PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi Berjudul EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN telah diujikan pada Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum (PMH). Jakarta, 6 Desember 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA.
(…………………….)
NIP. 195703121985031003 2. Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.
(…………………….)
NIP. 196511191998031002 3. Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, M.Ag.
(…………………….)
NIP. 150277991 4. Penguji I
: Kamarusdiana, S.Ag., MH.
(…………………….)
NIP. 197202241998031003 5. Penguji II
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP. 195003061976031001
iii
(…………………….)
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Uiversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Oktober 2010
Widya Alia
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW., Rasul yang paling mulia dan penutup para Nabi, serta iringan do’a untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu setia hingga akhir zaman. Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah berakhir. Banyak suka maupun duka mengiringi perjalanan panjang studi yang penulis lalui. Kadang haru dan bahagia mengenang banyak kenangan dan pengalaman yang penulis peroleh. Namun, selesainya penyusunan skripsi ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ini merupakan awal dari perjuangan lain yang akan penulis tempuh dalam hidup ini. Satu tugas telah selesai maka ada tugas lain yang menanti. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sadar bahwa tidak akan sanggup menghadapi berbagai hambatan dan rintangan yang mengganggu berjalannya penulisan ini tanpa adanya doa, dorongan motivasi dan bantuan yang bersifat materil maupun spiritual baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada:
v
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta dan Pembantu Dekan I, II, dan II yang telah memberikan ilmu kepada penulis. 2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum beserta Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum yang telah membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktivitas yang berkenaan dengan jurusan. 3. Dr. Yayan Sopyan M.Ag., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasihat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan beserta pihak-pihak yang terkait, khususnya Ibu Tamah, SH., Bapak Drs. Kadi Sastro Wirjono yang telah meluangkan waktunya dan ketersediaannya untuk diwawancara, dan untuk mbak Ayu yang telah membantu penulis menemui orang yang tepat untuk dimintai data tentang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 5. Pimpinan
Perpustakaan
Utama
dan
Perpustakaan
Fakultas
maupun
Perpustakaan umum lainnya beserta staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi keperpustakaan berupa beberapa buku maupun literature lainnya sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan. 6. Para Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan berlangsung. vi
7. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda H. Wahyu Widiana dan Ibunda Hj. Nina Noor Farah yang telah mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya sehingga penulis selalu bersemangat menyelesaikan skripsi ini setiap mengingatnya. Skripsi ini penulis persembahkan untuk “Papap dan Mama”. Kepada kakak-kakak dan adik-adik tersayang, a Kiki, a Dede, a Zenit, Zico dan Adli, kalian selalu memberikan semangat dan doa dalam mengerjakan skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga besar penulis, kalau bukan berkat doa kalian tidak akan mampu penulis menyelesaikan skripsi ini. 8. Untuk teman-teman tersayang yang selalu mengingatkan penulis, PH Community, Lidya, Robhitoh,
Acep, Ruqiyah,
Khairunnisa, Khodijah,
Zakiah, Husnul, Iin, Merli, Diana, Aam, Afifah, Ronti, Siti, Vini dan Rival teman seperjuangan dalam memperjuangkan penyusunan skripsi ini serta seluruh teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Untuk Akang-akang, Teteh-teteh dan adik-adik Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) kalian adalah rumah kedua setelah keluarga untuk penulis bisa berbagi dan bertukar fikiran. Terimakasih atas doa dan semangat yang kalian beri. 9. Dan kepada seluruh pihak yang telah membatu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
vii
Tiada kata yang patut penulis ucapkan selain kata syukur dan terimakasih kepada Sang Pencipta dan Sang Pencinta yang selalu mencurahkan kasih sayang-Nya yang begitu besar, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Dan untuk orang-orang yang telah berjasa, penulis hanya bisa mendoakan semoga selalu dilimpahkan Rahmat dan Hidayah oleh-Nya. Amin. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan untuk para pembaca.
Jakarta, 20 Oktober 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.........................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN...........................................................................
iv
KATA PENGANTAR....................................................................................
v
DAFTAR ISI...................................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.........................................
6
D. Metode Penelitian................................................................
7
E. Review Studi Terdahulu......................................................
11
F. Sistematika Penulisan...........................................................
14
MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia……………..
16
B. Dasar Hukum Mediasi…………………………………….
22
C. Ruang Lingkup Mediasi…………………………………..
31
D. Prinsip-prinsip Mediasi…………………………………..
34
E. Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008………….
37
ix
BAB III
TEORI
EFEKTIVITAS
DAN
SELAYANG
PANDANG
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
BAB IV
A. Teori Efektivitas.................................................................
44
B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan......
49
ANALISIS
EFEKTIVITAS
MEDIASI
DI
PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN A. Dasar Hukum Seorang Hakim Menjadi Mediator..............
61
B. Administrasi Mediasi Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan Praktek yang Ada di Lapangan...............
63
C. Hambatan Dalam Mengupayakan Keefektivan Mediasi…
65
D. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan…………………………………… BAB V
67
PENUTUP A. Kesimpulan..........................................................................
86
B. Saran....................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia pastilah ada permasalahan-permasalahan dalam menjalankan hidup ini. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini akan menemui suatu tantangan-tantangan berupa konflik atau pertikaian-pertikaian yang terjadi antar manusia itu sendiri karena berbeda kepentingan satu sama lain. Kita tidak dapat mengelak atau menghindar dari permasalahan-permasalahan hidup. Kita harus menghadapi segala macam permasalahan-permasalahan dan menyelesaikan permasalahan atau konflik tersebut. Salah satu permasalahan tersebut yaitu perbedaan-perbedaan dan pertentangan dari sesama manusia karena berbeda kepentingan antara satu sama lain. Perbedaan dan pertentangan yang dialami manusia tersebut merupakan hal yang alamiyah, karena Allah swt. menciptakan manusia dalam keragaman, berbeda-beda suku dan bangsa. Keragaman dan perbedaan-perbedaan tersebut dapat kita lihat dari perbedaan warna kulit, bahasa, ras, agama, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan. Keragaman dan perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu potensi yang dapat menimbulkan konflik-konflik antar manusia. Oleh karena itu manusia harus dapat menangani konflik dan menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi antar manusia, sehingga tidak membawa pada kekerasan apalagi sampai ada pertumpahan darah. 1
2
Al-Qur’an pun mengakui konflik dan persengketaan di kalangan manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.1 Hal ini dijelaskan pada firman Allah swt. :
ل ُ ه يُ ْفسِ ُد فِيهَا وَ َيسْ ِف ْ َم فِيهَا م ُ ج َع ْ َخهِيفَ ًة قَانُىا أَت َ ض ِ ْم فِي انَْأر ٌع ِ َوإِ ْذ قَالَ رَ ُّبلَ ِن ْه َمهَا ِئكَةِ إِوِي جَا )30 :2/ن (انّبقرة َ عهَ ُم مَا نَا َت ْعَهمُى ْ َل قَالَ إِوِي أ َ ك وَوُقَدِسُ َن َ حمْ ِد َ ِح ّب ُ ِه ُوسَّب ُ ْان ِدمَا َء وَوَح Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: „sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.‟ Mereka berkata: „mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi adalah orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau. Tuhan berfirman: „sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui„.”(QS. Al-Baqarah/2 : 30).
Dari ayat ini sudah jelas terlihat bahwa manusia merupakan orang yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Manusia dan konflik tidak dapat dipisahkan dan konflik tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ayat ini pun menjelaskan bahwa keterkaitan manusia dengan konflik sudah diinformasikan jauh sebelum diciptakannya (orang yang akan membuat kerusakan). Oleh karena itu kita sebagai manusia yang diberi kelebihan untuk memimpin muka bumi ini, harus bisa menyikapi konflik tersebut dengan mengendalikan hawa nafsu yang kita miliki. Perlunya penyikapan konflik secara benar tersebut berangkat dari adanya kesadaran bahwa konflik yang ditimbulkan dari sebuah interaksi sosial yang saling merugikan dapat menimbulkan terjadinya ketidakharmonisan antar sesama.
1
Syahrizal Abbas, Mediasi, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group), h. 120.
3
Walaupun terkadang tidak dapat dihindari bakal terjadinya konflik. Untuk mengantisipasi terjadinya konflik berkelanjutan, penyelesaian sengketa atau konflik dapat dilakukan melalui beberapa cara, diataranya adalah mediasi. Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan.2 Pada sistem pengadilan yang ada di Indonesia pun mewajibkan proses mediasi tersebut. Hal ini terdapat pada PERMA No. 1 Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan dari PERMA No. 2 Tahun 2003. PERMA No. 1 Tahun 2008 ini dikeluarkan oleh Bagir Manan selaku ketua Mahkamah Agung RI.
PERMA Nomor 1 tahun 2008 ini mewajibkan seluruh perkara perdata yang masuk ke pengadilan harus melewati proses mediasi. Apabila pihak-pihak yang terkait menolak melakukan mediasi maka mediasi proses persidangan tidak dapat dilanjutkan karena batal demi hukum. Seperti yang tertera pada PERMA Nomor 1 tahun 2008 ini bab I pasal 2 mengenai “Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlaku PERMA” ayat (2) dan (3). Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan
2
Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang Perbankan” artikel diakses pada tanggal 21 maret 2010 dari http://www.bapmi.org/pdf/DiskusiTerbatasPelaksanaanMediasi_FelixSoebagjo.pdf
4
Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini dapat dikatakan proses mediasi ini merupakan paksaan bagi para pihak yang berpekara.
Oleh karena itu dengan dikeluarkannya PERMA No.1 Tahun 2008 mengenai mediasi ini yang mengharuskan para pihak yang berpekara mengikuti proses mediasi, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa efektif pelaksanaan mediasi yang telah masuk ke dalam sistem peradilan di Indonesia dan diwajibkan bagi pihak-pihak yang berpekara untuk dapat mengikuti prosedur mediasi tersebut, khususnya di wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Penulis memilih melakukan penelitian di lokasi tersebut karena Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan “Pilot Project” dalam bidang mediasi untuk seluruh Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Jadi, dengan diketahuinya keefektifan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan “Pilot Project”nya akan tergambarkan keefektifan mediasi secara scala besar nasional. Karena latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menuliskannya menjadi sebuah skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN
AGAMA
JAKARTA
SELATAN
SETELAH
DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN”.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah mediasi tidaklah mungkin dituangkan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis akan membatasi permasaahan yang ada, yaitu keefektivan mediasi yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan hanya pada kasus perceraian 2 (tiga) tahun belakangan ini. Agar lebih terfokus, penulis akan membatasi permasalahan sebagai berikut: 1. Skripsi ini hanya mengkaji efektivitas pelaksanaan mediasi. 2. Mediasi yang dilakukan sesuai dengan PERMA No 1 Tahun 2008. 3. Tahun perkara dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009. 4. Lokasi penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Perumusan Masalah Masalah adalah adanya perbedaan antara teori dan kenyataan, oleh karena adanya perbedaan itu penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Berapa perbandingan antara jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah perkara yang berhasil di mediasi? 2. Apa kendala yang dihadapi oleh para mediator dalam menjalankan mediasi itu?
6
3. Seberapa efektif mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Selain gambaran di atas, pembuat skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN” mempunyai tujuan, yaitu: 1. Secara teoritis, dimaksudkan agar masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya dapat mengetahui sejauh mana keefektivan mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2. Mengetahui Perbandingan jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah perkara yang berhasi di mediasi. 3. Mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi para mediator dalam menjalankan mediasi. Disamping itu, semoga penulisan ini dapat berguna sebagai: 1. Memperkaya khazanah keilmuan intelektualitas di bidang hukum, khususnya mengenai mediasi. 2. Dari segi praktis, diharapkan berguna untuk memberikan informasi kepada segenap pihak yang berkompeten untuk dijadikan bahan evaluasi terhadap pelaksanaan program hukum dan untuk meningkatkan efektivitas mediasi
7
dalam memutuskan perkara perdata sehingga dapat mengendalikan jumlah kasus dalam litigasi.
D. Metode Penelitian Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan survei.
Dilakukan pendekatan survei ini yaitu untuk lebih dapat
mengamati sejauh mana efektivitas mediasi di lapangan. Dengan dilakukannya survei langsung ke lapangan penulis akan lebih aktual mendapatkan informasi mengenai keefektivan mediasi. 2. Jenis Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif.
Penelitian
kualitatif
yaitu
penelitian
yang
menghasilkan deskripsi berup kata-kata atau lisan dari fenomena yang diteliti natau dari orang-orang yang berkopenten di bidangnya.3 Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, hingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data.
3
hal. 3.
Lexi. J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2001),
8
Selain itu penelitian ini termasuk juga dalam jenis empiris. Karena penulis terjun langsung ke lokasi penelitian untuk menganalisa keefektivan suatu hukum. Penelitian jenis empiris terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivisitas hukum.4 Penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu untuk menganalisa dan menguraikan mengenai pelaksanaan mediasi yang dilakoni olah para hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. 3. Data Penelitian Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dan terbagi menjadi 2: a. Data Primer Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dan berkaitan dengan penelitian terutama hakim-hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang mediasi dan Dirjen Badan Peradilan Agama selaku pejabat yang berwenang dalam penerapan PERMA No. 1 Tahun 2008 pada tahun 2010.
4
h. 42.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
9
b. Data Sekunder Data sekunder didapat dari peraturan perundang-undangan,5 data-data resmi dari instansi pemerintah, dari peradilan, buku-buku literatur, karangan ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian. 4. Teknik Pengolahan Data Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahanbahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut: a. Studi Pustaka (library research) Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah. Pengolahan data studi pustaka ini dilakukan dengan cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang terdapat dalam skripsi ini. b. Penelitian Lapangan (field research) Melalui penelitian ini, didapatkan data-data mengenai perkaraperkara perceraian yang berhasil dan gagal menggunakan mediasi serta melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan
5
Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet.4, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.302.
10
menguasai tentang mediasi yang berada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yaitu Drs. Kadi Sastrowirjono selaku mediator non hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan dan Tamah, SH., selaku mediator hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Serta Pejabat Badan Peradilan Agama yaitu Drs. Wahyu Widiana, MA. Selaku Dirjen Badan Peradilan Agama. Wawancara ini menggunakan metode bebas dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan referensi untuk memperkuat data. c. Pengolahan Data Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis mengolah data dengan metode deskriptif dan komparatif. Yaitu menyajikan dan menggambarkan data secara alamiah tanpa melakukan suatu manipulasi. Dalam penyajian data tersebut dikomparatifkan antara data yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka dan kenyataan sesungguhnya yang didapatkan dari penelitian di lapangan. 5. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah analisis wacana (content analysis), yaitu mengidentifikasi kehadiran konsep tertentu melalui rangkaian kata yang ada pada suatu teks. Rangkaian kata dalam suatu teksnya itu berupa fakta-fakta pengamatan di lapangan, wawancara dan dokumen yang tersedia.
11
6. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, yaitu menggunakan deskriptif analisis. Dalam penulisannya penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
E. Review Studi Terdahulu Sebelum dilakukannya penelitian ini, terdapat skripsi-skripsi dengan penelitian mengenai perdamaian yang ditulis oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, yaitu: NO 1.
2.
IDENTITAS Nama : Suaeb Jurusan/prodi : PMH/PH Tahun : 2006 Judul : “Peran Hakim Dalam Mendamaikan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bekasi”
SUBSTANSI Menjelaskan tentang perceraian yang terdiri dari pengertian perceraian, sebab perceraian dan akibat yang ditimbulkan dari perceraian. Kemudian membahas tentang upaya perdamaian dalam perkara cerai di Pengadilan Agama, pengertian perdamaian, maksud perdamaian dalam perceraian serta tekhnik dan tatacara hakim dalam mendamaikan para pihak pada kasus perceraian. Nama : Budi Membahas seputar Setiawan pengertian hakam , syaratJurusan/prodi : PMH/PF syarat menjadi hakam, Tahun : 2006 kemudian membahas Judul : perdamaian di masa
PEMBEDA Dalam skripsi ini lebih ditekankan peran hakim yang mendamaikan para pihak dalam artian dilihat dari segi meditor atau subjeknya, sedangkan di skripsi penulis lebih melihat dari segi objeknya, yaitu mediasi yang dilaksanakannya, berhasil atau tidak.
Dalam skripsi tersebut lebih menekankan pada perbandingan antara perdamaian pada
12
3.
“Hakam Menurut Imam madzhab dan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Serta Peranannya Dalam Menyelesaiakan Sengketa Perceraian (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Jakarta Utara).”
sahabat dan perdamaian pada sengketa perceraian di masa sekarang. Selain itu dalam skripsi ini memuat juga mengenai pandangan Imam madzhab dan Undang-undang Peradilan Agama tentang hakam, serta bentuk dan upaya hakam dalam mendamaikan, peranan hakam di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terdiri dari sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Utara, jenis perkara yang ditangani hakam serta peranan hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
masa sahabat dengan perdamaian pada masa sekarang. Sedangkan skripsi penulis lebih mengedepankan efek dari mediasi tersebut yang dituangkan dalam efektivitas mediasi. Dan landasan hukumnya juga berbeda, pada skripsi yang ditulis oleh Budi Setiawan berdasarkan pada UU No. 7 Tahun 1989, sedangkan penulis menggunakan PERMA No. 1 Tahun 2008.
Nama : Musliman Jurusan/prodi : ASS/PA Tahun : 2007 Judul : “Upaya Hakim Dalam Mendamaikan Pihakpihak Terhadap Perkara Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok)”
Menjelaskan tentang perceraian yang terdiri dari pengertian perceraian, macam-macam perceraian, bentuk-bentuk perceraian, dan alasan-alasan dilakukannya perceraian. juga membahas tentang pengertian perdamaian, dasar hukumnya dan tata cara mengajukan perceraian. selain itu penulis membahas upaya hakim dalam mendamaikan pihak-pihak terhadap perceraian di Pengadilan Agama Depok.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Musliman membahas tentang upaya hakim yang mendamaikan pihakpihak di dalam persidangan. Sedangkan dalam judul yang penulis angkat membahas tentang upaya mediator baik hakim atau non hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang berpekara di luar persidangan.
13
4
Nama : Nusra Arini Jurusan/prodi : PMH/PH Tahun : 2009 Judul : “Aplikasi PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Dalam Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”
Menjelaskan tentang kandungan PERMA No.1 Tahun 2008, pngertian,sejarah mediasi, dasar hukum mediasi dalam litigasi, tujuan hukum dalam litigasi, prosedur mediasi,putusan perkara perdata, pengaplikasian PERMA No.1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pengaruh Mediasi terhadap putusan sebelum dan sesudah PERMA.
Perbedaannya dengan skripsi yang penulis tulis adalah dalam skripsi yang di tulis oleh Nusra Arini ini lebih menekankan pengaplikasian mediasi, sedangkan penulis lebih meneliti tentang keefektifan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, apakah berhasil guna atau tidaknya.
Dalam penulisan skripsi, penulis mengangkat judul “Efektivitas Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”, penulis menjelaskan tentang keefektivan mediasi yang diwajibkan oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengenai mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Judul ini belum ada di skripsi-skripsi sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya: Bab I, bab ini memuat tentang PENDAHULUAN yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
14
penelitian,
metodelogi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika
penulisan. Bab II, dalam bab ini akan dikemukakan secara umum MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS yang meliputi pengertian mediasi, sejarah mediasi, baik itu sejarah awal mulanya mediasi di Indonesia ataupun sejarah awal mulanya mediasi dalam Islam. Kemudian membahas mengenai dasar hukum mediasi dalam hukum Nasional dan dalam hukum Islam, bagaimana prinsipprinsipnya dan praktik mediasi pada keduanya, pada PERMA No. 1 Tahun 2008 dan A-Qur’an, kemudian mengenai ruang lingkup mediasi dan dasar hukum mediasi, baik dasar hukum mediasi dalam hukum nasional maupun dalam hukum Islam serta jenis-jenis perkara yang ditangani mediasi. Bab III, pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci tentang TEORI EFEKTIVITAS
DAN
SELAYANG
PANDANG
PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN. Terdiri dari pengertian umum efektivitas, indikator dapat dikatakan efektif, letak geografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bab IV, PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN. Bab ini merupakan bab inti yang ada dalam skripsi ini, karena dalam bab ini akan dibahas beberapa problem dalam penerapan serta bagaiman efektivitas mediasi di ranah hukum Indonesia khususnya di Peradilan Agama Jakarta Selatan.
15
Bab V, PENUTUP. Bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya ilmiah lazim dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa persoalan yang dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum. Adapun
untuk
melengkapi
skripsi
ini
dan
untuk
mempertanggungjawabkan karya ilmiah ini, diakhiri dengan data-data buku sebagai referensi dalam mengkaji permasalahan di seputar hukum mengenai mediasi.
BAB II MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia 1. Pengertian Mediasi Dalam pengertian umum, makna mengenai mediasi secara etimologi dan terminologi yang diberikan oleh para ahli akan dipaparkan sebagai berikut. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin yaitu mediare, yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan kepada peran yang bertindak sebagai mediator. Mediator dalam menjalankan tugasnya berada di tengah-tengah para pihak yang bersengketa atau dalam artian menengahi kedua belah pihak. “Berada di tengah” juga mempunyai makna harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa dan harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.1 Oleh karena itu, para mediator haruslah orang yang dapat dipercaya untuk mendamaikan atau menengahi kedua belah pihak yang bersengketa tanpa memihak salah satunya. Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus yang dikutip dalam buku “Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum adat dan Hukum
1
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 2.
16
17
Nasional” karangan Syahrizal Abbas disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjebatani kedua belah pihak
yang bersengketa
guna
menghasilkan kesepakatan (agreement). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. 2
2. Sejarah Mediasi di Indonesia Pada tanggal 24 sampai dengan 27 September 2001, Rakernas Mahkamah Agung RI yang diadakan di Yogyakarta telah menghasilkan beberapa rekomendasi, salah satu keputusan rakernas tersebut merekomendasikan pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya perdamaian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg.3 Sejalan dengan hasil rakernas tersebut dan untuk membatasi perkara kasasi ke Mahkamah Agung secara substantif dan prosessual, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, yang diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h.569. 3
Yasardin, “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No.1 Tahun 2002”, Suara Uldilag, Edisi II (1 Juli 2003): h.52.
18
Namun, belakangan MA menyadari SEMA itu sama sekali tidak berdaya dan tidak efektif sebagai landasan hukum untuk mendamaikan para pihak. SEMA itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi, serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya SEMA tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara. Namun, tetap berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi biasa.4 Umur SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, hanya 1 tahun 9 bulan (30 Januari 2002 sampai dengan 11 September 2003). Pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan PERMA No.2 Tahun 2003 sebagai penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan: Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku. PERMA No.2 Tahun 2003 terdiri dari 6 Bab dan 18 Pasal: Sistematika PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan BAB I
4
Ketentuan Umum
Pasal 1-2
Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.242.
19
BAB II
Tahap Pra Mediasi
Pasal 3-7
BAB III
Tahap Mediasi
Pasal 8-14
BAB IV
Tempat dan Biaya
Pasal 15
BAB V
Lain-lain
Pasal 16
BAB VI
Penutup
Pasal 17-18
Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan
PERMA
menggantikan
SEMA
No.1
Tahun
2002
Tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, antara lain: 1. Mengatasi Penumpukan Perkara Pada huruf a konsideran dikemukakan pemikiran bahwa perlu diciptakan suatu instrumen efektif yang mampu mengatasi kemungkinan perkara di pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Menurut PERMA, instrumen yang dianggap efektif adalah sistem mediasi. Caranya dengan jalan pengintegrasian mediasi ke dalam sistem peradilan. 2. SEMA No.1 Tahun 2002, Belum Lengkap Pada huruf e konsideran dikatakan, salah satu alasan mengapa PERMA diterbitkan, karena SEMA No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi belum lengkap atas alasan SEMA
20
tersebut belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa (compulsory) tetapi masih bersifat sukarela (voluntary). Akibatnya, SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian. 3. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg, Dianggap Tidak Memadai Pada huruf f konsideran tersurat pendapat, cara penyelesaian perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg masih belum cukup mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib dan lancar. Oleh karena itu, sambil menunggu pembaharuan hukum acara, Mahkamah Agung menganggap perlu menetapkan PERMA yang dapat dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim di pengadilan tingkat pertama mendamaikan para pihak yang berperkara.5 Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung Susanti
5
Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h.243.
21
Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung (MA).6 Sejak tahun 2006 MA sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi kelemahan-kelemahan pada PERMA No.2 Tahun 2003. Beranggotakan dari hakim, advokat, Pusat Mediasi Nasional dan organisasi yang selama ini concern pada masalah-masalah mediasi, Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT). Hasil kerja tim menyepakati peraturan baru, yakni PERMA No.1 Tahun 2008. Ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung, Prof.Dr.Bagir Manan,SH.,M.CL pada tanggal 31 Juli 2008. Perma ini lahir karena dirasakan Perma No.2 Tahun 2003 mengandung kelemahan yang beberapa hal harus disempurnakan. Penerbitan PERMA No.1 Tahun 2008 mengubah secara mendasar prosedur mediasi di Pengadilan. MA belajar dari kegagalan selama lima tahun terakhir. Bab VIII Pasal 26 PERMA ini menyatakan: Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.
Dari jumlah klausul, PERMA 2008 jauh lebih padat karena memuat 27 Pasal, sementara PERMA 2003 hanya 18 Pasal. Perbedaan jumlah pasal ini setidaknya menunjukkan ada perbedaan keduanya. Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mencoba memberikan pengaturan yang
6
Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010 dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita.
22
lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di pengadilan. PERMA 2008 memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa hal, misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. PERMA 2003 sama sekali tak mengenal tahapan demikian. PERMA No.1 Tahun 2008 memungkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka menempuh perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali. Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majelis pada masing-masing tingkatan tadi. Selain kemungkinan damai pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, PERMA No.1 Tahun 2008 memuat rumusan baru tentang konsekuensi hukum jika proses mediasi tak ditempuh. Pasal 2 ayat (3) tegas menyebutkan: “Tidak menempuh proses mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Demikianlah latar belakang lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yang merupakan peraturan baru dalam proses penyelesaian perkara melalui litigasi (lembaga peradilan).
B. Dasar Hukum Mediasi 1. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Nasional Yang menjadi dasar hukum diberlakukannya mediasi dalam proses litigasi:
23
a. Pancasila. Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “Peradilan negara menerapkan
dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyatakan: Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.7 Kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk menyelesaian sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. b. Pasal 130 HIR/154 Rbg
7
Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI (Jakarta: Peslitbang Hukum Dan Peradilan MA-RI, 2007), h.36.
24
Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi: Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka.8 Selanjutnya ayat (2) menyatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.9 Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal 130
Herzien
Indonesis
Reglement
(HIR)
maupun
pasal
154
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini.10
8
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor: Politeia,1985), h.88.
9
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, h.187.
10
Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak. Dan dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian sehingga prosesnya lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum. Lihat Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbiterase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 23-33.
25
c. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Pasal 82 berbunyi: (1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian. Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. (2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat menghadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. (3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi. (4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah, walaupun perbuatan itu adalah halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa seorang hakim dalam menangani kasus (pasal ini menyebutkan gugat cerai) berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha perdamaian (mediasi) tidak hanya dilakukan pada peradilan tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi. Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan pihak yang berperkara. d. Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 berbunyi: (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Di mana penjelasan pasal tersebut adalah:
26
“Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu.11
Pasal tersebut menyiratkan bahwa mediasi wajib dilakukan oleh para pihak yang berperkara (dalam pasal ini suami istri) dengan bantuan seorang mediator (hakim). Proses mediasi dapat dilakukan pada setiap persidangan, ini berarti bahwa usaha untuk mendamaikan tidak hanya dilakukan pada sidang pertama saja yang dihadiri oleh kedua belah pihak, tetapi dapat juga dilakukan pada sidang kedua, sidang ketiga dan sidang berikutnya selama perkara belum diputus. e. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan perkara.
11
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan PerundangUndangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Depag RI, 2001), h.178.
27
2. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Islam Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut syara‟ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.12 a. Al-Qur’an Dasar hukum dalam Al-Qur‟an, termaktub dalam surat An-Nisa‟ ayat 128:
ى ُٗصْلِذَا بٌََُِْ٘وَا ْ َح عَلَِِْ٘وَا أ َ ي بَعْلَِِا ًُشُْسًا أَ ّْ إِعْزَاضًا فَلَا جٌَُا ْ ِت ه ْ َى اهْزَأَ ٌة خَاف ِ َِّإ ى بِوَا َ ى اللَ ََ كَا َ ِى تُذْسٌُِْا َّتَّتَقُْا فَئ ْ ِخ َّإ َ ُس الش ُ ت الْأًَْ ُف ِ َخ خَْ٘ ٌز َّأُدْضِز ُ ْصُلْذًا َّالصُل )128 :4/ى خَبِ٘زًا (الٌساء َ ُْتَعْ َول Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. An-Nisa‟: 4 ayat 128) Makna “wal shulhu khair” yakni “dan perdamaian itu lebih baik”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu „Abbas ra, ia berkata: “yaitu memberikan pilihan”. Maksudnya apabila suami memberikan pilihan kepada istri antara bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus menerus mengutamakan istri yang lain daripada dirinya.
12
As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III (Beirut: Dar Al Fikr, 1977), h.305.
28
Dzahir ayat ini bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri merelakan sebagian haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih baik daripada terjadi perceraian secara total. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, beliau tetap mempertahankan Saudah binti Zam‟ah dengan memberikan malam gilirannya kepada „Aisyah RA. Beliau tidak menceraikannya dan tetap menjadikannya sebagai istri. Beliau melakukan hal itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasanya hal tersebut disyari‟atkan dan dibolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada perceraian. Firman Allah “wal shulhu khair” „dan perdamaian itu lebih baik‟, bahkan perceraian sangat dibenci Allah SWT.13Ayat ini berkaitan dengan perdamaian masalah perkawinan. Selain ayat tersebut, ada ayat lain yang secara langsung menganjurkan agar diadakan perdamaian yakni Surat Al-Hujarat ayat 9:
ِٖخزَٓ فَقَا ِتلُْا الَّت ْ ُعلَٔ الْأ َ ى َبغَتْ إِدْذَا ُُوَا ْ ِصلِذُْا بَْ٘ ٌَ ُِوَا فَئ ْ َي ا ْلوُ ْؤهٌِِ٘يَ اقّْتَ َّتلُْا فَأ َ ِى ه ِ ى طَائِفَّتَا ْ َِّإ ّب ُ ِسطُْا إِىَ اللَ ََ ُٗذ ِ ل َّأَ ْق ِ صلِذُْا بَْ٘ ٌَ ُِوَا بِا ْلعَ ْذ ْ َت فَأ ْ َى فَاء ْ ِتَ ْبغِٖ دَّتَٔ تَفِٖءَ ِإلَٔ َأ ْهزِ اللَ َِ فَئ )9 :49/ي (الذجزات َ ِ٘سط ِ ا ْلوُ ْق Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. 13
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h.683-684.
29
kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Hujurat/49: 9)
Allah berfirman seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-orang beriman meski saling menyerang satu sama lain.14 Bila Al-Qur‟an membolehkan perdamaian dalam masalah-masalah seperti di atas, maka perdamaian dalam masalah keperdataan yang menyangkut dengan harta bendapun sudah barang tentu dibolehkan pula. Bahkan bila ditelaah dengan seksama kajian sulh dalam kitab-kitab fiqh klasik, objek kajiannya tertuju pada bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut harta benda.
b. Al Sunnah Dalam penyelasaian sengketa, langkah pertama yang Rasulullah tempuh adalah jalan damai. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
ّال َ ِسِلوِْ٘يَ ا ْ ي ا ْل ُو َ َْ٘خ جَا ِئ ٌش ب ُ ْصل ُ قال رسْل اهلل صلٔ اهلل علَ٘ ّسلن اَل: قال, عي ابٖ ُزٗزة 15 )ّال (رّاٍ ابٖ داّد ً ال َد َ دزَ َم َ ّْ َدزَاهًا ا َ ّل َد َ َصلْذًا ا ُ Artinya: Dari abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perdamaian antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”(HR. Abu Daud). 14
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h.470. 15
Abu Daud, Kitab Sunan Abu Daud (Beirut: Karoban Hazm, 1974), h.553. Dapat juga dilihat Li „Ala Addin Samarqondi, Tuhfah al-fuqoha Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h.249.
30
:ٕ ِ ِل ا ال ّّتِ ْزهِذ َ قَا, دزَاهًا َ ّل َد َ َ اَّْ ا, ًدالَّال َ دزَ َم َ ش ْزطًا َ ّال َ ِ ا, ْطِِن ِ ّْ ُشز ُ َٔى عَل َ ُْْسِلو ْ َّسَادَا ْل ُو خ ٌ ِْ٘ي صَذ ٌ َدس َ ث ٌ ْٗ ُذَادَ ِذ Tirmidzi menambahkan: Artinya:“Dan orang-orang Islam itu menurut perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (Tirmidzi berkata, hadis ini Hasan Shahih).16 Perdamaian yang dikandung oleh sabda ini bersifat umum, baik mengenai hubungan suami istri, transaksi maupun politik. Selama tidak melanggar hak-hak Allah dan Rasul-Nya, perdamaian hukumnya boleh.17
c. Doktrin Umar ibn Khattab Umar dalam suatu peristiwa pernah berkata:
فئى فصّل الفضاء, ردّا الخصْم دّتٔ ٗصطلذْا: ٌَّقال عوز رضٔ اهلل ع 18
ْٗرث بٌِ٘ن الضغائي
“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka”.
16
Muhammad ibn „Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nailu al-authar Juz 5 (Kairo: Al-Babi al-Holbi, t.th), h.378. 17
“Sulh”, dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h.1653. 18
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid 3 (Mesir: Dar al Fatah, 1990) h. 210.
31
C. Ruang Lingkup Mediasi Konflik atau sengketa yang terjadi pada manusia cukup luas ruang lingkupnya. Konflik dan persengketaan dapat saja terjadi dalam wilayah publik maupun wilayah privat. Konflik dalam wilayah publik yaitu konflik yang terkait erat dengan kepentingan umum, di mana negara berkepentingan untuk mempertahankan kepentingan umum tersebut. Kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan seseorang, harus diselesaikan secara hukum melalui penegakan aturan pidana di pengadilan. Dalam kasus pidana, pelaku kejahatan atau pelanggaran tidak dapat melakukan tawar-menawar dengan negara. Dalam hukum islam, kepentingan umum yang dipertahankan negara melalui sejumlah aturan pidana dikenal dengan mempertahankan hak Allah (haqqullah). Beda halnya dengan wilayah hukum privat, di mana titik berat kepentingannya terletak pada kepentingan perseorangan (pribadi). Dimensi privat cukup luas cakupannya. Yaitu meliputi hukum keluarga, hukum kewarisan, hukum kekayaan, hukum perjanjian (kontrak), bisnis dan lain-lain. Dalam dimensi hukum privat atau perdata, para pihak yang bersengketa dapat melakukan penyelesaian sengketanya melalui jalur hukum di pengadilan ataupun di luar jalur pengadilan. Karena dalam hukum islam dimensi perdata mengandung hak manusia (haqqul „ibad) yang dapat dipertahankan melalui kesepakatan damai antar para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat/perdata. Sengketa-sengketa
32
perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Penyelesaian melalui mediasi ini dapat di tempuh di pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi yang dijalankan di pengadilan merupakan rentetan dari prosedur hukum di pengadilan. Sedangkan bila mediasi dilakukan di luar pengadilan, maka proses mediasi tersebut adalah bagian tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.19 Berdasarkan pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui proses mediasi, kecuali untuk beberapa perkara.
Pengecualian tersebut adalah perkara yang diselesaikan melalui
pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pemeriksaan perkara niaga, hubungan industrial, perlindungan konsumen dan persaingan usaha telah diatur dalam prosedur tersendiri, sehingga meskipun perkara itu termasuk dalam kategori sengketa perdata, tetapi dikecualikan dari
19
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 21-23.
33
kewajiban untuk menempuh proses mediasi sebagaimana diatur dalam PERMA ini.20 Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga tidak dapat dimediasi karena substansi persoalan adalah murni hukum yaitu berkaitan dengan validitas atau keabsahan dari putusan KPPU, sehingga masalah pokok adalah sah atau tidak sahnya putusan KPPU. Peran pengadilan tingkat pertama dalam konteks ini adalah untuk menentukan keabsahan putusan KPPU. Persolan hukum seperti itu tidak memberi peluang bagi para pihak untuk mengadakan tawar-menawar dalam sebuah proses perundingan. Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setiap perkara yang diterima wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui mediasi tetapi dalam perkara kontentius.21 Dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak hadir pada sidang pertama. Karena pada sidang pertama inilah para pihak diperintahkan untuk menempuh proses mediasi oleh majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Sedangkan perkara voluntair22 karena hanya satu pihak yang mengajukan permohonan, tentu saja tidak dapat menempuh mediasi. Seperti perkara penetapan ahli waris, dispensasi nikah, pengangkatan anak.
20
Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama JICA dan IICT, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan (Jakarta: MA-RI, JICA dan IICT, 2008), h.23. 21
Perkara Kontentius adalah perkara gugatan/permohonan yang didalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak. 22
Perkara Voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada pihak lawan.
34
Jadi, kalau dalam PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa semua perkara perdata wajib menempuh proses mediasi. Sedangkan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibatasi pada perkara kontentius.
D. Prinsip-prinsip Mediasi 1. Prinsip-prinsip Mediasi Menurut Para Ahli Menurut Ruth Carlton terdapat lima prinsip mediasi, lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi, kelima prinsip itu adalah prinsip kerahasiaan
(confidentiality),
prinsip
sukarela
(volunteer),
prinsip
pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality) dan prinsip solusi yang unik (a uniqe solution). a. Prinsip Kerahasiaan (confidentiality) Kerahasiaan yang dimaksud di sini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau diberitahukan kepada pers oleh masing-masing pihak. Begitupun mediator itu sendiri tidak boleh membocorkan isi dari mediasi tersebut. Bahkan setelah mediasi itu memperoleh hasil, dokumentasi-dokumentasi yang ada harus dimusnahkan untuk menjaga kerahasiaan hasil mediasi tersebut. Dan para pihak yang terlibatpun diharapkan menghargai kerahasiaannya. mediator tidak dapat dijadikan saksi dalam memberi keterangan dalam kasus yang ia tangani.
35
b. Prinsip Sukarela (volunteer) Yang dimaksud dengan sukarela disini yaitu masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginannya sendiri, dengan sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerjasama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka dan atas keinginan mereka sendiri. c. Prinsip Pemberdayaan (empowerment) Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasiakan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai. Oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya. d. Prinsip Netralitas (neutrality) Dalam mediasi, seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan mengontrol berjalan atau tidak mediasi tersebut. Sedangkan isinya tetap menjadi milik orang yang bersengketa. Dalam mediasi, mediator tidak ikut campur seperti halnya seorang hakim atau juri yang dapat menghakimi benar atau salahnya salah satu pihak atau
36
membenarkan dan menyalahkan salah satu pihak, tetapi mediator di sini bersifat netral. e. Prinsip Solusi yang unik (a uniqe solution). Solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak haus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreatifitas. Oleh karena itu hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang terkait erat oleh konsep pemberdayaan masingmasing pihak.
2. Prnsip-prinsip Mediasi Dalam al-Qur’an Mediasi dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Shulhu/Ishlah, beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam redaksi yang berbeda, artinya yang mudah difahami adalah memutus suatu persengketaan. Dalam penerapan yang kita fahami adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa yang berakhir dengan perdamaian. Allah Swt telah mengingatkan kepada kita akan posisi antara sesame manusia, hal tersebut tercantum di dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 10,
Artinya: “Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
37
Ada beberapa bentuk Ishlah dalam Islam yang kita kenal antara lain : a. Ishlah antara orang muslim dengan orang kafir; b. Ishlah antara suami dengan isteri; c. Ishlah antara kelompok yang berbuat aniaya dengan orang yang berbuat adil; d. Ishlah antara orang yang saling menuntut; e. Ishlah dalam hal penganiayaan seperti mema‟afkan dengan ganti rugi berupa uang; f. Ishlah untuk memutuskan suatu persengketaan yang terjadi dalam hak milik.
E. Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan PERMA Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan terdiri dari 8 bab dan 27 pasal:
Sistematika PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Bab I: Ketentuan Umum
Ruang
Lingkup
Berlakunya Perma
dan
Kekuatan Pasal 1–6
38
Bab II: Tahap Pra Mediasi
Biaya pemanggilan para pihak
Jenis perkara yang dimediasi
Sertifikasi mediator
Sifat proses mediasi
Kewajiban hakim pemeriksaan dan kuasa Pasal 7 – 12
hukum
Bab
III:
Tahap-Tahap
Hak para pihak memilih mediator
Daftar mediator
Honorarium mediator
Batas waktu pemilihan mediator
Menempuh mediasi dengan iktikad baik
Penyerahan resume perkara dan lama Pasal
Proses Mediasi
waktu proses mediasi
Kewenangan
mediator
13– 19 menyatakan
mediasi gagal
Bab
IV:
Tempat
Tugas-Tugas mediator
Keterlibatan ahli
Mencapai kesepakatan
Tidak mencapai kesepakatan
Keterpisahan mediasi dan litigasi Pasal
39
Penyelenggaraan Mediasi Bab V: Perdamaian
20 di
Tingkat Banding, Kasasi
Pasal 21– 22
dan Peninjauan Kembali Bab VI: Kesepakatan di
Pasal
Luar Pengadilan
23
Bab VII: Pedoman Perilaku
Pasal
Mediator dan Insentif
24– 25
Bab VIII: Penutup
Pasal 26– 27
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ditentukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).
40
Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaikan Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama. Mediator non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI ( Pasal 5 ayat (1) Perma). Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri oleh para pihak. Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Untuk memudahkan memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang
41
memuat sekurang-kurangnya (5) nama mediator yang disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman
para mediator. Ketua pengadilan mengevaluasi
mediator dan memperbarui daftar mediator setiap tahun. (Pasal 9 Ayat (7) Perma). Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya apapun, sedangkan bila memilih mediator nonhakim uang jasa ditanggung bersama para pihak berdasakan kesepakatan. Dalam Pasal 11 Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari kerja sejak pertama kali sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim membertahukan mediator untuk melaksanakan tugasnya. Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim (Pasal 13 ayat (3)Perma). Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 hari sejak berakhirnya masa 40 hari (Pasal 13 ayat (4) Perma). Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diproses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan tinggi pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat pertama segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang
42
berwenang, atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendap para pihak untuk menempuh perdamaian. Adapun perbedaan-perbedaan mendasar antara PERMA No. 2 Tahun 2003 dan PERMA 1 Tahun 2008 adalah sebagai berikut23: 1. Penegasan sifat wajib, mediasi yang jika tidak dipatuhi berakibat putusan atas perkara yang bersangkutan batal demi hukum [Pasal 2 ayat (3)]. Dalam PERMA sebelumnya tidak ada penegasan seperti ini. 2. Pihak tergugat lebih dahulu menanggung biaya pemanggilan para pihak [Pasal 3]. Dalam PERMA sebelumnya tidak ada pengaturan seperti ini. 3. Hakim pemeriksa perkara diperkenankan menjadi mediator [Pasal 8 ayat (1) d]. Dalam PERMA sebelumnya hakim pemeriksa perkara tidak diperbolehkan menjadi hakim mediator. 4. Dimungkinkannya mediator lebih dari satu orang [ Pasal 8 ayat (1) edan ayat (2)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. 5. Pembuatan resume perkara oleh para pihak tidak lagi bersifat wajib [Pasal 13 ayat (1) dan (2)]. Dalam PERMA sebelumnya pembuatan resume bersifat wajib. 6. Lama proses mediasi yaitu 40 (empat puluh) hari dan dapat diperpanjang serta masa untuk proses mediasi itu terpisah dari masa pemeriksa perkara selma 6
23
Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT), Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 11-13.
43
(enam) bulan. Dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 selam 21 (dua puluh satu) hari dan termasuk masa pemeriksaan perkara [Pasal 13 ayat (3) dan (5)]. 7. Mengenai kewenangan mediator untuk menyatakan mediasi gagal dan tidak layak (pasal 15), dalam PERMA sebelumnya pengaturan ini tidak ada. 8. Hakim wajib mendorong para pihak untuk menempuh perdamaian pada tiap tahap pemeriksaan perkara sebelum pembacaan putusan [Pasal 18 ayat (3)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. 9. Mediator tidak bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas isi kesepakatan [Pasal 19 ayat (4)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. 10. Pengaturan lebih rinci tentang perdamaian pada tingkat banding dan kasasi [Pasal 21 dan Pasal 22]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. 11. Pengaturan kesepakatan perdamaian yang diselenggarakan di luar pengadilan [Pasal 23]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
BAB III TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Teori Efektivitas Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilan suatu hukum dalam menangani suatu permasahan yang dapat diselesaikan oleh keeksistensian hukum itu tersebut, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut. Efektivitas juga dapat dikatakan adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, dan berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.1 Efektifitas juga merupakan kata yang menunjukkan turut tercapainya suatu tujuan. Kriteria yang menjadikan suatu tujuan atau rencana menjadi efektif, harus meliputi : kegunaan, ketetapan dan objektifitas, adanya ruang lingkup (prinsip
1
E. Mulyana, Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi (Jakarta, PT Rosyda Karya, 2004), h. 82.
44
45
kelengkapanm, kepaduan dan konsisten), biaya akuntabilitas serta ketepatan waktu.2 Efektivitas hukum dalam masyarakat berarti menilai daya kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Namun agar hukum dan peraturan benar-benar berfungsi sacara efektif, senantiasa dikembalikan pada penegak hukumnya, dan untuk itu sedikitnya memperhatikan empat faktor penegakan hukum (law enforcement), yaitu: 1. Hukum atau aturan itu sendiri ; 2. Penegak hukum; 3. Fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum; 4. Masyarakat; Adapun secara terminologi, pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, tergantung pada sudut pandang yang diambil. Soejono Soekanto mengungkapkan bahwa efektivitas adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan efektif.3 Kemudian efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pencapaian tujuan dari usaha yang telah dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan mediasi di
2
3
T. Hani Handoko, Managemen, edisi II (Yogyakarta, BPFE, 1993), h.7.
Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Padang, Alumni, 1979), h. 114.
46
Peradilan Agama Jakarta Selatan. Seberapa besar kesuksesan yang diraih oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan melaksanakan usaha damai dalam wadah mediasi dengan memperhatikan berbagai macam aturan yang ada, baik peraturan yang berasal dari pemerintah maupun peraturan yang berasal dari agama. Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam perspektif efektivitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksanaan hukum yang kurang efektif. Pada hakikatnya persoalan efektivitas hukum seperti yang diungkapkan Syamsuddin Pasamai, dalam bukunya “Sosiologi dan Sosiologi Hukum”, persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangan erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.4 Dalam hal ini ukuran atau indikator efektivitas adalah sebagai berikut:5 1. Berhasil guna, yakni untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan dengan tepat (sesuai target) dengan waktu yang ditetapkan. 2. Ekonomis, dipergunakan dengan setepat-tepatnya sesuai dengan rencana serta tidak ada penyelewengan.
4
Ilham Idrus, “efektivitas Hukum” artikel di akses pada 23 September 2010 dari hhtp://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html 5
Sujudi FX, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen (Jakarta, CV Masagung, 1990), h.36.
47
3. Pelaksanaan kerja bertanggung jawab, sebagai bukti telah dimanfaatkan dengan setepat-tepatnya. 4. Rasionalitas wewenangan dan tanggungjawab, harus dihindari adanya dominasi oleh salah satu pihak atas pihak lainnya. 5. Pembagian kerja yang nyata, dibagi berdasarkan beban kerja, ukuran kemampuan kerja dan waktu yang tersedia. 6. Prosedur kerja yang praktis, kegiatan operasional yang dapat dilaksanakan dengan lancar. Apabila dikaitkan dengan mediasi Laurence Boulle seperti yang dikutip dalam buku “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia” karangan Gatot Soemarsono, untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan mediasi ada beberapa prasyarat yang berupa faktor-faktor kunci kesuksesan (key success factor) yang harus diketahui. Faktor-faktor kunci kesuksesan mediasi tersebut diantaranya:6 1. sengketa masih dalam batas “wajar”. Konflik diantara para pihak masih moderate, artinya permusuhan masih dalam batas yang bisa ditoleransi. Ukuran wajar atau moderate sangat relatif. Misalanya, jika kedua belah pihak tidak mau bertemu, berarti permusuhan diantara mereka telah sangat parah. Jika sengketa sudah sangat parah, harapan untuk mendapatkan win-win solution sulit atau tidak mungkin tercapai. Dengan demikian mereka lebih menyukai penyelesaian lose solution. Dalam kondisi demikian,
6
Gatot Soemarsono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 6-7.
48
penyelesaian melalui APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) 7 mungkin tidak mampu memberikan kontrol perlindungan serta pengaruh yang cukup untuk menghasilkan keputusan yang konstruktif. 2. Komitmen para pihak Para pihak, penguasa, atau pelaku bisnis yang bersengketa memang bertekad menyelesaikan sengketa mereka melalui APS, dan mereka menerima tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri serta menerima legitimasi dari APS. Semakin besar komitmen dan penerimaan atas proses tersebut dari para pihak, semakin besar kemungkinan para pihak akan memberikan response positif terhada penyelesaian melalui APS. 3. keberlanjutan hubungan Penyelesaian melalui APS selalu menginginkan hasil win-win solution. Dengan demikian, harus ada keinginan dari para pihak untuk mempertahankan hubungan baik mereka. Misalnya, dua pengusaha yang bersengketa, seorang dari Indonesia dan seorang dari jepang, inin tetap melanjutkan hubungan usahanya setelah sengketa mereka berhasil. Dengan pertimbangan kepentingan di masa depan, hal itu mendorong mereka untuk tidak hanya memikirkan hasilnya tapi juga cara mencapainya.
7
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilandengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
49
4. Keseimbangan posisi tawar menawar Para pihak harus memikliki keseimbangan dalam posisi tawar menawar. Meskipun hal itu kadang sulit dijumpai, khususnya jika sengketa melibatkan multinasional dan pengusaha lokal, dimana hampir seluruh sumberdaya dikuasai oleh pengusaha multinasional. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak seharusnya mempengaruhi posisi tawar menawar. Artinya salah satu pihak harus tidak mendikte atau bahkan mengintimidasi agar sebuah penyelesaian di setujui. 5. Prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia Para pihak menyadari bahwa, tidak seperti penyelesaian sengketa di pengadilan,proses penyelesaian sengketa melalui APS tidak terbuka untuk umum. Demikian pula, hasil penyelesaian sengketa tidak dimaksudkan untuk diketahui oleh umum atau dipublikasikan kepada khalayak, bahkan dinilai konfidensial. Jadi, tujuan yang hendak dicapai, yang terpenting, adalah para pihak mencapai penyelesaian sengketa mereka dengan hasil yang memuaskan.
B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan 1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta Selatan hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang, yaitu:
50
a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara b. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah c. Kantor cabang Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk 8 Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk wilayah hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat Keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1967 tanggal 16 Desember 1967. Semua pengadilan agama di provinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama. Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Surakarta dipindah ke Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Berdasarkan Surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985, Pengadilan Tinggi di Surakarta dipindahkan ke Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara
8
Yuridiksi Pengadilan Tinggi agama Jakarta, Mahkamah Agaung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006, hal. 31
51
otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.9 Terbentuknya Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu adalah Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas. Ketika itu keadaan kantor masih dalam keadaan darurat yang menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu, di suatu gang kecil yang sampai saat ini masih dikenal dengan Gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan. Ketika pimpinan kantor dipegang oleh Bapak H. Polana. Pada tahun 1976 gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi Mesjid Syarief Hidayatullah dan sebutan kantor cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dan pada masa itu diangkat pula hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk diantaranya adalah Bapak H. Ichtijanto, SH.
9
Ibid., h. 31.
52
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala kandepag Jakarta Selatan pada waktu itu yang dijabat oleh Bapak Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-tugas kepaniteraan yaitu Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi, Saimin, Tuwon Haryanto, Fatullah AN., Hasan Mugni dan Imron. Keadaan penempatan kantor serambi mesjid tersebut bertahan sampai tahun 1979.10 Pada bulan September 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung baru di jalan Ciputat raya Pondok Pinang dengan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang. Pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alimi BA pada Tahun 1979, diangkat pula hakim-hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk. Diantaranya yaitu KH. Ya’kub, KH. Muhdats Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, dan Drs. H. Noer Chazin. Pada perkembangan selanjutnya yaitu pada masa kepemimpinan Drs. H. Djabir Mansyur SH. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke jalan rambutan VII No.48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta selatan dengan menempati gedung baru yang merupakan hibah dari Pemda DKI. Di gedung ini meskipun tidak memenuhi syarat untuk sebuah Kantor Pemerintahan setingkat Walikota, karena gedungnya berada di tengah-tengah perumahan penduduk dan jalan masuknya termasuk kelas jalan III C, namun 10
Ibid., h. 33.
53
sudah lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang, hal ini karena pembenahanpembenahan fisik terus dilakukan.11 Pada bulan Maret 2010, kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah di Jl. Harsono RM No. 1 Kel. Ragunan Pasar Minggu Jakarta Selatan hingga saat ini. Dan di sinilah lokasi yang dijadikan tempat penelitan oleh penulis. Gedung baru Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini telah memenuhi kriteria untuk sebuah Pengadilan. Berada di pinggir jalan raya dan sangat stategis. Selain itu di gedung baru ini terdapat 2 ruang mediasi. Ruang yang pertama dibagi menjadi 2 ruangan lagi, dan ruangan ke dua dibagi menjadi 3 ruangan. Jadi total ruangan mediasi yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini adalah sebanyak 5 ruangan. Bangunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan saat ini terbilang megah dibanding dengan Pengadilan Agama lainnya. Karena Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan “perwujudan wajah baru” Pengadilan Agama di Indonesia yang sudah terealisasi dan “perwujudan wajah baru” itu akan merambat ke seluruh Pengadilan Agama di Indonesia nantinya. Selain bangunan yang megah, Pengadilan Agama Jakarta Selatanpun merupakan “Pilot Project” dalam bidang mediasi untuk Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Ada beberapa Pengadilan Agama di Jakarta yang di jadikan “Pilot Project” untuk Pengadilan Agama secara keseluruhan. Diantaranya Pengadilan Agama Jakarta Utara merupakan “Pilot Project” dalam bidang IT, 11
Ibid., h. 34.
54
Pengadilan Agama Barat merupakan “Pilot Project” dalam bidang IT dan Arsip, dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan “Pilot Project” dalam bidang mediasi. Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan yaitu KETUA
sebagai berikut:
WK. KETUA HAKIM PANITERA / SEKRETARIS
WK. PANITERA
Panmud Permohon an
Panmud Gugatan
WK. SEKRETARIS
Panmud Hukum
PANITERA PENGGANTI
Kasubag Kepegawa ian
Kasubag Keuangan
JURUSITA
JURUSITA PENGGANTI
Kasubag Umum
55
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan saat ini adalah Drs. H. Ahsin Abdul Hamid, SH., MH., wakil ketua yaitu Drs. H. Yasardin, SH, MH, dan Pansek adalah Drs. Achmad Jufri, SH. Pada saat ini jumlah hakim yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan terdapat 17 hakim, 16 diantaranya menjadi hakim mediator dan hanya 6 hakim yang memiliki sertifikat mediator. Nama-nama hakim yang menjadi mediator yaitu: 1. Dra. Hj. Noorjannah Azis, M.H.,
9. Dra. Muhayah S.H.,
2. Dra. Hj. Ida Nursa’adah, S.H., M.H.,
10. Drs. Harum Rendeng S.H., M.H.,
3. Drs. Agus Yunih, S.H., M.H.I.,
11. Tamah, S.H.,
4. Drs. Nurhafizah, S.H., M.H.,
12. Dra. Hj. Tuti Ulwiyah M.H.,
5. Drs. Farchanah M, M.Hum.,
13. Drs. Muslim, S.H., M.S.I.,
6. Drs. Chotman Jauhari, M.H.,
14. Drs. Abdurrahim M.H.,
7. Hj. Shafwah S.H., M.H.,
15. Drs. Sohel,
8. H. Muh. Kailani S.H., M.H.,
16. Drs. Muhail, S.H.,
Dan yang memiliki sertifikat mediator adalah Hj. Shafwah S.H., M.H.; Dra. Muhayah S.H.; Tamah, S.H.; Dra. Hj. Tuti Ulwiyah M.H.; dan Drs. H. Saefuddin Turmudzi, M.H.
56
2. Wewenang relatif dan wewenang absolut Pengadilan Agama Jakarta Selatan Menurut M. Yahya Harahap,12 ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat di lingkungan Peradilan Agama, yaitu: 1) Fungsi kewenangan mengadili; 2) Memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum islam kepada instansi pemerintah; 3) Kewenangan lain oleh atau berdasarkan UU; 4) Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif; 5) bertugas mengawasi jalannya peradilan. Kewenangan atau kekuasaan13 peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif 14 dan kekuasaan absolut.15 Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan Pengadilan Agama tingkat pertama dan mempunyai tugas-tugas sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan agama berwenang mengadili 12
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU nomor 7 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993) h.33. 13
Kata “kekuasaan” sering disebut “kompetensi” yang berasal dari bahasa Belanda “competentie” yang kadang diterjemahkan “kewenangan” dan terkadang dengan “kekuasaan”. 14
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan berdasarkan wilayah. Misalnya Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Pengadilan Agama Jakarta Timur. 15
Kekuasaan absolut diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang beberapa jenis dan satu tingkatan berdasarkan jenis perkara. Misalnya Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri.
57
perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang beragama Islam dan berdomisili di wilayah kekuasaan hukum pengadilan agama tersebut. Adapun tugas dan wewenang peradilan agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Amandemen UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai berikut: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah”. Semua kompetensi di atas diatur berdasarkan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Kompilasi Hukum Islam. Adapun pelaksanaan tugas-tugas pokok ini, pembinaanya dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kewenangan peradilan agama Pasal 49 huruf (a) yakni bidang perkawinan. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang dilakukan
menurut
syariah.
Perkara-perkara
tersebut
yang
merupakan
kewenangan absolut Peradilan Agama dijelaskan pada pasal 49 ayat (2) yang terdapat 22 butir, 22 butir tersebut adalah: 1. Izin beristri lebih dari seorang; 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. Dispensasi kawin; 4. Pencegahan perkawinan; 5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah; 6. Pembatalan perkawinan;
58
7. Gugatan kelalaian; 8. Perceraian karena talak; 9. Gugatan perceraian; 10. Penyelesaian harta bersama; 11. Penguasaan anak; 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya; 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. Pencabutan kekuasaan wali; 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan wali dicabut; 18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak belum cukup berumur 18 tahun yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya; 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya; 20. Penetapan asal usul anak; 21. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berlaku yang dijalankan menurut peraturan yang lain. Kewenangan lain pengadilan agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang hukum waris yang meliputi: penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, pelaksanaan pembagian harta peninggalan, dan penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris dan penentuan bagian masing-masing ahli waris. Kewenangan pengadilan agama lainnya adalah dalam perkara wasiat, hibah, wakaf, zakat dan infaq. Serta kewenangan pengadilan agama diperluas, termasuk bidang ekonomi syari’ah. Hal ini sesuai dengan perkembangan
59
hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dengan
penegasan
dan
peneguhan
kewenangan
pengadilan
agama
dimaksudkan untuk memberi dasar hukum bagi pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.16 Terhadap kekuasaan absolut ini, maka pengadilan agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya termasuk kekuasaan absolut atau tidak. Kalau ternyata tidak termasuk kekuasaan absolut, maka pengadilan agama dilarang menerimanya. Jika pengadilan agama menerima juga, maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut dengan “eksepsi absolut”, baik dalam tingkatan pertama maupun sampai tingkatan kasasi. Sedangkan untuk kompetensi relatif atau kewenangan jurisdiksi Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah meliputi 10 kecamatan, yaitu: a. Kebayoran Lama dengan enam kelurahan b. Pesanggrahan dengan lima kelurahan c. Pasar Minggu dengan tujuh kelurahan d. Jagakarsa dengan lima kelurahan e. Mampang Prapatan dengan lima kelurahan f. Pancoran dengan enam kelurahan g. Kebayoran Baru dengan sepuluh kelurahan h. Setiabudi dengan tujuh kelurahan
16
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), h.347.
60
i. Tebet dengan tujuh kelurahan j. Cilandak dengan lima kelurahan Kompetensi relatif ini memiliki arti yang sangat penting sehubungan dengan pengadilan mana seseorang mengajukan perkaranya dan eksepsi tergugat. Dalam hal ini, pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Amandemen UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agamamenyatakan “Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten / kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten / kota”. Dengan demikian, tiap-tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai (yuridiksi relatif) tertentu. Dalam hal ini meliputi kabupaten atau kota atau dalam keadaan tertentu bisa ada pengecualian, sebagaimana terdapat dalam penjelasan pada pasal tersebut. Disamping wewenang di atas, Pengadilan Agama Jakarta Selatan juga bertugas melaksanakan sebagian tugas-tugas pokok Departeman Agama dalam hal ini khususnya pada pembinaan hukum agama, hisab dan rukyat. Berkaitan dengan tugas tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Selatan bertugas menyelenggarakan kegiatan pengorganisasian, administrasi dan keuangan.
BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Dasar Hukum Seorang Hakim Menjadi Mediator. Dengan adanya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan, maka pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia mulai menerapkan wajib mediasi bagi perkara perdata. Pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia mulai berbenah untuk pelaksanaan mediasi ini. Dari mulai menyediakan tempat khusus mediasi sampai dengan menyediakan mediator-mediator. Pada dasarnya mediator untuk pengadilan, khususnya Pengadilan Agama bisa berasal dari mana saja asalkan memiliki sertifikat mediator. Akan tetapi, sedikitnya mediator non litigasi yang memiliki sertifikat mediator maka para hakim pun dikerahkan untuk menjadi mediator. Dari banyaknya hakim di Pengadilan Agama seluruh Indonesia hanya sedikit yang memiliki sertifikat. Menurut Dirjen Badilag, dari sekitar 3600 hakim Pengadilan Agama seluruh Indonesia hanya sekitar kurang lebih 300 hakim yang memiliki sertifikat. Hal tersebut mungkin dikarenakan PERMA tentang mediasi tersebut baru dikeluarkan pada tahun 2008.1 Hakim yang menjadi mediator atau mediator litigasi tidak diwajibkan memiliki sertifikat. Hakim yang tidak memiliki sertifikatpun diperbolehkan 1
Wawancara pribadi dengan Drs. Wahyu Widiana. Jakarta, 8 September 2010.
61
62
menjadi mediator. Akan tetapi tetap hakim yang memiliki sertifikat yang didahulukan sebagai mediator. Berbeda halnya dengan mediator non litigasi atau non hakim. Bagi mediator non hakim diwajibkan memiliki sertifikat mediator. Dalam hal mediator non hakim ini Peradilan Agama menggandeng BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan).2 Selain BP4, mediator yang ada di ranah Peradilan Agama yaitu mantan-mantan hakim yang sudah pensiun dan sebenarnya ini sangat menguntungkan, karena mantan-mantan hakim merupakan orang yang terbiasa menangani perkara di Pengadilan.3 Dikarenakan sedikitnya hakim Peradilan Agama yang memiliki sertifikat, maka BADILAG (Badan Peradilan Agama) menyisipkan pelatihan mediasi pada pelatihan CAKIM (Calon Hakim) tiap tahunnya dan para cakim langsung mendapatkan sertifikat mediator. Kegiatan ini mulai berjalan pada pelatihan CAKIM angkatan ke-5 yang diadakan pada tahun 2010 ini. Dan akan berjalan ke tahun-tahun berikutnya. Jadi para hakim Peradilan Agama di masa yang akan datang akan memiliki sertifikat sepenuhnya dan tanpa terkecuali. Karena pelatihan tersebut diwajibkan oleh para CAKIM. Sebelumnya, pelatihan mediasi tersebut dilaksanakan pada hakim-hakim dan tidak semua hakim mengikutinya.
2
Hermansyah, “Para Mediator Se-DKI Jakarta Mulai Diperkenalkan”, artikel diakses pada 22 September 2010 dari http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5288&Itemid=1 3
Wawancara pribadi dengan Drs. Kadi Sastro Wirjono. Jakarta, 8 September 2010.
63
B. Administrasi Mediasi Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan praktek yang ada di lapangan. Sebelum adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebenarnya Pengadilan Agama telah melaksanakan perdamaian dengan landasan Pasal 130 HIR / 154Rbg. Karena Pasal 130 HIR ini sudah merupakan kewajiban bagi hakim untuk melaksanakan perdamaian semua perkara perdata.4 Hingga adanya PERMA ini, mediasi di Peradilan Agama terus memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini mulai terealisasikan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sejak bulan september 2008. Namun Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum secara keseluruhan melaksanakan PERMA ini, tetapi fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan harus ada tambahan biaya untuk pemanggilan para pihak, harus memenuhi waktu mediasi yaitu 40 hari ditambah 14 hari sehingga tidak memenuhi asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Terlebih lagi apabila mediasi tersebut gagal maka akan memakan waktu lebih lama. Tetapi walaupun demikian mediasi ini sedikitnya memberikan manfaat bagi para pihak yang berperkara. Nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan pertimbang untuk berdamai. Secara garis besar administrasi mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan praktek yang ada di lapangan khususnya di Pengadilan Agama 4
Ridan Ikhwan, “Hakim dalam Menjalankan Proses Persidangan” dalam acara Mootcourt Training And Competetion pada tanggal 18 April 2008 di Student Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
64
Jakarta Selatan tidak jauh berbeda. Walaupun PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini telah terealisasikan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada bulan September 2008, akan tetapi ada sebagian yang belum memenuhi kelayakan mediasi berdasarkan PERMA tersebut. Misalnya belum adanya ruangan khusus mediasi, kurangnya mediator-mediator yang bersertifikat, administrasi yang belum tercatatkan dan lain sebagainya. Namun pada bulan Maret 2010 Pengadilan Agama Jakarta selatan memiliki ruangan khusus mediasi dan akta-akta hasil mediasi mulai dicatatkan. Sedangkan mengenai masalah kurangnya mediator yang bersertifikat hingga saat ini masih menjadi permasalahan peradilan Agama Jakarta Selatan khususnya dan merupakan permasalahan bagi Peradilan Agama secara nasional. Seperti yang telah dikatakan oleh Dirjen Badilag, dari kurang lebih 3600 hakim yang ada di Indonesia hanya 300 hakim yang memiliki sertifikat mediator. Sedangkan di Pengadilan Agama jakarta Selatan dari 17 hakim hanya 6 orang hakim yang memiliki sertifikat mediator.5 Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan terdapat 17 hakim, 16 diantaranya yang menjadi mediator dan 4 mediator non hakim.6 Dan ini merupakan salah satu ketidak singkronan dari apa yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan yang terjadi di lapangan. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa hakim yang tidak memiliki sertifikat mediator hanya boleh menjadi mediator apabila di wilayah pengadilan tersebut tidak terdapat satupun mediator yang 5
Wawancara pribadi dengan Drs. Wahyu Widiana MA. Jakarta, 8 September 2010.
6
Wawancara pribadi dengan Tamah, SH. Jakarta, 8 September 2010.
65
bersertifikat. Akan tetapi pada kenyataannya hampir semua hakim yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan menjadi mediator meskipun tidak semuanya memiliki sertifikat dan terdapat mediator non hakim yang bersertifikat di Pengadilan tersebut (Bab II pasal 9 ayat (3)). Hal ini dikarenakan kurangnya mediator yang bersertifikat dan banyaknya jumlah perkara perdata yang masuk ke pengadilan. Selain itu dalam PERMA tersebut disebutkan bahwa para pihak yang berpekara yang berhak menentukan mediatornya, namun tak sedikit majelis hakim sendiri yang menentukan atau menyodorkan mediatornya. Dalam hal ini dikarenakan para pihak tidak mengenal betul para mediator yang ada dalam daftar mediator. Tetapi ada pula yang menolak, hal tersebut dikarenakan masalah jadwal waktu yang tidak mereka sepakati, bukan karena kepribadian mediator itu sendiri atau lain hal.7
C. Hambatan Dalam Mengupayakan Keefektivan Mediasi Terkadang mediasi bisa menghambat prosedur pelaksanaan persidangan di Pengadilan Agama. Karena dengan adanya jadwal mediasi secara otomatis akan menambah agenda penyelesaian perkara. Hambatan yang dihadapi oleh hakim adalah sebagai berikut:
7
Wawancara pribadi dengan Drs. Kadi Sastro Wirjono. Jakarta, 8 September 2010.
66
1. Dalam perkara perceraian. Karena perceraian adalah masalah hati, maka hal ini tidak sedikit para pihak yang tidak mau melaksanakan mediasi. Dengan alasan persoalan yang mereka hadapi sudah mencapai klimaks.8 Karena dalam persidangan pun majelis hakim telah berusaha untuk mendamaikan dengan memberi nasehat, sehingga menurut para pihak tidak mau membuang-buang waktu untuk proses mediasi. 2. Biaya perkara bertambah. Karena ada biaya untuk pemanggilan para pihak. Apalagi jika proses mediasi yang dilakukan di luar pengadilan atau dengan kata lain dengan bantuan mediator dari luar pengadilan. Tentu saja membutuhkan biaya untuk mediatornya atau mungkin ada biaya untuk tempat pelaksanaan mediasi. Oleh karena itu Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum menerapkan biaya mediasi, karena dengan pertimbangan bahwa; 1) PERMA ini masih baru, 2) belum ada petunjuk secara langsung, 3) menambah beban bagi para pihak yang bersengketa. 3. Waktu sangat dimaksimalkan. Dengan diadakannya mediasi di dalam peradilan, proses litigasi menjadi tertunda hingga adanya hasil mediasi tersebut. Oleh karena itu waktu yang disediakan untuk mediasi sangat dimaksimalkan.
8
Wawancara pribadi dengan Drs. Kadi Sastro Wirjono. Jakarta, 8 September 2010.
67
Dari segi waktu, kendala yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan selama PERMA No.1 Tahun 2008 ini diberlakukan dapat dirinci sebagai berikut: a. Para pihak yang meminta waktu mediasi diperpanjang Dengan adanya jadwal mediasi, pemeriksaan pokok perkara ditunda. Apalagi jika para pihak meminta kepada majelis hakim untuk memperpanjang waktu mediasi. Sebelum adanya peraturan ini, sidang yang kedua biasanya pembacaan gugatan. Namun sekarang bisa mencapai kurun waktu 1 bulan setengah baru dibacakan gugatan karena dilakukan mediasi terlebih dahulu. Dengan demikian para hakim memerlukan waktu yang lebih untuk memeriksa satu pokok perkara. b. Persidangan hadir, namun pada saat mediasi tidak hadir Para pihak hadir ketika persidangan pertama. Setelah sidang pertama majelis hakim Pengadilan Agama memerintahkan kepada para pihak yang berperkara untuk menuju ruang mediasi. Namun, terkadang ada salah satu pihak yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Misalnya perkara cerai gugat, pihak tergugat setelah keluar dari ruang sidang tidak langsung menuju ruang mediasi tetapi langsung pulang, mungkin karena alasan tidak ingin bercerai. Akibatnya, yang hadir pada ruang mediasi
68
hanya salah satu pihak, yaitu pihak penggugat. Tentu saja proses mediasi tidak bisa dilaksanakan. Maka pada sidang berikutnya ketika majelis hakim menanyakan tentang mediasi yang diperintahkan pada sidang sebelumnya. Mereka menjawab bahwa mereka belum menempuh proses mediasi. Majelis hakim pun memerintahkan kembali untuk menempuh proses mediasi. Dengan kejadian ini berarti membutuhkan waktu lagi untuk menunggu hasil mediasi. c. Sidang pertama tidak hadir, namun sidang berikutnya hadir Ketika sidang pertama salah satu pihak tidak hadir, tapi pada saat sidang berikutnya pihak tersebut hadir. Bahkan ada juga pihak yang hadir pada saat sidang sudah sampai pada tahap pembuktian. Maka majelis hakim tetap harus memerintahkan lagi kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Dan majelis hakim membutuhkan waktu lagi untuk menunggu sampai adanya laporan dari hakim mediator. Selain hambatan tentu saja terdapat keuntungan setelah proses mediasi baik bagi pihak yang bersengketa maupun bagi hakim mediator sendiri. Bagi pihak yang bersengketa kalau terjadinya perdamaian tentunya adalah sesuatu yang sangat menguntungkan. Karena masalah yang mereka hadapi terselesaikan dengan kebaikan dan keuntungan yang diperoleh bagi masing-masing pihak. Kalau
69
putusan pengadilan tidak memberi penyelesaian yang menyeluruh. Bahkan tidak memuaskan kepada yang kalah maupun yang menang. Selain itu, kekalahan dan kemenangan tidak mendatangkan kedamaian kalbu dan nurani. Bahkan seperti yang diungkapkan pepatah Cina a lawsuit bred ten years of hatred. Berperkara di pengadilan menumbuhkan benih kebencian dan dendam bertahun-tahun. Namun sebaliknya, kalau tidak terjadi perdamaian minimal sebagai dasar untuk saling inrtospeksi diri. Sebagai suatu motivasi agar para pihak menyadari akan hal-hal yang telah dilakukan pada masa yang lalu dan sebagai pelajaran agar tidak terulang kembali pada masa yang akan datang. Misalnya masalah perceraian, dengan proses mediasi para pihak diingatkan dengan nasehat dari hakim mediator akan pentingnya pernikahan sebagai sebuah ibadah. Oleh karenanya, kalaupun mediasi gagal dan berakhir dengan putusan perceraian. Nasehat dari mediator dapat diterapkan oleh para pihak pada pernikahan yang kedua dan diharapkan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pernikahan yang pertama. Mengutip pernyataan Bapak Ketua Muda MA (Drs. Andi Syamsu Alam, S.H.,M.H) dan Bapak Dirjen Badan Peradilan Agama (Drs. Wahyu Widiana, M.A) menyatakan bahwa mediasi ini merupakan produk Islami dalam rangka penyelesaian sengketa di pengadilan. Oleh sebab itu, mediasi melalui mediator harus dilaksanakan secara optimal sebagai bagian dari sebuah proses aktivitas
70
ijtihad demi mendapatkan keputusan yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak. Tujuan utama dari mediasi adalah tercapainya perdamaian, sementara perdamaian itu merupakan hukum yang tertinggi sesuai dengan adagium hukum yang berbunyi "Ash-Shulh Sayyid al-hukm". Perdamaian menjadi sangat penting dilaksanakan apalagi dalam menyelesaikan sengketa-sengketa keluarga. Keluarga berarti umat, baiknya suatu keluarga, sangat berpengaruh dan berdampak kepada perbaikan umat secara keseluruhan. Meskipun perceraian tidak dapat terelakkan, bukan berarti mediasi gagal secara total, minimal dalam mediasi kepada kedua belah pihak telah dilakukan pencerahan dan internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam persoalan rumah tangga, supaya kelak apabila mereka menikah lagi, mereka telah memiliki pemahaman yang cukup baik tentang arti sebuah rumah tangga. Namun demikian, melalui mediasi yang dilaksanakan secara maksimal, mudah-mudahan tercapai perdamaian tanpa perceraian.9 Dan
keuntungan
bagi
hakim
adalah
akan
mendapatkan
reward
(penghargaan / pointer). Karena dalam PERMA tersebut menyatakan bahwa setiap mediator harus dicantumkan dalam putusan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam pelaksanaan mediasi.
9
Admin, “Optimalisasi Pelaksanaan Mediasi”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010 dari http://www.pasimalungun.net/kiri/optimalisasi_pelaksanaan_mediasi.htm
71
Keuntungan lainnya adalah dengan keterbatasan waktu, tenaga dan dana untuk penyuluhan hukum sebenarnya dapat teratasi melalui proses mediasi sebagaimana yang diatur dalam Perma ini. Mediator yang diambil dari hakim, dapat lebih leluasa dan memiliki waktu yang cukup luas untuk memberikan pemahaman tentang hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Penyuluhan secara face to face seperti tersebut pasti lebih terarah dan mencapai sasaran ketimbang penyuluhan hukum secara umum. Meskipun bingkainya adalah mediasi namun isinya adalah penyuluhan hukum. Apabila mediasi secara optimal tersebut telah terlaksana secara kontinu mudah-mudahan akan terdapat perubahan paradigma di kalangan masyarakat dalam memandang pengadilan yang selama ini hanya dianggap sebagai pemutus perkara, berubah menjadi lembaga yang memberikan keadilan dengan kepuasan kedua belah pihak.
D. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Semenjak ditetapkannya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara, tetapi berwenang mendamaikan para pihak yang berpekara. Pengadilan yang selama ini terkesan sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan
72
keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencari solusi antara pihak-pihak yang bertikai. Pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini diharapkan bisa menjadi tonggak awal keefektifan usaha perdamaian atau mediasi, bukan hanya dalam tataran teoritis, tetapi juga dalam praktiknya di lapangan. Karena PERMA tersebut merupakan hasil dari penyempurnaan dari PERMA sebelumnya, yakni PERMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dianggap kurang begitu efektif dalam menyelesaiakan perkara di Pengadilan. Pada dasarnya hukum mediasi tercantum dalam pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi ini maka berdasarkan PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg. Yang mengakibatkan putusannya batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk pada Pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan prosedur mediasi.10 Pemberlakuan PERMA mediasi ini terbilang baru dalam ranah Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu institusi yang mempraktikkan mediasi, karenanya Pengadilan Agama Jakarta Selatan butuh
10
Siddiki, Drs., Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilam Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, www.badilag.net,2009, hal.2.
73
waktu penyesuaian untuk bisa memaksimalkan tingkat keefektivan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini. Dalam pemberlakuan PERMA tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang berasaskan sederhana, cepat dan biaya ringan mengambil langkah /pola fleksibel, yakni setelah hakim telah menentukan mediator yang ditunjuk, maka para pihak yang terkait memasuki ruang mediasi pada hari itu juga, menentukan waktu mediasi yang ditentukan bersama dan hakim pun langsung menunda persidangan. Selain memudahkan para pihak yang berperkara, hal tersebut juga dimaksudkan untuk meringankan perkara dan menghemat waktu. Meskipun demikian, Pengadilan Agama Jakarta Selatan tetap berpedoman pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mengenai tingkat keefektifan mediasi yang dianggap kurang efektif, seperti yang diutarakan salah satu Ketua Muda Mahkamah Agung RI, H. Andi Syamsu Alam, hal tersebut juga dibenarkan oleh H. Wahyu Widiana, Dirjen Badilag RI, selain belum maksimalnya pemberdayaan PERMA Nomor 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tersebut, terlebih lagi perkara perceraian. Karena perkara perceraian menyakut soal hati yang tidak bisa dipaksakan, karena para pihaklah yang benar-benar merasakan permasalahannya. Dan kebanyakan dari mereka datang membawa permasalahan tersebut ke pengadilan dengan tekad bulat untuk bercerai. Maka akan sulit sekali untuk didamaikan.
74
Mengenai keefektivan mediasi dalam penelitian ini terdapat dua perspektif dari kata “efektif”. Yang pertama apakah peraturan yang berlaku itu efektif dalam artian berjalan dan dilaksanakan. Dan kedua makna efektif di sini yaitu apakah hasil yang diharapkan atau target dari peraturan tersebut berhasil. Apabila kefektifan yang dimaksud pada bagian pertama, PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berhasil dilaksanakan, berarti PERMA ini efektif. Namun apabila efektif yang dimaksud pada bagian kedua, tentang hasil target dari penerapan PERMA ini, berarti PERMA No. 1 Tahun 2008 ini belum efektif. Efektivitas menurut Ilham Idrus dalam artikelnya yang berjudul “ Efektivitas Hukum” yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya terdapat 6 indikator, yaitu berhasil guna; ekonomis; pelaksanaan kerja bertanggung jawab; rasionalitas wewenang dan tanggung jawab; pembagian kerja yang nyata; dan prosedur kerja yang praktis. Dikaitkan dengan indikator tersebut pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum sepenuhnya efektif. Karena dari 6 poin yang harus dicapai untuk dikatakan efektif hanya 3 poin yang tercapai. Analisis Efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai perkara perceraian berdasarkan indikator tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Berhasil guna. Pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan khususnya dalam perkara perceraian belum berhasil guna. Target dibentuknya PERMA
75
tentang mediasi tersebut adalah untuk mengontrol jumlah perkara yang dilitigasi. Namun pada kenyataannya target tersebut belum tercapai. Banyak perkara yang tetap dilitigasikan setelah mengikuti mediaisi ini. 2. Ekonomis. Dari segi ini pun pelaksanaan mediasi tersebut juga malah menambah pengeluaran biaya. Misalnya untuk biaya pemanggilan para pihak, untuk pengadaan mediator, dan penambahan biaya administrasi lainnya. 3.
Pelaksanaan kerja bertanggung jawab. Pelaksanaan mediasi ini pun belum benar-benar dimanfaatkan oleh para pihak yang berpekara. Dan yang amat disayangkan kebanyakan dari mereka justru hanya menganggap pelaksanaan mediasi ini hanya untuk syarat agar perkara mereka dilanjutkan di persidangan.
4.
Rasionalitas wewenang dan tanggung jawab. Dalam hal ini, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah terlaksana dengan baik. Telah ada prosedur-prosedur administrasi yang tersistem dengan baik.
5.
Pembagian kerja yang nyata. Pengadilan Agama Jakarta Selatan juga telah melaksanakan pembagian kerja yang nyata secara baik. Pembagiaan kerja dilakukan berdasarkan kapasitas kemampuan para pegawainya dan dilakukan dengan ketepatan waktu yang tersedia.
76
6. Prosedur kerja yang praktis. Kegiatan operasional mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini dapat
dilaksanakan
dengan
lancar.
Tidak
ada
penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi dalam melakukan peraturan ini. Misalnya semua perkara perdata yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini memang betul-betul harus melalui proses mediasi, apabila tidak perkara tersebut memang tidak dilanjutkan. Oleh karena itu, mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dapat dikatakan belum efektif. Dari banyaknya perkara yang dimediasi hanya sekitar 7 % yang berhasil dan dicabut dari persidangan. Namun dari keberhasilan tersebut bukanlah perkara perceraian. Kebanyakan yang berhasil tersebut adalah diluar perkara perceraian. Dalam buku “ Arbitrase dan Mediasi di Indonesia” karangan Gatot Soemarsono, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan mediasi atau APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) menurut Laurence Boulle yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, yaitu sengketa masih dalam batas wajar; komitmen para pihak; keberlanjutan hubungan; keseimbangan posisi tawar menawar; prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia. Akan tetapi pada perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan kebanyakan tidak memenuhi faktor-faktor tersebut sehingga perkara tersebut sulit untuk dimediasikan. Berikut adalah singkronisasi antara faktor-faktor yang
77
mempengaruhi mediasi dengan perkara-perkara yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selaatan: 1. Sengketa masih dalam batas wajar. Kebanyakan dari perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan khususnya perkara perceraian sudah tidak tergolong batas wajar. Kebanyakan dari mereka sudah bertekad untuk bercerai, karena permasalahan yang mereka hadapi sudah melampaui batas wajar sehingga sulit untuk dimediasi. 2. Komitmen para pihak. Komitmen para pihak yang berpekara khususnya dalam perkara perceraian sangatlah minim. Bahkan ada beberapa dari mereka untuk melakukan pertemuan mediasi saja ada tidak menepatinya (tidak komitmen). Sehingga terpaksa waktu untuk dimediasi mereka ditunda. 3. Keberlanjutan hubungan. Keberlanjutan hubungan mereka (para pihak dalam sengketa perceraian) pun sudah tidak baik. Seharusnya ada keinginan dari para pihak untuk mempertahankan hubungan baik mereka. Tetapi justru yang terjadi dalam kasus perceraian malah sebaliknya. Mereka menganggap sudah tidak ada lagi hubungan yang harmonis dan mereka beritikad untuk bercerai. Sehingga sulit lagi untuk menyatukan hati yang telah tersakiti.
78
4. Keseimbangan posisi tawar menawar. Para pihak dalam perkara perceraian sudah tidak lagi memiliki keseimbangan dalam posisi tawar menawar. Kecuali apabila dalam posisi perkara akibat perceraian masih bisa dikendalikan. 5. Prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia Para pihak harus diberi pengertian bahwa proses mediasi ini sangatlah tertutup dan hanya pihak-pihak yang bersangkutan saja yang dapat menghadiri acara mediasi ini. Tetapi tidak menutup kemungkinan pihak luar ikut dalam proses mediasi ini kecuali ada persetujuan dari pihak yang berpekara. Tidak seperti proses persidangan yang terbuka untuk umum. Oleh karna itu diharapkan dengan tertutup dan rahasia para pihak mau terbuka satu sama lain. Melihat dari beberapa faktor di atas perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak memenuhi semua faktor-faktor tersebut
sehingga
sulit
untuk
tercapainya
keberhasilan
mediasi.
Ketidakefektivan mediasi ini sangat terlihat jelas dari jumlah kasus perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2008-2009, baik perkara cerai talak maupun cerai gugat. Untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel.
79
Perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2008 Tabel 1 NO JENIS PERKARA . 1 2
J A N -
6
Izin Poligami Pencegahan Perkawinan Penolakan Perk. Oleh PPN Pembatalan Perkawinan Kelelaian Atas Kew. Sm/is Cerai Talak 54
7
Cerai Gugat
3 4 5
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
F E B -
M A R -
A P R 1 -
M E I -
J U N -
J U L 2 -
A G T -
S E P 1 -
O K T 1 -
N O V -
D E S -
JM L
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
1
1
-
-
-
1
-
1
-
5
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4 7 9 7 1 -
65
63
48
57
49
62
60
58
84
97
2 2 -
13 1 2 -
-
11 4 2 -
12 9 1 1 -
12 2 -
3 2 6 1 2 1 -
13 3 -
13 4 2 -
43 63 8 87 13 24 11 7 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
-
1
2
3
1
-
-
-
14
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
19 3
4 1
4 1 1
8 -
2 -
2 1
4 -
2 -
2 -
1
56 1 8
13 5 Harta Bersama Pengasuhan Anak 2 Nafkah Anak Oleh Ibu Hak-hak Bekas Istri Pengesahan Anak Pengangkatan Anak Pencabutan kek. Wali Penunjukan O.Lain 2 1 sbg wali Ganti Rugi Thd Wali Asal Usul Anak Penolakan Perk. Campuran Isbat Nikah 3 6 Izin Kawin - Dispensasi Kawin Wali Adhol 1
5 -
80
23 24 25 26 27 28 29
Gugat Waris Penetapan Waris Wasiat Hibah Wakaf Shadakoh P3HP*)
30
Lain-lain
1 Ahli 3
1 4
1 11
1 7
1 6
8
2 4
5
1 4
2 1
1 7
1 5
12 65
7
1 9
1 11
13
2 8
8
6
5
3
3
2
1 3 65
-
-
2
-
-
-
-
-
1 1 -
-
-
-
2
Sumber: Laporan Perkara tahunan 2008 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
Perkara yang diputus Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2008 Tabel 2 NO JENIS . PERKARA 1
Sisa Tahun Lalu
2
Perkara diterima
3 4 5 6 7
1 -
-
-
-
-
1 -
1 1
1 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10
Izin Poligami Izin kawin Dispensasi kawin Pencegahan perk. Penolak perk. Oleh PPN Pembatalan perk. Kelalaian atas kew sm/is Cerai talak
S E P 5 6 3 2 1 9 -
50
34
45
57
44
35
50
55
32
40
11
Cerai gugat
95
71
00
94
79
82
11 9
12 3
3 4 7 3
65
84
52 52 7 12 11 9 14
8 9
J A N 52 1
F E B 53 5
M A R 55 6
A P R 55 5
M E I 57 9
J U N 58 1
J U L 60 7
A G T 58 0
yang 20 7
16 9
20 3
22 8
16 9
19 8
19 8
20 0
O K T 53 4
N O V 61 3
D JM E L S 65 1
20 2
20 8
13 22 9 40
1 -
1 -
-
5 1 1 1 -
81
12 13 14
-
-
4 -
1 -
1 -
1 -
5 1 -
2 -
1 -
1 1 -
-
-
10 8 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
-
-
4
1
-
2
4
-
-
-
14
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 2 -
1 5 -
13 7 -
5 3 8 -
2 1 5 -
3 1 5 -
6 9 -
3 3 -
3 1 5 -
2 -
3 4 -
1 1 7
41 6 56 7
28 29 30 31 32
Harta bersama Pengasuhan anak Pengangkatan anak Nafkah anak oleh ibu Hak-hak bekas istri Pengesahan anak Pencabutan kek. orang tua Pencabutan kek. Wali Penunjukan org lain sbg wali Ganti rugi terhadap wali Asal usul anak Penolakan kawin campurn Isbat nikah Wali adhol Gugat waris Per penetapan ahli waris Wasiat Hibah Wakaf Sodaqah P3HP
5
8
12
10
1 6
10
1 9
3
2
4
2
2 86
33 34
Lain-lain Dicabut
29
10
1 10
3 17
13
20
7
13
1 5 9
7
21
35 36 37 38
Ditolak 4 1 1 Gugur 2 5 2 3 1 4 11 4 - 1 6 Tidak diterima 2 3 2 1 2 1 1 - 2 1 Dicoret dari 2 8 8 2 10 6 4 7 2 10 6 register Sumber: Laporan Perkara tahunan 2008 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
4 20 17 6 6 5 44 2 17 6 71
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
82
Dari data yang ada pada tabel di atas dapat kita lihat jumlah perkara yang masuk pada tahun 2008 adalah sebesar 2240 perkara dan yang diputus adalah sebesar 2197, sedangkan yang dicabut adalah sebesar 176. Dari jumlah-jumlah tersebut dapat dilihat kecilnya angka perkara yang dicabut. Perkara yang di cabut pada tahun 2008 adalah 7.8 % dari perkara keseluruhan. Dan keberhasilan mediasi merupakan sebagian kecil dari perkara yang dicabut. Jadi dapat dikatakan keberhasilan mediasi sangat minim. Untuk dapat membandingkan pergerakan keefektifan mediasi dari tahun 2008 ke 2009 dapat di lihat dari tabel berikut. Perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2009 Tabel 3 NO JENIS PERKARA . 1 2
J A N -
F E B 1 -
M A R -
A P R 2 -
M E I -
J U N 1 -
J U L 2 -
A G T 2 -
S E P 1 -
O K T 2 -
N O V -
D E S -
JM L
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 -
-
1 -
2 -
1 -
-
-
-
-
-
-
5 -
53
5 3 1 2 8 1 -
59
83
63
66
59
60
94
62
16 1
13 4
13 6
15 3
11 9
10 6
2 6 5 7
19 9
15 9
77 75 5 16 16 8 66
1 -
1 -
1 -
6 -
-
-
2 -
2 -
2 -
5 -
6
Izin poligami Pencegahan perkawinan Penolakan perk. Oleh PPN Pembatalan perk. Kelalaian atas kew. Sm/is Cerai talak
7
Cerai gugat
14 6
8 9
Harta bersama Pengingkaran anak
1
3 4 5
11 -
21 1
83
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 -21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Pengasuhan anak 1 2 4 2 - 1 3 Nafkah anak oleh - - ibu Hak-hak bekas istri - - Pengesahan anak - 1 - Pencabutan kek. - - Wali Perwalian 2 1 1 1 3 5 5 5 5 2 3 Pengangkatan anak - 1 1 1 1 1 1 Penunjukan o.lain - 1 sbg wali Ganti rugi thd wali - - Asal usul anak - 1 - Penolakan kawin - - campuran Isbat nikah 3 2 2 3 7 2 3 3 6 5 Izin kawin - - Dispensasi kawin - 1 1 - 1 Wali adhol 1 3 1 1 - 2 Pengesahan - 2 1 1 1 1 pencatat perk. Gugat waris 3 1 1 3 1 3 1 Prmh. Penetapan 10 8 13 6 6 12 3 8 3 13 10 ahli waris Wasisat 1 - Hibah - - Wakaf - - Shodaqoh - - Ekonomi syariah - 1 - Sumber: Laporan Perkara tahunan 2009 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
1 -
14 -
-
1 -
4 -
37 6 1
-
1 -
1 -
37 3 8 6
2 8
15 10 0 1 1
-
Perkara yang diputus Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2009 Tabel 4 NO JENIS PERKARA . 1
Sisa tahun lalu
J A N 56 4
F E B 5 7
M A R 55 1
A P R 58 2
M E I 57 6
J U N 60 7
J U L 55 7
A G T 54 6
S E P 5 1
O K T 43 5
N O V 58 5
D JM E L S 63 3
84
1 -
1 -
1 1 -
1 -
-
1 1 -
-
2 -
6 1 -
1 -
1 -
-
9 2 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
1
-
1
1
-
-
-
-
-
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
Izin Poligami Izin kawin Dispensasi kawin Pencegahan Perkawinan Penolakan Perk. Oleh PPN Pembatalan Perkawinan Kelelaian Atas Kew. Sm/is Cerai Talak
56
40
45
49
73
51
58
40
Cerai Gugat
10 4
12 7
13 3
10 6
15 8
11 3
11 3
4 8 9 1
44
10
85
11 4
56 61 1 11 13 9 80
11 12 13
Harta Bersama Pengasuhan Anak Pengangkatan Anak Nafkah Anak Oleh Ibu Hak-hak Bekas Istri Pengesahan Anak Pencabutan kek. Org tua Perwalian Pencabutan kek. Wali Penunjukan o.lain sbg wali Ganti rugi thd wali Asal usul anak Penolakan kawin campuran Isbat nikah Wali adhol Pengesahan pentatatan perk
-
5 1 1 1 7 -
1 -
2 -
-
3 1
1 -
2 -
2 2
1 1
1 -
2 -
7 8 4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2 -
-
1 -
-
1 -
8 -
3 -
6 -
7 -
2 -
2 -
3 -
35 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 2 -
1 1 -
2 -
3 1 1
2 -
5 -
5 2
2 1 2
1 2 1
5 -
3 -
2 1 -
32 8 6
2 3 4 5 6 7 8
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
85
27 28
1 4
29 30 31 32 33 34
Gugat waris Per penetapan ahli waris Wasiat Hibah Wakaf Shodaqoh Ekonomi syariah P3HP
35 36
Lain-lain Dicabut
17
37 38 39 40
Ditolak 1 1 2 2 1 1 Gugur 10 8 5 7 9 7 5 2 7 Tidak diterima 2 2 1 4 4 2 2 4 6 Dicoret dari 6 1 6 2 3 2 1 2 register Sumber: Laporan Perkara tahunan 2009 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
5
2 1 2 8
10
2 11
5
1 14
3
1 7
5
10
5
2 8
9 94
12
1 10
6
10
9
3
2
4
2
1 -
1 9 2 9 6
14
24
15
24
16
20
1 5 1 7 1 2 1 1
14
18
17 21 5 1 12 5 76 5 33 8 38
Di tahun 2009 jumlah perkara yang masuk adalah sebesar 2690. Dan perkara yang diputus sebesar 2582. Sedangkan perkara yang dicabut sebesar 215. Besar persentase perkara yang dicabut adalah sebesar 8 %. Dibandingkan dengan jumlah persentase tahun 2008, tahun 2009 lebih besar. Ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 0.02 %. Walaupun peningkatan tersebut sangat kecil sekali ini menunjukkan keberhasilan perkara yang dicabut, dan bisa jadi merupakan indikasi peningkatan keberhasilan mediasi. Semoga tahun-tahun kedepannya terus menerus meningkat, sehingga keberhasilan mediasi terus meningkat pula tiap tahunnya.
86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah Penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi ini, maka dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Dari data yang didapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak dicantumkan perkara yang berhasil dimediasi atau yang gagal dimediasi. Akan tetapi salah seorang hakim yang juga mediator bersetifikat menyebutkan bahwa dari kurang lebih 700 perkara yang beliau mediasi terdapat 6 perkara yang berhasil dimediasi dan gugatannya dicabut kembali. Walaupun tidak adanya data keberhasilan mediasi, tetapi terdapat data perkara yang dicabut setiap tahunnya. Dari sanalah kita dapat melihat perbandingan perkara yang dimediasi dan perkara yang dicabut atau berhasil dimediasi. Pada tahun 2008 jumlah perkara yang masuk adalah sebanyak 2240 perkara dan yang dicabut sebesar 176. Dari jumlah-jumlah tersebut dapat dilihat kecilnya angka perkara yang dicabut. Perkara yang di cabut pada tahun 2008 adalah 7.8 % dari perkara keseluruhan. Sedangkan pada tahun 2009 jumlah perkara yang masuk adalah sebesar 2690. Sedangkan perkara yang dicabut sebesar 215 perkara. Besar persentase perkara yang dicabut adalah sebesar 8 % dari perkara yang masuk di tahun tersebut. 2. Kendala atau hambatan yang dihadapi oleh para mediator dalam menjalankan mediasi tersebut yaitu ketika menghadapi perkara perceraian. Karena perceraian merupakan perkara non materi yang melibatkan masalah hati dan perasaan. 86
87
Misalkan seperti perasaan cemburu atau sakit hati karena adanya WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain). Sehingga perkara perceraian sangat sulit untuk dimediasi. Akan tetapi apabila perkara akibat perceraian yang berupa materi masih dapat dimediasi. Misalnya masalah harta gonogini, masalah hak asuh anak, dan lain sebagainya. 3. Sejak dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mediasi wajib dilakukan oleh semua perkara perdata yang masuk dalam Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama. Para pihak yang berperkara tidak boleh menolak pelaksanaan mediasi tersebut. Apabila salah satu pihak menolak mengikuti mediasi tersebut maka proses persidangan batal demi hukum dan tidak dapat dilanjutkan. Pada sidang pertama, majelis hakim wajib memberitahukan kepada para pihak untuk menempuh jalur mediasi. Di sini hakim menjelaskan bagaimana proses mediasi. Setelah para pihak mau untuk dimediasi hakim menyarankan nama mediator atas persetujuan kedua pihak yang berpekara. Setelah itu di luar ruang sidang para pihak yang berpekara mengadakan pertemuan dengan mediator dan menentukan waktu pelaksanaan mediasi. Mediasi berjalan selama 40 hari. Apabila berhasil gugatan akan dicabut dan apabila gagal maka persidangan dilanjutkan. Dari data yang diterima dari Pangadilan Agama Jakarta Selatan tidak tercantumkan mediasi yang berhasil dan yang gagal. Hanya dalam data tersebut terdapat data perkara yang di cabut. Dari jumlah yang dicabut tersebut sedikitnya terdapat faktor keberhasilan mediasi. Menurut seorang hakim yang juga mediator bersertifikat
88
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Tamah, SH., menyebutkan kurang lebih dari 700 perkara yang beliau mediasi hanya terdapat 6 perkara yang berhasil dimediasi dan dicabut gugatannya. Disini terlihat bahwa minimnya tingkat keberhasilan mediasi. Apabila di lihat dari indikator keberhasilan mediasi yang diungkapkan Sujudi FX dalam “Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen”pun mediasi ini belum dapat dikatakatan efektif. Mediasi ini belum berhasil guna, dengan target yang ingin dicapai yaitu menekan jumlah perkara yang dilitigasikan. Kemudian dari sisi ekonomis, mediasi ini justru dianggap tidak ekonomis dan dianggap menambah biaya yang harus dikeluarkan para pihak berpekara, karena bagi mereka ini hanyalah suatu syarat yang harus dilewati saja. Karena kebanyakan dari mereka datang ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan khususnya perkara perceraian mereka datang dengan tekad yang bulat, mereka sudah bertekad untuk bercerai sehingga sulit untuk di mediasi. Sedangkan dalam hal pelaksanaan kerja yang bertanggung jawab, pembagian kerja yang nyata dan prosedur yang praktis sudah terlaksana. Kefektivan dalam bidang hukum tidak ditentukan oleh 1 (satu) faktor saja. Melainkan sedikitnya 4 (empat) faktor. Yaitu yang telah dipaparkan dalam bab 3, (1) Hukum itu sendiri; (2) Penegak Hukum; (3) fasilitas yang mendukung; (4) masyarakat yang menjalankan hukum tersebut. Keefektivan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan kurang berjalan dikarenakan faktor yang terakhir, yaitu faktor masyarakat yang menjalankan hukum tersebut. Dari segi peraturan, penegak hukum dan fasilitas sudah memadai terlaksananya hukum tersebut. Hanya dari
89
masyarakatnya yang kurang mendukung keberhasilan dari peraturan tersebut. Khususnya dalam perkara perceraian, sangat sulit untuk dimediasi dikarenakan menyangkut masalah perasaan. Akan tetapi dilihat dari keberhasilan mediasi dari 2 tahun belakangan ini, yaitu 2008 dan 2009, keberhasilan mediasi mengalami peningkatan walaupun hanya sedikit. Namun diharapkan peningkatan tersebut akan terus menerus meningkat tiap tahunnya sehingga target dari PERMA nomor 1 tahun 2008 tersebut dapat tercapai, yaitu mengendalikan perkara yang dilitigasi. Dengan begitu PERMA mengenai mediasi tersebut dapat dikatakan efektif di Pengadilan Agama Jakarta selatan.
B. Saran Diakhir penulisan skripsi ini, penulis ingin mengajukan saran-saran, yaitu: 1. Kepada pemerintah Republik Indonesia, agar kekuatan hukum mengenai proses mediasi tidak hanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), tetapi dibuatkan peraturan perundang-undangannya agar lebih tinggi tingkat kekuatan hukumnya dengan mengamandemen kekurangan-kekurangan yang masih ada dan semuga tujuan dari mediasi tersebut tercapai. Serta perlunya memaksimalkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai mediasi ini. Misalnya diadakan penyuluhanpenyuluhan, dan lain sebagainya. 2. Kepada Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi kehakiman, agar memperluas dan meningkatkan mutu dari pelatihan mediasi tersebut. Serta
90
mewajibkan para hakim untuk mengikuti pelatihan mediasi. Karena pada umumnya kebanyakan dari hakim di Indonesia masih belum memiliki kemampuan dalam hal mediasi dan baru sedikit diantaranya yang memiliki sertifikasi mediasi. Sehingga program mediasi yang ada dalam sistem peradilan di Indonesia dapat dengan maksimal dan efektif untuk dilaksanakan. 3. Kepada pengadilan Agama Jakarta selatan, penulis berharap sebaiknya menerapkan daftar mediator lengkap dengan pendidikan, profesi dan pengalaman, agar para pihak dapat menentukan sendiri mediator yang diinginkan. Selanjutnya membuat laporan daftar perkara yang berhasil didamaikan sehingga terlihat jelas tingkat keberhasilan mediasi yang dilaksanakan. Supaya dapat meningkatkan keefektifan mediasi dari perkaraperkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 4. Kepada para hakim yang menangani perkara perdata, penulis menyarankan agar mengikuti pelatihan mediasi supaya dapat menjadi mediator yang baik dan terlatih, serta dapat memaksimalkan upaya damai kepada para pihak yang berpekara. Terlebih lagi bagi hakim yang beragama islam, karena mediasi ini merupakan suatu produk islami. Apabila dapat dilaksanakan dengan optimal maka hal tersebut merupakan perwujudan dari bentuk ijtihad demi mendapatkan keputusan yang memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak. 5. Kepada para pihak yang berpekara, agar mematuhi dan mengikuti aturan-aturan pengadilan yang telah ditetapkan, sehingga tidak menghambat prosedur pengadilan.
Karena selain bermanfaat untuk masa sekarang mediasi juga
91
bermansfaat untuk kehidupan para pihak di masa mendatang. Karena penyelesaian
sengketa
melalui
mediasi
mengutamakan
prinsip-prinsip
musyawarah untuk mencapai mufakat yang selaras dengan budaya bangsa Indonesia, maka sudah selayaknya mediasi diterapkan secara maksimal dalam setiap proses penyelesaian sengketa di Pengadilan. 6. Kepada akademisi hukum yang ada di Indonesia, agar memasukkan permasalahan mediasi ini lebih mendetil ke dalam mata kuliah Fakultas Hukum. Agar para mahasiswa Fakultas Hukum lebih memahami pentingnya perdamaian atau mediasi ini. Sekaligus mensosialisasikan kepada para calon praktisi hukum nantinya. 7. Kepada para mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia hukum, agar lebih mendalami keilmuan tentang mediasi. Agar peradilan di Indonesia di masa yang akan datang lebih meningkat mutu dan kualitasnya. Karena para mahasiswalah yang nantinya akan mengganti kedudukan-kedudukan para pemerintah di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009. Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008). Al-qur‟an Karim
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia Jakarta: Kencana, 2008. As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III. Beirut: Dar Al Fikr, 1977. Daud, Abu. Kitab Sunan Abu Daud, Beirut: Karoban Hazm, 1974. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Depag RI, 2001. Handoko, T. Hani. Managemen, edisi II. Yogyakarta, BPFE, 1993. Harahap, Muhammad Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet.4 , Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet.4. Malang: Bayumedia Publishing, 2008. Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT). Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan. Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT), 2008.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2005. Mulyana, E. Menejemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi Dan Implementasi. Jakarta: PT Rosyda Karya, 2004. Mulyana, E. Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi. Jakarta, PT. Rosyda Karya, 2004. R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia,1985. Sabiq, As Sayyid. Fiqh As Sunnah, Juz III, Beirut: Dar Al Fikr, 1977. Samarqondi, Li „Ala Addin. Tuhfah al-fuqoha Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993. Soekanto, Soejono dan Purbacaraka, Purnadi. Perihal Kaidah Hukum. Padang: Alumni, 1979. Soemarsono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006. Sujudi FX, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen, Jakarta, CV Masagung, 1990. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Supranto, J. Metode Penelitian Hukum Dan Statistik. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI, Jakarta: Peslitbang Hukum Dan Peradilan MA-RI, 2007. Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988. ARTIKEL DALAM JURNAL
Yasardin. “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No.1 Tahun 2002”, Suara Uldilag, Edisi II (1 Juli 2003).
PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
DOKUMEN ELEKTRONIK DARI INTERNET Admin, “Optimalisasi Pelaksanaan Mediasi”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2009 dari http://www.pasimalungun.net/kiri/optimalisasi_pelaksanaan_mediasi.htm
Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2009 dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita. Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang Perbankan” artikel diakses pada tanggal 21 maret 2010 dari http://www.bapmi.org/pdf/DiskusiTerbatasPelaksanaanMediasi_FelixSoebagj o.pdf
Hermansyah, “Para Mediator Se-DKI Jakarta Mulai Diperkenalkan”, artikel diakses pada 22 September 2010 dari http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5288&It emid=1 Idrus, Ilham. “efektivitas Hukum”. artikel di akses pada 23 September 2010 dari hhtp://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html
Siddiki, Drs., Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilam Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, www.badilag.net,2009.
Wawancara Pribadi Wawancara Pribadi dengan Kadi Sastro Wirjono. Jakarta. 8 September 2010. Wawancara Pribadi dengan Tamah. Jakarta. Jakarta. 8 September 2010. Wawancara Pribadi dengan Wahyu Widiana. Jakarta. 7-8 September 2010.