SISTEM PENYADAPAN TANAMAN KARET
DI SUSUN OLEH: ROBIANTO, SP
Latar Belakang Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Karet juga salah satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara di luar minyak dan gas. Permasalahan utama perkaretan Indonesia saat ini adalah masih rendahnya tingkat produktivitas karet rata-rata indonesia jika dibandingkan dengan negara pesaing utama, seperti Malaysia dan Thailand . Pada awal dekade 1990-an produktivitas karet rata-rata Indonesia hanya berkisar 500 kg/ha/tahun, jauh dibawah produktivitas karet Malaysia dengan 1 000 kg/ha/tahun dan Thailand 750 kg/ha/tahun (Setiawan dan Andoko 2008), sedangkan pada tahun 2010 tingkat produktivitas karet Indonesia sebesar 986 kg/ha/tahun, Malaysia 1 100 kg/ha/tahun, dan Thailand 1 600 kg/ha/tahun (Boerhendhy dan Amypalupy 2010). Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya produktivitas karet Indonesia adalah masih rendahnya mutu penyadapan, terutama penerapan teknik penyadapan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan tertentu dan prinsip-prinsip yang benar. Misalnya : kedalaman sadapan yang tidak sesuai anjuran, terlalu dangkal dan terlalu dalam hingga melukai kambium, konsumsi kulit sadapan yang terlalu boros (lebih dari 2 mm), dan waktu penyadapan yang terlalu siang, serta efek penggunaan stimulansia berlebihan yang disertai penyadapan yang terlalu tinggi sehingga memicu terjadi penyakit kekeringan alur sadap (KAS) pada tanaman karet. Teknik penyadapan menjadi penting karena sangat berkaitan dengan umur ekonomis tanaman, produktivitas, produksi dan kualitas lateks yang dihasilkan (Setiawan dan Andoko 2008) Dalam upaya menggali potensi dan meningkatkan produksi, pelaksanaan eksploitasi produksi (penyadapan) merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Penyadapan karet merupakan sistem pengambilan lateks yang mengikuti aturan-aturan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh produksi yang tinggi, secara ekonomis menguntungkan dan berkesinambungan dengan memperhatikan kesehatan tanaman sehingga kesalahan-kesalahan dalam penyadapan harus dihindari agar diperoleh produktivitas dan produksi karet yang optimal (Setyamidjaja 1993). Produktivitas berkesinambungan dapat dicapai apabila sistem penyadapan yang dilakukan mengikuti aturan-aturan tertentu dan prinsip-prinsip yang benar. Misalnya: waktu penyadapan harus dilakukan sepagi mungkin (05.00-08.00) saat tekanan turgor masih tinggi, kedalaman irisan sadapan yang sesuai dengan anjuran, yakni 1-1.5 dari lapisan kambium, konsumsi kulit sadapan 1.5-2 mm, dan penggunaaan stimulansia yang sesuai dengan dosis anjuran 0.5-1 g/pohon (Setiawan dan Andoko 2008). Karena itu, penerapan sistem sadap memerlukan suatu mekanisme panen dimana faktor frekuensi, panjang alur sadap, arah sadapan, kedalaman sadap, aplikasi stimulan atau perubahan-perubahannya diformulasikan sehingga dapat diterapkan secermat mungkin di lapangan serta dilakukan pengawasan sadapan yang bertujuan menghindari terjadinya kesalahan penyadapan.
Sistem Penyadapan Tanaman Karet Menurut Setiawan dan Andoko penyadapan adalah kegiatan pemutusan atau pelukaan lateks di kulit pohon, sehingga dari luka tersebut akan keluar lateks. Pembuluh lateks yang terputus atau terluka tersebut akan pulih kembali seiring dengan berjalannya waktu, sehingga jika dilakukan penyadapan untuk kedua kalinya tetap akan mengeluarkan lateks. Sedangkan TPSS (2011) menyatakan penyadapan merupakan sistem pengambilan lateks yang mengikuti aturan-aturan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh produksi yang tinggi secara ekonomis menguntungkan dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan kesehatan tanaman. Kesiapan atau kematangan pohon karet yang akan disadap harus diketahui sebelum dilakukan penyadapan. Cara menentukan kesiapan atau kematangannya adalah dengan melihat umur dan lilit batangnya. Kebun karet memiliki tingkat pertumbuhan normal siap disadap pada umur lima tahun dengan masa produksi selama 25-35 tahun. Kriteria umur belum cukup untuk menentukan kematangan sadap pada tanaman karet. Hal ini disebabkan di lingkungan dan kecepatan pertumbuhan yang tidak sama, tanaman karet mungkin belum siap disadap. Pengukuran lilit batang merupakan cara yang dianggap paling tepat untuk menentukan matang sadap pada tanaman karet. Pohon karet siap disadap adalah ketika lilit batang sudah mencapai 45 cm diukur 100 cm dari pertautan okulasi. Tanaman dengan dengan lilit batang 45 cm biasanya telah memiliki kulit batang dengan ketebalan 7 mm (Setiawan dan Andoko 2008).
Prinsip-Prinsip Penyadapan Menurut Setiawan dan Andoko (2008) pada dasarnya penyadapan adalah kegiatan pemutusan atau pelukaan pembuluh lateks di kulit pohon, sehingga dari luka tersebut akan keluar lateks. Pembuluh lateks yang terputus atau terluka tersebut akan pulih kembali seiring dengan berjalannya waktu, sehingga jika dilakukan penyadapan untuk kedua kalinya tetap akan mengeluarkan lateks. Menurut Balai Penelitian Perkebunan Sembawa (1982) penyadapan yang salah menyebabkan pembentukan kulit akan terganggu, batang benjolbenjol, dan cadangan kulit habis. Dalam penyadapan juga harus memperhatikan komposisi umur tanaman yang tepat agar dihasilkan produksi karet yang optimal Waktu Penyadapan Penyadapan harus dilakukan sepagi mungkin. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh hasil lateks yang tinggi karena bila penyadapan dilakukan pag-pagi, turgor pembuluh lateks masih tinggi dan keluarnya lateks dari pembuluh yang terpotong berlangsung dengan aliran yang kuat. Dalam keadaan normal waktu penyadapan berlangsung dari jam 05.30/06.30 sampai sekitar pukul 09.00/10.00 (Setyamidjaja 1993). Frekuensi Penyadapan Frekuensi penyadapan adalah selisih waktu penyadapan yang dinyatakan dalam satuan waktu hari (d = day), minggu (w = week), bulan (m= month), dan tahun (y = year). Kegiatan penyadapan yang dilakukan setiap hari dinyatakan dengan d/1, dua hari sekali dinyatakan dengan d/2, tiga hari sekali dengan d/3 (Setiawan dan Andoko 2008).
Konsumsi Kulit Sadapan Konsumsi kulit merupakan tebalnya kulit tanaman karet yang diiris pada kegiatan penyadapan. Pengirisan kulit tidak perlu tebal karena pemborosan dalam pengirisan kulit berarti akan mempercepat habisnya kulit batang karet yang produktif sehingga masa produksinya menjadi singkat. Ketebalan irisan yang dianjurkan adalah 1,5-2 mm. Konsumsi kulit per bulan atau per tahun ditentukan oleh rumus sadap yang digunakan. Contoh rumus sadap : S/2, d/2/, 100%. Maksudnya adalah penyadapan pada setengah lingkaran batang dua hari sekali dengan intensitas 100 %. Dengan rumus tersebut berarti setiap bulan kulit yang tersadap adalah 2.5 cm, 10 cm/4 bulan, atau 30 cm/tahun (Setiawan dan Andoko 2008). Kedalaman Sadapan Kedalaman sadap berpengaruh pada banyaknya kulit yang dikonsumsi pada saat penyadapan dan berpengaruh pada jumlah berkas pembuluh lateks yang terpotong. Semakin dalam irisannya, semakin banyak berkas pembuluh lateks yang terpotong. Ketebalan kulit hingga 7 mm dari lapisan kambium memiliki pembuluh lateks terbanyak. Oleh sebab itu, sebaiknya penyadapan dilakukan sedalam mungkin, tetapi jangan sampai menyentuh lapisan kambiumnya. Kedalaman irisan yang dianjurkan adalah 1-1,5 mm dari lapisan kambium. Bagian ini harus disisakan untuk menutupi lapisan kambium. Jika dalam penyadapan lapisan kambium tersentuh maka kulit pulihan akan rusak dan nantinya berpengaruh pada produksi lateks (Penebar Swadaya 2011). Kedalaman sadap yang tidak sesuai (lebih dalam) dari yang dianjurkan menyebabkan semakin tipisnya kulit yang tersisa dan semakin besar resiko luka kayu yang akan mengakibatkan semakin tipisnya kulit pulihan yang terbentuk sehingga menyulitkan dalam kegiatan penyadapan selanjutnya (Kiswara 2007). Kekeringan Alur Sadap (KAS) Gangguan kering alur sadap ini merupakan salah satu penyebab yang dapat mengurangi tingkat produksi karet. Kering alur sadap (KAS) merupakan penyakit fisiologis yang relatif terselubung karena kulit/batang tanaman karet yang disadap tidak mengeluarkan lateks secara normal ketika disadap. Menurut Sumarmadji (2001) KAS disebabkan karena karena tanaman disadap dengan intensitas tinggi (over eksploitasi) ataupun pemberian stimulansia yang berlebihan tanpa disertai pemupukan. Tanaman yang berumur lebih tua sering dilaporkan mengalam KAS lebih tinggi dikarenakan adanya interaksi dengan tingkat eksploitasi yang lebih tinggi. Tenaga Kerja Sadap Menurut Siregar (1995) dalam penyadapan tanaman karet, faktor pengelolaan tenaga kerja dinilai tidak kalah penting dengan aspek teknis lainnya. Karena itu, penyadapan tanaman karet sering juga diidentifikasi sebagai suatu kebijaksanaan panen yang merupakan perpaduan antara aspek teknis agronomi dan pengelolaan tenaga. Kesinambungan produksi misalnya, sangat dipengaruhi oleh perilaku penyadap terhadap hancanya. Turun-naiknya produksi juga ditentukan oleh baik tidaknya penyadap dalam melakukan tugas, misalnya penyadapan dilakukan di luar sistem yang telah ditetapkan. Menurut Harahap (2001) terdapat banyak hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil (produktivitas) lateks yang diperoleh. Di samping tenaga kerja dan pengorganisasian karyawan yang tepat, teknik dan cara penyadapan yang benar juga akan sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh.
Menurut Asim (2012) menyatakan bahwa pada kemandoran II terdapat perbedaan nyata hasil uji t-student pada taraf 5%, penyadap yang berusia < 30 tahun menghasilkan produksi lebih tinggi dari pada penyadap yang berusia ≥ 30 tahun. Usia penyadap mempengaruhi produksi yang dihasilkan oleh penyadap pada kemandoran II. Kemudian penyadap yang mempunyai pengalaman ≥ 7 tahun lebih tinggi hasil produksinya dibandingkan penyadap yang mempunyai pengalaman < 7 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh pada kemandoran II dapat disimpulkan bahwa pengalaman mempengaruhi produksi lateks yang dihasilkan penyadap. Kelas penyadap juga mempengaruhi hasil lateks yang dihasilkan oleh penyadap. Ratarata produksi lateks kelas sadap B adalah 21.56 liter/hari sedangakan rata-rata kelas sadap C adalah 14.00 liter/hari. Perbedaaan hasil lateks yang diperoleh kelas penyadap B dan kelas penyadap C disebabkan oleh perbedaan pengalaman dan keterampilan penyadap (Ismail 2012). Penggunaan Stimulansia Stimulansia merupakan zat pengatur tumbuh yang digunakan untuk merangsang keluarnya lateks pada tanaman karet dan biasanya berbahan aktif ethepon. Menurut Karyudi dan Lukman (1985) ethepon sangat efektif sebagai stimulan karena memiliki peranan dalam meningkatkan tekanan turgor dan elastisitas dinding sel serta dapat menunda terjadinya penyumbatan pembuluh lateks sehingga dapat memperpanjang masa aliran lateks.Cara kerja ethepon yaitu ethepon melepaskan gas etilen ke dalam jaringan kulit tanaman yang berfungsi sebagai agen anti penyumbatan pembuluh lateks, menstabilkan lutoid, dengan jalan meningkatkan permeabilitas membrannya, memperpanjang waktu pengaliran lateks dengan menunda terbentuknya sumbat pada pembuluh-pembuluh lateks dan memperluas drainase lateks. Menurut Setiawan dan Andoko (2008) produksi lateks tanaman karet dapat ditingkatkan dengan menggunakan stimulan atau zat perangsang tertentu. Pemberian stimulan tanpa menurunkan intensitas sadapan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, terutama tanaman yang masih muda. Oleh karena itu, tanaman karet hanya bisa ditingkatkan produksinya dengan stimulan jika telah berumur lebih dari 15 tahun atau 10 tahun jika disadap dengan intensitas rendah (s/2, 4/4, 50 % atau s/2, d/3, 67%). Bahan perangsang yang biasa dipakai untuk perangsangan dengan cara oles adalah stimulan berbahan aktif ethepon dengan merek dagang Ethrel, ELS, dan Cepha.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Perkebunan Sembawa. 1982. Penyadapan Tanaman Karet. Departemen Pertanian. Palembang (ID) : Tirta Yasa. Boerhendhy, I dan K. Amypalupy. 2010. Optimalisasi Produktivitas Karet Melalui Penggunaan Bahan Tanam, Pemeliharaan, Siitem Eksploitasi, dan Peremajaan Tanaman. http//www.pustaka.litbang.deptan.go.id. [12 Januari 2013]. Harahap. I. H. 2001. Pengelolaan Tanaman Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Aspek Khusus Penyadapan Di Kebun Kedaton PT PN VII Persero Lampung Selatan Lampung [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Ismail, M. 2012. Penyadapan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Di Kebun Sumber Tengah PT Perkebunan Nusantara X11, Jember, Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Karyudi, T. H.S. Siregar dan Lukman. 1985. Evaluasi penggunaan stimulan ethepon di perkebunan karet. Warta Perkaretan. 13:25-30. Setiawan, D.H. dan A. Andoko. 2008. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Edisi ke-8. Jakarta : PT Agromedia Pustaka. Setyamidjaja, D. 1993. Karet : Budi Daya dan Pengolahan. Jakarta : CV Yasaguna. Siregar, T. H. S. 1995. Teknik Penyadapan Karet. Jakarta (ID) : Kanisius Sumarmadji. 2001. Pengendalian kering alur sadap dan nekrosis pada kulit tanaman karet. Warta Pusat Penelitian karet. 20 (1-3): hal 76-78. Kiswara, A.P. 2007. Sistem Produksi Tanaman Karet Berdasarkan Komposisi Umur Tanaman di PT. Sentosa Mulia Bahagia, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. TPPS. 2011. Panduan Lengkap Karet. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya.