PERAN DEWAN RISET DAERAH DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI
i
PERAN DEWAN RISET DAERAH DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI © Penerbit Dewan Riset Nasional Sekretariat Gedung I BPP Teknologi Lantai 2 Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340 Tim Penyusun: Irsan Aditama Pawennei Mirta Amalia Rachmat A.Anggara Penyunting: Tusy A.Adibroto Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Dewan Riset Nasional Jakarta, 2011 www.drn.go.id Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN 978-979-9017-31-4 ii
KATA PENGANTAR
Dewan riset di setiap negara lazimnya berperan penting dalam memberikan arahan tentang prioritas riset di tingkat nasional. Arahan ini diterjemahkan dalam penelitian-penelitian oleh berbagai institusi yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di negara bersangkutan. Di samping itu, beberapa negara juga menempatkan dewan riset sebagai mediator dalam difusi teknologi dan kerjasama di antara para pihak dalam mengembangkan usaha. Namun mengenai kedudukan secara struktural formal dan informal, maupun peran dan fungsinya, dewan riset di setiap negara mempunyai perbedaan tergantung pada karakteristik pemerintahannya. Di Indonesia, pada tingkat nasional terdapat Dewan Riset Nasional (DRN), sedangkan pada tingkat daerah (kabupaten / kota), terdapat Dewan Riset Daerah (DRD). Semenjak era otonomi daerah, peran lembaga – lembaga di daerah menjadi sangat penting dalam mendukung perekonomian. Oleh karena itu, peran DRD sebagai lembaga independen yang memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah harus senantiasa diperkuat dan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian daerah. Kajian tentang aspek tersebut dilakukan DRN guna menyusun buku Peran Dewan Riset Daerah dalam Penguatan Sistem Inovasi. Buku ini dimaksudkan untuk memperkukuh landasan dalam menyiapkan bahan masukan untuk Menteri Negara Riset dan Teknologi yang merupakan tugas dan fungsi DRN. Di samping itu, buku ini diharapkan dapat memperkaya khasanah bacaan bagi para iii
pembaca yang tertarik atau memerlukan tambahan pengetahuan dalam peningkatan peran DRD dalam peningkatan perekonomian daerah berbasis inovasi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Atas segenap jerih payah, kerjasama, dukungan, dan bantuan dari pihak – pihak yang terlibat dalam persiapan dan penerbitan buku ini, kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap buku ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi segenap pihak yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan, riset dan teknologi, khususnya dalam penguatan peran DRD.
Jakarta, Oktober 2011 Ketua Dewan Riset Nasional
Prof.Dr.Ir. Andrianto Handojo
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar Ketua Dewan Riset Nasional….……………………………………….iii Daftar Isi………………………………………………………………………….…………......v Daftar Gambar…………………………………………………………………..……………viii 1.
2.
3.
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1
LATAR BELAKANG................................................................................................. 1
1.2
RUMUSAN PERMASALAHAN ................................................................................... 3
1.3
METODOLOGI...................................................................................................... 3
1.4
STRUKTUR PENULISAN LAPORAN ............................................................................. 6
KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................ 8 2.1
SISTEM INOVASI NASIONAL (SINAS) ........................................................................ 8
2.2
SISTEM INOVASI DAERAH (SIDA) .......................................................................... 17
2.3
KOMUNIKASI ..................................................................................................... 20
METODOLOGI ............................................................................................... 28 3.1. RUMUSAN PERMASALAHAN .................................................................................... 29 3.2. DESAIN STUDI KASUS ............................................................................................ 30 3.3. METODA PENGUMPULAN DATA .............................................................................. 31 3.3.1. Mekanisme Pengumpulan Data: Fieldwork dan Desk Study ................... 31 3.3.2. Jenis Data: Primer dan Sekunder ............................................................. 33 3.3.3. Pengolahan Data ..................................................................................... 33
v
4.
5.
KAJIAN UNDANG-UNDANG DAN KELEMBAGAAN ......................................... 35 4.1
UNDANG – UNDANG .......................................................................................... 35
4.2
KELEMBAGAAN .................................................................................................. 40
MEKANISME DAN INTERAKSI DRD DENGAN MITRA DRD .............................. 45 5.1
DRD SUMATERA UTARA ..................................................................................... 45
5.2
DRD SUMATERA SELATAN ................................................................................... 51
5.3
DRD DKI JAKARTA ............................................................................................. 55
5.4
DRD JAWA TENGAH ........................................................................................... 61
5.5
DRD JAWA TIMUR ............................................................................................. 72
5.6
DRD NUSA TENGGARA TIMUR ............................................................................. 74
5.7
DRD KALIMANTAN TENGAH................................................................................. 76
5.8
DRD KALIMANTAN TIMUR................................................................................... 78
5.9
DRD SULAWESI SELATAN .................................................................................... 80
5.10 DRD MALUKU .................................................................................................. 83 6.
ANALISIS LINTAS DAERAH ............................................................................. 88 6.1 ANALISIS MEKANISME PENYELENGGARAAN DRD ..................................................... 89 6.2 POLA INTERAKSI DRD DENGAN MITRA STRATEGIS .................................................... 92 6.3
HARAPAN PENYELENGGARAAN DRD DAN INTERAKSI DRD DENGAN MITRA ................... 99
6.4
PENYELENGGARAAN DRD UNTUK MEMPERKUAT SINAS DAN SIDA............................ 115
vi
7.
8.
PENUTUP .....................................................................................................125 7.1
KESIMPULAN ................................................................................................... 125
7.2
REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................................................................. 131
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................135
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 0-1 Konsep SIDa Sumatera Selatan............................................................18 GAMBAR 4-1 STRUKTUR ORGANISASI BAPPEDA SUMATERA SELATAN................................42 GAMBAR 4-2 STRUKTUR ORGANISASI BAPPEDA DKI JAKARTA..........................................43 GAMBAR 4-3 STRUKTUR ORGANISASI BALITBANGDA JAWA TENGAH.................................44 Gambar 6-1 Konsep SIDa Jawa Tengah………………………………………………...........122
viii
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pengembangan
industri
berbasis
teknologi
yang
mampu
menghasilkan produk dan jasa UU No. 18/2002 memberikan peran yang sangat jelas bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pasal 18 UU No 18 tahun 2002 secara khusus menunjukkan fungsi dan peran pemerintah. Fungsi Pemerintah antara lain menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia. Dijelaskan bahwa fungsi pemerintah dalam pengembangan sistem inovasi bukan sebagai pelaku langsung (doer), melainkan sebagai fasilitator dan pembuat regulasi (regulator). Dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
1
Untuk mendukung Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pemerintah membentuk Dewan Riset Nasional (DRN) yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti halnya pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mempunyai fungsi dan peran untuk mendukung pengembangan sistem inovasi. Dalam hal penyusunan arah kebijakan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di daerah, Pemerintah Daerah membentuk Dewan Riset Daerah (DRD).
DRD merupakan sebuah organisasi non struktural yang bersifat normatif. Akibatnya, DRD bukan merupakan badan pelaksana maupun
lembaga
Melainkan,
salah
penelitian satu
fungsi
dan
pengembangan
utama
DRD
(Litbang).
adalah
untuk
memberdayakan lembaga Litbang daerah. Oleh karena itu, jalinan kerjasama dalam bidang iptek antara DRD dan lembaga Litbang
2
daerah tersebut idealnya berupa interaksi dua arah untuk kepentingan kedua belah pihak.
1.2 Rumusan Permasalahan Studi ini mengkaji dua permasalahan utama. Pertama, dilakukan kajian mengenai berbagai model penyelenggaraan DRD yang sudah ada, dikembangkan, dan berjalan di Indonesia. Kedua, memahami interaksi antara DRD dengan institusi – institusi terkait. Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam upaya menyusun sebuah perangkat analisis untuk peningkatan kemampuan iptek DRD. Hal ini dikaitkan dengan penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) dalam mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) yang dirasa cukup mendesak.
1.3 Metodologi Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan kedalaman dinamika penyelenggaraan DRD yang kini sudah berjalan serta mekanisme yang diharapkan. Metode yang digunakan dalam
3
penelitian ini adalah desk study dan kajian lapangan (fieldwork), dengan memanfaatkan sumber-sumber data primer dan sekunder.
Di satu sisi, melalui metode desk study penelitian ini mengkaji literatur mengenai komunikasi, Sistem Inovasi Nasional (SINas), dan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Selain itu, desk study juga mengkaji regulasiregulasi, evaluasi model atau program yang sudah ada dalam mekanisme penyelenggaraan DRD. Di sisi lain, kajian lapangan (fieldwork) menggali detil mekanisme tersebut melalui wawancara terhadap para pemegang keputusan di DRD dan pemegang keputusan di institusi-institusi terkait, seperti DRN, Pemerintah Daerah, dan Perguruan Tinggi. Wawancara juga ditujukan untuk mendapatkan gambaran tentang interaksi antara DRD dan institusiinstitusi lainnya yang ada sekarang ini dan apa yang diharapkan di masa yang akan datang.
Wawancara mendalam (in-depth interviews) dilakukan terhadap anggota-anggota DRD di sepuluh provinsi Indonesia juga mitra-mitra DRD tersebut. Sepuluh provinsi yang dipilih merupakan gambaran 4
keragaman penyelenggaraan DRD. Kesepuluh provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Total narasumber adalah 22 orang, terdiri dari 10 orang dari DRD, 10 orang dari mitra DRD (yaitu Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) atau Balitbangda (Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah)), seorang anggota Badan Pengurus (BP) DRN, dan seorang pakar independen yang berpengalaman dalam berhubungan dengan mekanisme penyelenggaraan dan interaksi DRD dengan para mitranya di tingkat daerah maupun nasional.
Rancangan pengambilan data demikian bertujuan untuk mendukung kajian ini mendapatkan gambaran lebih rinci dan menyeluruh dari dinamika penyelenggaraan dan interaksi DRD dengan institusiinstitusi terkait.
5
1.4 Struktur Penulisan laporan Laporan Kajian ini terbagi menjadi tujuh bab. Bab I memberikan penjabaran awal mengenai kajian ini, yang terdiri dari latar belakang, rumusan permasalahan, serta metodologi. Bab II memaparkan literatur-literatur yang terkait dengan SINas, SIDa, dan juga metode komunikasi dan interaksi antara aktor-aktor yang terlibat. Bab III menjelaskan mengenai detil metodologi penyusunan kajian ini, termasuk
mekanisme pengumpulan dan
pengolahan data.
Bab IV memaparkan secara singkat hasil - hasil temuan data-data pendukung, termasuk Undang-Undang dan organisasi lembagalembaga terkait. Bab V memaparkan temuan utama mengenai mekanisme dan interaksi DRD dengan para mitranya di Pusat maupun daerah. Bab VI memberikan sintesis analisis lintas daerah. Bab VI ini memberikan gambaran secara keseluruhan sehubungan dengan kondisi komunikasi dan interaksi DRD dengan para mitranya saat ini, juga mekanisme atau skema yang diharapkan dapat terwujud di masa mendatang yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihakpihak yang terkait. Pisau analisis yang digunakan masih dalam kerangka
pembentukan
dan
penguatan
SIDa
di
Indonesia. 6
Bab VII menutup kajian ini dengan memberikan rekomendasi kepada Kementerian-Kementerian, Pemerintah Daerah, dan lembagalembaga terkait.
7
2. Kajian Pustaka Kajian mekanisme penyelenggaraan DRD serta interaksi antara DRD dengan DRN dan mitra-mitranya erat kaitannya dengan upaya pembentukan dan penguatan Sistem Inovasi di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah. DRD merupakan salah satu institusi yang berperan penting dalam penguatan sistem inovasi di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menunjang pembahasan mekanisme penyelenggaraan DRD Indonesia, bab ini memaparkan kajian pustaka tentang Sistem Inovasi Nasional (SINas) dan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Selain itu, mengingat kata kunci dari interaksi antara DRD dan para mitranya adalah mengenai penerapan komunikasi yang efektif, pustaka tentang Komunikasi juga dijabarkan pada bab Kajian Pustaka ini.
2.1
Sistem Inovasi Nasional (SINas)
Untuk menjadi bangsa yang menguasai Iptek, inovasi harus ditempatkan
sebagai
urat
nadi
kehidupan
bangsa.
Dalam
pengembangannya, dibutuhkan suatu Sistem inovasi yang efektif dan 8
efisien, dengan kunci keberhasilan implementasinya adalah adanya koherensi kebijakan inovasi dalam dimensi antarsektor dan lintas sektor; intertemporal (antar waktu); dan nasional-daerah (inter teritorial), daerah-daerah, dan internasional.
Konsep Sistem Inovasi Nasional (National Innovation System) sendiri telah berkembang sejak tahun 1980an di berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat. Konsep awal National Innovation System (NIS) dimulai ketika Christopher Freeman berkolaborasi dengan IKE grup di Aalborg, Denmark, dari proyek kolaborasi riset inilah versi awal mengenai NIS terbentuk (Freeman, 1987; Lundvall, 1992). Kolaborasi kedua pihak tersebut melahirkan gagasan mengenai "sistem produksi nasional" dimana interaksi vertikal antar institusi memiliki peran vital dalam perkembangan ekonomi nasional. Konsep NIS ini mulai terdifusi secara luas melalui buku yang dibuat oleh Christopher Freeman pada tahun 1987 mengenai NIS di Jepang, publikasi ilmiah mengenai NIS di negara berkembang dan publikasi ilmiah berupa buku yang berjudul "Technical Change and Economic Theory in with
9
National Innovation System by Freeman, Lundvall, and Pelikan" (Dosi et al., 1988).
Berangkat dari penelitian tersebut, penelitian-penelitian mengenai sistem inovasi nasional mulai berkembang. Berbagai macam definisi NIS mulai bermunculan diantaranya;
“ .. the network of institutions in the public and private sectors whose activities and interactions initiate, import, modify and diffuse new technologies.” (Freeman, 1987)
“ .. the elements and relationships which interact in the production, diffusion and use of new, and economically useful, knowledge ... and are either located within or rooted inside the borders of a nation state.” (Lundvall, 1992)
“... a set of institutions whose interactions determine the innovative performance ... of national firms.” (Nelson, 1993)
10
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa NIS adalah suatu hubungan atau jaringan antar elemen-elemen (industri, akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil) yang memiliki peran dalam mewujudkan interaksi dalam pertukaran pengetahuan, difusi teknologi, dan produksi sehingga terwujud peningkatan inovasi di suatu negara. Di Indonesia, National Innovation System ini dikenal dengan istilah Sistem Inovasi Nasional (SINas).
NIS menekankan pentingnya pembelajaran interaktif melalui aliranaliran informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi diantara manusia, perusahaan, dan institusi dimana aliran tersebut adalah kunci dalam penciptaan proses inovasi (Lundvall, 2007). Sebuah hubungan yang kompleks di antara pemain dalam SINas –industri (business), pemerintah (policy maker), perguruan tinggi/institusi riset (university), dan
masyarakat
(society)–
akan
menghasilkan
inovasi
dan
pengembangan teknologi. Pemahaman mengenai SINas dapat membantu para pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi aspekaspek yang memiliki peran vital (leverage points) untuk meningkatkan kinerja inovasi dan daya saing ekonomi
nasional (OECD, 1997). 11
Dengan menggunakan pendekatan SINas, pembuat kebijakan dapat melakukan
investigasi
mendalam
dalam
menemukan
inti
permasalahan dalam sistem, baik permasalahan di antara institusi maupun relasi antara kebijakan pemerintah –yang terkait dengan pengembangan teknologi dan inovasi– dengan institusi-institusi yang berkepentingan. SINas mengedepankan pengembangan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kinerja relasi antara aktor dan institusi dalam sistem dan juga kebijakan yang terkait dengan pengembangan kapasitas berinovasi sebuah perusahaan atau industri untuk mengadopsi dan mendisfusi teknologi dan pengetahuan yang baru (Edquist, 1997).
Dalam pengukuran keberhasilan suatu negara dalam menerapkan SINas, laporan OECD (2007) menyatakan bahwa SINas berpusat pada empat tipe aliran informasi atau pengetahuan, yaitu; 1) Interaksi di antara pelaku industri. Interaksi antar pelaku industri, biasanya, dapat dilihat dari jumlah kolaborasi riset, pelatihan bersama, dan pengembangan kemampuan teknikal yang dilakukan dua perusahaan atau lebih. 12
2) Interaksi
antara
industri,
universitas,
dan
lembaga
penelitian. Hasil dari interaksi ketiga elemen tersebut, umumnya, adalah kolaborasi riset, kolaborasi pembuatan paten, publikasi di jurnal akademik secara kolektif, dan bentuk interaksi informal lainnya. 3) Tingkat difusi teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu perusahaan. Tingkatan difusi disini termasuk level adopsi dalam bentuk tacit ataupun codified knowledge dan juga adopsi akan produk-produk teknologi baru seperti teknologi
informasi&komunikasi,
mesin-mesin,
dan
perkakas-perkakas lainnya. 4) Mobilitas personil. Pergerakan atau mobilitas personil dari suatu institusi privat ke institusi publik (dan juga di dalam institusi yang bersifat sama), akan mempercepat proses transfer pengetahuan dan teknologi baru. Mobilitas personil yang tinggi dalam melakukan transfer teknologi dan pengetahuan akan berkontribusi positif terhadap kemampuan berinovasi suatu perusahaan (Lundvall, 1997).
13
Dalam rangka mengembangkan sistem inovasi, diperlukan adanya riset yang tepat guna. Nelson (1993) juga menekankan bahwa sistem inovasi merupakan suatu konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara para pelaku atau aktor di lembaga iptek dalam suatu sistem yang kolektif dalam penciptaan (creation), penyebaran (diffussion),
dan
penggunaan
(utilization)
ilmu
pengetahuan
(knowledge) untuk pencapaian inovasi. Penataan jejaring ini tentunya bergantung pada kerangka institusi (institutional framework / setting) yang memungkinkan para aktor untuk saling berinteraksi.
Keterkaitan antara SINas dengan interaksi positif dalam kebutuhan riset ini juga disampaikan oleh Lundvall (1992) yang menyatakan bahwa sistem inovasi merupakan elemen dan jaringan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi di dalam suatu batas negara. Motohashi (2005) juga Gregersena dan Johnson (1997) menjelaskan bahwa seyogyanya suatu SINas mampu menciptakan atmosfer yang mendukung tumbuhnya kegiatan kolaborasi multidisiplin seperti ini. 14
Untuk mendukung pembentukan serta penguatan SINas, Noam (2006) berpendapat diperlukan adanya suatu lembaga yang berperan sebagai sistem integrator. Sistem integrator ini menghubungkan jaringan-jaringan dalam apa yang disebut oleh Jensen (2002) sebagai komunitas riset. Selain itu, dibutuhkan suatu institusi yang mengkoordinasi agenda kegiatan riset (seperti pada Debackere dan Veugelers, 2005). Regulasi dan kebijakan riset dan teknologi sebaiknya mencakup lingkup koordinasi riset tersebut (Burlamaqui, 2009). Regulasi ini kemudian diterapkan dalam konteks kebijakan, yaitu administrasi bisnis (untuk perusahaan komersial), perencanaan publik (untuk pemerintah), dan organisasi non-pemerintah (Jensen, 2002). Lemahnya koordinasi kegiatan penelitian merupakan salah satu fokus ketidakefektifan komunikasi antara peneliti dan industri pengguna (D'Souza dan Sadana, 2006). Fungsi koordinasi kemudian menjadi semakin kritikal pada upaya penguatan SINas ketika diperlukan adanya pembagian (clustering) sistem inovasi lokal atau regional yang berfokus pada peningkatan inisiatif inovasi daerah.
15
Button dan Rossera (1990) lebih lanjut mengungkapkan bahwa infrastruktur informasi merupakan faktor penting dalam komunikasi. Menurut Worral (Worral, 1972), lemahnya infrastruktur komunikasi mempengaruhi tingkat efektifitas diseminasi riset, terutama antara peneliti dengan penyusun kebijakan –baik dalam lingkup perusahaan, industri maupun nasional. Selain itu, Hamelink (1983) berpendapat bahwa penyusun regulasi atau kebijakan seringkali mengabaikan aspek sosial.
Keterkaitan antara SIN dengan interaksi positif dalam kebutuhan riset ini juga disampaikan oleh Lundvall (1992) yang menyatakan bahwa sistem inovasi merupakan elemen dan jaringan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi di dalam suatu batas negara. Motohashi (2005) juga Gregersena dan Johnson (1997) menjelaskan bahwa seyogyanya suatu Sistem Inovasi Nasional (SIN) mampu menciptakan atmosfer yang mendukung tumbuhnya kegiatan kolaborasi multidisiplin seperti ini.
16
2.2
Sistem Inovasi Daerah (SIDa)
Perkembangan di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor-faktor lokalitas semakin disadari sebagai faktor yang menentukan keunggulan daya saing. Setelah pengenalan konsep Sistem Inovasi Nasional (SINas), beberapa skolar mengembangkan konsep ‘turunan’ Sistem Inovasi Regional. Sistem Inovasi Regional mengedepankan pentingnya proses pembelajaran yang terlokalisasi (Cooke et al, 1997; Cooke, 2001, 2009; Doloreux dan Parto, 2005). Cooke (2009) menambahkan, bahwa konsep Sistem Inovasi Regional melihat pentingnya faktor budaya dan keheterogenan konteks yang mempengaruhi cara berinteraksi dan pembelajaran lokal.
Hal ini juga sebenarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia dan disadari oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Otonomi daerah, ketersebaran geografis, dan keanekaragaman sosial dan budaya Indonesia sudah semestinya menjadi faktor penting bagi penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) –istilah yang diperkenalkan oleh Taufik (2005) yang merujuk pada konsep Sistem Inovasi Regional– yang merupakan pilar penting dalam penguatan sistem 17
inovasi nasional (SINas). Oleh karena itu, dalam kerangka penguatan sistem inovasi di Indonesia, dimensi lokalitas sangatlah penting dalam memperhatikan kearifan lokal masing-masing daerah.
Konsep SIDa ini merupakan suatu konsep yang baru di berbagai daerah di Indonesia. Namun, ada beberapa daerah yang sudah mempunyai konsep SIDa di daerahnya, seperti konsep SIDa di Sumatera Selatan dan Jawa Tengah pada gambar 2-1 berikut:
Gambar 2-1 Konsep SIDa Sumatera Selatan Source: Retnaningsih (2011)
18
Dengan memperhatikan SINas dan SIDa ini, Taufik (2005) mengungkapkan bahwa terdapat enam agenda strategis kebijakan inovasi yang perlu dikembangkan di Indonesia ke depan, yaitu: 1. Mengembangkan (reformasi) kerangka umum yang kondusif bagi perkembangan inovasi dan bisnis; 2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung litbang iptek dan meningkatkan kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya UKM; 3. Menumbuh
kembangkan
kolaborasi
bagi
inovasi
dan
meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbangyasa; 4. Mendorong budaya kreatif – inovatif; 5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah; 6. Penyelarasan dengan perkembangan global.
Di tingkat nasional, Sistem Inovasi Nasional (SINas) merupakan sebuah sistem yang kompleks. Banyak pihak yang ikut berperan untuk mewujudkan SINas menjadi suatu sistem yang efektif dan produktif 19
untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen sehingga secara nyata dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Demikian pula di tingkat daerah, Sistem Inovasi Daerah (SIDa) juga senantiasa harus selalu dikembangkan. Untuk itu pihak-pihak yang ikut berperan hendaknya dapat bekerja dalam suatu kesamaan tujuan dan langkah-langkah yang sinergis.
2.3
Komunikasi
Menurut Hovland et al. (1982), komunikasi adalah proses seorang komunikator menyampaikan stimulus dalam bentuk kata-kata dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku-perilkau orang lainnya atau khalayak. Pengertian komunikasi juga disampaikan Rogers (1986) dimana komunikasi adalah sebuah seluruh prosedur melalui dimana pikiran sesorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya.
Komunikasi sendiri dilihat sebagai sebuah proses, dimana pesan disampaikan oleh komunikator (pengirim pesan) kepada komunikan 20
(penerima pesan) dan dimengerti dengan baik oleh komunikan, yang pada akhirnya menghasilkan suatu tindakan (Jakobson, 1960). Sebuah komunikasi bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi efektif ketika komunikator dimengerti oleh komunikan dan melakukan sebuah tindakan affirmative terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator (Ruben dan Stewart, 1998).
Dalam komunikasi terdapat tiga elemen penting, yaitu komunikator, pesan dan komunikan (West dan Turner, 2001). Komunikator bisa perseorangan, kelompok atau media. Sedangkan pesan dapat berbentuk pesan verbal, non-verbal bersifat publik dan privat atau insidental atau dengan maksud (purposedly). Selain 3 elemen tersebut, berdasarkan Gamble & Gamble (2005) terdapat juga elemen-elemen lainnya, antara lain salurannya (medium / media), yaitu bagaimana pesan disampaikan oleh dikirim oleh sender apakah menggunakan medium seperti media masa atau melalui panca indera. Selain gangguan (noise) dimana terdapat gangguan saat berbicara seperti suara lain atau hal lain yang dapat menganggu komunikasi tersebut yang menyebabkan pesan yang hendak disampaikan tidak diterima 21
atau tidak dimengerti. Konteks juga memiliki peran yang penting dalam pola interaksi komunikasi, suatu kondisi atau tempat tertentu akan mempengaruhi komunikasi itu sendiri. Feedback dalam komunikasi adalah bentuk suatu sarana dalam komunikasi ketika komunikan mengerti pesan yang disampaikan atau tidak, dan feedback dapat bersifat negatif atau positif. Hal lainya adalah efek, dimana dalam komunikasi bisa mengakibatkan dampak, baik emosi, fisik, kognif ataupun juga ketiganya.
Komunikasi sendiri terbagi dalam beberapa level, dimana interaksi terjadi tidak hanya diantara dua individu melainkan dapat juga terjadi dalam level kelompok. Level komunikasi bisa diidentifikasikan ke dalam lima level dimana di dalamnya terdapat komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok (besar dan kecil), komunikasi organisasional, komunikasi massa (publik) atau komunikasi internasional (Ruben dan Stewart, 1998). Semua level komunikasi ini melibatkan dan berpengaruh pada pola komunikasi dan orang yang terlibat di dalamnya. Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang hanya melibatkan satu individu, komunikasi diri. 22
Sedangkan komunikasi interpersonal saat sudah melibatkan orang lain dengan konteks face-to-face contact atau point-to-point.
Kemudian, jenis komunikasi kelompok melibatkan beberapa orang dimana di dalamnya terdapat diskusi. Sebagai contohnya, komunikasi kelompok kecil seperti pertemuan (meeting) atau juga yang dapat melalui medium seperti teleconference. Di sisi lain, komunikasi kelompok besar yang melibatkan orang banyak dimana individu lebih berperan sebagai audiensi daripada bagian dari pertemuan tersebut. Kemudian komunikasi organisasi yang merupakan komunikasi dengan adanya level kepentingan operasi sebuah industri, bisnis atau organisasi tertentu. Lalu, dikenal komunikasi publik atau massa adalah level dimana sebuah komunikasi dengan menggunakan medium / media. Merupakan sebuah bentuk komunikasi dengan jangkauan besar dan banyak, seperti komunikasi yang dilakukan melalui televisi.
Komunikasi memiliki macam-macam fungsi, antara lain sebagai bentuk untuk mengerti dan memahami suatu keadaan dan melakukan 23
hubungan bermakna seperti melakukan perubahan sosial, mengontrol suatu keadaan, dan lain-lain (Ruben & Stewart, 1998). Namun pada dasarnya, komunikasi selalu memiliki tujuan. Dimana tujuan itu berada pada sisi komunikatornya. Komunikasi bisa menjadi sebuah alat dalam persuasi. Menurut Hovland et al. (1982), komponen atau elemen yang terkait dalam komunikasi persuasif bergantung pada tiga hal, yaitu: 1. Sumber dan pesan. Dalam komunikasi persuasif yang efektif, sumber yang dapat dipercaya (credible) sehingga mampu
melakukan
persuasinya.
Di
dalam
pesan,
bagaimana isi pesan disampaikan dan dengan model komunikasi yang tepat dapat membuat komunikan mempunyai ketertarikan secara emosional. Selain itu, penggunaan bahasa juga menjadi sebuah variabel dalam melakukan efektifitas penyampaian pesan. Lalu cara penyajian pesan dan saluran yang digunakan sebagai bentuk komunikasi yang efektif. 2. Audiens
atau
penerima
pesan.
Dalam
melakukan
penyampaian pesan, audiens atau komunikan atau 24
khalayak yang dituju adalah sebuah hal yang harus diperhatikan, karena lawan bicara atau khalayak yang tidak sesuai
dengan
gaya
penggunaan
bahasa
akan
mengakibatkan bentuk persuasu atau komunikasi tidak menjadi efektif. 3. Efek situasional. Dalam komunikasi, sebuah ruang atau keadaaan dapat mempengaruhi komunikasi itu sendiri, dimana proses tersebut dapat dipengaruhi oleh message density, repetition dan distraction yang mungkin terjadi.
Komunikasi yang baik atau efektif adalah ketika komunikan dan komunikator memiliki persepsi atau pengertian yang sama akan suatu hal. Dimana pencapaian ini dapat terjadi ketika adanya persamaan melalui tahapan menjadi bersama melalui komunikasi (West dan Turner, 2001). Tahapan-tahapan komunikasi ini adalah sebagai berikut: 1. Initiating atau awal dari komunikasi 2. Experimenting / exploring, dimana tahap komunikasi dengan melakukan pertukaran informasi 25
3. Intensifying / strengthening, saat suatu komunikasi menjadi intensif dan berkembang 4. Integrating / merging, saat komunikasi mengerti kebutuhan satu dan lainnya. 5. Bonding / comitting, yang ditandai dengan suatu perjanjian ataupun ritual publik 6. Differentiating, saat ditemukan perbedaan-perbedaan yang tidak sejalan dalam proses komunikasi. Maka konflik dan orientasi antara kedua pihak bergeser 7. Circumscibing, saat adanya batasan-batasan dan interaksi 8. Stagnating, dimana dalam proses atau pola komunikasi tidak berkembang dan monoton sehingga tidak ada interkasi baru 9. Avoding / evading, dimana ada jarak diantara kedua belah pihak dan tidak ada interaksi 10. Terminating / ending, dimana suatu komunikasi berhenti
26
Sehubungan dengan riset ini, komunikasi yang efektif di dalam DRD dan antara DRD dengan para mitranya di pusat maupun daerah merupakan langkah awal untuk membentuk suatu interaksi yang efektif, sehingga pada akhirnya terjadi interaksi dan kerjasama yang berkelanjutan.
27
3. Metodologi Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan metoda komunikasi dan interaksi antara DRD dengan para mitranya dalam rangka penguatan sistem inovasi daerah. Kajian ini menggunakan metoda Studi Kasus (case study). Studi Kasus adalah sebuah metoda untuk meneliti fenomena-fenomena empiris yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kontekstual fenomena tersebut (Yin, 2003).
Selaras dengan tujuan yang hendak dicapai, maka, studi ini bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif berguna dalam menjelaskan konteks dari suatu peristiwa (Berg, 2007) dan proses lahirnya sebuah perspektif serta bagaimana perspektif tersebut dimengerti oleh berbagai pihak (Denzin and Lincoln, 2000). Lebih lanjut, pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis kedalaman dinamika dan keberagaman konteks komunikasi dan interaksi antara peneliti dan industri.
28
3.1. Rumusan Permasalahan Ada dua aspek utama kajian ini. Pertama, mengkaji berbagai model penyelenggaraan DRD yang sudah ada, dikembangkan, dan berjalan di Indonesia. Kedua, memahami interaksi antara DRD dengan institusi – institusi terkait. Dari kedua hal ini, studi ini berharap mampu menghasilkan satu set perangkat analisis yang dapat digunakan sebagai acuan untuk dapat menguatkan DRD dalam rangka peningkatan kemampuan iptek. Berdasarkan dua aspek ini, maka rumusan permasalahan kajian ini adalah: 1. Bagaimana selama ini komunikasi dan interaksi antara DRD dengan para mitranya dilakukan? 2. Skema
atau
mekanisme
apa
yang
diharapkan,
yang
memungkinkan adanya interaksi dinamis antara DRD dengan para mitranya?
Rumusan permasalahan ini kemudian dioperasionalkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan wawancara. Panduan wawancara tersebut dapat dilihat dalam lampiran laporan ini.
29
3.2. Desain Studi Kasus Robert K. Yin (2003) mengemukakan empat jenis desain Studi Kasus berdasarkan jumlah kasus dan unit analisis yaitu Single Case Study dan Multiple Case Study yang masing-masing dapat terdiri dari satu Unit Analisis maupun beberapa Unit Analisis. Studi ini sengaja memilih Multiple Case Study karena keunggulannya dalam menganalisis fenomena terkait melalui perbandingan berbagai kondisi kontekstual (Yin, 2003). Namun Unit Analisis yang dipakai dalam studi ini adalah Unit Analisis tunggal. Hal ini dikarenakan fenomena yang diteliti juga tunggal yaitu komunikasi dan interaksi antara DRD dengan para mitranya.
Riset ini memilih sepuluh provinsi yang akan dianalisis, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Masing-masing kasus dipilih secara a priori atau ex ante alias di awal studi. Kasus-kasus tersebut diharapkan “memberikan hasil yang tidak serupa namun disertai penjelasan yang telah dapat diduga sebelumnya” guna kepentingan replikasi teori 30
(theoretical replication) (Yin, 2003: 47). Pemilihan kasus secara a priori juga menguatkan empirical grounding dari emergent theory yang dipakai dalam studi ini (Eisenhardt, 1989: 536). Kasus-kasus tersebut dianggap memiliki konteks yang relevan dengan Indonesia.
3.3. Metoda Pengumpulan Data 3.3.1. Mekanisme Pengumpulan Data: Fieldwork dan Desk Study Metoda pengumpulan data yang digunakan adalah kajian lapangan (fieldwork), dan kajian pustaka (desk study). Kajian lapangan dalam riset ini berupa wawancara mendalam semi terstruktur (semi structured in-depth interview) dengan para peneliti dan pengguna mengenai mekanisme komunikasi yang ada sekarang ini dan juga harapannya di masa yang akan datang. Sementara kajian pustaka dilakukan melalui analisis laporan penelitian, artikel ilmiah, data statistik, maupun berita dan opini di surat kabar. Metoda pengumpulan data tersebut diatas dipilih karena keunggulan dari masing-masing metoda dapat mengurangi kelemahan-kelemahan dari metoda lainnya.
31
Metoda wawancara mendalam memiliki keunggulan dalam segi mengungkap kedalaman data dan kekayaan konteks yang dikandung dari data tersebut. Kedalaman dan kekayaan ini memampukan studi ini untuk mengerti latar belakang suatu peristiwa dan motivasi maupun alasan-alasan para pelaku yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Namun, pada saat yang sama, kedalaman dan kekayaan data tersebut hanya sahih dalam menjelaskan fenomena tertentu. Dengan kata lain, kedalaman dan kekayaan tersebut mengurangi kemampuan penggeneralisasian dari analisis fenomena terkait ke dalam tataran yang lebih umum. Hal inilah yang menjadi kelemahan metoda wawancara. Metoda kajian pustaka dan survei sebaliknya unggul dalam penggeneralisasian suatu fenomena. Hal ini dicapai melalui keluasan analisis yang diperoleh dalam kajian pustaka yang tersedia. Namun keluasan analisis ini memiliki kelemahan yaitu kurangnya kemampuan untuk mengerti kedalaman dan kekayaan konteks suatu fenomena.
Oleh karena itu, studi ini mengombinasikan ketiga metoda diatas untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih baik. Keluasan (width) 32
riset ini akan didapatkan dari desk study. Sementara itu, kedalaman (depth) akan didapatkan dari wawancara mendalam (in-depth interview). Dengan metode seperti diusulkan di atas, kajian ini berharap mampu untuk mendapatkan gambaran lebih rinci dan menyeluruh dari dinamika metode komunikasi dan interaksi.
3.3.2. Jenis Data: Primer dan Sekunder Studi ini menggunakan data primer maupun data sekunder. Data primer yang dimaksud tersebut adalah hasil wawancara. Sementara data sekunder berasal dari laporan penelitian, statistik, maupun ulasan surat kabar. Panduan wawancara dapat dilihat pada lampiran. 3.3.3. Pengolahan Data Terdapat dua jenis data yang dikumpulkan dan dianalisis dalam studi ini, yaitu data primer (hasil wawancara) dan data sekunder (hasil desk study dan survei). Data tersebut diolah sesuai dengan jenis data masing-masing.
Data primer disimpan dalam dua bentuk yaitu data audio berupa mp3 file dan amr file. Rekaman audio wawancara tersebut lalu dialih33
bentukan menjadi teks melalui melalui transkrip verbatim kata per kata yang disimpan dalam bentuk Microsoft Word file. Teks-teks tersebut kemudian dianalisis melalui pemberian kode (coding) secara tematik maupun sesuai dengan fenomena yang terkait (Berg, 2007).
Data sekunder hasil survei disimpan dalam bentuk Microsoft Excel file. Pengalihan bentuk data dari Qualtrics menjadi Microsoft Excel dilakukan secara otomatis melalui program Qualtrics. Data tersebut diperiksa ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan teknis dalam pengalihan bentuk tersebut. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan fungsi statistik yang terdapat dalam Microsoft Excel. Jenis analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif.
34
4. Kajian Undang-Undang dan Kelembagaan 4.1
Undang – Undang
Dewan Riset Daerah adalah sebuah lembaga Pemerintah yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan Iptek
yang
bertugas untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan Iptek di daerah. Tujuan dari pendirian DRD berdasarkan UU No. 18 Tahun 2002 adalah: a. memberikan masukan kepada Pemerintah daerah untuk menyusun
arah,
prioritas,
serta
kerangka
kebijakan
Pemerintah daerah di bidang iptek; b. mendukung Pemerintah daerah melakukan koordinasi di bidang iptek dengan daerah-daerah lain; c. mewakili daerah di DRN ( Perpres No 16/2005 tentang DRN )
Dalam rangka menjalankan perannya, DRD tentunya harus berkoordinasi dengan berbagai pihak di tingkat nasional seperti DRN, dan juga di tingkat daerah dengan lembaga eksekutif daerah, lembaga penelitian dan pengembangan daerah. Dalam hal ini perlu 35
dibangun suatu mekanisme kerja yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh seluruh lembaga.
Melihat tugas dan perannya, keberadaan DRD memiliki arti strategis. Walaupun demikian, sejak UU No 18/2002 diberlakukan, di samping belum semua daerah membentuk DRD, ternyata peran DRD yang sudah terbentuk di beberapa daerah juga kinerjanya masih belum optimal. Beberapa kemungkinan penyebab kondisi ini dari faktor internal dan eksternal antara lain : a.
Kelembagaan DRD, baik kelembagaan internal (perangkat kelengkapan kelembagaan) maupun kelembagaan eksternal (kesekretariatan);
b.
Program, mekanisme kerja dan luaran DRD;
c.
Masih belum samanya persepsi kalangan pemerintah terutama pemerintah daerah terhadap keberadaan DRD;
d.
Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai tugas dan fungsi DRD, baik di kalangan internal maupun eksternal DRD;
e.
Belum tersedianya sarana dan mekanisme koordinasi antar DRD. 36
Dalam kelembagaan di daerah, Peraturan yang seringkali diacu adalah PP No. 41 tahun 2007 mengenai struktur kelembagaan daerah. Pada PP ini disebutkan bahwa struktur di daerah terdiri atas: 1. Unsur Pimpinan Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati) 2. Unsur Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah / DPRD) dan Sekretariat DPRD 3. Sekretariat Daerah (Sekda, Biro / Badan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)) 4. Lembaga-Lembaga Teknis Daerah
Namun, PP ini menimbulkan polemik dan kendala dengan hubungannya terhadap DRD, antara lain: Tidak memasukkan Iptek dan Inovasi sebagai Urusan Pemda (dari 31 urusan) Prinsip
pembentukan
kelembagaan
adalah
efisiensi
/
perampingan Keberadaan badan litbang tidak disebut secara ekspilisit 37
Hal ini ditambah dengan adanya salah persepsi dan kesalahan redaksional pada Penjelasan Pasal 22 ayat 5, dimana disebutkan bahwa: “Perumpunan
dimaksud
adalah
penanganan
urusan
pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan fungsi pendukung yang dapat digabung dalam satu perangkat daerah berbentuk badan dan/atau kantor, misalnya urusan perencanaan pembangunan
digabung
dengan
urusan
penelitian
dan
pengembangan”
Dimana hal ini dianggap oleh pihak internal Kementerian Menteri Dalam Negeri, melalui mantan Staff Ahli Menteri, Prof. Ngadisah, yang menyatakan pada Lokakarya Peningkatan DRD dalam Penguatan Sistem Inovasi yang diselenggarakan DRN pada 14 Desember 2010, bahwa perumpunan itu mengambil contoh yang salah
dalam
menerapkan
efisiensi
kelembagaan.
Hal
ini
mengakibatkan kesalahan fatal yang membuat banyak daerah yang
38
melebur Balitbangda ke dalam Bappeda nya, sebagaimana contohnya yang terjadi di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi maupun DRN tentang persepsi yang benar tentang peran DRD dan Balitbangda, khususnya DRD sebagai advisor bagi pemerintah daerah baik melalui balitbangda atau langsung ke kepala daerah.
Secara lebih lanjut, diberlakukannya era otonomi daerah (otda) dengan adanya UU No 22 tahun 1999 (yang diperbaharui dengan UU no 32 tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah, serta UU no 25 tahun 1999 (yang diperbaharui dengan UU no 33 tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, memberikan kesempatan kepada daerah untuk lebih leluasa mengelola daerahnya bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam tataran empiris,
berbagai
pendekatan
tentang
sistem
inovasi
terus
berkembang, dan tentunya perlu senantiasa disesuaikan dengan konteks yang berkembang. 39
4.2
Kelembagaan
Berdasarkan Taufik (2010), di antara faktor penentu penting perkembangan sistem inovasi adalah jejaring/kemitraan (khususnya kemitraan strategis bidang iptek atau yeng mempengaruhi perkembangan
inovasi).
Oleh
karena
itu,
hubungan
antara
kelembagaan (perusahaan, universitas, dan badan-badan pemerintah) beserta legislasinya sangat diperlukan untuk membangun suatu koordinasi dan kemitraan yang efektif dan efisien. Kesepakatan dalam kemitraan yang terjadi bisa mengikat secara hukum seperti ”kerjasama” (cooperation) dan ”kolaborasi” (collaboration) atau juga bersifat lebih longgar, seperti ”koordinasi” (coordination).
Dalam hal ini, diperlukan adanya kemitraan yang baik antara DRD dengan para mitranya di daerah, yaitu Balitbangda atau Bappeda, dan juga di pusat yaitu DRN. Balitbangda ataupun Bappeda ini adalah lembaga yang secara struktural berada dibawah koordinasi Pemerintah
Daerah (Pemda). Tugas utama dari Balitbangda /
Bappeda umunya adalah sebagai berikut:
40
a. Menyelenggarakan
Pemerintahan
daerah
di
bidang
perencanaan pembangunan daerah; b. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan; c. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan di daerah.
Dalam menjalankan misinya tersebut, struktur organisasi Bappeda mempunyai struktur yang mirip satu sama lainnya, sebagaimana dapat terlihat dari struktur Bappeda Sumatera Selatan dan DKI Jakarta berikut:
41
Gambar 4-1 Struktur Organisasi Bappeda Sumatera Selatan Sumber: Website Bappeda Sumatera Selatan (http://bappeda.sumselprov.go.id)
42
Gambar 4-2 Struktur Organisasi Bappeda DKI Jakarta Sumber: Website Bappeda DKI Jakarta (http://www.bappedajakarta.go.id) 43
Sedangkan, di sisi lain Balitbangda mempunyai struktur yang lebih tidak rumit dibandingkan Bappeda. Namun, setiap Balitbangda umumnya mempunyai struktur organisasi seperti Balitbangda di Jawa Tengah berikut:
Gambar 4-3 Struktur Organisasi Balitbangda Jawa Tengah Sumber: Website Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Tengah (http://orpeg.jatengprov.go.id)
44
5. Mekanisme dan Interaksi DRD dengan Mitra DRD Dalam menjawab perumusan masalah yang dijabarkan di bab awal, studi ini melakukan pengambilan data melalui wawancara dengan DRD dan pihak-pihak terkait. Bab ini menjabarkan hasil wawancara terkait mekanisme penyelenggaraan DRD dan Interaksi antara DRD dengan para mitranya di daerah.
5.1
DRD Sumatera Utara
DRD Sumatera periode kepengurusan periode 2010-2014 yang sedang berjalan ini mempunyai Fokus utama kegiatan dalam pembuatan Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada) iptek dan Agenda Riset Daerah (ARD). Keanggotaan pada periode kepengurusan ini berjumlah 28 orang. Namun, wawancara dengan Wakil Ketua DRD mengungkapkan bahwa hanya setengahnya saja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan DRD, sebagaimana pada petikan berikut:
45
“dari dua puluh delapan anggota yang betul-betul aktif dan hadir selalu setengahnya, setengahnya lagi itu sangat sulit ada harapan hadir, untuk itu menjadi timpang, padahal diperlukan adanya dedikasi karena ini menentukan arah kebijakan penelitian, pengembangan penelitian“ (Tahier, wawancara, 2011)
Dalam mekanisme penyelenggaraan DRD ini, terdapat kritik yang terungkap dari pihak Balitbangda, khususnya pada jenis rekomendasi yang diberikan DRD: “selama ini terlalu banyak penelitian yang DRD lakukan di tataran konseptual dan tataran impelementasinya tidak ada. Dimana ini akan menimbulkan pemerintah daerah menjadi sedikit jenuhlah” (Iwan, wawancara, 2011)
Oleh karena itu, diharapkan adanya keseimbangan dengan dilakukannya rekomendasi DRD berdasarkan permasalahan aktual dan lebih “membumi” dalam merekomendasikan solusi-solusi atas permasalahan yang ada di daerah.
46
Dalam hal interaksi antara DRD dengan mitranya, yaitu Balitbangda, manfaat utama yang diharapkan dapat diberikan oleh DRD adalah rekomendasi sebagai dasar kebijakan riset dengan output yang terukur. Hal ini terungkap pada petikan wawancara dengan Balitbangda: “DRD diharapkan dapat mendukung kebijakan-kebijakan program kita. Secara akademis kan mereka lebih mengetahui kondisi apa yang di Sumatra Utara, jadi kita untuk menyusun program dapat meminta masukan hal-hal apa yang perlu kita lakukan untuk program penelitian ke depan“ (Iwan, wawancara, 2011)
DRD Sumatera Utara mempunyai hubungan yang baik dengan Balitbangda dan mendapat dukungan penuh dari mitranya tersebut. Kedua pihak menyadari bahwa peran balitbangda dapat diperkuat oleh keberadaan DRD. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan dari pihak Balitbang yang menyatakan bahwa pertemuan rutin setiap minggu dilakukan antara Balitbangda dan DRD, karena memang kantor Sekretariat DRD menginduk pada Balitbangda. Mengenai keuntungan bahwa kantor DRD terletak di Balitbangda ini juga disampaikan oleh 47
Wakil Ketua DRD yang menyatakan bahwa kantor DRD yang menyatu dengan Balitbang membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Selain itu, disampaikan juga oleh pihak Balitbangda bahwa Kepala Balitbangda banyak meminta masukan kepada DRD untuk melakukan review program-program yang dilakukan Balitbangda. Hal ini didukung oleh DRD yang menyatakan bahwa: “sekarang
sudah
mulai
ada
pemasukan-pemasukan
yang
dimasukkan menjadi program kajian oleh Balitbang” (Tahier, wawancara, 2011)
Namun, terdapat kelemahan atas pengawasan terhadap rekomendasi ini yang belum dikoordinasikan dengan baik oleh kedua institusi ini, sebagaimana yang disampaikan pihak DRD: “tetapi apakah hasilnya rekomendasi akan bermanfaat dan tercapai programnya oleh mereka, tidak dapat kita lakukan pengawasan“ (Tahier, wawancara, 2011)
48
Secara garis besar, berdasarkan Tahier (wawancara, 2011), terdapat beberapa permasalahan utama yang ada di DRD antara lain: -
Absensi kehadiran anggota DRD di kegiatan-kegiatan DRD yang masih dirasakan kurang, terutama dalam menghadiri rapat mingguan pada hari Selasa
-
Anggaran DRD yang belum mencukupi
-
Koordinasi yang kurang dalam pengambilan keputusan
Selain tiga permasalahan diatas, dirasakan bahwa hasil rekomendasi tidak ada feedback dari Balitbangda, sehingga tidak dapat dinilai bahwa rekomendasi tersebut dipakai atau tidak oleh Balitbangda. Seharusnya terdapat mekanisme pengawalan yang dapat dilakukan DRD terhadap hasil rekomendasi yang diusulkan. Selain itu, terdapat juga permasalahan bahwa para Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) belum terbuka dengan rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan oleh DRD.
Hal yang perlu ditingkatkan dalam interaksi antara DRD dengan para mitranya di daerah maupun pusat adalah dijalinnya komunikasi yang 49
intensif dalam suasana yang kondusif dalam pengembangan riset. Sebagaimana hubungan antara DRD dengan para mitranya di daerah, diperlukan pula hubungan yang baik antara DRD dengan mitranya di pusat, yaitu DRN. Wakil Ketua DRD menyatakan bahwa hubungan informal dengan DRD terjalin dengan baik dengan adanya frekuensi kunjungan ke DRN yang konsisten, yang menimbulkan adanya koordinasi yang baik dengan pihak DRN.
Hubungan antara DRN dengan DRD dapat ditingkatkan dengan adanya forum komunikasi antara seluruh DRD dan DRN. Kemudian diperlukan juga database hasil riset. Wakil Ketua DRD Sumatera Utara menilai bahwa figur Gubernur sangat menentukan dalam eksistensi keberadaan DRD. Namun, dalam hal ini selain figur, yang perlu diperbaiki adalah sistemnya. DRD Sumatera Utara untuk ke depannya mempunyai program untuk merumuskan guidance dalam rangka meningkatkan jumlah hasil riset yang implementatif. Lebih jauh lagi, diharapkan terbentuk adanya budaya riset di masyarakat.
50
5.2
DRD Sumatera Selatan
Dewan Riset Daerah Sumatera Selatan terbentuk sejak tahun 2002. Sejak pembentukannya tersebut, DRD Sumsel telah melaksanakan empat (4) pergantian kepemimpinan yaitu (1) Dr. Robiyanto periode 2002-2005; (2) Dr. Ir. Taufik Toha, periode 2005-2007;(3) Dr.Ir. Jony Bustam periode 2007-2009; dan sekarang (4) Fachrurrozie Sjarkowi, Ph.D. periode 2010-2013. Dalam perjalanannya DRD Sumsel menjalankan beberapa tugas dan fungsi yaitu: a. Tugas Pokok:
Membantu Balitbangda-Sumatera Selatan
menyusun Jakestrada & Arahan Riset Daerah (ARD) 2010-2014 b. Tugas Rutin : Mengawal ARD agar dijalankan oleh setiap SKPD secara konsisten. c. Tugas Khusus: Melakukan kajian literatur untuk beberapa kajian yang diberikan oleh Gubernur Sumatera Selatan .
Berdasarkan Fachrurrozie Sjarkowi (wawancara, 2011) selaku Ketua DRD Sumatera Selatan, terdapat beberapa hal yang mendasari DRD untuk melakukan hubungan dengan mitra diantaranya adalah kepentingan pribadi dan kelembagaan. 51
a. Kepentingan pribadi dari Ketua DRD saat ini adalah keinginan untuk memberikan nilai tambah pada potensi lokal yang sebelumnya hanya bisa menjual bahan mentah yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh Singapura. Dari hal inilah yang mendorong Ketua DRD selalu mengingatkan dan mengajak masyarakat tentang teknologi yang selalu disampaikan pada setiap kesempatan seperti seminar. b. Kepentingan kelembagaan: apabila suatu lembaga memiliki konsep yang matang, jaringan yang baik dengan lembaga lain dan pemimpin yang berani berkomitmen maka akan memacu kinerja suatu lembaga.
Mitra strategis DRD Sumatera Selatan adalah Balai Penelitan dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sumatera Selatan. Balitbangda Sumatera Selatan memiliki misi sebagai berikut; 1. Meningkatkan SDM sarana dan prasarana serta kelembagaan Balitbangda yang berkualitas, profesional, dan kompetitif.
52
2. Mendayagunakan hasil Litbang sebagai dasar kebijakan perencanaan pembangunan provinsi Sumatera Selatan secara berkelenajutan. 3. Menumbuhkan sistem inovasi daerah untuk meningkatkan nilai tambah dan produktivitas sektor ekonomi berkelanjutan. 4. Meningkatkan difusi Iptek melalui publikasi dan intermediasi Iptek, serta kemitraan dunia usaha yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat. 5. Membangun sinergi pelaku, lembaga, dan kegiatan Litbang dalam jejaring litbang menuju hasil litbang yang efektif, efisien, dan terhindar dari duplikasi. 6. Menumbuhkan pengakuan HAKI dan menghindari plagiarisme.
Selain Mitra Utama DRD ini, terdapat juga mitra-mitra lainnya seperti Pemerintah Daerah, seluruh SKPD, semua asosiasi dibawah KADIN, semua Perguruan Tinggi yang memiliki Lembaga Litbang (misal: Universitas Sriwijaya dan
Universitas Muhammadiyah), Bank
Indonesia Provinsi Sumatera Selatan. Khususnya untuk Bank Indonesia, institusi ini secara rutin memberikan laporan triwulan 53
kepada
DRD
tentang
perkembangan
perekonomian
Provinsi
Sumatera Selatan untuk selanjutnya diharapkan DRD dapat memberikan tanggapan.
Dalam berinteraksi dengan para mitranya, DRD mengaplikasikan konsep SIDa dengan baik. Berdasarkan Sjarkowi (wawancara, 2011), mitra didorong untuk memacu SIDa dengan cara memotivasi dan memberikan gambaran tentang manfaatnya, misalnya Universitas Muhamadiyah yang bertanggung jawab untuk kluster Pertanian. Konsep penerapan SIDa ke dalam interaksi dengan para mitranya, dijelaskan lebih lanjut dalam petikan wawancara berikut: “Dalam konsep SIDa, DRD merupakan inti dan bagian luarnya adalah plasma yang dalam hal ini adalah mitra. Saat ini DRD masih sangat dominan, tetapi untuk kedepan mitra akan dapat lebih diberdaya gunakan” (Sjarkowi, wawancara, 2011)
Manfaat dari SIDa ini juga disadari oleh Balitbangda Sumatera Selatan, dimana berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 tahun 2011 dan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 9 tahun 2011 54
terdapat reposisi lembaga litbang daerah, dimana kini namanya berganti menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi Daerah (Retnaningsih, 2011). Hal ini tentunya akan mendukung pengembangan SIDa di Sumatera Selatan.
5.3
DRD DKI Jakarta
Dewan Riset Daerah DKI Jakarta untuk pertama kali terbentuk pada tahun 2005 dan baru mulai menjalankan fungsi-fungsinya pada tahun 2006. Jeda satu tahun ini dikarenakan waktu perekrutan anggota DRD DKI. Sesuai dengan UU No 18 tahun 2002, DRD DKI saat ini merupakan periode kedua, memiliki tiga komisi yaitu (1) Komisi Sumberdaya Manusia, (2) Komisi Pengkajian& Pengembangan Riset, dan (3) Komisi Monitor& Evaluasi. Kegiatan DRD DKI yang sedang aktif dilakukan adalah melakukan penilaian terhadap hasil penelitian / riset yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah (SKPD) dan atau lembaga riset lainnya dan DRD memberikan rekomendasi terhadap hasil penelitian / riset tersebut kepada Pemerintah Daerah. Selain itu, DRD ini juga masih dalam tahap 55
perencanaan awal untuk membangun Sistem Inovasi Daerah (SIDa) dan Agenda Riset Daerah (ARD).
Dalam penyelenggaraan DRD, berdasarkan Erry Chayaridipura (wawancara) selaku Sekretaris DRD DKI Jakarta, ada 2 hal utama yang menjadi permasalahan, antara lain Status keanggotaan DRD dan status pembiayaan. Hal ini ditunjukkan petikan wawancara dengan beliau berikut: “Seringkali timbul pertanyaan mengenai status DRD. DRD itu lembaga pemerintah-kah tapi nonstruktural, lembaga swadaya masyarakat-kah tapi didirikan dengan amanat undang-undang dan dengan pergub, swasta juga bukan. Sehingga pada waktu pengalokasian anggaran selalu berubah-ubah“ (Chayaridipura, wawancara, 2011).
Oleh karena itu, Chayaridipura (wawancara, 2011) menyatakan bahwa mekanisme penyelenggaraan DRD agar ideal, berkaitan dengan 2 hal:
56
1. Status DRD. Para anggota DRD semuanya tidak tetap, dan juga staf sekretariatnya status kepegawaiannya kurang jelas. Oleh karena itu, diharapkan adanya ketetapan keanggotaan dan sekretariat DRD yang jelas dan independen 2. Struktur Pembiayaan. Struktur pembiayaan selalu mengalami perubahan dari tahun 2006-2011, dimana sebagai berikut: -
Tahun 2006 : Dana Fasilitasi dari APBD (melalui BAPPEDA)
-
Tahun 2007 : Dana Operasional dari APBD (melalui rekening BAPPEDA)
-
Tahun 2008 : Dana Bantuan Sosial (dana bantuan melalui Sekda)
-
Tahun 2009 : Dana Hibah (dana bantuan melalui Sekda)
-
Tahun 2010: Dana Operasional dari APBD (melalui rekening BAPPEDA)
-
Tahun 2011 : Dana Hibah (dana bantuan melalui Sekda)
Dirasakan adanya kesulitan apabila dana disalurkan melalui dana operasional. Ke depannya diharapkan pendanaan sudah ada posnya untuk DRD dan juga dilakukan dalam sistem hibah
57
Mitra utama dari DRD DKI Jakarta adalah Bappeda DKI Jakarta. Bapeda DKI memiliki fokus pada 7 bidang utama yaitu (1) Kesejahteraan masyarakat, (2) Prasarana, sarana, dan lingkungan hidup, (3) Ekonomi, (4) Pemerintahan, (5) Program Pembiayaan dan Pembangunan, (6) Penelitian dan Statistik,
dan (7) Pembinaan
Perencanaan. Bappeda DKI saat ini dikepalai oleh Ibu Sarwo Handhayani.
Harapan Bappeda terhadap DRD adalah adanya inovasi pemikiran dari kepakaran mereka yang akan menjadi daya ungkit berbagai permasalahan kebijakan riset di Jakarta (Kusumawati, wawancara, 2011). Namun, Tuty Kusumawati selaku Kepala Bidang Penelitian dan Statistik Bappeda, harapan ini tidak tercapai dikarenakan beliau berpendapat DRD tidak berpikir secara strategis dan kurangnya komunikasi yang baik dengan Bappeda. Beliau juga berpendapat bahwa DRD yang berisi para pakar itu sebenarnya sangat memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan Balitbangda dalam keperluan aktivitas riset, terutama dalam Knowledge Management
58
Centre of Excellence. Hal ini ditunjukkan pada petikan wawancara berikut: “sebetulnya saya pribadi dan institusi Bapeda ini sangat menaruh harapan besar terhadap DRD ini terutama ketika saya dengarkan Ibu pimpinan (Kepala Bappeda), Ibu Sarwo Handayani, ketika audiency dengan beliau, mengharapkan peran serta DRD dalam merespon hal – hal yang memang Pemda ini harus memberikan response, terutama quick response. Quick response itu menyangkut berita – berita yang setiap hari terus berkembang. Nah response tersebut diharapkan dilakukan oleh DRD yang memang kita anggap memiliki kepakaran. Jadi, jika memang dimensi kepakaran itu yang diketengahkan, maka masyarakat ini akan memperoleh informasi yang balance dan memperoleh informasi akurat tanpa keberpihakan atau tanpa sebuah rekayasa. Jadi artinya yang diungkapkan di masyarakat itu dipublish betul – betul didasarkan atas landasan kepakaran” (Kusumawati, wawancara, 2011)
59
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Bappeda mengharapkan adanya kerjasama yang baik dengan DRD. Bahkan Balitbangda juga mempunyai beberapa pemikiran dalam memberikan solusi dalam memperkuat DRD sebagaimana yang disampaikan Nanis Setyowati (wawancara, 2011) selaku Kepala Sub Bidang Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Bappeda DKI Jakarta: Sinkronisasi penyusunan program DRD Isi rekomendasi dari DRD masih bersifat general dan common sense Diperlukan adanya inovasi dan terobosan yang berarti, yang selama ini dirasakan belum terjadi Diperlukan adanya koordinasi pusat dan daerah, temasuk dari segi agenda riset. Oleh karena itu, diharapkan DRD segera dapat merampungkan Agenda Riset Daerah (ARD) 2011 Diperlukan adanya program strategis koordinasi DRD untuk sinkronisasi Pusat dan Daerah. Sehingga pada akhirnya akan menambah wawasan baru untuk kerjasama antara DRD dan Bappeda
60
Dibutuhkan adanya portal kerjasama sebagai wadah memperbaiki komunikasi antara DRD dengan para mitranya
5.4
DRD Jawa Tengah
Dewan Riset Daerah Jawa Tengah berdiri pada tahun 2000, tepatnya pada tanggal 3 Juni. Sejak tahun 2000 tersebut, DRD Jawa Tengah sudah melewati 3 periode hingga saat ini adalah periode 2010-2015. DRD pada periode terbaru ini mempunyai visi untuk menjadi lembaga yang terkemuka dalam kebijakan riset dan pembangunan Jawa Tengah (Kameo, wawancara), dengan memfokuskan kajiannya ke delapan (8) bidang yaitu:
-
Bidang Pertanian, Pangan, dan Lingkungan
-
Bidang Kesejahteraan Masyarakat (Kesehatan, Sosial Budaya, Pariwisata, Agama, dan Kesetaraan Gender)
-
Bidang Industri, Kewirausahaan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
-
Bidang Infrastruktur Fisik
-
Bidang Kebijakan Publik 61
-
Bidang Pendidikan
-
Bidang Kependudukan
Selain tujuh (7) prioritas kajian diatas DRD Jawa Tengah juga melakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan current issues yang sedang berkembang di Jawa Tengah yang juga sudah menjadi arahan Gubernur Jawa Tengah, antara lain: -
Master Plan Visit Jawa Tengah 2012
-
Pembangunan Jalan Tol Semarang – Solo
-
Sistem pemadam kebakaran di Jawa Tengah
DRD Jawa Tengah juga secara aktif menerbitkan jurnal, bernama SUAR, dimana telah diterbitkan sebanyak 3 kali pada tahun 2009 dan 2010. Jurnal ini berisi kajian-kajian mengenai kajian proritas dan berdasarkan current issues. Dalam menjalankan fungsinya di daerah, DRD mempunyai berbagai mitra, dimana berdasarkan Kameo (wawancara, 2011), terdiri dari 3 kelompok mitra, yaitu:
62
1. Mitra utama: Pemerintah Daerah, Balitbangda, SKPD Kelompok ini disebut mitra utama dikarenakan posisi DRD dalam memberikan masukan langsung kepada institusi-institusi tersebut 2. Lembaga-lembaga penelitian, universitas-universitas. 3. Organisasi masyarakat, LSM, pengusaha, organisasi-organisasi profesi, dan sebagainya
Dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatannya, kelemahan dari DRD ini yang dirasakan oleh Prof. Daniel Kameo selaku Ketua DRD periode 2010-2015 adalah permasalahan absensi, sebagaimana tertuang pada pernyataan beliau berikut: “kami rapat hampir jarang tuh dapat 100%. Mesti ada satu atau dua yang tidak mungkin bisa datang. Nah, ini karena memang kita tidak penuh di sini. Sehingga kadang-kadang kalau kita lihat komentar dari orang yang berkunjung ke sini, ke kita, lho kok kantornya kosong? Seperti itu. Menurut saya idealnya itu harus ada yang tetap. Kalau kita ini total semua tidak tetap” (Kameo, wawancara, 2011)
63
Dari segi interaksi antara DRD dengan para mitranya, interaksi yang cukup baik terjadi antara DRD dengan mitra utamanya, yaitu Balitbangda dan Pemerintah Daerah. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Ketua DRD, Daniel Kameo berikut: “hubungan DRD dengan para mitra utamanya selalu baik karena kalau selalu kontak. Misalnya SKPD menghubungi DRD, situasi saling membutuhkan, positif, jadi tidak pernah ada dalam suasana pertentangan atau konflik.” (Kameo, wawancara, 2011) Bahkan, Kameo (wawancara, 2011) menyatakan bahwa kekuatan utama DRD Jawa Tengah ini adalah komunikasi yang baik dengan Gubernur Jawa Tengah dan Balitbang Jawa Tengah, sehingga rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh DRD cukup didengar oleh para mitranya, baik Gubernur dan Balitbangda, maupun SKPD-SKPD terkait, seperti Dinas Koperasi dan UMKM, Pertanian dan Tanaman Pangan, Kebudayaan dan Pariwisata, dan juga Dinas Sosial.
Interaksi antara DRD dengan para mitra utamanya ini sedikit dikoreksi oleh Ketua DRD periode sebelumnya, 2006-2009, Prof. Siti Fatimah Muis. Beliau menyatakan bahwa hubungan antara DRD dengan 64
Balitbangda dan Pemerintah Daerah (Gubernur) selalu baik. Namun, salah satu permasalahan DRD adalah para Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Jawa Tengah belum optimal dalam memanfaatkan keberadaan DRD. Hal ini dikarenakan kurang adanya pertukaran informasi yang optimal mengenai apa yang dapat dilakukan oleh DRD dan juga apa manfaat yang dapat diambil dari keberadaan DRD.
Secara lebih lanjut, Kajian-kajian yang dilakukan DRD sebagian besar adalah melakukan review dari program-program yang ada dengan prinsip utama evidence-based. Salah satu keberhasilan DRD ini adalah pembuatan Agenda Riset Daerah (ARD) 2007-2011. Namun, dalam implementasinya masih banyak pelaku riset di daerah, terutama para SKPD yang belum mengacu pada ARD ini (Fatimah Muis, wawancara, 2011). Hal ini dikarenakan sebenarnya para SKPD selalu diundang pada rapat-rapat pembuatan ARD ini, namun seringkali ketika rapat hanya diwakilkan kepada bawahannya saja, bukan para pembuat keputusan. Fatimah Muis (wawancara) juga menambahkan bahwa perhatian dari SKPD ini merupakan salah satu kunci utama dalam 65
penyelenggaraan DRD sehingga dapat terbentuk kerjasama yang baik antara DRD dan para SKPD.
Interaksi yang juga perlu diperhatikan di daerah adalah hubungan antara DRD Provinsi dengan DRD Kabupaten. Setidaknya ada 5 DRD Kabupaten di Jawa Tengah, yaitu DRD Kabupaten Wonogiri, Pati, Surakarta, Klaten, dan Tegal. Dikarenakan adanya otonomi daerah, hubungan antara DRD Provinsi dan DRD Kabupaten ini terputus secara struktural. Jadi DRD-DRD Kabupaten dan DRD Provinsi tidak berhubungan secara intensif. Padahal, berdasarkan Fatimah Muis (wawancara, 2011), DRD Kabupaten yang dianggap paling sukses adalah DRD Surakarta, dimana seluruh rekomendasi dari DRD tersebut didengar oleh Walikota Surakarta (Solo). Salah satu faktor dari keberhasilan DRD ini selain kedekatan hubungan dengan Walikota adalah Ketuanya dipimpin oleh orang yang berlatar belakang swasta, sehingga pendekatannya akan lebih efektif dan efisien. Dimana hal ini barangkali dapat menjadi pendorong DRD kabupaten lainnya dan bahkan menjadi wadah saling belajar dengan
66
DRD Provinsi dalam meningkatkan peran DRD di setiap level di daerah.
Oleh karena itu, Fatimah Muis (wawancara, 2011) juga menyatakan bahwa kunci utama penyelenggaraan DRD lainnya selain keterlibatan SKPD, yaitu adanya keterlibatan unsur swasta dan pemberdayaan DRD Kabupaten / Kota. Hal ini juga didukung oleh Kepala Balitbangda, Agus Suryono, sebagaimana petikan wawancara berikut: “kekurangan DRD mengenai keanggotaan. saya lupa ada tiga belas atau apa, itu juga ada yang dari bisnis juga yang ikut juga sebagai anggota. nah, peran serta dari pebisnis ini yang masih perlu agak-agak kita dorong”(Suryono, wawancara, 2011)
“perlu ada suatu hubungan yang bukan struktural komunikasi antara DRN, DRD provinsi, dan DRD kabupaten. Ini yang belum sering. kalau DRD provinsi okelah, tapi begitu DRD kabupaten, kota.. ini yang mereka kurang. Jadi inilah, kalau itu ada suatu komunikasi DRN, DRD, sama DRD kabupaten yang sering
67
komunikasi secara bareng, ini akan bisa memberikan advokasi kepada kepala daerahnya” (Suryono, wawancara, 2011)
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa selain kegiatan-kegiatan DRN yang masih terbatas, beliau menyatakan dua kelemahan DRD lainnya adalah (1) Peran swasta dirasakan masih kurang, dimana terlalu dominan unsur dari universitas, kemudian (2) Pemberdayaan DRD Kabupaten / Kota dirasakan masih kurang adanya komunikasi dan koordinasi. Padahal apabila ini dapat dioptimalkan, dapat dirasakan langsung di daerah pada era otonomi daerah ini.
Secara lebih lanjut, Agus Suryono selaku Kepala Balitbangda yang merupakan mitra utama DRD menyatakan bahwa harapan terhadap DRD ini adalah agar hubungan lebih terbuka dan terjalin komunikasi yang
lebih
intensif,
khususnya
dalam mendukung kegiatan
Balitbangda yang mempunyai fokus utama dalam peningkatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) berbasis klaster. Dimana dalam hal ini, dibagi menjadi 35 klaster berdasarkan jumlah kabupaten di Jawa Tengah dimana setiap daerah memiliki keunggulan masing-masing. Harapan 68
ini sebagaimana dapat terlihat dari petikan wawancara dengan beliau berikut: “kebijakan kita apabila didukung oleh DRD itu paling tidak mempunyai suatu dukungan yang akan di dengar oleh gubernur. Jadi ada suatu trust juga, karena memang DRD ini dengan pakar juga kan dari perguruan tinggi, dan sebagainya. Kan suaranya lebih didengar”(Suryono, wawancara, 2011)
Setelah kita menganalisa interaksi antara DRD dengan para mitranya di daerah, dapat dianalisa juga temuan-temuan untuk interaksi antara DRD dengan mitranya di pusat, yaitu DRN. Prof Daniel Kameo selaku Ketua DRD menyatakan bahwa hubungan antara DRN dengan DRD Jateng dirasakan belum terjalin dengan baik. Harapannya adalah pendekatan dilakukan secara bottom-up dengan mendapatkan masukan dari DRD, sebagaimana dikutip dalam wawancara berikut: “Akan lebih baik kalau mengetahui permasalahan nasional ini secara Bottom Up. DRN bisa membahas permasalahan secara nasional, dan bisa minta masukan secara bottom up dari DRD. DRN bisa mengambil masukan dari DRD sesuai porsinya, dan 69
DRD bisa menyuarakan aspirasinya untuk DRN. Seringkali kebijakan yang datang dari pusat itu tak bisa diterapkan secara optimal di daerah. Daerah belum tentu punya pemikiran yang sama atau bahkan mengerti apa yang dibicarakan.”(Kameo, wawancara, 2011)
Oleh karena itu, DRN diharapkan menggandeng DRD untuk menyuarakan suara aspirasi daerah.
Permasalahan ini juga disetujui oleh Prof. Fatimah Muis yang merupakan Ketua DRD periode 2006-2009 yang menyatakan hal serupa bahwa DRD merasakan kurang banyak manfaat yang didapatkan dari setiap kedatangannya ke DRN, dimana sebagian besar acara di DRN hanya berupa penjelasan dan arahan dari pusat mengenai apa yang seharusnya dilakukan di daerah. Harapannya selain penjelasan itu adalah setidaknya para DRD ini diberikan waktu untuk
menceritakan
pengalaman-pengalamannya
di
daerah.
Kemudian mungkin dari ini, apabila ada masalah dapat dicarikan
70
solusi bersama, dan juga apabila pengalaman sukses dapat diduplikasi untuk dilakukan juga di DRD lainnya.
Dari pihak DRN sendiri, sebenarnya interaksi yang kurang ini sudah disadari, sebagaimana petikan wawancara dengan Sekretaris DRN, Dr. Tusy Adibroto, berikut: “komunikasi dengan DRN sangat minim, yang ada adalah kalau ada kegiatan kita mengundang. Ya jadi lebih formal, tapi ya sudah
sampe
sekian
saja,
tidak
ada
kelanjutan
apapun.”(Adibroto, wawancara, 2011)
Namun, pihak DRN sendiri nampaknya sudah memikirkan strategi yang sesuai untuk meningkatkan komunikasi antara DRN dengan DRD, sehingga akan terjadi kerjasama yang baik. Hal ini ditunjukkan petikan wawancara dengan Dr. Tusy Adibroto berikut: “Kami mulai memikirkan bagaimana kita lebih mempererat kerjasama antar DRN dan DRD, tapi ini belum dilaksanakan, ini baru berpikir dengan misalnya kita mencari “mainan bersama” sehingga mau tidak mau ada suatu pekerjaan bersama, dimana 71
akhirnya kita juga berkomunikasi karena memang harus dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan. Dan yang kedua, kita juga saat ini sedang mengembangkan di DRN yang disebut Open Method of Research Coordination (OMRC), nah saya berharap lewat OMRC kita bisa berhubungan erat dengan DRD malahan ada DRD yang sudah menyatakan keinginannya ingin adopt OMRC” (Adibroto, wawancara, 2011)
Dari petikan wawancara tersebut, dapat ditemukan bahwa beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah penyelesaian permasalahan bersama dengan adanya pertukaran knowledge antara DRN dan DRD. Selain itu, dapat juga memanfaatkan Open Method of Research Coordination (OMRC) yang sedang dikembangkan oleh DRN.
5.5
DRD Jawa Timur
Dewan Riset Daerah Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek. Dalam rangka mengimplementasikan amanat UU dimaksud Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan Peraturan Gubernur 72
Jawa Timur Nomor 50 Tahun 2010 tanggal 22 Juni 2010 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dewan Riset Daerah Provinsi Jawa Timur. Peraturan Gubernur tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/327/KPTS/013/2010 tanggal 19 Juli 2010 tentang Pangangkatan Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi Jawa Timur 2010-2014. DRD Provinsi Jawa Timur adalah Lembaga Non Struktural yang membantu Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Bidang Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. DRD Provinsi Jawa Timur berkedudukan dibawah koordinasi BAPPEDA Provinsi Jawa Timur dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur.
Mitra utama DRD Jawa Timur adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan Balitbang Jawa Timur. Hubungan DRD dengan mitra kerja DRD selama ini sudah berjalan dengan baik. Karena masing-masing lembaga sudah punya kavling tugas pokok dan fungsi. DRD adalah lembaga perumus kebijakan riset, sedang lembaga pelaku riset adalah berada di PTN/PTS dan Balitbang. Hubungan DRD dengan mitra kerja (Balitbang) bersifat kemitraan, 73
dimana dalam hubungan kerja tersebut lebih diarahkan kepada penyiapan
penyusunan
arah
kebijakan
pembangunan
ilmu
pengetahuan dan teknologi di daerah. Dalam hal hubungan DRD Jawa Timur dengan DRN, selama ini hubungan DRD dengan DRN adalah hubungan konsultatif fungsional, bukan hierarkis vertikal. Dimana masing-masing lembaga bersifat independen. DRD bukan sub ordinat dari DRN, walaupun dalam peraturan (UU No. 18/2002) mengamanatkan anggota DRD juga bisa mewakili sebagai anggota DRN. Untuk lebih meningkatkan hubungan antara DRD dengan DRN, diharapkan ada sebuah forum berkala tahunan, misal: Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan semacamnya.
5.6
DRD Nusa Tenggara Timur
Dewan Riset Daerah Nusa Tenggara Timur dibentuk pada tahun 2006 berdasarkan SK Gubenur NTT no. 184 tahun 2005. DRD NTT berada dibawah garis koordinasi langsung Gubernur NTT. Secara struktur organisasi DRD NTT dapat dijabarkan seperti dibawah ini:
Ketua
Wakil Ketua 74
Sekretaris
Anggota
Jumlah anggota Dewan Riset Daerah NTT berjumlah 35 orang. Dalam keberjalanannya selama ini, DRD NTT memiliki fungsi utama sebagai pembantu pemerintah provinsi dalam hal pengembangan riset dan teknologi daerah. Bantuan yang diberikan oleh DRD NTT berupa masukan dan membuat roadmap pengembangan riset dan teknologi. Tugas utama DRD NTT selama ini adalah pemetaan riset di daerah NTT tetapi dalam keberjalanannya fungsi ini tidak berjalan baik.
Peran DRD ini dirasakan berkurang ketika Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang),
yang
merupakan
tempat
DRD
menginduk dari segi kesekretariatan dan juga pendanaan, diubah namanya menjadi Badan Diklat dan Litbang. Selain perubahan nama ini, Badan ini pada implementasinya terlalu fokus pada urusan Diklat (pelatihan-pelatihan) dibandingkan Litbangnya, sehingga membawa pengaruh kepada perhatian secara substansif maupun pendanaan kepada DRD yang berkurang. 75
5.7
DRD Kalimantan Tengah
Dewan Riset Daerah Kalimantan Tengah terbentuk pada tahun 2009. Keberjalanannya selama 2 tahun ini masih sangat minim aktivitas. Hal ini dikarenakan adanya hambatan yang disebabkan oleh SK Gubernur yang perlu direvisi. SK penugasan pejabat DRD selama ini berdasarkan jabatan, sehingga saat terjadi rotasi ataupun mutasi pejabat mengakibatkan kurangnya rasa memiliki rasa dan tanggungjawab untuk melaksanakan tupoksi DRD. Legalitas menjadi penghambat utama dari keberjalanan DRD Kalimantan Tengah ini, impak lainnya dari masalah legalitas ini adalah DRD Kalimantan Tengah belum mendapat surat penugasan untuk menjalin kerja sama dengan Bapeda sehingga koordinasi dengan Bapeda ataupun institusi terkait lainnya masih jarang.
Dewan Riset Daerah Kalimantan Tengah juga mengalami masalah di dalam internal organisasinya. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sekretaris DRD Kal-Teng, Bambang S. Lautt, dibawah ini; “Pengetahuan pengurus tentang aturan penyelenggaraan organisasi sepertinya sangat minim. Hal ini diketahui dari tidak 76
tahunya
Ketua
mekanisme
pelantikan
dan
bagaimana
penyelenggaraan rapat dan sidang yang diperlukan bahkan baru ‘ngeh’ saat SP kegiatan diskusi atau rapat yang dilakukan Komisi Teknis DRN. Namun, tampaknya dari pengurus juga kurang proaktif untuk berkomunikasi baik dengan DRD lain atau berkonsultasi dengan DRN”(Lautt, wawancara, 2011)
Mitra strategis DRD Kal-Teng, Balitbang Kalimantan Tengah, juga mengalami stagnansi yang sama. Bappeda Kal-Teng tidak dapat melakukan tugas dan fungsinya dengan baik dikarenakan hal yang sama belum adanya SK Gubernur yang mengatur pembiayaan dan juga proses koordinasi antara DRD dengan Bappeda. Harapan kedepannya untuk Kalimantan Tengah adalah pemerintah, dalam hal ini Gubernur, segera memberikan SK untuk memperjelas status dan mekanisme keberjalanan penelitian dan pengembangan di daerah. Hal lainnya adalah mekanisme pembiayaan untuk DRD berasal dari DRN sehingga masih dalam satu kesatuan fungsi, dengan mekanisme seperti diharapkan pendanaan akan lebih cepat. Untuk melakukan hal tersebut, DRD harus mempunyai hubungan struktural 77
yang jelas dengan DRN. Hal ini dikarenakan apabila penyandang dana dari Pemerintah Daerah, dapat tidak netral dalam memberikan rekomendasi
5.8
DRD Kalimantan Timur
Dewan Riset Daerah Kalimantan Timur memiliki tugas dan fungsi sebagai pemberi masukan kepada Gubernur setempat dari berbagai kajian mengenai masalah-masalah aktual yang terjadi di daerah setempat. DRD Kal-Tim menjalankan tugas mingguan untuk melakukan beberapa hal yaitu:
Advokasi hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan untuk dijalankan di Balitbang atau Bappeda dan juga ke DRN. Dengan harapan dapat dibiayai untuk pengembangan lebih lanjut.
Rapat Mingguan antara anggota DRD dengan Bappeda.
Agenda utama DRD Kalimantan Timur untuk tahun 2011 adalah; (1)
mengadakan
seminar
daerah
mengenai
penghijauan,
(2) pembentukan Jakstrada, (3) Penetapan Arahan Riset Daerah. 78
Mekanisme penyelenggaran DRD selama ini masih banyak hambatan, terutama dari aspek internal DRD Kal-Tim itu sendiri. Pergantian anggota dan pejabat menjadikan DRD Kal-Tim sering mengalami pengubahan haluan sehingga tidak ada satu program yang tuntas dijalankan. DRD Kal-Tim sudah menghasilkan banyak program tetapi seringkali program yang sudah diberikan ke Balitbangda berubah arahan dan menjadi tidak berjalan. Permasalahan pencairan dana juga menjadi masalah yang cukup mengkhawatirkan di DRD Kal-Tim. Keterlambatan masuknya dana bisa mencapai satu tahun.
Harapan kedepan adalah memperbanyak elemen dari akademisi dan praktisi bisnis untuk turut serta memikirkan arahan riset daerah, seperti dikutip pada wawancara dengan Sekretaris DRD Kalimantan Timur, Binsar Simangunsong, di bawah ini; “Idealnya yang di banyak kan adalah Academic dan Business, karena Academic secara teori kuat, sedangkan Business mengikuti keinginannya apa jadi tahu kebutuhan. Dan itu akan menjadi kombinasi yang tepat. Government sedikit saja karena 79
lebih banyak menimbulkan masalah karena diwarnai oleh mindset yang tidak benar sehingga independensi DRD hilang” (Simangunsong, wawancara, 2011)
Selain itu diharapkan DRN menjalankan fungsi pendampingannya ke DRD Kalimantan Timur dengan lebih intensif. Dari segi pendanaan lebih baik dari DRN sehingga rentang birokrasi masih satu fungsi dan tidak panjang sehingga dapat lebih transparan dan efisien.
5.9
DRD Sulawesi Selatan
Dewan Riset Daerah Sulawesi Selatan memiliki kondisi yang unik dibandingkan dengan daerah lain. DRD Sul-Sel secara administratif dibawah Balitibangda Sul-Sel. Hal ini tentunya membuat fungsi DRD yang seharusnya bermitra dengan Balitbangda menjadi tidak berjalan mekanisme koordinasinya. Permasalahan DRD Sul-Sel berawal dari sakitnya Ketua DRD pada tahun 2009 yang mengharuskan beliau mundur dan setelah kejadian tersebut DRD vakum sampai sekarang.
80
Keanggotaan DRD banyak dipenuhi oleh akademisi dan Balitbangda namun kenyataannya di lapangan akademisi sibuk di urusan universitas masing-masing begitu juga dengan Balitbangda yang sehari harinya harus menjalankan tugas dari Pemerintah provinsi. Dengan kondisi tersebut praktis DRD seperti tidak diperhatikan atau bahkan eksistensinya tidak dirasakan di Sulawesi Selatan. Kondisi tersebut
juga
mengakibatkan
komunikasi
antara
DRD
dan
Balitbangda mengalami stagnasi. Efek dari hal ini pada akhirnya adalah terhambatnya pengembangan riset di daerah. Seperti diutarakan dalam wawancara oleh Prof. Wasir Thalib, Sekretaris DRD Sul-Sel dibawah ini: “Dahulu
memang
DRD
diberi
kesempatan
untuk
menyelenggarakan pertemuan sendiri tapi itu tidak jalan karena ini kan orang sibuk semua. Akhirnya..sekarang saya lihat.. waktu itu dikasih uang transport bulanan tapi dianggap tidak efektif karena yang rajin dan tidak rajin dapat sama.” (Thalib, wawancara, 2011)
81
Hal serupa juga dikemukakan oleh Rajendra, Ketua Sekretariat DRD Sulawesi Selatan, seperti dikutip dibawah ini; “Anggota DRD banyak juga dari Guru Besar Perguruan Tinggi yang notabene memiliki dedikasi tinggi pada Perguruan Tinggi, namun litbang tidak dapat men-support atau mengapresiasi secara layak karena anggaran terbatas.”(Rajendra, wawancara, 2011)
Untuk meningkatkan performansinya kedepan, DRD Sulawesi Selatan diharapkan dapat membuat dan merealisasikan program-program yang riil dan sesuai dngan kontekstual permasalahan yang ada di daerah, sehingga Balitbang merasakan langsung kontribusinya kepada masyarakat daerah setempat. DRN diharapkan membuat mekanisme baru dalam hal pendanaan DRD sehingga dapat mempercepat proses pembiayaan DRD.
Pengembangan riset didaerah Sulawesi Selatan bisa dikatakan tidak mengalami kemajuan apapun sejak berdirinya DRD pada tahun 2009. Komitmen pejabat tertinggi daerah, dalam hal ini Gubernur Sulawesi 82
Selatan, dirasa masih belum memperhatikan Penelitian dan Pengembangan di daerah.
5.10
DRD Maluku
Dewan Riset Daerah Maluku merupakan institusi yang masih baru. Terbentuk pada tahun 2010, DRD Maluku memiliki alat organisasi sebagai berikut;
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Komisi Sosial Budaya Agama
Komisi Ekonomi
Komisi Infrastruktur
Komisi Hukum, Politik, dan Keamanan
DRD Maluku memiliki dua (2) fungsi utama yaitu (1) memeberi masukan kepada Gubernur terkait pengembangan riset dan (2) Memberi arahan riset di daerah-daerah tingkat 2 melalui Bappeda. Keberjalanannya selama setahun kurang ini masih berfokus kepada 83
penyusunan arahan riset sehingga praktis belum memberikan pertimbangan kepada Gubernur terkait riset dan belum melakukan arahan kepada Bappeda mengenai riset yang harus dilakukan kedepan. Seperti dikutip dari wawancara dengan Ketua DRD Maluku, Augy Sahailatua, PhD, dibawah ini; “DRD ini kan organisasi sebenarnya boleh terbilang baru kan jadi semua orang mencoba beradaptasi, jadi DRD kan tidak melakukan riset, DRD hanya mengkonsep bagaimana riset itu bisa terarah dan membantu untuk memantau dan evaluasi supaya riset itu benar
- benar menghasilkan capaian yang
diinginkan, sebenarnya fungsinya lebih banyak kesana” (Sahailatua, wawancara, 2011)
DRD
Maluku
Pemerintah
bermitra
Provinsi,
dengan
banyak
Universitas,
dan
institusi Balai
diantaranya
Penelitian
dan
Pengembangan. Koordinasi dengan mitra-mitranya masih berupa pertemuan informal dan spontan, missal jika terjadi hal-hal yang mendesak untuk didiskusikan bersama-sama. Ketua DRD Maluku merasa hubungan dengan mitra-mitranya sampai saat ini belum 84
memberikan keuntungan bagi pihak mitra, seperti dikutip pada wawancara dibawah ini; “belum yah saya belum melihat manfaatnya untuk mitra tapi kami selalu berfikir untuk itu bahwa keuntungan – keuntungan itu harus ada di mitra, kami punya konsep itu diantara penyusunan Agenda Riset Daerah..jadi sebenarnya hubungan dengan mitra itu bisa dimanfaatkan karena punya kepentingan bersama, jadi dia butuh riset dari kita dan kita butuh dia untuk melaksanakan agenda kita” (Sahailatua, wawancara, 2011)
Hambatan yang dialami oleh DRD dan mitranya, dalam hal ini Bappeda, adalah sulitnya mempertemukan kedua belah pihak dikarenakan
kesibukan
masing-masing.
Hal
ini
cukup
mengkhawatirkan mengingat seharusnya DRD dan Bappeda bekerja dalam satu garis koordinasi dan sinergis. Kedua belah pihak merasakan hal yang sama seperti dikutip pada wawancara dibawah ini; “Kendala kita ya itu tadi, kita teman-teman bapak-bapak ibu-ibu anggota DRDnya ini kan juga pada sibuk, waktu, jadi ketika 85
diminta untuk pertemuan, misalkan kita mengingatkan Pak Ketua bahwa begini loh Pak, kita harus pertemuan, atau Pak Ketua yang langsung kontak ke kita, minta pertemuan, kita fasilitasi, Pak Ketuanya bilang gini gini gini, oh ya sudah sepakatnya ok bagaimana, hubungi semua anggota untuk bisa dihadirkan” (Joisangadji, wawancara, 2011)
Harapan kedepan, DRD Maluku berkomitmen untuk menyelesaikan arahan riset daerah dengan mengacu kepada Arahan Riset Nasional yang dibuat oleh DRN sehingga dengan adanya ARD (Arahan Riset Daerah) mekanisme kerja akan lebih terarah dan terukur. Koordinasi dengan mitra bisa menjadi lebih intensif karena sudah ada acuannya. DRD juga berharap hubungan dengan DRN bisa lebih intensif dengan bentuk pendampingan oleh DRN kepada DRD Maluku. Selama keberjalanannya DRD Maluku merasa dilepas begitu saja oleh DRN padahal DRN memiliki kapabilitas yang lebih dibandingkan dengan DRD Maluku. Prof. Sahailatua, Ketua DRD Maluku, mengatakan hal seperti dibawah ini;
86
“kita sangat perlu masukan DRN untuk supaya kita lebih mengembangkan diri kan kita di dalam kita yang melaksanakan kita yang terlibat langsung itu tidak melihat permasalah yang ada sebaik orang yang dari luar, DRN sebenarnya kita minta untuk itu, jadi misalnya dia akan melihat Maluku dalam peta Indonesia, dalam jarak pandang yang berbeda karena dia di luar. Kita di dalam nih kan kadang – kadang ada internal interest dan sebagainya itu yang sangat mempengaruhi tapi kalau DRN melihatnya lebih (obyektif)” (Sahailatua, wawancara, 2011).
DRD Maluku dan Bappeda Maluku mengharapkan dukungan dan komitmen dari Pemerintah Provinsi Maluku, terutama Gubernur untuk lebih memperhatikan riset daerah. Mereka merasa selama ini Pemerintah Provinsi belum memperhatikan pentingnya riset daerah sehingga kegiatan-kegiatan DRD mengalami stagnasi.
87
6. Analisis Lintas Daerah Mengacu kembali pada tujuan utama dari kajian ini yaitu (1) mengkaji berbagai model penyelenggaraan DRD yang sudah berjalan di Indonesia dan (2) memahami interaksi antara DRD dengan institusi – institusi terkait. Untuk menjawab kedua tujuan diatas telah dilakukan wawancara dengan 22 responden yang terdiri dari 10 DRD, 10 Mitra DRD, 1 orang DRN, dan 1 orang pakar independen. Dalam interview, pertanyaan yang diajukan mengacu pada tiga hal utama yaitu; (1) Mekanisme penyelenggaraan DRD, (2) Pola hubungan DRD dengan Mitra DRD , dan (3) Pola hubungan DRD dengan DRN (daftar pertanyaan selengkapnya terlampir). Dari hasil wawancara, kajian ini menemukan bahwa banyak perbedaan dari setiap DRD dalam menjalankan ketiga hal diatas. Setiap daerah memiliki situasi dan kondisinya masing yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Kajian ini juga mengungkapkan kendala, kekurangan, dan saran perbaikan kedepannya
dalam
menguatkan
peran
DRD
beserta
mitra
strategisnya.
88
6.1 Analisis Mekanisme Penyelenggaraan DRD Untuk hal pertama, merujuk kembali kepada UU No 18 tahun 2002, mekanisme penyelenggaraan DRD bertujuan untuk mencapai ketiga hal dibawah ini yaitu: a. memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun
arah,
prioritas,
serta
kerangka
kebijakan
Pemerintah Daerah di bidang iptek; b. mendukung Pemerintah Daerah melakukan koordinasi di bidang iptek dengan daerah-daerah lain; c. mewakili daerah di DRN ( Perpres No 16/2005 tentang DRN )
Tidak semua daerah menerapkan mekanisme yang sama untuk mencapai ketiga tujuan di atas. Mekanisme yang digunakan sangat tergantung dengan kondisi yang ada di setiap daerah. Kutipan wawancara dengan narasumber di bawah ini menunjukkan bahwa mekanisme
penyelenggaraan
DRD
sangat
kontekstual
pada
daerahnya masing-masing:
89
“(yang) kami lakukan (adalah) membuat kegiatan-kegiatan yang bersifat
tematik.
Tematik
ini
didasarkan
kepentingan
pembangunan daerah, khususnya provinsi Jawa Tengah. Jadi misalnya kami lihat di RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) yang menjadi prioritas pembangunan Jateng, pokokpokok kajian kami fokus pada topik-topik tersebut, seperti pada tahun ini kami fokus di pembangunan jalan tol dan pertanian..” (Kameo, wawancara, 2011)
“(pada) tahun 2008, DRD DKI tidak melakukan riset tetapi lebih kepada pengelola anggaran riset. DRD sendiri adalah lembaga independen tapi tidak melakukan research sendiri. Kita mencoba menelaah permasalahan yang ada di DKI, bukan melakukan kajian, menelaah masalah dengan harapan tentunya ini bisa menjadi masukan kepada gubernur, kemudian gubernur barangkali menugaskan kepada Bappeda coba ditindaklanjuti (untuk) lakukan kajian” (Chayaridipura, wawancara, 2011)
90
Dalam konsep Sistem Inovasi Regional sendiri, menurut Cooke (2009), tidak menihilkan adanya sifat heterogen dari institusi-institusi yang terlibat. Bahkan, adanya sifat heterogen ini kemudian menjadi salah satu aspek penting dalam penyusunan sebuah kebijakan inovasi untuk mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional. Keheterogenan institusi dan organisasi di dalam sebuah sistem inovasi, baik regional maupun nasional, mempengaruhi corak interaksi antar organisasi tersebut. Terbentuknya Sistem Inovasi Regional sangat bergantung pada interaksi antar institusi (Cooke, 2009) yang kemudian mendorong (Lundvall,
berbagai
macam
1992;
Nelson,
mengembangkan
sebuah
inisiatif
1993). sistem
pembelajaran
Pembuat
bersama
kebijakan
(termasuk
perlu
infrastruktur)
pembelajaran bersama yang lahir dari interaksi intensif pihak-pihak terkait (Cooke et al, 1997).
Hasil wawancara dengan sepuluh DRD terungkap bahwa terdapat perbedaan mekanisme pengelolaan DRD yang merupakan bukti terhadap apa yang dikatakan oleh Cooke (2009) bahwa sifat heterogen institusi terkait tidak dapat dinihilkan. Merujuk pada 91
kutipan wawancara dengan Kameo dan Chayaridipura di atas, salah satu perbedaan mendasar yang ditemukan pada mekanisme DRD adalah level keaktifan dalam berinteraksi dengan institusi atau organisasi terkait. Diungkapkan bahwa DRD Jawa Tengah secara aktif berkoordinasi dan memberikan rekomendasi sesuai dengan prioritas Pemerintah daerah Jawa Tengah. Sementara itu, DRD DKI Jakarta lebih pasif dan melakukan rekomendasi berdasarkan permasalahanpermasalahan terbaru. Meski demikian, terlihat adanya upaya menjalankan DRD untuk mencapai ketiga tujuan sebagaimana tercantum dalam UU No 18 tahun 2002, walaupun pengukuran atau indikator ketercapaiannya belum ditentukan secara formal di dalam DRD sendiri.
6.2 Pola Interaksi DRD dengan Mitra Strategis Untuk hal kedua, pola hubungan DRD dengan mitra strategisnya, dari hasil wawancara terlihat juga bahwa dengan mekanisme yang berbeda-beda di tiap daerah menghasilkan pola hubungan yang berbeda antara masing-masing DRD dengan mitra-mitranya. DRD DKI Jakarta, misalnya, belum memiliki interaksi yang sinergis dengan 92
mitra strategisnya yaitu Bappeda DKI Jakarta. Seperti dikutip pada wawancara dibawah ini: “jadi misalnya Bappeda mengamati ini perlu ada kajian ini, minta kepada DRD. Sejauh itu anggarannya kita masuk, kalau tidak, ya ngga bisa. Karena itu yang tadi sifatnya mungkin gubernur menghendaki tolong kaji yang menyangkut masalah seperti sekarang ini, masalah transportasi. Ya kita bisa bikin ditelaah lagi, telaahan masalah strategis” (Chayaridipura, wawancara, 2011)
Dari kutipan diatas, dapat dilihat bahwa hubungan DRD DKI dengan mitranya masih bersifat satu arah yaitu dari inisiatif Bappeda terkait kebutuhan kajian terhadap DRD. Lain halnya dengan DRD Sumatera Selatan, mereka memiliki hubungan yang cukup sinergis dengan mitra-mitranya. Mitra DRD Sumatera Selatan tidak hanya Bapeda Sumatera Selatan, tetapi juga universitas, lembaga bank, dan lembaga riset. Pola hubungan DRD Sumatera Selatan yang cukup baik ini dikarenakan Ketua DRD Sumatera Selatan saat ini menerapkan dan mengkampanyekan konsep Sistem Inovasi Daerah (SIDa) secara 93
luas dan intensif, dimana konsep SIDa di Sumatera Selatan dapat dilihat pada Gambar 2-1 di bab Kajian Pustaka. Konsep ini disambut baik dan antusias oleh mitra-mitra mereka. Kutipan wawancara dengan DRD Sumsel seperti dibawah ini; “saya melihat bahwa di setiap kontak saya dengan lembaga dan staff selalu produktif, inovatif, dan selalu diapresiasi. Jadi, ternyata kalau suatu lembaga memiliki konsep, memiliki kepemimpinan yang sungguh-sungguh, ya kan? Dan dia memiliki jaringan, hubungan baik dengan semua lembaga lain. Ini akan sangat memacu kinerja dari staff lembaga yang bersangkutan (mitra strategis_. Nah, oleh karena itu, ketika saya ditunjuk sebagai ketua DRD nah ini saya ingat. Berarti satu harus siap konsep, contoh konsep adalah SIDa” (Sjarkowi, wawancara, 2011)
Hal ini juga senada dikatakan oleh mitra DRD Sumatera Selatan yaitu Balitbangda Sumatera Selatan, seperti dikutipan wawancara dibawah ini;
94
“Harapan terhadap DRD sebagai mitra Balitbangda sebagian sudah tercapai dan meningkatkan kinerja Balitbangda baik kebijakan penelitian dan pengembangan maupun masukan – masukan yang disampaikan oleh DRD terhadap Pemerintahan Prov. Sumsel” (Eko, wawancara, 2011)
Hal ketiga yang dikaji dalam penelitian ini adalah pola hubungan DRD dengan DRN. Dari ketiga daerah menunjukkan konsistensi keterkaitan pola hubungan DRD dengan Mitra dan mekanisme penyelenggaran masing-masing DRD dengan pola hubungan DRD dengan DRN. Seperti dapat dilihat pada DRD Sumatera Selatan yang memiliki konsep SIDA yang cukup baik, sehingga pola hubungannya dengan DRN juga cukup baik, sebagaimana dikutip dari hasil wawancara dibawah ini; “iya kita dengan DRN ini kan secara fungsional, Ketua DRD adalah anggota DRN . gitu kan. Secara otomatis, jadi apapun yang terjadi di DRN akhirnya kita tahu, ya kan... nah, jadi tinggal lagi sebagai makanya tadi saya katakan sebagai kepemimpinan yang serius, sungguh-sungguh” (Sjarkowi, wawancara, 2011) 95
Kutipan diatas menunjukkan bahwa DRD Sumatera Selatan menjalin hubungan yang cukup intensif dengan DRN di Jakarta. Sehingga konsep penerapan SIDa di Sumatera Selatan dapat diketahui dan didukung penuh oleh DRN. Hal ini yang perlu dilakukan oleh DRD DKI Jakarta yang belum melakukan koordinasi yang cukup intensif dengan DRN sehingga terlihat pola kerja yang terbatas pada mengelola anggaran yang diberikan dari Bappeda DKI Jakarta. Hal ini dapat dilihat pada kutipan wawancara dibawah ini; “ya kami komunikasi itu sebetulnya secara formal hanya baru satu kali, saya lupa itu tahun 2010, bulan apa. Saya minta ke Bappeda, tolong diselenggarakan rapat koordinasi antara Bappeda, DRD, DRN, LIPI kemudian Menristek, beberapa perguruan tinggi untuk mencoba membahas bagaimana mekanisme
penyelenggaraan
research...mohon
maaf
komunikasi masih belum sampai (ke DRN) “ (Chayaridipura, wawancara, 2011)
96
Berkaitan dengan hubungan antara DRN dan DRD ini, keberadaan perwakilan DRD sebagai anggota DRN akan memiliki peran yang sangat penting bagi upaya peningkatan iptek nasional. Sesuai dengan tugas yang dicantumkan dalam UU No 18/2002, DRD juga berperan sebagai agen pembangunan iptek di daerah. Melalui keberadaan perwakilan DRD di DRN, informasi strategi pembangunan nasional iptek akan secepatnya sampai di daerah. Informasi yang diperoleh dapat dielaborasi oleh masing-masing daerah menjadi bahan masukan kebijakan pemerintah daerah, yang pada gilirannya juga menjadi umpan balik bagi kebijakan pembangunan iptek nasional. Selain itu, keberadaan perwakilan DRD tersebut dapat dioptimalkan perannya dalam rangka membangun jaringan lembaga iptek nasional. Peran tersebut dapat dilaksanakan oleh DRD, apabila kedudukannya sebagai anggota DRN benar-benar aktif.
Dengan fakta yang diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa mekanisme penyelenggaraan DRD, pola hubungan DRD dengan Mitra, dan pola hubungan DRD dengan DRN sangat kontekstual di setiap daerah. Tak dipungkiri bahwa masing-masing institusi dan 97
organisasi yang terlibat –baik DRN, DRD maupun mitra-mitranya– memiliki karakteristik berbeda yang kemudian dapat membentuk kompetensi masing-masing daerah. Meski demikian, terkait dengan konsep sebuah sistem, tetap diperlukan penyelarasan kegiatan penyelenggaraan DRD yang diikuti dengan penyusunan seperangkat indikator (UNIDO, 2003) untuk menilai perkembangan setiap DRD. Daerah yang memiliki mekanisme yang cukup jelas dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang memiliki komitmen akan mempunyai pola hubungan
yang
sinergis
dengan
mitranya
dan
DRN
yang
menghasilkan pencapaian peningkatan IPTEK di daerahnya yang lebih baik daripada daerah yang belum menerapkan mekanisme yang cukup kuat.
Secara lebih lanjut, berdasarkan DRN (2002), DRD yang merupakan dewan yang terlibat di dalam penyusunan kebijakan, termasuk dalam kategori lembaga penunjang dalam kategorisasi kelembagaan yang berkaitan dengan perkembangan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Peran DRD ini diharapkan dapat turut serta mendukung peningkatan
98
kemampuan Iptek, dimana peningkatan ini dapat tercapai apabila SINas dan SIDa dapat berjalan dengan baik.
Hal ini juga didukung oleh Zulkieflimansyah (2006) yang menyatakan bahwa salah satu elemen utama sistem inovasi nasional adalah adanya program publik yang mendukung pengembangan dan transfer teknologi. Dimana dalam hal ini, DRD diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dalam merancang program publik ini. Hal inilah yang berdasarkan analisa awal ini dapat terlihat di DRD Sumatera Selatan yang sedang mengembangkan konsep SIDa.
6.3
Harapan Penyelenggaraan DRD dan Interaksi DRD dengan Mitra
Mekanisme penyelenggaraan DRD dalam rangka memperkuat SINas masih banyak mengalami kendala dan prmasalahan. Banyak harapanharapan yang diutarakan oleh para narasumber untuk perbaikan penyelenggaraan DRD kedepannya.
99
6.3.1 Kelembagaan DRD Dari berbagai narasumber yang kami wawancara mayoritas mengatakan permasalahan DRD ada di kelembagaan DRD itu sendiri. Kelembagaan DRD tersebut mencakup 3 hal yaitu; (1) Kepegawaian, (2) Pembiayaan, dan (3) Struktur Organisasi.
Mengacu kembali kepada UU No 18 tahun 2002 dan PP No. 41 tahun 2007 mengenai struktur kelembagaan daerah, dimana unsur DRD hendaknya berisikan elemen dibawah ini: 1. Unsur Pimpinan Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati) 2. Unsur Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah / DPRD) dan Sekretariat DPRD 3. Sekretariat Daerah (Sekda, Biro / Badan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)) 4. Lembaga-Lembaga Teknis Daerah
Peraturan ini membuat DRD menjadi sulit untuk bergerak dikarenakan anggota dari DRD memiliki tugas di institusi lain 100
sehingga tidak dapat fokus menjalan fungsi DRD. Banyak daerah yang mengalami kesulitan dalam menjalankan DRD karena anggotanya tidak ada ataupun jarang bekerja di DRD. Seperti dikutip dari wawancara dengan DRD Sumatera Utara dibawah ini; “dari dua puluh delapan anggota yang betul-betul aktif dan hadir selalu setengahnya, setengahnya lagi itu sangat sulit ada harapan hadir, untuk itu menjadi timpang, padahal diperlukan adanya dedikasi karena ini menentukan arah kebijakan penelitian, pengembangan penelitian“ (Tahier, wawancara, 2011)
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris DRD Sulawesi Selatan; “Dahulu
memang
DRD
diberi
kesempatan
untuk
menyelenggarakan pertemuan sendiri tapi itu tidak jalan karena ini kan orang sibuk semua. Akhirnya..sekarang saya lihat.. waktu itu dikasih uang transport bulanan tapi dianggap tidak efektif karena yang rajin dan tidak rajin dapat sama.” (Thalib, wawancara, 2011)
101
Konflik di dalam organisasi DRD ini adalah akibat dari UU dan PP yang dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya kajian ulang mengenai UU No 18 tahun 2002 dan PP no 41 tahun 2007, sehingga DRD memiliki staf yang berdedikasi penuh kepada DRD tentunya dengan tetap mempertimbangkan kesejahteraan staf yang akan bertugas penuh di DRD.
Aspek kelembagaan lainnya adalah pembiayaan kegiatan DRD. DRD untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh UU No 18 Tahun 2002 memerlukan dana yang memadai, terutama untuk mengajukan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah. Namun, pada keberjalanannya pembiayaan ini banyak mengalami keterlambatan yang bisa mencapai 1 tahun lamanya. Penyebab dari lamanya pembiayaan ini adalah dana yang dianggarkan untuk DRD berasal dari anggaran pemerintah daerah setempat sehingga pencairan dana harus melalui tahapan birokrasi yang cukup lama. Hal ini diperumit oleh kebijakan dari kepala daerah setempat (gubernur) yang mayoritas tidak melihat pentingnya riset di daerah sehingga DRD setempat tidak berjalan sebagaimana 102
fungsinya. Sebenarnya untuk hal ini, DRD mempunyai landasan hukum yang memadai untuk menuntut komitmen dari Pemerintah Daerah melalui Balitbangda / Bappeda dalam meningkatkan riset dan iptek di daerah, yaitu mengacu pada Pasal 27, UU No. 18 Tahun 2002 sebagaimana berikut: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Contoh daerah yang memiliki Kepala Daerah yang memprioritaskan riset adalah Jawa Tengah. Koordinasi Gubernur Jawa Tengah dengan DRD dan Balitbangda setempat berjalan secara rutin, sehingga Gubernur memahami dan mendukung program-program riset yang diusulkan oleh DRD dan Balitbangda yang secara langsung mengakibatkan pendanaan DRD berjalan lancar. Pencapaian DRD Jawa Tengah terlihat sangat baik dari tahun ke tahun dan koordinasi dengan mitra strategisnya berjalan sangat baik. Selain komitmen dari Kepala Daerah, harapan akan pendanaan DRD berasal dari induk DRD 103
yaitu Dewan Riset Nasional banyak diutarakan oleh para narasumber kajian ini, salah satunya adalah Sekretaris DRD Kalimantan Tengah, kutipan wawancara sebagai berikut; “Dana dari pemprov seringkali terlambat masuk ke kas DRD…bisa sampai 3-6 bulan, hal ini menghambat kerja DRD… Harapan kedepan, pembiayaan DRD dapat langsung berasal dari DRN, sebagai institusi yang sebenarnya adalah jangkar dari DRD-DRD didaerah... mungkin dananya bisa masuk lebih cepat karena fokusnya sama-sama untuk riset..kalau pemprov banyak kerjaan lainnya..”(Lautt, wawancara, 2011)
Namun, struktur organisasi DRD yang diinginkan berada langsung dibawah DRN ini tidak dimungkinkan oleh UU No 18 tahun 2002 dan PP no 41 tahun 2007.
Dari segi struktur koordinasi DRD yang berada dibawah Pemerintah Daerah menyebabkan DRD kehilangan fokus dan prioritasnya dalam melakukan riset. Perubahan struktur koordinasi DRD juga diharapkan oleh para narasumber, mereka berharap DRD mendapatkan masukan 104
secara intensif dari Dewan Riset Nasional. Ketua DRD Maluku, Augy Sahailatua, PhD mengungkapkan harapannya ini dalam kutipan wawancara berikut; “kita sangat perlu masukan DRN untuk supaya kita lebih mengembangkan diri kan kita di dalam kita yang melaksanakan kita yang terlibat langsung itu tidak melihat permasalah yang ada sebaik orang yang dari luar, DRN sebenarnya kita minta untuk itu..” (Sahailatua, wawancara, 2011)
Hal ini juga didukung oleh Kepala Balitbangda Jawa Tengah, Agus Suryono, sebagaimana petikan wawancara berikut: “perlu ada suatu hubungan struktural komunikasi antara DRN, DRD provinsi, dan DRD kabupaten. Ini yang belum sering. kalau DRD provinsi okelah, tapi begitu DRD kabupaten, kota.. ini yang mereka kurang. Jadi inilah, kalau itu ada suatu komunikasi DRN, DRD, sama DRD kabupaten yang sering komunikasi secara bareng, ini akan bisa memberikan advokasi kepada kepala daerahnya” (Suryono, wawancara, 2011)
105
Dalam menjalankan tugasnya, peran DRD seharusnya dapat dipahami dengan baik oleh institusi – institusi lainnya di daerah. Beberapa pengalaman yang didapatkan dengan interaksi dengan institusi lain, terutama dengan institusi pemerintah, seringkali mereka masih mempertanyakan
perbedaan
antara
DRD
dan
Balitbangda,
sebagaimana petikan pakar independen, Atang Sulaeman berikut: “sepengetahuan saya masih ada beberapa daerah yang masih mempertanyakan apa bedanya Balitbang dengan DRD. Kalau itu belum di clear kan dengan baik, dimana birokrasi masih menganggap dewan riset itu saingan dalam litbang, itu suatu masalah besar menurut saya, dan hal tersebut harus di klarifikasi,” (Sulaeman, wawancara, 2011)
Sebagai kesimpulan, dalam aspek kelembagaan DRD ada tiga (3) aspek yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan performansi DRD yaitu (1) Kepegawaian DRD sebaiknya fokus untuk bertugas di DRD sehingga staf DRD tidak memiliki jabatan di institusi lain, (2) Pembiayaan DRD melalui Balitbangda / Bappeda hendaknya mempunyai pos khusus sejak perencanaan dana yang didapatkan 106
Balitbangda / Bappeda, (3) Interaksi rutin dan intensif dengan DRN yang sebaiknya secara jelas dituangkan dalam AD/ART institusi DRD, (4) Sosialisasi ke perangkat daerah mengenai tugas dan fungsi DRD
6.3.2 Sinkronisasi Program kerja DRD dengan Mitra Kajian Penguatan DRD sebagai bentuk penguatan sistem inovasi daerah (SIDa) pada akhirnya bermuara pada terbentuknya sistem inovasi di Indonesia. Sistem inovasi nasional adalah suatu hubungan atau jaringan antar elemen-elemen (industri, akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil) yang memiliki peran dalam mewujudkan interaksi dalam pertukaran pengetahuan, difusi teknologi, dan produksi sehingga terwujud peningkatan inovasi di suatu negara. Pendekatan ilmu sistem inovasi nasional menekankan pada aliran informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi diantara manusia, perusahaan, dan institusi dimana aliran tersebut adalah kunci dalam penciptaan proses inovasi (Lundvall, 2007). Sebuah hubungan yang kompleks diantara pemain dalam sistem inovasi nasional-industri (business), pemerintah (policy maker), perguruan tinggi/institusi riset 107
(university), dan masyarakat (society)-akan menghasilkan inovasi dan pengembangan teknologi.
Mengacu pada pernyataan Lundvall (2007) diatas bahwa aliran informasi adalah alat utama untuk memujudkan sinkronisasi antar institusi aktor-aktor penggiat inovasi. Dalam konteks sistem inovasi daerah (SIDa) di Indonesia, aktor inovasi yang berjalan adalah DRD dan Bappeda/Balitbangda. Proses komunikasi dan koordinasi antar kedua aktor tersebut tidak berjalan dengan baik di semua daerah. Berikut beberapa kutipan wawancara yang menunjukkan kondisi tersebut; “DRD diharapkan dapat mendukung kebijakan-kebijakan program kita. Secara akademis kan mereka lebih mengetahui kondisi apa yang di Sumatra Utara, jadi kita untuk menyusun program dapat meminta masukan hal-hal apa yang perlu kita lakukan untuk program penelitian ke depan“ (Iwan, wawancara, 2011)Balitbangda DRD Sumatera Utara
108
“belum yah saya belum melihat manfaatnya untuk mitra tapi kami selalu berfikir untuk itu bahwa keuntungan – keuntungan itu harus ada di mitra, kami punya konsep itu diantara penyusunan Agenda Riset Daerah..jadi sebenarnya hubungan dengan mitra itu bisa dimanfaatkan karena punya kepentingan bersama, jadi dia butuh riset dari kita dan kita butuh dia untuk melaksanakan agenda kita” (Sahailatua, wawancara, 2011)-Ketua DRD Maluku
Dua kutipan diatas menunjukkan bahwa kedua aktor inovasi daerah masih belum bekerja secara sinergis karena belum adanya komunikasi yang berjalan baik antar kedua pihak. Mengacu literatur West dan Turner (2001) bahwa komunikasi yang baik atau efektif adalah ketika komunikan dan komunikator memiliki persepsi atau pengertian yang sama akan suatu hal. Dimana pencapaian ini dapat terjadi ketika adanya persamaan melalui tahapan menjadi bersama melalui komunikasi (West dan Turner, 2001). Dalam proses komunikasi DRD dengan Bappeda/Balitbangda terlihat belum adanya persepsi yang sama mengenai riset daerah, sehingga komunikasi antar mereka tidak berjalan dengan baik. Arahan Riset Nasional harusnya menjadi 109
persepsi yang sama untuk kedua belah pihak namun masih perlu peran Pemda/Pemprov untuk menjambatani kedua aktor ini. Dengan adanya komunikasi yang berjalan efektif diharapakan DRD dan Balitbangda dapat bersinkronisasi untuk menjalankan riset di daerah melalui pembuatan program riset secara bersama-bersama. Program riset tersebut harapannya menjadi sebuah pekerja bersama antara DRD dengan Balitbangda.
6.3.3 Koordinasi DRD dengan DRN DRD berada di bawah garis koordinasi Pemerintah Daerah setempat. Kondisi ini terlihat ambigu mengingat DRD merupakan sebuah institusi yang bertugas sebagai pemberi masukan kepada Pemda dalam
mengembangkan
riset
daerah.
Selain
itu,
arahan
pengembangan riset di daerah, antara lain diejawantahkan dari Arahan Riset Nasional (ARN) yang dibuat oleh DRN. Sehingga, untuk efisiensi dan efektivitas keberjalanan riset nasional dan daerah DRD harus berkoordinasi secara langsung baik struktural maupun fungsional. Pada kenyataannya, proses ini berjalan kurang baik. 110
Seperti dikutip dari wawancara dengan Suryono, Kepala Balitbangda Jawa Tengah dan Daniel Kameo, Ketua DRD Jawa Tengah berikut “perlu ada suatu hubungan yang bukan struktural komunikasi antara DRN, DRD provinsi, dan DRD kabupaten. Ini yang belum sering. kalau DRD provinsi okelah, tapi begitu DRD kabupaten, kota.. ini yang mereka kurang. Jadi inilah, kalau itu ada suatu komunikasi DRN, DRD, sama DRD kabupaten yang sering komunikasi secara bareng, ini akan bisa memberikan advokasi kepada kepala daerahnya” (Suryono, wawancara, 2011)
“Akan lebih baik kalau mengetahui permasalahan nasional ini secara ‘bottom-up’. DRN bisa membahas permasalahan secara nasional, dan bisa minta masukan secara ‘bottom up’ dari DRD. DRN bisa mengambil masukan dari DRD sesuai porsinya, dan DRD bisa menyuarakan aspirasinya untuk DRN. Seringkali kebijakan yang datang dari pusat itu tak bisa diterapkan secara optimal di daerah. Daerah belum tentu punya pemikiran yang sama atau bahkan mengerti apa yang dibicarakan” (Kameo, wawancara, 2011) 111
Hal ini juga didukung oleh Sekretaris Dewan Riset Nasional, Dr. Tusy Adibroto, mengutip pernyataan beliau di bawah ini “komunikasi dengan DRN sangat minim, yang ada adalah kalau ada kegiatan kita mengundang. Ya jadi lebih formal, tapi ya sudah sampe sekian saja, tidak ada kelanjutan apapun.” (Adibroto, wawancara, 2011)
Padahal DRD-DRD ini memberi harapan besar terhadap hubungan DRN, sebagaimana kutipan pernyataan Ketua DRD Jawa Tengah Periode 2006-2009, Prof. Siti Fatimah Muis, berikut “Harapan terhadap hubungan dengan DRN dan DRD Provinsi, maupun DRD Kabupaten adalah adanya networking yang kuat antara seluruh Dewan Riset ini. Dimana dalam hal ini, di tingkat nasional fasilitator untuk hubungan para DRD seluruh Indonesia adalah DRN. Sedangkan untuk tingkat daerah, DRD Provinsi dapat menjadi fasilitator para DRD Kabupaten/Kota.” (Muis, wawancara, 2011)
112
Untuk mewujudkan harapan tersebut dan mengatasi permasalahan yang ada selama ini, DRN sudah memikirkan strategi yang sesuai untuk meningkatkan komunikasi antara DRN dengan DRD, sehingga akan terjadi kerjasama yang baik. Hal ini ditunjukkan petikan wawancara dengan Dr. Tusy Adibroto berikut “Kami mulai memikirkan bagaimana kita lebih mempererat kerjasama antar DRN dan DRD, tapi ini belum dilaksanakan, ini baru berpikir dengan misalnya kita mencari “mainan bersama” sehingga mau tidak mau ada suatu pekerjaan bersama, dimana akhirnya kita juga berkomunikasi karena memang harus dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan. Dan yang kedua, kita juga saat ini sedang mengembangkan di DRN yang disebut Open Method of Research Coordination (OMRC), nah itu saya berharap lewat OMRC kita bisa berhubungan erat dengan DRD malahan ada DRD yang sudah menyatakan keinginannya ingin adopt OMRC” (Adibroto, wawancara, 2011)
Pernyataan ini juga didukung Sulaeman (wawancara, 2011) yang mengharapkan adanya forum rutin DRN-DRD yang diselenggarakan 113
di daerahyang berbeda-beda, dan pentingnya OMRC, sebagaimana petikan wawancara berikut: “Menurut saya forum komunikasi DRN-DRD itu penting karena komunikasi antar anggota DRD pun bisa terjadi, tidak perlu melalui DRN kan, antar mereka saja. Nah pada saat DRN punya informasi
atau
punya
sharing
apa
pun akan
mudah
menyampaikannya dalam forum aja, apalagi DRN punya OMRC, itu saya pikir akan kuat apabila ada dasar ikatannya dulu. kalau saya berpendapat, OMRCC itu hanya sebuah alat saja, bagaimana sebuah komunikasi itu berkomunikasi dan saling mencari tau apa yang mereka lakukan” (Sulaeman, wawancara, 2011)
Dengan adanya OMRC, harapannya koordinasi antara DRN, DRD, Bappeda, Balitbangda, bahkan ke universitas dan lembaga riset serta industri dapat berjalan sinergis dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga Sistem inovasi baik di daerah maupun nasional dapat mencapai cita-cita untuk meningkatkan kapasitas riset dan iptek di tanah air. 114
6.4
Penyelenggaraan DRD untuk Memperkuat SINas dan SIDa
Berdasarkan Porter (1990), makna daya saing bangsa adalah produktivitas nasional yang melibatkan berbagai pihak stakeholders sejak dari hulu – hilir suatu produk, yang dalam hal ini bermakna multi disiplin, multi sektor, multi kementerian. Dalam hal keunggulan daya saing suatu bangsa secara internasional, pemerintah menjadi unsur penting yang dapat menentukan kompetisi skala internasional di masa globalisasi ini. Kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan pajak dan peraturan-peraturan, menjadi faktor penentu dalam penentu keputusan berbagai pihak yang akan mengembangkan industri di negara tersebut (Porter, 1990). Misalnya dalam hal alokasi modal, dimana faktor keuntungan jangka panjang yang lebih diperhatikan daripada hanya jangka pendek.
Berbagai negara seperti Jepang dan Republik Korea dapat menjadi contoh sukses negara yang mendapat dukungan dari kebijakan pemerintahnya. Oleh karena itu, dibutuhkan stabilitas sistem yang dapat membuat industri terus bekerja dengan optimal. Pemerintah pusat dan daerah dapat berperan secara menonjol dalam kesuksesan 115
industri nasional dengan melakukan sinergi kebijakan yang efektif dan efisien. Kesuksesan ini dapat terjadi apabila suatu negara dapat secara mandiri dan mengembangkan diri dalam meningkatkan kemampuan nasionalnya, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sehingga pada akhirnya peningkatan daya saing bangsa dapat tercapai.
Perkembangan iptek di Indonesia belum dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembentukan keunggulan posisi (positional advantage) Indonesia di tengah dinamika perdagangan global. Sementara itu, posisi perdagangan Indonesia semakin menurun karena adanya kecenderungan pasar yang semakin didominasi oleh produk-produk asing yang berbasis teknologi yang lebih
kompetitif.
Kondisi
tersebut
tercermin
pada
Global
Competiveness Index (GCI) yang dimuat dalam The Global Competiveness Report 2009-2010, menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 54 dari 134 negara dalam hal Indeks Daya Saing. Salah satu dari 12 pilar daya saing yang diukur oleh badan ini adalah daya inovasi suatu bangsa. Dalam hal ini Indonesia berada pada 116
urutan ke-40. Menurut laporan The Global Competiveness Report 20092010 tersebut, daya inovasi Indonesia terkendala oleh: kapasitas inovasi nasional yang masih rendah (menempati peringkat ke 44); kolaborasi antara universitas, litbang, dan industri yang masih perlu dibangun (peringkat ke 43); dan penggunaan paten sebagai alat perlindungan hak cipta penemu dan sekaligus alat untuk diseminasi teknologi yang perlu dibangun lebih baik (peringkat ke 81).
Perkembangan di berbagai negara juga menunjukkan bahwa faktorfaktor lokalitas semakin disadari sebagai faktor yang menentukan keunggulan daya saing (Taufik, 2010). Hal ini juga sebenarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia dan disadari oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Otonomi daerah, ketersebaran geografis, dan keanekaragaman sosial dan budaya Indonesia sudah semestinya menjadi faktor penting bagi penguatan SIDa yang merupakan pilar penting dalam penguatan SINas. Oleh karena itu, dalam kerangka penguatan sistem inovasi, Taufik (2010) menekankan bahwa faktor lokalitas kedaerahan sangat penting bagi efektivitas dan efisiensi pengembangan kemitraan iptek di Indonesia. 117
Faktor lokalitas yang sangat menentukan ini juga dirasakan oleh DRN dan Kementerian Riset dan Teknologi, dimana Adibroto (wawancara, 2011) menyatakan bahwa Kementerian Riset dan Teknologi yang mempunyai tema penguatan SINas ini, juga harusnya nanti dapat dijabarkan secara baik di daerah-daerah. Dalam hal ini, Adibroto (wawancara, 2011) menyatakan bahwa yang penting adalah bagaimana menyebarluaskan paradigma inovasi itu sampai ke daerah. Salah satu caranya adalah penyediaan database hasil-hasil penelitian maupun local knowlegde yang ada, dimana salah satunya yang dapat dimanfaatkan adalah Open Method of Research Coordination (OMRC) yang dikembangkan DRN. Berdasarkan database tersebut kemudian dapat dikaitkan dengan kebutuhan daerah yang ada dan potensi yang ada, maka setiap daerah dapat membuat rencana-rencana jangka panjang dari produk-produk unggulan daerah (Adibroto, wawancara, 2011).
118
Dengan memperhatikan SINas dan SIDa ini, Taufik (2005) mengungkapkan bahwa terdapat enam agenda strategis kebijakan inovasi yang perlu dikembangkan di Indonesia ke depan, yaitu: 1. Mengembangkan (reformasi) kerangka umum yang kondusif bagi perkembangan inovasi dan bisnis; 2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung litbang iptek dan meningkatkan kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya UKM; 3. Menumbuh
kembangkan
kolaborasi
bagi
inovasi
dan
meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbangyasa; 4. Mendorong budaya kreatif – inovatif; 5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah; 6. Penyelarasan dengan perkembangan global.
Kemitraan yang sinergis di daerah, antar daerah, kemitraan nasional dan internasional semakin penting bagi penguatan sistem inovasi dan karenanya perlu terus dikembangkan. Pada gilirannya, sistem inovasi 119
yang semakin kuat akan berkontribusi pada peningkatan daya saing dan penguatan kohesi social (Taufik, 2010).
Secara lebih lanjut, keberadaan lembaga Dewan Riset di Indonesia, yaitu DRN dan DRD, menuntut terbentuknya jaringan iptek yang semakin luas dan kompleks dan dapat berperan lebih besar dalam rangka mewujudkan iptek sebagai pendukung perkembangan perekonomian, peningkatan daya saing dan kemajuan peradaban bangsa.
Pada kenyataannya di lapangan, masih banyak DRD yang mengeluhkan tidak adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam membangun
SIDa
di
daerahnya.
Sebagai
contoh
adalah
pernyataan dari sekretaris DRD NTT, Keron Petrus (wawancara, 2011) yang menyatakan bahwa dalam membangun SIDa maupun mendesain Jakstrada yang komprehensif, DRD membutuhkan dukungan pendanaan yang relatif tinggi. Namun, hal ini belum terlihat mungkin karena belum adanya pemahaman yang baik di daerah mengenai manfaat SIDa. 120
Namun, di beberapa daerah lainnya ditemukan bahwa Pemerintah Daerah menyadari pentingnya inovasi ini. Dimana salah satunya adalah sebagaimana dalam Retnaningsih (2011), salah satu Misi Pembangunan Sumsel ke-5 adalah: “Membangun
dan
menumbuhkembangkan
pusat-pusat
inovasi yang berbasis pada perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk meningkatkan nilai tambah dan produktivitas sektor ekonomi berkelanjutan”
Dimana dalam hal ini, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Daerah Sumatera Selatan, Ibu Eko (wawancara, 2011) mengharapkan adanya ide/gagasan DRD secara berkesinambungan dapat disampaikan ke Pemerintah Daerah Sumatera Selatan berkaitan dengan percepatan inovasi di Sumatera Selatan. Hal ini juga ditanggapi baik oleh Sjarkowi (wawancara, 2011) selaku Ketua DRD Sumatera Selatan yang menyatakan komitmennya bahwa memang sejak awal menjadi Ketua DRD, beliau telah menyiapkan konsep SIDa.
121
Perhatian terhadap pengembangan SIDa ini juga ditunjukkan oleh provinsi Jawa Tengah. Dalam hal ini, Suryono (wawancara, 2011) selaku Kepala Balitbangda Jawa Tengah menyampaikan bahwa kegiatan utama yang sedang dilakukan di Balitbang Jawa Tengah adalah peningkatan SIDa berbasis klaster, dimana dalam hal ini dibagi menjadi 35 klaster berdasarkan jumlah kabupaten di Jawa Tengah. Setiap klaster ini mempunyai produk unggulan daerahnya masingmasing. Konsep SIDa berbasiskan klaster di Jawa Tengah ini ditunjukkan gambar berikut:
Source: Suryono (2011)
Gambar 6-1 Konsep SIDa Jawa Tengah 122
Dalam pengembangan SIDa ini, interaksi antara Balitbangda dan DRD juga diperhatikan, sebagaimana kutipan wawancara dengan Kepala Balitbangda berikut: ”Kita kerja sama dalam rangka pengembangan litbang Provinsi Jawa Tengah dengan DRD sudah cukup bagus. Kita duduk bersama DRD untuk menyamakan persepsi kebijakan-kebijakan penelitian dalam rangka pengembangan sistem inovasi daerah, khususnya kluster. Nah itu yang kita sangat disupport sekali oleh DRD, karena juga DRD merasa bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing ini, bagaimana kompetensi daerah itu dikembangkan dan pendekatannya itu melaui pendekatan kluster, jadi pemikiran kita sama” (Suryono, wawancara, 2011) Keberhasilan implementasi konsep SIDa di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan ini tidak terlepas dari system komunikasi yang baik yang dibangun semua pihak, terutama DRD, Balitbangda, dan Pemerintah Daerah. Sebagaimana
Ruben & Stewart
(1998)
menjelaskan bahwa salah satu fungsi utama komunikasi adalah dalam mengerti dan memahami suatu keadaan dan melakukan hubungan bermakna seperti melakukan perubahan sosial. 123
Dari berbagai contoh diatas dapat terlihat bahwa kondisi daerah berbeda-beda. Namun, penyelenggaraan DRD yang baik dan juga interaksi dengan para mitra yang dibangun dengan baik akan mendukung penguatan khususnya SIDa di daerah dan secara keseluruhan SINas di tataran nasional yang dirasa sangat mendesak untuk segera terkoordinasi.
124
7. Penutup 7.1
Kesimpulan
Kementerian Riset dan Teknologi, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) 2010-2014,
mempunyai
menumbuhkembangkan
arah
motivasi,
kebijakan
memberikan
dalam
stimulasi
dan
fasilitasi, dan menciptakan iklim yang kondusif. Tujuan akhir dari arah kebijakan
ini
disesuaikan
dengan
tema
besar
yang
telah
didengungkan sejak Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Ristek 2008 di Palembang, yaitu Penguatan SINas dan SIDa. Oleh karena itu, SINas dan SIDa dapat diwujudkan melalui beberapa hal, antara lain: [1] Kelembagaan iptek yang efektif, [2] Sumberdaya iptek yang kuat, [3] Jaringan antar kelembagaan iptek yang saling memperkuat (mutualistik), [4] Relevansi dan produktivitas iptek yang tinggi, dan [5] Pendayagunaan iptek yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kelima faktor penguatan SIDa dan SINas tersebut tentunya tidak terlepas dari peran Dewan Riset dalam memberikan arahan tentang 125
prioritas riset di tingkat nasional dan tingkat daerah (provinsi dan kabupaten / kota). Arahan ini diterjemahkan dalam bentuk penelitianpenelitian oleh institusi-institusi yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di setiap negara. Keberadaan lembaga Dewan Riset di Indonesia di tingkat nasional, yaitu Dewan Riset Nasional (DRN), menuntut terbentuknya jaringan iptek yang semakin luas dan kompleks dan dapat berperan lebih besar dalam rangka mewujudkan iptek sebagai pendukung perkembangan perekonomian, peningkatan daya saing dan kemajuan peradaban bangsa. Di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten / kota), terdapat lembaga Dewan Riset Daerah (DRD). Berdasarkan Undang-Undang No 18 tahun 2002, tugas pokok DRD ada tiga hal yaitu: a. memberikan
masukan kepada Pemerintah daerah untuk
menyusun arah, prioritas, serta kerangka kebijakan Pemerintah daerah di bidang iptek; b. mendukung Pemerintah daerah melakukan koordinasi di bidang iptek dengan daerah-daerah lain; c. mewakili daerah di DRN ( Perpres No 16/2005 tentang DRN ) 126
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan responden, belum semua DRD menjalankan ketiga amanat di atas. Hal ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu yang dibahas pada kajian ini yaitu mekanisme penyelenggaraan masing-masing DRD yang berimbas kepada pola hubungan DRD tersebut dengan mitramitranya termasuk dengan DRN. Di sisi lain, peneliti melihat adanya faktor kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja suatu DRD dalam hal mekanisme penyelenggaraan DRD dan pola hubungan DRD dengan mitra-mitra strategisnya di daerah masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan adanya arahan mekanisme penyelenggaraan dan interaksi DRD dengan para mitranya.
Mitra DRD yang utama pada umumnya adalah Balitbangda dan Bappeda karena erat kaitannya dengan kegiatan perencanaan penelitian dan pengembangan (litbang) di daerah. Meski demikian, DRD perlu juga membangun relasi dengan institusi dan organisasi lain, baik lembaga pemerintah, sektor privat maupun organisasi nonpemerintah. Sebagai contoh, studi ini mendapatkan bahwa DRD Sumatera Selatan berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Interaksi ini 127
akan berdampak positif terutama dalam masalah pendanaan yang seringkali dikeluhkan oleh DRD-DRD lainnya.
Selain itu, koordinasi dan komunikasi antara DRD dengan mitra utamanya di tingkat nasional, yaitu DRN, sangat penting dilakukan secara berkesinambungan untuk dapat menyamakan persepsi, visi, misi, serta strategi pembangunan iptek nasional. Melalui kedudukan DRD di DRN, akses untuk koordinasi dan komunikasi dapat dilakukan secara lebih sistematis. Untuk mendukung terjadinya koordinasi dan komunikasi tersebut, DRN perlu membangun suatu
arahan
mekanisme kerja yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh seluruh DRD.
Secara lebih lanjut, dari sepuluh provinsi yang dikaji pada kajian ini, juga ditemukan bahwa Agenda Riset Nasional (ARN) belum sepenuhnya diacu oleh seluruh daerah. Hal ini erat kaitannya dengan seberapa
baik
mekanisme
penyelenggaraan
DRD
dan
juga
interaksinya DRD tersebut dengan para mitranya. Contoh sukses dapat ditemukan dari hasil di Sumatera Selatan, dimana DRD Sumatera Selatan menjadikan ARN sebagai acuan dalam membuat 128
Agenda Riset Daerah (ARD). Selain itu, DRD Sumatera Selatan juga berinteraksi dengan baik dengan mitranya, yaitu Balitbangda Sumatera Selatan sebagaimana telah dijabarkan di bab sebelumnya. Sehingga pada akhirnya contoh sukses Sumatera Selatan ini menunjukkan bahwa posisi DRD yang kuat, konsistensi dalam mengacu pada ARN, dan sistem interaksi yang baik ini dapat meningkatkan kemampuan iptek di daerah tersebut.
Peningkatan kemampuan iptek secara garis besar diperlukan untuk mendukung pembangunan nasional. Agar dukungan iptek terhadap pembangunan nasional ini dapat berlangsung secara konsisten dan berkelanjutan, maka berdasarkan arahan Menteri Riset dan Teknologi, diperlukannya penguatan SINas dan SIDa sebagai wahana pembangunan iptek melalui penguatan kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan iptek. Ketiga unsur ini (kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan) sebenarnya juga merupakan 3 hal yang ingin dikaji oleh penelitian ini, yaitu kelembagaan DRD yang perlu diperkuat dalam memberikan rekomendasi arah riset, sumberdaya iptek (DRD dan para mitranya) yang harus selalu meningkatkan diri dalam 129
implementasi sistem yang efektif dan efisien, dan juga interaksi antara DRD dengan pihak pusat (DRN), dan para mitra di daerah. Sehingga, pada akhirnya kajian ini menemukan pola yang tepat dalam penyelenggaraan DRN dan memberikan gambaran dinamika di setiap daerah untuk selanjutnya dapat memberikan rekomendasi dalam meningkatkan peran DRD dan pada akhirnya kemampuan iptek dapat ditingkatkan di setiap daerah.
Dari kajian ini ditemukan juga bahwa mekanisme penyelenggaraan DRD dan interaksi antara DRD dengan para mitranya mendukung penguatan SIDa yang telah diinisiasi dengan baik. Meski belum merata terlihat di semua DRD, upaya ini terutama dapat dilihat pada dua provinsi, yaitu Sumatera Selatan dan Jawa Tengah yang dapat dikatakan menjadi leader dalam penerapan SIDa dan tentunya diharapkan dapat di contoh oleh daerah-daerah lainnya. Oleh karena itu, institusi DRD yang berperan kuat dan dapat bekerjasama dengan para mitranya dapat membangun SIDa yang terkoordinasi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian di daerah masing-masing. 130
7.2
Rekomendasi Kebijakan
Terkait dengan penyelenggaraan DRD, beberapa rekomendasi kebijakan dapat diusulkan. Rekomendasi tersebut dikelompokkan menjadi level kebijakan mikro –yaitu ditujukan untuk internal DRD– juga level kebijakan makro yang bertujuan pengembangan jejaring riset dan iptek nasional.
Pada level mikro, DRD perlu melakukan pembenahan secara kelembagaan. Dalam hal kepegawaian, DRD membutuhkan anggotaanggota yang memiliki kompetensi akademis dan berkomitmen untuk mengembangkan riset dan iptek di daerahnya. Selain itu komposisi keanggotaan DRD yang terdiri dari 3 unsur ABG (Academics, Business, Government) diharapkan dapat seimbang, terutama pihak swasta (Business) yang selama ini dirasakan masih kurang perwakilannya di keanggotaan DRD di daerah – daerah.
Selain itu, posisi Ketua DRD sebaiknya bukan merupakan Gubernur yang sedang menjabat. Secara sekilas mungkin hal ini akan memperkuat posisi DRD. Namun, hal ini akan menambah 131
permasalahan baru dimana DRD sebagai lembaga yang memberikan saran kepada Gubernur tidak mungkin dipimpin oleh seorang Gubernur. Pada aspek kepegawaian, DRD perlu memperjelas deskripsi jabatan struktural dan fungsional anggota-anggotanya. Dalam hal peran
DRD
dalam
memberikan
rekomendasi,
diharapkan
rekomendasi – rekomendasi yang diusulkan banyak membahas mengenai permasalahan – permasalahan aktual yang membumi dan berupa problem solving permasalahan yang ada. Pada level makro, khususnya di tingkat daerah, DRD hendaknya selalu berperan aktif dalam berinteraksi dengan Balitbangda / Bappeda, Pemerintah Daerah dalam memberikan rekomendasi atas seluruh kegiatannya yang berkaitan dengan riset, dan juga membuat indikator keberhasilan interaksi dengan Balitbangda / Bappeda, Pemerintah Daerah. Contoh dari indikator keberhasilan ini adalah jumlah rekomendasi yang diberikan kepada institusi – institusi tersebut.
Selain itu, DRD juga harus memperluas jejaring relasi di daerahnya masing - masing. Tidak hanya bekerja sama dengan lembaga 132
penelitian, namun juga dengan berbagai jenis institusi dan organisasi seperti institusi keuangan yang dapat membantu pembiayaan kegiatan, atau lembaga pemerintahan dan organisasi swasta yang menunjang kegiatan DRD. Dalam hal pembiyaan, Peraturan Daerah di masing-masing daerah memungkinkan DRD untuk mendapatkan pendanaan dari sumber-sumber lain diluar Pemerintah Daerah yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, DRD hendaknya melakukan terobosan-terobosan yang inovatif dalam mencari sumber pendanaan ini. Selain itu, DRD juga perlu melakukan pemetaan terhadap kompetensi daerahnya, yaitu keunggulan apa yang menjadi nilai lebih daerah dan produk – produk unggulan daerah. Dari pemetaan ini, DRD dapat melakukan rekomendasi kebijakan untuk mendukung dari sisi penguatan iptek yang memadai.
Di tingkat nasional, perlu adanya penguatan hubungan yang intensif antara DRD dengan DRN. DRN dapat memberikan arahan langsung mengenai Agenda Riset Nasional (ARN) kepada DRD untuk diejawantahkan dalam Agenda Riset Daerah (ARD) dan rekomendasi kebijakan - kebijakan daerah. Dengan adanya interaksi yang intensif 133
ini, DRD dapat berperan lebih besar dalam turut serta mendukung kegiatan litbang nasional. Hubungan antara DRD dan DRN ini apabila memungkinkan
dapat
dilakukan
reposisi
agar
dapat
lebih
memperkuat hubungan antara institusi Dewan Riset ini secara formal dan berlandaskan peraturan perundangan yang berlaku. Namun, Untuk mewujudkan reposisi DRD, diperlukan adanya Peraturan Pemerintah yang menyatakan adanya keterikatan antara posisi DRN di tingkat nasional dan DRD di tingkat daerah, dimana secara tugas utama DRD tetap berperan memberikan rekomendasi kepada Gubernur.
Secara lebih lanjut, sebaiknya segera dibentuk organisasi jejaring antara Dewan Riset seluruh Indonesia, yang terdiri dari para anggota DRN, DRD – DRD Provinsi, dan DRD – DRD Kabupaten / Kota. Organisasi ini diharapkan menjadi wadah saling bertukar pikiran antara anggota Dewan Riset dalam memajukan peran Dewan Riset di Indonesia, terutama dalam meningkatkan Sistem Inovasi Nasional (SINas) dan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) di Indonesia.
134
8. Daftar Pustaka
Ball, D.F. & J. Rigby (2006) Disseminating research in management of technology: journals and authors. R&D Management, 36:205-215. Benner, M. & U. Sandstrom (2000) Institutionalizing the triple helix: research funding and norms in the academic system. Research Policy, 29:291301. Bernstein, J.I. & M.I. Nadiri (1989) Research and development and intraindustry spillovers: an empirical application of dynamic duality. Review of Economic Studies, 56:249-269. Bessant, J. & H. Rush (1995) Building bridges for innovation: the role of consultants in technology transfer. Research Policy, 24:97-114. Bilton, C. (2007) Management and Creativity: From Creative Industries to Creative Management, Oxford: Blackwell Publishing. Button, K. & F. Rossera (1990) Barriers to communication: A literature review. The Annuals of Regional Science, 24:337-357. Carpenter, J. (2007) Communicating Research in Developing Countries. In M. Claessens (Ed.) Communicating European Research. Brussels. Cooke, P., Uranga, M.G. & Etxebarria, G. (1997) Regional Innovation Systems: Institutional and Organisational Dimensions. Research Policy, 26: 475-491. Cooke, P. (1998) Introduction: Origins of the Concept, Regional Innovation Systems, Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1497770 Cooke, P. (2001) Knowledge economics: clusters, learning and co-operative advantage, London: Routledge. Cousins, P., R. Lamming, et al. (2008). Strategic Supply Management. Essex: Prentice Hall.
135
Creswell, J.W. (1994) Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publication. Doloreux, D. & Parto, S. (2005) Regional innovation systems: current discourse and unresolved issues. Technology in Society, 27: 133-153. Dosi, G., C. Freeman, R.R. Nelson, G. Silverberg & L. Soete (1988) Technical Change and Economic Theory, London: Pinter Publisher. DRN (Dewan Riset Nasional). (2002) Sistem Inovasi Nasional dan Daya Saing, Jakarta: Dewan Riset Nasional. Duffy, M. (2000) The Internet as a research and dissemination resource. Health Promotion International, 15(4):349-353. Edge, D. (1979) Quantitative measures of communication in science: A critical review. History of Science, 17:102-134. Edquist, C. (1997) Systems of Innovation: Perspectives and Challenges. In J. Fagerberg , D.C. Mowery & R.R. Nelson (Eds.) The Oxford Handbook of Innovation. 181-208. Oxford: Oxford University Press. Etzkowitz, H. (2002) Incubation of incubators: innovation as a triple helix of university-industry-government networks. Science and Public Policy, 29(2):115-128. ________ (2003) Innovation in innovation: the Triple Helix of universityindustry-government relations. Social Science Information. 293-337. London: Sage Publications. Etzkowitz, H. & L. Leydesdorff (2000) The dynamics of innovation: from National Systems and "Mode 2" to a Triple Helix of UniversityIndustry-Government Relations. Research Policy, 29:109-123. Freeman, C. (1987) Technology and Economic Performance: Lessons from Japan, London: Pinter. Fritsch, M. & G. Franke (2004) Innovation, regional knowledge spillovers and R&D Cooperation. Research Policy, 33:245-255. Global Competitiveness Report (2010) The Global Competitiveness Report 2010–2011, Report: World Economic Forum.
136
Halpert, H.P. (1966) Communication as a Basic Tool in Promoting Utilization of Research Findings. Community Mental Health Journal, 2(3):231236. Hamelink, C. (1983) Cultural Autonomy in Global Communications, Longman: Harlow. Hameri, A.-P. (1996) Technology transfer between basic research and industry. Technovation, 16(2):51-57. Higgs, P., S. Cunningham & H. Bakhshi (2008) Beyond creative industries: mapping the creative economy in the United Kingdom. Report. London: NESTA. Hovland, C., I. Janis & H. Kelley (1982) Communication and persuasion: psychological studies of opinion change, Connecticut: Greenwood Press. Jensen, K.B. (2002) A Handbook of Media and Communication Research: Qualitative and Quantitative Methodologies, London: Routledge. Katz, J.S. & B.R. Martin (1997) What is Research Collaboration? Research Policy, 26:1-18. Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Rencana Strategis (Renstra) 20102014. Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Riset dan Teknologi (RISTEK). (2009). Sains dan Teknologi: Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangaan dan Kebutuhan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kementerian Riset dan Teknologi dan Dewan Riset Nasional. (2010). Pedoman Insentif Riset. Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi dan Dewan Riset Nasional. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/327/KPTS/013/2010 tanggal 19 Juli 2010. Kuusisto, J. & M. Meyer (2003) Insights into Services and Innovation in the Knowledge Intensive Economy. Report. Helsinki: Technology Review – National Technology Agency.
137
Lee, Y.S. (1996) 'Technological transfer' and the research university: a search for the boundaries of university-industry collaboration. Research Policy, 25:843-863. Lundvall, B.-Å. (1992) National Innovation Systems: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning, London: Pinter. ________ (2007) National Innovation Systems—Analytical Concept and Development Tool. Industry and Innovation, 14(1):95-119. Mantel, S.J. & G. Rosegger (1987) The role of third-parties in the diffusion of innovations: a survey. In R. Rothwell & J. Bessant (Eds.) Innovation: Adaptation and Growth. 123-134. Amsterdam: Elsevier. Markusen, A., G.H. Wassall, D. DeNatale & R. Cohen (2008) Defining the creative economy: industry and occupational approches. Economic Development Quarterly, 22(1):24-45. McGahan, A.M. & M.E. Porter (1997) How much does industry matter, really? Strategic Management Journal, 18(S1):15-30. Miles, I. (2000) Services innovation: coming of age in the knowledge-based economy. International Journal of Innovation Management, 20:11331156. ________ (2005) Innovation in Services. In J. Fagerberg , D.C. Mowery & R.R. Nelson (Eds.) The Oxford Handbook of Innovation. 433-458. New York: Oxford University Press Inc. Miles, I., N. Kastrinos, K. Flanagan, N. Bilderbeek, P. den Hertog, N. Huntink & M. Bouman (1995) Knowledge-Intensive Business Services: Users, Carriers, and Sources of Innovation. Report. Luxembourg: Directorate General for Telecommunications, Information Market and Exploitation of Research, Commission of the European Communities. Motohashi, K. (2005) University-industry collaborations in Japan: The role of new technology-based firms in transforming the National Innovation System. Research Policy, 34:583-594. Nasional, D.R. (2010) Agenda Riset Nasional 2010-2014, Jakarta: DRN.
138
Nelson, R.R. (1993) National Innovation Systems: A Comparative Analysis, Oxford: Oxford University Press. Nickell, SJ (1996) Competition and corporate performance. The Journal of Political Economy, 104(4): 724-746. Noam, E. (2006) Reconnecting communications studies with communications policy. Journal of Communication, 43(3):199-206. OECD (1997) National Innovation Systems. Report. Paris: Paris Cedex. Orr, L (1997) Globalisation and the universities: Towards the 'Market University'? Social Dynamics, 23(1): 42-64. Peck, H. (2005). Drivers of supply chain vulnerability: an integrated framework. International Journal Physics Distribution & Logistics Management, 35(4), 210-232. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 2 Tahun 2011. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 2010. Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 9 Tahun 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005. Pinto, M.B. & J.K. Pinto (1990) Project team communication and crossfunctional cooperation in new program development. Journal of Product Innovation Management, 7:200-212. Porter, M. (1990) The Competitive Advantage of Nations. New York: Simon & Schuster. Retnaningsih, Eko. (2011) Implementasi Sistem Inovasi Daerah (SIDa) di Sumatera Selatan. Disampaikan dalam Lokakarya “Penguatan SIDa Untuk Mendukung Daya Saing Produk Unggulan di Daerah” di Serpong, 15 Juni 2011. Lokakarya diselenggarakan oleh Dewan Riset Nasional. Rogers, E. (1986) Communication Technology: The New Media in Society, New York: Free Press.
139
Ruben, B. & L. Stewart (1998) Communication and Human Behavior, Needham Heights: Allyn & Bacon. Spence, A.M. (1984) Cost reduction, Competition and Industry Performance. Econometrica, 52:101-121. Stark, S. & H. Torrance (2005) Case Study. In B. Somekh & C. Lewin (eds.). Research Methods in the Social Sciences. 33-40. London: Sage Publication. Stone, D., S. Maxwell & M. Keating (2001) Bridging Research and Policy. Report. Warwick: UK Department for International Development. Subotzky, G. (1999) Alternatives to the entrepreneurial university: New modes of knowledge production in community service programs. Higher Education, 38:401-440. Surat Keputusan Gubenur Nusa Tenggara Timur Nomor 184 Tahun 2005. Suryono, Agus. (2011) Sistem Inovasi Daerah berbasis Klaster di Jawa Tengah. Disampaikan dalam Presentasi “Sosialisasi SIDa Jawa Tengah Tahun 2011” di Semarang, 10 Juni 2011. Taufik, Tatang A. (2005) Mendorong Kewirausahaan Teknologi (Technopreneurship) di Lingkungan Perguruan Tinggi: Peningkatan Peran dalam Membangun Daya Saing. Disampaikan sebagai Keynote Paper dalam “The 4th National Conference: Design and Application of Technology 2005” di Surabaya, 27th June 2005. Konferensi diselenggarakan oleh Universitas Widya Mandala – Surabaya
Taufik, Tatang & Pawennei, I. (2010) Kemitraan dalam Penguatan Sistem Inovasi Nasional, Jakarta: Dewan Riset Nasional - DRN Tidd, J., J. Bessant & K. Pavitt (2005) Managing Innovation: Integrating Technological, Market and Organisational Change, Chichester and New York: J. Wiley. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004.
140
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. UNIDO (2003) Strategies for Regional Innovation Systems: Learning Transfer and Applications, Vienna: UNIDO West, R. & L. Turner (2001) Introducing Communication Theory: Analysis and Application, New York: McGraw-Hill. Worral, R. (1972) Problems of collection and dissemination of population information and knowledge in Asia. The Economic Commission for Asia and the Far East, Second Asian Population Conference. Tokyo. Yin, R. K. (2003) Case study research, design and methods, 3rd ed, Newbury Park: Sage Publications
141
LAMPIRAN 1 Daftar Pertanyaan Dewan Riset Daerah (DRD)
Mekanisme Penyelenggaraan DRD 1. Kapankah DRD anda terbentuk? Bagaimana bentuk struktur organisasi DRD? Tugas dan fungsi? Ada SK Gubernur tentang DRD? 2. Bagaimana penyelenggaraan DRD selama ini? Kegiatan apa telah dilakukan? Perencanaan kegiatan di tahun ini dan tahun mendatang? 3. Menurut Anda, hal-hal apakah yang perlu diperbaiki dalam penyelenggaraan DRD?
Hubungan DRD dengan Mitra DRD 4. Bagaimana hubungan antara DRD dengan para mitra DRD selama ini Pertanyaan pendalaman:
Bagaimana DRD berhubungan (berkoordinasi, bekerja sama, dan berinteraksi) dengan mitra tersebut? Apa yang mendasari DRD melakukan hubungan dengan mitra? Apakah sesuai arahan Gubernur atau hal-hal lainnya?
142
Berapa banyak Mitra DRD (balitbangda, bappeda, pemda universitas, dan institusi-institusi lain) yang menjadi mitra anda selama ini? Sebutkan institusi-institusi tersebut!
Bagaimana frekwensi hubungan DRD dengan mitra?
5. Bagaimana manfaat DRD bagi mitra? Pertanyaan pendalaman:
Apa yang bisa ditingkatkan / diperbaiki dari hubungan dengan mitra tersebut?
Harapan terhadap Kementerian terkait, Pemda, Bappeda, Balitbangda dan universitas untuk meningkatkan hubungan dengan mitra tersebut?
Hubungan DRD dengan DRN 6. Bagaimana hubungan antara DRD dan DRN? Pertanyaan pendalaman:
Apakah DRD mendapatkan masukan dari DRN dalam penyelenggaraan kegiatannya?
Apakah DRD mengkomunikasikan perencanaan dan hasil kegiatannya kepada DRN?
7. Mekanisme seperti apa yang diharapkan dalam meningkatkan hubungan antara DRD dan DRN?
143
LAMPIRAN 2 Daftar Pertanyaan Mitra Dewan Riset Daerah (DRD)
Hubungan mitra dengan DRD 1. Bagaimanakah hubungan kerja (dukungan terhadap) dengan DRD selama ini? Pertanyaan pendalaman:
Bagaimana institusi Anda berhubungan (berkoordinasi, bekerja sama, dan berinteraksi) dengan DRD? Apa yang mendasari institusi Anda melakukan hubungan dengan DRD?
Bagaimana frekwensi hubungan institusi Anda dengan DRD?
2. Apa harapan terhadap DRD sudah tercapai? Apakah hubungan tersebut meningkatkan kinerja institusi Anda? Apakah sesuai dengan aturan yang ada? 3. Apakah yang dapat ditingkatkan/diperbaiki dari hubungan dengan DRD?
144
LAMPIRAN 3 Daftar Pertanyaan Dewan Riset Nasional (DRN)
Hubungan DRN dengan DRD 1. Bagaimana hubungan antara DRD dan DRN? 2. Apakah DRN memberikan masukan kepada DRD dalam penyelenggaraan kegiatannya? 3. Apakah DRD mengkomunikasikan perencanaan dan hasil kegiatannya kepada DRN? 4. Apa yang bisa ditingkatkan/diperbaiki dari hubungan dengan DRD?
145
LAMPIRAN 4 Daftar Pertanyaan Pakar Independen
Hubungan mitra dengan DRD 1. Menurut pengalaman / pengamatan Bapak/Ibu, bagaimana hubungan kerja (dukungan terhadap) DRD dengan DRN dan para mitra DRD? 2. Apa yang bisa ditingkatkan/diperbaiki dari hubungan DRD dengan DRN dan para mitra DRD?
146
LAMPIRAN 5 Daftar Responden Wawancara
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama Hervian Tahier Iwan Prof. Dr. Fachrurrozie Sjarkowi Eko Retnaningsih Ir. Ery Chayaridipura Ir. Tuty Kusumawati, MM Dr. Daniel Kameo Drs. Agus Suryono, MM Prof. Sunyono Didik Arif Budiono Bambang S. Lautt Ardewi, MT Binsar Simangunsong M. Nasir Prof. Wasir Thalib Ir. Rajendra Dr. Keron A. Petrus Dr. Marius Augy Sahailatua, PhD Joisangadji Dr. Tusy A. Adibroto Ir. Atang Sulaeman, Msi
Institusi DRD Sumatera Utara Balitbangda Sumatera Utara DRD Sumatera Selatan Balitbangda Sumatera Selatan DRD DKI Jakarta Bappeda DKI Jakarta DRD Jawa Tengah Balitbangda Jawa Tengah DRD Jawa Timur Bappeda Jawa Timur DRD Kalimantan Tengah Bappeda Kalimantan Tengah DRD Kalimantan Timur Bappeda Kalimantan Timur DRD Sulawesi Selatan Balitbangda Sulawesi Selatan DRD Nusa Tenggara Timur Bappeda Nusa Tenggara Timur DRD Maluku Bappeda Maluku DRN Pakar independen
147
TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT : Pengarah
: Tusy A. Adibroto
Koordinator
: Hartaya
Desain sampul dan Tata Letak
: Syarif Budiman
148