PEMBERIAN HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANG TERHADAP RESPONS PERTUMBUHAN DAN IMUNITAS TIGA VARIETAS IKAN NILA
NUNUK LISTIYOWATI NUNUKLISTIYOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang terhadap Respons Pertumbuhan dan Imunitas Tiga Varietas Ikan Nilaadalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015
Nunuk Listiyowati NRP C151110311
RINGKASAN NUNUK LISTIYOWATI. Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang terhadap Respons Pertumbuhan dan Imunitas Tiga Varietas Ikan Nila. Dibimbing oleh ALIMUDDIN dan SUKENDA. Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan komoditas budidaya andalan di Indonesia dan dunia, dengan produksi global sebesar 4.85 juta ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi dapat ditempuh dengan berbagai cara, salah satu alternatif cara yang digunakan adalah dengan aplikasi bioteknologi. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penambahan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dalam pakan terhadap performa pertumbuhan dan imunitas tiga varietas ikan nila terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013 sampai Agustus 2014 bertempat di hatchery komoditas ikan nila dan Laboratorium Genetika, Balai Penelitian Pemuliaan Ikan, Sukamandi. Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan uji pertumbuhan yang terdiri atas persiapan bak fiber kapasitas 1.5 ton air sebanyak 9 buah, persiapan hewan uji (benih ikan nila biru, srikandi dan nirwana dengan rerata bobot 0.32 ± 0.14 g/ekor dan panjang 2.1 ± 0.32 cm/ekor), benih ditebar dengan kepadatan 200 ekor/bak. Pembuatan pakan uji dilakukan dengan mencampurkan pakan komersial berkadar protein 40% dengan rElGH dosis 2 mg/kg yang sudah dilarutkan dalam 15 mL PBS dicampur dengan 2 mg kuning telur ayam untuk 100 g pakan. Pakan mengandung rElGH diberikan dua hari sekali, selama dua minggu dengan frekuensi tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) secara at satiation (sampai kenyang). Efektivitas pemberian rElGH dalam meningkatkan pertumbuhan ikan nila ditentukan berdasarkan pertambahan bobot rata-rata (W), laju pertumbuhan harian (LPH), dan sintasan. Analisis proksimat daging dilakukan setelah 50 hari pemeliharaan. Pada tahap kedua dilakukan uji tantang terhadap penyakit streptococcosis dengan menggunakan bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik (NK1) dosis 107 CFU/mL sebanyak 0.1 mL per ekor pada ikan nila biru, srikandi dan nirwana hasil uji pertumbuhan. Sebagai kontrol negatif ikan diinjeksi dengan larutan phosphate buffer saline sebanyak 0.1 mL per ekor. Bakteri S. agalactiae yang digunakan berasal dari koleksi Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Uji tantang penyakit dilakukan selama 30 hari. Efektivitas pemberian rElGH dalam meningkatkan sistem imunitas tubuh ikan nila ditentukan berdasarkan pengamatan kematian kumulatif, mean time to death (MTD), gambaran darah, dan sebagai data dukung dilakukan pengamatan gejala klinis dan histopatologi pascatantang. Konfirmasi penyebab kematian ikan dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari mata, otak, ginjal dan hati, kemudian dikultur dalam media BHIA. Konfirmasi bakteri S. agalactiae dilakukan menggunakan uji katalase dan PCR.
Ikan nila yang diberi rElGH menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian rElGH, kecuali pada populasi ikan nila biru. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji T terlihat pemberian rElGH memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan bobot tubuh pada ikan nila srikandi, sedangkan pada ikan nila nirwana tidak berpengaruh (P>0.05). Bobot mutlak ikan nila srikandi dan nirwana yang diberi rElGH adalah lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kontrolnya. Hasil ini selaras pula dengan nilai laju pertumbuhan hariannya yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Berbeda dengan kedua varietas tersebut, pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian ikan nila biru kontrol lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan yang diberi rElGH. Berdasarkan uji statistik, interaksi antara varietas ikan dengan rElGH memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05), baik terhadap panjang standar maupun panjang total ikan pada waktu pemeliharaan 50 hari. Populasi ikan nila biru dan nirwana yang mengonsumsi pakan rElGH memiliki nilai sintasan yang lebih tinggi (81 dan 83%) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada ikan srikandi antara perlakuan dan kontrol relatif sama. Penambahan rElGH pada pakan ikan nila meningkatkan kadar protein dalam tubuh ikan nila biru dan srikandi, namun tidak terjadi pada ikan nila nirwana. Ikan nila yang mendapatkan perlakuan rElGH pada pakan menunjukkan ketahanan tubuh yang berbeda ketika diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa varietas ikan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap jumlah kematian ikan akibat infeksi S. agalactiae. Ikan nila nirwana memiliki jumlah kematian yang paling sedikit (P<0.05) dibandingkan dengan ikan nila srikandi dan nila biru. Nilai MTD ikan nila nirwana perlakuan rElGH dan kontrol adalah 174.3 jam dan 217.7 jam. Nilai RPS sebesar 14.26% dan 30.03% pada ikan nila biru dan srikandi pada minggu pertama masa infeksi menunjukkan adanya tingkat ketahanan tubuh yang lebih baik pada ikan yang mengonsumsi pakan dengan tambahan rElGH dibandingkan dengan kontrol. Sebagai kesimpulan, varietas ikan nila sangat mempengaruhi efektivitas pemberian rElGH dalam memacu pertumbuhan dan imunitasnya. Pemberian pakan dengan rElGH dosis 2 mg/kg selama dua minggu mampu meningkatkan performa pertumbuhan dan respons imunitas terhadap infeksi bakteri S. agalactiae pada ikan nila srikandi. Kata kunci: pertumbuhan, proksimat, imunitas, rElGH, Streptococcus agalactiae, varietas ikan nila
SUMMARY
NUNUK LISTIYOWATI. Growth Response and Immunity of Three Tilapia Strains Fed on Diet Containing Recombinant Giant Grouper Growth Hormone. Supervised by ALIMUDDIN and SUKENDA. Nile tilapia Oreochromis niloticus is one of the main aquaculture commodities in Indonesia and the world, with global production of 4.85 million tons in 2014. Increased production capacity can be reached by various ways, one of the alternative means is application of biotechnology. This study was aimed to evaluate the effect of recombinant giant grouper growth hormone (rElGH) supplementation in diet on growth performance and immunity of three strains of tilapia against Streptococcus agalactiae infection. The research was conducted from January 2013 to August 2014 in the tilapia hatchery and Genetics Laboratory, Research Institute of Fish Breeding, Sukamandi. This study consisted of two steps, namely growth and disease challenge tests. In the first stage, the activities consisted of preparation of 9 fiber tanks of 1.5 tons volume, preparation of fish (blue tilapia, srikandi and nirwana strains with the mean of weight 0.32±0.14 g/fish and standard length 2.1±0.32 cm/fish), and stocking at a density of 200 fish/tank. Test diet preparation was mixed commercial feed (crude protein content 40%) with rElGH that have been dissolved in 15 mL of PBS and mixed with 2 mg of chicken egg yolk, homogenized using a vortex, then sprayed evenly on 100 g of feed. Feed containing rElGH was given twice a day, for two weeks with a frequency of three times a day (morning, afternoon and evening) at satiation. The effectiveness of rElGH in enhancing the growth of tilapia was determined based on the average weight gain (W), daily growth rate (DGR) and survival rate. Proximate analysis was performed after 50 days of maintenance to determine the nutrient content of blue tilapia, srikandi and nirwana strains. In the second stage of experiment, challenge test was performed by injecting 0.1 mL/fish the non-hemolytic (NK1) S. agalactiae at a dose of 107 CFU/mL on the blue tilapia, srikandi and nirwana fish strains that had been fed on rElGH supplemented diet. As a negative control fish were injected with phosphate buffer saline solution of 0.1 mL/fish. S. agalactiae bacteria were taken from a collection of Fish Health Laboratory of Freshwater Fisheries Research Institute Bogor. Disease challenge test was carried out for 30 days. Effect of rElGH on enhancing immune system of tilapia was determined based on the cumulative mortality, mean time to death (MTD), and hematology. Clinical signs and histopathology were observed as supporting data. The cause of death of the fish was confirmed by isolating the bacteria from the eye, brain, kidneys and liver, and then cultured in BHIA medium. Confirmation of bacteria S. agalactiaewas performed using catalase test and PCR analysis.
Tilapia fed with rElGH showed better growth than those without rElGH treatment, except in blue tilapia strain. Statistical T-test showed that rElGH treatment significantly increased the body weight of srikandi fish strain compared with its control (P<0.05), while it did not affect body weight of nirwana strain (P>0.05). Absolute growth of srikandi and nirwana fed on rElGH were higher (P<0.05) than their controls. These results were in line with the increased in daily growth rate. In contrast to these two strains, absolute growth and the daily growth rate of blue tilapia control without rElGH treatment was higher (P<0.05) than those given rElGH. Result of statistical test showed that interaction between fish strains and rElGH treatment significantly affected (P<0.05) the standard body length. The blue tilapia and nirwana fish strains fed on rElGH showed higher survival (81 and 83%, respectively) compared to their controls, while a similar effect was not observed in srikandi strain. Feeding fish with rElGH supplemented diet increased crude protein content in the body of the blue tilapia and srikandi, but not in nirwana strain. Fish treated with rElGH showed a different resistance to S. agalactiae infection. Based on the results of statistical analysis, number of fish deaths caused by S. agalactiae infection was correlated to fish strains (P<0.05). Nirwana strain has the lowest number of deaths (P<0.05). MTD value of rElGH-treated nirwana and control fish was 174.3% and 217.7%, respectively. RPS value of the rElGHtreated blue tilapia (14.26%) and srikandi strain (30.03%) in the first week challenge test indicated better immunity than the controls. As conclusion, tilapia strains greatly affected the effectiveness of rElGH in increasing growth and immunity. Feeding diet containing rElGH at a dose of 2 mg/kg for two weeks improved growth performance and immune response to S. agalactiae infections in srikandi fish strain.
Keywords: Growth, Proximate, Immunity, Epinephelus lanceolatus growth hormone (rElGH), Streptococcus agalactiae, Tilapia Strain
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMBERIAN HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANGTERHADAP RESPONS PERTUMBUHAN DAN IMUNITAS TIGA VARIETAS IKAN NILA
NUNUK LISTIYOWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi: Dr Sri Nuryati, SPi MSi
Judul Tesis : Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang terhadap Respons Pertumbuhan dan Imunitas Tiga Varietas Ikan Nila Nama : Nunuk Listiyowati NIM : C151110311 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Alimuddin, SPi MSc Ketua
Dr Ir Sukenda, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Widanarni, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sholawat serta salam penulis sampaikan kepada kanjeng nabi Muhammad SAW, sehingga karya ilmiah yang berjudul “Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang terhadap Respons Pertumbuhan dan Imunitas Tiga Varietas Ikan Nila” berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai Agustus 2014 bertempat di hatchery komoditas ikan nila dan Laboratorium Genetika, Balai Penelitian Pemuliaan Ikan, Sukamandi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Alimuddin, SPi MSc dan Bapak Dr Ir Sukenda, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Dr Sri Nuryati, SPi MSi dan Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku penguji atas bimbingan dan saran yang diberikan, Dr Ir Widanarni, MSi selaku Ketua Program Studi atas dukungan dan doanya.Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta, putri kecilku, bapak dan ibu mertua, ibuku tersayang beserta seluruh keluarga, atas segala doa, kesabaran dan kasih sayangnya. Penulis sampaikan pula terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman the great team nila, mas Hari Krettiawan, teh Devi, mbak Wiwik, seluruh pegawai BPPI dan kepada Bapak Dr. Imron, S.Pi M.Sc selaku Ka. BPPI atas kesabaran, dukungan dan doanya. Penulis sampaikan pula terima kasih kepada teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur IPB khususnya angkatan 2011 dan Dendi Hidayatullah atas bantuan dan dukungan dan doanya, serta semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Penulis menyadari hasil penelitian dalam karya ilmiah ini bukanlah sebuah kebenaran mutlak karena sangat mungkin berubah seiring berkembangnya ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2015
Nunuk Listiyowati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ..................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................v 1 PENDAHULUAN ...............................................................................................1 Latar Belakang.............................................................................................1 Perumusan Masalah .................................................................................222 Tujuan Penelitian .........................................................................................3 Manfaat penelitian .......................................................................................3 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................4 3 MATERI DAN METODE.................................................................................13 Uji Pertumbuhan ........................................................................................13 Parameter Pertumbuhan .............................................................................13 Analisis Proksimat .....................................................................................14 Uji Tantang Bakteri Streptococcus agalactiae ..........................................14 Parameter Gambaran Darah.......................................................................15 Histopatologi dan Gejala Klinis.................................................................15 Kualitas Air................................................................................................15 Analisis Data..............................................................................................15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................16 Hasil .................................................................................................................16 Proksimat Daging ......................................................................................18 Uji Tantang Bakteri Streptococcus agalactiae ..........................................19 Pembahasan ...............................................................................................24 5. SIMPULAN DAN SARAN...............................................................................32 Simpulan .................................................................................................32 Saran ..........................................................................................................32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................33 LAMPIRAN ..........................................................................................................vii RIWAYAT HIDUP ..............................................................................................xix
DAFTAR TABEL 1 Karakteristik Streptococcus agalactiae yang menyerang ikan nila Oreochromis sp. ...............................................................................................9 2 Perlakuan pemberian rElGH dan uji tantang..................................................14 3 Pertumbuhan bobot mutlak, laju pertumbuhan harian dan sintasan tiga strain ikan nila yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH ..........................................................................................................17 4 Kadar proksimat daging tiga strain ikan nila diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) ............................................18 5 Kisaran data kualitas air selama 50 hari pemeliharaan ..................................19 6 Nilai RPS tiga strain ikan nila diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang terinfeksi bakteri S. agalactiae..........................21 7 Kisaran data kualitas air media uji tantang penyakit......................................22
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Calon induk ikan nila Nirwana F6 Betina....................................................4 Calon induk ikan nila Nirwana F6 Jantan....................................................4 Ikan nila Biru hasil seleksi di BPPI, Sukamandi .........................................5 Ikan nila SRIKANDI hasil pemuliaan di BPPI, Sukamandi........................5 Distribusi global Streptococcus agalactiae biotipe 1 dan biotipe 2, serta S. iniae ...............................................................................................11 6 Bobot rata-rata ikan nila biru (kiri), ikan nila srikandi (tengah) dan ikan nila nirwana (kanan) yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari. ..........16 7 Bobot ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari. ..........................................................................16 8 Pertumbuhan panjang standar (cm) ikan nila biru (kiri), ikan nila srikandi (tengah) dan ikan nila nirwana (kanan) yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari ............................................................................................17 9 Panjang standar (cm) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari. ..................................................................18 10 Kematian kumulatif (%) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae .........................19 11 Kematian ikan (%) selama 7 hari ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae.
12
13
14
15
Data (mean ± SE) dengan huruf berbeda pada bar menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (Duncan; P<0.05)......................................20 Nilai MTD (jam) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae .................................................21 Gambaran darah (total eritrosit, total leukosit, hematokrit, total antibodi) hari ke- 3, 10 dan 30 pada ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae .............22 Gejala klinis pada ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae .................................................23 Histopatologi organ limpa pada ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae .........................24
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap pertumbuhan bobot (g) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) ........................................42 2 Hasil uji statistik dengan Excel terhadap rerata bobot (g) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol)..............................................................42 3 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap pertumbuhan bobot mutlak (g) dan laju pertumbuhan harian ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). ...............................................................................44 4 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap panjang standar (PS) dan panjang total (PT) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH (RGH) dan tanpa rElGH (kontrol) .....................................................................................................46 5 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap kematian kumulatif (%) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae ......................................................................47 6 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap kematian kumulatif (%) pada minggu pertama (masa infeksi) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae .............48 7 Hasil analisis molekuler penyebab kematian ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan
8 9
tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae .................................................................................................48 Prosedur analisis proksimat (Takeuchi, 1988)...........................................49 Prosedur analisis gambaran darah..............................................................53
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan komoditas budidaya air tawar andalan di Indonesia dan dunia, dengan produksi global sebesar 4.85 juta ton pada tahun 2014. Data statistik FAO (2014) menunjukkan Indonesia sebagai produsen ikan nila terbesar ketiga di dunia setelah China dan Mesir, dengan kapasitas produksi sekitar 700.000 ton. Pengembangan dan penerapan teknologi untuk meningkatkan efisiensi produksi ikan nila berkaitan dengan upaya peningkatan pertumbuhan telah banyak dilakukan, yaitu teknologi budidaya, pakan dan rekayasa genetika seperti seleksi, hibridisasi, triploidisasi, dan transgenesis. Aplikasi metode seleksi membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencapai hasil yang signifikan karena peningkatan kecepatan tumbuh yang dihasilkan per generasi relatif rendah. Sebagai contoh, Bolivar et al. (2002) melaporkan bahwa seleksi membutuhkan waktu selama 10 tahun untuk menghasilkan 12 generasi dengan kecepatan tumbuh 12,4% per generasi pada ikan nila. Penerapan teknologi hibridisasi dan triploidisasi terbatas pada ikan budidaya yang sudah diketahui teknik pemijahan buatannya secara baik. Begitu pula dengan metode transgenesis masih menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran akan keamanan pangan (food safety) dalam mengonsumsi organisme transgenik tersebut, meskipun laju pertumbuhan ikan transgenik 30 kali lebih cepat (Nam et al. 2001). Salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah penggunaan protein hormon pertumbuhan rekombinan (recombinant growth hormone, rGH) ikan. Efektivitas pemberian rGH dalam meningkatkan pertumbuhan tergantung pada jenis rGH, dosis, umur dan jenis ikan uji yang digunakan (Hertz et al. 1991). Hasil penelitian Irmawati et al. (2012) menunjukkan bahwa tingkat produksi dalam pembuatan rGH ikan kerapu kertang Epinephelus lanceolatus (rElGH) lebih tinggi dibandingkan rGH ikan mas Cyprinus carpio (rCcGH) dan rGH ikan gurami Osphronemus goramy (rOgGH). Bioaktivitas rElGH juga lebih tinggi; untuk menghasilkan peningkatan pertumbuhan yang sama pada ikan gurami, dibutuhkan rElGH lebih rendah dibandingkan rCcGH sehingga penggunaan rElGH lebih efisien dibandingkan rCcGH. Beberapa penelitian telah mampu membuktikan kemampuan rElGH dalam meningkatkan pertumbuhan ikan target. Handoyo et al. (2012) menguji rElGH pada ikan sidat menggunakan metode perendaman, oral dan kombinasi perendaman dan oral, masing-masing dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 37,4%; 65,7% dan 102,9% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Metode aplikasi yang sama dengan Handoyo et al. (2012) juga digunakan oleh Subaidah et al. (2012) pada udang putih vaname, masing-masing dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 109,9%; 17,7% dan 40,1% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Berbagai strain ikan nila dibudidayakan di Indonesia, di antaranya adalah ikan nila nirwana O. niloticus, dan ikan nila srikandi. Ikan nila nirwana merupakan hasil seleksi famili, sedangkan ikan nila srikandi adalah hibrida
2
antara ikan nila nirwana dan ikan nila biru O. aureus. Strain ikan yang lebih cepat tumbuh atau telah mengalami seleksi peningkatan pertumbuhan mampu memproduksi GH endogen dan insulin-like growth faktor lebih tinggi sehingga responsnya terhadap GH eksogen menjadi lebih rendah (Le Bail et al. 1993). Studi tentang kaitan antara pemberian rGH dengan peningkatan kapasitas sistem imun telah dilakukan oleh Acosta et al. (2008) yang menemukan adanya peningkatan respons imunitas bawaan pada larva ikan nila yang direndam dengan recombinant truncated GH ikan nila. Aktivitas lisozim dan haemaglutinasi lektin pada kelompok ikan nila meningkat secara signifikan dibandingkan kelompok ikan kontrol. Studi lain menunjukkan bahwa injeksi GH alami dan rGH dari ikan chum salmon dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan rainbow trout terhadap infeksi bakteri patogen Vibrio anguilarum sebesar 10 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok ikan kontrol (Sakai et al. 1997). Efek rGH terhadap kelangsungan hidup larva juga telah dievaluasi oleh Acosta et al. (2009) pada larva ikan koki. rGH diberikan melalui perendaman tiga kali seminggu selama 75 hari dapat meningkatkan kelangsungan hidup 22% lebih tinggi dibandingkan kelompok larva ikan koki yang tidak mendapatkan perlakuan (Acosta et al. 2009). Peningkatan produksi ikan nila dalam beberapa tahun terakhir disebabkan antara lain melalui intensifikasi budidaya. Tingkat kepadatan yang tinggi menyebabkan ikan lebih rentan terhadap stres dan penyakit (Iwana dan Nakanishi 1996). Bakteri pada umumnya berhubungan dengan berbagai macam penyakit, yang menyebabkan kematian dan kerugian pada budidaya ikan (Inglis et al. 1993; Plumb 1999; Yin 2004). Penyakit streptococcosis atau streptococciasis pada ikan, yang disebabkan oleh bakteri S. iniae dan S. agalactiae merupakan salah satu penyakit bakterial yang menginfeksi ikan yang ada di alam dan ikan budidaya, baik pada lingkungan air tawar, payau maupun laut. Streptococcosis dapat menyebabkan kerugian besar bagi pembudidaya ikan intensif, dengan tingkat kematian ikan >50% dalam waktu sekitar satu minggu (Inglis et al. 1993; Yanong dan Francis-Floyd 2006). S. agalactiae diklasifikasikan sebagai Lancefield's group B Streptococcus (GBS), termasuk bakteri non-motil, tidak menghasilkan spora, Gram positif, katalase negatif dan oksidase negatif (Evans et al. 2002). Gejala klinis ikan yang terinfeksi streptococcosis antara lain tingkah laku berenang yang berputarputar dan tidak menentu, nafsu makan menurun, uni atau bilateral exophthalmia (mata bengkak), corneal opacity dan pembengkakan rongga perut (Salvador et al. 2005; Suanyuk et al. 2005). Tingkat luka dan gejala klinis pada ikan nila yang disebabkan oleh S. agalactiae tergantung pada tingkat dosis infektif, volume air, suhu, biomassa dan handling (Chang dan Plumb 1996).
Perumusan Masalah Kematian ikan dalam jumlah tinggi yang disebabkan oleh streptococcosis merupakan salah satu masalah utama pada budidaya ikan nila. Usaha penanganan dengan pemberian antibiotik dan vaksin sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal. Pengujian hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dalam pakan untuk memacu pertumbuhan ikan dan
3
peningkatan sistem kekebalan tubuh atau imunitas ikan sudah dilakukan pada udang putih vaname (Subaidah 2012), dan ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis (Antoro 2014). Penelitian tentang pemberian rElGH dalam peningkatan imunitas untuk melawan infeksi streptococcosis pada ikan nila perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi ikan nila. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas rElGH dalam memacu pertumbuhan dan imunitas pada tiga strain ikan nila.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penambahan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dalam pakan terhadap performa pertumbuhan dan imunitas tiga strain ikan nila akibat infeksi S. agalactiae.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan dan imunitas ikan nila, serta menyediakan informasi terkait dengan kelayakan rElGH sebagai pakan aditif bagi ikan. Aplikasi rElGH pada budidaya ikan nila diharapkan dapat memacu peningkatan produksi ikan nila nasional.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nila NIRWANA Berdasarkan data Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2010, ikan nila menempati urutan ketiga sebagai komoditas utama dalam target produksi perikanan budidaya nasional. Target produksinya pada tahun 2010 adalah sebesar 491.800 ton, tahun 2011 sebesar 639.300 ton, tahun 2012 sebesar 850.000 ton, tahun 2013 sebesar 1.105.000 ton, dan tahun 2014 sebesar 1.242.900 ton. Ikan nila nirwana merupakan salah satu ikan nila hasil pemuliaan yang mulai banyak dibudidayakan oleh masyarakat setelah dirilis tahun 2006 (F3) dan hasil pemuliaan generasi selanjutnya (F6) dirilis tahun 2011. Pemuliaan ikan nila nirwana mulai dilakukan tahun 2003 oleh Balai Pengembangan Benih Ikan (BPBI) Wanayasa dengan menyilangkan antara ikan nila GIFT (genetic improvement of farmed tilapia) dengan ikan nila GET (genetically enhanced of tilapia).
Gambar 1 Induk ikan Nila Nirwana F6 Betina
Gambar 2 Induk ikan Nila Nirwana F6 Jantan
Sumber: Makalah rilis Nirwana II, BPBI Wanayasa. 2011.
Ikan Nila Biru Ikan nila biru atau blue tilapia atau yang dikenal dengan Israeli Tilapia merupakan spesies ikan nila yang berasal dari Afrika dan Timur Tengah (Spatura dan Zorn 1978). Ikan nila biru mulai diintroduksi dan dikembangkan di Amerika untuk tujuan penelitian pada tahun 1957 setelah didatangkan dari Israel (Swingle 1960). Ikan nila biru pada umumnya ditemukan di air tawar, namun dapat juga dipelihara di perairan payau dan laut (Shafland dan Pesytrak 1982). Selain itu, ikan nila biru dilaporkan dapat dibudidayakan di laut Tampa, Florida, (Courtenary et al. 1984). Ikan nila biru dapat tumbuh baik pada kisaran salinitas 36-44 g/L, sedangkan reproduksinya terjadi pada salinitas 19 g/L, namun dengan aklimatisasi secara gradual ikan nila biru dapat tumbuh dengan baik sampai salinitas 54 g/L (Balarin dan Haller 1982).
5
Balai Penelitian Pemuliaan Ikan, Sukamandi pada tahun 2007 mendatangkan indukan ikan nila biru dari pelaku usaha perikanan (CP Prima) untuk kemudian dipijahkan, hasil pemijahan tersebut selanjutnya dijadikan indukan untuk kegiatan seleksi famili yang menjadi program riset BPPI mulai tahun 2009 dalam rangka mendapatkan induk dan benih unggulan untuk budidaya ikan nila pada media bersalinitas.
Gambar 3 Ikan nila biru hasil seleksi di BPPI, Sukamandi
Ikan Nila Srikandi Ikan nila srikandi (salinity resistant improvement from Sukamandi) berdasarkan KEP.09/MEN/2012, tanggal 1 Mei 2012 merupakan ikan nila hasil pemuliaan dengan jalur hibridisasi antara ikan nirwana dan ikan nila biru dengan target utama daya adaptasi terhadap salinitas tinggi. Budidaya ikan nila srikandi masa pendederan dan pembesaran dilakukan pada media bersalinitas 20-30 g/L. Hasil penelitian uji tantang ikan nila srikandi dengan S. agalactiae tipe nonhemolitik (N14G) dosis 104 CFU/mL selama 14 hari pada media air tawar dan salinitas 20 g/L menunjukkan hasil sintasan yang moderat (54.67% dan 35%) dibandingkan dengan tetua pembentuknya yaitu nirwana (70% dan 50%) (Febrianti et al. 2012; Robisalmi et al. 2011)
Gambar 4 Ikan nila srikandi hasil pemuliaan di BPPI, Sukamandi
Hormon Pertumbuhan Hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) merupakan satu rantai polipeptida yang berukuran sekitar 22 kDa (191 asam amino), disekresikan oleh bagian anterior dari kelenjar pituitari yang berperan dalam memacu
6
pertumbuhan tubuh, khususnya merangsang pelepasan somatomedin, dan mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat, dan lipid. GH bekerja dengan merangsang sintesis protein dan pemecahan lemak (untuk energi). Sekresi hormon pertumbuhan dikendalikan oleh hipotalamus. Somatotropin menggambarkan hormon pertumbuhan yang biasa diproduksi di pituitari, sedangkan somatropin menggambarkan hormon pertumbuhan yang diproduksi menggunakan teknologi DNA rekombinan pada bioreaktor/fermentasi (Lindholm 2006). Sekresi GH dirangsang oleh growth hormone releasing hormone (GHRH), ghrelin, protein pakan, kandungan gula darah yang rendah, peningkatan sekresi androgen, dan arginin, sedangkan yang menghambat antara lain somatostatin, konsentrasi hormon pertumbuhan dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1) yang bersirkulasi, kandungan gula darah yang tinggi, glukokortikoid, dan estradiol ataupun estrogen lainnya. Fungsi GH yang sangat penting adalah memperbaiki dan memacu pertumbuhan somatik (Moriyama dan Kawauchi 2001). Pada ikan, GH memiliki beberapa fungsi antara lain merangsang pertumbuhan gonad (Wong et al. 2006), otot dan tulang (Debnanth 2010). Selain itu, GH pada ikan juga berperan dalam proses osmoregulasi (Sakamoto et al. 1997), meningkatkan nafsu makan/metabolisme (Rousseau dan Dufour 2007), proses metamorfosis dan perkembangan (Anathy et al. 2009), merangsang hati untuk mengeluarkan IGF-1 (Moriyama et al. 2000), efisiensi pemberian pakan, menjaga keseimbangan/homeostasis energi, tingkah laku ketika bermigrasi, proses gametogenesis puberitas, perkembangan embrio (Debnanth 2010), serta meningkatkan sistem imunitas tubuh (Sakai et al. 1997; Yada et al. 1999).
Efek rGH pada Pertumbuhan Ikan Level GH alami relatif rendah dan metode isolasinya relatif rumit sehingga tidak ekonomis dan tidak praktis, maka digunakan teknologi DNA rekombinan untuk memproduksi GH rekombinan (Sekine et al. 1985). Hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) dari berbagai spesies vertebrata, termasuk ikan telah dapat diproduksi dalam jumlah banyak menggunakan bioreaktor berupa bakteri Escherichia coli (Promdonkoy et al. 2004, Sørensen dan Kim 2005, Alimuddin et al. 2010), dan ragi Pichia pastoris (Acosta et al. 2007,Weidner et al. 2010). Bioaktivitas rGH dalam memacu pertumbuhan telah diuji pada udang (Santiesteban et al. 2010), ikan (Moriyama dan Kawauchi 2001; Alimuddin et al. 2010) dan kekerangan (Acosta et al. 2007). Selanjutnya, metode pemberian rGH juga telah dikembangkan pada ikan nila (Li et al. 2003; Acosta et al. 2007; Alimuddin et al. 2010; Hardiantho et al. 2012; Latar 2013), salmonids (Sekine et al. 1985), rainbow trout (Moriyama et al. 1993), black seabream (Tsai et al. 1997), ikan koki (Promdonkoy et al. 2004), ikan baronang (Funkenstein et al. 2005), ikan flounder Jepang (Liu et al. 2008), ikan sidat (Handoyo 2012), ikan gurami (Irmawati et al. 2012; Safir 2012), dan udang putih Litopenaeus vannamei (Subaidah et al. 2012). Pemanfaatan rGH telah banyak digunakan untuk memacu pertumbuhan ikan. Pemberian rGH ikan mas yang diproduksi dalam Pichia pastoris sebanyak 0,1 μg/g bobot tubuh benih ikan nila dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar
7
53,1% dibandingkan dengan kontrol (Li et al. 2003). Pemberian rGH tersebut dapat dilakukan melalui injeksi (Sekine et al. 1985; Tsai et al. 1995; Li et al. 2003; Funkenstein et al. 2005; Lesmana 2010), melalui perendaman (Acosta et al. 2007; Putra 2010; Syazili et al. 2011) serta melalui pakan (Tsai et al. 1997; Handoyo 2012). Pemberian 0,5% rGH per kg pakan yang diberikan selama 12 minggu pada juvenil ikan sea bream hitam menunjukkan perbedaan bobot sebesar 60% dari perlakuan kontrol setelah pemeliharaan selama 16 minggu (Tsai et al. 1997). Menurut Sekine et al. (1985), pemberian rGH pada ikan rainbow trout dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 50% dibandingkan dengan ikan rainbow trout yang tidak diberi perlakuan rGH. Pemberian rGH pada benih ikan beronang dengan dosis 0,5 μg/g bobot tubuh sebanyak 1 kali per minggu selama 4 minggu dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 20% dari kontrol (Funkenstein et al. 2005). Selanjutnya, pemberian rGH pada benih ikan nila dengan dosis 30 mg/kg pakan dengan frekuensi pemberian 2 kali seminggu selama 3 minggu terbukti meningkatkan bobot tubuh sebesar 214,7% dari kontrol (Hardiantho et al. 2012). Studi tentang kaitan antara pemberian rGH dengan peningkatan kapasitas sistem imun telah dilakukan oleh Acosta et al. (2008) yang menemukan peningkatan respons imunitas bawaan pada larva ikan tilapia yang di immersi dengan recombinant truncated tGH. Aktivitas lisozim dan haemaglutinasi lektin pada kelompok ikan eksperimental meningkat secara signifikan dibandingkan kelompok ikan kontrol. Studi lain menunjukkan bahwa injeksi nGH dan rGH dari ikan chum salmon, dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan rainbow trout terhadap infeksi bakteri patogen Vibrio anguilarum sebesar 10 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok ikan kontrol (Sakai et al. 1997). Efek rGH terhadap kelangsungan hidup larva juga telah dievaluasi oleh Acosta et al. (2009) pada larva ikan koki, melalui perendaman tiga kali seminggu selama 75 hari dapat meningkatkan kelangsungan hidup 22% lebih tinggi dibandingkan kelompok larva yang tidak mendapatkan perlakuan.
Streptococcosis Infeksi streptococcal pada ikan merupakan infeksi bakteri yang dapat mempengaruhi patologi dari varietas budidaya ikan di seluruh dunia (Romalde dan Toranzo 2002; Toranzo et al. 2005). Sebanyak 45 spesies ikan yang hidup di perairan tawar, payau maupun laut di Afrika, Amerika, Asia, Australia dan Eropa sudah terserang streptococcosis (Conroy 2009). Streptococcosis pada ikan disebabkan oleh 6 spesies bakteri Gram positif yang berbeda termasuk streptococci, lactococci dan vagocci (Bercovier et al. 1997). Spesies utama penyebab streptococcosis yang bersifat patogenik adalah Streptococcus parauberis, S. iniae, S. agalactiae, Lactococcus garviae, L. piscium, Vagococcus salmoninarum, dan Carnobacterium piscicola (Bercovier et al. 1997; Eldar et al. 1997; Eldar dan Ghittino 1999). Streptococcosis dapat menyebabkan kerugian besar bagi pembudidaya ikan intensif, dengan tingkat kematian ikan >50% dalam waktu sekitar satu minggu (Inglis et al. 1993; Yanong dan Francis-Floyd 2006). Penyakit
8
streptococcosis pada ikan pertama kali dilaporkan menyerang ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) yang dibudidayakan di Shizouka, Jepang pada April 1957 (Hoshina et al. 1958). Spesies patogenik S. agalactiae terdokumentasi pada awal 1966, ketika bakteri group B streptococcus teridentifikasi sebagai penyebab dua epizootik pada ikan “golden shiner” Notemigonus crysoleucas (Robinson dan Meyer 1966). Sekalipun infeksi S. agalactiae bayak dilaporkan menyerang berbagai spesies ikan dan menjangkau berbagai lingkungan perairan, namun lebih dikenal sebagai patogen mematikan untuk spesies ikan perairan tropis (Eldar et al. 1994; Evans et al. 2002). Streptococcosis biasa muncul waktu perairan mencapai suhu >15°C, dan sering terjadi wabah ketika memasuki musim panas (Eldar et al. 1994; Kawamura et al. 2005; Siti-Zahrah et al. 2008). Dua spesies streptococcus, S. agalactiae dan S. iniae merupakan agen utama penyebab penyakit streptococcus pada ikan nila, dari 500 isolat bakteri streptococcus yang menyerang ikan nila sebanyak 82% teridentifikasi sebagai S. agalactiae dan 18% teridentifikasi sebagai S. iniae. Saat ini streptococcosis menyerang budidaya ikan nila hampir di setiap negara Asia seperti di Cina, Vietnam, Filipina, Thailand dan Indonesia, sedangkan di negara Amerika Latin ditemukan di Ekuador, Honduras, Meksiko dan Brazil (Sheehan et al. 2009). Streptococcosis merupakan penyakit septikemia yang menyebabkan banyaknya kematian pada budidaya ikan nila. Ikan nila sangat rentan terhadap infeksi streptococcosis yang dapat menimbulkan wabah yang sangat mematikan dan kerugian besar secara finansial (Eldar et al. 1994; Salvador et al. 2005; Suanyuk et al. 2005; Mian et al. 2009; Abuseliana et al. 2010; Zamri-Saad et al. 2010; Pretto-Giardano et al. 2010). Penginfeksian bakteri Streptococcus spp. pada ikan budidaya terjadi secara alami lewat kontak fisik antar ikan. Tingginya patogenitas bakteri sehingga menyebabkan penyakit dapat terjadi pada penanganan ikan yang buruk, budidaya intensif atau jika terdapat luka kecil pada kulit, sirip maupun sisik ikan (Plumb 1999; Nguyen et al. 2001; Evans et al. 2002). Menurut Nguyen et al. (2002) bakteri yang terekskresi dalam feses ikan dan bertahan hidup dalam air mampu menginfeksi ikan yang ada melalui rute faecal-oral. Transmisi penginfeksian melalui oral lainnya terjadi lewat proses kanibalisme pada ikan sekarat maupun ikan mati. Menurut Evans et al. (2006) gejala yang ditimbulkan akibat penularan streptococcosis melalui persinggungan dengan ikan sakit tergantung pada tingkat serangan, yaitu akut dan kronis. Pada tingkat kronis, gejala yang timbul yaitu adanya memar seperti luka di permukaan tubuh, bercak merah pada sirip, berenang lambat, sering berada di dasar akuarium dan penurunan nafsu makan. Gejala khas yang sering muncul adalah abnormalitas pada mata (exopthalmia,opacity dan purulens) dan kehilangan keseimbangan tubuh (whirling disease). Apabila serangan akut terjadi, maka akan terjadi kematian yang diduga karena adanya toksin, kehilangan cairan pada saluran pencernaan dan tidak berfungsinya sebagian organ. Streptococcosis menyebabkan meningoenchephalitis dan septikemia pada ikan. Organ target yang diserang adalah bagian otak (cerebellum) di mana terjadi degenerasi dan nekrosa di bagian kranial dan terjadi kongesti (pembendungan) pada pembuluh darah otak belakang, pendarahan juga terjadi pada jaringan dalam organ.
9
Penyebaran S. agalactiae ke dalam organ ikan melalui darah, dapat tumbuh dan berkembangbiak serta menyebar melalui darah (Hardi 2011).
Streptococcus agalactiae Karakteristik umum Streptococcus agalactiae adalah Gram positif, bentuk kokus baik berpasangan maupun berantai pendek, katalase negatif , oksidase negatif, CAMP (Christie, Atkins dan Munch-Petersen) positif dan mampu menghidrolisis hipurat. Bentuk koloni putih keabu-abuan, berlendir, seukuran ujung jarum, bulat dan cembung serta dapat tumbuh pada beberapa media seperti trypticase soy agar (TSA), blood agar (BA), dan brain heart infusion agar (BHIA) (Murray et al. 2005; Evans et al. 2002). Menurut Wongsathein (2012) S. agalactiae dapat tumbuh pada media Edward termodifikasi (Edward medium modified agar) dengan warna koloni biru, pada suhu 22-37°C tumbuh baik pada media TSB dan TSB dengan 0.5-5% NaCL. Bakteri S. agalactiae termasuk golongan bakteri group B Streptococcus (GBS), yaitu bakteri streptococcal yang hanya membawa antigen dari grup B, sesuai metode Lancefield serogrouping (Devriese 1991; Facklam 2002). Berdasarkan komposisi antigen kapsul polisakarida, organisme GBS diklasifikasikan dalam 10 jenis serotipe (Ia, Ib dan II sampai IX) (Chaffin et al. 2000; Persson et al. 2004; Slotved et al. 2007). Strain GBS dengan serotipe molekul Ia, Ib, II dan III dilaporkan teridentifikasi pada ikan nila O. niloticus di Thailand dan China, ikan nila merah Oreochromis spp. di Thailand (Suanyuk et al. 2008; Ye et al. 2011). Identifikasi strain S. agalactiae berdasarkan kemampuannya menghemolisis darah pada media agar darah terbagi menjadi 3 tipe yaitu alpha (a-), beta (ß-) dan non (γ-) hemolitik (Kitao et al. 1981; Buller 2004). Karakteristik bakteri S. agalactiae yang diisolasi dari ikan nila disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik S. agalactiae yang menyerang ikan nila Oreochromis sp. Pengujian
SNI
Morfologi Pewarnaan Gram Motilitas Hemolisis Voges-Proskauer Hippurate hidrolisis Starch hidrolisis Esculin hidrolisis CAMP test Bile salt agar 40% NaCl 6.5% Katalase Oksidase Arginin dihidrolase
Kokus + + (β) ND ND ND ND ND + + +
Evans et al. (2006) Kokus + -/+ (β) -/+ + + ND ND
Conroy et al. (2009) Kokus + -
+ (β) + + ND V ND +
Wongsathein (2012) Kokus + + (β) + + ND ND +
10
Tabel 1 Lanjutan Pengujian
SNI
Evans et al. (2006) ND ND ND ND ND ND
Conroy et al. (2009) ND ND ND ND ND ND
Trehalose ND Lactose ND Raffinose ND α-galactosidase ND β-galactosidase ND β-glucuronidase ND Pyrrolidonilic ND arylamidase (PYR) Leucine-amino ND + + peptidase (LAP) Leucin arylamidase ND ND ND Alkaline ND ND ND phosphatase L-arbinosa ND ND ND Glycogen ND ND ND Mannitol ND + Sorbitol ND Inulin ND ND ND Amygdalin ND ND ND Lancefields group ND B B Keterangan : SNI: Standar Nasional Indonesia 7545:2009; ND: tidak dilakukan; v: variasi
Wongsathein (2012) + ND + + B
Bakteri S. agalactiae memiliki 2 strain biotipe, yaitu biotipe 1 yang memiliki tipe ß-hemolitik, jenis yang memfermentasikan gula termasuk trehalose dan galaktosa, dan tumbuh baik dengan suhu 37°C, biotipe 2 bersifat non-hemolitik, tidak bisa memanfaatkan gula dengan baik, dan pertumbuhannya kurang baik pada suhu 37°C (Sheehan et al. 2009). Hasil studi selama 8 tahun lebih pada 50 daerah di 13 negara menunjukkan prevalensi bakteri S. agalactiae pada ikan nila lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri S. iniae, yaitu 26% S. agalactiae biotipe 1, dan 56% S. agalactiae biotipe 2, sedangkan 18% sisanya diidentifikasi sebagai S. iniae. Daerah prevalensi bakteri penyebab streptococcosis di berbagai negara disajikan pada Gambar 2. Wibawan et al. (1992) mengelompokkan bakteri S. agalactiae dalam tipe berkapsul dan nonkapsul berdasarkan pengujian ekspresi fenotipe, derajat hidrofobitas, dan aktivitas hemaglutinasi. S. agalactiae tipe ß-hemolitik tidak berkapsul, permukaan sel tersusun atas protein (hidrofobik), pertumbuhan jernih dan bersedimen pada media cair, bentuk koloni pada agar darah kasar dan kecil, pertumbuhan difus pada soft agar, rantai pendek (tersusun atas 2-3 sel bakteri). Bakteri tipe non-hemolitik adalah berkapsul, permukaan sel tersusun atas karbohidrat (hidrofilik), pertumbuhan keruh pada media cair, bentuk koloni pada agar darah mukoid besar, pertumbuhan difus tebal pada soft agar, rantai panjang (tersusun atas > 3 sel bakteri). Sebagai bakteri patogen, S. agalactiae memiliki faktor virulensi untuk membantu proses infeksi pada inang.
11
Streptococcus memproduksi beberapa jenis toksin protein dan enzim yang mampu membunuh atau menghancurkan susunan sel inang yang memungkinkan bakteri memanfaatkan nutrisi inang untuk berkembangbiak. Pada beberapa kasus, toksin protein dan enzim tersebut berperan penting dalam resistensi terhadap sistem imun inang, baik komponen itu sendiri ataupun kombinasi dengan faktor virulen pada sel seperti kapsul atau protein permukaan. Segura dan Gottschalk (2004) menjelaskan faktor virulensi ekstraseluler pada bakteri ini terdiri dari kapsul polisakarida, hemolisin, pirogenik eksotoksin, hialuronidase, CAMP-faktor, superoksida dismutase dan bakteriosin. Glaser et al. (2002) menjelaskan faktor virulensi bakteri ini terdapat pada produk ekstraseluler diantaranya adalah kapsul polisakarida, protein permukaan dan protein hasil metabolisme. Selain faktor virulensi yang menjelaskan karakteristik interistik dari bakteri ini, patogenesitas S. agalactiae merupakan hal penting untuk diketahui terkait dengan proses perjalanan bakteri dari awal infeksi hingga menyebabkan kematian pada inang dalam upaya pengendalian penyakit. Hardi (2011) menyatakan bahwa tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan dengan tipe ß hemolitik dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat dan banyak, perubahan pola renang, pola makan dan patologi anatomi secara makroskopis dan mikroskopis.
Gambar 5 Distribusi global S. agalactiae biotipe 1, dan biotipe 2, serta S. iniae Sumber: Sheehan et al. (2009).
Sistem Imun Pada Ikan Vertebrata memiliki mekanisme untuk mengontrol patogen penyebab penyakit, namun ikan termasuk organisme primitif yang memiliki sistem imun yang sederhana dan berbeda dengan mamalia umumnya. Menurut Anderson (1974), Rijkers (1982), Clem et al. (1985) dan Ellis (1989) respons imun pada ikan terdiri atas respons seluler, dan respons humoral. Respons humoral merupakan respons spesifik, sedangkan respons seluler bersifat nonspesifik. Respons imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid pada ikan, jaringan limfoidnya menyatu dengan jaringan myeloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomyeloid. Menurut Fange (1982), organ limfoid pada ikan teleost adalah
12
GALT yaitu gut associated limfoid tissue. Produk jaringan limfoid adalah selsel darah dan respons imunitas baik seluler maupun humoral. Respons pertahanan seluler ikan merupakan respons yang bersifat nonspesifik (Anderson, 1974). Respons ini meliputi pertahanan mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) dan pertahanan seluler (sel makrofag, leukosit seperti monosit, netrofil, eosinofil dan basofil). Mekanisme pertahanan tubuh yang sinergis antara pertahanan humoral dan seluler dimungkinkan oleh adanya interleukin, interferon dan sitokin. Anderson (1974) mengemukakan mengenai hubungan interleukin, interferon dan sitokin tersebut berperan sebagai komunikator dan amplikasi dalam mekanisme pertahanan humoral dan seluler ikan. Menurut Anderson (1974), mekanisme kekebalan nonspesifik merupakan kekebalan alamiah (innate immunity) pertahanan inang yang responsnya tidak tergantung kontak antigen tertentu. Sistem pertahanan tubuh nonspesifik terdiri dari kulit dan selaput mukosa. Respons kekebalan spesifik (humoral mediated immunity and cellular mediated immunity) tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya (= adaptive immunity). Sistem pertahanan tubuh spesifik, kekebalan khusus yang membuat limfosit peka untuk segera menyerang pathogen tertentu. Fungsi sistem kekebalan nonspesifik juga terlibat dalam sistem kekebalan spesifik. Sistem pertahanan spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum meresponsnya. Spesifik berarti hanya dapat menghancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya. Benda asing pertama, segera dikenali kemudian terjadi sensitasi sistem pertahanan tubuh. Benda asing kedua, akan dikenal lebih cepat kemudian dihancurkan. Sistem pertahanan spesifik disebut juga sistem pertahanan ketiga di mana yang berperan adalah antibodi (Kamiso 2001). Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas tiga tahapan penting, yaitu: 1) Pengenalan musuh yang dihadapi. Dalam hal ini musuh yang dihadapi adalah antigen (mikroorganisme), bisa berupa bakteri ataupun virus, 2) Penghancuran antigen oleh sistem pertahanan, 3) Kembali ke keadaan normal (Roth 1988). Sistem pertahanan ikan akan terbentuk sempurna saat ikan telah dewasa. Pada benih, sistem kekebalan tubuh sudah terbentuk tetapi belum berfungsi optimal sehingga kurang efisien menahan infeksi patogen sehingga rentan penyakit.
13
3
MATERI DAN METODE
Uji Pertumbuhan Pembuatan pakan uji Pakan komersial yang memiliki kandungan protein 40% dicampur dengan rElGH dosis 2 mg/kg pakan. Pencampuran pakan dilakukan berdasarkan metode Hardiantho et al. (2012), yaitu rElGH dilarutkan dalam 15 mL PBS dicampur dengan 2 mg kuning telur ayam, dihomogenkan menggunakan vorteks, kemudian disemprotkan secara merata pada 100 g pakan. Selanjutnya pakan dikeringudarakan sebelum diberikan ke ikan. Pakan diberikan dengan frekuensi tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) secara at satiation (sampai kenyang). Pakan mengandung rElGH diberikan dua hari sekali, selama dua minggu pemberian. Penyifonan dan pergantian air sebanyak 25-50% dilakukan dua kali per minggu untuk menjaga kestabilan kualitas air. Persiapan wadah dan media pemeliharaan Wadah yang digunakan berupa fiber bulat dengan kapasitas air 1,5 ton sebanyak 9 buah (6 bak perlakuan dan 3 bak kontrol). Bak fiber yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan detergen lalu dikeringkan. Selanjutnya didesinfeksi menggunakan klorin dosis 30 mg/L selama 24 jam, setelah itu bak fiber dibersihkan dan dikeringkan kembali. Bak fiber kemudian diisi air dengan volume 1 ton, dan dipasang aerasi sebanyak dua titik per bak. Persiapan hewan uji Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan nila biru, srikandi dan nirwana. Ikan diadaptasikan dengan kondisi pemeliharaan, kemudian diseleksi untuk mendapatkan ukuran yang relatif seragam dengan bobot 0.32±0.14 g/ekor dan panjang 2.1±0.32 cm/ekor. Benih dipelihara dalam bak fiber dengan kepadatan 200 ekor per bak.
Parameter Pertumbuhan Efektivitas pemberian rElGH ditentukan berdasarkan pertambahan bobot rata-rata (W), laju pertumbuhan harian (LPH), dan sintasan. Bobot dan panjang tubuh semua sampel ikan diukur setiap sepuluh hari sekali. LPH dan W berturut-turut dihitung menggunakan rumus: LPH= (Wt - Wo) x 100/t; dan W= Wt-Wo. Wt, Wo, dan t, masing-masing adalah bobot akhir (g), bobot awal (g), dan t waktu (hari). Sintasan dihitung pada akhir pemeliharaan dengan rumus Nt/No x 100, dimana Nt adalah jumlah ikan awal (ekor) dan No adalah jumlah ikan akhir (ekor) (Zonneveld et al. 1991). Pemeliharaan ikan pada uji pertumbuhan dilakukan selama 50 hari.
14
Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan setelah akhir pemeliharaan untuk membandingkan kandungan nutrien ikan nila biru, srikandi dan nirwana. Parameter protein, lemak, abu dan BETN diukur sesuai dengan metode analisis proksimat menurut Takeuchi (1988) pada sampel daging ikan sebanyak 10 ekor per strain (Lampiran 8).
Uji Tantang Bakteri S. agalactiae Rancangan perlakuan disajikan pada Tabel 2. Setiap perlakuan diberi 3 kali pengulangan. Uji tantang dilakukan pada wadah akuarium (604050 cm3) dengan padat tebar 20 ekor ikan. Ikan uji berukuran 10-15 g/ekor merupakan ikan hasil uji pertumbuhan. Masing-masing perlakuan diinjeksi dengan suspensi bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik (NK1) dosis 107 CFU/mL (LD50 pada ikan nirwana) sebanyak 0.1 mL per ekor. Bakteri S. agalactiae yang digunakan berasal dari koleksi Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Sebagai kontrol negatif ikan diinjeksi dengan larutan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 0.1 mL per ekor. Uji tantang penyakit dilakukan selama 1 bulan. Tabel 2. Perlakuan pemberian rElGH dan uji tantang Perlakuan A B C D E F
Keterangan Ikan nila biru, pakan + rElGH diuji tantang Ikan nila biru, pakan non-rElGH diuji tantang Ikan nila srikandi, pakan + rElGH diuji tantang Ikan nila srikandi, pakan non-rElGH diuji tantang Ikan nila nirwana, pakan + rElGH diuji tantang Ikan nila nirwana, pakan non-rElGH diuji tantang
Sintasan dihitung pada masa infeksi (2 minggu awal) dan masa recovery (2 minggu akhir). Pengamatan mean time to death (MTD) dilakukan untuk mengetahui rerata waktu kematian ikan uji yang terinfeksi S. agalactiae, dihitung menurut Kamiso (2001). Konfirmasi penyebab kematian ikan dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari mata, otak, ginjal dan hati, kemudian dikultur dalam media BHIA. Bakteri S. agalactiae memiliki ciri: koloni berwarna putih, bentuk bulat/coccus dan berukuran kecil. Konfirmasi jenis bakteri dilakukan menggunakan uji katalase dan PCR. Analisis PCR dilakukan menggunakan primer Sdi-61: agg aaa cct gcc att tgc g, dan Sdi-252: caa tct att tct aga tcg tgg, dengan produk berukuran 192 bp (Mata, 2003). PCR dilakukan dengan program: pre-denaturasi 94°C selama 2 menit; 30 siklus amplifikasi (denaturasi 94°C selama 1 menit, annealing 30oC selama 1 menit, dan extension 72oC selama 90 detik, serta final extension 4oC selama 5 menit. Produk PCR diseparasi menggunakan gel agarose 1.5% dengan pewarna gelred 3 µl, dan divisualisasi dengan high performance ultraviolet transilluminator.
15
Parameter Gambaran Darah Parameter gambaran darah yang diamati pada penelitian ini meliputi total eritrosit, total leukosit, hematokrit dan titer antibodi (Lampiran 9). Kematian ikan Pengamatan mean time to death (MTD) dilakukan untuk mengetahui rerata waktu kematian ikan uji yang terinfeksi S. agalactiae dihitung menurut Kamiso (2001) dengan rumus:
Keterangan: MTD = Mean Time to Death (rerata waktu kematian) a = waktu kematian (jam) b = jumlah ikan mati setiap waktu pengamatan
Histopatologi dan Gejala Klinis Pengamatan histopatologi ikan dilakukan untuk mengetahui kerusakan jaringan ikan yang terinfeksi S. agalactiae yaitu jaringan pada organ mata, otak, limpa, hati dan ginjal ikan. Analisis perubahan tingkah laku dan anatomi tubuh Perubahan pola berenang yang diamati adalah perubahan gerakan pada kolom air (berenang di permukaan, melayang atau di dasar akuarium), perpindahan badan (lemah atau agresif), bentuk cara berenang (berulang, berputar dan tidak beraturan) dan gerakan operkulum. Tingkah laku makan diamati dengan mengamati respons ikan terhadap pakan yang diberikan. Perubahan anatomi organ luar dan organ dalam. Perubahan yang diamati pada anatomi luar berupa kondisi mata, warna tubuh, pendarahan dan adanya kelainan lain dalam tubuh, sedangkan perubahan anatomi organ dalam berupa perubahan warna, bentuk dan konsistensi organ otak dan ginjal ikan.
Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur pada penelitian ini adalah oksigen terlarut, derajat keasaman (pH), amonia dan nitrit yang diukur pada awal dan akhir penelitian. Suhu diukur setiap 7 hari sekali.
Analisis Data Data pertumbuhan pada masing-masing strain dianalisis dengan uji T. Data kematian ikan dianalisis dengan one-way ANOVA (P<0.05). Perbedaan signifikan antara perlakuan dianalisis dengan menggunakan uji Duncan, dan data pengamatan gejala klinis serta histopatologi dianalisis secara deskriptif.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ikan nila yang diberi rElGH menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian rElGH, kecuali pada ikan nila biru (Gambar 6). Hasil penelitian ini menunjukkan pertumbuhan ikan nila yang diberi rElGH sangat dipengaruhi oleh strain ikan yang digunakan (P<0.05) (Lampiran 1), data terlihat pada Gambar 7. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji t (Lampiran 2) terlihat pemberian rElGH memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan bobot tubuh pada ikan nila srikandi dibandingkan dengan kontrol (P<0.05), sedangkan pada ikan nila nirwana pemberian rElGH tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan bobot tubuh dibandingkan kontrol (P>0.05).
Gambar 6 Bobot rata-rata ikan nila biru (kiri), ikan nila srikandi (tengah) dan ikan nila nirwana (kanan) yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari.
Gambar 7 Bobot ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari.
17
Bobot akhir ikan nila srikandi dan nirwana yang diberi rElGH adalah lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kontrolnya, masing-masing sebesar 6.08±1.26 g dan 5.32±1.31 g (Tabel 3). Hasil ini selaras pula dengan nilai laju pertumbuhan hariannya yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Berbeda dengan kedua strain tersebut, pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian ikan nila biru kontrol lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan yang diberi rElGH. Hal tersebut diduga sebagai akibat dari sintasan yang rendah (Tabel 3), dan kepadatan ikan lebih rendah sehingga pertumbuhan lebih tinggi daripada ikan perlakuan rElGH. Ikan nila srikandi yang diberi rElGH memiliki pertumbuhan mutlak dan LPH tertinggi, hal ini diduga karena ikan srikandi merupakan hasil pemuliaan melalui jalur hibridisasi antara ikan nila nirwana dan ikan nila biru (KEP.09/MEN/2012). Dengan demikian, respons pertumbuhan ikan nila srikandi yang lebih tinggi daripada kedua strain lainnya diduga sebagai efek hibridisasi. Tabel 3 Pertumbuhan bobot mutlak, laju pertumbuhan harian dan sintasan tiga strain ikan nila yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) Perlakuan Biru rElGH Biru kontrol Srikandi rElGH Srikandi control Nirwana rElGH Nirwana control
Bobot awal (g) 0.24±0.09 0.28±0.10 0.40±0.12 0.30±0.18 0.34±0.17 0.37±0.18
Bobot akhir (g) 4.09±0.84 5.09±0.91 6.48±1.28 4.55±1.66 5.67±1.23 5.26±1.29
Pertumbuhan mutlak (g) 3.85±0.86 4.82±0.94 6.08±1.26 4.25±1.61 5.32±1.31 4.89±1.30
Pertumbuhan harian (g/hari) 0.08±0.02 0.10±0.02 0.12±0.03 0.09±0.03 0.11±0.03 0.10±0.03
Sintasan (%) 81.0 65.5 84.0 84.5 83.0 78.0
Keterangan: biru= ikan nila biru, srikandi= ikan nila srikandi, nirwana= ikan nila nirwana Pertumbuhan ikan nila berdasarkan nilai panjang standar (Gambar 3 dan 4) menunjukkan pola yang sama dengan pertumbuhan bobot tubuh. Nilai rerata panjang standar akhir tertinggi terdapat pada ikan nila srikandi yang diberi rElGH (5.5 cm). Berdasarkan uji statistik, interaksi antara ikan dengan rElGH memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05), baik terhadap panjang standar maupun panjang total ikan pada waktu pemeliharaan 50 hari (Lampiran 4).
Gambar 8 Pertumbuhan panjang standar (cm) ikan nila biru (kiri), ikan nila srikandi (tengah) dan ikan nila nirwana (kanan) yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari.
18
Gambar 9 Panjang standar (cm) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Ikan dipelihara selama 50 hari. Salah satu parameter keberhasilan kegiatan budidaya adalah sintasan ikan. Nilai sintasan selama pemeliharaan 50 hari tersaji pada Tabel 4 menunjukkan adanya pengaruh pemberian rElGH pada ikan nila. Ikan nila biru dan nirwana yang mengonsumsi pakan rElGH memiliki nilai sintasan yang lebih tinggi (81 dan 83%) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada ikan nila srikandi antara perlakuan dan kontrol relatif sama.
Proksimat Daging Hasil analisis proksimat daging ikan nila tersaji pada Tabel 4. Penambahan rElGH pada pakan ikan nila meningkatkan kadar protein dalam tubuh ikan nila biru dan srikandi, namun tidak terjadi pada ikan nila nirwana. Tabel 4 Kadar proksimat daging tiga strain ikan nila diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) Perlakuan Abu Protein Biru rElGH 14.73 58.04 Biru kontrol 13.97 56.04 Srikandi rElGH 18.27 60.37 Srikandi kontrol 17.82 56.85 Nirwana rElGH 17.06 55.04 Nirwana kontrol 22.02 57.39 Keterangan: serat kasar tidak terdeteksi
Lemak 26.96 29.81 20.21 25.08 27.59 20.31
BETN 0.27 0.18 1.14 0.24 0.30 0.22
Nilai kisaran kualitas air yang meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amonia dan nitrit tersaji pada Tabel 5. Parameter suhu, pH, amonia dan nitrit masih dalam kisaran normal untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan nilai kandungan oksigen terlarut masih tergolong aman untuk kegiatan budidaya ikan nila meskipun kadarnya ada yang berada di bawah 3 mg/L. Parameter kualitas air
19
pada budidaya ikan nila (Ariyanto et al. 2010) dan kualitas air optimal untuk budidaya ikan (Boyd 1990) adalah suhu (28.3-30 dan 25-32oC), oksigen terlarut (1.67-5.48 dan > 5 mg/L), pH (7.29-7.8 dan 6.5-9), amonia (0.1-0.29 mg/L dan < 1 mg/L) dan nitrit (0.04-0.07 dan < 0.5 mg/L). Tabel 5 Kisaran data kualitas air selama 50 hari pemeliharaan Perlakuan Biru rElGH Biru control Srikandi rElGH Srikandi control Nirwana rElGH Nirwana control
Suhu (oC)
pH
29.0 - 29.7 29.3 - 29.7 29.0 - 29.4 29.0 - 29.4 29.0 - 29.7 28.9 - 29.6
7.03 - 7.41 7.01 - 7.12 7.10 - 8.50 7.15 - 8.42 6.99 - 7.84 7.02 - 7.03
Oksigen terlarut (mg/L) 2.53 - 3.7 2.61 - 3.1 2.80 - 5.0 3.75 - 4.7 3.68 - 3.7 3.00 - 3.63
Amonia (mg/L) 0 - 0.46 0 - 0.05 0 - 0.12 0 - 0.11 0 - 0.18 0 - 0.44
Nitrit (mg/L) 0.001 - 0.27 0.001 - 0.24 0.001 - 0.66 0.001 - 0.36 0.001 - 0.24 0.001 - 0.06
Uji Tantang Bakteri S. agalactiae
Kematian kumulatif (%)
Kematian ikan nila selama masa infeksi berlanjut hingga masa recovery, data tersaji pada Gambar 10. Ikan nila yang sudah mendapatkan perlakuan rElGH pada pakan menunjukkan ketahanan tubuh yang berbeda ketika diuji tantang dengan bakteri. Kematian kumulatif tertinggi selama 1 minggu uji tantang terdapat pada ikan nila biru dan srikandi kontrol, sedangkan ikan nila nirwana kontrol memiliki tingkat kematian kumulatif yang rendah dibandingkan ikan nila yang lainnya. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Biru rElGH Biru kontrol Srikandi rElGH Srikandi kontrol Nirwana rElGH Nirwana kontrol 0
1
2 Minggu ke-
3
4
Gambar 10 Kematian kumulatif (%) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae.
20
Persentase kematian ikan yang terlihat pada Gambar 11 saat 1 minggu pascatantang menunjukkan adanya pengaruh penambahan rElGH dalam pertahanan melawan infeksi S. agalactiae pada ikan nila biru dan srikandi. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa strain ikan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap jumlah kematian ikan akibat infeksi bakteri S. agalactiae (Lampiran 5). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa ikan nila nirwana memiliki jumlah kematian yang paling sedikit (P<0.05) dibandingkan dengan nila srikandi dan nila biru (Lampiran 6).
Gambar 11 Kematian ikan (%) selama 7 hari ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Data (mean ± SE) dengan huruf berbeda pada bar menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (Duncan; P<0.05). Hasil penghitungan MTD ikan nila akibat infeksi S. agalactiae disajikan pada Gambar 12. Ikan biru kontrol memiliki rerata waktu kematian tercepat yaitu 77.87±23.31 jam, sedangkan yang terlama adalah ikan nirwana kontrol yaitu 217.17±28.21 jam. Berdasarkan hasil pengukuran rerata waktu kematian dapat diketahui bahwa S. agalactiae lebih bersifat kronis yaitu tidak langsung menyebabkan kematian namun menyebabkan perubahan pada fisiologis ikan yang terinfeksi terlebih dahulu, tidak seperti bakteri Vibrio alginolyticus yang memiliki nilai MTD 12-28 jam yang dapat dikatagorikan sebagai bakteri akut, dapat menyebabkan kematian secara cepat (Murdjani 2002).
21
Nilai MTD (jam)
250 200 150 100 50 0
Populasi ikan
Biru rElGH
Biru kontrol
Srikandi rElGH
Srikandi kontrol
Nirwana rElGH Nirwana kontrol
Gambar 12 Nilai MTD (jam) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Berdasarkan hasil uji tantang diperoleh nilai sintasan relatif (relative percent survival/RPS) yang berbeda (Tabel 6). Nilai RPS sebesar 14.26% dan 30.03% pada ikan nila biru dan srikandi pada minggu pertama masa infeksi menunjukkan adanya tingkat ketahanan tubuh yang lebih baik pada ikan yang mengkonsumsi pakan dengan tambahan rElGH dibandingkan dengan kontrol. Tabel 6 Nilai RPS tiga strain ikan nila diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang terinfeksi bakteri S. agalactiae Jumlah ikan (ekor) Jumlah awal Jumlah mati 1 minggu Jumlah mati 4 minggu RPS 1 minggu (%) RPS 4 minggu (%)
Biru Biru rElGH kontrol 15 15 12 14 14 14.26 6.7
15
Srikandi rElGH 15 9
Srikandi control 15 13
Nirwana rElGH 15 9
Nirwana control 15 8
13
14
13
13
30.03 9.31
-21.7 -5.3
Status kesehatan ikan yang diamati dari gambaran darah (Gambar 13) menjelaskan pada hari ke-3 setelah uji tantang kondisi fisiologi ikan terganggu akibat infeksi bakteri. Kisaran nilai eritrosit, leukosit, hematokrit dan titer antibodi pada ikan kontrol negatif berturut-turut adalah 1.24-2.74x106 sel/mm3, 2.4-4x104 sel/mm3, 11-46% dan 1-2. Penurunan hematokrit dan meningkatnya jumlah leukosit pada ikan perlakuan menunjukkan bahwa ikan sedang mengalami infeksi dan tubuh ikan mengantisipasi kondisi tersebut dengan memproduksi leukosit lebih banyak sebagai respons imunitas. Total eritrosit ikan perlakuan meningkat sampai akhir pemeliharaan ikan. Peningkatan total eritrosit berkaitan dengan kemampuan ikan dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen dan mengedarkan ke seluruh tubuh. Nilai antibodi perlakuan berkisar antara 1-4. Antibodi yang jumlah dan konsentrasinya
22
3 10 30
30 25 20 15 10 5 0
3 10 30
Total leukosit (x.104 sel/mm3)
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Total antibodi (-log 2)
Kadar hematokrit (%)
Total eritrosit (x.106 sel/mm3)
lebih banyak dalam serum darah merupakan penangkal serangan agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh. 7 6 5 4 3 2 1 0
3 10 30
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3 10 30
Gambar 13 Gambaran darah (total eritrosit, total leukosit, hematokrit, total antibodi) hari ke- 3, 10 dan 30 pada ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Kualitas air media uji tantang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9, diketahui bahwa nilai kualitas air media pemeliharaan selama penelitian masih berada pada kisaran yang ideal bagi pertumbuhan ikan nila untuk parameter suhu, pH dan oksigen terlarut. Hasil pengukuran parameter amonia dan nitrit diperoleh nilai yang berada di atas kisaran normal budidaya air tawar (amonia < 1 mg/L dan nitrit < 0.5 mg/L) menurut Boyd (1990). . Tabel 7 Kisaran data kualitas air media uji tantang penyakit Perlakuan Biru rElGH Biru control Srikandi rElGH Srikandi kontrol Nirwana rElGH Nirwana kontrol
Suhu (oC) 27 - 27.2 27 - 27.4 27 - 27.2 27 - 27.8 27 - 27.1 27 - 27.3
pH 8.00 - 8.06 7.13 - 7.22 8.00 - 8.09 8.30 - 8.34 7.00 - 7.80 6.59 - 6.61
Oksigen terlarut (mg/L) 5.8 - 6.1 3.5 - 3.7 6.1 - 6.4 6.3 - 6.4 6.0 - 6.3 3.0 - 3.4
Amonia (mg/L) 0 - 0.78 0 - 0.45 0 - 0.77 0 - 1.19 0 - 1.53 0 - 1.61
Nitrit (mg/L) 0.002 - 8.957 0.002 - 9.726 0.002 - 9.726 0.002 - 7.006 0.002 - 9.726 0.002 - 5.408
23
Gambar 14 menunjukkan beberapa gejala klinis ikan nila yang teramati pasca infeksi dengan bakteri S. agalactiae. Gejala klinis yang timbul meliputi respon terhadap pakan lemah, warna tubuh pucat, garis vertikal tubuh menghitam, pembengkakan pada mata (exopthalmia), kekeruhan pada mata (opacity), mata memutih (purulens), mata mengkerut, perubahan pola renang (whirling, berenang lemah), penjernihan operkulum (clear operculum), pembengkakan bagian perut dan pembengkokan bagian tubuh.
Keterangan: (1) ikan nila normal; (2) sirip punggung tegak; (3) ikan bergerombol dan memojok; (4) tubuh menghitam; (5) garis vertikal tubuh menghitam dan bibir putih; (6) berenang lemah dan whirling; (7) mata membengkak (exopthalmia); (8 atas) mata berkabut (opacity), perut membengkak dan warna tubuh pucat; (8 bawah) pelepasan sisik dan mata lisis serta penjernihan operkulum; (9) tubuh membengkok.
Gambar 14 Gejala klinis pada ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae Parameter pendukung untuk mengetahui perubahan akibat infeksi bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik dalam penelitian ini selain pengamatan gejala klinis adalah pengamatan histopatologi bagian tubuh ikan. Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengevaluasi adanya gangguan pada ikan yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama (Adam 1990). Penggunaan indikator histologik ikan ini untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada tubuh ikan baik akibat perubahan kualitas air, penanganan maupun infeksi patogen karena histopatologi merupakan hasil dari adanya perubahan secara biokimia dan fisiologis pada organisme (Hinton dan Lauren 1990).
24
Limpa ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae menunjukkan adanya kerusakan struktural, yaitu adanya hipertropi, hemorrhagi, nekrosa dan pusat melano makrofag. Perubahan yang terjadi pada limpa ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae terlihat pada Gambar 15.
Keterangan : a. Normal; b. Nila Biru; c. Nila Srikandi; d. Nila Nirwana; Hp hiperplasia; Hr hemorrhage; mmc melano macrofage centre; N degenerasi dan nekrosis.
Gambar 15 Histopatologi organ limpa pada ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae
PEMBAHASAN
Pertumbuhan merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menilai keberhasilan suatu proses budidaya. Menurut Bolander 2004, pertumbuhan merupakan proses yang kompleks ditandai oleh pembesaran sel, jaringan dan organisme yang merupakan akumulasi bersih material dan atau peningkatan jumlah sel; memerlukan suplai material dan energi yang cukup serta melibatkan koordinasi antara mitosis dan metabolisme. Data hasil penelitian pertumbuhan menunjukkan ikan nila srikandi yang diberi rElGH sebesar 2 mg/kg pakan selama 2 minggu (2 hari sekali) memiliki pertumbuhan bobot maupun panjang terbaik dibandingkan dengan ikan nila uji lainnya (Gambar 6, 7, 8, 9 dan Tabel 3). Tingkat perbaikan pertumbuhan akibat pemberian rGH dapat dipengaruhi oleh jenis rGH (Alimuddin et al. 2010; Irmawati 2013), jenis dan umur ikan target (species-specific dan age dependent) (Hertz et al. 1991), dosis (Hardiantho et al. 2012: Irmawati et al. 2012; Safir 2012), dan metode
25
pemberian melalui injeksi, imersi, oral, atau kombinasi imersi dan oral (Handoyo 2012). Tingginya performa pertumbuhan pada ikan nila srikandi merupakan salah satu keunggulan dari ikan hasil hibridisasi di mana persilangan antar strain merupakan salah satu cara untuk mendapatkan strain dengan keragaan budidaya yang meningkat. Ikan nila srikandi merupakan benih hasil persilangan antara nila nirwana dan nila biru. Menurut Noor (2000) hibridisasi juga dapat meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot, keturunannya cenderung menampilkan keragaan yang lebih baik dari rataan keragaan salah satu atau kedua tetuanya untuk sifat-sifat tertentu. Berdasarkan keunggulan yang dimiliki sebagai ikan nila hibrida, maka pertumbuhan ikan nila srikandi dapat lebih dipacu dengan penambahan rElGH yang terbukti memberikan pengaruh positif pada pertumbuhannya. Muhammad (2014) menyatakan bahwa pemberian rElGH secara oral pada dosis 0.03 sampai 3.00 mg/kg pakan memberikan respons pertumbuhan yang sama (p>0.05) dan dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 24.07 sampai 31.68%, dan pada fase pembesaran diketahui nila Srikandi memiliki laju pertumbuhan spesifik sebesar 3.36%. Hasil penelitian ini menunjukkan ikan nila srikandi memberikan respons positif terhadap pemberian rElGH pada pakan dengan nilai respons relatif pertumbuhan bobot sebesar 42.26% dan panjang standar sebesar 12.10%. Berdasarkan uji T hasil tersebut berbeda nyata dibandingkan dengan srikandi kontrol (P<0.05). Peningkatan tersebut disebabkan karena hormon rGH yang diberikan melalui pakan ini diduga dapat diterima oleh reseptor dalam tubuh sehingga memberikan pengaruh yang terjadi melalui mekanisme secara langsung. Pemberian rGH dalam bentuk protein total menunjukkan bahwa peningkatan bobot ikan nila yang dinjeksi dengan rElGH (20,94%) lebih tinggi daripada yang diinjeksi dengan rCcGH (18.09%), dan rOgGH (16.99%) (Alimuddin et al. 2010). Efektivitas pemberian rElGH pada ikan nila juga dilaporkan oleh Hardiantho et al. (2012) bahwa pemberian rGH ikan kerapu kertang lebih efektif dan efisien sehingga dapat diturunkan 10 dan 100 kali lebih rendah dibandingkan dengan rGH ikan mas yang diberikan pada ikan nila. Menurut Irmawati et al. (2012) tingkat produksi dalam pembuatan rGH ikan kerapu kertang Epinephelus lanceolatus (rElGH) lebih tinggi dibandingkan rGH ikan mas Cyprinus carpio (rCcGH) dan rGH ikan gurami Osphronemus goramy (rOgGH). Efektivitas pemberian rElGH terhadap pertumbuhan ikan nirwana tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan ikan nila biru memberikan respons negatif terhadap pemberian rElGH dengan nilai respon relatif bobot sebesar -19.72% dan panjang standar -12.98%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan besar reseptor GH ikan nila biru tidak sesuai dengan GH ikan kerapu kertang. Leedom et al. (2002) dan Jentoft et al. (2005) mengatakan bahwa tidak adanya efek positif pemberian rbGH terhadap pertumbuhan ikan disebabkan karena rendahnya afinitas antara reseptor hormon organisme resipien dengan hormon eksogen. Respons terhadap rGH pada setiap jenis ikan berbeda-beda. Le Bail et al. (1993) mengatakan bahwa spesies atau strain ikan yang lebih cepat tumbuh atau telah mengalami seleksi peningkatan pertumbuhan, mampu memproduksi GH endogen dan IGF yang lebih tinggi sehingga responsnya terhadap GH eksogen lebih rendah. GH berperan dalam
26
meregulasi pertumbuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mekanisme secara langsung adalah GH akan langsung mempengaruhi pertumbuhan organ tanpa perantara IGF-1 di dalam hati. Mekanisme tidak langsung adalah mekanisme GH dalam mempengaruhi pertumbuhan yang dimediasi oleh IGF-1 dalam hati ikan. Ada beberapa faktor lain yang berperan dalam mekanisme ini, yaitu: reseptor GH (GHr), GH binding proteins (GHBPs), IGF binding proteins (IGFBPs), dan reseptor IGF. GHr berfungsi dalam menangkap sinyal GH yang disekresikan oleh pituitari, GHBPs berfungsi dalam melindungi dan pengangkutan GH dari pituitari di dalam darah. IGFBPs berfungsi dalam melindungi dan mengangkut IGF-1 di dalam darah menuju ke organ target. Reseptor IGF-1 berfungsi untuk menangkap sinyal IGF-1 dalam organ-organ yang menjadi target (Wong et al. 2006; Debnanth 2010). Sementara itu GH secara langsung juga merangsang pertumbuhan somatik melalui metabolisme protein, lemak, karbohidrat dan mineral (Moriyama dan Kawauchi 2001). Ikan nila srikandi yang diberi tambahan rElGH dalam pakan menunjukkan pertumbuhan panjang dan bobot terbaik. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian rElGH mempengaruhi nafsu makan ikan terhadap pakan perlakuan, namun tidak semua ikan yang diberi pakan rElGH menunjukkan hasil yang positif, seperti pada ikan nila biru yang memiliki performa paling rendah. Menurut Volkoff et al. (2005) dan Debnanth (2010), peningkatan nafsu makan ikan diduga dipengaruhi oleh peningkatan hormon ghrelin yang diinduksi hormon pertumbuhan. Pemberian pakan seperti itu bisa memaksa ikan untuk memakan pakan yang lebih banyak, sehingga kerja sistem pencernaan lebih berat. Hal ini menyebabkan jumlah energi yang dibutuhkan mencerna makanan dan menguraikan protein meningkat pula. Akibatnya energi yang semestinya digunakan untuk tumbuh dipakai untuk mencerna dan menguraikan protein tersebut (Rustidja, 1996). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kandungan protein ikan perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Tabel 3), sebaliknya kandungan lemak ikan kontrol lebih tinggi dibandingkan ikan perlakuan. Pemberian rElGH melalui pakan pada penelitian ini diduga menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis protein. Seperti yang dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa dengan pemberian rGH dapat meningkatkan sintesis protein dan menurunkan sintesis lemak pada mamalia (Pell et al. 1990; Johnsson et al. 1987) dan menstimulasi anabolisme dalam meningkatkan penggantian dan sintesis protein pada ikan, yang terjadi pada hati dan otot dengan menstimulasi efisiensi dari translasi ribosom melalui peningkatan konsentrasi mRNA dan ribosom (Foster et al. 1991; Herbert et al. 2001). Mekanisme tersebut diduga melalui optimasi pemanfaatan protein sebagai sumber energi untuk pertumbuhan. Selanjutnya, penurunan kadar lemak tubuh pada ikan perlakuan diduga berkaitan dengan aktivitas enzim lipase, sesuai yang dikemukakan oleh Irmawati et al. (2012) bahwa aktivitas enzim lipase ikan gurame yang diberi rGH lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol. Ditambahkan oleh O’Connor et al. (1993) bahwa rGH dapat menstimulasi lipolisis pada beberapa jenis spesies ikan seperti ikan rainbow trout. Kandungan protein yang lebih rendah pada kontrol diduga meningkatnya proses anabolisme dalam tubuh untuk memperbaiki sel-sel yang rusak untuk kelangsungan hidup. Hal tersebut terlihat dari kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang lebih
27
rendah pada ikan kontrol terutama pada ikan nila srikandi dan nirwana. Walaupun ukuran dan umur ikan, jenis pakan, dan beberapa faktor eksperimental dapat mempengaruhi komposisi kimia tubuh; penyebab berbedanya hasil penelitian-penelitian tersebut lebih disebabkan karena perbedaan respons spesies, jenis rGH dan dosis yang berbeda-beda (Liu et al. 2008). GH secara tidak langsung terlibat di dalam pertumbuhan linier skeleton melalui (IGF-1) dan secara langsung mempengaruhi pertumbuhan somatik dengan cara merangsang pelepasan somatomedin dan metabolisme protein, lipid, karbohidrat dan mineral (Moriyama dan Kawauchi 2001; Bolander 2004). GH juga mempunyai peranan penting dalam proses-proses reproduksi, osmoregulasi, nafsu makan dan perilaku (Reinecke et al. 2005). Di samping itu GH merupakan salah satu modulator penting bagi sistem imun ikan (Harris dan Bird 2000). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh peningkatan nilai sintasan ketiga strain ikan nila yang diberi pakan tambahan rElGH dibandingkan dengan ikan nila biru kontrol yaitu nila biru (23.66%), srikandi (28.24%) dan nirwana (26.72%). Peningkatan sintasan pada ikan yang diberi perlakuan rElGH membuktikan bahwa rGH mampu meningkatkan kekebalan tubuh/imunitas pada ikan dari stres akibat kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Studi tentang kaitan antara pemberian rGH dengan peningkatan kapasitas sistem imun telah dilakukan oleh Acosta et al. (2008) yang menemukan peningkatan respons imunitas bawaan pada larva ikan tilapia yang direndam dengan recombinant truncated tiGH. Aktivitas lisozim dan haemaglutinasi lektin pada kelompok ikan eksperimental meningkat secara signifikan dibandingkan kelompok ikan kontrol. Studi lain menunjukkan bahwa injeksi nGH dan rGH dari ikan chum salmon, dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan rainbow trout terhadap infeksi bakteri patogen Vibrio anguilarum sebesar 10 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok ikan kontrol (Sakai et al. 1997). Efek rGH terhadap sintasan larva juga telah dievaluasi oleh Acosta et al. (2009) pada larva ikan koki, melalui perendaman tiga kali seminggu selama 75 hari dapat meningkatkan sintasan 22% lebih tinggi dibandingkan kelompok larva yang tidak mendapatkan perlakuan. Kisaran data kualitas air seperti pada Tabel 5 menggambarkan bahwa kondisi lingkungan pemeliharaan masih mendukung untuk pertumbuhan, sehingga tidak menjadi pemicu stres pada ikan. Kualitas air seperti suhu, oksigen terlarut, amonia, pH dan nitrit pada semua perlakuan berada dalam kisaran normal untuk budidaya ikan nila, sehingga perbedaan hasil penelitian yang meliputi data bobot, panjang tubuh, proksimat dan sintasan disebabkan oleh perbedaan perlakuan dan bukan karena pengaruh kualitas air yang berbeda. Konsentrasi kandungan oksigen terlarut yang rendah (2.5 mg/L) pada hasil penelitian ini masih mampu mendukung untuk pertumbuhan ikan nila. Ikan nila masih dapat bertahan pada konsentrasi oksigen terlarut yang sangat rendah (≤ 0.3 mg/L) untuk beberapa jam, meskipun demikian konsentrasi oksigen terlarut pada budidaya ikan nila diusahakan di atas 1 mg/L. Metabolisme, pertumbuhan dan resistensi penyakit akan menurun ketika konsentrasi oksigen terlarut turun pada level rendah dalam waktu yang cukup lama (Popma dan Masser 1999). Setelah 50 hari uji pertumbuhan, ikan dipelihara di akuarium dengan padat tebar 20 ekor untuk proses adaptasi lingkungan selama kurang lebih 2 minggu
28
sampai mencapai bobot 10-15 g/ekor. Kemudian semua ikan diuji tantang streptococcosis, bakteri yang digunakan adalah S. agalactiae tipe non-hemolitik (NK1) dengan dosis 107 CFU/mL selama 1 bulan. Hari pertama pasca uji tantang pada ikan nila biru dan srikandi kontrol sudah terjadi kematian ikan sebanyak 20-25% per ulangannya. Sedangkan pada perlakuan rElGH, masing-masing strain ikan nila mulai banyak mengalami kematian setelah tiga hari pasca uji tantang. Tingginya tingkat kematian ikan pada semua perlakuan disebabkan oleh tingginya virulensi dan dosis bakteri yang digunakan untuk penginfeksian. Salah satu faktor virulensi S. agalactiae adalah kandungan eksotoksin yang terlarut pada extracellular product (ECP). Diduga ECP S. agalactiae yang terdiri dari kapsular polisakarida, protein permukaan dan beberapa sekresi protein inilah yang membantu bakteri menempel pada sel epitel inang serta menghindari mekanisme pertahanan tubuh inang (Glaser et al. 2002). ECP merupakan salah satu faktor virulensi S. agalactiae. Menurut Hardi (2011) bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi karena konsentrasi protein pada ECP-nya lebih tinggi yaitu 13,64 ppm sedangkan tipe β-hemolitik 8,18 ppm. Hasil studi selama 8 tahun lebih yang dilakukan oleh Sheehan et al. (2009) menyatakan bahwa pada 50 daerah di 13 negara termasuk Indonesia menunjukkan prevalensi bakteri S. agalactiae pada ikan nila lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri S. iniae, yaitu 26% S. agalactiae tipe ßhemolitik dan 56% S. agalactiae tipe non-hemolitik sedangkan 18% sisanya diidentifikasi sebagai S. iniae. Bakteri S. agalactiae menyebabkan penyakit septikemia pada ikan nila, merusak organ otak, ginjal, usus, dan organ lainnya. Penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala anoreksia, eksoptalmia, dan gerakan renang tak menentu. Percobaan infeksi buatan pada ikan mullet dan seabream menggunakan isolat S. agalactiae dari otak ikan nila Oreochromis niloticus menyebabkan kematian 100% dan 90%, dengan masa pascainfeksi selama 7 hari, hal ini menandakan bahwa S. agalactiae bersifat virulen yang menyebabkan penyakit epizootik (Evans et al. 2002). Infeksi streptococcosis pada ikan nila berlangsung selama 2 minggu, pada masa infeksi minggu pertama didapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan (Gambar 11). Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya pengaruh rElGH pada peningkatan imunitas tubuh ikan nila yang mendapatkan penambahan rElGH. Hasil penelitian sebelumnya membuktikan bahwa penambahan rElGH mampu meningkatkan sistem imunitas pada udang vannamei dan kerapu bebek. Menurut Subaidah et al. (2012) pada hari ke-8 udang perlakuan perendaman dan dilanjutkan secara oral 50 mg kg-1 pakan rElGH menunjukkan kelangsungan hidup 37,5% lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol yang diinfeksi. Ikan kerapu bebek yang mendapat aplikasi harian dosis oral 50 mg rElGH-HP55 kg-1 pakan, tingkat kematian setelah uji tantang LD50 bakteri patogen Vibrio fulnificus 61.53% lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol negatif (Antoro 2014). Tingginya tingkat virulensi S. agalactiae yang digunakan pada penelitian ini, menyebabkan kematian berkisar 80-100% ikan nila selama 30 hari uji tantang. Hasil uji statistik diperoleh pemberian rElGH tidak berpengaruh nyata (P>0.05) pada ikan nila dalam melawan infeksi S. agalactiae, akan tetapi strain dan interaksi antara strain dengan pemberian rElGH pada ikan nila berpengaruh
29
nyata (P<0.05) terhadap nilai sintasannya. Hal ini mengindikasikan tingkat ketahanan ikan nila dipengaruhi oleh faktor genetik dari masing-masing strain ikan nila. Sebagai ikan hasil hibridisasi selain memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dari kedua tetuanya, hasil penelitian ini juga mengindikasikan ikan nila srikandi rElGH memiliki ketahanan tubuh yang lebih baik dari tetuanya dengan tingkat kematian terendah yaitu sebesar 83.3%. Menurut Robisalmi et al. (2011) uji tantang ikan nila dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik (N14G), dosis 104 CFU/mL pada media bersalinitas 20 g/L, mulai terjadi kematian pada hari ke-2 pada semua strain, dan 50% kematian terjadi pada hari ke-9 dan ke-10. Pada hari ke-14, mortalitas tertinggi terjadi pada strain nila best dan terendah pada strain nirwana. Adapun strain ikan nila biru dan hibridanya (srikandi), menunjukkan tingkat mortalitas moderat. Berdasarkan hal tersebut hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan performa pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit pada ikan nila srikandi rElGH dikarenakan adanya inputan secara genetis dari tetuanya. Menurut Noor (2000) hibridisasi juga dapat meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot, keturunannya cenderung menampilkan keragaan yang lebih baik dari rataan keragaan salah satu atau kedua tetuanya untuk sifat-sifat tertentu. Status kesehatan ikan yang diamati dari gambaran darah menjelaskan pada hari ke-3 setelah uji tantang kondisi fisiologi ikan terganggu akibat infeksi bakteri S. agalactiae. Penurunan hematokrit dan meningkatnya jumlah leukosit pada ikan perlakuan menunjukkan bahwa ikan sedang mengalami infeksi dan tubuh ikan mengantisipasi kondisi tersebut dengan memproduksi leukosit lebih banyak sebagai respons imunitas. Ketika tubuh terinfeksi maka leukosit sebagai penjaga pertama berperan untuk menghalau sehingga ditemukan adanya total leukosit yang lebih banyak pada areal infeksi. Secara alamiah pada ikan yang terinfeksi patogen akan ditemukan jumlah leukosit yang lebih banyak dari kondisi normal, karena salah satu antisipasi tubuh untuk mencegah perkembangan bakteri dalam tubuh dengan mengirimkan darah lebih banyak ke daerah infeksi. Hematokrit merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan, bila hematokrit 25 (25%) berarti darah terdiri dari 25% eritrosit dan 75% plasma dan leukosit. Nilai hematokrit tertinggi dan terandah sebesar 26.67% dan 11.11% pada ikan nirwana kontrol hari ke-30 dan hari ke-10. Perubahan persentasi hematokrit dalam darah terjadi karena adanya proses fisiologis tubuh yang bereaksi terhadap adanya antigen yang masuk. Pada suhu perairan 15-30oC kadar hematokrit ikan nila normal berkisar antara 24,1-25% (Sherif dan Feky 2009). Titer antibodi mencerminkan kemampuan tubuh ikan terhadap infeksi bakteri melalui respons imun spesifik. Semakin tinggi nilai titer maka diharapkan kemampuan perlindungan terhadap infeksi juga menjadi tinggi. Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Titer antibodi mencerminkan kemampuan tubuh ikan terhadap infeksi bakteri melalui respons imun spesifik. Semakin tinggi nilai titer maka diharapkan kemampuan perlindungan terhadap infeksi juga menjadi tinggi. Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan
30
menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Hasil penelitian yang menunjukkan peranan GH eksogenous dalam respons imun dinyatakan oleh beberapa peneliti. Pada ikan, peran GH berlangsung hampir di semua proses fisiologis dalam tubuh termasuk regulasi ion, keseimbangan osmosis, metabolisme lemak-protein-karbohidrat, pertumbuhan tulang keras dan tulang rawan, reproduksi dan fungsi imun (Reinecke et al. 2005). Hatori (2009) menyatakan bahwa GH dan ghrelin mempunyai komunikasi langsung dalam sistem endokrin, terekspresi di beberapa sel imun pada ikan dengan mengenali reseptor GH dan reseptor ghrelin. Subaidah (2012) menyatakan perlakuan rElGH meningkatkan respons imun udang vaname terhadap infeksi infectious myonecrosis virus (IMNV), dengan adanya peningkatan kelangsungan hidup didukung oleh tingkat ekspresi gen lektin dan proPO yang tidak menurun sampai akhir uji tantang hari ke-8, dan nilai total haemocyt count (THC) paling tinggi pada awal dan akhir uji tantang. Menurut Antoro (2014) ikan kerapu bebek yang mendapat aplikasi harian dosis oral 50 mg rElGH-HP55 kg-1 pakan dan dosis injeksi 0,2 µg rElGH g-1 bobot badan, aktivitas lisozim masing-masing meningkat 71.40% dan 53.26% lebih tinggi dibandingkan kontrol negatif. Salah satu faktor pemicu ikan mudah terserang penyakit adalah stres yang menjadikan kondisi ikan menjadi lemah sehingga tidak memiliki pertahanan ketika ada serangan penyakit, sehingga bisa menjadikan kematian ikan secara masal. Beberapa stressor yang berkaitan erat dengan terjadinya kematian masal akibat infeksi streptococcal adalah suhu rendah dan tinggi, salinitas tinggi, alkalinitas tinggi (pH>8), kandungan oksigen terlarut rendah, kualitas air yang jelek (kandungan amonia dan nitrit tinggi), padat tebar tinggi dan penanganan yang kurang baik selama pemeliharaan (Chang dan Plumb 1996; Bunch dan Bejereno 1997; Bowser et al. 1998; Yanong dan Floyd 2002). Siti Zahrah et al. (2008), Mian et al. (2009) dan Rodkhum et al. (2011) menyatakan bahwa suhu air yang tinggi (≥27oC) mempengaruhi terjadinya infeksi S. agalactiae yang menyebabkan tingginya kematian ikan nila akibat infeksi alami maupun eksperimental. Hal ini menyebabkan respon imun nonspesifik dan spesifik ikan secara signifikan menurun ketika ikan mengalami stres suhu tinggi atau suhu di atas kisaran suhu air normal untuk ikan (Ndong et al. 2007). Evan et al. (2003) menyatakan bahwa rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam air (DO mencapai 1 mg/L) dalam jangka waktu cukup lama akan meningkatkan respons stres ikan yang menyebabkan gangguan respons imunitas ikan sehingga menurunkan resistensi ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae. Stressor lingkungan dan kualitas air sub-optimal seperti konsentrasi amonia tinggi ≥ 2 mg/L (Evan et al. 2006), konsentrasi nitrit tinggi (Bowser et al. 1998), salinitas tinggi dan alkalinitas tinggi (pH>8) (Perera et al. 1997), padat tebar tinggi (Shoemaker et al. 2000) memberikan kontribusi terhadap tingginya kematian ikan nila akibat infeksi S. agalactiae. Konsentrasi nitrit pada hasil penelitian ini yang tinggi disebabkan tidak dilakukannya penyifonan dan pergantian air sebanyak 25-50% di akhir uji tantang (hari ke-30). Hal ini diduga disebabkan pemberian pakan secara ad libitum membuat sisa makanan menumpuk di dasar akuarium, ditambah dengan tumpukan feses ikan sehingga kualitas air menurun pada akhir penelitian.
31
Kualitas air selama masa infeksi terjaga pada kondisi normal budidaya sehingga kematian ikan yang tinggi disebabkan oleh tingginya virulensi dan dosis infeksi S. agalactiae yang digunakan, konfirmasi penyebab kematian ikan yang dilakukan secara molekuler (Lampiran 7) menunjukkan bahwa kematian ikan disebabkan oleh infeksi S. agalactiae. Gejala klinis berupa tingkah laku gerakan renang pada hari ke 1 sebagian ikan bergerak didasar dan cenderung diam dan sebagian lagi berenang memisahkan diri. Pada tubuh ikan muncul pigmen hitam dan ini terjadi sampai hari ke 14. Selain itu pada ketiga strain yaitu nila biru, srikandi dan nirwana ada sebagian ikan yang sudah mengalami whirling atau berenang berputar-putar dan tidak seimbang. Secara umum berdasarkan gejala klinis yang menimbulkan kematian, terlebih dahulu ikan mengalami abnormalitas bentuk tubuh (tubuh bengkak), warna tubuh tampak menjadi gelap, sisik terkuak bahkan lepas dan sekresi mukus berkurang sehingga kulit terasa kesat, terjadi hiperemi pada operkulum, sirip dada, sirip perut, pangkal sirip ekor, sirip anal, dan anus. Mengalami hemoragi pada kulit di daerah perut dan terus meluas ke permukaan tubuh lainnya dan terjadi nekrosis serta menimbulkan tukak sebelum terjadi kematian. Selain itu terjadi erosi yang luas pada ekor dan sirip (geripis atau rusak atau busuknya sirip) disertai hemoragi pada batas tubuh yang erosi dengan yang belum serta jaringan otot, insang berwarna merah keputihan (pucat ) dan sekresi mukus berkurang. Menurut Anderson (1990) dan Aliffudin (2002), pertahanan tubuh nonspesifik meliputi barier mekanik atau fisik seperti mukus, sisik, dan kulit, lisosim, enzim bakteriolitik lainnya, serta mukopolisakarida yang menghalangi pergerakan mikroorganisme. Mukus ikan menyelimuti permukaan tubuh, insang dan terdapat juga pada lapisan mukosa usus berperan untuk pemerangkap patogen secara mekanik dan eliminasi patogen secara kimiawi dengan lisozim dan enzim proteolitik lainnya. Selain itu, mukus juga mengandung antibodi (pertahanan spesifik), aglutinin alamiah dan lisin yang berkemampuan untuk mengeliminir patogen. Kulit dan sisik berperan terhadap invasi patogen melalui penebalan kutikel ataupun hiperplasia sel-sel malfigi. Jika barier ini dapat ditembus oleh patogen, maka menyebabkan inflamasi disekitar situs masuknya patogen, komponen berikut yang berperan adalah pertahanan seluler seperti sel fagositik, neutrofil dan leukosit lainnya akan membanjiri situs dan menghancurkan patogen. Inflamasi bertujuan untuk membatasi meluasnya penyebaran patogen dalam tubuh inang. Ikan yang terserang streptococcosis menunjukkan gejala perut gembung yang akan diikuti gejala perut menjadi cekung setelah dua hari gejala wal muncul, pada infeksi yang akut terjadi kerusakan pada hati menjadi pucat, pendarahan pada ginjal dan limpa membesar (bengkak). Gejala klinis ikan yang terinfeksi Streptococcis menunjukkan gejala renang tidak menentu dan warna kulit lebih gelap (Al-Harbi and Ahmed 1994) Hasil histopatologi terbagi ke dalam dua pola karakter luka. Pola pertama, luka yang fokal yaitu kerusakan sel yang terjadi hanya pada satu sel, luka yang mild dengan kerusakan minor tidak sampai merubah bentuk sel, dan terlihat adanya inflamasi dan granuloma. Granuloma berisi kumpulan sel-sel yang rusak, yang diselubungi oleh kapsul tebal dari kumpulan makrofag. Pusat makrofag dan melanomakrofag juga teramati banyak menyelubungi granuloma. Pola kedua, luka yang multifokal dengan kerusakan sel yang terjadi pada beberapa sel secara
32
mengelompok, luka parah (acute), nekrotik, luka inflamasi yang melibatkan leukosit, makrofag, fibrin dan sel granular eosinophilik. Kedua pola luka biasanya teramati ada pada bagian otak dan mata (Hernandez et al. 2009). Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Mekasime terjadinya kerusakan jaringan karena adanya sitokin yang menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi (Smith 1977). Secara keseluruhan hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan adanya pengaruh positif rElGH dalam merangsang peningkatan respons pertumbuhan, proksimat dan imunitas ikan nila. Pemberian rElGH secara oral dengan dosis 2 mg/kg pakan selama 2 minggu pada ikan nila srikandi memberikan respons pertumbuhan, proksimat dan imunitas yang lebih baik dibandingkan tetuanya. Menurut Overturf et al. (2010) tidak terdapat korelasi yang signifikan antara pertumbuhan dengan resistensi terhadap penyakit IHN dan BCWD, korelasi antara bobot tubuh dan resistensi terhadap penyakit pada ikan rainbow trout Oncorhychus mykiss (Walbaum) terutama pada famili yang memiliki bobot awal lebih besar menunjukkan korelasi positif dengan resistensi terhadap penyakit bacterial cold water disease. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui efektivitas penambahan rElGH pada ikan nila srikandi dalam media bersalinitas tinggi baik uji langsung maupun bertahap dengan dosis yang tepat, dengan harapan budidaya ikan nila srikandi di tambak lebih mudah dilaksanakan tanpa harus aklimatisasi selama 1 minggu sampai salinitas 30 g/L untuk masuk ke tambak salinitas tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini penerapan rElGH pada budidaya ikan nila srikandi dapat dimulai dari benih ukuran 2-3 cm, dan mungkin dapat dilanjutkan lagi ketika nila mencapai ukuran 7-8 cm (ukuran ideal untuk tebar ke tambak) sehingga sintasan tebar ikan nila srikandi di tambak tetap tinggi tanpa adanya aklimatisati lebih dulu.
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Strain ikan nila sangat mempengaruhi efektivitas pemberian rElGH dalam memacu pertumbuhan dan imunitasnya. Pemberian pakan dengan rElGH dosis 2 mg/kg selama dua minggu mampu meningkatkan performa pertumbuhan dan respons imunitas terhadap infeksi bakteri S. agalactiae pada ikan nila srikandi.
Saran Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui efektivitas penambahan rElGH pada ikan nila srikandi dalam media bersalinitas tinggi baik uji langsung maupun bertahap dengan dosis yang tepat.
33
DAFTAR PUSTAKA Abuseliana AF, Daud H, Aziz SA, Bejo SK, Alsaid M. 2010. Streptococcus agalactiae the etiological agent of mass mortality in farmed red tilapia Oreochromis sp. J Anim Vet Adv. 9 (20): 2640-2646. Acosta J, Morales R, Morales A, Alonso M, Estrada MP. 2007. Pichia pastoris expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia. Biotechnology Lett. 29, 1671-1676. Acosta J, Carpio Y, Besada V, Morales R, Sánchez A, Curbelo Y, Ayala J, Estrada MP. 2008. Recombinant truncated tilapia growth hormone enhances growth and innate immunity in tilapia fry Oreochromis sp. Gen Comp Encocrinol. 157: 49 - 57. Acosta JR, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J, Borroto C, Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides : potent enhancers of fish growth and innate immunity. Bio Aplic. 26, 267-272. Adam SM. 1990. Status and use of biological indicator for evaluating the effect of stress on fish. A Fish Society Symposium. 8: 1-8 Al-Harbi AH, Ahmed. 1994. First Isolation of Streptococcus sp. From hybrid tilapia Oreochromis niloticus x O. aureus in Saudi Arabia. Aquaculture. 128: 195-201. Alifuddin M. 2002. Immunostimulan pada hewan akuatik. J Akuat Indonesia. 1 (2): 87-92 Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat AO, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indones Aquac J. 5:11-16. Anathy V, Venugopal T, Koteeswaran R, Pandian TJ, Mathavan S. 2001. Cloning, sequencing and expression of cDNA encoding growth hormone from Indian catfish Heteropneustes fossilis. J of Biosci. 26(3): 315-324. Anderson DP. 1974. Fish immunology. Hongkong: TFH Publication Ltd. Pp 182. Anderson DP. 1990. Immunological indicators : Effects of environmental stress on immun protection and disease outbreaks. A Fis society Symposium. 8 : 3850 Anderson DP, Siwicki AK. 1993. Basic hematology and serology for fish health programs. Paper presented in second symposium on diseases in Asian Aquaculture “Aquatic Animal Health and the Evironment”. Phuket,Thailand.25-29 th October 1993. 17 hlm. Antoro, Suci. 2014. Performa Pertumbuhan, Komposisi Biokimia, Imunitas Bawaan dan Histologi Benih Ikan Kerapu Bebek setelah Perlakuan Hormon Pertumbuhan Rekombinan. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ariyanto D, Sumantadinata K. 2010. Evaluasi Pertumbuhan dan Perkembangan Organ Reproduksi Tiga Genotipe Ikan Nila Oreochromis niloticus. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. hal 567-572. Balarin, JD, Haller. 1982. The intensive culture of tilapia in tanks, raceways and cages. In: Muir JF and Roberts RJ (eds). Recent Advances in Aquaculture. Croom Helm, London and Canberra, Westview Press, Boulder Colorado, pp 267-355.
34
Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. J Fish Biology. 5:577-581. Bercovier H, Ghittino C, Eldar A.1997. Immunization with bacterial antigens: infections with streptococci and related organism. Dev Biol Stand. 90: 153160. Bolander FF. 2004. Molecular Endocrinology, 3rd ed. London: Elsevier Academic Press. Bolivar RB, Gary F, Newkirk. 2002. Response to within family selection for body weight in Nile tilapia Oreochromis niloticus using a single-trait animal model. Aquaculture. 204: 371-381. Bowser PR, Wooster GA, Getchell RG, Timmons MB. 1998. S. iniae infection of tilapia O. niloticus in a recirculation production facility. J World Aquat Society. 29: 335-339. Boyd CE. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Birmingham Publishing Company, Birmingham, Alabama. Buller NB. 2004. Bacteria from fish and other aquatic animals: A practical identification manual. CABI Publishing. Wallingford. Wallingford. 61 p. Bunch EC, Bajerano Y. 1997. The effect of environmental factors on the susceptibility of hybrid tilapia Oreochromis niloticus x Oreochromis aureus to streptococcosis. Israeli J Aquat. 49: 56-61. Chaffin DO, Beres SB, Yim HH, Rubens CE. 2000. The serotype of type Ia and III group B streptococci is determined by the polymerase gene within te polycistronic capsule operon. J Bacteriol. 182: 4466-4477. Chang PH, Plumb JA. 1996. Effects of salinity on streptococcus infection of Nile tilapia, Oreochromis niloticus. J Applied Aquat. 6: 39-45. Clem LW, Faulman E, Miller NW, Ellsaesser C. 1985. Monocytes as accessory cells in fish immune responses. Dev Comp Immunol. 9: 803-809. Conroy G. 2009. Tilapia streptococcosis: Prevalence of Streptococcus Species in Latin America and their pathological manifestations. Proc Managing Streptococcus in Warmwater Fish: 15-20. Courtenay WR Jr, Hensley DA, Taylor JN, and McCann JA. 1984. Distribution of exotic fishes in the continental United States. Pages 41-77 in Courtenay WR Jr, and Stauffer JR Jr, editors. Distribution, biology and management of exotic fishes. Johns Hopkins University Press, Baltimore, MD. Debnanth S. 2010. A review on the physiology of insulin-like growth factor-1 (IGF-1) peptide in bony fisher and its phylogenetic correlation in 30 different taxa of 1 families of teleosts. Advances Envir Biol. 5, 31-52. Devriese LA. 1991. Streptococcal ecovars associated with different animal species: epidemiological significance of serogroups and biotypes. J App Bacteriol. 71: 478-483. Eldar A, Bejerano Y, Bercovier H. 1994. Streptococcus shiloi and Streptococcus difficile: two new streptococcal species causing a meningoencephalitis in fish. Current Microbiology. 28: 139-143. Eldar A, Horovitez A, Bercovier H. 1997. Development and efficacy of a vaccine against Streptococcus iniae infection in farmed rainbow trout. Vet Immunol Immunopathol. 56: 175-183.
35
Eldar A, Ghittino C. 1999. Lactococcus garvieae and Streptococcus iniae infections in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss: similar but different diseases. Dis Aquat Org. 36: 227-231. Ellis AE. 1989. The immunology of teleosts. In: Robert, RJ. (Ed). Fish Pathology. Bailiere Tindal. London. pp. 135-152. Evans JJ, Klesius PH, Gilbert PM, Shoemaker CA, Al Sarawi MA, Landsberg J, Duremdez R, Al Marzouk A, Al Zenki S. 2002. Characterization of bhemolytic group B Streptococcus agalactiae in cultured sea bream, Sparus auratus L. and wild mullet, Liza klunzingeri, in Kuwait. J Fish Dis. 25: 5055113. Evans JJ, Klesius PH, Shoemaker CA. 2006. An overview of Streptococcus in warm-water fish. Aquat Health Internat. 7: 10-14. Facklam R. 2002. What happened to the streptococci: overview of taxonomic and nomenclature changes. Clin Microbiol Rev. 15 (4): 613-630. Fange R. 1982. A comparative study of lymphomieloid tissue in fish. Dev Comp Immunol (Supplement). 2: 23-23. Febrianti R, Taukhid A, Lusiastuti AM. 2012. Kerentanan ikan nila sultana, nila merah, srikandi dan nila biru terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae. Laporan akhir TA 2012. Balai Penelitian Pemuliaan Ikan. Sukamandi. Unpublished. Foster AR, Houlhan DF, Gray C, Medalem F, Fauconneau B, Kaushik SJ, LeBail PY. 1991. The effect of ovine growth hormone on protein turnover in rainbow trout. Gen Comp Endocrinol. 82, 111-120. Funkenstein B, Dyman A, Lapidot Z, de Jesus-Ayson EG, Gertler A, Ayson FG. 2005. Expression and purification of a biologically active recombinant rabbitfish Siganus guttatus growth hormone. Aquaculture. 250: 504-515. Glaser P, Rusniok C, Bucrieser C, Chevalier F, Franguel L, Msadek T, Zouine M, Couve E, Lalioui L, Poyart C, Trieu-Cuot P, Kunst F. 2002. Genome sequence of Streptococcus agalactiae, a pathogen causing invasive neonatal disease. Mol Microbiol. 45: 1499-1513. Handoyo B, Alimuddin, Utomo NBP. 2012. Pertumbuhan, konversi dan retensi pakan, dan proksimat tubuh benih ikan sidat yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang melalui perendaman. J Akuat Indonesia. 11(2): 132-140. Hardi EH. 2011. Kandidat Vaksin Potensial Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan Nila Oreochromis niloticus. [disertasi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hardiantho D, Alimuddin, Prasetyo AE, Yanti DH, Sumantadinata K. 2012. Performa benih ikan nila diberi pakan mengandung hormon pertumbuhan rekombinan ikan mas dengan dosis berbeda. J Akuat Indonesia. 11(1): 17-22 Harris J, Bird DJ. 2000. Modulation of the fish immune system by hormones. Vet Immunol Immunopath. 77:163-176. Hatori N. 2009. Expression, regulation and biological actions of growth hormone (GH) and ghrelin in the immune system. Growth Hormone and IGF Research. 19: 187-197.
36
Herbert NA, Armstrong JD, Björnsson BT. 2001. Evidence that growth hormone-induced elevation in routine metabolism of juvenile Atlantic salmon is a result of increased spontaneous activity. J Fish Biol. 59, 754–757. Hertz Y, Tachelet A, Madar Z, Gertler A. 1991. Absorption of bioactive human growth hormone after oral administration in the common carp and its enhancement by deoxycholate. J Comp Physiol. 161:159-163. Hinton DE, Lauren DJ. 1990. Integrative histopathological approaches to detecting effects of environmental stressors of fishes. American Fisheries Society Symposium. 8: 51-66. Hoshina T, Sano T, Marimoto Y. 1958. A streptococcus pathogenic to fish. J Tokyo Univ Fisher. 44: 57-58. Inglis V, Roberts RJ, Bromage NR. 1993. Streptococcal infections. In-Bacterial diseases of fish. New York : Halsted. Pp: 196-197. Irmawati, Alimuddin, Junior MZ, Suprayudi MA, Wahyudi AT. 2012. Peningkatan laju pertumbuhan benih ikan gurami (Osphronemus goramy, Lac) yang direndam dalam air yang mengandung hormon pertumbuhan ikan mas. J Iktio Indonesia. 12(1): 13-23. Irmawati. 2013. Respons Fisiologis, Biokimia, dan Molekuler Ikan Gurami yang Diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan. [Disertasi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Iwana GK, Nakanishi T. 1996. The fish immune system, organism, pathogen and environment. London: Academic Press. 380 p. Jentoft S, Topp N, Seeliger M, Malison JA, Barry TP, Held JA, Roberts S, Goetz F. 2005. Lack of growth enhancement by exogenous growth hormone treatment in yellow perch Perca flavescens in four separate experiments. Aquaculture. 250:471– 479. Johnsson ID, Hathom DJ, Wilde RM, Teacher TT, Butler-Hogg BW. 1987. The effect of dose and method of administration of biosynthetic bovine somatotropin on live-weight gain, carcasss composition and wool growth in young lambs. Anim Prod. 44, 405-414. Kamiso HN. 2001. Immunologi dan Vaksinasi pada Ikan. DUE Project. Fakultas Perikanan. Universitas Riau, Pekanbaru. Kawamura Y, Ito Y, Mishima N, Ohkusu K, Kasai H, Ezaki T. 2005. High genetic similarity of Streptococcus agalactiae and Streptococcus difficilis : S. difficilis Eldar et al. 1995 is a later synonym of S. agalactiae Lehmann and Neumann 1896 (Approved Lists 1980). Internat J System Evol Microbiol. 55: 961-965. Kitao T, Aoki T, Sakoh R. 1981. Epizootic caused by β-haemolytic Streptococcus species in cultured freshwater fis. Fish Pathology. 15: 301-307. Latar DI. 2013. Efektivitas Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang melalui Pakan dengan Bahan Penyalut berbeda pada Ikan Nila Oreochromis niloticus. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Le Bail P-Y, Perez-Sanchez J, Yao K, Maisse G. 1993. Effect of GH treatment on salmonid growth: study of the variability of response. Coastal and Estuarine Studies Aquaculture: Fundamental and Applied Research 43:173197. Leedom TA, Uchida K, Yada T, Richman III NH, Byatt JC, Collier RJ, Hirano T, Grau EG. 2002. Recombinant bovine growth hormone treatment of tilapia:
37
growth response, metabolic clearance, receptor binding and immunoglobulin production. Aquaculture. 207: 359-380. Lesmana I. 2010. Produksi dan bioaktivitas protein rekombinan hormon pertumbuhan dari tiga jenis ikan budidaya. [tesis]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of common carp growth hormone in the yeast Pichia pastoris and growth stimulation of juvenile tilapia Oreochromis niloticus. Aquaculture. 216: 329341. Lindholm J. 2006. Growth hormone: historical notes. Pituitary. 9, 5-10. Liu S, Zang X, Liu B, Zhang X, Arunakumara KKIU, Zhang X, and Liang B. 2007. Effect of growth hormone transgenic synechocystis on growth, feed efficiency, muscle composition, haematology and histology of turbot Scophthalmus maximus L. Aquaculture Research. 38: 1283-1292. Liu S, Zhang X, Zang X, Liu B, Arunakumara KKIU, Xu D, Zhang X. 2008. Growth, feed efficiency, body muscle composition, and histology of flounder Paralichthys olivaceus fed GH transgenic Synechocystis. Aquaculture. 277: 78–82. Mata, AI., MM Blanco, L Dominguez, JF Fernandez-Garayzabal, A Gibello. 2003. Development of a PCR assay for Streptococcus iniae based on the lactate oxidase (lctO) gene with potential diagnostic value. Vet Microbiol. 46:225-229 Mian GF, Godoy DT, Leal CAG, Yuara TY, Costa GM, Figueiredo HCP. 2009. Aspects of the natural history and virulence of S. agalactiae infection in Nile tilapia. Vet Microbiol. 136: 180-183. Moriyama S, Yamamoto H, Sugimoto S, Abe T, Hirano T, Kawauchi H. 1993. Oral administration of recombinant salmon growth hormone to rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture. 112: 99–106. Moriyama S, Felix GA, Hiroshi K. 2000. Growth regulation by insuLin-like growth factor-1 in fish: review. Biosci Biotechnol Biochem. 64, 1553-1562. Moriyama S, Kawauchi H. 2001. Growth regulation by growth hormone and insulin-like growth factor-I in teleosts. Outsuchi Mar Sci. 26, 23-27. Muhammad. 2014. Respons Pertumbuhan Ikan Nila Merah yang Diberi Pakan Mengandung Hormon Pertumbuhan Rekombinan pada Dosis Berbeda. [disertasi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Murdjani M. 2002. Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis. [disertasi]. Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya. Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi, Pfaller MA. 2005. Medical Microbiology. 5th Edn, mosby Inc. St. Louis MO USA. pp: 291-296. Nam YK, Noh JK, Cho YS, Cho HJ, Cho KN, Kim CG, Kim DS. 2001. Dramatically accelerate growth and extraordinary gigantism of transgenic mud loach Misgurnus mizolepis. Transgenic Research. 10: 353-362. Ndong D, Chen YY, Lin YH, Vaseeharan B, Chen JC. 2007. The immune response of tilapia Oreochromis mossambicus and its susceptibility to Streptococcus iniae under stress in low and high temperatures. Fish Shellfish Immunol. 22: 686-694.
38
Nguyen HT, Kanai K, Yoshikoshi K. 2001. Immunohistochemical examination of experimental Streptococcus iniae infection in Japanese flounder Paralichthys olivaceus. Fish Pathology. 36 (3): 169-178. Nguyen HT, Kanai K, Yoshikoshi K. 2002. Ecological investigation of Streptococcus iniae in cultured Japanese flounder Paralichthys olivaceus using selective isolation procedurs. Aquaculture. 205: 7-17. Noor RR. 2000. Genetika ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. 200 hal. O'Connor PK, Reich B, Sheridan MA. 1993. Growth hormone stimulates hepatic lipid mobilization in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. J Comp Physiol. 163: 427–431. Overturf K, S LaPatra, R Towner, N Campbell, S Narum. 2010. Relationship between growth and disease resistance in rainbow trout Oncorhynchus mykiss (Walbaum). J of Fish Dis. 33:321-329. doi:10.1111/j.1365-2761.2009.01124. Pell JM, Elock C, Harding RL, Morrell DJ, Simmonds AD, Wallis M. 1990. Growth, body composition, hormonal and metabolic status in lambs treated long-term with growth hormone. Br J Nutr. 63: 431-445. Perera RP, Johnson SK, Lewis DH. 1997. Epizootiological aspects of Streptococcus iniae affecting tilapia in Texas. Aquaculture. 152: 25-33. Perrson E, Berg S, Trollfors B, Larrson P, Ek E, Backhaus E, Claesson BEB, Jonsson L, Radberg G, Ripa T, Johansson S. 2004. Serotypes and clinical manifestations of invasive group B streptococcal infections in western Sweden 1998-2001. Clin Microbiol Infect. 10 (9): 791-796. Plumb JA. 1999. Health maintenance and principal microbial disease of cultured fishes. Iowa State University Press Ames. Popma, T. dan M. Masser. 1999. Tilapia. Life History and Biology. Southern Regional Aquaculture Center. SRAC Publication. No. 283. Pretto-Giardano LG, Muller EE, Freitas JCD, Silva VG. 2010. Evaluation on the pathogenesis of Streptococcus agalactiae in Nile tilapia Oreochromis niloticus. Brazilian Archives Biol Tech. 53 (1): 87-92. Promdonkoy B, Warit S, Panyim S. 2004. Production of a biologically active growth hormone from giant catfish Pangasianodon gigas in Escherichia coli. Biotechnology Lett. 26: 649–653. Putra HGP. 2010. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang diberi protein rekombinan HP melalui perendaman dengan dosis berbeda. [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Reinecke M, Björnsson BT, Dickhoff WW, McCormick SD, Navarro I, Power DM, Gutiérrez J. 2005. Growth hormone and insulin-like growth factors in fish: where we are and where to go. Gen Comp Endocrinol. 142: 20–24. Rijkers GT. 1982. Kinetic of humoral and cellular immune reactions in fish. Dev Comp Immunol (supplement). 2: 93-100. Robinson JA, Meyer FP. 1966. Streptococcal fish pathogen. J bacteriology. 92: 512. Robisalmi A, Taukhid A, RR Sri PSD, Priadi S. 2011. Uji Tantang Empat Populasi Ikan Nila terhadap Infeksi Bakteri Streptococcus agalactiae di Media Bersalinitas. Prosiding Seminar Perikanan Nasional Indonesia. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.
39
Rodkhum C, Kayansamruaj P, Pirarat N. 2011. Effect of water temperature on susceptibility to Streptococcus agalactiae serotype Ia infection in Nile tilapia Oreochromis niloticus. Thai J Vet Med. 41 (3): 309-314. Romalde JL, Toranzo AE. 2002. Molecular approaches for the study and diagnosis of salmonid Streptococcosis. Di dalam: Cunningham CC, editor. Molecular Diagnosis of Salmonid Diseases. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands, hlm 211-233. Rousseau K, Dufour S. 2007. Comparative aspects of HP and metabolic regulation in lower vertebrates. Neuroendocrinol. 86(3), 165-174. Roth JA. 1988. Virulence mechanism of bacterial pathogens. American Society for Microbiology, USA. pp 317. Rustidja. 1996. Pola warna dan genetik ikan nila. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang. 83 hal. Safir M. 2012. Respons Benih Ikan Gurami Osphronemus goramy yang diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan Melalui Oral pada Dosis Berbeda. [tesis]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sakai M, Kajita Y, Kobayashi M, Kawauchi H. 1997. Immunostimulating effect of growth hormone: in vivo administration of growth hormone in rainbow trout enhances resistance to Vibrio anguillarum infection. Vet Immunol Immunopathol. 57: 1–6. Sakamoto T, Shepherd BS, Madsen SS, Nishioka RS, Siharath K, Richman NH, Bern HA, Grau EG. 1997. Osmoregulatory actions of growth hormone and prolactin in an advanced teleost. Gen Comp Endocrinol. 106: 95-101. Salvador R, Muller EE, Freitas JC, Leonhard JH, Pretto-Giordano LG, Dias JA. 2005. Isolation and characterization of Streptococcus spp. group B in Nile tilapia Oreochromis niloticus reared in hapas nets and earth nurseries in the northern region of Parana State, Brazil. Ciencia Rural. 35: 1374-1378. Santiesteban D, Martín L, Arenal A, Franco R, Sotolongo J. 2010. Tilapia growth hormone binds to a receptor in brush border membrane vesicles from the hepatopancreas of shrimp Litopenaeus vannamei. Aquaculture. 306: 338– 342. Segura M, Gottschalk M. 2004. Extracellular virulence factors of streptococci associated with animal diseases. Frontiers in bioscience. 9: 1157-1188. Sekine S, Mizukami T, Nishi T, Kuwana Y, Saito A, Sato M, Itoh S, and Kawauchi H. 1985. Cloning and expression of cDNA for salmon growth hormone in Escherichia coli. Proc Natl Acad Sci. USA 82: 4306-4310. Shafland, P.L. and J.M. Pesytrak. 1982. Lower lethal temperatures for fourteen non-native fishes in Florida. Envir Biol Fishes. 7(2):149-156. Sheehan B, Labrie L, Lee YS, Wong ES, Chan J, Komar C, Wendover N, Grisez L. 2009. Streptococcosis in tilapia: A more complex problem than expected? Proceedings of Managing Streptococcus in Warmwater Fish. Veracrus, Mexico (3): 9-14. Sherif MS, Feky AMI. 2009. Performance of Nile Tilapia Oreochromis niloticus Fingerlings. I. Effect of pH. Internat J Agric Biol. 1560–8530. Shoemaker CA, Evans JJ, Klesius PH. 2000. Density and dose: factors affecting mortality of Streptococcus iniae infected tilapia Oreochromis niloticus. Aquaculture. 188: 229–235.
40
Siti-Zahrah A, Padila B, Azila A, Rimatulhana R, Shahidan R. 2008. Multiple streptococcal species infection in cage-cultured red tilapia but showing similar clinical signs. In diseases in asian aquaculture VI. Bondad-Reantaso M, Mohan C, Crumlish M, Subasinghe R (Eds). Asian Fisheries Society. pp. 313-320. Slotved HC, Kong F, Lambertsen L, Sauer S, Gilbert GL. 2007. Serotype IX, a proposed new Streptococcus agalactiae serotype. J Clin Microbiol. 45: 29292936. SNI/Standar Nasional Indonesia. 2009. Metode identifikasi bakteri pada ikan secara konvensional Bagian 3: Streptococcus iniae dan Streptococcus agalactiae. Badan Standarisasi Nasional/BSN. SNI 7545.3:2009. 12 hal. Sørensen HP, Kim KM. 2005. Advanced genetic strategies for recombinant protein expression in Escherichia coli. J Biotechnol. 115:113–128 Spataru, P., and M. Zorn. 1978. Food and feeding habits of Tilapia aurea (Steindachner) (Cichlidae) in Lake Kinneret (Israel). Aquaculture. 13:67-79. Suanyuk N, Kanghear H, Khongpradit R, Supamattaya K. 2005. Streptococcus agalactiae infection in tilapia Oreochromis niloticus. Slongkanakarin J Sci Tech. 27 : 307-319. Suanyuk N, Kong F, Ko D, Gilbert GL, Supamattaya K. 2008. Occurance of rare genotypes of Streptococcus agalactiae in cultured red tilapia Oreochromis sp. and Nile tilapia O. niloticus in Thailand-Relationsip to human isolates? Aquaculture. 284: 35-40. Subaidah S, Carman O, Sumantadinata K, Sukenda, Alimuddin. 2012. Respons pertumbuhan dan ekspresi gen udang vaname Litopenaeus vannamei setelah direndam dalam larutan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang. J Ris Akuakultur. 7 (3): 337 – 352. Syazili A. 2011. Kinerja pertumbuhan dan kelangsungan hidup juvenile ikan gurame direndam hormon pertumbuhan rekombinan dengan frekuensi berbeda. [tesis]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Swingle, H. S. 1960. Comparative evaluation of two tilapias as pond fishes in Alabama. Transactions of the American Fisheries Society. 89:142-148. Toranzo AE, Magarinos B, Romalde JL. 2005. A review of the main bacterial fish disease in mariculture system. Aquaculture. 246: 37-61. Tsai HJ, Hsih MH, Kuo JC. 1997. Escherichia coli produced fish growth hormone as a feed additive to enhance the growth of juvenile black seabream Acanthopagrus schlegeli. J Appl Ichthyol. 13: 78-82. Volkoff H, Canosa LF, Unniappan S, Cerdá-Revertefer JM, Kelly SP, Peter RE. 2005. Neuropeptides and the control of food intake in fish. Gen Comp Endocrinol. 142: 3-19. Wedemeyer GA, WT Yasutake.1977. Clinical Methods for the Assessment of the Effect Environmental Stress on Fish Health. Technical Papers of The U.S. Fish and Wildfield Service. US. Depart. of the Interior Fish and Wildlife Service 89: 1-17. Weidner M, Taupp M, Hallam SJ. 2010. Expression of recombinant proteins in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. JoVE. 36. http://www.jove.com/details.php?id=1862, doi: 10.3791/1862.
41
Wibawan IWT, Laemmler S, Pasaribu FH. 1992. Role of hydrophobic surface proteins in mediating adherence of group B streptococci to epithelial cells. J Gen Microbiol. 138: 1237-1242. Wong AOL, Zhou H, Jiang Y, Ko KKW. 2006. Feedback regulation of growth hormone synthesis and secretion in fish and the emerging concept of intrapituitary feedback loop: review. Comp Biochem Physiol. Part A 144: 284 – 305. Wongsathein D. 2012. Factors affecting experimental Streptococcus agalactiae infection in tilapia, Oreochromis niloticus. Thesis submitted to the university of stirling for the degree of doctor of philosophy. Institute of Aquaculture. University of Stirling. United Kingdom. 169 p. Yanong PER, Francis-Floyd R. 2006. Streptococcal infections of fish. Univ. Fla. IFAS Ext.57, 1–6. Yada T, Nagae M, Moriyama S, Azuma T. 1999. Effects of prolactin and growth hormone on plasma immunoglobulin M levels of hypophysectomized rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Gen Comp Endocrinol. 115, 46-52. Ye X, Li J, Lu M, Deng G, Jiang X, Tian Y, Quan Y, Jian Q. 2011. Identification and molecular typing of Streptococcus agalactiae isolated from pond-cultured tilapia in China. Fish Sciences. 77: 623-632. Yin LK. 2004. Current trends in the study of bacterial and viral fish and shrimp diseases. World Scientific Publishing Co., Singapore. Zamri-Saad M, Amal MNA, Siti-Zahrah A. 2010. Pathological changes in red tilapias Oreochromis spp. naturally infected by Streptococcus agalactiae. J Comp Pathol. 143: 227-229. Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap pertumbuhan bobot (g) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol).
Source
Type III Sum of Squares
Mean Square
Df
Corrected Model Intercept
a
7.915 3535.999
5 1
Strain ikan rElGH Strain ikan * rElGH Error Total Corrected Total
4.142 .002 3.501 30.279 3579.152 38.195
2 1 2 112 118 117
F
1.583 5.856 3535.999 13079.266 2.071 .002 1.750 .270
7.661 .007 6.474
Sig. .000 .000 .001 .931 .002
Lampiran 2 Hasil uji statistik dengan Excel terhadap rerata bobot (g) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Biru rElGH 4,09 0,7051 14 -0,1474 0 13 -2,8330 0,0071 1,7709 0,0141 2,1604
Biru kontrol 5,0936 0,8289 14
43
t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Srikandi rElGH 6,48 1,6284 16 0,4635 0 15 4,9459 8,794E-05 1,7531 0,0002 2,1314
Srikandi kontrol 4,5531 2,7586 16
t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Nirwana rElGH 5,67 1,5123 18 -0,2031 0 17 1,2702 0,1106 1,7396 0,2211 2,1098
Nirwana kontrol 5,0822 1,6681 18
44
Lampiran 3 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap pertumbuhan bobot mutlak (g) dan laju pertumbuhan harian ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol). Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Pertumbuhan_mutlak Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Corrected Model 48.394a 5 9.679 6.171 Intercept 2219.109 1 2219.109 1.415E3 Strain_ikan 11.357 2 5.678 3.621 rElGH 6.122 1 6.122 3.903 Strain_ikan * 29.148 2 14.574 9.292 rElGH Error 141.154 90 1.568 Total 2458.779 96 Corrected Total 189.548 95 a. R Squared = ,255 (Adjusted R Squared = ,214) Pertumbuhan_mutlak Duncan Subset Strain_ikan
N
1
1 3
28 36
2
32
2 4.3325 5.0194 5.1478 .684
Sig. 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,568.
Sig. .000 .000 .031 .051 .000
45
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Laju_pertumbuhan_harian Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
a
Corrected Model .019 5 Intercept .888 1 Strain_ikan .005 2 rElGH .002 1 Strain_ikan * .012 2 rElGH Error .056 90 Total .984 96 Corrected Total .076 95 a. R Squared = ,255 (Adjusted R Squared = ,214)
.000 .000 .031 .051
.006
.000
.001
Duncan Subset N
1
Sig.
.004 6.171 .888 1.415E3 .002 3.621 .002 3.903
Laju_pertumbuhan_harian
Strain_ikan
F
2
1 28 .0866 3 36 .1004 2 32 .1030 Sig. 1.000 .684 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.
9.292
46
Lampiran 4 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap panjang standar (PS) dan panjang total (PT) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH (RGH) dan tanpa rElGH (kontrol). Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Panjang_standar Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Corrected Model 7.252a 5 1.450 6.055 Intercept 2539.973 1 2539.973 10602.772 Strain_ikan .814 2 .407 1.699 rElGH .004 1 .004 .016 Strain_ikan * 6.383 2 3.191 13.322 rElGH Error 21.560 90 .240 Total 2604.930 96 Corrected Total 28.812 95 a. R Squared = ,252 (Adjusted R Squared = ,210)
Sig. .000 .000 .189 .899 .000
Dependent Variable:Panjang_total Source
Type III Sum of Squares a
Df
Mean Square
F
Corrected Model 16.288 5 3.258 8.876 Intercept 5190.791 1 5190.791 14303.060 Strain_ikan 1.056 2 .528 1.455 rElGH .247 1 .247 .679 Strain_ikan * 15.273 2 7.637 21.042 rElGH Error 40.646 112 .363 Total 5272.530 118 Corrected Total 56.935 117 a. R Squared = ,286 (Adjusted R Squared = ,254)
Sig. .000 .000 .238 .412 .000
47
Lampiran 5 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap kematian kumulatif (%) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae Tests of Between-Subjects Effects Measure:MEASURE_1 Transformed Variable:Average Type III Sum of Squares
Source Intercept strain_ikan rElGH strain_ikan * rElGH Error
Df
9282.178 75.756 8.711 30.422 66.533
Mean Square 1 2 1 2 12
9282.178 1674.140 37.878 6.832 8.711 1.571 15.211 2.743 5.544
Kematian ikan 30 hari a
Duncan
Subset Strain_ikan
N
1
F
2
3 3 8.97 2 3 10.30 1 3 11.20 Sig. 1.000 .165 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square (Error) = 1.109. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
Sig. .000 .010 .234 .104
48
Lampiran 6 Hasil uji statistik dengan SPSS terhadap kematian kumulatif (%) pada minggu pertama (masa infeksi) ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae ANOVA MR Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
4214.667
5
842.933
1793.333 6008.000
12 17
149.444
Sig. 5.640
.007
Kematian ikan 7 hari Duncan Strain _ikan
Subset for alpha = 0.05 N
1
2
3
6 3 51.33 3 3 62.33 62.33 5 3 62.33 62.33 1 3 80.00 80.00 4 3 88.67 2 3 93.33 Sig. .315 .117 .228 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Lampiran 7 Hasil analisis molekuler penyebab kematian ikan nila strain biru, srikandi dan nirwana yang diberi pakan mengandung rElGH dan tanpa rElGH (kontrol) yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae.
Keterangan : (M) marker 1 kB; (-) kontrol negatif; (+) kontrol positif; (A, B, C, D) sampel ikan nila uji tantang; (G) ginjal; (H) hati; (O) otak; (m) mata.
49
Lampiran 8. Prosedur analisis proksimat (Takeuchi, 1988) Prosedur analisis kadar air Panaskan cawan pada suhu 105-110 O C selama 1 jam, dinginkan dalam desikator dan timbang (X1) Timbang bahan 2-3 gram (A) lalu masukkan ke dalam cawan Cawan dan bahan dipanaskan selama 4 jam pada suhu 105-110 OC, dinginkan dan timbang (X2)
Kadar air = (X1 + A) – X2 x 100% A
Prosedur analisis kadar abu Panaskan cawan pada suhu 105-110 O C selama 1 jam, dinginkan dalam desikator dan timbang (X1) Timbang bahan 2-3 gram (A) lalu masukkan ke dalam cawan Cawan dan bahan dipanaskan di dalam tanur dengan suhu 600 OC, dinginkan dan timbang (X2)
Kadar abu = (X2 – X1) x 100% A
50
Prosedur analisis kadar protein 1. Tahap oksidasi Timbang bahan 0,5 gram (A)
Timbang katalis 3 gram
H2SO4 pekat 10 ml
Masukkan dalam Labu Kjedhal dan panaskan hingga berwarna hijau bening, dinginkan, dan encerkan hingga volume 100 ml
2. Tahap destruksi 10 ml H2SO4 0,05 N Masukkan 5 ml larutan hasil oksidasi ke dalam labu destilasi
2-3 tetes indikator Phenolpthalein
Masukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml
Destruksi selama 10 menit dari tetesan pertama
3. Tahap titrasi Titrasi hasil destruksi dengan NaOH 0,05 N
BLANKO
Tirasi hingga 1 tetes setelah larutan menjadi bening Catat ml titran (ν) SAMPLE
Kadar protein = 0,0007 x 6,25 x (ν BLANKO – ν SAMPLE) x 20 x 100% A
51
Prosedur analisis kadar lemak Panaskan labu pada suhu 104-110 O C selama 1 jam, dinginkan dalam desikator dan timbang (X1) Timbang bahan 2-3 gram (A) lalu masukkan ke dalam selongsong
Masukkan ke dalam tabung Sochlet dan beri 100-150 ml N-Hexan hingga selongsong terendam. Sisa N-Hexan dimasukkan ke dalam labu
Panaskan labu di atas hotplate hingga larutan perendam selongsong dalam Sochlet berwarna bening Labu dan lemak yang tersisa dipanaskan dalam oven selama 15 menit, dinginkan, lalu timbang (X2)
Kadar Lemak = (X2 – X1) x 100% A
52
Prosedur analisis kadar serat kasar Timbang bahan 0,5 gram (A) lalu masukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml
Panaskan kertas saring dalam oven, dinginkan, dan timbang (X1)
Tambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N lalu panaskan di atas hotplate
Pasang kertas saring pada labu Buchner yang telah terhubung dengan vacumm pump
Setelah 30 menit tambahkan 25 ml NaOH 1,5 N lalu panaskan kembali selama 30 menit
Lakukan penyaringan larutan bahan dengan pembilasan secara berurutan sebagai berikut : 1. 50 ml air panas 2. 50 ml H2SO4 0,3 N 3. 50 ml air panas 4. 25 ml Aceton
Panaskan cawan porselin pada suhu 105-110 oC selama 1 jam lalu dinginkan
Masukkan kertas saring hasil penyaringan ke dalam cawan porselin
Panaskan pada suhu 105-110 oC selama 1 jam, dinginkan, dan timbang (X2)
Panaskan dalam tanur pada suhu 600 oC hingga berwarna putih, netralkan panas dalam oven, dinginkan, dan timbang (X3)
Kadar serat kasar = (X2 – X3 – X1) x 100% A
53
Lampiran 9. Prosedur analisis gambaran darah Total eritrosit Jumlah eritrosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973). Perhitungan eritrosit dengan cara : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 1, kemudian ditambahkan larutan Hayem’s sampai skala 101, digoyang atau diayunkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, berikutnya diteteskan ke dalam hemasitometer dan ditutup dengan kaca penutup, diamati menggunakan mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil hemasitometer, Σ eritrosit = Σ sel eritrosit terhitung x pengencer / volume. Total leukosit Jumlah leukosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973) yaitu : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk berwarna putih berskala sampai 0,5 mL, kemudian ditambahkan larutan Turk’s sampai skala 11. Selanjutnya pipet digoyang membentuk angka delapan selama 5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam hemasitometer ditutup dengan kaca penutup, diamati menggunakan mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil hemasitometer. Σ leukosit = Σ sel leukosit terhitung x volume / pengencer. Kadar hematokrit Kadar hematokrit (He) diukur menurut Anderson dan Siwicki (1993). Kadar He ditentukan dengan : sampel darah dimasukkan dalam tabung mikrohematokrit sampai kira-kira 3/4 bagian tabung, kemudian ujungnya disumbat dengan crytoseal sedalam 1 mm. Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pengukuran panjang darah yang mengendap (a) serta panjang total volume darah yang terdapat didalam tabung (b). Kadar He dinyatakan sebagai % volume padatan sel darah dan dihitung dengan cara = (a/b) x 100%. Titer antibodi Perhitungan titer antibodi dilakukan menurut Anderson (1974), dengan mengambil serum darah ikan nila. Darah disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Setelah serum terpisah dengan sel darah serum dipindahkan ke eppendorf dan diinkubasi pada suhu 44oC selama 20 menit untuk mengaktifkan komplemen. Serum selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator pada suhu 4oC untuk pengamatan titer antibodi. Pengukuran titer antibodi dilakukan dengan mengambil larutan PBS sebanyak 25 μl dan dimasukan ke dalam mikroplate pada lubang 1 sampai 12, selanjutnya dimasukkan serum darah pada lubang 1 sebanyak 25 μl kemudian dilakukan pengenceran bertingkat hingga lubang ke 11. Bakterin sebanyak 25 μl dimasukkan ke dalam lubang 1 sampai 12, campuran dihomogenkan dengan cara menggoyangkan mikroplate secara perlahan. Selanjutnya disimpan selama 2 jam dalam inkubator pada suhu 37oC, dilanjutkan dengan menyimpan ke dalam refrigerator 4oC semalaman, titer antibodi ditentukan dari lubang terakhir yang masih ditemukan reaksi aglutinasi.
54
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jepara pada tanggal 25 Januari 1981 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara oleh pasangan Nasuka dan Jasemi. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Jepara tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Diponegoro (UNDIP) dan memilih Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pendidikan sarjana penulis selesaikan tahun 2004. Pada tahun 2005 sampai sekarang, penulis bekerja menjadi PNS di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan, Sukamandi, Subang. Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan magister ke Sekolah Pascasarjana IPB, program studi Ilmu Akuakultur. Bantuan dana untuk pendidikan magister diperoleh dari BPSDM KKP dan untuk biaya penelitian diperoleh dari BPSDM KKP dan APBN komoditas Nila BPPI TA 2013-2014.