LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2014
KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK
Oleh : Nyak Ilham Saptana Bambang Winarso Herman Supriadi Supadi Yonas Hangga Saputra
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN 1. Penyediaan pakan di Indonesia masih menghadapi masalah. Biaya pakan yang semakin mahal menyebabkan sebagian peternak beralih ke usaha penggemukan sapi yang mengakibatkan kebutuhan dan harga sapi bakalan meningkat, dan berakhir dengan tingginya harga daging sapi lokal dan kalah bersaing dengan produk impor. 2. Penggunaan bahan pakan berbasis limbah pertanian dan industri pertanian dapat mengatasi kekurangan pakan konvensional. Luasnya lahan perkebunan (kelapa sawit dan tebu) dan tanaman pangan khususnya padi, selain menghasilkan produk utama juga menghasilkan limbah pertanian dan industri pertanian yang berpotensi untuk pakan ternak sapi. 3. Sistem integrasi tanaman-ternak selain mampu menyediakan pakan juga mampu menghasikan pupuk organik yang demikian dapat menekan biaya produksi dan memperbaiki kesuburan lahan sehingga menciptakan usaha pertanian yang berkelanjutan dan berdayasaing. 4. Pengembangan integrasi tanaman dan sapi dengan melibatkan perusahaan perkebunan dan partisipasi masyarakat diharapkan akan mampu meningkatkan populasi sapi potong secara signifikan, mengefisienskan proses produksi dan meningkatkan daya saing daging sapi lokal. 5. Diperlukan kemauan keras dari pemerintah untuk membuat kebijakan pengembangan integrasi tanaman-ternak pada skala yang lebih besar dengan memanfaatkan potensi luasnya lahan dan limbah tanaman pangan maupun perkebunan. 6. Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis perkiraan potensi kapasitas tampung ternak dengan pengembangan integrasi tanaman-ternak, mengidentifikasi potensi wilayah pengembangan baru usaha sapi potong berbasis sumberdaya pakan lokal, menganalisis kelayakan usaha Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak, dan mengidentifikasi kendala pengembangan Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak. 7. Penelitian dilakukan di daerah sentra tebu yaitu Provinsi Jawa Timur, sentra produksi tanaman kelapa sawit yaitu Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, dan sentra produksi padi yang memiliki berbagai agroekosistem yaitu Provinsi Sumatera Selatan. 8. Analisis data dilakukan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan teknik tabulasi. Kelayakan usaha pada berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi
Tanaman-Ternak”, digunakan analisis finansial seperti B/C ratio, IRR, NPV, dan
Pay Back Period.
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Produk Samping Tanaman Untuk Pakan Ternak 9. Berdasarkan luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia setiap tahun dihasilkan 10,6 juta ton bahan kering (BK) dari vegetasi yang ada pada lahan kebun sawit TBM (tanaman belum menghasilkan), 45,6 juta ton BK dari pelepah daun kelapa sawit dari TBM, TM (tanaman menghasilkan) dan TR (tanaman rusak), 19,4 juta ton BK dari produk samping berupa bungkil inti sawit dan solid, dan areal gembala pada lahan TM dan TR. Kapasitas tampung ternak dari potensi yang ada tersebut mencapai 53,06 juta ST (satuan ternak). 10. Ketersediaan bahan sebanyak 1,73 juta klenthek, sehingga bahan kering jerami 24,33 juta ST.
kering selama setahun dari limbah tanaman tebu adalah ton BK dari pucuk tebu dan 519 ribu ton BK dari daun kapasitas tampung total 1.232 ribu ST. Ketersediaanan padi selama setahun 44,40 juta ton dapat memberi pakan
11. Secara total dari tiga sumber limbah tanaman dan produk samping industri tanaman tersebut mampu menampung ternak sebanyak 78,6 juta ST. Potensi Wilayah Baru Pengembangan Sapi Potong 12. Beberapa daerah di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat yang merupakan areal perkebunan sawit dan populasi sapi/kerbaunya masih terbatas dapat dijadikan daerah pengembangan sapi potong/kerbau untuk dijadikan sebagai daerah pertumbuhan baru. 13. Beberapa daerah di Jawa sebagai daerah sentra produksi, sebaiknya dapat memanfaatkan limbah tanaman padi dan tebu sebagai bahan pakan untuk mempertahankan populasi yang telah ada saat ini. 14. Bali dan NTT berupakan daerah defisit pakan, sedangkan DIY, Gorontalo, dan NTB dapat dikategorikan sebagai daerah rawan pakan dan perlu perhatian untuk mengupayakan bagaimana mendatangkan bahan pakan dari daerah sekitar atau memanfaatkan bahan pakan lokal yang ada. Kelayakan Usaha Integrasi Tanaman-Sapi Potong 15. Pada usahatani integrasi tanaman-ternak, secara parsial usahatani tanaman memberikan pangsa lebih besar dibandingkan usahatani ternak. Pangsa pendapatan dari usaha tanaman-ternak pada usaha integrasi sawit-sapi adalah 56,3%-22,1%; pada usaha integrasi tebu-sapi adalah 36,7%-21,0%; dan pada
usaha integrasi padi-sapi adalah 16,3%-15,6%. Rendahnya pangsa pendapatan dari usahatani padi pada usaha integrasi padi-sapi yang terjadi di Sumatera Selatan disebabkan banyak lahan sawah untuk tanaman padi beralih fungsi ke tanaman karet, sehingga pangsa pendapatan dari usahatani karet di daerah tersebut adalah 46,9%. 16. Usahatani kebun sawit yang dilakukan secara terintegrasi sawit-sapi dengan pola mandiri sangat menguntungkan petani dengan nilai R/C 5,1 jika menghitung nilai pupuk kandang dan 10,2 jika tidak menghitung nilai pupuk kandang. Usahatani sapi potong yang dilakukan juga member keuntungan dengan nilai R/C 3,31 jika menghitung nilai pupuk kandang yang digunakan untuk kebun sawit milik sendiri dan 3,14 jika tidak menghitung nilai pupuk kandang yang digunakan untuk kebun sawit milik sendiri. 17. Usahatani kelapa sawit, pola kelompok yang diusahakan secara terintegrasi dengan sapi potong, efisiensinya meningkat akibat menggunakan pupuk kandang yang dihasilkan dari usaha sapi potong dengan nilai R/C ratio dari 3,93 menjadi 4,72 pada petani kebun sawit yang mengusahakan sapi secara intensif dan nilai R/C ratio dari 4,97 menjadi 6,16 72 pada petani kebun sawit yang mengushaakan sapi secara semi intensif. 18. Usaha pembiakan menggunakan sapi indukan eks-impor di lahan kebun sawit
Pola Gembala Plus Konsentrat layak dilakukan. Indikator kelayakan ditunjukkan oleh nilai NPV Rp 160.570.000, nilai IRR 15%, nilai B/C 1,03, dan waktu pengembalian modal (Pay Back Period-PBP) 3,96 tahun.
19. Pola Gembala-Plus Solid, tanpa tambahan konsentrat lainnya, kelihatan lebih menguntungkan, karena solid hanya sebagai limbah yang harus dibuang. Sistem pagar listrik tenaga surya dan penggunaan tenaga penjaga dua orang untuk 300 ekor sapi menjadikan usaha integrasi ini sangat efisien sehingga dalam jangka dua tahun, modal yang dikeluarkan sudah kembali. 20. Pola integrasi ternak sapi dengan tanaman tebu melibatkan cukup banyak pelaku yaitu petani tebu, koperasi, pabrik gula, penebang tebu, peternak sapi, pedagang pengumpul, dan pabrik tetes yang memproduksi MSG. 21. Produktivitas tebu yang dihasilkan petani adalah 85.297 kg/ha/tahun dan harga tebu yang diterima petani adalah Rp 200/kg. Penerimaan petani dari hasil penjualan tebu adalah Rp 17,23 juta/1,01 ha/tahun. Jika dipilah atas biaya tunai, nilai R/C 3,48 dan jika atas biaya total nilai R/C 2,78. Pendapatan atas biaya tunai adalah Rp 12,28 juta dan pendapatan atas biaya total Rp 11,03 juta. 22. Pendapatan usahaternak (integrasi dengan tebu) skala kecil (2,29 ekor) atas
biaya tunai sebesar Rp 9,2 juta/tahun dan pendapatan atas biaya total Rp 360 ribu/tahun. Dengan nilai R/C masing-masing 2,14 dan 1,02. 23. PG di Jawa Timur belum berperan mendukung pengembangan sistem pertanian
terintegrasi tanaman-ternak, dalam hal ini tebu dan sapi. Bahan-bahan pakan
yang dihasilkan seperti bagas, molasses, dan blotong masing-masing digunakan untuk bahan bakar, dijual ke pabrik MSG dan digunakan untuk pupuk. Produk dari kebun seperti pucuk tebu, anakan tebu, dan daun rogesan belum menjadi perhatian. 24. Integrasi padi-sapi di daerah yang didominasi oleh lahan kering podzolik merah kuning seperti di Batumarta kabupaten OKU, Sumatera Selatan, tidak begitu nampak. Jerami padi jarang digunakan untuk pakan sapi selama hijauan rumput tersedia. Penggunaan jerami terbatas hanya untuk tambahan bila rumput tidak mencukupi untuk pakan. Disamping itu rata-rata pemilihan lahan sawah di Batumarta hanya 0.25 Ha/petani dengan 1 atau 2 kali tanam padi. 25. Berdasarkan rata-rata pemilikan lahan seluas 0,25 ha/petani dan pemilikan ternak sapi sebanyak 2,28 ekor/petani, didapatkan bahwa pendapatan tunai dari usaha integrasi padi dan sapi secara menyeluruh di lahan sawah tadah hujan mencapai Rp 7,3 juta/tahun, sedang kalau input output yang tidak tunai diperhitungkan, pendapatan menjadi minus Rp 1,3 juta/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sistem integrasi padi-sapi belum optimal disebabkan karena pemilikan lahan dan jumlah ternak yang terbatas, tenaga kerja kurang efisien, dan teknologi usahatani tanaman maupun ternak belum diterapkan sepenuhnya. 26. Kontribusi padi dalam pendapatan tunai usaha integrasi padi-sapi di lahan sawah irigasi seluas 1 ha selama dua musim tanam cukup besar mencapai Rp 32,3 juta/tahun sedang dari usahaternak sapi sapi sebanyak 2,76 ekor hanya Rp 4 juta/tahun. Kalau nilai input-output dihitung semua baik tunai dan tidak tunai, pendapatan dari tanaman padi berkurang menjadi Rp 27,2 juta/tahun, tetapi dari usahaternak sapi menjadi minus Rp 7,8/tahun. Dalam skala rumah tangga pendapatan tunai keluarga dari integrasi sapi-padi sebesar Rp 36,2 juta/tahun), dan kalau tidak tunai diperhitungkan pendapatan sebesar Rp 19,4 juta/tahun. Kendala Pengembangan Integrasi Tanaman-Sapi Potong 27. Umumnya peternak sapi potong mengusahakan sapi dalam skala usaha kecil akibat keterbatasan modal. Hal itu menyebabkan adopsi teknologi pakan yang mendukung usaha integrasi tanaman-ternak lambat berkembang. Padahal teknologi tersebut tersedia pada instansi Badan Litbang Pertanian dan Pemerintah menyiapkan dana untuk kredit program dengan subsidi bunga seperti Kredit Usaha Pembibitan Sapi-KUPS dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi-KKPE. 28. Peternak sapi potong, yang membutuhkan bungkil inti sawit untuk bahan baku pakan, disekitar perkebunan sawit masih kesulitan mendapatkan bungkil inti sawit dari perusahaan karena harus membeli dalam jumlah besar dan melalui kantor pusat masing-masing. Hal yang sama untuk mendapatkan molasses dari pabrik gula. 29. Di Jawa Timur, penguasaan pucuk tebu sebagai limbah untuk pakan sapi melibatkan penebang utama dan penebang sampingan (peternak) dan belum
diatur secara jelas sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Jika pabrik gula sudah membangun pabrik pakan ternak dengan bahan baku utama dari pucuk tebu, maka persaingan pemanfaatan pucuk tebu akan meningkat. Sangat mungkin PG akan melarang pekerja mengambil pucuk tebu, Bahkan jika dibutuhkan mungkin saja PG membeli pucuk tebu dari petani non binaan. 30. Secara umum, terutama di daerah OKU, ketersediaan pakan semakin terbatas. Petani masih mengandalkan pakan dari hijauan pakan ternak atau rumput alam. Bahan baku pakan berkualitas tinggi, seperti dedak/bekatul, ampas tahu, onggok, konsentrat, dan ubikayu harganya mahal akibatnya peternak dan pemilikan ternak makin menurun. 31. Penggunaan pupuk kandang pada tanaman sawit dapat menggantikan pupuk inorganik dengan tidak menurunkan produksi tandan buah segar (TBS). Namun pemberian pupuk kandang yang sembarangan dapat meningkatkan populasi kumbang orites yang dapat bersarang pada pucuk tanaman kelapa sawit dan akhirnya dapat mematikan tanaman sawit. 32. Keterlibatan PTPN menjalankan usaha sapi potong menjadi kurang bersaing karena pada saat pengadaan input dan penjualan hasil harus menggunakan sistem tender, sehingga ada biaya adminsitrasi tender 20% dan PPN 10%, total biaya administrasi 60%. IMPLIKASI KEBIJAKAN 33. Tingginya potensi produk samping tanaman dan industri pengolahan kelapa sawit di berbagai daerah dapat dijadikan daerah-daerah sumber pertumbuhan baru pengembangan sapi potong. Upaya yang perlu dilakukan adalah: a. Mempermudah akses bagi pengusaha baru pada usaha sapi potong, dengan cara mempermudah perijinan dan memberikan bimbingan teknis. b. Menggeser usaha skala kecil menjadi usaha skala menengah, dengan cara mempermudah akses ke sumber dana seperti KUPS dan KKPE. c. Menyediakan fasilitasi lembaga riset khusus terkait integrasi sawit-sapi di daerah-daerah dimana terdapat sentra perkebunan sawit seperti di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah. d. Kekuatan kelembagaan produksi bibit pemerintah dan swasta ditingkatkan untuk mendukung penyediaan sapi bibit dan sapi bakalan domestic. 34. Pemanfaatan bahan baku pakan di daerah sumber pertumbuhan baru dapat dilakukan dengan dua cara: a. mendatangkan teknologi pembuatan pakan komplit ke sentra-sentra potensi limbah yang didukung dengan binaan teknis dan bantuan modal dan/atau peralatan pengolahan pakan. b. mengembangkan industri pakan komplit murah untuk diperdagangkan dari daerah sentra perkebunan sawit ke daerah sentra sapi seperti Jawa, bali, NTB dan NTT. Agar lebih praktis pakan komplit dimaksud hanya berbahan
baku limbah tanaman dan industri sawit kemudian dicampur kembali dengan dedak padi, garam dan limbah lain di daerah tujuan perdagangan. 35. Industri pengolahan bahan dasar tersebut sebaiknya dikembangkan di daerah yang berdekatan dengan sentra perkebunan dan pengolahan kelapa sawit. Dengana demikian, pemanfaatan bungkil inti sawit yang selama ini sebagian besar diekspor dengan alasan transaksi harus dalam jumlah besar, dapat diatasi dengan pembelian oleh pabrik pakan dengan jumlah yang besar. Jika ini dapat terjadi, pakan ternak ruminansia yang selama ini tidak diproduksi secara industri, seperti pakan unggas, menjadi dapat diproduksi skala industri dan dengan bahan baku yang melimpah dapat menekan harga, sehingga mampu memecahkan masalah pakan yang selama ini dihadapi. 36. Lambatnya pengembangan integrasi tanaman ternak perlu mendapat perhatian pemerintah, antara lain melalui: a. Sifat bantuan yang selama ini dalam bentuk non asset dan asset utama berupa sapi hanya merangsang munculnya kelompok-kelompok baru yang berharap bantuan gratis dialihkan meberi bantuan berupa investasi seperti unit pengolahan pupuk organik, pakan, akses ke kredit program, bimbingan teknis, dan instalasi biogas. b. Pemerintah perlu mendorong agar tumbuh pusat-pusat pembibitan sapi unggul dan pabrik pakan yang murah tapi bermutu untuk mengantisipasi kesulitan petani mencari rumput pakan. 37. Bantuan material dan teknologi yang diberikan hendaknya dibarengi dengan penguatan kelembagaan dan keberdayaan masayarakat peternak, sehingga dapat mempercepat adopsi teknologi dan mengakses KUPS atau KKPE sebagai sumber modal untuk mengembangkan usaha. 38. Pemerintah dalam hal ini Ditjen PKH, Ditjen Perkebunan, Badan Litbang Pertanian dan Pemda masih perlu mengupayakan agar system integrasi yang dilakukan menjadi lebih luas, sehingga tidak hanya mampu menghasilkan produk tanaman dan ternak tetapi juga pupuk organik, pakan dan biogas. 39. Pemerintah sebaiknya dapat meningkatkan akses kelompok peternak untuk pengadaan bungkil inti sawit dan molasses dari perusahaan swasta dan PTPN antara lain dengan cara: a. Melalui Instansi terkait kelompok didampingi untuk mengajukan surat permohonan kebutuhan dalam jumlah relative besar dengan cara menggabungkan beberapa kelompok. Karena dengan jumlah besar diharapkan pihak perusahaan (swasta.PTPN) akan lebih mudah melayani. Melalui instansi terkait yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di daerah, atas nama kelompok peternak bermohon dukungan surat dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang ditujukan ke Direksi Perusahaan/PTPN. b. Mengikuti apa yang telah dilakukan Pemda Riau juga sudah mengeluarkan Perda tingkat provinsi dan kabupaten agar perusahaan yang ada di Riau meningkatkan kontribusinya untuk masyarakat dengan program CSR (Coorporate Social Responsibility) dan CD (Community Development).
Harapannya CSR/CD dari perusahaan perkebunan kelapa sawit sebaiknya dalam bentuk usaha ternak sapi potong yang dikelola secara integrasi dengan menyediakan dana dan bahan baku pakan. Dengan demikian manfaat yang diterima menjadi lebih produktif. Untuk mendukung Perda tersebut, di Kabupaten Siak membentuk Forum CSR Kabupaten Siak yang diketuai Kepala Bappeda. Salah satu kebijakannya adalah mewajibkan perusahaan perkebunan kelapa sawit, perusahaan minyak, perusahaan kayu dan semua perusahaan di Kabupaten Siak untuk membuat program CSR yang diarahkan kegiatannya pada usaha produktif seperti usaha peternakan sapi. 40. Ancaman kumbang orites pada tanaman sawit dapat dicegah dengan cara: menghindari tumpukan pupuk kandang atau melakukan pengolahan sebelum digunakan. 41. Untuk menghindari biaya administrative yang menyebabkan daya saing usaha
integrasi sapi potong PTPN rendah adalah dengan cara membangun usaha kemitraan dengan petani peternak. Pihak PTPN dapat berperan sebagai avails plasma, penyedia pakan dan membeli produk untuk dipasarkan dan dikembangkan sendiri oleh PTPN atas nama peternak. Hal seperti ini telah dilakukan salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Bengkulu.
42. Agar pemanfaatan limbah tanaman tebu menjadi lebih efektif dan tidak
menimbulkan konflik perlu pengaturan hak atas penguasaan pucuk tebu yang melibatkan petani tebu, peternak, pabrik gula dan Pemerintah Daerah.