VI, RINGUSAN HASIL PENELITIAN KESIMPULAN DAN SARAN
1. Cara pandang masyarakat terhadap sumberdaya hutan, masih sebatas
pemanfmtan kayu dari hutan. Tuntutan masyarakat untuk turut mengelola sumberdaya hutan, direspon Pemerintah Kabupaten Kutai Barat dengan kebijakan memberi ijin-ijin pemanfaatan, yang secara fundamental telah rnelemahkan institusi pengelolaan hutan dan pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan. 2. Walaupun inisiatif pembaharuan telah dibangun, namun realita pengelolaan
hutan di kabupaten Kutai Barat masih belum menggambarkan kegiatan pengelolaan yang diinginkan banyak pihak yang menghendaki hutan lestari dan masyarakat sejahtem. Pembaharuan kebijakan belum berhasil menyatukan kepentingan keadilan sekaligus kepentingan keberlanjutan manfaat hutan. Pengelolaan hutan yang berjalan belwn menuju kepada berjalannya berbagai fungsi hutan secara seimbang, terutama antara fungsi produksi dan fungsi ekologis. Berbagai perrnasalahan yang tejadi, seperti; konflik sosial, konflik
penggunaan lahan (turnpang tindih) serta kerusakan surnberdaya hutan (banjir, kekerinn, kebakaran), adalah akibat lahirnya kebijah-kebijakan di daerah yang hanya berorientasi kepda pemanfastan hasil hutan jangka pendek sera ketidak pastian dalam pelaksanaan otonomi daerah. 3. Arah pengembangan kebijakan kehutanan (Program Kehutam Kutai Barat)
secara substantif, lebih menuju kepada penataan kembali peraturan-peraturan, petunjuk teknis, sistim hukum dan penegakannya, koordinasi penelitian dan pembuatan peraturan (propinsi, pusat, LSM, swasta dan masyarakat), dan konsultasi publik atas kebijakan yang dibuat. Dari sudut institusi, arah penganbangan kebijakan belum menggambarkan pemecahan masalah yang mendasar tentang pengelolaan hutan di Kutai Barat, yaitu adanya kepastian
hak pemilikan, menurunkan biaya transaksi,
dan upaya meningkat kan
kemampuan dan kapasitas insitusi pengelolaan hutan.
4. Implikasi dari kondisi permasalahan-permasalahan pengelolaan hutan Kutai Barat saat ini, cenderung mengarah kepada pengelolaan hutan yang berbasiskan kepada masyarakat, yaitu upaya mengembangkan model kehutanan masyarakat. Hal ini terbukti dengan disusunnya Perda tentang Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat. Apakah penyelenggaraan program pengelolaan hutan berbasiskan mayarakat akan mampu menjadi prinsip penyelenggaraan kehutananan dalam tema penyelesaian konflik sumberdaya hutan, masih perlu dibuktikan. Namun jika menelaah substansi Rancangan Perda yang telah dibuat, bahwa kebijakan yang ada masih berorientasi kepada pemanfaatan dan pemberian kesempatan masyarakat untuk mengelola sumberdaya hutannya dalam perspektif jangka pendek, baik secara individu, kelompok usaha, ataupun desa. Hal ini tentunya sulit untuk menjadi prinsip penyelenggaraan kehutanan dalarn tema penyelesaian konflik.
5. Faktor-faktor yang teridentifikasi sebagai pendorong pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan, adalah: a) adetnya pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat adat, b) sikap dan perilaku masyarakat yang konstruktif terhadap program pembangunan yang sedang berjalan, c) penyatuan dan menselaraskan kepentingan-kepentingan individu kelompok terhadap program dan tujuan pembangunan, d) adanya komitmen tentang pencapaian kinerja pengelolaan hutan antara multi-stakeholder. Adapun faktor-faktor yang teridentifikasi sebagai penghambat pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan, adalah: a) lemahnya kapasitas dan kapsbilitas birokrasi pemerintah, b) tidak adanya penghargaan atau insentif unhlk mendorong upaya pelestarian sumberdaya alam khususnya hutan dan konservasi alam, c) kepentigan-kepentingan individu atau kelompok yang tidak selaras dengan tujuan pembangunan atau program-program yang telah dibuat, d) lemahnya koordinasi antara pihak termasuk di pemerintah pusat dan dmrah, e) tidak adanya kepastian dan
penegakan hukum, f) kurang tersedianya data dan informasi dalam membuat rencana dan pengambilan keputusan.
6. Hasil perhitungan rasio biaya manfaat menunjukkan, bahwa nilai (B/C)>l yang berarti pembahmmn kebijakan pengelolaan hutan dapat terwujub. Nilai ini berarti, bahwa faktor pendorong pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan,
lebih
besar
daripada
faktor
penghambatnya. Terwujudnya
pembaharuan kebijakan kehutanan irti hanya merupakan persepsi para pelaku pembaharuan, Narnun kinerja pengelolaan hutan yang terjadi, tidak sejalan dengan harapan rasional para pelaku pembaharuan tersebut. Pembaharuan kebijakan baru dimaknai sebagai sebuah proses awal melakukan partisipasi dan proses belajar bersama menyampaikan pikiran dan harapan-harapan berkaitan dengan visi pengelolaan hutan.
7. Lahirnya KK-PKD merupakan insiatif dan bentuk partisipasi masyarakat (para-pihak) untuk membmgun komitmen pembaharuan pembangunan kehutanan di Kutai Barat. Namun proses partisipatif tidak didukung oleh kemampuan dan kapasitas institusi (institution capacity). Sementara orientasi kebijakan yang dibangun sebagai dasar pembaharuan masih belum seluruhnya terserap dalam realitas implementasi. Hal ini berarti, bahwa KK-PKD sebagai institusi belum rnewujudkan pembaharuan pengelolaan hutan di Kutai Barat. Hal tersebut, disebabkan; Pertama, para pelaku (aktor) yang tergabung dalam
KK-PKD kurang berorientasi pada aspek karakteristik inheren atau situasi sumberdaya hutannya. Kedua, perilaku para peiaku (aktor) yang terlibat dipengaruhi oleh kepentingan individu dan strategi pencapaiannya. KK-PKD juga permissive atas kemampuan organisasi pemerintah sebagai faktor di dalam implementasi kebijakannya. Ketiga, ketidak-pastian dalam pelaksanaan otonomi daerah, menyulitkan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan jangka panjang. Hal ini menyebabkan harapan rasional jangka panjang dari pelaku pembahwuan kebijakan di daerah menjadi tidak pasti (rendah), sehingga program-program yang telah disusun KK-PK'S) h a n g dapat
diadopsi karena menjadi sesuatu yang kurang menaruk atas harapan rasionalnya. Dengan demikian, perubahan-perubahan yang telah dilakukan KK-PKD secara fungsional menjadi kurang rnenarik dan karenanya akan sulit mencapai kelestarian. Namun secara proses dialektif, lahirnya KK-PKD sangat bermanfaat. Hal ini terbukti, antara lain; telah terbangunnya proses keterbukaan, partisipasi, koordinasi, dan adanya kekuatan baru untuk membantu mengatasi permasalahan-pennasalahan di kabupaten Kutai Barat, secara bersama-sama.
Kesimpulan 1. Tidak terjadi pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan di Kutai Barat yang mengarah pada kepastian hak (right) dan kewenangan sebagai upya meminimasi biaya transaksi dan insentif para pihak mewujudkan pengelolaan
hutan yang lestari. Apa yang dimaknai sebagai pmbahamn kebijakan, hanya sebatas mengfvmpun aspirasi para pihak atau belajar bersama menyampaikan pikiran (harapan-harapan) atau proses penggalangan komitrnen pubfik. Proses partisipatif yang dibangun tidak cukup didukung oleh kemampuan dan kapasitas institusi serta penajaman orientasi kebijakan itu sendiri sebagai dasar pembaharuan.
KK-PKR adalah wujud upaya membangun kapasitas institusi yang merupakan sebuah proses partisipasi dan belajar bersama menyampaikan pikiran, harapan dan membangun komitmen. Akibat masih besarnya ketidakpastian pelaksanaan otonomi daerah, perubahan-perubahan yang telah dirumuskan, secara fungsional menjadi tidak berarti. Namun &lam proses dialektif, KK-
PKD sesungguhnya sangat berrnanfaat, antam lain; terbukti tehh terbangunnya keterbukaan, proses partisipasi, koordinasi, munculnya kekuatan baru untuk mengatasi permawlahan-permasahthan yang dihadapi, secara bersama-sama.
3. Perubahan institusi dan hnerja pengelolaan hutan yang dicapai belurn
memenuhi harapan semua pihak. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang dilaksanakan belurn mengarah untuk memastikan bentuk hak (right) yang harus diberikan, fnemastikaa batas kewenangan masing-masing
pihak, upaya meminimumkan biaya transaksi dan mendorong pengusaha hutan untuk melestarikan produksinya. 4. Kebijakan pengelolaan hutan di Kutai Barat cenderung mengarah kepada
pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dengan orientasi lebih kepada pemanfaatan sumberdaya hutan. Hal ini tentunya sulit untuk menjadi prinsip penyelenggaraan kehutanan dalam tema penyelesaian konflik sumberdaya hutan. Karenanya proses pembaharuan kebijakan perlu disertai penguatan kapasitas institusi sebagai dasar &lam perumusan lebih lanjut kebijakan pengelolaan hutan.
Saran 1. Dalam melakukan pembahawn kebijakan pengelolaan hutan di era otonomi
daerah, para pengambil kebijakan (policy maker) harus terlebih dahulu memiliki pngetahuan yang eukup tentang karakteristik inheren atau situasi sumberdaya hutan, yang mempengaruhi arah dan perilaku tindakan organisasi publik maupun swasta (private) dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, Pengetahuan tentang situasi dan karakteristik sumberdaya hutan inilah yang seharusnya dijadikan dasar kerangka pemikiran dalam melakukan pembaharuan melalui penataan institusi yang &pat mengendalikan perilaku para pihak yang terlibat.
2. Membangun kebijakan yang berkaitan dengan penguatan institusi kehutanan secara keseluruhan, hams mencakup; penguatan clan penyatuan lembaga penyelenggaraan kehutanan dan mengntegrasikan kebijakan penataan organisasi, (pusat, propinsi, kabupaten), merumuskan dan menjalankan kebijakan atau program-program pengelolaan hutan secara bersama-sama dan
saling mendukung antara pemerintah pusat dan daerah, meningkatkan koordinasi dan pengakuan terhadap inisiatif daerah baik formal ataupun informal, sehingga akan menjadi pemicu terwujudnya pemerintahan kolaboratif (pusat-daexah) yang efektif. Untuk rnenjalankan pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan & Kabupaten Kutai Barat, Pemerintah Kabupaten perlu memperkuat institusi pengelola hutan. Kekuatan institusi ini bukan terletak pada bagaimana menjalankan kebijakan command and confro!, melainkan pada pengakuan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Oleh karena itu perlu diatur proses konsultasi publik secara terus-menerus terhadap substansi kebijakan yang akan dijalankan. Kebijakan yang harus dijalankan saat ini sebaiknya bukanlah berorientasi pada kebijakan teknis, administrasi, melainkan kebijakan jangka pmjang yang berkaitan dengan penguatan institusi pengelolaan hutan secara keseluruhan. Bagi pengusaha atau unit usaha, akan menjadi bagian dari pernailfaat dan pelestari hutan jika institusi kepemilikan dikembangkan dalam kebijakan yang diterapkan kepada mereka. Sedangkan bagi masyarakat, adanya dorongan individu-individu untuk bekerjasarna menurut atwan perilaku tertentu yang disetujui bersama (ikatan yang melembaga) dalarn rangka meningkatkan produktifitas masyarakat sebagai modal dasar, pendorong pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan. 4. Pada akhirnya pengelolaan hutan yang lestari bisa dilaksanakan hanya jika proses transformasi sistem pengelolaan hutan mampu menghasilkan pemilikan yang lahir dari masyarakat (emerging property) terhadap sumberdaya hutan. Hal ini &pat terjadi bila ada perubahan+perubahansistem pengusahaan hutan atau perubahan ernergingproperty itu sendiri.
5. Disadari bahwa walaupun hasil penelitian ini dapat menjawab hipotesis dan tujuan penelitian, namun masih terdapat beberapa kekurangan. Hal ini disebabkan oleh kapasitas organisasi pemerintah dan para aktor pengambil
kebijakan pengelolaan hutan di kabupaten Kutai Barat, masih dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; ekonomi, politik, dan sosial, yang mungkin saja pada saat wawancara atau menjawab kuesioner harapan rasionalnya bias atau terdistorsi oleh faktor-faktor tersebut. Bias akibat ketidak-konsistenan jawaban kuesioner dicerrninkan oleh nilai rasio inkonsistensi (matrik pendapat
AHP) yang lebih mendekati, atau sama dengan 0,l. Oleh karena itu, penelitian tentang pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan perlu dilanjutkan dengan menekankan pada metodologi, dalam penelitian-penelitian sosial dan politik.