STRUKTURALISME GENETIK ASMARALOKA
TESIS
Oleh
GUSTAF SITEPU 077009008/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
STRUKTURALISME GENETIK ASMARALOKA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
GUSTAF SITEPU 077009008/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi Konsentrasi
: STRUKTURALISME GENETIK ASMARALOKA : Gustaf Sitepu : 077009008 : Linguistik : Analisis Wacana Kesusastraan
Menyetujui, Komisi Pembimbing,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) Ketua
(Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph.D.) Anggota
Ketua Program Studi,
Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)
Tanggal lulus : 29 September 2009
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Telah diuji pada Tanggal 29 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.
Anggota
: 1. Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph.D. 2. Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S. 3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
ABSTRAK
Penelitian terhadap novel Asmaraloka karya Danarto ini merupakan penelitian sosiologi sastra dengan pendekatan Strukturalisme Genetik yang ditopang pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik: Proses Mental yang memenuhi prinsip-prinsip ilmiah dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Novel Asmaraloka karya Danarto dijadikan objek penelitian, karena: pertama, novel tersebut diciptakan seorang pengarang Indonesia yang memiliki reputasi baik, pengarang yang berani membuka jalan untuk menggambarkan suatu peristiwa berdasarkan fantasi tentang realita peristiwa yang terjadi dalam masyarakat ke dalam karyanya. Danarto beberapa kali memperoleh penghargaan dalam bidang sastra tingkat nasional dan internasional. Karya-karya Danarto telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Kedua, novel Asmaraloka merupakan karya monumental. Ketiga, novel ini secara sosial berlatar belakang perang antargolongan di Indonesia masa reformasi sehingga relevan diteliti dengan teori strukturalisme genetik yang mengkondisikan lahirnya pandangan pengarang dalam novel Asmaraloka. Fokus dalam penelitian, yakni (1) Struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang menceminkan problematika tokoh akibat hubungan antar tokoh maupun lingkungannya; (2) Kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka; (3) Latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka; (4) Pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka; dan (5) proses mental dalam novel Asmaraloka. Kata Kunci: Struktur novel, strukturalisme genetik, sosiologi sastra, linguistik fungsional sistemik, dan proses mental.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
ABSTRACT
The research of Asmaraloka novel, the work of Danarto was literature sociological research with Genetic Structuralism approach supported by Systemic Functional Linguistic approach; the mental process meets the scientific principles in collecting and analysing of data. The novel, has been an object of research because: first the it was produced by Indonesian author of good reputation, the outhor had been encouraged to describe a fantacy-based event about a reality occuring in community into his work. Danarto had repeatedly received awards of both national and international litrature works. There have been many work of Danarto translated into foreign languages; second, the novel was a monumental work: third, socially the background of this novel was intergroup wars in Indonesia during reform ation era leading to relevance for reseach by genetic structuralism theory to consolidate the emergence of autor’s view in the novel. The focus of the research included: (1) The structure of Asmaraloka novel, the work of Danarto, reflection of the problematic characters due to intercharacter relationship or environment; (2) the social life of Danarto the author related to Asmaraloka novel; (3) The historic background or social events of Indonesian people consolidating the birth of Asmaraloka novel; (4) The Danarto’s view about Indonesian people in the Asmaraloka novel; and (5) mental process in Asmaraloka novel. Keywords: Structure of novel, sociology of literature, genetic structuralism, world view, systemic functional linguistics, and mental process.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
KATA PENGANTAR
Tesis berjudul Strukturalisme Genetik Asmaraloka ini tidak dapat diselesaikan tanpa pertolongan dan petunjuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang telah memberikan kemudahan dan petunjuk jalan kehidupan. Hanya Dia-lah yang memiliki kekuasaan segala-galanya. Amin. Tesis ini membicarakan gambaran masyarakat Indonesia yang mengalami problematika, seperti pertentangan antargolongan yang disebabkan banyaknya pendapatan daerah tersedot oleh pemerintah pusat. Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis novel Asmaraloka karya Danarto ini adalah menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Di samping itu juga dianalisis dari segi kebahasaannya yang ditinjau dari proses mental yang menggunakan Teori Linguistik Fungsional Sistemik. Penyelesaian tesis ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan bantuan materi dari berbagai pihak. Kekurangan dan kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Sejalan dengan itu, penulis menerima kritik dan saran guna penyempurnaan tesis ini.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
Gustaf Sitepu
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik moral maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak berikut ini. 1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. 2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU beserta Staf Akademik dan Administrasinya. 3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik Analis Konsentrasi Wacana Kesusastraan USU dan sekaligus Dosen Pembimbing penulis beserta Dosen serta Staf Administrasinya. 4. Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing yang menjabat Dekan Fakultas Sastra USU Medan. 5. Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S. dan Prof. Dr. Ikhwanuddin, M.Si. selaku Penguji, Dosen, dan teman sejawat di Fakultas Sastra USU Medan. 6. Haji Danarto selaku sastrawan yang menulis novel bahan penelitian ini. 7. Sahabat mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU angkatan 2007/2008. 8. Teman seprofesi penulis di Jurusan Sastra Indonesia khususnya dan di Fakultas Sastra USU umumnya.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
9. Istri, anak-anak tercinta (Alm. Bastian Otniel Sittar, Bevan Thomas Sittar, Billyones Sittar, B.Gomes Enda Sittar), Abang dan Kakak Kandung, Mertua, dan Adik-adik, Lae Elisten Sigiro dan keluarga, serta keluarga besar penulis yang telah banyak memberi bantuan, dorongan, semangat selama dalam perkuliahan hingga selesai. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah memberikan rezeki dan kemudahan jalan hidup bagi kita. Amin.
Medan, Agustus 2009
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Gustaf Sitepu
Tempat, Tgl Lahir
: Rumamis, 3 April 1956
Agama
: Kristen Protestan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jalan Bunga Sedap Malam III No. 11 Medan
Pendidikan
: SD Negeri Tambunan, Barusjahe, Tahun 1968 SMP Bersubsidi Masehi, Kabanjahe, Tahun 1971 SMA Negeri Kabanjahe, Tahun 1974 S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia, USU, tahun 1984
Penataran
: - Penataran Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Tahun 1992. - Penataran Dosen-dosen Muda, Tahun 1991
Pekerjaan
:
Dosen Fakultas Sastra USU, tahun 1986—sekarang
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................
i
ABSTRACT ............................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
iii
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................................
vi
DAFTAR ISI .........................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................
10
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................................
11
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI ........
13
2.1 Kajian Pustaka.................................................................................................
13
2.2 Konsep ..........................................................................................................
16
2.2.1 Konsep Struktur Karya Sastra.................................................................
17
2.2.2 Konsep Subjek Kolektif ........................................................................
24
2.2.3 Konsep Fakta Kemanusiaan ...................................................................
27
2.2.4 Konsep Pandangan Dunia .....................................................................
28
2.2.5 Konsep “Pemahaman-Penjelasan“ dan “Keseluruhan-Bagian“ ............
31
2.3 Kerangka Teori .............................................................................................
33
2.3.1 Strukturalisme Genetik .........................................................................
33
2.3.2 Linguistik Fungsional Sistemik: Proses Mental ....................................
41
2.3.2.1 Linguistik Fungsional Sistemik ...................................................
41
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
2.3.2.2 Proses Mental
.............................................................................
43
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................
45
3.1 Metode ...........................................................................................................
45
3.2 Sumber Data ...................................................................................................
47
3.3 Teknik Analisis Data ......................................................................................
48
BAB IV DANARTO DAN KEPENGARANGNYA ......................................
52
4.1 Biografi Danarto ..............................................................................................
52
4.2 Konsep Kepengarangan Danarto .....................................................................
55
4.3 Karya-karya Danarto .......................................................................................
62
4.4 Sinopsis Novel Asmaraloka Karya Danarto ...................................................
67
BAB V ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK ASMARALOKA ......
72
5.1 Struktur Novel Asmaraloka Karya Danarto yang Mencerminkan Problematika Tokoh Akibat Hubungan Antartokoh maupun Lingkungannya ...............................................................................................
72
5.2 Kehidupan Sosial Pengarang Danarto yang Berhubungan dengan Novel Asmaraloka ..............................................................................
88
5.3 Latar Belakang Sejarah atau Peristiwa Sosial Masyarakat Indonesia yang Mengkondisikan Lahirnya Novel Asmaraloka ......................
97
5.4 Pandangan Danarto tentang Masyarakat Indonesia dalam Novel Asmaraloka ..................................................................................................... 105 5.5 Proses Mental dalam Novel Asmaraloka ...................................................... 116 5.5.1 Mental: Persepsi .................................................................................... 116 5.5.2 Mental: Kognisi ..................................................................................... 125 5.5.3 Mental: Afeksi ....................................................................................... 131 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 141 6.1 Simpulan ........................................................................................................ 141 6.2 Saran ............................................................................................................... 144 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 145
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1.
Gambaran Problematika Tokoh dan Tema.................................................
86
2.
Frekuensi dan Persentase Proses Mental dalam Novel Asmaraloka..........
137
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
1.
Data Proses Mental dalam Novel Asmaraloka (halaman/alinea/baris)......
151
2.
Data Proses Mental dalam Novel Asmaraloka .....................................
162
3.
Analisis Proses Mental dalam Novel Asmaraloka ....................................
173
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan karya imajinatif yang mempunyai hubungan erat dengan hal-hal di luar karya sastra. Faktor sejarah dan lingkungan ikut membentuk karya sastra, karena karya sastra itu ditulis oleh pengarang sebagai anggota masyarakat yang mengambil ide dari peristiwa yang terjadi di masyarakat itu sendiri. Demikian juga halnya dengan novel Asmaraloka karya Danarto yang menjadi objek penelitian ini. Asmaraloka dengan latar kejadian perang antarkelompok sosial itu menampilkan tokoh-tokoh yang penuh problematik dalam hubungannya dengan tokoh lain maupun lingkungannya. Problematika tokoh-tokoh tersebut mencerminkan pandangan pengarang dalam menyikapi realitas masyarakat yang terjadi. Penelitian dengan kajian strukturalisme genetik pada hakikatnya hendak menemukan pandangan pengarang dalam karya sastra. Memperhatikan latar belakang pengarang novel Asmaraloka, Danarto merupakan pengarang yang cukup kreatif. Kekreatifannya itu membuatnya menjadi pengarang berkualitas. Jika ditelusuri perjalanan sejarah sastra Indonesia sesudah tahun 1965, munculah sejumlah novelis dan penulis cerita yang baik, yaitu Nh. Dini dan Umar Kayam, Budi Dharma dan Danarto, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya, Korrie Layun Rampan dan Fira Basuki, Dewi Lestari (Dee) dan Ayu Utami, Djenar
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Maesa Ayu dan Ana Maryam. Dapat dikatakan pengarang-pengarang tersebut adalah pengarang garis depan sastra Indonesia. Artinya pengarang tersebut selalu mendahului rekan-rekannya dalam menampilkan gaya kepengarangannya, baik isi maupun kritikan tajam ke masyarakat. Danarto telah memperlihatkan kapasitasnya sebagai pengarang garis depan dalam sastra Indonesia. Hal demikian dapat dibaca pada karyanya berupa cerpen yang berjudul lambang (
)
dengan tokoh Rintrik adalah cerpen terbaik oleh majalah
Horison tahun 1968. Kumpulan cerpen Godlob (1975) karya Danarto dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Harry Aveling menyebut Danarto ‘seorang master’. Kumpulan cerpen Adam Ma’rifat karya Danarto juga meraih hadiah sastra 1982 Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) (Danarto 1987:sampul belakang). Danarto tergolong pengarang Indonesia yang kreatif. Hal demikian dapat dibuktikan pada hasil karyanya yang telah terbit, yaitu: Kumpulan cerpen, Godlob (1975) dan Adam Ma’rifat (1982), Danarto juga melahirkan Berhala (1987) dan Gergasi (1993). Kumpulan cerpennya Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001), dan Kacapiring (2008). Tiga buku lain karya Danarto adalah Cahaya Rasul yang mencoba menafsirkan tentang hadis; tulisan esai politik Begitu ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu, dan catatan harian ketika dia menunaikan ibadah haji pada tahun 1983, Orang Jawa Naik Haji . Di samping itu, Danarto juga menulis sandiwara dan menyutradarainya, misalnya lakon ”Bel Geduwel Beh” (1978), “Mengembalikan Kegembiraan Berpolitik” (1996), dan” Waktu yang Alpa” (1978). Danarto juga aktif menulis puisi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sejak 1992 ketika terjadi pemusnahan etnis di Bosnia Herzegovina. Dia juga aktif dalam dunia seni lukis. Hal ini dibuktikan dengan rintisannya dalam sejumlah pameran seni instalansi sejak 1962 dan Kanvas Kosong (1973), yang menyatukan seni lukis, seni arsitektur, dan seni patung. Gambar ilustrasi untuk cerita wayang purwanya di Majalah Zaman dianggap Seno Gumira Ajidarma sudah menjadi ikon dalam khazanah seni rupa Indonesia (Danarto,2001:395). Dari data-data tersebut, nyatalah bahwa Danarto merupakan seniman besar Indonesia sehingga karya-karya seninya perlu diteliti. Pengarang yang telah membawa pembaharuan dalam sastra Indoesia, Danarto sering memperoleh penghargaan, misalnya hadiah buku utama maupun hadiah Pusat Bahasa. Pada tahun 1998, Danarto mendapat hadiah SEA Writes dari Pemerintah Thailand. Danarto juga pernah mengikuti lokakarya penulisan ‘Boleh menulis apa saja atau tidak menulis apa-apa’ di Iowa City, Amerika Serikat tahun 1976. Reputasi kesenian Danarto tidak hanya dikenal di tingkat nasional, tetapi diakui juga oleh dunia internasional. Dia memperoleh Professional Fellowshsips dari The Ford Foundation untuk menulis novel pada 1990—1991 di Kyoto sampai munculnya novel Asmaraloka. Novel ini ditulis secara spontan dan pernah dimuat di Harian Republika, sejak 23 April 1993. Menanggapi novel Asmaraloka, kritikus sastra Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa jika James Joyce membutuhkan waktu 17 tahun untuk melakukan pembaharuan sastra lewat novelnya Finnegan’s Wake, sementara itu Danarto untuk hal yang sama hanya membutuhkan waktu 60 hari dengan judul novelnya Asmaraloka (Danarto 2001:395). Isinya baik dan berkualitas
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
disebabkan pengarang mampu merekam konflik-konflik sosial yang terjadi waktu itu di lingkungannya. Pernyataan Sapardi itu akan menambah keyakinan pembaca terhadap isi novel itu sehingga layak untuk diteliti. Kumpulan cerpen Danarto Godlob dan Adam Ma’rifat telah diteliti oleh Th. Sri Rahayu Prihatmi dari aspek fantasi sebagai tesis dan kemudian diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka pada tahun 1989. Dalam penelitian tersebut, Prihatmi menyimpulkan bahwa pengarang menyuguhkan dunia di luar batas logika, konvensi, dan indera. Kedua kumpulan cerpen tersebut tergolong fiksi nonrealis. Meski demikian, dunia nonrealis tersebut disajikan semata-mata sebagai satu ’dunia atas’ seperti cerita rekaan surealis. Dunia nonrealis tidak hadir sendiri, melainkan bersamasama dengan dunia yang di dalamnya masih berlaku penuh ukuran logika, konvensi, dan indera (Prihatmi, 1989:209). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka terbukalah peluang penelitian karya-karya Danarto yang dihubungkan dengan dunia realitas atau sosiologi sastra. Dengan demikian, dalam pendekatan sosiologi sastra juga mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan pendekatan strukturalisme genetik yang melihat hubungan karya sastra dengan realitas sosial atau masyarakat. Artinya, sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Ada persamaan antara sosiologi dengan sastra sehingga teks sastra dapat dikaji melalui pendekatan sosiologi, sosiologi merupakan telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan telaah tentang lembaga dan proses sosial. Segala masalah perekonomian, keagamaan, politik merupakan struktur sosial yang juga merupakan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosial, proses pembudidayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sehingga sosiologi dan sastra mendeskripsikan masalah yang sama. Novel dapat dianggap sebagai
usaha untuk
menciptakan kembali dunia sosial: hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara, dan sebagainya. Sebagai dokumen, novel berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi, dan politik yang juga merupakan urusan sosiologi. Pemahaman terhadap karya sastra juga harus mempertimbangkan pengarang dan masyarakatnya. Pengarang sebagai pribadi memiliki kepribadian, cita-cita, dan norma-norma yang dianut dalam kultur sosial tertentu. Pemahaman karya sastra tidak lepas dari konteks di luar teks karya sastra, yakni pengarang dan masyarakat. Tentang hal ini Teeuw (1988:173) mengatakan bahwa pemahaman terhadap karya sastra harus mempertimbangkan struktur teks dan pengarang. Pengarang adalah seorang anggota masyarakat yang mempunyai pendapat atau pandangan tentang masalah-masalah sosial dan politik yang penting, serta mengikuti isu-isu zamannya. Sebagai warga masyarakat, pengarang cenderung berusaha menyuarakan aspirasi masyarakat dalam karya-karyanya. Membicarakan karya sastra sesungguhnya tidak terlepas pada pandangan pengarang tentang masyarakatnya. Pengarang memiliki pandangan dalam menyikapi fakta sosial pada masyarakatnya. Pandangan pengarang dalam karyanya tersebut merupakan manifestasi pandangan subjek kolektif terhadap masalah-masalah yang terjadi pada
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
masyarakat. Pandangan pengarang dalam sebuah novel terlihat melalui hubungan antara tokoh dengan tokoh lain maupun antara tokoh dengan lingkungannya, sehingga karya sastra harus dipandang secara menyeluruh. Dalam novel Asmaraloka terdapat pandangan Danarto tentang masyarakatnya. Di balik masalah yang dihadapi tokoh Arum, Firdaus Muhammad, Kyai Kadung Ora, Kyai Mahfud, Ratu Soba, dan lainnya, pengarang ingin menyuarakan aspirasinya terhadap kenyataan sosial yang terjadi. Masing-masing yang dihadapi tokoh dalam hubungannya dengan tokoh lain maupun lingkungannya dapat dipandang sebagai hubungan yang membentuk totalitas makna. Penelitian sosiologi sastra yang melihat struktur karya sastra sebagai totalitas dan menghubungkannya dengan pengarang dan sejarah masyarakat disebut penelitian strukturalisme genetik. Penelitian strukturalisme genetik memiliki kelebihan karena teks sastra diperlakukan sebagai sasaran utama penelitian dan dianggap sebagai suatu totalitas yang tidak sekedar terdiri dari unsur-unsur yang lepas-lepas (Damono, 1984:46). Teks sastra sebagai hasil proses sejarah manusia akan bermakna jika dipahami secara menyeluruh dalam hubungan antarbagian teks dan sejarah masyarakat pengarang. Sejalan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono di atas, cara kerja penelitian sosiologi sastra, strukturalisme genetik memenuhi prinsip-prinsip ilmiah. Strukturalisme genetik dibangun oleh pendekatan, teori, konsep, metode, dan teknik yang memenuhi kaidah penelitian ilmiah. Junus (1986:157) menyatakan bahwa kajian strukturalisme genetik dianggap memiliki kekuatan dalam penelitian sosiologi sastra,
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
karena strukturalisme genetik mempunyai dasar teori yang jelas dan tetap memberikan tekanan kepada nilai karya sastra. Keunggulan lainnya terlihat karena dalam analisisnya strukturalisme genetik tidak hanya berorientasi pada teks, tetapi juga pada pengarang dan latar belakang sejarah yang mengkondisikan kelahiran karya sastra. Di samping itu, untuk ketajaman penelitian ini, dalam menganalisis proses mental ditopang oleh teori Linguistik Fungsional Sistemik. Dengan kata lain, triangulasi teori dalam penelitian ini digunakan terutama untuk memenuhi analisis dari sisi kebahasaannya. Hal itulah yang melatarbelakangi peneliti untuk menggunakan kajian Strukturalisme Genetik yang ditopang oleh teori Linguistik Fungsional Sistemik dalam penelitian ini dan sepengetahuan penulis belum ada penelitian terhadap novel Asmaraloka karya Danarto yang menggunakan kajian strukturalisme genetik, apalagi dengan menggunakan triangulasi teori. Prinsip dasar strukturalisme genetik adalah bahwa karya sastra lahir karena proses sejarah suatu masyarakat. Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Peneliti dalam menganalisis karya yang diteliti dapat menghubungkannya dengan pengarang dan latar belakang masyarakat. Pemaknaan teks dapat dikaitkan dengan menghubungkannya dengan hal-hal di luar teks. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya sastra lahir karena kegelisahan pengarang dalam melihat realita yang terjadi. Karya sastra kemudian dapat diteliti dari hubungannya dengan sejarah zaman yang melahirkannya.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Strukturalisme genetik mencakup bidang-bidang yang menyangkut fenomena sosial. Fenomena sosial itu meliputi: ilmu-ilmu sosial murni, seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan psikologi; ilmu-ilmu kemanusiaan seperti sastra, sejarah, dan linguistik; dan seni rupa. Luasnya wilayah penelitian tersebut didasarkan pada keyakinan kaum strukturalisme genetik bahwa semua manifestasi kegiatan sosial berupa bahasa. Strukturalisme genetik sebagai pendekatan sosiologi sastra meyakini bahwa terdapat hubungan antara teks sastra dengan hal-hal di luar teks. Hal di luar teks itu adalah pengarang dan masyarakat. Dengan berbagai problema sosial yang dirasakan dan dilihatnya pengarang menuliskannya kembali dalam bentuk imaji artistik dalam bentuk karya sastra. Artinya karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang yang merupakan refleksi gejala sosial yang ada. Kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya. Dalam setiap karya sastra, pengarang memiliki pandanganpandangan tertentu. Pandangan dunia pengarang merupakan sesuatu yang hendak diteliti dengan pendekatan strukturalisme genetik. Mengungkapkan pandangan pengarang, peneliti tidak hanya memahami struktur otonom karya sastra tetapi faktor-faktor di luar karya sastra pun tidak dapat dilepaskan dengan pengarang dan masyarakatnya. Hal-hal yang dilukiskan pengarang dalam teks sastra bersumber dari realitas sosial yang dilihat dan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
dirasakan pengarang, sehingga pengkajian sebuah struktur karya sastra secara tidak langsung merupakan pengkajian keadaan sosial suatu masyarakat tertentu. Dalam novel misalnya, ditemukan struktur kehidupan masyarakat tertentu. Perilaku-perilaku tokoh yang digambarkan
pengarang adalah gambaran perilaku
manusia yang hidup secara sosial dengan manusia lain. Perilaku sosial tersebut dapat dalam bentuk politik, sosial, ekonomi, religi, dan lainnya. Sastra sebagai wacana merupakan teks yang dapat dilihat sebagai media penghubung pengguna bahasa (masyarakat). Hubungan itu tidak hanya ujaran, tetapi dalam bentuk kesadaran ideologi, aturan (norma), dan kelas (sosial). Teks sastra dalam bentuk objek dan menjadi aksi. Aksi pengarang terhadap realita yang terjadi ini diwujudkan dalam bentuk pandangan pengarang dalam karya sastra. Pandangan pengarang merupakan reaksi atas kenyataan yang dirasa kurang baik. Pengarang dalam karyanya berupaya menampilkan kenyataan setepat-tepatnya seperti yang dilakukan oleh realisme. Meski demikian, lebih dari itu pengarang berupaya membawa kenyataan tersebut ke arah yang lebih baik. Pandangan pengarang akan kelihatan jika peneliti melakukan kajian terhadap tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah: unsur intrinsik karya sastra baik secara parsial maupun jalinan keseluruhan, latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang karena pengarang merupakan bagian dari komunitas kelompok tertentu, latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan pengarang. Berdasarkan telaah tiga hal tersebut, pandangan dunia pengarang dalam karyanya akan ditemukan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Jika dilakukan penelitian sebuah teks sastra, peneliti dihadapkan pada objek karya sastra itu sendiri dan fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam dan luar teks tersebut. Karya sastra dapat dipandang sebagai sebuah deskripsi pandangan pengarang tentang masalah-masalah sosial yang terjadi pada masyarakat tertentu. Untuk itulah pendekatan melalui teori Linguistik Fungsional Sistemik digunakan untuk memenuhi analisis dalam menemukan proses mental yang terdapat dalam teks novel Asmaraloka.
1.2 Rumusan Masalah Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh maupun lingkungannya? 2. Bagaimanakah kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka? 3. Bagaimanakah latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat
Indonesia
yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka? 4. Bagaimanakah pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka? 5. Bagaimanakah proses mental dalam novel Asmaraloka?
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
1.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh maupun lingkungannya. 2. Mendeskripsikan kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka 3. Menganalisis latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka. 4. Menganalisis pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka. 5. Menganalisis proses mental dalam novel Asmaraloka.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat memberikan deskripsi teori strukturalisme genetik dan proses mental pada novel Asmaraloka karya Danarto. Berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti, diharapkan dihasilkan konsep pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan model penelitian teks sastra dengan teori srukturalisme genetik dan teori Linguistik Fungsional Sistemik: Proses Mental. Model penelitian tersebut adalah sebagai berikut; (1) penemuan problem sosial yang dialami oleh masing-masing tokoh dalam struktur karya sastra,
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
(2) pengkajian dunia sosial pengarang dalam kaitannya lingkungan keluarga dan kelompok sosial pengarang, (3) pengkajian peristiwa sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang dianggap mengkondisikan pengarang untuk menulis karya sastra, (4) penemuan pandangan pengarang dengan menghubungkan secara dialektika (poin 2 dan 3), dan (5) menemukan proses mental dalam novel Asmaraloka.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian sebelumnya, baik pengaplikasian teori strukturalisme genetik maupun penelitian tentang objek, novel yang sama, tetapi dengan teori yang berbeda. Faruk (1986:2) mengatakan bahwa pemilihan terhadap teori strukturalisme genetik Goldmann yang didasarkan juga pada kenyataan bahwa teori itu telah lama dikenal di Indonesia. Pada tahun 1974 Yunus mencoba menelaah perkembangan novel-novel Indonesia dengan dasar teori itu. Penulis buku tersebut membicarakan novel paling awal dalam tahun 1920 Azab dan Sengsara dan ditutup dengan Kering. Pada tahun 1982 ia bahkan membuat sebuah disertasi dengan dasar teori yang sama. Toda membuat tesis mengenai novel-novel Iwan Simatupang atas dasar yang dikemukakan Swingewood dengan judul Novel Baru Iwan Simatupang. Swingewood sendiri sesungguhnya banyak mendapat pengaruh dari Goldmann. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Junus (1986:182—205). Junus melakukan dua penelitian dengan teori strukturalisme genetik. Penelitan pertama berjudul “Ziarah dan pandangan Iwan Simatupang tentang situasi masyarakat Indonesia:
Pelaksanaan
Pendekatan
Goldmann”.
Penelitian
kedua
“Srengenge Pandangan Dunia Shahnon Ahmad tentang Tradisi dan Modern“.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
berjudul
Dalam penelitian novel Ziarah karya Iwan Simatupang, Junus berkesimpulan bahwa novel Ziarah merupakan cermin masyarakat Indonesia yang tidak rasional. Masyarakat Indonesia siap menyongsong modernitas, teknologi dan hal-hal yang tidak rasional seperti takhyul, dukun, dan ramalan. Dalam padangan Iwan, masyarakat Indonesia menuju rasionalitas, sementara hal-hal yang tidak rasional belum sanggup mereka lepaskan. Dalam penelitian novel Srengenge, Junus berkesimpulan bahwa Shahnon Ahmad berpandangan bahwa akar budaya Melayu tidak mungkin lenyap meski masyarakat Melayu berusaha menyerap budaya modern. Modernitas atau pembaharuan yang dilakukan hanyalah struktur luar masyarakat, sementara itu jiwa masyarakat Melayu tetap Melayu. Pandangan demikian tidak hanya pandangan pengarang, tetapi pandangan masyarakat Melayu pada umumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Faruk (1999) yang meneliti novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Dalam penelitian tersebut Faruk menyimpulkan bahwa novel Siti Nurbaya mengekspresikan dunia tragik, pandangan dilematis mengenai kehidupan. Pandangan dunia tersebut merupakan produk berbagai tingkat sosial, baik antara pengarang sebagai pribadi dengan lingkungan keluarganya, pengarang sebagai sastrawan dengan pengayoman, dan pengarang sebagai anggota birokrat-aristokratik dengan lingkungan dalam sistem kolonial dan sistem sosial yang sedang mengalami perubahan sosial yang besar dan penuh konflik. Penelitian selanjutnya ditemukan peneliti berupa tulisan skripsi dengan judul ”Pengaruh Kekuatan Alur dalam novel Asmaraloka” karya Danarto oleh Charles
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Purnama mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia USU Medan yang ditulisnya tahun 2003. Beliau menyimpulkan bahwa novel tersebut memiliki alur yang baik dan memiliki kesatupaduan yang mendukung penceritaan. Kekuatan alur itu ditemukan pada paparan menuju rangsangan dan rumitan saling terkait yang mendukung penceritaan tersebut. Bagian tengah yang dibagi atas: tikaian, rumitan, dan klimaks. Tikaian dan rumitan mengantarkan klimaks dalam novel yang memiliki kekuatan alur. Latar sangat dipengaruhi oleh alur yang memiliki alur campuran. Penelitian berikutnya juga ditemukan peneliti berupa tulisan di internet dengan judul ”Intertekstualitas Novel Asmaraloka Karya Danarto terhadap Serat Sawitri Saduran Mas Hardjawiraga” oleh Dian Tri Haniati yang ditulisnya tahun 2004. Unsur yang diteliti dalam novel Asmaraloka tersebut adalah unsur alur, penokohan, latar, tema, dan amanat. Alur dalam Asmaraloka adalah alur sorot balik (back tracking). Penokohan hanya dibatasi pada delapan tokoh saja, yaitu Arum, Kyai Mahfud, Firdaus, Busro, Malaikat Izrail, Kyai Kadung Ora, Ibu Soba/Ratu Soba, dan Yobim. Cerita novel Asmaraloka adalah pengejaran Arum terhadap Malaikat Izrail yang membawa jasad suaminya, ketika kehilangan jejak Malaikat Izrail, Arum mencarinya hingga ke medan perang. Pengarang juga menceritakan situasi di medan perang yang penuh ketegangan dan konflik. Tema utama/mayor Asmaraloka adalah ”pengejaran seorang wanita dalam meminta jasad suaminya”. Tema minor adalah ”situasi negeri yang selalu dilingkupi konflik antarsuku, agama, ras, dan golongan (SARA) yang berlangsung puluhan tahun”.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Perbedaan pengkajian yang dilakukan Haniati dengan pengkajian dilakukan peneliti adalah jika Haniati mengkaji dengan teori intertekstualitas terhadap novel Asmaraloka karya Danarto dengan novel Serat Sawitri saduran Mas Hardjawiraga. Charles purnama meneliti pengaruh kekuatan alur dalam novel Asmaraloka Karya Danarto, namun peneliti menganalisis dengan teori strukturalisme genetik. Berkaitan dengan penelitian yang melakukan pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) dalam karya sastra, penelitian yang sudah dilakukan, yakni oleh Ganie (USU, 2008) dengan judul tesisnya “Analisis Genre Narasi Hikayat Perang Sabil: Pendekatan Linguistik Sistemik”. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa proses yang mendominasi dalam hikayat itu adalah proses material. Hal itu disebabkan banyaknya verba aksi dan tindakan yang digunakan dalam hikayat tersebut. Selanjutnya, penelitian lain dilakukan oleh Febriasari (USU, 2008) dengan judul tesis “Representasi Makna Eksperensial dan Antarpersona dalam Pengantar Majalah Femina dan Kartini”. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa ada empat makna eksperensial yang digunakan pada pengantar majalah tersebut, yaitu: proses material, proses mental, proses relasional, dan proses verbal. Akan tetapi, kajian fungsi pengalaman atau eksperensial terhadap novel Asmaraloka ini belum pernah dilakukan.
2.2 Konsep Strukturalisme genetik sebagai teori didukung beberapa konsep. Konsepkonsep tersebut adalah konsep struktur karya sastra, fakta kemanusiaan, subjek
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
kolektif, pandangan dunia, dan konsep “pemahaman-penjelasan“ dan “keseluruhanbagian“.
2.2.1 Konsep Struktur Karya Sastra Karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif atau masyarakat. Karya sastra memiliki struktur yang koheren atau terpadu. Konsep struktur karya sastra dalam teori strukturalisme genetik berbeda dengan konsep struktur karya sastra otonom. Goldmann pernah mengatakan dua pendapat mengenai karya sastra. Pertama, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi-relasi secara imajiner. Karena
itu,
dibedakan
karya
sastra
dari
filsafat
dan
sosiologi.
Filsafat
mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual sedangkan sosiologi mengacu pada empirisitas (Faruk, 1999:17). Struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann adalah konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatian adalah relasi antara tokoh dengan tokoh
dan tokoh dengan objek yang ada di sekitar tokoh. Goldmann
mendefenisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian nilai-nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian tersebut dilakukan oleh seorang atau tokoh hero yang problematik (Faruk, 1994:18). Konsep struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann yang bersifat tematik artinya pusat perhatian antara relasi dengan tokoh, tokoh dengan tokoh, dan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
antara tokoh dengan objek sekitar. Novel sebagai cerita mengenai pencarian nilainilai otentik yang terdegradasi dalam dunia dilakukan. Pencarian itu dilakukan oleh tokoh hero yang problematik. Nilai otentik adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam cerita, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadiankejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang tergolong ke dalam genre yang paling absurd pun, merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. (Ratna, 2003:35). Goldmann (dalam Damono 1984:42) berpendapat bahwa setiap karya sastra besar terdapat fakta estetis. Fakta estetis mengandung dua tataran korespondensi penting. Pertama, hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu kenyataan yang dialami dan alam ciptaan pengarang. Kedua, hubungan antara alam ciptaan pengarang dan alat-alat kesusastraan tertentu seperti sintaksis, gaya, dan citra yang dipergunakan pengarang dalam penulisannya. Karya sastra sebagai karya estetik dalam pandangan strukturalisme genetik memiliki dua estetika: estetika sosiologis dan estetika sastra. Berkaitan estetika sosiologis. Strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara salah satu
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
pandangan dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan pengarang dalam karyanya. Berkaitan dengan estetika sastra, strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara alam ciptaan pengarang dengan perlengkapan sastra yang dipergunakan pengarang untuk menuliskannya (Damono,1984:43). Struktur karya sastra dengan demikian dibangun oleh perlengkapan sastra atau unsur-unsur yang membentuk totalitas makna. Totalitas makna menyiratkan pandangan dunia tertentu yang terjalin melalui hubungan antartokoh maupun dengan lingkungannya. Ratna (2003:89) menyatakan bahwa karya sastra dengan sendirinya juga melibatkan ciri-ciri institusi bahasanya. Karya sastra bermedium bahasa dengan organisasi pesan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Sastra tidak berbeda dengan citra bahasa dan representasi medium bahasa itu sendiri. Teks karya sastra melukiskan kenyataan atau sesuatu yang mungkin terjadi. Inspirasi pengarang karena itu bersumber dari realita atau sesuatu yang dimungkinkan ada dalam kehidupan. Menurut, Luxemburg dkk. (1987:11) bahwa teks atau karya sastra menyatakan suatu tentang sebuah dunia yang nyata atau dunia yang mungkin ada. Aristotels (dalam Luxemburg dkk. 1989:17) berpendapat bahwa karya sastra bukan sekedar mencerminkan masyarakat, bahkan sebagai ungkapan atau perwujudan konsep-konsep umum tentang manusia sebagai kodrat yang langgeng. Bertolak dari pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa semua yang diceritakan dalam novel sebagaimana tercermin dalam teks adalah gambaran kehidupan masyarakat secara universal.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Dengan membaca novel, secara tidak langsung salah satu sisi kehidupan suatu masyarakat dapat dipahami. Hukum kehidupan satu masyarakat dalam novel juga mungkin berlaku pula pada masyarakat pada umumnya. Struktur masyarakat dapat dipahami melalui struktur karya sastra. Karya sastra mengeksploitasi manusia dalam masyarakat. Medium bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam karya sastra. Tanpa masyarakat, tidak ada yang dilukiskan oleh bahasa. Perbedaannya, apabila sosiologi menganalisis manusia sebagai fakta sosial, karya sastra menganalisisnya secara fiksional. Objek karya sastra yang lebih relevan untuk menganalisis adalah karya-karya yang mengandung unsur naratif, seperti novel, cerita pendek, dan drama (Ratna, 2003:295). Novel sebagai salah satu genre karya sastra banyak melukiskan tentang kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari segala problematika. Dalam prespektif sosiologis, manusia memang makhluk problematis. Karena manusia realitas sebagai sumber inspirasi pengarang, novel cenderung menggambarkan kehidupan tokoh-tokoh yang problematis pula. Novel dengan tokoh-tokoh problematis menjadi relevan jika diteliti dengan kajian strukturalisme genetik sebagai salah satu pendekatan dalam sosiologi sastra. Karena struktur karya sastra merupakan representasi dan mengambil bahan masyarakat, struktur karya sastra memiliki hubungan secara tidak langsung dengan struktur masyarakat. Dalam hubungan itu, peran pengarang sangat menentukan. Dalam struktur karya sastra yang dihasilkan, seorang pengarang menyuarakan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
aspirasi kelompok sosial tertentu melalui gambaran problematik hubungan tokohtokoh yang dilukiskan. Karya sastra, seperti juga karya-karya dalam ilmu kemanusiaan yang lain, mengesahkan dan mengevaluasikan bahan-bahan yang sama, tetapi dengan cara pandang dan cara pemahaman yang berbeda. Dengan memanfaatkan kualitas manipulatif medium bahasa, karya sastra bahkan dapat menunjukkan maksud yang sama dengan cara-cara yang sama sekali bertentangan. Karya sastra memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai monivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna dan sebagai pencari nilai-nilai kebenaran (Ratna, 2003:35). Hubungan-hubungan luas dan terbuka antara karya sastra dengan pembaca, baik pembaca aktual maupun pembaca imajiner, juga mengandaikan pelaksanaan struktur kategori-kategori relatif, yang diorganisasikan oleh orde-orde sosial tertentu. Penelusuran makna karya sastra secara total mengandaikan pemahaman terbagi, pemahaman dengan kapasitas cadangan pengetahuan, yang secara institusional terbentuk dalam periode bersejarah yang panjang. Pengalaman fragmentaris subjek kreatif dilengkapi dengan memasukkannya ke dalam struktur sosial-historis. Menurut Goldmann (dalam Ratna, 2003:88—89), karya sastra yang valid adalah karya sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator sebagai warisan tradisi dan konvensi. Sebagai simbol ekspresif, medium komunikasi, dan manifestasi trasendetal, fungsi-fungsi sosial karya sastra tidak terbatas hanya sebagai penjelasan materialisme kultural dari individu ke individu yang lain.Yang lebih penting adalah transmisi dari
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
satu komunitas pada komunitas yang lain, dari satu generasi yang lain pada generasi yang lain. Karya sastra dengan ciri-ciri kreativitas dan penggunaan sarana bahasanya yang metaforis, merupakan mediasi-mediasi yang paling tepat untuk menanamkan unsur-unsur subjektivitas hubungan-hubungan sosial (Ratna, 2003:33). Dalam memelihara dan mempertahankan keseimbangan sosial, menurut Bakhtin (dalam Ratna, 2003:34), karya sastra tidak memanfaatkan cara-cara otoritas imperatif, tetapi dengan cara mengalami bersama. Kesadaran tidak dikembangkan secara terpisah, tetapi berdiri secara berdampingan, sehingga masuk ke dalam dunia dialogis. Personalitas subjek kreator adalah personalitas yang dipersiapkan oleh masyarakat, karena peranan-peranannya dikomposisikan dalam masyarakat. Karya sastra, baik sebagai kreativitas estetis maupun respon kehidupan sosial, mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap berarti bagi aspirasi kehidupan seniman, kehidupan manusia pada umumnya. Dimensi-dimensi yang dilukiskan pengarang bukan hanya entitas tokoh secara fisik, tetapi sikap dan perilaku, dan kejadian-kejadian yang mengacu pada kualitas struktur sosial. Sebagai dua dunia yang saling bergantung, keduanya hadir dalam situasi dialogis. Masyarakat mempersiapkan entititas karya sastra sesuai dengan formasiformasi struktur sosial; sebaliknya, karya sastra memanfaatkan unsur-unsur sosial ke dalam sistem sastra dengan cara-cara yang ditentukan oleh konvensi dan tradisi (Ratna, 2003:34). Struktur karya sastra dengan demikian harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Pemahaman itu dapat dilakukan dengan melihat hubungan antara tokoh
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
dengan tokoh lain maupun antara tokoh dengan lingkungannya. Dari hubunganhubungan tersebut, terlihatlah problematika yang dihadapi sang tokoh dalam memperjuangkan nilai kehidupan yang dianggap sesuai dengan kelompok sosialnya dalam menghadapi kelompok sosial yang lain. Konsep struktur karya sastra digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya maupun hubungan antara tokoh dengan lingkunganya dalam novel Asmaraloka. Dari hubungan tersebut, terlihat bahwa masing-masing tokoh mengalami problematika. Berdasarkan problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh, akan terlihat aspirasi imajiner pengarang dalam struktur novel. Struktur novel yang mencerminkan pandangan pengarang terlihat pada problem yang dihadapi oleh masing-masing tokoh. Problema tokoh utama disebabkan oleh tokoh yang lain. Tokoh hero mengalami problematik karena senantiasa berusaha memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam menghadapi tokoh lain sebagai perwujudan kelompok sosial yang lain. Perjuangan tokoh utama (tokoh hero) adalah manifestasi perjuangan subjek kolektif atau kelompok sosialnya. Tokoh lain dalam hal ini merupakan subjek kolektif di luar kelompok sosial tokoh hero. Pikiran-pikiran tokoh hero merupakan aspirasi dan gagasan pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosial pengarang. Dalam novel Asmaraloka karya Danarto, misalnya, problem yang dihadapi oleh tokoh Kiay Kadung Ora sebagai sang hero merupakan perjuangannya dalam
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
menghadapi kelompok sosial penguasa yang cenderung menciptakan pertentangan antaragolongan untuk perebutan haus kekuasaan.
2.2.2 Konsep Subjek Kolektif Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Dalam pandangan strukturalisme genetik individu bukanlah agen bebas dari masyarakatnya. Aspirasi, pendapat, maupun pandangan individu, termasuk pengarang, diikat oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Pengarang dengan demikian sebagai subjek sekaligus kolektifitas atau subjek kolektif. Pengarang sebagai individu dapat dipandang sebagai produk sosial dari kelompok sosialnya. Sebagai produk sosial dari kelompok sosial tertentu, pengarang dalam hidupnya cenderung mempresentasikan kelompok sosialnya. Karya sastra yang ditulisnya pun merupakan representase pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosialnya di hadapan kelompok sosial yang lain. Kerja pengarang adalah kerja sosial sebagai perwujudan subjek kolektif seorang pengarang. Dalam masyarakat pada kenyataannya juga terdapat banyak fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan adalah semua aktivitas manusia sebagai perwujudan makhluk sosial. Terdapat hubungan antara subjek kolektif dengan fakta kemanusiaan. Tentang hal ini Goldmann (dalam Faruk, 1999:12—13) menyatakan bahwa fakta kemanusiaan memiliki arti karena merupakan respon dari subjek kolektif atau individual pembangun suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi subjek itu. Dengan kata lain manusia merupakan usaha
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek fakta kemanusiaan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu subjek individual dan subjek kolektif. Perbedaan tersebut sesuai dengan jenis fakta kemanusiaan. Subjek individual merupakan subjek fakta atau libidinal, sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial atau historis. Subjek kolektif atau subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi individu yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek trans-individual merupakan satu kesatuan atau kolektivitas individu-individu tersebut. Hal demikian juga menjadi subjek karya sastra yang besar, sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia. Karya sastra yang besar berbicara alam semesta dan hukum-hukumnya serta persoalan-persoalan yang tumbuh darinya (Faruk, 1994:14—15). Karya sastra dengan demikian merupakan manivestasi fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh subjek kolektif. Aspirasi pengarang dalam karyanya bukan semata-mata aspirasi individual. Aspirasi pengarang adalah aspirasi yang mewakili kolektifitas kelompok sosialnya. Kedudukan sosial pengarang dalam kelompok sosialnya kemudian menjadi penting dan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Konsep subjek kolektif digunakan dalam penelitian untuk megetahui latar kehidupan sosial pengarang Danarto. Danarto sebagai pengarang jelas diikat oleh
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
kelompok sosialnya. Pengarang jelas akan menyuarakan aspirasi kelompok sosial atau subjek kolektif. Sebagai individu yang menginterpretasikan subjek kolektifnya, pengarang memiliki struktur mental yang mencerminkan subjek kolektifnya. Struktur mental pengarang ini dibentuk oleh lingkungan keluarga dan masyarakat atau kelompok sosialnya. Lingkungan keluarga atau orang tua mewarnai pandangan pengarang karena kebiasaan-kebiasaan, norma, filsafat kehidupan banyak tertanam melalui hubungan sosiologi keluarga. Sementara itu, kelompok sosial pengarang berupa hubungan persahabatan dengan manusia lain, pengalaman hidup, serta buku-buku bacaan yang memiliki kontribusi proses kreatif pengarang. Struktur mental pengarang merupakan hasil bentukan antara pribadi pengarang, keluarga, dan lingkungan sosialnya. Hal inilah yang akan membentuk subjek kolektif pengarang. Karena subjek kolektif pengarang dibentuk oleh lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya, maka untuk mengetahui subjek kolektif pengarang Danarto, peneliti menyelidiki lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya berdasarkan data tertulis. Novel yang ditulis pengarang merupakan perwujudan struktur mental pengarang yang mencerminkan subjek kolektifnya. Demikian pula halnya dengan Danarto. Karena Danarto dilahirkan dalam keluarga tradisi Jawa dan tumbuh dalam lingkungan sosial sufistik, novel Asmaraloka dimungkinkan merupakan pencerminan perjuangan kelompok sosial tersebut.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
2.2.3 Konsep Fakta Kemanusiaan Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau prilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Aktivitas ini dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, misalnya politik, kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan sebagainya. Ratna (2003:360) menuliskan bahwa fakta dalam masyarakat adalah: Dalam masyarakat terkandung fakta-fakta yang tak terhitung jumlah dan komposisinya. Hal ini juga berlaku pada masyarakat yang paling sederhana. Fakta-fakta dalam pandangan sosiologi dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat. Eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara sosial. Paradigma ilmu-ilmu kemanusiaan, sebagai ilmu humanistik kultural, menganggap fakta sebagai entitas yang sudah ditafsirkan sebelumnya, suatu fakta yang dibangun secara sosial. Kenyataan-kenyataan dipahami sebagai kualitas yang terdapat dalam gejala-gejala yang hadir di luar kehendak subjek, baik individual maupun trans-individual. Demikian pula dengan novel Asmaraloka lahir karena dikondisikan oleh peristiwa sejarah yang terjadi. Novel sebagai fakta kemanusiaan lahir karena fakta kemanusiaan lain yang terjadi pada masyarakat pengarang. Fakta kemanusiaan yang mendorong pengarang menulis novel adalah peristiwa-peristiwa sosial dan politik di masyarakat yang secara sinkronis berhubungan dengan struktur karya sastra. Adanya konsep fakta kemanusiaan, terlihat bahwa sejarah sebuah bangsa memiliki hubungan yang erat dengan kesusastraan suatu bangsa. Berbagai peristiwa penting yang terjadi pada sebuah bangsa direfleksikan oleh pengarang ke dalam karyanya, yaitu novel. Novel sebagai fakta kemanusiaan lahir karena fakta
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
kemanusiaan berupa sejarah. Sastra dengan demikian dapat dianggap sebagai “potret“ sejarah sebuah masyarakat. Walaupun sama-sama merupakan fakta kemanusiaan, sejarah dan novel memiliki perbedaan. Fakta kemanusiaan sejarah merupakan fakta kemanusiaan empiris. Dan di dalam novel, fakta tersebut telah menjadi fakta fiksionalitas. Fakta fiksionalitas lebih bersifat “interpretatif“ sedangkan fakta sejarah telah nyata adanya dalam realitas. Fakta empiris bagi pengarang adalah bahan mentah, sumber kreatifitas. Kreatifitas pengarang terletak pada kesanggupannya mengolah fakta empiris menjadi fakta fiksionalitas. Dengan demikian, fakta kemanusiaan sejarah yang secara sinkronis sama, setelah direfleksikan oleh dua pengarang yang berbeda akan berbeda hasil yang diprolehnya.
2.2.4 Konsep Pandangan Dunia Konsep pandangan dunia (vision du monde) yang mewujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang besar, kata Goldmann yang telah dijadikannya dalam sebuah teori strukturalisme genetik. Pandangan dunia diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitan serta keutuhannya. Pandangan dunia merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan yang mampu menyatukan suatu kelompok sosial lain. Pandangan dunia merupakan bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu identitas
menjadi
kolektif.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
suatu
kelompok
yang
memiliki
Pandangan dunia bukan hanya ekspresi kelas atau kelompok sosial, namun juga kelas atau kelompok sosial. Seorang pengarang adalah anggota kelas atau kelompok sosial. Melalui kelompok sosialnya, ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Karya sastra dan masyarakat merupakan struktur yang berhubungan. Hubungan struktur karya sastra dengan struktur masyarakat dimediasi oleh “pandangan dunia“ pengarang. Pandangan dunia dalam karya sastra merupakan pandangan pengarang sebagai individu yang mewakili subjek kolektif. Pandangan pengarang ini terlihat melalui struktur karya sastra yang dihasilkannya. Menurut Goldmann (dalam Faruk, 1999:16) menyatakan bahwa “pandangan dunia“ merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasangagasan, aspirasi-aspirasi dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama
anggota-anggota
suatu
kelompok
sosial
tertentu
yang
mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonmi tertentu yang dihadapi oleh subjek yang memilikinya. Pengarang merupakan individu yang memiliki sikap tertentu. Individu adalah “pendukung“ posisi-posisi dalam sistem masyarakat, individu bukan agen bebas. Teks sastra selalu didasarkan pada “struktur-struktur mental trans-individual“, milik kelompok-kelompok atau kelas-kelas khusus. “Pandangan dunia“ ini secara terusmenerus dibangun dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat karena mereka menyesuaikan citraan mental mereka atas dunia sebagai jawaban terhadap
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
realitas yang berubah di depan mereka. Citraan mental ini tak dapat didefenisikan dengan baik dan tidak sepenuhnya terwujud dalam kesadaran anggota masyarakat, tatapi penulis-penulis besar mampu mengkristalkan pandangan dunia itu dalam sebuah bentuk yang koheren (Selden, 1996:37—38). Berdasarkan pandangan Selden tersebut, pandangan dunia bukan fakta empiris, melainkan merupakan struktur
gagasan, aspirasi, dan perasaan seorang
pengarang. Gagasan, aspirasi, dan perasaan pengarang tersebut merupakan respon atas “realitas yang tidak dikehendaki“ oleh pengarang. Pengarang dalam pandangannya mencoba mencari jalan keluar atas realitas yang terjadi. Pandangan dunia pengarang mencerminkan idealisasi pengarang yang mengekspresikan pandangan subjek kolektifnya. Tujuan pandangan dunia digunakan dalam penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara struktur teks novel, kehidupan sosial pengarang, dan peristiwa sejarah yang melatarbelakangi lahirnya novel. Jika diaplikasikan pandangan dunia ini terhadap Danarto dalam novelnya Asmaraloka, maka pandangan dunia Danarto akan tergambar aspirasi atau gagasan Danarto yang akan mewakili kelompok sosial atau subjek kolektif dalam menyikapi fakta-fakta kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat. Dengan konsep pandangan dunia, pandangan pengarang Danarto dapat diketahui. Pandangan pengarang merupakan abstraksi pikiran-pikiran tokoh yang ditampilkan dalam novel Asmaraloka. Meskipun pandangan Danarto dianggap sebagai “pandangan pribadi“, menurut konsep pandangan dunia, pandangan Danarto
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
tersebut perwujudan Danarto dalam memperjuangkan kelompok sosialnya di hadapan kelompok sosial lain. Karena itu, penemuan pandangan pengarang dilakukan dengan meneliti struktur teks karya sastra yang dihasilkan pengarang dengan struktur sosial pengarang.
2.2.5 Konsep “Pemahaman-Penjelasan“ dan “Keseluruhan-Bagian“ Konsep “pemahaman-penjelasan“ dan “keseluruhan–bagian“ terkait dengan metode yang digunakan oleh teori srtukturalisme genetik. Karya sastra harus dipahami sebagai struktur yang menyeluruh. “Pemahaman“ sastra sebagai struktur menyeluruh akan mengarahkan pada “penjelasan“ hubungan sastra dengan sosiobudaya sehingga karya sastra memiliki arti. Karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra dilakukan dengan konsep “keseluruhan-bagian“. Teks karya sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur berarti. Konsep tersebut melahirkan metode “dialektika“. Prinsip dasar metode ini adalah bahwa karya sastra dengan realita masyarakat memiliki hubungan yang dialektika, hubungan yang secara tidak langsung. Karya sastra mempunyai dunia tersendiri dan masyarakat merupakan dunia tersendiri. Meski memiliki dunia yang berlainan, karya sastra dan realita dapat dilihat melalui proses interpretasi. Perhatian pertama tertuju pada teks karya sastra dan perhatian yang kedua terhadap latar belakang sosiobudaya masyarakat (Junus, 1986:194).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Dalam
metode
dialektika
dikenal
konsep
“pemahaman-penjelasan“.
Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek (karya sastra) yang dipelajari. Penjelasan adalah usaha menggabungkan pemahaman ke dalam struktur yang lebih besar. Konsep “keseluruhan–bagian“ mengemukakan dialektika antara keseluruhan dan bagian. Keseluruhan hanya dapat dipahami dengan mempelajari bagianbagiannya dan bagian-bagian tersebut dapat dipahami kalau ditempatkan dalam satu keseluruhan. Pemahaman dilihat sebagai suatu proses yang melingkar terus-menerus; dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian ke keseluruhan. (Saraswati, 2003:81). Dialektika
“pemahaman-penjelasan“
dan
“keseluruhan-bagian“
dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, karya sastra atau novel. Bagian-bagian tersebut harus dilihat dari bagian-bagian yang membangun keseluruhan novel. Bagian-bagian tersebut akan memiliki arti jika ditempatkan pada keseluruhan dalam hubungan antarbagian. Kedua, pemahaman hubungan antarbagian yang membentuk keseluruhan tersebut harus dijelaskan dalam hubungan dengan struktur sosial di luar teks novel, yakni struktur kelompok sosial pengarang dan peristiwa sosial yang mengkondisikan lahirnya karya sastra yang dianggap sebagai asal-usul atau genetik karya sastra. Konsep “pemahaman-penjelasan” dan “keseluruhan-bagian” digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan metode dalam menganalisis data penelitian. Penemuan pandangan pengarang dilakukan dengan prinsip dialektika antara struktur ”bagian-keseluruhan” karya sastra. Totalitas struktur karya sastra kemudian ”dipahami-dijelaskan” melalui dialetika dengan kehidupan sosial pengarang dan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
peristiwa sejarah yang mengkondisikan karya sastra. Istilah ”dialektika” dalam hal ini didefinisikan sebagai cara menarik sebuah kesimpulan dengan menghubungkan secara dialogis (dua arah) antara struktur karya sastra dengan struktur sosial masyarakat pengarang. Strukturalisme genetik sebagai teori dengan demikian menawarkan sebuah metode analisis data. Berkaitan dengan analisis data tersebut, konsep ”pemahamanpenjelasan” dan ”bagian-keseluruhan” memberikan prosedur sebagai berikut. Pertama, data novel dianalisis bagian per bagian. Untuk memperoleh pemaknaan, bagian-bagian harus dipandang dalam hubungannya sebagai keseluruhan. Dalam analisis ini, perhatian utama peneliti adalah hubungan antara tokoh dengan tokoh lain maupun hubungan tokoh dengan lingkungannya. Dengan demikian terlihat problem yang dihadapi masing-masing tokoh. Kedua, agar hubungan bagian keseluruhan novel tersebut dapat dipahami, maka peneliti harus memberikan penjelasan. Penjelasan dilakukan dengan cara menghubungkan struktur novel dengan struktur sosial pengarang yang meliputi kehidupan sosial pengarang dan sejarah yang secara sinkronis dianggap mengkondisikan pengarang menulis novel.
2.3 Kerangka Teori 2.3.1 Strukturalisme Genetik Penelitian terhadap novel Asmaraloka karya Danarto yang menggunakan pendekatan “Strukturalisme Genetik” ini merupakan penelitian sosiologi sastra. Sosiologi sastra, Taum (1997:47) menyatakan bahwa sosiologi sastra sebagai suatu
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan
prinsip
otonomi
sastra.
Penelitian-penelitian
sosiologi
sastra
menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat. Karya sastra memiliki keterkaitan dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam suatu masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam menelaah hubungan-hubungan antara sastra dengan masyarakat, Watt (dalam Damono, 2000:12—13) menuliskan bahwa ada tiga hal yang dapat diteliti. Ketiga hal dimaksud adalah, pertama, sosiologi pengarang memfokuskan perhatiannya pada latar belakang sosial pengarang, sumber ekonomi pengarang, ideologi pengarang, dan integrasi sosial pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi pembaca. Kedua, sosiologi karya sastra menitikberatkan
perhatiannya
terhadap isi teks karya sastra, tujuan karya sastra, dan masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra. Ketiga, sosiologi pembaca memfokuskan perhatiannya pada latar sosial pembaca, dampak sosial karya sastra terhadap pembaca, dan perkembangan sosial pembaca, dampak sosial karya sastra terhadap pembaca, dan perkembangan sosial pembaca. Penelitian ini termasuk penelitian sosiologi karya sastra karena peneliti berusaha mengungkap masalah-masalah sosial yang terdapat dalam novel Asmaraloka. Bidang sosiologi karya sastra suatu teks, deskripsi sosiologis masyarakat dalam teks menjadi tumpuan peneliti. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa karya sastra senantiasa bersumber dari masyarakat. Terdapat hubungan yang dialogis
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
antara karya sastra dengan peristiwa-peristiwa monumental yang terjadi pada masyarakat pengarang. Artinya karya sastra itu banyak ditulis kembali kepada zamannya. Hal ini terjadi mungkin karena tak disadari, sehingga makna yang dikandungnya melampaui subjek individual kreatornya, melampaui kepada kualitas tanggapan subjek pembaca individual. Proses penciptaan karya sastra secara tidak langsung bersumber dari masyarakat pengarang. Hal-hal realitas dalam masyarakat, sebagai bahan mentah kaya sastra diolah oleh pengarang dengan mempertimbangkan pandangan subjektif dan kemungkinan-kemungkinan baru. Silbermann (dalam Junus, 1985:84) mengemukakan bahwa, terdapat lima penelitian yang terkait dengan sosiologi seni yang di dalamnya termasuk sastra, yaitu: pertama, penelitian pengaruh seni terhadap kehidupan manusia, kedua penelitian perkembangan dan objek sosial dalam seni, ketiga penelitian pengaruh seni terhadap pembentukan kelompok dan konflik sosial, keempat penelitian pertumbuhan dan hilangnya lembaga artistik sosial, dan kelima penelitian faktor-faktor dan bentukbentuk sosial yang mempengaruhi seni. Selanjutnya, penelitian sosiologi sastra merupakan upaya melihat fenomena sosial secara empiris dengan menggunakan teks sastra sebagai cermin fakta sosial. Meski demikian, sastra bukanlah fakta sosial itu sendiri. Tentang hal ini Max Weber (dalam Wellek dan Austin Warren, 1989:124) mengungkapkan, “Gejala-gejala sosial dalam sastra bukanlah fakta objektif dan pola perilaku, tetapi merupakan sikap yang kompleks.“ Jadi, teks sastra yang ditulis oleh pengarang bukanlah suatu peristiwa
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
yang langsung terjadi di tengah masyarakat, tetapi pengarang memproses ide yang diperolehnya dengan imajinasinya sehingga isi karya sastra menarik untuk dipahami. Hippolyte Taine (dalam Taum, 1997:49) menyatakan, “Karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (moment), dan lingkungan (milieu).“ Ketiga hal tersebut mengantarkan pemahaman terhadap iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Ras adalah sesuatu yang diwarisi dalam jiwa dan raga seseorang. Saat atau moment adalah situasi sosial politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan atau milieu meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep-konsep tersebut kemudian dikembangkan lebih sistematis dan ilmiah oleh
Goldmann
dengan
teori
srtukturalisme
genetik
(Damono,
1984:41).
Strukturalisme Genetik sebagai salah satu teori penelitian sosiologi sastra menumpukkan pada sosiologi teks dan sosiologi pengarang. Penelitian dengan strukturalisme genetik hendak mengungkap masalah sosial dalam teks dan integrasi sosial; pengarang dalam masyarakatnya yang tercermin dalam teks. Oleh karena itu, penelitian dengan pendekatan teori strukturalisme genetik selalu mengaitkan antara karya sastra, pengarang sebagai penghasil karya, dan masyarakat pengarang yang dianggap mampu mengkondisikan pengarang untuk menulis novel. Karya sastra memang bersumber dalam kehidupan masyarakat, dalam konfigurasi status dan peranan yang terbentuk dalam struktur sosial, dan dengan sendirinya menerima berbagai pengaruh sosial.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Dengan adanya perangkat peralatan sastra dan kapasitas regulasi diri dalam struktur intrinsiknya, karya sastra secara independen mampu membebaskan diri. Ia menjadi otonom, dalam pengertian bahwa ia bukan lagi merupakan objek yang tak terpisahkan dengan struktur sosial yang menghasilkannya, dan dengan sendirinya memiliki
kebebasan
penuh
dalam
menunjukkan
material-material
sosial.
Keterpisahan karya seni dengan struktur sosialnya dianggap sebagai keterpisahan secara konseptual. Apabila benar-benar terpisah dengan masyarakat, justru karya seni akan menjadi artifisial (Ratna, 2003:33). Sejalan dengan teori tersebut, dalam penelitian ini juga menganut teori yang diutarakan oleh Boelhower (dalam Ratna, 2004:124), yang menjelaskan bahwa secara ringkas berarti strukturalisme genetik memberikan pehatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Selanjutnya, untuk menemukan proses mental dalam teks novel Asmaraloka, subjek penelitian ini, digunakan juga triangulasi teori, yakni teori Linguistik Fungsional Sistemik sebagai penopang teori Strukturalisme Genetik. Sejalan dengan uraian di atas, peneliti dalam penelitian novel Asmaraloka karya Danarto ini menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik serta proses mental. Perhatian utama dalam penelitian ini adalah teks novel Asmaraloka karya Danarto. Peneliti mengkaji struktur teks novel Asmaraloka dan kemudian menghubungkannya dengan kehidupan sosial pengarang, Danarto dan latar belakang sejarah yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka tersebut. Secara definisi, Goldmann (dalam Faruk, 1999:13) menjelaskan bahwa, strukturalisme genetik adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
semata-mata merupakan suatu struktur statis dan lahir dengan sendirinya. Karya sastra oleh struktur katagoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Pemahaman struktur karya sastra harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang melahirkannya dan sekaligus memberikan kepaduan struktur karya sastra. Berpandangan kepada teori strukturalisme genetik Goldmann di atas maka memahami karya sastra harus memperhatikan struktur karya sastra, penghasil karya sastra, dan faktor-faktor sosial. Ketiga
hal itu harus dilihat sebagai hubungan
dialektika atau timbal balik. Teori strukturalisme genetik pada prinsipnya memadukan analisis struktural dengan materalisme historis dan dialektik. Karya sastra harus dipahami secara keseluruhan terhadap hal yang bermakna. Teks sastra memiliki kepaduan total. Unsur-unsur yang membentuk teks mengandung arti sehingga dapat memberikan pelukisan yang lengkap dan padu terhadap makna secara keseluruhan dalam karya tersebut. Secara umum strukturalisme genetik dibangun oleh prinsip “struktur-historisdialektik“. Artinya pemahaman sebuah karya sastra harus berangkat dari struktur teks. Struktur teks yang dimaksud adalah hubungan bagian dengan keseluruhan. Bagian akan bermakna jika ditempatkan dalam konteks keseluruhan, demikian juga keseluruhan akan bermakna jika dihubungkan dengan bagian. Pemahaman struktur bagian-keseluruhan mutlak dilakukan oleh peneliti.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Pemahaman karya sastra dapat dilakukan dengan menghubungkan struktur karya sastra dengan realita sosial yang mengkondisikan pengarang untuk menulis karya sastra. Realita sosial yang mengkondisikan pengarang menulis karya sastra ini disebut latar historis atau sejarah. Oleh karena itu, karya sastra selalu dikondisikan oleh sebuah sejarah atau peristiwa sosial
penting pada masa tertentu, sehingga
analisis yang dikembangkan strukturalisme genetik bersifat sinkronis. Pemahaman karya sastra dengan cara menghubungkan secara ’dialogis’ dan terus menerus antar fakta-fakta dalam struktur ’bagian-keseluruhan’ dalam struktur novel dengan struktur sosial di luar karya sastra disebut dengan proses ’dialektika’. Istilah dialektika dapat didefenisikan sebagai proses pemahaman karya sastra dengan menghubungkan secara timbal balik antara struktur bagian-keseluruhan yang kemudian diteruskan dengan mendialogiskan dengan struktur sosial di luar teks. Dialektika adalah hubungan dialogis antar teks sastra dengan struktur sosial di luar karya sastra. Struktur sosial di luar teks berupa struktur sosial kehidupan pengarang dan struktur sejarah (historis) yang mengkondisikan lahirnya karya sastra. “Karya sastra sebagai fakta kemanusiaan merupakan struktur. Struktur karya sastra bukanlah struktur yang statis, tetapi dinamis. Karya sastra merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat adalah karya sastra yang bersangkutan“ (Faruk, 1999:12). Pendapat di atas dapat diartikan bahwa struktur karya sastra dapat diselidiki asal-usulnya atau genetiknya. Asal-usul karya sastra tidak lain adalah pengarang.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Selain itu pengarang menghasilkan karya sastra karena terdapat faktor-faktor yang mengkondisikannya. Fakta sosial yang dianggap tidak sejalan dengan aspirasi subjek kolektif pengarang itulah yang menyebabkan pengarang menulis karya sastra. Contoh, ketika kelompok sosial penguasa bertindak menindas, maka pengarang sebagai representasi kelompok sosial yang ditindas akan menulis karya sastra yang berisi penguasa yang otoritarian. Beberapa para ahli berpandangan bahwa strukturalisme genetik terbentuk dari hipotesis, yaitu semua kelakuan manusia adalah sebuah upaya untuk memberikan respon bermakna terhadap situasi dan kecenderungan tertentu, untuk menciptakan keseimbangan antara subjek aksi terhadap lingkungan sosialnya. Demikian pula dengan tokoh-tokoh dalam novel yang baik merupakan gambaran manusia yang penuh
problematik.
Mereka
senantiasa
menciptakan
keseimbangan
atau
mempertahankan eksistensi kelompok sosialnya. Mereka memperjuangkan nilai-nilai yang mereka anggap ideal. Perjuangan ini merupakan aksi mereka dari tindakan kelompok sosial yang lain. Damono (1984:37) menuliskan bahwa, strukturalisme genetik sebagai teori penelitian sosiologi sastra memiliki empat ciri mendasar. Pertama, perhatian utama strukturalisme genetik adalah keutuhan atau totalitas. Totalitas lebih penting daripada bagian-bagiannya. Totalitas dan bagian-bagainnya dapat dijelaskan jika dipandang dari segi hubungan-hubungan yang ada antara bagian-bagian itu. Sasaran strukturalisme genetik adalah jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian itu menyatukannya menjadi totalitas. Kedua, strukturalisme genetik tidak menelaah
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
struktur pada permukaan, tetapi struktur dibalik kenyataan empiris. Ketiga, analisis strukturalisme genetik adalah analisis sinkronis dan bukan diakronis. Perhatian dipusatkan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu. Keempat, strukturalisme genetik mempercayai hukum perubahan bentuk dan bukan kausalitas.
2.3.2 Linguistik Fungsional Sistemik: Proses Mental 2.3.2.1 Linguistik Fungsional Sistemik Untuk tujuan menemukan proses mental dalam novel Asmaraloka, dalam penelitian ini, teori Strukturalisme Genetik ditopang oleh teori Linguistik Fungsional Sistemik (triangulasi teori). Teori LFS dikembangkan oleh Halliday dan para pakar LFS lainnya, seperti Martin, Halliday dan Matthiessen, dan Kress. Teori ini berkembang di Inggris, tetapi perkembangannya sangat pesat terutama di Universiy of Sydney, Australia sejak Linguistics Department dibuka di universitas itu pada 1976 (Sinar, 2008). Dalam teori linguistik fungsional sistemik (LFS) dengan pendekatan fungsional dinyatakan bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Dengan pengertian itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstruktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
teks fisika dan struktur teks politik berbeda dengan teks kesastraan. Perbedaan ini terjadi karena fungsi dan tujuan masing-masing teks berbeda.
Perbedaan teks
direalisasikan oleh perbedaan tata bahasa (lexicogramar) secara kualitatif dan kuantitatif. Yang dimaksud dengan perbedaan kualitatif adalah dalam dua teks yang berbeda tujuannya pemunculan suatu aspek tata bahasa terjadi pada satu teks itu, sementara dalam teks yang satu lagi aspek tata bahasa itu tidak muncul. Perbedaan kuantitatif menunjukkan bahwa tingkat probabilitas pemunculan aspek tata bahasa itu lebih tinggi daripada teks yang satu lagi. Dengan pengertian fungsional di atas, teks dinterpretasikan sebagai ditentukan oleh konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori LFS terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang di dalamnya termasuk ideologi (ideology). Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antarpemakai bahasa terjadi. Konteks situasi dirinci sebagai terdiri atas tiga subelemen, yaitu (1) medan (field), yakni apa—what yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat (tenor), yakni siapa—who yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) cara (mode), yakni bagaimana—how interaksi dilakukan. Lebih lanjut, Halliday (1974) menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism (Saragih, 2006).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Sehubungan dengan teori LFS di atas, dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori
LFS
akan
menganalisis
Asmaraloka
dengan
latar
kejadian
perang
antarkelompok sosial yang menampilkan tokoh-tokoh yang penuh problematik dalam hubungannya dengan tokoh lain maupun lingkungannya melalui proses mental.
2.3.2.2 Proses Mental Halliday (dalam Saragih, 2006:28) menjelaskan bahwa satu unit pengalaman yang sempurna direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses (process), partisipan (participant) dan sirkumstan (circumstance). Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata kerja atau verb. Partisipan dibatasi sebagai orang atau benda yang terlibat dalam proses tersebut. Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan partisipan terjadi. Inti dari satu pengalaman adalah proses. Dikatakan demikian, proses menentukan jumlah dan kategori partisipan. Proses juga menentukan sirkumstan secara tidak langsung. Proses mental menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang menyangkut indera, kognisi, emosi, dan persepsi yang terjadi dalam diri manusia, seperti melihat, mengetahui, menyenangi, membenci, menyadari, dan mendengar. Proses mental terjadi di dalam diri (inside) manusia dan mengenai mental atau psychological aspects kehidupan. Secara semantik, proses mental menyangkut pelaku manusia saja atau maujud lain yang dianggap atau berperilaku manusia, seperti tingkah laku dalam dongeng
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
yang mengisahkan bahwa burung pungguk merindukan bulan. Proses mental yang mencakup kriteria semantik dan sintaksis, yaitu: proses mental menyangkut manusia, klausa mental memiliki paling sedikit satu partisipan manusia, seperti klausa Abangnya menikmati kopi di teras rumah, yang memaparkan pengalaman mental dengan menikmati dan partisipan abangnya. Di samping itu, proses mental dapat diikuti proyeksi dan proses mental tidak dapat diikuti oleh aspek sedang. Proses mental juga merupakan proses dua hal, yakni klausa dengan dua partisipan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu menelaah data yang berupa buku-buku. Data primer adalah novel Asmaraloka dan data sekunder diperoleh dari pembacaan novel yang berkaitan dengan Asmaraloka. Data sekunder ini dipergunakan untuk mendukung interpretasi data primer. Dalam ilmu sastra dikenal dua macam pendekatan. Pertama, pendekatan intrinsik, adalah penelitian sastra yang bersumber pada teks sastra itu sendiri secara otonom. Kedua, pendekatan ekstrinsik adalah penelitian unsur-unsur luar karya sastra, pengkajian konteks karya sastra di luar teks (Wellek dan Austin Warren, 1989). Pendekatan intrinsik dikenal pula dengan istilah pendekatan ”mikro sastra” artinya kajian yang menganggap bahwa memahami karya sastra dapat berdiri sendiri tanpa bantuan aspek lain di sekitarnya. Sebaliknya, ”makro sastra” adalah pemahaman sastra dengan bantuan unsur lain di luar sastra. (Tanaka 1976:9; Endraswara, 2003:9). Pendekatan intrinsik dilakukan jika peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya. Dalam pendekatan intrinsik, karya sastra dianggap memiliki otonom dan bisa dipahami tanpa harus mengaitkannya dengan lingkungannya seperti penerbit, pembaca, dan pengarang maupun latar belakang masyarakatnya. Pendekatan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
intrinsik disebut juga pendekatan struktural dan teori yang dipergunakannya adalah teori mikro sastra (Damono, 2000:10). Pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra dilakukan jika penelitian ditujukan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada antara karya sastra dengan lingkungannya, seperti pengarang serta latar belakang masyarakat, pembaca, dan penerbit. Sistem-sistem tersebut merupakan lingkungan yang ikut menentukan fungsi sosial karya sastra. Dalam pendekatan ekstrinsik, penelitian menggunakan teori makro sastra (Damono, 2000:10—11). Ilmu sastra yang menggunakan pendekatan ekstrinsik mencakup bidang sosiologi sastra yang mengacu kajian tentang hubungan sastra dengan masyarakat. Dalam mengkaji hubungan antara sastra dengan pembaca ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, konteks sosial pengarang yang memasalahkan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah masalah kedua, yaitu bagaimana sastra mampu menggambarkan masyarakat sehingga sastra dianggap mampu mencerminkan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yang memasalahkan apakah karya sastra mengajarkan sesuatu atau hanya sekedar memiliki fungsi menghibur (Damono, 2000:12—13). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah masalah yang kedua, yakni bagaimana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Ada dua pendekatan dalam penelitian sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang didasarkan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomi. Pendekatan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Dalam pendekatan ini, teks sastra dianggap sebagai gejala kedua. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar teks sastra (Damono, 1984:2). Pendekatan kedua inilah yang dipergunakan peneliti dalam penelitian ini.
3.2 Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah teks novel Asmaraloka karya Danarto yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus atas kerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Mei 1999. Novel Asmaraloka terdiri atas xi dan 247 halaman. Seluruh halaman tersebut terbagi atas dua bagian: bagian ucapan terima kasih Danarto sebagai pengarang kepada berbagai pihak, tokoh-tokoh besar di Indonesia, dan bagian isi novel yang terdiri atas 61 bagian Data penelitian ini adalah teks novel Asmaraloka yang berhubungan dengan fokus penelitian yang meliputi (a) teks novel Asmaraloka yang mencerminkan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain maupun hubungan antara tokoh dengan lingkungannya sehingga kelihatan problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh; (b) kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka; (c) latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka; dan (d) pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Sumber data utama adalah teks novel Asmaraloka secara utuh. Data seluruh aspek yang membangun novel Asmaraloka tersebut adalah hubungan antartokoh dan hubungan tokoh dengan lingkungannya, dipandang sebagai satu kesatuan yang membentuk totalitas guna menemukan pandangan pengarang. Di samping data utama didukung pula oleh data kedua berupa sumber tertulis yang mendeskripsikan latar kehidupan sosial pengarang dan peristiwa-peristiwa sosial di Indonesia yang melahirkan novel tersebut.
3.3 Teknik Analisis Data Teknik analisis data penelitian sastra selalu berkait dengan teori, konsep, dan metode. Teori yang dipergunakan peneliti sesuai dengan prinsip-prinsip teknik analisis data berdasarkan teori Strukturalisme Genetik yang ditopang oleh teori Linguistik Fungsional Sistemik. Sasaran penelitian dengan teori strukturalisme genetik adalah memahami pandangan pengarang tentang masyarakat dalam teks karya sastra. Untuk menemukan pandangan pengarang tersebut, Goldmann mengajukan tiga buah “hipotesis”, yaitu (1) Semua perilaku manusia mengarah pada hubungan
rasionalitas,
maksudnya
selalu
respon
terhadap
lingkungannya;
(2) kelompok sosial mempunyai tendensi untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dari pola sudah ada; (3) perilaku manusia dalam usaha yang dilakukan secara tetap menuju transendensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua aksi sosial dan sejarah (Endraswara, 2003:60). Sementara itu, dalam analisis
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
kebahasaannya, sasaran penelitian dengan teori Linguistik Fungsional Sistemik adalah untuk menemukan proses mental yang ada pada teks. Penelitian strukturalisme genetik akan melakukan analisis aspek intrinsik teks sastra, latar belakang pengarang, dan latar belakang sosiobudaya serta sejarah masyarakatnya. Teknik yang dilakukan adalah teknik dialektika, yaitu mengutamakan makna koheren. Prinsip dasar teknik tersebut, yakni adanya pengetahuan tentang fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak jika tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikan ke dalam totalitas. Teknik dialektika mengembangkan dua macam, konsep, yaitu ”keseluruhan-bagian” dan ”pemahaman-penjelasan.” Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003:61—62) menuliskan bahwa penelitian ”keseluruhan-bagian” memanfaatkan model yang disusun terbatas pada sejumlah unsur dan hubungan-hubungannya. Analisis akan berawal dari mana, peneliti seharusnya dapat menentukan bagian mana yang menjadi unsur dominan menurut data empirik. Dari data tersebut, peneliti memberikan penjelasan dari struktur internal sebagai bagian keseluruhan. Penjelasan struktur internal barulah bagian kecil pemahaman makna, sedangkan makna akhir harus ke arah struktur secara menyeluruh. Teknik analisis dialektika mengenalkan analisis ”pemahamanpenjelasan”. ”Pemahaman” adalah usaha mendeskripsikan struktur objek yang diteliti, sedangkan ”penjelasan” adalah usaha penemuan makna struktur tersebut dengan menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar. ”Pemahaman” merupakan langkah untuk mengidentifikasi bagian dan ”penjelasan” merupakan langkah pemaknaan unsur bagian ke dalam unsur keseluruhan. Kerja peneliti dalam
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
penelitian strukturalisme genetik memiliki tiga langkah. Pertama, peneliti melakukan analisis intrinsik karya sastra baik secara bagian maupun dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, peneliti menganalisis kehidupan sosiobudaya pengarang, karena pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, peneliti menganalisis latar belakang sosio dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang. Selanjutnya, menurut Goldmann (dalam Junus, 1986:26), teknik pelaksanaan penelitian dengan strukturalisme genetik bertolak dari beberapa prinsip berikut ini. Pertama, novel yang dianalisis adalah novel yang mempunyai nilai sastra, yang biasanya mengandung nilai ketegangan antara keragaman dan kesatuan yang menjalin keragaman tersebut ke dalam keseluruhan yang padat. Kedua, penelitian dilakukan pada novel yang dilihat sebagai satu kesatuan. Dengan prinsip kesatuan struktur teks sastra, peneliti bekerja dengan cara sebagai berikut: (a) peneliti membuat hipotesis yang menyeluruh tentang hubungan antara unsur-unsur dengan keseluruhan sebuah novel, (b) hipotesis tersebut diperiksa berdasarkan data teks karya sastra, sehingga dapat ditemukan suatu model yang mungkin berbeda dari hipotesis awal. Ketiga, setelah mendapatkan kesatuan dari keragaman sebuah novel, baru dibuat hubungan dengan latar belakang sosial. Hubungan tersebut bersifat, (a) yang dimaksud adalah hubungan kesatuan (keseluruhan), bukan keragaman (bagian), (b) latar belakang tersebut adalah pandangan dunia suatu kelompok sosial, yang dilahirkan oleh pengarang, sehingga dapat dikonkritkan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Penelitian strukturalisme genetik mengarahkan pada satu pandangan dunia kelompok sosial tertentu (pengarang). Mengungkapkan pandangan tersebut, dilakukan analisis terhadap teks. Pandangan dunia tersebut dijadikan model praktis. Peneliti selanjutnya kembali kepada teks untuk menjelaskan totalitasnya dengan menggunakan model tersebut sebagai acuan. Perhatian peneliti terus-menerus berpindah-pindah antara teks-struktur sosial (kelompok dan kelas sosial) dan model: antara abstraksi dan yang konkrit (Damono, 1984:43). Teknik analisis data tersebut dilaksanakan
dengan cara: (1) pembacaan
seluruh isi novel Asmaraloka. (2) identifikasi dan analisis data unsur struktur novel Asmaraloka, yaitu
dominan,
problematika tokoh melalui hubungan dengan
struktur antartokoh dan lingkunganya, (3) identifikasi dan analisis data latar kehidupan sosial pengarang, Danarto yang berhubungan dengan struktur novel Asmaraloka, (4) identifikasi dan analisis data peristiwa-peristiwa sosial di Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka, (5) penemuan pandangan dunia pengarang, Danarto dalam novel Asmaraloka, dan (6) penemuan proses mental dalam novel Asmaraloka dengan menghubungkan point (2), (3), (4), (5), (6), dan simpulan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
BAB IV DANARTO DAN KEPENGARANGNYA
4.1 Biografi Danarto Danarto dilahirkan tanggal 27 Juni 1940 di Mojowaten, Sragen, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Djakio Hardjodimono, seorang karyawan pabrik gula. Ibunya bernama Siti Aminah, seorang pedagang kecil. Sejak anak-anak, Danarto sudah menyukai menggambar dan mencoret-coret di buku tulisnya. Meski demikian, Danarto tidak bercita-cita menjadi pelukis atau seniman. Danarto sejak kecil bercitacita menjadi seorang ahli bahasa. Danarto menyelesaikan SR (Sekolah Rakyat) atau setingkat pendidikan dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di kota Sragen. Dia menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atas di Solo dengan mengambil jurusan sastra. Sebelum tamat SLTA, Danarto pindah ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Sejak menempuh pendidikan di ASRI Danarto mulai aktif dan berkreasi dalam dunia seni. Ketika merintis jalan ke dunia seni, Danarto bersahabat dengan seniman lain, seperti Soenarto Pr. dan Mulyadi W. Mereka bersama Syahril, Handoko, dan Wardoyo kemudian mendirikan sebuah perhimpunan pelukis dengan nama Sanggar Bambu. Meski sibuk dalam dunia seni di luar bangku sekolah, Danarto pada tahun 1961 berhasil memperoleh ijazah I dari ASRI. Dalam perjalanan organisasi seniman, tahun 1984 perhimpunan Sanggar Bambu pecah menjadi dua organisasi. Sanggar Bambu 1959 dan Sanggar Bambu
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Danarto kemudian memilih menetap tinggal di Jakarta dengan bekerja sebagai pembuat relief, lukisan dinding, mozaik, patung, dan monumen-monumen di rumah pribadi maupun di perkantoran. Dalam perkembangannya sebagai sastrawan, Danarto tidak dapat melepaskan kebiasaanya melukis. Sebelum menulis novel Asmaraloka pun mengawali idenya dengan membuat beberapa sket. Tahun 1968 Pusat Kesenian Jakarta Taman Isamail Marzuki (TIM) berdiri. Mulai saat itu pula Danarto menjadi tukang poster di lembaga tersebut. Pekerjaan membuat poster ia menekuninya sampai tahun 1975. Selain membuat poster, Danarto juga menekuni pekerjaan sebagai pengajar di Akademi Seni Rupa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Pada tahun 1979, kesibukan Danarto bertambah karena dia staf redaktur majalah Zaman, bagian cerita pendek. Danarto sebagai seniman juga sering mengikuti misi seniman Indonesia ke luar negeri. Tahun 1970, Danarto berkesempatan mengikuti misi kesenian Indonesia Expo ’70 di Osaka , Jepang. Danarto dalam hal ini bertindak sebagai penata artistik. Keahlian Danarto dalam bidang artistik membuat dirinya berkali-kali berkesempatan pergi ke luar negeri. Tahun 1974 bersama Sardono W. Kusumo, Danarto melawat ke Paris dalam rangka pementasan Dongeng Dari Dirah. Lawatan selanjutnya diteruskan ke Belanda, Roma, dan Iran. Dari lawatan tersebut, Danarto berhasil menerbitkan kumpulan cepennya berjudul Godlob pada tahun 1974. Kumpulan cerpen ini diterbitkan kembali
tahun 1987 oleh penerbit Pustaka Utama Grafiti
Jakarta.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Usaha Danarto untuk meningkatkan kesastrawanannya maka tahun 1976 ia berhasil mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat, bersama pengarang dunia dari dua puluh dua negara. Danarto berkesempatan ke luar negeri kembali setelah kumpulan cerpennya berjudul Adam Ma’rifat memenangkan hadiah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tahun 1983 bersama Darmanto Jatman, Danarto memperoleh kesempatan melawat ke Rotterdam untuk mengikuti program International Poetry Reading. Setelah dari Rotterdam, Danarto melanjutkan lawatannya ke Tanah Suci Mekah untuk melakukan ibadah haji. Catatan harian Danarto selama menunaikan ibadah haji ini berhasil dibukukannya dengan judul Orang Jawa Naik Haji. Selain Adam Ma’rifat, Godlob, dan Orang Jawa Naik Haji, Danarto juga menghasilkan kumpulan cerpen Berhala, Gergasi, dan Setangkai Melati di Sayap Jibril. Satu novel yang pernah ditulisnya adalah Asmaraloka. Karya-karya Danarto telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Cerpen Abracadabra diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Penerjemah lain adalah Henry Chambert ke dalam bahasa Prancis dan Tim Behrend ke dalam bahasa Inggris. Danarto juga aktif menulis di media masa. Beberapa cerpennya sering dimuat di harian Kompas. Cerpen Danarto berjudul Jejak Tanah dinobatkan sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2002. Cerpen tersebut kemudian dijadikan judul buku ”Kumpulan Cerpen Kompas 2002”. Dalam kumpulan cerpen tersebut, juga dimuat cerpen Danarto berjudul Di Atas Bumi Di Atas Langit (Nurhan [Penyunting], 2002:1—9 dan 30—39).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Beberapa karya Danarto bertema peperangan. Hal itu cukup wajar karena menurut pengakuannya dalam hidupnya dia mengalami empat periode peperangan. Keempat periode peperangan yang dialami tersebut adalah: pertama 1935—1345, kedua 1945—1949, ketiga 1965—1966, dan keempat 1998 sampai dengan kapan, perang saudara atau konflik. Untuk selanjutnya kata perang saudara ditulis dengan istilah konflik di Timor Timur (sekarang Timur Leste), Aceh, Ambon, dan Papua (sebelumnya bernama Irian Jaya). Perang periode terakhir inilah yang banyak ”dipotret” Danarto dalam novel Asmaraloka. Dalam lingkup sosial, Danarto terlihat bersahabat dengan semua kalangan, tidak hanya kalangan sastrawan. Dia terlihat dekat dengan Taufik Ismail, Sutardji Chalzoum Bachcri, Frans Hariyadi, Ikranegara, Putu Wijaya, Gunawan Muhammad, Sapardi Joko Damono, serta sastrawan yang lain. Dalam kata pengantar novel Asmaraloka, Danarto terlihat memiliki banyak sahabat dari kalangan ulama, akademisi, seniman, politikus, pers, LSM, dan semua lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa luwes dan luas pergaulan Danarto.
4.2 Konsep Kepengarangan Danarto Pengarang dalam menghasilkan karyanya cenderung memiliki sikap dan prinsip tertentu. Demikian juga Danarto sebagai pengarang memiliki pandangan tertentu dalam menghasilkan karya-karyanya. Pemahaman hidup Danarto sangat membantu dalam memaknai karya sastra yang dihasilkan oleh Danarto.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Danarto meyakini bahwa fungsi seni adalah sebagai pencerahan jiwa manusia untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Danarto (dalam Eneste [Penyunting], 1983:138) mengatakan, ”Sastra sebenarnya alat untuk menerima dan memberikan pencerahan.” Dengan seni, manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Konsep ini berakar pada pengalaman Danarto di lingkungan keluarganya yang terbiasa hidup dengan mistik Jawa. Sejak kecil Danarto telah diperkenalkan oleh orang tuanya mengenai dunia kebatinan Jawa (Prihatmi, 1989:155). Danarto yang dilahirkan dalam lingkungan tradisi Jawa, meyakini bahwa semua yang ada ini pada hakikatnya adalah Tuhan. Konsep kebatinan Jawa sebagaimana yang dianut Danarto menganggap bahwa Tuhan dan dunia tidak merupakan dua hakikat yang sungguh terpisah dan yang ada di luar yang lain, melainkan bahwa Tuhan sendiri merupakan segala-galanya, bahwa segalanya itu Tuhan, sedang segalanya itu modus, partisipasi dalam kesatuan; Tuhan adalah imanen dalam segalanya, sehingga segalanya itu memang bukan Tuhan, melainkan jika dipandang dari sudut keabadian bersifat Allah (Zoetmulder,2000:2). Pandangan tersebut menurut pengakuan Danarto pernah dialaminya dalam kehidupan sehari-hari, menurut pengalamannya, Danarto pernah melihat bayi, tukang kebun, seorang temannya, dan anjing. Meski demikian, semua objek yang dilihatnya tersebut terlihat kabur, yang dilihatnya hanyalah Tuhan. Menurut Danarto, Tuhan yang dilihatnya bukan berarti wujud Tuhan, karena wujud Tuhan tidak pernah tertangkap oleh indera manusia. Danarto menganggap semua itu merupakan nilainilai (Prihatmi, 1989:170).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Danarto (dalam Eneste [Penyunting], 1983:139) mengakui pengalamanpengalaman gaibnya tersebut. Hal ini dapat dibaca pada kutipan berikut. Ketika saya berumur 24 tahun, saya pernah melihat tak ada lain di tubuh seorang anak bayi yang tergolek tenteram itu selain Allah. Dua cerpen yang saya tulis berdasarkan pengalaman itu adalah ”Kathedral dan Tebu” dan ”Tuhan dan Nangka”. Pada umur 28 tahun ketika saya bangun pukul 07.30, saya melihat tak ada lain di tubuh seorang tukang kebun yang sedang menyapu itu selain Allah. Seorang sopir yang Allah keluar dari sebuah ruang dan seekor binatang yang Allah berlari-lari kecil di jalan raya. Peristiwa semua itu yang mempengaruhi jalan pena saya harus menulis. Dari sini kebalauan pikiran saya mengembara sebebas-bebasnya.
Danarto menganggap bahwa manusia selalu dalam ”proses” menuju Tuhannya. Keyakinan Danarto terhadap ”proses”dinyatakan dalam kata pengantar kumpulan cerpen Adam Ma’rifat. Hal tersebut dapat dibaca pada kutipan ini. ...kita itu (alam benda, alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia) hanyalah proses, sehingga segala sesuatu tidak terpahami karena tidak berbentuk.... karena kita ini proses maka kita tidak mengetahui. Begitulah hakikat sebuah barang ciptaan. Yang jelas kita adalah milik Sang Pencipta, secara absolut dan ditentukan (Prihatmi,1989:171).
Karena
merupakan
proses,
menurut
Danarto,
kehidupan
manusia
sesungguhnya mengalir seperti air. Pengertian mengalir dalam istilah Jawa sering disebut ngeli, yang berarti menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Atas dasar prinsip ”mengalir” atau ngeli ini, dalam filsafat Jawa terdapat ajaran nrimo lan sabar. Nrimo berarti menerima apa adanya kehendak Tuhan. Sabar berarti tabah menerima kenyataan takdir Tuhan yang diberikan kepada kita. Proses yang dijalani dengan nrimo ini pada hakikatnya perjalanan manusia menuju penyatuan dengan Tuhan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Di samping konsepsi filsafat Jawa yang mendasari pemikiran Danarto juga dipengaruhi oleh pemikiran Rustamadji, guru tasawufnya, dan buku-buku tasawuf Hamka (Prihatmi, 1989:167). Danarto sangat tertarik paham ”kesatuan Wujud” yang dikemukakan Rustamadji. Buku-buku tasawuf Hamka yang disukai Danarto adalah uraian mengenai Alhalaj atau paham kesatuan wujud. Paham kesatuan wujud kaum tasawuf didasarkan pada ayat Alquran yang artinya, ”kita begitu dekat kepada-Nya, lebih dekat dari urat-urat di leher kita sendiri,” dan ”ke mana saja engkau berpaling, di sanalah wajah Allah.” Paham kesatuan wujud ini diyakini para sufi seperti Ibnu Arabi. Arabi menyatakn bahwa wujud (Yang Ada) itu hanya satu. Wujud makhluk adalah ’ain wujud Allah. Allah itu hakikat alam. Ibnu Arabi telah menegakkan paham serba esa dan menolak paham serba dua, yang menurut Hamka, serupa dengan paham Phitagoras dalam dunia filsafat bahwa jiwa segala bilangan adalah satu (Prihatmi, 1989:167). Paham kesatuan wujud Ibnu Arabi tersebut
diterjemahkan oleh Danarto
sebagai berikut: Wujud (Yang Ada) itu hanya satu. Dalam tiap-tiap berwujud itu terdapat sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Jika ada perbedaan antara yang terlihat dan tidak, maka perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat Yang Esa (Prihatmi, 1989:168). Dengan demikian menurut Danarto, segala benda adalah Tuhan meskipun secara rupa mengambil wujud yang berbeda-beda. Bermacam-macam dalam bentuk tetapi satu dalam hakikat, yakni Tuhan. Berkaitan dengan penyatuan diri dengan Tuhan dalam konsepsi Jawa, manusia dibentuk oleh dua unsur adalah jisim (badan jasmani) dan jati ning sarira
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
(badan yang dirohanikan). Keduanya merupakan cermin bagi Tuhan, artinya memperlihatkan gambaran Tuhan, tetapi badan jasmani mencerminkan citra Tuhan secara tidak sempurna. Badan jasmani hanya merupakan pancaran badan sejati atau rohani. Badan rohanilah yang lebih dekat dengan Tuhan (Zoetmulder, 2000:239). ”Antara manusia dengan Tuhan terdapat ”jarak” yang jauh. Namun, manusia yang berpaham manunggaling kawula gusti berpendapat bahwa manusia dapat mencapai Tuhan dalam transendensi tertinggi itu” (Zoetmulder 2000:164), Serat Centini I, 714: ”Bila Budi sudah naik ke tempat yang mulia, maka dalam keadaan yang mulia itu Yang Mahamulia dan Budi ”berbeda dan tidak berbeda”. Sembah dan pujian menjadi serupa. Pujian merupakan ”dirinya”. Manusia sendiri yang mengalami itu, tetapi juga bukan dirinya sendiri. Tiada lagi ”dirinya”, hanya itulah yang dapat dikatakan” (Zoetmulder, 2000:142), segala bentuk perlawanan lenyap, terang dan kegelapan tiada lagi. Hal semacam itu bagi orang Jawa dikenal dengan istilah padang peteng wus kawiyos. Dalam hal ini tidak ada lagi pertentangan antara gejala lahiriah dan isi terdalam, antara yang ditampilkan dan yang tidak ditampilkan, antara kebendaan dan unsur spiritual yang terkandung di dalamnya, kadang-kadang antara rupa dan kenyataan, di sini manusia mencapai semestanya. Dalam lingkungan gaib itu terdapat empat sifat, yaitu keagungan, keindahan, kesempurnaan, dan kekuasaan yang secara erat sekali dipersatukan dengan zat Tuhan. Sifat-sifat itulah yang sangat mempengaruhi Danarto sebagai seorang sastrawan dalam menghasilkan karya-karya mistisnya.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Persatuan manusia dengan Tuhan dapat diibaratkan dengan sebutir telur di atas sebuah batu. Keterhanyutan manusia dalam bersinggungan dengan dunia baru menyadarkan keterbatasannya selaku seorang hamba atau kawula. Setelah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernapas panjang sambil mengucapkan doa syukur. Di sini, manusia tidak lagi berpaling dengan yang lain kecuali hanya Allah semata. Keadaan yang mencerminkan kemanunggalan manusia dengan Tuhan, lebih dalam dilukiskan dalam Serat Centini I, 714: ”Bila Budi sudah naik ke tempat yang mulia, maka dalam keadaan yang mulia itu Yang Mahamulia dan Budi ”berbeda dan tidak berbeda”. Sembah dan pujian menjadi serupa. Pujian merupakan ”dirinya”. Manusia sendiri yang mengalami itu, tetapi juga bukan dirinya sendiri. Tiada lagi ”dirinya”, hanya itulah yang dapat dikatakan” (Zoetmulder, 2000:142). Dalam keadaan seperti ini, manusia merasa bersatu dengan Tuhan. Meski demikian, hakikat persatuan itu dualitas, dengan istilah Jawa loro ing atunggal. Hal ini digambarkan dalam Serat Centini I, 345: Mereka melepaskan diri dari segala ikatan dan memasuki tahap melenyapkan diri yang total. Mereka memandang tanpa tirai. Lepas dari ikatan indera, mereka mempersatukan diri dengan Tuhan, ”loroloro ning atunggal”. Dalam keadaan itu, tak ada lagi perbedaan antara kawula dan Gusti. Dalam keadaan sunyi sepi, mereka bergaul dalam kemanunggalan kodrat, dalam Ada itu sendiri (Zoetmulder, 2000:143). Konsep kebatinan Jawa yang mengilhami diri Danarto dalam mengarang pada prinsipnya menganggap bahwa segala yang ada di dunia ini bersumber pada yang Ada. Selain yang Ada pada hakikatnya tidak ada, sebab adanya hanya diadakan oleh
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
yang Ada, Yang pertama, tunggal, yaitu Tuhan (Prihatmi, 1989:161). Hal seperti ini menggambarkan bahwa manusia umumnya mengakui kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Tuhan adalah jalan keselamatan sehingga manusia wajib menghormati, meyakini, mengikutkan segala yang baik menurut-Nya. Danarto seorang yang taat beragama (Islam), ia mempelajari buku-buku berisi tasawuf Islam. Hal ini sangat mempengaruhi kepengarangannya. Napas-napas kesufiannya terlihat dalam karya-karyanya. Hal ini sesuai dengan pengakuan Danarto dalam wawancara dengan Th. Sri Rahayu Prihatmi, bahwa cerpen yang berjudul simbol ”cinta” bertokoh utama Rintrik, ditulis sesudah membaca buku-buku tasawuf karya Hamka. Selanjutnya, Danarto juga tertarik dengan tasawuf Rustamadji. Menurut Rustamadji, puncak pengalaman manusia adalah penyatuan diri dengan Tuhan. Untuk mencapai Tuhan, manusia harus membuang kesadaran palsunya. Kesadaran palsu ini adalah kesadaran yang dialami manusia secara lahiriah. Penyatuan manusia dengan Tuhan hanya dapat dicapai melalui proses batin secara mendalam dalam bentuk spiritual. Terbentuknya pengalaman batin seperti ini digambarkan dengan munculnya kesadaran sejati sehingga manusia sanggup melihat bahwa dirinya dan semua yang ada dapat ditangkap oleh indera. Dalam keadaan semacam ini, manusia merasa bersatu dengan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia pada tahap ini tidak lagi dapat membedakan nilai baik dan buruk dari segi hukum manusia. Yang berlaku dan yang ada hanya Tuhan dan yang berlaku adalah hukum Tuhan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Danarto juga terlihat terpengaruh pemikiran Ibnu Arabi yang selanjutnya diikuti tokoh sufi Aceh Hamzah Fansuri. Pemikiran Arabi memandang bahwa Tuhan harus dipandang dari segi hakikat dan dari segi sifat atau kenyataan lahiriah. Hakikat Tuhan adalah Esa. Dari segi kenyataan lahiriah, Tuhan adalah alam. Kenyatan lahiriah dari yang esa ini merupakan bayangan dari Tuhan yang esa tadi (Daundy, 1983:202). Oleh sebab itu, Tuhan harus dipahami secara lahiriah dan secara hakikat. Pemahaman kepada Tuhan secara hakikat akan menunjukkan manusia pada jalan menuju arah persatuan dengan-Nya. Dengan demikian, semua yang ada di dunia pada dasarnya adalah Tuhan. Kalimat itu perlu diberi makna dibalik makna harfiah. Sebab pengertian persatuan antara Tuhan dengan hamba bersifat penyatuan tidak sempurna. Yang ada hanyalah hukum kedekatan. Pengertian kedekatan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhamad SAW yang juga dijadikan landasan berfikir Tasawuf Hamka, demikian juga Danarto. Sabda Nabi tersebut berbunyi, ”Kita begitu dekat kepada-Nya, lebih dekat dari urat-urat leher kita sendiri”. Senada dengan hal ini, Hadis lain berbunyi. ”ke mana saja engkau berpaling, di sanalah wajah Allah”.
4.3 Karya-karya Danarto Danarto dalam dalam dunia sastra Indonesia cukup dikenal sebagai seorang seniman yang tulen, kreatif, berani. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat kemampuannya dalam menciptakan karya. Beliau tidak hanya menulis dalam satu
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
bidang seni, tetapi banyak seni dapat dikuasainya. Berbagai seni dapat dikuasai oleh Danarto dapat diuraikan berikut ini. Selain menulis cerpen, Danarto juga dikenal sebagai penulis dekoratif abstrak, penulis puisi konkret, dan juga penulis naskah lakon drama. Berbagai profesi yang ditekuninya itu saling berkaitan dan saling mendukung. Hal ini terlihat bahwa sebelum membuat cerpen, biasanya Danarto terlebih dahulu membuat sket sehingga tokoh-tokoh yang akan digambarkan serta seting cerita terlihat jelas sebelum cerita ditulis. Di bidang penulisan cerpen, ia mulai menulis sejak sekolah menengah pertama. Karya pertamanya dimuat di majalah anak-anak “Si Kuncung”. Dua cerpennya yang berjudul “Katerdal dan Tebu” dan “Tuhan dan Nangka” pernah dikirimkan ke majalah sastra. Kedua cerpen tersebut tidak dapat dimuat dan dikembalikan kepada penulisnya. Akhirnya, dua cerpen tersebut tidak dapat di publikasikan dan hilang. Cerpen berjudul lambang cinta (
) dengan tokoh utama Rintrik yang ditulis
Danarto di Leles, Garut, 11 Desember 1967. Cerpen itu memenangkan lomba penulisan cerpen majalah Horison tahun 1968. Alasan redaksi Horison memenangkan cerpen ini adalah sebagai berikut: Cerita ini dalam keseluruhannya membawa suasana yang mistis, yang membuat pembaca marasa dirinya berhubungan dengan suatu dunia yang ada di luar dunia riil yang kita hidup sehari-hari. Cerita ini merupakan suatu bentuk baru di Indonesia. Maka diharapkan dia (maksudnya Danarto) akan merupakan pengarang yang merangsang bagi pengarang-pengarang lainnya untuk menggarap daerah-daerah baru bagi dunia cerita pendek Indanesia (Horison, April 1968:101).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Karya Danarto tersebut telah dibukukan di dalam kumpulam cerpen Godlob yang terbit pertama kali tahun 1975. Delapan cerpen Danarto yang termasuk dalam Godlob adalah cerpen “Godlob” (1967), “Sandiwara Atas Sandiwara” (1968), “Kecubung Pengasihan” (1968), “Armageddon” (1968), “Nostalgia” (1969), “Labyrinth” (1970), “Asmarandana” (1971), dan cerpen “Abracadabra” yang ditulis Danarto tahun 1974. Kumpulan cerpen ini mengalami cetak ulang tahun 1987. Kumpulan cerpen Danarto yang kedua terbit tahun 1982 dengan judul Adam Ma’rifat. Kumpulan cerpen ini berhasil memenangkan hadiah sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kumpulan cerpen Adam Ma’rifat berisi enam cerpen. Keenam cerpen itu adalah Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat, Adam Ma’rifat, Megatruh, Ngung Cak, Lahirnya Sebuah Kota Suci, dan cerpen Bedoyo Robot Membelot. Cerpen-cerpen tersebut pernah dimuat di majalah Horison maupun majalah Zaman. Cerpen-cerpen Danarto yang terbit tahun 1987 dimuat dalam
kumpulan
cerpennya ketiga yang diberi judul Berhala. Berhala berisi tiga belas cerpen, yaitu: “!” (1979), “Panggung” (1981), “Pelajaran Pertama Seorang Wartawan” (1982), “Memang Lidah Tak Bertulang” (1982), “Anakmu Bukanlah Anakmu, Ujar Gibran” (1984), “Selamat Jalan, Nek” (1985),”Dinding Ibu” (1986), “Pundak Yang Begini Sempit” (1986), “Gemeretak dan Serpih-Serpihan” (1987), “Dinding Anak” (1987), “Pageblug” (1987), “Langit Menganga” (1987), dan cerpen “Cendera Mata” yang ditulis Danarto pada tahun 1987.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Di samping tiga buah kumpulan cerpen Danarto tersebut, ada satu cerpen yang pernah dimuat dalam majalah Zaman. Satu cerpen yang tidak pernah dibukukan adalah cerpen berjudul “Cerpen”. Selain cerpen, Danarto juga pernah membukukan catatan hariannya selama ia beribadah ke tanah suci Mekah dengan judul Orang Jawa Naik Haji yang terbit tahun 1983. Satu-satunya karya Danarto dalam bentuk novel adalah novel Asmaraloka yang terbit tahun 1999. Novel Asmaraloka itu
ditulis di Jepang atas undangan
pemerintah tersebut, yang menjadi objek penelitian ini. Kumpulan cerpen Danarto yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang pada tahun 2000 dengan judul Setangkai Melati di Sayap Jibril yang disunting dan diberi kata pengantar Agus Noor. Kumpulan cerpen ini terdiri atas 28 cerpen: Simfoni Melompat Jendela, LempenganLempengan Cahaya, Paris Nostradamus, Pengantin, Percintaan dengan Pohon, Semar Mabuk, Garasi, O Jiwa yang Edan, Setangkai Melati di Sayap Jibril, Tuhan yang Dijual, Buku Putih Seoarang Preman, Jakarta 2020 Atawa Holobot, 7 Sapi Kurus Memakan 7 Sapi Gemuk, Belimbing, Kursi Goyang, Terowongan, Sebatang Kayu, Sawitri, Mengapa Ayah Selalu Membuat Ibu Menangis, Cermin yang Menguap, Tongkat, Surga dan Neraka, Matahari Menari Rembulan Bergoyang, Sungai Brantas, Muara Sinta, Sembako, Monumen Reformasi, dan Alun-Alun Seribu Patung. Judul kumpulan cerpen yang terakhir tahun 2008 adalah Kacapiring. Danarto tidak hanya menulis prosa tetapi juga menulis puisi. Di bidang puisi ia menulis puisi konkret. Danarto telah menulis puisi berupa deretan tulisan Allah dalam bentuk melingkar. Masih dalam bidang penulis puisi konkret, Danarto penuh
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
membuatnya dalam bentuk fotokopi uang sepuluh ribu. Kedua karya puisi konkret Danarto berjudul Habis Tak Sudah, Alam Benda di dalam Ruang Waktu, dan Mencari dalam Gelap. Danarto juga menulis naskah drama. Di bidang penulisan naskah drama ini, Danarto telah menulis lakon Obrog Owok-Owok Ebreg Ewek-Ewek dan Bel Gedubel Beh. Lakon tersebut pernah dipentaskan oleh Teater Tanpa Penonton pada hari ulang tahun Taman Ismail Marzuki yang kesepuluh. Danarto juga terkenal sebagai pelukis atau seniman seni rupa. Di bidang seni rupa, khususnya dalam seni dekorasi. Danarto telah banyak membantu Soenarto Pr. Dalam pementasan lakon “Malam Jahanam” karya Mutinggo Busye. Dia juga telah banyak membantu Studi Grup Drama Yogyakarta dan Bengkel Teater dalam pementasan “Oedipus Sang Raja” karya Sophocles. Bersama Arifin C. Noer, Danarto juga telah banyak membantu dalam rangka pementasan “Caligula” (1967), “Tiga Pencuri” (1968), “Mega-Mega” (1969), “Perang Di Troya Tidak Akan Meletus” (1971), dan “Sumur Tanpa Dasar” yang dikerjakan tahun 1971. Aktivitas seniman film dijalani Danarto mulai tahun enam puluhan hingga tahun tujuh puluhan. Waktu itu Danarto aktif membantu tata artistik film bersama Ikranegara dan Sardono W. Kusumo. Film-film yang mereka kerjakan adalah “Lahirnya Gatotkoco” (1962), “Sang Rego” (1971), “Mutiara Dalam Lumpur” (1972), dan film “Suci Sang Primadona” (1977). Berdasarkan data dari hasil karya yang telah dituliskan di atas, jelas bahwa Danarto adalah seorang seniman yang tidak hanya menekuni salah satu bidang seni.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Reputasi Danarto tidak hanya dalam bidang sastra, tetapi juga seni rupa, penyair, seni panggung, dan film. Danarto dalam dunia seni Indonesia dikenal sebagai penyair kontemporer, cerpenis, novelis, pelukis, pematung, penata artistik film, serta perelif dan pendekorasi. Inilah keistimewaan Danarto dibanding dengan seniman lain di Indonesia, sehingga dapat dikatakan Danarto adalah seniman tulen, kreatif, berani, dan mampu mengikuti perkembangan zaman.
4.4 Sinopsis Novel Asmaraloka Karya Danarto Konflik telah lama terjadi antara bala tentara dengan prajurit. Keduanya satu bangsa. Mula-mula hanyalah percekcokan biasa karena perbedaan pendapat. Ketika pakar ekonomi menguraikan tersedotnya kekayaan daerah ke pusat pemerintahan sehingga mewariskan kemiskinan warganya, di sinilah bibit konflik mulai tumbuh. Konflik melebar menjadi perang antaragama, ras, dan suku. Campur tangan pula pasukan Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Yahudi, Nazi, Komunis, Kebatinan, Konhucu, Perempuan, Manusia Kloning, Romo Yesuit, Sufi, dan Setan. Mereka menentang simbol-simbol golongan sebagai lambang pembenaran diri sendiri. Pasukan Malaikat pun datang menebah dari langit. Akibat banyaknya pasukan yang terlibat dalam peperangan, tak jelas mana lawan dan mana kawan. Musuh dan kawan silih berganti secara mendadak. Dalam keadaan yang kacau demikian, benar dan salah pun menjadi ukuran yang tak mudah dibedakan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Akibat sudah menjadi budaya turun-temurun, perang justru menjadi komoditi. Tak jarang wisatawan asing dan domestik ikut juga ke medan perang untuk menyaksikan ‘indahnya’ bom, mortir, tubuh serdadu yang koyak-koyak, dan rongsokan mobil tank. Syuting wartawan dalam negeri maupun mancanegara bertebaran. Perang pun dapat dilihat di layar TV. Perang tidak lagi sebagai hal yang menakutkan. Semua orang dapat menyaksikannya sebagai hiburan. Sebagian orang justru dengan senang hati datang ke medan perang. Inilah yang dikatakan perang fatamorgana, perang yang sengaja diciptakan oleh penguasa. Dalam hiruk- pikuk peperangan itu, Arum diharuskan agar dirinya sendiri untuk terus berkelana mencari jasad suaminya, Busro. Arum masih ingat betapa tragis nasibnya ketika malam pertama perkawinannya tiba-tiba Malaikat Maut—yang memiliki miliaran mata yang menempel di tubuhnya—secepat kilat menggondol dan memanggul terbang jasad Busro. Arum terus mengikuti Malaikat Maut yang membawa jenazah Busro, suaminya. Dengan kaki telanjang dan usaha pantang menyerah Arum terus mengejar Malaikat Maut yang membawa jenazah Busro. Ia melewati berbagai rintangan seperti kampung, hutan, dan dunia gaib. Ia mengejar sampai malam. Karena letihnya, ia tertidur di depan rumah penduduk dan bermimpi tentang malam perkawinannya dengan Busro. Dalam mimpi tersebut perkawinannya bersamaan dengan perkawinan Setiawan dan Sawitri dalam legenda pewayangan. Saat berbahagia, Malaikat Maut datang mencabut nyawa suaminya pada hal sebelum kejadian tersebut terjadi Arum
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sedang mengejar mayat suaminya yang dicuri Malaikat Maut. Ketika terjaga ia langsung mencari mayat suaminya sampai ke pesantren Kyai Mahfud. Sementara itu di pesantren Wasiatun Rasuli, Kyai Muhammad Mahfud memiliki banyak santri. Santri Firdaus Muhammad terpaksa harus lari dari pesantren karena ingin melihat dari dekat jalannya perang. Fir yang tertarik oleh Arum terus berkelana ke medan perang bersama Arum. Fir dan Arum sempat juga terdampar ke dunia damai yang kehidupan di sana sebagai impian setiap manusia. Di Dunia Damai (boleh dikatakan surga) itu, hidup pasangan Kelanggengan Nurullah dan istrinya Abidah el Khaliqi, serta kembarnya Zahra dan Zam Zam. Meskipun Fir dan Arum sempat merasakan nikmatnya hidup, namun mereka harus kembali ke dunia miliknya, yaitu perang. Di sana mereka hidup menetap di dekat sebuah mata air yang dibangun oleh Kyai Mahfud. Di atas mobil baja yang rusak Arum dan Fir membesarkan bayi kembar Arum, yaitu Argo dan Ati. Dalam keadaan mentalitas kelompok yang saling bermusuhan, Kyai Kadung Ora dari Pesantren Gabarullah harus mengembara dan larut dalam kancah perang. Ia melakukan pengembaraannya. Dan sering bertemu Fir, karena pesantrennya dipaksa tutup oleh pemerintah. Kyai Kadong Ora akhirnya dibunuh oleh pasukan tentara karena ajarannya, yaitu semua yang ada hakikatnya adalah Tuhan. Ajaran ini akan membahayakan bagi masyarakat. Kedua Kyai itulah dijadikan tumpuan Fir dalam menghadapi ganasnya perang, meski Fir tak sependapat dengan gagasan-gagasan mereka.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Suatu saat Kyai Mahfud yang rajin salat dan berdoa didatangi malaikat pencabut nyawa. Sudah waktunya ia mati, Sang Kyai tak keberatan jika nyawanya pun harus diambil malaikat hari ini, tetapi siapa yang harus memimpin pesantrennya. Siapa? Kira-kira bocah berumur 12 tahun yang sekarang ini berada di medan perang. Tuhan memberi petunjuk bahwa Firdauslah pengganti yang tepat untuk memimpin Pesantren Wasiatur Rasuli, kata Kyai Mahfud. Dalam pengembaraannya mencari Fir, Kyai Mahfud harus berhadapan dengan Ratu Soba, pemimpin Kerajaan Jingga dan yang memimpin Pasukan Kemenangan, pasukan setan. Ratu Soba juga memaksa Fir untuk menggantikan kedudukannya sebagai putra mahkota kerajaan setan. Fir menolak permintaan Kyai Mahfud dan terbujuk Ratu Soba, Dalam perjuangan panjang, Fir sadar juga bahwa dia telah masuk perangkap Kerajaan Jingga yang seluruh pasukan berekor. Dalam sebuah peperangan Firdaus memerintahkan Yobim, ketua setan untuk membunuh semua orang berperang. Setelah melaksanakan tugasnya Yobim menghilang. Firdaus mencari-cari dan akhirnya menemukan Yobim sedang berdiri di atas bukit. Saat itulah Firdaus melihat ekor Yobim, kemudian ia menjadi terpaku dan akhirnya sadar mendapati dirinya juga telah memiliki ekor. Firdaus bertobat dengan memohon ampun agar Tuhan memotong ekornya. Akhirnya doanya dikabulkan Tuhan dengan mengirim burung pemakan bangkai lalu burung tersebut memakan ekor Firdaus. Arum kembali ke desa bersama kedua anaknya. Dia menceritakan kejadian yang dialaminya kepada semua orang dan wartawan-wartawan. Setelah besar kedua
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
anaknya berangkat ke medan perang. Ati dengan misi melacak kembali Malaikat Maut yang membawa jenazah ayahnya, Busro, sementara Argo berusaha bergabung dengam Pasukan Malaikat yang tidak kelihatan, entah bagaimana caranya. Arum kemudian diundang berceramah di kelas-kelas militer di seskoad, lemhanas, angkatan bersenjata, dan badan-badan intelijen. Juga ia memberi ilmunya di rumah sakit, perawat, lembaga pariwisata, dan universitas. Akan tetapi, ia tidak merasa puas, lalu di kamarnya ia menangis tersedu-sedu. Dia lelah, jengkel sebab berkali-kali ia mencari pencerahan, tetapi Tuhan belum memberikannya. Apa gunanya manusia dan apa gunanya Tuhan jika tidak mencari hal-hal yang terbaik.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
BAB V ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK ASMARALOKA
Berdasarkan inti penelitian dan teori strukturalisme genetik, peneliti melakukan analisis data dari sumber data novel Asmaraloka karya Danarto. Analisis data dilakukan dalam lima bagian. Pertama, analisis data yang berhubungan dengan struktur novel Asmaraloka karya Danarto dalam membentuk totalitas makna yang kelihatan melalui hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain maupun hubungan antara tokoh dengan lingkungannya sehingga terlihat problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh. Kedua, analisis data yang berhubungan dengan kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka. Ketiga, analisis data yang berhubungan dengan latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka. Keempat, analisis data yang berhubungan dengan pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka. Kelima, analisis proses mental yang terdapat dalam novel Asmaraloka. Kelima bagian analisis tersebut diuraikan berikut ini.
5.1 Struktur Novel Asmaraloka Karya Danarto yang Mencerminkan Problematika Tokoh Akibat Hubungan Antartokoh maupun Lingkungannya Novel Asmaraloka mempunyai tokoh Kyai Kadung Ora, Kyai Muhammad Mahfud, Firdaus Muhammad, Arum, dan Busro, Ati dan Argo, dan Ratu Soba. Selain
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
tokoh-tokoh tersebut, digambarkan pula oleh pengarang tokoh komandan sebagai representatif penguasa. Danarto juga menghidupkan tokoh-tokoh tumbuhan dan binatang sebagaimana manusia yang dapat berbicara. Masing-masing tokoh dalam kehidupan mereka saling berhubungan. Hubungan tersebut menimbulkan masalah sehingga masing-masing tokoh mengalami problematik. Problematik tokoh selain disebabkan oleh hubungannya dengan tokoh lain juga disebabkan oleh lingkungan tokoh dalam bentuk seting konflik atau perang. Bagian permulaan cerita, Arum mengalami problematik disebabkan kehilangan Busro, suami yang dicintainya. Arum selalu cemas, karena dia tidak pernah menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya, mengapa Busro yang harus dicabut nyawanya oleh malaikat pencabut nyawa pada saat dia sedang menikmati malam pertama pengantin. Arum belum dapat menyadari bahwa Tuhan memiliki otoritas dalam menghidupkan dan mematikan manusia. Kesedihan Arum begitu menjadi, selain malam pertama pengantin suaminya dicabut nyawanya, juga disebabkan jasad Busro dibawa pergi malaikat pencabut nyawa. Pertanyaan Arum, jika Tuhan hanya menghendaki mayat, di medan perang tentu lebih banyak mayat dan mengapa Busro yang harus menjadi pilihan-Nya. Ketidaktahuan takdir Tuhan yang menimpa dirinya membuat Arum bertanya kepada siapa pun yang dia jumpai. Pohon-pohon dihidupkan oleh Danarto sebagai perwujudan keyakinan Danarto bahwa setiap makhluk memiliki roh yang sama, roh Tuhan, sebagaimana roh manusia. Meskipun demikian, semua roh kehidupan tidak memiliki otoritas. Hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas dan mengetahui segalanya.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Hal ini kelihatan ketika Arum kehilangan jejak malaikat pencabut nyawa yang membawa jenazah Busro sebagaimana data berikut. “Wahai pohon trembesi. Saya minta maaf. Seharusnya tadi saya bertanya kepadamu. Ke mana kira-kira Malaikat tadi melarikan jenazah suami saya?” “Hanya Tuhan yang tahu,” jawab pohon trembesi (Danarto, 1999:11). Arum menyadari bahwa kemampuan dirinya amat terbatas. Kesadaran terhadap keterbatasan ini mengharuskan dirinya untuk berhubungan dengan Tuhan sebagai pemegang kekuasaan dan mahatahu segalanya. Arum untuk itu melakukan salat tahajut sebelas rakaat (Danarto, 1999:11) dan setiap dua rakaat salam. Sebenarnya, Arum menemukan jawaban dari Tuhan atas pertanyaan yang diajukan, tetapi jawaban pasti tak dapat dimengerti. Akibatnya Arum senantiasa dalam masalah. Atas kesediaan yang dialaminya ini, Arum harus berhubungan dengan tokoh Kyai Muhammad Mahfud. Tokoh Muhammad Mahfud sebagai representasi “orang pintar” atau waskita juga tidak dapat menyelesaikan masalah. Masalah Arum semakin bertambah karena dia berada dalam lingkungan perang, sehingga mau tidak mau dia harus terlibat dalam lingkungan tersebut. Problematika dalam hubungan dengan tokoh lain tidak hanya dialami oleh Arum. Tokoh Kyai Kadung Ora yang memimpin Pesantren Gabarullah juga menghadapi problem. Tokoh Kyai Kadung Ora menghadapi masalah ketika berhadapan dengan tokoh komandan yang merupakan representasi penguasa. Karena ajaran Kyai Kadung Ora dianggap membahayakan stabilitas pemerintahan, penguasa melalui lembaga kekuasaannya menutup Pesantren
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Gabarullah yang dipimpin Kyai Kadung Ora. Menurut pemerintah, ajaran Kyai Kadung Ora memfatwakan bahwa “manusia dengan sendirinya adalah Tuhan.” Kata sang kyai, “kita [manusia] merupakan kesatuan, satu tubuh, satu jiwa, sederajat [dengan Tuhan] (Danarto, 1999: 36). Keyakinan yang dianut oleh Kyai Kadung Ora sangat bertentangan dengan keyakinan masyarakat pada umumnya. Masyarakat meyakini bahwa Tuhan adalah pencipta manusia, sedangkan manusia adalah benda ciptaan. Terdapat perbedaan yang nyata antara pencipta dengan ciptaan. Sementara itu, Kyai Kadung Ora meyakini bahwa dalam benda ciptaan Tuhan terdapat sifat-sifat Tuhan yang dengan demikian antara ciptaan dan penciptanya memiliki persamaan sifat. Karena persamaan sifat ini, manusia yang berusaha secara terus-menerus meningkatkan sifat ketuhanan-Nya akan berhasil mampu dengan sendirinya menjadi “Tuhan” dalam sifat, meski secara zat berbeda. Perbedaan paham ini merupakan perbedaan antar paham syariat dengan makrifat. Pemerintah dan masyarakat masih memegang teguh syariat. Sementara itu, Kyai Kadung Ora telah mencapai maqom makrifat, meskipun sang kyai tidak berusaha mengajak pengikutnya untuk meyakini ajarannya. Menurut Kyai Kadung Ora, tidak semua orang sanggup “dengan sendirinya menjadi Tuhan”. Menurut dia, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Syarat pertama adalah ketertarikan yang kuat untuk memiliki kemampuan sehingga senantiasa dekat dengan Tuhan. Syarat kedua adalah petunjuk Tuhan sehingga hanya orang-orang tertentu yang sanggup mencapai maqom ini. Kyai Kadung Ora mengibarkan hal ini
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sebagaimana bayi secara otomatis sanggup menghisap puting susu ibunya, meski bayi tidak pernah belajar untuk itu. Naluriah yang ada pada diri bayi semata-mata petunjuk Tuhan (Danarto, 1999:39). Hal tersebut kelihatan juga pada keinginan Argo, putra Arum yang berkeinginan bergabung dengan pasukan malaikat. Sangat sulit manusia memasuki dimensi lain, dimensi alam gaib. Terhadap hal ini Danarto (1999:246) mengatakan bahwa kemampuan seperti itu (berhubungan dengan roh gaib) sebenarnya sebuah karunia dari Tuhan yang hanya jatuh kepada orang-orang pilihan. Agaknya kemampuan itu tak mungkin dipelajari. Kyai Kadung Ora sebagai pengejawantahan manusia yang makrifat yang seluruh gerak kehidupannya mutlak diserahkan kepada Allah dan Allah menjadikannya hamba terpilih dihadapkan pada benturan nilai-nilai yang telah melebur menjadi sifat-sifat ketuhanan, dengan sendirinya segala gerak kehidupannya adalah gerak takdir Tuhan, sehingga batas antara konsepsi budaya Jawa diistilahi sebagai orang yang ngerti saduruning winarih (sudah mengetahui sebelum kejadian) menghadapi masalah ketika harus berada di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas masih memegang garis tegas antara hamba dengan Tuhan. Sebenarnya ada semacam ketidaktahuan sang kyai terhadap kemampuan ajaib yang dimiliki, misalnya ketika di atas truk bersama tokoh Firdaus Muhammad keduanya tak terlihat oleh tentara (Danarto, 1999:41). Atas kemampuan ajaib Kyai Kadung Ora ini, tokoh Firdaus Muhammad memohon untuk diajari. Meski demikian, sang kyai tidak mampu memberikan jawaban yang pasti dan hanya memuji
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
keagungan nama Allah: Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar (Danarto, 1999:41). Dengan kemakrifatannya, Kyai Kadung Ora dalam novel ini digambarkan sebagai manusia hero. Dia penolong si lemah, tokoh Firdaus Muhammad dan Arum. Dia selalu dengan mudah berpindah dari tempat satu ke tempat lain dan selamat dalam kancah peperangan. Meski demikian, sebagai tokoh hero, Kyai Kadung Ora juga dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan sebagaimana pada umumnya. Hal ini terlihat ketika truk yang ditumpanginya bersama tokoh Firdaus Muhammad dihantam bom, keduanya juga nyaris celaka dan terjerembab dalam kubangan lumpur (Danarto, 1999:42). Atas kejadian ini, Firdaus Muhammad menyalahkan tokoh Kyai Kadung Ora. Hal tersebut dapat dibaca pada kutipan berikut. “Kyai seharusnya bisa menangkis bom hingga tidak perlu truk ini berantakan dan kita jadi tidak karuan seperti ini” “Firdaus, Kamu pikir saya ini apa?” “Allah Yang Maha Kuasa.” “Astagfirullah al-azhim.” “Jangan berlagak, Kyai!” “Apa yang saya lagakkan, Fir ? Ha Ha,” “Kyai berlagak bego tidak tahu bom mau jatuh. Kyai berpura-pura dengan menjadi manusia biasa hingga perlu ikut terlempar ke dalam kubangan lumpur sialan ini, supaya punya rasa solider dengan anak kecil ingusan ini.” (Danarto, 1999:41—42). Memahami isi pernyataan pada kutipan tersebut menggambarkan bahwa dalam hidup Kyai Kadung Ora menganut falsafah Jawa, yakni urip mung sadermo nglakoni. Artinya, dalam kehidupan manusia harus menjalankan takdir Tuhan, sebab Tuhanlah yang memiliki kekuasaan mutlak membuat hambanya selamat atau celaka. Memang Kyai Kadung Ora mempunyai kemampuan ngerti saduruning winarah
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
(sudah mengerti sebelum kejadian), sebenarnya kemampuannya itu berasal dari Tuhan. Kyai Kadung Ora dalam pewujudan manusia hanyalah wadah yang seluruh mekanisme gerak kehidupannya disandarkan sepenuhnya kepada Allah. Karena hanya sebagai wadah, maka apa pun yang dilakukan tidak lain adalah tindakan Tuhan. Tentang hal itu dia mengatakan bahwa “Saya ingatkan lagi. Kita tidak menjadi Tuhan. Tetapi dengan sendirinya kita ini Tuhan. Itulah masih dalam batas-batas manusiawi. Artinya, kita merupakan kesatuan, satu tubuh, satu jiwa, sederajat.” Itulah yang disebut sebagai tirani pikiran, Kyai. Itulah yang saya sebut sebagai telah membuat kerusakan, Kyai.” (Danarto, 1999:36).
Ada sesuatu yang sukar untuk dipelajari jalan pikiran tokoh Kyai Kadung Ora oleh penguasa sehingga kyai dianggap mengajarkan ajaran sesat, karena ia menuhankan dirinya sendiri. Esensi cara berpikir kyai sebenarnya ada pada nilai kepasrahan manusia kepada Tuhan. Apabila manusia sudah pasrah tentang sesuatu, maka segala urusan disahkannya kepada Tuhan. Yang menentukan segala sesuatu. Jika hal ini yang berlaku dan terjadi dalam diri seseorang, maka itu semuanya diserahkan kepada Tuhan untuk menentukan semuanya. Jika ini yang dialami manusia.Tetapi, jika hal ini yang berlaku, maka apa pun yang terjadi dalam diri seseorang pada hakikatnya adalah kehendak Tuhan, sehingga tindakan-tindakan manusia tersebut merupakan manifestasi tindakan Tuhan. Dengan sendirinya, manusia adalah Tuhan. Sementara itu, pemerintah sebagaimana representase jalan pikiran pada umumnya masih memegang hukum perbedaan zat antara hamba dan pembuat hamba, Tuhan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Konsekuensi perbedaan pendapat tersebut, pemerintah menutup Pesantren Gabaarullah yang dipimpin Kyai Kadung Ora. Atas masalah yang dihadapi ini, sang kyai hanya ikhlas menerima tindakan pemerintah. Kyai Kadung Ora sebagai manusia makrifat sabar menerima terhadap takdir apa pun yang menimpa dirinya, termasuk penutupan pesantrennya. Demikian juga dengan permasalahan yang dialami oleh tokoh Kyai Mahfud, pemimpin Pesantren Wasiyatur Rasuli. Masalah terjadi karena ketika malaikat pencabut nyawa siap mematikan sang kyai, belum ada seseorang pengganti memimpin pesantren. Kyai Mahfud sebagaimana Kyai Kadung Ora memasrahkan seluruh kehidupannya kepada Allah. Hal ini tergambar pada adegan ketika malaikat pencabut nyawa mendatanginya, dengan ikhlas sang kyai memasrahkan seluruh jiwa dan raganya untuk kembali kepada Allah. Tentang hal ini dapat dibaca pada kutipan berikut. “Allahu Akbar,” gumam Kyai sesaat, lalu menyambutnya: “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, wahai Malaikat Maut.” “Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh, Kyai Muhammad Mahfud,” jawab Malaikat Maut. “Apakah Anda datang menjemput saya saat ini juga?” “Begitulah yang tertulis.” Insya Allah saya siap untuk berangkat bersama Anda.” “Kyai sudah siap, allhamdulillah.” “Bawalah saya.” “Saya perlu mencek dulu dengan kawasan pemerintahan Kyai.” “Silakan.” Lalu Malaikat itu membaringkan Kyai di tempat tidur. Membuatnya melepaskan seluruh kawasan kekuasaannya, suatu kawasan yang bertebar di seluruh tubuhnya. Kyai tetap sadar namun sudah tak memiliki kekuasaan lagi. “Apakah orang ini sudah siap untuk dicabut nyawanya?” tanya Malaikat maut. “Sudah siap,” kata mata, telinga, dan kulit bersamaan (Danarto, 1999:89--90).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Saat malaikat hendak mencabut nyawa sang kyai, mata, telinga, dan kulit Kyai Mahfud mengajukan usul menunda kematian sang kyai karena belum ditemukan pengganti kyai untuk meneruskan memimpin Pesantren Wasiyatur Rasuli. Inilah awal problem yang dihadapi sang kyai, karena Firdaus Muhammad sebagai pengganti tidak mau kembali ke pesantren. Dalam medan perang Firdaus Muhammad juga dibujuk oleh tokoh Ratu Soba untuk meneruskan memimpin Kerajaan Jingga. Kerajaan Jingga yang di dalamnya terdiri atas pasukan perempuan tersebut digambarkan sebagai representase kerajaan setan yang selalu menang dalam peperangan (Danarto,1999:100). Kyai menghadapi kesulitan ketika menghadapi Ratu Soba. Wanita pemimpin Pasukan Kemenangan yang selalu berseragam jingga ini melakukan banyak kelicikan apabila berhadapan dengan Kyai Mahfud. Perempuan itu mengaku bahwa Firdaus Muhammad adalah putranya dan merasa berterima kasih jika Firdaus Muhammad diangkat Kyai Mahfud untuk meneruskan memimpin pesantren Wasiyatur Rasuli. Meski kelihatan lugu dan selalu menyebut nama Allah, dan menawarkan pengawalan terhadap sang kyai selama di medan perang. Ratu Soba sebenarnya mempunyai tujuan akhir untuk membujuk Kyai Mahfud dan Firdaus Muhammad untuk masuk pada perangkapnya, kerajaan setan. Hal itu menunjukkan bahwa kejahatan, setan, memiliki banyak cara untuk menaklukkan kebaikan. Kejahatan terlihat baik dari permukaan. Cara-cara kejahatan memerangi
kebaikan adalah dengan tipu daya
sebagaimana yang dilakukan Ratu soba, setan, kepada Kyai Muhammad Mahfud adalah kebaikan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Menghadapi kelicikan Ratu Soba dengan enam pasukan setan pengawal yang dikirim untuk mengawasinya, Kyai Mahfud senantiasa memasrahkan nasibnya dengan cara selalu menyebut nama Allah. Dia dalam keadaan tidur pun berzikir (Danarto, 1999:102). Selalu menyebut nama Allah untuk selalu ingat kepada-Nya merupakan senjata bagi tokoh Kyai Mahfud dalam menghadapi problem hidup yang mereka hadapi. Rasa pasrah kepada Tuhan memang biasanya timbul setelah menyadari betapa manusia sangat terbatas dalam semua hal. Rasa tak berdaya menimbulkan kebergantungan kepada Tuhan. Keadaan semacam ini mendorong kesadaran seseorang sebagai ‘manusia yang memperoleh perlindungan dari Tuhan’. Oleh karena itu, tipu daya setan hanya dapat dilawan dengan pertolongan Tuhan. Hal demikian dapat dibaca pada kutipan berikut ini. Dalam perangkap setan dan keterbatasan kemanusiannya, Kyai Mahfud berdoa: sungguh Allah mengetahui segala yang gaib di langit dan bumi. Sungguh ia mengetahui segala yang ada di hati manusia. Sungguh pencipta segalanya, Engkau hanya berucap kun fayakun (Danarto, 1999:98). Kewaspadaan seseorang terhadap rasa khawatir dapat dilakukan dengan cara mempertahankan keadaan psikis senantiasa dalam perlindungan Tuhan. Hubungan secara kontiniu seseorang dengan Tuhan melalui doa, penyucian diri dapat mengatasi rasa tak aman atas tipu daya dari pihak lain. Fenomena intensitas ritual ini terlihat juga dilakukan Kyai Mahfud untuk mengatasi tipu daya yang terus-menerus dilakukan oleh ratu Soba. Kyai menempuh perjalanannya sangat hati-hati supaya
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
tidak masuk perangkap setan lagi. Ia bahkan dalam keadaan tidur pun berzikir (ingat Allah). Gambaran seperti ini dapat dibaca dan dihayati pada kutipan berikut. Kyai lalu mematahkan ranting dan melemparkannya ke bawah. Mendadak hamparan dataran beludru jingga yang dijatuhi ranting itu meledak lalu berubah jadi tungku api yang menyala-nyala. Kobaran apinya ganas berusaha menjilat-jilat kaki Kyai. Kyai lalu melaksanakan salat dua raka’at di atas cabang pohon itu, setelah tayamum dengan mengoleskan tangan pada barik-barik dahannya. Lalu disambungnya dengan berzikir yang merambah cepat menyebar memenuhi dataran hijau yang sebenarnya, memanggilmanggil belas kasih Yang Paling Penyayang (Danarto, 1999:94). Zikir (ingat Allah) merupakan media terbaik dalam mengatasi persoalan hidup. Zikir dan salat para tokoh dalam menghadapi kesulitan banyak tegambar dalam novel ini. Ketika Kyai Mahfud didatangi malaikat maut untuk dicabut nyawanya, dia juga minta petunjuk Allah dengan melakukan salat. Ketika berada dalam situasi perang pun, Kyai Mahfud juga melakukan salat (Danarto, 1999:97) agar senantiasa memperoleh perlindungan Allah. Salat selalu dijadikan senjata oleh tokoh Kyai, Fir, dan Arum dalam upaya mencari keselamatan di tengah lingkungan medan perang. Dalam keadaan darurat apa pun, tokoh-tokoh hero tersebut selalu menyebut nama Allah dan salat. Ketika berada di atas pohon untuk bersembunyi dalam kejaran Ratu Soba dalam kancah peperangan, Firdaus Muhammad juga melakukan salat (Danarto, 1999:109), yang mungkin secara realitas tidak mungkin salat dilakukan di atas dahan pohon. Penggambaran tokoh dalam Asmaraloka tersebut adalah tokoh-tokoh hero, tokoh yang kuat, dalam menghadapi persoalan hidup. Seting perang menandakan sebuah kekerasan, kekejaman, dan situasi ancaman. Meski dalam situasi demikian,
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
tokoh-tokoh novel Asmaraloka memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan mempertahankan hidup. Tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami goncangan jiwa, karena jiwa mereka telah dipasrahkan Tuhan. Penerimaan terhadap takdir membuat tokoh-tokoh tersebut memandang perang sebagai hal yang biasa. Lingkungan bisa saja menimbulkan masalah, tetapi menurut Brown (dalam Rakhmad, 2000:30), yang otoritas menentukan ada-tidaknya masalah pada diri seseorang adalah diri orang yang bersangkutan. Sejalan dengan pernyataan tersebut tokoh Kyai Kadung Ora, misalnya, tidak memiliki sikap putus asa dalam mengahadapi kesulitan hidup. Tokoh kyai dalam novel Asmaraloka tersebut memiliki karakter yang memiliki teguh pendirian. Kyai Kadung Ora tak putus keyakinannya bahwa “manusia dengan sendirinya Tuhan” meskipun keyakinan tersebut oleh pemerintah dianggap merusak pikiran masyarakat sehingga pesantren kyai harus ditutup. Kegigihan memperjuangkan keyakinan dilakukan Kyai Kadung Ora justru dengan mengembara dari tempat satu ke tempat lain, dari mesjid ke mesjid lain. Tindakan ini bukan bermaksud menyebarkan ajaran, tetapi orang lain yang berusaha memperoleh ajaran Kyai Kadung Ora. Kyai Kadung Ora memiliki kharismatik sehingga kyai semakin disenangi oleh pengikut, meski hanya mengajarkan berzikir menyebut nama Allah. Masalah juga dihadapi tokoh Firdaus Muhammad dalam hubungannya dengan tokoh Ratu Soba yang penuh tipu daya, karena Fir dalam ketidakpastian menuruti kata-kata Kyai Mahfud untuk meneruskan memimpin Pesantren Wasiyatur Rasuli. Hal ini disebabkan oleh hubungan tokoh Fir dengan tokoh Ratu Soba. Ratu Soba
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
dengan segala kelicikannya, dalam bentuk mengaku sebagai ibu Fir dan selalu menyebut nama Allah dengan tujuan dia terhindar dari tuduhan sebagai pemimpin pasukan setan, selalu mempengaruhi pemikiran Fir untuk tetap tinggal di istana Jingga dan kelak bersedia memimpin kerajaan ini. Fir merasa sadar ketika di tubuhnya didapatinya tumbuh ekor sebagaimana penghuni kerajaan Jingga yang lain sebagai tanda pasukan setan. Tanda “ekor” mengingatkan pada wujud binatang. Binatang dan manusia sama-sama makhluk Tuhan. Manusia diberi akal dan nafsu, sementara itu binatang hanya diberi nafsu. Jika manusia mengesampingkan akal dan hanya menuruti nafsu, maka secara esensial derajat manusia turun menjadi derajat binatang. Dalam perangkap kerajaan setan dan bujukan Ratu Soba, Fir menyadari betapa penting kehadiran Kyai Mahfud dan Kyai Ora dalam kehidupannya. Fir baru menyadari betapa kedua kyai tersebut adalah pribadi yang agung sanggup memberi penerangan ke jalan Tuhan. Tergambar bahwa dalam kehidupan yang penuh cobaan, tipu daya, kesenangan sesaat, kehadiran kyai sebagai penyampai ajaran Allah sangat diperlukan. Dalam keadaan sedih Fir di atas sajadahnya (tikar sembahyangnya) berdoa demikian: Demi bintang-bintang yang lepas pesat. Demi bintang-bintang yang giat cepat. Demi bintang-bintang yang beredar lancar. Demi bintang-bintang
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
yang berlomba-lomba. Dan demi pengemudi yang mengatur urusan Pada hari tiupan yang pertama menghancurkan alam Disusul tiupan oleh tiupan berikutnya yang membangkitkan alam. Hati orang hari itu Berdebar-debar. Mata orang merunduk ke bawah. Mereka bertanya, “Apakah kami akan dikembalikan pada keadaan kami semula. Setelah kami jadi tulang-belulang membusuk?” (Danarto,1999:203—204). Doa Fir tersebut menunjukkan penyesuaian Fir sebagaimana penyesalan orang yang telah dimatikan Allah.Tidak ada kesempatan berbuat baik manakala kematian telah tiba. Dengan demikian kesadaran untuk selalu “ingat” kepada Allah akan menuntun seseorang untuk tidak terjerembab pada bujuk rayu setan. Bujuk rayu setan sebagai interpretasi kejahatan hanya dapat diatasi dengan senantiasa ingat kepada Allah. Problematika tokoh-tokoh novel Asmaraloka dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan peristiwa konflik, peperangan yang terjadi di waktu proses penciptaan karya tersebut. Hal ini merupakan cermin problematik masyarakat Indonesia dalam situasi konflik, peperangan antarkelompok sosial menjelang dan pascatumbangnya pemerintahan Orde Baru. Hampir di seluruh tanah air muncul konflik. Gambaran problematika tokoh dalam struktur teks novel dapat dijelaskan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sesuai dengan keadaan realita kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana terdapat pada tabel berikut. Tabel 1. Gambaran Problematika Tokoh dan Tema Tokoh Dan Tema
Problem Dalam Struktur Teks
Realita Sosial Dalam Masyarakat Indonesia
1
2
3
Tokoh Arum
Hilangnya suaminya, Busro di malam pertama perkawinan mereka. Kesulitan hidup dalam membesarkan anak-anaknya pada situasi perang akibat konflik antarkelompok sosial.
Masyarakat Indonesia di daerah konflik seperti Aceh, Ambon, Kalimantan, dan Irian (sekarang Papua) mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan karena mereka senantiasa pada konflik.
Tokoh Kyai Penutupan pesantrennya oleh Kadung Ora pemerintah melalui tokoh komandan karena dianggap membahayakan stabilitas keamanan dan ketahanan masyarakat, bangsa.
Upaya represif pengusaha Orde Baru melalui organ kekuasaan militer misalnya, dalam “membrangus” pesantren yang diduga mengajarkan garis keras dan dianggap membahayakan stabilitas kekuasaan pejabat, penguasa.
Tokoh Kyai Kesedihan kyai karena belum Mahfud menemukan calon pengganti memimpin pesantrennya sementara dia harus menghadap Tuhan karena setiap manusia harus menghadapi kematian.
Masyarakat Indonesia senantiasa dihadapkan pada krisis kepemimpinan setiap terjadi pergantian kepemimpinan nasional relatif terjadi konflik horizontal. Masyarakat Indonesia senantiasa mendambakan pemimpin yang ideal, adil, dan bijaksana.
Tokoh Firdaus Muhammad
Para profokator perang antarkelompok sosial cenderung mengemukakan argumentasi yang rasional dan terlihat baik, walaupun tujuan akhirnya adalah membuat kerusakan. Kejahatan dalam upaya mempengaruhi kebaikan menggunakan cara-cara sugesti tipu daya.
Kesulitan menghadapi tipu daya kelicikan tokoh Ratu Soba yang seakan-akan peperangan baik situasi perang meskipun sesungguhnya Ratu Soba adalah simbol kejahatan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Lanjutan tabel 1 Tema
Perang “Fatamorgana”
Konflik,perang atau permusuhan antarkelompok sosial-suku,agama, golongan di Indoesia yang terjadi tahun 1998 karena kebijakan pemerintah status quo yang tidak menerima aspirasi rakyat, penguasaan sumber produksi daerah, dan upaya-upaya rekayasa.
Berdasarkan penjabaran tersebut, terlihat bahwa problem tokoh novel Asmaraloka menggambarkan realita yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Dalam menghadapi masalah tokoh-tokoh novel Asmaraloka melakukan penyerahan sepenuhnya kepada otoritas Tuhan. Kyai Kadung Ora setelah pesantrennya ditutup menerima begitu saja otoriter pemerintah dengan jalan terus berzikir. Kyai juga berkelana ke medan perang sebagai wujud kepeduliannya kepada problem sosial yang dihadapi masyarakat. Kyai sangat ikhlas dalam hidupnya. Dia ikhlas dibunuh komandan meskipun sang kyai berkesempatan membunuh terlebih dahulu. Bagi Kyai Kadung Ora, hidup dan mati tidak ada bedanya, karena roh akan kekal selamanya. Hal tersebut terlihat meskipun sang kyai telah terbunuh, dia tetap memberikan wejangan-wejangan atau pertolongan kepada tokoh Firdaus Muhammad dan Arum. Salat dan zikir merupakan jalan keluar yang dilakukan para tokoh novel dalam menyelesaikan masalah. Tokoh Kyai Mahfud dalam menghadapi masalah lebih banyak melakukan salat sebagaimana tokoh Kyai Kadung Ora, Arum, dan Firdaus Muhammad. Salat merupakan bentuk ritual untuk selalu menyebut nama Allah. Tokoh-tokoh pada novel Asmaraloka terlihat senantiasa menyebut: Subhanallah,
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Allah Huakbar, Alhamdulillah, Astagfirullah yang merupakan bentuk pengagungan nama Allah, syukur, dan permohonan ampunan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi problem tokoh-tokoh novel Asmaraloka lebih banyak menyadarkan problem yang dihadapi kepada Tuhan. Jiwa pasrah dan menerima takdir Tuhan yang menimpanya terlihat pada pribadi masing-masing tokoh. Tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut dalam bentuk zikir dan salat. Zikir yang banyak dilafalkan para tokoh tersebut adalah Subhanallah, Alhamdulillah, Allah Huakbar, dan Astagfirullah. Sementara itu, salat yang terlihat dilakukan tokoh-tokoh tersebut adalah salat duha, salat istihkarah, salat tahajud, dan salat subuh.
5.2 Kehidupan Sosial Pengarang Danarto yang Berhubungan dengan Novel Asmaraloka Danarto sebagai pribadi tidak terlepas dari lingkungan sosialnya. Kepribadian Danarto dengan demikian dibentuk dan membentuk lingkungan sosialnya. Danarto yang menyukai kehidupan mistik Jawa tidak terlepas dari pengaruh keluarganya. Bapak-ibunya terbiasa melakukan laku mistik yang kemudian diwariskan kepada pribadi Danarto karena ia memiliki bakat untuk itu (Prihatmi, 1989:156). Selain pengaruh keluarga, Danarto menganggap pelukis Rustamadji sebagai guru dalam bidang mistik. Salah satu pemikiran mendasar Rustamadji yang juga dianut Danarto adalah pemikirannya tentang hakikat kehidupan. Pertanyaan yang dimunculkan adalah “mengapa dunia ini ada”, dan “apakah ada itu sebenarnya”.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
“Ada” bagi Rustamadji hanya “hukum” yang semata-mata bergantung pada “yang menghukum”, yaitu Tuhan. Karena itu, ke sanalah manusia harus menuju dengan jalan pasrah (Prihatmi, 1989:157—158). Sebagai
pribadi
yang
berprinsip
pasrah
dalam
hidupnya,
Danarto
mengekspresikannnya dalam novel Asmaraloka. Kultur sosial yanng dibentuk oleh keluarga dengan memegang tradisi Jawa dengan prinsip ngeli ibarat air yang mengalir digambarkan Danarto melalui tokoh-tokoh ciptaannya dalam novel Asmaraloka. Danarto melalui tokoh ciptaannya berusaha memberi jalan keluar pada keadaan sosial yang terjadi. Sebagai pribadi yang memasrahkan kehidupannya kepada Tuhan, ada semacam keprihatinan pada diri Danarto tatkala menyaksikan pertentangan antargolongan di Indonesia yang terjadi pada tahun 1989. Keadaan sosial yang demikian dikatakannya sebagai “perang fatamorgana”, perang yang tidak sesungguhnya disebabkan pelaku perang bukanlah dari dua pasukan yang berbeda, tetapi pelaku perang tersebut masih satu saudara, kelompok sosial yang sama-sama hidup dalam satu negara, yaitu negara Indonesia. Bagi Danarto, hal ini merupakan ironi karena itu dia menyebutnya dengan istilah “perang fatamorgana”. Demikian pengamatan sosial yang dilihat Danarto. Ia lalu melacak sejarah. Pikirannya terbang jauh kembali ke belakang, seperti helikopter yang diam di awan lalu meneropong ke bawah, mengkaji jalannya peperangan. Bala tentara yang bermusuhan dengan bala prajurit sebenarnya satu bangsa. Mereka tinggal di satu negara yang tidak dipisahkan apa pun. Tetapi, begitulah kebijaksanaan sejarah. Perang hanya pecah oleh sesama saudara. Mula-mula hanya percekcokan biasa, lalu timbul
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
perbedaan pendapat. Ketika muncul seorang pakar ekonomi yang menguraikan tentang tersedotnya kekayaan daerah ke pusat pemerintahan, hingga daerah yang kaya itu hanya mewariskan kemiskinan bagi warganya, nah, dari sinilah bibit perang itu tumbuh. Berkembanglah menjadi perang antarsuku, antaragama, antarras, antargolongan. Bendera-bendera bulan bintang, salib, obor, cakra, dan tanda-tanda gambar agama dalam panji berkibar-kibar di seantero medan perang. Bahkan Pasukan Malaikat pun menebah dari langit (Danarto, 1999:96). Memandang hasil imajinasi dan buah pikiran Danarto tersebut sangat disayangkan perang terjadi. Persoalan kecil, seperti perbedaan pendapat dan komentar pakar ekonomi dapat menyulut peristiwa yang lebih tragis. Meski demikian, Danarto menyebut peristiwa ini sebagai “kebijaksanaan sejarah”. Artinya, memahami perjalanan peristiwa dari waktu ke waktu selama pemerintahan Indonesia terbentuk banyak hal yang tidak sesuai teori dengan kenyataannya. Secara teoretis didengar cukup baik, tetapi dalam praktiknya jelas kontradiksi. Banyak terjadi peristiwa KKN di berbagai bidang, misalnya bidang ekonomi, pendidikan, hukum, ketenagakerjaan, kesehatan, dan sebagainya. Mengingat hal seperti inilah masyarakat tidak senang, sehingga ada orang yang sedikit saja menyulutnya, akan terjadi gerakan. Gerakan ini akan menimbulkan, konflik atau perang yang diakhiri dengan kekacauan. Danarto dalam lingkup sosialnya dikenal sebagai orang Jawa yang menggemari mistik. Diakuinya dia memiliki bakat tersebut karena ajaran dari orang tuanya. Kemampuan yang dimilikinya tersebut dipadukan dengan kecenderungannya mempelajari ajaran buku-buku sufi karangan Hamka karena Danarto adalah pemeluk agama Islam.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Kultur sosial perpaduan mistik Jawa, kejawen, dan sufistik Islam terlihat dalam novel Asmaraloka. Islam mengajarkan segala perbuatan yang diperbuat oleh seseorang akan membawa konsekuensi tanggung jawab pada manusia yang bersangkutan. Sekecil apa pun perbuatan manusia akan diperhitungkan oleh Allah di hari perhitungan nanti. Hal ini diyakini oleh Danarto sebagai seorang muslim. Melalui ucapan tokoh Kyai Kadung Ora, Danarto berkata: “Setiap manusia memikul tanggung jawab perbuatan yang dikerjakannya” (Danarto, 1999:168). Keyakinan hidup yang demikian diperjuangkan oleh Danarto dalam menghadapi kelompok sosial penguasa maupun kelompok sosial lain yang mudah melakukan permusuhan. Danarto melalui novelnya, mencoba memperjuangkan nilainilai yang dia yakini sebagai nilai-nilai yang sanggup mengatasi keruwetan berbangsa. Disadari bahwa semua penguasa hanyalah manifestasi penindasan terhadap rakyat. Disadari pula masing-masing suku, agama, golongan melakukan pembenaran diri sendiri. Akibatnya adalah masyarakat telah kehilangan kehidupan yang damai. Yang ada hanya “peperangan” karena egoisme masing-masing kelompok sosial. Egoisme ini didorong oleh semangat hidup pamrih dengan tujuan demi kelompok masing-masing. Sebagai etnis Jawa, Danarto mempunyai pendirian bahwa ketulusan hati merupakan perbuatan baik. Kerusakan pahala perbuatan baik seseorang, menurut budaya Jawa disebabkan adakalanya rasa “pamrih”. Kebatinan Jawa mengajarkan bahwa pertolongan yang diberikan orang lain harus ikhlas, tidak karena “pamrih”
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
atau mengharap sesuatu dari orang yang ditolong. Semangat tanpa pamrih ini terlihat pada data ucapan tokoh Kyai Kadung Ora berikut ini. .... Saya terjun ke dalamnya perang tidak pamrih untuk menghentikannya karena di samping saya tidak mungkin mampu, proses ini tak mungkin distop karena sudah berada pada alur yang tepat: menuju Takdir. Masya Allah. Alur yang tepat yang dikehendaki para jenderal status quo, panglima dari kemampuan pikiran, komandan dari mau menang sendiri dan terus-menerus ingin, direktur dari agen tunggal kebenaran (Danarto, 1999:117). Kelihatannya Danarto tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi takdir. Inilah bentuk perwujudan pandangan hidup ngeli yang dianutya. Tetapi secara kritis Danarto mempertanyakan apakah “perang merupakan takdir Tuhan?” atau kehendak penguasa demi status quo? Secara tersurat Danarto tidak menyetujui pola pembenaran tunggal yang dilakukan pemerintah. Pada masa Orde Baru berkuasa, keseragaman sebagai bentuk pembenaran tunggal yang dibuat oleh penguasa terlihat dominan. Tidak ada ruang berpendapat secara bebas oleh publik atau masyarakat. Pola-pola otoriter yang dilakukan militer sebagai alat kekuasaan menyebabkan penguasa seakan-akan sebagai agen tunggal kebenaran. Akibatnya, ketika penguasa tidak memiliki kewibawaan, semua masyarakat bebas mengemukakan pendapatnya karena kebebasan mengeluarkan pendapat mereka sebelumnya tersumbat. Yang terjadi kemudian, masing-masing pihak merasa benar pendapatnya sehingga rentan terjadi konflik antargolongan. Namun, akibat fatalnya konflik maka “peperangan” atau “konflik” antargolongan.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
terjadi
Masalah seperti inilah keprihatinan Danarto tentang masyarakat Indonesia, masyarakat yang rentan konflik. Karena itu, Danarto memberi jalan keluar. Jalan keluar yang ditawarkan adalah kembali memahami agama serta menghayati, mengamalkan, dan menjalankannya secara hakikat. Dengan menjalankan nilai-nilai keagamaan, beribadah, dan saling mengasihi, maka manusia satu dengan lainnya akan bertindak dengan baik dan benar. Demikian kata Danarto: “Hal yang paling mungkin kita kerjakan kemudian, hanyalah kita kembali kepada kemampuan doa.” “Agama, sebagai hasil akhir pengujian peradaban, duduk pada deretan terdepan yang sedikit masih bisa diharapkan, karena ekonomi mampus, politik tewas, dan sosial koit. Hanya agama yang masih bisa bernafas, meski megap-megap. Agama diam-diam memiliki senjata pamungkas untuk menaklukkan hati kita yang membantu sehingga detik-detik akhir napas kita, kita tidak bejat, tidak jadi bajingan, dan tidak jadi penghianat Pidato ini sendiri digerakkan oleh sisa-sisa napas itu.” (Danarto, 1999:117— 118).
Konsep pembenaran terhadap semua agama secara hakikat tersebut sejalan dengan pemikiran Bowman (dalam Cassirer, 1990:111) bahwa “cita-cita etis dari berbagai religi boleh saja amat berlainan, sehingga satu sama lain jarang dapat religuis mempunyai bentuk tertentu, pemikiran religius mempunyai kesatuan di dalamnya. Simbol-simbol religius berubah-ubah, namun prinsip yang mendasarinya, yakni kegiatan simbolis, tetap sama”. Dalam bahasa lain, dikatakan bahwa hakikat semua agama sama sehingga Danarto melalui tokoh burung nazar memproklamasikan pernyataan: “satu agama untuk satu orang”. Tentang uraian tersebut dapat diperjelas oleh Danarto seperti berikut ini.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
“Aku proklamasikan: Satu agama untuk setiap orang!”Kembali ribuan burung pemakan bangkai itu bersorak riuh-ramai. (Danarto, 1999:119). Meskipun Danarto secara syariat beragama Islam, secara hakikat Danarto tidak membedakan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Jika secara hakikat agama dilaksanakan dengan benar, menurut Danarto, kehidupan akan damai. Bagi Danarto, semua agama mengajarkan konsep rahmatan lil alamin, agama diturunkan Tuhan untuk membuat kesejahteraan makhluk semesta. Hal seperti itu Danarto mengatakan berikut ini. Jika agama kalian merupakan rahmat bagi alam semesta, kalian bisa menggunakannya... untuk mensejahterakan orang lain. Jika orang lain selamat, selamatlah alam semesta. ...keselamatan alam semesta dengan mengantongi sendiri agama diri sendiri. Islam, katholik, Protestan, Hindu, Budha, Yahudi, Konghucu, Kebatinan, Sufisme, dan lain-lain hanyalah agama dari hakikatnya Yang Esa. Fiman Tuhan: Sungguh, agama, kamu itu saja (Danarto, 1999:118). Jiwa sabar sebagai ciri seorang sufi terlihat pada diri Danarto melalui tokoh Kyai Kadung Ora. Struktur naratif yang mendeskripsikan ketika Kyai Ora dituduh Fir harus ikut bertanggung jawab terhadap konflik, perang yang terjadi karena Fir menganggap sang kyai seorang waskita, Kyai Kadung Ora hanya mengucapkan Subhanallah, Allah Huakbar, Alhamdulillah (Danarto, 1999:169). Danarto sebagai pribadi muslim terlihat selalu sabar dan semua hal dikembalikan kepada Allah dengan cara selalu berzikir kepada-Nya. Meskipun memiliki bakat mistik, waskita, Danarto bukan menganggap dirinya lebih di hadapan manusia lain. Selain dia meyakini hidup ini “proses”, Danarto meyakini bahwa hidup ini sebenarnya terletak pada orientasi. Demikian kata Danarto
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
melalui Kyai Kadung Ora, “Tidak ada orang yang sakti itu. Semua orang sama saja. Yang berbeda hanyalah kadar perhatiannya terhadap sesuatu hal. Nah, dari sini sebenarnya semua orang punya peluang yang sama.” (Danarto, 1999:168). Ada satu tujuan yang diinginkan Danarto dalam hidup ini. Tujuan itu adalah keinginan memperoleh pencerahan Tuhan. Pencerahan dalam konteks ini dapat diartikan sebagai akhir hidup yang penuh petunjuk Tuhan, mati khusnul khotimah. Kelelahan hidup Danarto dalam melihat kerusuhan antargolongan di negaranya dapat diinterpretasikan kelelahan kehidupan tokoh Arum seperti data di bawah ini. Hari-hari Arum bersama kedua anaknya. Hari-hari Fir. Hari-hari Kyai Mahfud. Hari-hari Kyai Ora. Hari-hari pasukan kemenangan. Hari-hari Pasukan Malaikat. Hari-hari Pasukan Kloning. Hari-hari para wartawan perang. Menjadi satu pusaran. Menjadi urat nadi peperangan. Menjadi sejarah panjang... (Danarto,1999: 247). Danarto yang secara kultur memadukan filosofi Jawa dan tasawuf Islam tersebut ibarat orang berjalan masih dalam “taraf menuju”. Tujuan dapat menyatu dengan Tuhannya sangat diimpikan. Danarto memiliki satu tujuan agar dalam kematiannya telah memperoleh “pencerahan” atau petunjuk dari Allah. Kerinduan mati yang indah agaknya diimpikannnya. Dalam kata pengantarnya yang berisi ucapan terima kasih kepada puluhan orang penting di Indonesia, Ia menuliskan dalam novelnya, “Bagaimana kalau tiba-tiba Danarto mati?” (Danarto, 1999:xi). Pernyataan ini menyampaikan makna bahwa dalam diri Danarto ada rasa pasrah menerima kematian. Meskipun ada kepasrahan, Danarto melalui tokoh Arum menunjukkan betapa mati
yang
indah
bukanlah
mudah
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
dilakukan.
Kegelisahan
Arum
dapat
diinterpretasikan kegelisahan Danarto dalam menemukan Tuhan. Demikian yang dirasakan Arum mengenai pencerahan tersebut. Hal demikian tergambar dalam kutipan berikut. Di kamarnya Arum menangis tersedu-sedu. Dia lelah. Dia jengkel. Berkali-kali ia memohon pencerahan sebelum mati, namun tidak secerah cahaya yang diharapkannya itu. Tuhan pelit? Nah, lagi-lagi Tuhan disalahkan. Kenapa mesti pencerahan? Kenapa tidak mencari hal-hal yang biasa saja. Ayolah berlakulah rendah hati, seperti mahluk yang tahu diri. Tapi apa salahnya Arum mencari kebahagiaan lewat pencerahan? Apa gunanya manusia dan apa gunanya Tuhan jika mencari hal-hal yang terbaik (Danarto, 1999:247). Berdasarkan analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sosiologis Danarto dalam novel Asmaraloka berusaha memperjuangkan nilai-nilai sosial yang dianutnya. Nilai-nilai yang diperjuangkan Danarto adalah nilai hidup pasrah, sabar, menyucikan hati, dan semangat membuat kesejahtraan alam semesta. Nilai-nilai suci itu diharapkan mampu mengantarkan seseorang untuk memperoleh pencerahan Tuhan, meskipun diberi-tidaknya pencerahan adalah kewenangan mutlak Tuhan. Nilai-nilai itulah yang ditawarkan Danarto untuk mengatasi penguasa yang lalim serta kultur masyarakat Indonesia yang mementingkan golongannya masing-masing. Di sinilah kemampuan dan keistimewaan bahwa karya sastra memiliki nilai-nilai humanisme yang agung dan mulia. Karya sastra akan mampu memahami manusia secara metafisis. Jadi, di samping karya sastra sebagai hiburan, juga bermanfaat atau “utile and dulce.”
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
5.3 Latar Belakang Sejarah atau Peristiwa Sosial Masyarakat Indonesia yang Mengkondisikan Lahirnya Novel Asmaraloka Tema
konflik, perang antarkelompok masyarakat yang didasarkan pada
perbedaan suku, etnis, paham, sebagaimana yang digambarkan Danarto dalam novel Asmaraloka terbukti memiliki hubungan dengan konteks sosial masyarakat Indonesia pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, di Indonesia marak terjadi konflik yang melahirkan kerusuhan, penjarahan, dan pembunuhan antaretnis. Kerusuhan, penjarahan, dan pembunuhan itu terjadi karena kesalahan manajemen Pemerintahan Orde Baru. Hal ini W.S. Rendra (dalam Haryono [Penyunting], 2000:13—14) menyatakan bahwa strategi pembangunan Orde Baru yang mengandalkan stabilitas kekuasaan lembaga eksekutif yang kuat ternyata gagal menciptakan pembangunan. Tatanan hidup masyarakat rusak, kejahatan transparan para penguasa tidak dapat dikontrol dan diadili, rasa berbangsa mengalami krisis, dan teror kekuasaan menyebabkan pembodohan dan dehumanisasi. Sementara itu pada masa reformasi, rakyat belum bebas dari teror kekuasaan, terutama rakyat yang tinggal di daerah yang bermasalah. Masalah lebih parah lagi karena, kekuasaan memanfaatkan ABRI atau kekuatan bersenjata untuk menekan kepentingan rakyat dan melecehkan keadilan dalam tatanan hidup bersama. Zaman Orde Baru, pemerintah memitoskan betapa golongan Partai Komunis (PKI) adalah partai yang terlarang. Demikian pula, golongan Islam garis keras yang dianggap tidak setuju sepenuhnya dengan Pancasila adalah golongan yang membahayakan stabilitas negara.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Negara dalam pengertian ini sudah dimanipulasi oleh kepentingan rezim yang berkuasa. Pemerintah membangun opini bahwa perjuangan mempertahankan pemerintahaan dengan alasan stabilitas nasional adalah tugas negara. Jargon “demi negara” sebenarnya yang dilakukan penguasa agar dia tetap berkuasa. Upaya memberangus golongan-golongan yang tak sepaham dengan penguasa adalah cara-cara yang kerap dilakukan penguasa. Dalam novel Asmaraloka, fenomena ini dapat terlihat. Tokoh Kyai Kadung Ora dan pesantrennya, Gabarullah, adalah simbol pribadi atau kelompok yang sengaja diberangus oleh penguasa., karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan penguasa. Sang Kyai sebagai simbol pribadi yang tidak memperoleh kemerdekan di negerinya sendiri terpaksa harus berkelana karena pesantrennya dipaksa tutup oleh pemerintah, hanya karena terdapat perbedaan pandangan antara sang kyai dengan pemerintah. Kecurigaan penguasa sebagai wujud ketakutannya atas kehilangan kekuasaan, menyebabkan kegiatan sekecil pun jika dianggap ‘membahayakan’ haruslah dibubarkan. Bahkan kegiatan pesantren yang hanya diisi dengan kegiatan zikir pun dilarang oleh pemerintah (Danarto, 1999:37). Fenomena ini menandakan bahwa betapa pemerintah sangat khawatir terhadap paham-paham perseorangan maupun kelompok masyarakat yang tidak sejalan dengan kebijakannya. Pemerintah sangat khawatir terhadap goncangannya kemampuan sistem yang telah dibangun. Tidak ada lagi demokrasi. Kebebasan harus dimaknai sepanjang tidak bertentangan dengan penguasa. Karena itu, di semua bidang pada pemerintahan Orde
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Baru sangat kental dengan semangat keseragaman. Apa yang dikatakan presiden harus sama dengan menteri. Bahkan demi keseragaman itu pula, dewan perwakilan rakyat zaman Orde Baru, tatanan hidup bernegara dibuat secara seragam, tidak ada perbedaan pendapat yang berarti, demi ‘stabilitas nasional’. Makna ‘stabilitas nasional’ itu sebenarnya tidak lain adalah ‘stabilitas kekuasaan penguasa’. Pemerintah terus berupaya membangun imperium kekuasaannya dengan perlindungan kebijakan yang dibuat semacam pembentukan keamanan rakyat (Kamra). Dan kesatuan rakyat terlatih (Ratih). Tugas dan fungsi Kamra dan Ratih sesungguhnya adalah membantu tugas militer dan polisi yang waktu itu sebagai benteng kekuasaan penguasa. Fenomena ini terlihat pada novel Asmaraloka seperti terdapat dalam kutipan berikut. Peperangan sudah jadi komoditi, melahirkan biro piknik perang, mendorong kredit senjata dan penciptaan alat pembantai baru walau pura-pura dibilang tetap konvensional, membentuk kesatuan Kamra, kesatuan Ratih, atau pasukan bayangan untuk membela status quo, ... Apapun maumu, kekuasaan! ... (Danarto, 1999:115). Data novel di atas menunjukkan betapa penguasa Orde Baru di Indonesia ketika itu senantiasa menciptakan lembaga-lembaga “pelanggeng” kekuasaan. Kamra dan Ratih dengan komando militer seakan-akan bertugas demi keamanan rakyat. Dalam realitanya, organ-organ keamanan tersebut justru membingkai kebebasan rakyat demi status quo penguasa. Akibat tersumbatnya aspirasi rakyat, wajar pada tahun 1998 terjadi gelombang demonstrasi yang menyuarakan hak-hak rakyat yang dikebiri oleh
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
penguasa. Rakyat menuntut turunnya penguasa dari kursi kepresidenan. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Dalam gejolak rakyat protes, pakar ekonomi pun kemudian berani membuat analisis-analisis bahwa pemerintah sengaja membuat kebijakan yang membuat penduduk di daerah menderita, karena pajak dan hasil daerah diusung ke pusat kekuasaan. Kesadaran masyarakat semakin tumbuh atas perilaku ‘menipu’ rakyat yang dilakukan pemerintah. Fenomena ini dalam novel Asmaraloka terlihat sebagaimana kutipan berikut ini. Ketika muncul seorang pakar ekonomi yang menguraikan tentang tersedotnya kekayaan daerah ke pusat pemerintahan, hingga daerah yang kaya itu hanya mewariskan kemiskinan bagi warganya, nah, dari sinilah bibit perang itu tumbuh. Berkembang menjadi perang antarsuku, antaragama, antarras, antargolongan.... (Danarto, 1999:96). Malarangeng (dalam Gunawan dkk., 1999:166) mengatakan bahwa banyak sekali contoh aspirasi daerah tidak pernah sampai ke pusat. Fenomena yang sangat konkret apa yang terjadi pada masyarakat Aceh, Irian, dan Sulawesi Selatan. Desa disamaratakan seperti desa di Jawa. Kebijakan selalu ditentukan oleh Pusat sehingga tidak ada kebijakan daerah. Perda harus dibuat atas persetujuan pusat. Jika disetujui oleh pusat, Perda baru dapat diberlakukan. Pemilihan bupati dan gubernur juga atas persetujuan pusat. Perencanaan pembangunan daerah pun dari Bapenas. Dengan argumentasi reformasi, masyarakat mengumumkan kebebasan menuntut apa yang mereka kehendaki. Ini terjadi karena pada zaman pemerintahan Orde Baru, kebebasan berpikir dan bertindak sangat dibatasi dengan alasan “stabilitas
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
negara”. Ketika pemerintahan Orde Baru jatuh, masyarakat merasa memperoleh angin segar, angin kebebasan. Karena realita demikian yang terjadi, masyarakat masing-masing daerah berkeinginan memperoleh kesejahtraan yang cukup dari hasil kekayaan daerah mereka. Di sisi lain, undang-undang mengharuskan masing-masing daerah menyetorkan pendapatan daerah ke pemerintah pusat. Akibat sistem ini, yang terjadi adalah anggapan semacam “pemerasan” kekayaan daerah oleh pusat, sehingga kehidupan masyarakat di daerah tetap saja miskin meski daerah mereka memiliki pendapatan yang tinggi. Dampaknya, muncul kecemburuan sosial di daerah-daerah. Kecemburuan sosial dan kebencian masyarakat terhadap pemerintah pusat semakin meningkat karena beberapa pakar ekonomi menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat di daerah dapat hidup makmur jika dapat menikmati kekayaan daerahnya. Hanya saja, kekayaan daerah tersebut secara persentase kesejahtraan tersebut adalah masyarakat Jakarta karena dekat dengan pemerintahan pusat. Hal ini terlihat sebagaimana data teks novel di atas. Fenomena dalam teks novel di atas sangat terkait dengan realita yang terjadi di Indonesia. Menurut Pusat Data Indikator, antara tahun 1998—1999 marak terjadi kerusuhan massal. Kerusuhan massal telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia saat itu dan mengakibatkan banyak bagian kehidupan masyarakat Indonesia saat itu dan mengakibatkan banyak nyawa melayang. Nyawa manusia tidak ada harganya lagi. Konflik yang dimulai dari kasus sederhana dapat dengan cepat meningkat menjadi kerusuhan yang mengerikan. Menurut laporan Yayasan Lembaga
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Bantuan Hukum (LBH) (dalam Gunawan [Penyunting], 1999:xiii), selama 1998 terjadi kerusuhan sosial sebagai berikut: (1) kekerasan antarkomunitas yang disebabkan oleh ketidakpuasan ekonomi sebanyak 21 kasus, (2) kekerasaan negara terhadap
warga
sipil,
termasuk
bentrokan
fisik
antara
mahasisiwa/masyarakat/petani/buruh sebanyak 117 kasus, (3) kekerasaan sebagai instrumen adu domba sebanyak 8 kasus, (4) resistensi dalam bentuk ketidakpuasan masyarakat
terhadap
kebijaksanaan/prilaku
penguasa
sebanyak
610
kasus.
Berdasarkan data-data kerusuhan tersebut, mayoritas kerusuhan disebabkan oleh perilaku pemerintah terhadap masyarakat sehingga muncul bermacam-macam ketidakpuasan. Menurut Kristiadi (dalam Gunawan [Penyunting], 1999:xiv), terdapat tiga alasan yang memicu kerusuhan sosial. Ketiga penyebab tersebut adalah: (1) prasangka dan saling curiga antara kelompok yang satu dengan yang lain atas dasar perbedaan ras, etnik, dan agama, (2) banyaknya masyarakat miskin sehingga memunculkan kemarahan sosial, (3) rendahnya kewibawaan dan kemampuan aparat keamanan serta penegak hukum dalam menjalankan fungsinya. Perlakuan represif aparat keamanan serta aparat hukum yang memihak kepada penguasa yang berlangsung puluhan tahun menyebabkan resistensi publik yang meluas di kalangan masyarakat. Tiga penyebab kerusuhan sosial di atas sesungguhnya berakar pada kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada rakyat. Kenyataan bahwa Indonesia multi etnis, sementara itu pemerintah pada masa pemerintahan Orde Baru menerapkan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
keseragaman-keseragaman yang tidak memberikan ruang perbedaan antarmasyarakat sehingga muncul perlawanan sosial. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari hutang luar negeri dan pengusungan kekayaan daerah ke pusat juga menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia jatuh miskin. Menurut data BPS dan Bank Dunia (dalam Gunawan [Penyunting], 1999:xiv) penduduk yang berada pada garis kemiskinan meningkat dari 30 juta orang pada tahun 1997 menjadi lebih kurang 80 juta orang pada tahun 1999. Sementara itu, Bank Dunia menyebut angka kemiskinan di Indonesia saat itu 100 juta orang. Ketidakberpihakan umum pada masyarakat tidak mempercayai sistem yang dibuat penguasa sehingga muncul semangat kolektif untuk melakukan kekerasan sosial terhadap pemerintah yang sudah tidak memiliki kewibawaan tersebut. Di balik kerusuhan sosial tersebut, ada semacam anggapan bahwa kerusuhan selain dipicu oleh faktor ekonomi, ketidakwibawaan penguasa, juga secara sengaja diciptakan oleh penguasa melalui instrumen atau lembaga-lembaga kekuasaannya. Data menyebutkan bahwa dalam peperangan antargolongan tersebut, militer mempunyai keterlibatan. Dalam kerusuhan di Lhoksemawe misalnya, Indonesian Observer pada tanggal 5 September 1998 menurunkan sebuah berita: “Seorang siswa bercerita pada Reuters bahwa ada beberapa pria menunggu di sekolahnya ketika pulang sekolah dan menyuruh mereka mengadakan kerusuhan. Orang-orang itu menyuruh kami membuat kerusuhan dan mengancam akan memukuli kami jika kami menolak, jadi kami ikut bersama mereka. Ada beberapa truk menunggu di luar sekolah untuk mengantar kami ke pusat kota. Seorang penduduk di sana mengatakan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
bahwa kerusuhan itu disulut oleh penduduk setempat. Banyak di antara pengacau itu tidak kami kenali.” Wakil House Speaker, Ismail Hasan, mengatakan bahwa dia mendapat informasi ada orang-orang diangkut dengan truk-truk dari desa-desa terpencil untuk mengadakan kerusuhan (Mann, 1999:221). Data tersebut menunjukkan betapa perang multietnis di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, selain dipicu persoalan ekonomi yang dikuasai oleh pusat pemerintahan, juga dipicu oleh “rekayasa” pihak penguasa demi kepentingan kekuasaannya. Latar belakang sejarah ini dalam bahasa fiksi dituliskan sebagai berikut. Kemudian yang terjadi, opini marak per politikus, para jenderal, dan para cendikiawan, menyebut perang ini sebagai “perang fatamorgana”. Kelihatannya pecah perang, tapi sesungguhnya tidak ada perang. Jika memang ada pertempuran, hal itu Cuma hasil rekayasa. Hmm suatu bentuk pembaharuan perang. Allahu Akbar. Lebih dari itu, hanyalah soal perbedaan pendapat. Hingga perihal perasaan, pikiran, tingkah laku, dan moral semuanya itu sekaligus dikuburkan. Inilah yang mungkin menciptakan jurang perbedaan pendapat antara rakyat dan pemrakarsa perang (Danarto, 1999: 29). Tindakan penguasa di Indonesia yang melewati batas ini oleh Danarto dianggap sebagai upaya “menuhankan kekuasaan”. Konflik yang terjadi bukan sekenario atau kehendak Tuhan, tetapi upaya penguasa demi status quo. Rakyat dan tentara hanyalah alat sekaligus korban kekuasaan. Dengan nada menyindir Danarto menulis puisi berikut ini: Perang Fatamorgana di luar kekuasaan Tuhan Dibikin kita sendiri dengan ringan tangan Ramai nimbrung bisnis tak bertuan Dan komoditi untung-untungan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Adakah yang lebih indah Dari perang bikin-bikinan Semuanya punah Setelah dibayar kontan Prajurit gugur membayar nyawa Tinggalkan harta milik negara Melihat Tuhan entah ke mana Arasy kosong diduduki penguasa (Danarto, 1999:32). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang melatarbelakangi lahirnya novel Asmaraloka karya Danarto adalah perang antaretnis dan kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Perang antargolongan yang menelan ratusan juta korban jiwa dan harta benda itu menurut data sejarah dan novel Asmaraloka, dipicu oleh kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada rakyat. Sebab-sebab pemicu perang tersebut adalah penguasa yang tidak bersedia menerima keberagaman aspirasi masyarakat, penguasaan sumber produksi daerah oleh pemerintah pusat yang melahirkan rakyat miskin, lemahnya kewibawaan pemerintah karena tidak mampu berbuat adil, serta upaya rekayasa pemerintah untuk menciptakan konflik antarkelompok. Dengan terjadi konflik, penguasa melalui istrumen kekuasaannya berusaha menciptakan stabilitas negara yang muaranya pada pemerolehan kekuasaan absolut.
5.4 Pandangan Danarto tentang Masyarakat Indonesia dalam Novel Asmaraloka Pengalaman Danarto sebagai pribadi terhadap situasi perang sebagaimana diuraikan pada bagian “Danarto dan Kepengarangannya” menyebabkan pengarang ini
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sering melukiskan kengerian perang dalam karya-karyanya. Hal ini juga terlihat pada novel Asmaraloka yang ia tulis saat Indonesia mengalami perang antarsuku, agama, dan golongan atau kerusuhan sosial pada tahun 1998. Tema mengemukakan
perang
dibangun
Danarto
pandangan-pandangan
dalam
hidupnya
novel atau
Asmaraloka
pandangan
untuk
dunianya.
Pemahaman tema novel dalam kajian strukturalisme genetik sangat penting untuk menemukan pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia Danarto dalam novel Asmaraloka selanjutnya diuraikan berikut ini. Melalui novel ini Danarto terlihat memiliki keprihatinan yang teramat dalam terhadap realitas yang terjadi di Indonesia. Keprihatinan tersebut terjadi karena Indonesia dalam pengamatan Danarto merupakan negara yang memiliki tradisi perang saudara. Sejak perang merebut kemerdekaan dan kemudian merdeka, Indonesia lebih disibukkan oleh perang dalam negeri, perang antara golongan yang satu dengan yang lain, yang sesungguhnya mereka adalah saudara karena hidup dalam satu atap, satu negara, satu bangsa, dan satu tanah air yang sama, yaitu Indonesia. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia telah ratusan tahun berperang melawan
penjajah
untuk
memperoleh
kemerdekaan.
Setelah
memperoleh
kemerdekaan pada tahun 1945, pada tahun 1948 bangsa Indonesia juga mengalami goncangan, yaitu munculnya peristiwa Madiun, yakni adanya gerakan bawah tanah Komunis yang tujuannya merongrong negara kesatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1965 bangsa Indonesia kembali mengalami tantangan yang sangat pahit, yaitu
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
munculnya peristiwa yang dikenal dengan Gestapu (Gerakan Tigapuluh September). Gerakan ini melakukan perang sesama warga, perang saudara dengan alasan perbedaan ideologi. Keanekaragaman bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan agama menyebabkan masyarakat Indonesia rentan dengan konflik. Data menunjukkan bahwa perang di Indonesia antargologan pada tahun 1965 atau peristiwa G.30.S. PKI memakan korban jiwa yang melebihi korban jiwa perang Vietnam melawan Amerika Serikat (Danarto, 2001:394). Keprihatinan Danarto semakin meningkat ketika menyaksikan perang antargolongan menjelang dan pascajatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Kerusuhan antaretnis terjadi di Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa provinsi di Indonesia yang berusaha memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan alasan pemerintah pusat terlalu memeras kekayaan daerah dan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat daerah. Pabrik-pabrik atas izin pemerintah yang didirikan di daerah kaya sumber daya alam justru menyengsarakan rakyat setempat (Mann, 1999:216—217). Kebijakan pemerintah pusat yang demikian memicu kesenjangan sosial sehingga muncul kemarahan masyarakat untuk melakukan perlawanan. Kerusuhan kemudian terjadi di mana-mana dengan dalih perbedaan suku, agama, dan ras, meskipun persoalan mendasar adalah masalah ekonomi. Perekonomian yang memihak kalangan penguasa dan pengusaha besar mendorong rakyat untuk melakukan resistensi. Perlawanan dalam bentuk kerusuhan ini terjadi sebenarnya dipicu oleh kebijakan pemerintah yang tidak adil, tidak memihak rakyat secara mayoritas. Yang terjadi kemudian adalah perlawanan rakyat
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
secara terus-menerus karena rakyat merasa tidak ada lagi sistem yang dapat memperjuangkan nasibnya. Penguasa yang seharusnya memperjuangkan dan memberi peluang rakyat untuk hidup makmur justru hanya memikirkan dan memakmurkan dirinya sendiri. Pandangan Danarto yang menyindir kebijakan pemerintah sehingga muncul banyak kerusuhan dapat dipahami berikut ini. Semuanya itu adalah konser simfoni, adukan antara keyakinan dengan barang dagangan, antara keindahan dan kekejaman, yang berlangsung sekian puluh tahun tak henti-hentinya, dan pemerintah status quo melestarikannya sebagai keyakinan tradisi adi luhung, indah agung. Suatu pemerintahan yang ambegparamarta, adil---makmur---benar---, yang kreativitasnya menghasilkan kepiawian---kekuatan--kebohongan---kekejian (Danarto, 1999:17).
Melihat realita yang terjadi bahwa penguasa di Indonesia cenderung membangun kekuatan dengan cara-cara keji, seperti penguasaan
sumber-sumber
produksi, sistem pemerintahan yang sentralistik ketika itu, dan cara-cara militeristik untuk memberangus keragaman pemikiran warganya. Danarto sebagai wakil kelompok sosial masyarakat Jawa tidak melakukan bentuk-bentuk perlawanan. Sebagai pribadi yang menganut falsafah hidup ngeli, menerima dan pasrah, Danarto tidak mudah menyalahkan orang lain, dalam konteks ini penguasa misalnya. Karena kejiwaan dan kesufiaannya dan memandang sesuatu proses, semua problem kehidupan yang ia rasakan dikembalikan kepada pembuat segala kejadian, yaitu Tuhan. Kerusuhan yang terjadi antarkelompok di Indonesia bagi Danarto, masih merupakan teka-teki. Pertanyaan yang muncul dibenaknya adalah: apakah
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
peperangan tersebut sudah kehendak Tuhan ataukah kesalahan manusia pelaku perang? Pertanyaan dilematis ini terlihat pada deskripsi data berikut ini. Menyaksikan pertempuran yang sekejap itu, Kyai Mahfud tertegun bagai patung. Baru kali inilah Kyai Mahfud melihat dua pasukan yang berdiri di barisan kebenaran dan kebatilan, berperang. Pernah Yang Maha Kuasa menyingkap tirai rahasia alam malaikat dan alam setan, namun yang dilihatnya tak seseram ini. Bagi Kyai hal ini merupakan teka-teki yang sangat berat. Apakah munculnya Pasukan Malaikat dan Pasukan Setan ini atas kehendak Allah, atau kemauan mereka sendiri (Danarto, 1999:95).
Data di atas menunjukkan, Danarto dalam hidupnya masih meyakini bahwa seburuk apapun tindakan manusia, mereka tidak begitu saja harus dipersalahkan. Tindakan tidak baik dapat saja terjadi oleh adanya takdir atau mungkin kehendak manusia pelakunya. Karena dua pertanyaan yang sulit dijawab itu, Danarto menyerahkan segalanya kepada Allah. Pasrah dengan banyak menyebut nama Allah sebagaimana ajaran Islam begitu dipegang oleh Danarto. Pandangan Danarto yang demikian terlihat pada doa yang dipanjatkan oleh Kyai Mahfud ketika melihat perang yang tak kunjung usai. Berikut ini doa Kyai Mahfud sebagai representasi pandangan Danarto. “Mahasuci Engkau, ya, Allah Yang Maha Kepujian, Yang telah mencipta alam semesta seisinya dan memeliharanya. Rahmat dan berkah semoga Engkau karuniakan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Tak ada satu makhluk pun yang bisa lepas dari pengamatan-Mu. Dan kepada-Mu semuanya kembali. Allahu Akbar” (Danarto, 1999:96). Berdasarkan data di atas, terlihat Danarto sebagai pemegang teguh filosofi Jawa hidup dengan nrimo juga menganut agama Islam secara teguh. Danarto
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
merupakan pribadi Jawa dan muslim yang makrifat. Danarto meyakini saat dari Nabi Muhammad bagi kaum muslim di akhirat kelak karena itu ketika berdoa Kyai Mahfud juga memohon karunia Allah untuk Nabi Muhammad. Intensitas merasa diawasi oleh Allah diyakini benar oleh Danarto. Sebagaimana data di atas demikian kata Danarto melalui Kyai Mahfud: “Tak ada satu makhluk pun yang bisa lepas dari pengamatan-Mu. Dan Kepada-Mu semuanya kembali. Allahu Akbar”. Hal ini terlihat pada kata yang sering diungkapkan oleh tokoh Kyai Mahfud yang selalu diingat oleh tokoh Firdaus Muhammad ketika menghadapi kesulitan, menghadapi tipu daya tokoh ratu Soba, pimpinan kerajaan Jingga atau pimpinan setan. Kata-kata Kyai Mahfud tersebut dapat dipahami berikut ini. Allah! Tiada Tuhan selain Ia, Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri. Tiada pernah Ia mengantuk. Dan tiada pernah Ia tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit Dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di hadapan-Nya, Kecuali dengan seizinNya? Ia mengetahui apa yang di belakang mereka Sedang mereka tiada tahu apa-apa Tentang ilmu-Nya Kecuali apa yang Ia kehendaki. SinggasanaNya meliputi langit dan bumi, Dan tiada Ia merasa letih Memellihara keduanya, Karena Ialah Yang Maha Tinggi Yang Maha Besar (Danarto, 1999:230---231). Ayat tersebut berisi puji-pujian keagungan kekuasaan Allah dan kemutlakan Allah dalam menentukan sesuatu. Karena itu, ayat tersebut ditutup dengan kata-kata
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
“Allah Maha Tinggi dan Maha Besar”. Tidak ada yang melebihi ketinggian derajat dan kebesaran kekuasaan Allah. Hal ini menandakan betapa Danarto merupakan pribadi muslim yang benar-benar menyandarkan kehidupannya kepada Allah, karena hanya Allah-lah tempat bersandar seluruh makhluk. Danarto meyakini bahwa semua makhluk tanpa daya kecuali kehendak Allah dan semuanya akan dikembalikan (menyatu) kepada-Nya. Danarto dalam novel Asmaraloka berpandangan bahwa hakikat manusia tidak memiliki daya, kekuatan, dan kehendak apapun. Yang berkehendak menjadikan sesuatu hanyalah Tuhan. Danarto meyakini betapa dalam kehidupan ini, manusia hanyalah benda yang ada karena diadakan sehingga otoritas ada sebenarnya hanya ada pada Yang Mengadakan, Tuhan. Konsepsi pandangan Danarto ini terlihat pada deskripsi data berikut ini. Manusia adalah wayang kulit yang keberadaannya cuma bayangan pada kelir putih: layar hitam atau merah, hijau, biru, tak sanggup ia mengejawantah. Itu pun tergantung dalang. Manusia adalah wayang kulit yang keberadaannya cuma bayangan pada kelir putih: layar hitam atau merah, hijau, biru, tak sanggup ia mengejawantah itu pun tergantung dalang. Manusia adalah wayang kulit yang keberadaannya cuma bayangan pada kelir putih: layar hitam atau merah, hijau, biru, tak sanggup ia mengejawantah. Itu pun tergantung dalang (Danarto, 1999:164—165). Untuk menekankan konsep pandangan hidup yang dianutnya, bahwa manusia sekedar ciptaan, Danarto mengulang-ulang pernyataanya tiga kali. Hal ini menandakan Danarto berkeinginan menanamkan konsep ini kepada pembaca. Pengulangan bermaksud menekankan kembali apa yang disampaikan sehingga diharapkan pembaca memahami apa yang disampaikan pengarang.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Meski demikian, takdir manusia bergantung pada apa yang dilakukannya. Kata-kata manusia Jawa yang sering diungkapkan para orang tua becik ketitik ala ketara atau urip nguhdhuh wohing pakarti (perbuatan baik/jahat akan ketahuan atau hidup menerima hasil perbuatannya) terlihat diyakini Danarto. Hal itu secara tersurat terlihat melalui kata pemilik restoran yang mencuri uang para jenderal sewaktu pesta, “Kita harus menerima konsekuensi logis dari peran-peran yang kita mainkan” (Danarto, 1999:85). Manusia dalam pandangan Danarto harus sanggup dan konsekuen mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Manusia bebas melakukan tindakan. Meski demikian, tindakan baik atau buruk tersebut membawa konsekuen atau akibat pada pemilik tindakan tersebut. Karena Danarto dibesarkan dalam tradisi yang mengajarkan nilai-nilai kepasrahan dan jauh dari kekuasaan, konflik apalagi perang antargolongan yang lebih dipicu oleh motivasi kekuasaan ini membuatnya prihatin. Keprihatinan terhadap para penguasa ini digambarkan Danarto melalui ungkapannya: Manusia adalah keniscayaan (Danarto, 1999:184). Manusia yang selalu berkehendak untuk berkuasa sebenarnya telah menyalahi kodratnya. Kekuasaan hanya milik Tuhan. Karena itu, Danarto melalui kata-kata burung nazar berkata: “.... Manusia adalah kesalahan besar penciptaan. Makhluk yang entah. Kere munggah bale.” (orang yang miskin tiba-tiba menjadi kaya) (Danarto, 1999:114).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Keprihatinan ini disebabkan secara pribadi, Danarto memandang bahwa manusia tidak berhak memperoleh kekuasaan. Manusia hidup bukan ditakdirkan untuk menguasai manusia lain atau mahkluk lain, tetapi manusia hidup untuk saling mengasihi sesama. Danarto meyakini bahwa semua makhluk ditakdirkan ada dan sederajat. Kata Danarto (Eneste [Penyunting], 1983:138—139), “Pada dasarnya manusia, binatang, tanaman, dan benda-benda adalah sederajat. Kemampuannya dalam menjelma itulah sering membedakannya. Mereka sebenarnya satu keturunan.” Menurut Danarto, manusia hanya 1/000.000.000.000.000.000.000.000.000 Tuhan. Danarto mengibaratkan manusia sebagai debu di tangan-Nya (Eneste [Penyunting], 1983:139). Karena manusia hanyalah makhluk teramat kecil dan tidak berdaya, Danarto meyakini bahwa kekuasaan hanya milik Tuhan. Kekuasaan manusia atas manusia hanya akan melahirkan kekejaman dan penindasan. Dengan nada prihatin, Danarto mengomentari kekuasaan sebagai berikut: (1) Penguasa dalam berbagai bentuk permainan, menjelma jadi berbagai bentuk penindasan (Danarto, 1999:116); (2) Dan pemerintah yang telah menggenggam kekuasaan mutlak, yang sama menciptakan peperangan untuk menciptakan perdamaian, telah membalikkan arah: pementasan peperangan digelar demi peperangan itu sendiri (Danarto, 1999:184). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Danarto berpandangan bahwa penyebab utama kerusuhan sosial antarkelompok yang terjadi di Indonesia adalah penguasa atau pemerintah yang berusaha mempertahankan atau memperoleh kekuasaan baru.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Pandangan Danarto ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan Anderson. Penguasa lahir oleh dua sebab: dinasti dan pendatang baru. Kekuasaan oleh dinasti biasanya bergeser dari generasi ke generasi selanjutnya. Sementara itu penguasa dari pendatang baru biasanya muncul dari orang kebanyakan seperti Ken Arok, Panembahan Senopati, Soekarno yang berkuasa setelah terjadi pergolakan dan pertumpahan darah yang biasanya ditimbulkan oleh penguasa baru itu sendiri (Anderson, 2000:82—83). Pada kesimpulan akhirnya Danarto berpandangan bahwa perang di Indonesia hanyalah rekayasa penguasa. Demikian kata Danarto, “... kelihatannya pecah perang, tapi sesungguhnya tidak ada perang. Jika memang ada pertempuran, hal itu cuma hasil rekayasa... (Danarto, 1999:29). Karena setiap tindakan selalu membawa konsekuensi, maka perang pun membawa akibat. Akibat yang terjadi adalah kerusakan mental manusia. Akhlak, moral, dan nilai mencintai sesama tidak ada lagi. Kebenaran tidak bersifat universal lagi, karena semua orang dapat membangun argumentasi untuk merasionalkan kebenaran yang mereka buat. Data di bawah ini menunjukkan betapa bobroknya moral bangsa Indonesia pada masa reformasi yang dihiasi perang antarkelompok sosial itu. Dari gaya perang macam ini, lahir peradaban baru. Watak peradaban yang berbeda bahkan bertolak belakang sama sekali dari peradaban sebelumnya. Pengertian moral dan etika jauh lebih dalam lagi menukik. Orang bebas berbicara dan berbuat. Semau-maunya. Rujukannya moral, etika, dan kitab suci. Kitab suci apa saja dan dipakai oleh siapa saja. Kelihatan Tuhan membiarkannya ... (Danarto, 1999: 29).
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Sebagai pribadi yang beragama, perpecahan bangsa Indonesia tersebut mengingatkan Danarto pada kisah dalam agama bahwa pada zaman akhir, umat beragama pecah dan muncul penyebar ajaran yang sesat sehingga terjadi berbagai pandangan menafsirkan ayat kitab suci yang salah. Akhirnya akan muncul perpecahan. Para pengikut golongan-golongan tersebut meyakini paham yang dianutnya. Lahirnya banyak golongan tersebut disebabkan perbedaan penafsiran terhadap ajaran agama yang seharusnya satu telah berubah menjadi banyak paham. Demikian kata Danarto. .... Orang lalu rajin menafsirkan ayat-ayat suci itu sejauh-jauhnya sampai kepada ramalan Kajeng Nabi muhammad s.a.w., kita pecah menjadi 73 golongan. Siapa saja yang tetap mengikuti jejak Rasulullah, tak tersesat ia, begitulah, banyak yang berharap ke-73 golongan itu, benar semuanya. (Danarto, 1999:29). Jalan keluar atas perpecahan sosial yang terjadi, menurut Danarto adalah kesucian hati masing-masing manusia. Hanya dengan membersihkan hati bangsa Indonesia lepas dari semangat permusuhan antargolongan. Tujuan akhir penyucian hati tidak lain adalah teciptanya kedamaian masyarakat, negara, dan alam semesta. “Tegaknya dunia kedamaian hanya dapat diciptakan melalui kesucian hati, kesucian hati, dan kesucian hati” (Danarto, 1999:143). Kata “kesucian hati” diulang tiga kali untuk memperoleh penekanan dan betapa penting bagi pembaca. Dengan demikian dapat disimpulkan, dalam novel Asmaraloka, Danarto berpandangan bahwa untuk keluar dari
krisis moral akibat permusuhan
antargolongan diperlukan kesadaran penyucian hati semua manusia Indonesia. Terbukti bahwa kerusuhan sosial yang disebabkan rasa membenci pihak lain
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
berakibat pada runtuhnya sendi-sendi ekonomi, sosial dan moral. Kesucian hati menurut Danarto adalah pilar utama keberagaman seseorang, sehingga hidup dengan roh agama dianggapnya merupakan pilihan jalan keluar ekonomi, sosial, dan politik tidak mampu lagi mengatasi persoalan bangsa Indonesia.
5.5 Proses Mental dalam Novel Asmaraloka Proses mental dalam novel Asmaraloka menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang menyangkut indera, kognisi, afeksi/emosi, dan persepsi yang terjadi dalam diri manusia, tokoh-tokoh yang ada dalam teks, seperti melihat, mengetahui, menyenangi, membenci, menyadari, dan mendengar. Proses mental terjadi di dalam diri (inside) manusia dan mengenai mental atau psychological aspects kehidupan. Adapun proses mental yang diteliti dalam penelitian ini, yakni proses mental yang terdiri atas: Mental: Persepsi, Kognisi, dan Afeksi. Secara keseluruhan, temuan dalam penelitian ini, dalam kaitannya dengan proses mental menemukan 182 klausa yang berjenis proses mental. Untuk itu, proses mental itu akan diuriakan secara rinci sebagai berikut.
5.5.1 Mental: Persepsi Proses mental persepsi, dalam hal ini, adalah partisipan manusia atau seperti manusia yang dapat mengindera, melihat. Hal itu ditandai dengan menganalisis teks berdasarkan klausa yang menunjukkan proses mental persepsi, yakni yang menunjukkan aktivitas mata. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
proses mental persepsi sebanyak 80 klausa dari 182 klausa proses mental. Dengan demikian, persentase proses mental persepsi adalah 43,95%. Adapun proses mental persepsi yang terdapat di dalam teks novel Asmaraloka dapat dilihat pada tabel-tabel proses di bawah ini. 1. (Ia)
melihat
Pengindera 2.
pohon itu meski bus sudah makin menjauh
Proses: mental, persepsi
Arum
melihat
Pengindera 3.
Fenomena di jalanan depan rumah yang benderang oleh sinar entah
Proses: mental, persepsi
Semua
Sirkumstan
melihat
Pengindera
ke arah yang ditunjuk si kecil
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan
4. Ia
melihat Pengindera
perempuan itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
5. Satu dua temannya Pengindera
melihat
-nya (dia)
Proses: mental, persepsi
Fenomena
6. Perempuan ini
melihat
Pengindera
ia dan teman- temannya
Proses: mental, persepsi
Fenomena
7. Mereka
melihat
Pengindera
tentara berbondong- bondong, bertruk- truk
Proses: mental, persepsi
Fenomena
8. Fir
melihat
Pengindera
Proses: mental, persepsi
di tepi jalan seseorang memanggul salib kayu besar
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Sirkumstan: tempat
9. Tak siapa
melihat
Fenomena
siapa
Proses: mental, persepsi
Pengindera
10. (Kapten)
melihat
Pengindera
Arum sesaat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
11. Arum
melihat
Pengindera
kepada diri sendiri terlebih dahulu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
12. (Istri Kyai)
melihat
Pengindera
ini
Proses: mental, persepsi
Fenomena
13. (Aku)
melihat
Pengindera 14. Aku Pengindera
di depan ketiga orang yang terikat itu, sepasang kaki berselonjor di atas meja, siapa lagi kalau bukan si cantik Jerman
Proses: mental, persepsi melihat
Sirkumstan lima orang lelaki menempel dinding
Proses: mental, persepsi
berjajar
terikat
Fenomena
15. Kyai Pengindera
melihat
tampang ‘sejarah yang purba’ itu lewat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
16. Kyai Mahfud Pengindera
melihat Proses: mental, persepsi
-nya (dia) takjub Fenomena
17. Fir
Pengindera
melihat
Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sesosok tubuh yang masih duduk di belakang stir jip dengan pakaian lengkap baja Fenomena
18. Ia
melihat Pengindera
seonggok tubuh yang terkulai
Proses: mental, persepsi
Fenomena
19. (Fir) Pengindera
melihat
parit api berapi menyala-nyala
Proses: mental, persepsi
yang
memanjang
Fenomena
20. Fir
melihat
Pengindera
dengan baik-baik apa yang ditunjuk Arum
Proses: mental, persepsi Sirkumstan: cara
21. (Arum dan Fir) Pengindera
melihat
seluruh kawasan dengan naik kereta yang ditarik beberapa ekor kuda
Proses: mental, persepsi
Fenomena
22. Ia
melihat Pengindera
pemandangan yang menakjubkan
Proses: mental, persepsi
Fenomena
23. Ia
melihat Pengindera
sejumlah truk
Proses: mental, persepsi
Fenomena
24. Ia
melihat Pengindera
Proses: mental, persepsi
Arum Fenomena
25. (Ia) Pengindera
melihat Proses: mental, persepsi
Arum berpakaian dicurinya itu
seragam
yang
Fenomena
26. Fir Pengindera
melihat Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
di dalam aquarium itu sebongkah batu yang bersinar cemerlang Sirkumstan: lokasi
27. (Para kyai)
melihat
Pengindera
gelagat Pasukan Kemenangan waspada, tekun, teliti
Proses: mental, persepsi
yang
Fenomena
28. (Burung-burung) Pengindera
melihat
kelakuan kuda yang begini macam
Proses: mental, persepsi
Fenomena
29. (Arum) Pengindera
melihat
kuda itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
30. Arum Pengindera
melihat
sikembar tertawa-tawa
Proses: mental, persepsi
Fenomena
31. Ia
melihat Pengindera
bahwa ia
Proses: mental, persepsi
Aktor
telah ditunjuk Material
Kyai Mahfud Aktor
32. Masyarakat Pengindera
lebih melihat
perang sebagai tontonan
Proses: mental, persepsi
Fenomena
33. Kita Pengindera
telah melihat
manusia-manusia baru yang bebas dari perangai buruk nenek-moyangnya
Proses: mental, persepsi
Fenomena
34. Ia
juga melihat Pengindera
sebuah bukit yang berwarna abu-abu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
35. Yobim Pengindera
boleh melihat Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
nya (dia) Fenomena
36. Ia
melihat lagi
Pengindera 37.
tumpukan pakaian seragam, selimut, sarung, handuk, dan sejumlah kain pembalut
Proses: mental, persepsi
Firdaus
Fenomena
telah mampu melihat
masa depan dengan baik
Proses: mental, persepsi
Fenomena
Pengindera 38. Arum
baru melihat
Pengindera
kaki kuda di balik rongsokan truk
Proses: mental, persepsi
Fenomena
39. Mereka
ingin melihat dan musim yang mendadak berubah itu menganalisa Proses: mental, persepsi Fenomena
Pengindera 40. Para utusan
juga punya hak untuk melihat
Pengindera
pertempuran
Proses: mental, persepsi
Fenomena
41. Firdaus
kagum melihat
Pengindera
Pasukan Perempuan, cantik-cantik
Proses: mental, persepsi
Fenomena
42. Mereka
belum pernah melihat
Pengindera
malaikat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
43. Fir
belum pernah melihat
Pengindera
bibit tanaman ini
Proses: mental, persepsi
Fenomena
44. Ia dan teman- temannya Pengindera
tak melihat
seorang pun pada pagi itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
45. Saya
tidak melihat
Pengindera
Proses: mental, persepsi
unsur kebetulan dalam pertemuan-pertemuan kita, Kyai
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Fenomena
46. Pangeran Fir
tidak melihat
Pengindera
ku (aku)
Proses: mental, persepsi
Fenomena
47. Santrinya
terlongong-longong melihat
Pengindera
tamu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
48. (Permpuan itu) Pengindera
menyaksikan
pemandangan ini
Proses: mental, persepsi
Fenomena
49. Matanya
menyaksikan
Pengindera
ribuan Pasukan Malaikat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
50. (Kyai Mahfud) Pengindera
menyaksikan
pertempuran yang sekejap itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
51. Ia
menyaksikan Pengindera
sebuah helikopter yang tiba-tiba saja menjadi bangkai teronggok
Proses: mental, persepsi
Fenomena
52. Fir
Pengindera
menyaksikan
lembar-lembaran kertas yang lepas diterbangkan angin dari jepitan mapnya yang terserak di atas mobil lapis baja yang pintu-pintunya rontok
Proses: mental, persepsi
Fenomena
53. Fir Pengindera
menyaksikan
tentara-tentara itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
54. Kyai Pengindera
menatap Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sekeliling tenda Sirkumstan: rentang
55. Gerombolan berparuh kotor ini
menatap
Pengindera
Fir
Proses: mental, persepsi
dengan mistik
Fenomena
pandangan
Sirkumstan: cara
56. Ia
menatap Pengindera
parit api berapi menyala-nyala
Proses: mental, persepsi
yang
memanjang
Fenomena
57. Ia
menatap Pengindera
lama-lama
Proses: mental, persepsi
Fenomena
58. Laki dan perempuan
yang menatap bengong
Pengindera
pada binatang itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
59. (Perempuan itu)
mencoba menatap
Pengindera
lagi
wajah Malaikat itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
60. Dia
mencoba menatap
Pengindera
yang paling awan
Proses: mental, persepsi
Fenomena
61. Dia
menatapnya
Pengindera
tak berkedip
Proses: mental, persepsi
Fenomena
62. (Aku)
bengong
Pengindera
menatap
perempuan yang kuuber-uber
Proses: mental, persepsi
Fenomena
63. (Ia)
memandang
Pengindera
Proses: mental, persepsi
lengganya yang laksana macan lapar Fenomena
64. (Sikebaya lusuh)
terpana memandangi rimbunan daun sebagai sekumpulan bola lampu yang trilyunan jumlahnya,
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
menyala Pengindera
Proses: mental, persepsi
Fenomena
65. Firdaus Pengindera
masih memandangi
takjub penduduk yang barangkali dari dunia yang lain
Proses: mental, persepsi
Fenomena
66. Saya Pengindera
saksikan
Kyai berpidato berkobar-kobar
Proses: mental, persepsi
Fenomena
67. Ia Pengindera
yakin
sudah sering perkelahian yang anehmenyaksikan aneh di medan perang
Proses: mental, kognisi
Proses: mental, persepsi
Fenomena
68. Aku Pengindera 79. Ia Pengindera
telah menyaksikan
revolusi besar peradaban yang mengembang dari lembah pembantaian ini
Proses: mental, persepsi
Fenomena
sungguh ngeri Arum dalam keterlibatanya dengan perang menyaksikan Proses: mental, persepsi Fenomena
70. Ia
menoleh Pengindera
Proses: mental, persepsi
ke belakang Sirkumstan: tempat
71. (Ia) Pengindera
menoleh Proses: mental, persepsi
ke arah pohon itu Sirkumstan: tempat
72. Komandan itu menoleh Pengindera
Proses: mental, persepsi
kembali ke arah pohon itu Sirkumstan: tempat
73. Seorang anak
menoleh
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
ke arah perempuan itu
Pengindera
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan
74. Si kecil Pengindera
menoleh
ke belakang dengan gemetar
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan
75. Ia
menoleh Pengindera
Proses: mental, persepsi
sekejap
acuh tak acuh
Sirkumstan: rentang
Sirkumstan: cara
76. Anak lelakinya, yang tak menoleh acuh tak acuh Pengindera Proses: mental, persepsi 77. Dia
coba menoleh
Pengindera
Proses: mental, persepsi
sedikit pun kepada ibunya Fenomena
ke arah Fir Sirkumstan
78. Perempuan itu
Pengindera
terpana
Proses: mental, persepsi
karena sosok cahaya itu persis bunglon berangsur-angsur menyatu dengan batang pohon trembesi itu Sirkumstan: sebab
79. Sopir dan semua melongok penumpang Pengindera
Proses: mental, persepsi
ke pohon yang bercahaya itu Sirkumstan: tempat
80. Matanya Pengindera
melayang menikamati Proses: mental, persepsi
pemandangan yang berdarah-darah Fenomena
5.5.2 Mental: Kognisi Proses mental kognisi, dalam hal ini, adalah partisipan manusia atau seperti manusia yang dapat mengindera, memikir. Hal itu ditandai dengan menganalisis teks
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
berdasarkan klausa yang menunjukkan proses mental kognisi, yakni yang menunjukkan aktivitas pikiran. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa proses mental kognisi sebanyak 45 klausa dari 182 klausa proses mental. Dengan demikian, persentase proses mental kognisi adalah 24,73%. Adapun proses mental kognisi yang terdapat di dalam teks novel Asmaraloka dapat dilihat pada tabel-tabel proses di bawah ini. 1. Kamu Pengindera
pikir
kamu cedas
Proses: mental, kognisi
Fenomena
2. Ia
pikir
Pengindera
di samping cantik, perempuan ini juga punya pikiran menarik
Proses: mental, kognisi
Fenomena
3. Saya Pengindera
pikir Proses: mental, kognisi
saya perlu lebih lanjut berkenalan dengan cewek itu Aktor
Material
Gol
4. Ia
pikir Pengindera
Proses: mental, kognisi
apa, aku ini? Fenomena
5. Aku Pengindera
pikir Proses: mental, kognisi
Tuhan tidak perlu mematuhi kitab suciNya Fenomena
6. Ia
pikir Pengindera
Proses: mental, kognisi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
buat apa jika akhirnya toh gagal juga menjaga keselamatannya Fenomena
7. Alangkah indahnya kerajaan setan ini
pikir
Fenomena
Fir
Proses: mental, kognisi
Pengindera
8. Tentaratentara itu Pengindera 9. Ia
berpikir
perang sudah lama berlangsung
Proses: mental, kognisi
Fenomena
berpikir Pengindera
sejenak
Proses: mental, kognisi
Fenomena
10. Ia
berpikir Pengindera
percuma saja ia melawan setan-setan itu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
11. Ia
berpikir Pengindera
keras
Proses: mental, kognisi
Fenomena
12. Fir Pengindera
berpikir
keras
Proses: mental, kognisi
Fenomena
13. Kamu Pengindera
tidak berpikir
pernah bahwa kamu
Proses: mental, kognisi
Aktor
setiap saat
bisa tewas
di medan perang?
Sirkumstan
Material
Sirkumstan
14. Kamu
Pengindera
tidak pernah berpikir
Proses: mental, kognisi
bahwa pada suatu saat Intesif
Sirkumstan
kamu
Aktor
15. Ia
masih berpikir-pikir Pengindera
itulah
Proses: mental, kognisi
Fenomena
16. Ia
ingin berpikir
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
sendirian
akan kawin?
Material
Pengindera
Proses: mental, kognisi
Fenomena
17. Kamu
memikirkan
Pengindera
itu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
18. (Sang Pangeran)
memikirkan
Pengindera
hal ini
Proses: mental, kognisi
Fenomena
19. (Arum)
memikirkan
Pengindera
hal itu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
20. Dia
tak pernah memikirkan
Pengindera
makan
Proses: mental, kognisi
Fenomena
21. Arum
harus memikirkan
Pengindera 22. Saya
kesehatan tubuhnya demi kedua bayinya
Proses: mental, kognisi mikir-mikir
Pengindera
Fenomena
jangan-jangan parit berapi berada di medan perang, akibat jatuhnya bom, mortir, granat, maupun senjata penyembur api
Fenomena
Proses: mental, kognisi
23. Fir Pengindera
ingat
semuanya
Proses: mental, kognisi
Fenomena
24. Fir Pengindera
ingat
akan janjinya untuk patuh kepada ibunya
Proses: mental, kognisi
Fenomena
25. Dia Pengindera
seperti ingat
sesuatu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
tiba-tiba lantas ingat
betapa waskitanya Arum
26. Fir
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Pengindera
Proses: mental, kognisi
Fenomena
27. Fir
cerita-cerita nenek moyang yang sering diobrolkan di pesantren
teringat
Pengindera
Fenomena
Proses: mental, kognisi
28. Orang
harus ingat
Pengindera
kembali peraturan yang ada
Proses: mental, kognisi
Fenomena
29. Kamu
masih ingat
Pengindera 30.
ketika kamu sedang bermain dengan anak-anakmu
Proses: mental, kognisi
Saya
Fenomena
percaya
Pengindera
banyak jalan menuju medan perang
Proses: mental, kognisi
Fenomena
31. Saya
percaya
Pengindera
kamu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
32. Mereka
percaya
Pengindera 33. Saya
kisah seorang yang menjalani hidupnya seharihari di tengah peperangan bertahun-tahun
Proses: mental, kognisi tidak percaya
Pengindera
Proses: mental, kognisi
Fenomena (kepada kyai) Fenomena
34. Ia
tidak percaya Pengindera
Proses: mental, kognisi
kenapa hanya melihat perempuan cantik, hati jadi tak karuan? Fenomena
35. Kamu Pengindera
bisa mengira-ngira Proses: mental, kognisi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
ke mana arah perginya? Fenomena
36. Fir
mengira-ngira
Pengindera Proses: mental, kognisi 37. Yobim
pasti di dalam menganga suatu tungku yang parit itu luar biasa panasnya Sirkumstan: Lolkasi
juga tidak akan mengira
Pengindera
Proses: mental, kognisi
Material
Goal
bahwa Fir ternyata
bisa sadar
Pengindra
Proses: mental
38. Firdaus
Pengindera 39.
paham betul
terhadap pertentangan yang berlarut-larut antara Kyai Muhammad Mahfud dari Pesantren Wasiyatur Rasuli melawan Kyai Ababil Muhammad alias Kyai Kadung Ora alias Kyai Terlanjur Tidak dari Pesantren Gubaarulah
Proses: mental, kognisi
Para mesin memahami benar perang ini Pengindera
Fenomena bahwa perang
Proses: mental, kognisi
aktivitas adalah
Penyandang
Relation
permainan Atribut
40. Fir Pengindera
tidak paham
apa yang sudah terjadi pada dirinya
Proses: mental, kognisi
Fenomena
41. Si kecil Pengindera
tidak melupakan
kehadiran Tuhan
Proses: mental, kognisi
Fenomena
42. Fir
Pengindera
merasa pasti
itulah Romo FX Karyadi Wongsodimejo SJ alias Romo Gajah Wong yang hidup yang hidup di tepi Sungai Gajah Wong
Proses: mental, kognisi
Fenomena
43. Fir Pengindera
mencoba menebak Proses: mental, kognisi
apa gerangan ini Fenomena
44. Mereka
heran
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
kenapa di zaman hiper modern begini
masih dijumpai orang-orang abad kelima belas Pengindera
Proses: mental, kognisi
Fenomena
45. Ia
mengetahui Pengindera
apa yang di depan mereka
Proses: mental, kognisi
Fenomena
5.5.3 Mental: Afeksi Proses mental afeksi, dalam hal ini, adalah partisipan manusia atau seperti manusia yang dapat mengindera, merasa. Hal itu ditandai dengan menganalisis teks berdasarkan klausa yang menunjukkan proses mental afeksi, yakni yang menunjukkan aktivitas perasaan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa proses mental afeksi sebanyak 57 klausa dari 182 klausa proses mental. Dengan demikian, persentase proses mental afeksi adalah 31,32%. Adapun proses mental afeksi yang terdapat di dalam teks novel Asmaraloka dapat dilihat pada tabel-tabel proses di bawah ini. 1. Ia
merasa Pengindera
bebas
Proses: mental, afeksi
Fenomena
2. Dia Pengindera
merasa
terpanggil
Proses: mental, afeksi
Fenomena
3. Ia
merasa Pengindera
Proses: mental, afeksi
hangat sekarang Fenomena
4. Ia
merasa Pengindera
Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
harus mencari Kyai Kadung Ora Fenomena
5. Fir Pengindera
merasa
telah terlontar ke dunia lain
Proses: mental, afeksi
Fenomena
6. Fir Pengindera
merasa
siapa pun akan terpikat untuk hidup dan tinggal di dunia asing ini
Proses: mental, afeksi
Fenomena
7. Ia
merasa Pengindera
keok
Proses: mental, afeksi
Fenomena
8. Ia
merasa Pengindera
kurang berharga
Proses: mental, afeksi
Fenomena
9. Fir Pengindera
merasa
lega seketika karena yakin di sinilah pusat berbekalan itu berbeda
Proses: mental, afeksi
Fenomena
10. Ia
merasa Pengindera
harus bersikeras sikapnya
Proses: mental, afeksi
mengemukakan
Fenomena
11. Ia
merasa Pengindera
terlepas dari pengamatan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
12. Ia
merasa Pengindera
tidak mungkin lolos dari cengkeraman setansetan kerajaan Pasukan Kemenangan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
13. Ia
merasa
Pengindera
Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
berada di suatu lembah yang penuh ikanikan besar dan kecil yang berseliweran di antara pohon-pohon dan taman bunga Fenomena
14. Yobim Pengindera
merasa
kehabisan akal
Proses: mental, afeksi
Fenomena
15. Ia
merasa Pengindera
juga selama ini sebagai jangat liat kurang panggang
Proses: mental, afeksi
Fenomena
16. Ia
merasakan Pengindera
manfaat peratuaran itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
17. Ia
merasakan Pengindera
peraturan pesantren keterlaluan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
18. Ia
juga merasakan Pengindera
adanya gula dari pemandangan itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
19. Ia
merasakan Pengindera
penyesalan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
20. Fir Pengindera
merasakannya
dengan asyik
Proses: mental, afeksi
Sirkumstan: cara
21 Fir Pengindera
belum bisa merasakan
makanan yang masuk mulutnya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
22. Saya Pengindera
akan merasa
bersalah sekali
Proses: mental, afeksi
Fenomena
23. Ia
rasakan Pengindera
Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
ada Wujud
lorong yang dalam dan panjang Maujud
24. Ia
merasa takut Pengindera
lalu
undur
Proses: mental, afeksi
Material
25. Arum
tak merasakan
Pengindera
hadirnya Fir
Proses: mental, afeksi
Fenomena
26. Ia
tak merasakan lagi Pengindera
penderitaan ataupun kemarahan, apalagi kesia-siaan pembicaraan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
27. Ia
merasa bersyukur Pengindera
andai kata ada peluru nyasar
Proses: mental, afeksi
Fenomena
28. Dia
sadar
Pengindera
bahwa di medan segalanya bisa terjadi perang,
Proses: mental, afeksi
Sirkumstan: Lolasi
Aktor
Material
29. Kyai Mahfud
sadar
Pengindera
siapa yang sedang dihadapinya, tak ada lain, pastilah itu set
Proses: mental, afeksi
Fenomena
30. Dia
sadar
Pengindera
keadaan Firdaus dalam bahaya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
31. Ia
juga sadar
Pengindera 32.
Proses: mental, afeksi
(Tentara maupun prajurit) Pengindera
bahwa Kyai Ora tidak melecehkannya dengan sengaja
menyadari Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Fenomena hal ini Fenomena
pernah
33. Fir
baru sadar
Pengindera 34.
sekarang
bahwa di pantatnya
Sir: Lokasi
Intensif
Proses: mental, afeksi
Ia
menikmati Pengindera
tumbuh seutas ekor
Sir: Lokasi
Material
pemandangan langit sejenak
Proses: mental, kognisi
Fenomena
35. Kyai Pengindera
menikmati
hidup ini
Proses: mental, afeksi
Fenomena
36. Ia
menikmati benar Pengindera
pemandangan itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
37. Fir
menyesal
Pengindera
kenapa bertemu Kyai Ababil itu kembali
Proses: mental, afeksi
Fenomena
38. Ia
lalu Pengindera
menyesal
berlaku kasar kepadanya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
39. (Kuda Fir) Pengindera
menyesal
tak mampu menolongmu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
40. Para prajuritnya Pengindera
sebenarnya tidak mengerti
ulah komandannya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
41. Ia
tak habis mengerti Pengindera
Proses: mental, afeksi
mengapa anak menggantikannya
kecil
Fenomena
42. Ia
mengagumi Pengindera
Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
kecantikan perempuan itu tiba-tiba Fenomena
harus
43. Fir Pengindera
terkagum-kagum
(melihat ikan laut yang indah-indah)
Proses: mental, afeksi
Fenomena
44. Ia
seketika jengkel
Pengindera 45. Ia
karena lalu teringat Kyai Kadung Ora
Proses: mental, afeksi jengkel
Pengindera
Fenomena (mendengar ini)
Proses: mental, afeksi
Fenomena
46. Aku Pengindera
senang
kamu memikirkan itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
47. Ia
senang Pengindera
bergaul dengan Ati dan Argo?
Proses: mental, afeksi
Fenomena
48. Ia
tak peduli Pengindera
perempuan itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
49. Ia
penasaran Pengindera
(tapi tak secuil pun tercungkil)
Proses: mental, afeksi
Fenomena
50. Hatinya
Pengindera
tidak resah
ketika
Proses: mental, afeksi
memandang
lengganya yang laksana macan lapar
Mental: persepsi
Fenomena
51. Firdaus Pengindera
kehilangan
semangat
Proses: mental, afeksi
Fenomena
52. Firdaus
malu
Ia
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
tak mau kehilangan
keduaduanya
Pengindera
Proses: mental, afeksi
Pengindera
Mental: Kognisi
Fenomena
53. Fir
terharu dan meyakini
Pengindera
Proses: mental, afeksi
Romo aneh itu Aktor
pasti para dibantu malaikat Material
Gol
54. Ia
bayangkan
Pengindera
sebelumnya, tidur berayun di cabang pohon dengan kasur tebal rimbun daunnya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
55. Saya
ingin
Pengindera
Kyai tidak bersama saya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
56. Ia
kaget sekali Pengindera
karena melihat Arum berpakaian seragam yang dicurinya itu
Proses: mental, afeksi
57. Tuhan Pengindera
menyukai
keindahan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
Sejalan dengan analisis proses mental di atas, frekuensi dan persentase seluruh proses mental dalam novel Asmaraloka dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2. Frekuensi dan Persentase Proses Mental dalam Novel Asmaraloka No.
Proses Mental
Klausa (f)
%
1.
Persepsi
80
43,95%
2.
Afeksi
57
31,32%
3.
Kognisi
45
24,73%
182
100%
Total
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Tabel 2 menunjukkan bahwa data frekuensi dan persentase proses mental dalam novel Asmaraloka menunjukkan Proses: Mental Persepsi (yang mengacu pada indera pengelihatan) menempati urutan pertama, yakni 80 klausa atau 43,95% diikuti oleh Proses: Mental Afeksi (yang mengacu pada perasaan) menempati urutan kedua, yakni 57 klausa atau 31,32% dan Proses: Mental Kognisi (yang mengacu pada indera pikiran) menempati urutan ketiga, yakni 45 klausa atau 24,73%. Dengan demikian, sejalan dengan temuan proses mental dalam novel Asmaraloka dalam hubungannya dengan pendekatan Strukturalisme Genetik, dalam konsep subjek kolektif individu sebagai pengarang memiliki struktur mental yang mencerminkan subjek kolektifnya. Struktur mental pengarang merupakan hasil bentukan antara pribadi pengarang, keluarga, dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, berdasarkan data pada tabel 2 dapat diinterpretasikan bahwa proses mental persepsi yang menempati posisi pertama, yakni sebanyak 80 klausa atau 43,95% mempunyai arti bahwa Danarto dalam menulis novel Asmaraloka mempunyai kecenderungan melihat (mental persepsi) situasi masyarakat Indonesia pada dekade tertentu, misalnya, terlihat dalam novel Asmaraloka yang ia tulis dipengaruhi oleh pengalamannya pada saat Indonesia mengalami perang dengan penjajah pada tahun 1945, adanya peristiwa Madiun tahun 1948, bangsa Indonesia mengalami goncangan, perang antargologan. Begitu juga pengalaman Danarto pada dekade 1965, yaitu munculnya peristiwa G.30.S. PKI dan perang antarsuku, agama, dan golongan atau kerusuhan sosial pada tahun 1998. Dari catatan sejarah itu, Danarto melihat bahwa peperangan merupakan
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
suatu budaya masyarakat Indonesia sehingga sering berulang peperangan/kerusuhan dalam masayarakat Indonesia. Sementara itu, mental afeksi (yang mengacu pada perasaan) menempati urutan kedua, yakni 57 klausa atau 31,32% dapat diinterpretasikan bahwa Danarto dalam tulisan novel Asmaraloka menggambarkan, misalnya, kerusuhan antaretnis terjadi di Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa provinsi di Indonesia yang berusaha memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan alasan pemerintah pusat terlalu memeras kekayaan daerah dan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat daerah. Kebijakan pemerintah pusat yang demikian memicu kesenjangan sosial sehingga muncul kemarahan masyarakat untuk melakukan perlawanan. Kerusuhan kemudian terjadi di mana-mana dengan dalih perbedaan suku, agama, dan ras, meskipun persoalan mendasar adalah masalah ekonomi. Perekonomian yang memihak kalangan penguasa dan pengusaha besar mendorong rakyat untuk melakukan resistensi. Perlawanan dalam bentuk kerusuhan ini terjadi sebenarnya dipicu oleh kebijakan pemerintah yang tidak adil, tidak memihak rakyat secara mayoritas. Yang terjadi kemudian adalah perlawanan rakyat secara terus-menerus karena rakyat merasa tidak ada lagi sistem yang dapat memperjuangkan nasibnya. Penguasa yang seharusnya memperjuangkan dan memberi peluang rakyat untuk hidup makmur justru hanya memikirkan dan memakmurkan dirinya sendiri. Pandangan Danarto itu juga diinterpretasikan akan sindirannya terhadap kebijakan pemerintah.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Selanjutnya, interpretasi terhadap Proses: Mental Kognisi (yang mengacu pada indera pikiran) menempati urutan ketiga, yakni 45 klausa atau 24,73% menunjukkan bahwa Danarto ingin menggambarkan dengan gamblang dalam novel Asmaraloka bagaimana keadaan jiwa para tokoh yang frustasi dan gundah gulana dalam menghadapi dan melihat suasana perang fatamorgana yang tidak jelas awal dan akhirnya dan tidak diketahui lagi siapa lawan dan siapa kawan. Sementara itu, proses mental kognisi yang menduduki persentase paling rendah menunjukkan bahwa perang fatamorgana itu tidak dapat dipikirkan dan tidak perlu dipikirkan apa sebab musababnya.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Uraian bab analisis novel Asmaraloka dengan Strukturalisme Genetik yang ditopang oleh teori Linguistik Fungsional Sistemik dapat ditemukan lima hal. Kelima hal tersebut diuraikan di bagian ini. Pertama, dalam menghadap tokoh-tokoh novel Asmaraloka melakukan penyerahan sepenuhnya kepada otoritas Tuhan. Setelah pesantren Kyai Kadung Ora ditutup ia menerima begitu saja otoriter pemerintah dengan cara terus berzikir. Kyai juga berkelana ke medan perang sebagai wujud kepeduliannya kepada problem sosial yang dihadapi masyarakatnya. Kyai sangat ikhlas dalam hidupnya. Dia ikhlas dibunuh komandan meskipun sang kyai berkesempatan membunuh terlebih dahulu. Bagi Kyai Kadung Ora, hidup dan mati tidak ada bedanya karena roh akan kekal selamanya. Hal itu terlihat meskipun sang kyai telah terbunuh, dia tetap memberikan wejangan-wejangan atau pertolongan kepada tokoh Firdaus Muhammad dan Arum. Salat dan zikir merupakan jalan keluar yang dilakukan para tokoh novel dalam menyelesaikan masalah. Tokoh Kyai Mahfud dalam menghadapi masalah lebih banyak melakukan salat sebagaimana tokoh Kyai Kadung Ora, Arum, dan Firdaus Muhammad. Salat merupakan bentuk ritual untuk selalu menyebut nama Allah. Tokoh-tokoh pada novel Asmaraloka terlihat senantiasa menyebut kata-kata:
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Subhanullah, Allah Huakbar, Alhamdulillah, Astagfirullah yang termasuk bentuk pengagungan nama Allah, syukur, dan permohanan ampunan. Dalam menghadapi problem tokoh-tokoh novel Asmaraloka lebih banyak menyadarkan problem yang dihadapi kepada Tuhan. Jiwa pasrah dan menerima takdir Tuhan yang menimpanya terlihat pada pribadi masing-masing tokoh. Tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut adalah Subhanallah, Alhamdulillah, Allah Huakbar, dan Astagfirullah. Sementara itu, salat yang terlihat dilakukan tokoh-tokoh tersebut adalah salat duha, salat istihkarah, salat tahajud, dan salat subuh. Kedua, sesuai dengan latar kehidupan sosialnya, Danarto dalam novel Asmaraloka berusaha memperjuangkan nilai-nilai sosial yang dianutnya. Nilai-nilai yang diperjuangkan Danarto adalah nilai hidup pasrah, sabar, menyucikan hati, dan semangat membuat kesejahtraan alam semesta. Nilai-nilai suci itu diharapkan mampu mengantarkan seseorang untuk memperoleh pencerahan Tuhan, meskipun diberi atau tidak diberikannya pencerahan adalah kewenangan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang ditawarkan Danarto untuk mengatasi penguasa yang lalim serta kultur masyarakat Indonesia yang mementingkan golongannya masing-masing. Ketiga, yang melatarbelakangi lahirnya novel Asmaraloka karya Danarto adalah perang antaretnis dan kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Perang antargolongan yang menelan ratusan korban jiwa dan banyaknya harta benda yang hancur, hilang, menurut sejarah dan novel Asmaraloka, dipicu oleh kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada rakyat. Sebab-sebab pemicu perang tersebut adalah penguasa yang tidak bersedia menerima keberagaman aspirasi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
masyarakat, penguasaan sumber produksi daerah oleh pemerintah pusat yang melahirkan rakyat miskin, lemahnya kewibawaan pemerintah karena tidak mampu berbuat adil, serta upaya rekayasa pemerintah untuk menciptakan konflik antarkelompok. Dengan terjadi konflik, penguasa melalui instrumen kekuasaannya berusaha menciptakan stabilitas negara yang muaranya pada pemerolehan kekuasaan absolut. Keempat, dalam novel Asmaraloka, Danarto berpandangan bahwa untuk keluar dari krisis moral akibat permusuhan antargolongan diperlukan kesadaran penyucian hati semua manusia Indonesia. Terbukti bahwa kerusuhan sosial yang disebabkan rasa membenci pihak lain berakibat pada runtuhnya sendi-sendi ekonomi, sosial, dan moral. Kesucian hati menurut Danarto adalah pilar utama keberagaman seseorang, sehingga hidup dengan roh agama dianggapnya merupakan pilihan jalan keluar, karena ekonomi, sosial, dan politik tidak mampu lagi mengatasi persoalan bangsa Indonesia. Kelima, dalam novel Asmaraloka terdapat 182 proses mental. Dalam pada itu, proses mental persepsi mempunyai persentase yang tinggi, yakni 80 klausa atau 43,95%. Sedangkan proses mental afeksi sebanyak 57 klausa atau 31,32% dan proses mental kognisi sebanyak 45 klausa atau 24,73%. Dengan demikian, berdasarkan temuan klausa dalam proses mental dalam novel Asmaraloka dapat dilihat bagaimana keadaan jiwa para tokoh. Tingginya persentase proses mental persepsi yang diikuti proses mental afeksi menunjukkan bahwa Danarto ingin menggambarkan dengan gamblang bagaimana keadaan jiwa para tokoh yang frustasi dan gundah gulana
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
dalam menghadapi dan melihat suasana perang fatamorgana yang tidak jelas awal dan akhirnya. Sementara itu, proses mental kognisi yang menduduki persentase paling rendah menunjukkan bahwa perang fatamorgana itu tidak dapat dipikirkan dan tidak perlu dipikirkan apa sebab musababnya.
6.2 Saran Karya-karya Danarto perlu dikembangkan dengan berbagai fantasi. Pembaca dan peminat karya sastra di Indonesia penting memperhatikan cara atau teknik Danarto menciptakan karyanya. Cara Danarto menyadarkan penguasa, penjahat bukan melakukan, tindakan kekerasan, dibal-bal, diculik, disiksa ataupun ditembak. Tetapi dengan cara menyadarkannya dari perbuatan, tindakan yang tidak baik ke perbuatan yang baik. Jalan satu-satunya adalah menyentuh batin, perasaan dan pikirannya, yaitu dengan menghayati, mengamalkan, serta menjalankan dengan baik dan benar hakikat ajaran agama. Menyadarkan manusia yang bertindak tidak baik, jelas dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan-penjelasan, penyuluhan sejak dini, sehingga setiap akan melakukan tindakan, ia dapat mengerti bahwa hal itu tidak baik. Akhirnya ia menjalankannya.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Term. New York: Holt, Rinehart, and Winston Anderson, Benediet R.O’G.2000. Kuasa-Kata Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia (Diindonesiakan oleh Revianto Budi Santoso dari judul asli Languange and Power Ekploring, Political Cultures in Indonesia). Yogyakarta: Mata Bangsa. Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana (Diindonesiakan oleh I. Soektikno dari judul aslinya Discouse Analysis). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Carssirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia (Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho dari judul asli Culture and Human: A Essay Aboute Human). Jakarta: PT Gramedia. Damono, Sapardi Djoko.1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. ____________________ 2000. Priyayi Abangan Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. ____________________ 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Danarto. 1987. Godlob. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. ---------. 1999. Asmaraloka. Jakarta: Pustaka Firdaus. ---------. 2001. Setangkai Melati di Sayap Jibril. Yogyakarta: Penerbit Bentang. Daundy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia: Dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ArRaniry. Jakarta: Rajawali. Departemen Agama Republik Indonesia. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah Press.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Eagleton, Terry. 2001. Marxisme dan Kritik Sastra (Diindonesiakan oleh Roza Muliati Dkk dari judul asli Marxism and Literary Critism.). Yogyakarta: Penerbit Sumbu. Elizabeth and Tom Burns. 1973. Sociology Penguin Books Ltd.
of Literature & Drama. Australia:
Eneste, Pamusuk [Penyunting]. 1983. Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II. Jakarta: PT Gramedia. Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. __________________ 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra.(Diindonesiakan oleh Ida Sundari Husen dari judul asli Sociologie de la Literature). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Faruk. 1986. Strukturalisme – Genetik (Teori General, Perkembangan Teori, dan Metodenya). Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia. __________________1994. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post- Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. __________________1999. Hilangnya Pesona Dunia:Siti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. Febrisari. 2008. “Representasi Makna Eksperensial dalam Antarpersona dalam Pengantar Majalah Femina dan Kartini” (sebuah Tesis). Medan: Pascasarjana USU. Fowler, Roger. 1980. Literature as Social Discourse. London: Batsford Academic and Educational LTD. Gani, Rohani. 2008. “Analisis Genre Narasi Hikayat Perang Sabil: Pendekatan Linguistik Sistemik”(sebuah Tesis). Medan: Pascasarjana USU. Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of the Novel (Translated from the French by Alan Sheridan). London. The Cambridge University Press. Gunawan, Deddi Haryono, dkk. [Penyunting]. 1999. Indonesia yang Berubah [Kumpulan Wawancara Ekonomi Politik]. Jakarta: Pusat Data Indikator.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Haniati, Dian Tri. 2004. “Intertekstualitas Novel Asmaraloka Karya Danarto terhadap Serat Sawitri Saduran Mas Hardawiraga”. http:/www.google.com/. Diakses 14 Februari 2009. Haryono, Edi [Penyunting]. 2000. Memerdekakan Rakyat Memerdekakan Diri Sendiri. Bandung: Rosdakarya. Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita. Jassin, H.B. 1969. “Cerpen Mistis”. Majalah Horison, Jakarta, Nomor 4/Thn. III/April 1969, Halaman 100---104. Junus, Umar. 1974. Perkembangan Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Malaya. ___________ 1985. Resepsi Sastra Sebuah pengantar. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. ___________ 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia. ___________ 1988. Karya Sebagai Sumber Makna. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysa. Lombard, Denys. 2004. ”Sastrawan Malioboro” 1945-1960 Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia (Diindonesiakan oleh Farida Soemargono dan Nasrullah Ompu Bana dengan judul asli ”Goupe de Yogya” (1945-1960) Les voies javanaises d’une litte’rature indone’sienne).Mataram: Lengge. Luxemburg, van Jan, Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn.1987. Tentang Sastra (Diindonesiakan oleh Akhadiati Ikram dari Judul asli Over Literatuur). Jakarta: Intermasa. _______________ 1989. Pengantar Ilmu Sastra (Diindonesiakan oleh Dick Hartoko dari judul asli Inleiding in de Literatuurwetwnschap). Jakarta: Gramedia. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Mann, Richard. 1999. Memperjuangkan Demokrasi Indonesia (Diindonesiakan oleh Maria Irawati Yulianto dari buku Figh for Democracy in Indonesia). Jakarta: Pusat Data Indikator Bekerja sama dengan Handal Niaga Pustaka. Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Napiah, Abdul Rahman. 2009. Teori Sastera Kontemporari. Bandar Baru Bangui Selangor: Pustaka Karya. Nasution, M. Dj. [Penyunting]. 1985. Memahami Cerpen-Cerpen Danarto. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. __________________ 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurhan, Kenedi [Penyunting]. 2002. Jejak Tanah Cerpen Pilihan Kompas 2002. Jakarta: Buku Kompas. Prasetyo, Bambang. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1989. Fantasi Dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto: Dialog Antara Dunia Nyata dan Tidak Nyata. Jakarta: Balai Pustaka. Purnama, Charles. 2003. “Pengaruh Kekuatan Alur dalam Novel Asmaraloka Karya Danarto” (Skripsi). Medan: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Rakhmad, Jalaluddin. 2000. Rekaya Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rani, Abdul; Bustanul Arifin, dan Martutik. 2004. Analisis Wacana sebuah Pendekatan Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing. Ratnawati, V. Risti, Prapti Rahayu, Imam Budi Utomo, dan Trto Suwondo. 2002. Religiusitas dalam Sastra Jawa Modern. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ___________________ 2004. Teori, Metode, Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
dan
Teknik
Penelitian
___________________ 2005. Sastra dan Cultural Studies:Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rokhman, Arif [Penyunting]. 2003. Sastra Interdispliner: Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Program Pascasarjana UNIMED. ______________ 2007. Fungsi Tekstual dalam Wacana Panduan Menulis Tema dan Rema. Medan: Balai Bahasa Medan. Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM Pres. Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini (Diindonesiakan Rachmat Djoko Pradopo). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana (Diindonesiakan oleh Uang, dkk. dari judul aslinya Approaches Discourse). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soemardjan, Selo [Editor]. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sinar, T. Silvana. 2008. Teori Analisis Wacana Pendekatan Sistemik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press. _______________ 2009. Buku Pedoman Tata Cara Penulisan Tesis & Disertasi 2009. Medan: Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Sumarsono. 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literature Macrotheory. The Peter de Ridder: Lisse, Belgium.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah. Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Toda, Dami N. 1982. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh Melani Budianta dari judul asli Theory of Literature). Jakarta:Gramedia. Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti. Pantheisme dan Monoisme dalam Sastra Suluk Jawa (Diindonesiakan oleh Dick Hartoko dari judul asli Pantheisme En Monoisme in de Javaansche Soeloek-Literatuur). Jakarta: GramediaUtama..
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Lampiran 1 Data Proses Mental dalam Novel Asmaraloka (halaman/alinea/baris)
1. Dan terpana memandangi rimbunan daun sebagai sekumpulan bola lampu yang trilyunan jumlahnya, menyala. 6/1/6 2. Ketika mencoba menatap lagi wajah Malaikat itu, perempuan itu terpana karena sosok cahaya itu persis bunglon berangsur-angsur menyatu dengan batang pohon trembesi itu. 6/3/1 3. Sopir dan semua penumpang melongok ke pohon yang bercahaya itu, terbengongbengong. 7/1/2 4. Apa ini semua, ia tak peduli perempuan itu. 7/1/5 5. Ia menoleh ke belakang melihat pohon itu meski bus sudah makin menjauh.7/2/5 6. Kembali menoleh ke arah pohon itu.7/2/15 7. Ia penasaran (tak secuil pun tercungkil). 8/1/2 8. Dari jauh, komandan itu menoleh kembali ke arah pohon itu. 8/1/8 9. Dia mencoba menatap yang paling awan. 8/3/10 10. Barang tentu mereka belum pernah melihat malaikat. 9/1/3 11. Seorang anak menoleh ke arah perempuan itu.9/2/4 12. Saya akan merasa bersalah sekali. 9/9/3 13. Tapi jika kamu bisa mengira-ngira, ke mana arah perginya?11/6/1 14. Menyaksikan pemandangan ini, seketika perempuan itu tertegun bagai patung.11/10/3 15. Matanya menyaksikan ribuan Pasukan Malaikat dengan sayap-sayap yang berbinar-binar cahaya biru laksana berlian memenuhi angkasa.11/10/4 16. Dia seperti ingat sesuatu. 12/2/4 17. Arum melihat di jalanan depan rumah yang benderang oleh sinar entah.14/6/1 18. Jadi kamu pikir kamu cedas.17/11/1 19. Semua melihat ke arah yang ditunjuk si kecil.18/3/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
20. Ia rasakan ada lorong yang dalam dan panjang. 20/1/3 21. Ia mengagumi kecantikan perempuan itu tiba-tiba. 20/2/4 22. Ia merasa bebas.20/2/6 23. Tentu si kecil tidak melupakan kehadiran Tuhan.20/2/9 24. Bahwa hatinya tidak resah ketika memandang lengganya yang laksana macan lapar.20/3/3 25. Tentu saat ini tidak hanya ia sendiri yang menyaksikan kehadiran perempuan cantik ini. 21/1/3 26. Tapi biasanya, setelah sekilas melihatnya, siapa saja lalu menghindar dengan masuk kamar.21/1/6 27. Ia merasakan peraturan pesantren keterlaluan. 21/1/7 28. Kyai tentu malu, jika santrinya terlongong-longong melihat tamu. 21/1/9 29. Kayak tak pernah melihat orang saja.21/1/13 30. Sungguh ia tidak percaya, kenapa hanya melihat perempuan cantik, hati jadi tak karuan? Aneh.21/2/1 31. Sekarang ia merasakan manfaat peratuaran itu.21/2/4 32. Tapi ia juga merasakan adanya gula dari pemandangan itu.21/2/7 33. Ia melihat perempuan itu di depan rumah berpamitan dan menyatakan terima kasihnya kepada Kyai dan istrinya.23/13/3 34. Satu dua temannya melihatnya, tapi lalu menghindar masuk rumah.23/13/6 35. Ia pikir, di samping cantik, perempuan ini juga punya pikiran menarik.23/13/8 36. Jadi, perempuan ini melihat ia dan teman- temannya mengejar- ngejar babi hutan. 23/13/10 37. Kenapa ia dan teman- temannya tak melihat seorang pun pada pagi itu?24/1/1 38. Kaget setengah mati, si kecil menoleh ke belakang dengan gemetar.24/4/1 39. Masyarakat yang lebih melihat perang sebagai tontonan, ia dilihat untuk dinikamati seperti menikamati pertandingan sepak bola. 26/3/6 40. Mereka melihat tentara berbondong- bondong, bertruk- truk, sungguh seperti menyaksikan suatu kesebelasan yang mau bertanding. 26/3/8
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
41. Di kota, Firdaus kehilangan semangat. 30/2/1 42. Ia ingin bertempur bersama Arum, tetapi ternyata perempuan tidak mau menemaninya.30/2/2 43. Ia ingin rebut salah satu di antaranya.30/3/1 44. Firdaus kagum melihat Pasukan Perempuan, cantik-cantik, dengan persenjataan lengkap berbaris menuju truk-truk yang mengangkutnya ke garis depan.31/1/10 45. Tetapi mendadak ia bersemangat kembali bekerja.31/3/4 46. Dari dalam truk itu, Fir melihat di tepi jalan seseorang yang memanggul salib kayu besar, berjalan terseok-seok. 32/1/3 47. Fir merasa pasti, itulah Romo FX Karyadi Wongsodimejo SJ alias Romo Gajah Wong yang hidup yang hidup di tepi Sungai Gajah Wong. 32/1/5 48. Fir terharu dan meyakini Romo aneh itu pasti dibantu para malaikat.32/1/13 49. Firdaus paham betul terhadap pertentangan yang berlarut-larut antara Kyai Muhammad Mahfud dari Pesantren Wasiyatur Rasuli melawan Kyai Ababil Muhammad alias Kyai Kadung Ora alias Kyai Terlanjur Tidak dari Pesantren Gubaarulah.33/12/1 50. Mungkin tentara-tentara itu berpikir perang sudah lama berlangsung hingga kehati-hatian akhirnya membosankan. 45/2/3 51. Begitu angin terasa leluasa menggigit tulang, di luar terlihat selembar selimut yang menebah dari angkasa, menyerap semua kesadaran, mengantarkan tidur yang tidak tenang. 46/2/2 52. Apakah komandan musuh ini sangat kecewa ketika ia ditodong tengkuknya justru oleh orang yang sedang diburunya? 49/3/1 53. Para prajuritnya sebenarnya tidak mengerti ulah komandannya. 50/21/1 54. Tapi tak siapa melihat siapa. 53/3/1 55. Kapten duduk dan melihat Arum sesaat, lalu menyruput kopinya lagi.54/4/1 56. “Apakah tidak mungkin Arum melihat kepada diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian keluar.” 57/24/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
57. Melihat ini, istri Kyai lalu mendekatinya dan sambil berdiri memeluk janda muda, wanita yang punya semangat baja itu. 58/12/1 58. “Lalu saya mikir-mikir, jangan-jangan parit berapi berada di medan perang, akibat jatuhnya bom, mortir, granat, maupun senjata penyembur api. 59/7/1 59. Sekarang dia sadar bahwa di medan perang, segalanya bisa terjadi. 62/6/2 60. Dia merasa terpanggil. 73/18/6 61. Dia menatapnya tak berkedip. 74/8/5 62. “Ia merasa hangat sekarang.” 78/25/1 63. Artinya, para mesin perang ini memahami benar bahwa aktivitas perang adalah permainan. 79/7/2 64. “Saya pikir saya perlu berkenalan lebih lanjut dengan cewek itu,” kata waper itu kepada teman di sampingnya yang minum terus-menerus. 81/3/1 65. Ia menoleh sekejap acuh tak acuh lalu minum lagi sambil menikmati geliat go go girl dengan kostum seadanya yang jumlahnya beberapa orang yang berada di berbagai pojok ruangan. 81/4/1 66. Terkejut aku pingsan berdiri rasanya, ketika melihat di depan ketiga orang yang terikat itu, sepasang kaki berselonjor di atas meja, siapa lagi kalau bukan si cantik Jerman.82/5/1 67. Hampir aku tak kuasa menggerakkan kakiku, bengong menatap perempuan yang kuuber-uber, siapa tahu aku bisa mencoba memikatnya. 83/1/1 68. Aku melihat lima orang lelaki berjajar terikat menempel dinding. 87/2/5 69. Sambil menoleh ogah-ogahan kepadaku, tak sepatah keluar dari mulutnya. 87/2/8 70. Saya percaya banyak jalan menuju medan perang, tetapi bukan jalan ini.” 93/4/1 71. Sekarang Kyai Mahfud sadar, siapa yang sedang dihadapinya, tak ada lain, pastilah itu setan. 94/1/5 72. Menyaksikan pertempuran yang sekejap itu, Kyai Mahfud tertegun bagai patung. 95/3/1 73. Dalam keheningan duduknya di bawah pohon itu, Kyai melihat tampang ‘sejarah yang purba’ itu lewat. 97/3/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
74. Kyai menatap sekeliling tenda. 98/2/1 75. Kyai Mahfud melihatnya takjub. 102/1/1 76. Lelaki itu ogah-ogahan menoleh ke arah suara itu. 103/5/1 77. Ia yakin sudah sering menyaksikan perkelahian yang aneh-aneh di medan perang, tapi kali ini ia anggap baku gulat yang paling edan. 105/3/2 78. Ia ingin kembali secepatnya ke medan perang, walau dulu tak sesuatu pun yang dikerjakannya. 109/3/8 79. Fir
ingat
semuanya,
bagaimana
Kyai
Ora
membentaknya
untuk
lari
menyelamatkan diri ketika orang tua itu menodongkan pistolnya ke tengkuk komandan. 109/2/9 80. Ia merasa harus mencari Kyai Kadung Ora. 110/2/1 81. Menatap Fir dengan pandangan mistik. 111/2/2 82. Fir melihat sesosok tubuh yang masih duduk di belakang stir jip dengan pakaian lengkap baja. 111/3/1 83. Ia juga melihat sebuah bukit yang berwarna abu-abu, suatu warna yang tak pernah ia kenal untuk sebuah bukit. 111/4/1 84. Juga ketika ia menyaksikan sebuah helikopter yang tiba-tiba saja menjadi bangkai teronggok di angkasa sewaktu ribuan burung pemakan bangkai menyerbunya dengan ganas dalam sekejap. 111/3/6 85. Fir menyaksikan lembar-lembaran kertas yang lepas diterbangkan angin dari jepitan mapnya yang terserak di atas mobil lapis baja yang pintu-pintunya rontok. 112/1/5 86. Tapi ia pasti tahu bau itu jauh sudah berubah bersama naluri burung-burung pemakan bangkai. 112/5/3 87. “Aku telah menyaksikan revolusi besar peradaban yang mengembang dari lembah pembantaian ini. 113/4/1 88. “Kita telah melihat manusia-manusia baru yang bebas dari perangai buruk nenekmoyangnya, para kloning manusia itu,terjun di medan perang jauh berani, lebih suci, lebih berkorban, dan lebih ksatria. 117/2/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
89. Ia menikmati pemandangan langit sejenak ketika suara-suara kendaraan dari jauh yang makin mendekat, membuat Fir yang sebenarnya kesakitan harus secepatnya bangkit dan bersembunyi. 120/2/4 90. Fir makin mendekat, tiba-tiba ia merasa takut lalu undur. 121/4/2 91. Begitu ia sadar ia melihat seonggok tubuh yang terkulai di pundak api itu, ia pun berteriak terlempar ke belakang terguling-guling. 121/4/8 92. Namun agaknya Fir tetap menolak kedua jabatan itu karena ia lebih suka berada di medan perang, di samping ia tidak mempercayai keenam Pasukan Kemenangan itu. 124/1/1 93. Ia tak habis mengerti, mengapa anak kecil harus menggantikannya. 133/6/2 94. Ia ingin sekali pendapatnya disetujui. 133/6/6 95. “Saya tidak percaya, Kyai.” 133/9/1 96. “Saya percaya kamu.” 134/2/1 97. Makanya ia berniat untuk langsung ke garis terdepan. 134/7/5 98. Fir sampai di lahan pasir yang luas, melihat parit api berapi yang memanjang menyala-nyala. 135/1/1 99. Ia termangu, ia menatap. 135/1/4 100. Ia menatap lama-lama. 135/1/5 101. Dengan pandangan yang aneh, Fir mencoba menebak, apa gerangan ini. 135/2/3 102. Fir terheran-heran menyaksikannya. 135/2/3 103. Fir mengira-ira pasti di dalam parit itu menganga suatu tungku yang luar biasa panasnya. 135/2/9 104. Fir merasa telah terlontar ke dunia lain. 135/3/5 105. Fir tidak paham apa yang sudah terjadi pada dirinya tetapi seketika tubuhnya terasa lebih sehat, paru-parunya lebih longgar, kepalanya lebih ringan, tangannya lebih melayang, kakinya lebih bebas, daya pikirannya lebih cekatan.135/3/9 106. Firdaus masih takjub memandangi penduduk yang barangkali dari dunia yang lain. 135/10/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
107. Fir merasa siapa pun akan terpikat untuk hidup dan tinggal di dunia asing ini. 137/2/8 108. Fir akhirnya sadar bahwa ia tak merasakan lagi penderitaan ataupun kemarahan, apalagi kesia-siaan pembicaraan. 138/1/7 109. Fir belum pernah melihat bibit tanaman ini. 138/3/2 110. Sambil manggut-manggut Fir merasakannya dengan asyik. 138/4/3 111. Sebaliknya Fir tiba-tiba lantas ingat betapa waskitanya Arum. 141/1/3 112. Dia mengetahui tiap gerak-gerik hati dan pusaran kehidupan dari orangperorang, Fir ingat itu, kejadian di pesantren dulu rasanya masih segar. 141/1/4 113. “Fir melihat dengan baik-baik apa yang ditunjuk Arum, katanya. 142/2/1 114. Kelanggengan menimang bayi kembarnya tersenyum melihat keduanya datang lalu mereka saling beruluk salam. 142/12/3 115. Ia merasa keok. 143/2/4 116. Ia merasa kurang berharga. 143/2/4 117. Setelah beberapa saat lamanya ngobrol, Arum dan Fir lalu diajak berkeliling, melihat seluruh kawasan dengan naik kereta yang ditarik beberapa ekor kuda. 143/2/7 118. Dia sadar, keadaan Firdaus dalam bahaya kalau helikopter itu melihatnya. 151/4/6 119. Matanya sudah mencereng ingin menembus keadaan di dalam helil itu, tapi rupanya kaca pelindungnya cukup gelap hingga dia tak mungkin mampu melihatnya.151/5/3 120. Dia tak pernah memikirkan makan. 152/2/8 121. Sungguh, Arum sekarang harus memikirkan kesehatan tubuhnya demi kedua bayinya.153/7/4 122. Fir belum bisa merasakan makanan yang masuk mulutnya karena mungkin lidahnya masih belum bangun dari tidurnya. 154/2/5 123. Dia coba menoleh ke arah Fir tapi tak mungkin, karena dia sedang dicengkeram kedua bayinya. 156/5/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
124. “Aku pikir Tuhan tidak perlu mematuhi kitab suciNya.” 157/15/1 125. Fir teringat cerita-cerita nenek moyang yang sering diobrolkan di pesantren bahwa ketika prang akan meletus, bumi diserbu meteor yang banyak sekali jumlahnya. 164/3/1 126. Fir merasa lega seketika karena yakin di sinilah pusat berbekalan itu berbeda. 164/4/5 127. Ia melihat sejumlah truk penuh kotak-kotak, bungkusan-bungkusan, kalengkaleng, yang nongkrong dalam diam. 164/4/7 128. Sesampai di luar ia berpikir sejenak, lalu buru-buru ia masuk kembali dan mengambil barang-barang yang sama, ditambah kaleng-kaleng susu, gula, kopi, teh. 165/3/6 129. Dengan sangat hati-hati ia tarik pelan-pelan gerobak itu, tiba-tiba ia melihat pemandangan yang menakjubkan. 166/1/1 130. “Saya tidak tahu tetapi saya saksikan Kyai berpidato berkobar-kobar di hadapan ribuan burung nazar. 167/8/1 131. “Saya lihat betul, itu Kyai.” 167/15/1 132. Fir menyesal kenapa bertemu Kyai Ababil itu kembali, seseorang yang selama ini menimbulkan tanda tanya, menimbulkan perdebatan, menimbulkan ketidaksenangan pergaulan. 168/12/2 133. “Saya ingin Kyai tidak bersama saya.” 169/3/1 134. “Saya tidak melihat unsur kebetulan dalam pertemuan-pertemuan kita, Kyai. 169/9/1 135. Ia merasa harus bersikeras mengemukakan sikapnya, supaya tidak dilecehkan terus-menerus, meskipun sebenarnya ia juga sadar bahwa Kyai Ora tidak pernah melecehkannya dengan sengaja. 172/16/9 136. Ia melihat Arum dari balik rongsokan truk, menyeret-nyeret sejumlah mayat menjauh dari rumah bajanya itu. 175/3/1 137. Namun ia kaget sekali karena melihat Arum berpakaian seragam yang dicurinya itu. 176/3/4
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
138. Tapi ia seketika jengkel karena lalu teringat Kyai Kadung Ora. 176/3/6 139. Ia melihat lagi tumpukan pakaian seragam, selimut, sarung, handuk, dan sejumlah kain pembalut, hasil curiannya itu. 176/4/5 140. Ia lalu menyesal berlaku kasar kepadanya. 177/1/1 141. Ketika ia masih berpikir-pikir itulah, helikopter itu melemparkannya ke suatu kolam bersama onggokan mobil yang menyembunyikannya. 196/1/8 142. Ketika ia merasa terlepas dari pengamatan, larilah ia menyusup-nyusup hutan kecil di sekitar istana itu. 203/1/2 143. Ia menangis dan menyesali dirinya yang telah berbuat kasar terhadap Kyai Mahfud maupun Kyai Kadung Ora. 203/1/8 144. Ia merasa tidak mungkin lolos dari cengkeraman setan-setan kerajaan Pasukan Kemenangan. 204/2/1 145. Ia berpikir, percuma saja ia melawan setan-setan itu. 204/2/10 146. Dan ia berpikir keras dan mencari cara untuk setiap hari tumbuh semakin baik. 204/3/11 147. Firdaus telah mampu melihat masa depan dengan baik dengan menempa dirinya sendiri.205/2/1 148. Ia merasa berada di suatu lembah yang penuh ikan-ikan besar dan kecil yang berseliweran di antara pohon-pohon dan taman bunga. 208/2/10 149. Di atas kudanya, Fir melihat di dalam aquarium itu sebongkah batu yang bersinar cemerlang, mengatasi sinar matahari. 208/3/1 150. Melihat gelagat Pasukan Kemenangan yang waspada, tekun, teliti, itulah sebabnya para kyai jika membicarakan sesuatu hal yang penting, selalu berbisik, bahkan cenderung diam. 212/1/4 151. “Patuh, anakku, patuh,” ujar ibunya dengan kalem yang membuat Fir ingat akan janjinya untuk patuh kepada ibunya. 212/8/1 152. Memikirkan hal ini membuat sang pangeran uring-uringan. 213/1/12 153. Fir berpikir keras. 216/4/6 154. Ia ingin berpikir sendirian. 217/7/2
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
155. Yobim merasa kehabisan akal untuk bisa menerangkan dengan jelas kepada Pangeran Fir. 224/1/2 156. Yobim boleh melihatnya mirip para pemain ski yang bersiap-siap mau meluncur.225/1/7 157. Ia menikmati benar pemandangan itu. 225/1/8 158. Fir menyaksikan tentara-tentara itu juga memperkosa mereka. 226/1/1 159. Tetapi, apakah moral dan etika perang masih berlaku, orang harus ingat kembali peraturan yang ada. 226/2/3 160. Ia duduk di bukit sambil matanya melayang menikamati pemandangan yang berdarah-darah di lembah bawah. 227/0/9 161. Mereka ingin melihat dan menganalisa musim yang mendadak berubah itu. 227/3/6 162. Tetapi para utusan juga punya hak untuk melihat pertempuran, dan mereka tidak butuh penjagaan. 228/2/10 163. Mereka heran, kenapa di zaman hiper modern begini masih dijumpai orangorang abad kelima belas.229/6/3 164. Fir baru sadar sekarang bahwa di pantatnya tumbuh seutas ekor yang menandakan ia termasuk anggota kekuatan setan. 230/4/1 165. Ia mengetahui apa yang di depan mereka 230/5/9 166. Barangkali Yobim juga tidak akan mengira bahwa Fir ternyata bisa sadar, hanya karena seutas tali. 231/1/6 167. Ia merasa juga selama ini sebagai jangat liat kurang panggang tidak dapat diajar meskipun ia tahu bahwa Kyainya seorang waskita, jatmika dan saleh. 231/2/2 168. Ia merasa bersyukur andai kata ada peluru nyasar menembus jantungnnya. 232/1/4 169. Melihat kelakuan kuda yang begini macam, burung-burung yang mencoba bertahan itu ngacir seketika. 235/2/1 170. Pangeran Fir tidak melihatku 235/2/6
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
171. Keluh kesahku, keluh kesahmu, aku kuda Fir, menyesal tak mampu menolongmu, tuan, kekuatanmu kekuatanku, bukan, bukan aku tak punya alasan untuk tidak menolongmu. 235/2/1 172. Di hadapannya berdiri dua anak yang sebaya, laki dan perempuan, yang menatap bengong pada binatang itu. 237/ 3/1 173. Tetapi melihat kuda itu, Arum tersenyum. 238/9/2 174. Sering dari jauh Arum melihat sikembar tertawa-tawa di atas kuda kesayangannya yang berjalan pelan seperti seekor binatang yang begitu mengerti akan keselamatan anak-anaknya. 238/14/9 175. Apakah ia senang bergaul dengan Ati dan Argo? 239/1/6 176. Sebagai kuda perang, ia sungguh ngeri menyaksikan Arum dalam keterlibatanya dengan perang. 240/1/3 177. Tuhan menyukai keindahan. 241/2/5 178. Tapi, dalam salat tahajud, Arum tak merasakan hadirnya Fir. 241/3/14 179. Memikirkan hal itu Arum suka tersenyum sendiri, allahu Akbar, semuanya sepertinya berjejer diatur dalam irama kehidupan sehari-hari. 242/1/10 180. Arum baru melihat kaki kuda di balik rongsokan truk. 242/2/5 181. Mereka percaya, kisah seorang yang menjalani hidupnya sehari-hari di tengah peperangan bertahun-tahun lebih-lebih perang yang sudah berlangsung puluhan tahun pasti mencuatkan hal-hal musykil yang sangat sulit dipercaya, meskipun kisah itu benar- benar terjadi. 245 /1/2 182. Kamu masih ingat ketika kamu sedang bermain dengan anak-anakmu, di seberang
tikungan
sepuluh/duabelas
lewat
sepasukan
kanak-kanak
berusia
sekitar
dengan persenjataan lengkap untuk bertempur dan kamu
lantas menangis memandang iring-iringan yang berjalan terhuyung-huyung karena keberatan senapan itu. 246/2/7
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Lampiran 2 Data Proses Mental dalam Novel Asmaraloka Mental: Kognisi 1. Tapi jika kamu bisa mengira-ngira, ke mana arah perginya?11/6/1 2. Dia seperti ingat sesuatu. 12/2/4 3. Jadi kamu pikir kamu cedas.17/11/1 4. Tentu si kecil tidak melupakan kehadiran Tuhan.20/2/9 5. Banyak perempuan cantik, yang sudah bersuami maupun yang masih perawan, tapi kenapa baru kali ini yang membuat hatinya tidak karuan.20/3/3 6. Ia pikir, di samping cantik, perempuan ini juga punya pikiran menarik.23/13/8 7. Fir merasa pasti, itulah Romo FX Karyadi Wongsodimejo SJ alias Romo Gajah Wong yang hidup di tepi Sungai Gajah Wong. 32/1/5 8. Firdaus paham betul terhadap pertentangan yang berlarut-larut antara Kyai Muhammad Mahfud dari Pesantren Wasiyatur Rasuli melawan Kyai Ababil Muhammad alias Kyai Kadung Ora alias Kyai Terlanjur Tidak dari Pesantren Gubaarulah.33/12/1 9. Mungkin tentara-tentara itu berpikir perang sudah lama berlangsung hingga kehati-hatian akhirnya membosankan. 45/2/3 10. “Lalu saya mikir-mikir, jangan-jangan parit berapi berada di medan perang, akibat jatuhnya bom, mortir, granat, maupun senjata penyembur api. 59/7/1 11. Artinya, para mesin perang ini memahami benar bahwa aktivitas perang adalah permainan. 79/7/2 12. “Saya pikir saya perlu berkenalan lebih lanjut dengan cewek itu,” kata waper itu kepada teman di sampingnya yang minum terus-menerus. 81/3/1 13. Saya percaya banyak jalan menuju medan perang, tetapi bukan jalan ini.” 93/4/1 14. Fir
ingat
semuanya,
bagaimana
Kyai
Ora
mmbentaknya
untuk
lari
menyelamatkan diri ketika orang tua itu menodongkan pistolnya ke tengkuk komandan. 109/2/9
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
15. Namun agaknya Fir tetap menolak kedua jabatan itu karena ia lebih suka berada di medan perang, di samping ia tidak mempercayai keenam Pasukan Kemenangan itu. 124/1/1 16. “Saya tidak percaya, Kyai.” 133/9/1 17. “Saya percaya kamu.” 134/2/1 18. Dengan pandangan yang aneh, Fir mencoba menebak, apa gerangan ini. 135/2/3 19. Fir mengira-ira pasti di dalam parit itu menganga suatu tungku yang luar biasa panasnya. 135/2/9 20. Fir tidak paham apa yang sudah terjadi pada dirinya tetapi seketika tubuhnya terasa lebih sehat, paru-parunya lebih longgar, kepalanya lebih ringan, tangannya lebih melayang, kakinya lebih bebas, daya pikirannya lebih cekatan.135/3/9 21. Ia pikir apa, aku ini? 141/1/1 22. Sebaliknya Fir tiba-tiba lantas ingat betapa waskitanya Arum. 141/1/3 23. Dia mengetahui tiap gerak-gerik hati dan pusaran kehidupan dari orang-perorang, Fir ingat itu, kejadian di pesantren dulu rasanya masih segar. 141/1/4 24. Dia tak pernah memikirkan makan. 152/2/8 25. Sungguh, Arum sekarang harus memikirkan kesehatan tubuhnya demi kedua bayinya.153/7/4 26. “Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa kamu setiap saat bisa tewas di medan perang?” 158/8/1 27. “Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa pada suatu saat kamu akan kawin?” 158/14/1 28. “Aku pikir Tuhan tidak perlu mematuhi kitab suci-Nya.” 157/15/1 29. Fir teringat cerita-cerita nenek moyang yang sering diobrolkan di pesantren bahwa ketika perang akan meletus, bumi diserbu meteor yang banyak sekali jumlahnya. 164/3/1 30. “Saya tidak percaya.” 171/8/1 31. Ketika ia masih berpikir-pikir itulah, helikopter itu melemparkannya ke suatu kolam bersama onggokan mobil yang menyembunyikannya. 196/1/8
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
32. Ia berpikir, percuma saja ia melawan setan-setan itu. 204/2/10 33. Dan ia berpikir keras dan mencari cara untuk setiap hari tumbuh semakin baik. 204/3/11 34. “Patuh, anakku, patuh,” ujar ibunya dengan kalem yang membuat Fir ingat akan janjinya untuk patuh kepada ibunya. 212/8/1 35. Memikirkan hal ini membuat sang pangeran uring-uringan. 213/1/12 36. Bahkan terlalu ketat, ia pikir, buat apa jika akhirnya toh gagal juga menjaga keselamatannya.215/2/7 37. Fir berpikir keras. 216/4/6 38. Ia ingin berpikir sendirian. 217/7/2 39. Tetapi, apakah moral dan etika perang masih berlaku, orang harus ingat kembali peraturan yang ada. 226/2/3 40. Mereka heran, kenapa di zaman hiper modern begini masih dijumpai orang-orang abad kelima belas.229/6/3 41. Ia mengetahui apa yang di depan mereka 230/5/9 42. Barangkali Yobim juga tidak akan mengira bahwa Fir ternyata bisa sadar, hanya karena seutas tali. 231/1/6 43. Memikirkan hal itu Arum suka tersenyum sendiri,
allahu Akbar, semuanya
sepertinya berjejer diatur dalam irama kehidupan sehari-hari. 242/1/10 44. Mereka percaya, kisah seorang yang menjalani hidupnya sehari-hari di tengah peperangan bertahun-tahun lebih-lebih perang yang sudah berlangsung puluhan tahun pasti mencuatkan hal-hal musykil yang sangat sulit dipercaya, meskipun kisah itu benar- benar terjadi. 245 /1/2 45. Kamu masih ingat ketika kamu sedang bermain dengan anak-anakmu, di seberang tikungan lewat sepasukan kanak-kanak berusia sekitar sepuluh/duabelas dengan dengan persenjataan lengkap untuk bertempur dan kamu lantas menangis memandang iring-iringan yang berjalan terhuyung-huyung karena keberatan senapan itu. 246/2/7
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Mental: Afeksi 183.
Apa ini semua, ia tak peduli perempuan itu. 7/1/5
184.
Ia penasaran. 8/1/2
185.
Saya akan merasa bersalah sekali. 9/9/3
186.
Ia rasakan ada lorong yang dalam dan panjang. 20/1/3
187.
Ia mengagumi kecantikan perempuan itu tiba-tiba. 20/2/4
188.
Ia merasa bebas.20/2/6
189.
Hatinya tidak resah ketika memandang lengannya yang laksana macan lapar.
20/2/5 190.
Ia merasakan peraturan pesantren keterlaluan. 21/1/7
191.
Sekarang ia merasakan manfaat peratuaran itu.21/2/4
192.
Tapi ia juga merasakan adanya gula dari pemandangan itu.21/2/7
193.
Di kota, Firdaus kehilangan semangat. 30/2/1
194.
Firdaus malu ia tak mau kehilangan kedua-duanya. 31/2/5
195.
Fir terharu dan meyakini Romo aneh itu pasti dibantu para malaikat.32/1/13
196.
Para prajuritnya sebenarnya tidak mengerti ulah komandannya. 50/21/1
197.
Sekarang dia sadar bahwa di medan perang, segalanya bisa terjadi. 62/6/2
198.
Dia merasa terpanggil. 73/18/6
199.
“Ia merasa hangat sekarang.” 78/25/1
200. Sekarang Kyai Mahfud sadar, siapa yang sedang dihadapinya, tak ada lain, pastilah itu setan. 94/1/5 201. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, tidur berayun di cabang pohon dengan kasur tebal rimbun daunnya. 108/2/4 202. Ia merasa harus mencari Kyai Kadung Ora. 110/2/1 203. Ia menikmati pemandangan langit sejenak ketika suara-suara kendaraan dari jauh yang makin mendekat, membuat Fir yang sebenarnya kesakitan harus secepatnya bangkit dan bersembunyi. 120/2/4 204. Fir makin mendekat, tiba-tiba ia merasa takut lalu undur. 121/4/2 205. Ia tak habis mengerti, mengapa anak kecil harus menggantikannya. 133/6/2
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
206. Fir merasa telah terlontar ke dunia lain. 135/3/5 207. Fir merasa siapa pun akan terpikat untuk hidup dan tinggal di dunia asing ini. 137/2/8 208. Fir akhirnya sadar bahwa ia tak merasakan lagi penderitaan ataupun kemarahan, apalagi kesia-siaan pembicaraan. 138/1/7 209. Sambil manggut-manggut Fir merasakannya dengan asyik. 138/4/3 210. Ia merasa keok. 143/2/4 211. Ia merasa kurang berharga. 143/2/4 212. Fir belum bisa merasakan makanan yang masuk mulutnya karena mungkin lidahnya masih belum bangun dari tidurnya. 154/2/5 213. Dia sadar keadaan Firdaus dalam bahaya 214. Fir merasa lega seketika karena yakin di sinilah pusat berbekalan itu berbeda. 164/4/5 215. “Sekarang Kyai menikmati hidup ini.” 168/8/1 216. Fir menyesal kenapa bertemu Kyai Ababil itu kembali, seseorang yang selama ini menimbulkan tanda tanya, menimbulkan perdebatan, menimbulkan ketidaksenangan pergaulan. 168/12/2 217. “Saya ingin Kyai tidak bersama saya.” 169/3/1 218. Ia merasa harus bersikeras mengemukakan sikapnya, supaya tidak dilecehkan terus-menerus, 172/16/9 219. Meskipun sebenarnya ia juga sadar bahwa Kyai Ora tidak pernah melecehkannya dengan sengaja. 172/16/9 220. Di sini lalu ia merasakan penyesalan, kenapa ia tidak membuat tanda-tanda yang dapat menuntunnya kembali ke rumah mobil baja itu. 175/2/4 221. Tapi ia seketika jengkel karena lalu teringat Kyai Kadung Ora. 176/3/6 222. Ia lalu menyesal berlaku kasar kepadanya. 177/1/1 223. Ia jengkel. 177/8/4 224. “Aku senang kamu memikirkan itu. 199/8/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
225. Ketika ia merasa terlepas dari pengamatan, larilah ia menyusup-nyusup hutan kecil di sekitar istana itu. 203/1/2 226. Ia merasa tidak mungkin lolos dari cengkeraman setan-setan kerajaan Pasukan Kemenangan. 204/2/1 227. Fir terkagum-kagum.208/2/9 228. Ia merasa berada di suatu lembah yang penuh ikan-ikan besar dan kecil yang berseliweran di antara pohon-pohon dan taman bunga. 208/2/10 229. Ketika menyadari hal ini, tentara maupun prajurit menjadi semakin rajin bertempur dan semakin rajin menyerang.220/1/1 230. Yobim merasa kehabisan akal untuk bisa menerangkan dengan jelas kepada Pangeran Fir. 224/1/2 231. Ia menikmati benar pemandangan itu. 225/1/8 232. Ia duduk di bukit sambil matanya melayang menikamati pemandangan yang berdarah-darah di lembah bawah. 227/0/9 233. Fir baru sadar sekarang bahwa di pantatnya tumbuh seutas ekor yang menandakan ia termasuk anggota kekuatan setan. 230/4/1 234. Ia merasa juga selama ini sebagai jangat liat kurang panggang tidak dapat diajar meskipun ia tahu bahwa Kyainya seorang waskita, jatmika dan saleh. 231/2/2 235. Ia merasa bersyukur andai kata ada peluru nyasar menembus jantungnnya. 232/1/4 236. Keluh kesahku, keluh kesahmu, aku kuda Fir, menyesal tak mampu menolongmu, tuan, kekuatankmu kekuatanku, bukan, bukan aku tak punya alasan untuk tidak menolongmu. 235/2/1 237. Apakah ia senang bergaul dengan Ati dan Argo? 239/1/6 238. Tuhan menyukai keindahan. 241/2/5 239. Tapi, dalam salat tahajud, Arum tak merasakan hadirnya Fir. 241/3/14
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Mental: Persepsi 1. Dan terpana memandangi rimbunan daun sebagai sekumpulan bola lampu yang trilyunan jumlahnya, menyala. 6/1/6 2. Ketika mencoba menatap lagi wajah Malaikat itu, perempuan itu terpana karena sosok cahaya itu persis bunglon berangsur-angsur menyatu dengan batang pohon trembesi itu. 6/3/1 3. Sopir dan semua penumpang melongok ke pohon yang bercahaya itu, terbengongbengong. 7/1/2 4. Ia menoleh ke belakang 7/2/5 5. (Ia) melihat pohon itu meski bus sudah makin menjauh.7/2/5 6. Kembali menoleh ke arah pohon itu.7/2/15 7. Dari jauh, komandan itu menoleh kembali ke arah pohon itu. 8/1/8 8. Dia mencoba menatap yang paling awan. 8/3/10 9. Barang tentu mereka belum pernah melihat malaikat. 9/1/3 10. Seorang anak menoleh ke arah perempuan itu.9/2/4 11. Menyaksikan pemandangan ini, seketika perempuan itu tertegun bagai patung.11/10/3 12. Matanya menyaksikan ribuan Pasukan 13. Arum melihat di jalanan depan rumah yang benderang oleh sinar entah.14/6/1 14. Semua melihat ke arah yang ditunjuk si kecil.18/3/1 15. Bahwa hatinya tidak resah ketika memandang lengganya yang laksana macan lapar.20/3/3 16. Kyai tentu malu, jika santrinya terlongong-longong melihat tamu. 21/1/9 17. Ia melihat perempuan itu di depan rumah berpamitan dan menyatakan terima kasihnya kepada Kyai dan istrinya.23/13/3 18. Satu dua temannya melihatnya, tapi lalu menghindar masuk rumah.23/13/6 19. Jadi, perempuan ini melihat ia dan teman- temannya mengejar- ngejar babi hutan. 23/13/10 20. Kenapa ia dan teman- temannya tak melihat seorang pun pada pagi itu?24/1/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
21. Kaget setengah mati, si kecil menoleh ke belakang dengan gemetar.24/4/1 22. Masyarakat yang lebih melihat perang sebagai tontonan, ia dilihat untuk dinikamati seperti menikamati pertandingan sepak bola. 26/3/6 23. Mereka melihat tentara berbondong- bondong, bertruk- truk, sungguh seperti menyaksikan suatu kesebelasan yang mau bertanding. 26/3/8 24. Firdaus kagum melihat Pasukan Perempuan, cantik-cantik, dengan persenjataan lengkap berbaris menuju truk-truk yang mengangkutnya ke garis depan.31/1/10 25. Tetapi mendadak ia bersemangat kembali bekerja.31/3/4 26. Dari dalam truk itu, Fir melihat di tepi jalan seseorang yang memanggul salib kayu besar, berjalan terseok-seok. 32/1/3 27. Tapi tak siapa melihat siapa. 53/3/1 28. Kapten duduk dan melihat Arum sesaat, lalu menyruput kopinya lagi.54/4/1 29. “Apakah tidak mungkin Arum melihat kepada diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian keluar.” 57/24/1 30. Melihat ini, istri Kyai lalu mendekatinya dan sambil berdiri memeluk janda muda, wanita yang punya semangat baja itu. 58/12/1 31. Ia menoleh sekejap acuh tak acuh lalu minum lagi sambil menikmati geliat go go girl dengan kostum seadanya yang jumlahnya beberapa orang yang berada di berbagai pojok ruangan. 81/4/1 32. Anak lelakinya, yang acuh tak acuh tak menoleh sedikit pun kepada ibunya. 69/3/7 33. Dia menatapnya tak berkedip. 74/8/5 34. Ia menoleh sekejap acuh tak acuh. 81/4/1 35. Terkejut aku pingsan berdiri rasanya, ketika melihat di depan ketiga orang yang terikat itu, sepasang kaki berselonjor di atas meja, siapa lagi kalau bukan si cantik Jerman.82/5/1 36. Hampir aku tak kuasa menggerakkan kakiku, bengong menatap perempuan yang kuuber-uber, siapa tahu aku bisa mencoba memikatnya. 83/1/1 37. Aku melihat lima orang lelaki berjajar terikat menempel dinding. 87/2/5 38. Aku melihat lima orang lelaki berjajar terikat menempel dinding. 87/2/5
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
39. Kyai melihat tampang ‘sejarah yang purba’ itu lewat. 97/3/1 40. Menyaksikan pertempuran yang sekejap itu, Kyai Mahfud tertegun bagai patung. 95/3/1 41. Kyai menatap sekeliling tenda. 98/2/1 42. Kyai Mahfud melihatnya takjub. 102/1/1 43. Ia yakin sudah sering menyaksikan perkelahian yang aneh-aneh di medan perang, tapi kali ini ia anggap baku gulat yang paling edan. 105/3/2 44. Menatap Fir dengan pandangan mistik. 111/2/2 45. Fir melihat sesosok tubuh yang masih duduk di belakang stir jip dengan pakaian lengkap baja. 111/3/1 46. Ia juga melihat sebuah bukit yang berwarna abu-abu, suatu warna yang tak pernah ia kenal untuk sebuah bukit. 111/4/1 47. Juga ketika ia menyaksikan sebuah helikopter yang tiba-tiba saja menjadi bangkai teronggok di angkasa sewaktu ribuan burung pemakan bangkai menyerbunya dengan ganas dalam sekejap. 111/3/6 48. Fir menyaksikan lembar-lembaran kertas yang lepas diterbangkan angin dari jepitan mapnya yang terserak di atas mobil lapis baja yang pintu-pintunya rontok. 112/1/5 49. “Aku telah menyaksikan revolusi besar peradaban yang mengembang dari lembah pembantaian ini. 113/4/1 50. “Kita telah melihat manusia-manusia baru yang bebas dari perangai buruk nenekmoyangnya, para kloning manusia itu, terjun di medan perang jauh berani, lebih suci, lebih berkorban, dan lebih ksatria. 117/2/1 51. Begitu ia sadar ia melihat seonggok tubuh yang terkulai di pundak api itu, ia pun berteriak terlempar ke belakang terguling-guling. 121/4/8 52. Fir sampai di lahan pasir yanng luas, melihat parit api berapi yang memanjang menyala-nyala. 135/1/1 53. Ia termangu, ia menatap. 135/1/4 54. Ia menatap lama-lama. 135/1/5
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
55. Firdaus masih takjub memandangi penduduk yang barangkali dari dunia yang lain. 135/10/1 56. Fir belum pernah melihat bibit tanaman ini. 138/3/2 57. “Fir melihat dengan baik-baik apa yang ditunjuk Arum, katanya. 142/2/1 58. Setelah beberapa saat lamanya ngobrol, Arum dan Fir lalu diajak berkeliling, melihat seluruh kawasan dengan naik kereta yang ditarik beberapa ekor kuda. 143/2/7 59. Dia sadar, keadaan Firdaus dalam bahaya kalau helikopter itu melihatnya. 151/4/6 60. Matanya sudah mencereng ingin menembus keadaan di dalam heli itu, tapi rupanya kaca pelindungnya cukup gelap hingga dia tak mungkin mampu melihatnya.151/5/3 61. Dia coba menoleh ke arah Fir tapi tak mungkin, karena dia sedang dicengkeram kedua bayinya. 156/5/1 62. Ia melihat sejumlah truk penuh kotak-kotak, bungkusan-bungkusan, kalengkaleng, yang nongkrong dalam diam. 164/4/7 63. “Saya lihat betul, itu Kyai.” 167/15/1 64. “Saya tidak melihat unsur kebetulan dalam pertemuan-pertemuan kita, Kyai. 169/9/1 65. Ia melihat Arum dari balik rongsokan truk, menyeret-nyeret sejumlah mayat menjauh dari rumah bajanya itu. 175/3/1 66. Namun ia kaget sekali karena melihat Arum berpakaian seragam yang dicurinya itu. 176/3/4 67. Ia melihat lagi tumpukan pakaian seragam, selimut, sarung, handuk, dan sejumlah kain pembalut, hasil curiannya itu. 176/4/5 68. Firdaus telah mampu melihat masa depan dengan baik dengan menempa dirinya sendiri.205/2/1 69. Di atas kudanya, Fir melihat di dalam aquarium itu sebongkah batu yang bersinar cemerlang, mengatasi sinar matahari. 208/3/1
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
70. Melihat gelagat Pasukan Kemenangan yang waspada, tekun, teliti, itulah sebabnya para kyai jika membicarakan sesuatu hal yang penting, selalu berbisik, bahkan cenderung diam. 212/1/4 71. Yobim boleh melihatnya mirip para pemain ski yang bersiap-siap mau meluncur.225/1/7 72. Fir menyaksikan tentara-tentara itu juga memperkosa mereka. 226/1/1 73. Mereka ingin melihat dan menganalisa musim yang mendadak berubah itu. 227/3/6 74. Tetapi para utusan juga punya hak untuk melihat pertempuran, dan mereka tidak butuh penjagaan. 228/2/10 75. Melihat kelakuan kuda yang begini macam, burung-burung yang mencoba bertahan itu ngacir seketika. 235/2/1 76. Pangeran Fir tidak melihatku 235/2/6 77. Tetapi melihat kuda itu, Arum tersenyum. 238/9/2 78. Sering dari jauh Arum melihat sikembar tertawa-tawa di atas kuda kesayangannya yang berjalan pelan seperti seekor binatang yang begitu mengerti akan keselamatan anak-anaknya. 238/14/9 79. Sebagai kuda perang, ia sungguh ngeri menyaksikan Arum dalam keterlibatanya dengan perang. 240/1/3 80. Arum baru melihat kaki kuda di balik rongsokan truk. 242/2/5
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Lampiran 3 Analisis Proses Mental dalam Novel Asmaraloka 1. Mental: Persepsi 1. (Ia)
melihat
Pengindera 2.
pohon itu meski bus sudah makin menjauh
Proses: mental, persepsi
Mereka
Fenomena
belum pernah melihat
Pengindera
malaikat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
3. Arum
melihat
Pengindera 4. Semua
di jalanan depan rumah yang benderang oleh sinar entah
Proses: mental, persepsi melihat
Pengindera
Sirkumstan ke arah yang ditunjuk si kecil
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan
5. Santrinya
terlongong-longong melihat
Pengindera
tamu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
6. Ia
melihat Pengindera
perempuan itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
7. Satu dua temannya Pengindera
melihat
-nya (dia)
Proses: mental, persepsi
Fenomena
8. Perempuan ini Pengindera 9.
melihat Proses: mental, persepsi
Ia dan teman- temannya Pengindera
ia dan teman- temannya
tak melihat Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Fenomena seorang pun pada pagi itu Fenomena
10. Masyarakat Pengindera
lebih melihat
perang sebagai tontonan
Proses: mental, persepsi
Fenomena
11. Mereka Pengindera
melihat
tentara berbondong- bondong, bertruk- truk
Proses: mental, persepsi
Fenomena
12. Firdaus Pengindera
kagum melihat
Pasukan Perempuan, cantik-cantik
Proses: mental, persepsi
Fenomena
13. Fir
melihat
Pengindera 14. Tak siapa Fenomena
di tepi jalan seseorang yang memanggul salib kayu besar
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan: tempat
melihat
siapa
Proses: mental, persepsi
Pengindera
15. (Kapten) Pengindera
melihat
Arum sesaat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
16. Arum Pengindera
melihat
kepada diri sendiri terlebih dahulu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
17. (Istri Kyai) Pengindera
melihat
ini
Proses: mental, persepsi
Fenomena
18. (Aku)
Pengindera
melihat
di depan ketiga orang yang terikat itu, sepasang kaki berselonjor di atas meja, siapa lagi kalau bukan si cantik Jerman
Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Sirkumstan
19. Aku Pengindera
melihat
lima orang lelaki menempel dinding
Proses: mental, persepsi
berjajar
terikat
Fenomena
20. Kyai Pengindera
melihat
tampang ‘sejarah yang purba’ itu lewat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
21. Kyai Mahfud Pengindera
melihat Proses: mental, persepsi
-nya (dia) takjub Fenomena
22. Fir
Pengindera
melihat
Proses: mental, persepsi
sesosok tubuh yang masih duduk di belakang stir jip dengan pakaian lengkap baja Fenomena
23. Ia
juga melihat Pengindera
Proses: mental, persepsi
sebuah bukit yang berwarna abu-abu Fenomena
24. Kita Pengindera
telah melihat Proses: mental, persepsi
manusia-manusia baru yang bebas dari perangai buruk nenek-moyangnya Fenomena
25. Ia
melihat Pengindera
Proses: mental, persepsi
seonggok tubuh yang terkulai Fenomena
26. (Fir) Pengindera
melihat Proses: mental, persepsi
parit api berapi menyala-nyala
yang
Fenomena
27. Fir Pengindera
belum pernah melihat Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
bibit tanaman ini Fenomena
memanjang
28. Fir
melihat
Pengindera
dengan baik-baik apa yang ditunjuk Arum
Proses: mental, persepsi Sirkumstan: cara
29. (Arum dan Fir) Pengindera
melihat
seluruh kawasan dengan naik kereta yang ditarik beberapa ekor kuda
Proses: mental, persepsi
Fenomena
30. Ia
melihat Pengindera
pemandangan yang menakjubkan
Proses: mental, persepsi
Fenomena
31. Ia
melihat Pengindera
sejumlah truk
Proses: mental, persepsi
Fenomena
32. Saya Pengindera
tidak melihat
unsur kebetulan dalam pertemuan kita, Kyai
Proses: mental, persepsi
pertemuan-
Fenomena
33. Ia
melihat Pengindera
Arum
Proses: mental, persepsi
Fenomena
34. (Ia) Pengindera
melihat
Arum berpakaian dicurinya itu
Proses: mental, persepsi
seragam
yang
Fenomena
35. Ia
melihat lagi
Pengindera 36. Firdaus Pengindera
tumpukan pakaian seragam, selimut, sarung, handuk, dan sejumlah kain pembalut
Proses: mental, persepsi
Fenomena
telah mampu melihat
masa depan dengan baik
Proses: mental, persepsi
Fenomena
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
37. Fir
melihat
Pengindera
di dalam aquarium itu sebongkah batu yang bersinar cemerlang
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan: lokasi
38. (Para kyai)
melihat
Pengindera
gelagat Pasukan Kemenangan waspada, tekun, teliti
Proses: mental, persepsi
yang
Fenomena
39. Yobim
boleh melihat
Pengindera
nya (dia)
Proses: mental, persepsi
Fenomena
40. Mereka Pengindera 41. Para utusan
ingin melihat dan musim yang mendadak berubah itu menganalisa Proses: mental, persepsi Fenomena juga punya hak untuk melihat
Pengindera
pertempuran
Proses: mental, persepsi
Fenomena
42. (Burung-burung) Pengindera
melihat
kelakuan kuda yang begini macam
Proses: mental, persepsi
Fenomena
43. Pangeran Fir Pengindera
tidak melihat
ku (aku)
Proses: mental, persepsi
Fenomena
44. (Arum) Pengindera
melihat Proses: mental, persepsi
kuda itu Fenomena
45. Arum Pengindera
melihat Proses: mental, persepsi
sikembar tertawa-tawa Fenomena
46. Arum
baru melihat
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
kaki kuda di balik rongsokan truk
Pengindera
Proses: mental, persepsi
Fenomena
47. (Sikebaya lusuh)
Pengindera
terpana memandangi rimbunan daun sebagai sekumpulan bola lampu yang trilyunan jumlahnya, menyala Proses: mental, persepsi
Fenomena
48. (Ia)
memandang
Pengindera
lengganya yang laksana macan lapar
Proses: mental, persepsi
Fenomena
49. Firdaus
masih memandangi
Pengindera
takjub penduduk yang barangkali dari dunia yang lain
Proses: mental, persepsi
Fenomena
50. (Permpuan itu) Pengindera
menyaksikan
pemandangan ini
Proses: mental, persepsi
Fenomena
51. Matanya
menyaksikan
Pengindera
ribuan Pasukan Malaikat
Proses: mental, persepsi
Fenomena
52. (Kyai Mahfud) Pengindera
menyaksikan
pertempuran yang sekejap itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
53. Ia Pengindera
yakin
sudah sering perkelahian yang anehmenyaksikan aneh di medan perang
Proses: mental, kognisi
Proses: mental, persepsi
Fenomena
54. Ia
menyaksikan Pengindera
sebuah helikopter yang tiba-tiba saja menjadi bangkai teronggok
Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Fenomena
55. Fir
menyaksikan
Pengindera
lembar-lembaran kertas yang lepas diterbangkan angin dari jepitan mapnya yang terserak di atas mobil lapis baja yang pintu-pintunya rontok
Proses: mental, persepsi
Fenomena
56. Aku
telah menyaksikan
Pengindera 57.
revolusi besar peradaban yang mengembang dari lembah pembantaian ini
Proses: mental, persepsi
Saya
saksikan
Pengindera
Fenomena Kyai berpidato berkobar-kobar
Proses: mental, persepsi
Fenomena
58. Fir
menyaksikan
Pengindera
tentara-tentara itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
59. Ia Pengindera 60.
sungguh ngeri Arum dalam keterlibatanya dengan perang menyaksikan Proses: mental, persepsi Fenomena
(Perempuan itu) Pengindera
mencoba menatap
lagi
wajah Malaikat itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
61. Dia Pengindera
mencoba menatap
yang paling awan
Proses: mental, persepsi
Fenomena
62. Dia Pengindera
menatapnya
tak berkedip
Proses: mental, persepsi
Fenomena
63. (Aku) Pengindera
bengong
menatap Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
perempuan yang kuuber-uber Fenomena
64. Kyai
menatap
Pengindera
sekeliling tenda
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan: rentang
65. Gerombolan berparuh kotor ini
menatap
Pengindera
Fir
Proses: mental, persepsi
dengan mistik
Fenomena
pandangan
Sirkumstan: cara
66. Ia
menatap Pengindera
parit api berapi menyala-nyala
Proses: mental, persepsi
yang
memanjang
Fenomena
67. Ia
menatap Pengindera
lama-lama
Proses: mental, persepsi
Fenomena
68. Laki dan perempuan Pengindera
yang menatap bengong
pada binatang itu
Proses: mental, persepsi
Fenomena
69. Ia
menoleh Pengindera
Proses: mental, persepsi
ke belakang Sirkumstan: tempat
70. (Ia) Pengindera
menoleh Proses: mental, persepsi
ke arah pohon itu Sirkumstan: tempat
71. Komandan itu menoleh Pengindera
Proses: mental, persepsi
kembali ke arah pohon itu Sirkumstan: tempat
72. Seorang anak Pengindera
menoleh Proses: mental, persepsi
ke arah perempuan itu Sirkumstan
73. Si kecil
menoleh
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
ke belakang dengan gemetar
Pengindera
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan
74. Anak lelakinya, yang tak menoleh acuh tak acuh Pengindera Proses: mental, persepsi 75. Ia
menoleh Pengindera
Proses: mental, persepsi
sedikit pun kepada ibunya Fenomena
sekejap
acuh tak acuh
Sirkumstan: rentang
Sirkumstan: cara
76. Dia
coba menoleh
Pengindera
ke arah Fir
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan
77. Perempuan itu
Pengindera
terpana
karena sosok cahaya itu persis bunglon berangsur-angsur menyatu dengan batang pohon trembesi itu
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan: sebab
78. Sopir dan semua melongok penumpang Pengindera
ke pohon yang bercahaya itu
Proses: mental, persepsi
Sirkumstan: tempat
79. Ia
melihat Pengindera
bahwa ia
Proses: mental, persepsi
Aktor
telah ditunjuk Material
Kyai Mahfud Aktor
80. Matanya Pengindera
melayang menikamati Proses: mental, persepsi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
pemandangan yang berdarah-darah Fenomena
2. Mental: Kognisi 1. Kamu
pikir
Pengindera
kamu cedas
Proses: mental, kognisi
Fenomena
2. Ia
pikir
Pengindera
di samping cantik, perempuan ini juga punya pikiran menarik
Proses: mental, kognisi
Fenomena
3. Tentara-tentara itu
berpikir
Pengindera
perang sudah lama berlangsung
Proses: mental, kognisi
Fenomena
4. Saya
Pengindera 5. Saya Pengindera
mikir-mikir
jangan-jangan parit berapi berada di medan perang, akibat jatuhnya bom, mortir, granat, maupun senjata penyembur api
Proses: mental, kognisi pikir
Fenomena saya
perlu berkenalan
Proses: mental, kognisi Aktor
lebih lanjut dengan cewek itu
Material
Gol
6. Ia
pikir Pengindera
apa, aku ini?
Proses: mental, kognisi
Fenomena
7. Dia Pengindera
tak pernah memikirkan
makan
Proses: mental, kognisi
Fenomena
8. Arum
sekarang harus memikirkan kesehatan tubuhnya demi kedua bayinya
Pengindera
Proses: mental, kognisi
Fenomena
9. Aku
pikir
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Tuhan tidak perlu mematuhi kitab suci-
Nya Pengindera
Proses: mental, kognisi
Fenomena
10. Kamu Pengindera
tidak berpikir
pernah bahwa kamu
Proses: mental, kognisi
setiap saat
bisa tewas
di medan perang?
Sirkumstan
Material
Sirkumstan
Aktor
11. Kamu
tidak pernah berpikir
Pengindera
Proses: mental, kognisi
bahwa pada suatu saat Intesif
Sirkumstan
kamu
akan kawin?
Aktor
Material
12. Ia
berpikir Pengindera
sejenak
Proses: mental, kognisi
Fenomena
13. Ia
masih berpikir-pikir Pengindera
itulah
Proses: mental, kognisi
Fenomena
14. Kamu
memikirkan
Pengindera
itu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
15. Alangkah indahnya kerajaan setan ini
pikir
Fenomena
Fir
Proses: mental, kognisi
Pengindera
16. Ia
berpikir Pengindera
percuma saja ia melawan setan-setan itu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
17. Ia
berpikir Pengindera
keras
Proses: mental, kognisi
Fenomena
18. (Sang Pangeran) Pengindera
memikirkan Proses: mental, kognisi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
hal ini Fenomena
19. Ia
pikir Pengindera
buat apa jika akhirnya toh gagal juga menjaga keselamatannya
Proses: mental, kognisi
Fenomena
20. Fir Pengindera
berpikir
keras
Proses: mental, kognisi
Fenomena
21. Ia
ingin berpikir Pengindera
sendirian
Proses: mental, kognisi
Fenomena
22. (Arum) Pengindera
memikirkan
hal itu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
23. Dia Pengindera
seperti ingat
sesuatu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
24. Fir Pengindera
ingat
semuanya
Proses: mental, kognisi
Fenomena
tiba-tiba lantas ingat
betapa waskitanya Arum
Proses: mental, kognisi
Fenomena
25. Fir Pengindera 26. Fir Pengindera
teringat Proses: mental, kognisi
cerita-cerita nenek moyang yang sering diobrolkan di pesantren Fenomena
27. Fir Pengindera
ingat Proses: mental, kognisi
28.
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
akan janjinya untuk patuh kepada ibunya Fenomena
Orang
harus ingat
Pengindera
kembali peraturan yang ada
Proses: mental, kognisi
Fenomena
29. Kamu
ketika kamu sedang bermain dengan anak-anakmu
masih ingat
Pengindera
Proses: mental, kognisi
Fenomena
30. Ia
tidak percaya Pengindera
kenapa hanya melihat perempuan cantik, hati jadi tak karuan?
Proses: mental, kognisi
Fenomena
31. Saya
percaya
Pengindera
banyak jalan menuju medan perang
Proses: mental, kognisi
Fenomena
32. Saya
percaya
Pengindera
kamu
Proses: mental, kognisi
Fenomena
33. Saya
tidak percaya
Pengindera
(kepada kyai)
Proses: mental, kognisi
Fenomena
34. Mereka
percaya
Pengindera
kisah seorang yang menjalani hidupnya sehari-hari di tengah peperangan bertahuntahun
Proses: mental, kognisi
Fenomena
35. Kamu Pengindera
bisa mengira-ngira
ke mana arah perginya?
Proses: mental, kognisi
Fenomena
36. Fir
mengira-ngira
Pengindera Proses: mental, kognisi 37. Yobim
pasti di dalam menganga suatu tungku yang parit itu luar biasa panasnya Sirkumstan: Lolkasi
juga tidak akan mengira
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
Material
bahwa Fir ternyata
Goal bisa sadar
Pengindera
Proses: mental, kognisi
Pengindra
Proses: mental
38. Firdaus
Pengindera 39.
paham betul
terhadap pertentangan yang berlarut-larut antara Kyai Muhammad Mahfud dari Pesantren Wasiyatur Rasuli melawan Kyai Ababil Muhammad alias Kyai Kadung Ora alias Kyai Terlanjur Tidak dari Pesantren Gubaarulah
Proses: mental, kognisi
Para mesin memahami benar perang ini Pengindera
Fenomena bahwa perang
Proses: mental, kognisi
aktivitas adalah
Penyandang
Relation
permainan Atribut
40. Fir Pengindera
tidak paham
apa yang sudah terjadi pada dirinya
Proses: mental, kognisi
Fenomena
41. Si kecil Pengindera
tidak melupakan
kehadiran Tuhan
Proses: mental, kognisi
Fenomena
42. Fir
Pengindera
merasa pasti
itulah Romo FX Karyadi Wongsodimejo SJ alias Romo Gajah Wong yang hidup yang hidup di tepi Sungai Gajah Wong
Proses: mental, kognisi
Fenomena
43. Fir Pengindera
mencoba menebak Proses: mental, kognisi
apa gerangan ini Fenomena
44. Mereka Pengindera
heran Proses: mental, kognisi
kenapa di zaman hiper modern begini masih dijumpai orang-orang abad kelima belas
Fenomena
45. Ia
mengetahui Pengindera
Proses: mental, kognisi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
apa yang di depan mereka Fenomena
3. Mental: Afeksi 1. Saya Pengindera
akan merasa
bersalah sekali
Proses: mental, afeksi
Fenomena
2. Ia
rasakan Pengindera
Proses: mental, afeksi
ada
lorong yang dalam dan panjang
Wujud
Maujud
3. Ia
merasa Pengindera
bebas
Proses: mental, afeksi
Fenomena
4. Ia
merasakan Pengindera
manfaat peratuaran itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
5. Ia
merasakan Pengindera
peraturan pesantren keterlaluan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
6. Ia
juga merasakan Pengindera
adanya gula dari pemandangan itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
7. Dia Pengindera
merasa
terpanggil
Proses: mental, afeksi
Fenomena
8. Ia
merasa Pengindera
hangat sekarang
Proses: mental, afeksi
Fenomena
9. Ia
merasa Pengindera
harus mencari Kyai Kadung Ora
Proses: mental, afeksi
Fenomena
10. Ia
merasa takut Pengindera
Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
lalu
undur Material
11. Fir Pengindera
merasa
telah terlontar ke dunia lain
Proses: mental, afeksi
Fenomena
12. Fir Pengindera
merasa
siapa pun akan terpikat untuk hidup dan tinggal di dunia asing ini
Proses: mental, afeksi
Fenomena
13. Ia
tak merasakan lagi Pengindera
penderitaan ataupun kemarahan, apalagi kesia-siaan pembicaraan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
14. Fir Pengindera
merasakannya
dengan asyik
Proses: mental, afeksi
Sirkumstan: cara
15. Ia
merasa Pengindera
keok
Proses: mental, afeksi
Fenomena
16. Ia
merasa Pengindera
kurang berharga
Proses: mental, afeksi
Fenomena
17. Fir Pengindera
merasa
lega seketika karena yakin di sinilah pusat berbekalan itu berbeda
Proses: mental, afeksi
Fenomena
18. Ia
merasa Pengindera
harus bersikeras sikapnya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
19. Ia
merasakan Pengindera
Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
penyesalan Fenomena
mengemukakan
20. Ia
merasa Pengindera
terlepas dari pengamatan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
21. Ia
merasa Pengindera
tidak mungkin lolos dari cengkeraman setansetan kerajaan Pasukan Kemenangan
Proses: mental, afeksi
Fenomena
22. Ia
merasa
Pengindera
berada di suatu lembah yang penuh ikanikan besar dan kecil yang berseliweran di antara pohon-pohon dan taman bunga
Proses: mental, afeksi
Fenomena
23. Yobim Pengindera
merasa
kehabisan akal
Proses: mental, afeksi
Fenomena
24. Ia
merasa Pengindera
juga selama ini sebagai jangat liat kurang panggang
Proses: mental, afeksi
Fenomena
25. Ia
merasa bersyukur Pengindera
andai kata ada peluru nyasar
Proses: mental, afeksi
Fenomena
26. Arum Pengindera
tak merasakan
hadirnya Fir
Proses: mental, afeksi
Fenomena
27. Dia Pengindera
sadar
bahwa di medan segalanya bisa terjadi perang,
Proses: mental, afeksi
Sirkumstan: Lolasi
Aktor
Material
28. Kyai Mahfud Pengindera
sadar Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
siapa yang sedang dihadapinya, tak ada lain, pastilah itu set Fenomena
29. Dia
sadar
Pengindera
keadaan Firdaus dalam bahaya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
30. Ia
juga sadar
Pengindera 31.
bahwa Kyai Ora tidak melecehkannya dengan sengaja
Proses: mental, afeksi
(Tentara maupun prajurit)
Fenomena
menyadari
Pengindera
pernah
hal ini
Proses: mental, afeksi
Fenomena
32. Fir Pengindera 33. Ia
baru sadar Proses: mental, afeksi
sekarang
bahwa di pantatnya
Sir: Lokasi
Intensif
menikmati Pengindera
Sir: Lokasi
tumbuh seutas ekor Material
pemandangan langit sejenak
Proses: mental, kognisi
Fenomena
34. Kyai Pengindera
menikmati
hidup ini
Proses: mental, afeksi
Fenomena
35. Ia
menikmati benar Pengindera
pemandangan itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
36. Fir Pengindera
menyesal
kenapa bertemu Kyai Ababil itu kembali
Proses: mental, afeksi
Fenomena
37. Ia
lalu Pengindera
menyesal
berlaku kasar kepadanya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
38. (Kuda Fir) Pengindera
menyesal Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
tak mampu menolongmu Fenomena
39. Para prajuritnya
sebenarnya tidak mengerti
Pengindera
ulah komandannya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
40. Ia
tak habis mengerti Pengindera
mengapa anak menggantikannya
Proses: mental, afeksi
kecil
harus
Fenomena
41. Ia
mengagumi Pengindera
kecantikan perempuan itu tiba-tiba
Proses: mental, afeksi
Fenomena
42. Fir Pengindera
terkagum-kagum
(melihat ikan laut yang indah-indah)
Proses: mental, afeksi
Fenomena
43. Ia
seketika jengkel
Pengindera 44. Ia
Proses: mental, afeksi jengkel
Pengindera
karena lalu teringat Kyai Kadung Ora Fenomena (mendengar ini)
Proses: mental, afeksi
Fenomena
45. Aku Pengindera
senang
kamu memikirkan itu
Proses: mental, afeksi
Fenomena
46. Ia
senang Pengindera
bergaul dengan Ati dan Argo?
Proses: mental, afeksi
Fenomena
47. Ia
tak peduli Pengindera
Proses: mental, afeksi
perempuan itu Fenomena
48. Ia
penasaran Pengindera
Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
(tapi tak secuil pun tercungkil) Fenomena
49. Hatinya
Pengindera
tidak resah
ketika
Proses: mental, afeksi
memandang
lengganya yang laksana macan lapar
Mental: persepsi
Fenomena
50. Firdaus Pengindera
kehilangan
semangat
Proses: mental, afeksi
Fenomena
51. Firdaus Pengindera
malu
Ia
tak mau kehilangan
Proses: mental, afeksi
Pengindera
Mental: Kognisi
keduaduanya Fenomena
52. Fir Pengindera 53. Ia
terharu dan meyakini Proses: mental, afeksi bayangkan
Pengindera
Romo aneh itu Aktor
pasti para dibantu malaikat Material
Gol
sebelumnya, tidur berayun di cabang pohon dengan kasur tebal rimbun daunnya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
54. Fir Pengindera
belum bisa merasakan
makanan yang masuk mulutnya
Proses: mental, afeksi
Fenomena
55. Saya Pengindera 56. Ia
ingin Proses: mental, afeksi kaget sekali
Pengindera
Kyai tidak bersama saya Fenomena karena melihat Arum berpakaian seragam yang dicurinya itu
Proses: mental, afeksi
57. Tuhan Pengindera
menyukai Proses: mental, afeksi
Gustaf Sitepu : Strukturalisme Genetik Asmaraloka, 2009
keindahan Fenomena