PERANAN KEMITRAAN PADA USAHA TERNAK AYAM RAS PEDAGING
ALYSA NOVIANA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Alysa Noviana NIM H34110066
ABSTRAK ALYSA NOVIANA. Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging. Dibimbing oleh DWI RACHMINA. Usaha ayam ras pedaging merupakan salah satu usaha yang potensial dan dapat diusahakan peternak dengan skala yang bervariasi. Usaha ini umumnya dikelola secara kemitraan karena berisiko tinggi dan membutuhkan modal besar. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan ayam ras pedaging dan menganalisis peranan pelaksanaan kemitraan terhadap keuntungan usaha peternak mitra pada dua skala usaha yang berbeda. Responden penelitian sebanyak 30 peternak bermitra yang terdiri dari 19 peternak skala kecil (≤ 5 000 ekor ayam) dan 11 peternak mitra skala besar (> 5 000 ekor ayam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kemitraan, kedudukan perusahaan inti lebih tinggi dari peternak mitra sehingga peternak tidak memiliki kekuatan tawar terhadap perusahaan. Selain itu, dalam pelaksanaan kemitraan juga masih terdapat kondisi yang dapat merugikan peternak mitra. Meskipun demikian, kemitraan berperan dalam menyediakan sarana produksi, melakukan pembinaan dalam pemeliharaan, dan jaminan pemasaran hasil. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keuntungan, produksi, dan rasio R/C peternak mitra skala usaha besar lebih tinggi dibandingkan dengan peternak mitra skala usaha kecil. Kata kunci: analisis keuntungan usahatani, ayam ras pedaging, kemitraan ABSTRACT ALYSA NOVIANA. The Role of Partnership in the Broiler Farm. Supervised by DWI RACHMINA Broiler farm is one of the potential businesses and can be operated in various farm scales. This business is usually managed by a partnership because it has high risk and requires substantial capital. The objectives of this study are to describe the partnership and to compare the farm performance between two different scales of farms. The samples are 30 breeder partners that consist of 19 breeder partners in the smaller farm (≤ 5 000 chickens) and 11 breeder partners in bigger farm (> 5 000 chickens). The results showed that in the implementation of partnership, the position of company is higher than that of the breeders. Besides, in the implementation of partnership, there are also many conditions that can be detrimental to breeders. However, partnership of broiler farm gives a lot of advantages to farmers such as providing production inputs, technical guidance on broiler farming and products purchase. The results also showed that income, production, and R/C ratio of breeder partners in the bigger farm are higher than those of breeder partners in the smaller farm. Key word: Broiler, farm income analysis, partnership
PERANAN KEMITRAAN PADA USAHA TERNAK AYAM RAS PEDAGING
ALYSA NOVIANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini adalah usahatani, dengan judul Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina MSi selaku dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Harianto MS selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny SP MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Selanjutnya, terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi MS selaku dosen pembimbing akademik selama menjalani perkuliahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para peternak ayam ras pedaging baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra atas bantuan dan arahannya selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih kepada temen-teman Agribisnis 48 dan sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Alysa Noviana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Pola Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
5
Pelaksanaan Kemitraan
6
Pengaruh Pelaksanaan Kemitraan terhadap Keuntungan Peternak
7
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional
8 8 13
METODE PENELITIAN
15
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
18
Karakteristik Wilayah
18
Karakteristik Responden
20
Karakteristik Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
22
Budidaya Ayam Ras Pedaging
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
26
Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
26
Penggunaan Input Produksi Ayam Ras Pedaging
36
Biaya Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
43
Penerimaan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
49
Keuntungan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
51
KESIMPULAN DAN SARAN
52
Kesimpulan
52
Saran
52
DAFTAR PUSTAKA
53
LAMPIRAN
55
RIWAYAT HIDUP
57
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Konsumsi rata-rata daging sapi dan ayam ras, 2010-2013 Selisih ketersediaan dengan konsumsi daging ayam ras, 2010-2013 Perhitungan keuntungan usahatani Kelompok usia responden Tingkat pendidikan formal responden Jenis kelamin responden Pekerjaan di luar beternak ayam Lama usaha ayam ras pedaging Alasan beternak ayam ras pedaging Kapasitas usaha ayam ras pedaging Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor ayam) Feed Convertion Ratio (FCR) dan mortalitas pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Rata-rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Status kepemilikan kandang dan luas kandang pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Status kepemilikan lahan dan luas lahan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Rata-rata biaya input produksi pada usaha ternak ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Rata-rata harga input produksi pada usaha ayam ras pedaging Rata-rata biaya listrik, sewa kandang dan perbaikan kandang (per 1 000 ekor) Rata-rata biaya sewa lahan, penyusutan kandang dan penyusutan peralatan pada usaha ternak ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Struktur biaya pada usaha ternak ayam ras pedaging mitra skala I dan skala II (per 1 000 ekor) Produksi pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Harga kontrak dan harga jual ayam peternak mitra per kilogram Rata-rata total penerimaan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Keuntungan dan R/C rasio pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor)
2 2 17 20 21 21 22 22 23 23 37 38 38 41 42 43 44 44 45 47 48 49 50 51 51
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Pola kemitraan inti-plasma Pola kemitraan subkontrak Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis Kerangka pemikiran operasional
9 10 10 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 Lampiran 1 Standar performa harian ayam broiler perusahaan inti 2 Lampiran 2 Rata-rata penerimaan usaha ternak ayam ras pedaging peternak mitra skala I dan skala II per 1 000 ekor
55 56
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan pembangunan pertanian nasional berorientasi pada pembangunan sistem agribisnis. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa kegiatan agribisnis dapat mengatasi permasalahan ekonomi nasional, mulai dari kelangkaan pangan sampai masalah kesempatan kerja. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir dan subsistem pendukung yang saling berkaitan. Pada pembangunan sistem agribisnis, salah satu kendala yang dihadapi adalah kenyataan bahwa sebagian besar pelaku usaha di sistem agribisnis merupakan petani budidaya yang cenderung masih terkendala keterbatasan permodalan dan penggunaan teknologi produksi. Sedangkan, pelaku usaha di subsistem yang lain, merupakan perusahaan dengan kapasitas usaha yang relatif besar dan memiliki akses permodalan. (Murdiyanto dan Kundarto, 2002) Untuk dapat meningkatkan kinerja para pelaku sektor agribisnis, khususnya para petani, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu dengan mendorong terjalinnya hubungan kerjasama dalam bentuk kemitraan usaha antara petani dan perusahaan. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 menyebutkan bahwa kemitraan usaha adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Oleh karena itu, secara konseptual, kemitraan dipandang sebagai salah satu strategi yang cocok untuk diterapkan dalam pembangunan temasuk pada pembangunan sistem agribisnis pertanian. Perkembangan kemitraan di sektor pertanian tidak terlepas dari peran pemerintah yang memperkenalkan model ini dengan macam-macam istilah antara lain pola inti plasma dan pola kemitraan. Sebenarnya, secara tradisional kemitraan usaha antara petani dan pengusaha di bidang pertanian telah banyak dilaksanakan dengan bentuk gaduhan ternak, sewa-sakap lahan, sistem ”yarnen” dan telah banyak diterapkan dalam bentuk usaha pertanian kontrak (contract farming). Pola kemitraan inti plasma pertama kali diterapkan pada usaha komoditas perkebunan yang dikenal dengan istilah Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan atau PIR-bun (Rustiani et al., 1997). Selanjutnya hubungan kerjasama kemitraan juga diterapkan tidak hanya pada komoditas-komoditas subsektor perkebunan tetapi juga diterapkan pada komoditas di subsektor lain termasuk subsektor peternakan terutama dalam usaha peternakan ayam ras pedaging. Ayam ras pedaging memiliki ciri khas pertumbuhan yang cepat sehingga membuat perputaran modal usaha cenderung singkat. Selain itu usaha ayam ras juga memiliki peluang pasar yang besar sejalan dengan pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi masyarakat yang menyebabkan kebutuhan konsumsi daging juga mengalami peningkatan. Apabila dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam ras cenderung lebih disukai karena harga daging ayam yang relatif murah sehingga daging ayam ras lebih banyak dikonsumsi masyarakat (Tabel 1).
2 Tabel 1 Konsumsi rata-rata daging sapi dan ayam ras di Indonesia, 2010-2013 Konsumsi (kg/kapita/tahun) 2010 2011 2012 2013 Daging sapi 0.37 0.42 0.37 0.26 Daging ayam ras 3.55 3.65 3.49 3.65 Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2014 (diolah) Uraian
Laju per tahun (%) -17.71 1.04
Adanya peningkatan laju konsumsi daging ayam membuat ketersediaan daging ayam ras harus selalu dapat tercukupi. Tetapi berdasarkan data pada Tabel 2, ketersediaan daging ayam belum mencukupi kebutuhan konsumsi yang ditunjukkan oleh adanya selisih antara ketersediaan daging ayam dengan konsumsinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat peluang pasar bagi masyarakat untuk mengusahakan ayam ras pedaging. Tabel 2 Selisih ketersediaan dengan konsumsi daging ayam ras di Indonesia 2010-2013 Variabel
2010
Tahun (kg/kapita/tahun) 2011 2012 2013
Ketersediaan 2.64 3.01 3.00 Konsumsi 3.54 3.65 3.49 Selisih -0.90 -0.64 -0.49 Sumber: Pusat data dan informasi, 2013 (diolah)
3.28 3.65 -0.37
Laju per tahun (%) 7.67 1.10 -25.61
Perputaran modal yang cepat dan peluang usaha yang besar menjadi daya tarik usaha ternak ayam ras pedaging bagi tidak hanya masyarakat tetapi juga para pemiliki modal untuk mendirikan perusahaan peternakan. Perusahaan peternakan didefinisikan peternakan yang di selenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan secara komersial dan mempunyai izin usaha dengan skala usaha yang besar (Surat Keputusan Menteri Pertanian No.472/Kpts/TN.330/6/96). Berbeda dengan usaha ternak ayam ras pedaging masyarakat yang umumnya merupakan usaha skala kecil yang disebut usaha peternakan rakyat. Dibandingkan dengan perusahaan peternakan, usaha peternakan rakyat umumnya memiliki keterbatasan modal, adopsi teknologi yang rendah, akses pasar sulit dan terbatas, dan kemampuan manajerial peternak yang rendah. Perbedaan tersebut membuat perusahaan dapat lebih efesien dalam berproduksi dibandingkan dengan peternak rakyat. Kondisi ini memicu terjadinya persaingan pasar yang berakibat pada tidak sedikit dari peternak rakyat yang gulung tikar. Sebagai upaya untuk melindungi usaha peternakan rakyat, pemerintah menganjurkan peternak untuk berkerjasama dengan pihak lain terutama dalam penanaman modal. Bantuan permodalan pertama kali dilakukan dengan diluncurkannya program kredit Bimas ayam ras. Anjuran pemerintah untuk melindungi usaha peternakan rakyat lainnya adalah pengembangan kerjasama kemitraan antara peternak rakyat dengan perusahaan peternakan dengan meluncurkan program kemitraan dalam pola inti-rakyat atau PIR seperti yang diterapkan pada komoditas perkebunan dengan nama PIR unggas. (Yusdja et al., 2004)
3 Walaupun program kemitraan usaha ayam ras pedaging telah lama diluncurkan tetapi kemitraan usaha ayam ras pedaging ini mulai berkembang dan dikenal masyarakat saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Krisis yang berdampak pada naiknya harga-harga sarana produksi peternakan sementara harga jual hasil produksi mengalami penurunan membuat tidak sedikit dari peternak yang melakukan usaha secara mandiri mulai bergabung dalam kemitraan yang dilakukan perusahaan agar dapat bertahan selama krisis.1
Rumusan Masalah Dalam kemitraan ayam ras pedaging, peternak rakyat berperan sebagai plasma yang berkewajiban untuk melaksanakan produksi. Sedangkan, perusahaan berperan sebagai inti yang berkewajiban untuk mensuplai sarana produksi secara kredit, memberi pembinaan budidaya, dan membeli hasil produksi. Dengan kata lain, peternak rakyat tidak hanya menerima manfaat berupa permodalan dan pembinaan tetapi juga jaminan pemasaran. Adanya manfaat-manfaat tersebut menjadi daya tarik bagi peternak lain untuk bergabung dalam program kemitraan agar terhindar dari risiko kerugian akibat tingginya risiko produksi dan fluktuasi harga sarana produksi maupun harga hasil produksi. Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan adalah peningkatan keuntungan kedua belah pihak yang bermitra. Peningkatan keuntungan dapat tercapai apabila pelaksanaan kemitraan berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan karena kemitraan yang baik mampu memberikan nilai lebih bagi kedua pihak yang bermitra. Peningkatan keuntungan ini diperoleh dari adanya peningkatan volume produksi dan jaminan harga beli yang diperoleh peternak mitra. Hal tersebut tentunya tidak didapatkan peternak apabila melakukan usahanya secara mandiri. Apabila dibandingkan, keuntungan yang diperoleh peternak bermitra menjadi lebih tinggi dari keuntungan yang diperoleh peternak mandiri (Pribadi, 2013; Febridinia, 2010; Bahari et al., 2012), walaupun tidak semua peternak bermitra memperoleh keuntungan yang lebih baik dari peternak mandiri (Deshinta, 2006; Rachmatia, 2010). Salah satu faktor yang mempengaruhi keuntungan yang diperoleh adalah volume produksi yang dihasilkan oleh peternak. Besar kecilnya hasil yang diperoleh umumnya dipengaruhi oleh besarnya skala usaha yang dimiliki peternak. Skala usaha yang dimiliki akan berpengaruh pada besar kecilnya biaya produksi dan manajemen usaha yang dijalankan. Peternak dengan skala usaha lebih besar umumnya memperoleh keuntungan usaha yang lebih besar jika dibandingkan dengan peternak yang mengusahakan usahanya dengan skala kecil (Rachmatia, 2010; Maulana 2008). Hal tersebut membuat pemilihan skala usaha yang tepat menjadi penting agar usaha yang dijalankan dapat memberikan keuntungan bagi peternak.
1
Poultry Indonesia. 2015. Sejarah Kemitraan. terdapat pada http://www.poultry indonesia.com /news/utama-2/sejarah-kemitraan/ diakses pada tanggal 5 Mei 2015
4 Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dengan jumlah produksi tertinggi. Populasi ayam ras di Kecamatan Pamijahan dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan dengan laju sebesar 18.98% per tahun (BPS Kabupaten Bogor, 2015) yang menandakan semakin berkembangnya usaha ternak ayam ras pedaging. Mayoritas kegiatan usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan dilakukan dengan pola kemitraan dan diusahakan dengan skala usaha yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian Deshinta (2006) dan Rachmatia (2010) dapat dikatakan bahwa tidak selamanya kemitraan memberikan keuntungan bagi peternak. Jika konsep kemitraan merupakan konsep yang saling menguntungkan, maka pelaksanaan konsep kemitraan tersebut seharusnya benar-benar dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan. Selain itu, apabila skala usaha yang lebih besar lebih menguntungkan dibandingkan dengan skala kecil seharusnya peternak mitra yang melakukan usaha dengan skala besar dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Maka dari itu perlu dilakukan kajian mengenai pelaksanaan kemitraan dan pengaruhnya terhadap keuntungan yang diperoleh peternak berdasarkan skala usahanya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh peternak dan perusahaan inti di Kecamatan Pamijahan? 2. Bagaimana peranan kemitraan terhadap usaha yang dijalankan peternak mitra pada skala usaha yang berbeda di Kecamatan Pamijahan? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan. 2. Menganalisis peranan kemitraan terhadap usaha ternak ayam ras pedaging yang dijalankan peternak mitra pada skala usaha yang berbeda. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak pihak terkait, yaitu: 1. Bagi Peternak Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi peternak ayam ras pedaging yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan usaha. 2. Bagi Penulis Kegiatan penelitian ini menjadi proses pembelajaran dalam menganalisa permasalahan dalam pelaksanaan kemitraan berdasarkan data dan fakta yang diperoleh dan disesuaikan dengan konsep yang diterima. 3. Bagi Pihak Lain Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam pelaksanaan kemitraan dan menjadi literatur serta perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan dan menganalisis pengaruh kemitraan dengan menitikberatkan pada perolehan keuntungan peternak mitra. Peternak mitra yaitu peternak yang bekerjasama dengan perusahaan inti yang pelaksanaannya diatur dalam kontrak kerjasama. Berdasarkan kapasitas usahanya maka peternak mitra dalam penelitian ini terbagi menjadi dua skala. Skala I yaitu peternak dengan kapasitas usaha ≤ 5 000 ekor setiap siklusnya dan skala II yaitu peternak dengan kapasitas usaha > 5 000 ekor setiap siklusnya.
TINJAUAN PUSTAKA Pola Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging Kemitraan usaha peternakan telah dikembangkan sejak tahun 1984 dengan pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) (Sumardjo et al. 2004). Pada pola PIR, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak rakyat berperan sebagai plasma. Kerjasama kemitraan pada usaha ayam ras banyak dilakukan dalam tiga bentuk kerjasama yaitu kerjasama dengan harga kontrak, kerjasama bagi hasil, dan maklon. Bentuk kerjasama kemitraan yang pertama yaitu kerjasama dengan harga kontrak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kerjasama kemitraan pada usaha ayam ras pedaging dengan harga kontrak ini umumnya dilakukan dengan pola kemitraan inti-plasma (Febridinia, 2010; Pribadi, 2013; Fitriza et al., 2012; Sinollah, 2011; Suwarta et al., 2010; Subkhie et al., 2012; dan Istanto et al. 2010), tetapi tidak semua kemitraan ayam ras pedaging dengan harga kontrak dilakukan dengan pola inti-plasma, seperti pada penelitian Deshinta (2006) kemitraan dilakukan dengan pola kerjasama operasional agribisnis (KOA). Berdasarkan hasil penelitian, pada kerjasama harga kontrak terdapat kesepakatan harga sapronak dan kesepakatan harga sehingga peternak dapat memperkecil risiko kerugian yang diperoleh akibat dari adanya fluktuasi harga baik harga sapronak atau harga ayam di pasar. Artinya, terdapat pembagian risiko kerugian (risk sharing) antara perusahaan dan peternak dimana saat harga ayam di pasar lebih rendah dari harga kontrak maka risiko kerugian menjadi tanggung jawab inti, begitu pula apabila terdapat kenaikan harga sapronak maka peternak tetap harus membayar sesuai dengan harga kontrak. Tetapi, apabila harga ayam di pasar lebih tinggi dari harga kontrak maka inti akan membagi keuntungan dengan plasma berdasarkan persentase yang telah di sepakati bersama. Hasil penelitian Kesuma (2006) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara pola inti plasma dan pola kerjasama operasional agribisnis (KOA). Pola kemitraan inti plasma umumnya menghendaki adanya barang jaminan dari peternak berupa uang, sertifikat tanah, bangunan, atau bukti kepemilikan kendaraan. Pola kemitraan inti plasma sangat berpegangan pada kontrak perjanjian yang disepakati baik dalam pelaksanaan maupun di harga input dan output yang berlaku. Pihak inti berkewajiban untuk menyediakan pemasaran dan
6 input dan pihak peternak berkewajiban untuk menyediakan kandang dan peralatan budidaya, biaya operasional dan melakukan proses produksi. Kerugian penjualan output ditanggung oleh pihak inti tetapi kerugian ini dapat tertutupi dengan penjualan input produksi ke pihak peternak sedangkan kerugian akibat teknis produksi dibebankan pada peternak sehingga terjadi pembagian risiko (risk sharing). Lebih lanjut Kesuma (2006) menyatakan bahwa dibandingkan dengan pola kemitraan inti plasma, pada pola kemitraan KOA tidak terdapat kontrak tertulis, sehingga tidak terdapat perjanjian harga yang membuat penentuan harga sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Pihak inti berkewajiban untuk menyediakan pemasaran, input, dan biaya operasional selain biaya tenaga kerja karena biaya tenaga kerja menjadi kewajiban dari peternak. Selain biaya tenaga kerja, pihak peternak juga berkewajiban untuk menyediakan kandang dan menangani proses produksi. Untuk kewajiban pihak pihak yang bekerja sama tidak berbeda antara kemitraan inti plasma maupun KOA. Tidak seperti pada pola inti plasma yang menerapkan kebijakan risk sharing, risiko kerugian dari fluktuasi harga dan kegiatan produksi ditanggung oleh kedua belah pihak. Bentuk kerjasama yang kedua yaitu pola kerjasama bagi hasil. Pada kerjasama bagi hasil, harga sapronak dan harga ayam ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Keuntungan atau kerugian yang diperoleh dibagi atau ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan persentase pembagian 50:50 atau persentase lain yang disepakati bersama yakni 60:40 seperti pada penelitian Nurfadillah (2014). Bentuk kerjasama yang terakhir yaitu pola maklon, pada pola ini yan disepakati yaitu biaya operasional pemeliharaan yang akan diperoleh peternak plasma dengan perhitungan per ekor atau per kilogram ayam. Kerjasama maklon ini disebut juga dengan kerjasama biaya operasional atau BOP. Hubungan kerjasama bagi hasil dan maklon terdapat pada pola kemitraan subkontrak seperti yang terdapat pada penelitian Cepriadi et al. (2010). Pola hubungan subkontrak pada penelitian Cepriadi et al. (2010) merupakan hubungan kerjasama yang terdiri dari dua sistem bagi hasil yaitu sistem pembagian hasil yang berupa upah pemeliharaan dan sistem pembagian hasil yang berupa insentif yang sudah disepakati di awal kerjasama. Pelaksanaan Kemitraan Dalam pelaksanaan kemitraan, peternak memiliki posisi tawar yang rendah dbandingkan dengan perusahaan inti. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban yaitu belum terpenuhinya hak-hak plasma yang tercantum dalam perjanjian dan pelaksanaan kemitraan yang tidak sesuai dengan tujuan dari perjanjian kemitraan (Wibowo, 2013). Kedudukan pihak plasma juga menjadi sangat rentan dikarenakan belum adanya petunjuk atau pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kemitraan (Wibowo, 2013) padahal kelancaran pelaksanaan kemitraan akan berpengaruh terhadap manfaat yang akan diterima kedua belah pihak. Amenuri et al. (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa perbedaan sistem usaha pada peternakan ayam ras pedaging yang dikelola secara mandiri dan secara kemitraan baik dari sisi teknis maupun modal dan operasional. Dari sisi
7 teknis, peternak mitra menerima pembinaan mengenai pemeliharaan sehingga berpengaruh pada hasil produksi. Hasil penelitian Nurfadillah (2004) menyatakan bahwa peternak mandapatkan manfaat dalam hal peningkatan produksi dan efesiensi karena adanya pembinaan dalam penggunaan input dan pemantauan saat proses produksi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suwarta et al. (2010) bahwa kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas usaha ternak. Peternak mitra juga mendapatkan jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas untuk sarana produksi ternak. Tetapi, peternak mitra tidak mendapatkan perlindungan risiko terutama risiko harga karena tidak terdapat kontrak harga di awal perjanjian. Perjanjian di awal kerjasama umumnya tidak hanya menyangkut kontrak harga tetapi juga kontrak kerjasama berupa perjanjian terikat secara tertulis mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak (Cepriadi et al., 2010; Deshinta, 2006). Pola kerjasama dalam kontrak menuntut peternak untuk memenuhi persyaratan yang biasanya terkait dengan sarana dan prasarana, agunan berupa sertifikat tanah, identitas peternak, dan lain-lain (Masdar dan Yunasaf 2010). Akan tetapi di beberapa kasus kemitraan, terdapat pula kerjasama yang tidak memiliki kontrak secara tertulis (Nurfadillah, 2014; Kesuma, 2006). Padahal perjanjian secara tertulis diperlukan agar dapat lebih memperjelas hak dan kewajiban serta meningkatkan transparansi dalam kemitraan. Secara keseluruhan dari penelitian mengenai kemitraan ayam ras, baik perusahaan inti dan peternak mitra mendapatkan manfaat dari adanya kerjasama kemitraan. Walaupun dalam evaluasi pelaksanaan kemitraan terdapat berbagai persoalan seperti kredit macet dan kecurangan peternak mitra seperti menjual pakan yang telah dipasok dari perusahaan inti dan menggantinya dengan pakan kualitas rendah. Sedangkan pelanggaran perusahaan inti biasanya terkait perusahaan yang tidak mengambil seluruh hasil panen saat perusahaan over supply, kemunduran waktu panen, serta terlambatnya pembayaran keuntungan dan bonus.
Pengaruh Kemitraan terhadap Keuntungan Peternak Amenuri et al (2006) menyatakan bahwa melalui kemitraan, peternak mitra menerima pembinaan mengenai pemeliharaan sehingga berpengaruh pada hasil produksi. Lebih lanjut Amenuri et al. (2006) menyatakan bahwa peternak mitra mengeluarkan modal dan biaya operasional yang relatif lebih sedikit karena mendapat bantuan modal dari perusahaan inti. Pengaruh kemitraan terhadap produksi dan keuntungan peternak mitra seringkali dilihat dengan membandingkan antara peternak mitra dan peternak mandiri (Deshinta, 2006; Pribadi, 2013; Rachmatia, 2010; Febridinia, 2010; Wulandari et al., 2014; Bahari et al., 2012). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh peternak mitra lebih besar dari keuntungan yang diperoleh peternak mandiri (Pribadi, 2013; Febridinia, 2010; Wulandari et al. 2014) walaupun tidak semua peternak bermitra memperoleh keuntungan yang lebih baik dibandingkan peternak mandiri (Deshinta, 2006; Rachmatia, 2010). Perbandingan tersebut seringkali dilakukan tanpa memperhatikan skala usaha yang dijalankan peternak. Padahal, keuntungan yamg diperoleh peternak
8 yang bermitra juga dapat dipengaruhi beberapa faktor salah satunya yaitu skala usaha (Saleh, 2006; Miharja, 2012). Pada penelitian Rachmatia (2010) dan Maulana (2008) peternak mitra dengan skala usaha yang lebih besar memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan peternak mitra yang lebih kecil. Akan tetapi, penelitian Nurfadillah (2014) menyatakan hal yang berbeda. Hasilnya menyatakan bahwa peternak mitra skala terkecil yakni skala I memperoleh keuntungan terbesar dibandingkan dengan peternak mitra dengan skala usaha yang lebih besar. Rachmatia (2010) hanya membandingkan dua skala usaha yakni skala kecil dengan kapasitas usaha 0 – 5 000 ekor per siklus produksi dan skala besar dengan kapasitas usaha lebih dari 5 000 ekor per siklus produksi. Sedangkan Nurfadillah (2014) dan Maulana (2008) membagi peternak mitra kedalam tiga skala usaha yakni skala I, skala II, dan skala III. Berdasarkan uraian diatas, kemitraan ayam ras pedaging pada umumnya dilakukan dengan pola inti-plasma. Hak, kewajiban, pembagian hasil, dan ketentuan lainnya tercantum dalam dokumen perjanjian kemitraan atau kontrak yang disepakati kedua belah pihak. Penelitian mengenai pengaruh kemitraan terhadap usaha ternak ayam ras pedaging terlihat dari jumlah produksi, tingkat mortalitas, biaya, dan penerimaan peternak mitra yang berdampak pada keuntungan dan nilai R/C rasio yang diperoleh peternak mitra. Peternak mitra skala besar memperoleh produksi, keuntungan, dan nilai R/C rasio yang lebih tinggi dibandingkan peternak mitra skala kecil.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Kemitraan Undang–Undang No. 9 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 menyatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, saling memerlukan. Hafsah (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Pelaksanaan kemitraan diupayakan untuk terwujudnya keterkaitan usaha sehingga dapat meningkatkan keuntungan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya usaha, meningkatkan skala usaha, serta meningkatkan kemampuan usaha kedua belah pihak terutama kelompok mitra (Sumardjo et al. 2004). Kemitraan dilaksanakan dengan ketentuan bahwa usaha besar wajib melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang produksi, pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. Menurut Hafsah (2000) manfaat yang dicapai dari kemitraan meliputi empat hal yaitu dalam produktivitas, efesiensi, jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, serta risiko. Peningkatan produktivitas pada perusahaan besar ditandai dengan adanya kenaikan produksi tanpa harus menambah atau mengurangi input
9 yang artinya perusahaan mendapatkan manfaat untuk menghemat penggunaan input. Sedangkan pada perusahaan kecil, peningkatan produktivitas terjadi karena memperoleh tambahan kualitas input, bantuan kredit, teknologi, dan pembinaan budidaya. Penggunaan teknologi juga akan menghemat waktu produksi perusahaan kecil. Penghematan penggunaan input dan waktu produksi menunjukkan adanya peningkatan efesiensi. Manfaat kemitraan lainnya yaitu jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan bahan baku bagi usaha besar yang diproduksi oleh usaha mitranya. Bagi usaha kecil hal tersebut merupakan jaminan penyerapan hasil yang diproduksi yang dapat memperkecil tingkat risiko kerugian sehingga terjadi risk sharing antara perusahaan dan usaha kecil. Bagi usaha kecil, risk sharing betul-betul terlaksana apabila mitra usaha betul-betul mampu menjamin penyerapan jasil produksi sehingga risiko kerugian akibat kelebihan hasil produksi atau penurunan harga dapat dihindari. Agar tujuan kemitraan dapat tercapai maka pelaksanaan kemitraan harus diatur dan ditentukan dalam kontrak atau perjanjian berdasarkan pola kemitraan yang dilaksanakan. Pola kemitraan adalah bentuk-bentuk kemitraan yang telah diatur dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1995 yang terdiri dari pola inti-plasma, pola subkontrak, pola dagang umum, pola waralaba, pola keagenan, dan bentuk-bentuk lain. Pola bentuk lain yaitu pola kerjasama operasional agribisnis (KOA) (Sumardjo et al. 2004). Dalam usaha kemitraan ayam ras pedaging, pola kemitraan yang umumnya diterapkan meliputi: a. Pola inti plasma Pada pola kemitraan inti plasma, perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Kelompok mitra berperan sebagai plasma yang mengelola seluruh usaha bisnisnya sampai panen dan wajib untuk menjual hasil produksi kepada perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati sedangkan perusahaan berperan sebagai perusahaan inti yang akan menampung dan membeli hasil produksi petani plasma, serta memberikan bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada petani plasma. Perusahaan inti umumnya menyediakan bantuan permodalan atau kredit, sarana produksi, dan teknologi. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara perusahaan dan petani sehingga dapat digambarkan dengan panah dua arah seperti pada Gambar 1. Plasma
Plasma
Perusahaan Inti
Plasma
Plasma Gambar 1 Pola kemitraan inti-plasma Sumber: Sumardjo et al. 2004
10 b. Pola subkontrak Pada hubungan kemitraan pola subkontrak, kelompok mitra memproduksi kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan mitra sebagai komponen produksinya. Kelompok mitra menyediakan tenaga kerja dan membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Sedangkan perusahaan mitra menampung dan membeli komponen produksi yang dihasilkan oleh kelompok mitra, menyediakan bahan baku, dan melakukan kontrol kualitas serta pembinaan produksi secara intensif. Hubungan kemitraan pola subkontrak dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.
Plasma
Plasma Perusahaan Inti Plasma
Plasma
Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak Sumber: Sumardjo et al. 2004 a. Pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) Pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan dan tenaga kerja, sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan modal, manajemen, dan sarana produksi. Perusahaan juga menjamin pasar produk, melakukan pengolahan dan pengemasan. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan dan kelompok mitra menjalankan seluruh kegiatan agribisnis secara bersama-sama. Dalam pelaksanaannya, terdapat kesepakatan mengenai pembagian hasil dan risiko usaha. Bentuk kemitraan pola KOA dapat digambarkan sepeti pada Gambar 3.
Perusahaan Mitra
Kelompok Mitra
Lahan Sarana Tenaga Kerja
Biaya Modal Manajemen Teknologi
Gambar 3 Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis Sumber: Sumardjo et al. 2004
11 Konsep Usahatani Soekartawi et al (1986) menyatakan bahwa ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara petani dalam memadukan sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Definisi ilmu usahatani tersebut diperinci bahwa usahatani suatu organisasi produksi di lapangan pertanian yang terdiri dari lahan yang mewakili alam, kerja keluarga tani, modal, dan pengelolaan atau manajemen oleh petani (Suratiyah, 2009). Berdasarkan definisi usahatani Suratiyah (2009) maka unsur-unsur usahatani terdiri dari lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Unsur lahan merupakan tempat menyelenggarakan kegiatan produksi. Unsur tenaga kerja yang sering digunakan dalam kegiatan usahatani diklasifikasikan menjadi tenaga kerja manusia yang dibedakan dalam tenaga kerja dari keluarga dan tenaga kerja dari luar keluarga serta tenaga kerja ternak. Unsur modal berupa lahan, bangunan, alat pertanian, uang tunai, dan barang atau jasa untuk kegiatan operasional. Modal tersebut dapat bersumber dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, dan sewa. Sedangkan, unsur pengelolaan terkait dengan kemampuan petani dalam memanajemen atau mengelola kegiatan usahataninya agar efektif dan efesien. Menurut Soekartawi (2006), kegiatan usahatani dapat dikatakan efektif apabila dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya dengan baik, sedangkan dikatakan efesien apabila hasil yang dicapai petani lebih banyak dari sumberdaya input yang digunakan. Kegiatan usahatani yang efektif dan efesien akan berpengaruh terhadap keuntungan usahatani yang diperoleh. Pendapatan usahatani didefinisikan sebagai balas jasa dari kerja sama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang merupakan selisih antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Penerimaan usahatani yaitu hasil perkalian antara hasil produksi dengan harga jual. Dalam menghitung penerimaan usahatani terdapat hal yang harus diperhatikan seperti perhitungan produksi (hasil panen), frekuensi pemanenan, frekuensi penjualan, dan harga jual pada masing-masing penjualan tersebut (Soekartawi 2006). Penerimaan usahatani terbagi menjadi penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari hasil penjualan produk usahatani. Sedangkan penerimaan total usahatani (total farm revenue) didefinisikan sebagai nilai uang dari total produk usahatani. Total produk usahatani ini mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi sendiri, digunakan dalam kegiatan usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan. Harga yang digunakan dalam perhitungan penerimaan untuk produk yang dijual petani yaitu harga jual yang diterima petani, sedangkan untuk menghitung penerimaan yang diperoleh dari produk yang tidak dijual digunakan harga pasar (Soekartawi et al.1986). Menurut Soekartawi et al. (1986), pengeluaran total usahatani (total farm expenses) merupakan nilai semua input yang digunakan selama proses produksi. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan non tunai. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan dengan menggunakan uang tunai, seperti biaya pembelian sarana produksi, biaya untuk membayar tenaga kerja, dan lain-lain. Sedangkan pengeluaran tidak tunai adalah pengeluaran yang tidak dibayar dengan tunai misalnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan benda, bibit atau pakan ternak yang berasal dari hasil panen, dan penyusutan alat pertanian.
12 Penggolongan biaya produksi berdasarkan sifatnya terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Jumlah biaya tidak tetap (variable cost) dipengaruhi oleh produksi, besar biaya tidak tetap dapat berubahubah sesuai dengan seberapa banyak hasil poduksi yang diinginkan. Contoh biaya tidak tetap yaitu biaya untuk bahan baku produksi, upah tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, biaya tetap tidak tergantung pada besar-kecilnya produksi yang diinginkan contohnya biaya pajak, biaya sewa lahan (Soekartawi 2006). Penyusutan termasuk dalam biaya tetap (fixed cost). Untuk mengukur keberhasilan usahatani dapat dilakukan dengan melakukan analisis keuntungan usahatani. Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan usahatani saat ini sehingga dapat melakukan evaluasi untuk perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Keuntungan usahatani digunakan untuk melihat apakah usahatani yang dilakukan menguntungkan atau merugikan dan seberapa besar keuntungan dan kerugian tersebut. Besar keuntungan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh luas usaha atau skala usaha yakni besarnya areal tanam atau jumlah ternak setiap siklusnya, pilihan dan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan , dan efesiensi tenaga kerja (Hernanto, 1989). Ukuran efesiensi keuntungan dalam usahatani salah satunya adalah rasio R/C (Revenue Cost Ratio) yang bertujuan untuk mengukur efisiensi input dan output, dengan menghitung perbandingan antara penerimaan total dengan biaya produksi total. Analisis R/C ini juga bertujuan untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dengan usaha lainnya berdasarkan perhitungan finansial. Hernanto (1989) berpendapat bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh faktor internal yakni modal, tanah, tenaga kerja, dan teknologi serta faktor eksternal yakni sarana transportasi dan komunikasi, harga input dan output. Akan tetapi, Hernanto (1989) juga menyebutkan komponen faktor eksternal lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani yakni fasilitas kredit dan sarana penyuluhan bagi petani. Adanya pelaksanaan kemitraan membuat peternak atau petani dapat memperoleh permodalan, peningkatan kemampuan teknologi, jaminan pemasaran dan harga output, serta fasilitas kredit dan penyuluhan dengan adanya pembinaan dari perusahaan inti. Manfaat-manfaat tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani seperti yang dinyatakan oleh Suratiyah (2009) dan Hernanto (1989). Konsep Skala Usaha Nicholson (1995) menyatakan bahwa perubahan skala hasil meningkat, menurun atau konstan dapat dilakukan dengan mengukur besar output yang diperoleh apabila perusahaan melipatgandakan skala. Misalnya dengan menggandakan jumlah pabrik atau mesin yang dimiliki. Perubahan ini dapat diukur dengan mengalikan konstanta positif yang sama, m (dimana m > 1), pada fungsi produksi q = f(K,L) dan input yang digunakan. Apabila hasil f(mK,mL) = mf(K,L) = mq maka fungsi produksi memperlihatkan hasil berbanding skala yang konstan. Selanjutnya, apabila hasil f(mK,mL) > mf(K,L) = mq maka fungsi produksi memperlihatkan hasil berbanding skala yang meningkat. Sedangkan, apabila hasil f(mK,mL) < mf(K,L) = mq maka fungsi produksi memperlihatkan hasil berbanding skala yang menurun.
13 Lebih lanjut Salvatore (2011) menjelaskan apabila perubahan input yang menyebabkan adanya perubahan output dilakukan dengan harga input yang konstan, maka diperoleh tiga jenis skala hasil, yaitu: (1) Skala usaha dengan kenaikan hasil meningkat (increasing return to scale) yaitu kenaikan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin bertambah yang dapat membuat biaya per unit output menjadi lebih rendah; (2) Skala usaha dengan kenaikan hasil menurun (decreasing return to scale) yaitu apabila pertambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin berkurang yang dapat menbuat biaya per unit output menjadi lebih tinggi; dan (3) Skala usaha dengan kenaikan hasil tetap (constant return to scale), yaitu penambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output dengan proporsi yang sama. Salvatore (2011) menyatakan bahwa skala hasil meningkat ini timbul karena adanya peningkatan skala operasi yang disebabkan peningkatan teknologi, spesialisasi tenaga kerja, dan peningkatan modal usaha. Peningkatan dalam permodalan membuat perusahaan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh pinjaman dari bank atau pembelian input dalam jumlah besar sehingga harganya menjadi lebih murah. Ketiga hal ini dapat membuat perusahaan dapat menurunkan biaya per unit produk. Kerangka Pemikiran Operasional Usaha ternak ayam ras pedaging sangat rentan terhadap risiko dan memerlukan modal yang besar sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal, peternak dituntut untuk dapat berproduksi dengan efesien agar dapat memperoleh keuntungan. Berbeda dengan perusahaan peternakan yang memiliki modal yang lebih besar, teknologi modern, dan manajemen yang teratur, peternak rakyat tidak dapat berproduksi secara maksimal karena umumnya memiliki modal yang terbatas, teknologi sederhana, dan kemampuan manajerial yang rendah. Untuk membantu peternak rakyat dalam mengatasi masalah tersebut, pemerintah menganjurkan peternak untuk berkerjasama dengan pihak lain salah satunya dengan pengembangan kemitraan. Kerjasama kemitraan antara peternak rakyat dan perusahaan umumnya diatur dalam perjanjian hak dan kewajiban agar kemitraan dapat berjalan dengan baik dan saling menguntungkan. Namun, kerjasama kemitraan ini memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan dalam pelaksanaannya yang menyebabkan prinsip saling menguntungkan tidak dapat terpenuhi. Untuk mengetahui adanya penerapan prinsip saling menguntungkan pada pelaksanaan kemitraan maka perjanjian dan mekanisme dalam pelaksanaan kemitraan dideskripsikan dan dievaluasi dengan menganalisis manfaat yang diterima kedua belah pihak. Manfaat yang diterima peternak dengan mengikuti pelaksanaan kemitraan mempengaruhi usaha peternak mitra dalam budidaya dan jaminan harga. Manfaat ini tidak akan diperoleh peternak apabila menjalankan usaha ternaknya secara mandiri. Dalam budidaya, peternak mitra memperoleh input produksi yang berkualitas dari perusahaan inti dan pembinaan budidaya sehingga hasil output produksi ayam yang dihasilkan dapat meningkat. Sedangkan, jaminan harga input dan output membuat peternak mitra dapat terhindar dari risiko fluktuasi harga. Adanya peningkatan produksi dan jaminan pemasaran dengan harga kontrak dari
14 perusahaan inti dapat meningkatkan penerimaan yang diperoleh. Hal ini akan berpengaruh pada keuntungan dan nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) yang diperoleh. Keuntungan usaha ternak diperoleh melalui selisih antara penerimaan dengan biaya-biaya usaha ternak yang dikeluarkan, baik biaya tunai maupun biaya non-tunai. Setelah itu akan dilakukan perbandingan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) untuk mengetahui keuntungan relatif yang diperoleh. Keuntungan usaha peternak mitra merupakan salah satu indikator keberhasilan kemitraan yang dipengaruhi juga oleh skala usaha yang dijalankan peternak. Peternak dengan skala usaha yang lebih besar umumnya akan mengeluarkan biaya yang lebih rendah dan memproduksi output dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan peternak dengan skala usaha kecil. Oleh karena itu, pengaruh kemitraan terhadap keuntungan peternak akan dilakukan dengan membandingkan keuntungan yang diperoleh peternak mitra skala kecil dan skala besar. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini secara lebih singkat dijelaskan pada Gambar 4.
Karakteristik usahaternak ayam ras pedaging: Usaha ternak ayam ras pedaging memiliki peluang usaha yang besar dan pertputaran modal yang cepat tetapi rentan terhadap risiko dan membutuhkan modal yang besar. Kemitraan usaha ternak ayan ras pedaging: - Deskripsi mekanisme kemitraan - Evaluasi pelaksanaan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang bermitra
Harga input
Input
Output
Pengeluaran usaha ternak
Harga Output
Penerimaan usaha ternak
- Keuntungan - Analisis R/C Gambar 4. Kerangka pemikiran operasional
15
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan merupakan salah satu daerah produsen daging ayam ras dengan produksi di atas produksi rata-rata per kecamatan, yakni sebesar 16 198.116 ton sehingga menempati posisi pertama sebagai kecamatan dengan jumlah produksi terbanyak atau memproduksi sekitar 16.99 persen dari total produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor pada tahun 2013 (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014). Usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan banyak diusahakan dengan pola kemitraan. Kemitraan yang banyak terjalin dilakukan antara peternak dengan perusahaan inti yang merupakan perusahaan peternakan skala besar. Perusahaan peternakan ini menerapkan dua sistem kerjasama yakni inti plasma dan maklon. Perbedaan pola inti plasma dan pola maklon yakni pada pola inti plasma terdapat kontrak kerjasama dan jaminan harga kontrak sedangkan pada pola maklon tidak terdapat perjanjian kerjasama dan peternak hanya menerima upah pemeliharaan untuk setiap kilogram ayam yang diproduksi. Sebagian besar peternak di Kecamatan Pamijahan bermitra dengan pola inti plasma. Responden pada penelitian ini adalah hanya peternak ayam ras pedaging yang bermitra dengan perusahaan inti dengan sistem inti plasma. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi informasi kontrak kerjasama, pelaksanaan kemitraan, penggunaan input, dan harga. Data primer diperoleh dari peternak bermitra maupun perusahaan inti. Data sekunder meliputi monografi, data populasi, data produksi, dan data konsumsi daging ayam. Data sekunder diperoleh dari informasi tertulis yang berasal dari literatur-literatur yang relevan seperti buku, hasil penelitian terdahulu, dan informasi dari berbagai intansi seperti Dinas Peternakan, Badan Pusat Statistik, Perpustakaan IPB, Unit Pelaksana Teknis, dan intansi lain yang dapat membantu ketersediaan data. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu observasi dan wawancara langsung kepada peternak ayam ras pedaging yang bermitra. Wawancara dilakukan dengan teknik wawancara individual dengan alat bantu kuisioner.
16 Metode Penetuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah peternak ayam ras pedaging yang menjalin kemitraan dengan pola inti-plasma yang terersebar di tiga desa di Kecamata Pamijahan. Desa-desa tersebut yaitu Desa Gunung Bunder, Desa Gunung Picung, dan Desa Cibitung. Jumlah peternak bermitra berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 56 peternak. Dari populasi tersebut dipilih sampel sebanyak 30 orang peternak bermitra. Metode penarikan sampel menggunakan probability sampling dimana penarikan sampel dilakukan dengan simple random sampling yakni memberi peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk terpilih menjadi sampel. Sampel yang telah terpilih diklasifikasikan dalam skala usaha yang ditentukan berdasarkan kapasitas usaha. Penentuan batas distribusi frekuensi diperoleh dengan menentukan rentang yaitu kepemilikan terbesar dikurangi kepemilikan terkecil, kemudian dibagi panjang kelas yang diinginkan. Kriteria penentuan skala usaha adalah berdasarkan Keppres 22 Mei 1990 yang menyatakan bahwa usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15 000 ekor ayam untuk setiap siklusnya. Berdasarkan hal tersebut maka apabila usaha ternak ayam ras rakyat dibagi dalam tiga kelas/skala maka, skala I merupakan peternak dengan kapasitas usaha < 5 000 ekor ayam setiap siklusnya, skala II merupakan peternak dengan kapasitas usaha 5 000 – 10 000 ekor orang setiap siklusnya dan skala III merupakan peternak dengan kapasitas usaha >10 000 ekor. Akan tetapi, hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa dari 30 responden hanya terdapat dua orang peternak yang mengusahakan usaha ternak ayam ras pedaging pada skala III. Oleh karena itu, dalam penelitian ini responden penelitian diklasifikasikan dalam dua skala usaha yakni skala I yang merupakan peternak dengan kapasitas usaha ≤ 5 000 ekor per siklusnya dan skala II yang merupakan peternak yang mengusahakan > 5 000 ekor per siklusnya. Metode Analisis Data Data yang diolah dan dianalisis pada penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Sedangkan untuk data kuantitatif menggunakan analisis keuntungan usahatani dan analisis R/C rasio untuk melihat adakah perbedaan antara rata-rata keuntungan peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II dalam usaha ternak ayam ras pedaging. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan data kualitatif seperti gambaran mengenai karakteristik responden, karakteristik usaha ternak ayam ras pedaging, serta untuk menggambarkan pelaksanaan kemitraan yang terjalin antara perusahaan inti dengan peternak ayam ras pedaging. Gambaran mengenai pelaksanaan kemitraan yaitu pola kemitraaan yang diterapkan, persyaratan untuk menjadi peternak mitra, hak dan kewajiban baik perusahaan inti maupun peternak mitra, evaluasi pelaksanaan kemitraan, dan manfaat kemitraan yang diperoleh peternak. Analisis deskriptif juga digunakan untuk menguraikan kegiatan budidaya usaha ternak ayam ras pedaging. Kegiatan budidaya yang dijelaskan dari penyediaan sarana produksi hingga pemanenan hasil.
17 Analisis Keuntungan Usahatani Analisis keuntungan usahatani bertujuan untuk mengetahui besar keuntungan yang diperoleh dari usahatani yang dilakukan oleh peternak. Keuntungan usahatani dapat dihitung dengan: Keuntungan = Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC) = (P x Q) – (biaya tunai + biaya yang diperhitungkan) Keterangan: P = Harga produksi (Rp/kg) Q = Jumlah produksi (kg) Biaya usahatani dapat dibedakan menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah semua biaya yang dibayarkan dengan uang seperti biaya pembelian sarana produksi (benih, pupuk) dan biaya untuk membayar tenaga kerja luar keluarga. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya keuntungan kerja petani jika penyusutan alat dan nilai tenaga kerja dalam keluarga di perhitungkan. Dalam usaha ternak ini terdapat kandang dan peralatan. Oleh karena itu perlu diperhitungkan biaya penyusutan. Biaya penyusutan alat–alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal dipakai (Metode Garis Lurus), dengan rumus sebagai berikut: Biaya Penyusutan =
𝑁𝑏 − 𝑁𝑠 𝑛
Keterangan:
Nb Ns N
= Nilai pembelian (Rp) = Tafsiran nilai sisa (Rp) = Umur ekonomis (tahun)
Secara sistematis, keuntungan menggunakan tabel seperti pada Tabel 3.
usahatani
dapat
dihitung
dengan
Tabel 3 Perhitungan keuntungan usahatani Uraian Keterangan Penerimaan tunai A Penerimaan yang diperhitungkan B Total penerimaan C=A+B Biaya tunai D Biaya yang diperhitungkan E Total biaya F=D+E Total Keuntungan G=C–F Keuntungan atas biaya tunai H=C–D Keuntungan atas biaya total G=C–F Sumber: Nurfadillah, 2014
18 Analisis Rasio R/C Rasio R/C digunakan untuk menganalisis imbangan antara penerimaan dengan biaya. Analisis ini bertujuan untuk mengukur efisiensi input-output, dengan menghitung perbandingan antara penerimaan total dengan biaya produksi total. Analisis R/C rasio dibedakan menjadi R/C atas biaya total dengan rumus sebagai berikut: Rasio R/C atas biaya total =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 (𝑇𝑅) 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 (𝑇𝐶)
dan analisis R/C rasio atas biaya tunai, dengan rumus: Rasio R/C atas biaya tunai =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 (𝑇𝑅) 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑇𝑢𝑛𝑎𝑖
Suatu usaha dikatakan berhasil bila nilai R/C rasio lebih besar dari satu. Nilai tersebut mengartikan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan untuk usaha akan memberikan tambahan penerimaan lebih besar dari satu rupiah. Sebaliknya, bila nilai R/C kecil dari satu maka setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memberikan tambahan penerimaan kurang dari satu rupiah, sehingga petani menderita kerugian. Jika nilai R/C ratio = 1 berarti kegiatan usahatani berada pada kondisi keuntungan normal.
GAMBARAN UMUM PENELITIAN Karakteristik Wilayah Letak dan Luas Wilayah Kecamatan Pamijahan adalah salah satu dari 40 kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan terletak di Kabupaten Bogor bagian barat dengan luas 8 088 hektar atau 3 persen dari luasan total wilayah Kabupaten Bogor. Batas-batas wilayah Kecamatan Pamijahan sebagai berikut: Sebelah utara : Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Ciampea Sebelah selatan : Kabupaten Sukabumi Sebelah barat : Kecamatan Leuwiliang Sebelah timur : Kecamatan Tenjolaya Wilayah Kecamatan Pamijahan memiliki luas hamparan yang terbentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi karena berada pada 500 – 1 000 meter di atas permukaan laut. Kondisi Alam dan Potensi Agribisnis Seluas 1 101.50 hektar wilayah di Kecamatan Pamijahan merupakan hutan yang terbagi menjadi hutan rakyat dan hutan negara. Kecamatan Pamijahan memiliki potensi sektor pertanian yang cukup tinggi terutama dalam produksi beras. Pada tahun 2014, luas panen padi sawah di Kecamatan Pamijahan sebesar 6 428 hektar dengan produksi sebesar 28 391.40 ton. Selain itu, Kecamatan Pamijahan juga memproduksi tanaman palawija dan hortikultura. Komoditas
19 palawija yang banyak dibudidayakan seperti jagung manis, ubi kayu, dan ubi jalar. Sedangkan jenis tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan merupakan tanaman semusim seperti mentimun, buncis, terong, tomat, cabai, kacang panjang, dan sawi hijau. Dibandingkan dengan jenis sayuran lainnya sawi hijau merupakan tanaman paling banyak diusahakan. Komoditas hortikultura lainnya yang dibudidayakan adalah tanaman buah. Tanaman buah yang diusahakan di Kecamatan Pamijahan antara lain alpukat, jambu biji, papaya dan pisang. Selain komoditas pangan, palawija, dan hortikultura, komoditas peternakan dan perikanan juga banyak diusahakan di Kecamatan Pamijahan. Populasi hewan ternak yang paling besar yaitu ayam ras pedaging diikuti domba dan sapi perah. Pada sektor perikanan, mayoritas budidaya perikanan di Kecamatan Pamijahan dilakukan di kolam air tenang. Komoditas ikan konsumsi yang paling banyak dibudidayakan adalah ikan lele dan ikan mas. Selain itu beberapa peternak juga membudidayakan ikan hias seperti corydoras, cupang, koi, dan koki. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Pada tahun 2014, jumlah penduduk wilayah Pamijahan adalah 146 190 orang dimana jumlah laki- laki 74 807 orang dan perempuan 71 130 orang. Penduduk di Kecamatan Pamijahan terdistribusi secara merata dari usia 0 hingga usia lebih dari 60 tahun dengan distribusi jumlah penduduk terbesar berada pada kisaran umur 51 – 60 tahun yaitu sebanyak 219 958 penduduk atau 13.65 persen dari keseluruhan penduduk. Kecamatan Pamijahan adalah masyarakat campuran penduduk asli dan WNI keturunan. Bahasa dominan yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa sunda. Agama yang dipeluk penduduk Kecamatan Pamijahan adalah Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Pamijahan mayoritas adalah peternak/petani, karyawan swasta dan pedagang. Kondisi perekonomian masyarakat Kecamatan Pamijahan bertumpu pada sektor perdagangan dan sektor pertanian. Pada sektor perdagangan terdiri dari olahan pangan serta makanan ringan. Pada sektor pertanian masyarakat Kecamatan Pamijahan lebih dominan pada beternak, tanaman hias, dan perikanan. Usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan dilakukan dengan dengan dua cara yakni bekerjasama dengan perusahaan peternakan atau secara mandiri. Kerjasama kemitraan antara perusahaan dan peternak dilakukan dengan pola inti plasma dan maklon. Selain itu, terdapat pula peternak yang melakukan usahanya secara mandiri. Akan tetapi, hanya sedikit peternak yang berani untuk melakukan usahanya secara mandiri. Pada waktu penelitian ini hanya terdapat satu orang peternak mandiri di Kecamatan Pamijahan. Peternak yang menjalankan usaha ternaknya secara mandiri mengaku menggunakan modal pribadi dan telah mengenal pembeli sehingga tidak mengalami kesulitan dalam penyediaan sarana produksi dan penjualan panen. Saat ini tidak sedikit pula peternak bermitra lebih memilih untuk mengontrakan kandangnya kepada perusahaan inti dibandingkan dengan melakukan sendiri usaha ternaknya ataupun bermitra dengan perusahaan. Hal ini banyak dipilih peternak dikarenakan peternak tidak merasakan adanya keuntungan dengan bermitra. Sektor lain yang juga berperan dalam perekonomian masyarakat Kecamatan Pamijahan adalah sektor jasa, seperti jasa-jasa angkutan, dan pariwisata.
20 Karakteristik Responden Karakteristik peternak merupakan aspek yang penting dalam menilai keberhasilan usahanya. Karakteristik-karakteristik tersebut penting diketahui karena mempengaruhi pengambilan keputusan peternak dalam mengelola usahanya. Petani yang memiliki kemampuan pendidikan yang baik, kemampuan teknis yang baik dan lebih banyak pengalaman akan mendapatkan hasil pada posisi yang terbaik (Setianingsih et al dalam Nurfadillah 2014). Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang melakukan usaha ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan. Responden penelitian yaitu peternak ayam ras pedaging yang bermitra sebanyak 30 peternak yang terbagi menjadi dua kelompok yakni peternak skala I dan peternak skala II. Peternak skala I sebanyak 19 peternak mitra dengan rata-rata kapasitas usaha sebanyak 3 657.89 ekor. Peternak skala II sebanyak 11 peternak mitra dengan rata-rata kapasitas usaha sebanyak 7 909.09 ekor ayam. Karakteristik responden terbagi menjadi dua hal, yaitu karakteristik peternak yang mencakup usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan diluar usaha ternak dan karakteristik usaha ternak yang mencakup lama usaha, kapasitas usaha, dan alasan beternak ayam ras pedaging. Usia Usia peternak merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja usaha ternak ayam yang dan memiliki keterkaitan dengan pengambilan risiko. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa peternak responden memiliki usia yang beragam mulai dari 28 – 60 tahun. Sebagian besar peternak mitra skala I berusia antara 31 – 40 tahun sedangkan peternak mitra skala II berusia 41-50 tahun. Hal ini membuktikan bahwa tidak selalu peternak yang berusia muda lebih berani dalam mengambil risiko. Walaupun secara fisik, maka semakin tua tenaga kerja akan semakin turun prestasinya namun semakin tua usia tenaga kerja akan semakin banyak pengalamannya dalam berusaha sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja. Sebaran responden berdasarkan kelompok usia dapat terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kelompok usia responden Kelompok usia (tahun) 21-30 31-40 41-50 >50 Jumlah
Jumlah (orang) 3 8 3 5 19
Skala I Persentase (%) 15.78 42.10 15.78 26.31 100.00
Jumlah (orang) 1 3 6 1 11
Skala II Persentase (%) 9.09 27.27 54.54 9.09 100.00
Pendidikan Kemampuan peternak dalam pengelolaan usahanya salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan dapat berupa pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Peternak mitra skala I mayoritas mengenyam pendidikan setingkat SMA dengan persentasi sebesar 31.57 persen. Sedangkan sebagian besar peternak mitra skala II mengenyam pendidikan formal setingkat
21 SMP dengan persentasi sebesar 45.45 persen. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat pendidikan formal responden Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah
Skala I Jumlah Persentase (orang) (%) 2 10.52 5 26.31 4 21.05 6 31.57 2 10.52 19 100.00
Skala II Jumlah Persentase (orang) (%) 1 9.09 4 36.36 5 45.45 1 9.09 0 0.00 11 100.00
Pendidikan non-formal didapatkan dalam bentuk pelatihan atau pembinaan. Seluruh peternak mitra pernah mendapatkan pembinaan pada awal mereka bergabung dengan perusahaan inti mengenai proses budidaya yang sesuai dengan prosedur perusahaan inti. Jenis Kelamin Mayoritas peternak responden berjenis kelamin laki laki, yaitu sebesar lebih besar dari 90 persen pada peternak mitra. Terdapat dua peternak mitra yang berjenis kelamin perempuan. Kedua peternak tersebut merupakan ibu rumah tangga yang memutuskan untuk beternak sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang yang dapat menambah penghasilan keluarga. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis kelamin responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah (orang) 18 1 19
Skala I Persentase (%) 94.73 5.27 100.00
Jumlah (orang) 10 1 11
Skala II Persentase (%) 90.90 9.10 100.00
Perkerjaan di Luar Beternak Ayam Ras Pada umumnya usaha ternak ayam ras pedaging merupakan usaha utama bagi peternak karena dalam proses budidaya ayam ras sangat menyita waktu serta tenaga peternak. Hal ini dapat dilihat pada peternak mitra, sebesar 73.68 persen peternak mitra skala I dan 100 persen peternak mitra skala II fokus mengelola usaha ternak ayamnya yang menandakan bahwa kegiatan usaha ternak merupakan usaha utama bagi peternak. Tetapi selain menjadi peternak ayam ras pedaging, beberapa responden memiliki pekerjaan lain yang juga memiliki pekerjaan lain seperti pegawai negeri, petani, dan ibu rumah tangga. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan di luar usaha beternak ayam dapat dilihat pada Tabel 7.
22 Tabel 7 Pekerjaan di luar beternak ayam Pekejaan lain Pegawai Negeri Petani/peternak Ibu Rumah Tangga Tidak ada Jumlah
Skala I Jumlah Persentase (orang) (%) 2 10.52 1 5.27 2 10.52 14 73.68 19 100.00
Skala II Jumlah Persentase (orang) (%) 0 0.00 0 0.00 0 0.00 11 100.00 11 100.00
Karakteristik Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging Lama Usaha Usaha ternak ayam ras pedaging yang diusahakan oleh responden memiliki lama usaha yang bervariasi antara 1 - 15 tahun. Mayoritas peternak mitra skala I telah mengusahakan usaha ternak ayam ras pedaging dalam rentang waktu 1 – 5 tahun, sedangkan peternak mitra skala II mayoritas telah mengusahakan usahanya selama 10 – 15 tahun. Sebaran responden berdasarkan lama usaha dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Lama usaha ayam ras pedaging Lama usaha (tahun) 1–5 5 – 10 10 – 15 >15 Jumlah
Jumlah (orang) 11 2 7 0 19
Skala I Persentase (%) 85.16 10.52 36.84 0.00 100.00
Jumlah (orang) 3 3 4 1 11
Skala II Persentase (%) 27.27 27.27 36.36 9.10 100.00
Alasan Beternak Ayam Ras Pedaging Terdapat beberapa alasan yang mendasari peternak memilih usaha ayam ras pedaging. Alasan terbanyak peternak mitra skala I memilih usaha ini adalah karena peternak telah memiliki pengalaman budidaya dengan persentase sebesar lebih dari 40 persen dari keseluruhan peternak mitra skala I. Walaupun sebagian besar peternak menjalankan usahanya selama 1 – 5 tahun, tetapi peternak telah memiliki pengalaman dalam pemeliharaan ayam ras pedaging karena telah lama bekerja sebagai anak kandang atau ikut mengurus ternak milik keluarga. Alasan lain mengapa peternak mitra skala I memilih usaha ayam ras pedaging ini adalah karena keuntungan yang besar sebanyak 26.31 persen, perputaran modal yang cepat sebanyak 5.27 persen, usaha turun-temurun sebanyak 15.78 persen dan alasan lainnya sebanyak 5.27 persen. Alasan lainnya ini terdiri dari untuk mencari penghasilan tambahan, ingin memiliki usaha, dan coba-coba. Berbeda dengan peternak mitra skala I, pada peternak mitra skala II alasan beternak ingin memiliki usaha sendiri menjadi alasan terbanyak, diikuti oleh pengalaman budidaya. Sebaran alasan peternak dalam mengusahakan ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 9.
23 Tabel 9 Alasan beternak ayam ras pedaging Alasan Keuntungan yang besar Perputaran modal yang cepat Usaha turun temurun Memiliki pengalaman budidaya Alasan lainnya Jumlah
Skala I Jumlah Persentase (orang) (%) 5 26.31 1 5.27 3 15.78 9 47.36 1 5.27 19 100.00
Skala II Jumlah Persentase (orang) (%) 2 18.18 2 18.18 0 0.00 3 27.27 4 36.36 11 100.00
Kapasitas Usaha Ayam Ras Pedaging Usaha ternak ayam ras pedaging yang diusahakan 30 responden memiliki kapasitas usaha yang berbeda, berkisar antara 2 000 ekor hingga 14 000 ekor. Berdasarkan kapasitas usahanya, peternak mitra dikategorikan sebagai peternak rakyat karena kapasitas usaha per siklusnya tidak melebihi 15 000 ekor (SK Mentan No. 362/Kpts/TN.120/5/1990). Peternak mitra skala I paling banyak diusahakan dengan kapasitas 2 501 - 5000 ekor dan paternak skala II paling banyak mengusahakan usahanya dengan kapasitas 5 500 – 6 000 ekor. Sebaran responden berdasarkan kapasitas usahanya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kapasitas usaha ayam ras pedaging Kapasitas (ekor) 2 000 – 4 000 4 001 – 6 000 8 001 – 10 000 10 001 – 12 000 12 001 – 14 000 Jumlah
Jumlah (orang) 13 6 0 0 0 19
Skala I Persentase (%) 68.43 31.57 0.00 0.00 0.00 100.00
Jumlah (orang) 0 5 4 1 1 11
Skala II Persentase (%) 0.00 45.45 36.36 9.09 9.09 100.00
Budidaya Ayam Ras Pedaging Proses budidaya ayam ras pedaging yang dilakukan oleh peternak mitra membentuk siklus produksi yang dimulai dari persiapan kandang hingga panen. Untuk setiap satu siklus produksi membutuhkan waktu sekitar 50 – 60 hari sehingga dalam satu tahun peternak biasanya maksimal memiliki enam siklus produksi. Persiapan Kandang Sebelum kegiatan pemeliharaan ayam berlangsung, terlebih dahulu kandang dan peralatan yang akan digunakan harus dipersiapkan dengan baik. Tujuan dari persiapan kandang ini sendiri yaitu untuk memberikan rasa nyaman pada ayam ketika ayam mulai masuk, serta supaya terhindar dari gangguan penyakit. 1. Sanitasi kandang dan peralatan
24 Setelah siklus produksi sebelumnya selesai dilakukan, maka kandang harus segera dibersihkan dan disterilisasi. Pertama-tama kandang dibersihkan dari sekam dan sisa kotoran. Apabila terdapat bagian kandang yang harus diperbaiki, biasanya peternak akan melakukan perbaikan terlebih dulu sebelum kemudian kandang dicuci dengan cara menyemprotkan air bersih. Selanjutnya lantai dan dinding kandang dibasahi dengan larutan detergen kemudian didiamkan selama kurang lebih satu jam supaya mudah dicuci. Seluruh bagian kandang disikat, kemudian dibilas sampai benar-benar bersih. Setelah kandang benar-benar bersih, kandang didiamkan dan barulah disemprot dengan desinfektan secara merata ke setiap sudut kandang dan lingkungan sekitar kandang. Kemudian kandang ditutup dan didiamkan kembali selama satu minggu. Peralatan kandang seperti tempat pakan dan tempat minum juga dicuci dengan air bersih dan detergen untuk mencegah adanya penyakit dan sisa sisa kotoran yang masih tertinggal. 2. Penebaran litter dan pengaturan peralatan Litter atau alas kandang yang digunakan peternak adalah sekam. Sekam ditebar di lantai kandang dengan ketebalan 5 – 7 cm. Sekam yang digunakan harus bersih, kering, dan ditebar merata. Penggunaan sekam sebagai alas bertujuan untuk menghangatkan, mencegah luka pada ayam, dan menyerap air yang berasal dari kotoran mapun tumpahan minum sehingga lantai tetap kering. Peralatan kandang seperti tempat pakan dan tempat minum ayam disusun di dalam kandang sesuai dengan kebutuhan ayam. Tempat pakan dan tempat minum dipasang secara berselang-seling. 3. Persiapan masa brooding Indukan atau brooder berfungsi untuk menghangatkan anak ayam. Brooder digunakan sampai ayam berumur 14 – 15 hari. Jenis bahan bakar pemanas yang digunakan oleh peternak berbeda-beda. Terdapat berbagai macam pilihan pemanas yang dapat digunakan untuk menciptakan suhu stabil dalam kandang. Berdasarkan hasil wawancara, jenis pemanas yang digunakan peternak mitra yakni kayu bakar, serbuk gergaji, batu bara, dan gas. Hal ini membuat alat pembakaran yang digunakan peternak pun berbeda-beda sesuai dengan jenis pemanas yang digunakan. Ukuran dan jumlah brooder tergantung dari jumlah dan umur ayam. Semakin besar dan umur semakin bertambah, maka brooder diperluas. Setiap kandang umumnya cukup dengan satu pemanas jika pemanasan dilakukan dengan kayu bakar yang dibakar dalam tong karena biasanya hanya sebagian ruang kandang yang digunakan untuk memanaskan ayam. Tetapi apabila peternak menggunakan gas, batu bara ataupun serbuk kayu maka peternak memerlukan lebih dari satu alat pemanas. Kandang disekat dengan tirai maupun papan triplek atau pagar bambu (chick guard) untuk memperkecil ruangan dan meminimalisir panas yang keluar. Usahakan udara di dalam kandang tidak terlalu pengap, artinya tetap harus memperhatikan kepentingan ventilasi udara bagi ayam. Tata cara dalam tahap brooding antara peternak mitra dan peternak mandiri memiliki sedikit perbedaan. Walaupun peternak mitra rata-rata memiliki kapasitas produksi yang lebih besar dan jumlah kandang yang lebih dari satu, tetapi selama masa brooding biasanya peternak mitra melakukannya dalam satu kandang hingga DOC berumur 14 hari. Setelah itu, DOC akan didistribusikan ke kandang-kandang lain selama masa finisher
25 Pemeliharaan Peternak harus memperhatikan masa pemeliharaan ayam ras pedaging dari DOC sampai umur panen. Semakin baik masa pemeliharaan maka hasil produksi akan baik. Periode pemeliharaan broiler yang umum dilakukan peternak terdiri dari dua fase yaitu fase starter dan fase finisher. Pemeliharaan fase starter dimulai pada umur 1 hari sampai dengan 21 hari atau minggu pertama hingga minggu ketiga. Pada minggu pertama dimulai saat chick in, DOC dipindahkan ke brooder dan segera diberi minum larutan gula dan air hangat untuk mengganti energi yang hilang selama transportasi. Pada minggu pertama ini pemanas dinyalakan sepanjang hari. Pakan dan air minum diberikan sehari tiga kali yaitu saat pagi, siang dan sore. Pemberian pakan dilakukan dengan cara ditabur pada feed tray ataupun tutup boks. Pada minggu pertama juga dilakukan vaksinansi ND killed (tetelo) dan IB (gumboro) saat umur DOC 4 hari dengan cara suntik dan tetes. Penyuntikan dilakukan oleh petugas perusahaan, sedangkan vaksin tetes diberikan oleh peternak. Umumnya sebagian peternak menggunakan koran atau karung yang diletakkan diatas sekam agar DOC tidak memakan sekam, kemudian setelah minggu pertama lapisan koran atau karung sudah mulai dibuka. Pelaksanaan masa pemeliharaan pada minggu kedua dan minggu ketiga tidak berbeda dengan minggu pertama. Tetapi peternak dapat menggurangi penggunaan pemanas dengan hanya menyalakan pemanas pada saat malam hari atau jika cuaca dingin. Pemberian pakan dan minum pada minggu kedua sudah mulai diberikan di tempat makan dan minum yang diletakkan diatas sekam sedangkan pada minggu ketiga pemberian pakan diletakkan di tempat makan yang digantung setinggi jangkauan ayam. Pada minggu kedua atau saat DOC telah berumur 12 – 15 hari, dilakukan vaksinasi IBD (gumboro) dengan cara diminumkan. Pada minggu kedua atau saat ayam telah berumur 14 hari, alas sekam sudah dapat diangkat. Beberapa peternak melakukan vaksinasi ND lasota kembali pada umur 18 – 21 hari dengan cara diminumkan. Apabila peternak melakukan pemberian vaksin dengan cara diminumkan, ayam tidak diberi air minum untuk beberapa saat lebih dahulu agar ayam benar-benar merasa haus sehingga akan meminum air mengandung vaksin sebanyak-banyaknya. Fase finisher dimulai dari umur 21 hari minggu hingga panen. Minggu keempat merupakan masa pemeliharaan menjelang panen. Masa pemeliharaan pada minggu ini tidak berbeda dengan minggu sebelumnya. Pada minggu keempat hingga panen, penggunaan pemanas sudah tidak diperlukan dan pemberian obat sudah berkurang. Obat-obatan yang banyak digunakan adalah obat-obatan yang ditujukan untuk mengobati penyakit cocci (berak darah), gumboro, CRD (ngorok), dan coryza (snot). Selama masa pemeliharaan ayam baik pada fase starter ataupun fase finisher, pengontrolan harus sering dilakukan untuk mengetahui kondisi dan ketersediaan pakan dan minum, kondisi lingkungan (suhu, kebersihan, dan kerusakan kandang dan peralatan), dan kesehatan ayam. Pengontrolan juga dilakukan untuk memastikan semua ayam memiliki pertumbuhan yang normal, dan melakukan pencatatan konsumsi pakan, bobot badan, serta mortalitas setiap harinya. Kontrol bobot badan dilakukan dengan menimbang sampel ayam yang diambil secara acak. Ayam dengan pertumbuhan yang tidak normal harus dipisahkan dengan ayam-ayam lainnya kemudian diberi perlakuan khusus.
26 Selain itu juga dilakukan seleksi untuk mengetahui kondisi kesehatan ayam. Setiap harinya dilakukan screening untuk mencari ayam yang pertumbuhannya lambat, cacat, kerdil, maupun sakit. Ayam yang sakit juga harus segera dipisahkan supaya tidak menularkan penyakit kepada ayam sehat. Biasanya saat ditemukan beberapa ayam sakit, peternak langsung melakukan tindakan pengobatan untuk seluruh ayam. Pemanenan Masa panen ayam dapat mulai dilakukan ketika ayam berbobot 0.80 – 0.90 kg atau disebut dengan panen kecil. Sedangkan apabila ayam dipanen saat telah berbobot 1.30 kg atau lebih maka disebuf dengan panen besar. Peternak responden umumnya melakukan panen besar. Pemanenan dilakukan saat pagi atau sore hari. Proses panen dilakukan dengan cara ayam digiring dan disekat terlebih dahulu untuk memudahkan penangkapan dan mengurangi tingkat stres pada ayam. Ayam yang ditangkap lalu diikat dengan menggunakan tali raffia. Setiap satu ikatan terdiri dari 5 ekor ayam lalu kemudian ayam ditimbang. Pada sekali penimbangan terdiri dari 4 ikatan atau 20 ekor ayam. Hasil penimbangan akan dicatat dan dijumlahkan pada akhir panen. Selanjutnya ayam-ayam yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam keranjang pembeli. Setelah itu keranjang ayam disusun ke dalam pick-up/ truk dan diangkut ke tempat tujuan. Pada peternak mitra, pihak pemanen adalah perusahaan inti dan pembayaran hasil ditujukan pada inti. Waktu panen peternak mitra ditentukan oleh inti. Peternak mitra harus mencatat hasil penimbangan pada surat daftar penimbangan dan harga yang diterima peternak mitra merupakan harga kontrak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kemitraan Usaha ternak Ayam Ras Pedaging Perjanjian Kemitraan Sistem kemitraan pada usaha ternak ayam ras pedaging dapat diartikan sebagai kerjasama dalam proses pemerliharaan yang dilakukan antara dua pihak, yaitu perusahaan dan peternak. Kerjasama kemitraan di Kecamatan pamijahan dilakukan peternak dengan perusahaan peternakan. Pola kemitraan yang umum dilakukan peternak mitra di Kecamatan Pamijahan yaitu pola inti plasma karena perusahaan peternakan berperan dalam menyediakan sarana produksi, melakukan pembinaan, dan memberikan jaminan pemasaran dengan harga kontrak. Sedangkan peternak berperan melakukan usaha ternak untuk inti dan tidak diperbolehkan menggunakan sapronak dari pihak lain serta menjual hasil panen ke pihak lain selain perusahaan peternakan. Dalam penelitian ini, terdapat tiga perusahaan inti yang merupakan perusahaan peternakan. Perusahaan peternakan merupakan perusahaan yang melakukan kegiatan budidaya dan kemitraan. Perusahaan peternakan memiliki jaringan bisnis dengan penyuplai DOC, pakan, obat-obatan, dan konsumen yang diperlukan untuk memperlancar proses persiapan produksi, produksi, dan pemasaran. Kerjasama kemitraan yang dilakukan ketiga perusahaan tersebut
27 dengan peternak-peternak plasmanya dituangkan dalam dokumen kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak. Secara umum, perjanjian mengenai aturan dalam kemitraan yang diberlakukan oleh ketiga perusahaan tersebut sama dan harus disepakati oleh kedua belah pihak secara tertulis. Pada perjanjian kerjasama, pihak-pihak yang terlibat dan pokok kesepakatannya dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Pihak Pertama adalah peternak yang memerlukan bantuan permodalan, bantuan teknis pemeliharaan ternak, dan manajemen usaha serta bermaksud untuk menjadi mitra Pihak Kedua menurut pola kemitraan yang ditawarkan Pihak Kedua. b. Pihak Kedua adalah perusahaan yang menyediakan sarana produksi peternakan (sapronak), pembimbingan teknik pemeliharaan ayam ras pedaging, kredit, dan pemasaran hasil produksi. c. Pihak Pertama dan Kedua sepakat untuk mengadakan kerjasama kemitraan yang diatur dalam pasal-pasal yang tertera dalam perjanjian kerjasama. Aturan-aturan pelaksanaan kemitraan yang ada pada kontrak diperinci dalam 18 pasal yang memuat tentang ruang lingkup kerjasama, jangka waktu perjanjian, hak dan kewajiban inti dan plasma, pembayaran hasil, sanksi dan denda, jaminan dan hutang, serta penyelesaian perselisihan. Sementara, kesepakatan tentang harga sapronak, harga ayam per kilogram, dan ketentuan bonus tercantum dalam surat kesepakatan lain yang masih berhubungan dengan perjanian kerjasama. Aturan pelaksanaan kerjasama dari kesepakatan perjanjian kemitraan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Jangka waktu perjanjian Perjanjian kerjasama disepakati kedua belah pihak selama hubungan kerjasama antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua berlangsung terhitung sejak tanggal penandatanganan perjanjian kerjasama dan berakhir ketika kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri hubungan kerjasama. 2. Kewajiban dan hak inti-plasma Dalam kemitraan inti-plasma, Pihak Pertama selaku plasma berkewajiban untuk: a. Menyediakan sarana tempat produksi, peralatan kandang, bahan bakar, dan tenaga kerja dalam memperlancar proses produksi dengan biaya sendiri. b. Melakukan kegiatan budidaya ayam ras pedaging sesuai dengan tata cara budidaya yang ditetapkan oleh Pihak Kedua. c. Menjaga keamanan kandang dan sapronak dan tidak diperkenankan untuk memasukkan ayam tambahan dan/atau pakan yang bukan berasal dari Pihak Kedua. d. Bertanggung jawab atas setiap risiko kegagalan pemeliharaan ayam sampai panen. e. Menyerahkan seluruh hasil produksi pada pihak kedua. f. Membayar harga pengadaan sapronak Dalam kemitraan inti-plasma, Pihak Kedua selaku inti berkewajiban untuk: a. Membina Pihak Pertama dalam pelaksanaan budidaya dengan memberikan bimbingan teknis budidaya.
28 b. Menyediakan sarana produksi peternakan (sapronak) berupa DOC, pakan, obat-obatan yang berkualitas dan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan peternak dengan tepat waktu. c. Membantu administasi dan pengelolaan hutang piutang Pihak Pertama. d. Membeli seluruh hasil produksi Pihak Pertama sesuai dengan harga yang disepakati. Pihak Pertama selaku plasma berhak untuk: a. Menerima sapronak yang berkualitas dan sesuai dengan yang dibutuhkan, dengan tepat waktu. b. Menerima hasil pembayaran ayam setelah dipotong dengan jumlah kredit sapronak. Pihak Kedua selaku inti berhak untuk: a. Mendapatkan ayam hasil panen b. Memberikan sanksi atau menghentikan kerjasama kemitraan apabila: - Pihak Pertama tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, - Pihak Pertama menghentikan aktivitasnya sebagai plasma dari Pihak Kedua - Pihak Pertama melakukan hal-hal yang tercela. c. Melakukan kontrol ke lokasi pemeliharaan ayam. d. Mengarahkan Pihak Pertama dalam hal pemeliharaan ayam. e. Menerima hasil pencatatan data perkembangan ayam setelah panen dilakukan. f. Menghentikan pengiriman sapronak dan kerjasama apabila Pihak Pertama mengalami kerugian dua kali siklus produksi secara berturut-turut. 3. Pembayaran hasil Keuntungan hasil produksi Pihak Pertama harus dibayarkan oleh Pihak Kedua selambat-lambatnya dua minggu atau lima belas hari kerja setelah hari terakhir panen. 4. Sanksi, denda, hutang dan jaminan a. Apabila terdapat selisih jumlah ayam atau pakan ternak antara catatan harian dengan jumlah panen, maka Pihak Pertama diharuskan untuk mengganti jumlah selisih secara tunai tersebut dengan disertai denda. b. Apabila Pihak Pertama terbukti menjual hasil produksi pada pihak selain Pihak Kedua maka Pihak Pertama dikenakan denda untuk mengganti hasil produksi yang dijual secara tunai. c. Hutang Pihak Pertama kepada Pihak Kedua dilunasi selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah pemutusan kerjasama. d. Untuk menjamin pengembalian kredit, Pihak Pertama bersedia menyerahkan jaminan berupa akta atas tanah yang tidak dalam sengketa. e. Apabila Pihak Pertama tidak dapat melunasi hutang atau kredit maka Pihak Pertama setuju untuk memberikan kuasa pada Pihak Kedua untuk menjual jaminan dan diperhitungkan nilai pengembalian kredit atau
29 hutangnya dengan syarat yang dianggap adil dan disepakati kedua belah pihak. 5. Penyelesaian masalah Semua perselisihan yang timbul dari perjanjian ini diselesaikan secara musyawarah. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan maka para pihak yang bermitra dapat menggunakan upaya hukum. Berdasarkan uraian perjanjian kerjasama antara inti dan plasma diatas maka dapat dilihat bahwa perjanjian kemitraan tersebut dibuat sepihak oleh perusahaan inti tanpa ada campur tangan peternak. Pada uraian perjanjian kemitraan dapat terlihat bahwa kedudukan perusahaan inti lebih tinggi dibandingkan dengan peternak mitra sehingga kekuatan tawar peternak jauh lebih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah kewajiban yang harus dilakukan peternak sebagai mitra lebih banyak dibandingkan dengan hak yang diperoleh. Selain itu, peternak tidak diberikan hak untuk melakukan protes atau menyampaikan keluhan atas tindakan perusahaan inti yang dianggap tidak menguntungkan bagi peternak. Pada perjanjian juga tidak disebutkan sanksi atau denda yang diberlakukan pada perusahaan inti apabila perusahaan inti tidak melakukan kewajibannya. Padahal kesetaraan kedudukan antara kedua belah pihak yang bermitra diperlukan agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan dan memajukan dalam perjanjian kemitraan. Mekanisme Kemitraan 1. Prosedur penerimaan mitra Sistem dan prosedur penerimaan calon mitra dibuat dengan tujuan agar dapat memberikan kepastian mitra dengan selektif dan sesuai dengan standar yang ditentukan oleh perusahaan inti. Sistem dan prosedur penerimaan mitra dilakukan secara formal dan memiliki tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Hal ini dilakukan karena perusahaan dan peternak mitra akan menjadi rekan kerja yang secara bersama-sama menjalankan kewajiban masing-masing untuk mencapai tujuan bersama yakni memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan hasil wawancara, prosedur penerimaan mitra yang ditetapkan oleh ketiga perusahaan inti ini cenderung sama. Terdapat beberapa alasan yang membuat peternak tertarik untuk menjalankan usaha ternaknya dengan sistem kemitraan. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar peternak memutuskan untuk menjalankan usahanya dengan bermitra karena kendala permodalan, kendala dalam pemasaran produk, dan risiko fluktuasi harga. Peternak yang ingin bergabung dalam kemitraan biasanya mengumpulkan informasi mengenai perusahaan yang menyediakan kemitraan. Informasi mengenai perusahaan inti ini dapat diperoleh dari keluarga, teman sesama peternak, maupun langsung dari perusahaan inti. Perusahaanperusahaan inti yang ada di Kecamatan Pamijahan umumnya menerapkan aturan dan sistem yang sama sehingga keputusan peternak dalam memilih perusahaan intinya dipengaruhi beberapa faktor yakni jarak perusahaan inti dengan peternak, sistem pembayaran yang diterapkan, dan pendekatan dari petugas penyuluh lapang (PPL) perusahaan inti tersebut. Perusahaan inti dengan jarak yang dekat dengan lokasi peternak dipilih karena mempermudah peternak untuk melakukan berbagai urusan selama kemitraan berlangsung seperti distribusi input, pengaduan masalah, dan pengambilan hasil. Perusahaan inti dengan sistem pembayaran
30 secara tunai lebih banyak dipilih peternak dibandingkan dengan perusahaan inti yang menerapkan sistem pembayaran hasil dengan transfer melalui ATM. Setelah menetapkan perusahaan inti yang diinginkan, peternak dapat langsung mendaftarkan diri sebagai calon peternak mitra. Peternak menyampaikan keinginannya untuk bermitra dengan perusahaan. Selanjutnya, petugas PPL akan mendatangi lokasi kandang untuk melihat keadaan dan kelengkapan kandang calon peternak mitra. Data-data terkait dengan kandang calon peternak mitra dicatat untuk dijadikan pertimbangan. Setelah proses survei kandang dilakukan, PPL akan menentukan layak atau tidaknya calon mitra tersebut untuk bergabung dengan perusahaan. Setelah proses survei kandang dilakukan dan dianggap telah layak, selanjutnya peternak diminta mendatangi kembali perusahaan dengan membawa syarat-syarat untuk kelengkapan identitas peternak dan jaminan. Sebelum menyerahkan jaminan, peternak diminta membaca dengan seksama dan diberikan penjelasan mengenai perjanjian kerjasama. Apabila telah disepakati maka peternak dapat menyerahkan jaminan. Jaminan ini dapat berupa surat tanah, BPKB kendaaraan ataupun uang tunai yang bertujuan sebagai jaminan apabila peternak merugi dan tidak dapat membayar kredit penyediaan sapronak. Setelah itu calon peternak mitra menandatangani dokumen perjanjian kerjasama maka calon peternak mitra sudah sah menjadi mitra perusahaan. Secara formal, peternak harus melakukan tahapan-tahapan dalam prosedur penerimaan mitra harus dilakukan termasuk menyerahkan jaminan. Tetapi ternyata terdapat beberapa peternak responden yang tidak menyerahkan jaminan. Peternak responden yang tidak menyerahkan jaminan ini umumnya karena didasarkan hubungan saling percaya karena telah mengenal baik petugas PPL dari perusahaan inti atau sudah pernah melakukan kerjasama sebelumnya dengan perusahaan dan sempat berpindah kerjasama dengan perusahaan inti lain. Hal ini membuat tingginya arus fluktuasi keluar masuknya peternak sebagai mitra. Penyebabnya adalah jika peternak mitra mengalami kerugian. Apabila mengalami kerugian, peternak mitra akan meminta pada inti untuk tidak mengirimkan sapronak untuk siklus produksi berikutnya dengan alasan ingin beristirahat, tetapi ternyata peternak akan mengajukan kerjasama dengan perusahaan inti lainnya. Dapat dilihat bahwa meskipun peternak mengalami kerugian, peternak akan tetap melakukan usahanya dengan bermitra yakni dengan berpindah kerjasama dengan perusahaan inti yang lain. Mengingat bahwa sebagian besar peternak memilih untuk bermitra karena memiliki kendala permodalan, maka dapat dikatakan peternak memiliki ketergantungan terhadap inti terutama dalam penyediaan sarana produksi ternak. Ketergantungan ini yang membuat peternak akan tetap bermitra walaupun mengalami kerugian. Akan tetapi, adanya ketentuan perusahaan inti bahwa peternak mitra tetap harus membayar kerugian pada perusahaan inti meskipun peternak memutuskan hubungan kerjasama membuat peternak lebih memilih untuk berpindah perusahaan inti. Walaupun begitu, peternak mitra yang berpindah perusahaan inti tidak akan mengambil jaminan yang telah diberikan karena sewaktu-waktu mungkin peternak tersebut akan kembali lagi bermitra pada perusahaan inti tersebut apabila mengalami kerugian saat bermitra dengan perusahaan inti yang baru.
31 2. Kegiatan produksi Kegiatan produksi dalam mekanisme kemitraan dimulai dari penyediaan sapronak hingga pemanenan hasil. Dalam penyediaan sapronak, perusahaan inti menyediakan sapronak berupa pakan, DOC, dan obat-obatan untuk kegiatan produksi peternak mitranya yang dikirimkan secara langsung ke kandang-kandang peternak. Jumlah sapronak yang dikirim telah disesuaikan dengan kebutuhan produksi peternak. Pengiriman DOC dilakukan setelah persiapan kandang selesai dikerjakan, pada umumnya dua hingga tiga minggu setelah panen. Bila persiapan kandang belum selesai maka perusahaan akan menunda pengiriman. Biasanya perusahaan akan menghubungi peternak untuk menanyakan apabila kandang telah siap untuk digunakan. Berdasarkan informasi tersebut, perusahaan akan menentukan jadwal pengiriman DOC. Pengiriman DOC biasa dilakukan mulai pukul 02.00 malam hingga menjelang subuh dan peternak harus melengkapi form administrasi yang telah disiapkan perusahaan inti, seperti mencatat jam kedatangan, lama pengiriman, jumlah boks DOC dan hal lain yang diperlukan, terutama kondisi DOC. Tanpa adanya catatan tersebut, peternak tidak dapat mengajukan protes ke perusahaan inti apabila kondisi DOC ternyata tidak bagus dalam satu minggu pemeliharaan, sehingga peternak dapat mendapatkan pengganti DOC yang lebih baik. Akan tetapi, perusahaan inti biasanya melebihkan jumlah sapronak yang dikirim, seperti jumlah DOC yag dilebihkan sebanyak 2 persen untuk antisipasi adanya DOC yang mati selama perjalanan atau dalam satu minggu pemeliharaan. Selain DOC, peternak juga mendapatkan pasokan pakan. Pakan yang disediakan perusahaan inti umumnya telah disesuaikan dengan kebutuhan peternak. Pada awal produksi pengiriman pakan akan diantarkan langsung ke kandang peternak. Apabila peternak membutuhkan tambahan pakan, peternak dapat langsung mengambil ke perusahaan ataupun menunggu diantar. Tetapi peternak harus menghubungi pihak perusahaan terlebih dahulu sebelum mengambil pakan. Begitu pula dengan penyediaan obat-obatan. Pada umumnya pengiriman sapronak ini dilakukan tepat waktu. Tetapi, untuk pengiriman DOC terkadang terlambat dua hingga tiga hari dari jadwal yang ditetapkan padahal peternak telah mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan saat chick in seperti menyalakan pemanas dan menebar sekam. Apabila terdapat sisa pakan saat akhir produksi, maka peternak harus mengembalikan pakan yang tidak digunakan tersebut. Seluruh kegiatan produksi dilakukan oleh peternak mitra. Akan tetapi, adanya kerjasama kemitraan membuat perusahaan inti memberikan pembinaan dan pengawasan pada peternak dalam kegiatan pemeliharaan pada peternak mitra agar ayam yang dihasilkan sesuai dengan kriteria atau standar performa yang ditetapkan perusahaan. Perusahaan inti menetapkan standar performa yang meliputi rata-rata bobot, FCR, total penggunaan pakan, dan mortalitas untuk setiap minggu yang disesuaikan dengan umur ayam selama proses produksi. Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh petugas penyuluh lapang (PPL). PPL biasanya mengunjungi peternak satu hingga dua kali dalam seminggu. Frekuensi kunjungan PPL dapat lebih sering apabila ayam terjangkit penyakit. Pembinaan dalam kegiatan produksi yang diberikan perusahaan berupa pembinaan dalam tata cara budidaya yang sesuai dengan keinginan perusahaan inti dan jadwal pemberian obat serta pakan ternak yang telah disusun oleh
32 perusahaan inti. Jumlah pakan dan dosis obat yang tertera pada jadwal tersebut telah disesuaikan dengan kapasitas kandang ayam peternak. Pembinaan juga dilakukan apabila peternak mengalami kesulitan dalam masa budidaya dan membantu peternak menjaga kondisi kesehatan ayam.. Selain itu, peternak juga diwajibkan untuk melakukan pencatatan data perkembangan ayam dengan mengisi form laporan perkembangan ayam atau recording setiap hari selama masa produksi. Form laporan ini merupakan bentuk dari pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam form ini peternak harus mencatat jumlah pakan yang digunakan, jumlah ayam yang mati, dan berat ratarata ayam. Laporan pemeliharaan ayam tersebut akan diperiksa setiap minggunya oleh PPL agar performa ternak yang diusahakan peternak dapat sesuai dengan standar performa yang ditetapkan oleh perusahaan inti. Apabila hasil laporan pemeliharaan ayam tidak sesuai dengan standar performa yang ditetapkan perusahaan maka perusahaan melalui PPL akan memberikan pembinaan sehingga performa ayam tetap baik dan dapat dipanen dengan performa yang sesuai standar perusahaan. Perusahaan akan menentukan jadwal panen peternak mitra berdasarkan catatan umur ternak yang dimiliki perusahaan. Apabila dirasa telah siap untuk dipanen dengan bobot ayam yang sesuai dengan keinginan konsumen, perusahaan akan menghubungi peternak mitra untuk mempersiapkan panen. Perusahaan inti umumnya melakukan panen saat ayam telah mencapai bobot 1.00 kilogram hingga 2.00 kilogram atau saat ayam berumur 28 hari – 35 hari sesuai dengan permintaan konsumen perusahaan. Perusahaan akan memberitahukan nama dari penangkap (pembeli), nomer kendaraannya, dan banyaknya volume panen. Penangkap akan diminta untuk memperlihatkan surat DO terlebih dahulu sebelum panen dilakukan. Peternak akan mengisi surat Daftar Timbangan Ayam yang berisi identitas kandang, identitas penangkap, nomer DO, tanggal dan jam tangkap, total berat, total ekor, dan rata-rata bobot. Pada saat panen, seluruh hasil panen peternak mitra harus diserahkan kepada inti termasuk penjualan ayam yang sakit. Selain itu, seluruh hasil penjualan harus menggunakan surat order kirim atau yang biasa disebut surat DO (delivery order) dari perusahaan inti dan semua pembayaran atas hasil produksi dialamatkan pada perusahaan serta peternak harus menyiapkan tenaga kerja dan biaya panen untuk mendukung kelancaran panen. Walaupun secara formal perusahaan inti menetapkan bahwa jadwal panen ditentukan oleh perusahaan tetapi peternak dapat meminta pada perusahaan melalui PPL agar panen dilakukan lebih cepat apabila ayam telah memasuki umur panen dan food convertion ratio (FCR) ternak sesuai dengan standar perusahaan. Meskipun demikian, perusahaan inti tidak akan langsung melakukan pemanenan dan tetap akan melakukan panen sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan walaupun peternak telah meminta untuk dipanen. Hal ini dikarenakan perusahaan inti telah membuat jadwal panen untuk setiap kandang peternak mitranya agar pasokan input perusahaan selalu tersedia. Hal ini yang dikeluhkan oleh peternak mitra. Menurut pengakuan peternak, walaupun telah meminta untuk dipanen keterlambatan panen masih terjadi dan hal ini berpengaruh pada banyaknya pakan yang digunakan karena semakin besar bobot ayam maka konsumsi pakan yang digunakan peternak juga akan semakin banyak sehingga biaya pakan peternak akan semakin tinggi.
33 3. Penetapan harga input dan output Dalam kerjasama kemitraan, perusahaan inti berperan sebagai penyedia sarana produksi berupa DOC, pakan, dan obat-obatan bagi peternak mitranya. Perusahaan memperoleh pasokan sarana produksi tersebut dari beberapa penyuplai sapronak yang sudah menjalin kerjasama dengan perusahaan. Pasokan DOC diperoleh dari beberapa perusahaan seperti PT Malindo Feedmill, PT Asia Afrika, PT Charoen Phokpand Indonesia, dan PT Peternakan Ayam Manggis. Sedangkan pasokan pakan diperoleh dari PT Charoen Phokpand Indonesia dan PT Malindo Feeedmill. Sedangkan pasokan obat-obatan diantaranya diperoleh dari PT Mensana Aneka Satwa, PT Dian Langgeng Abadi, PT Avian Satwa Anugrah, dan PT Multifarma Satwa Maju. Penetapan harga kontrak untuk sarana produksi dan harga jual ayam hidup ditentukan sepenuhnya oleh perusahaan inti. Daftar harga tersebut secara rinci tercantum dalam perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian harga kontrak ini dibuat terpisah dari dokumen perjanjian kerjasama karena perjanjian harga kontrak ini dapat diperbarui sewaktu-waktu jika terjadi perubahan harga. Isi dari perjanjian harga kontrak adalah daftar harga sapronak yang terdiri dari harga pakan dan harga DOC, daftar harga ayam hidup berdasarkan bobot ayam yang mana semakin rendah bobot ayam maka semakin tinggi harga per kilogramnya, serta keterangan mengenai ketentuan pemberian bonus, pemotongan harga, dan perubahan harga. Perjanjian harga kontrak dapat dibuat untuk setiap siklus produksi maupun jangka waktu tertentu misalnya satu – dua tahun dengan mempertimbangkan fluktuasi harga yang mungkin terjadi. Bagi perusahaan yang memperbarui harga kontraknya dalam jangka waktu satu – dua tahun sekali maka perusahaan harus dapat menyiasati adanya fluktuasi harga pasar sarana produksi maupun output yang tidak terduga misalnya apabila terjadi kenaikan harga pakan karena dampak dari meningkatnya nilai tukar rupiah atau kenaikan harga daging ayam seperti yang terjadi belum lama ini. Untuk harga kontrak ayam hidup, perusahaan inti membuat ketentuan bahwa apabila harga pasar mengalami kenaikan sehingga harga pasar melebihi harga kontrak maka peternak mendapatkan kompensasi berupa kenaikan harga sebesar 25 persen dari harga pasar. Tetapi apabila harga pasar lebih rendah dari harga kontrak maka perusahaan menerapkan harga kontrak. Kerugian dari penjualan hasil produksi saat harga pasar lebih rendah dari harga kontrak ditanggung oleh pihak inti tetapi kerugian ini dapat tertutupi dengan penjualan sapronak ke peternak mitra karena harga sapronak yang ditetapkan perusahaan inti umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar. Tingginya harga sapronak ini dikeluhkan oleh peternak mitra. Penetapan harga kontrak sapronak yang lebih tinggi membuat perusahaan tidak dapat meningkatkan harga kontrak yang telah ditetapkan apabila terjadi kenaikan harga sapronak di pasar. Untuk menyiasatinya, perusahaan memilih untuk menurunkan kualitas pakan terutama pakan finisher dan DOC yang digunakan agar harga kontrak tidak berubah. Penurunan kualitas sapronak berdampak pada jumlah produksi yang dihasilkan. Untuk mencegah menurunnya produksi, perusahaan menganjurkan peternak-peternak mitranya untuk menambah penggunaan obatobatan. Tetapi dalam kontrak harga ini merupakan harga distributor sehingga tidak tercantum dalam perjanjian. Peternak baru akan mengetahui harga obatobatan pada laporan laba rugi yang diterima saat pembayaran hasil produksi.
34 4. Sistem pembayaran hasil Sistem pembayaran hasil yang ditentukan oleh perusahaan inti paling lambat rata-rata 15 hari atau dua minggu setelah seluruh ayam dipanen. Perusahaan akan menghubungi peternak mitra bahwa hasil telah dapat diambil. Terdapat dua cara pembayaran hasil yaitu pembayaran secara tunai dan pembayaran secara transfer. Pembayaran secara tunai lebih disukai oleh peterna. Peternak dapat mengambil sendiri hasil yang diperoleh ke kantor perusahaan ataupun meminta untuk diantarkan ke kandang apabila peternak tidak dapat mengambil sendiri karena sakit. Bersamaan dengan uang hasil produksi, peternak juga mendapat laporan laba-rugi yang isinya rincian dari biaya produksi, total hasil panen, dan bonus yang didapatkan oleh petenak. Rata-rata peternak responden menyatakan bahwa pembayaran hasil paling cepat dilakukan tiga hari setelah panen dan paling lama dua minggu setelah panen. Tetapi, beberapa peternak responden menyatakan bahwa terkadang pembayaran hasil dapat terlambat hingga tiga minggu setelah panen. Hal ini dapat merugikan peternak dan menghambat kegiatan budidaya untuk siklus berikutnya karena untuk melakukan usaha pada siklus berikutnya, peternak membutuhkan modal untuk membayar upah tenaga kerja, melakukan persiapan kandang, dan membeli kebutuhan budidaya lainnya seperti bahan pemanas dan sekam. Manfaat Kemitraan Menurut Hafsah (2001) manfaat yang dicapai dari kerjasama kemitraan meliputi 4 hal yakni peningkatan produktivitas, peningkatan efesiensi, risk sharing, dan jaminan kualitas, kuantitas serta kontinuitas input produksi. 1. Produktivitas Kemitraan memberikan manfaat terhadap aspek produktivitas. Akan tetapi, peternak mitra di Kecamatan Pamijahan memperoleh tingkat produksi yang lebih rendah dibandingkan peternak tidak bermitra. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat mortalitas. Peternak mitra memiliki rata-rata tingkat mortalitas yang tinggi yakni lebih dari 6 persen baik peternak skala I maupun peternak skala II. Tingkat mortalitas ini jauh lebih tinggi dari standar performa yang ditetapkan oleh perusahaan untuk rata-rata umur panen 32 hari yang seharusnya sebesar 3.8 hingga 4 persen. Sedangkan apabila dibandingkan dengan peternak mandiri, peternak mandiri hanya memiliki tingkat mortalitas sebesar 2 persen, jauh lebih rendah dari rata-rata mortalitas peternak mitra. Tingginya angka mortalitas ini tentunya berpengaruh pada hasil produksi yang diperoleh peternak. Penyebab tingginya mortalitas menurut peternak yakni rendahnya kualitas DOC yang diterima. Akan tetapi, tingginya mortalitas juga dapat disebabkan oleh banyak faktor misalnya suhu udara, kepadatan kandang, dan penyakit. Akan tetapi, adanya pembinaan oleh perusahaan inti membuat peternak dapat lebih mudah dalam menangani penyakit. Pemantauan kesehatan dan perkembangan ayam membantu peternak apabila ayam terserang penyakit atau memiliki pertumbuhan yang tidak normal. Pemantauan yang dilakukan perusahaan membuat yang serangan penyakit terjadi selama masa produksi dapat segera ditangani sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
35 2. Efisiensi Perusahaan dapat melakukan penghematan dalam mencapai target dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki oleh peternak mitra karena dengan bermitra, perusahaan dapat meminimalisir biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk investasi (tanah, kandang, dan peralatan) serta biaya tenaga kerja. Sebaliknya peternak mitra yang umumnya lemah dalam hal teknologi dan sarana produksi dapat memanfaatkan hal tersebut dari perusahaan mitra karena dengan bermitra, peternak mitra mendapatkan akses terhadap teknologi yang diterapkan oleh perusahaan inti yang umumnya merupakan perusahaan peternakan. Teknologi yang dimaksud dapat berupa pakan dan obat-obatan berkualitas ataupun metode pemeliharaan ayam yang lebih efektif. Akan tetapi, kualitas input produksi yang disediakan perusahaan nyatanya tidak selalu baik sehingga peningkatan efesiensi peternak dapat diperoleh karena adanya pembinaan dan pengawasan dalam pemeliharaan ayam. 3. Risiko Pada pola kemitraan inti-plasma yang diterapkan di Kecamatan Pamijahan, perusahaan inti menanggung risiko harga dengan memberikan harga kontrak. Penetapan harga kontrak ini memberikan manfaat bagi peternak untuk menghindari risiko terjadinya fluktuasi harga. Misalnya apabila harga ayam di pasar lebih rendah dibanding harga kontrak maka peternak akan dibayar sesuai dengan harga kontrak. Adanya penetapan harga kontrak berarti dalam kemitraan terlah terjadi risk sharing. Tetapi dalam usaha ternak ayam ras pedaging juga terdapat risiko produksi dan risiko yang timbul dalam distribusi. Untuk risiko produksi, risk sharing diberikan dalam bentuk kompensasi untuk mengganti sebagian atau seluruhnya kerugian yang dialami peternak apabila risiko produksi disebabkan oleh faktor alam seperti terjadi bencana alam atau wabah penyakit. Hal yang sama juga diperoleh peternak apabila terjadi kecurangan yang dilakukan oleh supir truk saat pengiriman hasil produksi. Sedangkan risiko produksi yang terjadi karena serangan penyakit dan kecelakaan saat produksi menjadi tanggungan peternak mitra. 4. Jaminan Kualitas, Kuantitas, dan Kontinuitas Peternak mitra mendapatkan jaminan kuantitas dan kontinuitas untuk input atau sarana produksi ternak. Tetapi tidak selamanya sapronak yang diterima peternak mitra sudah memiliki kualitas yang baik karena adanya kebijakan perusahaan yang menurunkan kualitas sapronak apabila terjadi kenaikan harga pasar. Akan tetapi, karena perusahaan inti juga memiliki kepentingan dalam mendapatkan hasil produksi yang baik maka perusahaan inti meningkatkan pengawasan dan penggunaan vitamin. Sedangkan kuantitas sapronak yang diberikan kepada peternak mitra tidak akan kurang dari jumlah yang dibutuhkan karena perusahaan inti memiliki jaringan penyediaan sapronak sehingga memiliki stok sapronak yang cukup. Berdasarkan uraian manfaat diatas dapat dilihat bahwa pelaksanaan kemitraan yang dilakukan memberikan manfaat bagi perusahaan inti maupun peternak mitra. Perusahaan inti dapat memperoleh jaminan tersedianya input yang berkelanjutan dan menghemat biaya investasi. Peternak mitra juga memperoleh
36 jaminan kuantitas dan kontinuitas input produksi, jaminan pemasaran dengan kontrak harga, dan pembinaan serta pengawasan selama masa pemeliharaan. Dalam pelaksanaan kemitraan yang dijalankan juga dapat dikatakan bahwa masih terdapat banyak hal yang dapat merugikan kedua belah pihak. Bagi perusahaan kerugian dapat terjadi apabila tidak adanya jaminan dan peternak yang tidak mengikuti panduan tata cara budidaya yang ditetapkan oleh perusahaan. Sedangkan bagi peternak, kerugian terjadi apabila terdapat keterlambatan dalam pengiriman sapronak, kualitas sapronak yang tidak selalu baik, dan pembayaran hasil yang melebihi jangka waktu yang ditetapkan. Pembayaran hasil yang tidak tepat waktu menghambat peternak untuk dapat melakukan kegiatan produksi selanjutnya karena walaupun sapronak telah disediakan oleh inti, tetapi peternak harus menyediakan modal untuk persiapan kandang dan membayar tenaga kerja. Kualitas sapronak yang kurang baik juga dapat menyebabkan kerugian pada peternak karena meningkatkan risiko produksi seperti tingginya mortalitas. Kondisi ini tidak dapat secara langsung diutarakan oleh peternak mitra pada perusahaan inti karena peternak tidak memiliki kekuatan tawar terhadap perusahaan. Kerugian yang diperoleh perusahaan inti dapat ditutupi dengan penjualan sapronak pada peternak, berbeda halnya dengan kerugian yang diperoleh oleh peternak mitra. Apabila merugi peternak mitra harus tetap membayar hutang pengadaan sapronak dan mengajukan pinjaman untuk melakukan kegiatan produksi periode selanjutnya pada perusahaan inti. Seharusnya hal ini tidak terjadi karena pengembangan kemitraan merupakan salah satu cara yang diusulkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk membantu peternak rakyat agar mampu bersaing dan meningkatkan keuntungan yang didapat. Pelaksanaan kemitraan ini harus dilakukan dengan prinsip-prinsip seperti prinsip saling membutuhkan, prinsip saling memperkuat dan terutama prinsip saling menguntungkan. Meskipun demikian, adanya manfaat kemitraan yang mana perusahaan menyediakan jaminan kuantitas dan kontinuitas sapronak membuat peternak akan tetap melakukan usahanya dengan bermitra walaupun masih merasakan kerugian. Mengingat bahwa sebagian besar peternak memilih untuk bermitra karena memiliki kendala permodalan dalam penyediaan sarana produksi ternak. Penggunaan Input Produksi Ayam Ras Pedaging Faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam budidaya ayam ras pedaging terbagi menjadi input produksi, tenaga kerja dan lahan atau kandang. Input produksi terbagi menjadi input utama terdiri dari DOC, pakan, dan obat-obatan dan input penunjang terdiri dari pemanas, sekam, dan bahan pembersih kandang. Penggunaan input produksi DOC, pakan, dan obat-obatan merupakan input utama dari usaha ternak ayam ras pedaging karena ketiga input ini menjamin kelangsungan usaha peternakan ayam ras pedaging. Hal ini dikarenakan kualitas DOC dan pakan yang baik serta pemberian obat-obatan yang cukup berpengaruh terhadap produksi ayam ras pedaging. Obat-obatan yang digunakan dapat berupa obat padat, obat cair maupun vaksinasi. Sedangkan input penunjang dalam usaha ternak ayam ras
37 pedaging yaitu pemanas, sekam, formalin, desinfektan, kapur, detergen, dan bensin. Sebagian besar komponen input penunjang ini merupakan bahan-bahan untuk menjaga kebersihan kandang sebagai upaya pencegahan penyakit. Program sanitasi dilakukan dengan menjaga kebersihan dan penggunaan disenfektan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perpindahan penyebab penyakit menular. Secara aktual, rata-rata penggunaan input produksi dalam budidaya ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging Variabel input DOC (ekor) Pakan (kg) Obat padat dan vitamin (kg) Obat cair (ml) Skim (kg) Vaksin (vial) Pemanas (kg) Sekam (kg) Formalin (lt) Desinfektan (lt) Kapur (kg) Deterjen (kg) Bensin (lt)
Peternak Mitra Skala I Skala II 3 657.89 7 909.09 9 139.47 18 200.91 1.58 3.60 900.00 1 272.73 0.57 0.85 11.47 22.05 2 299.05 4 502.73 113.42 225.45 1.13 2.00 1.42 2.00 0.13 0.27 0.16 0.20 0.26 0.00
Berdasarkan data aktual, secara keseluruhan rata-rata penggunaan input produksi peternak mitra skala II lebih banyak dibandingkan dengan peternak mitra skala I. Peternak mitra skala II menggunakan input yang lebih banyak dibandingkan peternak mitra skala I untuk hampir semua variabel input produksi kecuali bensin. Peternak mitra skala I secara aktual menggunakan bensin dengan rata - rata jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan peternak mitra skala II. Perbandingan data aktual dari rata-rata penggunaan input produksi menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha maka penggunaan input produksinya semakin besar. Tetapi hasil yang berbeda diperoleh apabila rata-rata penggunaan input aktual dikonversi menjadi rata-rata penggunaan input per 1 000 ayam masuk. Perbandingan jumlah rata-rata penggunaan input produksi per 1 000 ekor antara peternak mitra skala I dan skala II menunjukkan hasil yang berbeda yang mana peternak mitra skala I menggunakan input produksi dengan jumlah yang lebih banyak untuk hampir semua variabel input kecuali DOC, obat dan vitamin, formalin, dan bensin. Perubahan-perubahan dalam perbandingan antara peternak mitra skala II dengan peternak mitra skala I menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha maka jumlah penggunaan input per unitnya akan semakin sedikit. Terkadang produksi dalam kapasitas yang lebih kecil adakalanya terdapat bahanbahan yang terbuang (waste), sehingga penggunaan inputnya menjadi lebih banyak. Rata-rata penggunaan input produksi untuk setiap 1 000 ekor ayam dapat dilihat pada Tabel 12.
38 Tabel 12 Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor ayam) Variabel input DOC (ekor) Pakan (kg) Obat padat dan vitamin (kg) Obat cair (ml) Skim (kg) Vaksin (vial) Pemanas (kg) Sekam (karung) Formalin (lt) Desinfektan (lt) Kapur (kg) Deterjen (kg) Bensin (lt)
Peternak Mitra Skala I 1 000.00 2 518.52 0.43 266.61 0.15 3.14 651.48 31.09 0.31 0.41 0.05 0.05 0.07
Skala II 1 000.00 2 296.55 0.45 163.06 0.11 2.86 547.91 27.50 0.32 0.24 0.03 0.03 0.00
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa peternak mitra skala I menggunakan pakan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pakan yang digunakan peternak mitra skala II. Jumlah pakan yang digunakan peternak mitra skala I yakni sebanyak 2 518.52 kg pakan per 1 000 ekor sedangkan peternak mitra skala II hanya menggunakan 2 296.55 kg pakan per 1 000 ekor. Perbedaan jumlah penggunaan pakan dapat disebabkan karena pemberian pakan yang berlebihan dan penyimpanan pakan yang kurang baik. Selain itu, banyaknya penggunaan pakan juga dipengaruhi kesehatan ayam. Faktor yang mempengaruhi kesehatan ayam yakni kualitas sapronak (DOC dan pakan) yang kurang baik, dan lingkungan seperti perubahan cuaca sehingga ayam mudah terkena penyakit. Terganggunya kesehatan ayam dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi pakan. Terhambatnya penyerapan nutrisi tercermin dari besarnya FCR. FCR menggambarkan berapa banyak (kilogram) pakan yang diberikan untuk menghasilkan 1 kilogram daging, semakin kecil nilai FCR akan semakin baik. Nilai FCR didapatkan dari membagi jumlah pakan selama pemeliharaan dengan total bobot ayam yang dipanen. Rata-rata nilai FCR peternak mitra skala I lebih besar dibandingkan dengan peternak mitra skala II. Artinya, peternak mitra skala I memerlukan pakan yang lebih banyak dibandingkan peternak mitra skala II untuk menghasilkan 1 kg daging ayam. Hal ini yang menyebabkan rata-rata produksi yang dihasilkan peternak mitra skala I menjadi lebih rendah dibandingkan peternak mitra skala II walaupun peternak mitra skala II memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Sebaran nilai FCR dan mortalitas peternak mitra pada usaha ternak ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Feed Convertion Ratio (FCR) dan mortalitas pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Uraian Feed Convertion Ratio (FCR) Mortalitas (%)
Peternak Mitra Skala I Skala II 1.80 1.50 6.27 6.51
39 Kesehatan ayam juga dipengaruhi oleh kepadatan kandang. Kepadatan kandang dapat dilihat dengan membagi kapasitas per luas kandang. Standar ideal kepadatan kandang yaitu 8 – 12 ekor per meter persegi untuk ayam berumur lebih dari tiga minggu (Jahja et al 2000). Rata-rata kepadatan kandang peternak mitra skala I dan skala II secara berturut-turut yaitu 14 ekor ayam/m2 dan 19 ekor ayam/m2. Rata-rata kepadatan kandang yang berlebih pada peternak mitra skala I dan skala II berpengaruh pada tingginya tingkat mortalitas ternak. Pada Tabel 13, dapat terlihat bahwa peternak mitra skala II yang memiliki tingkat kepadatan kandang lebih tinggi memperoleh rata-rata tingkat mortalitas lebih dari 6.51 persen. Tingginya rata-rata tingkat mortalitas pada peternak mitra disebabkan karena terdapat beberapa peternak yang memiliki tingkat mortalitas lebih dari 8 persen dengan tingkat mortalitas tertinggi yaitu 18 persen. Tingginya tingkat mortalitas ini karena ayam terserang penyakit seperti tetelo (ND), gumboro (IBD), dan penyakit ngorok atau saluran pernafasan (CRD). Tingginya mortalitas akibat penyakit CRD salah satunya disebabkan oleh kandang yang terlalu padat. Kepadatan kandang yang tinggi dapat membuat kondisi kandang menjadi lembab dan berbau busuk yang akibatnya dapat memicu gangguan pernafasan pada ayam. Selain itu, kekurangan nutrisi akibat kepadatan kandang dapat menimbulkan kegagalan vaksinasi yang artinya vaksin yang diberikan tidak melindungi terhadap serangan penyakit. Dibandingkan dengan peternak mitra skala I, peternak mitra skala II menggunakan vaksin dengan jumlah yang lebih sedikit. Sedikitnya penggunaan vaksin dan kepadatan kandang yang tinggi akhirnya berpengaruh pada tingginya mortalitas pada peternak mitra skala II. Padahal pemberian vaksin merupakan upaya yang dilakukan peternak untuk mencegah ayam terkena penyakit. Selain berpengaruh terhadap pertumbuhan, penyakit yang menyerang ternak ayam juga membuat tingkat mortalitas menjadi tinggi. Untuk pencegahan penyakit, peternak juga memberikan obat-obatan dan vitamin. Obat yang diberikan dapat berupa obat padat dan obat cair. Penggunaan obat-obatan peternak mitra skala I lebih banyak dibandingkan dengan peternak mitra skala II. Selain dengan memberikan vaksin dan obat-obatan, upaya yang dilakukan peternak untuk mencegah ayam terjangkit penyakit adalah dengan menjaga kebersihan kandang (sanitasi). Kegiatan sanitasi dilakukan dengan pencucian kandang dan menjaga kebersihan sekam pada masa brooding. Kegiatan pencucian kandang dilakukan dengan bahan pembersih seperti formalin, deterjen, kapur, dan desinfektan agar mikroorganisme penyebab timbulnya penyakit yang masih menempel di dinding-dinding kandang, langit-langit kandang, lantai kandang, tirai serta di lingkungan sekitar kandang mati. Sedangkan pada masa brooding kegiatan sanitasi dilakukan dengan menjaga sekam tetap bersih dan kering. Sekam digunakan sebagai alas kandang atau litter yang berfungsi untuk memberi kehangatan bagi DOC dan menyerap cairan yang berasal dari tumpahan air minum atau kotoran. Kondisi litter harus dijaga agar tetap kering karena kondisi litter yang basah dapat menimbulkan bermacam penyakit sehingga sekam harus diganti atau ditumpuk 3 – 4 hari sekali hingga ayam berumur 14 hari. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata penggunaan sekam pada peternak mitra skala I lebih banyak dibandingkan dengan peternak mitra skala II. Rata-rata penggunaan sekam peternak mitra skala I yakni 31 karung
40 sekam per 1 000 ekor ayam dan peternak mitra skala II menggunakan 27.50 karung sekam per 1 000 ekor ayam. Untuk menekan tingkat mortalitas pada masa brooding peternak juga menjaga anak ayam agar tetap hangat. Pemberian suhu pemanas yang sesuai bagi anak ayam periode starter pada minggu pertama dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak ayam. Tidak berbeda dengan rata-rata penggunaan sekam, peternak mitra skala I menggunakan pemanas dengan rata-rata jumlah yang lebih banyak dibandingkan peternak mitra skala II untuk 1 000 ekor ayam. Perbedaan penggunaan pemanas diduga dipengaruhi oleh jenis pemanas yang digunakan sedangkan perbedaan jumlah sekam yang digunakan disebabkan oleh tata cara brooding yang berbeda. Walaupun peternak mitra skala II rata-rata memiliki kapasitas produksi yang lebih besar dan jumlah kandang yang lebih dari satu, tetapi selama masa brooding biasanya peternak mitra skala II melakukannya dalam satu kandang hingga DOC berumur 14 hari. Setelah itu, DOC akan didistribusikan ke kandang-kandang lain selama masa finisher. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan peternak menganggap cara ini dapat menghemat penggunaan pemanas maupun sekam. Dalam penggunaan input produksi khususnya DOC, pakan, dan obat-obatan, peternak mitra telah mendapatkan pembinaan dan pengawasan dari perusahaan inti. Perusahaan inti memberikan pasokan DOC, pakan dan obat-obatan sesuai dengan kebutuhan peternak yang disesuaikan dengan kapasitas kandang yang dimiliki peternak. Perusahaan inti melakukan pembinaan dengan memberikan pengarahan pada peternak mengenai tatacara pemberian pakan dan obat-obatan yakni jumlah yang harus diberikan dan waktu pemberian yang tepat. Sedangkan pengawasan dilakukan peternak inti terutama dalam penggunaan pakan dengan mengontrol akumulasi jumlah pakan yang diberikan setiap minggunya agar tetap sesuai dengan standar performa yang ditetapkan perusahaan. Akan tetapi dalam pelaksanaan budidaya yang dilakukan, peternak mitra yang umumnya telah memiliki pengalaman dalam melakukan budidaya tidak selalu menaati tatacara budidaya yang ditetapkan perusahaan, salah satunya dalam pemberian pakan. Peternak mitra lebih memilih untuk melakukan pemberian pakan secara langsung yakni satu kali sehari dengan jumlah yang banyak dibandingkan memberikan pakan sebanyak tiga kali sehari dengan jumlah yang dianjurkan perusahaan. Peternak menganggap cara ini lebih praktis dan lebih efektif untuk meningkatkan bobot ayam. Padahal menurut perusahaan, cara pemberian pakan seperti itu akan membuat banyak pakan yang terbuang percuma. Tetapi jumlah rata-rata pakan yang digunakan peternak mitra skala I maupun skala II untuk 1 000 ekor ayam masih lebih rendah dibandingkan standar performa yang ditetapkan oleh salah satu perusahaan inti. Peternak mitra baik skala I maupun skala II memiliki rata-rata umur panen 32 hari. Standar rata-rata jumlah konsumsi pakan komulatif yang ditetapkan oleh perusahaan inti untuk ayam yang berumur 32 hari yakni 2 770 gram per ekor sehingga perusahaan masih menganggap bahwa banyaknya rata-rata jumlah pakan per 1 000 ekor yang digunakan peternak masih dianggap tidak berlebihan. Walaupun jika dibandingkan antara skala usaha, peternak mitra skala I menggunakan pakan lebih banyak dibandingkan dengan peternak mitra skala II.
41 Penggunaan Tenaga Kerja Faktor produksi tenaga kerja, merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah yang cukup, bukan saja dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi juga kualitasnya. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan perlu disesuaikan dengan kebutuhan sampai tingkat tertentu sehingga jumlahnya optimal. (Mubyarto dalam Yunus 2009). Tenaga kerja dalam usaha ternak ayam ras pedaging dibedakan menjadi tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKLK dalam suatu peternakan terbagi menjadi (i) tenaga kerja tetap yang merupakan anak kandang; (ii) tenaga kerja harian lepas, tenaga ini hanya bekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan sementara dan setelah itu tidak ada ikatan lagi misalnya buruh pikul atau buruh tangkap ayam saat penen (Yunus 2009). Penggunaan tenaga kerja baik yang berasal dari keluarga maupun dari luar keluarga telah dikonversi dalam satuan hari orang kerja (HOK). Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah penggunaan tenaga kerja peternak dalam satu siklus produksi. Nilai HOK didapatkan dengan mengalikan jumlah pekerja dengan waktu melakukan suatu pekerjaan, kemudian dibagi dengan jam kerja efektif dalam satu hari (8 jam). Rata-rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Rata-rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Peternak Mitra (HOK)
Uraian Pencucian kandang Pemanasan Pemberian pakan Vaksninasi Pemberian obat Panen Pembersihan kandang Jumlah
DK 1.78 0.42 5.53 0.13 0.88 0.22 0.00 8.96
Skala I LK 0.70 1.60 7.62 0.39 1.13 1.26 0.71 13.41
Total 2.48 2.02 13.15 0.52 2.01 1.48 0.71 22.37
DK 0.00 0.29 2.61 0.05 0.50 0.18 0.00 3.63
Skala II LK 0.70 1.11 5.78 0.19 0.78 1.57 0.49 10.62
Total 0.70 1.40 8.39 0.24 1.28 1.75 0.49 14.25
Berdasarkan data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa baik peternak mitra skala I maupunskala II menggunakan TKDK dan TKLK dalam pemeliharaan ternaknya. Aktivitas dengan curahan tenaga terbanyak adalah pemberian pakan. Total rata-rata curahan tenaga kerja peternak mitra skala I dan skala II secara berturut-turut yakni 22.37 HOK dan 14.25 HOK. Peternak mitra skala I memiliki total curahan tenaga kerja lebih besar dibandingkan peternak mitra skala II. Sebagian besar kegiatan dalam usaha ternak pada peternak mitra dilakukan oleh TKLK. Tetapi dalam menjalankan usaha ternaknya, keterlibatan peternak mitra dalam kegiatan budidaya masih besar. Adanya tanggung jawab peternak mitra terhadap perusahaan inti membuat peternak mitra harus terlibat lebih banyak terlibat dalam kegiatan budidaya. Peternak mitra diharuskan mengisi tabel perkembangan ternak atau disebut recording sehingga peternak mitra melakukan pengontrolan setiap hari selama masa pemeliharaan. Walaupun peternak mitra
42 memperoleh pembinaan, tetapi risiko produksi masih menjadi tanggung jawab peternak mitra, walaupun peternak mitra memperkerjakan TKLK. Meskipun demikian, pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa semakin besar skala usahanya, keterlibatan peternak semakin sedikit yang dapat dilihat dari jumlah HOK TKDK peternak mitra skala II yang lebih sedikit dibandingkan peternak mitra skala I. Kepemilikan Lahan dan Kandang Bagian terpenting dalam suatu peternakan adalah kandang, karena kandang merupakan tempat ayam berdiam dan berproduksi. Selain itu kandang berfungsi untuk mempermudah tata laksana pemeliharaan dan pengontrolan ternak. Status kepemilikan kandang peternak terbagi menjadi dua yakni kandang pribadi dan kandang sewa. Tetapi dalam menjalankan usahanya, peternak dapat menggunakan kandang pribadinya, kandang sewa, ataupun keduanya untuk menambah kapasitas produksi. Peternak yang memilih menyewa kandang umumnya untuk meminimalkan biaya investasi kandang karena kandang yang disewakan umumnya telah memiliki peralatan kandang yang lengkap dan siap untuk digunakan. Pada peternak mitra skala I, sebanyak 14 dari 19 orang peternak menggunakan kandang milik sendiri, dan sisanya memilih untuk menyewa kandang. Pada peternak mitra skala II, 7 dari 11 peternak menggunakan kandang milik sendiri, dan peternak yang menggunakan kandang sewaan serta keduanya masing masing 2 orang peternak. Rata-rata luas kandang per 1 000 ekor ayam peternak mitra skala I lebih luas dibandingkan dengan peternak mitra skala II. Sebaran persentase kepemilikan kandang dan luas kandang per 1 000 ekor dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Status kepemilikan kandang dan luas kandang pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Uraian Milik sendiri (%) Sewa (%) Keduanya (%) Rata-rata luas kandang (m2)
Peternak Mitra Skala I 73.69 26.31 0.00 83.48
Skala II 63.64 18.18 18.18 76.97
Seluruh peternak yang menggunakan kandang milik sendiri mendirikan kandangnya diatas lahan pribadi. Lahan pribadi tersebut sebagian besar merupakan warisan keluarga. Persentase peternak mitra skala I yang memiliki lahan sendiri yaitu sebesar 73.69 persen. Persentase ini sama dengan persentase peternak yang menggunakan kandang pribadi untuk melakukan usahanya. Tetapi pada peternak mitra skala II persentase peternak yang menggunakan lahan milik pribadi tidak sama dengan persentase peternak yang menggunakan kandang pribadi. Peternak skala II yang memiliki lahan pribadi menjadi lebih banyak yakni sebesar 81.81 persen atau 9 dari 11 orang peternak karena terdapat dua orang peternak yang melakukan usahanya dengan kandang pribadi dan kandang sewa. Sedangkan peternak yang menyewa kandang tidak menggunakan lahan pribadinya. Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan kandangnya dapat dilihat pada Tabel 16.
43 Tabel 16 Status kepemilikan lahan dan luas lahan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Uraian Milik pribadi (%) Luas lahan (m2)
Peternak Mitra Skala I Skala II 73.69 81.81 83.90 93.74
Biaya Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging Penggunaan input produksi akan berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan peternak. Komponen biaya yang dikeluakan dalam kegiatan usaha ternak ayam ras pedaging terdiri atas biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Sedangkan biaya tidak tunai adalah pengeluaran tidak dibayarkan dengan uang, seperti halnya penyusutan peralatan dan biaya tenaga kerja keluarga. Biaya tunai pada usaha ternak ayam ras pedaging dikelompokan menjadi biaya sarana produksi, biaya sewa dan perbaikan kandang serta biaya tenaga kerja luar keluarga. Biaya diperhitungkan meliputi biaya sewa lahan, biaya penyusutan kandang, biaya penyusutan peralatan, dan biaya tenaga kerja keluarga. Biaya Tunai 1. Biaya input produksi Biaya input produksi terdiri dari biaya DOC, pakan, OVK (obat-obatan, vitamin dan vaksin), pemanas, sekam, dan bahan keperluan sanitasi seperti detergen, kapur, desinfektan, formalin, serta bahan bakar. Besar biaya input yang dikeluarkan peternak dipengaruhi jumlah input yang digunakan dan harga input. Secara aktual, biaya input produksi yang dikeluarkan peternak mitra skala II lebih besar dibandingkan dengan peternak mitra yang memiliki skala usaha lebih kecil. Penyebabnya adalah semakin banyak kapasitas produksi maka akan semakin besar pula jumlah input yang digunakan. Akan tetapi, apabila biaya input ini dikonversi ke biaya per unit maka akan diperoleh hasil yang sama seperti halnya pada penggunaan input produksi, yakni peternak mitra skala II mengeluarkan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan peternak mitra skala I. Sebaran biaya input produksi yang dikeluarkan peternak dapat dilihat pada Tabel 17.
44 Tabel 17 Rata-rata biaya input produksi pada usaha ternak ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Peternak Mitra Variabel input DOC Pakan Obat padat dan vitamin Obat cair Skim Vaksin Pemanas Sekam Formalin Desinfektan Detergen Kapur Bensin Total
Skala I (Rp 000) 6 163.16 19 512.77 246.96 72.05 9.06 246.73 329.19 203.69 9.23 25.02 1.52 1.92 0.67 26 821.97
Skala II (Rp 000) 6 236.36 17 707.07 160.59 42.23 6.78 220.63 300.40 187.21 9.64 14.77 0.80 1.12 0.00 24 887.61
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa pengeluaran terbesar merupakan biaya pakan, diikuti biaya DOC, OVK, dan pemanas. Secara keseluruhan, dibandingkan dengan peternak mitra skala II, peterenak mitra skala I mengeluarkan rata-rata biaya input lebih besar lebih disebabkan oleh perbedaan rata-rata penggunaan input karena harga input produksi yang diterima peternak mitra skala I dan skala II tidak jauh berbeda. Sebaran harga input produksi peternak mitra skala I dan skala II dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Rata-rata harga input produksi pada usaha ayam ras pedaging Peternak mitra Variabel input DOC (ekor) Pakan (kg) Obat padat dan vitamin (kg) Obat cair (ml) Skim (kg) Vaksin (vial) Pemanas (kg) Sekam (karung) Formalin (lt) Desinfektan (lt) Deterjen (kg) Kapur (kg) Bensin (lt)
Skala I (Rp/satuan) 6 163.16 7 786.93 259 225.56 259.00 6 000.00 128 192.11 1 366.39 6 605.26 30 000.00 60 789.47 14 368.42 5 894.74 10 000.00
Skala II (Rp/satuan) 6 236.36 7 777.27 260 900.43 259.00 6 000.00 198 577.27 1 647.92 6 772.73 30 000.00 60 909.09 9 727.27 9 545.45 10 000.00
45 2. Tenaga kerja luar keluarga Baik peternak mitra skala I dan skala II pada usaha ternak ayam ras pedaging memperkerjakan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga terbagi menjadi dua yaitu anak kandang dan tenaga kerja harian lepas misalnya tenaga pencuci kandang, buruh pikul atau buruh tangkap ayam saat penen (Yunus 2009). Sistem pengupahan tenaga kerja yang diberlakukan peternak di Kecamatan Pamijahan tidak berdasarkan HOK tetapi berdasarkan sistem pengupahan yang disepakati antara peternak dan anak kandang. Terdapat dua sistem pengupahan tenaga kerja anak kandang yaitu, upah anak kandang per periode dan upah anak kandang ditentukan berdasarkan banyaknya ayam masuk. Sistem upah per periode dapat dilakukan dengan menetapkan gaji atau dihitung berdasarkan jumlah total produksi yang dihasilkan dengan upah per kilogram ayam sebesar Rp150. Sedangkan sistem upah per ayam masuk umumnya dihitung dengan mengalikan jumlah ayam saat chick in dengan upah per ekornya antara Rp200 – 640. Rata rata upah tenaga kerja pada peternak mitra skala I yaitu Rp365 per ekor ayam dan peternak mitra skala II yaitu Rp268 per ekor ayam. Upah yang diterima peternak mitra tidak termasuk uang makan dan rokok. Uang makan ini diberikan dalam bentuk barang ataupun uang tunai. Selain itu, hasil penjualan pupuk kandang biasanya diberikan peternak pada anak kandang sebagai bonus dalam memelihara ternaknya. Berdasarkan hal tersebut maka upah yang diterima anak kandang terdiri dari upah kerja yang ditambah uang makan dan bonus pemeliharaan. Sedangkan upah pekerja lepas dibayarkan secara borongan. Tenaga kerja lepas ini biasanya digunakan peternak pada saat pemanenan hasil dan pencucian kandang. Secara keseluruhan, rata-rata total biaya tenaga kerja luar keluarga untuk anak kandang dan tenaga kerja lepas yang harus dibayarkan peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II untuk satu siklus produksi secara berturut-turut yakni sebesar Rp524 890 dan Rp364 900 untuk 1 000 ekor ayam. 3. Biaya listrik, sewa kandang dan perbaikan kandang Perhitungan biaya sewa kandang pada peternak mitra berdasarkan jumlah DOC pada saat chick in dengan sistem pembayaran per ekor DOC. Harga sewa kandang per ekornya berkisar antara Rp300 – 650 per ekor DOC. Tetapi karena mayoritas peternak mitra skala I menggunakan kandang milik pribadi untuk menjalankan usahanya, rata-rata biaya sewa kandang per 1 000 ekornya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan peternak skala II yakni Rp118 420 untuk peternak mitra skala I dan Rp170 450 untuk peternak mitra skala II. Selain itu, biaya tunai yang dikeluarkan peternak terkait dengan kandang adalah listrik dan biaya perawatan atau perbaikan kandang. Sebaran rata-rata biaya listrik, sewa kandang dan perbaikannya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Rata-rata biaya listrik, sewa kandang dan perbaikan kandang (per 1 000 ekor) Peternak Mitra Variabel input Listrik Sewa kandang Perbaikan kandang
Skala I (Rp 000) 28.10 118.42 75.28
Skala II (Rp 000) 19.86 170.45 33.59
46 Seluruh peternak menggunakan kandang panggung yang terbuat dari kayu dan bambu dengan atap terbuat dari daun rumbia atau genting. Karena terbuat kayu, bambu, serta daun rumbia maka setiap periodenya peternak mengeluarkan baiaya untuk mengganti atap yang bocor atau memperbaiki lantai bambu yang rusak. Bagi peternak mitra yang menyewa kandang, apabila terdapat kerusakan selama masa produksi maka biaya perbaikan kandang dibebankan kepada peternak yang menyewa. Rata-rata biaya perbaikan kandang peternak mitra skala I yaitu sebesar Rp75 280 dan peternak mitra skala II sebesar Rp33 590. Rata-rata biaya perbaikan kandang peternak tidak besar karena tidak semua peternak melakukan perbaikan kandang, sebagian besar peternak mitra baik skala I maupun skala II tidak mengeluarkan biaya perbaikan kandang karena merasa tidak ada yang perlu diperbaiki. Biaya Diperhitungkan 1. Tenaga kerja dalam keluarga Secara usaha-ternak, tenaga kerja yang berasal dari keluarga peternak merupakan sumbangan keluarga pada produksi perternakan dan tidak pernah dinilai dengan uang, sedangkan secara ekonomi tenaga kerja merupakan faktor produksi yang merupakan bagian dari biaya dalam suatu usaha (Mubyarto dalam Yunus 2009). Oleh karena itu, biaya tenaga kerja dalam keluarga termasuk dalam biaya diperhitungkan. Upah tenaga kerja keluarga diasumsikan sama seperti tenaga kerja luar keluarga. Sama seperti halnya perhitungan upah TKLK, perhitungan upah TKDK juga tidak ditentukan oleh besarnya penggunaan tenaga kerja (HOK) karena sistem pengupahan yang dihitung per ekor ayam masuk. Pada penelitian ini, ratarata upah TKLK yaitu Rp334.95 per ekor ayam masuk. Walaupun jumlah HOK peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II, biaya TKDK per 1 000 ekor ayam pada peternak mitra pada skala I dan sakal II sama yakni sebesar Rp334 950. 2. Sewa lahan dan penyusutan Mayoritas peternak mitra yang menggunakan kandang pribadi mendirikan kandangnya diatas lahan milik pribadi untuk menjalankan usaha ternaknya. Peternak menggunakan lahan pribadi artinya peternak tidak mengeluarkan biaya tunai untuk menyewa ataupun membeli lahan. Tetapi, biaya sewa lahan tetap harus dimasukkan dalam perhitungan dan termasuk dalam biaya yang diperhitungkan. Biaya sewa lahan pertanian di Kecamatan Pamijahan yakni sebesar 10 juta rupiah per hektar per tahunnya. Informasi mengenai harga sewa lahan tersebut didapatkan dari peternak. Berdasarkan hal tersebut, perhitungan biaya sewa lahan yang dikeluarkan peternak dilakukan berdasarkan luas lahan, dan jumlah produksi per tahun dimana baik peternak mitra berproduksi sebanyak 6 kali dalam setahun. Selain sewa lahan, biaya terkait perkandangan yang perlu diperhitungkan pada usaha ternak ayam ras pedaging adalah biaya penyusutan. Biaya penyusutan ini terdiri dari dua komponen. Pertama yaitu biaya penyusutan kandang. Pada umumnya bentuk kandang yang digunakan peternak baik kandang sewaan maupun kandang pribadi adalah kandang panggung. Walaupun dari segi ekonomis biaya pembuatan kandang panggung lebih mahal tetapi banyak dipilih karena
47 dapat mengatasi suhu udara saat panas dan lebih higienis. Kedua yaitu biaya penyusutan peralatan perternakan. Penyusutan peralatan yang digunakan dalam produksi ayam ras pedaging bermacam-macam dan tidak habis dalam satu kali masa produksi. Peralatan yang diperhitungkan penyusutannya antara lain terpal, tempat makan dan minum, lampu, alat pemanas (tong, kompor, gasolek atau tungku), drum air, dan pompa air. Sebaran biaya sewa lahan, penyusutan kandang dan penyusutan peralatan pada usaha ternak ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Rata-rata biaya sewa lahan, penyusutan kandang dan penyusutan peralatan pada usaha ternak ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Uraian Sewa lahan (Rp) Penyusutan kandang (Rp) Penyusutan peralatan (Rp)
Peternak Mitra Skala I 10 585.13 189 893.67 39 430
Skala II 12 704.84 289 006.18 26 400
Dibandingkan dengan peternak mitra skala I, rata-rata biaya sewa lahan peternak mitra skala II lebih besar karena rata-rata luas lahan yang digunakan peternak lebih besar. Akan tetapi, penyusutan peralatan pada peternak mitra skala I jauh lebih besar dibandingkan peternak mitra skala II. Perbedaan biaya penyusutan ini dikarenakan beberapa peternak mitra skala I menggunakan alat minum otomatis dan pemanas gasolek sedangkan peternak mitra skala II menggunakan peralatan manual dan menggunakan kompor nasi goreng sebagai alat pemanas bahan bakar gas. Nilai rata-rata penyusutan kandang dan peralatan peternak mitra yang kecil disebabkan karena terdapat peternak mitra yang menyewa kandang hanya mengeluarkan biaya peralatan hanya untuk membeli lampu karena telah mendapatkan perlengkapan kandang sebagai fasilitas dari menyewa kandang. Total Biaya Komponen biaya-biaya usaha ternak ayam ras pedaging terdiri dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan peternak secara tunai untuk memperoleh sarana produksi ternak sedangkan biaya diperhitungkan adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai namun perlu dimasukkan dalam perhitungan pengeluaran. Biaya tunai pada usaha ternak ayam ras pedaging dikelompokan menjadi biaya sarana produksi, biaya sewa dan perbaikan kandang serta biaya tenaga kerja luar keluarga. Biaya diperhitungkan meliputi biaya sewa lahan, biaya penyusutan kandang, biaya penyusutan peralatan, dan biaya tenaga kerja keluarga. Analisis struktur biaya usaha ternak ayam ras pedaging dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan skala usaha peternak yang dibedakan menjadi skala I yakni peternak dengan kapasitas usaha 0 hingga 5 000 ekor dan peternak skala II yakni peternak dengan kapasitas usaha lebih dari 5 000 ekor untuk setiap satu siklus produksi. Total biaya yang dikeluarkan peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II untuk 1 000 ekor ayam secara berturut-turut yakni sebesar Rp28 143 520 dan Rp26 157 660. Sebagian besar biaya pada usaha ternak ayam ras pedaging dikeluarkan dalam bentuk biaya tunai dengan persentase lebih dari 95 persen.
48 Komponen biaya tunai yang paling besar adalah biaya pakan dengan persentase lebih dari 65 persen terhadap biaya total baik pada peternak mitra skala I maupun peternak mitra skala II diikuti oleh biaya DOC. Sedangkan biaya diperhitungkan pada kedua skala usaha peternak mitra hanya menyumbang kurang dari tiga persen terhadap keseluruhan biaya. Komponen biaya diperhitungkan yang memiliki kontribusi paling besar adalah komponen tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Besarnya total biaya yang dikeluarkan peternak mitra skala I disebabkan oleh banyaknya jumlah rata-rata pakan yang digunakan. Dibandingkan dengan komponen total biaya yang dikeluarkan peternak, biaya pakan merupakan komponen biaya dengan persentase terbesar sehingga perubahan dalam biaya pakan dapat mempengaruhi besar biaya total yang dikeluarkan peternak. Struktur biaya peternak mitra skala I dan skala II dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Struktur biaya pada usaha ternak ayam ras pedaging mitra skala I dan skala II (per 1 000 ekor) Peternak Mitra Uraian Biaya tunai DOC Pakan Obat padat dan vitamin Obat cair Skim Vaksin Pemanas Sekam Formalin Desinfektan Kapur Deterjen Bensin Listrik Sewa kandang Perbaikan kandang TKLK Total Biaya diperhitungkan Sewa lahan Penyusutan kandang Penyusutan alat TKDK Total Total biaya
Skala I Biaya (Rp 000)
%
Skala II Biaya (Rp 000)
%
6 163.16 19 512.77 246.96 72.05 9.06 246.73 329.19 203.69 9.23 25.02 1.52 1.92 0.67 28.10 118.42 75.28 524.89 27 568.66
21.90 69.33 0.88 0.26 0.03 0.88 1.17 0.72 0.03 0.09 0.01 0.01 0.00 0.10 0.42 0.27 1.87 97.96
6 254.55 17 707.07 160.59 42.23 6.78 220.63 300.40 187.21 9.64 14.77 0.80 1.12 0.00 19.86 170.45 33.59 364.90 25 494.60
23.91 67.69 0.61 0.16 0.03 0.84 1.15 0.72 0.04 0.06 0.00 0.00 0.00 0.08 0.65 0.13 1.40 97.47
10.59 189.89 39.43 334.95 574.86 28 143.52
0.04 0.67 0.14 1.19 2.04 100.00
12.70 289.01 26.40 334.95 663.06 26 157.66
0.05 1.10 0.10 1.28 2.53 100.00
49 Penerimaan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging Penerimaan usahatani adalah perkalian antara jumlah produksi yang diperoleh dengan harga jual. Penerimaan ini mencakup produk yang dijual, dikonsumsi, digunakan untuk bibit, digunakan untuk pembayaran dan yang disimpan. Dapat dikatakan bahwa penerimaan usahatani terbagi menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan (non tunai). Penerimaan tunai didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk dan penerimaan diperhitungkan didefinisikan sebagai nilai uang dari produk yang digunakan untuk konsumsi keluarga petani maupun dibagi-bagikan. Total penjumlahan dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan yakni penerimaan total usahatani (total farm revenue). Penerimaan tunai didapatkan dari hasil perkalian berat ayam dengan harga jualnya. Berdasarkan bobot ayam, produksi per 1 000 ekor ayam pada peternak mitra didominasi ayam dengan rata-rata bobot antara 1.70 hingga lebih dari 1.8 kg dengan total produksi peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II secara berturut-turut sebesar 27 242.45 kg dan 16 941.38 kg. Peternak mitra skala I memiliki total produksi yang lebih besar dibandingkan peternak mitra skala II, tetapi rata-rata produksinya lebih rendah dibandingkan peternak mitra skala II. Rata-rata produksi peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II secara berturut-turut yaitu 1 433.81 kg dan 1 540.13 kg. Produksi pada usaha ayam ras pedaging untuk 1 000 ekor ayam dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Produksi pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Bobot rata-rata (kg) 1.2 - 1.29 1.3 - 1.39 1.4 - 1.49 1.5 - 1.59 1.6 - 1.69 1.7 - 1.79 > 1.8 Total
Peternak Mitra Skala I 1 120.00 4 923.44 5 039.80 1 464.00 6 072.00 0.00 8 623.21 27 242.45
Skala II 0.00 1 292.45 0.00 4 137.27 3 047.20 4 721.36 3 743.10 16 941.38
Penerimaan tunai peternak juga dipengaruhi harga ayam per kilogramnya. Harga per kilogram ayam untuk peternak mitra merupakan harga kontrak yang ditentukan oleh perusahaan inti dan telah disepakati pada awal kerjasama. Berbeda dengan harga pasar yang berfluktuasi, harga kontrak tidak akan berubah sehingga untuk menyiasati adanya perubahan harga pasar yang melebihi harga kontrak, perusahaan menerapkan kebijakan pemberian kompensasi atau bonus sebesar 25 persen dari harga pasar untuk setiap kilogram ayam. Akan tetapi, kompensasi harga ini tidak berlaku apabila harga pasar berada dibawah harga kontrak. Waktu periode produksi peternak mitra yakni pada bulan Mei – Juli 2015 menyebabkan adanya kenaikan harga kontrak ayam. Pada bulan Mei – Juli 2015 terdapat kenaikan harga ayam di pasar yang melebihi harga kontrak yang berlaku sehingga peternak memperoleh bonus harga sebesar Rp5 750 per kilogramnya. Harga kontrak yang berlaku pada salah satu perusahaan inti dan harga kontrak
50 yang diterima peternak mitra pada bulan Mei-Juli untuk setiap kilogram ayam dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Harga kontrak dan harga jual ayam peternak mitra per kilogram Bobot rata-rata (kg)
Harga kontrak (Rp)
Harga kontrak Mei – Juli (Rp)
1.2 - 1.29 1.3 - 1.39 1.4 - 1.49 1.5 - 1.59 1.6 - 1.69 1.7 - 1.79 > 1.8
18 600.00 18 200.00 18 150.00 18 100.00 18 050.00 18 000.00 17 900.00
24 350.00 23 950.00 23 900.00 23 850.00 23 800.00 23 750.00 23 650.00
Komponen penerimaan tunai peternak mitra juga terdiri dari bonus. Bonus ini diperoleh peternak mitra apabila peternak mitra memperoleh angka kriteria produksi seperti tingkat mortalitas dan indeks produksi yang sesuai dengan standar perusahaan inti. Bonus mortalitas berkisar antara Rp50/kg untuk persentase mortalitas sebesar 3.1 persen hingga 5 persen hingga Rp150/kg untuk persentase mortalitas kurang dari 1 persen. Rata-rata peternak menerima bonus sebesar Rp50/kg. Pemberian bonus indeks produksi berkisar antara Rp50/kg hingga Rp150/kg untuk indeks prestasi paling rendah 250 hingga lebih dari 319. Bonus merupakan salah satu nilai tambah yang tidak didapatkan peternak apabila menjalankan usahanya secara mandiri. Selain dari hasil penjualan ayam dan bonus, penerimaan tunai lainnya didapatkan dari penjualan pupuk yang merupakan sisa sekam yang bercampur dengan kotoran sisa produksi. Kisaran harga jual pupuk untuk setiap karungnya yaitu Rp1 000 – Rp5 000 per karung. Tetapi tidak semua peternak menjual pupuk yang dihasilkan, terdapat peternak yang menggunakannya sendiri, langsung membuang, membagikan pupuk tersebut secara cuma-cuma, ataupun memberikannya pada anak kandang untuk dijual sehingga sebagian besar penerimaan yang berasal dari produksi pupuk termasuk kedalam penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan yang diperhitungkan ini juga mencakup ayam yang dikonsumsi pribadi ataupun dibagi-bagikan. Pada akhir masa panen, peternak biasanya menyisihkan beberapa ekor ayam untuk dibagikan kepada tetangga. Ayam yang dikonsumsi sendiri ini biasanya dimasukan kedalam perhitungan ayam yang mati sehingga selisih antara perhitungan hasil produksi dengan penjualan ayam tidak berbeda jauh. Jumlah ayam yang dibagi-bagikan ini tergantung dari lokasi kandang ayam. Semakin dekat lokasi kandang dengan pemukiman penduduk maka semakin banyak jumlah ayam yang dibagi-bagikan. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata total penerimaan yang diperoleh peternak mitra skala II lebih besar dibandingkan dengan peternak mitra skala I. Penerimaan total usaha ayam ras pedaging selama satu periode per 1 000 ekor ayam dapat dilihat pada Tabel 24.
51 Tabel 24 Rata-rata total penerimaan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Peternak Mitra Uraian Penerimaan tunai Penjualan ayam Penjualan pupuk Bonus Penerimaan diperhitungkan Konsumsi ayam Konsumsi pupuk Total penerimaan
Skala I (Rp 000)
Skala II (Rp 000)
34 158.34 21.04 107.53
36 618.91 13.07 171.45
179.74 45.58 34 512.24
131.89 59.14 36 994.45
Keuntungan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging Keuntungan usaha ternak adalah selisih antara penerimaan dengan pengeluaran dalam melakukan usaha ternak ayam ras pedaging. Keuntungan usaha ternak ini merupakan selisih antara penerimaan dengan pengeluaran baik pengeluaran tunai maupun pengeluaran total sehingga analisis keuntungan terdiri dari keuntungan atas biaya tunai dan keuntungan atas biaya total. Keuntungan atas biaya total memperhitungkan biaya non tunai berupa sewa lahan, penyusutan kandang, penyusutan peralatan, dan tenaga kerja dalam keluarga. Perhitungan keuntungan dan R/C rasio dalam usaha ternak ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Keuntungan dan R/C rasio pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) Uraian Penerimaan Biaya tunai Biaya total Keuntungan atas biaya tunai Keuntungan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Peternak Mitra Skala I 34 512 240 27 568 660 28 143 520 6 943 580 6 368 720 1.25 1.23
Skala II 36 994 450 25 494 600 26 157 660 11 499 850 10 836 790 1.45 1.41
Peternak mitra skala II memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan dengan peternak mitra skala I walaupun hanya berselisih Rp2 482 210. Besarnya pengeluaran peternak mitra skala I yang lebih besar dibandingkan peternak mitra skala II membuat keuntungan yang diterima peternak mitra skala I menjadi lebih rendah dibandingkan dengan peternak mitra skala II. Perbandingan penerimaan dan pengeluaran peternak mitra dapat dilihat dari besar nilai R/C yang diperoleh. Nilai R/C rasio atas biaya total untuk peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II secara berturut-turut sebesar 1.23 dan 1.41. Artinya, setiap 1 rupiah yang dikeluarkan pada usaha ternak ayam ras pedaging akan menghasilkan penerimaan
52 sebesar 1.23 rupiah untuk peternak mitra skala I dan 1.41 rupiah untuk peternak mitra skala II. Namun nilai rasio R/C atas biaya total ini akan lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai R/C atas biaya tunai. Meskipun demikian, nilai R/C rasio pada masing-masing peternak yang lebih dari satu menunjukkan bahwa usaha ternak yang dijalankan menguntungkan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kemitraan ayam ras pedaging antara peternak dan perusahaan peternakan di Kecamatan Pamijahan dilakukan dengan pola inti plasma. Kemitraan ini dituangkan dalam dokumen kontrak tertulis baik untuk kontrak perjanjian berisi aturan-aturan kerjasama dan kontrak harga yang harus disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian kemitraan dibuat secara sepihak oleh perusahaan inti sehingga dalam perjanjian terlihat bahwa perusahaan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan peternak plasmanya. Padahal dalam pelaksanaan kemitraan masih terdapat kondisi yang tidak saling menguntungkan terutama bagi peternak mitra seperti keterlambatan dalam pengiriman sapronak, kualitas sapronak yang tidak selalu baik, dan keterlambatan pembayaran hasil. Adanya perbedaan kedudukan antara perusahaan inti dan peternak plasmanya membuat kondisi merugikan tersebut tidak dapat secara langsung diutarakan oleh peternak plasma pada perusahaan inti karena peternak tidak memiliki kekuatan tawar terhadap perusahaan. Kemitraan yang dijalankan berperan dalam memberikan jaminan harga, jaminan ketersediaan sapronak, dan pembinaan dalam berproduksi bagi peternak dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan hasil perbandingan antara peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II, peternak mitra skala II memperoleh ratarata produksi, keuntungan dan nilai R/C lebih besar dibandingkan dengan peternak mitra skala I.
Saran 1. Selama ini peternak melakukan usahanya secara individual sehingga posisi tawar peternak menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan. Salah satu cara untuk meningkatkan posisi tawar peternak yaitu dengan membentuk kelompok peternak. Kelompok peternak ini dapat menjadi media bagi peternak untuk menyampaikan keberatan atau keluhan atas tindakan perusahaan yang dianggap kurang menyenangkan dan sebagai tempat untuk bertukar informasi. Pembuatan kelompok ini dapat dilakukan dengan dorongan pemerintah yakni dinas peternakan ataupun unit pelaksana teknis dinas peternakan yang berada di wilayah tersebut. 2. Peternak mitra sebaiknya lebih memperhatikan daya tampung kandang karena kandang yang terlalu padat dapat berpengaruh pada besarnya mortalitas.
53
DAFTAR PUSTAKA Amenuri F I, Soewarno T, Soekarto, Suryahadi. 2006. Perbandingan Sistem Usaha Mandiri dan Plasma pada Pembesaran Ayam Ras Pedaging Terhadap Tingkat Pendapatan (Studi Kasus di Parung). Jurnal MPI. 1(2):44-57. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2015. Produksi Daging Ternak Unggas di Kecamatan Pamijahan, 2010-2014. Bogor (ID) Bahari D I, Fanani Z, Nugroho B A. 2012. Analisis Struktur Biaya dan Perbedaan Pendapatan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging pada Pola dan Skala Usaha Ternak yang Berbeda di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. J Ternak Tropika. 13(1):35-64. Cepriadi, Maharani E, Maureen N. 2010. Analisis Perbandingan Pola Kemitraan Peternak Ayam Broiler di Kota Pekanbaru (Studi Kasus PT. Ramah Tamah Indah). Jurnal Peternakan. 7(1):20-27. Deshinta M. 2006. Peranan Kemitraan terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak Ayam Broiler (Kasus Kemitraan: PT Sierad Produce dengan Peternak di Kabupaten Sukabumi) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Disnak] Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2014. Produksi Ayam Ras Pedaging Kecamatan Pamijahan dan Kabupaten Bogor. Bandung (ID) Febridinia R. 2010. Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Peternak Ayam Broiler di CV Tunas Mekar Farm Kecamatan Ciluar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat [skripsi] Bogor (ID): Instiut Pertanian Bogor. Fitriza Y T, Haryadi T, Syahlani P S. 2012. Analisis Pendapatan dan Presepsi Peternak Plasma terhadap Kontrak Perjanjian Pola Kemitraan Ayam Pedaging di Provinsi Lampung. Buletin Peternakan. 36(1):57-62. Hafsah M J. 2000. Kemitraan Usaha, Konsepsi, dan Strategi. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Istanto, Supardi S, Wahyuningsih S. 2010. Analisis Usaha Peternakan Ayam Broiler dengan Sistem Kemitraan di Limbangan, Kabupaten Kendal. Mediagro. 6(2):16-30 Kesuma D P. 2006. Efesiensi Usaha dan Kesejahteraan Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Inti Plasma dan Kerjasama Operasional Agribisnis (Kasus pada Peternak Inti Plasma di Kecamatan Cibungbulang dan KOA di Kecamataan Ciseeng Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Masdar A S, Yunasaf U. 2010. Kemitraan Bidang Perunggasan dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Peternak. Jurnal Ilmu Ternak. 10(2):111-117 Maulana, M L. 2008. Analisis Keuntungan Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Inti-Plasma (Studi Kasus Peternak Plasma dari Tunas Mekar Farm di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, Bogor). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Miharja, H A. 2012. Pengaruh Skala Usaha dan Tingkat Mortalitas terhadap Tingkat Pendapatan Peternak Kemitraan Ayam Broiler di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. [skripsi]. Makasar(ID): Universitas Hasanudin.
54 Murdiyanto E dan Kundarto M. 2002. Membangun Kemitraan Agribisnis Inovasi Program Corporate Social Responsibility (CSR). Semarang (ID): Yayasan Bina Kartika Lestari Nicholson, W. 1995. Teori MIkroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan, Jilid I. Wirajaya D, penerjemah. Jakarta (ID): Binarupa Aksara Nurfadillah S. 2014. Keragaan Usaha Ayam Ras Pedaging di Kecamatan Parung Bogor: Perbandingan Usaha Ternak Mitra dan Usaha Ternak Mandiri [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pribadi K L. 2013. Analisis Pelaksanaan Kemitraan Ayam Ras pedaging pada CV. Barokah dan Pendapatan antara Peternak Mitra dan Peternak Mandiri di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pusat Data dan Informasi. 2013. Selisih ketersediaan dengan konsumsi daging ayam ras di Indonesia 2010-2013. Jakarta (ID) Rachmatia N R. 2013. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri dan Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Rustiani F, Sjaifudian H, Gunawan R. 1997. Mengenal Usaha Pertanian Kontrak: (Contract Farming). Bandung (ID): Yayasan AKATIGA Saleh, E. 2006. Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Agribisnis Peternakan . 12(1): 36-42. Salvatore D. 2011. Ekonomi Manajerial dalam Perekonomian Global Buku I Edisi Kelima. Budi I S, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Empat. Sinollah. 2011. Model Pola Kemitraan Usaha Peternakan Ayam Pedaging di Kabupaten Malang. Jurnal Manajemen Agribisnis. 11(3):13-22. Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): UI-Press _. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI-Press Subkhie H, Suryahasi, Saleh A. 2012. Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Ayam Pedaging dengan Pola Kemitraan di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Jurnal Manajemen IKM. 7(1):54-63. Sumardjo, Sulaksana J, Darmono WA. 2004. Teori dan Praktik Kemitraaan Agribisnis. Depok (ID): Penebar Swadaya. [Susesnas] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2014. Konsumsi Rata-rata Daging Sapi dan Ayam Ras (kg/kapita/tahun), 2009-2013. Jakarta (ID) Suratiyah K. 2009. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Suwarta, Irham, Hartono S. 2010. Efektivitas Pola Kemitraan Inti-Plasma dan Produktifitas Usaha Ternak Ayam Broiler Peternak Plasma dan Mandiri serta Faktor yang Mempengaruhi di Kabupaten Sleman. J-SEP. 4(1):53-62. Wibowo J P. 2013. Perjanjian Usaha pada Peternak Ayam Pedaging (Broiler) dalam Hubungan Inti Plasma di Kabupaten Kudus [skripsi]. Kudus (ID): Universitas Muria Kudus. Wulandari A, Salmiah, Supriana T. 2014. Analisis Komparasi Usahatani Ternak Ayam Potong Rakyat dengan Ternak Ayam Potong Kemitraan. Yusdja Y, Ilham N, dan Sayuti R. 2004. Tinjauan Penerapan Kebijakan Industri Ayam Ras: Antara Tujuan dan Hasil. Forum Penelitian Agroekonomi. 22(1):22-36.
55 Lampiran 1 Standar performa harian ayam broiler perusahaan inti Umur Rata-rata Mortalitas (%) (hari) berat (gr) 0 42 1 49 0.400 2 59 0.500 3 75 0.600 4 94 0.713 5 117 0.778 6 144 0.800 7 175 0.900 8 210 1.000 9 248 1.100 10 290 1.200 11 334 1.300 12 382 1.400 13 433 1.500 14 487 1.600 15 543 1.700 16 602 1.800 17 664 1.900 18 727 2.000 19 794 2.100 20 862 2.200 21 932 2.300 22 1 004 2.400 23 1 078 2.520 24 1 153 2.640 25 1 230 2.760 26 1 308 2.880 27 1 387 3.000 28 1 467 3.120 29 1 549 3.250 30 1 631 3.380 31 1 714 3.520 32 1 797 3.660 33 1 881 3.800 34 1 965 3.950 35 2 049 4.100 36 2 134 4.250 37 2 218 4.450 Sumber: Dramaga Unggas Farm, 2015
FCR
Konsumsi pakan komulatif (gr)
0.265 0.475 0.613 0.713 0.778 0.819 0.851 0.876 0.907 0.934 0.967 0.997 1.028 1.057 1.088 1.118 1.146 1.176 1.203 1.232 1.261 1.288 1.314 1.342 1.367 1.394 1.420 1.445 1.469 1.494 1.518 1.541 1.564 1.587 1.609 1.630 1.652
13 28 46 67 91 118 149 184 225 271 323 381 445 515 591 673 761 855 955 1 062 1 175 1 293 1 417 1 547 1 682 1 823 1 969 2 120 2 276 2 437 2 601 2 770 2 942 3 118 3 297 3 479 3 664
56 Lampiran 2 Rata-rata penerimaan usaha ternak ayam ras pedaging peternak mitra skala I dan skala II per 1 000 ekor Uraian
Jumlah (kg)
Peternak mitra skala I Harga Nilai (Rp) (Rp/kg)
Jumlah (kg)
Peternak mitra skala II Harga Nilai (Rp) (Rp/kg)
Penerimaan tunai Penjualan ayam berat 1.2 - 1.29
58.95
24 350.00
1 435 368.42
0.00
24 350.00
0
berat 1.3 - 1.39
259.13
23 950.00
6 206 124.78
117.50
23 950.00
2 814 009.73
berat 1.4 - 1.49
265.25
23 900.00
6 339 537.89
0.00
23 900.00
0
berat 1.5 - 1.59
77.05
23 850.00
1 837 705.26
376.12
23 850.00
8 970 359.54
berat 1.6 - 1.69
319.58
23 800.00
7 605 978.95
277.02
23 800.00
6 593 032.72
0.00
23 750.00
0.00
429.21
23 750.00
10 193 853.31
453.85
23 650.00
10 733 628.57
340.28
23 650.00
8 047 654.76
34 158 343.88
1 540.13
21 038.01
138.92
berat 1.7 - 1.79 berat > 1.8 Penjualan ayam Penjualan pupuk
1 433.81 170.87
96.84
Bonus Penerimaan diperhitungkan Konsumsi ayam Konsumsi pupuk Total penerimaan
36 618 910.03 120.00
107 530.77
13 065.72 171 450.05
7.55
23 816.96
179 742.93
5.55
23 742.90
131 886.92
528.04
96.84
45 582.71 34 512 238.30
486.25
120.00
59 135.07 36 994 447.79
57
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 15 November 1993. Penulis merupakan putri pertama dari keluarga Bapak Andi Murfi dan Ibu Erlingga Respatiningrum. Penulis anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan akademis penulis dimulai dengan bersekolah di TK Dian Pratiwi Kota Bogor. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2005 di SDN Margajaya I Kota Bogor kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Kota Bogor dan lulus pada tahun 2008. Selanjutnya pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Kota Bogor dan lulus pada tahun 2011. Penulis diterima di IPB melalui jalur undangan di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.