IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000
TESIS
Oleh KIKI AMELIA 077009012/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
KIKI AMELIA 077009012/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi Konsentrasi
: IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000 : Kiki Amelia : 077009012 : Linguistik : Analisis Wacana Kesusastraan
Menyetujui, Komisi Pembimbing,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) Ketua
Ketua Program Studi,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.)
(Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.) Anggota
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)
Tanggal lulus: 30 Juni 2009
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Telah diuji pada Tanggal 30 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D
Anggota
: 1. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. 2. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S. 3. Dra. Pujiati, Ph.D
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ABSTRAK
Ideologi feminisme merupakan ideologi yang sudah berkembang di berbagai belahan dunia, temasuk di Indonesia. Ideologi ini juga telah memasuki ruang-ruang kehidupan, tidak terkecuali dalam karya sastra. Penelitian tesis ini membicarakan ideologi yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 serta berbagai faktor yang melatarbelakangi pergeseran ideologi tersebut. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis dan kritik sastra feminis. Adapun metode penelitian digunakan metode kualitatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ideologi feminisme dalam karya sastra tersebut meliputi tindakan tokoh perempuan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Sedangkan faktor pendidikan, status sosial ekonomi, politik, budaya, serta agama ditemukan menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi pergeseran ideologi feminisme tersebut. Kata Kunci: ideologi feminisme, Angkatan 1970, dan Angkatan 2000.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ABSTRACT
The feminism ideology was developing in all parts of the world including Indonesia. This Ideology has penetrated the aspects of life, including the literary works. This thesis deals with the ideology contained in literary works of 1970 and 2000 and some factors underlying the ideological shifts. The theory used in this reseach was critical discourse analysis and feminist literary criticism. This research method used the qualitative method. The results of research indicates that feminism ideology in literary works include the figures of women, context, history, power, and ideology. However the factors of education, socioeconomic status, political, cultural and religion have been found to be factors underlying the feminism ideology shifts. Key words: the feminism ideology, literary works of 1970, and literary works of 2000.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan sekalian alam, Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Tesis ini berjudul Ideologi Feminisme dalam Karya Sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusasteraan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tidak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku pembimbing I yang selalu memberikan masukan berharga dan juga kepada Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si yang telah bersedia menjadi pembimbing II yang selalu sabar dan telaten dalam membimbing penyusunan tesis ini. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyatakan bertanggung jawab atas isi yang terdapat di dalamnya serta dengan tangan terbuka menerima kritik, saran, dan berbagai masukan yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis,
Kiki Amelia 077009012
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah karena atas karunia-Nya serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana. 3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan nasihat yang berharga bagi penilis. 4. Bapak Drs. Umar Mono, M. Hum. selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang selalu memberikan kemudahan dan masukan-masukan berharga. 5. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si selaku pembimbing II yang selalu menyediakan waktu, meminjamkan bahan-bahan rujukan untuk penyusunan tesis, serta memberikan kritik dan saran yang berarti selama proses penyusunan tesis ini. 6. Bapak Rabullah, S.H. selaku staf di Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu penulis dalam urusan administrasi. 7. Seluruh dosen pada Program Studi Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana Kesusasteraan yang telah memberikan ilmu yang berguna selama masa perkuliah berlangsung. 8. Ayahanda tersayang, Alm. Ahmad Fuad dan Ibunda tercinta, Hj. Nazad Farida yang selalu memberikan dukungan serta telah banyak berkorban demi penulis. Kepada ayah dan ibu pula tesis ini penulis persembahkan. 9. Saudara-saudara yang sangat penulis kasihi, Kakanda Syahril Fuad beserta kak Eby Suryani Rizki dan Kakanda Harun Al Rasyid beserta kak Maimuni Astuti.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Kepada para keponakan yang lucu-lucu, Nadia Shafira Fuad, Hafidza Yumna Al Khansa, M. Gibran Al Fathir, dan Syaamil Al Rasyid. 10. Teristimewa untuk suami terkasih, Irsan Bastari, S.T. sang belahan jiwa yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang tulus serta dukungan bagi penulis yang menjadikan hidup lebih berarti. 11. Sahabat-sahabat mahasiswa Program Studi Linguistik Angkatan 2007, Muharrina, Kak Rosliani, Kak Zuraidah, Putri Nst., Kak Lela, Kak Kamalia, Halimah, Nur Chalida, Andi, Muhajir, Yeni, Juli, Bu Roswani, Bu Rosita, Bu Erma, Kak Tina, Bang Rahmat, Bang Rudi, Bang Ramlan, Bang Elisten, Bang Yunus, Bang Kadir, Pak Jamorlan, Pak Amhar, dan Pak Gustaf. 12. Seluruh staf di Program Studi Liguistik, Kak Nila, Kak Karyani, Puput yang selalu membantu para mahasiswa dalam berbagai urusan.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak disebut namanya namun turut membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.
Medan, Juli 2009 Penulis,
Kiki Amelia 077009012
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Kiki Amelia
Tempat/Tanggal Lahir
: Tanjungbalai/05 Maret 1981
Agama
: Islam
Status
: Belum menikah
Hobi
: Membaca, mendengarkan musik
Nama Orangtua
: Alm. Ahmad Fuad.
Alamat
: Jl. Jamin Ginting Gg. Sarmin No. 57, Medan
No. Telepon
: 08126309466
Pekerjaan
: Staf pengajar SMA Dr. Wahidin Sudirohusodo, Medan.
RIWAYAT PENDIDIKAN Tahun 1987-1994
: SD Negeri 14, Tanjungbalai
Tahun 1994-1996
: SMP Negeri 1, Tanjungbalai
Tahun 1996-1999
: SMA Negeri 1, Tanjungbalai
Tahun 1999-2003
: S1 Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USU, Medan.
Tahun 2004-2005
: Akta IV, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNIMED, Medan.
Tahun 2007-2009
: S2 Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK .............................................................................................................
i
ABSTRACT ............................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
iii
UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................................
vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................
ix
BAB I
1
PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1
Latar Belakang ................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................
10
1.3
Batasan Masalah ...............................................................................
11
1.4
Tujuan Penelitian .............................................................................
12
1.5
Manfaat Penelitian .............................................................................
12
1.5.1
Manfaat Teoretis ....................................................................
12
1.5.2
Manfaat Praktis .....................................................................
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI................
14
2.1 Kajian Pustaka ...................................................................................
14
2.2 Konsep ...............................................................................................
16
2.2.1 Ideologi Feminisme..................................................................
16
2.2.2 Angkatan Sastra ......................................................................
22
2.2.3 Novel .......................................................................................
27
2.3 Landasan Teori ...................................................................................
28
2.3.1 Teori Analisis Wacana Kritis ....................................................
29
2.3.2 Teori Kritik Sastra Feminis ......................................................
32
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
35
3.1 Metodologi ........................................................................................
35
3.2 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................
35
3.3 Teknik Analisis Data ..........................................................................
36
3.4 Teknik Penyajian Analisis Data .........................................................
37
3.5 Sumber Data ......................................................................................
38
BAB IV
IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000 .............................................................
40
4.1 Tindakan ............................................................................................
40
4.2 Konteks ...............................................................................................
53
4.3 Historis ................................................................................................
62
4.4 Kekuasaan ...........................................................................................
73
4.5 Ideologi ...............................................................................................
84
BAB V
FAKTOR-FAKTOR PERGESERAN IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000........................................................................................................ 104
5.1 Faktor Pendidikan ............................................................................... 104 5.2 Faktor Status Sosial Ekonomi ............................................................. 109 5.3 Faktor Politik (Kekuasaan) ................................................................. 111 5.4 Faktor Budaya ..................................................................................... 113 5.5 Faktor Agama...................................................................................... 116
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN................................................................... 124
6.1 Simpulan ............................................................................................. 124 6.2 Saran.................................................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 128
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1.
Tindakan Tokoh-Tokoh Perempuan ..........................................................
49
2.
Konteks yang Memengaruhi .....................................................................
59
3.
Konteks Historis ........................................................................................
71
4.
Aspek Kekuasaan ......................................................................................
82
5.
Tipologi Ideologi Feminisme ....................................................................
100
6.
Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme .........................................
119
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Suatu karya sastra pada dasarnya merupakan hasil pemikiran dan perenungan pengarang terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Tentu saja karya sastra yang dihasilkan tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Sebagai anggota masyarakat, pengarang tentu memiliki pendapat tersendiri mengenai situasi dan masalah yang terjadi di lingkungannya. Berbagai pendapat dan pengalaman tentang kehidupan kemudian dimaknai lalu dituangkan dalam bentuk karya sastra yang tentunya sudah dibumbui dengan peristiwa imajinatif dan kreatif dari sang pengarang. Pencerapan keadaan sosial melalui karya sastra merupakan hal yang harus diperhatikan pengarang, sebab ia menulis sebuah tulisan yang diciptakan berdasarkan peristiwa faktual kemudian digubah ke dalam bentuk yang bersifat imajinasi. Hal ini sesuai dengan fungsi karya sastra yaitu berguna dan memberikan hiburan bagi pembaca (utile dan dulce). Begitupun
ketika di berbagai belahan dunia terjadi arus gelombang
perlawanan, khususnya ketika terjadi pemberontakan terhadap sistem patriarki yang dipelopori kaum feminis ramai dibicarakan. Tidak mengherankan sejak masa kelahirannya hingga kini, pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi,
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarjinalkan dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib kaum sesamanya yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme. Feminisme muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakan atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang dilakukan selama berabad-berabad lamanya. Gerakan feminisme ini pada awalnya berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas dan dieksploitasi dan dianggap makluk kelas dua. Maka feminisme diyakini merupakan langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut (Fakih, 2004:99). Asal pemikiran feminisme ini sebenarnya berasal dari Prancis, yaitu ketika terjadi revolusi Prancis dan masa pencerahan di Eropa Barat. Berbagai perubahan sosial besar-besaran tersebut turut pula memunculkan argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini berdampak pada pemutusan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional (Ollenburger dan Helen, 2002: 21). Meskipun pemikiran feminisme ini bersumber dari negeri menara Eiffel tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan di Amerika. Feminisme sebenarnya diakibatkan ketidakpuasan kaum perempuan terhadap sistem patriarki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan. Pada tahun 1776 ketika Amerika memproklamasikan kemerdekaannya, telah menyebut “all men are created equal”. Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika sebagai barometer keadilan dan kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
mendengung-dengungkan persamaan derajat di antara manusia, namun sayangnya hal tersebut tidak dialami oleh kaum perempuan. Hal yang sama berlaku pula pada masyarakat yang berkulit hitam. Masyarakat kulit putih sangat memandang rendah kaum kulit hitam yang kebanyakan imigran dari Afrika. Deklarasi yang telah diproklamasikan tersebut mengakibatkan kekecewaan dan kemarahan dari kaum perempuan yang merasa tidak dihargai (Sikana, 2007: 321). Untuk menandingi deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya, maka pada tahun 1848 kaum feminis menyebut “all men and women are created equal”. Kalimat tersebut dapat dikatakan versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya yang dirasakan tidak adil oleh kaum perempuan (Djajanegara, 2000:1). Selain itu ada juga yang lebih menekankan bahwa gerakan feminisme lebih pada gerakan politik seperti yang dinyatakan oleh Moi (1991: 204), “Feminism are political labels indicating support for the aims of the new women’s movement…” (“Feminisme merupakan gerakan yang bemuatan politis yang menunjukkan dukungan untuk tujuan pergerakan perempuan yang baru…”). Menurut Djajanegara (2000: 1-4), ada beberapa aspek yang turut memengaruhi terjadinya gerakan feminisme, yaitu aspek politik seperti yang telah disebut sebelumnya, yaitu ketika kaum perempuan merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentingan kaum perempuan yang berkaitan dengan politik diabaikan. Lalu ada pula aspek agama serta aspek ideologi. Dari aspek agama disebutkan bahwa kaum feminis menuding pihak gereja bertanggung jawab atas doktrin-doktrin yang menyebabkan posisi perempuan di
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bawah hegemoni kaum laki-laki. Ajaran gereja juga berpendapat bahwa kaum perempuan mewarisi Original Sin atau dikenal dengan Dosa Turunan yang menyebabkan manusia terusir dari surga hingga terlempar ke bumi. Bahkan kaum Yahudi kuno secara lugas selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan (Sikana, 2007: 321). Aspek ketiga yang memengaruhi gerakan feminisme yaitu aspek ideologi. Konsep di kalangan sosialisme menunjukkan adanya stratifikasi jender yang juga menjadi ciri khas masyarakat patriarkis. Perempuan mewakili kaum proletar atau kaum tertindas, sedangkan laki-laki disamakan dengan kaum borjuis atau kelas penindas. Selain itu dalam konsep sosialisme ini, perempuan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis karena pekerjaan mereka hanya mengurus urusan domestik rumah tangga. Pemikiran tentang gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, politik, budaya, dan termasuk karya sastra yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (1989: 109), “… sastra menyajikan kehidupan, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia”. Dalam karya sastra dunia telah diketahui bahwa banyak tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang selama ini dirasa telah mengungkung keberadaan perempuan di berbagai aspek kehidupan. Sebut saja Virginia Woolf seorang pengkritik sekaligus penulis yang selalu menuliskan karya-karya yang beraroma feminis. Salah satu karyanya berjudul A Room of One’s Own yang berbicara tentang perang dan perasaan perempuan (Arivia, 2006:164). Perempuan lain seperti Alice Walker, penulis feminis kulit hitam pemenang Pulitzer Prize yaitu penghargaan di bidang jurnalisme untuk bukunya The Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan memiliki hak dan kebebasan atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu, tidak berhak untuk memaksa perempuan melakukan apa yang tidak diinginkannya. Demikian pula halnya yang terjadi pada karya sastra Indonesia. Sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan Angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karyakarya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan mereka terhadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat pada sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yang mulai menunjukkan emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an yaitu pada novel Layar Terkembang yang mulai membangkitkan semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan. Memasuki dekade 1970-an pengarang perempuan mulai menjejali ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh–tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat, memiliki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun masih terdapat juga penggambaran perempuan yang bersifat lemah dalam menghadapi berbagai permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an yang mengusung novel-novel populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang berkembang pada waktu itu. Di antara karyakarya pengarang perempuan yang sangat dikenal pada tahun 1970-an, seperti Karmila yang diusung Marga T, Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini, Kabut Sutra Ungu yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti. Di samping itu para pengarang perempuan lain yang cukup dikenal di tahun 1970-an adalah Titi Said, Titis Basino, Sariamin, S. Rukiah , La Rose, Maria A. Sarjono, Marianne Katoppo, dan masih banyak yang lain. Ramainya para pengarang perempuan yang mewarnai khazanah kesusasteraan Indonesia dikarenakan pemikiran bahwa perempuan tentu lebih memahami kondisi perasaan yang dialami oleh kaumnya selain tentunya alasan komersil dan desakan dari penerbit untuk menerbitkan karya-karya mereka. Hal tersebut dapat dimaklumi sebab pada masa itu masyarakat sangat menyukai karyakarya mereka karena dirasa lebih menyentuh perasaan perempuan, baik remaja maupun yang dewasa. Meskipun di satu sisi pada tahun 1970-an perkembangan sastra Indonesia digemilangkan karya-karya eksperimental dari sastrawan laki-laki seperti karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya maupun Sutardji Calzoum Bachri, namun di sisi lain
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tidak menyurutkan semangat pengarang perempuan memeriahkan jagat kesusastraan Indonesia. Terbukti karya-karya pengarang perempuan ini selalu menjadi pembicaraan di kalangan pembaca, kritikus, dan pengamat sastra terlepas dari polemik mengenai sastra serius dan sastra populer. Apabila dibandingkan dengan Angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang perempuan Angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun masih menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan 2000 umumnya pesan ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya dengan isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dalam berbagai bidang, tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni di tahun 2000-an. Di masa sekarang, khususnya setelah terjadi reformasi pada medio 1998, karya-karya pengarang perempuan juga lebih berani dan terbuka dalam bersikap. Perihal seksualitas yang selalu diungkapkan dalam banyak karya sastra pengarang perempuan Angkatan 2000 menjadi perdebatan hangat di kalangan sastrawan, kritikus, dan pembaca sastra pada umumnya. Ada yang memaklumi karena hal tersebut bagian dari kehidupan yang jamak terjadi dalam kehidupan nyata dan tidak perlu ditutup-tutupi. Sebagian lain kurang menyetujui karena dianggap karyakarya yang vulgar dengan mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Mereka contoh para pengarang perempuan dari Angkatan 2000 yang selalu merepresentasikan kehidupan seksualitas tokoh-tokohnya. Permasalahan yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
berbau seksualitas yang terkadang dilukiskan secara gamblang dan tanpa tedeng aling-aling sebenarnya hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang ingin disampaikan para penulis feminis. Permasalahan kehidupan sosial, politik, dan budaya sepertinya juga ingin dikemukakan oleh mereka, sebut saja Helvy Tiana Rosa, misalnya. Pengarang yang juga termasuk dalam sastrawan Angkatan 2000 ini sangat menjaga jarak dengan tema-tema seputar aktivitas seksualitas seperti yang banyak ditulis oleh pengarangpengarang perempuan masa kini. Sebaliknya Helvy selalu menampilkan tokoh-tokoh perempuan dari berbagai belahan dunia yang berjiwa kuat, relijius, dan tegar dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan. Contohnya seperti yang banyak diutarakan dalam kumpulan cerpennya Lelaki Kabut dan Boneka. Begitupun dengan pengarang lain, seperti Abidah El Khalieqy. Pengarang yang juga mantan santriwati pada salah satu pesantren di Jawa Timur ini banyak menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang berjiwa pemberani dan pemberontak terhadap aturan-aturan yang dirasakan tidak adil bagi perempuan serta tidak ingin kaum perempuan menjadi makluk yang pasrah terhadap keadaan yang menimpa yang mengakibatkan mereka menjadi kaum yang terpinggirkan. Hal ini tentu agak berbeda jika mengamati karya-karya pengarang perempuan pada Angkatan 1970. Perbedaan itu dikarenakan telah terjadi pergeseran konsep ideologi feminisme yang terjadi di antara kedua angkatan tersebut. Kalimat-kalimat yang digunakan pengarang dalam karya-karya kedua angkatan yang berbeda beberapa dekade itu menjadi salah satu pergeseran nilai yang terjadi. Pola pemikiran yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
semakin maju dan mengglobal dari para pengarang perempuan turut memengaruhi mereka dalam memilih dan menggunakan kata demi kata serta kalimat demi kalimat. Bahasa perempuan yang diutarakan tentu memiliki nuansa yang berbeda dengan apa yang dibahasakan oleh pengarang laki-laki. Bahkan penulis perempuan Virginia Woolf melalui Arivia,
(2006:113) mengatakan, “Kalimat-kalimat perempuan
berbeda dengan kalimat laki-laki”. Kalimat perempuan lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, solidaritas, dan sejenisnya (Sinar, 2004: 3). Seiring dengan arus globalisasi dunia di samping pendidikan pengarang perempuan masa kini yang semakin tinggi membuat para pengarang perempuan tersebut semakin maju pola pikirnya. Tentu saja hal tersebut turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut banyak
kalangan
pemerhati
sastra,
dirasakan
telah
berhasil
mendobrak
keterkungkungan perempuan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka, mengindikasikan kekuatan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan tersebut. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak kaum laki-laki takluk dan tidak berdaya menahan godaaan dan bisikan dari kaum perempuan. Meski banyak mendapatkan kritikan dari pengamat sastra karena banyak mendeskripsikan aktivitas seksualitas, tidak membuat para pengarang feminis ini risih karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut sebenarnya merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Hal yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme antara kedua angkatan tersebut di antaranya karena perjuangan kaum perempuan masa kini yang ingin benar-benar dihargai sebagai perempuan dan tidak ingin dijadikan makluk kelas dua yang terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mandiri meski terkadang tanpa ada dukungan dari laki-laki. Agak berbeda jika dibandingkan dengan pemikiran dan perjuangan kaum feminis di tahun 1970-an yang belum seterbuka dan seberani kaum feminis sekarang. Mengingat telah terjadi pergeseran ideologi feminisme pada karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka penulis mencoba untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan hal yang telah disebutkan di atas. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti ideologi feminisme khususnya karya-karya pengarang perempuan pada Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
1.2 Rumusan Masalah Secara garis besar pemasalahan yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini adalah idelogi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Adapun masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000?
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
1.3 Batasan Masalah Mengingat begitu banyak karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini dibatasi hanya ideologi feminisme dalam karya-karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 yang ditulis oleh pengarang perempuan. Karya-karya sastra tersebut berbentuk karya sastra prosa, yaitu novel. Adapun judul-judul novel yang mewakili Angkatan 1970 adalah: 1. Karmila karya Marga T. 2. Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T. 3. Namaku Hiroko (NH) karya Nh. Dini. 4. Pada Sebuah Kapal (PSK) karya Nh. Dini. 5. Perempuan Kedua (PK) karya Mira W 6. Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono. Sedangkan judul-judul novel yang dianggap mewakili pengarang perempuan Angkatan 2000 adalah: 1. Larung karya Ayu Utami 2. Saman karya Ayu Utami 3. Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy. 4. Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy. 5. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) karya Abidah El Khalieqy. 6. Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari 7. Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menguraikan ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. 2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk: 1. Memperkaya kajian yang menerapkan teori analisis wacana kritis dan kritik sastra feminis dalam karya sastra, khususnya karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. 2. Menjadi model dalam pengungkapan ideologi feminisme dalam karya sastra serta dapat menjadi referensi bagi penelitian sastra mengenai adanya ideologi feminisme yang terdapat dalam novel Karmila dan Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T, Namaku Hiroko (NH) dan Pada Sebuah Kapal (PSK) dari Nh. Dini, Perempuan Kedua(PK) karya Mira W serta Melati di Musim Kemarau (MdMK) dari Maria A. Sardjono yang mewakili Angkatan 1970 dan novel Larung dan Saman dari Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy, Supernova: Ksatria,
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) dan Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari, Nayla dari Djenar Maesa Ayu yang mewakili Angkatan 2000.
1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk: 1. Memberikan informasi kepada masyarakat pembaca tentang ideologi feminisme dalam karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. 2. Sebagai perbandingan dan acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ideologi feminisme dalam karya sastra Indonesia, khususnya pada karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Penelitian mengenai ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 sepanjang penulis ketahui belum ada. Namun penelitianpenelitian mengenai feminisme dalam karya sastra cukup sering ditemukan. Di antaranya adalah (1) Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan pada tahun 2007 secara bersama-sama pernah mengulas yang mempraktikkan kritik sastra feminis dalam penelitian mereka terhadap novel Nyai Dasima. Dalam penelitian mereka tersebut yang ditekankan adalah pemasalahan jender dan perempuan yang menjadi kaum inferioritas. Adapun judul penelitian tersebut adalah Gender dan Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis. (2) Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Suyono Suratno pada tahun 2000. Beliau mengkaji novel Nh. Dini yang berjudul La Barka. Judul penelitian yang dipilih Suyono yaitu Ideologi Gender dan Refleksi Semangat Feminis: Catatan Novel La Barka yang terefleksi di dalam novel tersebut. Penelitian ini juga melakukan pendekatan kritik sastra feminis. (3) Selain itu penelitian tentang analisis kritik sastra feminis juga dilakukan oleh Nurelide di tahun 2005. Novel Perempuan di Titik Nol menjadi bahan kajian Nurelide yang bertajuk Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan dalam Perempuan di Titik Nol (Woman At Point Zero) Karya Nawal El Saadawi. (4) Penelitian kritik sastra feminis tentang Citra Dominasi Laki-Laki atas Perempuan dalam Saman pernah pula dilakukan oleh
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Sugihastuti pada tahun 2000. Penelitian ini memfokuskan pada citra atau gambaran dominasi yang dilakukan laki-laki atas perempuan. Dominasi yang digambarkan tersebut diimbangi dengan tema penolakan atas dominasi laki-laki tersebut. (5) Jurnal mengenai kritik sastra feminis lainnya pernah pula dilakukan oleh Muhammad Nur Latif pada tahun 2006. Pada penelitiannya yang berjudul Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El Sadaawi, dosen jurusan Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin ini menekankan bahwa fenomena yang terjadi dalam masyarakat, tidak terkecuali masyarakat Arab yang selalu dituding sering memperlakukan perempuan dengan tidak adil dan sewenang-wenang dengan dalih ajaran agama. Hal ini sebenarnya bukanlah bagian dari tuntunan syariat Islam. Islam justru membela dan mengakui hak-hak perempuan serta memperbaiki kedudukan mereka. (6) Adapun Rahimah Haji A. Hamid, seorang guru besar sastra di Universitas Sains Malaysia pernah membahas masalah feminisme dalam karya sastra pada tahun 2007. Jurnal ilmiah tersebut berjudul Bahasa Wanita dalam Karya Sastra: Tentangan Terhadap Hegemoni Lelaki. Fokus perhatian dalam jurnal tersebut membandingkan ragam bahasa yang dipergunakan pengarang perempuan Indonesia yaitu Ayu Utami dalam kedua novelnya Saman dan Larung dibandingkan dengan ragam bahasa yang dipergunakan pengarang puisi perempuan Malaysia, Zurinah Hassan. Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat diketahui bahwa pembicaraan mengenai feminisme cukup banyak, terlebih pada masa sekarang ketika perempuanperempuan dan juga laki-laki sudah banyak yang peduli tentang kondisi kaum
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
perempuan yang masih saja mengalami ketertindasan dan dijadikan objek ketidakadilan.
2.2 Konsep 2.2.1 Ideologi Feminisme Secara etimologi ideologi berasal dari bahasa yunani yaitu idea yang diartikan sebagai cita-cita; gagasan. Sedangkan logos merupakan ilmu. Jadi dapat disimpulkan bahwa ideologi ilmu tentang gagasan, cita-cita, sistem kepercayaan yang telah ditentukan secara sosial (Ratna, 2008: 370). Ideologi sangat berkaitan dengan cara pandang hidup seseorang. Menurut Sargent dalam Suryadi (2007:63), ideologi didefinisikan sebagai, ”Sistem nilai atau sistem kepercayaan yang diterima secara nyata atau kebenarannya oleh suatu kelompok”. Demikian pula Santoso (2003: 39) mengungkapkan bahwa, “Ideologi dianggap sebagai nilai-nilai/ norma-norma kultural, pengalaman serta kepercayaan yang dimiliki seseorang dalam melihat fenomena-fenomena sosial di dalam masyarakatnya”. Masih menurut Santoso (2003:40), untuk melihat berbagai fenomena sosial, ideologi dapat menumbuhkan bermacam pikiran mengenai kekuasaan dan dominasi. Apabila suatu kekuasaan ditentang maka ideologi-ideologi dapat berkembang dalam suatu masyarakat. Sebuah ideologi sebenarnya bukan hanya menunjuk pada hal-hal yang dianggap besar dan mapan seperti ideologi Pancasila, ideologi Liberal, ideologi Sosialis, ideologi Komunis, dan lain-lain, tetapi juga yang terkait dengan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
permasalahan feminisme, keagamaan, paham filosofis tertentu serta termasuk paham tertentu yang hanya diyakini oleh individu tersebut. Pakar sastra yang berdomisili di Bali, Ratna (2008: 448) mendefinisikan ideologi secara berbeda-beda sesuai dengan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar ideologi merupakan seperangkat kepercayaan, prinsip tertentu yang mengatur suatu masyarakat di dalamnya. Pendapat ini menurut Ratna diungkapkan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke 18 kemudian dikembangkan dalam karya-karya Louiss Althusser. Althusser melalui Ratna (2008: 373) juga menghubungkan ideologi dengan bahasa, yaitu sebagai representasi. Ideologi kemudian muncul sebagai representasi suatu masyarakat tertentu. Ideologi tidak hanya sekadar konsep dan gagasan semata, melainkan meluas pada simbol, misalnya: mitos, gaya hidup, selera, mode, media massa serta keseluruhan cara-cara hidup dalam masyarakat (Ratna, 2008: 373). Dengan demikian ideologi berfungsi ibarat semen untuk membuat bangunan yang berfungsi untuk merekatkan dan menyatukan hubungan antarmanusia. Menurut Fairclough (dalam Jorgensen dan Louise, 2007: 139), ideologi ditafsirkan sebagai konstruksi makna telah memberikan kontribusi bagi produksi, reproduksi dan transformasi, dan hubungan-hubungan dominasi. Maksud pernyataan ini bahwa sebuah ideologi bisa memberikan kontribusi dan upaya untuk mempertahankan serta mentranformasikan hubungan-hubungan kekuasaan. Ideologi terbesar dari dahulu hingga masa kini dapat dikatakan terjadinya dikotomi antara Barat dan Timur serta orientalisme pada umumnya. Implikasinya, kebudayaan Barat selalu dianggap lebih kuat, tinggi dan bermutu dibandingkan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dengan hasil cipta dan karsa manusia Timur. Sepertinya masyarakat Timur sudah mengerti bahwa kebudayaan Barat seperti pergaulan dan seks bebas, kapitalisme, perlombaan senjata, hegemoni terhadap negara yang lemah dianggap wajar bagi negara yang sudah maju (Ratna, 2008: 373). Hubungan ideologi dengan karya sastra tentu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di samping bertujuan sebagai hiburan, suatu karya sastra diciptakan karena ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. Meskipun perlu dicatat bahwa karya sastra bukanlah media yang resmi untuk mengemukakan ideologi, doktrin, atau norma-norma. Hal ini tentu disebabkan sifat karya sastra yang imajinatif meski berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya diambil dari beberapa peristiwa nyata. Salah satu ideologi yang berkembang di masa sekarang ini adalah feminisme. Feminisme pada dasarnya merupakan gerakan untuk memartabatkan kaum perempuan dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Tuntutan dasar kaum ini sebenarnya adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan diberbagai sektor kehidupan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ratna (2004:184), feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan dikendalikan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial pada umumnya. Hal yang senada juga dikatakan oleh Arivia (2006: 18) “… feminisme mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang konkret serta mempersoalkan perdebatan jender yang menyebabkan ketidakadilan sosial”. Hampir senada dengan berbagai pengertian feminisme di atas, dalam Alwi, dkk (2005: 315), dikatakan bahwa yang dimaksud
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Di antara para ahli yang mengategorikan tipologi feminisme, penulis tentu harus memilih yang paling sesuai dengan penelitian ini. Untuk itu pilihan dijatuhkan pada pendapat Agger (2003: 215-230). Beliau membagi feminisme dalam empat jenis, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal atau kultural, feminisme sosialis, dan feminisme Africana. Feminisme liberal merupakan jenis gerakan feminisme yang mencoba memperkuat kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Asumsi dasar feminisme liberal berdasarkan pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality). Tujuan feminis liberal memperjuangkan persoalan masyarakat, yaitu menuntut kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Tidak boleh ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut pandangan kaum feminisme liberal, keterbelakangan kaum perempuan dikarenakan kaum ini tidak turut berpartisipasi dalam pembangunan selain sikap yang juga masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional. Perlu diperhatikan bahwa penganut feminisme liberal memandang bahwa pernikahan dan membentuk keluarga merupakan hal yang alami dan wajar. Mereka tidak membenci keluarga sebagaimana kaum feminis radikal. Homoseksualitas juga diyakini sebagi bentuk perilaku yang menyimpang dan tidak alami. Adapun jenis yang kedua adalah feminisme radikal. Feminisme ini berpandangan bahwa segala penindasan yang terjadi dikarenakan diskriminasi yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dilakukan oleh sistem patriarki. Masa feminisme ini mucul sekitar akhir 1960-an dan awal 1970-an. Bagi penganut feminisme radikal ideologi patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan. Oleh sebab itu mereka mengkritik keluarga heteroseksis (perempuan berpasangan dengan laki-laki) yang dituding telah menyumbangkan penindasan bagi perempuan. Mereka menganggap bahwa perempuan akan terjebak dengan tanggung jawab dan kewajiban perempuan jika turut dalam heteroseksis tersebut. Hal ini sekaligus mengupayakan wacana homoseksual sehingga pada masa ini dikenal adanya orientasi seksual dengan yang sejenis (lesbian). Jenis feminisme yang selanjutnya disebut dengan feminisme sosialis. Feminisme jenis ini berpendapat bahwa perempuan tidak akan dapat meraih keadilan sosial tanpa membubarkan patriarki dan kapitalisme. Feminisme sosialis menekankan aspek jender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum perempuan. Menurut mereka, selama ini kaum perempuan dianggap menampilkan pelayanan berharga bagi kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas biaya pekerjaan domestik mereka. Feminisme
sosialis
menggugat
sistem kapitalisme
yang
mengambil
keuntungan dengan menyuruh istri mereka untuk mengasuh anak serta melakukan berbagai pekerjaan rumah. Selain itu, dunia pekerjaan dalam masyarakat telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dan tentunya dengan upah yang rendah pula. Jenis feminisme yang keempat disebut dengan feminisme Africana atau Black Feminism. Aliran ini muncul dikarenakan ketidakpercayaan pada aliran-aliran
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
feminisme lain. Para feminis kulit hitam keturunan Afrika di Amerika Serikat berpendapat bahwa masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit hitam jauh lebih sulit jika dibandingkan persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit putih. Oleh karena itu mereka mengharapkan adanya perbaikan keadaan diri dari konsep baru dalam feminisme yang menyentuh kehidupan kelam para perempuan kulit hitam. Dalam mengkaji permasalahan feminisme, ada baiknya memahami terlebih dahulu tentang konsep seks dan konsep jender (Fakih, 2004:7-9). Pengertian seks atau jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin ini bentuknya permanen dan tidak bisa berubah karena hal tersebut merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat dari Yang Mahakuasa. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep jender, yakni sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat secara sosial dan kultural. Contohnya selama ini perempuan dikenal dengan sifat lemah lembut, emosional serta keibuan. Di sisi lain laki-laki dianggap kuat, rasional atau perkasa. Konsep jender ini dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan sifat laki-laki serta dapat berubah dari waktu ke waktu. Setelah jelas perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dan jender maka akan muncul pertanyaan mengapa perbedaan jenis kelamin juga menimbulkan perbedaan jender? Hal ini tentu akan mengakibatkan ketidakadilan yang ditimbulkan perbedaan jender dalam masyarakat. Berbagai bentuk ketidakadilan jender yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bersumber dari sistem patriarki inilah yang menjadi faktor pendorong lahirnya gerakan feminisme (Fakih, 2004:11-12). Ketidakadilan yang selalu diterima perempuan dan sering disaksikan dalam kehidupan nyata, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikologis. Orang yang melakukannya pun selalu orang yang seharusnya menjadi pelindung dan bertanggung jawab pada perempuan tersebut. Orang-orang dekat tersebut bisa saja suami, ayah, atau majikan jika ia seorang pekerja rumah tangga. Contoh lain yang dianggap ketidakadilan untuk perempuan adalah ruang publik yang masih saja didominasi oleh kaum adam karena pencarian ekonomi dilakukan oleh mereka dan kalaupun pada masa sekarang ini sudah banyak perempuan yang beraktivitas di wilayah publik, tetapi selalu saja mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan terutama dari rekan-rekan laki-laki mereka.
2.2.2 Angkatan Sastra Oleh karena penelitian ini mengkaji masalah ideologi femisme yang dikaitkan dengan angkatan sastra, maka hal yang perlu pula diperhatikan adalah adanya berbagai penafsiran beberapa pihak mengenai angkatan sastra. Terlebih dahulu harus ditinjau kembali pengertian angkatan sastra dari beberapa sastrawan dan pemerhati sastra. Adapun yang dimaksud dengan angkatan sastra menurut Yudiono (2007: 47) ialah sekumpulan sastrawan yang hidup pada satu kurun atau masa yang menempati periode tertentu karena kesamaan atau sekurang-kurangnya memiliki kemiripan ide, gagasan, atau semangat sebagai akibat logis dari interaksi mereka yang hidup
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
sezaman. Sedangkan menurut Toer, dkk. melalui Yudiono (2007: 170), “Angkatan adalah suatu golongan yang diikat oleh kesatuan semangat dalam rangkuman tempat, masa, dan lingkungan yang sama”. Adapun dari pihak Pradopo, dkk. yang pendapat mereka masih dikutip oleh Yudiono (2007:170) memandang bahwa angkatan sastra merupakan bagian waktu yang dibatasi oleh sistem norma kehidupan yang berkaitan dalam proses sejarah. Sementara Lampan (2000: xxxvii) mengatakan bahwa angkatan sastra sebenarnya estafet atau penerus pembaruan yang dilahirkan oleh zaman tentang dinamika suatu zaman. Menurut Laelasari dan Nurlaila (2006: 34-35), ”Angkatan sastra merupakan generasi; sekelompok orang sezaman (sepaham dan sebagainya); yang diangkat (jabatan, pangkat); kelompok sastrawan yang bertindak sebagai suatu kesatuan yang berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk mendasari karya sastra”. Satu angkatan tidak muncul begitu saja karena hitungan tahun atau dasawarsa. Suatu angkatan muncul disebabkan ada yang ingin diungkapkan oleh para seniman dan angkatan yang baru dalam kesenian dengan sendirinya memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dari angkatan-angkatan sebelumnya (Saini:1993: 240). Masalah angkatan ini sering juga disamakan dengan periodisasi sastra, namun periodisasi lebih menekankan pada pembabakan atau periode yang dikuasai oleh sistem dan norma sastra, standar, serta konvensi sastra yang kemunculannya, keberagamannya, dan kelenyapannya dapat dirunut. Para pakar sastra mencoba untuk
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
melakukan pembabakan angkatan yang dimulai dengan lahirnya kesusasteraan Indonesia baru. Di antara yang melakukan hal tersebut sebut saja seperti Pradopo (dalam Yudiono 2007: 48) yaitu Balai Pustaka (1920-1940), Pujangga Baru (19301945), Angkatan 45 (1940-1955), Angkatan 50 (1950-1970), dan Angkatan 70 (19651984). Sedangkan
secara
garis
besar
Rosidi
(1969:13)
membagi
sejarah
kesusasteraan sebagai berikut. I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 dan terbagi lagi atas beberapa periode, yaitu 1. Periode awal hingga 1933 2. Periode 1933-1942 3. Periode 1942-1945 II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa periode, yaitu 1. Periode 1945-1953 2. Periode 1953-1961 3. Periode 1961-1968. Pendapat Rachmad Djoko Pradopo dalam Yudiono (2007: 48) mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia dapat pula dijelaskan sebagai berikut: 1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940, 2. Periode Pujangga Baru: 1930-1945, 3. Periode Angkatan ‘45: 1940-1955,
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
4. Periode Angkatan ‘50: 1950-1970, dan 5. Periode Angkatan ‘70: 1965-1984. Masih menurut Pradopo yang dikutip Yudiono (2007: 49), memasuki Angkatan 1970 (1965-1984) warna perpolitikan di Indonesia agak bergeser dengan munculnya sastra-sastra yang lebih “ringan” dibaca atau dikenal dengan istilah sastra populer dari angkatan-angkatan yang sebelumnya banyak menceritakan masalah kemasyarakatan ditambah pengaruh-pengaruh dari suasana perpolitikan di Indonesia. Seperti
yang
telah
disinggung
sebelumnya,
selain
dikenal
dengan
bermunculannnya sastra populer, pada Angkatan 1970 ini juga ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra yang eksperimental dan tidak mudah dicerna oleh semua pembaca. Diperlukan pemahaman serta pemikiran yang mendalam jika ingin menafsirkan makna yang terkandung di dalam karya-karya sastra tersebut. Para sastrawan yang terkenal di era 1970-an ini seperti Putu Wijaya, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Iwan Simatupang. Perlu diingat kembali bahwa pada masa itu pihak penguasa sangat mengawasi kebebasan para seniman Indonesia, tidak terkecuali pada sastrawan. Karya-karya sastra yang dianggap mengkritik dan berseberangan dengan pemerintah tentu tidak dibiarkan beredar begitu saja. Jika telanjur beredar, pembredelan dan pemberangusan tidak akan terelakkan lagi. Oleh sebab itulah dengan caranya sendiri para sastrawan tersebut ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya tentang kondisi sosial budaya dan politik pada waktu itu dan tentunya menggunakan kata-kata yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
agak kacau dan penuh simbol supaya selamat dari kecaman penguasa yang tidak bersedia dikritik. Jika pada karya-karya sastra eksperimental ala Putu Wijaya, dkk. penuh dengan simbol dan jungkir balik, maka hal tersebut tidak terjadi dengan karya-karya pengarang perempuan di masa yang sama. Sebaliknya karya-karya mereka cenderung mudah dipahami dan tidak sampai mengernyitkan dahi ketika membacanya karena dalam karya-karya mereka, ceritanya hanya berkisar tentang ragam permasalahan perempuan dan hal tersebut ternyata disukai pembaca yang umumnya didominasi kaum perempuan sehingga model-model cerita seperti itu laris manis di pasaran. Berbanding terbalik dengan karya sastra yang beredar di tahun 1970-an, karya sastra yang berkembang di masa reformasi, yang ditandai dengan tumbangnya pemerintahan orde baru, sudah sedemikian bebas dalam bertutur dan dengan beraneka tema. Sastrawan yang lahir dan tumbuh di masa reformasi ini akhirnya tergabung dalam Angkatan 2000. Para pengarang tidak perlu khawatir lagi dengan adanya pencekalan dari pihak penguasa karena semua masyarakat berhak untuk mengutarakan apa yang dirasakan dan dipikirkannya, termasuk sastrawan yang juga sebagai anggota masyarakat. Pada tahun 2000, Lampan meyusun pembabakan baru yang dimasukkan ke dalam Angkatan 2000. Dalam buku tersebut Rampan menunjukkan kepada masyarakat bahwa telah hadir suatu angkatan yang berbeda dengan angkatanangkatan sebelumnya. Hal tersebut diketahui ketika di penghujug tahun 1990-an, tepatnya di tahun 1998 terbit dua novel yakini Saman karya Ayu Utami dan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Hempasan Gelombang karya Taufik Ikram Jamil. Kedua sastrawan ini mencoba melakukan ekperimen dalam penulisan serta beruaha menampilkan tema-tema yang tidak lazim. Seiring dengan itu bermunculan karya-karya dari pengarang muda dan dapat dikatakan sangat inovatif, termasuk di antaranya pengarang-pengarang perempuan seperti yang telah disinggung pada bab pendahuluan. Pembaruan terjadi dalam karya sastra pada masa ini bukan hanya dalam kata-kata yang sudah bebas dan lugas, tetapi juga pada unsur-unsur intrinsik yang dibangun dengan cara yang tidak biasa sehingga menghasilkan karya sastra yang lebih estetis dan dinamis.
2.2.3 Novel Secara garis besar karya sastra dibagi atas tiga bentuk, yaitu puisi, prosa, dan drama. Salah satu bentuk karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat signifikan adalah novel. Dalam penelitian ini yang akan dianalisis adalah karya sastra yang berbentuk prosa, khususnya novel. Novel di Indonesia muncul sejak terbitnya buku Si Jamin dan Si Johan karya Merari Siregar pada tahun 1919 (Semi,1988: 32). Dalam Laelasari dan Nurlaila (2006:166), novel diartikan sebagai, “Prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orangorang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku”. Konsep novel yang lain dikemukakan oleh Semi (1988: 32). Menurutnya novel dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra yang memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas. Panjang cerita novel tentunya berbeda dibanding cerpen.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Jika cerpen memusatkan perhatian pada perwatakan dan satu masalah, maka novel lebih luas dari itu. Kedudukan perwatakan dan jalan cerita yang ditampilkan pengarang berada dalam satu keseimbangan. Hampir senada dengan Semi, Nurgiantoro (1998: 11) mengatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih rinci, lebih detil, dan lebih kompleks. Menurut Umar Kayam dalam Nasution (2000: 22), novel mempermasalahkan kehidupan sehari-hari. Karya sastra (termasuk novel) merupakan media untuk menyampaikan ide, gagasan, protes, persetujuan, dan sebagainya. Para pakar sastra lain, seperti Wellek dan Austin (1989: 281) mengatakan bahwa novel-novel modern melukiskan manusia lahir, tumbuh, dan mati. Tokohtokohnya mengalami perkembangan dan perubahan. Di samping itu, siklus kemajuan sebuah keluarga diuraikan sejelas mungkin. Novel dapat dikatakan sebagai salah satu wujud kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. Meskipun bersifat fiksi, namun sebuah novel yang baik tentu berisikan perenungan secara intens, penuh kesadaran, serta tanggung jawab pengarang mengenai hakikat kehidupan.
2.3 Landasan Teori Seperti halnya ilmu-ilmu humaniora lainnya, sastra sebenarnya esensi dari kebudayaan. Penelitian suatu karya sastra memiliki manfaat agar manusia lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan bahkan ideologi yang diyakini pengarang. Untuk mengetahui hal-hal tersebut maka dalam membedah sebuah karya
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
sastra peneliti harus memiliki pisau yang tepat dan tajam agar isi karya tersebut dapat dilihat dan diteliti. Dalam penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian merupakan kerangka dasar dalam penelitian. Teori yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis dan teori kritik sastra feminis.
2.3.1 Teori Analisis Wacana Kritis Analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis ideologi feminisme, yang salah satunya bisa dilihat dalam arena linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Menurut Eriyanto (2001: 7), analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam analisis wacana kritis, wacana atau teks tidak hanya menganalisis bahasa dalam arti studi linguistik atau aspek kebahasaan semata, melainkan bahasa tersebut dianalisis dengan menghubungkannya dengan konteks. Konteks di sini bermaksud bahwa bahasa tersebut dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu. Dalam Eriyanto (2001: 8) hal-hal di bawah ini merupakan karakteristik analisis wacana kritis, yaitu:
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
1. Tindakan Dalam pemahaman tindakan sebagai salah satu karakteristik analisis wacana kritis, wacana dipandang untuk tujuan memengaruhi, mendebat, membujuk, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis pasti memiliki maksud tertentu. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol yang dilakukan manusia. 2. Konteks Pada tahap ini, analisis wacana kritis mempertimbangkan, memproduksi, dan menganalisis konteks dari latar, situasi, peristiwa, serta kondisi. Kepada siapa dan mengapa komunikasi tersebut dilakukan. Ada tiga hal yang penting yang menyangkut konteks dalam pembahasan analisis wacana kritis ini, yaitu teks, konteks, dan wacana.Teks merupakan semua bentuk bahasa, tidak hanya katakata yang tertulis melainkan untuk semua jenis ekspresi komunikasi yang dilakukan manusia. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di
luar yang memengaruhi pemakaian bahasa dan situasi teks di mana
teks tersebut dihasilkan. Adapun wacana dimaknai sebagai teks dan konteks sekaligus. Fokus perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks sekaligus dalam suatu proses komunikasi. 3. Historis Analisis wacana kritis juga menempatkan konteks historis tertentu untuk dapat memahami teks. Pemahaman tentang wacana teks hanya dapat diperoleh jika diketahui bagaimana situasi sosial, budaya, dan politik pada
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
waktu teks tersebut tercipta. Oleh sebab itu ketika menganalisis teks perlu ditinjau supaya pembaca dan masyarakat mengetahui dan mengerti mengapa suatu wacana tersebut dapat berkembang sedemikian rupa serta mengapa bahasa yang dipergunakan seperti itu. 4. Kekuasaaan Kekuasaan juga menjadi elemen penting dalam analisis wacana kritis. Setiap wacana yang muncul dalam berbagai bentuk, tidak dianggap sebagai sesuatu yang alamiah melainkan sebagai bentuk kekuasaan. Konsep kekuasaan di sini artinya terdapat hubungan antara wacana dengan masyarakat. Misalnya kekuasaan dan dominasi laki-laki dalam wacana seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana rasisme. Hal ini mengindikasikan analisis wacana kritis tidak membatasi pada detil teks atau struktur wacana saja, tetapi juga mengaitkannya dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya di mana teks tersebut tercipta. 5. Ideologi Ideologi termasuk konsep sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini karena wacana adalah pencerminan ideologi tertentu. Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk melegitimasi dominasi mereka. Ideologi dari kelompok yang dominan hanya efektif apabila masyarakat tersebut memandang ideologi yang disampaikan adalah sebagai suatu kebenaran dan kewajaran. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka serta memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dalam kelompok. Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus permasalahan tentu saja ideologi feminisme, khususnya ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Adapun teori analisis wacana kritis ini akan digunakan untuk membedah rumusan masalah yang pertama, yaitu menguraikan ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
2.3.2 Teori Kritik Sastra Feminis Teori kritik sastra feminis ini merupakan salah satu teori yang berkembang beberapa tahun belakangan ini termasuk di negara-negara Timur. Sebagaimana yang telah diungkapkan bahwa feminisme merupakan perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Kritik sastra feminis lahir dan berkembang sejalan dengan perkembangan gerakan feminisme. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dengan kata seksisme (Sugihastuti, 2000: 82). Istilah ini pula membuka lembaran baru dalam kehidupan perempuan, baik yang berkaitan dengan keluarga, seks, pekerjaan, maupun yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan (Djajanegara, 2000:15). Kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa perempuan menyadari membaca karya sastra sebagai seorang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
perempuan, pengarang menulis novel sebagai perempuan, dan mengungkapkan citra perempuan dalam novel (Sugihastuti, 2000: 85). Pada umumnya, karya sastra menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik dari cerita rekaan, lakon, maupun sajak bisa diteliti asal terdapat tokoh perempuan di sana. Penelitian dengan menggunakan kritik sastra ini tentu akan lebih mudah untuk dikaji apabila dikaitkan dengan tokoh laki-laki yang terdapat pada karya sastra tersebut. Menurut Djajanegara (2000: 51-54) penerapan kritik feminis ada beberapa tahapan, yakni, I.
1) Kedudukan tokoh-tokoh perempuan dalam masyarakat. 2) Tujuan hidup tokoh-tokoh perempuan. 3) Perilaku serta watak tokoh-tokoh perempuan. 4) Pendirian serta ucapan tokoh perempuan yang bersangkutan.
II. 1) Tokoh lain (laki-laki) yang memiliki keterkaitan dengan tokoh wanita III. 1) Sikap penulis karya sastra 2) Nada dan suasana yang dihadirkan 3) Latar belakang cerita. Sugihastuti dalam Nurelide (2005: 15) menyebutkan bahwa kritik sastra feminis cenderung penelitian dari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian, kajian sastra yang objeknya khas berupa karya sastra tetap dikaitkan dengan disiplin ilmu lain, misalnya dengan ilmu sosial, budaya, ekonomi, psikologi, hukum, antropologi, dan sejarah.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Endraswara (2003:147) berpendapat bahwa melakukan kajian analisis feminis, peneliti sedapat mungkin harus bisa mengungkapkan secara jelas aspekaspek tekanan dan penindasan yang dialami perempuan. Peneliti juga harus menggunakan kesadaran khusus yaitu kesadaran bahwa perbedaan jenis kelamin memiliki keterkaitan dengan masalah keyakinan, ideologi dan wawasan hidup dan pada akhirnya memengaruhi pemaknaan cipta sastra. Untuk mengkaji rumusan masalah yang kedua, yaitu menganalisis latar belakang yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 digunakan teori kritik sastra feminis.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam metode kualitatif memfokuskan perhatian pada data yang alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2000:47). Penelitian kualitatif mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep. Metode kualitatif ini dapat pula diartikan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah yang sedang diteliti dengan menggambarkan subjek dan objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan
fakta-fakta
yang
tampak
atau
sebagaimana
adanya
(Nawawi,1998: 63). Menurut Bogdan dan Taylor dalam Kaelan (2005: 5) metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Hal senada juga diungkapkan oleh Whitney dalam Nazir (1988:63) metode penelitian kualitatif hampir sama dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode dengan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.
3.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian untuk membongkar ideologi feminisme yang terdapat dalam Angkatan tahun 1970 dan Angkatan tahun 2000 menggunakan teknik kepustakaan.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data-data dan informasi-informasi mengenai objek penelitian (Semi, 1993: 8). Teknik ini digunakan karena pada penelitian ini, sumber data yang tertulis lebih mendominasi. Adapun langkah-langkah yang diterapkan dalam mengumpulkan data ini sebagai berikut. 1)
Peneliti memulai dengan membaca secara cermat dan kritis untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan. Pembacaan ini dimaksudkan untuk memahami makna sumber-sumber data.
2)
Semaksimal mungkin membaca kembali secara berulang-ulang semua sumber informasi yang berkaitan dengan data.
3)
Mengumpulkan bagian-bagian penting yang berkaitan dengan masalah.
4)
Setelah melakukan ketiga langkah di atas maka peneliti memberi tanda sebagai bagian yang akan dianalisis lebih lanjut.
3.3 Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data pada penelitian ini digunakan hermeneutika. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang artinya menafsirkan. Oleh sebab itu menurut Palmer dalam Sumaryono (2000: 24) hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Hermeneutika adalah metode yang selalu digunakan untuk penelitian karya sastra (Ratna, 2004: 44). Hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
gejala, peristiwa, simbol, dan nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan yang terdapat pada kehidupan manusia. Dalam menganalisis data, hermeneutika memfokuskan pada objek yang behubungan dengan simbol-simbol, bahasa, atau pada teks-teks serta karya budaya lainnya (Kaelan, 2005: 80-81). Jadi, yang harus dilakukan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah pembacaan yang berulang-ulang (retroaktif) sehingga didapat data-data yang berkaitan dengan ideologi-ideologi feminisme di dalam karya tersebut. Namun, sebelum sampai ke tahap hermeneutika, analisis dengan menggunakan teknik heuristik adalah langkah awal yang perlu dilakukan. Heuristik merupakan pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Jadi, metode hermeneutika digunakan sesudah pembacaan heuristik (Pradopo, 2001: 84). Dalam penelitian ini data-data dianalisis berdasarkan setiap masalah bukan menganalis per data. Sebagai seorang peneliti tidak boleh bersikap pasif, maksudnya peneliti tersebut harus merekonstruksikan berbagai makna yang terdapat dalam karya sastra yang diteliti tersebut. Dalam penelitian menggunakan metode hermeneutika, seorang peneliti harus dapat menginterpretasikan maksud pengarang, dalam hal ini khususnya yang menyangkut ideologi feminisme dalam karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
3.4 Teknik Penyajian Analisis Data Teknik penyajian analisis data tesis ini menggunakan metode formal dan informal, sesuai dengan pandangan Sudaryanto melalui Nasution (2007: 66) yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menguraikan bahwa secara formal dijelaskan dalam bentuk bagan, grafik, lambang, gambar, matrik, dan tabel. Sedangkan secara informal digunakan bentuk deskripsi atau narasi. Dalam penyajian hasil analisis yang ada di tesis ini diutamakan dengan cara yang informal daripada yang formal agar uraian dapat dijelaskan dengan lebih terperinci.
3.5 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini berjumlah tiga belas novel dari pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Adapun judul-judul novel yang mewakili Angkatan 1970 adalah: 1. Karmila karya Marga T. 2. Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T. 3. Namaku Hiroko (NH) karya Nh. Dini. 4. Pada Sebuah Kapal (PSK) karya Nh. Dini. 5. Perempuan Kedua (PK) karya Mira W 6. Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono. Sedangkan judul-judul novel yang mewakili pengarang perempuan Angkatan 2000 adalah: 1. Larung karya Ayu Utami 2. Saman karya Ayu Utami 3. Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
4. Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy. 5. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) karya Abidah El Khalieqy. 6. Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari 7. Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Ketigabelas novel ini akan menjadi sumber data primer sedangkan sumber data pendukung dipeoleh dari buku-buku, majalah, surat kabar, internet serta makalah dari berbagai diskusi dan seminar. Semua ini dijadikan sebagai data sekunder dalam penelitian.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB IV IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000
4.1 Tindakan Hal pertama yang harus diperhatikan ketika menganalisis karya sastra bahwa karya sastra tersebut harus dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Karya sastra dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi antara pengarang dan pembaca (masyarakat) serta tidak bisa ditafsirkan secara denotatif. Dengan pemahaman seperti ini maka sebuah karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan. Seseorang, dalam hal ini pengarang, dalam berbicara atau menulis pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tersebut boleh jadi merupakan kata-kata yang berupa memengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Selain itu kata-kata yang diekspresikan tersebut harus dilakukan secara sadar dan terkendali, bukan di luar kesadaran. Untuk merepresentasikan ideologi feminisme dalam novel-novel Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka karakteristik pertama analisis wacana kritis ini dapat dipergunakan dalam penganalisisan. Tindakan mendebat dan menyanggah dapat disaksikan dalam beberapa kutipan novel seperti yang terdapat dalam novel Perempuan Kedua dari Mira W berikut. ”Cerai? Rani tertegun bingung. Memang sudah hampir sebulan dia mencurigai suaminya. Jengkel terhadap suaminya. Menjauhi suaminya. Tetapi cerai? Astaga. Belum pernah terpikir sekalipun! ”Masa sampai bercerai sih”
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Nah, itulah kelemahan perempuan bangsa kita! Tiba-tiba saja Dora bersemangat seperti orator di atas podium. ”Takut bercerai! Malu, kasihan anak, resah memikirkan masa depan, macam-macamlah. Akhirnya? Laki-laki pun jadi merajalela! Toh dikhianati bagaimana pun istrinya tetap tidak berani minta cerai. Rela saja dihina! Yah, daripada anak-anak kehilangan bapak. Daripada malu sama tetangga. Daripada mesti kesepian kalau malam...Bah! Nih, contoh aku! Begitu aku tahu dia menyeleweng, cerai! Habis perkara. Tanpa dia pun aku masih dapat mencari makan. Usahaku malah bertambah maju pesat setelah aku menjadi janda!” (PK: 115-116).
Dalam kutipan di atas telah terjadi perdebatan antara tokoh Rani dan temannya, Dora. Kedua perempuan ini berdebat karena tindakan Rani yang ragu-ragu memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan suaminya yang dicurigainya telah berselingkuh setelah belasan tahun hidup berumah tangga. Sedangkan Dora bersikap sebaliknya. Begitu mengetahui suaminya telah mengkhianati ikrar pernikahan, maka Dora langsung memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka. Tindakan Dora yang cepat mengambil keputusan boleh jadi disebabkan seringnya ia menghadiri seminar pernikahan yang menjamur serta pergaulannya yang luas, ditambah Dora seorang pengusaha yang notabene bisa mencari nafkah. Jadi, meskipun tanpa ada dukungan dari suami, Dora merasa bisa berdiri sendiri. Tidak heran Dora bisa mengambil keputusan untuk bercerai dengan sang suami. Contoh kutipan lain yang memperlihatkan tindakan atau reaksi, khususnya yang dilakukan Sri yaitu tindakan tegas kepada suaminya, dapat dilihat pada cuplikan novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini berikut. ”Ya, memang itu yang kumaksudkan. Mulai hari ini aku tidur sendiri. Empat bulan lagi anak kita lahir. Aku telah terlampau lelah dengan kepadatan perasaanku. Kalau kau mau, aku segera menyetujuinya.”
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Kau gila,” serunya cepat. ”Memang harus ada salah satu yang gila di antara kita berdua, sebab itu kita kawin. Kalau kita berdua berpikiran waras, kita tidak akan kawin.” ”Aku mencintaimu, Sri, katanya. Dia berdiri hendak mendekatiku. Aku mundur selangkah. ”Kau lelah. Pikiranmu kacau,” suaranya perlahan. Ah, betapa aku tidak akan lelah. Betapa pikiranku tidak akan kacau. ”Keluar,” aku membuang pandang dan menguatkan suaraku (PSK: 122).
Tindakan yang dilakukan tokoh Sri pada tokoh Charles Vincent adalah puncak kemarahannya setelah berkali-kali Sri disakiti secara psikologis dengan selalu dimarahi, dibentak, dan tidak dihargai sebagai seorang istri. Sri merasa sudah tidak tahan hidup dengan suami yang sedari awal tidak dicintainya itu. Untuk itu Sri mulai berani mengambil sikap yang tegas pada suaminya. Sebagai perempuan, ia tidak ingin direndahkan. Dia tidak ingin terus menerus diperlakukan sebagai objek kekerasan yang dilakukan suaminya, dia harus berani mengekspresikan dirinya tidak hanya berdiam diri saja. ”Bagiku laki-laki seperti Charles tidak perlu mengetahui hal yang sebenarnya. Dia terlalu yakin bahwa perempuan yang telah diambilnya sebagai istrinya adalah seseorang yang tidak berpengalaman, yang akan menganut dan mengikuti langkahnya setapak demi setapak. Dan sejak malam itu dia kuharap mengerti bahwa aku akan sanggup, benarbenar sanggup meninggalkannya...” (PSK: 213).
Pada novel Nh. Dini yang lain, Namaku Hiroko, tindakan yang dilakukan tokoh Hiroko terhadap laki-laki yang mendekatinya adalah mencoba melepaskan diri karena Hiroko tidak ingin terikat padanya.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Aku harus berani melepaskan diri dari laki-laki itu. Lebih-lebih dari cengkeraman pengaruh materi yang dimilikinya. Sebagai laki-laki berpengalaman,dia mengetahui kelemahanku.Dengan kedermawanannya suatu kali dia berkata akan membuka nomor tabungan di bank kota atas namaku. Ini merupakan tantangan yang berat bagiku. Di samping itu pula merupakan keinginannya agar aku tetap melayaninya kemauannya, yang berarti aku harus menjadi miliknya. Hanya didorong oleh kemauan yang luar biasa kuatnyalah aku berhasil menolaknya. Kujelaskan terus terang, aku tidak ingin menjadi perempuan kedua yang selalu siap sedia di mana diperlukan. Aku lebih suka bebas...”(NH: 141).
Hiroko merupakan tokoh utama perempuan yang pada awalnya diceritakan sangat lugu dan pemalu, namun lama kelamaan sikapnya berubah tatkala ia lama tinggal dikota. Berbagai pekerjaan ia lakoni, mulai menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak, penjaga toko hingga menjadi penari telanjang (striptease) yang memberinya limpahan materi. Orientasi hidup dan keinginannya juga tidak terlepas dari kekayaan materi yang akhirnya membuat Hiroko memilih jalan yang tidak baik menurut ukuran kebanyakan orang. Setelah lama hidup di kota Kobe pun Hiroko tidak pernah berpikir untuk menikah. Aku puas dengan hidupku, dengan apa yang kumiliki waktu itu. Dengan umurku yang muda, aku seakan-akan telah mencapai apa yang kuidamkan. ”Dalam arti kebendaankah yang Anda maksudkan?”tanyanya kemudian. ”Ya. Karena memang kebendaanlah yang saya cari. Saya tidak ingin hidup dalam kekurangan.” ”Tidak ada orang yang ingin hidup kekurangan,” sahut Suprapto. ”Tetapi, adakah Anda memiliki ambisi, mempunyai keinginan buat mencapai yang lebih tinggi lagi?” ”Tentu saja saya mempunyai ambisi, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.” ”Lalu untuk apa?” ”Untuk hidup tentu saja.”
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Suprapto terdiam, meneruskan makan. ”Lalu menurut pikiran Anda, ambisi apa yang baik bagi saya.” ”Seperti kebanyakan wanita: kawin.” Mengapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku. Atau barangkali pernah. Tetapi demikian selintas, demikian ringan dan kabur secepatnya sehingga terlupa atau tak kuanggap sesuatu yang menguasai diriku, lalu lepas entah kemana tanpa kusesali. Barangkali pula oleh kuatnya cengkraman pikiran, kehendak hidup semaunya dengan bebas. (NH: 156).
Kutipan dari novel lain, Karmila, juga memperlihatkan tindakan Karmila yang pada awalnya diceritakan sangat membenci Feisal yang telah memerkosanya dan menolak untuk menyusui anak hasil perkosaan Feisal. Betapa pun kasarnya perlakuan Karmila terhadap Feisal, namun Feisal tetap bersabar untuk menebus rasa bersalahnya kepada gadis yang masih duduk di bangku kuliah fakultas kedokteran tersebut. ”Tidak peduli. Pokoknya tertulis di situ bahwa aku menikah denganmu, cuma supaya anak ini punya ayah titik. Aku tidak terikat hubungan apa-apa dengan engkau. Aku tidak akan tinggal menikah denganmu. Aku tidak akan tinggal bersamamu. Aku tidak akan menikah dengan engkau di gereja. Aku tidak akan menjadi istrimu. Dan segera setelah anak ini lahir, kita akan bercerai kembali dan anak ini kau ambil.” ”Sebaiknya anak itu kau pelihara. Dia lebih membutuhkan ibu daripada ayah.” ”Tidak! Bila engkau mau menikah denganku, anak ini harus kau ambil. Bila engkau tidak mau, engkau boleh pergi dan tinggalkan aku sendiri!!” (Karmila: 74). Adapun pada novel-novel yang mewakili Angkatan 2000 dapat dilihat ideologi feminismenya melalui tindakan dari tokoh-tokohnya seperti yang terdapat dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy berikut.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari atas kursinya, nenekku mulai berceramah. Bahwa perempuan harus selalu mau mengalah. Jika perempuan tidak mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Sebab tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan mengusai kemenangan. Sebab itu perempuan harus siap me-ngalah (pakai awalan me-). ”Jadi selama ini Nenek selalu mengalah?” ”Itulah yang harus dilakukan, Cucu.” ”Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.” ”Diperhitungkan?”Nenek terlonjak. ”Benar. Nenek tidak pernah diperhitungkan. Nenek tahu apa sebabnya? ”Apa sebabnya, Cucu?” ”Sebab Nenek telah mematok harga mati, dan harga mati Nenek adalah kekalahan. Siapakah yang mau memperhitungkan pihak yang kalah?” (GJ: 61).
Sesuai dengan judul novelnya, pengarang ingin menampilkan sosok perempuan yang berani menantang siapa saja yang mencoba untuk menindas hakhaknya sebagai seorang perempuan, tidak terkecuali pemikiran sang nenek pun dibantahnya. Bagi Jora, perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar. Perempuan tidak berhak untuk disakiti dan dinomorduakan. Sikap memberontak ini juga banyak dideskripsikan dalam dialog yang merupakan refleksi dari pemikiran yang sangat berani apabila dikaitkan dengan lingkungan kebudayaan (Jawa) yang sangat mengakar dan sangat kuat unsur patriarkinya. Hampir senada dengan novel Abidah yang lain, Perempuan Berkalung Sorban juga sangat kental nuansa feminismenya yang dilukiskan dalam bentuk tindakan, seperti yang dapat disaksikan dalam kutipan berikut. “Lagi pula, tak ada satu pun di antara orang-orang bertaqwa, baik laki-laki atau perempuan, yang diperintahkan untuk menjauhi atau
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
berjauhan dengan ayat-ayat Allah. Alangkah sialnya jadi perempuan. Bukan hanya itu. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang masuk masjid. Padahal wak Tompel yang setiap malam minum tuak dan berjudi di kedai Yu Sri, tidak dilarang tidur menggelosor di dalam masjid dan tak seorang pun berani mengatakan bahwa itu haram. Kepada Mbak May aku bertanya, benarkah semua yang kudengar dari kitab itu? Ia tersenyum ragu-ragu dan mengangguk. Maka aku pun ragu-ragu dan tak pernah mau mengangguk dan menjadi keledai…” (PBS: 73-74).
Dari dua cuplikan di atas, pengarang tampak sangat jelas mengusung warna feminisme. Berusaha untuk menyuarakan hak-hak perempuan serta menggugat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang hingga kini dirasakan masih sangat diskrimatif. Kedua cerita yang berlatar pesantren ini dapat dimaklumi karena sang pengarang juga pernah mengenyam pendidikan di salah satu pesantren modern puteri di Jawa Timur sehingga tidak mengherankan apabila pengarang sangat fasih berbicara seluk-beluk di pesantren. Benarlah apa yang dikatakan A. Teeuw yang dikutip oleh Pradopo (1995: 80), “Suatu karya sastra tidak lahir dalam kekosongan kebudayaan”. Artinya, pengarang tidak serta merta menciptakan suatu karya sastra tanpa ada konteks sosial budaya yang melatarbelakanginya. Sedikit
berbeda
dengan
Abidah
yang
bernuansa
relijius
dalam
mengungkapkan ide-ide feminismenya, Ayu Utami justru terlihat blak-blakan dan sensasional ketika berbicara mengenai perilaku seks tokoh-tokohnya. Novel Saman dan larung mengisahkan
tentang tokoh-tokoh perempuan yang mandiri, wanita
karier, cerdas, serta berani menyatakan diri sebagai perempuan yang membutuhkan seks lebih dari apa yang bisa diberikan para lelaki dalam kehidupan mereka. Tokoh-
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tokoh tersebut merasa harus mengambil tindakan terhadap budaya patriarkal yang selalu mendominasi selama ini, termasuk menyangkut masalah seks. Beragam tindakan yang mereka lakukan untuk menunjukkan ketidaksukaan atas budaya patriarki ini. Mulai menyatakan sikap dan jati diri, berupaya memegang kendali hingga memilih pasangan sejenis (lesbian). Saman mempunyai tokoh-tokoh utama perempuan yang sudah bersahabat sejak masih remaja. Selain tentunya memiliki tokoh laki-laki, di antaranya Romo Wis (Saman), Sihar, dan Anson. Keempat tokoh perempuan yang ada di novel ini adalah Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, dan Yasmin Moningka. Sedangkan novel Larung merupakan lanjutan dari novel Saman. Kutipan berikut menunjukkan tindakan dilihat pada novel Saman seperti berikut. Di sini sangat nyata terlihat kebencian tokoh Shakuntala terhadap ayah yang menurutnya telah menyakitinya. Terutama juga agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati. Yang tidak menghormati aku, tak pernah menyukai aku. Aku tidak menyukai mereka. Tapi ketika pertama kali mengurus visa di kedutaan Besar Nederland, yang mereka tanyakan adalah nama keluarga. “Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama keluarga.” “Anda memiliki ayah, bukan?” “Alangkah indahnya kalau tak punya.” “Dan mengapa saya harus memakainya?” Formulir ini harus diisi.” Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen, bukan? Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakai nama ayah?” (Saman: 137). Adapun novel Larung senada dengan novel Saman dalam hal keterbukaan. Larung terbagi dalam tiga bagian. Secara ringkas, pada bagian pertama mengisahkan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tokoh Larung yang sedang mencari cara untuk membunuh neneknya yang berusia lebih dari dari 100 tahun namun belum meninggal juga. Diceritakan juga bahwa Larung turut merasakan luka sejarah yang dimilikinya karena ayahnya terlibat dalam G30S/PKI. Bagian kedua bercerita tentang empat sahabat, yaitu Laila, Yasmin, Shakuntala, dan Cok yang datang ke New York untuk menonton Shakuntala menari. Selain itu mereka juga mempunyai tujuan lain, seperti Yasmin yang membantu Saman untuk mencari dukungan bagi gerakan demokrasi di Indonesia. Laila ingin bertemu dengan kekasih gelapnya, Sihar, yang ternyata datang membawa serta istrinya. Bagian ketiga mengisahkan upaya Larung dan Saman menyelamatkan para aktivis yang dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli dan menjadi buronan polisi. Adapun contoh kutipan yang menunjukkan tindakan dalam melakukan aktivitas seksual dapat dilihat sebagai berikut. Aku bosan juga. Lalu kami mencoba melakukan anal seks, untuk menjaga keperawananku. Tapi aku jadi ambeien. Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue. Akhirnya kupikir bodo amat, ah udah tanggung. Aku pun melakukannya, sanggama. Aku bertukar cerita ini dengan Shakuntala. Aku tidak tahu apakah dia membocorkannya kepada Yasmin dan Laila…(Larung: 83).
Perempuan Eksperimen. Bayangkan! Tak ada yang percaya bahwa perempuan eksperimen berarti perempuan yang bereksperimen. Semua akan mengartikannya perempuan untuk eksperimen… Kadang aku jengkel, apapun yang kita lakukan, yang juga dilakukan lelaki, kok kita mendapat cap jelek. Laki-laki tidur bergantian dengan banyak
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
cewek akan dicap jagoan. Tapi perempuan yang tidur bergantian dengan banyak lelaki dibilang piala bergilir. Pelacur. Apapun yang kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama perempuan. Misalnya, oleh si Yasmin brengsek itu (Larung: 84). Kutipan di atas secara gamblang merepresentasikan aktivitas seksualitas yang dapat dikatakan menyimpang dari norma masyarakat (Indonesia), dalam arti bukan hubungan yang disahkan oleh surat nikah dan diakui oleh agama dan norma sosial. Selain itu pada kutipan yang selanjutnya terdapat uraian kekesalan hati Cok atas tanggapan masyarakat mengenai perempuan eksperimen seperti yang dilakukannya. Cok seolah-olah memprotes penilaian masyarakat bahwa ketika laki-laki melakukan tindakan yang bejat mereka tidak disalahkan. Berbeda halnya ketika perempuan yang melakukan kesalahan tersebut, mereka akan dicap negatif oleh masyarakat. Cok digambarkan pengarang sebagai sosok yang jujur, terbuka, bebas serta liar. Sejak masih SMA Cok telah kehilangan keperawanannya maka tidak heran kemudian teman-temannya menjulukinya ‘Si Perek’ atau ‘muka orang yang sedang sanggama’.
Tabel 1 : Tindakan Tokoh-Tokoh Perempuan
No
Angkatan 1970
1
Perempuan Kedua
2
Karmila
3
Bukan Impian Semusim
4
Namaku Hiroko
Menyanggah
Tindakan Tokoh Perempuan Memengaruhi Menggugat
Aktivitas Seksual
√
√
√
√
√
√
√
─
─
√
─
─
√
√
√
√
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan tabel 1 5 6
Pada Sebuah Kapal Melati
di
√
√
√
√
─
√
─
─
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Musim
Kemarau 2000 1 2 3 4 5
Larung Saman PerempuanBerkalung Sorban Geni Jora
6
Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh Supernova: Akar
7
Nayla
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa tindakan-tindakan ekspresif yang dilakukan oleh para tokoh perempuan, seperti menyanggah, memengaruhi, menggugat, serta tindakan yang berkaitan dengan aktivitas seksual didominasi oleh tokoh-tokoh perempuan pada novel-novel yang mewakili Angkatan 2000. Berbagai tindakan yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh perempuan, misalnya dalam novel Perempuan Kedua, dilakukan tokoh Dora yang sudah mendapat pengaruh
pemikiran
feminisme.
Perkataannya
tersebut
dibuktikan
dengan
ketegasannya untuk mengakhiri pernikahan dengan suami yang diketahuinya telah berselingkuh. Begitu pula halnya dengan tokoh Sri dalam Pada Sebuah Kapal. Selain
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
itu, tokoh Hiroko pada novel Namaku Hiroko juga mencoba memberontak dan ingin melepaskan diri terhadap laki-laki yang ingin memilikinya. Sedangkan tokoh Karmila pada novel Karmila mencoba untuk bersikap tegas dengan tidak ingin menikah secara hukum agama dengan laki-laki yang telah memerkosanya. Beragam tindakan yang terlihat pada ucapan-ucapan serta perilaku yang berujung pada ketegasan tokoh-tokoh perempuan memberikan kesimpulan bahwa tokoh-tokoh perempuan pada Angkatan ini mulai berani untuk mengekspresikan diri dan seolah tidak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh laki-laki. Meski demikian, para perempuan di Angkatan 1970 ini boleh dikatakan lebih lunak apabila dibandingkan dengan tokoh perempuan di Angkatan 2000. Kelunakan sikap ini misalnya dapat dilihat pada tokoh Karmila yang pada akhirnya dikisahkan menikah dan hidup bahagia dengan Feisal yang pada awalnya tidak dicintai Karmila. Selain itu diceritakan pula bahwa tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970 ini sudah menikah kecuali tokoh Hiroko pada novel Namaku Hiroko. Tokoh ini menjalin hubungan dengan beberapa laki-laki, namun hingga di akhir cerita, Hiroko tidak pernah menikah meski sudah memiliki anak dari hubungan dengan kekasihnya. Pada tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970, memang ditemukan tindakan menyanggah, memengaruhi, menggugat, dan aktivitas seksual seperti yang disebutkan pada tabel di atas, namun hal tersebut dapat dikatakan tidak terlalu menonjol. Jika ada tokoh-tokoh perempuan yang mencoba menggugat dan memengaruhi, biasanya dilakukan oleh tokoh yang dekat dengan sang tokoh utama. Misalnya teman tokoh perempuan yang tidak tega melihat ketidakadilan yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dialami oleh tokoh perempuan tersebut. Contoh konkretnya dapat dilihat pada salah seorang tokoh perempuan dari novel Perempuan Kedua yang bernama Dora. Dora merupakan teman sang tokoh utama, Rani, yang telah dikhianati suaminya. Dora begitu marah dan tidak bisa menerima temannya diperlakukan demikian. Berbagai tindakan pun dilakukannya agar Rani memilih jalan hidup sesuai dengan apa yang disarankan Dora. Begitu pula dengan tokoh Sri atau Hiroko dalam novel Pada Sebuah Kapal dan Namaku Hiroko. Meski pada awal-awal cerita para tokoh perempuan ini dikisahkan cenderung pasrah dan menurut, namun di tengah hingga akhir cerita, tindakan tokoh-tokoh tersebut begitu ekspresif pada tokoh laki-laki yang telah menindas hak-hak mereka. Berdasarkan tabel yang tertera di atas, pada Angkatan 1970, tindakan menyanggah ditemukan ada empat novel. Tindakan memengaruhi lebih banyak lagi yaitu terdapat dalam 6 novel. Sedangkan tindakan menggugat dan aktivitas seksual masing-masing empat dan tiga novel. Adapun pada Angkatan 2000 kesemua tindakan yang ada pada tabel dapat ditemukan pada setiap novel yang mewakili angkatan tersebut. Berkaitan dengan tindakan yang dilakukan tokoh perempuan Angkatan 2000 ternyata bisa dikatakan lebih berani dibandingkan apa yang telah dilakukan tokohtokoh perempuan di Angkatan 1970, terlebih ketika menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh tokohnya. Pada Angkatan 1970, pelukisan tentang aktivitas seksual tidak seterbuka pada Angkatan 2000. Dari enam novel yang menjadi data pada Angkatan 1970, hanya ada tiga novel yang memasukkan unsur seksualitas
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dalam cerita, yaitu dalam Perempuan Kedua, Namaku Hiroko, dan Pada Sebuah Kapal. Adapun pada Angkatan 2000, kesemua novel melakukan tindakan seperti yang tersebut dalam tabel di atas tidak terkecuali juga memasukkan unsur seksualitas dalam cerita. Pada Angkatan 2000, tokoh-tokoh perempuan dari ketujuh novel yang mewakili, ditemukan telah melakukan tindakan-tindakan seperti yang dijelaskan dalam tabel di atas. Dalam Angkatan Reformasi ini semua data yang mewakili memasukkan adegan seksualitas dengan versinya masing-masing.
4.2 Konteks Menurut Eriyanto (2001: 8) dalam mengkaji sebuah wacana, dalam hal ini karya sastra, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Analisis wacana juga mengkaji konteks komunikasi yaitu siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa dia melakukan hal tersebut, dalam jenis masyarakat dan situasi seperti apa, melalui media apa seseorang berbicara, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi dan hubungan bagi setiap pihak. Ada dua konteks penting yang mempengaruhi produksi wacana yaitu, 1.
Partisipan wacana Yang termasuk partisipan wacana adalah apa latar belakang seseorang yang menghasilkan wacana tersebut. Apa jenis kelaminnya, berapa umurnya, status sosial serta apa etnis dan agama yang dianutnya.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
2.
Latar sosial tertentu Konteks latar sosial melingkupi tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik merupakan konteks yang berguna untuk memahami sebuah wacana. Apabila konteks di atas dikaitkan dengan novel yang dianalisis, sangat banyak
kalimat-kalimat atau dialog-dialog yang menggambarkan berbagai konteks seperti yang terlihat dalam cuplikan novel Bukan Impian Semusim berikut. Nina memandangi mata biru itu. Aneh. Keduanya kini tampak lebih ramah. Kelopak yang menaungi mereka tampak berkedip-kedip. ”So,” kata Mere dengan nada sedikit lunak, ”saya sangat menghargai keberanianmu. Saya sungguh-sungguh sangat menghargainya. Berbuat kesalahan adalah bias. Tapi berani mengakuinya adalah sesuatu yang luar biasa. Itu sungguh-sungguh membutuhkan kurnia dan rahmat Tuhan.” Mere kini tersenyum. Nina ikut-ikutan tersenyum. Aneh. Dia tidak akan dimarahi? ”Tapi selain itu, saya ingin tahu mengapa engkau melakukannya? Setahu saya, engkau adalah anak yang sopan.” ”Saya...saya...tidak sengaja, Mere. Waktu melempar kertas itu, saya tidak menengok ke bawah.” Mere mengangguk-angguk sambil memandangnya dengan tajam. Muka Nina memerah dan dia menunduk. ”Oke. Kembalilah ke kelasmu. Persoalan ini saya akhiri sampai di sini. Lain kali berhati-hatilah.” (BIS: 21).
Konteks dalam dialog antara Nina dan Mere Rosa, seorang
biarawati
sekaligus berstatus sebagai kepala sekolah tempat Nina mengenyam pendidikan. Diceritakan pula di novel ini bahwa siswa yang kesemuanya perempuan begitu menghormati dan menyegani mere-mere yang ada di lingkungan sekolahnya,
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
terutama Mere Rosa. Hal ini tentu tidak terlepas dari status Mere Rosa sebagai kepala sekolah. Pada kutipan dari novel yang lain,masih Angkatan 1970, kalimat yang berkaitan dengan konteks dapat dilihat pada novel Perempuan Kedua berikut. ”Barangkali Anda punya problem?” ”Adakah manusia yang tidak punya problem, Dok?” Sial, mengapa aku yang ditanya? Gerutu Yanuar dalam hati. Untung saja pasien ini cantik. Kalau tidak... ”Problem yang tidak dapat dipecahkan barangkali? Yang sangat mengganggu pikiran Anda?” Sesaat perempuan yang telah sampai di dekat meja tulisnya itu menatapnya. Dan Yanuar harus menurunkan pelupuk matanya, purapura menulis sesuatu di kartu statusnya, jika tidak mau berkeringat lagi. Tatapan itu... ya, Tuhan! Mengapa demikian memikat? (PK: 58).
Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Yanuar yang berprofesi sebagai dokter mengharuskannya bersikap formal, serius, dan menjaga jarak ketika menghadapi para pasien, meskipun lawan bicaranya seorang perempuan yang cantik dan memikat hatinya. Hal ini dilakukannya untuk menjaga citra sebagai seorang dokter. Sebenarnya pofesi dokter tidak terlalu penting dalam pengisahan cerita tersebut. Bisa saja latar dunia kedokteran tersebut diganti menjadi latar antara mahasiswa dan dosen atau pengacara dengan kliennya, misalnya. Seandainya Yanuar seorang dosen yang berhadapan dengan mahasiswanya yang berparas cantik tentu ia juga harus menjaga citra dan berperan sebagai dosen. Contoh kutipan lain yang menggambarkan konteks dapat pula disimak seperti dalam novel Namaku Hiroko sebagai berikut.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Sekali lagi hari itu Suprapto menunjukkan betapa dia berbeda dari laki-laki lain yang selama itu kugauli. Di samping sikapnya yang tanpa cemburu ketika mengetahui pekerjaan sampinganku di malam hari, diam-diam dengan caranya yang patut dia selama ini telah mencintaiku. Sabar dan tekun, dia mencoba mengajariku hidup sebagaimana orang berkebudayaan, mengerti serta tahu menilai mutu hasil ciptaan yang baik. ”Anda dapat berterus terang kepada saya kalau memang ada pemuda lain. Tetapi selama kita bergaul, saya perhatikan Anda selalu bebas,” Suprapto mengakhiri pembicaraan tunggalnya (NH: 157).
Apabila kutipan di atas diperhatikan secara saksama maka dapat dilihat konteks yang terjadi dalam wacana tersebut, yaitu seorang tokoh laki-laki bernama Suprapto yang berasal dari Indonesia dan sedang menimba ilmu di Jepang, ternyata mencintai Hiroko meskipun Suprapto mengetahui Hiroko bekerja sebagai penari telanjang (striptease) di sebuah kelab malam. Suprapto sebenarnya tidak menyukai pekerjaan malam Hiroko tersebut, namun Suprapto tidak menyatakannya secara lugas, dia hanya meminta Hiroko untuk menikah dengan dirinya. Pola pikir yang maju dan terbuka ditambah pendidikan yang tinggi serta perilaku yang baik membuat Hiroko jatuh hati kepada Suprapto. Namun sayang, pada akhir cerita Hiroko ternyata tidak jadi menikah dengan Suprapto yang telah pulang ke Indonesia dan hal ini tidak lantas membuat Hiroko terlalu sedih. Kekhawatiran akan berbagai hal ketika sudah menikah dan egoismenya sebagai perempuan mengakibatkan dia bertahan pada pendiriannya yang tidak ingin menikah. Sebulan lagi Suprapto akan meninggalkan Jepang. Dia semakin tidak sabar karena aku belum juga hendak kawin. Menurut pendapat Nakajima-san, lebih baik aku meninjau dahulu negeri pemuda tersebut. Suprapto yang mengetahui betapa cintaku kepada pekerjaan dan cara hidupku, berusaha agar aku pada akhirnya dapat memilih
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tugas wanita yang sebenarnya: kawin dan memiliki keluarga. Tapi alasan yang mencegahku bermacam-macam, di antaranya khawatir tidak akan kerasan di negerinya (NH: 168). Tetapi bukan disebabkan oleh pendapat tersebut jika aku ”menolak” lamaran Suprapto. Kami telah hidup bersama. Menurut adat pergaulan ”sopan”, kami mendapat sebutan bertunangan. Perkawinan yang selalu kutangguhkan beberapa kali memang pernah kuinginkan. Sebagai hasil dari pengaruh di luar diriku. Tetapi keragu-raguan menghadapi kesukaran hari depan lebih besar daripada keinginan itu (NH: 169).
Pada kedua kutipan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Hiroko telah mengalami perubahan perilaku yang sangat signifikan. Dari seorang perempuan desa yang merantau ke kota, namun pada akhirnya menjadi perempuan yang kurang memperhatikan norma-norma kesusilaan, baik pola pikir maupun tingkah lakunya. Kutipan yang memiliki karakteristik konteks pada novel yang mewakili Angkatan 2000 di antaranya dapat dilihat dialog dalam novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh karya Dee sebagai berikut. ”Ikatan saya banyak. Bukan hanya pernikahan dua orang, tapi saya juga menikah dengan keluarganya. Dengan seluruh lapisan sosialnya. Saya tidak seperti kamu yang punya banyak kebebasan. Kamu tidak bisa membandingkan...” Re memutar tubuh tubuh Rana, menatapnya lurus-lurus. ”Saya tidak membandingkan karena saya tahu persis pembandingan tidak akan membawa kita kemana-mana. Tapi saya bisa melihat kamu memilikinya. Kekuatan untuk mendobrak. Membebaskan diri kamu sendiri.” ”Mendobrak apa? Moralitas? Norma sosial? Kita hidup di dalamnya, Re. Saya cuma ingin mencoba realistis...” ”Tidakkah kamu menyakiti dirimu sendiri dengan menempatkannya demikian? Apa yang jahat di sini, Rana? Jahatkah saya mencintai kamu mati-matian? Begitu amoralkah semua perasaan ini?” (KPBJ: 78).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Konteks yang ingin dikemukakan pada kutipan di atas mengenai tokoh Rana yang menyadari posisinya sebagai istri dari seorang laki-laki. Dalam episode perjalanan hidupnya, ia berselingkuh dengan Ferre (Re), seorang eksekutif muda dari sebuah perusahaan multinasional. Namun kisah kasih mereka akhirnya terpisahkan oleh sebuah kenyataan. Pengarang mengembalikan Rana kepada suaminya, Arwin, dan Rana pun menyadari bahwa perselingkuhan yang telah dilakukannya tersebut bisa menimbulkan pertentangan nilai moral, nilai sosial, terlebih nilai agama yang dianut masyarakat. Adapun cuplikan dari novel Geni Jora dapat dilihat konteksnya, yaitu ketika Kejora, sang tokoh sentral di novel ini, mengusung ide-ide feminisme yang sebagian besar mewarnai karya-karya pengarangnya meski terkadang disampaikan dengan nada sinis. Dalam hal ini konteks meliputi semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa. Pada cuplikan berikut yang menjadi konteks adalah partisipan yang memproduksi wacana tersebut. Dalam novel ini, Kejora digambarkan sebagai seorang perempuan intelelek yang telah mengecap pendidikan tinggi. Tentu saja wacana yang dihasilkannya pun menggambarkan pemikirannya. Berikut merupakan contoh dari wacana yang ditinjau dari sisi konteks. ”Benar jika dilihat dari sudut pandangmu,” kataku. ”Tetapi salah dalam sudut pandangku. Aku merasa, diriku mengalir sebagaimana takdir yang diperuntukkan bagiku. Sebagai perempuan, demikianlah kehadiranku. Merdeka. Mencoba beradaptasi dengan makhluk lain bergerak. Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama.” Apakah aku sedang mendengar terompet feminisme mendesing di antara debur ombak Agadir?”
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Tidak. Tetapi Zakky sedang gelisah bilamana moncong senapan berbalik menghadap ke arahnya, ditodongkan oleh mangsa yang berabad-abad menjadi sasaran buruannya.” Agaknya bagimu, tak boleh satu hari pun berlalu tanpa menyindirku (GJ: 9).
Dari kutipan dialog di atas terlihat nyata sikap yang ditunjukkan Kejora bahwa ia membenci ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Sebagai seorang perempuan yang cerdas dan berpendidikan tinggi, Kejora selalu digambarkan lugas ketika berbicara mengenai perempuan. Hal ini sesuai dengan karakteristik konteks dalam sebuah wacana, yang menyatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu unsur yang berpengaruh terhadap produksi wacana (Eriyanto, 2001: 10).
Tabel 2 : Konteks yang Memengaruhi
Angkatan No 1970
Konteks yang Memengaruhi Partisipan Wacana Latar Sosial Tertentu Pendidikan Status Agama Posisi Sosial Pembicara/ Pendengar √ √ ─ √
1
Perempuan Kedua
2
Karmila
√
√
─
√
3
Bukan Impian Semusim Namaku Hiroko
─
√
√
√
─
√
─
√
─
√
─
√
√
√
─
─
4 5 6
Pada Sebuah Kapal Melati di Musim Kemarau
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan tabel 2
1
2000 Larung
√
√
√
√
2
Saman
√
√
√
√
3
Perempuan Berkalung Sorban Geni Jora
√
√
√
√
√
√
√
√
4
√
√
√
√
6
Supernova: Ksatria, Puteri,dan Bintang Jatuh Supernova: Akar
√
√
√
√
7
Nayla
─
√
─
√
5
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa konteks yang berkaitan dengan status sosial selalu ditemukan dalam setiap novel, baik pada Angkatan 1970 maupun pada Angkatan 2000. Hal ini dapat dimaklumi karena konteks selalu ada dalam setiap kisah. Jika suatu cerita tidak memiliki konteks, maka dapat dipastikan cerita tersebut pasti terasa hambar. Adapun maksud konteks yang berkaitan dengan status sosial merupakan peranan tokoh-tokoh cerita dalam kehidupan kemasyarakatannya. Misalnya saja tokoh Yanuar dalam novel Perempuan Kedua memiliki status sosial yang berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit selain sebagai ayah dan suami, tentunya. Sedangkan pendidikan seorang tokoh, serta apa agama dan bagaimana budaya yang dianut sang tokoh juga turut memengaruhi jalan cerita. Budaya setempat
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang dianut oleh para tokohnya ternyata memberikan andil pada perilaku serta pemikiran para tokoh. Dari tabel Angkatan 1970 di atas dapat
dilihat bahwa konteks yang
memengaruhi yang berkaitan dengan pendidikan terdapat dalam tiga novel. Status sosial tokoh terdapat pada semua data, yaitu enam novel. Adapun konteks yang berkaitan dengan agama hanya terdapat dalam satu novel. Sedangkan posisi pembicara dan pendengar terdapat dalam lima novel. Pada Angkatan 2000 faktor pendidikan lebih banyak ditemukan dalam novel, yaitu berjumlah enam novel. Konteks yang berkaitan dengan status sosial ditemukan pada semua novel, yaitu tujuh novel. Adapun konteks yang berkaitan dengan faktor agama ditemukan hampir seluruh data, yaitu berjumlah enam novel. Sedangkan posisi pembicara dan pendengar juga terdapat dalam semua data Angkatan 2000, yaitu tujuh novel. Di beberapa novel baik dari Angkatan 1970 maupun dari Angkatan 2000 memang terdapat konteks yang berkaitan dengan agama. Konteks agama ternyata menjadi bagian penting serta turut memengaruhi jalannya cerita. Kepercayaan lama yang selama ini banyak diyakini masyarakat, perlahan mengalami pergeseran tidak terkecuali yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam Angkatan 2000. Dalam Geni Jora, misalnya. Tokoh Kejora digambarkan seorang perempuan yang berjiwa pemberontak, termasuk dalam urusan agama terutama yang berkaitan tafsiran mengenai perempuan. Perempuan ini juga selalu mempertanyakan kembali kitab-kitab fikih yang seakan menyerukan perlunya reinterpretasi atas kitab-kitab fikih tersebut.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
4.3 Historis Dalam memahami karakteristik yang ketiga analisis wacana kritis ini perlu diperhatikan konteks historis teks atau wacana tersebut. Sebenarnya masih berkaitan dengan konteks, hanya saja karakteristik yang ketiga ini lebih ditekankan pada unsur historis atau sejarah yang melatarbelakangi penciptaan wacana tersebut. Apabila dikaitkan dengan teks-teks dalam novel-novel yang dikaji dapat digambarkan sebagai berikut. ”Ning...maafkanlah aku,” katanya dengan suara gemetar,” Aku tahu bahwa dosaku kepadamu bukan main besarnya. Tetapi ijinkanlah aku membela diriku. Ikutilah cara berpikirku. Aku tumbuh dari keluarga yang kuat menjunjung susila sopan santun dan etika moral. Dan perkawinan tunggal merupakan tujuan utama sehingga memilih istri bagiku merupakan sesuatu yang harus kuperhitungkan matangmatang. Selama ini aku telah berperang melawan prinsip, egoisme dan perasaan cintaku padamu. Ketika kita terpaksa harus menikah, kuanggap semacam petunjuk bahwa aku memang harus berkorban. Kalau seorang wanita yang telah bertobat dari jalannya yang sesat, maka aku tak hendak menerimanya bukan?...(MdMK: 192).
Jika dilihat dari konteks historisnya, khususnya yang berkaitan dengan budaya, novel Melati di Musim Kemarau karya Maria A. Sardjono yang mewakili Angkatan 1970 ini menggunakan tokoh Rudi yang ternyata telah keliru menilai Tuning, istrinya. Rudi pada awalnya menganggap profesi Tuning sama seperti kakak Tuning, yang mantan pelacur. Sampai suatu ketika Rudi mengetahui sendiri setelah Rudi menikahinya, bahwa Tuning belum pernah disentuh oleh lelaki manapun. Meskipun kecewa dengan semua prasangka yang ditujukan padanya, tetapi Tuning yang berhati tulus akhirnya mau memaafkan Rudi. Tuning yang dikiranya mantan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pelacur, dengan sendirinya mengetahui bahwa Tuning tidaklah sehina yang dipikirnya. Selain itu Tuning juga seorang sarjana, meskipun Tuning juga tidak pernah mengatakannya kepada Rudi. Semua pembayaran kuliah Tuning dibiayai kakaknya sebagai seorang perempuan pekerja seks. Dari contoh kutipan di atas dapat dimengerti sikap yang ditunjukkan tokoh Rudi. Budaya Timur yang masih terasa kuat melekat dalam keluarganya yang menyebabkan ia sangat berhati-hati dalam memilih istri. Tuning yang notabene adik seorang mantan pelacur tentu dikira memiliki kesamaan dengan profesi kakaknya tersebut dan ternyata sudah terbukti bahwa Tuning memang tidak pernah dikecap oleh laki-laki manapun. Karya Angkatan 1970 yang lain dapat pula dilihat, misalnya pada novel Pada Sebuah Kapal berikut. Anggapannya bahwa orang lain bekerja kurang giat daripada dirinya itulah yang menyakitkan hatiku. Dan satu lagi.”Karena kau komunis,” kataku kemudian. Dia tidak menjawab. ”Aku tidak menganut aliran yang manapun juga. Tapi aku tidak suka komunis.” ”Aku bukan komunis,” sahutnya perlahan. ”Aku ke Peking karena pemerintah dari sanalah yang membiayai pameran-pameran, mengundang kami dan memperhatikan kami. Pihak kanan tidak pernah mengeluarkan biaya besar-besaran seperti itu” ”Mungkin apa yang dikatakannya adalah kenyataan. Kalau ada pameran-pameran lukisan kebanyakan adalah atas biaya golongan kiri (PSK: 53).
Pada cuplikan novel di atas dapat diketahui dengan sangat jelas bahwa, Sri tidak menyukai Yus yang mencoba melamarnya dikarenakan Sri berpikir Yus
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
seorang komunis. Tidak mengherankan, pengarang melalui tokoh Sri begitu lugas menyatakan
ketidaksukaannya
terhadap
aliran
komunis
yang
pada
waktu
diciptakannya novel ini, gerakan komunis di Indonesia baru saja berhasil diberantas oleh pemerintahan Orde Baru yang baru berkuasa. Masih dalam novel Pada Sebuah Kapal, contoh kutipan lain dapat dilihat sebagai berikut. ”Kau mengerti aku kini bukan lagi orang Indonesia menurut tata kenegaraan. Kalau aku turut giat dan kelihatan bergerombol dengan orang-orang Indonesia akan ada orang Prancis yang panjang lidah. Tidak semuanya baik hati.” Aku sudah memikirkannya. Aku akan menilpon kepada isteri konsul Prancis mengenai hal ini. Aku ingin menanyakan pendapatnya. Kalau dia tidak keberatan, tentu saja kami tidak akan memintamu muncul di panggung. (PSK: 133). Contoh kutipan di atas memperlihatkan adanya persamaan antara tokoh Sri dan Nh. Dini sebagai pengarangnya. Tokoh Sri adalah istri Charles Vincent, seorang Konsul Prancis di Kobe, Jepang. Sedangkan Nh. Dini dalam kehidupan nyata juga pernah bermukim di Kobe, Jepang karena mengikuti suaminya yang bertugas sebagai Konsul Prancis. Jadi tidak mengherankan apabila pengarang begitu fasih dalam menggambarkan pengalaman istri seorang diplomat karena pengarang juga mengalami hal yang serupa seperti yang dialami tokoh Sri. Dari kutipan novel Perempuan Kedua, dapat juga dilihat konteks historisnya sebagai berikut. Hati Yanuar bertambah menggelegak mendengar suara laki-laki itu. Besar. Dalam. Berwibawa. Suara seorang penguasa. Seorang penakluk. Seorang pemilik...Laki-laki itu bertubuh tinggi besar. Tegap dan gagah seperti seorang perwira tinggi. Rahangnya juga besar dan kokoh menambah ketampanan wajahnya. Bahunya lebar. Dadanya
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bidang. Sama sekali tidak melukiskan seorang laki-laki tua berumur enam puluh tahun... (PK: 159).
Primodarso tahu, upacara inilah yang paling penting untuk popularitasnya. Karena itu takkan diserahkannya kepada orang lain. Pada saat dia memukul gong, puluhan kamera wartawan dari dalam dan luar negeri, termasuk kamera TVRI, akan merekamnya (PK: 259).
Dari contoh kutipan di atas pengarang menggunakan Primodarso sebagai tokoh antagonis yang menjadi streotip tokoh-tokoh nyata di masa pemerintahan Orde Baru. Tokoh tersebut dilukiskan dari golongan elit di Indonesia, berasal dari TNI, dan tentunya memiliki kekuasaan. Pengarang seakan mengkritik perilaku orang-orang berkuasa pada masa lalu yang di depan publik seakan-akan menjadi malaikat penolong bagi masyarakat yang tidak mampu. Dikisahkan di novel ini bahwa Primodarso sebagai pelindung, ketua, atau sebagai anggota kehormatan berbagai yayasan di Indonesia. Sebenarnya Primodarso melakukan hal itu supaya masyarakat mengetahui dia seorang dermawan. Sayangnya semua itu hanya topeng belaka. Pada kenyataannya Primodarso memiliki banyak istri dan juga simpanan. Selain itu ia berhati jahat. Ia bisa mencelakakan orang-orang yang dianggap berseberangan dengannya. Adapun contoh konteks historis dari Angkatan 2000 dapat dilihat pada novel Saman sebagai berikut. Sekarang, bagaimana keadaan di tanah air, terutama Medan? Aku baru mulai memeriksa laporan dan file tentang unjuk rasa yang rusuh dua pekan lalu itu, yang akhirnya membikin aku terdampar di sini. Nampaknya banyak orang tidak begitu paham apa yang terjadi dan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menjadi canggung untuk bersikap. Demonstrasi buruh yang diikuti enam ribu orang sebetulnya adalah hal yang simpatik, dan luar biasa untuk ukuran Indonesia di mana aparat selalu terserang okhlosofobia—cemas setiap kali melihat kerumunan manusia. Namun, simpati orang segera berbalik setelah unjuk rasa itu menampilkan wajah rasis dan memakan korban. Aku amat sedih dan menyesali kematian pengusaha Cina itu. Alangkah mudahnya kemarahan yang terpendam (betapapun didahului ketidakadilan yang panjang) dialihkan menjadi kebencian yang rasial. Kukira, kita seharusnya sudah mesti belajar dari kelemahan aksi massa. Ribuan orang berkerumun akan dengan segera berubah menjadi kawanan dengan mentalitasnya yang khas: satu intel (atau bukan intel) bersuara lantang menyusup lalu berteriak dengan yakin, dan manusia-manusia itu akan menurut, seperti kawanan kambing patuh pada anjing, tak bisa lagi membedakan mana herder mana serigala. Bukankah sudah sering kita mengatakan bahwa itu yang terjadi dalam peristiwa Malari? (Saman: 168-169).
Dari contoh kutipan di atas dapat dilihat
bahwa Ayu Utami sebagai
pengarang mencoba sedikit menguraikan situasi dan kondisi pada waktu terjadinya peristiwa demonstrasi buruh besar-besaran pada April 1994. Hal ini dikarenakan tuntutan para buruh mengenai kenaikan upah yang layak dan hal tersebut tidak bisa dipenuhi oleh pihak pengusaha. Pada akhirnya demonstrasi yang diikuti oleh ribuan buruh tersebut berlangsung anarkis. Para pendemo melakukan perusakan dan pembakaran toko-toko, terutama di Kawasan Industri Medan (KIM). Peristiwa yang kacau balau ini pun memakan korban dari kalangan pengusaha Tionghoa bernama Yuly Kristanto yang dikeroyok dan jiwanya pun tidak terselamatkan (Nasution, 2007: 260). Di kedua novelnya —Saman dan Larung— Ayu selalu menggabungkan peristiwa nyata yang pernah terjadi di republik ini dengan tokoh-tokoh fiksi yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
diciptakannya. Peristiwa yang memiliki kemiripan dengan peristiwa demonstrasi buruh pada tahun 1994 tersebut adalah peristiwa menuju reformasi di tahun 1998. Sebelum akhirnya Soeharto lengser dari kekuasaannya, berbagai peristiwa kerusuhan telah terjadi di berbagai daerah. Selain demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air, dari kalangan masyarakat juga bertindak anarkis dan main hakim sendiri. Kerusuhan massa yang terjadi medio Mei 1998 tersebut memakan banyak korban khususnya dari kalangan Tionghoa. Peristiwa tragis yang dialami mereka adalah terjadinya penjarahan dan pembakaran terhadap toko-toko yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah dikuasai kemarahan. Peristiwa yang tidak menentu ketika itu dapat dikatakan sebagai salah satu dampak krisis ekonomi yang berlarutlarut yang semakin membuat miskin masyarakat. Selain itu gelombang desakan dari para mahasiswa yang menginginkan pergantian kekuasaan serta reformasi karena mahasiswa atas nama rakyat sudah tidak tahan lagi dengan kediktatoran pemerintah Orde Baru setelah berkuasa hingga 32 tahun lamanya. Selain peristiwa demo besarbesaran, peristiwa lain yang juga diungkapkan Ayu adalah peristiwa yang berkaitan dengan komunisme yang ada di Indonesia. Cuplikan kejadian tersebut dapat disaksikan dalam cuplikan Larung berikut. Kulihat mereka menanggalkan seragamnya dan menggantung anakku di tangannya pada pohon asam, sehari semalam, setelah mencambuknya dengan rotan dan popor, menindih tungkainya dengan kaki meja. Mereka mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya. Apa kesalahannya, tak ada lagi orang bertanya. Sebab ia dikenal semua tentara di kompleks kita, sebab ia biasa datang dari rumah ke rumah mengurusi perdagangan beras subsidi. Maka ketika para
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat dalam kudeta 30 September, mereka menyebut namanya. (Larung: 67-68). ... ia menemukan Kaum Tani Menggajang Setan2 Desa dari D.N. Aidit, 1964. Ia menyentuhnya dengan berdebar. Sebab nama itu, nama itu sepadan dengan iblis. Ujung arit dan wajah petani di sampulnya menyampaikan keberingasan. Dan judul itu menyebut ”setan”, ”ganyang”. Di bawah potret besar Sukarno yang dipasang orangtuanya pada dinding ia membaca seperti membaca sebuah sihir kuno dari makam terlarang. Inilah Kitab yang disembunyikan Orde Baru. Sebuah dari Kitab-Kitab Kebenaran. Mantra yang mengajak dia menyelami kaum tani, tinggal bersama mereka... (Larung: 212).
Dari penggalan di atas, pengarang begitu lugas bertutur mengenai peristiwa PKI ini dan seakan begitu menaruh simpati kepada para korban yang tidak bersalah namun dianggap terlibat dalam partai yang beraliran komunis ini. Terjadinya pemberontakan komunis dan puncaknya ketika terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan beberapa jenderal di tahun 1965 membuat pemerintahan yang baru benar-benar ingin menumpas aliran ini sampai ke akar-akarnya meski dalam praktiknya banyak orang-orang yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu, turut pula menjadi korban. Pengarang juga tampaknya ingin menyelipkan berbagai peristiwa yang selama masa Orde Baru ditutup rapat. Pengarang beruntung sudah menikmati masa reformasi yang semua pendapat dan pemikiran dihargai. Hal yang diungkapkan pengarang dalam bagian novel ini tentu tidak bisa disampaikan seterbuka ini jika rezim Orde Baru masih berkuasa. Umumnya bahasa pada karya-karya sastra yang dilahirkan pada masa reformasi cenderung lebih lugas dan terbuka. Begitu pula dalam hal ide cerita yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
juga lebih variatif bahkan terkesan berani. Hal ini jelas terlihat pada novel-novel masa kini yang berani mengangkat tema-tema yang masih terlalu minor bagi masyarakat Timur. Misalnya tema cinta pasangan sejenis (lesbian dan gay). Tokoh-tokoh yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang ini umumnya menceritakan tokohtokoh dari kalangan usia muda, metropolis, mandiri serta hidup dalam latar kota-kota besar. Di samping itu, tema seks dan perselingkuhan juga masih menjadi santapan lezat bagi para pengarang perempuan Angkatan 2000. Hal ini cukup dimaklumi karena setelah sekian lama pengarang seolah hidup dalam keterkungkungan yang mengakibatkan mereka tidak bisa berkreasi dengan leluasa. Apabila ada kritik dan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan pihak penguasa ketika itu, maka karya tersebut dipastikan tidak akan muncul di pasaran lagi. Kisah yang mengungkapkan tema percintaan yang kontroversial dari Angkatan 2000 dapat dilihat dari dua cuplikan novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh di bawah ini. ”Aku kok jadi ingin jujur tentang sesuatu,” terdengar suara menelan ludah,”aku sebenarnya...” ”Gay?” Dhimas terlongo, ”Lho, gimana kamu bisa...?” Ruben tertawa keras. ”It was so obvious!... ” (KPBJ: 8). Uniknya, sekalipun sudah sekian lama mereka resmi menjadi pasangan, Ruben dan Dhimas tidak pernah tinggal seatap sebagaimana biasanya pasangan gay lain. Kalau ditanya, jawabannya supaya bisa tetap kangen. Tetap dibutuhkan usaha bila ingin bertemu satu sama lain (KPBJ: 10).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Pada contoh lain, dapat pula disaksikan konteks historis dalam novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai berikut.
”Baiklah anak-anak,” pak guru mencoba menguasai suasana, ”Dalam adat istiadat kita, seorang laki-laki memiliki kewajiban dan laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, mendatangkan rezeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus rumah-tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok dan menyusui, itu juga kewajiban perempuan. Sudah paham anak-anak.” (PBS: 12).
Dalam penggalan novel di atas diketahui bahwa pengarang mencoba menggugat sistem patriarki yang begitu melekat erat dalam adat istidat Indonesia dan di negara-negara lain yang masih mempertahankan sistem patriarki. Penggalan novel di atas tampak sangat jelas mempertanyakan kewajiban laki-laki dan perempuan yang dipertanyakan tokoh Annisa, namun sang guru yang juga merupakan bagian dari sistem tersebut mengganggap hal tersebut wajar dan memang seperti itulah yang biasa terjadi dalam masyarakat. Pengarang, via tokoh Annisa, begitu menggebu dalam mengungkapkan ketidakadian yang dialami perempuan. Latar cerita ini dikisahkan di sebuah pesantren yang masih begitu kukuh mempertahankan sistem patriarki dengan dalih ajaran agama. Menurut pengakuan pengarang sendiri di sebuah media televisi, ketika ditanyai seputar film Perempuan Berkalung Sorban, sewaktu tinggal di pesantren, dia memang mengetahui dan mengalami sendiri masih banyaknya orang-orang yang selama ini dianggap kiyai dan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ulama namun masih berpikiran picik ketika berhadapan dengan permasalahan perempuan. Kitab-kitab yang menjadi landasan mereka pun kebanyakan tidak berasal dari Quran dan Hadist, melainkan kitab yang terkadang diragukan kesahihannya. Jika ada hal yang dinukil dari Quran dan Hadist, namun isinya ditafsirkan sendiri menurut keinginan mereka. Padahal tidak pernah ada dinyatakan secara lugas di dalam Quran dan Hadist bahwa kewajiban perempuan (istri) itu memasak, mencuci, menyetrika, dan aktivitas domestik lainnya. Sayangnya dalam kultur masyarakat hal itu seolaholah merupakan kewajiban yang mesti dipatuhi seorang perempuan (istri). Tabel 3 : Konteks Historis Angkatan 1970
Sosial
1
Perempuan Kedua
√
√
─
√
2
Karmila
√
√
─
─
3
─
√
─
─
4
Bukan Impian Semusim Namaku Hiroko
√
√
─
─
5
Pada Sebuah Kapal
√
√
─
√
6
Melati di Musim Kemarau 2000
√
√
─
─
1
Larung
√
─
√
√
2
Saman
√
─
√
√
3
Perempuan Berkalung Sorban
√
─
√
─
No
Konteks Historis Budaya Primordial Kontemporer
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Politik
Lanjutan tabel 3 4
Geni Jora
√
─
√
√
5
√
─
√
√
6
Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh Supernova: Akar
√
─
√
─
7
Nayla
√
─
√
─
Berdasarkan tabel di atas dapat disaksikan bahwa konteks historis yang paling mendominasi adalah konteks yang berkaitan dengan sosial, baik dari Angkatan 1970 maupun Angkatan 2000. Begitu pun dengan konteks budaya. Novel-novel pada Angkatan 1970 pada umumnya memiliki konteks budaya yang cenderung primordial dan ingin mempertahankan nilai-nilai tradisi yang sudah dianut masyarakat. Adapun budaya yang ditampilkan dalam novel Angkatan 2000 lebih pada budaya kontemporer. Para tokoh, terutama tokoh perempuan, yang ada di dalam Angkatan 2000 ini umumnya mempertanyakan kembali nilai-nilai budaya yang selama ini masih diyakini dan dijunjung tinggi dalam masyarakat di novel tersebut. Tidak jarang dalam tarik menarik antara budaya primordial dan budaya kontemporer menjadikan konflik semakin meruncing di antara tokoh-tokohnya. Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa konteks historis yang berkaitan dengan konteks sosial pada Angkatan 1970 terdapat dalam lima novel. Sedangkan pada konteks budaya masih cenderung budaya primordial, yaitu berjumlah enam novel. Adapun pada konteks politik hanya terdapat dalam dua novel saja. Pada Angkatan 2000 terdapat tujuh atau semua novel yang termasuk dalam konteks sosial.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Adapun konteks budaya sudah cenderung kontemporer yaitu terdapat di semua novel yang mewakili. Sedangkan konteks yang berkaitan dengan peristiwa politik terdapat dalam empat novel. Dalam hal politik ini ditemukan ternyata pada Angkatan 2000 persoalan ini lebih banyak dikemukakan. Berbagai ragam peristiwa politik yang pernah terjadi di tanah air tentunya begitu menarik perhatian para pengarang perempuan yang seakan mengingatkan kembali atas peristiwa yang disebutkan serta tentunya diharapkan pembaca dapat mengambil hikmahnya. Representasi berbagai peristiwa politik yang pernah terjadi di Indonesia disinggung dan yang paling menonjol adalah Larung dan Saman. Berikutnya yang juga menyinggung arena politik adalah Geni Jora, Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang mewakili Angkatan 2000. Sedangkan dalam novel Perempuan Kedua dan Pada Sebuah Kapal mewakili Angkatan 1970.
4.4 Kekuasaan Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Sebuah wacana sebenarnya merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Dalam menganalisis ideologi feminisme Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, kekuasaan tentu hal yang penting untuk dibicarakan karena ideologi feminisme sangat erat kaitannya dengan adanya kekuasaan. Kekuasaan yang muncul di sini tentu saja kekuasaan yang bersumber dari budaya patriarki yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Dominasi dan hegemoni superior yang dilakukan kaum laki-laki telah
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menjadikan kaum perempuan menjadi kaum inferior selama berabad lamanya. Namun seiring dengan berkembangnya pemikiran feminisme, terkadang kekuasaan itu justru terletak di tangan perempuan seperti yang terdapat pada penggalan novel Karmila berikut. Feisal tetap menunduk mempermainkan kuncinya. ”Jadi kapan kita buat perjanjian itu? ”Perjanjian? tanya Feisal seraya mengangkat kepalanya. ”Tentu,” sahut gadis itu sambil memandang ke jalan. ”Kau pikir, aku mau menikah tanpa kertas yang menguatkan perjanjian kita?” ”Engkau tidak percaya kepada saya?” ”Kalau kau tidak sudi menulis perjanjian itu, tidak mengapa. Aku akan kembali pada rencana semula. Anak ini akan kuberikan pada orang tuaku. Dan engkau takkan berhak lagi datang-datang kemari, menggangguku!” (Karmila: 73).
Dalam cuplikan novel di atas terlihat tokoh perempuannya, Karmila, memiliki hak dan kekuasaan untuk menekan tokoh laki-laki, Feisal. Karmila dilukiskan begitu membenci Feisal yang telah memerkosanya dan menghamilinya. Pihak keluarga menginginkan Karmila menikah dengan Feisal supaya anak yang dilahirkan Karmila nantinya memiliki ayah. Meskipun hatinya berat dan tidak mencintai orang yang memerkosanya tersebut, akhirnya Karmila bersedia juga menikah. Banyaknya persyaratan yang diajukan Karmila mengisyaratkan adanya kekuasaan yang dimilikinya dan Feisal sendiri menerima saja asalkan Karmila tetap mau melahirkan dan mengasuh anaknya. Selain itu, diam-diam Feisal juga telah mencintai Karmila.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Meskipun terkesan memiliki kekuasaan, namun pada hakikatnya Karmila tunduk dan mengalah pada keinginan keluarga. Pernikahan yang sebenarnya tidak diinginkannya terpaksa ia lakukan demi menjaga kehormatan keluarga. Contoh lain pada Angkatan 1970 dapat dilihat pada novel Perempuan Kedua sebagai berikut. Aku belum membuangmu, pelacur! Tapi kau telah main gila dengan lelaki lain. Tidak seorang pun kubiarkan mengkhianati diriku. Tidak juga kau! Akan kubuat kau dan doktermu itu menyesal!” ”Mas, saya bukan budak. Mas tidak dapat memenjarakan saya terusmenerus di bawah kekuasaanmu. Mas tidak mau mengawini saya. Berarti tidak ada ikatan apa-apa di antara kita. Saya bukan istrimu. Mas tidak berhak melarang saya memilih laki-laki lain!” ”Oh, sekarang kau bicara soal hak?” Primodarso tertawa menyeramkan. Matanya bersinar buas... (PK: 166-167).
Dialog antara tokoh Patricia dan Primodarso di atas terasa sangat jelas kekuasaan yang dimiliki Primodarso. Sebagai orang yang terpandang di masyarakat, kedudukan Primodarso tentu lebih tinggi daripada Patricia yang statusnya hanya sebagai perempuan simpanan. Kemampuannya untuk mengontrol bahkan menghabisi nyawa seseorang yang tidak disukainya bisa ia lakukan. Hal ini terlihat pada Primodarso yang ditempatkan pengarang sebagai tokoh antagonis. Dia merasa berhak memiliki apa saja yang dikehendakinya dan tidak bersedia melepaskan sesuatu. Semua ini lebih dikarenakan pada sifat egois yang dipunyainya. Apabila seseorang tidak memiliki landasan iman yang kuat, uang dan kekuasaan yang dimiliki bisa menjadikan seseorang menjadi orang yang sombong dan tidak memiliki hati nurani.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dalam novel Pada Sebuah Kapal, aspek kekuasaan juga dapat disaksikan dalam cuplikan berikut. Setiap kata suamiku kusetujui meskipun dalam hati aku menyangkalnya. Setiap tindakan keras hanya kupandangi dengan mata sedihku. Dan setiap kata-katanya yang kasar kutanam dan kupendam dalam-dalam tanpa kujawab... (PSK: 130). Begitu pula yang terdapat dalam cuplikan novel Namaku Hiroko di bawah ini. Dengan sikap kelaki-lakiannya yang memerintah ia menyuruh aku mengerjakan segala khayal yang dikehendakinya. Ditunjukkannya kepadaku sebuah buku, kertasnya kuning ketuaan, di mana dilukiskan gambar serta keterangan-keterangan letak badan dalam hubungan intim maupun percintaan. Dengan sikap pasip yang mendendam bercampur rasa ingin tahu, aku menurutinya. Kemudian, jika perbuatan itu telah berlalu, aku berkata keras-keras dalam hati memberanikan diri, esok aku akan menolaknya... (NH: 75).
Dari kedua cuplikan di atas dapat dilihat dominasi dan kekuasaan yang dimiliki pihak laki-laki sehingga tokoh-tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut menjadi tidak berdaya. Dalam Pada Sebuah Kapal terlihat tokoh Sri selama hidup berumah tangga dengan Charles Vincent, seorang diplomat asal Prancis, merasa selalu diperlakukan tidak semestinya. Sikap Charles yang keras menjadikan Sri tidak bahagia dan tersiksa meskipun pada akhirnya Sri membalas kelakuan suaminya dengan sikap yang berani melawan dan juga perselingkuhanya dengan Michel Dubanton. Pada Namaku Hiroko, unsur kekuasaan tampak jelas pada sikap majikan lakilaki tempat Hiroko bekerja. Ia setengah memaksa Hiroko untuk berhubungan jasmani
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
meski Hiroko juga tidak sepenuhnya menolak karena ia juga terbakar nafsu yang membuat ia pasrah pada tindakan sang majikan. Pada berbagai contoh penggalan novel di atas, dapat dikatakan perempuan dipandang tidak lebih hanya sebagai alat pemuas bagi laki-laki saja. Sikap yang mereka tunjukkan seakan ingin menegaskan bahwa mereka adalah pihak yang berkuasa atas perempuan. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan Faruk (2000: 94), ”...wanita menjadi tidak lebih dari sekedar alat bagi peragaan kekuasaan lakilaki. Sebagai alat, wanita tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri selain takluk pada laki-laki yang memiliki dan menggunakannya”. Sikap yang ditunjukkan para tokohnya, terutama tokoh perempuan pada cuplikan yang mewakili Angkatan 1970 di atas seakan terasa sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel yang mewakili Angkatan 2000 meskipun orang-orang di sekitar tokoh-tokoh perempuan ini masih terbawa dan mendukung sistem patriarki yang telah mengakar kuat. Di antaranya dapat dilihat pada penggalan novel Saman sebagai berikut. Kenapa ayahku harus tetap menjadi bagian dari diriku? Tapi hari-hari ini semakin banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi nama si bapak pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia atau atau beruntung karena dilahirkan. Alangkah melesetnya. Alangkah naif [...] Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu. Dan kukira tidak perlu. ”Tapi tak mungkin orang cuma mempunyai satu kata,” kata mereka. Atau, barangkali aku ini bukan orang? Lalu aku terpaksa kompromi, sebab jangan-jangan aku memang bukan orang padahal aku betul-betul ingin melihat negeri mereka. First name: Shakun. Family name: Tala (Saman: 137-138).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari cuplikan novel di atas dapat dilihat adanya kebencian tokoh Shakuntala pada ayah dan kakaknya serta cibirannya pada sistem patriarki yang masih dianut oleh masyarakat pada umumnya yang menyebabkan para perempuan harus memakai nama ayah mereka di belakang nama asli. Diceritakan juga bahwa Shakuntala tetap bersikukuh tidak ingin menggunakan nama ayahnya ketika ingin mengurus visa meski petugas Kedutaan Besar Nederland tetap memaksa menggunakan nama ayahnya. Masih pada novel dan tokoh yang sama, adanya nuansa kekuasaan juga ditunjukkan dari kisah Shakuntala yang merasa telah dibuang olah sang ayah ke sekolah yang tidak disukainya. Sang ayah yang merasa berkuasa atas kehidupan anaknya tidak merasa bersalah meski terjadi penolakan dari Shakuntala. Atas peristiwa traumatis tersebut mengakibatkan Shakuntala pada akhirnya begitu membenci sang ayah. Dari sini juga terlihat Shakuntala seolah mencemooh segala petuah yang didengarnya sejak remaja seperti yang terdapat pada penggalan berikut. Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya sebagai persundalan yang hipokrit (Saman: 120-121).
Aku sendiri masih memendam dendam pada ayahku. Sedang Laila, aku tak tahu apakah ia masih menganggap lelaki sebagai penjahat utama. Dia telah jatuh cinta beberapa kali, dan tak pernah menyakiti lelaki seperti Cok memanfaatkan dan membohongi pacar-pacarnya (Saman: 154).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Demikian halnya yang terdapat dalam Nayla. Novel karya Djenar Maesa Ayu ini juga begitu terbuka dalam bertutur. Nayla berkisah tentang seorang perempuan bernama Nayla yang mengalami pengalaman masa kecil yang tidak bahagia karena ditinggal pergi sang ayah sejak lama dan seorang ibu yang begitu keras dalam mendidiknya. Kekuasaan yang terdapat di novel ini di antaranya adalah pelukisan tokoh ibu Nayla yang cukup kejam kepadanya hingga tega menusuk vagina Nayla yang masih kecil dengan peniti yang telah dipanaskan. Sikap sang ibu yang demikian membuat Nayla membenci ibu yang telah melahirkannya tersebut. Ia juga masih heran, kenapa Ibu tega menghukumnya dengan cara seperti itu. Kenapa Ibu tak bisa berpikir bahwa tak akan ada satu orang anak pun yang memilih ditusuki vaginanya dengan peniti hanya karena ingin mempertahankan rasa malas. Rasa sakit di hatinya pun masih kerap menusuk setiap kali melihat sosok ibu tak ubahnya monster. Padahal ia ingin melihat Ibu seperti ibu-ibu lain yang biasa dilihatnya di sekolah ataupun di ruang tunggu dokter (Nayla: 2). Selain mendapat didikan yang sangat keras dan kasar dari sang ibu, Nayla juga diceritakan pernah mengalami pelecehan seksual dari pacar ibunya. Perlu diketahui pekerjaan sang ibu digambarkan sebagai perempuan yang melacurkan diri demi bisa mendapatkan uang yang banyak. Apakah saya sudah melakukan kesalahan besar? Apakah sebaiknya saya berteriak ketika ia sedang menggesekkan penisnya ke tengkuk saya. Apakah seharusnya saya melawan ketika penisnya menghunus lubang vagina saya? Apa yang harus saya lakukan? Mengatakan semuanya kepada ibu? Apa reaksi Ibu? Apakah ia akan menusuki vagina saya tidak hanya dengan peniti namun dengan linggis. Apakah ia akan tidak sekadar menempel tahi ke mulut saya dengan plester, tapi malah memaksa saya menelannya (Nayla: 114).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dalam cuplikan di atas terlihat nyata Nayla telah mengalami tindakan kekerasan. Ia telah mengalami kekerasan yang dari orang-orang terdekatnya. Segala perlakuan yang diterimanya tersebut dikarenakan orang-orang yang melakukan kekerasan tersebut, termasuk ibu Nayla, merasa memiliki hak dan kekuasaan atas diri Nayla. Nayla yang masih berusia belia dan polos tentu tidak bisa berbuat banyak ketika ia diperlakukan tidak sepantasnya. Menurut Fakih (2004: 17), tindakan kekerasan terhadap perempuan yang paling sering terjadi dalam masyarakat adalah pelecehan seksual (sexual and emotional harrasment). Di antara bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan seksual adalah bentuk pemerkosaan terhadap perempuan. Adapun bentuk perkosaan itu apabila seseorang melakukan paksaan untuk mendapat pelayanan seksual tanpa kerelaan yang dari yang bersangkutan. Selain perkosaan, yang termasuk kekerasan terhadap perempuan adalah penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse) dan penyiksaan yang mengarah pada organ kelamin (genital mutilation). Apa yang dikatakan Fakih di atas ternyata dapat dilihat dalam novel Nayla ini. Pengalaman seksual yang tidak mengenakkan di masa kecilnya dan perjalanan hidup yang berliku membuat tokoh Nayla saat remaja diceritakan pernah memiliki kekasih sesama perempuan bernama Juli. Ketika berusia dewasa dan setelah lepas dari Juli, Nayla juga sempat memiliki pacar laki-laki yang bernama Ben. Ketika bersama Ben, Nayla terlihat sangat mendominasi hubungan mereka. Terlihat juga betapa Nayla terbiasa memaki-maki Ben jika ada sesuatu yang tidak sesuai kehendak
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Nayla dan ia pun bisa berbuat brutal ketika sedang bertengkar. Perhatikan cuplikan berikut. Nayla menerkam Ben. Menghajar mukanya. Menjambak rambutnya. Ben mempertahankan diri dengan memegangi tangan Nayla. Nayla semakin brutal. Digigitnya tangan Ben, berusaha melepaskan tangannya. Pegangan tangan Ben terlepas. Nayla meraih botol bir dan memecahkannya, lalu mengacungkannya ke depan muka Ben. ”Heh, Setan! Lu tau ya gue belajar dari jalanan! Jangan sampe gue gorok leher lu sekarang!” (Nayla: 89)
Contoh pada cuplikan novel lain yang masih mengenai aspek kekuasaan yang mewakili Angkatan 2000 dapat disaksikan dalam novel Geni Jora berikut. ”E... anu, Bi. Jora menginginkan kalung ini,” kata paman sambil memperlihatkan kalungnya di depan mata nenek, ”tetapi ia tidak sabar untuk memilikinya. Ia terus merebutnya dari tanganku.” ”Bukankah kau bisa minta ayahmu untuk membelikannya, Cucu? Mengapa pakai rebut-rebutan dengan pamanmu? Secara bergantian, kulihat wajah nenek lalu wajah pamanku. Dari kedua wajah itu, ternyata aku hanya menemukan wajah-wajah maling yang suka mencuri hak-hakku. Menyadari itu, tak ada gunanya berbicara dengan mereka, baik tentang kebenaran ataupun penipuan (GJ: 87). Laki-laki yang kebetulan masih berkerabat dengan ayah Kejora itu, seperti yang dilihat pada cuplikan di atas telah berbohong dan mengambinghitamkan Kejora yang dikatakannya hendak mengambil kalung. Nyatanya lelaki tersebut telah memperlakukan Kejora dengan tidak semestinya. Sang paman mencoba memperkosa Kejora kala di rumah tidak ada siapapun kecuali mereka berdua. Ketidakberdayaan Kejora menghadapi pamannya yang akan berbuat asusila tersebut merupakan bukti kekuasaan patriarki yang masih begitu kuat dalam keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hal ini tampak dari kutipan tokoh Nenek yang seolah
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menjadi bagian dari sistem patriarki karena begitu kukuh membela anggota keluarganya yang berjenis kelamin laki-laki serta hampir tidak pernah memedulikan anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan, termasuk cucu-cucunya yang perempuan. Tabel 4 : Aspek Kekuasaan No
Angkatan Hegemoni Laki-laki √
Kekuasaan Hegemoni Ekonomi Perempuan ─ √
Politik
Kekerasan
√
√
1
1970 Perempuan Kedua
2
Karmila
√
√
─
─
√
3
─
√
─
─
─
4
Bukan Impian Semusim Namaku Hiroko
√
√
─
─
√
5
Pada Sebuah Kapal
√
─
─
─
√
6
Melati di Kemarau
√
─
√
─
─
Musim
2000 1
Larung
─
√
√
√
√
2
Saman
─
√
√
√
√
3
Perempuan Berkalung Sorban Geni Jora
√
─
√
─
√
─
√
√
√
√
4
√
√
√
√
─
6
Supernova:Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh Supernova: Akar
─
√
─
─
√
7
Nayla
─
√
√
─
√
5
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat pula aspek kekuasaan yang meliputi adanya hegemoni laki-laki, hegemoni perempuan, kekuasaan yang berkaitan dengan kuat dan lemahnya ekonomi, kekuasaan yang berkaitan dengan politik serta kekuasaan yang berkaitan dengan tinggi rendahnya posisi seseorang sehingga bisa melakukan kekerasan terhadap orang lain. Pada Angkatan 1970, umumnya hegemoni dilakukan oleh pihak laki-laki. Hal ini ditandai dengan dialog, monolog serta berbagai perilaku dalam berbagai novel di angkatan tersebut. Tokoh-tokoh perempuan seolah tidak berdaya menghadapi keadaan yang selalu menjadikan mereka pihak yang tertindas. Bahkan tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970-an ini umumnya tidak merasa ditindas meskipun mereka harus melakukan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan wilayah domestik. Adapun di Angkatan 2000, keadaan menjadi sebaliknya. Para tokoh perempuan sudah lebih berani dalam bersikap. Mereka umumnya digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang lebih mandiri, berpendidikan, dan kerap memiliki jiwa yang pemberontak. Hal ini terbukti dalam beberpa novel Angkatan 2000 ternyata kekuasaan umumnya sudah didominasi oleh kaum hawa. Sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan ekonomi juga banyak terdapat dalam Angkatan 2000. Adapun kekuasaan dalam bidang politik yang dimiliki oleh para pelakunya, ditemukan satu novel pada Angkatan 1970 serta empat novel dalam Angkatan 2000. Aspek kekerasan juga terdapat dalam Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Kekerasan juga hampir ditemukan dalam setiap novel yang mewakili Angkatan 2000. Hal ini dapat diketahui melalui uraian dalam jalinan cerita.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pada Angkatan 1970 terdapat lima novel yang terdapat di dalamnya hegemoni laki-laki. Sedangkan yang di dalamnya terdapat hegemoni perempuan berjumlah tiga novel. Kekuasaan yang berkaitan dengan faktor ekonomi berjumlah dua novel. Adapun kekuasaan yang berkaitan dengan politik hanya terdapat satu novel saja. Adanya faktor kekuasaan yang di dalamnya terdapat kekerasan berjumlah empat novel. Pada Angkatan 2000 ditemukan ternyata hanya dua novel saja yang di dalamnya terdapat hegemoni laki-laki. Adapun hegemoni perempuan jumlahnya melonjak hingga hampir keseluruhan data Angkatan 2000, yaitu enam novel. Faktor ekonomi ditemukan dalam enam novel. Kekuasaan yang berkaitan dengan politik berjumlah empat novel. Faktor kekerasan juga lebih meningkat dibandingkan pada Angkatan 1970, yaitu berjumlah enam novel.
4.5 Ideologi Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi pada dasarnya merupakan kumpulan dari berbagai kepercayaan, prinsip tertentu untuk mengatur suatu masyarakat (Ratna, 2008:448). Sebuah wacana tentu tidak akan terlepas dari unsur ideologi yang tergambar dari tulisan yang dihasilkan penulis wacana. Keterbukaan dalam mengungkapkan ideologi feminisme pada karya sastra Angkatan 1970 ternyata tidak sevulgar apa yang terdapat pada Angkatan 2000. Tematema feminisme yang diusung pengarang perempuan pada Angkatan 1970 biasanya berkisar keinginan perempuan untuk setara dengan kaum laki-laki dalam berbagai hal. Masalah percintaan homoseksual (gay dan lesbian), yang menjadi ciri khas
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
feminisme radikal hampir tidak ditemukan dalam karya-karya perempuan pada masa itu. Sebaliknya tema-tema feminisme yang diungkapkan para pengarang perempuan Angkatan 2000 ternyata sudah lebih berani sekalipun memasuki wilayah yang masih dianggap tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Para pengarang perempuan ini dengan ringan menceritakan kisah pengalaman seksual yang sedemikian bebas dari tokoh-tokohnya meski tanpa ada ikatan pernikahan, kehidupan cinta pasangan sejenis, perselingkuhan yang semakin ramai terjadi, dan kebencian terhadap budaya patriarki yang telah mengakar kuat. Selain telah terjadi pergeseran konsep ideologi feminisme dalam hal keterbukaan, yang juga perlu diperhatikan adalah keinginan untuk menegaskan jati diri dan otoritas sebagai pengarang. Artinya, sikap yang ditunjukkan oleh para pengarang feminis ini mulai bergeser dari masa ke masa. Pada Angkatan 1970 para pengarang perempuan umumnya masih menggunakan pakem lama yang dibentuk oleh wacana masyarakat dan campur tangannya pemerintahan pada waktu itu. Wacana yang berkembang pada masa itu yakni perempuan (istri) harus mendukung aktivitas suami sebagai kepala rumah tangga. Begitu pula halnya dalam karya sastra. Banyak novel yang memiliki perempuan stereotip dengan wacana di atas. Kebanyakan perempuan-perempuan tersebut ketika sudah menikah hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dalam novel Perempuan Kedua, misalnya, dapat dilihat contoh bagaimana kekecewaan yang dialami seorang istri dan ibu yang telah mengabdikan diri hanya untuk mengurus keluarga semata, tetapi tetap saja sang suami berselingkuh pada perempuan lain.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Aku sudah menyerahkan seluruh hidupku untuk keluarga. Aku hampir tidak punya waktu untuk diriku sendiri! Tapi apa yang kini kuperoleh?” (hlm. 114). Meskipun ada usaha untuk mencoba untuk menggugat dan memberontak sistem patriarki yang tercermin dari sikap para pelakunya, namun terkadang pengarang mengambil sikap yang hati-hati dalam menyuarakan ideologinya tersebut agar jangan sampai terlalu vulgar dan tidak sampai menyinggung ke sistem pemerintahan yang mendukung wacana patriarki karena tindakan itu tentu saja bisa berakibat dibredelnya karya sastra tersebut. Dibandingkan dengan karya-karya sastra Angkatan 1970, karya-karya sastra pengarang perempuan yang berkembang di era reformasi ini sudah lebih tegas dalam bersikap. Segala pemikiran dan pergulatan batinnya dituangkan nyaris tanpa ada intervensi dari pihak pemerintah sehingga tidak heran para pengarang ini memiliki argumen logis tentang pilihan sikap mereka yang tercemin di dalam karya sastra. Meskipun masih terdapat pro dan kontra di antara masyarakat dan pembaca atas sikap yang mereka tunjukkan, namun pengarang tetap saja memiliki hak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar selama hal tesebut tidak melecehkan dan merugikan pihak-pihak lain. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian konsep ideologi feminisme, bahwa ideologi feminisme secara umum dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal atau kultural, feminisme sosialis, dan feminisme Africana atau Black Feminism.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Adapun contoh cuplikan novel yang memasukkan ideologi feminisme di antaranya terdapat dalam novel Pada Sebuah Kapal berikut. Aku tidak lagi menaruh perhatian sedikit jua akan apa pun yang dia katakan. Aku telah jauh darinya. Berapa kali pun dia mengatakan bahwa dia mencintaiku, aku tidak akan mempercayainya. Antara dia dan aku, bagiku tidak ada lagi perasaan yang lebih dari keharusankeharusan yang membosankan. Undang-undang perkawinan mengharuskanku untuk tidur bersamanya, menemaninya pada waktuwaktu susah dan gembira (PSK: 137). Pada novel Angkatan 1970 lainnya dapat disaksikan dalam Namaku Hiroko berikut. Menurut pendapat Nakajima-san, aku harus berhati-hati. Perkawinan antara suku bangsa sukar, apalagi jika suami istri terdiri dari bangsa yang berlainan. Aku harus berpikir panjang sebelum terlanjur. Lingkungan yang mengenal kami berdua kebanyakan tidak dapat mengerti maupun memahami sikapku. Rekan-rekan sekerja semua menyalahkan aku. Begitu banyak perempuan yang ingin kawin! Kebanyakan tanpa melihat lebih jauh, hanya karena takut kesepian hidup bersendiri, atau hanya mengharapkan jaminan kesejahteraan hidup secukupnya, atau asal menjadi seorang istri sebelum mencapai umur tertentu. Perkawinan demikian biasanya terdampar, mengakibatkan kehidupan-kehidupan seperti apa yang dialami Emiko... (NH: 168).
Pada kedua novel karya Nh. Dini tersebut bisa tercium aroma feminisme yang diungkapkan secara lugas dan dengan nada kemarahan. Sejak lama Nh. Dini selalu menulis mengenai perempuan dan pemikirannya pun dinilai cenderung kebaratbaratan, maka dapat dimaklumi jika perempuan kelahiran Semarang ini dikenal juga sebagai pengarang feminis. Pada kedua cuplikan cerita di atas ideologi yang disampaikan dapat terbaca melalui kalimat-kalimat yang seolah-olah mencibir institusi perkawinan. Pada
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
penggalan Pada Sebuah Kapal dipaparkan meskipun Sri masih tinggal bersama suaminya, Sri menjalani semua itu hanya sebagai kewajiban di mata hukum semata bukan dengan rasa cinta. Meski beberapa waktu Sri mencoba tetap setia akan komitmen perkawinannya dengan Charles, namun di kemudian hari ia berani mengambil langkah untuk berselingkuh dengan laki-laki lain yang dikenalnya di kapal dalam perjalanan menuju Merseille, Prancis. Tidak berbeda jauh dengan Pada Sebuah Kapal, dalam Namaku Hiroko terlihat bahwa tokoh Hiroko tidak terlalu memikirkan kehidupan perkawinan. Meskipun telah mengecap kehidupan yang bebas, bahkan pernah hidup bersama dengan laki-laki tanpa ikatan yang resmi, Hiroko tidak pernah menyesalinya dan ia merasa nyaman-nyaman saja dengan keadaan tersebut. Dalam novel Melati di Musim Kemarau, ideologi feminisme dapat pula disaksikan dalam cuplikan berikut. ”Karena sekarang ini saya yang menjadi kepala keluarga di sini, maka seluruh tanggung jawab berada di pundak saya. Dengan demikian, sayalah yang mencari makan. Saya pula yang mengusahakan agar kesejahteraan keluarga ini tetap dapat dipertahankan. Sekali lagi, saya rasa Anda tak perlu mengkhawatirkan keadaannya!” ”Lalu apa mata pencaharian Anda untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan yang serba sulit ini?” tanyanya. Ada nada ejekan dalam suaranya. ”Saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor dan impor, dan barangkali Anda perlu juga mengetahui di mana letak kantornya dan apa yang saya kerjakan di sana dan berapa pula besarnya jumlah gaji saya?” (MdMK: 75). Masih dalam Angkatan 1970, contoh cuplikan lain dapat pula disaksikan dalam novel Perempuan Kedua sebagai berikut.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Laki-laki mana ada sih yang tidak menyeleweng, Ran?” Sekarang seringai Dora mengambang. Matanya memancarkan sorot berbahaya. Sinar yang lahir dari lubuk dendam yang masih membara. Meskipun sudah empat tahun terkubur di bawah puing-puing perceraiannya. ”Mereka memang sudah rusak dari sananya kok! Diberi makan di rumah sampai kenyang pun tetap juga jajan di luar!” ”Habis aku mesti bagaimana?” ”Gampang. Cuma ada dua pilihan. Cerai atau cuek.” (PK: 115).
Dalam novel Karmila juga dapat dilihat ideologi feminisme yang terungkap dari tokoh Karmila seperti berikut ini. ”Aku memang tidak sudi menyusui dia. Aku tidak menghendakinya. Mau apa? Aku tidak merasa itu anakku. Engkau boleh bawa dia pergi sekarang juga. Bila engkau kurang senang... ”Baik,” kata Feisal dengan amat gusar. ”Baik!” Dia duduk di atas tempat tidur Karmila lalu merenung sebentar. ”Aku akan bawa dia ke rumahku. Aku akan sewa orang untuk menyusuinya!” ”Mila,” bujuknya beberapa saat kemudian, ”bila engkau sudi menyusuinya, kami—ayah dan anak— akan sangat berterima kasih seumur hidup kami. Pikirkanlah, Mila. Daripada kau buang-buang air susu itu. Bukankah kau tahu, air susu ibu yang paling baik? Dan mengenai kanker pada wanita yang tidak menyusui... atau apalagi engkau pasti lebih tahu. ”Jangan takut-takuti aku!” bentak Karmila dengan geram. (Karmila: 95). Dari cuplikan ketiga novel di atas, pengarang juga ingin memaparkan ideologi feminisme yang disampaikan melalui tokoh-tokoh perempuannya. Dalam Melati di Musim Kemarau diceritakan bahwa tokoh Tuning menjadi kepala keluarga karena kedua orang tua dan kakaknya telah meninggal dunia, mau tidak mau semua beban hidup harus ditanggungnya untuk membiayai adiknya yang masih kuliah dan juga keponakannya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan Tuning sebagai sosok yang tegar meski mengalami berbagai cobaan.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Pada cuplikan novel Perempuan Kedua tampak adanya usaha pengarang untuk lebih berani dalam mengungkapkan ideologi feminisme, yaitu melalui tokoh Dora, sahabat Rani. Perempuan yang telah bercerai ini diceritakan berusaha memprovokasi Rani untuk segera berpisah dari suaminya, dokter Yanuar yang diketahui telah berselingkuh dengan pasiennya, Patricia. Dalam kamus Dora, tidak ada kata kompromi jika suami telah mendua cinta. Menurut Dora, perempuan jangan mau dibodohi kaum laki-laki hanya karena tidak tega melihat anak-anak yang tidak menginginkan perceraian orangtuanya. Hal ini senada dengan nilai-nilai feminis yang dikemukakan Sagala dan Ellin (2007: 43), bahwa perempuan memiliki kekuasaan personal. Artinya perempuan memiliki kekuasaan sebagai pribadi utuh atas dirinya, pikiran, perasaan, dan tubuhnya. Perempuan berhak merumuskan arti tentang dirinya sendiri dan memutuskan pilihan hidupnya, dalam bekerja, berorganisasi, berbusana, menikah, tidak menikah, bercerai, menjadi ibu, dan sebagainya. Pada Angkatan 2000 novel yang dianggap mewakili dapat disaksikan dalam Perempuan Berkalung Sorban cuplikan berikut. ”... Alquran saja menegaskan untuk mu’asyarah bil ma’ruf dalam pergaulan suami istri . Itu artinya, pergaulan suami istri harus dilakukan dengan cara yang baik bagi kedua pihak, yaitu suami istri yang menurut Alquran adalah setara. Jadi tidak berlaku hukum, satu majikan satunya budak. Jika Alquran telah mengatakan seperti itu, bagaimana bisa kiai Ali menegas-negaskan pernyataan yang bertentangan dengan Alquran sebagai hadist Nabi? Kupikir beliau terlalu berani mengatakannya.” ”Tetapi pernyataan itu ada dalam kitab, Lek.” ”Dan kitab itu dikarang oleh seseorang kan?” ”Benar.”
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Dan bukan oleh Yang Maha Tahu dan Mengerti tentang ciptaannya.” ”Iya.” (PBS: 169). Pada contoh selanjutnya dapat pula dilihat pada cuplikan novel Abidah yang lain, Geni Jora sebagai berikut. Saat para perempuan berkumpul dalam satu majelis, dengan makalah di tangan, dengan bermacam pergolakan yang dibawa dari negara masing-masing, mengenai kondisi kaum yang disayangi yang ternyata lemah dan terpinggirkan, yang menghuni pojok-pojok sejarah, menempati baris-baris di luar pagina, yang kelaparan dan buta aksara, ditempeleng para suami dan diperkosa para laki-laki. Saat para perempuan gelisah dan menjadi cemas oleh kesenjangan membabi buta... (GJ: 20) Seperti yang dapat disaksikan dalam kedua cuplikan novel di atas, terlihat cukup jelas ideologi feminisme yang hendak diusung oleh pengarang asal Jombang ini. Latar belakang kehidupan pesantren yang tampak pada kedua karyanya tersebut seakan ingin menegaskan kefasihannya berbicara mengenai perempuan dan kedudukannya dalam Islam serta tentunya kehidupan dunia pesantren yang pernah didiaminya tersebut. Pengarang mencoba mengambil perspektif yang berbeda dari para pengarang feminis yang seangkatan dengannya. Sebagai perempuan yang telah lama mengenyam pendidikan agama di pesantren, pengarang seolah menegaskan bahwa Islam tidak pernah menjadikan perempuan sebagai makluk marjinal atau makluk kelas dua. Keduanya merupakan mitra yang sejajar Dalam kehidupan beragama juga tidak luput dikritik oleh Abidah melalui tokoh utama perempuannya. Selama pendidikan di pesantren, Kejora dan Annisa —
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
nama tokoh dalam Geni Jora dan Perempuan Berkalung Sorban— berkesimpulan bahwa kitab-kitab fiqih turut ambil bagian untuk menyubordinasi keberadaan perempuan dan seolah menyatakan perlunya merekonstruksi fiqih yang selama ini dirasakan telah menjadikan perempuan menjadi warga kelas dua. Menurutnya kitabkitab fiqih yang ditafsirkan para ulama selama ini tidak lebih tinggi nilainya daripada isi kandungan Alquran dan Al Hadist. Jadi tindakan untuk menggugat interpretasi kitab-kitab fiqih dari para ulama dirasa sebagai sikap yang wajar karena selama ini pemahaman masyarakat tentang kedudukan perempuan cukup memprihatinkan. Dalam hubungan seksual misalnya. Dikatakan istri wajib memenuhi hajat suami meski sang istri sedang tidak ingin melakukannya. Jika istri tidak memenuhinya, maka malaikat akan melaknat dan mengutuk perempuan tersebut. Namun terkadang istri bisa saja sedang sakit atau kehilangan moodnya, apakah hal itu termasuk dosa? Seharusnya hubungan tersebut dilakukan apabila keduanya samasama dalam keadaan siap. Masih banyak hal-hal yang dipertanyakan tokoh-tokoh utama perempuan kreasi Abidah tentang perempuan dan Islam. Sebenarnya dalam ajaran Islam terdapat beberapa ayat yang mengungkapkan adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan jika mereka beriman kepada Allah SWT. Begitu pula dalam pergaulan suami istri. Suami disuruh untuk menggauli istrinya secara patut. Seperti yang diutarakan dalam Quran berikut. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, lakilaki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35). Apa yang disampaikan Abidah tentu agak berbeda dibandingkan dengan ideologi feminisme yang disampaikan oleh Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dalam karya-karya mereka. Meskipun secara lugas menggugat nilai-nilai patriarki yang pernah dilihatnya, Bahasa yang digunakan Abidah tidak sevulgar kalimat-kalimat yang diutarakan Ayu maupun Djenar. Ideologi feminisme yang selama ini selalu digaungkan tidak membuat tokoh-tokoh perempuan Abidah sampai membenci dan mengumpat tokoh laki-laki. Bahkan para tokoh perempuan tersebut dikisahkan memiliki kekasih dan juga mengalami pernikahan. Hal ini sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ayu dan Djenar, misalnya. Pada Saman dapat disaksikan aroma ideologi feminisme sebagai berikut. Dia mengambil analogi yang menarik antara sikap Orde Baru terhadap perempuan dengan struktur organisasi dalam ABRI. Menempatkan perempuan dalam kementrian sosial dan urusan wanita sebetulnya pararalel dengan kegiatan Dharma Wanita atau Persit Kartika Chandra. Itu merupakan perpanjangan dari rumah tangga yang patriarki. Perempuan diseklusi dalam perkara domestik, urusan rawat-merawat. Keputusan strategis tetap di tangan laki-laki. Lebih dari itu, menurut dia, mengadakan kementrian urusan wanita sebetulnya justru merupakan penolakan bahwa persoalan wanita adalah persoalan politik bersama. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas kaumnya, yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab, padahal seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriarki... (Saman: 180). Ideologi feminisme pada novel Larung dapat pula disimak seperti berikut. Brigjend Rusdyan Wardhana, nama aslinya. Karena tentara, tentunya dia bersepatu lars. Kami bertemu di sebuah pesta pariwisata di Medan tak lama setelah aku membuka hotelku di jalan Sisingamangaraja.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Waktu itu dia masih colonel, baru dipindahkan dari Jakarta ke Kodam Bukit Barisan, gagah sekali, dan aku membayangkan seorang pria yang garang dan jalang, serdadu yang liar sepulang tempur, yang merobek-robek bajuku dengan buas. Kami pun berkencan. Tetapi di tempat tidur ternyata dia anak manis, yang menunggu aku melucuti pakaiannya. Dan baru dua menit putus kayak telepon koin. Aku baru mencari posisi yang enak ketika tiba-tiba, lho kok loyo?. Dia bukan macan. Dia apalagi kalau bukan kucing bersepatu lars. Aku rada kecewa. Tapi tak apa. Setiap pria memiliki daya tariknya sendiri, juga daya tahan. Hahaha… (Larung: 88). Dalam cuplikan Saman di atas, Ayu menyinggung berbagai gerakan perempuan di Indonesia. Ide-ide emansipatif sebenarnya telah lama muncul di negeri ini. Persit Kartika Chandra Kirana, misalnya, merupakan salah satu perkumpulan istri abdi negara (Tentara Angkatan Darat). Begitu pula dengan Bhayangkari untuk organisasi istri polisi, Dharma Wanita untuk perkumpulan istri pegawai pemerintahan, serta segudang organisasi-organisasi perempuan lainnya. Di balik berkembangnya aktivitas organisasi perempuan di masa Orde Baru ternyata ada sekelumit kekhawatiran dan pengalaman traumatis atas pengkhianatan yang dilakukan PKI yang berimbas pada kebebasan organisasi perempuan (Nugroho, 2008: 98). Fenomena itu seakan dijadikan pembenaran untuk selalu mengawasi dengan ketat untuk menjaga terjadinya penyimpangan pandangan dengan segala doktrin Orde Baru. Cuplikan Saman di atas dapat dikatakan sebagai protes dari kaum feminis yang tidak menyukai sistem patriarki. Seperti yang diketahui, meskipun telah ada usaha dari pihak pemerintah untuk membuat perempuan lebih produktif, ternyata hal tersebut malah menegaskan kekuasaan laki-laki (suami) dalam kehidupan rumah
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tangga. Kegiatan yang selalu dilakukan kaum ibu itu didominasi oleh urusan domestik, seperti arisan, PKK, masak memasak, jahit-menjahit, dan tidak jarang kegiatan ini dijadikan ajang bergosip di antara ibu-ibu tersebut. Adapun cuplikan dalam novel Larung seakan menegaskan kedigdayaan perempuan atas laki-laki. Hal ini digambarkan secara blak-blakan oleh Ayu melalui ketidakmampuan seorang laki-laki di atas ranjang. Meskipun dari luar terlihat gagah dan perkasa, namun dalam hal bercinta ternyata oknum abdi negara ini masih kalah dengan tokoh perempuannya (Cok). Sedangkan pada novel Nayla, penggalan berikut juga menegaskan pesanpesan ideologi feminisme yang disampaikan Djenar. Dalam salah satu adegan ketika tokoh Nayla yang dikisahkan seorang penulis cerita fiksi, diwawancarai mengenai tulisan-tulisannya yang banyak bercerita tentang perempuan dan seksualitas. Perhatikan cuplikan berikut. “Jadi bukan karena pertimbangan pasar?” “Sama sekali tidak. Saya memang mengakrabi masalah seksualitas karena saya merasa berada di dalam pusaran masalah itu. Saya yakin semua perempuan terlibat di dalamnya, juga Anda.” “Masalah seksualitas seperti apa yang Mbak maksud?” “Masalah perempuan yang menekan perempuan.” “Contohnya?” “Tubuh perempuan direpresi dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi. Tubuh perempuan tidak diberi hak bersenang-senang atau disenangkan. Perempuan harus perawan. Perempuan harus bisa hamil dan melahirkan. Perempuan harus menyusui. Perempuan harus pintar memuaskan laki-laki di ranjang. Perempuan hanya masyarakat nomor dua setelah laki-laki… (Nayla: 117).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari beberapa contoh cuplikan di atas dapat dilihat adanya keinginan untuk mengemukakan ideologi feminisme yang hendak disampaikan para pengarang perempuan ini melalui sejumlah metafora, terutama dapat dilihat pada karya sastra Angkatan 2000. Para pengarang perempuan yang dapat dikatakan sebagai bagian dari kaum feminis ini berkeinginan untuk mendekonstruksi oposisi biner antara laki-laki dan perempuan yang selama ini bersifat patriarki karena pada kondisi seperti itu perempuan dipaksa menjadi kaum yang termajinalkan. Ayu Utami dalam Saman dan Larung mencoba mempresentasikan gagasan ideologi feminisme melalui tokoh-tokoh perempuan yang digambarkan lebih berkuasa dan bisa menaklukkan laki-laki, sedangkan para tokoh laki-lakinya sering dibuat tidak berdaya dalam menghadapi segala sesuatu. Tokoh Yasmin, misalnya, bisa menundukkan tokoh Saman baik dari segi seksualitas maupun aktivitasnya (Nasution, 2007: 327). Begitu pula halnya ketika diceritakan Yasmin dan
Cok
menyelamatkan Saman sampai keluar negeri, sedangkan Saman dan Larung tidak berhasil menyelamatkan Wayan Togog, Bilung, dan Koba (aktivis Solidaritas Wong Alit) yang menjadi buronan polisi. Begitupun yang terjadi pada Cok. Perempuan ini diceritakan memiliki kehidupan yang bebas, terutama petualangannya terhadap beberapa lelaki di atas ranjang termasuk menaklukkan oknum tentara. Adapun tokoh laki-laki yang dikisahkan Ayu, Larung, misalnya dianggap sebagai laki-laki yang tidak pernah berhubungan seks.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Begitu pula halnya dengan dominasi yang diberikan pengarang kepada tokoh Yasmin. Diceritakan Saman hanya menjadi objek dalam berhubungan jasmani dengan Yasmin, sedangkan yang lebih berperan adalah Yasmin. Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan lain selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus harafiah (Larung: 160).
Hampir senada dengan kedua karya Ayu Utami di atas, pada karya Dewi Lestari untuk novelnya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dan Djenar Maesa Ayu dalam novelnya Nayla juga mengemukakan ideologi feminisme secara lugas. Dalam Supernova, pengarang menempatkan tokoh perempuan —Diva— sebagai tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas serta amat membenci kemunafikan. Tokoh yang menggunakan nama Supernova ketika bermain di dunia cyber ini dikisahkan pula memiliki kedudukan khusus dalam cerita. Diva menjadi tokoh yang diciptakan oleh tokoh Ruben dan Dhimas. Kedua lelaki yang menjadi sepasang kekasih ini menciptakan tokoh Cyber Avatar, yaitu Diva. Diva merupakan tokoh yang tidak terlalu ramah pada orang lain, merdeka dari segala keinginan dan perintah orang lain. Meski berprofesi sebagai pelacur, namun sang Supernova ini bisa “menasihati” orang lain melalui chatting di internet (hlm. 128-129). Hal ini dibuktikan dengan beberapa tokoh di novel ini yang berkonsultasi dengan sang Cyber Avatar ini seperti yang terdapat pada cuplikan berikut.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Mendadak segala penat dan perih lukanya hilang, tergantikan oleh secercah semangat. Secepat kilat, ia langsung mengirim pesan. Berkali-kali, sampai akhirnya Supernova merespon tulisannya… (KPBJ: 149). Jemari jentiknya kembali mengetik secepat kilat. Terlalu banyak email yang harus dibalas, ia hampir tidak merespon para penanya di jalur chat room ICQ. Tiba-tiba muncul sebuah nomor asing… ia pun tersenyum. Sapaan pertama mereka telah bercerita segalanya.
Cyber Avatar. Ternyata kamu ada Senang berkenalan dengan kalian (KPBJ: 203). Adapun Djenar dalam berkisah pada Nayla bisa dikatakan sangat lancar bertutur tentang seksualitas dan juga secara gamblang menunjukkan perlawanannya pada sistem patriarki, meskipun terkadang terasa pengarang menurutkan emosi pribadinya sebagai seorang Djenar yang selalu menulis kisah seputar seks. Ideologi feminisme dalam Nayla juga tergambar ketika tokoh Nayla begitu sangar terhadap laki-laki, meski laki-laki tersebut merupakan pacarnya. Sama halnya dengan Ayu Utami, Djenar juga memberikan kekuatan pada tokoh Nayla, bahkan ketika melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, ia menjadi pihak yang aktif sedangkan pacarnya (Ben) menjadi pihak yang pasif. Maka dituntunnya laki-laki itu menuju kamar mandi. Dicumbunya di depan pintu. Ditariknya masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi yang tak berlampu. Dibukanya ritsleting celana laki-laki itu. Dilakukannya semua yang ingin ia lakukan saat itu, di kamar mandi yang tak berlampu, dengan laki-laki itu…(Nayla: 144).
Adapun Abidah El Khalieqy dalam mempresentasikan ideologi feminisme dapat dilihat pada novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Di kedua novel ini memperlihatkan adanya konflik antara ideologi patriarki dan ideologi feminisme. Hal ini tergambar dalam cuplikan-cuplikan yang memperlihatkan
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pertentangan di antara kedua ideologi tersebut, terutama pertentangan mengenai penafsiran kitab-kitab fiqih dalam Islam. Pengarang tampak begitu jelas menunjukkan sikap pemberontakannya dalam memaknai dan menafsirkan beberapa kitab dari para ulama. Pengarang merasa pendapat dari kitab-kitan tersebut ditafsirkan untuk membuat kaum perempuan menjadi tersubordinasi dalam kehidupan sosialnya padahal kitab suci Quran sendiri tidak pernah menyudutkan kaum keturunan Hawa ini. Perhatikan cuplikan di bawah ini. “Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, cukup jika telah mengaji beberapa kitab…Kami juga tidak terlalu keburu, ya…mungkin menunggu sampai si udin wisuda kelak. Yang penting…kita sepakat untuk saling menjaga. Mengenai kapan dilangsungkannya pernikahan, nanti bisa dirembug lagi… Mendengar kata-kata itu, darahku serasa beku. Aku tertahan dan berdiam seperti patung. Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati nasibku. Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini, sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu lagi mereka melibatkanku” (PBS: 90-91).
“Ini kan raport sekolahan, Cucu. Berapa pun nilai Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu, kau adalah perempuan dan tetap sebagai perempuan.” (GJ: 62).
“… namun aku tak mampu mengikuti kemurah-hatian yang diajarkan. Sekalipun aku tahu jawaban kitab fiqih, tetapi lidahku enggan menyatakan, sebab pikiran dan hatiku kurang berkenan dengan jawaban-jawaban yang tertera…” (GJ: 33).
Dalam beberapa novel Angkatan 1970, ideologi feminisme yang ditampilkan pada umumnya takluk pada sistem patriarki. Namun tetap saja tokoh perempuan yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ada dalamnya sudah cukup merasa nyaman dengan kondisi yang demikian. Misalnya saja dapat dilihat pada novel Namaku Hiroko berikut. Belum selesai aku mengatakan apa yang hendak kukatakan, tangannya yang berat menampar mukaku. Satu kali. Dua kali. Keduanya kurasakan seperti irisan pisau yang menyambarku. Aku terlempar ke kaki kursi di sudut ruangan. Aku tidak terkejut menerimanya. Telah kuduga. Telah menjadi hakku. Yoshida memang patut menghajarku, perempuan yang tidak mengerti arti kesabaran menunggu. Perempuan yang memalingkan muka di saat kesempatan tersedia. Ah, kusadari betapa rendahnya sifatku yang terkutuk. Dan aku menangis. Tidak karena kesakitan. Melainkan karena kehilangan daya. Aku tidak mengerti mengapa aku begitu. (NH: 238). Bandingkan dengan apa yang diuraikan dalam novel Angkatan 2000 berikut. Zakky terkesima. Tak percaya oleh keberanianku melawan mata dan kuasa laki-lakinya. Ayo bertanding Zakky! Satu lawan satu. Kejar daku, kau akan kutembak. Atau tinggalkan aku! Kau boleh pergi dengan yang lain. (GJ: 171).
Dari kedua cuplikan di atas dapat dilihat bahwa pada Angkatan 2000, tokoh perempuan umumnya digambarkan lebih mandiri dan bisa menantang siapa saja yang merasa menyakiti mereka. Pergeseran begitu kental terasa ketika membaca novel yang berbeda generasi ini. Tabel 5 : Tipologi Ideologi Feminisme
No
Angkatan 1970
1
Perempuan Kedua
2
Karmila
Feminisme Liberal √ √
Ideologi Feminisme Feminisme Feminisme Feminisme Radikal Sosialis Africana ─ √ ─ ─
─
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
─
Lanjutan Tabel 5 √
─
─
─
4
Bukan Impian Semusim Namaku Hiroko
√
─
√
─
5
Pada Sebuah Kapal
√
─
√
─
6
Melati di Musim Kemarau
√
─
─
─
3
2000 1
Larung
─
√
√
─
2
Saman
─
√
√
─
3
Perempuan Berkalung Sorban Geni Jora
√
─
√
─
√
─
√
─
─
√
─
─
6
Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh Supernova: Akar
─
√
─
─
7
Nayla
─
√
─
─
4 5
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat berbagai jenis ideologi feminisme, yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, dan Feminisme Africana. Pada Angkatan 1970 yang mendominasi adalah feminisme yang liberal, yaitu gerakan feminisme yang mencoba memperkuat kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Feminisme liberal ini menurut Nugroho (2008: 63), mulai berkembang di Barat pada abad ke-18, bersamaan dengan semakin populernya gerakan pemikiran baru (enlightment atau age of reason).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pada Angkatan 1970 kesemua data yang berjumlah enam novel termasuk dalam katagori feminisme liberal. Adapun tipe feminisme sosialis berjumlah tiga novel. Sedangkan masa Angkatan 2000-an, yang lebih mendominasi adalah feminisme yang sudah radikal yang berjumlah lima novel. Adapun feminisme ini merupakan gerakan yang lebih melihat bahwa segala akar permasalahan lebih pada sistem seks dan jender serta pemberontakannya pada setiap diskriminasi yang dilakukan sistem patriarki dan tentunya selalu berujung pada penindasan terhadap kaum perempuan. Di setiap kisah yang ditampilkan, tampak begitu jelas ideologi feminisme yang terungkap dari setiap dialog-dialognya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ciri feminisme radikal yang terdapat pada Angkatan 2000 ini termasuk di dalamnya adalah kisah cinta sejenis. Para pengarang perempuan di angkatan ini tidak ragu dalam mengisahkan cerita yang berkaitan dengan cinta sejenis (homoseksual). Dari tujuh novel yang mewakili Angkatan 2000, tercatat ada lima novel yang menyinggung terjadinya hubungan asmara sejenis yang tidak lazim dilakukan ini. Kelima judul novel tersebut adalah Larung, Saman, Geni Jora, Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh, dan Nayla. Selain beraliran feminisme liberal dan feminisme radikal, terdapat pula beberapa novel yang memiliki kecendrungan feminisme sosialis. Feminisme sosialis merupakan gerakan untuk membebaskan perempuan melalui struktur patriarki. Perubahan struktur patriarki ini bertujuan supaya kesetaraan jender dapat terwujud serta menjadi syarat demi terciptanya suatu masyarakat tanpa kelas dan tanpa hierarki
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
horizontal (Nugroho, 2008: 75). Kaum feminisme sosialis ini selalu menuding bahwa pekerjaan perempuan yang selalu berkisar pada sektor domestik dan pekerjaan lakilaki yang berada di wilayah publik sebagai cikal bakal timbulnya struktur patriarki dalam keluarga. Dalam novel-novel yang mewakili Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 terdapat delapan judul yang di dalamnya juga disinggung tentang feminisme sosialis, yaitu Perempuan Kedua, Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, Larung, Saman, Perempuan Berkalung Sorban, dan Geni Jora. Adapun dengan ideologi feminisme Africana setelah diamati tidak terdapat di dalam ketigabelas novel yang menjadi data, baik dari angkatan 1970 maupun dari Angkatan 2000.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB V FAKTOR-FAKTOR PERGESERAN IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000
Terjadinya pergeseran ideologi feminisme dari masa ke masa tentu saja dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Begitu pula ideologi yang terjadi dalam karya sastra tentu sudah mengalami berbagai pergeseran konsep. Ternyata telah terjadi pergeseran ideologi feminisme dalam Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 khususnya dalam novel karya-karya perempuan di kedua Angkatan tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
5.1 Faktor Pendidikan Latar pendidikan telah nyata turut memengaruhi serta membuka cakrawala pemikiran para pengarang perempuan. Faktor terdidiknya para pengarang perempuan ini membuat pola pikir mereka pun menjadi lebih terbuka dan semakin membuat mereka mengetahui akan banyak hal, termasuk ideologi feminisme. Menurut Alwi, dkk (2007: 263) pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan juga dianggap memberdayakan seseorang sehingga pada akhirnya bisa terbebas dari belenggu kebodohan dan rendah diri. Semakin tinggi pendidikan akademis seorang perempuan, boleh dikatakan semakin intelek pemikiran sesorang tersebut. Dia tidak hanya melakukan seputar
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
aktivitas domestik di rumah, namun biasanya perempuan model ini menjadi sosok perempuan mandiri dan memiliki karier yang tidak hanya sebagai ibu rumah tangga semata. Dalam cuplikan novel Karmila berikut dapat disaksikan bagaimana pendidikan turut memengaruhi pemikiran perempuan. ”Bukan soal uang. Aku ingin kuliah lagi. Titik. Fani mesti kauambil.” ”Oke, engkau kuliah lagi. Tapi anak ini toh boleh tetap di sini? Ibumu pasti tidak keberatan mengurusnya, sebab kalau aku tidak salah, selama ini pun Ibu yang merawatnya... (Karmila, hlm. 100).
Adapun pada Angkatan 2000, dalam novel Geni Jora dapat pula disaksikan tokoh Kejora berikut yang memiliki kecerdasan serta memiliki pendidikan tinggi. Kubuka seratus halaman, seribu, sejuta, bahkan semilyar halaman dari buku-buku dunia, kitab-kitab abadi dan pidato-pidato, kuliah para guru, para ustadz dan para dosen. Sebagai murid, sebagai santriwati, sebagai mahasiswi, aku duduk menghadapi mereka satu per satu. Kupasang pendengaran dan kupusatkan penglihatan. Kuserap pengetahuan dengan otak dan fuadku (GJ: 32).
Pada novel Saman dapat pula disaksikan pendidikan dari salah seorang tokoh perempuan yang bernama Yasmin Moningka seperti berikut. Yasmin adalah yang paling berprestasi dan paling kaya di antara teman terdekat saya. Kami menjulukinya the girl who has everything. Ia kini menjadi pengacara di kantor ayahnya sendiri, Joshua Moningka & Partners. Namun ia kerap bergabung dalam tim lembaga hukum untuk orang-orang yang miskin atau tertindas. Ia juga sudah mendapat izin advokat yang tak semua lawyer punya (Saman: 24).
Pada kedua cuplikan novel di atas terlihat faktor pendidikan yang tinggi membuat Karmila, Kejora, dan Yasmin memiliki citra sebagai perempuan modern
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang berpikiran luas meski dalam Karmila dikisahkan tokoh Karmila merasa terganggu jika ia harus kuliah sekaligus mengurus anak akibat perkosaan Feisal. Ia tidak ingin ketika sedang belajar sang anak meminta perhatiannya. Sang pengarang, Marga Tjoa, seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum merupakan seorang dokter selain tentunya seorang novelis yang produktif. Pendidikan yang diterimanya semasa di bangku kuliah serta pengalaman dan pergaulannya dalam masyarakat tentu membuat ia mengetahui berbagai persoalan yang melanda di masanya, termasuk pula permasalahan yang dialami perempuan. Adapun pengarang lain seangkatan Marga adalah Maria A. Sardjono, seorang lulusan Magister Ilmu Filsafat yang juga seorang pengarang produktif. Seperti yang diketahui, Maria juga selalu menuliskan kisah cinta yang tidak terlalu ”berat” dibaca sehingga karya-karya ciptaannya bisa dikatakan hampir senada dengan Mira W atau Marga T. Pengarang perempuan Angkatan 1970 yang juga aktif menulis karya-karyanya yang bermutu dan bernilai sastra tentu saja Nh. Dini. Dalam perjalanan pendidikannya,
boleh
dikatakan
pengarang
kelahiran
Semarang
ini
tidak
mendapatkan pendidikan yang terlalu tinggi seperti halnya dengan Maria, Marga T, atau Mira W. Nh. Dini tidak sempat mengenyam pendidikan sampai sarjana. Meski demikian, kecerdasan, bakat, serta pengalamannya berkeliling dari satu negara ke negara lain semasa menjadi istri diplomat membuat Dini berhasil mencdiptakan karya-karya yang baik, terutama jika berbicara tentang perempuan.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Sedangkan pada cuplikan Geni Jora, dapat dilihat gadis yang bernama Kejora merupakan gadis dengan sosok yang cerdas dan memiliki bakat pemberontak sejak masih kecil. Ketika sudah mengecap ilmu sampai di perkuliahan, terang saja pemikirannya bertambah maju dengan segudang ide-ide feminisme yang membuncah di dada. Sifat pemberontak Kejora mencerminkan kecerdasan dan keberanian menentang segala yang tidak disukainya. Hal ini belum tergambar pada Karmila. Meski pada awalnya ia tidak ingin mengasuh puteranya, namun dengan bahasa cinta yang dimainkan Feisal membuat Karmila bukan hanya mau mengasuh anaknya melainkan juga berhasil membuat Karmila mencintai Feisal. Namun sedikit disayangkan, Abidah sebagai pengarang Geni Jora menciptakan tokoh Kejora seakan tanpa cela dan nyaris sempurna. Berparas cantik, berasal dari keluarga berkecukupan, berpikiran cerdas, dan bisa menaklukkan lakilaki, seperti itulah gambaran umum Kejora. Pada contoh kutipan di atas, dapat disimpulkan begitu cerdasnya Kejora sehingga ia selalu meraih prestasi yang baik dan juga menjadi santriwati kesayangan salah satu ustadz di pesantren tersebut. Abidah sebagai mantan santriwati dan juga lulusan IAIN Sunan Kalijaga dirasa sangat mumpuni untuk mengisahkan cerita-cerita dengan tema yang populer di masyarakat. Faktor pendidikan tentu sangat berpengaruh dalam perkembangan pikiran Abidah sebagai seorang pengarang yang konsisten menceritakan pergulatan perempuan yang hendak melepaskan diri dari belenggu sistem patriarki yang pada kenyataannya pernah dilihat dan dialami sendiri oleh pengarang.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Begitu pula dengan pengarang lain, seperti Ayu Utami yang menciptakan tokoh Yasmin. Tokoh ini merupakan salah satu tokoh perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan status sosial yang baik di masyarakat. Sebagai seorang perempuan yang pintar dan memiliki kekayaan membuat karier Yasmin selalu cemerlang. Tokoh perempuan ini juga diceritakan mampu menaklukkan tokoh Saman dalam hal seksualitas sedangkan tokoh Saman yang notabene seorang laki-laki tidak mampu berbuat banyak ketika berhadapan dengan Yasmin. Yasmin, mungkin persetubuhan kita memang harus hanya dalam khayalan. Parsanggamaan maya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana memuaskan kamu. Saman, tahukah kamu, malam itu, malam itu aku yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu. Yasmin, Ajarilah aku. Perkosalah aku.. (Saman: 195). Jika dikaitkan dengan pendidikan dari sang pengarang, Ayu Utami merupakan lulusan Sarjana Sastra Rusia, Universitas Indonesia yang tentunya tidak diragukan kualitas keilmuannya. Fakultas Sastra juga dikenal dengan banyaknya kritikus sastra. Adapun pengarang perempuan lain yang mewakili Angkatan 2000 adalah Dewi Lestari. Beliau seorang alumnus Universitas Parahyangan, Bandung, Jurusan Ilmu Politik yang juga termasuk perempuan cerdas dan multitalenta karena selain penulis, Dewi juga dikenal sebagai penyanyi dan pencipta lagu.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
5.2 Faktor Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran ideologi feminisme dalam novel Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Keterbukaan yang berkembang dalam wacana sastra di era reformasi ini salah satunya dikarenakan status sosial ekonomi pada tokoh-tokoh yang bermain di dalam novel bisa dikatakan sudah lebih baik. Selain pendidikan, para tokoh kreasi pengarang perempuan yang mewakili Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 ini juga telah mengalami pergeseran dalam hal status sosial ekonomi. Meskipun secara status sosial ekonomi para tokoh perempuan di Angkatan 1970 mulai menampakkan kemandiriannya, namun tetap saja masih terasa ketergantungannya kepada tokoh laki-laki. Berikut dapat disaksikan pada novel Namaku Hiroko berikut. Uang dari kabaret tidak pernah kupakai sejak dia tinggal bersamaku. Jumlah yang terkumpul kusimpan di tabungan bank, merupakan jaminan kesejahteraan diriku sendiri. Seandainya aku meninggalkan kerja malamku, kuinginkan agar Suprapto mengganti jumlah kerugiannku. Aku tidak pernah dapat menduga atau mengetahui apakah dia cemburu. Apakah dia betul-betul menghendaki agar aku meninggalkan pekerjaan di malam hari... (NH: 166).
Perlu diketahu bahwa pertumbuhan pengarang, khususnya pada tahun 1970an, mengindikasikan semakin membaiknya perekonomian di Indonesia. Salah satu dampaknya adalah munculnya kelas-kelas menengah terutama di kota-kota. Kaum kelas menengah ini mampu membeli karya-karya dari para pengarang, tidak terkecuali pengarang perempuan.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Seorang Marga T atau Mira W yang juga berprofesi sebagi dokter mengisyaratkan bahwa mereka mengarang banyak novel bukan semata ingin mencari uang dan kekayaan, namun lebih karena karya-karya mereka sangat digemari oleh masyarakat meskipun pada kenyataannya tidak bisa dimungkiri bahwa penjualan novel yang laris berdampak pada pundi-pundi harta kekayaan mereka. Dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang mewakili Angkatan 2000 dapat juga terlihat bagaimana status sosial ekonomi yang tinggi di mata masyarakat telah menjadikan Diva, salah satu tokoh perempuan dalam novel itu sangat mandiri dan merasa tidak memerlukan laki-laki. Diva bukan jenis orang yang hangat yang tak pernah lupa mengajaknya ngobrol atau melemparkan guyonan, tapi ia tahu majikannya amat peduli. Diva tak pernah memberikannya baju lebaran atau menyumbangkan hewan kurban, tapi Diva menanggung biaya sekolah ketiga anaknya, bahkan membayari mereka ikut berbagai macam kursus. Belum lagi suplai buku-buku yang selalu datang membanjir...Tentu saja, semua modal ditanggung Diva (KPBJ: 116).
Dari kedua contoh cuplikan di atas secara tersirat dapat dibandingkan bahwa di antara kedua tokoh perempuan berbeda Angkatan itu, pergeseran ideologi feminisme yang cukup menonjol adalah pengaruh status dan kondisi sosial ekonomi. Di era 1970-an, para perempuannya sebagian sudah ada yang mandiri karena perempuan tersebut bisa menghidupi dirinya, namun ia masih juga merasa memerlukan laki-laki sebagai pendamping hidupnya. Jika dibandingkan dengan Angkatan 1970, pada Angkatan 2000 tokoh perempuannya terlihat seakan tidak membutuhkan kehadiran laki-laki sebagai suami
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang sah. Sebagian besar tokoh-tokoh perempuan itu memang memiliki kehidupan yang bebas dan selalu berganti-ganti pasangan, bahkan tidak jarang dengan pasangan yang sejenis. Dari segi kemampuan ekonomi, para perempuan dari Angkatan 2000 ini boleh dikatakan cukup mapan karena memiliki pekerjaan yang bonafid. Rata-rata usianya juga masih di usia produktif.
5.3 Faktor Politik (Kekuasaan) Faktor selanjutnya yang menyebabkan bergesernya ideologi feminisme adalah faktor kekuasaan atau politik. Politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan dalam suatu sistem atau negara yang menyangkut proses untuk menentukan tujuan bersama dan melaksanakan tujuan itu (Hermawan, 2001: 7). Jika berbicara tentang politik tentu pembicaraan tersebut tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Perkembangan situasi politik yang terjadi di negeri ini disimpulkan menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai pergeseran ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Di masa Orde Baru kebijakan-kebijakan dari pemerintah ternyata justru melemahkan kaum perempuan. Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan tersebut didasarkan oleh sistem patriarki. Dalam sistem patriarki, secara tegas disebutkan bagaimana bentuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, yang pada akhirnya memasuki ruang negara (Baso, 2000: 8).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Berikut dapat dilihat faktor politik (kekuasaan) yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme di antara kedua angkatan yang dikaji. Pada Angkatan 1970 dapat disaksikan dalam novel Namaku Hiroko. Di negeriku, waktu itu kedudukan wanita jauh di bawah laki-laki. Baik dalam tata cara adat maupun undang-undang. Sejauh ingatanku, selama di desa aku tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau menyimpang dari kebiasaan. Aku menerimanya seperti juga aku menerima kebanyakan hal lainnya (NH: 168)
Adapun dalam novel yang mewakili Angkatan 2000 dapat dilihat pada novel Saman. Dia mengambil analogi yang menarik antara sikap Orde Baru terhadap perempuan dengan struktur organisasi dalam ABRI. Menempatkan perempuan dalam kementrian sosial dan urusan wanita sebetulnya pararalel dengan kegiatan Dharma Wanita atau Persit Kartika Chandra. Itu merupakan perpanjangan dari rumah tangga yang patriarki. Perempuan diseklusi dalam perkara domestik, urusan rawatmerawat. Keputusan strategis tetap di tangan laki-laki. Lebih dari itu, menurut dia, mengadakan kementrian urusan wanita sebetulnya justru merupakan penolakan bahwa persoalan wanita adalah persoalan politik bersama. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas kaumnya, yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab, padahal seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriarki... (Saman: 180).
Dari kedua Angkatan yang berbeda di atas dapat disimpulkan bahwa setelah reformasi yang bergulir sejak pertengahan 1998 silam masyarakat di negeri ini mulai berani bersuara dengan lantang, tidak terkecuali pengarang perempuan. Para pengarang perempuan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa selama kekuasaan Orde Baru, perempuan tetap saja menjadi kaum yang tersubordinasi sekalipun di masa itu bermunculan berbagai organisasi perempuan dan semua itu dianggap pengarang hanya sebagai kamuflase belaka.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Jika pada Angkatan 1970, persoalan politik hanya disampaikan melalui sindiran-sindiran halus maka di masa Angkatan 2000 atau pascareformasi, permasalahan politik dan berbagai peristiwa yang terkait disampaikan lebih lugas sehingga pembaca terkadang seperti menemukan suatu fakta dalam setiap karangan.
5.4 Faktor Budaya Faktor budaya menjadi salah satu penyebab bergesernya ideologi feminisme di antara kedua Angkatan yang dikaji. Karya sastra dapat dikatakan sebagai produk budaya yang dapat memberikan hikmah terhadap manusia sebagai penikmat karya sastra karena dalam karya sastra terkandung isi, pesan serta berbagai konsep kehidupan yang amat beragam. Kondisi budaya tentu tidak stagnan melainkan bersifat progresif sesuai dengan perkembangan zaman. Budaya itu sendiri dapat dimaknai sebagai “Keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istirahat, dan kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat” (Taylor melalui Harris dan Robert, 2005: 56). Apabila dikaitkan dengan karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka dapat dikatakan bahwa faktor budaya telah mengakibatkan pergeseran ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Pada Angkatan 1970 budaya patriarki masih begitu melekat erat pada kehidupan para tokoh perempuan dan para perempuan yang diceritakan tersebut umumnya tidak berdaya dan terlihat cukup nyaman dalam menghadapi sistem yang
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
diterapkan oleh budaya patriarki tersebut. Pada angkatan ini juga terlihat adanya unsur primordial, yaitu kecenderungan kembali pada masa lampau (Ratna, 2008:457). Sedangkan pada Angkatan 2000, budaya yang diyakini sudah mengalami pergeseran yang cukup signifikan seolah ingin melepaskan diri dari nilai-nilai budaya yang dianggap sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman. Nilai budaya tersebut boleh dikatakan bernuansa kontemporer, yaitu nilai-nilai yang dianut pada masa kini (Alwi, 2007: 591). Pendidikan yang cukup tinggi, pengaruh arus informasi dari multimedia menjadikan pemikiran pengarang perempuan semakin terbuka sehingga budaya yang tercipta juga mengalami pergeseran. Pergeseran dari aspek budaya ini dapat dibandingkan pada cuplikan novel Perempuan Kedua dan Geni Jora berikut. Aku harus berjuang keras memoles tubuh yang mulai menua ini supaya masih tetap terpakai dan tidak membosankan suami! Supaya suami tidak menoleh kepada perempuan lain dan mencari yang lebih muda! Oh, alangkah menyakitkan menjadi seorang istri! Inikah bentuk pengabdian yang dituntut suami dari istrinya? Benar-benar harus menjadi abdi luar dan dalam? (PK: 113). Zakky terkesima. Tak percaya oleh keberanianku melawan mata dan kuasa laki-lakinya. Ayo bertanding, Zakky! Satu lawan satu. Kejar daku, kau akan kutembak. Atau tinggalkan aku! Kau boleh pergi dengan yang lain, memang lebih menarik dan bikin penasaran…(GJ: 171-172).
Sebagai seorang perempuan yang berasal dari keluarga Jawa yang sangat mengakar kuat unsur patriarkinya tentu apa yang dilakukan Kejora merupakan hal yang tidak lazim karena dalam kebudayaan Jawa yang mengharuskan seorang wanita
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dituntut untuk setia dan berbakti kepada suami. Istri dituntut selalu mengikuti suami ke surga maupun ke neraka (suwargo nunut neroko katut). Perempuan tidak banyak bertindak ke luar, lebih statis dan pasif serta harus tunduk dan taat pada keluarga. (Tjitrosubono, 1998: 194). Dari kedua contoh cuplikan di atas dapat diketahui ideologi feminisme yang mengalami pergeseran yang disebakan oleh faktor budaya pada konteks masyarakat yang berbeda masa ini. Gambaran sikap yang ditunjukkan oleh para tokohnya bisa dikatakan sangat bertolak belakang. Dalam Perempuan Kedua, tokoh Rani dilukiskan sangat kecewa dengan tingkah suaminya yang telah mengkhianatinya, namun ia tidak bisa berbuat banyak selain hanya bertanya pada diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan retoris. Berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Kejora dalam novel Geni Jora. Tokoh yang mewakili Angkatan 2000 ini begitu berani menantang siapa saja yang mencoba untuk menindas hak-haknya sebagai seorang perempuan. Bagi Kejora keduanya adalah mitra sejajar. Perempuan tidak berhak untuk disakiti dan dinomorduakan. Akan halnya dengan Ayu Utami, pengarang yang juga bersuku Jawa ini menyatakan bahwa selama ini pembicaraan mengenai seksualitas sangat tabu untuk dibicarakan secara terbuka, terlebih dalam budaya yang menjunjung tinggi adab ketimuran. Namun, Ayu berpendapat bahwa pemikiran tersebut harus diruntuhkan karena perempuan mempunyai hak untuk menikmati seks dan hidup bahagia seperti halnya laki-laki (Hamid, 2008: 3).
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
5.5 Faktor Agama Adapun yang dikatakan dengan agama menurut Mangunwijaya (2002: 23) adalah ” Suatu perangkat hukum, ritus, adat/ tradisi, peninggalan historis, hasil budaya serta organisasi dengan peraturan-peraturannya, impian/ pendamping dan harta miliknya”. Dalam novel Angkatan 1970 dapat dilihat pada cuplikan novel Bukan Impian Semusim. Disini terdapat tokoh seorang biarawati yang menjadi kepala sekolah dari sekolah khusus perempuan. Dalam beberapa ceramah kepada murid-muridnya, Mere Rosa berkata sebagai berikut. Nah, Marilah kita lihat apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang biarawati. Banyak orang berprasangka, terutama para orang tua di sini, bahwa masuk biara adalah sama dengan dikubur hidup-hidup. Biarawati-biarawati itu pasti takkan mungkin bahagia. Itu sama sekali tidak benar. Juga banyak orang menyangka, biarawan atau biarawati itu adalah oarang-oarang yang patah hati. Itu juga salah. Masyarakat tidak tahu, bahwa biara mempunyai ketentuan-ketentuan yang cukup keras dalam menerima anggota-anggota baru... (BIS: 25).
Sekarang, bisa dibandingkan dengan cuplikan novel Saman dan Perempuan Berkalung Sorban yang mewakili Angkatan 2000 seperti berikut. Ia telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak menebusnya sebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur tak berdasar...(Saman: 102). ”Itulah yang terjadi. Bahkan di kalangan para suami yang mengerti hukum agama pun, berlaku tabiat seperti itu. Ini sangat menyedihkan. Anehnya, jika ada perempuan yang mandiri dan penuh inisiatif malah ditakuti laki-laki dan dianggap maskulin. Ini kan cara berpikir yang bias jender dan tidak sebagaimana apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta sendiri.” (PBS: 231)
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Persoalan agama (teologi) yang direpresentasikan Marga T, yang mewakili Angkatan 1970 dan Ayu Utami yang mewakili Angkatan 2000 dapat dikatakan mengalami pergeseran. Pada Bukan Impian Semusim, pengarang melalui tokoh Mere Rosa, begitu menjunjug tinggi nilai-nilai agama dan berusaha memengaruhi lawan bicaranya agar berbudi luhur dan mengabdikan hidup pada Tuhan. Kentalnya nuansa keagamaan yang diusung dalam novel Bukan Impian Semusim dapat dimaklumi mengingat pengarang yang juga seorang dokter ini penganut Katolik yang taat. Sedangkan pada Saman nilai-nilai itu mulai berubah. Tokoh Saman yang pada mulanya seorang frater atau pastor yang relijius, tetapi pada akhirnya menjadi ragu akan keberadaan Tuhan. Terlebih ketika Saman ditangkap dan disekap oleh aparat keamanan. Sedangkan Abidah mencoba mengkritik dan seolah meluruskan bahwa penafsiran agama yang salah telah mengakibatkan kaum perempuan selalu terkekang di bawah dominasi laki-laki. Apa yang diungkapkan Ayu yang diwakili tokoh Saman di atas seolah mengesankan kegelisahnnya tentang keberadaan agama bagi kehidupan seseorang. Seperti yang diketahui bahwa salah satu sebab terjadinya gerakan feminis dikarenakan faktor agama. Pihak gereja melalui doktrin-doktrinnya dituding telah membuat kaum perempuan menjadi kaum kelas dua. Persoalan agama atau relijiusitas dalam karya sastra, khususnya yang ditulis oleh pengarang perempuan, pada Angkatan 2000 mulai diangkat bahkan tidak jarang dijadikan tema sentral. Seperti yang diketahui bersama bahwa konflik yang terjadi
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pada bangsa Indonesia tidak jarang berasal dari persoalan yang sangat sensitif ini karena masyarakat di negara ini mempunyai keanekaragaman agama dan keyakinan. Dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh dan Supernova: Akar, Dewi Lestari sebagai pengarang mencoba mengungkapkan permasalahan seks yang masih dianggap tabu untuk dikaitkan dengan masalah keagamaan. Namun, pengarang sebagai penulis yang feminis mencoba perspektif baru dalam berkeyakinan. Tersirat pengarang hendak meninggikan derajat sang tokoh perempuan yang bernama Diva atau Supernova menjadi tokoh banyak mengetahui segala sesuatu dan terkesan bersifat otoriter. Tokoh ini berniat mengajarkan cara mencapai kesadaran hidup yang lebih tinggi dan lebih intensif hingga dapat mengenali diri secara utuh. Lihatlah cuplikan di bawah ini. Kita berusaha memuat apa yang hanya bisa dijangkau abstraksi bernama ”iman” ke dalam sel-sel otak kita yang sudah usang [...] Saya bukan Guru. Anda bukan murid. Saya hanya pembeber fakta [...] Hanya ada satu paradigma di sisni: KEUTUHAN. Bergerak untuk SATU tujuan: menciptakan hidup yang lebih baik. Bagi kita. Bagi dunia. Supernova bukan okultisme. Bukan institusi religi. Bukan kursus filsafat. (KPBJ: 1).
Sedangkan dalam Supernova: Akar menekankan pada konsep tugas atau takdir. Konsep tugas di novel ini merupakan keyakinan bahwa manusia mempunyai tugas yang mesti diselesaikan dalam kehidupannya di muka bumi. Dalam Supernova: Akar ini juga menyinggung ajaran agama Budha. Meski pada novel ini pengarang tidak begitu ekstrem menyatakan ideologi feminismenya, namun di beberapa bagian cerita masih tampak juga sikap feminis dari tokoh perempuannya.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Kamu tahu apa yang paling menarik sekaligus paling menyebalkan dari diri kamu?” Semburnya tak tertahankan. ”Ketidaktahuanmu! Akan...akan...segalanya!” Maksud kamu apa? Aku berdiri. Ia ikut berdiri. Berjalan mendekat. ”You have such a beautiful face, Bodhi”, Ia berbisik. ”So beautiful, it scares the shit outta me” (Akar: 79).
Tokoh perempuan di sini (Star) digambarkan begitu aktif dan agresif merayu Bodhi, tokoh laki-laki utama di novel ini. Dengan berdalih menato bagian buah dada Star akhirnya kesempatan itu tidak disia-siakan Star dan Bodhi. Setelah selesai menato, mereka pun sama-sama memuaskan gelora rasa dan gairah yang membakar. Begitu pula pengarang memosisikan tokoh perempuan (Star) menjadi penakluk lakilaki. Salah satunya Star mengajarkan pada Bodhi bagaimana cara berciuman yang mengasyikkan. Sikap yang ditunjukkan Star pada Bodhi ini mengindikasikan masih terasanya aroma feminisme pada karya Dewi Lestari ini. Tabel 6 : Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme Angkatan No 1970
Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme Budaya Pendidikan Status Politik/ Sosial Kekuasaan Primordial Kontemporer Ekonomi
Agama
1
Perempuan Kedua
√
√
─
√
─
─
2
Karmila
√
√
─
─
√
─
3
√
─
─
√
─
─
4
Bukan Impian Semusim Namaku Hiroko
─
√
√
√
√
─
5
Pada Sebuah Kapal
─
√
√
√
√
─
6
Melati di Kemarau
√
√
─
√
─
─
Musim
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan tabel 6
2000 1
Larung
√
√
√
─
√
√
2
Saman
√
√
√
─
√
√
3
Perempuan Berkalung Sorban Geni Jora
√
√
─
─
√
√
√
√
√
─
√
√
4
√
√
√
─
√
√
6
Supernova: Ksatria,Puteri, dan Bintang Jatuh Supernova: Akar
√
√
─
─
√
√
7
Nayla
√
√
√
─
√
─
5
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai faktor yang memengaruhi pergeseran ideologi feminisme adalah faktor pendidikan, status sosial ekonomi, politik/ kekuasaan, budaya, serta agama. Hal ini dapat dilihat berdasarkan dialog-dialog, perilaku yang bernuansa feminisme dari para tokoh-tokohnya, terutama tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam ketigabelas novel yang mewakili Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 ini. Faktor pertama yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran ideologi feminisme di antara kedua angkatan tersebut adalah pendidikan. Dalam Angkatan 2000, ketujuh novel yang menjadi data diketahui bahwa semua tokoh utama perempuan di sana ternyata mendapat pendidikan formal yang baik. Setelah mereka tamat, biasanya para tokoh perempuan tersebut memiliki pekerjaan dan karier yang baik sehingga terkesan lebih mandiri dan secara materi juga cukup. Sedangkan faktor
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pendidikan yang memengaruhi pada Angkatan 1970 terdapat empat novel. Di sini dapat dilihat meski para tokoh perempuan juga mengeyam pendidikan yang lumayan tinggi—bahkan tidak jarang berpendidikan sarjana— namun pemikiran mereka masih didominasi sistem patriarki yang masih melekat kuat. Di samping itu dalam menyelesaikan berbagai persoalan masih mengikutsertakan orangtua dan keluarga, di samping teman-teman dekat sehingga sangat terasa unsur kekeluargaannya. Adapun faktor pergeseran ideologi feminisme yang selanjutnya adalah status sosial ekonomi. Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab pergeseran ideologi feminisme yang dapat dilihat dari para tokoh yang ada di dalam cerita maupun dari status sosial ekonomi dari sang pengarang sendiri. Dalam hal status sosial ekonomi ini dapat dilihat berdasarkan tabel 6 karena hampir semua data novel, masing-masing lima novel pada Angkatan 1970 dan tujuh novel pada Angkatan 2000, menunjukkan bahwa kehidupan sosial ekonomi yang dianggap mapan dapat mengubah cara berpikir seseorang dalam memandang sesuatu termasuk dalam tuntutan perempuan dan feminisme ini. Dalam kaitannya dengan faktor sosial ekonomi, ternyata berkaitan dengan tingkat pendidikan yang baik sehingga status sosial ekonomi juga lebih tinggi di mata masyarakat. Faktor berikutnya adalah kekuasaan dan politik yang juga memiliki pengaruh dalam pergeseran ideologi feminisme. Kekuasaan dan politik yang berkaitan dengan pemerintahan
juga
bisa
menyebabkan
pergeseran
tersebut
karena
sistem
pemerintahan yang berbeda pada tahun 1970-an dan tahun 2000-an di Indonesia. Jika pada masa 1970-an identik dengan kekuasaan orde baru yang dianggap sebagian
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pengarang perempuan telah mengungkung kehidupan perempuan dalam sistem patriarki maka hal itu berubah pada Angkatan 2000, tatkala kebebasan berpendapat begitu dihargai. Tidak heran jika karya-karya sastra masa kini memiliki tema yang sangat beragam, termasuk tema feminisme. Faktor politik dan kekuasaan yang bergeser pada Angkatan 1970 hanya terdapat dua novel saja. Sedangkan pergeseran politik dan kekuasaan pada Angkatan 2000 terdapat dalam lima novel. Adapun faktor budaya yang bersifat primordial juga terdapat dalam lima novel. Sedangkan yang cenderung kontemporer berjumlah tiga novel. Perlu diketahui bahwa ada dua novel yang berjudul Namaku Hiroko dan Pada Sebuah Kapal memiliki kecenderungan budaya primordial dan budaya kontemporer. Hal ini disebabkan kisah pada kedua novel tersebut mulanya cenderung primordial, namun di pertengahan hingga akhir cerita pemikiran dan perilaku tokoh perempuan sudah berubah menjadi budaya yabng lebih kontemporer. Adapun pada Angkatan 2000, ketujuh data menunjukkan sudah tidak ada lagi novel yang bersifat primordial, semuanya sudah cenderung kontemporer. Faktor agama juga dianggap sebagai salah satu penyebab pergeseran ideologi feminisme karena tokoh-tokoh pada Angkatan 1970 umumnya begitu patuh dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sebaliknya pada Angkatan 2000 pada umumnya nilai-nilai tersebut mulai dipertanyakan kembali bahkan terkadang diselipi keraguraguan. Berdasarkan tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa pada Angkatan 2000, pergeseran ideologi feminisme yang dilihat dari aspek agama berjumlah enam novel,
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dengan kata lain hampir keseluruhan data novel yang di dalamnya terdapat pergeseran ideologi feminisme tersebut.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan analisis data dengan menggunakan teori analisis wacana kritis dan teori kritik sastra feminis dapat disimpulkan bahwa terdapat ideologi feminisme dalam novel-novel karya pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Selain itu, ditemukan pergeseran ideologi feminisme di antara kedua angkatan tersebut. Adapun yang menjadi latar belakang penyebab terjadinya pergeseran ideologi feminisme tersebut adalah faktor pendidikan, faktor status sosial ekonomi, faktor politik (kekuasaan), faktor budaya serta faktor agama. Penulis menggunakan teori analisis wacana kritis untuk menganalisis permasalahan yang pertama, yaitu menguraikan ideologi feminisme yang terdapat dalam novel pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Adapun teori kritik sastra feminis menjadi landasan teori untuk memecahkan permasalahan yang kedua, yaitu bagaimana pergeseran ideologi femisme tersebut serta apa latar belakang yang mengakibatkan terjadinya pergeseran tersebut. Permasalahan yang dikaji dibatasi hanya pada karya-karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 yang ditulis oleh pengarang perempuan. Karya-karya sastra tersebut berbentuk karya sastra prosa, yaitu novel. Adapun judul-judul novel yang dimaksud adalah Karmila dan Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T, Namaku Hiroko (NH) dan Pada Sebuah Kapal (PSK)
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dari Nh. Dini, Perempuan Kedua (PK) buah tangan Mira W, serta Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono. Berbagai judul tersebut mewakili karya Angkatan 1970. Sedangkan judul-judul novel yang dianggap mewakili pengarang perempuan Angkatan 2000 adalah Larung dan Saman dari Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy, Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) dan Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari, Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Berkaitan dengan ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 yang menjadi permasalahan utama pada penelitian ini, ternyata memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif dalam perkembangan karya sastra pada khususnya serta pola pikir dan perilaku masyarakat pada umumnya. Pengaruh positif yang bisa didapatkan dari adanya ideologi feminisme ini tentu saja berdampak pada semakin maraknya tema-tema yang bernuansa feminis. Cerita tidak lagi didominasi oleh kaum laki-laki dan kisah perempuan sering dijadikan objek penderita atau hanya sebagai pemanis cerita saja. Karya-karya sastra feminis menempatkan tokoh-tokoh perempuan sebagai pihak yang memiliki kuasa serta berjiwa pemberontak, khususnya dalam hal-hal yang bersifat patriarki. Perempuan bisa bebas berbicara mengenai hal-hal yang dirasakan perempuan serta segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan perempuan. Sedangkan pengaruh negatifnya, terkadang kebebasan berbicara serta mengungkapkan pendapat dirasakan bagi sebagian orang dianggap telah di luar batas.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Seperti yang diketahui, keberadaan sastra yang bernuansa feminisme serta orangorang yang mendukung gerakan itu tentu tidak selalu disambut dengan baik dan tangan terbuka. Feminisme masih saja digambarkan kurang baik oleh kelompokkelompok yang tidak menyetujui dengan beragam alasan, terlebih dengan aliran feminisme yang mengarah radikal.
6.2 Saran Saran ini boleh dikatakan sebagai rekomendasi karena disampaikan kepada pengamat dan kritikus sastra, kaum intelektual, para sastrawan, dan pihak pemerintah. Saran dan rekomendasi tersebut yaitu. 1. Masih banyaknya permasalahan yang berkaitan dengan perempuan dalam karya sastra dan juga yang menyangkut pengarang perempuan 2. Khusus pada Angkatan 2000, permasalahan pornografi dan kehidupan seksual yang demikian bebas begitu lugas dinyatakan. Oleh sebab itu kiranya undangundang antipornografi dan pornoaksi bisa lebih memfilter kalimat-kalimat yang ingin diungkapkan para pengarang perempuan tersebut. Boleh saja pengarang mengemukakan pemikirannya, namun perlu juga memperhatikan estetika bahasa agar ketika unsur-unsur pelukisan masalah seks yang masuk, cerita tidak terjebak menjadi vulgar 3. Masih
ditujukan
pada
Angkatan
2000,
sebaiknya
jangan
terlalu
mengeksploitasi permasalahan cinta sejenis (lesbian dan gay) dalam tulisan karena hal tersebut bisa saja ditiru dan dijadikan model bagi kehidupan cinta
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
remaja yang sedang mencari jati diri serta orang-orang yang berjiwa labil, terlebih masih kurang ketatnya pengawasan terhadap buku-buku yang beredar di pasaran. Seperti yang diketahui, kehidupan cinta yang sejenis ini masih dianggap terlalu minor dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Selain itu, agama juga sangat melarang perbuatan tersebut.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Mazhab Frankfurt, Karl Marx, Cultures Studies, Teori Feminisme, Derrida Posmodernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Baso, Zohra Andi. 2000. Langkah Perempuan Menuju Tegaknya Hak-Hak Konsumen. Makassar: YLK Sulsel-The Ford Foundation. Djajnegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks dan Media. Yogyakarta: LkiS. Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faruk. 2000. Women Womeni Lupus. Magelang: IndonesiaTera. Hamid. A. Rahimah Haji. 2007. ”Bahasa Wanita dalam Karya Sastra: Tentangan Terhadap Hegemoni Lelaki”. Dalam Kajian Linguistik: Jurnal Ilmiah Ilmu Bahasa.Tahun Ke 4, No. 1. Medan: Universitas Sumatera Utara. Harris, Phillip R dan Robert T. Moran. 2005. ”Memahami Perbedaan-Perbedaan Budaya”. Dalam Mulyana dan Rakhmat (Penyunting). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hermawan, Eman. 2001. Politik Membela yang Benar. Yogyakarta: KLIK. Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Diindonesiakan Imam Suyitno, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:Paradigma.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Laelasari dan Nurlaila. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia. Lampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Mangunwijaya, Y.B. 2002. “Agama, Politik, dan Negara”. Dalam Sumartana (penyunting). Agama dan Negara. Yogyakarta: Institut DIAN/ Interfidei. Moi, Toril. 1991. “Feminist Literary Criticism”. Dalam Jefferson dan David Robey (penyunting). Modern Literary Theory. London: B.T. Batsford Ltd. Nasution, Ikhwanuddin. 2000. “Estetika Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana Denpasar. Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia. Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi: Pengarus Utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurelide. 2005. Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Dalam Perempuan di Titik Nol (Woman At Point Zero) Karya Nawal El Saadawi. Medan: Balai Bahasa Sumut. Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurlatif, Muhammad. 2006. Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El Saadawi. http://www.unhas.ac.id/sastra-arab/jurnal/2006/feb/indo-Nurlatif. Diakses, 24 Februari 2009. Ollenburger, Jane C dan Helen A. Moore. 2002. Sosiologi Wanita. Diindonesiakan oleh Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana. Jakarta: Rineka Cipta. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar. -------------------------- . 2001. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” Dalam Jabrohim dan Ari Wulandari (penyunting). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---------------------------. 2008. Post Kolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Sagala, R. Valentina dan Ellin Rozana. 2007. Pergulatan Feminisme dan HAM. Bandung: Institut Perempuan. Saini KM. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. ---------- . 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: ITB. Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka. Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Raya. Shihab, Quraisy, dkk. 2005. Al Quran dan Terjemahannya. Bandung: Jumanatul AliArt. Sikana, Mana. 2007. Teras Sastera Melayu Tradisional. Selangor: Pustaka Karya. Sinar, T. Silvana. 2004. Isu-Isu Jender Kebahasaan. Dalam Pidato Ilmiah Peringatan Dies Natalis Ke-52 USU. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sugihastuti. 2000. “Citra Dominasi Laki-Laki Atas Perempuan dalam Saman”. Dalam Sodiro Satoto dan Zainuddin (penyunting). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumaryono. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Suryadi, Budi. 2007. Sosiologi Politik: Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep. Yogyakarta: IRCiSoD. Suyatno, Suyono. 2000. “Ideologi gender dan Refleksi Semangat Feminis: Catatan Novel La Barka Nh. Dini”. Dalam Soediro Satoto dan Zainuddin
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
(penyunting). Sastra: Ideologi, Muhammadiyah University Press.
Politik,
dan
Kekuasaan.
Surakarta:
Tjitrosubono, Siti Sundari Maharto. 1998. ”Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan Jawa Dulu, Kini, dan Esok”. Dalam Bainar (penyunting). Wacana Perempuan dan Kemodernan. Yogyakarta: Pustaka Cidesindo. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009