Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
EVALUASI TATALAKSANA PEMBERIAN PAKAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI PAKAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKTIVITAS SAPI POTONG INDUK DI JAWA TIMUR (Evaluation of Feeding and Residues Utilization as Basal Ration and Its Effect on Beef Cattle Production in East Java) UUM UMIYASIH dan YENNY NUR ANGGRAENY Loka Penelitian Sapi Potong Grati
ABSTRACT This research was done as a first step to find out feeding management according to the crop yield season on the small holder of beef cattle breeding by collecting the information of crop yield, the potency of feed from crop by product, feeding management and the effect to beef cow productivity. Research method was survey and desk study to know the potency and feeding management in the three centers of small holder farmer of beef cattle breeding at East Java (Nganjuk, Lumajang and Jombang); interview was done to 30 of farmers in every location. Parameters observed were cultivar pattern, the potency of food from crop by product, feeding management and the nutrien fulfill of animal. Cultivar pattern in every location was pady– pady–corn; but in the part village at Lumajang, sugarcane was cultivated in dry land. Rice straw, corn Stover, cane top, rice bran and onggok were potency as feed from crop by product. Feed production from crop by product in every location was 207.975,76 ton dry mater (DM)/year (Nganjuk), 17.189,53 ton DM/year (Jombang) and 228.151,62 ton DM/year (Lumajang). Feeding management has no attention to beef cow, only a few of farmer give additional feed like “jamu” and concentrate. Preparation of food crop by product to increase feed quality was not done. Only farmer in Nganjuk had already storage his crop by product as feed. The farmer in Lumajang and Jombang was not storage his crop by product, so the feed given excessive in rain season or harvest season but lack in dry season and cultivar season. Forage and concentrate gift to calves was late, so it affected to weaning and calving interval. Nutrient intake was adequate for maintenance and production to beef cow. Average daily gain was negative in sugarcane harvest in Lumajang, so it was needed a suplement that suitable to sugarcane top. Key words: Crop by product, the center of smallholder breeding, beef cattle, East Java ABSTRAK Penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk menemukan program pemberian pakan sesuai kondisi musim tanam pada usaha pembibitan sapi potong dengan mengumpulkan informasi pola tanam, potensi pakan asal limbah pertanian, tatalaksana pemberian pakan serta pengaruhnya terhadap keragaan produktivitas sapi potong induk. Metode penelitian adalah survei dan desk study dilakukan di tiga daerah sentra pembibitan sapi potong rakyat di Jawa Timur meliputi Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jombang; wawancara dilakukan terhadap 30 orang peternak di masing–masing lokasi. Parameter yang diamati meliputi pola tanam, potensi pakan asal limbah pertanian, tatalaksana pemberian pakan serta tingkat kecukupan nutrient ternak. Pola tanam di masing–masing lokasi adalah padi–padi–jagung, namun sebagian petani di Lumajang melakukan penanaman tebu pada tanah tegal. Pakan asal limbah pertanian yang potensial adalah jerami padi, jerami jagung, pucuk tebu, dedak dan onggok. Produksi pakan asal limbah pertanian pada masing–masing lokasi adalah 207.975, 76 ton BK/th (Nganjuk), 17189, 53 ton BK/th (Jombang) dan 228.051,62 (Lumajang). Pemberian pakan pada sapi induk masih seadanya dan belum memperhatikan status fisiologis, hanya sebagian kecil peternak yang memberikan tambahan pakan pada sapi bunting tua berupa jamu dan konsentrat. Pengelolaan limbah pertanian masih belum dilakukan dan hanya peternak di Kabupaten Nganjuk yang sudah menyimpan limbah pertanian untuk persediaan pakan ternak; di Kabupaten Jombang dan Lumajang tidak terdapat penyimpanan limbah pertanian sebagai pakan ternak sehingga pemberian pakan cenderung berlebih saat musim hujan dan musim panen dan sebaliknya kekurangan pakan pada saat musim kemarau dan musim tanam. Pemberian rumput dan konsentrat pada pedet
319
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
agak lambat sehingga berpengaruh terhadap umur sapih pedet selanjutnya berpengaruh pada lamanya jarak selang beranak. Konsumsi zat nutrient (BK, PK dan TDN) telah mencukupi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi pada sapi potong induk. Hasil pengamatan di Lumajang pada musim panen tebu memberikan nilai PBBH negative, sehingga perlu dilakukan penambahan suplemen yang sesuai untuk pucuk tebu. Kata kunci: Limbah pertanian, sentra pembibitan sapi potong rakyat, Jawa Timur
PENDAHULUAN Isu penting pada agribisnis sapi potong adalah penurunan populasi yang terus menerus dari tahun ke tahun. Akibatnya pemenuhan kebutuhan daging dilakukan dengan mengimpor sapi bakalan dan daging beku. Menghadapi program swasembada daging 2005, upaya peningkatan populasi dan produktivitas telah dilakukan baik melalui kenaikan angka kelahiran, penggemukan sapi lokal, kombinasi peningkatan kelahiran dan intensifikasi penggemukan dan pelaksanaan program SPAKU (SOETIRTO, 1997). Sampai tahun 2003, belum terlihat bahwa produksi daging sapi nasional akan mampu memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia (YUSDJA et al., 2003). Selanjutnya YUSDJA et al. (2003) menyatakan bahwa masalah yang harus diselesaikan dalam program swasembada daging khususnya daging sapi adalah masalah pembibitan, investasi padang penggembalaan dan perbaikan usaha peternakan rakyat. Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan (cow calf operation) 99% dilakukan oleh peternakan rakyat yang sebagian besar berskala kecil (DJAJANEGARA dan DIWYANTO, 2001 disitasi oleh DIWYANTO, 2003). Usaha pembibitan rakyat umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang, hal tersebut cukup beralasan karena usaha cow calf operation menghadapi kendala dan masalah yaitu modal besar untuk pembelian sapi induk, sistem perbankan yang rumit dan keterbatasan lahan pangonan. Bila dihitung secara parsial biaya pakan dan bunga bank yang harus dibayar tidak dapat ditutup dari penjualan pedet (DIWYANTO, 2003). Namun dengan bertahannya usaha pembibitan sapi potong oleh rakyat pasca krisis moneter membuktikan bahwa usaha ini dapat diandalkan karena diusahakan dalam sistem yang terintegrasi (DIWYANTO et al., 2001) dan tidak cocok bila dilakukan secara intensif (YUSDJA et al., 2003).
320
Dalam usaha pembibitan, program pemberian pakan pada induk sapi potong perlu dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya adalah dihasilkannya berat badan yang optimal yang dibutuhkan pada saat menjelang perkawinan pertama. Kelebihan ataupun kekurangan akan dapat merugikan fungsi reproduksi baik pada induk muda maupun induk tua. Kerugian tersebut dapat berupa ternak steril maupun terjadinya siklus estrus yang tidak teratur. Pola pemberian pakan pada usaha peternakan rakyat yang terkesan seadanya, terlebih pada musim kemarau yang memberikan rumput dalam jumlah yang sangat terbatas tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak (RANJHAN, 1981). YUSRAN et al. (1998) menginformasikan bahwa kebutuhan protein pada induk sapi potong pada usaha peternakan rakyat hanya terpenuhi 55-65% dari standar NRC. Semakin sulitnya penyediaan pakan berkualitas oleh peternak, antara lain disebabkan karena luas lahan untuk penanaman hijauan semakin sempit sedang harga pakan konsentrat semakin mahal maka sebagai upaya efsiensi maka pakan yang digunakan adalah yang sesuai dengan potensi daerah terutama limbah pertanian. Limbah pertanian pada umumya nilai nutrisinya rendah (misalnya jerami) namun ada pula yang nilai nutrisinya masih tinggi (misalnya dedak, molasses, daun ketela); yang nilai nutrisinya rendah banyak digunakan sebagai sumber serat sedang yang bernilai gizi tinggi digunakan sebagai sumber energi dan protein (SCHIERE, 1987). Propinsi Jawa Timur merupakan gudang sapi potong nasional dengan populasi 2.514.844 ekor, jumlah kelahiran melalui inseminasi buatan adalah 245.000 ekor yang diusahakan oleh 1.180.000 peternak (Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia, 2002). Integrasi tanaman pangan dan sapi potong telah lama dilakukan di Jawa Timur, dengan demikian suatu kenyataan bahwa selama ini produksi beras maupun daging sapi di Jawa Timur ditulang-punggungi
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
oleh sistem usaha tani terpadu, namun diperkirakan keterpaduan belum terjadi secara optimal (YUSRAN, 2002). Makalah ini merupakan sebuah hasil penelitian tentang integrasi tanaman pangan dan usaha pembibitan sapi potong rakyat serta pengaruhnya terhadap produktivitasnya. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan dengan metode survei dan deskstudy, terdiri dari dua bagian yaitu: base line data pakan dan kecukupan zat nutrisi. Survei dan deskstudy dilakukan untuk mengetahui pola tanam, potensi ketersediaan pakan, dilakukan secara sampling di beberapa daerah sentra usaha sapi potong di propinsi Jawa Timur yaitu di Kabupaten Nganjuk (Desa Sono Ageng, Kecamatan Prambon), Jombang (Desa Gudo, Kecamatan Kayangan) dan Lumajang (Desa Bodang Kecamatan Padang). Dilakukan pula pengamatan terhadap tata laksana pakan dan konsumsi nutrisi pakan. Untuk mengetahui tingkat pemenuhan konsumsi zat nutrisi pakan, dilakukan penimbangan bobot badan dan kemudian dibandingkan dengan jumlah kebutuhan zat nutrisi pakan menurut KEARL (1982). Kegiatan base line data dilanjutkan dengan pengamatan tentang kecukupan zat-zat nutrisi ransum; dengan penimbangan jumlah konsumsi pakan selama 3 x 24 jam secara periodik sebanyak tiga kali pada setiap pergantian musim tanam, serta penimbangan berat badan ternaknya. Materi yang diamati adalah sapi potong PO di daerah Lumajang. Untuk mengetahui kecukupan kebutuhan zat pakan dibandingkan dengan standar kebutuhan pakan menurut KEARL (1982). Analisa data teknis dilakukan dengan uji perbandingan dan secara deskriptif, adapun parameter yang diamati meliputi kepemilikan lahan, pola tanam, produksi hijauan asal limbah, tatalaksana pemberian pakan, berat badan,
pertambahan berat badan harian (PBBH) dan konsumsi nutrien pakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Base line data pakan Profil usaha tani–ternak Studi dilakukan di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Nganjuk, Jombang dan Lumajang. Profil usaha tani–ternak yang meliputi kepemilikan lahan ternak, pola tanam, kepemilikan ternak, produksi hijauan asal limbah pertanian, kebutuhan hijauan asal limbah pertanian dan cara penyediaan hijauan pakan ternak ditampilkan pada Tabel 1. Rata–rata kepemilikan lahan dan ternak sapi potong di ketiga lokasi adalah antara 2273,7 m2 –6953,10 m 2 dan 1,5 UT–2,2 UT. Tingkat skala usaha tani padi maupun skala usaha ternak di tiga sentra pembibitan sapi potong rakyat di Jawa Timur merupakan usaha skala kecil. Produksi hijauan asal limbah pertanian tertinggi adalah di kabupaten Nganjuk sedangkan yang terendah adalah di Lumajang. Rendahnya produksi hijauan asal limbah di Lumajang disebabkan oleh kepemilikan lahan sawah yang lebih sedikit, sebaliknya lahan tegalan di tanami tebu. Penyediaan pakan di Nganjuk yang dominan berasal dari lahan sendiri, hal ini terkait dengan lahan sawah yang luas dan produksi hijauan pakan asal limbah yang tinggi. Produksi hijauan yang tinggi di Nganjuk di simpan untuk persediaan pakan pada musim paceklik. Penyediaan pakan di Jombang yang dominan berasal dari mencari, sebaliknya sedikit sekali yang memanfaatkan hijauan asal limbah pertanian dari lahan sendiri. Rendahnya penggunaan hijauan asal limbah pertanian terkait dengan tingkat kesukaan peternak memberikan hijauan berupa rumput (Tabel 2), dan pemberian jerami yang selektif yaitu bagian daun saja.
321
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Tabel 1. Profil usaha tani–ternak pada tiga sentra pembibitan sapi potong rakyat di Jawa Timur Daerah sentra pembibitan sapi potong rakyat
Uraian profil
Nganjuk
Jombang
Lumajang
Sawah
6953,10
2180,65
1106,40
Tegal
-
-
1167,30
Sawah
Padi-padi-palawija
Padi-padi-palawija
Padi-padi-palawija
- Tegal
-
-
tebu
2
Rata–rata luas kepemilikan lahan (m )
Pola tanam
Rata–rata kepemilikan ternak (UT)
2,2
1,6
1,5
Rata–rata produksi hijauan asal limbah pertanian tiap peternak (ton BK/thn)
10,08
3,16
2,06
Kebutuhan hijauan asal limbah pertanian (ton BK/thn)*
4,0
2,9
2,7
Selisih antara produksi dan kebutuhan hijauan asal limbah (ton BK/thn)
+ 6,1
+0,3
-0,6
Cara penyediaan hijauan oleh peternak (%) Membeli
16,13
0
2,56
Mencari
3,22
29,03
23,08
Lahan sendiri
54,84
6,45
30,80
Membeli dan mencari
3,22
19,35
17,95
Lahan sendiri dan mencari
16,13
19,35
20,51
Lahan sendiri dan membeli
0
12,9
0
Lahan sendiri, mencari dan membeli.
0
0
5,13
Dihitung berdasarkan kebutuhan bahan kering sebanyak 2% bobot badan
Meskipun di Lumajang penguasaan lahan sawahnya rendah, namun penyediaan hijauan dari lahan sendiri lebih dominan. Usaha penyimpanan hijauan pakan asal limbah pertanian tidak dilakukan oleh peternak di Lumajang. Hal ini terkait dengan rendahnya produksi hijauan asal limbah pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan pemanfaatan limbah pertanian secara bersama– sama pada lahan yang sedang di panen secara bergantian. Produksi pakan asal limbah pertanian pada masing–masing kabupaten berdasarkan perhitungan luas panen dari data statistik Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur tahun 2001 adalah 207.975, 76 ton BK/th (Nganjuk), 17.189, 53 ton BK/th (Jombang) dan 228.051,62 (Lumajang).
322
Tata laksana pakan Evaluasi tentang tata laksana pakan diutamakan pada komposisi pakan, cara dan frekuensi pemberian ransum, baik yang berupa hijauan ataupun konsentrat; yang secara rinci ditampilkan pada Tabel 2. Tingkat pemanfaatan hijauan asal limbah pertanian tertinggi adalah di Nganjuk (68,03%), selanjutnya adalah Lumajang (54,13%) dan Jombang (19,88%). Penggunaan pakan penguat yang dominan adalah dedak padi, hal ini terkait dengan pola tanam padi yang dominan di ketiga daerah sentra pembibitan sapi potong rakyat. Cara pemberian konsentrat dalam keadaan basah (dicampur dengan air) lebih disukai peternak daripada pemberian dalam bentuk
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
kering (dominan di satu lokasi). Frekuensi pemberian konsentrat 2 x lebih banyak dilakukan peternak daripada frekuensi pemberian 1 x. Cara pemberian pakan dalam bentuk basah ada effek positif maupun negatifnya bagi ternak. Effek positifnya adalah bahwa pemberian pakan dalam bentuk basah merupakan salah satu cara untuk melakukan by pass pakan. By pass pakan pada konsentrat dilakukan untuk menghindari degradasi oleh mikroorganisme rumen, sehingga konsentrat lebih cepat masuk ke dalam saluran pencernaan pasca rumen (CHUZAEMI, 1990). Menurut CHERKAWSKI (1986), bahwa partikel pakan berbentuk halus seperti konsentrat akan lebih cepat meninggalkan rumen. Sedang efek
negatifnya adalah bahwa pemberian pakan konsentrat dalam bentuk basah akan lebih cepat keluar bersama feses sehingga absorbsinya menjadi tidak optimal (VAN SOEST, 1994). Hal ini tidak terjadi pada pemberian konsentrat dalam bentuk kering karena pakan lebih tersedia untuk mikroorganisme rumen sehingga banyak yang tidak dimanfaatkan oleh induk semang (CHUZAEMI, 1990). Data tentang cara pemberian hijauan menunjukkan bahwa peternak yang melakukan pemotongan/pencacahan hijauan lebih banyak dari yang memberikan secara utuh (dominan di 3 lokasi) dengan frekuensi pemberian 2-3 x (dominan masing-masing di tiga lokasi).
Tabel 2. Komposisi pakan (% BK) dan tatalaksana pemberian pakan di masing-masing lokasi Uraian
Lokasi Nganjuk
Jombang
Lumajang
16,87
71,26
20,04
A. Komposisi pakan.( % BK) -Rumput -Jerami padi
68,03
3,42
53,60
-Jerami jagung
3,53
3,76
0,53
-Jerami kacang tanah
-
12,70
-
-Dedak
11,08
6,26
7,43
-Pucuk tebu
-
-
0,53
-Molasses
-
2,60
-
-Gamblong
-
-
-
-Ampas tahu
0,49
-
17,87
- Kering (% Jml peternak).
0
0
33,33
- Basah (% Jml peternak)
100
100
66,67
-1 x (% Jml peternak)
3,20
10,40
21,10
-2 x (% Jml peternak)
96,80
89,60
78,90
B. Cara pemberian konsentrat
C. Frekwensi pemberian konsentrat
D. Cara pemberian hijauan - Utuh (% Jml peternak)
35,48
62,50
17,94
- Cacah (% Jml peternak)
64,52
37,50
82,06
29,03
6,45
0
E. Frekwensi pemberian hijauan - 1 x (% Juml peternak)
22,81
71,00
18,18
- 3 x (% Juml peternak)
- 2 x (% Juml peternak)
48,16
22,55
45,45
- 4 x (% Juml peternak)
0
0
36,37
323
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Frekuensi pemberian pakan konsentrat dan hijauan 2 x bahkan lebih (untuk hijauan) dapat memperbaiki ekologi rumen sehingga fermentasi pakan berserat (hijauan) berjalan lancar (CHUZAEMI, 1990). Pemberian hijauan dalam bentuk terpotong-potong (dicacah) dapat meningkatakan efisiensi penggunaan hijauan karena dapat mengurangi effek seleksi oleh ternak. Tata laksana induk bunting dan pedet Dalam wawancara ditanyakan pula tentang kebiasaan peternak merawat sapi induk dan pedetnya, terutama yang terkait dengan tatalaksana pakannya; hasilnya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. Peternak tradisional di Lumajang paling banyak memberikan perlakuan penambahan pakan sebagai upaya menambah zat nutrisi pada induk sapi bunting (sebanyak 43,60% peternak); sebaliknya peternak di Jombang paling sedikit (9,70% peternak). Penambahan zat nutrisi tidak berpengaruh terhadap anestrus post partus. Perlakuan pakan pada induk bunting tidak hanya dilakukan pada saat pre partus tetapi juga post partus. Perlakuan pakan pre partus dan post partus hendaknya meningkatkan pemenuhan kebutuhan energi, karena dibutuhkan untuk pertumbuhan janin dan produksi susu selama laktasi. SCHILLO (1992) disitasi oleh WINUGROHO (2002) menyatakan bahwa energi dibutuhkan untuk memproduksi
hormon luteinizing hormon (LH) yang berfungi untuk merangsang pertumbuhan folikel sehingga terjadi estrus post partus. Penambahan zat nutrisi pada induk bunting dibutuhkan karena pada induk bunting terjadi pertumbuhan janin yang membutuhkan nutrisi ekstra (TILLMAN et al, 1984). Perlakuan perbaikan pakan pada induk bunting dapat memperbaiki angka days open, anaestrus post partus, selang beranak dan servis per conseption pada masa reproduksi berikutnya (ACHMAD, 1983). Terhadap pedet, peternak di daerah Nganjuk memberikan rumput dan konsentrat lebih awal (pada umur 1,77 dan 2,60 bulan). Data tentang umur sapih terlihat paling tinggi (umur 5,8 bulan) dilakukan oleh peternak di Nganjuk dan paling singkat (4,50 bulan) oleh peternak di Jombang. Umur sapih berhubungan erat dengan terjadinya anestrus post partus, namun meskipun di Nganjuk dilakukan penyapihan yang sangat terlambat namun anestrus post partus terjadi lebih awal dari pada di Jombang dan Lumajang. Hal tersebut di atas dapat disebabkan karena pada ketiga lokasi tersebut telah terjadi pemenuhan zat pakan (Tabel 4). WINUGROHO (2002) menyatakan bahwa ketiadaan respon pada ovarium dapat disebabkan oleh kecukupan cadangan energi tubuh ternak Pemberian rumput pada pedet adalah untuk menstimulasi pertumbuhan mikroorganisme
Tabel 3. Pemeliharaan induk bunting dan pedet serta pengaruhnya terhadap reproduksi induk Lokasi Uraian
Nganjuk
Jombang
Lumajang
A. Penambahan zat-zat nutrisi - ada
38,70
9,70
43,60
- tidak ada
61,30
90,30
56,40
rumput pertama kali (bulan)
1,77
2,40
4,20
C. Umur pedet saat diberi konst.
2,60
2,65
4,40
D. Umur sapih (bulan)
5,80
4,50
5,00
E. Jarak Beranak (bulan)
15,30
18,50
16,00
F. Anestrus Post Partus (bulan)
2,50
3,00
3,80
B. Umur pedet saat diberi
pertama kali (bulan)
324
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
rumen terutama mikroorganisme pencerna serat kasar yang dibutuhkan ternak saat dewasa serta untuk merangsang papila rumen. Menurut REKSOHADIPRODJO (1988) pedet dapat mulai dikenalkan hijauan pada umur 2 minggu, sedangkan konsentrat pada umur 3 minggu. Umur awal pemberian hijauan pada penelitian ini adalah 1,77–4,20 bulan, sedang umur awal pemberian konsentrat adalah 2,6–4,4 bulan lebih tinggi dari yang dianjurkan. Tingginya umur pemberian rumput maupun konsentrat ini menyebabkan umur sapih yang lebih panjang yaitu 4,5–5 bulan. Lamanya umur penyapihan ini dapat memperlambat penutupan oesophageal groove sehingga dapat menyebabkan tidak efisiennya pencernaan serat kasar didalam rumen (VAN SOEST, 1994). Konsumsi dan kebutuhan zat nutrisi ransum Hasil pengamatan terhadap konsumsi zat nutrisi ransum secara rinci tertera pada Tabel 4 berikut: Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa cara, frekuensi maupun jumlah pemberian pakan yang dilakukan oleh peternak tidak membedakan jenis maupun status fisiologis sapinya. Sapi-sapi yang
dikandangkan secara individu, meski status fisiologisnya berbeda namun bila besar badannya hampir sama akan mendapat jumlah pakan yang relatif sama pula. Hanya sebagian di antara mereka yang memberikan perlakuan tambahan; pada umumnya memberi tambahan rumput dan atau jamu. Dibandingkan dengan standar kebutuhan menurut KEARL (1982) untuk setiap status fisiologis, konsumsi zat nutrisi dalam kegiatan baseline data pakan ini, pada masing-masing lokasi ternyata telah memenuhi standar (Tabel 4). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa meskipun pemberian pakan oleh peternak tradisional terkesan seadanya namun peternak di tiga lokasi penelitian yang merupakan sentra sapi potong justru pada saat panen terkesan sangat memanjakan ternaknya. Jumlah pemberian pakan hijauan seringkali cenderung berlebihan. Ada hal yang perlu digaris bawahi meski konsumsi terpenuhi, namun karena bahan pakan yang diberikan kebanyakan berupa limbah pertanian yang kandungan kristal silikanya tinggi; mempunyai nilai kecernaan yang rendah sehingga belum tentu produktivitasnya optimal (PRESTON and LENG, 1987).
Tabel 4. Perbandingan antara standar kebutuhan dengan konsumsi zat nutrisi di masing-masing lokasi Lokasi Uraian
Nganjuk
Jombang
Lumajang
BK (kg/ekor/hari) Standar
7,22
5,66
5,82
Konsumsi
12,68
12,98
12,08
Selisih +
5,46
7,32
7,74
PK (g/ekor/hari) Standar
594,69
526,14
528,00
Konsumsi
862,10
1065,00
822,00
Selisih
267,41
538,86
294,00
TDN (kg/ekor/hari) Standar
3,80
3,03
3,05
Konsumsi
5,76
12,98
5,72
Selisih +
1,96
7,32
2,67
- diasumsikan bahwa pakan dihabiskan tanpa sisa - tidak dibedakan untuk setiap status fisiologis
325
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Kecukupan zat nutrisi Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kebutuhan dan konsumsi zat nutrisi serta pengaruhnya terhadap produktivitas ternak pada musim panen tebu dan panen palawija di Kabupaten Lumajang. Data kebutuhan dan konsumsi zat nutrisi serta produktivitas ternak ditampilkan pada Tabel 5. Nilai PBBH pedet terendah adalah di lokasi Lumajang pada musim panen tebu yakni sebesar 0,00 kg/ekor/hari demikian pula halnya dengan induk laktasi sebesar 0,36 kg/ekor/hari. Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa pada musim panen pucuk tebu kecukupan BK dan TDN bernilai negatif hampir pada semua status fisiologis. Hal ini disebabkan karena selain
pemberiannya kurang, pucuk tebu merupakan hijauan yang berkualitas rendah, sehingga rendah sekali nilai TDN-nya (MUSOFIE, 1984). Pada musim palawija di Lumajang (Lumajang-PL) terjadi kecukupan zat nutrisi pada seluruh status fisiologi. Hal ini terjadi karena limpahan jerami kacang tanah dan pucuk tebu sehingga ternak cukup mendapatkan pakan. Hal ini disebabkan karena produksi jerami palawija melimpah pada musim hujan, sehingga yang diberikan pada ternak lebih banyak. Jadi kecukupan zat nutrisi pada penggunaan jerami adalah fungsi dan volume pemberian pakan bukan pada kualitas bahan (SCHIERE, 1987).
Tabel 5. Kebutuhan dan konsumsi zat nutrisi dan pengaruhnya pada pertambahan bobot badan (PBBH) Musim panen Tebu
Uraian
Palawija
BK (kg/hari)
PK (kg/hari)
TDN (kg/hari)
3,25
377,97
1,72
PBBH
BK (kg/hari)
PK (kg/hari)
TDN (kg/hari)
3,25
377,97
1,72
PBBH
Pedet Kebutuhan Konsumsi
0,07
200,00
0,17
3,76
710,00
1,14
Selisih
- 3,18
- 177,97
- 1,55
+ 0,51
+ 332,03
- 0,58
5,16
494,69
2,28
5,16
494,69
2,38
0,00
0,22
Dara Kebutuhan Konsumsi
1,69
170,00
1,44
Selisih
- 3,47
- 324,69
- 0,95
Induk Bunting
7,58
607,32
3,96
Kebutuhan
16,22
1060,00
3,72
Konsumsi
+ 8,64
+ 452,68
7,06
564,02
0,58
10,35
1940,00
3,12
+5,19
+1445,31
+0,73
7,58
607,32
3,96
32,33
6060,00
9,75
-0,24
+ 24,75
+5452,68
+5,79
3,54
7,06
564,02
3,54
27,31
5120,00
8,23
+20,25
+4555,98
4,69
0,43
0,37
0,32
Selisih Induk laktasi Kebutuhan Konsumsi
6,88
740,00
2,98
Selisih
- 0,18
+ 175,98
- 0,56
326
-0,36
0,42
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Pada musim panen tebu konsumsi zat–zat nutrisi pakan pada pedet tidak mampu menghasilkan PBBH; demikian pula halnya dengan PBBH induk laktasi yang menunjukkan nilai negatip. Hal ini antara lain disebabkan karena pucuk tebu yang diberikan bernilai gizi rendah (MUSOFIE, 1984), oleh karena itu pemberiannya untuk ternak masih perlu ditambah suplemen yang dapat berupa leguminosa atau konsentrat. Selain hal tersebut terjadinya PBBH yang negatip pada fase laktasi juga disebabkan karena sebagain gain diubah menjadi energi dalam bentuk air susu (TILLMAN et al. 1984). KESIMPULAN Pola pemberian pakan di sentra pembibitan sapi potong di Jawa Timur (Nganjuk, Jombang dan Lumajang) belum dilakukan sesuai dengan kebutuhan status fisiologis ternak. Pada musim panen pemberian hijauan asal limbah pertanian terkesan berlebihan dan sebaliknya dalam jumlah yang terbatas diluar musim panen, hal ini disebabkan di beberapa lokasi belum membudaya menyimpang limbah pertanian sebagai pakan ternak. Belum semua peternak memberikan perlakuan khusus terhadap induk bunting; perlakuan khusus adalah memberikan tambahan berupa jamu atau sedikit rumput. Dari kegiatan monitoring terhadap kecukupan zat nutrisi yang dilakukan di dua kabupaten Lumajang disimpulkan bahwa kecukupan zat nutrisi terjadi pada musim panen palawija. PBBH yang bernilai negatip pada status fisiologis laktasi diduga disebabkan karena terjadinya katabolisme tubuh menjadi susu. DAFTAR PUSTAKA ACHMAD P., 1983. Problem Reproduksi pada Ruminansia Besar di Yogyarta. Proseding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua. Puslitbangnak. Bogor. CHERKAWSKI. 1986. An Introduction to rumen Studies. Pergamon Press. London. CHUZAEMI, S. 1990. Ilmu Gizi Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN REPUBLIK INDONESIA. 2002. Buku Statistik Peternakan Tahun 2002. Departemen Pertanian. Jakarta.
DIWYANTO, K., B. RISDIONO dan D LUBIS. 2001. Integrasi tanaman ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa Volume 12 No 1 (in Press). Puslitbangnak. Bogor. DIWYANTO, K. 2001. Model Perencanaan Terpadu: Proyek Integrasi Tanaman–Ternak (Crop Livestock Systems). Bahan Diskusi. Puslitbangnak. Bogor. DIWYANTO, K. 2003. Pengelolaan Plasma Nutfah Untuk Mendukung Industri Sapi Potong Berdaya Saing. Proseding Seminar Nasional Pengembangan Sapi Lokal. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang. Kearl, 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. MUSOFIE. A. 1984. Pengaruh Proses Pelleting Terhadap Kecernaan dan Konsumsi Pucuk Tebu. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. M.S. Thesis PRESTON T.R. and R.A. LENG. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in the Tropics and Sub Tropics. Penambul Book. Armidale. RANJHAN, S.K. 1981. Animal Nutrition in the Tropics. Vikas Publishing House. PVT. Ltd. New Delhi. REKSOHADIPROJO, S. 1988. Pakan Ternak Gembala. BPFE- Yogyakarta. SCHIERE, J.B. 1987. Limbah Pertanian, Potensi dan Faktor Pembatas dalam Pemanfaatannya sebagai Pakan Ruminansia Prosiding Bioconversion Project. Second Workshop on Crop Residues for feed and Other Pursposes Sub Balitnak, Grati.Pasuruan. SITEPU P, K. DIWYANTO, T.D. SOEDJANA dan A. SOEPARYANTO. 1996. Studi Kebutuhan Feed stock untuk Feedlot dan Ketersediaan Bakalan Lokal. Laporan Balitnak. SOETIRTO, E. 1997. Pemberdayaan Peternakan Rakyat dan Industri Peternakan Rakyat Menuju Pasar Bebas, Pokok Bahasan: Ternak Potong. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor. TILLMAN, A.D, H.HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSUKOJO. 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada.Gajah Mada University Press. Yogyakarta .
327
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
VAN SOEST. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant. Cornel University. London. WINUGROHO M. 2002. Strategi Pemberian Pakan Tambahan Untuk Memperbaiki Efisiensi Reproduksi Induk Sapi. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 21. No 1. YUSDJA, Y., N. ILHAM dan W. K. SEJATI. 2003. Profil dan Permasalahan Peternakan. Forum Peneltian Agro–Ekonomi. Vol .21. No 21, Juli 2003.
328
YUSRAN, M. A., B. SURYANTO, T. PURWANTO dan B. SUDARMADi. 1998 Current Status of Post Partum Anestrus Interval of PO Cow in Dryland Area of East Java in Relation to Feed Supply. Buletin Peternakan Implementation Edition. YUSRAN M.A. 2002. Pengkajian Sistem Usaha Tani Terpadu Tanaman Padi Sawah dan sapi Potong di Jawa Timur. Progres Report. Unpublised.