Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
PERAN TANAMAN KARET DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Handi Supriadi Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Jalan Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357
[email protected] (Diajukan tanggal 25 Nopember 2011, diterima tanggal 15 Februari 2012) ABSTRAK Terjadinya perubahan iklim pada saat ini telah mengkibatkan dampak buruk terhadap kehidupan makhluk hidup di permukaan bumi. Kekeringan, banjir atau rob, gelombang udara panas, dan badai merupakan beberapa contoh yang disebabkan oleh perubahan iklim. Pada sektor pertanian, kondisi tersebut akan menyebabkan produksi tanaman mengalami penurunan yang cukup signifikan sehingga mengganggu ketahanan pangan nasional dan menurunkan pendapatan petani dan devisa negara. Penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca (terutama gas CO2) di udara, yang dihasilkan oleh aktivitas manusia (antropogenik). Untuk mengurangi emisi gas CO2 Pemerintah Republik Indonesia telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sesuai Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011. Salah satu kegiatan utamanya adalah penanaman 105.200 ha tanaman karet. Peran ekologis tanaman karet yaitu tajuknya dapat menyerap gas CO2 dari udara dan dari hasil biji karet dapat dibuat biodiesel dengan gas buang CO2 yang lebih rendah dari bahan bakar minyak (solar), sehingga tanaman karet mempunyai peran yang penting dalam mengurangi kejadian perubahan iklim (mitigasi). Jumlah CO2 yang diserap oleh tanaman karet bervariasi tergantung kepada umur tanaman, kondisi tanaman, kesuburan tanah, dan teknis budidaya yang diterapkan. Rata-rata stok karbon pada karet tradional (perkebunan rakyat) 19,8 ton C/ha, sedangkan pada karet klon unggul (perkebunan besar) 42,4 ton C/ha. Jumlah gas CO2 yang diserap oleh perkebunan karet di Indonesia mencapai 291,16 Mton CO2e. Potensi produksi biodiesel dari RSO di Indonesia mencapai 424.460 ton. Campuran solar dan biodiesel dari RSO dapat menurunkan emisi gas buang CO2 sebesar 40,14%. Kata Kunci : Tanaman karet, perubahan iklim, mitigasi
ABSTRACT Role of rubber plant in climate change mitigation. Climate change happened and resulted in adverse effect of our life on the earth's surface. Droughts, floods, or rob, heatwaves, and hurricanes happened recently of incident that might be caused by climate change. In the agricultural sector, these conditions will lead to reduction of yields significantly, in turn disrupt the national food security and reduce foreign exchange. Major factor that may induce climate change is the increased greenhouse gas emissions primarily CO2 in air, generated by human activity (anthropogenic). To reduce emissions of CO2 gas, Government of Indonesia has launched the National Action Plan for Reducing Emissions of Greenhouse Gases (RANGRK) through Presidential Decree No. 61 of 2011. One of the main activity is the planting of 105,200 ha of rubber trees. Ecological role of the rubber plant is an sequestration CO2 from the air. Moreover, rubber yielded may be converted into biodiesel fuel having CO2 content being lower than diesel oil in otherwords, rubber plant has an important role in reducing of incidences of climate change (mitigation). The amount of CO2 is sequestrated by rubber plant varies depending on the age of the plant, crop conditions, soil fertility and technical cultivation applied. Average of carbon stock of those rubber plants cultivated traditionally was 19.8 ton C / ha, while those superior clone ones was 42.4 ton C/ha. The amount of CO2 gas sequestrated by rubber in Indonesia reached of 291.16 Mton CO2e. Potentially biodiesel production developed from the RSO in Indonesia reached 424,460 ton, blending of diesel oil and biodiesel from RSO able to reduce CO2 emissions of 40.14%. Keywords : Hevea brasiliensis, climate change, mitigation
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
79
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
PENDAHULUAN Perubahan iklim yang terjadi pada saat ini merupakan peristiwa alam yang terjadi secara global, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh makhluk hidup yang ada di permukaan bumi. Untuk mengurangi atau mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut perlu melibatkan banyak negara dari berbagai disiplin ilmu. Berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia, menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global. Adanya perubahan variabilitas iklim alamiah dapat diamati pada kurun waktu tertentu, dan dapat dibandingkan. Penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah meningkatknya kandungan gas rumah kaca (GRK) di atmosfir. Gas rumah kaca adalah gas yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik (aktivitas manusia), yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Kesepakatan yang tertuang dalam Protokol Kyoto terdapat enam jenis GRK, yang berperan dalam perubahan iklim, yaitu: karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfurheksafluorida (SF6). Ke enam jenis GRK tersebut CO2 merupakan penyumbang terbesar pada perubahan iklim yaitu sebesar 55%, diikuti oleh NH4 15%, N2O 6% dan sisanya 24% berasal dari HFCs, PFCs dan SF6 (UNEP and IPIECA, 1991). Emisi GRK (lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu) tahunan di Indonesia berasal dari delapan sektor, yaitu LULUCF (land use, land use change and forest), gambut, pertanian, transportasi, tenaga listrik, bahan bakar minyak dan pengolahan, transportasi, semen dan bangunan. Pada tahun 2005 jumlahnya mencapai 2,15 Gton CO2e, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 3,2 Gton CO2e pada tahun 2030. Emisi GRK di Indonesia menyumbang sekitar 4,5 persen dari emisi GRK global (DNPI, 2010). Dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya perubahan iklim yaitu peningkatan suhu udara dan permukaan air laut serta perubahan pola curah hujan (Vladu et al., 2006). Kondisi ini akan berpengaruh negatif terhadap sektor pertanian
80
(termasuk pada tanaman karet) sehingga perlu dilakukan usaha untuk menanggulanginya. Dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada The Conferences of Parties (COP) ke-13 United Nations Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC) dan hasil COP-15 di Copenhagen dan COP-16 di Cancun serta memenuhi komitmen pemerintah Indonesia dalam pertemuan G-20 di Pittsburg, pemerintah Indonesia akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 (http://www.rakyatmerdekaonline .com). Untuk menindaklanjuti rencana tersebut pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang merupakan dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK sesuai dengan target pembangunan nasional. Penerapan Perpres Nomor 61 ditujukan untuk bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri dan pengelolaan limbah. Pelaksanaan dan pemantauan aksi nasional GRK ini akan dikoordinasikan Kementerian Perekonomian. Pada bidang pertanian kegiatan inti RAN-GRK di antaranya adalah melalui penanaman karet. Penanaman tanaman berkayu dan cepat tumbuh merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya perubahan iklim (Hairiyah dan Rahayu, 2007). Tanaman berkayu menyerap CO2 dari udara dan disimpan dalam tubuh tanaman (biomassa) dalam bentuk karbon (C). Tanaman karet terpilih dalam kegiatan RAN-GRK, karena tanaman ini mempunyai biomassa yang tinggi dan menghasilkan biji yang dapat dijadikan sebagai bahan baku biodiesel yang ramah lingkungan. Biomassa yang dihasilkan sebanding dengan jumlah CO2 yang ditambat oleh tanaman semakin tinggi biomassa maka CO2 yang ditambat semakin besar dan sebaliknya. Berdasarkan beberapa hasil penelitian biji karet dapat dijadikan sebagai biodiesel dengan tingkat emisi gas buang CO2 yang lebih rendah dibandingkan minyak solar. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman karet mempunyai potensi yang besar dalam menurunkan emisi CO2. Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM Peningkatan Suhu Udara Akibat terjadinya perubahan iklim menyebabkan suhu udara global selama 95 tahun meningkat rata-rata 0,57 °C. Peningkatan suhu udara di Indonesia rata-rata mencapai 0,3 °C per tahun (Runtunuwu dan Kondoh, 2006). Dampak peningkatan suhu pada sektor pertanian, yaitu menyebabkan laju transpirasi tanaman bertambah sehingga konsumsi air meningkat, terjadinya percepatan pematangan buah yang menurunkan mutu hasil dan perkembangan yang cepat beberapa organisme pengganggu tanaman (OPT) (Las, 2007). Peningkatan suhu udara diatas suhu udara yang sesuai untuk tanaman karet (24-28 °C) menyebabkan stomata menutup, respirasi tinggi dan laju fotosintesis rendah. Hal ini menyebabkan produksi lateks berkurang (http:// www.gtuneland.wordpress. com). Kenaikan Permukaan Air Laut Permukaan air laut dalam 100 tahun terakhir mengalami kenaikan 1-2 m, dan diprediksi akan terus bertambah 8-29 cm pada tahun 2030 (IPCC, 2001). Selama periode tahun 1925-1989, permukaan air laut di Jakarta telah naik 4,38 mm per tahun, Semarang 9,27 mm per tahun dan Surabaya 5,47 mm per tahun (Meiviana et al., 2004). Dampak yang ditimbulkan dari naiknya permukaan air laut yaitu berkurangnya lahan pertanian di pesisir pantai (Jawa, Bali, Sumatera, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan), kerusakan infrastruktur pertanian dan peningkatan salinitas yang merusak tanaman (Irsal-Las, 2007). Perubahan Pola Curah Hujan Perubahan iklim mengkibatkan pola curah hujan berubah. Hasil pengamatan periode 19002000 menunjukkan bahwa intensitas curah hujan berubah semakin tinggi akibat jumlah hari hujan yang bertambah pendek dalam setahun, dan kejadian tersebut diperkirakan akan terus berlanjut dimasa mendatang (Ratag, 2007). Jumlah curah hujan di Indonesia periode 2010-2039 diprakirakan akan akan meningkat, terutama di sepanjang selat Malaka, Laut Banda, Laut Karimata, dan Laut Arafura (Syahbuddin dan Wihendar, 2010). Pada tahun 2010, hampir seluruh kawasan Indonesia hanya mengalami musim hujan. Hal ini Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
menyebabkan berbagai macam dampak, baik pada produksi pertanian dan perkebunan, perikanan, transportasi, dan gangguan pada spesies hewan atau tumbuhan tertentu (http://www.manado. kaukustujuhbelas.org). Berdasarkan laporan dari berbagai daerah, produksi karet pada tahun 2010 menurun rata-rata sebesar 30% per tahun akibat curah hujan yang turun sepanjang tahun. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia telah merevisi target produksi nasional tahun tahun 2010 menjadi hanya 2,852,86 juta ton dari proyeksi semula sebesar 2,9 juta ton. Penurunan target terjadi karena musim hujan berlangsung sepanjang tahun, yang menyebabkan kegiatan penyadapan terganggu sehingga produksi karet menjadi tidak optimal (http://www.indonesiafinancetoday.com; http:/www.regional.kompas.com).
UPAYA MENGAHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sebagai upaya menghadapi perubahan iklim dapat dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu antisipasi, adaptasi dan mitigasi. Antisipasi dan adaptasi lebih difokuskan kepada usaha untuk mengurangi resiko kerusakan atau kematian akibat terjadinya perubahan iklim, sedangkan mitigasi lebih mengarah kepada usaha untuk megurangi terjadinya perubahan iklim. Usaha mitigasi perubahan iklim secara nasional diatur dengan Perpres Nomor 61 tahun 2011 tentang RAN-GRK. Dari bidang pertanian pemerintah Indonesia menargetkan dapat menurunkan emisi GRK pada tahun 2020 sebesar 0,008 G ton CO2e jika target penurunan emisi GRK nasional 26%, dan 0,011 G ton CO2e jika target penurunan emisi GRK nasional 41% (dengan bantuan asing). Kegiatan inti bidang pertanian dalam rangka menurunkan emisi GRK diantaranya adalah pengembangan areal perkebunan karet periode tahun 2011-2014 di lahan tidak berhutan/lahan terlantar/lahan terdegradasi/Areal Penggunaan Lain (APL). Penanaman karet direncanakan seluas 105.200 ha, yang tersebar di 14 provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Kepulauan Riau, Bengkulu, Bangka Belitung Lampung, Jawa 81
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur dengan target penurunan emisi GRK sebesar 2,38 juta ton CO2e. PERAN TANAMAN KARET Tanaman karet merupakan salah satu komoditas perkebunan dengan luas areal telah mencapai 3.424.217 ha (Ditjenbun, 2009) mempunyai peranan yang strategis dalam mitigasi perubahan iklim. Peran tersebut antara lain dapat mengurangi emisi gas CO2 di udara melalui penyerapan gas CO2 oleh tajuk tanaman dan pemanfaatan biji karet untuk biodiesel. Penyerapan CO2 Gas CO2 di atmosfer ditambat oleh tanaman karet melalui proses fotosintesis. Dengan menggunakan energi cahaya, CO2 diubah menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa (jumlah bahan organik hidup yang dinyatakan dalam bobot kering daun, bunga, buah, cabang, ranting, batang, akar dan pohon mati per satuan luas). Besarnya kandungan karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu dikenal dengan istilah cadangan karbon atau stok karbon (carbon stock). Jumlah cadangan karbon yang tersimpan pada tanaman karet ditentukan oleh umur, diameter batang, tinggi, dan kerapatan tanaman, kesuburan tanah, dan sistem budidaya yang diterapkan (Brown, 1997; Brown et al., 1989) Biomassa tanaman karet baik yang berada di atas (batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah) maupun yang berada di bawah permukaan tanah (akar) dapat ditentukan dengan dua metode yaitu pengukuran langsung di lapang dan pendekatan allometrik. Pengukuran langsung dilakukan dengan cara penebangan dan penggalian akar (destructif sampling) untuk mengetahui berat kering seluruh bagian tanaman karet (biomassa), kemudian dianalisa kandungan karbonnya. Penentuan biomassa yang paling akurat adalah dengan metode destruktif, namun untuk pengukuran pada tanaman perkebunan yang produktif dan berukuran besar hal tersebut tidak mungkin dilakukan sehingga perlu pendekatan allometrik (Yuliasmara et al., 2009). Pendekatan allometrik adalah penentuan biomassa melalui 82
persamaan matematik. Sebelum menerapkan penghitungan biomassa dengan menggunakan persamaan tersebut, sangat dianjurkan untuk membandingkannya dengan data pengukuran langsung pada beberapa contoh pohon yang berada pada ekosistem tanaman yang akan diukur. Jika terdapat perbedaan kurang dari 10%, maka persamaan tersebut dapat digunakan. Jika lebih dari 10%, sebaiknya menggunakan persamaan alometrik yang dikembangkan secara lokal (Hairiah dan Rahayu, 2007). Penentuan biomassa di atas permukaan tanah dengan metode allometrik berdasarkan kepada pengukuran diameter batang tanaman pada ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah atau setinggi dada orang dewasa. Persamaan yang biasa digunakan dalam penentuan biomassa di atas permukaan tanah untuk tanaman karet di daerah tropis adalah persamaan allometrik Brown (1997) sebagai berikut: B = 42,69-12,8 x D + 1,242 x D2
Keterangan : B = biomassa total (kg) D = diameter setinggi dada (diameter breast height) (m)
Selain itu pengkuran biomassa dapat juga menggunakan persamaan allometrik Kettering et al. (2001), seperti yang dilakukan oleh Susilowati (2010) di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut: B = 0,11 x ρ x D2,62
Keterangan : B = Biomassa total (kg) ρ = Berat jenis kayu (g/cm3) (untuk kayu karet nila ρ = 0,53 g/cm3 (Brown, 1997))
Biomassa di bawah permukaan tanah (akar) menurut Hairiah dan Rahayu (1997) dapat ditentukan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Jika tanaman berada di tanah mineral daerah tropis maka nisbah antara biomassa di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah adalah 4:1, 2. Jika tanaman terdapat di daerah yang mempunyai tipe iklim basah maka nisbah antara biomassa di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah adalah 10:1,
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
3. Jika tanaman tumbuh di daerah kering dengan tingkat kesuburan tanahnya sangan rendah maka nisbah antara biomassa di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah adalah 1:1, Selain itu menurut Susilowati (2010) biomassa akar dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan : BA
= e(-1,0587+ 0,8836 x ln B)
Keterangan : BA = Biomassa akar (kg) B = Biomassa di atas permukaan tanah
Untuk menghitung stok karbon, maka dilakukan konversi dari biomassa ke dalam bentuk karbon dengan persamaan Brown (1997) sebagai berikut : SK = B x KC
Keterangan : SK = Stok karbon (ton/ha) BT = Biomassa total tanaman (ton/ha) KC = Kandungan karbon kayu (%) (nilai KC biasanya 0,46 (Hairiah dan Rahayu, 1997) Tabel 1. Laju penyerapan karbon oleh tanaman karet pada berbagai tingkat umur Table 1. The rate of carbon absorption by rubber plants at various age levels Umur Laju Penyerapan C (tahun) (g/m2/tahun) 5 0,54* 10 0,30* 15 0,65* 20 0,80** 25 0,83** 31 0,84** Sumber : * = Yulyana, 2005 ** = Susilowati, 2010
Besarnya CO2 yang diserap oleh tanaman karet dapat diketahui dengan cara mengkonversi stok karbon dalam bentuk karbondioksida ekuivalen (CO2e) dengan menggunakan persamaan (Brown, 1997): CO2e =(BA CO2/BA C) x SK
Keterangan : Ba CO2 = Berat atom senyawa CO2 Ba C = Berat atom C
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Berdasarkan hasil penelitian Yulyana (2005) di Bengkulu dan Susilowati (2010) di Sukabumi, Jawa Barat, laju penyerapan karbon oleh tanaman karet berkisar antara 0,30-0,84 g C/m2/tahun tergantung kepada umur tanaman, semakin bertambah umur maka laju penyerapan karbon semakin tinggi, kecuali pada umur 10 tahun laju penyerapan karet mengalami penurunan (Tabel 1). Pengukuran stok karbon pada tanaman karet di Indonesia sudah banyak dilakukan, dengan lokasi dan kondisi tanaman yang beragam. Menurut hasil penelitian Ginoga et al. (2002), rata-rata stok karbon tanaman karet di Sumatera Selatan pada tanaman karet tradisional (karet asalan) 19,8 ton/ha dan pada karet klon unggul nilainya lebih besar yaitu 42,4 ton C/ha. Stok karbon dapat diketahui besarnya penambatan CO2 yang dinyatakan dengan CO2 ekuivalen atau (CO2e) dimana 1 ton C setara dengan 3,6663 ton CO2e. Besarnya penambatan CO2 oleh tanaman karet tradisional dan klon unggul masing-masing 72,59 dan 155,45 ton CO2e/ha. Klon karet unggul umumnya mempunyai karakter vegetatif dan generatif yang lebih baik dibandingkan karet tradisional, sehingga biomassa lebih tinggi. Biomassa menggambarkan besarnya gas CO2 yang ditambat oleh tanaman, semakin tinggi biomassa maka gas CO2 yang ditambat semakin besar. Hasil penelitian Susilowati (2010) di Perkebunan Pasir Bungur, PTP VIII, Sukabumi, Jawa Barat menunjukkan bahwa total cadangan karbon pada tanaman karet bagian atas (batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah) dan bagian bawah (akar) nilainya bervariasi sesuai umur tanaman, semakin bertambah umur tanaman cadangan karbonnya semakin tinggi. Pada umur 20 tahun total cadangan karbon 67,45 ton C/ha, kemudian pada umur 25 tahun meningkat menjadi 103,14 ton C/ha dan pada umur 30 tahun mencapai 127,91 ton C/ha. Total penyerapan CO2 pada umur 20, 25 dan 31 tahun masing-masing 274,29, 378,14 dan 468,96 ton CO2e/ha (Tabel 2).
83
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim Tabel 2. Cadangan karbon pohon karet pada berbagai tingkat umur di Sukabumi Table 2. Carbon stocks of rubber plants at various age levels in Sukabumi Umur Atas Bawah Total (tahun) (ton C/ha) (ton C /ha) (ton C/ha) 20 56,33 11,12 67,45 25 87,65 15,49 103,14 31 108,05 19,86 127,91 Sumber : Susilowati (2010) Tabel 3. Cadangan karbon pohon karet pada berbagai tingkat umur di India Table 3. Carbon stocks of rubber plants at various age levels in India Umur Atas Bawah Total (tahun) (ton C /ha) (ton C/ha) (ton C/ha) 5 12,6 5,7 18,4 10 52,3 11,1 63,3 15 67,1 13,2 80,3 20 69,2 14,5 83,7 25 69,2 14,3 83,5 30 69,5 13,3 82,9 Sumber : http://www.wamis.org
Hasil penelitian di India menunjukkan bahwa sampai umur 20 tahun total stok karbon pada tanaman karet meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Pada umur 5 tahun stok karbon 18,4 ton C/ha, pada umur 10 dan 15 tahun meningkat menjadi masing-masing 63,3 dan 80,3 ton C/ha. Pada umur 20 tahun stok karbon mencapai angka tertinggi yaitu 83,7 ton C/ha. Stok karbon mulai mengalami sedikit penurunan pada umur 25 tahun yaitu menjadi 83,5 ton C/ha dan pada umur 30 tahun kembali menurun menjadi 82,9 ton C/ha. Penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya stok karbon pada bagian bawah (akar) sehingga total karbon pada tanaman karet juga ikut menurun (Tabel 3) (http://www.wamis.org). Luas areal tanaman karet di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 3.424.217 ha yang terdiri dari perkebunan rakyat seluas 2.910.208 ha dan perkebunan besar (milik pemerintah maupun swasta) seluas 514.009 ha (Ditjenbun, 2009). Perkebunan rakyat umumnya menggunakan karet tradisional, sedangkan perkebunan besar
84
Penyerapan CO2 (ton CO2e/ha) 274,29 378,14 468,96
Penyerapan CO2 (ton CO2e/ha) 67,46 232,08 294,40 306,87 306,14 303,94
menggunakan klon unggul (PB 260, BPM 24, PB 217 dan lain-lain), sehingga rata-rata stok karbonnya pun berbeda. Pada perkebunan rakyat stok karbon 19,8 ton C/ha dan perkebunan besar 42,4 ton C/ha. Jumlah stok karbon pada perkebunan rakyat mencapai 57.622.211,84 ton C dan perkebunan besar 21.793.981,6 ton C sehingga total seluruhnya mencapai 79.416.193,44 ton C. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat ditentukan jumlah CO2 yang ditambat oleh perkebunan karet di Indonesia mencapai 291,16 Mton (mega ton) CO2e. Bila dibandingkan dengan tanaman perkebunan lain terlihat bahwa tanaman karet asal klon unggul mempunyai rata-rata stok karbon yang lebih tinggi (Tabel 4) sehingga dalam pengembangan tanaman perkebunan yang ramah lingkungan sebaiknya menggunakan bahan tanaman karet unggul (klon unggul) terutama klon penghasil kayu dan lateks seperti BPM 1, PB 330, PB 3420, AVROS 2037 dan lain-lain.
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Tabel 4. Cadangan karbon pada berbagai jenis tanaman Table 4. Carbon stocks at various types of plants Rata-rata Cadangan Karbon Rata-rata Penyerapan CO2 No Tanaman (ton C/ha) (ton CO2e/ha) 1 Karet tradisional 19,81 72,59 2 Karet klon unggul 42,41 155,45 3 Kayumanis 22,71 83,23 4 Sawit 27,01 98,90 5 Teh 12,82 46,93 6 Kopi 13,83 50,59 7 Kakao 13,64 49,86 Sumber : 1. Ginoga et al. (2002), 2. Haryadi (2005), 3. Van Noordwijk et al. (2002), 4. Yuliasmara et al. (2009)
Pemanfaatan Biji Karet Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dari bahan fosil (fossil fuel) secara terus menerus akan menimbulkan berbagai masalah. Di antaranya, (1) dari sisi faktor ekonomi, yaitu berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk masa mendatang, masalah distribusi, harga, dan fluktuasinya, (2) dari sisi faktor lingkungan, yaitu terjadinya polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil yang dampaknya dapat langsung maupun tidak langsung kepada derajat kesehatan manusia. Dampak langsung yaitu terhirupnya gas buang seperti CO, NOx, UHC (unburn hydrocarbon) dan unsur metalik seperti timbal (Pb) yang sangat membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan dampak tidak langsung berupa emisi CO2 yang dapat mengakibatkan terjadinya pemanasan global dan berujung pada perubahan iklim, yang dapat mengakibatkan terjadinya banjir atau kekeringan yang berkepanjangan sehingga mengancam kelangsungan hidup manusia, hewan dan tanaman (http://www.its.ac.id). Upaya penanggulangan terhadap masalah tersebut telah dilakukan dengan berbagai penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan sumber energi (energy resources), maupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan ramah lingkungan. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemanfaatan biodiesel atau campuran biodiesel dengan BBM (solar) merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan untuk peralihan ke arah penggunaan energi alternatif (http://www.its.ac.id). Biodiesel merupakan sumber energi alternatif terbarukan yang bersasal dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Pada dasarnya Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
biodiesel diperoleh dari proses transesterifikasi dengan mereaksikan minyak atau lemak (trigliserida) dengan alkohol, menggunakan katalis basa pada suhu dan komposisi tertentu, sehingga di hasilkan dua zat yang disebut alkil ester (umumnya metil ester atau sering disebut biodiesel) dan gliserol (Lou et al., 2008; Phalakornkule et al., 2009). Minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel berasal dari minyak/lemak tumbuhan seperti kelapa sawit, jarak pagar, biji karet, kedelai, kacang tanah, kelapa, dan jenis tanaman lain yang menghasilkan minyak/lemak (Ketaren, 2008). Produksi biji karet tergantung kepada beberapa faktor diantaranya klon, umur tanaman, perubahan musim, dan adanya serangan penyakit daun (Haris et al., 1995). Pada tanaman karet yang sudah berumur di atas 10 tahun dapat dihasilkan 1.500 buah/pohon. Jika pada setiap buah terdapat 3-4 butir biji maka diperkirakan setiap pohon dapat menghasilkan 5.000 butir biji/pohon/tahun atau setara dengan 2,5 kg/pohon/tahun (1 kg biji karet terdiri dari 200 butir atau setara tengan 1.320 kg/ha/tahun dengan asumsi populasi 1 ha 528 pohon (Toh dan Chia, 1987 dalam Aritonan, 1986). Pada klon karet unggul seperti GT 1, BPM 24 dan PB 260, produksi biji karet lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan pada tahun 2007 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sembawa, Musi Landas, dan Melania, Sumatera Selatan, produksi biji karet klon GT 1, BPM 24, dan PB 260 secara berurutan adalah 397.000 butir, 451.000 butir, dan 337.000 butir/ha/tahun atau setara dengan 1.985, 2.255 dan 1.685 kg/ha/tahun untuk kerapatan 528 pohon/ha (Boerhendhy, 2009) Bentuk biji karet ellipsoidal, dengan panjang 2,5-3 cm, yang mempunyai berat 2-4 g/biji. Biji karet terdiri dari 40-50% kulit yang 85
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
keras berwarna coklat, 50-60% kernel yang berwarna putih kekuningan. Kernel biji karet terdiri dari 45-50% minyak, 2,71% abu, 3,71% air, 22,17% protein dan 24,21% karbohidrat sehingga biji karet berpotensi digunakan sebagai bahan baku biodiesel (Ikwuagwu et al., 2000; Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976). Jika diasumsikan bahwa 80% tanaman karet menghasilkan buah dengan produksi rata-rata biji karet satu ton/ha/tahun, maka dari luas areal tanaman karet 3.424.217 ha akan dihasilkan biji karet sebanyak 2,74 juta ton/tahun. Dari produksi biji karet tersebut akan diperoleh 1,10 juta ton kulit biji (40%) dan 1,64 juta ton kernel (60%). Biji karet adalah bahan dasar untuk pembuatan biodiesel. Proses pembutan biodiesel melalui beberapa tahapan sebagai berikut : (1) biji karet dipres secara hidrolik, dari proses ini akan dihasilkan minyak kasar biji karet (rubber seed oil (RSO)) dengan rendemen sekitar 22,28-30,00% (Yunarlaeli dan Rochmatika, 2009; Tazora, 2011). (2) minyak kasar yang dihasilkan kemudian dimurnikan dari lendir, getah, dan kotoran dengan proses degumming, dari proses ini akan dihasilkan minyak biji karet murni dengan rendemen 83,44%, (3) minyak biji karet umumnya memiliki kadar asam lemak bebas yang tinggi yaitu di atas 5% sehingga untuk menurunkannya perlu dilakukan proses esterifikasi, dari proses ini akan dihasilkan campuran trigliserida dan fatty acid metil ester (FAME) dan (4) proses akhir dari pembuatan biodiesel, adalah transesterifikasi, dari proses ini dihasilkan biodiesel dengan rendemen 74,5-74,6% (Fachrie, 2009; Tazora, 2011). Jumlah minyak kasar yang dihasilkan dari 2,74 juta ton biji karet mencapai 685 ribu ton (dengan asumsi rendemen minyak kasar biji karet 25%), setetah dimurnikan dengan proses degumming akan dihasilkan minyak murni 571,66 ribu ton dan melaui proses esterifikasi dan transestrifikasi, dihasilkan biodiesel sebanyak 424,46 ribu ton. Hasil penelitian Susila (2010) menunjukkan bahwa biodiesel yang dihasilkan dari RSO dapat dicampur dengan minyak solar dan
86
menghasilkan kinerja mesin diesel yang baik dan emisi gas buang CO2 lebih rendah dibandingkan dengan minyak solar murni. Kandungan gas buang CO2 pada berbagai putaran mesin motor diesel merk Nissan, model DWE – 47 – 50 – HS – AV untuk minyak solar murni (B-0), campuran 95% solar dan 5% biodiesel RSO (B-5), 90% solar dan 10% biodiesel RSO (B-10), 85% solar dan 15% biodiesel RSO (B-15) dan 80% solar dan 20% biodiesel RSO (B-20) terdapat pada Tabel 5. Rata-rata emisi gas buang CO2 yang dihasilkan B-0 pada putaran mesin 1350, 1750, 2150, 2550 dan 2950 rpm rata-rata 7% sedangkan pada minyak solar yang dicampur biodiesel RSO (B-5, B-10, B-15 dan B-20) rata-rata hanya 4,19%, hal ini menunjukkan bahwa pemberian biodiesel RSO pada minyak solar dapat menurunkan emisi gas buang CO2 sebesar 40,14%. Pada putaran optimal (2550 rpm) emisi gas buang CO2 yang dihasilkan minyak solar murni 8%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak solar yang dicampur biodiesel RSO yang hanya mencapai rata-rata 4,90%. Pada putaran ini campuran minyak solar dan biodiesel RSO dapat menurunkan emisi gas buang CO2 sebesar 38,75% (Tabel 3). Campuran minyak solar dan biodiesel RSO terbaik adalah B-10. Pada putaran mesin 1350, 1750, 2150, 2550 dan 2950 rpm rata-rata gas buang CO2 dari B-10 rata-rata hanya 3,52% lebih rendah baik jika dibandingkan dengan B-0 maupun B-5, B-15, dan B-20 yang masing-masing rata-rata mencapai 7, 4,72, 4,72 dan 3,80%. Campuran B10 dapat menurunkan emisi gas buang CO2 49,71%, sedangkan B-5, B-15 dan B-20 masingmasing mencapai 32,57, 32,57 dan 45,71% (Tabel 3). Putaran mesin optimal komposisi B-10 menghasilkan emisi gas buang CO2 terendah yaitu 3,6% dibandingkan dengan B-0, B-5, B-15 dan B20 yang masing-masing mencapai 8,0, 4,4, 4,4 dan 7,2%. Penurunan emisi gas buang CO2 pada B-5, B-10, B-15 dan B-20 masing-masing mencapai 55, 45, 45 dan 10% (Tabel 3).
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Tabel 5. Kandungan gas buang CO2 pada berbagai putaran mesin Table 5. CO2 content of fuel gases in a variety of engine rotation Kandungan Gas Buang CO2 (%) Putaran mesin (rpm) B-0 B-5 B-10 B-15 1350 8,0 4,8 2,0 3,2 1750 8,0 6,0 4,0 5,2 2150 4,0 4,0 4,8 4,8 2550 8,0 4,4 3,6 4,4 2950 7,0 4,4 3,2 6,0 Rata-rata 7,0 4,72 3,52 4,72 Sumber : Susila (2010) Keterangan : B-0 = 100% solar B-5 = campuran antara 95% solar dengan 5% biodiesel RSO B-10 = campuran antara 90% solar dengan 10% biodiesel RSO B-15 = campuran antara 85% solar dengan 15% biodiesel RSO B-20 = campuran antara 80% solar dengan 20% biodiesel RSO
B-20 2,0 4,0 4,0 7,2 6,8 3,80
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Tanaman karet dalam mitigasi perubahan iklim dapat mengurangi emisi gas CO2 di udara melalui penambatan CO2 oleh tajuk tanaman dan pemanfaatan biodiesel minyak biji karet untuk campuran minyak solar dengan emisi gas buang (CO2) yang lebih rendah dari minyak solar murni. Rata-rata stok karbon pada karet tradional (perkebunan rakyat) 19,8 ton C/ha, sedangkan pada karet klon unggul (perkebunan besar) 42,4 ton C/ha. Jumlah gas CO2 yang ditambat oleh perkebunan karet di Indonesia mencapai 291,16 Mton CO2e. Potensi produksi biodiesel dari RSO (rubber seed oil) di Indonesia mencapai 424.460 ton. Campuran solar dan biodiesel dari RSO dapat menurunkan emisi gas buang CO2 sebesar 40,14%.
Anwar, C. 2006. Manajemen dan teknologi budidaya karet pusat penelitian karet. Disampaikan pada pelatihan “Tekno Ekonomi Agribisnis Karet” tanggal 18 Mei 2006, di Jakarta PT. FABA Indonesia Konsultan.
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Boerhendhy, I. 2009. Pengelolaan biji karet untuk bibit. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31(5):6-9. Brown, S., A. J. R. Gillespie and A. E. Lugo. 1989. Biomass estimation methods for tropical forest with applications to forest inventory data. Forest Science 35:881-902.
87
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Brown,
S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forest. A Primer. FAO. Forestry Paper No. 134. F AO, USA.
Darmandono. 1995. Pengaruh komponen hujan terhadap produktivitas karet. Jurnal Penelitian Karet 13(3), 223-238. Ditjenbun, 2009. Statistik perkebunan 2008-2010. Karet. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. 46 hal. DNPI. 2010. Kurva biaya (cost curve) pengurangan gas rumah kaca Indonesia. Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia. Jakarta. 54 hal. Fachrie, M. Y. M. 2009. Sintesis dan karakteristik biodiesel dari minyak biji karet (Hevea brasiliensis) melalui proses etrans (Esterifikasi-Transesterifikasi) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ginoga, K., O Cacho, Erwidodo, M Lugina, , and D Djaenudin. 2002. Economic performance of common agroforestry systems in Southern Sumatra, Indonesia: implications for carbon sequestration services. Working Paper CC03, ACIAR Project ASEM 1999/093. Hairiah, K. dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor: World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 hal, Hardjosuwito, B., dan Hoesnan, A. 1976. Minyak biji karet: analisis dan kemungkinan penggunaannya. Menara Perkebunan 44(5):255-259.
88
Haryadi. 2005. Kajian potensi cadangan karbon pada pertanaman teh (Camelia sinensis (L) O. Kuntze) dan berbagai tipe penggunaan lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor http://www.manado.kaukustujuhbelas.org. Diakses tanggal 12 Januari 2012 http://www.gtuneland.wordpress.com. tanggal 20 Desember 2011
Diakses
http://www.indonesiafinancetoday.com . Diakses tanggal 12 Nopember 2011 http://www.its.ac.id/personal/files/pub/2294orchidea-chem-eng-UPN-sby. Diakses tanggal 12 Januari 2012. http://www.rakyatmerdekaonline.com. tanggal 10 Oktober 2011
Diakses
http://www.regional.kompas.com. tanggal 10 Oktober 2011
Diakses
http://www.wamis.org/agm/meetings/rsama08 /Bari401-Islam-Carbon-SequestrationRubber.pdf. Diakses tanggal 15 September 2011. Ikwuagwu, O. E., I. C. Ononogbu, and O. U. Njoku. 2000. Production of biodiesel using rubber (Hevea brasiliensis) seed oil. J Industrial Crops and Products 12:57–62. IPCC. 2001. Climate change 2001. : Impacts, adaptation, and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. J.J. Carthy, O.F. Canziani, N.A. Leary, D.J. Dokken, and K.S. White, (Eds) Cambridge University Press. Cambridge. 1032 p.
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press.Jakarta. Ketterings, Q. M., R Coe, Van Noordwijk, M Ambagau, Y Palm, C.A. 2001. Reducing uncertaintly in the use of allometrics biomass equation for predicting aboveground tree biomass in mixed secondary forest. Forest ecology and management 120: 199-209. Las, I. 2007. Kebijakan Litbang Pertanian menghadapi perubahan iklim. Dipresentasikan pada pertemuan Pokja Anomali Iklim mengenal Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian. Strategi Antisipasi dan Teknologi Adaptasi. 20 Agustus 2007. Bogor. Lou, W. Y, M. H. Zong, and Z. Q. Duan. 2008. Efficient production of biodiesel from high free fatty acid-containing waste oils using various carbohydrate-derived solid acid catalysts. J Bioresource Technology 99:8752– 8758. Meiviana, A., D. R. Sulistiowati dan M. H. Soejachmoen. 2004. Bumi makin panas, ancaman perubahan iklim di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Yayasan Pelangi Indonesia. Jakarta. 65 hal. Phalakornkule, C., A Petiruksakul, and W Puthavithi. 2009. Biodiesel production in a small community: case study in Thailand. J Resources, Conservation and Recycling 53:129–135. Ratag, M. 2007. Perubahan iklim Indonesia periode 1900-2000. BMG. Jakarta Runtunuwu, E., and Kondoh. 2006. Assessing global climate variability and change under coldest and warmest periods at different Latitude Regions. Submitted to IJAS. Susila, I. W. 2010. Kinerja mesin diesel memakai bahan bakar diodisel biji karet dan analisa emisi gas buang. Jurnal Teknik Mesin. Universitas Kristen Petra 12(1):43-50
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012
Susilowati, S. 2010. Pendugaan Cadangan karbon (carbon stock) dan Neraca Karbon Pada Perkebunan Karet. IPB. Bogor. Syahbuddin, H., dan T. N. Wihendar. 2010. Anomali Curah Hujan Periode 2010-2040 di Indonesia. http://www.balitklimat.litbang.deptan.go .id Tazora, Z. 2011. Peningkatan Mutu Biodiesel dari Minyak Biji Karet Melalui Pencampuran dengan Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar . SPS IPB. Bogor. 90 hal. Toh, K.S and SK Chia. 1987. Nutritional value of rubber seed meal in livestock, feedingstuffs for livestock in South East Asia proced. dalam: Aritonang D. Kemungkinan Pemanfaatan Karet dalam Ramuan Makanan Ternak. J Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1986 5(3):73-78. UNEP and IPIECA, 1991. Climate change and energy efficiency in industry. International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. London. 64 p. Van Noordwijk, M., S Rahayu, K Hairiah, YC Wulan, Farida & B Verbist. 2002. Carbon stock assessment for a forest-to-coffee conversion landscape in Sumber Jaya (Lampung, Indonesia): from allometric equations to land use change analysis. J. Sc. China (special issue on Impacts of land use change on the terrestrial carbon cycle in the Asia Pacific region). Vol 45 (C): 7586. Vladu, I. F. 2006. Adaptation as part of the development process. Technology Subprogamme. Adaptation Technology and Science Programe. UNFCCC. Yuliasmara, F., A. Wibawa dan A. A. Prawoto. 2009. Karbon tersimpan pada berbagai umur dan sistem pertanaman kakao: pendekatan allometrik. Pelita Perkebunan 25(2):86-100.
89
Peran Tanaman Karet dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Yulyana, R. 2005. Potensi kandungan karbon pada pertanaman karet (Hevea brasiliensis) yang disadap: kasus perkebunan inti rakyat Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Utara [Tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
90
Yunarlaeli, F., dan B. Rochmatika. 2009. Pengaruh metode pengepresan terhadap yield minyak biji karet. http://eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 2 Pebruari 2010.
Buletin RISTRI Vol 3 (1) 2012