POLICY BRIEF KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN-TERNAK Dr. Nyak ilham Pendahuluan 01. Untuk meningkatkan produksi daging sapi, pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penyediaan pakan adalah jumlah, kualitas dan harganya. Di Indonesia penyediaan pakan pada usaha sapi potong masih menghadapi masalah, diantaranya disebabkan oleh penyempitan padang penggembalaan, persaingan bahan baku pakan untuk kebutuhan lain, kandungan nutrisi yang rendah, industri dan sistem distribusi masih terbatas. 02. Keterbatasan sumber pakan konvensional, dapat diatasi dengan menggunakan bahan pakan berbasis limbah pertanian dan industri pertanian. Namun persaingan kedua sumber tersebut untuk kebutuhan lain menyebabkan harga dua kelompok produk tersebut menjadi mahal. Oleh karena itu, diperlukan kemauan keras dari pemerintah untuk membuat kebijakan pengembangan integrasi tanaman-ternak. Dengan cara tersebut diharapkan ketersediaan pakan menjadi lebih baik, usaha semakin efisien, dan kesuburan lahan dapat dijaga. Permasalahan 03. Saat ini, integrasi tanaman-sapi potong masih terbatas pada skala kecil. Usaha integrasi tanaman-ternak sapi skala besar, utamanya dengan tanaman kelapa sawit melibatkan perusahaan perkebunan, karena selain hasil limbah tanaman sawitnya cukup besar juga bungkil inti sawit dan solid (lumpur sawit) dari hasil pengolahan kelapa sawit milik perusahaan perkebunan dan lahan kebun sawit untuk penggembalaan sangat dibutuhkan. Sementara itu, masih ada perbedaan pendapat tentang profitabilitas dan dampak baik/buruk yang ditimbulkan pada tanaman kelapa sawit yang diusahakan secara terintegrasi dengan sapi potong. Temuan-Temuan Pokok Potensi Produk Samping Tanaman Untuk Pakan Ternak 04. Tiga sumber limbah tanaman dan produk samping industri kelapa sawit, tebu dan padi diperkirakan masing-masing mampu menyediakan pakan ternak sebanyak
53,06 juta satuan ternak (ST); 1,2 juta ST; dan 24,33 juta ST setiap tahun, sehingga secara total mencapai 78,6 juta ST. 05. Berdasarkan kuantitas, kualitas dan variasi maka potensi limbah tanaman dan produk samping industri kelapa sawit lebih baik dari yang lain, namun secara spasial, sebarannya kurang merata dibandingkan jerami padi. Potensi Wilayah Baru Pengembangan Sapi Potong 06. Daerah berpotensi bahan baku pakan dari limbah dan produk samping tersebut dapat dikembangkan sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru produksi sapi potong di Indonesia, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 07. Pada daerah-daerah sentra produksi sapi potong utama seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Lampung, kapasitas tampung ternak sapi di daerah ini dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pemanfaatan jerami padi dan produk samping tanaman dan industri pengolahan tebu. 08. Pada daerah-daerah sentra sapi potong lain yaitu Bali dan NTT merupakan daerah defisit pakan berasal dari limbah dan produk samping. Daerah NTB dan Gorontalo ketersediaan sudah terbatas. Ketersediaan pakan pada kedua kelompok daerah ini perlu mendapat perhatian dan dapat dijadikan tujuan perdagangan hasil pengembangan industri pakan berbahan baku limbah dan produk samping kelapa sawit dari Sumatera dan Kalimantan. Kelayakan Usaha Integrasi Tanaman-Sapi Potong 09. Usaha integrasi sawit-sapi berkembang lebih baik dibandingkan integrasi tebu-sapi dan padi-sapi. Fakta di lapang menunjukkan bahwa pola gembala atau semi intensif dan pola kandang atau intensif yang sering diperdebatkan, keduanya berkembang sesuai potensi sumberdaya setempat. 10. Sistem pertanian terintegrasi sawit-sapi dengan pola mandiri, kelompok-intensif, dan kelompok-semi intensif memberi keuntungan baik pada usahatani sawit maupun sapi potong. Nilai R/C pada usahatani sawit berkisar 3,93 – 10,2 dan nilai R/C pada usaha ternak sapi potong berkisar 1,74 - 3,14. Pada pola perusahaan, usaha pembiakan sapi potong (menggunakan sapi induk eks-impor) yang digembalakan di lahan kebun sawit dan diberikan pakan tambahan (konsentrat) secukupnya, secara finansial layak dengan nilai NPV Rp 160.570.000, nilai IRR 15%, nilai B/C 1,03, dan waktu pengembalian modal (Pay Back Period-PBP) 3,96 tahun. 11. Sistem pertanian terintegrasi tebu-sapi potong belum mendapatkan perhatian memadai baik dari pemerintah pusat maupun daerah, Pabrik Gula, serta petani tebu
dan peternak sapi potong. Pola integrasi tebu dengan sapi potong kebanyakan dilakukan oleh peternak rakyat, namun masih dengan pola integrasi yang masih terbatas dan bersifat sangat parsial. Hanya sebagian kecil peternak kecil dan menengah yang memanfaatkan pucuk tebu dan tetes tebu, karena pucuk tebu menjadi hak penebang dan tetes tebu menjadi hak PG. 12. Sistem pertanian terintegrasi tebu-sapi pola kelompok masih memberikan keuntungan baik pada usahatani tebu maupun sapi potong. Nilai R/C pada usahatani tebu berkisar 2,78 – 3,48 dan nilai R/C pada usaha ternak sapi potong berkisar 1,02 - 2,14.. 13. Di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki lima agroekosistem tanaman padi, usaha integrasi padi-sapi belum berkembang. Jerami padi jarang digunakan untuk pakan sapi. Peternak masih mengandalkan pakan hijauan dari rumput alam. Berdasarkan biaya tunai dan biaya total, usahatani padi baik di lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi memberikan keuntungan yang besar. Namun usaha ternak yang dilakukan hanya menguntungkan jika dihitung berdasarkan biaya tunai. Sebaliknya jika biaya tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan, usaha ternak menjadi merugi. Kerugian tersebut dapat dikompensasi dengan menilai upah tenaga kerja dalam keluarga untuk merawat sapi dan mencari pakan sebagai pendapatan petani. 14. Selain manfaat finansial, system pertanian terintegrasi sawit-sapi memberikan manfaat nonfinansial berupa perbaikan kualitas tanah dengan indikasi tidak menurunkan produktivitas tanaman utama. Kendala Pengembangan Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak 15. Usaha integrasi tanaman-ternak lambat berkembang karena adopsi teknologi masih rendah akibat skala usaha masih kecil dan modal peternak terbatas. 16. Sesuai dengan aturan perusahaan, peternak disekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik gula masih kesulitan mendapatkan bungkil inti sawit dan molasses dari perusahaan. IMPLIKASI KEBIJAKAN 17. Upaya menciptakan daerah sumber pertumbuhan baru sapi/kerbau di Indonesia dapat dilakukan dengan meningkatkan peran teknologi dengan cara mendorong berkembangnya usaha sapi potong komersial melalui dukungan : a. Mempermudah akses bagi pengusaha baru pada usaha sapi potong, dengan cara mempermudah perijinan dan memberikan bimbingan teknis.
b. Mengubah usaha skala kecil menjadi usaha skala menengah, dengan cara mempermudah akses ke sumber dana seperti Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). c. Menyediakan fasilitasi lembaga riset khusus terkait integrasi sawit-sapi dan menguatkan kelembagaan unit produksi bibit sapi lokal di daerah-daerah dimana terdapat sentra perkebunan sawit. 18. Pemanfaatan bahan baku pakan di daerah sumber pertumbuhan baru dapat dilakukan dengan dua cara: a. mendatangkan teknologi pembuatan pakan komplit ke sentra-sentra potensi limbah yang didukung dengan pembinaan teknis dan bantuan modal dan/atau peralatan pengolahan pakan. b. mengembangkan industri pakan komplit murah untuk diperdagangkan dari daerah sentra perkebunan sawit ke daerah sentra sapi seperti Jawa, Bali, NTB dan NTT. Agar lebih praktis pakan komplit dimaksud hanya berbahan baku limbah tanaman dan industri sawit kemudian selanjutnya dapat direformulasi dengan menambah bahan pakan lokal lain, seperti dedak, jerami olahan, mineral/garam dan limbah lain di daerah tujuan perdagangan. 19. Industri pengolahan bahan dasar pakan tersebut sebaiknya dikembangkan di daerah sentra perkebunan dan pengolahan kelapa sawit. Pemanfaatan bungkil inti sawit yang selama ini sebagian besar diekspor dengan alasan transaksi harus dalam jumlah besar, dapat diatasi dengan pembelian oleh pabrik pakan dalam jumlah besar. Jika ini dapat terjadi, pakan ternak ruminansia dapat diproduksi skala industri seperti pakan unggas. Bahan baku yang melimpah dapat menekan harga, sehingga mampu memecahkan masalah pakan yang selama ini dihadapi. 20. Lambatnya pengembangan system pertanian terintegrasi tanaman-ternak perlu mendapat perhatian pemerintah, antara lain melalui: a. Bantuan yang selama ini berupa berupa sapi hanya merangsang munculnya kelompok-kelompok baru yang berharap bantuan gratis dialihkan menjadi bantuan berupa investasi seperti unit pengolahan pupuk organik, unit pengolahan pakan, unit pengolahan biogas, kemudahan akses pada kredit program dan bimbingan teknis. b. Bantuan material dan teknologi yang diberikan hendaknya dibarengi dengan penguatan kelembagaan dan keberdayaan peternak dan kelompok peternak, sehingga dapat mempercepat adopsi teknologi dan mengakses KUPS atau KKPE sebagai sumber modal untuk mengembangkan usaha.
21. Pemerintah sebaiknya dapat meningkatkan akses kelompok peternak untuk pengadaan bungkil inti sawit dan molasses dari perusahaan swasta dan PTPN antara lain dengan cara: a. Melalui instansi terkait, kelompok didampingi untuk mengajukan surat permohonan kebutuhan dalam jumlah relatif besar dengan cara menggabungkan beberapa kelompok. Karena dengan jumlah besar diharapkan pihak perusahaan (Swasta/PTPN) akan lebih mudah melayani. Bila diperlukan, lebih baik jika ada dukungan surat dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang ditujukan ke Direksi Perusahaan/PTPN. b. Mengikuti apa yang telah dilakukan Pemda Riau, yaitu menerbitkan Perda tingkat provinsi dan kabupaten. Tujuan adalah agar perusahaan yang ada di Riau meningkatkan kontribusinya untuk masyarakat melalui program CSR (Coorporate Social Responsibility) dan CD (Community Development). Harapannya bantuan yang diberikan dapat dalam bentuk dana dan bungkil inti sawit untuk modal usaha pengembangan usaha integrasi sawit-sapi. Untuk mendukung Perda tersebut, di Kabupaten Siak sudah dibentuk Forum CSR Kabupaten Siak yang diketuai oleh Kepala Bappeda. Salah satu kebijakannya yang telah ditetapkan adalah mewajibkan perusahaan perkebunan kelapa sawit, perusahaan minyak, perusahaan kayu dan semua perusahaan di Kabupaten Siak untuk membuat program CSR menjadi usaha produktif, seperti usaha peternakan sapi.
POLICY BRIEF ASSESSMENT OF AGRICULTURAL SYSTEM DEVELOPMENT FOR INTEGRATED PLANT-ANIMALS Introduction 01. To increase beef production, feed is one of the decisive factors. The important thing to note in the feed supply is the amount, quality and price. In Indonesia, the provision of feed on beef cattle business still faces problems, which are caused by a narrowing of pasture, feed raw material competition for other needs, low nutrient content, industrial and distribution system is still limited. 02. Limitations of conventional feed resources, can be overcome by using a feed material based agricultural wastes and by product of agricultural industries. However, these two sources of competition for other needs cause the price of two groups of products to be expensive. Therefore, the necessary willpower of the government to make policy development integration of crop-livestock. In this way the expected availability of feed to be better, more efficient business, and soil fertility can be maintained. Problems 03. Currently, the integration of crop-cattle are still limited at small scale. Crop-livestock integration efforts of large-scale cattle, mainly involve oil palm plantation company, because in addition to the sewage plant is quite large palm and palm kernel cake also solid (oil sludge) from the processing of oil palm plantations and oil palm plantation land for grazing very needed. Meanwhile, there are still differences of opinion about the profitability and good or bad impact if palm trees cultivated integrated with beef cattle. Principal Findings Potential Side Products Plant To Feed 04. Three sources of plant waste and industrial byproducts of oil palm, sugarcane and rice are expected each capable of providing animal feed as many as 53.06 million animal units (AU); 1.2 million AU; and 24.33 million AU every year, so the total reached 78.6 million AU. 05. Based on the quantity, quality and variety of the potential plant waste and byproducts of palm oil industry is better than the others, but as spatially spreading less prevalent than rice straw.
Potential Areas for Development of Beef Cattle 06. The area has the potential to feed raw materials from waste and by-products that can be developed as a new growth center of beef cattle production in Indonesia, namely the province of North Sumatra, Riau, South Sumatra, Bangka Belitung, Central Kalimantan and West Kalimantan. 07. In the areas of beef cattle production centers, such as East Java, Central Java, South Sulawesi, and Lampung, capacities of cattle in this area can be improved by increasing the utilization of rice straw, plant waste and industrial byproducts of sugar cane processing. 08. In the other central regions of beef cattle are Bali and NTT a feed deficit areas derived from waste and byproducts. NTB and Gorontalo has limited availability. The availability of food in both groups these areas need attention and can be used as trade destinations of feed industry products which using raw material from waste and by-products of palm oil from Sumatra and Borneo. Feasibility Integration Crop-Cattle 09. The integration of palm oil-cattle business is better than the integration of sugar cane-cattle and rice-cattle. Facts in the field indicate that the pattern of grazing or semi-intensive and intensive pattern or a cage that is often debated, both developing appropriate local resource potential. 10. The system of integrated oil-cow farm with independent patterns, group-intensive and semi-intensive groups bring benefits to both the oil and beef cattle farming. Value R / C on palm farm ranged from 3.93 to 10.2 and the value of R / C in the business of cattle ranged from 1.74 to 3.14. On the pattern of the company, the business of breeding cattle (cows using ex-import) grazing in oil palm estates and given additional feed (concentrate) to taste, to be financially viable with a value of USD 160 570 000 NPV, IRR 15%, the value of B / C 1.03, and the payback period (Pay Back Period-PBP) 3.96 years. 10. Integrated system of palm oil-cattle with independent patterns, farmers groupintensive and farmers group semi-intensive bring benefits to both the oil and beef cattle farming. Value of R/C on palm oil business ranged from 3.93 to 10.2 and the value of R/C on beef cattle business ranged from 1.74 to 3.14. On the pattern of the company, the business of breeding cattle (cows using ex-import) grazing in oil palm estates and given additional feed (concentrate), to be financially viable with a value of NPV Rp 160,570,000, IRR 15%, the value of B/C 1.03, and the payback period (PBP) 3.96 years.
11. Integrated system of cane-beef cattle has not received adequate attention from both central and local government, Sugar Factory, as well as sugar cane farmers and cattle ranchers. Pattern cane integration with beef cattle breeders mostly done by people, but still with the integration pattern remains limited and very partial. Only a small proportion of small and medium farmers who utilize sugar cane and molasses shoots, because sugarcane shoots into the right loggers and molasses into the right PG. 12. Integrated systems of cane-beef cattle, farmers group patterns still give a good profit on sugar cane farming and beef cattle. Value of R/C on sugar cane farming ranged from 2.78 to 3.48 and the value of R/C on beef cattle farming ranged from 1.02 to 2.14. 13. In the province of South Sumatra, which has five agroecosystem paddy, paddycattle business integration undeveloped. Rice straw is rarely used for cattle feed. Breeders still rely on natural grass forage. Based on cash costs and total costs, both rice farming in rainfed areas and irrigated fields have great benefits. But the cattle business is done only if the benefit is calculated based on the cost of cash. Conversely, if the cost of labor in the family are taken into account, livestock business into loss. But, losses can be compensated by assessing labor in the family to take care of the cows and looking for food as farmers' income. 14. Besides financial benefits, integrated farming system palm oil-beef cattle has nonfinancial benefits such as improved soil quality with no indication of lowered productivity of major crops. Constraints of Crop-Cattle Integration Development 15. crop-livestock integration business slowly evolving as technology adoption is still low due to the small-scale enterprises and capital breeders still limited. 16. In accordance with the rules of the company, farmers around the oil palm plantation companies and sugarcane company still having trouble getting palm kernel cake and molasses from the company. Policy Implications 17. Efforts to create new growth areas cow / buffalo in Indonesia can be done by increasing the role of technology in a way to encourage the development of commercial beef cattle business through the support of: a. Facilitate access to new entrepreneurs in the beef cattle business, by simplifying licensing and provide technical guidance.
b. Changing the small-scale enterprises into medium-scale enterprises, by facilitating access to sources of funding such as credit Cattle Breeding (KUPS) and the Food and Energy Credit (KKPE). c. Provide facilitation special research institute of palm oil-beef cattle integration and strengthen local cows production institutional in areas where there is a center for oil palm plantations. 18. Utilization of feed raw materials in the new growth can be done in two ways: a. bring to a complete feed manufacturing technology centers supported by the waste of potential technical assistance and financial aid and/or feed processing equipment. b. develop the industry's complete feed for trading in oil palm plantation centers to beef production centers in Java, Bali, NTB and NTT. To be more practical complete feed is only made from plants and industrial waste palm oil then can be reformulated by adding other local feed materials, such as bran, straw processing, mineral/salt and other waste in the area of trade purposes. 19. The feed processing industry is the base material should be developed in the central areas of plantation and palm oil processing. Utilization of palm kernel cake that had been largely exported by reason of the transaction must in large quantities, can be overcome with the purchase of the mill feed in bulk. If this can happen, ruminant feed can be produced by industries scale such as poultry feed. Abundant raw materials can suppress the price, so as to solve the problem of food that had been encountered. 20. The lack of in the development of systems integrated crop-livestock needs to get the attention of government, including through: a. Assistance in the form of a cow during this form only stimulate the emergence of new groups who wish help free diverted into relief in the form of investments such as organic fertilizer processing unit, feed processing units, biogas processing units, ease of access to credit and technical assistance programs. b. Material and technological assistance provided should be accompanied by institutional strengthening and empowerment of farmers and farmer groups, so as to accelerate the adoption of technology and access KUPS or KKPE as a source of capital to develop the business. 21. The government should be able to improve the access of farmers to supply palm kernel cake and molasses from private companies and PTPN among others, by:
a. Through the relevant agencies, the group was accompanied to submit a letter of application needs in relatively large quantities by combining multiple groups. Due to the large number expected by the company (Private / PTPN) will be easier to serve. If needed, it is better if there is a letter of support from the Directorate General of Livestock and Animal Health devoted to the Directors of the Company /PTPN. b. Following what has been done the Local Government ini Riau Province, which publishes legislation provincial and district levels. The aim is that the companies that exist in Riau increase its contribution to society through CSR (Corporate Social Responsibility) and CD (Community Development). Hopefully the assistance provided can be used for capital for development of palm oil-cow business integration. To support the regulation, in Siak District already formed Siak CSR Forum, chaired by the Head of Planning Agency. One of the policies that have been set are requiring oil palm plantation companies, oil companies, the timber company and all companies in Siak to make CSR programs into productive enterprises, such as cattle business.