LAPORAN TEKNIS PANEL PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)
BIDANG PRODUK KELAUTAN DAN WISATA BAHARI
Manadiyanto, Maharani Yulisti, Achmad Azizi, Irawati,Yessi Deswita Sari, Risna Yusuf, Suhana
BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Lembaga Riset
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Proposal
Riset Panel Perikanan Nasional (Panelkanas)
Bidang
Produk Kelautan dan Wisata Bahari
Status
Lanjutan ( Tahun ke3)
Tahun Anggaran
DIPA 2008
Penanggung jawab
Dr. Agus Heri Purnomo
Penanggung jawab Bidang
Ir. Manadiyanto
Kuasa Pengguna Anggaran
Penanggung jawab Bidang
Dr. Agus Heri Purnomo
Ir. Manadiyanto
Mengetahui, Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Agus Heri Purnomo
ii
KATA PENGANTAR Riset Panel Perikanan Nasional ( Panelkanas) adalah studi yang sifatnya panel mikro riset ini merupakan studi yang masih langka walaupun di beberapa negara maju. Kelebihannya antara lain adalah kemmpuannya untuk menjelaskan perkembangan yang terjadi pada individu serta perbedaan – perbedaan dari perkembangan antar individu menurut waktu. Laporan teknis ini memuat ringkasan hasil riset, pendahuluan, metode riset, hasil survey kegiatan wisata bahari, hasil monitoring petambak garam rakyat, makalah dan artikel yang ditulis berdasarkn hasil sudi khusus dan hasil olahan dan tabulasi kegiatan riset Panelkanas baik pada tahun 2007 dan tahun 2008. Pada bagian alhir dikemukakan kesimpulan dan saran-sarn berupa implikasi kebijakan yang dibuat berdasarkan hasil riset. Laporan teknis
hasil riset ini masih jauh dari harpan dan sempurna
sehingga segala kritikan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan laporan ini sangatlah diharapkan. Pada kesempatan ini pula tim penyusun yang terlibat menyampaikan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jenepontoh, Kepala Desa Palenggu, Jenepono, Kepala Desa Pinggir Papas, Sumenep, PT. Garam Surabaya, Balai Taman Nasional Karimunjawa, Kepala Desa Karimunjawa dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan informasi yang diperlukan sehingga terlaksananya kegitan riset ini. Semoga kerjasama yang selama ini telah terjalin dengan baik diharapkan dapat terus berlanjut hingga waku akan datang. Mudah – mudahan hasil riset ini dapat berguna sehingga dapat menjadi bahan masukan sebagai dasar perumusan kebijakan pengambil keputusan dalam bidang produk kelautan dan wisata bahari. Jakarta, Desember 2008 Tim Penyusun
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................iii Ringkasan ........................................................................................................vi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian .......................................................................1 1.2. Tujuan .....................................................................................................2 1.3 Keluaran ..................................................................................................3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Bahari .....................................................................................4 A. Letak Geografis ..................................................................................4 B. Potensi Sumberdaya di Kawasan Pesisir ...........................................5 C. Potensi Sumberdaya Alam yang Dapat Diperbaharui ........................6 D. Potensi Sumberdaya Alam yang Tidak Dapat Diperbharui ................6 E. Potensi Jasa – jasa Lingkungan perairan Pesisir ...............................7 F. Prospek Pengembangan Wiata Bahari ...............................................8 G. Kendala Dalam Pengembangan Wisata Bahari .................................11 H. Upaya Pencegahan dan Pengendalian ..............................................12 2.2. Garam ………………………………………………………………………...14 A. Jenis Garam ………………………………………………………………15 B. Kualitas Garam Konsumsi ..................................................................16 C. Kawasan Pegaraman .........................................................................16 D. Potensi Pengembangan Kawasan Pegaraman ..................................16 III. METODOLOGI 3.1. Metodologi Penelitian ............................................................................18 3.2. Lokasi dan Waktu ..................................................................................18 3.3. Jenis dan Sumber Data .........................................................................18 3.4. Metode Pengumpulan Data ...................................................................19 3.5. Metode Analisa Data .............................................................................22
iv
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Survei Wisata Bahari di Karimunjawa, Jepara ...........................23 4.1.1. Kondisi Zonasi Karimunjawa ....................................................23 4.1.2. Sekilas Kepulauan Karimunjawa ..............................................27 4.1.3. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Karimunjawa .........................29 4.1.4. Profil Kepariwisataan di Karimunjawa ......................................31 4.2. Hasil Survey Petambak Garam ...........................................................38 4.2.1. Profil Masyarakat Petambak Garam ……………………………39 4.2.2. Sistim Bagi Hasil Usaha Tambak Garam ………………………42 4.2.3. Pemasaran Garam ...................................................................43 4.2.4. Kemitraan Usaha Tambak Garam ............................................44 4.2.5. Analisa Usaha Tambak Garam .................................................46 4.2.6. Permasalahan Pengelolaan Lahan Tambak Garam .................48 4.2.7. Curahan Waktu .........................................................................51 4.3. Hasil Monitoring Usha Tambak Garam di Sumenep dan Jeneponto...53 4.3.1. Usaha Tambak Garam .............................................................53 4.3.2. Hubungan antara Tenaga Kerja Rumah Tangga dan Pendapatan Rumah Tangga ..................................................54 4.3.3. Hubungan antara Konsumsi Pangan dan Pendapatan Rumah Tangga .......................................................................56 4.3.4. Hubungan antara Penguasaan Aset dan Pendapatan Rumah Tangga ........................................................................57 4.4. Tulisan Ilmiah Untuk Bahan Jurnal .......................................................59 4.5. Tulisan Ilmiah Populer Untuk Bahan Warta ..........................................73 4.6. Tulisan Ilmiah Untuk Analisis Kebijakan ...............................................107 4.7. Kajian Awal Nilai Tukar Nelayan dengan Rasio Pengeluaran dan Pendapatan (RPP).......................................................................116 V. KESIMPULAN DAN IMLIKASI KEBIJAKAN ................................................125 VI. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................128
v
RINGKASAN
Peningkatan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
nelayan
umumnya
termasuk petambak garam dan pelaku wisata bahari menjadi tujuan akhir dari sektor kelautan dan perikanan dan dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi serta pemeliharaan dan peningkatan daya dukung kualitas lingkungan merupakan
misi yang diemban oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kebijakan untuk melaksanakan misi tersebut antara lain adalah meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan terutama kelompok masyarakat yang sumber mata pencaharian berhubunan lansung dengan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan peikanan yaitu petambak garam dan pelaku pariwisata bahari. Salah satu dukungan yang penting adalah tersedianya dat dan informasi ditingkat pedesaan. Karenanya, hasil yang diharapkan dari kgiatan riset ini adalah tersusunnya data dasar (base line data) dan informasi perkembangan perkembangan rumah tangga pada masyarakat petambak garam rakyat dan pelaku wisata bahari dan berbagai aspek yang mendukung kehidupan masyarakat petambak garam rakyat dan pelaku wisata bahari. Disamping itu tersedianya bahan yng diperukan dalam menyusun paket rekomendasi kebijakan dalam menunjang program pengelolaan dan pengembangan petambak garam dan wisata bahari secara akurat dan tersedia secara periodik. Tujuan umum dari riset ini
adalah untuk menghasilkan kajian-kajian
generik sosial ekonomi kelautan dan perikanan, yang lebih lanjut akan digunakan untuk mendasari riset yang bersifat pemecahan masalah
dan prediksi
perkembangan sosial ekonomi kelautan dan perikanan serta pengkajian opsiopsi kebijakan . Untuk itu kajian ini bersifat jangka panjang dengan responden yang sama. Lokasi riset mengikuti lokasi yang telah diidentifikasi pada tahun 2006 dengan pertimbangan mewakili tipologi desa tambak garam dam wisata bahari. Lokasi tersebut adalah desa Pinggir papas, Kabupaten Sumenep, desa Palenggu,
Kabupaten
Jeneponto
mewakili
vi
tambak
garam
dan
desa
Karimunjawa, Kabupaten Jepara mewakili wisata bahari. Waktu pelaksanann kegiatan riset adalah sejak Januari sampai Desember 2008. Anaisa dta ang dilakukan pada tahun 2008 adalah analisa deskriptif yang mengambarkan
secara
koperhensip
kondisi sosial ekonomi masyarakat
pedesaan di bidang produk kelautan an wisata bahari termasuk faktorfaktor yang mempengaruhinya. . Berdasarkan hasil survei pada wisata bahari meni jukan bahwa paparan tentang potesi wisata bahari Karimunjawa pada intinya ingin meperlihatkan bahwa sumberdaya laut yang terdapat di Kepulauan Karimunjawa tidak hanya dapat diandalkan untuk kegiatan kenelayanan. Potensi wisata berbasis bahari dan daya tarik pendukung lainnya seperti budaya sangat potensial untuk dikembangkan di Karimunjawa. Upaya ini kiranya dapat dikembangkan melalui ekowisata yang diharapkan akan semakin memberian peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat
setempat. Masyarakat tidak hanya menjadi objek
namun justru menjadi subjek dari kegiatan wisata itu sendiri. Dukungan dan kerjasama serta betuk-bentuk kemitraan dengan berbagai stakeholder menjadi kunci penting bagi keberhasilan pengembangan wisata bahari
Karimunjawa,
sehingga mungkin pengembangan wisata yang bebasis bahari dapat erlangsung di Karimunjawa. Hasil
monitoring
petambak
garam
menunjukan
bahwa
apabila
dibandigkan usaha tambak garam di Sumenep antara tahun 2007 dan 2008 ada peningkatan sebesar Rp. 11.350.000,- atau (57,46 %) untk pemilik
dan
penggarap sebesar Rp. 3.717.000,- atau (55,89 %), hal ini disebabkan karena adanya perbaikan harga garam yang mencapai Rp. 190.000./ ton dibandingkan tahun lalu hanya Rp. 160.000.- / kg. Sedangkan di Jeneponto hanyamengalami peningkatan Rp. 1.183.000,- atau (3,55%). Hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan pendpatan menunjukkan bahwa serapan tenaga kerja dalam rumah tangga baik di Sumenep dan Jeneponto rata- rata 2 orang dengan jumlah pendapatan maksimum Rp. 29.000.000,- dan Rp. 40.125.000,- dan jumlah pendapatan minimum masing-
vii
masing Rp. 3.180.000,- dan Rp. 3.593.000,- dengan rata-rata pendapatan masing-masing sebesar Rp. 13.778.000,- dan Rp. 14.049.125,Hubungan nilai
konsumsi pangan dan pendapatan rumah tangga
menunjukan bahwa nilai maksimum konsumsi rumah angga petambak garam di Sumenep dan Jeneponto sebesar Rp. 17.732.000,- dan Rp. 27.658.800,sedangkan
minimum Rp. 2.834.000,- dan Rp. 2.860.000,- dengan rata-rata
masing-masing sebesar Rp. 6.818.000,- dan 5.448.76,- Sedangkan pendapatan rumah tangga masimum Rp. 29.000.000,- dan Rp. 40.125.000,-,minimum sebesar Rp. 3. 180.000,- dan 3.593.000,- serta rata-rata masing-masing Rp. 13.778.000,- dan Rp. 14.049.125,-. Artinya kebutuhan konsumsi rumah tangga petambak gram di Suemenp dan Jeneponto masih terpenuhi oleh pendapatan yang dihasilkan sehingga tidak akan kekurangan. Hubungan penguasaan aset produktif dan pendapatan rumah tangga menunjukan
bahwa
terdapat
perbedaan
yang
cukup
kepemilikan aset di Sumenep diabndingkan di Jeneponto
mencolok
antara
yaitu maksimum
sebesar Rp. 515.000.000,- dan Rp. 54.875.000,-, minimum Rp. 60.000.000,- dan Rp. 1.150.000,- dengan rata-ratamasing-masing 119.395.667,- dan 13.346.324,Perbedaan ini disebabkan kaena harga lahan tambak garam dan gudang untuk penyimpanan garam di Sumenep cukup tinggi bila dibandingkan dengan di Jeneponto. Hubungan penerapan teknologi, struktur ongkos dan keuntungan usaha menunjukan bahwa keuntungan tertinggi diperoleh petambak garam rakyat di Jeneponto dibandingkan dengan petambak garam rakyat di Sumenep masingmasing sebesar Rp. 22.218.500,- dan Rp. 19.650.000,-. Wisata bahari di Krimunjawa dapat diupayakan
untuk dikembangkan
melalui ekowisata yang diharapkan akan semakin memberikan peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat
setempat. Masyarakat tidak hanya menjadi objek
namun justru menjadi subjek dari kegiatan wisata itu sendiri. Dukungan dan kerjasama serta betuk-bentuk kemitraan dengan berbagai stakeholder menjadi kunci penting bagi keberhasilan pengembangan wisata bahari
viii
Karimunjawa,
sehingga
mungkin
pengembangan
wisata
yang
bebasis
bahari
dapat
berlangsung di Karimunjawa. Perlu adanya penyelesain sengketa tanah sesegera mungkin dan tidak berlarut larut. Juga perlu dilakukan penetapan standar bagi hasil antara pemilik dan penggarap ang ditetapkan
berdasarkan peraturan daerah ataupun
keputusan Bupati yang mengatur istim bagi hasil tersebut. Disamping tiu perlunya penetapan harga dasar garam dan perbaikan mutu kualitas garam. Semuanya itu memerlukan pendampingan yang kontinu dari pihak yang tekait.
ix
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Misi yang diemban oleh Departemen Kelautan dan Perikanan diantaranya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan peisir, laut dan perairan lainnya termasuk didalamnya produk kelautan (tambak garam dan wisata bahari). Meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan
sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi serta memelihara dan peningkatan daya dukung dan kualitas lingkungan perairan laut, pesisir, pulau-pulau kecil dan perairan lainnya. Ketiga butir misi tersebut tercermin pada program Departemen Kelautan dan Perikanan berupa kebijakan yang disusun oleh Direktorat Jendral lingkup DKP yang antara lain berupa kebijakan
meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat pesisir pantai dan pulau-pulau kecil terutama kelompok masyarakat
yang mata pencahariannya behubungan langsung
dengan pemanfaatan sumeberdaya alam kelautan dan perikanan. Sebagai contoh salah satu strategi untuk menjalankan kebijakan tersebut tertuang dalam program utama dan program unggulan salah satu Ditjen adalah (1) Pengembangan dan perumusan
kebijakan umum yang bekaitan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan pesisir pantai dan pulau- pulau kecil secara berkelanjuta, (2), Pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, (3), Penususnan dan pengembangan tata ruang pesisir dan laut; (4), Rehabilitasi kerusakan serta pengkayaan lingkungan dan sumbedaya laut dan (5), Penanggulangan bencana alam. Diperolehnya hasil optimal melalui pencapaian tujuan program - program tersebut secara efektif disertai dengan terantisipasinya dampak perubahan yang negatif akibat dari pelaksanaan program-program tersebut dapat terwujud salah satunya melalui dukungan dalam bentuk informasi yang cepat dan akurat dan tersedia
secara
periodik
yang
mampu
digunakan
untuk
memahami
perkembangan kondisi masyarakat sertor kelatan dan perikanan di tingkat mikro atau pedesaan.
1
Penntingnya informasi diingkat pedesaan
karena pada umumnya
masyarakat sektor kelautan dan perikanan merupakan masyarakat pedesaan atau bertempat tinggal dan hidup di pedesaan. Dilain pihak, prioritas kegiatan riset sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masing-masing sub sektor (perikanan tangkap, budidaya, pengolaan produk, teknologi kelautan, sumberdaya wilayah dan non hayati serta sosial ekonomi kelautan dan perikanan) 1.2. Tujuan Tujuan umum dari riset ini adalah untuk mengahsilkan kajian-kajian generik sosial ekonomi kelautan dan perikanan yang lebih lanjut akan digunakan untuk mendasari riset yang bersifat problem solving dan prediksi perkembangan sosial ekonomi kelautan dan perikanan serta pengkajian opsi-opsi kebijakan. Untuk itu kegiatan
riset ini akan bersifat multi years dengan menggunakan
contoh wilayah pedesaan atu bahkan responden yang sama (tetap). Pada tahun 2006 – 2010, riset ini bertujuan
membangun kerangka
pemantauan dan pengakjian dinamika sosial ekonomi pedesaan di desa-desa perikanan (termasuk desa tambak garam dan wisata bahari) yang mendasari riset-riset pada tahun berikutnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2008 adalh sebagai berikut : (1). Mendapatkan rumah tangga contoh yang digunakan sebagai responden untuk pelaksanaan sensus dan survei komperhensif (mencakup seluruh aspek kajian) pada lokasi yang belum di survei (Karimun Jawa dan Sabang, NAD untuk wisata bahari). Aspek kajian yang dimaksud adalah pengusaan asset rumah tangga, tenaga kerja daam rumah tangga, pendapatan rumah tangga, penerapan teknologi, karakteristik kemiskinan pada rumah tangga, konsumsi pangan rumah tangga, struktur ongkos, keuntungan usaha, nilai tukar pelaku usaha (dalam hal ini rasio pendaptan da pengeluaran) dan diskripsi kelembagaan.
2
(2). Mendapatkan data monitoring usaha pada lokasi yang telah dilakukan survey rumah tangga khusus tambak garam Jeneponto (Sulawesi Selatan) dan Sumenep (Jawa Timur). (3). Didapatknnya makalah hubungan antar variabel pokok guna mengetahui keterkaitannya (baik yang berasal dari data sensus dan survey), hubungan antar variabel
trsebut antara lain adalah antara penguasaan aset
rumah tangga dan pendaptan rumah tangga, antara tenaga kerja rumah tangga dan pendapatan rumah tangga, antara penerapan eknologi dan struktur ongkos dan keuntungan usaha. (4). Didapatkannya tulisan ilmiah tentang kajian hubungan antar variabel sebagai
langkah
persiapan
pembuatan
proseding
hasil
riset
kegiatan
Panelkanas. (5). Didapatkannya hasil kajian awal analisis rasio pendapatan dan pengeluaran (RPP) produk kelautan
1.3. Keluaran Perkiraan keluaran riset adalah data dan informasi yang mencakup : (1). Data hasil monitoring usaha pada semua bidang
yang telah
dilakukan survey rumah tangga yaitu tambak garam. (2). Makalah yang mengemukan hubungan antar variabel pokok yang dikaji pada setiap bidang guna mengetahui keterkaitannya.. (3). Tulisan ilmiah
tentang kajian hubungan
antar variabel sebagai
langkah persiapan pembuatan proseding hasil riset panelkanas (4). Data dan infomasi kajian awal nilai tukar nelayan (Rasio Penerimaan dan Pengeluaran) Paket laporan ilmiah berupa ; Laporan Teknis, bahan publikasi ilmiah (jurnal), bahan publikasi ilmiah populer (warta), arikel ilmiah bahan prosiding.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PARIWISATA BAHARI
A. Letak Geografis
Wilayah Negara Indonesia terletak membentang
seanjang 5.000 km,
yaitu mulai pulau Sumatera di bagian barat hingga pulau Papua di bagian timur . Secara geografis Indonesia terletak pada posisi 6 o 08’ Lintang Utara sampaii dengan dengan 11o 15 ’ Lintang Selatan dan dari 94o 45 ’ sampai dengan 141o 05’ Bujur Timur. Indonesia yang merupakan negara kepulauan (archipilago) terbesar di dunia dan diperkirakan mempunyai luas teritorial mencapai sekitar 7,7 juta km2, serta memiliki sekitar 17.500 pulaubesr dan kecil, denganpanjang garis pantai diperkirakan mencapai 81.000 km (Parry, 1996, Sukardjo, 1996 dan Pamudji, 2002) Negara Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumberdaya alam, psisinya sangat strstegis karena terletak di kawasan katulistiwa, serta pada persilangan antara Samudera Indonesia dan Pasifik serta antara dua benua Asia dan Australia. Lingkungan laut tropis Indonesia yang sangat las, indah dan kaya dengan sumberdaya hayti dan mineral merupakan kondisi alamiah yang memiliki keunggulan komparatif sebagai tali kehidupan dan masa depan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Wilayah kedaulatan Indonesia adalah meliputi kawsan daratan pulaupulau kawasan perairan yang mencakup paparan kontinen, lereng benua dan cekungan samudera. Menurut hasil ratifikasi hukum laut internasional,kawasan laut Indonesia adalah meliputi laut teritorial Zona Tambahan, Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen. Kondisi tersebut sangat menguntungkan nagi negara Indonesia kaena didalamnta terkandung keanekaragaman hayati yang paling kaya di dunia (Abdullah, 2001).
4
B. Potensi Sumberdaya di Kawasan Pesisir Kawasan pesisir adalh sebagai kwasan peralihan antar darat dan laut yang ke arah darat mencakup daerah yang asih dipengaruhi oleh hempasan percikan air
pasang-surut, sedangkan kearah laut
meliputi daerah paparan
benua (continental shelf). Kawasan yang ke arah laut masih dipengarhi oelh proses – proses alami yang terjadi di daratan, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun aktivitas manusia. Dalam pengelolaan kawasan pesisir digunakan tiga batasan wilayah pesisir (Anonimous, 2001). Batasan wilayah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Secara ekologis. Kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di laut, seperti pasang surut, sedangkan ke arah aut dipengaruhi prose-proses yang ada di daratan sepert sedimentasi dan pencemaran. 2. Secara administrasi : batas terluar sebelah hulu dn kecamatan dan kebupaten sedngkan kearah laut sepanjang 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau 4 mil untuk kabupaten. 3. Berdasarkan perencanaan : batas kawasan pesisir tergantung pada permasalahan atau subtansi yang menjadi fokus pengelolaan pesisir : a. pencemaran dampak
dan sedimentasi : suatu kawasan
pencemaran
dan
sedimentasi
yang
darat diman ditimbulkan
memberikan pengaruh terhadap kawasan perairan. b. hutan mangrove : batas terluar bagian hulu kawasan mangrove. Terkait dengan kondisi negar yang baru dilanda krisis konomi yang berkepanjangan, maka upaya untuk memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki secara optimal, efisiensi dan berkelanjutan perlu dilakukan. Sumberdaya alam, khususnya yang ada di kawasan pesisir merupakan potensi yang selama ini pemanfaatannya belum dilakukan secara seksama dan terpadu. Potensi sumberdaya alam di kawasan pesisir tersebut
antara lain
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan jasa lingkungan lainnya.
5
C. Potensi Sumberdaya Alam yang Dapat Diperbaharui Sepanjang kawsan pesisir tersebut terdapat keaneka ragaman ekosistim khas tropika basah, antara lain hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, delta, estuari dan lain-lainnya. Masing-masing ekosistim tersebut mempunyai peran dan fungsi yang sangat besar terhadap kehidupan biota laut dan memilki produkstivitas tinggi, namun eksistensinya sangat rentan terhadap perubahan dan tekanan manusia (Budiman dan Suhardjono, 1992; Pamudji, 20000. Ekosistem hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang terseut dikenal sebagai habitat dan ribuan jeni biota laut, termasuk biota laut yang memiliki nilai ekonomis penting (Sumodihardjo, dkk, 1977, Budiman, dkk, 1977,Budiman dan darnaedi, 1982, Pramudji, 2001). Dengan kemelimpahan dan keanekaragaman jenis biota laut yang sangat tinggi tersebut , maka Indonesia dikenal sebagaii negara mega – biodiversity.
D. Potensi Sumberdaya Alam yang Tidak Dapat Diperbaharui Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui antara lain minyak bumi dan gas, bauxit, timah, biji besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya. Indonesia yang terbentuk akibat evolusi dan konvergensi lempeng eurasia, lempeng Samudera Pasifik mineral di perairan
yang dijumpai pada dua kondisi morfologi yang
berbeda dan dikenal sebagai daerah paparan atau landas kontinen dan daerah laut dalam. Berdasarkan laporan ADB tahun 1995, total nilai sektor migas yang dihasilkan dari wilayah lautan dan kawasan pesisir mencapai Rp. 18 triliyun atau 2 % total dari PDB nasional pada tahun 1992. Dengan demikian sub sektor migas ini merupakansalah satu subsektor yang diharapkan dapat
menjadi pendorong pemulihan dan pertumbuhan
ekonomi di masa mendatang. Hingga akhir 1990 an, kebutuhan akan bahan energi primer dunia adalah sebank 85 % dan disuplai oleh bahan bakar fosil, yakni minyak bumi sebesar 40 %, batu bara 25 % dan gas bumi 20 % (Prijambodo dalam Anonimous, 2001). Selanjutnya
disebutkan bahwa bila konsumsi bahan bakar minyak
(BBM)
6
Indonesia diperkirakan naik 56 % setiap tahunnya, maka pada awal abad ini akan menjadi pengimpor netto BBM. Oleh karena itu keadaan ini harus diantisipasi
dengan
melakkan
ketergantngan sumber energi
diversifikasi
alternatif
sumber energi nir konvensional
energi
guna
mengurangi
seperti gas bumi, batu bara serta
dari lautan seperti Ocean Thermal
Energy
Conversion (OTEC), pasang surut, gelombang arus atau perbedaan salinitas perairan.
E. Potensi Jasa-jasa Lingkungan Perairan Pesisir. Pemanfaatan jasa – jasa lingkungan pesisir dapat dilakukan
secara
berkelanjutan, terutama untuk pengembangan pariwisata bahari dan pelayaran. Saat ini pengembangan pariwisata bahari telah menjadi salah satu produk pariwisata yang cukup menarik . Pembangunan kepariwisataan bahari pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh kawasan perairan pesisir Indonesia. Aspek yang menunjang untuk mewujudkan
pengembangan wsata bahari tersebut adalah
kekayaan alam pantai yang indah, flora fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang menghuni didalamnya. Potensi jasa ingkungan pesisir sentuhan penayagunaan
lainnya yang masih memerlukan
secara profesional
adalah jasa transportasi laut .
Sampai saat ini, ankutan laut baik itu angkutan antar pulau maupun maupun antar negara masih dikuasai oleh arada asing. Oleh karena itu dalam upaya untuk memperoleh pendapatan dari sektor jasa transportasi perlu dikemas dan dikembangkan dengan baik , karena hingga saat ini menurut catatan Dewan Kelautan Nasional
kemampuan daya angkut armada niaga
nasional
baru
mencapai 54,5 % sedangkan untuk ekspor baru mencapai 4 %, dan sisanya dikuasai oleh armada niaga asing.
7
F. Prospek Pengembangan Wisata Bahari
Sektor ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990, yang mengatur bahwa pengushaan objek dan daya tarik
wisata. Pengusahaan
tersebut meliputi kegiatan pembangunan dan pengelolaan objek saranadan prasarana. Pembangunan
beserta
kepariwisataan kawasan pesisir dan
bahari pada dasarnya adalah sebagai upaya untuk mengembangkan memanfaatkan objek
dan daya tarik wisata bahari
dn
yang terdapat diseluruh
kawasan perairan Indonesia. Namun untuk pengembangan
wisata itu perlu
kecermatan dan
keseriusan penanganan, karena bersifat alami sehingga perencanaannya mmerlukan koordinasi dan integrasi dan semua instansi terkait. Wisata bahari umumnya mempunyai sifat yang khusus dengan lokasi yang luasnya relatif terbatas, sehingga perlu dipikirkan daya dukung lingkungan untuk membangun fasllitas penopangnya (Suharsono, dkk, 1995 a; 1995 b). Poteni pesisir dan laut dengan berbagai kekayaannya yan terkandung didalamnya yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan wisata bahari adalah terumbu karang yang luasnya diperkirakan sekitar 7.500 km 2, misalnya di Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah), Kepulauan Nias dan juga kawasan Taman Nasional Laut di Indonesia. Menurut hasil penelitian MREP di Indonesia terdapat 241 daerah kabupaten yang memiliki
lokasi objek wisata bahari dan merupakan
terbesar di dunia. Terkait dengan Kawasan Konservasi Laut (KKL) yang merupakan penunjang wisata bahari, d Indonesia saat ini telah dideklarasikan sebesar 5,1 juta hektar yang tersebar di 17 propinsi, sedangkan Taman Nasional Laut (TNL) yang telah mendapatkan penataan batas perairannya adalah di daerah Bunaken (Sulawesi Utara), Wakatobi ( Sulawesi Tengah), Komodo (Nusa Tenggara Timur), Bali Barat, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa dan Ujung Kulon (Dahuri, 2001). Disamping itu Indonsia merupakan tempat komuntas mangrove terluas di dunia, yaitu sekitar 4,25 juta hektar (Darsidi, 1984), atau 27 % dari total
8
luas hutn mangrove dunia, dan kawasan ini juga dapat dikelola utuk tujuan ekowisata. Prospek pengembangan wisata bahari di Indonesia adalah cukup baik dan menjanjikan, mengingat luasnya objek bawah air yang cukup menarik. Upaya pemerintah untuk mengelola dan melindungi kawasan pesisir yang memiliki sumberdaya hayati laut sedang digalakan. Program konservasi sumbrdaya alam hayati laut dan ekositemnya tersebut bertujuan untuk mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumberdaya alan hayati laut, serta
mewujudkan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan sekaligus memberikan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Adapun sasaran dari progam KKL, menurut Abdullah (2001) adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesjahteraan manusia. 2. Pengawetan keanekaragaman
jenis sumberdaya hayati
alam laut
beserta ekositemnya, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekositem, sehingga mampu menunjang pembangnan ilmu pengetahuan dan teknologi untukpemenuhan kebutuhan manusia. 3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati alam laut dan ekositemnya
melalui
pengendalian
/
pembatasan
cara-cara
pemanfaatan sumberdaya hayati alam laut dan ekosistemnya, yang dilakukan secara serasi dan seimbang, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkesinambungan. Selanjutnya disebutkan bahwa peran dari KKL, sebagai suatu ekosistem dikawasan perairan memberikan berbagai manfaat antara lain sebagai berikut : 1. Aspek ekologi. Dapat menjaga keseimbangan kehidupan berbagai macam biota laut dan hubungan timbal balik antar biota laut dengan faktor abiotik.
9
2.
Aspek
pendidikan
dan
penelitian.
Merpakan
objek
dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan , sehingga dapat meningkatkan kualitas dalam pengembangan ilmu pengetahuan sumberdaya hayati alam laut. 3. Aspek etestika. Memiliki nilai keindahan sebagai daya tarik objek wisata bahari , sehingga dapat dikembangkan
olah raga air (cuba
diving, dan lain-lain). 4. Aspek ekonomi. Sebagai kawasan konservasi laut, kawasan tersebut memiliki nilai ekoomi tinggi berupa kekayaan terumbu karang dengan segala
bentuk
asosiasinya.
Dapat
membantu
meningkatkan
pendapatan nelayan dan bahkan devisa negara. 5. Aspek jaminan masa depan . Melalui penetapan kawasan konservasi laut diharapkan memiliki jaminan untuk pemanfaatan secara lestari dan berkesinamungan bagi kehidupan generasi saat ini dan masa mendatang. Sejalan dengan era reformasi dan amanat Undang-Undag
nomor 22
tahun 1999 tentang pemerintah daerah serta peraturn pemerintah nomor 25 tahun 2000, dalam rangka otonomi daerah
maka dalam hal ini pemerintah
daerah memiliki kewenangan dalam eksplorasi, eksploitasi , konservasi pengelolaan pemanfaatan
dan
laut sebagai wilayah laut daerah. Kewenangan
tersebut tentunya harus diimbangi dengan tanggungjawab dalam memelihara kelestarian lingkungan , dngan terlebih dahulu menyiapkan sarana dan prasarana, sumberdaya manusia dan pembiayaannya. Melalui pemberdayaan masyarakat secar luas pemerintah daerah baru untuk dijadikan
aset dan kebanggaan bagi daerah tersebut. Selain itu
pemerintah daerah dapat menggali kearifan lokal yang dimiliki daerah untuk diangkat kepermukaan sebagai mengembangkan
maskot dan kebanggaan daerah
dengan
Kawasan Suaka Perikanan dan daerah perlindungan laut
yang berbasis masyarakat.
10
G. Kendala Dalam Pengembangan Wisata Bahari Penggalakan pogram wisata bahari di Indonesia yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini menyebakan meningkatnya kunjungan wisata dari tahun ke tahun, baik wisatawan domistik maupun asing. Program tersebut juga dapat meningkatkan devisa negara dari sektor pariwisata, namun disisi lain
upaya
penggalakan wisata bahari seringkali menimbulkan dampak terhadap lingkungan kawasan wisata, baik mengenai kondisi fisika kimia, biologis maupun ekologis terhadap biota laut yang ada dikawasan tersebut. Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam upaya untuk pengembangan wisata bahari di kawasa pesisir antara lain karena disebabkan oleh aktifitas manusia, pencemaran dan bencana alam. Aktifitas Manusia Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam laut, baik sumberdaya hayati maupun non hayati yang berlebihan dan tidak memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya alam sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan kawasan pesisir, bahkan dapat menimbulkan kepunahan biota laut . Berbagai kasus yang terjadi di beberapa daerah yang menimbulkan kerusakan tersebut antara lain adalah : 1. Pembabatan hutan mangrove yang diperuntukan sebagai lahan pertambakan, pertanian, perumahan, jalan tol, bandara dan bangunan dermaga. Misalnya di pantai utara pulau Jawa, Muara Angke (jakarta Utara), pesisir teluk Saleh, pulau Sumbawa, pesisir Sumetera Utara, Sulawesi Selatan, Riau dan beberapa tempat lainnya ( Soemodihardjo, 1984, Wiryodarmono dan Hamzah, 1984). 2. Penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak dan postasium di kawasan terumbu karang. Kegiatan ini mengakibatkan terjadinya degradasi terhadaphabitat di kawasan perairan pesisir, terutama terumbu karang. rusaknya
Kerusakan terumbu karang trsebutmenimbulkan
ekosistem dan rusaknya fungsi ekologis sehingga
dampaknya menimbulkan terganggunya kehidupan biota laut bahkan
11
juga terhadap kehidupan masyarakat pesisir karena hilangnya daerah penangkapan (fishing ground) 3. Eksploitasi sumberdaya minyak dan gas dikawasan pesisir. Kegiatan ini menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan
kawasan
pesisir. Karena kualitas perairan menurun, sehingga akibatnya menimbulkan kematian biota laut (Snedaker and Getter, 1985).
Pencemaran Lingkungan Pencemaran merupakan masalah yang cukup penting untk diperhatikan, terutama dalam upaya pengelolaan kawasan pesisir. Hingga saat ini , pencemaran sebagian besar hampir terjadi pada kawasan pesisir, bahkan dimasa mendatang akan semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Substansi dan limbah
penyebab pencemaran
di kawasan pesisirsangat
beragam dan hampir semua materi polutan membahayakan bagi kahidupan biota laut maupun lingkungannya. Sebagaian besar materi bahan pncemar tersebut adlah berasal dari daratan. Adapun sumber pencemaran kawasan pesisir antara lan dari limbah industri, limbah pemukiman , limbah pertambangan, bocoran pipa minyak, umpahan kecelakaan kapal tanker (seperti yang terjadi kandasnya kapal Sowa Maru di Selat Malaka awal tahun 1980 an), dan limbah perikanan budidaya.
Bencana Alam Selain disebabkan karena pemanfaatan sumberdaya alam yang
tidak
ramah lingkungan dan eksplorasi yang berlebihan, rusaknya sumberdaya alam di kawasan pesisir juga dapat disebabkan oleh bencana alam. Bencana alam yang sering terjadi di kawasan tersebut adalah banjir, gempa bumi dan gelombang pasang tsunami.
H. Upaya Pencegahan dan Pengendalian Strategi yang dikembangkan dalam pencegahan dan pengendalian pencemaran di kawasan pesisir antara lain adalah strategi pencegahan, strstegi
12
pengendalian, strategi pnglolaan, pengelolaan pesisir secara terpadu, instrumen pengendalian dan program pemantauan pesisir (Anonimous, 2001). 1. Strategi pencegahan . Strategi pencegahan
pencemaran yang
berasal darat maupun laut dapat dilakukan melalui kegiatan Analisa Dampak Lingkungan (Environment Impact Assessment). 2. Strategi Pengendalian. Ada tiga langkah aksi yang untuk diperhatikan yaitu standar baku mutu, pelaksanaan program monitoring dan penegakan hukum. Sedangkan pengendaliannya adalah melalui pengendalian kualita lingkungan pesisir dan pengendalian smber pencemaran. 3. Strategi pengelolaan. Untuk kegiatan ini dapat dikembangkan melalui cara pengelolaan
dan meminimalisasi pembuangan limbah padat,
limbah cair domestik (sawage) dan limbah industri (industrial wste). 4. Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu. Beberapa hal yang cukup penting untuk dipertimbangkan mendisain dan melaksankan kegiatan ini adalah integrasi informasi lingkup ekonomi dan sosial sjak awal, pelibatan masyarakat pembntukan mekanisme bagi keterpaduan dan kondisi, serta program monitoring. 5
Instrumen pengendalian. Strategi pengendaian pencemaran yang digunakan antara lain adalah peraturan perundang- undangan, Baku Mutu Limbah, Baku Mutu Lingkungan, pembinaan teknis dan pedoman pelaksanaan, perizinan, pengendalian produk, insentif dan disintensif, penataan hukum, perencanaan dan pengawasan penggunaan lahan, serta monitoin.
6.
Program pengelolaan pengawasan pesisir. Program ini adalah untuk mengetahui secara dini adanya perubahan lingkungan sebagai akibat adanya kegiatan manusia. Fokus dan sasaran pemantauan antara lain terhadap kualitas buangan limbah kimia, dmpak dn buangan limbah, daya dukung lingkungan dab memprediksi perubhan lingkungan dalam aspek biologi, sosial dan budaya.
13
Dalam rangka untuk mengantisipasi dan menanggulangi adanya msibah bencana alam yang akan terjadi dikawasan pesisir, perlu dilakukan upaya yang konperhensip yaitu meliputi pembuatan sarana dan prasarana pegendalin serta peraturan dan pelaksanaanya harus harus melibatkan instansi terkait. Untuk kawasan pesisir yang rawan terhadap bencana alam gelombang pasang tsunami, ada beberapa hal yang perlu diperhtikan antara lain adalah membangun rumah di kawaan pantai yang aman
yang aman dari jangkaun
tsunami, mengembangkan perlindungan alami yaitu dengan cara penanaman mangrove untuk membuat green belt, serta perlu dilakukan penyuluh tentang bahaya gelombang pasang tsunami dan cara peyelamatannya. Kemudian untuk mencegah terjadinya abrasi pantai , perludiperhatikan beberapa hal antara lai mencegah
pengrusakan
adalah mencegah penambangan pasir pantai, terumbu
karang,
melaran
penebangan
dan
penggundulan hutan mangrove, serta penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkakan partisipasinya dalam upaya penngglangan abrasi. Sedangkan upaya untuk mencegah banjir antara lain adalah pembuatan umur resapan, peningkatan dan pemeliharaan saluran buangan, penganan sampah secara terpadu, reboisasi
pada kawasan yang gundul, penanganan DAS, serta
penertiban perauran dan tata ruang.
2.2. Garam Garam adalah salah satu komoditas strategis, selain sebagai kebutuhan komsumsi juga merupakan bahan baku industri kimia seperti soda api, soda abu sodium sulfat dan lain-lain. Tanpa garam manusia tidak mungkin hidup, karena garam bertindak sebagai pengatur aliranmakanan dalam tubuh, kontraksi hati dan jaringan-jaringan dalam tubuh. Dalam tubuh orang dewasa mengandung sekitar 250 gram garam ( PRWLSNH, 2006). Garam atau lebih dikenal dengan nama garam meja, terasuk dalam kelas mineral halida atau dikenal dengan nama halite, dengankomposisi kimia sebagai Natrium Klorida ( NaCl) terdiri atas 39,3 % Natrium (Na) dan 60,7 % Klorin (Cl).
14
Garam ini umumnya berada besama gypsum dan borak, sehingga akan terendapkan setelah gypsum terendapkanpada proses penuapan air laut. Beberapa sifat garam atau Natrium Klorida yaitu bisa berbentuk kristal atau bubuk putih dengan sistem isomerik berbentuk kubus, bobot molekul 58,45 g/ mol, larut dalam air (35,6 g/100 g pada 0oC dan 39,2 g/ 100g g pada 100 o C). Dapat larut dalam alkohol tetapi tidak larut dalam asam klorida pekat mencair ada suhu diatas titik didih (1413 o C). Hardines 2,5 skala MHO, bobot jenis 2,165 g/cm3, tidak berbau, tidak mudah terbakar dan toksisitas rendah serta mempunyai sifat hygroskopik sehingga mampu menyerap air dari atmosfir pada kelembaban 75 % (Chemical Index, 1993). Garam alami mengandun senyawa Magnesium Klorda, Magnesium Sulfat, Magnisium Bromida dan senyawa runut lainnya. Sehingga warna garam merupakan kristal transparan juga bisa berwarna kuning, merah, biru atau ungu. Garam banyak dimanfaatkan dalamberbagai macam industri dan diestimasikan sekitar 14.000 produk menggunkan garam sebagai bahan tambahan. A. Jenis Garam Berdasarkan pemanfaatannya garam dikelompokkan atas dua kelompok yaitu garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi berdasarkan SIN kandungan NaCl nya minimal 94,7 %, Sulfat, Magnesium dan Kalsium maksimum 2% dan kotoranlainnya (lumpur dan pasir) maksimum 1 % atas dasar persen berat kering (dry basis), serta kadar air maksimum 7 %. Sumber garam antara lain dari air laut, air danau asin, deposit dalam tanah/ tambang dan dari sumber air garam. Kualitas garam dapat diklasifikaskan berdasarkn kandungan NaCl dan kandungan airnya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kualitas garam yaitu: Tabel 1. Kualitas Garam Bdasrakan andungan NaCl Kualitas
Kandungan NaCl
Keterangan
I
NaCl > 98 %
Kandungan Air Maksimun 4 %
Ii
94,4 % < NaCl< 98 %
Kandungan Air Maksimum 5 %
III
NaCl < 94 %
Kandungan Air > 5 %
Sumber ; PT. Garam, 2000
15
Untuk mengahasilkan garam dengan mutu yang baik, maka senyawasenyawa kKalsium dan Magnesium serta Sulfat harus terlebi dahulu diendapkan . Pada garam rakyat yang memanfaatkan model penguapan total,kadar garam tertinggi yang dapat dihasilkan relatif jarang mencapai 90 %, sehingga dibutuhkan perlakuan – perlakuan khsusus agar dihasilkan garam dengan kualitas tinggi
B. Kualitas Garam Konsumsi Kualitas garam konsumsi seperti
yang telah disebutkan diatas yaitu
menurut SIN adalah minimal mengandung NaCl sebesar 94,7 % yang masuk kedalam kisaran
kualitas baik atau kualitas II. Garam konsumsi selain
mempunyai nilai sesuai dengan SIN juga harus menandung iodium sebesar 30 – 80 ppm, oleh karena itu dalam proses pembuatannya harus ada iodisasi yaitu penambahan iodium.
C. Kawasan Pegaraman Indonesia walaupun meupakan negara kepulauan, tetapi hingga saat ini pembuatan garam hanya terkosentrasi di pulau Jawa dan Madura. Potensi luas lahan penggaraman di Indonesia mencapai kurang lebih 33.625 ha, tetapi baru sekitar 17.623 ha (52,4 %) yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Lahan garam tersebut tersebar di 7 propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah.
D. Potensi Pengembangan Kawasan Potensi pengembangan kawasan industri garam di Indonesia untuk intensifikasi tetap berpusat di pulau Jawa dan Madura, dimana pasar dari garam sudah terbentuk, sedangkan ekstensifikasi adalah ke wilayah timur Indonesia yang memiliki iklim dan cuaca yang sesuai dalam proses pegaraman. Daerah
potesial
untuk
pengembangan
diperkirakan 13.000 ha yang tersebar di berbagai
lahan
pegaraman
baru
daerah terutama 1) Jawa
16
Timur : Sidoarjo, Pamekasan dan Sampang, 2), Nusa Tenggara Barat : Lombok Timur dan Sumbawa, 3), Nusa Tenggara Timur : Kupang, Ngada, Sumba Barat, Manggarai, 4) Sulawesi Selatan : Jeneponto, Takalar dan Pangkep.
17
III.
METODOLOGI
3.1.. Metodologi Penelitian Riset Penelkanas (bidang produk kelautan) merupakan sebuah riset yang dirancang untuk memonitor dinamika sosial ekonomi desa perikanan sebagai dampak kegiatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, menurut Irawan dkk (2006), kegiatan monitoring dan survei srta stui lainnya di dalam kegiatan riset Panelkanas memerlukan beberapa kondisi dalam plaksanaannya yaitu : (1). Kosistensi desa contoh (2). Kosistensi metode pengukuran variabl yang diamati (3).Kosistensi kedalaman informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner (4).Kosistensi interval waktu
yang digunakan daam mengkaji
perubahan
variabel yang diamati.
3.2. Lokasi dan Waktu Lokasi riset ini mengikuti lokasi yang telah diidentifikasi pada tahun 2006 dengan pertimbangan mewakili tipologi desa kelautan dan perikanan (produk kelautan) yaitu Jawa Timur (Sumenep), Sulawesi Selatan (Jeneponto) mewakili tambak garam dan Jawa Tengah ( Karimunjawa) mewakili wisata bahari. Waktu pelaksanaan riset adalah sejak Januari- Desember 2008.
3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang telah dikumpulkan meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder merupakan data-data yang didapat dari hasil publikasi dari embaga terkait seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, PT. Garam, Kantor Desa dan Badan Pusat Statistik (BPS), serta lembaga-lembaga lain yang mendukung. Agar dapat memahami perkembangan dan dinamika sosial ekonomi di skala pedesaan diperlukan beberapa desa contoh yangditeliti secara berkala. Data semacam ini
disebut data panel yang merupkan kombinasi
dari data
penampang lintang (cross section) dan data deret waktu (time series). Data primer ini diperoleh dari hasil sensus dan survei terhadap rumah tangga pada desa contoh.
18
3.4. Metode Pengumpulan data
Pengumpulan data sekunder dimaksudkan
untuk menyusun data-data
pendukung dalam pelaksanaan kegiatan riset. Data primer didapat dari diskusi pakar dan workshop. Diskusi pakar merupakan sarana yang digunkan nuk mendapatkan expert judgement setelah melihat data –data sekunder yang didapat . Diskusi pakar dilakukan dalam rangka verivikasi data-data sekunder dengan kondisi lapangan, untuk menentukan lokasi desa contoh pada masingmasing kabupaten. Workshop atau semiloka dilakukan untuk koordinasi untuk mendapatkan masukan dari lembaga-lembaga terkait dan tokoh masyarakat setempat. Panel data mikro
merupkan data berkala yang dikumpulkan melalui
survei terhadap sejumlah responden yang dilakkan secara berkala. Desa contoh disetiap propinsi dipilih secara sengaja (sesuai dengan
tujuan) dengan
mempergunakan beberapa pertimbangan keberadaaan usaha produks kelatan (tambak garam dan wisata bahari) Metode Pemilihan Desa Contoh Desa contoh terilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan pada tahun 2006 sesuai dengan sebaran tipologi dsa di sektor kelutan dan perikanan ditambah dengan beberapa pertimbangan antara lain: (1). Kondisi tipe ekologi, (2). Dominasi komoditas (3). Aksesibiltas Penentuan jumlah desa contoh unuk setiap tipologi desa contoh di sektor kelautan dan perikanan didasarkan atas ”kemampuan” dana dan tenaga, baik dalam pelaksanaan pengumpulan data , pengolahan data (data handling), anlisa dan penulisan laporan. Dengan jumlah desa dan data yang dikumpulkan diharapkan tersedia waktu dan dana yang memadai untk mlakukan analisa dan penulisan laporan. Meskipun demikian, jumlah desa yang terpilih diharapkan tetap dapt mewakili bebargai tipologi desa.
19
Metode Pemilihan Blok Sensus Tujuan dari sensus rumah angga ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang profil rumah tangga produk kelautan adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang profil rumah tangga perikanan dan kelautan (produk kelautan) di pedesaan, antara lain menyangkut struktur masyarakat
dan
pengusaan aset produksi di sektor kelautan dan perikanan (produk kelautan) seuai dengan tipologi desa yang ada. Dengan keterbatasan dana dan tnaga sesus rumah tangga hanya dilakukan terhadp sebagian rumah tanggadi dalam satu blok sensus, atau biasa disebut sensus parsial . Ketentuan umum sensus parsial ini adalah sebagai berikut : (1). Sensus parsial rumah tangga hanya dilakukan di beberapa kampung atau blok di setiap desa contoh (selanjutnya disebut blok sensus), dengan jumlah rumah tangga sekitar 150 -250 kepala keluarga (KK). (2). Sensus diluar Jawa dilakukan terhadap sekitar 150 -175 KK. Jumla tersebut didasarkan pertimbangan : (a), rlatif rendahnya kepadatan penduduk
di luar Jawa dan (b) relatif homogennya penguasaan
lahan dan sumbermata pencaharian rumah tangga di wilayah ini. (3). Parsial sensus di Jawa dilakukan terhadap sekitar 200 – 250 KK, lebih besarnya KK yang disensus didasrkan atas pertimbangan : (a), relatif tingginya kepadata penduduk di Jawa dan (b), relatif hetrogennya penguasaan lahan
dan sumber mata pencaharian
rumah tangga di wilayah ini. Sensus merupakan pencacahan menyeluruh rumah tangga dari suatu komonitas. Menyadari bahwa rumah tangga yang di sensus hanya sebagian dari jumlah rumah tangga desa contoh, maka sangat diperlukan metode pemilihan blok sensus dan rumah tanga yang dapat dipandang sebagai komuditas. Yang dimaksud dengan konitas dalam sensus parsial ini adalh sejumlah rumah tangga yangtingga dalam beberapa kampung atau blok dengan batas (alam) yang jelas (blok sensus). Dasar pertimbangan dan cara memilih blok sensus dan jumlah rumah tangga adalh sebagai berikut :
20
(a). Blok sensus harus mencerminkan keadaan umum desa contoh . Misalnya bila desa contoh terpilih sebagai desa tambak garam, maka blok sensus (rumah tangga yang di sensus) haruslah mampu memberikan gambran keadaan ini . Bila desa contoh adalah desa tambak garam maka blok sensus adalah blok yang mewakili rumah tangga petambak garam. Langkah pertama dengan membuat daftar kampung atau dusun atau RT di desa contoh, dilengkapi dengan daftar rumah tangga. Dari kampung atau dusun yang terdaftar, diseleksi kampung mana saja yang mempunyai ciri sesuai dengan ciri umum desa terpilih. Misal satu desa tambak garam terdiri dari 7 dusun. Dari ke tujuh dusun
5 dusun mempunya lahan tambak garam,
sedangkan 2 dusun mempunyai ahan budidaya bandeng. Dengan demikian 5 dusun
yang mempunyai lahan tambak garam
menjadi nomnasi blok sensus. Dari lima dusun yang dijadikan nominasi sebagai blok sensus dihitung jumlah rumah tangga di masing-masing dusun. Bila setiap dusun mempunyai jumlah rumah tangga sesuai target jumlah umah tangga yang akan di sensus maka ke lima dusun mempunyai peluang
terpilih sebagai
komunitas yang di sensus. Kemungkinan kedua adalah perlu dlakukan penggabungan dua atau empat dusun untuk mencapai target
rumah tangg
sensus. Kemungkinan lain, tetapi sangat kecil peluangnya, adalah jumlah rumah tangga dalam satu dusun melebihi target rumah tangga sensus. (b). Dalam keadaan jumlah rumah tangga di masing-masing dusun melebihi target rumah tangga sensus, maka terlebih dahuludilakukan plotting blok rumah tangga dari dusun dominasi. Dusun atau blok sensus yang terpilih harus mewkili ciri umum desacontoh bukan dusun yang ekstrim, misalnya dusun yang hanya terdiri dari rumah tangga buruh tambak garam atau pedagang saja. Blok sensus yang dipilih harus mempunyai batas yang jelas dan perlu dibuat sket dalam peta desa. Batas blok sensus dapat brupa batas alam atau batas buatan . Bila si desa masih dapat dlacak batas blok sensus penduduk (BPS) disarankan menggunakan bloksensus tersebut.
21
(c). Semua rumah tangga blok sensus terpilih harus didaftar dan secara keseluruhan disensus. Bila ada rumah tangga sedng tidak berada dirumah sampai pelaksanaan sensus selesai maka harus dicatat dn didokumentasi. Pemilihan Rumah Tangga Contoh Penentuan rumah tangga contoh
yang akan dilakukan
survey dan
sensus didasarkan pada hasil pemilihan desa-desa perikanan dan kelautan pada tahun ke dua. Survey dan sensus dilakukan sesuai dengan klasifikasi sektor kelautan dan perikanan yang ditetapkan yaitu produk kelautan . Daftar rumah tangga contoh ditetapkan sebanyak 30 rumah tangg per desa contoh yang sebarannya didasarkan pada penciri
masing-masin bidag
perikanan dn kelatan yan ifungsikan sebagai dasar stratifikasi. Oleh karena itu pemilihan
rumah
tangga
contoh
dilakukan
menggunkan
metode
pengambilancontoh secara acak (simple randon sampling).
3.5. . Metode Analisis Data Unit Analisis 1. Ekonomi Usaha Mewakili
kondisi
analisis
ekonomi
termask
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya di tingkat desa Dalam rentang waktu 1 tahun berikutnya akan dilihat dinamika kondisi sosial ekonomi untuk bidang yang dikaji.
Analisa data yang akan dilakukan tahun 2008 adalah analisis deskriptif yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pedeaan di sektor kelautan dan perikanan (produk kelautan).
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Survei Wisata Bahari di Karimunjawa, Kabupaten Jepara. 4.1.1.. Kondisi Zonasi Karimunjawa Pemanfaatan
pulau-pulau
kecil
untuk
kegiatan
wisata
perlu
dikembangkan sejalan dengan meningkatnya pasar wisata akan jenis wisata ini. Sumberdaya yang terdapat di pulau-pulau kecil sangat beragam meliputi mangrove, pantaii berpasir, padang lamun dan terumbu karang. Salah satunya kawasan potensial yang saat ini dikembangkan sebagai objek wisata bahari adalah kepulauan Karimunjawa. Lokasinya terletak di sebelah utara kota Semarang dengan jarak 65 mi adalah merupakan 27 gugusan pulau kecil dengan luas daratan 7.120 ha. Kebijakan nasional telah menetapkan 22 pulau diantaranya yang berfungsi sebagai Taman Nasional Laut dengan luas perairan 111.625 ha (Istanto, 1998). Dalam skala nasional, regional dan lokal kawasan Karimunjawa berperan sebagai daerah tujuan wisata potensi sumberdaya alam dan lingkungannya
andalan, mengingat
yang rlatif masih bagus jika
dibandingkan dengan tempat serupa di pulau Jawa seperti Kepulauan Seribu (Purwanti, 2003). Tahun 1988 Karimunjawa ditetapkan sebagai kawasan Taman nasional Laut dengan tujuan untuk melindungi dan memanfaatkan sumberdaya secara lestari. Berdasarkan artikel 32 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, penelolaan dan pemanfaatan Tman Nasional didasrkan pada sistim zonasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Perlidungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK.79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni 2005, zonasi atau mintakat didalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa adalah sebagai berikut :
a. Zona Inti Zona ini mutlak dilindungi dan tidak boleh terjadi perubahan apapun didalamnya oleh aktivitas manusia, kegiatan yang diperbolehkan hanya untuk kegiatan pendidikan, penelitian, inventarisasi pemantauan, perlindungamn dan
23
pengamanan. Zona inti ini tedapat di Tanjung Bonang, P. Taka Malang, P. Taka Penyawakan dan P. Kumbang seluas 444,629 hektar. b. Zona Perlindungan Melindungi zona inti dan mendukung upaya
perlindungan
spesies,
mengembangkan alami jenis sawa liar termasuk satwa migran dan proses ekologis alami . Kegiatan yang diperbolehkan sama dengan zona inti ditambah dengan pemanfaatan terbatas dengan melalui izin khusus. Zona initerdapat di P. Gading Selikur, P. Burung, P. Galeang. P. Cemara, Tj Balam, P. Sintok, P. Gosong Tengah, sebagian besardatan Karimunjaa dan Kemojan seluas 2.587,711 hektar. c. Zona Pemanfaatan Pariwisata Dikembangaan untuk kepentingan wisata alam bahari dan wisata alam ramah lingkungan lainnya, dapat dikembangkan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata. Zona in terdapat di P.Menjangan Kecil, P. Menjangan Besar, P. Kembar, P. Karang Kapal, P. Menyawakan , P. Bengkoang, zona ini seluas 1.266,525 hektar. d. Zona Pemukiman Kawasan yang dijadikan kepentingan pemukiman masyarakat yang sah sudah
ada
sebelum
kawasan
konservasi
ditetapkan
dengan
tetap
memperhatikan aspek konservasi. Kawasan ini terdapat di P. Karimunjawa, P. Kemojan, P. Parang dan P. Nyamuk seluas 2.571,546 hektar. e. Zona Rehabilitasi Diperlukan bagian pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan 75 %. Zona rehabiliasi ini terdapat di P. Bengkoang, P. Kembar, P. Penyawakan, P. Galang, P. Burung, P. Cemara Kecil, P. Sintok, P. Tengah, P. Menjangan Kecil dan P. Menjangan Besar seluas 122,514 hektar.
f. Zona Budidaya Diperlukan bagi kepentingan budidaya perikanan oleh masyarakat seperti budidaya rumput laut, Keramba Jaring Apung (KJA) dan lain-lain dengan tetap
24
memperhatikan aspek konservasi. Kawasan ini terdapat di P. Parang, P. Nyamuk, P. Karimun dan P. Kemojan seluas 788,213 hektar.
g. Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional Pemanfaatan perikanan tangkap yang sudah ada dan berlangsung secara turun menurun masyarakat setempat dengan menggunakan penangkapan yang ramah lingkungan. Kawasan ini terdapat di seluruh perairan Karimunjawa seluas 103.883,862 hektar. Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 gugusan kepulaun yng mana Taman Nasional Laut Karimunjawa berada dalam kawasan Kepulauan Karimunjawa yangmencakup 22 gugusan kepulauan didalamnya dibagai menjadi 5 tipe ekosistem yaitu ekosistem terumbu karang, padang lamun dan rumput laut. Mangrove, hutan pantai, serta hutan daratan rendah. Dari 27 pulau yang ada di kepulauan Karimunjawa 5 pulau tidak termasuk dalam kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa. Lima pulau tersebut adalah pulau Genting, pulau Seruni, pulau Sambangan, pulau Cendekia dan pulau Gundul. 23 Januari 1998 secara resmi Balai Taman Nasional Karimunjawa mulai beroperasi untuk mengelola kawasan tersebut. Dalam perjalannya banyak ditemui permasalahan dalam pengelolaannya baikmasalah internal dan eksternal .Adapun permasalahan internal dinaaranya (a). Kurangnya data dan informasi mutahr mengenai Kawasan Taman Nasional
Karimunjawa, (b), Belum
selesainya penataan batas kawasan terkait dengan adanya revisi penataan zonasi dalm kawasan Taman Nasional Karimunjawa (c), Terbatasnya koordinasi dan kerjasama dalam pengelolaan kawasan sehingga belum terpadunya program dan Kegiatan Balai Taman Nasional Karimunjawa
dengan sektor
terkait, (d), Belum terwujudnya alternatif usaha ekonomi sebagai upaya untuk mengurangi tekanan pemanfaatan sumberdaya perairan dan (e), Pembangunan sarana dan prasarana wisata oleh pihak ke tiga belum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sementara permasalahan eksternal meliputi (a), Degradasi fungsi kawasan dengan
meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang
25
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, (b), Pengambilan biota laut yang dilindungi undang-undang diambil cara ilegal. Terlepas dari itu semua permasaahn menonjol dalam mengelolan kawasan Karimunjawa berpusat pada prlindngan ekosistem laut . Hal ini disebabkan kawasan Karimunjawa salah satu pusat perikanan yang diandalkan di Jawa Tengah, sementara fakta menunjukan bila sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya perikanan. Selain itu beragamnya budaya dan sumberdaya Karimunjawa dapat menjadi daya tarik bagi pihak lan untuk mempelajari dan menikmati khazanah alam dan budaya bahari
negra kepulauan. Namun disisi lain menimbulkan
kompleksitas dan keteraitan yang rumit dalam mengembangkannya. Berdasarkan salah satu alternatif
karakteristik
internal dan potensi sumberdaya alamnya
kegiatan yang dapat dikembangkan adalah pariwisata.
Pariwisata di beberapa kepulauan telah menjadi andalan sumber pendapatan daerah dan lapngan kerja bagi penduduk lkal. Walaupun demikian kegiatan periwisata juga akan memberikan dampak terhadap kondisi fisik sertakehidupan sosial ekonomi penduduk pulau baik positif dan negatif (Purwanti, 1996). Tratgi pengembangannya adalah pmantapan dan pengendalian kawasan
lindung
untuk menjamin kelstarian fungsinya dan pemanfatan ruang kawasan budidaya yang susuai dengan daya dukung dan peruntukannya degan menjaga keseimbangan ekosistim. Penetapan kawasan sebagai Taman Nasional Laut
Karimunjawa
merupakan aset yang sangat berharga bagi kelestarian sumberdaya alam dan ekosistem alami serta plasma nutfah pengembangan
sehingga dapat digunakan untuk
iptek, sebagai tempat kegiatan pariwisata dan berfungsi
menjaga keseimbangan lingkungan.
26
4.1.2.. Sekilas Kepulauan Karimunjawa Secara administratif Kepulaun Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Jepara, terdiri dari 3 desa dan 10 dukuh . Secara geografis kepulauan ini berada pada garis lintang 5o 40’ 39” – 5o 55’ 00” Ls dan 100
o
05’ 57 “ – 110
o
31’ 15” BT dan berjarak sekitar 45 mil dari
kota Jepara atu 65 mil dari kota Semarang, Jawa Tengah. Luas wilayah daratan Kepulauan Karimunjawa mencapai 7.115 ha serta perairannya seluas 1.626,8 km2 , yang terdiri dari gugusan pulau sebanyak 27 buah pulau. Dari 27 buah pulau tersebut yang berpenghuni sebanyak 5 buah pulau edangkan pulau-pulau yang lain
belum ada penduduknya. Pulau Karimunjawa merupakan pulau
terbesar dari ulau lainnya, dikarenakan pulau ini
terdapat gunung yang
memilikiketnggian 506 m dari permukaan laut. Adapun kondisi pula lainnya relatif datar . Berdasarkan ketinggian tempat kawasan Taman Nasional Karimunjawa dibagi menjadi 5 tipe ekosistem yaitu ekosistem terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, mangrove, hutan pantai dan hutan daratan rendah (Manadiyanto, 2008). Ekosistem terumbu karang terdiri dari 3 tipe terumbu, yaitu terumbu karang pantai(fringing reef), penghalang (barrier reef), dan beberapa taka (patch reef) Pada umumna vagetasi mangrove umbuh kerdil. Vegetasi hutan pantai dicirikan dengan adanya ketapang ( Terminalla cattapa), cemara laut (Casuarina equisetifolia), kelapa (Cocus necefera), jati pasir (Scaerota frustescens),
setigi (Strebus asper), dan waru laut (Hibiscus tiliaceus).
Ekosistem hutan daratan rendah menempati ketnggian 0 – 500 m dari permuaan laut di pulau Karimunjawa dan terdapat jenis tumbuhan khas yaitu dewadaru (Fragarea eleptica), sawo kecik (Manicara kauki) dan kalimosodo (Bura cretitans) yang mulai langka. Jenis fauna di Tamn Nasional Karimunjawa dapat digolongkan
menjadi 2 golongan yaitu hewan darat
(terrestrial )
dan air
(aquatic). Jenis hewan darat yang umum dijumpai adalah rusa ( Cervus timorensis), kera ekor panjang ( Macaca fascicularis karimodjawae), trenggiling (Manis javanica) dan ular edor ( Callose lasmarhodostoma). Jenis burung khs
27
yang dijumpai adalah peragam ketanjr (Dacularosaceae), trocokan (Picnonotus goveir var karimunjawa) dan betet karimnjawa ( Psitacula alexandri var karimunjawa). Kepulauan karimunjawa umumnyaberiklim tropis yang dipengaruhi angin laut dengan suhu rata-rata 26 – 30 0 C dengan suhu maksimum 34 0 C dan suhu minimum 220 C. Dalam satu tahun terdapat dua perganian musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba diantaranya. Musim kemarau (timuran ) terjadi pada bulan Juni – Agustus. Musim pancaroba ertama September – Oktober. Pada periode ini angin disominasi angin barat laut, kadang-kadang juga dari timur dan utara dengan kecepatan bervarisi. Musim pnghujan (musim baratan ) berlangsung antara Nopember – Maret
dengan
curah hujan dan angin disertai gelombang laut yang besar. Secara umum, lahan di Karimunjawa merupaka ahan untuk pemukiman ladang / kebun, pertanian basah, perkebunan, hutan dan tanah kosong (pulau kosong). Adapun penggunaan lahan sebagai berikut :
Tabel 2. Pola penggunaan lahan di Karimunjawa. No.
Jenis penggunaan lahan
Luas (Ha)
1
Bangunan dan halaman
1.907
2
Tegalan
1.124
3
Padang rumput
4
Rawa
36
5
Tambak
61
6
Tidak diusahakan
7
Tanaman kayu-kayuan
1.409
8
Hutan Negara
2.207
9
Tanah lainnya
247
8
305
Sumber : Monografi Desa Karimunjawa, 2008 Bagi masyarakat Karimunjawa hutan sangat penting peranannya bagi penyangga ekologi maupun ekonomi walaupun sebenarnya pemanfaatan hutan bagi kepentingan ekonomi
sudah dilarang, tetapi eksploitasi hutan dengan
28
menebang untuk perladangan berpindah maupun untuk bahan bangunan masih tetap berlangsung. Pada umumnya usaha pertanian yang diusahakan penduduk adalah ladang/ tegalan. Umumnya sawah sangat tergantung pada musim hujan. Tanaman pertanian yang dikembangkan penduduk perdagangan seperti
umumnya tanaman
cengkeh,kopi, kelapa da randu (kapuk) serta tanaman
semusim seperti jagung, ketela pohon, ubi jalar, kacang tanah, kedelai dan wijen. Disamping tanaman tersebut diatas penduduk juga mengembangkan tanaman hortikultura seperti mangga, jeruk, pisang, nangka, sukun, nanas, kedongdong, jambu air dan jambu mede. Jenis ternak yang dipelihara dan dikembangkan di Karimunjawa adalah sapi, kuda, kambing/domba, itik, angsa dan ayam. Usaha peternakan yang menonjol adalah peternakan ayam kampung dimana sbagian besar penduduk melalukannya sebgai usaha sampingan. Perikanan yang diusahakan di Kaimunjawa umumnya adalh perikanan laut baik perikanan tangkapmaupun perikanan budidaya. Keiatan perikanan tangkap dlakukan dengan
menggunakan
berbagai
jenis
alat
penangkapan, sedangkan kegiatan budidaya
tangkap
dengan
armada
ang dilakukan adalah budidaya
rumput laut dan udidaya ikan di KJA.
4.1.3.. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Karimunjawa Dari gugusan pulau –pulau yang berjumlah 27 buah 5 pulau dantaranya telah berpenghuni yaitu pulau Karmunjawa, pulau Kemujan, pulau Parang, plau Naymuk dan pulau Genting. Pulau Karimunjawa menjadi pusat kecamatan yang berjarak 83 km dri kota Jepara. Kepulauan Karimunjawa dihuni beberapa suku yakni suku Jawa, Bugis Makassar dan Madura. Masyarakat Jawa banyak tinggal di dukuh Karimun, dukuh Legon Lele, dukuh Nyamplungan dan dukuh Mrican. Masyarakat suku Bugis Makasar sebagaian besar bertempat tinggal di pulau Kemujan,
dukuh Batu Lawang, dukuh Legon Gede dan dukuh Tlogo.
Masyarakat bugis terkenal sebagai pelaut yang ulung oleh karena itu sebagain besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Hmpir sama dengan masyarakat bugis, masyarakat Madura pun sebagaian besar berprofesi nelayn.
29
Selain itu mempunyai kemampuan membuat ikan kering sebagai industri rumah tangga. Pada umumnya masyarakat yang berada di kawasan Taman Nasional Karimunjawa mempunyai lebih dari satu matapencaharian. Jenis mata pencaharian penduduk di tiga desa tersebut meliputi petani, buruh tani, nelayan, pedagang, pengangkutan, PNS, TNI, Pensiunan dan penginapan / home stay dan lain-lain. Tabel 3. Komposisi mata pencaharian penduduk di Karimunjawa Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk (Jiwa) Karimunjawa Kemujan
Petani
Total
%
Parang
445
399
168 1.012
18,50
1.483
476
527 2.486
45,44
21
12
8
41
0,75
Pengrajin
113
15
87
215
3,93
Pedagang
97
22
35
154
2,81
Kontruksi
79
150
35
264
4,83
Pengangkutan
31
34
15
80
1,46
PNS /TNI
168
32
28
228
4,17
Pensiunan
14
3
0
17
0,31
Lainnya
25
940
9
974
17,80
2.476
2.083
912 5.471
100,00
Nelayan Pengusaha
JUMLAH
Sumber ; Monografi Desa Karimunjawa, 2008 Jumlah penduduk dari ktiga desa yang berada di sekitar Karimunjawa adalah 9.054 jiwa. Tingkat pendidikan penduduk umnya cukup rendah , dimana sebagaian besar adalah tidak/ belum tamat SD dan tamatan SD.
30
Tabel 4. Jumlah dan kepadatan penduduk, pendidikan di Karimunjawa Nama Desa
Luas
Jumlah
Kepadatan
Tingkat Pendidikan
(Ha)
Penduduk
Penduduk
SD*
(Ha)
SLT
SLA
PT
P
Karimunjawa
4.619
4.137
1.12
3.865
156
92
24
Kemujan
1.626
2.910
0,56
2.650
155
86
19
870
2.007
0,43
1974
25
7
1
7.115
9.054
7.967
296
158
36
Parang JUMLAH
Keterangan : *). Tamat, Tidak Tamat dan belum sekolah Sumber
: Monografi Kecamatan Karimunjawa
4.1.4. Profil Kepariwisataan di Karimunjawa 1. Fasilitas 1.1.a. Sarana Transportasi Ada tiga jenis sarana transportasi yang terdapat di Karimunjawa yaitu darat, laut dan udara yng dapat menghubungkan Karimunjawa dengan dunia luar. Untuk transportasi darat terdapat jalan kecamtan sepanjang 22 km mulai desa Karimunjawa dan pulau Kemujan. Sementara untuk transportasi laut terdpt kapal perintis KM Muria yang menghubgkan Jepara dan Karimunjawa dengan waktu 6-7 jam, sedangkan dari Semarang dengan kapal cepat Kartini hanya 3,5 jam . Jadwal keberangkatan KM. Muria setiap hari Rabuberangkat dari pantai Kartini Jepara, sedangkan jadwal kapal cepat Kartini mulai Saptu dan hari Senin via Jepara. Ada juga trasportasi udara secara reguler yangdilakukan 2 kali seminggu dengan maskapai Deraya Air Service (DAS), namun sejak 1 April 1998 tidak lagi mengoperasikan secara reguler, sehingga pelayanan penerbangan ke Karimunjawa hanya dilakukan secara carteran dengan lama penerbangan 1 jam dari Bandara A. Yani Semarang. 1.1.b. Sarana Akomodasi Sarana penunjang pariwisata berupa fasilitas akomodasi
dengan
berbagai jenis dan fasilitas lain yang telah tersedia di Karimunjawa. Hingga saat ini terdapat 3 jenis akomodasi yaitu hotel, resort dan home stay. Untuk hotel telah berdiri Hotel Karimun Inn, untuk resort terdapat 2 buah yakni Kura-kura
31
resort dan Dewadaru resort sedangkan home stay terdapat sebanyak 20 buah. Selain itu terdapat hotel terapung 1 buah. 2. Potensi Wsata Melihat potensi wisata bahari maupun potensi wilaya daratan menjadikan wilayah
Karimunjawa
menjadi
objek
Pengembangan pariwisata kepulauan wilayah
wisata
yang
sangat
potensial.
didasakan pada keompok kegiatan
bahari dan wisata pantai yang secara umum dapat dibedakan atas
wisata rekreasi, wisata olahraga, wisata petualangan, wisata pendidikan dan wisata budaya. Berdasarkan pemetaan setidaknya terdapat
berbagai bentuk
atraksi wisata diantaranya mencakup : 2.1.a. Atraksi di darat Seperti kegiatan tracking dan berkemah, aktivitas ini dapat dilakukan di beberapa pulau antara lain : pulau Karimunjawa, Kemujan dan Parang. Pulaupulau ini memiliki jenis vegetasi yang cukup banyak dan keadaan geologis yang menantang cukup mendukun kegiatan ini. Selain itu kegiatan mandi matahari (sun bathing), aktivitas ini dapat dinikmati disebelah barat pulau Menjangan Besar, sebeah bart pulau Cemara Kecil. Biasanya wisatawan menghabiskan waktunya untuk menjemur di wilayah ini. Aktivitas alainnya adalah pengamatan satwa burung (bird watching) yang potensial di pulau Burung. 2.1.b. Atraksi di perairan Berupa atraksi yang berhubunga dengan air seperti berenang, menyelam dan memancing. Wisata bahari menawarkan berbagai kegiatan wisata dan olahraga yang berhubungan dengan alam kepulauan Karimunjawa. Beberapa aktivitas wisata bahari yang dapat dilkukan di kawasan ini adalah sebagai berikut :
a. Menyelam Kegiatan ini dapat dilakukan di sebelah utara dan barat pulau Karimunjawa, sebelah timur pulau Menjangan Besar, sekitar pulau Menjangan Kecil, sebelah selatan dan barat pulau Geleang, sebelah barat pulau Bengkoang,
32
sebelah barat pulau Parang, sebelah timur pulau Kembar, sekitar pulau Katang, sebelah utara dan timur pulau Krakal Kecil dansebelah barat pulau Kumbang.
b. Snorkling Aktivitas ini dapat dilakukan di pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, sebelah barat pulau Bengkoang, sekitar pulau Kembar, sebelah utara dan timur Krakal Kecil. c. Memancing Memancing dapat dilakukan di sekitar pulau Menjangan Besar, pulau Menjangan Kecil, pulau Menyawakan, pulau Tengah, pulau Kemujan, pulau Parang, sekitar pulau Kembar dan sebelah barat pulau Bengkoang.
d. Berenang Lokasi yang dapat dipakai untuk melakukan aktivitas ini antara lain di sebelah timur dan selatan
Karimunjawa, bagian selatan dan barat pulau
Menjangan Kecil, bagian barat pulau Tengah, sekitar pulau Parang, pulau Kembar dan pulau Kumbang. e. Berjemur Hampir seluruh pantai di Kepulauan Karimunjawa berpasir putih dengan garis pantai yang cukup panjang. Kondisi ini
menyebabkan kawasan pantai
menjadi kawasan yang cocok untuk melakukan kegiatan
berjemur (mandi
matahari), bermain pasir dan menyaksikan keindahan matahari terbenam (sunset) dan terbit (sunrise). f. Menjelajah Laut Bagi yang tidak dapat berenang dan menyelam, tersedia kapal yang dilengkapi dengan kaca
bagian
bawahnya
(glass
bottom boat) untuk
menyaksikan keindahan bawah laut Karimunjawa. g. Akuarum Laut Di pulau Menjangan Besar terdapat area yang memiliki fasilitas akuarium laut. Disini dapat menikmati keindahan ikan hias dan kehidupan ikan hiu, teripang dengan nuansa khas yang tidak dapat ditemui di daerah lain.
33
2.1.b. Wisata Menyelam Gugusan terumbu karang di kepulauan Karimunjawa merupakan terumbu tepi dan taka. Penutupan karang keras berkisar antara 6,7 % - 68,9 % dan indek keragaman 0,41 -0,91. Kondisi terumbu karang secara umum mempunyai penutupan 40 % (Nautilus, 2007). Tedapat 31 spot yang sering dilakukan penyelaman yang tersebar pada 14 pulau, 4 gosong dan 2 taka. Lokasi tersebut adalah :
a. Pulau Menyawakan Di pulau ini terdapat sebuah resort wisata yaitu Kura Kura Resort yang telah menetapkan 4 spot yang memiliki karakteristik
yang berbeda : (1).
Hawksbill point : keindahan karang yang memukau terutama pada kedalaman 10 M, didominasi oleh jenis Acropora. Nama Hawksbill diambil karena pada daerah ini sering dijumpai penyu sisik yang mencari makan di rataan terumbu (2). Shark point : spot masih tergolong liar karena banyak ditemukan biota pemangsa seperti Hiu Sirip Putih dan Barakuda. (3), Hilly reef : keindahan terumbu karang dengan rataan terumbu berbukit, lebar dan luas. Hewan karang penyusun terumbu
beradaptasi dengan lingkungan
yang terjal dan tumbuh
hingga kedalaman lebih dari 40 M. (4), Pioneer reef : merupakan daerah transisi antara dua tipe terumbu karang yang berbeda. Terumbu yang tumbuh merupakan terumbu perintis (pioneer) yang berukuran kecil-kecil.
b. Pulau Cemara Besar Terdapat dua spot yang meiliki karakter hampir sama, bentukan terumbu karang yang beraneka rupa sampai kedalaman 30 M.
c. Pulau Cemara Kecil Terdapat dua spot dengan karakter yang berbeda . Spot 1 Cemara Kecil : terletak di barat laut pulau, dapat dijumpai kuda laut diantara pasir dan karang. Gundukan karang besar dari karang masif dengan celah-celah gua kecil yang dihuni oleh ikan kerapu dengan kedalaman gundukan karang sampai dengan 30
34
M. Spot 2. Cemara Kecil : terletak disebelah pulau, dapat dijumpai jenis ikan karang dan sekumpulan besar ikan barakuda.
d. Pulau Geleang Terdapat 2 spot penyelaman yang berdekatan terletak di sebelah tenggara pulau dengan keindahan bawah laut.
e. Pulau Burung Spot dengan tingkat arus yang cukup kencang terletak di sebelah utara pulau. Spot juga terindifikasi sebagai tempat pemijahan ikan kerapu dengan potensi yang cukup tinggi.
f. Pulau Krakal Kecil Terdapat satu spot di sebelah timur pulau, namun padamusim timuran kurang aman untuk dikunjungi karena gelombang yang relatif besar . Terumbu karang datar dan drop terdiri dari 21 genera karang dan 121 jenis ikan karang, kedalaman hamparan sampai dengan 40 M.
g. Pulau Krakal Besar Satu spot di sebelah timur pulau dengan potensi 132 jenis ikan dan 22 genera karang . Kedalaman mencapai 45 M, dapat dijumpai berbagai biota laut lain seperti moluska dan bintang laut.
h. Pulau Bengkoang Terdapat
dua spot dengan karakter berbeda yaitu : Spot I terletak di
sebelah utara pulau, hamparan terumbu sempit dan drop yang berliku-liku. Spot berhadapan dengan laut lepas, kedalaman terumbu karang mencapai 45 M. Spot II terletak di sebelah selatan pulau, dapat dijumpai berbagai jenis kima yang didominasi jenis kima pasir (Hippopus hippopus). Spot dengan kedalaman sampai dengan 35 M menarik untuk dikunjungi.
35
i. Pulau Menjangan Kecil Karena letaknya yang relatif dekat dengan pulau Karimunjawa, pulau ini lebih banyak dkunjungi wisatawan dibanding pulauyang lain. Terdapat tiga spot , cocok dan aman ntuk pelatihan penyelaman. Spot I terletak disebelah barat daya pulau, dengan penutupan karang yang rapat mulai kedalaman 3 M saat air surut
sampai dengan kedalaman 30 M. Hamparan
terumbu karang yang
panjang diakhiri dengan tubir yang cukup tinggi, banyak dijumpai akar bahar di bibir tubir. Spot II cocok untuk penyelaman baru dengan periran terbuka, kedalaman sampai 18 M. Spot Mylim reef : taka kecil terletak diantara pulau Menjangan kecil dan pulau Menjanan Besar dengan keanekagaman karang dan ikan yang tinggi , kedalaman 25 M dengan tingkat arus yang cukup kencang.
j. Pulau Tengah Ditemukan oleh dive master dari Posaedon Adventure bernama Anhtony sehingga spot ini dinamakn Anthony Point. Dngan kedalaman 20 M dijumpai terumbu karang indah dan berbagai jenis ikan diantaranya ikan kelelawar, ikan kakatua, ikan fusilier dan ikan napoleon.
k. Pulau Kemojan Terdapat satu spot penyelaman Wreck Indonor. Indonor adalah nama kapal yang tenggelam pada tahun 1963. Spot ini sangat indah untuk night dive sehingga pengunjung dapat melihat kepiting tanah, kepiting karang lunak dengan .kedalaman 16 M.
l. Pulau Parang Terdapat spot penyelaman yaitu Wreck Mitra, kapal pinisi yang merupakan kapal pengangkut terdampar di karang dengan kedalaman kapl 16 M.
36
m. Pulau Karimunjawa Terdapat 4 spot penyelaman yaitu Datuk reef yang berada di sekitar dusun Nyamplungan , termasuk terumbu karang tepi. Penutupan karang didominasi karang meja (tabulate) dengan variasi celah-celah , pada saat surut kedalaman karang 5 M dari permukaan. Kedalaman terumbu karang sampai dengan 20 M. Tanjung Gelam : terumbu karangyang menarik pada kedalaman 10 M, kedalaman terumbu sampai dengan 18 M. Mymun reef : spot berhadapan dengan hutan mangrove sehinggabanya dijumpai ikan – ikan kecil
yang
bergerombol dari jenis kan konsumsi. Kedalaman 17 M. Tanjung Benyeng ; terletak diletak di dekat perkampungan dan alur lalu lintas kapal dengan tingkat arus yang kuat . Kedalaman 25 M.
n. Pulau Katang Spot katang mempunyai daerah yang slop, dapat dilihat berbagai jenis ikan dengan kedalaman 35 M.
o. Karang Katang Merupakan tipe karang penghalang terletak di sebelah barat kepulauan Karimunjawa. Satu spot yaitu Wreck Biblis merupakan satu dari beberapa reruntuhan kapal di dunia yang mempunyai properller tembaga yang masih utuh . Kedalaman 26 M dan hanya untuk penyelam trampil.
p. Karang Kapal Merupakan
karang
yang
sangat
besar
sehingga
masih
belum
tereksploitasi, daerah ini adalah daerah rumah dari ikan kakatua berkepala jenong dan kadang-kadang ikan hiu. Spot untuk menyelam terampil dan dianjurkan untuk pemula tidak melakukan penyelaman di lokasi ini. Kedalaman 35 M.
37
q. Taka Menyawakan Spot dengan penutupan karang dianjurkan untuk penyelam mahir
lebih dari 250 jenis, kedalaman 35M
karena terdapat arus yang kuat. Dapat
ditemukan ikan kelelawar yang melimpah, ikan barakuda, tuna, penyu sisik , lobster dan kima.
r. Taka Mrican Taka terdiri dari beberapa tingkatan yang melingkar dengan liku –liku bentukan karang bawah air. Terdapat beberapa jenis karang yang unik dan tidak terdapat dilokasi lain. Kedalaman 22 M, dapat dijumpai ikan buntal, ikan kakatua, dan ikan kerapu. Penyelam pemula dapat menylam di daerah ini karena terlindung.
s. Gosong Kumbang Terdapat gundukan-gundukan karang besar dan terdapat gua-gua yang tembus sehingga dapat dikaukan penelusuran gua.Kedalaman 20 M.
t. Gosong Cemara Bagian yang dangkal tertutup anemone dan sejumlah besar gorgonian, kedalaman 35 M dan penyelam pemula dapat menyelam di daerah ini.
4.2.
Hasil Survey Petambak Garam Kabupaten Sumenep sejak dahulu tidak hanya terkenal sebagai penghasil
ayam bekisar, karapan sapi, perikanan laut tetapi juga sebagai penghasil garam terbesar di pulau Madura bahkan di Indonesia. Bukti bahwa Sumenep sebagai pengahasil garam yaitu dengan didirikannya pabrik Garam oleh pemerintah Belanda sekitar tahun 1920 an berkedudukan di Kalianget yang sampai saat ini terus berdiri dan berkembang menjadi sebuah perusahaan perseroan terbatas nasional P.T Garam sebuah BUMN yang dibawah kementerian Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan dengan PP No.12/1990.
38
Potensi lahan tambak garam di Kabupaten Sumenep mencapai 1.500 ha yang tersebar di lima kecamatan yaitu Kalianget, Saronggi, Gapura, Dungkek dan Pragaan. Dari kelima daerah yang memiliki lahan tambak garam terbesar adalah Kalianget yang tersebar di beberapa desa yaitu
desa Kalimook,
Marengan Laok, Karanganyar dan Pinggir Papas yang mencapai 60 % lahan tambak garam di Kabupaten Sumenep (BPS Kabupaten Sumenep, 2005). Dalam perkembangannya, pengelolaan lahan tambak garam di desa Pinggir Papas mengalami berbagai dinamika, dimana sejak tahun 1970 an ketika PN. Garam (pada waktu itu) ingin mengembangkan usahanya melakukan modernisasi garam melalui pembelian lahan tambak garam milik rakyat yang tidak produktif yang dijadikan lahan tambak garam produktif, sejak saat itulah lahan tambak garam di desa Pinggir Papas pengelolaanya sebagian besar menjadi milik PN.Garam. Untuk menghindari terjadinya koflik sosial diantara petani tambak maka PN. Garam melakukan kerjasama kemitraan dengan beberapa yayasan diantaranya Yayasan Petani Tambak Lama dan Baru (PELABA) yang berdiri tahun 1990 dan Yayasan Al Jihad. yang berdiri tahun 2000.. Namun sebelumnya telah berdiri Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep (PERRAS) dan Asosiasi Petani Garam Rakyat. Adanya kelembagaan tersebut diharapkan dapat menjadi penyambung dalam memperjuangkan kepentingan petani garam dengan instansi terkait khususnya untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan petani garam di desa Pinggir Papas. 4.2.1. Profil Masyarakat Petambak Garam Masyarakat di desa Pinggir Papas pada umumnya bermata pencaharian utama sebagai petani tambak garam, profesi ini merupakan pekerjaan yang dilakukan sejak turun menurun, sehingga dapat dikatakan masyarakat di desa ini kehidupannya sangat tergantung pada garam. Ada beberapa status sosial kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan lahan tambak garam yaitu pemilik
(a),
(b), pemilik merangkap sebagai penggarap (c), penggarap dengan
kemitraan, (d), penggarap dengan sistim sewa.
39
a. Pemilik adalah orang yang memiliki lahan tambak garam tetapi tidak dikerjakan sendiri melainkan dikerjakan orang lain dengan sistim bagi hasil. Pemilik lahan tambak garam ini biasanya merupakan tokoh masyarakat atau orang yang terpandang di desa Pinggirpapas yang tidak memiliki waktu untuk mengerjakan sendiri lahan tambak garamnya. Pemilik ini biasanya tidak hanya memiliki lahan tambak garam yang terdapat didalam desa melainkan juga memilki diluar desa, seperti di desa Karang Anyar, Marengan Laok (Kecamatan Kalianget), desa Kebondadap dan desa Nambakor (Kecamatan Saronggi) bahkan di luar Kabupaten Sumenep. Keberadaan pemilik yang memiliki lahan tambak garam diperkirakan mencapai 75 % dari jumlah petani lahan tambak garam di desa Pinggir Papas atau sekitar 437 petani.(Satatistik Desa Pinggir Papas, 2007). Sistim
upah yang biasanya sering dilakukan
pemilik yaitu dengan cara sistim bagi hasil dan biasaya pemilik seperti ini merangkap sebagai pedagang pengumpul. b. Pemilik merangkap penggarap adalah orang yang memiliki lahan tambak garam
tetapi juga merangkap sebagai penggarap. Biasanya pemilik yang
merangkap sebagai penggarap adalah orang yang memiliki waktu untuk menggarap sendiri lahan tambak garamnya. Keberadaan pemilik yang merangkap sebagai penggarap diperkirakan mencapai 2 % dari jumlah petani lahan tambak garam yang terdapat di desa Pinggir Papas atau 15 petani c. Penggarap dengan kemitraan adalah orang yang menggarap lahan tambak garam yang melakukan kemitraan dengan P.T. Garam. Penggarap ini melakukan garapan lahan tambak garam milik PT.Garam dengan sistim kemitraan yaiu dengan cara dikenakan biaya pengelolaan lahan tambak garam per tahun sebesar Rp.100.000,-/ 0,6 ha / tahun. Petani kemitraan ini biasanya merupakan bekas pemilik lahan tambak garam yang telah dibeli PT. Garam beberapa tahun sebelumnya. Ini merupakan kompensasi yang diberikan PT.Garam atas lahan tambak garam yang telah dijual ke PT. Garam, Luas lahan tambak garam yang bisa dikelola hanya dibatasi 0,6 ha./
40
petani. Petani yang melakukan garapan lahan tambak garam dengan sistim kemitraan ini diperkirakan mencapai 3 % dari jumlah petani tambak garam di desa Pinggir Papas atau 20 petani.. d. Penggarap dengan sistim sewa adalah orang yang menggarap lahan tambak dengan cara menyewa lahan tambak garam orang lain. Biasanya penggarap seperti ini merupakan orang yang tidak punya lahan tambak garam tetapi ingin pengelola lahan tambak garam sendiri, Orang seperti ini kebanyakan berasal dari luar desa Pinggirpapas, namun ada pula yang berasal dari dalam desa. Diperkirakan petani yang melakukan garapan dengan sistim sewa ini mencapai 20 % dari jumlah petani tambak garam yang terdapat di desa Pinggirpapas.atau 132 petani.
Selain ke empat lembaga sosial masyarakat yang melakukan pengelolaan lahan tambak garam terdapat pula sekelompok masyarakat di desa Pinggir Papas yang tidak memiliki lahan tambak garam tetapi bekerja sebagai penggarap lahan tambak garam yang terdapat di luar pulau Madura seperti di Gresik ( Samammi), Surabaya
(Benowo) dan Sidoarjo yang dikenal oleh
masyarakat Pinggir Papas khususnya dan Sumenep umumnya
musin
samammian. Biasanya kelompok masyarakat ini melakukan pekerjaan sebagai penggarap selama musim garam sekitar 5 – 6 bulan dengan membawa semua keluarganya, Kondisi ini menyebabkan terjadi perpindahan musiman khususnya dalam penyedia tenaga kerja lahan tambak garam. Akibat dari adanya perpindahan tenaga kerja musiman tersebut memberikan dampak negatif khususnya terhadap pendidikan anak-anaknya, karena sesampainya di tempat yang baru anak-anaknya tidak dapat melanjutkan sekolah. Hal ini sangat perlu mendapat perhatian pemerintah kabupaten Sumenep untuk dapat mencapai solusi yang pasti dalam mengatasi masalah sosial ini agar supaya SDM masyarakat di desa Pinggir Papas umumnya dan khususnya penggarap yang melakukan pekerjaan sebagai penggarap lahan tambak garam di pulau Jawa
41
tetap dapat mengenyam pendidikannya.kalau tidak mereka akan menjadi anak putus sekolah. . 4.2.2.Sistim Bagi Hasil Usaha Tambak Garam
Dalam pengelolaan lahan tambak garam terdapat beberapa cara pengupahan salah satunya
dengan sistim bagi hasil. Sistim bagi hasil yang
berlaku di desa Pinggir Papas yang didasarkan pada adat kebiasaan masyarakat setempat yang telah disepakati bersama antara pemilik dan penggarap. Ada beberapa sistim bagi hasil dalam pengelolaan lahan tambak yaitu : a. Untuk lahan tambak garam yang sudah jadi (lama diusahakan), sistim bagi hasil yang berlaku antara pemilik dan penggarap dibagi 3 bagian yaitu pemilik 2 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih.. b. Untuk lahan yang masih baru diusahakan menjadi lahan tambak garam, sistim bagi hasil yang berlaku antara pemilik dan penggarap di bagi 2 bagian yaitu pemilik 1 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih.
Dalam sistim bagi hasil yang terjadi, hasil kotor yang diperoleh dalam setiap penjualan produksi garam dipotong biaya retribusi sebesar Rp.12.000,per ton, kemudian diikuti pemotongan biaya pengangkutan dan biaya pengarungan masing-masing
sebesar Rp.5.000,- per ton. Setelah dikurangi
dengan biaya-biaya tersebut maka diperoleh hasil bersih yang nantinya dibagi antara pemilik 2 bagian dan penggarap 1 bagian. Begitu pula yang terjadi pada sistim bagi hasil untuk lahan tambak garam yang baru diusahakan, dimana pemilik 1 bagian dan penggarap 1 bagian. Pelaksanaan sistim bagi hasil yang ada dilakukan tanpa tertulis dan hanya didasarkan pada adat kebiasaan serta kesepakatan bersama.antara pemilik dengan penggarap. Pelaksanaan sistim bagi hasil seperti ini tidak menjamin atas kelangsungan dan keberlanjutan dari sistim bagi hasil, yang ada bahkan dapat terjadi pemutusan hubungan sepihak. Di satu pihak pemilik apabila merasa tidak
42
puas terhadap hasil yang diperolehnya atau penggarap dianggap kurang memuaskan maka pemilik dapat menggantinya dengan penggarap yang baru. Sebaliknya apabila penggarap merasa tidak ada kesesuaian dengan pemilik maka penggarap dapat dengan mudah tidak melanjutkan usahanya sebagai penggarap. Hal ini bisa terjadi pada saat memasuki musim garam, dimana penggarap dengan mudah berpindah ke pemilik satu ke pemilik yang lain. Dengan demikian sistim bagi hasil yang biasa dilakukan antara pemilik dan penggarap tidak memiliki kepastian hukum, karena tidak adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan sistim bagi hasil yang telah di sepakati bersama. Untuk dapat memberi jaminan dan kepastian hukum terhadap pelaksanaan sistim bagi hasil dalam pengelolaan lahan tambak garam, maka sangat diperlukan adanya suatu ketetapan payung hukum yang mengatur pelaksanan sistim bagi hasil baik di tingkat desa maupun di tingkat kabupaten (Peraturan Desa / Perdes) atau Peraturan Daerah /Perda), sebagai upaya untuk meformalkan pelaksanaan sistim bagi hasil yang ada, walaupun usulan ini masih memerlukan kajian mendalam.
4.2.3.
Pemasaran Garam
Produk garam yang dihasilkan petani tambak garam di desa Pinggir Papas berupa garam curah yang pada umumnya tergolong kwalitas P dan M ( P = Putih dan M = Merah), kwalitas tersebut tergolong mutu kelas II. Karena didalam proses panen tidak ada perlakuan khusus. Garam yang telah siap panen langsung dipanen seluruhnya tanpa ada pemisahan sebelumnya. Dalam pemasaran hasil, petani bebas memasarkannya ke beberapa perusahaan garam yang ada di Madura maupun yang ada di Surabaya.dan Gresik Ada beberapa perusahaan yang biasanya membeli hasil garam rakyat yaitu PT. Budiono, PT. Pilar Raya, PT. Garindo, PT. Garam (Sumenep), PT. Elista (Gresik) dan PT. Susanti (Surabaya). Dalam pemasaran hasil petani harus melalui pedagang pengumpul yang terdapat di dalam desa, hal ini dilakukan karena bila petani
43
yang menjual sendiri harus mengeluarkan biaya angkut dan biaya pengarungan. Begitu pula apabila menjual ke PT. Garam yang harus melalui koperasi.
Petani Garam
Pedagang Pengumpul
Perusahaan Garam (diluar PT.GARAM )
Koperasi PT. PT. GARAM Garam Gambar 1. Saluran Pemasaran Garam Rakyat di Desa Pinggirpapas.
Gambar 1, menunjukkan bahwa dalam pemasaran hasil, garam dijual ke perusahaan garam harus melalui pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul ini yang memasarkan garam ke perusahaan yang terdapat di Sumenep, namun apabila produksi berlebih sehinga perusahaan yang ada di Sumenep tidak bisa lagi menampung produksi garam maka pedagang pengumpul memasarkannya ke perusahaan lain yang berada di luar Sumenep seperti ke Surabaya dan Gresik. Dalam pemasaran garam ini pedagang pengumpul mendapatkan komisi sebesar Rp. 10.000,- setiap ton, komisi tersebut diberikan petani pada setiap ton garam yang telah dipasarkan. Di desa Pinggir Papas terdapat sebanyak 15 orang pedagang pengumpul. Lain halnya apabila garam dipasarkan ke perusahaan PT. Budiono, perusahaan telah menetapkan aturan perusahaan bahwa setiap hasil penjualan garam diharuskan petani menerima pembayaran berupa rokok dimana pada saat musim garam 5 % dan pada tidak musim garam 10 % dibayarkan dengan rokok sigaret PANGLIMA, yang merupakan produksi dari perusahaan PT.Budiono. Ketentuan ini berlaku sejak tahun 2003 sampai sekarang. Adanya aturan tersebut sesungguhnya sangat memberatkan petani, namun karena sebagian besar pedagang pengumpul yang ada telah berkerjasama dengan PT. Budiono maka petani tidak punya pilihan lain maka petani dengan pasrah menerimanya.
44
Petani yang akan memasarkan garamnya ke PT.Garam tetap harus lewat pedagang pengumpul yang melakukannya melalui Koperasi PT. Garam. Namun garam yang dipasarkan ke PT. Garam harun memiliki kualitas mutu yang telah ditetapkan PT. Garam dimana kwalitasnya merupakan garam super premium. Dalam menentukan pembelian garam, PT. Garam memiliki standar mutu tersediri yaitu super premium dan premium. Standart mutu ini sangat jarang dihasilkan petani garam karena untuk mendapatkan garam dengan kualitas tersebut, petani harus melakukan perlakuan khusus yang tidak mungkin pernah dipenuhi petani garam.Petani tidak mungkin menghasilkan kualitas demikian karena petani ingin dengan cepat untuk mendapatkan penghasilan. Pada saat penelitian dilakukan harga garam sebesar Rp.160.000,- / ton untuk kualitas P dan M, sedangkan untuk standar PT. Garam mencapai Rp. 220.000,- / ton. Harga garam ini dianggap masih rendah, harga garam pernah mencapai puncaknya ketika masih ada pengembangan Stok Nasional Garam pada tahun 1990 an dan harga sempat mencapai Rp. 400.000 – Rp. 500.000 / ton. Tingginya harga garam tersebut karena harga garam ditetapkan oleh pemerintah. Namun sejak berakhirnya program tersebut maka harga garam kembali dilepas sesuai harga pasar .
.
4.2.4. Kemitraan Usaha Tambak Garam Petani garam di desa Pinggir Papas telah melakukan kemitraan dengan P.T Garam yang telah dilakukan sejak tahun 1990 an dan tahun 2000 yang benaung dalam bentuk yayasan. Adanya bentuk kemitraan ini diharapkan dapat memberikan tingkat kesejahteraan yang lebih baik khususnya untuk petani garam. Kemitraan yang dilakukan berupa petani diberi hak garap dilahan PT. Garam. Besarnya lahan garapan telah disepakati seluas 0,6 ha / petani. Kedua Yayasan tersebut adalah Yayasan
PELABA
yang berdiri tahun 1990 dan
Yayasan Al –Jihad yang bediri tahun 2000, Yayasan Pelaba beranggotakan 128 orang dengan hak garapan lahan tambak seluas 108 hektar, sedangkan Yayasan Al-Jihad yang berdiri tahun 2000 berangotakan sebanyak 116 orang dengan luas garapan sebesar 140 ha. Kedua yayasan tersebut
melakukan
45
kemitraan dengan PT. Garam atas dasar historis dimana lahan tambak garam milik leluhur mereka dibeli PT Garam dalam proyek modrernisasi garam, saat ini PT. Garam memberikan kompensasi melalui kemitraan
yaitu dengan
memberikan hak menggarap bagi petani yang tergabung dalam ke dua yayasan tersebut. P.T. Garam memberikan hak menggarap lahan pada petani garam seluas 0,6 ha / tahun dengan membayar Rp. 100.000,- per tahun. Dibentuknya kedua yayasan tersebut bertujuan tidak hanya semata untuk melakukan kemitraan melainkan juga sebagai upaya menjembatani untuk meyampaikan aspirasi dan kepentingan petani garam
ke pihak pemerintah, tujuan lainnya
untuk menstabilkan harga garam dimana harga garam sampai saat ini dianggap masih belum layak. Harga garam yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan perusahaan atas dasar harga garam di pasar internasional. Disamping kedua yayasan tersebut yang berkedudukan di desa Pinggirpapas, di desa ini terdapat pula
lembaga Paguyuban Petani Garam
Rakyat Sumenep (PERRAS) dan Assosiasi Petani Garam Rakyat. Kedua lembaga tersebut bukan merupakan lembaga yang melakukan kemitraan dengan PT.Garam melainkan sebagai paguyuban perkumpulan petani garam rakyat sebagai tempat untuk melakukan pertemuan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi petani garam. Adanya kelembagaan lain yang juga merupakan aspirasi masyarakat yang menuntut hak kepemilikan lahan tambak garam yang dianggap sebagai lahan tambak milik leluhur mereka mendirikan yayasan yaitu Yayasan Tanah Leluhur. Keberdaan yayasan ini menjadi pemicu permasalahan dimana sampai saat ini masih terus berlangsung dan menjadi api dalam sekam dalam pengelolaan lahan tambak garam yang saat ini dikuasai P.T.Garam. . 4.2.5. Analisa Usaha TambakGaram Usaha tambak garam dilakukan pada saat
kemarau yang biasanya
berlangsung selama 5 – 6 bulan mulai bulan Juni – Nopember. Biasanya pada saat musim penghujan lahan tambak garam ditanami bandeng, budidaya bandeng ini berlangsung selama 3 bulan mulai bulan Februari – Mei. Lahan
46
tambak garam yang melakukan dwi fungsi ini biasanya memberikan dampak negatif tehadap produksi garam yang dihasilkan, karena lahan tambak garam menjadi rusak. Tabel 5. Analisa Usaha Tambak Garam per Papas.
No 1
Hektar di Desa Pinggir
Jumlah (Rp)
Uraian Biaya Tidak Tetap :
3.950.000
Biaya Tenaga Kerja pada saat persiapan : 2 org x 10 hr x Rp
800.000
40.000,-
750.000
Biaya Pemanenan/Pengangkutan ke pematang : 150 ton x
2.400.000
Rp 5.000,Biaya Pemasaran : 10% x 150 ton x Rp 160.000,2
Biaya Tetap Penyusutan Peralatan (Kincir, Guluk, Pacul, Garuk) (Rp/th)
400.000
Pajak / sewa lahan
300.000 100.000
3
Produksi (ton / hektar) = 5 bln x 3 panen x 10 ton
150 ton
4
Penerimaan Kotor / hektar = 150 x Rp 160.000
5
Penerimaan Bersih / hektar = 24.000.000 – 3.950.000 – 19.650.000
24.000.000
400.000 6
Penerimaan setelah bagi hasil : Pemilik = 2/3 x Rp 19.650.000 Penggarap = 1/3 x Rp 19.650.000
13.100.000 6.650.000
Sumber : Analisa primer, 2007 Berdasarkan hasil analisa usaha tambak garam menunjukan bahwa penerimaan bersih setelah bagi hasil untuk pemilik Rp.13.100.000,- per tahun sedangkan penggarap memperoleh Rp.6.650.000,- per tahun. Pendapatan yang diperoleh dari usaha tambak garam ini di desa Pinggir Papas ini relatif kecil, hal ini wajar karena usaha tambak garam yang dilakukan secara tradisional.
47
4.2.6. Permasalahan Pengelolaan Lahan Tambak Garam Dalam pengelolaan lahan tambak garam di desa Pinggir Papas masih terdapat berbagai masalah tidak hanya dari aspek teknis melainkan juga dari aspek sosial dan ekonomi. Permasalahan tersebut terus menjadi sesuatu yang berkepanjangan dapat mengganggu proses produksi dimana dalam jangka panjang apabila tidak segera diatasi dapat mempengaruhi terhadap ke tentraman petani garam dan kesejahteraan petani garam.
a. Aspek Sosial Permasalahan sosial yang muncul sejak berdirinya Yayasan Tanah Leluhur (YTL) tahun 1999, sampai sekarang adanya tuntutan dari sebagian petani tambak garam yang meminta kembali hak untuk menggarap lahannya yang dahulu di kerjasamakan dengan pihak pemerintah Belanda sekitar tahun 1936. Namun adanya kerjasama ini tidak memiliki bukti yang kuat hanya didasarkan pada keterangan para pini sepuh masyarakat di desa Pinggir Papas. Menurut keterangan pengurus Yayasan Tanah Leluhur
kerjasama tersebut
berlangsung selama 50 tahun, namun sejak Indonesia merdeka terjadi nasionalisasi perusahaan maka semua aset-aset perusahaan milik Belanda beralih menjadi milik pemerintah Republik Indonesia termasuk aset PN.Garam beserta semua lahan tambak garam.yang dikelolanya. Permasalahan tersebut terus berkembang, bahkan masyarakat yang tergabung dalam Yayasan Tanah Leluhur menuntut pemerintah melalui PT.Garam untuk mengembalikan lahan yang sekarang sudah dikuasai negara dibawah pengelolaan PT. Garam, namun PT.Garam tidak pernah memberikan hak garap karena menganggap apapun yang dituntut petambak garam tidak pernah ada, karena secara hukum semua aset milik Belanda secara otomatis menjadi milik Negara Republik Indonesia. (PT. Garam). Berdasarkan hal tersebut, YTL tetap membawa permasalahan ini sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta dan ditanggapi Komisi II sehingga pada tanggal 27 September 2006 DPR telah memanggil YTL, PT. Garam dan Pemerintah
Kabupaten Sumenep untuk melakukan rapat dengar pendapat
48
mengenai permasalahan tersebut. Hasil
dengar pendapat dengan DPR
memutuskan bahwa petani tambak tidak mepunyai hak lagi atas lahan tambak garam yang dulunya dikerjasamakan dengan pemerintah Belanda, namun petani tambak garam yang tergabung dalam YTL diberi hak pengelolaan lahan tambak garam. Namun demikian sampai saat ini tidak semua petani tambak garam yang tergabung dalam YTL sudah mendapatkan hak garap lahan tambak garam hanya sebagain kecil yang telah mendapatkan hak garap. Hasil ini YTL masih menganggap PT. Garam belum melaksanakan apa yang telah menjadi keputusan di DPR dan terus akan memperjuangkan hak ini sampai semua tuntutan dipenuhi oleh PT. Garam. Tampaknya permasalahan ini masih akan berbuntut panjang, karena sampai saat ini PT. Garam menganggap tanah tersebut sudah dibeli oleh PT. Garam
dalam program modernisasi garam rakyat tahun 1973 yang disertai
dengan bukti –bukti otentik dan sangat kuat berupa tanda bukti jual beli, bahkan tahun 1986 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep telah mengeluarkan sertifikat atas lahan tambak garam tersebut manjadi milik PT.Garam. Akibat BPN Sumenep telah mengeluarkan sertifikat tersebut sekarang BPN Sumenep dituntut oleh YTL atas keluarnya sertifikat tersebut. Tampaknya permasalahan ini akan terus berlangsung sampai ada kesepakatan bersama antara petani tambak garam yang bergabung dalam YTL dengan PT. Garam. Adanya permasalahan ini negara dalam hal ini PT. Garam sangat dirugikan, karena mendapat gangguan dari petani tambak garam yang tergabung dalam YTL yang berupa gangguan terhadap fasilitas milik PT.Garam, sehingga berakibat dalam pencapaian target produksi yang telah ditetapkan .
b. Aspek Ekonomi Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan lahan tambak garam tidak hanya permasalahan aspek sosial dan teknis, dari aspek ekonomipun terdapat permasalahan dimana petani menganggap perlunya ada soslusi sehingga petani tidak merasa dirugikan. Adapun permasalahan tersebut antara lain adalah :
49
(a), harga yang berlaku oleh petani dianggap tidak memihak ke petani tambak
garam karena dianggap masih terlalu rendah. Saat ini harga
garam sebesar Rp. 160.000,- / ton. Miskipun harga yang berlaku dilepas ke pasaran namun perusahaan garam yang menentukan. Bahkan ada perusahaaan yang membuat ketentuan pembayaran harga garam dibayar sebagian dengan hasil produk lainnya dari perusahaan tersebut seperti rokok yang berkisar antara 5 – 10 %. Ketentuan ini sangat memberatkan petani, namun karena ini telah merupakan ketentuan dari perusahaan maka petani tidak berdaya menghadapi kondisi ini. Peranan lembaga – lembaga yang menaungi petani garam tidak dapat menunjukkan perannya untuk menstabilkan harga garam. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar pengurus lembaga
tersebut
merangkap
sebagai
pengumpul
garam
dari
perusahaan. (b), petani garam tidak dapat menjual langsung ke perusahaan dan harus melalui pedagang pengumpul dimana setiap ton pedagang pengumpul mendapatkan komisi sebesar Rp. 10.000,- / ton., ketentuan ini sudah berlangsung lama. Miskipun adanya ketentuan demikian, petani tidak harus menanggung biaya karung dan pengangkutan ke perusahaan yang dituju, untuk karung yang berwarna biru Rp.1.700,- dan warna putih Rp.1.000,- dengan ukuran 50 kg.per buah. Permasalahan tersebut diatas untuk segara dicarikan solusinya agar supaya permasalahan tersebut dapat diatasi dengan segera agar supaya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan petani tambak garam di desa Pinggir Papas khususnya dan petani garam umumnya.
c. Aspek Teknis
Dalam teknis pembuatan garam khususnya yang dilakukan petani garam rakyat terdapat permasalahan khususnya dalam pembuatan garam yang memenuhi kualitas super premium yang menjadi standart mutu PT. Garam.
50
Garam yang dihasilkan petani tambak garam maksimum hanya memliki kualitas mutu P = putih dan M = merah. Sedangkan untuk memenuhi kualitas mutu super premium yang ditetapkan PT. Garam, petani merasa kesulitan. Hal ini disebabkan untuk mendapatkan mutu tersebut diperlukan perlakuan khusus sejak lahan tambak garam dipersiapkan untuk pembuatan garam diantaranya adalah : (a), lahan tambak garam jangan sekali-kali ditanami budidaya ikan karena apabila ditanami ikan maka lahan tambak garam tersebut yang siap untuk dijadikan tambak garam akan menjadi rusak, yang berakibat mempengaruhi terhadap mutu garam yang dihasilkan. (b), pada saat pemanenan garam yang diambil dari lahan tambak adalah garam yang sudah memiliki waktu penjemuran yang lama, sejak terbentuknya garam dilahan tambak, biasanya garam diambil setelah 10-20 hari dari waktu pemanenan yang biasanya dilakukan petani. garam yang diambil hanya bagian atasnya saja tidak langsung ke dasar tambak.
4.2.7. Curahan Waktu Survey rumah tangga yang dilakukan
terhadap 32 responden ,
menunjukkan bahwa curahan waktu kerja kepala keluarga petambak garam ratarata 7 jam per hari atau 49 jam per minggu . Hari aktif melakukan usaha petambak garam dalam 1 bulan 210 jam atau 30 hari. Dengan demikian dalam 1 tahun musim usaha tambak garan 6 bulan berarti dalam 1 tahun curahan waktu yang dibutuhkan dalam usaha tambak garam sebesar 180 hari. Tabel 6 . Curahan Waktu Pemilik Tambak Garam di Sumenep Status
Jam Kerja /
Jumlah Hari
Lokasi Tambak
Minggu
Kerja / tahun
Pemilik
49
180
Dalam Desa
Penggarap
49
180
Dalam dan Luar Desa
51
Curahan tenaga kerja antara pemilik dan penggarap petambak garam sama-sama memiliki
curahan waktu yang sama, hal in disebabkan karena
alokasi waktu baik dalam per minggu maupun dalam satu tahun juga sama ( 6 bulan ). Lokasi tambak pemilik umumnya berada dalam desa yang sama dengan tempat tinggal, sedangkan untuk penggarap ada dalam lokasi yang sama dengan tempat tinggal dan juga ada di luar desa. Sebagian masyarakat
memiliki sumber pendapatan alternatif
diluar
kegiatan sebagai petambak garam, bahkan sebuah keluarga bisa memiliki lebih satu mata pencaharan alternatif. Jenis pekerjaan namun didominasi pekerjaan alternatif
yang ada cukup beragam
budidaya bandeng
(81,8 %),
pembudidaya udang, makelar, pedagang, penangkapan ikan laut, pemilik toko / warung, angkutan masing-masing 3,70 %, sedangkan pendapatan alternatif yang paling besar adalah sebagai makelar garam dan pedagang sebesar Rp. 7.000.000,- per tahun, sedangkan pendapatan yang paling kecil adalah sebagai nelayan budidaya bandeng
Rp. 1.229.000,- per tahun, hal ini wajar karena
bandeng yang dibudidayakan dilakukan secara tradisional
Tabel. 7 Pendapatan Alternatif sebagai Petambak Garam di Sumenep No
Jenis Pekerjan Alternatif
Pendapatan
Prosentase
(Rp/tahun)
(%)
1
Budidaya Bandeng
1.229.000
81,2
2
Budidaya udang
2.000.000
3,7
3
Makelar Garam
7.000.000
3,7
4
Nelayan Penangkap Ikan di Laut
6.000.000
3,7
5
Pedagang
7.000.000
3,7
6
Toko / Warung
3.000.000
3,7
7
Angkutan
5.000.000
3,7
Sumber : Analisa primer 2007
52
4.3. Hasil Monitoring Usaha Tambak Garam di Sumenep dan Jenponto 4.3.1. Usaha Tambak Garam Monitoring dilakukan terhadap usaha tambak garam rakyat yang dilakukan petambak garam di desa Pinggir papas. Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Luasan usaha tambak garam rakyat umumnya berkisar antara 0,5 – 3 ha dengan pola usaha dikerjakan sendiri oleh pemilik dan ada juga yang dikerjakan kepada orang lain (penggarap) melalui sistim bagi hasil. Berdasarkan status kepemilikan lahan tambak garam rakyat sebagian besar (70,60 %) dikuasai pemilik dan sisanya 29,40 % dikuasai penggarap. Disamping itu ada juga petambak garam yang melakukan usaha melalui kemitraan dengan PT. Garam, namun sejak tahun 2008 bentuk kerjasama kemitraan ini dihentikan sementara terkait adanya reidentifikasi lahan-lahan pertambakan milik PT. Garam. Tabel 8. Monitoring Usaha Tambak Garam per hektar di desa Pinggir Papas, Sumenep Status Usaha
2007
2008
( Rupiah )
(Rupiah)
Pemilik
13.100.000
20.733.000
Penggarap
6.650.000
10.367.000
Jumah
19.750.000
31.100.000
Sumber : Analisa primer, 2007 dan 2008.
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa bila dibaningkan dengan pendapatan tahun 2007 terdapat peningkatan pendapatan
sebesar
Rp.
11.350.000,- atau 57,46 % yang terdiri dari peningkatan pendapatan pemilik sebesar
Rp.7.633.000 atau 58,26 % dan pendapatan penggarap Rp.
3.717.000,- atau 55,89 %. Peningkatan pendapatan ini disebabkan karena produksi meningkat dan harga jual yang cukup bagus mencapai Rp.195.000,- / ton dibandingkan dengan harga tahun 2007 yang hanya Rp. 160.000,- sampai di gudang. Sesungguhnya harga tersebut masih dibawah harga yang ditetapkan
53
pemerintah yaitu Rp. 240.000,- per ton, namun mengingat garam yang dihasilkan petambak kualitasnya masih dibawah ketentuan yang berlaku yaiu NaCl masih kurang 94 % atau kadar air > 5 %. Lain halnya usaha tambak garam di desa palenggu, Kecamatan Bangkala, Jeneponto dimana kepemilikan usaha tambak garam berkisar antara 0,25 ha – 4 ha, dengan
pola usaha dikerjakan sendiri oleh pemilik dan
digarapkan kepada orang lain dengan sistim bagi hasil. Berdasarkan prosentase kepemilikan lahan tambak garam sebagian besar (72,45 %) dikuasai pemilik dan sisanya 27, 55 % di kuasai penggarap. Penguasaan lahan tambak garam ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di desa Pinggir papas, Sumenep. Dengan demikian kesimpulan sementara kepemilikan lahan tambak garam sebagian besar dikuasai pemilik dan digarap sendiri oleh pemilik. Tabel 9. Monitoring Usaha Tambak Garam per Hektar di desa Palenggu, Jeneponto Status Usaha
2007
2008
(Rupiah )
Rupiah)
Pemilik
22.218.000
23.300.000
Penggarap
11.099.000
11.200.000
Jumlah
33.317.000
34.500.000
Sumber : Analisa Primer 2007 dan 2008 Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa usaha tambak garam di desa Pelengu, Jenepontoh ada peningkatan pendapatan dibandingkan tahun 2007 yaitu peningkatan sebesar Rp. 1.183.000,- atau 3,55 %. Peningkatan pendapatan ini cukup kecil bila dibandingkan dengan peningkatan pendapatan petambak garam di Sumenep yang mencapai 57,46 %, ini disebabkan harga jual garam tidak mengalami kenaikan.
4.3.2. Hubungan antara Tenaga Kerja Rumah Tangga dan Pendapatan Rumah Tangga Tenaga kerja rumah tangga yang dimaksud adalah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tambak garam
dan berasal dari dalam rumah tangga.
54
Sedangkan pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan yang berasal dari usaha tambak garam maupun yang berasal dari usaha lainnya diluar usaha tambak garam. Pendapatan rumah tangga ini dihitung dalam periode 1 tahun. Jumlah tenaga kerja rumah tangga yang terlibat dalam usaha tamba garam di desa Pinggir papas, Sumenep
berkisar antara 1 hingga 4 orang
dengan nlai rata-rata 2 setiap rumah tangga. Hal yang sama juga terjadi di desa Palenggu, Jeneponto dimana umlah tenaga kerja rumah tangga yang terlibat berkisar antara 1 hingga 4 dengan rata-rata 2 dalam setiap rumah tangga. Sementara total pendapatan rumah tangga petambak garam di desa Pinggir papas berkisar antara Rp.3.180.000,- hingga 29.000.000. dengan rata-rata Rp. 13.778.000,- Sedangkan di desa Palenggu, Jeneponto berkisar antara Rp.3.593.000,- hingga 40.125.000,-,
dengan rata-rata Rp. 14.049.125,-
sebagaimana pada tabel berikut ini. Tabel 10. Total Tenaga Rumah Tangga dan Pendapatan Rumah Tangga pada Masyarakat usaha Tambak Garam di desa Pinggir papas, Sumenep dan desa Palenggu, Jeneponto. Status. Desa Pinggir Papas, Sumenep Desa Palenggu, Jeneponto Jumlah Pendapatan Tenaga Rumah Tangga Kerja Rumah (Rupiah) Tangga Rata-rata 2 13.778.000 Maksimum 4 29.000.000 Minimum 1 3.180.000 Sumber : Analisa primer 2008
Jumlah Pendapatan Tenaga Kerja Rumah Rumah Tangga Tangga (Rupiah) 2 14.049.125 4 40.125.000 1 3.593.000
Tabel diatas menunjukkan bahwa hmpir ada kesamaaan dalam hal ratarata pendapatan rumah tangga petambak garam di Sumenep dan Jeneponto yaitu untuk Sumenep Rp. 13.778.000,- dan Jeneponto Rp. 14.049.000,-, sedangkan pendapatan rumah tangga petambak garam di Sumenep maksimum Rp. 29.000.000,- sedangkan di Jenepontoh
Rp. 40.125.000,-,perbedaan ini
disebabkan karena adanya perbedaan harga jual garam yang mencapai Rp. 200,- / kg dibandngkan harga garam di Sumenep yang hanya mencapai harga tertinggi Rp. 190.,- per kg.
55
4.3.3. Hubungan antara Konsumsi Pangan dan Pndapatan Rumah Tangga. Adapun yang dimaksud dengan konsumsi ngan adalah nilai konsumsi pangan yang dikeluarkan oleh rumah tangga masyarakat petambak garam . Nilai konsumsi pangan ini dihitung
dalam jangka satu tahun. Sementara
pendapatan rumah tangga aala pendapatan masyarakat petambak garam maupun yang berasal dari luar kegiatan petambak garam.
Tabel 11. Konsumsi Pangan dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Petambak Garam per tahun di Sumenep dan Jeneponto. Status
Desa Pinggir Papas, Sumenep
Desa Palenggu, Jeneponto
Nilai Konsumsi Pangan / th 17.732.000
Pendapatan Rumah Tangga/th 29.000.000
Nilai Konsumsi Pangan / th 27.658.800
Pendapatan Rumah Tangga / th 40.125.000
Minimum
2.834.000
3.180.000
2.860.000
3.593.000
Rata-rata
6.818.000
13.78.000
5.448.768
14.049.125
Maksimum
Sumber : Analisa primer 2008
Tabel diatas menunjukkan bahwa masyarakat petambak garam di Sumenep nilai konsumsi pangan
pangan berkisar
antara Rp. 2.834.000,-
hingga Rp. 17.732.000,- dengan rata-rata Rp. 6.818.000,-. Sedangan nilai konsumsi di Jeneponto berkisar antara Rp. 2.860.000,- hingga Rp.27.658.800,dengan rata-rata 5.448.768,- Apabiladilihat dari nilai rata- rata nilai konsumsi menunjukan bahwa tingkat konsumsi masyarakat petambak garam di Sumenep lebih tinggi dibandingkan dengan nilai konsumsi petambak garam di Jeneponto, anrtinya harga kebutuhan untuk konsumsi lebih tinggi di Suemenp dibandingkan di Jeneponto.
56
4.3.4. Hubungan antara Penguasaan Asset dan Pendaatan Rumah Tangga Petambak Garam Hal yang penting dalam pengembangan usaha masyarakat termasuk usaha tambak garam. Sedangkan yang dimasud dengan aset usaha dalam usaha tambak garam antara berupa alatalat yang dipergunakan sebelum, pada saat dan sesudah produksi, seperti aset sebelum produksi adalah tersedianya alat-alat banu yang digunakan ntuk memproduksi garam, sedanggakan pada saat produksi seperti aset alat bantu yang dipergunakan pada saat proses pembuatan garam sedang berlangsung, sedangkan sesudah produksi adalah tersedianya alat pengangkutan dan gudang penyimpanan garam yang dihasilkan. Sedangkan pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan yang berasal dari usaha tambak garam maupun yang berasal dari usaha lainnya diluar usaha tambak garam. Pendapatan rumah tangga ini dihitung dalam periode 1 tahun. Tabel 12. Penguasaan Aset Produktif dan Pendapatan Rumah Tangga Petambak Garam di Sumenep dan Jeneponto. Status
Desa
Pinggir
Papas Desa Palenggu Jeneponto
Sumenep
Maksimum
Nilai Pendapatan Nilai Pendapatan Penguasaan Rumah Penguasaan Rumah Aset (Rp) Tangga/th Aset (Rp) Tangga/th 515.000.000 29.000.000 54.875.000 40.125.000
Minimum
60.000.000
3.180.000
1.150.000
3.593.000
Rata-rata
119.395.667
13.78.000
13.346.324
14.049.125
Sumber : Analisa Primer, 2008. Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai penguasaan aset petambak garam di Sumenep bekisar antara Rp. 60.000.000,- hingga Rp. 515.000.000,- dengan rata-rata sebsar Rp. 119.395.667,- Besarnya nilai aset petambak garam di Sumenep ini dipengaruhi nilai lahan tambak garam dan nilai gudang garam yan relatif permanen disaming aset pengolahan garam lainnya. Sedangkan nlai penguasaan aset petambak garam di Jeneponto berkisar antara Rp. 1.150.000,-
57
hingga Rp. 54.875.000,- dengan rata-rata Rp. 13.346.324,-Bila dilihat rata-rata nilai aset antara petambak garam di Sumenep dan Jeneponto lebih tinggi di Sumenep, hal ini disebabkan kepemilikan aset di Sumenep lebih baik dan lebih lengkap jika dibandigkan dengan petambak garam di Jenepontoh. 4.3.5. Hubungan antara Penerapan Teknologi dan Sruktur Ongkos dengan Keutungan Usaha Hubungan penerapan teknologi terkait dengan usaha petambak garam adalah deskripsi teknologi yang digunakan petambak garam di dalam melaksakan usahanya. Alat teknologi yang digunakan oleh petambak garam rakyat sesungguhnya hampir sama dengan pembuatan garam yang dilakukan PT. Garam, namun dalam perlakuan dalam proses kristalisasi dan teknik pemanenan garam yang berbeda. Pada umumnya usaha tambak garam yang di usahakan baik di Sumenep maupun di Jenepontoh merupakan usaha garam rakyat dengan teknik penguapan air laut. Tabel 13. Penerapan Teknologi, Struktur Ongkos dan Keuntungan Usaha Tambak Garam per hektar di Sumenep dan Jneponto. Status Desa Pinggir Papas, Sumenep Teknologi Penerima Biaya Keuntung an Operasio an ( Rp.000) nal (Rp.000) (Rp.000) Tambak
Desa Palenggu, Jeneponto Penerimaa n (Rp.000)
Biaya Operasio nal (Rp.000)
Keuntung an (Rp.000)
Garam
25.225.
3.006,5
22.218,5.
24.000
4.350
19.650
Rakyat Sumber ; Analisa Primer, 2008 Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa dengan status teknologi tambak garam rakyar dengan menggunakan teknologi tradisonal di peroleh tingkat keuntungan masing-masing untuk Sumenep sebesar Rp. 19.650.000,per hektar dan di
Jeneponto sebesar Rp. 22.218.500,-.
keuntungan yang dperoleh
Sesungguhnya
tidak jauh berbeda antara ke dua lokasi namun
58
masih lebih tinggi di Jeneponto dengan kisaran perbedaan Rp. Rp.2.568.500,per hektar, hal ini disebabkan adanya perbedaan harga jual.
4. 4. Tulisan Ilmiah Untuk Bahan Jurnal. Judul : Analisis Kelayakan Finansial dan Perspektif Pengembangan Pola Kristalisasi Garam di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan
Pendahuluan Garam merupakan salah satu kebutuhan pelengkap dari kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia. Walaupun Indonesia memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km namun usaha untuk meningkatkan produksi garam belum diminati. Dengan potensi yang besar Indonesia seharusnya dapat memenuhi kebutuhan garam dalam negeri bahkan hingga ekspor. Namun pada kenyataannya kebutuhan garam nasional yang mencapai 2,32 juta ton pada tahun 2003 ternyata sebesar 1,23 ton masih diimpor dari sejumlah negara seperti Australia, Cina dan India (Deperindag, 2003). Produktivitas usaha garam rakyat Indonesia hingga saat ini masih dirasakan sangat rendah dan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan garam domestik. Jika dilihat dari luas ladang penggaraman rakyat sebesar 25.542 Ha dari keseluruhan 30.685 Ha ladang penggaraman, produksinya hanya mencapai 40 ton/Ha/tahun dibandingkan dengan produksi PT Garam Persero yang mencapai 60 ton/Ha/tahun dengan luas lahan yang lebih kecil. (PT Garam Persero, 2000). Kualitas garam yang dikelola secara tradisional pada umumnya harus diolah kembali untuk dijadikan garam konsumsi maupun untuk garam industri. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan beberapa kategori berdasarkan perbedaan kandungan NaCl nya sebagai unsur utama garam.
Jenis garam
dapat dibagi dalam beberapa kategori seperti; kategori baik sekali, baik dan sedang. Dikatakan berkisar baik sekali jika mengandung kadar NaCl >95%, baik kadar NaCl 90–95%, dan sedang kadar NaCl antara 80–90% tetapi yang diutamakan adalah yang kandungan garamnya di atas 95%. Garam Kualitas I,
59
merupakan hasil proses kristalisasi pada larutan 24°- 29,5° Be dengan kadar NaCl minimal 97,1%. Garam Kualitas II merupakan sisa kristalisasi di atas pada kondisi kelarutan 29,5°-35° Be dengan kadar NaCl minimal 94,7%. Garam Kualitas III, merupakan sisa larutan kepekatan di atas pada kondisi >35° Be dengan kadar NaCl <94,7%. Pada kondisi ini akan diperoleh garam dengan kadar impuritas yang cukup tinggi sehingga garam menjadi kotor karena unsurunsur ikutan seperti bromida, magnesium, kalium dan sulfat, pada larutan semakin sulit terpisahkan dari senyawa NaCl. Sistem penggaraman rakyat sampai saat ini menggunakan kristalisasi total sehingga produktifitas dan kualitasnya masih kurang atau pada umumnya kadar NaClnya kurang dari 90% dan banyak mengandung pengotor padahal luas lahan penggaraman rakyat 25.542 Ha atau sekitar 83,31% dari luas areal penggaraman nasional. Peraturan Dirjen Deplu Deperdag No 08/2007 tentang penetapan harga garam disebutkan bahwa kualitas garam untuk K1, jika sebelumnya dipatok Rp 210 per kg, kini naik menjadi Rp 250 per kg. Begitu juga dengan K2, kini naik menjadi Rp 190 per kg dari sebelumnya di kisaran Rp 160 sampai Rp 180 per kg. Namun dalam prakteknya selama ini aturan main harga garam itu sering diabaikan atau tidak diterapkan secara konsekuen oleh pengusaha sehingga petani garam yang susah payah memproduksi garam sebagus mungkin sering dirugikan. Keberhasilan pengembangan suatu komoditas akan ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu kelayakan teknis, kelayakan ekonomis dan kelayakan secara politis. Secara umum komoditas yang dikembangkan harus mampu atau dapat dilaksanakan petani di lapangan, teknologinya tersedia serta dapat diaplikasikan, dan mampu menjamin kesehatan pangan serta aman bagi lingkungan. Kelayakan berikut yang perlu dipertimbangkan adalah kelayakan ekonomi program pengembangan. Komoditas yang dikembangkan harus memberikan keuntungan
dan
dapat
berkembang
dengan
mempertimbangkan
faktor
eksternalitas. Khususnya dampak lingkungan negatif yang telah dibebankan sebagai komponen biaya dalam analisis usahatani. Dengan dukungan kelayakan teknis, sebagai syarat keharusan (necessary condition), dan kelayakan ekonomis
60
sebagai syarat kecukupan (sufficient condition), maka diharapkan program pengembangan mendapatkan dukungan politis secara luas dari masyarakat (Lokollo, 2001). Salah satu lokasi produksi garam yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur adalah Kabupaten Jeneponto tepatnya di Kelurahan Pallengu. Sebagian besar penduduk sangat bergantung pada kegiatan penggaraman dengan teknik pengolahan yang masih tradisional. Rendahnya kualitas garam yang dihasilkan serta informasi pasar yang sangat minim mengakibatkan nilai tambah dari produksi garam tidak diambil oleh petambak garam di Kelurahan Pallengu. Selama ini para petambak garam menerapkan sistem kristalisasi garam selama 2-3 hari dimana mutu garam kurang baik dengan kadar NaCl yang rendah dan harga yang rendah pula. Padahal idealnya garam dipanen setelah 10-12 hari agar proses kristalisasinya sempurna. Dalam usaha tambak garam, petambak akan memilih teknologi kristalisasi garam yang dapat memberikan keuntungan besar. Dengan kata lain, petambak akan
menerapkan teknologi
kristalisasi garam yang mempunyai tingkat keunggulan kompetitif yang tinggi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan finansial usaha tambak garam dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari dan perspektif kristalisasi garam selama 10 hari.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Cakupan penelitian ini difokuskan pada Desa Pallengu Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Objek penelitian tersebut adalah struktur biaya, penerimaan dan pendapatan usaha tambak garam. Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah antara lain: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jeneponto, Kantor Kelurahan Pallengu, Departemen
Perindustrian,
dan
Ditjen
P2HP-DKP.
Data
primer
yang
dikumpulkan antara lain: karakteristik rumah tangga petani (umur petani contoh,
61
tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, penguasaan lahan). Data primer tersebut diperoleh dari petambak melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner. Jumlah petambak garam yang diwawancarai adalah 30 orang. Metode Analisis Metode analisis yang diterapkan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah Metode Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (B/C ratio), Titik Impas Produksi (TIP), dan Titik Impas Harga (TIH), serta Metode Analisis Kepekaan. Imbangan Penerimaan dan Biaya (B/C Ratio) Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang dihasilkan dan dinyatakan dalam bentuk uang. Jangka waktu penerimaan usahatani kapas dinyatakan dalam kurun waktu satu musim tanam. Pengeluaran usahatani merupakan nilai semua masukan yang dikeluarkan dalam proses produksi. Selisih antara penerimaan dengan pengeluaran merupakan keuntungan usahatani. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani, digunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya atau, B/C Ratio, dengan rumus (Kadariah, 1988) berikut: Penerimaan B / C Ratio = ----------------------Pengeluaran Total Analisis Titik Impas Harga dan Produksi Analisis Titik Impas Harga (TIH) dan Titik Impas Produksi (TIP) dipakai untuk membandingkan kemampuan suatu teknologi dalam mentolerir penurunan produksi atau harga sampai batas dimana penerapan teknologi tersebut masih memberikan tingkat keuntungan normal. Semakin besar nisbah produksi aktual dan harga aktual terhadap produksi minimal atau harga minimal pada tingkat keuntungan normal menunjukkan tehnologi tersebut dari segi produktivitas relatif terhadap usahatani yang dikorbankan (Hermanto, 1989). Secara matematis nilai TIP dan TIH ditulis sebagai berikut :
62
B TIP
= Hp B
TIH
= P
Keterangan : TIP = Titik Impas Produksi TIH = Titik Impas Harga B = Biaya Hp = Harga output P = Produksi Titik Impas Produksi dan Harga Dengan mempelajari hubungan antara biaya produksi dengan volume penjualan serta penerimaan maka dapat diketahui tingkat keuntungan serta kelayakan suatu usaha. Salah
satu teknik dalam mempelajari hubungan antara biaya,
penerimaan dan volume produksi adalah melalui analisis titik impas produksi dan harga (Hernanto, 1989) menggunakan rumus yang disajikan pada Gambar 1. BTT Q = ----------- ; P – BVR
BTT P = ----------Q PT BT P BTT OUTPUT
Q Gambar 2. Titik Impas Produksi dan Harga Keterangan: PT = Penerimaan Total BT = Biaya Total BTT = Biaya Tetap Total BVR = Biaya Variabel Rata-Rata Q = Titik Impas Produksi P = Titik Impas Harga
63
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga (TIH) merupakan titik perpotongan antara penerimaan total (PT) dengan biaya total (BT). Dengan kata lain, pada titik tersebut keuntungan yang diperoleh sama dengan nol (normal profit). Daerah bagian kiri titik impas produksi dan harga merupakan daerah rugi (pendapatan negatif) dan daerah bagian kanan adalah daerah untung (pendapatan positif).
Analisis Kepekaan Analisis kepekaan bertujuan untuk melihat hasil kegiatan ekonomi bila ada kesalahan atau perubahan dalam perhitungan biaya atau benefit (Kadariah et al, 1998). Disebut peka bila dengan adanya sedikit penurunan harga atau produksi menyebabkan usahatani sudah merugi. Sebaliknya, disebut tidak peka apabila sedikit penurunan harga dan produksi tidak menyebabkan usahatani berada pada kondisi rugi (Adnyana et al., 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan dan Potensi Garam Kabupaten Jeneponto Kondisi topografi di wilayah Kabupaten Jeneponto sangat variatif dan dikenal sebagai wilayah ‘bayangan hujan’ karena terletak di balik gunung Lompobattang, sehingga intensitas hujan lebih banyak tercurah di wilayah Sebaliknya. Daerah ini beriklim basah dan lembab selama lima sampai enam bulan setiap tahun. Dataran rendah (ketinggian 0 – 150 meter dpl) terbentang di bagian tengah hingga ke selatan. Dataran rendah ini, umumnya dimanfaatkan sebagai sawah tadah hujan dan tegalan. Sedangkan daerah pesisir pantai (sepanjang 95 km) dikelola untuk menghasilkan garam, budidaya rumput laut dan perikanan tradisional dengan potensi hasil laut seperti udang, ikan cakalang dan kepiting. Musim kemarau terjadi dari bulan Mei hingga bulan Oktober. Luas areal garam di daerah ini mencapai 566,63 ha dengan jumlah produksi rata-rata pertahun adalah sekitar 46.000 ton. Hampir setiap tahun, luas areal pergaraman di daerah ini terus meningkat. Tahun 1998 lalu misalnya, luas
64
areal pergaraman hanya sekitar 550,63 ha terus meningkat menjadi 550,78 di tahun 1999 dan 550,80 pada tahun 2000 lalu. Areal tambak garam seluas itu mampu memproduksi garam sekitar 2 ton lebih setiap tahunnya. Hanya saja, produksi garam yang dihasilkan 2.174 pekerja di sektor pergaraman di daerah ini belum bisa bersaing dengan produksi garam dari luar terlebih garam impor asal India yang sudah diyodium. Selama ini para petani garam di Jeneponto banyak menggudangkan hasil produksinya di dekat areal tambak garamnya. Pemasarannya sangat sulit. Kegiatan produksi hanya dilakukan pada musim kemarau. Sebab, jika musim hujan garam tidak akan pernah jadi karena hancur lebur oleh air. Pembuatan garam di Jeneponto, sampai saat ini masih dilakukan dengan cara-cara tradisional (Dini Purbani) Tabel 14. Unit usaha, Tenaga Kerja, Luas Areal, Produksi dan Nilai Produksi Tambak Garam di Kabupaten Jeneponto Tenag Luas Desa/ Unit Produk Nilai Kecamat a Kerja Area Keterang Keluraha Usaha si Rill Produksi an (orang l an n (Buah) (Ton) (Rp) ) (Ha) Bangkala Desa 19 19 4.6 253 25,300,000 55 ton/ha Barat Tuju Keluraha 185. n 258 743 11,145 1,393,125, 60 ton/ha 75 Bangkala Palenggu 000 Desa 63.7 4,143.7 Bontoran 260 260 517,968,00 65 ton/ha 5 5 nu 0 Desa Punagay 140 208 119 6,545 654,500,00 55 ton/ha ya 0 Kel. Tamalate Tonrokas 33 46 9,45 614.25 76,425,000 65 ton/ha a si Barat Desa 1 40 10 550 55,000,000 95 ton/ha Turatea Desa 1,249,500, Arungkek Borongla 46 490 98 8,330 85 ton/ha 000 e mu Desa 600,000,00 Arungkek 33 320 64 4800 75 ton/ha 0 e 554. 4,571,818, 790 2,126 36,381 Jumlah 55 000 65
Untuk mengakses pasar pun, para petani garam di Jeneponto secara tradisional
masih
menggantungkan
pada
pedagang
pengumpul.
Upaya
menembus pasar yang lebih luas, yang tentu saja dengan harga lebih atraktif, tidak pernah bisa dilakukan karena keterbatasan modal. Mereka berharap dengan kehadiran industri garam di bumi Turatea itu kelak bisa membantu petambak dalam memasarkan hasil produksinya. Bahkan Jeneponto akan menjadi pusat produsen garam tidak saja untuk Sulsel tetapi juga untuk wilayah Indonesia.
Analisis Kelayakan Dalam
menerapkan
suatu
teknologi
baru
perlu
dipertimbangkan
keunggulan dan keuntungannya bagi para petambak garam. Teknologi kristalisasi garam yang digunakan harus dapat memberikan tingkat produksi, mutu dan pendapatan yang mampu bersaing dengan produksi yang sudah ada. Kristalisasi garam selama 10 hari seyogyanya menguntungkan dibandingkan dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari. Dalam konteks ini dibahas Analisis imbangan penerimaan dan biaya, Analisis titik impas produksi dan harga, Analisis kepekaan terhadap kristalisasi garam selama 10 hari.
Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya Salah satu ukuran kelayakan usaha tambak garam adalah efisiensi yang dapat diberikan oleh usaha tambak garam tersebut, yang diketahui melalui perhitungan variabel penerimaan dan biaya. Penerimaan usaha tambak garam merupakan nilai produksi yang dihasilkan, yang dinyatakan dalam bentuk uang. Pengeluaran usaha tambak garam merupakan nilai dari semua masukan dalam sistem produksi, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani digunakan indikator imbangan penerimaan dan biaya atau Analisis B/C ratio (Kadariah, 1998).
66
Hasil Analisis kelayakan usaha tambak garam dengan kristalisasi garam selama 10 hari dan kristalisasi garam selama 2-3 hari yang diusahakan para petambak garam di Desa Pallengu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto disajikan pada Tabel 5. Rata-rata produktivitas tambak garam yang diusahakan petambak garam pemilik penggarap di Kabupaten Jeneponto sebelum penyusutan sebesar 10 persen selama 5 bulan masa panen dalam setahun (bulan Juli sampai dengan bulan November) dengan kristalisasi garam garam selama 2-3 sebesar 389.569 kg/ha, dan dengan kristalisasi garam selama 10 hari sebesar 94.756 kg/ha. Sedangkan rata-rata produktivitas tambak garam untuk penggarap bagi hasil dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari sebesar 456.985 kg/ha, dan dengan kristalisasi garam selama 10 hari sebesar 113.496 kg/ha. Jika dibandingkan, kristalisasi garam garam selama 10 hari produktivitas tambak garam lebih rendah. Hal ini karena hari panen lebih lama yaitu 10 hari sehingga jumlah panen pun lebih sedikit. Tabel 15. Analisis Finansial Usaha Tambak Garam di Kelurahan Palengu, Jeneponto No
A
Uraian
Investasi Lahan Tambak Kincir Angin Pompa Air Gudang Garam Lontang (Gudang semi permanen/gubuk) Pakait (Penarik garam) Padengkak (Penumbuk tanah) Onjok-onjok (Penumbuk tanah) Panosara (Perata garam) Kaloko (Sekop garam) Salaga (Penggaruk tanah)
Nilai (Rp) Kristalisasi garam 3 Kristalisasi garam 10 hari hari Pemilik Penggarap Pemilik Penggarap Penggarap Bagi Hasil Penggarap Bagi Hasil 27.859.250 4.318.750 27.859.250 4.318.750 21.960.000 0 21.960.000 0 570.000 620.000 570.000 620.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.000.000 0 2.000.000 0 625.000 978.000 625.000 978.000 20.000 32.500
25.000 55.000
20.000 32.500
25.000 55.000
21.500
28.500
21.500
28.500
20.000
19.500
20.000
19.500
18.000 35.000
17.500 31.500
18.000 35.000
17.500 31.500
67
Kamboti (Keranjang) Kamboti Ca'di (Keranjang kecil) Sarung tangan Ember B
Biaya Tetap Penyusutan Sewa Kincir Perbaikan kincir Pajak Air
C
Biaya Variabel Sewa lahan/bagi hasil Upah Tenaga Kerja
D E F G H
Produksi Garam/tahun (Kg) Produksi garam /tahun stl penyusutan 10% (Kg) Harga Garam (Rp) Nilai Produksi Total
18.000 15.000
20.000 8.000
18.000 15.000
20.000 8.000
9.250 15.000
5.000 10.750
9.250 15.000
5.000 10.750
1.775.000 870.000 200.000 65.000 640.000
1.021.000 756.000 200.000 65.000 0
3.035.000 870.000 500.000 65.000 1.600.000
1.321.000 756.000 500.000 65.000 0 6.806.416
5.259.176 0 5.259.176
10.966.304 10.966.304 0
1.279.202 0 1.279.202
6.806.416 0
389.569
456.985
94.756
113.496
350.612
411.286
85.280
102.146
80
80
200
200 20.429.248
28.048.938
32.902.911
17.056.021
21.014.762
20.915.608
12.741.819
Keuntungan Usaha
12.301.832
Sumber : data primer diolah Pengeluaran/biaya untuk memproduksi garam bagi pemilik penggarap lebih tinggi dibandingkan dengan penggarap bagi hasil. Total biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik penggarap dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari dan kristalisasi garam selama 10 hari sebesar Rp. 7.034.176,- dan Rp. 4.314.202,-. Sedangkan total biaya yang harus dikeluarkan penggarap bagi hasil baik dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari maupun kristalisasi garam selama 10 hari adalah sebesar Rp. 11.987.304,- dan Rp. 8.127.416,-. Perbedaan ini terjadi karena penggarap bagi hasil harus memberikan hasil panen garamnya sebesar 1 bagian dari 3 bagian panen kepada pemilik lahan tambak garam setelah dipotong biaya penyewaan kincir sebesar 50 karung garam dalam satu musim panen. Pemilik penggarap harus mengeluarkan biaya untuk pajak air dan upah tenaga kerja untuk mengangkut garam dari lontang/gudang garam semi
68
permanen yang berada di pinggir-pinggir tambak ke pembeli yang biasanya merupakan pedagang garam yang memiliki gudang garam permanen. Harga upah tenaga kerja yang harus dikeluarkan petambak garam pemilik penggarap adalah sebesar Rp. 750,- per karung garam yang berisi 50 kg garam. Penerimaan atau keuntungan yang diterima oleh pemilik penggarap selama 5 bulan masa panen dalam setahun (bulan Juli sampai dengan bulan November) dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari sebesar Rp. 21.014.762,sedangkan keuntungan yang diterima dengan kristalisasi garam selama 10 hari sebesar Rp. 12.741.819,-. Penerimaan atau keuntungan yang diterima oleh penggarap bagi hasil dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari sebesar Rp. 20.915.608,-, sedangkan penerimaan atau keuntungan dengan kristalisasi garam selama 10 hari sebesar Rp. 12.301.832,-. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kristalisasi garam selama 2-3 hari lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan dengan kristalisasi garam selama 10 hari. Dilihat dari segi imbangan penerimaan dari biaya (B/C Ratio) tambak garam bagi pemilik penggarap dengan kristalisasi garam garam selama 2-3 hari paling tinggi yaitu sebesar 2,99. Nilai B/C Ratio ini dapat dijelaskan bahwa setiap Rp. 1,- yang dikeluarkan untuk usaha tambak garam di Kabupaten Jeneponto dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari mampu mendatangkan penerimaan sebesar Rp. 2,99,-. Berturut-turut nilai B/C Ratio sebesar 1,74 untuk penggarap bagi hasil, 2,95 untuk pemilik penggarap dengan kristalisasi garam garam selama 10 hari, dan 1,51 untuk penggarap bagi hasil dengan kristalisasi garam garam selama 10 hari. Meskipun kristalisasi garam selama 10 hari mempunyai keuntungan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kristalisasi garam selama 2-3 hari, tetapi petambak garam masih mendapatkan nilai tambah.
Analisis Titik Impas Produksi dan Harga
Titik impas harga adalah nilai yang menunjukkan harga minimal yang harus dicapai pada tingkat produktivitas aktual agar usahatani tidak mengalami kerugian; sementara titik impas produksi adalah nilai yang menunjukkan produksi
69
minimal dimana usaha dapat memberikan keuntungan normal. Hasil perhitungan titik impas harga dan titik impas produksi dari masing-masing usaha tambak garam disajikan pada Tabel 3. Tabel 16. Analisis Titik Impas dan Harga Garam di Kelurahan Pallengu, Jeneponto
Jenis Usaha
Total Biaya Produksi (Rp)
Kristalisasi garam 3 hari Pemilik Penggarap 7.034.176 Penggarap Bagi Hasil 11.987.304 Kristalisasi garam 10 hari Pemilik Penggarap 4.314.202 Penggarap Bagi 8.127.416 Hasil Sumber : data primer diolah
Produksi (Kg)
Harga Pasar (Rp/Kg)
Titik Impas Harga (Rp)
Titik Impas Produksi (Kg)
389.569
80
20,06
87.927,20
456.985
80
29,15
149.841,30
94.756
200
50,59
21.571,01
113.496
200
40.637,08 79,57
Hasil perhitungan titik impas harga menunjukkan bahwa titik impas harga untuk Kristalisasi garam 3 hari Pemilik Penggarap adalah sebesar 20,06. Nilai ini jauh di bawah harga pasaran garam yang berlaku yaitu Rp. 80. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat produktivitas aktual yang dicapai oleh petambak garam dengan kristalisasi garam 3 hari untuk pemilik penggarap secara finansial menguntungkan. Begitu pula dengan penggarap bagi hasil dan petambak garam dengan kristalisasi garam 10 hari baik pemilik penggarap maupun penggarap bagi hasil. Secara keseluruhan, usaha tambak garam baik dengan kristalisasi garam 3 hari maupun 10 hari layak untuk diusahakan. Hasil perhitungan titik impas produksi menunjukkan bahwa produktivitas minimal dari usaha tambak garam dengan kristalisasi garam selama 3 hari agar tidak mengalami kerugian masing-masing sebesar 87.927,20 kg/tahun dan 149.841,30 kg/tahun untuk
pemilik penggarap dan penggarap bagi hasil.
70
Sedangkan produktivitas minimal dari usaha tambak garam dengan kristalisasi garam selama 10 hari agar tidak mengalami kerugian masing-masing sebesar 21.571,01 kg/tahun dan 40.637,08 kg/tahun untuk
pemilik penggarap dan
penggarap bagi hasil. Secara keseluruhan, usaha tambak garam baik dengan kristalisasi garam 3 hari maupun 10 hari tetap menguntungkan dan layak diusahakan karena keuntungan yang lebih tinggi dapat diperoleh dari besarnya produksi jauh di atas nilai titik impas produksinya.
Tabel. 17. Analisis Kepekaan dengan Kristalisasi Garam 10 hari Uraian Kristalisasi garam 3 hari Pemilik Penggarap
GR
VC
B/C Ratio
3,99 28.048.938
5.259.176 2,74
Penggarap Bagi Hasil 32.902.911
10.966.304
Kristalisasi garam 10 hari Pemilik Penggarap Penggarap Bagi Hasil
17.056.021 20.429.248
1.279.202
3,95
6.806.416
2,51
Analisis kepekaan menunjukkan bahwa tambak garam dengan kristalisasi garam 3 hari memiliki nilai B/C ratio masing-masing sebesar 3,99 (Pemilik Penggarap), dan 2,74 (Penggarap Bagi Hasil). Sedangkan tambak garam dengan kristalisasi garam 3 hari memiliki nilai B/C ratio masing-masing sebesar 3,95 (Pemilik Penggarap), dan 2,51 (Penggarap Bagi Hasil). Meskipun total biaya pada usaha tambak garam dengan kristalisasi garam 3 hari lebih besar, petambak garam masih
memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan
dengan usaha tambak garam dengan kristalisasi garam 3 hari. Seandainya petambak garam merubah pola kristalisasi garam dari 3 hari menjadi 10 hari, maka nilai B/C ratio petambak garam baik pemilik penggarap maupun penggarap bagi hasil masing-masing relatif lebih kecil (Tabel 4).
71
Saluran Tataniaga dan Margin Pemasaran Garam Garam yang diproduksi oleh penggaram di Kelurahan Palenggu cenderung dijual dengan kualitas yang seadanya. Pengemasan untuk produk garam yang dihasilkan bervariasi tergantung pada jenis produk. Garam konsumsi yang sudah beryodium umumnya dikemas dalam plastik dengan variasi volume seperti 2,5 hingga 5 kg serta dilengkapi dengan label tempat pengolahan maupun nomor pemeriksaan kesehataan, bahkan produksi garam dari Kelompok Halimun Jaya sudah memiliki SNI. Sedangkan garam curah untuk pengasinan atau pakan ternak umumnya dikemas dalam karung juga dalam variasi ukuran antara 5 hingga 50 kg.
Pemilik Penggarap Tambak Garam
Penggarap Tambak Garam Bagi Hasil 1/3 2/3
Pemilik Tambak Garam
Pedagang Pengumpul
Industri Garam
Pupuk/Pertanian
Gambar 3. Bagan alur tataniaga Garam di Kelurahan Pallengu Tujuan utama pemasaran garam di Kelurahan Palenggu masih dalam negeri baik antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten misalnya Bone (garam untuk pupuk) serta antar propinsi seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Kendari dan Palu. Konsumen umumnya langsung datang ke produsen garam dan transaksi jual beli dilakukan langsung dan tunai.
72
4.5. Tulisan Ilmiah Untuk Bahan Warta
Judul :
PENGEMBANGAN PENGGARAMAN RAKYAT DI KELURAHAN PALLENGU, KECAMATAN BANGKALA, KABUPATEN JENEPONTO, PROPINSI SULAWESI SELATAN
Garam merupakan salah satu kebutuhan pelengkap dari kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia. Walaupun Indonesia memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km namun usaha untuk meningkatkan produksi garam belum diminati. Dengan potensi yang besar Indonesia seharusnya dapat memenuhi kebutuhan garam dalam negeri bahkan hingga ekspor. Namun pada kenyataannya kebutuhan garam nasional yang mencapai 2,32 juta ton pada tahun 2003 ternyata sebesar 1,23 ton masih diimpor dari sejumlah negara seperti Australia, Cina dan India (Deperindag, 2003). Produktivitas usaha garam rakyat Indonesia hingga saat ini masih dirasakan sangat rendah dan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan garam domestik. Jika dilihat dari luas ladang penggaraman rakyat sebesar 25.542 Ha dari keseluruhan 30.685 Ha ladang penggaraman, produksinya hanya mencapai 40 ton/Ha/tahun dibandingkan dengan produksi PT Garam Persero yang mencapai 60 ton/Ha/tahun dengan luas lahan yang lebih kecil. (PT Garam Persero, 2000). Meskipun
Indonesia
merupakan
negara
kepulauan
tetapi
pusat
pembuatan garam masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Madura, sehingga
pemenuhan kebutuhan garam masih sangat rendah. Areal tambak
garam di Pulau Jawa seluas 10.231 Ha
yaitu Jawa Barat 1.159 Ha, Jawa
Tengah 2.168 Ha, Jawa Timur 6.904 Ha, dan Pulau Madura 15.347 Ha yaitu Kabupaten Sumenep 10.067 Ha, Kabupaten Pamekasan 3.075 Ha, Kabupaten Sampang 2.205 Ha (Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, 2002). Hasil survey yang dilakukan oleh Depperindag pada tahun 1999 menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani dan penggarap di 10 propinsi wilayah produsen garam Indonesia adalah tingkat produktivitas, kualitas dan harga masih rendah. Tingkat poduktivitas yang rendah dalam
73
pengelolaan lahan garam yang masih tradisional, rancangan lahan garam yang masih sederhana, serta lebih mengutamakan tenaga manusia daripada peralatan teknologi, pengertian pentingnya kualitas garam yang dihasilkan dan aktivitas produksi yang berorientasi pada besarnya kuantitas merupakan salah satu penghambat pengembangan penggaraman rakyat. Di sisi lain kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia seperti yang ditampilkan pada Gambar 1. 1400
Volume (x1000ton)
1200 1000 800 600 400 200 0 Garam Ko nsumsi
P engasinan Ikan
1998
P engebo ran M inyak
1999
Industri lain-lain (tekstil, kulit dll)
Jenis Garam 2000
Industri Chlo r A lkali P lant
2001
Industri Ko smetik/Farmasi
2002
Sumber : Depperindag, 2003 Gambar 4. Perkembangan Kebutuhan Garam Nasional, Tahun 1998-2002
Salah satu lokasi produksi garam yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur adalah Kabupaten Jeneponto tepatnya di Kelurahan Pallengu, Kecamatan Bangkala. Sebagian besar penduduk sangat bergantung pada kegiatan penggaraman (sekitar 70%), dengan teknik pengolahan yang masih tradisional. Rendahnya kualitas garam yang dihasilkan serta informasi pasar yang sangat minim mengakibatkan nilai tambah dari produksi garam tidak diambil oleh penggaram di Kelurahan Pallengu. Tulisan ini menampilkan informasi mengenai aktivitas penggaraman yang dilakukan oleh masyarakat di
74
Kelurahan Pallengu dengan berbagai keterbatasannya baik sumberdaya modal maupun manusianya.
INFORMASI UMUM DESA Kabupaten Jeneponto terletak di ujung bagian Barat Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah berkisar 74.479 Ha atau 749,70 Km 2. dengan panjang pantai berkisar 95 Km dan kondisi iklim yang kering maka Kabupaten Jeneponto sangat potensial untuk pelaksanaan kegiatan penggaraman. Luas areal penggaraman produktif seluas 554,55 Ha yang terbagi kedalam 4 kecamatan potensial yaitu Kecamatan Bangkala Barat, Kecamatan Bangkala, Kecamatan Talamatea dan Kecamatan Arungkeke (Dinas Perindag Kab. Jeneponto, 2005). Kecamatan Bangkala merupakan salah satu dari 10 kecamatan di Kabupaten Jeneponto yang berbatasan dengan Kabupaten Gowa di sebelah utara, Kecamatan Tamalatea di sebelah timur, Kecamatan Bangkala Barat di sebelah barat dan Laut Flores di sebelah selatan. Kecamatan Bangkala terdiri dari 3 kelurahan dan 10 Desa dengan luas wilayah 121,82 Km2 yang terbagi kedalam 1 Kelurahan dan 2 Desa yang potensial untuk kegiatan penggaraman yaitu Kelurahan Pallengu, Desa Bontorannu dan Desa Punagaya. Jumlah penduduk yang bertempat tinggal di Kelurahan Pallengu sebanyak 3.748 orang dengan jumlah Rumah Tangga sebanyak 933 KK. Proporsi penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Pallengu adalah 1.766 orang (47,12%) laki-laki dan 1.982 orang (52,88%) perempuan. Jumlah penduduk dengan usia antara 15 sampai dengan 65 tahun sebanyak 1.808 orang (48,24%), penduduk diantara usia ini merupakan angkatan kerja yang produktif. Dibandingkan dengan jumlah penduduknya maka persentase penduduk dengan usia kerja produktif di Kelurahan Pallengu cukup tinggi yaitu sebesar 53%. Nilai ini menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja di kelurahan ini cukup memadai. Dari sisi pendidikan formal, hanya sekitar 24% penduduk yang pernah mengenyam pendidikan formal, sekitar 12% penduduk atau sekitar 450
75
penduduk tidak tamat SD, sebesar 5% (atau 220 orang) tamat SD atau yang sederajat, 132 orang tamat SLTP, 98 orang tamat SLTA, 13 orang tamat D1/D2/D3 dan hanya 5 orang tamat Perguruan tinggi. Persentase tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk di Kelurahan Pallengu masih sangat rendah, hal ini berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia yang juga mempengaruhi cara pengolahan garam. Berdasarkan hasil wawancara dengan Lurah Pallengu, perpindahan penduduk ke daerah lain dikarenakan beberapa alasan diantaranya adalah melakukan aktivitas usaha kelautan dan perikanan, untuk melanjutkan pendidikan, karena pekerjaan dan berdagang. Kondisi perumahan penduduk masih sangat sederhana, rumah panggung dengan kondisi yang sudah memadai hanya sekitar 10 rumah saja sedangkan sisanya masih sangat sederhana.
INFRASTRUKTUR DAN AKSESIBILITAS LOKASI Ketersediaan sarana pendidikan di Kelurahan Pallengu hanya sampai tingkat Pendidikan Dasar saja. Terdapat satu unit taman kanak-kanak dan empat unit sekolah dasar. Sedangkan sarana kesehatan yang tersedia adalah posyandu sebanyak 6 unit, apotik sebanyak 2 unit serta toko obat sebanyak 2 unit. Ketersediaan jalan di Kelurahan Pallengu berupa jalan aspal untuk jalan utama (jalan poros), jalan pengerasan serta jalan tanah. Status jalan utama di Kelurahan Pallengu adalah jalan propinsi. Kelurahan ini sudah dilengkapi penerangan jalan dan sambungan listrik dari PLN. Sarana perekonomian yang dimiliki oleh Kelurahan Pallengu diantaranya adalah bank yaitu Bank BRI namun lokasi kantor masih dalam garasi mobil, belum ada gedung tersendiri. Terdapat pula satu unit koperasi simpan pinjam dan toko kelontong. Kelurahan Pallengu tidak memiliki pasar, layanan perbankan seperti bank maupun anjungan tunai mandiri (atm), maupun pusat perbelanjaan besar. Untuk aktivitas jual beli dalam satu Kecamatan Bangkala hanya terdapat satu pasar sedangkan sarana ekonomi lainnya terdapat di Kota Makasar. Sarana transportasi
yang
ada
di
Kelurahan
Pallengu
antara
lain
angkutan
pedesaan/perkotaan, ojek motor dan delman. Angkutan pedesaan (pete-pete)
76
hanya melewati jalan utama saja, sedangkan untuk menuju kedalam kelurahan harus menggunakan sewa ojek motor atau delman. Sarana ibadah yang dimiliki antara lain masjid sebanyak 5 unit sedangkan musholla 2 unit. Sarana sosial ekonomi yang ada diantaranya adalah poskamling sebanyak 5 unit terdapat dimasing-masing Lingkungan, kantor desa sebanyak 1 unit dan kantor pos sebanyak 1 unit.
PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK GARAm
Tambak garam yang berpotensi untuk
dikembangkan
di
Kelurahan
Pallengu adalah seluas 185.75 Ha dan potensi
tersebut
sudah
dimanfaatkan
secara maksimal yaitu sebesar 185.75 Ha. Pemanfaatan lahan tambak untuk produksi garam dilakukan selama 8 bulan dalam satu tahun (dalam kondisi normal) yaitu
pada
bulan
kering
(kemarau)
sedangkan pada bulan basah digunakan untuk budidaya tambak bandeng dan udang.. Komposisi tenaga kerja pada tambak garam sebanyak 743 orang. Juga terdapat kelompok petani garam pada setiap lingkungan sekitar 27 kelompok, anggota yang terlibat dalam setiap kelompok antara 15 – 20 orang. Struktur organisasi pada kelompok garam cukup sederhana hanya terdiri dari ketua sekretaris dan bendahara. Pemilihan ketua kelompok dilakukan oleh Kepala Kelurahan dengan pertimbangan beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi diantaranya adalah memiliki lahan tambak garam di Kelurahan tersebut. Setiap unit usaha tambak garam memiliki lahan garapan sekitar 1 Ha dibagi menjadi 6 – 7 petak tambak garam, luasan perpetak tambak garam sekitar
77
150m2. Rata-rata produksi per setiap kali panen diperoleh sekitar 4000 karung garam atau sekitar 200 ton.
Pengolahan Garam Pada dasarnya pembuatan garam dari air laut terdiri dari langkahlangkah
proses
pemekatan
(dengan menguapkan airnya) dan pemisahan
garam
kristalisasi).
Teknologi
digunakan lahan Gambar 5. Penggunaan Kincir Angin di Lahan Tambak Garam
dalam
tambak
dilakukan
oleh
Kelurahan
(dengan yang
pengolahan garam
yang
petambak
Pallengu
di
masih
tradisional. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa untuk sirkulasi air menuju lokasi tambak para petambak garam di Kelurahan Pallengu menggunakan kincir angin sebagai alatnya sedangkan penggunaan pompa masih sangat terbatas karena harga belinya yang cukup tinggi serta umur ekonomisnya yang relatif singkat karena adanya korosi akibat salinitas air yang tinggi. Garam yang telah melalui proses
kristalisasi
kemudian
tampung
didalam
gudang-gudang
khusus
penampungan yang terdapat di pinggir tambak garam atau di bawah rumah tinggal dijadikan gudang garam karena rumah tinggal berbentuk rumah panggung. Beberapa tahapan produksi garam berkualitas (DKP, 2003) adalah sebagai berikut : a. Persiapan Persiapan dilakukan paling lambat 2 (dua) minggu sebelum musim kemarau tiba. Pekerjaan persiapan adalah berupa perbaikan saluran tanggul kolam penggaraman, pintu air laut, dasar tanah, tempat pencucian dan pengeringan garam persiapan penempatan kembali pompa air laut (jika diperlukan) dan kincir angin.
78
b. Pengaliran air laut ke kolam pengumpul/pengendapan Pada
saat
pengisian
air
laut,
pintu
air
ke
kolam
pengumpul/pengendapan dibuka lebar-lebar dan pada saat air pasang naik sudah akan selesai, pintu air ke dan dari kolam pengumpul ditutup. Air laut didalam kolam pengumpul/pengendap didiamkan selama kurang lebih 14-15 hari sampai kualitas larutan garamnya mencapai 10 Be. c. Aliran larutan garam pada kolam-kolam penggaraman Antara kolam pengumpul/pengendapan dengan kolam pengkristalan terdapat 4 (empat) seri kolam yakni kolam penguapan I, kolam penguapan II, kolam
penguapan
III
dan
kolam
pemekatan.
Dari
kolam
pengumpul/pengendapan setelah larutan garamnya mencapai 3,5 Be langsung disalurkan ke kolam penguapan I. Larutan garam di kolam penguapan I didiamkan selama 3-7 hari sampai kadar larutan garamnya mencapai 10 Be kemudian dipindahkan ke kolam penguapan II. Larutan garam di kolam penguapan II didiamkan selama 2 hari dan apabila larutan garamnya mencapai kadar 17 Be maka larutan garam dipindahkan ke kolam penguapan III. Larutan garam di kolam penguapan III didiamkan selama 2 hari untuk mencapai kadar larutan garam 24,5 Be dan kemudian dipindahkan ke kolam pemekatan. Larutan garam pada kolam pemekatan didiamkan selama 1,5 – 2 hari untuk mencapai kadar 29,55 Be dan segera dipindahkan ke kolam pengkristalan. d. Kolam pengkristalan dan Pengambilan (Panen) Kristal Garam Kristal-kristal
garam
akan
terjadi
2
(dua)
jam
setelah
kolam
pengkristalan diisi pada pagi hari dan akan mengkristal seluruhnya pada sore hari. Garam akan dipanen pada waktu tidak ada genangan larutan pada dasar kolam pengkristalan tetapi semuanya telah menjadi garam. Cara pengumpulan panen garam dibagi dua yaitu (1) bagian atas dari lapisan kristal garam langsung dikumpulkan dan ditempatkan pada pengeringan garam dan (2) bagian bawah dari lapisan garam yang mengandung kotorankotoran lumpur diletakkan di pinggir kolam pengkristalan dekat dengan bakbak pencucian garam. Setelah semua garam diambil kemudian dasar kolam
79
pengkristalan dibersihkan lalu kembali dipadatkan dan didiamkan selama 1-2 jam agar kering. Kolam pengkristalan siap menerima larutan garam dari kolam pemekatan untuk menghasilkan kristal-kristal garam. e. Pencucian garam Lapisan kristal garam bagian bawah yang mengandung kotoran lumpur dicuci pada bak-bak pencucian dengan menempatkan garam tersebut di dalam keranjang yang lubang-lubangnya tidak meloloskan kristal garam. Kemudian direndam dan digoyang-goyangkan pada bak pencucian sampai kotoran atau lumpur terurai dari kristal garam. Kemudian dijemur ditempat pengeringan garam. f. Pengeringan garam Pengeringan garam dilakukan dengan maksud agar garam yang ditiriskan dan air yang masih ada pada garam bisa hilang sehingga kualitas garam tinggi. Waktu yang digunakan untuk mengeringkan garam antara 1-2 jam. g. Pergudangan Mengingat sifat garam yang higroskopis (mudah menyerap air dari udara bebas) yang dapat menurunkan mutu maka pergudangan menjadi sangat penting. Disamping untuk menyimpan garam pada saat panen dan kelebihan produksi, gudang garam harus tetap memperhatikan kelembaban udara dalam rangka mempertahankan kualitas kondisi lingkungan ruangan terutama sistem sirkulasi udara agar garam tidak cepat susut mutu maupun beratnya.
Produk Garam Peningkatan
kualitas
pencucian
membutuhkan
sehingga
menyebabkan
melaui
biaya
yang
kenaikan
proses tinggi biaya
operasional, oleh karena itu garam yang diproduksi oleh penggaram di Kelurahan Pallengu cenderung dijual dengan kualitas yang seadanya. Jenis garam yang dihasilkan terdiri dari garam konsumsi yaitu
80 Gambar 6. Produk Garam di Kelurahan Palenggu
garam yang sudah diberi yodium, garam untuk pengasinan dan aneka pangan dan serta garam untuk pakan ternak. Pengemasan untuk produk garam yang dihasilkan bervariasi tergantung pada jenis produk. Garam konsumsi yang sudah beryodium umumnya dikemas dalam plastik dengan variasi volume seperti 2,5 hingga 5 kg serta dilengkapi dengan label tempat pengolahan maupun nomor pemeriksaan kesehataan, bahkan produksi garam dari Kelompok Halimun Jaya sudah memiliki SNI. Sedangkan garam curah untuk pengasinan atau pakan ternak umumnya dikemas dalam karung juga dalam variasi ukuran antara 5 hingga 50 kg (Gambar 6).
Pemasaran Garam Harga jual garam dibedakan berdasarkan jenis dan kualitasnya. Garam beryodium yang berwarna putih dan ukuran kristal besar dijual dengan harga Rp. 6000/kg. Sedangkan garam curah untuk industri pupuk, pakan ternak atau pengasinan ikan dijual dengan harga Rp. 7000/50 kg. Tujuan utama pemasaran garam di Kelurahan Pallengu masih di lingkup pasar dalam negeri seperti antar desa,
antar
kecamatan,
antar
kabupaten
(misalnya
kabupaten
Bone
menggunakan garam untuk pupuk), serta antar propinsi seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Kendari dan Palu. Konsumen umumnya langsung datang ke produsen garam dan transaksi jual beli dilakukan secara langsung dan tunai.
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA Prospek usaha pembuatan garam di Kelurahan Pallengu masih sangat tinggi karena kondisi alam yang sangat menunjang dan didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia yang memadai. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan usaha pembuatan garam di Kelurahan Pallengu adalah melalui peningkatan teknologi penggaraman yaitu degan cara penggunaan pompa air untuk mengalirkan air laut ke dalam bak penampungan air. Dengan demikian volume air yang dapat ditampung lebih tinggi lagi karena tidak bergantung pada angin untuk menggerakkan kincir angin. Kemudian waktu
81
pengkristalan yang diperpanjang untuk mendapatkan kristal garam yang lebih baik lagi. Saat ini waktu panen dilakukan oleh petani garam dalam jangka waktu 2-3 hari saja, akibatnya garam yang dihasilkan berwarna putih kekuningan serta agak rapuh. Peningkatan kualitas dapat dilakukan dengan cara memperpanjang waktu panen sekitar 7 hingga 10 hari dengan demikian kristal garam yang dihasilkan lebih putih dan tidak rapuh. Prospek pengembangan usaha lain yang dapat dikembangkan oleh masyarakat setempat adalah melalui peningkatan kualitas dan nilai tambah produk garam. Saat ini garam yang dihasilkan oleh petani garam di Kelurahan Pallengu sebagian besar adalah garam curah sengan harga yang relatif rendah. Salah satu prospek usaha yang dapat dikembangkan adalah pengolahan garam menjadi garam beryodium dalam kemasan siap saji. Dengan adanya peningkatan nilai tambah (added value) dari pembuatan garam ini maka diharapkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat pembuat garam dapat lebih meningkat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan tambak garam yang dilakukan oleh petambak garam di Kelurahan Pallengu adalah kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah. Ratarata pendidikan petambak yang hanya sampai tingkat sekolah dasar saja serta keterbatasan informasi mengakibatkan teknologi produksi dan pengolahan garam masih sangat tradisional. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini perlu dilakukan melalui pelatihan, sosialisasi maupun introduksi teknologi dalam kegiatan produksi dan perngolahan garam. Aspek permodalan juga memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan usaha ini, baik modal fisik berupa alat dan mesin juga modal uang. Bantuan-bantuan berupa mesin pompa dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian pernah diberikan kepada salah satu kelompok tambak garam, namun penyaluran bantuan tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja. Pemberian bantuan-bantuan hendaknya melalui mekanisme yang lebih tepat serta perlu adanya monitoring terhadap pemanfaatan bantuan agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bantuan berupa modal uang juga diperlukan sebagai modal usaha petambak garam, waktu
82
produksi yang relatif pendek (panen dalam waktu 2-3 hari) mengakibatkan rendahnya kualitas garam yang dihasilkan. Alasan yang dikemukakan petambak adalah pendeknya waktu pemanenan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari petambak garam. Dengan demikian jika adanya bantuan berupa modal uang yang dapat digunakan oleh petambak untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari tentu bisa mengakibatkan garam yang dihasilkan dapat lebih berkualitas lagi. Namun perlu adanya mekanisme pemberian bantuan yang tepat sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi maupun budaya petambak garam itu sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN Kualitas garam yang dihasilkan oleh petambak garam di Kelurahan Pallengu masih relatif rendah karena waktu panen garam hanya 2 – 3 hari saja. Produk garam yang dihasilkan pun masih sangat terbatas, umumnya hanya dalam bentuk garam curah saja dan hanya satu kelompok yang sudah memproduksi garam beryodium. Peningkatan kualitas dan value added garam yang diproduksi ini dikarenakan pengetahuan dan keterampilan SDM yang sangat rendah dan adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk peningkatan hal tersebut adalah melalui pemberian pelatihan, sosialisasi maupun introduksi teknologi mengenai cara produksi dan pengolahan garam yang berkualitas. Pemberian bantuan modal fisik maupun keuangan juga perlu dipertimbangkan karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh petambak garam, tentunya melalui mekanisme yang tepat. Dengan demikian diharapkan penghasilan dan kesejahteraan petambak garam dapat meningkat dimasa yang akan datang.
Judul : PESONA WISATA BAHARI KARIMUNJAWA Keindahan panorama alam seperti terumbu karang, padang lamun dan rumput laut dengan biota laut yang beraneka ragam, hutan bakau (mangrove), hutan tropis daratan rendah, semuanya merupakan hamparan yang masih alami
83
sehingga menjadikan kepualauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut. Kepualaun ini secara administratif merupakan kecamatan dari wilayah Kabupaten Jepara yang berlokasi 45 mil arah barat laut kota Jepara. Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau dengan luas teritorial 107.225 hektar, sebagai besar berupa lautan (100.105 hektar) luas daratannya
sendiri adalah 7.120
hektar. Kebijakan nasional telah menetapkan 22 pulau diantaranya yang berfungi sebagai Taman Nasional Laut dengan luas perairan 111.625 hektar (Istanto, 1998). Daerah ini beriklim tropis yang dipengaruhi angin laut yang bertiup sepanjang hari dengan suhu rata-rata 26 s.d 30 derajat celcius, dengan suhu minimum 22 derajat celcius dan suhu maksimum 34 derajat celcius. Dalam skala nasional, regional dan
lokal, kawasan Karimunjawa juga
berfungsi dan berperan sebagai daerah tujuan wisata andalan, mengingat potensi sumberdaya alam dan lingkungannya yang masih bagus jika dibandingkan dengan tempat serupa di pulau Jawa, Kepulauan Seribu (Istanto, 1998, dalam Purwanti, 2003). Seperti tertuang dalam di Pola Dasar Pembangunan Kabupaten Jepara telah menetapkan enam sub wilayah pembangunan yang salah satunya adalah sektor pariwisata sebagai sektor dominan yang ditunjang dengan sektor perikanan, perkebunan, pertanian dan pelestarian sumberdaya alam (Raharjana, 2006) Kekayaan flora dan fauna Karimunjawa membuatnya menjadi begitu mempesona. Daerah ini memiliki beberapa jenis ekosistem terumbu karang, hutan bakau (mangrove), padang lamun, hutan pantai dan hutan dataran rendah. Disisi lain fauna pun bervariasi seperti rusa dan kera ekor panjang maupun fauna akuatik
yang terdiri atas 242 ikan hias dan 133 genera akuatik. Selain itu
dilokasi ini tedapat pula jenis fauna langka yang berhabitat di pulau Burung dan pulau Geleang, seperti burung elang laut dada putih serta dua jenis penyu yaitu penyu sisik dan penyu hijau (Balai Taman Nasional Karimunjawa, 1999). Tujuan tulisan ini untuk memberi gambaran tentang pesona wisata bahari dan permasalahannya di Karimunjawa.
84
Kondisi Sumberdaya Alam Kepulauan Karimunjawa diindentifikasi memiliki 5 ekosistim utama yaitu terumbu karang, hutan pantai, padang lamun, mangrove dan hutan hujan tropis dataran rendah . Masing-masing sub sitim tersebut memiliki keanekaragaman folra dan fauna yang tinggi didalamnya.Guna menjaga kekayaan agar kekayaan alam ini lestari serta dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya hingga generasi mendatang pengelolaan kawasan yang terpadu sangat diperlukan Kepulauan Karimunjawa saat ini dikelola dalam bentuk Taman Nasional sebagai Kawasan Pelestarian
Alam (KPA) yang mempunyai ekosistim asli,
dikelola dengan sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, wisata dan rekreasi (UU No.5 tahun 1990 mengenai konservasi sumberdaya hayatidan ekosistemnya). Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa bertujuan kelestarian sumberdaya alam ini tidak akan berhasil jika tidak didukung seluruh pihak terkait yang beraktivitas dan memanfaatkan langsung sumberdaya alam di Karimunjawa. Berubahnya
kondisi
sumberdaya
alam
Kepulauan
Karimunjawa
mengharuskan perubahan tata ruang serta pengelolaan kawasannya. Rezonasi perlu dilakukan sebagai bentuk pengelolaan kawasan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alamnya. Proses rezonasi melibatkan para pihak terkait mulai dari masyarakat lokal, instansi pemerintah, sektor swasta, Universitas/ PT, dan LSM. Keterlibatan seluruh elemen ini diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk semua pihak. Peta zonasi Taman Nasional Karimunjawa berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.79/IV/Set3/2005 tangal 30 Juni 2005, yang terdiri dari beberapa zonasi yatu : a. Zona Inti Zona ini mutlak dilindungi dan tidak boleh terjadi perubahan apapun didalamnya oleh aktivitas manusia, kegiatan yang diperbolehkan hanya untuk kegiatan pendidikan, penelitian, inventarisasi pemantauan, perlindungamn dan pengamanan. Zona inti ini tedapat di Tanjung Bonang, P. Taka Malang, P. Taka Penyawakan dan P. Kumbang seluas 444,629 hektar.
85
b. Zona Perlindungan Melindungi zona inti dan mendukung upaya
perlindungan
spesies,
mengembangkan alami jenis sawa liar termasuk satwa migran dan proses ekologis alami . Kegiatan yang diperbolehkan sama dengan zona inti ditambah dengan pemanfaatan terbatas dengan melalui izin khusus. Zona initerdapat di P. Gading Selikur, P. Burung, P. Galeang. P. Cemara, Tj Balam, P. Sintok, P. Gosong Tengah, sebagian besardatan Karimunjaa dan Kemojan seluas 2.587,711 hektar. c. Zona Pemanfaatan Pariwisata Dikembangaan untuk kepentingan wisata alam bahari dan wisata alam ramah lingkungan lainnya, dapat dikembangkan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata. Zona in terdapat di P.Menjangan Kecil, P. Menjangan Besar, P. Kembar, P. Karang Kapal, P. Menyawakan , P. Bengkoang, zona ini seluas 1.266,525 hektar. d. Zona Pemukiman Kawasan yang dijadikan kepentingan pemukiman masyarakat yang sah sudah
ada
sebelum
kawasan
konservasi
ditetapkan
dengan
tetap
memperhatikan aspek konservasi. Kawasan ini terdapat di P. Karimunjawa, P. Kemojan, P. Parang dan P. Nyamuk seluas 2.571,546 hektar. e. Zona Rehabilitasi Diperlukan bagian pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan 75 %. Zona rehabiliasi ini terdapat di P. Bengkoang, P. Kembar, P. Penyawakan, P. Galang, P. Burung, P. Cemara Kecil, P. Sintok, P. Tengah, P. Menjangan Kecil dan P. Menjangan Besar seluas 122,514 hektar.
f. Zona Budidaya Diperlukan bagi kepentingan budidaya perikanan oleh masyarakat seperti budidaya rumput laut, Keramba Jaring Apung (KJA) dan lain-lain dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Kawasan ini terdapat di P. Parang, P. Nyamuk, P. Karimun dan P. Kemojan seluas 788,213 hektar.
86
Gambar 7. Rumput laut hasil budidaya di Karimunjawa
g. Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional Pemanfaatan perikanan tangkap yang sudah ada dan berlangsung secara turun menurun masyarakat setempat dengan menggunakan penangkapan yang ramah lingkungan. Kawasan ini terdapat di seluruh perairan Karimunjawa seluas 103.883,862 hektar.
Fasilitas Wisata Bahari Dengan alam yang indah dan relatif masih murni, Karimunjawa menawarkan
daya tarik wisata alam
yaitu wisata bahari dan
wisata
petualangan alam. Selain alam yang indah, penduduk Karimunjawa yang multi etnis membuat kawasan ini menarik untuk disimak sebagai keunikan budaya dan tradisinya. Wisata bahari menawarkan berbagai kegiatan wisata dan olahraga yang berhubungan dengan alam kepulauan Karimunjawa. Beberapa aktivitas wisata yang dapat dilkukan di kawasan ini adalah sebagai berikut :
87
Gambar 8. Matahari mulai terbenam di Karimujawa
a. Menyelam Kegiatan ini dapat dilakukan di sebelah utara dan barat pulau Karimunjawa, sebelah timur pulau Menjangan Besar, sekitar pulau Menjangan Kecil, sebelah selatan dan barat pulau Geleang, sebelah barat pulau Bengkoang, sebelah barat pulau Parang, sebelah timur pulau Kembar, sekitar pulau Katang, sebelah utara dan timur pulau Krakal Kecil dansebelah barat pulau Kumbang.
b. Snorkling Aktivitas ini dapat dilakukan di pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, sebelah barat pulau Bengkoang, sekitar pulau Kembar, sebelah utara dan timur Krakal Kecil. c. Memancing Memancing dapat dilakukan di sekitar pulau Menjangan Besar, pulau Menjangan Kecil, pulau Menyawakan, pulau Tengah, pulau Kemujan, pulau Parang, sekitar pulau Kembar dan sebelah barat pulau Bengkoang.
d. Berenang Lokasi yang dapat dipakai untuk melakukan aktivitas ini antara lain di sebelah timur dan selatan
Karimunjawa, bagian selatan dan barat pulau
Menjangan Kecil, bagian barat pulau Tengah, sekitar pulau Parang, pulau Kembar dan pulau Kumbang. 88
e. Berjemur Hampir seluruh pantai di Kepulauan Karimunjawa berpasir putih dengan garis pantai yang cukup panjang. Kondisi ini
menyebabkan kawasan pantai
menjadi kawasan yang cocok untuk melakukan kegiatan
berjemur (mandi
matahari), bermain pasir dan menyaksikan keindahan matahari terbenam (sunset) dan terbit (sunrise). f. Menjelajah Laut Bagi yang tidak dapat berenang dan menyelam, tersedia kapal yang dilengkapi dengan kaca
bagian
bawahnya
(glass
bottom boat) untuk
menyaksikan keindahan bawah laut Karimunjawa. g. Akuarum Laut Di pulau Menjangan Besar terdapat area yang memiliki fasilitas akuarium laut. Disini dapat menikmati keindahan ikan hias dan kehidupan ikan hiu, teripang dengan nuansa khas yang tidak dapat ditemui di daerah lain. h. Cinderamata Berbagai macam kerajinan yang sebagian besar terbuat kayu langka seperti kayu Setigi, kayu Dewadaru dan kayu Kalimasada merupakan keunikan tersendiri di kepulauan Karmunjawa. Hasil kerajinan yang lain berupa tongkat, keris dan tasbih serta kerajian ukiran
lain yang terbuat kayu tersebut diatas
memiliki nilai jual yang tinggi. Namun dalam pemasarannya terbatas hanya pada saat kapal datang dan kapal balik ke Semarang maupun ke Jepara, biasanya pada hari Saptu siang dan Minggu.
Gambar 9. Toko souvenir di Karimunjawa
89
Wisata Menyelam Gugusan terumbu karang di kepulauan Karimunjawa merupakan terumbu tepi dan taka. Penutupan karang keras berkisar antara 6,7 % - 68,9 % dan indek keragaman 0,41 -0,91. Kondisi terumbu karang secara umum mempunyai penutupan 40 % (Nautilus, 2007). Tedapat 31 spot yang sering dilakukan penyelaman yang tersebar pada 14 pulau, 4 gosong dan 2 taka. Lokasi tersebut adalah : a. Pulau Menyawakan Di pulau ini terdapat sebuah resort wisata yaitu Kura Kura Resort yang telah menetapkan 4 spot yang memiliki karakteristik
yang berbeda : (1).
Hawksbill point : keindahan karang yang memukau terutama pada kedalaman 10 M, didominasi oleh jenis Acropora. Nama Hawksbill diambil karena pada daerah ini sering dijumpai penyu sisik yang mencari makan di rataan terumbu (2). Shark point : spot masih tergolong liar karena banyak ditemukan biota pemangsa seperti Hiu Sirip Putih dan Barakuda. (3), Hilly reef : keindahan terumbu karang dengan rataan terumbu berbukit, lebar dan luas. Hewan karang penyusun terumbu
beradaptasi dengan lingkungan
yang terjal dan tumbuh
hingga kedalaman lebih dari 40 M. (4), Pioneer reef : merupakan daerah transisi antara dua tipe terumbu karang yang berbeda. Terumbu yang tumbuh merupakan terumbu perintis (pioneer) yang berukuran kecil-kecil.
b. Pulau Cemara Besar Terdapat dua spot yang meiliki karakter hampir sama, bentukan terumbu karang yang beraneka rupa sampai kedalaman 30 M. c. Pulau Cemara Kecil Terdapat dua spot dengan karakter yang berbeda . Spot 1 Cemara Kecil : terletak di barat laut pulau, dapat dijumpai kuda laut diantara pasir dan karang. Gundukan karang besar dari karang masif dengan celah-celah gua kecil yang dihuni oleh ikan kerapu dengan kedalaman gundukan karang sampai dengan 30
90
M. Spot 2. Cemara Kecil : terletak disebelah pulau, dapat dijumpai jenis ikan karang dan sekumpulan besar ikan barakuda. d. Pulau Geleang Terdapat 2 spot penyelaman yang berdekatan terletak di sebelah tenggara pulau dengan keindahan bawah laut. e. Pulau Burung Spot dengan tingkat arus yang cukup kencang terletak di sebelah utara pulau. Spot juga terindifikasi sebagai tempat pemijahan ikan kerapu dengan potensi yang cukup tinggi. f. Pulau Krakal Kecil Terdapat satu spot di sebelah timur pulau, namun padamusim timuran kurang aman untuk dikunjungi karena gelombang yang relatif besar . Terumbu karang datar dan drop terdiri dari 21 genera karang dan 121 jenis ikan karang, kedalaman hamparan sampai dengan 40 M. g. Pulau Krakal Besar Satu spot di sebelah timur pulau dengan potensi 132 jenis ikan dan 22 genera karang . Kedalaman mencapai 45 M, dapat dijumpai berbagai biota laut lain seperti moluska dan bintang laut. h. Pulau Bengkoang Terdapat
dua spot dengan karakter berbeda yaitu : Spot I terletak di
sebelah utara pulau, hamparan terumbu sempit dan drop yang berliku-liku. Spot berhadapan dengan laut lepas, kedalaman terumbu karang mencapai 45 M. Spot II terletak di sebelah selatan pulau, dapat dijumpai berbagai jenis kima yang didominasi jenis kima pasir (Hippopus hippopus). Spot dengan kedalaman sampai dengan 35 M menarik untuk dikunjungi. i. Pulau Menjangan Kecil Karena letaknya yang relatif dekat dengan pulau Karimunjawa, pulau ini lebih banyak dkunjungi wisatawan dibanding pulauyang lain. Terdapat tiga spot , cocok dan aman ntuk pelatihan penyelaman. Spot I terletak disebelah barat daya pulau, dengan penutupan karang yang rapat mulai kedalaman 3 M saat air surut
sampai dengan kedalaman 30 M. Hamparan
terumbu karang yang
91
panjang diakhiri dengan tubir yang cukup tinggi, banyak dijumpai akar bahar di bibir tubir. Spot II cocok untuk penyelaman baru dengan periran terbuka, kedalaman sampai 18 M. Spot Mylim reef : taka kecil terletak diantara pulau Menjangan kecil dan pulau Menjanan Besar dengan keanekagaman karang dan ikan yang tinggi , kedalaman 25 M dengan tingkat arus yang cukup kencang. j. Pulau Tengah Ditemukan oleh dive master dari Posaedon Adventure bernama Anhtony sehingga spot ini dinamakn Anthony Point. Dngan kedalaman 20 M dijumpai terumbu karang indah dan berbagai jenis ikan diantaranya ikan kelelawar, ikan kakatua, ikan fusilier dan ikan napoleon. k. Pulau Kemojan Terdapat satu spot penyelaman Wreck Indonor. Indonor adalah nama kapal yang tenggelam pada tahun 1963. Spot ini sangat indah untuk night dive sehingga pengunjung dapat melihat kepiting tanah, kepiting karang lunak dengan .kedalaman 16 M. l. Pulau Parang Terdapat spot penyelaman yaitu Wreck Mitra, kapal pinisi yang merupakan kapal pengangkut terdampar di karang dengan kedalaman kapl 16 M. m. Pulau Karimunjawa Terdapat 4 spot penyelaman yaitu
Datuk reef yang berada di sekitar
dusun Nyamplungan , termasuk terumbu karang tepi. Penutupan karang didominasi karang meja (tabulate) dengan variasi celah-celah , pada saat surut kedalaman karang 5 M dari permukaan. Kedalaman terumbu karang sampai dengan 20 M. Tanjung Gelam : terumbu karangyang menarik pada kedalaman 10 M, kedalaman terumbu sampai dengan 18 M. Mymun reef : spot berhadapan dengan hutan mangrove sehinggabanya dijumpai ikan – ikan kecil
yang
bergerombol dari jenis kan konsumsi. Kedalaman 17 M. Tanjung Benyeng ; terletak diletak di dekat perkampungan dan alur lalu lintas kapal dengan tingkat arus yang kuat . Kedalaman 25 M.
92
n. Pulau Katang
Spot katang mempunyai daerah yang slop, dapat dilihat berbagai jenis ikan dengan kedalaman 35 M.
o. Karang Katang Merupakan tipe karang penghalang terletak di sebelah barat kepulauan Karimunjawa. Satu spot yaitu Wreck Biblis merupakan satu dari beberapa reruntuhan kapal di dunia yang mempunyai properller tembaga yang masih utuh . Kedalaman 26 M dan hanya untuk penyelam trampil.
p. Karang Kapal Merupakan
karang
yang
sangat
besar
sehingga
masih
belum
tereksploitasi, daerah ini adalah daerah rumah dari ikan kakatua berkepala jenong dan kadang-kadang ikan hiu. Spot untuk menyelam terampil dan dianjurkan untuk pemula tidak melakukan penyelaman di lokasi ini. Kedalaman 35 M.
q. Taka Menyawakan Spot dengan penutupan karang dianjurkan untuk penyelam mahir
lebih dari 250 jenis, kedalaman 35M
karena terdapat arus yang kuat. Dapat
ditemukan ikan kelelawar yang melimpah, ikan barakuda, tuna, penyu sisik , lobster dan kima.
r. Taka Mrican Taka terdiri dari beberapa tingkatan yang melingkar dengan liku –liku bentukan karang bawah air. Terdapat beberapa jenis karang yang unik dan tidak terdapat dilokasi lain. Kedalaman 22 M, dapat dijumpai ikan buntal, ikan kakatua, dan ikan kerapu. Penyelam pemula dapat menylam di daerah ini karena terlindung.
93
s. Gosong Kumbang
Terdapat gundukan-gundukan karang besar dan terdapat gua-gua yang tembus sehingga dapat dikaukan penelusuran gua.Kedalaman 20 M.
t. Gosong Cemara Bagian yang dangkal tertutup anemone dan sejumlah besar gorgonian, kedalaman 35 M dan penyelam pemula dapat menyelam di daerah ini.
Kesimpulan Wisata bahari di Karimunjawa memberikan gambaran yang sangat besar dan memiliki potensi yang sangat menarik untuk dikembangkan menjadi andalan wisata yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi, tidak hanya bagi daerah melainkan juga bagi masyarakatnya. Keuntungan yang diperoleh dari adanya pengembangan wisata bahari diharapkan dapat merubah perilaku masyarakat untuk
mengembangkan
diri
menjadi
masyarakat
yang
lebih
sejahtera.
Masyarakat tidak hanya menjadi objek melainkan menjadi subjek dari kegiatan wisata itu sendiri. Dukungan dan kerjasama dan bentuk kemitraan dari berbagai stakeholder menjadi kunci
penting bagi keberhasilan pengembangan wisata
bahari di Karimunjawa.
Judul : PEMANFAATAN POTENSI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PARIWISATA BAHARI (Studi Kasus : Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh, Kelurahan Iboih, Kota Sabang, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam)
Pariwisata bahari
merupakan sumberdaya “renewable”
yang patut
dimanfaatkan. Saat ini berbagai kegiatan pariwisata ditawarkan oleh 241 kabupaten/kota yang memiliki pantai, pesisir dan laut (Nikijuluw, 2003). Berbagai jenis organisme karang, hutan bakau, lamun, serta adanya keindahan pantai merupakan sumberdaya alam yang patut dimanfaatkan sebagai objek pariwisata
94
bahari. Hal ini memberikan kontribusi positif dibandingkan dengan sektor lain di saat Indonesia menghadapi masa krisis yang berkepanjangan. Besarnya devisa yang diperoleh sektor pariwisata pada tahun 2000 sebesar 5.75 milyar US$. Nilai ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang cukup berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu sumberdaya wisata yang sangat potensial yakni wilayah pesisir. Wilayah tersebut mempunyai kekayaan dan keragaman dalam berbagai bentuk
alam, struktur historis, adat,
budaya
yang tinggi dan berbagai
sumberdaya yang lain yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan. Wilayah pesisir juga mempunyai nilai atraktif dan turistik yang wajib dikelola dan dikembangkan bagi kesejahteraan melalui pariwisata bahari. Keragaman daerah pesisir untuk pariwisata bahari berupa bentuk alam dan juga keterkaitan ekologisnya dapat menarik minat wisatawan baik untuk bermain, bersantai atau sekedar menikmati pemandangan. Wisata bahari merupakan suatu bentuk wisata potensial termasuk di dalam kegiatan “clean industry”. Pelaksanaan wisata bahari dikatakan berhasil apabila memenuhi berbagai komponen yakni terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah, 1998). Dengan memperhatikan komponen tersebut
maka wisata bahari
perekonomian masyarakat.
akan memberikan kontribusi nyata bagi
Belakangan ini wisata bahari banyak ditonjolkan
oleh pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena memang banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah pesisir. Dengan potensi yang demikian besar, agar pengembangan pariwisata, termasuk wisata
bahari,
memberikan
manfaat
bagi
pembangunan
maka
dalam
pelaksanaannya dibutuhkan strategi yang terencana dan sistematis bagi masyarakat lokal. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat lokal menjadi penting dalam kaitannya dengan upaya keberlanjutan pariwisata itu sendiri, misalnya dalam hal perlindungan terhadap lingkungan maupun manfaatnya bagi kesejahteraan
95
masyarakat. Hal ini penting agar upaya pengembangan pariwisata tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan daerah, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang berada di daerah obyek wisata yang bersangkutan. Tulisan ini bertujuan mengemukakan pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan untuk aktivitas pariwisata bahari baik dilihat dari sistem sosial, ekonomi serta strategi pengembangan pariwisata bahari berbasis pesisir dan lautan. Wilayah Pesisir dan Lautan Pengertian laut menurut UU 24/1992 tentang Penataan Ruang dapat diinterpretasikan dari ketentuan Pasal 9, bahwa laut merupakan unsur ruang wilayah yang penataannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah. Dalam hal ini penataan ruang wilayah propinsi mencakup wilayah laut sampai dengan batas 12 mil, sesuai dengan ketentuan batas kewenangan menurut pasal 3 UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota mencakup wilayah laut sampai dengan batas 4 mil atau sepertiga wilayah laut propinsi, sesuai ketentuan batas kewenangan menurut pasal 10 ayat 3 UU 22/1999. Kemudian, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
Kep.10/Men/2003
tentang
Pedoman
Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota. Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai berikut: a. Laut merupakan sumber dari “common property resources” (sumber daya milik bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi publik/kepentingan umum. b. Laut merupakan “open access regime”, memungkinkan siapa pun untuk memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan. c. Laut bersifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika hydrooceanography tidak dapat disekat/dikapling.
96
d. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan. e. Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya laut dan pesisir bagi pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum secara luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Salah satu intervensi pemerintah dalam pengoptimalkan sumberdaya laut dan pesisir adalah melalui pengembangan industri pariwisata bahari. Indonesia memiliki sumberdaya laut dan pesisir yang begitu besar yang berpotensi untuk kegiatan pariwisata bahari. Potensi sumberdaya pesisir dan laut merupakan aset yang sangat berharga, dapat dikembangkan bagi pengembangan pariwisata bahari yang dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan kelestarian lingkungan. Konsep Pariwisata Bahari. Pembangunan pariwisata diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan
yang berkelanjutan. Wisata bahari dengan kesan penuh makna bukan sematamata memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan tetapi juga diharapkan berpartisipasi
wisatawan dapat
langsung untuk mengembangkan konservasi
lingkungan
sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk ekosistem pesisir sehingga
membentuk
kesadaran
bagaimana
harus
bersikap
untuk
97
melestarikan wilayah pesisir dan dimasa kini
dan masa yang akan datang.
Jenis wisata yang memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, diving, dan pancing. Kegiatan tidak langsung olahraga pantai, piknik menikmati atmosfer laut
seperti
kegiatan
(Nurisyah, 1998).
Konsep
wisata bahari didasarkan pada pemandangan, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya kekuatan dasar
dan karaktersitik
masyarakat sebagai
yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Skema konsep
wisata bahari terlihat pada gambar 1. Dari Gambar 1. terlihat bahwa output langsung yang diperoleh berupa hiburan dan pengetahuan sedangkan output langsung bagi alam yakni adanya insentive yang dikembalikan untuk mengelola kegiatan konsevasi alam. Output tidak langsung
yaitu berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri setiap orang
(wisatawan) untuk memperhatikan sikap hidup sehari-hari agar kegiatan yang dilakukan tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini tumbuh sebagai akibat dari kesan yang mendalam yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi secara langsung dengan lingkungan bahari.
Alam Out put tak langsunng
Manusia
Input
Input
Output langsung Konservasi alam
Ekotourisme bahari
Out put langsung (Hiburan, Pengetahuan
Gambar. 10. Skema konsep ekotourism bahari (DKP, 2002)
98
Orientasi pemanfaatan utama pesisir dan lautan serta berbagai elemen pendukung lingkungannya
merupakan suatu bentuk perencanaan dan
pengelolaan kawasan secara terpadu dalam usaha mengembangkan kawasan wisata. Cultural dan physical aspect merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi yang saling mendukung sebagai suatu kawasan wisata bahari.
Pariwisata Bahari di Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh Pulau Weh terletak di ujung Utara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dinyatakan sebagai daerah paling Barat dari wilayah Republik Indonesia dan di Pulau ini terdapat Tugu Kilometer Nol Indonesia. Kawasan Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Laut Pulau Weh Sabang ini terletak di Kota Sabang yang ditunjuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 928/Kpts/Um/2/1982 dengan luas Taman Wisata Alam 1.300 Ha dan Taman Wisata Laut seluas 2.600 Ha (termasuk Pulau Rubiah dan Pulau Seulako) Topografi pada umumnya bergelombang sampai dengan curam dengan gunung tertinggi yaitu Gunung Iboih sekitar 480 mdpl. Jenis tanah terdiri dari aluvial dengan solum tanah yang dangkal (4 – 15 cm) dan drainase umumnya jelek. Keadaan perairan Taman Laut Sabang sangat jernih dengan tingkat kecerahan sekitar 3 – 15 m. Keanekaragaman hayati lautnya tergolong tinggi dengan batu karang yang bervariasi dalam keadaan baik dan utuh. Jenis karang yang dapat di Temui di Taman Wisata Laut Pulau Weh diantaranya adalah Karang meja (Acrophora sp.), Pocillopora vernicosa, Stylocoeniella armatra, Seriatopora hystrix, Stylophora pistillata dan Montopora socialis. Selain itu juga dapat ditemui jenis-jenis ikan hias diantaranya adalah Parrotfish (Scarus sp.), trumpetfish (Aulostomus chinensis), stingray (Manta sp.), Saddleback butterflyfish (Chaetodon falcula), Moorish idol (Zanclus cenescens) dan Zanclus corgurus.
99
pariwisata bahari yang dapat dilakukan di Taman Wisata Laut diantaranya adalah snorkling, diving, berenang serta berjemur. Obyek wisata yang berada dalam kawasan Taman Wisata diantaranya adalah : 1. Ujung Ba’u yang berjarak sekitar 10 km dari Iboih. Di lokasi ini terdapat Tugu Kilometer Nol Indonesia sebagai tanda ujung paling Barat Kepulauan Nusantara. 2. Pantai Long Angin yang berjarak sekitar 8 km dari Iboih. Panorama di pantai Long Angin terutama pada saat matahari terbenam sangat menarik untuk disaksikan. 3. Pulau Rubiah dan Pulau Seulako merupakan dua Pulau yang berada dalam Kawasan Taman Wisata Laut Pulau Weh. Di Pulau Rubiah terdapat jenis vegetasi dari formasi hutan pantai, bangunan bersejarah sisa pertahanan tentara Jepang, bekas karantina haji serta Makam Keramat Siti Rubiah. Potensi yang dapat menjadi obyek dan daya tarik wisata bahari yang ada di Kelurahan Iboih dapat dibagi dalam beberapa kelompok, diantaranya adalah : 1. Kenekaragaman Hayati Biota Laut Jenis flora yang dapat dijadikan obyek dan daya tarik pariwisata bahari diantaranya adalah jenis vegetasi penyusun formasi hutan mangrove yang terdiri dari Avicennia alba, Sonneratia sp. dan Rhyzophora sp., jenis vegetasi penyusun hutan pantai yang terdiri dari waru laut (Hibiscus tiliaceus), Pandan laut (Pandanus tectorius), Ketapang (Terminalia cattapa), Asam kandis (Tamarindus sp.) dan Keben (Baringtonia asiatica).
100
Jenis fauna yang dapat dijadikan obyek dan daya tarik pariwisata bahari diantaranya adalah berbagai jenis ikan hias yaitu Parrotfish (Scarus sp.), trumpetfish (Aulostomus chinensis), stingray (Manta sp.), Saddleback butterflyfish (Chaetodon falcula), Moorish idol (Zanclus cenescens) dan Zanclus corgurus. 2. Kelompok Keindahan Alam Beberapa keindahan alam di Kelurahan Iboih yang dapat dijadikan obyek dan daya tarik wisata alam diantaranya adalah : -
Pemandangan di Pantai Gapang
-
Pemandangan di Pantai Teupin Layeu
-
Pemandangan di Pantai Lheut/Lam Nibong
-
Pemandangan di sekitar bangunan Kilometer Nol
-
Pemandangan di Pantai Pulau Rubiah
3. Kelompok Keunikan Kelompok keunikan ini adalah merupakan obyek dan daya tarik wisata alam yang menjadi ciri khas dari Kelurahan Iboih yang tidak ada di tempat lain. Salah satu obyek wisata yang termasuk kelompok keunikan di Kelurahan Iboih adalah adanya sumur panas yang jaraknya dekat (sekitar 7 meter) dengan tepi pantai. 4. Kelompok Panorama Beberapa panorama di Kelurahan Iboih yang dapat dijadikan obyek dan daya tarik wisata alam diantaranya adalah : -
Sunset di Tugu Kilometer Nol Indonesia
-
Formasi karang di dasar Laut (Tempat penyelaman) Kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh (TWAL Pulau Weh)
merupakan salah satu obyek wisata yang cukup diminati pengunjung. Namun beberapa kompenen persyaratan menjadikan TWAL Pulau Weh sebagai potensi pariwisata bahari yang marketable belum terpenuhi. TWAL Pulau Weh masih mengandalkan potensi sumberdaya laut sebagai daya tarik wisata sedangkan atraksi lain yang berpotensi untuk dikembangkan seperti budaya masyarakat
101
lokal belum tergali dengan optimal. Penyediaan transportasi juga masih sangat minim, angkutan menuju kawasan pariwisata sangat jarang serta kondisi jalan yang rusak mengakibatkan aksesibilitas menuju lokasi pariwisata menjadi terganggu. Fasilitas pendukung yang tersedia di sekitar kawasan TWAL. Pulau Weh diantaranya tempat-tempat penginapan baik yang dikelola oleh masyarakat lokal maupun kerjasama antara swasta dan pemerintah. Pengunjung tidak akan kesulitan untuk mencari tempat penginapan karena harganya pun bervariasi dapat disesuaikan dengan kemampuan pengunjung. Selain tempat penginapan, fasilitas pendukung pariwisata di kawasan TWAL Pulau Weh terdiri restoran, warung, toko dan tempat penyewaan perlengkapan selam sehingga pelayanan yang dapat diberikan untuk pengunjung sudah cukup memadai. Sedangkan komponen promosi yang telah dilakukan diantaranya penyebaran leaflet-leaflet mengenai TWAL Pulau Weh sudah dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Sabang, informasi yang dapat digunakan oleh penunjung diantaranya informasi mengenai cara mencapai lokasi wisata, sarana transportasi yang tersedia dilengkapi dengan biayanya, tempat penginapan, restoran yang terdapat di kawasan pariwisata serta dilengkapi pula dengan peta lokasi. Leaflet-leaflet tersebut dapat ditemukan di bandara udara, kantor dinas pariwisata tingkat propinsi maupun di Kota Sabang serta tempat-tempat pelayanan wisata seperti tempat penyewaan alat selam dan hotel. Pendekatan pengembangan wisata bahari berkelanjutan sesuai tujuan tidak mengurangi kesejahteraan generasi masa yang akan datang. Dengan demikian sumberdaya pariwisata bahari akan berhasil dengan adanya ukuran keberhasilan mencakup kepuasan pengunjung, kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Secara harfiah pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan
yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan generasi yang akan datang. Pembangunan pariwisata bahari berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua aspek kehidupan. Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat mengacu
102
kepada upaya pemeliharaan sistem alam yang bertujuan untuk kesejateraan masyarakat. Kondisi Pengunjung TWAL Pulau Weh Pendataan jumlah pengunjung yang datang ke kawasan TWAL Pulau Weh sangat sulit untuk diperoleh karena belum ada instansi yang khusus untuk mendata jumlah pengunjung khusus ke kawasan TWAL Pulau Weh. Sehingga data kunjungan wisatawan yang digunakan dalam makalah ini adalah data pengunjung ke Kota Sabang dengan asumsi bahwa obyek lokasi di Kota Sabang yang paling utama adalah TWAL. Pulau Weh. Data pengunjung dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa pengunjung masih didominasi oleh wisatawan lokal , sedangkan wisatawan mancanegara hanya sekitar 2,8% dibandingkan dengan wisatawan nusantara. Jumlah kunjungan yang masih relatif sedikit ini dikarena belum adanya upaya promosi yang aktif ke tingkat internasional maupun regional, promosi yang telah dilakukan baru pada tingkat lokal saja. Pada tahun 2004 terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara yang cukup drastis hal ini dikarenakan faktor keamanan yang kurang kondusif di Nanggroe Aceh Darussalam serta adanya bencana alam Tsunami yang melanda pada akhir tahun 2004. Tabel 18. Jumlah Kunjungan Wisata ke Kota Sabang, Tahun 2000-2005 Jumlah Wisatawan Mancanegara
Jumlah Wisatawan Nusantara
No
Tahun
Total
1
2000
2,664
71,722
74,386
2
2001
3,725
87,217
90,942
3
2002
3,185
75,400
78,585
4
2003
1,659
81,532
83,191
5
2004
83
100,004
100,087
6 2005* Keterangan : *= data sampai dengan bulan Juni
754
30,378
31,132
103
Frekuensi tertinggi kunjungan wisatawan mancanegara dalam setahun umumnya dalam bulan Juni hingga Agustus, hal ini dikarenakan adanya liburan musim panas pada bulan tersebut. Wisatawan dari mancanegara
umumnya
berasal dari benua Eropa dan Amerika seperti Jerman, Canada, Italia, Inggris dan Belanda serta dari benua Asia seperti Jepang, Cina, Taiwan, Malaysia, Singapura dan Australia. Tujuan wisatawan yang datang untuk melihat keindahan alam bawah laut seperti terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut. Sedangkan kedatangan wisatawan nusantara cukup berfluktuatif dalam tiap bulannya, umumnya wisatawan nusantara berasal dari NAD sendiri maupun propinsi lainnya di Indonesia. Grafik perkembangan kunjungan wisata ke Kota
700 600
2000
500
2001
400
2002
300
2003 2004
200
2005
100
J Ag uli us Se tus pt em be r O kt ob N ov e r em b D es er em be r
M ei Ju ni
-
Ja nu a Fe r i br ua ri M ar et Ap ri l
Jumlah Wisatawan Mancanegara
Sabang dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Bulan
Gambar 12. Kunjungan Wisatawan Mancanegara per Bulan, Tahun 2000 – 2005
104
10,000 2000 8,000
2001 2002
6,000
2003 2004
4,000
2005 2,000
es D
ov N
O
kt
Se pt
Ju l Ag ts
M ei Ju n
M rt Ap ri l
Fe b
-
Ja n
Jumlah Wisatawan Nusantara
12,000
Bulan
Gambar 13. Kunjungan Wisatawan Nusantara per Bulan, Tahun 2000-2005 Respon Masyarakat Lokal Terhadap Pariwisata Bahari di TWAL Pulau Weh Pariwisata bahari pada hakekatnya adalah mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan laut sebagai daya tarik wisata. Dengan potensi yang demikian besar, agar pengembangan pariwisata, termasuk wisata
bahari,
memberikan
manfaat
bagi
pembangunan
maka
dalam
pelaksanaannya dibutuhkan strategi yang terencana dan sistematis bagi masyarakat lokal. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat lokal menjadi penting pula termasuk dalam kaitannya dengan upaya keberlanjutan pariwisata itu sendiri dalam hal perlindungan terhadap lingkungan maupun manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting agar upaya pengembangan pariwisata tidak hanya demi meningkatkan penerimaan daerah tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat terutama yang berada di daerah obyek wisata yang bersangkutan. Menurut
Lindberg dan Hawkins (1995) terdapat 3 alasan untuk
meningkatkan keuntungan bagi masyarakat setempat dengan berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata bahari yaitu :(1) Merupakan hal yang wajar apabila
konservasi
suatu
daerah
pariwisata
akan
meningkatkan
atau
menghilangkan pemanfaatan sumberdaya, (2) Apabila penduduk setempat dapat merasakan keuntungan dari adanya pariwisata bahari maka mereka akan
105
mendukung bahkan mereka harus melindungi daerah tersebut dari perusak, sebaliknya jika penduduk hanya merasakan kerugian saja maka mereka akan menentang pariwisata dan mungkin merusak potensi wisata yang ada dengan sengaja atau tidak; (3) Wisatawan sebagai konsumen umumnya mendukung pentingnya pariwisata yang menguntungkan penduduk setempat. Kesadaran masyarakat Kelurahan Iboih untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan pariwisata bahari di kawasan TWAL Pulau Weh merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Pasca terjadinya bencana tsunami yang melanda Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibutuhkan peran serta masyarakat untuk bersinergi bersama pemerintah untuk mempercepat pembangunan daerah dan mengejar ketertinggalan. Peran serta masyarakat di Kelurahan Iboih dalam aktivitas pariwisata bahari terlihat dari aktivitas usaha yang dilakukan oleh masyarakat sangat mendukung pariwisata. Aktivitas usaha tersebut diantaranya mengubah tempat tinggal sebagai tempat penginapan, membuka tempat-tempat penyewaan alat selam, renang, kapal wisata, warung makan maupun penjualan cinderamata. Toleransi antar umat beragama yang tinggi, sikap yang santun serta sikap ramah masyarakat merupakan pemicu berkembangnya kegiatan pariwisata bahari
TWAL Pulau Weh. Masyarakat
merespon positif aktivitas pariwisata selama tidak melanggar norma-norma dan aturan keagamaan
Kesimpulan dan Saran Pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan untuk kegiatan pariwisata bahari TWAL Pulau Weh didukung oleh potensi di wilayah pesisir dan lautan yang sangat besar diantaranya berupa keanekaragaman hayati biota lautnya seperti terumbu karang, berbagai jenis ikan hias, formasi hutan mangrove maupun adanya sumur panas ditepi pantai sangat menarik untuk dinikmati. Potensi ini merupakan keunggulan dalam pengembangan kegiatan pariwisata bahari. Masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan TWAL Pulau Weh yaitu masyarakat di Kelurahan Iboih merespon secara positif aktivitas pariwisata bahari di kawasan tersebut. Respon ini terlihat dari peran serta masyarakat
106
dalam pembangunan pariwisata bahari seperti melakukan usaha-usaha yang sangat
menunjang
pariwisata
bahari
misalnya
mendirikan
penginapan,
penyewaan alat selam, kapal wisata, mendirikan warung makan dan lain sebagainya. Artinya bahwa keberadaan aktivitas pariwisata bahari juga memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat di Kelurahan Iboih. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk pengembangan pariwisata bahari di sekitar kawasan TWAL Pulau Weh diantaranya adalah penguatan kelembagaan pengelola pariwisata bahari dimana selama ini pengelolaan aktif dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam Propinsi NAD namun baru dari aspek sumberdaya saja sedangkan pengelolaan pariwisata bahari secara khusus masih sangat minim; pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana transportasi (jalan dan angkutan kendaraan menuju objek wisata); pembangunan dan pembenahan sarana pendukung (hotel, restoran/rumah makan dan sarana lainnya); dan peningkatan promosi melalui media cetak maupun elektronik misalnya promosi melalui internet yang yang dapat diakses di seluruh penjuru dunia, pemasangan papan reklame maupun media lainnya.
4.6. Bahan Tulisan Ilmiah Analisis Kebijakan Judul : Upaya Penyelesaian Permasalahan Untuk Peningkatan Pendapatan Masyarkat Petambak Garam Rakyat di Sumenep Pendahuluan Garam merupakan salah satu kebutuhan
sebagai pelengkap dari
kebutuhan pangan dan sebagai sumber elektrolit bagi tubuh manusia. Walaupun Indonesia termasuk negara maritim, namun usaha meningkatkan produksi garam belum diminati, termasuk dalam usaha meningkatkan kualitasnya. Di lain pihak kebutuhan garam dengan kualitas baik tidak dapat dihasilkan dari penggaraman rakyat sehingga banyak di impor dari luar negeri. Sebagai negara tropis dan memiliki garis pantai yang mencapai 81.000 kilometer. Indonesia memiliki potensi besar sebagai penghasil garam dan secara mandiri diharapkan dapat memenuhi kebutuhan garam nasional baik untuk
107
kebutuhan konsumsi maupun industri. Kenyataan menunjukkan bahwa produksi garam nasional masih sangat rendah. Selain kondisi iklim yang tidak menguntungkan untuk pengembangan
usaha garam, kepemilikan
areal
petambak garam di Indonesia masih sempit serta pengusahaan garam umumnya dilakukan secara tradisional. Akibatnya tingkat produksi garam rendah, kualitas garam tidak sesuai standar dengan kandungan yodium (Saad, 2004). Saat ini produksi garam nasional baru mencapai 1,1 juta ton per tahun atau 0,48% dari kapsitas dunia sebesar 230 juta ton. Sementara kebutuhan nasional sebesar 2,5 – 2,7 juta ton per tahun yang digunakan keperluan konsumsi 1 juta ton, sedangkan 1,5 – 1,7 juta ton untuk industri (Bali Pos, 2006), dan sisanya 1,4 juta ton dipenuhi melalui impor dari Australia dan India (Apriliani dan Yulisti, 2007). Dengan demikian, terlihat bahwa usaha garam rakyak
di Indonesia
sampai saat ini dirasakan masih belum diperhatikan secara serious oleh pemerintah, dan akibatnya belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan garam domestik. Hal ini misalnya terlihat pula jika dilihat dari luas lahan penggaraman rakyat
sebesar 25.542 Ha dari
keseluruhan 30.658 Ha lahan penggaraman, prouksinya hanya 40 ton/Ha/tahun, sedangkan PT. Garam dapat memproduksi garam sebesar 60 ton/Ha/tahun (PT. Garam Persero, 2000). Banyaknya permasalahan dalam pengelolaan usaha penggaraman sangat mempengaruhi terhadap produktivitas dan kualitas garam yang dihasilkan. Permasalahan tersebut dapat saja dilihat dari berbagai aspek, misalnya aspek sosial (kepemilikan lahan dan sistem bagi hasil yang sampai saat ini belum menguntungkan petambak garam). Disamping itu, jika dilihat dari aspek ekonomi (tataniaga garam), dan tidak kalah pentingnya juga aspek teknis (mutu garam yang dihasilkan rendah). Kesemuanya ini, memerlukan langkahlangkah yang konkrit untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan yang terjadi harus segera dituntaskan sehingga petambak garam dapat menikmati keuntungan dari usahanya secara wajar.
108
Hasil Riset dan Kajian Tentang Usaha Tambak Garam Rakyat Sistem Bagi Hasil Ada beberapa status sosial kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan lahan tambak garam yaitu
(a), pemilik
(b), pemilik merangkap sebagai
penggarap (c), penggarap dengan kemitraan, (d), penggarap dengan sistim sewa. Dalam pengelolaan lahan tambak garam terdapat beberapa cara pengupahan salah satunya
dengan sistim bagi hasil. Sistim bagi hasil yang
berlaku di desa Pinggir Papas, Sumenep didasarkan pada adat kebiasaan masyarakat setempat yang telah disepakati bersama antara pemilik dan penggarap. Ada beberapa sistim bagi hasil dalam pengelolaan lahan tambak yaitu untuk lahan tambak garam yang sudah jadi (lama diusahakan), sistim bagi hasil yang berlaku antara pemilik dan penggarap dibagi 3 bagian yaitu pemilik 2 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih. Sementara, untuk lahan yang masih baru diusahakan menjadi lahan tambak garam, sistim bagi hasil yang berlaku antara pemilik dan penggarap di bagi 2 bagian yaitu pemilik 1 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih. Dalam sistim bagi hasil yang terjadi, hasil kotor yang diperoleh dalam setiap penjualan produksi garam dipotong biaya retribusi sebesar Rp.12.000,per ton, kemudian diikuti pemotongan biaya pengangkutan dan biaya pengarungan masing-masing
sebesar Rp.5.000,- per ton. Setelah dikurangi
dengan biaya-biaya tersebut maka diperoleh hasil bersih yang nantinya dibagi antara pemilik 2 bagian dan penggarap 1 bagian. Begitu pula yang terjadi pada sistim bagi hasil untuk lahan tambak garam yang baru diusahakan, dimana pemilik 1 bagian dan penggarap 1 bagian. Pelaksanaan sistim bagi hasil yang ada dilakukan tanpa tertulis dan hanya didasarkan pada adat kebiasaan serta kesepakatan bersama.antara pemilik dengan penggarap. Pelaksanaan sistim bagi hasil seperti ini tidak menjamin atas kelangsungan dan keberlanjutan dari sistim bagi hasil, yang ada bahkan dapat terjadi pemutusan hubungan sepihak. Di satu pihak pemilik apabila merasa tidak puas terhadap hasil yang diperolehnya atau penggarap dianggap kurang memuaskan maka pemilik dapat menggantinya dengan penggarap yang baru.
109
Sebaliknya apabila penggarap merasa tidak ada kesesuaian dengan pemilik maka penggarap dapat dengan mudah tidak melanjutkan usahanya sebagai penggarap. Hal ini bisa terjadi pada saat memasuki musim garam, dimana penggarap dengan mudah berpindah ke pemilik satu ke pemilik yang lain. Dengan demikian sistim bagi hasil yang biasa dilakukan antara pemilik dan penggarap tidak memiliki kepastian hukum, karena tidak adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan sistim bagi hasil yang telah di sepakati bersama. Untuk
dapat
memberi
jaminan
dan
kepastian
hukum
terhadap
pelaksanaan sistim bagi hasil dalam pengelolaan lahan tambak garam, maka sangat diperlukan adanya suatu ketetapan payung hukum yang mengatur pelaksanan sistim bagi hasil baik di tingkat desa maupun di tingkat kabupaten (Peraturan Desa/Perdes) atau Peraturan Daerah /Perda), sebagai upaya untuk meformalkan pelaksanaan sistim bagi hasil yang ada, walaupun usulan ini masih memerlukan kajian lebih lanjut dan mendalam. Pemasaran Garam Produk garam yang dihasilkan petani tambak garam di desa Pinggirpapas berupa garam curah yang pada umumnya tergolong kwalitas P dan M ( P = Putih dan M = Merah), kwalitas tersebut tergolong mutu kelas II. Karena didalam proses panen tidak ada perlakuan khusus. Garam yang telah siap panen langsung dipanen seluruhnya tanpa ada pemisahan sebelumnya. Dalam pemasaran hasil, petani bebas memasarkannya ke beberapa perusahaan garam yang ada di Madura maupun yang ada di Surabaya.dan Gresik Ada beberapa perusahaan yang biasanya membeli hasil garam rakyat yaitu PT. Budiono, PT. Pilar Raya, PT. Garindo, PT. Garam (Sumenep), PT. Elista (Gresik) dan PT. Susanti (Surabaya). Dalam pemasaran hasil petani harus melalui pedagang pengumpul yang terdapat di dalam desa, hal ini dilakukan karena bila petani yang menjual sendiri harus mengeluarkan biaya angkut dan biaya pengarungan. Begitu pula apabila menjual ke PT. Garam yang harus melalui koperasi. Dalam pemasaran hasil, garam dijual ke perusahaan garam harus melalui pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul ini yang memasarkan garam ke
110
perusahaan yang terdapat di Sumenep, namun apabila produksi berlebih sehinga perusahaan yang ada di Sumenep tidak bisa lagi menampung produksi garam maka pedagang pengumpul memasarkannya ke perusahaan lain yang berada di luar Sumenep seperti ke Surabaya dan Gresik. Dalam pemasaran garam ini pedagang pengumpul mendapatkan komisi sebesar Rp. 10.000,setiap ton, komisi tersebut diberikan petani pada setiap ton garam yang telah dipasarkan. Di desa Pinggir Papas terdapat sebanyak 15 orang pedagang pengumpul. Lain halnya apabila garam dipasarkan ke perusahaan PT. Budiono, perusahaan telah menetapkan aturan perusahaan bahwa setiap hasil penjualan garam diharuskan petani menerima pembayaran berupa rokok dimana pada saat musim garam 5 % dan pada tidak musim garam 10 % dibayarkan dengan rokok cap PENAMAS, yang merupakan produksi dari perusahaan PT.Budiono. Ketentuan ini berlaku sejak tahun 2003 sampai sekarang. Adanya aturan tersebut sesungguhnya sangat memberatkan petani, namun karena sebagian besar pedagang pengumpul yang ada telah berkerjasama dengan PT. Budiono maka petani tidak punya pilihan lain maka petani dengan pasrah menerimanya. Petani yang akan memasarkan garamnya ke PT.Garam tetap harus lewat pedagang pengumpul yang melakukannya melalui Koperasi PT. Garam. Namun garam yang dipasarkan ke PT. Garam harun memiliki kualitas mutu yang telah ditetapkan PT. Garam dimana kwalitasnya merupakan garam super premium. Dalam menentukan pembelian garam, PT. Garam memiliki standar mutu tersediri yaitu super premium dan premium. Standart mutu ini sangat jarang dihasilkan petani garam karena untuk mendapatkan garam dengan kualitas tersebut, petani harus melakukan perlakuan khusus yang tidak mungkin pernah dipenuhi petani garam.Petani tidak mungkin menghasilkan kualitas demikian karena petani ingin dengan cepat untuk mendapatkan penghasilan. Pada saat penelitian dilakukan harga garam sebesar Rp.160.000,- / ton untuk kualitas P dan M, sedangkan untuk standar PT. Garam mencapai Rp. 220.000,- / ton. Harga garam ini dianggap masih rendah, harga garam pernah mencapai puncaknya ketika masih ada pengembangan Stok Nasional Garam pada tahun 1990 an dan harga
111
sempat mencapai Rp. 400.000 – Rp. 500.000 / ton. Tingginya harga garam tersebut karena harga garam ditetapkan oleh pemerintah. Namun sejak berakhirnya program tersebut maka harga garam kembali dilepas sesuai harga pasar .
Permasalahan Pengelolaan Lahan Tambak Garam Dalam pengelolaan lahan tambak garam di desa Pinggir Papas masih terdapat berbagai masalah tidak hanya dari aspek teknis melainkan juga dari aspek sosial dan ekonomi. Permasalahan tersebut terus menjadi sesuatu yang berkepanjangan dapat mengganggu proses produksi dimana dalam jangka panjang apabila tidak segera diatasi dapat mempengaruhi terhadap ke tentraman petani garam dan kesejahteraan petani garam. Aspek Sosial. Permasalahan aspek sosial yang muncul sejak berdirinya Yayasan Tanah Leluhur (YTL) tahun 1999, sampai sekarang adanya tuntutan dari sebagian petani tambak garam yang meminta kembali hak untuk menggarap lahannya yang dahulu di kerjasamakan dengan pihak pemerintah Belanda sekitar tahun 1936. Namun adanya kerjasama ini tidak memiliki bukti yang kuat hanya didasarkan pada keterangan para pini sepuh masyarakat di desa Pinggir Papas.
Menurut keterangan pengurus Yayasan Tanah Leluhur
kerjasama
tersebut berlangsung selama 50 tahun, namun sejak Indonesia merdeka terjadi nasionalisasi perusahaan maka semua aset-aset perusahaan milik Belanda beralih menjadi milik pemerintah Republik Indonesia termasuk aset PN.Garam beserta semua lahan tambak garam.yang dikelolanya. Permasalahan tersebut terus berkembang, bahkan masyarakat yang tergabung dalam Yayasan Tanah Leluhur penuntut pemerintah melalui PT.Garam untuk mengembalikan lahan yang sekarang sudah dikuasai negara dibawah pengelolaan PT. Garam, namun PT.Garam tidak pernah memberikan hak garap karena menganggap apapun yang dituntut petani tambak garam di Pinggirpapas yang tergabung dalam Yayasan Tanah Leluhur (YTL) tidak pernah ada, karena secara hukum semua aset milik Belanda secara otomatis menjadi milik Negara Republik Indonesia. (PT. Garam). Berdasarkan hal tersebut, YTL tetap membawa permasalahan ini
112
sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta dan ditanggapi Komisi II sehingga pada tanggal 27 September 2006 DPR telah memanggil YTL, PT. Garam dan Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk melakukan rapat dengar pendapat mengenai permasalahan tersebut. Hasil dengar pendapat dengan DPR memutuskan bahwa petani tambak tidak mepunyai hak lagi atas lahan tambak garam yang dulunya dikerjasamakan dengan pemerintah Belanda, namun petani tambak garam yang tergabung dalam YTL diberi hak pengelolaan lahan tambak garam, namun sampai saat ini tidak semua petani tambak garam yang tergabung dalam YTL sudah mendapatkan hak garam lahan tambak garam hanya sebagain kecil yang telah mendapatkan hak garap. Hasil ini YTL masih menganggap PT. Garam belum melaksanakan apa yang telah menjadi keputusan di DPR dan terusakan memperjuangkan hak ini sampai semua tuntutan dipenuhi oleh PT. Garam. Tampaknya permasalahan ini masih akan berbuntut panjang, karena sampai saat ini PT. Garam menganggap tanah tersebut sudah dibeli oleh PT. Garam dalam program modernisasi garam rakyat tahun 1973 yang disertai dengan bukti –bukti otentik dan sangat kuat berupa tanda bukti jual beli, bahkan tahun 1986 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep telah mengeluarkan sertifikat atas lahan tambak garam tersebut manjadi milik PT.Garam. Akibat BPN Sumenep telah mengeluarkan sertifikat tersebut sekarang BPN Sumenep dituntut oleh YTL atas keluarnya sertifikat tersebut. Tampaknya permasalahan ini akan terus berlangsung sampai ada kesepakatan bersama antara petani tambak garam yang bergabung dalam YTL dengan PT. Garam. Adanya permasalahan ini negara dalam hal ini PT. Garam sangat dirugikan, karena mendapat gangguan dari petani tambak garam yang tergabung dalam YTL yang berupa gangguan terhadap fasilitas milik PT.Garam, sehingga berakibat dalam pencapaian target produksi yang telah ditetapkan . Aspek Ekonomi. Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan lahan tambak garam tidak hanya permasalahan aspek sosial dan teknis, dari aspek ekonomipun terdapat permasalahan dimana petani menganggap perlunya ada soslusi sehingga petani tidak merasa dirugikan. Adapun permasalahan tersebut
113
antara lain adalah harga yang berlaku oleh petani dianggap tidak memihak ke petani tambak
garam karena dianggap masih terlalu rendah. Saat ini harga
garam sebesar Rp. 160.000,- / ton. Miskipun harga yang berlaku dilepas ke pasaran namun perusahaan garam yang menentukan. Bahkan ada perusahaaan yang membuat ketentuan pembayaran harga garam dibayar sebagian dengan hasil produk lainnya dari perusahaan tersebut seperti rokok yang berkisar antara 5 – 10 %. Ketentuan ini sangat memberatkan petani, namun karena ini telah merupakan ketentuan dari perusahaan maka petani tidak berdaya menghadapi kondisi ini. Peranan lembaga – lembaga yang menaungi petani garam tidak dapat menunjukkan perannya untuk menstabilkan harga garam. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar pengurus lembaga tersebut merangkap sebagai pengumpul garam dari perusahaan. Kemudian, petani garam tidak dapat menjual langsung ke perusahaan dan harus melalui pedagang pengumpul dimana setiap ton pedagang pengumpul mendapatkan komisi sebesar Rp. 10.000,- / ton., ketentuan ini sudah berlangsung lama. Miskipun adanya ketentuan demikian, petani tidak harus menanggung biaya karung dan pengangkutan ke perusahaan yang dituju, untuk karung yang berwarna biru Rp.1.700,- dan warna putih Rp.1.000,- dengan ukuran 50 kg.per buah. Aspek Teknis. Dalam
teknis pembuatan garam khususnya
yang
dilakukan petani garam rakyat terdapat permasalahan khususnya dalam pembuatan garam yang memenuhi kualitas super premium yang menjadi standart mutu PT. Garam. Garam yang dihasilkan petani tambak
garam
maksimum hanya memliki kualitas mutu P = putih dan M = merah. Sedangkan untuk memenuhi kualitas mutu super premium yang ditetapkan PT. Garam, petani merasa kesulitan. Hal ini disebabkan untuk mendapatkan mutu tersebut diperlukan perlakuan khusus sejak lahan tambak garam dipersiapkan untuk pembuatan garam diantaranya adalah (a), lahan tambak garam jangan sekalikali ditanami budidaya ikan karena apabila ditanami ikan maka lahan tambak garam tersebut yang siap untuk dijadikan tambak garam akan menjadi rusak, yang berakibat mempengaruhi terhadap mutu garam yang dihasilkan. Kemudian, (b), pada saat pemanenan garam yang diambil dari lahan tambak adalah garam
114
yang sudah memiliki waktu penjemuran yang lama, sejak terbentuknya garam dilahan tambak, biasanya garam diambil setelah 10-20 hari dari waktu pemanenan yang biasanya dilakukan petani. Garam yang diambil hanya begian atasnya saja tidak langsung ke dasar tambak.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Dalam pengelolaan lahan tambak garam terdapat permasalahan yang memerlukan penanganan secara cepat untuk menuntaskannya. Adanya sengketa lahan tambak garam yang sampai saat ini masih berlangsung memerlukan intervensi pemerintah, sehingga ditemukan win-win solution yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Keterlibatan LSM yang mengatas namakan petambak garam perlu dihindari, lebih baik melibatkan langsung petambak garam daam mencari sulusi atas sengketa lahan. Sistim
bagi
hasil
yang
beragam
dan
dilakukan
secara
adat
ataskesepakatan bersama, tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Untuk itu diperlukan sistim bagi hasil yang saling menguntungkan yang ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah. Disamping itu, tataniaga garam yang ditentukan secara sepihak oleh pengusaha garam sangat merugikan petambak garam, karena harga garam yang diterima petambak selalu rendah bahkan dibawah harga yang telah ditetapkan pemerintah berdasakan Peraturan Menteri Perdagangan No.20/2005. Untuk itu sangat diperlukan untuk dapat membentuk tim independen yang tugasnya mengawasi sekaligus memastikan realisasi aturan main harga garam di tingkat rakyat petambak garam. Mutu garam yang dihasilkan petambak garam selalu rendah, untuk itu diperlukan kegiatan pedampingan teknis pembuatan garam yang bertujuan untuk meningkatkan pengetauan petambak garam. Hal ini antara lain adalah agar dapat meningkatkan produksi garam melalui pengolahan lahan tambak garam, sehingga
menghasilkan
garam
berkualitas.
Peranan
pemerintah
sangat
diperlukan, baik dari Departemen Peindustrian, Departemen Kelautan dan Perikanan
maupun
instansi
lain
sangat
diperlukan
utuk
memberikan
pendampingan.
115
Tabel 19. Upaya Penyelesaian
Pemasalahan Untuk Peningkatn Pendapatan
Masyarakat Petambak Garam di Sumenep. Isu
Garam
Deskripsi Singkat Pokok
Anaisis dan
Masalah
Rekomendasi
merupakan Walaupun
Indonesia Usaha garam rakyat di
salah satu kebutuhan termasuk negara maritim Indonesia sampai saat sebagai pelengkap dari namun
usaha ini dirasakan
kebutuhan pangan dan meningkatkan
produksi belum
sebagai
diminati, secara
elektrolit
sumebr garam bagi
manusia
belum
tubuh termasuk
kualitasnya.
serius
engan
baik
tidak
oleh dan
akibatnya belum dapat
Kebutuhan memberikan
garam
konribusi
kualitas yang signifikan terhadap dapat pemenuhan
dihasilkan
kebutuhan
dari domestik. Hal ini terlihat
pegaraman sehingga
diperhatikan
dalam pemerintah,
usahameningkatkan
masih
rakyat, dari banyak
import dar luar negeri.
luas
di pegaraman
lahan rakyat
sebesar 25.542 Ha dari keseluruhan 30.658 Ha lahan
pegaraman,
produskinya hanya 40 ton/
Ha/tahun,
sedangkan PT Garam dapat me,produski garm hanya 60 ton/ Ha/ tahun Sebagai negara tropis Kenyataan menunjukkan Banyaknya yang
memiliki
garis bahwa produksi garam permaslahan
dalam
pantai yang mencapai nasional
masih
sangat pengelolaan
usaha
81.000 km. Indonesia rendah.
Selain
kondisi pegaraman
rakyat
memiliki potensi besar iklim yang sangat tidak sangat sbagai penghasil garam mengntungkan
untuk terhadap
mempengaruhi produktivitas
116
dan
secara
diharapkan memnuhi nasional
mandiri pengembangan
dapat garam kepemilikan areal dihasilkan. kebutuhan tambak baik
garam
di Permasaahan
untuk Indonesia masih sempit dapat
garam konsumsi dan serta industri
usaha dan kalitas garam yang
tersebut
dilihat
dari
pengushaannya berbagai
dilakukan
aspek,
secara misalnya aspek sosial
tradisional.
Akibatnya (kepemilikan lahan dan
tingkat produski garam sistem bagi hasil yng rendah, kualitas garam sampai saat ini belum yang
dihasilkan
sesuai
dengan
tidak menguntungkan yang petambak garam)
diharapkan.
Disamping itu, jika diihat
Saatini produksi garam dari
aspek
ekonomi
nasional baru mencapai (tataniaga garam), dan 1,1 juta ton / tahun atau tidak kalah pentingnya 0,48
%
dari
kapsitas juga dari aspek teknis
dunia sebesar 230 juta (mutu ton. kebutuhan
garam).
Sementara Kesmuanya
itu
nasional memerlukan
langkah-
sebesar 2,5 – 2,7 juta ton langkah yang kongkrit / tahun yang digunakan untuk keperluan
konsumsi
mengatasi
1 permasalahan tersebut.
juta ton, sedangkan 1,7 Permaslahan juta ton untuk industri. terjadi Untuk
memnuhi dituntaskan
kebutuhan sisanya
harus
di
yang segra sehingga
tersebut petambak garam dapat impor
Australia dan China.
dari menikmati
keuntungan
dari usahanya secara wajar. Implikasi kebijakan yang perlu
segera
diambil
117
antara
lin
adalah
penyelesaian
sengketa
kepemilikan
lahan,
pnetapan standar bagi hasil antara pemilik dan penggarap, sistim
sewa
termasuk yang
menguntungkankedua belah pihak . Kemudian penetapan harga dasar garam mutu
dan perbaikan garam
ditingkat
rakyat.
4.7. Kajian Awal Nilai Tukar Nelayan Melalui Pendekatan Rasio Pendapatan dan Pengeluaran (RPP) pada Usaha Petambak Garam. Sebagai negara tropis yang memiliki musim kemarau yang panjang merupakan suatu anugerah yang tidak ternilai, dimana pada musim tersebut sebagian masyarakat pesisir memanfaatkan lahannya untuk memproduksi garam
Potensi lahan garam
Indonesia tersebar diwilayah Indonesia yang
memiliki bulan musim kemarau yang panjang seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, NTT, NTB dan Sulawesi Selatan. Produksi garam yang dihasilan oleh garam rakyat saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan nasional baik untuk konsumsi maupun untuk industri. Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah melakukan import garam dari negara-negara penghasil garam terbesar di dunia seperti India dan China. Untuk mengatasi kekurangan kebutuhan garam maka pemerintah melalui PT. Garam melakukan upaya untuk meningkatkan produksi melalui beberapa kebijakan diantaranya program modernisasi lahan tambak garam maupun
118
program peningkatan stok nasional garam, tapi itupun masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Untuk mengetahui perbandingan pendapatan dan pengeluaran petambak garam dan berbagai permasalahannya maka tulisan ini dilakukan.
Tabel 20. Rasio Pendapatan dan Pengeluaran Petambak Garam di Sumenep. Tipologi Garam
Pendapatan Primer
Sekunder
Pemilik
13.100.000 4.600.000
Penggarap
6.650.000
Pengeluaran
RPP
Pangan
Non Pangan
5.617.392
7.934.011
1,3
5.289.340
0,9
1.533.000 3.744.929
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa nilai RPP petambak tambak garam di Sumenep untuk pemilik 1,3 dan penggarap 0,9. Nilai tersebut masih tergolong rendah yang menyebabkan pemilik ataupun penggarap tidak dapat hidup yang layak unuk dapat memenuhi kebutuhannya. Kecilnya nilai RPP bagi pembudidaya garam adanya permasalahan dalam pengeolaan garam yang berpengaruh terhadap hasil pendapatan yang diperoleh.
Permasalahan Pengelolaan Lahan Tambak Garam Dalam pengelolaan lahan tambak garam di desa Pinggir Papas masih terdapat berbagai masalah tidak hanya dari aspek teknis melainkan juga dari aspek sosial dan ekonomi. Permasalahan tersebut terus menjadi sesuatu yang berkepanjangan dapat mengganggu proses produksi dimana dalam jangka panjang apabila tidak segera diatasi dapat mempengaruhi terhadap ke tentraman petani garam dan kesejahteraan petani garam.
119
a. Aspek Sosial Permasalahan sosial yang muncul sejak berdirinya Yayasan Tanah Leluhur (YTL) tahun 1999, sampai sekarang adanya tuntutan dari sebagian petani tambak garam yang meminta kembali hak untuk menggarap lahannya yang dahulu di kerjasamakan dengan pihak pemerintah Belanda sekitar tahun 1936. Namun adanya kerjasama ini tidak memiliki bukti yang kuat hanya didasarkan pada keterangan para pini sepuh masyarakat di desa Pinggir Papas. Menurut keterangan pengurus Yayasan Tanah Leluhur
kerjasama tersebut
berlangsung selama 50 tahun, namun sejak Indonesia merdeka terjadi nasionalisasi perusahaan maka semua aset-aset perusahaan milik Belanda beralih menjadi milik pemerintah Republik Indonesia termasuk aset PN.Garam beserta semua lahan tambak garam.yang dikelolanya. Permasalahan tersebut terus berkembang, bahkan masyarakat yang tergabung dalam Yayasan Tanah Leluhur menuntut pemerintah melalui PT.Garam untuk mengembalikan lahan yang sekarang sudah dikuasai negara dibawah pengelolaan PT. Garam, namun PT.Garam tidak pernah memberikan hak garap karena menganggap apapun yang dituntut petambak garam tidak pernah ada, karena secara hukum semua aset milik Belanda secara otomatis menjadi milik Negara Republik Indonesia. (PT. Garam). Berdasarkan hal tersebut, YTL tetap membawa permasalahan ini sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta dan ditanggapi Komisi II sehingga pada tanggal 27 September 2006 DPR telah memanggil YTL, PT. Garam dan Pemerintah
Kabupaten Sumenep untuk melakukan rapat dengar pendapat
mengenai permasalahan tersebut. Hasil
dengar pendapat dengan DPR
memutuskan bahwa petani tambak tidak mepunyai hak lagi atas lahan tambak garam yang dulunya dikerjasamakan dengan pemerintah Belanda, namun petani tambak garam yang tergabung dalam YTL diberi hak pengelolaan lahan tambak garam. Namun demikian sampai saat ini tidak semua petani tambak garam yang tergabung dalam YTL sudah mendapatkan hak garap lahan tambak garam hanya sebagain kecil yang telah mendapatkan hak garap. Hasil ini YTL masih menganggap PT. Garam belum melaksanakan apa yang telah menjadi
120
keputusan di DPR dan terus akan memperjuangkan hak ini sampai semua tuntutan dipenuhi oleh PT. Garam. Tampaknya permasalahan ini masih akan berbuntut panjang, karena sampai saat ini PT. Garam menganggap tanah tersebut sudah dibeli oleh PT. Garam
dalam program modernisasi garam rakyat tahun 1973 yang disertai
dengan bukti –bukti otentik dan sangat kuat berupa tanda bukti jual beli, bahkan tahun 1986 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep telah mengeluarkan sertifikat atas lahan tambak garam tersebut manjadi milik PT.Garam. Akibat BPN Sumenep telah mengeluarkan sertifikat tersebut sekarang BPN Sumenep dituntut oleh YTL atas keluarnya sertifikat tersebut. Tampaknya permasalahan ini akan terus berlangsung sampai ada kesepakatan bersama antara petani tambak garam yang bergabung dalam YTL dengan PT. Garam. Adanya permasalahan ini negara dalam hal ini PT. Garam sangat dirugikan, karena mendapat gangguan dari petani tambak garam yang tergabung dalam YTL yang berupa gangguan terhadap fasilitas milik PT.Garam, sehingga berakibat dalam pencapaian target produksi yang telah ditetapkan .
b. Aspek Ekonomi Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan lahan tambak garam tidak hanya permasalahan aspek sosial dan teknis, dari aspek ekonomipun terdapat permasalahan dimana petani menganggap perlunya ada soslusi sehingga petani tidak merasa dirugikan. Adapun permasalahan tersebut antara lain adalah : (a), harga yang berlaku oleh petani dianggap tidak memihak ke petani tambak
garam karena dianggap masih terlalu rendah. Saat ini harga
garam sebesar Rp. 160.000,- / ton. Miskipun harga yang berlaku dilepas ke pasaran namun perusahaan garam yang menentukan. Bahkan ada perusahaaan yang membuat ketentuan pembayaran harga garam dibayar sebagian dengan hasil produk lainnya dari perusahaan tersebut seperti rokok yang berkisar antara 5 – 10 %. Ketentuan ini sangat memberatkan petani, namun karena ini telah merupakan ketentuan dari perusahaan maka petani tidak berdaya
121
menghadapi kondisi ini. Peranan lembaga – lembaga yang menaungi petani garam tidak dapat menunjukkan perannya untuk menstabilkan harga garam. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar pengurus lembaga
tersebut
merangkap
sebagai
pengumpul
garam
dari
perusahaan. (b), petani garam tidak dapat menjual langsung ke perusahaan dan harus melalui pedagang pengumpul dimana setiap ton pedagang pengumpul mendapatkan komisi sebesar Rp. 10.000,- / ton., ketentuan ini sudah berlangsung lama. Miskipun adanya ketentuan demikian, petani tidak harus menanggung biaya karung dan pengangkutan ke perusahaan yang dituju, untuk karung yang berwarna biru Rp.1.700,- dan warna putih Rp.1.000,- dengan ukuran 50 kg.per buah. Permasalahan tersebut diatas untuk segara dicarikan solusinya agar supaya permasalahan tersebut dapat diatasi dengan segera agar supaya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan petani tambak garam di desa Pinggir Papas khususnya dan petani garam umumnya.
d. Aspek Teknis
Dalam teknis pembuatan garam khususnya yang dilakukan petani garam rakyat terdapat permasalahan khususnya dalam pembuatan garam yang memenuhi kualitas super premium yang menjadi standart mutu PT. Garam. Garam yang dihasilkan petani tambak garam maksimum hanya memliki kualitas mutu P = putih dan M = merah. Sedangkan untuk memenuhi kualitas mutu super premium yang ditetapkan PT. Garam, petani merasa kesulitan. Hal ini disebabkan untuk mendapatkan mutu tersebut diperlukan perlakuan khusus sejak lahan tambak garam dipersiapkan untuk pembuatan garam diantaranya adalah : (a), lahan tambak garam jangan sekali-kali ditanami budidaya ikan karena apabila ditanami ikan maka lahan tambak garam tersebut yang siap
122
untuk dijadikan tambak garam akan menjadi rusak, yang berakibat mempengaruhi terhadap mutu garam yang dihasilkan. (b), pada saat pemanenan garam yang diambil dari lahan tambak adalah garam yang sudah memiliki waktu penjemuran yang lama, sejak terbentuknya garam dilahan tambak, biasanya garam diambil setelah 10-20 hari dari waktu pemanenan yang biasanya dilakukan petani. Garam yang diambil hanya bagian atasnya saja tidak langsung ke dasar tambak.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Rasio pendapatan dan pengeluaran untuk pemilik 1,3 dan penggarap 0,9, yang berarti bahwa dengan nilai rasio tersebut belum bisa mencukupi untuk kebutuhan hidup keluarganya.yang layak. Untuk itu perlu adanya peningkatan pendapatan melalui perbaikan mutu garam yang dihasilkan.Disamping itu adanya mata pencaharian alternatif yang dapat membantu petanbak garam sangatlah perlu diprtimbankan.
2. Sistim bagi hasil yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan masyarakat setempat dan tanpa dilakukan secara tertulis, sehingga memiliki kedudukan hukum sangat lemah. Untuk itu
diperlukan suatu aturan yang jelas yang
mengatur sistim bagi hasil sehingga memiliki kekuatan hukum dan saling menguntungkan kedua belah pihak seperti peraturan daerah (Perda).
3. Pemasaran produksi garam harus melalui pedagang pengumpul yang merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan garam. Dalam pemasaran garam, biaya pengangkutan maupun biaya pengarungan ditanggung perusahaan. Umumnya garam yang dipasarkan merupakan garam rakyat yang memiliki kualitas kelas dua yaitu P dan M. Produksi garam yang dihasilkan petambak tidak pernah menghasilkan garam kelas satu yaitu super premium.
123
4. Didalam pengelolaan usaha tambak garam terdapat beberapa permasalahan sosial, teknis dan ekonomi yang memerlukan penanganan dengan cepat dan segera untuk mencarikan solusinya agar supaya terhindar dari permasalahan yang berkepanjangan. Untuk itu sangat diperlukan perhatian bersama diantara kelembagaan yang terkait diantaranya PT. Garam, Pemeritah Kabupaten dan beberapa LSM (Garam) untuk bersama-sama mengatasi permasalahan tersebut. 5. Adanya harga garam yang rendah dan ditentuka perusahaan garam sehingga tidak memihak pada petambak garam maka harga garam yang ditetapkan pemerintah perlu dipertibangkan.
124
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
V.l. Kesimplan
Kajian produk kelautan memiliki 2 tipe ekologi yang bebeda yaitu ekologi wisata bahari dan garam. Berdasarkan hasil survei pada wisata bahari meni jukan bahwa paparan tentang potesi wisata bahari Karimunjawa pada intinya ingin meperlihatkan bahwa sumberdaya laut yang terdapat di Kepulauan Karimunjawa tidak hanya dapat diandalkan untuk kegiatan kenelayanan. Potensi wisata berbasis bahari dan daya tarik pendukung lainnya seperti budaya sangat potensial untuk dikembangkan di Karimunjawa. Upaya ini kiranya dapat dikembangkan melalui ekowisata yang diharapkan akan semakin memberian peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat tidak hanya menjadi objek
namun justru menjadi subjek dari kegiatan wisata itu sendiri.
Dukungan dan kerjasama serta betuk-bentuk kemitraan
dengan berbagai
stakeholder menjadi kunci penting bagi keberhasilan pengembangan wisata bahari Karimunjawa, sehingga mungkin pengembangan wisata yang bebasis bahari dapat erlangsung di Karimunjawa. Hasil
monitoring
petambak
garam
menunjukan
bahwa
apabila
dibandigkan usaha tambak garam di Sumenep antara tahun 2007 dan 2008 ada peningkatan sebesar Rp. 11.350.000,- atau (57,46 %) untk pemilik
dan
penggarap sebesar Rp. 3.717.000,- atau (55,89 %), hal ini disebabkan karena adanya perbaikan harga garam yang mencapai Rp. 190.000./ ton dibandingkan tahun lalu hanya Rp. 160.000.- / kg. Sedangkan di Jeneponto hanyamengalami peningkatan Rp. 1.183.000,- atau (3,55%). Hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan pendpatan menunjukkan bahwa serapan tenaga kerja dalam rumah tangga baik di Sumenep dan Jeneponto rata- rata 2 orang dengan jumlah pendapatan maksimum Rp. 29.000.000,- dan Rp. 40.125.000,- dan jumlah pendapatan minimum masingmasing Rp. 3.180.000,- dan Rp. 3.593.000,- dengan rata-rata pendapatan masing-masing sebesar Rp. 13.778.000,- dan Rp. 14.049.125,-
125
Hubungan nilai
konsumsi pangan dan pendapatan rumah tangga
menunjukan bahwa nilai maksimum konsumsi rumah angga petambak garam di Sumenep dan Jeneponto sebesar Rp. 17.732.000,- dan Rp. 27.658.800,sedangkan
minimum Rp. 2.834.000,- dan Rp. 2.860.000,- dengan rata-rata
masing-masing sebesar Rp. 6.818.000,- dan 5.448.76,- Sedangkan pendapatan rumah tangga masimum Rp. 29.000.000,- dan Rp. 40.125.000,-,minimum sebesar Rp. 3. 180.000,- dan 3.593.000,- serta rata-rata masing-masing Rp. 13.778.000,- dan Rp. 14.049.125,-. Artinya kebutuhan konsumsi rumah tangga petambak gram di Suemenp dan Jeneponto masih terpenuhi oleh pendapatan yang dihasilkan sehingga tidak akan kekurangan. Hubungan penguasaan aset produktif dan pendapatan rumah tangga menunjukan
bahwa
terdapat
perbedaan
yang
cukup
mencolok
kepemilikan aset di Sumenep diabndingkan di Jeneponto
antara
yaitu maksimum
sebesar Rp. 515.000.000,- dan Rp. 54.875.000,-, minimum Rp. 60.000.000,- dan Rp. 1.150.000,- dengan rata-ratamasing-masing 119.395.667,- dan 13.346.324,Perbedaan ini disebabkan kaena harga lahan tambak garam dan gudang untuk penyimpanan garam di Sumenep cukup tinggi bila dibandingkan dengan di Jeneponto. Hubungan penerapan teknologi, struktur ongkos dan keuntungan usaha menunjukan bahwa keuntungan tertinggi diperoleh petambak garam rakyat di Jeneponto dibandingkan dengan petambak garam rakyat di Sumenep masingmasing sebesar Rp. 22.218.500,- dan Rp. 19.650.000,-.
V. 2. Implikasi Kebijakan
1.
Wisata bahari di Krimunjawa dapat diupayakan untuk dikembangkan melalui
ekowisata
yang
diharapkan
akan
semakin
memberikan
peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat tidak hanya menjadi objek namun justru menjadi subjek dari kegiatan wisata itu sendiri. Dukungan dan kerjasama serta betuk-bentuk kemitraan dengan berbagai
stakeholder
menjadi
kunci
penting
bagi
keberhasilan
126
pengembangan
wisata
bahari
Karimunjawa,
sehingga
mungkin
pengembangan wisata yang bebasis bahari dapat erlangsung di Karimunjawa. 2.
Perlu adanya penyelesain sengketa tanah sesegera mungkin dan tidak berlarut larut. Juga perlu dilakukan penetapan standar bagi hasil antara pemilik dan penggarap ang ditetapkan
berdasarkan peraturan daerah
ataupun keputusan Bupati yang mengatur istim bagi hasil tersebut. Disamping tiu perlunya penetapan harga dasar garam dan perbaikan mutu kualitas garam. Semuanya itu memerlukan pendampingan yang kontinu dari pihak yang tekait.
127
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. 2001. Potensi Sumebdaya Alam Kelautan dan Upaya Konservasi Laut di Indonesia. Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen kelautan dan perikanan. Jakarta. Balai Taman Nasional Karimunjawa, 1999. Paket Wisata Hutan Konservasi. Taman nasional Karimunjawa. Berangkat Sabtu – Pulang Minggu. Asita, Semarang. --------------------------------------------------, 2008. Taman Nasional Karimunjawa. Balai Taman Nasional Karimnjawa, Semarang. Budiman, A dan D, Darnaedi. 1982. Struktur Komunitas Moluska di Hutan Mangrove Morowali, Sulawsi Tengah. Proceding Seminar II Ekosistem Hutan Mangrove MAB-LIPI Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Draf Akademik Pengelolaan Pesisir dan Lautan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pemberdayaan Garam Rakyat. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. Jakarta Dinas Pariwisata Kota Sabang. 2006. Data Pengunjung Kota Sabang. Deperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan). 2003. Kebijakan Industri Garam Nasional. Pada Workshop Revitalisasi Industri Garam Rakyat, Kebijakan dan Pembinaan Kelembagaan Garam Rakyat. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. ------------------------------------------------------------------. 1999. Penggaraman Rakyat Indonesia. Pemetaan dan Perancangan Program Pengembangan Petani Garam dan Penggarap. Proyek Pemantapan Struktur Industri. Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan. Jakarta. Dinas Perindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan) Kabupaten Jeneponto. 2005. Unit usaha, Tenaga Kerja, Luas Areal, Produksi dan Nilai Produksi Tambak Garam di Kabupaten Jeneponto. Jeneponto. Istanto, Dwi. 1998. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa Kaitannya dengan Pengembangan Kepulauan Karimunjawa. Makalah Lokakarya
128
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Jakarta. Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan TPSA, BPPT, CRMP, USAID. Kreg Lindberg dan Donald E Hawkins, 1995. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencanaan dan Pengelolaan. The Ecotourism Society. North Benington, Vermont. Lewaherilla, Niki Elistus. 2002. Pariwisata Bahari : Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw, Victor P.H. 2003. Peluang Investasi Sektor Perikanan dan Kelautan Indonesia. Jurnal Dinamika Masyarakat Volume II No.2. Kedeputian Bidang Dinamika Masyarakat, Kementrian Riset dan Penerapan Teknologi. Purwanti, F. (2003). Kajian Tentang Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa. Institut Pertanian Bogor. Pramudji , 2001. Ekosistim Hutan Manggrove dan Peranannya Sebagai Habitat Berbagai Fauna Aquatik. Oceana 16 (4) PT. Garam Persero. 2000. Teknologi Pembuatan dan Kendala Produksi Garam di Indonesia. Parry, DE.1996.National Strategy for Mangrove Proyect Managemen in Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove Indonesia. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. 2002. Buku Panduan Pembuatan Garam Bermutu. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Sukardjo, 1996. Gambaran Umum Ekologi Mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove Indonesia. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan. Sumodihardjo, S dan W. Kastoro, 1977. Notes on Telebraia palustris (Gastropoda) from the Coral island in the Jakarta Bay Area. Marine Research Indonesia No. 18. LON – LIPI.
129
Suharsono, M.Adrim, A. Budiyanto, Giyanto, A. Ibrahim, Yahmantoro dan Telebanua. 1995a. Wisata Bahari Pulau Nias. Puslitbang Oceanologi LIPI Jakarta. Suharsono, R. Sukarno, M. Adrim, D. Arif, A. Budiyanto, Giyanto, A.Ibrahim, Yahmantoro. 1995b. Wisata Bahari Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengan. Puslibang Oceanologi – LIPI.
Siti Nurisyah, 1998. Rencana Pengembangan Fisik Kawasan Wisata Bahari di Wilayah Pesisir Indonesia. Bulettin Taman Dan Lanskap Indonesia. Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Volume 3, Nomor 2, 2000. Studio Arsitektur Pertamanan Fakultas Pertanian IPB Bogor.
130