Kebijakan Satu Peta; Momentum Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional............................................... (Susanto, et al.)
KEBIJAKAN SATU PETA; MOMENTUM REFORMASI PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL NASIONAL (One Map Policy; Reform Momentum of Geospatial Information National Implementation) Aloysius Susanto1, Cecep Subarya2 dan Aris Poniman3 ABSTRAK Dalam paket kebijakan ekonomi Indonesia yang terbaru, disebutkan bahwa ada 3 hal penting yang perlu diatur melalui kebijakan pemerintah yaitu: Kebijakan Satu Peta (KSP) nasional , kilang minyak, dan bea masuk suku cadang pesawat. Khusus yang terkait dengan hal Kebijakan Satu Peta Nasional atau One Map Policy disebutkan yang menjadi latar belakangnya adalah bahwa Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang selama ini ada ternyata saling tumpang tindih satu dengan yang lain. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan saran untuk mendukung agar KSP bisa efektif dan berhasil dengan baik sesuai dengan tujuannya yaitu tersedianya berbagai peta tematik yang selaras, mempunyai persyaratan teknis untuk dipadukan/diintegrasikan, dan mempunyai akurasi yang dibutuhkan untuk mendukung berbagai pembangunan seperti pemanfaatan ruang, pengembangan kawasan, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya. Adapun saran yang diberikan antara lain adalah bahwa kebijakan satu peta sebagai momentum reformasi penyelenggaraan informasi geospasial, kebijakan tersebut juga jangan dipandang hanya masalah teknis kartografi semata. Selain itu diperlukan tim teknis yang kuat dan bekerja penuh waktu, terutama untuk melakukan verifikasi terhadap peta tematik yang ada sebelum diitegrasikan. Terakhir, perlu adanya cetak biru dari penyelenggaraan informasi geospasial nasional. Kata kunci : kebijakan satu peta, momentum reformasi, informasi geospasial
ABSTRACT In latest Indonesia‟s economic policy package, stated that there are 3 important things that need to be regulated through government policy, ie: national One Map Policy (OMP), oil refineries, and import tax of aircraft parts. The background of the One Map Policy is because Geospatial Information Thematic (IGT) which exist has no turns overlap one another. This paper aims to provide advice to support that OMP can be effective and work well for their intended purpose, there is the availability of various thematic maps are aligned, have technical requirements for combined / integrated, and has the accuracy required to support various development such as space utilization, development of the area, infrastructure development, and the others. The advice given is that the policy of the forum as the reform momentum of geospatial information national implementation, these policies are not seen as just a technical issue alone cartography. Also required strong technical team and work full time, mainly to verification of thematic maps that existed before be integrated. Lastly, there needs to be a blueprint for the implementation of the national geospatial information. Keywords: one map policy, reform momentum, geospatial information
PENDAHULUAN Pemerintah pada hari Senin 21 Desember 2015 yang lalu telah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi VIII. Dalam paket tersebut ada 3 hal penting yang perlu diatur melalui kebijakan pemerintah yaitu : Kebijakan Satu Peta (KSP) Nasional , Kilang Minyak, dan Bea Masuk Suku Cadang Pesawat. Khususnya yang terkait dengan hal Kebijakan Satu Peta Nasional atau One Map Policy disebutkan yang menjadi latar belakangnya adalah bahwa Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang selama ini ada ternyata saling tumpang tindih satu dengan yang lain. Kondisi tersebut sangat menyulitkan dalam mendukung pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan untuk pengembangan kawasan dan infrastruktur. Sementara pengembangan kawasan dan infrastruktur pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Sangat diyakini bahwa pengembangan kawasan dan pembangunan infrastruktur akan memberikan multi dampak yang positif bagi bangsa dan negara. Multi dampak tersebut antara lain : penyerapan tenaga kerja yang besar, meningkatkan konektivitas antar wilayah, meningkatkan kegiatan ekonomi di berbagai wilayah Indonesia, mengurangi biaya logistik, mengurangi ketimpangan antar kawasan, dlsb. Peran peta sebagai informasi geospasial yang 23
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 23-34
menggambarkan kondisi dan potensi suatu wilayah sangat dibutuhkan dan bahkan mutlak untuk mendukung perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian suatu wilayah. Namun fakta menunjukkan banyak peta tematik yang telah ada ternyata tidak bisa/sulit dipadukan/disinkronkan, baik dari isi maupun geometrisnya, sehingga tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. Secara fisik peta tematik telah banyak dihasilkan tetapi secara fungsional tidak bisa atau setidaknya kurang bisa didayagunakan. Kondisi ini tentu sangat merugikan karena tanpa bisa dipadukan/disinkronkan antara peta yang satu dengan peta yang lainnya untuk suatu kepentingan pembangunan pada akhirnya suatu perencanaan pembangunan akan mengalami kegagalan dan dengan sendirinya pembangunan wilayah tidak pernah ada, bahkan bisa jadi menyebabkan kerusakan lingkungan . Padahal untuk setiap rencana pembangunan misalnya infrastruktur jalan, kawasan ekonomi khusus, pelabuhan laut, dam, pariwisata, dlsb., memerlukan satu set peta dengan informasi geospasial tematik beragam tema dengan kebenaran geometris memadai untuk suatu rencana pembangunan. Kuatnya kepentingan yang bersifat sektoral, dan di sisi lain koordinasi pembangunan kawasan/kewilayahan yang lemah menyebabkan kementerian/lembaga menyelenggarakan pemetaan untuk kepentingan sektornya sendiri. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam era Pemerintahan Joko Widodo yang lebih mementingkan pembangunan kawasan dan bukan sektoral, banyak peta yang disodorkan oleh masing-masing kementerian/lembaga tidak kompatibel antara peta yang satu dan lainnya. Dengan demikian tepat sekali jika dalam Paket Kebijakan Ekonomi VIII ditetapkan Kebijakan Satu Peta Nasional atau One Map Policy. Kebijakan ini adalah untuk membenahi sistem pemetaan tematik nasional dan sekaligus peta dasarnya, khususnya untuk skala 1 : 50.000. Dari sisi lain adanya Kebijakan Satu Peta juga bisa dipandang bahwa sistem pemetaan nasional yang menghasilkan informasi geospasial nasional, selama ini (setelah 71 tahun Indonesia merdeka) ternyata belum bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan nasional. Pada tataran implementasi, KSP diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1 : 50.000. Tujuan KSP sendiri sebagaimana disebutkan dalam Perpres tersebut adalah terpenuhinya satu peta dengan tingkat ketelitian skala 1 : 50.000 yang mengacu pada satu referensi geospasial Indonesia yang berlaku terkini, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal. Disebutkan juga bahwa KSP akan berfungsi sebagai ; (a) acuan perbaikan data IGT (Informasi Geospasial Tematik), (b) acuan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas yang terintegrasi dalam dokumen Rencana Tata Ruang. Untuk tercapainya tujuan KSP tersebut diselenggarakan melalui Rencana Aksi Percepatan Pelaksanaan KSP pada kurun waktu 2016-2019. Rencana Aksi tersebut terdapat pada lampiran Perpres yang pada intinya berisi langkah-langkah perbaikan IGT yang ada di berbagai kementerian/lembaga melalui proses : kompilasi data IGT yang ada, integrasi data IGT dengan data IGD (Informasi Geospasial Dasar), sinkronisasi antar data IGT, dan rekomendasi serta fasilitasi penyelesaian masalah IGT. Proses pembenahan data IGT melalui KSP tentu tidak mudah karena sejak awal masing-masing kementerian membuat peta menurut “versinya” sendiri. Sehingga upaya pembenahannya tidak sekedar proses kartografi ( penggambaran data IGT di atas kertas saja), tetapi juga proses-proses substansial lainnya seperti pengumpulan data, pemrosesan data lapangan, visualisasi data pada peta, dan kerangka atau peta dasar yang digunakan untuk visualisasi data tematik perlu diteliti dan dikaji lagi. Tanpa penelitian dan pengkajian terhadap hal-hal tersebut akan menghasilkan peta yang sinkron di atas kertas tetapi tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan. Jika hal ini yang terjadi maka KSP yang tujuannya untuk acuan rencana pemanfaatan ruang, pada akhirnya tidak akan pernah berhasil. Oleh karena itu pada tahun 2016 ini yang merupakan tahun awal pelaksanaan KSP, seharusnya dijadikan titik awal untuk menentukan langkah-langkah strategis yang bersifat pembenahan mendasar menuju KSP yang baik dan benar dalam arti pembenahan isi dan aspek geometris. Harus diingat peta sintesis (gabungan beberapa peta tematik) yang salah bisa merugikan banyak pihak pemilik tanah seperti pemegang hak milik/guna tanah (perkebunan, kehutanan, pertambangan), adat, pemerintah, pribadi, dlsb. Momentum KSP seyogyanya juga dijadikan pula untuk melakukan reformasi penyelenggaraan informasi geospasial nasional sebagai antisipasi perkembangan teknologi serba digital 5-10 tahun mendatang. Penataan penyelenggaraan informasi geospasial nasional sangat perlu dilakukan agar Indonesia tidak menjadi korban perkembangan teknologi di bidang informasi geospasial yang begitu pesat.
24
Kebijakan Satu Peta; Momentum Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional............................................... (Susanto, et al.)
Tulisan ini dibuat sebagai sumbang saran pemikiran yang terkait dengan aspek kebijakan dan solusi masalah Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy serta masukan untuk reformasi penyelenggaraan informasi geospasial nasional. Tujuannya memberikan saran untuk mendukung agar KSP bisa efektif dan berhasil dengan baik sesuai dengan tujuannya yaitu tersedianya berbagai peta tematik yang selaras, mempunyai persyaratan teknis untuk dipadukan/diintegrasikan, dan mempunyai akurasi yang dibutuhkan untuk mendukung berbagai pembangunan seperti pemanfaatan ruang, pengembangan kawasan, pembangunan infrastruktur, dlsb. Disamping itu Kebijakan Satu Peta juga bisa dipandang sebagai waktu yang tepat untuk mulai melakukan reformasi penyelenggaraan informasi geospasial di Indonesia dalam menghadapi perkembangan teknologi kurun waktu 5-10 tahun mendatang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Informasi Geospasial Informasi Geospasial adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. Sedangkan data geospasial adalah data tentang lokasi geografis , dimensi, atau ukuran, dan/atau karakteristik obyek alam, dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi. Dalam kehidupan sehari-hari Informasi Geospasial (IG) dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT). Informasi Geospasial Dasar merupakan IG yang berisi tentang obyek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik di muka bumi dan tidak berubah dalam waktu yang relatif lama. Informasi geospasial dasar ini misalnya informasi tentang geometri obyek-obyek berkoordinat dari gambaran fisik permukaan bumi, bentuk muka bumi atau rupa bumi, garis pantai, dlsb. Informasi Geospaial Tematik (IGT) merupakan IG yang menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada informasi geospasial dasar. Contoh IGT misalnya adalah: peta penggunaan lahan, peta hutan, peta kawasan pertambangan, peta rencana tata ruang, dlsb. Berbagai peta tersebut pada hakekatnya adalah gambaran apa yang ada di permukaan bumi maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan dalam sebuah bidang datar, misalnya kertas peta. Tentu untuk bisa mendapatkan gambaran yang mendekati kebenaran dengan kenampakan dari obyek di bumi tersebut dilakukan penggambaran dengan menggunakan sistem proyeksi peta tertentu. Permukaan bumi yang melengkung kemudian diproyeksikan pada bidang datar tentu akan terjadi distorsi jarak. Penggambaran yang baik adalah penggambaran dengan sistem proyeksi peta yang menghasilkan distorsi jarak antara penggambaran di peta dengan jarak di lengkung bumi yang paling minimal. Disinilah awal persoalan pemetaan seharusnya menjadi perhatian, agar berbagai peta yang akan dibuat bisa diintegrasikan untuk berbagai keperluan seperti, pembuatan bendungan, perencanaan kota, pemanfaatan atau pengelolaan wilayah hutan gambut, perencanaan tata ruang wilayah, dlsb. Peta dasar yang berupa Peta Rupabumi yang merupakan bagian IGD mulai sejak awal harus dirancang, dibuat, dan diimplementasikan secara konsisten untuk visualisasi berbagai informasi tematik. Karena Peta Rupabumi merupakan kerangka dasar untuk penuangan informasi peta-peta tematik. Dalam era teknologi serba digital yang berkembang begitu maju, informasi geospasial juga mengalami kemajuan yang begitu cepat. Hampir semua lapisan masyarakat telah merasakan dan memanfaatkan informasi geospasial untuk menunjang kehidupan sehari-hari mereka. Tidak hanya pemerintah tetapi rakyat biasa dalam kehidupan sehari-hari telah menggunakan informasi geospasial untuk menunjang tugasnya. Peta Google, Waze misalnya yang ada di smartphone telah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan misalnya untuk mencari jalan terdekat, jalan yang tidak macet, atau bahkan membimbing setiap orang untuk menjelajahi wilayah-wilayah yang tidak mereka kenal sebelumnya. Orang-orang awam yang sebelumnya tidak mengenal dan menggunakan peta, dalam era teknologi gadget saat ini “dipaksa” untuk tahu dan mengerti bagaimana membaca dan menggunakan peta. Hal itu selain karena tuntutan kebutuhan juga sangat mungkin diliputi rasa “takut” dicap gaptek dan tidak mengikuti arus zaman. Di sisi lain pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari dan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat mau tidak mau juga harus menyelenggarakan adanya berbagai informasi geospasial yang semakin 25
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 23-34
kompleks dengan tingkat akurasi yang tinggi. Suatu penelitian di Amerika menunjukkan bahwa informasi yang digunakan suatu pemerintahan sekitar 80%nya merupakan informasi geospasial. Bagi pemerintah Indonesia saat ini juga merasakan bahwa informasi geospasial semakin banyak dibutuhkan untuk tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tentu sangat disadari bahwa tuntutannya bukan hanya semakin banyak informasi geospasial, tetapi juga semakin berkualitas informasi tersebut. Salah satu langkah untuk meningkatkan kualitas informasi geospasial Indonesia adalah dikeluarkannya Paket Kebijakan Ekonomi ke VIII dan dijabarkan dalam bentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1 : 50.000. Tentu kebijakan adalah satu hal yang penting namun implementasi beserta faktor infrastruktur dan kesiapan sumber daya manusia di lapangan adalah faktor lain yang memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh. Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden tersebut, Kebijakan Satu Peta atau KSP adalah arahan strategis untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal pada tingkat ketelitian peta skala 1 : 50.000. Perkembangan Informasi Geospasial Global Kebijakan Satu Peta sekalipun hanya mencakup wilayah yurisdiksi NKRI, namun untuk keperluan masa depan, seyogyanya kebijakan satu peta ini juga memperhatikan perkembangan informasi geospasial dalam lingkungan global. Mengapa demikian karena banyak isu-isu global yang memerlukan kerjasama antar negara yang perlu didukung informasi geospasial yang mempunyai interoperabilitas dan bisa saling diintegrasikan. Isu-isu global tersebut misalnya dampak perubahan iklim global, pembangunan berkelanjutan, pencegahan dan penanggulangan bencana alam, ketahanan pangan, dlsb. Hampir semua negara menyadari bahwa di masa depan setidaknya lima sampai sepuluh tahun mendatang terjadi peningkatan informasi geospasial secara eksponensial. Pertanyaannya adalah bagaimana negara-negara saling bekerjasama untuk menyikapi dan mengantisipasi? Langkah-langkah apa yang diperlukan untuk mengelola data yang sangat berlimpah? Infrastruktur dan kelembagaan apa yang diperlukan? Bagaimana dengan negara miskin yang tidak mampu menyediakan anggaran untuk mengolah data yang berlimpah tersebut Pada hal baik negara maju maupun sedang berkembang menyadari bahwa masalah-masalah global harus ditangani bersama-sama, saling bahu-membahu, dan tolong-menolong. Kerjasama dalam membangun infrastruktur informasi geospasial global menjadi prasyarat efektif dan efisiennya perencanaan lintas negara dalam menjawab berbagai isu global seperti perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, dan mengurangi ketimpangan antar wilayah, dan lain sebagainya. Masyarakat global menyadari bahwa saat ini informasi geospasial telah mengalami peningkatan secara eksponensial. Bahkan dengan perkembangan sistem satelit dan teknologi internet yang ada dan semakin berkembang pesat, diperkirakan tersedianya informasi geospasial dalam 5 sampai 10 tahun mendatang akan semakin jauh meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa yang bernama United Nations Committe of Experts on Global Geospatial Information Management (UN-GGIM) telah mempublikasikan suatu laporan yang berjudul “Future Trends in Geospatial Information : the Five to Ten Year Vision” pada tahun 2013. Laporan tersebut disusun berdasarkan kontribusi para pemangku kepentingan dari seluruh dunia yang terkait dengan informasi geospasial. Disadari oleh para pengambil keputusan baik yang berada di lingkungan pemerintah maupun dunia usaha, bahwa informasi geospasial semakin penting perannya untuk menunjang tugas-tugas yang diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa informasi geospasial telah dan semakin dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan dan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien. Sebagai contoh Mesir menggunakan informasi tersebut untuk membantu pembangunan ekonomi dan efisiensi dalam pengumpulan pajak, Spanyol untuk mengelola sektor pertanian, Brazil memanfaatkan informasi geospasial untuk mengurangi kriminalitas, Korea menggunakan informasi geospasial untuk pemutakhiran peta kadaster dan pengelolaan kepemilikan tanah. Masing-masing negara mempunyai sasaran yang spesisifik dalam memanfaatkan informasi geospasial. Informasi ini dari waktu ke waktu mengalami perluasan pemanfaatan sesuai dengan tantangan dan keakurasian informasi yang semakin baik. Setiap negara mempunyai tantangan sendiri dalam hal pengelolaan informasi geospasial,sesuai tingkat kemajuan masing-masing negara. Dalam
26
Kebijakan Satu Peta; Momentum Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional............................................... (Susanto, et al.)
kurun waktu 5 sampai 10 tahun mendatang UN-GGIM mengidentifikasi 5 hal yang menjadi tantangan dalam penyelenggaraan informasi geospasial, yaitu : 1. Kecenderungan Perkembangan Teknologi Beroperasinya sistem satelit global seperti Global Navigation Satellite System/GNSS dan sistem satelit sumber daya dan lingkungan, serta koneksi internet dalam 10 tahun terakhir telah menghasilkan informasi tentang lokasi, keberadaan kondisi dan potensi sumber daya alam/buatan di setiap sudut permukaan bumi serta pemanfaatan informasi tersebut secara masif. Pada tahun 2020 diperkirakan ada sekitar 100 GNSS yang beroperasi. Nilai guna dan hasil guna kombinasi teknologi tersebut tentu akan semakin meningkat. Dalam 5 sampai 10 tahun mendatang kehadiran teknologi yang semakin murah dan sederhana akan hadir di setiap telpon seluler, komputer atau peralatan sehari-hari yang biasa digunakan oleh masyarakat awam. Ini mengandung arti bahwa sejumlah data yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan hadir di tengah-tengah masyarakat melalui gadget atau smartphone. Pengguna sosial media seperti Twitter dan Facebook di masa 5 sampai 10 tahun mendatang mempunyai kemampuan menggunakan/ mengolah data yang bersifat spasial.
Gambar 1. Globel Stellite Observation System.
Di sisi lain meningkatnya data geospasial yang begitu besar juga memberikan tantangan dalam hal penyimpanan dan pemanfaatan data tersebut. Tantangan ini harus dijawab dengan menejemen data yang baik termasuk di dalamnya penyediaan infrastruktur yang memadai dengan dukungan sumber daya manusia yang mumpuni. Menurut suatu penelitian saat ini data geospasial yang dihasilkan setiap harinya mencapai 2.5 quintillion ( 2.5 .000.000.000.000.000.000 ) bytes. Teknologi untuk memproses data yang begitu besar di masa mendatang sangat dibutuhkan untuk menghasilkan informasi real-time dan modeling real-time. Perkembangan teknologi web akan menciptakan keterkaitan (link) penyedia data satu dan lainnya. Kompetisi untuk mengolah data spasial yang berlimpah akan menciptakan nilai tambah data-data tersebut menjadi informasi geospasial bagi khalayak ramai dan menyasar pada segmen-segmen pengguna tertentu. Kondisi ini juga akan menciptakan cloud storage dan cloud processing . Sistem ini pada dasarnya adalah bahwa para pengguna data spasial tidak perlu menyimpan data spasial di komputer masing-masing (mengingat besarnya data geospasial) tetapi cukup dengan memanfaatkan jaringan yang terkoneksi dengan internet. Pengguna memanfaatkan data geospasial yang tersimpan di server penyedia data (data provider) dan mengolahnya menjadi informasi geospasial yang dibutuhkan. Teknologi yang tersedia akan mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi pengelolaan informasi geospasial. 27
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 23-34
Gambar 2. Contoh Jaringan Data Yang Komplek (Sumber: Ordnance Survey).
Kebutuhan data geospasial di masa mendatang juga semakin canggih. Kalau saat ini didominasi oleh data geospasial 2 dimensi dan mulai berkembang data geospasial 3 dimensi, maka di masa mendatang banyak dibutuhkan data yang mempunyai 4 dimensi. Dimensi ke-4 tersebut adalah waktu. Informasi geospasial 4 dimensi tersebut sangat ditunjang dengan perubahan yang signifikan terkait dengan resolusi spasial, spektral, dan radiometri citra satelit. Di samping itu perlu dicatat semakin majunya teknologi wahana UAV (Unmanned Aerial Vehicle) yang dilengkapi dengan berbagai macam sensor untuk memotret obyek-obyek di permukaan bumi dengan cakupan wilayah yang tidak terlalu luas. Menghadapi membanjirnya data geospasial di masa mendatang memerlukan standar data yang diinisiasi oleh pemerintah. Pemerintah perlu membuat Open Standar agar menejemen data yang diadakan oleh siapapun pada akhirnya bisa dimanfaatkan dan dipadukan untuk kepentingan masyarakat. 2. Kecenderungan Perkembangan Aspek Kebijakan dan Hukum Kebijakan pembiayaan untuk pengadaan dan pemeliharaan data/informasi geospasial bagi pemerintah untuk 5 sampai 10 tahun mendatang akan mengalami perubahan. Pembiayaan tidak hanya dari uang yang berasal dari pajak tetapi juga dari sumber lainya. Pemerintah tidak bisa memenuhi semua kepentingan publik akan data/informasi geospasial. Data/informasi tersebut harus dikombinasikan dengan data/informasi yang dikumpulkan oleh swasta. Tentu saja pembiayaan pengadaan data/informasi oleh pihak swasta tidak bisa dibiayai dari pajak yang dikumpulkan oleh masyarakat. Hal ini akan akan merubah kebijakan pebiayaan pengadaan dan pemeliharaan data/informasi spasial. Penyelenggaraan data/informasi geospasial yang mencakup pengumpulan, pengolahan, dan pemeliharaan data oleh pemerintah selama ini dibiayai oleh pajak yang dikumpulkan dari rakyat. Oleh karena itu hampir semua data/informasi geospasial diberikan kepada masyarakat secara gratis. Sementara pihak non pemerintah atau swasta dalam batas data/informasi tertentu memberikan data/informasi secara gratis namun untuk data/informasi geospasial yang mempunyai nilai tambah dikenakan tarif sesuai perhitungan biaya yang telah dikeluarkan. Adanya perbedaan ketersediaan infrastruktur dan data/informasi geospasial , serta kondisi anggaran yang dipunyai suatu negara menyebabkan pola pembiayaan berbeda antara satu negara dan negara lainnya. Sangat mungkin dana internasional atau negara dengan tingkat kemakmuran tinggi juga digunakan untuk membantu negara-negara yang mengalami keterbelakangan dalam hal pengadaan data/informasi geospasial. Sehingga digital divide atau geospatial data/information divide antar negara bisa dikurangi. Pada masa 5 sampai 10 tahun mendatang banyak data/informasi geospasial dengan presisi tinggi bisa diakses oleh masyarakat. Data/informasi terutama dikumpulkan oleh organisasi swasta global seperti Google dan Microsoft/Bing. Saat inipun telah kita alami, hampir seluruh masyarakat telah 28
Kebijakan Satu Peta; Momentum Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional............................................... (Susanto, et al.)
mengakses informasi jalan dan fitur permukaan bumi dimanapun mereka berada dari Google Map. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dimanapun untuk mampu menyediakan informasi geospasial bagi masyarakat dan sekaligus mudah diakses sebagaimana peta-peta yang dihasilkan Google Map. Kemajuan mendapatkan data/informasi yang semakin detil dengan tingkat presisi yang tinggi akan memberikan tantangan yang terkait dengan isu keamanan atau privasi. Hal lainnya yang perlu diantisipasi adalah masalah lisensi, kebijakan yang terkait dengan harga dan hak milik data. Masalah-masalah ini terkait dengan banyaknya data/informasi geospasial yang bisa diakses melalui internet. 3. Kecenderungan Kebutuhan Keterampilan dan Pelatihan SDM Keterampilan dan pelatihan sumber daya manusia perlu diprogramkan secara matang untuk menyongsong era ledakan informasi geospasial mendatang. Penyiapan SDM tersebut seyogyanya dimulai saat ini, agar tidak terlambat. Jenis keterampilan dan pelatihan apa yang diperlukan perlu diidentifikasi agar keberadaan informasi geospasial yang semakin banyak, teliti, dan mudah diakses melalui internet bisa didayagunakan secara maximal. Peran NGO dan institusi non pemerintah perlu diajak untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia terutama untuk negara yang belum banyak berkembang (less-developed nations). Sinergitas antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menyiapkan keterampilan dan pelatihan yang dibutuhkan untuk menyongsong ledakan informasi geospasial perlu disiapkan dengan baik dan terencana. 4. Kecenderungan Peran Swasta dan Sektor Non Pemerintah Web, pemetaan yang bersifat mobil (mobile mapping), dan data-data geospasial yang dikumpulkan masyarakat secara masif semakin meningkat. Ini menunjukkan bahwa masyarakat dan sektor swasta telah semakin berperan dalam pengadaan data/informasi geospasial dalam 10 tahun terakhir. Peta Google dan Bing telah menjadi global trend dan hal ini menjadi tolok ukur bahwa swasta telah mampu membuat peta digital dan bisa bebas diakses oleh masyarakat. Disamping perusahaan swasta besar peran Volunteer Geographic Information (VGI) dan perorangan dalam memberikan kontribusinya untuk membangun informasi geospasial perlu mendapat perhatian. Peristiwa gempa bumi di Negara Haiti yang lalu memberikan pelajaran bahwa melalui gadget masingmasing orang per orang memberikan data/informasi geospasial untuk memperkaya informasi geospasial yang ada. Potensi semacam ini akan terus meningkat di masa mendatang. Masalahnya diperlukan suatu cara bagaimana informasi yang diberikan orang per orang ini bisa divalidasi sehingga menghasilkan data atau informasi yang mempunyai tingkat akurasi yang tinggi. Bagaimanapun juga kebangkitan VGI maupun perorangan dalam memberikan kontribusi data/informasi geospasial perlu disambut baik oleh Badan Pemetaan Nasional di setiap negara. Kelembagaannya bagaimana, itulah tantangan yang perlu dijawab. 5. Kecenderungan Peran Pemerintah di Masa Mendatang Peran pemerintah dalam 5 sampai 10 tahun mendatang khususnya dalam pengumpulan dan menejemen data perlu disesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis yang terkait dengan kondisi, situasi, dan kecenderungan (trends) data/informasi geospasial sebagaimana disebutkan di atas. Sekalipun peran swasta dan masyarakat semakin meningkat dalam pengumpulan dan menejemen data/informasi geospasial, namun pemerintah tidak sepenuhnya bisa mengandalkan pada data/informasi geospasial yang swasta/masyarakat punyai. Swasta tentu akan melakukan suatu kegiatan dengan pertama-tama menghitung nilai pengembalian investasi untuk sejumlah uang yang ditanamkan untuk pengadaan data/informasi geospasial. Untuk wilayah yang jauh dengan tingkat aktivitas ekonomi rendah tentu tidak menjadi perhatian swasta. Di wilayah inilah seyogyanya pemerintah melakukan pengadaan data/informasi geospasial. Untuk itu peran penting pemerintah di masa mendatang adalah menyediakan dan memelihara informasi geospasial dasar yang bisa menjadi acuan dan bisa dipercaya. Kecenderungan peran pemerintah antara negara satu dan lainnya berbeda-beda. Ada yang ingin berperan untuk memutakhirkan data yang telah out of date, mengadopsi perubahan kebutuhan pengguna dengan cara membangun online mapping, dlsb. Beberapa negara mungkin akan meningkatkan peran mereka dalam pengadaan data/informasi 29
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 23-34
geospasial karena mereka merasa bahwa itulah tugasnya. Sementara yang lain mungkin akan memfokuskan pada kerjasama dengan pihak swasta. Namun kecenderungan umum adalah masingmasing pemerintah ingin membangun informasi geospasial yang bersifat dasar sebagai acuan untuk pembuatan informasi geospasial turunan. Selain itu kecenderungan hampir semua pemerintahan selama ini adalah membangun Infrastruktur Data Spasial Nasional yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pengguna Informasi Geospasial. Detail isi dari kedua hal tersebut diperlukan penyabaran lebih lanjut demikian juga strategi untuk mencapainya perlu diformulasikan.
Tantangan dan Peluang Penyelenggaraan Informasi Geospasial Indonesia Informasi geospasial telah diakui mempunyai peran yang semakin penting baik pada tingkat global, regional, maupun nasional. Peran penting tersebut terkait dengan aspek pembangunan wilayah. Bagi Indonesia perhatian terhadap pentingnya informasi geospasial sudah cukup besar. Adanya UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan terakhir Peraturan Presiden RI No.9 Tahun 2016 mengenai Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1 : 50.000. Kebijakan ini di satu sisi bisa dilihat bahwa perhatian para pemimpin bangsa dan negara semakin besar tentang peran informasi geospasial bagi pembangunan negara, namun di sisi lain juga harus dipandang bahwa keberhasilan meningkatkan kwantitas informasi geospasial selama 71 tahun Indonesia merdeka, ternyata secara kualitas berbagai IGT yang telah dihasilkan masih kedodoran untuk mendukung pembangunan nasional. Hal lain yang perlu dikritisi dan diakui adalah bahwa selama ini penyelenggaraan informasi geospasial oleh masing-masing kementrian/lembaga masih bersifat sektoral dan belum dalam satu koordinasi yang kuat. Hal ini selain menjadi tantangan bagi institusi penyelenggara pengadaan IGT sekaligus menjadi peluang untuk memperbaiki proses pembuatan informasi geospasial tersebut, sehingga akhirnya bisa diintegrasikan dan disinkronkan. Tantangan berikutnya adalah mereview kembali pengadaan Peta Rupabumi sebagai Peta Dasar yang penugasannya dibebankan pada Badan Informasi Geospasial. Dalam UU No.4 Tahun 2011 tercantum bahwa untuk pengadaan Peta Rupabumi tersebut dari skala 1 : 1000.000, 1:500.000, 1 : 250.000, 1:100.000, 1: 50.000, 1: 25.000, 1:10.000, 1:5.000, 1:2.500, dan 1 : 1.000 menjadi tugasnya BIG. Tugas tersebut terlalu besar volumenya dan sangat mungkin tidak bisa terpenuhi dikala para pengguna sudah sangat membutuhkan. Dalam perspektif pembangunan nasional jika ini terjadi maka akan menjadi faktor penghambat. Diperlukan cara bagaimana jalan keluarnya untuk mengatasi hambatan tersebut. Permasalahan lainnya adalah masih adanya Peta Rupabumi yang tingkat akurasinya perlu diperbaiki. Untuk masalah Peta Rupabumi ini seharusnya BIG betul-betul serius untuk menerapkan metodologi dan syarat-syarat teknis lainnya secara baik dan benar. Hal ini penting agar kementerian dan lembaga yang membuat peta tematik menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap validitas dan reliabelitas Peta Rupabumi yang dipakai sebagi dasar penuangan informasi tematiknya. Kementerian/lembaga non kementerian yang berwenang dalam penyelenggaraan IG harus secara terus menerus melakukan edukasi kepada masyarakat luas agar pengetahuan mereka terhadap IG semakin meningkat. Peningkatan pengetahuan akan menimbulkan kesadaran spasial semakin tinggi yang pada akhirnya juga akan mendorong peningkatan kesadaran lingkungan yang semakin tinggi. Kesadaran ini akan sangat berkorelasi dengan berbagai isu global seperti : antisipasi dampak perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, dan isu-isu lain yang terkait dengan aspek lingkungan. Penggunaan IG sebagai alat analisis untuk menjawab kasus-kasus yang terkait dengan isu lingkungan lokal merupakan cara efektif untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya IG. Perkembangan teknologi informasi geospasial seperti : semakin banyaknya sistem satelit dan wahana lainnya (mis. Drone) yang menghasilkan data dengan tingkat akurasi tinggi, meningkatnya kemampuan pemrosesan data dengan berbagai perangkat lunak dan keras, meningkatnya peran internet menyediakan/menyebarkan IG, peran swasta/individu/masyarakat mengkontribusi informasi geospasial (mis. Google,Waze) akan menyebabkan IG tersebut meningkat secara exponensial. Kondisi ini seharusnya menjadi tantangan pihak pemerintah untuk mempersiapkan berbagai hal yang terkait dengan menejemen IG nasional. Bagaimana peran pemerintah dan swasta bisa saling bersinergi dalam pengadaan, pemrosesan, diversifikasi, dan visualisasi; bagaimana ledakan IG tersebut tidak menyebabkan duplikasi pengeluaran biaya oleh pemerintah dan swasta; bagaimana 30
Kebijakan Satu Peta; Momentum Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional............................................... (Susanto, et al.)
pengolahan data dikelola sehingga validitas IG yang dihasilkan oleh siapapun bisa terjaga ; bagaimana kelembagaan dan prosedur kerja pertukaran IG antara pemerintah dan swasta; bagaimana membangun sinergitas kemampuan nasional (sdm, teknologi, keuangan) menjadi Indonesian Corporated di bidang informasi geospasial. Semuanya itu merupakan tantangan dan peluang yang harus dijawab agar Indonesia tidak tergagap dengan tantangan perkembangan IG pada 5-10 tahun mendatang. Cetak biru penyelenggaraan IG nasional yang adaptif dengan perkembangan zaman harus disiapkan. Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai pengemban utama UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial harus mengambil prakarsa dalam Pembuatan Cetak Biru Penyelenggaraan Informasi Geospasial tersebut. Publikasi “Future Trends in Geospatial Information Management : the Five to Ten Year Vision yang dikeluarkan UN-GGIM seyogyanya menjadi salah satu referensi untuk penyusunan Cetak Biru tersebut. Sejumlah peran penting pemerintah seperti : menjembatani komunikasi dan koordinasi berbagai organisasi di bidang IG, kerjasama dengan masyarakat IG, menyediakan kerangka IG yang valid, pemeliharaan IG nasional merupakan hal-hal penting yang harus diformulasikan dalam cetak biru penyelenggaraan IG nasional.
Saran Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional Tekad Pemerintah Indonesia untuk keberhasilan integrasi dan sinkronisasi berbagai peta tematik terlihat dengan dimasukkannya Kebijakan Satu Peta sebagai salah satu bagian dari 3 bagian yang diatur dalam Paket Kebijakan Ekonomi VIII. Selanjutnya untuk implementasinya dituangkan dalam dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1 : 50.000. Perpres ini ditindaklanjuti dengan berbagai aktifitas kementerian/lembaga yang terkait dan bahkan untuk menjamin pelaksanaannya dibentuk Tim Percepatan KSP dengan Ketua Menko Bidang Perekonomian, dengan anggota Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, dan Sekretaris Kabinet. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya KSP dalam kaitannya dengan kelancaran dan keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Dalam lampiran Perpres tersebut juga tercantum Rencana Aksi Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta yang mencakup : program, kegiatan, keluaran, target waktu penyelesaian, penanggung jawab, dan istansi terkait. Rencana aksi dijabarkan per tahun anggaran dari 2016-2019. Berdasarkan kebijakan, rencana aksi, dan perkembangan informasi geospasial dalam 5-10 tahun mendatang dan perkembangan informasi geospasial global, KoPPI (Komunitas Pemerhati Pemetaan Indonesia) menyampaikan saran masukan sebagai berikut :
1. Kebijakan Satu Peta sebagai Momentum Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial KSP seharunya tidak hanya terfokus membenahi peta tematik skala 1 : 50.000 yang selama ini tidak sinkron antara satu dan lainnya tetapi juga digunakan sebagai momentum untuk membenahi kondisi penyelenggaraan Informasi Geospasial secara struktural, sistemik, dan komprehensif agar Indonesia mampu mengantisipasi berbagai faktor perkembangan yang terkait dengan informasi geospasial global. Perkembangan tersebut menyangkut penyediaan infrastruktur, pengaturan peran pemerintah dan swasta/perorangan, antisipasi perkembangan teknologi, pembaharuan regulasi dalam menejemen informasi geospasial nasional, pemerataan kemampuan sdm di pusat dan daerah (termasuk swasta) dan hal-hal lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan informasi geospasial. Ketidaksiapan menghadapi perkembangan zaman di bidang informasi geospasial akan menimbulkan kegagapan Indonesia dalam menghadapi berbagai isu global seperti: perubahan iklim, perlindungan lingkungan hidup, ketahanan pangan, dlsb.
31
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 23-34
Gambar 3. Lingkup KSP ( sumber: BIG, 2016).
2.
Kebijakan Satu Peta Jangan Dipandang Hanya Masalah Teknis Kartografi Saja.
Dari rencana aksi nampak bahwa KSP dipandang hanya aspek teknis kartografi semata sehingga langkah yang ditempuh dengan menginventarisasi, mengelompokkan, dan memadukan (mengintegrasikan) berbagai peta tematik yang ada pada Peta Rupa Bumi 1 : 50.000 sebagai peta dasar. Padahal jika dikaji peta-peta tematik dari berbagai kementerian/lembaga yang akan diintegrasikan tidak seluruhnya telah dibuat secara benar dan memenuhi kaidah-kaidah teknis pemetaan. Peta-peta tematik tersebut mempunyai kualitas berbeda antara peta satu dan lainnya sehingga sulit diintegrasikan menjadi satu peta sintesis yang tingkat kebenarannya bisa dijamin. Misalnya menjadi Peta Tata Ruang Wilayah, Peta Pengembangan Kawasan Ekonomi. Harus diingat bahwa peta mereprentasikan suatu luasan wilayah/lahan tertentu seperti : wilayah hutan, wilayah kuasa pertambangan, hak milik lahan pertanian, dlsb. Hasil integrasi berbagai peta yang tidak mereprentasikan luas suatu wilayah yang sebenarnya akan menjadi sumber gugatan hukum pihakpihak swasta, pemilik lahan, adat yang menguasai lahan tersebut. Jika demikian penyelenggaraan IG belum memenuhi asas kepastian hukum. 3.
Diperlukan Tim Teknis yang Kuat dan Bekerja Penuh Waktu
Tim Percepatan dan Tim Pelaksana KSP harus dibantu dengan tim-tim teknis yang bekerja penuh waktu dan faham secara mumpuni aspek-aspek pemetaan dasar dan pemetaan tematik di masingmasing sektor. Tim Teknis ini mempunyai volume kegiatan terbesar dibandingkan Tim Percepatan dan Tim Pelaksana. Oleh karena itu Tim Teknis harus tidak dibebani tugas lainnya selain mengerjakan integrasi dan sinkronisasi berbagai peta tematik. Tim teknis ini sebaiknya juga mempunyai kewenangan untuk memutuskan aspek-aspek teknis pengintegrasian peta-peta tematik dan tidak dibebani untuk aspek-aspek yang bersifat kebijakan yang menjadi domain Tim Percepatan dan Tim Pelaksana. 4. Peta Tematik Perlu Diverifikasi Sebelum Diitegrasikan. Untuk keberhasilan KSP, berbagai peta tematik yang akan diintegrasikan (dengan fakta kualitas peta tematik yang berbeda) tidak serta merta bisa diintegrasikan begitu saja. Hanya petapeta tematik yang telah diuji validitasnya (baik di lapangan maupun laboratorium) bisa diintegrasikan. Peta yang valid adalah peta yang memenuhi syarat teknis pemetaan dan termasuk adanya pengecekan kebenaran di lapangan. Untuk itu tim teknis (koordinasi oleh BIG) semestinya 32
Kebijakan Satu Peta; Momentum Reformasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional............................................... (Susanto, et al.)
membuat ketentuan teknis pembuatan peta tematik untuk bisa menjadi pedoman kementerian/lembaga. Pedoman ini mempunyai fungsi sebagai check list untuk peta-peta yang dibuat kementerian/lembaga. 5. Jaminan Kebenaran Peta Dasar Peta Rupabumi skala 1 : 50.000 yang digunakan sebagai peta dasar bagi informasi tematik harus dijamin kebenarannya. Artinya secara teknis dibuat dengan benar dan memenuhi syarat-syarat teknis pembuatan peta dasar. Karena yang mempunyai otoritas pembuatan Peta Rupabumi adalah Badan Informasi Geospasial (BIG), maka institusi ini harus bisa menjamin bahwa Peta Rupabumi yang telah dipublikasikan memang benar dan teruji secara teknis. Peta Rupabumi skala 1 : 50.000 sebagai peta dasar memang sangat penting karena merupakan prasyarat terwujudnya KSP. Namun perlu diantisipasi akan tantangan kebutuhan di masa depan tentang informasi geospasial yang lebih detil dari skala 1:50.000, utamanya pada wilayah-wilayah yang pembangunan infrastrukturnya cepat berkembang. Maka skala 1:25.000 dan skala 1:10.000 merupakan pilihan logis skala peta yang lebih detil. Kemajuan teknologi harus bisa dimanfaatkan untuk membuat Peta Rupabumi agar semakin teliti. Distorsi jarak di peta dibandingkan dengan jarak sebenarnya di permukaan bumi harus bisa diminimalisir, karena pada dasarnya memang selalu ada distorsi jarak bidang lengkung dari permukaan bumi yang diproyeksikan pada bidang datar dalam hal ini adalah kertas sebagi bidang gambar peta. Menurut Cecep Subarya (2016) sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada sudah saatnya untuk memperoleh ketelitian yang semakin tinggi Peta Rupabumi perlu didesain dengan “Sistem Proyeksi Distorsi Minimum” (lihat tulisan Cecep Subarya : “Desain Sistem Proyeksi Distorsi Minimum Untuk Pengintegrasian Berbagai Skala Peta Dalam Upaya Mewujudkan Satu Peta Indonesia Raya”, 2016). 6.
Cetak Biru Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional
Dalam 5-10 tahun mendatang akan terjadi berbagai perkembangan di bidang informasi geospasial sebagaimana disampaikan oleh UN-GGIM (United Nation on Global Geospatial Information Management). Perkembangan informasi geospasial di masa mendatang harus diantisipasi oleh pemerintah Indonesia bukan saja dari aspek kesiapan sumber daya manusia dan kesiapan teknologi tetapi juga aspek menejemen. Cetak biru yang terkait dengan arah, kebijakan dan strategi nasional yang terkait dengan informasi geospasial perlu dirembuk oleh para pemangku kepentingan informasi geospasial nasional. Penyiapan hal-hal tersebut harus mulai dirumuskan mulai sekarang. Peran Badan Informasi Geospasial (BIG) sangat diharapkan dan dinantikan untuk mengambil prakarsa/inisiator dan sekaligus memimpin dalam perumusan kebijakan dan strategi penyelenggaraan informasi geospasial nasional. Sayangnya aspek kebijakan dan strategi nasional dalam hal penyelenggaraan informasi geospasial ini tidak atau kurang mendapat perhatian. Jika hal ini tidak diperhatikan, Indonesia akan gagap dalam menghadapi perkembangan informasi geospasial dalam 5-10 tahun mendatang. Kecenderungan perkembangan informasi geospasial sebagaimana telah disampaikan sebelumnya antara lain : meningkatnya secara kuantitas dan kualitas sistem satelit navigasi global (GNSS/Global Navigation Satelite System) dan sistem satelit yang terkait dengan sumber daya dan lingkungan yang mampu menyediakan data geospasial yang tingkat akurasinya tinggi dan real-time, semakin banyaknya data/informasi geospasial yang diproduksi swasta dan perorangan (seperti : Google map, Microsoft/Bing, Volunteer Geographic Information), berkembangnya cloud storage dan cloud computing, informasi spasial 3 dimensi dan bahkan 4 dimensi (dimensi ke-4 adalah waktu). Antisipasi ini perlu agar Kebijakan Satu Peta untuk semua skala betul-betul terwujud bukan didorong oleh suatu Peraturan Presiden tetapi didorong karena adanya penyelenggaraan informasi geospasial nasional yang diatur dalam satu sistem, standar, dan prosedur kerja (SOP/Standard Operating Procedure) yang baik. Sistem, standar dan SOP akan menjaga keberlanjutan IG yang berkualitas karena terintegrasi, dan sinkron.
KESIMPULAN Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta merupakan langkah awal untuk mengintegrasikan dan mensinkronkan peta-peta tematik skala 1:50.000 sehingga mempunyai nilai manfaat bagi 33
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 23-34
berbagai pembangunan yang menggunakan wilayah sebagai wahana sekaligus sumber daya. Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini di lain sisi juga menyadarkan kita bahwa setelah 71 tahun Indonesia Merdeka ternyata peta-peta tematik, setidaknya skala 1:50.000, belum bisa optimal didayagunakan untuk pembangunan. Permasalahan besar yang dihadapi yaitu peta-peta itu masih bersifat sektoral dengan kualitas beragam dan sulit diintegrasikan dan disinkronkan menjadi peta sintesis yang berguna bagi pembangunan nasional. Gerakan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta seharusnya juga dimaknai sebagai momentum untuk melakukan reformasi penyelenggaraan informasi geospasial nasional. Reformasi ini penting selain untuk membenahi peta-peta tematik yang ada sehingga semakin berdaya guna dan berhasil guna bagi pembangunan nasional, juga diharapkan Indonesia bisa mempersiapkan diri dalam menyusun rumusan kebijakan nasional tentang informasi geospasial untuk menghadapi perkembangan global khususnya yang terkait dengan informasi geospasial. Rumusan tersebut adalah menyiapkan Cetak Biru Arah, Kebijakan, dan Strategi Penyelenggaraan Informasi Geospasial Nasional. Cetak biru itu akan semakin bermanfaat jika dilengkapi dengan upaya-upaya dan program umum nasional tentang informasi geospasial. Badan Informasi Geospasial (BIG) merupakan institusi yang tepat untuk memprakarsai upaya pembuatan Cetak Biru tersebut. Cetak Biru ini sangat dinanti para pemangku kepentingan bidang Informasi Geospasial. Upaya menyediakan Informasi Geospasial Nasional yang berkualitas adalah wujud nyata para pemangku kepentingan informasi geospasial Indonesia dalam memberikan sumbangsih yang nyata kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah tantangan sekaligus peluang para pemangku kepentingan informasi geospasial Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Carpenter,J, and Snell,J. (2013). Future Trends in Geospatial Information Management : the Five to Ten Year Vision, Ordnance Survey at the request of the Secretariat for the United Nations Committee of Experts on Global Geospatial Information Management (UN-GGIM). USA. ESRI (2012). National Mapping Best Practices. ESRI,USA. Norris,J. (2015). Future Trends in Geospatial Information Management: the Five to Ten Year Vision, Ordnance Survey at the request of the Secretariat for the United Nations Committee of Experts on Global Geospatial Information Management (UN-GGIM). Second Edition December 2015, USA. RI (Republik Indonesia). (2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Asisten Deputi Perundang-Undangan Bidang Perekonomian, Kementrian Sekretariat Negara RI,Jakarta. RI (Republik Indonesia). (2016). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Deputi Bidang Perekonomian, Sekretariat Kabinet RI, Jakarta. Subarya, C. (2016). Desain Sistem Proyeksi Distorsi Minimum Untuk Pengintegrasian Berbagai Skala Peta Dalam Upaya Mewujudkan Satu Peta Indonesia Raya. Sentul-Bogor.
34