PENGEMBANGAN DIKLAT KOMPETENSI GURU DI ABAD 21 Dr. Rusli Abstraksi Tulisan ini mengkaji tentang kompetensi guru di abad 21, pokus pembahasan pada: Pertama kompetensi guru seperti apa yang harus dipersiapkan. Kedua merumuskan perkembangan seperti apa yang dibutuhkan Balai Diklat Keagamaan dalam upaya meningkatkan kompetensi guru di lingkungan kerjanya. Hasil dari kajian ini menemukan bahwa untuk mendidik di abad 21, perlu perubahan paradikma guru. Guru harus merubah pola pikirnya dengan meningkatkan motivasi untuk belajar dan penguasaan TIK. Balai Diklat Keagamaan Manado harus berperan untuk meningkatkan kompetensi guru. Pengembangan diklat berbasis Training Need Assesment (TNA) menjadi suatu keharusan. Pengukuran standarisasi kualitas diklat, dan maksimalisasi sinergi antar lembaga guna mengembangkan diklat. Balai Diklat Keagamaan Manado harus melakukan pengembangan internal dan perencanaan yang dirancang secara efektif dan komprehensif agar hasil diklat maksimal. Dari fokus kajian ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan abad 21 para guru harus merubah paradikma serta dapat mensinergikan kompetensi mereka serta perencanaan dan pengembangan diklat. Kata Kunci : Pengembangan, Kompetensi, Diklat Guru. . A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu cara menjaga harapan bangsa agar tetap bersemangat untuk meraih masa depan yang lebih baik . Meski sampai abad ke 21 ini kondisi pendidikan bangsa Indonesia masih cukup memprihatinkan, namun peran pendidikan dan lembaga pendidikan tetap dinanti sebagai solusi menyelesaikan permasalahan.
Dalam kerangka dunia pendidikan Indonesia, guru menempati posisi sebagai garda terdepan dalam penyiapan sumber daya manusia (human
1
resources) yang unggul, senantiasa dituntut secara sadar untuk mau menyiapkan diri untuk meningkatkan kompetensi, inovasi, dan kreatifitas dalam pembelajaran. Guru harus berubah cara berpikirnya. Dari berfikir asal bekerja rutin menjadi berfikir lateral dan konstruktif demi anak didiknya. Guru dituntut mampu mengubah kultur lingkungan pendidikan yang statis menjadi kultur kerja dalam atmosfir yang dinamis dan inovatif.
Pada Simposium Nasional Guru dan Tenaga Kependidikan 2015 (GTK) di Istora, Glora Bung Karno, Jakarta, Senin (23/11/2015), beberapa waktu lalu, mantan Mendikbud Anies Baswedan pernah mengatakan, guru saat ini berhadapan dengan situasi yang unik. Sebab harus mendidik anak-anak abad 21. Sedangkan guru merupakan generasi abad ke-20 sehingga perlu strategi untuk mengubah kebiasan lama guru agar dapat mendidik anak abad 21. Menurutnya jika sebelumnya anak dapat didik secara seragam, namun sekarang tidak dapat dilakukan lagi, maka ke depannya guru harus terus belajar bukan hanya sekadar mengajar sehingga dapat mendidik anak-anak abad 21.
Kenyataan ini memberi sinyal bahwa guru membutuhkan sebuah lembaga yang kompeten dalam meningkatkan kualitas dan kompetensi sumber dayanya. Lembaga ini yang kemudian dikenal dengan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat). Beberapa pakar di bidang diklat menyatakan bahwa diklat adalah serangkaian kegiatan pendidikan yang mengutamakan perubahan pengetahuan, keterampilan dan peningkatan
2
sikap guru dalam melaksanakan tugasnya. Tilaar (1998) menegaskan bahwa kualitas sumber daya manusia yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan adalah merupakan kebutuhan dari manusia di abad 21.
Dengan demikian Balai Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) sebagai sebuah lembaga yang bertugas untuk meningkatkan sumber daya manusia di lingkungan kerjanya, tak terkecuali dituntut juga agar bisa beradaptasi dengan kondisi dan tantangan perubahan di abad 21. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan sumber
daya
yang
dimilikinya,
sebagai
pendukung
percepatan
terwujudnya visi dan misi Balai Diklat sendiri.
Dalam konteks ini, secara khusus Balai Diklat Keagamaan Manado sebagai sebuah organisasi pemerintah bertugas untuk meningkatkan kualitas sumberdaya kementeriana
agama
di ataranya peningkatan
kompetensi guru. Hal ini sejalan dengan visi dan misi Balai Diklat Keagamaan Manado antara lain: visi: terwujudnya aparatur keagamaan yang
profesional
dan
berakhlak
mulia.
Sedangkan
misinya:
1)
meningkatkan kualitas SDM penyelenggara diklat, 2) meningkatkan kualitas
manajemen
kediklatan,
3)
meningkatkan
tata
kelola
kepemerintahan yang bersih dan penguatan citra, 4) meningkatkan kualitas sarana dan prasarana diklat, 5) meningkatkan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait, 6) meningkatkan ketersediaan data dan informasi kediklatan berbasis IT, 7) meningkatkan pelaksanaan monitoring
3
dan evaluasi kediklatan, dan 8) meningkatkan pembinaan akhlak mulia aparatur Kementrian Agama.
Jika ditinjau dari visi dan misinya, titik tekan yang menjadi tujuan serta kebutuhan Balai Diklat adalah terciptanya sumber daya manusia yang kompeten, berkualitas dan profesional. Untuk itu pada catatan ini penulis coba memetakan kompetensi-kompetensi guru seperti apa saja yang harus dipersiapkan oleh Balai Diklat Keagamaan sebagai bahan acuan untuk menjawab tantangan abad 21 tersebut? Serta perkembangan seperti apa yang dibutuhkan Balai Diklat Keagamaan dalam upaya meningkatkan kompetensi guru di lingkungan kerjanya?
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pandangan yang dipaparkan pada pendahuluan, tulisan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi saran dan pemikiran, terkait dengan kompetensi guru seperti apa yang harus dipersiapkan Balai Diklat sebagai bahan acuan untuk menjawab tantangan abad 21. Serta merumuskan perkembangan seperti apa yang dibutuhkan Balai Diklat Keagamaan dalam upaya meningkatkan kompetensi guru di lingkungan kerjanya.
C. Pembahasan 1. Kebutuhan Kompetensi Guru Abad 21
4
Abad 21 seringkali dicirikan dengan semakin terbukanya relasi antar bangsa dan warga masyarakat dunia dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam. Ini sekaligus mempengaruhi gaya hidup, pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan
telah
perkembangan
mengalami
teknologi
perubahan.
komunikasi
Semakin
semakin
pesatnya
memungkinkan
dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Menurut Tilaar (1998) di abad ini peradaban sudah semakin maju, demikian pula adanya dengan pendidikan; dunia semakin terbuka, kegiatan semakin modern bahkan menuju ke arah globalisasi. Meski demikian putaran evolusi masyarakat pada abad ini mengharuskan dilakukannya redefinisi konsep pendidikan dan peran guru. Redefinisi tersebut
penting mengingat
makin diragukannya
relevansi antara
pandangan-pandangan lama dengan aspirasi, kondisi, dan kebutuhan manusia abad ke-21.
Dunia berubah maka tidak bisa dipungkiri dunia pendidikan juga mau tidak mau harus ikut berubah. Pola pembelajaran harus berubah agar dunia pendidikan menjadi relevan dengan tantangan dan peluang yang terjadi di kehidupan nyata. Dalam dunia saat ini kemampuan yang diminta adalah kemampuan untuk bekerja sama, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan untuk mengarahkan diri, berpikir kritis, menguasai
5
teknologi serta mampu berkomunikasi dengan efektif. Kemampuankemampuan tersebut identik dengan kemampuan abad 21 dan harus mampu dikembangkan secara sistematis dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan harus mampu mendorong terciptanya kemampuan tersebut. Jadi selain kemampuan akademis maka dunia pendidikan harus mampu menciptakan manusia yang mempunyai kemampuan belajar, beradaptasi dan berinovasi demi perubahan yang lebih baik di masa depan.
Disini peran guru sangat signifikan dalam upaya mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Tentunya hal ini harus ditopang juga dengan guru yang berkualitas. Sebab hanya guru yang berkualitas yang mampu menciptakan peserta didik yang berkualitas. Kualitas guru ini dapat dilihat dari seberapa baik tingkat kompetensi guru itu sendiri.
Namun kini keadaan para guru telah berubah drastis. Profesi sebagai guru seakan kehilangan makna. Menjadi guru dianggap sebagai profesi yang “kering”, dalam arti kerja keras para guru membangun sumber daya manusia tidak lain hanyalah untuk mempertahankan kepulan asap dapur saja. Imbasnya harkat dan derajat guru di mata masyarakat kian merosot, bahkan seolah-olah menjadi warga negara kelas dua. Sikap masyarakat ini memang bukan tanpa alasan, sebab nyatanya ada sebagian guru yang terbukti memang bersikap tidak mendidik. Kelemahan lain yang juga disandang sebagian guru kita adalah rendahnya
6
tingkat kompetensi
profesionalisme mereka. Penguasaan mereka terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar (Syah, 2010: 20-21).
Padahal sebagaimana profesi lainnya, guru juga merupakan bidang pekerjaan khusus yang menuntut spesifikasi keahlian yang tidak selalu dimiliki oleh semua orang. Profesi guru pada dasarnya tidak mudah, sebab dilaksanakan berdasarkan prinsip bahwa yang bersangkutan selayaknya: memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme untuk menjadi seorang guru; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; serta memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Untuk dapat memenuhi aktivitas yang menjadi tugasnya guru juga harus memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
Kompetensi
dimaksud
disini
adalah
seperangkat
pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru sebagaimana dimaksud, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Berdasarkan undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 menyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
7
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Makna professional lebih lanjut dijelaskan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan,
memerlukan
keahlian,
kemahiran,
atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dengan demikian untuk memasuki profesi guru seseorang harus memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan (Usman, 2002: 2).
Pemerintah telah berupaya untuk perbaikan mutu pendidikan, seperti penetapan
standart
nasional
pendidikan,
perubahan
kurikulum,
desentralisasi kewenangan, sertifikasi guru, penyelenggaraan program strata satu kependidikan dalam jabatan, pendidikan profesi guru, pemberian tunjangan profesi guru dan berbagai inovasi pendidikan lainnya. Namun sayang beberapa diantaranya masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini dipertegas berita yang dikemukakan Kompas.com bertajuk “Tunjangan Profesi Tidak Perbaiki Kualitas Pendidikan” (6/08/2015), bahwa selama tahun 2000-2012 tidak terjadi peningkatan kualitas kompetensi guru dan kualitas pendidikan meski pemerintah mengalokasikan anggaran bagi guru pegawai negeri sipil sekitar Rp 70 triliun setiap tahun. Padahal, niat awal pemberian tunjangan profesi atau program sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas
8
kompetensi
guru
yang
berpengaruh
pada
peningkatan
kualitas
pendidikan.
Demi menghadapi tantangan abad 21 yang semakin tinggi ini telah diantisipasi oleh pemerintah dengan membuat regulasi terkait kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : 1). Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2). Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan. 3). Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan
peserta
didik,
sesama
pendidik,
tenaga
kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 4). Kompetensi profesional merupakan kemampuan
9
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Apa yang tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terkait dengan kompetensi guru tersebut substansinya telah memenuhi kebutuhan dasar kompetensi guru yang dibutuhkan pada abad ini. Keempat kompetensi tersebut telah melalui berbagai kajian kebutuhan sebelum akhirnya dirumuskan sebagai standar kompetensi guru di Indonesia. Tinggal bagaimana
upaya
kompetensi
guru
yang
harus
tersebut
dilakukan
benar-benar
untuk
memaksimalkan
termanifestasi
terhadap
profesionalitas guru.
Meski demikian sebagai upaya memaksimalkan kompetensi guru sebagaimana yang tersebut diatas, perlu ditopang oleh berbagai kegiatan operasional penunjang lain. Adapun ragam upaya operasional yang dapat dilaksanakan untuk pengembangan kompetensi guru mencakup berbagai kegiatan, di antaranya: (1)
penataran (konvensional), (2) seminar dan
lokakarya, (3) pendidikan pra dan dalam jabatan, (4) lesson study, (5)
10
studi lanjut; (6) sertifikasi, (7) pendidikan dan pelatihan pre service dan inservice training, (8) evaluasi kinerja, dan (9) pembinaan
(Martaningsi,
2011:5).
Masing-masing
pengawasan dan upaya
tersebut
menuntut penyiapan secara matang, dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan .
Berdasarkan paparan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa pada dasarnya kebutuhan kompetensi guru abad 21 lebih kepada kebutuhan
akan
guru
yang mampu
berfikir kreatif
dan mampu
mengembangkan diri secara berkesinambungan, yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap beragam aktifitas termasuk dalam proses pembelajaran.
2. Urgensi Perubahan Paradigma Guru di Abad 21
Badan
Standar
Nasional
Pendidikan
merumuskan
Paradigma
Pendidikan sebagai: ”suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalahmasalah pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut”. Sementara “Paradigma pendidikan nasional adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan nasional, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah dan permasalahan yang dihadapi dalam pendidikan nasional, dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut.” (BSNP, 2010: 6).
11
Pada pendahuluan telah penulis kemukakan bahwa salah satu tantangan guru di abad 21 adalah perubahan pola pengajaran yang harus mengikuti zaman. Bagaimanapun kondisi dimana teknologi memegang peranan penting dalam segalah lini kehidupan termasuk di bidang pendidikan mengharuskan para guru sebagai tenaga pendidik untuk turut serta melek teknologi. Meski begitu pendidikan abad 21 tidak selamanya hanya terkait dengan penggunaan teknologi, tetapi tantangan yang terbesar justru ada pada perubahan paradigma guru. Jika guru tidak berubah paradigmanya maka pembelajaran di kelas pun tidak akan berubah, tetap monoton. Jika ini yang terjadi maka perubahan di bidang pendidikan menjadi lebih baik sebagaimana yang diharapkan pun tidak akan tercapai.
Menurut penulis rendahnya kompetensi guru kita dalam proses pembelajaran karena masih minimnya upaya edukasi dan pelatihan yang bertujuan untuk merubah paradigma para guru. Sampai saat ini, masih ada sebagian guru yang dalam mendidik generasi abad 21 menggunakan bahkan tak jarang “memaksakan” metode abad 20. Ini yang kemudian membuat target pembelajaran yang ingin dicapai mandek dan tidak mampu terpenuhi. Sebab sering terjadi kendala antara guru dan peserta didik, kendala tersebut umumnya ada kesan guru mengulang metode pendidikan yang pernah didapatnya kepada peserta didik yang kadang kala hal tersebut justru tidak lagi relevan.
12
Padahal manusia abad 21 dituntut memiliki sejumlah kemampuan, antara lain: pertama, mengembangkan karir dan kemampuan dalam bertahan hidup (Life and carrer Skill) yang meliputi sikap fleksibel dan adaptif, berinisiatif dan mendiri, dan memiliki keterampilan sosial dan beradaptasi dengan budaya, dan produktif dan akuntabel. Kedua, memiliki kemampuan untuk belajar dan berinovasi (Learning and innovation skill) yang meliputi kreativitas dan inovasi, berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah, dan mampu berkomunikasi serta berkolaborasi. Dan ketiga, melek
informasi,
media,
dan
teknologi
(Information,
media,
and
technology) jika ingin tidak ketinggalan zaman, kalah bersaing di tengah persaingan yang semakin ketat. Maka salah satu kunci sukses seseorang mampu melek atau menguasai informasi, media, dan teknologi.
Mendidik peserta didik menjadi melek teknologi ini yang sering menjadi kendala. Sayangnya dunia pendidikan kita saat ini dihadapkan pada tantangan rendahnya kompetensi guru yang notabene produk abad 20 dalam menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) abad 21, khususnya guru-guru yang senior, yang telah mengabdi selama puluhan tahun. Jangankan menggunakan perangkat TIK paling mutakhir, mengoperasikan komputer atau laptop saja belum bisa, sementara siswasiswanya yang notabene generasi abad 21 banyak yang mahir menggunakan perangkat TIK. Kondisi ini semakin memperlebar jarak kesenjangan kompetensi antara guru dan siswa. Untuk itu berkaitan kondisi tersebut, guru diminta tidak boleh gagap teknologi atau gaptek.
13
Guru harus mau merubah paradigmanya dengan cara belajar mengakses informasi dan teknologi. Walau tentunya memerlukan waktu karena harus mau mengubah pola pikir (mind set), dan perlu waktu untuk beradaptasi. Guru
harus
mau
mengejar
ketertinggalannya
dalam
kemampuan
mengakses dan mengoperasikan perangkat TIK.
Disamping itu guru abad 21 juga dituntut harus mampu menyajikan materi pelajaran dengan mengoptimalkan TIK supaya lebih menarik. Ketika siswa memiliki akun di media sosial, maka guru pun diupayakan memilikinya, dan berteman dengan siswa-siswanya. Hal ini dijadikan sebagai sarana komunikasi, penyebaran informasi, belajar, sekaligus mengawasi aktivitas anak-anak didiknya. Disini letak penting dan urgennya perubahan paradigma guru sehingga mampu memanfaatkan kemajuan TIK yang merupakan salah satu tantangan abad 21.
3. Peran Balai Diklat dalam Mengubah Paradigma Sebagai Upaya Optimalisasi Kompetensi Guru
Kita masih menjumpai sebagian masyarakat karena hal tertentu „terpaksa‟
menjadi
guru
tanpa
kesiapan
keahlian
sebagaimana
dipersyaratkan. Sebagian masyarakat juga masih berpandangan siapapun dapat menjadi guru asal berpengetahuan, kondisi lingkungan terutama di daerah terpencil semakin memperkuat anggapan bahwa siapapun yang mau, dapat menjadi guru. Dampaknya guru tidak menghargai profesinya. Kondisi-kondisi tersebut menurut Usman mengakibatkan penghargaan
14
masyarakat terhadap profesi guru rendah (Usman, 2002: 2). Hal ini ditambah dengan banyak guru yang tidak ada motivasi belajar, penguasaan teknologi informasi yang rendah dan berbagai kendala lain yang membuat guru yang bersangkutan tidak memiliki fleksibilitas dalam pengembangan ilmu. Konsekuensi rendahnya kemampuan guru tersebut, maka dibutuhkan bentuk-bentuk diklat yang relevan serta evaluasi pasca diklat.
Program pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah sistem, yaitu sistem pengembangan sumber daya manusia. Beberapa pakar di bidang diklat menyatakan bahwa diklat adalah serangkaian kegiatan pendidikan yang mengutamakan perubahan pengetahuan, keterampilan dan peningkatan sikap seorang pegawai (guru) dalam melaksanakan tugasnya. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses yang akan menghasilkan suatu perubahan perilaku, sasaran diklat secara konkrit, perubahan perilaku itu berbentuk kemampuan yang mencakup
kemampuan
kognitif,
afektif
maupun
psikomotorik.
(Notoatmojo, 1998: 29-31)
Dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 40 (1-C) disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas itu artinya pendidikan dan pelatihan (diklat) sebagai bentuk pembinaan karier adalah hak guru sebagai pendidik.
15
Dengan demikian Balai Diklat menjadi lembaga alternatif peningkatan kompetensi dan kualifikasi guru yang lebih memungkinkan dapat dilaksanakan. Misalnya melaksanakan pendidikan formal khusus para guru yang belum menduduki strata satu. Dilanjutkan dengan peningkatan kompetensi
guru
di
antaranya
juga
dapat
dilihat
dari
indikator
pengembangan karir akademik maupun struktural. Misalnya banyak guru yang memiliki jabatan dan pangkat yang stagnan, pengajuan ke jabatan yang lebih tinggi terhambat oleh ketidakmampuan guru melaksanakan penelitian sebagai salah satu prasyarat. Ini yang menjadi salah satu sasaran diklat, yakni terwujudnya guru yang memiliki kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing. Agar tujuan dan fungsi diklat tersebut dapat terpenuhi dengan baik, diklat memerlukan kesiapan baik infrastruktur (hardware) maupun program (software). Ketersedian kedua komponen membuat diklat tidak hanya mencapai tujuan penguasan materi diklat secara kognitif, tetapi diklat juga mengembangkan keterampilan dan sikap yang mendukung kinerja profesionalnya.
Balai Diklat Keagamaan Manado sebagai lembaga yang berperan dalam meningkatkan kompetensi guru dilingkungan kerjanya,
perlu
mengembangkan program diklat yang mampu memberikan stimulus untuk mengubah paradigma guru peserta diklat demi memenuhi ketercapaian kompetensi.
16
Demi menciptakan guru yang memiliki kompetensi mumpuni maka diperlukan pengembangan internal Balai Diklat yang dirancang secara efektif dan komprehensif. Menurut Martaningsi (2011: 10), secara internal penyelenggaraan diklat, terdapat beberapa hal yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi
guru
diantaranya
mencakup:
1).
Identifikasi informasi terkait dengan kompetensi ideal, kompetensi riil yang dimiliki guru di lapangan, khususnya calon peserta diklat. 2). Desain penelitian
untuk
melihat
kesenjangan
kompetensi
ideal
dengan
kompetensi riil (kebutuhan pengembangan kompetensi). 3). Pemetaan kesenjangan
kebutuhan
kompetensi
tersebut
menjadi
dasar
pengembangan kompetensi standar, kompetensi dasar, dan indikator ketercapaian kompetensi dalam diklat yang dirancang. Peta kompetensi ini menjadi dasar perumusan tujuan, materi diklat, pengalaman yang perlu dikembangkan,
sumber
belajar,
hingga
alokasi
waktu
diklat.
4).
Penggunaan strategi pendekatan yang relevan dengan karakteristik peserta diklat. 5). Pengemasan bahan ajar diklat menjadi bentuk-bentuk fasilitasi pembelajaran yang aktif, menyenangkan, berbasis pengalaman, berbasis kompetensi yang dikembangkan. 6). Merancang skenario pelatihan yang efektif, terkontrol, dan akuntabel.
Agar pengembangan internal Balai Diklat tersebut bisa diterapkan secara optimal pada proses penyelenggaraan diklat, maka diperlukan beberapa perencanaan tambahan yang relevan dengan keenam point pengembangan diklat diatas. Tujuannya agar program yang dijalankan
17
Balai Diklat memperoleh respon positif dari peserta diklat. Adapun beberapa rencana tambahan telah dirumuskan dengan Martaningsi (2011: 10-12) yang penulis kutip sebagai berikut: a. Perencanaan diklat melalui proses assessment terhadap kebutuhan diklat (diklat berbasis Training Need Assesment/TNA). Untuk keperluan tersebut pemetaan kompetensi sangat diperlukan baik peta kompetensi ideal, maupun peta kompetensi riil
di
lapangan
guna
menentukan
kompetensi
sebagai
orientasi
pengembangan diklat lebih lanjut. Pemetaan kompetensi adalah upaya memformatkan peta kompetensi standar, peta kompetensi perolehan serta pengembangan kompetensi perlu didasarkan atas kebutuhan peserta.
b. System recruitment peserta diklat dengan kualifikasi yang jelas dan diimplementasikan
secara
objektif;
Rekruitment
peserta
ini
juga
dipengaruhi oleh system manajemen di Kanwil Kemenag Kab-kota atau sekolah tempat guru berdinas.
Persyaratan peserta diklat selayaknya
menjadi acuan utama pengiriman peserta, dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh orang lain yang tidak relevan atau tidak memenuhi persyaratan diklat. Dengan demikian strategi pelaksanaan diklat dapat dilaksanakan sesuai rencana, tidak harus menyesuaikan dengan peserta diklat yang kompetensi awal dan kemampuan tidak seperti persyaratan yang ditetapkan.
c. Penggunakan strategi penyampaian yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Penerapan pendekatan andragogi. Peserta diklat
18
adalah para guru yang sudah bekerja dan berpengalaman mengajar sehingga masuk pada kategori orang dewasa. Karakteristik orang dewasa sebagai peserta didik dalam diklat perlu dipertimbangkan dalam memilih pendekatan
pembelajaran
yang
digunakan.
2)
Berbasis
pada
pengembangan pengalaman dan kinerja; Pengalaman peserta diklat perlu dikembangkan melalui bentuk pembelajaran aktif, memungkinkan peserta diklat menjadi subjek aktifitas dalam proses pembelajaran. 3) Diklat dilaksanakan secara menarik, mengesankan, dan menyenangkan, serta dievaluasi
secara
cermat.
4)
Penjadwalan
disesuaikan
dengan
kesempatan yang dimiliki guru agar tidak mengganggu pelaksanaan proses belajar mengajar; Diklat untuk guru selayaknya tidak mengganggu aktivitas pelaksanaan tugas. 5) Penggunaan system belajar jarak jauh. Dengan system belajar jarak jauh berbasis web atau online, ataupun menggunakan modul, diklat dapat dikemas sedemikian rupa sehingga dapat diakses di daerah tempat guru mengajar.
d.
Diklat
hendaknya
dirancang
dan
dikembangkan
berbasis
kompetensi sehingga hasil yang dicapai tidak hanya penguasaan kognitif saja tetapi juga keterampilan lain dan sikap yang dibutuhkan dalam profesionalisme guru/pendidik. Silabus dan kurikulum pelatihan yang akan dilaksanakan
disusun
berorientasi
pada
kompetensi
hasil
telaah
kebutuhan pengembangan kompetensi peserta diklat, didasarkan pada pemetaan kesenjangan kompetensi ideal dengan realitasnya.
19
e. Tindak lanjut diklat sebagai upaya pemantapan kompetensi yang dilatihkan.
f. Pendampingan, supervise, dan monitoring implementasi kompetensi yang dilatihkan.
g. Diseminasi dan sharing best practices kepada guru lain, sehingga bagi peserta makin memantapkan hasil pelatihan, bagi guru lain juga mendapatkan manfaat dari hasil sharing best practices peserta diklat.
h. Program refleksi terpadu berkelanjutan dalam bentuk group discussion forum (GDF) melibatkan berbagai pihak yang terkait. Refleksi diperlukan untuk melihat celah-celah kelemahan sebagai umpan balik guna perbaikan lebih lanjut.
i. Pelaksanaan evaluasi diklat secara menyeluruh (input, proses, output, hingga outcome) agar diperoleh masukan guna perbaikan diklat secara berkelanjutan.
j. Pengembangan standarisasi diklat guna system penjaminan mutu diklat.
Dengan
demikian
kualifikasi
diklat
dapat
lebih
dipertanggungjawabkan.
k.
Koordinasi
dan
kerjasama
berbagai
pihak
terkait
untuk
mengoptimalkan penyelenggaraan diklat secara menyeluruh PMPTK,
20
LPTK, PPPPTK, LPMP, Diknas provinsi dan Diknas Kabupaten/kota, KKG, MGMP.
D. Penutup. 1. Kesimpulan. Dari hasil catatan diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa:
1) Di abad 21 perubahan di berbagai sektor khusus di bidang pendidikan sangat signifikan sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. 2) Guru sebagai ujung tombak pendidikan, merubah pola pikirnya dengan meningkatkan motivasi untuk belajar dan penguasaan TIK agar proses pembelajaran menjadi relevan dengan zaman. 3) Balai Diklat Keagamaan Manado sebagai sebuah organisasi pemerintah yang bertugas menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
memiliki
peran
yang
sangat
signifikan
dalam
meningkatkan kompetensi guru. 4) Pengembangan diklat berbasis TNA. 5) Pengukuran standarisasi kualitas diklat, dan maksimalisasi sinergi antar lembaga guna mengembangkan diklat berkualitas. 6) Balai Diklat Keagamaan Manado melakukan pengembangan internal dan perencanaan yang dirancang secara efektif dan komprehensif agar hasil diklat maksimal.
21
2. Saran. 1) Para guru harus mempersiapkan diri di abad 21 ini perubahan di
karena
bidang pendidikan sangat signifikan sehingga
menjadi tantangan tersendiri. 2) Guru sebagai ujung tombak pendidikan, harus mau merubah pola pikirnya dengan meningkatkan motivasi untuk belajar dan penguasaan TIK agar proses pembelajaran menjadi relevan dengan zaman. 3) Balai Diklat Keagamaan Manado sebagai sebuah organisasi pemerintah yang bertugas harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas memiliki peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kompetensi guru. 4) Pengembangan diklat harus berbasis TNA. 5) Perlu melakukan pengukuran standarisasi kualitas diklat, dan maksimalisasi sinergi antar lembaga guna mengembangkan diklat berkualitas. 6) Balai Diklat Keagamaan Manado dituntut untuk melakukan pengembangan internal dan perencanaan yang dirancang secara efektif dan komprehensif agar hasil diklat maksimal.
22
Daftar Pustaka
Badan Standar Nasional Pendidikan (2010). Paradigma Pendidikan Nasional Di Abad-21. Jakarta: BSNP. Faridah & Yayat Hidayat Amir. 2015. Menjawab Tantangan Guru Masa depan Melalui Peningkatan Kompetensi Sebagai Agen Pembelajaran. Makalah Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 PFKIP Universitas Pancasakti Tegal. Kompas.com . 2015. Tunjangan Profesi Tidak Perbaiki Kualitas Pendidikan (Online) http://print.kompas.com/baca/2015/08/06/Tunjangan-ProfesiTidak-Perbaiki-Kualitas-Pendidik?utm edisi 6 Agustus 2015, diakses 2 Agustus 2016. Kompas.com . 2016. Empat Kompetensi Baru yang Diperlukan di Abad XXI (Online) http://print.kompas.com/baca/2016/01/20/EmpatKompetensi-Baru-yang-Diperlukan-di-Abad-XXI edisi 20 Januari 2016, diakses 2 Agustus 2016. Martaningsih, Sri Tutur, Optimalisasi Diklat Kompetensi Pendidik Sebagai Upaya Pengembangan Profesi Guru Berkelanjutan”. Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Pengembangan Profesi Guru Berkelanjutan” di Universitas SatyaWacana 5 Juli 2011. Notoatmojo, Soekidjo. 1998. Pengembangan SDM, Jakarta: Rineka Cipta. Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Republik Indonesia. 2005. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas. Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, cet ke-15. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tilaar, HAR. 1998. Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Jakarta: Tera Indonesia. Usman, Moh. Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
23