KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Secara astronomi HLGN terletak di antara 128º11’12” – 128º12’52” BT dan 3º41’31” – 3º40’45” BT dengan kawasan seluas 877,78 ha yang secara administratif termasuk pada dua daerah kecamatan yakni kecamatan Sirimau dan kecamatan Nusaniwe di pulau Ambon dan secara geografis pada bagian utara berbatasan dengan teluk Ambon Baguala, sebelah selatan berbatasan dengan laut Banda, Sebelah timur berbatasan dengan desa Kilang, kelurahan Honipopu dan kelurahan Ahusen dan sebelah barat berbatasan dengan laut Banda. Lokasi kawasan hutan lindung ini berbatasan langsung dengan kota Ambon, berakibat pada tingginya kerentanan konversi lahan oleh masyarakat. Pada Kawasan HLGN ini terdapat 2 (dua) desa yang berada di dalam kawasan yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu. Desa Urimesing berada dalam wilayah Kecamatan Sirimau - Kota Ambon, Propinsi Maluku. Luas desa adalah sekitar 46,16 Km2, yang terdiri dari 4 dusun yaitu Kusu-kusu, Tuni, Mahia dan Seri. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 4 km2, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa Urimesing merupakan daerah perbukitan dan daerah pantai. Secara administratif desa Urimesing memiliki batas-batas sebagai berikut : •
Sebelah timur berbatasan dengan desa Hatalai dan Soya.
•
Sebelah barat berbatasan dengan desa Nusaniwe (Amahusu, Latuhalat).
•
Sebelah utara berbatasan dengan teluk Ambon/kota Ambon.
•
Sebelah selatan berbatasan dengan laut Banda. Desa Amahusu berada pada wilayah kecamatan Nusaniwe – kota Ambon.
Luas desa adalah sekitar 4 Km2, yang terdiri dari 3 dusun antara lain dusun Wakkang, Westapong dan Nahel. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 2 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 10 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Secara administrative batas-batas wilayah terdiri dari : •
Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Ambon
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Urimesing
24 •
Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Ambon
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nusaniwe Topografi dan Iklim Desa Urimesing 2000 meter di atas permukaan laut sedangkan desa
Amahusu berada di ketinggian 3 – 8 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi topografi yang berbukit dan kemiringan lereng berkisar antara 50-80%. Kondisi inilah yang merupakan salah satu kriteria mengapa kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung. Jenis tanahnya adalah latosol dengan warna merah kehitamhitaman dan sebagian lainnya podsolid merah kuning dengan tekstur liat berpasir dan pH berkisar 5-7. Curah hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm/tahun dengan musim hujan pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau pada bulan April-September, sedangkan suhu udara berkisar antara 30-36oC dan kelembaban udara berkisar antara 80-85%. Kawasan hutan Gunung Nona tertutup vegetasi yang bertipe sangat spesifik. Spesifikasinya adalah pada aspek komposisi, yakni komposisi vegetasi campuran antara hutan alam dengan upaya budidaya manusia, sehingga bentuk penutup lahan yang dijumpai merupakan perpaduan antara tipe vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah yang dipengaruhi oleh iklim laut (Marine climate) dan bentuk lahan pekarangan (dusung) dengan vegetasi campuran.
25
Gambar 1 Lokasi penelitian.
26 Pada peta tergambar jelas bahwa kedua desa tepat berada pada kawasan HLGN. Penggunaan Lahan Pada desa Urimesing dari total luas lahan (46,16 km), sekitar 32,15 km (69,65%) digunakan sebagai lahan kebun campuran. Untuk desa Amahusu dari total luas 4 km, sekitar 2 km (50%) juga digunakan sebagai kebun campuran. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati. Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan sedarah dari beberapa keluarga. Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara alami di lahan ini yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu vegetasi penghasil buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga terdapat di kawasan ini terutama di pekarangan, seperti cengkih (Eugenia aromatica), pala (Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun zeylannicim). Tabel 4. Jenis penggunaan lahan desa Urimesing Jenis penggunaan lahan Pemukiman penduduk Kebun Campuran Lahan peternakan Perkantoran Lain-lain Jumlah
Luas lahan (km2) 11.36 32,15 0,15 1,5 1 46,16
Persentase (%) 24,61 69.65 0,32 3,25 2,2 100,00
Sumber: BPS Maluku (2006)
Tabel 5. Jenis penggunaan lahan desa Amahusu Jenis penggunaan lahan Pemukiman penduduk Kebun Campuran Perkantoran Lain-lain Jumlah Sumber: BPS Maluku (2006)
Luas lahan (km2) 1,8 1,2 0,5 0,5 4
Persentase (%) 45 30 12,5 12,5 100,00
27
Tabel 6. Pemanfaatan kawasan Hutan Lindung di kota Ambon Pemukiman penduduk Kebun Campuran (dusung) Semak belukar/lahan kosong Hutan Primer Lain-lain
Luas lahan (ha) 164,58 474,77 147,12 65,31 26,60 877,78
Persentase (%) 18,75 54,02 16,76 7,44 3,03 100,00
Sumber : BAPEDA Maluku (2008)
Dari tabel 6 tergambar kondisi hutan lindung di kota Ambon didominasi oleh dusung (54,02%) dan pemukiman penduduk (18,75%). Perkembangan keberadaan pemukiman penduduk sangat penting menjadi perhatian pemerintah agar tidak bertambah luasannya mengingat pentingnya fungsi kawasan HLGN. Komposisi Penduduk Jumlah penduduk desa Urimesing pada tahun 2008 adalah 6.823 jiwa yang terdiri dari 2.481 jiwa laki-laki (36,36%) dan 4.342 jiwa perempuan (63,63 %). Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif yang berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 68,57% (Tabel 4). Sebagian besar kaum perempuan di desa ini ikut terlibat secara aktif membantu bekerja dan biasanya pengelolaan lahan dilakukan secara bersamasama oleh seluruh anggota keluarga. Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Urimesing berdasarkan kelompok umur Kelompok umur (tahun) <10 10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57 Jumlah
Jumlah (jiwa) 1076 489 513 781 1326 1570 1068 6823
Persentase (%) 15,77 7,16 7,52 11,45 19,43 23,01 15.65 100,00
Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)
Sedangkan jumlah penduduk desa Amahusu pada tahun 2008 adalah 2.484 jiwa yang terdiri dari 1.481 jiwa laki-laki (59,62%) dan 1003 jiwa perempuan (40,37%). Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif
28 yang berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 84,33% (Tabel 7.). Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Amahusu berdasarkan kelompok umur Kelompok umur (tahun) <10 10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57 Jumlah
Jumlah (jiwa) 296 303 242 501 502 249 391 2484
Persentase (%) 11,92 12,19 9,74 40,46 10,02 15,66 100,00
Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)
Sebagian besar penduduk desa Urimesing bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 874 orang atau 38,74% (Tabel 7). Ketersediaan lahan bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh pendapatan tambahan. Sedangkan untuk penduduk Desa Amahusu sebagian besar juga bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 243 orang atau 28,12 % (Tabel 9). Tabel 9. Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan jenis mata pencaharian Jenis mata pencaharian PNS Swasta Wiraswasta/pedagang Petani pengolah dusung Pertukangan Pensiunan Peternak Jasa Nelayan
Jumlah Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)
Jumlah (jiwa) 874 516 415 225 36 44 4 94 48
2256
Persentase (%) 38,74 22,87 18,39 9,97 1,59 1,95 0,17 4,16 2,12
100,00
29 Tabel 10. Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan jenis mata pencaharian Jenis mata pencaharian PNS Swasta Wiraswasta Petani pengolah dusung Nelayan Pertukangan Pensiunan Jasa TNI/POLRI Jumlah
Jumlah (jiwa) 243 131 118 68 43 37 94 111 19 864
Persentase (%) 28,12 15,16 13,65 7,87 4,97 4,28 10.87 12,84 2,19 100,00
Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan kepala keluarga masyarakat desa Urimesing pada tahun 2008 masih tergolong rendah. Sebagian kepala keluarga hanya menamatkan pendidikannya sampai tingkat SD/SLTP, yaitu sebesar 71,37.% (Tabel 9). Tetapi dalam kegiatan mengolah dusung, pemahaman mereka terhadap pengetahuan budidaya suatu jenis tanaman, baik yang berasal dari pengalaman sendiri maupun orang lain cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan mereka dalam membudidayakan tanaman cengkeh, kakao dan pala serta jenis buah-buahan yang tiap tahun rutin dipasarkan. Sedangkan tingkat pendidikan kepala keluarga masyarakat desa Amahusu pada tahun 2008 tergolong tinggi 63,85 % adalah lulusan SLTA/sarjana. Tabel 11. Jumlah kepala keluarga desa Urimesing berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas Jumlah
Jumlah (jiwa) 22 4391 1739 6152
Persentase (%) 0,35 71,37 28,26 100,00
Sumber: BPS Maluku (2008)
Tabel 12. Jumlah kepala keluarga desa Amahusu berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas Jumlah Sumber: BPS Maluku (2008)
Jumlah (jiwa) 359 271 1113 1743
Persentase (%) 20,59 15,72 63,85 100,00
30 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang cukup baik di Desa Urimesing dan Amahusu, terutama prasarana jalan, yang memungkinkan akses ke ibukota Provinsi berjalan lancar. Kondisi jalan yang cukup baik dan jarak yang relatif dekat dengan ibukota kecamatan dan propinsi membuat upaya menjalurkan hasil-hasil olahan dusung berjalan baik. Bahkan beberapa penduduk menjual langsung hasil dusungnya ke beberapa pasar yang berada di ibukota propinsi (Tabel 13). Tabel 13. Sarana dan prasarana desa Urimesing Sarana/prasarana Perhubungan
Pendidikan
Tempat ibadah Sosial
Jenis Jalan aspal Jalan batu Jalan tanah TK SD SMP Gereja Balai desa Poskamling
Jumlah (unit) 5 km 0,7 km 2 km 3 buah 4 buah 1 buah 7 buah 1 buah 19 buah
Sumber: BPS Maluku (2008)
Tabel 14. Sarana dan prasarana desa Amahusu Sarana/prasarana Perhubungan
Pendidikan
Tempat ibadah Sosial
Jenis Jalan aspal Jalan batu Jalan tanah TK SD SMP Gereja Balai desa Poskamling
Jumlah (unit) 4 km 0,5 km 4 km 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 4 buah
Sumber: BPS Maluku (2008)
Belum adanya SMA di desa ini membuat sebagian masyarakat berupaya menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah yang berada di Ibukota provinsi. Kegiatan-kegiatan rutin seperti ibadah-ibadah unit gereja, arisan, koperasi dan kegiatan olahraga, baik di tingkat desa maupun dusun juga turut membantu proses terjadinya tukar menukar pengalaman pengelolaan dusung di masyarakat.
31 Sejarah Pengelolaan Dusung Keberadaan keragaman vegetasi di sekitar kawasan hutan lindung, disebabkan oleh keberadaan interaksi antara kawasan ini dengan beragam jenis vegetasi dalam daerah penyangga. Daerah ini merupakan satuan ruang yang dapat menghasilkan buah maupun kayu serta hasil hutan lainnya. Kondisi ini tetap dijaga untuk kelangsungan hidup masyarakat yang ada di sekitar hutan lindung. Kondisi seperti ini telah tertanam lama dalam buda ya m as yarakat s et em pat , yakni s uat u s i s t i m s os i al dal am m engant isi pas i s um ber da ya al am baik veget as i darat m aupun komponen biotik lautnya (aspek konservasi) yang dikenal dengan petuanan dusun dati. Keberadaan petuanan dusun dati ini membentuk suatu kondisi yang memungkinkan terbentuknya daerahdaerah penyangga bayangan terhadap daerah-daerah kritis lingkungan yang dikelola secara tradisional. Beberapa bagian kawasan lindung yang telah dikonversi menjadi kebun campuran (untuk permukiman), bukan saja di daerah perbatasan kawasan hutan lindung, tetapi juga ditemukan hingga daerah hulu DAS dalam kawasan inti lindung. Kawasan termodifikasi ditemukan yaitu di petuanan Desa Soya, Desa Urimessing (Mahia, Kusu-kusu, Seri), Desa Ema dan Desa Naku dan petuanan Kilang. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati. Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan sedarah dari beberapa keluarga. Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara alami di lahan ini yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu vegetasi penghasil buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga terdapat di kawasan ini terutama di pekarangan, seperti cengkih (Eugenia aromatica), pala (Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun zeylannicim). Vegetasi semak belukar ditemukan terutama di bagian tengah DAS terutama di DAS Air Besar, Batu Gajah sampai daerah Kudamati, jumlahnya ± 10% dengan pertumbuhan jelek. Tumbuhanya semak belukar ini akibat penebangan hutan dengan sistim perladangan berpindah-pindah pada masa lalu. Di samping itu terbakarnya semak belukar dari tahun ke tahun (sengaja atau bencana alam) tidak memberi kesempatan untuk
32 tumbuhnya tanaman pohon-pohon, melainkan semakin memberi kesempatan meluasnya semak belukar. Pada umumnya bentuk vegetasi yang ditemukan pada bentuk penggunaan lahan ini, adalah paku kawat (Equistentum debile), kayu bunga (Melastoma, sp), kayu putih (Melaleuca lecadendron), alang-alang (Impreta cilindria) dan beberapa jenis rumputrumputan yang tidak merambat. Desa Urimesing Desa Urimesing memiliki 192 buah dusung dati dan pusaka berdasarkan register dati tanggal 26 Mei 1814. Rincian hak pemilik dusung dati sesuai dengan register 26 Mei 1814 adalah 65 dusung negeri, 29 dusung dati perintah/raja dan 127 dusung dati yang dikuasai oleh 7 kepala dati masing-masing : 1.
Jacob Wattimena 14 dusung dati
2.
Marthen Janaren 9 dusung dati
3.
Zadrach Wattimena 11 dusung dati
4.
Corneles Samaleleway 11 dusung dati
5.
Paulus Matiluseny 15 dusung dati
6.
Amos Salakay 16 dusung dati
7.
Stevanus Wattimena 30 dusung dati Ditambah dengan sejumlah dusung pusaka yang telah menjadi milik warga
tertentu. Dusung pusaka adalah dusung yang merupakan hak bersama dari kelompok ahli waris yang mereka peroleh melalui warisan. Hak pemilikan dusung dati ini ada sebelum tahun 1814. Kemudian pada masa peralihan Pemerintah Inggris dirasa perlu untuk menata kelompok kerja dengan hak-hak pemilikannya agar dengan mudah dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah pada waktu itu. Kemudian oleh pemerintah Belanda dilakukan registrasi di Pulau-pulau Lease dan pulau Ambon tahun 1883 dengan batas-batas yang jelas tetapi tidak tuntas (Godlief pada artikel Ziwar Effendi,1997). Valentyn F. dalam bukunya ”Oud en nieuw India II” hal 184 : Dati adalah Hoofdienst dimana pada bulan dilaksanakan pelayaran Hongi (Hongi Tohten) setiap tumah tangga diwajibkan menyerahkan seorang laki-laki untuk selama lebih kurang 1 (satu) bulan kepada VOC untuk melaksanakan tugas pelayaran
33 Hongi tanpa usaha (imbalan). Sedangkan menurut Reidel G.E.F mengartikan sebagai petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang kuat kerja (weebaar) atau kepala rumah tangga dengan syarat harus hongi. Sehingga menurut G.A.Adries (2009) yang dimaksud dengan tanah dati adalah sebidang tanah negeri yang diberikan negeri kepada salah satu cabang keluarga yang pernah berjasa bagi negeri sebagai suatu unit produksi yang berfungsi menjamin keberlangsungan kehidupan ekonomi dari cabang keluarga tersebut menurut garis keturunan bapanya, dengan ketentuan bahwa anak perempuan yang tidak menikah juga berhak ”Makan Dati” (menikmati hasilnya juga) oleh karena anak wanita masih memikul nama keluarga ayah (Holleman 1923,12.70). Hak pemilikan dusun dati adalah hak kelompok (dati artinya kelompok kerja), bukan perorangan. Dusung dati memiliki 2 (dua) hak kepemilikan yaitu hak penguasaan tanaman (usaha) adalah pemegang dusung dati dan hak petuanan adalah hak saniri negeri/desa. Pada tanggal 1 Juni 1923 hak dati dihapuskan. Hak dati atas dusung-dusung dati tidak lagi diatur secara jelas sehingga dusung tersebut dimiliki oleh dati yang kemudian menjadi persoalan negeri/desa dengan pemilik dati-dati tersebut. Hingga saat ini, penguasaan lahan dusung di desa ini tetap dikuasai oleh keluarga-keluarga pemegang hak dati tersebut dan diakui oleh Pemerintah Desa. Desa Amahusu Hingga era tahun 1970-an, dalam melaksanakan pemerintahan desa istilahistilah adat masih digunakan. Misalnya pemimpin pemerintahan adalah Raja (Kepala Desa) dan dibantu oleh staf pemerintahan seperti Kapitang, Kepala kewang, Marinyo kemudian perkumpulan pemuda-pemudi yang disebut Jujaromungare yang dipimpin oleh Kepala Jujaro-mungare. Selain itu terdapat juga lembaga musyawarah desa yang disebut Saniri Negeri. Sejak tahun 1980-an, Desa Amahusu memiliki sistem Pemerintahan yang telah menyesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dimana istilah-istilah seperti Raja (Kepala Pemerintahan Desa/Negeri), Saniri Negeri (Lembaga Musyawarah Desa/Negeri) beserta staf desa/negeri antara lain Kapitang, Marinyo, Kepala Kewang yang sudah tidak dipergunakan.
34 Sebagai desa adat, masyarakat Desa Amahusu juga memiliki kemiripan dengan desa-desa adat yang terdapat di Kota Ambon. Hal ini dapat dilihat dari istilah kemasyarakatan seperti soa, marga (asli dan pendatang) dan dusun dati seperti halnya desa Urimesing. Istilah Soa diartikan sebagai bentuk kekerabatan genealogis dalam batas territorial tertentu. Pada masyarakat Desa Amahusu terdapat tiga soa yaitu : Soa Wakkang, Soa Westopong dan Soa Nahel dimana saat ini ketiga soa tersebut telah berubah nama menjadi dusun yaitu dusun Wakkang, dusun Westopong dan dusun Nahel. Marga asli desa Amahusu antara lain Silooy, de Costa, Matitaputi, Mainake, Soplanit, Tomasila, Akioar, Tahalele, Nussy dan Pupela yang memiliki hak atas beberapa dusung dati. Masyarakat masih memiliki ketergantung pada HLGN, penggarapan kawasan hutan berdasarkan sistem dusung tetap diberlakukan dan diakui oleh Pemerintah. Secara de jure adalah hak pemerintah namun secara de facto adalah hak masyarakat. Untuk itulah maka sangat diperlukan aspek partisipasi dalam pengelolaan kawasan ini. Sebelum tahun 1996, kawasan HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang sebagai besar (18,75%) telah dijadikan pemukiman dimana terdapat 2 desa di dalamnya yaitu desa Amahusu dan Urimesing dengan sejumlah dusung yang telah dikelola secara bertahun-tahun oleh masyarakat. Tidak semua kawasan hutan lindung di kota Ambon dimanfaatkan sebagai dusung hanya 54,02 % dari keseluruhan luas kawasan hutan (BAPEDA kota Ambon, 2007). Kemudian pada tahun 1996 kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 430/KPTS-II/1996 tentang Penetapan kelompok hutan lindung gunung Sirimau seluas 3.449 hektar dan kelompok hutan Gunung Nona seluas 877,78 hektar yang terletak di Kotamadya Ambon, Provinsi Daerah Tingkat I Maluku, sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan lindung. Penetapan ini diberlakukan karena HLGN memiliki fungsi sebagai daerah resapan air bagi masyarakat kota Ambon. Banyak kebutuhan masyarakat, seperti kayu bakar, makanan ternak, terutama air bersih dan lain-lain yang berasal dari hutan tersebut. Pemerintah telah berupaya menegakkan hukum dengan mengosongkan hutan tersebut dari aktivitas
35 masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam aktivitas pengelolaan kawasan seperti kegiatan reboisasi namun peran aktif masyarakat masih sebatas keterlibatan dalam proyek tertentu dan perlindungan mereka terhadap kawasan dusungnya. Saat ini, keterlibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan dengan membentuk Kelompok tani yang dikhususkan untuk memelihara berbagai jenis tanaman reboisasi. Keberadaan HLGN seluas sekitar 877,78 ha di Provinsi Maluku ini memiliki arti yang sangat penting dan strategis ditinjau dari aspek ekologi dan lingkungan hidup serta aspek pembangunan sosial ekonomi Provinsi Maluku, antara lain: (1) sebagai kawasan pelestarian alam yang diperlukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa (plasma nutfah) serta pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistemnya secara lestari, (2) sebagai daerah tangkapan air bagi Kota Ambon, yang dalam hal ini sangat penting artinya dalam menjaga siklus tata air, menangkap, menyimpan dan menyediakan air permukaan dan air bawah tanah, serta menjaga kestabilan lingkungan dari bahaya kekeringan, banjir dan tanah longsor; dan (3) sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan bagi wilayah di sekitarnya, serta menunjang budidaya pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan (Dinas Kehutanan Propinsi Maluku, 2006). Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan kota Ambon bersama BAPEDA kota Ambon serta dikoordinasikan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku serta BPDAS Waihapu Batumerah. Berbagai pihak pun dilibatkan dalam pengelolaan kawasan HLGN ini antaralain berbagai lembaga swadaya masyarakat baik nasional maupun internasional dan beberapa universitas di kota Ambon, dengan tujuan meningkatkan fungsi kawasan dan kelestariannya serta peningkatan peran serta masyarakat sekitarnya. Berdasarkan uraian diatas maka terurai beberapa pembelajaran (lesson learn) bagi pengembangan penelitian ini yaitu : 1. Mengidentifikasi dan mendiskripsikan peran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dusung saat ini yang akan berguna mendukung upaya perlindungan kawasan HLGN.
36 2. Mendiskripsikan pembelajaran dari kerjasama yang diperlihatkan oleh berbagai pihak (stakeholder) dalam pengelolaan kawasan HLGN.