PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ”Wewenang Advokat Perempuan Dalam Mengikrarkan Talak Kliennya” (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok Kelas II A) telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 September 2010 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah (Peradilan Agama). Jakarta, 6 September 2010 Disahkan oleh Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM NIP. 195505051982031012 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
: Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195003061976031001
(...........................)
Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag., MH NIP. 197202241998031
(...........................)
Pembimbing I : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, MA NIP. 197608072003121001
(...........................)
Penguji I
: Dr. Alimin Mesra, M.Ag NIP. 196908252000031001
(...........................)
Penguji II
: Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195003061976031001
(...........................)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaah qad Wafaqaa Lil’ilmi Khairi Khalqihii Walittuqaa. Segala puji hanya bagi Allah yang selalu memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat diberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Yang telah menuntun umatnya dari zaman kedzaliman sampai zaman yang terang benderang. Dengan penuh segala harapan skripsi yang berjudul “Wewenang advokat perempuan dalam mengikrarkan talak kliennya”(Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok). Telah terselesaikan oleh penulis. Sungguh suatu kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada keluarga besar Alm. Sarmili HB, dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis. Sebagai bahan yang berharga ini perkenankan penulis menuangkan dalam bentuk ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Prof. Dr. Amin Suma., MA. MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang banyak memberikan nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat demi meningkatkan kualitas spriritual dan intelektual yang bermutu kepada mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan kepada penulis pada khususnya.
i
2. Drs. H. Basiq Djalil, SH., MA, selaku ketua Jurusan Program Studi Ahwal AlSyakhshiyah yang selalu memberikan kriti secara tidak langsung sangat membantu sekali dalam penyusunan skripsi ini. 3. Kamarusdiana, SH. MH, selaku ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, yang tidak mengenal lelah untuk membantu mahasiswa/I baik dalam bidang birokrasi maupun administrasi kampus. 4. Dr. Ahmad Tholaby Kharlie., SH. MA. Selaku Dosen Pembimbing sekaligus kepribadian yang penulis kagumi yang relegius dan berintelektual, yang telah banyak meluangkan waktunya disela-sela kesibukan karirnya dalam memberikan saran serta masukan maupun nasihat dalam penyusunan skripsi ini. 5. Selur uh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyalurkan ilmunya kepada penulis ketika perkuliahan, mudah-mudahan ilmu yang penulis bermanfaat dan barakah. Jazakallah yaa Ustadzi wayassarallahu ‘an usriddunya wal akhiratikum. 6. Kepada Ketua Pengadilan Agama Depok beserta seluruh staf jajarannya baik Panitera Muda Hukum, dan Hakim-Hakim wabil khusus kepada Bpk. Drs. Sarnoto., MH. Yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai demi terselesaikannya penelitian ini. Disamping itu juga membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.
ii
7. Tak ada sepantas kata yang keluar dari lisan penulis selain kata Terimakasih yang sedalam-dalamnya pertama, kepada Ayahanda Alm. Sarmili HB yang telah mendidik penulis dari kecil. Hanya penulis sayangkan Allah begitu cepat memanggilnya sehingga beliau tidak ikut menyaksikan wisuda putranya. Semoga Allah senantiasa mengampunkan dosa-dosa beliau ketika hidup dan semoga dilapangkan kuburnya. Syukran laka Yaa Abii..kedua, ibundaku Nanih HM yang dengan berdiri sendiri melanjutkan estapet perjuangan ayahku, dengan jerih payah ibuku, sehingga beliau mampu mempertahankan penulis sampai ke jenjang perkuliahan, ibuku yang berusaha tak mengenal lelah demi keberhasilan anaknya. Dan penulis akan berusaha mewujudkan sebuah cita-cita dan harapan kecilnya. Semoga Allah mendengarkan harapan dan cita-cita yang beliau harapkan kepada penulis. 8. Segenap dewan guru TPA Masjid Raya Cinere yang selalu memberikan motifasi dan perhatiannya kepada penulis. 9. Teman-teman Konsentrasi Peradilan Agama B angkatan 2006 yang tak bosanbosan untuk bertukar pikiran serta pemberi informasi kepada penulis, suka duka, canda tawa kebersamaanmu akan penulis kenang selalu di dalam memori ingatan. 10. Sahabatku Joko Wasono yang dengan kesediaan dan perjuangannya yang telah meminjamkan seperangkat computer kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal ibadahmu akan menjadi tabunganmu
iii
kelak nanti dan mudah-mudahkan dilipat gandakan oleh Allah SWT. Dan semoga persahabatan kita akan terus terjalin sampai akhir hayat. Penulis tidak bisa membalas dengan apa-apa kecuali dengan do’a yang tulus, serta air mata yang menjadi saksi ketika memanjatkan do’a, dengan kebaikankebaikan para pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Semoga Allah akan melipat gandakan amal kebaikannya kelak nanti. Amiin yaa raabal ‘alamiin Penulis begitu sangat menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 6 September 2010 M 25 Ramadhan 1431 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
i
DAFTAR ISI............................................................................................................
v
BAB I
:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .........................................
5
C. Tujuan dan kegunaan penelitian .................................................
6
D. Metode penelitian .......................................................................
7
E. Review Kajian Terdahulu .......................................................... 10 F. Kerangka Teori ........................................................................... 13 G. Sistematika penulisan ................................................................. 14
BAB II :
KUASA HUKUM PEREMPUAN MENURUT PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian dan Dasar Hukumnya .............................................. 17 B. Rukun dan Syarat Wakalah ........................................................ 36 C. Berakhirnya wakalah................................................................... 40 D. Peran Advokat di Pengadilan Agama ........................................ 42
v
BAB III :
IKRAR TALAK DALAM PERSPEKTIF FIKIH
DAN
HUKUM POSITIF A. Pengertian dan Dasar Hukum Ikrar Talak .................................. 46 B. Tata Cara Ikrar Talak ................................................................. 52 C. Ikrar Talak Yang di Lakukan Kuasa Hukum Perempuan .......... 55 D. Pandangan Fukaha terhadap Ikrar Talak yang diwakilkan kepada perempuan ...................................................................... 58
BAB IV :
PANDANGAN MAJELIS HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK
TERHADAP
IKRAR
TALAK
YANG
DIWAKILKAN KEPADA ADVOKAT PEREMPUAN A. Proses Persidangan Ikrar Talak di Pengadilan Agama Depok.... 52 B. Dasar Pemikiran Hakim terhadap Ikrar Talak yang dilakukan Advokat perempuan ................................................................... 53 C. Analisa Penulis ........................................................................... 56
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 71 B. Saran-Saran ................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 73 LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Advokat atau kuasa hukum adalah pemberi bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Saat ini semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat serta kompleksitasnya masalah hukum. Advokat merupakan profesi yang memberi jasa hukum, saat menjalankan tugas dan fungsinya dapat berperan sebagai pendamping, pemberi advise hukum, atau menjadi kuasa hukum untuk dan atas namanya.1 Jika manusia memiliki banyak kesibukan, itu wajar-wajar saja. Baik itu kesibukan dalam berdagang, bertani, maupun lainnya. Biasanya jika seseorang memiliki banyak kesibukan, maka waktu pelaksanaan antara satu urusan dan yang lainnya akan saling berbenturan, secara otomatis pihak yang bersangkutan tidak bisa menjalankan semua kesibukannya sendiri secara bersamaan. Khususnya jika yang bersangkutan terpaksa harus pergi keluar negeri maka urusannya yang lain akan terbengkalai. 2
1
Abdul Kadir Muhammad, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2008), h. 70 2
Ibid
1
2
Demi kebaikan dan kemaslahatan manusia, maka syariat Islam memberikan kemudahan dengan jalan memperbolehkan perwakilan dalam suatu urusan tertentu, kepada orang lain agar ia melaksanakan tugas yang semestinya terbengkalai itu. Dengan diperbolehkannya perwakilan, orang bisa mewakilkan beberapa pekerjaan penting misalnya, untuk menyewakan sesuatu atau membelikan barang tertentu lainnya.3 Dengan demikian orang yang mewakilkan bisa lebih tenang ia masih bisa untuk terus mengembangkan hartanya dan menyempurnakan atau melaksanakan peraturan dan planning yang telah dibuatnya.4 Menurut sistem HIR dan Rbg beracara di muka persidangan pengadilan dapat dilakukan secara langsung, dan dapat juga secara tidak langsung. Apabila beracara secara tidak langsung, maka pihak-pihak yang berperkara dapat mewakilkan perkaranya itu kepada pihak lain, yaitu penerima kuasa perwakilan atau pemberian kuasa ini di atur dalam pasal 123 HIR, 147 Rbg, menerut ketentuan pasal tersebut, pihak-pihak yang berperkara dapat menguasakan perkaranya kepada orang lain dengan surat kuasa khusus, sedangkan penggugat dapat juga dilakukan dengan mencantumkan pemberian kuasa itu dalam gugatannya. Meskipun pihak-pihak telah memberikan kuasa atau mewakilkan perkaranya kepada orang lain, sekedar dipandang perlu hakim berkuasa untuk memerintahkan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk menghadapi sendiri 3
Ibid
4
Ibid., h.71
3
kemuka sidang pengadilan. Kekuasaan atau wewenang hakim tersebut tidak berlaku terhadap presiden. Pemberian surat kuasa khusus artinya menunjuk kepada macam perkara tertentu dengan rincian isi kuasa yang diberikan. Berbicara masalah perwakilan atau kuasa hal tersebut terdapat suatu ibarah yang diungkapkan di dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fii Halli Ghayati alIkhtishar : “Dan segala sesuatu itu yang telah dijalani oleh seseorang, boleh pula diwakilkan kepada orang lain untuk menjalaninya, seseorang juga boleh menjadi wakil untuk menjalani sesuatu yang boleh dijalani.”5 Jadi penerimaan kuasa dapat juga melimpahkan kuasa kepada pihak pengganti penerima kuasa yang disebut dengan hak substitusi. Hak substitusi perlu dicantumkan dalam surat kuasa khusus apabila tidak dicantumkan, penerima kuasa tidak boleh menggunakan hak substitusi. Perlunya hak substitusi dicantumkan dalam surat kuasa khusus adalah untuk menjaga kemungkinan berhalangannya penerima kuasa, misalnya berhalangan karena dinas keluar negeri atau karena sakit.6 Sejalan dengan perkembangan kehidupan dan kesadaran masyarakat diberbagai bidang, khususnya dibidang hukum. Jasa hukum melalui advokat dewasa ini berkembang menjadi kekuatan institusional. Dengan munculnya 5
Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakri Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayatu Al-Akhyar Fii Hali Ghayati Al-Ikhtishar, Juz I (Surabaya : Al-Hidayah, Tt), h. 283 6
25
Moh. Tafik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara perdata (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), h.
4
organisasi advokat yang dikelola secara profesional, perannya dianggap penting demi berjalannya peradilan yang bebas, cepat, dan sederhana. Dalam pemberian kuasa bisa melalui organisasi penerima kuasa (advokat). Dalam sejarahnya di Indonesia organisasi profesi hukum yang pertama adalah PERADI ( Persatuan Advokat Indonesia) kemudian organisasi profesi hukum yang dibentuk adalah Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal kemudian dengan Yayasan Lembaga Bantuan hukum yang dikenal kemudian dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Setelah itu muncul berbagai institusi yang bergerak di bidang bantuan hukum antara lain yang dapat disebutkan adalah, Himpunan Penasihat Hukum Indonesia (HPHI), Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum (PUSBADHI), Persatuan Pengacara Indonesia (PERPIN) dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya ada keinginan oleh para advokat untuk mempunyai satu wadah profesi hukum. 7 Dengan ditambahnya lembaga-lembaga profesi hukum dapat kita lihat bahwa pelimpahan kuasa atau pemberian kuasa itu bisa diwakilkan akan tetapi permasalahannya adalah dalam prakteknya di muka persidangan jarang sekali kita melihat suatu kasus perkara cerai talak ketika dalam pengucapan atau menghadiri ikrar talak seorang advokat perempuan diperkenankan dirinya sebagai wakil untuk mengucapkan ikrar talak kliennya dalam perkara tersebut, sedangkan yang terdapat dalam teorinya yaitu dalam undang-undang No 7 tahun 1989 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang suami jika tidak 7
Ibid., h. 26-27
5
bisa menghadiri ikrar talak, maka suami boleh mewakilkan kepada wakilnya baik dia seorang advokat maupun bukan dari advokat. Dalam praktek di Pengadilan Agama seorang kuasa perempuan dalam hal tersebut tidak diperbolehkan. Ada apa di balik semua ini? Dalam perkara tersebut menjadi timbul rasa ingin tahu di balik semua ini bagi saya sebagai penulis, Oleh karena itu penulis sangat tertarik dalam permasalahan tersebut sehingga penulis dapat mengangkat sebuah skripsi yang berjudul :“Wewenang Advokat Perempuan Dalam Mengikrarkan Talak Kliennya” (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok Kelas II A).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membatasi pembahasan skripsi ini agar tidak keluar dari judul atau permasalahannya sebagai berikut : a. Membahas masalah wakalah (perwakilan) atau kuasa hukum yang menyangkut tentang wewenang advokat perempuan dalam mengikrarkan talak kliennya. b. Pembahasan seputar ikrar talak atau boleh tidaknya masalah pengucapan ikrar talak apabila diwakili oleh seorang advokat perempuan di Pengadilan Agama Depok Jawa Barat.
6
2. Perumusan Masalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat dalam pasal 70 ayat (3,4,5) tidak disebutkan mengenai kata-kata wakil, apakah wakil perempuan atau laki-laki, sedangkan melihat pada praktiknya seorang advokat perempuan tidak boleh mengucapkan ikrar talak kliennya. Dari rumusan masalah di atas maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap pengucapan ikrar talak jika yang mengucapkannya seorang kuasa hukum/advokat perempuan? b. Mengapa pada prakteknya di Pengadilan Agama Depok Jawa Barat seorang advokat perempuan tidak boleh mengucapkan ikrar talak kliennya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui : 1. Pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap pengucapan ikrar talak jika yang mengucapkannya seorang kuasa hukum/advokat perempuan. 2. Mengapa pada prakteknya di Pengadilan Agama Depok seorang advokat perempuan tidak diperkenankan mengucapkan ikrar talak. Adapun manfaat dari penelitian tersebut antara lain :
7
1. Memberikan wacana solutif, tentang advokat perempuan dalam perkara cerai talak baik dalam perspektif hukum Islam maupun hukum positif sebagai basis pengetahuan hukum mahasiswa Syariah dan masyarakat umum. 2. Menambah khazanah intelektual bagi individu atau kelompok untuk mendapatkan akses informasi yang komparatif tentang kuasa perempuan dalam perkara cerai talak dalam berbagai perspektif. 3. Penambahan literatur perpustakaan.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian normatif yuridis, yaitu penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan kaidah hukum yang dilakukan secara cermat dan mendalam, yakni berdasarkan hukum Islam dan hukum positif atau penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.8 Dalam kaitannya dengan penelitian normatif ini digunakan beberapa pendekatan masalah yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) dan
8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.
8
pendekatan perbandingan (comparative approach) yaitu perbandingan di antara hukum Islam dan hukum positif. 9 2. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian setelah penulis melihat data yang dibutuhkan dalam judul skripsi ini, maka termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau perilaku yang diteliti.10 Dalam hal ini karena termasuk pendekatan normatif, maka jenis penelitian ini bisa disebut sebagai penelitian kepustakaan. 3. Sumber Data Sebagai suatu penelitian hukum normatif yang hanya ditujukan pada putusan Pengadilan Agama Sumber, maka jenis data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah berupa bahan-bahan hukum. Dalam hal ini, baik yang bersumber dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah: a. Bahan hukum Primer Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Di
9
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , cet.3 (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.300 10
Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h.51
9
antara yang termasuk kategori tersebut adalah peraturan perundangundangan dan putusan hakim.11 b. Bahan Hukum Sekunder Dari penelitian ini sebagai pelengkap data dalam mencari jawaban dari permasalahan yang disebutkan sebelumnya, maka diperlukan bahan hukum sekunder baik berupa kitab-kitab fikih yang merupakan hasil karya para ahli dalam bidang hukum Islam, jurnal-jurnal hukum, kamus hukum, dan hasil interview (wawancara) dalam bentuk tertulis.12 Dalam hal ini penulis melakukan interview (wawancara) terstruktur tkepada salah satu hakim Pengadilan Agama Depok yang memeriksa perkara ini, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam Pengumpulan data, hal ini diperlukan : a. Mengumpulkan berbagai referensi baik berupa buku-buku, jurnal-jurnal hukum, dan kitab-kitab fikih yang khusus berbicara tentang Kuasa Hukum atau yang disebut dengan istilah Wakalah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kompilasi Hukum Isam, serta UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Keadvokatan.
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h.141
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3 (Jakarta: UI Press, 1986), h.51
10
b. Interview atau wawancara, yakni tanya jawab lisan dua orang atau lebih secara langsung bertatap muka antara pewawancara dengan orang yang diwawancara.13 Khususnya kepada hakim yang memeriksa perkara cerai talak yang memakai jasa kuasa hukum perempuan. 5. Teknik Analisa Data Setelah data terkumpul, lalu dianalisis dengan cara kualitatif lalu diinterpretasikan sedemikian rupa dengan metode deduktif. Penelitian ini menggunakan conten analisist yaitu teknik analisis yang berusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang bersifat khusus dalam bentuk kasus dan data-data lapangan menjadi kesimpulan umum yang berlaku secara general. Dan Berdasarkan Kepada data yang besifat umum (Teori Hukum, Peraturan Perundang-undangan). 6. Teknik Penulisan Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”
E. Review Kajian Terdahulu Dari beberapa literatur skripsi yang berada di Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis mengambil beberapa
13
Ke-3, h.23
Asep Syamsul M.Romli, Jurnalistik Praktis, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2001),cet
11
skripsi yang ada yang mengenai pembahasan ikrar talak untuk dijadikan sebuah perbandingan. Adapun skripsi yang membahas tentang ikrar talak antara lain : 1. Salman Al-Farisi Pada Tahun 2004 Fakultas Syariah Dan Hukum dengan Judul “ Kedudukan Hukum Pengucapan Ikrar Talak di Luar Pengadilan Agama”(Studi
Kasus
di
Pengadilan
Agama
Jakarta
Timur)
yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan masalah pelaksanaan pengucapan ikrar talak diluar pengadilan dan bagaimana proses pelaksanaan pengucapan ikrar talak yang dilakukan di luar Pengadilan Agama serta bagaimana kedudukan hukum pengucapan ikrar talak yang dilakukan di luar Pengadilan Agama. Salman Al-Fasisi menyimpulkan bahwa kedudukan hukum pengucapan ikrar talak di luar Pengadilan Agama tetap sah menurut Agama Islam tetapi tidak mempunyai kekuatan payung hukum yang kuat apabila dipandang dari segi aturan-aturan hukum positif yang berlaku di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia.14 2. Syamsul Munir Pada tahun 2008 Fakultas Syariah Dan Hukum dengan Judul Skripsi “Akibat Hukum Pencabutan Ikrar Talak dan Pengaruhnya Terhadap Status
Perkawinan”(Studi
No.
Perkara
1511/Pdt.
G/2005/PAJT)
Di
Pengadilan Agama Jakarta Timur. Skripsi ini di latar belakangi oleh permasalahan berdasarkan aturan yang berlaku bahwa talak harus dilakukan di depan sidang pengadilan Agama, namun ketika majelis hakim menetapkan 14
Salman Al-Farisi, Kedudukan Hukum Pengucapan Ikrar Talak di Luar Pengadilan Agama, Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur
12
ikrar talak pada suami yang melakukan permohonan ikrar talak, tetapi yang terjadi suami mencabut permohonan ikrar talak sepihak sehingga berakibat kerugian pada pihak isteri, yakni ketika istri akan mengajukan gugatan cerai tetapi didahului oleh permohonan ikrar talak suami.15 Maka diadakanlah penelitian ini yang menghasilkan kesimpulan bahwa ikrar talak yang dicabut oleh pihak pemohon belum memiliki kekuatan hukum (gugur) karena harus menunggu selama enam bulan semenjak adanya pemanggilan untuk pengucapan ikrar talak yang diajukan kembali oleh pemohon (suami) jika tenggang waktu enam bulan masih bersedia, sebagaimana maksud dari pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. 3. Ikrar Talak di tinjau dari Kompilasi Hukum Islam dan Fikih Syafi’iyah ( Studi Pandangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur) yang disusun Oleh Muhammad Indrawan pada Tahun 2009 Fakultas Syariah Dan Hukum. Yang dilatarbelakangi permasalahan diantaranya : Apa yang melatarbelakangi perbedaan ikrar talak antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Fikih Syafi’iyah? dan bagaimana pandangan hakim tentang keabsahan ikrar talak menurut KHI dan Fikih Syafi’iyah ? Dari Studi yang sudah dibahas Penulis menarik kesimpulannya bahwa dari studi terdahulu yang ada lebih fokus tentang sistem dan penerapan pengucapan
15
Syamsul Munir, Akibat Hukum Pencabutan Ikrar Talak dan Pengaruhnya Terhadap Status Perkawinan, Studi Nomor Perkara 1511/Pdt. G/2005/PAJT
13
Ikrar Talak yang ditinjau mengenai tempat pengucapan ikrarnya di muka sidang Pengadilan Agama atau di luar Pengadilan Agama.16 Yang mana telah menghasilkan jawaban yang telah ditulis di atas. Adapun yang akan jadi Perbedaan bagi penulis tentang skripsi yang akan dibuat adalah tentang kebolehan orang yang akan mengucapkan ikrar talak, yaitu apa boleh diwakili oleh hukum perempuan atau tidak. F. Kerangka Teori Dalam pembahasan yang akan diteliti ini, yang berkaitan dengan Dari hasil temuan berupa data-data yang diperoleh dari laporan maupun hasil wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Depok terutama yang berkaitan dengan Alasan ketidakbolehan seorang advokat perempuan yang pada prakteknya di Pengadilan Agama tidak boleh mengucapkan ikrar talak kliennya, maka selanjutnya penulis akan menggunakan salah satu teori dalam sosiologi yang relevan untuk menganalisis alasan-alasan ketidakbolehan tersebut, yakni dengan menggunakan salah satu teori yang ditulis dalam disertasi Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA yaitu melihat pada teori feminisme liberal. 17 Dalam Pernyataan teori feminis liberal ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip16
Muhammad Indrawan, Ikrar Talak di tinjau dari Kompilasi Hukum Islam dan Fikih Syafi’iyah, Studi Pandangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 17
Nasaruddin Umar,Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 45
14
prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan. Secara antologis keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan.18 Kelompok ini termasuk paling moderat diantara kelompok feminis. Kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja diluar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi, dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.19
G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam pembuatan skripsi ini akan disajikan dalam bab sebagai berikut : Bab I, Dalam penulisan bab ini penulis tidak keluar dari pada pendahuluan terlebih dahulu. Sebab pada pendahuluan itulah kita dapat memahami masalah yang akan timbul. Kemudian agar pembahasannya tidak terlalu melebar atau keluar dari koridor maka penulis akan membatasi dan merumuskan masalahnya
18 19
Ibid Ibid, hal. 46
15
agar dapat difokuskan dan mendapatkan jawabannya. Didalam melakukan langkah penelitian ini penulis akan memperhatikan metode penelitian yang tepat tentang judul yang akan diangkat. Agar tidak dikatakan penjiplak dari skripsi yang sudah dibuat ditahun sebelumnya, maka penulis akan mengambil beberapa skripsi yan terkait untuk dijadikan perbedaan dan perbandingan bagi penulis. Kemudian dalam menganalisis terkait judul skripsi ini penulis menggunakan teori-teori yang bersumber buku-buku sekunder. Bab II, Pada bab ini berjudul Kuasa Hukum Perempuan Menurut Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, yang memuat tentang pengertian dan dasar hukum wakalah, berakhirnya wakalah, dan yang terkhir tentang peran seorang advokat di Pengadilan Agama. Bab III, Membahas tentang ikrar talak yang akan dilihat dari perspektif Fiqh dan Hukum Positif, yang mencakup tentang hal proses atau tatacara ikrar talak di Pengadilan Agama, kemudian melihat lebih jauh tentang bagaimana jika ikrar talak dilakukan oleh seorang perempuan yang telah mendapat surat kuasa khusus, serta bagaimana pandangan para Fuqaha tentang ikrar talak yang dilakukan oleh seorang advokat perempuan perempuan. Bab IV, Memuat proses persidangan acara ikrar talak di Pengadilan Agama Depok Jawa Barat, dasar pemikiran hakim tentang ikrar talak yang dilakukan oleh advokat perempuan dan terakhir analisa penulis. Bab V, Penutup, bab ini akan diakhiri dengan kesimpulan-kesimpulan yang telah termaktub dalam pembahasan bab-bab sebelumnya dan disertakan saran-saran
16
guna membangun jiwa muda dalam menuangkan inspirasinya dalam sebuah karya ilmiah. Sehingga dapat menghasilkan potensi-potensi jiwa muda yang berbakat dan intelektual.
BAB II ADVOKAT PEREMPUAN MENURUT PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Advokat 1. Pengertian Advokat (Kuasa Hukum) Advokat atau kuasa hukum di dalam Fiqh dikenal dengan istilah alwakalah. Al-wakalah ( ) اﻟﻮﻛﺎﻟﺔhuruf wawu ( ) وdiharakati fathah dan kadangkadang dikasrah, menurut bahasa adalah ( اﻟﺘﻔﻮﯾﺾpenyerahan) misalnya saya menyerahkan urusan kepada engkau.1 Pemberian kuasa dapat disebut attafwid (penyerahan atau pelimpahan) karena pemberi kuasa menyerahkan perkaranya kepada penerima kuasa sebagai wakil dirinya untuk diproses secara hukum atau menurut bahasa bermakna ( اﻟﺤﻔﻆmenjaga, pemeliharaan) karena selama pemberian kuasa berlangsung, penerima kuasa bertugas memelihara
kepentingan-kepentingan
pemberi
kuasa.atau
اﻟﻀﻤﺎن
(tanggungan).2 Sedangkan secara istilah adalah kebolehan bertindak untuk melakukan perwakilan.3
1
As-Syaikh Mansur Ibn Yusuf al-Bahuti, Al-Roudhu al-Murabbih (Beirut :Daar el-Fikr), tt
2
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahibu Al-Arba’ah,(Al-Qahirah : Maktabah Atsaqafah), Juz III, tt 3
As-Syaikh al-Imam Muwaffiquddin Abi Muhammad ‘Abdullah Ibn Ahmad Ibn Kudamah, al-Mugni (Beirut : Daar El-Fikr), Juz v, Tt
17
18
Sedangkan pengertian wakalah menurut para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut. a. Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah :
!!4!!!!! !! !!!!!!! ! !! !!! !!! ! ! !!!! !!!!!!! !!!!! ! " Seseorang menggantikan atau menempati tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelolanya pada posisi itu." b. Ulama Hanafiyah berpendapat
!!! !! !!! !!! !!!!!!!!!! !!! ! ! !! !!!!! ! " Seseorang yang benduduki orang lain dalam tasharruf (pengelolaan)"5 c. Ulama Syafi'iyyah berpendapat
!!!!!!!!! !! !! !!!!!!!!!! !!! !!!!!! !! ! ! !! !!!!! !!!!!!! "Suatu ungkapan atau ibarah seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya." d. Al-Hanabilah berpendapat
!!!!!!!!!!!! ! !!!! !!! ! !! !!!!!!!! !!!!! !! ! ! !! !! !!!!!!! !! ! ! !!!!!!! ! !!! !!!! !!! !!! !!! !!!!! !!! !!! !! ! "Permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak yang lain, yang didalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia. 6 4
Abdurrahman Al-Jaziri, h. 124
5
Ibid., h. 125
6
Ibid.
19
e. Menurut Tengku Muhammad Hasbi as-Shiddieqi wakalah adalah seorang menyerahkan kepada orang lain sesuatu untuk dilaksanakan dikala masih hidup si pemberi kuasa, dengan cukup rukun-rukunnya dan pemberian kuasa itu suatu akad yang dibolehkan. Deskripsi fuqaha’ mengenai wakalah membuktikan bahwa penunjukan kuasa telah dipraktekkan secara luas oleh masyarakat muslim dalam lalu lintas perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam hukum Islam, seperti halnya dalam hukum pada umumnya, perwakilan (an-niyabah) meliputi tiga macam, yaitu pertama, perwakilan berdasarkan syara’ (an-niyabah as-syar’iyyah), yaitu perwakilan yang timbul dari ketentuan syariah sendiri, seperti perwakilan wali terhadap anak dibawah perwaliannya yang bersumber kepada ketentuan syariah. Kedua, perwakilan hakim (an-niyabah al-qadha’iyyah), seperti perwakilan pengampu yang diangkat oleh hakim untuk orang dibawah pengampuan, atau wali yang diangkat oleh hakim untuk anak yatim. Ketiga, perwakilan berdasarkan kesepakatan (an-niyabah al-ittifaqiyyah, an-niyabah al-‘aqdiyyah), yaitu perwakilan yang timbul akibat adanya perjanjian antara dua pihak dimana yang satu memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu urusan untuknya.7
7
Az-Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Taubihi al-Jadid, Damaskus: Matabi’ Alifba al-Adib, 1967 Juz I: hal 424 Seperti yang dikutif oleh Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007), hal. 288
20
Perwakilan jenis ketiga ini disebut pemberian kuasa yang dalam istilah hukum Islam disebut al-wakalah. Adak wakalah merupakan sumber terpenting perwakilan berdasarkan kesepakatan dalam hukum Islam.8 Pada dasarnya, pemberian jasa hukum atau sekarang ini yang kita kenal dengan istilah advokat, telah berlangsung atau sudah ada sejak lama. Dalam catatan sejarah Peradilan Islam, praktek pemberian jasa hukum telah dikenal sejak zaman pra-Islam. Pada saat itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris, dan hak-hak lainnya sering kali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselesih. Mereka yang ditunjuk pada waktu itu sebagai mediator adalah orang yang memiliki kekuatan supra natural dan orang yang mempunyai kelebihan dibidang tertentu sesuai dengan perkembangan pada waktu itu.9 Pada waktu Islam datang dan berkembang yang dibawa oleh Nabi Muhammad, praktek pemberian jasa hukum (advokat) terus berjalan dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra-Islam. Hal-hal yang bersifat takhayul dan syirik mulai dieleminir secara bertahap dan disesuaikan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Pada awal perkembangan Islam, maka tradisi pemberian bantuan
8 9
Ibn Nujaim, al-Bahr ar-Ra’iq Syarh Kanz ad-Daqa’iq, Beirut: Daar al-Ma’rifah, t.t hal 402;
Rahmat Rosyadi, Sri Hartini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), h. 33
21
jasa hukum lebih berkembang pada masyarakat Makkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis di antara mereka. Demikian juga lembaga jasa hukum berkembang di Madinah sebagai daerah agraris untuk menyelesaikan masalah sengketa dibidang pertanian. Pada prakteknya, Muhammad SAW dalam memberikan bantuan jasa hukum kepada umatnya terkadang berperan sebagai advokat, konsultan hukum, penasihat hukum, dan arbiter. 10 Dalam catatan sejarah, bahwa Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasulullah pernah bertindak sebagai arbiter dalam perselisihan yang terjadi dikalangan masyarakat Makkah. Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW. Bertindak sebagai arbiter tunggal, Selain menjadi wasit dalam perkara Hajar Aswad, Nabi juga sering menjadi wasit dalam sengketa umat. Misalnya, dalam sengketa warisan antara ka’ab Ibnu Malik dan Ibnu Abi Hadrad sebagai arbiter tunggal. Kemudian juga kepada Sa’id Ibnu Mu’az dalam perselisihan diantara Abi Quraidh, Zaid Ibnu Tsabit dalam perselisihan antara Umar dengan Ubay Ibnu Ka’ab tentang kasus nahl dan sebagainya.11 Perkembangan pemberian jasa hukum ini lebih berkembang pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang mulai melimpahkan wewenang peradilan kepada pihak lain yang memiliki otoritas untuk itu. Lebih dari pada
10
Ibid, h. 36-37
11
Ibid
22
itu Umar ibnu Khattab mulai membenahi lembaga peradilan untuk memulihkan kepercayaan umat terhadap lembaga peradilan.12 Perwakilan juga berbeda dengan tindakan lain seperti perutusan (arrisalah) ha ini ditandai oleh adanya unsur-unsur berupa : a. Bahwa wakil (naib) bertindak atas inisiatif dan kehendak sendiri. b. Tindakan yang dilakukannya berada dalam batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya, dan c. Tindakan yang dilakukan adalah untuk asil (prinsipal) Adanya inisiatif dan kehendak dari pihak wakil dalam melakukan tindakan merupakan unsur penting untuk adanya perwakilan, dan unsur ini membedakan perwakilan dengan utusan (ar-risalah).13 Dalam perutusan, seorang utusan (rasul) tidak memiliki inisiatif dan kehendak sendiri, ia hanya sekedar penyampai kehendak pengutus (mursil) seperti apa adanya. Oleh karena itu, utusan tidak disyaratkan kecakapan apapun untuk bertindak hukum. Yang penting secara faktual dan materiil, utusan dapat menyampaikan pesan pengutus. Perjanjian yang terjadi melalui utusan adalah perjanjian antara pengutus, pihak mitra janji secara langsung tanpa perantaraan utusan. Segala akibat hukum yang timbul dari perjanjian itu langsung terkait kepada pengutus dan tidak ada hubungan antara utusan dengan mitra janji. Utusan
12 13
289
Ibid Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h.
23
(ar-risalah) hanyalah salah satu cara menyatakan kehendak berupa ijab dan Kabul, disamping cara-cara lain seperti ucapan, tulisan, isyarat, pernyataan secara diam-diam, dan diam semata. Berbeda dengan utusan (rasul), wakil bukanlah cara menyatakan kehendak. Wakil adalah pihak yang melakukan negoisasi dalam pembuatan akad dengan mitra janji untuk asil (principal). Kehendak dan inisiatif dalam membuat perjanjian datang dari pihak wakil. Karenanya, ia bukan sekedar penyampai kehendak asil (principal). Ia adalah unsur pokok dalam perjanjian karena perjanjian itu terjadi atas inisiatif dan kehendaknya. Dalam hal ini ditegaskan oleh Ibn ‘Abidin “ bagi kami, penerima kuasa (al-wakil) adalah pokok dalam perjanjian ( ) اﺻﻞ ﻓﯿﻲ اﻟﻌﻘﺪatas dasar bahwa ia tidak perlu menyandarkan akad kepada pemberi kuasa. Maksudnya, penerima kuasa bertindak atas inisiatif dan kehendaknya sendiri, bukan penyalur atau penyampai kehendak pemberi kuasa. Sejalan dengan Ibn ‘Abidin adalah penegasan al-Marginani yang menyatakan, “ Bagi kami, penerima kuasa adalah
pihak
yang
sessungguhnya
melakukan
akad.14
As-Sarakhsi
menjelaskan bahwa alasan mengapa wakil dipandang sebagai pihak yang membuat akad adalah karena kewenangan (al-wilayah) untuk membuat akad itu didasarkan kepada kecakapan si wakil tersebut dan kepada kenyataan
14
Al-Marginani, Al-Hidayah Syarh Al-Bidayah ( Beirut : Al-Maktabah Al-Islamiyah, t.t), Juz III, hal. 137. Seperti yang dikutif Syamsul Anwar., Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h. 289-291
24
bahwa pernyataan kehendak yang merupakan rukun akad adalah murni pernyataan kehendaknya.15 2. Advokat (Kuasa Hukum) Menurut Hukum Positif Kata advokat, secara etimologis berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to defend,(Berfungsi untuk mempertahankan) to call to one, said to vouch or warrant.(Untuk memanggil atua terpanggil, bekerja untuk seseorang degan cara menjamin) Sedangkan dalam bahsa inggris advocat berarti : to speak in favour of or depend by argument, to support, indicate, or recommended publicly.16 Secara terminologis, terdapat beberapa pengertian advokat yang didefinisikan oleh para ahli hukum, organisasi, peraturan dan PerundangUndangan yang ada sejak masa Kolonial hingga sekarang, seperti dibawah ini: a. Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan. b. Menurut Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) advokat didefinisikan, termasuk penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek, dan para konsultan hukum. 15
As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Beirut: Daar al-Ma’rifah, 1406 H. XII: hal 203 Seperti yang dikutif Syamsul Anwar., Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h. 291 16
Frans Hendra Winarta, advokat Indonesia, cita, Idealisme, dan keprihatinan (Jakarta : Sinar Harapan,1995), hal. 19
25
c. Pada pasal I butir 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa : “ Seorang penasehat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan Undang-Undang untuk memberikan bantuan hukum.” d. Dalam Rancangan Undang-Undang Advokat, pada Bab I, pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa : “advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”17 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa advokat adalah profesi yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat atau kliennya, baik secara litigasi maupun non litigasi dengan mendapatkan atau tidak mendapatkan honorarium/free. Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari : a. Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate) b. Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.18
17
Rahmat Rosyadi, Sri Hartini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003),h. 73 18
M. Yahya Harahap, S.H. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika; 2008), h..5
26
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full power), jika : a. Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa. b. Dengan demikian, penerima kuasa berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa. c. Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang pebuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.19 Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak besifat imperative. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Pada bagian ini, dijelaskan secara ringkas jenis kuasa yang diatur dalam Undang-Undang. Penjelasan ini berkenaan dengan surat kuasa yang dapat dipergunakan di depan sidang pengadilan, yaitu: a. Kuasa Umum Kuasa umum diatur dalam pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa pada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu :
19
Kamarusdiana, dan Nachrowi, Hukum Acara Perdata, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum,( Jakarta: 2006), h. 14-15
27
- Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa - Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya. - Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.20 Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan sidang pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan sidang pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus.21 b. Kuasa khusus Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberi kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu hal kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak prinsipal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa 20
M. Yahya Harahap, S.H. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika; 2008), h..6
21
Ibid
28
tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam pasal 123 HIR. 22 Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan Pasal 1975 KUH Perdata. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan rumah. Kuasa itu merupakan kuasa khusus, terbatas hanya untuk menjual rumah. Akan tetapi,meskipun bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk tampil di depan sidang pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa.23 Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk menjual rumah yang perlu dimuat dalam surat kuasa khusus antara lain : 1) Identitas pemberi dan penerima kuasa yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat atau tempat tinggal. 2) Apa yang menjadi pokok sengketa. Atau uraian yang menjadi pokok sengketa perkara dan yang menunjukkan kekhususan perkara. 3) Batasan tentang isi kuasa yang diberikan. Penerima kuasa melakukan tindakan berdasarkan apa yang disebutkan dalam kuasa tersebut. Hal yang tidak disebutkan penerima kuasa tidak berwenang untuk 22
Ibid, h. 7
23
Ibid
29
melakukan. Pembatasan tersebut juga menyangkut apakah kuasa itu berlaku hanya di pengadilan tingkat pertama atau termasuk juga banding dan kasasi. 4) Memuat hak substitusi (hak pengganti). Hal ini perlu apabila penerima kuasa berhalangan, ia dapat melimpahkan kuasa kepada pihak lain untuk
menjaga jangan
sampai
perkara
itu
tertunda,
karena
berhalangannya penerima kuasa. Hak retensi jika perlu.24 Pemberian kuasa khusus dapat ditempuh tiga cara, yaitu : -
Diterapkan dalam surat gugat/surat permohonan atau dalam jawaban gugatan dan tergugat/termohon sama-sama membubuhkan tanda tangannya di atas surat gugatan/surat permohonan dan surat jawaban gugatan/jawaban termohon.
-
Dengan cara membuat surat kuasa khusus tersendiri dilakukan dimuka pejabat yang berwenang yang paling tepat adalah di muka kepaniteraan pengadilan atau Notaris.
- Dengan dikemukakan langsung secara lisan oleh penggugat/tergugat, pemohon/termohon pemberi kuasa dimuka sidang.25
24
Moh. Tafik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara perdata, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
h. 23-24 25
Roihan. A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 59-60
30
c. Kuasa Istimewa26 Pasal 1795 KUH Perdata, dan dikaitkan dengan pasal 157 HIR atau pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa. Ruang lingkup kuasa istimewa hanya terbatas pada : 1) Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotik (hak tanggungan) diatas benda tersebut. 2) Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga, untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoireed) atau sumpah tambahan (suppletaoireed) sesuai dengan ketentuan pasal 157 HIR atau pasal 184 RBg. Menurut pasal ini, seharusnya sumpah dilakukan oleh pihak yang berperkara secara langsung, akan tetapi apabila suatu keadaan yang sangat penting maka sumpah dapat dilakukan oleh penerima kuasa, karena pemberi kuasa dalam keadaan sakit. Dan melalui persetujuan hakim, penerima kuasa dapat mengucapkan sumpah dengan syarat diberi kuasa istimewa oleh principal dan principal dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan.27
26 27
Ibid.
Kamarusdiana, dan Nachrowi, Hukum Acara Perdata, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum,( Jakarta: 2006), h. 16
31
3. Dasar Hukum Advokat (Kuasa Hukum) Menurut Syekh Abu Syuja' dalam kitab Kifayatu Al-Akhyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtishar, Juz I mengatakan :
!!! ! !!!!!!!!!!!! ! !!!! !!!!! !!!! !!!!!!!!! !! !!!! !!! !! !! !!!!! !!!!! ! ! “ Segala sesuatu yang boleh dijalani oleh seseorang, boleh pula diwakilkan kepada orang lain untuk menjalaninya, seseorang juga boleh menjadi wakil untuk 28 menjalani sesuatu yang boleh dijalani.” Ulama fikih menyatakan bahwa akad alwakalah yang bersifat tolong menolong dibolehkan dalam Islam. Dalam Al-Quran diisyaratkan oleh Allah SWT bahwa pemberian kuasa atau wakalah termasuk kedalam bentuk-bentuk perwakilan atau pelimpahan wewenang. Dasar kebolehan ini antara lain adalah : a. Al-Quran Dalam Surah Ali Imran ayat 173, Allah SWT berfirman : (173!!!! !!! !!!! Artinya : "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaikbaik Pelindung". (QS. Al-Imran : 173 Surah Al-Kahfi ayat 19 :
28
Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakri Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifaayatu al-akhyar Fii Halli Ghayati al-Ikhtishar. h. 285
32
(19 : )اﻟﻜﮭﻒ
Artinya :" Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. Al-Kahfi:19) Secara khusus ayat ayat ini berbicara tentang penghuni gua al-Kahfi, tetapi secara umum menurut fuqaha dapat dijadikan dasar kebolehan berwakil dalam bermuamalah. Cara ini merupakan salah satu bentuk al- wakalah dalam kitab-kitab fikih. Tugas yang diberikan oleh seseorang kepada kuasa hukum dapat disamakan dengan tugas seorang utusan pada kisah penghuni gua (alKahfi) di atas, yakni untuk melaksanakan kepentingan pihak yang mengutus atau yang berwakil. Surah Al-An’am ayat 66, Allah SWT berfirman :
(66: )اﻻﻧﻌﺎم Artinya :"Dan kaummu mendustakannya (azab). Padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: "Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu".(QS. Al-An’am: 66)
33
Ayat ini digunakan untuk arti “seorang yang bertanggung jawab untuk mengatur urusan orang lain. Surah An-Nisa ayat 35 Allah SWT. Berfirman :
(35: )اﻟﻨﺴﺎء
Artinya :"Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa: 35)
Surat Yusuf ayat : 55
(55 : )ﯾﻮﺳﻒ Artinya :Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(QS. Yusuf: 55) b. As-Sunnah
!! !!!!! !!! ! !!! !!! ! !!! !!!! ! !!! !!!!! ! !!! !!!!!!!!! !!! !! !! !!! !!! !!! !!!!! ! !! !!! !!! !!! !!!!!! !!!! ! ! !!!! !!!!!! !!! !!!! !!!!!! !! ! !!! !! !! !! !!! !! !! !!! !!! !!!!! !!!!!!!! !!! !!!!!!! ! !! !!!!! !!!!!!!! !!! !! !œ!!!!! !!!!!! !!
34
!!!!! !!!! !! !!! !! !! !! !! ! ! !!!! ! ! !! ! !! ! ! !!! !! ! !!!! !!!! ! !!!!! !! ! ! ! 29 !!!!! Artinya :”Diceritakan dari Ubaidillah ibn Sa’ad Ibn Ibrahim telah dicertiakan bapaknya, dari Ibn Ishak, dari Abi Nu’aim Wahab Ibn Kaisan, dari Jabir r.a berkata : aku keluar pergi ke khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW. maka beliau bersabda," bila engkau datang pada wakilku di khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq"(HR. Abu Dawud)
!!!!!!!!!!!! !! !!!!!! !!!! !! !! ! !!!!!!! !!! !! !œ!!!!! !!!!!!! !!! ! !!!!!! !! ! !!!! !! !!!!!! !!! !!!!!!!! !! !!! !!!!!!! !!! ! ! Artinya :"Dari Jabir r.a bahwa Nabi SAW. menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali r.a disuruh menyembelih binatang kurban yang belum disembelih"(HR. Muslim)
Ibnu Qudamah, ahli fikih madzhab Hanbali berpendapat bahwa kisah dalam surah Al-Kahfi ayat 19 dan sebuah hadits yang di Riwayatkan oleh sunan Abu Dawud, dapat dijadikan landasan kebolehan berwakil dalam agama Islam, termasuk kuasa hukum dalam berperkara pengadilan. Sedangkan menurut Abdul aziz al-hamidi, mengatakan bahwa manusia sangat membutuhkan bantuan atau kuasa hukum sebab pada saat-saat tertentu seseorang lemah dalam menegakkan hak atau kemaslahatan untuk dirinya, umpamanya karena sakit, tidak mengetahui hukum acara, atau sibuk sehingga tidak mungkin menghadapi sepenuhnya sidang perkara. Biasanya, ada kebenaran yang belum terungkap dalam berperkara, seperti pembuktian tuduhan atau tuntutan penuntut, gugatan penggugat, dan penolakan tuduhan
29
Abi Daud Sulaiman Ibn Al-Asy'atsi As-Sajastani, Sunan Abi Daud Juz I, (Semarang: Toha Putra, Tt), h. 178
35
gugatan. Untuk membantu menjamin kebenaran suatu perkara, menurut Abdul Aziz, dibutuhkan sekali kuasa hukum (al-wakalah fii al-khusumah).30 c. Undang-Undang 1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 35 Yaitu :” Setiap orang yang terssangkut perkara beerhak memperoleh bantuan hukum.” 2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 37, Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Pasal 39, Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, advokat wajib membantu menyelesaikan perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan. 3) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 Pasal 1 ayat (1), Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (2) Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
30
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid III, Cet I, hal 983
36
B. Rukun dan Syarat Kuasa Hukum (wakalah) Adapun menurut ulama Madzhab Hanafi, rukun al-wakalah adalah sighah (lafal) yaitu, ijab dan Kabul. Misalkan :“saya kuasakan perkara ini kepadamu” sedangkan Kabul adalah penerimaan wewenang oleh penerima kuasa misalnya : “ saya terima kuasa ini dan saya akan kerjakan menurut semistinya”. Ijab dan Kabul, menurut Imam Abu Hanifah, tidak harus berbentuk ucapan yang dilafalkan, Sedangkan tiga rukun lainnya di atas termasuk dalam syarat alwakalah. Menurut mereka, ijab dan Kabul tidak ada, maka al-wakalah tidak sah. Ijab dinyatakan secara jelas dan tidak harus dijawab langsung dengan Kabul, tetapi boleh berselang beberapa waktu. 31 Adapun Syarat wakalah menurut Jumhur ulama ada empat, yaitu : 1. Ada yang mewakilkan, 2. Adanya Wakil 3. Adanya hal atau sesuatu yang diwakilkan 4. Dan adanya shigah (lafal) wakil Suatu akad al-wakalah menurut ulama fikih baru dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Orang yang mewakilkan disyaratkan telah cakap bertindak hukum, yaitu telah baligh dan berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan, boleh dalam keadaan gaib (tidak ada di tempat) maupun berada di tempat, serta boleh dalam keadaan sakit maupun sehat. Oleh sebab itu, Orang yang tidak cakap 31
Abdurrahman Al-Jaziri, h. 126
37
melakukan hukum, seperti orang gila, anak kesil dan orang dungu, tidak boleh mendelegasikan suatu hak kepada orang lain karena ia sendiri belum cakap bertindak hukum. Pemberi kuasa (al-muwakkil) harus terkait dengan materi yang diperkarakan, atau secara hukum berhak atas perkara
yang
dikuasakannya. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa “ berakal” merupakan persyaratan dalam kepemilikan harta. Oleh karena itu ia memberi penjelasan bahwa pemberi kuasa harus orang yang bebas mengeluarkan pendapat (merdeka) bahkan Imam Abu Hanifah menambahkan bahwa tidak sah berwakil tanpa rida dari pihak yang berperkara. Imam Malik telah berkata bahwa syarat mutlak bagi wakil dan yang mewakilkan itu ada tiga. Pertama al-hurriyyah (merdeka). Kedua, al-rasydu ( orang yang dapat berbuat kebenaran). Dan yang ketiga balligh.32 2. Seorang wakil disyaratkan cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, serta memiliki pengetahuan
yang memadai tentang
masalah yang
diwakilkan kepadanya. Persyaratan ini diperlukan karena ia mewakili kepentingan orang yang mempunyai perkara
dan ia harus ahli dalam
memberikan berbagai pertimbangan. Wakil ditunjuk secara langsung oleh orang yang mewakilkan dan penunjukannya harus tegas, sehingga benar-benar tertuju kepada wakil yang dimaksud. Menurut madzhab Hanafi, wakil harus secara tegas dan serius menjalankan tugasnya. Hal ini sejalan dengan prinsip mereka bahwa seorang wakil harus tegas dan jelas mengungkapkan
32
Abd. ‘Azim bin Badawi al-khalafi, al-Wajiz, Ensiklopedi fikih Islam dalam Al-Quran dan as-Sunnah as-Shahih (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), cet.I Hal 1912
38
penerimaannya terhadap pendelegasian hak tersebut. Akad perwakilan ini, menurut mereka boleh dilakukan secara lisan maupun tulisan atau dengan menunjuk seseorang yang akan menyampaikan kepadanya perwakilan tersebut.33 3. Hal atau objek yang diwakilkan disyaratkan: - Bukan sesuatu yang mubah (boleh) dilakukan oleh setiap orang. Dan halhal yang dibolehkan oleh syara’, tidak termasuk unsur penipuan atau penghalalan yang haram. - Benar-benar milik pemberi kuasa; jika tidak, ia tidak dibenarkan menguasakannya kepada orang lain. - Dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, bukan untuk tujuan penipuan dan pelanggaran. - Tidak boleh dalam bentuk penuntutan pinjaman dari pihak lain, karena hal ini biasanya dapat dilakukan dengan mengutus seseorang untuk menagihnya, dan - Dapat ditaksir dan diganti dengan uang. Karena itu, pelaksanaan ibadah seperti shalat dan puasa tidak boleh dikuasakan oleh orang lain, kecuali haji atau umrah dan muamalah. 34 Jika dilihat dari segi hukum positif untuk dapat bertindak sebagai kuasa atau wakil dari penggugat/pemohon, seseorang harus memenuhi salah satu syarat berikut ini : 33
Ibid
34
Ibid
39
1. Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi pasal 123 ayat 1 HIR (Pasal 147 ayat 1 Rbg). 2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila diajukan secara lisan 3. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat 4. Ditunjuk oleh penggugat/pemohon sebagai kuasa atau wakil didalam persidangan 5. Memenuhi syarat dalam peraturan menteri kehakiman 6. Telah terdaftar sebagai advokat.35 Dewasa ini penerima kuasa untuk beracara di muka pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan berdasarkan kriteria pengangkatannya atau izin yang diberikan, yaitu : 1. Advokat atau procureur, yang merupakan penasihat hukum resmi. Mereka adalah sarjana hukum yang diangkat secara resmi sebagai advokat oleh pemerintah (menteri kehakiman dengan persetujuan Mahkamah Agung) dan bukan pegawai negeri. Seorang advokat dapat membuka kantor atas nama dirinya sendiri. 2. Pengacara praktek, yaitu penasihat resmi atau pembela umum, public defender. Mereka diangkat oleh pengadilan tingi berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. 35
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata. Tatacara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). h 14
40
3. Penasihat Hukum insidental. Pengacara insidental diberikan izin oleh ketua pengadilan. Mereka terdiri dari siapa saja, apakah sarjana hukum atau tidak, pegawai negeri atau bukan, yang sudah dewasa atau memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan hukum dapat menjadi seorang kuasa. C. Berakhirnya Kuasa (Wakalah) Mengenai berakhirnya akad wakalah, dalam hal ini terdapat suatu ibarah yang diungkapkan dalam kitab kifayatu al-akhyar fii halli ghayati al-ikhtishar yang berbunyi : 36
!! !! ! !!! !!Š!! ! !!!!!!!! !! !!!!! ! !!!! ! !!!!! !!!!! ! !!!!!!! !! !! !!!!! !!!!!
“Wakalah adalah akad yang jaiz (boleh) muwakil dan wakil boleh membubarkan wakalah tersebut kapan saja dikehendaki. Akad wakalah itu bubar dengan matinya salah seorang dari muwakil dan wakil” Ulama fikih menyatakan bahwa akad wakalah dianggap berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut : 1. Wakil diberhentikan oleh orang yang mewakilkannya. Dalam hal ini, ulama madzhab Hanafi mengemukakan beberapa syarat dalam memberhentikan wakil tersebut, pertama wakil mengetahui bahwa tugasnya dicabut, baik secara lisan maupun tulisan. Kedua, dalam perwakilan itu tidak tersangkut hak orang lain, seperti perwakilan dalam menjual harta yang digadaikan untuk
36
Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakri Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayatu al-akhyar fii halli ghayati al-ikhtishar. h. 285
41
membayar untuk utang orang yang diwakilkan. Dalam kasus seperti ini, orang yang mewakilkan tidak boleh mencabut wakilnya. 2. Orang yang mewakilkan melakukan suatu tindakan hukum terhadap objek yang telah diwakilkan. 3. Tujuan yang ingin dicapai dari perwakilan telah tercapai. Artinya, wakil telah menjalankan tugasnya dengan baik dan karenanya secara otomatis masa perwakilannya telah habis. 4. Salah satu pihak (wakil atau yang mewakilkan) berubah status menjadi orang yang tidak cakap bertindak hukum, seperti gila, atau dikenakan status dibawah pengampuan 5. Salah satu pihak (wakil atau yang mewakilkan) meninggal dunia 6. Orang yang mewakilkan itu, menurut madzhab hanafi, keluar dari agama Islam (murtad). Dalam kasus seperti ini perwakilan menjadi gugur dengan sendirinya karena tindakan orang murtad tidak bisa dilaksanakan. 7. Wakil murtad. Menurut ulama madzhab Maliki, perwakilan yang demikian batal. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, perwakilan tidak batal. 8. Wakil mengumumkan pengunduran dirinya sebagai wakil dan diketahui oleh orang yang mewakilkan 9. Kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri perwakilan.37
37
Abd. ‘Azim bin Badawi al-khalafi, al-Wajiz, h. 1915
42
D. Peran Advokat di Pengadilan Agama Dalam suatu kondisi, dimana menyebabkan seseorang atau suatu badan tidak dapat secara langsung bertindak untuk dan atas nama dirinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Maka diperlukan surat kuasa agar pihak lain dapat mewakili dan bertindak untuk dan atas namanya dalam suatu perbuatan hukum tersebut. 38 Dalam praktek pengadilan, penerima kuasa adakalanya keluarga para pihak yang disebut dengan kuasa insidentil. Idealnya kuasa tersebut berasal dari ahli hukum misalnya advokat atau pengacara praktek. Dalam kaitan hubungan antara seorang klien dengan advokat, surat kuasa diartikan sebagai suatu dokumen penting yang dapat dijadikan bukti bahwa seorang klien telah menunjuk seorang advokat atau lebih untuk mewakili dan bertindak alam suatu perbuatan hukum.39 Tanpa surat kuasa dari klien, advokat tidak berwenang melakukan perbuatan apapun yang mengatas namakan klien dalam menyelesaikan perkara. Peran advokat dalam pemberian jasa hukum bagi kepentingan klien dengan tujuan untuk melakukan islah bagi para pihak yang bersengketa sangat menentukan. Dimaksud dengan peran disini adalah bagaimana ia dapat menjalankan profesinya sesuai dengan tugas dan fungsinya serta kode etik dan sumpah advokat. Sedangkan yang dimaksud dengan pemberian jasa hukum yang dilakukan advokat
38
Rahmat Rosyadi., Sri Hartini , Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Ghalia Indonesia, Jakarta 2003. hal 64 39
Ibid
43
adalah mendampingi , menjadi kuasa, memberikan advise hukum kepada klien, baik bersifat social, pro bono publico maupun atas dasar mendapatkan honorarium/free.40 Dalam menjalankan profesinya seorang advokat harus memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan, kebenaran. Advokat adalah profesi yang bebas, yang tidak tunduk pada hirarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan, da hanya menerima perintah atau order atau kuasa dari client berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang tunduk pada kode etik profesi advokat, dan tidak tunduk pada kekuasaan publik.41 Peran positif advokat itu digambarkan dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Mempercepat proses administrasi, baik permohonan cerai talak maupun gugatan cerai bagi kelancaran persidangan di pengadilan. 2. Membantu menghadirkan para pihak yang berperkara di pengadilan sesuai dengan jadwal persidangan . 3. Memberi pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk perkara dan posisinya, terhadap para pihak dalam menyampaikan permohonan atau gugatan atau menerima putusan. 4. Mendampingi para pihak yang berperkara di pengadilan agama, sehingga mesara terayomi keadilannya. 40
Ibid
41
Ropuan Rambe, Tehnik praktek Advokat, Grasindo, Jakarta, 2001, hal 33
44
5. Mewakili para pihak yang tidak dapat hadir dalam proses persidangan lanjutan, sehingga memperlancar proses persidangannya. 6. Dalam memberikan bantuan hukum sebagai advokat professional, tetap menjunjung tinggi sumpah advokat, kode etik profesi dalam menjalankan peran sesuai dengan tugas dan fungsinya.42 Keberadaan advokat untuk berperan dalam memberikan jasa hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam perkawinan, khususnya perceraian diatur melalui Pasal 70 ayat ( 3,4,dan 5 ). Lebih rincinya sebagai berikut : Ayat (3) : "Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari siding penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut." Ayat (4) : "Dalam siding itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya." Ayat (5) : "Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya."43 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, sidang pengadilan penyaksian ikrar talak dihadiri oleh pihak pemohon dan termohon. Ini bererti suami istri hadir 42 43
Ibid
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama., Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006
45
dalam persidangan. Cuma, kehadiran mereka menurut undang–undang tidak mesti secara pribadi atau in-person. Baik suami maupun istri dapat diwakili oleh kuasa. Dengan demikian undang-undang memberi memberi kemungkinan bagi seorang kuasa mengucapkan ikrar talak. Begitu juga istri, dapat diwakili kuasa dalam menyaksikan ikrar talak. Akan tetapi agar seorang kuasa mempunyai kualitas untuk mengucapkan ikrar talak, harus berdasar kuasa khusus yang berbentuk “autentik”. Di dalam surat kuasa khusus tersebut harus dengan tegas dicantumkan bahwa pemberian kuasa untuk “mengucapkan ikrar talak” jadi di samping bentuk surat kuasa khususnya autentik, redaksionalnya juga harus secara tegas memberi kuasa untuk mengucapkan ikrar talak. Kedua unsur tersebut merupakan syarat formal keabsahan kuasa. Salah satu unsur tidak diipenuhi, mengakibatkan kuasa tidak bisa mengucapkan ikrar talak.
BAB III IKRAR TALAK DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Ikrar Talak dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Ikrar talak adalah kata majemuk dari ikrar dan talak. Kata majemuk ini memberikan faedah untuk kekhususan sesuatu yang dituju oleh kata tersebut. Ikrar menurut etimologi adalah pengakuan, sedangkan menurut terminologi ialah mengatakan kebenaran yang ada pada diri orang lain.1 Dikutip dari kifayatul akhyar fii halli ghayah al-ikhtishar, ikrar secara bahasa artinya menetapkan, sedangkan menurut istilah adalah pengakuan adanya hak. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ikrar diartikan pertama, janji yang sungguh-sunguh ia membacakan kesetiaan di depan pemimpinnya. Kedua, mengakui, menetapkan, membenarkan, menjanjikan.2 Poerwadarminta mengartikan ikrar talak atau berikrar itu dengan "berjanji dengan sungguh-sungguh hati". Berteguh hati mengakui ikrar itu juga berarti lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya perkawinan.3 1
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fikih Madzhab Syafi’I edisi lengkap Muamalat, munakahat jinayat, Bandung: pustaka Setia, 2000. hal 117 2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1998 ), h. 323 3
H.S. Al-Hamdani, Risalah nikah, ( Jakarta : Pustaka Amin, 1985 ), h. 176
46
47
Sedangkan talak berasal dari isim masdarnya dari kata ﺗﻄﻠﯿﻘﺎ- ﯾﻄﻠﻖ-ﻃﻠﻖ artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan ikatan perkawinan atau rusaknya hubungan perkawinan.4 Adapun beberapa pandangan ulama antara lain diantaranya : a. Abdurrahman al-Jaziry mendefinisikan : talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan iktannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. b. Abu Zakaria al-Anshari, talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak atau semacamnya. c. Ulama Hanafi dan Hanbali menerangkan bahwa talak ialah melepaskan ikatan perkawinan pada waktu sekarang atau yang akan datang, dengan mengucapkan lafaz talak yang semakna dengannya. d. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Raudhat al-Thalibin, talak menurut bahasa adalah putus ikatan. Adapun menurut istilah, talak adalah putus akad nikah karena lafaz cerai dan semisalnya.5 Jadi penulis menarik kesimpulan bahwa : "Ikrar Talak adalah Pengakuan
suami
dengan
pengakuan
yang
sebenar-benarnya
untuk
memutuskan ikatan perkawinan terhadap isterinya dengan menggunakan kalimat talak yang telah ditentukan.
4 5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung : Al-Ma'arif, 1990), Jilid 8, Cet VII, h. 9
Abi Zakariya Yahya bin Syarif Al-Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, (Beirul:Darul Qutub AlIslamiyah, Tt), Juz VI, h. 3
48
Mengenai pengertian talak telah tertera dengan rinci dalam pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang pengadilan Agama yang berbunyi : “seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.”6 7
Dalam kompilasi Hukum Islam sendiri talak diartikan sebagaimana
yang diatur dalam pasal 117, yang berbunyi :” Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, 131”. Keharusan mengikrarkan talak di depan sidang Pengadilan Agama, diharapkan agar dalam proses perceraian jelas sebab-sebabnya dan ketika masih bisa didamaikan agar hakim dapat berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang hendak bercerai sehingga perbuatan yang tidak disukai Allah (talak) itu tidak mudah terjadi dan kekekalan sebuah rumah tangga dapat terwujud. Oleh karenya, penulis menarik kesimpulan dari berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa pendapat ulama bahwa ikrar talak itu ialah suatu perbuatan atau tindakan hukum yang berupa pengucapan atau penetapan yang dilakukan oleh sisuami untuk melepaskan ikatan perkawinan yang sah. 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006. hal 66 7
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta 2004
49
2. Dasar Hukumnya Adapun dasar hukum ikrar talak itu berdasarkan firman Allah SWT. a. Al-Quran8 Al-Imran ayat 81 :
!!!81!!!! !!! !!!!
Artinya : "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: "Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianKu terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".(QS. AliImran :81) Surat At-Thalaq ayat 1 :
!1!!!! ! ! !!!
8
Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemah. Saudi Arabia.Tt.
50
Artinya : "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru". ( QS. At-Thalaq : 1) Surat Al-Baqarah ayat 229 :
!229!!!!!!!!!
Artinya : "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukumhukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. AlBaqarah :229)
51
b. Hadits Nabi SAW
!! ! !!! ! !!!!!! !!! !!! ! ! !!! !!!! !! !!! ! ! !!!!! ! !!! !!! !! !!! !! !!!!!! ! !! !!!!!!!!! !!!! !! !!!!!!!! !!! !! !œ!!!!! !!!! !!! !!!! ! !!!!!! !! !!!! !!! 9 ! !! ! !!!! ! ! !!!! !!! !!! !! ! ! Artinya :“Diceritakan Katsir Ibn ‘Abid, diceritakan Muhammad Ibn Khalid, dari Mu’arrif Ibn Washal, dari Muharib Ibn Ditsar, dari Ibnu Umar R.A. ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW. Telah bersabda :” Sesuatu perbuatan yang halal tapi dibenci Allah SWT adalah Thalaq (perceraian)”. ( HR. Abu Daud dan Ibn Majah dishahihkan oleh Hakim dan Abu Hatim merajihnya) Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami isteri bila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 70 Ayat 3, 4 da 5 yiatu : (3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. (4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau wakilnya.
9
Putra).,Tt
Abi Daud Sulaiman Ibn Al-Asy'atsi As-Sajastani, Sunan Abi Daud Juz I, (Semarang: Toha
52
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.10 B. Tatacara Ikrar Talak Mengenai tata cara pengucapan ikrar talak diatur dalam pasal 70, 71 dan 72. yang menjadi dasar patokan terbukanya tata cara pengucapan ikrar talak, apabila penetapan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian proses pengucapan ikrar talak merupakan suatu eksekusi atas penetapan cerai talak. Tata cara pengucapan ikrar talak diatur sebagai berikut : 1. Menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak Seperti yang sudah dikatakan pengucapan ikrar talak merupakan eksekusi penetapan cerai talak. Dan pasal 70 ayat 3 sudah menegaskan, pelaksanaan pengucapan ikrar talak baru dapat dijalankan setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap. Tindak lanjut yang mengikuti hal itu, pengadilan menentukan suatu hari sidang yang khusus untuk menyaksikan pengucapan ikrar talak pemohon yaitu suami.
10
Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Hal. 68
53
2. Sidang penyelesaian ikrar talak dihadiri pemohon dan termohon. Berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat 4, sidang pengadilan penyaksian ikrar talak dihadiri oleh pihak pemohon dan termohon. Ini berarti suami isteri hadir dalam persidangan. Namun, kehadiran mereka menurut undang-undang tidak mesti secara pribadi atau in-person. Baik suami maupun isteri dapat diwakili oleh kuasa. Dengan demikian Undang-Undang memberi kemungkinan bagi seorang kuasa untuk mengucapkan ikrar talak, begitu juga isteri dapat diwakili kuasa dalam menyaksikan ikrar talak. 3. Pengucapan ikrar talak tanpa hadirnya isteri Pada prinsipnya sidang penyaksian ikrar talak dihadiri oleh isteri. Namun pada pasal 70 ayat 5, memberi kemungkinan penetapan ikrar talak dapat dilangsungkan diluar hadirnya isteri apabila dia tidak datang sendiri atau wakilnya, meskipun dia telah dipangil secara patut dan resmi. Dalam kasus yang seperti itu, hal ini tidak perlu menenunda sidang dilangsungkan terus pengucapan ikrar talak.11 4. Berita acara dan penetapan sidang ikrar talak Sidang penyaksian ikrar talak adalah sidang resmi disamping persidangan dihadiri oleh suami isteri atau kuasa mereka dan juga harus dihadiri oleh hakim dan panitera. Bahkan bertitik tolak secara sistematik dan analogis dari ketentuan pasal 68 ayat 1, sidang penyaksian ikrar talak dilakukan oleh majelis hakim. 11
Ibid, hal 67-68
54
Fungsi panitera dalam sidang pengadilan penyaksian ikrar talak, membuat berita acara sidang. Panitera mencatat segala hal ikhwal yang terjadi dalam persidangan seperti layaknya pembuatan berita acara dalam pemeriksaan perkara. Kemudian berita acara tersebut ditandatangani Hakim (Ketua Majelis) dan panitera agar berita acara resmi dan otentik sesuai dengan ketentuan pasal 63 ayat (3).12 Fungsi hakim dalam sidang selain dari pada menyaksikan pengucapan ikrar talak, juga membuat “penetapan” penyaksian ikrar talak. Tentang isi penetapan sidang penyaksian ikrar talak telah digariskan dalam pasal 71 ayat (2) menurut pasal tersebut amar harus dicantumkan dalam penetapan yang berbunyi : menyatakan perkawinan putus terhitung sejak hari dan tanggal ikrar talak diucapkan. Masih dalam penetapan sidang ikrar talak, penetapan sidang ikrar talak, bukan penetapan dalam arti sengketa atau permohonan. Penetapan tersebut bukan dalam rangka penyelesaian suatu gugatan perkara. Oleh karena itu penetapan dalam hal ini bukan berupa keputusan atas suatu perkara. Boleh dikatakan, penetapan sidang ikrar talak tiada lain dari pelaksanaan eksekusi penetapan cerai talak.
12
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989), h. 249
55
C. Ikrar Talak Yang di Lakukan Kuasa Hukum Perempuan Pernikahan adalah bentuk muamalah yang diatur secara terperinci dalam hukum Islam. Perjanjian yang dilakukan termasuk dalam perjanjian agung. Oleh sebab itu akibat yang timbul dari pernikahan ini diatur pula, mulai dari nafkah, hadhanah, talak, iddah dan sebagainya. Maka dari itu bentuk rusaknya dari perjanjian ini dengan salah satu jalan perceraian juga mendapat perhatian khusus.13 Talak adalah salah satu jalan untuk memutuskan tali pernikahan. Seperti halnya nikah, yang mempunyai peran besar adalah laki-laki. Dalam akad nikah yang berperan adalah calon suami beserta wali dari calon istri yang akan dinikahi. Seperti halnya nikah, talak juga mempunyai beberapa syarat yang salah satunya adalah ikrar.14 Pada dasarnya kekuasaan dalam menjatuhkan talak adalah ada di tangan suami, tetapi memungkinan bagi suami untuk menjatuhkan melalui orang lain yang bertindak atas nama suami. Hal ini dapat ditempuh melalui usaha suami ataupun atas keinginannya, seperti melimpahkannya kepada seorang wakil atau kepada istri yang diserahkan kepadanya perkara talak.15 Menurut Muhammad Baltaji, Islam memberi hak talak kepada laki-laki secara mutlak. Hal ini disebabkan oleh dua dalih. Pertama, karakter laki-laki 13
Syifaul Qulub, Ikrar talak yang diwakilkan kepada kuasa perempuan, Artikel diakses pada tanggal 21 Juli 2010. 14
Ibid
15
Ibid
56
yang lebih cenderung mempergunakan teori akal dibanding dengan frekuensi penggunaan akal pada perempuan dalam skala mayoritas. Perempuan dalam tataran praktik selalu menyelesaikan permasalahan dengan permainan perasaan, oleh karena itu Islam tidak memberikannya hak untuk mencerai. Kedua, suami bertanggung jawab atas kelangsungan rumah tangga seperti mas kawin/mahar dan nafkah, maka dikatakan laki-laki akan rugi jika talak istri yang disahkan. 16 Sampai disini, perlulah kita menyebutkan suatu hal. Seorang suami dapat memberikan hak cerai kepada istrinya, baik secara pemegang kuasa yang mutlak ataupun dalam keadaan-keadaan khusus atas nama si suami itu sendiri. Dalam pandangan Islam hak menceraikan tidaklah diperuntukan bagi wanita, tetapi sebagai suatu hak yang ditentukan dan yang dikuasakan, hak itu ada dan dapat dipergunakannya. Kita harus melihat apakah Islam memberikan suatu jalan untuk menyelesaikan kesulitan yang sesungguhnya sangat problematik ini. Talak yang menjadi kekuasaan suami itu disebabkan tanggung jawab dia dalam rumah tangga sebagai kepala rumah tangga yang harus menanggung nafkah bagi anggota keluarga. Nafkah ini ditanggung oleh suami mulai awal nikah dengan memberikan mahar, sampai pada putusnya perkawinan suami juga menanggung nafkah iddah, nafkah menyusui, juga nafkah pemeliharaan anak jika ia mempunyai anak dari istri yang ditalaknya. Talak itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan untuk diwakilkan karena telah memenuhi dua unsur syarat sebagai muwakal fih. 16
Ibid
57
Pertama talak dimiliki oleh pihak yang memberikan kuasa yaitu suami yang berhak menjatuhkan talak kepada istrinya. Kedua talak ini memungkinkan untuk dikuasakan kepada orang lain sebagai wakil dari yang memberi kuasa, ini disebabkan talak bukan ibadah yang harus dilakukan orang secara pribadi. Berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat (4), sidang pengadilan penyaksian ikrar talak dihadiri oleh pihak pemohon dan termohon. Ini bererti suami istri hadir dalam persidangan. Cuma, kehadiran mereka menurut undang–undang tidak mesti secara pribadi atau in-person. Baik suami maupun istri dapat diwakili oleh kuasa. Dengan demikian undang-undang memberi memberi kemungkinan bagi seorang kuasa mengucapkan ikrar talak. Pokok permasalahan dalam ikrar talak yang diwakilkan kepada kuasa hukum perempuan adalah dengan melihat kredibilitas wakil itu sendiri. Syarbini memberikan syarat pada seorang wakil dengan redaksi yaitu seorang yang bertindak sebagai wakil haruslah sah melakukan sesuatu yang diwakilkan kepadanya. Sesungguhnya orang yang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri itu atas jalan menempuh hak, sedangkan untuk melakukan sesuatu untuk orang lain hanyalah sebagai pengganti. Jika orang itu untuk dirinya sendiri dalam penuntutan hak saja tidak kuasa untuk memenuhinya, lalu bagaimana dia dapat menggantikan orang lain. Mereka menambahkan bahwa syarat-syarat telah disebutkan di atas adalah berlaku secara umum, sehingga ada juga pengecualian dalam beberapa masalah. Salah satunya adalah orang perempuan dapat dijadikan wakil untuk
58
menjatuhkan talak kepada orang lain. Bukan berarti orang perempuan yang tidak berhak menjatuhkan talak untuk dirinya sendiri itu dilarang untuk melaksanakan pelimpahan kekuasaan talak ini, justru dia diperbolehkan melakukan perwakilan dalam masalah ini.
D. Pandangan Fuqaha terhadap Ikrar Talak yang diwakilkan kepada perempuan Talak itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan untuk diwakilkan karena telah memenuhi dua unsur syarat sebagai muwakal fih. Pertama talak dimiliki oleh pihak yang memberikan kuasa yaitu suami yang berhak menjatuhkan talak kepada istrinya. Kedua talak ini memungkinkan untuk dikuasakan kepada orang lain sebagai wakil dari yang memberi kuasa, ini disebabkan talak bukan ibadah yang harus dilakukan orang secara pribadi. Wakalah dalam talak ini dianggap sah sebagaimana disahkan juga wakalah lain dalam muamalah seperti jual-beli, hibah, dan sebagainya.17 Namun disisi lain Abu Muhammad membantah keras adanya wakalah dalam masalah talak, dia berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya seorang melakukan perbuatan seseorang sehingga ada keterangan dari Al-Quran ataupun Hadits dari Rasulullah SAW yang memperbolehkan perbuatan tersebut.18
17
2010
18
Syifaul Qulub, Ikrar Talak Menurut Hukum Islam, Artikel di akses pada tanggal 21 Juli Ibid
59
Lebih dalam Abu Muhammad menjelaskan tidak ada satu ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang menerangkan tentang talak yang diwakilkan, maka hal ini adalah batal. Dasar hukum yang dipakai yaitu mukhatab dalam talak adalah para suami, bukan yang lainnya. Maka tidak diperbolehkan seseorang menggantikan posisi suami-suami tersebut, baik dalam akad wakalah atau akad yang lainnya. Dia juga mengatakan tidak pernah dijumpainya pada ulama terdahulu yang membolehkan mewakilkan talak.19 Sepanjang sejarah Islam, tidak ada ahli hukum sepakat satu sama lainnya. Jika Ibn Taimiyah berpikir talak tiga dengan sekali ucapan tidak diperbolehkan, ahli hukum Islam yang lain memperbolehkannya. Jika para ahli hukum Syi’ah membolehkan kawin mut’ah maka umat Islam Sunni tidak membolehkannya. Perbedaan-perbedaan ini telah dijelaskan dalam berbagai buku-buku Islam. Begitu juga dalam permasalahan ini banyak perbedaan di kalangan para ahli hukum Islam (fuqaha’).20 Terlepas dari perbedaan pendapat yang tidak memperbolehkan adanya wakalah dalam talak. Tidak sedikit pula yang memperbolehkan wakalah tersebut karena dengan mengambil syarat yang ada pada muwakal fih, talak sudah memenuhi syarat tersebut baik mengenai dimiliki oleh pemberi kuasa ataupun layak untuk dikuasakan. Seperti halnya nikah yang bisa diwakilkan, maka talak juga bisa untuk diwakilkan. Karena pernah diriwayatkan peristiwa talak Fatimah 19
Ibid
20
Ibid
60
binti Qais yang menjatuhkan talak kepadanya seorang wakil dari suaminya. Membahas tentang pihak yang memberi kuasa dan yang diberi kuasa, Syafi’iyah memberikan keterangan syarat wakil yang diberi kuasa. Sebagaimana disyaratkan untuk orang yang memberikan kuasa yaitu dengan melihat sisi dimana ia berhak melakukan untuk dirinya sendiri sesuatu yang ingin ia wakilkan kepada orang lain. Syarat itu juga berlaku pada wakil yang diberikan kuasa yaitu dia termasuk orang yang berhak melakukan untuk dirinya sendiri sesuatu yang ingin diwakilkan kepadanya dari orang lain. Talak yang diwakilkan kepada istri sesungguhnya tidak termasuk mewakilkan kecuali suami mengatakan kepada wakil tersebut dengan jelas. Karena talak kepada istri itu wakil harus mengetahui dengan tawkil yang khusus dengan berkata: “aku wakilkan kepadamu untuk menjatuhkan talak kepada istriku fulanah” atau memberikan isyarat kepadanya seperti berkata: “aku wakilkan kepadamu untuk menjatuhkan talak kepada istriku ini” Tidak berbeda dengan keterangan sebelumnya, Hanabilah mengatakan bahwa siapa yang dianggap sah talaknya, maka sah pula mewakilkannya kepada orang lain. Adapun jika suami itu memilih perempuan untuk diberi kuasa untuk bertindak sebagai wakil dalam menjatuhkan talak, pemberian kuasa dianggap sah. Sedangkan golongan Malikiyah mengatakan suami yang memberikan kuasa kepada seseorang untuk menjatuhkan talak kepada istrinya itu diperbolehkan, baik itu adalah istrinya sendiri ataupun orang lain. Walaupun begitu, suami masih mempunyai hak untuk mencegah wakil untuk menjatuhkan talak.
61
Dengan adanya pendapat seperti ini maka talak yang dijatuhkan sah baik dijatuhkan kepada orang lain begitu juga dijatuhkan untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan pendapat yang lainnya, golongan Hanafiyah yang mengartikan tawkil dalam talak adalah pemberian kuasa dari seorang suami kepada orang lain untuk bertindak atas nama dia dalam menjatuhkan talak kepada istrinya. Pelimpahan kuasa itu bisa diberikan kepada istrinya sendiri atau orang lain. Namun pelimpahan kuasa itu tidak dapat diberikan kepada perempuan selain istrinya sendiri, karena perempuan hanya dapat menjatuhkan talak pada dirinya sendiri bukan kepada orang lain Maka dengan ini perempuan tidak dapat menjadi kuasa sebagai wakil yang melaksanakan sesuatu untuk orang lain, melainkan dia hanya bisa menjatuhkan talak hanya untuk dirinya sendiri. Sesuai dengan kandungan dalam surat Al-Ahzab ayat 28-29 Allah SWT Berfirman :
. !!!29! 28!!!!
!!! ! !!
Artinya : "Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab :28-29)
BAB IV PANDANGAN MAJELIS HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK TERHADAP IKRAR TALAK YANG DIWAKILKAN KEPADA ADVOKAT PEREMPUAN
A. Proses Persidangan Ikrar Talak di Pengadilan Agama Depok Persidangan Pengadilan Agama Depok yang memeriksa perkara perdata agama tingkat pertama dilaksanakan di ruang sidang yang dipergunakan untuk keperluan itu dengan : 1. Menyebutkan Identitas pemohon dan menyebutkan identitas kuasa hukum apabila termohon memberikan surat kuasa kepadanya. 2. Menyebutkan identitas termohon Dalam persidangan tersebut dipimpin atau terdiri dari : Ketua Majelis, Hakim Anggota, dan Panitera Pengganti.1 Setelah persidangan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis, lalu kedua pihak berperkara dipanggil masuk keruang sidang. Kemudian Ketua Majelis beruasaha mendamaikan pemohon dan termohon agar rukun kembali, namun tidak berhasil karena pemohon tetap ingin menceraikan termohon. Kemudian Ketua Majelis membacakan putusan terkait permohonan cerai talak.2 Setelah amar putusan dibacakan, oleh Ketua Majelis kembali menanyakan kepada pemohon dan termohon atau kepada kuasa hukum 1 2
Berita Acara Ikrar Talak Pengadilan Agama Depok, Nomor 226/Pdt.G/2008/PA, Dpk Ibid
62
63
keduanya terkait kesipannya untuk mengucapkan ikrar talak. Setelah sudah ada kesiapan untuk mengucapkan ikrar talak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang tertera dalam amar putusan, maka proses pengucapan dilaksanakan.3
B. Dasar Pemikran Hakim terhadap Ketidakbolehan advokat perempuan dalam mengikrarkan talak kliennya. Setelah penulis mewawancarai sekaligus berbincang-bincang bersama Hakim Ketua Pengadilan Agama Depok di tempat kediamannya, penulis menanyakan
kembali
tentang
wewenang
advokat
perempuan
dalam
mengikrarkan takak dengan kliennya, dimana seorang advokat perempuan itu memang benar-benar tidak boleh mengucapkan talak untuk mewakili klienya. Dalam hal tersebut Hakim Pengadilan Agama Depok yaitu Bapak Drs. Sarnoto M.H mengemukakan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pasal 70 ayat 3, 4 dan ayat 5 mengatakan bahwa pemohon boleh memberikan kuasanya kepada wakilnya, namun pengertian wakil disini bukan untuk ditujukan kepada wakil perempuan untuk sebagai mewakili kliennya.4 Memang mengenai kewenangan advokat perempuan maupun advokat laki-laki yang berasal dari lembaga keadvokatan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003, tidak ada batasan khusus dalam menangani
3 4
Ibid
Data diambil dari wawancara dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama Depok. tanggal 30 Juli 2010
64
perkara mereka para advokat boleh menangani semua perkara guna mencari keadilan.5 Hakim Pengadilan Agama Depok tetap menyatakan dalam perkara cerai talak setelah mendapatkan kekuatan hukum tetap, maka pengucapan ikrar talak itu di ucapkan kepada pemohon atau kuasa hukumnya yang jelas tidak dibolehkan kuasa hukum perempuan yang mengucapkan. Sebab beliau sangat sependapat dengan ibarah atau ungkapan yang dinyatakan oleh madzhab hanafi bahwa laki-laki tidak boleh memberikan kuasanya kepada perempuan untuk menucapkan ikrar talak.6 Memang tidak ada Undang-Undang yang menyatakan bahwa seorang perempuan itu tidak boleh mengucapkan ikrar talak, namun dalam hal ini beliau sangat ikhtiyat terhadap kuasa hukum atau seorang advokat perempuan untuk mengucapkan ikrar talak kliennya sebab jika hal tersebut dilakukan oleh kuasa hukum perempuan maka akan merugikan pihak laki-laki (pemohon). Beliau menambahkan yang menjadi dasar ketidakbolehan seorang kuasa hukum perempuan
yaitu melihat pada peristiwa talak Bid'i, dimana
talak bid'i itu sendiri talak yang dalam keadaan tidak suci atau haid. Disini kan kita tidak tahu apakah advokat perempuan itu memang benar-benar dalam keadaan suci atau tidak. Maka dari itu cara yang solutif yaitu dengan mengganti advokat perempuan untuk dilimpahkan kepada partner kerjanya yang laki-laki yang harus mengucapkan.7
5
Ibid
6
Ibid
7
Ibid
65
C. Analisa Penulis Kembali kepada penulis, mengenai problematika seorang advokat perempuan yang tidak bisa mengucapkan ikrar talak kliennya penulis akan coba melihat terlebih dulu dari teori-teori yang telah dikemukakan dalam disertasi Prof. Dr. Nasaruddin Umar., MA tentang Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, meskipun tidak secara langsung didalam teori tersebut tidak menjustis bahwa seorang perempuan itu boleh menerima tawkil dalam perkara ikrar talak, setidaknya penulis bisa membedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam Al-Quran. Jika melihat permasalahan tersebut, penulis akan menggunakan teori yang telah di jelaskan pada bab terdahulu sebagai dasar penulis untuk menganalisanya, yaitu dengan melihat pada teori Feminis liberal yang berskesimpulan bahwa semua laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan semestianya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya. Secara antologis keduanya, hak laki-laki dengan sendirinya itu menjadi hak perempuan. Sehingga dapat difahami bahwa perempuan itu diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja diluar rumah. Dengan kata lain tidak mesti di lakukan perubahan secara struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran. Kemudian dikuatkan pula pada teori fungsional struktural yang telah dikatakan oleh Talcott Parsons dan Robert Bales, bahwa hubungan anatara laki-laki dan perempuan lebih merupakan pelestarian keharmonisan daripada bentuk persaingan.
66
Dalam pelaksanaannya yaitu dalam permasalahan ketidakbolehan seorang advokat perempuan yang tidak bisa mengucapkan ikrar talak kliennya terkesan bersebrangan pada teori yang ada, padahal baik laki-laki maupun perempuan itu diciptakan seimbang. Melihat kepada Al-Qur’an padahal tidak menafikan adanya perbedaan anatomi biologis, tetapi perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk mengistimewakan jenis kelamin yang satu dengan jenis kelamin lainnya. Namun Al-Quran juga mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan yang menguntungkan satu pihak dan pihak lainnya. Ketidakbolehan tersebut terlihat lebih menguntungkan laki-laki. Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjadi pegangan bagi penulis, untuk menyanggah ketidakbolehan seorang advokat perempuan dalam megikrarkan talak kliennya, diantaranya : Pada Surat An-Nisa ayat 124 Allah SWT berfirman :
!124!!!!!! !!!!
Artinya :”Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa: 124)
67
Surat An-Nahl ayat 97 Allah SWT berfirman :
!97!!!! ! !!!!!
Artinya :”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Surat Al-Mu’min ayat 40 Allah berfirman :
!40!!!! !!!!! Artinya :”Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS. Al-Mu’min: 40)
Dari ketiga ayat tersebut, penulis dapat berkesimpulan sementara bahwa ayat diatas benar-benar mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier propesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.
68
Perlu diketahui padahal salah satu obsesi Al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu Al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Kemudian penulis pada kacamata fikih konvensional lebih cenderung pada ulama yang membolehkan. Dan pada pembahasan wakalah pun telah dijelaskan tentang syarat dan rukun wakalah yang mana di dalam syarat tersebut tidak di sebutkan apakah harus laki-laki atau perempuan. Penulis berasumsi jika syarat dan rukun telah terpenuhi, maka boleh-boleh saja. Di dalam peraturan Perundang-Undangan dikatakan apabila suami tidak dapat menghadiri persidangan ikrar talak, maka boleh diwakilkan kepada wakilnya. Wakil yang telah di sebutkan dan dijelaskan dalam Undang-Undang tidak ditentukan apakah harus wakil laki-laki atau perempuan. Dalam pembahasan permasalahan ketidakbolehan seorang advokat perempuan tidak boleh mengucapkan ikrar talak kliennya, yang telah di jawab oleh hakim Pengadilan Agama Depok, penulis terjadi kejanggalan dan kurang sepaham dan sependapat dengan pernyataan hakim yang mengacu pada salah satu alasan ketidakbolehan tersebut pada peristiwa talak bid’i. telah diketahui padahal talak bid’i itu ialah talak yang mana suami itu tidak boleh menjatuhkan talak kepada istrinya yang dalam keadaan tidak suci (haid atau
69
nifas) sedangkan perkara tersebutkan bukan pada yang ditalak melainkan pada yang mentalak yaitu seorang advokat perempuan yang mewakilkan kliennya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan ini penulis, dapat menarik kesimpulannya antara lain : 1. Mengenai pandangan para 'Ulama Madzahib terdapat dua perbedaan mengenai suami yang memberikan kuasanya kepada perempuan untuk mengikrarkan talak ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan hanya golongan Hanafiyah yang tidak membolehkan. Dalam pernyataan golongan Hanafiyah dikatakan : "tawkil dalam talak adalah pemberian kuasa dari seorang suami kepada orang lain untuk bertindak atas nama dia dalam menjatuhkan talak kepada istrinya. Pelimpahan kuasa itu bisa diberikan kepada istrinya sendiri atau orang lain. Namun pelimpahan kuasa itu tidak dapat diberikan kepada perempuan selain istrinya sendiri, karena perempuan hanya dapat menjatuhkan talak pada dirinya sendiri bukan kepada orang lain". Sedangkan jika melihat dari Hukum Positif yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tidak dijelaskan secara eksplisit. Dalam penjabarannya yang terdapat dalam pasal 70 ayat 2,3 dan 4 disebutkan hanya boleh memberikan kuasa kepada wakilnya. Dan kalimat wakil itu sendiri tidak dijelaskan apakah wakil laki-laki atau perempuan. 2. Praktik di Pengadilan Agama Depok sesuai wawancara Hakim Pengadilan Agama Depok, pengucapan ikrar talak ternya tidak boleh dikuasakan terhadap 71
72
kuasa hukum perempuan yang mengucapkan talak kliennya. Karena hak untuk mengucapkan ikrar talak itu sepenuhnya ada pada laki-laki (suami). Meskipun dalam Undang-Undang yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat kata wakil, namun bukan berarti wakil perempuan yang mengucapkan dan alasannya juga mengqiyaskan pada peristiwa talak bid’i. Talak Bid'i adalah talak dikala istri sedang dalam keadaan haid atau nifas (tidak suci). Bagaimana mungkin dia mengikrarkan talak untuk kliennya, sedangkan kita tidak mengetahui seorang advokat perempuan itu dalam keadaan suci atau tidak.
B. Saran-saran Adapun saran-saran yang dapat dituangkan oleh penulis adalah : 1. Agar Hakim-Pengadilan Agama Khususnya lebih fleksibel terhadap kuasa hukum wanita dalam mengucapkan ikrar talak. 2. Kalau bisa harus ada ketetapan Undang-Undang yang menjelaskan perihal pengucapan ikrar talak sehingga tidak terdapat persi yang berbeda yang terdapat dalam Undang-Undang mengenai kata-kata wakil. 3. Kepada pemohon dalam hal ini boleh-boleh saja memberikan kuasanya kepada advokat perempuan dalam menangani perkara. Salah satu contoh hal cerai talak. Khusus ikrar talak, pemohon harus mengganti kuasanya dengan seorang kuasa hukum laki-laki, atau advokat perempuannya melimpahkan urusannya kepada partnernya yang laki-laki.
73
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemah. Kitab Primer : Ahmad Ibn Kudamah, As-Syaikh al-Imam Muwaffiquddin Abi Muhammad ‘Abdullah Ibn al-Mugni, Beirut : Daar El-Fikr, Juz v, tt As-Sajastani, Al-Asy'atsi Ibn, Abi Daud Sulaiman Sunan Abi Daud, Semarang: Toha Putra, Juz I.,Tt Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahibu Al-Arba’ah, Al-Qahirah: Maktabah Atsaqafah, Juz III, tt Muhammad Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Kifayatu Al-Akhyar Fii Hali Ghoyati Al-Ikhtishar, Surabaya: Al-Hidayah, Tt, Juz I Nawawi, Syarif, Ibn, Yahya, Zakariya, Abi, Raudhat Al-Thalibin, Beirut: Darul Qutub Al-Islamiyah, Tt, Juz VI, h. 3 Yusuf al-Bahuti, As-Syaikh Mansur Ibn, Al-Roudhu al-Murabbih, Beirut :Daar elFikr, tt Buku Sekunder Abd. ‘Azim bin Badawi al-khalafi, al-Wajiz, Ensiklopedi fikih Islam dalam Al-Quran dan as-Sunnah as-Shahih, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006, cet.I Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo: Jakarta; 2007 Arto, Mukti, A. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 1996 Dahlan, Azis , Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve; 1996, Jilid III, Cet I Danim, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif , Bandung: CV Pustaka Setia; 2002 Hamdani, H.S. Risalah nikah, Jakarta: Pustaka Amin; 1985
73
74
Harahap, Yahya, M. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika; 2008) -------------------- Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini; 1989 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , cet.3, Malang: Bayumedia Publishing, 2007 Kamarusdiana, dan Nachrowi, Hukum Acara Perdata, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum, Jakarta: 2006 Marzuki, Mahmud, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005 Mas’ud, Ibnu dan Abidin, Zainal, Fikih Madzhab Syafi’I edisi lengkap Muamalat, munakahat jinayat, Bandung: pustaka Setia, 2000. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000 Romli, Moh, Syamsul, Asep, Jurnalistik Praktis, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2001,cet Ke-3 Rosyadi, Rahmat. Hartini, Sri, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003 Rasyid, A. Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Rambe, Ropuan Tehnik praktek Advokat, Jakarta: Grasindo, 2001 Sabiq, Sayyid Fiqh Sunnah, Bandung : Al-Ma'arif, 1990, Jilid 8, Cet VII, Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : CV Rajawali, 1985 -------------------, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, Cet. 3 Subekti, R. Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT. Arga Printing, 2007, cet. 30 -------------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2007
75
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata. Tatacara dan Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Tafik Makarao, Moh, Pokok-pokok Hukum Acara perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1998 Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001, Cet. 2 Winarta, Hendra, Frans, advokat Indonesia, cita, Idealisme, dan keprihatinan, Jakarta : Sinar Harapan,1995 Undang-Undang Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo; 2004 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama., Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Internet http: diglib.sunan ampel.ac.id http: Artikelsifaks. Blogspot.com
DAFTAR PUSTAKA Raja Fahd Ibn 'Abdul Aziz Al-Sa'ud, Qur'an dan Terjemah. Saudi Arabia.tt. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahibu Al-Arba’ah,(Al-Qahirah : Maktabah Atsaqafah), Juz III, tt Ahmad Ibn Kudamah, As-Syaikh al-Imam Muwaffiquddin Abi Muhammad ‘Abdullah Ibn al-Mugni (Beirut : Daar El-Fikr), Juz v, tt Al-Nawawi, Syarif, Ibn, Yahya, Zakariya, Abi, Raudhat Al-Thalibin, (Beirut: Darul Qutub Al-Islamiyah, Tt), Juz VI, h. 3 Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta : Persada, 2007)
Raja Grafindo
Arto, Mukti, A. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar., 1996) Abd. ‘Azim bin Badawi al-khalafi, al-Wajiz, Ensiklopedi fikih Islam dalam Al-Quran dan as-Sunnah as-Shahih (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), cet.I Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta 2004 Al-Hamdani, H.S. Risalah nikah, ( Jakarta : Pustaka Amin, 1985 ) Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000) As-Sajastani, Al-Asy'atsi Ibn, Abi Daud Sulaiman Sunan Abi Daud Juz I, (Semarang: Toha Putra).,Tt Danim, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002) Dahlan, Azis , Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid III, Cet I, Harahap, Yahya, M. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika; 2008) Harahap, Yahya, M. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989)
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , cet.3 (Malang: Bayumedia Publishing, 2007) Kutipan oleh Az-Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Taubihi al-Jadid, Damaskus: Matabi’ Alifba al-Adib, 1967 Juz I: hal 424 dalam buku Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo: Jakarta 2007 Kutipan oleh Ibn Nujaim, al-Bahr ar-Ra’iq Syarh Kanz ad-Daqa’iq, Beirut: Daar al-Ma’rifah, t.t hal 402; Ibn ‘Abidin, Hsyiah Ibn ‘Abidin, Beirut: Daar al-Fikr, 1386 H, Juz V Kutipan oleh Al-Marginani, Al-Hidayah Syarh Al-Bidayah ( Beirut : AlMaktabah Al-Islamiyah, t.t), Juz III, hal. 137 didalam buku Syamsul Anwar., Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007) Kutipan oleh As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Beirut: Daar al-Ma’rifah, Tt) Kamarusdiana, dan Nachrowi, Hukum Acara Perdata, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum,( Jakarta: 2006) Muhammad Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Kifayatu AlAkhyar Fii Hali Ghoyatu Al-Ikhtisor, (Surabaya: Al-Hidayah, Tt), Juz I Marzuki, Mahmud, Peter, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005) Mas’ud, Ibnu dan Abidin, Zainal, Fikih Madzhab Syafi’I edisi lengkap Muamalat, munakahat jinayat, Bandung: pustaka Setia, 2000. Romli, Moh, Syamsul, Asep, Jurnalistik Praktis, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2001),cet Ke-3 Rosyadi, Rahmat. Hartini, Sri, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003) Rasyid, A. Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Rambe, Ropuan Tehnik praktek Advokat, Grasindo, Jakarta, 2001 Sabiq, Sayyid Fiqh Sunnah, (Bandung : Al-Ma'arif, 1990), Jilid 8, Cet VII,
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : CV Rajawali, 1985) Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3 (Jakarta: UI Press, 1986) Subekti, R. Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta : PT. Arga Printing, 2007), Cet. 30 Subekti,R. Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata. Tatacara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). Tafik Makarao, Moh, Pokok-pokok Hukum Acara perdata, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1998 ) Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, ( Jakarta: Paramadina, 2001), cet. 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama., Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006 Winarta, Hendra, Frans, advokat Indonesia, cita, Idealisme, dan keprihatinan (Jakarta : Sinar Harapan,1995) Yusuf al-Bahuti, As-Syaikh Mansur Ibn, Al-Roudhu al-Murabbih (Beirut :Daar el-Fikr), tt http: diglib.sunan ampel.ac.id. Artikel diakses pada tanggal 21 Juli 2010. . Artikel di akses pada tanggal 21 Juli 2010http: artikelsifaks.blogspot.com