ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PETANI TERHADAP PENINGKATAN PELAYANAN IRIGASI ( Studi Kasus Di Daerah Irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah )
Oleh : RATNA YANTI JUWITA A14302018
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN RATNA YANTI JUWITA. Analisis Willingness To Pay Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi Studi Kasus di Daerah Irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Dibawah bimbingan SUTARA HENDRAKUSUMAATMADJA.
Negara Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian merupakan penyangga perekonomian Indonesia dimasa krisis karena telah terbukti kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak berbasis pada sumberdaya nasional seperti sektor industri dan jasa rentan terhadap goncangan krisis moneter. Pembangunan pertanian dapat berkembang dengan baik karena didukung adanya program intensifikasi dan esktensifikasi pertanian sehingga tercapainya swasembada pangan di Indonesia tahun 1984. Program intensifikasi yang dikenal dengan pancausaha tani berupa pengolahan tanah, pemberantasan hama, pemupukan, penggunaan bibit unggul dan irigasi yang baik. Menurut Atmanto dkk (1997 menunjukkan bahwa air irigasi tidak saja meningkatkan hasil per hektar secara langsung tetapi juga dapat merespon tanaman terhadap pupuk anorganik atau kimia. Varietas padi unggul akan menghasilkan respon positif terhadap pupuk anorganik jika diberi air irigasi. Usaha yang dilakukan pemerintah dalam upaya membantu petani meningkatkan produksi pangan dengan melaksanakan pembuatan pembangunan pengairan seperti waduk, bendungan, tanggul pengendali banjir, rehabilitasi saluran air, pompa air tanah ,dan lain sebagainya. Kebijakan pemerintah berupa UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air terdapat penjelasan mengenai pembiayaan pada pasal 78 ayat (1) bahwa pembiayaan dan pelaksanaan konstruksi, operasi, pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan wewenangnya dan dapat melibatkan peran serta masyarakat, dan ayat (3), pembiayaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi tanggungjawab petani dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah mengikutsertakan petani pemanfaat air irigasi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi yang tergabung dalam kelembagaan pengguna air P3A (perkumpulan petani pengguna air). Kurangnya biaya dan kemampuan kelembagaan dalam menangani operasi dan pemeliharaan merupakan kendala utama bagi pengembangan Operasi dan pemeliharaan irigasi di Indonesia. Tahun 2005, Departemen masih mengalami kendala keterbatasan biaya operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang seharusnya Rp160.000,00/ha/tahun, biaya yang tersedia hanya Rp 40.000,00/ha/tahun. Tahun 2005, sekitar 6,7 juta ha lahan teririgasi, hanya sekitar 10%-11% yang terjamin kesediaan airnya pada setiap musim sementara ribuan hektar sawah belum teririgasi. Kurangnya biaya operasi dan pemeliharaan sehingga diperlukan peran aktif pemanfaat air dalam pembiayaan. Iuran pengelolaan irigasi adalah wujud
partisipasi petani pemanfaat air yang dikelola oleh organisasi P3A untuk mengatasi kekurangan dana operasi dan pemeliharaan. Distribusi air yang tidak merata karena sarana irigasi yang kurang baik dan anggapan bahwa air merupakan barang bebas menyebabkan sulitnya menarik iuran untuk operasi dan pemeliharaan irigasi. Permasalahan yang muncul melatarbelakangi penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani bersedia atau tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi, mengestimasi besarnya nilai willingness to pay (WTP) petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi. Dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay (WTP) petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi. Hasil penelitian menggunakan analisis logit untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi petani bersedia atau tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi menunjukkan dua variabel yang berpengaruh positif yaitu lama pendidikan dan status usahatani. Petani yang bertani sebagai pekerjaan pokok memiliki peluang terbesar bersedia membayar iuran irigasi dengan melihat odd ratio sebesar 16,65. Artinya bahwa petani dengan bertani sebagai pekerjaan pokok akan memberikan kepastian 16,65 kali lebih besar untuk membayar iuran irigasi jika pelayanan irigasi yang mereka peroleh baik daripada petani yang kurang aktif dalam P3A.. Kesediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi untuk peningkatan pelayanan irigasi dilihat dari nilai dugaan rataan Willingness To Pay (EWTP) diatas iuran irigasi yang berlaku saat ini yaitu sebesar Rp 173.333,33 per hektar untuk musim tanam I, Rp 78.333,33 per hektar untuk musim tanam II, Rp 90.000,00 untuk musim tanam III dan total WTP dalam satu tahun senilai Rp 88.140.000,00. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi secara positif yaitu pola tanam dan pendapatan bersih usahatani sedangkan secara negatif yaitu luas lahan garapan dan frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A. Faktor yang perlu diperhatikan agar petani mampu memaksimalkan nilai WTP terhadap peningkatan pelayanan irigasi adalah luas lahan garapan yang nilai koefisiennya negatif. Kondisi yang sebenarnya terjadi menggambarkan bahwa petani yang memiliki lahan garapan luas cenderung mengabaikan adanya iuran irigasi.. Sebagian besar responden yang memiliki lahan garapan yang luas tidak menggantungkan sumber air untuk sawahnya dari air irigasi karena mereka merasakan selama ini air irigasi tidak lancar bahkan sering kekurangan air. Responden bahkan sering menggunakan pompa air untuk mengalirkan air tanah ke sawahnya pada musim tanam II dan musim tanam III meskipun biayanya mahal. Oleh karena itu, responden menganggap pengelolaan irigasi tidak berfungsi dengan baik sehingga responden kurang peduli dengan iuran pengelolaan irigasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan garapan yang luas kurang memperhatikan dan menyadari tentang arti pentingnya iuran pengelolaan irigasi. Penelitian ini memberikan saran dalam meningkatkan partisipasi petani dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi melalui penentuan iuran irigasi dengan pendekatan WTP agar dalam penarikan iuran tidak memberatkan petani dan dapat meningkatkan kerjasama dalam perbaikan jaringan irigasi di Klampok.
ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PETANI TERHADAP PENINGKATAN PELAYANAN IRIGASI ( Studi Kasus Di Daerah Irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)
Oleh : RATNA YANTI JUWITA A14302018
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN
Pada FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : Analisis Willingness to Pay Petani Terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi Studi Kasus di Daerah Irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Nama : Ratna Yanti Juwita NRP : A14302018
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, MSc NIP. 130 367 086
Menyetujui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof.Dr.Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
Ratna Yanti Juwita A14302018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1984 di Cirebon, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Faizin dan Ruchyati. Penulis mengawali pendidikannya di TK Aisyiah Brebes pada tahun 1989, dilanjutkan di SD Negeri VII Brebes pada tahun 1990. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 1 Wanasari Brebes dan selesai pada tahun 1999, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Brebes dan lulus pada tahun 2002. Penulis diterima di IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya pada tahun 2002. Selama di IPB, penulis aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan, yaitu sebagai anggota Keluarga Muslim Sosek (KMS) periode 2002-2003, sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) periode 2003-2004, sebagai pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian periode 2004-2005, sebagai pengurus Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al Hurriyyah periode 2003-2006 serta penulis pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam pada tahun 2004-2005.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia Nya sehinga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan pada Rosulullah SAW beserta sahabat dan keluarganya. Penelitian yang berjudul
“Analisis Willingness To Pay Petani
terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi Studi Kasus di Daerah Irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah “ bertujuan untuk mengestimasi besarnya kesediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi beserta identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya . Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripasi ini dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.
Bogor, Mei 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan dukunganari berbagai pihak. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mengarahkan penulis dalam melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen penguji utama dan A. Faroby Falatehan, SP, ME selaku dosen penguji wakil departemen atas segala kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Kedua orangtua saya tercinta, Faizin dan Ruchyati yang selalu mendoakan, mendukung, memberikan motivasi kepada penulis selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. Kepada adik-adikku tersayang, Rizki, Maya dan Qori terimakasih atas dukungan dan doanya. 4. Bapak Darto, Bapak Suhardjo dan Bapak Kartomo selaku pengurus Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di Desa Klampok yang telah membantu untuk kelancaran penelitian saya. 5. Bapak Marwoto selaku Kepala Subdinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum dan Pegawai UPTD Kecamatan Wanasari serta seluruh pegawai Ranting Pengairan Sawojajar yang telah berkenan membantu memberikan data dan informasi tentang Irigasi di Desa Klampok. 6. Mba Yulia EPS’38 teman seperjuanganku, teman-teman EPS 39, temanteman kos ISTANA 200 yang selalu menyemangatiku. 7. Semua pihak yang telah berkenan membantu demi kelancaran penelitian dan penyusunan skripsi saya. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah kalian semua. Amin
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR..................................................................................ix I.
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 8 1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................ 9 1.5 Batasan Penelitian ............................................................................ 9
II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2.1 Pengertian, Fungsi dan Tujuan Irigasi ........................................... 2.2 Klasifikasi Irigasi ........................................................................... 2.3 Kelembagaan Pengelolaan Irigasi.................................................. 2.4 Iuran Pelayanan Air Irigasi ............................................................ 2.5 Penelitian Terdahulu ......................................................................
11 11 12 13 15 15
III. KERANGKA PEMIKIRAN............................................................. 18 3.1 Kerangka Teoritis........................................................................... 18 3.1.1 Konsep Contingent Valuation Method.................................. 18 3.1.2 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method.................................................................. 19 3.1.3 Kelebihan dan Kelemahan Contingent Valuation Method ... 20 3.1.4 Asumsi dalam Pendekatan Willingness To Pay dari petani .. 21 3.1.5 Skenario dan Pertanyaan yang Relevan dengan Skenario .... .21 3.1.6 Hipotesa ................................................................................ 24 3.2 Kerangka Operasional.................................................................... 24 IV. METODE PENELITIAN ................................................................. 27 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 27 4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ........................................... 27 4.3 Metode Pengambilan Sampel ....................................................... 28 4.4 Metode Analisis Data.................................................................... 29 4.4.1 Pengolahan Data ................................................................ 29 4.4.2 Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Membayar IPAIR. 30 4.4.3 Analisis Kesediaan Membayar (Willingness To Pay) Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi ................ 31 4.4.3.1 Pendugaan Besarnya Nilai WTP dari Petani ....... 31 4.4.3.2 Tahapan dalam Contingent Valuation Method dalam Penentuan WTP ................................................. 32 4.4.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WTP............ 34 4.4.5 Pengujian Parameter ........................................................... 34 4.5 Definisi Operasional ............................................................................ 40
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................ 42 5.1 Deskripsi Daerah Irigasi Pemali Bawah ....................................... 42 5.2 Deskripsi Lokasi Penelitian .......................................................... 45 5.2.1 Keadaan Geografis Lokasi Penelitian .................................. 45 5.2.2 Keadaan Sosial Ekonomi Lokasi Penelitian ........................ 47 5.3 Keadaan Pertanian ........................................................................ 48 5.4 Perkumpulan Petani Pemakai Air dan Pelayanan Irigasi.............. 51 5.5 Iuran Pengelolaan Irigasi .............................................................. 55 VI. KESEDIAAN ATAU KETIDAKSEDIAAN PETANI MEMBAYAR IURAN PENGELOLAAN IRIGASI ..................... 58 6.1 Karakteristik Responden ............................................................... 58 6.2 Deskripsi Variabel Penelitian ....................................................... 64 6.3 Hasil Analisis Model Logit Petani terhadap Pelayanan Irigasi..... 67 6.4 Hasil Pelaksanaan Contingent Valuation Method (CVM)............ 71 VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WILLINGNESS TO PAY ............................................................................................... 76 7.1 Karakteristik Responden ................................................................ 76 7.2 Deskripsi Variabel Penelitian ........................................................ 79 7.3 Hasil Analisis Fungsi WTP............................................................ 81 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 87 8.1 Kesimpulan .................................................................................. 87 8.2 Saran ............................................................................................. 88 DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 90 LAMPIRAN .............................................................................................. 92
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2001-2004 ..................................................................................... 2 2. Luas Jaringan Irigasi yang Sudah Berfungsi Tahun 1999 ....................... 3 3. Pembagian Luas Areal Tiap-tiap Daerah Irigasi..................................... 42 4. Luas Area Daerah Irigasi Pemali Bawah ................................................ 43 5. Inventarisasi Saluran Sekunder DI Pemali Bawah ................................. 44 6. Data Curah Hujan Bulanan Desa Klampok Tahun 2005. ....................... 46 7. Data Produksi Padi dan Bawang Merah di Kabupaten Brebes Tahun 2005......................................................................................................... 49 8. Produksi Padi dan Bawang merah di Kecamatan Wanasari Tahun 200450 9. Luas Lahan Sawah Menurut Desa dan Jenis Pengairan di Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes tahun 2004 ................................................ 54 10.Penyebaran Responden Berdasarkan Keanggotaan P3A ....................... 59 11. Petani Responden Menurut Penggolongan Umur................................. 59 12. Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan................................... 60 13. Petani Responden Menurut Tanggungan Jumlah Keluarga.................. 61 14. Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan................................. 62 15. Petani Responden Menurut Frekuensi Kehadiran Pertemuan P3A ...... 63 16. Hasil Perhitungan Statistik Variabel-variabel Analisis Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Membayar Iuran Pengelolaan Irigasi ............... 64 17. Petani Responden Menurut Keadilan Pembagian Air........................... 66 18. Petani Responden Menurut Status Usahatani ....................................... 67 19. Hasil Analisis Fungsi Logit Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Terhadap Iuran Pengelolaan Irigasi ..................................................... 68 20. Hasil Penghitungan Statistik WTP Petani ............................................ 72 21. Distribusi WTP Sampel ........................................................................ 73 22. WTP Agregat (TWTP) Petani Pemakai Air.......................................... 74 23. Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan................................... 76 24. Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan......................... ......77 25. Petani Responden Menurut Pendapatan Bersih Usahatani ................. 78 26. Petani Responden Menurut Frekuensi Kehadiran Pertemuan P3A .... 78 27.Hasil Perhitungan Statistik Variabel Kontinyu Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi WTP ........................................................................... 79 28. Variabel Penjelas Berdasarkan Keadilan Pembagian Air ................... 80 29. Variabel Penjelas Berdasarkan Pola Tanam ....................................... 81 30. Hasil Analisis Fungsi WTP ................................................................ 82
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema Kerangka Pemikiran Operasional ............................................... 26
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris sebagian besar penduduknya bermata pencaharian
sebagai
petani.
Sektor
pertanian
merupakan
penyangga
perekonomian Indonesia dimasa krisis karena telah terbukti kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak berbasis pada sumberdaya nasional seperti sektor industri dan jasa rentan terhadap goncangan krisis moneter. Pembangunan di Indonesia menitikberatkan pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian bertujuan
untuk
meningkatkan
penyediaan
pangan,
ketahanan
pangan,
menitikberatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, memperluas lapangan kerja dan dapat meningkatkan pembangunan sektor lainnya. Pembangunan pertanian dapat berkembang dengan baik karena didukung adanya program intensifikasi dan esktensifikasi pertanian sehingga tercapainya swasembada pangan di Indonesia tahun 1984. Program intensifikasi yang dikenal dengan pancausaha tani berupa pengolahan tanah, pemberantasan hama, pemupukan, penggunaan bibit unggul dan irigasi yang baik. Program intensifikasi meningkatkan produksi padi di Indonesia dari tahun 2001-2004 dapat dilihat pada Tabel 1. Lebih dari 90 persen jumlah seluruh penduduk Indonesia mengkonsumsi padi sebagai sumber utama gizi dan energi. Pada tahun 2004, rata-rata kebutuhan beras per kapita sebesar 139,15 kg/tahun dengan perhitungan jumlah penduduk 216,415 juta jiwa. Selama periode 2005-2010, permintaan beras diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 52,3 juta ton menjadi 55,8 juta ton setara gabah1. Hal
2
ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian, semakin banyak jumlah penduduk maka semakin meningkatnya produksi pertanian. Tabel 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2001-2004 Tahun 2001 50.461 11.500 43,88
- Produksi (000 ton) - Luas panen (000 ha) - Produktivitas (ku/ha) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2004
2002 51.490 11.521 44,69
2003 52.138 11.488 45,38
2004 54.088 11.923 45,36
Menurut Atmanto dkk (1997) menunjukkan bahwa air irigasi tidak saja meningkatkan hasil per hektar secara langsung tetapi juga dapat merespon tanaman terhadap pupuk anorganik atau kimia. Varietas padi unggul akan menghasilkan respon positif terhadap pupuk anorganik jika diberi air irigasi. Selain itu, sarana irigasi merupakan salah satu cara untuk dapat mempertahankan dan mengamankan produk pangan. Usaha yang dilakukan pemerintah dalam upaya membantu petani meningkatkan produksi pangan dengan melaksanakan pembuatan pembangunan pengairan seperti waduk, bendungan, tanggul pengendali banjir, rehabilitasi saluran air, pompa air tanah ,dan lain sebagainya . Pengembangan irigasi besar-besaran dilakukan selama PJP I (1967-1993) 2. Pemerintah telah melaksanakan rehabilitasi jaringan irigasi seluas 2.927.309 hektar dan pembangunan jaringan irigasi mencapai 1.994.237 hektar. Irigasi berkelanjutan dalam PJP II merupakan arah pengembangan sumberdaya air. Swasembada pangan, kesejahteraan petani, pertambahan penduduk, terbatasnya sumberdaya air, kerusakan lingkungan, terbatasnya dana pemerintah untuk membiayai pembangunan dan operasi pemeliharaan irigasi
3
merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan irigasi dimasa mendatang (Kurnia & Judawinata, 1999). Menurut Pasandaran (2005) terdapat tiga kecenderungan yang mempengaruhi permintaan terhadap air diperkirakan akan terjadi di masa depan (1) Permintaan air dari luar sektor pertanian akan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan permintaan air sektor pertanian, (2) Pergeseran permintaan terhadap komoditi pertanian akan menyebabkan pergeseran permintaan terhadap air didalam sektor pertanian, (3) Pergeseran permintaan terhadap lahan juga akan mempengaruhi permintaan terhadap air. Ketersediaan air yang cenderung menurun dengan kualitas yang menurun sedangkan kebutuhan air yang meningkat untuk sektor pertanian maupun diluar sektor pertanian menyebabkan adanya persaingan untuk mendapatkan sumberdaya air. Pemerintah berusaha meningkatkan luas jaringan irigasi yang berfungsi dengan baik sehingga dapat meningkatkan produksi pangan. Hasil pembangunan pada masa PJP II sampai tahun 1999 dapat dilihat pada Tabel 2. Tahun 2005, sekitar 6,7 juta ha lahan teririgasi, hanya sekitar 10 persen - 11 persen yang terjamin kesediaan airnya pada setiap musim sementara ribuan hektar sawah belum teririgasi. Pemerintah telah melakukan rehabilitasi jaringan irigasi seluas 413.640 ha, perluasan jaringan irigasi dan pembangunan jaringan irigasi baru seluas 124.496 ha. Tabel 2. Luas Jaringan irigasi yang sudah berfungsi tahun 1999 Macam Jaringan
Di Pulau Jawa Di luar Pulau Jawa Total (ha) (ha) (ha) Teknis 2.038.468 888.811 2.927.279 Semi teknis 320.727 555.738 876.465 Sederhana 320.004 225.679 545.723 Air tanah 46.537 13.772 60.309 2.725.776 1.684.000 4.409.776 Sumber :Biro Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
4
dan Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, 1999 Besarnya dana yang digunakan pemerintah untuk mendukung keberhasilan pembangunan pertanian dari tahun ke tahun semakin meningkat. Besarnya pengeluaran rata-rata subsektor pengairan pada Pelita IV untuk pembangunan baru mencapai Rp 4.889.000,00/hektar, rawa pasang surut mencapai Rp 958.000,00/hektar, rehabilitsai irigasi Rp 3.629.000,00/hektar, pengendalian banjir Rp 2.583.000,00/hektar (Pasandaran, 1991). Sedangkan total pengeluaran biaya irigasi tahun 1999 mencapai Rp 4.775.000.000,00.
(Sudaryanto, 2001
dalam Aji,2005). Menurut Laporan Bank dunia, 1987, dalam Pasandaran 1991 menyatakan bahwa operasi dan pemeliharaan merupakan kendala utama bagi pengembangan irigasi di Indonesia yaitu kurangnya biaya dan kemampuan kelembagaan dalam menangani operasi dan pemeliharaan. Tahun 2005, Departemen Pekerjaan Umum masih mengalami kendala keterbatasan biaya operasionalisasi dan pemeliharaan yang seharusnya Rp160.000,00/ha/tahun, biaya yang tersedia hanya Rp 40.000,00/ha/tahun3. Kurangnya biaya operasi dan pemeliharaan sarana irigasi, sulitnya mencari investor untuk membangun jaringan irigasi dan lemahnya kerjasama antara pemerintah dan petani pemanfaat air dalam bertanggung jawab operasi dan pemeliharaan irigasi menyebabkan pemeliharaan jaringan irigasi dibawah standar bahkan jaringan irigasi waduk, dam dan bendungan mengalami degradasi yang cukup besar sehingga saluran irigasi menjadi dangkal dan bocor. Distribusi air tidak merata dan tidak efisien karena alat ukur di pintu air yang tidak berfungsi. Tahap operasi dan pemeliharaan merupakan tahap yang cukup penting untuk ketersediaan air dan distribusi ke daerah-daerah secara keberlanjutan dan berkesinambungan.
5
Kebijakan pemerintah berupa UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terdapat penjelasan mengenai pembiayaan pada pasal 78 ayat (1) bahwa pembiayaan dan pelaksanaan konstruksi, operasi, pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan wewenangnya dan dapat melibatkan peran serta masyarakat, dan ayat (3), pembiayaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi tanggungjawab petani dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah mengikutsertakan petani pemanfaat air irigasi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi yang tergabung dalam kelembagaan pengguna air P3A (perkumpulan petani pengguna air). Kebijakan pemerintah menjadi dasar kewenangan dalam pengelolaan irigasi sehingga kerusakan jaringan irigasi dapat segera diperbaiki agar terjamin ketersediaan air pada setiap musim. Dana yang cukup dan pengelolaan yang baik diharapkan dapat mengurangi kebocoran-kebocoran dan memperbaiki sarana irigasi sehingga dapat menyediakan air setiap musim dan dapat meningkatkan produksi pertanian.
1.2 Perumusan masalah Salah satu daerah yang memiliki masalah irigasi adalah Brebes, salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan daerah penghasil bawang merah dan padi. Struktur perekonomian di Kabupaten Brebes didominasi oleh sektor pertanian. Brebes merupakan penghasil bawang merah terbesar di tataran nasional, dengan produksi bawang merah mencapai 231.962,1 ton dan produksi padi mencapai 513.002,1 ton pada tahun 2005. Air sebagai faktor paling utama
6
untuk menghasilkan bawang merah yang maksimal namun petani bawang merah sering mengeluh kesulitan air pada musim kemarau sehingga dapat terjadi gagal panen. Musim kemarau bulan Agustus 2005, lahan pertanian yang mengalami kekeringan mencapai 1.553,62 ha. Lahan yang mengalami kekeringan meliputi sepuluh kecamatan yaitu Kecamatan Bumiayu, Bantarkawung, Larangan, Brebes, Wanasari, Banjarharjo, Tanjung, Tonjong, Bulakamba dan Kersana4. Kecamatan Wanasari merupakan salah satu kecamatan yang mengalami kekeringan dan menggantungkan ketersedian air irigasi dari bendungan Notog yang berada di Margasari Tegal dalam wilayah daerah Irigasi Pemali Bawah. Ketersediaan air bendungan Notog dengan Daerah Irigasi Pemali Bawah mendapatkan air dari menampung air hujan dan sungai Pemali. Daerah Irigasi Pemali Bawah melewati Desa Klampok. Desa Klampok merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Wanasari yang memiliki masalah kekurangan air di musim kemarau. Kondisi pada saat sekarang berbeda dengan kondisi beberapa tahun yang lalu dimana air irigasi mengalir dengan lancar. Jaringan irigasi tersier yang menjadi tanggung jawab petani dikelola dengan baik oleh P3A. Di Desa Klampok terdapat P3A Makmur I, P3A Makmur II, P3A Makmur III. Ketiga P3A tersebut tergabung dalam Gabungan P3A Makmur. Petani pengguna air irigasi yang tergabung dalam P3A melakukan rapat. Rapat P3A menghasilkan keputusan iuran pengelolaan irigasi untuk biaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier. Pelaksanaan penarikan iuran berjalan dengan baik, namun kondisi ini tidak bertahan sampai sekarang. Petani tidak membayar iuran pengelolaan irigasi sesuai dengan keputusan rapat. Hal ini
7
disebabkan kondisi air irigasi sering tidak mengalir ke sawah-sawah petani sehingga sering mengalami kekeringan di musim kemarau. Ada beberapa penyebab air irigasi tidak sampai ke sawah petani yaitu saluran irigasi yang ada belum berfungsi dengan maksimal dan keterbatasan air pada bendungan Notog serta pengalihan tanggung jawab pembagian air dari Dinas Pekerjaan umum ke Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sejak otonomi daerah pembagian air tidak merata, keterbatasan air pada bendungan karena daya serap air yang kurang di daerah hutan dengan semakin gundulnya hutan, terdapat banyak sampah di jaringan irigasi primer dan sekunder serta semakin dangkalnya bendungan Notog menyebabkan kuantitas air yang tertampung semakin berkurang. Selain itu terdapat sejumlah preman yang
menguasai salah satu pintu
air saluran pengairan sekunder yang semakin mempersulit petani menggunakan air irigasi. Tahun 2006, pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes untuk pengairan mencapai Rp 11.756.880.000 dimana biaya perbaikan dan peningkatan sungai sebesar Rp 4.800.000.000 , Rehabilitasi dan peningkatan irigasi sebesar Rp 3.533.880.000,00 , rehabilitasi saluran irigasi dan bangunan air sebesar Rp 1.948.000.000 , dan kegiatan pemeliharaan irigasi sebesar Rp 1.475.000.000. Menurut Dinas Pekerjaan Umum masih mengalami kendala keterbatasan biaya rehabilitasi,
operasionalisasi
dan
pemeliharaan
yang
seharusnya
Rp
250.000/ha/tahun, biaya yang tersedia hanya Rp 54.000/ha/tahun . Perlunya pemerintah melakukan suatu program yang memperbaiki jaringan irigasi yang ada sehingga air dapat mengalir dengan lancar. Jika pemerintah melaksanakan program tersebut diharapkan pula peran serta dari
8
petani dengan bertanggung jawab pada jaringan irigasi tersier. Mengingat biaya operasi dan pemeliharaan memiliki prosentase terkecil sehingga diperlukan peran aktif pemanfaat air dalam pembiayaan. Iuran pengelolaan irigasi adalah wujud partisipasi petani pemanfaat air yang dikelola oleh organisasi P3A untuk mengatasi kekurangan dana operasi dan pemeliharaan. Distribusi air yang tidak merata karena sarana irigasi yang kurang baik dan anggapan bahwa air merupakan barang bebas menyebabkan sulitnya menarik iuran untuk operasi dan pemeliharaan irigasi. Daerah hulu yang dekat dengan sumber air cenderung akan memanfaatkan air dalam batas lebih dari cukup sedangkan daerah hilir terkadang tidak mendapatkan air dari sumber air. Berdasarkan diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan petani membayar iuran pengelolaan irigasi ? 2. Berapa besarnya nilai willingness to pay (WTP) petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi ? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay (WTP) petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan petani membayar iuran pengelolaan irigasi.
9
2. Mengestimasi besarnya nilai willingness to pay (WTP) petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay (WTP) petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi.
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini memiliki kegunaan secara umum dan khusus. Kegunaan secara umum diharapkan dapat menambah wacana bagi pembaca dalam bidang keirigasian secara umum dan bagi peneliti sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. Sedangkan kegunaan secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes dalam mengalokasikan dana APBD untuk pengelolaan irigasi di Kabupaten Brebes dan bagi Perkumpulan petani pemakai air (P3A) atau Gabungan (P3A) dalam penetapan iuran pengelolaan irigasi untuk operasi dan pemeliharaan irigasi di Desa Klampok, Kecamatan wanasari.
1.5 Batasan Penelitian Penelitian yang dilaksanakan ini
memiliki batasan-batasan sebagai
berikut: 1. Penelitian dilakukan di daerah irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. 2. Objek penelitian adalah para petani yang menggunakan air irigasi dari Bendungan Notog.
10
3. Responden merupakan anggota P3A yang daerah pengairannya berada di Desa Klampok. 4. WTP adalah sejumlah uang yang ingin diberikan seseorang untuk memperoleh suatu peningkatan kondisi lingkungan dan akan lebih baik dari kondisi sebelumnya.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian, Fungsi dan Tujuan Irigasi Air adalah semua air yang terdapat pada diatas maupun dibawah permukaan tanah termasuk dalam pengertian air permukaan, air tawar, air tanah, air hujan dan air laut yang ada di darat. Sektor pertanian merupakan sektor pengguna air terbanyak. Kebutuhan air di luar sektor pertanian semakin meningkat sehingga menimbulkan persaingan dalam penggunaan air. Pemerintah sebagai lembaga negara mempunyai wewenang
penuh untuk mengatur
pemanfaatan air demi kesejahteraan rakyat. Kebijakan pemerintah ini tertuang dalam UUD RI tahun 1945 pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) yang menjelaskan penguasaan dan pemanfaatan air untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat dan UU No 7 tahun 1974 tentang pengairan yang menjelaskan bahwa Negara menguasai air dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengelola dan mengembangkan pemanfaatan air yang pada pelaksaaannya dapat dilimpahkan ke instansi-instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dengan maksud memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut mengembangkan pemanfaatan dan pengusahaan air. Berdasarkan UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 41 ayat (1) mengandung definisi irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Irigasi berfungsi meningkatkan produktifitas lahan untuk menghasilkan
12
panen yang optimal dengan tetap mempertimbangkan penggunaan air untuk kepentingan lainnya (Kodoatie dan Sjarief, 2005). Irigasi bertujuan yaitu (1) menjamin keberhasilan produksi tanaman dalam menghadapi kekeringan jangka pendek, (2) mendinginkan tanah dan atmosfer sehingga akrab untuk pertumbuhan tanaman, (3) mengurangi bahaya kekeringan, (4) mencuci atau melarutkan garam dalam tanah, (5) mengurangi bahaya pemipaan tanah, (6) melunakkan lapisan olah dan gumpalan-gumpalan tanah, (7) menunda pertunasan lewat evaporasi. Jaringan irigasi merupakan solusi untuk mengatasi kekeringan di musim kemarau yang sering dialami oleh petani sehingga dapat mencegah terjadinya gagal panen.
2.2 Klasifikasi irigasi Sistem irigasi di Indonesia dibagi menjadi tiga yaitu : (1) Irigasi teknis adalah irigasi dengan struktur dan saluran yang permanen, pintu kontrol, dan alat pengukur sampai unit tersier, (2) Irigasi semi teknis adalah irigasi dengan struktur yang tidak semuanya permanen, struktur kontrol hanya tersedia pada lokasi-lokasi pokok saja, alat ukur umumnya tidak tersedia atau jika hanya tersedia hanya pada beberapa lokasi, (3) Irigasi sederhana adalah irigasi yang sering dibuat oleh petani sendiri, bangunan kontrol biasanya tidak permanen dan tidak ada fasilitas pengukur. Ketiga sistem irigasi tersebut diklasifikasikan berdasarkan fasilitas yang tersedia.
13
2.3 Kelembagaan Pengelolaan Irigasi Unsurnya meliputi instansi pemerintah, pemerintah pusat, pemerintah daerah, P3A atau pihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan irigasi sesuai dengan kewenangannya mulai dari perencanaan, pembangunan, operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan dan pembiayaan jaringan irigasi(Kodoatie dan Sjarief, 2005). Operasi dan pemeliharaan merupakan suatu kegiatan dalam pengelolaan irigasi yang dilakukan secara rutin. Operasi merupakan kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya, sedangkan pemeliharaan merupakan kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air dan prasarana sumber daya air. Berdasarkan UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 64 ayat (6) dan pasal 78 ayat (3) menjelaskan bahwa kegiatan dan pembiayaan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan dapat melibatkan peran serta masyarakat serta untuk sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab masyarakat pemanfaat air dan dapat dibantu Pemerintah.
Namun
dalam
pelaksanaan operasi dan pemeliharaan terdapat masalah-masalah utama antara lain : (1) Kurangnya tenaga operasi dan pemeliharaan yang terampil, (2) Kurangnya biaya operasi dan pemeliharaan, (3) Para petani kurang mematuhi banyaknya peraturan operasi dan pemeliharaan, (4) Panitia kurang berfungsi dengan baik dan institusi yang belum banyak berjalan (Notoatmodjo, 1991) Pengelolaan ditingkat petani menjadi tanggungjawab petani dalam menangani masalah irigasi. P3A adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang
14
menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani secara demokratis (Kodoatie dan Sjarief, 2005). Instruksi Presiden No 2 tahun 1984 tentang Pembentukan dan Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) merupakan pedoman pelaksanaan pembinaan tugas pelaksanaan dan pengembangan organisasi P3A yang terletak pada Pemerintah Daerah dengan mengikuti jenjang kewenangan masing-masing tingkatan. P3A memiliki fungsi yaitu (1) Keterlibatannya dalam pengalokasian air sebagai bagian dari penentuan pelayanan dan keinginan untuk membayar IPAIR, (2) Pemeliharaan sistem irigasi melalui sumbangan uang dalam rangka IPAIR dan melalui sumbangan tenaga pada tingkat jaringan irigasi tersier, (3) Pemecahan konflik pada tingkat sistem irigasi utama dan mencegah campur tangan petani yang tidak pada tempatnya, (4) Pengelolaan keuangan termasuk musyawarah tentang biaya operasi dan pemeliharaan, serta pemungutan iuran dan pembukuannya (Pasandaran, 2001). P3A dibentuk dengan tujuan mendayagunakan potensi air irigasi dan jaringan irigasi yang tersedia di dalam petak atau blok tersier atau daerah irigasi pada jaringan irigasi pedesaan atau daerah pada jaringan irigasi pompa atau daerah irigai pada jaringan irigasi pada jaringan irigasi kecil untuk masyarakat . Tugas P3A yaitu (1) mengelola air dan jaringan irigasi didalam petak tersier atau daerah irigasi agar air irigasi dapat diusahakan untuk dimanfaatkan oleh para anggotanya secara tepat guna dan berhasil guna dalam memenuhi kebutuhan air untuk pertanian dengan memperhatikan unsure pemerataan sesama petani, (2) Mengadakan dan memelihara jaringan tersier atau jaringan irigasi sehingga jaringan tersebut dapat tetap terjaga berlangsungan fungsinya, (3) Menentukan
15
dan mengatur iuran dari para anggotanya untuk membiayai kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan tersier serta usaha-usaha pengembangan perkumpulan sebagai organisasi, (4) Membimbing dan mengawasi para anggotanya agar memenuhi semua peraturan yang ada hubungannya dengan pembagian air yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah, (5) Menerima asset dari Pemerintah berupa jaringan irigasi kecil atau jaringan irigasi pompa untuk dikelola secara bertanggungjawab.
2.4 Iuran Pengelolaan irigasi Minimnya dana yang disediakan pemerintah untuk pengelolaan jaringan irigasi mendorong partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi maka diperlukan pengalihan pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan irigasi. Iuran pengelolaan irigasi merupakan iuran pelayanan bukan pajak yang dalam pelaksanaan berdasarkan pada keadilan alokasi air yang disepakati, fasilitas teknis, ukuran luas sistem, pengelolaan tanaman, respon tanaman terhadap kebijakan alokasi air. Iuran pengelolaan irigasi yang dilakukan berupa iuran anggota P3A yang digunakan untuk biaya operasi dan pemeliharaan, perbaikan, administrasi dan imbalan bagi pengurus. Pelaksanaan iuran antar daerah besarnya berbeda-beda dan pembayarannya dapat berupa uang, hasil panen, atau tenaga.
2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian Aji (2005), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan dan ketidaksediaan petani membayar IPAIR dengan menggunankan logit adalah tingkat pelayanan irigasi, peran serta petani dalam O
16
& P jaringan irigasi, umur petani dan tingkat pendidikan petani. Kesediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi untuk peningkatan pelayaan irigasi dapat dilihat dari nilai dugaan rataan WTP. Kesediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi untuk peningkatan pelayanan irigasi dilihat dari nilai dugaan rataan willingness to pay diatas IPAIR yang berlaku. Sedangkan dengan menggunakan analisis regresi berganda didapat faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi secara negatif adalah faktor kepercayaan petani terhadap P3A dan pengalamam usahatani, secara positif dipengaruhi oleh faktor tanggungan keluarga dan umur petani. Andriyani (2002), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani dalam membayar IPAIR adalah usahatani, beban tanggungan, pendapatan non irigasi, pengeluaran keluarga petani, lama pendidikan dan umur. Gambaran kemampuan petani membayar iuran dihitung berdasarkan selisih antara pendapatan keluarga dengan pengeluaran keluarga petani. Artinya petani dianggap mampu membayar iuran irigasi jika IPAIR lebih kecil atau sama dengan besar kemampuan menabungnya. Menurut Nuryantoro (1998), permasalahan yang utama yang muncul dari pemanfaatan sumber daya air melalui sistem irigasi dari sudut pandang ekonomi adalah efisiensi dan distribusi. Efisiensi berkaitan dengan pemanfaatan dan penggunaan air irigasi untuk kepentingan proses produksi tanaman. Penggunaan air yang tidak efisien diduga dari lokasi pengguna dengan sumber air dimana petani yang tinggal dekat dengan sumber air cenderung akan memanfaatkan air lebih dari cukup dan sebaliknya petani yang tinggal jauh dari sumber air terkadang tidak kebagian air. Penelitian ini juga menjelaskan faktor-faktor yang
17
berpengaruh terhadap kesediaan petani membayar IPAIR adalah rasa adil, keuntungan bersih dan pengalaman usahatani. Faktor yang perlu mendapat perhatian besar adalah masalah keadilan dalam distribusi air dan pemeliharaan jaringan irigasi. Biaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi pada tingkat tersier bersumber pada iuran pengelolaan irigasi. Oleh karena itu, penelitian mengenai iuran pelayanan air irigasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti terutama dari segi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan, kemauan dan ketersediaan petani membayar IPAIR. Leniarsih (1996), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani dalam membayar IPAIR adalah pendapatan non pertanian, pendapatan usahatani, pengeluaran keluarga dan penerimaan usahatani pada taraf kepercayaan 90 persen dan produktifitas sawah pada taraf 80 persen. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan petani dalam membayar IPAIR adalah pengetahuan petani terhadap program IPAIR, tingkat pelayanan pada taraf kepercayaan 90 persen dan tingkat pendidikan, umur kepala keluarga, dan peran serta petani pada taraf kepercayaan 80 persen.
18
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Konsep Contingent Valuation Method Contingent Valuation Method merupakan metode yang menggunakan pendekatan langsung kepada masyarakat dengan menanyakan berapa besarnya maksimum Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan atau berapa besarnya maksimum Willingness to Accept
(WTA) sebagai kompensasi dari
kerusakan barang lingkungan. Namun penelitian ini hanya menggunakan pendekatan WTP. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati pada hal tersebut jika pasar dari barang-barang tersebut benar-benar ada. Pasar hipotetik ( kuisioner dan responden) oleh karenanya harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responsden harus mengenal dengan baik barang yang ditanyakan dalam kuisioner dan alat hipotetik yang digunakan untuk pembayaran, seperti, pajak dan biaya masuk secara langsung yang disebut alat pembayaran. Kuisioner CVM meliputi tiga bagian, yaitu (1) penulisan detail tentang benda yang dinilai, persepsi penilaian benda publik, jenis kesanggupan, dan alat pembayaran, (2) pertanyaan tentang WTP yang diteliti, (3) pertanyaan tentang karakteristik social demografi responden seperti usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dan lain-lain. Pada kasus bidding game, kuisioner menyarankan penawaran pertama (nilai awal dari penawaran) dan responden setuju atatu tidak setuju jumlah yang akan mereka bayarkan. Prosedur selanjutnya, nilai awal (the starting point price) dinaikkan untuk melihat apakah responden
19
masih mau membayar hal tersebut, dan setrusnya sampai responden menyatakan bahwa dia tidak mau membayar lagi (pada tingkat tambahan harga tertentu) dalam penawaran yang terus diajukan. Penawaran terakhir yang disetujui oleh resonden merupakan nilai maksimum dari WTP mereka. 3.1.2 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method Organisasi pengoperasian CVM harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut (Hanley dan Spash, 1993) : 1. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realistik. 2. Alat pembayaran yang digunakan dan/atau ukuran kesejahteraan (WTP) sebaiknya tidak kontroversial dengan ethics di masyarakat. 3. Responden sebaiknya diberikan informasi yang cukup mengenai sumberdaya yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka. 4. Responden sebaiknya mengenal dan berpengalaman dalam sumberdaya yang dimaksud. 5. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya dicari, karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan. 6. Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah perolehan selang kepercayaan dan reabilitas. 7. Pengujian kebiasaan sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk memperkecil strategic bias secara khusus. 8. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi. 9. Perlu diketahui secara pasti jika contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan penyesuaian dibuat jika diperlukan.
20
10. Tanda parameter sebaiknya dibuat kembali untuk melihat apakah mereka setuju dengan harapan sebelumnya. 3.1.3 Kelebihan dan Kelemahan Contingent Valuation Method Penggunaan
CVM
menyarankan
nilai
keberadaan
barang-barang
lingkungan merupakan hal yang penting untuk diketahui. Selain itu, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna dimana seseorang mungkin dapat mengukur utilitasnya dari penggunaan keberadaan barang lingkungan, bahkan jika mereka sendiri tidak menggunakan secara langsung. CVM dapat digunakan dalam segala kondisi dan memiliki dua hal penting yaitu: (1) Seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat. (2) Dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan. Teknik CVM memiliki kelemahan yaitu adanya kebiasan dalam pengumpulan data. Bias dalam CVM antara lain : 1. Strategic bias muncul dari ketidakjujuran responden yang mencoba memanipulasi hasil analisis dan mempengaruhi kebijakan pemerintah di masa datang. Solusi : desain survei sehingga memperkecil kemungkinan hasil survei yang dilihat sebagai sumber kebijakan dimasa mendatang. 2. Information bias muncul karena kurang lengkapnya informasi yang ditawarkan oleh pewawancara kepada responden. Solusi : desain yang hati-hati dan alat penjelas yang tepat 3. Instrument bias muncul dari reksi subjek survey pada alat pembayaran yang dipilih atau pilihan yang ditawarkan.
21
Solusi : desain dari alat sehingga alat pembayaran dan aspek lain dalam pembayaran tidak mempengaruhi tanggapan subjek wawancara. 4. Starting point bias muncul pada kasus permintaan penawaran salah satunya sebagai akibat terlalu lama dan panjang dalam proses wawancara. Solusi : desain alat analisis yang open ended dan starting point. 5. Hypothetical bias muncul karena masalah potensial pada kondisi pasar atau kenyataan yang tidak riil dimana subjek tidak menanggapi proses survey dengan serius dan jawaban cenderung tidak memenuhi pertanyaan yang diajukan. Solusi : desain alat survei hingga memaksimisasi realitas dari situasi yang akan diuji bila perlu dengan melakukan pengulangan kembali atau dengan memberikan pilihan-pilihan sebagai konsekuensinya. 3.1.4
Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Pay dari petani
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pengumpulan nilai WTP : 1. Responden mengenal baik sistem irigasi yang ada di lokasi penelitian. 2. Pemerintah daerah setempat memberikan perhatian pada operasi dan pemeliharann jaringan irigasi di lokasi penelitian. 3. Responden dipilih secara random dari petani pengguna air irigasi yang relevan. 4. Bahwa apa yang responden katakan adalah apa yang sebenarnya akan responden lakukan jika pasar hipotetik benar-benar terjadi. 3.1.5
Skenario dan Pertanyaan yang Relevan dengan Skenario Empat macam cara untuk mengajukan pertanyaan kepada responden
(Hanley dan Spash, 1993) yaitu :
22
1. Metode tawar menawar (bidding game) yaitu suatu metode dimana jumlah yang semakin tinggi dari nilai awal disarankan pada responden sampai nilai WTP maksimum dari responden yang didapatkan. 2. Metode referendum tertutup (dichotomous choice) merupakan metode yang menggunakan satu alat pembayaran yang disarankan pada responden baik mereka setuju/tidak (jawaban ya/tidak) 3. Metode kartu pembayaran (payment card) merupakan metode dengan penggunaan
selang
nilai
yang
disajikan
pada
sebuah
kartu
yang
memungkinkan jenis pengeluaran responden dalam kelompok pendapatan yang ditentukan oleh perbandingan jenis pekerjaan mereka, sehingga membantu responden menyesuaikan jawaban mereka. 4. Metode pertanyaan terbuka ( open-ended questions) merupakan metode dimana individu dinyatakan nilai maksimum WTP mereka tanpa adanya penyaranan nilai awal pada mereka. Responden seringkali mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan terutama bagi responden yang belum berpengalaman mengenai hal-hal yang menjadi bahan pertanyaan dari wawancara. Metode yang digunakan adalah metode referendum tertutup karena menurut beberapa penelitian terdahulu, metode ini lebih memudahkan responden memahami maksud dari penelitian. Metode ini memudahkan pengklasifikasian responden yang memiliki kecenderungan untuk mau membayar iuran pengelolaan irigasi dengan responden yang tidak memiliki kecenderungan untuk membayar iuran.
23
Skenario Distribusi yang kurang merata dan semakin meluasnya kekeringan di musim kemarau karena jaringan irigasi yang rusak dan semakin dangkalnya lumpur di bendungan Notog sehingga ketersediaan air semakin berkurang. Jika pemerintah daerah Brebes memberlakukan suatu kebijakan dalam pengelolaan jaringan irigasi di daerah Irigasi Pemali Bawah
berupa rehabilitasi jaringan
irigasi agar dapat meningkatkan pelayanan irigasi dan lancarnya distribusi air. Hal ini dapat meningkatkan produksi pertanian yang juga akan meningkatkan pendapatan
bagi petani. Keterbatasan dana mendorong pemerintah untuk
melibatkan masyarakat dalam pembiayaan O & P irigasi tersier. Besarnya penetapan iuran sebaiknya ditanyakan kepada responden mengenai WTP akan pemberlakuan kebijakan melalui musyawarah dalam P3A dan kesediaan mereka untuk mengikuti kebijakan pemerintah tersebut, apakah mereka akan menjawab ya/tidak terhadap keputusan musyawarah P3A tersebut. Pertanyaan yang menyangkut skenario Seandainya kebijakan pemerintah mengenai rehabilitasi irigasi benarbenar dilaksanakan, maka kepada responden akan ditanyakan kesediaan membayar iuran untuk pelayanan irigasi dan berpartisipasi mengikuti kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi sebagaimana dirumuskan sebagai berikut: “Bersediakah atau tidak Bapak/Ibu/Saudara/I untuk berpartisipasi operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi di Daerah Irigasi Pemali Bawah khususnya jaringan irigasi tersier dengan cara membayar iuran pengelolaan irigasi dan berpartisipasi melalui kegiatan-kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier?
24
3.1.6 Hipotesa Dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesa sebagai berikut : 1. Masyarakat yang mau berpartisipasi aktif dalam upaya peningkatan pelayanan irigasi dengan bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi tersier dipengaruhi secara positif oleh umur petani, tingkat pendidikan, keadilan pembagian air , frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A, status usahatani dan pendapatan bersih usahatani serta dipengaruhi secara negatif oleh jumlah tanggungan keluarga. 2. Diduga nilai WTP petani yang telah ditentukan oleh P3A lebih besar dari nilai iuran pengelolaan irigasi. 3. Diduga faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat WTP terhadap iuran pengelolaan irigasi dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendidikan, luas lahan garapan, keadilan pembagian air, pola tanam, frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A dan pendapatan bersih usahatani serta dipengaruhi secara negatif oleh jumlah tanggungan keluarga.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Air merupakan faktor utama untuk menghasilkan produksi pertanian secara maksimal. Keterbatasan dana merupakan salah satu
aker
penyebab
keterlambatan rehabilitasi jaringan irigasi. Rehabilitasi dapat berjalan jika didukung dengan adanya partisipasi dari masyarakat pengguna air dalam operasi dan pemeliharaan jaringan yang telah direhabilitasi. Kesediaan atau ketidaksediaan
petani mau membayar iuran pengelolaan irigasi sangat
menentukan kebijakan pemerintah untuk merehabilitasi jaringan irigasi. Oleh
25
karena itu, perlu melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan dan ketersediaan petani membayar iuran pengelolaan irigasi. Besarnya nilai WTP dengan pendekatan CVM dapat menjadi pertimbangan bagi petani dalam penetapan besarnya iuran pelayanan irigasi melalui musyawarah P3A. Dalam penelitian ini, penulis membuat alur berpikir untuk memudahkan pelaksanaan penelitian sebagai berikut :
26
Kegiatan pengelolaan irigasi : -perencanaan -pembangunan jaringan irigasi -operasi dan pemeliharaan -rehabilitasi -peningkatan dan pembiayaan jaringan irigasi
Kerusakan Jaringan Irigasi
Pemerintah Daerah/Provinsi (Jaringan irigasi primer dan sekunder)
Analisis Regresi Logit
P3A/petani (Jaringan irigasi tersier)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan / ketidaksediaan petani membayar iuran pengelolaan irigasi
Contingent Valuation Method (CVM)
Besarnya nilai WTP dari petani
Analisis Regresi Berganda
Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani
Penetapan iuran pengelolaan irigasi
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Opersional
27
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari,
Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah yang termasuk dalam Daerah Irigasi Pemali Bawah. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Desa Klampok merupakan salah satu daerah hilir dari Daerah Irigasi Pemali Bawah yang memiliki kelembagaan Perkumpulan Kelompok Tani (P3A) yang cukup berkembang. Selain itu, Kecamatan Wanasari merupakan salah satu Kecamatan yang selalu mengalami kekeringan di musim kemarau. Penelitian dilapang dilaksanakan pada bulan pertengahan bulan Agustus sampai bulan September 2006.
4.2
Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi/dinas yang terkait dengan penelitian ini. Data primer yang dikumpulkan adalah respon responden terhadap pengelolaan irigasi kesediaan atau ketidaksediaan membayar Iuran Pelayanan Irigasi dan besarnya nilai WTP dari petani yang diperoleh melalui kuisioner maupun wawancara langsung dengan petani. Data sekunder diperoleh dari BPS Kabupaten Brebes, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Brebes, Dinas Pertanian Kabupaten Brebes , Departemen Pertanian, Unit
28
Pelaksana Teknis Daerah, dan instansi-instansi atau dinas yang terkait dengan penelitian. 4.3
Metode Penentuan Sampel Daerah Irigasi Pemali Bawah mencakup beberapa kecamatan yang cukup
luas dengan keterbatasan waktu, tenaga, biaya sehingga penelitian ini dilaksanakan hanya pada jaringan irigasi tingkat tersier yang berada dalam organisasi P3A di Desa Klampok,
Kecamatan Wanasari.
Populasi dalam
penelitian ini adalah petani pemakai air di Desa Klampok Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes yang tergabung dalam Darma Tirta Gabungan “Makmur”. Darma Tirta Gabungan “Makmur” mencakup tiga P3A yaitu Makmur I dengan petak tersier SW 15,16 KR D, Makmur II dengan petak tersier SW 17 KRT E, Makmur III dengan petak tersier SW 17 Knt Blok II. Teknik pengambilan aker dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel kluster (cluster sampling). Cluster sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari kelompok-kelompok unit-unit yang kecil atau cluster. Jumlah sampel dari populasi yang akan diambil sebanyak 43 petani. Penentuan ukuran sampel dari populasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Nasir, 1988) :
f1 =
n N
Dimana : n
= jumlah sampel yang diambil
N
= jumlah populasi
29
f1
= fraksi sampel yang diinginkan sebesar 20%
Populasi yang ada dibagi tiga kelompok berdasarkan petak tersier sumber air dari jaringan irigasi tingkat tersier dan P3A. Kelompok I : P3A Makmur I dengan jumlah responden yang diambil 22 petani, kelompok II : P3A Makmur II dengan jumlah responden yang diambil 11 petani, kelompok III : P3A Makmur III dengan jumlah responden yang diambil 10 petani. Untuk menentukan jumlah tiap-tiap kelompok menggunakan rumus sebagai berikut (Nazir, 1988) :
ni =
Dimana : ni
4.4
Ni xn N
= besarnya subsampel stratum i
Ni
= besar subpopulasi stratum i
N
= besar populasi
n
= besar sampel
i
= 1,2,3 Metode Analisis Data
4.4.1 Pengolahan Data Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan program Microsoft Excell, Minitab For Windows Release 14 dan SPSS 13. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
30
4.4.2 Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Membayar IPAIR Penelitian ini menggunakan analisis data Contingent Valuation Method (CVM). Untuk menjawab tujuan penelitian pertama penelitian ini dengan menggunakan model regresi logit dimana variabel tak bebasnya bersifat dikotomi. Dengan model analisis regresi logit ini diduga peluang responden untuk memilih bersedia atau tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Bentuk model persamaan logit adalah sebagai berikut :
⎛ P ⎞ LI = ln⎜⎜ I ⎟⎟ = β0 + β1U − β2 JTK + β3LP + β4FREK+ β5KDL+ β6STS + β7 PBU + ei ⎝1 − PI ⎠
Dimana : Li
= peluang petani bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi (bernilai 1 jika petani bersedia membayar iuran dan bernilai 0 jika petani tidak bersedia membayar)
Pi
= sebuah kemungkinan dengan Yi=1
β0
= intersep
β1β 2 , β 3 , β 4 , β 5 , β 6 , β 7 = Koefisien regresi U
= Umur petani (tahun)
JTK
= Jumlah tanggungan keluarga (orang)
LP
= Tingkat pendidikan petani (tahun)
FREK = Frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A (kali) KDL = Keadilan pembagian air ( bernilai 1 = cukup, bernilai 0 = tidak cukup)
31
STS
= Status usahatani (bernilai 1= pekerjaan pokok, bernilai = pekerjaan sampingan )
PBU
= Pendapatan bersih usahatani (rupiah per hektar)
e
= galat
i
= 1,2,3,….43
4.4.3 Analisis Kesediaan Membayar (Willingness To Pay) Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi 4.4.3.1 Pendugaan Besarnya Nilai WTP dari Petani Willingness To Pay (WTP) digunakan untuk melihat tingkat kemampuan petani membayar pada berbagai tingkat harga air dan sejauh mana petani merasakan adanya manfaat adanya air. Model ini merupaka model terbaik yang mampu menerangkan fenomena hubungan tingkat kemampuan petani dengan banyaknya petani (Nuryantoro, 1998). Pendekatan CVM menggunakan dua jenis pertanyaan dalam menilai barang lingkungan (Hufscmidt, 1987 dalam Ayu,2004) yaitu : 1. Apakah anda bersedia membayar (Willingness To Pay / WTP) sejumlah Rp X tiap bulan/tahun untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan? 2. Apakah anda bersedia menerima ( Willingness To Accept / WTA) sejumlah Rp X tiap bulan/ tiap tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan? Penelitian ini akan terfokus pada besarnya nilai WTP dari petani untuk mengetahui besarnya nilai yang bersedia dibayar oleh petani untuk peningakatan pelayanan irigasi.
32
4.4.3.2 Tahapan dalam Contingent Valuation Method dalam
Penentuan
WTP dari Petani Menurut Hanley dan Spash (1993), tahap-tahap penentuan WTP dengan menggunakan CVM sebagai berikut : 1. Membentuk pasar hipotetik dari pelayanan Dalam penelitian ini pasar hipotetik yang dibentuk adalah suatu pasar dengan pelayanan irigasi yang berbeda dengan kondisi saat ini. Responden sebelumnya telah menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai persepsinya tentang pentingnya irigasi, kelembagaan P3A, kualitas pelayanan irigasi yang diterima. Untuk membentuk pasar hipotetik, terlebih dahulu responden diminta untuk mendengarkan atau membaca suatu pernyataan mengenai kondisi pelayanan irigasi pada saat ini yang masih terbatas. Selanjutnya responden diminta mendengarkan dan membaca pernyataan pelayanan irigasi yang kondisinya lebih baik. Alat survey yang biasanya digunakan adalah kuisioner yang memberikan deskripsi jika seluruh konsumen akan membayar untuk peningkatan pelayanan irigasi. 2. Mendapatkan nilai penawaran Dalam penelitian ini, responden diberikan beberapa nilai tawaran iuran pengelolaan irigasi saat ini dan meminta responden memilih nilai tertinggi yang bersedia ia bayarkan untuk peningkatan pelayanan irigasi sehingga dapat diketahui nilai WTP yang sebenarnya dari individu yang bersangkutan terletak pada kelas atau interval antara nilai yang dipilih dengan nilai WTP berikutnya yang lebih tinggi. Selain itu, responden dapat dengan mudah memilih nilai yang ingin ia bayarkan.
33
3. Menghitung dugaan rataan WTP(Expected WTP, EWTP) WTPi dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Dari responden dapat diketahui bahwa WTPi yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP ). Dugaan rataan WTP dapat dihitung dengan rumus :
n
EWTP = ∑ Wi Pfi
…………………(1)
i =1
Dimana : EWTP = dugaan rataan WTP W
= batas bawah kelas WTP
Pf
= frekuensi relatif kelas yang bersangkutan
n
= jumlah kelas
i
= kelas ke-I, dimana i=1,2,3,4
4. Menentukan WTP Agregat atau WTP total Menentukan WTP Agregat atau WTP total dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan dengan rumus sebagai berikut : n ⎡n ⎤ TWTP = ∑ WTPi ⎢ i ⎥ P ⎣N ⎦ i =1
Dimana : TWTP = kesediaan populasi untuk membayar WTP = kesediaan responden untuk membayar
…………………(2)
34
n
= jumlah luas lahan sampel yang bersedia membayar sebesar WTP
N
= jumlah luas lahan sampel
P
= jumlah luas lahan populasi
i
= sampel ke-i, dimana i=1,2,3…….,36
5. Memperkirakan kurva WTP Pendugaan kurva yang akan dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: WTP = f(LHN,PRS,PBU,KDL) Dimana : WTP = nilai WTP responden (rupiah) LHN = luas lahan garapan (hektar) PRS = peranserta dalam P3A PBU = pendapatan bersih usahatani KDL = keadilan pembagian air 6. Mengevaluasi pelaksanaan CVM Pelaksanaan evaluasi metode CVM dapat dilihat dari tingkat keandalan (realibility) fungsi WTP untuk mengetahui apakah CVM yang dilakukan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya dari ukuran penilaian anggota P3A. Uji yang dapat dilakukan dengan uji keandalan yang melihat koefisien determinasi adjusted R2 (adj) dari model OLS (Ordinary Least Square) WTP. 4.4.4
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi digunakan model regresi linier berganda. Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : lnmidWTP + β4PL+ β5KDL− β6 lnJTK+ β7 lnPBU+ ei i = β0 + β1 lnLP+ β2 lnLHN+ β3 lnFREK
35
Dimana Mid WTP
= Nilai tengah kelas WTP responden
β0
= intersep
β1β 2 , β 3 , β 4 , β 5 , β 6 , β 7 = Koefisien regresi LP
= Tingkat pendidikan petani (tahun)
LHN
= Luas lahan garapan(hektar)
FREK
= Frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A (kali)
PL
= Pola tanam (bernilai 1=padi-bawang-bawang, bernilai 0=bukan)
KDL
= Keadilan pembagian air ( bernilai 1 = cukup, bernilai 0 = tidak cukup)
JTK
= Jumlah tanggungan keluarga (orang)
PBU
= pendapatan bersih usahatani (rupiah/hektar)
e
= galat
i
= 1,2,3,….36 Untuk mendapatkan koefisien regresi parsial, digunakan metode kuadrat
terkecil(Ordinary Least Square – OLS). Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui, sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu (Residual Sum of Square – RRS), yaitu
∑e
i
2
= minimum (terkecil). Pemilihan
model ini didasarkan dengan pertimbangan metode ini mempunyai sifat-sifat karakteristik yang optimal, sederhana dalam perhitungan, dan umum digunakan.
36
Beberapa asumsi yang dipergunakan dalam model regresi berganda adalah (Firdaus, 2004): 1.
Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari ∈i tergantung pada Xi tertentu adalah nol.
2.
Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada autokorelasi (nonautokorelasi), artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rataratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif.
3.
Varians bersyarat dari (∈) adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama asumsi homoskedastisitas.
4.
Variabel bebas adalah nonstokastik, yaitu tetap dalam penyampelan berulang. Jika stokastik, didistribusikan secara independent dari gangguan ∈.
5.
Tidak ada multikolinearitas di antara variabel penjelas satu dengan yang lainnya.
6.
∈ didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2. Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi, maka suatu
fungsi regresi yang diperoleh dari hasil penghitungan pendugaan dengan metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linier terbaik (best linier unbiased estimator – BLUE). Sebaliknya, jika ada asumsi dalam model regresi yang tidak dipenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh, maka kebenaran pendugaan model tersebut dan/atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan dapat diragukan. Penyimpangan 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius, sedangkan asumsi 1, 4, dan 6 tidak.
37
4.4.5 Pengujian Parameter 1. Uji G The log-likehood dikenal sebagai -2LL (-two times the log likehood) merupakan nilai yang dapat memperkirakan distribusi chi-square ( χ 2 ) dan memungkinkan penentuan level signifikan. Statistik uji G adalah uji rasio kemungkianan maksimum ( likelihood ratio test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak. Rumus uji G sebagai berikut (Hosmer dan Lemeshow,1989).
⎡L ⎤ G = − 2 ln ⎢ 0 ⎥ ⎣ L1 ⎦
Dimana : L0 = nilai likelihood tanpa variabel penjelas L1 = nilai likelihood model penuh Uji G melakukan pengujian terhadap hipotesa : H0 = β1 = β 2 = β 3 = β 4 = β 5 = β 6 = β 7 = 0 H1 = minimal ada salah satu nilai β i = 0, dimana i=1,2,….7 Statistik G akan mengikuti sebaran χ dengan derajat bebas p. Kriteria keputusan 2
yang diambil jika G > χ
2
p(a)
maka hipotesisi nol ditolak.
2. Uji Wald Uji Wald digunakan untuk menguji perbedaan pengaruh antara taraf nyata atribut yang peubahnya bernilai 1 dengan taraf lain dari atribut tersebut yang semua peubahnya bernilai 0 (Ayu, 2002). Statistik uji wald sebagai berikut
) ⎛ βi ⎞ Wi = ⎜⎜ ) ) ⎟⎟ ⎝ SE ( β i ) ⎠
38
Dimana :
βi
= penduga β i
) ) ) SE ( β I ) = penduga galat baku dari β i Uji wald melakukan pengujian terhadap hipotesis : H0 : β i = 0 H1 : β i ≠ 0 ,dimana i = 1,2,3,……,7 Uji Wald mengikuti sebaran baku dengan kaidah keputusan menolak H0 jika
W > Z α / 2 (Hosmer & Lemeshow, 1989) 3. Interpretasi Koefisien
Odd adalah rasio peluang kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dari variabel respon (Firdaus dan Afendi, 2005 dalam Aji,2005). Odd ratio merupakan kemunculan dari peubah respon (Y=1) sebesar exp ( β ) kali jika taraf atribut yang peubah bonekanya bernilai 1 muncul, dibandingan dengan taraf atribut tersebut yang semua peubah bonekanya bernilai 0 muncul. Interpretasi koefisien pada regresi logit sebagai berikut : • Jika koefisien bertanda (+) maka odd ratio akan lebih dari 1. • Jika variabelnya merupakan skala nominal (dummy) maka dummy = 1 memiliki
kecenderungan untuk Y =1 sebesar exp( β ) kali dibandingkan dengan dummy = 0. • Jika variabelnya bukan dummy, maka semakin besar X maka exp( β ) ≥ 1,
sehingga samakin besar nilai X semakin besar pula kecenderungan untuk Y = 1.
39
4. Uji Statistik t
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing variabel bebasnya (Xi ) mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat (Yi ) sebagai variabel tak bebas. Prosedur uji satistik t (Ramanathan, 1997) sebagai berikut : H0 : β i = 0 Artinya variabel bebas ( Xi ) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi ). H1 : β i ≠ 0 Artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi ).
t hit ( n − k ) =
Jika t
hit(n-k)
tabel,
βi − 0 Sβ i
maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak berpengaruh
nyata terhadap (Yi). Jika t
hit(n-k)
>t
tabel,
maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata
terhadap (Yi). 5. Uji Statistik F
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebasnya (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel tak bebas (Yi ). Prosedur uji satistik F (Ramanathan, 1997) sebagai berikut : H0 : β1 = β 2 = β 3 = β 4 =………..= β k = 0 H1 : β1 = β 2 = β 3 = β 4 =………..= β k ≠ 0
Fhit =
JKK /(k − 1) JKG /(n − 1)
40
Dimana : JKK = jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom JKG = jumlah kuadrat galat n
= jumlah sampel
k
= jumlah peubah
Jika F hit < F tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap (Yi). Jika F
hit
> F
tabel,
maka H0 diterima, artinya variabel
(Xi) secara serentak
berpengaruh nyata terhadap (Yi).
4.5
1.
Definisi Operasional
Irigasi adalah adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak.
2.
Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.
3.
Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, dan penggunaannya.
4.
Jaringan tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air didalam petak tersier yang terdiri dari saluran pembawa yang disebut saluran tersier, saluran pembagi yang disebut saluran kuarter dan saluran pembuang.
41
5.
Umur petani adalah umur seorang petani responden pada saat penelitian berlangsung dan diukur dalam satuan tahun
6.
Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang masih dibiayai oleh responden, termasuk responden sendiri.
7.
Tingkat pendidikan petani adalah lama pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden yang diukur dengan tahun.
8.
Luas lahan garapan adalah luas areal produktif yang digarap oleh petani.
9.
Frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A berarti petani berperan aktif menjadi anggota P3A dimana dihitung dari frekuensi kehadiran petani dalam rapat P3A.
10. Keadilan pembagian air adalah pelayanan dikatakan baik jika penyaluran alokasi air dari jaringan utama ke petak tersier dan kuarter sesuai yang dibutuhkan tanaman. 11. Status usahatani sebagai pekerjaan pokok berarti petani dengan bertani merupakan sumber pendapatan utama sedangkan bertani sebagai pekerjaan sampingan berarti petani dengan bertani hanya sebagai pendapatan tambahan. 12. Pola tanam adalah pola tanam yang dilakukan petani selama penelitian. 13. Pendapatan bersih usahatani adalah selisih total penerimaan dengan seluruh biaya produksi usahatani selama dua musim tanam per hektar dari awal tahun 2006 sampai penelitian.
42
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Deskripsi Daerah Irigasi Pemali Bawah
Kabupaten Brebes mempunyai 3 daerah irigasi (DI) besar yaitu : DI Wilayah Malahayu, DI Wilayah Pemali Atas, dan DI Wilayah Pemali Bawah. Pembagian luas areal tiap-tiap daerah irigasi dapat dilihat pada Tabel 3. Daerah Irigasi Pemali Bawah merupakan DI paling luas di Kabupaten Brebes mencapai 25.540 hektar dengan total luas sawah di Kabupaten Brebes 56.169 hektar. Batasan Daerah Irigasi Pemali Bawah yaitu sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Babakan, sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Gangsa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Bendungan Notog. Tabel 3. Pembagian Luas Areal Tiap-tiap Daerah Irigasi No
1. 2. 3.
Daerah Irigasi
Luas Sawah Baku/Fungsi (ha) 25.540 4.392
DI Wilayah Pemali Bawah DI Wilayah Pemali Atas DI Wilayah Malahayu a. DI Babakan b. DI Kabuyutan c. DI Jengkolak 4. DI Teknis 5. DI Sederhana 6. DI PIK 7. DI PID Jumlah Sumber : Peraturan Bupati Brebes No. 610/307.A, 2005
2.335 4.166 6.173 1.069 3.924 5.650 2.920 56.169
Sumber air utama pada DI Pemali Bawah adalah Sungai Pemali yang dibendung oleh Bendungan Notog yang terletak di Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Bendungan Notog dibangun diatas Sungai Pemali pada tahun 1893 dan mulai berfungsi tahun 1901. Selain Sungai Pemali, sumber air diperoleh dari Waduk Penjalin yang terletak di Desa Paguyangan, Kecamatan Paguyangan,
43
Kabupaten Brebes. Bangunan utama merupakan bangunan yang berfungsi mensuplai air untuk areal sawahnya. Bangunan utama yang terletak pada DI Pemali Bawah yaitu Bendung Notog, Bendung Dandang Gondang, Bendung Kapiyah dan Bendung Klikiran. Bendung Notog merupakan bendung terbesar diantara bendung-bendung yang terdapat pada DI Pemali Bawah. Daerah Irigasi Pemali Bawah mencakup Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes. Air dari Bendung Notog mengalir di Kabupaten Brebes meliputi 9 kecamatan yaitu Kecamatan Brebes, Kecamatan Wanasari, Kecamatan Jatibarang, Kecamatan
Songgom,
Kecamatan
Larangan,
Kecamatan
Ketanggungan,
Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Kersana dan Kecamatan Tanjung. Luas area Daerah Irigasi Pemali Bawah dari sembilan kecamatan mencapai 25.540 ha yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Area Daerah Irigasi Pemali Bawah No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kecamatan
Luas Area
Prosentase Luas Areal Brebes 2.535 ha 9,93 % Jatibarang 3.106 ha 12,16 % Songgom 2.953 ha 11,56 % Larangan 3.529 ha 13,82 % Wanasari 2.949 ha 11,55 % Bulakamba 7.167 ha 28,06 % Ketanggungan 2.993 ha 11,72 % Kersana 105 ha 0,4 % Tanjung 203 ha 0,8 % Jumlah 25.540 ha 100 % Sumber : Peraturan Bupati Brebes No. 610/307.A, 2005
Daerah Irigasi Pemali Bawah memiliki sebuah saluran induk Pemali bawah yang memiliki panjang 8.550 meter, saluran sekunder sebanyak 34 buah saluran dengan total panjang 184.003 meter dan memiliki saluran tersier sebanyak 278 buah saluran. Nama saluran sekunder dan panjang saluran DI Pemali Bawah
44
dapat dilihat pada Tabel 5. DI Pemali Bawah dibagi menjadi beberapa DI yang dikelompokkan menurut saluran sekundernya. Tabel 5. Inventarisasi Saluran Sekunder DI Pemali Bawah No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Saluran
Saluran Sekunder Geger Kunci Saluran Sekunder Cenang Saluran Sekunder Pemali kiri Saluran Sekunder Bulakelor Saluran Sekunder Luwunggedhe Saluran Sekunder Ramin Saluran Sekunder Kedungbokor Saluran Sekunder Blewah Saluran Sekunder Sikancil Saluran Sekunder Sawojajar Saluran Sekunder Pakijangan Saluran Sekunder Dukuhwringin Saluran Sekunder Bangsri Saluran Sekunder Sigentong Saluran Sekunder Sibajag Saluran Sekunder Tegalgandu Saluran Sekunder Wanasari Saluran Sekunder Pemali Kanan Saluran Sekunder Payung Saluran Sekunder Wanatawang Saluran Sekunder Bojong Saluran Sekunder Pamengger Saluran Sekunder Tembelang Saluran Sekunder Tegalwulung Saluran Sekunder Kendawa Saluran Sekunder Krasak Saluran Sekunder Wangandalem Saluran Sekunder Cimohong Saluran Sekunder Rancawuluh Saluran Sekunder Bulakparen Saluran Sekunder Kluwut Saluran Sekunder Pulogading Saluran Sekunder Petunjungan Saluran Sekunder Wanganbui Jumlah Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Brebes, 2006
Panjang Saluran (m) 5.830 780 13.037 3.290 2.895 1.908 1.050 3.744 3.708 24.925 5.000 2.141 1.400 950 1.950 1.698 439 12.074 951 1.321 3.614 1.798 2.238 5.641 5.390 8.697 10.448 12.500 6.054 5.688 2.391 16.980 4.290 9.183 184.003
45
Pembagian DI Wilayah Pemali Bawah beserta luas area sawahnya yaitu 1) DI Pemali Bawah I, Saluran Sekunder Kendawa Cs dan Pemali Kanan Cs, area yang dialiri seluas 8.064 ha, 2) DI Pemali Bawah II, Saluran Sekunder Sawojajar Cs dan Pemali Kiri 2 Cs, area yang dialiri seluas 8.427 ha, 3) DI Pemali Bawah III, Saluran Sekunder Pulogading Cs dan Pemali Kiri 6, area yang dialiri seluas 9.049 ha. Air dari saluran primer tidak langsung mengalir ke sawah Klampok tetapi harus melewati desa lain dahulu di beda kecamatan. Desa Klampok merupakan daerah hilir dari saluran irigasi sehingga sering mengalami kekurangan air. Kecamatan yang terdekat dengan Bendungan Notog dari Kecamatan Sawojajar sampai Kecamatan Larangan sering mendapatkan air berlebih dengan menggunakan pompa-pompa sedangkan jarak dari Bendungan Notog ke Desa Klampok mencapai 38 km sehingga menyebabkan pembagian air kurang merata. Pengelolaan air dari waduk atau bendung sampai ke saluran induk, sekunder dan tersier 50 m ditangani oleh DPU Kabupaten Brebes, sedangkan pembagian air irigasi setelah saluran tersier 50 m, saluran kuarter dan masuk ke petak-petak sawah sudah melibatkan publik antara lain dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani pemakai Air (P3A).
5.2
Deskripsi Lokasi Penelitian 5.2.1
Keadaan Geografis Lokasi Penelitian
Desa Klampok merupakan salah satu desa dari 20 desa yang berada di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes. Desa Klampok memiliki luas 404,586 ha meliputi pemukiman seluas 82,821 ha, kas desa seluas 14,355 ha, lapangan seluas 1 ha, perkantoran pemerintah seluas 2 ha, dan tanah sawah seluas 304,410
46
ha. Suhu rata-rata harian Desa Klampok adalah 32°C dengan ketinggian 4 m diatas permukaan laut sedangkan curah hujan pada tahun 2005 mencapai 5.5 mm perhari. Curah hujan yang terjadi pada setiap bulan akan mempengaruhi volume air irigasi. Penghitungan curah hujan Kecamatan Wanasari dilakukan oleh Ranting Pengairan Sawojajar yang berada tepat di Desa Klampok. Data Curah hujan di Desa Klampok tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Data Curah Hujan Bulanan Desa Klampok tahun 2005 Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
Jumlah Curah Hujan (mm) 345 286 357 150 102 178 90 55 66 37 58 289
Sumber : Ranting Pengairan Sawojajar, 2005 Batas wilayah Desa Klampok sebelah utara adalah Desa Bangsri (Kecamatan Bulakamba), sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sawojajar (Kecamatan Wanasari), sebelah timur berbatasan dengan Desa Kupu dan Desa Pesantunan (Kecamatan Wanasari), sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Desa Banjaratma (Kecamatan Bulakamba). Jarak tempuh Desa Klampok ke ibukota kecamatan tidak terlalu jauh yaitu 2 km dan masih dapat dijangkau oleh sepeda motor maupun mobil sehingga relatif mudah menuju pusat ekonomi. Lama tempuh ke ibukota kecamatan hanya 10 menit. Jarak ke ibukota kabupaten dengan Desa Klampok 4 km dan dapat ditempuh selama 20 menit. Kondisi jalan di Desa
47
Klampok masih beragam, sebagian jalan telah beraspal dan diperkeras. Panjang jalan desa beraspal sepanjang 2 km dan panjang jalan aspal antar desa adalah 3 km. Desa Klampok juga mempunyai 15 buah jembatan yang telah dibeton untuk memperlancar jalur transportasi penduduk. 5.2.2 Keadaan Sosial Ekonomi Lokasi Penelitian
Penduduk Desa Klampok berjumlah 15.046 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 3.546 KK. Berdasarkan jenis kelamin, penduduk Desa Klampok terdiri dari 7.393 jiwa laki-laki dan 7.653 jiwa perempuan. Bulan Januari sampai Maret 2006, angka kelahiran mencapai 70 jiwa, angka kematian mencapi 23 jiwa. Penduduk Desa Klampok sebagian besar merupakan lulusan SD sebanyak 1.906 orang, lulusan Akademi atau Perguruan Tinggi sebanyak 138 orang, lulusan SLTA sebanyak 823 orang, lulusan SLTP sebanyak 1.206 orang, belum tamat SD sebanyak 3.314 orang, dan tidak sekolah 33 orang. Pendidikan yang rendah dimana 25% penduduk lulusan SD disebabkan kurangnya kesadaran akan pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan penduduk. Rendahnya akan pendidikan
menyebabkan
para
orangtua
memperkenalkan
bagaimana
mendapatkan penghasilan dengan cara bertani sejak dini. Mata pencaharian penduduk Desa Klampok sebagian besar buruh tani sebanyak 1.241 orang, sebagai petani sebanyak 880 orang, sebagai pengusaha 7 orang, buruh industri 175 orang, buruh bangunan sebanyak 255 orang, pedagang 713 orang, pengangkutan 51 orang, pegawai negeri (Sipil/ABRI) sebanyak 98 orang, pensiunan sebanyak 54 orang. Jumlah rumah tangga yang memiliki tanah pertanian 414 KK sedangkan petani yang tidak memiliki lahan sebanyak 3.132 KK. Kepala keluarga yang memiliki lahan terdiri dari 239 KK yang memiliki
48
lahan kurang dari 0,5 ha, 129 KK yang memiliki lahan antara 0,5 sampai 1 ha, dan 46 KK yang memiliki lebih dari 1 ha.Sebagian besar penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani akan menanam pada musim penghujan namun ketika tidak ada air pada musim kemarau sebagian besar petani dan buruh tani meninggalkan lahannya bekerja sampingan sebagai buruh bangunan atau buruh angkut. Penduduk Desa Klampok memiliki peternakan sedangkan ternak yang biasa dipelihara kuda, kambing atau domba, dan ayam kampung. Kuda yang diternakkan penduduk sebanyak 3 ekor, kambing atau domba sebanyak 482 ekor, ayam kampung sebanyak 4.010 ekor.
5.3 Keadaan Pertanian
Kabupaten Brebes merupakan penghasil bawang merah terbesar di tataran nasional. Selain menanam bawang merah, petani di Desa Klampok juga menanam padi untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok masyarakat Brebes. Produksi padi dan bawang merah di Kabupaten Brebes dapat dilihat pada Tabel 7. Luas lahan sawah Desa Klampok mencapai 304,410 ha. Penduduk menerapkan pola tanam padi-bawang merah-bawang merah. Pada MT I dimulai pada bulan Januari, MT II pada bulan Mei, MT III pada bulan Oktober. Sebagian besar petani tidak menggarap lahan ketika musim kemarau dan tidak ada air. Petani yang memiliki lahan luas dan modal yang banyak tetap menanam bawang merah pada bulan Juli sampai Agustus bahkan sampai MT III sehingga hanya menanam padi- bawang merah-bera. Petani yang bermodal banyak menerapkan pola tanam padi-bawang merah-bawang merah-bawang merah. Petani yang lahannya sempit dan modalnya sedikit tidak menggarap lahan karena khawatir akan mengalami kerugian namun
49
ada yang ditanami tapi tidak diurus hanya ditanam lalu ditinggal. Tanaman yang biasa ditanam seperti pare,cabai, ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan kacang namun hasilnya kurang memuaskan. Tabel 7. Data Produksi Padi dan Bawang Merah di Kabupaten Brebes Tahun 2005 Kecamatan
Produksi padi
Produksi
(kwintal)
bawang merah (kwintal)
Salem 423,759 Bantarkawung 285,272 5,040 Bumiayu 532,069 Paguyangan 390,587 Sirampog 269,849 Tonjong 252,056 Larangan 379,118 671,008 Ketanggungan 418,797 67,767 Banjarharjo 379,017 8,322 Losari 247,328 67,510 Tanjung 167,757 92,490 Kersana 77,434 28,085 Bulakamba 414,632 246,347 Wanasari 219,798 569,015 Songgom 227,805 102,697 Jatibarang 270,609 88,014 Brebes 174,134 373,326 Jumlah 5,130,021 2,319,621 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, 2005 Beberapa alasan petani tidak mau menanam
pada bulan Juli sampai
Agustus yaitu pertama membutuhkan modal yang cukup besar mendapatkan air dengan pompa karena harus menyewa pompa air dan membeli bensin sebagai bahan bakar. Kedua, air yang berasal dari dalam tanah kurang mengandung mineral dan vitamin bila dibandingkan dengan air irigasi yang berasal dari bendungan dan sungai. Ketiga, pada musim kemarau tanaman banyak terserang hama dan penyakit tanaman. Jika air dari bendungan dan sungai tidak mengalir,
50
petani tidak menanam apa-apa sehingga dalam satu tahun dilakukan 3 kali tanam (padi-bawang merah-bawang merah). Setiap musim hujan , petani menanam padi secara serentak pada waktu yang bersamaan. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengurangi serangan hama penyakit tanaman dan pembagian air yang merata. Pada tahun 2004, MT I petani rata-rata menghasilkan padi 56,2 kwintal, MT II dan MT III petani rata-rata menghasilkan bawang merah 72,1 kwintal. Produksi padi dan bawang merah di Kecamatan Wanasari dapat dilihat padaTabel 8. Tabel 8. Produksi padi dan bawang merah di Kecamatan Wanasari Tahun 2004 Kecamatan
Produksi padi Produksi bawang (kwintal) merah(kwintal) Tegalgandu 10.711,7 22.047,7 Jagalempeni 17.003,9 33.569,5 Glonggong 9.887,7 23.110,3 Sisalam 6.838,5 31.284,7 Lengkong 2.511,7 8.296,7 Tanjungsari 23.346,0 25.120,5 Siwungkuk 3.920,2 9.013,0 Dukuhwringin 7.908,8 18.103,0 Sigentong 9.524,4 8.615,9 Sidamulya 6.670,4 22.495,2 Wanasari 5.632,6 7.103,3 Siasem 19.635,7 21.539,7 Klampok 14.999,5 20.357,6 Pebatan 6.208,9 687,6 Pesantunan 6.632,5 6.800,4 Keboledan 5.200,1 11.308,4 Kupu 10.675,6 53.779,8 Dumeling 10.417,0 10.963,1 Kertabesaki 4.991,8 5.000,3 Sawojajar 16.121,4 12.291,4 Jumlah 198.838,0 352.488,0 Sumber : Kecamatan Wanasari dalam Angka, BPS, 2004
Padi yang ditanam pada saat penelitian adalah varietas IR 64 dan Ciherang sedangkan bawang merah yang ditanam varietas Bima. Petani menjual hasilnya
51
pada MT I berupa gabah kering panen (GKP) dimana di tingkat petani GKP tahun 2006 berkisar Rp 1800,00 sedangkan harga bawang merah berkisar antara Rp 5.000,00 hingga Rp 6.500,00. Produksi pada MT I dapat menghasilkan panen yang rendah jika ketersediaan air yang berasal dari air hujan melimpah sehingga lahan sawah mengalami kebanjiran dan gagal panen. MT II dan MT III dapat menghasilkan produksi bawang merah yang rendah jika ketersediaan air tidak ada secara mendadak. Produksi lahan petani berbeda-beda, hal ini disebabkan penggunaan pupuk, obat, cara penanggulangan hama, tingkat kesuburan tanah dan jarak lahan dengan sumber air yang berbeda-beda. Sebagian besar petani menggunakan pupuk NPK, KCL, ZA, Kalmas, Ponska, dan Urea sedangkan untuk obat-obatan yaitu Dencis, Antracol, Dusband, dan Baycap.
5.4 Perkumpulan Petani Pemakai Air dan Pelayanan Irigasi
Pemerintah telah membagi tanggungjawab dalam pengelolaan dan pemeliharaan jaringan irigasi baik saluran irigasi primer, saluran sekunder, saluran tersier dan saluran kuarter. Kebijakan pemerintah ini terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dimana pengelolaan dan pemeliharaan saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier sepanjang 50 m dari saluran sekunder menjadi tanggungjawab pemerintah sedangkan pengelolaan dan pemeliharaan saluran tersier dan saluran kuarter menjadi tanggung jawab petani yang dikelola melalui sebuah wadah yang dinamakan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) atau di Jawa Tengah dikenal dengan istilah Dharma Tirta.Di Desa Klampok terdapat tiga P3A yaitu P3A Makmur I, P3A II, P3A III yang tergabung dalam P3A Gabungan Makmur. P3A Gabungan Makmur ini berdiri
52
sejak tahun 1993 yang disahkan melalui SK Bupati Nomor 411/02286/1993 pada tanggal 12 Agustus 1993 namun P3A Gabungan Makmur ini belum berbadan hukum.Daerah kerja P3A Gabungan Makmur meliputi petak tersier SW 15.16 KR D, SW 17 Krt E, SW 17 Knt Blok II pada tingkat usahatani wilayah Desa Klampok, Desa keboledan, dan Desa Pesantunan, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes dan Ranting Pengairan Sawojajar, Daerah Irigasi Pemali Bawah. Daerah kerja P3A Gabungan Makmur terdiri dari P3A Makmur I dengan petak tersier SW 17 Krt, P3A Makmur II dengan petak tersier SW 15.16 KR D, P3A Makmur III dengan petak tersier SW 17 Knt Blok II. Peta petak tersier SW 15.16 KR D, SW 17 Krt E, SW 17 Knt Blok II dapat dilihat pada lampiran 5,6,7,8. Ruang lingkup P3A meliputi penguasaan, pengusahaan, pengelolaan, penggunaan dan pengamanan air beserta sunber-sumbernya dan jaringan irigasi ditingkat usahatani. Perkumpulan petani pemakai air (P3A) adalah kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani secara demokratis. Susunan organisasi P3A ini terdiri dari rapat anggota, pengurus dan anggota. Rapat anggota merupakan kekuasaan
tertinggi
dalam
P3A
yang
bertugas
menetapkan
AD/ART,
pembentukan dan pembubaran pengurus serta pembuatan program kerja. Susunan anggota dan pengurus P3A petak tersier terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, wakil bendahara, pelaksana teknis (ulu-ulu), ketua blok (ketua petak), pengawas, dan pembina. Bagan struktur organisasi P3A dapat dilihat pada lampiran 4. Namun pada saat sekarang hanya P3A Makmur I yang masih aktif berjalan sedangkan P3A Makmur II dan P3A Makmur III kurang aktif.
53
Perkumpulan petani pemakai air (P3A) Makmur I selalu mengadakan pertemuan tiga kali dalam satu tahun. Satu wilayah pengairan berbeda dengan satu wilayah administrasi. Sebelum otonomi daerah yang bertanggung jawab dalam satu wilayah pengairan adalah ranting pengairan yang meliputi lebih dari satu kecamatan dan dikelola langsung oleh Departemen Pekerjaan Umum (DPU) Pengairan melalui Dinas Pekerjaan Umum. Namun setelah otonomi daerah, dibentuklah Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) di tingkat kecamatan yang berada dibawah tanggungjawab Dinas Pekerjaan Umum dimana setiap ranting pengairan harus melaporkan ke UPTD kecamatan.. Ranting pengairan Sawojajar biasanya mengadakan pertemuan dua kali dalam satu bulan yaitu tanggal 5 dan 20 di Kelurahan Klampok dan Desa Banjaratma. Pertemuan ini biasanya dihadiri oleh pengurus P3A ranting pengairan Sawojajar yang meliputi tiga kecamatan yaitu Wanasari, Bulakamba dan Larangan. Penelitian berlangsung pada bulan Agustus dimana sedang mengalami musim kemarau dan ketersediaan air sangat kurang. Penggunaan air oleh petani di Desa Klampok sangat tergantung dengan irigasi yang berasal dari bendungan dan sungai. Petani tidak berani mengambil resiko kerugian ketika tidak ada air irigasi. Pelayanan irigasi yang diterima di sawah petani merupakan rangkaian pelayanan irigasi saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, dan saluran kuarter hingga ke sawah petani. Lahan sawah di Desa Klampok merupakan lahan dengan jenis pengairan teknis, hal ini dapat dilihat pada Tabel 9.
54
Tabel 9. Luas Lahan Sawah Menurut Desa dan Jenis Pengairan di Kecamtan Wanasari Kabupaten Brebes Tahun 2004. No
Desa
Pengairan Pengairan Pengairan teknis ½ teknis sederhana (ha) (ha) (ha) 1. Tegalgandu 61 52 9 2. Jagalempeni 200 100 0 3. Glonggong 122 67 0 4. Sisalam 148 0 0 5. Lengkong 0 0 28 6. Tanjungsari 349 83 0 7. Siwungkuk 54 30 0 8. Dukuhwringin 113 27 10 9. Sigentong 201 19 0 10. Sidamulya 193 0 0 11. Wanasari 0 99 0 12. Siasem 72 85 0 13. Klampok 304 0 0 14. Pebatan 33 0 0 15. Pesantunan 87 10 0 16. Keboledan 90 13 0 17. Kupu 150 45 0 18. Dumeling 54 78 0 19. Kertabesaki 25 47 20 20. Sawojajar 260 25 0 Sumber: Kecamatan Wanasari dalam Angka, BPS, 2004
Tadah hujan (ha) 90 28 0 0 50 0 0 24 0 53 103 291 0 135 52 0 0 52 12 83
Pola tanam yang diterapkan padi – bawang merah – bawang merah dilakukan secara bersamaan oleh petani. Penentuan waktu tanam dan pola tanam yang akan dilakukan biasanya dilakukan rapat anggota yang diadakan oleh pengurus Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) agar pembagian air merata. Ketersediaan air dirasakan cukup ketika MT I dan MT II. Operasi dan pemeliharaan yang dilakukan meliputi pengurasan dengan membersihkan sampahsampah dan lumpur pada saluran, penyemprotan obat agar menghambat pertumbuhan rumput, dan perbaikan jika terdapat kerusakan ringan. Pembersihan ini dilakukan tiga kali dalam setahun sebelum menanam.
55
5.5 Iuran Pengelolaan Irigasi
Sesuai UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air bahwa saluran tersier merupakan tanggungjawab petani, maka diadakan musyawarah P3A Gabungan Makmur pada tahun 1993 untuk menentukan besarnya iuran anggota per hektar. Petani di Desa Klampok biasanya menggunakan satuan luas satu bahu yang setara dengan 7000 m2 berarti 1 hektar sama dengan 1,43 bahu . Biaya operasi dan pemeliharaan dibayar dengan menggunakan gabah kering 90 kg per hektar pada saat tanam padi, uang sebesar Rp 2.500,00 perhektar pada saat tanam palawija bulan Agustus dan Desember. Namun petani tidak membayar iuran ketika menanam palawija karena penghasilan yang didapat terlalu kecil dan kurang menguntungkan. P3A mengadakan musyawarah kembali dan
dicapai
kesepakatan besarnya iuran anggota yaitu gabah kering 90 kg per hektar saat MT I, Rp 60.000,00 per hektar saat MT II dan MT III bagi petani yang menanam bawang merah dan IPAIR berdasarkan SK Bupati Nomor 610/01165/1997 tanggal 13 Mei 1997 sebesar Rp 10.000,00 per hektar atau gabah kering sebanyak 5 kg per hektar yang dibayar satu tahun sekali. Panen bawang merah lebih menguntungkan daripada palawija sehingga diadakan penarikan iuran setiap panen . IPAIR sebesar Rp 10.000,00 digunakan untuk membantu operasi dan pemeliharaan saluran sekunder dan dilaporkan ke Ranting Pengairan Sawojajar kemudian ke UPTD kecamatan. Pengelolaan IPAIR dipegang oleh P3A Gabungan Ranting Sawojajar. Iuran wajib anggota yaitu gabah kering 90 kg per hektar dan uang sebesar Rp 60.000,00 per hektar saat tanam bawang merah digunakan untuk operasi dan pemeliharaan saluran tersier tidak dilaporkan ke UPTD kecamatan hanya ke P3A saja. Pada MT I, petani tidak selalu
56
membayar dengan gabah kering tapi petani menukar gabah kering dengan uang sesuai harga gabah di tingkat petani. Pembayaran iuran sebesar Rp 60.000,00 bersifat insidental, petani terkadang enggan membayar iuran tetapi diganti dengan tenaga dan waktu untuk membantu pengelolaan irigasi. Kegiatan pemeliharaan saluran tersier dilakukan jika terdapat air yang dilakukan menjelang musim tanam. Petani yang bertanam bawang merah dan telah membayar iuran Rp 60.000,00 per hektar biasanya enggan berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong untuk membersihkan saluran. Ketidakseragaman ini yang membuat sulitnya ulu-ulu dalam penarikan iuran menyebabkan dana yang terkumpul semakin berkurang. Berdasarkan AD/ART P3A Gabungan pasal 26 alokasi iuran anggota sebagai berikut : 1. Dari iuran wajib gabah 90 kg per hektar -
25 kg upah pekaten ulu-ulu.
-
40 kg untuk pemeliharaan saluran.
-
10 kg untuk upah ketua blok.
-
5 kg untuk upah pembantu ulu-ulu.
-
5 kg untuk upah pengurus.
-
5 kg untuk biaya administrasi.
2. Dari iuran tanam bawang merah sebesar Rp 60.000,00 per hektar. -
25 % untuk upah pengurus
-
20 % untuk perbaikan bangunan
-
30% untuk upah ketua blok
-
25 % untuk honor ulu-ulu masa giliran air
57
Penarikan IPAIR biasanya digabung dengan iuran wajib gabah sebesar 5 kg per hektar gabah kering. Prosedur penarikan iuran yaitu pertama, pengurus P3A mendata luas sawah yang digarap untuk menentukan berapa iuran yang harus dibayar. Kedua, masing-masing ketua blok menarik dan mencatat iuran sesuai lahan yang digarap. Ketiga, ketua blok seharusnya menyetorkannya ke bendahara P3A. Pada prakteknya ketua blok langsung disetorkan ke ulu-ulu yang mengelola pemasukan dan pengeluaran pelaksanaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Pemanfaatan iuran yang didapat diutamakan untuk alokasi upah ulu-ulu, upah ketua blok, upah buruh untuk pemeliharaan. Padahal iuran yang didapat seharusnya dialokasikan untuk perbaikan bangunan. Biaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang dibutuhkan setiap tahunnya mencapai 67.680.000,00 dimana untuk musim tanam I sebesar Rp 38.880.000,00, untuk musim tanam II sebesar Rp 14.400.000,00, untuk musim tanam III sebesar Rp 14.400.000,00. Kondisi saluran tersier P3A Makmur I sudah terpelihara dengan baik bila dibandingkan P3A Makmur II dan P3A Makmur III. Petani enggan membayar iuran karena air yang tersedia kurang mencukupi kebutuhan tanaman bahkan tidak ada air. Keterbatasan dana menyebabkan kurang optimal dalam pemeliharaan saluran irigasi yang rusak dan semakin lama kerusakan tersebut semakin parah.
58
VI.
KESEDIAAN ATAU KETIDAKSEDIAAN PETANI MEMBAYAR IURAN PENGELOLAAN IRIGASI
6.1 Karakteristik Responden
Responden yang diwawancarai untuk tujuan penelitian ini adalah para petani pemakai air yang termasuk dalam anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes. Petani di Desa Klampok bergabung pada tiga P3A yang berbeda kepengurusannya menurut saluran tersier. Wilayah pengairan berbeda dengan wilayah administrasi, seorang petani yang tinggal di desa lain dapat menjadi anggota P3A di desa Klampok berdasarkan letak petak tersier yang berada di Desa Klampok. P3A di Desa Klampok tidak hanya beranggotakan petani dari Desa Klampok itu sendiri tetapi dapat berasal dari desa yang berbeda tergantung letak petak tersier. P3A Makmur I dengan petak tersier SW 17 Krt anggotanya meliputi petani dari Desa Klampok dan Desa Luwungragi. P3A Makmur II dengan petak tersier SW 15.16 KR D, anggotanya meliputi petani dari Desa Klampok dan Desa Bangsri. P3A Makmur III dengan petak tersier SW 17 Knt Blok II, anggotanya meliputi Desa Klampk, Desa Pesantunan, dan Desa Kupu. Responden yang diwawancarai difokuskan pada petani pemakai air yang berasal dari Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes. Identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui peluang petani yang bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi dengan petani yang tidak bersedia membayar. Penyebaran responden berdasarkan keanggotaan pada tiga P3A yang berbeda kepengurusan yang disajikan pada Tabel 10.
59
Tabel 10. Penyebaran Responden Berdasarkan Keanggotaan P3A
P3A
Petak Tersier
Jumlah Anggota (orang) Total
Makmur I Makmur II Makmur III
SW 17 Krt, P3A SW 15.16 KR D SW 17 Knt Blok II Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
115
Luas lahan (ha)
Responden (orang)
Desa Total Desa Klampok Klampok 110 130 126
22
89
53
110
80
11
69
50
90
34
10
273
213
330
240
43
Karakteristik responden dapat dilihat dari beberapa variabel yaitu umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, pendapatan bersih usahatani, dan frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A. 1. Umur Petani Umur seseorang menentukan bagaimana produktifitas kerja yang dilakukan. Petani responden umur terendah 25 tahun dan umur tertinggi 76 tahun dengan rata-rata 46,51 tahun. Penggolongan umur responden disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Petani Responden Menurut Penggolongan Umur Kelompok Umur
25-34 35-44 45-54 55-64 ≥65 Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 10 7 15 4 7 43
Persentase (%) 23,2 16,3 34,9 9,3 16,3 100
Tabel 11 menunjukkan bahwa rata-rata umur 46 tahun dengan persentase terbesar yaitu 34,9 persen berumur 45-54 dan 23,2 persen berumur 25-34, hal ini
60
menunjukkan petani di Desa Klampok merupakan generasi tua yang lebih memilih pertanian sebagai mata pencaharian. Sebagian besar petani muda di Desa Klampok lebih tertarik mencari pekerjaan selain dibidang pertanian seperti menjadi kuli bangunan, berdagang dan lain-lain. 2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sebagian besar responden di Desa Klampok masih rendah dengan melihat sebagian besar responden hanya tamat sekolah dasar mencapai 51,2 persen sebanyak 22 orang dan responden yang tidak tamat Sekolah Dasar mencapai 16,3 persen sebanyak 7 orang, tamat SLTP 11,6 % sebanyak 5 orang, tamat SMU atau sederajat mencapai 18,6 persen sebanyak 8 orang, tamat perguruan tinggi atau sederajat mencapai 2,3 persen sebanyak 1 orang. Rata-rata lama pendidikan petani responden 7,12 tahun setara dengan tamat Sekolah Dasar. Semakin tinggi pendidikan diharapkan akan merubah pola pikir petani dalam mengembangkan pertanian di daerah klampok. Penggolongan petani responden menurut tingkat pendidikan dapat disajikan Tabel 12. Tabel 12. Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SMU / sederajat Tamat PT / sederajat Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 7 22 5 8 1 43
Persentase (%) 16.3 51,2 11,6 18,6 2,3 100
Berdasarkan Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tamat sekolah dasar, hal ini menandakan bahwa pendidikan masih rendah. Petani kurang menyadari arti penting pendidikan bagi masa depan dan semakin tinggi
61
pendidikan maka biaya akan semakin mahal menyebabkan petani lebih memilih untuk memperkenalkan usahatani kepada anak-anaknya. Mereka berharap anakanaknyalah yang akan meneruskan usahatani keluarga sehingga di masa tua petani tidak bekerja lagi. Mereka juga berpandangan semakin tinggi pendidikan juga belum tentu mendapatkan pekerjaan yang pasti. 3. Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga responden rata-rata 4,84 orang, hal ini berarti petani responden memiliki rata-rata jumlah tanggungan keluarga 4-5 orang. Jumlah tanggungan keluarga paling banyak ≥ 9 mencapai 4,6 persen sebanyak 2 orang dan paling sedikit 1-2 orang mencapai 16,3 persen sebanyak 7 orang. Jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi pengeluaran keluarga. Semakin banyak jumlah keluarga yang dibiayai hidupnya maka semakin besar pengeluaran keluarga, hal ini menyebabkan semakin kecilnya pengeluaran keluarga untuk keperluan selain kebutuhan pokok. Penggolongan petani responden menurut tanggungan jumlah keluarga disajikan Tabel 13. Tabel 13. Petani Responden Menurut Tanggungan Jumlah Keluarga Jumlah Keluarga
1-2 3-4 5-6 7-8 ≥9 Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 7 11 18 5 2 43
Persentase (%) 16,3 25,6 41,9 11,6 4,6 100
Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan sebagian besar jumlah tanggungan keluarga 5-6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga sebagian besar lebih dari keluarga inti yaitu ayah, ibu dan dua anak atau bahkan
62
ada petani yang juga membiayai menantu dan cucu. Semakin besar jumlah keurga akan memperbesar pengeluaran kebutuhan pokok dan memperkecil pengeluaran untuk keperluan lain. 4. Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan responden di Desa Klampok rata-rata 0,42 hektar dengan luas lahan < 0,5 hektar mencapai 60,5 persen sebanyak 26 orang, 0,5 – 1,0 hektar mencapai 30,2 persen sebanyak 13 orang dan > 1,0 hektar mencapai 9,3 persen sebanyak 4 orang. Luas lahan garapan dapat menunjukkan kondisi ekonomi petani. Penggolongan petani responden menurut luas lahan garapan disajikan Tabel 14. Tabel 14. Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Luas Lahan Garapan ( ha ) < 0,5 0,5-1,0 > 1,0 Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 26 13 4 43
Persentase (%) 60,5 30,2 9,3 100
Berdasarkan Tabel 14 sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, hal ini menunjukkan bahwa lahan garapan petani di Desa Klampok masih sempit. Luas lahan garapan dapat menggambarkan pendapatan petani jika lahan garapan luas maka pendapatan yang diperoleh akan lebih besar. Jika sebagian besar lahan sempit maka dapat mengindentifikasikan bahwa pendapatan lebih kecil. 5. Frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A Peranserta petani dalam P3A dapat dilihat dari keanggotaan P3A, mengikuti kegiatan operasi dan pemeliharaan, pernah mengikuti pertemuan P3A,
63
membayar iuran pengelolaan irigasi. Pertemuan yang dilakukan oleh petani terkait masalah pengairan ada tiga jenis pertemuan yaitu pertemuan tiap P3A, pertemuan tiap kemantren, pertemuan di UPTD. Pertemuan tiap kemantren dilakukan setiap bulan tanggal 5 di masing-masing kemantren. Pertemuan petani dengan cakupan daerah pengairan satu kecamatan dilakukan setiap bulan tanggal 20 di UPTD. Pertemuan tiap P3A biasanya dilakukan tiga kali dalam satu tahun dilakukan setiap akan penanaman untuk membahas pembagian air di masing-masing P3A. Namun dalam hal ini akan lebih menitikberatkan pada pertemuan tiap P3A yang dilakukan 3 kali dalam satu tahun. Penggolongan petani responden menurut peran serta dalam P3A disajikan Tabel 15. Tabel 15. Petani Responden Menurut Frekuensi Kehadiran dalam Pertemuan P3A Kehadiran Dalam Pertemuan P3A 1 kali 2 kali 3 kali Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 16 13 14 43
Persentase (%) 37,2 30,2 32,6 100
Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan sebesar 37,2 persen dengan 16 reponden hanya mengikuti pertemuan P3A satu kali dalam satu tahun. Responden yang mengikuti setiap pertemuan sebesar 32,6 persen dengan jumlah 14 responden , hal ini menggambarkan kurangnya kesadaran petani untuk berperanserta dalam P3A. Padahal anggota P3A seharusnya mengikuti setiap pertemuan P3A.
64
6.2 Deskripsi Variabel Penelitian
Variabel respon pada penelitian ini adalah bentuk pilihan petani terhadap iuran pengelolaan irigasi yaitu pilihan pertama untuk petani yang bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi dan pilihan kedua untuk petani yang tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Sebanyak 43 responden ternyata 36 orang (83,7 persen) menyatakan bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi dan 7 orang (16,3 persen) tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Alasan responden tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi adalah responden beranggapan bahwa meskipun pemerintah melakukan program rehabilitasi namun tetap saja air yang akan mengalir ke Desa Klampok akan kurang mengingat Desa Klampok merupakan daerah hilir yang mendapat air sisa dari hulu dan tengah. Variabel penjelas pada penelitian ini terdiri atas empat variabel kontinyu dan dua variabel dummy dengan nilai rata-rata dan standar deviasi seperti disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Perhitungan Statistik Variabel-variabel Analisis Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Membayar Iuran Pengelolaan Irigasi Variabel Umur (U) (tahun) Jumlah Tanggungan Keluarga (JTK) (orang) Tingkat Pendidikan (LP) (tahun) Frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A(FREK) Pendapatan bersih usahatani (PBU) Jumlah Responden : 43 Sumber : Hasil Olahan Data Lapangan, 2006
Mean 46,51 4,84 7,12 1,95
Standar Deviasi 13,89 2,02 3,42 0,84
8693366,3
9399733,3
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan rata-rata umur responden 46,51 dengan umur terendah 25 tahun dan umur tertinggi 76 tahun. Variabel jumlah tanggungan keluarga paling sedikit berjumlah dua orang dan paling banyak berjumlah sepuluh orang. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga 4,84 orang , hal
65
ini berarti petani responden memiliki rata-rata jumlah tanggungan keluarga 4-5 orang. Variabel lama pendidikan responden rata-rata 7,12 tahun dengan kisaran tingkat tidak tamat Sekolah Dasar sampai dengan tamat Perguruan Tinggi atau sederajat. Rata-rata petani responden menempuh pendidikan selama 7,12 tahun artinya sebagian besar petani responden tamat Sekolah Dasar. Variabel frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A memiliki rata-rata kehadiran dalam rapat P3A 1,95 berarti responden menghadiri rapat P3A 1-2 kali dalam satu tahun. Pendapatan bersih usahatani memiliki rata-rata Rp 8.693.366,30 Mengenai deskripsi variabel penjelas yang bersifat dummy yaitu keadilan pembagian air ( 1 : cukup dan 0 : tidak cukup), status usahatani ( 1 : pekerjaan pokok dan 0 : pekerjaan sampingan) dijelaskan sebagai berikut : 1. Keadilan Pembagian Air Keadilan pembagian air cukup ditandai jika penyaluran alokasi air dari jaringan petak tersier dan kuarter sampai ke sawah petani sesuai dengan kebutuhan tanaman dan
tepat waktu. Ketidakadilan pemberian air sering
menyebabkan masalah bahkan konflik diantara petani. Konflik ini bermula terdapat sekelompok petani yang tidak mendapatkan air karena terdapat kecurangan pengambilan air oleh petani lain. Ulu-ulu dibantu dengan ketua blok biasanya melakukan pengontrolan ke petak-petak sawah ketika air irigasi mengalir untuk mencegah terjadinya pengambilan air secara berlebihan oleh sekelompok petani. Pengurus P3A harus menghitung dan mengatur distribusi air agar kebutuhan air tercukupi secara merata. Keadilan pembagian air dapat disajikan pada Tabel 17 .
66
Tabel 17. Petani Responden Menurut Keadilan Pembagian Air Keadilan Pemberian Air Cukup Tidak cukup Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Frekuensi ( orang) 15 28 43
Persentase (%) 34,9 65,1 100
Berdasarkan Tabel 17 menggambarkan bahwa sebagian besar responden merasakan keadilan pembagian air tidak cukup mencapai 65,1 persen sebanyak 28 orang. Hal ini menunjukkan pembagian air tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tidak tepat waktu. Tidak terpenuhinya kebutuhan air bagi tanaman karena memang ketersediaan air irigasi di waduk semakin berkurang. Menurut pengurus P3A, dahulu ketersediaan air mencukupi kebutuhan petani pada setiap musim. Namun pada saat ini, ketersediaan air di waduk semakin berkurang disebabkan semakin dangkalnya waduk sehingga volume air hujan yang tertampung semakin sedikit. Ketersediaan air yang menurun menyebabkan petani sering mengalami kesulitan air pada saat musim kemarau terutama sawah yang letaknya jauh dari saluran tersier. 2. Status Usahatani Pekerjaan pokok merupakan sumber penghasilan utama keluarga, sedangkan pekerjaan sampingan merupakan sumber penghasilan tambahan disamping penghasilan utama. Penggolongan petani responden menurut status usahatani disajikan Tabel 18. Bertani sebagai pekerjaan pokok berarti dari bertani petani mendapatkan penghasilan utama dan menghabiskan waktu paling banyak. Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan sebagian besar responden pekerjaan utama dengan berusahatani hingga mencapai 83,7 persen sebanyak 36 orang dan bertani sebagai pekerjaan sampingan 16,3 persen sebanyak 7 orang. Petani yang memiliki
67
pekerjaan sampingan dari bertani mendapat sumber penghasilan utama bekerja sebagai guru, calo hasil pertanian, PNS, dan sebagainya. Masyarakat di Desa Klampok masih menggantungkan hidupnya dari pertanian, hal ini dapat dilihat dari banyaknya responden melakukan usahatani sebagai pekerjaan pokok. Penggolongan petani responden menurut status usahatani disajikan Tabel 18. Tabel 18.
Petani Responden Menurut Status Usahatani
Status Usahatani
Pekerjaan Pokok Pekerjaan Sampingan Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 36 7 43
Persentase (%) 83,7 16,3 100
6.3 Hasil Analisis Model Logit Petani Terhadap Pelayanan Irigasi.
Analisis model regresi logit digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel penjelas terhadap peluang petani bersedia atau tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Dugaan variabel yang mempengaruhi model terdiri atas tujuh variabel yaitu umur, lama pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, frekuensi kehadiran dalam P3A, keadilan pembagian air, status usahatani dan pendapatan bersih usahatani. Dugaan variabel yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan petani membayar iuran pengelolaan irigasi dengan taraf nyata 20 persen seperti yang disajikan pada Tabel 19. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
68
Tabel 19. Hasil Analisis Fungsi Logit Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Terhadap Iuran Pengelolaan Irigasi No
Parameter
Koefisien
P-Value
Konstanta -17,4620 0,138 Umur (U) 0,139 0,238 JumlahTanggungan 0,271 0,527 Keluarga (JTK) 4. Tingkat Pendidikan (LP) 1,098 0,165 * 5. Frekuensi kehadiran 1,696 0,244 dalam pertemuan P3A(FREK) 6. Keadilan Pembagian Air 19,678 0,998 (KDL) 7. Status Usahatani (STS) 3,108 0,175 * 8. Pendapatan bersih 0,000 0,636 usahatani (PBU) Log-Likelihood = -8,100 Test that all slopes are zero: G = 22,007 DF = 7 P-Value = 0,003
Odds Ratio
1. 2. 3.
Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 15,3643 Deviance 16,2000 Hosmer-Lemeshow 2,6304 Ket : * = taraf nyata (α) 20 persen
DF 35 35 8
1,15 1,31 3,00 5,45 3,6158E+08 22,40 1,00
P 0,998 0,997 0,955
Berdasarkan hasil log-likehood sebesar -8,100 menghasilkan statistic G 22,007 dengan nilai P sebesar 0,003 yang berarti secara serentak variabel penjelas dimasukkan model berpengaruh nyata terhadap peluang petani bersedia atau tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Perhitungan statistic Pearson, Deviance, Hosmer Lemeshow
sebesar 0,998 ; 0,997 dan 0,955 dimana nilai P
tersebut lebih besar dari α 15 persen, hal ini menunjukkan model regresi yang dihasilkan cukup layak. Bentuk model persamaan logit adalah sebagai berikut :
LI = −17,4620+ 0,139U+ 0,271JTK+ 1,09LP+ 1,696PRS+ 19,67KDL+ 3,108STS + 0,000PBU + ei
69
Pada model tersebut variabel yang berpengaruh nyata terhadap pilihan kesedian membayar iuran pengelolaan irigasi adalah: 1. Tingkat pendidikan Variabel tingkat pendidikan memiliki P value sebesar 0,165 artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang petani bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi pada taraf α = 20 persen. Nilai koefisien 1,098 bertanda positif berarti semakin tinggi lama pendidikan petani maka petani cenderung bersedia untuk membayar iuran pengelolaan irigasi. Odd ratio menunjukkan 3,00 dapat diartikan bahwa petani yang bersedia membayar iuran irigasi akan meningkat 3,00 kali setiap kenaikan 1 tahun pendidikan. Kondisi ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani, maka cara berfikirnya semakin mengarah ke depan untuk meningkatkan produktivitas. Ketersediaan air yang cukup merupakan faktor penting untuk meningkatkan produktifitas lahan sehingga petani menyatakan kesediannya untuk membayar iuran pengelolaan irigasi. 2. Status usahatani (STS) Variabel status usahatani berpengaruh nyata α = 20 persen dengan arah positif yang berarti bahwa petani dengan bertani sebagai pekerjaan pokok maka petani cenderung koefisien
sebesar
bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Berdasarkan 3,108
dan
odd
ratio
menunjukkan
22,40,
hal
ini
mengindikasikan bahwa petani yang bertani sebagai pekerjaan pokok memiliki peluang dalam membayar iuran sebesar 22,40 kali daripada petani yang bertani sebagai pekerjaan sampingan. Petani yang bertani sebagai pekerjaan pokok akan menggantungkan pendapatan keluarga utama dari hasil pertanian sehingga petani akan selalu meningkatkan hasil pertanian dengan ketersediaan air yang cukup.
70
Petani cenderung bersedia
membayar iuran pengelolaan irigasi agar hasil
pertanian tidak menurun atau gagal panen karena kekurangan air. Variabel lain yang diduga berpengaruh adalah umur, jumlah tanggungan keluarga, frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A, keadilan pembagian air, dan pendapatan bersih usahatani ternyata secara statistik tidak berpengaruh nyata dalam pengambilan keputusan petani untuk bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Umur tidak berpengaruh nyata disebabkan sebagian besar penduduk hanya tamat sekolah dasar, hal ini menyebabkan adanya pola pikir yang kurang menyadari arti penting irigasi. Jumlah tangggungan keluarga diharapkan dapat mempengaruhi kesediaan petani dalam membayar iuran dimana petani yang menanggung kebutuhan keluarga lebih banyak akan semakin memperhatikan kondisi pertaniannya sabagai salah satu sumber penghasilan keuarga. Namun jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh disebabkan karena petani memiliki pekerjaan sampingan diluar bertani yang menambah pendapatan keluarga. Peran serta dalam P3A tidak berpengaruh disebabkan petani belum dapat memahami pentingnya dan kurangnya kesadaran diterapkan iuran iriagsi. Keadilan air tidak berpengaruh karena petani merasa kondisi desa Klampok yang merupakan daerah hilir setiap tahun akan mengalami kekurangan air sehingga menyebabkan pola pikir petani bahwa daerah hilir akan selalu kekurangan air. Pendapatan bersih usahatani tidak berpengaruh nyata sebab petani memiliki pendapatan tambahan selain dari bertani sehingga iuran pengelolaan irigasi tidak menjadi masalah .
71
6.4 Hasil Pelaksanaan Contingent Valuation Method (CVM)
Sampel yang digunakan untuk tujuan penelitian analisis kesediaan membayar (WTP) adalah responden yang bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi yaitu sebanyak 36 petani dari 43 responden. Untuk menganalisis WTP dalam penelitian ini digunakan Contingent Valuation Method (CVM) dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Pembentukan Pasar Hipotetik (Hypothetical Market) Berdasarkan pernyataan tentang kondisi jaringan irigasi saat ini serta perbandingan kondisi pelayanan jika dilakukan peningkatan kualitas pelayanan jaringan irigasi oleh P3A di Desa Klampok, maka responden memperoleh gambaran situasi pasar hipotetik pelayanan irigasi. Pasar hipotetik yang terbentuk seandainya pemerintah melakukan kebijakan rehabilitasi irigasi yang membuat distribusi air lancar, apakah responden bersedia untuk membayar iuran pengelolaan irigasi. 2. Perolehan Nilai Penawaran (Bids) Berdasarkan pertanyaan dan interval nilai yang ditawarkan dalam kuisioner, maka diperoleh pilihan responden terhadap tawaran nilai berupa sejumlah uang yang dibayarkan (WTP) petani untuk peningkatan kualitas pelayanan diatas iuran irigasi yang berlaku pada saat ini. Berikut data statistik yang menunjukkan rata-rata dan standar deviasi WTP petani pemakai air yang disajikan pada Tabel 20.
72
Tabel 20. Hasil Perhitungan Statistik WTP Petani Uraian
Mean (Rp/ha) 210.000 88.333 120.000
WTP musim tanam I WTP musim tanam II WTP musim tanam III Jumlah responden : 36 Sumber : Hasil Olahan Data Lapangan, 2006
Standar Deviasi
52.698,6 22.103,65 118.755,5
Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan hasil perhitungan statistik diperoleh rata-rata nilai tengah WTP sampel per hektar lahan adalah Rp 210.000,00 untuk musim tanam I, Rp 88.333,33 untuk musim tanam II, Rp 120.000,00 untuk musim tanam III. Nilai- nilai tersebut berada diatas iuran pengelolaan irigasi yang berlaku saat ini. Nilai iuran pengelolaan irigasi yang berlaku sekarang untuk musim tanam I sebesar Rp 171.000,00, musim tanam II Rp 60.000,00, musim tanam III Rp 60.000,00. 3. Dugaan Rataan WTP Dugaan rataan WTP (EWTP) dihitung dengan rumus (1) berdasarkan data distribusi WTP sampel pada Tabel 21. WTPi dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Dari responden dapat diketahui bahwa WTPi yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP ). Berdasarkan hasil olahan Tabel 21 , maka diperoleh dugaan rataan WTP (EWTP) sampel sebesar Rp 173.333,33 per hektar untuk musim tanam I, Rp 78.333,33 per hektar untuk musim tanam II, Rp 90.000,00 untuk musim tanam III.
73
Tabel 21. Distribusi WTP Sampel No
Kelas WTP Frekuensi (Rp/hektar) (orang) Musim Tanam I 1. 110.000 – 170.000 11 2. 170.000 – 230.000 14 3. 230.000 – 290.000 9 4. 290.000 – 350.000 2 Jumlah sampel 36 Musim Tanam II 1. 50.000 - 70.000 9 2. 70.000 – 90.000 11 3. 90.000 – 110.000 8 4. 110.000 – 130.000 8 Jumlah sampel 36 Musim Tanam III 1. 50.000 - 70.000 5 2. 70.000 – 90.000 8 3. 90.000 – 110.000 5 4. 110.000 – 130.000 18 Jumlah Sampel 36 Sumber : Hasil Olahan Data Lapangan, 2006
Persentase (%)
30,6 38,8 25 5,6 100 25 30,6 22,2 22,2 100 13,9 22,2 13,9 50 100
4. Total WTP Menentukan WTP Agregat atau WTP total dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan. WTP Agregat atau total WTP (TWTP) petani pemakai air untuk setiap petak lahan sawah ditentukan dengan menggunakan rumus (2). Berikut perhitungan TWTP petani pemakai air di Desa Klampok disajikan Tabel 22 . Berdasarkan Tabel 22
menunjukkan hasil
perhitungan WTP total populasi petani pemakai air dengan menggunakan rumus (2) sebesar Rp 45.840.000,00 pada musim tanam I, Rp 19.700.000,00 pada musim tanam II, Rp 22.600.000,00 pada musim tanam III sedangkan WTP total dalam satu tahun senilai Rp 88.140.000,00 diatas pengeluaran operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi per tahun. Total WTP petani pemakai air diatas iuran irigasi yang
74
berlaku saat ini atau surplus konsumen ini sebenarnya merupakan potensi pembiayaan yang masih dapat digali untuk peningkatan pelayanan irigasi. Biaya operasi dan pemeliharaan WTP total dalam satu tahun dapat menutupi biaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier
sebesar Rp 67.680.000,00.
Biaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier ini merupakan besarnya iuran yang seharusnya terkumpul, jika petani membayar iuran sesuai dengan apa yang ditetapkan masalah pembiayaan dapat teratasi. Tabel 22. WTP Agregat (TWTP) Petani Pemakai Air No
Kelas WTP ( Rp / hektar)
Sampel a)
Luas lahan sampel b) (ha)
Luas lahan Populasi c) (ha)
Jumlahd) (Rp)
Musim Tanam II 110.000 – 170.000 9 6,2375 92 12.880.000 170.000 – 230.000 14 6,365 94 18.800.000 230.000 – 290.000 11 3,515 52 13.520.000 290.000 – 350.000 2 0,175 2 640.000 Total Musim Tanam I 36 16,2925 240 45.840.000 Musim Tanam II 1. 50.000 - 70.000 9 5,495 81 4.860.000 2. 70.000 – 90.000 11 5,675 84 6.720.000 3. 90.000 – 110.000 8 3,0075 44 4.400.000 4. 110.000– 130.000 8 2,115 31 3.720.000 Total Musim Tanam II 36 16,2925 240 19.700.000 Musim Tanam III 1. 50.000 - 70.000 5 2,5 37 2.220.000 2. 70.000 – 90.000 8 4,995 74 5.920.000 3. 90.000 – 110.000 5 3,47 51 5.100.000 4. 110.000– 130.000 18 5,3275 78 9.360.000 Total Musim Tanam III 36 16,2925 240 22.600.000 Total satu tahun 88.140.000 Sumber : Hasil Olahan Data Lapangan, 2006 Ket : a) Jumlah sampel (16,9 % dari petani pemakai air di Desa Klampok) b) Jumlah luas lahan sampel c) Jumlah total luas lahan petani pemakai air d) Populasi x titik tengah WTP
1. 2. 3. 4.
75
5. Memperkirakan fungsi WTP Kurva WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi variabel independen. Kurva pada gambar dibawah menggambarkan hubungan antara nilai WTP dan luas lahan. Semakin luas lahan garapan petani semakin kecil nilai WTP iuran
WTP
pengelolaan irigasi. 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 0
1
2
3
4
5
luas lahan
Gambar 2. Dugaan kurva WTP responden 6. Evaluasi pelaksanaan CVM Evaluasi pelaksanaan model CVM dapat dilihat dari tingkat keandalan (reability) atas penawaran-penawaran WTP yang ditunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) dari model OLS WTP. Nilai R2 untuk data cross section dari survei WTP seringkali tidak tinggi sebagaimana yang diberikan model-model data cross section hasil penelitian dengan model menggunakan CVM. Pelaksanaan CVM dianggap gagal apabila nilai R2 hasil analisis fungsi WTP diperoleh nilai R2 hasil analisis kurang dari 0,150. Berdasarkan analisis fungsi WTP diperoleh nilai R2 sebesar 63,4 persen . Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (realible).
76
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WTP
7.1 Karakteristik Responden
Metode CVM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani dengan menggunakan sampel petani yang bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi sebanyak 36 orang. Karakteristik responden dapat dilihat dari Lama pendidikan, luas lahan garapan, frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A, dan pendapatan bersih usahatani. 1. Tingkat Pendidikan Lama pendidikan sebagian besar responden di Desa Klampok masih rendah, hal ini ditunjukkan persentase terbesar mencapai 52,8 persen sebanyak 19 orang tamat sekolah dasar bahkan ada yang tidak tamat Sekolah Dasar mencapai 11,1 persen sebanyak empat orang. Responden yang bersedia membayar iuran memiliki karakteristik yang sama dengan total responden yaitu sebagian besar responden tamat sekolah dasar, hal ini menandakan bahwa pendidikan masih rendah .Petani responden menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SMU / sederajat Tamat PT / sederajat Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 4 19 4 8 1 36
Persentase (%) 11,1 52,8 11,1 22,2 2,8 100
77
2. Luas Lahan Garapan Selain tingkat pendidikan, karakteristik responden dapat diketahui melalui luas lahan garapan. Sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar mencapai 58,3 persen sebanyak 21 orang, hal ini menunjukkan bahwa lahan garapan petani di Desa Klampok masih sempit Luas lahan garapan responden di Desa Klampok dengan luas lahan 0,5 - 1,0 hektar mencapai 30,2 persen sebanyak 11 orang dan > 1,0 hektar mencapai 11,1 persen sebanyak 4 orang. Luas lahan garapan dapat menunjukkan kondisi ekonomi petani. Semakin luas lahan garapan petani maka semakin besar hasil pertaniannya maka akan meningkatkan pendapatan keluarga. Luas lahan garapan cenderung sama dengan karakteristik total responden yaitu sebagian besar memiliki luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Berdasarkan Tabel 24, menunjukkan bahwa responden yang memiliki luas lahan kurang dari 0,5 hektar mencapai 21 orang jika dihitung dari total responden yang luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar mencapai 26 orang maka ternyata sebanyak 80,8 persen menyatakan bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Penggolongan petani responden menurut luas lahan garapan disajikan Tabel 24. Tabel 24. Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Luas Lahan Garapan ( ha ) < 0,5 0,5-1,0 > 1,0 Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 21 11 4 36
Persentase (%) 58,3 30,6 11,1 100
3. Pendapatan Bersih Usahatani Pendapatan bersih usahatani dapat menggambarkan kondisi perekonomian responden dimana semakin tinggi pendapatan yang menandakan bahwa kondisi
78
perekonomian keluarga baik. Namun berdasarkan Tabel 25 menggambarkan kondisi perekonomian responden merupakan ekonomi
bawah ditunjukkan
prosentase terbesar mencapai 19 orang dengan jumlah responden 52,8 persen. Sebagain besar responden berada pada ekonomi bawah. Penggolongan petani responden menurut pendapatan bersih usahatani disajikan Tabel 26. Tabel 25.Petani Responden Menurut Pendapatan Bersih Usahatani PendapatanBersih Usahatani <5.000.000 5.000.000-10.000.000 >10.000.000 Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 19 6 11 36
Persentase (%) 52,8 16,7 30,5 100
4. Frekuensi Kehadiran dalam Pertemuan P3A Responden yang bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi memiliki kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam mengikuti pertemuan P3A yang dilakukan tiga kali dalam satu tahun. Hal ini ditunjukkan prosentase terbesar mencapai 38,9 persen dengan 14 responden mengikuti tiga kali pertemuan P3A dalam satu tahun. Penggolongan responden
menurut peranserta dalam P3A
disajikan Tabel 26. Tabel 26. Petani Responden Menurut Frekuensi Kehadiran dalam Pertemuan P3A Kehadiran dalam pertemuan P3A 1 kali 2 kali 3 kali Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Jumlah Responden (orang) 10 12 14 36
Persentase (%) 27,8 33,3 38,9 100
79
7.2 Deskripsi Variabel Penelitian
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat WTP digunakan persamaan regresi dengan nilai tengah WTP dalam satu tahun sebagai variabel respon dengan tujuh variable penjelas yang terdiri dari lima variabel kontinyu dan dua variabel bersifat dummy. Hasil perhitungan statistik mengenai rata-rata, median, dan standar deviasi dari variable penjelas yang bersifat kontinyu disajikan pada Tabel 27 sebagai berikut : Tabel 27. Hasil Perhitungan Statistik Variabel Kontinyu Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi WTP. Variabel Mean Tingkat Pendidikan (tahun) 7,69 Luas Lahan Garapan (hektar) 0,45 Peran serta dalam P3A 2,11 Jumlah tanggungan keluarga(orang) 4,89 Pendapatan bersih usahatani (rupiah) 9.678.618.05 Jumlah responden :36 Sumber : Hasil Olahan Data Lapangan, 2006
Standar Deviasi 3,13 0,46 0,82 2,01 9.975.423.20
Perhitungan nilai tengah WTP (Y) diambil dari nilai tengah masingmasing kelas WTP dalam satu tahun yang dipilih responden yang bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi. Nilai tersebuta akan digunakan untuk peningkatan pelayanan irigasi. Interval nilai WTP yang dipilih petani pada musim tanam I nilai terendah yaitu Rp 110.000,00 (dengan nilai tengah kelas WTP = Rp 140.000,00) dan nilai tertinggi Rp 350.000,00 (dengan nilai tengah kelas WTP = Rp 320.000,00); pada musim tanam II, nilai terendah yaitu Rp 50.000,00(dengan nilai tengah kelas WTP = Rp 60.000,00) dan nilai tertinggi Rp 130.000,00(dengan nilai tengah kelas WTP = Rp 120.000,00); musim tanam III nilai terendah yaitu Rp 50.000,00(dengan nilai tengah kelas WTP = Rp 60.000,00) dan nilai tertinggi Rp 130.000,00(dengan nilai tengah kelas WTP = Rp 120.000,00).
80
Variabel kontinyu terdiri dari tingkat pendidikan dan luas lahan garapan dijelaskan berdasarkan Tabel 27 variabel tingkat pendidikan menunjukkan ratarata responden menempuh pendidikan selama 7,69 tahun, hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Dasar. Variabel luas lahan garapan menunjukkan rata-rata 0,45 hektar, hal ini menggambarkan luas lahan garapan responden masih sempit. Peranserta petani rata-rata menghadiri pertemuan dua kali dalam satu tahun. Jumlah tanggungan kelurga 4,89 orang menunjukkan bahwa responen cenderung memiliki jumlah anggota keluarga 4-5 orang, hal ini tidak terlalu banyak sehingga responden cenderung bersedia membayar iuran irigasi. Pendapatan bersih usahatani responden rata-rata mencapai Rp 9.678.618,05 dalam dua kali musim tanam. Mengenai deskripsi variabel penjelas yang bersifat dummy yaitu keadilan pembagian air (1 : cukup dan 0 : tidak cukup) dan pola tanam (1 : padi-bawang merah-bawang merah dan 0 : bukan) dijelaskan sebagai berikut : 1. Keadilan Pembagian Air Keadilan pembagian air cukup ditandai jika penyaluran alokasi air dari jaringan petak tersier dan kuarter sampai ke sawah petani sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tepat waktu. Berdasarkan Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan keadilan pembagian air tidak cukup adil mencapai 58,33 persen. Tabel 28. Variabel Penjelas Berdasarkan Keadilan Pembagian Air Keadilan Pemberian Air Cukup Tidak cukup Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Frekuensi (orang) 15 21 36
Persentase (%) 41,67 58,33 100
81
2. Pola Tanam Pola tanam yang dilakukan responden pada saat penelitian dalam satu tahun biasanya padi-bawang merah-bawang merah, namun kondisi air yang kurang dapat menyebabkan petani melakukan pola tanam yang berbeda atau melakukan pola tanam dua kali panen saja. Berdasarkan Tabel 29 menunjukkan bahwa sebagian besar petani menanam pola tanam padi-bawang merah-bawang merah pada saat penelitian berlangsung dengan jumlah 24 responden mencapai 66,66 persen. Tabel 29. Variabel Penjelas Berdasarkan Pola Tanam Pola tanam
Padi-bawang merah-bawang merah Selain Padi -bawang merah-bawang merah Jumlah Sumber : Data Primer, 2006
Frekuensi (orang) 24 12 36
Persentase (%) 66,66 33,33 100
7.3 Hasil Analisis Fungsi WTP
Model linear berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi. Tabel 30 menunjukkan hasil analisis fungsi WTP responden yang bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi denga nilai tengah WTP responden dalam satu tahun sebgai variabel respon. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Model yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh R2 yang diperoleh 63,4 persen yang berarti 63,4 persen keragaman WTP petani terhadap iuran pengelolaan irigasi dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat dalam model, sedangkan sisanya sebesar 36,6 persen diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam
82
model. Nilai Fhitung sebesar 6,932 dengan nilai-P sebesar 0,000 menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai WTP petani terhadap iuran pengelolaan irigasi pada α = 5 persen. Tabel 30. Hasil Analisis Fungsi WTP No 1. 2. 3. 4.
Parameter Notasi Koefisien Konstanta Intersep 11,287 Tingkat Pendidikan LP 0,116 Luas Lahan Garapan LHN -0,543 Frekuensi kehadiran FREK -0,251 dalam pertemuan P3A 5. Pola Tanam PL 0,217 6. Keadilan Pembagian Air KDL 0,089 7. Jumlah Tanggungan JTK 0,161 Keluarga 8. Pendapatan Bersih PBU 0,232 Usahatani S = 113135415 R-Sq = 63,4 % R-Sq(adj) = 54,3% Analysis of Variance Source DF F P Regression 7 6,932 0,000 Residual Error 28 Total 35 Ket : * = taraf nyata (α) 1 persen ** = taraf nyara (α) 10 persen *** = taraf nyara (α) 15 persen
P-Value 0,000 0,409 0,000* 0,078**
VIF
1,461 1,300 1,446
0,118*** 0,480 0,219
1,382 1,175 1,257
0,135***
1,742
Asumsi-asumsi dalam model regresi dengan data cross section telah dipenuhi model penelitian ini. Hal tersebut dapat dilihat pada plot antara sisaan dan nilai dugaannya yang menunjukkan plot sisaan tidak membentuk pola (Lampiran 2), sehingga asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Selain itu, pada nilai VIF antara 1,175 sampai 1,742 dimana nilai tersebut tidak lebih dari 10 sehingga model tersebut tidak terjadi multikolinearitas. Berdasarkan Tabel
30
menunjukkan dari ketujuh variabel penjelas dalam fungsi, empat variabel berpengaruh nyata terhadap besarnya WTP petani pada selang kepercayaan 99
83
persen, 90 persen dan 85 persen. Bentuk model persamaan regresi berganda sebagai berikut : ln midWTPi = 11,287 + 0,116ln LP − 0,543ln LHN − 0,251ln FREK + 0,217PL + 0,089KD + 0,161ln JTK + 0,232ln PBU + ei
Berdasarkan Tabel 30, variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap pilihan kesedian membayar iuran pengelolaan irigasi adalah: 1. Variabel luas lahan garapan Variabel luas lahan garapan berpengaruh nyata pada α = 1 persen dengan arah negatif yang berarti semakin luas lahan garapan maka tingkat WTPnya semakin kecil. Artinya setiap peningkatan luas lahan garapan satu persen maka tingkat WTP turun sebesar 0,543 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesa awal menyatakan bahwa semakin luas lahan garapan maka akan meningkatkan nilai WTPnya. Iuran pengelolaan irigasi digunakan untuk kesejahteraan petani untuk operasi dan pemeliharaan irigasi sehingga mendapatkan hasil panen yang meningkat. Namun kondisi yang sebenarnya menggambarkan bahwa petani yang memiliki lahan garapan luas cenderung mengabaikan adanya iuran irigasi.. Sebagian besar responden yang memiliki lahan garapan yang luas tidak menggantungkan sumber air untuk sawahnya dari air irigasi karena mereka merasakan selama ini air irigasi tidak lancar bahkan sering kekurangan air. Responden bahkan sering menggunakan pompa air untuk mengalirkan air tanah ke sawahnya pada musim tanam II dan musim tanam III meskipun biayanya mahal. Ketersediaan air tercukupi dengan menggunakan Air tanah yang diambil dari pompa air namun kandungan unsur hara air tanah dan air irigasi berbeda. Air
84
irigasi lebih dapat menyuburkan tanaman dibandingkan air tanah. Kurangnya air irigasi menyebabkan petani harus menggunakan pompa air. Oleh karena itu, responden menganggap pengelolaan irigasi tidak berfungsi dengan baik sehingga responden kurang peduli dengan iuran pengelolaan irigasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan garapan yang luas kurang memperhatikan dan menyadari tentang arti pentingnya iuran pengelolaan irigasi. 2. Variabel frekuensi kehadiran dalam pertemuan P3A Variabel peranserta petani dalam P3A berpengaruh nyata pada α = 10 persen dengan arah negatif yang berarti semakin aktif petani menghadiri pertemuan P3A maka petani cenderung memperkecil tingkat WTPnya. Dengan kata lain, jika kehadiran petani dalam pertemuan P3A bertambah satu persen maka tingkat WTPnya berkurang 0,251 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa semakin aktif petani dalam P3A maka semakin tinggi tingkat WTPnya karena mereka yang aktif akan lebih tahu kondisi yang sebenarnya. Pertemuan P3A biasanya tidak hanya membahas permasalahan tentang irigasi namun ada peran aktif pemeliharaan dan pembersihan jaringan irigasi. Berdasarkan wawancara, responden menganggap bahwa jika petani yang aktif dalam P3A terutama baik mengikuti pertemuan maupun kegiatan operasi dan pemeliharaan berarti mereka cenderung membayar iuran pengelolaan irigasi lebih kecil. Artinya petani menganggap waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk kegiatan pengelolaan irigasi terhitung sebagai pengganti iuran pengelolaan irigasi atau mengurangi iuran pengelolaan irigasi. Petani yang tidak aktif dalam P3A berarti harus berperan dalam pengelolaan irigasi dengan membayar iuran. Kondisi
85
ini menggambarkan masih kurangnya kesadaran akan arti pentingnya iuran pengelolaan irigasi. 3. Variabel pola tanam Variabel pola tanam berpengaruh nyata pada α = 15 persen dengan arah positif. Hal ini menggambarkan petani dengan pola tanam padi-bawang merahbawang merah bersedia membayar
iuran irigasi lebih besar daripada petani
dengan pola tanam selain padi-bawang merah-bawang merah. Artinya petani dengan pola tanam padi-bawang merah-bawang merah semakin bertambah tingkat WTP bertambah 0,217 persen. Kesimpulan ini sesuai dengan hipotesa awal menyatakan bahwa petani dengan pola tanam padi-bawang merah-bawang merah maka semakin tinggi nilai WTPnya. Petani mau membayar lebih tinggi nilai WTPnya agar ketersediaan air irigasi selalu ada mengalir ke sawah-sawah sehingga tidak mengalami kegagalan panen akibat kekurangan air. Petani dengan pola tanam padi-bawang merah-bawang merah lebih menyadari pentingnya air bagi tumbuhan dan lebih peduli terhadap kelangsungan dan kelancaraan pengelolaan irigasi karena dapat meningkatkan hasil produksi pertanian. 4. Pendapatan Bersih Usahatani Pendapatan Bersih Usahatani pada α = 15 persen dengan arah positif yang berarti semakin bertambah pendapatan bersih usahatani maka petani cenderung akan meningkatkan tingkat WTPnya. Dengan kata lain, jika pendapatan bersih usahatani bertambah satu persen maka tingkat WTPnya bertambah 0,232 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan bersih usahatani maka semakin tinggi tingkat WTP.
86
Variabel-variabel yang tidak berpengaruh nyata yaitu lama pendidikan, keadilan pembagian air dan jumlah tanggungan keluarga. Hipotesa awal lama pendidikan berpengaruh positif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat WTP, namun berdasarkan perhitungan dan analisis tidak mempengaruhi tingkat WTP. Hal ini disebabkan sebagian besar petani berpendidikan hanya sampai sekolah dasar dengan rata-rata lama pendidikan 7 tahun sehingga lama pendidikan responden tidak mempengaruhi WTP. Rata-rata pendidikan yang hanya lulusan SD menyebabkan pola pikir petani kurang menyadari pentingnya pemeliharaan irigasi. Variabel keadilan pembagian air tidak mempengaruhi tingkat WTP , hal ini disebabkan kondisi kuantitas air irigasi dari waduk yang semakin berkurang dengan adanya pendangkalan. Kondisi ini mengakibatkan aliran air irigasi tidak sampai mengalir ke sawah-sawah petani sedangkan sebagian besar petani membutuhkan air untuk mengairi sawahnya. Variabel ketiga yaitu jumlah tanggungan
keluarga
tidak
mempengaruhi
tingkat
WTP,
karena
pada
kenyataannya petani memiliki pekerjaan sampingan yang dapat menambah pendapatan keluarga. Pekerjaan sampingan keluarga menyebabkan pengeluaran tidak berpengaruh pada iuran.
87
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil analisis model logit menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi secara positif yaitu tingkat pendidikan dan status usahatani. Faktor yang perlu mendapat perhatian yang besar agar petani bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi adalah status usahatani. Hal ini ditunjukkan odd ratio sebesar 22,40 berarti petani dengan bertani sebagai pekerjaan pokok memiliki kecenderungan untuk bersedia membayar
iuran pengelolaan irigasi. Artinya bahwa petani dengan
bertani sebagai pekerjaan pokok akan memberikan kepastian 22,40 kali lebih besar untuk membayar iuran irigasi jika pelayanan irigasi yang mereka peroleh baik daripada petani dengan pola tanam lainnya. 2. Kesediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi untuk peningkatan pelayanan irigasi dilihat dari nilai dugaan rataan Willingness To Pay (EWTP) diatas iuran irigasi yang berlaku saat ini yaitu sebesar Rp 173.333,33 per hektar untuk musim tanam I, Rp 78.333,33 per hektar untuk musim tanam II, Rp 90.000,00 untuk musim tanam III dan total WTP dalam satu tahun senilai Rp 88.140.000,00. 3. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi secara positif yaitu pola tanam dan pendapatan bersih usahatani sedangkan
88
secara negatif yaitu luas lahan garapan dan peranserta petani dalam P3A. Faktor yang perlu diperhatikan agar petani mampu memaksimalkan nilai WTP terhadap peningkatan pelayanan irigasi adalah luas lahan garapan yang nilai koefisiennya negatif. Kondisi yang sebenarnya terjadi menggambarkan bahwa petani yang memiliki lahan garapan luas cenderung mengabaikan adanya iuran irigasi.. Sebagian besar responden yang memiliki lahan garapan yang luas tidak menggantungkan sumber air untuk sawahnya dari air irigasi karena mereka merasakan selama ini air irigasi tidak lancar bahkan sering kekurangan air. Responden bahkan sering menggunakan pompa air untuk mengalirkan air tanah ke sawahnya pada musim tanam II dan musim tanam III meskipun biayanya mahal. Oleh karena itu, responden
menganggap pengelolaan irigasi tidak
berfungsi dengan baik sehingga responden kurang peduli dengan iuran pengelolaan irigasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan garapan yang luas kurang memperhatikan dan menyadari tentang arti pentingnya iuran pengelolaan irigasi.
8.2 Saran
1. Perlunya kerjasama antara Pemerintah Daerah dan instansi yang terkait serta petani dalam memperhatikan pengelolaan jaringan irigasi sehingga dapat berfungsi dengan baik dalam pendistribusian air yang dibutuhkan petani. Melihat kondisi saat ini diperlukan kerjasama dalam hal pembiayaan pemeliharaan jaringan irigasi yang semakin lama semakin besar. Penambahan dana APBD pembiayaan jaringan irigasi dan iuran dari petani sangat
89
diperlukan untuk memperbaiki jaringan irigasi. Mengingat pemeliharaan jaringan irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani maka perlu ditingkatkan kesadaran akan pentingnya iuran pengelolaan irigasi bagi petani. Selain itu, adanya kerja sama antara Dinas Pekerjaan Umum sub bidang pengairan, Dinas Pertanian, Unit Pelaksana Teknis Daerah dan petani untuk mensosialisakan pentingnya irigasi sehingga dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya jaringan irigasi bagi pertanian. 2. Perlunya ada penelitian lebih jauh bagi Dinas Pekerjaan Umum sub bidang pengairan dan Unit Pelaksana Teknis Daerah untuk mengetahui kondisi jaringan irigasi yang sebenarnya di lapangan. Salah satu penyebab pendistribusian air tidak lancar karena ketersediaan air dari bendungan yang semakin berkurang. Hal ini disebabkan adanya pendangkalan bendungan oleh lumpur, oleh karena itu diperlukan langkah kongkret dengan melakukan pengurasan
bendungan
untuk
membuang
lumpur
tersebut
dan
memperbaikinya sehingga dapat menampung volume air yang lebih banyak. 3. Perlunya tinjauan lebih lanjut yang membandingkan kesediaan membayar di daerah irigasi hulu, tengah, primer dengan melihat distribusi pembagian air yang merata atau tidak. Peneliti selanjutnya diharapkan menambahkan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan petani
membayar
iuran
pengelolaan
irigasi
dan
faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai WTP seperti jarak antara saluran air irigasi tersier dengan sawah petani, pendapatan non usahatani, pengeluaran keluarga, pengalaman usahatani, status kepemilikan lahan, dan produktifitas lahan.
90
DAFTAR PUSTAKA
Aji, E. R. 2005. Analisis Willingness To Pay Petani Terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi Studi Kasus Di Daerah Irigasi Colo Barat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Andriyani, 2002. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Petani dalam Membayar IPAIR Studi Kasus Daerah Irigasi Buceuranna, Kabupaten Sidrap, Propinsi Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Atmanto, Sudar. D. 1997. Membangun Irigasi Bersama Petani: Pengalaman LP3ES. PSDAL-LP3ES. Jakarta. Ayu,E. R. 2004. Willingness To Pay Masyarakat terhadap Perbaikan Ekosistem Hutan Mangrove Angke Jakarta Utara melalui Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dengan Analisis Regresi Logit. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik, 2004. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2004. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta. Hanley, Nick dan Spash, C. L. 1 993. Cost-Benefit Analysis and The Environment. Edward Elgar Publishing Limited. Hants-England. Hosmer,D.W. dan S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. New York : John Wiley & Sons Inc. Khoiriyati, Rohmi. 2002. Analisis Kesediaan Membayar (Willingness To Pay) Secara Pra Upaya Terhadap Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Di Kabupaten Lombok Barat. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kodoatie, R. J. dan Basoeki, M. 2005. Kajian Undang-Undang Sumber Daya Air. Andi. Yogyakarta. Kodoatie, Robert. J dan Sjarief, Roestam. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi. Yogyakarta. Kurnia, Ganjar. 1995. Prosiding Hemat Air Irigasi Kebijakan, Teknik, Pengelolaan, dan Sosial Budaya. Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia(JKII). Pusat Dinamika Pembangunan. Universitas Padjadjaran. Bandung.
91
Kurnia, Ganjar. Renyasih Judawinata dan Soenarno. 1999. Kemandirian Perkumpulan pemakai Air , Re-orientasi Kebijakan Pengairan dalam mendukung Pengembangan Agribisnis : Prosiding Lokakarya Kebijkaan Pengairan Mendukung Pengembangan Agribisnis. Biro Pengairan dan irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Bogor. hal 73- 91. Leniarsih,1996. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan dan Kemauan Petani Membayar IPAIR Studi Kasus Daerah Irigasi Rentang, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Notoadmojo, B. 1991. Operasi dan Pengelolaan Irigasi yang Efisien : Hubungannya dengan Kebijaksanaan Produksi Pertanian. Effendi Pasandaran (editor). Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta Nuryantoro, Nunung. 1998. Keragaan Sistem Irigasi dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Petani Membayar IPAIR Studi Kasus Wilayah Tasum Timur, Kabupaten Subang. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pasandaran, Effendi. 2005. Reformasi Irigasi dalam Kerangka Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor, 31 Agustus. Pasandaran, E (ed). 1991. Irigasi di Indonesia : Strategi dan Pengembangan. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi, dan Sosial(LP3ES). Jakarta. Pusposutardjo, Suprodjo. 2001. Pengembangan Irigasi, Usahatani Berkelanjutan dan Gerakan Hemat Air. Direktorat Jendral pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan nasional. Yogyakarta. Ramanathan,R. 1997. Introductory Econometrics with Applications. Philadelpia :The Dryden Press. Wahyuni, E. S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
92
LAMPIRAN
93
HASIL ANALISIS KESEDIAAN ATAU KETIDAKSEDIAAN PETANI TERHADAP IURAN AN IRIGASI Binary Logistic Regression: Y versus U, JTK, LP, FREK, KDL, STS, PBU Link Function: Logit Response Information Variable Value Count Y 1 36 (Event) 0 7 Total 43 Logistic Regression Table Predictor Coef SE Coef Upper Constant -17.4620 11.7648 U 0.139943 0.118629 1.45 JTK 0.271393 0.428781 3.04 LP 1.09864 0.790456 14.12 FREK 1.69638 1.45742 94.91 KDL 1 19.6782 6318.24 * STS 1 3.10885 2.29213 2001.04 PBU 0.0000000 0.0000000 1.00
Z
P
Odds Ratio
Lower
-1.48 1.18
0.138 0.238
1.15
0.91
0.63
0.527
1.31
0.57
1.39
0.165
3.00
0.64
1.16
0.244
5.45
0.31
0.00
0.998
3.51681E+08
0.00
1.36
0.175
22.40
0.25
0.47
0.636
1.00
1.00
Log-Likelihood = -8.100 Test that all slopes are zero: G = 22.007, DF = 7, P-Value = 0.003 Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 15.3643 16.2000 2.6304
DF 35 35 8
P 0.998 0.997 0.955
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
1 0.7
1 1.8
4 3.1
4 4.5
4 4.0
3 3.3 4
3 2.2 4
0 0.9 4
1 0.5 5
0 0.0 4
7
8
9
10
Total
4 4.0
5 5.0
4 4.0
4 4.0
5 5.0
36
0 0.0 4
0 0.0 5
0 0.0 4
0 0.0 4
0 0.0 5
7
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 238 14 0 252
Percent 94.4 5.6 0.0 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.89 0.89 0.25
43
94
HASIL ANALISIS WTP PETANI TERHADAP PENINGKATAN PELAYANAN IRIGASI Descriptive Statistics Mean 12.88118 1.963254 -1.22303 .65828717 .66666667 .41666667 1.495635 16.91907
midwtp LP LHN FREK PL KDL JTK PBU
Std. Deviation .167288559 .398677795 .950319573 .449202772 .478091444 .500000000 .450369938 .509356354
N 36 36 36 36 36 36 36 36 Correlations
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
midwtp LP LHN FREK PL KDL JTK PBU midwtp LP LHN FREK PL KDL JTK PBU midwtp LP LHN FREK PL KDL JTK PBU
midwtp 1.000 .037 -.659 -.462 .157 -.017 .010 .524 . .415 .000 .002 .181 .461 .477 .001 36 36 36 36 36 36 36 36
LP .037 1.000 .138 .234 .440 .227 -.200 -.122 .415 . .211 .084 .004 .091 .121 .240 36 36 36 36 36 36 36 36
Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered PBU, PL, KDL, JTK, LHN, a FREK, LP
Variables Removed
Method .
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: midwtp
Enter
LHN -.659 .138 1.000 .295 .100 .043 .121 -.446 .000 .211 . .040 .280 .402 .240 .003 36 36 36 36 36 36 36 36
FREK -.462 .234 .295 1.000 .151 .163 -.139 -.442 .002 .084 .040 . .189 .171 .209 .004 36 36 36 36 36 36 36 36
PL .157 .440 .100 .151 1.000 -.120 -.171 .085 .181 .004 .280 .189 . .244 .159 .311 36 36 36 36 36 36 36 36
KDL -.017 .227 .043 .163 -.120 1.000 .064 -.224 .461 .091 .402 .171 .244 . .356 .095 36 36 36 36 36 36 36 36
JTK .010 -.200 .121 -.139 -.171 .064 1.000 -.282 .477 .121 .240 .209 .159 .356 . .048 36 36 36 36 36 36 36 36
PBU .524 -.122 -.446 -.442 .085 -.224 -.282 1.000 .001 .240 .003 .004 .311 .095 .048 . 36 36 36 36 36 36 36 36
95
b Model Summary
Model 1
R .796a
Change Statistics Adjusted Std. Error of R Square R Square R Square the Estimate Change F Change df1 df2 Sig. F Change .634 .543 .113135415 .634 6.932 7 28 .000
DurbinWatson 2.250
a. Predictors: (Constant), PBU, PL, KDL, JTK, LHN, FREK, LP b. Dependent Variable: midwtp
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .621 .358 .979
df 7 28 35
Mean Square .089 .013
F 6.932
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), PBU, PL, KDL, JTK, LHN, FREK, LP b. Dependent Variable: midwtp
a Coefficients
Unstandardizedtandardize Coefficients Coefficients Mode B Std. Erro Beta t 1 (Consta 11.287 .887 12.729 LP .049 .058 .116 .838 LHN -.096 .023 -.543 -4.165 FREK -.094 .051 -.251 -1.827 PL .076 .047 .217 1.612 KDL .030 .041 .089 .715 JTK .060 .048 .161 1.258 PBU .076 .050 .232 1.539 a.Dependent Variable: midwtp
Confidence Interval Correlations llinearity Statist Sig. ower Bounpper Bounero-ordePartial Part Tolerance VIF .000 9.471 13.104 .409 -.070 .167 .037 .156 .096 .684 1.461 .000 -.143 -.049 -.659 -.618 -.476 .769 1.300 .078 -.198 .011 -.462 -.326 -.209 .691 1.446 .118 -.021 .172 .157 .291 .184 .724 1.382 .480 -.055 .115 -.017 .134 .082 .851 1.175 .219 -.038 .157 .010 .231 .144 .796 1.257 .135 -.025 .178 .524 .279 .176 .574 1.742
96
a Coefficient Correlations
Model 1 Correlations PBU PL KDL JTK LHN FREK LP Covariances PBU PL KDL JTK LHN FREK LP
PBU PL KDL JTK LHN 1.000 -.174 .110 .336 .345 -.174 1.000 .225 .003 -.095 .110 .225 1.000 -.068 .071 .336 .003 -.068 1.000 -.056 .345 -.095 .071 -.056 1.000 .417 -.132 -.088 .274 -.106 .105 -.453 -.287 .186 -.044 .002 .000 .000 .001 .000 .000 .002 .000 6.10E-006 .000 .000 .000 .002 .000 6.71E-005 .001 6.10E-006 .000 .002 -6.1E-005 .000 .000 6.71E-005 -6.1E-005 .001 .001 .000 .000 .001 .000 .000 -.001 -.001 .001 -5.9E-005
FREK LP .417 .105 -.132 -.453 -.088 -.287 .274 .186 -.106 -.044 1.000 -.039 -.039 1.000 .001 .000 .000 -.001 .000 -.001 .001 .001 .000 -5.9E-005 .003 .000 .000 .003
a. Dependent Variable: midwtp
a Collinearity Diagnostics
Condition Mode Dimensio Eigenvalue Index Constant) 1 1 6.434 1.000 .00 2 .580 3.332 .00 3 .465 3.721 .00 4 .250 5.071 .00 5 .200 5.672 .00 6 .054 10.939 .00 7 .017 19.422 .00 8 .000 163.769 .99 a.Dependent Variable: midwtp
LP .00 .00 .00 .00 .00 .14 .82 .03
Variance Proportions LHN FREK PL KDL .00 .00 .00 .01 .04 .01 .04 .68 .33 .11 .09 .03 .00 .22 .55 .18 .35 .38 .02 .00 .10 .09 .19 .01 .07 .00 .08 .08 .10 .19 .03 .01
JTK .00 .00 .00 .01 .09 .56 .18 .15
PBU .00 .00 .00 .00 .00 .00 .01 .99
97
Residuals Statisticsa Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value
Minimum 12.66108 -1.652
Maximum 13.17692 2.220
Mean 12.88118 .000
Std. Deviation .133213229 1.000
N
.041
.073
.053
.007
36
12.58241 ******** -1.638 -1.882 ******** -1.977 3.704 .000 .106
13.15432 ******** 1.855 2.095 ******** 2.240 13.684 .251 .391
12.88212 ******** .000 -.004 ******** -.002 6.806 .041 .194
.139433879 .101191392 .894 1.023 .133037784 1.049 2.283 .054 .065
36 36 36 36 36 36 36 36 36
36 36
a. Dependent Variable: midwtp
Scatterplot
Dependent Variable: midwtp
Regression Studentized Residual
3
2
1
0
-1
-2 -2
-1
0
1
Regression Standardized Predicted Value
2
3
98
KUISIONER
ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PETANI TERHADAP PENINGKATAN PELAYANAN IRIGASI Di Daerah Irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
Oleh : RATNA YANTI JUWITA A14302018
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
99
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan studi “Analisis Willingness to Pay Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi Studi Kasus di Daerah Irigasi Pemali Bawah, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah” oleh Ratna Yanti Juwita, NRP A14302018. Mahasiswa Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006.
A. KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN
1. Nama
:
2. Jenis Kelamin
:
L/ P
3. Umur
:
tahun
4. Status Pernikahan
: Sudah/ Belum menikah (lingkari yang sesuai)
5. Jumlah Tanggungan Keluarga :
orang
6. Pendidikan formal terakhir : a. Tidak sekolah b. SD atau sederajat c. SLTP atau sederajat d. SLTA atau sederajat e. Perguruan tinggi/akademik atau sederajat 7. Pekerjaan usahatani atau sebagai petani merupakan : * a. Mata pencaharian utama b. Mata pencaharian sampingan/ tambahan (*: Bila jawaban a, maka pekerjaan sampingan yaitu …………………………… Bila jawaban b, maka pekerjaan utama yaitu ……………………………….. Besarnya pendapatan pekerjaan utama yaitu ..................................................) Besarnya pendapatan pekerjaan sampingan yaitu............................................)
100
B. PENDAPAT RESPONDEN TENTANG KONDISI JARINGAN IRIGASI DI DAERAH PEMALI BAWAH Kartu 1 Daerah Irigasi Pemali Bawah merupakan daerah yang mendapatkan aliran air irigasi yang berasal dari Bendungan Notog yang dialirkan melalui saluran primer kemudian sekunder. Saluran sekunder yang airnya digunakan di desa Klampok adalah saluran sekunder Sw 15, 16, 17 yang mengalirkan airnya melalui saluran tersier B.Sw 15,16kr, B Sw. 17krt, 17knt Blok II dan saluran 9. Sudah berapa lama Saudara menjadi anggota kelompok P3A ? kuarter. Kondisi saat ini mengalami penurunan kualitas jaringan irigasi ……………………bulan/ (* coret yanglumpur, tidak perlu) disebabkan oleh tanggul tahun yang *rusak, dangkalnya keterbatasan kesediaan air di bendungan Notog, kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi karena keterbatasan dana yang ada di P3A dan Pemerintah daerah serta kurangnya parisipasi pemanfaat air akan pemeliharaan irigasi. Keterbatasan air ini disebabkan oleh kurangnya daya serap tanah pada musim penghujan yang disebabkan semakin banyaknya pohon di hutan yang ditebang. Selain itu, petani yang dekat dengan sumber air atau daerah hulu cenderung menggunakan air lebih dari cukup sedangkan daerah hilir terkadang tidak mendapatkan air.
1. Apakah Saudara tahu manfaat air irigasi ? a. Ya (lanjut no 2)
b. Tidak (lanjut no 3)
2. Apa manfaat air irigasi yang saudara ketahui? (jawaban boleh lebih dari 1) a. menyediakan kebutuhan air untuk mengairi sawah b. menjamin keberhasilan produksi tanaman dalam menghadapi kekeringan jangka pendek c. mengurangi bahaya kekeringan d.
mencuci atau melarutkan garam dalam tanah
e. Lain-lain, ....................................................................................................... 3. Mengapa Saudara menjadi anggota kelompok P3A? (Jawaban boleh lebih dari 1) : a. Mudah mendapatkan pelayanan khususnya dalam pembagian air . b. Agar dapat secara aktif berpartisipasi dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. c. Mempererat hubungan antar sesama petani pemakai air melalui wadah organisasi P3A. d. Agar dapat mengawasi jalannya perkumpulan e. Lainnya, sebutkan ………………………………………………………
101
4. Bagaimana bentuk keterlibatan Saudara dalam pengelolaan irigasi Desa Klampok?(jawaban boleh lebih dari 1) a. Ikut dalam operasi dan pemeliharaan irigasi. b. Ikut dalam perbaikan jaringan irigasi yang rusak. c. Ikut dalam membayar iuran irigasi d. Ikut dalam pertemuan rutin P3A. e. Lain-lain, ............................................................................................. 5. Apakah Saudara ikut berpartisipasi aktif dan bergabung dalam melakukan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi? a. Aktif
b. Tidak aktif
6. Apakah Saudara pernah mengikuti pertemuan/kegiatan rutin yang diadakan oleh P3A? a. Pernah
b. Tidak pernah
7. Berapa kali Saudara mengikuti pertemuan/kegiatan rutin yang diadakan oleh P3A dalam 1 tahun?.....................kali. 8. Apakah P3A Dharma Tirta dimana Saudara bergabung telah melakukan upayaupaya perbaikan irigasi? a. Sudah.
b. Belum
9. Apa yang telah dilakukan oleh P3A selama ini? a. mengelola pembagian air. b. memperbaiki kerusakan jaringan irigasi. c. memelihara jaringan irigasi. d. menarik iuran irigasi. e lain-lain,............................................................................................................ 10. Apakah saudara tahu tentang iuran pengelolaan irigasi berupa iuran anggota? a. tahu
b. tidak tahu
11. Apa tujuan iuran pengelolaan irigasi? a. untuk biaya administrasi. b.untuk biaya operasi dan pemeliharaan. c. untuk upah pekaten ulu-ulu d. untuk upah pengurus e.lain-lain.............................................................................................................
102
12. Apakah saudara tahu berapa besar iuran pengelolaan irigasi? a. tahu
b. tidak tahu
13. Apakah Saudara membayar iuran pengelolaan irigasi tahun 2006? a. Ya
b. Tidak
14. Berapa besarnya iuran yang Saudara bayar pada tahun 2006 ini? ................................................................................................................ 15. Apakah jumlah dan waktu pemberian air ke sawah Saudara sudah cukup dengan kebutuhan tanaman ? a. ya
b.tidak
16. Bila belum cukup, pada musim tanam (MT) keberapa kebutuhan air untuk tanaman dirasakan belum cukup ? a. MT I
b.MT II
c. MT III
17. Siapa yang mengatur pengaliran air ke petak sawah Saudara ? …………………………………………………………………………….
C. INFORMASI TENTANG KESEDIAAN MEMBAYAR (WTP) PETANI Kartu 2 Rehabilitasi jaringan irigasi memperlancar alokasi air sehingga kebutuhan dan kesediaan air sesuai dengan jumlah dan waktu yang tepat . Hal ini dapat meningkatkan produksi pertanian yang juga akan meningkatkan pendapatan bagi petani. Jika pemerintah melakukan kebijakan untuk merehabilitasi dan menormalisasi bendungan Notog yang semakin dangkal serta melakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi primer, sekunder, tersier sehingga dapat meningkatkan dan memperlancar ketersediaan air irigasi. Namun pemerintah menyerahkan tanggungjawab operasi dan pemeliharaan jaringan tersier kepada petani dalam wadah P3A. Hal ini disebabkan terbatasnya dana yang tersedia dan sesuai dengan UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bahwa penanggungjawab operasi dan pemeliharaan irigasi tersier adalah petani . Oleh karena itu, perlu adanya penetapan iuran yang ditarik untuk biaya operasi dan pemeliharaan jaringan tersier serta peran aktif petani secara langsung dalam operasi dan pemeliharaan saluran iriagsi agar kondisi saluran tersier tetap baik dan distribusi air lancar. Jika ketersediaan air memenuhi kebutuhan tanaman maka dapat mencegah terjadinya kekeringan dan meningkatkan pendapatan petani.
18. Apakah Saudara setuju jika petani pemakai air melakukan pemeliharaan jaringan irigasi baik pada saluran primer, sekunder, tersier, kuarter? a. setuju
b. tidak setuju
103
19. Jika Saudara tidak setuju, apa alasannya?(jawaban boleh lebih dari 1) a. karena hasilnya tidak dirasakan langsung oleh saya. b. tidak meningkatkan penghasilan yang besar c. dalam pelaksanaannya tidak melibatkan petani. d. karena pemeliharaan irigasi sebenarnya tugas dari pemerintah. e. lain-lain......................................................................................................... 20.Apakah anda bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi untuk pemeliharaan jaringan irigasi tersier? a. Ya
b. Tidak
21. Apakah alasan Saudara setuju dengan penarikan iuran? a. Karena sudah kewajiban sebgai petani pemakai air. b. Keterbatasan dana dari pemerintah. c. Perlunya biaya untuk pemeliharaan jaringan sehingga dapat berfungsi dengan baik. d. Agar distribusi air lancar sehingga meningkatkan produksi pertanian. e lain-lain,............................................................................................................ 22.Apakah alasan saudara tidak setuju dengan penarikan iuran? a. Sudah menjadi kewajiban pemerintah mengalokasikan dana untuk irigasi. b. Karena tingkat pelayanan yang ada kurang baik c. kurangnya koordinasi yang baik antar pemerintah dan paetani. d. karena hasilnya tidak dirasakan langsung oleh petani. e. lain-lain,........................................................................................................... 23. Jika Saudara bersedia membayar iuran irigasi ,berapa besarnya iuran maksimal yang mampu saudara bayar?(Iuran pengelolaan irigasi per hektar) * MT I (ditambah IPAIR Rp 10.000,00 ) : a. Rp 110.000,00 – Rp 170.000,00 b. Rp 170.000,00 – Rp 230.000,00 c. Rp 230.000,00 – Rp 290.000,00 d. Rp 290.000,00 – Rp 350.000,00 * MT II : a. Rp 50.000,00 – Rp 70.000,00 b. Rp 70.000,00 – Rp 90.000,00 c. Rp 90.000,00 – Rp110.000,00 d. Rp 110.000,00 – Rp 130.000,00
104
* MT III : a. . Rp 50.000,00 – Rp 70.000,00 b. Rp 70.000,00 – Rp 90.000,00 c. Rp 90.000,00 – Rp110.000,00 d. Rp 110.000,00 – Rp 130.000,00 D. KERAGAAN USAHATANI
24. Berapa luas lahan garapan usahatani Saudara? ……………hektar 25. Status lahan garapan usahatani Saudara ? a. Milik sendiri b. Menyewa c. Menyakap 26. Pola tanam yang dilakukan pada tahun 2006: Musim tanam I :…………….
Musim tanam II:…………….
PRODUKSI TAHUN 2006 Masa Tanam
Luas Lahan
Produksi/
(ha)
Panen (kg)
Harga Satuan
Total
MT I MT II PENGELUARAN TAHUN 2006 Jenis Input
1. Benih/ bibit 2. Pupuk a. Urea b. TSP c. KCL d. NPK e. ZA f. lainnya,…….. 3. Obat-obatan
MT I
MT II
Jumlah Harga
Total
Jumlah
Harga
Total
(kg)
(Rp)
(kg)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
105
a. Pestisida 1) Insektisida a) Padat b) Cair b. Herbisida 4. Tenaga kerja 5. Pajak lahan 6.Penyusutan alat 7. Sewa lahan 8.Iuran irigasi 9. dan lain-lain Total
TERIMAKASIH
106
BAGAN SUSUNAN ORGANISASI P3A DARMA TIRTA
Rapat Anggota
Ketua P3A Wakil Ketua
Bendahara
PENGURUS
Sekretaris
Pelaksana Teknis
Ketua Blok
Ketua Blok
Anggota Petani Pemakai Air
Ketua Blok
107
108
109
110