TINJAUAN PENYELENGGARAAN DIKLAT PADA BALAI DIKLAT KEAGAMAAN MANADO Oleh Rusli Widyaiswara BDK Manado
ABSTRAK Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Manado sebagai lembaga diklat di Kementerian Agama memiliki peranan penting dalam peningkatan sumberdaya manusia pada jajaran Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara. Maka penyelenggaraan diklat perlu terus ditingkatkan melalui perbaikan sumberdaya aparatur diklat sehingga lebih profesional, perbaikan sistem dan prosedur kerja yang lebih efisien, dan terobosan metodologi yang lebih efektif. Diklat merupakan suatu sistem yang dilihat dengan pendekatan Input – Proses – Output. Sebagai inputnya adalah calon peserta, tenaga pengajar, administrator, dana, sarana, prasarana, kurikulum, buku-buku perpustakaan, laboratorium, alatalat dan media pembelajaran baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Prosesnya meliputi pengelolaan lembaga diklat, pengelolaan program diklat, pengelolaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode. Outputnya adalah lulusan yang kompetensi kerjanya mengalami kemajuan sesuai dengan standar kemajuan yang diharapkan dari komponen-komponen yang saling terkait. Dengan demikian kualitas penyelenggaraan diklat sangat bergantung kepada efektivitas sistem tersebut, sedangkan pelaksanaan sistem sangat ditentukan oleh profesionalitas pihak- pihak yang terlibat dalam sistem diklat. Kata Kunci : Tinjauan, Penyelenggaraan, Diklat.
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Balai Diklat Keagamaan sebagai lembaga resmi ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan guna peningkatan sumber daya manusia bagi pegawai pada jajaran kementerian agama di seluruh Indonesia. Sehingga Balai Diklat memiliki peranan penting dalam pembangunan SDM melalui perubahan-perubahan perilaku sumber daya manusia kementerian agama dalam berbagai sektor. Tugas pokok lembaga diklat adalah menyelenggarakan diklat, sejalan dengan peranan lembaga diklat yang semakin penting maka tuntutan kualitas penyelenggaraan diklat juga semakin meningkat. Kualitas penyelenggaraan diklat yang dilaksanakan oleh lembaga diklat harus lebih baik dari pada penyelenggaraan diklat yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non-diklat. Sebab, hal tersebut akan menentukan keberadaan dan juga citra lembaga diklat. Itulah sebabnya, lembaga diklat dituntut lebih profesional. Profesional dalam mengemban tugas, melaksanakan fungsi serta peranannya. Lembaga diklat mengemban tugas untuk dapat meningkatkan knowledge, skill dan attitude para SDM kementerian agama misalnya; pengawas, penyuluh, guru, penghulu, kepala sekolah, bendahara, dan jabatan fungsional dan struktural lainnya. Untuk mendukung percepatan peningkatan kualitas SDM kementerian agama diperlukan berbagai upaya yang antara lain adalah pendidikan dan pelatihan (diklat) berkualitas secara teratur dan berkelanjutan. Diklat yang dibutuhkan oleh SDM Kementerian Agama adalah yang membuat mereka mampu melaksanakan tugas pelayanan dan bimbingan, kepada para masyarakat pengguna jasa. Tulisan ini menyajikan ulasan dan bahasan penyelenggaraan diklat dengan memanfaatkan referensi-referensi yang ada dan menggunakan data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan terhadap penyelenggaraan diklat di Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Manado dengan menggunakan data Tahun 2011 – 2014. Dalam tulisan ini diklat dipandang sebagai suatu lembaga penyelenggara. Oleh karena itu pembahasannya diarahkan kepada system penyelenggaraan. Dengan harapan tulisan ini dapat mengilhami pihak manajemen untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan diklat, khususnya di Balai Diklat Keagamaan Manado B. Peranan Diklat. Pendidikan pada hakekatnya adalah proses dimana orang dengan sengaja membimbing untuk melakukan perubahan pada orang lain. Karena perubahan perilaku merupakan faktor yang sangat penting untuk memperlancar peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, sedangkan perubahan perilaku dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan maka pendidikan dan pelatihan merupakan bagian yang
2
penting dalam pembangunan sumberdaya aparatur pemerintah ( Kementerian Agama). Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) adalah suatu kegiatan yang diadakan oleh suatu instansi untuk memperbaiki mutu, pengembangan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan pegawai sesuai dengan persyaratan yang terdapat dalam suatu organisasi bersangkutan (Syuhada, 1995). Pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu faktor yang peting dalam pengembangan sumberdaya manusia. Pendidikan dan pelatihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilau bekerja, demikian dapat meningkatkan produktivitas kerja. (Simanjuntak, 1998). Pembinaan yang paling tepat untuk dapat meningkatkan produktivitas kerja adalah antara lain melalui pendidikan dan pelatihan (Suradinata dan Ermaya, 1996). Pendidikan dan pelatihan yang dimaksudkan juga berguna untuk meningkatkan kemampuan untuk memadukan antara teori ilmiah dengan pengalaman yang diperoleh di lapangan, termasuk peningktan kemampuan menerapkan teknologi tepat guna dalam rangka peningkatan produktivitas kerja. (Siagian, 1997). Berdasarkan konsep diklat di atas bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan kegiatan yang dirancang untuk dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta sehingga dapat meningkatkan kinerja. Diklat sebagai lembaga pelatihan, dalam melaksanakan peranannya selalu berorientasi kepada kebutuhan peserta pelatihan yang bersangkutan, baik aparatur maupun non aparatur. Oleh karena itu sistem pelatihan yang dilaksanakan di Balai Diklat Keagamaan bagaimanapun harus berbeda dari sistem pendidikan formal. Perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada: URAIAN Azas Tujuan Materi
Peserta Pengajar Waktu
PENDIDIKAN FORMAL Standard oriented Terutama meningkatan kecerdasan - Lebih banyak pengetahuan (theoritical) - Mengutamakan ”the why” Anggota masyarakat
PELATIHAN Job and perticipant ariented Meningkatkan kompetensi kerja - Lebih banyak ketrampilan dan sikap (practical) - Mengutamakan ”the how” Pegawai, pelaku usaha,
Terutama menguasai teoritis-konsepsional Relatif lama
Praktisi-operasional Singkat
Sesuai dengan sifat khas dari lembaga pelatihan sebagaimana dikemukakan di atas, maka pengetahuan-pengetahuan yang ditransfer harus berorientasi kepada kebutuhan peserta dalam bentuk
3
pengetahuan yang sudah siap digunakan, bukan pengetahuan dasar. Bobot pengetahuan lebih banyak pada segi keterampilan, sistem dan prosedur kerja, dan keahlian dalam menggali dan mengembangkan teknologi dengan menggunakan metode ilmiah C. Pembahasan. Diklat dapat dipandang sebagai suatu sistem. Sebagai suatu sistem, diklat dapat dilihat dengan pendekatan Input – Proses – output (Siwi, 1993).adapun sebagai : 1. inputnya adalah calon peserta, tenaga pengajar, administrator, dana, sarana, prasarana, kurikulum, buku-buku perpustakaan, laboratorium dan alat-alat pembelajaran baik perangkat keras maupun perangkat lunak. 2. Prosesnya meliputi pengelolaan lembaga diklat, pengelolaan program diklat, pengelolaan kegiatan belajar-mengajar dengan menggunakan berbagai metode. 3. Outputnya adalah lulusan yang kompetensi kerjanya mengalami kemajuan sesuai dengan standar kemajuan yang diharapkan. Pelaksanaan system kediklatan dimulai dari mengelola input diklat hingga melaksanakan proses penyelengaraan diklat untuk menghasilkan output diklat secara penuh dan utuh menjadi tanggung jawab lembaga diklat. Akan tetapi, dalam menjalankan misinya lembaga diklat melihat sejauhmana manfaat pelatihan yang diprogramkan itu bagi pengguna jasa. Artinya, sebagai lembaga diklat haruslah dapat melihat jauh ke depan tentang perspektif pelatihan dalam pembangunan pada umumnya dan khususnya pembangunan sumberdaya manusia kementerian agama yang berkualitas pada umumnya. Kualitas (quality) merupakan istilah yang dinamis yang terus bergerak; jika bergerak maju maka dikatakan kualitasnya bertambah baik, sebaliknya jika bergerak mundur maka dikatakan kualitasnya menurun. Menurut Idrus dkk (2000), kualitas diartikan sebagai keadaaan yang melebihi standar umum yang berlaku. Sesuatu dikatakan berkualitas jika terdapat kecocokan antara syarat-syarat yang dimiliki oleh benda yang dikehendaki dengan maksud dari orang yang menghendakinya (The fitness purpose as perceived by the customer). Diklat merupakan kegiatan yang bergerak di bidang jasa. Menilai kualitas jasa lebih sulit jika dibandingkan dengan barang. Akan tetapi, bukan berarti tidak bisa dinilai. Sebagai kegiatan yang bergerak di bidang jasa, kepuasan pengguna jasa merupakan indikasi, apakah suatu diklat itu berkualitas atau tidak. Ini berarti bahwa kegiatan diklat, apapun jenisnya, harus customer dan participant oriented. Secara umum, kualitas penyelenggaraan diklat dapat dilihat dari sejauh mana lembaga diklat dapat memberikan pelayanan yang sebaik-
4
baiknya; sejauh mana kelancaran pelayanan administrasi maupun teknis penyelenggaraan diklat dapat terselenggara; serta sejauh mana hasil pelaksanaan tugas dapat memenuhi kepentingan baik ditinjau dari kepentingan organisasi (penyelenggara) dan kepentingan yang dilayani (stakeholder). Pemenuhan organisasi dapat dilihat dari terlaksananya tugas pokok; tercapainya tujuan program sesuai dengan target dan pedoman/petunjuk yang ada; serta tercapainya tingkat kepuasan orangorang yang ada didalamnya. Pemenuhan kepentingan peserta diklat dapat dilihat dari sejauh mana peningkatan pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan kreativitas dapat diperoleh sesuai dengan tuntutan tugas dan profesinya; terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan selama mengikuti diklat; serta terpenuhinya rasa aman dan nyaman selama tinggal di lingkungan kampus diklat. Oleh karena diklat dipandang sebagai suatu sistem, maka penilaian kualitas penyelenggaraan diklat dan permasalahannya dilihat dari komponen komponen input, proses dan output pelatihan. Input Pelatihan Input pelatihan yang dibahas dalam tulisan ini terbatas pada peserta yang dilatih, sarana dan prasarana fisik, kurikulum, tenaga kepelatihan, dan administratur/penyelenggara diklat. 1. Peserta. Tanpa peserta tidak akan ada kegiatan diklat. Oleh karena itu, komponen peserta menjadi penting. Keberhasilan suatu program diklat tidak hanya bergantung pada mutu pengajar/fasilitator dan kelengkapan sarana, tetapi juga bergantung pada faktor-faktor intern peserta diklat, misalnya motivasi, ketekunan, semangat, niat, dan disiplin peserta (Siagian, 1989). Faktor-faktor intern peserta ini sangat berhubungan dengan manfaat pelatihan yang akan diperoleh peserta dalam pelaksanaan tugas dan atau pengembangan kariernya. Manfaat pelatihan akan semakin besar apabila diikuti oleh peserta pelatihan yang memiliki masalah dalam pelaksanaan pekerjaan yang dapat diatasi melalui diklat. Sebagai contoh, seorang pegawai KUA belum mahir mengoprasikan aplikasi siskohoat sehingga menyebabkan ”produktivitas Kantor Urusan Agama dalam pelayanan haji rendah”. Jika rendahnya produktivitas Kantor Urusan Agama itu berkaitan dengan faktor Knowledge, skill maka dapat diatasi dengan mengikuti pelatihan. Mereka membutuhkan pelatihan sesuai dengan tusi masingmasing, sehingga pelatihan yang dilaksanakan sangat bermanfaat bagi mereka. Pelatihan yang dibutuhkan bagi SDM non aparatur tentu berbeda dengan aparatur. Kebutuhan non aparatur adalah berfokus pada teknis
5
pelaksanaan, sedangkan bagi aparatur adalah berfokus pada kebijakan pada wilayah yang menjadi binaannya. Aparatur yang berasal dari wilayah pengembangan juga harus memiliki diskrepansi kerja karena pelatihan itu dimaksudkan untuk mengatasi diskrepansi kerja. Kenyataan yang sering terjadi pada pelatihan kita selama ini antara lain: (1) Peserta yang hadir atau ditugaskan tidak selalu sesuai dengan tugas dan fungsinya (2) Peserta yang ditugaskan untuk mengikuti diklat, sering menolak menjadi calon peserta, (3) Adanya peserta yang berulang-ulang telah mengikuti pelatihan yang sama. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelatihan yang dilaksanakan tidak dapat mengisi diskrepansi bagi sasaran yang sesungguhnya membutuhkan karena yang dilatih adalah peserta yang tidak tepat. Ini merupakan pemborosan dalam penggunaan sumber dana. Ketidaksesuaian antara peserta diklat dengan diklat yang diikuti menyebabkan ketidakpuasan peserta dilihat dari aspek manfaat pelatihan 2. Sarana dan prasarana fisik (Physical facilities) Efektivitas proses belajar sangat bergantung kepada ketersediaan sarana prasarana. Pengertian sarana prasarana disini adalah mencakup antara lain: peralatan dan instalasi praktek lapang/laboratorium, peralatan mengajar seperti alat bantu, alat peraga, dan media belajar, tempat dan ruang kelas, dan lain sebagainya. Pada umumnya masih banyak permasalahan pada sarana prasarana yang dibutuhkan. Misalnya: 1). Kurang pemeliharaan, sehingga alat yang sudah tersedia menjadi hilang, 2). Kurang perawatan, sehingga alat yang sudah tersedia, cepak mengalami kerusakan, 3). Kurang baik perencanaan, sehingga alat yang diperlukan tidak diprioritaskan pengadaannya. Pelatihan berbeda dengan pendidikan. Demikian pula pelatihan tenaga teknis keagamaan dan tenaga administrasi berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Titik berat pelatihan adalah untuk mempersiapkan seseorang yang dilatih agar memiliki kecakapan kerja sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam tugasnya. Hasil pelatihan dapat segera dirasakan dalam waktu yang singkat setelah orang yang dilatih kembali ke tempat kerja. Materi yang dipelajari mengutamakan the how (bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan). Oleh karena itu, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pelatihan adalah sarana dan prasarana sebagaimana yang dibutuhkan di tempat kerja sehingga orang yang dilatih dapat berlatih bekerja
6
dalam situasi nyata, dan hasilnya langsung dapat diamati dan dievaluasi. Permasalahan yang sering terjadi pada pelatihan teknis adalah tidak adanya sarana dan prasarana diklat, laboratorium, yang dibutuhkan untuk praktek. Lapangan praktek untuk guru olah raga, biologi, fisika, kimia, yang sering diperlukan untuk pelatihan teknis tidak dapat membantu peserta untuk mempraktekkan keterampilan yang dituntut sesuai dengan kebutuhan kerja. Demikian pula peralatan dan bahan untuk praktek belum memadai baik jenis maupun jumlahnya. Kondisi seperti ini pada gilirannya menyebabkan kesulitan dalam mengembangkan metodologi pembelajaran sesuai dengan yang dipelajari dan akhirnya tujuan pembelajaran yang dicapai tidak menggambarkan cerminan pekerjaan yang sesungguhnya di lapangan. Pengembangan sarana untuk mendukung diklat sesungguhnya dapat dikembangkan bukan hanya dengan memanfaatkan potensi dalam lingkungan kampus diklat, tetapi dengan memanfaatkan potensi di luar kampus misalnya melalui kerjasama kemitraan dengan sekolah, atau, pelaku usaha. 3. Kurikulum (termasuk materi pembelajaran dan metoda) Kurikulum dan rencana pembelajaran (RP) atau rancang bangun program pembelajaran (RBPP) adalah satu kesatuan yang merupakan rencana besar pembelajaran. Kurikulum dan RP/RBPP menjadi acuan dan memberikan arah proses pembelajaran dan penyusunan bahan ajar: apa yang akan diajarkan, apa yang akan dicapai, apa yang akan dibahas dalam proses pembelajaran, bagaimana metode pembelajarannya, apa media dan alat bahan yang dibutuhkan, dimana lingkungan belajar yang sesuai, dan bagaimana mengukur kemajuan belajarnya. Dengan demikian, kurikulum bukan hanya sekedar daftar mata pelajaran. Kurikulum pelatihan merupakan input penting dan menjadi ”Roh” pelatihan. Oleh karena itu, kurikulum harus sudah ada dan sudah dipahami sebelum pelatihan diselenggarakan. Kurikulum pelatihan yang baik harus sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa pelatihan dan peserta diklat. Acuannya adalah kesesuaian dengan situasi dan kondisi daerah serta diskrepansi kemampuan kerja yang dialami oleh peserta pelatihan. Kebutuhan pelatihan biasa dirumuskan berdasarkan: (1) Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas. Atas dasar permasalahan tersebut, suatu pelatihan dilaksanakan untuk menyesuaikan dengan perubahan, pembaharuan teknologi, atau peningkatan suatu sistem kerja sesuai dengan permasalahan yang sudah atau sering dihadapi (kebutuhan yang disadari). (2) Adanya suatu program baru. Atas dasar ini, suatu pelatihan dilaksanakan untuk mempersiapkan sumber daya manusia pelaksana yang mendukung suatu program baru (kebutuhan yang
7
dirasakan). Sebagai contoh, di suatu organisasi akan dikembangkan perubahan paradigma prajabatan dan diklat PIM IV pola baru serta Kurikulum 2013. Petugas-petugasnya dan para pesertanya pasti belum pernah menghadapi masalah tersebut karena selama ini belum ada perubahan paradigma prajabatan, diklat PIM IV pola baru dan kurikulum 2013. Akan tetapi, petugas/panitia dan tenaga pengajar perlu dilatih untuk mempersiapkan diri menyambut program baru tersebut. Terdapat kelemahan dalam kurikulum berdasarkan diskrepansi kerja yang didasarkan kepada kebutuhan individu. Pada umumnya letak diskrepansi kerja setiap individu itu berbeda, maka untuk mendapatkan peserta diklat yang memiliki kesamaan diskrepansi kemampuan kerja yang memenuhi jumlah kelas belajar yang efisien tidaklah mudah. Tidak semua materi yang tertera dalam kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta sehingga interseksi antara kurikulum dengan kebutuhan individu peserta sangat kecil, dan kebutuhan individu peserta tidak banyak terpenuhi. Permasalahan yang lain adalah hingga saat ini kebutuhan pelatihan masih belum ditentukan secara obyektif berdasarkan hasil analisis kebutuhan diklat (AKD). Bagaimana peranan pengembangan karier pegawai? Kegiatan pengembangan karier pegawai masih belum efektif dalam pelaksanaannya karena masih belum adanya persamaan persepsi di antara pengelola kegiatan diklat. Dalam perspektif manajemen lembaga diklat, pengembangan karier pegawai masih dipandang sebagai kegiatan yang sedikit memberikan manfaat bagi perencanaan sehingga pelaksanaannya sering tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, masih banyak pelatihan yang bersifat given, yang sering tidak disertai dengan justifikasi yang jelas tentang perlunya pelatihan itu dilaksanakan. Padahal, sebenarnya Balai Pelatihan sebagai lembaga yang melaksanakan pelatihan seharusnya selalu berorientasi pada program pelatihan yang disusun atas dasar kebutuhan aparatur dan non aparatur. Artinya suatu program pelatihan harus bersifat bottom up aproach dalam penentuan jenis pelatihan dan atau penentuan isi materinya. Apapun jenis dan bentuk pelatihannya serta atas keinginan siapa pelatihan itu dilaksanakan, justifikasi tentang pelatihan tersebut sangat dibutuhkan untuk memudahan penyelenggara diklat melihat ruang lingkup yang dikehendaki, orientasi, tujuan, pola pelatihan, dan strategi untuk mencapai tujuan program pelatihan dalam kaitannya dengan program yang lebih besar, kurang mendapat perhatian. 4. Instruktur Instruktur yang ditugaskan pada lembaga kediklatan adalah Widyaiswara yaitu Pegawai Negeri Sipil yang secara formal ditunjuk atau diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan mendidik, mengajar,
8
dan melatih melalui kegiatan tatap muka. Sesuai dengan PERMENPAN No. 14 tahun 2009 tentang Tugas pokok dan fungsi widyaiswara. Ada pendapat bahwa tidak ada Widyaiswara pun kegiatan diklat dapat berlangsung. Betul, tetapi dalam proses belajar-mengajar pasti ada ”yang diajar dan yang mengajar”. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa yang mengajar harus ada, apapun sebutannya dan siapapun orangnya. Namun, karena kompetensi (kemampuan dan wewenang) untuk melaksanakan kegiatan dikjartih ada pada Widyaiswara, maka Widyaiswara adalah yang tepat untuk mengemban tugas-tugas itu. Untuk materi substansi tertentu, barangkali dibutuhkan tenaga pelatih dari luar. Sebagai tenaga pelatih yang bertugas mentransfer materi dan mentransformasi perilaku peserta diklat seyogyanya juga berkompeten, sebagaimana dipersyaratkan kepada Widyaiswara. Widyaiswara dituntut penguasaan materi (content), metode dan teknik berkomunikasi (metodology). Penguasaan terhadap aspek materi dan metode akan menjamin keefektifan penyampaian materi pembelajaran. Akan tetapi, sikap dan kepribadian (personality) Widyaiswara juga memegang peranan yang sangat menentukan. Kepribadian yang dimiliki Widyaiswara harus mencerminkan kesederhanaan, tetapi menjunjung tinggi disiplin dan sportivitas, representatif, akomodatif, tidak diskriminatif, berpikir independen, mampu mengkomunikasikan buah fikiran, mampu menerapkan pendidikan dengan pendekatan andragogi, serta mampu mendayagunakan alat peraga dan alat bantu dengan baik. SDM Aparatur diklat dituntut memiliki misi, orientasi, tujuan dan strategi mencapai cita-cita pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan. Lebih lanjut, sebagai aparat yang bergerak di bidang pendidikan dan pelatihan juga dituntut memiliki penguasaan teknologi yang tinggi (high tech), pemikiran yang tinggi (high thought), sentuhan rasa yang tinggi (high touch), dan kepercayaan yang tinggi (high trust). Permasalahan kadang muncul dalam kondisi yang pelatihanpelatihannya masih beragam, sulit bagi instruktur untuk mengembangkan profesionalitas substansi. Dan juga merasa sulit untuk menjadi spesialis. Pendekatannya selama ini lebih kepada kebersamaan. Di satu sisi, pendekatan kebersamaan ini menjadi faktor kelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga target fisik dapat dicapai. Akan tetapi, di sisi lain pendekatan kebersamaan akan melahirkan sikap ” semua merasa bisa dan merasa bisa semua”, tetapi ”tidak bisa merasa bahwa kompetensi perlu”. Kondisi Widyaiswara saat ini masih jauh dari ideal. Misalnya, Widyaiswara menguasai prinsip-prinsip kepemimpinan dan pengembangan organisasi tapi tidak punya pengalaman menjadi seorang pemimpin; Widyaiswara menguasai prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, tetapi tidak menguasai pengembangan kurikulum itu dengan baik; Widyaiswara menguasai berbagai metode/prinsip-prinsip melatih, tetapi tidak memiliki pengalaman serta
9
tidak menguasai metode/prinsip-prinsip melatih untuk bidang itu dengan baik; Widyaiswara menguasai prinsip-prinsip mengajar dan mengevaluasi, tetapi tidak memiliki pengalaman menjadi guru serta tidak dapat melakukan evaluasi untuk mengukur keberhasilan di bidang itu dengan baik; dan sebagainya. Profesionalitasnya masih bersifat normatif. Inilah masalah yang perlu diatasi. 5. Administratur/Penyelenggara diklat. Penyelenggara diklat merupakan komponen yang penting dalam mendukung keberhasilan suatu diklat. Profesionalisme lembaga diklat sangat ditentukan oleh profesionalisme penyelenggaranya karena penyelenggara memiliki "akses" dan "kontrol" terhadap sumber-sumber yang diperlukan untuk memperlancar penyelenggaraan diklat. Ciri khas yang harus membedakan pegawai/aparat diklat dengan pegawai/aparat lembaga non diklat adalah semangat dan kemampuannya dalam mengelola kegiatan diklat. Jika semangat dan kemampuan dalam mengelola kegiatan diklat ini hanya sama dengan aparat/pegawai di lembaga non diklat, maka dapat dipastikan citra dan eksistensi lembaga diklat akan kurang diakui. Dalam manajemen proses latihan, penyelenggara diklat (officer)bersama dengan Widyaiswara (trainer) merupakan pelaku utama yang terlibat dalam penyelenggaraan diklat. Penyelenggara diklat berperan, antara lain, mengatur seluruh pengelolaan pendukung proses latihan mulai dari persiapan sampai pelaporan. Penyelenggara diklat mengatur persiapan tempat belajar, penjadwalan, kesiapan pelatih, kesiapan peralatan/perlengkapan diklat, naskah materi pembelajaran. Penyelenggara diklat juga mengatur kesiapan kesekretariatan, akomodasi dan konsumsi peserta diklat, mengatur sarana angkutan untuk keperluan praktek atau kegiatan di luar kampus. Penyelenggara diklat juga memiliki tugas dan kewajiban untuk melayani, mengamati, dan menilai peserta diklat selama berada di lingkungan kampus. Permasalahan pada administratur atau penyelenggara diklat yang terkait dengan profesionalitasnya juga masih dapat dideteksi. Pada umumnya yang berkembang saat ini adalah kurangnya care terhadap kualitas pekerjaan. Pekerjaan dilaksanakan secara ”asal saja”, dan cepat puas bila pekerjaan itu selesai dilaksanakan tanpa melihat bagaimana hasilnya. Pekerjaan dilaksanakan secara rutin dengan irama kerja yang tidak meningkat. Tidak ada inovasi atau pembaharuan-pembaharuan dalam metode kerja ke arah yang lebih efisien, baik secara teknis, ekonomis, dan psikologis. 6. Proses Pelatihan Proses sebagai komponen sistem diklat adalah aktivitas mengitegrasikan input-input pelatihan. Aktivitas sentralnya adalah interaksi antara peserta diklat (yang dilatih) dengan pelatih (yang
10
melatih). Interaksi tersebut terjadi dalam suatu waktu dan tempat tertentu dan dalam interaksi itu terdapat berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Tujuan akhir dari adanya interaksi adalah adanya perubahan perilaku peserta diklat sebagai input utama dalam sistem diklat. Dengan demikian, hal penting yang sangat menentukan pencapaian tujuan akhir proses pelatihan, yaitu: interaksi pesertapelatih, metodologi, serta ketepatan pelayanan sarana pelatihan. 1). Interaksi peserta-pelatih. Untuk dapat berhasil mengalami transformasi perilaku, maka peserta diklat harus memiliki modal yaitu kemauan dan kesiapan untuk berlatih. Kemauan untuk berlatih itu bergantung pada sifat pembawaannya, pengalaman sendiri atau pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan terdahulu, dan sifat-sifat yang diperolehnya di lingkungannya. Kesiapan untuk berlatih bergantung kepada kegembiraan dan kegairahan berlatih, perhatian pada materi pelatihan, dan perhatian pada penerapannya dalam praktek nyata nantinya. Hal yang terakhir ini sangat dipengaruhi oleh pembawaan pelatih. Jika pelatihnya tidak dapat membuat materi pelatihannya menarik dan pelatih tidak dapat menumbuhkan ketertarikan peserta untuk berlatih niscaya pelatihan akan terasa kering, tandus, dan yang dilatih tidak suka mengikuti pelatihan. Jadi jelas bahwa berhasil atau tidaknya suatu proses pelatihan bergantung terutama pada pelatihnya. Untuk menilai kualitas interaksi peserta-pelatih dapat dilakukan secara terstruktur atau pengamatan langsung. Secara terstruktur adalah menggunakan lembaran evaluasi pelatih. Persoalannya adalah sejauhmana akurasi hasil evaluasi itu. Ada keraguan bahwa hasil evaluasi itu dapat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Cara yang lain adalah melalui pengamatan langsung selama proses berlatih. Peserta tidak mau masuk, keluar kelas, ngantuk, acuh, pasif, memainkan HP, ngobrol, dan lain-lain merupakan perilaku peserta yang menunjukkkan bahwa interaksi tidak efektif. 2). Metodologi. Permasalahan dalam proses interaksi juga terkait dengan metodologi pelatihan. Metodologi, dalam hal ini, diartikan sebagai ”a set of methods used in particular area of activity”. Dalam program pelatihan kita selama ini, metodologi sering tidak sesuai dengan jenis pelatihan. Pelatihan masih ditentukan dengan cara ”hafalan” tanpa melihat titik berat tujuan program pelatihan. Sebagai contoh, lama diklat 07 hari kunjungan lapang 1 hari, lama diklat 10 hari kunjungan lapangan 1 hari. Pelatihan dengan pola seperti ini proses pelatihannya lebih banyak dilakukan di ruang kelas dan sedikit ada peluang pembelajaran di luar kelas. Learning by listening lebih banyak dialami oleh peserta, sedangkan learning by doing dan leaning by showing kurang banyak dilakukan. Learning by doing dan learning by showing memang
11
membutuhkan dana lebih besar dan alat bahan yang dibutuhkan juga harus lebih lengkap dan memadai. Awal persoalanya adalah terletak di perencanaan. Kaidah yang berlaku dalam perencanaan diklat seharusnya adalah pola diklat menentukan dana. Ini artinya bahwa ketika merencanakan suatu pelatihan tertentu maka pola pelatihannya sudah dirancang untuk kemudian dana disesuaikan dengan pola pelatihannya. Tentu, tidak semua jenis pelatihan membutuhkan pola yang sama karena sesungguhnya ada pelatihan yang tidak perlu keluar kelas atau melakukan kunjungan lapangan, tetapi sebaliknya ada pelatihan yang lebih banyak keluar kelas atau ke lokasi yang memiliki fasilitas dan sarana berlatih, yang fasilitas dan sarana itu tidak ada di lingkungan kampus. 3). Pelayanan sarana pelatihan. Selama pelaksanaan pelatihan pekerjaan yang terpenting bagi pelaksana adalah melayani; melayani peserta dan pengajar sebagai pelaku utama dalam interaksi belajar-mengajar. Jika pelayanan terhadap proses penyelenggaraan diklat lancar, dan proses belajar mengajar menggairahkan, maka dapat dipastikan bahwa kualitas diklat akan lebih baik. Berdasarkan laporan penyelenggaraan, hasil evaluasi penyelenggaraan terhadap pelatihan-pelatihan yang sudah dilaksanakan rata-rata baik. Persoalannya adalah sejauhmana akurasi hasil evaluasi penyelenggaraan itu. Ada keraguan juga bahwa hasil evaluasi penyelenggaraan diklat itu dapat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. 4). Output Pelatihan. Secara kuantitatif, output penyelenggaraan pelatihan adalah banyaknya peserta pelatihan (aparatur dan non aparatur) yang telah selesai mengikuti pelatihan dan memperoleh Surat Keterangan. Secara kualitatif output penyelenggaraan pelatihan adalah tingkat perubahan perilaku dari para purnawidya (aparatur dan non aparatur) yang diukur dari perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Dengan perubahan pengetahuan, sikap, dan pengetahuan purnawidya diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pelaksanaan tugasnya dan pada gilirannya dapat memberikan dampak positif dalam pembangunan sumberdya manusia khususnya untuk SDM Kementerian Agama. Hasil pelatihan secara kuantitatif yang diukur dari banyaknya peserta dari tiga provinsi ( Sulawsi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara) yang selesai mengikuti pelatihan dan mendapatkan Surat Keterangan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Manado selama 4 tahun terakhir adalah sebagai berikut :
12
Tabel 1. Perkembangan Peserta Diklat pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Manado Tahun 2011 – 2014
Peserta PNS
Peserta Non PNS
(orang)
(orang)
2011
2561
450
3011
2012
2101
415
2516
2013
1741
331
2072
2014
609
144
753
Tahun
Jumlah orang
Jumlah Sumber Data Kasi diklat Tenaga Teknis dan Kasi Tenaga Administrasi Balai Diklat Keagamaan Manado.
Dari tabel diatas terlihat bahwa terjadi perubahan jumlah peserta pelatihan dari tahun 2011 s.d. 2014 yang menunjukkan adanya penurunan jumlah SDM yang terdidik/terlatih. Hal ini disebabkan karena dukungan anggaran yang ada berdasarkan DIPA berkurang atau dukungan data peserta untuk didiklat dari stakeholder tidak tersedia. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan secara kualitatif diukur dari perspektif output pelatihan adalah menilai effect dan impact latihan itu. Effect pelatihan adalah pengaruh pelatihan terhadap peningkatan kemampuan kerja, sikap, dan keterampilan, sedangkan impact adalah pengaruh pelatihan itu terhadap usaha peningkatan produktivitas kerja. Hasil evaluasi awal dan akhir dari beberapa pelatihan, terlepas dari faktor-faktor intern peserta yang mengikuti pelatihan, menunjukkan adanya kemajuan diukur dari penguasaan terhadap materi-materi yang dilatihkan. Ini berarti bahwa pelatihan memberikan effect terhadap peningkatan perilaku peserta dilihat dari segi kognitif. Namun bagaimana dengan manfaat (benefit) pelatihan itu dalam pelaksanaan tugas dan impact pelatihan bagi pembangunan SDM Kementerian Agama? Pertanyaan inilah yang tidak mudah dijawab dan dijelaskan karena kurangnya informasi. Disinilah letak permasalahannya. Hasil pelatihan harus memberikan manfaat dan impact bagi program pembangunan SDM Kementerian Agama, tetapi tingkat pemanfaatan atau penerapan hasil pelatihan tidak semata-mata bergantung kepada lembaga diklat yang menyelenggarakan pelatihan. Terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi, baik faktor dari pascadiklat itu sendiri (intern) maupun faktor di luar purnawidya
13
(ekstern). Inilah salah satu komponen tugas penting lembaga diklat yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan profesional yaitu mengevaluasi program diklat yang telah dilaksanakan untuk memberikan umpan balik (feedback) bagi lembaga diklat dalam memperbaiki kualitas penyelengaraan diklat.
D. Penutup Tugas pokok lembaga diklat adalah menyelenggarakan diklat. Sejalan dengan peranan lembaga diklat yang semakin penting maka tuntutan kualitas penyelenggaraan diklat juga semakin meningkat. Diklat dipandang sebagai suatu sistem, yang terdiri dari dari komponenkomponen input, proses dan output pelatihan, yang secara penuh dan utuh menjadi tanggung jawab lembaga diklat. Proses sebagai komponen sistem diklat adalah aktivitas mengitegrasikan input-input pelatihan. Aktivitas sentralnya adalah interaksi antara peserta diklat (yang dilatih) dengan pelatih (yang melatih). Interaksi tersebut terjadi dalam suatu waktu dan tempat tertentu dan dalam interaksi itu terdapat berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Secara kualitatif output penyelenggaraan pelatihan adalah tingkat perubahan perilaku dari para purnawidya (aparatur dan non aparatur) yang diukur dari perubahan pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya. Dengan perubahan pengetahuan, sikap, dan pengetahuan purnawidya diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pelaksanaan tugasnya dan pada gilirannya dapat memberikan dampak positif dalam peningkatan kinerja.
14
E. Daftar Pustaka Siagian. 1989. Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Ed 9. PT Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Siwi UK. 1993. Pendekatan Sistem dalam Rancang Bangun Program Pelatihan Berdasarkan Tugas (Kompetensi). Jakarta.
15