MENGGAGAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN DAMAI DI BALAI DIKLAT KEAGAMAAN MANADO OLEH RUSLI Abstraksi Balai Diklat Keagamaan Manado merupakan organisasi pemerintah dituntut untuk berpartisipasi dalam menjaga keutuhan dan perdamaian bangsa. Serta diharapkan dapat menyadarkan warga negara Indonesia bahwa bangsa ini adalah bangsa yang cinta damai. Untuk itu implementasi pendidikan dan pelatihan di Balai Dikat diharapkan dapat memberikan stimulus kepada peserta agar mereka dapat memberikan konstribusi agar tidak terjadi konflik di masyarakat. Hidup bersama dengan berbagai budaya merupakan suatu keniscayaan sebagai bangsa Indonesia yang memang terdiri dari berbagai latar belakang suku, bangsa, agama. Berkaitan dengan implementasi pendidikan damai di Balai Diklat Keagamaan Manado, maka penyusunan program kerja seharusnya mengarah terwujudnya program peningkatan dan pengembangan nilainilai agama, bahasa, adat, bangsa, budaya dan pandangan hidup masyarakat di Manado khususnya dan wilayah kerja Balai Diklat Keagamaan Manado umumnya. Disini juga dituntut untuk mengembangkan kembali simbol dan semboyan kearifan adat lingkungan kerja Balai Diklat Manado secara lebih substantif dalam mengembangkan nilai-nilai damai. Kata Kunci : Pendidikan Damai, Konflik, Perdamaian, Diklat Manado. . A. Pendahuluan
Belakangan kondisi bangsa Indonesia kian memprihatinkan. Selain permasalahan kemiskinan ekonomi dan degradasi moral, bangsa ini juga tengah mengalami krisis sosial. Krisis ini nampak dari peristiwa yang terjadi misalnya penggusuran, penistaan, konflik, kekerasan, dan rasa saling mencurigai sesama anak bangsa yang kian menjadi-jadi. Ancaman teror, kekerasan dan konflik berdarah berlatar belakang etnik dan agama semakin sering muncul untuk mengoyak keutuhan bangsa Indonesia. Sebut saja peristiwa Tolikara, kasus penolakan pembangunan Masjid di
Bitung dan sekitarnya, pengusiran etnis Jawa di Kalimantan, teror Bom di Sarinah Jakarta, dan bentrok antar Ormas di Medan dan lainnya.
Bangsa ini perlahan tidak lagi dikenal sebagai bangsa yang ramah, melainkan bangsa yang mudah marah, begis dan kejam. Sehingga kekayaan bangsa Indonesia berupa keragaman adat dan budaya, bahasa, etnis, ras,
tidak lagi menjadi modal sosial, justru realitas multikultural
tersebut seakan menjelma menjadi beban sosial - social liabilities. Kondisi yang ada tak ayal justru mengaminkan pandangan Colombijn dan Lindblad (2002:1) yang menyebut Indonesia is a violent country – Indonesia negara kekerasan.
Sulawesi Utara sebagai wilayah kerja Balai Diklat Keagamaan Manado merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan wajah plural dan majemuk. Meski memiliki beragam etnis dan agama namun dipandang mampu menjaga kerukunan antar umat beragama. Bahkan Sulawesi Utara dengan Manado sebagai Ibukota seringkali digaungkan sebagai daerah miniatur kerukunan umat beragama di Indonesia. Citra sebagai daerah damai ini yang kemudian menjadikan Sulawesi Utara sebagai tujuan exodus warga dari daerah yang bertikai terutama di wilayah Indonesia Timur, seperti Ambon, Ternate dan Poso. Ketika menjadi rumah baru bagi orang dari daerah bertikai, Sulawesi Utara hingga kini mampu menjaga citra tersebut. Tidak sampai hanya pada
reportase semata, dalam beberapa tulisan ilmiah-pun, menyebutkan Manado disamakan dengan ’The City of Brotherly Love”.
Meski demikian tidak berarti Sulawesi Utara bebas dari konflik, meskipun secara kasat mata tercipta kerukunan, tapi kenyataannya kerukunan tersebut berwajah semu atau pluralisme semu (pseudo pluralism). Dengan kata lain, kerukunan yang terbangun adalah kerukunan yang diliputi kecurigaan. Masing-masing pemeluk agama masih berlandaskan rasa curiga dalam melihat pemeluk agama lain. Kondisi demikian dapat dilihat pada letupan-letupan kekerasan yang sekalipun pada awalnya tidak bermula dari persoalan agama, tetapi letupan tersebut mampu berkembang besar apalagi digerakkan oleh isu-isu keagamaan. Dalam arti meski simbol-simbol kerukunan umat beragama telah di bangun di Sulawesi Utara namun realitas itu sejatinya hanya di khalangan tingkat elit, sedangkan di tingkat masyarakat akar rumput (grassroot) ini belum terjalin secara maksimal. Insiden terbaru misalnya, terjadi dugaan intimidasi dalam pembangunan Masjid di daerah Bitung dan sekitarnya di Sulawesi Utara. Seperti diketahui, Sabtu (11/7/2015) lalu, terjadi peristiwa penemuan kepala babi yang ditanam di lokasi pembangunan masjid di Bitung. Intimidasi dilakukan untuk menghalangi proyek pembangunan masjid. Peristiwa itu sempat menimbulkan ketegangan.
Potensi konflik memang sangat rentan terjadi di Sulawesi Utara, selain karena terdiri dari 4 etnis besar yakni Suku Bolaang Mongondow,
Suku Minahasa, Suku Gorontalo, Suku Sangihe dan Talaud. Di beberapa tempat di Sulawesi Utara, seringkali terjadi konflik antar etnis, meskipun kecil, namun seharusnya mendapat penanganan serius karena bisa berdampak besar bahkan dapat merembes ke permasalahan agama. Ini yang dimaksud Bambang W. Soeharto, bahwa seringkali meskipun sarat dengan nuansa etnis, sebuah konflik sangatlah berpotensi untuk dilatarbelakangi oleh perbedaan-perbedaan identitas lainnya, dalam hal ini agama. Ini hukum sosialnya. Selain itu, berdasarkan data Sistem Nasional Pemantau Kekerasan (SNPK) Indonesia, grafik jumlah insiden dan tewas per Provinsi, hasil dari provinsi Sulawesi Utara cukup memprihatinkan. Dimana pada tahun 2014, dalam grafik tersebut provinsi Sulawesi Utara berada di peringkat ke tiga dengan 60 kejadian, lebih tinggi dari DKI Jakarta yang berada di urutan ke empat dengan 54 kejadian. Sedangkan yang berada di diperingkat pertama provinsi Sulawesi Selatan dengan 123 kejadian disusul Jawa Barat dengan 81 kejadian. Sebagai daerah yang dikenal damai, peringkat tersebut memang cukup memprihatinkan. Riakriak kecil seperti ini jika tidak ditangani maka akan berpotensi pada konflik yang lebih besar lagi.
Realitas ini menuntut adanya kesadaran multikulturalisme dari masyarakat. Berbagai cara bisa diterapkan dalam menumbuhkan kesadaran tersebut, salah satunya dengan melakukan transformasi karakter dan budaya manusia yang telah terlanjur akrab dengan kekerasan, serta mengembalikan manusia pada hakekat kemanusiaannya
yang sesungguhnya yaitu cinta damai. Transformasi karakter dan budaya manusia hanya bisa dilakukan dengan perubahan pola pikir. Perubahan pola pikir ke arah perdamaian hanya dapat dilakukan dengan pendidikan damai (peace education). Tujuan dari pendidikan ini untuk menumbuhkan kesadaran atas perbedaan
bagi masyarakat sehingga persatuan dan
kesatuan bangsa dapat terus terjalin erat.
Mewujudkan
tujuan
pendidikan
damai
ini
merupakan
tanggungjawab semua elemen dan instansi masyarakat, termasuk di dalamnya Balai Diklat Keagamaan. Diklat sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2001 adalah proses penyelenggaraan
belajar
mengajar
dalam
rangka
meningkatkan
kemampuan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bahkan pada pasal 2 ayat 2 PP tersebut
menyebutkan
bahwa
salah
satu
tujuan
Diklat
adalah
“menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa.”
Berdasarkan amanah peraturan pemerintah tersebut, jelas bahwa Balai Diklat Keagamaan dituntut untuk berperan dalam perekat persatuan dan
kesatuan
bangsa,
salah
satu
caranya
dengan
memberikan
penyadaran multikultural kepada peserta Diklat. Apakah pendidikan damai dapat diimplementasikan dengan metode andragogi dalam pembelajaran diklat?
Dan
bagaimana
implementasi
pendidikan
damai
dalam
pembelajaran diklat? Pertanyaan tersebut akan penulis kaji dalam tulisan ini.
Berdasarkan pandangan yang dipaparkan pada pendahuluan, tulisan ini bertujuan sebagai upaya untuk memberikan kontribusi saran dan pemikiran, terkait keniscayaan pendidikan damai sebagai upaya merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu tulisan ini juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan apa dan bagaimana implementasi pendidikan damai dalam pembelajaran pada Balai Diklat Keagamaan khususnya di lingkungan Balai Diklat Keagamaan Manado.
B. Pembahasan 1. Peran Balai Diklat Keagamaan sebagai Perekat Persatuan
Secara umum tujuan dibentuknya Balai Diklat keagamaan adalah untuk merealisasikan pembinaan aparatur Kementerian Agama secara sistematik, terencana dan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan, beban tugas organisasi, perkembangan masyarakat yang dilayani serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar memiliki keunggulan kompetitif dan profesional serta memiliki moralitas yang tinggi, sehingga mereka
mampu
memberikan
pelayanan
masyarakat secara intensif dan optimal.
dan
pembinaan
kepada
Untuk itu, Lembaga Diklat
Kementerian Agama ke depan, khususnya Balai Diklat Keagamaan hendaknya mampu menunjukkan profesionalisme dalam penyelenggaraan diklat sehingga mampu menghasilkan output dan outcome yang benar-
benar memiliki manfaat baik peningkatan kinerja, perbaikan sistem organisasi dan manajemen,
maupun memiliki kemampuan dalam
menentukan strategi kegiatan yang mampu membawa perubahan positif pada masyarakat dan negara pada umumnya.
Mengkaji peran Diklat sebagai perekat persatuan bangsa tidak terlalu sulit, sebab sebagai bagian dari lembaga keagamaan peran Diklat Keagamaan sangat strategis dalam mengkampanyekan pentingnya kerukunan umat beragama dalam kegiatan Diklat. Diklat Keagamaan secara tidak langsung berkewajiban untuk memberikan pencerahan mengenai penting kesadaran multikultural terutama berkaitan dengan realitas multikultural agama.
Sebagaimana diketahui pembangunan di bidang agama perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah, baik yang berhubungan dengan pembinaan pendidikan agama, pelayanan kehidupan beragama serta kerukunan umat beragama. Sebab disamping sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama juga sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, keluarga dan masyarakat, serta menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Kementerian Agama memiliki peran yang dominan, disamping peranan dari tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat dan individu dalam masyarakat itu sendiri (Sholeh Suaedy, tt).
Jelaslah bahwa mustahil memisahkan wacana persatuan tanpa landasan pembangunan keagamaan. Karena kenyataannya, semua itu telah bercampur-aduk dalam berbagai bentuk, baik secara terangterangan maupun diam, baik yang kita inginkan atau tidak kita inginkan. Lewat
ungkapan
yang
amat
bertenaga,
salah
seorang
pakar
perbandingan agama terkemuka asal Jerman, Prof. Hans Kung, mengatakan, Sesungguhnya realisasi perdamaian di dunia bergantung pada terwujudnya perdamaian antaragama. Dan perdamaian antar agama tak akan pernah terwujud kecuali dengan menyelenggarakan dialog antar agama-agama tersebut (Zaqzuq, 2001: 74).
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, menyatakan bahwa Badan Litbang dan Diklat mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan di bidang keagamaan. Adapun fungsi Badan Litbang dan Diklat adalah (a) penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan di bidang keagamaan; (b) pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan di bidang keagamaan; (c) pemantauan evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan dan pelatihan di bidang keagamaan; dan (d) pelaksanaan administrasi Badan Litbang dan diklat.
Peraturan tersebut secara tidak langsung memberikan keleluasaan bagi Balai Diklat keagamaan untuk menyusun kebijakan teknis terkait dengan pengembangan dan pelatihan di bidang keagamaan, dalam hal ini mengimplementasikan pendidikan damai sebagai upaya membentuk kesadaran akan realitas bangsa demi terjaganya persatuan dan kesatuan. Tentunya kebijakan tersebut harus didukung dengan upaya peningkatan kualitas dan kompetensi dari aparatur sebagai ujung tombak.
2. Pendidikan Damai (Peace Education)
Pendidikan damai (peace education) merupakan kebutuhan, karena konflik merupakan realitas kehidupan yang muncul setiap saat akibat benturan kepentingan, pemikiran, orientasi politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Sayangnya, kekerasan lazim digunakan sebagai metode dalam
menyelesaikan
kekerasan
berpotensi
konflik,
padahal
melahirkan
menyikapi
konflik
ketidakdamaian
karena
dengan akan
memperpanjang mata rantai kekerasan dan setiap kekerasan baru dapat berakibat lebih destruktif. Karena itu, pendidikan yang dapat menyadarkan peserta didik tentang konflik, skill dalam menyikapi konflik, dan pentingnya kedamaian berperan penting dalam menyelesaikan konflik.
Pendidikan untuk perdamaian (education for peace) menurut Lambang Trijono (2005), merupakan sarana penting untuk membangun perdamaian, terutama dari sisi budaya. Ini merupakan bagian utama dari pengembangan budaya damai di masyarakat (culture for peace).
Menurut Asna Husen (2007:10), penyadaran makna perdamaian itu demikian penting agar dapat mendewasakan peserta didik. Iklim ini membekali anak dengan perspektif kedamaian yang saling menghargai, suka
membantu,
dapat
bernegosiasi,
dan
berkomunikasi
dengan
mengunakan bahasa dan logika yang komunikatif. Semua faktor ini merupakan esensi pendidikan damai termasuk yang berlangsung pada tataran formal.
Pendidikan damai dipahami tidak sekedar sebagai tiadanya bentukbentuk kekerasan langsung, melainkan juga terwujudnya kondisi damai yang positif. Secara umum untuk menumbuhkan tiga aspek utama pengetahuan (knowledge) sebagai cognitive domain, keterampilan (skill) sebagai psychomotoric domain, dan sikap (attitude) atau affective domain yang untuk mengembangkan budaya damai secara global (Assegaf, 2004:93).
Mengacu kepada Bank Dunia, dalam laporan strategi sektor pendidikan (1999) ada tiga hal yang harus bisa diwujudkan melalui pendidikan. Pertama adalah pembangunan modal manusia sehingga lahir manusia-manusia yang produktif. Kedua, manusia-manusia yang sehat dengan nutrisi yang baik, dan ketiga adalah pembangunan modal sosial, sehingga dengan demikian pendidikan bisa membantu mewujudkan rasa keadilan serta kohesi sosial di tengah kehidupan manusia yang beraneka ragam latar belakang sosial, budaya maupun ekonomi-politik mereka.
Konsep Bank Dunia tersebut kian memperkuat argument bahwa pendidikan harus memiliki sumbangan dalam menjawab kebutuhan masyarakat akan kedamaian, penyelesaian konflik dan kekerasan. Pendidikan damai menjadi penting karena konflik, kekerasan dan beratnya upaya menciptakan kehidupan yang damai, terutama berasal dari problema pluralitas dan multikulturalitas di Indonesia yang belum terselesaikan.
Memang, jika pendidikan dilihat dari perspektif outcome-based learning, maka keberhasilan pendidikan dan pengajaran tidak akan diukur dari nilai yang diterima atau beragam bidang study yang dipelajari. Pendidikan akan diukur dari apa yang benar-benar dia ketahui dan alami sebagai hasil dari waktu yang mereka habiskan selama menempuh pendidikan.
Termasuk
di
dalamnya
pengalaman
menghadapi
keberagaman kultur peserta Diklat maupun masyarakatnya. Dengan demikian outcome pendidikan antara lain adalah sumberdaya manusia yang memiliki kesadaran pluralitas-multikulturalitas. Jika outcome itu tercapai, maka masyarakat akan memetik benefit berupa realitas baru – sebuah realitas di mana pluralisme kultural tidak lagi menjadi faktor liabilitas, melainkan menjadi kenyataan.
3. Implementasi Pendidikan Damai di Balai Diklat
Pendidikan perdamaian memainkan peranan sangat penting untuk mengembangkan “budaya damai”. Peserta Diklat sebagai aparatur
kementrian agama sejak dini harus dilibatkan dalam kegiatan pendidikan yang mentransfer nilai, keyakinan, perilaku dan gaya hidup yang memberdayakan
mereka
untuk
meredam
konflik
secara
damai
berdasarkan spirit toleransi, menghargai harkat manusia dan non diskriminasi. Oleh karena itu perlu dikembangkan berbagai model dan kurikulum pelatihan dan pendidikan perdamaian bagi peserta Diklat.
Sebagai merupakan
sebuah
wadah
mensosialisasikan
lembaga
yang pendidikan
tepat
formal,
Balai
untuk
damai.
Diklat
Keagamaan
memperkenalkan
Pandangan
ini
dan
dilandasi
pemahaman bahwa lembaga formal memiliki sistem yang terstruktur, kepemimpinan yang jelas dan terukur, kerjasama antara aparatur dan institusi serta berbagai pihak yang terkait dalam upaya mewujudkan perdamaian merupakan sebuah kemestian. Sehingga keterkaitan antar sektor mengharuskan sosialisasi penddikan damai dimulai dari tingkat perencanaan kurikulum agar dapat dipahami tidak hanya oleh mereka yang bergerak dalam bidang pendidikan tapi juga oleh pihak lain yang memiliki bidang kerja dalam sektor berbeda.
Dalam meimplementasikan upaya tersebut maka dibutuhkan perencenaan yang matang. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang harus diperhatikan. Pada suatu organisasi, perencanaan berperan sebagai penentu kebijakan strategi dalam mencapai tujuan dengan memperhatikan sumber daya yang ada. Perencanaan pada
dasarnya merupakan usaha yang terorganisir dan terus menerus dilakukan
dalam
upaya
mencapai
tujuan,
dan
untuk
menyusun
perencanaan yang baik perlu memperhatikan tahapan-tahapan yang sistematis dan rasional. Dede Rosyada (2004: 122), mengungkapkan bahwa “dalam upaya meningkatkan efektifitas proses pembelajaran untuk mencapai
hasil
belajar
terbaik
sesuai
harapan,
perencanaan
pembelajaran merupakan sesuatu yang mutlak harus disiapkan setiap fasiltator/pengajar setiap akan melaksanakan proses pembelajaran”.
Namun penting disadari bahwa tidak semua yang direncanakan akan dapat dilaksanakan, karena bisa terjadi kondisi lingkungan pendidikan yang merefleksikan sebuah permintaan yang berbeda dari rencana yang sudah dipersiapkan, khususnya tentang strategi yang sifatnya opsional. Namun pelaksana Diklat tetap harus mampu menyusun perencanaan yang sempurna, sesuai dengan kebutuhan peserta diklat, sehingga peserta dapat mengikuti proses diklat sesuai harapan.
Materi pendidikan damai ini, implementasinya dalam proses diklat hendaknya diajarkan dengan mengunakan metode yang menyenangkan dan semua peserta diklat harus ikut berpartisipasi, hal ini agar peserta diklat tidak bosan dengan materi ini. Lebih dari itu diharapkan peserta diklat bisa lebih leluasa dalam memainkan peran serta mengungkapkan situasi dan kondisi yang mereka hadapi sehari-hari yang seharusnya bisa berubah dengan segera ke dalam suasana yang lebih bersahabat.
Berkaitan dengan implementasi pendidikan damai di Balai Diklat Keagamaan Manado, maka penyusunan program kerja yang mengarah ke terwujudnya program harus memperhatikan nilai-nilai agama, bahasa, adat, bangsa, budaya dan pandangan hidup masyarakat di Manado khususnya dan seluruh wilayah kerja Balai Diklat Keagamaan Manado umumnya. Disini juga dituntut untuk mengembangkan kembali simbol dan semboyan kearifan adat lingkungan kerja Balai Diklat Keagamaan Manado secara lebih substantif dalam mengembangkan nilai-nilai damai.
4. Peningkatan
Kompentensi
Aparatur
dalam
Menunjang
Keberhasilan Implementasi Pendidikan Damai di Balai Diklat
Salah
satu
faktor
yang
sangat
menunjang
dalam
proses
pendidikan, pelatihan dan pengajaran adalah kurikulum, karena kurikulum mewarnai kedudukan kunci dalam pendidikan, sebab berkaitan dengan arah/orientasi, isi, proses, pendidikan dan tujuan pendidikan dan pelatihan pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Sedagnkan implementasi pendidikan damai melalui lembaga pelatihan dan pendidikan memerlukan upaya
terprogram,
sistemik,
yang
dimulai
dari
penyusunan
dan
pengerivisian kurikulum.
Berangkat dari acuan pemikiran tersebut, kurikulum pendidikan damai diharapkan dapat berperan sebagai pedoman umum bagi proses peserta Diklat agar dapat membangun paradigma, sikap dan perilaku yang dapat mempromosikan nilai dan cara mengatasi konflik tanpa
kekerasan. Proses ini menggambarkan bahwa makna hakiki pendidikan damai, yang direpresentasikan kurikulum ini nanti tidak hanya menyangkut aspek pembangunan sikap yang dapat mencerminkan bahwa peserta Diklat telah mendapat pendidikan damai.
Tujuan tersebut dapat terlaksana jika ditopang oleh kompentensi aparatur Diklat yang mumpuni. Tanpa maksimalisasi kompetensi seperti ini, maka dalam pelaksanaan tugasnya dilapangan Diklat akan kesulitan untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Kompetensi digunakan untuk mengidentifikasi aparatur Diklat sehingga mendapatkan gambaran tentang kualitas aparatur dan penyelenggara Diklat. Khusus pada widyaiswara analisis terhadap peta kompetensi ini nantinya akan menggambarkan arah kebijakan yang harus diambil dalam rangka mengembangkan kemampuan para widyaiswara. Setidaknya, peta kompetensi ini akan meminimalisir hal-hal sebagai berikut: a) Adanya fenomena jumlah widyaiswara yang banyak tetapi tetap saja tidak cukup (many but never enough). Hal ini diakibatkan oleh penumpukan jumlah widyaiswara dengan keahlian mengajar mata diklat yang sama, dan cenderung mengajar pada program diklat yang sama. b) Kurangnya pemberdayaan terhadap widyaiswara terutama yang berada di lembaga diklat karena keterbatasan anggaran untuk
pendidikan
dan
latihan
serta
kurangnya
peluang
untuk
mengembangkan diri sesuai dengan jabatannya. c) Secara kelembagaan, fungsi konsultatif widyaiswara belum diberdayakan dengan optimal. Terutama keterlibatannya dalam proses menganalisis kebutuhan diklat,
merancang program dan kurikulum diklat baik fungsional dan teknis sampai dengan monitoring dan evaluasi pelaksanaan diklat. Dimana widyaiswara akan bisa memberikan masukan bagi terciptanya keputusan terbaik pimpinan demi meningkatkan kualitas penyelenggaraan diklat dan prestasi kerja lembaga diklat secara keseluruhan.
Penerapan kompetensi tersebut merupakan prasyarat penting agar dalam melakukan kegiatannya Balai Diklat dapat berinovasi terutama dalam perubahan kurikulum untuk mewujudkan visi dan misi Balai Diklat yang sesuai dengan konteks lingkungan dimana Balai Diklat tersebut didirikan. Lebih dari itu, ketersediaan sumber daya yang memiliki kompetensi tersebut akan memudahkan Balai Diklat dalam menemukan solusi dari permasalahan yang ditemukan di lapangan.
Disamping itu untuk lebih meningkatkan kualitas aparatur dan penyelenggara Diklat, dalam akreditasi juga perlu mempertimbangkan tawaran standar kompetensi. Dimana aparatur dan penyelenggara Diklat dituntut untuk memiliki kompetensi berikut:
1) Kompetensi intelektual antara lain berupa kemampuan berpikir dan bernalar. Penyelenggara Diklat dituntut untuk memiliki kemampuan kreatif dan inovatif (memperbaharui, meneliti, dan menemukan), kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan mengambil keputusan strategis yang mendukung kehidupan global.
2) Kompetensi (intra) personal atara lain berupa kemandirian, ketahan bantingan, keindependenan, kreativitas dan produktivitas, kejujuran, keberanian, keadilan, keterbukaan, mengelola diri sendiri, dan menempatkat diri sendiri secara bermakna serta orientasi pada keunggulan yang sesuai dengan kehidupan global. 3) Kompetensi komunikatif antara lain berupa kemahir wacanaan, kemampuan sarana komunikasi mutahir, kemampuan menguasai suatu
bahasa,
kemampuan
bekerja
sama,
dan
kemampuan
membangun hubungan-hubungan dengan pihak lain yang mendukung kehidupan global dalam satu sistem dunia. 4) Kompetensi sosial-budaya antara lain berupa kemampuan hidup bersama orang lain,
kemampuan
memahami dan
menyelami
keberadaan orang / pihak lain, kemampuan dan memahami kebiasaan orang lain, kemampuan berhubungan atau berinteraksi dengan
pihak
lain,
dan
kemampuan
bekerja
sama
secara
multikultural. 5) Kompetensi kinestetis-vokasional antara lain berupa kecakapan mengoperasihkan sarana-sarana komunikasi mutahir, kecakapan melakukan pekerjaan mutahir, dan kecakapan menggunakan alat-alat mutahir yang mendukung suksesnya berkiprah di dunia global. 6) Kompetensi hidup bersama secara multikultural antara lain berupa kemampuan bermasyarakat secara mulitikultural, kecakapan bekerja secara multikultural, kecakapan bertingkah laku secara multikultural,
dan kemahiran bersopan santun lintas kultural serta menyesuaikan di tempat-tempat yang berbeda.
Kompentensi-kompetensi tersebut menjadi penting dalam upaya memaksimalkan program-program di Balai Diklat. Jika kompentensi tersebut telah dimiliki oleh aparatur Balai Diklat maka pendidikan damai sebagai sebuah program untuk berwawasan
perdamaian
membentuk peserta Diklat
semakin
mudah
yang
diimplementasikan.
Harapannya, peserta Diklat yang mengikuti pelatihan dan pendidikan yang berbasis perdamaian ini kedepannya dapat ikut memberi stimulus dan mentransfer pengetahuan perdamaiannya di lingkungan peserta didik di sekolah-sekolah dan lebih luas lagi di lingkungan masyarakat.
C. Penutup
Dari hasil analisa dapat ditarik kesimpulan bahwa Balai Diklat Keagamaan Manado sebagai sebuah organisasi pemerintah dituntut untuk berpartisipasi dalam menjaga keutuhan dan perdamaian bangsa. Untuk itu implementasi pendidikan dan pelatihan di Balai Dikat diharapkan dapat memberikan stimulus kepada peserta Diklat sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi konflik. Balai Diklat diharapkan menyadarkan warga negara Indonesia bahwa bangsa ini adalah bangsa yang cinta damai. Hidup bersama dengan berbagai budaya merupakan kewajiban sebagai bangsa Indonesia yang memang terdiri dari berbagai latar belakang suku bangsa, agama. Semangat ke-Bhinneka-an harus terus ada dalam diri
anak bangsa, hal ini juga menunjukkan kenyataan bahwa manusia tidak bisa memilih harus dilahirkan dari golongan mana. Berkaitan dengan implementasi pendidikan damai di Balai Diklat Keagamaan Manado, maka penyusunan program kerja yang mengarah ke terwujudnya program harus memperhatikan nilai-nilai agama, bahasa, adat, bangsa, budaya dan pandangan hidup masyarakat di Manado khususnya dan seluruh wilayah kerja Balai Diklat Keagamaan
Manado umumnya. Disini juga dituntut
untuk mengembangkan kembali simbol dan semboyan kearifan adat lingkungan kerja Balai Diklat Manado secara lebih substantif dalam mengembangkan nilai-nilai damai.
Diperlukan
peningkatan
kompetensi
aparatur
agar
upaya
pengimplementasian pendidikan damai di Balai Diklat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Langkah kongkritnya perlu diupayakan pembaharuan
program
kurikulum
pelaksanaan
Diklat
dengan
pengintegrasian pendidikan damai dalam setiap proses pelaksanaan diklat. Sebagai upaya, pendidikan damai di dalam kurikulum pembelajaran Balai Diklat Keagamaan dapat terintegrasi atau menyatu dengan program pelajaran lain. Implementasi pedidikan damai yang integratif dapat menggunakan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif
Daftar Pustaka Assegaf, Abdur Rahman, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004. Daud, Darni. M, Evaluation Report Program Pendidikan Damai. Banda Aceh: UNICEF, 2002. Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Pranada Media, 2004. Mulyono, Dani Prawiro, Mendorong Terciptanya Pendidikan Damai. Gemari, Edisi. 97/Tahun X/ Pebruari 2009. Maliki, Zainuddin, Pendidikan Multikultural (Bahan Pengembangan Mata Diklat Kepemimpinan dalam Keragaman Budaya pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III). Husen, Asna, Kurikulum Aqidah Akhlak dalam Konteks Pendidikan Damai, Banda Aceh: Program Pendidikan Aceh, 2007. Suaedy, Soleh, Pengembangan Balai Diklat Keagamaan: Urgensi dan Strategi. Balai Diklat Keagamaan Surabaya. Trijono, Lambang, Pendidikan untuk Perdamaian (Yogyakarta: PSKPUGM 2005) Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj. Abdullah Hakam Shah, Yogyakarta: LKiS, 2001. Nono Sumampouw, Torang Samua Basudara : Nilai Budaya dan Kehidupan Antar Umat Beragama di Kota Manado, http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmanado/2015/ 05/18/torang-samua-basudara-nilai-budaya-dankehidupan-antar-umat-beragama-di-kota-manado/ di akses 28 April 2016. Republika.co.id, “MUI Sulut Minta Polisi Tangani Insiden Penanaman Kepala Babi di Masjid Bitung” (online). http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islamnusantara/15/07/20/nrsitp-mui-sulut-minta-polisitangani-insiden-penanaman-kepala-babi-di-masjidbitung/ diakses 18 April 2016. SPNK, “Indeks Tingkat Kekerasan di Indonesia”, http://www.snpkindonesia.com/Home/Index?lang=ina&randdo=e5fae6fe -4ae9-4cc3-8a9b-86511d19659e&userid=9641153 diakses 18 April 2016.