari pelasanaan ibadah haji setidaknya ada dua aspek manfaat dari pelaksanaan ibadah haji; yang pertama, adalah ibadah haji sebagai motivasi spiritual, dan untuk pencapaian ibadah haji dalam meningkatkan motivasi spiritual maka, harus ditanamkan nilai dari tujuan ibadah haji seperti; dengan menanamkan tujuan dalam lubuk hati bahwa dengan melaksanakan ibadah haji berarti, telah melaksanakan perintah dari rukun Islam yang kelima, yakni dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan syariat agama tentang kaifiyatul hajj (tatacara pelaksanaan ibadah haji). Hal lain yang merupakan nilai dari tujuan ibadah haji adalah untuk meningkatkan iman dalam hati, yang dipupuk selama ini dengan ibadah, pengajian, dan ketundukan kepada Allah swt. Kedua, adalah manfaat ibadah haji bagi kehidupan manusia yang terhimpun menjadi dua aspek yakni; aspek sosial dan aspek ekonomi. Pada aspek sosial dapat
59
60
diketahui bahwa setiap manusia itu pasti memerlukan pergaulan dengan orang yang dianggap sebagai sejenis (sama-sama makhluk manusia) dengan dirinya. Oleh sebab itu ia perlu sekali mempelajari norma-norma kesopanan dalam pergaulan. Setiap orang yang bergaul dengan sesuatu golongan, tentu ada cara-cara dan peraturannya sendiri. Kesopanan-kesopanan itu tentulah dengan mengingat kadarnya, dan kadar itu dengan mengingat hubungannya. Dan dalam pelaksanaan ibadah haji, hal ini teraplikasikan dalam ihram, wukuf dan kurban. Manfaat ibadah haji dari aspek ekonomi adalah manfaat dari perdagangan, dan manfaat lain ialah memperoleh apa yang diridhai Allah, baik dunia maupun akhirat. Hal ini mencakup seluruhnya, baik manasik, perdagangan, ampunan, dan manfaat dunia akhirat. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 28.
B. Saran Begitu pentingnya ibadah haji yang diperintahkan kepada umat manusia dengan persyaratan tertentu serta dengan waktu yang tertentu pula, maka sudah sepatutnya dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Artinya kita jadikan moment ibadah haji sebagai sarana unutuk mendekatkan diri kepada sang Khalik Allah SWT. Dengan menyempurnakan setiap rukun, wajib dan sunnah haji dengan baik, sehingga kita akan mendapat predikat "haji mabrur" Namun demikian dalam ibadah haji banyak manfaat yang dapat kita dapati dalam pelaksanaan ibadah haji seperti yang tertera dalam surat al-Hajj
61
ayat 28, sehingga dengan kemanfaatan itu diperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Untuk mendapatkan dua hal di atas (haji mambrur dan manfaat ibadah haji) maka diperlukan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak; pembimbing haji, ustadz, ulama, pemerintah dsb.
62
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta, Departemen Agama RI, 1987 al-Ashfahani, Al- Raghib, Mufradât Alfâz al-Quran, Beirut: al-Dâr al-Sâmiyyat, 1992. al-Farmawi, Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudlu'i Suatu Pengantar, terj. Suryana.Jamrah Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1996. al-Gazali, Al-Imam, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertakwa, Jakarta: Angkasa Raya, 1987. al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. _________, Said Agil Husain, Abdul Hakim, Fikih Haji; Menuntun Jamaah Haji Mabrur, Jakarta, Ciputat press, 2003, cet.1 al-Suyuti, Al-Imam Jalaluddin, Lubâbun Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, terj. A. Katib, Surabaya: Darul Ihya, 1986. Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, Ter. A. Kaelan, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1977 Altaf Gauhar, Tantangan Islam, Bandung : Pustaka, 1995 al-Jaziri, Abdul Rahman, Fikih Madzhab Empat, ter. Moh Zuhri, at. dll, Semarang, as-Syifa, 1994 Asyairazi, Abi Ishak Ibrahim bin Ali ibn yusuf, Al-Muhadzab fiFikh Imam As-Syafi'I, Darul Fikir, juz 1 Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Beirut Libanon, Dar Al Ma'rifah, 2004, cet 4 Al-Jajiri, Abdurrahman, Fikih Empat Mazhab, Kairo, Mathba'ah al-Istiqomah, 2002, cet 2 A. Banani Adam dan Musthafa As., Hikamah Rahasia Ibadah Haji dan Umrah, Bandung, Lubuk Agung, 1992, cet-4 As-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman, Jami'I alAhadis, Beirut, Dar al Fikr, 1994, juz, 4
63
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Pedoman Haji, Jakarta, PT Bulan BIntang, 1994, cet. 3 Bukhari, Imam, Sahîh Bukhari, Beirut: Dâr Ibn Katsîr Yamâmah, 1987 M/1407 H. Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Moderen, Mizan, jilid 2, cet. II, 2002 Hasan Basri, Haji dan Kurban, Mimbar Ulama, VIII, 1983 Hamka, Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jakarta, Pustaka Panjimas, jus 17. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Semarang, CV. Asy-Syifa, 1990, cet.1 Ibnu Mas'ud, Dkk, Fikih Madzhab Syafi'I, Bandung, Pustaka Setia, 2005, cet-2 Khalil Abdul Karim, Hegemony Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan, Ter. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LKIS, 2004 Latif Rosady, Manasik Haji dan Umrah Rosulullah SAW, Medan, Rimbow, 1989 Ma'luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-'Ulûm, Beirut: alKâsûlîkiyah, tt. Muhammad Amin Al-Kurdi, Tanwir Al-Qulub, Beirut; Dar Al Fikr,1994 Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji; Telaah intensif dari Perbagai Mazhab, Bandung, Mizan, 1996, cet.5 Muslim, Sahîh Muslîm, Beirut: Dâr Ihya' al-Turâts al-'Arabi, tt. Nurkhalis Majid, Perjalanan Religius "Umrah dan Haji", Jakarta, Paramadina, 2008. cet.3 Ruslani, Wacana Spiritualitas Timur dan Barat, Yogyakarta: Qalam, 2000. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Ciputat: Lentera Hati, 2002. Vol. 1 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Ciputat: Lentera Hati, 2002. Vol. 15 Shihab, M. Quraish, Haji Bersama Quraish Shihab, Bandung, Mizan, 1999, cet.2
64
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an, Bandung, Mizan, 1999 Shihab, M. Quraish, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1999. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. III libanon: Daar al-Fikr, 1983 Quthb, Sayyid, Tafsir fi Dzilal al-Quran, Beirut: Dâr al-Fikr, 1998. Quhb, Satyyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an di Bawh Naungan Al-Qur'an, jilid 15, ter As'ad Yasin, dkk, Jakarta, Gema Insani Press, 2004 Zainuddin,et-al, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, cet-1