PENDEKATAN TEORITIS Komunikasi Resiko Komunikasi resiko merupakan bagian dari ladang ilmu komunikasi secara umum, akan tetapi lebih fokus dalam kajian manajemen resiko kesehatan maupun lingkungan (CFIA 1998). Saat ini, banyak orang yang tertarik pada kejadian yang terjadi di alam seperti bencana, hasil sampingan dari teknologi industri, dan semua hal yang berhubungan dengan resiko kesehatan (Leiss 1994). Fisher (1991) dalam Morgan et al. 2002 mengemukakan urutan resiko yang menjadi perhatian masyarakat yaitu resiko lingkungan (44,1%), resiko kesehatan sebesar 22,9 %, resiko keamanan (22,4%), dan kondisi sosial (10,6%). Komunikasi resiko diartikan sebagai proses pertukaran informasi terkait resiko kesehatan maupun lingkungan yang beresiko antara pihak terkait. Komunikasi resiko juga didefinisikan sebagai komunikasi antar individu yang menfokuskan pada perubahan pengetahuan, persepsi, kebiasaan serta tingkah laku yang berkaitan dengan resiko (Edwars dan Bastian 2001). Komunikasi resiko diperkenalkan pertama kali di Inggris pada pertengahan tahun 1980. Saat itu, fokus utama komunikasi resiko adalah bagaimana cara penyampaian pesan resiko dari para ahli dengan baik kepada masyarakat (Leiss 1994). Seiring dengan perkembangan, Leiss mendefinisikan komunikasi resiko lebih luas yaitu sebagai proses pertukaran informasi antara pihak-pihak yang terkait mengenai kesehatan maupun lingkungan. The National Research Council (NRC) mengartikan komunikasi resiko sebagai pertukaran informasi mengenai tipe, level serta metode dalam mengelola sebuah resiko (U.S. Public Health Service 1995). Definisi lain yaitu proses pertukaran informasi dan opini tentang resiko dan faktor penyebabnya di antara penaksir resiko, manager resiko, dan pihak yang berkepentingan. Pihak yang terlibat dalam komunikasi resiko adalah pemerintah, dunia usaha, media, para ahli (akademisi dan lembaga penelitian), organisasi masyarakat dan masyarakat (FAO 1995). Berdasarkan beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa komunikasi resiko merupakan sebuah proses pertukaran informasi di antara pihak-pihak yang terkait dengan sebuah resiko di mulai dari analisis resiko, hingga managemen resiko.
9
Komunikasi resiko mempunyai tujuan pokok untuk memberikan informasi terkait resiko yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada khalayak tertentu. Selain itu, komunikasi resiko bertujuan : 1) meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang berbagai persoalan spesifik yang harus dipertimbangkan oleh pihak terkait dalam proses analisis
resiko;
pengambilan
2)
meningkatkan
keputusan
konsistensi
manajemen
resiko
dan serta
keterbukaan
dalam
implementasinya;
3)
memberikan landasan yang kuat untuk memahami keputusan manajemen resiko yang diusulkan atau diimplementasikan; 4) meningkatkan keefektifan dan efisiensi
proses
analisis
resiko;
5)
turut
memberikan
kontribusi
pada
pengembangan dan penyampaian program informasi dan pendidikan yang efektif, jika kedua hal tersebut terpilih sebagai pilihan manajemen resiko; 6) memperkuat hubungan kerja dan saling menghargai di antara semua partisipan; 7) meningkatkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam proses komunikasi resiko; 8) saling bertukar informasi tentang pengetahuan, sikap, nilainilai, praktik dan persepsi berbagai pihak yang berkepentingan dalam hal resiko yang berkaitan dengan topik terkait (FAO 1995). Berry (2004), mengungkapkan bahwa komunikasi resiko harus mencakup beberapa hal yaitu : 1). menginformasikan kepada masyarakat mengenai besar kecilnya sebuah resiko; 2). berkomunikasi antara ilmuan, pembuat kebijakan dan manager resiko untuk membuat sebuah keputusan mengenai resiko tersebut; 3). mengkomunikasikan resiko dan hal-hal yang terkait dengan resiko tersebut ke semua pihak terkait (stakeholder); 4). menyediakan informasi resiko yang baku untuk masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi resiko sejalan dengan prinsip pembangunan komunikasi partisipatif yaitu komunikasi dua arah serta dinamis antara akar rumput (penerima pesan) dengan sumber informasi yang diperantarai oleh komunikator yang membantu jalannya proses komunikasi tersebut (White dan Nair 1994). Prinsip komunikasi resiko merupakan bagian dari upaya pencegahan sekaligus respons dalam menghadapi masa krisis dan harus diintegrasikan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan semua kegiatan untuk masyarakat (Reynolds & Seeger 2005). Menurut Reynold (2006), kaitannya dalam upaya pencegahan dan pengendalian Avian Influenza konsep komunikasi resiko harus diterapkan dalam beberapa hal yaitu :
10
Resiko-resiko kesehatan yang tidak pasti dimana masyarakat membutuhkan informasi yang akurat untuk mengindari resiko. Koordinasi dalam penyusunan dan pendistribusian pesan/informasi diantara pemerintah
pusat,
pemerintah
daerah
serta
ahli
kesehatan
untuk
mengurangi distorsi informasi serta membantu menciptakan kepercayaan masyarakat, meredakan kepanikan dan menghindari respon yang negatif. Memandu kelompok/komunitas masyarakat dalam untuk melindungi diri dan keluarga
mereka,
yang
merupakan
salah
satu
komponen
dalam
managemen krisis. Menyajikan informasi ke masyarakat yang benar dan ringkas. Berkomunikasi selama masa krisis harus minim spekulasi, jelas dan didukung dengan data terkini yang akurat. Ketepatan dan keterbukaan informasi yang membantu membangun kepercayaan di masyarakat. Perbedaan komunikasi resiko dengan komunikasi umum yang biasa dilakukan adalah adanya partisipasi publik dan penyelesaian konflik serta keterpaduan antara taksiran dan managemen resiko. Komunikasi resiko dapat membantu menciptakan sebuah konsensus tanpa mengeliminasi adanya perbedaan pendapat (U.S. Public Health Service 1995). Faktor utama dalam komunikasi
resiko
adalah
mekanisme
distribusi,
isi,
ketepatan
waktu
penyampaian, ketersediaan materi, tujuan, kredibilitas dan makna pesan itu sendiri (FAO 1995). Renn mengemukakan elemen utama dalam komunikasi resiko adalah informasi (mengubah pengetahuan), persuasi (mengubah sikap dan perilaku) dan konsultasi (CFIA 1998). Komunikasi resiko harus dapat menjelaskan konsep ketidakpastian sebuah resiko serta membangun kredibilitas sumber informasi (Renn 2003). Komunikasi harus terbuka, interaktif dan transparan. Karakteristik resiko yang diperoleh dari penilaian risiko, cara mengendalikan resiko, dan kebijakan yang akan diimplementasikan, harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terkait, sehingga semua pihak memperoleh informasi yang cukup mengenai bahaya, cara pencegahan serta tindakan yang harus dilakukan. Komunikasi dengan berbagai pihak baik kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, peternak, dan masyarakat sangat penting sehingga tidak ada prasangka bahwa masyarakat akan selalu dirugikan atau diberi beban oleh peraturan atau kebijakan. Komunikasi resiko harus bersifat mendidik dan
11
melindungi masyarakat, serta meningkatkan kesadaran pentingnya pencegahan flu burung dan kemungkinan bahaya yang akan terjadi seperti bahaya pandemi flu burung. Tujuan utama komunikasi resiko adalah memberi pengertian kepada masyarakat dan hal ini merupakan titik awal rantai pencegahan flu burung. Komunikasi yang efektif menentukan seberapa besar informasi yang diterima oleh masyarakat dan dapat meredakan konflik atau perbedaan pendapat di antara pihak yang terlibat dengan baik. Aspek – aspek komunikasi resiko Konsep penting dalam komunikasi resiko yaitu membuat pesan resiko menjadi lebih sederhana, terstruktur dan dapat dikelola. Proses dalam merekonseptualisasi pesan resiko merupakan hasil adaptasi dari teori transimisi pesan sebagai model pendekatan komunikasi persuasif. Pertukaran informasi dan kebijakan terkait resiko harus dimaksudkan untuk dapat menterjemahkan hal tersebut dengan bahasa yang teknis. Kaitannya dengan hal ini, peran aktor komunikasi resiko sangat dibutuhkan (Leiss 1994). Berikut adalah gambaran aliran proses komunikasi resiko di antara para aktor komunikasi resiko :
Wilayah resiko diolah
Wilayah resiko diterima
Dunia usaha
Media massa
Pemerintah
Masyarakat Peneliti/ para ahli
Ruang para ahli
Kelompok masyarak at Ruang publik
Gambar 1. Proses komunikasi resiko ( diadaptasi dari Leiss & Krewsi 1989)
12
Aktor komunikasi resiko sangat penting peranannya pada saat proses analisis kebutuhan dan proses managemen resiko untuk meningkatkan kualitas dalam pengambilan keputusan serta menghindari terjadinya konflik. Bergantung dari level keterlibatannya, peran aktor komunikasi resiko dalam proses analisis dan managemen resiko adalah : menyediakan data dan fakta dari lapangan untuk membantu analisis menyediakan informasi yang didasarkan pada pengalaman terdahulu mentaksir nilai kerugian akibat resiko dan efek sampingnya partisipasi dalam menformulakan keluaran yang akan disampaikan pada khalayak (Renn 2009) Namun, dalam komunikasi resiko banyak dijumpai permasalahan pada seperti digambarkan oleh Leiss di bawah ini : Sumber
Masalah pada
Informasi
Masalah pada
sumber
Tujuan
penerima
Pesan yang bermasalah
Pesan yang bermasalah
Masalah pasa saluran
Gambar 2. Permasalahan pada komunikasi resiko (diadaptasi dari Shanon & Weaver dalam Mathematical Theory of Communication) Permasalahan terjadi pada semua unsur komunikasi resiko dimulai dari sumber, pesan, saluran dan penerima pesan. Masalah pada sumber terjadi pada saat ketidaksepakatan di antara para ahli (dalam menyusun pesan/informasi), tidak adanya pemahaman dan informasi yang tidak fokus, keakuratan informasi, kenetralan, kredibilitas para ahli, ketepatan, kejujuran serta kelengkapan pesan yang disampaikan. Masalah pada pesan yaitu ada tidaknya data ilmiah yang mendukung
dalam
pengambilan
sebuah
keputusan/penyusunan
pesan,
banyaknya kemungkinan resiko yang terjadi serta tingkat kompleksitas resiko itu sendiri (Leiss 1994). Hal yang harus dipahami bahwa dalam masa krisis masyarakat cenderung sulit untuk mendengarkan, memahami dan mengingat informasi atau pesan yang disampaikan. Tugas komunikator mengatasi hambatan tersebut, membuat pesan yang akurat dan dapat disampaikan pada
13
masyarakat yang sedang mengalami stress tinggi akibat krisis serta melakukan komunikasi yang efektif dan efisien (WHO 1995). Masalah pada saluran sering terjadi akibat ketidakmampuan media massa dalam mengungkapkan kejadian secara objektif. Informasi yang bias, sensasional serta melebih-lebihkan suatu kejadian merupakan fenomena yang sering terjadi pada pemberitaan di media massa. Terakhir adalah permasalahan pada penerima, hal ini dikarenakan perbedaan persepsi setiap individu yang menerima pesan tersebut (Leiss 1994). Kriteria dalam menciptakan komunikasi resiko yang efektif adalah keterbukaan dalam melihat dan memandang perbedaan pemikiran para ahli dibandingkan hanya melihat opini masyarakat serta tindakan yang dilakukan untuk mencari sumber komunikasi. Kunci utama komunikasi resiko yang paling penting adalah keterbukaan, empati, berbagi kekuasaan (kontrol juga diberikan pada masyarakat), tidak ragu untuk berkata jujur, selalu berusaha memberikan yang terbaik, tetap peduli dengan orang yang tidak memperdulikan kita (Sandmann 1994). Hal serupa juga dikemukakan Reynolds and Sandra (2008) bahwa selama masa krisis, komunikasi yang terbuka dan penuh empati paling efektif untuk menumbuhkan kepercayaan publik ketika pemerintah melakukan usaha- usaha yang positif untuk mencegah keadaan yang dapat membahayakan masyarakat. Kepercayaan dan kredibilitas yang diikuti dengan empati dan kepedulian, kompetensi dan keahlian, kejujuran dan keterbukaan serta dedikasi dan komitmen merupakan unsur utama dalam rangka menciptakan komunikasi persuasif. Hal lain dikemukakan CFIA (1998) bahwa komponen terpenting dalam komunikasi resiko adalah membangun kepercayaan, persepsi dan kewaspadaan (dread values). Untuk membangun kepercayaan diperlukan kompetensi, objektivitas, kekonsistenan, kejujuran serta itikad baik. Sedangkan persepsi sebagai penentu sikap suatu resiko dan persepsi seringsekali berbeda antara satu anggota masyarakat dengan yang lain. Hal serupa diungkapkan oleh Berry (2004) bahwa komunikasi resiko sering sekali mengalami kegagalan dan banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Faktor – faktor penyebab kegagalan tersebut adalah keterbatasan dan kondisi sosial individu masyarakat, fakta bahwa tiap orang/individu memiliki penilaian yang berbeda, terjadi ketidakcocokan antara informasi yang
didiseminasikan dengan yang
dibutuhkan oleh individu
masyarakat dan ketidakpercayaan individu masyarakat terhadap informasi yang
14
disampaikan. Selain itu, dalam komunikasi resiko unsur budaya juga sangat penting.
Douglas
dalam
Lupton
(1999)
menyatakan
bahwa
budaya
mempengaruhi individu serta komunitas untuk mengkalkulasi sebuah resiko dan tanggapan terhadap resiko tersebut. Komunitas dalam masyarakat akan membentuk penilaian tertentu terhadap resiko sesuai dengan persepsi mereka. Selain budaya, menurut Douglas persepsi resiko dipengaruhi juga oleh kontruksi sosial yang terbentuk di masyarakat. Unsur-unsur dalam komunikasi resiko Komunikasi resiko dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebelum krisis (pra krisis), saat krisis berlangsung dan pasca krisis. Menurut FAO (1995), pesanpesan komunikasi resiko dapat mengandung informasi sebagai berikut : a. Sifat resiko 1. Karakteristik dan pentingnya ancaman bahaya 2. Besaran dan intensitas resiko 3. Mendesaknya situasi 4. Tren resiko yaitu semakin membesar atau mengecil 5. Probabilitas pajanan terhadap ancaman bahaya 6. Distribusi pajanan 7. Jumlah pajanan mengandung resiko yang signifikan 8. Karakteristik dan besarnya populasi yang beresiko 9. Siapa yang paling beresiko b. Manfaat 1. Manfaat yang diharapkan kaitannya dengan setiap resiko 2. Siapa yang memperoleh manfaatnya dan bagaimana caranya 3. Letak titik keseimbangan antara resiko dan manfaat 4. Besaran dan pentingnya manfaat 5. Manfaat keseluruhan bagi semua populasi yang terkena resiko c. Ketidakpastian dalam pengkajian resiko 1. Metode yang digunakan untuk mengkaji resiko 2. Pentingnya masing-masing ketidakpastian 3. Kelemahan atau ketidakakuratan data yang tersedia 4. Asumsi yang menjadi dasar estimasi 5. Sensitivitas estimasi terhadap perubahan asumsi 6. Efek perubahan estimasi terhadap keputusan manajemen resiko
15
d. Pilihan manajemen resiko 1. Tindakan yang diambil untuk mengendalikan atau memanajemen resiko 2. Tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengurangi resiko perorangan 3. Pembenaran dalam memilih pilihan manajemen resiko yang spesifik 4. Keefektifan sebuah pilihan yang spesifik 5. Manfaat sebuah pilihan yang spesifik 6. Biaya manajemen resiko dan siapa yang membiayainya 7. Resiko yang tetap ada setelah sebuah pilihan manajemen resiko diimplementasikan Prinsip-prinsip komunikasi resiko Beberapa prinsip dalam menerapkan komunikasi resiko adalah : a. Mengenali khalayak Merumuskan pesan komunikasi resiko, khalayak harus dianalisis untuk mengetahui motivasi dan pandangan mereka. Selain untuk mengetahui siapa yang menjadi khalayak, perlu mengenalinya sebagai kelompok dan secara ideal sebagai perorangan untuk memahami kekhawatirannya serta kondisi mereka dan untuk mempertahankan tetap terbukanya saluran komunikasi. Mendengarkan semua pihak yang berkepentingan merupakan bagian penting dalam komunikasi resiko. b. Melibatkan pakar ilmiah Pakar ilmiah dalam kapasitasnya sebagai pengkaji resiko harus mampu menjelaskan konsep dan proses pengkajian resiko. Mereka harus dapat menerangkan hasil-hasil pengkajian serta data-data ilmiahnya, asumsi dan pertimbangan objektif yang menjadi dasar penjelasan itu sehingga manajer resiko serta pihak berkepentingan lainnya dapat memahami dengan jelas resiko tersebut. Sebaliknya, manajer resiko harus mampu menjelaskan bagaimana cara keputusan manajemen resiko itu diambil. c. Menciptakan keahlian dalam berkomunikasi Komunikasi resiko memerlukan keahlian dalam menyampaikan informasi yang mudah dipahami pada semua pihak yang berkepentingan. Kemungkinan besar para manajer resiko dan pakar teknis
tidak mempunyai waktu atau
ketrampilan untuk melaksanakan komunikasi resiko yang kompleks seperti memberikan respons terhadap kebutuhan berbagai khalayak (masyarakat, industri, media dll) dan menyiapkan pesan-pesan yang efektif. Oleh karena itu, orang yang ahli dalam melakukan komunikasi resiko (komunikator) harus
16
dilibatkan sedini mungkin. Keahlian ini harus dikembangkan melalui pelatihan dan pengalaman. d. Menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya Informasi dari sumber yang dipercaya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu resiko dibandingkan dengan sumber yang kurang dapat dipercaya. Persepsi kredibilitas oleh khalayak sasaran dapat bervariasi sesuai karakteristik bahaya, budaya, status sosial dan ekonomi mereka, serta faktor-faktor lainnya. Kredibilitas akan semakit kuat apabila pesan yang diterima masyarakat dari berbagai sumber konsisten. Faktor-faktor yang menentukan kredibilitas sumber informasi meliputi kompetensi
atau
keahlian,
kelayakan
untuk
dipercaya,
dan
kejujuran.
Kepercayaan dan kredibilitas harus terus dijaga karena kedua hal ini berpotensi terkikis atau hilang melalui metode komunikasi yang tidak efektif atau tidak tepat. Dalam sejumlah penelitian, tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa ketidakpercayaan dan kredibilitas yang rendah terjadi akibat informasi yang berlebihan, menyimpang, dan terkesan untuk kepentingan pribadi. Komunikasi yang efektif harus dapat mengenali persoalan dan isu yang mutakhir, bersifat terbuka terutama kaitannya dalam isi, pendekatan dan waktu yang tepat untuk menyampaikan informasi tersebut. Ketepatan waktu dalam penyampaian suatu informasi merupakan hal yang paling penting karena banyak kontroversi
lebih
terfokus
pada
pertanyaan
“Mengapa
anda
tidak
memberitahukannya lebih awal?”. Informasi yang lupa disampaikan, informasi yang menyimpang, dan informasi demi kepentingan sendiri berpotensi merusak kredibilitas jangka panjang. e. Tanggung jawab bersama Pemerintah
memiliki
tanggung
jawab
pokok
dalam
pelaksanaan
komunikasi resiko dan bertugas mengatur di tingkat nasional, regional maupun lokal. Masyarakat berharap pemerintah dapat memainkan peran utama dalam pelaksanaan
manajemen
berbagai
resiko
kesehatan.
Untuk
memahami
kekhawatiran masyarakat dan memastikan bahwa keputusan yang diambil dalam manajemen resiko diimplementasi dengan tepat, pemerintah mengetahui pandangan masyarakat mengenai berbagai pilihan yang dipertimbangkan untuk mengelola resiko tersebut.
17
f. Membedakan antara “science judgement” dan “value judgement”. Fakta dan nilai-nilai dalam mempertimbangkan pilihan manajemen resiko harus dapat dipisahkan. Pada tingkat praktis sangat bermanfaat bila fakta yang diketahui pada saat itu dilaporkan, di samping melaporkan ketidakpastian yang ada dalam setiap keputusan menyangkut manajemen resiko. Value judgement diartikan sebagai konsep tingkat resiko yang dapat diterima. Konsekuensinya, komunikator resiko harus mampu menetapkan tingkat resiko yang dapat diterima pada masyarakat. Misalnya banyak orang mengartikan istilah “makanan yang aman” sebagai makanan dengan resiko nol padahal kenyataannya belum tentu tidak beresiko. Membuat sesuatu hal menjadi lebih jelas merupakan fungsi komunikasi resiko yang penting. g. Menjamin keterbukaan Proses analisis resiko dan hasil akhirnya, akan diterima oleh masyarakat jika prosesnya transparan. Meskipun masalah legitimasi untuk menjaga kerahasiaan (misalnya informasi atau data yang merupakan milik pribadi) perlu dihormati, transparansi dalam analisis resiko harus terbuka dan dapat diteliti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Komunikasi dua-arah yang efektif antara manajer resiko, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan merupakan bagian yang esensial dalam manajemen resiko serta merupakan kunci untuk mencapai keterbukaan. h. Menjadikan resiko ke dalam perspektif Salah satu cara untuk menjadikan resiko ke dalam perspektif dengan mengkajinya dalam konteks manfaat, yang berkaitan dengan teknologi atau proses
yang
menimbulkan
resiko
tersebut.
Metode
lainnya
dengan
membandingkan resiko yang dipersoalkan dengan resiko lain yang serupa tetapi lebih dikenal. Kendati demikian, metode terakhir tersebut dapat menimbulkan permasalahan jika terlihat pembandingan resiko itu sengaja dipilih untuk membuat resiko yang dipersoalkan menjadi lebih dapat diterima oleh masyarakat. Secara umum, pembandingan resiko hanya dapat digunakan jika: kedua (atau semua) estimasi resiko sama-sama aman; kedua (atau semua) estimasi resiko relevan dengan khalayak yang spesifik; derajat ketidakpastian pada seluruh estimasi resiko serupa; kekhawatiran khalayak diakui dan diperhatikan;
18
substansi, produk atau aktivitasnya dapat dibandingkan secara langsung, termasuk konsep pajanan yang sengaja dan tidak sengaja (FAO 1995). Hambatan dan permasalahan dalam komunikasi resiko Mengkomunikasikan sebuh resiko merupakan hal yang sangat kompleks dan mempunyai berbagai sudut pandang. Calman (2002) mengidentifikasi tiga faktor penting yang harus diperhatikan yaitu 1). kepastian dari resiko tersebut (bukti adanya resiko); 2). level dari resiko; 3). efek resiko pada individu maupun masyarakat. Jungerman (1997) dalam Berry (2004) mengemukakan bahwa komunikasi resiko merupakan komunikasi yang rawan permasalahan baik sisi teknis, pendekatan ilmiah, pengetahuan dan kondisi sosial. Kelebihan komunikasi resiko yaitu adanya interaksi dan pertukaran informasi.
Tergantung
dari
situasinya,
dengan
komunikasi
resiko
ketakutan/kepanikan individu maupun kelompok masyarakat terhadap resiko dapat menurun atau sebaliknya meningkat. Kelebihan lain, proses komunikasi resiko dapat mendidik publik dalam menggunakan sumber yang terbatas serta menentukan pilihan yang sulit dan terakhir dapat meningkatkan koordinasi di antara instansi pemerintah serta membangun kerjasama dengan pihak-pihak lain seperti dunia usaha, organisasi masyarakat (U.S. Public Health Service 1995). Hambatan dan permasalahan dalam komunikasi resiko cukup banyak, hal ini dikarenakan komunikasi resiko selalu berhubungan dengan masalah-masalah sosial. Hambatan utama komunikasi resiko adalah perbedaan persepsi masingmasing pihak karena tidak semua orang memahami resiko seperti apa yang diharapkan. Beberapa hambatan komunikasi lainnya adalah kesulitan dalam menterjemahkan informasi yang ilmiah agar dapat dipahami semua orang, munculnya konflik, pesan yang mengandung resiko, ketidaksepakatan tentang resiko itu sendiri dan bagaimana cara mengakses pesan tersebut. Hambatan juga terjadi karena tidak lazimnya budaya komunikasi dua-arah di antara para ahli (U.S. Public Health Service 1995). FAO (1995) mengemukakan banyak hambatan yang terjadi sepanjang proses komunikasi resiko baik masalah teknis maupun non teknis. Hambatan-hambatan tersebut adalah perbedaan persepsi dan daya penerimaan, ketidakpastian resiko, kredibilitas sumber, media dan faktor sosial. Covello & Sandman (2001) menambahkan bahwa beberapa hal yang menjadi hambatan komunikasi resiko selain faktor-faktor di atas adalah tidak tepatnya komunikasi yang dilakukan, faktor psikologis serta kondisi sosial
19
masyarakat, keengganan masyarakat untuk merubah suatu budaya tertentu dan relatif seringnya pemberitaan yang bersifat negatif saja oleh media komunikasi. Perilaku Komunikasi Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional, memiliki akal pikiran, dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai manusia unik yang memiliki kemampuan sebagai makhluk individual, makhluk sosial dan spiritual. Sebagai makhluk sosial manusia pada dasarnya tidak mampu hidup sendiri baik dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial budaya. Terutama dalam konteks sosial budaya, manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Fungsi-fungsi sosial dan berbagai kebutuhan manusia diawali dengan melakukan interaksi sosial atau tindakan komunikasi satu dengan yang lain. Aktivitas interaksi sosial dan tindakan komunikasi dilakukan baik secara verbal, non verbal maupun simbolis. Kebutuhan akan sinergi fungsional dan akselerasi positif
dalam
melakukan
pemenuhan
kebutuhannya,
sehingga
tercipta
keseimbangan sosial yang pada akhirnya juga akan menciptakan tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Bungin 2008). Mulyana (2005) mengemukakan bahwa salah satu fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial, artinya komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan serta memupuk hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya fungsi komunikasi beserta aspek yang terkait, dapat menimbulkan perubahan pada individu,dan pada akhirnya berpotensi mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat. Peran komunikasi dalam perubahan masyarakat adalah penggugah, pengarah, dan pengendali perubahan agar perubahan tetap bermanfaat dan berlangsung secara teratur. Sementara perubahan dan dinamika sosial yang terus berlangsung, dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada perilaku komunikasi (Dilla 2007). Dalam proses komunikasi tiga dimensi yang harus dilalui yaitu dimensi kognitif, afektif dan konatif. Dimensi kognitif berkaitan dengan kesadaran dan pengetahuan (ide/gagasan) yang diketahui, misalnya melalui media massa, seseorang memperoleh informasi tentang kesehatan (Ardianto et al. 2007 & Dilla 2007). Kognitif mempengaruhi afektif melalui interprestasi individu terhadap peristiwa yang memicu emosi dan melalui aktivasi skema yang memuat
20
komponen afeksi yang kuat. Beberapa teknik kognitif dilakukan untuk mengontrol emosi atau perasaan; melalui berpikir dengan meninjau kembali, dan dalam memilih untuk melakukan aktivitas yang berdampak baik maupun tidak (Baron & Byrne 2003). Sedangkan dimensi afektif berkaitan dengan sikap suka atau tidak kita terhadap sesuatu menuju pilihan-pilihan. Pada dimensi ini efek informasi lebih tinggi kadarnya daripada dimensi kognitif (Ardianto et al. 2007 & Dilla 2007). Hal utama dalam dimensi afektif adalah sikap. Sikap mewakili sebuah integrasi evaluatif dari aspek kognitif dan pengalaman yang berkaitan dengan suatu objek (Crano & Prislin 2008). Pertama, sikap dapat diartikan kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Misalnya, setelah membaca berita mengenai kasus orang meninggal akibat flu burung muncul perasaan takut, sedih atau tidak peduli. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar (Rahmat 2005). Sikap sering kali diadopsi orang lain melalui pembelajaran sosial (social learning) yang melibatkan classical conditioning, instrumental conditioning atau pembelajaran melalui observasi (observational learning). Sikap juga terbentuk berdasar atas perbandingan sosial (social comparison) yaitu kecenderungan membandingkan diri sendiri dengan orang lain dalam menentukan apakah pandangan terhadap kenyataan sosial benar atau tidak benar. Sikap mempengaruhi tingkah laku dengan dua mekanisme yang berbeda. Ketika seorang individu mampu memberikan pemikiran secara hati-hati pada
sikapnya,
intensi
yang
berasal
sari sikap
secara
kuat
mampu
memprediksikan tingkah laku. Sedangkan dalam situasi dimana individu tidak mampu melakukan pemikiran tersebut, sikap mempengaruhi meprilaku dengan membentuk persepsi individu terhadap situasi. Beberapa aspek dari sikap yang menjembatani hubungan sikap dengan tingkah laku yaitu sifat dari sikap itu sendiri (bagaimana sikap terbentuk), kekuatan sikap (di mana termasuk di dalamnya mudah tidaknya sikap di akses, pengetahuan, tingkat kepentingan dan kepentingan pribadi), dan kekhususan sikap (Baron & Byrne 2003). Terakhir dimensi konatif (behavioral) adalah aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Kebiasaan merupakan
21
hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu lama atau sebagai rekasi khas yang diulangi seseorang berkali-kali. Sedangkan kemauan merupakan 1). hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan, 2). berdasarkan pengetahuan tentang, cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan, 3). dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi untuk mencapai tujuan, 4). Pengeluaran energi yang sebenarnya dengan cara yang tepat untuk mencapai tujuan (Rahmat 2005). Melalui mekanisme proses yang bertahap, efektifitas pesan dan diberi makna, sehingga akan menentukan dan membentuk rangkaian struktur kesadaran dalam mengambil keputusan yang tepat. Mekanisme tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yaitu nilai, norma dan kepercayaan. Faktor tersebut menjadi sumber dan modal kepercayaan dan harapan baik bagi individu maupun kelompok di masyarakat (Dilla 2007). Hambatan sosiokultur lainnya yang seringkali menjadi masalah dalam komunikasi adalah beragamnya etnik (suku bangsa) yang mengakibatkan beragamnya budaya; norma sosial (cara, kebiasaan, adat istiadat yang disampaikan secara turun menurun yang dapat memberikan seseorang petunjuk untuk bersikap atau berperilaku); kurang mampu berbahasa Indonesia terutama masyarakat di daerah-daerah terpencil; semantik (pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang sebenarnya) dan pendidikan (Ardianto et al. 2007).
Tubss
dan
Moss
(2001)
menambahkan
bahwa
norma
akan
mengembangkan harapan tertentu tentang bagaimana orang bersikap. Norma dianggap sebagai suatu petunjuk yang membataasi dan mengarahkan perilaku. Selain itu, nilai juga menentukan apa yang dianggap benar, baik, penting dan dalam proses penerimaan apa yang benar dan baik sangat bergantung pada budaya. Avian Influenza Avian Influenza (AI) atau lebih dikenal flu burung muncul pertama kali di Indonesia pada bulan Agustus tahun 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam kurun waktu yang singkat, penyakit ini menyebar ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Bali, Sumatera dan Kalimantan (Data Dirjen Peternakan RI 2004). Jenis unggas yang terserang meliputi ayam ras petelur, ayam pedaging, ayam bibit, ayam buras, ayam Arab,
22
itik, burung puyuh, burung merpati, burung perkutut, dan burung merak. Dari hasil kajian lapangan, klinik, patologik, dan laboratorik yang sesuai dengan uji standar yang telah ditetapkan oleh Office International des epizooties (OIE), Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (WHO) membuktikan bahwa penyebab kematian ayam ras/unggas peliharaan lain di Indonesia sejak bulan Agustus 2003 adalah virus influenza tipe A, subtipe H5N1 yang tergolong virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Virus Avian Influenza oleh Office International des epizooties (OIE) dikelompokkan dalam List A yang artinya virus AI memiliki penyebaran yang cepat dan luas melewati batas-batas antar negara (DEPTAN 2006). Karakteristik virus Avian Influenza Virus Avian Influenza dapat menimbulkan gejala penyakit pernafasan pada unggas, dari yang patogen ringan (low pathogenic) sampai bersifat patogen ganas (highly pathogenic). Masa inkubasi penyakit ini adalah 3 hari pada unggas di luar kandang, sedangkan untuk unggas di dalam kandang (flok) mencapai 1421 hari. Hal ini tergantung pada jumlah virus, cara penularan, spesies/ jenis yang terinfeksi, dan kemampuan peternak untuk mendeteksi gejala klinis. Tanda klinis AI secara umum mirip dengan Infectious Laryngotrachealis (ILT), Infectious Bronchitis (IB), Fowl Cholera, E. Coli dan Newcastle Disease (ND). Gejala penyakit AI hampir sama dengan penyakit yang lain, sehingga harus didiagnosa berdasarkan uji serologi terhadap Antigen AI (Deptan 2005). Sifat virus Avian Influenza sebagaimana virus lainnya memerlukan bahan organik untuk tetap hidup. Di dalam tubuh unggas dan babi, virus AI dapat berkembang biak (replikasi) dalam jumlah banyak. Sifat virus ini labil atau mudah mengalami mutasi dari patogen ringan menjadi patogen yang ganas atau sebaliknya. Virus AI merupakan virus yang lemah dan tidak tahan panas dan zat desinfektan (pencuci hama). Dalam daging ayam, virus ini mati pada pemanasan pada suhu 80 0C selama 1 menit dan 70 0C selama 30 menit. Pada telur ayam, virus ini akan mati pada pemanasan suhu 640C selama 4.5 menit. Namun, pada kotoran ayam virus Avian Influenza mampu bertahan selama 35 hari pada suhu 40C. Sedangkan dalam air, virus tersebut dapat bertahan hidup selama 4 hari pada suhu 220C dan 30 hari pada suhu 00C .
23
Gejala penyakit Avian Influenza, pada hewan unggas adalah sebagai berikut : 1.
Jengger, pial, kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan.
2.
Kadang-kadang ada cairan dari mata dan hidung.
3.
Pembengkakan di daerah bagian muka dan kepala
4.
Perdarahan di bawah kulit (subkutan)
5.
Perdarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki.
6.
Batuk, bersin dan ngorok.
7.
Unggas mengalami kematian dan diare tinggi. Cara penularan virus AI dari unggas ke unggas atau dari peternakan ke
peternakan lainnya dengan cara kontak langsung dari unggas terinfeksi dengan hewan yang peka dan kontak tidak langsung melalui percikan cairan lendir, paparan muntahan, penularan lewat udara yang terinfeksi virus AI, dan melalui sepatu dan pakaian peternak yang terkontaminasi. Dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit AI pada hewan unggas dapat dilakukan dengan : 1). peningkatan keamanan penularan (biosekuriti); 2). vaksinasi; 3). pemusanahan terbatas (depopulasi) di daerah tertular; 4). pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas; 5). surveilans dan penelusuran (tracing back); 6). pengisian kandang kembali (restocking); 7). pemusnahan menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru; 8). peningkatan kesadaran masyarakat (public awarness); 9). monitoring dan evaluasi (Deptan 2006). Cara penularan penyakit Avian Influenza pada manusia melalui cara kontak langsung dengan unggas yang sakit, mati, atau tinja, sekreta unggas yang terserang flu burung. Selain itu, virus flu burung menular dari unggas ke manusia melalui udara yang tercemar virus yang berasal dari tinja atau sekreta unggas yang terserang flu burung. Adapun orang yang beresiko tertular virus flu burung adalah orang yang beresiko tinggi (pekerja peternakan, penjual unggas, pekerja pemotong unggas) dan masyarakat umum. Gejala klinis yang ditemui akibat penyakit ini pada umumnya seperti gejala flu yaitu demam > 380C, sakit tenggorokan, batuk, beringus, nyeri otot, sakit kepala, lemas. Dalam waktu singkat penyakit ini menjadi lebih berat dengan gejala sesak nafas berupa peradangan paru-paru (pneumonia), dan menyebabkan kematian.
24
Perkembangan Avian Infuenza Jumlah kumulatif kasus kematian ternak akibat Avian Influenza hingga dengan bulan Desember 2004, mencapai 6,27 juta ekor yang berasal dari 16 propinsi, yang mencakup 100 kabupaten/kota. Angka kematian akibat AI pada ternak unggas terutama ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung dengan jumlah kematian masing-masing lebih dari satu juta ekor (Naipospos 2005). Departemen Pertanian melaporkan sejak tahun 2003 – 2008, wilayah tertular Avian Influenza 31 propinsi dari 33 propinsi dan
294
kabupaten/kota dari 498 kabupaten/kota dengan angka kematian 13 juta ekor unggas. Daerah yang tinggi kematian pada unggas dan manusia adalah Jawa Barat, DKI dan Banten (Soedjana Rakornas Komnas FBPI 2008). Sejak tahun 2004, flu burung telah menimbulkan kerugian dalam bentuk ayam yang musnah atau dimusnahkan, berkurangnya permintaan ayam, berkurangnya konsumsi ayam di restoran, tambahan biaya yang harus dikeluarkan peternak dan pemerintah dalam penanganan flu burung, serta dampak terhadap sektor-sektor lain (terutama pariwisata). Nilai kerugian sejak tahun 2004 hingga 2007 (4 tahun) diperkirakan telah mencapai Rp. 4,1 trilyun (Komnas FBPI 2008). Hasil analisis kasus flu burung pada manusia adanya kecenderungan meningkatnya serangan kasus AI di Indonesia. Data dari WHO sampai bulan September 2008 menyatakan bahwa tahun 2003-2008 kasus flu burung pada manusia di Indonesia mencapai 143 kasus positif (confirm) dengan 112 kasus meninggal. Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh dunia saat ini yaitu munculnya subtipe baru virus influenza yang berasal dari mutasi adaptif atau reassortment genetis yaitu tercampurnya virus influenza pada hewan dan manusia. Virus sub tipe baru ini akan mampu dengan cepat dan mudah menular dari manusia ke manusia dan di khawatiksn terjadi pandemi (Renstra AI 2005). Permasalahan flu burung memerlukan penanganan yang integratif dari sisi tatalaksana kesehatan hewan dan kesehatan manusia, dengan prinsip cepat, tepat, sistematis dan berkelanjutan. Beberapa alasan spesifik pentingnya penanganan secara terpadu karena dampaknya pada : 1). usaha peternakan yang menyangkut jumlah populasi ternak yang besar; 2). usaha peternakan yang melibatkan banyak pengusaha dan peternak secara langsung dan tidak langsung berkaitan ke belakang dan ke depan; 3). dampak terhadap ketersediaan dan keamanan
pangan;
4).
potensi
penularannya
pada
manusia
dan
perkembangannya menjadi pandemi influenza (Renstra AI 2005).
25
Gambar 3. Gejala klinis Avian Influenza pada unggas Strategi Nasional Pengendalian Avian Influenza Tujuan terpadu penanganan Avian Influenza secara nasional adalah 1). mencegah perkembangan flu burung ke arah berikutnya yaitu pandemi influenza; 2). menangani dengan sebaik-baiknya pasien/korban flu burung pada manusia dan hewan; 3). meminimalkan kerugian akibat perkembangan flu burung; 4). mengelola pengendalian flu burung secara berkelanjutan; 5). mengefektifkan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza. Berdasarkan tujuan bersama tersebut maka kebijakan rencana strategis nasional pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza disusun dan dilaksanakan berdasarkan 5 prinsip dasar yaitu 1). mengutamakan keselamatan manusia; 2). mempertimbangkan faktor ekonomi; 3). menekankan upaya terintegrasi seluruh komponen bangsa : pemerintah, dunia usaha, masyarakat, organisasi profesi, lembaga internasional; 4). mengacu pada kesepakatan dan standar nasional dan internasional; 5). kesiapsiagaan dan kewaspadaan dalam mengantisipasi pandemi harus tetap terpelihara secara berkelanjutan dan akan mempengaruhi terhadap dokumen hidup ini yang setiap saat dapat disesuaikan dengan kebutuhan (Renstra AI 2005). Upaya pelaksanaan rencana strategis Negara Indonesia dalam rangka penanganan dan
pengendalian AI mengalami banyak permasalahan dan
hambatan diantaranya yaitu : 1). kurangnya koordinasi antar sektor dalam perencanaan
dan
pengendalian
flu
burung
dan
kesiapsiagaan
dalam
menghadapi pandemi influenza; 2). kurangnya kapasitas peringatan dini dan belum ada jejaring sistem surveilans terpadu antara hewan dan manusia; 3). terbatasnya kemampuan memberikan kompensasi keuangan pada peternak dalam rangka pemusnahan seleksif (depopulasi) dan pemusnahan total (stamping out); 4). keterbatasan vaksin dan rendahnya cakupan vaksinasi pada unggas; 5). terbatasnya persediaan obat dan belum adanya vaksin AI untuk manusia; 6). kurangnya pemahaman dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat
26
terhadap flu burung dan resikonya; 7) terbatasnya kemampuan sumberdaya pendukung (SDM, biaya, teknologi, dan sarana pendukung); 8) keterbatasan kemampuan penelitian dan pengembangan; 9). Adanya distorsi informasi yang diterima oleh masyarakat; 10). kurangnya pengawasan lalu lintas hewan dan produknya; dan 11). belum diketahui dengan pasti waktu terjadinya pandemi influenza (RENSTRA AI 2005). Hasil riset TNS- UNICEF tahun 2006, menyatakan hambatan pada program KIE yang selama ini dijalankan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap flu burung bukan merupakan penyakit yang berbahaya. Tentunya hal ini akan sangat membahayakan mengingat Indonesia berisiko tinggi dalam penyebaran penyakit. Hal ini dikarenakan 1). tingginya backyard farming (ayam berkeliaran disekitar/dalam rumah) dan belum dikandangkan; 2). tingginya penjualan ayam hidup; 3). pemotongan ayam dilakukan dimana saja, terutama di rumah; 4). curah hujan yang tinggi; 4). sanitasi lingkungan yang buruk; 5). tingginya transportasi dan perdagangan ayam tanpa pengawasan; 6). perdagangan kotoran ayam; 6). vaksinasi belum mencakup seluruh unggas; 7). virus yang menular dari ayam tidak menunjukkan gejala sakit (sub klinis ) sehingga menyulitkan diagnosa (KOMNAS FBPI 2007). Permasalahan dan hambatan yang dihadapi pada pelaksanaan Rencana Strategis
Nasional
Pengendalian
Flu
Burung
(Avian
Influenza)
dan
Kesiapsiagaan dalam menghadapi Pandemi Influenza 2006-2008 (National Strategic Plan For AI Control and Pandemic Influenza Preparedness 2006-2008), mendorong Bapak Presiden mengeluarkan perintah dalam bentuk Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2007 tanggal 12 Februari 2007. Instruksi tersebut utamanya ditujukan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian, yang didukung oleh Tentara Nasional Indonesia dan Menteri Keuangan serta dalam koordinasi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Gubernur, Bupati, Walikota diintruksikan untuk memimpin secara aktif penanganan dan pengendalian virus flu burung dengan melibatkan semua komponen masyarakat. Gubernur, Bupati, Walikota juga diintruksikan untuk memusnahkan unggas sakit dan tertular, memisahkan peternakan dari pemukiman, memberikan kompensasi pada peternak, dan mengalokasikan dana untuk menangani flu burung termasuk penanganan dampak sosial ekonomi peternak rakyat. Guna untuk membantu pemerintah daerah dalam penanganan flu burung, Pemda dapat meminta bantuan TNI dan seluruh kegiatan tersebut di atas berada dalam koordinasi KOMNAS FBPI.
27
Mekanisme garis koordinasi dalam upaya penanganan dan pengendalian AI dapat dilihat pada Gambar 3.
Tim AI PUSAT (MENKOMENKES- MENTAN)
PRESIDEN
TIM AI PROPINSI
GUBERNUR
TIM AI KABUPATEN
BUPATI/ WALIKOTA
Gambar 4. Mekanisme koordinasi/komando pencegahan dan pengendalian Avian Influenza
28