Kajian Produk Peta Desa Badan Informasi Geospasial ................................................................................................................ (Riadi)
KAJIAN PRODUK PETA DESA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (Village Map StudyGeospatial Information Agency Products) Bambang Riadi Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta Bogor Km.46 Cibinong E-mail:
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRAK Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati eksistensinya dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No.14 Tahun 2014). Perkembangan yang begitu cepat pada berbagai sektor pembangunan di desa sebagai akibat peningkatan intensitas kegiatan yang terkait dengan ruang menyebabkan ketidak seimbangan struktur dan fungsi ruang di pedesaan. Dinamika perkembangan desa yang terjadi, salah satunya adalah permasalahan batas wilayah desa (desa adat dan desa) sehingga dipandang perlu dilakukan pemetaan desa. Metode pemetaan desa mengacu pada Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 3 tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa. Keberhasilan dalam pemetaan desa akan mengacu pada asas keberpihakan, asas pemberdayaan dan asas percepatan. Survei dilaksanakan dengan menunjukan produk peta desa setempat (tersurvei) dan dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada masyarakat guna mendapatkan masukan atas produk peta desa yang ada. Desa di NKRI mencapai sekitar 77.000 desa menjadikan pemetaan desa sebagai proyek besar yang harus segera diselesaikan, percepatan pemetaan desa dengan berbagai pilihan teknologi dan keterlibatan masyarakat (pemetaan partisipatif) akan sangat bermanfaat untuk memenuhi asas percepatan. Kata kunci: pemetaan desa, keberpihakan, pemberdayaan, percepatan, partisipatif
ABSTRACT The village as a unit of community has boundaries that are authorized to regulate and manage the interests of local communities, by origin and local customs that recognized and respected presence in Government administration system of the Republic of Indonesia (Law Number 14 of 2014). Rapid developments in various sectors of development in the village as a result of increased intensity of activities related to space lead to imbalances in the structure and function of the countryside.The dynamics of rural development that occurred, one of which is the problem of village boundaries (indigenous villages and rural) so that it is necessary to do the mapping of the village.Village mapping method refers to the Regulation of the Geospatial Information Agency No. 3 in 2016 about Technical Specifications Presentation Map Village. Success in mapping the village will refer to the principle of partiality, the empowerment principle and the principle of acceleration. The village in the Republic of Indonesia reached around 77,000 villages, so mapping the village as a major project which must be resolved, acceleration mapping village with a wide choice of technology and community involvement (participatory mapping) would be very useful to meet the principle of acceleration. Keywords: mapping the village, alignments, empowerment, accelerating, participative
PENDAHULUAN Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati eksistensinya dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa memiliki tiga unsur yaitu penduduk, wilayah desa dan pemerintahan desa (UU No.6/2014). Perkembangan pembangunan di desa berimplikasi terhadap adanya peningkatan ke arah yang positif, namun di sisi lain juga menimbulkan berbagai permasalahan. Masalah pembangunan tersebut, timbul sebagai akibat dari tekanan yang ditimbulkan oleh adanya peningkatan intensitas kegiatan yang terkait dengan ruang, sehingga menyebabkan ketidak seimbangan struktur dan fungsi ruang di pedesaan. Dinamika perkembangan desa yang terjadi saat ini salah satunya adalah permasalahan batas wilayah desa 127
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 127-137
(desa adat dan desa non-adat). Banyak konflik tentang batas wilayah desa yang terjadi di Indonesia, dipandang perlu kegiatan penetapan dan penegasan batas desa, yang berjenjang perlu adanya penetapan dan penegasan batas wilayah kabupaten/kota dan provinsi. Wilayah sebagai unsur yang sangat penting bagi desa sesuai dengan pengertiannya, oleh karena itu batas-batas wilayahnya harus jelas dan tegas. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan batas sering menimbulkan konflik karena tidak ada kepastian hukum akan batas-batas desa. Batas desa merupakan batas wilayah yurisdiksi pemisah wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan suatu desa dengan desa lain (Pasal 1, ayat 9 Permendagri No. 27 tahun 2006). Untuk memberikan kepastian hukum yang bersifat tegas terhadap batas-batas desa diperlukan penetapan dan penegasan batas desa melalui prinsip geodesi dan diproses secara kartometrik di atas peta dasar yang disepakati agar penetapan dan penegasan batas desa dapat berjalan tertib, terkoordinasi dan benar dalam pelaksanaannya. Peta menyajikan berbagai tipe informasi dari unsur muka bumi maupun yang ada kaitanya dengan muka bumi, sehingga peta merupakan sumber informasi yang baik karena peta dapat langsung secara visual memberikan informasi mengenai pola persebaran kerukunan dari unsurunsur yang digambarkan. Peta yang baik adalah pengguna mudah mengidentifikasi dan membaca arti simbol, mudah mengetahui apa yang digambarkan pada peta dan mudah mencari jawaban apabila terjadi pola yang berbeda daerah tertentu dengan pola bagian lainnya pada peta yang sama. Peta tematik akan menyajikan unsur-unsur alam dan unsur tema khusus yang pemilihan skalanya mempertimbangkan penyajian seluruh wilayah desa disajikan dalam satu muka peta, untuk peta desa masuk kedalam peta tematik bersifat dasar (Perka BIG No.3/2016). Sifat desa yang ada sekarang tidak semuanya sama dan sebangun dengan desa sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi RI pada awal berdirinya. Persoalan baru timbul, bagaimana desa tersebut didefinisikan dan layaknya sebuah administrasi kewilayahan bahwa desa memiliki wilayah dengan batas wilayahnya. UU No. 6 tahun 2014 mengakui adanya perbedaan tersebut yang secara eksplisit diperkenalkan dengan sebutan desa dan desa adat. Atau dalam pengertian lain dapat dikenali dengan sebutan desa adat dan desa non-adat. Desa non-adat maksudnya adalah desa yang terbentuk atas dasar keputusan politik (elit lokal). Teori “Primordialist of nationalism” (Herder, 1784) menyatakan bahwa desa adat dapat diklasifikasikan kepada pengertian nasionalisme primordial karena karena desa adat terbentuk atas dasar nilai-nilai hukum atau adat istiadat sebuah kelompok masyarakat yang bersifat primordial yang hidup di suatu wilayah. Karakteristik pendefinisian wilayahnya selalu merujuk kepada batasbatas fisik alamiah di lapangan, dan batas-batas tersebut dikenali dengan cara penunjukan oleh tetua adat. Sedangkan batas desa non-adat dapat ditentukan secara lebih bebas dan modern tidak bersifat primordial, merujuk kepada keputusan politik atau kepentingan administrasi pemerintahan. Pembedaan karakteristik antara desa adat dan desa non-adat tersebut akan menentukan metoda penetapan dan penegasan batas nantinya. Desa merupakan area dengan keterbatasan sarana dan infrastruktur pembangunan, perekonomian desa yang bertumpu pada sektor pertanian membuat perkembangan sarana dan infrastruktur menjadi terhambat. Faktor lain yang menyebabkan lambatnya pembangunan pada kawasan perdesaan adalah kondisi sumber daya manusia yang tidak tersiapkan khususnya dalam bidang pemetaan. Tenaga kerja muda yang potensial lebih tertarik bekerja di kota, akhirnya semua terakumulasi dan mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat desa (Marwasta dan Priyono, 2007). Pembangunan di desa dapat diawali dengan inventarisasi potensi desa yang disajikan pada peta desa, merupakan peta tematik dasar yang berisi unsur dan informasi batas wilayah, infrastruktur transportasi, toponim, perairan, sarana prasarana, penutup lahan dan penggunaan lahan yang disajikan dalam peta citra, peta sarana dan prasarana, serta peta penutup lahan dan penggunaan lahan (Perka BIG, No.3/2016). Peta dasar didefinisikan sebagai gambaran konvensional dan selektif yang diperkecil, biasanya dibuat pada bidang datar, dapat meliputi unsur-unsur permukaan bumi ataupun semua data yang ada ikatannya dengan perwujudan permukaan bumi antara lain dengan relief, pola aliran sungai dan tataguna lahan, secara sederhana digunakan sebagai dasar untuk pembuatan peta-peta lainnya. Peta dasar untuk peta tematik adalah peta yang berisikan informasi atau data topografi dan pada peta inilah semua data tematik akan diplot atau digambarkan (Aziz, 1985). Menurut UU
128
Kajian Produk Peta Desa Badan Informasi Geospasial ................................................................................................................ (Riadi)
No.6/2014 selayaknya peta desa memuat unsur pertanian/penggunaan lahan, sumber daya alam, akses transportasi, batas wilayah administrasi desa dan untuk pemetaan desa dapat dilakukan secara kartometris (Permendagri No.76/2012). Metode kartometris dengan berbagai teknologi cukup efektif untuk diterapkan dalam rangka penetapan dan penegasan batas wilayah kecamatan, desa/kelurahan. Apabila terjadi perbedaan karena masih ada perselisihan batas antar-wilayah akibat pemekaran/penggambungan wilayah kecamatan atau desa, dan juga akibat kesalahan dalam delineasi batas pada saat proses pemetaan dapat didiskusikan ulang secara langsung (Riadi dan Makmuriyanto, 2014). Aspek geospasial/peta dalam boundary making memiliki arti penting dalam sengketa batas, yang pertama menjadi penyebab sengketa, kedua sebagai alat yang digunakan untuk mengusulkan posisi batas masing-masing pihak yang bersengketa, ketiga sebagai alat penyelesaian sengketa dan keempat sebagai alat untukmengilustrasikan pendapat dalam negosiasi atau mediasi sengketa batas (Sumaryo, 2012). UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial telah mendorong penggunaan IG dalam pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat dengan menggunakan referensi tunggal (single reference) yang mencakup Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT). Pemetaan partsipatif sebagai ruang terhadap komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat, yang secara bersama-sama terlibat dalam proses pengumpulan data dan analisis melalui identifikasi dan penggambaran fitur geospasial dengan memanfaatkan teknologi pemetaan. Manfaat pemetaan partisipatif bagi masyarakat adalah untuk meningkatkan kesadaran seluruh anggota masyarakat mengenai hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam. Proses pemetaan partisipatif menumbuhkan semangat untuk menggali pengetahuan lokal, sejarah asalusul, sistem kelembagaan setempat, pranata hukum setempat, identifikasi sumber daya alam yang dimiliki, dan kegiatan ini memenuhi asas pemberdayaan. Hasil kegiatan pemetaan, khususnya pemetaan desa telah dikeluarkan Perka No.3 Tahun 2016 yang mengatur tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa termasuk didalamnya adalah ketelitian peta. Tabel 1. Tabel.1. Ketelitian horizontal Peta Desa Skala Ketelitian horizontal (m) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 1:10.000 2 3 5 1:5.000 1 1,5 2,5 1:2.500 0,5 0,75 1,25
Sumber:Perka BIG No.3/2016
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan masukan tentang produk peta desa dalam memenuhi asas keberpihakan, asas pemberdayaan dan asas percepatan.
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan inderaja dan SIG. Identifikasi faktor-faktor melalui data inderaja antara lain mengidentifikasi batas wilayah, infrastruktur transportasi, toponim, perairan, sarana prasarana, penutup lahan dan penggunaan lahan. Data-data ini diturunkan berdasarkan citra tegak resolusi tinggi yang sudah ter georeference mengacu pada sistem peta Rupa Bumi Indonesia/RBI (Arsjad, 2011). Penggunaan peta RBI sebagai acuan karena peta rupabumi menampilkan sebagian unsur-unsur alam dan buatan manusia. Unsur-unsur tersebut dikelompokkan menjadi tujuh tema, yaitu penutup lahan, hidrografi, hipsografi, bangunan (gedung, transportasi dan utilitas), batas administrasi, dan toponimi. Batas administrasi di RBI dapat berupa batas negara provinsi, batas kota/kabupaten, batas kecamatan dan desa/kelurahan yang menunjukkan batas wilayah administrasi suatu daerah (Riadi dan Makmuriyanto, 2014). Verifikasi batas indikatif di atas citra tegak resolusi tinggi dilakukan dengan cara interpretasi, yaitu untuk memahami atau menafsirkan citra sehingga mendapatkan informasi yang akurat mengenai objek alam atau objek buatan yang terekam pada citra. Interpretasi citra dilakukan berdasarkan unsur-unsur: rona atau warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi.
129
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 127-137
Interpretasi objek pada citra relatif lebih mudah dilakukan karena citra yang digunakan citra tegak resolusi tinggi berwarna. Pendapat Lemijac dan Pucekovic (2009), bahwa metode kontrol kualitas untuk keperluan pengujian peta desa dengan sedikit modifikasi adalah pada aspek tampilan, aspek georeference, sistematika isi (Riadi, 2010). Analisis aspek tampilan adalah layout muka peta, pewarnaan, judul yang mengacu pada ketentuan umum Peta Rupabumi Indonesia. Analisis aspek georeference akan mengkaji posisi horizontal dengan melakukan overlay peta desa di atas peta dasar. Aspek sistematika isi akan mengkaji muatan isi peta desa dianalisis berdasarkan muatan peta RBI dan Perka BIG.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peta Desa Secara umum proses pembuatan peta meliputi beberapa tahapan dari pencarian, pengumpulan data dan pengolahan data, sehingga sebuah peta dapat digunakan. Proses pemetaan akan dilakukan secara runut, hingga menghasilkan peta yang baik dan benar. Peta desa data dapat diperoleh secara langsung menggunakan metode konvensional dengan melakukan pengukuran dilapangan (metode teritris), peta RBI skala 1:5.000 atau skala yang lebih besar, peta RDTR, secara photogrametris, citra satelit resolusi tinggi, Lidar dan citra UAV. Menurut Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No.3 Tahun 2016 unsur-unsur yang masuk dalam peta desa sebagai berikut: Unsur-unsur Peta Citra, Peta Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan, Peta Sarana dan Prasarana meliputi a. Toponim (nama unsur geografi) b. Batas Wilayah Administrasi c. Jaringan/Infrastruktur Transportasi d. Perairan (sungai, saluran air, irigasi, dan lainnya) e. Sarana dan prasara (fasilitas umum dan fasilitas sosial) Analisis dari Gambar 1 s/d Gambar 3 Peta Desa Gondangwinangun yang menggunakan data dasar citra satelit, bahwa peta wilayah desa disajikan dalam satu muka peta. Tabel 2 merupakan hasil analisis berdasarkan ketentuan Perka BIG No.3/2016 bahwa ketiga peta belum ada unsur toponim dan simbol fasos fasum belum tergambar dengan benar. Untuk ketelitian geometri peta tidak dilakukan kajian mengingat sumber data adalah citra tegak resolusi tinggi, yang sudah dikoreksi secara ortho rektifikasi.
Gambar 1. Peta Citra Desa Gondangwinangun.
130
Kajian Produk Peta Desa Badan Informasi Geospasial ................................................................................................................ (Riadi)
Gambar 2. Peta Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan Desa Gondangwinangun.
Gambar 3. Peta Sarana dan Prasaran Desa Gondangwinangun. Tabel 2. Analisis Produk Peta Desa Ds.Gondangwinangun, Kec. Ngadirejo, Kab. Temanggung. Informasi Citra Sarana Lahan Prasarana Jalan/Transportasi v v v Nama jalan v v v Nama bangunan Toponimi Simbol bangunan v v Penggunaan lahan v Penutup lahan/potensi SDA v
Analisis Gambar 4 s/d Gambar 6 Peta Desa Lembang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, yang disusun menggunakan data dasar RBI skala 1:5.000 dari hasil pemetaan dengan metode photogrametri. Analisis peta desa menggambarkan bahwa peta citra dan peta sarana prasarana sudah terpenuhi unsur wajib bagi peta desa, hanya toponim nama sungai belum tersedia seperti yang disajikanpada Tabel 3. Untuk peta tutupan lahan dan penggunaan lahan nama unsur bangunan, simbol bangunan dan toponim belum tergambar. Kajian ketelitian geometri peta tidak dilakukan, mengingat sumber data adalah peta RBI skala 1:5.000. 131
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 127-137
Gambar 4. Peta Citra Desa Lembang.
Gambar 5. Peta Penutup Lahan dan PenggunaanLahan Desa Lembang.
Gambar 6. Peta Sarana dan Prasarana Desa Lembang. Tabel 3. Analisis Produk Peta Desa: Ds. Lembang, Kec. Lembang,Kab. Bandung Barat. Informasi Citra Sarana Prasarana Lahan Jalan/Transportasi Nama jalan Nama bangunan Toponimi Simbol bangunan Penggunaan lahan Penutup lahan/potensi SDA
v v v v v v v
v v v v v v v
v v v v
Analisis Gambar 7 s/d Gambar 8 Peta Desa Cihampelas, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, menggunakan data dasar RBI skala 1:10.000. Peta ini belum layak dikatakan sebagai peta desa karena syarat peta desa adalah wilayah desa ditampilkan dalam satu muka peta. Legenda peta tergambar dengan baik dan informatif, sesuai standar Pemetaan Rupabumi
132
Kajian Produk Peta Desa Badan Informasi Geospasial ................................................................................................................ (Riadi)
Indonesia skala 1:10.000. Akan memiliki tampilan lebih informatif bila legenda di Gambar 9 dan Gambar 10 diaplikasikan pada produk peta desa lainnya, asas keberpihakan berada pada informasi sumber daya alam, insfrastruktur yang jelas terbaca sehingga masyarakat dapat mengembangkan dan memanfaat kan untuk kesejahteraan bersama.
Gambar 7. Peta Infrastruktur Desa.
Gambar 8. Peta Penutup lahan Desa Cihampelas.
133
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 127-137
Gambar 9. Legenda Peta Infrastruktur Desa.
Gambar 10.Legenda Peta Penutup Lahan Desa Cihampelas.
Ketelitian Peta
Metode Ground Control point (GCP)
Ketelitian posisi peta yang dihasilkan dari proses rektifikasi dipengaruhi oleh kualitas citra, hal ini dikarenakan ketelitian posisi suatu koreksi geometrik adalah ketelitian geometrik citra.Ground Control Point (GCP) sekarang mudah diekstraksi oleh banyak teknik secara otomatis, bertujuan untuk membangun correction model geometrispaling akurat (Nguyen,2014). Dalam menerapkan model ini untuk peta desa dilakukan uji ketelitian menggunakan koordinat GCP hasil pengukuran lapangan dan peta RBI sebagai sumber independen yang akurasinya lebih tinggi. Pemanfaatan citra satelit resolusi tinggi untuk pemetaan desa untuk wilayah Kecamatan Jamanis Kabupaten Tasikmalaya, citra didownload dari free website dan selanjutnya dilakukan pengukuran GCP dengan GPS Geodetic untuk satu wilayah kecamatan. Dalam satu wilayah kecamatan dipilih 6 titik GCP dengan satu titik GPS Base yang sudah memiliki nilai koordinat referensi nasional.Acuan ketelitian di setiap kelas diperoleh melalui ketentuan seperti tertera pada Tabel 4.
134
Kajian Produk Peta Desa Badan Informasi Geospasial ................................................................................................................ (Riadi)
Ketelitian Horizontal Vertikal
Tabel 4. Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas. Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 0,2 mm x bilangan skala 0,5 x interval kontur
0,3 mm x bilangan skala 1,5 x ketelitian kelas 1
0,5 mm x bilangan skala 2,5 x ketelitian kelas 1
Sumber: Perka BIG No.3/2014 Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel.4. adalah nilai CE90 untuk ketelitian horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States NationalMap Accuracy Standards) sebagai berikut: CE90 = 1,5175 x RMSEr LE90 = 1,6499 x RMSEz Dimana: RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal) RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal) Hasil pemrosesan rektifikasi citra menghasilkan: RMSEr = 0,0648851 Maka untuk ketelitian horizontalnya, CE90 = 1,5175 x RMSEr = 1,5175 x 0,0648851= 0,09846313925 m Hasil tersebut selanjutnya dibandingkan dengan ketentuan ketelitian horizontal berdasarkan kelas untuk beberapa skala yang berbeda disajikanpadaTabel5.Hasil uji di atas menunjukkan bahwa ketelitian citra hasil rektifikasi Kec. Jamanis memenuhi spesifikasi untuk pemetaan skala peta 1:5000 dan dapat dikategorikan hingga kelas 1. Dengan demikian metode GCP ini bisa digunakan untuk mencapai ketelitian peta desa. Tabel 5. Perbandingan Ketelitian Citra Kec. Jamanis dengan Ketentuan Ketelitian. Ketelitian Peta Skala 1:5000 Ketelitian Hasil Uji CE 90 dalam meter I II III Horizontal 0,09846313925 1 1,5 2,5
Sumber: Hasil Analisa, 2015
Metode image to map Metode image to map adalah kajian pemanfaatan citra satelit resolusi tinggi untuk keperluan pemetaan desa menggunakan titik referensi dari peta RBI yang tersedia, lokasi penelitian Kecamatan Cibinong, kabupaten Bogor. Sampel yang digunakan untuk proses rektifikasi adalah obyek-obyek yang tergambar pada Peta RBI. Sampel tersebut berupa persimpangan jalan, kelokan sungai, percabangan sungai, dan lainnya. Namun obyek yang lebih diprioritaskan adalah jalan karena diasumsikan tidak berubah dalam jangka waktu yang lama (statis jangka panjang). Hasil pemrosesan rektifikasi citra menggunakan referensi peta RBI Skala 1:25.000 dengan 30 titik referensi menghasilkan: RMSEr = 0,0000379872 dd = 4,228735104 m Maka, CE90 = 1,5175 x RMSEr = 1,5175 x 4,228735104 = 6,41710552032 m Hasil tersebut selanjutnya dibandingkan dengan ketentuan ketelitian horizontal berdasarkan kelas untuk beberapa skala yang berbeda Disajikan pada Tabel 6.
135
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 127-137
Tabel 6. Perbandingan Ketelitian Citra Kec. Cibinong dengan Ketentuan Ketelitian. Ketelitian Peta Skala 1:5000 Hasil Uji CE 90 Ketelitian dalam meter I II III Horizontal 6,41710552032 1 1,5 2,5
Sumber: HasilAnalisa, 2015
Dari hasil pengujian di atas, ketelitian Citra Kec. Cibinong tidak memenuhi kriteria ketelitian skala 1:5.000. Hal itu dikarenakan GCP (titik referensi) yang digunakankan adalah hasil pengamatan dari Peta Rupabumi 1:25.000. Faktor lain yang menyebabkan kurang berhasil adalah karena jumlah GCP dan persebarannya. Pemetaan Partisipatif Kegiatan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh LSM ataupun penggiat lainnya yang pernah dijumpai adalah menggunakan peralatan yang masih dengan ketelitian rendah (3-6 m), salah satunya adalah pemanfaatan GPS Navigasi (handheld) untuk pemetaan desa. Pemberdayaan masyarakat untuk pemetaan desa sangat terkendala oleh sumberdaya manusia dan peralatan yang dipergunakan, karena peralatan yang dipergunakan masih belum memungkinkan untuk mencapai ketelitian peta desa yang diamanatkan di Perka BIG No.3/2016. Akan tetapi konsep pemberdayaan masyarakat yang sangat bagus perlu dikelola dan ditingkatkan kemampuannya dalam bidang pemetaan. Mencermati Keputusan Mahkamah Konstitusi No. MK/PUU-X/2012 yang intinya Pemerintah perlu menyiapkan data peta wilayah yang dapat digunakan untuk identifikasi dan inventarisasi, selayaknya bisa dilakukan juga untuk keperluan pemetaan desa. Gambar 1 s/d Gambar 8 keseluruhan adalah peta desa produk Badan Informasi Geospasial, peta pada Gambar 4 s/d Gambar 6 hasilnya adalah bahwa peta citra, peta sarana prasarana dan peta penutup lahan dan penggunaan lahan sudah memenuhi unsur wajib bagi peta desa, hanya toponim nama sungai belum tersedia. Metode-metode GCP, image to map dan pemetaan partisipatif yang pernah dikaji menunjukan bahwa untuk mencapai ketelitian horizontal peta desa hanya bisa dicapai dengan metode GCP. Pemetaan partisipati sangat jauh dari harapan untuk menghasilkan peta desa dengan kualitas geometri seperti yang diharapkan.
KESIMPULAN Peta Desa Gondangwinangun (Gambar 1 s/d Gambara 3), bahwa peta wilayah desa disajikan dalam satu muka peta dan belum ada unsur toponim, simbol fasos fasum belum tergambar dengan benar. Analisis Peta Desa Lembang (Gambar 4 s/d Gambar 6), menggambarkan bahwa peta citra dan peta sarana prasarana sudah terpenuhi unsur wajib bagi peta desa, hanya toponim nama sungai belum tersedia. Untuk peta tutupan lahan dan penggunaan lahan nama unsur bangunan, simbol bangunan dan toponim belum tergambar. Untuk mencapai ketentuan ketelitian horizontal peta desa sesuai Perka No.3/2016 berdasarkan kajian sangat diperlukan keahlian pemetaan yang baik sehingga untuk mencapai pemberdayaan masyarakat dalam pembuatan peta desa kemungkinan hanya pada muatan tema peta. Bahwa untuk dapat menyelesaikan pemetaan desa dengan jumlah ± 77 ribu desa yang dapat memenuhi asas keberpihakan, asas pemberdayaan dan asas percepatan memerlukan usaha yang sangat gigih. Kendala ketersediaan data untuk pembuatan peta dasar menjadi titik awal untuk evaluasi keberhasilan pemetaan desa. Kajian ketelitian rektifikasi citra satelit untuk pemetaan desa menunjukan bahwa standarnya adalah dengan GCP menggunakan GPS Geodetic yang berarti biaya yang cukup besar dan waktu penyelesaiaan yang lebih panjang. Guna memenuhi asas keberpihakan perlu di standarkan produk Peta Desa keluaran BIG sesuai dengan Perka No.3/2016. Untuk memenuhi asas percepatan dalam pemetaan desa selayaknya perlu mencermati Keputusan Mahkamah Konstitusi MK/PUU-X/2012 bahwa peta dasar wilayah disiapkan oleh pemerintah.
136
Kajian Produk Peta Desa Badan Informasi Geospasial ................................................................................................................ (Riadi)
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Pusat Pemetaan Batas Wilayah dan Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik yang telah mengijinkan mengakses data peta desa.
DAFTAR PUSTAKA Arsjad, A.B. Suriadi M. 2011. Informasi Geospasial Daerah Rawan Longsor Sebagai bahan Masukan Dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah. Majalah Ilmiah Globe Vol.14 No.1 Juni 2012: 37-45. Hepi Hapsari dan Agung Budi Cahyono. 2014. Pemetaan Partisipatif Potensi Desa (Studi Kasus: Desa Selopatak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto). Jurnal Geoid Vol 10 No.01 Agustus 2014: 99-103 International Cartographic Assosiation (ICA, 1973) Lukman Azis, dkk, 1985, Kartografi Tematik, Teknik Geodesi ITB, Bandung. Marwasta, D., Priyono, K.D., 2007. Analisis Karakteristik Permukiman Desa Pesisir di Kabupaten Kulonprogo. Jurnal Forum Geografi Volume 21 Nomor 1 Juli 2007. Nguyen.T. (2014). Optimal Ground Control Points for Geometric Correction Using Genetic Algorithm with Global Accuracy. European Journal of Remote Sensing - 2015, 48: 101-120 doi: 10.5721/EuJRS20154807 Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa. Peraturan Menteri dalam Negeri No.76 Tahun 2012. Tentang Penegasan Batas Daerah Secara Kartometrik. Riadi, B. 2010. Metode Kontrol Kualitas Buku Atlas. Majalah Ilmiah Globe Vol.12 No.1 Juni 2010: 89-97 Riadi, B dan Makmuriyanto, A. 2014. Kajian Percepatan Penetapan dan Penegasan Batas Kecamatan/Distrik, Desa/Kelurahan Secara Kartometris. Majalah Ilmiah Globe Vol.16 No.2 Desember 2014: 109-116. Standar Nasional Indonesia. 2000. Spesifikasiteknispetarupabumiskala 1:10.000 Slovka Lemajic and Branko Pucekovic. 2009. Detailed Quality Control ofTopographic Map in scale 1:25000. Croatian Geodetic Institute. Sumaryo. (2012). Aspek Geospasial dalam Sengketa Pulau Berhala. Prosiding Konferensi Teknik dan Sains Informasi Geospasial ke-1 Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta. 247-256
137
Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI 2016: 127-137
138