Merancang Policy Brief Bahan Ajar Diklatpim Tingkat I
Disusun Oleh: Tri Widodo W. Utomo
DIREKTORAT PEMBINAAN DIKLAT APARATUR | LAN-RI
Daftar Isi
Pengantar Policy Brief dan Kurikulum Diklatpim I
1
Policy Science, Policy Paper, dan Policy Brief 1 Kondisi Kebijakan Saat Ini
4
Konsepsi Policy Paper dan Policy Brief Apa Itu Policy Paper dan Policy Brief? Mengapa Policy Brief Penting? Kelebihan Policy Brief
11
Karakter Policy Brief
11
6
8
Struktur dan Komponen Policy Brief Struktur (Sistematika) Penulisan Policy Brief Policy Brief Diklatpim I LAN Sisi Lain Policy Brief Penutup
13
17
20
21
Contoh Policy Brief
i
Pengantar
Policy Brief dan Kurikulum Diklatpim I Berdasarkan diklat pola baru sebagaimana diatur oleh Peraturan Kepala LAN Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat I, policy brief adalah salah satu produk pembelajaran yang paing utama disamping proyek perubahan. Policy brief merupakan produk kolektif yang dihasilkan dalam mekanisme kelompok, dengan tujuan untuk menghasilkan kecerdasan kolektif (collective intelligence). Policy brief ini berisi analisis terhadap issu aktual dan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, serta usulan/rekomendasi yang inovatif untuk mengatasi
masalah
yang
ada
sekaligus
untuk
mencegah
agar
permasalahan yang sama tidak muncul di kemudian hari.
Analisis Kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan
Policy Science, Policy Paper, dan Policy Brief
(William N. Dunn)
menyatakan bahwa policy study bertujuan untuk memahami atau
Antara policy science, policy paper, dan policy brief, memiliki keterkaitan yang sangat erat. Menurut Young and Quinn (2002), disiplin ilmu kebijakan (policy science) terbagi kedalam 2 (dua) bagian, yakni studi kebijakan (policy study) dan analisis kebijakan (policy analysis). Mereka
1
menghasilkan informasi tentang proses pembuatan kebijakan melalui pelaksanaan riset primer kedalam issu-issu kebijakan yang spesifik. Sedangkan policy analysis lebih bermotif politik dan mencari pengaruh langsung outcomes kebijakan melalui perumusan atau desain kebijakan instansi pemerintah. Meskipun Young and Quinn membedakan antara policy study dengan policy analysis, namun dalam modul ini keduanya tidak dibedakan secara tajam, sehingga dapat dimaknakan secara bersama-sama. Dalam definisi Dunn (2003: 1) baik policy study maupun policy analysis diartikan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Modul ini juga tidak membedakan antara policy study dan policy analysis dengan policy research (riset kebijakan), yang oleh Majchrzak (1984: 3) didefinisikan sebagai: “a special type of research that can provide communities and decision-makers with useful recommendations and possible actions for resolving fundamental problems. It provides policymakers with pragmatic, action-oriented recommendations for addressing an issue, question, or problem. The primary focus of policy research is linked to the public policy.” Pada umumnya, hasil analisis terhadap sebuah kebijakan dituangkan dalam sebuah dokumen yang disebut policy paper atau makalah kebijakan. Atau dengan kata lain, policy paper adalah sebuah dokumen yang dihasilkan dari sebuah proses dan/atau menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Policy paper sendiri memiliki kelemahan utama yakni kurang mampu menjadi media komunikasi dengan policy makers, sehingga banyak sekali hasil riset kebijakan dan makalah kebijakan yang tidak dipertimbangkan 2
dalam pembuatan kebijakan (policy making). Ini berarti pula bahwa antara peneliti kebijakan dengan pembuat kebijakan terdapat kesenjangan komunikasi yang sangat lebar, sebagaimana disinyalir oleh UNCTAD (2006) sebagai berikut: “There tends to be a lack of communication between researchers and policy makers. Policy makers are not always informed about ongoing research and researchers often lack knowledge of the most pressing policy questions that they would need to make their research more relevant.” Bahasa yang lebih gamblang tentang gap antara peneliti dengan pengambil kebijakan dikemukakan dalam ODI Briefing Paper (2004), sebagai berikut: “Researchers cannot understand why there is resistance to policy change despite clear and convincing evidence. Policymakers bemoan the inability of many researchers to make their findings accessible and digestible in time for policy decisions.” (Para peneliti tidak bisa mengerti mengapa ada penolakan terhadap perubahan kebijakan meskipun ada bukti yang jelas dan meyakinkan. Sebaliknya, para pembuat kebijakan meratapi ketidakmampuan para peneliti untuk membuat temuan dan hasil kajian mereka dapat diakses dan dicerna pada saat pengambilan keputusan). Maka, untuk menjembatani situasi gap tersebut, dibutuhkan media komunikasi yang lebih ringkas namun padat dengan informasi-informasi yang relevan dengan kebijakan (policy relevant information). Media yang dimaksud disini adalah policy brief atau sering dikenal dengan istilah risalah kebijakan. Dengan demikian, keberadaan policy brief tidak dapat dipisahkan dari policy paper dan policy science atau policy analysis. Lazimnya, policy paper disusun terlebih dahulu, baru dilengkapi dengan
3
policy brief sebagai strategi komunikasi agar utilisasi policy paper lebih besar dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.
Kondisi Kebijakan Saat ini Secara faktual-empirik, proses dan output kebijakan saat ini kurang bermutu dan tidak mampu mencapai tujuannya sebagai instrumen negara untuk melayani dan membangun kesejahteraan publik. Kasus-kasus penolakan publik (policy veto) seperti aksi demonstrasi hingga langkah hukum berupa gugatan judicial review, menyiratkan banyak permasalahan dalam
proses
perumusan
kebijakan,
konten
kebijakan,
hingga
implementasinya. Kondisi ini berkembang karena adanya indikasi pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan, yakni kecenderungan mencari cara instan terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, para policy makers kurang mentradisikan atau kurang menghargai policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making. Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal (implementation failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak berimbang. Situasi seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan symbolic policy. Hal ini sejalan dengan survei yang diadakan oleh Overseas Development Institute/SciDev.Net (dalam Jones and Walsh, 2008) terhadap para
4
pembuat kebijakan dalam bidang ilmu, teknologi dan inovasi yang menemukan bahwa:
50% pembuat kebijakan dan 65% peneliti beranggapan bahwa diseminasi temuan riset untuk pengambilan keputusan masih kurang;
79% responden menempatkan policy brief sebagai alat komunikasi yg bermanfaat.
5
Konsepsi Policy Paper dan Policy Brief
POLICY BRIEF versus RESEARCH PAPER
Apa Itu Policy Paper dan Policy Brief? Meskipun antara policy paper (makalah kebijakan) dan policy brief (risalah
Some might say that a policy brief is more “professional” because it is geared towards readers who have a limited amount of time to make a practical decision, while a research paper is more “academic” because it pays more attention to the scholarly roots of particular arguments and judges their merit on intellectual and logical criteria. (Tsai, 2006)
kebijakan) memiliki banyak kesamaan, terutama dalam elemen-elemen yang harus terkandung didalamnya, namun para pakar memberi definisi yang bervariasi. Menurut Scotten (2011), makalah kebijakan adalah “a research piece focusing on a specific policy issue that provides clear recommendations for policy makers.” Sementara itu, Young and Quinn (2002) memberi definisi makalah kebijakan sebagai: “Policy paper is a problem-oriented and value-driven communication tool. As such, whether targeting other policy specialists or decision-makers, the purpose of the policy paper is: to provide a comprehensive and persuasive argument justifying the policy recommendations presented in the paper and therefore, to act as a decision-making tool and a call to action for the target audience.” Jika dicermati, maka esensi policy paper sesungguhnya mirip sekali dengan policy brief. Keduanya sama-sama harus fokus pada issu spesifik tertentu, berorientasi pada pemecahan masalah, dan mengandung rekomendasi yang jelas. Hal ini nampak dari definisi policy brief yang bersumber dari pendapat berbagai pakar dibawah ini.
6
1. Eisele (2006): a short, neutral summary of what is known about a particular issue or problem. Policy briefs are a form of report designed to facilitate policy-making (dokumen ringkas dan netral yg fokus pada isu tertentu yg membutuhkan perhatian pengambil kebijakan. 2. Young & Quinn (2002): A document that outlines the rationale for choosing a particular policy alternative or course of action in a current policy debate (dokumen yg memaparkan alasan/rasional pemilihan alternatif kebijakan tertentu yg ada pada tataran perdebatan kebijakan): Menjelaskan dan meyakinkan urgensi isu terkait; Menyajikan rekomendasi kebijakan; Memberikan bukti yg mendukung rekomendasi tsb. Sementara itu, IDRC (International Development Research Center, tanpa tahun) di Kanada mendefinisikan policy brief sebagai berikut:
A short document that presents the findings and recommendations of a research project to a non-specialized audience; A medium for exploring an issue and distilling lessons learned from the research; A vehicle for providing policy advice.
Dari definisi diatas maka tidak ada urgensi untuk mempertentangkan antara policy brief dengan policy paper atau research paper. Sebagaimana dikemukakan oleh Tsai (2006), policy brief lebih bersifat professional karena diperuntukkan bagi pembaca yang tidak memiliki waktu banyak namun membutuhkannya untuk dapat mengambil keputusan secara praktis, sedangkan policy paper lebih bersifat akademik dan sangat dibutuhkan oleh kalangan ilmiah yang sangat mementingkan soal logika 7
dan argumentasi akademik. Dengan karakter tersebut, maka policy brief pada umumnya lebih singkat dan disajikan dengan bahasa yang lebih umum dibandingkan policy paper yang lebih komprehensif.
Mengapa Policy Brief Penting? Sebagaimana disebutkan diatas, policy brief berfungsi sebagai jembatan antara peneliti kebijakan atau analis kebijakan, dengan pengambil kebijakan. Aktivitas yang dilakukan seorang analis kebijakan seperti melakukan analisis stakeholder, analisis lingkungan kebijakan, analisis kinerja kebijakan dan seterusnya hingga menghasilkan alternatif kebijakan dan mengajukan rekomendasi, menjadi sia-sia jika tidak ditindaklanjuti oleh pengambil kebijakan sebagai agenda kebijakan. Jika gap tadi dapat dihilangkan, maka akan terwujud kebijakan publik yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based policy) dan/atau dihasilkan atas dasar hasil kajian (research-based policy). Dan jika hal ini dapat dilakukan, maka kemungkinan terjadinya kegagalan kebijakan (policy failure) baik pada tahap perumusan maupun implementasi dapat dikurangi secara signifikan. Gambar 1 dibawah ini menggambarkan hubungan antara peneliti atau policy analyst dengan policy makers serta kebutuhan komunikasi diantara keduanya.
8
Gambar 1. Policy Brief sebagai Jembatan Komunikasi Antara Policy Analyst dengan Policy Maker.
Menurut Dwiyanto (2012), gap antara riset dan pembuatan kebijakan itu sendiri terjadi karena berbagai faktor, antara lain: Aktor yang terlibat, bahasa, logika yang dipakai berbeda; Pembuat kebijakan tidak terbiasa membaca laporan dan buku; Pembuat kebijakan “biasanya sok sibuk”, tidak suka laporan yang panjang dan lama; Bahasa yang dipergunakan terlalu teknis dan sulit dimengerti oleh aktor kebijakan; Informasi dan rekomendasi terlalu umum tidak “tidak directive dan kontekstual” dengan posisi pengambil kebijakan. Peneliti sering tidak mengidentifikasi kliennya dengan jelas. Ilustrasi dibawah ini menggambarkan adanya tradisi para pengambil kebijakan yang tidak terbiasa dengan dokumen kajian yang panjang, detil, dan “terlalu” akademik.
9
Gambar 2. Ilustrasi Urgensi Policy Brief Bagi Policy Maker
Selain itu, dilihat dari waktu pelaksanaan dan publikasinya, hasil riset kebijakan juga mengandung masalah yang menjadikan utilisasi riset dalam pembuatan kebijakan sangat kecil. Masalah yang berhubungan dengan timing ini menurut Dwiyanto (2012) mencakup: Hasil riset datang ketika pesta sudah selesai. Birokrasi bekerja dengan siklus anggaran yang jelas (siklus kebijakan). Siklus penelitian berbeda dengan siklus kebijakan; Hasil riset gagal memberi inspirasi pada birokrat dan politisi untuk membuat program dan kebijakan yang menghasilkan anggaran yang besar. Implikasi kebijakan tidak teridentifikasi dengan baik; Hasil riset sering tidak mampu memberi pencerahan pada birokrat dan politisi mengenai keterkaitan antara kepentingan mereka dengan policy reforms. 10
Kelebihan Policy Brief Sebagaimana dikatakan oleh Young and Quinn (2002), policy brief bertujuan meyakinkan audiens (cq. pengambil kebijakan) tentang urgensi dari sebuah permasalahan dan untuk menentukan pilihan untuk mengatasi masalah tersebut melalui aksi nyata (to convince the target audience of the urgency of the current problem and the need to adopt the preferred alternative or course of action outlined and therefore, serve as an impetus for action). Untuk dapat memenuhi tujuan tersebut, maka policy brief yang baik harus memenuhi karakter khas yang menjadi unggulannya. Dalam hal ini, Dwiyanto (2012) mengemukakan beberapa keuntungan policy brief sebagai berikut:
Ringkas, sederhana, tampilan menarik, banyak gambar sehingga tidak perlu berpikir, handy, dsb; Bisa segera dibuat tanpa menunggu hasil riset selesai sehingga bisa disampaikan pada saat yang tepat; Dirancang secara spesifik memenuhi kebutuhan informasi dari policy-makers tertentu. Orientasi pada pengguna sangat kuat; Bisa menggambarkan logika kebijakan secara mudah (masalah kebijakan, sebab munculnya masalah, dan pilihan tindakan yang tersedia).
Karakter Policy Brief Sesuai dengan kelebihan yang dimiliki, sebuah policy brief yang baik mengandung karakter sebagai berikut: 11
1. Focused, artinya seluruh aspek dalam policy brief harus fokus pada pencapaian tujuan untuk memuaskan target audiens. 2. Professional, not academic. Artinya, audiens policy brief lebih berkepentingan terhadap perspektif penulis tentang masalah dan solusi yang berbasis pada bukti-bukti baru, dari pada terhadap prosedur ilmiah yang diterapkan dalam proses pengupulan data-data. 3. Evidenced-based, artinya bahwa yang diharapkan audiens dari policy brief, selain argumen yang rasional, juga dukungan bukti adanya permasalahan dan konsekuensi dari pemilihan terhadap solusi tertentu 4. Limited. Karena faktor ruang yang terbatas, policy brief mesti difokuskan hanya pada satu masalah tertentu saja. 5. Succinct, artinya policy brief tidak memerlukan banyak halaman, cukup 6-8 halaman yang memuat sekitar 3000 kata. 6. Understandable. Artinya, policy brief mesti mudah difahami, baik dari segi kejelasan dan kesederhanaan bahasa, maupun dari penjelasan dan alasan yang dikembangkan di dalamnya. 7. Accessible. Artinya, dokumen policy brief mesti mudah digunakan oleh target audiens. 8. Promotional, artinya tampilan dokumen policy brief harus mengesankan dan menarik minat target audiens untuk membacanya. 9. Practical and feasible, artinya argumen yang dikembangkan dalam policy brief harus didasarkan pada hal-hal yang benar-benar terjadi. Selain itu, rekomendasi yang ditawarkan juga mudah diterapkan oleh target audiens (Young and Quinn, 2002). Kriteria yang sama juga dipakai oleh the Center for European Policy Studies (CEPS, tanpa tahun).
12
Struktur dan Komponen Policy Brief
A policy brief can be flexible in its design and content.
Para pakar memiliki pendapat beragam tentang bagaimana struktur policy brief disusun, serta elemen / komponen apa saja yang harus ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Helms (2012) bahwa a policy
(Michael Helms, 2002)
brief can be flexible in its design and content. ntuk itu, peserta Diklatpim I juga memiliki keleluasaan untuk menentukan struktur maupun komponen sebuah policy brief. Yang terpenting adalah bahwa sebuah policy brief harus memenuhi logika berpikir yang analitis dan sistematis, yang berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving oriented). Dengan demikian, uraian pada modul ini lebih merupakan petunjuk (hint) secara umum untuk mengarahkan penulisan policy brief sesuai logika yang diinginkan. Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa mengingat sifat dan tujuannya yang sama-sama berorientasi pada pemecahan masalah, maka struktur maupun komponen policy brief dan policy paper tidak perlu dibedakan secara mendasar. Perbedaan dan hubungan antara keduanya telah disinggung pada bagian awal modul ini.
Struktur (Sistematika) Penulisan Policy Brief Sebagaimana dikemukakan diatas, struktur policy brief tidak bersifat kaku sehingga harus dibakukan dalam format yang seragam. Dibawah ini
13
dikemukakan beberapa pandangan pakar tentang sistematika dan kandungan sebuah policy brief ataupun policy paper. Menurut Scotten (2011), policy paper memuat 4 (empat) unsur utama, yakni ringkasan eksekutif, batang tubuh, kesimpulan dan lampiran. Batang tubuh sebagai bagian utama policy paper sendiri berisi latar belakang, analisis, pilihan kebijakan, serta rekomendasi. Selengkapnya struktur policy paper menurut Scotten adalah sebagai berikut: • Executive Summary / Purpose Statement • Body o Background (What is the current policy? Why is it being conducted this way?); o Analysis (Why is the policy not working? Why is it necessary to find an alternative?); o Policy options (Discuss a few alternatives and their implications); o Recommendation (Provide your recommendation and how it can be implemented). • Conclusion (Summarize analysis and recommendation) • Appendix (Relevant figures, maps, graphics). Sementara itu, Tsai (2003) memberi uraian yang cukup detil terhadap struktur dan komponen sebuah policy brief. Dalam hal ini, ada 9 (sembilan) elemen pokok yang harus dipenuhi, yakni: 1. Executive Summary: This should be a short summary (approx. 150 words) of the purpose of the brief and its recommendations. 2. Statement of the Issue / Problem: Phrase the topic as a question that requires a decision. This can be as short as one question. Here are a few examples: o What role can the {any political, social, religious organization of your choice} play in enhancing the {political / economic / social} status of {any disadvantaged group of your choice}? 14
o Should {any organization/government of your choice} provide humanitarian assistance to people in the {any war zone/natural disaster situation of your choice}? o How should {any country or region of your choice} respond to the investment interest of {any multinational corporation or financial institution of your choice}? o Who should take the responsibility for {fixing any development problem of your choice}? o When should {any country/organization of your choice} decide to intervene in {any development problem/crisis of your choice}? If you are interested in a particular topic and find yourself wanting to ask a why question, then it is probably better suited for an academic research paper rather than a policy brief. 3. Background (of the problem): Include only the essential facts that a decision maker “needs to know” to understand the context of the problem. Assume that you have been hired to filter through reams of information on behalf of a very busy and sleep-deprived person. Be clear, precise, and succinct. 4. Statement of your organization’s interests in the issue: This is meant to remind the reader of why the issue matters for the country/group/organization that you are advising. If, for example, you were the National Security Advisor for the US, then it would be appropriate to review the US’s geostrategic, economic, or humanitarian interest in the problem at hand. 5. Pre-existing Policies: This summarizes what has been done (by others and the entity that you represent) about the problem thus far. Depending on your topic, some of the information may have already been presented in #3 (e.g., perhaps the problem itself stems from some other country or organization’s intervention). The objective of this section is to inform the reader of policy options that have already been pursued. Note that the absence of action may be considered a policy decision. 6. Policy Options: This section delineates the possible courses of action or inaction that your organization may pursue. Please provide the decision maker with at least three potential courses of action. Some of them may be wildly unrealistic in your 15
opinion, but please pose them as policy options nonetheless. At the same time, it would not be prudent to overwhelm the decision maker with too many choices. 7. Advantages and Disadvantages of Each Policy Option: Write this section from the perspective of the entity that you represent. For clarity, you may present the pros and cons of the options in bullet points or outline format. This may seem like stacking the deck since some options may have only one advantage and several downsides, but it isn’t always that obvious. 8. Your Recommendation: After prioritizing the relative pros and cons of the above options, please recommend one option to your employer. Yes, this may require going out on a limb on an extremely complex issue that challenges your ethical instincts. But if you have agreed to advise a particular country / organization / person, then you will be asked to make a recommendation on their behalf. 9. Sources consulted or recommended: This is essentially an annotated bibliography in the event that the decision maker has the interest and time to read up on a specific issue. Please provide a one to three sentence description and evaluation of each source listed in this section. Aside from standard books and articles, on-line sources and personal interviews may be cited. Pendapat Tsai diatas diadopsi dengan sedikit modifikasi oleh Center for European Policy Studies (CEPS, tanpa tahun), yang menentukan adanya 7 (tujuh) elemen dalam sebuah policy brief sebagai berikut: 1. Title of the paper: descriptive and punchy. 2. Summary (circa 200 words): • A description of the problem addressed; • A statement on why the current approach/policy option is inadequate; • Your policy recommendations for change or action.
16
3. Context and importance of the issue: • A clear statement of the issue in focus that establishes its current importance and policy relevance, • A short overview of the root causes of the problem; background. • Include only the essential facts that a decision-maker ‘needs to know’ to understand the context of the problem. 4. Critique of policy option(s). The aim of this element is to detail the shortcomings of the current approach or options being implemented and thus illustrate both the need for change and focus on where change needs to occur. It is important for the sake of credibility to recognize all opinions in the debate of the issue. 5. Policy recommendations. The aim of the policy recommendations element is to provide a detailed and convincing proposal of how the failings of the current policy approach need to be addressed. It sometimes also includes a closing paragraph re-emphasizing the importance of action. 6. Appendices (only if necessary); Authors sometimes decide that their argument needs further support and include an appendix, but they should only be used when absolutely necessary. 7. Sources consulted or recommended.
Policy Brief Diklatpim I LAN Sejalan dengan beberapa model tentang struktur dan komponen policy paper dan/atau policy brief diatas, maka penulisan policy brief di Diklat Kepemimpinan Tingkat I LAN pun juga tidak didesain secara kaku dan seragam. Sistematika penulisan dapat fleksibel, namun komponen pokok
17
dari sebuah policy brief diharapkan tetap dipenuhi, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kenali dan temukan policy issue(s) dan policy problem(s)-nya. Policy issue(s) dapat diidentifikasikan dari beberapa cara, misalnya: a) ceramah issu aktual skala nasional, b) diagnostic reading atas situasi dan kondisi tertentu, atau c) pengalaman dan pendalaman secara mandiri oleh peserta. Dalam hal ini, policy problem oleh Dunn (2003) diartikan sebagai unrealized needs, values, opportunities, however we identified, the solution require public actions. Dari masalah kebijakan yang telah dirumuskan, peserta dapat mengembangkan dalam bentuk policy questions, yakni pertanyaanpertanyaan yang lebih rinci yang dimaksudkan untuk lebih membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang mungkin sangat luas. 2. Elaborasikan policy issue(s) dan policy problem(s) yang telah dirumuskan. Beberapa hal yang dapat diintegrasikan pada bagian ini antara lain: Apa konteks dari issu terpilih dan masalah yang dihadapi? Untuk menjawab pertanyaan ini, penyusun perlu dilengkapi dengan data pendukung yang berfungsi untuk memberi deskripsi masalah; menjelaskan kebijakan yang terkait; tujuan dari pemecahan masalah; policy actors (individual maupun institusional) yang terlibat; pihak-pihak (policy stakeholders) yang mempengaruhi / dipengaruhi masalah tersebut, dan seterusnya. Kausalitas issu atau hubungan antar peristiwa dan antar variabel. Dalam kaitan ini, penyusun policy brief perlu menggali faktor apa
18
saja yang menyebabkan masalah muncul, dan apa dampak / implikasi (policy consequences) dari masalah tadi? Lebih disukai jika policy brief juga memiliki kerangka pikir yang logis dan sistematis (logical framework of thinking). 3. Lakukan kritik dan evaluasi terhadap kebijakan yang tengah berlaku (current policies critique). Bagian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana efektivitas policy implementation selama ini. Beberapa hal yang bisa dikembangkan dalam melakukan kritik ini adalah: Mengidentifikasi sejauhmana kinerja kebijakan (policy performance) yang dihasilkan: masalah apa yang sudah / belum terselesaikan, berapa persen target tercapai, dampak positif/negatif apa saja yang timbul, dan seterusnya. Mengidentifikasi kendala apa yang ditemui dalam implementasi kebijakan: sumber daya, kolaborasi antar aktor, political will, efektivitas fungsi-fungsi manajemen, dan sebagainya. Mengidentifikasi upaya-upaya yang telah dilakukan para aktor terkait untuk mengatasi kendala yang dihadapi. 4. Kembangkan alternatif kebijakan dan lakukan evaluasi terhadap alternatif yang ada. Pada tahap ini, penyusun sudah harus memiliki atau menghasilkan beberapa alternatif kebijakan yang prospektif untuk mengatasi masalah. Selanjutnya, dari beberapa alternatif tadi dilakukan pembobotan untuk kelebihan dan kekurangan masing-masing alternatif. Dari hasil evaluasi ini akan dihasilkan alternatif terbaik yang akan direkomendasikan sebagai kebijakan. Sangat disarankan alternatif yang dikembangkan ini memiliki nilai novelty (kebaruan) dan inovatif, yang belum pernah dilakukan selama ini. 19
5. Ajukan
rekomendasi
kebijakan
(policy
recommendation).
Rekomendasi kebijakan ini berisi pemilihan alternatif kebijakan terbaik (best policy chosen), serta langkah-langkah konkrit (policy actions) untuk merealisasikan kebijakan terpilih tersebut. Langkah konkrit disini lazimnya berisi SIABIDIBA, yakni siapa, apa, bilamana, dimana, dan bagaimana mengimplementasikan pilihan kebijakan tadi. Singkatnya, struktur dan komponen policy brief untuk Diklatpim I paling tidak memenuhi unsur sebagai berikut: Judul; Executive summary; Latar belakang dan masalah kebijakan (policy problem, policy question); Kritik terhadap kebijakan (critique on existing policies); Alternatif
dan
rekomendasi
kebijakan
(policy
alternative
and
recommendation); Referensi.
Sisi Lain Policy Brief Selain aspek substantif sebagaimana diuraikan diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perancangan policy brief dalam Diklatpim I, misalnya: Desainlah tampilan Policy Brief semenarik mungkin: sisipkan gambar, foto, grafik, table, text-box, quotation, dan lain-lain yang bisa memperkuat content atau memahami substansi dengan lebih mudah.
20
Jangan lupa pula perhatikan pewajahan (cover), termasuk pilihan huruf (font), kombinasi warna, dan sebagainya. Beberapa contoh lay-out atau desain policy brief dapat dilihat pada lampiran dibawah ini,
Penutup Selamat merancang policy brief. Semoga rekomendasi yang diajukan benar-benar menjadi sebuah breakthrough dalam reformasi kebijakan publik di Indonesia.
21
Contoh-contoh Policy Brief
The Center for European Policy Studies http://www.ceps.be/category/bookseries/ceps-policy-briefs
22
Contoh-contoh Policy Brief
Governance Brief No. 11, Juni 2005, Center for International Forestry Research (CIFOR).
Policy Brief, September 2008, Tim Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Transportasi Nasional (TPEKTN), Kementerian Perekonomian.
23
Contoh-contoh Policy Brief
24
25
26
27
Daftar Pustaka CBMS (Community-Based Monitoring System) Network Coordinating Team, tanpa tahun, Guidelines for Writing a Policy Brief. Manila. CEPS (The Center for European Policy Studies), tanpa tahun, A Guide to Writing a CEPS Policy Brief, Brussels. Dunn, William N., 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua. Terjemahan oleh Samudra Wibawa dkk., Penyunting Muhadjir Darwin, Cet. Kelima Maret 2003. Yogyakarta: Gadjah Mada UP. Dwiyanto, Agus, 2012, Riset Kebijakan dan Cara Presentasi, bahan paparan. Jakarta: LAN. Helms, Michael, 2002, Observations on Writing Policy Papers. Stanford University, MS&E 290. IDRC (International Development Research Center), tanpa tahun, How to Write a Policy Brief: Toolkit for Researchers. Training materials. Canada. Jones, Nicola and Cora Walsh, 2008, “Policy briefs as a communication tool for development research”, dalam ODI Background Note. London: Overseas Development Institute. Majchrzak, 1984, “Technical Analysis”, in Methods for Policy Research, Sage: Beverly Hills. ODI, 2004, “Bridging Research and Policy in International Development: An analytical and practical framework”, dalam ODI Briefing Paper. London: Overseas Development Institute. Scotten, Ali G., 2011, Writing Effective Policy Papers: Translating Academic Knowledge into Policy Solutions. Given that this is a seminar on international development, please do not choose a topic of Tsai,
2003, Writing a Policy Brief, internet source http://jhunix.hcf.jhu.edu/~ktsai/policybrief.html
available
at
28
Young, Eóin and Lisa Quinn, 2002, Writing Effective Public Policy Papers: A Guide for Policy Advisers in Central and Eastern Europe, Budapest: Open Society Institute and Local Government Public Service Reform. UNCTAD, 2006, Research-Based Policy Making: Bridging the Gap between Researchers and Policy Makers. Recommendations for researchers and policy makers arising from the joint UNCTAD-WTO-ITC workshop on trade policy analysis, Geneva, 11 - 15 September 2006.
29