OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG UNTUK EKOWISATA BAHARI DENGAN APLIKASI MARXAN DAN WILLINGNESS TO PAY: STUDI KASUS KECAMATAN BETOAMBARI KOTA BAUBAU
AL AZHAR
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau, adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.
Bogor,
Juli 2011
Al Azhar NRP C252090041
ABSTRACT
AL AZHAR. Optimizing Spasial Use for Marine Ecotourism Using Marxan and Willingness To Pay Aplication: case study in Betoambari SubDistrict Baubau City. Under direction of MENNOFATRIA BOER and AGUSTINUS M. SAMOSIR. Baubau is a growing city in Southeast Sulawesi Province, which has potential to be developed as a marine tourism destination. However, the development should be done in a sustainable way to reduce the risk of ecological destruction in the future. The objectives of this research were to identify the suitability of coastal resources for marine ecotourism especially diving and to analyze optimum space of marine ecotourism based on minimal cost and economic value. The research was conducted in the Betoambari Sub District. The data were collected through sampling, direct observation of field conditions, distributing questionnaires, and in-depth interviews at the sites; tracking various related sources for secondary data. The result showed that the ecology-based ecotourism category diving was included in most appropriate category (S1) with area 12.49 ha and appropriate (S2) 67.28 ha; optimum space based on minimal cost and economic value was scenario 1 (70% target protection of coral reef), with net benefit Rp 12.653.950.000/years and area 58.82 ha. Keyword: Baubau, optimizing, marine ecotourism, efficiency, net benefit.
RINGKASAN
AL AZHAR, Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan AGUSTINUS M. SAMOSIR. Baubau merupakan kota otonom yang relatif baru di Propinsi Sulawesi Tenggara, di mana memperoleh status kota pada Tanggal 21 Juni 2001 (Undangundang Nomor 13 Tahun 2001). Kota yang merupakan daerah eks-pusat Kesultanan Buton ini memiliki prospek pengembangan pariwisata bahari cukup besar. Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Kota Baubau Tahun 2005, serta revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2009, kawasan Pantai Nirwana-Lakeba Kecamatan Betoambari dialokasikan untuk pengembangan pariwisata bahari. Namun hingga saat ini wisata bahari di kawasan ini seakan jalan di tempat dan belum menunjukkan perkembangan optimal. Salah satu penyebabnya adalah belum ada peruntukan ruang khusus untuk pengembangan wisata bahari. Sementara intensitas pemanfaatan kawasan dan sumberdaya untuk berbagai kepentingan di wilayah tersebut semakin besar dan meluas. Apalagi saat ini sedang dibangun pelabuhan transit depo pertamina, yang dikhawatirkan akan menyebabkan degradasi sumberdaya pesisir utamanya terumbu karang. Tujuan penelitian ini terdiri atas: (1) mengetahui potensi sumberdaya perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai bagi pengembangan ekowisata, khususnya kegiatan selam; (2) mendesain kawasan ekowisata bahari yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Betoambari Kota Baubau. Pengamatan ekologis, parameter kualitas perairan, pengumpulan data sekunder dan sosial ekonomi dilaksanakan antara Juli-September 2010, serta survei lanjutan antara Januari-Maret 2011. Jenis dan sumber data yang digunakan terdiri atas: data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui observasi, survei, serta wawancara dengan masyarakat, wisatawan, dan pemangku kepentingan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka atau laporan hasil penelitian, serta data instansi terkait. Pengamatan sebaran dan luasan terumbu karang dibantu dengan penginderaan jauh (citra Landsat 5 TM Kota Baubau Akuisisi Tahun 2010) dan Sistem Informasi Geografi (SIG). Sedangkan pengambilan data terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT), kemudian dianalisis berdasarkan penutupan komunitas karang. Penentuan ruang ekowisata bahari berdasarkan efisiensi biaya dianalisis menggunakan aplikasi Marxan (Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Annealing). Sedangkan penentuan ruang optimal perencanaan ekowisata berdasarkan nilai ekonomi memakai perhitungan net benefit (keuntungan) yang merupakan selisih dari total benefit (TB) yang diperoleh dari kombinasi antara daya dukung wisata (DDW) dan willingness to pay (WTP), dengan total cost (TC) yang diambil dari hasil konversi fungsi objektif Marxan ke dalam satuan rupiah. Berdasarkan pengamatan lapangan, terumbu karang di perairan Kecamatan Betoambari tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir Kelurahan Sulaa dan
Katobengke. Melalui analisis citra dan SIG, diketahui luasan terumbu karang sekitar 83.64 ha. Tutupan komunitas karang tertinggi ditemukan pada perairan Pantai Nirwana (wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton) sebesar 86.17 %. Ini menandakan tingkat pemanfaatan dan degradasi terhadap terumbu karang di kawasan ini relatif kecil. Sedangkan tutupan komunitas karang yang paling kecil adalah pada perairan Pantai Lakeba sebesar 49.90%. Persentase yang kecil ini, disebabkan tingkat pemanfaatan yang merusak terumbu karang cukup tinggi, contohnya penggunaan batu karang untuk jangkar rakit budidaya rumput laut dan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak atau bom. Dari hasil analisis, diperoleh perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai untuk ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologis terdapat di hampir sepanjang pesisir Kelurahan Sulaa dan Katobengke. Kategori kelas paling sesuai (S1) berada di perairan Pantai Nirwana seluas 12.49 ha; kelas cukup sesuai (S2) seluas 67.28 ha tersebar di Tanjung Sulaa, perairan pantai lakeba, arah Selatan Pantai Nirwana; dan kelas sesuai bersyarat (S3) di perairan Kelurahan Sulaa seluas 3.87 ha. Kawasan ekowisata yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal adalah skenario 1 (target ekowisata terumbu karang 70%), seluas 58.82 ha dengan nilai net benefit sebesar Rp 12 653 950 000 per tahun. Dengan skenario ini, kawasan yang paling sesuai (S1) untuk dijadikan pusat ekowisata bahari adalah di perairan Pantai Nirwana, sedangkan cukup sesuai (S2) tersebar di arah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Selatan Pantai Lakeba.
Kata Kunci: Baubau, optimasi, ekowisata bahari, efisiensi biaya, keuntungan.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG UNTUK EKOWISATA BAHARI DENGAN APLIKASI MARXAN DAN WILLINGNESS TO PAY: STUDI KASUS KECAMATAN BETOAMBARI KOTA BAUBAU
AL AZHAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Judul Tesis
: Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau.
Nama
: Al Azhar
NRP
: C252090041
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua
Ir. Agustinus Samosir, M.Phil Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 23 Mei 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Magister,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus : …………………….
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau, tepat waktu. Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Karya penelitian ini lahir dari hati nurani penulis sebagai bagian dari masyarakat pesisir, yang diinspirasi oleh naluri intelektual penulis selama bergelut dalam studi pesisir dan kelautan. Penulis sangat menyadari karya ini dapat dirampungkan berkat dukungan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan sejak proses masa perkuliahan hingga pada tahap akhir penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis menghanturkan terima kasih dan rasa hormat sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, dan Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil, sebagai komisi pembimbing yang penuh kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motivasi, bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis demi penyempurnaan penelitian ini, baik dari segi substansi maupun penulisan. 2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. 3. Seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Keluarga tercinta, atas doa dan motivasi yang menjadi napas perjuangan bagi penulis. Khusus ayahanda Arif (Alm) dan ibunda Hj. Ziyma, berkat curahan kasih sayang dan sapa halus kalian telah mengantarkan penulis dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Penulis sadar belum dapat membalas semua pengorbanan kalian. Seluruh saudaraku yang telah menyelimutiku dengan motivasi dan melewati bersama suka duka kehidupan: Bardin, S.Pd; Aznia; Adi Harianto Oka, ST; Zumiati, S.Si, Apt; Zuriati, ST; Zuardin, SKM; dan Zumria; serta keponakan tersayang Fahrunnisa Ilmi, Firdha Nurul Ilmi, dan Muhammad Fachry Rizki Oka. 5. Keluarga Wisma Edulweis Bogor: Kakanda Rusman, S.Pi, M.Si; Kakanda Supasman Emu, S.Pi, M.Si; Bunda Ir. Budianti, M.Si; Nurmin Amin, S.Hut; Sitti Yani, S.Si, M.Si; Lita Masitha, S.Pi bersama keluarga, terima kasih atas semua bantuan, kritikan, dan motivasi. Khusus Rani Chahyani Ansar, S.Si, yang selalu memberikan masukan dan membantu mengoreksi penulisan tesis. 6. Kakanda Jamal Harimudin, S.Si, M.Si, telah membantu dan meluangkan waktu mengarjarkan penulis ilmu pemetaan; Kakanda La Ila, S.Pi, M.Si yang memberikan informasi tentang Marxan. 7. Lembaga Napoleon Kota Baubau yang memberikan data dan informasi kondisi terumbu karang di perairan Kecamatan Betoambari.
8.
Teman-teman survei terumbu karang; Sudiar, Sumitro, Vian, dan PT Buton Resort. Sahabat Andy Kadir yang membantu mengumpulkan data sosial ekonomi masyarakat dan wisatawan. 9. Saudara seperantauan: Kakanda Ir. Tasrudin; Kakanda Ir. Muhammad Alwi, M.Si; La Ode Muhammad Arsal, S.Pi; Hasan Eldin Adimu, S.Pi; Suwarjoyowirayatno, S.Pi; Robin, S.Pi; Asis Bujang, S.Pi; Fendi, S.Si, dan La Ode Aslin, S.Pi. 10. Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Baubau beserta staf; Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Baubau beserta staf; Kepala Bappeda beserta staf; serta Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Baubau beserta staf, yang telah memberikan data dan informasi. 11. Sahabatku Upik Sri Rahayu, SE, yang selalu memotivasi dan mendoakan keberhasilan studi penulis 12. Seluruh rekan-rekan seperjuangan SPL XVI: James Walalangi, S.Kel; Mochamad Idham Shilman, S.Pi; Sudirman Adibrata, ST; Ita Karlina, S.Pi; Andi Chadijah, S.Pi; Syultje M Latukolan, S.Pi; Dewi Dwi Puspitasari, S.Pi; Fery Kurniawan, S.Kel; Rieke Kusuma Dewi, S.Pi; Yofi Mayalanda, S.Hut; Aldino Akbar, S.Pi; Suryo Kusumo, S.Pi; Mohamad Akbar, S.Pi; Mohamad Sayuti Djau, S.IK; Destilawaty, S.Pi; dan Raden Mas Puji Raharjo, S.Pi. 13. Seluruh rekan-rekan SPL XV (angkatan 2008). Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, demi penyempurnaan di masa yang akan datang sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Bogor,
Juli 2011
Al Azhar
RIWAYAT HIDUP
AL AZHAR dilahirkan pada Tanggal 30 Desember 1983 di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai anak keempat dari pasangan Arif (Alm) dan Hj Ziyma. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SDN 1 Bone-bone) Tahun 1996, Sekolah Menengah Pertama (SMPN 4 Baubau) Tahun 1999, dan Sekolah Menengah Umum (SMUN 2 Baubau) Tahun 2002, di Kota Baubau. Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar pada Tahun 2003, dan menyelesaikan studi pada Tahun 2007. Sebelum mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Tahun 2009, penulis bekerja menimba pengalaman di beberapa lembaga. Pada Tahun 2007-2008, penulis bekerja sebagai editor film dokumenter pada Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton yang bekerja sama dengan Uni Eropa dan Oxfam Great Britian. Pada Tahun 2008-2009, penulis bekerja sebagai jurnalis harian umum Media Sultra (Grup Media Indonesia) di Kota Baubau.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………….………………………………….. xxiii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xxv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xxvii 1.
PENDAHULUAN …………..………………………………………... 1.1 1.2 1.3 1.4
2.
3.
Latar Belakang …………...…….………….………………………. Rumusan Masalah Penelitian ...………….………………………… Tujuan Penelitian ………..……….………………………….……... Manfaat Penelitian ..……………….…………….………….………
1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA … ………………………………………...... 2.1 Terumbu Karang…………………………………………………… 2.2 Konsep Ekowisata Bahari….……………………...…….….……… 2.3 Kesesuaian Perairan Untuk Ekowisata…………………………….. 2.4 Daya Dukung Ekowisata Bahari….………………….…………….. 2.5 Zonasi Kawasan Ekowisata .....……………………………………. 2.5.1 Sistem Informasi Geografi…...……………………………… 2.5.2 Marxan …....…………………………...…………………… 2.4.1. A. Simulated Annealing...…………………………………… 2.4.2. B. Summed Solution ..……………………………..…….….. 2.4.3. C. Satuan Perencanaan .…..………………………….……… 2.4.3. D. Identifikasi Daerah Prioritas (Target) dan Skenario…...... 2.4.3. E. Biaya …….....…..………………………………….…….. 2.4.3. F. Pengubah Panjang Batas………….………………………. 2.4.3. G. Penalti...………………………………………………….. 2.6 Metode Valuasi Sumberdaya Alam ………………………………..
7
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian …..……….…………….…………… 3.2 Alat dan Bahan Penelitian.........……………….………………….... 3.3 Jenis dan Sumber Data….………………….….………………….… 3.4 Metode Pengumpulan Data.......………………….……………….... 3.4.1 Parameter Lingkungan Perairan ..…………………………… 3.4.2 Data Komunitas Karang…….……………………………….. 3.4.3 Data Ikan Karang……………………………………….……. 3.4.4 Data Sosial ……………………………………………….….. 3.5 Metode Analisis Data………………………………...……….……. 3.5.1 Analisis Komunitas Karang..………………………………… 3.5.2 Analisis Kesesuaian Kawasan…….…………………………. 3.5.3 Analisis Efisiensi Ruang dengan Aplikasi Marxan…….…… 2.4.1. A. Pembobotan Fitur Konservasi dan Fitur Biaya……….…. 2.4.2. B. Penentuan Daerah Kajian……..…………………….……. 2.4.3. C. Penentuan Satuan Perencanaan…..………………….….... xix
5 7 10 11 13 13 15 15 17 17 20 20 20 21 22 93 25 25 28 28 28 28 30 30 30 30 31 32 33 35 36
xx
4.
5.
2.4.3. D. Pemasukan Data Fitur Konservasi dan Fitur Biaya...….... 2.4.3. E. Pengubah Panjang Batas……………….…………….…... 2.4.3. F. Biaya Satuan Perencanaan……………………………..…. 2.4.3. G. Konfigurasi File-file Marxan …...…………………...….. 2.4.3. H. Melihat Hasil Analisis Marxan…………………………... 2.4.3. I. Pembuatan Berbagai Skenario……...………………...….. 3.5.4 Analisis Potensi Nilai Manfaat Ekonomi ..…………………. 2.4.1. A. Analisis Daya Dukung Kawasan……………………….… 2.4.2. B. Analisis CVM dengan Pendekatan WTP..………….….…
37 37 39 39 40 40 41 41 42
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis ………….……………………………………... 4.2 Karakteristik Fisik. ………………………..…………………….…. 4.2.1 Kondisi Geologi …………………………………………….. 4.2.2 Topografi………………………..…………………………… 4.2.3 Musim dan Suhu……………………..………………………. 4.3 Kondisi Oseanografi Fisika Perairan……………………………….. 4.3.1 Pasang Surut……………………………..…………………... 4.3.2 Karakteristik Gelombang…………………………………….. 4.3.3 Arus….………………………………………………………. 4.3.4 Suhu dan Salinitas…………………………………………… 4.4 Karakterisik Pariwisata…….………………………………………. 4.4.1 Kebijakan Pengembangan Pariwisata………………………... 4.4.2 Perkembangan Kunjungan Wisatawan…..…………………... 4.5 Karakteristik Masyarakat……………….…..………………………. 4.5.1 Perkembangan Jumlah Penduduk……..……………………... 4.5.2 Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Wisata Bahari…..…….
45 45 45 46 46 46 47 47 47 48 49 49 52 53 53 54
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Sumberdaya Kecamatan Betoambari………………………. 5.1.1 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang……..……….………… 2.4.1. A. Persentase Tutupan Komunitas Karang…..………………. 2.4.2. B. Bentuk Tumbuh Karang……………………....………….. 2.4.1. C. Jenis Ikan Karang…………………………………………. 2.4.2. D. Biota Lain ………………………………….………..…… 5.1.2 Kualitas Perairan…………..………………………………… 5.1.3 Kesesuaian Kawasan Pengembangan Ekowisata Bahari..….. 5.2 Ruang Ekowisata Bahari Optimal 5.2.1 Pemanfaatan Kawasan di Perairan Kecamatan Betoambari… 5.2.2 Ruang Ekowisata Berdasarkan Efisiensi Biaya……..………. 2.4.1. A. Penetapan Persentase Target Ruang Ekowisata……..…… 2.4.1 B. Pengaturan Skenario Ruang Ekowisata…………….…….. 2.4.1 C. Pemilihan Nilai Efisien diantara 3 Skenario……………… 5.2.3 Potensi Total Nilai Manfaat Ekonomi……….………………. A. Daya Dukung Pengembangan Ekowisata Tiap Skenario…. B. Potensi Nilai Ekonomi Ekowisata…………………….......4 5.2.4 Ruang Ekowisata Optimal Berdasarkan Biaya Minimum dan Manfaat Ekonomi Maksimal………………………………….
55 55 55 59 61 63 64 64 67 67 69 69 71 72 78 78 79 80
xxi
6.
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan………………………………………………………….. 83 6.2 Saran…………………………………………………………………. 83 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Bentuk dan ukuran unit perencanaan dari aplikasi Marxan sebelumnya....
19
2.
Koordinat lokasi stasiun penelitian pada kedalaman 10 meter…….……..
25
3.
Parameter lingkungan perairan ………..….…………….…….………….. 28
4.
Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya………………...………. 29
5.
Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup…………………………………………………..…………... 31
6.
Matriks kesesuaian untuk ekowisata bahari kategori selam……………… 32
7.
Penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi….……….…………. 34
8.
Penentuan nilai bobot fitur biaya ………………..……….……..………... 35
9.
Data kunjungan wisatawan di Kota Baubau………………..…………….. 52
10. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan wisata bahari…..………………… 54 11. Jenis lifeform (bentuk-tumbuh karang) di perairan Betoambari………….. 59 12. Jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di perairan Betoambari…….. 62 13. Luas dan lokasi yang sesuai untuk ekowisata bahari selam………………. 65 14. Faktor denda dan persentase target tiap skenario…..……………………... 71 15. Nilai biaya dan panjang batas unit perencanaan terpilih..………………… 72 16. Daya dukung ekowisata di perairan Betoambari……..…………………… 79 17. Potensi nilai ekonomi dari 3 skenario…………………………………….. 80 18. Penentuan ruang ekowisata optimal berdasarkan nilai ekonomi…..……... 81
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Nomor
1. Skema kerangka pikir ……………..……….…………..………………….
4
2. Bentuk satuan perencanaan dalam Marxan…..….…………..……………. 19 3. Pengaturan BLM ………………………………………..………………... 21 4. Wilayah administrasi Kota Baubau….………………..…………………... 26 5. Lokasi penelitian di perairan Kecamatan Betoambari……………….……. 27 6. Daerah Kajian (perairan Kecamatan Betoambari)………………………… 38 7. Alur file tabuler untuk Marxan dengan ArcView dan CLUZ…………….. 40 8. Objek unggulan kepariwisataan Baubau di setiap KPP………………..…. 51 9. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata Kota Baubau menurut Kecamatan Tahun 2007-2008…………………………………………………………. 53 10. Nilai persentase tutupan komunitas karang pada kedalaman 10 meter di perairan Kecamatan Betoambari……………………..………………… 56 11. Kondisi biota lain pada perairan Pantai Nirwana ……….……………......
57
12. Kondisi terumbu karang di perairan Pantai Nirwana…………………..…. 57 13. Kerusakan terumbu karang di perairan Pantai Lakeba..….………………. 58 14. Beberapa bentuk-tumbuh karang di perairan Betoambari……….……….
60
15. Ikan karang yang berasosiasi dengan hewan karang di perairan Pantai Nirwana…………………………………………………………………...
62
16. Satwa unik di perairan Kecamatan Betoambari….……………………….. 63 17. Kesesuaian kawasan ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologi…
66
18. Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di perairan Betoambari……….…
68
19. Peta fitur biaya di perairan Betoambari untuk analisis Marxan……….….
70
20. Kawasan ekowisata terpilih berdasarkan skenario 1………..……….……
74
21. Kawasan ekowisata terpilih berdasarkan skenario 2………..…………….. 75 22. Kawasan ekowisata terpilih berdasarkan skenario 3…………..………….. 76 23. Perbandingan total biaya (nilai efisien) pada 3 skenario…………..……...
xxv
77
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Nomor 1.
Kuesioner untuk masyarakat ……………………………………………..
93
2.
Kuesioner untuk wisatawan.……………………………..……………….
96
3.
Hasil perhitungan penutupan karang di perairan Betoambari……..……..
98
4.
Jumlah dan jenis lifeform terumbu karang di perairan Betoambari………
99
5.
Jumlah famili dan jenis ikan karang di perairan Betoambari…………….. 100
6.
Hasil pengujian ukuran unit perencanaan heksagon………………..……. 109
7.
Perbandingan hasil pengujian unit perencanaan 1 ha dan 1000 m2…..…. 110
8.
Hasil pengujian BLM optimal (0.001-1) pada skenario 1……………….. 111
.
xxvii
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dengan panjang garis pantai sekitar 81 000 km2, kaya berbagai sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, sumberdaya ikan, dan energi kelautan. Selain itu, wilayah pesisir Indonesia juga memiliki berbagai fungsi/jasa lingkungan, antara lain transportasi, pelabuhan, kawasan pemukiman, kawasan industri, agribisnis, agroindustri, rekreasi, dan pariwisata (Dahuri et al. 2004). Kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keindahan bawah laut (seperti terumbu karang dan biota unik), merupakan prospek yang sangat potensial dan menjanjikan bagi setiap daerah pesisir di Indonesia untuk menggali potensi wisata bahari sesuai karakteristik daerah. Apalagi UU Nomor 32 Tahun 2004, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, telah memperjelas pembagian wewenang dan mengamanatkan setiap daerah mengelola potensi sumberdaya alam di daerah masing-masing. Baubau merupakan kota otonom yang baru berkembang di Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, di mana memperoleh status kota pada Tanggal 21 Juni 2001 (berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2001). Kota yang merupakan daerah eks-pusat Kesultanan Buton ini memiliki prospek pengembangan pariwisata bahari cukup besar. Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) daerah Kota Baubau Tahun 2005, serta revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Tahun
2009,
kawasan
Pantai
Nirwana-Lakeba
Kecamatan
Betoambari
dialokasikan untuk kegiatan wisata bahari. Upaya
yang
dilakukan
pemerintah
daerah
Kota
Baubau
guna
mengembangkan wisata bahari antara lain, menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga untuk melakukan survei dan penelitian ekosistem terumbu karang di perairan Pantai Nirwana-Lakeba. Lembaga Napoleon Baubau (2005) misalnya, melalui survei pemotretan dan pemetaan terumbu karang, menyatakan kondisi terumbu karang di wilayah tersebut masih cukup baik serta belum mengalami tekanan ekploitasi dan tingkat degradasi yang tinggi. Hasil survei menunjukkan
2
penutupan karang keras hidup berkisar dari kategori sedang hingga sangat baik (45.73% hingga 84.50%). Kondisi terumbu karang yang masih baik dengan keanekaragaman hayatinya tersebut, disadari pemerintah daerah sebagai keindahan bawah laut Kota Baubau. Kegiatan wisata bahari yang paling utama dikembangkan di wilayah tersebut adalah wisata kategori selam. Wisata bahari memang memberikan manfaat ekonomi dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Namun di sisi lain, kegiatan wisata bahari selam secara langsung dapat berdampak negatif terhadap kelestarian terumbu karang. Hal ini telah dibuktikan Davenport (2006), bahwa kegiatan wisata selam menyebabkan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Penyelam yang tidak hati-hati dalam kegiatan wisata, biasanya menginjak atau berdiri di atas karang, dan menendang karang dengan fin. Jika kegiatan wisata yang tidak lestari seperti ini terus dibiarkan maka secara perlahan akan menguras nilai potensi wisata bahari dan menurunkan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu pengelolaan wisata bahari yang optimal
dengan
menekankan
kelestarian
sumberdaya
dan
kesejahteraan
masyarakat, atau biasa disebut ekowisata. Ekowisata merupakan konsep pariwisata
alternatif
yang
secara
konsisten
mengedepankan
nilai-nilai
alam/lingkungan dan masyarakat, serta memungkinkan adanya interaksi positif antara para pelaku. Pengelolaan ekowisata bahari di Kota Baubau merupakan upaya untuk melindungi sumberdaya pesisir seperti terumbu karang dan satwa unik, agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Ekowisata dapat berlangsung dalam jangka panjang jika pertimbangan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologis terpenuhi. Untuk itu, pengelolaan ekowisata bahari harus mensinergikan aspek ekologis, sektor penunjang, dan sosial ekonomi. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Pengembangan wisata bahari Kota Baubau dipusatkan di Kecamatan Betoambari. Berdasarkan informasi dari Buton Resort dan Dive Center Baubau (2010) lokasi penyelaman utama berada di perairan Pantai Nirwana. Lokasi
3
penyelaman yang telah diplotkan sebanyak 5 titik yaitu Pampanga, Karang I, Karang II, Karang III, dan Karang Panjang. Luas lokasi penyelaman berkisar 5 000 m2 hingga 20 000 m2. Namun demikian, hingga saat ini ekowisata bahari Kecamatan Betoambari belum menunjukkan perkembangan yang optimal sebagai sektor andalan bagi pelestarian sumberdaya pesisir, serta membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan ekonomi bagi masyarakat setempat. Hal ini disebabkan karena pengelolaan ekowisata bahari di wilayah tersebut belum terencana dan terintegrasi dengan baik, tidak menekankan pelestarian sumberdaya pesisir, serta pemanfaatan ruang yang belum optimal. Beberapa rumusan masalah yang ditetapkan dalam penelitian ini yakni: 1.
Berapa besar potensi sumberdaya perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai bagi pengembangan ekowisata khususnya kegiatan selam?
2.
Bagaimana mendesain kawasan ekowisata bahari yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, ditetapkan beberapa tujuan penelitian: 1.
Mengidentifikasi potensi sumberdaya perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai bagi pengembangan ekowisata, khususnya kegiatan selam.
2.
Mendesain kawasan ekowisata bahari yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
berguna
bagi
pihak-pihak
yang
membutuhkan, antara lain; (1) masukan pola pemanfaatan ruang laut bagi tata ruang wilayah pesisir (RTRW Pesisir) Kota Baubau; (2) memberikan gambaran pengembangan kawasan ekowisata bahari yang optimal, serta memenuhi kriteria ekologis dan sosial ekonomi.
4
Sumberdaya Pesisir Kota Baubau
Ekowisata Bahari
Identifikasi Potensi
Parameter Sos–Eko Masyarakat
Parameter Ekologis
Analisis Ekonomi (WTP)
MARXAN
Efisiensi Kawasan Ekowisata Bahari Nilai Manfaat Ekonomi Ekowisata Berbasis Spasial
Daya Dukung Kawasan Ekowisata Bahari
Optimasi Ruang Ekowisata Bahari
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan hewan karang yang berupa batuan kapur (CaCO 3 ), yan g hidup di dasar perairan serta mempunyai kemampuan menahan gaya gelombang laut (Supriharyono 2007). Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung, dengan mulut terletak di bagian atas dan dikelilingi tentakel. Satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993). Menurut Supriharyono (2007), karang dibedakan menjadi dua tipe, yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatypic corals) dan tidak membentuk terumbu (ahermatypic corals). Hermatypic corals merupakan hewan yang bersimbiosis dengan sejenis alga (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis. Hasil dari aktifitas fotosintesis tersebut berupa endapan kalsium karbonat, yang struktur dan bentuknya sangat khas. Ciri ini digunakan untuk menentukan jenis atau spesies hewan karang. English et al. (1994) mengkategorikan bentuk pertumbuhan karang batu menjadi dua jenis, yaitu karang Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit. Kategori pertama, bentuk pertumbuhan karang Acropora, terdiri atas: (1) Acropora bercabang (Branching Acropora), bentuk bercabang seperti ranting pohon;
(2) Acropora meja (Tabulate Acropora), bentuk bercabang dengan arah
mendatar dan rata seperti meja; (3) Acropora merayap (Encursting Acropora), biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna; (4) Acropora Submasif (Submasive Acropora), percabangan bentuk lempeng dan kokoh; (5) Acropora berjari (Digitate Acropora), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jarijari tangan. Kategori kedua, bentuk pertumbuhan karang non-Acropora, terdiri atas: (1) bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameternya;
6
(2) padat (massive), berbentuk seperti bongkahan batu dengan ukuran yang bervariasi; (3) kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras, serta berlubang-lubang kecil; (4) lembaran (foliose), berbentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil, dan membentuk lipatan atau melingkar; (5) jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut; (6) submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil; (7) karang api (Millepora), dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh; (8) karang biru (Heliopora), dicirikan dengan adanya warna biru pada rangkanya. Sementara itu, karang lunak (soft coral) lebih dikenal Alcyonaria, yang merupakan salah satu jenis Coelenterata (hewan berongga). Alcyonaria mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik karang dengan tubuh lunak. Tubuh Alcyonaria, lembek tetapi disokong oleh sejumlah duri-duri yang kokoh, berukuran kecil, dan tersusun sedemikian rupa sehingga lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri yang kokoh tersebut mengandung kalsim karbonat yang dikenal dengan spikula (Manuputy 1986). Berdasarkan tipe strukturnya, terumbu karang dibedakan menjadi tiga yaitu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll). Karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus yang kuat (Bengen 2001). Bagi biota laut, terumbu karang memiliki peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) (Suharsono 2009). Sementara itu, Apriliani (2009)
menyatakan
terumbu
karang
merupakan
potensi
utama
dalam
pengembangan wisata bahari. Nilai estetika laut banyak ditentukan oleh kehadiran terumbu karang, termasuk di dalamnya keragaman jenis, tutupan karang, dan keanekaragaman biota. Kelompok-kelompok ikan yang dapat ditemui di perairan sekitar terumbu karang antara lain kerapu, kakatua, hiu, pari, dan tigawaja (drums). Sedangkan
7
kelompok invertebrata antara lain kima, kerang hijau, lobster, kepiting, udang, teripang, dan penyu (Burbridge dan Maragos 1983 in Supriharyono 2007). 2.2. Konsep Ekowisata Bahari Konsep ekowisata mulai dipopulerkan oleh Hector Ceballos-Lascurian pada awal tahun 1980-an. Ekowisata merupakan wisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan yang relatif belum terganggu (alami), dengan tujuan khusus untuk pendidikan, mengagumi, menikmati pemandangan alam dan isinya (tumbuhan dan hewan), serta sebagai perwujudan (manifestasi) budaya di kawasan yang dituju (Tisdell 1998). Hetzer (1965) dan Ziffer (1989) in Bjork (2000) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mengutamakan nilai sumberdaya alam (flora, fauna, dan proses geologi), serta budaya (lokasi suatu fosil dan arkeologi), di mana praktek pemanfaatannya bersifat konservasi, dapat menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. The
International
Ecotourism
Society
(1990)
in
Dodds
(2009)
mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke daerahdaerah yang masih alami dengan tujuan mengkonservasi, melestarikan lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Cakupan destinasi ekowisata direfleksikan dari definisi ekowisata yang bervariasi. Fennel (2001) mengidentifikasi 85 definisi ekowisata dengan 5 tema dominan, antara lain kelestarian sumberdaya alam, konservasi, budaya, manfaat bagi masyarakat lokal, dan pendidikan. Blamey (1997) mengatakan destinasi ekowisata harus memenuhi tiga kriteria utama yakni (1) lebih menonjolkan lingkungan alami sebagai sentral atraksi, (2) menawarkan prospek pembelajaran dan pendidikan, (3) setidaknya berniat melestarikan lingkungan, budaya, dan ekonomi (Krider et al. 2010). Ekowisata menurut Wood (2002) menganut beberapa prinsip yaitu: 1.
Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya.
2.
Mengutamakan
pendidikan
bagi
pengunjungnya
guna
kepentingan
konservasi. 3.
Menekankan pada kepentingan bisnis bertanggung jawab, melalui kerjasama dengan masyarakat lokal yang membutuhkan/menerima manfaat konservasi.
8
4.
Penerimaan langsung dari pengelolaan dan konservasi lingkungan serta kawasan yang dilindungi.
5.
Menekankan kebutuhan untuk penzonaan wisata lingkup regional dan untuk perencanaan pengelolaan kawasan alami.
6.
Menekankan pada penggunaan kajian dasar lingkungan dan sosial, guna kepentingan program monitoring.
7.
Peningkatan maksimum manfaat ekonomi dan usaha masyarakat lokal.
8.
Pembangunan pariwisata tidak melebihi daya dukung lingkungan sosial.
9.
Pembangunan infrastruktur yang harmonis dengan alam, meminimalisir penggunaan bahan bakar dari fosil (BBM), melindungi satwa dan tumbuhan lokal, serta menselaraskan lingkungan dan budaya. Kegiatan wisata yang mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan
lautan, baik secara langsung maupun tidak, dinamakan wisata bahari. Kegiatan pariwisata yang langsung di antaranya berperahu, berenang, snorkeling, menyelam, dan memancing. Sedangkan secara tidak langsung meliputi kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati rekreasi atmosfer (META 2002). Konsep ekowisata bahari didasarkan pada menikmati keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya, dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Hutabarat et al. 2009). Kegiatan ekowisata bahari bukan semata-mata untuk memperoleh hiburan dari berbagai suguhan alami dan atraksi lingkungan pesisir dan lautan. Akan tetapi, wisatawan diharapkan berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan, sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk-beluk ekosistem
pesisir,
sehingga
membentuk
kesadaran
untuk
melestarikan
sumberdaya pesisir saat ini dan masa yang akan datang (META 2002). Pengelolaan ekowisata yang memenuhi kaidah konservasi memerlukan penjelasan rinci tentang sistem produksi ekowisata secara keseluruhan. Suatu objek tujuan wisata memiliki karakteristik sistem produksi yang berbeda dengan tujuan wisata lainnya. Ekowisata wilayah pesisir dan lautan memilki karakteristik
9
lahan basah yang berbeda dengan ekowisata pegunungan dengan karakteristik lahan kering, (META 2002). Beberapa hal yang mendasari pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan dari wisata bahari (Setiawati 2000), yaitu: 1.
Ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualitas, keberlanjutan, dan pelestarian sumberdaya alam, serta peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata.
2.
Pelibatan masyarakat menjadi mutlak dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan. Pada dasarnya pengetahuan tentang alam, budaya dan daya tarik wisata telah dimiliki oleh masyarakat setempat.
3.
Ekowisata meningkatkan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman.
4.
Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan
memperlihatkan
kecenderungan
meningkatnya
permintaan
terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. 5.
Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah, dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat non ekstraktif dan non konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan menurut Hadiyati (2003) in
Solarbesain (2009), memiliki kesamaan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan sehingga harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1.
Secara ekologis berkelanjutan; pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Konservasi pada daerah wisata harus diupayakan secara maksimal untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata.
2.
Secara sosial dan budaya dapat diterima; mengacu pada kemampuan penduduk lokal menyerap usaha pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial
10
dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya turis yang berbeda sehingga tidak merubah budaya masyarakat lokal. 3.
Secara ekonomi menguntungkan; keuntungan yang diperoleh dari kegiatan wisata yang ada dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat.
2.3. Kesesuaian Perairan Untuk Ekowisata Kesesuaian pemanfaatan ekowisata bahari berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat et al. 2009). Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasilokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan objek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003). Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori selam dan snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategor wisata bahari tersebut adalah: 1.
Kondisi kawasan penyelaman yang menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/dtk) (Davis and Tisdell 1995).
2.
Kualitas daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak di bawah permukaan air, dalam hal ini tergantung life form, (Davis and Tisdell 1995; Davis and Tisdell 1996). Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari adalah lebih dari 10-20 m. Hal ini terkait dengan penetrasi matahari terhadap
11
biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan kegiatan snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Objek wisata bahari lain yang cukup berpotensi untuk dikembangkan adalah wilayah pantai yang menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata kategori rekreasi pantai meliputi: 1.
Kondisi geologi pantai, menyangkut tipe (substrat pasir), lebar pantai, kemiringan pantai (idealnya < 250) dan material dasar perairan (idealnya berpasir) (Wong 1991).
2.
Kondisi fisik terkait kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km).
3.
Kondisi biota menyangkut penutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan
biota
berbahaya
(terkait
kenyamaman
dan
keselamatan
wisatawan). Sementara itu, Yulianda (2007) menjabarkan kesesuaian ekowisata bahari merupakan kriteria sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata.
Keterangan: IKW
= Indeks kesesuaian wisata
Ni
= Nilai parameter ke-i (bobot x skor)
Nmax = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
2.4. Daya Dukung Ekowisata Bahari Analisis daya dukung diciptakan pada tahun 1960-an sebagai suatu metode untuk menentukan batas-batas pembangunan dengan menggunakan angka,
12
komputerisasi, kalkulasi, dan secara objektif. Hal ini belum cukup sukses dalam mempengaruhi
kebijakan
pemerintah
karena
kompleksitas
parameter-
parameternya dan arena politisi, pengelola, dan administrator enggan untuk mengawali keputusannya dengan komputer. Namun demikian, konsep yang tidak ditentukan yang lebih kualitatif dan partisipatif mengenai daya dukung telah sangat berguna dalam mempengaruhi kontrol pengembangan, terutama pariwisata (Clark 1991 in Hutabarat et al. 2009). Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal yakni (1) Kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan (2) Keaslian sumberdaya alam. Kedua hal tersebut ditentukan oleh besarnya gangguan yang kemungkinan akan muncul dari kegiatan wisata. Suasana alami lingkungan juga menjadi persyaratan dalam menentukan kemampuan tolerir gangguan dan jumlah pengunjung dalam unit area tertentu. Tingkat kemampuan alam untuk mentolerir dan menciptakan lingkungan yang alami dihitung dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung. Potensi ekologis pengunjung adalah kemampuan alam untuk menampung pengunjung berdasarkan jenis kegiatan wisata pada area tertentu. Luas suatu area yang dapat digunakan pengunjung dalam melakukan
aktifitas wisatanya, dipertimbangkan dalam menghitung
kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga dan berkelanjutan (Hutabarat et al. 2009). Bengen dan Retraubun (2006) mendefinisikan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya dan memperhitungkan faktor lingkungan serta faktor lainnya yang berperan di alam. Daya dukung yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan ekowisata antara lain daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, daya dukung, dan daya dukung ekonomi.
13
2.5. Zonasi Kawasan Ekowisata Zonasi kawasan ekowisata dilakukan untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan mempermudah pengelolaan ekowisata. Zonasi atau pola keruangan merupakan pembagian kawasan berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Pola keruangan ekowisata atau zonasi bertujuan untuk melindungi suatu kawasan wisata dari pengunjung wisata. Hal ini untuk melindungi sumberdaya maupun memberikan keragaman pengalaman bagi pengunjung, dan memudahkan sistem pengelolaan ekowisata. Prinsip penetapan zonasi terdiri atas 2; pertama, sumberdaya alam maupun budaya memiliki karakteristik dan toleransi tertentu untuk dapat diintervensi; kedua, pengelola harus dapat melakukan sesuatu untuk memelihara dan mempertahankan karakteristik dan kemampuan tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan dari penggunaan saat ini maupun yang akan datang (Basuni 1987 in Solarbesain 2009) Menurut beberapa ahli, zonasi merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan kawasan yang dilindungi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan, serta untuk pengelolaan kawasan dengan manfaat ganda. Sedangkan Bengen (2002) mengatakan bahwa penetapan zonasi kawasan adalah pengelompokkan areal suatu kawasan ke dalam zona-zona sesuai dengan kondisi fisik dan fungsinya. Zonasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologis dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan. Beberapa analisis spasial yang dapat digunakan untuk melakukan zonasi kawasan ekowisata antara lain sistem informasi geograsi (SIG) dan Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Annealing). 2.5.1. Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu teknologi baru yang dijadikan alat bantu (tools) esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan
14
data atribut dan data spasial (Prahasta 2004). SIG merupakan tools berbasis komputer yang membantu menampilkan dan menganalisis data secara geografis berdasarkan informasi ruang (Clarke 2001). Menurut Bartlett (1999), SIG merupakan tools ideal untuk perencanaan laut. Dalam beberapa hal dapat menangani data yang begitu banyak, data dapat dibagi dengan mudah, serta menawarkan kemampuan mensimulasi, memodelkan, dan membandingkan strategi sebelum diimplementasikan. SIG sangat potensial untuk memberikan solusi, transparansi kepada pemangku kepentingan (Lewis et al. 2003; Wright et al. 1998). Lyon (2003) menyatakan bahwa penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis, sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan landscape. Selain itu pemanfaatan SIG dapat digunakan
untuk
mengevaluasi
kualitas
dan
karakteristik
lahan,
serta
mensimulasikan model-model keruangan. SIG bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta tetapi merupakan alat analitik yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Hampir semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG di antaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan, dan transportasi (Jaya 2002 in Solarbesain 2009). SIG telah diaplikasikan pada berbagai disiplin ilmu dan dipandang sebagai tools kunci untuk mendukung pengambilan keputusan spasial dalam lingkungan pesisir dan laut (Canessa dan Keller 2003). SIG digunakan untuk pengembangan kawasan konservasi laut di seluruh dunia (Airame et al. 2003; Lieberknecht et al. 2004; Scholz et al. 2004; Villa et al. 2002; Villa et al. 2002). Analisis SIG juga telah banyak dimanfaatkan untuk zonasi kawasan teresterial (Gole 2003; Hepcan 2000; Trisurat et al. 1990). Sehubungan dengan pemanfaatan SIG dalam bidang pariwisata, Aronnof (1993) in Sigabariang (2008) menyatakan bahwa pemetaan zona kegiatan wisata pesisir dengan SIG, sangat membantu pemerintah daerah dalam menyusun rencana pengembangan wisata pesisir di wilayahnya. Penerapan teknologi SIG bisa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan potensi daerah yang terkait dengan wilayah pesisir yakni ekowisata pesisir.
15
2.5.2. Marxan Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Annealing) atau model rancangan konservasi bahari yang menggunakan pemijaran spasial secara ekplisit; merupakan produk disertasi Phd Ian Ball (2000) dengan supervisi Profesor Hugh Possingham, The Ecology Centre, University of Queensland. Ide yang mendasari pengembangan Marxan adalah adanya masalah dalam menentukan daerah konservasi di daerah yang perencanaan potensialnya yang cukup luas sehingga banyak alternatif lokasi yang dapat dipilih sebagai daerah konservasi. Dengan menggunakan Marxan, diharapkan ada sistem untuk memilih daerah konservasi yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial-ekonomi. Marxan dalam hal ini dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan. A. Simulated Annealing Model dan perangkat lunak Marxan bekerja menggunakan algoritma yang disebut dengan simulated annealing, yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu iterative improvement,
random
backward
dan
repetition.
Algoritma
ini
dapat
memungkinkan mencari dan menentukan kawasan konservasi dengan total biaya terendah. Total biaya merupakan kombinasi sederhana dari biaya satuan perencanaan terpilih dan nilai penalti (fitur yang tidak memenuhi target), seperti disajikan pada hubungan berikut (modifikasi dari Ball dan Possingham 2000):
Keterangan C
ci
= =
a
=
bi si
= =
pi
=
biaya total kawasan ekowisata terpilih berdasarkan algoritma Marxan biaya yang terpilih di satuan perencanaan (planning unit) ke-i yang dapat diukur, i = 1,2,…,n; n adalah banyaknya satuan perencanaan. boundary length modifier (BLM) atau kontrol penting dari batas biaya relatif terpilih di planning unit. boundary atau batas dari area terpilih/perimeter ke-i species penalty factor (SPF), yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i, apabila target tiap spesies tidak terpenuhi. penalty atau nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektif untuk setiap target tidak terpenuhi pada satuan perencanaan ke-i.
16
Penerapan Algoritma simulated annealing dalam pencarian dan pemilihan kawasan konservasi maka dapat diilustrasikan sebagai berikut: suatu kawasan A memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, serta kaya sumberdaya hayati pesisir, diantaranya ekosistem terumbu karang, lamun, mangrove, dugong, penyu, dan ikan hiu. Sumberdaya tersebut tidak terpusat pada satu lokasi tetapi tersebar di hampir seluruh kawasan A. Agar keanekaragaman hayati di kawasan A dapat lestari demi pemanfaatan yang berkelanjutan maka perlu upaya konservasi. Tujuan perancangan kawasan konservasi tersebut adalah untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di kawasan A dengan biaya pengelolaan terkecil. Untuk mencapai tujuan tersebut maka digunakan Marxan. Dalam menggunakan Marxan, terdapat beberapa tahapan awal yang harus dilakukan antara lain menentukan daerah kajian, sumberdaya hayati yang harus dilindungi (fitur konservasi), biaya pengelolaan (fitur biaya), dan membuat satuan perencanaan. Agar analisis dengan Marxan dapat dijalankan maka fitur konservasi dan fitur biaya dibuat dalam peta tematik, kemudian dimasukkan ke dalam satuan perencanaan. Setiap fitur yang dimasukkan dalam satuan perencanaan akan diberi nilai. Jika semua tahapan telah dilewati maka dilakukan tahap simulasi (iterasi) dengan pengaturan BLM, nilai target, dan nilai SPF tertentu. Misalnya dengan iterasi pertama yang menggunakan BLM, target, dan SPF yang kecil, diperoleh ikan dugong dan ikan hiu tidak terpilih atau terpenuhi dalam solusi perancangan kawasan konservasi. Dalam hal ini, dengan satu kali iterasi masih memiliki kelemahan yaitu lokasi yang terpilih belum tentu merupakan kawasan konservasi yang optimal dengan biaya terendah. Ilustrasi tersebut merupakan penjelasan singkat langkah iterative improvement. Dengan demikian perlu dilakukan iterasi kedua dan seterusnya. Iterasi kedua dilakukan dengan mengatur kembali nilai BLM, target, dan SPF. Biasanya nilai-nilai tersebut lebih besar dari iterasi pertama. Setelah dilakukan analisis, hasil iterasi kedua didapatkan semua sumberdaya telah terpenuhi dalam solusi perancangan kawasan konservasi, total biaya yang dihasilkan pun lebih kecil daripada iterasi pertama. Langkah tersebut merupakan ilustrasi random backward. Untuk lebih memastikan atau meningkatkan
17
kepercayaan bahwa lokasi yang terpilih merupakan solusi dengan total biaya terendah, maka dilakukan pengulangan langkah pertama dan kedua. Langkah ini disebut dengan repetition. B. Summed Solution Marxan memberikan dua keluaran dari setiap analisis; run solusi ‘best’ (satu dengan nilai total biaya paling rendah), dan summed solution yang menunjukan jumlah waktu setiap satuan perencanaan yang termasuk dalam run solution (Loos 2006). Sebagai contoh, jumlah iterasi diatur sampai 100, penjumlahan solusi akan menghasilkan kisaran nilai dari 0 (tidak termasuk dalam run solution) sampai 100 (termasuk dalam seluruh run solution 100). Summed solution dapat terbagi dalam tiga kategori: tinggi, sedang, dan rendah. Satuan perencanaan yang penting memiliki nilai penjumlahan paling tinggi, olehnya itu sangat penting untuk mendapatkan target. Area ini dapat dianggap sebagai hotspot. Karena satuan perencanaan tidak termasuk dalam solusi ‘best’, bukan berarti tidak memiliki nilai. Penting untuk dicatat bahwa unit nilai yang tinggi mungkin menjadi bagian solusi terbaik. Summed solution dianggap berguna karena menyediakan petunjuk kepentingan relatif setiap satuan perencanaan dari pemberian setiap nilai. Penggunaan summed solution menambah fleksibilitas untuk proses seleksi. Ini memberi kesempatan kepada perancang konservasi, termasuk pemangku kepentingan untuk melihat satuan perencanaan yang bernilai tinggi dan satuan perencanaan yang bernilai rendah atau sedang. Ini memberi kesempatan untuk negosiasi dan akhirnya mencapai konsensus selama konsultasi antara pemangku kepentingan. C. Satuan Perencanaan Satuan perencanaan atau planning units adalah blok-blok bangunan dari sistem konservasi, yang dalam evaluasi Marxan dipilih sebagai solusi (Loos 2006). Satuan perencanaan dapat berdasarkan batas alamiah, administrasi, atau fitur yang disepakati (Pressey dan Logan 1998), serta memiliki beberapa bentuk dan ukuran. Satuan perencanaan perlu dibuat untuk membatasi area yang akan dianalisis atau dibuat perencanaan, karena tidak semua area yang ada pada setiap
18
peta-peta parameter konservasi tersebut dipergunakan. Sebagai contoh, area yang akan direncanakan adalah wilayah laut, oleh sebab itu planning units hanya dibuat untuk wilayah tersebut, sementara wilayah daratan (pulau besar atau pulau-pulau kecil) sebaiknya tidak diikutsertakan dalam proses analisis. Ukuran satuan perencanaan juga perlu ditentukan dengan pertimbangan matang. Area yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam yang lebih kompleks membutuhkan ukuran satuan perencanaan yang lebih kecil agar analisisnya lebih detail. Kemudian skala data spasial yang dimiliki perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan ukuran satuan perencanaan (Darmawan dan Andy D 2007). Selain hal itu, ukuran satuan perencanaan juga berhubungan dengan hardware yang digunakan untuk menjalankan program Marxan. Permasalahan skala berkaitan dengan akurasi pemetaaan yang dihasilkan. Sebagai contoh sederhana, misalnya akan dilakukan perencanaan konservasi secara detil untuk area yang sempit, sedangkan data spasial yang digunakan adalah data global, maka keluaran analisis tersebut tidak akan baik karena penentuan ukuran satuan perencanaan yang tidak tepat. Informasi yang ada dari data spasial yang digunakan itu kurang memadai karena informasi yang telah tergeneralisasi. Loos (2006) menyatakan bentuk yang dapat digunakan dalam membentuk planning units dapat berupa segitiga, persegi empat dan heksagon (Gambar 2). Bentuk yang paling banyak digunakan untuk analisis Marxan adalah heksagon. Bentuk dan ukuran satuan perencanaan Marxan disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan aplikasi Marxan umumnya memilih heksagon karena memiliki bentuk yang lebih natural, mendekati bentuk lingkaran dan memiliki rasio tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Selain itu satuan perencanaan yang menggunakan heksagon memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan bentuk satuan perencanaan lainnya (Miller et al. 2003). Heksagon juga memiliki perimeter yang lebih rendah terhadap luasan dibandingkan dengan persegi empat dengan area yang sama (Warman 2001). Beberapa bentuk satuan perencanaan yang dapat digunakan dalam aplikasi Marxan dapat dilihat pada Gambar 2.
19
Tabel 1 Bentuk dan ukuran satuan perencanaan dari aplikasi Marxan sebelumnya No 1
Area studi Belize (Marine)
2
Channel Island USA (Marine) 3 Irish Sea (Marine) 4 British Columbia Central Coast (Marine) 5 Florida Coast (Marine) 6 Southern Rockies (Terrestrial) 7 Southern Australia (Marine) 8 Florida Coast (Marine) 9 Florida Keys (Marine) 10 South Okanagan, Canada (Terrestrial)
Luas area studi (km2) 59 570
Ukuran unit (km2) 10
Bentuk unit
Referensi
Heksagon
Meerman (2005)
4 294
3.4 (1x1)
Persegi
57 000
24.6
Airamé et al. (2003) Lieberknecht et al. (2004)
22 303
4.9
Heksagon
CIT (2003)
280 356
14.8
Heksagon
165 589
9.8
Heksagon
77 975
25
Persegi
136 014
2.17
Heksagon
9500
1
Persegi
1,568
0.155, 2, dan 10
Heksagon
Geselbracht dan Torres (2005) Miller et al. (2003) Stewart et al. (2003) Oetting and Knight (2005) Leslie et al. (2003) Warman (2001)
Persegi
Sumber : Loos (2006)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 Bentuk satuan perencanaan dalam Marxan. (a) segitiga, (b) persegi, (c) heksagon, (d) oktagons. (Sumber: Loos 2006)
20
D. Identifikasi Daerah Prioritas (Target) dan Skenario Identifikasi daerah prioritas (target) dilakukan sebelum analisis, sebagai dasar dalam skenario perencanaan yang hendak dilakukan. Lebih jauh lagi, pada tahap ini target dari masing-masing fitur konservasi ditentukan luasannya. Sebagai gambaran, jika terumbu karang dijadikan target utama dalam perencanaan maka skenario perencanaan fitur ini didefinisikan dengan persentase (%) target yang tinggi, dan nilai SPF yang lebih besar dibandingkan fitur konservasi yang lain. E. Biaya Besarnya biaya yang digunakan dalam analisis dapat ditentukan berdasarkan area satuan perencanaan, biaya sosial-ekonomi atau kombinasi dari keduannya. Miller et al. (2003) in Loos (2006) memberikan nilai biaya berdasarkan tingkatan kewajaran dan pengaruh manusia dalam satuan perencanaan. Dalam penelitian lain, biaya dibuat seragam untuk setiap satuan perencanaan yaitu nilai 1. Dari beragam penelitian di mana biaya ditentukan berdasarkan landasan yang berbedabeda. Hal terpenting adalah biaya yang diberikan untuk setiap satuan perencanaan tersebut harus proporsional. F. Pengubah Panjang Batas Pengubah panjang batas atau boundary length modifier (BLM) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan perimeter. Efek pengaturan BLM dapat dilihat dari fitur yang muncul dalam solusi setelah menjalankan Marxan. Loos (2006) menguraikan tinggi rendahnya BLM akan berpengaruh terhadap perimeter dan area yang muncul dalam solusi. Contoh pengaturan BLM disajikan pada Gambar 3. Penggunaan BLM rendah, akan menghasilkan perimeter yang lebih besar (Gambar 3a). Sementara pada penggunaan BLM yang tinggi, areal terpilih akan lebih luas dan terfokus, serta memiliki perimeter yang lebih kecil (Gambar 3c). Dengan BLM yang kecil, algoritma Marxan yang digunakan akan terkonsentrasi meminimalkan biaya satuan perencanaan terpilih sedangkan BLM yang besar akan memberikan tekanan pada penurunan panjang batas (Steward dan Possingham 2005).
21
a)
b)
c) Gambar 3 Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM medium, c) BLM tinggi (Sumber: Loos 2006) Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Ardron JA et al. (2002) melakukan ekperimen dengan beberpa nilai BLM yakni 0.111, 0.333, 1.00, dan 3.00. Possingham (2000) menyatakan nilai BLM dipilih bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis yang dilakukan. Dengan kata lain, pengaturan BLM dapat dilakukan dengan memperhatikan geometri daerah kajian dan memililih BLM yang dapat menghasilkan fitur solusi yang lebih mengumpul. Pengaturan BLM yang fleksibel ini dapat memberikan keleluasaan para perencana kawasan konservasi dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan. G. Penalti Ball dan Possingham (2001) menjelaskan penalti yang dibutuhkan sebanding
dengan
panjang
batas
dan
biaya
yang
diperlukan
untuk
mempresentasikan target yang hilang. Faktor yang mengatur besarnya nilai penalti ini dikenal dengan sebutan Species Penalty Faktor (SPF) yang juga dikenal sebagai conservation features penalty faktor (CFPF). SPF adalah faktor
22
yang berkelipatan, didasarkan pada tingkat pentingnya spesies atau fitur konservasi tersebut. Pengaturan SPF dengan nilai yang tinggi akan meningkatkan kemiripan, sehingga fitur konservasi yang menjadi target akan lebih banyak terpenuhi, terutama jika tujuannya untuk menurunkan nilai biaya dalam fungsi objektif (Smith 2005 in Loos 2006). Ball dan Possingham (2001) menjelaskan sejauh ini tidak ada teori yang bisa digunakan sebagai dasar patokan dalam menentukan nilai SPF secara spesifik. Mereka juga menyarankan nilai SPF ini lebih dari 1. Bahkan Smith (2005) menyarankan nilai SPF sebesar 100 untuk lebih memastikan target dapat tercapai. Nilai SPF berkaitan dengan target fitur konservasi di dalam unit perencanaan Marxan. Apabila target untuk suatu fitur konservasi tidak terpenuhi maka nilai SPF perlu ditambah. Jadi nilai penalti hanya dimasukkan ke dalam total biaya apabila target dari suatu fitur konservasi tidak terpenuhi. 2.6. Metode Valuasi Sumberdaya Alam Sumberdaya alam merupakan sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2010). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam adalah komponen ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Nilai ekonomi sumberdaya dapat diukur dengan mengestimasi kurva permintaan sumberdaya tersebut (Garrod dan Wills 1999). Pendekatan kurva permintaan ini dibedakan atas dua metode yaitu revealed reference methods dan expressed/states preference methods. Kategori pertama (revealed reference methods) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan dengan komoditas lingkungan. Teknik valuasi yang masuk ke dalam kategori ini adalah travel cost methods (TCM), hedonic price (HP), averting behavior (AB), dan production fuction (PF). Sementara itu, kategori kedua (expressed/states preference methods) merupakan metode penilaian ekonomi yang pendekatannya lebih memfokuskan pada teknik experimental constructed market melalui teknik penilaian langsung dengan bantuan kuesioner. Salah satu teknik yang dikenal luas dalam kategori ini adalah teknik kontingensi atau Contigent Valuation Methods (CVM).
23
Letson (2002) in Adrianto (2006) menguraikan pendekatan revealed reference lebih sensitif terhadap model ekonometrik yang digunakan, tetapi tidak begitu sensitif pada pengumpulan data. Sebaliknya, expressed/states preference lebih sensitif terhadap pengumpulan data, tetapi tidak terlalu sensitif terhadap pemodelan ekonometrik. Metode penilaian kontingensi dimanfaatkan untuk mengestimasi kesediaan membayar (WTP), ditentukan dengan menggunakan survei wisatawan. CVM adalah suatu cara valuasi barang dan jasa lingkungan di mana salah satu pasar tidak ada atau pasar subtitusi tidak ditemukan. Oleh karena itu, CVM digunakan secara luas untuk mengukur nilai keberadaan/existence values, nilai pilihan/option value, nilai tidak langsung/indirect use values dan non-use value. Metode penilaian kontingensi telah popular dan banyak diterapkan di berbagai negara untuk melihat manfaat dari barang non-market atau proyek yang diberikan kepada masyarakat (Carson dan Hanemann 2005). CVM dilakukan melalui survei dengan wawancara langsung kepada masyarakat terkait berapa besar mereka bersedia membayar untuk barang non-market atau jasa, seperti pelestarian lingkungan atau dampak dari kontaminasi. Seseorang ditanya berapa besar jumlah kompensasi yang mereka inginkan untuk menyerahkan barang dan jasa tersebut. Hal ini disebut penilaian kontigensi karena orang diminta untuk menyatakan kesediaan mereka untuk membayar pada skenario hipotesis tertentu dan deskripsi situasi atau ‘pasar’ di mana barang dan jasa tersedia. CVM tidak hanya digunakan sebagai metode penilaian manfaat lingkungan, benda budaya, pelayanan perawatan kesehatan, serta barang dan jasa publik lainnya, tetapi juga diterima secara luas sebagai suatu teknik penilaian ekonomi (Jun et al. 2010). Adrianto (2006) menguraikan teknik CVM memiliki kelebihan dibanding penggunaan analisis berbasis revealed preference. Alasan pertama, teknik CVM mampu merefleksikan nilai yang secara teoritis diharapkan oleh pendekatan Hicksian Welfrare Measure. Kedua, teknik CVM ini mampu mengestimasi nilai ekonomi dari jasa-jasa lingkungan yang tidak memiliki perilaku pasar. Pengabaian nilai-nilai ini akan mengurangi nilai ekonomi ekosistem secara keseluruhan. Ketiga, CVM merupakan salah satu teknik valuasi yang bersifat partisipatif karena memungkinkan terjadinya diskusi publik. Namun demikian, CVM memiliki
24
kelemahan utama yaitu asumsi bahwa individu atau kelompok individu yang menjadi responden CVM akan berpikir secara rasional dalam menentukan nilai ekonomi sebuah fungsi ekosistem. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu berpikir rasional. Bioshop dan Heberlein (1990) in Rahayu (2010) menjelaskan terdapat enam hal yang perlu diperhatikan agar CVM ini dapat mencapai hasil maksimal, yaitu (1) penentuan populasi yang akan memberikan penilaian, (2) bagaimana suatu komoditas yang dinilai tersebut didefinisikan, (3) bentuk pembayaran (penilaian) apa yang paling sesuai untuk digunakan, (4) bagaimana bentuk penyampaian pertanyaan kepada responden, (5) apa data pelengkap (penunjang) yang dikumpulkan, dan (6) bagaimana data tersebut dianalisis.
25
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Betoambari Kota Baubau. Pengamatan ekologis, parameter kualitas perairan, pengumpulan data sekunder dan sosial ekonomi dilaksanakan antara Juli-September 2010, serta survei lanjutan antara Januari-Maret 2011. Survei ekologis dan parameter kualitas perairan diperoleh dari 3 stasiun pengamatan tahun 2010 dan 3 stasiun pengamatan Lembaga Napoleon tahun 2005, sebagai data sekunder. Koordinat stasiun pengamatan ditampilkan pada Tabel 2. Sementara data sosial ekonomi, dilakukan pada wilayah pesisir Kecamatan Betoambari yakni Kelurahan Sulaa dan Katobengke. Wilayah administrasi Kota Baubau disajikan pada Gambar 4 dan lokasi penelitian (Kecamatan Betoambari) disajikan pada Gambar 5. Tabel 2 Koordinat lokasi stasiun penelitian pada kedalaman 10 meter Koordinat Lokasi/Stasiun Perairan Pantai Nirwana
Tanjung Sulaa Perairan Pantai Lakeba
ST1* ST2 ST3 ST4* ST5* ST6
Lintang Selatan (LS) 05o 32.26’ 05o 31.51’ 05o 31.40’ 05o 31.27’ 05o 30.77’ 05o 29.47’
Bujur Timur (BT) 122o 34.32’ 122o 34.08’ 122o 33.96’ 122o 33.66’ 122o 33.36’ 122o 33.66’
* Stasiun pengamatan Lembaga Napoleon (2005) 3.2. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat selam Self Contained Underwater Buoyancy Apparatus (SCUBA), peta dasar (basemap), Citra Landsat 5 Thematic Mapper (TM) untuk wilayah Kota Baubau Akuisisi Tahun 2010, perahu motor, peralatan tulis bawah air, stop watch, kamera bawah air, Global Positioning System (GPS), meteran sepanjang 70 meter, buku identifikasi karang, dan cangkam Secchi.
Gambar 4. Wilayah administrasi Kota Baubau.
26
Gambar 5 Lokasi penelitian di Perairan Kecamatan Betoambari.
27
28
3.3. Jenis dan Sumber Data Data-data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi kondisi ekosistem terumbu karang, sosial budaya masyarakat, serta persepsi responden terhadap manfaat wisata bahari di Kecamatan Betoambari. Data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan melalui hasil wawancara semi terstruktur dengan pengguna (stakeholders) yang terkait di wilayah tersebut. Sedangkan data sekunder meliputi literatur penunjang dan data pendukung lainnya. Data sekunder diperoleh dari penelusuran laporanlaporan hasil penelitian dan data dari instansi terkait antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Tata Kota dan Bangunan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Baubau. 3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Parameter Lingkungan Perairan Metode pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara sengaja (purposive sampling) di daerah yang memiliki sebaran terumbu karang, khususnya pada perairan dengan kedalaman 10 meter. Data kualitas lingkungan perairan yang diperlukan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3 Parameter lingkungan perairan No 1 2
Jenis data
Alat
Kualitas lingkungan perairan Kecerahan Secchi disc Kedalaman Tali dan Meteran
Satuan
Keterangan
(%) Meter
In situ In situ
3.4.2. Data Komunitas Karang Pengamatan komunitas karang dilakukan setelah mengetahui sebaran terumbu karang yang diperoleh dari analisis citra. Selain mengacu pada hasil analisis citra, penentuan stasiun pengamatan juga didasarkan pada survei Lembaga Napoleon tahun 2005. Penentuan stasiun ini mempertimbangkan aspek kondisi alamiah (kedalaman perairan 10 meter) dan aspek keruangan terumbu karang (asosiasi dengan objek lain seperti pemukiman, industri/pelabuhan, kegiatan budidaya rumput laut).
29
Metode yang digunakan untuk identifikasi komunitas karang adalah Line Intercept Transect (LIT), mengikuti English et al (1994). Teknis pelaksanaan di lapangan yaitu seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 70 m sejajar garis pantai, di mana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. LIT ditentukan pada garis transek 0–10 m, 30-40 m, dan 60-70 m. Kemudian dilakukan pencatatan karang yang berada tepat di garis meteran dengan ketelitian hingga sentimeter. Pengamatan biota pengisi habitat dasar perairan didasarkan pada bentuk pertumbuhan (lifeform) yang memiliki kode-kode tertentu (English et al. 1994), dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya Kategori Dead Coral Dead Coral with Alga
Acropora
NonAcropora
Branching
ACB
Encrusting
ACE
Submassive Digitae Tabulate
ACS ACD ACT
Branching
CB
Encrusting
CE
Foliose
CF
Massive Submassive Mushroom Heliopora Millepora Tubipora
CM CS CMR CHL CML CTU SC SP ZO OT AA CA HA MA TA S R SL W RCK
Soft Coral Sponge Zeanthids Others
Alga
Abiotik
Kode DC DCA
Alga assemblage Corallinee alga Halimeda Macroalga Turf Alga Sand Rubble Silt Water Rock
Sumber: English et al. (1994)
Keterangan Baru saja mati, warna putih atau putih kotor Karang masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat Paling tidak 2o Percabangan. Memiliki axial dan radial coralit Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa Tegak dengan bentuk seperti baji Bercabang tidak lebih 2o Bentuk seperti meja datar Paling tidak 2o Percabangan. Memiliki axial dan radial coralit Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak). Paling tidak 2o percabangan Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring Seperti batu besar atau gundukan Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji Soliter, karang hidup bebas dari genera Karang biru Karang api Bentuk seperti pipa-pipa kecil Karang bentuk lunak
Ascidians, anemon, georgonian dan lain-lain
Pasir Patahan karang yang ukuran kecil Pasir berlumpur Air Batu
30
3.4.3. Data Ikan Karang Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode underwater visual census (UVC). Metode UVC menggunakan transek garis yang sama dengan transek pengamatan komunitas karang. Teknis pelaksanaan di lapangan metode ini, seorang penyelam mengamati ikan karang yang berenang di atas transek garis (sepanjang 70 meter) serta mencatat seluruh spesies ikan yang ditemukan sejauh 2.5 m ke kiri dan 2.5 m ke kanan dari transek garis (English et al. 1994). 3.4.4. Data Sosial Data sosial dalam penelitian ini diperoleh dari responden masyarakat dan wisatawan. Pengambilan responden masyarakat untuk mengetahui persepsi mereka tentang ekowisata bahari. Sedangkan responden wisatawan untuk menghitung nilai manfaat ekonomi wisata bahari. Penentuan jumlah responden dan teknik pengambilan contoh penelitian ini mengacu pada Hutabarat et al (2009), dengan menggunakan rumus (1). Teknik pengambilan responden adalah non-probability sampling, dimana responden masyarakat dilakukan secara purposive sampling (sengaja), sedangkan responden wisatawan secara accidental sampling. Responden masyarakat sebanyak 45 orang dan wisatawan 14 orang. Rumus (1) penentuan jumlah contoh:
Keterangan: n = jumlah contoh yang akan diukur p = proporsi kelompok yang akan diambil contohnya q = proporsi sisa dalam populasi contoh Z = nilai tabel Z dari ½ . = 0.05 maka Z = 1.96 b = persentase perkiraan kemungkinan kesalahan dalam menentukan ukuran contoh
3.5. Metode Analisis Data 3.5.1. Analisis Komunitas Karang Analisis komunitas karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup (lifeform). Semakin tinggi persen penutupan karang hidup maka kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik. Pengolahan data persentase penutupan karang menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Data persentase penutupan karang
31
hidup diperoleh berdasarkan metode Line Intersept Transect (LIT) melalui persamaannya berikut:
li N = ∑ x100% L Keterangan: N = Persen penutupan karang li = Panjang lifeform ke-i L = Panjang transek 70 meter Data kondisi penutupan terumbu karang yang diperoleh dari persamaan diatas, kemudian dikategorikan rusak hingga sangat baik. Kategori tersebut mengacu pada Kepmen LH No 04 Tahun 2001. Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang keras No 1 2 3 4
Persentase karang hidup (%) 0-24.9 25-49.9 50-74.9 75-100
Kategori Rusak Sedang Baik Sangat Baik
Sumber: Kepmen LH No 04 Tahun 2001 3.5.2. Analisis Kesesuaian Kawasan Analisis kesesuaian kawasan ditujukan untuk kegiatan wisata bahari kategori
selam
berbasis
ekologis.
Kegiatan
wisata
bahari
yang
akan
dikembangkan harus sesuai dengan potensi sumberdaya dan memenuhi persyaratan lingkungan. Analisis kesesuaian dilakukan melalui pendekatan SIG dengan bantuan software ArcView 3.3, dimana prosesnya mencakup penentuan parameter, penyusunan matriks kesesuaian, pembobotan, dan pengharkatan (skoring). Proses analisis ini berdasarkan hasil studi empiris dan justifkasi para ahli yang berkompoten dibidang wisata bahari. Langkah awal yang dilakukan yakni membangun sebuah matrik kriteria kesesuaian pemanfaatan yang berisi informasi parameter, pemberian bobot, penentuan kategori kelas kesesuaian, dan
32
pengharkatan. Besaran nilai bobot disesuaikan dengan penting tidaknya parameter yang bersangkutan bagi kegiatan wisata bahari. Kesesuaian wisata bahari kategori selam mempertimbangkan 6 parameter dengan empat klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata selam ini terdiri atas kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform, jenis ikan karang, dan kedalaman terumbu karang. Kesesuaian ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks kesesuaian untuk ekowisata bahari kategori selam Kelas kesesuaian dan skor Kriteria
Bobot S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
Kecerahan Perairan (%)
5
> 80
3
50 - 80
2
20-<50
1
<20
0
Tutupan
5
> 75
3
> 50 -75
2
25-50
1
< 25
0
Jenis life form
3
> 12
3
< 7 - 12
2
4-7
1
<4
0
Jenis Ikan Karang
3
> 100
3
50 - 100
2
20-<50
1
< 20
0
Kedalaman
1
6 - 15
3
15-20
2
>20-30
1
> 30
0
Komunitas Karang (%)
Terumbu Karang
3-<6
<3
Sumber: Modifikasi dari Yulianda (2007) 3.5.3. Analisis Efisiensi Ruang dengan Aplikasi Marxan Marxan dalam penelitian ini merupakan tools untuk memilih ruang ekowisata bahari kategori selam yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial ekonomi. Basis dari analisis Marxan adalah model ekosistem (Meerman CJ 2005). Marxan dijalankan dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 dan ekstensi CLUZ (Conservation Land Used Zone) serta ekstensi tambahan TNC tools dan membuat heksagon. Dengan perangkat Marxan dapat mencoba beberapa skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya. Dengan demikian dapat memilih skenario terbaik yakni ruang ekowisata yang efisien. Analisis Marxan menggunakan algoritma simulated anealling dimaksudkan untuk mencari biaya terendah ruang ekowisata, yang merupakan kombinasi sederhana dari biaya terpilih dan nilai penalti yang tidak memenuhi target (Ball dan Possingham 2000). Biaya terendah merupakan solusi terbaik. Untuk mencapai solusi terbaik ruang ekowisata bahari yang efisien digunakan hubungan berikut.
33
Keterangan C
ci
= =
a
=
bi si
= =
pi
=
biaya total kawasan ekowisata terpilih berdasarkan algoritma Marxan biaya yang terpilih di satuan perencanaan (planning unit) ke-i yang dapat diukur, i = 1,2,…,n; n adalah banyaknya satuan perencanaan. boundary length modifier (BLM) atau kontrol penting dari batas biaya relatif terpilih di planning unit. boundary atau batas dari area terpilih/perimeter ke-i species penalty factor (SPF), yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i, apabila target tiap spesies tidak terpenuhi. penalty atau nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektif untuk setiap target tidak terpenuhi pada satuan perencanaan ke-i.
Analisis ruang ekowisata dengan penggunaan Marxan diperlukan dua macam input data yaitu fitur konservasi (mewakili kondisi ekologis) dan fitur biaya. Fitur konservasi yang dimasukkan diinginkan menjadi kawasan ekowisata bahari untuk kepentingan perlindungan sumberdaya. Sementara fitur biaya, diharapkan bukan ruang terpilih sebagai solusi dari analisis Marxan karena memiliki biaya tinggi (telah dimanfaatkan masyarakat dengan kegiatan lain). Beberapa tahapan dalam analisis Marxan yakni pembobotan fitur konservasi dan fitur biaya; penentuan daerah kajian (Area of Interest); penentuan satuan perencanaan; pemasukan data fitur konservasi dan fitur biaya; pengubah panjang batas atau boundary length modifier (BLM); penentuan biaya satuan perencanaan; konfigurasi file-file Marxan; melihat hasil Marxan; dan pembuatan skenario. A. Pembobotan Fitur Konservasi dan Fitur Biaya Penentuan bobot fitur konservasi dan fitur biaya terbilang unik. Kedua jenis data yang dimasukkan diberi skor sesuai dengan tingkat kepentingan dan kualitas data. Pemberian skor terhadap fitur konservasi menjadi dasar penentuan nilai SPF atau faktor denda. Ball dan Possingham (2000) menyarankan menggunakan nilai SPF diatas 1; Loos (2006) menyatakan nilai SPF kecil di bawah 1 akan mengakibatkan target dari fitur konservasi tidak terpenuhi. Sedangkan terhadap pemberian skor pada fitur biaya menjadi bobot biaya.
34
•
Fitur Konservasi Fitur konservasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sumberdaya
pesisir yang akan dilindungi dengan tujuan dimanfaatkan untuk ekowisata bahari. Fitur konservasi yang ditentukan pada lokasi perencanaan ekowisata bahari di perairan Betoambari terdapat 6 fitur dengan bobot nilai berkisar 3.0 hingga 4.0 (Tabel 7). Terumbu karang dan habitat hiu merupakan fitur dengan tingkat kepentingan dan kualitas data yang tinggi dibandingkan fitur lain, sehingga diberikan nilai faktor denda paling tinggi sebesar 4.0. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan terumbu karang adalah fitur utama yang akan dilindungi, begitu pula ikan hiu dan habitatnya (gua hiu). Daerah penyu dan pari merupakan fitur yang memiliki kepentingan tinggi namun kualitas datanya rendah, karena hanya berdasarkan wawancara beberapa orang penyelam. Sementara itu, fitur lobster dan habitatnya (gua lobster) serta frogfish memiliki kepentingan sedang. Tabel 7. Penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi
•
No
Fitur konservasi
1 2 3 4 5 6
Terumbu Karang Daerah Ikan Hiu Daerah Penyu Daerah Ikan Pari Lobster Frogfish
Tingkat kepentingan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang
Kualitas data Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi
Faktor denda (SPF) 4.0 4.0 3.5 3.5 3.0 3.0
Fitur Biaya Fitur biaya untuk input Marxan berupa data sosial yang berkaitan dengan
penduduk, pola pemanfaatan sumberdaya, dan pemanfaatan kawasan. Data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan berupa hasil wawancara dengan masyarakat pengguna langsung sumberdaya. Fitur biaya pada lokasi perencanaan ekowisata bahari di perairan Betoambari terdiri atas 3 jenis yakni pelabuhan, budidaya rumput laut, dan alur kapal. Biaya unit perencanaan fitur-fitur tersebut dihitung dari adanya pemanfaatan sumberdaya yang membuat total biaya akan lebih tinggi. Daftar peringkat penggunaan sumberdaya dan kawasan di perairan Kecamatan Betoambari ditampilkan pada Tabel 8.
35
Tabel 8 Penentuan nilai bobot fitur biaya No 1 2 3
Fitur biaya Pelabuhan Budidaya rumput laut Alur kapal
Tingkat kepentingan Tinggi Tinggi Sedang
Kualitas data
Bobot
Tinggi Rendah Rendah
4.0 3.5 2.5
Fitur pelabuhan memiliki skor paling besar (4.0), karena tingkat kepentingan dan kualitas datanya tinggi. Pelabuhan memiliki peranan penting sebagai infrastruktur dasar yang menunjang perekonomian masyarakat. Sementara fitur yang memiliki bobot terendah terkecil adalah alur kapal. Ini disebabkan tingkat kepentingan sedang dan kualitas datanya rendah. Alur kapal merupakan pemanfaatan jasa lingkungan yang tidak memberikan dampak negatif terhadap perlindungan sumberdaya di perairan Kecamatan Betoambari. B. Penentuan Daerah Kajian Penentuan daerah kajian (area of interest) dan satuan perencanaan merupakan hal penting dan utama dalam analisis Marxan. Pada lokasi studi, daerah kajian didasarkan atas kewenangan daerah Kota Baubau untuk mengelola laut. Dimana sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, suatu kabupaten/kota memiliki kewenangan pengelolaan laut sejauh 4 mil (untuk wilayah yang berbatasan dengan laut yang luas). Namun karena perairan Baubau berada di Selat Buton (laut sempit) yang berbatasan langsung dengan daerah administrasi Kabupaten Buton, maka penentuan daerah kajian dengan cara penarikan titik tengah. Berdasarkan hasil pengukuran dengan bantuan SIG, diperoleh jarak antara garis pantai terluar Kecamatan Betoambari dan Pulau Kadatua (Kabupaten Buton) sekitar 2.18 mil laut. Dengan demikian, agar penentuan ruang ekowisata masih termasuk dalam kewenangan Kota Baubau maka daerah kajian penelitian ini hanya digunakan buffer sejauh 1 mil laut dari garis pantai terluar Kecamatan Betoambari. Ruang lingkup studi dalam penelitian ini hanya difokuskan pada wilayah laut maka daratan dihilangkan sehingga tidak diikutkan pada proses analisis Marxan. Cara ini dilakukan dengan tumpang tindih antara shapefile daratan dengan perairan Kecamatan Betoambari, kemudian mengedit dan
36
menggunakan delete features untuk menghapus wilayah daratan. Untuk lebih jelasnya, daerah kajian dilihat pada Gambar 6. C. Penentuan Satuan Perencanaan Satuan perencanaan (planning unit) merupakan pembagian unit terkecil dari daerah kajian. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan satuan perencanaan ini yakni bentuk dan ukurannya. Bentuk satuan perencanaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah heksagon. Menurut Geselbracht et al 2005; Miller 2003; dan Warman 2001 bahwa bentuk heksagon merupakan satuan perencanaan yang paling efisien, lebih natural, memiliki rasio kecil, serta mengeluarkan hasil analisis yang lebih halus. Sementara itu, penentuan ukuran satuan perencanaan disesuaikan dengan luas area studi. Oleh karena wilayah perairan Kecamatan Betoambari terbilang sempit yang memiliki panjang garis pantai sekitar 10.30 km (diperoleh melalui hasil pengukuran dengan bantuan SIG), maka digunakan ukuran satuan perencanaan yang kecil. Penentuan ukuran heksagon dilakukan pengujian beberapa nilai dari yang besar 1 ha atau 10 000 m2 hingga relatif kecil 100 m2. Terkait dengan pembuatan unit perencanaan, hal yang perlu diperhatikan adalah pembatasan jumlah satuan perencanaan, sehingga dapat diproses dengan baik dalam analisis Marxan. Menurut Oetting dan Knight (2003), Marxan tidak akan melakukan proses dengan baik ketika jumlah satuan perencanaan lebih dari 65 000; Loos (2006) menambahkan, batasan untuk jumlah unit perencanaan yang dapat diproses Marxan yakni 65 678. Berdasarkan pengujian, ditemukan ukuran heksagon 300 m2 merupakan paling minimum yang jumlah satuan perencanaannya mendekati 65 000. Namun dalam analisis ini diasumsikan ruang ekowisata akan dimanfaatkan kegiatan wisata bahari selam maka dipakai ukuran unit perencanaan 1 000 m2 (Lampiran 6). Ini didasarkan area yang digunakan untuk aktifitas wisata selam. Jumlah unit perencanaan yang dihasilkan sebanyak 19 697. Sementara itu, penggunaan satuan perencanaan dengan ukuran 1 ha di perairan Betoambari terbilang besar sehingga dalam analisis membuat peta fitur konservasi maupun biaya menjadi general, keluaran yang dihasilkan pun tidak
37
halus menyebabkan interpretasi solusi bersifat umum dan bias (Lampiran 7). Sebaliknya ukuran satuan perencanaan 100 m2 seharusnya merupakan yang terbaik karena paling halus, namun karena jumlahnya 194 698 (melebihi 65 000) maka tidak dipakai. Hal ini telah dibuktikan dengan melakukan pengujian, ditemukan proses Marxan tidak berjalan dengan baik. Meski telah menggunakan perangkat komputer spesifik tinggi, ada beberapa tahapan yang diproses sangat lama diantaranya pembuatan satuan perencanaan, pembaharuan data abudance, dan pembuatan file Marxan bound.dat. D. Pemasukan Data Fitur Konservasi dan Fitur Biaya Fitur konservasi dan fitur biaya yang telah dibuat menjadi peta tematik, kemudian
dimasukan
ke
dalam
satuan
perencanaan
dengan
metode
present/absent. Ini berarti jika suatu heksagon bertumpang susun dengan suatu fitur konservasi maupun fitur biaya maka heksagon tersebut beratribut present. Jika present maka atributnya sama dengan 1, sebaliknya jika absent atributnya menjadi 0. Data konservasi yang sudah dimasukkan disebut data habitat (habitat shp) dan data fitur biaya disebut data biaya (cost.shp). Pada fitur konservasi, setelah atribut data habitat tersebut diselesaikan maka harus dibagi menjadi file abundance_dbf dan file fitur_txt. Sedangkan pada fitur cost, setelah atribut data cost dibuat maka menghitung total fitur cost. Caranya, nilai present/absent setiap heksagon dikalikan dengan nilai skor tertentu yang sudah ditentukan sebelumnya. E. Pengubah Panjang Batas Pengubah
panjang
batas
merupakan
pengaturan/konstanta
untuk
pengelompokan solusi dalam satuan perencanaan. Pada pengubah panjang batas yang rendah, satuan perencanaan yang terpilih akan menyebar. Sedangkan pada pengubah panjang batas yang tinggi, satuan perencanaan yang terpilih akan mengelompok. Ini disebabkan karena Marxan akan berusaha untuk menurunkan panjang batas dari satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham 2005). Loos (2006) menjelaskan ketika pengaturan panjang batas dinaikkan maka nilai total biaya meningkat. Untuk itu, perlu meminimalkan panjang batas melalui pengelompokan satuan perencanaan (Meerman 2005).
Gambar 6 Daerah Kajian (perairan Kecamatan Betoambari)
38
39
Unit peta yang digunakan dalam analisis Marxan adalah degree, maka penentuan pengubah panjang batas pada penelitian ini diujikan dengan lima nilai yakni: 0.001, 0.01, 0.1, 1, dan 10. Dari berbagai variasi nilai tersebut dilihat hasilnya. Dengan menggunakan pengubah panjang batas 1, satuan perencanaan terpilih telah mengelompok. Dengan demikian, dalam penentuan ruang ekowisata yang optimal digunakan nilai pengubah panjang batas 1. Penggunaan nilai tersebut sudah sesuai dengan karakteristik area studi dan tujuan analisis. Hal ini dipertegas dengan pernyataan CIT (2003) bahwa pengubah panjang batas merupakan nilai sewenang-wenang yang diperoleh dari pengujian. F. Biaya Satuan Perencanaan Penentuan biaya satuan perencanaan dalam penelitian ini adalah menganggap setiap heksagon mempunyai biaya 1. Biaya satuan perencanaan ini merupakan nilai yang ditempatkan ke daerah tertentu untuk perhitungan nilai total biaya. Untuk meminimalkan total biaya maka analisis Marxan memilih unit perencanaan yang memiliki biaya terendah atau yang paling efisien. G. Konfigurasi File-file Marxan Konfigurasi file-file Marxan dilakukan dengan bantuan ekstensi CLUZ. sebelum membuat konfigurasi tersebut, dilakukan tahapan-tahapan diantaranya membuat tabel kosong (create blank target table), tabel abundance kosong (create blank abundance table from unit theme), file setup CLUZ, memperbaharui file abundance (import fields from table to abundance table) dan file target. Secara umum proses penyiapan data untuk file-file Marxan terfokus pada 3 buah shapefile yaitu Planning Units (Pu.shp), Abundance (Habitat.shp), dan biaya (Cost.shp). Adapun alur tabulasi file data, tampak pada Gambar 7. File tersebut dihasilkan setelah proses pembuatan heksagon lengkap dengan proses cropping. Ketiga file shapefile tersebut merupakan shapefile heksagon dengan wujud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya. Pengolahan 3 buah shapefile dilakukan dengan bantuan CLUZ akan menghasilkan 4 buah file tabular yaitu Abudance.dat, Target.dat, Unit.dat dan Bound.dat yang menjadi input Marxan.
40
Dengan 4 input tersebut maka sudah dapat menjalankan proses Marxan dan menghasilkan sebuah keluaran.
Gambar 7. Alur file tabuler untuk Marxan dengan ArcView dan CLUZ (Sumber: Darmawan A. dan Andy Darmawan 2007) H. Melihat Hasil Analisis Marxan Hasil yang diperoleh dari analisis Marxan berupa lima buah file yaitu output1_best. output1_mvbest, output1_sen, output1_ssoln, dan output1_sum. Nama file sebelum underscore (_) merupakan bagian yang sesuai dengan nama output yang dimasukkan, sedangkan setelahnya adalah bagian secara otomatis dibuat oleh CLUZ. Best solution yang merupakan hasil konfigurasi terbaik dari proses Marxan ditunjukan dengan file _best, _mvbest adalah tabel evaluasi pencapaian target fitur konservasi, _sen yakni file berisi tentang skenario yang digunakan dan _ssoln, file irreplaceability (frekuensi sebuah satuan perencanaan terpilih sebagai best solution). I.
Pembuatan Berbagai Skenario Keunggulan yang dimiliki Marxan adalah dapat menetapkan berbagai
skenario. Dalam penelitian ini, untuk menghasilkan berbagai pilihan solusi penentuan ruang ekowisata bahari yang efisien maka digunakan tiga skenario. Pembuatan skenario tersebut memakai variasi nilai target perlindungan terumbu karang 70% - 50%. Menurut Boersma dan Parrish (1999); Franklin et al. (2003); National Research Council (2001); Roberts (2000), persentase target untuk setiap habitat
41
yang harus dilindungi dalam area konservasi perairan adalah sebesar 20% Sementara Lauck et al. (1998); Polacheck (1990) menjelaskan target yang perlu dilindungi adalah 50 %. Namun demikian, dalam analisis Marxan perlu menguji nilai target. Sebagai contoh Airamé et al. (2003) menguji target antara 30%, 40%, and 50% dan Lieberknecht et al. (2004), membuat kisaran targets 10– 40%. Tidak hanya itu, ilmuan lain berpendapat target selalu bervariasi berdasarkan kepentingan (Geselbracht et al. 2005), sedangkan Smith (2005) menyarankan mengatur target berdasarkan kealamian setiap fitur sebelum kehilangan habitat. 3.5.4. Analisis Potensi Nilai Ekonomi Ekowisata Analisis potensi nilai ekonomi ekowisata ini dilakukan berdasarkan daya dukung kawasan yang berbasis spasial. Sehingga untuk menduga nilai ekonomi wisata maka terlebih dahulu menghitung daya dukung kawasan (DDK) dan daya dukung pengembangan ekowisata (DDW). Setelah mendapatkan nilai DDK dan DDW, kemudian menghitung berapa besar potensi nilai ekonomi pada beberapa skenario yang dihasilkan dari analisis Marxan, dengan menggunakan metode WTP (Willingness to pay) dan Total Benefit (TB). A. Analisis Daya Dukung Kawasan Menurut Yulianda (2007), DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia, menggunakan rumus:
Keterangan: DDK K Lp Lt Wt
= Daya dukung kawasan = Potensi ekologis pengunjung per-satuan unit area = Luas area / panjang area yang dapat dimanfaatkan = Unit area untuk kategori tertentu = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari. Potensi ekologis pengunjung (K) adalah kemampuan alam untuk
menampung pengunjung berdasarkan jenis kegiatan wisata pada area tertentu. Luas area (Lp) yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan
42
kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga. Potensi ekologis untuk kegiatan wisata selam adalah 2 orang untuk area terumbu karang seluas 2000 m2. Daya jelajah seorang penyelam tergantung ketersediaan oksigen dalam tangki tabung yang rata-rata habis dalam waktu 1 jam penyelaman. Seorang penyelam dengan 1 tabung oksigen dapat melakukan pergerakan di bawah laut kurang lebih sepanjang 200 meter dengan jelajah ke samping selebar 10 meter. Kegiatan selam hanya dapat dilakukan 2 orang sesuai dengan peraturan selam internasional. Dengan demikian 2 orang penyelam dapat melakukan jelajah seluas 2000 m2 dengan rentang waktu 1 jam di bawah laut (Yulianda 2007) Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan pengunjung di lokasi wisata untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu pengunjung untuk kegiatan selam merupakan standar yang telah berlaku secara umum yakni 2 jam. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt). Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari dan rata-rata waktu kerja. Dalam penelitian ini, digunakan waktu kawasan ditentukan selama 8 jam (Yulianda 2007). Daya dukung ekowisata (DDW) mengikuti ketentuan PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam yaitu 10 % dari luas zona pemanfaatan, dengan formula mengacu pada Hutabarat (2009):
atau B. Analisis CVM dengan Pendekatan WTP Tujuan analisis Contingent Valuation Methods (CVM) yakni untuk mengukur variasi nilai kompensasi dan nilai persamaan suatu barang. Pendekatan CVM dilakukan dengan wawancara langsung pada responden tentang seberapa nilai membayar/willingness to pay (WTP) atau nilai kompensasi yang diinginkan. Terdapat empat tipe pertanyaan yang biasa digunakan dalam metode CVM, yaitu (1) Direct Question Method disebut pertanyaan terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or Leave It. Dalam penelitian ini memfokuskan pada pertanyaan tipe pertama Direct Question Method.
43
Metode CVM dengan pendekatan WTP merupakan parameter bagi perhitungan total benefit. WTP digunakan untuk memperoleh penilaian ekonomi terhadap ekosistem terumbu karang dan biota unit di perairan Kecamatan Betoambari melalui kesediaan membayar dari para pengunjung untuk bisa menikmati keindahan bawah laut (kegitan wisata selam). Estimasi WTP dapat juga dilakukan dengan menduga hubungan antara WTP dengan karakteristik responden yang mencerminkan tingkat penghargaan pengguna terhadap sumberdaya yang selama ini dimanfaatkan. Dalam penelitian ini, WTP per individu dilakukan secara langsung (straight forward) yang diperoleh dari hasil perhitungan nilai tengah, mengikuti formula FAO (2000) in Adrianto (2006) berikut ini:
Keterangan: WTP i n yi
: Kesediaan membayar individu ke-i : Besaran atau jumlah sampel : Besaran WTP yang diberikan responden ke-i Setelah mengetahui tingkat WTP yang dihasilkan per individu dari
persamaan WTP i, maka total nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan preferensi sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut, (Modifikasi dari Adrianto 2006).
Dimana ; TB
: Total Benefit
WTP i
: Kesediaan membayar individu ke-i
DDW
: Total populasi wisatawan yang mampu ditampung oleh ruang wisata bahari berdasarkan daya dukung ekowisata.
45
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Keadaan Geografis Kota Baubau terletak di bagian selatan garis katulistiwa, dengan posisi koordinat sekitar 05°2’ hingga 05°33’ Lintang Selatan dan 122°30’ sampai 122°47’ Bujur Timur (BPS Baubau 2009). Kota yang merupakan daerah ekskesultanan Buton ini, memiliki luas wilayah sekitar 251 km2, meliputi daratan sekitar 221 km2 dan laut seluas 30 km2. Sedangkan luas wilayah pesisirnya sekitar 600 Ha, dengan panjang garis pantai 42 km. Secara administrasi Kota Baubau terdiri 7 kecamatan yakni Betoambari, Bungi, Kokalukuna, Lea-lea, Murhum, Sorawolio dan Wolio. Batas wilayah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kapuntori; sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga (Kabupaten Buton); sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Selat Buton. Kecamatan Betoambari sebagai lokasi penelitian terletak pada 5050' - 5051' LS dan 122056' - 122061' BT, dengan luas daerah administrasi 27.89 Km2. Wilayah tersebut merupakan daerah pesisir yang berada di daratan utama Kota Baubau, dengan jarak sekitar 8 km dari pusat kota. Batas wilayah Kecamatan Betoambari yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Selat Buton, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Murhum, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kadatua (BPS Baubau 2009). 4.2. Karakeristik Fisik 4.2.1. Kondisi Geologi Kota Baubau berada di Pulau Buton. Jika ditinjau berdasarkan genesa dan kedudukannya terhadap tatanan tektonik regional Indonesia, pulau Buton termasuk dalam kategori rangkaian kepulauan yang terbentuk di kawasan paparan benua (Soeprapto 2004). Geologi di Pulau Buton dicirikan adanya imbrikasi batuan sedimen laut dangkal dan lempeng-lempeng ofiolit. Batuan sedimennya berupa serpih, napal, batu gamping, batu pasir kuarsa, batu pasir mika dan konglolmerat. Imbrikasi batuan yang terjadi di Pulau Buton merupakan hasil
46
proses tumbukan pada umur Miosen Awal hingga Tengah antara benua (Tukang besi platform) dengan sistem penunjaman Sulawesi. 4.2.2. Topografi Kondisi topografi Kota Baubau termasuk kecamatan Betoambari relatif berbukit-bukit dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 10 hingga 221 m. Dari 5 kelurahan di Kecamatan Betoambari, terdapat dua kelurahan yang merupakan daerah pesisir yakni Sulaa (4.69 Km2) dan Katobengke (1.42 Km2) (BPS Baubau 2009). 4.2.3. Musim dan Suhu Keadaan musim di wilayah ini sama seperti daerah lainnya di Sulawesi Tenggara, yakni musim hujan dan kemarau. Musim hujan terjadi karena arus angin yang banyak mengandung uap air berhembus dari Asia dan Samudera Pasifik (Januari-Juni), dan musim kemarau terjadi karena arus angin yang tidak banyak mengandung uap air bertiup dari Australia (Juli-Oktober). Curah hujan di wilayah ini sangat beragam setiap bulannya, di mana curah hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember sebesar 368.8 mm. Sementara itu, suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli, sebesar 22.1 0C dan suhu udara maksimum terjadi pada bulan Oktober, sebesar 33.9
0
C.
Kecepatan angin umumnya merata setiap tahunnya, dengan kecepatan rata-rata berkisar 4.0 knots (BPS Baubau 2009). 4.3. Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Fenomena alam yang memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan disebut kondisi oseanografi fisika (Dahuri et al. 2004). Fenomena alam tersebut dapat digambarkan dengan terjadinya pasang surut, arus, suhu, salinitas, dan angin. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan kondisi fisik perairan pada setiap daerah termasuk fenomena di wilayah pesisir Kota Baubau. Kondisi oseanografi fisika perairan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari hasil penelitian Baharuddin (2006), yang dilakukan di sepanjang pesisir Kota Baubau. Jenis data yang diambil antara lain pasang surut, gelombang, dan arus. Sedangkan suhu dan salinitas merupakan data sekunder dari hasil pengukuran
47
Lembaga Napoleon yang bekerja sama dengan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau. Pengukuran tersebut dilakukan pada bulan Juli 2005 di perairan Kecamatan Betoambari yang dibagi dalam 6 stasiun pengamatan (lihat Tabel 2). 4.3.1. Pasang Surut Pasang surut di Kota Baubau berdasarkan tipenya termasuk kategori pasut campuran condong ke harian ganda/mixed tide prevailing semi diurnal, di mana dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, dengan bilangan Formzahl (F) sebesar 0.77. Sementara itu, mengenai kisaran pasang surut (tidal range), saat pasang purnama (spring tide), tinggi muka air ketika pasang maksimum mencapai 246.9 cm dan tinggi muka air pada saat surut minimum rata-rata berkisar 100.1 cm. Sedangkan saat pasang perbani (neap tide), tinggi muka air pada saat pasang maksimum mencapai 210.1 cm dan tinggi muka air pada saat surut minimum rata-rata berkisar 136.9 cm (Baharuddin 2006). 4.3.2. Karakteristik Gelombang Gelombang maksimum di Kota Baubau terjadi tiga kali dalam setahun yakni pada musim Barat (Desember-Februari), bulan pertama musim peralihan I (Maret), dan bulan terakhir musim peralihan II (November). Sedangkan Karakteristik gelombang minimum terjadi pada musim timur (Juni-Agustus) dan sebagian peralihan I dan II yakni bulan April-Mei dan September-Oktober (Baharuddin 2006). 4.3.3. Arus Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai (nearshore current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi ataupun abrasi pantai. Pola arus pantai ditentukan terutama oleh besarnya sudut yang dibentuk antara gelombang datang dengan garis pantai. Jika sudut datang cukup besar maka akan terbentuk arus menyusur pantai (longshore current), sedangkan jika sudut gelombang datang sejajar dengan pantai maka akan terjadi arus meretas pantai
48
(rip current). Antara dua jenis arus pantai ini, yang memiliki pengaruh besar terhadap transpor sedimen pantai adalah arus menyusur pantai. Menurut Baharuddin (2006), arah transpor sedimen di Kota Baubau searah dengan arus menyusur pantai. Pada arah Barat dan Barat Daya, arus dan transport sedimen menyusur pantai bergerak dari kiri ke kanan, sedangkan pada arah Timur dan Timur Laut bergerak dari kanan ke kiri pantai (dari pengamat yang berdiri di pantai menghadap ke arah laut). Arus dan transpor sedimen dari arah Barat dan Timur laut terjadi di seluruh pesisir Kota Baubau. Khusus di Kecamatan Betoambari, selain dari arah Barat dan Timur Laut, arus dan transpor sedimen juga datang dari arah Barat Daya dan Timur. 4.3.4. Suhu dan Salinitas Parameter oseanografi yang penting dalam sirkulasi untuk mempelajari asal usul massa air adalah suhu dan salinitas (Dahuri et al. 2004). Suhu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografi, musim, kondisi awan, serta proses interaksi antara air dan udara seperti alih panas, penguapan, dan hembusan angin. Sedangkan salinitas dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, misalnya muara sungai, musim, serta interaksi antara laut dan daratan. Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan salinitas rata-rata di perairan Kecamatan Betoambari oleh Lembaga Napoleon (2005), suhu perairan Baubau khususnya Kecamatan Betoambari berada dalam kisaran antara 27–29oC. Suhu perairan di daerah ini relatif stabil karena tidak termasuk lokasi yang sering terjadi penaikan air. Sedangkan salinitasnya berkisar antara 33-36‰, yang menunjukkan kandungan garam berkisar antara 33-36 g/kg air laut. Secara umum parameter suhu dan salinitas perairan Kecamatan Betoambari dapat mendukung pertumbuhan terumbu karang. Menurut Kinsman (1964) in Supriharyono (2007), terumbu karang memiliki kisaran toleransi suhu antara 36-40 o C. Suhu yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25-290C, sedangkan batas minimum dan batas maksimum suhu berkisar antara 16-170C dan sekitar 360C. Sementara itu, dalam hubungannya dengan salinitas, pertumbuhan karang yang baik berkisar antara 30‰ hingga 35‰ (Romimohtarto dan Juwana 2001).
49
4.4. Karakteristik Pariwisata Kota Baubau memiliki potensi wisata budaya dan wisata alam yang unik, serta menarik untuk dikunjungi. Sebagai daerah eks-kesultanan Buton, wisata budaya yang dapat ditemui di daerah ini antara lain Benteng Keraton Buton, Benteng Baadia, Benteng Sorawolio, pusat kebudayaan wolio (Museum Baadia), dan Masjid Kuba. Sedangkan wisata alam antara lain Pulau Makassar, Tirta Rimba, Samparona, Kantongara, Kokalukuna, Palabusa, Permandian Bungi, Pantai Nirwana, Pantai Lakeba, dan Desa Sulaa (RIPPDA Kota Baubau 2005). Pantai Nirwana, Pantai Lakeba, dan Desa Sulaa merupakan wisata pesisir andalan di Kecamatan Betoambari. Ketiga objek tersebut saling berdekatan dan berada di sebelah selatan Kota Baubau. Lokasi berada di dataran utama Kota Baubau dengan jarak sekitar 8 km dari pusat kota, sehingga sangat mudah diakses. Untuk menjangkaunya cukup menggunakan transportasi darat baik kendaraan sepeda motor roda dua maupun roda empat. Sesuai karakteristik alamiah dan daya tarik utama keindahan alam, beberapa kegiatan yang cukup berkembang di kawasan Pantai Nirwana dan Pantai Lakeba adalah wisata rekreasi pantai, berenang, dan menikmati pemandangan. Pemandangan laut yang terbentang luas dengan warna cerah dan sunset indah pada sore hari, menarik perhatian kelompok masyarakat kota Baubau maupun dari luar daerah. Rombongan keluarga, mahasiswa, siswa, serta instansi pemerintah memanfaatkan hari libur untuk berwisata di kawasan tersebut. 4.4.1. Kebijakan Pengembangan Pariwisata Kebijakan pariwisata Kota Baubau yang termuat dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kota Baubau (RIPPDA Kota Baubau) adalah: a)
Adanya pedoman pengaturan dan pengendalian pemanfaatan objek-objek wisata dan kawasannya. Dengan demikian tercipta pola pemanfaatan yang serasi dan seimbang antara sektor dan keadaan, optimal sesuai dengan daya dukung, serta berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
b) Tersusunnya arahan strategis pengembangan kepariwisataan secara terpadu antara Kota Baubau dan wilayah di sekitarnya. Dengan demikian mampu
50
mendorong pengembangan wilayah-wilayah berpotensi dalam kaitan jaringan produk kepariwisataan. c)
Tersusunnya arahan implementasi program di dalam kerangka waktu dan tahap prioritas disertai mekanisme koordinasi pengelolaan lintas sektoral.
d) Tersedianya acuan dan pendekatan yang tepat untuk perancangan masingmasing kawasan wisata secara lebih detail bagi pemerintah dan para investor. Objek unggulan kepariwisataan yang tercantum dalam RIPPDA (2005) dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Baubau (RTRW) Tahun 2009, membagi enam Kawasan Pengembangan Pariwisata (KPP) (lihat Gambar 8) yakni: a) KPP 1 (Kota Mara, Malige, Pantai Kamali, dan Batu Poara) b) KPP 2 (Benteng Wolio, Museum, dan Benteng Sorawolio) c) KPP 3 (Pantai Nirwana, Pantai Lakeba, Desa Sulaa, dan Gua Lakasa) d) KPP 4 (Permandian Bungi, Ekowisata Tirta Rimba, Hutan Lindung Wakonti, dan Pantai Kokalukuna) e) KPP 5 (Air Terjun Samparona dan Air Terjun Kantongara) f)
KPP 6 (Kampung Nelayan dan Pantai Pulau Makassar) Lokasi penelitian di Kecamatan Betoambari masuk dalam KPP 3, yang
mengandalkan objek wisata alam pesisir. Kebijakan kepariwisataan yang dirangkum RIPPDA dan revisi RTRW Kota Baubau, terlihat memberikan prospek pengembangan pariwisata bahari di Kecamatan Betoambari. Namun terdapat kelemahan dalam kebijakan tersebut, yakni masih bersifat umum dalam lingkup Kota Baubau tanpa memfokuskan potensi yang dapat dikembangkan di setiap objek wisata. Selain itu, belum ada rencana detail pemetaan dan pengelolaan ruang yang optimal bagi setiap kegiatan wisata (berdasarkan daya dukung kawasan), serta belum memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.
Gambar 8 Objek unggulan kepariwisataan Baubau di setiap KPP.
51
52
4.4.2. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Potensi Kepariwisataan Kota Baubau yang cukup besar dapat menjadi sektor
pemicu
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat.
Banyak
wisatawan
mancanegara (wisman) maupun domestik (nusantara) berwisata ke Kota Baubau. Wisatawan tersebut umumnya ingin mengunjungi berbagai situs budaya peninggalan zaman kesultanan Buton, sekaligus dapat menikmati keindahan alam laut. Kedatangan wisman sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Kebanyakan dari mereka adalah wisatawan lepas (backpacker) yang datang ke Indonesia tanpa melalui Biro Perjalanan Wisata (BPW). Kedatangan wisatawan domestik pun umumnya untuk tujuan berwisata dan kunjungan kerja (instansi pemerintah). Berdasarkan data Tahun 2005 sampai 2009, kunjungan wisman maupun domestik selalu meningkat setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Data kunjungan wisatawan di Kota Baubau No
Tahun
1 2 3 4 5
2005 2006 2007 2008 2009
Wisatawan mancanegara
Wisatawan domestik
(Orang) 748 886 1696 1894 1700
(Orang) 78 443 124 453 188 267 224 453 261 436
Sumber: Disbudpar Baubau (2010) Berdasarkan Tabel 9, kunjungan wisatawan mancanegara yang tertinggi terjadi pada Tahun 2008 (sebanyak 1 894 orang), yang terdiri atas 923 orang lakilaki dan 971 orang wanita. Menurut catatan Disbudpar Kota Baubau (2010), wisatawan asing yang menginap di hotel di Baubau berasal dari beberapa negara antara lain Asia Pasifik, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, India, Jepang, Cina, Australia, Amerika, Inggris dan negara Eropa lainnya.
53
4.5.
Karakteristik Masyarakat
4.5.1. Perkembangan Jumlah Penduduk Pertumbuhan penduduk yang pesat dapat memberikan peran positif terhadap peningkatan pembangunan, termasuk sektor pariwisata pesisir. Namun sebaliknya, pertambahan penduduk yang signifikan dapat memberikan dampak negatif, seperti peningkatan pemanfaatan dan ekploitasi sumberdaya pesisir. Penduduk Kota Baubau dari waktu ke waktu terus meningkat seiring perkembangan dan kemajuan pembangunan. Menurut hasil Sensus Penduduk (SP) Tahun 1990, jumlah penduduk 77 224 jiwa; Tahun 2000 bertambah lagi hingga 106 092 jiwa, kemudian Tahun 2008 mencapai 127 743 jiwa. Dengan demikian, rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun selama kurun waktu 10 tahun (1990-2000) sebesar 3.23%, dan sedangkan Tahun 2007-2008 sebesar 2.52% (BPS Baubau 2009) Data dari BPS Kota Baubau (2009) menunjukan laju pertumbuhan penduduk di kecamatan Wolio, Bungi dan Murhum melampuai angka Kota, masing-masing sebesar 2.64%, 2.64% dan 2.53%. Sedangkan empat kecamatan lainnya memiliki angka pertumbuhan di bawah angka Kota, dan nilai terendah berada di Kecamatan Sorawolio, yaitu sebesar 2.29%. Laju pertumbuhan
Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
penduduk rata-rata Kota Baubau tahun 2007-2008 disajikan pada Gambar 9. 2,7
2,64
2,6 2,5
2,64
2,53 2,48 2,39
2,4
2,34 2,29
2,3 2,2 2,1 Betoambari Murhum
Wolio
Kokalukuna Sorawolio
Bungi
Lea-lea
Kecamatan
Gambar 9 Laju pertumbuhan penduduk rata-rata Kota Baubau menurut kecamatan Tahun 2007-2008 (Sumber: BPS Baubau 2009)
54
4.5.2. Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Wisata Bahari Persepsi masyarakat lokal terhadap keberadaan wisata bahari dipengaruhi oleh adanya manfaat yang diperoleh dari kunjungan wisatawan. Persepsi masyarakat terhadap ekowisata bahari dan tingkat dukungannya, disajikan pada Tabel 10 berikut: Tabel 10 Persepsi masyarakat terhadap kegiatan wisata bahari No.
Uraian
1.
Pengetahuan tentang wisata bahari
2.
Pengetahuan tentang ekowisata
3.
Dukungan terhadap wisata bahari berbasis kelestarian lingkungan (ekowisata)
4.
Alasan dukungan terhadap ekowisata
Tingkat pengetahuan terhadap konservasi sumberdaya pesisir Jumlah responden masyarakat (n) 5.
Keterangan Tahu = 64.44 %; Tidak tahu = 35.56% Tahu = 17.78 %; Tidak tahu = 82.22% Mendukung = 86.67 %; Tidak mendukung=13.33% Dapat menjaga kelestarian lingkungan, terumbu karang, dan biota laut, serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat Tahu = 44.44 %; Tidak tahu = 55.56% 45 orang
Tabel 10 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang wisata bahari sudah tergolong baik, sebesar 64.44%. Pengetahuan 45 responden tentang arti wisata bahari umumnya masih terbatas pada wisata pantai pasir putih. Sedangkan responden yang memandang wisata bahari sebagai wisata selam (untuk melihat keindahan bawah laut) masih sedikit. Sementara itu, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap wisata bahari yang berbasis konservasi masih sangat rendah, sebesar 17.78%. Namun demikian, ketika ditawarkan wisata bahari berbasis kelestarian lingkungan yang dikemas dalam konsep ekowisata, 86.67% masyarakat menyatakan sangat mendukung. Alasan dukungan mereka, cukup bervariasi, antara lain ekowisata dapat menjaga kelestarian lingkungan, terumbu karang, dan biota laut. Selain itu, masyarakat berharap adanya wisata bahari dengan konsep ekowisata, dapat membuka lapangan kerja.
55
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Sumberdaya Kecamatan Betoambari Kecamatan Betoambari dengan panjang garis pantai sekitar 10.30 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Sumberdaya pesisir tersebut menawarkan jasa lingkungan dan memiliki nilai estetika untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari dengan konsep ekowisata (berbasis konservasi). Sumberdaya yang berpotensi adalah ekosistem terumbu karang dan biota laut unik (ikan hiu, penyu, ikan pari, lobster, dan frogfish). 5.1.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Kota Baubau khususnya di perairan Kecamatan Betoambari tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir Kelurahan Sulaa dan Katobengke. Melalui analisis citra (penginderaan jauh) dan SIG, diperoleh luas terumbu karang di perairan Kecamatan Betoambari sekitar 83.64 ha. Sebagian besar masyarakat setempat memiliki ketergantungan terhadap ekosistem terumbu karang ini sebagai sumber penghidupan sehari-hari. Pengamatan terumbu karang di perairan Betoambari dilakukan di 6 stasiun pada kedalaman 10 meter, terdiri atas: 4 stasiun di perairan Pantai Nirwana, 1 stasiun di Tanjung Sulaa, dan 1 stasiun di perairan Pantai Lakeba. Data terumbu karang yang terdiri atas persentase tutupan komunitas karang, jenis lifeform (bentuk pertumbuhan karang), dan jenis ikan karang, dianalisis dengan kesesuaian ekowisata bahari berbasis ekologis. Hasil kesesuaian tersebut kemudian digunakan sebagai input fitur konservasi untuk analisis Marxan. A. Persentase Tutupan Komunitas Karang Hasil pengamatan pada 6 stasiun di perairan Kecamatan Betoambari, ditemukan kondisi tutupan komunitas karang berkisar dalam kategori sedang hingga sangat baik, yakni antara 49.90–86.17%. Kondisi seperti ini memiliki prospek cukup besar untuk pengembangan ekowisata bahari. Menurut Yulianda (2007), persentase tutupan komunitas karang untuk ekowisata bahari pada kelas sesuai bersyarat berkisar 25-50%, cukup sesuai yakni 50-75%, dan sangat sesuai
56
harus melebihi 75%. Nilai persentase tutupan komunitas karang setiap stasiun di Kecamatan Betoambari disajikan pada Gambar 10.
Tutupan Komunitas Karang (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
stasiun 4
stasiun 5
stasiun 6
Lokasi Penelitian
Gambar 10 Nilai persentase tutupan komunitas karang pada kedalaman 10 meter di perairan Kecamatan Betoambari Berdasarkan Gambar 10, dapat dilihat tutupan komunitas karang paling tinggi terdapat pada perairan Pantai Nirwana (stasiun 1), yakni di wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton dengan persentase 86.17 %. Komunitas karang batu yang umum dijumpai yaitu karang bercabang, (Acropora branching), karang bercabang (coral branching), karang jamur (coral mushroom) dan karang masif (coral massive). Biota lain yang dijumpai yaitu anemon dan akar bahar (Gorgonian). Nilai persentase tutupan komunitas karang pada stasiun 1 jika dimasukkan dalam persyaratan kesesuaian sumberdaya bagi wisata bahari, maka dikategorikan pada kelas sangat sesuai (kategori S1 > 75%). Tutupan komunitas karang yang tinggi pada stasiun ini menandakan tekanan ekploitasi terhadap terumbu karang yang dilakukan masyarakat setempat relatif kecil. Salah satu faktornya, karena lokasi jauh dari pemukiman warga, jauh dari pelabuhan, dan kurangnya kegiatan budidaya rumput laut. Selain stasiun 1, lokasi lain yang tergolong pada kelas sangat sesuai untuk kegiatan wisata bahari yakni pada stasiun 4 (perairan di Tanjung Sulaa) dengan persentase tutupan komunitas karang sebesar 75.84%.
57
Kondisi ekosistem terumbu karang di stasiun 4 ini cukup baik karena terdapat berbagai macam bentuk-tumbuh karang dan biota lain seperti Ascidian, Gorgonian serta Anemone dan Tridacna. Kondisi beberapa biota di perairan Pantai Nirwana dapat pada Gambar 11. Nilai persentase tutupan komunitas karang yang masuk dalam kategori cukup sesuai (kategori S2; >50-75%) untuk kegiatan wisata bahari adalah pada stasiun 2 (perairan Pantai Nirwana) dengan persentase 66.57% dan stasiun 3 (perairan Pantai Nirwana) sebesar 61.67%, serta di stasiun 5 (perairan Kelurahan Sulaa) sebesar 50.50%.
a)
b)
Gambar 11 Kondisi biota lain pada perairan Pantai Nirwana. a) Simbiosis ikan karang (Amphiprion sp) dengan Anemon Laut, b) Kima (Tridacna sp). Sumber: Lembaga Napoleon (2005)
Gambar 12 Kondisi terumbu karang di perairan Pantai Nirwana. Sementara itu, nilai persentase tutupan komunitas karang terkecil dan dikategorikan sesuai bersyarat untuk wisata bahari ditemukan di perairan Pantai
58
Lakeba sebesar 49.90%. Bentuk-tumbuh karang yang umum dijumpai adalah Acropora bercabang (Acropora branching), karang bercabang (Coral branching), Acropora yang tumbuh mengerak (Acropora encrusting) dan karang masif (Coral massive). Persentase yang kecil ini selain disebabkan kondisi substrat perairan yang didominasi oleh pasir, juga tingkat pemanfaatan oleh masyarakat yang merusak terumbu karang cukup besar. Sebagai contoh, penggunaan batu karang untuk jangkar rakit budidaya rumput laut dan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak. Kondisi terumbu karang di perairan Pantai Lakeba dapat dilihat pada Gambar 13. Menurut penuturan beberapa warga setempat, beberapa tahun silam di wilayah tersebut terdapat masyarakat yang menangkap ikan dengan bahan peledak. Hal ini menyebabkan terumbu karang hancur dan mati. Dapat dibuktikan dari hasil pengamatan diperoleh persentase karang mati mencapai 38.17% yang berupa pecahan karang (Rubble) dan karang telah dipenuhi oleh alga (Death coral with alga). Hal ini menandakan bahwa kerusakan karang di sekitar wilayah tersebut telah berlangsung lama. Menurut Riegl dan Luke (1999); Fox et al. (2003); Fox et al. (2005), penggunaan bahan peledak pada daerah terumbu karang mengakibatkan kerusakan fisik terumbu (terutama karang branching dan foliose). Kondisi demikian mengakibatkan hilangnya tutupan karang hidup hingga 3.75 % per 100 m2 setiap tahun (Soede et al. 1999).
a)
b)
Gambar 13 Kerusakan terumbu karang di perairan Pantai Lakeba. a) akibat penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti bom, b) penggunaan jangkar rakit budidaya rumput laut.
59
B. Bentuk Tumbuh Karang Karang memiliki variasi bentuk-tumbuh koloni (jenis lifeforms) yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hidrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure, dan faktor genetik (Supriharyono 2007). Berdasarkan hasil pengamatan pada perairan Kecamatan Betoambari ditemukan bentuk-tumbuh karang tergolong baik dan sangat beragam, yang berkisar antara 5 hingga 11 jenis. Untuk lebih jelasnya jumlah bentuk pertumbuhan karang pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jenis lifeform (bentuk-tumbuh karang) di perairan Betoambari Lokasi/Stasiun Perairan Pantai Nirwana
Tanjung Sulaa Perairan Pantai Lakeba
ST1* ST2 ST3 ST4* ST5* ST6
Jenis lifeform (Bentuk-tumbuh karang) 7 7 11 5 5 9
* Data pengamatan Lembaga Napoleon (2005) Bentuk-tumbuh karang yang paling banyak ditemukan adalah pada stasiun 3 (perairan Pantai Nirwana) sebanyak 11 jenis. Berdasarkan jumlah tersebut, lokasi ini dapat dikategorikan dalam kelas cukup sesuai untuk kegiatan wisata bahari. Bentuk perrtumbuhan karang yang umum dijumpai pada stasiun 3 antara lain karang masif (Coral massive) dan Acropora bercabang (Acropora branching). Meskipun pada stasiun 3 hanya memiliki penutupan karang batu dalam kategori sedang, tetapi terdapat berbagai biota lain yang menutupi habitat dasar perairan. Biota lain yang jumpai antara lain kima (Clam), akar bahar (Gorgonian), anemon (Anemone) dan Ascidian. Kategori karang keras (hard coral) yang terdapat di perairan tersebut terdiri atas Acropora dan Non-Acropora. Kategori Acropora terdiri atas Acropora branching (ACB) dan Acropora digitate (ACD), terdapat di stasiun 3, 5, dan 6;
60
Acropora encrusting (ACE) ada di stasiun 3, 4, 5, dan 6; Acropora submassive (ACS), pada stasiun 1 dan 3; dan Acropora tabulate (ACT), pada stasiun 2, 3, 4, 5, dan 6. Diantara 5 kategori tersebut, hanya Acropora branching (ACB) yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan. Karang keras (hard coral) kategori Non-Acropora yang ditemukan pada perairan Kecamatan Betoambari antara lain Coral branching (CB) di stasiun 1, 2, 3, 5, dan 6; Coral encrusting (CE) di stasiun 1, 2, 3, dan 6; Coral foliose (CF) di stasiun 3 dan 4; Coral massive (CM) di stasiun 1, 2, 3, dan 6; dan Coral mushroom (CMR) di stasiun 2, 3, dan 6. Beberapa contoh karang keras yang ditemukan di wilayah ini dapat dilihat pada Gambar 14.
a)
b)
c)
d)
Gambar 14 Beberapa bentuk-tumbuh karang di perairan Kecamatan Betoambari. a) Acropora bercabang, b) Acropora meja, c) Karang (NonAcropora) bunga, d) Karang (Non-Acropora) Masif. Sumber: Lembaga Napoleon (2005).
61
C. Jenis Ikan Karang Ikan karang merupakan salah satu biota yang memiliki keanekaragaman spesies tinggi, di mana hidupnya berasosiasi dengan karang. Terumbu karang adalah habitat penting bagi ikan karena merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) (Bengen 2001). Keanekaragaman ikan karang merupakan faktor utama yang dapat menunjang keindahan alam bawah laut (Apriliani 2009). Hasil pengamatan yang dilakukan di perairan kecamatan Betoambari ditemukan ikan karang yang terklasifikasi dalam 20 hingga 22 famili. Famili Pomacentridae merupakan famili yang memiliki jumlah spesies paling banyak (sekitar 27 spesies) dibandingkan dengan famili lain. Dominasi jumlah tersebut diduga karena ikan ini merupakan pemakan plankton, alga, dan omnivore. Hal ini sesuai dengan pendapat Montgomeri et al (1980) in Hukom (2000), yang mengatakan bahwa salah satu famili ikan karang yang selalu ditemukan di daerah terumbu karang adalah famili Pomacentridae. Famili ikan karang terbanyak kedua yang dapat ditemukan di perairan Kecamatan Betoambari adalah Chaetodontidae (ikan kepe-kepe) sebanyak 26 spesies. Ikan kepe-kepe merupakan ikan indikator yang menandakan kondisi terumbu karang cukup baik dan masih sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Myer dan Randall (1983), bahwa kehadiran ikan kepe-kepe tidak lepas dari keberadaan terumbu karang, karena ikan ini merupakan salah satu indikator kesehatan karang. Semakin beragam spesies ikan karang dari kelompok indikator maka tingkat kesuburan karang semakin tinggi. Chabanet et al. (1997) dan Bouchon (1989) membenarkan bahwa terdapat hubungan positif antara persentase substrat terumbu karang dengan kehadiran ikan Chaetodontidae. Ikan tersebut memiliki ketergantungan terhadap karang sebagai makanan dan tempat berlindung, sehingga distribusinya dipengaruhi oleh kondisi tutupan karang hidup. Jumlah spesies ikan karang yang diidentifikasi pada 6 titik pengamatan berkisar 11 hingga 107 spesies (Tabel 12). Berdasarkan Tabel 12, dapat dilihat jumlah spesies ikan karang yang paling banyak ditemukan adalah di sekitar pantai Nirwana sebanyak 107 spesies dari 22 famili. Kondisi ikan karang yang berasosiasi dengan hewan karang di perairan Pantai Nirwana dapat dilihat pada
62
Gambar 15. Jenis-jenis ikan target yang dijumpai berasal dari famili Acanthuridae (ikan pakol), Haemullidae (ikan bibir tebal), Lutjanidae (ikan kakap), Nemipteridae (ikan kurisi) dan Serranidae (ikan kerapu). Ikan indikator berasal dari famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). Kelompok ikan mayor utama yang dijumpai berasal dari famili Acanthuridae, Apogonidae, Balistidae, Blennidae, Caesionidae, Labridae, Pomacanthidae, Pomacentridae dan Scaridae. Tabel 12 Jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di perairan Betoambari Lokasi/Stasiun Perairan Pantai Nirwana
Tanjung Sulaa Perairan Pantai Lakeba
ST1* ST2 ST3 ST4* ST5* ST6
Ikan karang (Jumlah spesies) 11 89 107 20 26 91
* Data pengamatan Lembaga Napoleon (2005) Sementara itu, dari hasil survei komunitas ikan karang di sekitar Pantai Lakeba dan Tanjung Sulaa ditemukan 91 spesies ikan karang dari 21 famili. Ikanikan target yang dijumpai berasal dari famili Holocentridae, Mullidae, Serranidae dan Siganidae. Kelompok ikan mayor utama yang dijumpai berasal dari famili Acanthuridae, Apogonidae, Blennidae, Caesionidae, Labridae, Pomacanthidae, Pomacentridae, Scaridae dan Tetraodontidae. Ikan indikator berasal dari famili Chaetodontidae (Ikan kepe-kepe).
Gambar 15 Ikan karang yang berasosiasi dengan hewan karang di perairan Pantai Nirwana.
63
D. Biota Lain Perairan di sekitar terumbu karang memiliki tingkat produktifitas primer dan sekunder yang tinggi. Tingginya produktifitas primer tersebut menyebabkan terumbu karang sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi ikan karang. Sedangkan produktifitas sekunder yang tinggi memungkinkan terumbu karang menjadi tempat berlindung dan mencari makan bagi hewan invertebrata lain seperti lobster dan penyu (Supriharyono 2007). Berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara beberapa lembaga yang konsen terhadap pelestarian terumbu karang seperti Napoleon dan Buton Resort, ditemukan selain ikan karang, di wilayah tersebut terdapat biota unik di antaranya penyu, ikan pari, ikan hiu, lobster, kuda laut, dan frogfish (Gambar 16). Daerah penyebaran biota-biota tersebut hanya di perairan Pantai Nirwana. Biota-biota termasuk dalam daftar hewan langka, serta merupakan objek pelengkap keindahan bawah laut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutabarat et al (2009) bahwa beberapa jenis biota yang mempunyai karakteristik khas dan langka mempunyai daya tarik wisata bawah laut. a)
b)
c)
d)
Gambar 16 Satwa unik di perairan Kecamatan Betoambari. a) Ikan Hiu, b) Kuda Laut, c) Ikan Pari, d) Frogfish
64
5.1.2. Kualitas Perairan Kondisi lingkungan perairan yang terkait dengan kesesuaian ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologis dalam penelitian ini adalah kecerahan perairan dan kedalaman terumbu karang. Berdasarkan pengamatan pada, kecerahan perairan pada lokasi penelitian sedikit bervariasi yakni pada stasiun 1 hingga 4 (perairan Pantai Nirwana) mencapai 95%, stasiun 5 (perairan Kelurahan Sulaa) sebesar 50%, dan stasiun 6 (perairan Pantai Lakeba) adalah 75%. Tingkat kecerahan yang kecil pada stasiun 5 ini diduga disebabkan karena lokasi tersebut berada tepat di depan pusat pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, serta tingkat pemanfaatan kawasan yang cukup besar antara lain aktivitas pelabuhan dan budidaya rumput laut. Beragamnya kegiatan tersebut dapat menyebabkan kekeruhan perairan, sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke kolom air semakin berkurang dan pada akhirnya kecerahan makin berkurang. 5.1.3. Kesesuaian Kawasan Pengembangan Ekowisata Bahari Kesesuaian kawasan untuk pengembangan ekowisata bahari kategori selam dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas yang terdiri dari 5 parameter, yakni kecerahan perairan, tutupan karang hidup, jenis lifeform, jenis ikan karang, dan kedalaman terumbu karang. Proses analisis kesesuaian tersebut diawali dengan penyusunan matrik sekaligus pemberian bobot dan skoring pada semua parameter pembatas sesuai tingkat kepentingan. Parameter kecerahan dan tutupan karang hidup memiliki bobot paling tinggi dibanding parameter lain. Hal ini disebabkan karena kecerahan merupakan penentu penetrasi cahaya untuk kelangsungan hidup bagi ekosistem terumbu karang. Dengan kecerahan yang tinggi, para wisatawan dapat dengan jelas melihat objek ekosistem terumbu karang. Sementara itu, tutupan karang hidup merupakan daya tarik wisatawan dalam menikmati keindahan bawah laut. Hasil analisis matrik kesesuaian kawasan untuk ekowisata bahari kategori selam, melalui analisis spasial yang dibantu dengan software ArcView 3.3, diperoleh hampir seluruh kawasan terumbu terumbu di perairan Kecamatan Betoambari dikatakan sesuai, berkisar dari kelas sangat sesuai, cukup sesuai,
65
hingga sesuai bersyarat. Lokasi dan luas kawasan yang sesuai untuk ekowisata bahari kategori selam dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Luas dan lokasi yang sesuai untuk ekowisata bahari selam No
Kelas kesesuaian
Luas (ha)
Lokasi Perairan Pantai Nirwana Arah Selatan Pantai Nirwana, Tanjung Sulaa, Perairan Pantai Lakeba Perairan Kelurahan Sulaa
1
Sangat sesuai (S1)
12.49
2
Cukup sesuai (S2)
67.28
3
Sesuai bersyarat (S3)
3.87
Berdasarkan Tabel 13, secara ekologis hampir sepanjang wilayah perairan Kecamatan Betoambari yang memiliki sebaran terumbu karang, memenuhi syarat untuk wisata bahari kategori selam, sehingga dapat direkomendasikan menjadi kawasan ekowisata. Namun demikian, kawasan yang paling sesuai adalah perairan yang berada tepat di depan wisata pantai Nirwana, dengan luas 12.49 ha. Kawasan tersebut terpilih paling sesuai karena kondisi ekosistem terumbu karang di lokasi ini masih cukup baik, dengan tutupan karang di atas 60 %, jenis lifeform sangat beragam melebihi 10 jenis dan jenis ikan karang yang ada pun sangat banyak. Selain itu tingkat kecerahan perairan di lokasi tersebut sangat tinggi dengan ratarata 95%. Secara spasial, kesesuaian ekowisata bahari kategori selam ini dapat dilihat pada Gambar 17. Menurut Lynch et al. (2004), ekowisata bahari selam sangat terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang sebagai objek penyelaman yang menyediakan keindahan organisme laut dan pengalaman baru yang menantang. Begitu pula` Arifin et al. (2008) mengatakan bahwa persentase tutupan karang hidup, jenis lifeform, dan jenis ikan karang mempunyai daya tarik bagi wisatawan karena memiliki variasi morfologi dan warna yang menarik. Tidak hanya itu, kecerahan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam wisata bahari. Semakin cerah perairan maka keindahan bawah laut makin dinikmati.
Gambar 17 Kesesuaian kawasan ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologis
66
67
5.2. Ruang Ekowisata Bahari Optimal 5.2.1. Pemanfaatan Kawasan di Perairan Kecamatan Betoambari Perairan Kecamatan Betoambari dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik oleh masyarakat, pemerintah, maupun swasta. Pemanfaatan sumberdaya maupun kawasan yang ada di wilayah ini antara lain aktifitas budidaya rumput laut, pelabuhan, daerah penangkapan, dan alur kapal. Pada penelitian ini, berbagai kegiatan pemanfaatan tersebut digunakan sebagai input fitur biaya dalam analisis Marxan. Meskipun fitur-fitur ini berpengaruh negatif terhadap fitur konservasi (terumbu karang dan biota unik lain), namun karena memiliki fungsi penting bagi penunjang kebutuhan hidup dan aktifitas masyarakat setempat, sehingga keberadaannya harus dipertimbangkan dalam menentukan ruang ekowisata. Berdasarkan tingkat kepentingan dan manfaat maka fitur biaya diurutkan sebagai berikut: pelabuhan, budidaya rumput laut, dan alur kapal (contohnya kapal nelayan dan kapal penumpang). Aktifitas pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di perairan Kecamatan Betoambari dapat dilihat pada Gambar 18. Fitur biaya pertama (pelabuhan); berdasarkan pengamatan wilayah perairan Betoambari, terdapat beberapa pelabuhan yang memiliki fungsi penting sebagai infrastruktur penunjang di antaranya dermaga kapal penghubung Kelurahan Sulaa dan Pulau Kadatua (Kabupaten Buton), pelabuhan PT Arahon Indah sebagai tempat bersandar kapal nelayan cakalang/tuna ketika hendak mengambil es balok ataupun memasok hasil tangkapan, serta pelabuhan transit depo pertamina yang diperkirakan difungsikan pada akhir Tahun 2011 ini. Fitur biaya kedua (budidaya rumput laut); merupakan profesi utama sebagian
besar
masyarakat
setempat,
khususnya
Kelurahan
Sulaa
dan
Katobengke. Berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan, kegiatan budidaya di wilayah tersebut dilakukan pada bulan April hingga Desember setiap tahunnya. Lokasi yang menjadi budidaya rumput laut di antaranya tersebar pada perairan tepat di daerah pusat pemukiman warga Kelurahan Sulaa, sebagian besar di perairan Pantai Lakeba, dan pantai Katana (arah selatan pantai Nirwana). Beberapa nelayan yang ditemui mengaku sangat bergantung pada aktifitas budidaya rumput laut demi mencukupi kebutuhan keluarga. Pada awalnya mata pencaharian utama mereka adalah sebagai nelayan penangkap ikan, namun saat ini
68
lebih fokus pada profesi sebagai petani rumput laut. Banyak alasan yang melandasi hal tersebut, selain akibat hasil tangkapan ikan karang yang terus menurun, juga disebabkan kegiatan budidaya rumput laut yang terbilang mudah dan dapat memperoleh pendapatan cukup besar. Setiap tahun jumlah petani rumput laut semakin meningkat. Hal ini dapat dibuktikan hampir seluruh wilayah perairan depan Pantai Lakeba dan pusat pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, dipenuhi dengan rakit budidaya rumput laut. Aktifitas tersebut hampir tidak menyisahkan ruang untuk alur keluar masuk perahu nelayan maupun kapal transportasi penghubung antara Kelurahan Sulaa dan Pulau Kadatua.
a)
b)
c)
d)
Gambar 18 Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di perairan Betoambari. a) pelabuhan transit depo pertamina yang sementara dikerjakan, b) pelabuhan PT Arahon Indah, c) kegiatan budidaya rumput laut, d) kapal nelayan yang sering bersandar di pelabuhan Arahon Indah. Fitur biaya ketiga (alur kapal); kapal yang melewati perairan Kecamatan Betoambari terbilang banyak antara lain kapal penumpang yang menghubungkan Kelurahan Sulaa-Pulau Kadatua, kapal penumpang penghubung antara Kabupaten
69
Wakatobi-Kota Baubau, dan dipastikan akan ada jalur kapal transit depo pertamina. Ketiga fitur tersebut ditunjukkan pada Gambar 19. 5.2.2. Ruang Ekowisata Berdasarkan Efisiensi Biaya Penentuan ruang ekowisata yang memiliki biaya terkecil dilakukan berdasarkan kesesuaian parameter ekologis dan sosial ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan analisis Marxan yang dapat mencari dan memilih kawasan ekowisata yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial ekonomi. Marxan merupakan analisis yang dikatakan kompleks karena terdapat banyak pengaturan guna mendapatkan berbagai pilihan pengambilan keputusan. Setelah Marxan diciptakan Ball dan Poshingham (2000), muncul beberapa panduan, eksperimen trial dan error, serta penelitian yang telah melakukan pengujian terhadap Marxan, antara lain Ardron (2002) dan Loos (2006). Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengujian Marxan lebih jauh, tetapi hanya melakukan simulasi terhadap ukuran unit perencanaan dan target konservasi untuk kebutuhan ruang ekowisata optimum, sedangkan komponen lain mengacu pada studi literatur dari berbagai panduan dan penelitian sebelumnya. A. Penetapan Persentase Target Ruang Ekowisata Penetapan target untuk perencanaan ruang ekowisata merupakan hal penting sebagai input dalam analisis Marxan. Menurut Cabeza dan Moilanen (2001), agar penetapan spesies target bersifat ilmiah maka dapat didasarkan pada perkiraan populasi. Menurut Smith (2005), pengaturan target berdasarkan kealamian setiap fitur sebelum kehilangan habitat; Geselbracht et al. (2005), menyarankan target selalu bervariasi berdasarkan kepentingan. Penetapan target ekowisata untuk perlindungan sumberdaya pesisir Kecamatan Betoambari diurutkan berdasarkan pentingnya suatu habitat dan spesies sebelum mengalami kepunahan. Sesuai kondisi di lokasi penelitian, sumberdaya yang penting namun terancam degradasi tinggi yakni ekosistem terumbu karang. Setelah itu, tingkat kepentingan diurutkan dari yang tinggi hingga sedang sebagai berikut: ikan hiu dan habitatnya, spesies penyu, ikan pari, lobster dan habitatnya, serta frogfish.
Gambar 19. Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di Perairan Betoambari (fitur biaya)
70
71
B. Pengaturan Skenario Ruang Ekowisata Marxan yang memiliki banyak pengaturan memberikan kesempatan kepada perencana untuk mengatur berbagai skenario. Setiap skenario memberikan hasil yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, skenario ditentukan dengan mengatur target sumberdaya yang akan dijadikan kawasan ekowisata, utamanya mengubah nilai target terumbu karang dan biota unik lain. Pengubahan nilai dimaksudkan untuk mencari solusi ruang ekowisata dengan biaya terendah. Berdasarkan observasi lapangan dan analisis awal simulasi target ekowisata bahari maka ditetapkan 3 skenario (Tabel 14). Tabel 14 Faktor denda dan persentase target tiap skenario Skenario 1 No
Fitur konservasi
1 2 3 4 5 6
Terumbu Karang Daerah Ikan Hiu Daerah Penyu Daerah Ikan Pari Lobster Frogfish
% Target 70 70 70 70 70 70
SPF
Jumlah pu
4.0 4.0 3.5 3.5 3.0 3.0
1335 120 362 212 86 65
Target 934.5 84.0 253.4 148.4 60.2 45.5
Shapefile terumbu_ d_hiu d_penyu d_pari d_lobster d_frogfish
Skenario 2 No
Fitur konservasi
1 2 3 4 5 6
Terumbu Karang Daerah Ikan Hiu Daerah Penyu Daerah Ikan Pari Lobster Frogfish
% Target 60 60 60 60 60 60
SPF
Jumlah pu
4.0 4.0 3.5 3.5 3.0 3.0
1335 120 362 212 86 65
Target 801.0 72.0 217.2 127.2 51.6 39.0
Shapefile terumbu_ d_hiu d_penyu d_pari d_lobster d_frogfish
Skenario 3 No
Fitur konservasi
1 2 3 4 5 6
Terumbu Karang Daerah Ikan Hiu Daerah Penyu Daerah Ikan Pari Lobster Frogfish
% Target 50 50 50 50 50 50
SPF 4.0 4.0 3.5 3.5 3.0 3.0
Jumlah pu 1335 120 362 212 86 65
Target 667.5 60.0 181.0 106.0 43.0 32.5
Shapefile terumbu_ d_hiu d_penyu d_pari d_lobster d_frogfish
72
Tabel 14 menunjukan skenario yang digunakan pengubahan nilai target terumbu karang dari 70% hingga 50%. Terumbu karang merupakan sumberdaya paling potensial sebagai kawasan ekowisata. Sumberdaya tersebut hampir di sepanjang pesisir Kecamatan Betoambari, sehingga perlu dilakukan simulasi untuk mencari persentase target yang efisien dan tidak mengganggu aktifitas lain. Sedangkan sumberdaya lain merupakan pendukung keindahan bawah laut yang juga perlu dilestarikan. Nilai target daerah hiu, penyu, ikan pari, lobster, dan frogfish, mengikuti skenario perubahan persentase terumbu karang yakni 70% hingga 50%. Keberadaan dan distribusi biota unik tersebut sangat sedikit dan hanya terfokus pada perairan Pantai Nirwana. C. Pemilihan Nilai Efisien di antara 3 Skenario Tiga skenario yang telah disusun, kemudian dianalisis dengan Marxan. Setiap
skenario
menghasilkan
beberapa
output
file
yakni
output_best,
output_mvbest, output_sen, output_ssoln dan output_sum. Melalui analisis dan pengujian maka dipilih BLM 1, karena solusi terpilih telah mengelompok. Nilai biaya, panjang batas, dan penalti, serta luas area masing-masing skenario kemudian digunakan untuk menentukan solusi terbaik ruang ekowisata berdasarkan nilai biaya yang paling rendah. Hasil pengujian setiap skenario pada BLM 1 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai biaya dan panjang batas satuan perencanaan terpilih Skenario 1 2 3
Unit biaya 620 505 413
Unit panjang batas 419 413 381
BLM 1 1 1
Penalty 0.00 0.00 0.00
Total unit biaya 1 039 918 793
Skenario 1 dengan target ekowisata 70 % (terumbu karang dan biota unik), dihasilkan total unit biaya sebesar 1 039. Penggunaan BLM 1, solusi terpilih sudah mengelompok, dengan total luas area 588 213.62 m2 atau 58.82 ha, yang terdiri atas 2 kelas yakni paling sesuai (sesuai 1) dan cukup sesuai (sesuai 2). Penyebaran kawasan paling sesuai berada tepat di perairan Pantai Nirwana seluas 207 974.72 m2 atau 20.80 ha. Area ini perlu dijadikan kawasan ekowisata sebagai pusat perlindungan terumbu karang dan satwa unik beserta habitatnya. Sementara
73
itu, area yang terpilih terbanyak kedua (cukup sesuai) adalah di perairan sebelah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Utara pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, seluas 380 380 m2 atau 38.04 ha. Daerah ini dapat direkomendasikan sebagai ruang ekowisata sesuai 2. Jenis kegiatan ekowisata yang dapat dikembangkan di kawasan terpilih tersebut dengan mengutamakan keindahan bawah laut adalah wisata selam dan wisata satwa (biota unik). Penyebaran solusi terpilih skenario 1 disajikan pada Gambar 20. Skenario 2 pada target 60 % (terumbu karang dan biota unik), memiliki penyebaran solusi terpilih sama dengan skenario 1, yang berbeda adalah penurunan total luas area terpilih menjadi 491 821.41 m2 atau 49.18 ha. Penyebaran kawasan paling sesuai berada tepat di perairan Pantai Nirwana seluas 175 429.67 m2 atau 17.55 ha; sedangkan area terpilih 2 (cukup sesuai), di perairan sebelah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Utara pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, seluas 316 391.74 m2 atau 31.64 ha (lihat Gambar 21). Ruang terpilih skenario 2 ini memiliki total unit biaya sebesar 918. Skenario 3 pada target 50 % (terumbu karang dan biota unik), memiliki penyebaran solusi terpilih sama dengan skenario 1 dan 2. Namun area terpilih di sebelah Selatan Pantai Lakeba semakin kecil seiring dengan penurunan nilai target ekowisata. Total area terpilih pada skenario ini adalah 399 662.45 m2 atau 39.97 ha, terdiri atas kawasan ekowisata paling sesuai (sesuai 1) berada tepat di perairan Pantai Nirwana seluas 154 731.49 m2 atau 15.47 ha; kawasan ekowisata sesuai 2 di perairan sebelah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Utara pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, seluas 244 870.96 m2 atau 24.49 ha. Total unit biaya yang untuk skenario 3 adalah 793. Kawasan ekowisata terpilih pada skenario 2 ini dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 20 Kawasan ekowisata bahari terpilih berdasarkan Skenario 1.
74
Gambar 21 Kawasan ekowisata bathari terpilih berdasarkan skenario 2.
75
Gambar 22 Kawasan ekowisata bahari terpilih berdasarkan skenario 3.
76
77
Penetapan ketiga skenario ekowisata tersebut (target perlindungan terumbu karang, 70%, 60%, dan 50%), tidak akan mengganggu atau saling tumpang tindih dengan aktifitas pemanfaatan kawasan di perairan Kecamatan Betoambari, seperti kegiatan pelabuhan, transportasi, dan mata pencaharian masyarakat setempat sebagai pembudidaya rumput laut. Jika ditinjau dari total unit biaya, maka dapat dipilih ruang ekowisata paling efisien adalah skenario 3, dengan total unit biaya 793 (lihat Gambar 23).
1200 Total unit biaya
1000 800 600 400 200 0 skenario 1
skenario 2
skenario 3
Gambar 23 Perbandingan total biaya (nilai efisien) pada 3 skenario. Gambar 23 menunjukan bahwa ruang ekowisata terpilih yang paling efisien diantara 3 skenario berdasarkan total biaya terendah (biaya akuisisi lahan maupun manajemen) adalah skenario 3. Skenario ini sesuai dengan prinsip analisis Marxan untuk mencapai tujuan dengan biaya terendah. Khusus daerah studi di Perairan Kecamatan Betoambari, dapat dilihat semakin kecil target ekowisata maka semakin kecil pula biaya akuisisi lahan dan biaya manajemen. Hal ini disebabkan fitur-fitur sumberdaya yang dijadikan ekowisata tidak begitu tersebar banyak atau terpisah-pisah, namun terpusat di perairan Pantai Nirwana. Dengan demikian jika melakukan manajemen seperti pengawasan kawasan ekowisata maka biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar.
78
5.2.3. Potensi Total Nilai Manfaat Ekonomi Potensi nilai manfaat ekonomi didapatkan dengan adanya pengusahaan kegiatan wisata bahari dari ruang ekowisata yang terpilih. Dalam penelitian ini, nilai manfaat ekonomi diperoleh melalui dua tahap analisis. Pertama, penentuan daya dukung kawasan (DDK) sebagai cara untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata bahari (DDW) pada 3 skenario; kedua, menentukan nilai ekonomi menggunakan Willingness to Pay (WTP). Kemudian nilai DDW (perorang/hari) digabungkan WTP (perorang) dan digunakan sebagai input untuk menghitung total nilai ekonomi (total benefit). A. Daya Dukung Pengembangan Ekowisata Tiap Skenario Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yakni kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, serta mempertahankan keaslian sumberdaya alam (Hutabarat et al. 2009). Olehnya itu, perencanaan ekowisata Baubau harus mempertimbangkan tingkat kemampuan alam untuk mentolerir dan menciptakan lingkungan yang alami. Dalam penelitian ini, yang dimaksud daya dukung ekowisata adalah kemampuan sumberdaya untuk menampung jumlah penyelam tanpa menyebabkan gangguan terhadap terumbu karang dan satwa unik di perairan Betoambari. Parameter yang digunakan dalam penentuan daya dukung mengacu pada Yulianda (2007), antara lain: (1) potensi ekologis pengunjung per satuan unit area, di mana aktifitas selam mempunyai standar 2 orang per 2 000 m2; (2) luas potensi ekologis kawasan yang dapat digunakan untuk aktifitas selam; (3) waktu yang disediakan dan kebutuhan waktu untuk aktifitas tersebut. Luas potensi perairan Kecamatan Betoambari yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata selam didasarkan pada ruang ekowisata skenario 1, 2, dan 3, dengan luas masing-masing adalah 588 213.62 m2, 491 821.41 m2, dan 399 602.45 m2. Hasil perhitungan DDK dan DDW di perairan Betoambari dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa skenario 1 merupakan kawasan ekowisata yang memiliki DDK tertinggi (1 760 orang/hari) dibanding skenario lain. Nilai ini menunjukkan bahwa batas maksimal jumlah pengunjung yang dapat ditampung di
79
kawasan ekowisata adalah 1 760 orang setiap harinya. Sedangkan DDW skenario 1 sebesar 176 orang/hari. Nilai DDW ini masih di bawah standar daya dukung yang dikemukan Davis dan Tisdell (1995) bahwa daya dukung kawasan wisata selam pada kawasan konservasi 200 000 orang/tahun/300 hari. Tabel 16 Daya dukung pengembangan ekowisata di perairan Betoambari Skenario
Area ekowisata (m2)
1 2 3
588 213.62 491 821.41 399 602.45
DDK (orang/hari) 1 760 1 480 1 200
DDW (orang/hari) 176 148 120
DDW (orang/thn) 52 939 44 264 35 964
B. Potensi Nilai Ekonomi Ekowisata Nilai Kompensasi Ekowisata Penilaian terhadap kompensasi sumberdaya untuk ekowisata perairan Betoambari dihitung menggunakan metode valuasi berdasarkan preferensi (contigent valuation method) dengan pendekatan Willingness to pay (WTP) atau kesediaan membayar. Responden yang dipilih merupakan para pengunjung yang sering melakukan aktifitas selam di perairan Kecamatan Betoambari, baik untuk berwisata maupun tujuan pendidikan. WTP dalam penelitian ini didasarkan pada tingkat kepuasan penyelam terhadap kondisi objek dengan pilihan biaya satu kali penyelaman standar (yang diambil dari survei pendahuluan), antara lain: a) Rp 100 000; b) Rp 200 000; c) Rp 300 000; d) Rp 400 000; dan e) > Rp 400 000. Perhitungan WTP per-individu untuk ekowisata perairan Kecamatan Betoambari tidak dipengaruhi variabel latar belakang responden seperti umur, asal, pendapatan, dan jumlah rombongan. Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner, semua responden menyatakan kesediaannya mengeluarkan biaya untuk bisa menyelam sekaligus menikmati keindahan bawah laut. Besaran biaya yang rela dikeluarkan tidak begitu bervariasi yakni 71.43% responden bersedia membayar Rp 300 000 dan 28.57% ingin membayar Rp 200 000. Berdasarkan kisaran angka tersebut, dapat diartikan bahwa penilaian atau kepuasan penyelam terhadap terumbu karang dan satwa unik di perairan Betoambari masih standar, bahkan di bawah standar jika dibandingkan dengan nilai rata-rata total biaya dalam 1 kali menyelam (Rp 330 000). Kecilnya
80
nilai biaya yang dipilih responden diperkirakan dipengaruhi adanya pembanding lokasi penyelaman di daerah sekitar seperti Wakatobi. Total Benefit Ekowisata Dari Tiap Skenario Potensi nilai ekonomi ekowisata atau total benefit (TB) dihitung berdasarkan total nilai ekonomi sumberdaya yang diperoleh dari kombinasi nilai WTP dan DDW. Berdasarkan perhitungan WTP dan DDW pada 3 skenario, diperoleh potensi nilai ekonomi ekowisata berkisar antara Rp 32 607 560 hingga Rp 47 998 231 per hari. Potensi nilai ekonomi ekowisata dari 3 skenario disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Potensi nilai ekonomi dari 3 skenario. Skenario
WTP (Rp)
Daya dukung (org/hari)
Total benefit (Rp/hari)
Total benefit (Rp/thn)
1 2 3
272 000 272 000 272 000
176 148 120
47 998 231 40 132 627
14 399 470 000 12 039 790 000 9 782 270 000
32 607 560
Berdasarkan tabel 17, menunjukkan skenario 1 memiliki total benefit tertinggi, sebesar Rp 47 998 231 per hari atau Rp 14 399 470 000 per tahun. Hal ini disebabkan total benefit berbanding lurus dengan DDW. Semakin besar DDW maka semakin besar total benefit. 5.2.4. Ruang Ekowisata Optimal Berdasarkan Biaya Minimal dan Manfaat Ekonomi Maksimal Ruang ekowisata yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal ditentukan dari estimasi nilai keuntungan (net benefit) tertinggi di antara 3 skenario. Nilai keuntungan tersebut diperoleh dari selisih antara total benefit per bulan dan total biaya. Total benefit merupakan nilai ekonomi dari setiap skenario. Sementara total biaya merupakan biaya ruang ekowisata bahari yang dihasilkan dari analisis Marxan. Total biaya unit perencanaan terpilih (hasil analisis Marxan) dikonversi dalam satuan Rupiah. Konversi diasumsikan dari harga lahan per unit perencanaan di perairan Kecamatan Betoambari. Namun hingga saat ini belum ada ketetapan
81
harga lahan di laut (khususnya di perairan Kota Baubau), maka konversi tersebut didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan darat di Kecamatan Betoambari khususnya Kelurahan Sulaa. NJOP Kelurahan Sulaa berkisar antara Rp 14 000 hingga Rp 64 000/m2. Untuk konversi biaya tersebut, digunakan nilai NJOP yang paling rendah yakni Rp 14 000 /m2. Total biaya ekowisata dalam penelitian ini merupakan biaya akuisisi lahan laut untuk dijadikan kawasan ekowisata, serta biaya manajemen sebagai fungsi pemeliharaan dan pengawasan. Biaya akuisisi lahan diasumsikan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk masyarakat sekitar, khususnya nelayan yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya pesisir sebagai pengganti lahan di laut karena dijadikan kawasan ekowisata. Sedangkan biaya manajemen merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pemeliharaan maupun pengawasan kawasan ekowisata. Biaya akuisisi lahan dan manajemen ekowisata dihitung berdasarkan jumlah unit perencanaan terpilih untuk ekowisata dikalikan dengan NJOP terendah di Kelurahan Sulaa dalam satuan waktu per tahun. Total benefit, total biaya dan net benefit per tahun ruang ekowisata pada 3 skenario disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Penentuan ruang ekowisata optimal berdasarkan nilai ekonomi Skenario 1 2 3
Total benefit (Rp/thn)
Total biaya (Rp/thn)
Net benefit (Rp/thn)
14 399 470 000 12 039 790 000 9 782 270 000
1 745 520 000 1 542 240 000 1 333 920 000
12 653 950 000 10 497 550 000 8 448 350 000
Tabel 18 menunjukkan bahwa net benefit tertinggi adalah skenario 1, sebesar Rp 12 653 950 000 per tahun. Hal ini menunjukan bahwa skenario 1 merupakan ruang ekowisata yang optimal. Ruang ekowisata skenario 1 memiliki luas paling besar (58.8 ha) dibanding skenario lain. Sedangkan skenario 3 memiliki nilai keuntungan terkecil (Rp 8 448 350 000), disebabkan luas kawasan ekowisata terpilih pada skenario ini merupakan yang paling kecil (39.96 ha).
82
83
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian yang telah dibahas pada Bab 5, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai untuk ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologis terdapat hampir di sepanjang pesisir Kelurahan Sulaa dan Katobengke. Kelas paling sesuai (S1) seluas 12.49 ha, berada di perairan Pantai Nirwana; kelas cukup sesuai (S2) sebesar 67.28 ha, berada di perairan bagian Selatan Pantai Nirwana, Tanjung Sulaa, dan perairan Pantai Lakeba; serta sesuai bersyarat (S3) seluas 3.87 ha, berada di perairan tepat di depan pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa.
2.
Perencanaan kawasan ekowisata yang optimal berdasarkan nilai biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal melalui analisis Marxan, WTP, total benefit dan net benefit (keuntungan) adalah skenario 1. Kawasan ekowisata skenario 1 seluas 58.82 ha, dengan keuntungan sebesar Rp 12 653 950 000 per tahun. Kawasan yang paling sesuai (S1) untuk dijadikan pusat ekowisata bahari yakni di perairan Pantai Nirwana; sedangkan cukup sesuai (S2) tersebar di sebelah Selatan Pantai Nirwana dan arah Selatan Pantai Lakeba. Pemanfaatan kawasan ekowisata dengan skenario 1 tidak akan mengganggu atau tidak saling tumpang tindih dengan aktifitas lain, seperti kegiatan pelabuhan dan budidaya rumput laut.
6.2. Saran Beberapa saran pengelolaan dari penelitian ini antara lain: 1.
Penetapan peruntukan ruang bagi perlindungan sumberdaya pesisir yang dikemas dalam konsep ekowisata bahari, dengan pusat ekowisata di perairan Pantai Nirwana.
2.
Daya dukung kawasan (DDK) atau batas maksimal jumlah pengunjung yang dapat ditampung di kawasan ekowisata di perairan Kecamatan Betoambari sebanyak 1 760 orang/hari.
85
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2006. Pengantar penilaian ekonomi sumberdaya pesisir dan lautan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Airame S, Dugan JE, Lafferty KD, Leslie H, McArdle DA, Warner RR. 2003. Applying ecological criteria to marine reserve design: a case study from the California Channel Islands. Ecological applications. 13(1):170-184. Ardron JA, Lash J, Haggarty D. 2002. Modelling a network of marine protected areas for the central coast of British Columbia. Version 3.1. Living Oceans Society, Sointula, BC, Canada. Available Online: http://www.livingoceans.org/library/index.shtml Apriliani. 2009. Strategi rehabilitasi terumbu karang untuk pengembangan wisata bahari di Pulau Mapur Kabupaten Bintan Kepulauan Riau [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Arifin T. 2008. Akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh Kota Bitung [Disertasi]. Sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Baharuddin. 2006. Model pengaruh gelombang terhadap pantai Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ball IR, Possingham HP. 2000. Marine reserve design using spatially explicit annealing (V1.8.2). A manual prepared for Great Barrier Reef Marine Park Authority. Ball IR, Possingham HP. 2001. The design of marine protected areas: adapting terrestrial techniques. Proceedings from the international congress on modelling and simulation. 2: 769-774. Bartlett DJ. 1999. Working on the frontiers of science: applying GIS to the coastal zone. In Wright D, Bartlett D, eds. Marine and coastal geographical information systems. Taylor and Francis, London. Bengen. 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PK-SPL). Institut Pertanian Bogor. Bengen. 2002. Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil. Makalah disampaikan dalam seminar sehari “Peluang pengembangan investasi pulau-pulau kecil di Indonesia”, Hotel Indonesia, Jakarta 10 Oktober 2002. Bengen, Retraubun ASW. 2006. Menguak realitas dan urgensi pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Bogor: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
86
Bjork P. 2000. Ecotourism from a conceptual perspective, an extended definition of a unique tourism form. International Journal of Tourism Research, 2 (2000): 189-202. Blamey RK. 1997. Ecotourism: The search for an operational definition. Journal of sustainable tourism 5(2): 109–130. Boersma PD, Parrish JK. 1999. Limiting abuse: marine protected areas, a limited solution. Ecological Economics, 31: 287-304. Bouchon Y, Hermerlin ML. 1985. Impact of coral degradation on a chaetodontidae fish assemblage (Morea, French Polynesia). Proceding of fishing. Coral reef congress Tahati 5: 427-432. BPS Baubau. 2009. Kota Baubau dalam angka. Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara. Buton Resort, Dive Center. 2010. Pengelolaan kolaboratif wisata bahari pantai nirwana dan pantai katanaa. Kota Baubau. Sulawesi Tenggara. Cabeza M, Moilanen A. 2001. Design of reserve networks and the persistence of biodiversity. Trends in ecology and evolution, 16: 242-248. Canessa R, Keller CP. 2003. User assessment of coastal spatial decision support system. In Green, David R, King, Stephen D. Eds Coastal and marine geoinformation systems: applying technology to environment. pp.437-449. Carson, RT, Hanemann WM. 2005. Contingent valuation. In: Aler M, Vincent KG, editors. Handbook of environmental economics. Vol 2. Elsevier. Amsterdam. Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997. Relationships between coral reef subtrata and fish. Coral reefs 16: 93-102. Clarke, KC. 2001. Getting starting with geographic information system. Third editon. Prentice Hall. Upper Saddle River. NJ. CIT, 2003. An Ecosystem spatial analysis for Haida Gwaii, Central Coast, and North Coast British Columbia. Available: http://www.livingoceans.org Dahuri R, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, MJ Sitepu. 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Cetakan ke-3. Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman hayati laut: Aset Pembangunan berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
87
Darmawan A, Andy D. 2007. Materi perangkat lunak Marxan untuk perencanaan dan pengelolaan kawasan perlindungan laut. Bali: The Nature ConservancyCoral Triangle Centre. Davenport, John, Julia L. Davenport. 2006. The impact of tourism and personal leisure transport on coastal environments. Estuarine, coastal and shelf science. www.sciencedirect.com Davis D, Tisdell C. 1995. Recreational scuba-diving and carrying capacity in marine proctected areas. Ocean and coastal management 26: 19-40, in Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Departement of Economics University of Queensland. Davis D, Tisdell C. 1996. Economic management of recreational scuba diving and the environment. Journal of environment management. 48: 229-248 in Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Departement of Economics University of Queensland. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Baubau. 2005. Rencana induk pengembangan pariwisata daerah Kota Baubau. Baubau. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Baubau. 2010. Jumlah kunjungan wisatawan di Kota Baubau Tahun 2005 hingga 2009. Baubau. Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Baubau. 2009. Laporan draft akhir penyusunan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Baubau. Baubau. Dodds, Rachel. 2009. Environmental impacts of ecotourism. Annals of tourism research. www.cabi.org Ekowisata Indonesia. 2009. Definisi ekowisata. www.ekowisata.info/index.html English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fauzi, Akhmad. 2010. Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan: teori dan aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama (Cetakan Ketiga). Jakarta Fennell D. 2001. A content analysis of ecotourism definitions. Current Issues in Tourism 4: 403–421. Fox H, Pet JS, Dahuri R, Roy LW. 2003. Recovery in rubbel fields: long-term impact of blast fishing. Mar poll bull. 46: 1024-1031. Fox H, Peter JM, Mouse, Pet JS, Muljadi M, Roy LC. 2005. Experimental assesesment of coral reef rehabilitation following blast fishing. Con bio. 19 (1): 98-107.
88
Franklin EC., Ault JS, Smith SG, Luo J, Meester GA., Diaz GA., Chiappone M, Swanson DW, Miller SL, Bohnsack JA. 2003. Benthic habitat mapping in the Tortugas Region, Florida. Marine Geodesy, 26(1): 19-34. Garrod G, Willis KG. 1999. Economic valuation of the environment: method and case studies. Chletenham UK: Edward Elgar. Geselbracht L, Torres R. 2005. Florida marine assessment: prioritization of marine/estuarine sites and problem adversely affecting marine/estuarine habitat and associated species of greatest conservation need. http://myfwc.com. Gole T. 2003. Vegetation of the Yayu Forest in SW Ethiopia: Impacts of human use and implications for in situ conservation of wild cofea arabica L. populations. Ecology and Development Series. 10: 1-163. Grahadyarini, BM Lukita. 2010. Eksotisme wisata selam. Direktorat kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga, Bappenas. www.cetak.kompas.com Hepcan S. 2000. A methodological approach for designating management zones in Mount Spil National Park, Turkey. Environmental management. 26(3): 329-338. Hukom FD. 2000. Struktur komunitas dan distribusi spasial ikan karang Famili Pomancentridae di perairan Kepulauan Dermawan Kalimantan Timur. Seminar Nasional Biologi XVI dan Kongres XII Perhimpunan Biologi Indonesia 25-27 Juli 2000. ITB-UNPAD-UPI Bandung. Hutabarat A, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani. 2009. Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Bogor: Edisi I Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency. Jun E, Kim WJ, Jeong YH, Chang SH. 2010. Measuring the sosial value of nuclear energy using contingent valuation methodology. Energy policy 38: 1470-1476. Krider RE, Arguello A, Campbell C, Mora JD. 2010. Trait and image interaction in ecotourism preference. Annals of tourism research. Vol 20. Lauck, Tim, Clark, Colin W, Mangel, Marc, Munro, Gordon R. 1998. Implementing the precautionary principle in fisheries management through marine reserves. Ecological applications. 8(1): S72-S78. Lembaga Napoleon Baubau. 2005. Survey pemotretan dan pemetaan terumbu karang di wilayah pesisir Kota Baubau. Sulawesi Tenggara
89
Lewis A, Slegers S, Lowe D, Muller L, Fernandes L, Day J. 2003. Use of spatial analysis and GIS techniques to re-zone the Great Barrier Reef Marine Park. In Woodroffe, C D, and Furness, R A (eds), 2003. Coastal GIS 2003: an integrated approach to Australian coastal issues (Wollongong Papers on Maritime Policy No 14). Centre for maritime policy (Wollongong, NSW). pp. 431-451. Lieberknecht LM, Carwardine J, Connor DW, Vincent MA, Atkins SM, Lumb, CM. 2004. The Irish Sea pilot-report on the identification of nationally important marine areas in the Irish Sea. JNCC Report no. 347. Available online: http://www.jncc.gov.uk. Loos SA. 2006. Exploration of Marxan utility in marine protected area zoning [tesis]. Australia: University of Victoria. Lynch TP, Wilkinson E, Melling L, Hamilton R, MacReady A, Feary S. 2004. Conflict and impact of divers and anglers in a marine park. J Environ Manage 33(2): 196-211 Lyon G. 2003. GIS for Water resources and watershed management. Taylor and Francis Group. London Manuputy AEW. 1986. Karang lunak, salah satu penyusun terumbu karang. J Oseana No 4. P30 LIPI. Jakarta. Marine National Park Division. 2001. The handbook of marine national park tourism-ecotourism activity. Thailand: The Royal Forest Department, The Ministry of Agriculture and Cooperatives. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2001. Kepmen LH No. 4 Tahun 2001 tentang kriteria baku kerusakan terumbu karang. Meerman J.C. 2005. Protected areas system assessment and analysis: Marxan analysis. Protected areas policy and system plan, Beliz. Available online: http://biological-diversity.info/Downloads/NPAPSP/MARXANanalysis.pdf META. 2002. Planning for Marine Ecotourism in the EU Atlantic Area Good Practice Guidance. Bristol: University of The West of England. Miller B, Foreman D, Fink M, Shinneman D, Smith J, DeMarco M, Soulé M, Howard R. 2003. Southern Rockies Wildlands Network VISION: A sciencebased approach to rewilding the Southern Rockies. Southern Rockies Ecosystem Project. http://www.restoretherockies.org/pdfs National Research Council. 2001. Marine protected areas: tools for sustaining ocean ecosystems. National Academy Press, Washington, DC.
90
Oetting J, Knight A. 2003. F-TRAC: Florida forever tool for efficient resource acquisition and conservation. Model documentation and project evaluation. Florida natural areas inventory. Florida. Polacheck T. 1990. Year round closed areas as a management tool. Natural resource modeling. 4: 327-354. Polasky S, Camm JD, Solow AR, Csuti B, White D, Ding R. 2000. Choosing reserve networks with incomplete species information. Bio Con, 94: 1-10. Possingham H, I Ball, Andelman S. 2000. Mathematical methods for identifying representative reserve networks. In Ferson, S. dan Burgman, M., eds. Quantitative Methods for Conservation Biology. Springer-Verlag, New York. pp. 291-305. Prahasta E. 2004. Sistem informasi geografi: dukungan tools dan plug-ins dalam pengembangan berbagai aplikasi. Informatika Bandung. Pressey RL, Logan VS. 1998. Size of selection units for future reserves and its influence on actual vs targeted representation of features: A case study in Western New South Wales. Biological Conservation. 85: 305-319. Rahayu, Sri. 2010. Analisis manfaat wisata Taman Nasional Kepulauan Seribu [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riegl B, Luke KE. 1999. Ecological parameters of dynamited reefs in the northen red sea and their relevance to reef rehabilitiation. Mar poll bull. 37: 488-498. Roberts, Callum M. 2000. Selecting marine reserve locations: optimality versus opportunism. Bulletin of marine science, 66(3): 581-592. Scholz A, Bonzon K, Fujita R, Benjamin N, Woodling N, Black P, Steinback C. 2004. Participatory socioeconomic analysis: drawing on fishermen’s knowledge for marine protected area planning in California. Marine Policy. 28: 335-349. Setiawati I. 2000. Pengembangan ekowisata bahari. Prosiding pelatihan untuk pelatih pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Bogor Sigabariang IL. 2008. Rencana pengembangan kawasan ekowisata pesisir interpretatif di kawasan konservasi laut daerah Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat [thesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian. Smith B. 2005. A Tutorial for using conservation land-use zoning software (version 1.6). http://www.kent.ac.uk/anthropology/dice/cluz tut.pdf.
91
Soede PC, Erdam. 1999. Blast fishing in Southwest Sulawesi Indonesia. Naga, the ICLARM Quarterly. Soeprapto TA. 2004. Pengelompokan pulau-pulau berdasarkan atas genesanya untuk perencanaan tata ruang wilayah laut. Menata ruang laut terpadu cet 1. Penerbit PT Pradnya Paramita. Jakarta. Solarbesain, Salvinus. 2009. Pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil untuk ekowisata bahari berbasis kesesuain dan daya dukung. Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku (Thesis). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sorokin YI. 1993. Coral reef ecology. New York: Springer-Verlag. Steward RR, Possingham HP. 2005. Efficiency, costs, and trade-off in marine reserve system design. Environmental modelling and assessment 10:203-213. Suharsono. 2008. Jenis-jenis karang di Indonesia. Program Coremap. LIPI Press. Jakarta. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Supriharyono. 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Penerbit Djambatan. Jakarta. Trisurat, Yongyut, Eiumnoh, Apisit, Webster, Douglas R, Daugherty, Howard, E. 1990. The application of remote sensing and GIS for Phu Rua National Park zoning, Loei Province, Thailand. From proceedings, Asian Conference on Remote Sensing 1990, November 15-21, 1990, Guangzhou, China. Available online http://www.gisdevelopment.net/aars/acrs/1990 Villa F, Tunesi L, Agardy T. 2002. Zoning marine protected areas through spatial multiple-criteria analysis: the case of the Asinara Island national marine reserve of Italy. Conservation Biology, 16(2): 515-526. Warman LD. 2001. Identifying priority conservation areas using systematic reserve selection and GIS at a fine spatial scale: a test case using threatened vertebrate species in the Okanagan, British Columbia. Master of science Thesis, University of British Columbia. Wong PP. 1991. Coastal tourism in Southeast Asia. ICLARM, Education series 13, 40p. Manila. Wood ME. 2002. Ecotourism: principles, practices and policies for sustainability. UNEP dan TIES UN Publications.
92
Wright R, Ray S, Green, DR, Wood M. 1998. Development of a GIS of the Moray Firth (Scotland, UK) and its application in environmental management. The science of the total environment. 223(1): 65-76. Yulianda, F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi [makalah]. Disampaikan pada seminar sains. FPIK-IPB. Bogor.
93
Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Untuk Masyarakat
PENGANTAR
Bersama ini saya memperkenalkan diri serta menyampaikan bahwa kegiatan wawancara ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Keterangan yang didapat dari Bapak/lbu/Saudara/Saudari akan digunakan dalam penyusunan Tesis yang berjudul: Optimasi Ruang Ekowisata Bahari Kota Baubau Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi Marxan dan
Willingness
To
Pay.
Disampaikan
daftar
pertanyaan
kepada
Bapak/lbu/Saudara/Saudari dan mohon bantuannya untuk memberikan keterangan dengan menjawab pertanyaan yang diajukan. Atas segala bantuan, informasi dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
PETUNJUK PENGISIAN Berilah tanda centangan ( √) pada kotak jawaban dan tanda silang (x) pada pilihan jawaban a, b, c dan d. Jika disediakan titik-titik (…) isilah sesuai dengan keadaan yang dialami Bapak/lbu/Saudara/Saudari.
94
95
KUESIONER UNTUK MASYARAKAT Catatan: Mohon dilingkari dan diisi dengan jawaban yang sesuai No A. 1. 2.
Pertanyaan Keterangan Responden Nama Jenis kelamin
3. 4. 5. 6. B. 1.
Umur Pendidikan terakhir Pekerjaan utama Rata-rata Jumlah Pendapatan Persepsi tentang Pariwisata Bahari Apakah bapak/ibu tahu tentang wisata wisata bahari?
2.
Apakah bapak/ibu tahu tentang ekowisata bahari?
3.
Bapak/ibu tahu/melihat tentang keberadaan usaha wisata?
4.
Bagaimana pendapat bapak/ibu jika dicanangkan wisata bahari berbasis ekologis/lingkungan, apakah: Jika mendukung, alasannya? Jika tidak mendukung, alasannya? Bagaimana peran/keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan wisata bahari selama ini? Adakah usaha masyarakat yang terkait dengan usaha wisata bahari Pernahkah ada konflik antara pengusaha wisata atau pemerintah dengan masyarakat lokal ? Jika pernah, apa penyebabnya? Pernahkah masyarakat memanfaatkan perairan Pantai Nirwana-Lakeba (Terumbu Karang) untuk kegiatan perikanan Adakah aturan yang mengatur pemanfaatan ekosistem terumbu karang? Pengetahuan Masyarakat Tentang Konservasi Apakah bapak/ibu pernah mendengar tentang Konservasi ekosistem terumbu karang? Jika pernah, apakah tahu tujuan adanya konservasi? Bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat dalam konservasi terumbu karang? Adakah cara-cara masyarakat lokal dalam melestarikan ekosistem terumbu karang? Masih adakah cara-cara penangkapan ikan yang sifatnya merusak terumbu karang?
5. 6. 7. 8.
9.
10. C. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
D. 1. 2.
Adakah sanksi jika ada pelanggaran pemanfaatan sumberdaya ikan dan terumbu karang di Perairan Pantai Nirwana-Lakeba? Masyarakat dengan Wisatawan Pernahkah bertemu dengan turis asing yang berkunjung di kawasan wisata Nirwana-Lakeba? Apa tanggapan bapak/ibu dengan keberadaan turis asing di wisata Nirwana-Lakeba?
Jawaban ….......................... a. Laki-laki b. Perempuan [ ] Tahun ………….……….. ……………………. Rp ………………/bulan 1. Tahu, artinya: ………….. 2. Tidak tahu 1. Tahu : …………………. 2. Tidak tahu a. Ya b. Tidak a. Mendukung b. Tidak mendukung ........... ............
a. Ada, jenisnya:.................. b. Tidak ada a. Pernah b. Tidak Pernah .............. a. Pernah b. Tidak Pernah
a. Pernah b. Tidak Pernah ………….. ............. .............................................. ..................................... a. Ada, jenisnya: ............... apakah: sering/jarang*) b. Tidak ada a. Ada, bentuk sanksi:......... b. Tidak ada, mengapa? ....................................... a. Pernah b. Tidak Pernah a. Senang b. Acuh/cuek saja c. Jengkel
96
3. 4. E. 1. 2. 3. 4. 5.
Hal apa yang tidak disukai warga setempat terhadap turis/wisatawan? Hal apa yang disukai warga setempat terhadap turis/wisatawan? Saran Bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata? Bagaimana seharusnya pengaturan antara ekowisata dengan perikanan? Bagaimana seharusnya pemerintah terhadap masyarakat lokal dalam sektor pariwisata? Bagaimana seharusnya antara pengusaha wisata terhadap masyarakat lokal dalam hal lapangan kerja? Bagaimana seharusnya upaya perbaikan lingkungan di kawasan Pantai Nirwana dan Lakeba
.............. ..............
Terima kasih atas kesediaan dalam menjawab pertanyaan kami. Hari/tgl Paraf Enumerator
: :
97
Lampiran 2. Kuisioner Penelitian Untuk Wisatawan
PENGANTAR Bersama ini saya memperkenalkan diri serta menyampaikan bahwa kegiatan wawancara ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian mahasiswa Institur Pertanian Bogor (IPB). Keterangan yang didapat dari Bapak/lbu/Saudara/Saudari akan digunakan dalam penyusunan Tesis yang berjudul: Optimasi Ruang Ekowisata Bahari Kota Baubau Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi Marxan dan
Willingness
To
Pay.
Disampaikan
daftar
pertanyaan
kepada
Bapak/lbu/Saudara/Saudari dan mohon bantuannya untuk memberikan keterangan dengan menjawab pertanyaan yang diajukan. Atas segala bantuan, informasi dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
PETUNJUK PENGISIAN Berilah tanda centangan ( √) pada kotak jawaban dan tanda silang (x) pada pilihan jawaban a, b, c dan d. Jika disediakan titik-titik (…) isilah sesuai dengan keadaan yang dialami Bapak/lbu/Saudara/Saudari.
98
99
KUESIONER UNTUK WISATAWAN NIRWANA-LAKEBA Catatan: Mohon dilingkari dan diisi dengan jawaban yang sesuai No A. 1. 2. 3. 4.
Pertanyaan Keterangan Responden Nama Jenis kelamin Umur Pendidikan terakhir
............................. Laki-laki/Perempuan ……… Tahun SD/SMP/SMA/D3/Sarjana/S2
5.
Pekerjaan utama
…………………..
6. 7.
Pendapatan rata-rata perbulan Daerah asal
Rp ……………………… 1. Domestik, asal: ________ 2. Luar negeri, Negara:
B. 1.
Penilaian Wisata Bahari Nirwana-Lakeba Apakah saudara berwisata (diving) di Nirwana-Lakeba ini secara rutin? Berapa kali saudara berwisata (diving) di NirwanaLakeba dalam satu tahun terakhir?
2.
3. 4.
Berapa orang (jumlah rombongan teman) yang biasa ikut berwisata di Nirwana-Lakeba Adakah yang spesifik sehingga memilih berwisata (diving) di Pantai Nirwana-Lakeba
5.
Bagaimana penilaian saudara tentang lokasi wisata selam di Nirwana-Lakeba dibanding di tempat lainnya.
6.
Berapa waktu (jam) yang dibutuhkan:
7.
Berapa besar kemampuan/kesediaan saudara membayar/mengeluarkan uang (biaya) untuk bisa sekali diving atau snorkeling menikmati keindahan bawah laut di Nirwana-Lakeba?
Catatan: Keindahan bawah laut didasarkan pada kondisi Ekosistem Terumbu Karang dan Spesies Unik (Penyu, Ikan Hiu, Ikan Pari, Ikan Katak, Kuda Laut) 8. 9.
Berapa Total Biaya yang dikeluarkan untuk bisa diving/snorkeling di Nirwana-Lakeba? Menurut saudara, apakah biaya makan di NirwanaLakeba dirasakan….
10.
Menurut saudara, apakah biaya transportasi ke Nirwana-Lakeba dirasakan …
11.
Menurut saudara, apakah biaya peminjaman alat diving
13.
Menurut saudara, apakah biaya penginapan di Baubau dirasakan… (bagi wisatawan dari luar Baubau).
Jawaban
1. Ya 2. Tidak 1. Setiap minggu/bulan/tahun 2. Setiap dua tahun sekali 3. setiap > 2 tahun sekali ….………………. orang 1. Terumbu Karang dan ikan 2. Kealamiahan lautnya 3. Kepentingan pendidikan 4. Lainnya sebutkan 1. Sangat baik/Excellent 2. Baik/Good 3. Buruk/Poor Diving: ……........ jam/day Diving: Diving: Diving: Diving: Diving:
a) Rp 100 ribu b) Rp 200 ribu c) Rp 300 ribu d) Rp 400 ribu e) Rp ……….
Diving : Rp…….……… 1. Mahal 2. Sedang 3. Murah 1. Mahal 2. Sedang 3. Murah 1. Mahal 2. sedang 3. Murah 1. Mahal 2. Sedang 3. Murah
(Rp …………/hr) (Rp ………..../hr) (Rp …………./hr) (Rp …………./hr) (Rp …………/hr) (Rp …………./hr) (Rp …………./hr) (Rp …………/hr) (Rp …………./hr) (Rp ….……..../hr) (Rp…………./hr) (Rp ………..../hr)
Terima kasih atas kesediaan saudara dalam menjawab pertanyaan kami.
100
101
Lampiran 3.
Hasil perhitungan persentase penutupan karang di Perairan Betoambari
Lokasi/Stasiun Perairan Pantai Nirwana
Tanjung Sulaa Perairan Pantai Lakeba
ST1* ST2 ST3 ST4* ST5* ST6
Karang keras 84.50 65.40 61.27 65.17 50.50 48.97
Tutupan kategori karang (%) Karang Biota Karang lunak lain mati 0.00 1.67 11.33 1.17 0.00 19.77 0.40 0.00 15.70 0.00 10.67 0.00 0.00 0.00 38.17 0.93 0.00 39.90
* Data pengamatan Lembaga Napoleon (2005)
Abiotik 2.50 13.67 22.63 24.17 11.33 10.20
Lampiran 4. Jumlah dan jenis lifeforms terumbu karang di lokasi penelitian (perairan Kecamatan Betoambari) Jumlah dan Jenis Lifeforms Terumbu Karang No I 1 2 3 4 5 II 1 2 3 4 5 6 7 8 III 1 2 3 4
Kategori Hard corals (Acropora) ACB ACD ACE ACS ACT Hard corals (Non-Acropora) CB CE CF CM CS CMR CHL CME Biota Lain SC SP ZO OT TOTAL
Keterangan: - = tidak ada ditemukan jenis lifeforms + = ada ditemukan jenis lifeforms
Perairan Pantai Nirwana Stasiun 1
Stasiun 2
2
2
+
+ -
1
0
1
+
-
+ -
-
+
4
+ + + + -
1 +
7
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
5
3
4
4
+
+ + + + +
+ + +
+ + + +
+ + + +
1
1
-
4
+ + + + + -
7
Stasiun 3
Perairan Tanjung Sulaa Perairan Pantai Lakeba
5
+ + + + + + -
11
1
1
4
+ -
+ -
+ + + + -
5
5
9
Lampiran 5. Jumlah famili dan jenis ikan karang di lokasi penelitian (perairan Kecamatan Betoambari) No I II
III
IV
V
Family dan Spesies AULOSTOMIDAE 1 Aulostomus chinensis ANTHIIDAE 1 Pseudanthias hutchtii 2 Pseudanthias squamipinnis 3 Pseudanthias tuka ACANTHURIDAE 1 Acanthurus thompsoni 2 Ctenochaetus binotatus 3 Naso thynnoides 4 Zebrasoma scopas BALISTIDAE 1 Balistoides conspicllum 2 Balistapus undulatus 3 Odonus niger CHAETODONTIDAE 1 Chaetodon auriga 2 Chaetodon baronessa 3 Chaetodon bennetti 4 Chaetodon citrinellus 5 Chaetodon kleiini 6 Chaetodon lineolatus 7 Chaetodon melannotus
Ket
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
T
-
-
√
-
-
√
M M M
-
√ √ √
√ √ √
-
-
√ √ -
T T T M
√
-
√ √ √ √
√ √ √ √
-
√
√ √ √ √
M M M
-
√ √
√ √
√ √ -
√ √ -
I I I I I I I
-
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ -
√ √ √ √ √
√
-
√
√
√
-
Lampiran 5. (Lanjutan) No
VI
VII
Family dan Spesies 8 Chaetodon ocellicaudus 9 Chaetodon oxycephalus 10 Chaetodon ornatissimus 11 Chaetodon punctatofasciatus 12 Chaetodon reticulatus 13 Chaetodon rostratus 14 Chaetodon speculum 15 Chaetodon trifascialis 16 Chaetodon trifasciatus 17 Chaetodon ulientensis 18 Chaetodon unimaculatus 19 Chaetodon vagabundus 20 Forcipger flavissimus 21 Forcipger longirastris 22 Hemitaurichthys polylepis 23 Heniochus chrypsostomus 24 Heniochus diphreutes 25 Heniochus singularis 26 Heniochus varius CAESIONIDAE 1 Caesio caerulaurea 2 Pterocaesio marri CIRRHITIDAE 1 Paracirritites arcatus 2 Paracirritites fosteri
Ket I I I I I I I I I I I I I
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
-
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
√ -
√ √ √ √ √ √ √ √
I I
-
√ √ √ √ √ √ √ √
T T
-
√ √
√ √
-
-
√ √
M M
-
√ -
√
-
-
-
I
√
√
Lampiran 5. (Lanjutan) No VIII
IX
X
Family dan Spesies HOLOCENTRIDAE 1 Myripristis kunte 2 Myripristis murjan 3 Neoniphon sammara 4 Sargocentron caudimaculatum HAEMULIDAE 1 Plectorhyncus goldmanni 2 Plectorhyncus orientalis 3 Plectorhyncus sp LABRIDAE 1 Anampses geographicus 2 Anampses twistii 3 Bodinaus axillaris 4 Bodinaus diana 5 Bodinaus mesothorax 6 Cheilinus bimaculatus 7 Cheilinus celebicus 8 Cheilio inermis 9 Cirrhilabrus cyanopleura 10 Halichoeres hortulanus 11 Halichoeres marginatus 12 Halichoeres melanurus 13 Hemigymnus melapterus 14 Homlogymnosus doliatus
Ket
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
T T T T
-
√ √ √ √
√ √ √
-
√
√ √ √
T T T
-
-
√ √ -
-
-
√ -
M M M M M M M M M M M M M M
-
√ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ -
-
√ √ √ -
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
√ √
-
Lampiran 5. (Lanjutan) No
XI
XII XIII
XIV
Family dan Spesies 15 Labrichthys unilineatus 16 Labroides bicolor 17 Labroides dimidiatus 18 Labroides pectoralis 19 Novaculichthys taeniourus 20 Pseudocheilinus hexataenia 21 Stethojulis trilineata 22 Thalassoma amblycephalum 23 Thalassoma hardwickii LUTJANIDAE 1 Aprion sp 2 Lutjanus decussatus 3 Lutjanus bohar 4 Lutjanus fulvus 5 Lutjanus monostigma 6 Macolor macularis 7 Macolor niger MURAENIDAE 1 Gymnothorax javanicus MULLIDAE 1 Parupeneus barbarinus 2 Parupeneus multifasciatus MICRODESMIDAE/GOBIDAE 1 Neteleotris magnifica 2 Ptereleotris evides
Ket
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
M M M M M M M M M
-
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √ √ √ √ √
T T T T T T T
-
√ √ -
√ √ √ √
-
-
√ √
M
-
-
√
-
-
-
T T
√
√
√ √
-
-
√ √
M M
-
√
-
-
-
√ √
Lampiran 5. (Lanjutan) No
XV
XVI
XVII
XVIII
Family dan Spesies 3 Valenciennea strigata NEMIPTERIDAE 1 Scolopsis bilineata 2 Scolopsis lineata 3 Scolopsis margaritifer PSEUDOCHROMIDAE 1 Labracinus cyclophthalmus 2 Pseudochromis paccagnellae POMACANTHIDAE 1 Centropyge bicolor 2 Centropyge bispinosus 3 Centropyge tibecen 4 Centropyge vrolikii 5 Pomacanthus imperator 6 Pomacanthus navarchus 7 Pygoplites diacanthus POMACENTRIDAE 1 Abudefduf sexfasciatus 2 Abudefduf vaigiensis 3 Amblyglyphidodon aureus 4 Amblyglyphidodon curacao 5 Amblyglyphidodon leucogaster 6 Amphiprion clarkii 7 Amphiprion perideraion
Ket
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
M
-
-
-
-
-
√
T T T
-
√ √ √
√ √ √
√
-
-
√ -
M M
-
√ √
√ √
-
-
√ -
M M M M M M M
-
√ √
√ √ √ √
-
-
√ √ √ √ √ √
M M M M M M M
-
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
-
√ -
√ √ √ √ √ -
√
√
-
Lampiran 5. (Lanjutan) No
XIX XX
Family dan Spesies 8 Amphiprion sandaracinos 9 Chromis amboinensis 10 Chromis analis 11 Chromis atripes 12 Chromis caudalis 13 Chromis margaritifer 14 Chromis weberi 15 Chrysiptera talboti 16 Dascyllus reticulatus 17 Dascyllus trimaculatus 18 Dischistodus melanotus 19 Dischistodus prosopotaenia 20 Paraglyphidodon nigrosis 21 Plectroglyphidodon dickii 22 Plectroglyphidodon lacrymatus 23 Pomacentrus auriventris 24 Pomacentrus coelestis 25 Pomacentrus grammorhynchus 26 Pomacentrus lepidogenys 27 Pomacentrus moluccensis SCORPHAENIDAE 1 Pterois antennata SERRANIDAE 1 Anyperodon leucogrammicus 2 Cephalopholis argus
Ket
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
-
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√ √ √ √ √ √ -
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
M
-
√
√
-
-
√
T T
-
-
√
-
-
√
M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M
√
√
-
√ √ √ √
√ √
-
Lampiran 5. (Lanjutan) No
XXI
XXII
Family dan Spesies 3 Cephalopholis cyanostigma 4 Cephalopholis leopardus 5 Cephalopholis miniata 6 Cephalopholis urodeta 7 Ephinephelus fasciatus 8 Ephinephelus hexagonatus 9 Ephinephelus merra 10 Gracilla albomarginata SCARIDAE 1 Cetoscarus bicolor 2 Chlorurus microrhinos 3 Scarus bleekeri 4 Scarus dimidiatus 5 Scarus forsteni 6 Scarus niger 7 Scarus rubroviolaceus 8 Scarus schlegeli 9 Scarus sordidus SIGANIDAE 1 Acanthurus thompsoni 2 Ctenochaetus binotatus 3 Naso thynnoides 4 Zebrasoma scopas
Ket T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T M
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
-
√ √ √ √ √ -
√ √ √ √
√
-
√ √ -
-
√ √ √ √ √
√ √ √ √
-
√ -
√ -
-
√ √ √ √
√ √ √ √
-
√ √ √ √
√ √ √ √
√
√
√
√
-
Lampiran 5. (Lanjutan) No XXIII
Family dan Spesies ZANCLIDAE 1 Zanclus cornutus TOTAL
Keterangan: T M I -
merupakan ikan target merupakan ikan mayor merupakan ikan indikator = tidak ada ditemukan jenis ikan karang
√ = ada ditemukan jenis ikan karang
Ket
M
Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
-
√
√
-
-
√
109
Lampiran 6. Hasil pengujian ukuran satuan perencanaan heksagon (1 ha-100m2) No
Satuan perencanaan (pu) Ukuran Jumlah 2 10 000 m 2 066 2 1 000 m 19 697 2 500 m 39 264 2 400 m 48 966 300 m2 65 200 2 200 m 97 641 2 100 m 194 698
Bentuk Heksagon Heksagon Heksagon Heksagon Heksagon Heksagon Heksagon
1 2 3 4 5 6 7
251000
Jumlah pu
201000
194698
151000 97641
101000
65200
48966
51000
39264
19697
2066
1000 100
200
300
400
Ukuran pu
500
1000
10000
pu = 1 000 m2
a)
pu = 1 ha
b)
Lampiran 7. Perbandingan hasil pengujian unit perencanaan 1 ha dan 1000 m2
110
111
Lampiran 8. Hasil pengujian BLM optimal pada skenario 1 (0.001–10)
BLM
Panjang Batas (m)
Luas Area (m2)
0,001 0,01 0,1 1 10
5840,00 5292,50 4197,50 2044,00 2232,97
113050,42 125221,01 129077,53 207974,72 218667,83
Panjang Batas
Luas Area 250000
7000 6000
200000
5000 4000
150000
3000
100000
2000 50000
1000
0
0 0,001
0,01
0,1 BLM
1
10