Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
POTENSI LAHAN PERKEBUNAN DAN EFISIENSI CURAHAN TENAGA KERJA USAHATANI MENDUKUNG STRATEGI REVITALISASI PENGEMBANGAN PETERNAKAN ROOSGANDA ELIZABETH
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Ji. Jenderal Ahmad Yani No. 10, Bogor 16151
ABSTRAK Lahan perkebunan sangat berpotensi terhadap pengembangan usaha temak . Demikian halnya dengan hari/waktu kerja yang tersisa akibat efisiensi curahan tenaga kerja, dapat dialihkan pemanfaatannya ke bidang peternakan . Tenaga kerja sebagai faktor produksi utama mayoritas petani, dimana makin terbatasnya lahan (landless), relatif rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan memposisikan keterpurukan dan ketakberdayaan mereka . Tingkat efisiensi curahan tenaga kerja usahatani tebu lahan Was dan berbiaya produksi besar, lebih tinggi dibanding lahan sempit dan berbiaya produksi kecil, serta tidak nyatanya relasi antara tenaga kerja tercurah dengan pendapatan/ha, namun relasi nyata antara pendapatan per petani dan curahan tenaga kerja per petani. Usaha ternak ternyata mampu meningkatkan pendapatan petani petemak . Kemampuan pemerintah mengantisipasi dan mengakomodasikan inovasi ketenagakerjaan dan efisiensi curahan tenaga kerja petani, dapat mendukung strategi revitalisasi pengembangan peternakan di pedesaan . Kata kunci: Potensi, efisiensi curahan tenaga kerja, strategi revitalisasi pengembangan peternakan PENDAHULUAN Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap daging sebagai sumber protein hewani utama sampai saat ini masih belum terpenuhi secara baik oleh subsektor peternakan dan industri penyediaan daging dalam negeri . Hal tersebut terlihat dari kekurangmampuan subsektor tersebut dalam penyediaan daging nasional, dimana pada tahun 2000 hanya mampu menyediakan produksi daging sapi sekitar 205 .066 ton dari kebutuhan sekitar 389 .987 ton daging atau defisit sekitar 184.921 ton . Konsumsi daging sapi diprediksi mengalami peningkatan di masa mendatang seiring terjadinya pemulihan ekonomi nasional pasca krisis moneter serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kecukupan gizi melalui diversivikasi pangan rumahtangga . Bilamana terjadi tambahan permintaan daging lkg/kapita/tahun diperkirakan setara dengan tambahan I juta ekor sapi potong . Apalagi tahun 2010 diprediksikan konsumsi daging sapi sekitar 2,21 kg/kapita/tahun atau sekitar 526 .864 ton kebutuhan nasional, dimana produksi diperkirakan hanya sekitar 223 .332 ton atau defisit 303 .532 ton .
Tingginya harga daging sapi di pasaran ditenggarai akibat besarnya biaya produksi akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan lebih tingginya demand dibanding supply yang mampu terpenuhi dengan harga terjangkau . Keterbatasan pasokan daging untuk pasar domestik menyebabkan sejak tahun 1990-an Indonesia telah mengimpor daging dan sapi bakalan, dimana tahun 1996 nilainya mencapai Rp. 2,5 triliyun atau setara 500 .000 ekor (D1WYANTO, 2002) . Keterbatasan tersebut juga disebabkan kurangnya minat peternak komersial untuk mengusahakannya sehingga hampir 99% pengadaan sapi bakalan dilakukan peternak kecil . Usaha breeding juga kurang diminati petani karena cenderung merugi dan membutuhkan biaya tinggi (sekitar Rp . 4 juta hingga Rp.6 juta untuk bibit dan biaya pakan/pemeliharaan) serta waktu yang relatif panjang (15-18 bulan) per siklusnya untuk dapat menghasilkan pedet seharga Rp . 1-1,5 j uta . Di Indonesia, usaha peternakan sapi didominasi oleh usaha ternak skala kecil (kurang dari 3 ekor, sekitar 74%) dan menengah (3-6 ekor, sekitar 20%), dan selebihnya usaha besar . Padahal untuk mencapai tingkat efisiensi sekitar 30%
279
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
dibutuhkan skala pemilikan sekitar 7 ekor per peternak (SWASTIKA, 2000) . Relatif kecilnya skala usaha petani peternak umumnya disebabkan modal yang terbatas yang mengakibatkan rendahnya pendapatan yang diperoleh . Oleh sebab itu, peternak harus menyadari dan memahami betul berbagai aspek teknis dan ekonomis produksi karena tingkat pendapatan yang diterima berkaitan erat dengan tingkat keuntungan optimal sebagai upaya pencapaian keuntungan optimal . Meski efisiensi teknis produksi diprediksi dapat dicapai, namun tingkat efisiensi ekonomis produksi yang umumnya menjadi problema dan kendala yang umum dialami oleh peternak . Peternak umumnya berada pada posisi tawar yang kurang menguntungkan akibat arogansi monopoli peran pasar input yang mahal dan diperburuk kekuatan monopsoni pasar output ternak yang diterima peternak relatif rendah (SARAGIH, 2000) . Beberapa penelitian telah mengemukakan berbagai kajian serta analisis efisiensi ekonomis penyebab relatif kecilnya penerimaan dan skala usaha di tingkat peternak . Makalah ini bertujuan untuk mengkaji secara kualitatif efisiensi teknis produksi melalui kajian potensi lahan dan efisiensi curahan tenaga kerja usahatani perkebunan . Meski berbagai literatur pendukung diimplementasi untuk memperkaya penulisan, namun disadari masih perlunya penelitian lanjutan yang lebih komprehenship atau berkaitan dengan tulisan ini . Justifikasi dan kerangka konseptual Pencanangan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan nasional . Implementasi program RPPK mengagendakan pentingnya faktor tenaga kerja melalui triple track strategy (pro-growth, pro-employment,
pro poor),
sebagai wujud keberpihakan pada pertumbuhan, kesempatan kerja, dan kemiskinan . Pembangunan pertanian bertujuan pertumbuhan perekonomian di pedesaan, secara signifikan berdampak terjadinyan perubahan berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa, dimana terjadi dinamika dan pergeseran orientasi kerja ke
280
sektor non-pertanian (industri, jasa dan perdagangan) sebagai akumulasi pelaksanaan program tersebut (KASRYNO, 1984) . Sebagai salah satu perwujudan program revitalisasi pembangunan pertanian, industrialisasi program intensifikasi usaha perkebunan diyakini mampu mentransformasi pola ketenagakerjaan tradisional (petanilburuh usahatani) menjadi modern rasional (mengusahakan sendiri usahatani perkebunan) (ARIFIN, 2000 ; 2004) . Nilai gemeinschaft antar tenaga kerja (dalam pola hubungan kerja tradisional) berubah menjadi gesselschaft, dimana hubungan antara pemilik dan pekerja berubah menjadi utilarian komersil dari semula yang bersifat patron-clien ataupun kekeluargaan . Demikian halnya dengan usaha ternak dan hasil produksinya serta bantuan kredit permodalan dari suatu institusi keuangan yang ditunjuk, merupakan salah satu program kebijakan pemerintah pada subsektor peternakan . KERAGAAN RUMAHTANGGA PETANI DAN POTENSI WILAYAH Desa Suka Maju dan Telaga Sari merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sunggal, Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dipilih untuk mengkaji potensi pemanfaatan lahan sekitar perkebunan tebu dan limbah tanaman tebu sebagai sumber pakan ternak sapi. Ke tiga puluh responden di lokasi menguasai dan mengusahakan luas lahan antara 0,5-2 ha . Di samping itu, dikaji efisiensi curahan tenaga tenaga kerja petani tebunya yang dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan ternak . Sesuai dengan tujuan penulisan makalah ini, maka relasi antara luas lahan usahatani dengan curahan tenaga kerja per ha, dan biaya produksi (di luar tenaga kerja) dengan curahan tenaga kerja, dianalisis dengan uji VMP (Value marginal product) dan fungsi produksi Cobb-Douglass . Relasi antara tenaga kerja tercurah dengan pendapatan per ha, dan pendapatan per petani dengan dengan tenaga kerja yang tercurah, dianalisis dengan uji Chi square dan Tabel kontingensi . Kondisi fisik (tataguna tanah, distribusi dan karakteristik penduduk) ke dua desa tidak berbeda jauh karena letak kedua desa yang berdekatan, yang merupakan areal pertanaman
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
tebu . baik rakyat maupun swasta dan pemerintah . Usaha intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi terpadu, serasi dan merata, meningkatkan pendapatan petani, bukan untuk ekspor semata, dan merupakan arti Was pelal_sanaan pembangunan pertanian. Dalam hal i ni, gula merupakan salah satu komoditas komcrsial perkebunan Indonesia yang srategis, yang membutuhkan suatu kebijakan sebagai upayi untuk meningkatkan produksi gula dan pendapatan petani tebu di Sumatera Utara . Ditinjau dari potensi sumberdaya lahan yang cukup Was yang merupakan areal sawah, kebun, ladang, padang rumput, dan posisi geog •afis terhadap pasar konsumen, serta diduhung iklim yang relatif kering . menjadi faktor penyebab daerah tersebut memiliki prospek cukup cerah untuk pengembangan ternak terutama sapi potong (pedaging) . Potensi lahan-lahan di sekitar areal perkebunan tebu dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengadaan pakan hijauan baik dengan sistem grazing maupun cut and carry . Hal tersebut cukup berpengaruh terhadap penekanan (efisiensi) biaya untuk pembelian pakan ternak . Untu < mencapai tingkat keefektifan yang optimal, 1 ha lahan rumput alam yang subur (king grass, rumput gajah, ataupun rumput jenis lain) dapat mencukupi kebutuhan pangan 2 hingga 5 ekor sapi potong . Selebihnya harus ditan- bah dengan pakan dari sumber lainnya . Demikan halnya dengan limbah hijauan dari • .anaman tebu yang telah diolah, limbah tanantan jagung, rumput gajah dan king grass, wortd, kulit singkong, serta jerami merupakan sumber pakan ternak yang cukup melimpah dan tersedia secara berkesinambungan di daerah tersebut . Sumber pakan tersebut telah diupayakan petani peternak agar serasi dan seimbang dengan kebutuhan pakan ternak sapi pelih<araan mereka . Dari data yang diperoleh, hampir 80% kebutuhan pakan ternak mampu dised akan alam dari potensi lahan yang ada, deng
Meski masih mengalami beberapa hambatan dari pihak perkebunan akibat terdapatnya larangan untuk menggembalakan ternak di lahan perkebunan, namun peternak dan pihak perkebunan dapat menjembati permasalahan tersebut melalui kesepakatan untuk tidak melepas ternak tanpa diawasi vleh penggembala . Perkandangan yang digunakan umumnya merupakan permanen (menetap) walau kondisinya masih sederhana. Di Sumatera Utara, pengadaan bibit relatif masih mengalami beberapa permasalahan, karena umumnya masih bergantung pada bakalan (bibit) yang diimpor . Dewasa ini bibit/bakalan galur sei putih sudah dapat diandalkan dan merupakan unggulan, meski jumlahnya masih terbatas . Selain jenis tersebut, galur barbados dan sin cruil juga sering diternakkan, namun relatif sulit untuk memperoleh bibitnya (bakalan) . Kesulitan tersebut umumnya disebabkan kebiasaan yang cenderung petemak memelihara sapi jantan . Pemerintah Sumatera Utara menghadapi masalah pemenuhan permintaan daging sapi sekitar 180 .000 hingga 250 .000 ekor sapi potong setiap tahunnya yang diatasi dengan mengimpor sapi antar pulau maupun dari luar negeri untuk dapat memenuhi kebutuhan daging di wilayahnya . Beberapa upaya yang memerlukan penanganan sedini mungkin adalah pemberantasan penyakit hewan dan menggiatkan IB . Efisiensi curahan tenaga kerja petani peternak Berkaitan dengan pemanfaatan tenaga kerja mereka ke usaha peternakan, dinilai lebih menguntungkan dan jangka waktu yang lebih singkat, selain usaha di sektor jasa atau buruh pabrik dengan penghasilan harian, mingguan atau bulan yang lebih nyata, mempengaruhi pola dan strategi petani mengalokasikan dan mendiversifikasikan lapangan usaha bagi tenaga kerja di luar usahatani tebu (sekitar 8-9 bulan) . Dari sisi curahan tenaga kerja untuk tanaman plant cane dan ratoon konversi dirinci pada Tabel 1 .
28 1
Lokakatya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
Tabel 1 . Curahan tenaga kerja pada tanaman plant cane (PC) dan ratoon konversi Plant ratoon konversi Uraian pekerjaan Umur
HOK/ha
Uraian pekerjaan
Menyusun bakar klaras 0 Saluran air 0 Tanam/kepras 0 Trash rake/ripper 5-10 Pupuk 5-10 Sisip 5-15 Menyiang 1 x 5-15 Menyiang 2x 30-40 Cuci parit 30-40 Membumbun 40-45 Menyiang 3x 50-60 Cuci parit 50-60 Herbisida 70-90 Klentek lx 150-180 Klentek 2x 210-240 10-12 bulan Tebang
2,00 3,00 4,00 mesin 12,10 5,00 13,80 13,80 1,25 17,25 13,80 1,00 2,50 19,70 19,70 borong
Buka kebun. Pengolahan tanah Tanam Cuci parit Pupuk lx Herbisida Sulam/sisip Menyiang lx Saluran air Memupuk 2x Membumbun Menyiang 2x Saluran air Menyiang 3x Klentek lx Klentek 2x Tebanglx
Jumlah
128,90
Plant cane konversi Umur (hari)
HO,QHa 1-2 bulan sebelum tanam 2 .00 1 bulan sebelum tanam 11,20 0 19,70 0 4 .50 saat tanam 5 .70 0-5 2.50 21-30 2 .00 30-40 13,80 2,25 30-40 35-40 6,30 40-45 17,25 50-60 13,80 50-60 2,25 70-90 13,80 150-180 19,70 210-240 19,70 10-12 bulan borongan
Jumlah
15(,35
Keterangan : Pekerjaan membumbun dan menyiang dapat diganti dengan mekanisasi Sumber: ROOSGANDA (2006) Pada Tabel 2 diperoleh gambaran curahan tenaga kerja di lapang adalah 150,36 HOK per hektar untuk setahun tanam dengan kisaran 125,5 hingga 164,65 HOK, yang tidak berbeda jauh dengan pedoman yang dikeluarkan Kanwil Disbun Sumut yaitu sekitar 156 HOK untuk pertanaman awal (plant cane) dan sekitar 129 HOK pada tanaman ratoon (keprasan) . Hal ini mengimplikasikan bahwa usahatani tebu hanya membutuhkan alokasi tenaga kerja rumahtangga secara intensif selama lebih kurang 4 - 5 bulan saja per setahun tanam . Dalam hat pencurahan tenaga kerja tingkat efisiensi petani berlahan Was lebih tinggi dari petani berlahan sempit . Dengan fungsi produksi Cobb douglass antara tenaga kerja dan pendapatan diperoleh nilai Y = 10,62X°,39 dengan efisiensi ekonomis sebesar 3,71 untuk ° petani belahan sempit . Nilai Y = 449,99X ' 37 dengan efisiensi ekonomis 3,57 untuk petani berlahan luas . Diperoleh fungsi produksi Y = °,°5 55,68X dengan VMP/Px sebesar 0,46 antara tenaga kerja dengan pendapatan dalam biaya produksi . Dengan analisis Chi square, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara jumlah tenaga kerja yang tercurah dengan
282
tingkat pendapatan responden per ha, dimana X2h = 0,536 lebih kecil dari X 2t5 % . Terdapatnya relasi signifikan antara tenaga kerja ter wah terhadap pendapatan per petani, di mana terdapat perbedaan signifikan dari hasil pengujian yang diperoleh yaitu nilai X2h > X2t 5% .
Keragaan pendapatan rumahtangga dari tebu dan ternak Sementara itu, tahun 1998-2002 korversi pendapatan per tahun yang diperoleh rumahtangga petani tebu rakyat di I :edua kabupaten adalah Rp . 4 juta - Rp . 4,8 juta untuk tanaman tebu awal . Cukup besar peningkatannya bila dibanding perolehan pendapatan tahun 1988-1995 (berkisar Rp. 850 .000 hingga Rp. 1,3 juta), namun penerimaan petani di kedua kabu 3 aten termasuk tinggi, dengan membandir gkan pendapatan yang diterima oleh petani tebu di Jawa Timur . Dari ratoon (kepras) I diperoleh pendapatan sekitar Rp . 3,3 juta (kisaran Rp . 3 juta - Rp . 3,8 juta) . Sedang dari ratoon II diperoleh sekitar Rp . 2,5 juta dan sekita - Rp .
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
1,5 juta ratoon III . Berdasarkan pengalaman petani dan anjuran pihak perkebunan dan penyuluh, maka ratoon IV sebaiknya diganti dengan tanaman tebu awal kembali karena pero ehan pendapatan sudah sangat kecil . Tabel 2 . Luas lahan tebu, curahan tenaga kerja, produksi responden (per ha) di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, tahun 2005-2006 No . 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rate an
Luas lahan (ha) TK tercurah Produksi (HOK) (ton) 0,60 150,60 70 0,80 158,59 77 0,50 159084 68 0,60 147,60 68 0,80 155,80 72 0,70 161,33 85 1,40 137,97 76 1,50 140,83 75 2,00 150,40 75 0,75 159,00 75 1,50 144,23 72 2,00 147,65 78 0,50 125,50 65 2,00 164,65 73 1,80 147,23 69 144,90 0,80 70 1,00 154,03 70 0,60 143,12 82 1,50 155,65 76,5 0,75 158,50 75 0,60 148,90 73 1,50 142,90 68 0,75 162,26 65 0,90 158,73 70 0,75 146,46 72 0,90 147,80 78 0,50 151,10 74 1,40 138,19 70 1,80 150,34 70 2,00 156,80 70 1,80 150,36 73,12
Sumb , 3r : Data primer diolah
Cukup tajamnya perbedaan penerimaan tersebut, lebih disebabkan booming harga yang melanda komoditas perkebunan tanaman keras, akibat terjadinya lonjakan nilai tukar valuta
asing terhadap rupiah karena krisi moneter yang melanda dunia pada tahun 1998 . Namun dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah mencabut subsidi pupuk (awal tahun 1999) mempengaruhi pendapatan petani pada tahun berikutnya. Besarnya pendapatan petani tebu juga dipengaruhi oleh tipe lahan dan status tanaman tebu. Pendapatan yang diterima petani juga dipengaruhi retribusi biaya non-teknis (kelompok tani, Satpel Bimas, KUD) dan berbagai faktor yang institusional sifatnya, seperti : 1) tengkulak umumnya menguasai pemasaran (sebagai pemilik modal, merangkap sebagai penyewa lahan), sehingga bargaining position petani lemah/harga ditentukan para tengkulak ; 2) kerugian pada seorang petani anggota adalah ditanggung bersama berdasarkan ketentuan lembaga pengelolaan tebu secara berkelompok ; 3) petani dapat menjual produk kepada perkebunan berharga lebih tinggi, dimana pola pemasaran tebu relatif terbuka, terutama tebu rakyat murni . Sementara itu, dari usaha ternak sapi dengan skala usaha kecil (1-3 ekor), peternak memperoleh pendapatan sekitar Rp . 3 juta hingga Rp. 6 juta (tahun 2000-an). Penerimaan dari ternak meningkat pada tahun-tahun berikutnya, dimana pada tahun 2006, peternak skala kecil mengakui mampu menerima sekitar Rp . 8 juta hingga Rp . 15 juta dari hasil penjualan sapi mapun bibit bakalan . Penerimaan tersebut belum termasuk pendapatan yang diperoleh dari menjual kotoran ternak sebagai pupuk kandang (pukan) . Manfaat lain adalah meningkatnya produksi dan produktivitas usahatani sebagai efek positip dari semakin suburnya lahan usahatani karena diberi pupuk dasar kotoran ternak, serta berkurangnya biaya pembelian pupuk buatan pabrik . Dengan demikian, tenaga kerja sebagai faktor produksi utama mayoritas petani, dimana makin terbatasnya lahan usahatani (bahkan landless), relatif rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan memposisikan keterpurukan dan ketakberdayaan mereka . Konteks tersebut mesti selalu dialiniasi dan dipertimbangkan dalam setiap program kebijakan pembangunan . Aplikasi inovasi pemanfaatan lahan perkebunan sebagai potensi dan kajian efisiensi curahan tenaga kerja usahatani niscaya dapat berdaya guna, apabila program pembangunan pertanian mampu
283
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
menstimulir dan mengaliniasinya (berikut dampaknya), dengan bijaksana, berpihak, dan berkesinambungan . Secara komprehensif, kebijakan pemanfaatan lahan perkebunan dan sekitarnya sebagai potensi penyedia pakan ternak dan efisiensi curahan tenaga kerja usahatani agar dapat dimanfaatkan ke pengembangan bidang peternakan, proteksi dan dukungan panen dan pasca panen (harga jual) terkait peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petaninya . KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1 . Potensi lahan yang luas dan kondisi iklim yang cocok untuk ternak mencerminkan terdapatnya prospek cerah untuk mengembangkan usaha peternakan di Sumatera Utara . 2. Belum mampunya subsektor peternakan memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia, antara lain disebabkan : 1) belum optimalnya efisiensi pemeliharaan ternak ; 2) belum terpenuhinya permintaan bibit/bakalan ; 3) belum optimalnya kapasitas peternak dalam mengembangkan usaha ternak mereka ; 4) terjadinya persaingan yang timpang antar pasar output ternak; 5) terlalu berfluktuasinya harga bibit lokal dengan impor, karena pemerintah belum mampu menjamin ketersedian bibit yang dibutuhkan di pasaran ; 6) tingginya tariff retribusi pengiriman ternak antar daerah . 3 . Terjadi peningkatan pola pikir petani dalam memanfaatkan sisa waktu/hari kerja ke usaha peternakan (dan usaha non-pertanian lainnya) selayaknya diakomodir dan difasilitasi pemerintah melalui berbagai insentif, seperti pemberian bantuan langsung mandiri maupun kredit lunak dan terjangkau .
284
4 . Dampak perubahan sosial ekonomi yang telah terjadi bukanlah sebagai suatu keniscayaan semata, demi mendukung strategi revitalisasi pembangunan pertanian di pedesaan . Pemerintah diharipkan mampu mengantisipasi dan Inengakomodasikan inovasi ketenaga kerjaan dan efisiensi curahan tenaga kerja petani tebu rakyat . Demikian pula pengalihan pemanfaatan hari kerja yang tersisa ke bidang peternakan yang mampu menyerap dengan positip dan terbukti mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga di pedesaan . DAFTAR PUSTAKA B. 2004 . Kebijakan produksi dan perdagangan gula nasional . Prosiding Kebijakan Industri Gula Indonesia. Pebuari 2004. Surabaya .
ARIFIN,
K . 2002 . Model perencanaan te padu . Proyek pengembangan sapi melalui pola integrasi tanaman ternak . Badan Litbang Pertanian .
DIWYANTG,
F . 1984 . Perkembangan penycrapan tenaga kerja pertanian dan tingkat upah . Prospek Pembangunan Ekonomi Pedasaan . Obor, Jakarta .
KASRYNO,
Restrukturisasi ketenagak--rjaan dalam proses modernisasi berdl .mpak perubahan sosial pada masyarakat petani . Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis . SOCA 6(1) : 13-30 . Pebruari 2006 .
ROOSGANDA . 2006 .
2000 . Agribisnis berbasis petentakan . USESE Found. dan Pusat Studi Pertmian, Institut Pertanian Bogor, Bogor .
SARAGIH, B .
D . K . S . 2000 . Dampak krisis ekunomi terhadap prospek pengembangan peter iakan sapi perah . Pusat Penelitian Sosial Ekonomi . Bogor.
SWASTIKA,