i
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN, RENCANA TATA RUANG WILAYAH DAN IMPLIKASINYA BAGI PELAKSANAAN INISIATIF REDD+ DI KABUPATEN KATINGAN, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
NUGROHO ADI UTOMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Nugroho Adi Utomo NIM A156110111
iii
RINGKASAN NUGROHO ADI UTOMO. Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh SANTUN R. P. SITORUS dan IDA AJU PRADNJA RESOSUDARMO. Fenomena Perubahan Iklim yang terjadi saat ini kebanyakan diakibatkan oleh emisi CO2 dari kegiatan industri dan berkurangnya luasan hutan. Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah melalui pendekatan REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus) yang merupakan upaya untuk menurunkan emisi dengan menghindari deforestasi dan degradasi hutan. Menurut CIFOR (2010), ide REDD+ ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan. Kabupaten Katingan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang saat ini ditunjuk sebagai provinsi pilot percontohan REDD+. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan merupakan kebijakan payung dalam penataan ruang di tingkat Kabupaten untuk pembangunan daerah. Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan diharapkan dapat sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), di tengah permasalahan berupa menurunnya luasan hutan dan bertambahnya luasan lahan produksi pertanian (padi, karet dan kelapa sawit), serta belum tuntasnya RTRW. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain di Kabupaten Katingan; (2) Menganalisis inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan pengalokasian ruang pada RTRW dan Kawasan Hutan; (3) Menganalisis isi kebijakan perencanaan tata ruang yang mendukung inisiatif REDD+; (4) Menganalisis pendapat stakeholder atas munculnya inisiatif REDD+; (5) Merumuskan arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan. Analisis data yang digunakan adalah : analisis perubahan penggunaan lahan, analisis inkonsistensi penggunaan lahan, analisis isi, analisis hirarki proses (AHP), dan analisis deskriptif. Analisis perubahan penggunaan lahan digunakan untuk mengetahui trend perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan, khususnya perubahan penggunaan lahan hutan. Analisis inkonsitensi penggunaan lahan dilakukan untuk melihat konsistensi penggunaan lahan tahun 2012 dengan RTRW dan juga kawasan hutan. Dua analisis lainnya, Analisis isi dan AHP, digunakan untuk melihat elemen dasar dan proses REDD+ dalam dokumen kebijakan rencana pembangunan Kabupaten dan preferensi stakeholder akan keberlanjutan inisiatif REDD+. Analisis yang terakhir adalah analisis deskriptif, digunakan untuk menganalisis hasil dari tujuan penelitian 1 – 4 sebagai arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan untuk keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan hutan merupakan yang dominan di Kabupaten Katingan, sebesar 60,47% (1.242.554 ha). Pola perubahan penggunaan lahan hutan yang terjadi umumnya dari hutan menjadi semak belukar/tanah terbuka kemudian terakhir berubah menjadi penggunaan lahan tanaman tahunan/perkebunan, pertanian pangan dan pemukiman. Analisis
inkonsistensi penggunaan lahan menunjukkan tingkat inkonsistensi yang relatif kecil, hanya 3,2 % dari pengalokasian ruang pada RTRW dan 2 % di kawasan hutan. Hasil analisis isi menunjukkan elemen dasar dan proses REDD+ terkandung dalam dokumen perencanaan daerah. Dalam dokumen RTRW, secara berurutan muatan elemen dasar dan proses REDD+ terbesar pada elemen manfaat tambahan, reduksi emisi dan ekuitas. Sementara dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) secara berurutan muatan elemen dasar dan proses REDD+ terbesar pada elemen manfaat tambahan, ekuitas dan reduksi emisi. Preferensi stakeholder (pemerintah daerah, pemerintah pusat, LSM, perusahaan dan masyarakat) menunjukkan ketertarikannya akan inisiatif REDD+ dengan harapan bisa memperoleh manfaat langsung, disamping pertimbangan manfaat tidak langsung, dan kekhawatiran kemungkinan potensi konflik yang akan muncul. Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, inisiatif REDD+ sangat mungkin dilaksanakan di Kabupaten Katingan dengan beberapa penyempurnaan pada wilayah rencana tata ruang wilayah. Arahan dalam penyempurnaan rencana tata ruang adalah alokasi ruang untuk inisiatif REDD+ sebaiknya direncanakan pada kawasan lindung, dan sebagian kawasan budidaya (pada kawasan Hutan Produksi dan kawasan Hutan Produksi Terbatas).
Kata kunci: Penggunaan Lahan, Tata Ruang, Preferensi stakeholder, REDD+, Katingan
v
SUMMARY NUGROHO ADI UTOMO. Land Use Change, Regional Spatial Plan and Its Implication for Implementation of REDD+ Initiative at Katingan District, Central Kalimantan Province. Under direction of SANTUN R. P. SITORUS and IDA AJU PRADNJA RESOSUDARMO. The phenomenon of climate change that occurs today mostly caused by CO2 emissions from industrial activities and forest loss. One of climate change mitigation is through REDD+ approach (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus). According to CIFOR (2010), the idea of REDD+ is different from the previous forest conservation activities as directly linked with financial incentives for conservation aimed at storing carbon in forests. Katingan is one of the districts in the province of Central Kalimantan is currently designated as a REDD+ pilot project provinces. REDD+ initiatives in Katingan should go hand in hand with the Regional Spatial Plan (RTRW) which is a fundamental policy of regional development at district level, while facing the problems include forest area decreased and land area of agricultural production increased (rice, rubber and palm oil), as well as unfinished of RTRW. This study aims: (1) to analyze the pattern of changes in the land use of forest to other land uses in Katingan, (2) to analyze inconsistencies with existing land use with space allocation on RTRW and Forest Area, (3) to analyze the contents of spatial plan policies that support the initiative REDD+, (4) to analyze the opinion of stakeholders on the emergence of REDD+ initiatives; (5) to formulate improvement direction of Katingan’s RTRW. Analysis of the data used are: analysis of land use changes, land use inconsistency analysis, content analysis, analytical hierarchy process (AHP), and descriptive analysis, respectively, analysis of land use changes are used to determine the trend of the development of land use in particular Katingan forest land use. Inconsistency analysis of land use change is made to see the consistency of land use in 2012 with RTRW and forests status. Two other analysis, content analysis and AHP, are used to look at basic element and process of REDD+ in district development plan policy documents and stakeholder preferences for sustainability of REDD+ initiatives. The last analysis is descriptive analysis, is used to analyze the results of the research objectives 1 – 4 as Katingan improvement direction of Katingan’s RTRW for the sustainability of REDD+ initiatives in Katingan. The study result shows a forest land use is dominant in Katingan, amounting to 60.47% (1,242,554 ha). Forest land use change patterns that generally occur were from forest to shrub/open land and finally turned into land use of annual crops/plantation, food dryland agriculture and settlement. Analysis of land use inconsistencies indicate a relatively small level of inconsistency, only 3,2 % in the RTRW and 2% in the forest status. The results of the content analysis showed the basic element and process REDD+ contained within the local planning documents. In RTRW documents, sequentially the biggest basic element and process REDD+ are co-benefit, emission reduction and equity, while in the document of Long Term Regional Development Plan (RPJPD), sequentially the biggest basic element and process
REDD+ are co-benefit, equity and emission reduction. The preferences of stakeholders (local government, central government, NGOs, companies and communities) showed interest in the REDD+ initiative in the hope of direct benefit, in addition to consideration of indirect benefits and possible worries of potential conflicts that will arise. Based on the overall study results, it is possible REDD+ initiatives implemented in Katingan with some improvements in Katingan District spatial plan. Directives consideration improvements of RTRW are the allocation of space for REDD+ initiatives should be planned on a protected area and litle piece of productive area (Production Forests area and Limited Production Forests area). Keywords: Land Use, Spatial Plan, Stakeholder Preferences, REDD+, Katingan
vii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN, RENCANA TATA RUANG WILAYAH DAN IMPLIKASINYA BAGI PELAKSANAAN INISIATIF REDD+ DI KABUPATEN KATINGAN, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
NUGROHO ADI UTOMO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F.
iii
Judul Tesis : Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah Nama : Nugroho Adi Utomo NIM : A156110111
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ida Aju Pradnja Resosudarmo Anggota
Prof Dr Ir Santun R. P. Sitorus Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Prof Dr Ir Santun R. P. Sitorus
Tanggal Ujian: 30 Juli 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian Lapang yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai Maret 2013 ini mengambil isu tata ruang di kabupaten yang dikaitkan dengan REDD+. Adapun judul tesisnya adalah mengenai Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ida Aju Pradnja Resosudarmo selaku anggota komisi pembimbing atas segala dukungan dan motivasi tiada henti, arahan, serta bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini. 3. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F. selaku penguji luar komisi atas segala masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 5. Dr. William Sunderlin, selaku Project Leader dari Global Comparative Study on REDD+ (GCS-REDD) Module 2 yang telah memberikan dukungan finansial bagi kegiatan pengumpulan data di lapangan. 6. Pihak Manajemen CIFOR yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti studi pasca sarjana ini. 7. Marco, Aries dan Siraz atas kesediaannya menjadi rekan diskusi untuk mencari inspirasi-inspirasi baru dalam penelitian. 8. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun reguler angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini. Rasa bangga, gembira dan haru bersamaan dengan ucapan terima kasih sangat spesial teruntuk isteriku tercinta Yanti Rismayanti, SHut dan putra-putraku Dzaky Abiyyu Thariq dan Ali Hakim beserta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan tanpa kenal lelah yang telah diberikan selama ini. Innallaha ma’asshabiriin. Semoga pengalaman berharga ini menjadi isi sekaligus pembungkus kado yang indah di akhirat kelak. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Terimaksih.
Bogor, Agustus 2013 Nugroho Adi Utomo
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 5 5 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Penataan Ruang 2.3 Perubahan Iklim dan REDD+ 2.4 Elemen Dasar, Proses dan Prinsip Implementasi REDD+ 2.5 Indikator Harapan dan Kekhawatiran REDD+ 2.6 Preferensi dan Persepsi Para Pihak
7 7 9 13 16 17 18
3 METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis Data dan Alat 3.3 Metode Pengumpulan Data 3.4 Metode Analisis Data
19 20 21 22 23
4 GAMBARAN UMUM DAN PERENCANAAN WILAYAH KABUPATEN KATINGAN 31 4.1 Administrasi dan Karakteristik Fisik Wilayah 31 4.2 Aktivitas Perekonomian Daerah 35 4.3 Kebijakan Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang 40 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan 5.2 Inkonsistensi RTRW Kabupaten dan Penunjukkan Kawasan Hutan Kabupaten Katingan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012 5.3 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam Dokumen Perencanaan di Kabupaten Katingan 5.4 Perkembangan Inisiatif REDD+, dan Preferensi Stakeholder 5.5 Arahan Kebijakan dalam RTRW Katingan terhadap inisiatif REDD+
45 45
63 72 79
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran
82 82 83
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT PENULIS
84 96
60
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Luas Kawasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV Perkembangan luasan (ha) 3 besar komoditi pertanian di Katingan Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran Tabel Responden wawancara dan kuesioner preferensi para pihak Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2000 - 2006 Arah perubahan penggunaan lahan Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penggunaan Lahan Tahun 2012 di Kabupaten Katingan Tahapan Prosedur Analisis Isi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Katingan atas dasar harga berlaku (ADHB) dan harga konstan (ADHK) tahun 2000 periode 2003 – 2011 Kontribusi masing-masing Lapangan Usaha terhadap PDRB Kabupaten Katingan, Periode 2003 s/d 2011 (Atas Dasar Harga Konstan) Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Katingan Tahun 2008 – 2011 Potensi dan Produksi Ternak Kabupaten Katingan Tahun 2004 – 2007 Data Luas, dan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Katingan Tahun 2003 – 2007 Target dan Realisasi Produksi Kayu Bulat HPH Rencana Pola Ruang Kabupaten Katingan 2011 – 2031 Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000, 2006 dan 2012 Luas dan Laju Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan tahun 2000 – 2012 Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 – 2006 Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006 – 2012 Pola Perubahan Penggunaan Lahan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2000, 2006 dan 2012 Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap RTRW Kabupaten Katingan Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap Kawasan Hutan Kabupaten Katingan menurut SK 529/2012 Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RPJPD Kabupaten Katingan Tahun 2005 - 2025 Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RPJPD Kabupaten Katingan tahun 2005 – 2025 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RPJPD Kabupaten Katingan tahun 2005 – 2025 Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RTRW Kabupaten Katingan Tahun 2011 - 2031 Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031
2 4 21 22 25 26 27 28
36 37 37 38 38 39 44 49 56 57 58 59 61 62 65 67 67 69 71
vii
28 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 - 2031 29 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek manfaat langsung 30 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek manfaat tidak langsung 31 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek biaya sosial - pertimbangan sosial 32 Sintesis Bobot Pertimbangan Seluruh Responden 33 Urutan Prefrensi Gabungan Seluruh Responden
71 74 75 76 77 78
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kerangka Pemikiran Penelitian Skema hubungan penataan ruang dan rencana pembangunan Konsep tahapan Implementasi REDD di Indonesia Sejumlah peristiwa penting yang berkaitan dengan proses penetapan keputusan mengenai REDD+ di Indonesia Peta Lokasi Penelitian Bagan Alir Tahapan Penelitian Diagram Alir pengolahan data penginderaan Jauh dengan kombinasi metode klasifikasi terbimbing dan interpretasi visual Struktur hirarki preferensi keberlanjutan REDD+ dengan AHP Peta Kelerengan Kabupaten Katingan Peta Geologi Kabupaten Katingan Penduduk Kabupaten Katingan Tahun 2003 - 2011 Grafik kontribusi Sub Sektor dalam sektor Pertanian Kabupaten Katingan Penggunaan Lahan Hutan Penggunaan Lahan Tanaman Tahunan Penggunaan Lahan Pemukiman Penggunaan Lahan Pertanian Pangan Penggunaan Lahan Semak Belukar/Tanah Terbuka Penutupan Lahan Tubuh Air Persentase Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000, 2006 dan 2012 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2012 Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 – 2012 Laju Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan periode 2000 - 2006 dan 2000 - 2012 Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Elemen Dasar dan Proses REDD+ pada RPJPD Kab.Katingan 2005 – 2025.
6 10 14 15 20 23 25 30 33 34 35 36 46 46 47 47 48 48 50 51 52 53 55 56 66
26 Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pada RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031. 27 Tampilan user interface dari software expert choice 11 28 Urutan preferensi stakeholder atas keberlanjutan inisiatif REDD+ di Katingan 29 Peta Overlay inisiatif REDD+ dengan RTRW Kabupaten Katingan
70 74 78 81
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Tanggal Akuisisi Citra Landsat tahun 2000, 2006 dan 2012 Tabel Nilai Indeks Konsistensi pada analisis hirarki proses (AHP) Cuplikan Citra Landsat Tahun 2000 Kabupaten Katingan Cuplikan Citra Landsat Tahun 2006 Kabupaten Katingan Cuplikan Citra Landsat Tahun 2012 Kabupaten Katingan Hasil Perhitungan Luas dan Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2006 dan 2012 di Kabupaten Katingan Kuesioner untuk input data pada metode AHP Arahan Pertanyaan Wawancara Semi Terstruktur
87 87 88 89 90 91 92 95
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Planet bumi yang semakin berumur saat ini mengalami pemanasan global (global warming). Dampaknya adalah terjadi perubahan iklim yang tidak menentu, musim hujan yang tidak semestinya dan musim kemarau yang datang terlambat. Hal tersebut sebetulnya dipicu oleh kompetisi negara-negara maju di seluruh dunia yang berlomba-lomba mempercepat laju perekonomian melalui industri yang merupakan penyumbang emisi CO2 bagi planet bumi. Demikian juga dengan negara-negara berkembang yang memiliki banyak hutan, turut menyumbang emisi CO2 melalui illegal logging dan kebakaran hutan. Hutan yang seharusnya bisa menjadi penyerap emisi, saat ini kondisinya begitu kritis dan perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan lebih banyak lagi. Hal inilah yang kemudian digagas oleh banyak pihak dan salah satunya adalah melalui pendekatan REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation plus). Menurut CIFOR (2010), ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan. Bahkan Pemerintah Norwegia menjanjikan sejumlah dana pada Indonesia, melalui LOI (Letter of Intent/Nota kesepakatan) Norwegia tertanggal 26 Mei 2010 dimana pihak Norwegia akan memberikan insentif sebesar 1 milyar US$ jika Indonesia berkomitmen tinggi dan berhasil menurunkan emisi hingga 26 % sebelum tahun 2020. Menurut Kementerian Kehutanan (2010) dalam hal implementasi REDD+ di Indonesia , ada 3 tahapan penting yaitu fase persiapan di tahun 2007 – 2008 (identifikasi iptek dan kebijakan), fase kesiapan di tahun 2009 – 2012 (persiapan metodologi dan pilot project) dan fase implementasi setelah tahun 2012 (sesuai aturan bila REDD+ masuk dalam skema UNFCCC1- pasca 2012). Pada saat ini ada beberapa pilot project yang sudah dilakukan, dan Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang dikembangkan inisiatif REDD+. Dalam lingkup kabupaten, khususnya di Kabupaten Katingan, pengembangan wilayah suatu daerah sangat ditentukan oleh proses perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten. Menurut Niin (2010) persentase luasan penggunaan lahan hutan di Kabupaten Katingan pada tahun 2006 mencapai 69,4%. Luasan ini cukup potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi REDD+, tentunya dengan mempertimbangkan penataan ruang di Kabupaten Katingan serta melihat kebijakan pemerintah pusat berupa program REDD+ yang terintegrasi. Sejauh ini, secara keruangan, inisiatif REDD+ yang ada di Kabupaten Katingan dikuatkan melalui SK. 6315/Menhut-VII//IPSDH/2012 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (Revisi III). Kawasan hutan dalam area PIPIB ini sering diistilahkan dengan kawasan moratorium. Moratorium ini dalam perkembangannya sudah mengalami 4 kali revisi, terakhir pada akhir Mei 2013 lalu (Tabel 1). Skema Inisiatif REDD+ lainnya di Kabupaten Katingan adalah
1
United Nations Framework Convention on Climate Change
2
rencana IUPHHK-RE (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem) oleh PT. Rimba Makmur Utama. Menurut Niin (2010), terjadi penurunan luasan penggunaan lahan hutan di Kabupaten Katingan selama 16 tahun (periode 1990 – 2006) hingga 243.255 ha. Sampai dengan tahun 2000, produksi kayu melalui perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) masih terus terjadi, namun pada tahun selanjutnya dimana HPH banyak mengalami kerugian dan gulung tikar, peralihan penggunaan lahan hutan lebih banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian, tanaman tahunan maupun permukiman. Kecenderungan adanya perubahan penggunaan lahan ini akan terus berlangsung dalam pembangunan Kabupaten Katingan. Inisiatif REDD+ yang muncul dari pemerintah pusat merupakan suatu peluang yang baik bagi pemerintah daerah, meskipun sejauh ini belum menghasilkan sesuatu apapun, khususnya dalam hal peningkatan perekonomian kabupaten. Tabel 1 Luas Kawasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV No.
PIPIB
No. SK Menhut
Tanggal
1
PIPIB
20 Juni 2011
2
PIPIB Revisi I PIPIB Revisi II PIPIB Revisi III PIPIB Revisi IV
SK.323/MenhutII/2011 SK.7416/MenhutVII/IPSDH/2011 SK.2771/MenhutVII/IPSDH/2012 SK.6315/MenhutVII/IPSDH/2012 SK.2796/MenhutVII/IPSDH/2013
3 4 5
Luas Moratorium (Ha) 69.144.073
Pengurangan (Ha) -
22 November 2011 16 Mei 2012
65.374.252
3.769.821
65.281.892
92,36
19 Nov 2012
64.796.237
485.655
16 Mei 2013
64.677.030
119.208
Sumber: Kementerian Kehutanan (2013) Kabupaten Katingan merupakan salah satu Kabupaten dengan luasan hutan mencapai sekitar 70 % dari total luas kawasan yang ada. Sebagai Kabupaten yang relatif baru dimekarkan, sejak tahun 2002, wilayah ini berusaha menata tatanan pemerintahan melalui kebijakan otonomi daerah. Persoalan di level provinsi pun persis terjadi di kabupaten, penyelesaian multi dimensi diperlukan untuk dapat mencari solusi yang optimal guna pembangunan Kabupaten Katingan ke depan lebih baik lagi. Salah satunya adalah melalui telaah keruangan kabupaten yang disajikan secara time series untuk kemudian dibandingkan dan bisa menemukan konsistensi letak maupun posisi suatu wilayah. Sambil menata keruangan REDD+ yang baru akan digulirkan, diharapkan juga dapat memecah kebuntuan sekaligus mencari solusi untuk menata ruang Kabupaten Katingan secara komprehensif. Penataan ruang, menurut Rustiadi et al. (2011), memiliki tiga urgensi, yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan), dan (c) keberlanjutan (sustainability). Urgensi keberlanjutan ini sejalan dengan inisiatif REDD+, yang mengupayakan untuk tetap melakukan konservasi suatu wilayah kawasan berhutan sehingga pembangunan di tingkat kabupaten pun bisa seimbang dalam pemenuhan ekonomi, sosial dan lingkungan. Penelitian ini mengkaji inisiatif REDD+ yang muncul serta proses perencanaan tata ruang di Kabupaten Katingan, sehingga menjadi penting untuk melihat bagaimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi, menyandingkan kebijakan perencanaan
3
tata ruang di Kabupaten Katingan dengan kebijakan inisiatif REDD+ yang sudah dimulai serta perlu melihat pendapat para pihak atas inisiatif REDD+ dengan perencanaan tata ruang.
1.2 Perumusan Masalah Pada dasarnya penataan ruang merupakan instrumen antara kebijakan dan teknis yang menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan, sehingga implementasi kegiatan pembangunan seharusnya mengacu pada rencana tata ruang, yang di dalamnya terdapat strategi optimasi untuk mencapai tujuan dan memperhatikan kendala-kendala dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian rencana tata ruang dimaksud dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Hampir 11 tahun Kabupaten Katingan membangun daerahnya sejak pemekaran wilayah pada tahun 2002 dan menghadapi beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam daerah, proses penataan ruang dan inisiatif REDD+. Permasalahan tersebut antara lain meliputi : 1. Penurunan luasan hutan dan peningkatan luasan areal pertanian Niin (2010) mengatakan berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit terlihat bahwa penggunaan lahan hutan mendominasi penggunaan lahan di Kabupaten Katingan tahun 1990, 2000 dan 2006 dengan penyebaran di seluruh wilayah Kabupaten. Persentase luasan penggunaan lahan hutan di Kabupaten Katingan berturut-turut adalah 81,6 %, 72,1 % dan 69,4 %. Penggunaan lahan lain yang dominan di Kabupaten Katingan adalah semak belukar/tanah terbuka dengan persentase tahun 1990, 2000 dan 2006 berturut-turut di Kabupaten Katingan 12,9 %, 21,5% dan 22,3 %. Luasan Penggunaan lahan jenis lainnya relatif kecil yaitu kurang dari 5 % dari luasan wilayah. Desakan terhadap luasan hutan di Kabupaten Katingan menjadi catatan tersendiri di tengah perencanaan pengembangan wilayah dalam konteks paradigma pembangunan berkelanjutan. Sampai dengan tahun 2000, peralihan penggunaan lahan hutan lebih banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian, tanaman tahunan maupun permukiman. Penggunaan lahan tanaman tahunan dan permukiman mengalami peningkatan yang cukup besar. Penambahan luasan tanaman tahunan terutama periode tahun 2000-2006 khususnya setelah otonomi daerah disebabkan berubahnya sumber pendapatan daerah yang semula lebih banyak mengandalkan sektor kehutanan terutama hasil hutan kayu dari hutan produksi mengarah pada hasil perkebunan terutama perkebunan sawit (Niin, 2010). Pengembangan luasan areal pertanian menurut data statistik pun menunjukkan peningkatan luasan cukup besar dalam 3 tahun terakhir (Tabel 2). Kaitannya dengan upaya konservasi hutan dan inisiatif REDD+, perlu dilakukan upaya pemerintah daerah untuk merencanakan tata ruangnya supaya ke depan pengembangan luasan pertanian ini tetap memperhatikan dan menjaga kawasan hutan yang ada. Dengan demikian untuk membuat gambaran secara spasial atas permasalahan ini perlu dilakukan pemutakhiran data penggunaan lahan di Kabupaten Katingan setelah terakhir pernah dilakukan Niin (2010) pada tahun 1990, 2000, dan 2006.
4
Tabel 2 Perkembangan luasan (ha) 3 besar komoditi pertanian di Katingan Komoditi 2009 2010 2011 Kelapa Sawit 35.442 40.891 58.580 Sawah 12.831 20.915 32.064 Karet 15.419 20.947 20.948 Sumber : BPS Katingan (2010, 2011 dan 2012) dan Dinas Perkebunan (2011)
2. Belum adanya Padu Serasi RTRW (Provinsi dan Kabupaten) dengan Kawasan Hutan Permasalahan lain yang menghambat proses penataan ruang khususnya di Kabupaten Katingan adalah lambatnya proses padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan RTRW Provinsi Kalimantan Tengah. 2 tahun yang lalu ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.292/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 1.168.656 (Satu Juta Seratus Enam Puluh Delapan Ribu Enam Ratus Lima Puluh Enam) Hektar, Perubahan Antar Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 689.666 (Enam Ratus Delapan Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Enam Puluh Enam) Hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 29.672 (Dua Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Tujuh Puluh Dua) Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian SK 292/2011 direvisi kembali oleh Kementerian Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan no. SK.529/MenhutII/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982 tentang penunjukkan areal hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas ± 15.300.000 ha. Dua SK Menteri Kehutanan ini punya jarak yang cukup jauh dengan SK Menteri kehutanan yang paling awal, yaitu setelah 20 tahun baru dilakukan proses padu serasi dengan menyisakan sedikit wilayah yang belum tuntas dipaduserasikan. Proses ini juga akan dapat memicu konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penggunaan ruang. Misalnya dengan munculnya gugatan dari beberapa bupati di Kalimantan Tengah untuk melakukan uji materi UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 1 Ayat 3. Akhirnya pada 21 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2001 tertanggal 22 Februari 2012 mengabulkan gugatan para bupati tersebut bahwasanya kawasan hutan harus diproses tidak hanya melalui penunjukkan tetapi juga melalui proses menyeluruh melalui penetapan kawasan hutan (penunjukkan, penataan, pemetaan dan penetapan). Dengan demikian perlu adanya evaluasi penggunaan lahan dengan rencana tata ruang yang ada juga dengan status kawasan hutan untuk melihat sejauh mana ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting dengan perencanaan ruang yang telah dibuat. 3. Inisiatif REDD+ dan sinkronisasinya dengan RTRW yang masih baru Dalam kancah dunia internasional, REDD+ sendiri merupakan hal baru yang masih perlu diuji coba dan diteliti pelaksanaan programnya ke depan. Bahkan di tingkat Kabupaten Katingan sendiri, program REDD+ merupakan hal yang sangat baru, meskipun sudah terbentuk Kelompok Kerja REDD+ Kabupaten Katingan pada tahun 2011, masih belum diketahui apakah inisiatif REDD+ sejalan dengan RTRW Kabupaten. Secara aspek kelembagaan, untuk mengetahui kesesuaian inisiatif REDD+ dengan RTRW, salah satu upaya yang dapat
5
dilakukan adalah melalui kajian identifikasi elemen dasar dan proses REDD+ dalam suatu kebijakan daerah, diantaranya dalam dokumen kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Disamping itu, juga bisa dilakukan kajian untuk melihat preferensi stakeholder atas inisiatif REDD+. Beberapa permasalahan tersebut menunjukkan bahwa perencanaan penataan ruang berusaha memaksimalkan kelola sumberdaya alamnya dalam menjawab berbagai permasalahan yang terjadi. Inisiatif REDD+ yang juga memaksimalkan sumberdaya alam, khususnya melalui upaya konservasi hutan perlu disesuaikan kebijakannya dengan kebijakan pembangunan di Kabupaten, khususnya dengan RTRW Kabupaten. Dari beberapa uraian permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) yang dikaji dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain pada tahun 2000 – 2012 ? 2. Bagaimana kesesuaian penggunaan lahan eksisting dengan dokumen RTRW Kabupaten ? 3. Bagaimana kebijakan perencanaan tata ruang dapat mendukung inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan ? 4. Bagaimana pendapat para pihak di Kabupaten Katingan atas inisiatif REDD+ agar sejalan dengan perencanaan tata ruang ? 5. Apa saja pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam penyusunan arahan RTRWK atas munculnya inisiatif REDD+ ?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain di Kabupaten Katingan 2. Menganalisis konsistensi penggunaan lahan eksisting dengan pengalokasian ruang pada RTRW Kabupaten Katingan 3. Menganalisis isi kebijakan terkait perencanaan tata ruang yang mendukung inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan 4. Menganalisis preferensi para pihak atas munculnya inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan 5. Merumuskan arahan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Katingan sebagai evaluasi atas proses perencanaan tata ruang yang telah berlangsung 2. Memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk keberlanjutan program REDD+ 3. Sebagai acuan bagi pengembangan kegiatan penelitian lanjutan
6
1.5 Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian Kabupaten Katingan merupakan kabupaten yang belum lama dimekarkan, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah. Permasalahan seperti penurunan luasan hutan, meningkatnya luas lahan pertanian, lambatnya proses padu serasi TGHK dan RTRWP serta belum diketahuinya pendapat/preferensi stakeholder, menjadi penting untuk ditelaah guna menghasilkan pelaksanaan REDD+ yang sejalan dengan perencanaan tata ruang. Menurut Koespramoedyo (2009) peranan penataan ruang dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dijabarkan pada rencana pembangunan sangatlah penting. Segala kegiatan yang tentu saja membutuhkan ruang sebagai wadah pendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur di dalam rencana tata ruang. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai kendala dan tantangan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang serta kelembagaan penataan ruang. Jika melihat kembali pada 4 (empat) tujuan pertama dalam penelitian ini, diharapkan dapat membantu membangun sekaligus menciptakan arahan yang terbaik untuk menyusun RTRW kabupaten sebagai alternatif yang dapat mengakomodasi kepentingan program nasional, khususnya progam REDD+. Kerangka pemikiran penelitian disusun seperti dalam Gambar 1. Ruang lingkup dalam penelitian ini, sebagaimana telah dibahas dalam sub bab latar belakang, akan membatasi inisiatif REDD+ secara keruangan yang ada dalam kebijakan dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Inisiatif REDD+ yang ada di Kabupaten Katingan saat ini adalah area moratorium kawasan hutan dan area IUPHHK-RE yang akan diusahakan oleh PT. Rimba Makmur Utama.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan dan Penggunaan Lahan Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan (land use) terkait aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik. Sejalan dengan hal tersebut Lillesand dan Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan, sedangkan penutup lahan (land cover) lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Arsyad (2000) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut; (2) penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan. Dengan demikian sebagai keputusan manusia untuk memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu selain disebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan (suitability), perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi (feasibility) yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat (culture) dan faktor kebijakan pemerintah (policy). Menurut FAO (1976) penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu (1) penggunaan lahan secara umum (major kind of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi, (2) penggunaan lahan secara terinci atau dikenal sebagai Land Utilization Type (LUT) yaitu tipe penggunaan lahan yang dirinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Contohnya “Tanaman pangan tadah hujan dengan padi sebagai tanaman utama, modal kecil, pengolahan lahan dengan ternak, banyak tenaga kerja dan luas bidang lahan kecil 2 – 5 ha”. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible) tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan
8
fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat (Winoto et al., 1996). Perubahan Penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu system yang sama dengan ekosistem. Hal ini disebabkan pada satu kasus dalam sebuah sistem dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menimbulkan kerusakan spesies lainnya. Bila dicermati secara seksama, faktor utama penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan penduduk sedangkan perkembangan ekonomi adalah faktor turunannya. Barlowe (1986) menyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil non-pertanian, kebutuhan perumahan dan sarana prasarana. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal yaitu adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Mc Neil et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan pengunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan yang akan memberikan pengaruh terhadap manusia itu sendiri dan kondisi lingkungannya. 2.1.1 Analisis Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Rustiadi et al. (2002) pemahaman dinamika pembangunan lahan dan analisis pemanfatan ruang suatu wilayah membutuhkan syarat perlu (necessary condition) pemahaman yang lengkap tentang berbagai aspek dinamis di wilayah tersebut seperti aspek perkembangan kebijakan penataan ruang, aspek perubahan kondisi fisik lingkungan dan wilayah, perubahan aktifitas perekonomian dan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu diperlukan tolak ukur objektif dalam bentuk peubah-peubah yang akan dikaji untuk mengevaluasi keseluruhan dari aspek tersebut. Winoto et al. (1996) menyatakan bahwa dinamika struktur penggunaan lahan dapat mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Arah perubahan penggunaan khususnya penggunaan pertanian ke non-pertanian secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat,
9
perekonomian wilayah dan tara ruang wilayah. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan akan memperlihatkan kecenderungan meningkat atau menurun dalam tata ruang dengan arah mendekati atau menjauhi pusat aktifitas manusia, sehingga membentuk suatu pola yang dapat dipelajari dan diprediksi. Dengan demikian mempelajari dan memprediksi dinamika struktur penggunaan lahan dan perubahannya terkait dengan analisis spasial karena penggunaan lahan mempunyai lokasi yang melekat pada posisi geografi. Analisis spasial merupakan kumpulan teknik untuk mengatur secara keruangan dari tiap kejadian atas aktivitas manusia pada suatu wilayah. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilainilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi geografis obyek - obyek dimana atribut melekat di dalamnya (Rustiadi et al. 2002). Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : 1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat. 2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis. Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Rustiadi et al. (2002), tujuan utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi (zoning) dan network analysis. Kebanyakan ahli geografi menyatakan bahwa yang selama ini disebut analisis spasial dan permodelan dengan SIG ternyata tidak lebih dari proses-proses manipulasi data seperti overlay polygon, buffering, dan sebagainya yang pada dasarnya “tidak cukup pantas” menggunakan terminologi analisis. Analisis spasial saat ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan ilmu geografi kuantitatif dan ilmu pengembangan wilayah (regional science) yang dimulai sejak tahun 1960-an. Perkembangannya diawali dengan digunakannya beberapa teknik dan prosedur kuantitatif (melalui statistik) untuk menganalisis pola-pola sebaran titik, garis, dan area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Dalam perkembangannya, penekanan dilakukan pada fitur spesifik lokal dari ruang geografis pada prosesproses pilihan spasial (spatial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal.
2.2 Penataan Ruang Menurut Koespramoedyo (2009), UU No. 25 Tahun 2004 (UU 25/2004) tentang Sistem Perencanaan Pembangunan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan perencanaan pembangunan didalam menjamin tercapainya tujuan negara. UU ini digunakan juga untuk mengarahkan sistem perencanaan
10
pembangunan secara nasional. Rencana pembangunan, menurut UU 25/2004, terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana pembangunan tersebut didalamnya terdapat arahan kebijakan pembangunan yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJPD dan RPJMD yang mengacu pada RPJP dan RPJM Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh Kementerian/Lembaga. Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 (UU 26/2007) tentang Penataan Ruang dan turunannya adalah satu hal penting untuk menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia dalam beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang sendiri pada dasarnya ada 3 (tiga) kegiatan inti, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan ruang tersebut mempunyai produk dalam rencana tata ruang, dalam hal ini disebut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka UU 26/2007 diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Skema hubungan antara penataan ruang dan rencana pembangunan ditampilkan dalam Gambar 2. UU No. 25/2004
RPJPN
RTRWN
UU No. 26/2007
RPJMN
RKP
Keterangan: = mengacu dan mengisi = mengamanatkan
Gambar 2. Skema hubungan penataan ruang dan rencana pembangunan (Koespramoedyo, 2009) Penjelasan Skema: 1. RPJPN merupakan amanat yang disusun berdasarkan UU No. 25/2004, sedangkan RTRWN disusun berdasarkan amanat yang terdapat pada UU No. 26/2007. 2. Rencana Pembangunan (Nasional dan Daerah) dan Rencana Tata Ruang harus dapat saling mengacu dan mengisi. Berdasarkan pasal 19 UU No. 26/2007
11
tentang Penataan Ruang, bahwa di dalam penyusunan RTRWN harus memperhatikan RPJPN, dan pada pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN. RTRWN merupakan pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan kegiatan yang bersifat “keruangan”. RPJPN dan RTRWN memiliki batas waktu selama 20 tahun. Untuk RTRWN dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis seperti terjadi bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan UU, perubahan batas wilayah provinsi yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWP dan RTRWK), dan perubahan batas wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWK). 3. RPJMN merupakan turunan dari RPJPN yang memiliki batas waktu selama 5 tahun. Penjabaran RPJMN tertuang di dalam RKP yang dirumuskan setiap tahun dan disusun melalui Murenbangnas. Koespramoedyo (2009) menegaskan bahwa peranan penataan ruang sangat penting dalam melaksanakan kegiatan pembangunan yang dijabarkan pada rencana pembangunan. Seluruh kegiatan yang memerlukan ruang untuk mendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur didalam rencana tata ruang, meskipun dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai hambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1. Perencanaan Tata Ruang Penyusunan rencana tata ruang di masa lalu, umumnya sudah baik meskipun dalam beberapa hal produk rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum menjadi acuan pada pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: data dan informasi yang tersedia kurang akurat dan belum mencakup analisis pemanfaatan sumberdaya kedepan. Seringkali rencana tata ruang ini dibuat hanya untuk memenuhi kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah) sesuai UU 26/2007. Demikian halnya dengan penyusunan rencana tata ruang didaerah khususnya, ada anggapan produk ini merupakan hasil dari satu instansi tertentu dan belum menjadi dokumen bersama (seluruh instansi) karena penyusunannya belum dilakukan secara partisipatif. Permasalahan lainnya yang sering muncul juga adalah perencanaan suatu kegiatan yang menggunakan ruang secara blue print tidak tergambar secara detail dalam suatu peta rencana yang dapat menyebabkan pada pelanggaran dalam pemanfaatan ruang. 2. Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah terkadang tidak sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam rencana tata ruang suatu wilayah. Kebutuhan mendesak yang memerlukan ruang, oleh sebab pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah mengakibatkan tidak terkendalinya alih fungsi lahan. Hal demikian erat kaitannya dengan rencana tata ruang yang inkonsisten dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam jangka menengah dan panjang, serta ketiadaan sanksi hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat dan pemerintah (daerah) terutama terjadi di daerah-daerah baru akibat pemekaran daerah. Pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pemerintah sedemikian rupa memerlukan antisipasi yang baik. Berubahnya rencana tata ruang maupun peraturan dan perundangan yang mengatur tata ruang seringkali sulit dilakukan
12
dengan segera dan membutuhkan waktu proses yang lama. Misalnya dalam proses alih fungsi kawasan hutan (produksi maupun lindung) yang diminta oleh daerah, maka prosesnya harus mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku. Lamanya proses bergantung pada kepentingan pemerintah pusat dan daerah, yang biasanya hampir bertahun-tahun lebih. 3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pengendalian pemanfaatan ruang adalah bagian dari penataan ruang yang berguna sebagai alat untuk menertibkan kegiatan yang akan dan atau telah melanggar tata ruang. Tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, terutama disebabkan oleh arus urbanisasi mengakibatkan pengelolaan ruang kota semakin berat. Selain itu, daya dukung lingkungan dan sosial juga mengalami penurunan, sehingga tidak bisa menyeimbangkan kebutuhan yang disebabkan oleh tekanan penduduk. Masalah perekonomian sekaligus menjadi pemicu dalam pembangunan nasional, disamping kemudian menciptakan berbagai kegiatan pendukung ekonomi yang menjadi faktor utama dalam kegiatan pembangunan. Hal demikian mengakibatkan pada maraknya alih fungsi lahan yang dilakukan dalam rangka melangsungkan dan mendukung kegiatan ekonomi. Dalam era otonomi daerah saat ini, sudah banyak kewenangan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, yang memberikan kesempatan bagi daerah untuk mencari beragam sumber pendapatan baru guna meningkatkan pendapatan asli daerah melalui berbagai kegiatan ekonomi, termasuk alih fungsi lahan dilakukan tanpa memperhitungkan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Misalnya, salah satu upayanya adalah melalui pemberian perizinan, namun sayangnya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam rencana tata ruang. Sehingga dampaknya kemudian adalah bentuk pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin marak terjadi serta terganggunya lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang tentunya merugikan bagi masyarakat. 4. Kelembagaan Penataan Ruang Kelembagaan penataan ruang ini punya peran penting dalam menyelaraskan kegiatan pembangunan dengan rencana tata ruang. Permasalahan yang terjadi seringkali sulit untuk menciptakan sinergisitas kelembagaan dan hal ini mengakibatkan konflik penataan ruang yang disebabkan oleh tidak selarasnya kegiatan pembangunan, baik antar sektor maupun antar daerah. Dengan kata lain, permasalahan utama dalam penataan ruang ini disebabkan oleh ego sektoral dan daerah yang masih mengemuka. Disamping itu, konflik kewenangan pun terjadi antar instansi pemerintahan secara hirarki. Misalnya, konflik antar sektor kehutanan dengan pemerintah daerah dalam pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini tentunya akan menyebabkan kesulitan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyusunan rencana tata ruang wilayahnya. Oleh sebab itu, peran kelembagaan penataan ruang dalam mencari win-win solution atas permasalahan tersebut menjadi penting dilakukan.
13
2.3 Perubahan Iklim dan REDD+ Hasil kajian IPCC dalam Hilman (2008) menunjukan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi sepanjang 12 tahun terakhir. Hasil kajian ini memperlihatkan adanya data total kenaikan suhu dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,760 Celcius dan kenaikan muka air laut rata-rata 1,8 mm/tahun dalam rentang waktu antara tahun 1061 hingga tahun 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Perubahan iklim tersebut, menurut IPCC disebabkan adanya perbuatan manusia sendiri. Mekanisme yang terjadi didalam tubuh, dimana manusia melakukan pembakaran yang menghasilkan gas rumah kaca, begitupun dengan mekanisme diluar tubuh berupa aktivitas pembukaan lahan yang terus dilakukan akibat peningkatan jumlah penduduk serta akibat dari aktifitas pembangunan lainnya. Dalam konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), terdapat 6 golongan jenis gas yang digolongkan sebagai gas rumah kaca yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflourida (SFe), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). Dari 6 golongan yang disebutkan itu, hampir 75% dari komposisi gas rumah kaca di atmosfer tergolong dalam jenis gas CO2 (karbondioksida). Kenaikan suhu dunia ini akan menyebabkan naiknya penguapan air, dan penguapan ini berakibat pada peningkatan kelembaban yang membentuk hujan. Selain itu, berdasarkan hasil observasi satelit, meningkatnya aktifitas cyclone di Atlantik Utara sejak tahun 1970 memiliki korelasi dengan kenaikan temperatur pada permukaan laut (Hilman, 2008). Menurut Hilman (2008) Negara Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim mengingat karakter geografis dan geologisnya, yaitu sebagai negara kepulauan (terdapat 17.500 pulau kecil), memiliki garis pantai yang panjang (81.000 km), memiliki daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Indonesia juga mempunyai potensi hutan luas yang belakangan ini menghadapi ancaman berupa rusaknya hutan secara cepat, rentan terhadap bencana alam dan cuaca ekstrim, memiliki tingkat pencemaran yang tinggi di daerah urban, serta adanya ekosistem dalam area pegunungan dan lahan gambut yang mengalami kerusakan. Selain itu, kegiatan ekonomi yang dilakukan Indonesia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil yang tingkat keterbaharuannya sangat rendah ketimbangan bahan bakar alternatif dari tumbuhan (biofuel misalnya). Upaya lain adalah dibidang LULUCF (Land Use, Land Use Change, and Forestry). Menurut Statistik Kementerian Kehutanan (2011) luas daratan di Indonesia mencapai 187 juta ha dengan komposisi 131 juta ha kawasan hutan (71 %) dan 54 juta ha lahan bukan kawasan hutan (39 %). Dari 131 juta ha lahan kawasan hutan itu hanya 68 % (91 juta ha) saja yang punya tutupan hutan dan sisanya 32 % (42 juta ha) mengalami degradasi. Kondisi hutan yang terdegradasi tersebut diperkirakan menyebabkan hilangnya potensi serapan karbon sebesar 2,1 Gigaton CO2/tahun pada tahun 2005 (Hilman, 2008). Terbukanya suatu lahan ini disebabkan oleh perambahan hutan, ilegal logging, kebakaran hutan, dan lain-lain. Selain itu, terjadinya peningkatan pada aktivitas pembukaan lahan disebabkan
14
seiring dengan bertambahnya penduduk untuk lahan permukiman, pertanian, perkebunan, dan sarana prasarana jalan. Upaya mitigasi harus mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD, kependekan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). REDD+ merupakan perluasan cakupan REDD itu sendiri yang tidak hanya pada upaya penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga meliputi upaya konservasi keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari dan upaya peningkatan cadangan karbon lainnya. Istilah REDD+ diperkenalkan dalam Conference Of Parties ke-14 yang diselenggarakan di Poznan, Polandia (lihat Gambar 4). Menurut CIFOR (2010), cara kerja REDD+ untuk mengurangi emisi melalui penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan ini dimulai dengan memperhitungkannya sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang telah didapatkan tersebut bisa dijual di pasar karbon internasional. Ada juga pilihan lainnya dimana kredit yang diperoleh bisa diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk penyediaan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD+ ini pada akhirnya dapat mendudukkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dan sejajar dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang dapat menimbulkan deforestasi. Kegiatan ekonomi lainnya tersebut saat ini umumnya menjadi penyebab penggundulan hutan dan konversi lahan hutan untuk penggunaan lainnya, seperti lahan pertanian, perkebunan dan peternakan. Menurut Resosudarmo, et al. (2012) meskipun REDD+ merupakan inisiatif yang relatif baru, sejumlah pemangku kepentingan telah menunjukkan minat dan mulai membangun atau merencanakan inisiatif REDD+ di Indonesia. Jumlah proyek REDD+ yang dilaporkan tahun 2011 berkisar antara 32 dan 36. Proyekproyek ini mengambil berbagai bentuk dan dilaksanakan oleh aktor yang berbeda. Mulai dari kegiatan demonstrasi, dilaksanakan oleh lembaga bantuan bilateral atau LSM konservasi internasional (Kalimantan Forest Carbon Partnership di Kalimantan Tengah dan Program Karbon Hutan Berau di Kalimantan Timur), konsesi Restorasi Ekosistem dilakukan oleh sektor swasta (misalnya, Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah), Proyek Karbon Komunitas (Ketapang Community Carbon Project di Kalimantan Barat), skala besar proyek pemerintah daerah (misalnya, proyek Ulu Masen di Aceh). Ada 3 tahapan (fase) di Indonesia, menurut IFCA dalam Kementerian Kehutanan (2010), yang dijadikan strategi pendekatan untuk mengimplementasikan REDD+ (lihat Gambar 3).
Gambar 3 Konsep tahapan Implementasi REDD di Indonesia
2008
2009
2010
2011
Gambar 4 Sejumlah peristiwa penting yang berkaitan dengan proses penetapan keputusan mengenai REDD+ di Indonesia (Indrarto et al., 2013)
2007
15
16
2.4 Elemen Dasar, Proses dan Prinsip Implementasi REDD+ Menurut Stern (2008), setidaknya ada tiga elemen penting berupa prinsipprinsip agar program perubahan iklim terutama REDD bisa berjalan dengan baik, yaitu : efektifitas, efisiensi dan kesetaraan. Sementara Angelsen dan WertzKanounnikoff dalam Angelsen et al. (2010), Efektivitas merupakan kriteria (pertimbangan) yang meliputi kekuatan, nilai tambah, pengendalian dan sejauh mana suatu tindakan dapat mengatasi penyebab utama dari deforestasi dan degradasi. Begitu juga dengan tata kelola pemerintahan dan korupsi yang menjadi penting dalam prinsip efektivitas. Efisiensi merupakan kriteria yang meliputi seluruh biaya mulai dari capacity building, biaya operasional Monitoring, Reporting and Valuation (MRV), dan biaya kompensasi lahan. Berbagai macam biaya harus dipertimbangkan ketika mengembangkan skema REDD. Selain biaya operasional yang digunakan dengan prinsip efisiensi ini, biaya dengan tujuan non perubahan iklim yang berkaitan dengan pembagian manfaat (manfaat tambahan) dan biaya juga diperhitungkan, misalnya penurunan tingkat kemiskinan, perlindungan hak, dan/atau keanekaragaman hayati. Ekuitas merupakan kriteria yang meliputi pertimbangan dengan skala yang berbeda (global, nasional dan tingkat lokal) dan beragam stakeholder atas dasar pendapatan, asset berupa lahan, suku, jenis kelamin dan sebagainya. Prinsip ini memiliki beberapa dimensi, termasuk didalamnya antara lain : pembagian manfaat REDD+ yang adil dan merata, serta dampak yang sampai ke tingkat masyarakat adat dan penduduk lokal. Menurut Satgas REDD (2012), implementasi REDD+ di Indonesia berlandaskan lima prinsip implementasi, yaitu : efektif, efisien, adil, transparan, dan akuntabel. Kesemuanya dijabarkan sebagai berikut: 1. Efektif: Penurunan emisi dan bertambahnya penghasilan berupa manfaat tambahan yang nyata dan dapat diukur pada kegiatan REDD+. 2. Efisien: upaya REDD+ merupakan kegiatan jangka panjang yang memberikan keuntungan finansial, ekologis, dan sosial. 3. Adil: Implementasi REDD+ dilaksanakan atas prinsip kesetaraan untuk semua orang dan perlindungan hak asasi manusia dalam pengelolaan hutan termasuk kelompok perempuan (gender) dan masyarakat yang rentan perubahan sosial-ekonomi dan lingkungan. 4. Transparan: Hal ini sekaligus memberi pemahaman yang utuh dan kesempatan kepada semua pemangku kepentingan untuk terlibat. 5. Akuntabel: Implementasi REDD+ dapat dipertanggungjawabkan di tingkat nasional dan internasional dari sisi relevansi, proses, pendanaan, maupun hasil yang diperoleh. Adapun ruang lingkup kegiatan REDD+ di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut (Satgas REDD, 2012) : 1. Penurunan emisi dari deforestasi 2. Penurunan emisi dari degradasi hutan dan/atau lahan gambut a. Pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon melalui: b. Konservasi hutan c. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan d. Rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak
17
3. Penciptaan manfaat tambahan bersamaan dengan peningkatan manfaat dari karbon melalui: a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal b. Peningkatan kelestarian kenakeragaman hayati Selain upaya pada aktivitas menurunkan emisi, REDD+ juga punya tujuan lain yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai manfaat tambahan yang bisa diperoleh dari aktivitas utamanya. Menurut Angelsen dan Wertz-Kanounnikoff (2012) manfaat tambahan yang menjadi pertimbangan penting sedikitnya ada 4 macam: 1. Konservasi hutan, upaya ini selain menyimpan karbon juga menyediakan jasa lingkungan seperti terjaganya keanekaragaman hayati 2. Keuntungan sosial dan ekonomi, upaya ini meliputi menurunkan kemiskinan, meningkatnya sumber mata pencaharian dan mendorong pembangunan ekonomi 3. Berkurangnya korupsi dan sikap lebih menghargai hak-hak individu, upaya ini tercipta atas berubahnya kondisi politik dengan tata kelola yang baik. 4. Kemampuan hutan dan masyarakat yang adaptif terhadap perubahan iklim Dengan demikian elemen dasar REDD+ itu sendiri meliputi pencapaian upaya perubahan iklim dan juga pencapaian upaya memperoleh manfaat tambahan. Elemen dasar REDD+ ini kemudian didalam pelaksanaannya juga perlu mengacu pada elemen proses yang meliputi keadilan (hak publik dan gender), transparansi dan akuntabel.
2.5 Indikator Harapan dan Kekhawatiran REDD+ Menurut Resosudarmo et al. (2013) dalam penelitiannya di 4 negara (Brasil, Kamerun, Indonesia dan Tanzania), tiap responden pada survei tingkat rumah tangga memberikan pendapatnya terkait harapan dan kekhawatiran atas proyek REDD+ di tingkat lokal. Tanggapan mereka sebagian besar dapat dikelompokkan dalam lima tema: peningkatan pendapatan, perlindungan hutan, pengurangan ancaman perubahan iklim, keamanan penguasaan lahan dan realisasi proyek. Harapan‑harapan lokal, yang dimaksud disini adalah refleksi dari tema‑tema yang telah disebutkan sebelumnya seperti peningkatan pendapatan, perlindungan hutan dan pengurangan ancaman perubahan iklim. Sementara yang dimaksud kekhawatiran disini adalah refleksi atas ketakutan bahwa suatu proyek akan gagal menemui targetnya berupa ketidakmampuan untuk meningkatkan pendapatan, keamanan penguasaan lahan, dan realisasi proyek. Peningkatan pendapatan, secara umum, adalah output dalam bentuk pendapatan dengan harapan dan kekhawatiran yang paling sering dinyatakan dalam kaitannya dengan proyek‑proyek REDD+ lokal. Perlindungan hutan, oleh mayoritas penduduk desa yang terlibat aktif dan serius dalam proyek‑proyek REDD+, memahaminya sebagai manfaat yang bersifat sekunder. Kemudian temuan ini juga berhasil menunjukkan bahwa penduduk desa memberikan perbedaan antara target proyek dengan potensi manfaat pribadi yang bias mereka hasilkan dari proyek. Temuan ini sekaligus juga memberikan saran, dengan pendapatan yang lebih baik sebagai kompensasi perlindungan hutan mungkin
18
sudah dipahami oleh beberapa orang di tingkat lokal. Pengurangan ancaman perubahan iklim adalah isu yang kurang penting daripada perbaikan pendapatan dan perlindungan hutan. Hal ini terjadi disebabkan oleh karena keterbatasan pemahaman lokal tentang hubungan langsung antara tindakan‑tindakan proyek REDD+ dan konsep mengenai REDD+ sebagai sarana mitigasi perubahan iklim (Resosudarmo et al., dalam Angelsen et al., 2013). Dalam hal keamanan penguasaan lahan, gagasan bahwa proyek REDD+ akan dibatasi pada hak ‑ hak atas lahan maupun hutan merupakan faktor kekhawatiran penting di Indonesia. Begitu pun halnya dengan yang terjadi di Tanzania, yaitu adanya kekhawatiran akan tercipta ketidakpastian penguasaan lahan. Di Indonesia sendiri, para responden pun kemungkinan salah mengaitkan proyek REDD+ dengan berbagai kegagalan proyek pertanian oleh pemerintah di masa lalu dengan skala yang besar, yang mengarah pada konversi hutan, atau pada proyek konservasi terbaru yang tidak membolehkan penduduk desa mengakses hutan mereka secara terus-menerus. Sementara menurut Angelsen et al. (2013), REDD+ juga memberi perhatian pada beberapa persoalan lama dan baru yang kesemuanya mengarah pada keperluan untuk merubah dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan praktikpraktik bisnis seperti biasa agar dapat terwujud potensi REDD+. Contoh ‑ contohnya meliputi : i) hak adat dan masyarakat, serta konflik tentang penggunaan hutan oleh kelompok‑kelompok lokal dan perusahaan kehutanan komersial dengan skala besar, ii) tata kelola, korupsi dan ekonomi politis dalam pemanfaatan hutan; iii) biaya yang tidak efisien dan memiliki anggaran yang tinggi atas rangkaian kebijakan dan praktik yang mendukung kegiatan yang merusak hutan.
2.6 Persepsi dan Preferensi Para Pihak Persepsi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu proses yang dilakukan seseorang dalam mengetahui beberapa hal lewat panca inderanya. Persepsi terdiri dari proses menerima stimulus, mengorganisasikan stimulus dan menafsirkan stimulus yang kemudian diproses sedemikian rupa dengan cara agar dapat mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap (Gibson, 1987). Menurut Siegel (1989) persepsi merupakan proses yang dilakukan individu dalam memilih, mengorganisir, dan mengungkapkan rangsang kedalam suatu gambaran yang berarti dan koheren dengan dunia. Menurut Irwanto (1997) persepsi merupakan proses diterimanya rangsang (obyek, kualitas, dan hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang disadari atau diterima secara penuh. Sedangkan persepsi sosial merupakan kesadaran individu akan adanya orang lain atau perilaku orang lain di sekitarnya, sehingga persepsi bukan hanya penginderaan saja melainkan merupakan interpretation of experience atau penafsir pengalaman. Irwanto (1997) mengungkapkan selanjutnya bahwa persepsi dapat juga didefinisikan menjadi penilaian seseorang atas obyek tertentu. Persepsi adalah proses dimana individu menggunakannya untuk mengatur dan menginterpretasikan kesan melalui panca inderanya dalam upaya memberikan
19
pemahaman dalam bentuk makna pada lingkungan mereka (Robbins, 2006). Persepsi seseorang bisa memiliki perbedaan dari realitas obyektif meskipun tidak terlalu berbeda, bahkan sering terjadi ketidaksepakatan. Menurut pendapat Robbins (2006) individu yang berbeda anggapan atas suatu benda maupun fenomena yang sama, tetapi sebaliknya membuat persepsi yang berbeda antara lain disebabkan oleh beberapa faktor: 1) pelaku persepsi, yang meliputi : sikap, motif, kepentingan, pengalaman, dan pengharapan, 2) obyek atau target yang dipersepsikan yang meliputi : hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, kedekatan, dan 3) situasi dimana persepsi itu dibuat, yang meliputi : waktu, keadaan/tempat kerja, keadaan sosial. Menurut BI (2006), dalam salah satu studinya, mengartikan preferensi sebagai “pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap suatu produk barang atau jasa yang dikonsumsi”. Sementara dalam ensiklopedia bebas di wikipedia.org preferensi juga diartikan sebagai selera yang merupakan suatu konsep dalam ilmu sosial, khususnya ekonomi. Preferensi ini beranggapan pada pilihan kenyataan atau imajiner sekalipun antara alternatif pilihan-pilihan dan kemungkinan dari pemeringkatan pilihan tersebut. Hal ini dimisalkan dengan kesenangan, kepuasan, gratifikasi, pemenuhan, serta kegunaan yang ada. Lebih luas lagi, umumnya preferensi dipandang sebagai sumber dari motivasi. Di ilmu kognitif, preferensi individual memungkinkan pemilihan tujuan/goal. Menurut Freeman dalam Abdiprojo (2010), mendefenisikan stakeholder sebagai individu maupun kelompok yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Stakeholder ini seringkali ditemukenali melalui suatu dasar tertentu, yaitu dari sisi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap persoalan atau permasalahan yang dihadapi (Freeman dalam Abdiprojo, 2010) serta dari letak kepentingan dan pengaruh yang dipunyai (Grimble dan Wellard dalam Abdiprojo, 2010). Para pihak, yang dimaksud dalam tulisan ini, atau yang biasa diistilahkan dengan stakeholder maupun pemangku kepentingan adalah individu maupun sekumpulan orang dalam bentuk kelompok maupun lembaga yang saling punya hubungan dan bisa berpengaruh satu sama lain dalam suatu program maupun suatu kegiatan tertentu yang telah direncanakan sebelumnya. Para pihak ini tentunya akan memberikan pengaruh (bisa positif maupun negatif) nantinya terhadap hasil dari suatu program/kegiatan. Contoh stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya alam misalnya masyarakat, pemerintah pusat (kementerian kehutanan, kementerian lingkungan hidup), pemerintah daerah (dinas kehutanan, dinas pertanian dan perkebunan), lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, pengusaha, dll.
20
3 METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 5), dengan fokus penelitian pada wilayah moratorium kawasan hutan dan area rencana konsesi IUPHHK-RE PT. Rimba Makmur Utama. Kabupaten Katingan terletak pada posisi geografis 1120 00’ - 1130 45’ bujur timur dan 00 20’30 38’ lintang selatan. Secara administrasi terdiri atas 13 kecamatan dan 161 desa. Jumlah penduduk saat ini mencapai 148.064 jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk mencapai 8,32 orang/km2 dan luasan wilayah mencapai 17.800 km2 (BPS, 2010). Rangkaian kegiatan penelitian meliputi persiapan, pengumpulan data, penelitian lapang, analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan pada bulan November 2012 – Juni 2013.
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
21
3.2 Jenis Data dan Alat Bahan penelitian yang digunakan adalah seluruh data yang tertera pada Tabel 3. Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan dari : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Katingan, Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Katingan, Badan Lingkungan Hidup (Pokja REDD+) Kabupaten Katingan, Badan Pusat Statistik serta data-data lainnya yang terkait dengan penelitian pada instansi terkait. Data primer dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur dengan para pihak yang dianggap ahli/berpengalaman terkait pendapat responden mengenai preferensi keberlanjutan pengembangan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. Perlengkapan penelitian meliputi perangkat keras dan perangkat lunak (software) yang digunakan baik dalam pengumpulan data lapangan dan proses pengolahannya. Perangkat keras yang digunakan meliputi receiver GPS Garmin Oregon 300, kamera digital pocket Canon Ixus 120is, voice recorder Sony ICD PX312 dan 1 unit notebook Toshiba Portege M900. Software untuk pengolahan datanya meliputi ARCGIS 10.1, ER Mapper 7.1, MS Excell 2010, MS Word 2010, Expert Choice 11 dan TextStat 2.9. Tabel 3 No 1
Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran
Tujuan Menganalisis pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi tipe penggunaan lain
Menganalisis konsistensi penggunaan lahan dengan RTRW dan kawasan hutan 3 Menganalisis isi kebijakan perencanaan daerah yang mendukung inisiatif REDD+ 4 Menganalisis preferensi para pihak atas munculnya inisiatif REDD+
2
5
Jenis Data - Citra Landsat 2000 - Citra Landsat 2006 - Citra Landsat 2012 - Peta Administrasi
Sumber Data Niin (2010), Bappeda Kabupaten, BIOTROP
Teknik Output Teknik PengumAnalisis pulan Data Permohonan - Interpretasi - Peta Guna Laformal ke citra han 2000-2012 institusi - Overlay SIG - Pola perubahan terkait penggunaan lahan hutan
- Peta Penggunaan Lahan Hasil analisis Permohonan 2012 sendiri (2013) formal ke - Peta Pola Ruang dan Bappeda institusi - Peta Kawasan Hutan Kabupaten terkait - Dokumen RTRW Bappeda Permohonan Kabupaten Katingan Kabupaten formal ke - Dokumen RPJPD institusi terkait Katingan 2005-2030 - Data preferensi Pemda; Pokja - Survey (kuantitatif) para pihak REDD; LSM; dengan tentang inisiatif REDD+ di Masyarakat; Pe- Kuesioner Kabupaten Katingan rusahaan; Balai - Wawancara Taman Nasional Merumuskan arahan - Peta guna lahan 2012 Keluaran dari tu- - Permohonan penyempurnaan - Peta Pola Ruang RTRW juan 1 -4, Pemeformal ke Rencana Tata Ruang - Peta Moratorium Hutan rintah Daerah, P.T. institusi Wilayah (RTRW) - Peta Konsesi IUPHHK- Rimba Makmur terkait Kabupaten Katingan RE PT. RMU Utama
- Overlay SIG - Tabel Inkonsistensi penggunaan lahan - Analisis Muatan prinsipDeskriptif - prinsip REDD+ kualitatif dalam dokumen perencanaan - Analisa Isi - Analytical Pendapat dan Hierarchy Preferensi atas Process inisiatif REDD+ (AHP) - Sintesa berdasarkan analisis pada tujuan 1 hingga 4
Arahan Kebijakan RTRWK dalam mengakomodir Inisiatif REDD+
22
3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kuesioner dan hasil wawancara. Data hasil wawancara diperoleh dengan cara melakukan wawancara dan penyebaran kuesioner kepada responden. Responden yang dipilih untuk analisis preferensi para pihak meliputi unsur-unsur Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, DPRD, swasta dan tokoh masyarakat dengan prinsip bahwa responden yang dipilih mempunyai pemahaman yang baik tentang perkembangan pembangunan di Kabupaten Katingan dan terlibat aktif dalam inisiatif REDD+. Jumlah responden terdiri dari 22 responden dengan rincian dapat dilihat pada Tabel 4. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan suatu tujuan (purpossive sampling). Teknik ini juga biasa dikenal dengan judgemental sampling, yaitu sampel yang diambil berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik ini tidak dibatasi oleh jumlah keterwakilan responden, tetapi lebih ditentukan pada responden yang terlibat dan punya pengalaman pada persoalan dalam tujuan penelitian, khususnya keterlibatannya dalam proses inisiatif REDD+ yang berlangsung di Kabupaten Katingan. Tabel 4 Tabel Responden wawancara dan kuesioner preferensi para pihak No. Kelompok 1.
Instansi/ Perwakilan Masyarakat Desa Galinggang
DesaTewang Kampung Desa Muara Bulan Desa Baun Bango 2.
Pemerintah DPRD Daerah Dinas Kehutanan Pokja REDD+ Dinas Pertambangan Sekretariat Daerah
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Jumlah responden
Keterangan
2
Kepala Desa dan Mantir (kepala adat tingkat desa) Kepala Desa, BPD dan Masyarakat Kepala Desa dan BPD Kepala Desa dan Damang (kepala adat tingkat kecamatan) Anggota Komisi III Kepala Bidang Pengusahaan Hutan Sekretaris Kepala Bidang III Asisten Bupati Bidang Perekonomian, Pembangunan dan Kesejahteraan rakyat Pelaksana teknis Bidang Perencanaan Sarana Prasarana & Tata Ruang Staf Pengendali Ekosistem Hutan Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah II
5 2 2 1 1 1 1 1
1
Pemerintah Taman Nasional Sebangau 1 Pusat Taman Nasional Bukit 1 Baka Bukit Raya Koord. Pengembangan Sosial Ekonomi 4 LSM WWF 1 Manajer Program Yayasan Puter 1 Presiden Direktur 5 Perusahaan PT. Rimba Makmur Utama 1 Catatan : Dinas Pertanian tidak bersedia diwawancarai 3
Data sekunder meliputi data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan dan dokumen Rencana Pembangunan Daerah dari Bappeda, data sosial dan ekonomi yang diperoleh dari Dinas/instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Katingan, data citra lansat tahun 2012 diperoleh dengan bantuan BIOTROP, serta data terkait inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan dari Pokja REDD+ dan pihak perusahaan.
23
3.4 Metode Analisis Data Pengolahan data menggunakan lima metode analisis, yaitu; analisis perubahan penggunaan lahan, analisis inkonsistensi RTRW, analisis deskriptif, content analysis dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Analisis perubahan penggunaan lahan untuk mengetahui trend perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan. Analisis inkonsistensi RTRW untuk melihat konsistensi penggunaan lahan tahun 2012 dengan RTRW Kabupaten Katingan (berdasarkan Perda 8 tahun 2003) dan SK Penunjukkan Kawasan Hutan terbaru, yaitu SK Menhut 529/2012. Analisis deskriptif dan analisis statistik digunakan untuk menggambarkan setiap data wawancara maupun data sekunder yang didapat. Dua analisis terakhir, content analysis dan AHP, digunakan untuk melihat dokumen kebijakan rencana pembangunan Kabupaten dan preferensi para pihak terkait dengan prinsip-prinsip REDD+ dan keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. Dari enam analisis ini diharapkan mampu memberikan informasi dalam menyusun arahan penataan ruang untuk keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. Bagan Alir tahapan penelitian ini tertera dalam Gambar 6.
Gambar 6 Bagan Alir Tahapan Penelitian
24
3.4.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Analisis perubahan penggunaan lahan merupakan analisis dengan memanfaatkan salah satu aplikasi umum dalam pemanfaatan data citra satelit (penginderaan jauh) dalam monitoring perubahan (change detection). Tahapan yang digunakan analisis ini meliputi persiapan citra, klasifikasi citra, interpretasi citra dan pembuatan peta penggunaan lahan (lihat Gambar 8). Berikut ini tahapan kegiatan untuk melakukan analisis perubahan lahan dengan menggunakan citra landsat di Kabupaten Katingan : a. Pemotongan Batas Area Penelitian Pemotongan batas area penelitian diperlukan untuk melakukan clip citra landsat untuk memperoleh wilayah yang akan di analisis, yaitu wilayah administratif Kabupaten Katingan. b. Rektifikasi Citra (Koreksi Geometrik) Citra Landsat terlebih dahulu dilakukan rektifikasi/koreksi geometrik untuk mengurangi distorsi geomertik. Keakuratan hasil koreksi ditunjukkan dengan nilai RMS (Root Mean Square) yang kecil. Nilai RMS yang ditoleransi adalah yang lebih kecil dari 0,5. Untuk mendapatkan Nilai RMS yang kecil dilakukan dengan cara dengan memilih GCP (Ground Control Point) yang kesalahan geometrinya kecil dan membuang GCP yang menyebabkan nilai RMS besar. c. Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Deteksi Perubahan Sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan terdiri atas 5 (lima) tipe penggunaan lahan (hutan, tanaman tahunan, pertanian pangan, permukiman, dan semak belukar/lahan terbuka) dan 1 (satu) tipe tutupan lahan (tubuh air). Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan software ER Mapper 7.1 dan ArcGIS 10 dengan menggunakan kombinasi metode klasifikasi secara terbimbing (supervised classification) pada komposit band 5-4-2 dan interpretasi secara visual dengan komposit band 1-2-3 (Gambar 7). Menurut Sutanto (1986), teknik interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan menggunakan komponen interpretasi yang meliputi data acuan, kunci interpretasi citra, metode pengkajian dan penerapan konsep multispektral. Beberapa hal yang dijadikan dasar dalam interpretasi visual citra Kabupaten Katingan tahun 2012 adalah sebagai berikut : - Data acuan yang digunakan adalah peta penggunaan lahan tahun 2000 dan 2006 diperoleh hasil analisis Niin (2010). Peta penggunaan lahan tahun 2012 hasil interpretasi citra dibuat dengan menggunakan software ArcGis 10. - Kunci interpretasi citra yang menjadi pertimbangan berupa 9 karakteristik dasar, yaitu : rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs (Lillesand dan Kiefer 1993), asosiasi/ korelasi (Sutanto 1986) dan kedekatan antara interpreter dengan obyek yang diinterpretasi (Munibah 2008). - Metode pengkajian yang dilakukan adalah pengkajian dengan pertimbangan umum ke pertimbangan khusus pada suatu obyek dengan metode konvergensi bukti dimana menggunakan sebanyak mungkin kunci interpretasi citra. - Penerapan konsep multispektral, yaitu penggunaan alternatif beberapa band secara bersamaan untuk memudahkan interpretasi.
25
Citra dengan komposit band 542 (false colour composite) dapat dengan mudah untuk membedakan obyek vegetasi dengan non vegetasi. Obyek bervegetasi dipresentasikan dengan warna hijau dan tanah kering dengan warna merah. Citra dengan komposit band 321 (true colour composite) merupakan kombinasi komposit citra yang merefleksikan warna sebenarnya yang ada di permukaan bumi (natural color).
Gambar 7 Diagram Alir pengolahan data penginderaan Jauh dengan kombinasi metode klasifikasi terbimbing dan interpretasi visual Analisis deteksi perubahan penggunaan lahan tiap titik tahun dilakukan setelah diperoleh peta penggunaan lahan pada masing masing tahun dengan cara membuat matrik transformasi yang dapat mendeteksi perubahan penggunaan lahan ke perubahan lainnya termasuk luas dan sebarannya. Matrik perubahan tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2000 - 2006
Luas Tahun 2000 (ha)
Penggunaan Lahan Kab.Katingan Hutan (Htn) Tanaman Ta-hunan (TanThn) Permukiman (Pmk)
Luas Tahun 2006 (ha) Htn Tan.Thn Pmk 1 2 3 7 8 9
Total (ha)
PP 4 10
Smk/Tan.Tbk 5 11
Tubuh Air 6 12
13
14
15
16
17
18
Htn 2000 Tan.Thn 2000 Pmk 2000
Pertanian Pangan (PP)
19
20
21
22
23
24
PPlk 2000
Semak Belukar/Tanah Terbuka (Smk/Tan.Tbk) Tubuh Air (Tbhair)
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Smk/Tan. Tbk 2000 Tbhair 2000
jumlah(ha)
Htn Tan.Thn Pmk PPlk Smk/Tan.Tbk2006 Tbhair200 2006 2006 2006 2006 6
26
Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2006 - 2012 juga menggunakan bentuk matrik sebagaimana tertera dalam Tabel 5. Sedangkan untuk melihat arah perubahan penggunaan lahan dari satu penggunaan lahan ke penggunaan lahan lain sebagaimana tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Arah perubahan penggunaan lahan Penggunaan Lahan Kab.Katingan
Luas (ha) Htn
Luas (Ha)
Hutan (Htn) Tanaman Tahunan (Tan.Thn) Permukiman (Pmk)
Pertanian Pangan (PP) Semak Belukar/Tanah Terbuka (Smk/Tan.Tbk) Tubuh Air (Tbhair) jumlah(ha)
Tan.Thn Pmk
PP
Total (ha) Smk/Tan. Tubuh Tbk Air
0
1
1
1
1
0
Htn
1
0
1
1
1
0
Tan.Thn
0
0
0
0
0
0
Pmk
1
1
1
0
1
0
PP
1
1
1
1
0
1
Smk/Tan.Tbk
0
0
0
1
0
Tbhair
0
Htn
Tan.Thn Pmk
PPlk Smk/Tan. Tbhair Tbk
Keterangan :
0 : Tidak berubah ke penggunaan lahan lain 1 : Berubah ke penggunaan lain
3.4.2 Analisis Inkonsistensi Penggunaan Lahan Tujuan analisis ini adalah untuk melihat seberapa jauh tingkat inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2012 dengan peta RTRW Kabupaten Katingan dan peta Kawasan Hutan menurut SK Menhut 529/2012 (Gambar 6). Basis data SIG yang menyangkut data atribut RTRW dan penggunaan lahan tahun 2012 dieksport ke microsoft excel dan diolah, begitupun dengan atribut Kawasan Hutan menurut SK Menhut 529/2012. Pengolahan dilakukan dengan cara membuat kolom baru yang memberikan informasi mengenai jenis penggunaan lahan yang berada pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan dalam RTRW maupun dengan Kawasan Hutan. Dengan demikian, basis data SIG tersebut dapat dimanipulasi untuk menampilkan data spasial yang konsisten atau inkonsisten terhadap RTRW. Penentuan konsistensi dan inkonsistensi dilakukan berdasarkan model logika efektifitas tata ruang (Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor, 2002), tergambar dalam Tabel 7. Hal yang paling mendasar untuk dimengerti dari model logika ini adalah, bahwa alih fungsi lahan menjadi ruang terbangun memiliki sifat irreversible, dimana ruang yang telah digunakan untuk ruang terbangun hampir tidak mungkin untuk dikembalikan kepada pemanfaatan ruang sebelumnya (kawasan lindung, kawasan pertanian). Selain itu, bahwa jenis penutupan lahan dapat berpengaruh terhadap kemampuan penyerapan air.
27
Tabel 7 Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penggunaan Lahan Tahun 2012 di Kabupaten Katingan Klasifikasi Umum Arahan Pemanfaatan Ruang
KAWASAN LINDUNG
KAWASAN BUDIDAYA
Klasifikasi Pemanfaatan Ruang Menurut RTRW ** Kawasan Lindung/ Resapan Air, Sempadan /Terbuka Hijau Kawasan Hutan Produksi Kawasan Pertanian Kawasan Pertambangan Kawasan Industri Kawasan Pariwisata Kawasan Permukiman
Penggunaan Lahan 2012 Hutan Tanaman Pertanian Tahunan Pangan
Pemukiman
Semak Belukar/Tanah Terbuka
Tubuh Air
#
*
*
*
*
#
#
*
*
*
*
#
# #
# #
# #
* #
# #
# #
# # #
# # #
# # #
# # #
# # #
# # #
Sumber: Modifikasi dari Lembaga Penelitian IPB (2002) Keterangan: # = Konsisten; * = Inkonsisten; ** = Klasifikasi PP 10/2000 3.4.3 Analisis Deskriptif Rahmaniah (2012) menjelaskan analisis deskriptif sebagai analisis mengenai suatu hal yang dijelaskan secara naratif (deskripsi penjelasan). Analisis deskriptif dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian kelompok, yaitu : 1. Apabila hanya mendeskripsikan data apa adanya dan menjelaskan data atau kejadian dengan kalimat-kalimat penjelasan secara kualitatif maka disebut penelitian deskriptif kualitatif, 2. Apabila dilakukan analisis data dengan menghubungkan antara satu variabel dengan variabel yang lain maka disebut deskriptif asosiatif, 3. Apabila dalam analisis data dilakukan pembandingan maka disebut deskriptif komparatif. 3.4.4 Statistika Deskriptif Statistika Deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Pengklasifikasian menjadi statistika deskriptif dan statistika inferensia dilakukan berdasarkan aktivitas yang diilaksanakan (Walpole, 1995). Statistika deskriptif hanya memberikan informasi mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik inferensia atau kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar. Contoh statistika deskriptif yang sering muncul adalah tabel, diagram, grafik, dan besaran-besaran lain di majalah dan koran-koran. Menurut Rahmaniah (2012) Dengan statistika deskriptif, kumpulan data yang diperoleh akan tersaji dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari kumpulan data yang ada. Informasi yang dapat diperoleh dari statistika deskriptif ini antara lain ukuran pemusatan data, ukuran penyebaran data, serta kecenderungan suatu gugus data.
28
3.4.5 Analisis Isi (Content Analysis) Ekomadyo (2006) menyebutkan bahwa analisis isi (content analysis) secara sederhana diartikan sebagai metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”. Teks dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna dalam sebuah teks, dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan, sesuai dengan tujuannya maka metode analisis isi menjadi pilihan untuk diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks. Menurut Rahmaniah (2012) Penelitian Analisis Isi berusaha melihat konsistensi makna dalam sebuah teks. Konsistensi ini dapat dijabarkan dalam pola-pola terstruktur yang dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang sistem nilai dibalik teks itu. Metode Analisis Isi menuntut beberapa persyaratan: objektif, sistematis, dan dapat digeneralisasikan. Objektif berarti prosedur dan kriteria pemilihan data, pengkodean serta cara interpretasi harus didasarkan pada aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Sistematis berarti inklusi dan ekslusi atau kategori harus berdasarkan aturan yang konsisten. Dapat digeneralisasikan, berarti tiap temuan harus memiliki relevansi teoritis. Neuman dalam Ekomadyo (2006) menyebutkan langkah-langkah dalam meneliti dengan metode Analisis Isi, yaitu (1) menentukan unit analisis (misalnya jumlah teks yang ditetapkan sebagai kode), (2) menentukan sampling, (3) menentukan variabel, (4) menyusun kategori pengkodean, dan (5) menarik kesimpulan. Tahapan prosedur analisis isi digambarkan dalam Tabel 8. Tabel 8 Tahapan Prosedur Analisis Isi Pertanyaan Penelitian Apakah ada pesan/isi yang berkaitan dengan elemen dasar dan proses REDD+ di Kabupaten Katingan?
Sumber Data Terpilih Dokumen perencanaan di Kabupaten Katingan yaitu : 1. RPJPD Kabupaten Katingan Tahun 2005 – 2025 2. Draft RTRW Kabupaten Katingan Tahun 2011 - 2031
Kategori Analisis Elemen dasar dan proses REDD di Indonesia meliputi 3 (tiga) elemen diantaranya: 1. Elemen Reduksi Emisi; a. Perubahan Iklim
b. Pelestarian hutan 2. Elemen Manfaat Tambahan (Co-Benefit); a. Kualitas Lingkungan dan keanekaragaman hayati b. Peningkatan kesejahteraan 3. Elemen Ekuitas; a. Keadilan gender b. Hak publik c. Transparansi dan partisipasi d. Akuntabel
Pengkodean
Skala/Item Berdasarkan kriteria tertentu Skala Nominal
Kode 1 ; • Kode 1a • Kode 1b Kode 2 ; • Kode 2a
• Kode 2b Kode 3 • Kode 3a • Kode 3b • Kode 3c • Kode 3d
Sumber : Analisis Isi (Content Analysis) dalam Yuris (2009)
Apabila terdapat Elemen dasar dan proses REDD+ di Indonesia dalam teks maka akan diberi nilai 1 dan apabila tidak terdapat elemen dalam teks maka diberi nilai 0.
29
Pada Tabel 8 dapat dilihat unit analisis yang digunakan adalah 2 dokumen perencanaan daerah (RTRW dan RPJPD) dengan sampling dilakukan pada seluruh dokumen dalam setiap Bab-nya. Variabel yang digunakan dalam analisis konten ini didasarkan pada Angelsen (2013) dan Satgas REDD (2012) yang dipaparkan pada Bab Tinjauan Pustaka. Elemen dasar dan proses REDD+ diformulasikan menjadi 3 elemen dan 8 faktor penting, yaitu elemen reduksi emisi (dasar), manfaat tambahan (dasar) dan ekuitas (proses). Khusus untuk elemen reduksi emisi, didalam objek ini sasarannya didekati ke dalam konteks yang menyesuaikan dengan teks yang akan dianalisis, yaitu perubahan iklim dan pelestarian hutan. Dalam konteks analisis kebijakan, content analysis merupakan suatu metode yang dikembangkan untuk melakukan eksplorasi terhadap substansi pada suatu kebijakan yang telah dibuat. Menurut Santoso (2010), salah satu model analisa kebijakan publik dapat dikembangkan melalui 3 (tiga) hal yang melekat dalam suatu kebijakan, yaitu substansi, proses dan konteks. Pertama, pengertian substansi lebih kepada muatan persoalan/isu yang hendak diangkat. Kedua, proses merupakan rangkaian upaya yang dilaksanakan dari awal hingga akhir. Ketiga adalah konteks dimana upaya untuk mengatasi persoalan itu berlangsung. Para analis kebijakan bisa saja hanya melakukan analisis pada salah satu dimensi dari tiga hal yang disebutkan. Dengan demikian, content analysis merupakan bagian dari salah satu dimensi analisis kebijakan publik yang mempunyai titik berat pembahasan pada lebih pada suatu substansi dalam kebijakan itu sendiri. 3.4.6 Analisis Hirarki Proses (Analytical Hierarchy Process) Menurut Marimin (2008), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagianbagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberikan nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Menurut Parnphumeesup (2011) dalam melakukan analisis persepsi para pihak dan analisis hirarki proses sebagian besar bergantung pada wawancara mendalam bersama dengan dokumen kebijakan dan pengalaman para pihak terkait kebijakan yang akan diteliti. Brown et al. (2004) dalam Parnphumeesup (2011) menyarankan bahwa struktur wawancara harus dikembangkan sesuai dengan posisi yang diwawancarai dan pengalaman di lapangan. Wawancara terstruktur dilakukan dengan mengacu pada manfaat REDD+ dan biaya sosial. Para pihak yang terkait dengan REDD+ ditanya tentang pengalaman mereka didasarkan pada inisiatif REDD+ lewat PT. Rimba Makmur Utama. Setelah melalui proses wawancara mendalam dengan para pihak, Analisis Hirarki Proses kemudian digunakan untuk menilai preferensi keberlanjutan REDD+ dari stakeholder. AHP adalah alat yang berguna untuk memprioritaskan preferensi stakeholder dan mengungkapkan perbedaan antara stakeholder kelompok. Model penghubungan AHP yang user-friendly untuk pengambilan keputusan multi-kriteria telah diterapkan dalam berbagai pengaturan.
30
Menurut Jagger et al. dalam Angelsen et al. (2010) contoh analisis dampak yang kokoh dalam pustaka konservasi, isu deforestasi yang dihindari dan pembayaran jasa lingkungan hanya sedikit sekali. Analisis dampak REDD+ dapat memberi sumbangan luar biasa bagi pemahaman kami mengenai keberhasilan prakarsa kebijakan lingkungan dan pembangunan. Parnphumeesup (2011) dalam penelitiannya terkait mekanisme pembangunan bersih (CDM) mencoba melakukan pendekatan untuk menilai preferensi stakeholder melalui aspek manfaat (penghasilan tambahan, lapangan kerja, reduksi emisi CO2, menurunnya pembakaran residu biomassa) dan aspek biaya sosial (debu, kebisingan, dan pencemaran). Untuk lebih memudahkan pembuatan struktur hirarki AHP dalam menganalisis dampak inisiatif REDD+ yang berkelanjutan di Kabupaten Katingan, dilakukan pembagian pada aspek manfaat dan biaya sosial, seperti tertera pada Gambar 8. Beberapa turunan aspek manfaat dan biaya sosial sengaja dipilih dan ditentukan, selain dari indikator harapan dan kekhawatiran REDD+, prinsip-prinsip REDD+ juga dengan menyesuaikan pada konteks ruang lingkup penelitian. Formulasi struktur hirarki preferensi keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan seperti tertera dalam Gambar 8. Preferensi stakeholder terhadap REDD+ diperoleh dengan menggunakan pertanyaan perbandingan berpasangan. Stakeholder diminta untuk menilai satu manfaat REDD+ yang disukainya terhadap yang lain menggunakan skala 9-point, begitupun dengan biaya sosial yang mungkin timbul. Skala ini digunakan untuk menentukan bobot-temuan. Menurut Saaty (1980) , nilai ‘9’ menandakan mutlak pentingnya, sedangkan nilai ‘1’ mewakili sama bersifat penting. Keberlanjutan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan Manfaat REDD+ Tidak Langsung
Langsung Lapangan Pekerjaan
Tambahan Penghasilan
Biaya Sosial
Rehabilitasi Hutan
Berkurangnya Bencana Alam
Ketersedia- Hasil Hutan an Air Tanah Non Kayu
Pertimbangan Sosial Konflik antar Pemerintah
Konflik Konflik Pemerintahantar Masyarakat Masyarakat
Gambar 8 Struktur hirarki preferensi keberlanjutan REDD+ dengan AHP
31
4 GAMBARAN UMUM DAN PERENCANAAN WILAYAH KABUPATEN KATINGAN 4.1 Administrasi dan Karakteristik Fisik Wilayah 4.1.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Wilayah Kabupaten Katingan merupakan wilayah yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah, ibukotanya terletak di Kasongan, dengan koordinat geografis antara 0º 20' - 3º 38' Lintang Selatan dan 112º 00' - 113º 45' Bujur Timur. Sebelah utara Berbatasan dengan dengan Kabupaten Malawi Provinsi Kalimantan Barat; sebelah timur dengan Kabupaten Gunung Mas, Kota Palangkaraya, dan Kabupaten Pulang Pisau; sebelah selatan dengan Laut Jawa; sedangkan sebelah barat dengan Kabupaten Kotawaringin Timur serta Kabupaten Seruyan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah sebesar 20.403 km2 (2.040.300 Ha), sekitar 11,59 % dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Katingan saat ini terdiri dari 13 kecamatan dan 161 desa/kelurahan. Pada tahun 2010, dua diantaranya yaitu Kecamatan Petak Malai dan Bukit Raya merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Sanaman Mantikei dan Katingan Hulu. Kecamatan Kamipang merupakan kecamatan yang memiliki persentase luas kecamatan terhadap luas kabupaten terbesar. Kabupaten ini dilintasi oleh Sungai Katingan yang memiliki panjang ± 650 Km, lebar ± 300 m, serta kedalaman ± 6 m dengan banyak anak sungai, meliputi: Sungai Kalanaman, Sungai Samba, Sungai Hiran, Sungai Bemban, Sungai Senamang, Sungai Bulan, Sungai Kalarau, Sungai Baraoi, Sungai Taranei, Sungai Sebangau Besar, dan Sungai Sebangau Kecil. Dari luas wilayah tersebut terbagi ke dalam dua kawasan besar yaitu kawasan pasang surut yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan, dan kawasan non pasang surut yang merupakan potensi lahan perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta. Dari luas wilayah tersebut terbagi ke dalam dua kawasan besar yaitu kawasan pasang surut yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan, dan kawasan non pasang surut yang merupakan potensi lahan perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta. Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tentu saja strategi dan kebijakan pembangunan daerah ditempuh dengan cara yang berbeda berdasarkan karakteristik kawasan tersebut. 4.1.2 Kondisi Iklim Keadaan iklim ditentukan dari data curah hujan yang ada di Kabupaten Katingan dan sekitarnya pada saat ini. Penentuan tipe curah hujannya didasarkan pada klasifikasi dari Schimdt-Ferguson (1951), dengan kriteria bulan kering (BK) jika curah hujan < 60 mm/bulan, bulan lembab jika curah hujan 60 – 100 mm/bulan, dan bulan basah (BB) jika curah hujan > 100 mm/bulan. Berdasarkan data curah hujan yang diperoleh, Kabupaten Katingan mempunyai iklim dengan klasifikasi tipe B yakni tergolong dalam kondisi iklim basah. Jumlah curah hujan per tahun di Kabupaten Katingan sebesar 2320,6 mm. Suhu udara di Kabupaten Katingan sangat bervariasi dengan suhu rata-rata 26,8 oC (variasi kisaran antara 26,2 oC – 27,7 oC). Suhu udara rata-rata minimun 25,5 oC terjadi pada bulan September dan suhu udara maksimum mencapai 28,5
32
oC
terjadi pada bulan Agustus. Intensitas penyinaran matahari rata-rata tahunan cukup tinggi (53%) dan sumber daya air yang cukup banyak (8,76% dari luas Kabupaten Katingan) sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Desember - Maret, sedangkan bulan kering/kemarau jatuh pada Juli sampai dengan September. 4.1.3 Jenis Tanah, Kelerengan dan Geologi Keadaan jenis tanah di Kabupaten Katingan saat ini secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 ordo. Ketiga ordo tersebut adalah : Histosol (Gambut), Entisol (Alluvial), dan Spodosol/Podsol (Pasir). Menurut Bappeda (2011), jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Katingan adalah sebagai berikut: - Podsolik Merah Kuning: tanah ini sering dijumpai terletak menyebar di tengah sampai hulu sungai seperti Kecamatan Katingan Hulu dan Kecamatan Marikit - Kompleks Podsolik: tanah ini tersebar di tengah, seperti Kecamatan Pulau Malan, Tewang Sg Garing dan Katingan Hilir - Kompleks Regosol: dijumpai menyebar di bagian timur Kec. Tasik Payawan. - Alluvial: banyak terdapat di sekitar daerah aliran sungai katingan serta di daerah pantai sampai kebagian tengah kecamatan kamipang. - Organosol: terdapat di Kecamatan Mendawai dan sedikit di Kecamatan Katingan Kuala - Oksisol (lateritik): terdapat di bagian hulu Kecamatan Sanaman Mantikei. Secara topografis, wilayah Kabupaten Katingan di sekitar aliran Sungai Katingan mudah tergenang, berawa-rawa dan merupakan endapan serta bersifat organic dan asam. Wilayah daratan dengan ketinggian 0-7 m dari permukaan laut memiliki luasan 120.030 ha atau 11,16% dari luas wilayah, yang memiliki sifat datar sampai bergelombang, terkadang tergenang. Wilayah dengan ketinggian 100-500 m dari permukaan laut memiliki luasan 105.293 ha atau 9,79% dan lokasinya menyebar. Wilayah dengan ketinggian di atas 500 m mempunyai sifat berbukit sampai bergunung dengan kelerengan lebih dari 40% dan sangat potensi erosi. Sebagian besar wilayah Kabupaten Katingan mempunyai kelerengan 015%, meliputi 1.442.235 ha atau 71,04% dari total wilayah. Wilayah dengan kelerengan di atas 40% mempunyai areal yang paling sedikit, khususnya penyebarannya terkonsentrasi di bagian utara, dimana wilayahnya mempunyai ketinggian di atas 500 m di atas permukaan laut. Kabupaten Katingan dalam bentuk peta topografis digambarkan dalam Gambar 9. Secara geologi bagian utara merupakan jalur mineralisasi yang dikenal dengan “Sabuk Emas Kalimantan” yang menghasilkan Au. Ag. Cu. Zn. Pb. Fe dan Batu Mulia serta mineral-mineral industri seperti Batuan Beku. Pasir Kwarsa. Zirkon. Urutan formasi batuan tersebut dari yang berumur tua ke muda dapat dirincikan sebagai berikut : Batuan Malihan Pinoh, Batuan Gunungapi, Tonalit Sepauk, Formasi Tanjung, Batuan Gunungapi Malasan, Formasi Montalat, Batuan Terobosan Sintang, Formasi Warukin, Formasi Dahor dan Aluvium. Kabupaten Katingan dalam bentuk peta secara geologi digambarkan dalam Gambar 10.
33
Gambar 9 Peta Kelerengan Kabupaten Katingan
34
Gambar 10 Peta Geologi Kabupaten Katingan
35
Ribu (Jiwa)
4.1.4 Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Katingan sesuai sensus penduduk tahun 1990 berjumlah 99.531 jiwa; dan data sensus tahun 2000 berjumlah 120.429 jiwa. Pada tahun 2003 penduduk Katingan berjumlah 125.828 jiwa dan pada tahun 2007 naik menjadi 138.995 jiwa. Pada Tahun 2011, menurut BPS Kabupaten Katingan (2012), Jumlah penduduk Kabupaten Katingan adalah 150.642 Jiwa dengan lakilaki berjumlah 78.866 jiwa dan perempuan berjumlah 71.776 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk tiap tahun berfluktuasi. Pertumbuhan penduduk yang menurun terjadi pada tahun 2006, 2008, 2009, dan 2010. Grafik jumlah penduduk Kabupaten Katingan disajikan dalam Gambar 11. 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2003
2004
Laki-laki
2005
2006
2007
Perempuan
2008
2009
2010
2011
Total Penduduk
Gambar 11 Penduduk Kabupaten Katingan Tahun 2003 - 2011 Sumber: BPS Kabupaten Katingan (2008, 2010, 2012) 4.1.5 Penggunaan Lahan Menurut Bappeda (2011) luas penggunaan lahan menurut status peruntukan lahan di Kabupaten Katingan pada tahun 2009 adalah sebesar 1.780.000 Ha. Jenis penggunaan tanah yang paling banyak terdapat di Kabupaten Katingan berupa bukan lahan sawah yaitu lahan kering 806.986 ha dan lainnya mencapai 941.671 ha. Sedangkan lahan sawah hanya mencapai 34.343 Ha (1,76%), dan total lahan bukan sawah seluas 1.748.657 Ha (98,24%). Penutupan lahan (land cover) berupa hutan, yaitu sekitar 73,22 %. Kawasan yang tidak berpenutupan hutan sekitar 26,78 %. Sementara berdasarkan data sebaran gambut, sekitar 29,46% dari wilayah Kabupaten Katingan merupakan kawasan bergambut dan kawasan yang bergambut dalam dan tebal sekitar 9,39% dari luas wilayah Kabupaten Katingan secara admnistratif, yaitu seluas 1.750.000 Hektar.
4.2 Aktivitas Perekonomian Daerah 4.2.1 PDRB, Pertumbuhan Ekonomi dan Struktur Ekonmi Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Katingan setelah pemekaran selalu positif dengan kecenderungan terus meningkat (lihat Tabel 9). Tahun 2003 laju pertumbuhan hanya 2,84% dan tahun 2011 meningkat menjadi 6,21 %. Dalam periode 2003 – 2011 perekonomian Kabupaten Katingan tumbuh rata-rata dengan 4,45 % per tahun. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut dibawah target yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Daerah Tahun 2004 – 2008 (Bappeda, 2011).
36
Tabel 9
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Katingan atas dasar harga berlaku (ADHB) dan harga konstan (ADHK) tahun 2000 periode 2003 – 2011
Tahun
Laju Pertumbuhan
2003 2004
Atas Dasar Harga Berlaku (dalam juta rupiah) 1.192.875,65 1.282.200,35
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
1.460.818,64 1.695.541,80 1.898.132,91 2.166.241,80 2.376.872,32 2.664.919,05 3.035.674,21
13,93% 16,07% 11,95% 14,12% 9,72% 12,12% 13,91%
9,36% 7,49%
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (dalam juta rupiah) 946.439,75 976.563,03
Laju Pertumbuhan
1.010.502,77 1.049.310,75 1.102.070,47 1.157.368,94 1.211.765,96 1.281.800,67 1.361.445,48
2,84% 3,18% 3,48% 3,84% 5,03% 5,02% 4,70% 5,78% 6,21%
Keterangan :
*) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Kabupaten Katingan (2012)
Sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan dan menjadi andalan dalam pembentukan PDRB di Kabupaten Katingan dibandingkan sektorsektor yang lain, walaupun setiap tahun cenderung mengalami penurunan (lihat Tabel 10 dan Gambar 12). Pada tahun 2003 sektor ini menyumbang PDRB sebesar 49,98 % dan dalam perkembangannya terus menurun hingga kini di tahun 2011 hanya memberikan sumbangan 44,35 %. Penurunan peran sektor ini karena berkurang disebabkan peranan sub sektor kehutanan yang cenderung menurun secara signifikan sejak tahun 2005. Pada sub sektor lainnya, seperti perkebunan dan peternakan, justeru mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak 2005 hingga sekarang. Menurut Bappeda (2011) diperkirakan pada tahun-tahun berikutnya kontribusi sub sektor perkebunan akan terus meningkat. Dalam pengembangan struktur ekonomi Kabupaten Katingan, perlu dicermati untuk mengembangkan subsektor industri pengolahan, yaitu dengan mengolah hasil pertanian menjadi barang jadi atau setengah jadi. Subsektor ini diharapkan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Kenyataannya subsektor ini terlihat stagnan dan cenderung tidak berubah di kisaran 6 % - 7 %. 25
(%)
20
15
10
5
0 2003
2004 Pertanian
Gambar 12
2005
2006 Perkebunan
2007 2008 Peternakan
2009 Kehutanan
2010
2011 Perikanan
Grafik kontribusi Sub Sektor dalam sektor Pertanian Kabupaten Katingan
37
Tabel 10 Kontribusi masing-masing Lapangan Usaha terhadap PDRB Kabupaten Katingan, Periode 2003 s/d 2011 (Atas Dasar Harga Konstan) Lapangan Usaha
Kontribusi Lapangan Usaha per tahun (%) 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 49,98 50,03 47,36 46,04 46,15 45,50 45,35 44,97 44,35 7,91 7,92 7,62 7,68 7,61 7,11 7,23 7,29 7,07 16,79 17,88 17,76 21,20 22,44 22,31 22,42 22,54 22,55 0,03 3,45 3,57 4,18 4,69 4,88 5,08 5,04 4,98 14,00 12,85 10,96 5,50 3,97 3,77 3,30 3,27 3,24 7,89 7,93 7,45 7,48 7,43 7,44 7,33 6,82 6,51 1,15 1,10 4,27 4,26 4,10 4,09 4,14 3,83 3,63
1. Pertanian a. Pertanian Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri 6,85 6,88 6,72 6,65 6,47 6,68 6,72 6,66 6,58 Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan 0,16 0,15 0,14 0,15 0,15 0,15 0,14 0,15 0,15 Air Bersih 5. Bangunan 2,23 2,11 2,16 2,43 2,56 2,74 2,96 3,32 3,52 6. Perdagangan, 18,93 19,02 18,20 17,99 17,67 17,57 17,37 17,96 18,63 Hotel, Restoran 7. Pengangkutan dan 10,43 10,15 10,60 11,34 11,75 11,91 11,96 11,66 11,52 Telekomunikasi 8. Keuangan, 1,36 1,34 1,71 1,75 1,85 1,87 1,85 1,93 2,03 Persewaan, dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa 8,91 9,21 8,84 9,38 9,30 9,49 9,50 9,53 9,58 JUMLAH (PDRB) 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : diolah, BPS (2011) 4.2.2 Potensi Sektor Perekonomian 4.2.2.1 Sektor Pertanian Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk desa/kelurahan di tiap kecamatan di Kabupaten Katingan adalah sektor pertanian, terutama sub sektor pertanian tanaman pangan. Sampai saat ini sub sektor pertanian tanaman pangan menyumbang sekitar 7% - 8% terhadap PDRB Kabupaten Katingan. Tabel 11 menunjukkan besarnya luas panen dan produksi tanaman pangan dalam kurun waktu 4 tahun ke belakang (2008 – 2011). Tabel 11 Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Katingan Tahun 2008 – 2011 Komoditas
2008 Produk si (ha) (Ton) 16.184 39.188 84 165 32 35 168 184 21 17 390 4.546 142 988 14.729 10.842 Luas
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar Buah-buahan Sayuran
2009 Produk si (ha) (Ton) 16.375 41.607 120 235 42 46 190 215 12 10 241 2.813 121 844 17.870 896 3.230 Luas
2010 Produk si (ha) (Ton) 20.915 55.201 202 391 287 331 46 52 1 1 184 2.150 85 593 266 Luas
2011 Produk si (ha) (Ton) 18.013 51.373 63 121 211 254 34 38 7 6 112 1.325 64 455 13.776 441 113
Luas
Sumber: BPS Kabupaten Katingan (2008, 2009, 2010, 2011, 2012)
38
Luas panen dan produksi yang ada di Kabupaten Katingan dapat disajikan pada tabel tersebut di atas. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam luas lahan dan produksi padi yang berasal terutama dari sawah. Meskipun di tahun 2011 luasan dan produksi menurun, secara keseluruhan komoditas padi memiliki kecenderungan yang positif baik secara luasan maupun produksinya. 4.2.2.2 Sektor Peternakan Sub sektor Peternakan dan hasil-hasilnya memiliki kontribusi yang relatif kecil yaitu hanya sekitar 3,3% - 4,7% dalam pembentukan PDRB. Pengusahaan hasil peternakan di Kabupaten Katingan tersebar di 11 Kecamatan dengan produksi: Daging sapi/kerbau, Daging kambing, Daging babi, Daging unggas, Ayam dan Itik. Potensi peternakan Kabupaten Katingan dan produksi daging ternak tahun 2004 – 2007 tertera dalam Tabel 12. Tabel 12 Potensi dan Produksi Ternak Kabupaten Katingan Tahun 2004 – 2007 Potesi Peternakan (ekor) Jenis Ternak
2004
Sapi Babi Ayam Buras
2005
2006
4.328
4.331
5.259
5.613
Produksi daging (ton) 2007
2004
2005
2006
2007
4.792
5.132
10,89
11,983
12,367
12,568
5.935
6.324
14,23
14,94
14,99
15,01
66,30
69,62
70,25
70,35
-
-
-
107.692
114.296
212.173
215.257
Kerbau
213
233
240
252
-
Kambing
524
543
573
586
0,18
0,20
0,27
0,33
118.232
126.465
223.713
227.551
91,6
96,73
97,88
98,26
Jumlah
Sumber: Bappeda (2008) 4.2.2.3 Sektor Perkebunan Komoditi perkebunan mencakup hasil tanaman perkebunan baik yang diusahakan oleh masyarakat maupun yang dikelola oleh perusahaan perkebunan (perkebunan besar) seperti karet, kelapa dan sebagainya. Kondisi Luas, dan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Katingan Tahun 2004 – 2007 disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Data Luas, dan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Katingan Tahun 2003 – 2007 No
Komoditas
Luas (ha) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelapa sawit Karet Kelapa dalam Kopi Kakao Pinang Aren Kapuk/Randu Cengkeh Jambu Mete Lada
2004 Produksi (Ton)
156 9.198 3.515 391 316 3 91
Sumber : Bappeda (2008)
5.547 2.302 9.130 7 3 91
Luas (ha) 156 13.292 3.195 355 285 13 5 6 8 127 336
2005 Produksi (Ton) 5.175 1.844 77 6 1 0 7 4
Luas (ha)
2006 Produksi (Ton)
625 13.266 3.163 351 13 5 6 8 -
4.018 1.460 93 1 0 -
Luas (ha)
2007 Produksi (Ton)
694 14.740 3.514 390 14 5 7 -
7.618 1.150 2 1 -
39
Untuk Perkebunan Besar Swasta (PBS) di Kabupaten Katingan sampai tahun 2007 berjumlah 28 buah yang sudah memperoleh Hak Guna Usaha (HGU). Perkebunan yang belum berproduksi tetapi sudah ada kegiatan pembukaan lahan untuk Pembibitan dan Penanaman berjumlah 10 PBS, sedangkan yang belum beroperasi dan sebagian baru memperoleh Persetujuan Prinsip berjumlah 16 PBS. 4.2.2.4 Sektor Perikanan Kabupaten Katingan mengembangkan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Dari sisi perencanaan dan pelaksanaan program, pembangunan bidang/urusan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Katingan sudah berlangsung dengan baik. Target produksi dan juga PAD yang diraih dalam periode 2003 – 2007 sudah dapat dilampaui. Namun demikian peranan sub sektor ini dalam PDRB cenderung menurun. Pada tahun 2003 sumbangannya terhadap PDRB mencapai 7,89% sedangkan tahun 2007 turun menjadi 7,43%. 4.2.2.5 Sektor Kehutanan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.292/Menhut-II/2011 tanggal 31 Mei 2011, tentang Perubahan Antar Fungsi Kawasan Hutan seluas ± 1.168.656 ha, Perubahan Antar Fungsi Kawasan Hutan seluas ± 689.666 ha dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas ± 29.672 ha di Provinsi Kalimantan Tengah, diketahui data kawasan Kabupaten Katingan adalah sebagai berikut : 1. Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) seluas ± 441.221,91 ha meliputi: - Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya seluas ± 125.354 ha. - Taman Nasional Sebangau seluas ± 315.858 ha. 2. Hutan Lindung (HL) seluas ± 47.927,91 ha. 3. Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ± 379.838,05 ha. 4. Hutan Produksi Terbatas seluas ± 573.335,42 ha. 5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) seluas ± 393.759,09 ha. 6. Areal Penggunaan Lain (APL) seluas ± 170.934,08 ha, termasuk didalamnya Areal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) seluas ± 17.299,32 ha. 7. Tubuh Air seluas ± 20.222,69 ha. Produksi hasil hutan kayu di Kabupaten Katingan terus menurun seiring dengan lesunya kegiatan industri perkayuan dan juga perusahaan hutan yang berkurang sumber kayunya. Adapun target dan realisasi produksi kayu dapat dilihat dalam Tabel 14. Tabel 14 Target dan Realisasi Produksi Kayu Bulat HPH No. Tahun RKT Target (m3) Realisasi (m3) Prosentase (%) 1. 2007 661.199 540.407 81,73 2. 2008 641.092 501.297 78,19 3. 2009 520.000 385.348 74,10 4. 2010 460.881 347.556 75,41 5. 2011 383.197 496.724 129,62 Jumlah 2.666.369 2.271.333 85,18 Sumber : Bidang Pengusahaan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan (2011)
40
Menurut Bappeda (2011) Penurunan produksi sub sektor kehutanan karena adanya pengetatan illegal logging yang berdampak pada penurunan hasil hutan terutama kayu-kayu log. Sekarang ini hasil hutan yang akan digalakkan adalah rotan, yang dulunya merupakan tanaman liar di hutan dan sekarang sudah mulai dibudidayakan. Hasil Hutan non kayu primadona Kabupaten Katingan ini ternyata juga tidak begitu besar produksinya, tercatat oleh Dinas Kehutanan (2011) hingga 2010 baru menghasilkan 30.411 batang dan 3.254 ton (rotan taman, rotan irit maupun rotan lainnya) 4.2.2.5 Sektor Pertambangan Banyaknya cadangan berbagai macam bahan tambang wilayah Kabupaten Katingan, menjadikan Kabupaten Katingan merupakan daerah yang potensial untuk kegiatan pertambangan. Izin pertambangan yang telah dikeluarkan sampai dengan tahun 2007 sebanyak 29 buah. Deposit tambang seperti emas, sirkon, kaolin, pasir kwarsa, batubara dan lain-lain terdapat di wilayah Tengah dan Utara, seperti : a. Emas dan Sirkon terdapat di Sungai Hampalit/Kasongan dan Tumbang Sanamang. b. Kaolin dengan deposit + 2,091,754 ton di Kasongan. c. Bijih Besi dan Air raksa granit terdapat di Tumbang Sanamang. 4.2.2.6 Sektor Pariwisata Keadaan obyek wisata di Kabupaten Katingan secara umum terdiri dari tiga kelompok, yaitu : (1) Obyek wisata alam yang meliputi taman nasional, taman hutan rakyat, taman laut, sungai, danau dan dataran tinggi, (2) Obyek wisata budaya yang meliputi pengelolaan peninggalan sejarah, pusat-pusat kesenian dan budaya, festival budaya, bentuk fisik bangunan perkampungan tradisional, upacara adat dan kehidupan masyarakat tradisional, (3) Obyek wisata minat khusus yang meliputi pusat industri, pusat budaya dan kerajinan. Obyek wisata yang terdapat di Kabupaten Katingan misalnya Riam Jerawi, Taman Nasional Sebangau, Pusat Industri Rotan di Hampangen.
4.3 Kebijakan Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang Penelitian ini mengkaji sejauh mana elemen dasar dan proses REDD+ tertuang dalam dokumen perencanaan di Kabupaten Katingan. Didalam sub bab bahasan ini kebijakan yang akan dipaparkan meliputi: (1) Peraturan Daerah No. 2 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Katingan Tahun 2005-2025, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Katingan periode 2008 – 2013, dan (3) Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan Tahun 2011 – 2031. 4.3.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Katingan Tahun 2005-2025 Sejak dimekarkan tahun 2002, Kabupaten Katingan baru memiliki dokumen RPJPD-nya pada tahun 2008, meskipun periode RPJPD direncanakan sepanjang
41
2005 -2025. Dokumen ini merupakan dokumen rencana pembangunan yang memiliki jangka waktu yang panjang, yaitu 20 tahun. RPJPD Kabupaten Katingan sebagai dokumen perencanaan dimaksudkan untuk memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi para pihak (stakeholder) di Kabupaten Katingan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan daerah sesuai dengan visi, misi dan arah pembangunan yang disepakati bersama, sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh masing-masing pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif dan saling melengkapi. Dokumen ini disusun dengan tujuan untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan serta menjadi pedoman dalam penyusunan RPJMD dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Katingan dalam periode 2005–2025. Menurut Bappeda (2008) Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah Kabupaten Katingan merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat untuk mendorong dan membangkitkan semangat dan kemampuan bersama membangun daerah agar dapat mandiri sejajar dengan daerah-daerah lain. Masalah-masalah mendasar yang terdapat di Kabupaten Katingan antara lain: - Masih dijumpai penduduk dengan tingkat pendapatan rendah - Sulit menciptakan kesempatan kerja yang luas - Minim investasi di berbagai sektor - Masih tertinggal sektor pertanian dan perdesaan - Masih terjadi penyusutan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan - Sulitnya aksesibilitas - Masih rendah kualitas pendidikan dan derajat kesehatan - Masih lemah penegakan hukum - Belum mantapnya otonomi daerah - Belum jelas tapal batas wilayah Secara substansi, RPJPD Kabupaten Katingan ini memuat pemahaman bersama tentang Visi, Misi dan Arah Pembangunan Daerah di berbagai bidang. Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Katingan periode 2005 – 2025, adalah : “ Kabupaten Katingan yang Maju, Mandiri, Adil dan Sejahtera”. Indikator majunya suatu wilayah dalam hal ini dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek ekonomi (pendapatan, industri pengolahan, kelembagaan ekonomi yang kuat dan kondisi perekonomian yang stabil), aspek sosial politik (pendidikan, jumlah penduduk, angka harapan hidup, pelayanan sosial, peran serta masyarakat dan tersedianya infrastruktur). Kabupaten Katingan mengangkat isu kemandirian dalam visinya, dimana langkah awal kemandirian dalam kabupaten ini adalah ketika berhasil dilakukan pemekaran wilayah. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya. Cerminan kemandirian dapat dilihat dari aspek ketersediaan SDM yang tangguh, PAD yang meningkat, pemenuhan kebutuhan pokok sendiri dan keberlanjutan sumberdaya alam. Masalah keadilan dan pemerataan merupakan ciri yang harus ditonjolkan dalam pembangunan Kabupaten Katingan. Semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan; memperoleh lapangan
42
pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; peduli terhadap keamanan masyarakat dan lingkungan; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum. Dengan demikian, masyarakat yang berkeadilan berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah. Sementara “Sejahtera”, secara materil, merupakan terpenuhi nya pertumbuhan (ekonomi) yang ditandai dengan terus meningkat diikuti peningkatan pendapatan, kesehatan, pendidikan, rasa aman masyarakat serta diimbangi dengan pemerataan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan yang lebih baik. Sebagai upaya merealisasikan masyarakat Kabupaten Katingan yang maju, mandiri, adil dan sejahtera tersebut, ditetapkan 6 (enam) Misi Pembangunan Daerah Kabupaten Katingan, yaitu: (1) Meningkatkan perekonomian rakyat dengan mengutamakan sektor pertanian dalam arti luas, pariwisata dan industri agar terwujud perekonomian rakyat yang tangguh dan berdaya saing tinggi. (2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dengan pendidikan yang terencana agar tercipta produktivitas penduduk yang tinggi dan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Katingan yang semakin meningkat. (3) Membuka isolasi daerah melalui Pembangunan Infrastruktur sehingga terjamin kelancaran arus barang, manusia, modal dan informasi dari dan ke Kabupaten Katingan secara cepat dan murah. (4) Meningkatkan Pembangunan Sosial Budaya (termasuk kemitraan sosial dan kesetia-kawanan sosial), Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Ketertiban agar supaya terwujud masyarakat Kabupaten Katingan yang bermoral, beretika, berbudaya dan berdaya saing tinggi. (5) Mengelola Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup secara bijaksana, menstabilkan keseimbangan ekosistem, menghemat penggunaan SDA, menghentikan pemborosan penggunaan berbagai sumber daya, menghentikan kerusakan lingkungan hidup agar terwujud pembangunan Kabupaten Katingan yang berkelanjutan. (6) Memacu Pembangunan Bidang Pemerintahan agar terwujud tata pemerintahan yang baik dan bersih serta memantapkan pelaksanaan otonomi daerah dalam bingkai NKRI, meningkatkan kualitas pelayanan umum dengan menerapkan pelayanan prima kepada masyarakat, sehingga pelaksanaan Otonomi Daerah semakin nyata dan bertanggung jawab sebagai perwujudan dari tata pemerintahan yang baik dan bersih. 4.3.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Katingan periode 2008 – 2013 Sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan penjabaran Visi dan Misi Kepala Daerah terpilih. Dokumen ini merupakan penjabaran dari Visi dan Misi Bupati dan Wakil Bupati terpilih yang pada hakekatnya bertujuan menjadikan Kabupaten Katingan sebagai salah satu daerah yang maju dan berkembang melalui percepatan pembangunan di segala bidang. Visi Kabupaten Katingan adalah Katingan Pusat Produksi dan Perdagangan Rotan Indonesia, yang sekaligus menjadikan komoditas rotan
43
sebagai ikon Katingan. Hal ini menjadikan pemerintah lebih fokus dalam program dan kegiatan pembangunannya, sehingga pihak swasta terdorong untuk melakukan investasi dan kesempatan kerja meningkat. Visi tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep pemberdayaan ekonomi rakyat yang berkelanjutan Perwujudan visinya dikembangkan dalam misi “Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Katingan Yang Maju, Mandiri, Dan Produktif Dalam Suasana Lingkungan yang Sehat”, melalui : 1. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. 2. Pembangunan prasarana dan sarana untuk membuka isolasi daerah. 3. Peningkatan kemampuan ekonomi rakyat melalui penyediaan prasarana /sarana serta pengembangan komoditas unggulan 4. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. 5. Pembentukan kepemerintahan yang baik dan bersih (good governance) di Kabupaten Katingan melalui kebijakan otonomi daerah. 4.3.3 Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan Tahun 2011 – 2031. Penataan ruang Kabupaten Katingan mempunyai tujuan yang didasarkan atas visi, misi dan masalah terkini yang ada di Kabupaten, yaitu : “Penataan ruang Kabupaten Katingan bertujuan mewujudkan kabupaten yang maju mandiri berbasis industri pertanian dan potensi lokal yang berwawasan lingkungan” Kebijakan Penataan Ruang merupakan garis besar tindakan yang harus diambil untuk mewujudkan Tujuan Penataan Ruang. Adapun Kebijakan Penataan Ruang Kabupaten Katingan adalah sebagai berikut : a. pemerataan pertumbuhan ekonomi; b. pemerataan penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang menyeluruh; c. peningkatan kualitas lingkungan. Dalam RTRW Kabupaten Katingan ini mengatur Rencana Struktur Ruang, Rencana Pola Pemanfaatan Ruang dan Rencana Kawasan Strategis. 4.3.3.1 Rencana Struktur Ruang Wilayah Rencana struktur ruang wilayah kabupaten merupakan kerangka tata ruang wilayah yang tersusun atas beragam pusat-pusat kegiatan yang berhierarki satu sama lain dan dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah. Sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten meliputi sistem prasarana transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air dan sistem jaringan lainya yang mengintegrasikannya dan memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada di wilayah kabupaten. Rencana Struktur Ruang Kabupaten sepenuhnya harus merujuk pada Rencana Struktur Ruang Provinsi dan RTRWN. Dalam rencana ini, dibuatkan sistem pusat-pusat pelayanan yang merupakan susunan kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten yang membentuk hirarki pelayanan. 4.3.3.2 Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten, yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
44
Mengacu pada Permen PU No 16 Tahun 2009 tentang pedoman penyusunan RTRW Kabupaten, maka yang termasuk dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Rencana Pola Ruang Kabupaten Katingan 2011 – 2031 No A
B
Jenis Kawasan Kawasan Lindung 1. Hutan Lindung 2. Hutan Lindung (holding zone HPT) 3. Kawasan Lindung Setempat a. Sempadan danau/waduk b. Sempadan Sungai c. Sempadan pantai 4. Kawasan Suaka Alam a. Hutan suaka alam Kawasan Budidaya 1. Kawasan Hutan Produksi a. Hutan produksi b. Hutan produksi terbatas c. Hutan produksi konversi 2. Pertanian tanaman pangan a. Pertanian dalam apl b. Pertanian dalam holding zone 3. Kawasan perkebunan 4. Pertambangan a. Mineral logam 5. Kawasan Industri 6. Pariwisata 7. Permukiman a. Permukiman Perkotaan b. Permukiman Perdesaan Total
Luas (ha) 47.341 128.005
18.557 946.9 440.072
382.559 249.787 271.227 268.919 180.519 124.717 363 501 6.000 4.252 19.834 2.010.885
Sumber : Hasil Rencana, Bappeda (2011) 4.3.3.1 Rencana Pemanfaatan Kawasan Strategis Kawasan strategis memiliki pengertian berupa wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Untuk menetapkan kawasan-kawasan strategis yang sudah diidentifikasikan ada baiknya untuk mencermati kawasan tersebut dari sisi kriteria kawasan strategis yang sudah ditetapkan. Adapun yang termasuk dalam kriteria ini: a. Kawasan industri riset rotan yang terdapat di Hampangen; dan b. Kawasan pelestarian situs dan cagar budaya kawasan Petilasan Pahlawan Tjilik Riwut dan Kebun raya Katingan c. Kawasan PPK di semua kota di Kabupaten Katingan d. PKL Kasongan sebagai pusat kegiatan lokal
45
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan tahapan interpretasi citra satelit pada 3 (tiga) titik tahun, yaitu tahun 2000, 2006 dan 2012. Pertimbangan pemilihan tahun didasarkan atas sebelum pemekaran kabupaten (tahun 2000), setelah pemekaran kabupaten (tahun 2006) dan setelah implementasi inisiatif REDD+ melalui moratorium hutan (tahun 2012). Disamping itu, pertimbangan lainnya adalah data perubahan penggunaan lahan pada tahun 2000 dan 2006 menggunakan data hasil studi Niin (2010), dengan sedikit menambah dan memperbaiki interpretasi sehubungan dengan data administrasi wilayah Kabupaten Katingan yang sedikit berubah. Data penggunaan lahan tahun 2012 dihasilkan dari interpretasi citra satelit yang sama dengan klasifikasi penggunaan lahan pada studi Niin (2010) sebelumnya, yaitu Landsat ETM+. Klasifikasi citra diperlukan untuk mengetahui sebaran dan luas perubahan jenis penggunaan dan tutupan lahan di wilayah studi. Data citra tahun 2012 yang digunakan adalah Landsat ETM+7 sebanyak 5 scene, yang meliputi Path/Row : 118/061, 118/062, 119/060, 119/061, 119/062. Tanggal akuisisi citra dalam rentang Mei – September 2012, yang lengkapnya disajikan dalam tabel akuisisi citra ditampilkan dalam Lampiran 1. Data citra ini diperoleh dari SEAMEO BIOTROP (South East Asian Regional Centre for Tropical Biology). Cuplikan Citra Landsat disajikan pada Lampiran 2, Lampiran 3 dan Lampiran 4. Klasifikasi penggunaan lahan pada penelitian ini menggunakan acuan pembagian kelas penggunaan dan penutupan lahan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kehutanan (sekarang Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan) yang kemudian digeneralisasi menjadi 5 kelas penggunaan lahan dan 1 kelas tutupan lahan. 5 (lima) kelas penggunaan lahan di Kabupaten Katingan meliputi hutan, tanaman tahunan (perkebunan), pertanian pangan, pemukiman, dan semak belukar/tanah terbuka serta 1 tutupan lahan berupa tubuh air. Masing-masing kelas penggunaan lahan di Kabupaten Katingan memiliki karakteristik yang berbeda antar kelas. Melalui hasil analisis citra landsat, hasil pengamatan lapangan dan hasil studi pustaka, dapat diketahui karakteristiknya sebagai berikut : 1. Penggunaan Lahan Hutan Pada citra satelit penggunaan lahan hutan dapat dicirikan dengan tekstur yang kasar, bentuk maupun polanya yang tidak teratur dengan ukuran luas yang cukup besar, bisa menyebar dan bergerombol di beberapa tempat, serta tampilan warnanya yang yang berwarna hijau tua dan pekat. Menurut Niin (2010), kondisi hutan di Kabupaten Katingan saat ini sebagian besar didominasi tanaman Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Dryobalanops terutama di wilayah sebelah utara yang berpotensi tinggi sebagai penghasil kayu. Wilayah bagian selatan didominasi oleh jenis tanaman rawa gambut seperti ramin. Pada bagian utara dan selatan Kabupaten ini masing-masing terdapat Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan Taman Nasional Sebangau. Gambar 13
46
memperlihatkan penggunaan lahan hutan yang dijumpai di Kabupaten Katingan, khususnya di wilayah TN Bukit Baka Bukit Raya.
Gambar 13 Penggunaan Lahan Hutan (koleksi Foto : Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya) 2. Penggunaan Lahan Tanaman Tahunan Kenampakan tanaman tahunan (perkebunan) pada citra satelit umumnya ditandai dengan tekstur yang kasar, warna hijau tua dan pekat. Secara khusus untuk kebun campuran ditandai dengan posisi kebun yang biasanya berdekatan dengan lokasi pemukiman dan biasanya terpola secara tidak teratur dan menyebar (Gambar 14a). Sementara untuk tanaman tahunan berupa perkebunan (sawit maupun karet misalnya) ciri yang jelas ditandai oleh pola yang teratur dan biasanya dengan bentuk petak-petak persegi empat (lihat Gambar 14b).
a) kebun campuran b) kebun sawit Gambar 14 Penggunaan Lahan Tanaman Tahunan Tanaman Tahunan di Kabupaten Katingan ini memiliki ragam jenis diantaranya tanaman karet, sawit dan tanaman buah-buahan seperti durian, mangga, rambutan, dan pisang. Saat ini khusus untuk tanaman sawit, Kabupaten Katingan sedang menggiatkan pengembangan komoditas ini menjadi salah satu alternatif pengembangan ekonomi di wilayahnya, baik dalam bentuk perusahaan maupun perseorangan. 3. Penggunaan Lahan Pemukiman Kenampakan pemukiman pada citra satelit umumnya dicirikan oleh bentuk bangunan yang biasanya berbentuk bidang segi empat, tekstur halus-kasar, dan memiliki warna magenta tua. Pemukiman di kawasan perkotaan biasanya terletak dekat dengan sisi akses jalan utama dan membentuk pola yang teratur, biasanya disebut perumahan. Pemukiman di kawasan pedesaan/perkampungan, terletak memanjang mengikuti jalan maupun sungai dengan pola yang tidak teratur.
47
Menurut Niin (2010), karakteristik pemukiman di Kabupaten Katingan merupakan pemukiman tradisional yang berada di tepi sungai, sementara untuk pemukiman perkotaan mulai dibangun mengikuti jalur jalan. Bentuk pemukiman perumahan (dalam bentuk kompleks perumahan ataupun transmigrasi) ditemukan di wilayah ini dengan bentuk yang seragam dan teratur (Gambar 15)
a) Transmigrasi; Gambar 15
b) pemukiman pinggir sungai Penggunaan Lahan Pemukiman
4. Penggunaan Lahan Pertanian pangan Lahan pertanian pada citra satelit terlihat dengan bentuk persegi yang cenderung lurus di daerah dataran dan membengkok maupun berteras di daerah yang miring (berlereng). Lahan ini dicirikan juga oleh warna coklat kehijauan dengan tekstur kasar, pola yang tidak teratur dan cenderung menyebar berdekatan dengan pemukiman Lahan pertanian ini biasanya ditanami oleh tanaman sejenis/tumpangsari seperti padi, jagung, umbi-umbian, palawija dan sebagainya. Menurut Niin (2010), penggunaan lahan pertanian pangan, khususnya pertanian pangan lebih banyak dijumpai di Kabupaten Katingan daripada penggunaan lahan pertanian pangan lahan basah. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang mengusahakan pertanian dengan sistem pertanian berpindah dengan menerapkan sistem bera. Wilayah bagian selatan Kabupaten Katingan sudah sejak lama terkenal sebagai salah satu lumbung padi untuk memenuhi pasokan kabupaten, dan pasokan Provinsi Kalimantan Tengah. Contoh penggunaan lahan pertanian pangan tertera dalam Gambar 16.
Gambar 16
Penggunaan Lahan Pertanian Pangan
5. Penggunaan Lahan Semak Belukar/Tanah Terbuka Semak belukar maupun tanah terbuka merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang tidak banyak ditumbuhi vegetasi, seperti halnya hutan dan
48
perkebunan. Kebanyakan didominasi oleh rerumputan, paku-pakuan, beberapa jenis tanaman kecil yang tingginya kurang dari dua meter, dan tumbuhan merambat. Menurut Arsyad (2000) tanaman ini cukup padat menutupi permukaan tanah sehingga dapat berfungsi sebagai penahan erosi dan mempertinggi resapan air. Secara umum, kenampakan semak belukar pada citra satelit Landsat ditandai dengan warna coklat kemerahan, pola yang menyebar dan tidak teratur serta dengan tekstur yang kasar. Penampakan tanah terbuka ditandai dengan warna yang putih kemerahan dengan tekstur halus dan luas yang relatif kecil ketimbang semak belukar, seperti disajikan dalam Gambar 17.
Gambar 17 Penggunaan Lahan Semak Belukar/Tanah Terbuka 6. Penutupan Lahan Tubuh Air Tubuh air dalam klasifikasi ini merupakan tutupan lahan yang terdiri atas sungai, danau, maupun rawa yang selalu tergenang. Secara luasan, yang biasanya bisa mengalami pertambahan maupun pengurangan yang signifikan adalah pada tutupan lahan rawa, dimana pada saat musim kemarau bisa saja terjadi surutnya air dan berubah menjadi semak belukar/tanah terbuka. Lain halnya dengan sungai maupun danau, yang secara relatif dan dalam waktu yang panjang biasanya tidak mengalami perubahan bentuk dan luasan yang signifikan. Kenampakan tubuh air biasanya ditandai dengan warna biru tua/kehitaman dengan bentuk memanjang dan tidak sama lebar serta tampak berkelok-kelok. Di Kabupaten Katingan, terutama di bagian selatan, banyak terdapat rawarawa yang kondisi airnya bisa pasang dan surut. Rawa-rawa ini pulalah yang oleh sebagian masyarakat disana dijadikan salah satu mata pencaharian untuk mencari ikan. Gambar 18 memperlihatkan tutupan lahan tubuh air berupa sungai.
Gambar 18 Penutupan Lahan Tubuh Air
49
5.1.1 Struktur Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2006 dan 2012 Interpretasi citra landsat pada 3 (tiga) titik tahun, di Kabupaten Katingan dengan menggunakan kombinasi antara klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan manual/visual, menghasilkan peta sebaran penggunaan lahan pada tahun 2000, 2006 dan tahun 2012 (berturut-turut pada Gambar 20, Gambar 21 dan Gambar 22). Peta sebaran penggunaan lahan ini dihasilkan dari hasil interpretasi Niin (2010) untuk tahun 2000 dan 2006 dengan sedikit merevisi hasil klasifikasinya dan mengubah wilayah administrasi kabupatennya dengan wilayah administrasi kebupaten yang terkini. Selain itu, dihasilkan luasan tiap jenis penggunaan lahan setiap tahunnya, sehingga bisa dihitung juga besar perubahan yang terjadi pada tiap jenis penggunaan lahannya (seperti Tabel 16) Dari Tabel 16 diketahui luasan total penggunaan lahan Kabupaten Katingan sebesar 2.054.686 hektar. Jenis penggunaan lahan terbesar didominasi oleh hutan yang cenderung menurun dan semak belukar yang meningkat dalam kurun waktu 2000 – 2012. Sementara jenis penggunaan lahan lainnya seperti pemukiman, tanaman tahunan dan pertanian pangan memiliki kecenderungan yang meningkat. Hal ini diduga oleh perkembangan pesat setelah pemekaran kabupaten tahun 2002 (dampak otonomi daerah). Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Katingan tahun 2000 secara berturutturut menurut luasannya adalah hutan (73,42 %), semak belukar (23,84 %), pertanian pangan (1,51 %), pemukiman (0,14 %), dan terakhir adalah tanaman tahunan (0,08 %). Urutan luasan jenis penggunaan lahan pada tahun 2006 sedikit mengalami perubahan dibanding kan dengan tahun 2000, dengan komposisi hutan (65,55 %), semak belukar (29,70 %), pertanian pangan (2,33 %), tanaman tahunan (1,14 %), dan terakhir adalah pemukiman (0,27 %). Pada tahun 2012, urutan luas jenis penggunaan lahan sama dengan tahun 2006 dimana komposisi hutan menurun (60,47 %), semak belukar meningkat (31,83 %), pertanian pangan meningkat (3,19 %), tanaman tahunan semakin meningkat (3,11 %), dan terakhir adalah pemukiman (0,38 %) Tabel 16 Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000, 2006 dan 2012 Penggunaan Lahan Tahun 2000 Tahun 2006 Tahun 2012 Perubahan Tahun 2000 2006
Perubahan Tahun 2006 2012 Perubahan Tahun 2000 2012
Hutan
Pemukiman
Pertanian Pangan
Tanaman Tahunan
Semak Belukar /TanahTerbuka
Tubuh Air
Jumlah
1.508.489 73,42 1.346.795 65,55 1.242.554 60,47 -161.695
2.871 0,14 5.496 0,27 7.843 0,38 2.625
31.077 1,51 47.909 2,33 65.489 3,19 16.832
1.736 0,08 23.455 1,14 63.977 3,11 21.719
489.778 23,84 610.296 29,70 654.088 31,83 120.518
20.735 1,01 20.735 1,01 20.735 1,01 0
2.054.686 100 2.054.686 100 2.054.686 100
-10,72
91,45
54,16
1251,33
24,61
0,00
Luas (ha)
-104.241
2.347
17.580
40.522
43.792
0
% Luas (ha)
-7,74 -265.936
42,71 4.973
36,70 34.412
172,76 62.241
7,18 164.310
0,00 0
-17,63
173,21
110,73
3585,92
33,55
0,00
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha)
%
%
Keterangan : *): Persentase perubahan terhadap luasan tahun sebelumnya Dari Tabel 16 juga dapat diketahui penggunaan lahan mana saja yang meningkat signifikan. Selama kurun waktu 2000 – 2012, persentase peningkatan luasan diatas 2 kali besarnya luas penggunaan lahan pada tahun 2000 terjadi pada
50
% luasan
jenis penggunaan lahan pertanian pangan (110,73 %) dan pemukiman (173,21 %) serta tanaman tahunan yang meningkat paling tajam (hingga 3.585 %). Kecenderungan berkembangnya suatu wilayah juga mulai tampak dari aktivitas tanaman tahunan (perkebunan) dan pertanian pangan serta bertambahnya area pemukiman pada periode 2000 - 2012. Kecenderungan berkurangnya luasan lahan hutan juga mengindikasikan adanya perubahan (konversi) hutan yang dilakukan untuk pengembangan suatu wilayah. Persentase luasan penggunaan lahan pada tahun 2000, 2006 dan 2012 disajikan dalam Gambar 19. 80
3.5
70
3.0
60
2.5
50
2.0
40
1.5
30 20
1.0
10
0.5
Hutan
Semak Belukar/Tanah Terbuka
Pemukiman
Pertanian Pangan Lahan Kering
Tanaman Tahunan
Tubuh Air
2000
73
24
2000
0.1
1.5
0.1
1.0
2006
66
30
2006
0.3
2.3
1.1
1.0
2012
60
32
2012
0.4
3.2
3.1
1.0
Gambar 19 Persentase Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000, 2006 dan 2012 Gambar 19 menunjukan bahwa hutan mendominasi penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Katingan baik pada tahun 2000, 2006 maupun pada tahun 2012, masing-masing sebesar 73 %, 66 % dan 60 %, meskipun luas penggunaan lahan hutan cenderung menurun selama kurun waktu 2000 sampai 2012. Penutupan/penggunaan lahan ini secara spasial dapat terlihat penyebarannya hampir merata di seluruh Kabupaten Katingan, terutama pada bagian selatan dan utara. Masih tingginya lahan hutan di Kabupaten Katingan juga mengindikasikan potensi untuk dikembangkannya pengelolaan hutan melalui inisiatif REDD+. Lahan hutan tahun 2012 menyebar merata pada bagian selatan dan bagian utara dan sedikit di bagian tengah wilayah Kabupaten Katingan. Adanya 2 Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya cukup dapat mempertahankan fungsi hutan sebagaimana mestinya dalam kurun waktu 2000 2012. Lahan hutan ini dominan di 6 kecamatan, yaitu Bukit Raya Marikit, Sanaman Mantikei, Petak Malai, Kamipang, dan Mendawai. Penggunaan lahan semak belukar menduduki urutan kedua sepanjang tahun 2000 – 2012 dengan kecenderungan yang terus meningkat. Hingga tahun 2012 luasan penggunaan lahan semak belukar mencapai 32 % dari luasan wilayah Kabupaten Katingan dengan sebaran merata terutama di sepanjang aliran sungai yang berada di wilayah ini. Terkait dengan bahasan penurunan luasan hutan pada sebelumnya, pengurangan penutupan/penggunaan lahan hutan selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penutupan/penggunaan lahan semak belukar/tanah terbuka, karena penutupan/penggunaan lahan merupakan penutupan/penggunaan lahan transisi sebelum digunakan untuk penutupan/ penggunaan
51
Gambar 20 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000
52
Gambar 21 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006
53
Gambar 22 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2012
54 lahan lainnya. Semak belukar ini tersebar merata di seluruh kecamatan, 5 (lima) kecamatan yang didominasi semak belukar adalah Tasik Payawan, Katingan Hilir, Tewang Sangalang Garing, Pulau Malan dan Katingan Tengah. Penggunaan lahan yang menduduki urutan ketiga adalah pertanian pangan. Penggunaan lahan ini meningkat cukup besar, dimana sebelumnya berada di Kecamatan Katingan Kuala saja dan saat ini berdasarkan sebaran penggunaan lahan tahun 2012, juga telah tersebar di Kecamatan Katingan Tengah, Tewang Sangalang Garing dan Pulau Malan. Hingga tahun 2012, luasan penggunaan lahan pertanian pangan ini mencapai 3,2 % dari luas wilayah Kabupaten Katingan. Jenis penggunaan lahan tanaman tahunan/perkebunan merupakan jenis penggunaan lahan yang menduduki urutan ke-4, meskipun sempat menjadi urutan ke-5 pada tahun 2000, dimana luasan penggunaan lahan tanaman tahunan ini dibawah dari luasan pemukiman. Sejak terjadinya pemekaran Kabupaten aktivitas perekonomian daerah melalui usaha perkebunan pun cukup meningkat. Hal ini bisa dilihat dari persentase luasan yang semakin meningkat di tahun 2006 (1,1 %) dan semakin bertambah di tahun 2012 (3,1 %). Sebaran penggunaan lahan ini terjadi di sebagian besar bagian tengah wilayah Kabupaten Katingan. Ada 5 kecamatan yang terdapat tanaman tahunan yaitu Kecamatan Kamipang, Katingan Hilir, Tewang Sangalang Garing, Pulau Malan dan Katingan Tengah. Jenis penggunaan lahan berikutnya yang menduduki urutan ke-5 adalah pemukiman. Meskipun sempat menduduki urutan ke-4 pada tahun 2000, yang ternyata pertumbuhannya tidak sebesar luas tanaman tahunan/perkebunan. luas permukiman setiap tahunnya meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Hal ini menunjukan adanya korelasi positif antara luas pemukiman dengan jumlah penduduk. Penyebaran penutupan/penggunaan lahan permukiman terpusat pada ibukota Kabupaten (Kota Kasongan) dan sebagian tersebar di Ibukota kecamatan serta desa-desa di sepanjang aliran sungai Katingan. Saat ini persentase luas pemukiman hanya mencapai 0,4 % saja dari luasan wilayah Kabupaten Katingan. Jenis penutupan lahan tubuh air relatif tidak mengalami perubahan selama periode 2000 – 2012. Secara umum terjadi trend bertambah dan berkurang pada penutupan lahan tubuh air ini disebabkan tubuh air di Kabupaten Katingan ini tidak hanya sungai dan danau yang relatif kecil perubahannya dalam jangka waktu cepat, tetapi juga ada beberapa ekosistem rawa yang suatu waktu bisa cepat menyimpan air dan cepat juga air mengering berubah menjadi semak belukar. 5.1.2 Laju dan Trend Perubahan Penggunaan Lahan 2000 – 2012 Luas perubahan penggunaan lahan pada periode 2000 – 2006 dan periode 2006 – 2012 diperlihatkan dalam Gambar 23. Pada 2000 – 2006 yang mengalami trend penurunan adalah hutan yang turun luasnya hingga 161.695 ha (lihat Tabel 20 hal.61). Hal yang sama juga terjadi pada periode 2006 – 2012, lahan hutan mengalami penurunan luas sebesar 104.241 ha. Penurunan luas penutupan/penggunaan lahan hutan di periode 2000 – 2006 itu disebabkan oleh masih tingginya aktivitas pengusahaan hutan pada waktu itu dan juga adanya kegiatan penebangan liar yang marak. Kegiatan penebangan liar itu pada tahun 2005 mulai dihentikan melalui operasi wana lestari yang dilakukan serempak di seluruh Indonesia dan operasi ini pun juga menyisir wilayah Kabupaten Katingan.
55 Sementara itu pada periode 2006 – 2012 luas lahan hutan juga mengalami penurunan, meskipun tidak seluas pada periode 2000 – 2006. Hal ini disebabkan oleh semakin berkurangnya aktivitas pengusahaan hutan (khususnya kayu) dibagian selatan Kabupaten Katingan. Pada saat ini yang masih beraktivitas pemanfaatan hasil kayu adalah di bagian utara kabupaten Katingan di Kecamatan Petak Malai dan Sanaman Mantikei. Semakin berkurangnya penebangan liar pada periode 2006 – 2012 juga menyebabkan pengurangan luasan hutan yang tidak besar seperti pada periode 2000 – 2006. Dari Gambar 23 juga bisa dilihat trend pertambahan yang terjadi pada kelas penggunaan lahan semak belukar, tanaman tahunan (perkebunan), pertanian dan pemukiman. Berkurangnya aktivitas pengusahaan hutan juga berdampak pada meningkatnya aktivitas alternatif sumber perekonomian daerah, yaitu melalui perkebunan dan pertanian. Dalam beberapa tahun mendatang pun kedua penggunaan lahan perkebunan maupun pertanian ini akan semakin positif, dimana dalam draft RTRW Kabupaten Katingan secara khusus mengalokasikan ruang untuk kawasan perkebunan dan kawasan pertanian. Meningkatnya penggunaan lahan semak belukar juga menunjukkan adanya indikasi akan ada perubahan penggunaan lahan ke arah yang lebih produktif lagi, misalnya kecenderungan untuk mempersiapkan lahan pertanian maupun perkebunan. Terlihat dalam Gambar 23 dimana trend semak belukar/tanah terbuka berkurang dan ada pertambahan yang signifikan ke lahan perkebunan dan pertanian pada periode 2006 – 2012. Perkembangan wilayah Kabupaten Katingan saat ini sudah mulai menggeliat seiring dengan dimekarkan wilayahnya yang kemudian dilanjutkan untuk mengembangkan perekonomian melalui aktivitas tanaman tahunan (perkebunan), pertanian pangan dan juga bertambahnya pemukiman.
Ribu Ha
Luas Perubahan 2000 - 2006 Luas Perubahan 2006 - 2012 150 100 Hutan
50 0 -50 -100
Pemukiman Pertanian Tan. Tahunan Semak
-150 -200
Gambar 23
Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 – 2012
Tabel 17 memperlihatkan laju perubahan penggunaan lahan per tahun di Kabupaten Katingan. Pada periode 2000 – 2006, laju penurunan penggunaan /penutupan lahan hutan (deforestasi) sebesar 26.949 ha/tahun dan sedikit menurun lajunya pada periode 2006 – 2012 sebesar 17.374 ha/tahun. Besarnya laju deforestasi ini disebabkan maraknya pembalakan kayu melalui IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam) maupun secara ilegal yang marak dilakukan dalam periode itu pada periode tahun 2000-an. Laju deforestasi
56 menjadi turun pada periode 2006 -2012, disebabkan semakin berkurangnya aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu dan juga adanya program rehabilitasi hutan melalui kebijakan Pemerintah Pusat berupa Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional sejak tahun 2008. Tabel 17 Luas dan Laju Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan tahun 2000 – 2012 Penggunaan Lahan
Hutan
Perubahan Tahun 2000 2006 Luas (ha) Laju/Thn (ha/Th)
Perubahan Tahun 2006 2012 Luas (ha) Laju/Thn (ha/Th)
-161.695
-26.949
-104.241
-17.374
2.625
438
2.347
391
Pertanian pangan
16.832
2.805
17.580
2.930
Tanaman Tahunan
21.719
3.620
40.522
6.754
20.086
43.792
7.299
Pemukiman
Semak Belukar/Tanah Terbuka 120.518 Keterangan : tanda (-) terjadi pengurangan luasan
Pada Periode 2000 – 2006, laju peningkatan penggunaan lahan terjadi pada 4 jenis penggunaan lahan lainnya, yang menunjukkan trend positif, dimana semak belukar/tanah terbuka, tanaman tahunan, pertanian pangan dan pemukiman memiliki laju peningkatan berturut-turut 20.086 ha/tahun, 3.620 ha/tahun, 2.805 ha/tahun dan 438 ha/tahun. Pada penggunaan lahan semak belukar, tingginya laju perubahan luasan (20.086 ha/tahun) yang terjadi pada 2000 – 2006 mengindikasikan juga akan adanya transisi penggunaan lahan ke tanaman tahunan, pertanian pangan dan pemukiman. Hal ini sejalan dengan periode berikutnya 2006 – 2012 yang memperlihatkan peningkatan laju signifikan pada pertanian pangan (2.930 ha/tahun) dan tanaman tahunan (6.754 ha/tahun), serta pemukiman (391 ha/tahun). Sementara laju perubahan luas semak belukar mengalami trend penurunan laju perubahannya (tinggal 7.299 ha/tahun).
Ribu Ha/tahun
Laju Perubahan 2000 - 2006
Laju Perubahan 2006 - 2012
30 20 10 0 -10 -20 -30 Hutan
Gambar 24
Pemukiman
Pertanian
Tan. Tahunan
Semak
Laju Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan periode 2000 - 2006 dan 2000 - 2012
57 5.1.3 Ragam Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 – 2012 Pada sub bab terdahulu telah dibahas mengenai luasan perubahan penggunaan lahan, laju perubahan luasan penggunaan lahan setiap tahunnya dan uraian mengenai penyebab dari bertambah maupun berkurangnya suatu jenis penggunaan lahan. Pada sub bab kali ini akan dibahas mengenai ragam pola perubahan penggunaan lahan tahun 2000 – 2012. Perubahan luasan terjadi di semua kelas penggunaan lahan dan perlu dilihat perubahan suatu kelas penggunaan lahan itu menjadi kelas penggunaan lahan apa pada tahun berikutnya. Hal ini akan mempermudah monitoring untuk melihat kecenderungan suatu pola perubahan penggunaan lahan dalam jangka waktu tertentu. Matrik perubahan penggunaan lahan dengan membandingkan 2 titik tahun di Kabupaten Katingan dapat dilihat pada Tabel 18, Tabel 19. Tabel 18 Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 – 2006 Perubahan Penggunaan Lahan 2000 - 2006
1.343.746
577
5.559
7.665
Permukiman (Pmk)
-
2.871
-
-
-
-
2.871
Pertanian pangan (PPlk)
-
114
30.963
-
-
-
31.077
Tanaman Tahunan (Tan.Thn)
-
-
-
1.736
-
-
1.736
3.049
1.934
11.387
14.055
459.354
-
489.778
-
-
-
-
-
20.735
20.735
1.346.795
5.496
47.909
23.455
610.296
20.735
2.054.686
Semak Belukar/Tanah Terbuka (Smk/Tan.Tbk) Tubuh Air Jumlah Tahun 2006 (Ha)
Htn
Pmk
PPlk
Tan.Thn
Tubuh Air -
Jumlah Tahun 2000 (Ha)
Smk/ Tan.Tbk 150.943
Hutan (Htn)
Luas Tahun 2000 (Ha)
Luas Tahun 2006 (Ha)
1.508.489
Dari Tabel 18, matrik tersebut dapat menunjukkan perubahan suatu jenis penggunaan lahan menjadi jenis penggunaan lahan di tahun berikutnya, ada yang mengalami perubahan ke beberapa bentuk dan ada yang tidak sama sekali berubah. Pada periode 2000 – 2006, jenis penggunaan lahan yang tidak mengalami perubahan adalah pemukiman (2.871 ha), tanaman tahunan (1.736 ha) dan tubuh air (20.735 Ha). Sementara jenis penggunaan pertanian pangan sebagian berubah menjadi pemukiman sebesar 114 ha di tahun 2006. Jenis penggunaan lahan hutan dan semak belukar/tanah terbuka mengalami perubahan ke semua jenis penggunaan lahan yang ada. Jenis penutupan/penggunaan lahan hutan yang luasnya 1.508.489 ha di tahun 2000, berubah di tahun 2006 menjadi pemukiman (577 ha), pertanian pangan (5.559 ha), tanaman tahunan (7.665 ha) dan semak belukar/tanah terbuka (150.943 ha). Hutan di tahun 2006 berkurang menjadi 1.343.746 ha. Jenis penggunaan lahan semak belukar/tanah terbuka yang luasnya 489.778 ha pada tahun 2000, ternyata mengalami perubahan pada tahun 2006 menjadi hutan (3.049 ha), pemukiman (1.934 ha), pertanian pangan (11.387 ha), tanaman tahunan (14.055 ha). Semak belukar/tanah terbuka yang tidak berubah hanya seluas 459.354 ha. Transformasi suatu penggunaan lahan juga terjadi di Kabupaten Katingan selama periode 2006 – 2012 (lihat Tabel 19). Hanya 4 jenis penggunaan lahan saja
58 yang tidak mengalami perubahan bentuk penggunaan lahan, yaitu pemukiman (5.496 ha), pertanian pangan (47.909 ha), tanaman tahunan (23.455 ha) dan tubuh air (20.735 ha). Jenis penggunaan lahan hutan dan semak belukar/tanah terbuka mengalami perubahan ke semua jenis penggunaan lahan yang ada. Jenis penutupan/penggunaan lahan hutan yang luasnya 1.346.795 ha di tahun 2006, berubah di tahun 2012 menjadi pemukiman (124 ha), pertanian pangan (5.734 ha), tanaman tahunan (19.694 ha) dan semak belukar/tanah terbuka (78.690 ha). Penggunaan lahan hutan di tahun 2012 berkurang menjadi 1.242.554 ha. Jenis penggunaan lahan semak belukar/tanah terbuka yang luasnya 610.296 ha pada tahun 2006, ternyata mengalami perubahan pada tahun 2012 menjadi pemukiman (2.223 ha), pertanian pangan (11.847 ha), tanaman tahunan (20.828 ha). Semak belukar/tanah terbuka yang tidak berubah hanya seluas 575.399 ha. Tabel 19 Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006 – 2012 Perubahan Penggunaan Lahan 2006 - 2012
1.242.554
124
5.734
19.694
Pemukiman (Pmk)
-
5.496
-
-
-
-
5.496
Pertanian pangan (PPlk)
-
0
47.909
-
-
-
47.909
Tanaman Tahunan (Tan.Thn)
-
-
-
23.455
-
-
23.455
Semak Belukar/Tanah Terbuka (Smk/Tan.Tbk)
-
2.223
11.847
20.828
575.399
-
610.296
Tubuh Air
-
-
-
-
-
20.735
20.735
1.242.554
7.843
65.489
63.977
654.088
20.735
2.054.686
Jumlah Tahun 2012 (Ha)
Htn
Pmk
PPlk
Tan.Thn
Tubuh Air -
Jumlah Tahun 2006 (Ha)
Smk/ Tan.Tbk 78.690
Hutan (Htn)
Luas Tahun 2006 (Ha)
Luas Tahun 2012 (Ha)
1.346.795
Tabel 18 dan Tabel 19 memperlihatkan bagaimana pola perubahan dalam rentang waktu 2 titik tahun, 2000 – 2006 dan 2006 – 2012. Selain itu, untuk menghasilkan pola perubahan penggunaan lahan yang bisa dilihat dalam rentang waktu 3 titik tahun (2000, 2006 dan 2012), dilakukan dengan melakukan overlay 3 peta penggunaan lahan yang telah dihasilkan sebelumnya. Hasil pola perubahan penggunaan lahan 3 titik tahun dapat dilihat pada Tabel 20. Ada 24 pola yang berhasil diekstrak dari hasil overlay, pola penggunaan lahan yang dimulai dari hutan dan semak belukar merupakan yang paling banyak polanya. Jumlah pola penggunaan lahan hutan bertransformasi ternyata memiliki jumlah pola yang sama dengan penggunaan lahan semak belukar/tanah terbuka yang bertransformasi, ada 11 pola masing-masing. 2 pola perubahan penggunaan lainnya adalah pola transformasi pertanian pangan. Secara luasan, pola transfomasi penggunaan lahan yang memiliki luasan terbesar adalah pola 9, 3 dan 4 dengan masing-masing luasan meliputi 147.679 ha, 77,644 ha dan 19.589 ha. Adapun hasil perhitungan lengkap luasan masing-masing pola perubahan penggunaan lahan dilampirkan dalam Lampiran 6.
59 Dari Tabel 20, dapat dilihat bahwa jenis penggunaan lahan pemukiman berasal dari penutupan/penggunaan lahan hutan, semak belukar, dan pertanian pangan. Perubahan penutupan/penggunaan lahan khususnya perubahan lahan ke pemukiman ini bersifat irreversible, dimana kemungkinan untuk kembali ke penutupan/penggunaan lahan semula peluangnya sangat kecil, meskipun dapat kembali ke penutupan/penggunaan semula maka memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang sangat besar. Jenis penggunaan lahan irreversible lainnya adalah tanaman tahunan/perkebunan. Jenis ini berasal dari penutupan/penggunaan lahan hutan dan semak belukar dimana konversi terjadi dari semak belukar dan hutan. Sementara penutupan/penggunaan lahan semak belukar/tanah terbuka secara dominan bersifat sementara yang berarti bahwa penutupan/penggunaan lahan tersebut dapat kembali ke penutupan/penggunaan semula atau dapat berubah ke penutupan/penggunaan lahan lainnya. Semak belukar umumnya berubah ke pertanian lahan kering, pemukiman dan tanaman tahunan/perkebunan. Tabel 20 Pola Perubahan Penggunaan Lahan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2000, 2006 dan 2012 Penggunaan Lahan Tahun 2000
Penggunaan Lahan Tahun 2006
Hutan
Hutan
Penggunaan Lahan Tahun 2012
Pola
Permukiman
1
Pertanian Pangan
2
Semak Belukar / Lahan Terbuka
3
Tanaman Tahunan / Kebun
4
Hutan
Permukiman
Permukiman
5
Hutan
Pertanian Pangan
Pertanian Pangan
6
Hutan
Semak Belukar/ Lahan Terbuka
Hutan
Tanaman Tahunan/Kebun
Semak Belukar/ Lahan Terbuka
Hutan
Permukiman
7
Pertanian Pangan
8
Semak Belukar / Lahan Terbuka
9
Tanaman Tahunan / Kebun
10
Tanaman Tahunan / Kebun
11
Hutan
12
Permukiman
13
Pertanian Pangan
14
Semak Belukar / Lahan Terbuka
15
Tanaman Tahunan / Kebun
16
Semak Belukar/ Lahan Terbuka Semak Belukar/ Lahan Terbuka Semak Belukar/ Lahan Terbuka
Permukiman
Pemukiman
17
Pertanian Pangan
Pertanian Pangan
18
Semak Belukar/ Lahan Terbuka Pertanian Pangan
Tanaman Tahunan/ Kebun Pemukiman
Pemukiman
23
Pertanian Pangan
Pertanian Pangan
Pemukiman
24
Semak Belukar/ Lahan Terbuka
Pemukiman
19
Pertanian Pangan
20
Tanaman Tahunan / Kebun
21
Tanaman Tahunan / Kebun
22
60 Penggunaan lahan hutan dan semak belukar merupakan penggunaan lahan yang paling banyak bertransformasi ke bentuk penggunaan lahan lainnya. Jika kembali melihat pada Tabel 20, kemudian mengurutkan polanya berdasarkan bentuk akhir transformasi penggunaan lahannya, ternyata ada 8 pola yang mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi penggunaan lahan pemukiman (4.972 ha). 6 pola transformasi lainnya masing-masing ke penggunaan lahan yang berakhir pada penggunaan lahan tanaman tahunan/perkebunan (62.240 ha) dan pertanian pangan (34.526 ha). Sisanya 3 pola penggunaan lahan berakhir pada penggunaan lahan semak belukar (226.368 ha) dan hanya 1 pola berakhir menjadi penggunaan lahan hutan (1.795 ha). Dengan demikian, secara berurutan, dapat dilihat kemungkinan besar perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah menjadi tanaman tahunan/perkebunan, pertanian pangan dan pemukiman. Khusus pada penggunaan lahan semak belukar, mengingat sifatnya yang temporer (sementara), besar kemungkinan perubahan akan banyak terjadi ke penggunaan lahan tanaman tahunan/perkebunan, pertanian pangan dan pemukiman. Hal ini sejalan dengan perkembangan luasan area pertanian yang meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir pada Tabel 2 Bab Pendahuluan. 5.2. Inkonsistensi RTRW Kabupaten dan Penunjukkan Kawasan Hutan Kabupaten Katingan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012 5.2.1 Inkonsistensi RTRW Kabupaten Katingan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012 Analisis tumpang tindih (overlay) antara peta penggunaan lahan 2012 dengan RTRW Kabupaten Katingan yang mengacu pada RTRW Provinsi Kalimantan Tengah (Perda 8/2003) dilakukan untuk mengetahui ketidak sesuaian (inkonsistensi) penggunaan lahan antara rencana penggunaan lahan yang ada di RTRW Kabupaten dengan kondisi eksisting yang dihasilkan dari interpretasi citra. Hasil ini bisa digunakan sebagai alat monitoring sekaligus evaluasi atas pelaksanaan pada pemanfaatan ruang dan sekaligus memberikan kontrol pada proses pengendalian pemanfaatan ruang. Hasil analisis overlay antara peta penggunaan lahan tahun 2012 dan RTRW Kabupaten Katingan dapat dilihat pada Tabel 21. Jika melihat pada Tabel 21, hutan di kabupaten Katingan ini tersebar di semua arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW Kabupaten Katingan. Hutan tersebar di kawasan lindung mencapai 168.903 ha. Sementara pada kawasan budidaya, hutan tersebar menjadi kawasan hutan produksi (896.752 ha), kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (7.599 ha), kawasan hutan produksi terbatas (579.731 ha) kawasan hutan pendidikan (5.461 ha), kawasan pemukiman dan penggunaan lain (167.451 ha), kawasan pengembangan produksi (173.616 ha), areal transmigrasi (14.354 ha) dan rencana areal transmigrasi (7.7233 ha). Penggunaan lahan hutan masih sesuai dengan RTRW Kabupaten, meskipun secara keruangan memang ke depan akan dilakukan perubahan pada kawasan hutannya. Penghitungan inkonsistensi seperti ini diperlukan untuk mengontrol konsistensi antara rencana dan kondisi eksisting.
61 Tabel 21
KAWASAN
BUDIDAYA
Klasifikasi Umum Penataan Ruang KAWASAN LINDUNG
Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap RTRW Kabupaten Katingan Klasifikasi RTRW*
Proporsi Luas (%)
Cagar Alam dan Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi yang dapat dikonversi Hutan Pendidikan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain Kawasan Pengembangan Produksi Areal Transmigrasi Rencana area Transmigrasi
Penutupan Lahan Tahun 2012 (ha)
Jumlah (ha)
HTN
PMK
PP
TAN. THN
SMK
AIR
8,35
156.829
-
-
-
12.073
-
168.903
44,36 28,68 0,38
499.884 441.953 4.590
1.833 90 3
24.617 343 -
31.088 722 -
335.450 132.893 2.983
3.880 3.731 23
896.752 579.731 7.599
0,27 8,28
3.956 64.384
1.518
16.259
2.332
1.505 78.300
4.659
5.461 167.451
8,59
49.635
3.180
8.611
24.066
85.052
3.072
173.616
0,71 0,38
231 374
23 -
12.523 -
5.736
1.431 1.612
146 -
14.354 7.723
Jumlah 100,00
2.021.590
Keterangan : HTN = Hutan; PMK = Pemukiman; AIR = Tubuh Air PP = Pertanian Pangan; SMK = Semak Belukar/Tanah Terbuka;
Pada jenis penggunaan lahan tanaman tahunan, dalam pola ruang RTRW Kabupaten, tersebar ke dalam hutan produksi (31.088 ha), kawasan hutan produksi terbatas (722 ha), kawasan pemukiman dan penggunaan lainnya (2.332 ha), kawasan pengembangan produksi (24.066 ha). Jika dicermati pada sebaran penggunaan lahannya, maka ada sedikit penyimpangan dimana pada kondisi eksisting adalah tanaman tahunan, sementara menurut RTRW adalah kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas. Kawasan hutan produksi ini mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, baik kayu maupun non kayu. Jenis penggunaan lahan pertanian pangan pun juga memperlihatkan adanya inkonsistensi. Di kawasan hutan produksi terdapat 24.617 ha penggunaan lahan pertanian pangan, begitupun di kawasan hutan produksi terbatas yang mencapai 343 ha penggunaan lahan pertanian. Jenis penggunaan lahan pemukiman juga memperlihatkan adanya inkonsistensi, meskipun kecil tetapi ada pemukiman yang berada pada kawasan hutan produksi (1.833 ha), kawasan hutan produksi terbatas (90 ha) dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (3 ha). Penggunaan lahan semak belukar/tanah terbuka menyebar di seluruh arahan pemanfaatan RTRW Kabupaten. Meskipun semak belukar /tanah terbuka dalam RTRW tidak dialokasikan namun kenyataannya banyak dijumpai, karena memang semak belukar/tanah terbuka biasanya merupakan penggunaan lahan peralihan sebelum dimanfaatkan menjadi penggunaan lahan lainnya yang lebih ekonomis. Secara agregat dari tabel 21, bila luasan jenis penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap RTRW Kabupaten Katingan dijumlahkan, ternyata jumlahnya mencapai 3,2 % dari luasan kabupaten (sekitar 64.432 ha). Hal ini menunjukkan adanya penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten. Penyebabnya diduga terjadi akibat lemahnya mekanisme kontrol yang dilakukan oleh pemerintah daerah serta lemahnya penegakan hukum.
62 5.2.2 Konsistensi Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dengan Penggunaan Lahan 2012. Analisis overlay yang berikutnya dilakukan adalah melakukan tumpang tindih peta penggunaan lahan tahun 2012 dengan peta kawasan hutan. Kawasan hutan yang dimaksud disini adalah status fungsi kawasan hutan di Kalimantan Tengah dimana terakhir diperbarui dengan SK Menteri Kehutanan no. SK. 529/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982 tentang penunjukkan areal hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas ± 15.300.000 ha. Overlay ini dilakukan mengingat sampai dengan saat ini baik RTRW Provinsi maupun Kabupaten Katingan sendiri hingga kini belum tuntas selesai dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), sehingga perlu juga melihat inkonsistensi kondisi eksisting dengan kawasan hutan yang secara resmi diakui Pemerintah Pusat. Hasil analisis overlay antara peta penggunaan lahan tahun 2012 dan kawasan hutan dapat dilihat pada Tabel 22. Dari Tabel 22 tersebut memperlihatkan bahwa ada inkonsistensi antara kondisi eksisting dengan fungsi kawasan hutan, antara lain : 1. Jenis penggunaan lahan pemukiman, yang berada pada kawasan hutan produksi (661 ha) dan kawasan hutan produksi terbatas (120 ha) 2. Jenis penggunaan lahan pertanian pangan, yang berada pada kawasan hutan produksi (3.697 ha) dan kawasan hutan produksi terbatas (4.701 ha) 3. Jenis penggunaan lahan tanaman tahunan/perkebunan, yang berada pada kawasan hutan produksi dengan luas mencapai 26.317 ha. Tabel 22
Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap Kawasan Hutan Kabupaten Katingan menurut SK 529/2012 Penutupan Lahan Tahun 2012 (ha)
Klasifikasi Kawasan Hutan SK 529/2012
TAN. THN
Jumlah (ha)
Proporsi Luas (%) 2,10
40.807
Taman Nasional
21,59
367.880
-
-
-
70.916
42
438.837
Hutan Produksi
28,55
376.333
661
3.697
26.317
173.160
95
580.263
Hutan Produksi yang dapat di konversi Hutan Produksi Terbatas APL
19,56
127.328
1.796
24.155
16.901
227.021
370
397.570
18,94
289.284
120
4.701
-
90.761
84
384.949
8,26
21.086
5.236
32.844
20.726
87.487
469
167.849
1,00
110
29
92
-
327
19.670
20.229
Hutan LIndung
Tubuh Air
HTN
PMK -
PP -
SMK -
1.903
AIR 3
42.712
Secara agregat dari Tabel 22, bila luasan jenis penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap kawasan hutan menurut SK 529/2012 dijumlahkan, ternyata jumlahnya relatif kecil, hanya sekitar 2 % dari luasan kabupaten saja (sekitar 35.496 ha). Hal ini menunjukkan adanya penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kawasan hutan khususnya kawasan hutan menurut SK 529/2012. Penyebabnya diduga terjadi akibat proses penataan ruang baik di tingkat provinsi maupun kabupaten yang berlangsung lama sehingga terjadi proses pembiaran dan keterlanjuran yang berakibat pada penyimpangan.
63 5. 3 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam Dokumen Perencanaan di Kabupaten Katingan Perencanaan merupakan suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang dengan menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya (Rustiadi et.al, 2011). Terdapat bermacam cara dan pendekatan didalam melakukan perencanaan, akan tetapi beberapa unsur penting selalu ada dalam setiap bentuk perencanaan, yaitu : (1) pengumpulan data; (2) analisis data; (3) penetapan kebijakan; (4) implementasi dan (5) monitoring. Dalam sistem perencanaan wilayah di Indonesia saat ini, ada 2 tipe penting perencanaan yang dilaksanakan, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Pertama adalah perencanaan pembangunan yang berdasarkan atas Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dimana perencanaan ini memiliki beberapa jangka waktu mulai dari 1 tahunan (jangka pendek), 5 tahunan (jangka menengah), dan 20 tahunan (Jangka panjang). Tipe perencanaan yang kedua adalah perencanaan yang bersifat spasial (keruangan) atas suatu wilayah, dimana perencanaan ini juga memiliki payung hukum kuat berupa Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Perencanaan pembangunan nasional dalam implementasinya digunakan sebagai arahan dalam rangka menjamin tercapainya tujuan negara secara holistik, mulai dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, masing-masing tingkatan pemerintahan wajib mendokumentasikan rencananya dalam bentuk kebijakan. Rencana pembangunan ini terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana pembangunan memuat arahan kebijakan pembangunan yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Terkait hal ini di tingkat daerah, daerah akan menyusun RPJP Daerah (RPJPD) dan RPJM Daerah (RPJMD) yang mengacu pada RPJP dan RPJM Nasional serta membuat RKP Daerah yang disusun oleh setiap satuan kerja perangkat daerah melalui dinas/unit pelaksana yang dibentuk didaerah masingmasing. Sementara itu, penataan ruang berorientasi untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional melalui : (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; (c) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3 Undang-Undang No. 26 tahun 2007). Dalam pelaksanaannya, penataan ruang dilakukan melalui tiga kegiatan yakni perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sejalan dengan rencana pembangunan, rencana umum tata ruang juga dilaksanakan secara berjenjang mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. RTRW ini dilakukan direncanakan dalam jangka waktu 20 tahun dan dapat ditinjau kembali minimal sekali dalam lima tahun. Penelitian ini membahas dua dokumen perencanaan yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Katingan yaitu RPJPD Kabupaten Katingan tahun 2005 – 2025 dan draft RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031 yang telah
64 mendapatkan persetujuan substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum. Pemilihan dua dokumen tersebut dalam kajian sub bab ini dilatarbelakangi karena melihat adanya kesamaan jangka waktu yang cukup panjang, 20 tahun, sehingga kaitannya dengan inisiatif REDD+ yang berorientasi pada proses jangka pangjang (kebutuhan generasi di masa yang akan datang) diasumsikan tersirat dan tersurat didalamnya. 5.3.1 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam Dokumen RPJPD Kabupaten Katingan Tahun 2005 – 2025 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Katingan merupakan dokumen perencanaan berjangka waktu 20 (dua puluh) tahun mulai tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2025. RPJPD ini ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Katingan No. 2 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Katingan Tahun 2005-2025. Dokumen RPJPD ini terdiri atas 5 bab yang secara berurutan membahas mengenai pendahuluan; gambaran umum Kabupaten Katingan; visi dan misi; arah, tahapan dan prioritas pembangunan jangka panjang kabupaten; serta terakhir penutup. Pemerintah Kabupaten Katingan, pada akhir tahun 2025, berupaya mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, berkeadilan dan berkelanjutan. Hal ini tentunya didorong melalui beberapa aksi besar melalui 6 misi, yaitu : 1. Meningkatkan perekonomian rakyat 2. Meningkatkan kualitas SDM 3. Membuka isolasi daerah 4. Meningkatkan Pembangunan Sosial Budaya, Politik, Hukum, Keamanan dan Ketertiban 5. Mengelola Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup secara bijaksana 6. Mendorong kemandirian otonomi daerah Dalam RPJPD ini terkandung semangat untuk mengaktualisasikan motto daerah: Penyang Hinje Simpei, yang intinya tekad untuk mengerahkan segala kemampuan dalam kebersamaan yang sinergis membangun Kabupaten Katingan. Dalam dokumen ini juga ada 4 fase tahapan dan prioritas pembangunan: 1. RPJM ke-1 (2005 – 2009) Pembangunan pada fase ini diprioritaskan pada pengembangan ekonomi rakyat melalui pembangunan sektor pertanian dalam arti luas, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pembangunan prasarana dan sarana wilayah. 2. RPJM ke-2 (2010 – 2014) Pada fase ini pembangunan kabupaten ditujukan untuk lebih memantapkan sasaran pembangunan di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing ekonomi rakyat. Selanjutnya, kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin ditingkatkan yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum (SPM) di semua tingkatan pemerintah. 3. RPJM ke-3 (2015 – 2019) Fase ini lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Daya
65 saing perekonomian daerah semakin kuat dan kompetitif dengan semakin terpadunya industri manufaktur dengan pertanian, pariwisata, kelautan dan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan; terpenuhinya ketersediaan infrastruktur yang didukung oleh mantapnya kerja sama pemerintah dan dunia usaha, makin selarasnya pembangunan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan industri serta terlaksananya penataan kelembagaan ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, penguasaan dan penerapan teknologi oleh masyarakat dalam kegiatan perekonomian. 4. RPJM ke-4 (2020 – 2024) Fase ini merupakan fase terakhir untuk mewujudkan masyarakat Kabupaten Katingan yang mandiri, maju, berkeadilan dan berkelanjutan melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur ekonomi yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. Kelembagaan politik dan hukum telah tercipta ditandai dengan terwujudnya konsolidasi demokrasi yang kokoh dalam berbagai aspek kehidupan politik; terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat; terwujudnya tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa yang berdasarkan hukum, serta birokrasi yang profesional dan netral; terwujudnya masyarakat sipil, masyarakat politik, dan masyarakat ekonomi yang mandiri. Saat ini, RPJPD Kabupaten Katingan 2005 – 2025 baru memasuki fase kedua yang dalam perjalanannya dokumen ini digunakan sebagai alat kontrol sekaligus kebijakan bagi pemerintah untuk terus berupaya mengarahkan tercapainya tujuan pembangunan daerah. Terkait dengan kajian dokumen pada penelitian ini, peneliti berusaha untuk mengidentifikasi elemen dasar dan proses REDD+ yang ada didalamnya. Adapun hasil analisis isi (content analysis) dari RPJPD Kabupaten Katingan tahun 2005 – 2025 dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23 Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RPJPD Kabupaten Katingan Tahun 2005 - 2025 Bahan/Materi yang dianalisis
Kode 1 a b 0 0 0 1 0 0
BAB I Pendahuluan BAB II Gambaran Umum BAB III Visi dan Misi BAB IV Arah, Tahapan, Prioritas 0 Pembangunan Jangka Panjang BAB V Penutup 0 Jumlah 0
Kode 2 a b 2 1 2 4 1 6
a 0 0 1
Kode 3 b c 0 1 1 0 3 3
2
7
11
3 2
0 3
0 12
1 23
Jumlah d 0 0 1
4 8 15
2
34
0 3 2 2 4 9 13 5
8 69
7
Tabel 23 mengindikasikan elemen dasar dan proses REDD+ menyebar hampir disemua bagian/bab. Hanya pada bab V (Penutup) saja yang tidak mengandung elemen dasar dan proses REDD+, khususnya pada elemen reduksi emisi (kode 1). Kandungan elemen dasar dan proses REDD+ terbanyak ada pada bab IV, yang memuat arah, tahapan dan prioritas pembangunan jangka panjang kabupaten, dengan jumlah kandungan mencapai 34 (tiga puluh empat) poin atau sekitar 49 % dari seluruh bab yang ada di dokumen RPJPD. Sementara jumlah kandungan prinsip pada bab III sebanyak 15 poin (22 %), bab V dengan 8 poin
66 (12 %) dilanjutkan bab II dengan 8 poin (12 %). Kandungan elemen dasar dan proses REDD+ paling sedikit ada di bab I, hanya 4 poin saja dari total 84 poin (atau hanya sekitar 6 % saja). Komposisi kandungan yang berbeda antara satu bab dengan yang lainnya menunjukkan memang jumlah substansi kalimat dan fokus bahasan yang berbeda pada setiap babnya. Dalam Tabel 23 juga, khususnya pada bab IV kita juga bisa melihat bahwa elemen manfaat tambahan menjadi bahasan terbanyak dari bab ini. Secara rinci tergambar dalam Gambar 25, dimana elemen manfaat tambahan terlihat paling banyak diulas dalam bab I hingga bab IV. Elemen ekuitas banyak diulas dalam bab V (penutup), sementara elemen reduksi emisi merupakan prinsip yang paling sedikit terkandung dalam dokumen RPJPD Kabupaten Katingan 2005 - 2025. Sangat sedikitnya kandungan elemen reduksi emisi ini karena memang faktor penting dalam elemen ini, yaitu pelestarian hutan dan perubahan iklim, sudah sangat spesifik dan berorientasi pada upaya pencapaian sementara dalam dokumen RPJPD sendiri fokus pada pembangunan sektoral secara menyeluruh tidak hanya kehutanan saja. Sementara elemen manfaat tambangan yang paling banyak terkandung dalam dokumen ini disebabkan faktor pentingnya (kualitas lingkungan dan biodiversitas; serta peningkatan kesejahteraan) merupakan hasil normatif yang umumnya digunakan sebagai tujuan dari suatu upaya pembangunan, misalnya isu kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. 60%
Ekuitas Manfaat Tambahan
50%
Reduksi Emisi
40% 30% Keterangan: BAB I Pendahuluan BAB II Gambaran Umum BAB III Visi dan Misi BAB IV Arah, Tahapan dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang BAB V Penutup
20% 10% 0% BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
Gambar 25 Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Elemen Dasar dan Proses REDD+ pada RPJPD Kab.Katingan 2005 – 2025. Elemen ekuitas dalam Gambar 25 terlihat di semua bab dalam dokumen RPJPD, meskipun jumlahnya tidak sebanyak elemen manfaat tambahan. Hal ini disebabkan karena faktor pentingnya (transparasi dan partisipasi, keadilan gender, hak publik, dan akuntabel) berorientasi pada proses, dimana faktor-faktor ini diharapkan ada di setiap proses pembangunan, mulai dari perencanaan, implementasi hingga proses monitoring dan evaluasi, sehingga memang dokumen RPJPD ini tidak membahasnya secara rinci tetapi cukup dengan memperlihatkan pada beberapa pernyataan didalamnya seperti misalnya isu gender, hak asasi manusia, partisipasi, dan transparansi.
67 Pada akhirnya untuk melihat hasil akhir dari interpretasi pada analisis isi RPJPD Kabupaten Katingan 2005 – 2025 ini ditentukan berdasarkan persentase kumulatif pada setiap faktor penting atas 3 Elemen Dasar dan Proses REDD+ (reduksi emisi, manfaat tambahan dan ekuitas) secara menyeluruh. Hasil interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 24. Dalam setiap Elemen Dasar dan Proses REDD+, dapat dilihat faktor peningkatan kesejahteraan (dalam elemen manfaat tambahan) merupakan faktor yang paling banyak kandungannya dalam dokumen RPJPD hingga 33,33 %. Kemudian faktor transparansi dan partisipasi merupakan yang tertinggi dalam elemen ekuitas dan memiliki persentase hingga 18,84 %, sementara faktor pelestarian hutan merupakan yang tertinggi dalam elemen reduksi emisi dan memiliki persentase hanya sebesar 4,35 % saja. Sehingga apabila ditelaah lebih lanjut dari tabel 23, urutan Elemen Dasar dan Proses REDD+ yang ada dalam dokumen RPJPD Kabupaten Katingan 2005 – 2025 yang banyak kandungannya yaitu elemen manfaat tambahan, ekuitas dan reduksi emisi (lihat Tabel 25). Tabel 24 Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RPJPD Kabupaten Katingan tahun 2005 – 2025 Rincian No Kode Kode 1 Kode 1a 1 1b 2 Kode 2a 2 3
Kode 3
2b 3a 3b 3c 3d
Rasio 0,00% 4,35% 17,39% 33,33% 5,80% 13,04% 18,84% 7,25%
Interpretasi Dalam elemen dasar dan proses REDD+, khususnya elemen reduksi emisi, faktor Pelestarian Hutan paling banyak diulas dalam RPJPD Kabupaten Katingan 2005 - 2025 Dalam elemen dasar dan proses REDD+, khususnya elemen manfaat tambahan, faktor Peningkatan Kesejahteraan paling banyak diulas dalam RPJPD Kabupaten Katingan 2005 - 2025 Dalam prinsip-prinsip REDD+, khususnya prinsip Kesetaraan, khususnya elemen ekuitas, faktor Transparansi dan Partisipasi paling banyak diulas dalam RPJPD Kabupaten Katingan 2005 - 2025
Tabel 25 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RPJPD Kabupaten Katingan tahun 2005 – 2025 No 1
ELEMEN DASAR DAN PROSES REDD+ MANFAAT TAMBAHAN (CO-BENEFIT)
2
EKUITAS
3
REDUKSI EMISI
Urutan Faktor-faktor penting yang banyak dibahas 1. Peningkatan Kesejahteraan 2. Kualitas Lingkungan dan Biodiversitas 1. Transparansi dan Partisipasi 2. Hak Publik 3. Akuntabel 4. Keadilan Gender 1. Pelestarian Hutan 2. Perubahan Iklim
68 Dari Tabel 25 diatas memperlihatkan urutan elemen dasar dan proses REDD+ sekaligus urutan faktor pentingnya. Pertama, elemen manfaat tambahan, terkandung paling banyak di dalam dokumen RPJPD melalui faktor peningkatan kesejahteraan dan kualitas lingkungan dan biodiversitas. Kedua, elemen ekuitas banyak dimuat dalam dokumen RPJPD melalui faktor transparansi dan partisipasi, faktor hak publik, faktor akuntabel, dan faktor keadilan gender. Ketiga, elemen reduksi emisi banyak terkandung didalam dokumen RPJPD melalui faktor pelestarian hutan dan perubahan iklim. 5.3.2 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam Dokumen RTRW Kabupaten Katingan Tahun 2011 – 2031 Sejak diundangkannya Undang-Undang 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, seluruh produk utama tata ruang mengalami perubahan baik di tingkat nasional hingga di tingkat Kabupaten. Kaitannya dengan RTRW Kabupaten, dalam pasal 78 memandatkan semua Peraturan Daerah tentang RTRWK harus disesuaikan paling lambat 3 tahun sejak diterbitkannya UU ini. Telah hampir 6 tahun UU Penataan Ruang ini berjalan, namun masih ada beberapa Kabupaten yang saat ini belum punya perda RTRWK ini, begitu halnya dengan Kabupaten Katingan. Saat ini kondisi RTRW Kabupaten Katingan pada saat penelitian lapangan dilaksanakan baru sampai pada tahap persetujuan substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum. Mengacu pada dokumen draft RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031 inilah, kemudian dilakukan kajian atas analisis isi sebuah dokumen untuk melihat kandungan secara keseluruhan dokumen maupun setiap babnya terkait dengan prinsip-prinsip implementasi REDD+. Dokumen RTRW Kabupaten Katingan 2011 – 2031 ini terdiri atas 8 bab, yang secara berurutan membahas : Pendahuluan; Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang; Rencana Struktur Ruang; Rencana Pola Ruang; Penetapan Kawasan Strategis; Arahan Pemanfaatan Ruang; Ketentuan Umum Pengendalian Pemanfaatan Ruang; dan yang terakhir adalah Peran Serta Masyarakat. Penataan ruang Kabupaten Katingan secara umum bertujuan mewujudkan kabupaten yang maju mandiri berbasis industri pertanian dan potensi lokal yang berwawasan lingkungan. Strategi kebijakan penataan ruang meliputi : a. pemerataan pertumbuhan ekonomi; b. pemerataan penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang menyeluruh; c. pengembangan sektor unggulan; d. peningkatan kualitas lingkungan; dan e. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan. Hasil analisis isi (content analysis) tentang elemen dasar dan proses REDD+ pada draft RTRW Kabupaten Katingan 2011 – 2031 dapat dilihat dalam Tabel 26. Dari Tabel 26 mengindikasikan elemen dasar dan proses REDD+ terkandung didalam dokumen RTRW Kabupaten Katingan 2011 – 2031. Jumlah poin yang menunjukkan kandungan elemen dasar dan proses REDD+ pun tidak jauh berbeda antara dokumen RPJPD (69 poin) dan RTRW sendiri (70 poin). Meskipun demikian dalam dokumen RTRW ini tidak setiap bab memiliki elemen dasar dan proses REDD+, antara lain elemen reduksi emisi (pada bab I dan bab VIII), elemen manfaat tambahan (pada bab III), dan elemen ekuitas (pada bab II, bab IV, dan bab V).
69
Tabel 26 Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RTRW Kabupaten Katingan Tahun 2011 - 2031 Bahan/Materi yang dianalisis BAB I Pendahuluan BAB II Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang BAB III Rencana Struktur Ruang BAB IV Rencana Pola Ruang BAB V Penetapan Kawasan Strategis BAB VI Arahan Pemanfaatan Ruang BAB VII Pengendalian Pemanfaatan Ruang BAB VIII Peran Serta Masyarakat
Jumlah
Kode 1 a b 0 0 0 1
Kode 2 a b 0 5 3 2
a 0 0
Kode 3 b c 0 1 0 0
1 0 0
1 1 1
3 5 3
0
6
0 0 1
Jumlah d 0 0
6 6
0 3 4
0 0 0
1 0 0
1 0 0
0 0 0
7 9 8
1
3
0
1
3
2
16
2
3
2
0
1
0
0
8
0 12
2 20
1 20
0 0
2 5
5 10
0 2
10 70
Kandungan elemen dasar dan proses REDD+ (lihat Tabel 26 dan Gambar 26) terbanyak ada pada bab VI, yang memuat arah pemanfaatan ruang, dengan jumlah muatan mencapai 16 (enam belas) poin atau sekitar 23 % dari seluruh bab yang ada di dokumen RTRW. Sementara jumlah kandungan elemen dasar dan proses REDD+ pada bab VIII (Peran serta masyarakat) sebanyak 10 poin (14 %). Bab IV (Rencana Pola Ruang) memiliki 9 poin (13%), sementara Bab V (Penetapan Kawasan Strategis) dan bab VII (Ketentuan Umum Pengendalian Pemanfaatan Ruang) sama-sama memiliki 8 poin (11%). Selanjutnya Bab III (Rencana Struktur Ruang) memiliki 7 poin (10%) dan yang paling sedikit ada di Bab I (Pendahuluan) dan Bab II (Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang) dengan 6 poin (9 %). Komposisi kandungan elemen dasar dan proses REDD+ yang berbeda antara satu bab dengan lainnya menunjukkan perbedaan jumlah substansi dan fokus bahasan yang berbeda pada setiap babnya sesuai dengan judul di masingmasing bab pada RTRW. Jika kembali dalam Tabel 26, khususnya pada bab VI yang terbanyak diantara bab lainnya, kita juga bisa melihat bahwa ketiga elemen (reduksi emisi, manfaat tambahan dan ekuitas) ternyata memiliki jumlah muatan yang sama. Secara rinci tergambar dalam Gambar 26, dimana elemen manfaat tambahan terlihat paling banyak diulas dalam bab I hingga bab VII. Elemen Ekuitas banyak diulas dalam bab VII (Peran serta masyarakat), sementara elemen reduksi emisi merupakan prinsip yang paling sedikit terkandung dalam tiap babnya. Kandungan elemen reduksi emisi ini disebabkan memang faktor yang menentukan prinsip ini, yaitu pelestarian hutan dan perubahan iklim, sudah sangat spesifik dan berorientasi pada upaya pencapaiannya sementara dalam dokumen RTRW sendiri fokus pada perencanaan tata ruang secara menyeluruh tidak hanya kehutanan saja. Sementara elemen manfaat tambangan yang paling banyak terkandung dalam dokumen ini disebabkan karena faktor pentingnya
70 (kualitas lingkungan dan biodiversitas; dan peningkatan kesejahteraan) yang berorientasi tidak hanya upaya tetapi juga hasil, misalnya pernyataan peningkatan kualitas lingkungan (upaya) dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat (hasil). Disamping itu memang faktor-faktor dalam prinsip efisiensi ini mengandung nilai yang sangat umum (normatif) dari suatu tujuan pembangunan daerah, misalnya isu kesejahteraan masyarakat, perekonomian dan keberlanjutan lingkungan. 25%
EKUITAS 20%
MANFAAT TAMBAHAN REDUKSI EMISI
15%
10%
5%
0%
Keterangan: BAB I (Pendahuluan); BAB II (Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang); BAB III (Rencana Struktur Ruang); BAB IV (Rencana Pola Ruang); BAB V (Penetapan Kawasan Strategis); BAB VI (Arahan Pemanfaatan Ruang); BAB VII (Ketentuan Umum Pengendalian Pemanfaatan Ruang); BAB VIII (Peran Serta Masyarakat)
Gambar 26. Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pada RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031. Elemen ekuitas dalam Gambar 26 hanya terlihat di beberapa bab saja, dan jumlah muatan elemennya pun tidak tidak sebanyak elemen manfaat tambahan. Hal ini disebabkan karena faktor pentingnya (transparasi dan partisipasi, keadilan gender, hak publik, dan akuntabel) berorientasi pada proses, dimana faktor-faktor ini diharapkan ada di setiap proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang, pengendalian tata ruang, sehingga dokumen RTRW ini tidak membahasnya secara rinci tetapi cukup dengan memperlihatkan pada beberapa pernyataan didalamnya seperti misalnya isu gender, hak asasi manusia, partisipasi, dan transparansi. Pada akhirnya untuk melihat hasil akhir berupa interpretasi pada analisis isi RTRW Kabupaten Katingan 2011 – 2031 ini ditentukan berdasarkan persentase kumulatif pada setiap faktor penting atas 3 elemen dasar dan proses REDD+ (reduksi emisi, manfaat tambahan dan ekuitas) secara menyeluruh. Hasil interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 27. Dalam setiap elemen dasar dan proses REDD+, dapat dilihat faktor peningkatan kesejahteraan dan lingkungan dan biodiversitas (dalam elemen manfaat tambahan) merupakan faktor yang paling banyak kandungannya dalam dokumen RTRW, sama-sama bernilai 28,57 %. Kemudian faktor transparansi dan partisipasi merupakan yang tertinggi dalam
71 elemen ekuitas dan memiliki persentase hingga 14,29 %, sementara faktor pelestarian hutan merupakan yang tertinggi dalam elemen reduksi emisi dan memiliki persentase sebesar 17,14 %. Sehingga apabila ditelaah lebih lanjut dari Tabel 27, urutan elemen dasar dan proses REDD+ yang ada dalam dokumen RTRW Kabupaten Katingan 2011 – 2031 yaitu elemen manfaat tambahan, elemen reduksi emisi dan elemen ekuitas (lihat Tabel 28). Tabel 27 Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031 Rincian Kode Kode 1a 1 1b
No Kode 1
2
Kode 2
3
Kode 3
Tabel 28
Rasio
Interpretasi
1,43% Dalam elemen dasar dan proses REDD+, khususnya elemen reduksi emisi, faktor Pelestarian Hutan paling banyak
2a
17,14% diulas dalam RTRW Kabupaten Katingan 2011 - 2031 28,57% Dalam elemen dasar dan proses REDD+, khususnya elemen
2b
28,57% kualitas lingkungan dan biodiversitas sama-sama paling
manfaat tambahan, faktor Peningkatan Kesejahteraan -
3a 3b 3c 3d
0,00% 7,14% 14,29% 2,86%
banyak diulas dalam RTRW Kabupaten Katingan 2011 - 2031 Dalam prinsip-prinsip REDD+, khususnya prinsip Kesetaraan, faktor Transparansi dan Partisipasi paling banyak diulas dalam RTRW Kabupaten Katingan 2011 - 2031
Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 - 2031
No
ELEMEN DASAR DAN PROSES REDD+
1
MANFAAT TAMBAHAN (CO-BENEFIT)
3
REDUKSI EMISI
2
EKUITAS
Urutan Faktor-faktor penting yang banyak dibahas 1. Kualitas Lingkungan dan Biodiversitas 2. Peningkatan Kesejahteraan 1. Pelestarian Hutan 2. Perubahan Iklim 1. Transparansi dan Partisipasi 2. Hak Publik 3. Akuntabel 4. Keadilan Gender
Dari Tabel 28 memperlihatkan urutan elemen dasar dan proses REDD+ sekaligus urutan faktor pentingnya. Pertama, elemen manfaat tambahan terkandung paling banyak di dalam dokumen RTRW melalui faktor lingkungan dan biodiversitas dan peningkatan kesejahteraan. Kedua, elemen reduksi emisi banyak terkandung didalam dokumen RTRW melalui faktor pelestarian hutan dan perubahan iklim. Ketiga, elemen ekuitas banyak dimuat dalam dokumen RTRW melalui faktor transparansi dan partisipasi, faktor hak publik, faktor akuntabel, dan terakhir faktor keadilan gender yang paling sedikit muatannya.
72 5.4. Perkembangan Inisiatif REDD+, dan Preferensi Stakeholder 5.4.1 Perkembangan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan Dalam konteks perubahan iklim, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi pionir program aksi REDD+ di Indonesia. Sejak dunia internasional bersepakat untuk mendukung perubahan iklim melalui REDD+, salah satu negara maju yaitu Norwegia mempunyai komitmen kuat yang ditandai dengan ditandatanganinya kerjasama untuk melakukan aksi nyata yang tercantum dalam LoI (Letter of Intent) tanggal 26 Mei 2010. Tindak lanjut dari kesepakatan ini kemudian diimplementasikan oleh Presiden Republik Indonesia yang pada bulan Desember tahun 2010 menunjuk Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Provinsi Percontohan (Pilot Province) pertama untuk implementasi REDD+ di Indonesia. Baik di level nasional maupun provinsi saat ini strategi pelaksanaan implementasi REDD+ dituangkan dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ dan Strategi Daerah REDD+ Kalimantan Tengah. Usai ditunjuknya Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Pilot Province, kemudian dilanjutkan dengan rangkaian kegiatan yang dilakukan agar pelaksanaan REDD+ bisa berjalan baik pada waktunya diimplementasikan nanti. Kegiatan-kegiatan REDD+ di Kalimantan Tengah meliputi sosialisasi dan juga penguatan kelembagaan di tingkat provinsi. Mulai dari pendirian kantor pendukung REDD+ yang sekarang berubah menjadi Sekretariat Bersama (SEKBER) REDD+, penyusunan Strategi Daerah REDD+, koordinasi dan kerjasama dengan Satuan Tugas REDD+, dan kegiatan sosialisasi melalui seminar, pelatihan dan lokakarya. Secara kelembagaan, saat ini di Provinsi Kalimantan Tengah juga telah memiliki kelembagaan Komisariat Daerah REDD+ yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 660/945/BLH/IV/2011. Lembaga ini nantinya akan mengawal seluruh proses implementasi pelaksanaan dari strategi daerah REDD+ Kalimantan Tengah. Sementara untuk pengembangan kapasitas bagi seluruh stakeholder di provinsi maupun kabupaten dibuatlah Training Center REDD+ yang bertujuan untuk memberikan pemahaman sekaligus kemampuan teknis dalam pelaksanaan REDD+. Sementara dokumen Strategi Daerah REDD+ Kalimantan Tengah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 10 tahun 2012 tentang Strategi Daerah dan Rencana Aksi Reducing Emissions from Deforestation and Degradation-Plus Provinsi Kalimantan Tengah. Lain halnya dengan Kabupaten Katingan, dimana pada tingkat provinsi perkembangan pelaksanaan REDD+ sudah lebih maju, yang pada saat ini baru saja memulai tahapan dalam rencana implementasi REDD+ di tingkat Kabupaten. Melalui Surat Keputusan Bupati Katingan No. 660/302/Kpts/XII/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Kegiatan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) Kabupaten Katingan, Pemerintah Kabupaten Katingan memulai dengan membentuk kelembagaan yang dapat memayungi seluruh aktivitas yang berkenaan dengan REDD+. Belum lama ini pada Januari 2013, agar pemerintah kabupaten memiliki strategi pelaksanaan program REDD+ di daerah, pemerintah kabupaten menunjuk tim yang beranggotakan para pihak dan para pakar untuk menulis rencana aksi dan rencana strategi. Penunjukkan tim ini tertulis dalam Keputusan Sekretaris Daerah Kabupaten Katingan No. 660.2.1/15/BLH-Wasdal/I/2013 tentang Pembentukan Tim Penulis Penyusunan
73 Rencana Strategi dan Rencana Aksi Kegiatan Pengurangan Emisi dari Kegiatan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) Kabupaten Katingan. Dalam draft Kebijakan dan Rencana Aksi Program REDD+ di Kabupaten Katingan akan meliputi kegiatan : 1. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan 2. Pengelolaan sistem jaringan dan tata air 3. Rehabilitasi hutan dan lahan 4. Pemberantasan illegal logging dan illegal mining 5. Pemberdayaan masyarakat 6. Pembangunan TPA dan pengelolaan sampah 7. Introduksi varietas padi Rendah Emisi 8. Efisiensi air irigasi 9. Penggunaan pupuk organik. Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan selain terbentuknya Pokja REDD+ di Kabupaten adalah adanya rencana pemberian konsesi IUPHHK-RE. Inisiatif ini diusulkan oleh PT Rimba Mamur Utama yang sejak 2010 hingga kini masih belum mendapatkan perizinan untuk beroperasi di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Bermacam dan ragam kegiatan juga telah dilakukan oleh PT RMU dalam rangka menjalin hubungan dengan masyarakat, seperti melalui pemetaan partisipatif, pelatihan dokumentasi perubahan iklim di wilayah masyarakat oleh masyarakat langsung, dan juga sampai pada sistem dana bergulir yang diusahakan oleh Ibu-ibu di masing-masing calon lokasi desa yang berdekatan dengan PT RMU. 5.4.2 Sintesis Bobot Pertimbangan Para Pihak Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penelitian ini, merupakan salah satu metode dalam pengambilan keputusan/kebijakan dengan memperhatikan beberapa faktor seperti persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi. Pada akhirnya AHP akan mencoba menggabungkan penilaian-penilaian dari nilai-nilai setiap individu/responden menggunakan cara yang logis. AHP bisa digunakan untuk menyederhanakan dengan membuat sistematisasi suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagian, serta menjadikan variabel melalui suatu skema tingkatan hirarki. Dari 22 Responden yang diberikan kuesioner untuk mengukur preferensi para pihak ini atas keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, kesemuanya dikelompokkan menjadi 5 kelompok stakeholder yang terdiri dari masyarakat (11 orang dari 4 desa), pemerintah daerah (6 orang), pemerintah pusat (2 orang), LSM (2 orang) dan perusahaan (1 orang). Bobot pertimbangan (preferensi) tiap responden berbeda. Nilai bobot preferensi ini diturunkan dari setiap bobot skor yang diberikan oleh setiap individu dalam setiap kriteria berhirarki yang ditanyakan. Bobot preferensi terbesar yang ada dalam kajian ini mencapai nilai 1,0 yang berarti preferensi yang diberikan yaitu sebesar 100 % sedangkan bobot preferensi terendah mencapai 0,05 yang berarti persentase yang diberikan hanyalah sebesar 5 % saja. Setiap penilaian yang diberikan oleh responden dimasukkan datanya untuk kemudian diolah datanya guna mendapatkan bobot preferensi dalam setiap kriteria berhirarki. Dalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan dari responden diolah dengan menggunakan software expert choice 11 (Gambar 27). Dengan
74 menggunakan software tersebut pengolahan data yang dipisahkan menjadi masing-masing stakeholder dan kemudian digabungkan seluruh responden yang ada dapat dilakukan dengan mudah dan praktis.
Gambar 27 Tampilan user interface dari software expert choice 11 Dalam sub bab ini dipaparkan secara menyeluruh preferensi para pihak yang meliputi 2 bagian penting yang perlu diperhatikan, manfaat dan biaya sosial, dalam konteks keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. Bagian manfaat meliputi aspek manfaat langsung (penghasilan tambahan dan lapangan pekerjaan) dan aspek manfaat tidak langsung (rehabilitasi hutan, berkurangnya bencana alam, ketersediaan air tanah, hasil hutan bukan kayu). Sementara bagian biaya sosial hanya aspek pertimbangan sosial (konflik antar pemerintah, konflik pemerintah-masyarakat, konflik antar masyarakat). Keseluruhan hasil penilaian para pihak dalam tiga aspek tersebut disajikan dalam Tabel 29 hingga Tabel 31. Tabel 29 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek manfaat langsung No.
Stakeholder
1
Masyarakat
2
Pemerintah Daerah
3
LSM
4
Pengusaha
5
Pemerintah Pusat
Faktor-faktor dalam aspek manfaat langsung
- lapangan pekerjaan - tambahan penghasilan - lapangan pekerjaan - tambahan penghasilan - lapangan pekerjaan - tambahan penghasilan - lapangan pekerjaan - tambahan penghasilan - lapangan pekerjaan - tambahan penghasilan
Bobot preferensi
0,517 0,483 0,518 0,482 0,538 0,462 0,250 0,750 0,592 0,408
Prioritas
1 2 1 2 1 2 2 1 1 2
Dari Tabel 29 di atas dapat dilihat bahwa semua stakeholder memilih lapangan pekerjaan sebagai yang paling penting dalam aspek manfaat langsung, meskipun ada satu dari pihak pengusaha yang sebaliknya menganggap penting tambahan penghasilan daripada lapangan pekerjaan. Masyarakat, pemerintah
75 daerah, LSM dan pemerintah pusat terlihat punya harapan yang tinggi terhadap pelaksanaan REDD+ ke depan. Sementara pengusaha melihat lebih jauh bahwa pelaksanaan REDD+ ke depan, khususnya usaha pemanfaatan hasil hutan kayu – restorasi ekosistem, tidak bisa menjadi tumpuan lapangan pekerjaan secara menyeluruh terhadap masyarakat tetapi sebagai tambahan penghasilan pelaksanaan REDD+ sudah semestinya mampu menjadi nilai tambah atas usahausaha perekonomian yang telah dilakukan masyarakat sebelumnya. Tabel 30 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek manfaat tidak langsung No.
Stakeholder
1
Masyarakat
2
Pemerintah Daerah
3
LSM
4
Pengusaha
5
Pemerintah Pusat
Faktor-faktor dalam aspek manfaat tidak langsung - Rehabilitasi Hutan - Berkurangnya bencana alam - Ketersediaan air tanah - Hasil hutan non kayu - Rehabilitasi Hutan - Berkurangnya bencana alam - Ketersediaan air tanah - Hasil hutan non kayu - Rehabilitasi Hutan - Berkurangnya bencana alam - Ketersediaan air tanah - Hasil hutan non kayu - Rehabilitasi Hutan - Berkurangnya bencana alam - Ketersediaan air tanah - Hasil hutan non kayu - Rehabilitasi Hutan - Berkurangnya bencana alam - Ketersediaan air tanah - Hasil hutan non kayu
Bobot preferensi
0,250 0,283 0,221 0,246 0,272 0,273 0,218 0,237 0,353 0,288 0,204 0,155 0,333 0,208 0,125 0,333 0,231 0,273 0,239 0,258
Prioritas
2 1 4 3 2 1 4 3 1 2 3 4 1 2 3 1 4 1 3 2
Dari Tabel 30, terkait pertimbangan stakeholder dalam aspek manfaat tidak langsung, pihak masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat menempatkan bobot kepentingan terbesar pada faktor berkurangnya bencana alam baru berikutnya adalah kepentingan rehabilitasi hutan. Sebaliknya justeru terjadi pada pihak LSM dan pengusaha yang menempatkan bobot terpentingnya pada faktor rehabilitasi hutan baru kemudian berkurangnya bencana alam. Pihak pengusaha menempatkan juga hasil hutan non kayu sebagai yang sama pentingnya dengan faktor rehabilitasi hutan. Terlihat sekali tingkat pemahaman antar stakeholder masih belum sama, hal ini bisa saja terjadi karena memang informasi yang diterima tentang inisiatif REDD+ oleh masing-masing pihak belum sama. Hal ini menjadi catatan khusus untuk pelaksanaan inisiatif REDD+ kedepan di tingkat kabupaten sangat memerlukan sosialisasi dan komunikasi antar berbagai elemen stakeholder, mengingat keberhasilan REDD+ ini tidak hanya tergantung oleh beberapa stakeholder saja melainkan perlu sinergisitas seluruh pihak.
76 Tabel 31 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek biaya sosial - pertimbangan sosial No.
Stakeholder
1
Masyarakat
2
Pemerintah Daerah
3
LSM
4
Pengusaha
5
Pemerintah Pusat
Faktor-faktor dalam aspek biaya sosial pertimbangan sosial - Konflik antar pemerintah - Konflik pemerintah - masyarakat - Konflik antar masyarakat - Konflik antar pemerintah - Konflik pemerintah - masyarakat - Konflik antar masyarakat - Konflik antar pemerintah - Konflik pemerintah - masyarakat - Konflik antar masyarakat - Konflik antar pemerintah - Konflik pemerintah - masyarakat - Konflik antar masyarakat - Konflik antar pemerintah - Konflik pemerintah - masyarakat - Konflik antar masyarakat
Bobot preferensi 0,272 0,370 0,358 0,338 0,331 0,330 0,297 0,304 0,398 0,167 0,333 0,500 0,270 0,342 0,388
Prioritas 3 1 2 1 2 3 3 2 1 3 2 1 3 2 1
Dari Tabel 31, terkait pertimbangan stakeholder dalam aspek biaya sosial – pertimbangan sosial, terlihat 3 pihak yakni LSM, pengusaha dan pemerintah pusat yang menempatkan pentingnya faktor konflik antar masyarakat untuk segera diatasi atas faktor konflik yang lain. Hal ini dilatar belakangi pentingnya untuk mengatasi konflik di tingkat lokal masyarakat terlebih dahulu baru kemudian melihat faktor konflik yang lain. Mengatasi konflik di tingkat lokal juga akan mengurangi gesekan konflik yang bakal terjadi di antara pemerintah –masyarakat, maupun antar pemerintah sendiri. Sementara itu pemerintah daerah sebagian besar menempatkan pentingnya faktor konflik antar pemerintah lebih penting untuk diatasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh anggapan belum berjalannya proses otonomi daerah yang bergulir disamping permasalahan tata ruang daerah khususnya RTRW Kabupaten yang belum selesai meskipun antara keduanya terus mengupayakan hal-hal positif agar RTRW kabupaten ini segera disahkan. Pihak masyarakat yang menilai pentingnya konflik antara pemerintah – masyarakat untuk segera diatasi daripada faktor lainnya dilatarbelakangi oleh kurang intensifnya komunikasi yang dijalin baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Bahkan dengan pihak Taman Nasional Sebangau misalnya masyarakat menilai terjadi konflik terkait wilayah kelola masyarakat yang overlap dengan wilayah Taman Nasional. Telah ada upaya yang ditempuh melalui pemetaan partisipatif, serta peningkatan komunikasi dengan berbagai pihak terkait. Begitu juga dengan keberlanjutan inisiatif REDD+ faktor kelembagaan dan komunikasi yang baik diharapkan dapat meminimalisir konflik ini. 5.4.2 Sintesis Bobot Pertimbangan Seluruh Responden Setelah melihat bobot pertimbangan setiap stakeholder dalam setiap aspek, untuk bisa menghasilkan faktor mana yang lebih prioritas menjadi pertimbangan
77 seluruh responden dilakukan kembali sintesis bobot pertimbangan yang menggabungkan seluruh penilaian yang diberikan responden. Hasil sintesis pertimbangannya dapat dilihat pada Tabel 32. Dari Tabel 32 terlihat setelah digabungkan seluruh responden hasilnya adalah seluruh responden menilai penting faktor lapangan pekerjaan (dalam aspek manfaat langsung) menjadi prioritas daripada tambahan penghasilan, meskipun selisih (gap) nilai diantaranya tidak terlalu besar. Pada aspek lainnya, yaitu manfaat tidak langsung, secara berturut-turut seluruh responden menempatkan kepentingan pada faktor berkurangnya bencana alam, rehabilitasi hutan, hasil hutan non kayu dan ketersediaan air tanah. Nilai keempat faktor ini pun tidak ada gap yang terlalu besar, misalnya antara faktor berkurangnya bencana alam dan faktor rehabilitasi hutan yang hanya terpaut selisih 0,01 poin saja. Gap yang kecil ini mengindikasikan juga bahwasannya responden memberikan bobot nilai yang tidak berbeda jauh, dikarenakan anggapan yang sama pentingnya atas faktor pertimbangan yang ditanyakan. Berdasarkan aspek biaya sosial – pertimbangan sosial ini seluruh responden menempatkan bobot kepentingan tertinggi pada faktor konflik antar masyarakat, yang diikuti faktor konflik pemerintah-masyarakat, dan faktor konflik antar pemerintah. Gap nilai yang tidak terlalu besar ditunjukkan oleh faktor konflik antar masyarakat dan konflik pemerintah-masyarakat. Hal ini menunjukkan kedua faktor ini sama pentingnya untuk segera diatasi agar keberlanjutan inisiatif REDD+ di kabupaten Katingan tetap berlangsung dengan baik. Tabel 32 Sintesis Bobot Pertimbangan Seluruh Responden No. 1
Aspek Manfaat langsung
Faktor-faktor dalam setiap aspek - Lapangan pekerjaan - Tambahan Penghasilan
2
Manfaat Tidak Langsung
- Rehabilitasi Hutan - Berkurangnya bencana alam - Ketersediaan air tanah - Hasil hutan non kayu
3
Biaya sosial pertimbangan sosial
- Konflik antar pemerintah - Konflik pemerintah - masyarakat - Konflik antar masyarakat
Bobot preferensi
0,513 0,487 0,267 0,277 0,216 0,240 0,286 0,350 0,364
Persentase Prioritas Preferensi
51,30% 48,70% 26,70% 27,70% 21,60% 24,00% 28,60% 35,00% 36,40%
1 2 2 1 4 3 3 2 1
5.4.3 Prioritas Preferensi Para Pihak atas Keberlanjutan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan Pada sub bab ini, setelah menggabungkan bobot prioritas kemudian dilakukan pengolahan data lanjutan untuk melihat rasio bobot kumulatif yang bisa memunculkan prioritas preferensi stakeholder atas keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan secara keseluruhan. Indeks Konsistensi dari setiap responden memiliki nilai 0, yang artinya seluruh data memiliki konsistensi yang tinggi sehingga tidak diperlukan peninjauan kembali ke responden. Indeks konsistensi dilampirkan dalam Lampiran 2. Hasil urutan preferensinya disajikan pada Tabel 33 dan Gambar 28.
78 Tabel 33 Urutan Preferensi Gabungan Seluruh Responden No. Aspek 1 Manfaat langsung 2
Manfaat Tidak Langsung
3
Biaya sosial pertimbangan sosial
Faktor-faktor dalam setiap aspek - Lapangan pekerjaan - Tambahan Penghasilan - Rehabilitasi Hutan - Berkurangnya bencana alam - Ketersediaan air tanah - Hasil hutan non kayu - Konflik antar pemerintah - Konflik pemerintah - masyarakat - Konflik antar masyarakat Jumlah
Rasio Bobot
Prioritas
0,156 0,148 0,090 0,093 0,072 0,080 0,103 0,126 0,132 1,000
1 2 2 1 4 3 3 2 1
Pada Tabel 33, dalam pengelompokkan sesuai aspek, terlihat mana saja indikator yang paling tinggi rasio bobotnya. Tujuan akhir dari AHP ini adalah mengetahui keputusan akhir dari 22 responden dalam menentukan prioritas preferensi dari faktor-faktor dalam setiap aspek manfaat (langsung dan tidak langsung) dan biaya sosial (pertimbangan sosial) yang berpengaruh terhadap keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. Jika melihat pada Gambar 28, nampak jelas terlihat perbedaan aspek manfaat langsung memiliki rasio bobot kumulatif yang cukup besar diantara aspek lainnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi responden (lihat Tabel 33) untuk ketiga aspek tersebut yaitu : 1. Aspek manfaat langsung, preferensi responden ternyata memilih faktor lapangan pekerjaan sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap tercapainya keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. 2. Aspek manfaat tidak langsung, preferensi responden ternyata memilih faktor berkurangnya bencana alam sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap tercapainya keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. 3. Aspek biaya sosial – pertimbangan sosial, preferensi responden memilih faktor konflik antar masyarakat sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap tercapainya keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan. Konflik Antar Pemerintah Konflik Pemerintah Masyarakat Konflik antar Masyarakat Ketersediaan Air Tanah Hasil Hutan Non Kayu Rehabilitasi Hutan Berkurangnya Bencana Alam Tambahan Penghasilan Lapangan Pekerjaan 0
Gambar 28
0.02
0.04 0.06 0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
Urutan preferensi stakeholder atas keberlanjutan inisiatif REDD+ di Katingan
79 5.5 Arahan Kebijakan dalam RTRW Katingan terhadap inisiatif REDD+ 5.5.1 Sejarah Kebijakan RTRW Kabupaten dengan Kawasan Hutan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memandatkan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, untuk segera menyelesaikan RTRW dalam waktu 2 tahun, namun hingga kini baik Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Katingan khususnya belum mendapatkan persetujuan. Proses padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan tahun 1982 (TGHK 1982) yang merupakan dasar bagi keruangan kawasan hutan dan RTRW Provinsi Kalimantan Tengah tidak pernah berjalan dengan baik. Hal inilah yang membuat RTRW, baik Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Katingan khususnya, mengalami kendala didalam mendapatkan persetujuan untuk kemudian bisa dimasukkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Meskipun pada tahun 2003, dibawah Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Provinsi Kalimantan Tengah telah memiliki Perda No. 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, namun padu serasi yang dibuat ternyata tidak sesuai dengan Kementerian Kehutanan yang tetap mengacu pada TGHK 1982. Meskipun demikian Kementerian Kehutanan berusaha untuk memutakhirkan kondisi kawasan hutan terkini dengan mengeluarkan SK Menhut 292/2011 dan SK Menhut 529/2012, dimana kedua SK ini dihasilkan atas pertimbangan tim terpadu untuk penyelesaian permasalahan padu serasi di Kalimantan Tengah. Jarak waktu penyesuaian Kawasan Hutan yang terlalu lama ini jugalah yang menimbulkan dualisme acuan keruangan, karena sebelum kedua SK Menhut ini muncul, baik Perda 8/2003 dan TGHK 1982 digunakan pemerintah daerah dalam kewenangannya mengeluarkan izin sektoral (khususnya perkebunan dan pertambangan). Pada tanggal 14 Juli 2011, Bupati Katingan bersama dengan Bupati Kapuas, Bupati Gunung Mas, Bupati Barito Timur, Bupati Sukamara dan 1 orang pengusaha di Palangkaraya mengajukan permohonan uji materi UU 41/1999 terhadap pasal 1 angka 3 pada UU 41/1999 (Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap). Akhirnya gugatan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2001 tertanggal 22 Februari 2012. Hal ini berimplikasi terhadap tata ruang wilayah khususnya sektor kehutanan. Proses pengukuhan kawasan hutan mestinya dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang ada di provinsi maupun kabupaten. Dengan kata lain, agar proses padu serasi berjalan dengan baik, kawasan hutan sebelumnya harus dikukuhkan melalui proses mulai dari penunjukkan kawasan hutan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Terkait dengan proses percepatan penyelesaian Tata Ruang daerah, pada 6 Juli 2011 keluar Surat Edaran Kemendagri 650/3093/IV/Bangda tentang Percepatan Penetapan Raperda tentang RTRW Kabupaten Kota. Surat ini menginstruksikan seluruh Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten untuk mempercepat proses penetapan Perda. Melalui beberapa upaya percepatan yang dilakukan pemerintah kabupaten Katingan, pada 19 Oktober 2011, draft RTRW Kabupaten Katingan mendapatkan rekomendasi dari Gubernur
80 Kalimantan Tengah dengan surat Bupati Nomor : 84/TR/X/2011 terkait rancangan Perda RTRW Kabupaten Katingan. Pada 5 Januari 2012, Kementerian Pekerjaan Umum mengeluarkan Persetujuan Substansi dari Kementerian PU Republik Indonesia dengan surat Nomor : HK. 01 03-Dr/21 tanggal 5 Januari 2012 perihal Persetujuan Substansi atas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031. Pembahasan dengan DPRD dilakukan setelahnya pada Agustus 2012, namun tidak mengalami titik temu (deadlock) yang berujung pada tidak berkenannya anggota DPRD untuk menyetujui Rancangan Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Katingan tersebut. Ekspose kepada anggota DPRD kembali dilakukan pada Juni 2013, dan hasilnya kembali masih belum menemui titik temu antara keduanya. DPRD beralasan agar Pemerintah Kabupaten Katingan kembali menyesuaikan Perda 8/2003 RTRW Provinsi Kalimantan Tengah yang lama atau menunggu sampai RTRW Provinsi Kalteng yang baru disahkan. Terus bergulirnya proses RTRW Kabupaten Katingan yang tidak kunjung usai memperlihatkan ada proses politik sumberdaya alam yang menjadikan halangan terwujudnya RTRW Kabupaten. Hal ini dikarenakan memang prosesnya tinggal menunggu disetujui oleh DPRD Kabupaten yang kemudian dilanjutkan dengan evaluasi oleh Gubernur untuk sinkronisasi dengan tata ruang wilayah provinsi. 5.5.2 Arahan Penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan Diatas kertas, secara keruangan dalam bentuk peta tidak ada masalah berarti jika dibandingkan antara RTRW Kabupaten Katingan (khususnya kawasan budidaya) dan inisiatif REDD+. Meskipun masih ada beberapa wilayah yang overlap (tumpang tindih) antara kawasan inisiatif REDD+ dengan RTRW, misalnya seperti kawasan perkebunan, pemukiman, dan hutan produksi yang dapat dikonversi yang overlap dengan inisiatif REDD+, baik kawasan moratorium hutan maupun rencana konsesi IUPHHK-RE PT. RMU. Lokasi overlap tersebut ditunjukkan dalam Gambar 29. Dari Gambar 29 tersebut, bisa dilihat juga posisi ruang inisiatif REDD+ kebanyakan berada di kawasan lindung dan sebagian di kawasan budidaya diantaranya kawasan Hutan Produksi (HP) dan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Ketiga alokasi ruang dalam RTRW ini juga bisa mengakomodasi kepentingan inisiatif REDD+ agar tidak berseberangan baik antara inisiatif REDD+ itu sendiri dengan RTRW. Meskipun secara ruang RTRW tidak terlalu bermasalah, namun khusus untuk inisiatif REDD+ dalam IUPHHK-RE, justeru PT. RMU ini tidak kunjung mendapatkan izin konsesinya. Lamanya proses pengajuan sejak 2008 mengusulkan ke Kementerian Kehutanan, mengindikasikan juga adanya politik sumberdaya alam yang perlu dikaji lebih mendalam. Sebagai arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan, berdasarkan hasil penelitian dan uraian proses sejarah revisi RTRW, inisiatif REDD+ perlu mempertimbangkan setidaknya dua hal penting agar bisa berjalan bersama dan terintegrasi dengan RTRW kabupaten. Pertama, inisiatif REDD+ perlu memperhatikan kondisi eksisting yang telah digambarkan sebelumnya dalam RTRW Kabupaten. Hal ini perlu dilakukan agar penyesuaiannya dengan RTRW kabupaten dapat dengan mudah dilakukan. Kedua, inisiatif REDD+ yang telah dilakukan penyesuaian sebelumnya, dalam pengalokasian ruang sebaiknya
81 diakomodasi selain pada kawasan lindung juga sebagian pada kawasan budidaya {kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT)}. Arahan ini menjadi penting dilakukan mengingat hasil kajian content analysis pada dua dokumen kebijakan daerah, RTRW dan RPJPD, mengindikasikan adanya elemen dasar dan proses REDD+ yang telah terakomodasi dalam kebijakan daerah tersebut. Disamping itu, hasil kajian preferensi para pihak dalam AHP pun juga menunjukkan preferensi stakeholder di Kabupaten Katingan sejalan dengan inisiatif REDD+.
Gambar 29
Peta Overlay inisiatif REDD+ dengan RTRW Kabupaten Katingan
82
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis perubahan penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Katingan pada periode 2000 – 2012, analisis inkonsistensi penggunaan lahan, analisis isi dokumen perencanaan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, dan analisis hirarki proses yang memunculkan preferensi stakeholder atas keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Penggunaan lahan hutan merupakan penggunaan lahan paling dominan di Kabupaten Katingan. Berdasarkan hasil interpretasi citra tahun 2012, setidaknya masih terdapat jenis penggunaan lahan hutan sekitar 60,47 % dari luas kabupaten (1.242.554 ha), meskipun pada tahun 2000 luasannya mencapai 73,42 % (1.508.489 ha). Berkurangnya luasan penggunaan lahan hutan disebabkan adanya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan pola transisi perubahan penggunaan lahan hutan dimulai dari penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan semak belukar/tanah terbuka terlebih dulu atau bisa langsung berubah ke penggunaan lahan tanaman tahunan (perkebunan), pertanian pangan dan pemukiman. Disamping itu, juga terdapat pola perubahan dari pertanian pangan menjadi penggunaan lahan pemukiman. 2. Ketidaksesuaian penggunaan lahan saat ini jika dibandingkan dengan RTRW dan Kawasan Hutan (SK 529/2012) luasannya relatif kecil. Ketidak sesuaian kondisi eksisting penggunaan lahan dengan RTRW eksisting hanya 3,2 % dari luasan Kabupaten (sekitar 64.432 ha). Sementara ketidaksesuaian kondisi eksisting penggunaan lahan dengan kawasan hutan (SK529/2012) mencapai 2 % dari luasan Kabupaten (35.496 ha). Hal ini menunjukkan kebutuhan akan perubahan penggunaan lahan. Dengan demikian, penyesuaian RTRW yang dapat mengakomodasi dinamika ini menjadi sangat penting. 3. Dokumen kebijakan perencanaan Kabupaten Katingan yang tertuang dalam RPJPD 2005 – 2025 dan draft RTRWK 2011 – 2031 telah mencakup sebagian elemen dasar dan elemen proses REDD+. Dengan demikian, paling tidak kebijakan tertulis kabupaten sejalan dan tidak bertentangan apabila inisiatif REDD+ ini ingin dilanjutkan implementasinya. 4. Preferensi stakeholder atas keberlanjutan inisiatif REDD+ ditunjukkan melalui aspek manfaat langsung (lapangan pekerjaan), aspek manfaat tidak langsung (berkurangnya bencana alam) dan aspek biaya sosial (konflik antar masyarakat). Hasil ini juga menunjukkan preferensi stakeholder sejalan dengan inisiatif REDD+ dimana masyarakat berharap bisa memperoleh manfaat langsung terutama pada tersedianya lapangan pekerjaan. 5. Ada dua hal penting sebagai arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan agar inisiatif REDD+ bisa berjalan dan terintegrasi dengan RTRW kabupaten. Pertama, inisiatif REDD+ perlu memperhatikan kondisi eksisting yang telah digambarkan dalam RTRW Kabupaten. Kedua, dalam hal pengalokasian ruang, inisiatif REDD+ sebaiknya diakomodasi dalam RTRW pada kawasan lindung serta sebagian pada kawasan budidaya {kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT)}.
83 6.2 Saran Pertimbangan-pertimbangan yang disarankan perlu diperhatikan dalam penyusunan arahan pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Katingan ke depan dengan adanya inisiatif REDD+ diantaranya: 1. Agar bisa menjaga kondisi trend penggunaan lahan hutan yang tidak menurun, Pemerintah Kabupaten Katingan dapat mengalokasikan ruang sebagai ruang inisiatif REDD+, yang dialokasikan dalam kawasan lindung dan sebagian kawasan budidaya (kawasan HP dan HPT). 2. Pemerintah Kabupaten Katingan masih perlu meningkatkan pemahaman kepada stakeholder terkait tentang inisiatif REDD+ yang masih sangat baru di tingkat Kabupaten. Hasil penelitian menunjukkan preferensi stakeholder di tingkat Kabupaten telah sejalan dengan inisiatif REDD+. 3. Penelitian ini juga membuka peluang untuk penelitian lanjutan mengenai analisis perubahan penggunaan lahan menggunakan data citra dengan resolusi yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan tingkat keakurasian data dan mencari data citra yang sesuai untuk kebutuhan pada tingkat kabupaten.
84
DAFTAR PUSTAKA Abdiprojo. 2010. Pengertian Stakeholder. http://abdiprojo.blogspot.com/2010/ 05/pengertian-stakeholders.html [1 Agustus 2013] Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D., Verchot, L.V. (Ed.) 2013. Menganalisis REDD+: Sejumlah tantangan dan pilihan. Bogor, Indonesia : CIFOR. Angelsen, A., Brockhaus, M., Kanninen, M., Sills, E., Sunderlin, W. D., WertzKanounnikoff, S. (ed.). 2010. Mewujudkan REDD+: Strategi nasional dan berbagai pilihan kebijakan. Bogor, Indonesia: CIFOR. Angelsen, A., Atmadja, S. 2010. Melangkah maju dengan REDD: isu, pilihan dan implikasi. Bogor, Indonesia: CIFOR. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Bogor [Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Katingan. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Katingan 2008 – 2013. [Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Katingan. 2011. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Katingan 2011 – 2031. [BI] Bank Indonesia. 2006. Persepsi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat dan Lembaga Penyedia Jasa Terhadap Sistem Pembayaran Non Tunai. Jakarta. [BPS Katingan] Badan Pusat Statistik Kabupaten Katingan. 2013. Kabupaten Dalam Angka 2012. Katingan, Indonesia Barlowe, R. 1986. Land Resources Economic : The Economics of Real Estate Fourth Edition. New Jersey : Prentice Hall. Inc. Englewood Cliffs. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2010. REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah. 2011. Statistik Perkebunan Kalimantan Tengah Tahun 2011. Palangkaraya, Indonesia Ekomadyo, A.S. 2006. Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis) dalam Penelitian Media Arsitektur. Jurnal Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni 2(10):51-57 [FAO] Food and Agriculture Organization. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bull. No. 32, Rome, 72 p; and ILRI Publication No. 22 Wageningen. 87 p.
85 Gibson, J., Ivancevick, L., Donnely, J.M., James, H. 1987. Organisasi : Perilaku, Struktur dan Proses (Terjemahan). Edisi kelima, Jakarta: Erlangga. Hilman, M. 2008. Tata Ruang dan Perubahan Iklim. Artikel dalam Bulletin Penataan Ruang Edisi Juli – Agustus 2008. www.bulletinpenataanruang.net Irwanto. 1997. Psikologi Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Kementerian Kehutanan. 2010. Strategi REDD Indonesia Fase Readiness 2009 – 2012 dan Progres Implementasinya. Jakarta. Kementerian Kehutanan. 2013. Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru Revisi I – IV. Jakarta. http://webgis.dephut.go.id/ Kim, S.D., Mizuno, K., Kobayashi, S. 2002. Analysis of Land use Change System Using The Species Competition Concept. Landscape and Urban Planning 58 : 181-200 Koespramoedyo, D. 2008. Keterkaitan Rencana Pembangunan Nasional dengan Penataan Ruang. Artikel dalam Bulletin Penataan Ruang edisi Maret – April 2008 Hal: 23 – 26. Jakarta. http://bulletin.penataanruang.net/index.asp? buled=26 (diakses 5-10-2012) Lilesand, M T., Kiefer, R.W. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. [Terjemahan]. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 2002. Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek. Bogor. Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. McNeil J, Alves D, Arizpe L, Bykova O, Galvin K, Kelmelis J, Migot-adholla S, Morissete P, Moss R, Richards J, Riebsame, W., Sadowski, F., Sanderson, S., Skole, D., Tarr, J., Williams M, Yadap S, Young, S. 1998. Toward a typology and regionalization of land cover and land use change. Report of working Group B. Cambridge : Press Syndicate of The University of Cambridge. pp. 55-65 Munibah, K. 2008. Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Dan Arahan Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. IPB. Niin. 2010. Dinamika Spasial Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan dan Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah. [Tesis]. Bogor: Bogor : Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
86 Parnphumeesup, P., Kerr, S.A. 2011. Stakeholder preferences towards the sustainable development of CDM projects: Lessons from biomass (rice husk) CDM project in Thailand. Energy Policy 39(6): 3591-3601. Santoso, P. 2010. Modul Pembelajaran : Analisis Kebijakan Publik. FISIPOL – Universitas Gajah Mada. Yogyakarta : JPP – FISIPOL UGM Rahmaniah, I. 2012. Kesenjangan Persepsi dan Pemahaman Indikator Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Wilayah di Kabupaten Sukabumi. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Resosudarmo, I.A.P., Mardiah, S., Utomo, N.A. 2012. Can REDD+ work under the dichotomy of conservation and economic objectives? Lessons from spatial planning processes and resource extraction in Indonesia. A preliminary analysis. Draft paper of IRSA Conference 2012. Indonesia. Robbins, S.P. 2006. GRAMEDIA
Perilaku Organisasi, Jakarta: PT INDEX Kelompok
Rustiadi, E., Medrial, A., Trisasongko, B.H., Shiddiq, D., Hidayat, J.T., Radnawati, D., Panuju, D.R. 2002. Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek. Bogor : Lembaga Penelitian IPB dan Bappeda Propinsi DKI Jakarta. Rustiadi, E., Saefulhakim, S. dan Panuju, D.R. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Saaty, T.L., 1980. The Analytical Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill. [Satgas REDD+] Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ 2012. Strategi Nasional REDD+. Jakarta, Indonesia
Indonesia.
Siegel, G., Marconi, H.R. 1989. Behavioural Accounting. Ohio: South Western Publishing Co. Stern, N. 2008. Key Elements of A Global Deal on Climate Change. London: The London School of Economic and Political Science Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Terjemahan dari : Introduction to Statistic. Sumantri B. (penerjemah). Jakarta: PT Gramedia. Winoto, J., Selari, M., Saefulhakim, S., Santoso, D.A., Achsani, N.A., Panuju, D.R. 1996. Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian. Bogor : Lembaga Penelitian IPB dan Badan Pertanahan Nasional. Yuris, A. 2009. Analisis Isi (Content Analysis). http://andreyuris.wordpress.com /2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/. [1 Juni 2012].
87 LAMPIRAN Lampiran 1 Tanggal Akuisisi Citra Landsat tahun 2000, 2006 dan 2012 Path/Row 118/061 118/062 119/060 119/061 119/062
Tanggal Akuisisi Citra Tahun 2000 Tahun 2006 Tahun 2012 16 Juli 2000 3 September 2006 2 Agustus 2012 16 Juli 2000 3 September 2006 3 September 2012 26 Nopember 2000 29 Januari 2006 06 Juni 2012 26 Nopember 2000 29 Januari 2006 05 Mei 2012 15 Januari 2000 29 Januari 2006 05 Mei 2012
Lampiran 2 Tabel Nilai Indeks Konsistensi pada analisis hirarki proses (AHP)
88 Lampiran 3 Cuplikan Citra Landsat Tahun 2000 Kabupaten Katingan
89 Lampiran 4 Cuplikan Citra Landsat Tahun 2006 Kabupaten Katingan
90 Lampiran 5 Cuplikan Citra Landsat Tahun 2012 Kabupaten Katingan
91 Lampiran 6 Hasil Perhitungan Luas dan Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2006 dan 2012 di Kabupaten Katingan Penggunaan Lahan Tahun 2000
No.
Penggunaan Lahan Tahun 2006
1
Hutan
Hutan
2
Hutan
Hutan
Penggunaan Lahan Tahun 2012 Permukiman Pertanian Pangan
3
Hutan
Hutan
4
Hutan
Hutan
5
Hutan
Permukiman
Semak Belukar / Lahan Terbuka Tanaman Tahunan / Kebun Permukiman
6
Hutan
Pertanian Pangan
Pertanian Pangan
7
Hutan
8
Hutan
9
Hutan
10
Hutan
11
Hutan
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Pertanian pangan / Sawah Pertanian pangan / Sawah
Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Tanaman Tahunan / Kebun
Semak Belukar / Lahan Terbuka Tanaman Tahunan / Kebun Tanaman Tahunan / Kebun
Hutan
Hutan
Hutan
Permukiman
Hutan
Pertanian Pangan
Hutan Hutan
Permukiman Pertanian Pangan
Semak Belukar / Lahan Terbuka Tanaman Tahunan / Kebun
Permukiman
Permukiman
Pertanian Pangan
Pertanian Pangan
Luas (Ha) 122,296 5.631,766 77.644,671 19.589,385 577,106 5.559,094 288,073 1.606,916 147.679,151 1.368,555 7.664,626 1.795,946 1,351 101,831 1.045,021 104,707 1.934,037 11.387,082
Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Semak Belukar / Lahan Terbuka Tanaman Tahunan / Kebun
Tanaman Tahunan / Kebun Tanaman Tahunan / Kebun
Permukiman
Permukiman
114,316
Pertanian pangan / Sawah
Permukiman
0,086
Permukiman Pertanian Pangan
1.935,395 10.239,790 19.458,967 14.054,633
92 Lampiran 7 Kuesioner untuk input data pada metode AHP PENDAHULUAN Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL), Institut pertanian Bogor, maka saya : Nama
: Nugroho Adi Utomo
NRP
: A156110111
Program studi
: Ilmu Perencanaan Wilayah
Mengajukan tugas akhir tesis dengan judul : Penggunaan Lahan, Tata Ruang dan Implikasinya Bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah Berkenaan dengan tugas akhir tersebut, saya menyusun kuesioner yang berkaitan dengan perumusan Preferensi dan Persepsi Para Pihak terhadap keberlanjutan inisiatif REDD+. REDD+, kependekan dari Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation, adalah suatu skema upaya untuk menghadapi perubahan iklim melalui konservasi hutan yang akan dikaitkan langsung dengan insentif berdasarkan pada cadangan karbon yang berhasil diserap dari suatu wilayah hutan. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah menetapkan kawasan moratorium hutan dan juga skema konservasi hutan melalui pemberian konsesi restorasi ekosistem pada perusahaan yang berminat di bidang ini. Hal ini merupakan langkah awal dari sekian banyak tahapan persiapan yang dilalui sampai pada akhirnya bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat sekitar hutan. Tentunya inisiatif REDD+ ini bisa berjalan dengan baik jika sejalan dengan rencana pemerintah daerah, khususnya Kabupaten Katingan melalui rencana strategis dalam tata ruang wilayah dan rencana pembangunan. Untuk itu kami mohon kepada Bapak/Ibu untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada dalam kuesioner ini dengan jawaban yang benar dan akurat agar data tersebut dapat diolah/dianalisa, sehingga menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner ini kami ucapkan terima kasih. Hormat Saya, Nugroho Adi Utomo
93 IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden
: ……………………………………………………
Nama
: ……………………………………………………
Tempat/Tanggal Lahir
: ……………………………………………………
Tingkat Pendidikan
: …………………………………………………....
Pekerjaan
: ……………………………………………………
Jabatan
: ……………………………………………………
Alamat Kantor
: ……………………………………………………
No. Telp./HP/Email
: …………………………………………………....
Untuk mengetahui preferensi dan persepsi terhadap keberlanjutan inisiatif REDD+ menurut responden, disusun berbagai pertanyaan berhirarki dengan struktur hierarki sebagai berikut : Keberlanjutan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan
Manfaat REDD+
Langsung
Tidak Langsung
Lapangan Pekerjaan Tambahan Penghasilan Rehabilitasi Hutan Berkurangnya Bencana Alam Ketersediaan Air Tanah
Biaya Sosial
Pertimbangan Ekonomi
Hasil Hutan NonKayu Pengangguran
Pertimbangan Sosial
Infrastruktur Terbatas Konflik antar Pemerintah Konflik pemerintah masyarakat
Petunjuk Pengisian : Untuk menjawab setiap pertanyaan, tahapannya meliputi : 1. Pemberian urutan (rangking) pada aspek mana yang menurut anda lebih penting/perlu diselesaikan 2. Pemberian skor (skala 1-9) pada setiap urutan. Urutan yang lebih tinggi, otomatis skornya paling tinggi dan skor urutan berikutnya menyesuaikan (lebih rendah). 3. Penjelasan dengan alasan logis menurut anda.
konflik antar masyarakat
94 1. Mana yang lebih penting dalam keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten ? (Jika inisiatif REDD+ berjalan baik maka yang lebih dipentingkan adalah ?) Urutan Bobot Skor (1-9) Aspek Manfaat REDD+ Biaya Sosial Alasan memberikan bobot lebih tinggi pada …………dikarenakan……………………… ……………………………………………………………………………………………… 2. Keuntungan (manfaat REDD+) mana yang lebih penting ? Urutan Bobot Skor (1-9) Aspek Langsung Tidak Langsung Alasan memberikan bobot lebih tinggi pada …………dikarenakan……………………… ……………………………………………………………………………………………… 3. Ditinjau dari manfaat REDD+ secara langsung, setidaknya ada 2 aspek yang menjadi pertimbangan yaitu lapangan pekerjaan dan tambahan penghasilan. Keuntungan mana yang lebih penting ? Urutan Bobot Skor (1-9) Aspek Lapangan Pekerjaan Tambahan Penghasilan Alasan memberikan bobot lebih tinggi pada …………dikarenakan……………………… ……………………………………………………………………………………………… 4. Ditinjau dari Manfaat REDD+ secara tidak langsung, ada 4 aspek penting tertera dalam table dibawah ini. Keuntungan mana yang lebih penting ? Urutan Bobot Skor (1-9) Aspek Rehabilitasi Hutan Berkurangnya Bencana Alam Ketersediaan Air Tanah Hasil Hutan Non Kayu Alasan memberikan bobot lebih tinggi pada …………dikarenakan……………………… ……………………………………………………………………………………………… 5. Biaya Sosial mana yang prioritas (paling penting) diselesaikan terlebih dahulu ? Urutan Bobot Skor (1-9) Aspek Pertimbangan Sosial Pertimbangan Ekonomi Alasan memberikan bobot lebih tinggi pada …………dikarenakan……………………… ……………………………………………………………………………………………… 6. Biaya Sosial mana (ditinjau secara ekonomi) yang prioritas (paling penting) untuk diselesaikan ? Urutan Bobot Skor (1-9) Aspek Pengangguran Infrastruktur Terbatas Alasan memberikan bobot lebih tinggi pada …………dikarenakan……………………… ……………………………………………………………………………………………… 7. Biaya Sosial mana (ditinjau secara sosial) yang prioritas (paling penting) untuk diselesaikan? Urutan Bobot Skor (1-9) Aspek Konflik Antar Pemerintah Konflik Pemerintah – Masyarakat Konflik Antar Masyarakat Alasan memberikan bobot lebih tinggi pada …………dikarenakan……………………… ………………………………………………………………………………………………
95 Lampiran 8 Arahan Pertanyaan Wawancara Semi Terstruktur Isu Pokok yang akan dibahas terkait dengan Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Iklim (upaya penurunan Emisi CO2 dan inisiatif REDD+) 1. Pemerintah Daerah (Bupati, Bappeda, Dishut, Distanbun, Distamben, DPRD) a. Upaya yang telah dilakukan Pemerintah Daerah terkait Perubahan Iklim b. Kebijakan-kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam mengakomodir isu perubahan iklim c. Kelembagaan apa saja yang akan dan sudah terbentuk di tingkat Kabupaten d. Persepsi Pemerintah Daerah tentang Pembangunan Berkelanjutan e. Persepsi Pemerintah Daerah atas inisiatif REDD+ f. Harapan Pemerintah Daerah atas kebijakan REDD+ 2. Perusahaan (PT RMU) a. (Hubungan dengan Pemerintah Pusat) Bagaimana proses perizinan IUPHHK-RE dilakukan ? apa saja kendala yang dihadapi b. (Hubungan dengan Pemerintah Daerah) Apa saja kendala yang dihadapi dalam kaitan hubungan dengan Pemda c. Upaya – Upaya yang telah dilakukan dalam menghadapi kendala dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah) d. (Hubungan dengan Masyarakat) Upaya interaksi dan komunikasi yang dibangun dengan masyarakat sejauh mana e. Persepsi tentang pembangunan berkelanjutan f. Persepsi dan harapan REDD+ 3. Masyarakat (4 Desa sekitar inisiatif REDD+) a. Profil dan aktivitas utama desa b. Persepsi tentang pembangunan berkelanjutan c. Persepsi tentang REDD+ d. Upaya interaksi dan komunikasi dengan para pihak (perusahaan dan pemda terutama) dalam inisiatif REDD+ e. Harapan ke depan dengan kebijakan REDD+ 4. LSM/Akademisi (WWF, Yayasan Puter) a. Persepsi tentang pembangunan berkelanjutan b. Persepsi tentang REDD+ c. Upaya interaksi dan komunikasi dengan para pihak dalam inisiatif REDD+ d. Upaya yang dilakukan dalam pendampingan/capacity building masyarakat e. Harapan ke depan dengan kebijakan REDD+ 5. Pemerintah Pusat (Balai TN. Sebangau dan TN Bukit Baka Bukit Raya) a. Upaya yang dilakukan terhadap kawasan TN b. Tantangan dan kendala dalam moratorium c. Hubungan dengan para pihak (pemerintah daerah, swasta dan masyarakat) d. Harapan ke depan dengan kebijakan REDD+
96
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 27 Februari 1979 sebagai anak kedua (tiga bersaudara) dari pasangan H. Muhammad Paimin dan Hj. Suyatini. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Pesanggrahan 02 Pagi pada Tahun 1991. Kemudian penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 177 Bintaro Jakarta Selatan dan menyelesaikannya pada Tahun 1994. Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri 47 Tanah Kusir, Jakarta Selatan dan pada tahun yang sama melanjutkan studi S1 di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengambil jurusan di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Penulis lulus dengan menyandang gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) pada Tahun 2002. Sejak 2003 hingga sekarang penulis bekerja sebagai asisten peneliti di lembaga penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) dengan topik penelitian terkait kebijakan tata kelola hutan, desentralisasi, manajemen kolaboratif kawasan konservasi dan terakhir tentang perubahan iklim. Atas dorongan kuat beberapa kolega di kantor, pada Tahun 2011 penulis memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang S2, tepatnya di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Kuliah S2 ini dibiayai sepenuhnya oleh penulis dan sebagian dana penelitian lapang dibiayai oleh salah satu komponen pendanaan proyek riset di tempat penulis bekerja