Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
PERANAN TERNAK DALAM KESINAMBUNGAN SISTEM USAHA PERTANIAN (The Role of Animal in Farming System Sustainability) DICKY PAMUNGKAS dan HARTATI Loka Penelitian Sapi Potong Grati
ABSTRACT Integration and diversification in farming system to minimize risk have been commonly used in the tropics. The added value showed signficantly higher than those on monoculture. The share of animal also significant but still under estimate. In developing country, production value of crops, animals and forest yield was estimated around US $ 605 billion in which the animal product gave 19% contribution. Moreover, the crop-livestock system prevailed in sustaining farming system which had added value of agriculture wastes as feed and manure as organic fertilizer. In Indonesia, besides the CLS, there were varian of integration which occurred together and the CLS subsequent such as ‘parlabek’/rice-fish-duck and fish-rice, sheep or goat in rubber plantation, cattle in rain-fedland, or in coconut/coffee/gnetum. Neverthless, animal has faced constraints of its productivity in term of maintaining per se if there was a change of raising from ekstensive to intensive, therefore, a clear concept of integration is required. Key words: sustainibility, integration, farming sistem ABSTRAK Diversifikasi dan integrasi dalam sistem usaha pertanian rakyat adalah sebagai upaya meminimalisasi risiko usaha guna menunjang keseinambungan sistem; dan hal tersebut tampaknya sudah lazim dilakukan di daerah tropik. Beberapa data menunjukkan adanya peningkatan nilai tambah secara signifikan apabila dibandingkan dengan sistem produksi pertanian yang terspesialisasi (monokultur). Kontribusi ekonomi ternak di dalam usaha pertanian rakyat adalah juga cukup signifikan namun masih ‘under estimated’. Di negara berkembang, nilai produksi tahunan tanaman pangan, ternak dan hasil hutan telah ditaksir sekitar US $ 605 milyar; dimana produk ternak memberikan kontribusi sebesar 19%. Sistem integrasi ternak dan tanaman menghasilkan kontribusi kesinambungan usaha pertanian rakyat, yakni dengan adanya nilai tambah yang berasal dari pemanfaatan limbah tanaman sebagai sumber pakan dan penyedia kotoran sebagai pupuk organik. Di Indonesia, selain pola CLS, terdapat juga beberapa varian dari bentuk integrasi yang muncul secara bersamaan ataupun yang mengikuti pola CLS seperti ‘parlabek’/padi ikan-itik dan mina padi, domba atau kambing di kebun karet, sapi di lahan tadah hujan atau di kebun kelapa/kopi/melinjo. Namun demikian, disamping mempunyai peran yang penting dalam ‘mixed farming’, ternak juga mempunyai kendala dan masalah terhadap produktivitasnya sendiri yang terkait dengan kesinambungannya. Bilamana terjadi sebuah pergeseran sistem pemeliharaan, yakni dari sistem ekstensif ke sistem intensif, oleh karena itu diperlukan kejelasan suatu konsep pengembangan dalam sistem integrasi tanaman-ternak yang lebih efisien namun efektif. Kata kunci: kesinambungan, pola integrasi, sistim usahatani
PENDAHULUAN Sistem Integrasi ternak dalam usaha tani merupakan salah satu upaya untuk mencapai optimalisasi produksi pertanian. Upaya ini telah banyak dilakukan, yang secara signifikan mampu memberikan nilai tambah baik pada hasil tani maupun terhadap produktivitas ternak. Usaha ternak sapi terpadu akan dapat menekan biaya produksi, terutama terhadap
304
penyediaan hijauan pakan, sebagai sumber tenaga kerja serta dapat memberikan kontribusi dalam penghematan pemakaian pupuk kimia. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan tanah yang pada akhirnya memiliki dampak positif pada peningkatan hasil panen, sehingga mewujudkan usaha agribisnis yang berdaya saing dan ramah lingkungan.
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Pertanian di Asia dicirikan oleh sistem ‘mix farming’ yang tergantung pada kondisi lingkungan seperti temperatur, curah hujan, ketinggian tempat, jenis ternak, kebutuhan dan keinginan manusia, dsb. Pada akhirnya petani akan menyeleksi kombinasi paling baik dari tanaman dan/atau ternak dan memutuskannya dalam kegiatan ‘mix farming’ yang secara ekonomis menguntungkan. Diversifikasi dan integrasi dalam sistem usaha peternakan rakyat adalah sebagai upaya meminimumkan risiko sebagaimana lazimnya sistem pertanian di daerah tropik, sehingga hal ini tampaknya lebih menguntungkan dibandingkan sistem produksi pertanian yang terspesialisasi. Adalah menjadi hal yang sudah umum di negara Asia bahwa tanaman pangan dan ternak terintegrasi dalam sistem suaha pertanian. Keuntungannya adalah pemanfaatan ternak sebagai sumber tenaga kerja, pangan, sebagai tambahan pendapatan, penyangga keuangan (cash buffer), cadangan modal (capital reserve), penyangga terhadap inflasi (hedge against inflation), mengurangi risiko terhadap gagal panen dan sebagai suatu bentuk investasi. Kontribusi ekonomi ternak di dalam usaha pertanian rakyat cukup signifikan namun ‘under estimated’. Di negara berkembang, nilai produksi tahunan tanaman pangan, ternak dan hasil hutan telah ditaksir sekitar US $ 605 billion dimana produk ternak memberikan kontribusi 19%. Lebih lanjut, sistem integrasi ternak dan tanaman menghasilkan kontribusi terhadap kesinambungan usaha pertanian rakyat dengan adannya nilai tambah dengan memanfaatkan limbah tanaman sebagai pakan dan penyediaan kotoran ternak sebagai pupuk organik. ISU KESINAMBUNGAN PRODUKTIVITAS TERNAK Disamping mempunyai peran yang penting dalam ‘mix farming’, ternak juga mempunyai kendala dan masalah terhadap produktivitasnya yang terkait dengan kesinambungannya bilamana terjadi pergeseran sistem pemeliharaan, yakni dari sistem ekstensif ke sistem intensif. Khususnya penggunaan keturunan unggul dan adanya saran pemanfaatan energi tinggi dan protein dengan kualitas baik dalam ransum, daya tahan
terhadap penyakit, kurang baiknya penanganan limbah dan sistem perkandangan ternak dalam sistem intensif menuntut adanya perhatian secara khusus. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain: 1. Nilai ekonomis,- tingginya biaya input, yakni mengimpor keturunan ternak yang secara genetik unggul, namun pada umumnya kurang efisien (boros) dalam pengguna energi. 2. Lingkungan,- isu global yang berkaitan dengan meningkatnya sejumlah ternak ruminan yang diberi pakan dengan kualitas rendah, erosi tanah, polusi tanah air dan udara karena kurang baiknya penanganan limbah, hilangnya ‘biodiversity’. 3. Ethologi,- ekploitasi sumber genetik mengancam kehidupan ternak, kondisi stres diantara banyak ternak yang dikandangkan. 4. Pemanfaatan produk sintetik,- berupa hormon, antibiotik, ‘feed aditif’, dll. 5. Sosial,- tenaga kerja, ‘equity’ dan kesejahteraan keluarga. Usaha peternakan komersial mempunyai sumber-sumber untuk mengantipasi masalah yang berkaitan dengan spesialisasi dan sistem produksi intensif. Dengan kata lain, jutaan peternakan rakyat tetap bertahan pada pemeliharaan lama dan sistem input untuk mempertahankan keterbatasan sumber daya yang tersedia. Selama beberapa tahun sejumlah sistem usaha pertanian di Asia masih berada dalam usaha pertanian rakyat dengan keterbatasan sumber dayanya dan dalam waktu yang sama muncul upaya meningkatkan produktivitas usaha tani. Efisiensi produksi ternak pada negaranegara tropis secara umum lebih rendah dibanding negara-negara sub tropis (JALALUDDIN et al., 1991a). Beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya produktivitas ternak antara lain: kepemilikan luas tanah yang tidak ekonomis, kurangnya modal dan teknologi yang tidak sesuai dengan lingkungan, keterampilan peternak dan ketersediaan pakan yang kurang dan tingginya infestasi parasit dan penyakit-penyakit lainnya. Di Indonesia, kekurangan hijauan pakan masih dapat ditolerir dengan memanfaatkan hasil samping pertanian antara lain jerami padi, bungkil dan lumpur sawit, pucuk tebu dan daun singkong, namun pemanfaatannya masih
305
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
belum optimal. Hal ini patut disayangkan, mengingat limbah pertanian mempunyai potensi yang sangat besar bagi pembangunan pertanian. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh oleh Departemen Pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pertanian dalam suatu sistem usaha tani yang terintegrasi yang dikenal dengan “Sistem Integrasi Tanaman Ternak”. Sistem ini merupakan salah satu pola yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pertanian. (1979) menyatakan bahwa HARWOOD penggunaan sumber daya usaha tani yang optimum pada umumnya lebih mudah, dapat dicapai melalui diversifikasi cabang-cabang usaha. HSIES dan LU (1987) lebih menekankan bahwa manfaat terbesar dari penyelenggaraan produksi pertanian secara menyeluruh di dalam usaha tani biasanya tidak diperoleh hanya melalui satu teknik pengelolaan cabang usaha saja melainkan bersumber pada hasil interaksi berbagai kombinasi inovasi yang komplemen antara yang satu dengan yang lainnya. Asas komplementer di dalam penerapan berbagai teknik unggul dalam pengelolaan usaha pertanian yang menghasilkan interaksi positif merupakan suatu landasan bagi pengembangan diversifikasi usaha di dalam usaha pertanian terpadu. Keterpaduan kedua komponen usaha ini akan lebih dapat diandalkan untuk menopang ketahanan pangan padi/beras dan daging, baik untuk regional maupun nasional, serta dapat meningkatkan pendapatan sekaligus kesejahteraan petani, apabila antara keduanya dapat terjadi kegiatan yang berinteraksi positif sehingga menciptakan proses sinergis yang akan meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan ternak melalui bentuk diversifikasi secara horizontal. Jerami padi dapat dijkadikan sebagai bahan pakan basal/utama dalam komposisi ransum ternak ruminansia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian jerami padi yang dikombinasikan dengan pemberian jerami kedelai dan tebon serta dedak padi dapat memenuhi standar kebutuhan PK sapi potong induk bunting tua-menyusui, yaitu 0,71 kg/ekor/hari (KEARL, 1982).
306
Tabel 1. Rata-rata % jumlah jerami padi, jerami kedelai dan jerami jagung/tebon yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak Jenis limbah
Yang dimanfaatkan sebagai pakan (%)
Jerami padi
68-70
Jerami jagung/tebon
69-80
Jerami kedele
90
Sumber: YUSRAN (2002)
Usaha tani integrasi tanaman ternak, disamping dapat meningkatkan pendapatan hasil usaha tani juga merupakan salah satu mata rantai di dalam siklus perjalanan unsur hara dalam proses produksi usaha pertanian. Dewasa ini produktivitas lahan sawah diduga sedang mengalami perlandaian levelling off akibat pengurangan unsur hara dari dalam tanah yang tidak diikuti dengan pengembalian bahan organik ke dalam tanah. Salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut adalah penggunaan kompos dari kotoran ternak. Menurut ANONIMUS (1982) bahwa bahan organik tanah merupakan bagian integral dari tanah dan memegang peranan penting serta menentukan sifat fisik serta kimia tanah. Bahan organik dalam tanah perlu dipertahankan pada tingkat kadar yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk anorganik pada lahan pertanian, terutama untuk tanaman padi yang intensif, sudah tidak bisa dipisahkan bila menghendaki pencapaian produksi yang optimal. Pada saat harga pupuk dan pestisida mengalami kenaikan drastis, maka semua petani menjerit karena daya beli berkurang, rekomendasi pemupukan yang dianjurkan tidak terpenuhi, maka produksi gabahnya menurun, ditambah lagi harga gabah yang tidak menentu, maka semakin lengkaplah penderitaan petani. Oleh karena itu, yang perlu jadi pemikiran adalah bagaimana menyelamatkan petani dari keterpurukan, yaitu mempertahankan produksi dan biaya input yang rendah, terutama penggunaan pupuk, maka integrasi ternak sapi pada pertanaman padi (CLS) perlu digalakkan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian kompos pada tanaman padi dapat memberikan hasil yang signifikan lebih baik dibandingkan tanaman yang tidak diberikan kompos (TRINY et al., 2001). Kotoran sapi yang mendapat
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
perlakuan dekomposisi (seperti Bokashi), pada tanaman padi dapat meningkatkan GKG sekitar 0,35 ton/ha (pengukuran cara ubinan), namun secara statistik tidak nyata dan dari analisis ekonomi tidak terjadi marginal profit yang berarti. Hasil kajian yang dilaporkan oleh SARIUBANG et al. (2000) menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik belum menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,01) terhadap produksi gabah kering giling maupun produksi jerami kering panen. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh pemberian pupuk organik pertama kali belum dapat bereaksi banyak, tetapi pada musim tanam berikutnya, diperkirakan dapat memperlihatkan hasil yang lebih baik, selain itu pembentukan tekstur tanah akan menjadi lebih baik pula (HARYANTO, 2000). Selain kotoran sapi, kotoran ayam, domba dan kelinci juga sudah mulai dimanfaatkan untuk pupuk organik, integrasi sistem usaha ternak kelinci pada sentra sayuran di dataran tinggi, memberikan pengaruh yang signifikan terutama pada penggunaan kotoran untuk pupuk organik. Kotoran kelinci mengandung N dan K yang tinggi, sehingga banyak dimanfaatkan untuk berbagai jenis sayuran dan bunga potong (NUR et al.,1992). Berikut di bahas beberapa contoh model integrasi tanaman ternak: Sistem tiga strata (The three strata forage system/TSFS) TSFS adalah cara untuk menghasilkan sekaligus mengawetkan pakan yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia tanpa membahyakan lingkungan. Di areal lahan kering seperti di Indonesia Timur dan di Asia Selatan, sistem ini mengkombinasikan tanaman pangan, termasuk jagung, kacang tanah, ketela pohon dan kacang tunggak dengan semak dan pepohonan untuk pemasok kebutuhan pakan sepanjang tahun. Peningkatan produksi hijauan dari sistem ini mampu menghasilkan stocking rate yang lebih tinggi dibanding sistem nonTSFS, yakni 3,2 UT setara 375 kg/ha/th. pada TSFS dan 2,1 UT atau 122 kg/ha/th. Demikian halnya pertambahan berat badan sapi pada pola TSFS 19% lebih tinggi, meningkatkan pendapatan petani 31% (penambahan ternak kambing ke dalam sistem), menurunkan erosi tanah 57% dengan penanaman leguminosa dan meningkatkan kesuburan tanah dan
menghasilkan 5 metrik ton kayu bakar, memenuhi 64 % kebutuhan tahunan terhadap 2000 tanaman semak dan 112 pohon kayu dua kali setahun. Sistem integrasi pola parlabek (padi-ikanitik) Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi antara padi-ikan dan bebek secara ekonomi memberikan keuntungan bersih antara Rp. 889.000–1.160.000 dalam satu musim tanam, dimana 12,4-14,7% diantaranya berasal dari bebek (DWIYANTO, 2001). Sementara hasil penelitian mina-padi menunjukkan bahwa sistem mina padi ini (2 kali setahun, dilanjutkan dengan ikan saja) memberikan hasil Rp. 2,4 juta setahun dibanding dengan sistem padi-padi-bera (Rp. 1,78 juta) dan sistem padi-padi-ikan (Rp. 2,19 juta) pada lahan seluas 0,87 ha (DWIYANTO, 2002). Keberhasilan dan cepat berkembangnya sistem mina padi (termasuk itik) adalah sebuah contoh efisiensi dari pemanfaatan sumber alami yang terintegrasi dan menguntungkan secara ekonomi. Net return dari sistem padiikan-itik adalah lebih dari dua kali sistem padi tunggal. Produksi ikan mencapai 185 kg/ha, tampak lebih tinggi dibandingkan dengan hasil sistem tradisional. Pendapatan dari hasil ikan mampu memenuhi 20-59% dari total biaya produksi padi dalam pola padi-padi-ikan dan sistem (padi-ikan)-ikan. Keuntungan ekonomi yang sama juga dihasilkan dari sistem integrasi ikan-itik-kambing sebagaimana dilaporkan dari Philippines, Malaysia, China, Vietnam, Thailand dan Bangladesh. Integrasi babi-ikan Integrasi babi, ikan dan itik juga pada tanaman sayuran adalah sangat efisien dalam pemanfaatan sumber alami. Integrasi sistem babi-ikan, selain menyangkut kolam, juga water reservoir. Sebuah contoh dari sistem pertama tentang polikultur (yaitu pemeliharaan beberapa spesies) ikan yang dikombinasikan dengan 40–60 ekor babi dengan rataan berat awal 20 kg/ha. Hasil terbaik diperoleh dengan 60 ekor babi dan 20.000 ikan/ha dihasilkan 1,9 m.t ikan /ha/90 hari dan 60 ekor babi dengan total pertambahan bobot hidup 2,2 m.t/90 hari. Tiga putaran dari 90 hari menghasilkan 3,9 m.t
307
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
ikan dan 6,7 m.t. pertambahan bobot hidup babi. Pada sistem kolam, beberapa spesies ikan dipelihara dengan babi dan rumput mutiara pada sejumlah tempat di provinsi Zeijing. Integrasi padi-sapi Integrasi tanaman ternak dilahan sawah yang berbasis budidaya padi dilahan irigasi yang berorientasi pada efisiensi usahatani, tidak saja memerlukan perhatian terhadap perbaikan teknologi ternak itu sendiri, tetapi juga diperlukan perbaikan budidaya tanaman padi dengan memanfaatkan limbah pertanian dan aspek-aspek teknologi lainnya. Penggunaan kompos jerami dan kotoran ternak untuk pupuk akan dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan dan akan mampu memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah (ANONIMUS, 2002) sehingga teknologi integrasi tanaman-ternak dapat memperbaiki tambahan pendapatan bagi petani dalam kondisi synergisme dalam pemanfaatan input usaha tani dari sumber yang tersedia secara optimal. Evolusi sitem integrasi tanamanternak di Asia adalah berdasarkan ketersediaan dan kuantitas pakan basal (Gambar 1). Pakan ini berasal dari hasil tanaman pokok dan dalam sistem pertanaman pada suatu agroekosistem yang ada. Selanjutnya, faktor iklim dan tanah mempengaruhi tipe vegetasi yang dapat
tumbuh di areal dan ternak dapat hidup dalam kondisi tersebut. Oleh karena itu, species ternak yang harus dipelihara bervariasi diantara banyak zona agro-ekologi. Ruminansia kecil utamanya terdapat di daerah tadah hujan dataran rendah dan dataran tinggi. Ruminansia besar terkonsentrasi di lahan irigasi dan tadah hujan dataran rendah karena kemampuannya sebagai tenaga kerja untuk mengolah lahan. Ruminansia merupakan komponen penting dalam sistem usaha pertanian. Berdasarkan ketersediaan lahan dan sumber-sumber pakan, sistem produksi ternak ruminansia dibedakan menjadi 1) sistem ekstensif dan 2) sistem kombinasi lahan pekarangan, pematang (road side), lahan penggembalaan, diikat di padang penggembalaan (tethering), sistem tebas angkut (cut and carry) dan sistem integrasi dengan tanaman pepohonan. Apabila sistem tersebut tidak berubah dari waktu ke waktu, maka pola intensifikasinya akan terbentur oleh penggunaan lahan untuk perumahan ataupun industri. Pola integrasi ini pernah dilakukan di Yogjakarta dan Sukamandi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi antara ternak dengan padi pada pola tanam IP 300 memberikan hasil yang sangat baik. Menurut DWIYANTO (2001) sistem ini meningkatkan penghasilan petani hingga 100% apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa
Lingkungan agroekosistem Vegetasi
Sistem pertanaman
Ancaman penyakit Pendistribusian kuantitas kualitas pakan
Sistem produksi ternak
Sistem tanamanternak Sistem kombinasi
Sistem integrasi dengan tanaman pepohonan
Sistem ekstensif
Gambar 1. Sistem pembentukan dan tipe produksi ternak di Asia (SEVILLA & OHSIOMA, 1996)
308
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
ternak. Sekitar 40% dari hasil tersebut berasal dari pupuk organik. Penelitian HARYANTO et al. (1999) juga menunjukkan bahwa pada sapi perah, teknologi ini memberikan keuntungan Rp. 11.000/ekor/hari karena seekor sapi yang diproduksi susunya 8-10 liter/ekor/hari hanya memerlukan biaya pakan senilai penjualan 3-4 liter susu. Integrasi ini sudah terbukti cukup berhasil dikembangkan di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Pola ini sebenarnya merupakan penyempurnaan dari apa yang telah dilakukan masyarakat di Gunung Kidul, Bantul, Wonosobo, Pati, dan Blora, dll dalam memanfaatkan jerami padi. Dari hasil penelitian dan pengalaman empiris membuktikan bahwa pola integrasi dengan pendekatan ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi masalah usaha sapi dalam menghasilkan susu atau sapi bakalan, sekaligus membantu dalam meningkatkan efisiensi dan pendapatan petani padi.Pola integrasi tanaman holtikultura-sapi Pola ini telah diterapkan di daerah Lampung pada PT GGLC (Great Giant Pineapple Corporation) dengan populasi ternak sapi 4000 ekor. Pengolahan kotoran ternak dilakukan dengan menggunakan obat mekanis dan hasilnya digunakan untuk memupuk kebun nenas dan ubi kayu seluas 30.000 Ha. Limbah tanaman digunakan sebagai bahan pakan ternak sapi potong dan sebagian pakan diekspor ke Jepang dan Taiwan. PT. Panca Mulya Tanimas Lestari yang menjual kompos untuk tanaman pangan, perkebunan dan tambak malah mengalami kesulitan dalam memperoleh kotoran ternak. Bahkan perusahaan tersebut telah membeli jerami padi Rp. 100,-/kg untuk campuran komposnya. Integrasi sistem usaha ternak sayuran berbasis kelinci disentra sayuran dataran tinggi Penelitian ini pernah dilakukan di dataran tinggi Dieng kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Ternak kelinci dipelihara, disamping sebagai penghasil daging, juga sebagai penghasil kulit-bulu [fur], yang memiliki nilai ekspor seperti kelinci eksotis jenis Rex dan Satin. Kotorannya telah dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Kotoran kelinci mengandung N dan K yang tinggi [1,47-4,56% N dan 0,57-
1,80% K], penggunaan kotoran kelinci dibandingkan dengan kotoran ayam pada berbagai jenis sayuran di Kanreapia, Sulawesi Selatan, menunjukkan peningkatan produksi sebesar 2,1% untuk jagung sayur, 11,82% untuk kubis, 12,5% untuk buncis, 22,7% untuk kacang merah dan 5,5% untuk kentang (NUR et al., 1992). Urin kelinci juga mengandung K dan N yang tinggi dan juga telah banyak dimanfaatkan sebagai pupuk cair untuk bunga potong dan sayuran. Urin kelinci diduga mengandung hormon penunjang tumbuh seperti auxin atau giberillin. Untuk meningkatkan mutu pupuk yang dihasilkan, termasuk mengurangi bau yang timbul, dekomposisi kotoran dan urin dapat dilakukan dengan menggunakan probiotik (SAJIMIN et al., 2003). Dari beberapa hasil penelitian menun jukkan bahwa kandungan Phospor dan Kalium kotoran kelinci lebih tinggi dibanding kotoran domba yang mendapat perlakuan probiotik. Kotoran kelinci secara nyata dapat meningkatkan tinggi tanaman pakan seperti Panicum, sedangkan jumlah tunas Panicum tertinggi diperoleh dari kotoran kelinciTrichoderma dan kotoran kelinci-Probion. Pada tanaman kentang, produksi tertinggi mencapai 3,08 kg/m2, dengan menggunakan pupuk kelinci yang didekomposisi dengan probion. Hasil ini jauh lebih tinggi (22,2%) dibanding yang tanpa perlakuan (2,52 kg/m2). Sedangkan pada tanaman Kubis dengan perlakuan pupuk kelinci+probion produksi tertinggi mencapai 840 g/tanaman. Ternak kelinci telah banyak dipelihara di daerah Ciwidey, Lembang Bandung dan pupuknya telah banyak dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang potensial untuk tanaman hortikultura. Di daerah Tomohon dan Modoinding, kelinci dipelihara pada sentra produksi sayuran, sehingga limbah kotoran dapat digunakan sebagai pupuk organik dan sisa sayuran dapat digunakan sebagai pakan ternak. Integrasi sawit-sapi Minyak sawit merupakan sumber minyak nabati yang cukup penting, dan menyumbangkan lebih dari 27% pengadaan minyak nabati dunia (FOLD, 2003). Sekitar 80% minyak kelapa sawit yang beredar
309
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Tabel 2. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk tiap hektar* Segar (kg)
Bahan kering (%)
Bahan kering (kg)
Daun tanpa lidi
Biomasa
1.430
46,18
658
Pelepah
9.292
26,07
1.640
Tanda kosong
3.680
92,1
3.386
Serat perasan
2.880
93,11
2.681
Lumpur sawit, solid
4.704
24,07
1.132
Bungkil kelapa sawit
560
91,83
5.14 10.011
Total Biomasa
* 1 Ha = 130 pohon 1 pohon dapat menyediakan pelepah sejumlah 22/tahun 1 pelepah, bobot 2,2 kg (1/3 bagian yang dimanfaatkan) bobot daun perpelepah 0,5 kg Tandan kosong 23% dari TBS Produksi minyak sawit 4 ton/ha/tahun (LIWANG, 2003) 1000 kg TBS menghasilkan 250 kg minyak sawit, 294 kg lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan 35 kg bungkil kelapa sawit (JALALUDIN et al., 1991)
dipasaran dunia dihasilkan oleh dua negara Asia yaitu Malaysia dan Indonesia. Perluasan kebun kelapa sawit akan menyebabkan peningkatan produk samping yang berpotensi mengganggu lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Disamping itu diperlukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia, baik melalui penekanan biaya produksi maupun peningkatan pendapatan. Masalah ini dapat diatasi antara lain dengan memanfatkan ternak (CORLEY, 2003) yang berperan sebagai mesin pengolah limbah atau pabrik penghasil bahan organik. Produk samping yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah: daun, pelepah, lumpur sawit dan bungklil kelapa sawit (MOHAMED et al., 1986). Introduksi sapi dalam perkebunan sawit telah mampu meningkatkan kinerja pemanen yang semula hanya mampu memanen TBS untuk luasan 10 ha/orang menjadi 15ha/orang. Pemanfaatan sapi untuk mengangkut TBS secara langsung berakibat pada peningkatan pendapatan pemanen sekitar 50% melalui penerimaan upah panen. Peningkatan pendapatan ini berdampak pada: (a) Peningkatan kepemilikan sapi (5,6 ekor/keluarga), (b) Penambahan atau peningkatan aset sekunder seperti sepeda motor, TV dan tanah.
310
Parameter teknis dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan ini disajikan secara rinci dalam Tabel 3. Penggunaan sapi sebagai penarik gerobak ataupun untuk mengangkut tandan buah sawit secara nyata telah memberi kontribusi terhadap (a) peningkatan pendapatan pemanen, (b) penurunan biaya tebnaga kerja, serta (c) berpoternsi menghasilkan kompos. Tabel. 3. Parameter teknis dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan Parameter
Nilai
Skala usaha (ekor)
3
Jangka waktu produksi (th)
7
Tingkat kelahiran (%)
60
Tingkat kematian (%)
3
Upah tenaga kerja (Rp/jam)
1670
Harga Induk (Rp./ekor)
2.450.000
Harga jual Induk (Rp./ekor)
3.500.000
Harga jual ternak jantan (Rp./ekor)
4.000.000
Harga jual sapi bakalan (Rp/ekor)
2.500.000
Harga jual anak sapihan (Rp/ekor)
1.500.000
Harga jual kotoran ternak (Rp/karung)
2000
Pengembangan sapi untuk usaha ‘cow-calf’ operation perlu mendapat perhatian tersendiri, terutama dalam hal pakan, bibit, manajemen pemeliharaan dan perawatan kesehatan. Sementara itu, pemanfaatan limbah sawit yang
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
tidak dipergunakan untuk pakan juga mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Biomasa produk samping yang dihasilkan dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap satu satuan luas tanaman sawit (Ha) dalam setahun adalah 10.011 kg bahan kering, hal ini menunjukkan bahwa jumlah biomasa yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 20.327 Mton, jika diasumsikan seluruh biomasa tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak ruminansia khususnya sapi, maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung mencapai 6.364.618 UT (1 UT setara dengan 250kg dan konsumsi setiap 1 UT adalah 3,5% bobot hidup). Sehingga perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat menyediakan pakan bagi 9 juta ekor sapi dewasa (1 ekor sapi dewasa setara dengan 0,7 UT) KESIMPULAN Sistem Integrasi tanaman ternak harus disesuaikan dengan Agroekosistem wilayah, ketepatan dalam memilih komoditas ternak yang dikembangkan, sarana dan prasarana yang menunjang. Penelitian lain diberbagai tempat dan agroekologi menunjukkan bahwa pada umumnya integrasi ternak dengan tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman industri memberikan nilai tambah yang cukup tinggi. Beberapa keuntungan dari pola integrasi: 1. Pemanfaatan potensi limbah tanaman sebagai sumber pakan ternak. 2. Memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik. 3. Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan. 4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan usaha agribisnis yang berdaya saing, ramah lingkungan dan mandiri. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2002. Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit untuk Pakan Ternak. Direktorat Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. ANONIMUS. 2002 Crop Livestock System Pada Lahan Sawah Irigasi. BPTP, Lembang.
CORLEY R.H.U. 2003. Oil Palm: A Major Tropical Crop. Burotrop 19: 5-7. DIWYANTO K. 2001. Model Perencanaan Terpadu: Proyek Integrasi Tanaman Ternak (Crop Livestock System). Bahan Diskusi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. DIWYANTO, K. 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Lokal dan inovasi Teknologi dalam Mendukung Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Orasi APU. Badan Litbang Pertanian. FOLD N. 2003. Oil Palm: Market and Trade. Burotrop. 19: 11-13. HARWOOD. R.R. 1979. Small Farm Development Understanding and Improving Farming System in The Humid Tropics. West View Press.Boulder, Colorado HARYANTO et al. 1999. Laporan Penelitian Optimasi I.P Padi 300 Berbasis Usaha Pemeliharaan Sapi Melalui Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Sumber Bahan Organik. Puslitbangnak HARYANTO, B. 2000. Pemanfaatan Jerami padi untuk Pakan Ternak dan Strategi Pemberian Pakan Sapi Perah. Bahan Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani tanggal 21 Februari–6 Maret 2000. 20 hlm. HSIES, S.C. and H. LU. 1987. Management decision On Farm in Taiwan. The Agricultural Council. Inc. New York. JALALUDIN, S., Y.W. HO, N. ABDULLAH and H. KUDO. 1991. Strategies for Animal Improvement. In: Southeast Asia. In: Utilization of feed Resources in Relation to Utilization and Psysiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series. 25 pp. 6776. JALALUDIN, S., Z.A. JELAN, N. ABDULLAH and Y.W. HO. 1991. Recent Developments in the Oil Palm By-Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia pp. 35-44. KEARL. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. International Feedstuff, Utah Agriculture Experiment Station. Utah State University UTAH USA LIWANG T. 2003. Palm Oil management. Burotrop 19:8.
Mill
effluent
LAPORAN KEMAJUAN KEGIATAN LITKAJI CROPLIVESTOCK SYSTEMS DI LAMPUNG. BPTP LAMPUNG 2002. Puslibangsosek Pertanian.
311
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
MOHAMED, H., H.A. HALIM and T.M. AHMAD. 1986. Availability and potential of oil palm trunks and fronds up to the year 2000. Palm Oil Research Institute of Malaysia (PORIM) 20:117. NUR, N., Y.C. RAHARJO. MURTIYENI dan R. HARYANI. 1992. Pemanfaatan Usahatani Sayuran Untuk Pengembangan Agribisnis Kelinci di Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian. Balitnak Ciawi-Balittan Maros. Puslitbangtan. 42 pp. SAJIMIN, Y, C. RAHARJO. N.D. PURWANTI dan LUGIYO. 2003. Laporan Akhir Tahun: Integrasi Sistem Usaha Ternak Sayuran Berbasis Kelinci di Sentra Produksi Sayuran Dataran Tinggi; Pengkayaan Kompos Kelinci dan Pemanfaatannya dalam Produksi Sayuran Organik dan Tanaman Pakan Ternak, Balitnak Ciawi, Bogor.
312
SARIUBANG, M., A. NURHAYU dan D. PASAMBE. 2000. Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Sapi Potong Teknologi Inseminasi Buatan. Laporan Tahunan. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Makassar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. SEVILLA, C.C. and A.R. OBSIOMA. 1996. The effects of on-farm nutritional and management interventions on the draft ability and reproductive rate of grade cows. Phil. J. Cvet Anim. Sci. Vol 22 (1 and 2). TRINY, S. K., A. DJATIHARTI, A. GUSWARA, SUSANTO, S. KARTAATMAJA dan Anischan Gani. 2001. Pengelolaan Tanaman terpadu di BALITPA. Laporan Hasil Penelitian BALITPA. Sukamandi YUSRAN M.A. 2002. Pengkajian Sistem Usaha Tani Terpadu Tanaman Padi Sawah dan Sapi Potong di Jawa Timur. Progress Report. Unpublised.