Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006
Fokus Pengawasan
TLHP dan Peningkatan Kinerja
TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Daftar Isi
Fokus Pengawasan Diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI Tahun 2006 Dewan Penyunting: Pembina: A. Qodri A. Azizy Pengarah: Ichtiono, Mukhayat, Achmad Ghufron, Chamdi Pamudji, Wardi Idris Penanggung jawab: Ali Hadiyanto Ketua: Maman Taufiqurrohman Sekretaris: Ali Rokhmad Anggota: Mudjimah, O. Sholehuddin, Abdul Karim, Nur Arifin, Arif Nurrawi, Nugraha Stiawan Pelaksana: Tamriyanto, Sugina, Sarmin, Nurman Kholis, Ispawati Asri, Feriantin Erlina Alamat Redaksi: Inspektorat Jenderal Departemen Agama, Jalan M.H. Thamrin No.6, Jakarta 10340 Telp. (021) 3192-4509, 3193-0565 Telefax: (021) 314-0135, 3192-6803 e-mail:
[email protected]
Surat Pembaca ........................... 3 Pengantar ................................... 4 Fokus Utama Sosok Aparat Pengawasan ..... .... 5 Saran Tindak Lanjut ..................... 8 Surat Edaran Irjen ....................... 11 Urgensi STL dan TLHA ................ 14 Hasil Dialog Unit Eselon I ............ 17 Opini Pelimpahan Wewenang .............. 20 Percepatan Penyelesaian TLHP .. 24 Eksistensi Peran Auditor ............. 26 Pengaruh Kepemimpinan ........... 31 Menyoal Hukum .......................... 33 Jabatan Fungsional Auditor ......... 35 Lika Liku Auditor Kisah Khusus Tim Buser ............ 39 Standar Akuntansi Pemerintahan Perkembangan SAP ................... 41 Randang SE Irjen tentang Menghindari ...... 44 AMO Repositioning Itjen Depag RI ....... 45 25 Tips Untuk Manajemen ........... 50 TI Brontok Removing dan File ......... 53 Renungan Menjadikan Itjen Laksana Air ....... 56 Hikmah Sedekah ....................................... 60 Relaksasi .................................... 62
Dewan Penyunting menerima artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, diutamakan dalam bentuk soft copy. gambar cover Keterangan Cover: Foto-foto Penyelenggaraan Konsultasi Koordinator Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Tahun 2005 di Malang.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
2
Surat Pembaca
Website FP Sehubungan dengan penerbitan FP yang memuat seputar informasi pengawasan di lingkungan Departemen Agama dan terbatasnya jumlah eksemplar serta pendistribusiannya, saya mengusulkan agar FP memiliki website. Hal ini saya usulkan agar informasi dalam FP dapat diketahui secara luas oleh mereka yang tidak mendapatkan pengiriman FP dan dapat berinteraksi langsung dengan peminat yang ingin memberikan masukan/kritikan maupun tulisannya. Fadli, Banjarbaru-Kalsel FP: Terima kasih atas usul konstruktif Anda. FP akan mengusahakannya agar FP dapat diakses melalui internet baik melalui website FP sendiri atau melalui website Itjen Depag. Appresiasi Untuk FP Saya sangat appreciate dengan majalah Fokus Pengawasan dari Itjen Departemen Agama. Selain menambah wawasan/wacana keilmuan tentang pengawasan, saya juga mengetahui tentang apa itu tanggung jawab auditor, permasalahan yang dihadapi dalam
tugas dan hal-hal baru terkait pengawasan dan ilmu yang terkait dengan pengawasan. Untuk itu saya berharap mutu dari majalah Fokus dapat terus ditingkatkan sesuai perkembangan kebutuhan riil pengawasan. Selanjutnya untuk dapat menjangkau khalayak umum, bagaimana prospek go public-nya. Semoga terus maju. Yati N, Jati Asih, Bekasi FP: Terima kasih kembali atas apresiasi dan dukungan Anda untuk kemajuan FP. Harapan Anda juga adalah harapan FP. Pengawasan di Luar Negeri Saya berterima kasih kepada FP yang pernah memuat tulisan mengenai pemberantasan korupsi di negara China. Untuk menambah bahan perbandingan dalam kegiatan pengawasan oleh Itjen Depag, saya berharap FP juga dapat memuat tulisan yang berisi kegiatan pemberantasan korupsi di negara tetangga, khususnya Malaysia. Sebab, warga Malaysia memiliki karakter dan kultur yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Ibnu Hidayat, Pondok Gede FP: Terima kasih atas masukan Anda. Mengenai pemberantasan korupsi di Malaysia akan FP usahakan untuk menampilkannya pada edisi dan tema yang relevan dengan masukan Anda.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
3
Pengantar nisasi di Depag, maka FP juga dituntut untuk dapat menyajikan berbagai tulisan yang dapat dijadikan salah satu masukan untuk peningkatan kinerja Depag . Oleh karena itu, penerbitan dan penyebaran majalah ini diharapkan dapat memicu political will dan memacu spirit dari pimpinan Waktu demi waktu terus melaju tidak bisa dihentikan dengan berteriak “nanti dulu”. Tanpa terasa pergerakan waktu meluncur dengan cepat bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Pergerakan waktu ini pun membawa Fokus Pengawasan hadir dalam edisi yang ke-10. Jumlah edisi yang sudah tidak dapat dikatakan seumur jagung. Dengan demikian, performa yang semakin bagus mesti ditampilkan oleh FP baik dari segi isi, lay out, maupun perwajahannya. Apalagi bagi FP yang diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI yang bertugas melakukan pengawasan di departemen ini. Seiring pergerakan waktu tersebut, tantangan Itjen Depag pun semakin berubah dan kompleks. Hal ini membuat jajaran Itjen dituntut untuk memiliki kreativitas dan inovasi dalam menghadapi tantangan tersebut. Tantangan ini juga mesti dijadikan peluang bagi tim redaksi FP untuk melakukan kreasi dan inovasi hingga kehadiran FP dari edisi ke edisi mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dan dapat menyesuaikan diri sebagaimana berbagai tantangan yang dihadapi Itjen Depag. Sebagai majalah non profit yang penyebarannya untuk seluruh unit orga-
unit organisasi untuk menjadikan citra Depag semakin baik. Citra tersebut akhir-akhir ini sudah mendapatkan apresiasi dari berbagai media massa sehubungan dengan adanya penyimpangan di Depag yang berhasil ditindaklanjuti. Seiring dengan semakin baiknya citra Tindak Lanjut Hasil Pengawasan (TLHP) Itjen tersebut, FP edisi 10 ini menampilkan tema, “TLHP dan Peningkatan Kinerja”. Pemberian tema tersebut pada edisi kali ini juga merupakan salah satu gambaran langkah nyata Itjen dalam upaya untuk meminimalisasi penyimpangan di lingkungan Depag. Sebuah upaya percepatan penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan. Sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, FP kali ini juga disisipi rubrik-rubrik baik yang mendukung kegiatan pengawasan maupun yang mencairkan suasana di ruang kerja melalui rubrik renungan, hikmah, dan relaksasi. Sehubungan dengan tampilan rubrik-rubrik tersebut dari mulai yang serius, relijius, hingga relaksasi yang sebagiannya berisi ucapan ketus, FP mengucapkan selamat mengerenyitkan dahi, memandang dengan mata hati, dan tersenyum dengan berseri-seri. (nk/ns).
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
4
Fokus Utama
SOSOK APARAT PENGAWASAN Pengawasan pada hakikatnya adalah mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Bentuk-bentuk kegiatan pengawasan tersebut antara lain: (a)Saling memberi peringatan. Pengawasan dilakukan dengan cara mengingatkan kepada orang lain agar selalu berada di jalan yang benar, menghindari penyimpangan dalam berbagai bentuk (kolusi, korupsi, nepotisme, dan lainnya). Peringatan itu dapat berupa Pedoman, Juklak, Tata Cara, Prosedur Kerja, Kebijakan, maupun Peraturan Perundang-undangan. (b)Mengajak berbuat baik. Pengawasan diharapkan akan menghasilkan saran (rekomendasi) kepada pimpinan auditan untuk mengambil langkah perbaikan demi terciptanya hasil yang lebih baik dan sempurna sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. (c)Tidak mentolerir penyimpangan. Dalam pengawasan apabila terjadi penyimpangan yang tidak dapat dicegah dengan kekuasaan dan atau lisan maka dalam hati harus tetap mengingkari dan tidak mentolerir. (d)Menuju kepada kebenaran. Keberhasilan pengawasan dan audit sangat ditentukan oleh mutu hasil audit dan efektivitas tindak lanjut hasil audit. Pelaksanaan tindak lanjut itu diharapkan dapat membentuk sikap aparatur negara tetap pada kebenaran, keimanan, dan ketakwaan kepada Tuhan.
Sosok Itjen yang diharapkan Dalam era reformasi sekarang ini, Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) diharapkan mampu mempertahankan citranya sebagai sosok teladan bagi aparatur yang lain dan sekaligus bagi masyarakat. Hal ini khususnya kepada pimpinan satuan organisasi/satuan kerja masing-masing agar menempatkan aparat pengawasan sebagai mitra sejajar yang saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling menunjang dalam pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu seiring dengan telah bergulirnya era reformasi, Itjen diperlukan untuk memantapkan peranannya sebagai salah satu komponen dalam APFP. Peran ini dapat dilakukan dengan langka-langkah sebagai berikut: a. Penataan Pola Pengawasan Penataan revalidasi pola pengawasan diupayakan melalui koordinasi yang terus menerus baik intern pejabat eselon I pusat maupun antar aparat pengawasan fungsional terkait. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam penyusunan Rencana Strategis (Renstra), Penyusunan Kebijakan dan Program Pengawasan, Penyusunan Rencana Kinerja Pengawasan Tahunan . Kaitannya dengan penataan pola pengawasan, maka Itjen Dep.Agama saat ini telah melakukan penajaman objek audit yang sarat dengan praktikpraktik korupsi, kolusi, nepotisme, pemborosan keuangan, pelayanan kepada masyarakat, dan pungutan liar.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
5
Fokus Utama b. Peningkatan Mutu Aparat Pengawasan Keberhasilan unsur pengawasan sebagai bagian manajemen sangat terkait dengan kualitas aparat pengawasan. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu menjadi aparat pengawasan yang handal. Maka perlu persyaratan yang khusus untuk menjadi aparat pengawasan. Seseorang sulit menjadi aparat pengawasan yang handal apabila ia tidak mampu berkomunikasi dengan baik, kurang percaya diri, tidak mampu memperoleh dan mempertahankan temuan berdasarkan bukti-bukti yang cukup dan relevan dari pihak auditan, tidak mampu mengungkapkan penyebab dari masalah yang ditemukan dalam waktu singkat, serta tidak mampu membuat laporan yang objektif, cepat, dan tepat. Oleh karena itu, rekrutmen calon aparat pengawasan perlu dilakukan secara cermat, terencana, dan apabila perlu melalui pola kaderisasi. Di samping itu, perlu pembinaan kepada aparat pengawasan secara terus menerus melalui beberapa Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), motivasi, iklim kerja yang kondusif, dan keteladanan dari pimpinan sehingga para aparat pengawasan menjadi profesional, berdedikasi, dan memiliki integritas yang tinggi. Adanya para aparat pengawasan yang handal diharapkan dapat menjaga citra dan kredibilitas lembaga aparat pengawasan. Dengan demikian, Inspektorat Jenderal Departemen Agama akan dihargai dan disegani oleh seluruh Satuan Organisasi/Satuan Kerja yang menjadi objek audit.
c. Penyempurnaan Struktur Organisasi Sejalan dengan perkembangan tuntutan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang agama, maka perlu diperlukan penyempurnaan kelembagaan aparat pengawasan. Oleh karena itu, secara pro aktif Inspektorat Jenderal melakukan penyempurnaan struktur organisasinya. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 telah melakukan perubahan atas struktur organisasi Itjen yang sebelumnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001. Penyempurnaan tersebut antara lain: Inspektur Regional berubah menjadi Inspektur Wilayah, pada masingmasing Inspektur Wilyah terdapat Subag Tata Usaha, dan perubahan beberapa nomenklatur pada Sekretariat Itjen. Penyempurnaan ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Penyempurnaan struktur organisasi ini salah satunya diwujudkan dengan rapat kerja para pejabat Itjen untuk menganalisis beban tugas dan uraian jabatan pada itjen depag. Analisis Beban Tugas dan Uraian Jabatan ini merupakan formula baru yang memiliki dampak positif serta menjadi daya dukung terhadap pencapaian visi dan misi Itjen Depag. Penetapan Analisis Beban Tugas dan Uraian Jabatan tersebut juga disusun untuk dipedomani oleh seluruh pejabat sekaligus menjadi dasar pelaksanaan tugas pekerjaan dengan maksud agar proses-proses pekerjaan dapat lebih terarah, efektif, dan efisien sehingga sasaran yang hendak dituju dapat dicapai maksimal dan bisa memberikan dampak dan citra positif atas kinerja Itjen Depag.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
6
Fokus Utama d. Pengembangan Sistem Tidak dapat disangkal bahwa setiap pelaksanaan satuan organisasi/unit kerja memerlukan hukum yang handal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Demikian pula halnya dengan lembaga pengawasan tidak luput dari kebutuhan akan seperangkat sistem peraturan perundang-undangan yang komprehensif dan mampu menampung segala kebutuhan peraturan di bidang pengawasan. Hingga saat ini, tampak bahwa perundang-undangan mengenai pengawasan masih belum terintegrasi. Keadaan ini kurang mendukung upaya menghasilkan pelaksanaan pengawasan yang sinergik dan efektif. Untuk itu Itjen Dep. Agama diharapkan mampu melakukan evaluasi terhadap sistem peraturan perundangan yang ada, di samping mengembangkan sistem yang handal guna memberikan kenyamanan dalam pelaksanaan pengawasan dan peningkatan mutu hasil audit. e. Peningkatan Kemampuan Waskat Pada dasarnya pengawasan yang pertama dan utama adalah pengawasan dan pengendalian atasan langsung secara berjenjang. Untuk itu waskat perlu terus ditingkat dengan menerapkan Sarwaskat melalui penggarisan struktur organisasi, perincian kebijakan, pelaksanaan rencana kerja, prosedur kerja, pencatatan hasil kerja, dan pembinaan personil yang dilakukan secara terus menerus. Adanya pengawasan fungsional oleh Itjen diharapkan akan terus menurus mendorong pelaksanaan waskat yang lebih efektif. f.
Pembudayaan Pengawasan Pembudayaan pengawasan di lingkungan Departemen Agama dilakukan untuk: (1)Meningkatkan pemahaman
terhadap arti pentingnya pengawasan sehingga dapat mewujudkan aparatur yang bersih dan berakhlak mulia dengan prinsip “ibda’ binafsika”; (2)Menumbuhkembangkan waskat dengan mewujudkan sikap dan kepemimpinan yang tegas dalam menerapkan aturan yang berlaku; (3)Meningkatkan prakarsa dan peran aktif pengawasan khususnya oleh pimpinan/atasan langsung dan masyarakat secara objektif, sehat, dan terkendali; (4)Menumbuhkan budaya malu, rasa bersalah, dan berdosa untuk melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Agama. Berkenaan dengan upaya untuk memantapkan peran Itjen Depag sebagai salah satu komponen APFP, Direktur Pengawasan Lembaga Pemerintah Bidang Hankam BPKP dalam makalah berjudul “Peningkatan Kualitas Pelaksanaan Pengawasan” pada Lokakarya Pengawasan Itjen Depag Tahun 2005, menyatakan bahwa Itjen Depag dituntut untuk mampu berkontribusi melalui audit yang menghasilkan informasi pengawasan yang bersifat early warning system (Sistem Peringatan Dini) kepada Menteri Agama beserta para pejabat yang berwenang. Informasi dimaksud digunakan untuk keperluan continuing improvement (perbaikan berkelanjutan) penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sehingga rencana yang ditetapkan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Pelaksanaan hal-hal tersebut juga dilakukan untuk memberikan nilai tambah bagi pencapaian kinerja departemen baik dalam bentuk pemberian jasa perbaikan manajemen pemerintahan maupun dalam bentuk pemberian jasa audit yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kinerja Departemen Agama dan pemberantasan korupsi.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
7
Fokus Utama
SARAN TINDAK LANJUT HARUS DITINDAKLANJUTI Standar Tindak Lanjut Pada tahun 1996 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menetapkan berlakunya Standar Audit Aparat Pengawasan Funsional Pemerintah (SA-APFP) dengan Surat Keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-378/K/1996 tanggal 30 Mei 1996. Standar audit ini menggantikan Norma Pemeriksaan APFP yang pemberlakuannya berdasarkan Surat Edaran Kepala BPKP Nomor SE-117/ K/1985 tanggal 1 Mei 1985. Tujuan ditetapkannya standar audit ini adalah untuk menjamin mutu koordinasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan audit. Standar ini juga bertujuan untuk mendorong efektivitas tindak lanjut temuan hasil audit serta konsistensi penyajian laporan hasil audit yang bermanfaat bagi pemakainya. Standar audit APFP ini terdiri dari 24 butir standar yang terbagi atas 5 kategori, yaitu: (1)Standar Umum; (2)Standar Koordinasi dan Kendali Mutu; (3)Standar Pelaksanaan; (4)Standar Pelaporan; dan (5)Standar Tindak Lanjut. Standar Tindak Lanjut terdiri atas 4 butir standar, yaitu: (1)APFP harus mengkomunikasikan kepada manajemen auditan bahwa tanggung jawab untuk menyelesaikan atau menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi berada pada pihak auditan; (2)APFP harus memantau tindak lanjut atas
temuan beserta rekomendasi; (3)APFP harus melaporkan status temuan beserta rekomendasi audit sebelumnya yang belum ditindaklanjuti; dan (4)Terhadap temuan yang berindikasi adanya tindakan melawan hukum, APFP harus membantu aparat hukum terkait dalam upaya penindaklanjutan temuan tersebut. Oleh karena itu maka setiap APFP harus dengan penuh tanggung jawab selalu mengikuti perkembangan status temuan yang telah djatuhkannya. Sehingga temuan hasil auditnya benarbenar bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Standar Tindak Lanjut ini selain mengharuskan auditor untuk terus memantau pelaksanaan tindak lanjut, juga mengharuskan kepada auditan untuk menyelesaikan saran/rekomendasi yang diberikan. Oleh karena itu maka setiap saran tindak lanjut harus ditindaklanjuti. Selain itu, agar memudahkan pemantauan terhadap perkembangan pelaksanaan tindak lanjut oleh auditan, maka setiap temuan dan tindaklanjutnya harus dicatat dengan sebaik-baiknya. Dicatat dengan sistem penatausahan temuan yang akan memudahkan mengetahui perkembangan penyelesaian tindak lanjut oleh auditan. Penatausahaan Temuan Pelaksanaan pengawasan oleh auditor Aparat Pengawasan Internal
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
8
Fokus Utama Pemerintah (APIP) tidak akan mempunyai pengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan audit apabila rekomendasi yang dibuat oleh auditor tidak dilaksanakan oleh para penanggung jawab kegiatan. Untuk memastikan bahwa semua rekomendasi auditor ditindaklanjuti oleh penanggung jawab kegiatan, Inspektorat Jenderal harus melakukan penatausahaan temuan hasil pengawasan. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE-02/M.PAN/01/ 2005 tanggal 7 Januari 2005 tentang Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Surat Edaran MENPAN pada butir 3 menyatakan bahwa MENPAN menugaskan pimpinan APIP untuk: (a)Menginventarisasi, memantau, dan mencatat perkembangan tindak lanjut hasil pengawasan secara berkesinambungan; (b)Terhadap temuan yang merugikan keuangan Negara/Daerah agar berkoordinasi dan melaporkan hasilnya kepada Aparat Penegak Hukum (Kejaksaan dan Kepolisian) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (c)Pimpinan APIP menyampaikan laporan pelaksanaan tindak lanjut dimaksud kepada atasan langsung masingmasing, dengan tembusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Di dalam penatausahaan temuan, APIP harus dapat memahami beberapa pengertian yang dapat digunakan sebagai dasar penatausahaan. Temuan adalah semua permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan audit yang memerlukan langkah
perbaikan/penertiban/penyempurnaan oleh pejabat yang berwenang menindaklanjuti. Untuk memudahkan pengelolaan data hasil pengawasan, APIP harus dapat menggolongkan temuan hasil audit sehingga setiap auditor dapat mengarahkan temuan hasil auditnya kepada golongan temuan hasil audit. Kodifikasi Temuan Selama ini pengelompokkan temuan yang digunakan oleh BPKP dalam kegiatan pengawasan terdiri dari: (01)Kejadian yang merugikan negara; (02)Kewajiban penyetoran kepada negara; (03)Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan; (04)Pelanggaran terhadap prosedur dan tata kerja objek yang diaudit; (05)Penyimpangan dari ketentuan pelaksanaan anggaran; (06)Hambatan terhadap kelancaran proyek/kegiatan; (07)Hambatan terhadap pelaksanaan tugas pokok; (08)Kelemahan administrasi (kelemahan tata usaha/akuntansi); (09)Ketidaklancaran pelayanan kepada masyarakat; dan (10)Lain-lain. Rekomendasi dan Tindak Lanjut Rekomendasi adalah saran perbaikan/penertiban/penyempurnaan yang menghilangkan penyebab terjadinya kekeliruan atau penyimpangan. Tindak lanjut adalah setiap langkah perbaikan/ penyempurnaan/penertiban/ penindakan yang dilakukan pejabat/ pimpinnan/penanggung jawab instansi/ satuan kerja/program/proyek/BUMN/ BUMD sesuai rekomendasi yang diberikan auditor (Itjen, BPKP, BPK) Untuk mendorong pelaksanaan tindak lanjut, syarat utama yang harus
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
9
Fokus Utama dipenuhi adalah bahwa rekomendasi yang dibuat oleh auditor adalah benarbenar dapat dilaksanakan (applicable), kongkrit yaitu jelas ditujukan kepada siapa yang harus melaksanakan dan dalam bentuk apa serta kapan pelaksanaannya, dan tidak cacat. Rekomendasi Cacat Rekomendasi cacat adalah rekomendasi yang tidak dapat menghilangkan penyebab, misalnya adalah rekomendasi yang hanya bersifat himbauan agar kejadian semacam itu tidak terulang lagi; rekomendasi yang merupakan saran kepada pengambil keputusan yang berada di luar instansi yang diaudit; rekomendasi yang merupakan saran pernyempurnaan terhadap tindakan di masa lalu, sedangkan kegiatan tersebut saat ini sudah tidak dilakukan lagi, dan lain sebagainya. Apabila dalam waktu tertentu pihak yang diaudit tidak melaksanakan tindak lanjut, maka APIP wajib memberitahukan mengenai kewajiban pihak yang diaudit untuk menindaklanjuti temuan hasil pengawasan. Metode yang digunakan dapat dengan mengirimkan surat, sebut saja surat penegasan. Surat penegasan ini dibuat dalam kurun waktu tertentu setelah audit selesai (misalnya setiap sebulan). Tujuannya selain agar pihak yang diaudit memberikan perhatian terhadap rekomendasi yang sudah diberikan, juga agar mereka mengetahui bahwa APIP bersungguh-sungguh terhadap pelaksanaan tindak lanjut. Penatausahaan data hasil pengawasan akan melibatkan tim audit dan unit pemelihara data hasil peng-
awasan. Tim audit adalah sebagai unit yang akan menyiapkan data yang akan dibuat database-nya. Data yang disiapkan adalah ikhtisar lengkap mengenai temuan hasil audit dan disampaikan dengan formulir yang dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan petugas dalam mencatat data temuan. Selain itu apabila tim audit sudah mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan tindak lanjut dari suatu temuan hasil pengawasan, maka tim audit juga harus menyiapkan formulir yang menyatakan status temuan setelah adanya tindak lanjut. Penyiapan formulir tindak lanjut ini dilakukan setelah tim audit mengevaluasi tindak lanjut yang dilaksanakan oleh auditan. Status temuan setelah pelaksanaan tindak lanjut dapat berupa “tuntas” yaitu apabila tindak lanjut sudah seluruhnya dilakukan dan menurut auditor sesuai dengan rekomendasi; “tuntas sebagian” yaitu apabila tindak lanjut dilaksanakan baru sebagian; atau “belum ditindaklanjuti” yaitu apabila tindak lanjutnya setelah dievaluasi belum sesuai dengan rekomendasi yang diberikan. Formulir yang telah diisi oleh tim audit (formulir temuan baru dan formulir tindak lanjut) kemudian diserahkan kepada unit yang mengolah data temuan hasil pengawasan. Setiap formulir yang diterima dari tim audit di catat di dalam buku temuan hasil pengawasan. Apabila semua proses sudah dilaksanakan dengan benar, maka diharapkan informasi data hasil pengawasan akan dapat menyajikan data hasil pengawasan yang mutakhir.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
10
Fokus Utama
SURAT EDARAN INSPEKTUR JENDERAL DEPAG UPAYA PERCEPATAN PENYELESAIAN TLHP Dalam rangka meningkatkan pelayanan, pengayoman, serta menumbuhkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di bidang agama, perlu dilaksanakan manajemen modern yang meliputi perencanaan yang matang, pelaksanaan yang tepat, dan pengawasan yang ketat. Pengawasan tersebut mencakup Pengawasan Melekat (Waskat), Pengawasan Fungsional (Wasnal), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas). Pelaksanaan pengawasan harus ditindaklanjuti. Tindak lanjut diharapkan dapat menghilangkan sebab hakiki dari masalah yang ditemukan. Selanjutnya juga dapat membentuk sikap manusia agar tetap pada kebenaran, keimanan, dan ketakwaan kepada Tuhan YME., sehingga kita dapat melakukan tugas pelayanan prima guna kesejahteraan umat dalam rangka mensukseskan pembangunan bangsa dan negara. Inspektorat Jenderal Departemen Agama merupakan unit yang bertugas melaksanakan pengawasan di lingkungan Departemen Agama. Berbagai upaya telah dilakukan, di samping melakukan audit secara profesional juga dalam penanganan surat-surat pengaduan masyarakat hingga percepatan penyelesaian hasil pengawasan. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan pelayanan kepada publik internal maupun eksternal, mengembangkan budaya organisasi untuk selalu mendorong peningkatan kegiatan dengan hasil yang lebih efisien dan efektif,
serta memantapkan citra Departemen Agama yang selama ini ’terpuruk’. Langkah nyata memantapkan citra Dep. Agama adalah: Demokratisasi. Kenyataan pluralisme agama, sosial, kultural, intelektual, dll. menuntut Dep. Agama harus siap membuka diri terhadap kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Profesionalisme. Berarti membangun kinerja berdasarkan prinsip meritokrasi, yang lebih mempertimbangkan kemampuan manajerial, prestasi kerja. Selain itu juga memberdayakan masyarakat sesuai dengan kemampuan dan keahlian. Efisiensi. Pemborosan harus dihindari dengan jalan memprioritaskan kegiatan yang mendesak, dengan biaya yang sekecilkecilnya, meninjau program yang tidak berorientasi pada hasil, serta membangun kerjasama sehingga tidak tumpang tindih. Berdasarkan hal di atas maka Irjen Dep. Agama mengeluarkan beberapa surat edaran yang intinya menghimbau kepada seluruh unit di lingkungan Departemen Agama agar mendukung percepatan TLHP. Sasarannya adalah: (1)Mempercepat penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pengawasan (TLHP) di lingkungan Departemen Agama; (2)Merangsang auditee agar pro-aktif terhadap pelaksanaan pengawasan dengan tidak mempersulit dan memberikan informasi yang dibutuhkan; (3)Memperbaiki manajemen pemerintahan yang terdiri dari: aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan SDM aparatur, serta dasar penilaian kinerja
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
11
Fokus Utama pimpinan unit kerja, agar suatu temuan yang sama tidak terulang lagi; (4)Meningkatkan disiplin serta prestasi kerja dan pencapaian sasaran pelaksanaan tugas; (5)Meminimalisir penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan keuangan negara dengan segala bentuk pungutan liar; dan (6)Memudahkan pelayanan kepada masyarakat. Proses Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Sesuai Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1992, tugas koordinator TLHP: (1)Mengingatkan kepada pimpinan auditan untuk segera melaksanakan TLHA wasnal; (2)Melaksanakan pemutakhiran data hasil pengawasan intern dan ekstern di lingkungan unit kerja masing-masing; (3)Khusus hasil pengawasan BPKP, dimutakhirkan dengan kantor Perwakilan BPKP setempat, hasil pemutakhiran data disetujui/ditandatangani oleh pejabat Kantor Perwakilan BPKP setempat; (4)Bertanggung jawab atas penyampaian laporan pelaksanaan TLHA wasnal atas nama pimpinan masing-masing dan memberikan laporan hasil pemantauan penyelesaian TLHA tersebut kepada Inspektur Jenderal, Sekretaris Jenderal, dan pejabat Eselon I terkait. Salah satu upaya yang dilakukan Inspektur Jenderal Departemen Agama adalah dengan mengeluarkan surat edaran yang intinya menghimbau semua pihak mendukung dan berpartisipasi dalam penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan. Hingga tahun 2006 telah terbit 19 surat edaran Inspektur Jenderal Departemen Agama mengenai percepatan tindak lanjut hasil pengawasan, yaitu: 1. Pembentukan komitmen bersama antara auditor dengan auditan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
dalam rangka memperbaiki citra Departemen Agama yang bebas dari KKN. Komitmen tersebut merupakan hasil Konsultasi Koordinator TLHA di Batu, 30 September 2005; Penerbitan surat Irjen kepada Sekjen Nomor 2131 Tahun 2005 tentang Catatan Review Hasil Audit Perhitungan Anggaran Negara Departemen Agama Semester I Tahun 2005; Penerbitan surat Irjen kepada Kakanwil, Rektor, dan Ketua STA Negeri Nomor 2288 Tahun 2005 tanggal 23 November 2005 tentang Percepatan Penyelesaian TLHA APIP di lingkungan Dep. Agama; Penerbitan surat Irjen kepada Menteri Agama Nomor 2482 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Aset Departemen Agama; Penerbitan surat Irjen kepada Sekjen dan Dirjen BIPH Nomor 2483 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Pelurusan/Pengelolaan Dana Bedolan; Penerbitan surat Irjen kepada Sekjen Nomor 2484 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Pembinaan Pegawai (Waskat); Penerbitan surat Irjen kepada Sekjen Nomor 2486 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Sertifikat Tanah Kantor, Wakaf, dan IMB; Penerbitan surat Irjen kepada Kabalitbang Agama dan Diklat Keagamaan Nomor 2487 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Pembuatan Standar Kinerja Satuan Tugas Departemen Agama; Penerbitan surat edaran Irjen kepada pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 2488 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Tindak
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
12
Fokus Utama Lanjut PNS yang Menggunakan Barang IKN Tanpa Hak; 10. Penerbitan surat edaran Irjen kepada para pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 2489 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Tertib Penggunaan Barang IKN bagi PNS yang Sudah Tidak Berhak; 11. Penerbitan surat edaran Irjen kepada pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 2490 Tahun 2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Kewajiban Pembuatan Laporan Keuangan dan Sanksinya; 12. Penerbitan surat Irjen kepada pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 01 Tahun 2006 tanggal 2 Januari 2006 tentang Percepatan Penyelesaian TLHA di Lingkungan Departemen Agama; 13. Penerbitan surat edaran Irjen kepada pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 055 Tahun 2006 tanggal 14 Februari 2006 tentang Peran Auditan dalam Audit; 14. Penerbitan surat edaran Irjen kepada pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 224 Tahun 2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang Menghindari Penggunaan Gelar Akademik Bermasalah; 15. Penerbitan surat Irjen kepada pejabat Eselon I Nomor 225 Tahun 2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang Permintaan Standar Kinerja dan Indikator Keberhasilan; 16. Penerbitan surat Irjen kepada pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 243 Tahun 2006 tanggal 28 Februari 2006
tentang Percepatan Penyelesaian TLHA di Lingkungan Departemen Agama; 17. Penerbitan surat edaran Irjen kepada pejabat Eselon I, Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri Nomor 062 Tahun 2006 tanggal 20 Februari 2006 tentang Pelaksanaan DIPA Tahun 2006; 18. Penerbitan surat Irjen kepada Sekjen dan Dirjen BIPH Nomor 532 Tahun 2006 tanggal 11 Mei 2006 tentang Penyelesaian TLHA BPKP s.d. 31 Desember 2005; 19. Penerbitan surat Irjen kepada para Kakanwil Nomor 564 Tahun 2006 tanggal 22 Mei 2006 tentang Tindak Lanjut Hasil Audit APIP. Percepatan tindak lanjut hasil pengawasan diselenggarakan dalam rangka melaksanakan salah satu tugas & fungsi Itjen Dep. Agama, yaitu menyelenggarakan pengawasan fungsional di lingk. Dep. Agama berdasarkan kebijakan Menteri dan peraturan perundangan. Pengawasan dilakukan secara efektif dan hasilnya ditindaklanjuti secara cepat dan tepat sehingga memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja yaitu: menuntaskan temuan, baik dari pengawasan fungsional maupun pengaduan masyarakat secara signifikan; terakomodasinya masukan dan saran dari daerah, baik dalam penyelesaian tindak lanjut maupun pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya; tercapainya kesamaan persepsi dan langkah dalam penyelesaian temuan yang sama dan serupa. Selanjutnya penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan secara signifikan diharapkan citra Dep. Agama meningkat ke arah yang lebih positif. (Nafit & Arie)
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
13
Fokus Utama
URGENSI STL DAN TLHA DALAM TUGAS AUDIT Dalam kaitan tugas-tugas pengawasan cq audit, aspek STL (Saran Tindak Lanjut) dan TLHA (Tindak Lanjut Hasil Audit) merupakan rangkaian penting disamping proses audit, temuan audit, dan penyusunan laporan hasil audit. Dengan STL dan TLHA dapat dikatakan sudah sempurna suatu proses audit secara keseluruhan dan tinggal bagaiman aspek mutu terus ditingkatkan oleh para Auditor. Dari tahun ke tahun STL dan TLHA terus menunjukkan variasi perkembangan, baik kuantitas maupun kualitas. Namun satu hal yang lebih penting adalah bahwa STl dan TLHA dapat lebih mengena khususnya bagi Auditan, karena menyangkut aspek peningkatan mutu/kinerja instansi secara keseluruhan. Realita STL dan TLHA Saran Tindak Lanjut (STL) pada dasarnya adalah rekomendasi yang disampaikan oleh Aparat Pengawasan Fungsional kepada penanggungjawab Auditan dan unit kerja lainnya yang terkait untuk melakukan tindakan tertentu sehubungan dengan temuan hasil audit. Sedangkan Tindak Lanjut Hasil Audit adalah setiap langkah perbaikan, penyempurnaan, penertiban, atau penindakan yang dilakukan oleh Pimpinan Auditan sesuai dengan saran (rekomendasi) hasil audit Aparat Pengawasan Fungsional. Dari berbagai audit yang telah dilaksanakan, baik oleh BPK, BPKP dan Inspektorat Jenderal
Dep. Agama, aspek STL dan TLHA merupakan conditio sine qua non, artinya keduanya harus ada karena menyangkut catatan hasil audit dan rekomendasi yang harus dilaksanakan Auditan serta komitmen Auditan dalam menindaklanjuti seluruh temuan yang didapat Tim Audit. STL selama ini, secara konkrit telah menunjukkan hasil yang signifikan dengan berbagai tindak lanjut dari Auditan. Adapun temuan yang perlu penanganan khusus (segera ditindaklanjuti) adalah temuan kerugian negara (kode 01), penyetoran ke kas Negara (kode 02) dan pelanggaran peraturan perundang-undangan (kode 03). Namun bukan berarti kode 04 s.d 10 tidak menjadi atensi. Semuanya penting, namun dari skala prioritas kode temuan 01, 02 dan 03 harus mendapat bobot dan atensi lebih. Untuk itu auditan harus serius dalam menindaklanjuti temuan audit dengan harapan tidak akan terjadi lagi di masa mendatang atau menjadi temuan yang berulang kali. Sampai saat ini secara riil, khususnya dari temuan intern Inspektorat Jenderal Dep. Agama memang masih ada yang berulang kali terjadi. Dengan kondisi demikian sebenarnya akan menjadi beban tidak hanya pada sisi auditan an-sich, akan tetapi juga pada auditor yang bertugas mengaudit di lapangan. Apalagi dengan paradigma baru audit yang tidak hanya fokus pada bagaimana audit dilaksana-
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
14
Fokus Utama kan dengan berbagai temuan (peran sebagai watchdog), namun auditor juga harus ikut memikirkan jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi auditan. Disinilah auditor sebagai Pembina dan Konsultan Manajemen memainkan peran yang sangat penting. Seiring keluarnya Surat Keputusan Menpan No. SE/02/M.PAN/01/2005 tentang Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, maka status TLHA akan semakin dipertegas. Dalam angka 2 SK tersebut dinyatakan “memberikan sanksi kepada pimpinan unit kerja yang lalai dalam pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, dan dapat dijadikan salah satu dasar penilaian kepemimpinan (DP3), serta bahan pertimbangan dalam promosi jabatan”. Jadi pada satu sisi auditor harus terus meningkatkan mutu STL sesuai perkembangan tugas dan fungsi, dan di sisi lain auditan memang harus secara serius, namun penuh bijaksana mensikapi perkembangan tersebut. Semuanya adalah dalam kerangka untuk meningkatkan kinerja auditan dengan seluruh potensi yang dimiliki (SDM, finansial dan sarana prasarana). Adanya komitmen auditan dalam hal ini memegang peran urgen, dan auditor juga harus terus aktif memantau perkembangan/kemajuan tindak lanjut dari temuan-temuan yang ada Jika upaya tersebut semakin menunjukkan hasil yang signifikan, maka berarti keberhasilan telah ditunjukkan oleh auditan dan auditor. Hal ini diharapkan terus bergulir seiring dengan upaya pemerintah menekan berbagai penyimpangan, penyalahgunaan wewe-
nang, korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu upaya terus meningkatkan mutu STL dan TLHA yang sudah berjalan dengan memperhatikan perkembangan yang ada, khususnya pada sisi auditan lebih merupakan aspek kebutuhan riil. Urgensi STL dan TLHA Pada prinsipnya seluruh temuan yang ada akan menghasilkan saran tindak lanjut (STL) yang kemudian diiringi dengan tindak lanjut hasil audit (TLHA). Baik STL maupun TLHA memegang peran urgen dalam kaitan dengan realisasi tugas audit, karena paling tidak dapat menjadi tolok ukur sebuah keberhasilan tugas di lapangan. Adapun nilainilai urgen STL secara singkat adalah: Pertama, menjadi catatan penting bagi auditan dan auditor akan kekurangan/kesalahan dan juga keberhasilan yang telah dicapai auditan. Untuk selanjutnya jika ada kekurangan/kesalahan bagaimana auditan harus memperbaiki/menindaklanjuti sesuai dengan peraturan/kebijakan yang berlaku. Sedangkan jika ada keberhasilan auditan, maka bagaimana mempertahankan bahkan lebih lanjut adalah meningkatkan mutu sesuai dengan SDM, anggaran dan sarana prasarana yang tersedia. Kedua, merupakan titik awal (starting point) bagi auditan, artinya pasca audit bagaimana auditan berupaya lebih baik lagi dengan sedapat mungkin tidak mengulangi kembali apa yang telah menjadi catatan negatif dari auditor. Ketiga, menjadi bahan masukan/ input bagi unit-unit terkait, khususnya dari sisi auditan. Misalnya ada masalah/ temuan menyangkut pendidikan pada madrasah, maka STL akan terkait pula
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
15
Fokus Utama secara langsung atau tidak langsung dengan Ditjen Pendidikan Islam cq Direktorat Madrasah. Nilai urgen tersebut akan semakin lengkap/memadai dengan didukung adanya TLHA yang sesuai dengan harapan, khususnya dari sisi Tim Audit (auditor). Adapun nilai-nilai urgen TLHA adalah: Satu, langkah konkrit dari auditan yang berisi upaya tindak lanjut terhadap seluruh temuan dari auditor. TLHA ini selain tercatat berupa data yang ada pada auditan dan auditor, juga berisi langkah nyata yang harus dilaksanakan sesuai dengan STL. Dua, bahan masukan, khususnya bagi Pimpinan/Atasan Langsung auditan untuk menjadi bahan pembinaan intern auditan di masa mendatang. Tiga, merupakan upaya perbaikan kinerja dari sisi auditan maupun auditor. Jika seluruh temuan dapat ditindaklanjuti dengan baik dan dalam waktu cepat, maka hal ini berarti pula kinerja auditan sudah baik. Dampaknya adalah bisa juga dinyatakan bahwa kinerja auditor juga mengalami peningkatan yang signifikan. Disinilah dapat diasumsikan peran sebagai Pembina dan Konsultan Manajemen menuai hasil. Dalam konteks keberhasilan realisasi tugas dan fungsi pengawasan (cq audit), selain memfokuskan STL dan TLHA dari aspek/nilai pentingnya secara substansial, namun juga perlu diperhatikan aspek proporsionalitas dan profesionalitas. Aspek proporsionalitas STL bermakna bahwa STL yang disampaikan kepada auditan sesuai dengan kondisi riil (objektif) dan tidak ada rekayasa yang mengarah pada subjektifitas. Sedangkan aspek profesionalitas STL berarti bahwa STL disajikan menurut kaidah keilmuan (ilmiah) serta meme-
nuhi standar formil dan materil peraturan/kebijakan yang berlaku. Adapun aspek proporsionalitas TLHA bermakna bahwa apa yang disampaikan oleh auditan adalah seluruh temuan audit dengan rekomendasi yang ada, tidak ada bias yang dapat mengaburkan/ membingungkan substansi audit. Sedangkan profesionalitas TLHA adalah seluruh tindak lanjut dari temuan yang ada dan dikemas, baik dalam dalam bentuk data/tertulis maupun langkah nyata, sesuai dengan peraturan/ kebijakan yang berlaku. Adanya titik sentral (nilai urgen), baik STL maupun TLHA akan sangat tergantung pada sejauh mana auditan dapat menindaklanjuti temuan dari Tim Audit (Auditor). Namun yang jauh lebih penting lagi adalah aspek percepatannya. Pada satu sisi Tim Audit (Auditor) harus segera menyampaikan STL kepada Auditan, dan di sisi lain Auditan harus segera menyelesaikan/menindaklanjuti (bahkan dipercepat) temuantemuan yang ada. Tentunya nilai penting pula bagi TLHA adalah bagiamana substansi temuan dapat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan/kebijakan yang ada. Apapun langkah yang ditempuh oleh auditan dan auditor menyangkut STL dan TLHA seluruhnya dimaknai sebagai upaya untuk perbaikan kinerja. Apa yang menjadi harapan Tim Audit (Auditor) diharapkan sama dengan auditan. Untuk itu perlu adanya sinergi positif dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas STL dan TLHA. Semoga hal ini dapat terwujud dan saling menguntungkan (simbiose mutualisma) dalam kerangka yang positif antara auditan dan auditor. (Arif N, Auditor Ahli Muda Irwil III Itjen Dep. Agama)
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
16
Fokus Utama
HASIL DIALOG UNIT ESELON I DEPARTEMEN AGAMA Pada tanggal 14 dan 15 Februari 2006 telah berlangsung dialog khusus menyangkut kebijakan dan program antara unit eselon I di lingkungan Depag dengan Inspektorat Jenderal Depag. Dari dialog tersebut, ada beberapa catatan urgen yang dapat dijadikan referensi berharga dalam realisasi tugas dan fungsi seluruh unit di lingkungan Depag. Adapun hasil ringkasan dialog tersebut dapat dipaparkan dari masingmasing lingkungan unit eselon I, sebagai berikut: Sekretariat Jenderal a. Perlunya pemusatan jaringan informasi di lingkungan Dep. Agama, yaitu antara lain SIMPADU, EMIS, SIMPEG, dan SISKOHAT. b. Kejelasan suksesi pejabat struktural dan antisipasi adanya mutasi yang tidak proporsional dan professional. c. Atensi khusus pada jalur jabatan fungsional menyangkut analisis jabatan, analisis beban kerja dan spesifikasi jabatan. d. Dengan terbitnya PMA No. 3 Tahun 2006, perlu segera disusun juklak/ juknis sebagai penjabaran kerja. Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji a. Dengan terbitnya PMA No. 3 Tahun 2006, Ditjen BIPH dipecah menjadi Ditjen Bimas Islam dan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Konsekuensinya adalah restrukturi-
sasi tugas dan fungsi kedua unit eselon I tersebut. b. Penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 2005/2006 ini masih ditandai dengan adanya KBIH yang mempunyai potensi masalah, baik di dalam negeri maupun di Saudi Arabia. Untuk itu perlu dikaji kembali di masa mendatang, khususnya terkait tugas dan fungsi KBIH. c. Perlunya ditetapkan secara proporsional dan profesional kriteria bagi calon Petugas Haji di Saudi Arabia. Hal ini untuk mengantisipasi adanya persepsi yang kurang positif. Ditjen Pendidikan Islam a. Dengan adanya perubahan PP No. 10 Tahun 2005 menjadi PP No. 63 Tahun 2005, dimana Ditjen Bagais menjadi Ditjen Pendidikan Islam, maka tugas dan fungsinya akan semakin berat, karena yang menjadi fokus tugas adalah substansi pendidikannya. b. Khusus untuk Direktorat Pendidikan Tinggi, diharapkan bagaimana membuat mahasiswa lebih memiliki wawasan akademik yang luas sesuai perkembangan zaman ketimbang sebagai pusat studi an-sich. c. Perlunya diwaspadai kecenderungan pergeseran di Perguruan Tinggi dari budaya akademis yang selama ini dijunjung tinggi ke budaya politis. Jadi seakan ada kesan mahasiswa terlalu bermain politik praktis. Contoh riil dalam pemilihan Rektor atau Ketua suatu Perguruan Tinggi.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
17
Fokus Utama Untuk itu, Statuta yang ada saat ini akan disempurnakan kembali. d. Dalam hal implementasi KBK, perlu diperhatikan: (1)Standar nasional mutu pendidikan Islam; (2)Peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga pengajar; dan (3)Pemetaan mutu pendidikan Islam. e. Dalam kaitan kegiatan kampus, Ditjen Pendidikan Islam cq Direktorat Pendidikan Tinggi akan lebih memfokuskan bagaimana memfungsikan kampus sebagai tempat kajian, pengembangan dan pematangan diri. Hal ini untuk mencermati kondisi ada saat ini yang cenderung terjadi deviasi dari filosofi dasar eksistensi suatu Perguruan Tinggi. f. Khusus terkait penataran/diklat, jumlahnya akan dikurangi, selanjutnya alokasi anggarannya akan digunakan untuk menyekolahkan guru-guru yang “miss-match” dengan harapan jumlah guru yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya akan semakin berkurang. Ditjen Bimas Katolik a. Berbicara mengenai kerukunan umat beragama (KUB), maka tidak terlepas dari semua elemen yang ada di masyarakat. Untuk itu pemerintah diharapkan berperan aktif khususnya sebagai fasilitator dan bagaimana terus membudayakan KUB. b. Adanya berbagai kerusuhan yang terjadi, sebenarnya karena masyarakat kurang mengetahui dan memahami inti persoalan yang ada. c. Dalam konteks KUB, jangan membangun KUB secara parsial, karena selain nilai-nilai agama juga ada nilai-nilai lain yang urgen, seperti
nilai-nilai adat, sosial, kemasyarakatan dan nilai-nilai Pancasila. Di lingkungan Ditjen Bimas Kristen a. Sampai saat ini masih ada rumah/ tempat tinggal/ruko) yang digunakan sebagai sarana ibadat/kebaktian. Hal ini perlu mendapat atensi dan agar jelas di masyarakat. b. Dengan adanya rencana SKB yang baru, diharapkan seluruh umat beragama dapat benar-benar menghormati komitmen bersama, sehingga apa yang menjadi permasalahan di masa lalu tidak akan terjadi/ terulang lagi di masa mendatang. Badan Litbang Agama dan Diklat a. Perlu dicek kembali adanya beberapa penelitian yang memiliki kesamaan antara yang diteliti oleh Pusat Studi di Perguruan Tinggi dengan yang diteliti oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Agama. b. Di lingkungan Perguruan Tinggi masih ada kesan penelitian belum secara murni berupa penelitian yang mempunyai kontribusi langsung kepada masyarakat secara komprehensif, baik murni atau terapan. Apa yang dilaksanakan saat ini lebih pada bagaimana dapat mencapai target jumlah penelitian, sedangkan aspek mutunya belum tergarap dengan optimal. Jika kondisi ini benar, maka perlu dicari langkah strategis untuk konsep penelitian di masa mendatang. c. Dalam hal kerja suatu penelitian, apakah dapat dilaksanakan suatu sinergi antara Badan Litbang dengan Inspektorat Jenderal (tentunya dalam batasan sesuai dengan tugas dan fungsinya). Misalnya dalam konteks kerukunan umat beragama. Sinergi disini tentunya dalam arti luas, misalnya ketika
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
18
Fokus Utama penelitian sedang berjalan atau saat paparan akhir penelitian. Ada substansi urgen apa dalam penelitian tersebut yang mempunyai titik singgung menyangkut tugas-tugas pengawasan. d. Terkait dengan struktur baru sesuai PMA No. 3 Tahun 2006, Badan Litbang Agama dan Diklat Agama perlu lebih mencermati hal-hal urgen yang terjadi dan berkembang di masyarakat terkait dengan tugas dan fungsi. Misalnya menyangkut masalah kerukunan umat beragama, aliran-aliran sempalan dan persepsi yang kurang kondusif mengenai Pondok Pesantren. Ditjen Bimas Hindu dan Budha a. Dalam kehidupan umat Budha, bagaimana memfungsikan Vihara selain sebagai tempat ibadah (meditasi), tetapi juga untuk kegiatan kemasyarakatan. b. Mengenai Agama Hindu Kaharingan yang mayoritas ada di pulau Kalimantan dengan kitab suci sendiri yaitu Panaturan masih terus menjadi tanggung jawab Ditjen Bimas Hindu dan Budha. c. Untuk KUB, kami senantiasa mengupayakan kepada para Pembimas untuk terus aktif melaksanakan bimbingan keagamaan dan kemasyarakatan pada umat Hindu dan Budha. Inspektorat Jenderal a. Dengan terbitnya PMA No. 3/2006, tugas dan fungsi Inspektorat Jenderal akan semakin berat, karena substansi tugas pengawasan akan semakin terfokus. Output dan outcome hasil pengawasan harus dapat segera dirasakan oleh Auditan dalam tempo yang tidak lama.
b. Sejak KMA No. 373 Tahun 2002 terbit, energi tugas pengawasan terfokus untuk hal-hal yang menyangkut penjabaran tugas dan fungsi. Hal ini disebabkan juklak/juknis yang belum ada sampai saat ini. Kondisi demikian tidak dapat dianggap sepele, karena implikasi di daerah sangat signifikan. Banyak tugas dan fungsi di Dep. Agama di Daerah yang belum optimal karena faktor tersebut. Untuk itu juklak/juknis dari PMA No. 3 Tahun 2006 harus segera diselesaikan. c. Konsep audit komprehensif yang selama ini dilaksanakan perlu lebih dipertajam. Hal ini urgen mengingat kecenderungan ke depan modus operandi penyimpangan akan semakin canggih, sehingga unsur pengawasan harus terus berbenah sesuai dengan kebutuhan riil. d. LHA dan STL perlu terus dipertajam dan dipercepat penyelesaiannya. e. Perlunya dicermati menyangkut eksistensi Auditor, khususnya dalam hal pengembangan wawasan. Beberapa hal yang perlu perhatian: (1)Substansi diklat yang berjalan belum banyak yang menyentuh sisi teknis tugas di lapangan, namun lebih menekankan pada sisi teoritis an-sich. Dalam konteks ini, workshop yang pernah ditawarkan beberapa instansi sebenarnya dapat dilaksanakan, namun terkendala faktor biaya yang mahal; (2)Terkait dengan kenaikan pangkat yang menggunakan angka kredit, maka perlu mendapat atensi yang baik dari setiap Auditor; dan (3)Khusus dengan kebutuhan realisasi peranperan Auditor, adalah hal positif untuk memfungsikannya, baik untuk tingkat Anggota Tim, Ketua Tim, dan Pengendali Teknis. (Arif/Nur Arifin)
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
19
Opini
PELIMPAHAN WEWENANG MUTASI KEPEGAWAIAN Oleh Achmad Ghufron*
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, maka penumpukan pekerjaan dalam satu tangan yang akan menghambat/mengganggu siklus pelaksanaan mutasi kepegawaian, diperlukan pelimpahan wewenang yang berupa pemberian kuasa maupun pendelegasian wewenang, tanpa mengurangi materi/nilai setiap kebijakan dari pemberi wewenang dan status akibat hukumnya. Pada prisipnya setiap mutasi kepegawaian (perpindahan status kepegawaian) terhadap Pegawai Negeri Sipil adalah wewenang Presiden, namun untuk mempercepat pelaksanaannya sebagian wewenangnya dapat dilimpahkan kepada pejabat pembina kepegawaian pusat maupun daerah. Selanjutnya sesuai dengan PP No. 9 Tahun 2003 tentang wewenang pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS, pejabat pembina kepegawaian dapat pula melimpahkan wewenangnya kepada pejabat bawahannya dalam lingkungan kerjanya yang ditunjuk. Di lingkungan Departemen Agama telah diatur dalam KMA No. 492 tahun 2003 tentang Pemberian Kuasa dan Pendelegasian Wewenang pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dilingkungan Departemen Agama. Disamping itu masih terdapat pelimpahan wewenang lainnya, yaitu: pemberian izin cuti pegawai, izin perkawinan ke 2 atau perceraian, izin/tugas belajar, dan sebagainya. Adanya pelimpahaan wewenang tersebut tidak akan mengurangi nilai, tidak mengganggu kelancaran tugas pokok, harus sejalan dengan kebijakan pimpinan sebagai pemberi wewenang, dan yang terpenting tidak merugikan
Pegawai Negeri Sipil yang menjalani mutasi malah akan menguntungkan. Dengan pelimpahan wewenang berarti meringankan baban tugas pimpinan, memperpendek jalur birokrasi organisasi sehingga dapat mempercepat dan mempermudah pelayanan, pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lebih efisien dari segi waktu dan biaya maupun tenaga, sebagai proses pengkaderan, meningkatkan kemampuan dan partisipasi bawahan, mempertinggi rasa tanggung jawab, mengembangkan kemampuan bawahan dalam pengambilan keputusan (KMA No. 207A Tahun 1998 Bab II huruf D). Penumpukan tugas di pusat akan menambah jalur birokrasi, menghambat kelancaran tugas, menurunnya motivasi kerja, kepentingannya untuk melaksanakan mutasi tersendat, sebagai akibat ambisi sentralisasi. Pelimpahan wewenang bisa berupa “pemberian kuasa” atau “pendelegasian wewenang” yang dalam PP No. 9 tahun 2003 tidak jelas perbedaannya, padahal peraturan terdahulu PP No. 20 tahun 1975 cukup gamblang perbedaannya. Secara inplisit dalam KMA No. 492 tahun 2003 perbedaannya cukup jelas, antara lain dalam lampiran, bahwa pemberian kuasa diberikan kepada pe-
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
20
Opini jabat di lingkungan Setjen Dep. Agama dan untuk mutasi jabatan struktural, sedangkan pelimpahan wewenang yang berupa pendelegasian wewenang digunakan untuk melaksanakan mutasi kepegawaian lainnya. Prinsip dan Syarat Pelimpahan Wewenang Dalam KMA No. 207 A tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendelegasian Wewenang di Lingkungan Dep. Agama antara lain dinyatakan bahwa untuk berhasilnya tujuan pelimpahan wewenang harus memperhatikan prinsip dan syarat pelimpahan wewenang. 1. Prinsip pelimpahan wewenang Prinsip ini menerangkan antara lain: (a)Prinsip skalar, yang berarti dalam organisasi harus ada garis wewenang yang jelas, berjenjang dari yang tertinggi sampai yang terendah, sehingga akan jelas pejabat yang memberikan wewenang, pejabat yang menerima wewenang; (b)Prinsip kesatuan komando, yang berarti setiap orang dalam suatu organisasi bertanggung jawab kepada satu atasan; (c)Menghindari tumpang tindih, yang berarti tanggung jawab atas tugas yang sama/sejenis diserahkan kepada lebih dari satu orang; (d)Pelaksanaan tanggung jawab tidak terpecah-pecah, yang berarti tanggung jawab atas tugas yang sama diserahkan kepada lebih dari satu unit organisasi; dan (e)Prinsip kecermatan, yang berarti memperhatikan senioritas dari pemegang jabatan. 2. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan, antara lain: (a)tidak dapat dilaksanakan pada tugas yang sifatnya sangat prinsip dan strategis; (b)harus
tegas dan jelas batas dan ruang lingkupnya, baik bidang tugas, waktu maupun wewenangnya; (c)harus mempertimbangkan kemampuan bawahan yang akan diberi wewenang dari segala aspek (fisik, mental, kesiapan, pengetahuan, keterampilan, kepekaan dan sebagainya). Tanpa kemampuan tersebut, pelimpahan wewenang tidak berjalan; (d)harus mempertimbangkan faktor kejujuran dan kepercayaan penerima pelimpahan wewenang. Faktor kejujuran/ amanah sangat diperlukan, agar setiap kendala, pelanggaran, hambatan dapat segera diketahui untuk dievaluasi dan diperbaiki dikemudian hari; (e)harus mendasar pada pertimbangan rasional, bukan atas dasar pertimbangan lainnya. Kalau berdasarkan pertimbangan lainnya misalnya untuk kepentingan pribadi atau golongan, maka tujuan pelimpahan wewenang tidak tercapai, akan merugikan orang lain yang tidak sepaham, yang bersebrangan; (f)harus dilakukan secara formal, tertulis, meskipun dalam hal-hal tertentu bisa dengan lisan. Khusus untuk mutasi kepegawaian harus dilakukan secara tertulis, sebab akan menimbulkan akibat hukum dari perpindahan status kepegawaian yang memerlukan legalitas formal; dan (g)adanya pertanggung jawaban dari pejabat yang diberi wewenang. Tanpa adanya laporan pelaksanaan tugas atas pelimpahan wewenang tersebut, maka tidak bisa diketahui barangkali adanya kendala atau penyimpangan dalam pelaksanaannya. Apabila prinsip dan syarat tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, diharapkan tujuan untuk mengurangi beban disatu tangan dan kelancaran pelaksanaan tugas dapat tercapai, pegawai
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
21
Opini merasa tidak dirugikan, termotivasi dan semangat, sebagai salah satu penerapan penghargaan dalam upaya pemberian kesejahteraan melalui mutasi kepegawaian yang tepat waktu dan benar. Pemberian Kuasa Pemberian kuasa adalah pelimpahan wewenang dari Menteri Agama kepada pejabat bawahannya yang ditunjuk untuk menandatangi Surat Keputusan (SK) mutasi kepegawaian (pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian) Pegawai Negeri Sipil dalam pangkat dan jabatan tertentu atas nama pemberi wewenang (Menteri Agama), dan tidak boleh dilimpahkan lagi. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri atau unsur-unsur pemberian kuasa ialah: 1. Surat Keputusannya (Kop Surat) adalah Surat Keputusan Menteri Agama, walaupun ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk. Pejabat yang menandatangani Surat Keputusan (SK) atas nama Menteri Agama, termasuk apabila yang ditunjuk dua tingkat atau tiga tingkat dibawah Menteri (misalnya Karopeg atau Kabag pada Ropeg). 2. Yang dikuasakan adalah mutasi kepegawaian, meliputi (pengangkatan CPNS dan PNS, kenaikan pangkat, peninjauan masa kerja, pemindahan, pembebasan/pemberhentian sementara, perbantuan, pembatalan, bebas tugas dalam rangka pensiun/MPP, pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri/APS dengan atau tanpa hak pensiun, pengangkatan dan pemin-
dahan serta pemberhentian dalam/ dari jabatan, dipekerjakan/diperbantukan). 3. Pejabat yang diberi kuasa adalah bawahannya. Dalam KMA No. 492 tahun 2003, pejabat yang diberi kuasa yaitu: Sekjen, Karopeg, Kabag pada Ropeg (untuk seluruh jenis mutasi kepegawaian), Irjen, Dirjen, Ka. Balitbang dan Diklat Keagamaan, Kakanwil, Rektor UIN/IAIN, Ketua STA untuk pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari/ dalam jabatan. 4. Pejabat yang menerima kuasa tidak boleh melimpahkan wewenang lagi. Pejabat yang menerima kuasa seperti tersebut dalam angka 3 diatas, tidak boleh menyerahkan/melimpahkan/memberi wewenang kepada pejabat bawahannya, harus ditandatangani sendiri. 5. Wewenang yang dikuasakan terbatas pada pangkat dan jabatan tertentu. Wewenang yang diberikan terbatas pada pangkat Pembina Tk. I, gol/ ruang IV/b kebawah, dan jabatan eselon III kebawah (PP No. 9 tahun 2003 jo KMA No. 492 tahun 2003). Untuk pangkat Pembina Utama Muda (IV/c) keatas, dan eselon I wewenang Presiden, sedangkan eselon II wewenang Menteri Agama. Pendelegasian Wewenang Pendelegasian wewenang adalah pelimpahan wewenang dari Menteri Agama kepada Pejabat bawahannya yang ditunjuk untuk menyelenggarakan
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
22
Opini (menandatangani Surat Keputusan atas nama sendiri) mutasi kepegawaian (pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian) Pegawai Negeri Sipil dalam pangkat dan jabatan tertentu, dan bisa dikuasakan lagi kepada pejabat bawahannya. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri atau unsur-unsur pendelegasian wewenang ialah: 1. Surat Keputusan (Kop Surat) atas nama sendiri (yang menerima delegasi wewenang). Surat Keputusan yang ditandatangani adalah atas nama yang menerima delegasi wewenang, bukan Surat Keputusan Menteri Agama. Misalnya Kakandepag diberi delegasi wewenang menandatangani SK (Surat Keputusan) kenaikan pangkat ke Pangatur Tk. I gol/ruang II/d kebawah, maka Kop Suratnya adalah Kepala Kantor Dep. Agama Kab/Kota……, bukan Menteri Agama, berbeda dengan pemberian kuasa. 2. Yang didelegasikan adalah mutasi kepegawaian. Mutasi kepegawaian yang didelegasikan adalah adalah: pengangkatan CPNS/PNS, kenaikan pangkat, peninjauan masa kerja, pindah, pembatalan CPNS, pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri (APS) baik dengan hak pensiun atau tanpa hak pensiun, bebas tugas, pengangkatan dalam jabatan fungsional. 3. Pejabat yang diberi delegasi wewenang adalah bawahannya. Pejabat yang menerima delegasi wewenang berdasarkan KMA No.
492 tahun 2003, adalah: Irjen, Dirjen, Ka. Balitbang dan Diklat Keagamaan, Kakanwil, Rektor UIN/IAIN, Ketua STA, Kakandepag, Kepala Balai Diklat/Litbang, Kepala Madrasah (Aliyah, Tsanawiyah) Negeri untuk jenis mutasi kepegawaian sebagaimana pada angka 2 di atas. 4. Pejabat yang menerima delegasi wewenang bisa menguasakan lagi. Pejabat yang ditunjuk delegasi wewenang bisa melimpahkan wewenang kembali kepada pejabat bawahannya berupa pemberian kuasa, bukan pendelegasian wewenang. Misalnya Kakanwil Dep. Agama menerima delegasi wewenang berupa penandatanganan SK pengangkatan menjadi PNS gol/ ruang III/c kebawah. Dengan alasan kesibukan khawatir tidak tertangani, maka Kakanwil memberikan kuasa kepada Kabag TU pada Kanwil. Dalam hal ini Surat Keputusannya (SK) atau Kop Suratnya adalah Kepala Kanwil Dep. Agama Propinsi ……, ditandatangani oleh Kabag TU atas nama Kakanwil. 5. Wewenang yang didelegasikan terbatas pada pangkat dan jabatan tertentu. Wewenang yang didelegasikan adalah PNS yang memiliki pangkat Penata (III/c) dan Penata Tk. I (III/d) ke bawah, sedangkan jabatannya adalah jabatan yang setingkat gol/ruang III/d kebawah, kecuali dosen/fungsional setara dengan gol/ruang IV/b kebawah dilingkungan UIN/IAIN. (Inspektur Wilayah III Itjen Dep. Agama)
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
23
Opini
PERCEPATAN PENYELESAIAN TLHP DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA Oleh: Arif Nurrawi Seiring dengan kompleksitas permasalahan di bidang pengawasan, seluruh aparat pengawasan pada setiap instansi/departemen/LPND berupaya untuk terus mengoptimalkan tugas dan fungsi pengawasan sesuai dengan kebijakan/peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mulai dari tahap rencana, realisasi tugas di lapangan sampai dengan penyusunan laporan, serta tindak lanjut oleh instansi yang diawasi diharapkan menunjukkan peningkatan baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Satu tahapan yang saat ini mendapat atensi di lingkungan Departemen Agama khususnya dan memang sesuai dengan kebutuhan riil adalah menyangkut penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan (cq audit), baik hasil-hasil audit yang dilaksanakan oleh BPK, BPKP, maupun oleh intern Inspektorat Jenderal Dep. Agama. Bahkan tidak hanya cukup pada sisi bagaimana auditan (instansi yang diaudit) dapat menindaklanjuti (menyelesaikan) seluruh temuan yang ada, akan tetapi apakah auditan dapat sesegera mungkin menyelesaikan/menindaklanjuti temuan tersebut. Dengan kata lain, perlu adanya percepatan penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan (cq audit). Pelaksanaan STL dan TLHA Saran Tindak Lanjut (STL) yang pada intinya merupakan rekomendasi Tim Audit kepada penanggungjawab Auditan dan unit lain terkait selama ini telah berjalan dengan berbagai variasi perkembangannya. Tentunya seiring dengan tugas-tugas pengawasan yang
semakin kompleks, maka kualitas STL harus terus ditingkatkan. Hal ini menuntut pula peningkatan kualitas dari setiap Auditor. Upaya konkrit untuk itu adalah dengan memperbanyak diklat/ seminar/ orientasi, khususnya terkait aspekaspek substansial dan teknis audit. Adapun mengenai Tindak Lanjut Hasil Audit (TLHA) yang merupakan langkah konkrit perbaikan, penyempurnaan, penertiban, atau penindakan yang dilakukan pimpinan auditan sesuai dengan saran/rekomendasi tim audit selama ini juga telah berjalan dengan baik. Dari berbagai STL yang selama ini telah disampaikan kepada Auditan secara riil telah dapat ditindaklanjuti oleh Auditan dengan baik, mulai dari kode temuan 01 sampai dengan kode temuan 10. Namun memang tidak dipungkiri masih terjadi temuan yang berulang, khususnya terkait dengan masalah administrasi instansi. Adanya temuan yang berkali-kali tersebut sebenarnya “mengganggu” kinerja Auditan secara menyeluruh. Dengan terbitnya SK Menpan No. SE/ 02/M.PAN/01/2005 kondisi demikian diharapkan tidak akan terulang lagi, karena ada penegasan khususnya konsekuensi logis berupa sanksi kepada Auditan. Tim Audit (Auditor) dalam hal ini juga harus lebih tegas lagi kepada Auditan dengan merealisasikan SK Menpan tersebut secara profesional dan proporsional, artinya sesuai kaidah hukum yang berlaku dan objektif. Tidak ada unsur atau anasir yang bersifat subjektif yang akan merugikan, baik bagi Auditor maupun Auditan.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
24
Opini Urgensi percepatan STL dan TLHA Secara umum, seluruh temuan akan menghasilkan STL dan TLHA. Keduanya memegang peran penting dalam realisasi tugas audit sebagai sebuah tolok ukur keberhasilan tugas audit. Namun satu hal yang saat ini urgen adalah bagaimana mempercepat penyusunan STL untuk kemudian dikirimkan kepada Auditan terkait dan bagaimana pula Auditan dalam waktu yang cepat dapat menindaklanjuti seluruh temuan yang ada. Dari beberapa pengalaman audit, ada beberapa faktor urgen yang mendasari mengapa perlu adanya percepatan STL, yaitu: (1)satu temuan mempunyai nilai/arti khusus yang akan menjadi catatan bagi Auditan dan Auditor sesuai kondisi saat itu. Jika STL tidak segera dibuat dan diterima Auditan, maka nilainya sudah menjadi lain, bahkan akan basi; (2)Menunjukkan kinerja yang baik dari Auditor khususnya dan akan merupakan catatan pula bagi Auditan bahwa benarbenar akan ada upaya dari Auditor, baik berupa perbaikan, penyempurnaan, penertiban bahkan sampai pada taraf penindakan; (3)Jika STL cepat diterima Auditan, maka diharapkan akan cepat pula ditindaklanjuti. Nilai positifnya adalah antara Auditor dan Auditan tidak akan ada beban lagi. Adanya hutang temuan sebenarnya membuat beban tersendiri, apalagi berlarut-larut; dan (4)Auditan akan dengan segera dapat merealisasikan suatu kegiatan sejenis yang mungkin menjadi temuan dengan penekanan khusus, sehingga tidak salah lagi; dan (5)Bagi Auditor akan dapat lagi memfokuskan tugas audit pada aspek/substansi lainnya yang mungkin mempunyai nilai penting pada tahap audit selanjutnya. Nilai urgen percepatan STL akan semakin sempurna bila didukung TLHA
yang sesuai dengan harapan Auditor. Adapun yang mendasari mengapa perlu adanya percepatan TLHA, yaitu: (1)Menunjukkan kinerja yang baik dari Auditan khususnya dan akan merupakan catatan pula bagi Auditor bahwa Auditan benar-benar serius dan berniat untuk lebih baik lagi di masa mendatang dengan pembinaan dari Tim Audit; (2)Menjadi bahan masukan, khususnya bagi Pimpinan/Atasan Langsung Auditan dan Auditor untuk menjadi bahan pembinaan intern audit di masa mendatang; (3)Jika temuan segera ditindaklanjuti artinya apa yang menjadi temuan Tim Audit dapat segera dimengerti, dipahami dan untuk kemudian dapat dilaksanakan sesuai dengan saran/ rekomendasi yang dibuat dalam koridor ketentuan yang berlaku; dan (4)Aspek pembinaan dan peran sebagai konsultan manajemen dapat dikatakan sudah dirasakan oleh Auditan untuk adanya peningkatan kinerja. Urgensi STL dan TLHA akan sangat tergantung pada Auditan dan Auditor, khususnya dapat hal realisasinya. Nilai kualitas saja untuk saat ini mungkin belum cukup bila aspek percepatan belum mengiringi. Hal ini disebabkan selain kompleksitas tugas-tugas pengawasan juga karena adanya modus operandi penyimpangan/penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang yang sangat canggih. Peran dari adanya audit disini adalah bagaimana dapat meminimalisasi (bahkan menghilangkan) adanya kondisi tersebut. Dengan demikian, untuk masa mendatang setiap Auditor dan juga Auditan khususnya harus dapat seoptimal mungkin berupaya untuk mensinergikan antara peningkatan mutu STL dan TLHA disatu sisi dengan upaya percepatan STL dan TLHA. Semoga dapat terealisir dengan potensi Auditan dan Auditor yang ada saat ini.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
25
Opini
EKSISTENSI PERAN AUDITOR DAN KENDALA SOSIAL PENGAWASAN INTERN Oleh Drs H.M. Kusoy Keberhasilan pelaksanaan tugas pengawasan saat ini sangat ditentukan oleh komitmen dan profesionalisme serta independensi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Untuk menuai keberhasilan tersebut tergantung pada manajemen yang baik, tidak terkecuali fungsi pengawasan internal. Aktivitas audit internal yang baik merupakan cerminan kegiatan yang terkoordinasi mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengendalian. Fungsi yang dijalankan audit internal merupakan fungsi staf, sehingga ia tak bertanggung jawab untuk melapor kepada pihak di luar manajemen. Dengan demikian jelas tujuan penyelenggaraan fungsi pengawasan internal adalah untuk memberikan jasa atau pelayanan kepada manajemen melalui penyediaan hasil-hasil analisis, penilaian serta rekomendasi maupun komentar mengenai aktivitas yang diauditnya atau dengan kata lain untuk memberikan informasi dan advise (nasihat) kepada manajemen sehingga manajemen dapat menunaikan tugasnya dengan lebih baik. Saat mengikuti diklat teknis Jabatan Fungsional Auditor (JFA) di Operation Room Inspektorat Jenderal Departemen Agama pada Maret 2006, beberapa teman penulis berdiskusi dengan dosen dari BPKP. Materi yang didiskusikan menyangkut seputar modul diklat dan persoalan tugas di lapangan. Dari diskusi ini, penulis menggarisbawahi yang paling menonjol adalah kendala dalam pelaksanaan pengawas-
an internal yang berpengaruh terhadap kinerja audit yang bermuara pada peran auditor. Diklat JFA tersebut membahas materi yang potensial, namun memang belum ada yang sesuai jika dihubungkan dengan tugas-tugas yang selama ini dilaksanakan auditor. Dari 30 peserta, baru ada seorang auditor yang memerankan fungsi Ketua Tim, selebihnya adalah Anggota Tim. Menurut paparan beberapa dosen, diklat ini untuk diperankan oleh seorang pengendali teknis atau supervisor yang mengemban jabatan strategis dalam suatu organisasi. Ia memiliki peran ganda, di satu sisi ia adalah pemimpin yang membimbing, memotivasi dan mengendalikan bawahannya, sedang di sisi lain ia harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada manajer. Secara teoritis memang relevan dengan kondisi yang sebenarnya. Namun secara riil masih perlu didiskusikan dan bahkan harus diuji coba apakah peran tersebut perlu untuk dilaksanakan ataukah cukup dengan kondisi yang selama ini dijalankan. Gayung bersambut, Inspektur Jenderal Departemen Agama Prof. H.A.Qodri A. Azizi, MA Ph.D menindaklanjuti hasil JFA ini dengan memerintahkan para Inspektur Wilayah untuk menugaskan dan memerankan auditor yang telah memiliki sertifikat sesuai jenjangnya. Menurut penulis, ada beberapa persoalan bagi auditor internal yang
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
26
Opini menyangkut kendala sosial dalam pengawasan internal auditor yaitu kendala sosial psikologi, kendala sosial budaya dan kendala sosial ekonomi serta kendala kebijakan. Kendala tersebut yang melingkupi keberadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pengawasan. Kendala sosial psikologis Dalam era penerapan pemerintahan yang baik (good governance) isu efisiensi dan efektivitas kembali marak. Bahkan ditambah pula dengan perlu diterap-kannya transparansi dan akuntabilitas sebagai wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, ada memang kendala yang dihadapi Auditor, yaitu terasa segan untuk mengaudit pengambil keputusan atau pengatur kebijakan (auditan) yang memiliki hubungan emosional atau persahabatan dengan auditor. Hal ini tentu akan menjadi beban serius sehingga auditor belum seluruhnya dapat menjalankan proses audit. Keengganan untuk memunculkan temuan hasil audit apalagi jika harus merekomendasi hukuman karena pertimbangan satu korps dan pertimbangan kemanusiaan yang berlebihan, juga masih ada dalam perasaan banyak auditor kita. Dengan demikian, ada semacam kesulitan yang dialami auditor jika harus melakukan audit terhadap lingkungannya sendiri bahkan ada keinginan mundur dari audit jika saja boleh mengajukan usul kalau bisa diterima. Selanjutnya, akan semakin rumit jika hubungan persahabatan ikut terlibat
dalam interaksi auditor dengan auditan atau jika pertimbangan itu tiba pada keinginan untuk menjaga nama baik korps dalam pandangan pihak luar dan masyarakat. Situasi sosial dan psikologis yang seperti ini memang sulit untuk diterobos karena beban psikologis auditor sangat berat jika dihadapkan pada kasus-kasus yang melibatkan teman-teman sejawat, entah dengan persahabatan biasa, kekeluargaan, ataupun ikatan-ikatan primordial lainnya. Masih dalam lingkungan organisasi, kendala sosial psikologis dalam upaya peningkatan efektivitas pengawasan intern mungkin pula berkaitan dengan belum ditempatkannya jabatan auditor sebagai jabatan fungsional secara utuh seperti halnya jabatan fungsional peneliti, widyaiswara atau dosen. Hal ini juga termasuk batas usia auditor hingga 56 tahun yang masih disetarakan dengan PNS atau pejabat struktural Eselon III ke bawah sehingga terkesan tertutup untuk menjadi PNS yang berkarir dan berprestasi hingga mencapai pangkat dan golongan tertinggi seperti halnya pejabat Eselon I dan II atau pejabat fungsional lainnya. Kendala sosial budaya Kendala pengawasan intern yang cukup mempengaruhi eksistensi auditor adalah adanya kendala sosial budaya yang masih belum sepenuhnya dapat diatasi, keengganan untuk bersifat tegas, rasional dalam proses audit belum dapat dielakkan. Celakanya mereka yang secara kuat memaksakan diri agar lepas dari jebakan dan kemudian merusak maksud baik audit. Masih untung kalau sifat “galak” auditor itu tidak bermuara pada pemerasan, kasar atau
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
27
Opini halus kepada pihak yang yang diaudit. Kalau hal terakhir ini yang terjadi maka tujuan audit untuk mencegah penyelewengan lebih lanjut dapat berubah menjadi sebagai pendorong melakukan penyelewengan. Sebab, pelaku penyelewengan itu sadar akan adanya jalan keluar yang kompromistik dan saling menguntungkan walaupun mengorbankan organisasi dan masyarakat. Sikap “toleran” masyarakat di lingkungan tertentu terhadap penyelewengan sadar atau tidak sadar juga masih hidup. Budaya kita yang pada umumnya menaruh respek tinggi pada para pejabat apalagi jika pejabat itu bersikap sosial terhadap lingkungannya atau suka menyumbang bagi keperluan masyarakat sekitar. Hal ini menyebabkan relatif sulitnya mengharapkan “sanksi sosial” terhadap para penyeleweng. Jadi, sepanjang tidak ada proses penindakan dari atas entah itu hukuman administrasi atau pidana terhadap penyelewengan, respek masyarakat terhadap pejabat masih diharapkan. Tidak menjadi soal apakah secara praktis-material pejabat itu benar-benar bersih atau tidak. Dengan demikian sulit diharapkan misalnya, masyarakat akan bereaksi secara spontan melihat seorang pejabat membangun rumah besar dan atau memiliki mobil-mobil mewah. Seolah-olah segala sesuatu berjalan secara wajar sepanjang tidak ada pembuktan administrasi atau hukuman bahwa pejabat itu benar-benar telah melakukan penyelewengan. Kendala sosial ekonomi Selain fakor sosial psikologis dan sosial budaya, faktor sosial ekonomi ikut memainkan peranan yang penting dalam menumbuhkan sikap disiplin di
lingkungan PNS dan juga berpengaruh terhadap efektivitas pengawasan intern. Masih belum mantapnya sistem penggajian jika dihadapkan pada gejolak kebutuhan ekonomi para pegawai, terutama pada level menengah ke bawah merupakan rangkaian kenyataan yang sedikit banyak dapat menghambat upaya pemaksaan yang konsekuen terhadap para pegawai untuk secara mutlak mentaati semua peraturan yang terkandung dalam PP. No. 30/1980. Para auditor yang berada pada kondisi yang sama, juga sering terjebak dalam suasana “saling pengertian” dalam menangani kasus-kasus penyelewengan kecil-kecilan yang nyata-nyata didorong oleh desakan ekonomi tadi. Tentu saja keadaan ini tidak dapat ditolerir karena akan menciptalan dampak kumulatif yang berbahaya bagi penegakkan disiplin. Tetapi, dilema yang seperti itu tidaklah dapat diatasi dengan sekedar memaksa mereka untuk taat kepada asas. Selain hal tersebut, ada yang lebih prinsip yaitu ketika auditor mengaudit sejumlah bangunan (dulu proyek) dengan nilai milyaran. Apalagi pihak auditan memfasilitasi Auditor. Hal ini membuat auditor berfikir karena terdesak dengan kebutuhan ditambah dengan ongkos dinas yang dianggap kurang cukup menyebabkan terpengaruhnya identitas dan integritas audit. Tidak sedikit upaya pengalihan keobyektifan dilakukan auditan dengan dalih berbagai alasan. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha agar tidak terjadi temuan yang dapat menurunkan citra yang bersangkutan sebagai pengelola anggaran. Dari gambaran di atas, kiranya cukup jelas bahwa bahwa masalah
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
28
Opini penegakkan disiplin dan peningkatan efektivitas pengawasan bukanlah hal yang sederhana. Usaha itu memerlukan penciptaan dan pemeliharaan kondisi sosial psikologis, kultural dan sosial ekonomis yang kondusif serasi dan selaras dengan tujuan menampilkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kendala kebijakan atau sistem Kondisi yang dialami auditor internal dengan adanya penugasan yang berulang-ulang (repeat audit) terhadap objek sejenis. Hal ini dikarenakan adanya wilayah regional yang menjadi keputusan Menteri/Instansi yang setiap tahun mau tidak mau untuk melaksanakan tugas ke tempat itu. Sehingga ada kecenderungan untuk melakukan kerjasama atau perilaku menyimpang. Auditan dan auditor ini telah saling mengenal sehingga jika terjadi temuan tidak sungkan untuk “mengkomunikasikan” agar temuan tersebut tidak ditindaklanjuti dan cukup diselesaikan di “tempat”. Di samping itu adanya kejemuan bagi auditor untuk datang ke tempat yang tahun lalu atau sebelumnya, sehingga terkesan “dipaksakan”, sepertinya tidak ada lagi auditor lain sehingga timbul keengganan untuk melakukan audit. Hal yang lebih penting lagi dan perlu didiskusikan, adanya auditor yang ditugasi untuk mengaudit pada bidang tertentu saja telah melebihi waktu antara 6-10 tahun sehingga auditor tersebut merasa “jemu” dan tidak ada minat untuk mengembangkan diri karena hasil audit tersebut masih pada temuan yang berulang-ulang seperti halnya pada temuan yang lalu.
Berkaitan dengan kondisi tersebut di atas, pihak manajer perlu melakukan langkah terencana. Langkah antara lain: melakukan rotasi penugasan auditor dari satu penugasan ke penugasan lain dan menghindarkan auditor dari tugas monoton (tugas yang sebelumnya pernah dilakukan sampai kurun waktu tertentu). Tujuannya untuk menghindarkan adanya bias terhadap suatu auditan tertentu. Rotasi dapat memberikan nilai tambah untuk pengembangan profesionalisme auditor (menambah berbagai macam pengalaman), rotasi ditempuh apabila hal tersebut dapat dikerjakan. Apabila rotasi tidak mungkin dilakukan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap obyektivitas auditor. Status dan independensi audit intern Inspektorat Jenderal sebagai aparat pengawasan intern sering kali dijadikan sekedar atribut instansi atau sekedar untuk melaksanakan tugas-tugas yang terlalu bersifat teknis. Bahkan kadangkadang dikacaukan dengan tugastugas pelaksanaan (actuating) atau sebaliknya sering kali pekerjaan auditor dicampuri oleh yang bukan wewenangnya atau terkadang tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh auditor dikacaukan dengan dicampuri dengan pekerjaan di luar fungsinya sehingga terjadi “over lap” tugas. Dalam hal demikian, memang aparat audit internal harus berusaha untuk memperjuangkan dan meyakinkan manajemen tentang fungsi yang seharusnya dilakukan olehnya sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi yang berkepanjangan. Untuk itu cara yang baik yakni dengan menunjukkan kepada manajemen hasil-hasil pelaksanaan tugas yang
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
29
Opini dilakukannya. Dengan pelayanan yang diberikannya, pihak pimpinan akan menyadari betapa pentingnya fungsi yang diemban oleh auditor intern tersebut. Dan bila kesadaran itu sudah ada, maka usaha untuk mempromosikan satuan auditor internal dinaikkan kedudukannya ke yang kebih tinggi dalam organisasi, dan diberi wewenang yang lebih luas seperti diperankan Ketua Tim dan pengendali teknis sampai pengendali mutu. Seperti telah dikemukakan definisi pengawasan intern di atas, bahwa penilaian yang dilakukan oleh audit intern adalah penilaian bebas atau independen. Untuk mewujudkan penilaian secara bebas dan independen itu, maka manajemen perlu memberikan yang tepat bagi auditor intern dalam organisasi atau mendudukan auditor sesuai dengan perannya. Maksudnya adalah agar dalam kedudukan dan peran yang demikian rupa itu, maka dapat memiliki independensi dalam melakukan audit dalam arti bebas dari pengaruh dan tekanan dalam lingkungan organisasinya. Dengan demikian, auditor intern dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada manajemen. Selain itu dengan memberi
tuan-ketentan organisasi dan terhadap pimpinan, sebab ia sendiri bekerja untuk kepentingan organisasi dan mnajemen. Akan tetapi bila independensi ini kita kaitkan dengan objek auditnya, maka semestinya auditor intern memiliki kebebasan itu dalam arti yang mendekati mutlak. Sebab hanya dengan demikian ia bisa menjalani tugasnya secara obyektif dengan mengemukakan saransaranya secara profesional. Merupakan konsekuensi dari kepercayaan pimpinan yang diberikan kepada auditor untuk membantu dalam fungsi pengawasan, maka auditor intern setidak-tidaknya mampu memahami segala kegiatan yang ada dalam instansi yang menjadi obyek penilainya, serta mampu mengemban tugas-tugas audit itu sendiri. Sebagai orang yang berfungsi menjalankan penilaian, ia harus mengetahui hal-hal mengenai obyek yang dinilainya. Dengan kata lain, di samping menguasai teknik-teknik audit, juga perlu mengetahui pengetahuan khusus di bidang lain seperti keuangan, kepegawaian, sarana, administrasi, dan perundang-undangan lainnya. (Penulis Auditor pada Inspektur Wilayah IV)
kedudukan yang lebih tinggi menunjukkan adanya penghargaan terhadap fungsi auditor. Tentu saja independensi yang seharusnya dimiliki oleh auditor intern harus diartikan dalam arti terbatas. Auditior intern sebagai komponen intern dalam organisasi semestinya tunduk pada keten-
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
30
Opini
PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP TINDAKAN KKN Oleh Drs. H. Pramono Sejalan dengan era reformasi pada saat ini dan ditengah-tengah ketidakpastian serta kondisi yang senantiasa berubah, sebagai akibat dari krisis ekonomi dan krisis multi dimensial yang berkepanjangan, sehingga berdampak pada ancaman disintegrasi bangsa dalam proses pembelajaran demokrasi seluruh bangsa Indonesia. Dalam hal ini pemimpin harus mampu tampil menjadi kekuatan yang dapat diandalkan, tidak hanya sebagai kekuatan pembentuk moral bagi diri sendiri akan tetapi dapat juga sebagai pembentuk moral bangsa pada umumnya. Dampak krisis ekonomi dan krisis multi dimensial yang melanda bangsa Indonesia, hendaknya tidak serta merta menjadi alasan terjadinya keterpurukan moral, Justru harus menjadi cambuk bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang disegani dan dihormati oleh bangsa lain di dunia ini. Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) muncul sebagai akronim menjelang jatuhnya pemerintahan orde baru pada Tahun 1997. Praktek KKN sudah tidak dapat ditolerir lagi karena dianggap telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme diseluruh dunia ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat dominan yaitu adanya Kepemimpinan dan Kekuasaan yang absolut, dimana pemimpin di dalam menjalankan tugas dan fungsinya menyimpang dari koridor yang telah ditetapkan dan disepakati bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masalah KKN ditentukan oleh faktor kepemimpinan yang tidak konsisten terhadap komitmen yang telah diamanatkan, dimana kebijakan kebijakan yang dihasilkan dianggapnya benar dan sesuai prosedur, padahal ini telah jauh menyimpang dari koridor hukum yang berlaku. Hal ini berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi tanpa menyadari bahwa hal ini adalah kesalahan yang sangat fatal bagi kesinambungan organisasi. Masalah KKN juga sangat ditentukan oleh faktor kekuasaan atau kewenangan, dimana pimpinan dapat melakukan segala tindakan dalam melakukan apa saja yang dikehendaki. Hal ini tergantung dari pada niat dan tindakan pimpinan tersebut. Pemimpin memegang peranan penting dalam membuat kebijakan dan keputusan secara cermat, tepat dan akurat guna mengatasi segala masalah yang timbul dalam organisasi yang berada dibawah kekuasaan dan kewenangannya. Tugas yang diemban pimpinan dapat dilaksanakan dengan baik bila mendapat dukungan dari berbagai pihak meliputi semua unsur pendukung organisasi, terutama dukungan dari unsur bawahan. Penulis hanya memfokuskan perhatian pada kepemimpinan dan kekuasaan terhadap tindakan korupsi kolusi dan nepotisme. Adapun langkah yang perlu ditindaklanjuti antara lain: Membuat program rencana aksi nasional pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme kemudian dilakukan oleh semua instansi pemerintah serta komponen masyarakat yang diikuti oleh langkah-
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
31
Opini langkah pencegahan, penindakan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Langkah pencegahan tindak pidana korupsi antara lain melalui perbaikan dan penyempurnaan instrumen kerangka acuan, kebijakan, kelembagaan, proses dan prosedur, SDM, budaya serta keterlibatan masyarakat untuk mendeteksi maupun mencegah terjadinya tindakan pidana korupsi. Langkah penindakan terhadap pelaku korupsi berupa pengenaan sanksi/hukuman terhadap segala bentuk penyimpangan norma/perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi selain dengan penguatan pengawasan yang bersifat eksternal dimana masyarakat dapat memberikan kontribusi yang besar. Berdasarkan data dan fakta, kepemimpinan selama ini belum berfungsi dalam melaksanakan tugas secara maksimal, hal ini disebabkan oleh faktor psikologis, sosial, budaya dan lemahnya perangkat hukum. Faktor kepemimpinan dan kekuasaan merupakan kendala yang sangat memprihatinkan terhadap tindakan KKN. Dari uraian tersebut, penulis mengidentifikasikan permasalahan apakah kepemimpinan dan kekuasaan dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap tindakan KKN. Pembatasan masalah dalam tulisan ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan teknis dan administrasi, yaitu bila ditinjau dari berbagai sumber yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan dan kekuasaan seperti: kebijakan pemerintah, persoalan yang dihadapi bangsa ini. Kebijakan Pemerintah Seringkali kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melalui prosedur yang benar sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam membuat suatu kebijakan, pemerintah terkesan terburu-buru demi kepentingan
segelintir kelompok, atau golongan tertentu, dan belum melakukan uji coba, survey lapangan, studi banding serta belum melakukan analisis kebijakan publik, sehingga kebijakan yang dihasilkannya belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat pada umumnya. Disinilah awal terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Persoalan yang dihadapi Persoalan yang dihadapi bangsa saat ini adalah bertubi tubinya musibah terjadi, seperti gempa tsunami di Pangandaran, Tasikmalaya dan Ciamis yang menelan ratusan ribu korban jiwa serta kehilangan harta benda dan keluarga. Hal ini disebabkan oleh faktor kepemimpinan dan arogansi kekuasaan dimana para pemimpin dan penguasa didalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak amanat, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang terpuruk. Berdasarkan makalah yang penulis buat ini dengan judul pada Pengaruh Kepemimpinan dan Kekuasaan terhadap tindakan KKN dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Kepemimpinan sangat berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan KKN pada suatu instansi, jika pemimpin itu tidak amanah dan konsisten didalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. 2. Kepemimpinan cenderung kepada kekuasaan yang absolut, jika tidak didasari oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh subhanahu wa ta‘ala. 3. Kepemimpinan merupakan tugas yang sangat mulia, jika dilaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsi, berdasarkan dalil “Kullukum ro’in wa kullukum mas’ulun ’an ro’iyyatihi”.” 4. Seluruh lapisan masyarakat hendaknya saling “amar ma’ruf nahi mungkar” didalam memberantas korupsi kolusi dan nepotisme.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
32
Opini
Menyoal Hukum: antara Kebenaran dan Pembenaran Oleh: Ali Yuddin “…Apalah artinya hukum, bila hukum itu sendiri tidak mampu untuk menghukum aparat yang membuat hukum itu sendiri..”. Keluh kesah itu bukan hanya terjadi pada level masyarakat kota yang maju, namun juga di desa-desa yang jauh dari keramaian1 dan kemajuan, di mana keresahan, sikap sinis dan skeptis terhadap upaya penegakkan hukum di Tanah Air semakin menjadi-jadi. Hampir setiap hari, rakyat disuguhkan oleh para elite sebuah pertunjukan dagelan hukum. Sebuah permainan kebohongan yang penuh dengan justifikasi pembenaran hukum. Hukum pada dasarnya adalah alat penguasa, untuk menjaga kekuasaan yang dimilikinya. Ia adalah senjata untuk melegalkan setiap tindakan yang dilakukan oleh penguasanya. Ajaran hukum yang berisi larangan dan kebolehan hanya ada dan berlaku bagi orang yang taat hukum. Orang yang taat hukum adalah orang yang sadar akan hakekat hukum itu diberlakukan. Meski orang taat belum tentu benar, sebab kebenaran hukum pada hakekatnya berada dalam kerangka pikiran (ide), bukan berada dalam kerangka nilai. Karena, berada dalam kerangka ide, maka sulit bagi kita untuk menemukan kebenaran dalam hukum. Setiap orang akan mengklaim dirinya benar, meski orang lain menganggap salah, begitupun sebaliknya. Kedua nilai kebenaran dalam hukum menjadi nilai kebenaran subjektif, karena ada dan dianggap benar, bila rasionalitas kita benar. Kecenderungannya, manusia modern adalah mengandalkan rasionalitas, meski rasionalitas itu sendiri belum
tentu benar. Bahkan, seringkali rasionalitas itu sendiri berbenturan dengan hati, perilaku, dan nilai-nilai kehidupan. Sebagai kerangka ide, pemikiran dan bangunan struktur, isi dan budaya hukum disusun atas dasar kepentingan. Hukum menjadi tidak bebas nilai, karena, dalam proses pembuatannya akan sangat dipengaruhi oleh dominasi ide, kepentingan dan kekuasaan orang atau komunitas tertentu. Hukum berada dalam ruang kepentingan, dimana setiap orang dapat bertransaksi dalam bentuk apapun agar kepentingannya masuk dalam kaidah hukum. Karena berada dalam ruang yang tidak netral, maka rumusan hukum dalam pasal-pasal yang di pedomani oleh kita selama ini (KUHP, KUHAP, KUH Perdata dan sebagainya) sebagai kebenaran adalah sesuatu yang abstrak dan bersifat relatif. Karena kebenaran hukum bersifat relatif, maka relativisme kebenaran hukum itulah kemudian dijadikan sebagai celah oleh setiap orang untuk mempertaruhkan keyakinannya akan kebenaran. Meski apa yang dipertaruhkan itu sesungguhnya belum tentu benar. Dengan berbagai cara dilakukan untuk menjustifikasikan dan mengkorelasikan bahwa apa yang dikatakan benar telah tercantum atau diatur dalam peraturan. Meski, kebenaran di atas pasal belumlah tentu benar menurut hati, perilaku dan nilai kehidupan kita. Sungguh kebenaran pada akhirnya adalah sesuatu yang sangat mahal untuk kita temukan sekarang. Apalagi ketika standar kebenaran menggunakan pasal-pasal dalam kitab peraturan,
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
33
Opini maka, kebenaran itu berada pada secarik kertas yang penuh dengan ‘tipuan’. Kebenaran Hukum Begitu sulitnya kebenaran, sehingga banyak diantara kita yang kemudian bersikap ambigu terhadap kebenaran hukum itu sendiri. Satu sisi kita menyakini bahwa kebenaran yang ada dalam pasal-pasal adalah tidak benar, tetapi kita tetap menjalankannya. Namun, adapula diantara kita yang menyakini pasal-pasal dalam peraturan kita anggap benar namun kita tidak pernah menjalankannya. Bahkan, ada pula diantara kita, yang biasa menjerat orang dengan pasal-pasal, namun kita sendiri tidak mau menjerat diri kita ketika pasal-pasal telah kita langgar. Upaya penegakkan hukum tidak mungkin akan tercipta ketika hanya isi hukum (contempt of law) yang kita perbaiki. Karena isi hukum adalah produk rekayasa sosial dan retorika pemikiran yang abstrak dari segelintir orang. Ia bukanlah sebuah kebenaran, melainkan hanya ‘petunjuk’ yang tidak mesti harus kita jalankan. Sebab, apa yang diatur dalam rumusan hukum sarat dengan dominasi ide, kepentingan dan kekuasaan tertentu. Kebenaran hukum itu sendiri sebenarnya terletak pada sistem nilai perilaku dalam kehidupan seseorang menurut kadar nilai sosial yang berlaku dalam komunitas dimana Ia berada dalam sistem nilai yang berlaku. Tatanan nilai adalah tidak selalu dari perilaku negara, sebab instrumen hukum yang dibangun oleh negara sesungguhnya belum mencerminkan perilaku kehidupan sosial kita. Hal ini karena rumusan hukum yang disusun oleh negara tidak berlandaskan pada realitas sosial, nilai, perilaku dan norma yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat/individu itu sendiri yang akan diaturnya.
Sehingga tidak heran, bila berbagai kebijakan hukum negara pada akhirnya harus berbenturan dengan norma sosial individu atau masyarakat. Sebab, hukum yang disusun dan diberlakukan oleh para pembuat hukum selama ini hanya berangkat dari asumsi. Banyak perangkat peraturan hukum yang di berlakukan disusun di belakang meja, bahkan, disusun tidak transparan dan partisipatif. Seolah-olah, dengan dibahas di DPR hukum itu telah merepresentasikan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Padahal, kerangka hukum yang dibangun adalah atas dasar kepentingan dan kebutuhan mereka. Sebuah hukum yang dibangun atas dasar itu, dapat dipastikan hanyalah akan mengatur kepentingan orangorang “kecil”. Bahkan, akan lahir peraturan yang menguntungkan para pembuat hukum itu sendiri. Dalam praktiknya kemudian, hukum di negara kita seperti wayang, yang dapat dimainkan oleh para dalang. Siapa dalangnya, maka dia lah yang akan menentukan kearahmana skenario pewayangan akan di mainkan. Begitupula dengan kebenaran. Adalah lumrah bila kemudian para penguasa/pejabat selalu menang dalam setiap kasus dipersidangan, karena hukum yang diberlakukan itu bukan untuk dirinya, melainkan orang lain di luar kekuasaan. Rumusan yang dipegang oleh para hakim selama ini sebagai alat untuk memutuskan benar atau salah, sesungguhnya banyak terselubung pasal-pasal yang menguntungkan pihak tertentu (penguasa). Oleh karenanya, sangatlah naif bila kebenaran itu diukur dari kitab undang-undang. Sebab, apa yang tertulis dalam kitab undang-undang belum tentu benar. Ia justru sewaktuwaktu dapat dijadikan alat pembenar bagi siapa saja untuk menjustifikasikan segala tindakannya. Lalu bagaimana nasib hukum kita pada masa mendatang, kita tunggu terus perkembangannya.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
34
Opini
JABATAN FUNGSIONAL AUDITOR DAN ANGKA KREDIT PENGEMBANGAN PROFESI Oleh: H. Ahmad Saubari, S.Ag Nilai Kegiatan Pengembangan Profesi Jabatan Fungsional Auditor Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri (Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994). Untuk lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen, Jabatan fungsional yang diberlakukan da terbuka untuk diisi sesuai dengan tugas dan fungsi unit kerja adalah Jabatan Fungional Auditor. Sebagaimana Jabatan Fungsional lain, maka jabatan fungsional auditor dalam pengembangan karier kepangkatan dan karier jabatan diberlakukan sistem angka kredit, sehingga menjadi suatu kewajiban bagi setiap Pejabat Fungsional Auditor harus mengakumulasi dan menghitung setiap point angka kredit yang didapatkan dalam pelaksanaan tugasnya. Angka Kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan atau akumulasi nilai butirbutir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional Auditor yang digunakan sebagai salah satu syarat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat dalam jabatan Auditor. Hal yang selalu ada dalam angka kredit jabatan fungsional adalah adanya angka kredit dari unsur utama dan unsur
penunjang. Untuk unsur utama biasaya terbagi dalam tiga unsur yaitu: Unsur Pendidikan, Unsur kegiatan utama dari Jabatan fungsional tersebut (untuk auditor adalah unsur pengawasan), dan Unsur Pengembangan Profesi.Unsur Pengembangan Profesi dari setiap jabatan fungsional pada dasarnya mengacu kepada kegiatan yang dapat meningkatkan sisi profesionalisme dari pejabat tersebut. Dalam Petunjuk Teknis Ketentuan dan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Auditor dan Angka Kreditnya di Lingkungan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP, selaku instansi pembina Jabatan Fungsional Auditor di lingkungan APFP) Nomor 13.00.00-125/K/1997 tanggal 5 Maret 1997. Disebutkan dalam lampiran keputusan tersebut dalam romawi VI tentang Angka Kredit huruf “E” yaitu Komposisi Presentase Angka Kredit disebutkan bahwa angka kredit yang harus diperoleh atau wajib dikumpulkan untuk pengembangan profesi bagi auditor trampil dan auditor ahli untuk naik angkat setingkat lebih tingi adalah: (A)Auditor Trampil; (1)Auditor Trampil Pemula sekurang-kurangnya 1 angka kredit; (2)Auditor Trampil Pratama sekurang-kurangnya 2 angka kredit; (3)Auditor Trampil Muda sekurangkurangnya 4 angka kredit. (B)Auditor
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
35
Opini Ahli; (1)Auditor Ahli Pratama sekurang-kurangnya 3 angka kredit; (2)Auditor Ahli Muda sekurangkurangnya 8 angka kredit; (3)Auditor Ahli Madya sekurang-kurangnya 15 angka kredit; (4)Auditor Ahli Utama sekurangkurangnya 30 angka kredit; Perbandingan kegiatan pengembangan profesi dengan jabatan fungsional lain Sebagai perbandingan kegiatan unsur pengembangan profesi jabatan fungsional auditor dengan beberapa jabatan fungsional lain adalah sebagai berikut: A Jabatan Fungsional Pranata Hubungan Masyarakat dan Angka Kreditnya sesuai dengan Kep. Menpan No. 117/KEP/M.PAN/10/ 2003 tanggal 10-10-2003 untuk kegiatan pengembangan profesi adalah sebagai berikut: (1)Pembuatan karya tulis/Ilmiah di bidang informasi dan kehumasan; (2)Penerjemahan/penyaduran buku atau karya ilmiah di bidang informasi dan kehumasan; (3)Penyusunan pedoman petunjuk teknis pelayanan informasi dan kehumasan; (4)Pemberian konsultasi informasi dan kehumasan yang bersifat konsep. B. Jabatan Fungsional Analisis Kepegawaian dan Angka Kreditnya sesuai dengan Keputusan Menkowasbang PAN Nomor 53/KEP/ MK.WASPAN/9/1999 tanggal 30 September 1999 untuk kegiatan pengembangan profesi adalah sebagai berikut: (1)Melaksanakan kegiatan karya tulis/karya ilmiah
dalam bidang pengawasan; (2)Menyusun petunjuk teknis pelaksanaan pengelolaan kepegawaian; (3)Menerjemahkan/menyadur buku dan bahan-bahan lain; (4)Membimbing asisten analisis kepegawaian di bawah jenjang jabatannya. C. Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya sesuai dengan Keputusan MenkowasbangPAN Nomor 54/KEP/MK.WASPAN/ 9/1999 tanggal 30 September 1999 untuk kegiatan pengembangan profesi adalah sebagai berikut: (1)Melakukan kegiatan karya tulis/ karya ilmia di bidang penyuluhan agama;(2)Menerjemahkan/ menyadur buku dan bahan lainnya di bidang penyuluhan agama; (3)Membimbing Penyuluh agam yang berada di bawah jenjangnya. D. Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya sesuai dengan Keputusan Menkowasbang-PAN Nomor 38/KEP/MK.WASPAN/8/ 1999 tangal 24 Agustus 1999, untuk kegiatan yang sejenis dengan pengembangan profesi adalah kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi huruf “b” yaitu melaksanakan penelitian dan pengembangan serta menghasilkan karya ilmiah, karya teknologi, karya seni monumental/ seni pertunjukkan dan karya sastra meliputi: (1)Menghasilkan karya penelitian; (2)Menerjemahkan/menyadur buku ilmiah; (3)Mengedit/ menyunting karya ilmiah; (4)Membuat rancangan dan Karya Teknologi; (5)Membuat Rancangan dan Karya Seni.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
36
Opini E. Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya sesuai dengan KepMenpan Nomor 84 Tahun 1993 tanggal 24 Desember 1993 untuk kegiatan pengembangan profesi adalah sebagai berikut: (1)Melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah; (2)Membuat alat pelajaran/alat peraga atau alat bimbingan; (3)Menciptakan karya seni; (4)Menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan; (5)Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum. G. Jabatan Fungsional Auditor dan Angka Kreditnya sesuai dengan Kep. Menpan Nomor 19 Tahun 1996 tanggal 2 Mei 1996 untuk kegiatan pengembangan profesi adalah sebagai berikut: (1)Membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang Pengawasan; (2)Menerjemahkan/menyadur buku dan bahan-bahan lain di bidang pengawasan; (3)Berpartisipasi secara aktif dalam penerbitan buku di bidang pengawasan; (4)Melakukan pelatihan di kantor sendiri; (5)Berpartisipasi secara aktif dalam pemaparan (ekspose) draft/ pedoman/modul/fatwa di bidang pengawasan; (6)Melakukan studi banding di bidang pengawasan. Jika melihat perbandingan pengumpulan angka kredit pengembangan profesi, dari beberapa jabatan fungsional yang tersebut di atas, ada suatu kesamaan persepsi bahwa untuk kegiatan jabatan fungsional perlu pengembangan profesi yang bertujuan untuk menjadikan seorang pejabat fungional tersebut menjadi profesional
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. (Maister, 1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen, tetapi lebih merupakan sikap. Pengembangan Profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki ketrampilan yang tinggi, tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Akumulasi kegiatan pengembangan profesi Melihat beban pengumpulan angka kredit untuk pengembangan profesi dirasa cukup berat, maka untuk lingkungan Inspektorat Jenderal Dep. Agama telah dibuat suatu program penerbitan majalah fokus pengawasan sebagai sarana untuk memberikan ruang dan media bagi auditor dalam rangka pengumpulan angka kredit pengembangan profesi melalui suatu kegiatan pembuatan karya tulis. Sarana yang ada ini telah cukup banyak dimanfaatkan oleh auditor untuk mengembangkan diri dalam membuat suatu tulisan yang dapat dinilai sebagai kegiatan pengembangan profesi. Selain itu juga telah terprogramnya suatu pola pelatihan di kantor sendiri yang difasilitasi oleh lingkungan Sekretariat Itjen telah cukup membantu dalam penjaringan angka kredit pengembangan profesi, walaupun dirasa intensitasnya masih perlu ditingkatkan lagi, dengan kegiatankegiatan pelatihan yang bersifat pengetahuan teknis di bidang audit.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
37
Opini Namun untuk point yang lain, seperti pemaparan/ekspose sampai saat ini belum diterapkan untuk Auditor lingkungan Inspektorat Jenderal Dep. Agama. Pemaparan/ekspose adalah suatu kegiatan memberikan presentasi hasil kerja (dalam hal ini hasil pengawasan) baik untuk memberikan informasi maupun untuk menyempurnakan hasil kerja kepada pihak-pihak pengambil kebijakan. Jika mengacu pada nilai angka kredit setiap kali melakukan kegiatan ekspose untuk forum intern Departemen memiliki nilai 0,25; sedangkan untuk forum ekstern memiliki nilai 0,5. Nilai ini termasuk cukup besar untuk akumulasi angka kredit kegiatan pengembangan profesi, namun sampai saat ini belum disepakati tentang perlunya suatu ekspose pada akhir pemeriksaan menjadi rumusan angka kredit pengembangan profesi. Jika dirasa perlu maka dapat dibuat suatu rumusan ekspose menjadi angka kredit pengembangan profesi, dengan cara membuat surat pernyataan melakukan kegiatan pengembangan profesi dengan sub judul ekspose, dan memuat rincian bahan ekspose per bidang audit yang kemudian ditanda-
tangani oleh pimpinan satuan kerja yang mengikuti ekspose semisal Kepala Kandepag/Kepala Kanwil atau Kepala Perguruan Tinggi. Semoga dengan masuknya ekspose dalam rincian kegiatan pengembangan profesi dapat membantu auditor dalam pengumpulan angka kredit minimal dari unsur kegiatan pengembangan profesi. Selanjutnya ke depan mungkin perlu dibuat suatu rumusan pernyataan pelaksanaan melakukan kegiatan ekspose, (minimal untuk forum intern Dep. Agama.) Kegiatan lain sebagai unsur pengembangan profesi adalah kegiatan menyadur. Kegiatan menyadur juga belum banyak dilakukan oleh pejabat fungsional. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh seorang auditor atau lebih, dengan perhitungan bahwa bagi penulis utama buku saduran itu adalah 60% dan penulis pembantu 40%. Menyadur sendiri adalah kegiatan menerjemahkan secara bebas dengan meringkas, menyederhanakan atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok pikiran asal. Demikian, semoga tulisan ini dapat membuat suatu wacana baru dalam mengembangkan nilai-nilai dari unsur kegiatan pengembangan profesi.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
38
Lika Liku Auditor
KISAH KHUSUS TIM BUSER DARI LEMBATA - NTT oleh Heri Zaedal Bakri Sejak diangkat sebagai Auditor (Pemeriksa) Tahun 1992 di Itjen Dep Agama, benar-benar baru pertama kali peristiwa luar biasa kami alami. Kami mendapat tugas audit ke Nusa Tenggara Timur tepatnya ke Kab. Lembata (pemekaran dari Kab. Flores Timur) yang letaknya di Pulau Lomblen. Pada hari yang ditetapkan, kami berangkat menuju Kota Kupang dan harus bermalam di kota tersebut karena pesawat ke Lembata tidak ada pada hari itu, sehingga pemberangkatan kami menjadi tertunda. Setelah dua malam di Kupang, pada hari ketiga kami berangkat ke Lembata dan alhamdulillah tiba dengan selamat di Lewoleba, ibukota Kab. Lembata dengan menumpang pesawat Trigana Air. Kami disambut oleh jajaran Kandepag Kab. Lembata yang selanjutnya menuju ke penginapan dan diterima oleh Kakandepag Kab Lembata, Bapak Yoseph K. Werang, S.Ag. beserta jajarannya. Namun apa yang membuat kami kaget adalah ketika dalam penyambutan itu kawan-kawan dari Lembata membuat spanduk yang berbunyi “Selamat Datang, Kunjungan Kerja Perdana Tim Itjen Dep. Agama RI”. Benar-benar ini adalah peristiwa langka dan pertama kali dalam sejarah audit kami dari Tim Itjen Dep Agama, dan memang baru pertama kali kami ke Kab. Lembata. Kami disambut begitu meriah dan penuh rasa suka cita.
Di Kab. Lembata, selain Kandepag yang menjadi auditan, terdapat pula MAN Kedang dan MTsN Kelikur serta sampling KUA Kecamatan Buyasuri. Perjalanan dari Kandepag Kab Lembata menuju MAN Kedang dan MTsN Kelikur menempuh jarak sekitar 60 km selama 5 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan yang dilewati kondisi jalan kurang bersahabat (rusak berat) dan penuh resiko bagi yang belum berpengalaman ke daerah itu. Medannya sangat berat. Kamipun begitu tegang sepanjang perjalanan. Tapi inilah seninya perjalanan dalam tugas dan kami juga harus bisa menikmatinya. Kami menghabiskan waktu 3 malam untuk audit MAN dan MTsN serta KUA Kecamatan Buyasuri. Ada yang menarik selama kami mengaudit di Kec. Buyasuri. Saat itu menjelang final piala dunia. Jelas kami tidak mau ketinggalan untuk menyaksikannya. Namun ternyata tidak ada listrik. Akhirnya kita sama-sama berupaya, pihak madrasah mencari generator dan kami mencari solar. Itupun tempatnya lumayan jauh juga, dan mahal lagi (1 liter Rp. 10.000). Demi untuk menonton piala dunia, kami rela berkorban. Selain itu kami juga harus “nerimo” untuk mandi dengan air yang terbatas sekali. Bayangkan untuk mengambil air seember saja jaraknya + 300 m, itupun harus naik turun gunung. Kamipun tidak sanggup untuk melakukannya. Tetapi kawan-kawan dari Kalikur sangat baik,
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
39
Lika Liku Auditor sehingga kami mendapat air untuk mandi. Tidurpun kami harus rela berpisah, karena tidak adanya penginapan. Dua orang di rumah guru, dua orang di rumah Kepala MAN dan dua orang lagi di rumah Kepala MTsN. Setelah selesai audit di Kec. Buyasuri, Tim kembali menyelesaikan tugas di Kandepag Kab. Lembata untuk besoknya siap-siap berangkat menuju Kab. Ende. Perjalanan dari Lembata ke Ende melewati 2 kabupaten, yaitu Kab. Flores Timor (Larantuka) dan Kab. Sikka (Maumere). Dari
Kandepag Kab. Flores Timur dan Petugas dari Kandepag Kab Ende. Kami juga merasa terhormat karena dalam perjalanan ini Tim didampingi oleh Kepala Kandepag Kab. Lembata (Bapak Yoseph K. Werang, S.Ag) sampai Kandepag Kab. Sikka (Maumere). Setelah istirahat makan siang di Larantuka kira-kira pukul 13.30 WIT, kami melanjutkan perjalanan menuju Maumere dan tiba pukul 17.30 WIT. Disinilah selanjutnya kami berpisah dengan Kepala Kandepag Kab Lembata
Lewoleba ibukota Kab. Lembata ke Larantuka, kami harus menyeberangi lautan dengan menggunakan kapal motor. Dalam perjalanan itu kami melewati Pulau Solor dan Adonara yang akan menjadi Kabupaten Adonara pemekaran dari Kab. Flores Timur. Sepanjang perjalanan, kami sempat panik juga karena tiba-tiba kapal oleng dihantam ombak. Perasaan takut bercampur macam-macam semakin bertambah setelah kami sempat bincang-bincang sesama penumpang yang menyatakan bahwa pernah ada kapal penumpang yang tenggelam dan memakan korban di perairan tersebut. Alhamdulillah, kami sampai pula di Pelabuhan Larantuka kira-kira pukul 12.00 WIT, disambut oleh Pejabat
dan dilanjutkan dengan kendaraan dari Kab Sikka untuk menuju Kab Ende. Setelah kami beristirahat di rumah Kakandepag Kab. Sikka kira-kira pukul 18.00 WIT, Tim berangkat menuju Kab. Ende. Perjalanan dari Maumere ke Ende cukup menyenangkan, dimana banyak kelokan (lebih dari 44 kelok) dan untungnya perjalanan dilakukan pada malam hari sehingga kami tak sempat melihat tebing dan jurang disepanjang jalan. Padahal ternyata jurangnya cukup dalam dan bila siang hari mungkin kami juga bisa dibuat “ngeri”. Setelah dari Ende kami ke kembali ke Kota Kupang untuk selanjutnya kembali ke Jakarta. Benar-benar perjalanan audit yang penuh kenangan indah.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
40
S A P
PERKEMBANGAN SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAH DI INDONESIA Oleh Endang Sulistyowati Sebelum pendidikan akuntansi diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1950-an. Saat itu hanya dikenal tata buku warisan Belanda yang disebut sistem kontinental. Dengan adanya perubahan hubungan politik dengan Belanda banyak guru besar berkebangsaan Belanda kembali ke negerinya. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan kurikulum pendidikan akuntansi dari sistem kontinental ke sistem Anglo Saxis (sistem Amerika). Perkembangan selanjutnya ternyata akuntansi keuangan untuk sektor swasta maju pesat, sedangkan akuntansi di sektor pemerintah masih mengikuti konsep-konsep yang diterapkan sejak zaman Belanda. Perubahan dan penyempurnaan terhadap sistem akuntansi pemerintah dilakukan dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan pemerintah khususnya Keputusan Menteri Keuangan. Sebenarnya perjuangan untuk mereformasi akuntansi pemerintahan dimulai sekitar tahun 1980-an dengan rencana sebuah studi modernisasi sistem akuntansi pemerintah. Waktu itu sistem administrasi pemerintahan dilakukan secara manual. Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang merupakan pertanggungjawaban keuangan pemerintah kepada DPR disajikan berdasarkan sumbangan PAN Departemen/lembaga yang disusun secara manual dan single
entry, sehingga penyampaian laporan PAN oleh pemerintah kepada DPR dilaksanakan dalam waktu 2-3 tahun setelah tutup buku. Studi modernisasi akuntansi pemerintah baru terlaksana pada tahun 1982 tetapi Term of Reference (TOR) yang disetujui dan dibiayai Bank Dunia baru terbatas pada pengembangan sistem pembukuan berpasangan secara manual. Upaya yang dilakukan oleh Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN) Departemen Keuangan tersebut, yaitu melakukan modernisasi terhadap akuntansi pemerintah yang berjalan dengan pengembangan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP). Kegiatan ini disebut dengan Proyek Penyempurnaan Sistem Akuntansi dan Pengembangan Akuntansi (PPSAPA), yang pembiayaannya dari pinjaman Bank Dunia (World Bank). Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang dibuat oleh BAKUN terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat yang diselenggarakan oleh BAKUN dan Sistem Akuntansi Instansi yang diselenggarakan oleh Departemen/ Lembaga Pemerintah non Departemen. Desain Sistem Akuntansi Pusat dan Sistem Akuntansi Instansi selesai pada bulan Mei 1986 dengan mengusulkan disusunnya bagan perkiraan standar, standar akuntansi pemerintahan serta pembentukan unit eselon I di lingkungan
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
41
S A P Departemen Keuangan yang memegang fungsi akuntansi dan pelaporan. Sistem yang diusulkan dan disetujui oleh Departemen keuangan adalah penyusunan alokasi anggaran, proses penerimaan dan pengeluaran malalui Kantor Pelayanan Perbendahaan Negara (KPPN), pembuktian bukti jurnal dan daftar transaksi sebagai dasar pembukuan dalam buku besar secara manual. Tahun 1987/1988 simulasi sistem manual mulai dilakukan pada Departemen pekerjaan Umum, Departemen Sosial, Departemen Perdagangan, Kantor Wilayah Jakarta, Medan dan Surabaya. Pada saat yang sama pemikiran pengembangan sistem akuntansi pemerintah berbasis komputer disetujui Departemen Keuangan dan Bank Dunia dalam bentuk proyek pengembangan Sistem Akuntansi pemerintah tahap I, tetapi sistem fungsional masih berdasar pada desain manual sebelumnya sehingga belum dapat menghasilkan laporan keuangan. Tahun 1992 Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN) Departemen Keuangan dibentuk sebagai unit pelaksana fungsi Central Accounting Office, dimana pengembangan standar akuntansi pemerintahan dan implementasi sistem dilaksanakan. Tahun 1994 mulai digunakan format Daftar Isian Proyek (DIP) baru yang saat itu disebut Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)dan penggunaan bagan perkiraan standar khusus untuk pendapatan dan balanja pada APBN saja. Meski sudah ada BAKUN, pelaksanaan implementasi sistem masih
mengalami hambatan. Tidak adanya kewajiban dari peraturan perundangundangan, mengakibatkan pemerintah pusat, departemen dan non departemen masih menggunakan sistem pembukuan tunggal (single entry) yang kualitasnya sulit dipertanggungjawabkan. Tahun 1995 dikembangkan lagi sistem akuntansi pemerintah berbasis komputer yang open system melalui Proyek Pengembangan Sistem Akuntansi Pemerintah tahap II dan implementasinya dilaksanakan secara bertahap. Pada tahun 1999 dilakukan implementasi sistem akuntansi instansi untuk seluruh departemen/lembaga yang dapat menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca. Namun demikian masih menghadapi masalah enforcement, karena pada saat itu masih belum ada ketentuan perundangan yang mewajibkan penyusunan laporan keuangan yang lengkap. Dengan lahirnya tiga paket undangundang tentang keuangan negara yaitu UU Nomor 17/2003, UU Nomor 1/2004, UU Nomor 15/2004, perubahan signifikan telah terjadi dalam implementasi akuntansi di organisasi pemerintahan Indonesia. Praktek ini mengacu ke berbagai praktek akuntansi pemerintahan di berbagai negara. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan perangkat UU Keuangan negara mulai lengkap. Pemerintah Indoensia diharapkan memasuki era baru transparansi dan akuntabilitas di bidang keuangan negara. Menurut ketentuan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, menteri atau pimpinan lembaga selaku
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
42
S A P pengguna anggaran wajib menyusun laporan keuangan dan disampaikan paling lambat 2 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Menteri keuangan menyusun laporan keuangan pemerintah pusat untuk disampaikan kepada presiden dalam tiga bulan setelah tahun anggaran yang lalu berakhir. Presiden/ Gubernur/Bupati/Walikota harus menyampaikan laporan keuangan kepada BPK untuk diperiksa paling lambat 3 bulan setelah tahun anggaran yang lalu berakhir. Jadwal audit BPK hanya 2 bulan dan laporan keuangan yang telah diperiksa BPK diajukan Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota kepada DPR/DPRD dalam enam bulan setelah tahun anggaran yang lalu berakhir, setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri laporan keuangan perusahaan negara/daerah dan badan lain. Berbagai perubahan dan penyempurnaan terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengembangan sistem akuntansi pemerintah pusat. Tahun 2005 pemerintah dalam hal ini menteri keuangan mengeluarkan Peraturan No. 59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) adalah untuk unit-unit organisasi pemerintah pusat yang keuangannya dikelola langsung oleh pemerintah pusat, seperti lembaga tertinggi negara (MPR), lembaga tinggi negara (DPR, DPA, MA), departemen atau lembaga nondepartemen. SAPP tidak diterapkan untuk pemerintah daerah, BUMN/BUMD, bank
pemerintah dan lembaga keuangan milik pemerintah. Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) meliputi (1) Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) yang dilaksanakan oleh Departemen Keuangan Cq Ditjen Perbendaharaan. Sistem ini terdiri dari Sistem Akuntansi Umum (SAU) yang menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca SAU serta Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN) yang menghasilkan Laporan Arus Kas dan Neraca KUN. (2) Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Sistem ini terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara. Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) adalah serangakaian prosedur manual maupun terkomputerusasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. SAI adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerusasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/ Lembaga. Untuk melaksanakan SAI dibentuk unit akuntansi keuangan yang terdiri dari: Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA); Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Eselon1(UAPPA-E1); Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W; Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA).
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
43
Randang
DEPARTEMEN AGAMA R.I.
INSPEKTORAT JENDERAL JL. M.H. THAMRIN NOMO 6 PO.BOX 3687 TELEPON 021-31924509, 330565 FAX. 3140135 JAKARTA 10340 Jakarta, 28 Pebruari 2006 Kepada Yth. 1. Para Pejabat Eselon I 2. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama 3. Para Rektor UIN/IAIN/IHDN 4. Para Ketua STAIN/STAHN/STAKN di seluruh Indonesia SURAT EDARAN Nomor: IJ/224/PS.00/2006 TENTANG MENGHINDARI PENGGUNAAN GELAR AKADEMIK BERMASALAH Dengan telah lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diikuti oleh beberapa Peraturan Pemerintah (PP), pencantuman gelar di depan atau di belakang nama telah diatur. Jika tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, akan dikenai sanksi. Dalam waktu bersamaan pegawai Departemen Agama akan selalu diletakkan sebagai contoh dalam hal yang berkaitan dengan etika, termasuk dalam penggunaan gelar, sehingga akan menerima sorotan lebih besar dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu, tiap-tiap pegawai Departemen Agama agar tidak memasang titel/gelar akademik yang tidak dikeluarkan oleh lembaga yang berhak mengeluarkannya sesuai dengan perundangan yang berlaku. Penggunaan gelar yang tidak sah adalah kesalahan yang tidak pantas dilakukan oleh pegavvai Departemen Agama. Hal ini perlu kami sampaikan, oleh karena dalam kegiatan yang akan datang akan menjadi salah satu aspek dalam audit Inspektorat Jenderal. Kami mengharapkan Saudara-saudara para Eselon I, Kakanwil, Rektor, dan Ketua PTAN agar melaksanakan pengawasan melekat terhadap bawahannya. Demikian, harap menjadi maklum. Inspektur Jenderal, ttd A. Qodri A. Azizy NIP 150202471 Tembusan: 1. Menteri Agama; 2. Menteri PAN; 3. Kepala BKN
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
44
AMO
REPOSITIONING ITJEN DEPAG RI: TINJAUAN TEORITIS DAN APLIKATIF Oleh Ispawati Asri Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip dasar yang termaktub dalam Pancasila ini diharapkan memberikan landasan moral dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selanjutnya untuk mengatur perilaku anggota masyarakat agar tidak saling berbenturan, apalagi dengan kepentingan bangsa dan negara, sehingga bangsa dan negara ini dirugikan, disusunlah peraturan perundangundangan sesuai kebutuhan riil. Sebagai ilustrasi, adanya kondisi yang merugikan bangsa dan negara yaitu perilaku korup milyaran rupiah. Di samping itu, fenomena kerukunan umat beragama yang tampaknya mudah terkoyak juga terjadi di beberapa wilayah Nusantara ini. Dampaknya antara lain, menurunnya interaksi sosial sesama warga di suatu komunitas yang pada gilirannya akan memperburuk pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Fenomena negatif tersebut menimbulkan sejumlah keprihatinan akan peran moral yang bersumber dari nilainilai religi yang dianut bangsa ini. Jika peraturan perundang-undangan tak mampu mencegah perilaku negatif, dapatkah kita berpulang pada nilai-nilai religi? Jika jawabannya ‘ya’ – dan mestinya ‘ya’ – perlukah pihak ketiga untuk mengefektifkan nilai-nilai religi sebagai panduan perilaku masyarakat? Jika jawabannya lagi-lagi ‘ya’, maka pihak
ketiga yang diharapkan sebagai pilar itu adalah Departemen Agama. Akan tetapi, persepsi masyarakat tentang Departemen Agama terkadang mengalami distorsi, sehingga citra Departemen Agama pun terkadang negatif di mata masyarakat. Misalnya dalam pengurusan jamaah haji. Oleh karena itulah, secara kelembagaan dibutuhkan bagian yang mengawasi dan mengevaluasi kinerja bagian-bagian di dalam tubuh Departemen Agama, sehingga secara manajerial penanganan masalah yang berkaitan dengan agama dapat dinilai profesional. Inilah yang menjadi tugas utama Inspektorat Jenderal di Departemen Agama (Itjen Depag). Dengan demikian, visi Itjen Depag adalah menjadi institusi yang memelihara quality control dan quality assurance bagi terwujudnya nilai-nilai agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuannya adalah memiliki komitmen menyelamatkan citra Depag dan membangun sinergi antar-unit di lingkungan Depag. Sayangnya, selama ini telah muncul dan berkembang persepsi yang keliru tentang Itjen Depag. Di antaranya, Itjen terkesan dimarjinalkan. Mereka yang dimutasi ke Itjen ini merasa ‘dibuang’ dari tempat yang layak. Hal ini boleh jadi terkait dengan anggaran yang diberikan pada Itjen lebih kecil dibandingkan dengan unit lainnya. Lalu, hasil
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
45
AMO inspeksi dinilai hanya berkaitan dengan pejabat-pejabat ‘kelas teri’, sehingga dipandang sebelah mata, bahkan dimentahkan oleh pejabat yang lebih tinggi. Persepsi demikian tentu tak bisa dibiarkan. Persepsi tersebut harus diubah, karena Itjen Depag sesungguhnya memiliki posisi yang strategis bagi pencapaian misi Depag secara keseluruhan. Lalu apa yang perlu diperbuat? Salah satu langkah yang patut dipertimbangkan adalah ‘repositioning Itjen Depag’. Istilah ini terkait erat dengan istilah positioning, yang banyak diulas dalam konteks pemasaran. Misalnya saja dalam frase ‘Segmentation, Targeting, Positioning’ atau dikenal dengan akronim STP. Kotler mengelompokkan Segmentation, Targeting, dan Positioning sebagai pemasaran strategis (strategic marketing) atau manajemen strategis perusahaan. Dengan demikian, bila kita mempersoalkan repositioning Itjen Depag berarti kita juga membahas aspek manajemen Itjen Depag yang bersifat strategis. Hal ini terkait dengan segmen, target, dan posisi Itjen Depag dalam kerangka pemasaran. Pemasaran Pemasaran telah didefinisikan dalam cara yang berbeda-beda (Kotler, 1993: 5). Menurutnya, pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial dengan mana individuindividu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produkproduk yang bernilai.
Sedangkan Skinner & Ivancevich dengan merujuk pada American Marketing Association (1992:451) menyebutkan bahwa pemasaran diartikan sebagai suatu proses dari perencanaan dan pelaksanaan konsep harga, promosi, distribusi ide, barang, dan jasa yang dapat memuaskan individu maupun organisasi. Dengan kata lain, kegiatan pemasaran itu berkaitan dengan persoalan penetapan produk apa yang hendak ditawarkan kepada masyarakat, pengaturan biaya, pengembangan promosi penjualan dan kampanye pengiklanan. Selain itu, ada juga kegiatan yang dapat memudahkan produk tersebut sampai kepada publik. Agar dapat memuaskan publik, perlu dilakukan analisis kebutuhan publik dan analisis sumber yang tersedia dalam organisasi (utamanya untuk yang melaksanakan pemasaran). Selanjutnya, hasil kedua analisis ini pun harus dikompromikan dengan hasil analisis terhadap sumber-sumber internal dan lingkungan eksternal organisasi. Kesemuanya ini dilakukan agar organisasi dapat merumuskan strategi pemasaran yang akan menjamin pelayanan terhadap kebutuhan tersebut dan dapat memuaskan kebutuhan publik. Sumber intern adalah sumber yang dikuasai dan dikendalikan oleh manajemen organisasi, dalam hal ini Itjen Depag. Yang termasuk dalam sumber intern adalah: SDM, organisasi, keuangan, sumber produksi, sumber pemasaran (pasar produk, penentuan biaya, distribusi, komunikasi, manajemen penjualan, reputasi/citra publik produk,
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
46
AMO pengalaman, penelitian/pengembangan dan lokasi). Kegiatan pemasaran tidak mungkin dipisahkan dari sumber intern. Sumber tersebut menentukan corak perencanaan strategi pemasaran untuk memenuhi keinginan pasar atau segmen pasar yang menjadi sasarannya. Kelangkaan sumber intern atau pengunaannya secara semena-mena akan membatasi kegiatan pemasaran suatu organisasi. Keberhasilan sangat tergantung pada kebijakan dan keputusan manajemen perusahaan. Untuk sumber intern, organisasi dapat menguasainya dangan cara penggunaan yang bijaksana sebagaimana digariskan oleh manajemen organisasi. Sumber-sumber ekstern adalah sumber yang berada di luar organisasi pemasaran tetapi masih merupakan bagian dari sistem pemasaran organisasi tersebut sehingga dapat dipengaruhi dan dipergunakan apabila diperlukan perusahaan. Sumber-sumber yang dimaksudkan diantaranya adalah perbankan/lembaga-lembaga keuangan, perusahaan periklanan, perantara pemasaran dan sebagainya. Positioning Mengomentari tentang segmentasi, targeting, dan positioning, Kotler (1990: 35) mengatakan sebagai berikut: Segmentasi pasar (market segmentation) merupakan usaha pemisahan pasar pada kelompok-kelompok pembeli menurut jenis-jenis produk-produk tertentu; Menetapkan sasaran (market targeting) merupakan kegiatan menilai dan memilih satu atau lebih segmen
pasar yang akan dimasukinya; Penempatan produk (product positioning) merupakan kegiatan merumuskan penempatan produk dalam persaingan. Dalam kaitannya dengan Itjen Depag, upaya pemasaran yang akan dilakukan akan mencakup: Upaya pemilahan kelompok-kelompok masyarakat atau publik sesuai dengan hasilhasil yang keluar dari Itjen Depag. Ada publik tertentu, ada juga publik secara luas (masyarakat pada umumnya); Upaya menetapkan target (sasaran). Itjen Depag tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Depag, pemerintah, dan bangsa Indonesia, untuk itu sasarannya menjadi heterogen. Namun, tetap disadari bahwa ada hasil yang perlu diketahui publik tertentu, tetapi ada juga hasil yang perlu diketahui publik secara luas (masyarakat pada umumnya); Upaya penempatan hasil (produk) dalam arena persaingan wacana yang sedang berkembang, baik di dalam Depag maupun di tengahtengah masyarakat yang heterogen. Singkatnya, untuk masing-masing segmen yang menjadi target atau menjadi pilihan sasaran, maka Itjen perlu memposisikan dirinya sebaikbaiknya sehingga publik yang menjadi sasaran dapat teryakinkan bahwa apa yang ditawarkan berbeda (lebih baik) dengan tawaran serupa dari pihak/ publik/pesaing lainnya. Kini, secara umum diketahui posisi Itjen Depag berada pada tempat yang kurang menguntungkan. Seperti telah disebutkan, Itjen terkesan dimarjinalkan. Mereka yang dimutasi ke unit ini merasa ‘dibuang’ dari tempat yang layak.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
47
AMO Anggaran yang diberikan pada Itjen lebih kecil dibandingkan dengan direktorat lainnya. Lalu, hasil inspeksi dinilai hanya berkaitan dengan pejabat-pejabat ‘kelas teri’, sehingga dipandang sebelah mata, bahkan dimentahkan oleh pejabat yang lebih tinggi. Demikianlah posisi Itjen dan produkproduk Itjen Depag saat ini di benak publik. Posisi ini tentu tidak menguntungkan. Posisi ini harus dibalik; harus dilakukan repositioning. Repositioning Schiffman dan Kanuk (2004: 182) mengemukakan, sebaik apapun posisi produk, para pemasar didesak untuk memposisikan-ulang produknya sebagai tanggapan atas kejadian-kejadian di arena, seperti penggunaan merek yang hampir sama atau banyaknya pesaing yang menggunakan atribut yang hampir sama. Misalnya, daripada mencoba menurunkan harga dalam kompetisi produk berkualitas tinggi, para pemasar merek terkenal malah mereposisi merek dengan harga yang lebih tinggi. Reposisi dapat juga ditempuh dengan berorientasi pada perubahan preferensi konsumen. Jika kesukaan konsumen berubah dari ‘lebih suka diet’ ke ‘lebih suka kesehatan’, maka produk ditempatkan sebagai produk yang memperhatikan kesehatan konsumen, ketimbang sekadar diet. Uraian di atas memperlihatkan, melakukan repositioning dapat berarti memulai proses manajemen pemasaran dari awal. Dengan kata lain, untuk melakukan repositioning, maka langkah awalnya adalah riset yang hasilnya akan
digunakan untuk menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai. Riset ini berkaitan dengan positioning Itjen Depag secara lebih empiris, sehingga diperoleh data yang berkaitan dengan produk (barang, jasa, ide) yang dihasilkan Itjen, segmentasi publik yang berkaitan dengan produk Itjen Depag, sasaran publik yang paling utama dari kinerja Itjen Depag, dan terakhir harapan publik berkaitan dengan aspek manajerial dan sosial Itjen Depag yang akan dijadikan sebagai acuan mereposisi Itjen Depag dalam benak publik target. Acuan tersebut dapat berupa peta persepsi (perceptual mapping). Cara serupa dapat dilakukan oleh Itjen Depag, ketika berhadapan dengan publik yang memiliki berbagai persepsi. Langkah pertama adalah mengindetifikasi publik. Kedua, mengidentifikasi persepsi yang dimiliki tiap publik. Ketiga, mengelompokkan (clustering) publik berdasarkan kesamaan persepsi mereka satu sama lain. Keempat, memetakan tiap cluster persepsi. Kelima, menyiapkan reposisi yang tepat untuk setiap kluster persepsi. Dengan peta perseptual yang lebih akurat, kita dapat menentukan langkah reposisi yang lebih tepat terhadap kelompok publik tertentu. Langkah ini berkaitan dengan strategi komunikasi: bagaimana kita mengemas bahasa verbal dan non-verbal ketika menyampaikan “produk” Itjen Depag kepada publik. Rancangan strategi komunikasinya mencakup hal-hal berikut: (1)Broad objective reposisi Itjen Depag: Menyelamatkan citra Depag dan membangun
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
48
AMO sinergi antar-unit Depag Secara kuantitatif, terjadi peningkatan persentase publik yang memiliki citra positif Itjen Depag. (2)Repositioning lembaga: Itjen Depag merupakan pemelihara quality control dan quality assurance bagi terwujudnya nilai-nilai agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (3)Repositioniong statement: Dengan audit yang profesional, nilai-nilai agama yang menjadi landasan moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini akan tetap terjaga. (4)Branding: “Profesionalisme Itjen Depag Sepanjang Masa”. (5)Symbolic packaging: Profesionalisme Itjen merupakan “Malaikat Penjaga”. (6)Support: Unit-unit kerja di lingkungan Dep. Agama, instansi terkait, dan bersama unsur masyarakat adalah fasilitator bagi terciptanya masyakarat beragama. (7)Tujuan khusus: Meningkatkan kepedulian pengambil keputusan di berbagai tingkat pemerintahan untuk mewujudkan nilai-nilai agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Memantapkan komitmen menyelamatkan citra Depag dan membangun sinergi antarunit Depag. (8)Sasaran:mencakup berbagai segmen publik dan masyarakat, yaitu: a.Masyarakat umum, dari berbagai golongan agama. b.Tokoh masyarakat, tokoh agama/adat, dan LSM. c.Penentu kebijakan, perencana dan pelaksana program, yang terdiri
atas: Sektor-sektor terkait, Kepala Daerah/wilayah, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, Unsur pemerintah daerah (Bapeda, Kepala Dinas terkait propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa), dan Pelaksana teknis program provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Secara demografis, sasarannya tidak hanya masyarakat pedesaan, tetapi juga perkotaan (seluruh unit kerja Dep. Agama yang tersebar di seluruh Indonesia). Karena reposisi berkaitan dengan persepsi, maka langkah-langkah yang dilakukan tidak hanya melalui komunikasi verbal, tetapi juga didukung dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada pembentukan persepsi yang dikehendaki Itjen Depag, khususnya, dan bangsa umumnya.Tindakan yang paling relevan tentu saja berkaitan dengan tugas pokok Itjen Depag, yaitu melakukan pemeriksaan/audit yang hasilnya bermanfaat bagi Depag khususnya, dan bagi bangsa dan negara umumnya. Dengan demikian, visi Itjen Depag sebagai pemelihara quality control dan quality assurance bagi terwujudnya nilai-nilai agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan hanya mimpi. Lebih dari itu, visi tersebut akan membumi tidak hanya di dalam tubuh Itjen, tetapi juga di dalam Departemen Agama dan di tengah-tengah masyarakat. Alhasil, citra Depag yang positif dan sinergi antar-unit Depag terlaksana sepanjang masa.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
49
AMO
25 TIPS UNTUK MANAJEMEN LEMBAGA PENGAWASAN Oleh Mohamad Ali Irfan, SE, MM. Pada dekade kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono Jusuf Kalla telah dicanangkan pemberantasan korupsi. Kemudian disikapi dengan upaya pembentukan lembaga pemberantasan korupsi yang mampu melakukan tindakan hukum secara langsung terhadap mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, yaitu dengan mengeluarkan Keppres No. 11/2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Keberadaan Timtas Tipikor untuk melakukan pemberantasan korupsi tidak akan mampu jika tidak ditunjang keberadaan lembaga lainnya yang berada pada internal kepemerintahan, khususnya lembaga pengawasan yang ada dalam internal masing-masing departemen, misal lembaga pengawasan internal yaitu Inspektorat Jenderal. Untuk mengimbangi tugastugas Timtas Tipikor dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, diperlukan adanya penataan-penataan manajemen, yang dimaksudkan pelaksanaan tugas lembaga pengawasan bisa terwujud dan tidak menjadi lembaga ‘underdog’ yang hanya bisa melihat penyimpangan tanpa bisa berbuat untuk menyelamatkan kekayaan negara, sehingga dalam mendukung program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh banyak pihak.
Penataan manajemen lembaga pengawasan khususnya di Inspektorat Jenderal sedikitnya dibutuhkan 25 tips manajemen dalam rangka mewujudkan lembaga Itjen yang memiliki wibawa dan integritas, yaitu: Pertama, gensi pemisahan DIPA unsur administrasitif (c.q. sekretariat) dan unsur teknis (c.q. Inspektur), agar tidak adanya tumpang tindih kepentingan sehingga meninggalkan nilai tugas dan fungsi. Kedua, perlu adanya tenaga tata usaha pada setiap unsur teknis (inspektur) untuk membantu mempersiapkan laporan-laporan, angka kredit, penataan kearsipan dan tugas-tugs lainnya. Ketiga, perlu adanya penyatuan/ sinergi tugas antara unsur administrasi (sekretariat) dan unsur teknis (auditor) dalam melaksanakan tugas, agar tidak adanya tumpang tindih dalam tugas ke daerah yang berakibat pembebanan terhadap uditan. Kempat, program koordinasi tindak lanjut (KTL) sebaiknya melibatkan seluruh auditor yang paling mengerti permasalahan hasil audit dilapangan. Kelima, pembahasan perencanaan DIPA sebaiknya dibahas terlebih dahulu pada tingkat masing-masing Inspektur, agar anggaran untuk setiap kegiatan di masing-masing wilayah memiliki MAK dan PAGU, kemudian dibahas pada pembahasan kompilasi anggaran ditingkat pusat, serta melibatkan auditor
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
50
AMO yang lebih memahami bahasa dan nilai anggaran DIPA. Keenam, diperlukan adanya otonomi pengelolaan keuangan pada masing-masing Inspektur, sehingga setiap Inspektur memiliki kemampuan berinovasi untuk merealisasikan anggaran yang dikelolanya demi peningkatan mutu auditor dan jenjang jabatannya. Sedangkan untuk sekretariat bertugas memfasilitasi bidang pendekatan lintas sektoral besaran budgetting DIPA dan pengaturan realisasi keuangan pada sektor anggaran sekretariat, serta membuat rekapitulasi pertanggungjawaban anggaran masing-masing Inspektur sehingga tidak berkesan adanya dikotomi manajemen keuangan pada satu Instansi. Ketujuh, adanya rutinitas konsultasi sekretariat dengan Inspektur yang mewilayahi daerah auditnya. Berkaitan dengan segala kegiatan yang menyangkut dengan realisasi anggaran DIPA setiap triwulan agar ketika agenda proses audit rutin pada sekretariat Itjen tidak lagi ditemukan pelanggaran peraturan yang berakibat tidak kondusifhya hubungan sekretariat dengan auditor pada setiap wilayah, serta menjadikan Inspektorat Jenderal sebagai lembaga yang bisa menjadi panutan unit lainnya terhadap ketaatan menjalankan peraturan yang berlaku. Kedelapan, adanya peningkatan hari audit khusus sesuai dengan besaran permasalahan audit khusus dan medan daerah yang sulit ditempuh sebagaimana departemen atau lembaga audit yang lainnya. Kesembilan, diperlukan adanya lembaga kode etik (Dewan Pertimbangan Auditor) di Inspektorat Jenderal untuk menangani perilaku auditor yang
menyimpang, yang beranggota seluruh Inspektur dan Sekretaris yang diketuai oleh Irjen. Kesepuluh diperlukan adanya penyediaan sarana komputer laptop untuk tugas audit di daerah minimal 1 tim 2 unit komputer laptop untuk memudahkan proses laporan audit di daerah. Ke-11, diperlukan adanya agenda rutin work shop untuk para auditor bekerjasama dengan lintas sektoral seperti Depkeu, Dep. PU, BPKP, BPK dan Kejaksaan serta kepolisian berkaitan dengan peningkatan ketrampilan ilmu audit dan investigasi para auditor agar lebih profesional. Ke-12, segera memfungsikan peran-peran jabatan auditor, anggota tim, ketua tim, pengendali teknis dan pengendali mutu. Ke-13, diperlukan adanya rewads bagi yang berprestasi dan punishment yang melanggar kode etik terhadap auditor dan ketua kelompok. Ke-14, dalam penilaian angka kredit tidak perlu adanya pengurangan dan pembatasan tahun audit selama penilaian tersebut masih bersifat internal sehingga tidak mempersulit auditor dalam memperoleh hak-haknya saat kenaikan golongannya, sehingga auditor yang telah berjuang dengan jerih payahnya di daerah merasa dihargai. Ke-15, diperlukan adanya pembahasan hasil, berupa review meeting audit rutin maupun khusus di masingmasing wilayah, dan dilanjutkan di tingkat Inspektorat Jenderal. Ke-16, diperlukan adanya pengaktifan unit yang menangani perundangundangan untuk mencari secara proaktif peraturan-peraturan yang baru untuk bahan auditor ketika sedang melaksanakan tugas di daerah.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
51
AMO Ke-17, diperlukan adanya sarana komputer yang memadai pada masingmasing wilayah sesuai dengan perbandingan jumlah komputer, untuk menunjang tugas auditor di ruang wilayah. Ke-18, diperlukan adanya pembahasan PKPT bersama-sama auditor agar adanya pemerataan dan keadilan. Ke-19, diperlukan adanya pergantian secara rutin tugas masing-masing ketua tim ketika sedang bertugas, karena jabatan Korpok bukanlah jabatan struktural baku tetapi sama-sama sebagai auditor yang memiliki hak dan wewenang yang sama dengan yang lainnya. Ke-20, adanya kebebasan auditor untuk menulis naskah di majalah Fokus Pengawasan, karena majalah Fokus Pengawasan sebagai sarana mendapatkan angka kredit bagi para auditor. Oleh karena itu peran aktif auditor dalam menulis naskah sangat dituntut sehingga penerbitan Fokus Pengawasan dapat diisi oleh tulisan yang berarti dan bermanfaat bagi pengembangan SDM Itjen. Ke-21, diperlukan adanya tatap muka secara rutin dari Irjen dengan auditor pada masing-masing wilayah untuk pembahasan segala permasalah-
an hasil audit dan inovasi-inovasi yang bersifat konstruktif lembaga. Ke-22, diperlukan adanya pembakuan koordinasi dengan pihak kejaksaan dan kepolisian terhadap mega kasus korupsi yang ada ditubuh masingmasing departemen, untuk menjaga wibawa Inspektorat Jenderal di mata auditan yang nakal. Ke-23, diperlukannya kunjungan rutin (6 bulan sekali) Menteri Agama pada Inspektorat Jenderal dengan seluruh para auditor bukan dengan sekretariat untuk mengetahui secara jelas kinerja pegawainya yang ada di seluruh Indonesia. Ke-24, diperlukan adanya pembuatan software daftar hitam (black list) terhadap pejabat-pejabat yang pernah bermasalah dan sedang bermasalah sebagai saran pertimbangan pengangkatan setiap pejabat diseluruh Indonesia, untuk menciptakan departemen yang bersih dan berwibawa. Ke-25, adanya keseimbangan dana tugas antara dana untuk tugas auditor dengan tugas sekretariat melihat skala perbandingan jumlah auditor dengan jumlah pejabat struktural tidak didasarkan prosentase dana, agar tugas pokok dan fungsi Itjen bisa ditegakkan.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
52
T eknologi Informasi Teknologi
BRONTOK REMOVING DAN FILE UNHIDE Oleh Iing M.
Genap sembilan bulan sejak pertama kali terdeteksi yaitu pada tanggal 12 Oktober 2005 (Virus Definitions LiveUpdate™ Plus), virus Brontok atau Rontokbro telah berevolusi menjadi beberapa varian yang semakin merusak (terakhir penulis menemukan WORM_RONTOKBRO.H di beberapa komputer Irwil). Berbagai forum dan mailing list di internet tak henti-hentinya membahas kecerdasan dan ulah virus/worm ini. Kalau boleh, kita patut berbangga karena ternyata Brontok ini 100% asli “Made in Indonesia”. Selain itu, Brontok berhasil mendobrak tradisi virus lokal yang hanya menginveksi/menyebarkan dirinya melalui UFD (USB Flash Disk). Brontok mempunyai kemampuan rekayasa sosial yang tinggi melalui mass mailing (email massal) sehingga dapat menyebar ke seluruh dunia (Brontok berusaha menyerang situs israel.gov.il dan playboy.com dengan membanjirinya dengan ping). Sementara untuk penyebaran tingkat lokal cukup diserahkan ke UFD atau disket. Lalu kenapa pembuat virus ini memilih nama Brontok/Rontokbro? Menurut Vaksin.Com, ternyata Brontok merupakan sejenis burung elang khas Indonesia yang mempunyai ciri-ciri morfologi yang tidak dimiliki oleh jenis elang lainnya. Elang Brontok yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Spizaetus
Cirrhatus merupakan burung elang yang terancam punah dan dilindungi. Brontok mempunyai kemampuan memalsukan icon dirinya sebagai file atau folder (dengan ekstensi application) tidak berdosa, melakukan bloking akses Registry Editor, dan melakukan restart komputer jika menemukan kata tertentu pada header browser atau ketika menjalankan program anti virus. Selain itu Brontok akan menggandakan setiap folder yang telah terinveksi dengan ekstensi application sehingga komputer menjadi lambat/down. Dalam jaringan internet, Brontok akan melumpuhkan website jika komputer yang telah terinfeksi mencapai 10.000 unit. Kemudian bagaimana cara membersihkan dan memperbaiki sistem yang sudah diacak-acak brontok? Penulis akan membahas cara paling mudah dan ampuh yang dapat dilakukan oleh semua orang yang mempunyai kemampuan dasar komputer. Sebelum melakukan pembersihan, Anda harus mempunyai antivirus yang memadai (penulis merekomendasikan Antivir yang dapat diunduh/download di www.free-av.com) dan tool Hijack This dari www.spaywareinfo.com/~merijn/ download.html . Sebelum menginstal anti virus, pastikan komuputer dalam keadaan safe mode karena jika installing dilakukan dalam normal mode dipastikan komputer akan restart
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
53
T eknologi Informasi Teknologi sendiri. Kemudian lakukan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Pindai/scan komputer dalam keadaan safe mode 2. Untuk mengaktifkan registry editor gunakan tools HijackThis, cari option HKCU\Software\Microsoft\ Windows\CurrentVersion\Policies, DisableRegedit=, kemudian klik [Fix checked]. 3. Masih menggunakan HijackThis, cari registry • Bron-Spizaetus •
•
HKEY_LOCAL_MACHINE\SOFTWARE\ Microsoft\Windows\CurrentVersion\Run Tok-Cirrhatus HKEY_CURRENT_ USER\So ftware\Microsoft\Windows\Current Version\Run Disable CMD=0 HKEY_CURRENT_USER\Software\ Microsoft\Windows\CurrentVersion\ Policies\System
Kemudian klik [Fix Checked] 4. Jalankan registry editor/regedit melalui start/run/ketik “regedit” tekan enter, kemudian hapus string registry: NoFolderOptions=dword:0000001 pada registry key KEY_CURRENT_USER\Software\Microsoft\ CurrentVersion\Policies\Explorer.
5. Hapus opsi pada menu [Startup] pada msconfig (jika menggunakan Norman Virus Control, sedangkan jika menggunakan Antivir cukup sampai langkah ke 4). • NorBtok • Smss • Empty 6. Hapus Schedule Task yang dibuat oleh W32/RontokBro
• Buka [Windows Explorer] • Klik [Control Panel] • Klik 2 kali [Schedule Tasks] 7. Restart komputer dan kembali ke normal mode. Demikian langkah-langkah pembersihan Brontok yang paling mudah dilakukan. Untuk pencegahan, lakukan update anti virus minimal sebulan sekali, kemudian pastikan setiap flash disk dan disket discan terlebih dahulu sebelum membukan file/data, dan yang paling penting batasi pertukaran data yang tidak perlu untuk meminimalisasi masuknya varian baru brontok yang mungkin tidak terdeteksi oleh anti virus. Selain Brontok, akhir-akhir ini juga ditemukan virus lokal yang dapat menghapus atau menyembunyikan file. Biasanya virus tersebut menginveksi melalui Flashdisk yang menyimpan file dari daerah. Virus ini tidak terlalu ganas, semua antivirus dapat mendeteksi dan me-remove-nya. Namun biarpun mudah di-remove, virus ini mampu menghilangkan atau meng-hide file yang telah terinveksi sehingga sangat mengganggu atau menghambat pekerjaan. Sebenarnya virus tersebut tidak menghilangkan atau menghapus sama sekali file yang diinveksinya, dia hanya menyembunyikan/hide dan merubah file tipe menjadi operating system file atau hidden file. Perlu diketahui bahwa dalam sistem keamanan komputer terdapat beberapa setingan yang dapat menyembunyikan ekstensi dan tipe file tertentu sehingga tidak tampak di layar. Ketika suatu virus menginveksi file, misalnya Microsoft word document yang paling umum dipakai, maka virus
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
54
T eknologi Informasi Teknologi tersebut akan mengubah tipe file dan ekstensinya menjadi operating system file atau hidden file maka otomatis file tersebut tidak tampak di layar. Untuk memunculkan/unhide file tersebut, berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan: 1. Pindai/Scan flash disk atau disket yang telah terinveksi, pastikan sudah bersih dari virus. 2. Buka Windows Explorer 3. Pada menu bar buka Tools, pilih Folder Option 4. Klik View lalu cari menu check list Hidden Files and Folders 5. Rubah check list Do not show hidden files and folders menjadi Show hidden files and folders 6. Hilangkan check list Hide extentions for known file types dan Hide protected operating system files (recomanded) setelah itu akan muncul window peringatan/warning dengan kalimat: “You have chosen to display protected operating system files (files labeled System and Hidden)
in Windows Explorer. These files are required to start and run Windows. Deleting or editing them can make your computer inoperable. Are you sure you want to display these files? Lalu tekan Yes. 7. Setelah langkah keenam selesai, file yang disembunyakan akan kembali terlihat tapi masih dalam tipe operating system files. Untuk merubahnya menjadi file Microsoft Word Document, buka file tersebut kemudian Safe as dan rubah nama filenya misalnya “itjend” menjadi “itjend2”. Lakukan langkah ini untuk file-file yang lainnya. 8. Hapus atau delete file yang disembunyikan 9. Kembalikan setingan folder option view dengan men-check list Do not show hidden files and folders, Hide extentions for known file types, dan Hide protected operating system files. Dengan demikian file yang dianggap hilang telah kembali ditemukan.
Contoh file yang kena ‘brontok’.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
55
Renungan
MENJADIKAN ITJEN LAKSANA AIR UNTUK BERSUCI Oleh Nurman Kholis Inspektur Jenderal (Irjen) Depag RI, Prof. Dr. H. A. Qodri A. Azizy, MA., dalam beberapa kesempatan menyatakan agar seluruh pimpinan dan staf Inspektorat Jenderal (Itjen) Depag memiliki positive thinking/husnudhon (berprasangka baik) kepada Allah. Irjen juga mengingatkan agar kita menyampaikan perkataan yang baik termasuk ke dalam diri kita. Sebab, bila kita menyampaikan kata-kata yang buruk seperti yang bersifat pesimistis maka akan menjadi kenyataan. Hal ini seperti dengan mendefinisikan diri kita “tidak akan maju”, “selalu merasa kurang (dalam materi)” dan kata-kata pesimistis lainnya. Kita pun akhirnya akan menjadi orang sebagaimana yang telah kita katakan. Tidak maju dan selalu merasa kurang akibat prasangka buruk tersebut sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa Allah berfirman: “Ana ‘inda dhonni ‘abdi bi (Aku sebagaimana prasangka hambaKu kepada-Ku) (HR. Bukhori & Muslim). Irjen pun menambahkan tidak hanya manusia saja yang dapat menerima kata-kata yang baik maupun yang buruk. Bahkan, air pun dapat menerima dan merasakan pengaruh dari kedua kata-kata yang berlawanan ini. Pernyataan tersebut Irjen kutip dari hasil penelitian Masaru Emoto yang dikemas dalam buku “The True Power of Water”. Irjen menjelaskan bahwa ilmuwan dari Jepang ini telah membuat percobaan terhadap dua buah botol yang berisi air. Botol pertama diberi kata “terima kasih”
dan botol kedua diberi kata “kamu bodoh”. Hasil pengambilan gambar dengan mikroskop menunjukkan struktur kristal air yang diberi kata “terima kasih” menggambarkan kristal es yang indah sedangkan air yang diberi kata “kamu bodoh” menggambarkan struktur kristal es yang hancur berantakan dan tidak jelas bentuknya (lihat gambar pada hal. 59). Irjen menambahkan uji coba ini juga pernah dilakukan kepada dua buah nasi yang dimasukkan ke dalam dua buah botol dan keduanya diberi kata yang sama. Hasilnya nasi dalam botol bertuliskan “terima kasih” beberapa waktu kemudian menjadi berwarna kuning yang indah sedangkan dalam botol bertuliskan “kamu bodoh” menjadi busuk dan berwarna hitam. Penjelasan Irjen ini merupakan hikmah bagi seluruh jajaran Itjen agar tidak hanya dapat berpikir cerdas dan bekerja keras namun juga ber-husnudhon kepada Allah untuk kesuksesan Itjen. Salah satu kesuksesan yang mesti diraih tersebut adalah menjadikan citra Itjen sebagai lembaga “yang dibutuhkan” oleh seluruh unit organisasi di Depag laksana air yang dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup. Kegunaan air salah satunya adalah zat yang dapat membersihkan kotoran dari tubuh. Bila dianalogikan dengan keberadaan Itjen, maka seluruh unit organisasi di Depag mesti diupayakan merasa butuh dengan keberadaan Itjen. Bila sudah merasa butuh, seluruh unit organisasi tersebut juga diupayakan menyadari “temuan”
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
56
Renungan (kondisi yang tidak sesuai dengan kriteria) yang dilakukan oleh Itjen dan mau menindaklanjuti temuan tersebut. Selain mengupayakan agar seluruh unit organisasi di Depag merasa butuh dengan Itjen, maka Itjen sendiri yang keberadaannya laksana air juga dituntut untuk menjadi “air bersih”. Bahkan, tidak hanya bersih untuk Itjen juga dapat membersihkan yang lainnya (unit-unit organisasi di Depag) sebagaimana air yang digunakan untuk bersuci: wudlu, mandi, dan sebagainya. Hikmah yang lain dari penciptaan air ini juga dapat diambil dengan mengetahui kriteria air yang dapat dan tidak dapat digunakan untuk bersuci. Hal ini seperti dijelaskan Abu Syuja’ Ahmad bin Husen bin Ahmad Al Ashfihani dalam kitab Fathul Qorib. Beliau membagi air ke dalam empat kriteria, yaitu: (1)air yang suci pada dirinya dan dapat mensucikan yang lainnya serta tidak makruh dalam pemakaiannya; yaitu air mutlak (air murni); (2)air yang suci pada dirinya dan dapat mensucikan yang lainnya namun makruh pemakaiannya yaitu air yang dijemur di terik matahari; (3)air suci pada dirinya namun tidak dapat mensucikan yang lainnya, yaitu air yang bekas dipakai (untuk berwudlu atau mencuci najis) dan air yang berubah sebab bercampur dengan benda suci lainnya (seperti: teh, kopi, sirop dsb); dan (4)air najis, yaitu air yang kemasukkan najis serta air itu kurang dari 2 qulah (sekitar 216 liter; atau keadaannya 2 qulah tetapi berubah oleh najis). Oleh karena itu, menjadi Itjen yang bersih dan dapat membersihkan seluruh unit organisasi Departemen Agama merupakan salah satu tekad yang mesti dimiliki oleh jajaran Itjen. Namun, dalam pembersihan ini dituntut untuk dilakukan
dengan “kepala dingin” hingga terasa menyejukkan bagi unit-unit organisasi tersebut. Sebab, bila dilakukan dengan “kepala panas” maka akan terasa menyakitkan sebagaimana berwudlu dengan air panas yang terjemur oleh sinar matahari. Bila pada Itjen sendiri masih ada yang belum bersih, maka seluruh komponen Itjen mesti diberdayakan untuk tawashou bil haqqi watawashou bisshobri (saling menasehati untuk tetap dalam kebenaran dan saling menasehati untuk tetap dalam keadaan sabar) hingga Itjen dapat benar-benar bersih. Hal ini sebagaimana air yang semula ada najisnya namun ke dalam air ini kemudian dialiri air yang suci yang membuat zat-zat najisnya lenyap hingga air tersebut dapat digunakan untuk bersuci. Berkenaan dengan penciptaan air yang mesti diambil hikmahnya oleh manusia, Allah berfirman: “Allah menurunkan bagi kamu sekalian dari langit air untuk membersihkan kamu sekalian” (Al Anfal: 11). Rasulullah saw juga menyatakan tentang kriteria air yang dapat dan tidak dapat digunakan untuk bersuci. Beliau bersabda: “Air itu mensucikan, kecuali kalau berubah baunya, rasanya, atau rupanya oleh najis yang kena padanya” (HR. Baihaqi) dan “Bila air itu ada 2 qullah maka tidak membawa najis” (HR. Arba’ah dan Hakim). Profil Itjen Depag Hikmah dari filosofi penciptaan air tersebut bagi Itjen salah satunya dapat diterapkan dengan melihat buku “Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama”. Buku ini akan diedarkan pertama kali pada acara “Workshop Pengawasan dengan Pendekatan Agama” yang berlangsung pada tanggal 9-10 Agustus 2006. Pada jilid pembuka bagian bela-
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
57
Renungan kang buku ini dicantumkan firman Allah: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (Q.S. Al Fajr:14). Pada halaman-halaman selanjutnya, profil ini berisi sejarah dan perkembangan Itjen, tugas dan fungsi, visi dan misi, kebijakan pengawasan, pelaksanaan kegiatan pengawasan, jangkauan sasaran pengawasan, dan sumber daya manusia. Buku profil ini juga mengutip katakata mutiara yang sering disampaikan Irjen, yaitu: “Membersihkan jalan yang kotor harus dengan sapu yang bersih”, Don’t delay till tomorrow what can you do today” (Jangan menunda ke hari esok, apa yang bisa kamu lakukan hari ini), dan “Al haqqu bila nidham sayaghlibu al bathil bi al nidham” (kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebathilan yang teroganisir). Di samping itu, juga dikutip langkahlangkah Irjen ke depan, salah satunya adalah “Memberi andil untuk mampu menjadikan Depag sebagai departemen yang menjadi contoh”. Beberapa lembar sebelum jilid penutup, teori terjadinya korupsi dan upaya menanggulanginya yang dirumuskan Irjen juga dikutip oleh tim penyusun. Rumusan teori dan pencegahan tersebut sebagai berikut: K=N+K KORUPSI=NIAT PLUS KESEMPATAN KESEMPATAN DAPAT DIMINIMALKAN DENGAN KONTROL (K) K=N+K-K K=N NIAT DAPAT DIMINIMALKAN DENGAN AGAMA (PPA) K=N-PPA/IKHLAS BERAMAL K=...? MESTINYA, DEPAG: K=0
Berdasarkan penjelasan tersebut, penyusunan buku profil Itjen yang dikemas dengan luks ini bukan sekadar untuk memperkenalkan Itjen. Namun, juga sebagai salah satu pernyataan tekad Itjen untuk menjadi lembaga yang mampu membersihkan Departemen Agama dari hal-hal yang kotor seperti korupsi dan penyimpangan lainnya. Dari upaya Itjen ini ada sebuah harapan semoga saran Itjen kepada auditan laksana air yang dido’akan oleh orang-orang sholih yang diberi kekuatan oleh Allah hingga membuat hati orangorang yang minum air tersebut bersih dan jiwanya terasa sejuk. Pada perkembangan selanjutnya, mereka pun dapat membersihkan dan menyejukkan suasana di manapun mereka berada. Hal ini seperti terjadi di Nusantara yang terdiri dari berbagai suku dan pulau yang berpotensi terhadap terjadinya berbagai konflik. Salah satu konflik ini pernah terjadi antara Majapahit (Jawa) dengan Pajajaran (Sunda) yang mengakibatkan Perang Bubat dan permusuhan yang berkepanjangan antara dua suku dalam satu pulau ini. Namun, berkat kehadiran orang-orang sholih, konflik ini dapat dihentikan atas prinsip yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada-Nya, bukan karena berasal dari suku tertentu. Keberhasilan orangorang sholih ini kemudian menjadi inspirasi para pendiri Depag dengan menjadikan nama-nama atau kelompok diantara mereka sebagai nama perguruan tinggi di lingkungan Depag, yaitu “Walisongo”, “Syarif Hidayatullah”, “Sunan Gunung Jati”, “Sunan Kalijaga”, “Sunan Ampel”, dan sebagainya. Kiprah para wali yang laksana air untuk bersuci ini memang patut diteladani. Sebab, mereka selanjutnya ber-
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
58
Renungan hasil membawa ajaran Islam yang damai dan tidak memaksakan kepada para penduduk Nusantara yang tidak mau memeluk Islam. Namun, sikap para wali tersebut justru menjadikan Nusantara mayoritas penduduknya memeluk Islam dan hingga saat ini terbesar di dunia meskipun letaknya sangat jauh dari Arab. Para wali yang mendirikan pesantren-pesantren hingga pelosok Nusantara ini juga menurunkan tradisi pembacaan do’a dan ayat Al Quran yang ditiupkan ke dalam air. Tradisi tersebut hingga sekarang masih dipertahankan sebagian ulama di Nusantara, termasuk Malaysia. Oleh karena itu, dalam e-mail
[email protected] diinformasikan seminar tentang air di Malaysia. Dalam seminar ini, Masaru Emoto menunjukkan salah satu sampel air yang sangat indah berbentuk seperti berlian yang bersinar dalam 12 warna. Ia kemudian bertanya kepada peserta seminar tentang air yang indah tersebut. Seorang dosen dari Universiti Malaya menjawab, “Saya rasa itu adalah sampel air zam-zam”. Masaru Emoto pun menimpalinya, “Saya tidak tahu betul apakah air zam-zam itu mulia, tapi memang betul ini air zam-zam”. Selanjutnya salah seorang ulama membaca Al Fati-
hah, Solawat dan ayat kursi kepada air tersebut. Kemudian nampaklah molekul air seperti berlian dan berkilau-kilau. Ulama ini kemudian berkata, “Jika menginginkan air menjadi manis maka masukanlah gula, jika ingin berwarna maka masukanlah pewarna dan jika ingin air itu mulia maka masukanlah ayat-ayat mulia kepadanya”. Berkenaan dengan keistimewaan air zam-zam ini, 14 abad silam Rasulullah SAW bersabda: “Air zam-zam akan melaksanakan pesan dan niat yang meminumnya” (HR Abu Daud & Ibnu Majah). Sebagian ulama pun berijtihad agar mereka yang tidak dapat pergi ke Tanah suci juga mendapat “air berkah” yang lain. Salah satunya dengan mengadakan malam “nishfu sya’ban” di masjid. Pada acara ini dibacakan surat Yasin sebanyak 3 kali. Di tengah-tengah masjid dikumpulkan sekian botol air yang dibawa jamaah untuk diminum setelah acara ini selesai. Semoga Allah SWT menjadikan Itjen Depag laksana air suci dan dapat mensucikan seluruh unit organisasi di Depag serta yang lainnya hingga Nusantara kembali bersih dari korupsi dan terasa sejuk dari panasnya kemunkaran manusia dan kemurkaan alam. Amin.
“TERIMA KASIH”
“KAMU BODOH”
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
59
Hikmah
SEDEKAH Oleh Miftahul Huda Negara ini memang sangat ironi, saat 60 juta masyarakat mengalami kemiskinan, sebagian warga ternyata menghamburhamburkan kekayaan hartanya hanya untuk memenuhi kepuasan diri sendiri. Hal ini terbukti dengan penderitaan kelaparan yang terjadi di Yahukimo, Papua, sedangkan orang-orang yang tinggal di perumahan elit sedang duduk asyik menikmati kekayaanya. Bukti lain, di Singapura yang terkenal dengan pusat modenya Asia, pada bulan juni 2005 mencatat bahwa sebagian besar orang yang belanja kesana adalah orang Indonesia dengan jumlah nilai belanja lebih dari 1 trilyun. Jumlah nilai belanja ini mengalahkan orangorang Amerika dan Eropa. Hal itu membuktikan bahwa nilai kebersamaan dan kedermawanan bangsa ini masih jauh dari harapan. Sedekah merupakan bentuk cinta kasih sayang kepada sesama dan bentuk manifestasi syukur akan nikmat yang telah diterima dari sang Pencipta. Sedekah adalah membelanjakan harta dalam hal-hal yang dipuji oleh syariat Islam. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa Sedekah adalah tengahtengah antara “menghambur-hamburkan harta dan pelit”; antara membuka tangan dan menggenggamnya. Antara membelanjakan harta dan menahannya (menabung) hendaknya diperkirakan menurut ukuran kewajiban. Hal itu tidak cukup dilakukan dengan anggota badan saja selama hatinya tak senang dan menentang terhadap perbuatannya. Sabda Rasulullah saw dalam hadits riwayat Ibnu Abbas ra: “Menyingkirlah kamu sekalian dari dosa orang yang sedekah karena sesungguhnya Allah akan membimbing tangannya setiap kali dia jatuh”. Sahabat Ibnu Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullalh saw bersabda: “Rezeki kepada orang yang memberi makan adalah jauh le-
bih cepat dari pada kecepatan pisau memotong punuk (daging yang menonjol ke atas pada punggung) unta dan sesungguhnya Allah Ta’ala membanggakan orang yang memberi makan kepada para malaikat. Berhubungan dengan sedekah ini sebagian ulama berpendapat bahwa sesungguhnya dalam kitab suci yang empat (Al Qur’an, Injil, Taurat, Yabur) ada lafadh-lafadh yang sesuai. Keempat kitab tersebut pertama kali diturunkan dalam bahasa Arab, kemudian diterjemahkan oleh Nabi dengan bahasa kaumnya: (a)Dalam kitab Taurat disebutkan: “al karimu laa yudhoomu abadan” artinya orang yang Sedekah tidak akan ditimpa bahaya selamanya; (b)Dalam kitab lnjil disebutkan: “Al bakhilu ya’kulu amwalahul i’dak “Harta orang yang bakhil akan dimakan oleh musuhnya; (c)Dalam kitab Zabur disebutkan: “Al khasudu laa yasudu abadan” Orang yang hasud tidak akan bahagia selamanya; dan (d)Dalam al-Qur’an surat alA’rafayat 58 Allah swt berfirman: “...wallazdi khobusa laa yakhruju illa nakida”.. dan tanah yang tidak subur, tanamannya hanya tumbuh merana.” Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perintah untuk bersedakah sebenarnya telah ada sejak dulu, namun karena hawa nafsu manusia bersedakah ini sering dilupakan oleh sebagian orang. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Abdullah bin al-Mubarak bercerita, pada suatu waktu ia melakukan ibadah haji. Ia tidur di makam Nabi Ismail dan bermimpi melihat Rasululllah saw dan beliau bersabda kepadanya: “Jika engkau kembali ke Baghdad, masuklah ke tempat yang demikian dan demikian. Carilah pendeta Majusi dan sampaikan salamku kepadanya serta katakan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
60
Hikmah Ta’ala meridlainya.” Ia terbangun dan berkata: Lahaula wala quwwaata illa billahil ’aliyyil ’adhim (Tiada daya untuk menyingkir dan kemaksiatan dan tiada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.) dalam hatinya ia berkata “ini adalah mimpi dari syaithan.” Kemudian ia berwudlu, salat, dan melakukan thawaf, sampai mengantuk dan tertidur, lalu ia bermimpi lagi, sama dengan mimpi yang awal sampai tiga kali. Akhirnya setelah ia menyempurnakan ibadah haji dan pulang ke Baghdad, ia menanyakan tempat dan rumah yang disebutkan Nabi dalam mimpinya. Di tempat tersebut ia mendapatkan seorang tua, lalu terjadi dialog diatara kedua orang tersebut: Abdullah: Apakah Anda pendeta Majusi? Pendeta: Ya! Abdullah: Apakah Anda mempunyai kebaikan di sisi Allah? Pendeta: Ya, saya mempunyai empat orang anak perempuan dan empat orang anak laki-laki. Keempat orang anak perempuan saya, saya kawinkan dengan empat orang anak laki-laki saya! Abdullah: ltu haram! Apakah Anda mempunyai amal selain itu? Pendeta: Ya, saya membuat walimah untuk orang-orang Majusi pada saat saya mengawinkan anak-anak perempuan saya! Abdullah: Ini haram! Apakah Anda mempunyai amal selain itu? Pendeta: Ya, saya mempunyai seorang anak perempuan yang paling cantik, tak ada wanita lain yang menandingi kecantikannya; lalu aku kawini sendiri. Pada malam pertama aku mengumpulinya, aku mengadakan pesta perkawinan. Pada waktu itu orang Majusi yang hadir lebih dari 1.000 (seribu) orang. Abdullah: Ini juga haram! Apakah Anda mempunyai amal selain itu? Pendeta: Ya, pada malam aku menyetubuhi anak perempuanku, datang seorang wanita muslimat dan agama Tuan,
yang menggunakan obor (penerangan) dan lampu saya. Kemudian ia menyalakan lampu dan keluar. Perempuan tersebut memadamkan lampu dan kembali; lalu aku masuk. Perempuan itu melakukan hal tersebut tiga kali, sehingga aku bergumam: “Barangkali wanita ini adalah mata-mata dan pencuri!” Kemudian aku keluar mengikutinya. Tatkala ia masuk ke rumahmya dan menjumpai anak-anak perempuannya, mereka bertanya: “Wahai Ibu, apakah Ibu datang dengan membawa sesuatu bagi kami?, Sesungguhnya kami sudah tidak mampu dan sabar menahan lapar!”. Perempuan tersebut menangis dan berkata “Saya malu ke pada Tuhan untuk meminta kepada seseorang selain Dia; lebih-lebih kepada musuh Allah, yaitu orang Majusi!”. Setelah aku mendengar omongannya, aku pulang ke rumah dan mengambil sebuah talam, lalu aku penuhi dengan semua jenis makanan dan aku bawa sendiri ke rumahnya. Abdullah: Ini adalah suatu kebaikan dan Anda mendapat kabar gembira. Kemudian Abdullah bin al-Mubarak memberi kabar gembira kepadanya tentang mimpi pertemuannya dengan Rasulullah saw dan diceriterakan kepadanya isi mimpi tersebut. Setelah mendengar ceritera itu, Pendeta Majusi tersebut mengucapkan dua kalimah syahadat, kemudian dia jatuh tersungkur dan mati. Abdullah bin al-Mubarak memandikannya, mengkafani, melakukan salat janazah atasnya, dan menguburkannya. Ia berkata: “Wahai para hamba Allah, Iakukanlah perbuatan Sedekah kepada sesama makhluk Allah, karena kesedekahan itu dapat mengubah para musuh menjadi kekasih.” Dari riwayat ini kita dapat bercermin sejauhmana dan seberapa banyakkah kita telah bersedekah. Bersedekah harus kita lakukan walaupun hanya dengan memberikan sebiji kurma sebab dengan bersedekah dan disertai niat yang baik akan mendapatkan imbalan berlipat ganda dari Allah SWT.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
61
Relaksasi Saya Bukan Pelawak Pagi hari itu cerah tak berawan, Mba Yul seperti biasa sudah siap dengan tas ranselnya menuju stasiun menunggu kereta yang akan membawa ke kantornya. Dengan wajah berseri dan senyum simpul menghiasi ia berjalan menuju loket untuk membeli karcis sesuai tujuannya. “Pak, Tanah Abang satu”, katanya. Langsung saja keluar secarik kertas kecil dari loket itu. Setelah itu ia menuju peron dan segera duduk di bangku yang sudah tak jelas rupanya menunggu kereta yang segera datang. Lalu, tiba-tiba duduk di sebelahnya seorang lelaki setengah baya yang asyik dengan koran di tangannya. Tak lama, ia tersenyum-senyum sendiri dan tertawa kecil. Tak jelas apa yang membuat lelaki itu tertawa karena ia tidak sedang membawa koran, tapi tatap matanya jauh menerawang dan sesekali melirik ke arah Yul. Bukannya berhenti, ketawanya bertambah kencang ketika ia melihat ke arah Yul. Dengan “keki”-nya Yul berdiri dan bersuara lantang: “Pak, Saya bukan pelawak”. noens, tng Jangan ditungguin Tak kuasa Ujang menahan gejolak yang sedari tadi membuat perutnya tak karuan, sehingga dengan tergesa-gesa ia setengah berlari menuju “jamban” yang berada di belakang rumahnya. Pas di depan pintu ia berpapasan
dengan abahnya. Abahnya bertanya, “Mau kemana, Jang?”, “Ini Bah, udah ngga tahan mau ke belakang”, Jawab Ujang sambil tetap berlari. Setelah beberapa saat, ketika Ujang sedang asyiknya berhajat, terdengar suara abahnya memanggil, “Jang lagi ngapain?” Ujang menjawab, “Ya lagi buang hajat atuh abah”. “Ya udah jangan ditungguin terus, ditinggal aja atuh”, katanya. “Apanya yang ditinggal Abah”, tanya Ujang. Abahnya menjawab, “Masa gitu aja ngga ngerti!”, Ujang: ??? Yul, Sr. Sawah Lebih besar Seorang guru TKA di komplek TNI AD dengan sabarnya mengajarkan murid-muridnya membaca Iqro, dia ajarkan murid-muridnya satu persatu. Guru,”Ayo, Yogi sekarang giliran kamu membaca Iqro”Dengan riangnya Yogi menjawab, ”Asyik....giliran aku baca”. Ibu guru membaca lalu Yogi mengikutinya. Untuk mengetahui apakah Yogi sudah benar dalam membaca Iqro, Ibu guru itu menguji Yogi untuk mengulangi sendiri bacaan yang baru saja dibacanya, ternyata Yogi bisa. Sekarang giliran Erwin, sang jagoan di kelasnya. Bu guru memerintahkan Erwin untuk mengikuti kata-katanya, ”Ayo Erwin, ikuti kata-kata ibu, ya”. Yogi menjawab,”Siap Bu, laksanakan! (Bu guru berbicara dalam hati,”Seperti tentara saja, pasti nih anak mau jadi tentara”). Sama halnya dengan Yogi, Erwin pun diminta oleh gurunya untuk mengikuti apa yang telah Bu guru
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
62
Relaksasi ajarkan tadi, dengan suara yang lantang tentunya. Tibalah saatnya bagi Erwin untuk mengulang bacaan tanpa bantuan gurunya, ia berpikir sejenak, akhirnya keluarlah suaranya, walaupun suaranya tidak selantang seperti yang pertama. Ternayata Yogi memperhatikan sejak tadi sehingga ia berkata,”Ayo dong, begitu aja ngga bisa, payah! Katanya jagoan!” Merasa dirinya diejek, Erwin membalas ucapan Yogi,”Walaupun saya bacanya pelan-pelan, yang pentingkan selamat dan badan saya lebih besar dan gemuk dari kamu”. Bu guru melerai pertengkaran mereka, ”Sudah, sudah, kalian jangan bertengkar, Yogi tidak boleh berbicara seperti itu pada Erwin, dan kamu Erwin, apa maksud perkataanmu tadi?” Begini lho, Bu, walaupun bacaan saya tersendat-sendat, saya kan masih punya nilai lebih, badan saya lebih besar dan gemuk dari Yogi, ya kan, Bu!”. Bu guru : (Apa hubungannya gitu loh .......??????)
Rini, Lenteng Agung Oh . . . Sudin Karena waktunya sangat mendesak, Eni, seorang ibu rumah tangga tergesa-gesa pergi ke kelurahan untuk mengurus surat-surat ......... Sesampainya di kelurahan, ia bertanya pada petugas yang ada di depan loket,”Pak, untuk mengurus surat-surat ini saya harus bertemu dengan siapa, ya?” Petugas loket melihat isi berkas yang ada dalam map yang dibawa oleh
Bu Eni, ia berpikir sejenak,”......... Oh, Ibu langsung aja ke Sudin”. Tanpa bertanya apa-apa lagi Bu Eni langsung meninggalkan kelurahan. Tapi dia baru ingat ketika ia berada di bis,”Oh iya, saya lupa menanyakan alamat Pak Sudin, waduh gimana nih, masak saya harus kembali ke kelurahan, sebaiknya saya tanya saja ke suami saya mungkin dia tahu alamat Pak Sudin. Segera dia hubungi suaminya yang sedang bekerja di kantor,”Hallo Mas, Mas tahu nggak dimana alamat Pak Sudin?”, Suaminya menjawab,”Mana saya tahu, De, coba kamu tanya ke petugas kelurahan.” Bu Eni berkata,”Saya sudah meninggalkan kelurahan, Mas, saya sedang berada di bis”. Suaminya berkata,”kalau begitu, kamu harus kembali ke kelurahan, De, karena kalau bisa surat-surat itu harus selesai hari, jadi tidak bolak-balik”. “Ya sudah, saya balik lagi ke kelurahan sekarang. Sesampainya di kelurahan Bu Eni menemui petugas yang tadi dan bertanya,”Maaf Pak, tadi Bapak bilang saya harus ke Pak Sudin, tapi saya tidak tahu alamat Pak Sudin”. Petugas kelurahan menjawab sambil tersenyum,”Ya ampun, Ibu, maksud saya SUDIN (Suku Dinas) ... bukan Pak Sudin, Sudin ... yang ada di kecamatan, jadi Ibu pergi saja ke kecamatan menemui Sudin ...”Oh ... Suku Dinas ... yang ada di kecamatan , saya pikir saya harus menemui Pak Sudin, terima kasih ya, Pak”. Dengan malunya Bu Eni meninggalkan kantor kelurahan.
Fokus Pengaw asan, Nomor 10 Tahun III Triwulan II 2006 Pengawasan,
Yuli, Sr. Sawah
63