Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
PEMANFAATAN BUNGKIL KARET SEBAGAI BAHAN PAKAN POTENSIAL UNTUK RUMINANSIA OBIN RACHMAWAN dan MANSYUR Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran JI. Raya Bandung - Sumedang Km 21. Jatinangor 40600 E-mail: mancuv(divahoo.com
ABSTRAK Keterbatasan dalam peningkatan dan pengembangan produktivitas ternak di daerah tropis adalah ketersediaan sumberdaya pakan yang berkualitas . Eklporasi dan pengkajian berbagai sumberdaya lokal yang potensial untuk sumber pakan sangat diperlukan . Salah satu sumberdaya lokal yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku pakan yang jumlahnya melimpah dan kualitas cukup baik adalah bungkil biji karet . Kandungan HCN menjadi kendala dalam menggunakan bungkil biji karet secara langsung sebagai sumber bahan pakan, tetapi dengan melakukan berbagai metode pengolahan kandungan HCN tersebut dapat dikurangi, dan pakan dapat dihilangkan dengan metode fermentasi dengan menggunakan Rhizopus oligoporus . Bungkil biji karet terfermentasi dapat meningkatkan ketersediaan pakan, dan pemberiannya pada ternak dapat meningkatkan produktivitas temak . Kata kunci : Bungkil biji karet, sumberdaya pakan
PENDAHULUAN Salah satu permasalahan dalam pengembangan ternak di daerah tropis adalah tidak tersedianya pakan yang mencukupi dalam jumlah dan kualitas, sehingga menyebabkan turunnya produktivitas ternak . Pada ternak ruminansia misalnya, sampai hari ini masih pemberiaan pakannya hanya berkutat pada rumput saja, itu pun rerumputan yang terdapat di sekeliling tempat tinggal, seperti pekarangan, pematang sawah, hutan, pinggiran jalan, dan perkebunan . Seperti diketahui bahwa kualitas rumput-rumput tersebut sangat rendah, kaya akan jumlah serat dan protein yang rendah . Belum lagi, ketersediaannya yang terbatas pada musim kemarau . Telah banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalah tersebut, diantaranya teknologi konservasi hijauan pada saat berlimpah, introduksi jenis hijauan unggul, dan suplementasi pakan, atau bahkan dengan diversifikasi sumber bahan pakan . Penganeka ragaman jenis bahan makanan merupakan salah satu alternatif, dimana petani dikenalkan dengan bahan pakan lain yang dapat digunakan sebagai sumber pakan . Salah satu bahan pakan yang dapat digunakan adalah bungkil biji karet . Pembangunan peternakan di masa yang akan datang harus berbasis pada kekuatan lokal yang dipunyai . Pengembangan dengan meng-
andalkan sumberdaya dari luar hanya akan memperbesar ketergantungan dan memperkecil kemandirian . Pada makalah ini, kami akan membahas potensi yang dipunyai oleh bungkil biji karet sebagai sumber bahan pakan potensial untuk ternak .
TANAMAN KARET, BIJI KARET DAN BUNGKIL BIJI KARET Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) berasal dari negara Brasilia, Amerika Selatan dan masuk ke Indonesia diperkirakan pada tahun 1903 ke Pulau Sumatera (kita kenal sebagai pulau perca = karet), sedangkan masuk ke Pulau Jawa diperkirakan tahun 1906 (SULAIMAN dan YUSUF, 1980) . TJAHYONO (1980) melaporkan tatanama dari tanaman karet yaitu : Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Graniales, Famili : Euphorbiaceae, Genus : Hevea, Spesies : brasiliensis. Tanaman karet ini tumbuh baik di Indonesia pada ketinggian tempat 1-200 m di atas permukaan air laut, curah hujan 25004000 mm/tahun dengan jenis tanah Latosol (SOEPRAPTO dan SUHARTONO, 1982) . Tanaman karet sekarang sudah menyebar hampir keseluruh kepulauan di Indonesia, yang dikenal dengan perkebunan karet rakyat (84,7%), perkebunan karet negara (7%) dan perkebunan
243
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak I
karet swasta (8,3%) . Perkebunan karet ini merupakan komoditas non migas berupa getah karet (latek) yang menjadi salah satu andalan ekspor. Dewasa ini diperkirakan luas areal tanaman karet di Indonesia mencapai 3,5 juta hektar lebih dan merupakan produksi karet kedua setelah Malaysia (DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN, 1997) . Produksi utama dari tanaman karet adalah getah karet yang disadap dari pohon karet pada umur 4-5 tahun, sedangkan buah karet mulai dihasilkan pada umur 5 tahun dan produksinya terus meningkat sesuai dengan semakin bertambahnya umur tanaman karet (ARITONANG, 1986) . Musim berbuah tanaman karet di Indonesia berbedabeda, seperti di Pulau Sumatera panen buah karet pada bulan Oktober sampai Nopember dan di pulau Jawa pada bulan Januari sampai bulan Maret (BACHTUM, 1983, dan ARITONANG, 1986) . Buah karet terdiri dari 2, 3 dan 4 kotak yang masing-masing kotak berisi satu biji karet . Berarti kalau ada 4 kotak dalam buah karet tersebut terdapat 4 biji karet dan kebanyakan buah karet berisi tiga biji karet . Buah karet ini akan matang dan pecah sendiri pada umur 5-6 bulan dari mulai berbunga, jadi buah karet ini termasuk tanaman polong . Biji karet berbentuk bulat sampai bulat telur, berdiameter 1,5-2 cm, tempurung bijinya keras, berwarna coklat, dan setelah tempurung bijinya dipecahkan terdapat daging biji karet berwarna putih sampai putih kekuningkuningan. Menurut NADARAJAH et al., (1973), biji karet berbentuk bulat hingga lonjong, kulit/tempurungnya keras, berwarna coklat, bobot per biji antara 3-5 g kering jemur . Dari tiap-tiap butir biji karet dihasilkan 40% bobot tempurung biji karet dan 60% daging biji karet, dan menurut laporan TOH dan CHIA (1977) daging biji karetnya sebanyak 56,7% dan sisanya berupa kulit/tempurung biji karet. Produksi biji karet dari berbagai negara berbeda-beda tergantung kepada kesuburan tanahnya, kultivar/kion, iklim, dan ada tidaknya serangan penyakit pada saat berbunga (BAHASUAN, 1984 dan ARITONANG, 1986) . STOSic dan KAYKAY (1981), memperkirakan produksi biji karet di Liberia adalah 800-1200 kg/ha/tahun . TOH dan CHIA (1977) dari Malaysia melaporkan produksi biji karet sebanyak 2,25-3,00 ratus ribu biji karet/ha/
244
G
tahun dengan bobot tiap kg berisi 200 butir biji karet . Jauh sebelumnya SUTEDJO (1970) melaporkan bahwa jumlah biji karet setiap kilo gramnya sebanyak 250-300 butir biji karet kering jemur. Tingginya produksi biji karet ini memberikan harapan baik untuk dijadikan industri minyak biji karet sebagai bahan baku industri pembuatan sabun dan pengering minyak cat. Sementara itu hasil ikutan/ sampingan industri minyak biji karet adalah bungkil biji karet (BBK) dapat dijadikan bahan makanan ternak (NADARAJAH et al., 1973 dan PARAKASI, 1983) . ARITONANG (1986) memperhitungkan produksi minyak biji karet (MBK) berkisar antara 30-40% dan bungkil biji karet (BBK) 60-70% dari daging biji karet. Sebelumnya ONG dan YEONG (1977) memprediksi produksi bungkil biji karet dari sisa pembuatan minyak biji karet adalah 55-60% . Adanya perbedaan produksi MBK dan BBK ini diduga bergantung pada teknologi pengolahannya . Menurut PARAKASI (1983) produksi MBK yang dipres secara hidrolik adalah 44% dan BBK 50% dan sebanyak 6% merupakan bahan yang hilang selama proses pengolahan . Produksi tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian HARDJOSUWITO dan HOESNAN (1976) yang memperkirakan produksi minyak biji karet sebanyak 40-50% dan sisanya berupa bungkil biji karet . KOMPOSISI ZAT MAKANAN BIJI KARET DAN BUNGKIL BIJI KARET Biji karet merupakan produksi sampingan perkebunan karet, yang secara alamiah biji karet tersebut jatuh terlontar ke tanah setelah mencapai kematangan tertentu . Untuk memperoleh daging biji karet maka biji karet terlebih dahulu harus dipecahkan tempurungnya/kulitnya . Daging biji karet inilah yang merupakan sumber minyak biji karet dan protein yang cukup tinggi, dan menjanjikan prospek cerah setelah melalui yang pengolahan. Teknologi pengolahan biji karet menjadi minyak biji karet ada beberapa cara seperti menggunakan tekanan hidrolik yang dilakukan oleh PARAKASI (1983) yaitu : biji karet dikupas tempurungnya, dijemur sampai kering, dipres pada tekanan dan waktu tertentu, sehingga diperoleh MBK dan BBK . Tinggi
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
rendahnya tekanan/pengepresan dan lama waktu pengepresan akan mempengaruhi tinggi rendahnya produksi MBK dan BBK sebagai hasil sampingan . Metode lain pembuatan MBK yaitu dengan menggunakan mesin oil expeller dan cara solvent (kimia) seperti yang dilakukan oleh DEVENDRA (1979), RozANI (1986). Cara oil expeller yaitu biji karet (tak dikupas) di panaakan pada steam cooker pada suhu 160 0 C selama 30 menit . Dalam keadaan panas biji karet dimasukan ke dalam barrel melalui vertical feeder, lalu dengan tekanan sekrup (screw pressure) didapat MBK dan BBK secara terpisah . BBK dalam bentuk bongkahan dihancurkan/digiling dengan hammer-mill dan disaring dengan saringan berdiameter 28 mesh, sehingga BBK dalam bentuk tepung yang siap digunakan sebagai pakan ternak . Cara solvent (kimia) yaitu : biji karet dikupas terlebih dahulu kulit/tempurungnya, kemudian daging biji karet dipotong-potong lebih kecil agar permukaannya lebih luas, lalu dilakukan ekstraksi menggunakan hexan pada suhu 80 °C, lalu diuapkan secara vakum dalam rotari evaporator selama satu jam, dan diperoleh MBK, sedangkan hasil sampingannya berupa BBK terlebih dahulu dilakukan pengukusan pada suhu 90100 ° C selama setengah jam, lalu dikeringkan, dan siap digunakan sebagai pakan ternak . Hasil analisis kimia BBK mesin oil expeller dan cara solvent (kimia) disajikan pada Tabel 1 . Tabel 1 . Komposisi zat makanan BBK hasil mesin oil expeller dan cara solvent Zat makanan
Mesin oil expeller ova
Cara solvent
93,30 28,00 11,30 13,90 4,50 42,10 0,13 0,50
77,00 24,00 0,30 10,00 2,00 63,70 0,08 0,70
Bahan kering Protein kasar Lemakkasar Serat kasar Abu
BETN Ca P Sumber:
DEVENDRA
(1979)
Dilihat dari kandungan zat-zat makanan yang dihasilkan BBK dengan mesin oil expeller dibandingkan dengan cara solvent ternyata mesin oil expeller lebih tinggi . Hal tersebut diduga karena zat-zat makanan dengan
cara solvent banyak yang rusak oleh hexan dan suhu tinggi, di lain pihak dengan mesin oil expeller biji karetnya tidak dikupas, sehingga zat-zat makanannya terlindung oleh kulit biji karet pada saat dilakukan pemanasan . Menurut penelitian BACHTUM (1983) biji karet mengandung 45-50% minyak biji karet dari minyak tersebut mengandung 17-22% asam lemak jenuh dan sisanya merupakan asam lemak tidak jenuh . Jauh sebelumnya dilakukan penelitian oleh OROK dan BOWLAND (1974) bahwa MBK mengandung 19% asam lemak jenuh dan 81% asam lemak tidak jenuh . Selanjutnya dijelaskan secara rinci komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada minyak biji karet disajikan pada Tabel 2 di bawah . Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa minyak biji karet asam lemak jenuhnya ditandai dengan kandungan asam lemak stearat yang tinggi dibandingkan dengan asam lemak jenuh lainnya . Pada asam lemak tidak jenuh ditandai dengan tingginya asam lemak linoleat, sedangkan asam lemak tidak jenuh lainnya berada dibawahnya . Tabel 2 . Komposisi asam lemak dari minyak biji karet Asam lemak Asam Iemak jenuh : Myristat (tetradekanoat) Palmitat (heksadekanoat) Stearat (oktadekanoat) Arachidat (eikosanoat) Total Asam lemak tidak jenuh Palmitoleat (heksadekanoat) Oleat (oktadekanoat) Linoleat (oktadekadienoat) Linolenat (oktadekatienoat) Arachidonat (eikosatetraenoat) Total
Kandungan 0,1 8,1 10,5 0,3 19,0 0,3 21,5 37,3 21,7 0,2 81,0
Sumber : OROK dan Bowi.AND (1974) Produk sampingan dari pembuatan MBK adalah BBK yang merupakan bahan pakan ternak, baik ternak non ruminansia maupun ternak ruminansia . BBK ini mulai banyak menarik perhatian para peneliti, karena kandungan gizinya tinggi . Menurut ARITONANG (1986) biji karet dan BBK mengandung protein kasar antara 20-38%,
24 5
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
bergantung pada kultivar karetnya, iklim, kesuburan tanah dan teknik pengolahannya. Komposisi zat-zat makanan dari biji karet dan BBK hasil analisis proksimat dari beberapa orang peneliti disajikan pada Tabel 3 . Melihat komposisi nutrisi yang dipunyai bungkil biji karet dapat digolongkan sebagai
pakan sumber protein, karena kandungan protein kasarnya di atas 20% (TILLMAN et al ., 1984) . Kandungan protein kasar dari biji karet berkisar antara 17,25% sampai 22,5%, sedangkan kandungan protein kasar untuk bungkil biji karet berkisar antara 25,1% sampai 36,5% .
Tabel 3 . Kompisisi zat-zat makanan biji karet dan bungkil biji karet dari beberapa peneliti Biji karet Komposisi zat makanan Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN Abu Ca P
1
2
3
4
93,0 17,25 42,23 5,57 24,49 3,37 -
85,5 22,5 49,5 3,8 20,7 3,5 0,48 0,64
90,00 29,99 11,38 7,59 34,83 6,21
92,0 25,1 11,6 5,4 45,3 4,6 0,3 0,62
Bungkil biji karet 5 6 90,6 33,2 11,6 6,4 33,1 6,3 0,8 0,85
Sumber : 1 . BAHASUAN (1984) ; 2. IPB BOGOR (1986); 3 . KAROSI et al. (1985) ; 4 . ONG (1983) ; 6 . STOSIC
dan
dan
91,5 36,5 8,5 4,4 45,3 5,3 0,88 0,94
7 94,1 32,2 14,1 17,6 24,4 6,0 0,11 0,46
YEONG (1977); 5 . PARAKASI
KAYKAY (1981); 7 . ARITONANG (1986)
Tabel 4 . Kandungan asam amino biji karet dan bungkil biji karet Biji karet Asam amino Alanin Argini Asam aspartat Cystein Asam glutamat Glisin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Methionin Phenilalanin Prolin Serin Threonin Valin Triptophan Tirosin Sumber :
246
1
2
0,80 1,96 1,72 0,24 2,82 0,70 0,35 0,51 1,06 0,64 0,43 0,65 0,82 0,82 0,58 1,13
0,79 1,50 1,65 0,21 2,39 0,59 0,29 0,54 1,40 0,48 0,17 0,62 0,70 0,68 0,50 1,53
Bungkil biji karet 3 4 1,10 1,98 2,64 0,57 3,50 0,93 0,70 1,40 0,70 0,28 0,78 0,93 1,00 0,73 1,53 -
0,54 1,28 3,21 2,96 0,42 0,82 1,14 0,69 0,56 0,21 0,69 0,62 0,30 0,56 0,39 0,62 0,31
5 0,69 2,00 4,17 4,65 0,59 0,88 1,87 0,99 0,62 0,72 0,80 1,62 0,47 0,86 0,56 0,54 0,59
1 . ARITONANG (1986), biji karet disangrai ; 2 . STOSIC dan KAYKAY (1981); 3 . TOH dan CHIA (1977) ; 4 . NARAHARI dan KOTHANDARAMAN (1984), biji karet tidak dikupas ; 5 . NARAHARI dan KOTHANDARAMAN (1984), biji karet dikupas
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
Kadar lemak bungkil biji karet cukup rendah yaitu berkisar antara 8,5% sampai 14,1% . Bagaimana agar potensi zat-zat makanan pada bungkil biji karet ini dapat digunakan sebagai pakan ternak semaksimal mungkin, tentu saja diperlukan teknologi pengolahan yang tepat . Menurut ARITONANG (1986) menilai bahwa kandungan asam amino yang paling defisien pada bahan pakan asal nabati yaitu lisin, methionin dan triptophan, ternyata lebih rendah dibandingkan dengan asam amino yang sama pada dedak, bungkil inti sawit maupun bungkil kedelai . Secara keseluruhan kandungan asam amino dari bungkil biji karet yang dikupas dan tidak tidak dikupas tampak bahwa asam amino pada bungkil biji karet yang dikupas lebih tinggi dibandingkan dengan bungkil biji karet yang tidak dikupas NARAHARI dan KOTHANDARAMAN (1984) . Kelemahan bungkil biji karet (BBK) BAHASUAN (1984) melaporkan bahwa nilai biologis protein bungkil biji karet yaitu 38,5% jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai biologis bungkil kedelai (85,4%) maupun bungkil kacang tanah (59,4%) . Nilai biologis protein adalah persentase protein dalam makanan yang dicerna ternak dan jumlah yang digunakan untuk pertumbuhan dan maintenance (ANGGORODI, 1984) . Rendahnya nilai biologis bungkil biji karet ini perlu diketahui agar dapat ditingkatkan misalnya dengan teknik fermentasi . Di samping nilai biologis yang rendah dari BBK, juga ditemukan HCN (asam sianida) yang bersifat racun pada mahluk yang memakannya . Hal inilah yang menjadi faktor pembatas penggunaan BBK sebagai pakan ternak . Senyawa racun tersebut pada tanaman, buah maupun biji disebut glukosida sianogenik (WINARNO dan JENIE, 1983) . Selanjutnya dijelaskan bahwa glukosida sianogenik terdapat pada ketela pohon, kacang-kacangan, rebung, biji apel, lemon, pear, peach, plum, biji karet, sorghum dan jagung . Biji karet dan BBK mengandung HCN cukup tinggi sehingga penggunaannya sebagai makanan ternak menimbulkan keragu-raguan. ONG dan YEONG (1977) melaporkan hasil analisis BBK yang diolah secara sederhana
mengandung HCN antara 30 ppm sampai dengan 64 ppm . Penelitian TOH dan CHIA (1977) melaporkan bahwa kandungan HCN pada BBK adalah 50 ppm, sedangkan penelitian NARAHARI dan KOTHANDARAMAN (1984) BBK mengandung HCN 29,15 ppm . Hasil analisis LISANTI (1981) Bi3K mengandung HCN 26,7 ppm, sedangkan pada biji karet segar mengandung HCN 245 ppm . Laporan dari HUSAINI (1970), PARAKASI (1983) SOEJONO dan KAMAL (1984) HCN ini mudah larut dalam air dan mudah menguap bila dipanaskan karena titik didih HCN rendah yaitu 26° C, dan enzim linamarase jadi tidak aktif, sehingga terpisah dari senyawa glukosida. Hal tersebut menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kandungan HCN dalam biji karet maupun BBK tergantung dari teknik pengolahan yang dilakukan . TOH dan CHIA (1977) melaporkan bahwa HCN dalam BBK akan mengalami pengurangan selama penyimpanan . .Makin lama waktu penyimpanan BBK kandungan HCN makin rendah, untuk lebih jelasnya dapat dikaji pada Tabel 5 . Tabel 5 . Pengaruh lama penyimpanan BBK terhadap kandungan HCN Waktu penyimpanan (minggu) 0 2 5 8 Sumber:
TOH
Kandungan HCN (ppm) 26,7 15,0 8,5 7,3
dan CHIA (1977)
Penyerapan HCN dalam tubuh melalui saluran pencernaan seperti melalui rumen pada ternak ruminansia dan melalui usus pada ternak non ruminansia (BAHRI dan TURMUDJI, 1984). Selanjutnya dilaporkan bahwa sianida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami detoksifikasi dengan bantuan tiosulfat dan enzim rodanase (sulfurtransferase) menjadi tiosianat . Adapun reaksinya adalah : HCN + Na2 S 2O 3 `°d 8 nas`~ HSCN + Na2 SO 3 Selanjutnya dikemukakan bahwa nitrit, tiosulfat dan vitamin B 12 (hidroksil-cobalamin) merupakan penawar keracunan oleh HCN . SIEGMUND (1979), BAHRI dan TURMUDJI (1984) mengemukakan bahwa terjadinya keracunan HCN terkait dengan enzim
247
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
pernafasan yaitu cytochrom oksidase . Reaksi antara cytochrom oksidase dengan HCN terjadi di dalam sel mitohondria yang akan menghambat pernafasan . Oksihemoglobin tidak bisa melepaskan oksigen yang dibutuhkan untuk proses perpindahan elektron, sehingga oksigen tak bisa digunakan oleh sel. Selanjutnya terjadi perubahan warna darah menjadi merah cerah dan lama kelamaan akan menggumpal . Tanda-tanda keracunan HCN yaitu pernafasan cepat, menggigil, nafas sakit, paralisis, kejang-kejang, lemah, koma dan meninggal (WINARNO dan JENIE, 1983) . Selanjutnya dijelaskan bahwa senyawa glukosida sianogenik kalau terhidrolisa akan melepaskan ion sianida (CN) yang bersifat racun. Kemudian ion sianida tersebut akan berikatan dengan cytochrom oksidase sehingga proses oksidatif seluler tidak bisa berlangsung, karena tidak dapat menggunakan oksigen . Menurut penelitian TOH dan CHIA (1977) kandungan HCN dalam bungkil biji karet (BBK) di bawah 50 ppm tidak memperlihatkan gajala keracunan HCN . ONG dan YEONG (1977) melaporkan bahwa dosis lethal HCN pada ternak sapi 2,2 mg/kg bobot badan dan pada domba 2,4 mg/kg bobot badan . Selanjutnya dikemukakan bahwa ternak domba dengan bobot badan 40 kg akan mati kalau mengkonsumsi 98 mg HCN. Adanya perbedaan dosis lethal HCN pada ternak disebabkan oleh tinggi rendahnya enzim rodanase pada hati dan ginjal serta peruedaan spesies dan individu ternaknya sendiri . Menurut SIHOMBING (1977) ternak yang mengkonsumsi HCN di bawah dosis lethal secara terus menerus dapat menimbulkan penurunan lemak hati dan lemak ginjal, penurunan bobot badan, konsumsi pakan menurun dan kelenjar tiroid menjadi besar. Hal tersebut sejalan dengan STOSIC dan KAYKAY (1981) yang melaporkan bahwa kandungan HCN dalam BBK walaupun tidak mematikan akan tetapi tetap mempengaruhi kesehatan ternak secara umum . Pengaruh pengolahan BBK terhadap komposisi kimia dan HCN Bahan pangan dan pakan yang ada di alam ini berasal dari tanaman dan ternak . Pakan ternak dari tanaman dapat dikonsumsi langsung dalam bentuk segar maupun tidak
24 8
langsung yaitu melalui pengolahan terlebih dahulu . Menurut MUCHTADI dan PALUPI (1992) tujuan dari pengolahan bahan makanan adalah mengubah bahan mentah menjadi produk yang matang, lebih disukai baik dari segi warna, cita rasa, bentuk, tekstur dan nilai gizinya. Selanjutnya ditekankan bahwa nilai suatu produk makanan ditentukan oleh kandungan komposisi kimianya dan seberapa jauh komposisi kimia tersebut dapat digunakan oleh yang mengkonsumsinya . Pengolahan pakan yang terkontrol baik mampu meningkatkan komposisi kimia seperti protein, vitamin dan mineral . Namun apabila pengolahan tersebut tidak terkontrol akan menimbulkan penurunan komposisi kimia dari produk yang dihasilkan karena zat-zat gizi tersebut tidak tahan terhadap kondisi lingkungan pengolahan seperti penggunaan suhu yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama . Menurut WIRADISASTRA (1993) pengolahan bahan pakan bertujuan : (a) mempertahankan zat-zat makanan atau komposisi kimianya, (b) meningkatkan palatabilitas, (c) memperpanjang umur simpan atau daya awet, (d) mengubah zat-zat makanan menjadi lebih baik, (e) mengurangi zat anti nutrisi dan racun, dan (fl mengubah ukuran dan bentuk dari bahan . LASSEN (1965) mengemukakan bahwa pengolahan bahan makanan dengan panas bertujuan untuk mempertahankan zat-zat gizi, memperbaiki tekstur dan cita rasa serta meningkatkan daya cerna . Teknik pengolahan dengan menggunakan panas antara lain adalah dikukus dan direbus . Pengukusan yaitu pengolahan bahan dengan menggunakan uap air panas dari air yang mendidih (suhu ± 100 °C) . Perebusan bahan makanan yaitu pengolahan bahan dalam air mendidih dimana bahan yang diolah kontak langsung dengan air yang mendidih. Kelemahan dari pengolahan bahan makanan dengan menggunakan panas adalah menurunnya komposisi kimia dari produk olahan tersebut, sehingga perlu pengendalian yang ketat dan tepat terhadap waktu dan suhu pengolahan sesuai dengan karakteristik dari bahan yang diolah. Panas yang terlalu tinggi akan merusak protein terutama asam amino lisin dan daya cernanya mengalami penurunan yang ditandai dengan warna coklat (HURRELL,
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
1990 ; MUCHTADI dan PALUPI, 1992) . Menurut TILLMAN et al., 1984), WINARNO (1993), bahan makanan yang diolah dengan panas akan terjadi denaturasi protein yaitu perubahan molekul protein dari bentuk koloidal menjadi menggumpal atau koagulasi . Selanjutnya dikemukakan juga bahwa pemanasan dapat menyebabkan protein terhidrolisis yaitu protein mengalami penguraian menjadi asam amino dan peptida yang Iebih sederhana, sehingga ketersediaannya dalam produk olahan menjadi berkurang. Dengan demikian lama waktu dan tinggi rendahnya suhu pemanasan perlu diperhatikan agar didapat produk olahan sesuai dengan yang diharapkan . Sehubungan dengan hal itu BRENES et al. (1993) menyatakan bahwa lama waktu pemanasan yang baik berkisar antara 15 - 30 menit . Apabila waktu pemanasan kurang dari 15 menit bahan makanan belum matang, anti nutrisi dan racun masih aktif, sedangkan pemanasan Iebih dari 30 menit terjadi kerusakan zat-zat makanan . Pengolahan dengan panas mengakibatkan juga kadar lemak bahan makanan menjadi turun, karena lemak mengalami drip, yaitu cairan yang keluar akibat pemanasan dan terhidrolisis menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas (SUWANDI, 1990) . Menurut MUCHTADI dan PALUPI (1992) akibat dari pemanasan bahan makanan maka lemak akan mencair yang disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produk yang mudah menguap seperti : aldehid, keton, alkohol, asam-asam dan hidrokarbon yang akan mempengaruhi terbentuknya flavor. ONG dan YEONG (1977), WINARNO dan JENIE (1983) melaporkan bahwa racun dalam tanaman seperti asam sianida atau HCN akan rusak dan jumlahnya berkurang dengan pengolahan panas seperti dikukus dan direbus, karena titik didih HCN rendah yaitu 26 °C, sehingga terjadi penguapan dan penguraian ikatan sianogenik glukosida yang akibatnya HCN berkurang . Upaya lain dalam menurunkan kandungan HCN dari bahan makanan adalah direndam dalam air mengalir . Cara ini telah dilakukan oleh nenek moyang kita dahulu kala dalam menghilangkan racun dari buah kluwih . Daging biji kluwih disimpan dalam keranjang yang terbuat dari bambu lalu diikat dan simpan dalam air mengalir selama 2-3 hari . Ternyata hasilnya sangat baik karena setelah perendaman dalam air mengalir
kemudian dimasak dan apabila dikonsumsi tidak menimbulkan keracunan . HCN disini akan larut terbawa air karena air akan menekan masuk ke dalam bahan makanan tersebut yang disebabkan oleh perbedaan tekanan dari luar bahan lebih besar daripada didalam bahan sehingga air yang berada di dalam bahan anan keluar sambil membawa komponen-komponen dari bahan makanan termasuk HCN . Jadi, upaya perendaman dalam air mengalir ini bahan masih tetap mentah dan perlu dimasak terlebih dahulu sebelum bahan tersebut dikonsumsi . RACHMAWAN dan MANSYUR (2006a) melaporkan bahwa perlakuan dengan cara fisik yang disebutkan diatas, seperti pengukusan, perebusan, dan perendaman dalam air mengalir dapat mengurangi kandungan HCN yang dipunyai oleh bungkil biji karet, dan pengukusan selama 30 menit mempunyai kualitas yang cukup baik . Selain itu, cara pengukusan akan relatif lebih mengamankan secara lingkungan . Selanjutnya penggunaan metode fermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus oligoporus dapat menghilangkan sama sekali HCN yang terkandung dalam bungkil biji karet (RACHMAWAN dan MANSYUR, 2006b), sehingga penggunaan bungkil biji karet sebagai pakan sangat aman . RACHMAWAN (2001) melaporkan adanya peningkatan kandungan asam-amino melalui proses fermentasi dengan menggunakan Rhizopus oligoporus. Sehingga ditinjau dari kandungan nutrisinya dari bungkil biji karet yang difermentasi sangat bagus dan bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak . Bungkil biji karet sebagai makanan ternak Bungkil biji karet (BBK) merupakan hasil sampingan atau limbah dari industri minyak biji karet (MBK) . NADARAJAH (1973), ONG dan YEONG (1977) melaporkan bahwa industri MBK di Sri Langka dan Malaysia berkembang dengan pesat, dan BBK banyak diteliti pada trnak unggas maupun ternak babi . Jauh sebelumnya MORISSON (1959) mengemukakan bahwa BBK kurang disukai oleh temak sebagai pakan tunggal . Penelitian pemberian BBK pada sapi perah dan sapi potong di Inggris hasilnya memuaskan, namun pada ternak domba BBK kurang disukai walaupun di campur dengan bahan makanan yang lain .
2 49
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
Tabel 6 . Peningkatan kandungan asam-amino pada bungkil karet yang difermentasi Asam amino Aspartat Glutamat Serin Histidin Glysin Threonin Arginin Alanin Tyrosin Methonin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Lysin
Kadar asam amin (%) Bungkil biji karet Bungkil biji karet fermentasi 2,92
3,57
4,95 0,97
5,78 1,12
0,44
0,83
1,06 0,68
1,48 0,99
2,61
3,14
20,30
1,26
1,55
0,67 0,16
0,79 0,18
23,02 17,91
2,13
2,51
1,05 0,96
1,33 1,23
1,62 1,57
2,12 1,65
Penelitian VISWANATHAN et al . (1979) melaporkan penggunaan BBK sebagai ransum konsentrat sampai level 30% diberikan pada sapi persilangan Jersey dan Sindhi, menghasilkan pertambahan bobot badan, daya cerna efesiensi penggunaan ransum yang lebih baik dibandingkan dengan ransum kontrol . Penggunaan BBK sampai level 25% dalam ransum konsentrat sebagai pengganti bungkil kelapa dicobakan pada sapi perah yang sedang laktasi, hasilnya tidak berpengaruh terhadap produksi susu maupun komposisi susu (JAMES et al., 1980) .
Penelitian RAJAGURU (1973) melaporkan bahwa penggunaan BBK dalam ransum ayam petelur maksimum 20%, sebab kalau lebih dari 20% akan menurunkan bobot telur dan kerabang telur menjadi tipis . Selanjutnya dikemukan bahwa dalam BBK kemungkinan ada faktor yang mengganggu metabolisme kalsium, posfor dan Vitamin D, sehingga telur infertil meningkat, daya tetas turun dan anak ayam menetas lebih ringan serta anak ayam lemah dan mudah diserang penyakit . Penelitian ONG dan YEONG melaporkan (1977) penggunaan BBK sampai level 25% dalam ransum ayam pedaging dengan tepung ikan sebagai sumber protein tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, konsumsi ransum dan efesiensi ransum . Demikian juga penggunaan BBK sampai level 25% yang
250
Peningkatan (%) 22,26 16,76 15,46 88,63 39,62 45,58
12,50 19,24 26,66 28,12 30,86 5,09
dicobakan kepada babi dapat menurunkan pertambahan bobot badan, menurunkan efesiensi penggunaan ransum, bila bungkil biji karet diberikan lebih dari 15% dalam rasum . Pengaruh BBK sampai level 40% dalam ransum babi telah diteliti oleh TOH dan CHIA (1977) . Hasilnya adalah penggunaan BBK 10% dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan dan efesiensi penggunaan ransum . Akan tetapi dengan makin meningkatnya level BBKdalam ransum akan menurunkan pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum . Penelitian HARAHAP (1973) pada ternak domba yang diberi ransum mengandung BBK, bungkil kelapa, biji karet kering dan biji karet direndam lalu dikeringkan . Hasilnya adalah ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan efesiensi penggunaan ransum . Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian ARITONANG (1986) bahwa ternak domba kurang menyukai BBK, sehingga disarankan sebaiknya diberikan dalam ransum campuran tidak melebihi 20%. Hal tersebut diduga bahwa BBK maupun biji karet yang diolah mengandung asam amino yang tidak seimbang seperti umumnya kandungan asam amino dari tanaman . Bungkil biji karet ternyata mengandung asam amino lisin, metionin dan triptophan yang jauh lebih rendah
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
dibandingkan dengan yang terdapat pada dedak maupun bungkil kelapa sawit . Akan tetapi kandungan asam amino esensial lainnya dari BBK lebih unggul dibandingkan dengan yang terdapat pada dedak maupun bungkil kelapa sawit . Metode fermentasi telah meningkatkan kualitas bungkil biji karet sebagi sumber makanan ternak.
Kendala-kendala
yang
dihadapi dalam pemberian bungkil biji karet tanpa
pengolahan
dapat diatasi
dengan
fermentasi bungkil biji karet tersebut . Penggunaan bungkil biji karet terfermentasi dalam ransum mempengaruhi besar
terhadap
yang sangat pertambahan bobot badan
harian, efisiensi ransum, dan bobot potong domba jantan (RACHMAWAN dan MANSYUR, 2007 a) . selain itu, kualitas daging domba yang dihasilkan baik secara kimia maupun prosentase dan potongan karkas menunjukkan kualitas yang cukup baik (RACHMAWAN dan MANSYUR, 2007 b) .
perkebunan seperti
biji
karet
potensi untuk dikembangkan menjadi sumber bahan pakan . Kendala kadar HCN dalam biji karet dapat didetoksifikasi dengan menggunakan berbagai metode fisik, kimia, dan biologis . Metode biologis dapat menghilangkan secara keseluruhan HCN . Bungkil
biji
karet
dapat
BAHRI, S ., dan TARmuDJI . 1984 . Keracunan sia: ;ida pada ternak dan cara mengatasinya. Wartazoa. 1(3): 61-64. Puslitbang Peternakan, Bogor . BRENES, A ., R.R. MARQUARDT, W . GUENTER, dan B .A . RoTTER. 1993 . Effect of enzyme supplementation on nutrition value of raw, autoclaved and dehulled lupins (Lupin albus) in chicken diets . Poultry Sci . 71 : 2281-2293 . DEVENDRA, C . 1979 . Malaysian Feeding Stuffs . Malaysian Agricultures Research dan Development Institute, Serdang, Selangor, Malaysia. DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN . 1997 . Statistik Perkebunan Indonesia 1996-1998. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. HARAHAP, M .H. 1973 . Kemungkinan penggunaan biji karet dalam ransum anak domba . Thesis . Institut Pertanian Bogor, Bogor.
KESIMPULAN Limbah mempunyai
BAHASUAN, A.H . 1984 . Pengaruh tingkat pemberian biji karet (Havea brasilleinsis) dalam ransum ayam pedaging terhadap bobot karkas, bobot lemak rongga tubun, bobot hati, dan bobot ginjal . Karya Ilmiah . Fakultas Peternakan. IPB, Bogor.
meningkatkan
ketersediaan pakan, dan pemberiannya pada ternak dapat meningkatkan produktivitas ternak .
DAFTAR PUSTAKA ANGGORODI, R. 1984 . Ilmu Makanan Ternak Umum . Cetakan ketiga. P T Gramedia. Jakarta .
HARDJOSUWITO, B ., dan A. HOESNAN . 1976 . Minyak Biji Karet, Analisis, dan Kemungkinan Penggunaannya . Menara Kehutanan BPPB . 49:225-259. HURRELL, R.F . 1990 . Influence of the mailard reaction on the nutrition value of food . In : The Mailard Reaction in The Food Processing, Human Nutrition and Physiology . Birkhouser Verley, Bessel, Switzerland . 245-258 . HUSAINI . 1970 . Biji Karet sebagai Bahan Makanan . Majalah Istisari . 84 : 156-157 . JAMES, C .S ., C .R.A SUBRAMANIAN, and T .V VISWANATAHAN. 1980 . Long term trail with rubber seed cake on milk cows . J of Vet. Sci. 2 : 1-6 .
ARITONANG, D . 1986 . Kemungkinan pemanfaatan biji karet dalam ramuan makanan ternak . Jurnal Penelitian dan Pengembangan Peternakan 5(2): 73-78 .
KAROSI, A .T ., T. DHALIKA, M. BURHANUDIN, A . ZULFIKAR, dan R. BUDIASTITI. 1985, Penggunaan bungkil biji karet untuk bahan pakan ayam . Pros . Seminar Penelitian dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak Unggas. Balitnak. 79-105 .
BACTHUM, G.D . 1983 . Pengaruh tingkat pemberian bungkil biji karet (Havea brasilliensis) dalam ransum terhadap penampilan produksi ayam pedaging . Karya Ilmiah. Fakultas Petemakan Institut Pertanian Bogor, Bogor .
LABORATORIUM NUTRISI dan MAKANAN TERNAK IPB BOGOR. 1986. Hasil Analisis Bungkil Biji Karet . Fakultas Peternakan IPB, Bogor .
25 1
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
LASSSEN. S . 1965 . Technological problems in the haet treatment of requiring more knowledge Research . In : KREUZER (Editor), The Technology of Fish Utilization . Fishing News Books . London. MoRissoN, B .F. 1959 . Feed and Feeding . Clinton Iowa. Morrison Publishing Company . MUCHTADI, D . dan N .S . PALupi. 1992 . Metode kimia, biokimia, dan biologi dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan . Pusat Antar Universitas Pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . Bogor. NADARAJAH, M ., A . ABEYSINGHE, W .C . DAYARATNE and R . THARMALINGAM . 1973 . The potential of rubber seed collection and its utilization in Srilangka . J. Rubber. Res. Ins . 8 : 9-21 . NARAHARI, D . and P. KOTHANDARAMAN . 1984. Chemical compasation and nutrition value of pararubber seed and its production for chickens . Animal Feed Science and Technology 10 : 257-267 . ONG, H.K . and S .W . YEONG . 1977 . Prospect for use of rubber seed meal for feeding pigs and poultry. Malaysian Agricultures Research dan Development Institute, Serdang, Selangor, Malaysia . OROK, E .J. and J .P. BOWLAND . 1974. Negerian para rubber seed meal as a energy and protein source for rats fed soybean meal or peanut meal supplemented diets . Canadian J Anim, Sci . 52 : 239-246 . PARAKASI, A . 1983 . Ilmu Gizi dan Makanan Temak Monogastrik . Penerbit Angkasa, Bandung. RACHMAWAN, O . 2001 . Bioteknologi bungkil biji karet oleh rhizopus oligoporus serta implikasi efeknya terhadap pertumbuhan dan mutu karkas/daging domba Priangan jantan . Disertasi Program Pascasarjana . Universitas Padjadjaran, Bandung RACHMAWAN, O. dan MANSYUR. 2006a. Detoksifikasi HCN dari bungkil biji karet (BBK) melalui perlakuan fisik. Fakultas Peternakan . Universitas Padjadjaran, Bandung. RACHMAWAN, O . dan MANSYUR . 2006b. Kondisi optimum untuk proses fermentasi bungkil biji karet oleh rhizopus oligosporus . Fakultas Peternakan . Universitas Padjadjaran, Bandung.
25 2
RACHMAWAN, O. dan MANSYUR . 2007 a. Pengaruh tingkat bungkil biji karet fermentasi dalam ransum terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan harian, efisiensi ransum, dan bobot potong domba jantan . Fakultas Peternakan . Universitas Padjadjaran, Bandung. RACHMAWAN, O . dan MANSYUR . 2007 b . Komposisi kimia daging domba Priangan jantan . Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung . RAJAGURU, A .S .B . dan S .G.D . WETrIMUNY . 1973 . Rubber seed meal as a protein supelement in poultry feeding . Rubber Res . Inst. Srilangka Bull . No 7. RozAm, H.R. 1986 . Pemanfaatan biji saga pohon (Adenanthera pavonina L.) sebagai bahan makanan dalam ransum ayam pedaging . Thesis . Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor . SIEGMUND, O .H. 1979 . The Merck Veterinery Manual . 5'b Edition. Runaway New Jersey. SIHOMBING, G. 1977 . Cyanogens in some Indonesian food and foodstuffs. CCBTM and PHSEAMEO, Jakarta . SoEJONO, M . dan M . KAMAL . 1984 . Penggunaan biji karet dalam ransum ayam petelur . Buletin Peternakan . Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. SOEPRAPTO, A.M. dan SUHARTONO. 1982 . Bercocok Tanam Karet (Havea brasilleinsis) . Balai Penelitian Perkebunan, Bogor . STOW, D .D. and J.M . KAYKAY . 1981 . Rubber seed as Animal Feed in Liberia . World Animal Review. FAO . 29-39 . SULAIMAN, Y ., dan YusuF. 1980 . Penyulingan lembar karet menjadi bahan bakar minyak karet. C V. Genep Jaya . Jakarta. SUWANDI . 1990 . Pengaruh proses penggorengan dan pengkukusan terhadap sifat fisika-kimia protein ikan mas . Thesis . Progam Pascasarjana . Institut Pertanian Bogor, Bogor . TILLMAN, A.D ., H. HARTADI, S . REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMAH, dan S . LEBDOSOEKOJO. 1984 . Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta . TJAHYONO, S .M . 1980 . Dunia Tumbuhan. Bagian Ekologi . Fakultas Pertanian . Institut Pertanian Bogor, Bogor. TOH, K.S . and S .K. CHIA. 1977 . Nutritional value of rubber seed meal in livestock in SE Asia . Zinger Feedmill Pte . Shah Alam, Malaysia.
Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak
and R. WINARNO, F.G. 1993 . Pangan, Gizi, Teknologi, dan rubber seed Konsumen . Gramedia Pustaka Utama, Jakarta . (Havea brasilliensis), seed cake for promoting WINARNO F.G . dan S.L . JENIE . 1983 . Kerusakan growth in calves . Indian J. of Nutrition and Bahan Makanan dan Cara Pencegahannya. Dietetics. 16 :383-389 . Gramedia, Jakarta .
VISWABATHAN, T.V ., C .R . SUBRAMANIAN MANECHRY . 1979 . Evaluation of
1993 . Pengolahan Bahan Baku Pakan . Program Pascasarjana . Universitas Padjadjaran, Bandung.
WIRADISASTRA, M .D .H .
25 3