KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
© Dewan Riset Nasional Sekretariat Gedung I BPP Teknologi Lantai 2 Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340
Penyusun: Tatang Akhmad Taufik Editor: Irsan Aditama Pawennei Penyelaras Bahasa: Yuni Ikawati Kontributor Bahan: Sociawanto, Tukiyat Pendukung : Tim Sekretariat DRN
Diterbitkan pertama kali oleh Dewan Riset Nasional Jakarta, 2010 www.drn.go.id Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN No. 978-979-9017-24-6
KATA PENGANTAR KETUA DEWAN RISET NASIONAL Berangkat dari istilah Sistem Inovasi Nasional, diperlukan lebih lanjut pemahaman seluk beluknya dan pembahasan mengenai usaha implementasinya. Istilah itu sendiri terdapat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang tertuang sebagai Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010. Sementara secara ringkas, sistem inovasi diartikan sebagai jaringan berbagai elemen atau pelaku yang interaksi bersamanya mendorong modifikasi dan pemakaian teknologi-teknologi baru secara bermanfaat bagi ekonomi negara. Kiranya jelas bahwa hubungan kerjasama atau kemitraan antara berbagai pihak yang terlibat merupakan syarat yang perlu didalami demi penguatan sistem inovasi yang ditujukan pada peningkatan daya saing. Melanjutkan sejumlah kajian, lokakarya dan diskusi yang intensif mengenai Sistem Inovasi Nasional selama ini, Dewan Riset Nasional (DRN) menggagas penerbitan buku yang mengupas aspek kemitraan dalam sistem inovasi. Buku Kemitraan dalam Penguatan Sistem Inovasi Nasional dimaksudkan untuk memperkukuh pemahaman sebagai landasan guna mengusulkan masukan kebijakan di bidang riset dan teknologi yang merupakan tugas DRN. Di samping itu, buku ini diharapkan dapat memperkaya khasanah bacaan bagi mereka yang tertarik atau memerlukan tambahan pengetahuan mengenai sistem inovasi. Sebagai penyusun telah bertindak Dr.Ir. Tatang Akhmad Taufik, seorang ahli dalam kebijakan teknologi. Atas segenap jerih payah kerjasama, dukungan dan bantuan dari pihakpihak yang terlibat dalam persiapan dan penerbitan buku ini, kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap buku ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi segenap pihak yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan, riset dan teknologi, khususnya dalam penguatan Sistem Inovasi Nasional Indonesia yang berkelanjutan.
Jakarta, September 2010 Ketua Dewan Riset Nasional
Prof.Dr.Ir. Andrianto Handojo
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KETUA DEWAN RISET NASIONAL DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL
iii v vii viii
BAB 1 PENDAHULUAN : PRODUKTIVITAS NASIONAL
1
1.1 1.2 1.3 1.4
1 3 7 7 9 11
Produktivitas Nasional Produktivitas Faktor Total Tinjauan Perbandingan Produktivitas 1.3.1 Perbandingan Regional 1.3.2 Perbandingan Internasional Peningkatan Kapasitas Inovatif dan Kemitraan
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KEBIJAKAN INOVASI
15
2.1 Konsep Sistem Inovasi 2.1.1 Definisi Sistem Inovasi 2.1.2 Model Sistem Inovasi
15 15 18
2.2
22 22 24 30
Implikasi Kebijakan 2.2.1 Pergeseran Paradigma Kebijakan 2.2.2 Kelompok Persoalan Kebijakan Inovasi 2.2.3 Tantangan dalam Mengatasi Masalah Kebijakan Inovasi
BAB 3 KEMITRAAN DALAM SISTEM INOVASI
33
33 34 36
3.1 Kemitraan Iptek 3.2 Aliansi Strategis 3.3 Beberapa Perkembangan Kemitraan
BAB 4 KEMITRAAN DAN DINAMIKA PERUBAHAN
43
43 45 47 49 54
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Globalisasi Kemajuan Iptek Perkembangan Ekonomi Jaringan Kecenderungan ke Arah Ekonomi Berbasis Pengetahuan Faktor Lokalitas-Lokasional
vi
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
BAB 5 TINJAUAN ATAS BENTUK KEMITRAAN IPTEK
55
55 60 63
5.1 Model Triple Helix 5.2 Tipologi Kemitraan Iptek 5.3 Pola Kemitraan Iptek
BAB 6 PENGEMBANGAN KEMITRAAN IPTEK
67
6.1 6.2 6.3 6.4
67 68 69 71 75 78 80 81
Prinsip Kemitraan Iptek 6.1.1 Prinsip Dasar Kemitraan Iptek 6.1.2 Prinsip Bersama dalam Kemitraan Iptek 6.1.3 Prinsip bagi Setiap Pihak yang Bermitra 6.1.4 Prinsip bagi Pihak Pemerintah/Lembaga Pemerintah Pengembangan Koordinasi Kemitraan Iptek Strategi Pokok Pengembangan Kemitraan Iptek Indikator dan Faktor Penentu Keberhasilan
BAB 7 PEMERINTAH DALAM KOORDINASI KEMITRAAN IPTEK
85
85 88
7.1 Peran Pemerintah dalam Pengembangan Kemitraan Iptek 7.2 Tinjauan Singkat tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah
BAB 8 ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEMITRAAN IPTEK
99
99 100 102 104 105 108 109 109
8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7 8.8
Fora Kemitraan Iptek Pembentukan atau Penguatan Organisasi Kemitraan Iptek Instrumen Insentif Keuangan Pembentukan atau Penguatan Jaringan Kemitraan Iptek Peningkatan Kapasitas, Bantuan Teknis, dan Alih Pengetahuan Kontrak Litbang Apresiasi dan Dukungan Kemitraan Iptek Informal Perumusan Agenda / Misi Strategis Tertentu
BAB 9 PENUTUP DAFTAR PUSTAKA
111 115
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Rata-rata TFP Indonesia dan 11 Provinsi Tahun 2000—2007 (Persen) Gambar 2.1 Model Inovasi Chain-Link
9 19
Gambar 2.2 Model Inovasi Interaktif
19
Gambar 2.3 Suatu Skematik Generik Sistem Inovasi
21
Gambar 2.4 Perkembangan Teori Inovasi
22
Gambar 2.5 Tipe I Technological Lock-Out
29
Gambar 2.6 Tipe II Technological Lock-Out
29
Gambar 2.7 Kelompok “Sumber” Kegagalan yang Melandasi Perlunya Kebijakan 30 Gambar 3.1 Spektrum Bentuk Hubungan Kemitraan 38 Gambar 4.1 �������������������������������������������� Gelombang Perubahan Ekonomi dan Teknologi 47 Gambar 5.1 ����� Model Triple Helix I: Model Etatistic
56
Gambar 5.2 Model Triple Helix II: Model Laissez-faire
56
Gambar 5.3 Model Triple Helix III
57
Gambar 5.4 Langkah Pengembangan Kemitraan Iptek
65
Gambar 6.1 Ilustrasi Keterkaitan Prinsip Kemitraan Iptek
75
Gambar 7.1 Suatu Perspektif tentang Sistem Inovasi
92
Gambar 7.2 “Struktur Organisasi” Governance Kebijakan di Daerah
95
Gambar 8.1 Ilustrasi Strategi Kebijakan bagi Perkuatan Kemitraan Iptek 104 Gambar 8.2 Model Perkuatan Kemitraan Iptek dalam Program PI UMKM
108
Gambar 8.3 Ilustrasi Respons Kebijakan bagi Pertumbuhan Ekonomi Berbasis Teknologi
110
viii
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 1.2
PDB, Produktivitas Tenaga Kerja dan Produktivitas Modal Indonesia 2000-2007, Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 TFP Indonesia Tahun 2000—2007
5 6
Tabel 1.3
Perbandingan Produktivitas Tenaga Kerja (Juta Rupiah per TK)
7
Tabel 1.4
Perbandingan Produktivitas Modal
8
Tabel 1.5
Perbandingan TFP.
8
Tabel 1.6
Hasil Studi APO
10
Tabel 1.7
Hasil Studi Collin and Bosworth (1996)
10
Tabel 1.8 Hasil Studi Sarel (1997)
10
Tabel 2.1 ������������������������������������������������������� Pergeseran cara pandang terhadap inovasi dan implikasi kebijakan Tabel 3.1 ��������������������������������������������������������������� Partisipasi dalam Aliansi Strategis selama Tiga Tahun Terakhir
23
41
(dalam Persen)
Tabel 4.1 ���������������������������������������������� Dua Sistem Penciptaan/Pengembangan Pengetahuan
(Knowldege Production System)
45
Tabel 4.2
Beberapa Kunci bagi Ekonomi “Lama” dan “Baru”
51
Tabel 5.1
Tipologi Kemitraan Riset Perguruan Tinggi – Industri (Swasta)
62
Tabel 5.2
Model Kemitraan Iptek Perguruan Tinggi/Lembaga
Litbangyasa – Industri (Swasta)
64
Tabel 7.1
Perbandingan Umum antara Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta
96
Tabel 7.2
Ukuran Keberhasilan DRD
96
Tabel 7.3
Keberhasilan Dokumen Strategi Inovasi Daerah
97
BAB I PENDAHULUAN : PRODUKTIVITAS NASIONAL Peningkatan daya saing dan penguatan kohesi sosial merupakan “tujuan antara” yang sangat penting dalam mencapai tujuan negara, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat agar semakin tinggi dan semakin adil, meningkatkan kemandirian dan memajukan peradaban bangsa. Sebagai suatu langkah terobosan yang harus dikembangkan, maka penguatan sistem inovasi hanya akan efektif apabila menjadi agenda bersama. Karena itu, pengembangan kemitraan yang sinergis merupakan keniscayaan untuk memperkuat sistem inovasi di Indonesia. Buku ini tidak dimaksudkan untuk mengupas daya saing secara mendalam. Namun untuk memberikan gambaran daya saing Indonesia, tinjauan singkat tentang produktivitas akan disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam tulisan ini. 1.1 PRODUKTIVITAS NASIONAL Sebagai salah satu ‘ukuran’ yang sangat penting tentang daya saing adalah produktivitas. Produktivitas secara umum dapat dimaknai sebagai kemampuan menghasilkan produk (barang, jasa dan/atau keduanya). Produk atau output adalah hasil suatu proses yang melibatkan satu atau beberapa input. Chase dan Aquilano (1989) menyebutkan bahwa produksi atau output merupakan hasil dari proses transformasi sejumlah input, dalam suatu sistem produksi. Komponen-komponen sistem produksi dapat berupa orang, mesin, peralatan dan manajemen. Dengan lebih sederhana Heizer dan Render (2006) menyebutkan produksi adalah serangkaian aktivitas yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi output. Dalam konteks ekonomi mikro produksi juga disebut sebagai proses transformasi input menjadi output. Hal ini bisa kita lihat misalkan dalam Varian (1992), Mas-Colell, Whinston dan Green (1995), Binger dan Hoffman (1988). Hubungan fungsional antara input dengan output dipandang sebagai teknologi (Varian, 1992). Menurut Khalil (2000), produktivitas adalah rasio antara output dengan sumberdaya input. Untuk perusahaan manufaktur, sumberdaya input meliputi modal, material, tenaga kerja dan energi. Baik input maupun output harus diukur dengan satuan yang sama, seperti misalnya nilai mata uang.
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Produktivitas merupakan ukuran yang baik untuk melihat efisiensi. Dalam level nasional, produktivitas merupakan faktor yang sangat penting dalam upaya meningkatkan standar hidup. Produktivitas nasional dapat ditakar sebagai output dalam ukuran produk domestik bruto (PDB) dibagi input dalam ukuran jumlah jam kerja tenaga kerja. Sedangkan standar hidup ditakar dengan pendapatan per kapita yang dalam hal ini dapat diukur dengan PDB dibagi populasi. Kenaikan produktivitas tenaga kerja akan berkontribusi pada pertumbuhan PDB dan juga meningkatkan pendapatan per kapita. Masih menurut Khalil (2000), produktivitas sangat tergantung pada teknologi. Hal ini diambil contoh studi Denison (1985) yang menunjukkan bahwa duapertiga bahkan 80% pertumbuhan produktivitas Amerika Serikat selama depresi besar, baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh inovasi teknologi. Karena faktor-faktor seperti mesin, peralatan dan bahan baku menggambarkan besarnya modal yang ditanamkan dalam kegiatan produksi, maka para pemikir ekonomi klasik menggolongkan semua input selain tenaga kerja sebagai modal (kapital). Oleh karena itu secara umum produksi dipengaruhi oleh input berupa kapital dan tenaga kerja. Persamaan Fungsi Produksi Nasional : Y = F (K,L)…………………. (2.1) Keterangan: Y : Produksi / Output Nasional K : Jumlah Kapital L : Jumlah Tenaga Kerja
Pada persamaan tersebut produktivitas nasional yang merujuk pada pengertian Khalil (2000) di atas, dapat dibagi menjadi produktivitas kapital dan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja dirumuskan sebagai Y/L. Sedangkan produktivitas kapital dirumuskan sebagai Y/K. Jika diperhatikan, maka besarnya produktivitas kapital merupakan kebalikan dari angka capital output ratio (COR). Dalam hal ini COR = K/Y. Konsep COR (dan juga ICOR) merupakan konsep yang disampaikan oleh Harrod-Domar dalam analisis pertumbuhan ekonomi sebagai pengaruh dari investasi. Semakin tinggi nilai COR maka semakin rendah produktivitas dari kapital. Investasi dapat diartikan sebagai perubahan kapital, atau ∆K. ICOR (incremental capital
PRODUKTIVITAS FAKTOR TOTAL
output ratio) menunjukkan besarnya investasi per perubahan output, ∆Y. Atau ICOR = ∆K/∆Y. Ini berarti semakin besar nilai ICOR, semakin kecil produktivitas dari investasi dalam menghasilkan perubahan output. Dalam perkembangannya produktivitas tidak hanya diukur secara statis atau dari jumlah produksi per jumlah input pada suatu tahun. Melainkan juga diukur dari pertumbuhan produksi per pertumbuhan input, sebagaimana yang dikemukakan oleh Harrod-Domar. Dengan menggunakan input kapital dan tenaga kerja, Solow (1957) melakukan pengukuran produktivitas nasional di Amerika Serikat. Hasilnya di luar dugaan bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh tenaga kerja dan kapital saja. Terbukti jika dijumlahkan maka pertumbuhan kapital dan tenaga kerja masih kurang dari besarnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Hal ini berarti ada faktor di luar kapital dan tenaga kerja yang ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tersebut. Faktor di luar kapital dan tenaga kerja tersebut kemudian dipercaya sebagai teknologi (dalam pengertian luas). 1.2 PRODUKTIVITAS FAKTOR TOTAL Produktivitas Faktor Total atau TFP �����(total factor productivity) merupakan pendekatan untuk mengetahui peranan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi, yang secara matematis diturunkan oleh Solow sebagai faktor sisa. Sebagai faktor sisa, TFP dihitung dengan mengurangi pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan kapital dan pertumbuhan tenaga kerja setelah keduanya dikalikan dengan sharenya masing-masing.
Persamaan Fungsi Produksi Cobb-Douglas : α
α
Y=AegA K L1- …………………. (3.1) Keterangan: Y : Total Pendapatan Wilayah K : Jumlah Kapital (Modal) L : Jumlah Tenaga Kerja A : Teknologi
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Beberapa kajian APO (Asian Productivity Organization) menggunakan teknik yang sama untuk menghitung TFP, yakni menghitung terlebih dahulu pertumbuhan ekonomi, kapital dan tenaga kerja, kemudian terakhir menghitung TFP dari selisih pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja. Dalam hal ini nilai (1-α) dalam persamaan pertumbuhan dihitung sebagai pembagian antara total upah tenaga kerja dengan total nilai tambah. Jika (1-α) sudah diperoleh untuk setiap tahun yang diteliti, maka sudah tentu nilai α juga akan diperoleh. Teknik demikian sering disebut dengan teknik growth accounting. �������������������������������������������������������� Salah satu metode perhitungan dengan menggunakan teknik growth accounting dilakukan oleh Hananto Sigit (2002), untuk menghitung TFP Indonesia. Persamaan Fungsi Produksi Hananto Sigit :
Q t = A tF(K t, L t) …..………….
(3.4)
Keterangan: Q : Total Pendapatan Wilayah K : Jumlah Kapital (Modal) L : Jumlah Tenaga Kerja A : Teknologi
Berdasarkan teori produktivitas tersebut, maka dapat diperoleh gambaran produktivitas nasional di Indonesia. Produktivitas Indonesia secara kewilayahan dapat ditunjukkan oleh besarnya produk domestik bruto (PDB). Data PDB Indonesia selama kurun waktu tahun 2000—2007 terdapat dalam Tabel 1.1. Tergambarkan dalam tabel tersebut bahwa PDB Indonesia mengalami peningkatan secara riil, mengingat data tersebut dibuat atas dasar harga konstan tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas Indonesia secara riil mengalami kenaikan. Besarnya kenaikan tersebut rata-rata 4,26% per tahun.
PRODUKTIVITAS FAKTOR TOTAL
Tabel 1.1 PDB, Produktivitas Tenaga Kerja dan Produktivitas Modal Indonesia 2000-2007, Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000. Tahun
PDB (Rp. Milyar)
Produktivitas TK (Rp. Juta/orang)
Produktivitas Modal
2000
1.427.590,20
15,962
0,408
2001
1.413.122,51
15,591
0,391
2002
1.447.531,61
15,795
0,387
2003
1.511.294,76
16,288
0,391
2004
1.610.476,15
17,184
0,400
2005
1.716.116,29
18,074
0,407
2006
1.791.867,30
18,771
0,406
2007
1.907.665,41
19,888
0,412
Sumber: BPS, diolah. Jika dilihat tahun demi tahun, maka kenaikan PDB Indonesia terjadi pada setiap tahun, kecuali pada tahun 2001. PDB tahun 2001 lebih kecil dari pada PDB tahun 2000. Penurunan PDB pada tahun 2001 disebabkan penurunan produkstivitas, baik tenaga kerja maupun modal, pada tahun tahun yang sama. Produktivitas tenaga kerja juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, kecuali tahun 2001. Hal ini bisa dilihat dalam kolom 3 Tabel 1.1. Secara keseluruhan dari tahun 2000 ke tahun 2008 telah terjadi kenaikan produktivitas dari Rp.15,96 juta menjadi Rp.19,99 juta per tahun per tenaga kerja. Rata-rata terjadi kenaikan sebesar 3,23% per tahun. Sedangkan produktivitas modal terdapat dalam kolom 4 dalam Tabel 1.1. Pada tahun 2000 produktivitas modal sebesar 0,408. Artinya setiap penanaman modal sebesar satu rupiah akan memberikan pendapatan sebesar Rp.0,408 dalam waktu satu tahun. Produktivitas modal mengalami kenaikan setiap tahun pada tahun 2003, 2004 dan 2007,dan mengalami penurunan pada tahun 2001, 2002 dan 2006. Secara keseluruhan produktivitas modal mengalami pertumbuhan per tahun ratarata sebesar 0,15%; tidak sebesar pertumbuhan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas teknologi, sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelumnya, dapat tercermin pada total factor productivity (TFP). Hasil perhitungan TFP Indonesia oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) untuk tahun 2000—2007 (Prihawantoro, et al., 2009) dapat dilihat dalam Tabel 1.2.
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Terlihat dari hasil perhitungan TFP Indonesia, bahwa selama kurun waktu 2000—2007 teknologi memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali pada tahun 2001. Pada tahun 2001, turunnya produktivitas nasional diketahui melalui penurunan PDB yang dipengaruhi bukan hanya oleh penurunan produktivitas tenaga kerja dan modal, tetapi juga oleh turunnya produktivitas teknologi. Jika dihitung rata-ratanya maka TFP selama tahun 2000—2007 adalah 1,69%. Apabila TFP dianggap sebagai “teknologi,” maka hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan teknologi mencapai 1,69% per tahun. Dalam kurun waktu yang sama pertumbuhan PDB rata-rata adalah 4,21% per tahun. Sehingga kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan produktivitas nasional adalah 40,20% (sama dengan 1,69 : 4,21). Tabel 1.2 TFP Indonesia Tahun 2000—2007. Tahun TFP (%) 2000 2,58 2001 -3,41 2002 0,09 2003 2,03 2004 3,65 2005 3,30 2006 1,84 2007 3,46 Sumber: Prihawantoro, et al., (2009). Van der Eng (2009) mengungkap perkembangan TFP Indonesia dalam periode 1971-2007. Dalam periode itu, perkembangan TFP Indonesia pertumbuhannya negatif (-4%). Namun jika ditelaah dalam periode 2000-2007, TFP Indonesia tumbuh 1,7% per tahunnya. Hasil yang agak berbeda diungkap oleh Alisjahbana (2009). Pada periode 1971-2007, TFP berkembang dengan pertumbuhan 0,29% per tahun., namun tumbuh sekitar 1,9% per tahun pada periode 2000-2007. Walaupun begitu, keduanya meyakini indikasi perkembangan teknologi di Indonesia, termasuk yang bersifat embodied dalam perkembangan modal (dan juga SDM/tenaga kerja), yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sangat boleh jadi, ini juga mengindikasikan bahwa inovasi mulai semakin berkembang terutama dalam 10 tahun terakhir, walaupun masih dalam skala dan kualitas yang masih terbatas.
TINJAUAN PERBANDINGAN PRODUKTIVITAS
1.3 TINJAUAN PERBANDINGAN PRODUKTIVITAS Bagian ini menyampaikan secara singkat perbandingan produktivitas antarnegara dan antara beberapa provinsi di Indonesia. Berdasarkan perhitungan produktivitas nasional sebagaimana yang dipaparkan pada bagian sebelumnya dapat diketahui peringkat produktivitas Indonesia di antara produktivitas negara lain. Sedangkan untuk mengetahui variasi produktivitas di Indonesia, disampaikan perbandingan antar-provinsi. 1.3.1 Perbandingan Regional Berikut adalah perbandingan produktivitas nasional dengan Provinsi Jawa Tengah sebagai provinsi yang padat karya dan DKI Jakarta yang padat modal. Perbandingan produktivitas tenaga kerja diperlihatkan dalam Tabel 1.3. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa produktivitas tenaga kerja Jawa Tengah berada di bawah produktivitas nasional, sedangkan produktivitas tenaga kerja di DKI Jakarta berada di atas produktivitas nasional. Meskipun besarnya produktivitas jauh berbeda, Jawa Tengah dan DKI Jakarta memiliki pertumbuhan produktivitas tenaga kerja yang hampir sama, yakni sekitar 50% dalam kurun waktu 6 tahun dari tahun 2000 sampai tahun 2007. Tabel 1.3 Perbandingan Produktivitas Tenaga Kerja (Juta Rupiah per TK). Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Nasional 15,962 15,591 15,795 16,288 17,184 18,074 18,771 19,888
Jateng 7,726 7,884 8,119 8,456 8,745 9,200 9,640 10,153
DKI Jakarta 57,154 58,956 60,930 63,414 66,486 70,344 74,180 78,833
Sementara itu Tabel 1.4. menunjukkan perbandingan produktivitas modal. Hasilnya berbalikan dengan yang terdapat dalam Tabel 1.3. Dalam produktivitas modal ini justru angka DKI Jakarta berada di bawah angka nasional, sedangkan Jawa Tengah berada di atas nasional.
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Fenomena di atas menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan wilayah yang padat modal, sehingga produktivitas tenaga kerjanya tinggi. Intensitas modal yang relatif besar di DKI Jakarta menyebabkan rasio PDB/modal kecil. Sebaliknya Jawa Tengah merupakan wilayah yang padat karya, sehingga produktivitas modalnya tinggi. Tabel 1.4 Perbandingan Produktivitas Modal. Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Nasional 0,408 0,391 0,387 0,391 0,400 0,407 0,406 0,412
Jateng 0,516 0,530 0,544 0,563 0,577 0,590 0,597 0,605
DKI 0,241 0,248 0,256 0,266 0,274 0,282 0,289 0,297
Perbandingan TFP dapat dilihat dalam Tabel 1.5. Di sini terlihat bahwa baik di Jawa Tengah maupun DKI Jakarta, peranan teknologinya dalam pertumbuhan ekonomi cukup baik dan stabil, Meskipun demikian terlihat bahwa TFP DKI Jakarta sedikit lebih tinggi dari pada Jawa Tengah. Di Jawa Tengah besarnya TFP berkisar sekitar 2,5%. Sedangkan di DKI Jakarta sejak tahun 2001 besarnya TFP berkisar pada angka 3,5%. BPPT (Prihawantoro, et al., 2009) membandingkan hasil perhitungan TFP regional dengan hasil perhitungan TFP nasional untuk mengetahui peta perkembangan teknologi setiap provinsi relatif terhadap nasional. Dalam Gambar 1.1. disajikan diagram TFP 11 provinsi dan Indonesia rata-rata tahun 2000—2007 yang menunjukkan perkembangan teknologi setelah masa krisis 1998. Tabel 1.5 Perbandingan TFP. Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Nasional 2,58 -3,41 0,09 2,03 3,65 3,30 1,84 3,46
Jateng 2,07 2,57 2,65 3,60 2,80 3,02 2,24 2,45
DKI 1,40 3,04 3,27 3,79 3,50 3,55 3,34 3,67
TINJAUAN PERBANDINGAN PRODUKTIVITAS
Dalam Gambar 1.1. dapat terlihat rata-rata TFP Indonesia dan 11 provinsi pada periode pemulihan ekonomi, tahun 2000 – 2007. Terdapat perbedaan perkembangan atau pertumbuhan teknologi antardaerah. Ini bisa dilihat dari TFP rata-rata untuk 11 provinsi yang diteliti. Jika dibandingkan dengan angka nasional, maka 7 provinsi memiliki kecepatan pertumbuhan teknologi (TFP) melebihi nasional, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Maluku. Selanjutnya satu provinsi, yaitu Sumatera Utara memiliki angka TFP hampir sama dengan nasional dan 3 provinsi memiliki TFP di bawah angka nasional, yaitu DI Yogyakarta, Kalimantan Timur dan Papua.
Gambar 1.1 Rata-rata TFP Indonesia dan 11 Provinsi Tahun 2000—2007 (Persen). 1.3.2 Perbandingan Internasional Beberapa peneliti atau lembaga penelitian telah melakukan perhitungan TFP Indonesia dan beberapa negara lainnya. Penelitian dilakukan pada tahun yang berbeda-beda. Hasilnya menunjukkan bahwa TFP Indonesia tidaklah terlalu menonjol di antara negara ASEAN lainnya. Hal ini tercermin dalam Tabel 1.6, 1.7 dan 1.8; yang secara berturut-turut merupakan perhitungan TFP oleh APO (Asian Productivity Organization), Collin dan Bosworth (1996) serta Sarel (1997). Walaupun kajian tersebut dilakukan pada periode waktu berbeda, sebagaimana juga diungkapkan
10
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
oleh indikator daya saing lainnya seperti WEF dan IMD, maka hal ini menunjukkan masih rendahnya daya saing Indonesia dibanding beberapa negara ASEAN lainnya. Tabel 1.6 Hasil Studi APO. Negara
TFP 1995-1999
Indonesia
-3,67%
Malaysia
0,32%
Thailand
2,16%
Singapura
-0,41%
Philipina
1,03%
Vietnam
3,22%
Tabel 1.7 Hasil Studi Collin and Bosworth (1996). Negara
TFP 1960-1994
Indonesia
0,8%
Malaysia
0,9%
Thailand
1,8%
Singapura
1,5%
Philipina
-0,4%
Korea
1,5%
Taiwan
2,0%
Tabel 1.8 Hasil Studi Sarel (1997). Negara
TFP 1978-1996
Indonesia
1,2%
Malaysia
2,0%
Thailand
2,0%
Singapura
2,2%
Philipina
-0,8%
PENINGKATAN KAPASITAS INOVATIF DAN KEMITRAAN
11
1.4 PENINGKATAN KAPASITAS INOVATIF DAN KEMITRAAN Perkembangan inovasi, difusi dan proses pembelajaran diyakini semakin menentukan produktivitas atau daya saing. Karena itu, penguatan sistem inovasi menjadi agenda yang sangat penting di banyak negara, termasuk Indonesia. Pembangunan sistem inovasi di suatu negara kini tak mungkin lagi dilaksanakan secara terisolasi dan para pelakunya bekerja sendiri. Karena dunia saat ini tengah mengarah pada globalisasi yang disertai perubahan yang kompleks dan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu dinamis. Karena itu, agar berhasil dalam pembangunan sistem inovasi, para pemangku kepentingan pembangun sistem ini harus memegang dan mendorong perbaikan lima faktor yaitu keterkaitan (linkages), kemitraan (partnership), jaringan (networking) dan interaksi serta sinergi positif sebagai “faktor kunci” keberhasilan. Hal tersebut dibuktikan oleh serangkaian studi yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 1997 dan 1999, kemudian Freidheim Jr. (1999) dan Kautz (2000), serta Survei “Trendsetter Barometer” oleh Pricewaterhouse Coopers (2000 dan 2004). Mereka mengungkapkan kinerja bisnis lebih baik pada perusahaan-perusahaan yang beraliansi strategis. Studi yang dilakukan OECD di berbagai negara maju itu menunjukkan, kemitraan antarberbagai pihak termasuk pengembang atau penyedia teknologi, dan pengguna teknologi ternyata berpengaruh positif bagi kinerja organisasi atau perusahaan. Jadi, keberhasilan inovasi itu sangat tergantung pada adanya interaksi yang efektif antara basis atau sumber pengetahuan dan sektor bisnis. Kini memang banyak negara maju yang telah meyakini kian pentingnya pembentukan jejaring dan kemitraan antar-organisasi perusahaan maupun non perusahaan. Hal inilah yang mendasari negara-negara itu kemudian membangun jaringan, interaksi, keterkaitan dan kemitraan sinergis multipihak dalam sebuah kawasan terpadu. Beberapa contoh di antaranya adalah Silicon Valley dan Research Triangle (Amerika Serikat), Third Italy (Italia), British Motor Sport Industry dan Oxfordshire/ Northamptonshire (Inggris). Dalam kawasan itu para pelaku bisnis terpenuhi keinginannya untuk mendapat layanan informasi yang semakin sarat muatan iptek dari waktu ke waktu. Perubahan ini juga mendorong terjadinya pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam praktik bisnis dan peranan pemerintah. Pergeseran paradigma yang serupa terjadi pula dalam kebijakan inovasi (kebijakan untuk memperkuat sistem inovasi), termasuk aktivitas penelitian, pengembangan dan perekayasaan
12
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
(litbangyasa). Di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara ekonomi maju lainnya pola kemitraan pemerintah-swasta (public-private partnership) berkembang menjadi suatu model/mekanisme pengorganisasian yang sangat menentukan dalam mendorong litbangyasa, inovasi dan mempercepat difusi inovasi ke sektor industri. Potensi suatu negara sebagai entitas ekonomi dan politik untuk menghasilkan aliran inovasi yang komersial - disebut sebagai Kapasitas Inovatif Nasional/KIN (national innovative capacity/NIC) - menurut Porter dan Stern (2001), pada dasarnya dipengaruhi oleh tiga elemen penting yang membentuk kemampuan perusahaanperusahaan di suatu lokasi tertentu untuk berinovasi dan membangun reputasi di tingkat global. Tiga elemen itu adalah:
Infrastruktur inovasi umum (common innovation infrastructure): yang merupakan sehimpunan investasi dan kebijakan “terobosan” yang mendukung inovasi dalam ekonomi secara keseluruhan. Klaster - lingkungan spesifik untuk inovasi (the cluster-specific environment for innovation): yang tercerminkan dalam the “four diamond” framework. Kualitas keterkaitan (the quality of linkages): yaitu hubungan antara infrastruktur inovasi umum dengan lingkungan klaster industri bersifat timbal-balik. Klaster yang kuat akan turut mendorong berkembangnya infrastruktur inovasi umum dan mendapatkan manfaat darinya. Beragam organisasi dan jaringan formal maupun informal (kelembagaan kolaborasi) dapat menghubungkan keduanya. Kondisi umum di Indonesia sejauh ini belum mendukung perkuatan KIN tersebut. Hal ini terungkap dalam kajian-kajian yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) dan beberapa studi terkait lainnya. Dalam kajian itu ditemukan ada beragam faktor yang mempengaruhi kegagalan sistemik dalam pembentukan keunggulan daya saing nasional. Perkembangan sumber daya iptek baik di tingkat daerah maupun nasional belum memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembentukan keunggulan posisi (positional advantage) Indonesia di tengah dinamika perdagangan global. Sementara itu, posisi perdagangan Indonesia semakin menurun karena adanya kecenderungan pasar yang semakin didominasi oleh produk-produk asing yang berbasis teknologi yang lebih kompetitif. Walaupun begitu, tahun-tahun belakangan ini beberapa indikator menunjukkan posisi daya saing Indonesia secara internasional dinilai membaik.
PENINGKATAN KAPASITAS INOVATIF DAN KEMITRAAN
13
Indonesia akan sulit memperbaiki posisi perdagangannya di dunia internasional tanpa adanya investasi yang terarah untuk memperkuat keterkaitan antara pembentukan kemampuan iptek dan pembentukan keunggulan daya saing. Kunci dari hal ini adalah berkembangnya inovasi, difusi dan proses pembelajaran secara dinamis dan semakin adaptif terhadap dinamika perubahan. Hal tersebut bukan semata isu pembangunan teknis-teknologis semata, melainkan merupakan proses sosial-kultural, yang evolusinya perlu dipercepat. Untuk mencapai itu, keterkaitan (linkages) dan kemitraan, baik antarorganisasi pada tataran mikro maupun dalam konteks makro di tingkat nasional, semakin menjadi isu penting. Dalam pembentukan daya saing, kemitraan terutama antar pengembang/penyedia iptek dan antara knowledge pool (perguruan tinggi dan/atau lembaga litbangyasa) sebagai sumber pengetahuan/teknologi dengan penggunanya/user (industri) makin merupakan salah satu isu sentral.
15
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KEBIJAKAN INOVASI
2.1 KONSEP SISTEM INOVASI Kompleksitas dan dinamika inovasi mendorong cara pandang yang lebih holistik dan terintegrasi tentang sistem inovasi. Pendekatan kesisteman tentang inovasi sesungguhnya telah mulai banyak dibicarakan di pertengahan tahun 1980an, dan kini semakin luas didiskusikan. 2.1.1 Definisi Sistem Inovasi Sejak seperempat abad lalu itu kemudian berkembang beragam cara pandang dan pendefinisian tentang sistem inovasi. ������������������������������� Berikut ini adalah konsep dari beberapa definisi yang berkembang tentang sistem inovasi dari beragam sudut pandang menurut beberapa pakar: Freeman (1987): sistem inovasi adalah jaringan lembaga di sektor publik dan swasta yang interaksinya memprakarsai, mengimpor (mendatangkan), memodifikasi dan mendifusikan teknologi-teknologi baru. � Lundvall (1992): sistem inovasi merupakan elemen dan hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi di dalam suatu batas negara. Pada bagian lain Lundvall juga menyampaikan bahwa sistem inovasi merupakan suatu sistem sosial di mana pembelajaran (learning), pencarian (searching), dan penggalian/eksplorasi (exploring) merupakan aktivitas sentral, yang melibatkan interaksi antara orang/masyarakat dan reproduksi dari pengetahuan individual ataupun kolektif melalui pengingatan (remembering). Nelson dan Rosenberg (1993): Sistem inovasi merupakan sehimpunan aktor yang secara bersama memainkan peran penting dalam mempengaruhi kinerja inovatif (innovative performance). Metcalfe (1995): Sistem inovasi merupakan sistem yang menghimpun institusiinstitusi berbeda yang berkontribusi, secara bersama maupun individu, dalam
�������� ������ Freeman dalam Technology and Economic Performance: Lessons from Japan; Metcalfe dalam Stoneman P. (ed), “Handbook of the Economics of Innovation and Technological Change.” Lihat http://www.sussex.ac.uk/Users/ sylvank/index.php
16
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL pengembangan dan difusi teknologi-teknologi baru dan menyediakan kerangka kerja (framework) di mana pemerintah membentuk dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi proses inovasi. Dengan demikian, sistem inovasi merupakan suatu sistem dari lembaga-lembaga yang saling berkaitan untuk menciptakan, menyimpan, dan mengalihkan (mentransfer) pengetahuan, keterampilan dan artifacts yang menentukan teknologi baru. OECD (1999): sistem inovasi merupakan himpunan lembaga-lembaga pasar dan non-pasar di suatu negara yang mempengaruhi arah dan kecepatan inovasi dan difusi teknologi. Edquist (2001): Sistem inovasi merupakan keseluruhan faktor ekonomi, sosial, politik, organisasional dan faktor lainnya yang mempengaruhi pengembangan, difusi dan penggunaan inovasi. Jadi, �������������������������� sistem inovasi pada dasarnya menyangkut determinan dari inovasi. Arnold, et al. (2001) dan Arnold, et al. (2003) menggunakan istilah ”sistem riset dan inovasi nasional” (national research and innovation system), yaitu keseluruhan aktor dan aktivitas dalam ekonomi yang diperlukan bagi terjadinya inovasi industri dan komersial dan membawa kepada pembangunan ekonomi.
Dari berbagai pendapat para pakar seperti tersebut selanjutnya dapat disintesiskan secara ����������������������������������������������������������������� konseptual bahwa yang dimaksud dengan �������������������� sistem inovasi pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari sekumpulan entitas pelaku (aktor), kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses pembelajaran (Taufik, 2005c). Pengertian inovasi dalam arti luas juga menekankan arti pentingnya konteks, tidak hanya perusahaan teknologi terdepan atau peneliti kelas dunia, tetapi kemampuan teknologi nasional dan proses dalam mentransfer ini menjadi peningkatan daya saing bangsa dan penguatan kohesi sosial dalam rangka kemakmuran ekonomi (kesejahteraan rakyat), kemandirian dan kemajuan peradaban bangsa. Pengertian istilah “sistem inovasi” dalam hal ini pada dasarnya meliputi konteks “inovasi dan difusinya”. Walaupun demikian, istilah “sistem inovasi dan difusi” tidak lazim digunakan dalam literatur sistem inovasi. Kata “sistem” dalam istilah sistem inovasi menunjukkan cara pandang yang secara sadar memperlakukan suatu kesatuan menyeluruh (holistik) dalam konteks “inovasi dan difusi.” Memang sampai saat ini belum ada pendapat yang mendefinisikan tentang sistem inovasi secara baku
KONSEP SISTEM INOVASI
17
dan diterima pa��������������������������������������������������������������� ra pakar secara luas. Setiap pakar atau pihak yang menggunakan istilah ini mendefinisikan pengertian masing-masing tentang sistem inovasi dari perpektif yang sesuai dengan obyek yang sedang dilakukan. Namun demikian apabila dicermati secara mendalam ada substansi yang sama yang dapat dijadikan sebagai benang merah dalam mengkaji istilah sistem inovasi. Sebagaimana telah disampaikan, sistem inovasi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari sekumpulan pelaku (aktor), kelembagaan, jaringan, kemitraan, hubungan interaksi dan proses produktif yang saling mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya. Ini juga mencakup teknologi dan penerapannya serta proses pembelajaran dalam masyarakat. Dengan demikian maka sistem inovasi sebenarnya mencakup basis ilmu pengetahuan dan teknologi (termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan, aktivitas litbangyasa), basis produksi (meliputi aktivitas nilai tambah bagi pemenuhan kebutuhan bisnis dan non bisnis serta masyarakat umum), pemanfaatan dan difusinya dalam masyarakat serta proses pembelajaran yang terus berkembang secara terus menerus. Nelson (1993) menekankan bahwa sistem inovasi merupakan suatu ������� konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara para pelaku atau aktor di lembaga iptek dalam suatu sistem yang kolektif dalam penciptaan (creation), penyebaran (diffussion), dan penggunaan (utilization) ilmu pengetahuan (knowledge) untuk pencapai inovasi. Pada tataran nasional, sistem inovasi disebut sistem inovasi nasional (SIN). Secara prinsip, inti atau “ruh” dari konsep SIN adalah jejaring (network). Secara umum jejaring merupakan rangkaian kemitraan, keterkaitan/hubungan, dan pemetaan dari interaksi aktor lembaga serta variabel lainnya sehingga membentuk pola (pattern) jejaring tertentu. Pengertian jejaring dalam SIN dapat dipersepsikan secara sempit maupun luas. Sementara pada tataran teritori yang lebih sempit (daerah/lokal), sistem inovasi sering disebut sistem inovasi daerah (SID). Selain itu, dalam konteks khusus seperti sektor atau industri tertentu, maka pendekatan sistem inovasi sering menggunakan istilah sistem inovasi sektoral/industrial (atau sistem inovasi tekno-industri).
18
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
2.1.2 Model Sistem Inovasi Cara pandang tentang perkembangan inovasi berkembang dari waktu ke waktu. Pada awalnya, ada p�������������������������������������������������� emahaman yang menyebutkan bahwa inovasi pada masa lampau didominasi oleh “proses sekuensial-linier”. Dalam hal ini hasil temuan (invention/ discovery/ technical novelty) merupakan sumber dan bentuk inovasi yang berada dalam sekuen (urut-urutan) yang diawali mulai dari riset dasar riset terapan litbangyasa manufaktur/produksi distribusi (sering disebut technology push). Pola ini berkembang terutama pada periode 1960an hingga 1970an (ada sebagian yang menyatakan periode pasca Perang Dunia II hingga tahun 1960an). Kemudian, pandangan selanjutnya meyakini bahwa perubahan kebutuhan permintaanlah yang menjadi pemicu atau penarik dari inovasi (sering disebut demand pull) berkembang pada periode selanjutnya sampai periode 1980an. Namun pandangan “sekuensial-linier” push ataupun pull (atau ada kalanya disebut pipeline linear model) tersebut tidak sepenuhnya benar. Dalam sebagian besar praktiknya, inovasi lebih merupakan proses interaktif dan iteratif, proses pembelajaran (learning process) yang merupakan bagian penting dalam proses sosial. Artinya, inovasi pada umumnya tidak terjadi dalam situasi yang terisolasi. Model ini sering juga disebut dengan model feedback-loop atau chain-link atau model inovasi interaktif atau nonlinier. Model inovasi chain-link atau feedback-loop diajukan oleh Kline dan Rosenberg (1986). Sementara itu Dodgson dan Bessant (1996a,b) melontarkan model inovasi interaktif (non-linier). Model ini merupakan salah satu konsep yang paling sering dirujuk oleh banyak pihak terkait dengan “pergeseran” pandangan (paradigm shift) tentang pola inovasi. M��������������������������������������������������������������������� enurut pemikiran Kline dan Rosenberg model inovasi dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1. dan 2.2. sebagai berikut: Model tersebut berpijak pada paradigma bahwa inovasi merupakan sistem yang terdiri dari beragam elemen yang saling berinteraksi, merupakan proses iteraktif dan interaktif serta merupakan proses sosial yang dinamis. Dengan demikian, maka penciptaan, pemanfaatan dan difusi pengetahuan serta proses pembelajaran menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan.
KONSEP SISTEM INOVASI
19
Riset – Penciptaan Pengetahuan (Knowledge Creation) Proses Transfer (Beragam)
Kebutuhan Pasar
Invent Pembuktian Konsep
Analisis Persaingan
Desain detail
Redesain
Pasar
Produksi
Distribusi
Uji produk
Dukungan klien
Prototyping
Siklus Pengembangan Produk Sumber : Kline dan Rosenberg (1986), Dikutip dari Taufik (2005).
Gambar 2.1 Model Inovasi Chain-Link. MODEL LINIER Technology Push Sains Dasar
Pengembangan Teknologi
Manufaktur
Pemasaran
Penjualan
Demand Pull Kebutuhan Konsumen
Pengembangan
Manufaktur
Penjualan
MODEL INTERAKTIF Gagasan Baru
Pengembangan Gagasan
Teknologi Baru
Kebutuhan Masyarakat dan Pasar
Pengembangan
Pembuatan Prototipe
Manufaktur
Pemasaran & Penjualan
Kemajuan Teknologi dan Produksi
Sumber : Dodgson dan Bessant (1996a), Dikutip dari Taufik (2005).
Gambar 2.2 Model Inovasi Interaktif.
Pasar (Market Place)
20
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Dalam model linear, suatu inovasi berkembang melalui dua proses utama yang linier dan sekuensial, yaitu dorongan teknologi (technology push) dan tarikan permintaan (demand pull). Masing-masing mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu penjualan. Kelemahan dalam pendekatan ini adalah bahwa inovasi berkembang secara linier dan sekuensial. Dalam model inovasi interaktif, terjadi interaksi antara permintaan atau kebutuhan masyarakat dan penawaran atau kemajuan teknologi dan produksi. ������� Proses inovasi merupakan rangkaian perubahan dalam sistem yang utuh, bukan saja pada perangkat keras tetapi juga pada lingkungan pasar, sarana produksi dan pengetahuan, serta konteks sosial suatu organisasi inovasi. Suatu ������������������������������������ inovasi akan berhasil apabila secara teknis dapat memenuhi semua kebutuhan pasar melalui penjualan. Sistem inovasi dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih luas (ilustrasi Gambar 2.3) yaitu sebagai sebuah jaringan/mata rantai antara litbangyasa, pengetahuan dan pasar serta beragam elemen sistem yang saling terkait. Ide mengenai inovasi bisa berasal dari banyak sumber termasuk pengenalan terhadap kebutuhan pasar. Dengan pemahaman ini maka inovasi dapat berwujud dalam berbagai bentuk, antara lain: 1) pengembangan bertahap produk yang sudah ada, 2) penerapan teknologi yang sudah ada pada pasar baru, dan 3) penggunaan teknologi baru pada pasar yang sudah ada, dan sebagainya. Dengan demikian, maka paradigma inovasi dengan model interaktif akan dapat dipahami secara lebih dinamis. Inovasi pada dasarnya berkembang sebagai proses sosial. Tinjauan literatur mengungkapkan bahwa ���������������������������������� terdapat lima aspek yang spesifik perlu diperhatikan tentang sistem inovasi, yaitu: Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusi inovasi dan pembelajaran. Aktor dan/atau organisasi (lembaga) yang relevan dengan perkembangan inovasi (dan difusinya), seperti misalnya pelaku bisnis, perguruan tinggi, lembaga litbangyasa, pembuat kebijakan. Kelembagaan, hubungan/keterkaitan dan interaksi antar pihak yang mempengaruhi inovasi dan difusinya serta proses pembelajaran. Fungsionalitas, yaitu menyangkut kegunaan dan peran kunci dari elemen, interaksi dan proses inovasi dan difusi serta proses pembelajaran. Aktivitas, yaitu menyangkut upaya/proses atau tindakan penting dari proses inovasi dan difusi serta pembelajaran.
KONSEP SISTEM INOVASI
21
Permintaan (Demand) Konsumen (permintaan akhir) Produsen (permintaan antara)
Sistem Politik
Sistem Pendidikan dan Litbang
Pemerintah
Pendidikan dan Pelatihan Profesi
Penadbiran (Governance)
Pendidikan Tinggi dan Litbang
Kebijakan RPT
Litbang Pemerintah
Sistem Industri Intermediaries
Lembaga Litbangyasa
Brokers
Perusahaan Besar UKM “Matang/ Mapan”
PPBT
Supra- dan Infrastruktur Khusus Standar dan Norma
Dukungan Inovasi dan Bisnis
HKI dan Informasi
Perbankan Modal Ventura
Framework Conditions Kondisi Umum dan Lingkungan Kebijakan pada Tataran Internasional, Pemerintah Nasional, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota • • • • • •
Kebijakan Ekonomi Kebijakan ekonomi makro Kebijakan moneter Kebijakan fiskal Kebijakan pajak Kebijakan perdagangan Kebijakan persaingan
Kebijakan Keuangan
Kebijakan Pendidikan
Kebijakan Promosi & Investasi
Infrastruktur Umum/ Dasar
Kebijakan Industri/ Sektoral
SDA dan Lingkungan
Budaya
• Sikap dan nilai • Keterbukaan terhadap pembelajaran dan perubahan • Kecenderungan terhadap Inovasi dan kewirausahaan • Mobilitas dan interaksi
Catatan : RPT = Riset dan Pengembangan Teknologi (Research and Technology Development) PPBT = Perusahaan Pemula (Baru) Berbasis Teknologi.
Sumber : T aufik (2005)
Gambar 2.3 Suatu Skematik Generik Sistem Inovasi. Skema sistem inovasi tersebut mempunyai kunci yang mendasari koordinasi antara institusi, yang menjadi syarat mutlak dalam suatu sistem inovasi. Hal ini sejalan dengan Metcalfe (1995), yang mengatakan bahwa untuk mencapai koordinasi dalam sistem inovasi diperlukan 3 hal: Motivasi Motivasi yang mendasari institusi dalam bertindak adalah dari norma hukum, dalam hal ini dapat berasal misalnya dari Ideologi Negara ataupun Undang-Undang. Insentif Dalam sistem inovasi diperlukan insentif untuk institusi dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional, dan untuk masyarakat. Saling keterkaitan antara satu sama lain (interconnectedness) Pergeseran paradigma atas inovasi dari konsep linier-sekuensial ke sistem inovasi ini akan berimplikasi pula pada kebijakan di berbagai negara dari waktu ke waktu.
22
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
2.2
IMPLIKASI KEBIJAKAN
2.2.1 Pergeseran Paradigma����������� Kebijakan T�������������������������������������������������������������������������� eori inovasi mengalami pergeseran, yang bermula dari cara pandang parsial dan linier, kemudian berkembang menjadi pendekatan kesisteman������������������ dan dinamis. Ini� diilustrasikan �������������������������������������������������������������������� pada G�������������������������������������������������������������� ambar 2.4. Walaupun begitu, dalam hal ini sebenarnya terdapat tiga ”generasi” penting pergeseran kebijakan inovasi, yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Gambar 2.4 Perkembangan Teori Inovasi. P��������������������������������������������������������������� erkembangan yang terjadi menumbuhkan kesadaran bahwa kebijakan inovasi merupakan proses pembelajaran. Untuk mendorong perkembangan inovasi dibutuhkan upaya-upaya, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak kreatifinovatif dalam pengambilan kebijakan itu sendiri.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
23
Tabel 2.1 ����������������������������������������������������������������� Pergeseran cara pandang terhadap inovasi dan implikasi kebijakan. Cara Pandang
Era
Sebagai residual (faktor ”marjinal”) pertumbuhan/ kemajuan (model-model pertumbuhan neo-klasik dan sebelumnya).
Era di mana inovasi belum memperoleh perhatian khusus (terutama masa sebelum 1960an).
Tidak/belum ada upaya khusus intervensi.
Inovasi sebagai proses sekuensial linier (pineline linear model).
Era Technology push (tahun 1960an – tahun 1970an).
• Tekanan kebijakan pada sisi penawaran sangat dominan (supply driven). • Kebijakan sains/riset sangat dominan. • Kebijakan teknologi/iptek mulai berkembang.
Era Demand pull (1970an – 1980an).
• Tekanan kebijakan pada sisi permintaan sangat dominan (demand driven). • Kebijakan teknologi dan/atau kebijakan iptek berkembang, namun yang bersifat satu arah/sisi (one-side policy) masih dominan.
Era Sistem Inovasi (1980an – sekarang).
• Kebijakan inovasi, dengan kerangka pendekatan sistem. • Kebijakan inovasi merupakan proses pembelajaran yang perlu diarahkan pada pengembangan sistem inovasi yang semakin mampu beradaptasi. • Kebijakan inovasi tak lagi hanya menjadi ranah monopoli Pemerintah ”Pusat,” tetapi juga Pemerintah ”Daerah.”
Inovasi dalam kerangka pendekatan sistem proses interaktif-rekursif (feedback loop/chain link model) dari kompleksitas dan dinamika pengembangan (discovery, invensi, litbangyasa maupun non litbangyasa), pemanfaatan, dan difusi serta pembelajaran secara holistik. Sumber: Taufik (2005c).
Implikasi Kebijakan
24
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Kebijakan inovasi, yaitu sehimpunan kebijakan yang mempengaruhi perkembangan sistem inovasi, hakikatnya bersifat horisontal, vertikal, dan temporal, serta sangat erat dengan proses pembelajaran (learning process) yang mendorong pengembangan kapasitas inovatif. Oleh karena itu, kebijakan inovasi berkaitan erat dengan perubahan, fleksibilitas, dinamisme dan masa depan. Beberapa literatur tentang sistem inovasi dan kebijakan inovasi, menyebutkan ranah (domain) kebijakan inovasi mencakup atau berkaitan dengan kebijakan iptek (termasuk berkaitan dengan aktivitas litbangyasa), kebijakan industri, kebijakan daerah dan kebijakan pendidikan serta kebijakan relevan lainnya yang mempengaruhi perkembangan sistem inovasi. Menurut Edquist (2001), pada prinsipnya terdapat dua hal utama yang diperlukan untuk melakukan intervensi (kebijakan), yaitu: munculnya persoalan atau isu kebijakan yaitu tidak tercapainya tujuan sistem inovasi dan adanya kemampuan lembaga publik untuk memecahkan atau mengurangi persoalan yang bersangkutan. 2.2.2 Kelompok Persoalan Kebijakan Inovasi Kegagalan pasar (market failures) merupakan argumen ”klasik” perlunya intervensi pemerintah bagi kebijakan inovasi (termasuk kebijakan iptek). Tassey (2002, 1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar yang terkait dengan litbangyasa adalah fenomena “investasi yang rendah” (underinvestment) dalam pengembangan dan difusi pengetahuan/teknologi. Menurutnya hal tersebut terjadi dalam empat kategori, yaitu:
�
•
Agregat investasi yang rendah oleh suatu industri, (misalnya karena rendahnya hasil seluruh litbangyasa);
•
Investasi yang rendah dalam litbangyasa terapan di perusahaan baru atau pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);
•
Investasi yang rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada (inkremental) atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidakmemadaian riset teknologi generik);
•
I�������������������������������������������������������������� nvestasi yang rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi (misalnya kurangnya litbangyasa infratechnology);
��������� Beberapa literatur mengelompokkan ���������� ��������������� ������������������� “alasan” kebijakan ������������������� (intervensi) iptek menggunakan ������������ ���������������������� kerangka “neo-klasik” yang luas dikenal dalam ekonomi arus utama (mainstream economics), yang terkadang dikategorikan atas 3 bentuk, yaitu kegagalan pemerintah, kegagalan pasar, dan misi strategis tertentu.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
25
Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically), maka kegagalan pasar yang mengarah kepada investasi yang rendah cenderung berulang terus. Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda membutuhkan pola respon dari pemerintah atau industri-pemerintah yang berbeda pula. Sementara itu, Cornet dan Gelauff (2002), menyoroti teori dan bukti empiris yang menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak berurusan dengan seluruh biaya dan manfaat sosial dari inovasi, dapat menyebabkan kegagalan pasar inovasi (the innovation market). Ada beberapa mekanisme yang dapat menggeser insentif swasta untuk berinovasi dari insentif yang optimal secara sosial:
Knowledge spillovers: pengetahuan baru “bocor/menyebar” ke perusahaan lainnya tanpa kompensasi bagi si inovator. Artinya, dalam penyebarannya, pihak inovator tidak sepenuhnya dapat melindungi pemanfaatan konsep inovasi oleh pihak lain.
Rent spillovers: inovator tidak dapat menarik imbalan dari pelanggannya atas nilai sepenuhnya yang dihasilkan dari inovasi. Istilah knowledge spillovers dan rent spillovers pada dasarnya terkait dengan sifat non rivalry dan non excludability dari inovasi.
Kegagalan pasar asuransi (insurance market failure): risk-averse innovator tidak mampu menanggung sehimpunan risiko inovasi;
Pencurian bisnis (business-stealing effects): inovasi berpotensi memperkuat posisi pelaku bisnis mencuri bisnis pesaingnya. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effect) memperkuat insentif bagi pelaku bisnis, yang melampaui tingkat optimum sosial. Sementara itu, jenis kegagalan pasar yang lain mengurangi insentif tersebut di bawah apa yang dikehendaki oleh masyarakat.
Kegagalan pasar pun dapat menghambat difusi inovasi dalam ekonomi. Ini terutama menyangkut empat hal�������� , yaitu: Informasi tak sempurna (imperfect information): pasar belum sepenuhnya memahami atau terbiasa dengan inovasi dan karenanya enggan mengadopsi inovasi serta berinvestasi dalam perbaikan inovasi;
������������������������ Inovator yang sikapnya lebih ��������������������������� condong “menghindari risiko.” ��������
26
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Eksternalitas jaringan (network externalities): nilai sosial suatu inovasi bergantung pada jumlah penggunanya. ������������������������������� Karena itu, ada insentif untuk menunggu proses mengadopsi inovasi dan menunggu berinvestasi dalam inovasi komplemennya; Kekuatan pasar (market power): para pengguna (pelanggan) berbeda kesediaannya membayar (willingness to pay) inovasi. Oleh karena itu, inovator memulainya dengan membebankan harga tinggi kepada pengguna yang paling awal menghendaki inovasi. Selanjutnya mengurangi harga secara bertahap untuk melayani pengguna yang berikutnya. Kecepatan adopsi biasanya relatif lambat; Keunggulan pelopor (first-mover advantage): suatu inovasi yang kecil saja dapat mendorong produk yang ada menjadi ketinggalan jaman atau kadaluarsa (obsolete). Oleh karena itu, difusi yang cepat akan lebih menarik bagi inovator yang prospektif, namun tidak terlampau menarik bagi masyarakat.
Mencermati ”sistem inovasi” yang ada di Indonesia kita akan menemukan kegagalan sistemik, selain kegagalan pasar (dan kegagalan pemerintah). Hal ini menjadi acuan dalam menyusun landasan bagi pengembangan kebijakan inovasi lebih lanjut. Kebijakan inovasi idealnya harus mengkomplementasi perusahaan dan pasar, bukan menggantikan atau menduplikasinya. Dalam hal ini, menurut Edquist (2001), setidaknya terdapat empat kategori kegagalan sistem (yang sebagian berhimpitan satu dengan lainnya), yaitu: •
Fungsi-fungsi dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada;
•
Organisasi-organisasi yang ada tidak sesuai atau organisasi yang diperlukan tidak ada;
•
Kelembagaan yang ada tidak sesuai atau kelembagaan yang diperlukan tidak ada; atau
•
Interaksi atau keterkaitan antarelemen dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada.
Sementara itu, Smith (2000, 1996) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem inovasi, yaitu:
IMPLIKASI KEBIJAKAN
27
Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in infrastructural provision and investment): Ini menyangkut infrastruktur fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang didukung oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan kementerian dalam pemerintah. Kegagalan transisi (transition failures): Ini berkaitan dengan persoalan yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi. Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengatasi isu demikian namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit. Lock-in failures: Ketidakmampuan perusahaan beralih dari teknologi yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem perekonomian secara keseluruhan yang “terkunci atau terperangkap” (locked-in) dalam paradigma teknologi tertentu. Dalam hal ini sangat diperlukan lembaga eksternal, yang mampu membangkitkan insentif, mengembangkan alternatif- teknologi, dan menumbuhkembangkan sistem-sistem teknologi yang baru (emerging). Kegagalan institusional: sekelompok lembaga publik dan swasta yang terpadu, sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut mempengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan dalam perundangan HKI. Sedangkan Arnold ��������������������������������������������������������� dan Boekholt (2002) lebih menekankan isu argumen berikut ini yang menyebabkan kegagalan dalam sistem inovasi: Kegagalan kapabilitas (capability failures): Hal ini berkaitan dengan kemampuan perusahaan bertindak demi kepentingannya karena keterbatasan manajerial, kurangnya pemahaman teknologi, kelemahan kemampuan pembelajaran atau kapasitas absorpsi untuk memanfaatkan teknologi yang berasal dari luar perusahaan.
28
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Kegagalan dalam lembaga (failures in institutions): kegagalan dalam berbagai organisasi, baik bisnis maupun non-bisnis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pengetahuan akan menghambat perkembangan inovasi. Demikian juga kegagalan berinvestasi dalam lembaga pengetahuan. Kegagalan jaringan (network failures): Hal ini berkaitan dengan interaksi antaraktor, baik karena jumlah dan kualitas keterkaitan yang rendah (misalnya karena tidak berkembangnya rasa saling percaya atau keterisolasian para aktor dari konteks sosial), maupun transition failures dan lock-in failures (di mana sistem inovasi ataupun klaster industri tidak mampu memanfaatkan peluang teknologi baru atau terperangkap dalam teknologi yang lama). Kegagalan kerangka kerja (framework failures): Inovasi yang efektif akan turut bergantung pada kerangka regulasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi inovasi (misalnya sofistikasi konsumen, nilai-nilai sosial dan budaya).
Dalam mengatasi kegagalan berinovasi pada sistem inovasi yang kompleks, setiap aktor yang terlibat dituntut memiliki pemahaman akan konsep Technological Lock-Out dan contoh penerapannya untuk peningkatan produktivitas nasional dalam sistem inovasi. Berdasarkan Schilling (1998), Technological Lock-Out didefinisikan sebagai situasi sulit yang dialami suatu institusi dalam mengembangkan atau berkompetisi dalam menjual produk untuk pasar tertentu dikarenakan adanya standar teknologi. Terdapat dua tipe Technological Lock-Out yaitu Tipe I yang fokus pada perancangan produk, di mana di pasar tidak terdapat produk yang dominan. Pada Tipe II ini terjadi kondisi ada produk yang dominan di pasar, sehingga akan dilakukan perbandingan antara standar pasar dengan produk baru. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam kondisi ketika terjadi Tipe I dan Tipe II dapat terlihat pada Gambar 2.5. dan Gambar 2.6. berikut:
IMPLIKASI KEBIJAKAN
29
Gambar 2.5 Tipe I Technological Lock-Out.
Gambar 2.6. Tipe II Technological Lock-Out. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan produktivitas nasional, perlu dipertimbangkan konsep Technological Lock-Out ini dengan menganalis faktor-faktor penghambatnya. Uraian di atas menunjukkan adanya beragam potensi bagi identifikasi dan elaborasi persoalan kebijakan yang perlu dicermati dalam sistem inovasi. Secara sederhana, sumber kegagalan kebijakan sehingga menuntut intervensi pemerintah dalam pendekatan sistem inovasi dapat ditunjukkan pada Gambar 2.7 berikut.
30
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Gambar 2.7. Kelompok “Sumber” Kegagalan yang Melandasi Perlunya Kebijakan. 2.2.3 Tantangan dalam Mengatasi�������������������������� Masalah Kebijakan Inovasi Untuk mengatasi persoalan kebijakan inovasi tentunya diperlukan kemampuan lembaga publik untuk melakukan intervensi atau memberi pengaruh hingga terjadi perubahan ke arah yang diharapkan. Selama ini kemampuan lembaga publik di Indonesia masih lemah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan mengatasi masalah inovasi����������������������������������������������������������������� secara bersistem. Hal ini��������������������������������������� lebih lanjut berpotensi mengakibatkan kegagalan pemerintah (government failures). Sebaliknya, adanya kemampuan lembaga publik tidak menjamin sepenuhnya pemerintah dapat terhindar dari kegagalan (karena pengaruh respons dan perilaku para pelaku bisnis dan pemangku kepentingan lainnya dalam sistem inovasi). Namun setidaknya dengan kemampuan yang dimiliki lembaga publik, pemerintah dapat terbantu dalam usahanya meminimumkan kegagalan tersebut. D���������������������������������������������������������������������� alam proses penyusunan kebijakan tentang penguatan sistem inovasi ada beberapa pendekatan yang umumnya ditempuh yaitu a������������������������������� nalisis kondisi yang dihadapi, studi perbandingan, dan benchmarking. Namun hal itu tidak mudah dilaksanakan di Indonesia karena sedikitnya data faktual yang relevan dan masih terbatasnya kajian yang menyoroti hal tersebut. Inilah kelemahan yang menonjol di negeri ini.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
31
Mengenali kelemahan sistem inovasi itu saja tidak cukup, diperlukan penelaahan lebih mendalam akar-akar persoalannya untuk menganalisis masalah kebijakan yang mendesak untuk dipecahkan. Tahapan-tahapan ini perlu dilakukan sebagai bahan untuk mendesain langkah kebijakan berikutnya yang perlu diambil. Dalam hal ini intervensi pemerintah “secara langsung” tidak selalu otomatis dapat memecahkan masalah tersebut. Solusi pasar dengan peran dan langkah tertentu dari pemerintah dan/atau pihak lain adakalanya merupakan alternatif solusi bagi masalah kebijakan. Karena itu diperlukan keterbukaan dalam mengkaji masalah kebijakan, dan menggali alternatif solusi terbaik serta menghindari atau meminimalisasi pengekangan peran atau partisipasi swasta dan masyarakat akibat intervensi pemerintah dalam konteks tertentu. Dalam analisis masalah dan rancangan kebijakan terkait sistem inovasi itu, penggunaan kerangka sistem yang berbeda (misalnya pada litbangyasa) berpotensi menghasilkan kelompok rancangan instrumen kebijakan yang berbeda pula. Namun ini biasanya lebih menyangkut konteks-perspektif dan tujuan kajian, bukan pada substansinya. Dalam mengevaluasi kebijakan memang sering tidak mudah membedakan kelompok instrumen kebijakan secara tegas, karena beberapa hal yaitu: o Suatu kebijakan (atau instrumennya) adakalanya bertujuan dan berfungsi majemuk. o
Dalam praktiknya, mekanisme operasional suatu kebijakan bisa berubah dari waktu ke waktu.
Suatu kebijakan juga sering sulit bahkan tidak berjalan dengan baik karena berbagai sebab, antara lain:
Tidak ada atau masih minimnya kajian dampak kebijakan;
Implementasi instrumen kebijakan kurang terkelola dengan baik;
Administrasi ������������������������������������������������������� pelaporan/pencatatan dari capaian, pemantauan dan/atau evaluasi kurang berjalan baik;
Ada “gangguan” kebijakan dan faktor berpengaruh lainnya.
Istilah ��������������� teknis untuk �������������� kondisi demikian sering disebut ��������� ������� �������� crowding out.
32
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Dalam dekade terakhir ini, diskusi tentang “kebijakan inovasi” (innovation policy) dilakukan secara intensif di negara-negara maju. Kebijakan ini kemudian mempengaruhi kemajuan-kemajuan teknis dan bentuk inovasi lainnya. Kebijakan inovasi itu bukan sekedar kebijakan ”litbangyasa” namun perlu mempertimbangkan intervensi yang saling berkaitan dalam perekonomian yaitu permintaan dan penawaran beserta keterkaitan/interaksi antara keduanya. Dalam hal ini kebijakan inovasi harus dijadikan sebagai pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan merupakan bagian penting dalam merespon berbagai kebutuhan sosial. Menyadari pentingnya hal ini, maka dalam menentukan arah masa depan, banyak negara secara sungguh-sungguh memberi perhatian dan melakukan upaya khusus dalam menetapkan kebijakan inovasi. Beberapa langkah kemudian dilakukan dalam menyusun ������������������������������������������������������������� peraturan perundangan dan dokumen strategis untuk dijadikan acuan agenda nasional kebijakan publik. Beberapa negara telah mengembangkan atau memperkuat kelembagaan untuk menghasilkan kebijakan inovasi di negaranya. Beberapa asosiasi negara seperti OECD dan Uni Eropa bahkan telah mengembangkan agenda khusus yang berkaitan dengan kebijakan inovasi. Sistem inovasi dan kebijakan inovasi itu bukanlah isu dan kebijakan eksklusif yang hanya mencakup ranah negara, daerah, serta pelaku bisnis dan masyarakat maju, tetapi sudah menjadi kepentingan bersama di tingkat dunia. Namun patut diakui, bahwa masih banyak ditemui pemahaman yang keliru tentang hal tersebut, antara lain munculnya anggapan, bahwa instrumen-instrumen kebijakan inovasi hanyalah sekedar instrumen yang eksklusif bagi kelompok intelektual. Dalam menerapkan k��������������������������������������������������� ebijakan inovasi perlu dipertimbangkan beragam hal yang mempengaruhi perubahan (misalnya kebijakan persaingan), kemampuan berinovasi dan menyerap perubahan (misalnya peningkatan kualitas SDM), serta mempertimbangkan kelompok masyarakat yang mungkin dirugikan akibat adanya kemajuan atau perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, kurang tepat apabila ada kerangka agenda kebijakan yang membenturkan upaya investasi untuk peningkatan daya saing dan pengembangan sistem inovasi dengan isu-isu yang bersifat jangka pendek (yang umumnya dinilai lebih mendesak). Karena itu��������������������������������������������������� , harus dihindari���������������������������������� situasi pemilihan kebijakan yang mutually exclusive dalam suatu kerangka pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan yang semakin tinggi dan semakin adil secara berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan hal ini, maka diperlukan adanya kemitraan iptek yang berkelanjutan antara aktoraktor yang terlibat dalam pengembangan iptek.
33
BAB 3 KEMITRAAN DALAM SISTEM INOVASI 3.1
KEMITRAAN IPTEK
Kemitraan iptek atau kerjasama di bidang iptek melibatkan para pihak baik pengembang atau penyedia dan pengguna iptek dengan menggabungkan sumber daya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan litbangyasa bersama. Para pihak itu meliputi perusahaan, universitas, badan-badan pemerintah dan laboratorium. Kesepakatan dalam kemitraan yang terjadi bisa mengikat secara hukum �������� seperti ”kerjasama” (cooperation) dan ”kolaborasi” (collaboration) atau ���������������������������������� juga bersifat lebih longgar,� seperti ”koordinasi” (coordination) hingga tingkatan yang ”lebih mengikat”. Kegiatan dalam kemitraan iptek ini mencakup���������������������������� pengembangan inovasi, alih atau transfer teknologi, pemanfaatan, difusi, hingga penguasaan iptek. Tujuan akhir program kemitraan iptek biasanya diarahkan untuk memasarkan produk inovasi teknologi hasil litbangyasa kepada mitra pengguna dari kalangan dunia usaha beragam skala (besar, menengah, dan pelaku ekonomi kerakyatan), atau kelompok masyarakat pengguna, serta pengelola dan pelaku pembangunan nasional dan daerah. Koordinasi merupakan suatu ”pengaturan/penataan atau pengorganisasian” beragam elemen ke dalam suatu pengoperasian yang terpadu dan harmonis. Motivasi utama dari koordinasi biasanya adalah menghindari kesenjangan dan tumpang-tindih berkaitan dengan tugas atau kerja para pihak. Para pihak biasanya berkoordinasi dengan harapan memperoleh hasil secara efisien. Koordinasi dilakukan umumnya dengan melakukan harmonisasi tugas, peran, dan jadwal dalam lingkungan dan sistem yang sederhana. Kerjasama dalam kemitraan tersebut mengacu kepada praktik pengorganisasian antara dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama (mungkin juga termasuk cara/metodenya), kebalikan dari bekerja sendiri-sendiri dan berkompetisi. Motivasi utama dari kerjasama itu biasanya adalah memperoleh kemanfaatan bersama (hasil yang saling menguntungkan) melalui pembagian tugas. Selain memperoleh hasil seefisien mungkin, para pihak biasanya bekerjasama dengan harapan menghemat biaya dan waktu. Kerjasama umumnya dilakukan untuk memecahkan persoalan dalam lingkungan dan sistem yang kompleks.
34
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Kolaborasi merupakan praktik pengorganisasian dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dan melibatkan proses kerja masing-masing maupun kerja bersama dalam mencapai tujuan bersama tersebut. Motivasi utamanya biasanya adalah memperoleh hasil-hasil kolektif yang tidak mungkin dicapai jika masingmasing pihak bekerja sendiri-sendiri. Para pihak yang berkolaborasi bertujuan mendapatkan hasil-hasil yang inovatif, dan terobosan yang istimewa, serta prestasi kolektif yang memuaskan. Kolaborasi biasanya dilakukan agar memungkinkan berkembangnya saling pengertian dan realisasi visi bersama dalam lingkungan dan sistem yang kompleks. Dengan demikian, kemitraan iptek dapat berupa hubungan umum antara dua pihak atau lebih, yang dapat bersifat koordinatif, bentuk kerjasama tertentu ataupun kolaborasi yang lebih khusus/spesifik di bidang iptek. Walaupun begitu, dalam beberapa literatur, istilah kemitraan sering dipertukarkan dengan kerjasama dan/ atau kolaborasi, atau koordinasi. Konteks kemitraan iptek itu sendiri, terutama dari perspektif kebijakan, yang menjelaskan maksud hubungan antara para pihak dalam suatu praktik kemitraan iptek tertentu. 3.2
ALIANSI STRATEGIS
A���������������� liansi strategis pada dasarnya merupakan kemitraan atau sering juga disebut kolaborasi antara dua atau lebih ���������������������������������������������� pihak dalam ���������������������������������� bidang-bidang spesifik yang dinilai strategis. Bidang tersebut dapat bersifat murni bisnis atau terkait dengan litbangyasa iptek. Definisi yang sangat umum ini tentu belum memberikan pengertian yang bermakna (secara konsep maupun pragmatis) tentang kemitraan atau aliansi strategis dan perbedaannya dengan bentuk kemitraan lainnya. Ada beberapa pengertian tentang aliansi strategis yang ditemukan dalam berbagai literatur.������ Teece (1992) di antaranya mendefinisikan aliansi strategis sebagai suatu rantai perjanjian antara dua atau lebih mitra dalam berbagi komitmen untuk mencapai tujuan dengan menggabungkan sumber daya dan mengkoordinasikan
Catatan: istilah ��������� �������� strategic partnership/strategic alliance sering dipertukarkan dalam literatur tentang bisnis/eko� nomi atau iptek. Dalam literatur kebijakan, ������ ���������������������������� karena peran strategis ������ ���������������� iptek atau inovasi ������������������ bagi para pihak ����� ������������� secara umum dalam pereko� ����� ������ ������� nomian atau kehidupan sosial modern, kecenderungan global dan/atau faktor-faktor dinamis lainnya dewasa ini, maka kemitraan iptek biasanya termasuk kategori kemitraan strategis. Teece, D.J., 1992. Competition, cooperation, and innovation: or-ganizational arrangements for regimes of rapid technological progress. Journal of Economic Behavior and Organization 18, 1- 25.
ALIANSI STRATEGIS
35
kegiatan secara bersama. Sedangkan Kautz (2000) mendefinisikan aliansi strategis (untuk bisnis dengan bisnis, atau B2B) merupakan suatu kemitraan yang melibatkan kombinasi beragam upaya bersama dengan mitra aliansi bisnis. Hal ini bisa berupa upaya memperoleh harga yang lebih baik dengan cara pembelian bersama, dan upaya mencari bisnis untuk menghasilkan produk bersama. Ide utamanya adalah meminimumkan risiko sekaligus memaksimumkan leverage perusahaan. Aliansi strategis tentu berbeda dengan konsep kemitraan seperti merger dan akuisisi (M&A) yang berdampak pada perubahan struktural dan bersifat permanen pada perusahaan yang melakukannya. Bentuk kemitraan ini lebih merupakan cara outsourcing, memperoleh layanan fungsional yang diperlukan oleh perusahaan dari sumber luar. Jadi aliansi dalam hal ini adalah kolaborasi bisnis dengan bisnis (businessto-business/B2B collaboration), yang sering juga disebut jaringan bisnis (business network). Dalam konsep aliansi strategis, menurut Dussauge Hart and Ramanantsoa (1992), terdapat 2 tipe dalam aliansi teknologi yaitu: Alih Teknologi, yang dilakukan dengan perjanjian pengalihan lisensi dari satu institusi ke institusi lainnya. Pengembangan Teknologi, terbagi menjadi 2 tipe. Tipe pertama mengembangkan fasilitas litbang bersama. Kemudian tipe kedua pengembangan aktivitas lanjutan, yaitu pada produk, produksi, distribusi, pemasaran, dan penjualan. Sementara itu, Gomes-Casseres (1999) berpendapat aliansi strategis merupakan struktur organisasi yang mengelola kontrak tak lengkap (incomplete contract) antara perusahaan-perusahaan yang terpisah, namun setiap perusahaan mempunyai kendali terbatas (Benjamin Gomes-Casseres, 1999, Routledge Encyclopedia of International Political Economy). Berbeda dengan B2B, skema aliansi T2B (Technology-to-Business) merupakan kemitraan antara pihak yang berperan sebagai pengembang/penyedia teknologi dengan pihak penggunanya. Bentuk ini merupakan kasus khusus aliansi strategis, karena salah satu perusahaan atau organisasi berperan sebagai pemasok atau penyedia teknologi bagi perusahaan mitra aliansinya, atau hubungan antara lembaga
�
Lihat juga misalnya Freidheim, ������ ����� ��������� ���������������������������� Jr. (1999), Chan dan Heide (1993), dan Killing ���� �������������� ���� ��������������� (1993). ������ Dalam pengertian ini ����������� �������������������������� termasuk “pengetahuan (knowledge)” dalam konteks luas.
36
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
litbangyasa dan/atau perguruan tinggi yang berperan sebagai pengembang teknologi bagi perusahaan mitra aliansinya. Sejalan dengan semakin pentingnya pengaruh kemajuan iptek atau perkembangan inovasi terhadap kinerja organisasi, perkuatan sistem inovasi dan pencapaian tujuan pembangunan secara umum, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kemitraan iptek merupakan bentuk aliansi strategis bagi para pemangku kepentingan dalam sistem inovasi. 3.3
BEBERAPA PERKEMBANGAN KEMITRAAN
������������������������������������������������������������������������������� Kemitraan strategis atau aliansi strategis antarpelaku bisnis (B2B) berkembang pesat dewasa ini. Aliansi strategis menurut Kautz (2000) pada dasarnya dibangun untuk tujuan kolaborasi pemasaran, penjualan atau distribusi bersama, kerjasama produksi, kolaborasi desain, lisensi teknologi, dan penelitian dan pengembangan. Pola hubungannya bisa vertikal antara vendor dengan konsumen, dan horisontal antarvendor, baik lokal ataupun global. Kompilasi dari beragam studi mengungkapkan bahwa pelaku bisnis pada umumnya melakukan aliansi strategis untuk satu atau beberapa alasan yaitu: M������������������������������������������������������������� eningkatkan sumber daya dan kemampuan bersama (termasuk aset dan keterampilan yang saling komplementatif) bagi litbangyasa dan tujuan bersama, serta menurunkan risiko. Risiko tentu akan lebih besar apabila ditanggung sendiri; Meningkatkan akses terhadap pengetahuan dan keahlian di luar batas organisasi (alih pengetahuan); Mencapai keunggulan yang terkait dengan skala, jangkauan, dan kecepatan (achieve advantages of scale, scope and speed), serta momentum; M��������������������������������������������� eningkatkan nilai tambah bagi klien/konsumen; Membangun kredibilitas dan brand awareness; Meningkatkan peluang keuntungan; Meningkatkan penetrasi pasar; M������������������������������������������������������������ embentuk standar teknologi bagi industri yang menguntungkan perusahaan atau organisasi; M������������������������������������������������������������� eningkatkan daya saing dalam pasar domestik dan atau global;
BEBERAPA PERKEMBANGAN KEMITRAAN
37
Meningkatkan pengembangan produk, termasuk misalnya mempersingkat tenggang waktu dan siklus pengembangan produk; Mengembangkan peluang bisnis baru melalui produk dan jasa baru; Memperluas pengembangan pasar; Meningkatkan ekspor; Diversifikasi; Menciptakan bisnis baru; Mengurangi biaya. Untuk kemitraan/aliansi T2B, Reid, et al. (2000) menyimpulkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga bentuk manfaat utama dari T2B atau kemitraan yang berkaitan dengan “pengetahuan (knowledge)” atau iptek secara umum, yaitu: Tambahan economic rents yang dimungkinkan melalui peningkatan kekuatan pasar, penjualan tambahan dan pertumbuhan yang lebih cepat. Pengurangan atau pengendalian atas biaya melalui: pencapaian skala atau cakupan ekonomis (misalnya riset, produksi dan pemasaran bersama), pengelolaan organisasi yang lebih efisien, pengurangan risiko (misalnya melakukan “penyebaran” biaya inovasi atau aktivitas lain yang lebih capital-intensive). Peningkatan kemampuan bertahan (survival), dengan mengambil manfaat dari keterkaitan institusional atau aset-aset teknologis dari mitra kerja. Membangun image melalui komitmen meningkatkan kualitas sehingga diperoleh legitimasi atau status yang dapat mengurangi risiko mortalitas organisasi. Selain itu, organisasi juga dapat memperoleh tambahan kendali atas interdependensi penting di tengah lingkungan ketidakpastian melalui akses terhadap sumber daya-sumber daya tertentu dari mitra aliansinya. Penafsiran kemitraan/aliansi strategis sebagai bentuk kemitraan cukup beragam. Dalam spektrum kemitraan antara dua pihak atau lebih (Gambar 3.1), pengertian aliansi strategis pada dasarnya merupakan bentuk kemitraan antara lisensi dan joint venture. Contoh dari aliansi strategis adalah kolaborasi litbangyasa dan produksi bersama (joint production), dengan tetap menjaga independensi masingmasing pihak yang beraliansi.
38
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Bentuk Kemitraan
Bentuk Kemitraan
Transaksi Pasar
Lisensi
Transaksi Pasar Lisensi “Biasa” “Biasa” Outsourcing Outsourcing
Joint Venture
Joint Venture
Merger/Akuisisi
Merger/Akuisisi
Kolaborasi Kolaborasi Litbangyasa
Litbangyasa Produksi Produksi Bersama
Bersama Aliansi Strategis
Aliansi Strategis
Gambar 3.1 Spektrum Bentuk Hubungan Kemitraan.
Bentuk umum kemitraan atau aliansi pada dasarnya antara lain meliputi: Joint venture, yaitu pola kerjasama antara dua pihak atau lebih yang bersepakat berkontribusi membentuk suatu perusahaan baru yang dimiliki dan dikendalikan secara bersama; Aliansi ekuitas (equity alliance), yaitu kerjasama tanpa pembentukan perusahaan baru, namun ada kepemilikan ekuitas unilateral atau bilateral antara pihak yang saling bekerjasama; Aliansi non-ekuitas (non-equity alliance) atau “pure” contract-based alliance, yaitu kesepakatan untuk bermitra/bekerjasama tanpa pembentukan perusahaan baru ataupun bertukar ekuitas.
Sementara itu, menurut PricewaterhouseCoopers (2004) ada lima jenis/bentuk umum kemitraan/aliansi strategis, yaitu: 1. Contractual arrangements, pada kemitraan ini para pihak membangun kontrak untuk menerapkan lisensi atau mendistribusikan produk, teknologi atau jasa. 2. Equity interests, yaitu salah satu pihak memperoleh sebagian kecil equity dalam pihak lainnya. 3. Cooperative ventures, dalam aliansi ini para mitra melaksanakan fungsi
BEBERAPA PERKEMBANGAN KEMITRAAN
39
tertentu perusahaan tanpa memerlukan pendirian perusahaan baru secara terpisah. 4. Operating joint venture, disini para mitra mendirikan suatu perusahaan operasional tersendiri untuk menghimpun sumber daya dan risiko bersama. 5. Consortia, pada aliansi ini lebih dari dua mitra berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. ����������������������������������������������������������� Cara pembeda lain kemitraan/aliansi adalah sebagai berikut:
Contractual: misalnya dalam bentuk: Licensing (termasuk Cross-licensing) Franchising Joint R&D Management Contract Turnkey project
Equity: misalnya dalam bentuk: New entity: Independent Joint venture Dependent Joint Venture of Multinational Corporation Existing entity: Purchase of equity share Equity swap
Selain beragam bentuk kemitraan atau aliansi, berkembang variasi kasus dalam proses (praktik) beraliansi, baik pola lisensi antara suatu pihak kepada pihak lain atau terbentuknya joint venture, maupun yang berakhir dengan merger atau akuisisi antara dua pihak atau lebih. Secara yuridis, bentuk “legal” dari aliansi dalam praktiknya dapat bervariasi, antara lain: 1. Franchise: pada dasarnya merupakan pola kontrak/transaksi konsep bisnis; 2. Konsorsia: merupakan kesepakatan kerjasama yang melibatkan lebih dari dua mitra dan berfokus pada suatu isu atau proyek tertentu;
40
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL 3. Lisensi: kesepakatan transaksi tentang pemberian hak memproduksi atau mendistribusikan produk (kekayaan intelektual); 4. Sub-kontrak: kesepakatan transaksi/kontrak tentang bagian dari barang, jasa atau proses tertentu; 5. Jaringan: kesepakatan kerjasama antara banyak pihak yang biasanya tanpa ikatan formal khusus, tetapi lebih didasarkan atas saling pengertian (saling percaya).
D����������������������������������������������������������������� i Indonesia, praktik “kemitraan/kerjasama” antara dua pihak atau lebih seringkali juga dituangkan dalam bermacam-macam format antara lain nota kesepahaman (letter of intent), kesepakatan bersama atau memorandum of understanding). Dari perspektif legal, dalam membangun kemitraan yang saling menguntungkan perlu diketahui pola aliansi strategis, terutama menyangkut: Sifat hubungan yang terjadi dan dikehendaki bersama; Batasan hubungan antarpihak; dan Hak berpartisipasi setiap pihak. Di negara maju seperti Amerika Serikat, sekitar 20% dari total penerimaan perusahaan yang tersebut dalam Fortune 1000 diperoleh dari aktivitas beraliansi. Padahal, sekitar 18 tahun yang lalu aliansi strategis hanya berkontribusi kurang dari sekitar 5%. ����������� Freidheim, Jr. (1999) menyebutkan perkembangan kemitraan atau aliansi strategis di negeri Paman Sam ini sebagai silent revolution. Di negara itu pada ������ tahun 1970an jumlah aliansi strategis hanya sekitar 100 setiap tahunnya, maka pada tahun 1990an sudah berkembang menjadi sekitar 2000, dan diperkirakan ada sekitar 20.000 aliansi strategis di tahun 2000an. Berbagai survei atau studi menunjukkan bahwa aliansi strategis dalam beragam bentuk - termasuk di bidang teknologi - dipandang sebagai strategi bersaing yang semakin penting (Kelly, et al., 2000). Sedangkan Kautz (2000) melihat aliansi strategis (untuk B2B) menjadi langkah yang makin umum untuk memperluas jangkauan perusahaan tanpa harus terlampau terikat secara internal pada ekspansi yang mahal di luar bisnis inti (core business) perusahaan yang bersangkutan. Ia mengutip laporan Survei Booz-Allen & Hamilton, bahwa aliansi tumbuh 20% per tahunnya. Pada tahun 1998 saja telah terbentuk 20.000 aliansi baru. Perusahaan yang berpartisipasi dalam aliansi tersebut melaporkan bahwa sekitar 18% penerimaannya berasal dari aliansi.
BEBERAPA PERKEMBANGAN KEMITRAAN
41
Sementara itu di Eropa, banyak perusahaan melaporkan bahwa sekitar 42% penerimaannya berasal dari beraliansi dengan returns on investment (ROI) dari aliansinya sekitar 23%. Banyak pula perusahaan yang melaporkan ROI dari aliansi yang lebih tinggi dibanding ROI dari bisnis intinya. Lalu dalam daftar perusahaan yang termasuk dalam Fortune 500, diketahui sekitar 25 perusahaan yang paling aktif dalam beraliansi memperoleh 17,2% return on equity (ROE), atau sekitar 40% lebih tinggi dibanding rata-rata yang diperoleh perusahaan. Hasil survei yang dilakukan PricewaterhouseCoopers “Trendsetter Barometer,” pada tahun 2000 dengan mewawancarai CEO dari 425 perusahaan produk dan jasa di Amerika Serikat 10 terungkap���������������������������������������������������� mereka menggunakan aliansi strategis, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1 berikut. Tabel 3.1 ���������������������������������������������������������������������� Partisipasi dalam Aliansi Strategis selama Tiga Tahun Terakhir (dalam Persen) Seluruh Perusahaan
Perusahaan Produk
Perusahaan Jasa
Joint Marketing or Promotional Arrangements
71
60
79
Joint Selling or Distribution Arrangements
58
55
60
Technology Licenses
32
29
34
R&D Contracts
29
32
27
E-Business
26
18
32
Design Collaborations
24
27
22
Production Arrangements
23
28
19
Business Expansion Abroad
15
15
16
“Outsourcing” Functions
15
14
17
Other Alliances (Misc.)
5
6
5
Bentuk Aliansi
Sumber : PricewaterhouseCoopers’ “Trendsetter Barometer” (2000). 10 ����� Yang diidentifikasi sebagai perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang tumbuh pesat selama lima tahun ��������������� �������� ���������������������� �������� �������� ����� ������� ������ ������� ����� ������ terakhir, dengan penjualan beragam antara 1 – 50 juta USD.
42
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL P������������������������������������������������������������������ roses pembentukan aliansi pada umumnya meliputi empat tahap yaitu: 1. Pengembangan Strategi (Strategy Development): yang mencakup penelaahan kelayakan, tujuan dan alasan beraliansi, yang berfokus pada isu dan tantangan utama serta pengembangan sumber daya, teknologi, dan SDM dalam produksi. Hal ini memerlukan penyelarasan antara tujuan beraliansi dengan strategi korporasi secara keseluruhan. 2. Pengkajian Mitra (Partner Assessment): mencakup analisis kekuatan dan kelemahan mitra potensial, menciptakan strategi untuk mengakomodasi gaya manajemen semua mitra, mempersiapkan kriteria pemilihan mitra yang sesuai, memahami motif mitra untuk bergabung dalam aliansi dan mengatasi kesenjangan kapabilitas sumber daya yang dimiliki oleh mitra. 3. Negosiasi Kontrak (Contract Negotiation): mencakup penentuan tujuan yang realistis semua pihak, membentuk tim negosiasi yang berkualitas, menentukan kontribusi dan imbalan tiap mitra serta melindungi kerahasiaan informasi, mengatasi ketentuan pengakhiran (terminasi), penalti untuk kinerja buruk, dan memastikan prosedur arbitrase secara jelas dan mudah dipahami. 4. Pelaksanaan Aliansi (Alliance Operation): Kegiatan beraliansi meliputi pengelolaan komitmen manajemen senior, mendapatkan sumber daya yang handal bagi aliansi, mengaitkan anggaran dan sumber daya dengan prioritas strategis, dan mengukur serta memberikan imbalan kinerja aliansi.
43
BAB 4 KEMITRAAN DAN DINAMIKA PERUBAHAN Negara (maupun daerah) yang tidak melakukan penguatan sistem inovasi, akan tertinggal dari negara-negara (atau daerah) lainnya. Setidaknya ada tiga hal yang berimplikasi bagi negara yang tidak memperkuat sistem inovasi dan memperhatikan kemitraan iptek dalam konteks ini. Pertama, bangsa bersangkutan akan ketinggalan dalam hal tingkat kecerdasan, kemakmuran, dan perlindungan terhadap kepentingan serta kedaulatannya. Kedua, kemampuan memanfaatkan peluang dan menjawab tantangan dalam hubungan antarbangsa menjadi rendah. Ketiga, dalam kondisi inferioritas seperti itu, maka semakin jauh kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dan nilai tambah dari setiap upaya yang dilakukannya sehingga mempunyai daya saing yang rendah. Penguatan sistem inovasi perlu mempertimbangkan setidaknya lima faktor universal berpengaruh yang saling terkait, selain tentunya faktor-faktor spesifik dan/ atau aspek kontekstual. Faktor atau kecenderungan universal itu adalah globalisasi, kemajuan iptek, menguatnya jaringan ekonomi, perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan, dan faktor lokalitas-lokasional yang menentukan daya saing global. Dinamika perkembangan kelima faktor ini akan makin mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia di masa depan. Kemitraan iptek sebagai salah satu bentuk aliansi strategis sangat menentukan kemajuan sistem inovasi. Dengan demikian, untuk dapat mencapai kemajuan dan perkembangan sistem inovasi sesuai dengan pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah, maka pengembangan kemitraan iptek harus didorong agar sistem inovasi semakin adaptif terhadap dinamika perubahan yang berkembang. 4.1
GLOBALISASI
Dalam era globalisasi, kemajuan iptek terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), menyebabkan terjadinya persaingan antarbangsa yang ketat. Untuk menghadapi hal tersebut, maka langkah strategis yang harus dilakukan bangsa Indonesia adalah dengan meningkatkan kemampuan, kemandirian, dan daya saing bangsa melalui aliansi iptek.
44
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Kecenderungan globalisasi berkaitan dengan semakin kaburnya ”batasanbatasan” fisik dan/atau batasan yang secara tradisional disebut sebagai ”garis demarkasi” dalam hubungan sosial ekonomi. Kecenderungan globalisasi kemudian mendorong perubahan “mobilitas” faktor penentu perkembangan sosial ekonomi, meluas ke berbagai bidang, dan mengubah atau menuntut perubahan pada tata pergaulan internasional. Dalam dinamika globalisasi yang berkembang sejauh ini, muncul beberapa isu yang dipandang merupakan isu umum global yang penting dan saling terkait, yaitu antara lain Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, perdagangan internasional, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), standarisasi, kelestarian lingkungan. Kecenderungan globalisasi semakin dipengaruhi oleh aspek-aspek ”teknis” yang sangat/semakin ditentukan oleh pengetahuan/kemampuan teknologi dan kualitas SDM di bidang terkait. Sebagai contoh aspek standarisasi, aspek hak kekayaan intelektual (HKI), dan kelestarian lingkungan semakin penting dalam keberhasilan perdagangan internasional. Dalam perkembangan perdagangan regional maupun internasional, beragam hambatan tarif secara bertahap dihapuskan. Demikian halnya dengan hambatanhambatan non tarif. Strategi banyak negara (terutama negara ekonomi maju) kini bergeser untuk semakin menekankan penggunaan “hambatan teknis,” yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh kemampuan iptek, untuk tetap terus mendominasi perdagangan internasional, meningkatkan daya saing dan memperkuat posisi tawar dalam perdagangan atau perekonomian global. Di sisi lain, kecenderungan globalisasi membuka peluang banyak pihak, baik pada tataran nasional, daerah maupun perusahaan, untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya, kapabilitas, mengembangkan investasi, hubungan perdagangan, dan kerjasama internasional sesuai kebutuhannya masing-masing. Sementara itu Archibugi dan Michie (1999) berpendapat bahwa globalisasi teknologi mencakup tiga kategori, yaitu: eksploitasi teknologi, kolaborasi teknologi dan pengembangan (generation) teknologi secara internasional. Era globalisasi sekarang ini telah memaksa bangsa yang mandiri untuk terus melakukan perubahan, mengenal dan memahami berbagai perkembangan iptek sehingga dapat memantau perubahan dalam rangka untuk menentukan kebijakan yang semakin adaptif.
KEMAJUAN IPTEK 4.2
45
KEMAJUAN IPTEK
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi. Memasuki era globalisasi hingga satu abad ke depan, negara maju masih tetap berkeyakinan bahwa kemajuan iptek merupakan kunci kemajuan dan kekuatan daya saing bangsa. Kemajuan iptek itu sendiri juga berpengaruh terhadap perkembangan kemitraan iptek dari waktu ke waktu. Tiga hal penting berkaitan dengan kemajuan iptek yaitu: 1. Pergeseran yang berkaitan dengan perkembangan pengetahuan (knowledge). Seperti diungkapkan Gibbons, et al. (1994) tentang sistem penciptaan/ pengembangan pengetahuan (the knowledge production system), bahwa pengembangan pengetahuan akan semakin bergeser dari moda 1 yang berorientasi pada kepentingan akademik ke moda 2, yaitu perkembangan pengetahuan berorientasi pada solusi atas beragam persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Hal ini dapat diilustrasikan pada Tabel 4.1 berikut: Tabel 4.1 ���������������������������������������������� Dua Sistem Penciptaan/Pengembangan Pengetahuan (Knowldege Production System). Moda 1
Moda 2
Konteks akademik (academic context): Persoalan dihimpun dan dipecahkan dalam konteks terutama oleh kepentingan akademik; Bersifat ”displiner” yang tunggal; Adanya homogenitas dalam persepsi; Kendali kualitas bersifat internal: kendali kualitas dan relevansi ditentukan oleh peers (“rekan sejawat”), yaitu dalam displin yang bersangkutan; Struktur dan pengorganisasiannya bersifat hirarkis dan cenderung ”tetap”; Akuntabilitas bersifat internal.
Konteks aplikasi (context of application): Persoalan dihimpun dan dipecahkan dalam konteks aplikasi; Bersifat transdisciplinarity (transgressiveness of knowledge), lebih dari sekedar kontribusi satu disiplin; Bersifat heterogen dalam persepsi; Kendali kualitas lebih ditentukan oleh akuntabilitas sosial: para penentu eksternal menetapkan kualitas dan relevansi; Pengorganisasian lebih bersifat “sementara” dan berstruktur datar (flat); Akuntabilitas bersifat eksternal, para pengguna dan kepentingan lebih menentukan agenda prioritas.
Sumber : Diadopsi dari Gibbons dan Nowotny (2001) dan Arnold, et al., (2001) berdasarkan “Michael Gibbons, Camilla Limoges, Helga Nowotny, Schwartzman, S., Scott P. and Trow, M. (1994). The New Production of Knowledge.” London: Sage, 1994.
46
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Sesungguhnya tidak ada garis pemisah yang tegas antara kedua moda penciptaan atau pengembangan pengetahuan itu. Karena dalam kenyataannya keduanya saling berkaitan dan bahkan dalam beberapa hal batas antara keduanya sangat kabur (salah satu contohnya adalah dalam bidang bioteknologi).11 2. Perkembangan iptek yang semakin cepat akan menyebabkan siklus hidup produk yang makin pendek, perubahan pasar yang terfragmentasi dan persaingan bisnis yang kian ketat dan kompetitif. Karena itu, perlu prioritas pengembangan SDM dan teknologi dalam mendukung mengembangkan potensi terbaik bagi pengembangan pasar spesifik yang memiliki nilai tambah tinggi dan mempunyai prospek untuk memiliki keunggulan kompetiti. Setiap produk mempunyai siklus hidup yang berbeda. Semakin cepat siklus hidup produk, maka produk tersebut akan semakin kompetitif serta berdampak terhadap perubahan yang kian cepat. 3. Sejarah menunjukkan gelombang perubahan ekonomi internasional biasanya terkait dengan kemajuan bidang iptek tertentu dan didorong oleh perkembangan beberapa industri terdepannya (leading industries). Memasuki Milenium Ketiga, bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), bioteknologi, dan material baru merupakan bidang yang maju pesat dan dinilai sangat mempengaruhi ”Gelombang Kelima” perkembangan perekonomian internasional saat ini. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 4.1 mengenai gelombang perubahan ekonomi dan teknologi pendorong yang utama.
Perkembangan gelombang ekonomi dan teknologi tersebut perlu disikapi dengan bijaksana. Karena tidak semua bidang iptek, setiap negara, daerah ataupun perusahaan harus berfokus pada pengembangan keunggulan atau memanfaatkan secara langsung peluang kemajuan iptek yang pesat tersebut. Namun, setiap negara perlu mengantisipasi dampak negatif perkembangan iptek, termasuk TIK dengan mencegah atau meminimumkan ”kesenjangan informasi atau pengetahuan” (digital/ information / knowledge divide) dalam masyarakat atau antar daerah.
11 Untuk lebih detail lihat misalnya Gibbons dan Nowotny (2001); dan Gibbons (2000). Lihat juga misalnya Agassi ������ ������ ������� ������ ��������� �������� ���� �������� �������� ���� �������� �������� ������ ����� ��������� ������� (1997) di antara kritik atas buku Gibbons, et al. �(1994).
PERKEMBANGAN EKONOMI JARINGAN
Water Power, Textiles, Iron
G–2 The Bourgeois Kondratieff : Mesin Uap dan Kereta Api
1845
60 Tahun
Internalcombustion Engine, Electricity, Chemicals
Steam, Rail, Steel
G-1 Revolusi Industri : The Factory System ~ Mekanisasi Awal
1785
47
Aviation, Petrochemicals & Electronics
Information & Information Communication Communication Technologies, Biotechnology Technologies, Biotechnology
G–3 G–4 G–5 The NewThe Cold-War The Information Mercantilist Kondratieff : Age : Kondratieff : Pertahanan, Era Informasi Listrik dan Heavy Televisi dan Engineering (Mobil, Komputer Petrokimia, dsb.) Mainframe
1900
55 Tahun
1990 2005
1950 50 Tahun
40 Tahun
2020
30 Tahun
Perkiraan durasi
Sumber : Taufik (2005c), disesuaikan dari beragam sumber.
Gambar 4.1 Gelombang ������������������������������������������ Perubahan Ekonomi dan Teknologi. Hasil aktivitas iptek perlu didorong agar bermuara pada perkembangan inovasi, difusi dan proses pembelajaran. Dampak nyata aktivitas iptek akan signifikan, berakumulasi dan berkembang sebagai kekuatan dinamis bangsa jika dapat diterapkan di industri untuk meningkatkan nilai tambah mulai dari misalnya material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan produktif suatu proses, maka akan makin mempertinggi kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing industri hingga meningkatkan pendapatan negara dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa. 4.3
PERKEMBANGAN EKONOMI JARINGAN
Adanya tuntutan pasar yang terus bekembang, globalisasi, kemajuan iptek dan kian ketatnya persaingan bisnis atau ekonomi, menuntut pelaku ekonomi untuk mampu berspesialisasi dalam bidang terbaiknya. Di sisi lain, independensi dan kompetensi pelaku bisnis (dan non-bisnis) di bidang masing-masing membutuhkan interdependensi dan saling melengkapi dalam jaringan. Sehubungan dengan hal itu, berkembang pergeseran paradigma dalam menaikkan nilai tambah yaitu dari “mengerjakan semua secara sendiri” menjadi “spesialisasi” yaitu mengerjakan sesuai dengan keahliannya masing-masing.
48
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Selain itu juga terjadi perubahan paradigma yaitu dari pendekatan sektoral yang terkotak-kotak menjadi pola jejaring (keterkaitan) rantai nilai. Semua pihak berupaya mengatasi fragmentasi dan sekat sektoral yang menghambat menjadi polapola kolaborasi sinergis. ���������������������������������������������������������� Ini juga berlaku dalam bidang kebijakan publik. Paradigma jaringan juga menuntut penyesuaian dari cara pandang, sikap dan tindakan yang terlampau kaku dalam mengembangkan dan mengelola sumber daya dan kapabilitas pada batasan-batasan administratif dan struktural. Oleh sebab itu, pemerintah bersama seluruh komponen bangsa mesti mengembangkan sistem ekonomi nasional yang berdaya saing dan berdaya lenting (resilient). Yakni, sistem ekonomi yang mampu menghadirkan kedaulatan pangan dan kesehatan, energi, sandang, dan kebutuhan pokok lainnya; dan secara simultan bisa mengekspor sejumlah barang dan jasa secara efisien dan berkelanjutan. Keterkaitan para aktor yang kapabel dalam sistem inovasi merupakan elemen sangat penting agar dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada teknologi asing, namun tidak berarti anti terhadap teknologi asing dan kemitraan iptek internasional. Dalam hal ini kita harus melakukan institusionalisasi proses inovasi teknologi. Artinya, preskripsi teknologi yang mendasari beroperasinya unit-unit produksi dalam sistem industri nasional harus merupakan hasil karya bangsa dengan kandungan lokal yang tinggi. Selanjutnya beberapa hal yang terpenting dalam membangun jaringan ekonomi yang berinovasi diperlukan adanya pengelolaan manajemen teknologi yang efektif dan efisien. Dalam membangun manajemen teknologi yang efektif dan efisien minimal diperlukan empat komponen persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: produsen, pengguna, penyandang dana, dan regulator teknologi. Keempat komponen tersebut mempunyai fungsi dan peran masingmasing yang selanjutnya bekerja saling terkait secara sinergi����������������� s sehingga mampu menghasilkan dan mengembangkan teknologi, kemudian mengaplikasikan teknologi tersebut ke dalam sistem industri dan ekonomi nasional sehingga pada akhirnya akan menghasilkan barang dan jasa yang kompetitif secara berkelanjutan. Hal ini juga berarti bahwa proses pembelajaran sangat menentukan dalam pengembangan SDM dan kemampuan teknologi, termasuk pada tataran nasional, daerah ataupun organisasi/perusahaan. Pembelajaran perlu dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas para pihak dalam menyikapi kecenderungan perubahan teknologi. Kedaulatan negara akan semakin ditentukan oleh kemandirian teknologi. Dalam konteks ini, kemandirian teknologi harus dimaknai sebagai kedaulatan/ kemerdekaan bangsa Indonesia untuk menentukan pilihan terbaik pengembangan,
KECENDERUNGAN KE ARAH EKONOMI BERBASIS PENGETAHUAN
49
pemanfaatan, dan penguasaan teknologi bagi kepentingan nasional. Karena itu, pada saat yang sama, keterbukaan ekonomi, sosial dan budaya perlu terus didorong dan jaringan kemitraan internasional harus terus dikembangkan dalam kerangka kepentingan nasional dan penguatan NKRI. Kedewasaan dalam mengelola strategi yang seolah paradoksikal ini semakin penting dalam peningkatan kemandirian dan pemajuan peradaban bangsa Indonesia ke depan. 4.4
KECENDERUNGAN KE ARAH EKONOMI BERBASIS PENGETAHUAN
Ekonomi berbasis pengetahuan merupakan isitilah dalam perekonomian yang mengacu pada pengetahuan ekonomi dengan fokus pengetahuan dalam proses produksi dan manajemen sebagai kerangka dasar menentukan ekonomi. Beberapa pakar ada yang mendefinisikan dengan menekankan pada penggunaan pengetahuan teknologi (seperti pengetahuan teknik dan pengetahuan manajemen) untuk menghasilkan keuntungan ekonomi. Sekarang ini ada kecenderungan yang mengarah pada perkembangan teori dan model ekonomi berdasarkan analisis empiris untuk terus mencari dasar-dasar pertumbuhan ekonomi. Dalam analisis tradisional fungsi produksi hanya terfokus pada faktor tenaga kerja dan modal. Sedang faktor materi, energi; pengetahuan dan teknologi diasumsikan sebagai pengaruh eksternal. Pendekatan analitis terus dikembangkan bahwa pengetahuan dapat dimasukkan lebih langsung dalam fungsi produksi. Investasi dalam pengetahuan dapat meningkatkan kapasitas faktor-faktor produksi lainnya dalam sistem produksi dan dapat mentransformasikan ke dalam produk dan proses baru. Dengan demikian, maka investasi pengetahuan mempunyai karakteristik dapat meningkatkan pendapatan, dan sebagai kunci kerberhasilan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Adanya istilah yang agak ”kontroversial” dan ”beragam” tersebut diyakini sebagai salah satu kecenderungan yang penting. Hal ini terkait dengan ”bentuk” perekonomian yang kini mulai, tengah dan akan dikembangkan menjadi ciri pembangunan ekonomi di masa depan. Pengetahuan, melekat pada manusia (human capital) dan dalam teknologi yang selalu menjadi titik sentral dalam pembangunan ekonomi. Beberapa pihak menggunakan istilah ”ekonomi baru/EB” (new economy/NE), sementara lainnya memakai istilah ”ekonomi berbasis pengetahuan/EBP” (knowledge-based economy/KBE), atau ”ekonomi pengetahuan/EP” (knowledge economy/KE).12 12 EC ��� (European Commission) (2000) dan Cowan dan van de Paal (2000) menyarankan menggunakan istilah knowledge-driven economy ketimbang knowledge-based economy. Karena seluruh ekonomi pada dasarnya ber� basis pengetahuan. Saat kini, semakin ditekankan bahwa kontribusi pengetahuan sangat menentukan dinamika ekonomi. Catatan: di antara kritik tentang penggunaan istilah KBE ini dibahas oleh Smith (2002).
50
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
OECD (1996) mendefinisikan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) adalah suatu ekonomi yang secara langsung berbasiskan pada produksi, distribusi, dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Hal ini ditegaskan oleh McKeon dan Weir (2000), yang berpendapat sama dengan OECD dalam mendefinisikan ”ekonomi berbasis pengetahuan”. Ekonomi berbasis pengetahuan adalah suatu ekonomi di mana penciptaan (produksi), penyebarluasan (distribusi) dan pemanfaatan/pendayagunaan ilmu pengetahuan menjadi penggerak utama dalam pertumbuhan, pengembangan kesejahteraan, dan penciptaan/perluasan lapangan kerja di semua industri/sektor ekonomi. Sementara itu, the World Bank Institute (lihat situs web http://www.worldbank.org/) menggunakan istilah ”ekonomi pengetahuan/EP” (Knowledge Economy), yaitu suatu ekonomi yang membuat penggunaan pengetahuan secara efektif untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Ini mencakup penghimpunan/akumulasi pengetahuan asing, adaptasi dan menciptakan pengetahuan untuk kebutuhan spesifik. Atkinson, et al. (1999) mengidentifikasi dan mengungkapkan beberapa ciri/ karakteristik dari Ekonomi Baru seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2. Sementara itu, Lundvall dan Borras (1997) lebih menekankan ”ekonomi baru” (new economy) sebagai ”ekonomi pembelajaran” (learning economy). Atkinson mengelompokkan isu ekonomi menjadi dua yaitu: ekonomi lama dan ekonomi baru. Menurut mereka, dalam ekonomi pembelajaran (learning economy), maka elemen pengetahuan yang paling penting akan tetap bersifat spesifik dan tacit, serta berakar pada organisasi dan lokasi spesifik. Ini merupakan alasan utama mengapa pola spesialisasi internasional dalam perdagangan tetap relatif stabil sepanjang waktu dan mengapa kesenjangan teknologi tetap ada antardaerah dan antarnegara. Perubahan dan pembelajaran ibarat dua sisi mata uang. Perubahan yang makin cepat akan menghadapkan para pelaku dan organisasi kepada persoalan baru serta menuntut keterampilan baru. Proses seleksi pasar atas perusahaan-perusahaan yang berorientasi perubahan akan mendorong lebih lanjut percepatan inovasi. Nampaknya tidak ada tanda bahwa proses ini akan melambat dalam waktu dekat ini. Sebaliknya, deregulasi pasar produk dan masuknya pesaing-pesaing baru ke dalam pasar dunia akan memberi momentum baru terhadap proses tersebut.
KECENDERUNGAN KE ARAH EKONOMI BERBASIS PENGETAHUAN
51
Tabel 4.2 Beberapa Kunci bagi Ekonomi “Lama” dan “Baru”.
ISU
EKONOMI“LAMA”
EKONOMI “BARU”
Karakteristik Ekonomi secara Umum: Pasar
Stabil
Dinamis
Lingkup Persaingan (Scope of Competition)
Nasional
Global
Bentuk Organisasi
Hierarkis, Birokratis
Jaringan, Enterpreneurial
Potensi Mobilitas Geografis dari Bisnis
Rendah
Tinggi
Persaingan antar Daerah
Rendah
Tinggi
Industri: Organisasi Produksi
Produksi Masa
Faktor Produksi yang Penting
Modal/Buruh
Pendorong Teknologi yang Penting
Mekanisasi
Digitasi
Sumber Keunggulan Daya Saing
Penurunan Biaya melalui Economies of Scale
Inovasi, Kualitas, Waktu Penyampaian ke Pasar, dan Biaya
Tingkat Kepentingan Penelitian/Inovasi
Moderat
Hubungan dengan Perusahaan Lain
Berjalan Sendirisendiri
Flexible Production Inovasi/Pengetahuan
Tinggi
Aliansi dan Kolaborasi
52
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Tenaga Kerja: Sasaran Kebijakan Utama
Penyerapan Tenaga Kerja Penuh (Full Employment)
Upah dan Pendapatan yang Lebih Tinggi
Keterampilan
Keterampilan Khusus Pekerjaan (Job-specific Skills)
Keterampilan luas, Pelatihan Silang (Broad Skills, Cross-Training)
K e b u t u h a n Pendidikan
Suatu Keterampilan
Pembelajaran Menerus (Lifelong Learning)
Hubungan BuruhManajemen
Adversarial
Kolaboratif
Sifat dalam Bekerja
Stabil
Ditandai oleh Risiko dan Peluang
Hubungan Pemerintah-Bisnis
Menentukan Persyaratan
Membantu Inovasi dan Pertumbuhan Perusahaan
Regulasi
Perintah dan Kontrol (Command and Control)
Market Tools, Fleksibilitas
Pemerintah:
Sumber: Atkinson, et al., (1999). Oleh k���������������������������������������������������������������� arena itu, menurut mereka kebijakan inovasi akan sangat penting bagi kinerja ekonomi. Upaya pemerintah haruslah diarahkan untuk membantu meningkatkan kemampuan pembelajaran perusahaan, lembaga-lembaga pengetahuan dan masyarakat, dan bersamaan dengan itu juga mengatasi dampakdampak negatif yang mungkin muncul dari ekonomi dalam bentuk polarisasi sosial dan daerah. Pada ekonomi baru ini kebijakan inovasi kini menjadi semakin penting dibanding di masa lalu. Globalisasi dan khususnya liberalisasi pasar-pasar keuangan telah membatasi secara dramatis otonomi kebijakan ekonomi umum seperti kebijakan anggaran dan moneter. Inovasi menjadi semakin penting melalui peningkatan kemampuan pembelajaran perusahaan dan tenaga kerja. Hal ini untuk merespon persaingan yang semakin ketat. Tak ada satu pun perusahaan, daerah ataupun negara yang dapat membangun dan mempertahankan pertumbuhan berkelanjutan tanpa inovasi dan
KECENDERUNGAN KE ARAH EKONOMI BERBASIS PENGETAHUAN
53
pembelajaran. Menyikapi kecenderungan perubahan ekonomi demikian, Bank Dunia dalam berbagai peran dan aktivitasnya menekankan perlunya penguatan pada empat elemen esensial bagi berkembangnya EBP (KBE), yang utamanya menyangkut: Insentif ekonomi dan rejim kelembagaan yang memberikan insentif untuk pemanfaatan pengetahuan yang ada maupun yang baru secara efisien dan menumbuhkembangkan kewirausahaan; SDM yang terdidik, kreatif dan terampil; Infrastruktur informasi yang dinamis; Sistem inovasi nasional yang efektif. Dapat dikatakan bahwa ekonomi berbasis pengetahuan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan ekonomi tradisional dalam beberapa hal utama yaitu: E������������������������������������������������������������������ konomi bukan kelangkaan tetapi kelimpahan. Sumberdaya pengetahuan bukan seperti sumberdaya yang mempunyai penurunan apabila telah digunakan, tetapi akan berkembang secara nyata apabila digunakan. Contohnya informasi dan pengetahuan yang dapat ditransfer kepada orang lain, maka akan lebih produktif dan dapat berkembang. Hukum, hambatan pajak merupakan cara-cara yang sulit diukur untuk dapat diterapkan pada tingkat nasional. Kesenjangan pengetahuan dan informasi terjadi pada permintaan yang tertinggi dengan hambatan yang terendah; Peningkatan pengetahuan produk atau jasa dapat meningkatkan harga yang lebih tinggi dibanding dengan produk yang mempunyai kandungan atau intensitas pengetahuan yang rendah; Harga dan nilai sangat bergantung pada konteks. Dengan demikian informasi atau pengetahuan yang sama bisa memiliki nilai yang jauh berbeda bagi orang yang berbeda, atau bahkan kepada orang yang sama pada waktu yang berbeda; Modal manusia yang berkompeten merupakan komponen kunci dalam sebuah perusahaan yang berbasis pengetahuan;
54 4.5
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL FAKTOR LOKALITAS-LOKASIONAL
Perkembangan di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor-faktor lokalitas semakin disadari sebagai faktor yang menentukan keunggulan daya saing. Hal ini juga sebenarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia dan disadari oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. O���������������������������� tonomi daerah, ketersebaran geografis, dan keanekaragaman sosial dan budaya Indonesia sudah semestinya menjadi faktor penting bagi penguatan sistem inovasi daerah (SID) yang merupakan pilar penting dalam penguatan sistem inovasi nasional (SIN). Karena itu, dalam kerangka penguatan sistem inovasi, dimensi lokalitas-lokasional sangatlah penting bagi efektivitas dan efisiensi pengembangan kemitraan iptek di Indonesia. Salah satu faktor penentu daya saing yang sulit ditiru di era persaingan masa kini adalah faktor lokalitas-lokasional yang berupa kekuatan kemitraan yang berkembang dinamis dan adaptif beserta modal sosial yang terbangun. Kemitraan yang berkembang baik dan berhasil dipengaruhi oleh kohesi sosial, dan sebaliknya juga akan memperkuat kohesi sosial, yang berkaitan dengan aspek rasa saling percaya, inklusi, rasa memiliki atau menjadi bagian, partisipasi, kesamaan pengakuan, legitimasi. Kemitraan yang sinergis di daerah, antardaerah, kemitraan nasional dan internasional semakin penting bagi penguatan sistem inovasi dan karenanya perlu terus dikembangkan. Pada gilirannya, sistem inovasi yang semakin kuat akan berkontribusi pada peningkatan daya saing dan penguatan kohesi sosial.
55
BAB 5 TINJAUAN ATAS BENTUK KEMITRAAN IPTEK Pengembangan inovasi menuntut hubungan dua pihak atau lebih, yaitu hubungan kemitraan antara pemerintah dengan swasta (public-private partnership/ PPP). Hubungan antara universitas-industri, pemerintah-universitas, dan industripemerintah sering disebut dengan istilah double helix. 5.1 MODEL TRIPLE HELIX Pada akhir tahun 1990an, yaitu tahun 1998 dan 2000 Etzkowitz dan Leydesdorff memperkenalkan model Triple Helix dalam membahas pengembangan inovasi. Pendekatan Triple Helix menekankan bahwa interaksi antara universitas (akademia, termasuk lembaga litbangyasa), industri, dan pemerintah merupakan kunci utama bagi peningkatan kondisi yang kondusif bagi inovasi. Beberapa konsep pemodelan proses transformasi dalam hubungan universitas, industri, dan pemerintah tersebut menjadi bahan telaah yang penting. Secara konseptual setidaknya terdapat tiga bentuk evolusi sistem inovasi dalam model Triple Helix, yaitu Triple Helix I, II, dan III (Etzkowitz dan Leydesdorff, 2000). Triple Helix I menunjukkan model Etatistic hubungan perguruan tinggi – industri – pemerintah. Seperti diilustrasikan pada Gambar 5.1, Triple Helix I peran pemerintah mendominasi pihak lainnya (lingkaran spiral) lain. Perkembangan sistem inovasi dan kemitraan dan kelembagaan dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah sebagai mediator dalam mengatur hubungan industri, transfer teknologi dan peraturan institusional. Triple Helix II (Gambar 5.2) didefiniskan sebagai suatu sistem komunikasi yang terdiri dari operasi pasar, inovasi teknologi (yang mempengaruhi perubahan di masa depan”’, Nelson & Winter 1982), dan kontrol antarmuka (Leydesdorff 1997). Antarmuka fungsi-fungsi yang berbeda ini beroperasi dalam modus terdistribusi untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru komunikasi seperti dalam transfer teknologi yang berkelanjutan atau dalam undang-undang paten. Model Triple Helix II terdiri atas tiga lingkaran kelembagaan yang terpisah dengan garis batas yang kuat, dan hubungan antara lingkaran tersebut sangat terbatas. “Ketegasan” peran secara “tradisional” mencirikan model ini. Misalnya, peran perguruan tinggi adalah menyediakan SDM (melalui pendidikan tinggi secara formal) dan lebih banyak melaksanakan riset
56
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
dasar. Sementara itu peran pemerintah dibatasi oleh “kaidah” umum intervensi menurut pandangan arus utama ekonomi (mainstream economics), yaitu mengatasi kegagalan pasar. Pemerintah
Akademia
Industri
• Pemerintah mendominasi lingkaran/spiral lainnya • Koordinasi birokratis topdown • Mentalitas “proyek besar” • Industri: national champion • Perguruan tinggi: terutama berperan sebagai lembaga pengajaran
Sumber : Disesuaikan seperlunya dari Etzkowitz dan Leydesdorff (2000).
Gambar 5.1 Model ����� Triple Helix I: Model Etatistic.
Gambar 5.2 Model Triple Helix II: Model Laissez-faire. Model Triple Helix III (Gambar 5.3) mengungkapkan perkembangan pola kemitraan yang kompleks dan dinamis antara ketiga aktor utama sistem inovasi. Para aktor berperan dalam penciptaan infrastruktur pengetahuan dalam bentuk lingkaran spiral yang tumpang-tindih (overlapping), di mana setiap lingkaran mengambil peran pihak lainnya dan pada antarmukanya berkembang organisasi-organisasi hibrida (hybrid organization). Dalam Triple Helix III kelembagaan universitas, industri, dan pemerintah, di samping melakukan fungsi-fungsi tradisional mereka, masing-
MODEL TRIPLE HELIX
57
masing juga menggunakan peran pihak lain, antara lain dengan menggunakan jasa universitas untuk menumbuhkan industri, atau melihat kuasi-peran pemerintah sebagai pengelola inovasi lokal dan regional. (Pires & Castro 1997; Gulbrandsen 1997).
Gambar 5.3 Model Triple Helix III: Hubungan perguruan tinggi – industri – pemerintah dan organisasi hibrida. Industri laboratorium litbang dapat dianggap sebagai contoh historis internalisasi organisasi (Noble 1977). Sebuah lembaga tingkat menengah dan usaha kecil merupakan ciri khas dari sistem penelitian “pasca-modern” (Rip & Van der Meulen 1996).
Beberapa “fitur” penting dari model Triple Helix ini terutama terletak pada: Transformasi hubungan perguruan tinggi – industri - pemerintah dalam menghasilkan pengetahuan. Peran pihak yang terlibat dalam hubungan ini terintegrasi ketimbang dalam “aliran pengetahuan” melalui intermediaries. Interaksi rekursif. Hubungan antarpihak lebih merupakan proses yang terus-menerus berkembang.
58
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Peran dan batasan yang “kabur” (fuzzy border) antara berbagai aktor. Perguruan tinggi misalnya turut mengambil peran pengembangan kewirausahaan (entrepreneurial), sebaliknya swasta juga turut berperan dalam dimensi akademis. Tingkat analisis mikro dalam konteks kelembagaan (institusional). Kelembagaan dalam hal ini bukan saja menyangkut “organisasi”, tetapi juga hubungan, interaksi, dan peraturan/kebijakan, serta hal lain yang mempengaruhiny���������������������������� a��������������������������� seperti norma dan tradisi.
Melalui model ini, Etzkowitz dan Leydesdorff (2000), dan Leydesdorff dan Etzkowitz (1998) berupaya menelaah tatanan baru dari kekuatan institusional yang muncul dalam sistem inovasi. Model Triple Helix mengidentifikasi empat proses yang terkait dengan perubahan penting dalam pengembangan, pertukaran, dan penggunaan pengetahuan, yaitu: 1. Terdapat transformasi internal dalam setiap “pusaran” (helix). Sebagai contoh misalnya: perusahaan mengembangkan hubungan melalui aliansi strategis; perguruan tinggi menjadi lebih “entrepreneurial” (ini berkaitan dengan hipotesis Etzkowitz tentang masa the “second academic revolution”). Dalam hal ini, “pasokan/ penyediaan” pengetahuan/teknologi/inovasi juga dapat terjadi pada lembaga litbangyasa pemerintah. 2. Lingkaran atau spiral institusional (institutional spheres) dapat meningkatkan transformasi dalam bulatan lain. Contohnya adalah perubahan aturan pemerintah tentang hak kekayaan intelektual/HKI (intellectual property rights/ IPR). 3. Perpaduan baru keterkaitan tiga pihak, jaringan dan organisasi antara tiga pusaran diciptakan untuk melembagakan antarmuka (interface) dan menstimulasi kreativitas organisasi dan keterpaduan regional/daerah. Ini dipandang lebih sebagai proses transisi yang dinamis dan “tanpa akhir” (endless transition). Satu contoh di antaranya adalah Joint Venture Silicon Valley (di Negara Bagian California, Amerika Serikat) yang mendorong interaksi antara anggota dalam ketiga pusaran spiral. 4. Jaringan antarlembaga mempunyai dampak berulang pada pusaran awal maupun masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh: karena perguruan
MODEL TRIPLE HELIX
59
tinggi telah menjalankan misi pembangunan ekonomi, maka “norma sains Mertonian”13 tak lagi berlaku sepenuhnya. Seperti dijelaskan Leydesdorff dan Etzkowitz (1998), dalam Triple Helix I, ketiga lingkaran didefinisikan secara institusional (universitas/perguruan tinggi, industri, dan pemerintah). Interaksi antar institusi melalui suatu organisasi, misalnya liaison industri, transfer teknologi, dan kantor kontrak. Sedangkan dalam Triple Helix II, lingkaran didefinisikan sebagai sistem komunikasi yang berbeda, yang terdiri dari operasi pasar, inovasi teknologi, dan kontrol pada antarmuka. Antarmuka pada fungsi-fungsi yang berbeda ini beroperasi pada moda terdistribusi yang menghasilkan bentuk komunikasi baru seperti pada antarmuka transfer teknologi atau peraturan paten. Selanjutnya dalam Triple Helix III, lingkaran institusi dari perguruan tinggi, industri, dan pemerintah, selain melakukan fungsi tradisionalnya, juga melakukan fungsi yang lain, yaitu antara lain universitas menciptakan industri pemula, atau bertindak sebagai organisator inovasi lokal. Lahirnya Triple Helix III didasarkan pada sehimpunan keterkaitan organisasi yang kompleks di antara lingkaran yang saling tumpang-tindih (overlap) yang makin lama makin menghilangkan batas antarmereka. Selain hubungan antar lingkaran, masing-masing lingkaran semakin mampu melakukan fungsi yang lain. Sehingga, perguruan tinggi dapat mengambil peran kewirausahaan seperti pengetahuan pemasaran dan penciptaan perusahaan. Di samping itu, perusahaan menghasilkan dimensi akademis, misalnya berbagi pengetahuan (knowledge sharing) antarmereka atau mengadakan pelatihan karyawan. Pergeseran peran demikian dalam pengembangan, pemanfaatan dan distribusi pengetahuan sebenarnya serupa dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Gibbons, Nowotny dan sejawatnya seperti diuraikan pada bagian sebelumnya pada Tabel 4.1. Menurut pandangan Leydesdorff dan Etzkowitz (1998), “Triple Helix pada intinya merupakan suatu model untuk menganalisis inovasi dalam suatu ekonomi berbasis pengetahuan. Sudah barang tentu konsep atau pendekatan yang telah disampaikan dapat terus diperluas sesuai dengan dinamika perubahan dan konteksnya. 13 ��������� Di tahun 1942, Robert K. ������ ������� ����������������������������� Merton, seorang sosiolog, menjelaskan empat norma yang membentuk landasan pres� ������������ ����������������� ���������� ��������� ����� kriptif tentang perilaku riset yang tepat bagi seluruh disiplin ilmu dan lembaga pendidikan, yaitu: 1) Universalisme: pemisahan pengetahuan saintifik dari karakteristik personal ilmuwan; 2) Komunalitas: saling berbagi teknik dan temuan riset dengan ilmuwan lain (collective ownership); 3) Disinterestedness: pemisahan riset dari motif per� sonal demi kebenaran dan kemajuan pengetahuan; dan 4) Organized Skepticism: sifat kritis, terbuka terhadap penyelidikan publik atas hasil pekerjaan saintifik. Lihat juga diskusi tentang “Moda 2” Model Gibbons, et al. (1994) dalam Bab 7.
60
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Perkembangan perspektif bentuk dan hubungan antar berbagai aktor dalam inovasi dipandang tak terjadi begitu saja melainkan terbentuk atau terbangun dalam evolusi sosial, teknik dan ekonomi dari masyarakat modern yang cenderung mengubah diri mereka dan berinteraksi di antara mereka dengan penataan ulang konfigurasi. Sistem, termasuk juga lingkungan alamiah dan masyarakat komunal berkembang kedalam bentuk rezim baru. Perkembangan sistem ini membentuk suatu tipologi kemitraan iptek sebagai fungsi komunikasi dan koordinasi antara lembagalembaga yang terkait dengan iptek. 5.2 TIPOLOGI KEMITRAAN IPTEK Beberapa negara telah mempraktikkan pengembangan kemitraan iptek. Beberapa studi yang dilakukan di negara-negara itu mengungkapkan bentuk/pola kemitraan iptek yang dikembangkan dan pengaruh perkembangan iptek dan sistem inovasi bagi perkembangan ekonomi pada umumnya. Peran pemerintah sangat penting dalam mendorong berkembangnya kemitraan iptek. Walaupun begitu, prakarsa dan keterlibatan swasta menjadi kunci keberhasilan dalam banyak kemitraan iptek. Bagian ini selanjutnya merangkum contoh tipologi praktik kemitraan iptek di beberapa negara. Dalam strategi/program teknologi, kini semakin berkembang pola-pola kemitraan pemerintah-swasta (public-private partnership). Terdapat tiga alasan utama mengapa pola kemitraan pemerintah-swasta dinilai semakin penting dalam program teknologi, yaitu (Shapira, 2002): 1. Efisiensi dan skala (rasionalitas ekonomi): Peningkatan optimalisasi program dari keterbasan sumber daya pemerintah; Minimalisasi duplikasi; Penurunan biaya transaksi dan biaya pencarian (search cost); Respons terhadap government failure. 2. Peningkatan cakupan dan pembelajaran (rasionalitas sosial): Perbaikan cakupan dan mutu tindakan dalam program melalui proses kolektif yang sulit dilakukan secara individual; Mempercepat proses pembelajaran dan saling berbagi pengetahuan (knowledge sharing);
TIPOLOGI KEMITRAAN IPTEK
61
Mendorong jaringan aliran informasi, difusi teknologi dan eksperimentasi serta inovasi organisasional. 3. Keberlanjutan (rasionalitas politis). Hal ini antara lain berkaitan dengan: Perkembangan tatanan kemitraan yang mendorong “kepemilikan” (ownership) prakarsa bersama; Sebagai respons terhadap kritik tentang inefisiensi dan keterbatasan keterampilan birokrasi lembaga pemerintah, atau alasan political favoritism; Mendorong keterlibatan serta dukungan banyak pihak. Kemitraan iptek di beberapa negara dikembangkan melalui pola yang beragam. Setiap negara umumnya tidak hanya mendorong implementasi satu pola tunggal, melainkan beberapa pola kemitraan sekaligus. Tipologi kemitraan iptek (khususnya dalam aktivitas litbangyasa) antara perguruan tinggi (dan lembaga litbangyasa) dengan pihak industri (swasta) yang umumnya berkembang adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 5.1 berikut. Pola kemitraan strategis antara penyedia teknologi dan pengguna teknologi (T2B), baik yang melibatkan kalangan bisnis dengan bisnis maupun knowledge pool seperti lembaga litbangyasa pemerintah dan perguruan tinggi dengan kalangan bisnis dewasa ini intensif dikembangkan di beberapa negara. Beragam bentuk kemitraan pemerintah-swasta yang terkait dengan perkembangan inovasi, baik dalam bentuk keuangan, kegiatan riset, SDM, infrastruktur dan lainnya secara langsung maupun tidak langsung juga kini terus berkembang membentuk suatu pola kemitraan iptek.
62
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Tabel 5.1 Tipologi Kemitraan Riset Perguruan Tinggi – Industri (Swasta).
Jenis Kemitraan
Keterangan
Contoh
1. Dukungan riset secara umum
Dana/imbalan keuangan, hadiah, sumbangan peralatan, fasilitas riset
Kanada - NSERC Industrial Research Chairs programme
2. Kolaborasi riset informal
Kemitraan informal antara peneliti secara individual di industri dan perguruan tinggi
Amerika Serikat Center for Computational Genetics and Biological Modelling
3. Riset kontrak
Pendanaan industri untuk proyek riset tertentu di bawah ketentuan suatu kontrak
4. Alih pengetahuan dan skema pelatihan
Program pertukaran advisor/ahli dan penempatan dan pelatihan (magang) mahasiswa di industri
Inggris – Teaching Company Scheme
5. Proyek riset kolaboratif yang didanai pemerintah
Hibah dari pemerintah untuk proyek riset tertentu yang dilaksanakan bersama oleh industri dan perguruan tinggi
Australia - Collaborative Research Grants Scheme
6. Konsorsia riset
Program riset berskala besar yang melibatkan beberapa pihak dan disponsori oleh pemerintah
Uni Eropa – Framework Programmes
7. Pusat-pusat riset kemitraan (Cooperative research centres)
Fasilitas atau pusatpusat untuk untuk riset kolaboratif yang didukung oleh pemerintah
Swedia - NUTEK Competence Centre Programme
POLA KEMITRAAN IPTEK 5.3
63
POLA KEMITRAAN IPTEK
Dengan menggunakan model Triple Helix, maka pola kemitraan iptek pada dasarnya dapat berkembang dalam 3 (tiga) bentuk dasar, yaitu: 1. Kemitraan dari pelaku iptek atau kelembagaan yang memiliki peran sejenis sangat mirip/serupa. Ini terjadi pada masing-masing lingkaran stakeholder (misalnya kemitraan iptek antarperusahaan, termasuk antara UKM dengan perusahaan besar, atau antarperguruan tinggi, antarlembaga litbangyasa, atau antara perguruan tinggi dengan lembaga litbangyasa). Contoh bentuk kemitraan ini misalnya adalah antara institusi perguruan tinggi yang saling bekerja sama untuk menciptakan teknologi terbaru. 2. Kemitraan dari pelaku iptek atau kelembagaan dengan dua peran dasar yang berbeda. Termasuk dalam bentuk ini adalah kemitraan iptek antara perguruan tinggi dan/atau litbangyasa dengan dunia usaha, antara pemerintah dengan dunia usaha, dan antara pemerintah dengan perguruan tinggi dan/atau litbangyasa. Bentuk kedua ini juga dapat digabungkan dengan bentuk pertama. Misalnya, kerjasama antara institusi perguruan tinggi memerlukan peran pemerintah sebagai fungsi kontrol dalam membentuk regulasi-regulasi yang mendukung kemitraan. 3. Kemitraan yang melibatkan aktor/kelembagaan dengan keseluruhan peran dasar yang berbeda. Berdasarkan Powell dan Grodal (2005), terdapat dua tipe karakteristik ikatan dalam jaringan, yaitu Ikatan Kuat (Strong Ties) dan Ikatan Lemah (Weak Ties). Ikatan Kuat berdasarkan pada minat yang sama antara institusi, sehingga sebagian besar informasi akan mendukung pandangan yang ada. Ikatan Kuat dapat terjadi di�������� antara sesama perusahaan swasta. Di lain pihak, Ikatan Lemah akan memperlihatkan unsur kebaruan dalam bentuk ide-ide yang berbeda dan dengan menginisiasi informasi baru. Contoh ikatan ini adalah antara perusahaan swasta dan universitas dalam rangka mendapatkan pengetahuan baru dari para peneliti di universitas. Apabila dihubungkan dengan ketiga bentuk dasar kemitraan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka bentuk dasar pertama termasuk ke dalam Ikatan Kuat. Di lain pihak, bentuk dasar kemitraan kedua dan ketiga termasuk ke dalam kategori Ikatan Lemah.
64
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Ikatan Kuat seringkali terbukti lebih efektif dalam pergantian informasi yang kompleks, tetapi sebagian besar informasi baru didapatkan dari Ikatan Lemah. Ikatan Kuat mungkin dapat membatasi pengumpulan informasi, khususnya dari aspek keluasan pencarian informasi baru, namun informasi yang dipertukarkan relatif detail. Ikatan Lemah lebih tidak tahan lama, tetapi mempunyai akses yang lebih baik kepada jaminan informasi yang tidak berulang. Oleh karena itu, perlu dicermati eksistensi dan sinergi antara dua tipe ikatan ini dalam pengembangan kemitraan iptek. Beberapa kemungkinan pola kemitraan iptek yang dapat dikembangkan adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Model Kemitraan Iptek Perguruan Tinggi/Lembaga Litbangyasa – Industri (Swasta).
Jenis Kemitraan
Keterangan
1. Forum kebijakan
a. Pembentukan kelembagaan kolaboratif baru untuk mengkaji, merumuskan, memberikan rekomendasi atau advis dan/atau advokasi kebijakan b. Penguatan peran kelembagaan kolaboratif yang telah ada Termasuk di dalamnya adalah penyusunan regulasi, standar, panduan, dan sejenisnya.
2. Kolaborasi litbangyasa
a. Kemitraan litbangyasa (dalam proyek litbangyasa tertentu) yang melibatkan beberapa pihak dan disponsori oleh pemerintah. Contoh bentuknya adalah konsorsia b. Hibah dari pemerintah untuk proyek riset tertentu yang dilaksanakan bersama oleh industri dan perguruan tinggi dan/atau lembaga litbangyasa. Contohnya adalah penyusunan petarencana kolaboratif tertentu (collaborative roadmapping)
3. Dukungan riset secara umum dan penghargaan
Dana/imbalan keuangan, hadiah, penghargaan (insentif), sumbangan peralatan, fasilitas riset
POLA KEMITRAAN IPTEK
65
4. Pusat-pusat riset kemitraan (Cooperative research centres)
Pengembangan/penguatan fasilitas atau pusatpusat untuk untuk riset kolaboratif yang didukung oleh pemerintah. Termasuk dalam bentuk ini adalah pengembangan taman iptek, inkubator, dan sejenisnya.
5. Kontrak Litbangyasa
Pendanaan industri untuk proyek riset tertentu di bawah ketentuan suatu kontrak
6. Asistensi, alih pengetahuan dan peningkatan kapasitas
a. Pertukaran advisor/ahli b. Bantuan teknis (technical assistance) c. Pelatihan (magang) SDM di industri , perguruan tinggi dan/atau lembaga litbangyasa atau daerah tertentu
7. Kolaborasi riset informal
Kemitraan informal antara peneliti secara individual di industri dan perguruan tinggi atau lembaga litbangyasa
Menurut� PricewaterhouseCoopers’s Transaction Services Group ada enam langkah penting yang dapat diikuti oleh organisasi/perusahaan untuk meningkatkan peluang keberhasilan aliansi (PricewaterhouseCoopers, 2004), maka pengembangan kemitraan iptek dapat dikembangkan melalui langkah-langkah seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4. 1. Menggali Pilihan Strategis
Penstrukturan
M
e nc
Kapabilitas Kemitraan Iptek
2. Merencanakan Kemitraan
ge
5. Mengelola Kemitraan
li Di
en Me ga ma lo nt ka au si K ka in n er M ja an fa at
6. Mengukur Realisasi Manfaat
3. Memilih Mitra dan Bernegosiasi
4. Finalisasi Desain Kemitraan
Sumber : Diadaptasi dari PricewaterhouseCooper (2004).
Gambar 5.4 Langkah Pengembangan Kemitraan Iptek.
66
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Perkembangan kemitraan antara dua pihak atau lebih ini secara terus menerus akan menciptakan adanya perkembangan institusi kelembagaan sebagai aktor-aktor yang terlibat dalam iptek, dimana hal ini akan mengikutsertakan legislasi yang menjadi instrumen kebijakannya.
67
BAB 6 PENGEMBANGAN KEMITRAAN IPTEK Untuk memperkuat kemitraan iptek, diperlukan strategi yang dirumuskan atas dasar prinsip kemitraan iptek itu sendiri. Strategi itu selanjutnya dipakai sebagai acuan bagi para pemangku kepentingan yang hendak menjalin kemitraan. Diskusi tentang pengembangan kemitraan iptek berikut dihimpun dari beragam sumber sebagai bahan yang diharapkan dapat bermanfaat dalam perumusan konsep pengembangan dan implementasi kemitraan iptek. 6.1
PRINSIP KEMITRAAN IPTEK
Dalam prinsip kemitraan iptek, diperlukan kebijakan pe������������������ merintah���������� , sebagai berikut: a. Peny����������������������������������������������������������������� usunan prinsip umum yang menjadi panduan dan prinsip operasional bagi upaya terpadu pengembangan kemitraan iptek di Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum yang berlaku. b. Prinsip kemitraan iptek merupakan salah satu landasan bagi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kemitraan iptek, yang senantiasa perlu disejalankan, dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan konteks spesifik kemitraan iptek dan dalam mengantisipasi tantangan dinamika perkembangan lingkungan. Prinsip-prinsip kemitraan iptek tersebut perlu dirumuskan dengan maksud untuk: a. Meningkatkan keperdulian (awareness) tentang pentingnya kemitraan iptek dan hal-hal pokok berkaitan dengan itu. b. Menegakkan prinsip umum bagi para pihak yang mengembangkan kemitraan iptek. Prinsip ini dapat memandu pengambilan keputusan dan implementasi kerjasama iptek secara efektif dan efisien, serta untuk menumbuhkembangkan kemitraa iptek yang produktif. c. Menjadi salah satu pijakan bagi pemerintah, termasuk KRT, dan para pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya untuk :
68
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL menjelaskan kepada masyarakat tentang prinsip umum kemitraan iptek dan program kemitraan iptek; menetapkan kebijakan dan program/aktivitas kemitraan iptek (khususnya yang didukung pendanaan pemerintah) yang akuntabel, transparan, demokratis dan adil; mendorong pengembangan/penguatan lembaga iptek yang lebih akuntabel, visioner, inovatif, dan memiliki keunggulan (excellence).
Beberapa prinsip berikut bersifat mendasar, generik dan saling terkait yang diperlukan dalam pengembangan kemitraan iptek. Prinsip kemitraan iptek tersebut dikelompokkan berdasarkan prinsip dasar, kebersamaan, dan kesepakatan, serta kemitraan. 6.1.1 Prinsip Dasar Kemitraan Iptek
Terdapat beberapa prinsip dasar bagi kemitraan iptek, antara lain: a. Saling memerlukan. Kemitraan iptek perlu didukung apabila dilandasi kesadaran dan kebutuhan yang dirasakan oleh para pihak yang bermitra. b. Saling memperkuat. Upaya pengembangan kemitraan perlu didorong agar para pihak yang akan bermitra (semakin) dapat saling mengisi atau melengkapi dan memperkuat atau mengatasi kendala atau kelemahan yang dihadapi oleh masing-masing pihak. c. Saling menguntungkan. Kemitraan iptek perlu ditumbuhkembangkan agar setiap pihak memperoleh nilai kemanfaatan yang������������������ lebih besar jika dibanding dengan pengorbanan yang dilakukan masing-masing. d. Memberikan dampak sinergi positif. Visi bersama dan langkah kolaboratif dari para pihak dalam kemitraan iptek sangat penting untuk mewujudkan nilai kemanfaatan yang������������������������������ lebih besar dibanding dengan nilai kemanfaatan���������������������������������������������� ��������������������������������������������������������� dari tindakan yang dilakukan sendiri-sendiri. e. Saling percaya dan saling menghormati. Modal sosial utama bagi keberhasilan dan keberlanjutan kemitraan iptek adalah terbangunnya rasa saling percaya dan saling menghormati dari para pihak yang bermitra.
PRINSIP KEMITRAAN IPTEK
69
6.1.2 Prinsip Bersama dalam Kemitraan Iptek Prinsip bersama para pihak dalam suatu kemitraan iptek pada dasarnya meliputi: a. Membangun kelepoporan/kepemimpinan. Kepentingan atau kebutuhan parapihak akan memicu kehendak untuk bermitra. Namun untuk berkembang menjadi suatu kemitraan iptek yang berhasil perlu ditopang/didukung oleh kepeloporan (pioneering) atau kepemimpinan (leadership) yang kredibel. Kredibilitas SDM dan lembaga yang terlibat dalam kemitraan merupakan kunci dalam membangun rasa saling percaya dan menghormati antarpihak, sehingga terwujud langkahlangkah kolektif dalam kemitraan dan berkembangnya kepeloporan/ kepemimpinan yang efektif bagi perkembangan kemitraan. b. Menetapkan visi dan tujuan secara bersama. Visi dan tujuan bersama merupakan acuan untuk menggalang dan mengarahkan pemanfaatan dan pengembangan sumber daya serta kemampuan parapihak secara efektif dan efisien dalam mewujudkan harapan bersama. Visi dan tujuan bersama perlu dirumuskan secara bersama pula untuk membawa kemitraan kepada situasi saling menguntungkan dan sebagai ungkapan rasa saling percaya dan saling menghormati para pihak. Karenanya, para pihak perlu berupaya membangun proses kemitraan yang partisipatif. c. Berbagi informasi dan saling mengembangkan jaringan. Kemitraan pada prinsipnya adalah upaya kolektif parapihak sebagai “entitas atau aktor”. Kesamaan tindakan para pihak dalam proses kemitraan sangat ditentukan oleh informasi dan komunikasi yang berkembang antara pihak-pihak yang bermitra. Jika kemitraan dapat menjadi jaringan yang berfungsi dan berkembang, maka langkah kolektif akan sangat berpeluang memberikan solusi atas permasalahan bersama dan hasil yang sinergis. Berpikir dan bertindak strategis dan sistemik perlu dikembangkan dalam setiap pengembangan kemitraan iptek. d. Berbagi tanggung jawab. Setiap upaya kolektif dan kolaboratif berimplikasi pada hak dan tanggung jawab serta peran, tugas/fungsi dan kewenangan parapihak. Karena itu, pihak yang bermitra harus dapat menentukan dan mendistribusikan peran atau tanggung jawab masing-masing maupun bersama. Setiap pihak harus berupaya sedapat
70
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL mungkin untuk menyediakan keterampilan profesional yang tepat agar dapat sama-sama bekerja dan bekerjasama. e. Me���������������������������������������������������������������� nciptakan akuntabilitas, transparansi, demokrasi, dan keadilan. Kemitraan iptek yang produktif merupakan proses dan hasil dari tindakan kolektif yang menjunjung tinggi akuntabilitas, transparansi, demokrasi, dan keadilan. Untuk itu diperlukan kejujuran, ketulusan, nilai etika/moral dan sikap adil yang dipegang teguh serta keterbukaan terhadap pandangan pihak lain, diiringi dengan pengorganisasian yang tepat untuk membangun hubungan yang langgeng. f.
Memantau dan mengevaluasi kolaborasi. Kesungguhan dalam mengembangkan hubungan yang produktif, saling menguntungkan dan sinergis sangat penting bagi kemitraan iptek sebagai suatu proses pembelajaran sosial para pihak yang terlibat. ���������������������� Proses demikian perlu dijaga bersama perkembangan dan momentumnya secara konsisten. Tujuan yang jelas dan upaya pemantauan dan evaluasi yang dilakukan secara tepat merupakan tanggung jawab bersama para pihak yang bermitra.
g. Menerapkan hasil. Banyak kemitraan berakhir karena tidak mencapai hasil yang diharapkan atau parapihak tidak dapat memetik kemanfaatan dari kemitraan itu. Berbeda dengan kemitraan iptek, yang tidak saja dapat memberikan hasil berupa produk (barang dan/atau jasa) tetapi juga menghasilkan keluaran berupa produk iptek yang dapat menjadi aset intelektual. Oleh karena itu, kemampuan mengelola pengetahuan dan kekayaan intelektual serta memanfaatkan hak kekayaan intelektual sangat penting. Proses iteratif akumulasi kekayaan atau aset intelektual merupakan hal penting bagi peningkatan kapasitas iptek paramitra. h. Meningkatkan kapasitas iptek. Hasil kemitraan iptek bukan hanya diraih dari keluaran langsung tetapi juga dari proses kemitraan itu sendiri. Paramitra perlu mampu menggali dan menerapkan hasil kemitraan tersebut. Karenanya ���������������������������������������������������������� paramitra perlu mendorong peningkatan kapasitas yang relevan secara berkesinambungan. i.
Mendiseminasikan hasil. Peningkatan perolehan kemanfaatan dalam suatu proses kemitraan dipengaruhi oleh kemampuan parapihak
PRINSIP KEMITRAAN IPTEK
71
untuk saling mendiseminasikan hasil, baik dalam komunitas internal maupun dalam komunitas di luar kemitraan. Praktik yang disepakati dan keberhasilan mengembangkan dan mengimplementasikan strategi komunikasi yang efektif perlu terus dikembangkan oleh paramitra. j.
Berbagi “penghargaan atau keberhasilan” secara adil. Kemitraan yang berlangsung langgeng dipengaruhi oleh kemampuan parapihak untuk menjaga pembagian perolehan atau hak tiap mitra secara adil. Kemitraan harus berupaya menjaga agar tidak ada satu pihak yang merasa ditinggalkan atau dirugikan dari hubungan kemitraan yang berkembang.
k. Mengembangkan diri atas hasil atau prestasi yang diperoleh. Kemitraan iptek merupakan siklus proses yang pengembangannya ditentukan oleh kemampuan paramitra meningkatkan hasil atau prestasinya. Ibarat efek bola salju, kohesi sosial dan manfaat kemitraan bagi komunitas akan terus meningkat jika proses dan hasil kemitraan tersebut juga dijadikan modal pengembangan secara terus-menerus oleh para mitra. 6.1.3 Prinsip bagi Setiap Pihak yang Bermitra Agar upaya pengembangan kemitraan iptek efektif, maka setiap pihak yang bermitra dituntut untuk: a. Mendorong lembaga yang kuat, berintegritas dan berkomitmen tinggi. Kemitraan iptek sesungguhnya hanya dapat terjadi bila setiap pihak dinilai sebagai pihak yang “tepat” oleh mitranya. Karena itu, merupakan tanggung jawab setiap pihak untuk berupaya membenahi diri. Aksesibilitas setiap pihak terhadap pengetahuan dan sumber daya produktif lain perlu ditingkatkan. Tentunya kemitraan iptek yang baik akan membutuhkan setiap pihak untuk memiliki integritas dalam menjalankan perannya, dan berkomitmen serta berkontribusi dalam kemitraan yang bersangkutan. b. Menyelaraskan kepentingan dan membangun proses partisipatif. Kemitraan iptek dapat berkembang apabila setiap pihak memahami manfaat kemitraan iptek yang diikutinya. Setiap pihak perlu menghormati dan memahami harapan mitranya, dan mendukung
72
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
peran mitra masing-masing. Setiap pihak berperan penting untuk membangun proses partisipatif, dan bersedia bersikap terbuka untuk bernegosiasi dan berkompromi. Alih pengetahuan dan keterampilan yang efektif pun bergantung pada kemampuan menyelaraskan kepentingan mitra. Perguruan tinggi ataupun lembaga litbangyasa hanya akan dapat berkolaborasi secara efektif apabila para peneliti/perekayasanya diberdayakan untuk bekerja dalam cara ini dan memanfaatkan waktu dan upayanya secara memadai untuk memahami tawaran dan kebutuhan masing-masing pihak.
c. Memperlakukan kolaborasi secara strategis. Pihak yang memandang penting kemitraan iptek dan berkomitmen tinggi akan memperlakukan kolaborasi sebagai agenda strategisnya. Setiap pihak perlu menghargai kemitraan yang dijalin. Jika tidak, sangat boleh jadi perannya sebenarnya tidaklah menentukan bagi kemitraan dan/atau sebaliknya kemitraan iptek yang diikutinya sebenarnya tidak memiliki makna penting baginya. Kebijakan yang eksplisit diperlukan dan tindakan perlu diambil untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut dikomunikasikan, dipahami dan ditindaklanjuti. Posisi pengambilan keputusan tersebut berada pada tingkat cukup tinggi di setiap pihak yang bermitra. d. Menyediakan keterampilan profesional yang tepat. Untuk dapat mengembangkan kemitraan yang saling mengisi dan saling memperkuat, setiap pihak perlu menjalankan peran yang menjadi tanggung jawabnya. Karena itu, menjadi kewajiban setiap pihak untuk berupaya menyediakan keterampilan profesional yang tepat. e. Mengorganisasikan untuk membangun hubungan yang langgeng. Keberhasilan membangun kemitraan iptek tidak semata ditentukan oleh ketersediaan atau melimpahnya sumber daya dan kapabilitas paramitra. Tetapi setiap pihak harus dapat mengorganisasikan sumber daya dan kapabilitas serta proses dengan cara yang tepat dalam membangun hubungan yang saling menguntungkan dan bertahan lama. Sikap dan tindakan setiap pihak yang menjunjung tinggi akuntabilitas, transparansi, demokrasi, dan keadilan akan sangat mempengaruhi keberlanjutan hubungan kemitraan yang sehat. Kejujuran, ketulusan,
PRINSIP KEMITRAAN IPTEK
f.
73
nilai etika/moral dan sikap adil yang dipegang teguh oleh setiap pihak serta keterbukaannya terhadap pandangan pihak lain perlu dijaga oleh setiap pihak dalam mendorong hubungan sosial budaya yang kondusif bagi perbaikan bersama. Membangun intensi (maksud dan tujuan) yang jelas dan memelihara konsistensi. Saat merencanakan kolaborasi, prioritas pertama setiap pihak yang hendak bermitra adalah menggali dan menyetujui pencapaian yang diharapkan. Kemitraan yang bertanggungjawab perlu mengembangkan proses terbuka untuk membangun intensi (maksud dan tujuan) yang jelas dan mengeliminasi agenda tersembunyi dan penyalahgunaan posisi tawar. Niat baik, kejujuran dan ketulusan setiap pihak untuk membangun intensi yang jelas dan penyampaian kepada pihak lain merupakan bagian sangat penting dari proses pengembangan kemitraan iptek. Dengan demikian setiap pihak juga akan memperoleh pemahaman tentang posisi dan harapan mitranya. Setiap pihak pun perlu menjaga konsistensinya dalam membangun hubungan kemitraan yang produktif. Kesemuanya penting sebagai acuan, proses eksekusi dan evaluasi serta pemantauan hubungan kemitraan iptek.
g. Mengelola dan mengembangkan kekayaan intelektual secara efektif. Untuk memaksimumkan hasil kemitraan iptek dan proses pengembangan kemitraan itu sendiri, setiap pihak perlu memiliki kemampuan dan berupaya mengelola dan mengembangkan kekayaan/aset intelektual secara efektif. Hal ini akan turut menentukan dalam memperoleh nilai tambah/kemanfaatan yang besar dari kemitraan iptek yang diikutinya, bahkan lebih besar dibanding yang diperolehnya tanpa bermitra. Manajemen kekayaan intelektual yang efektif juga sangat penting dalam proses alih iptek. Mitra yang bertanggungjawab akan melindungi kekayaan intelektualnya melalui upaya memfasilitasi penciptaan nilai inovasi terbuka dan memanfaatkan sistem kekayaan intelektual yang dapat mendorong investasi masa depan bagi aktivitas iptek. h. Melakukan peningkatan kapasitas yang relevan. Kemitraan iptek sebenarnya juga merupakan proses pembelajaran sosial. Interaksi yang produktif memerlukan keterampilan setiap pihak
74
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
i.
j.
agar dapat menjalankan perannya secara efektif dan efisien. Setiap pihak bertanggung jawab untuk senantiasa meningkatkan kapasitasnya masing-masing di bidang yang relevan. Alih pengetahuan yang efektif membutuhkan kompetensi dan keterampilan di berbagai bidang di luar manajemen pengetahuan dan kekayaan intelektual. Mitra yang bertanggungjawab perlu mengembangkan program yang tepat dan mengamankan lingkungan pembelajarannya untuk mempelajari keterampilan dan cara-cara yang sesuai bagi dunia inovasi terbuka. Menggunakan praktik yang baku/standar dan mengkomunikasikannya secara reguler. Praktik yang disepakati dan dibakukan akan membantu efektivitas kerja dalam kolaborasi jangka panjang. Hal-hal yang bersifat reinventing the wheel harus dihindari. Setiap pihak sebaiknya berupaya untuk bekerja dengan pihak lain yang telah berpengalaman dalam hal yang relevan dengan peran atau tugasnya. Hal ini juga akan memberikan kelonggaran waktu untuk mendiskusikan butir yang relevan dan berguna bagi kolaborasi yang hendak atau sedang dijalin. Mitra yang bertanggungjawab akan mengembangkan dan mengimplementasikan strategi komunikasi yang efektif, berbagi praktik dan berinteraksi secara reguler sebagai bagian dari pengembangan manajemen. Memandang aktivitas inovatif sebagai aktivitas lintas-disiplin dan lintas-pelaku. Keberhasilan kemitraan iptek dipengaruhi oleh kemampuan memanfaatkan kekayaan lintas-disiplin dan lintas pelaku. Cara pandang sistemik dan sistematis setiap pelaku sangat penting dalam mengembangkan hubungan kemitraan iptek yang produktif sebagai bagian integral dari pengembangan sistem inovasi. Inovasi bukanlah sekedar kecanggihan teknologi. Memilih model bisnis atau struktur sosial terbaik terkadang lebih penting daripada menjadi yang pertama kali menemukan. Demikian halnya dengan keterampilan ilmiah, yang pada dasarnya perlu dikombinasikan dengan humaniora, ekonomi, sosiologi, dan hukum. Mitra yang bertanggungjawab memahami sifat lintas-disiplin dan mengorganisasikannya.
PRINSIP KEMITRAAN IPTEK
75
Selain itu, setiap pihak yang bermitra juga perlu mengantisipasi/ mengupayakan semaksimal mungkin hasil yang saling menguntungkan (win-win outcomes) dari suatu kemitraan iptek. Secara umum keterkaitan antarprinsip kemitraan tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar 6.1 berikut.
Mendorong lembaga yang kuat, integritas dan komitmen
Membangun kepeloporan/kepemimpinan
Menyelaraskan kepentingan dan membangun proses partisipatif
Menetapkan visi dan tujuan bersama secara bersama-sama
Memperlakukan kolaborasi secara strategis
Berbagi informasi; mengembangkan jaringan
Menyediakan keterampilan profesional yang tepat
Berbagi tanggung jawab
Mengorganisasikan untuk membangun hubungan yang lama/langgeng
Menciptakan akuntabilitas, transparansi, demokrasi dan keadilan
Membangun intensi (maksud dan tujuan) yang jelas dan memelihara konsistensi
Memantau dan mengevaluasi kolaborasi
Mengelola/mengembangkan kekayaan intelektual yang efektif
Menerapkan hasil
Melakukan peningkatan kapasitas yang relevan
Meningkatkan kapasitas iptek
Menggunakan praktik yang baku/standar dan mengkomunikasikannya secara reguler
Mendiseminasikan hasil
Memandang aktivitas inovatif sebagai aktivitas lintas-disiplin dan lintas pelaku
Berbagi “penghargaan/keberhasilan” secara adil
Prinsip Bersama dalam Kemitraan Iptek
Prinsip bagi Setiap Pihak yang Bermitra
Mengembangkan diri atas hasil/prestasi yang diperoleh
Memberikan dampak sinergi positif
Saling memperkuat
Saling percaya dan saling menghormati
Saling memerlukan
Saling menguntungkan
Prinsip Dasar Kemitraan Iptek
Gambar 6.1 Ilustrasi Keterkaitan Prinsip Kemitraan Iptek. 6.1.4 Prinsip bagi Pihak Pemerintah/Lembaga Pemerintah Sejalan dengan peran, tugas, fungsi dan kewenangannya, pemerintah (lembaga pemerintah) dalam mendorong kemitraan iptek diharapkan memiliki prinsip sebagai berikut: a. Pengembangan kemitraan iptek dilakukan terutama demi kepentingan nasional dan untuk memperbesar kemanfaatan iptek bagi masyarakat luas.
76
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Pemerintah (lembaga pemerintah) perlu mendorong atau mendukung kemitraan iptek untuk mendapatkan hasil yang penting bagi kepentingan nasional dan memperbesar kemanfaatan iptek bagi masyarakat luas, serta tidak mengorbankan integritas pemerintah.
b. Pemerintah perlu memotivasi, memfasilitasi dan mendukung pengembangan kemitraan iptek yang dapat mendukung prioritas nasional. Prakarsa pengembangan kemitraan iptek harus berkontribusi terhadap prioritas nasional yang menjadi bagian penting dari pengembangan kebijakan atau program pemerintah dan/atau lembaga pemerintah. c. Pemerintah (lembaga pemerintah) mendorong pengembangan kemitraan iptek yang dapat meningkatkan kapasitas pihak pemerintah. Pengembangan kemitraan iptek memungkinkan akses terhadap kepakaran, fasilitas dan peralatan, serta sumber daya keuangan, dan ketersediaan jaringan yang memungkinkan pemerintah/lembaga pemerintah mewujudkan tujuan dan sasarannya lebih efisien. d. Pemerintah (lembaga pemerintah) memberikan kemudahan dan dukungan pengembangan kemitraan iptek yang berpotensi tinggi untuk mendorong peningkataan kapasitas organisasi lain yang bekerjasama dalam mewujudkan tujuan bersama. Pemerintah (lembaga pemerintah) bermitra dengan pihak lain di bidang iptek dalam rangka meningkatkan kapasitas (pengetahuan, teknis, dan unsur penting lain) organisasi lainnya dalam pembangunan bidang iptek dan perluasan pemanfaatannya. e. Pemerintah (lembaga pemerintah) hendaknya membantu atau memfasilitasi pencapaian konsensus kemitraan iptek antara berbagai pihak yang akan memberikan dampak perbaikan dalam bidang-bidang iptek prioritas. Selain memberikan akses terhadap sumber daya, pemerintah perlu mengupayakan pengembangan kemitraan iptek untuk mendukung pencapaian konsensus antara berbagai organisasi, termasuk lembagalembaga pemerintah lainnya, komunitas dan organisasi nirlaba. Kemitraan iptek harus ditumbuhkembangkan untuk mendorong berkembangnya budaya iptek dan membantu hubungan atau keterkaitan pengetahuan
PRINSIP KEMITRAAN IPTEK
77
bagi para pihak yang berperan penting dalam mewujudkan tujuan/sasaran pembangunan iptek dan pemanfaatannya. f.
Langkah pemerintah (lembaga pemerintah) dalam mendorong kemitraan iptek dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan pendekatan atau cara yang dapat meningkatkan kemanfaatan dan sinergi positif dalam pengembangan kelembagaan, unsur sumber daya, kompetensi, dan unsur jaringan iptek, serta menghindari/ meminimumkan potensi risiko negatif yang muncul. Pemerintah (lembaga pemerintah) sedapat mungkin mengupayakan pengembangan/perbaikan metode atau cara untuk memaksimumkan kemanfaatan dan sinergi positif dari kemitraan iptek, serta menghindari atau meminimumkan inefisiensi tumpang-tindih, persaingan tak sehat antarpihak dan dampak kontra produktif bagi pemanfaatan dan pengembangan iptek. Pemerintah (lembaga pemerintah) perlu terbuka terhadap pandangan/ pemikiran dan masukan yang konstruktuif bagi perbaikan kebijakan dan program (aktivitas) pengembangan kemitraan iptek. Selain itu, pemerintah juga perlu berperan secara proaktif dalam menghindari atau meminimumkan risiko yang muncul dalam penelitian, pengembangan, perekayasaan dan pemanfaatan serta difusi iptek.
g. Dalam pengembangan kemitraan iptek yang melibatkan sektor swasta, pemerintah perlu menjadi katalis bagi upaya kolaboratif dalam peningkatan daya saing dan menghindari/meminimumkan dampak negatif karena potensi persaingan bisnis tak sehat. Dalam pengembangan kemitraan iptek yang melibatkan sektor swasta, pemerintah/lembaga pemerintah perlu mengambil tindakan untuk mempercepat langkah kolaboratif peningkatan daya saing produk dalam negeri, perusahaan nasional, dan daya saing daerah, serta perlu berupaya mengurangi persepsi bersaing dengan sektor swasta dan melakukan langkah pengembangan kemitraan iptek secara transparan, akuntabel dan adil, serta menghindari/ meminimumkan persaingan tak sehat dengan atau dalam sektor terkait. Prinsip-prinsip kemitraan iptek yang telah dijabarkan tersebut diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengembangan koordinasi kemitraan iptek ke depan, sehingga setiap lembaga mempunyai landasan gerak yang sama.
78 6.2
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL PENGEMBANGAN KOORDINASI KEMITRAAN IPTEK
��������������������������������������������������������������������������� Daya saing merupakan faktor yang menentukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan daya saing ini ditentukan oleh daya dukung iptek, kemampuan inovasi dan difusinya serta proses pembelajaran yang berkembang dalam masyarakat. Beragam bukti empiris juga memberikan pelajaran bahwa keberhasilan suatu negara dalam menumbuhkembangkan kemampuan iptek ditentukan oleh kemampuan negara bersangkutan dalam menyinergikan perkembangan kelembagaan dan sumber daya serta kompetensi iptek yang dimilikinya dengan berbagai faktor lain secara bersistem. Cara pandang bersistem (sistemik) perlu ditumbuhkembangkan. Belajar dari pengalaman perkembangan dan upaya (intervensi) parsial yang dilakukan oleh pemerintah di masa lalu tidak efektif dan efisien bagi kemajuan inovasi dan difusi inovasi. Pendekatan sistem inovasi pada dasarnya akan efektif jika dibarengi dengan kesadaran pentingnya perubahan paradigma dan upaya secara sistemik dalam pemajuan iptek atau inovasi dan difusi serta peningkatan proses pembelajaran. Kesadaran ini pun sebenarnya mulai berkembang di Indonesia. Diyakini bahwa untuk menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Sistem ini diharapkan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan iptek yang utuh di lingkungan Negara Republik Indonesia. Sehubungan dengan itu ditetapkan UU No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3Iptek). Keberadaan �������������������������������������������������� undang-undang tersebut bertujuan untuk: a. Memberikan landasan hukum bagi pertumbuhan semua unsur kelembagaan yang berkaitan dengan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek; b. Meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan sumber daya iptek secara lebih efektif; c. Menumbuhkembangkan jaringan yang menghubungkan semua unsur kelembagaan iptek secara interaktif dalam rangka mengoptimalkan kapasitas dan kemampuan antara unsur kelembagaan yang tersinergi; d. Mengikat semua pihak, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan masyarakat untuk berperan aktif.
PENGEMBANGAN KOORDINASI KEMITRAAN IPTEK
79
�������������������������������������������������������������������� Sisnas P3Iptek pada dasarnya bertujuan memperkuat daya dukung iptek untuk mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara di kancah pergaulan internasional. Walaupun begitu, disadari bahwa tingkat daya saing yang rendah dan daya dukung iptek yang lemah serta beberapa persoalan terkait lainnya saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kelemahan dan/atau keterbatasan dalam kelembagaan, sumber daya, kompetensi dan jaringan iptek nasional. Perbaikan signifikan terhadap kondisi tersebut akan sulit dicapai bila membiarkan para aktor (yang langsung maupun tak langsung berperan bagi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek) dan penentu kebijakan bekerja sendiri-sendiri. Penguatan daya dukung iptek dibentuk melalui upaya meningkatkan pertumbuhan dan memadukan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, litbangyasa, inovasi, dan difusi iptek dalam jaringan. Sehingga semua dapat saling mengisi dan memperkuat sebagai suatu kesatuan yang utuh bagi keperluan peningkatan kecerdasan bangsa dan kehidupan masyarakat, mengembangkan perekonomian negara, meningkatkan dan menyerasikan sosial budaya bangsa, serta memperkuat ketahanan dan perlindungan negara. Jaringan Sisnas P3Iptek itu sendiri pada dasarnya berfungsi membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan iptek untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dari yang dapat dihasilkan oleh unsur kelembagaan secara sendiri-sendiri. Jaringan terbentuk oleh adanya kemitraan antar unsur kelembagaan, dan berdasarkan adanya saling kepentingan karena unsur yang satu dapat mengisi, melengkapi, dan memperkuat unsur yang lain. Kemitraan tersebut hanya dapat terjadi apabila lingkup kegiatan unsur kelembagaan itu pada tingkat tertentu memiliki keterkaitan atau tumpang tindih (dalam makna positif), yang bertujuan mengatasi terjadinya tumpang tindih yang merupakan pemborosan. Untuk mengembangkan jaringan Sisnas P3Iptek, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 18 tahun 2002, maka perguruan tinggi, lembaga litbangyasa, badan usaha, dan lembaga penunjang, wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih. Pemerintah pusat dan daerah perlu mendorong kerja sama antara semua unsur kelembagaan iptek, termasuk pengembangan jaringan informasi iptek.
80
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Pemerintah pusat dan daerah juga dituntut untuk menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, kompetensi, dan jaringan iptek (di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sisnas P3Iptek). Pemerintah juga berperanan sangat penting untuk secara proaktif mendorong/ menumbuhkembangkan kemitraan iptek yang saling mengisi dan meningkatkan pemanfaatan berbagai potensi, mengatasi kendala dan tantangan yang dihadapi, serta meningkatkan pemanfaatan potensi yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat. ��������������������������������������������������������������������� Oleh karena itu, diperlukan adanya strategi pokok dalam pengembangan kemitraan iptek. 6.3
STRATEGI POKOK PENGEMBANGAN KEMITRAAN IPTEK
Dalam perumusan strategi pokok pengembangan kemitraan iptek, pemerintah sebaiknya mengeluarkan kebijakan sebagai berikut ini: “Pemerintah (termasuk KRT) dan para pemangku kepentingan (stakeholder) perlu melihat kemitraan iptek sebagai investasi penting baik untuk peningkatan kemampuan pemecahan atas berbagai masalah kekinian dan peningkatan daya saing, maupun dalam rangka perbaikan daya dukung dan kemandirian iptek Indonesia di masa depan.” Strategi pokok yang penting untuk menumbuhkembangkan kemitraan iptek yang berhasil adalah: 1. Mendorong terciptanya lingkungan dan iklim yang mendukung bagi perkembangan kemitraan iptek. 2. Memotivasi dan memfasilitasi aktor yang berperan langsung maupun tidak langsung bagi pengembangan, pemanfaatan dan penguasaan iptek, yang selanjutnya dapat memperkuat kemitraan iptek. 3. Mendorong penyediaan dan pertukaran informasi serta pengembangan komunikasi antarpihak yang mendukung berkembangnya kemitraan. 4. Memberikan kemudahan atau dukungan tertentu (selektif) untuk mendorong kemitraan iptek, sesuai dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, demokrasi, dan keadilan.
INDIKATOR DAN FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN
81
5. Mendukung peningkatan kapasitas pemerintah, lembaga pemerintah dan para pemangku kepentingan agar lebih siap, mampu dan dapat mengembangkan budaya yang positif bagi perkembangan kemitraan iptek yang sinergis dan saling menguntungkan. 6. Mendorong pengembangan “model bisnis” yang tepat bagi setiap kemitraan iptek. Strategi pokok ini juga perlu dibarengi penentuan indikator dan faktor penentu keberhasilan dalam kemitraan iptek. 6.4
INDIKATOR DAN FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN
Salah satu isu dalam penerapan prinsip kemitraan iptek adalah penentuan indikatornya, mengingat keberhasilan suatu kemitraan iptek biasanya bersifat intangible sehingga seringkali sulit dikuantifikasi. Walaupun begitu, evaluasi atas suatu kemitraan iptek sangat penting untuk memperoleh gambaran tentang pencapaian suatu kemitraan iptek dan mendapatkan umpan-balik untuk perbaikan selanjutnya, baik untuk mempertahankan maupun meningkatkan atau bahkan menghentikan kemitraan iptek. ���������������������������������������������������������������������������� Kemitraan iptek yang berhasil dapat ditelaah berdasarkan beberapa indikator penting berikut: 1. Nilai manfaat utama yang mencerminkan tercapainya tujuan spesifik dari kemitraan iptek. 2. Keluaran intelektual tertentu. 3. Kapasitas iptek para pihak yang bermitra. 4. Modal sosial yang terbentuk/berkembang dari kemitraan. Beberapa indikator keberhasilan lainnya juga dapat dijadikan alat ukur dalam memantau dan mengevaluasi suatu kemitraan iptek. Indikator-indikator berikut ini lebih mencerminkan ukuran keberhasilan kemitraan iptek dari segi masukan dan proses kemitraan : 1. Adanya konsensus/kesepakatan manajemen antara para pihak yang bermitra (sebaiknya dituangkan dalam dokumen tertulis dan bersifat formal).
82
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL 2. Rumusan yang spesifik tentang ruang lingkup kemitraan iptek dan peran, hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam kesepakatan kemitraan iptek. 3. Rumusan yang jelas tentang mekanisme pelaksanaan agenda kemitraan iptek. 4. Adanya orang/SDM yang ditugaskan sebagai penanggungjawab dan tim yang ditugaskan untuk pelaksanaan kemitraan iptek. 5. Alokasi sumber daya dan jadwal aktivitas yang jelas dari setiap pihak yang bermitra. Ini merupakan ungkapan rasa saling menghormati dan percaya, serta kepatuhan pada komitmen masing-masing pihak terhadap kesepakatan kemitraan iptek. 6. Adanya mekanisme pertukaran informasi dan forum untuk berkomunikasi dan menegosiasikan serta berkompromi untuk mencapai kesepakatan tertentu. 7. Keterlibatan aktif para stakeholder dalam mengimplementasikan kesepakatan dan aktivitas kemitraan yang dituangkan dalam catatan, pelaporan, kertas kerja dan/atau suatu dokumen kemajuan (progress report). 8. Adanya fasilitator untuk membantu dalam pertemuan, mediasi konflik, berhubungan dengan beragam pelaku di berbagai tingkat dalam masyarakat, 9. Adanya kelembagaan atau organisasi pengaduan jika terjadi konflik di dalam kemitraan. 10. Hasil/pelaporan pemantauan dan evaluasi kemitraan iptek yang ditandatangani oleh para mitra yang terlibat.
Pada prinsipnya, keberhasilan suatu kemitraan akan ditentukan oleh beberapa faktor kunci keberhasilan, yaitu: 1. Potensi nilai yang diperoleh dari bermitra lebih besar dibanding dengan pengorbanan, dan jika dibanding dengan nilai yang diperoleh dari tindakan yang dilakukan sendiri-sendiri. 2. Rasa saling percaya di antara pihak yang bermitra.
INDIKATOR DAN FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN
83
3. Niat baik (good will), komunikasi yang efektif dan komitmen yang tinggi dari para pihak untuk mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan. 4. Sumber daya, kapabilitas/keterampilan, dan manajemen yang tepat serta terjadinya proses pembelajaran pada para pihak yang bermitra untuk mengembangkan, memperbaiki dan mengelola kemitraan. 5. Insentif yang memadai dan komitmen dari manajemen puncak di setiap pihak yang bermitra untuk mencapai keberhasilan dalam kemitraan. 6. Iklim (termasuk kebijakan pemerintah dan organisasi para mitra) dan budaya organisasi yang mendukung bagi berkembangnya kemitraan iptek. Suatu kemitraan dalam suatu jaringan pada dasarnya bersifat dinamis dan adaptif. ������������������������������������������������������������������� Tidak adanya kondisi statis dan kesempurnaan ini menjelaskan bahwa jaringan dapat selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan Pawennei (2008), ada suatu konsep khusus yang menjelaskan bahwa inovasi dapat menginisiasi proses hancurnya suatu rantai nilai (value chain) yang akan membentuk rantai nilai yang baru. Pembentukan rantai nilai baru ini tentunya akan mendatangkan banyak manfaat-manfaat baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan para aktor di dalam suatu jaringan.
85
BAB 7 PEMERINTAH DALAM KOORDINASI KEMITRAAN IPTEK Dalam pengembangan kemitraan iptek, pemerintah pusat maupun daerah pada prinsipnya memiliki peran sangat penting dalam rangka mewujudkan sistem inovasi nasional dan daerah yang kuat dan adaptif. 7.1
PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KEMITRAAN IPTEK
Pengembangan atau penguatan SIN kian penting dicapai dalam meningkatkan kecerdasan bangsa dan kehidupan masyarakat, mengembangkan perekonomian nasional yang berdaya saing, meningkatkan dan menyerasikan sosial budaya bangsa, serta memperkuat ketahanan perlindungan negara. Dalam kaitan ini, peran utama pemerintah adalah sebagai berikut: 1. Membangun basis netral bagi pengembangan, pemanfaatan, dan penguasaan iptek. 2. Menetapkan regulasi yang mendukung bagi perkembangan kemitraan iptek produktif. 3. Menetapkan standar yang sesuai bagi kepentingan pembangunan industri nasional, sejalan dengan ketentuan standar internasional yang disepakati, dan melindungi kepentingan publik/masyarakat luas. 4. Mengembangkan kebijakan yang terkoordinasi dan koheren bagi pengembangan kemitraan iptek. 5. Memberikan kemudahan bagi kemitraan iptek untuk mengembangkan peluang pasar inovatif (first-mover advantage) bagi industri nasional. 6. Mengembangkan program kemitraan iptek untuk memfasilitasi memasuki pasar baru dan pengembangan pasar bagi industri nasional. 7. Memberikan dukungan (finansial dan nonfinansial) untuk mendorong kemitraan iptek yang penting bagi perkembangan inovasi dan difusi, serta pembelajaran para aktor iptek dan masyarakat luas. 8. Menstimulasi dan memfasilitasi kemitraan iptek internasional yang saling menguntungkan.
86
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Berkaitan dengan peran pemerintah dalam penetapan regulasi di Indonesia, terdapat beberapa undang-undang yang telah ditetapkan, yang menjadi dasar bagi semua pihak berkaitan dengan iptek. Bangsa Indonesia secara legal formal telah memiliki landasan kuat untuk mendayagunakan iptek dalam kehidupan berbangsa, yakni Pasal 31 Ayat 5 UUD 45 hasil Amandemen ke 4. Kemudian, sejak tahun 2002, Indonesia telah memiliki UU No 18 tahun 2002 mengenai Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek, yang mencantumkan terminologi serta kebijakan perencanaan umum pembangunan nasional iptek nasional. Adapun Pasal 18 UU No 18 tahun 2002 berbunyi : (1)
Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia.
(2)
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan dari penyusunan UU No 18/2002 tersebut adalah: “untuk memperkuat daya dukung iptek bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam pergaulan antar bangsa”. Dari UU tersebut, dapat juga disimpulkan bahwa pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam mengkoordinasikan perumusan kebijakan strategis pembangunan nasional iptek dengan mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan iptek di Indonesia. Pengembangan iptek ini, tidak hanya terkonsentrasi pada pemerintah pusat saja, tetapi juga sangat memerlukan peran pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 Pasal 10 ayat 3, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat sesungguhan hanya meliputi 6 urusan, yaitu politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; agama. Dalam hal ini, urusan “iptek” bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat saja, melainkan termasuk ke dalam urusan/tanggung jawab bersama (concurrent obligatory). Karena itu hal ini memerlukan kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan dan pengembangannya.
PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KEMITRAAN IPTEK
87
Kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah ini salah satunya adalah dengan adanya arah kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah pusat, kemudian perlu diadaptasi dan diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Hal ini berdasarkan UU No. 25 tahun 2004, pasal 5 yang berbunyi : RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. Namun seringkali terjadi, kebijakan yang dicanangkan suatu pemerintah daerah tidak/belum sejalan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat terjadi mungkin dikarenakan adanya penggunaan UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 18 tahun 2002 serta “kerangka kebijakan inovasi nasional” yang belum dipahami secara benar dan diimplementasikan secara konsisten oleh berbagai elemen dalam konteks penguatan sistem inovasi di Indonesia. Dalam hal ini otonomi daerah, ketersebaran geografis, dan keanekaragaman sosial dan budaya Indonesia hendaknya menjadi unsur bagi penguatan sistem inovasi daerah (SID) yang merupakan pilar penting dalam penguatan sistem inovasi nasional (SIN). Identifikasi penulis (Taufik, 2005d), hasil Rakornas Ristek 2008 dan Renstra Kementerian Riset dan Teknologi 2010-2014 (2010) mengungkapkan 6 (enam) agenda strategis kebijakan inovasi yang perlu dikembangkan di Indonesia ke depan, yaitu: 1. Mengembangkan (reformasi) kerangka umum yang kondusif bagi perkembangan inovasi dan bisnis; 2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung litbang iptek dan meningkatkan kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya UKM; 3. Menumbuh kembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbangyasa; 4. Mendorong budaya kreatif – inovatif; 5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah; 6. Penyelarasan dengan perkembangan global. Pemerintah (pusat dan daerah) beserta para pemangku kepentingan sebaiknya berkomitmen dan konsisten dalam mendorong prioritas kemitraan iptek dalam kerangka kebijakan inovasi nasional tersebut, dan sebaliknya kemitraan iptek hendaknya dikembangkan dalam memperkuat keenam agenda kebijakan inovasi nasional yang telah disepakati tersebut.
88 7.2
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL TINJAUAN SINGKAT TENTANG PENGUATAN SISTEM INOVASI DAERAH
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan inovasi bukanlah semata-mata ranah bagi Pemerintah Pusat tetapi juga Pemerintah Daerah. Terlepas dari beberapa kelemahan yang dinilai masih ditemui, perundangan yang ada sebenarnya telah memberikan landasan hukum yang cukup bagi pemerintah daerah, di samping pemerintah pusat, dalam penguatan sistem inovasi di tanah air. Konsekuensinya� setiap pemerintah daerah harus bekerja lebih keras dan cerdas untuk mengelola potensi dan sumberdaya yang ada supaya menjadi sumber ekonomi bagi kesejahteraan masyarakatnya. Namun sistem pembangunan sentralistik yang telah dilaksanakan pemerintah selama lebih dari empat dasa warsa sebelumnya, telah banyak berpengaruh terhadap karakter pemerintah daerah, yaitu salah satunya adalah sangat tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat dalam melaksanakan proses pembangunan, khususnya dalam pengembangan dan pemanfaatan iptek sebagai bagian penting dari penguatan sistem inovasi. Oleh karena itu, tidaklah heran pada saat otonomi daerah diberlakukan, banyak pemerintah daerah yang nampak ‘kurang siap’ dengan permasalahan pembangunan yang harus dihadapi. Hal ini bukan saja dihadapi oleh daerah yang ‘miskin’ sumber daya alam, melainkan juga dihadapi oleh daerah yang ‘kaya’ sumberdaya alam. Diberlakukannya era otonomi daerah (otda) antara lain dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 (yang diperbaharui dengan UU no 32 tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah, serta UU no 25 tahun 1999 (yang diperbaharui dengan UU no 33 tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, memberikan kesempatan kepada daerah untuk lebih leluasa mengelola daerahnya bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam tataran empiris, berbagai pendekatan tentang sistem inovasi terus berkembang, dan tentunya perlu senantiasa disesuaikan dengan konteks yang berkembang. Pemerintah, baik di negara maju maupun berkembang, berkepentingan atas pengembangan sistem inovasi ini, antara lain untuk mendorong knowledge spillover, karena kemanfaatannya yaitu: Meningkatkan ketersediaan pengetahuan yang bermanfaat; Melatih lulusan yang berketerampilan; Menciptakan instrumentasi ilmiah yang baru;
TINJAUAN SINGKAT TENTANG PENGUATAN SISTEM INOVASI DAERAH
89
Membentuk jaringan dan mendorong interaksi sosial; Meningkatkan kapasitas bagi pemecahan persoalan iptek; Menciptakan perusahaan-perusahaan baru. Perlu semakin disadari, di antara perkembangan penting saat ini, terdapat kecenderungan pergeseran fokus dari tingkat “nasional” ke tingkat “daerah.” Hal ini antara lain terkait dengan: Kesadaran bahwa kedekatan spasial (spatial proximity) memudahkan banyak pihak untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan yang tacit dan untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran secara lebih terlokalisasi. Inovasi (selain berupa hal yang lebih bersifat teknis, juga menyangkut organisasional dan institusional) sering terjadi dalam konteks institusional, politis, dan sosial tertentu, yang biasanya bersifat erat dengan lingkungan lokal tertentu. Proses pembelajaran yang terlokalisasi (localized learning process) erat terkait atau dipengaruhi oleh kelembagaan daerah atau setempat, termasuk organisasi yang memperkuat jaringan, dan berkembangnya interaksi dan kolaborasi serta kebijakan daerah yang mendukung. Pembelajaran yang terlokalisasi difasilitasi oleh sekelompok lembaga daerah. Ini misalnya karena lebih kuatnya dukungan kelembagaan (dalam arti luas) dalam mengembangkan agenda bersama (common agenda) dan kolaborasi yang meningkatkan kapasitas untuk bertindak (collective/joint action). ����������������� Ini tentu sangat penting dalam mendorong sinergi positif dan eksternalitas ekonomi. Inovasi merupakan proses sosial “budaya” (cultural heritage) yang positif dan cenderung bersifat path dependence terhadap iptek dan inovasi turut mempengaruhi proses interaksi yang lebih intensif di tingkat “lokal”. Dalam konteks daya saing, keunggulan global semakin ditentukan atau dipengaruhi oleh keunggulan lokal. Seperti diungkapkan oleh Porter, bahwa: “keunggulan daya saing yang bertahan lama dalam suatu ekonomi global akan semakin terletak pada ”hal-hal yang bersifat lokal”, yaitu pengetahuan, hubungan, dan motivasi, yang tidak dapat (sulit) disaingi oleh para pesaing.”14
14 Pilar ���������������������� bagi keunggulan global pada dasarnya ditentukan ������� ����� ��������� ����������� oleh ������������������������������ faktor-faktor keunggulan lokalitas ������������������������� (yang bersifat lokal).
90
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Hal ini dapat mendorong banyak pihak untuk “berprakarsa” mengembangkan “sistem inovasi” pada “tingkat regional hingga daerah atau lokal” yang sering disebut sistem inovasi (di) daerah.15 Dalam beberapa literatur, terdapat dua pengertian berbeda tentang regional innovation system (RIS) atau SID sebagai berikut: S������������������������������������������������������������������ istem inovasi pada tataran ”regional” merupakan gabungan beberapa negara (“supra-nasional”). Sebagai contoh misalnya upaya-upaya yang dewasa ini dilakukan di Uni Eropa.16 Sistem inovasi pada tataran daerah (atau area geografis tertentu) sebagai bagian integral dari SIN (“sub-nasional”). Sejauh ini berkembang diskusi tentang perlu tidaknya SID dikembangkan. Pada dasarnya jawaban bagi pertanyaan ini bukan semata pertimbangan konseptual, tetapi pada akhirnya lebih ditentukan oleh nilai pragmatis-kontekstualnya. SIN atau sistem nasional inovasi (the national innovation system atau the national system of innovation), pada dasarnya (secara konsep) terdiri dari beberapa sistem lain yang terkait yang merupakan bagian darinya atau sub-subsistem, yang disebut SID. Jadi SID merupakan bagian integral dari SIN bagi pembentukan SIN sebaliknya juga bagi SID yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut SID lebih memfokuskan diri pada hal-hal bersifat kontekstual ketimbang ”dogmatik/normatif.” Paling tidak ada tiga dimensi yang perlu diperhatikan oleh daerah dalam menganalisis sistem inovasi yaitu: pertama adalah interaksi antara berbagai aktor dalam proses inovasi, bukan hanya interaksi antara stakeholders dan produsen, tetapi juga antara bisnis dan lembaga penelitian. Kedua peran kelembagaan dan kebijakan pemerintah dalam mengatur sistem produksi. Ketiga, konsistensi dalam menganalisis dan menerapkan konsep SID. Hal ini didukung oleh Salas, et al. (1999) yang mendiskusikan tentang peran inovasi dalam pembangunan ekonomi daerah dan pembuatan kebijakan. SID merupakan pendekatan normatif dan deskriptif yang bertujuan untuk menangkap perkembangan teknologi (inovasi) yang terjadi di suatu wilayah. Pendekatan ini telah banyak diadopsi untuk menggarisbawahi pentingnya daerah sebagai model ekonomi dan organisasi teknologi/inovasi, dan untuk merefleksikan 15 Lihat misalnya prakrasa-prakarsa oleh ������ ��������� ��������������������������������� Uni Eropa. 16 Catatan: Uni ��������� ���������� Eropa juga mengembangkan prakarsa terkait dengan sistem inovasi daerah, dalam arti ����� �������������� ����������������� ������� ��������������� �������� ������ ������������ bagian dari ����� suatu negara dan antara daerah(-daerah) dari di suatu negara dengan daerah(-daerah) lain di negara lainnya.
TINJAUAN SINGKAT TENTANG PENGUATAN SISTEM INOVASI DAERAH
91
kebijakan dan langkah untuk mencapai tujuan pembangunan yang diukur dengan adanya peningkatan kapasitas inovasi pada suatu daerah. ���������������������������������������������������������������������� Ada beberapa upaya “pembedaan” antara konteks nasional dengan “daerah/ lokal”. Namun hal ini sebenarnya lebih terkait dengan “cara pandang” (misalnya dalam perspektif kebijakan) dan/atau “kewenangan” (misalnya otoritas kebijakan) serta jangkauan pengaruh dari prakarsa yang diambil. Sebagai contoh misalnya pada konteks nasional perhatian diberikan pada: Kerangka legal/peraturan (legal/regulatory framework) nasional. Lingkungan ekonomi makro (termasuk fiskal dan moneter) dan politik dalam konteks nasional. Sistem pendidikan dan pelatihan. Kerangka hubungan industri dan pengembangan ketenagakerjaan. Struktur industri. Sistem keuangan. Kebijakan tertentu yang relevan (dan biasanya bersifat fungsional, dan lintas daerah), misalnya tentang iptek, inovasi, dan “kebijakan industri”, termasuk misalnya tentang HKI (Hak Kekayaan Intelektual), laboratorium nasional dan pengembangan technopreneurship secara nasional (seperti pengembangan “perusahaan pemula berbasis teknologi/PPBT” atau new technology-based firms/NTBF). Walaupun begitu, ini tidak berarti semua menjadi tanggung jawab Pemerintah pada tingkat nasional, tetapi ada peran-peran tertentu yang juga perlu (bahkan akan lebih efektif jika) secara komplementatif dan koheren dilakukan pada tataran daerah. Sementara itu, tekanan perhatian pada tingkat daerah lebih difokuskan pada isu-isu kontekstual pada setiap daerah: Bidang “spesialisasi” daerah. Hal ini terkait dengan perkembangan “sektor” ekonomi tertentu terutama yang bertumpu pada potensi unggulan setempat. Infrastruktur umum dan spesifik “klaster” daerah, seperti pendidikan dasar hingga atas, perguruan tinggi, politeknik, balai latihan kerja, laboratorium dan fasilitas pendukung yang relevan.
92
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Jaringan dan organisasi yang terkait dengan inovasi, alih dan difusi teknologi serta praktik yang baik/terbaik dan peningkatan kapasitas (termasuk keterampilan khusus). Kebijakan khusus/spesifik yang relevan dengan perkembangan iptek/ inovasi dan difusi, serta pemajuan industri/ekonomi daerah, termasuk misalnya untuk memberikan dukungan investasi dan talenta yang penting bagi perkembangan inovasi di daerah (contohnya adalah program reverse brain drain), dan memperbaiki/meng-upgrade bisnis yang ada.
Pergeseran paradigma dari pandangan sektoral yang terlampau ”terfragmentasi’ ke arah pendekatan klaster saat ini tengah terjadi. Simplifikasi pergeseran pandangan akan pentingnya pengembangan/penguatan klaster industri dalam konsep sistem inovasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 7.1. Klaster industri merupakan himpunan jalinan rantai nilai seringkali bersifat multi dan lintas (sub) sektor dan lintas daerah (dalam arti melampaui batas administratif pemerintahan).
Gambar 7.1 Suatu Perspektif tentang Sistem Inovasi.
TINJAUAN SINGKAT TENTANG PENGUATAN SISTEM INOVASI DAERAH
93
Agar sistem inovasi bermanfaat bagi daerah maupun stakeholder lainnya, maka sistem inovasi tersebut harus dapat diterjemahkan menjadi prakarsa yang efektif dengan pragmatisasi sebagai berikut: Konsep dan konteksnya sesuai dengan karakteristik spesifik dan lingkungannya. Untuk tingkat daerah, tentunya potensi terbaik dan karakteristik khusus daerah/setempat perlu menjadi perhatian dalam mengembangkan prakarsa yang sesuai. Setiap aktivitas ekonomi (industri) mempunyai karakteristik (dan mungkin juga tantangan) yang beragam. Oleh karena itu, keberagaman tersebut harus diperhatikan sebagai entitas yang perlu dipertimbangkan. Mempunyai cara pandang yang holistik. Karena aktivitas nilai tambah sebenarnya tidak dibatasi oleh kekakuan (rigiditas) pandangan sektoral dan batasan “administratif” yang terlampau terkotak-kotak. Maka, perubahan paradigma (pola pandang/pikir, pola sikap, dan pola tindak) sangatlah penting. Tanpa perbaikan paradigma, maka pendekatan secanggih apapun hanya akan bermuara sebagai utopia. Dalam konteks “daerah”, sistem inovasi ini juga sangat penting dalam menentukan sumber keunggulan daya saing, misalnya: Saling keter���������������������������� gantungan yang menghasilkan knowledge spillover: Pengetahuan dan praktik yang dapat ditransfer antarperusahaan; Dimensi tacit, yang akan efektif bagi alih pengetahuan jika “jarak” antarpihak dekat (termasuk secara fisik) dan berkembangnya interaksi yang intensif; Alih pengetahuan melalui jaringan setempat; Berkembangnya jaringan, yang akan efektif jika terbangun kondisi saling percaya: Saling berbagi informasi dalam kelompok perusahaan; Berbasiskan ekonomi daerah, yang sesuai dengan potensi unggulan setempat; Modal sosial (social capital), baik dalam pengertian faktor-faktor historis dan kultural daerah, termasuk norma-norma (communitarian) maupun faktor positif yang berkembang karena interaksi berbagai pihak dalam
94
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL aktivitas sosial ekonomi yang saling terkait (performance based) sehingga mendorong rasa saling percaya, saling mengerti, dan terbuka: Rasa saling percaya sebagai aset yang unik karena memiliki nilai namun “tidak” mempunyai ”harga”; Saling berbagi tanggung jawab dengan mitra kerja; Memfasilitasi kerjasama antarperusahaan dan antarsektor; Mempercepat pembelajaran dan aliran pengetahuan.
Iptek atau inovasi sangat penting peranannya dalam menentukan kemajuan klaster industri, dan demikian sebaliknya. Berkembangnya klaster industri umumnya turut mendorong kemajuan iptek atau inovasi serta keberhasilan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Faktor kunci keberhasilan pengembangan klaster industri berbasis iptek atau inovasi antara lain: Talent pool bagi iptek kuat dan beragam; Kehadiran perusahaan yang menjadi pilar, dan memiliki jangkauan global; Infrastruktur pengetahuan yang kuat, misalnya kehadiran perguruan tinggi, laboratorium pemerintah; Dukungan j����������������������������������������������������������� asa yang terspesialisasi, seperti perusahaan akuntansi dan perbankan, dan bidang hukum; Pembiayaan seperti modal ventura, angel investors, dan lembaga keuangan lain yang mempunyai toleransi terhadap risiko investasi; Kerangka kebijakan beserta para wirausahawan yang mendukung dan strategi pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan pemerintah setempat; Rejim penadbiran (governance) yang baik, terutama dalam bentuk institusi/kelembagaan kolaborasi. ������������������������������������������������������������������� Di antara daerah yang tengah giat melakukan upaya penguatan sistem inovasi, antara lain adalah Kabupaten Tegal, Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Blitar. Walaupun masih dalam tahap awal, 3 (tiga) prakarsa penting yang dilakukan oleh keempat daerah ini patut memperoleh catatan khusus dan dapat menjadi pelajaran (lessons learned) bagi daerah lainnya. Ketiga hal tersebut adalah :
TINJAUAN SINGKAT TENTANG PENGUATAN SISTEM INOVASI DAERAH
95
1. Pembentukan kelembagaan DRD (sebagaimana ditegaskan dalam UU No.18/2002). 2. Penyusunan Dokumen kebijakan strategis daerah (sebagaimana ditegaskan dalam UU No.18/2002), yang juga disebut sebagai ”Strategi Inovasi Daerah”. 3. Tercapainya konsensus ”Kerangka Kebijakan Inovasi” Daerah.
Kebijakan, Program, Kegiatan dan Organisasi serta Jaringan di Luar Daerah, Nasional & Internasional
Secara ringkas, kelembagaan daerah adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 7.2 berikut. Tingkat 1 Tingkat 1 Kebijakan lintas Kebijakan lintas bidang tingkat bidang tingkat tinggi tinggi Tingkat 2 Tingkat 2 Koordinasi yang Koordinasi yang berpusat pada berpusat pada misi Perangkat misi Perangkat Daerah Daerah (Badan/Dinas/ (Badan/Dinas/ Kantor, dll.) Kantor, dll.)
Tingkat 3 Tingkat 3 Koordinasi Koordinasi Implementasi Implementasi
Gubernur/ Bupati/Walikota
DPDS DRD
DPRD
Tim/Gugus Tugas
Tim Ahli
Asisten, Ka. Bappeda & Ka. Perangkat Daerah tertentu
Badan/Dinas/ Kantor Sektoral
Kegiatan
Tingkat 4 Tingkat 4 Pelaku litbang/ Pelaku litbang/ inovasi inovasi Perguruan Tinggi
Badan/Dinas/ Kantor Lintas Sektor
Organisasi Perangkat Daerah lainnya
Kegiatan
Lembaga Litbang/ UPTD, dll.
Kegiatan
Kontraktor Program
Produsen
Konsumen
Litbang Swasta/Non-pemerintah
Keterangan: Instruksi, Sumber Daya
Hasil
Saran (Advis) / Pelaporan
Koordinasi dan Integrasi Horisontal (Kerjasama)
Instruksi, Sumber Daya, Saran/ Pelaporan, Hasil, Koordinasi dan Integrasi Horisontal & Vertikal (Kerjasama)
Catatan : DPDS dibentuk di Kab. Tegal.
Gambar 7.2 “Struktur Organisasi” Governance Kebijakan di Daerah. Beberapa rangkaian bantuan teknis dan workshop dilakukan oleh Tim BPPT kepada keempat daerah ini dalam rangka penguatan SID. Sebagai contoh, sejauh ini secara umum perbandingan antara daerah-daerah tersebut dapat ditunjukkan dengan perbandingan antara Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta, seperti ditunjukkan oleh Tabel 7.1 berikut.
96
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Tabel 7.1 Perbandingan Umum antara Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta.
Kab Tegal
Kota Surakarta
Kelembagaan DRD
Ada, anggota kurang proaktif
Ada, anggota umumnya aktif, anggota dari dunia bisnis & akademik berpartisipasi kongkrit dalam program/kegiatan yang disepakati
Dokumen strategis/ rencana
Ada kesejalanan antara dokumen Strategi Inovasi Daerah (Jakstra Bangda Iptekda), RPJMD, RPJPD
Dokumen Strategi Inovasi Daerah (Jakstra Bangda Iptekda) belum sejalan dg RPJMD/RPJPD (diusulkan untuk RPJMD 2010-2015 (setelah Pilkada)
Strategi & kebijakan
Secara tegas dituangkan dalam Kerangka Kebijakan Inovasi Daerah (Heksagon)
Secara tegas dituangkan dalam Kerangka Kebijakan Inovasi Daerah (Heksagon)
Implementasi program pragmatis
Masih terbatas
Beberapa instrumen kebijakan inovasi yg penting telah / sedang diimplementasikan (Solo Technopark, PI UMKM, dsb)
Peran Pemda
Bappeda menjadi mitra kunci, namun peran SKPD lain msh terbatas; Merencanakan pengukuran produktivitas daerah (TFP).
Bappeda menjadi mitra kunci, namun peran SKPD lain msh terbatas; Merencanakan pengukuran produktivitas daerah (TFP).
Pelajaran penting lain yang dapat dipetik dari kasus dua daerah tersebut antara lain adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 7.2 dan Tabel 7.3 berikut. Tabel 7.2 Ukuran Keberhasilan DRD. Ukuran
Contoh Indikator
•
Kemampuan “MELAKSANAKAN TUGAS DAN FUNGSI” yang pokok ~ Functioning
•
Kemampuan “MERESPON” isu 1. Keterlibatan lembaga dan/atau anggota penting/strategis (dan aktual) yang dalam merespon isu penting/strategis relevan ~ Responsive tertentu 2. Usulan/rekomendasi solusi atas isu yang berkembang
•
Menjadi “KELOMPOK YANG BERPENGARUH” dalam kebijakan publik yang relevan dan dalam perbaikan kebijakan ~ Influencing
Lihat landasan perundangan (UU No.18/2002: Pasal 20, Ayat 4 ~ Penjelasan)
1.
2.
3.
•
“KEPIONIRAN/ KEPRAKARSAAN” dalam perbaikan kebijakan ~ Pioneering; Leadership
Keterlibatan lembaga/anggota dalam dialog atau proses kebijakan publik dan dalam agenda perbaikan kebijakan yang relevan. Anggota sebagai nara sumber dalam proses kebijakan dan/atau dalam agenda perbaikan kebijakan yang relevan. Hasil kajian menjadi rujukan dalam proses kebijakan dan/atau dalam agenda perbaikan kebijakan yang relevan.
1. Prakarsa dalam mengangkat wacana positif 2. Prakarsa perbaikan (reformasi) kebijakan
TINJAUAN SINGKAT TENTANG PENGUATAN SISTEM INOVASI DAERAH
97
Tabel 7.3 Keberhasilan Dokumen Strategi Inovasi Daerah.
Ukuran
Contoh Indikator
•
Rumusan tertulis yang tepat waktu ~ Timing
Ketersediaan sebagai salah satu acuan perencanaan pembangunan (program aksi para aktor)
•
Rumusan tertulis yang diterima oleh para pemangku kepentingan kunci ~ Acceptance
Pengakuan legalitas dokumen
•
Dokumen tersosialisasikan dengan baik ~ Diffused
1. Penyampaian (delivery) pada pemangku kepentingan kunci 2. Jangkauan sebaran (outreach) dokumen
•
Pokok pikiran dan rekomendasi diadopsi/diimplementasikan oleh, atau menjadi acuan bagi aktor yang relevan ~ Operasionalized
1. Jangka Pendek : Program/kegiatan yang dilaksanakan sejalan dengan yang dirumuskan/ direkomendasikan 2. Jangka Menengah : Diadopsi dalam RPJMD 3. Jangka Panjang : Diadopsi dalam RPJPD
Dengan memperhatikan analisis tersebut mengenai peran pemerintah dalam koordinasi iptek, dapat terlihat bahwa pemerintah pusat dan daerah memang belum sejalan. Hal ini menimbulkan lessons learned yang penting, yaitu prakarsa daerah harus terus didorong dalam rangka peningkatan daya saing setiap daerah. Selain itu, kelembagaan fungsional seperti DRD di daerah perlu dikuatkan karena pengembangan iptek tidak hanya merupakan kewajiban pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah.
99
BAB 8 ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEMITRAAN IPTEK Isu����������������������������������������������������������������� kebijakan pengembangan kemitraan iptek di Indoneisia, diketahui memiliki keterkaitan satu sama lain. Walaupun begitu, ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat dirancang untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi dampak negatif dari isu kebijakan tersebut. 8.1 FORA KEMITRAAN IPTEK Pemerintah dapat memprakarsai, memfasilitasi, mensponsori, dan terlibat dalam fora (forum-forum) kemitraan iptek yang dinilai penting. Hal demikian ditujukan untuk mengatasi masalah kebijakan kemitraan iptek pada tingkat minimum. Forum kemitraan iptek tersebut dapat berupa: diskusi umum, diskusi kebijakan, workshop, seminar, kampanye keperdulian (awareness campaign), peningkatan kapasitas (capacity building), peran intermediasi dan/atau diskusi kelompok fokus (focus group discussion/FGD) tertentu untuk membahas isu-isu spesifik yang terkait dengan kemitraan iptek atau inovasi dan difusi iptek. Termasuk dalam hal ini adalah forum kebijakan untuk menghasilkan perbaikan regulasi, penyusunan standar, audit teknologi, dan/atau peran intermediasi iptek lainnya. Karena setiap pihak dalam sistem inovasi semakin dituntut kompeten dalam bidangnya, maka tidak akan tidak efisien jika suatu organisasi mengembangkan dan melakukan semuanya sendiri secara terisolasi. Kemampuan menjalankan peran intermediasi perlu dikembangkan oleh suatu atau beberapa organisasi dalam sistem inovasi. Dalam mendorong kemitraan iptek, peran intermediasi sangat diperlukan terutama untuk: •
Memfasilitasi hubungan, keterkaitan, jejaring, kemitraan antara dua pihak atau lebih dalam rangka litbangyasa teknologi dan reformasi kebijakan terkait.
•
Menjembatani berbagai pihak terkait dengan kepentingan tertentu (dalam konteks ‘teknologi’).
100
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
8.2 PEMBENTUKAN ATAU PENGUATAN ORGANISASI KEMITRAAN IPTEK Instrumen “generik” bagi seluruh bidang iptek adalah pembentukan atau penguatan kelembagaan kolaboratif/aliansi antara knowledge pool (termasuk lembaga pemerintah, seperti KRT) dengan aktor pada klater industri pada bidang iptek tertentu. Salah satu alternatif kemitraan iptek adalah berbentuk konsorsium. Walaupun hal ini bisa bersifat “nasional,” namun sebenarnya hal demikian juga penting untuk diimplementasikan pada lokasi tertentu, yang tidak selalu harus berhimpitan dengan “batasan administratif daerah.” Konsorsium berperan sebagai “pengelola” program, termasuk instrumen kebijakan KRT, misalnya yang terkait dengan aktivitas inovasi dalam suatu klaster industri atau bidang iptek prioritas yang bersangkutan. Dalam hal ini, peran pemerintah bisa beragam, baik bersifat intervensi langsung maupun tidak langsung. Dalam bentuk intervensi langsung, lembaga pemerintah dapat berperan sebagai partisipan, penjamin pasar bagi produk (barang dan/atau jasa) yang dihasilkan oleh konsorsium, memfasilitasi akses pasar, dan/atau sebagai penentu prekondisi, termasuk menetapkan standar (standard setter) untuk kontrak/pengadan kebutuhan pemerintah (government procurement) yang akan datang. Sedangkan untuk intervensi yang lebih bersifat tidak langsung, peran pemerintah dapat dalam beberapa bentuk, misalnya menyangkut proteksi HKI, pembagian royalti, dan penghargaan/apresiasi. Semangat utama dalam pola konsorsium ini adalah adanya arrangement atau pengorganisasian multipihak yang berprinsip berbagi sumberdaya, keuntungan, dan risiko. Dengan adanya p������������������������������������� ola konsorsium diharapkan akan mampu: Mengurangi pengeluaran litbangyasa setiap anggota/partisipan (antara lain dalam upaya mengatasi isu indivisibility kegiatan litbangyasa/inovasi). Mengurangi risiko (dalam berinovasi) melalui risk sharing. Saling berbagi dan melengkapi pengetahuan. Memberi kepastian (meningkatkan peluang keberhasilan) terjadinya alih dan komersialisasi teknologi. Pada dasarnya konsorsium mempunyai tugas-tugas seperti berikut: Menyusun prioritas litbangyasa melalui aktivitas pemetaarencanaan teknologi (technology roadmapping).
PEMBENTUKAN ATAU PENGUATAN ORGANISASI KEMITRAAN IPTEK
101
Membangun dan melaksanakan kerjasama litbangyasa antara lembaga litbangyasa dengan industri. Melaksanakan proses alih teknologi hasil litbangyasa ke sektor industri/ pengguna. Menghimpun dan mengelola sumberdaya litbangyasa secara efisien dan efektif. Mempublikasikan dan mengkomersialisasikan hasil-hasil litbangyasa. Konsorsium sebaiknya, segera setelah terbentuk, menginisiasi aktivitas litbangyasa yang dinilai/disepakati sebagai agenda prioritas (awal), sebagai contoh misalnya untuk klaster industri: ICT/software: standarisasi, sertifikasi dan pengembangan platform e-gov; Obat bahan alam: obat bahan alam anti kanker, diabetes melitus, hipertensi, malaria, asam urat, dan kolesterol. Instrumen insentif keuangan dalam suatu konsorsium dapat dikembangkan berdasarkan “kesepakatan atau keputusan”, dengan alternatif skema seperti berikut: Andil (sharing) anggota, terutama aktor industri, termasuk dalam hal keuangan. Andil (sharing) pemerintah yang berbentuk insentif keuangan (pembiayaan) sebaiknya diprioritaskan dan diterapkan secara selektif: Bagi prakarsa pengembangan (upaya penguatan) kelembagaan konsorsium; Sebagai matching fund untuk aktivitas litbangyasa yang disepakati oleh konsorsium (konsorsium sebagai pengelola program yang bersifat kompetisi). Termasuk dalam bentuk ini adalah bagi upaya mendorong tumbuh-berkembangnya perusahaan pemula berbasis teknologi (lembaga modal ventura sangat dianjurkan terlibat sebagai anggota/partisipan dari konsorsium); Aspek lain yang bersifat public goods dan prioritas untuk segera diatasi. Diperlukan adanya skema intervensi pemerintah yang ditujukan untuk mengintegrasikan dan mensinergikan instrumen kebijakan yang terkait dengan pengembangan klaster tekno-industri. Terkait dengan skema intervensi ini (termasuk intervensi keuangan dan non keuangan), maka alternatif yang dapat dikembangkan adalah:
102
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL “Modifikasi” skema intervensi, sejalan dengan agenda konsorsium (pengembangan klaster tekno-industri) terkait. Misalnya adalah melakukan penyesuaian skema insentif/intervensi tertentu untuk lebih mengintegrasikan dan mensinergikan skema insentif/intervensi yang telah ada/diterapkan (termasuk instrumen kebijakan terkait dari lembaga pemerintah lain di luar KRT);
Pengembangan skema intervensi “baru” (bersifat tambahan atas skema yang berkembang, untuk bidang/isu spesifik yang sangat prioritas);
Kombinasi keduanya. Sementara itu, kolaborasi dengan pemerintah daerah dapat meliputi: Peningkatan sertifikasi teknis. Penguatan pembiayaan program. Perluasan praktik terbaik (best practice). Penyelarasan program-program terkait, termasuk “pusat-daerah.” 8.3 INSTRUMEN INSENTIF KEUANGAN Keterbatasan sumber daya parapihak dan investasi dalam berinovasi, mengatasi risiko dari aktivitas litbangyasa, dan kelemahan insentif seringkali perlu diatasi dengan instrumen insentif keuangan. Ini dapat dilakukan dengan cara langsung seperti penyediaan dana dan jaminan risiko bagi aktivitas-aktivitas kolaboratif litbangyasa/inovasi, atau dengan cara tidak langsung seperti penyediaan dana dan jaminan risiko melalui pihak ketiga oleh pemerintah. Model insentif keuangan demikian termasuk yang paling luas dilakukan di banyak negara, termasuk di Indonesia oleh KRT (misalnya RUT, RUTI, RUK, dan lainnya). Insentif keuangan biasanya terintegrasi pula dengan instrumen kebijakan lain (“program”) yang relevan, misalnya untuk mendorong kolaborasi litbangyasa dalam bentuk: •
Kemitraan litbangyasa yang melibatkan beberapa pihak dan disponsori oleh pemerintah. Contoh bentuknya adalah konsorsia.
•
Hibah (misalnya hibah bersaing/competitive grants) dari pemerintah untuk proyek litbangyasa tertentu yang dilaksanakan bersama oleh industri dan perguruan tinggi dan/atau lembaga litbangyasa. Contohnya adalah penyusunan peta-rencana kolaboratif tertentu (collaborative roadmapping).
INSTRUMEN INSENTIF KEUANGAN
103
Instrumen insentif keuangan kemitraan iptek juga dapat ditujukan untuk mendorong investasi litbangyasa di kalangan swasta secara bertahap. Dalam hal ini, seperti diilustrasikan dalam Gambar 8.1, strategi kebijakan insentif kemitraan iptek diarahkan untuk mengubah dari kondisi 1 ke kondisi 2. K�������������������������������������������������������������������� ondisi 1 yakni stimulasi peningkatan investasi dan kapasitas hanya pada sisi supply lembaga litbangyasa atau perguruan tinggi sebagai penyedia teknologi; sementara swasta lebih sebagai pengguna dan investasi swasta dalam iptek/inovasi relatif rendah) Kondisi 2 meliputi A yaitu stimulasi peningkatan investasi dan kapasitas dilakukan pada sisi supply yaitu oleh lembaga litbangyasa atau perguruan tinggi sebagai peyedia teknologi; sementara stimulasi swasta lebih sebagai pengguna namun investasi dan kapasitas swasta juga meningkat/ditingkatkan; dan/atau B di mana stimulasi peningkatan investasi dan kapasitas dilakukan pada swasta, baik sebagai penyedia teknologi/supply maupun sebagai pengguna/sisi demand). Dari perspektif pemerintah, strategi insentif tersebut perlu diarahkan terutama dalam rangka: Memperluas partisipasi dan kerjasama seluruh lembaga dan individu dalam aktivitas iptek/inovasi kolaboratif untuk mengatasi dan mengantisipasi tantangan kebutuhan bisnis dan persaingan masa datang; Katalisasi infrastruktur enabler yang sangat diperlukan bagi formasi kemitraan iptek strategis untuk menumbuh-kembangkan dan mempertahankan inovasi serta daya saing bisnis untuk jangka panjang; Mendorong perkembangan kemitraan teknologi/inovasi yang semakin spesifik bagi lokasi tertentu (locational specific) sesuai dengan potensi unggulan setempat dan tantangannya, terutama melalui prakarsa lokal, proses yang partisipatif, dan dukungan kebijakan pusat-daerah yang koheren. Penggunaan bauran beberapa instrumen kebijakan (policy instrumen mix strategy) untuk membuat insentif bagi litbangyasa swasta berdampak efektif (terutama untuk kondisi 2B).
104
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Gambar 8.1 Ilustrasi Strategi Kebijakan bagi Perkuatan Kemitraan Iptek. 8.4 PEMBENTUKAN ATAU PENGUATAN JARINGAN KEMITRAAN IPTEK Untuk memperkuat kemitraan iptek yang mendukung peningkatan penyediaan teknologi dan sumber daya, pemerintah dapat mendukung melalui: Pengembangan/penguatan fasilitas atau pusat-pusat litbangyasa dan alih atau komersialisasi teknologi secara kolaboratif. Termasuk dalam bentuk ini adalah pengembangan taman iptek (science and technology park), inkubator, dan sejenisnya. Pengembangan/penguatan �������������������������� jaringan pusat keunggulan (network of centers of excellence), jaringan antara kantor-kantor teknologi (pelayanan teknologi), dan sejenisnya. Pengembangan semacam kontak perwakilan (liaison offices) perguruan tinggi (dan/atau lembaga litbangyasa) – industri (misalnya dalam kerangka client relationship management/CRM).
PENINGKATAN KAPASITAS, BANTUAN TEKNIS, DAN ALIH PENGETAHUAN
105
Pengembangan peran technology clearing house (TCH). Suatu TCH pada dasarnya merupakan s���������������������������������������������� uatu lembaga/organisasi atau pengorganisasian yang : a. Berperan melakukan “clearance test” bagi teknologi tertentu. Jadi lembaga atau pengorganisasian tersebut diberi kewenangan sebagai otoritas dalam menyatakan bahwa suatu teknologi “laik” atau tidak untuk diterapkan di Indonesia atau untuk konteks tertentu di Indonesia. Ini misalnya berdasarkan tujuan perlindungan kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup [dari segi keselamatan, kesehatan, keamanan bagi manusia/masyarakat dan/atau kelestarian lingkungan hidup]; atau b. Berperan memfasilitasi pertukaran informasi, keahlian dan/atau produk teknologi tertentu. Kedua bentuk TCH akan semakin penting dalam penguatan sistem inovasi. Namun bentuk pilihan pertama memerlukan landasan instrumen legal yang kuat dan harus diterapkan dengan hati-hati untuk menghindari risiko moral hazard yang mungkin muncul dari pemberian kewenangan. 8.5 PENINGKATAN KAPASITAS, BANTUAN TEKNIS, DAN ALIH PENGETAHUAN Sumber daya dan upah buruh yang murah tidak lagi menjadi faktor utama dalam kompetisi ekonomi global, kini yang lebih diperlukan adalah faktor yang tidak berwujud, seperti pengetahuan dan keahlian. Karena itu keterbatasan kemampuan, dan keahlian, yang dihadapi di negeri ini harus diatasi dengan menyediakan tenaga ahli atau bantuan akses terhadap pengetahuan/keterampilan, bantuan teknis, pengembangan sertifikasi SDM dan lembaga, ataupun fasilitasi proses alih pengetahuan/teknologi yang dibantu oleh pemerintah. Selain kerjasama antara aktor di dalam negeri, akses ke jaringan internasional dalam hal pengetahuan dan teknologi sangatlah penting. Metode benchmarking juga dapat dilakukan untuk mempelajari kebijakan iptek yang diterapkan di negara-negara lain. Dalam melakukan benchmarking ini, Indonesia juga memerlukan kapabilitas teknologi sendiri untuk menyaring, memilih, mengadaptasi, dan merancang perbaikan bertahap untuk alih teknologi dari luar negeri. Dalam hal ini, kebijakan sangatlah diperlukan untuk mengaturnya.
106
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
���������������������������������������������������������������������� Berikut beberapa contoh karakteristik kebijakan di negara-negara yang berbeda: • Negara-negara yang tergabung dalam European Union (EU). Negara-negara dalam kawasan ini mempunyai kebijakan riset yang kuat, termasuk dalam menerapkan konsep Triple Helix sebagai normanya • Negara-negara yang dianggap sebagai kekuatan ekonomi baru yang tergabung dalam kumpulan negara Brazil, Rusia, India dan China, yang disebut dengan BRIC. Negara-negara ini mempunyai kebijakan teknologi yang jelas, atau setidaknya visi teknologi yang sudah ditetapkan. Negara tersebut dicirikan dengan peran negara yang sangat sentral, dimana kepala negara dan pemerintahan sangat menentukan dan mempunyai komitmen yang tinggi. • Singapura Singapura mempunyai kebijakan yang jelas, dan mendorong sinergi antara kepemimpinan pemerintah, pengaruh dari sektor bisnis, penyediaan iptek oleh universitas. Pasar yang utama di negara ini adalah industri jasa. • Thailand Thailand menerapkan transfer kebijakan, diantaranya melakukan benchmarking dengan EU dan Kanada. Hal ini antara lain dapat terlihat dari kenyataan bahwa mereka menerapkan sinergi antara Techno Park sebagai manifestasi implementasi, peran pemerintah yang kuat, dan peran budaya yang sangat kuat. Upaya tersebut turut mendorong berkembangnya pasar industri kreatif dan jasa di Thailand. • Malaysia Malaysia juga mempunyai peran pemerintah yang kuat dengan tingkat koordinasi institusi yang tinggi didukung dengan adanya pusat teknologi dan partisipasi masyarakat yang tinggi. Walaupun demikian, beberapa sistem dianggap belum berjalan dengan baik di tingkat nasional. • India Negara ini dicirikan dengan adanya peran masyarakat yang kuat, dan menetapkan tujuan kebijakan yang jelas yang difasilitasi pemerintah. Hal
PENINGKATAN KAPASITAS, BANTUAN TEKNIS, DAN ALIH PENGETAHUAN
107
ini didukung juga oleh kemampuan yang cukup visioner dalam pemikiran masyarakatnya. • Indonesia Menyadari kelemahan sistemik dalam sistem inovasi di Indonesia, terutama berkaitan dengan penyediaan iptek (sisi supply), kapasitas absorpsi dunia usaha khususnya UMKM (sisi demand), dan kelemahan keterkaitan/jejaring (linkages), maka pemerintah melalui kemitraan beberapa kementerian bersama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memprakarsai program Pusat Inovasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (PI UMKM). Program PI UMKM pada dasarnya dikembangkan untuk mendorong berkembangnya inovasi di kalangan UMKM (dalam klaster industri tertentu) di daerah melalui kemitraan antara institusi terkait di “pusat” dan stimulasi pengembangan pusat-pusat inovasi di daerah serta jejaring inovasi antarpelaku. PI UMKM adalah suatu organisasi atau unit organisasi sebagai simpul, hub atau gateway dari jaringan kemitraan yang memberikan jasa pelayanan terpadu untuk menumbuhkembangkan UMKM yang inovatif, setidaknya dalam bidang: 1. Jasa Layanan Berbasis Teknologi. 2. Pengembangan SDM UMKM. 3. Intermediasi/Jejaring Bisnis UMKM. 4. Fasilitasi Akses Pembiayaan.
108
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Gambar 8.2 Model Perkuatan Kemitraan Iptek dalam Program PI UMKM. 8.6 KONTRAK LITBANG Kemitraan iptek seringkali terhambat karena terbatasnya pasar pemula/ awal bagi produk potensial suatu industri. Di sisi lain, pemerintah seringkali harus memenuhi kebutuhan sendiri, atau perusahaan BUMN/swasta - yang seringkali harus mengembangkan teknologi atau produknya namun tidak mampu melaksanakan aktivitas litbangyasa sendiri (in-house R&D). Dalam banyak hal, keterkaitan ini berpotensi bagi pengembangan kemitraan iptek melalui kontrak litbangyasa. Kontrak litbangyasa dari pemerintah atau pendanaan industri untuk proyek litbangyasa tertentu di bawah ketentuan suatu kontrak dapat dikembangkan untuk tujuan ini.
APRESIASI DAN DUKUNGAN KEMITRAAN IPTEK INFORMAL 8.7
109
APRESIASI DAN DUKUNGAN KEMITRAAN IPTEK INFORMAL
Untuk mengatasi atau mengurangi kelemahan insentif struktural dan kultural ataupun yang lebih bersifat spesifik, dapat dilakukan melalui upaya apresiasi, baik yang bersifat finansial maupun non finansial, ataupun kombinasi keduanya. Kemitraan iptek seringkali juga terhambat karena kurangnya interaksi antara SDM-nya. Namun, langkah kemitraan antarorganisasi formal seringkali terbatas untuk menumbuhkembangkan kemitraan yang produktif dan pertukaran keahlian, pengalaman dan/atau praktik. Dukungan bagi kemitraan iptek secara informal dalam beberapa kasus bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mendorong kemitraan iptek yang produktif. 8.8
PERUMUSAN AGENDA/MISI STRATEGIS TERTENTU
Pemerintah sering harus menentukan arah dan misi strategis tertentu, misalnya yang menyangkut pertahanan dan kemananan negara, antisipasi dan penanggulangan bencana, serta pengamanan daya saing industri masa depan. Prakarsa pemerintah dalam hal ini dapat menjadi alat untuk mendorong kemitraan iptek lintas pemangku kepentingan. Technology foresight dan technology roadmapping merupakan di antara alat/media yang sering dimanfaatkan untuk mendorong kemitraan dalam konteks ini. Prakarsa pemetarencanaan kolaboratif (collaborative roadmapping) dalam konteks industri dan/atau teknologi tertentu (seperti teknologi semikonduktor di AS yang ditangani SIA) adalah salah satu bentuk cara ini. Bauran instrumen kebijakan, termasuk untuk peningkatan kemitraan dapat diarahkan untuk tujuan mendukung daya saing industri yang sudah ada maupun tujuan mendorong berkembangnya perusahaan baru/pemula yang inovatif. �������� Sebagai contoh, Tassey misalnya (berkaitan dengan bidang yang relevan dengan National Institute of Standards and Technology/NIST), mengungkapkan respons kebijakan yang diperlukan pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi untuk tujuan yang pertama (ilustrasi Gambar 8.3). Sementara pola inkubator, taman iptek, dan model program seperti SBIR di AS merupakan contoh untuk tujuan kedua.
110
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Gambar 8.3 Ilustrasi Respons Kebijakan bagi Pertumbuhan Ekonomi Berbasis Teknologi. ��������������������������������������������������������������������������������� Upaya intervensi tentu tidak akan efektif apabila para pihak yang terlibat tidak meresponnya secara tepat. Setiap pihak, baik perguruan tinggi maupun lembaga litbangyasa, swasta dan pihak lain perlu berupaya menyikapi dan melakukan langkahlangkah untuk terwujudnya kemitraan sinergis dalam berinovasi sesuai dengan perannya.
111
BAB 9 PENUTUP Lima tantangan dan kecenderungan universal (globalisasi, kemajuan iptek, ekonomi berbasis pengetahuan, ekonomi jaringan, dan faktor lokal-lokasional) akan terus berkembang secara dinamis. Kelima hal tersebut beserta konteks spesifik nasional dan daerah di Indonesia semakin menuntut adanya kemitraan yang efektif antar berbagai pihak dalam penguatan sistem inovasi di Indonesia. Dalam mendukung kesuksesan pembangunan sistem inovasi, harus terjalin adanya keterkaitan (linkages), kemitraan (partnership), jaringan (networking) dan interaksi serta sinergi positif. Penguatan sistem inovasi sangatlah penting dalam meningkatkan daya saing. Salah satu ukuran daya saing yang dinilai sangat penting adalah produktivitas. Produktivitas juga mengindikasikan hubungan antara input dengan output, pengaruh “teknologi” terhadap perkembangan ekonomi, dan sangat penting dalam upaya meningkatkan standar hidup (kesejahteraan rakyat). Perkembangan inovasi sangatlah menentukan pertumbuhan produktivitas, baik pada tataran mikro, meso, maupun makro. Salah satu cara “sederhana” untuk menelaah pengaruh peranan teknologi (dan pengaruh inovasi) dalam pertumbuhan ekonomi adalah dengan pendekatan Produktivitas Faktor Total atau TFP �����(total factor productivity). Di Indonesia, ������� selama kurun waktu 2000—2007 teknologi memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali pada tahun 2001. Pada kurun waktu tersebut, kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan produktivitas nasional adalah 40,20%. Pada tahun 2001, turunnya produktivitas nasional diketahui melalui penurunan PDB yang dipengaruhi bukan hanya oleh penurunan produktivitas tenaga kerja dan modal, tetapi juga oleh turunnya produktivitas teknologi. Kajian Tim BPPT tentang perbandingan produktivitas untuk skala provinsi di Indonesia, mengindikasikan adanya penyebaran yang tidak merata. Berdasarkan penelitian dalam kurun waktu 200-2007 untuk 11 provinsi dapat disimpulkan bahwa 7 provinsi memiliki kecepatan pertumbuhan teknologi (TFP) melebihi nasional, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Maluku. Selanjutnya satu provinsi, yaitu Sumatera Utara memiliki angka TFP hampir sama dengan nasional dan 3 provinsi memiliki TFP di bawah angka nasional, yaitu DI Yogyakarta, Kalimantan Timur dan Papua. Untuk skala regional Asia Tenggara, TFP Indonesia tidaklah terlalu menonjol di antara negara ASEAN lainnya.
112
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Kajian TFP tentu masih menyisakan banyak pertanyaan tentang pengaruh teknologi, atau sistem inovasi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya dan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya pada umumnya. Karena itu kajiankajian yang lebih mendalam dengan pendekatan yang lebih sesuai perlu terus dikembangkan, disertai dengan pembenahan penyediaan data yang sesuai dan berkelanjutan. Di antara faktor penentu penting perkembangan sistem inovasi adalah jejaring/ kemitraan (khususnya kemitraan strategis bidang iptek atau yeng mempengaruhi perkembangan inovasi). Oleh karena itu, hubungan antara kelembagaan (������������ perusahaan, universitas, dan badan-badan pemerintah)���������������������������������������� beserta legislasinya sangat diperlukan untuk membangun suatu koordinasi dan kemitraan yang efektif dan efisien. Kesepakatan dalam kemitraan yang terjadi bisa mengikat secara hukum seperti ”kerjasama” (cooperation) dan ”kolaborasi” (collaboration) ������������������������� atau juga bersifat lebih longgar,���������������������� seperti ”koordinasi” (coordination).� Sejak akhir tahun 1990an telah dikenal model Triple Helix dalam permasalahan pengembangan inovasi. Model ini menjelaskan pentingnya interaksi antara universitas/perguruan tinggi, industri, dan pemerintah, yang akan membentuk suatu sistem. Perkembangan sistem ini membentuk tipologi kemitraan iptek sebagai fungsi komunikasi dan koordinasi antara lembaga-lembaga yang terkait dengan iptek. Kemitraan iptek di beberapa negara dikembangkan melalui pola yang beragam. Setiap negara umumnya tidak hanya mendorong implementasi satu pola tunggal, melainkan kombinasi beberapa pola kemitraan sekaligus. ������������������������������������������������������������������� Kemitraan iptek sebagai salah satu bentuk aliansi strategis sangat menentukan perkembangan sistem inovasi. Untuk dapat mencapai kemajuan dan perkembangan sistem inovasi sesuai dengan pencapaian tujuan pembangunan, maka pengembangan kemitraan iptek harus didorong agar sistem inovasi semakin adaptif terhadap dinamika perubahan yang berkembang�� . Dalam rangka memperkuat kemitraan iptek tersebut, diperlukan strategi yang dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip kemitraan iptek, baik prinsip dasar kemitraan, prinsip bersama dalam kemitraan, prinsip bagi setiap pihak yang bermitra, maupun prinsip bagi pihak pemerintah. Strategi itu selanjutnya dapat dipakai sebagai kesepakatan/konsensus acuan bagi para pemangku kepentingan yang hendak menjalin kemitraan�������������������������������������������������������������� . Suatu ������������������������������������������������������������ kemitraan dalam suatu jaringan pada dasarnya bersifat dinamis dan adaptif, di mana jaringan ini dapat ��������������������������������������� selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
PENUTUP
113
Strategi pokok yang penting untuk menumbuhkembangkan kemitraan iptek yang berhasil antara lain: 1. Mendorong terciptanya lingkungan dan iklim yang mendukung. 2. Memotivasi dan memfasilitasi aktor yang berperan langsung maupun tidak langsung. 3. Mendorong penyediaan dan pertukaran informasi serta pengembangan komunikasi. 4. Memberikan kemudahan atau dukungan tertentu (selektif) untuk mendorong kemitraan iptek, sesuai dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, demokrasi, dan keadilan. 5. Mendukung peningkatan kapasitas pemerintah, lembaga pemerintah dan para pemangku kepentingan agar lebih siap, mampu dan dapat mengembangkan budaya yang positif bagi perkembangan kemitraan iptek yang sinergis dan saling menguntungkan. 6. Mendorong pengembangan “model bisnis” yang tepat bagi setiap kemitraan iptek. Pada prinsipnya, keberhasilan suatu kemitraan akan ditentukan oleh beberapa faktor kunci keberhasilan, yaitu: 1. Potensi nilai yang diperoleh dari bermitra 2. Rasa saling percaya di antara pihak yang bermitra. 3. Niat baik (good will), komunikasi yang efektif dan komitmen yang tinggi 4. Sumber daya, kapabilitas/keterampilan, dan manajemen yang tepat 5. Insentif yang memadai dan komitmen dari manajemen puncak 6. Iklim (termasuk kebijakan pemerintah dan organisasi para mitra) dan budaya organisasi yang mendukung Koordinasi dalam kemitraan ini juga harus didukung oleh adanya kebijakan yang efektif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, ������������������������ dalam rangka mewujudkan sistem inovasi nasional dan daerah yang kuat dan adaptif. Bangsa Indonesia secara legal formal telah memiliki landasan awal yang cukup untuk mengembangkan dan mendayagunakan iptek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti Pasal 31 Ayat 5 UUD 45 hasil Amandemen ke 4. Kemudian, sejak tahun 2002, Indonesia telah
114
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
memiliki UU No 18 tahun 2002 mengenai Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek, dan beberapa peraturan perundangan relevan lainnya. Sangat boleh jadi, jika dinilai perlu perubahan/penyesuaian mendasar dalam perundangan yang ada (termasuk UU Nomor 18 tahun 2002), maka hal tersebut perlu segera dilakukan dan tentunya diharapkan dapat memotivasi sekaligus menjadi landasan legal yang semakin sesuai bagi penguatan sistem inovasi di Indonesia, termasuk pengembangan kemitraan iptek yang sinergis. Yang juga sangat penting dalah bahwa hubungan sinergis antara pemerintah pusat dan daerah juga harus terus ditingkatkan dalam pengembangan kemitraan iptek dalam kerangka penguatan sistem inovasi di Indonesia. Penguatan sistem inovasi nasional (SIN) tidak dapat dilepaskan dari urgensi penguatan sistem inovasi daerah (SID) dan sistem inovasi tekno-industri, karena������������������������������ SID dan sistem inovasi teknoindustri merupakan bagian integral dari SIN������������������������������������������ . Salah satu pijakan penting dalam kaitan ini adalah kesepakatan, komitmen dan konsistensi dalam mengimplementasikan kerangka kebijakan inovasi, sebagai acuan bersama untuk diadaptasi dan diimplementasikan oleh pemerintah (pusat maupun daerah) dan para pemangku kepentingan lainnya. ��������������������������������������������������������������������� Dengan adanya kemitraan sinergis dalam penguatan sistem inovasi dari semua pihak yang berkepentingan, maka proses evolutif penguatan SID, sistem inovasi tekno-industri dan SIN diharapkan dapat dipercepat dan berhasil dengan baik. Percepatan tersebut dapat dilakukan apabila upaya penguatan sistem inovasi beserta pengembangan kemitraan menjadi suatu gerakan pembangunan di Indonesia . . .
Harapan, prasangka baik atau optimisme dan idealisme adalah energi yang harus terus dipelihara untuk terus berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik ...
DAFTAR PUSTAKA
115
DAFTAR PUSTAKA Agassi, J. (1997). Review of Michael Gibbon, Camille Limoges, Helga Nowotny, Simon Schwatrzman, Peter Scott and Martin Trow: “The New Production of knowledge: The Dynamics of Science and Research in Contemporary Societies.” Philosophy of the Social Sciences 27, 354-7. Dari http://www.tau.ac.il/~agass/papers/ knowledge.html Agénor, Pierre-Richard. (2000). The Economics of Adjustment and Growth. Academic Press, San Diego, California. Alisjahbana, Armida S.. (2009). Revisiting Indonesia’s Sources of Economic Growth and Its Projection Towards 2030. Working Paper in Economics and Development Studies, No. 200905. Department of Economics, Padjadjaran University. Alkadri. (1998). Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Selama 1969-1996. Majalah Anaslisis Sistem. No. 11, Tahun V. Alkadri. (2002). Peranan Kebijakan Teknologi dalam Menciptakan Keunggulan Daya Saing Wilayah. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Volume 4, No. 4, Juli. APO (2009). APO Productivity Databook 2009. Asian Productivity Organization. Tokyo, 2009. APO (2002). Green Productivity Training Manual. Asian Productivity Organization. Tokyo, 2002. Archibugi, D., Howells, J., & Michie, J (Eds.). (1999). �������� Innovation Policy in a Global Economy. Cambridge: Cambridge University Press. Arnold, Erik dan Patries Boekholt. (2002). �������� Measuring ‘Relative Effectiveness’ – Can We Compare Innovation Policy Instruments? Dalam Patries Boekholt (Ed.). (2002). “Innovation policy and sustainable development: can public innovation incentives make a difference?” Contributions to a Six Countries Programme Conference, 28 February - 1 March, Brussels 2002. IWT-Observatory. Institute for the Promotion of Innovation by Science and Technology in Flanders. Arnold, E., Kuhlman, S., & Van der Meulen, B. (2001). A Singular Council: Evaluation of the Research Council of Norway. Technopolis, ��������������������������� �������������� December 2001.
116
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Arnold, E., & Boekholt, P., dengan Deiaco, E., McKibbin, S., De la Mothe. J., Simmonds, P., Stroya, J., & Zaman, R. (2003). Research and Innovation Governance in Eight Countries: A Meta-Analysis of Work Funded by EZ (Netherlands) and RCN (Norway). Technopolis, January 2003. Arnold, Erik, Martin Bell, John Bessant, dan Peter Brimble. (2000). Enhancing Policy and Institutional Support for Industrial Technology Development in Thailand: The Overall Policy Framework and The Development of the Industrial Innovation System. Funded by the World Bank. Under a Policy and Human Resources Development grant made available by the Government of Japan for administration by the World Bank. December 2000. Arnold, Erik dan Ken Guy. (1997). Technology Diffusion Programmes and the Challenge for Evaluation. Makalah dalam “Policy Evaluation in Innovation and Technology: Towards Best Practices.” OECD Conference held on 26-27 June 1997. Atkinson, R.D., Court, R.H., & Ward, J.M. (1999). The State New Economy Index: Benchmarking Economic Transformation in the States. Progressive Policy Institute. Technology & New Economy Project, July 1999. Austin, James E. (2000). Principles for Partnership. Leader to Leader. 18 (Fall 2000): 44-50. Dari: http://leadertoleader.org/leaderbooks/L2L/fall2000/austin.html Batterham, Robin. (2000). The Chance to Change. Final Report by the Chief Scientist. Australia. November 2000. BPPT. (2006). Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Iptek, ISBN 979-98496-5-9. Jakarta: PPKDT-BPPT. Badan Pusat Statistik, beberapa seri, Statistik Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik, beberapa seri, Statistik Ketenagakerjaan, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Sensus Penduduk Indonesia, BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Survei Penduduk Antarsensus, BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, BPS, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
117
Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Keadaan Pekerja/Buruh/Karyawan di Indonesia, BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Statistik Upah, BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Statistik Struktur Upah, BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Pendapatan National Indonesia, BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Tabel Input Output Indonesia, BPS, Jakarta. Bank Indonesia, beberapa seri, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Jakarta. Binger, Brian R. dan Elizabeth, Hoffman. 1988. Microeconomics with Calculus. Glenview, Ill. : Scott, Foresman and Company. 1988. BMBF. (2004). Education, Research, Innovation – Shaping our Future. Education and Research Policy Priorities of the Federal Ministry of Education and Research (BMBF) in the 15th Legislative Period. Germany. Boediono. (1999). Teori Pertumbuhan Ekonomi : Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4, Edisi Pertama, Cetakan Keenam. Penerbit BPFE Yogyakarta. Yogyakarta, Juli. Bryant, Kevin. (1998a). Evolutionary Innovation Systems: Their Origins and Emergence as a New Economic Paradigm. Bab 4 dalam DISR (1998): “A New Economic Paradigm? Innovation-based Evolutionary Systems.” Discussions in Science and Innovation 4. An occasional paper in a series on Australia’s research and technology and their utilisation. Department of Industry, Science and Resources. Science and Technology Policy Branch. November 1998. Carvajal, Carlos A. dan Chihiro Watanabe. (2004). Lessons from Japan’s Clustering BehaviorEngines of the Emerging Economies in Asia - Dynamics of Manufacturing Sectors in Japan. Paper presented at the 1st ASIALICS International Conference ‘Innovation Systems & Clusters in Asia: Challenges & Regional Integration.’ Bangkok, April 1-2, 2004. CA. (1997). Investing for Growth: The Howard Government’s Plan for Australian Industry. Commonwealth of Australia 1997.
118
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Casey, Jr., James J. (2004). Developing Harmonious University-Industry Partnerships. University Of Dayton Law Review. Vol.30:2; 2004. Choi, Hyung Sup. (1987). Dalam H. R. Solow, Productivity through People in the Age of Changing Technology, Asian Productivity Organization, Tokyo. Clark, John dan Ken Guy (1997). Innovation and Competitiveness. Technopolis. July 1997. Collins, Susan M. and Bosworth, Barry P. (1996). Economic Growth in East Asia: Accumulation versus Assimilation. Brookings Papers on Economic Activity, 2: 135-203. Cooke, Philip. (2003). The Regional Development Agency in the Knowledge Economy: Boundary Crossing for Innovation Systems. Paper prepared for European Regional Science Association Annual Conference - “Peripheries, Centres, and Spatial Development in the New Europe”, Jyväskylä, Finland, August 27 to August 30, 2003. Cooke, Philip. (2003). The Regional Innovation System in Wales: Evolution or Eclipse? In Cooke, P, Heidenreich, M. & Braczyk, H. (eds). (2003): “Regional Innovation Systems” (2nd Edition), London, Routledge. February 2003. Dari http://www.devolution.ac.uk/ Cooke_paper.pdf Cooke, Philip. (2001a). From Technopoles to Regional Innovation Systems: The Evolution of Localised Technology Development Policy. ������������������������������������������� Canadian Journal of Regional Science/Revue canadienne des sciences régionales, XXIV:1. (Spring/printemps ������������������������������� 2001), 21-40. Cooke, Philip. (2001b). From Technopoles to Regional Innovation Systems: The Evolution of Localised Technology Development Policy. ������������������������������������������� Canadian Journal of Regional Science/Revue canadienne des sciences régionales, XXIV:1. (Spring/printemps ������������������������������� 2001), 21-40. Cooke, Philip. (2000). Learning Commercialisation of Science: Biotechnology and the New Economy Innovation System. Paper prepared for DRUID Summer 2000 Conference, Aalborg University, Aalborg, June 15-16, 2000. Cooke, Philip. (1998). The Role of Innovation in Regional Competitiveness. Paper presented at the 5th Nordic-Baltic Conference in Regional Science “Global-Local Interplay in the Baltic Sea Region” held in Pärnu 1-4th October, 1998. dari http://www.geo.ut.ee/ nbc/paper/cooke.htm
DAFTAR PUSTAKA
119
Cooke, Philip dan Olga Memedovic. (2003). Strategies for Regional Innovation Systems: Learning Transfer and Applications. Policy Papers. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). Vienna, 2003. Cooke, Philip, Stephen Roper, dan Peter Wylie. (2001). Systems and Strategies for Regional Innovation on the European Periphery: the Case of Northern Ireland. Paper prepared for the Fifth Annual EUNIP Conference, WIFO – Austrian Institute of Economic Research, Vienna, Austria. November 29- December 1, 2001. Cornet, Maarten dan George Gelauff. (2000). Innovation Policy. CPB Report 2002/2. Cortright, Josep J. (2001). New Growth Theory, Technology and Learning: A Practitioner’s Guide. Reviews of Economic Development Literature and Practice: No. 4. U.S. Economic Development Administration. Cowan, Robin dan Gert van de Paal. (2000). �������� Innovation Policy in a Knowledge-Based Economy. A Merit Study Commissioned By The European Commission, Enterprise Directorate General. June 2000. Crespo, R. J., (2005). “Total Factor Productivity : An Unobserved Components Approach,” University of Bristol Discussion Paper No. 05/579, University of Bristol, Bristol. Dahlman, C. (2003). Using Knowledge for Development: A General Framework and Preliminary Assessment of China. Chapter 2 dalam Grewal, et al. “China’s Future in the Knowledge Economy: Engaging the New World.” Centre for Strategic Economic Studies – Victorya University and Tsinghua University Press, January. Denison, Edward F. (1985). Trends in American Economic Growth, 1929-1982. The Brookings Institution, Washington. 1985. Department of Trade and Industry of UK (DTIUK). (2002). Investing in Innovation: A Strategy for Science, Engineering and Technology. Department of Trade and Industry of UK. HM Treasury. Departmen for Education and Skills. July 2002. DISR. (1999). Shaping Australia’s Future: Innovation - Framework Paper. Department of Industry, Science and Resources. Australia. October 1, 1999.
120
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
DISR. (1998). A New Economic Paradigm? Innovation-based Evolutionary Systems. Discussions in Science and Innovation 4. An occasional paper in a series on Australia’s research and technology and their utilisation. Department of Industry, Science and Resources. Science and Technology Policy Branch. Australia. November 1998. Direktorat Paten, Direktorat jenderal HKI, Departemen Kehakiman dan HAM RI. (2010). DITR. (2003). Commonwealth and State Government Programs Supporting Innovation in Firms 2003. Department of Industry, Tourism and Resources. Commonwealth of Australia. February 2003. Dodgson, M., & Bessant, J. ��������� (1996a). The New Learning about Innovation, Chapter 2 of “Effective Innovation Policy: A New Approach.” London: Thompson Business Press. Dari http://www.cherry.gatech.edu/mod99/ Dodgson, M., & Bessant, J. (1996b). ��������� The Implications of the New Learning about Innovation, Chapter 3 of “Effective Innovation Policy: A New Approach.” London: Thompson Business Press. Dari http://www.cherry.gatech.edu/mod99/ Dogramaci, A., 1986, Productivity Analysis : A Range of Perspective, Niyhoff, Dordrecht, Netherlands. Dussauge, P., Hart, S. and Ramanantsoa, B. (1992). Strategic technology management: integrating product technologies into global business strategies, John Wiley & Sons, Chichester, 1992. EC (European Commission). (2003). Green Paper on Entrepreneurship in Europe. Commission of the European Communities. Enterprise Directorate-General. 2003. Document based on COM(2003) 27 final. Brussels, 21.01.2003. Dari http://europa. eu.int/comm/enterprise/ entrepreneurship/green_paper/index.htm EC (European Commission). (2000a). Innovation in a Knowledge-driven Economy. Communication from the Commission to the Council and to the European Parliament. Commission of the European Communities. COM(2000) 567 final. Brussels, xxx. EC (European Commission). (2000b). Developing Closer Relations Between Indonesia and the European Union. Communication from the Commission to the Council and to the
DAFTAR PUSTAKA
121
European Parliament. Commission of the European Communities. COM (2000) 50 final. Brussels, 2.2.2000. EC (������������������������������ European Commission). (1995). Green Paper on Innovation. European Commission (EC). December 1995. Dari http://europa.eu.int/en/record/green/ gp9512/ind_inn. htm Edler, Jakob, Stefan Kuhlmann, dan Ruud Smits. (2003). New Governance for Innovation: the Need for Horizontal and Systemic Policy Co-ordination. Report on Workshop. Fraunhofer ISI Discussion Papers Innovation Systems and Policy Analysis, No. 2/2003. Karlsruhe, June 2003. Edquist, C. (2001). : “The Systems of Innovation Approach and Innovation Policy: An Account of the State of the Art”. Lead paper presented at the DRUID Conference, Aalborg, June 12-15, 2001, under theme F: ‘National Systems of Innovation, Institutions and Public Policies’ (Invited Paper for DRUID’s Nelson-Winter Conference). http://www.druid.dk/conferences/ nw/paper1/ edquist.pdf Edquist, Charles. (1999). Innovation Policy – A Systemic Approach. Paper for DRUID’s Innovation Systems Conference, June 1999. Dari http://www.druid.dk/conferences/ summer1999/conf-papers/edquist.pdf EISDISR. (2001). Technology Planning for Business Competitiveness: A Guide to Developing Technology Roadmaps. Emerging Industries Section Department of Industry, Science and Resources, Australia. August 2001. URL: http://www.isr.gov.au/industry/emerging Elias, Victor J. (1992). Sources of Growth : A Study of Seven Latin American Economies, International Centre for Economic Growth. ETCI. (2002). Innovation Policy in Europe 2002. Innovation papers No 29. A publication from the Innovation/SMEs Programme - part of the Fifth Research Framework Programme. European Trend Chart on Innovation. Directorate-General for Enterprise. European Commission. 2002. Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). The dynamics of innovation: from National Systems and “Mode 2” to a Triple Helix of University-Industry-Government Relations. Research Policy 29 , 109-123.
122
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Flanagan, K. and Barker, K. (2009). Science, Technology and Innovation Policy. BMAN 71751. Lecture Notes, p. 25. Manchester Institute of Innovation Research, Manchester Business School, The University of Manchester. Freidheim Jr., Cyrus. (1999). The Battle of the Alliances. Management Review. September 1999. V. 88, N. 8 pp. 46-51 Frye, Michael dan Sir Adrian Webb. �������� (2002). Working Together: Effective Partnership Working from the Ground. Public Services Productivity Panel Report, April 2002. dari http://www. hm-treasury.gov.uk/ Documents/Public_Spending_and_Services/ Public_Services_ Productivity_Panel/pss_psp_effect.cfm? Galli, Riccardo dan Morris Teubal. (2000). Paradigmatic Shifts in National Innovation Systems. Partners Papers. High Tech Policy and Development Economics. Israeli Financing Innovation Scheme in Europe (IFISE). Dari http://ifise.unipv.it/Publications/ Paradigmatic.pdf Gibbons, Michael dan Helga Nowotny. (2001). The Potential of Transdisciplinarity. (Joint presentation) In J. Thompson Klein, W. Grossenbacher-Mansuy, R. Häberli, A. Bill, R. W. Scholz, M. Welti (Hg.): “Transdisciplinarity: Joint Problem Solving among Science, Technology, and Society. An Effective Way for Managing Complexity.” Basel / Boston / Berlin: Birkhäuser Verlag 2001. 67-80. Gibbons, Michael. (2000). Universities and the New Production of Knowledge: Some Policy Implications for Government. Chapter Two in Andre Kraak (2000): “Changing Modes: New Knowledge production and Its Implications for Higher Education in South Africa.” Human Science Research Council – South Africa. Dari http://www.hsrcpublishers. co.za/ Gomes-Casseres, Benjamin. (1999). Routledge Encyclopedia of International Political Economy. Grossman, Gene M. dan Elhanan Helpman. (1997). Innovation and Growth in the Global Economy. The MIT Press, Cambridge, Massachusetts. Hadi Prayitno dan Budi Santosa. (1996). Ekonomi Pembangunan. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
123
Hidayat, Indar Taufik. (2001). “Total Factor Productivity (TFP)”, dalam Trend Data, vol. 2, no. 9, hal. 15-19. Badan Pusat Statistik. Hirono, R. (1985). Integrated Survey Report in Improving Productivity Through Macro-Micro Linkages. Asian Productivity Organization, Tokyo. Holthuyzen, Mike. (2000). Policies for Building the Knowledge Economy. Address to the Ceda Seminar on Building the Knowledge Economy - Part 4. Australia. ISIG. (2000). Innovation: Unlocking the Future. Final report of the Innovation Summit Implementation Group. Australia. August 2000. Ito, Takatoshi dan Anne O. Krueger (ed.). (�������� 1995). Growth Theories in light of the East Asian Experience. National Bureau of Economic Research, Korea. Iyer, Karthik N.S. (2002). Learning in Strategic Alliances: An Evolutionary Perspective. Academy of Marketing Science Review Volume 2002 No. 10 Diperoleh dari: http:// www.amsreview.org/articles/iyer10-2002.pdf Jelinek, Mariann dan John C. Hurt. �������� (2001). Partnerships for Innovation. National Science Foundation (NSF). Celebrating 50 Years. June 18-19, 2001 Jolly, Dominique. (2002). Alliance Strategy: Linking Motives with Benefits. European Business Forum (EBF) issue 9, spring 2002. Diperoleh dari http:// www.bettermanagement. com/ Library/ Johnson, Björn, Charles Edquist, dan Bengt-Åke Lundvall. (2003). Economic Development and the National System of Innovation Approach. First Globelics Conference, Rio de Janeiro. November 3 – 6, 2003. Dari http://sinal.redesist.ie.ufrj.br/.../pdfs/GLOBELICS_0054_ Johnson et alli.pdf Kautz, Judith. (2000). Strategic Alliances: A Key Business Tool for Entrepreneurs. Dari http:// entrepreneurs.about.com/library/weekly/n061500.htm Kelly, Micheál J. Jean-Louis Schaan, dan Hèléne Joncas. (2000). Managing Alliance Relationships: Key Challenges in the Early Stages of Collaboration. Working paper 00-05, 2000. University of Ottawa. Dari http://www.gouvernance.uottawa.ca/
124
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Kemp, David A. (1999). Knowledge and Innovation: A policy statement on research and research training. Minister for Education, Training and Youth Affairs. Commonwealth of Australia. December 1999. KFPE. (1998). Guidelines for Research in Partnership with Developing Countries: 11 Principles. Swiss Commission for Research Partnership with Developing Countries, KFPE, 1998. Dari www.kfpe.ch/download/Guidelines_e.pdf Khalil, T. (2000). Management of Technology. The Key to Competitiveness and Wealth Creation. Boston: McGraw-Hill. Killing, F. Peter. 1993. Understanding Alliances: The Role of Task and Organizational Complexity. Cooperative Strategis in International Business. Kline, S.J., & Rosenberg, N. (1986). An Overview of Innovation - The Positive Sum Strategy: Harnessing Technology for Economic Growth. National Academy of Sciences. The National Academy Press. Dari http://www.nap.edu/books/ ������������������������������������������ 0309036305/html/ Koo, Jun, Michael I. Luger, dan Leslie Stewart. �������� (1999). Best Practices in Science and Technology-Based Economic Development Policy: US and Global. Document 2, the North Carolina Board of Science and Technology. Prepared by: Office of Economic Development, Kenan Institute of Private Enterprise - University of North Carolina at Chapel Hill, Under contract with the North Carolina Board of Science and Technology. Dari http://www.ncscienceandtechnology.com/ Board%20Publications.htm KRT-BMBF. (2002). Program Evaluasi Riset Sains Teknologi untuk Pembangunan / Evaluation of the Indonesian Science Research and Technology Landscape to Strengthen the National Innovation System (PERISKOP). Reports and several work package reports, and supporting materials. Indonesian State Ministry for Research and Technology (KRT) in collaboration with German Ministry for Research and Education (BMBF). KRT. (2002). Manajemen Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS). Kementerian Riset dan Teknologi (KRT). Januari 2002. KRT. (2000). Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional (Sipteknas). Laporan Internal. Kedeputian Bidang Pengembangan Sipteknas-KMNRT. Kurniawan, Puji Agus. (2008). Total Factor Productivity (TFP). Makalah, Tidak dipublikasikan.
DAFTAR PUSTAKA
125
Leydesdorff, Loet dan Henry Etzkowitz. (2001). The Transformation Of University-industrygovernment Relations. Electronic Journal of Sociology (2001). Dari http://www.sociology. org/content/vol005.004/th.html Leydesdorff, Loet dan Henry Etzkowitz. (1998). The Triple Helix as a Model for Innovation Studies (Conference Report). Science & Public Policy Vol. 25(3) (1998) 195-203. Dari http://users.fmg.uva.nl/lleydesdorff/th2/spp.htm LIPI & KRT. (2003). Indikator Iptek Indonesia. Buku Saku. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT). Jakarta, ������������������ Desember. Lundvall, B (ed.). (1992). National Innovation Systems: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning. London: Pinter Publishers. Lundvall, B.A. dan Susana Borras. (1997). �������� The Globalising Learning Economy: Implications for Innovation Policy. Report based on contributions from seven projects under the TSER programme. DG XII, Commission of the European Union. European Commission. Targeted Socio-Economic Research. December 1997. Mahadevan, Renuka, 2003, “New Currents in Productivity Analysis : Where To Now?” APO Productivity Series 31, Tokyo. Margono, H. dan Sharma, S. C. (2004). “Technical Efficiency and Productivity Analysis in Indonesian Provincial Economies,” Southern Illinois University Working Paper, Illinois. Mas-Colell, A., M Whinston, and J. Green (1995), Microeconomic Theory, Oxford University Press. McFetridge, Donald G. (1995). Competitiveness: Concepts and Measures. Industry Canada. Occasional Paper Number 5. April 1995. McKeon, R., & Weir, T. (2000). Towards KBEs: Preconditions and Assessments. Paper for APEC symposium on knowledge-based economies. Seoul, 29-30 June 2000. Metcalfe, S���������� . (1995).� The Economic Foundations of Technology Policy: Equilibrium and Evolutionary Perspectives, in Stoneman������������ , P.�������� (ed.), Handbook of the Economics of Innovation and Technological Change. ����������������������������� Oxford����������������������� : Blackwell ��������������������� Publishers.
126
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Mowery, David C., Milton ����������������������������������������������� W. Terrill, dan Walter A. Haas. (1998). The Roles and Contributions of R&D Collaboration: Matching Policy Goals and Design. Prepared for the Hearings of the National Science Policy Study, Committee on Science, U.S. House of Representatives, March 11, 1998. Mytelka, Lynn K. dan Keith Smith. (2001). Innovation Theory and Innovation Policy: Bridging the Gap. Paper presented to DRUID Conference. Aalborg, June 12-15 2001. Dari http:// www.druid.dk/conferences/nw/paper1/mytelka_smith.pdf Narula, R. dan J.H. Dunning. �������� (1997). Explaining international R&D alliances and the role of governments. MERIT. Nelson, R., (ed). (1993). National Innovation Systems: A Comparative Analysis. New York (NY): Oxford University Press. NGA / Evelyn Ganzglass, Martin Simon, Christopher Mazzeo, dan Kristin Conklin (Lead Writer) (2002a). A Governor’s Guide to Creating a 21st-Century Workforce. National Governors Association. NGA / Debra van Opstal, Michelle L. Lennihan, dan Chad Evans (Lead Writer) (2002b). A Governor’s Guide to Building State Science and Technology Capacity. National Governors Association. NGA / Stuart Rosenfeld (Lead Writer) (2002d). A Governor’s Guide to Cluster-Based Economic Development. National Governors Association. NGA (2000). State Strategies for the New Economy. National Governors Association. NSF. (2001). Strategic Research Partnerships: Proceedings from an NSF Workshop. National Science Foundation (NSF). Division of Science Resources Studies. Arlington, VA (NSF 01-336). August 2001. OECD. (2004a). OECD Science, Technology and Industry Outlook. Highlights. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2004. OECD. (2004b). Science and Innovation Policy: Key Challenges and Opportunities. Meeting of the OECD Committee for Scientific and Technological Policy at Ministerial Level. 29-30 January 2004.
DAFTAR PUSTAKA
127
OECD. (2003b). OECD Science, Technology and Industry Scoreboard 2003 – Towards a Knowledge-based Economy. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2003. OECD. (2002). Dynamising National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 2002. OECD. (2001a). Innovative Networks: Co-Operation in National Innovation Systems. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2001. OECD. (2001b). Innovative Clusters: Drivers of National Innovation Systems. OECD Proceedings. OECD. (2001c). OECD Productivity Manual: A Guide to the Measurement of Industry-Level and Aggregate Productivity Growth. OECD. Statistics Directorate Directorate for Science, Technology and Industry. Paris, March 2001. OECD. (2001d). Technology, Productivity and Job Creation: Best Policy Practices. Highlights. The OECD Jobs Strategy. OECD. 2001. OECD. (1999). Managing National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 1999. OECD. (1998a). Industrial Performance and Competitiveness in an Era of Globalisation and Technological Change. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). June, 1998. OECD. (1998b). Policies for Industrial Development and Competitiveness. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). May, 1998. OECD. (1997a). National Innovation Systems. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1997. OECD. (1997b). The Measurement of Scientific and Technological Activities - Proposed Guidelines for Collecting and Interpreting Technological Innovation Data (Oslo Manual). Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1997. OECD. (1996). The Knowledge-Based Economy. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1996.
128
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
OECD. (1995). The Measurement of Scientific and Technological Activities - Manual Of The Measurement of Human Resources Devoted To S&T (Canberra Manual). Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1995. OECD. (1993). The Proposed Standard Practice for Surveys of Research and Experimental Development (Frascati Manual 1993). Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1993. OECD. (1990). Proposed Standard Method of Compiling and Interpreting Technology Balance of Payments Data (TBP Manual). Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1990. Pawennei, M.I.A. (2008). Critical Success Factors and the Development of the UK-based Biofuels Value-chains and Innovation Networks. MSc in Management of Science Technology and Innovation, Manchester Business School, University of Manchester. Porter, M.E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. New York: Simon & Schuster. Porter, M.E., & Stern, S. (2001). National Innovative Capacity. Dalam “The Global Competitiveness Report 2001-2002.” New York: Oxford University Press. Porter, M.E. (2002a). Competitiveness and the Role of Regions. Bahan Presentasi. The Center For Houston’s Future. Houston, Texas. November 22. Porter, Michael E. (2002b). Building the Microeconomic Foundations of Competitiveness: Findings from the Microeconomic Competitiveness Index. Dalam “The Global Competitiveness Report 2002.” World Economic Forum. Porter, M.E. (2003a). Building the Microeconomic Foundations of Prosperiy: Findings from the Business Competitiveness Index. Dalam “The Global Competitiveness Report 2003-2004.” World Economic Forum. Porter, Michael E. (2003b). Economic Performance of Regions. Regional Studies. Vol. 37, August/October. Porter, Michael E dan Scott Stern. (2001). National Innovative Capacity. Dalam “The Global Competitiveness Report 2001-2002.” New York: Oxford University Press, 2001. Dari http://www.isc.hbs.edu/
DAFTAR PUSTAKA
129
Powell, W. W., & Grodal, S. (2005). Networks of Innovators, The Oxford Handbook of Innovation. Oxford: Oxford University Press. Prihawantoro, Socia, dkk., 2009, Peranan Teknologi dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia : Pendekatan “Total Factor Productivity”, Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing – Badan Pangkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. PricewaterhouseCoopers. (2000). Trendsetter Barometer. Rosselet-McCauley, S. (2003). Methodology and Principles of Analysis. IMD. May 2003. Dari http://www.imd.ch/documents/wcy/content/Methodology.pdf Ray, Debraj, 1998, Development Economics, Princetown University Press, West Sussex. Salas, C.P., Susunaga, G., & Aguilar, I. (1999). The Role of Innovation in Regional Economic Development: Some Lessons and Experiences for Policymaking. Paper presented to the Third International Conference on Technology, Policy and Innovation: Global Knowledge Partnerships.- Creating Value for the 21st Century.” The University of Texas at Austin, LBJ School. 30 August – 2 September, 1999. Sarel, Michael. (1997). Growth and Productivity in ASEAN Countries. IMF Working. Paper No. WP/97/97. Washington DC: International Monetary Fund. Schilling, M.A. (1998). Technological lock out: An integrative model of the economic and strategic factors driving technology success and failure. Academy of Management Review, Vol 23:267-284. Shapira, Philip. (2004). Systems for Regional Development in Japan: From Technology Transfer to Innovation Promotion. Lectures on National and Regional Innovation Systems. BETA April 26-28, 2004 dari http://cherry.iac.gatech.edu/beta/ Shapira, Philip. (2002a) Innovation Challenges and Strategies in Catch-Up Regions: Developmental Growth and Disparities in Georgia, USA. Paper presented at the International Symposium on Rethinking Regional Innovation and Change: Path Dependency or Regional Breakthrough, Akademie für Technikfolgenabschätzung in BadenWürttemberg, Stuttgart, Germany. February 28-March 1, 2002.
130
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Shapira, Philip. (2002b). Evaluating Public-Private Partnerships: Development, Operation, and Tensions of New US Technology Policy Partnerships. COVOSECO project, 2002. Dari http:// cherry.iac.gatech.edu/pubs/02/us-paper-2002-01.PDF Shapira, Philip. (1996). Modernizing Small Manufacturers in the United States and Japan: Public Technology Infrastructures and Strategies. Dalam M. Teubal, D. Foray, dan E. Zuscovitch (Eds). 1996. “ Technology Infrastructure Policy (TIP): An International Siegel, Donald. (2001). Strategic Research Partnerships and Economic Performance: Data Considerations. Makalah dalam “Strategic Research Partnerships: Proceedings from an NSF Workshop.” National Science Foundation (NSF). Division of Science Resources Studies. Arlington, VA (NSF 01-336). August 2001. Sigit, Hananto. (2001). “Measurement of Total Factor Productivity (TFP),” Infomet, Vol. 1(1), CeStar, Jakarta. Sigit, Hananto. (2004). Total Factor Productivity Growth : Survey Report, Part II National Report : Indonesia, APO, Tokyo. Smith, K. (2002). What is the ‘Knowledge Economy’? Knowledge Intensity and Distributed Knowledge Bases. Discussion Paper Series #2002-6, June. Intech. The United Nation University. Smith, Keith. (2000). Innovation as a Systemic Phenomenon: Rethinking the Role of Policy. Enterprise and Innovation Management Studies. Vol. 1, No. 1. 2000, 73-102. Dari unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan003366.pdf Smith, Keith. (1996). Systems Approaches to Innovation: Some Policy Issues. STEP-Group, Oslo, Norway. Solow, Robert M. (1957). “Technical Change and the Aggregate Production Function,” Review of Economics and Statistics, August. Stern, Scott, Michael E. Porter, dan Jeffrey L. Furman. (2000). The Determinants of National Innovative Capacity. NBER Working Paper No.7876. September 2000. Subramanian, S. K. (1987). “Technology Productivity and Organization,” Technological Forecasting and Social Change, Vol. 31, No. 4, hlm. 359-371.
DAFTAR PUSTAKA
131
Tassey, Gregory. (2000). R&D Policy Issues in a Knowledge-Based Economy. National Institute of Standards and Technology. Dari http://www.nist.gov/public_affairs/budget.htm Tassey, G. (2001). R&D Performance Measures for Government Research. National Institute of Standards and Technology`(NIST). Dari http://www.nist.gov/director/planning/ strategicplanning.htm Tassey, G. (1999a). R&D Policy Models and Data Needs. APPAM 1999 Research Conference. November 4, 1999. Alamat web: http://www.nist.gov/director/planning/ strategicplanning.htm Tassey, G. (1999b). Standardization in Technology-based Markets. Forthcoming in “Research Policy.” June 1999. Alamat web: http://www.nist.gov/director/planning/ strategicplanning.htm Taufik, Tatang A. (2007). Kebijakan Inovasi di Indonesia: Bagaimana Sebaiknya? Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. VI, No. 2, Agustus 2007. Taufik, Tatang A. (2006a). Strategi Dual Pengembangan Kemampuan Industri TIK Nasional. Disampaikan dalam Seminar Sistem Inovasi Nasional: “Kebijakan Publik dalam Memacu Kapasitas Inovasi Industri,” Jakarta, 19 – 20 Juli 2006. Taufik, Tatang A. (2006b). Pengembangan SDM dan Kemampuan Teknologi di Era Ekonomi Pengetahuan. Orasi Ilmiah, disampaikan dalam Wisuda Program Pascasarjana Magister Manajemen STIE-ISM di Jakarta, 10 Pebruari 2006. Taufik, Tatang A. (2005a). Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi Nasional. (dalam Agus Widodo dan Tatang A. Taufik (ed). 2005. ”Koherensi Kebijakan Inovasi Nasional dan Daerah.” P2KTPUDPKM – BPPT. 2005. Taufik, Tatang A. (2005b). Penyusunan Data Dasar Sistem Inovasi, Daya Saing, dan Kohesi Sosial. (dalam Agus Widodo dan Tatang A. Taufik (ed). 2005. ”Koherensi Kebijakan Inovasi Nasional dan Daerah.” P2KTPUDPKM ������������������������ – BPPT. 2005. Taufik, Tatang A. (2005c). Pengembangan Sistem Inovasi Daerah : Perspektif Kebijakan. Jakarta: PPKTPUD-PKM Deputi Bidang PKT-BPPT dan Deputi Bidang Pengembangan Sipteknas KNRT.
132
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
Taufik, Tatang A. (2005d). Mendorong Kewirausahaan Teknologi (Technopreneurship) di Lingkungan Perguruan Tinggi: �������������������������������������������� Peningkatan Peran dalam Membangun Daya Saing. Disampaikan sebagai Keynote Paper dalam “The 4th National Conference: Design and Application of Technology 2005” di Surabaya, 27th June 2005. Konferensi diselenggarakan oleh Universitas Widya Mandala – Surabaya. Taufik, Tatang A. (2004). Penyediaan Teknologi, Komersialisasi Hasil Litbang, dan Aliansi Strategis. P2KDT – BPPT dan KRT. 2004. Teece, D.J. (1992). Competition, cooperation, and innovation: or-ganizational arrangements for regimes of rapid technological progress. Journal of Economic Behavior and Organization 18, 1- 25. Todaro, Michael P., terjemahan Haris Munandar. (1999). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, buku 1, edisi 6. Erlangga, Jakarta Undang-Undang No 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. UNESCO. (2005). University Industry Partnership in China: Present Scenario and Future Strategy. Project Report. UNESCO Chair on Cooperation between Higher Engineering Education and Industries. UNIDO (2002). Industrial Development Report 2002/2003: Competing through Innovation and Learning. UNIDO. 2002. US-GUIRR. (1999). Overcoming Barriers to Collaborative Research: Report of a Workshop. Government-University-Industry Research Roundtable. National Academy of Sciences. National Academy Press, Washington, D.C. 1999. US-NRC. (2003). Promoting Innovation: 2002 Assessment of the Partnership for Advancing Technology in Housing. Committee for Review and Assessment of the Partnership for Advancing Technology in Housing. National Research Council. US-NSTC. (2004). Science for the 21st Century. The National Science and Technology Council of the US. July, 2004. US-NSTC. (1999). Renewing the Federal Government-University Research Partnership for the
DAFTAR PUSTAKA
133
21st Century. National Science and Technology Council. NSTC Presidential Review Directive – 4. Executive Office of the President. Office of Science and Technology Policy. April 1999. Van der Eng, Pierre. (2009). Total Factor Productivity and Economic Growth in Indonesia. Working Paper No. 2009/01. The Arndt-Corden Division of Economics, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU College of Asia and the Pacific. January 2009. Varian, Hal R. (1992). Microeconomic Analysis. 3rd Edition. W.W. Norton & Company, Inc. 1992. Watson, Robert, Michael Crawford dan Sara Farley. (2003). Strategic Approaches to Science and Technology in Development. World Bank Policy Research Working Paper 3026, April 2003. Wessner, Charles W. (2003a). The Small Business Innovation Research Program. Virginia Commercialization Workshop. July 31, 2003. Virginia Commonwealth University. Richmond, Virginia. Wessner, Charles W. (2003b). Government-Industry Partnerships for the Development of New Technologies: The Advanced Technology Program in the Knowledge Economy. Briefing for the Manufacturing Task Force. Board on Science, Technology, and Economic Policy. The National Academies.. 17 March 2003. Wolfe, David A. dan Meric S. Gertler. (2001).Innovation and Social Learning: An Introduction. Makalah dalam Meric S. Gertler dan David A. Wolfe (eds.) “Innovation and Social Learning: Institutional Adaptation in an Era of Technological Change.” Program on Globalization and Regional Innovation Systems. Munk Centre for International Studies. University of Toronto. Wolfe, David A. (2000). Social Capital and Cluster Development in Learning Regions. Paper presented at the ISRN conference, and to the XVIII World Congress of the International Political Science Association Québec City, Québec, August, 5, 2000. Dari http://www. utoronto.ca/isrn/
135
PROFIL PENYUSUN DAN EDITOR Tatang Akhmad Taufik, menyelesaikan S1 Teknik Industri di Institut Teknologi Bandung, kemudian melanjutkan studi S2 di bidang Industrial and Systems Engineering di University of Forida dan S3 di bidang Resource Economics di universitas yang sama pada tahun 1995. Penulis bekerja di BPPT sejak tahun 1986 dan banyak terlibat dalam penelitian, pengembangan, dan perekayasaan (litbangyasa). Pengalaman lapangannya banyak diperoleh melalui tugas-tugas bantuan teknis (pendampingan), advisory dan advocacy maupun sebagai instruktur, fasilitator dan nara sumber di beragam seminar/workshop dalam bidang manajemen dan kebijakan, baik di lingkungan pemerintah (pusat dan daerah), bisnis, dan dunia pendidikan. Berbagai makalah dan buku yang telah ditulisnya mengupas isu antara lain kebijakan inovasi (pengembangan sistem inovasi), klaster industri, pemetarencanaan teknologi (technology roadmapping), transfer teknologi, aliansi strategis, indigenous knowledge/technology. Selain memprakarsai buku sistem inovasi dan pemetarencanaan, penulis juga merupakan penggagas implementasi EDevelopment Daerah dan ”Gerbang Indah Nusantara (Gerakan Membangun Sistem Inovasi, Daya Saing, dan Kohesi Sosial di seluruh wilayah Nusantara)”.
Dalam menyusun buku ini, penyusun dibantu oleh seorang editor: Irsan Aditama Pawennei, menyelesaikan S-1 di Institut Teknologi Bandung, jurusan Teknik Industri. Kemudian ia meneruskan studinya ke jenjang S-2 di University of Manchester, United Kingdom dengan mengambil jurusan Manajemen Sains, Teknologi dan Inovasi. Saat ini bekerja sebagai staf profesional di Dewan Riset Nasional (DRN), khususnya menangani persoalan yang berhubungan dengan Sistem Inovasi Nasional. Ia mempunyai minat di bidang teknologi dan inovasi, dimana hasil penelitian yang telah disusunnya di University of Manchester berjudul Critical Success Factors and the Development of the UK-based Biofuels Value-chains and Innovation Networks.
136
KEMITRAAN DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL
TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT DRN
Pengarah : Koordinator : Desain Sampul & Tata Letak : Komunikasi :
Tusy A. Adibroto Hartaya Arie Rakhman Hakim Syarif Budiman Tiktik Dewi Sartika