PENERAPAN SANKSI P1DANA TERHADAP KURIR NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEBUMEN PERKARA NOMOR 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH: MUHAMMAD IKHWAN ADABI NIM : 110200561 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015
ABSTRAK Muhammad Ikhwan Adabi*) Edi Yunara**) Syafruddin Hasibuan***) Penerapan sanksi pidana terhadap kurir narkotika merupakan salah satu bahagian dari tindak kejahatan narkotika yang saat ini makin berkembang dan terus meningkat, hal ini merupakan suatu permasalahan serius yang belum bisa di antisipasi oleh pemerintah. Meningkatnya kasus pemakaian narkoba ini tidak terlepas dari para gembong mafia narkoba yang melakukan berbagai cara untuk memuluskan operasi barang berbahaya itu. Cara yang efektif untuk melakukan operasinya yaitu memerintahkan seseorang dengan berupa imbalan untuk mengedarkan narkoba, atau dapat disebut dengan kurir atau perantara narkotika. Kurir atau perantara narkotika ini kebanyakan di paksa, di ancam oleh mafia narkoba untuk diedarkan kepada calon pembeli. Perekrutan kurir oleh mafia narkoba berasal dari kalangan yang ekonominya rendah baik itu laki-laki maupun perempuan, bahkan sekarang anak di bawah umur di manfaatkan untuk di jadikan kurir narkoba. Selain kurir yang di paksa untuk melakukan peredaran narkotika, banyak juga untuk menjadi kurir tidak mesti di paksa, bahkan banyak juga yang sukarela demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun yang menjadi permasalahan dalam hal ini yaitu mengenai pengaturan tindak pidana terhadap kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Indonesia, apa saja yang menjadi kendala dalam pemberantasan tindak pidana narkotika, serta bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap kurir Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode penelitian hukum yuridis empirtis. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan dan hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas, serta melihat dan mengkaji bagaimana aturan hukum yang ada diterapkan kepada masayarakat Dalam tulisan ini yaitu yang berkaitan dengan kurir narkotika. Peredaran gelap narkotika yang menjadikan kurir sebagai pengedamya merupakan tindak pidana yang serius. Sanksi pidana terhadap kurir ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk penerapan sanksi pidana terhadap kurir anak sudah diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Penerapan sanksi pidana terhadap pekerjaan sebagai kurir narkotika mesti terlebih dahulu melihat latar belakang keinginan melakukan pekerjaan kurir ini agar tercipta suatu keadilan bagi masyarakat.
i
ABSTRACT Muhammad Ikhwan Adabi) Edi Yunara) Syafruddin Hasibuan) The application of criminal sanctions against drug couriers is one portion of the drug crime that is currently growing and growing, this is a serious problem that can not be anticipated by the government. The increasing cases of drug use can not be separated from the drug mafia kingpin who perform a variety of ways to streamline the operation of dangerous goods. An effective way to conduct operations that command a person to be rewarded to distribute drugs, or can be referred by drug couriers or intermediaries. Narcotics couriers or intermediaries is mostly forced, at threatened by the drug mafia for distribution to prospective buyers. Recruitment couriers by drug mafia come from the lower economic good that it was male or female, even now minors in use to be made in drug couriers. In addition to couriers who were forced to carry narcotics, many to be the courier does not have to be forced, even the many who volunteered to meet their needs. As for the problem in this case is about setting a criminal act against drug couriers under Act No. 35 of 2009 on Narcotics in Indonesia, what are the obstacles in the eradication of narcotics, as well as how the application of criminal sanctions against narcotics couriers by Act No. 35 Year 2009 on Narcotics. The method used in this writing that empirtis juridical legal research methods. This research was conducted by examining the legislation and the law is conceived as a rule or norm that is the benchmark behave in society against what is considered appropriate, and view and examine how existing law applied to the community in this paper is related to courier narcotics. Trafficking as a drug courier who makes a serious criminal offense. Criminal sanctions against the courier is regulated in Law Number 35 Year 2009 on Narcotics. For the application of criminal sanctions against child courier is set further in the Act No. 11 Year 2012 on Juvenile Justice System. The application of criminal sanctions to work as drug couriers must first look at the background of the desire to do the job this messenger in order to create a local justice.
Student of the Faculuty Lecturer I, Lecturer in Law Faculty, University of North Sumatra Lecturer II, Lecturer in Law Faculty, University of North Sumatra
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus narkotika di Indonesia betul-betul berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Dimana penggunaan narkotika dapat merusak perekonomian negara, disamping juga generasi muda. Selain itu, yang sangat memprihatinkan bahwa penanganan kasus narkotika tidak pemah tuntas, dari sejumlah kasus yang diungkap hanya 10% yang sampai ke pengadilan, karena menurut ketua umum Granat bahwa peredaran narkotika di Indonesia, khususnya di kota-kota besar dilakukan secara rapi dan terorganisir. Transaksi bisnis barang haram ini pada utnumnya disebarkan di tempat-tempat hiburan seperti diskotik, bar, dan karaoke yang banyak dikunjungi para remaja dan orang-orang muda1. Pemakaian narkoba akan mengakibatkan kecanduan yang akan susah untuk mengembalikan seperti semula. Seseorang yang kecanduan akan melakukan segala cara untuk menghilangkan kecanduannya. Akibatnya, kecanduan ini akan mengakibatkan muncul perilaku-perilaku negatif lainnya seperti mencuri, membunuh, menjadi pengedar narkotika dan lainnya. Hal ini terjadi karena orang yang kecanduan ini akan melakukan berbagai cara untuk mengilangkan candunya yang sesaat itu. Penyalahguna narkotika merupakan hal yang harus ditangani dengan serius karena berakibat pada perilaku atau akhlak seseorang. Suatu bangsa yang
1
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, H. Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal 4
1
2
dijalankan oleh orang-orang yang memiliki sifat perilaku atau akhlak yang tidak baik akan mengakibatkan rusaknya generasi masa depan bangsa Indonesia. Angka penyalahgunaan narkotika setiap tahunnya terus meningkat dimana pada 2015 jumlah korban penyalahgunaan narkotika akan mencapai angka 5,8 juta jiwa. Saat ini jumlah pengguna atau korban penyalahgunaan narkotika sudah mencapai 4,2 juta orang dan setiap harinya 40-50 jiwa meninggal akibat penggunaan narkotika2. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, maka diperlukan perubahan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika agar lebih efektif. Maka diundangkanlah UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang mengatur lebih rinci mengenai pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial3. Perubahan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menjadi UU Nomor 35 Tahun 2009 yang dilakukan pemerintah dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika ini tidak cukup. Masyarakat hams ikut berperan aktif dan diberikan kesempatan yang seluasluasnya dalam hal pencegahan dan pemberantasan narkotika. Kesempatan yang diberikan seluas-luasnya dalam artian tidak berhak melakukan tindakan lain seperti
melakukan
penangkapan,
penahanan,
pengeledahan,
razia
atau
memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika karena hal tersebut merupakan 2
m.merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-pada-2015-capai-58-jutajiwa.html (di akses tanggal 8 april 2015) 3 H. Siswanto.S,”Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika(UU Nomor 35 Tahun 2009). (Jakarta:Rineka Cipta, 2012), hal 1
3
kewenangan penvidik Badan Narkotika Nasional(pasal 75 UU 35/2009) 4. Tujuan Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika adalah menjamin ketersediaan narkotika dan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Perkembangan pengaturan melalui instrumen hukum terhadap keberadaan narkotika dan psikotropika tersebut merupakan suatu siklus yang tidak dapat terpisahkan dengan dinamika perkembangan sosial masyarakat dalam menyikapi keberadaan narkotika dan psikotropika di Indonesia. Masalah narkotika dan psikotropika telah menjadi masalah dunia.Segala usaha dari masing-masing negara secara internal untuk menanggulangi bahaya narkotika dan psikotropika.5 Bahaya narkoba sudah mencengkram Indonesia, saat ini Indonesia menjadi pasar narkoba terbesar di level Asean. 6 Tindakan ketat dari aparat keamanan untuk melakukan pengawasan di bandara. Khususnya terhadap warga negara asing yang menjadi perantara narkotika yang dibawa melaui jalur darat, air dan udara ke Indonesia. Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara kembali mengungkap kasus peredaran narkotika. Tim penyidik menahan jaringan pengedar narkotika asal Negeria dengan barang bukti 12 kilogram sabu. Selain menyita sabu seharaga Rp. 15 miliar itu, petugas juga menahan JLO (36), warga Nigeria yang diduga kuat bagian dari jaringan intemasional. Seorang perantara, (DM ), (37), pun ditahan. 4
M.hukumonline. com' klinik/ detail/ It4f7481c7df82d/ hak-hak - masyarakat - dalam pemberantasan - kejahatan - narkotika (di akses tanggal 8 april 2015) 5 H.Siswanto.S, Op.Cit,hal 6 6 M.liputan6.com/news/read/221936/indonesia-darurat-narkoba (di akses tanggal 8 April 2015)
4
Kepala Polres Metro Jakut Komisaris besar Susetio Cahyadi, Senin (27/7), menuturkan, sabu tersebut disamarkan dengan dimasukkan ke dalam tas wanita. Sebanyak 82 tas berisi sabu dengan berat 1 ons-1,5 ons. Salah seorang tersangka yaaitu DM yang menjad perantara, adalah yang pertama di tangkap. Dari situ, lalu dikembangkan lagi hingga menangkap JLO di kawasan Ganaria, Jakarta Selatan, 9 Juli lalu. Menurut Susetio, sabu dikirim dari Tiongkok oleh Bandar narkotika Nigeria melalui jalur laut. Setelah masuk pelabuhan Tanjung Priok, sabu disimpan di sebuah gudang penyimpanan di wilayah penjaringan, jakarta Utara.7 Dari contoh kasus di atas bahwa warga negara asing yang menjadi perantara narkotika tidak dapat bermain sendiri.Warga Negara asing ini akan meminta bantuan untuk mengedarkan narkotika di dalam negeri dengan merekrut warga negara Indonesia dengan membuat jaringan perantara yang nanti akan diedarkan di Indonesia. Tindakan ketat oleh aparat juga harus dilakukan di dalam wilayah Indonesia. Perantara tidak hanya berdatangan dari luar negeri, di Indonesia perantara sangat merajalela, terbukti dari banyaknya kasus di Indonesia mengenai penangkapan perantara itu sendiri. Terdakwa MP, 25, warga Blangkejeren, Aceh, diadili di Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam bersidang di Pancurbatu, dengan dakwaan kepemilikan 12 kg daun ganja kering sesuai pasal 112 dan 114 KUHP tentang narkotika. Menurut Ralin saksi B Gajah dari Polsek Delitua, terdakwa mengaku disuruh temannya menunggu serang pria yang akan datang mengambil daun ganja
7
Kompas. Selasa, 28 Juli 2015. hal. 26
5
kering yang telah di pesan. Kepada petugas, terdakwa mengatakan, dirinya berangkat dari Blangkejeren bersama seorang temannya menuju kota medan. Mereka disuruh seorang pria yang tak dikenal selaku pemilik ganja tersebut berangkat ke medan. Setibanya di medan. Setibanya di Medan, temannya yang sama berangkat dari Aceh, menyuruh terdakwa menunggu di Hotel V Jl. Jamin Ginting. Tidak berselang lama, datang petugas kepolisian mengaku sebagai pembeli lalu menangkap terdakwa.8 Pembawa 354 kg ganja di hukum penjara seumur hidup oleh majelis hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (4/8). Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Jhony mengatakan, terdakwa Yusri Iskandar ( sopir bus PM-TOH) dan Robinson Tambunan (penarik becak) terbukti mealakukan perbuatan menawarkan atau menjual ganja lebih dari satu kilogram sesuai Pasal 114 Ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Maria menuntut terdakwa Robinson Tambunan, 49, warga, Jl. Tanjung Anom, Pancurbatu, Deli Serdang, dan Yusri Iskandar, 32, warga Jl. Keutapang Aree, Delima, Aceh Pidie, hukuman mati.9 Dari contoh kasus di atas, peredaran narkotika sudah meluas bahkan hampir ke pelosok negeri, hal ini tidak terlepas dari peran perantara itu sendiri. Perantara sangat dibutuhkan oleh para gembong narkoba untuk melancarkan bisnis haramnya. Faktor ekonomi atau kemiskinan merupakan salah satu penyebab sebagian orang untuk melakukan pekerjaan perantara. Kemiskinan sangat berpengaruh
8 9
Waspada, Selasa. 7 Juli 2015, Hal A3 Waspada, Rabu, 5 Agustus 2015. hal. A4
6
terhadap kehidupan yang akhimya akan melakukan kegiatan sebagai perantara narkoba dalam peredaran narkoba jaringan intemasional maupun nasional. Penduduk miskin yang terdesak ekonomi akan menempuh jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara ikut serta dalam peredaran narkotika jaringan intemasional maupun nasional. Hal ini dimanfaatkan oleh bandar untuk merekrut menjadi perantara narkoba. Dengan adanya anggaran dan fasilitas yang diberikan bandar, maka orang miskin yang direkrut menjadi perantara narkotika betah dan nyaman untuk melakukan kegiatan haram ini. Sulitnya lapangan pekerjaan, Penduduk miskin tanpa mata pencaharian dan penghasilan yang tetap akan memanfaatkan situasi dan kondisi untuk direkrut menjadi perantara narkotika. Karena desakan ekonomi, banyak orang yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menempuh jalan yang dilarang oleh undang-undang yaitu menjadi perantara narkotika. Sehingga resiko yang ditimbulkan akibat pekerjaan yang dilakukannya sangat tinggi. 10 Tingkat risiko untuk membentuk dan memfasilitasi gaya hidup dan perilaku sosial di masyarakat perkotaan yang kurang beruntung, Mencatat bahwa faktor-faktor seperti kemiskinan, keluarga, dan pengaruh pendidikan bagaimana telat disosialisasikan untuk berperilaku dalam sebuah jalan atau layak dengan cara yang benar. Dalam komunitas kota, dimana menjual narkoba dianggap dapat menguntungkan peredaran narkoba dalam masyarakat disamakan dengan keija, sebagai perantara yang menghasilkan uang banyak dalam melakukan peredaran narkotika jaringan intemasional maupun nasional yang menarik untuk pekerjaan 10
Khoirun Hutapea. Tesis, ''Pola-Pola Perekrutan Penggimaan dan Kegiatan Perantara Dalam Jaringan Peredaran Narkoba IntemasionaF, ( Jakarta : Kearsipan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, 2011). hal 11
7
konvensional. Kerja keras yang membutuhkan konvensional dibandingkan dengan upah sebagai perantara narkotika sangat relatif jauh sekali. Dengan pendidikan rendah dan kurangya keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan baik. Perantara dapat terpengaruh untuk direkrut dalam trafiking narkotika jaringan intemasional maupun nasional. Karena dianggap sebagai sumber penghasilan yang layak, perantara mampu menghasilkan banyak uang yang meningkatkan citra perantara dan status sosialnya di masyarakat. 11 Kebanyakan pekerjaan sebagai perantara yang di desak oleh faktor ekonomi atau kemiskinan, tidak terlepas juga adanya desakan atau ancaman dari gembong narkoba. Ancaman atau desakan yang dilakukan oleh gembong narkoba mengharuskan perantara menjalankan apa yang diperintahkan olehnya. Dan seharusnya dalam penerapan sanksi juga hams dibedakan antara perantara dan gembong narkoba. Hakim juga dalam penjatuhan pidana tidak sehamsnya disamakan, hakim harus melihat faktor apa yang melatarbelakangi si perantara dalam melakukan pekerjaannya. Penjatuhan pidana yang sama terhadap perantara dan gembong narkoba membuat tidak tercapainnya suatu keadilan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat
judul
“PENERAPAN
SANKSI
PIDANA
TERHADAP
PERANTARA PENGIRIM NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UNDANGUNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 139/Pid.B/2010/PN.Kbm)
11
Ibid., hal 12
8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang diajukan sebagai pokok kajian penulisan proposal tesis ini penulis rumuskan sebagai berikut ; 1. Bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana narkotika berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Indonesia? 2. Bagaimana Kendala-kendala dalam pelaksanaan pemberantasan Narkotika
di Indonesia ? 3. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap perantara narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi
Putusan
Pengadilan
Negeri
Kebumen
No.
139/Pid.B/2010/PN.Kbm)?
C.
Tujuan dan Pemanfaatan Tulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan dari penulisan proposal tesis ini : 1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai tindak pidana narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Indonesia 2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan pemberantasan
tindak pidana narkotika di Indonesia 3. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap perantara narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, serta mengetahui Hakim menjatuhkan putusan terhadap pelaku perantara narkotika
9
Dengan penulisan proposal tesis ini penulis berharap dapat bermanfaat: 1.
Secara Teoritis Penelitian ini di harapkan dapat di gunakan sebagai bahan untuk referensi
bagi pengaturan lainnya yang berkaitan. Selain itu dapat menambahkan informasi untuk penanganan perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh perantara dan bahayanya penyalahgunaan narkotika. 2.
Secara praktis Sebagai bahan pedoman bagi para penegak hukum dalam meningkatkan
kemampuan untuk menangani perkara penyalahgunaan narkotika, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, khususnya yang berkaitan dengan peredaran narkotika. D. Keaslian penulisan
Setelah melakukan daftar penelusuran proposal tesis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan adanya kesamaan judul atau permasalahan yang diangkat oleh penulis yaitu
“PENERAPAN
SANKSI
PIDANA
TERHADAP
PERANTARA
PENGIRIM NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
(STUDI
PUTUSAN
Nomor
139/Pid.B/2010/PN.Kbm).” Oleh karena itu, tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, dan ilmiah. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa proposal tesis yang disusun ini
10
merupakan karya asli dari penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ditemukan kesamaan judul dan permasalahan proposal tesis ini yang sebelumnya berada di Departemen Fakultas Hukum Pidana USU maka penulis akan mempertanggung jawabkannya. E. Tinjauan Kepustakaan 1.
Pengertian Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) Napza adalah singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Kata
narkotika berasal dari bahasa yunani yaitu narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Ada juga yang mengatakan narkotika berasal dari kata narcissus, sejenis tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat membuat orang menjadi tidak sadar.12 Narkotika menurut Soedjono Dirdjosiswono adalah sejenis zat yang bila dipergunakan (dimasukan dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap tubuh pemakai, pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan-kahayalan (halusinasi).13 Menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
12
Noveryana Saragih, Skripsi, “Karakteristik Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif (NAPZA) di Sibolangi Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004-2007”, (Medan : Kearsip Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, 2009) hal 23 13 Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Tentang Narotika di Indonesia, (Bandung:Karya Nusantara, 1990), hal.9
11
golongan. 2. Jenis-Jenis Narkotika dan Penggolongan Narkotika a.
Jenis-Jenis Narkotika Sebenamya dalam dunia media istilah “narkotika” itu dimaksudkan hanya
untuk opium dari tanaman papaver dan turunan-turunanya atau zat-zat sintetis pengganti opium saja. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan ilmu hukum menjadi luas cakupannya, termasuk kokain dari tanaman koka dan bahan berasal dari tanaman ganja.14 Berikut adalah jenis-jenis narkotika yang penting baik berasal dari tanaman maupun obat semi sintetis atau obat sintetis,antara lain: 15 Tanaman candu (papaver somniferum),Opium mentamin, Morfin, Kodein , Heroin, Tanaman Koka (Erythroxylon coca), Kokain Mumi, Tanaman Ganja (cannabis sativa), Marihuana atau Mariyuana, Hashis, Minyak Hashis, Thebain, Oksikodon, Hydromorfon, Metadon, Anti Narkotika (Narcotic Antagonists), Klorat Hidrat, Barbiturates, Benzodiazepin, Ampetamin, Penmetrazin dan Metilpenidat, Anorektika, LSD (lysergic Acid Diethylamide), PCP (Pensiklidin), Meperidin (petidin) b. Penggolongan Narkotika Pasal 6 Ayat (1) bagian penjelasan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika membahas ketentuan yang di maksud penggolongan narkotika, adalah sebagai berikut: a)
Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat di gunakan untuk 14
Andi Hamzah, Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotoprika, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,1994), hal 16 15 Ibid., hal 16
12
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b)
Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c)
Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Jenis-jenis narkotika dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) penggolongan
narkotika, yaitu :16 a)
Golongan narkotika (Golongan I); seperti opium, morphin, heroin, dan lainlain
b) Golongan psikotropika (Golongan II) ; seperti ganja, ectacy, shabu-shabu,
hashis, dan lain-lain c)
Golongan zat adiktif lain (Golongan III) ; sperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain.
3.
Pengertian Perantara Pengertian perantara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
utusan yang menyampaikan sesuatu yang penting dengan cepat. Dalam tulisan ini perantara yang dimaksud adalah orang yang mengantar atau menjemput narkotika untuk diserahkan kepada seseorang atau suatu tempat. 16
Moh. Taufik makarao,Suhasril dan H. Moh. Zakky "Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghalia Indonesia,2003), hal 27
13
Dalam artikel BNN amankan perantara narkoba asal Pakistan, antara lain dikatakan bahwa perantara asal Pakistan melakukan transaksi narkotika dengan cara menerima tas berisi narkoba dari seseorang di luar Bandara Soekamo Hatta, Cengkareng, Tanggerang dan menyerahkan kepada perantara lainnya. Pria asal Pakistan tersebut menjalankan profesi sebagai perantara narkotika bersama dua orang Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya. Profesi sebagai perantara tersebut dikatakan juga sebagai perantara peredaran narkoba. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perantara narkotika bisa juga dikatakan sebagai perantara atau calo dalam transaksi narkotika. Misalnya, untuk perantara dalam transaksi narkotika golongan I, terhadap pelakunya dapat diancam sesuai Pasal 114 ay at (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang berbunyi : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).17
17
M.hukumonline.com7klinik/detail/lt52f93ee68a431 /perlindungan-hukum-bagi-anakyang-dijadikan-perantara-narkotika (diakses tanggal 23 april 2015)
14
4.
Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana a. Pengertian Tindak Pidana
Stafbaar feit, adalah istilah Belanda yang dalam bahasa Indonesia diteijemahkan dengan berbagai istilah, karena pemerintah tidak menetapkan terjemahan resmi atas istilah Belanda tersebut. Oleh karena itu, timbullah pandangan yang bervariasi dalam bahasa Indonesia sebagai pandanan dari istilah “stafbaar feit
seperti: “perbuatan pidana”, “peristiwa pidana”, “tindak pidana”,
“perbuatan yang dapat dihukum” dan lain sebagainya. Untuk menghindari perbedaan persepsi atas padanan dari istilah “strafbaar feit” yang sangat bervariasi dari penggunaan istilah yang berbeda tersebut, kiranya dimasa yang akan datang perlu menggunakan istilah yang baku, paling tidak dalam produk peraturan perundang-undangan.18 Muljanto mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang olehsuatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.19
18
I Made Widnyana.” Asas-Asas Hukum Pidana. ” (Jakarta: Fikahati Aneska, 2010),
hal 32-33 19
Ibid., hal 34
15
b. Pengertian Sanksi Pidana
Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera). Sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Dengan demikian sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan.20 Ide dasar sanksi pidana yakni filsafat indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana. Sebagaimana diketahui asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah bahwa sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan. Karena sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan hams diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.21 F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan pendekatan gabungan antara Yuridis Normatif dan pendekatan Yuridis Empiris. Dimana metode pendekatan Yuridis Normatif dalam penelitian ini yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi Buku-buku serta Norma-norma Hukum yang terdapat pada peraturan Perundang-undangan, Asas-asas Hukum, Kaedah Hukum, dan 20 21
Ibid., hal 32 Ibid., hal 33
16
Sistematika Hukum serta mengkaji ketentuan Perundang- undangan, dan bahanbahan hukum lainya.22 Pendekatan Yuridis Empiris yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang hubungan hukum terhadap masyarakat, yang dilakukan dengan cara mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kehidupan yang nyata dalam masyarakat dan dihubungkan pada analisis terhadap peraturan Perundang-undangan.23 2. Data dan Sumber Data
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer, dimana adapun yang dimaksud dengan data primer adalah data yang diperoleh dari sumber yang pertama seperti wawancara kepada pegawai di BNN Sumut, sedangkan data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari seumber yang pertama, melainkan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Seperti data yang diperolah dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. 24 Di dalam penulisan data sekunder yang digunakan berupa : a.
Bahan hukum primer
Bahan hukum yang digunakan penulis yaitu UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. b.
Bahan Hukum Sekunder 22
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Bayu Media Publishing, 2005), hlm.29. 23 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2007), hlm. 42 24 Soeijono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Ul-Press,1986), hal.51
17
Bahan hukum sekunder penelitian ini berupa buku-buku, jumal, proposal tesis, Tesis, artikel, internet dan studi putusan yang di peroleh dari Pengadilan Negeri Kebumen, Provinsi Jawa Tengah yang berkaitan dengan narkotika dan perantara narkotika. c.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang tersier dari penelitian ini yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 4. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dari penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan pemahaman yang selanjutnya akan di masukkan dalam penelitian ini berupa teori-teori, doktrin, karya ilmiah, peraturan perundang-undangan dan lainya, yang berkaitan dengan penelitian ini, selain itu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan proposal tesis ini juga menggunakan penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan pemahaman bagaimana penerapan
hukum
tersebut
dalam
lingkungan masayarakat, yang dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap Pegawai-pegawai BNN Sumut 5.
Analisis Data Bahan sekunder yang telah diperoleh yang selanjutnya akan dianalisis
secara kualitatif sebagai bahan masukan untuk menjawab permasalahan dalam proposal tesis ini. F.
Sistematika Penulisan Penulisan di harapkan dapat bermanfaat bagi pembaca yang di buat dengan
18
terperinci dan sistematis agar para pembaca mudah dan dapat memahami maknanya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain, dapat dilihat sebagai berikut: BAB I
:
Pendahuluan Pendahuluan memuat mengenai gambaran umum penelitian proposal tesis yang terdiri dari latar belakan, permasalahan, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
:
Pengaturan mengenai narkotika berdasarkan UU No.35Tahun 2009 tentang Narkotika Disini dibahas mengenai perkembangan lahimya undang- undang tentang narkotika, penggolongan narkotika, upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika, dan proses dari penyidikan sampai di sidang Pengadilan
BAB III :
Kendala-kendala dalam pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia Bab ini membahas tentang kendala-kendala pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia, dimana selanjutnya terbagi lagi ke dalam beberapa sub bab yaitu sub bab mengenai Kendala-kendala Umum yang Terjadi Dalam Pemberantasan Narkotika di Indonesia Sejak Lahimya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan sub bab mengenai Kendala dalam pemeberantasan perantara narkotika.
19
BAB IV :
Penerapan Sanksi Pidana Terhadap
Perantara
Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kabumen Nomor. 139/Pid.B/2010/ PNKbm) Bab ini membahas tentang sanksi bagi perantara narkotika berdasarkan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kedudukan perantara anak dalam tindak pidana narkotika, serta membahas mengenai analisis putusan pengadila negeri Kebumen nomor 139/Pid.B/2010/PNKbm. BAB V
:
Kesimpulan dan saran Bab ini dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai saran-saran dari penulis.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengaturan Narkotika Berdasarkan Undnag-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika Perbuatan-perbuatan
yang
dapat
diancam
dengan
sanksi
pidana
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika diatur mulai dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148, dimana bentuk-bentuk perbuatan yang dapat diancam dengan sanksi pidana pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terdapat perluasan dibandingkan Undang-Undang Nomor Tahun 1997 Tentang Narkotika, dimana pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika melibatkan juga peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika, serta apabila masayarakat mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika tetapi tidak melaporkan kepada pihak berwajib maka masayarkat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagimana yang diatur Mengenai persoalan upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika setelah lahimya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika maka upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika dilakukan secara khusus oleh lembaga BNN, dimana lembaga ini dibentuk dengan tujuan agar pemberantasan penyalahgunaan narkotika lebih efektif lagi, selain melibatkan pihak BNN dan Aparat Kepolisian upaya pencegahan dan pemberantasan juga melibatkan peran aktif masyarakat. Pasal 131 Undnag-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
20
21
Pada proses penyidikannya, penyidik bukan saja berasal dari penyidik Polri yang berwenang melakukan penyidikan akan tetapi BNN sebagai lembaga baru yang dibentuk juga berwenang melakukan penyidikan, sehingga dengan lahimya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini diharapkan kepolisian dan BNN dapat saling bersinergi dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Mengenai persoalan penuntutan berdasarkan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tata cara penuntutan dilakukan menurut ketentuan KUHAP, sedangkan persolan pemeriksaan di sidang pengadilan diatur di dalam Pasal 99 dan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. B. Kendala-kendala dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di
Indonesia kendala-kendala dalam pemberantasan tindak pidana narkotika secara umum meliputi; kendala dari segi padatnya jumlah penduduk Indonesia, kendala dari segi letak geografis negara Indonesia yang mempakan negara kepulauan, kendala dari segi rehabilitasi, kendala dari segi penerapan UU No. 35 Tahun 2009. selain itu adapun yang menjadi kendala dalam pemberantasan perantara narkotika meliputi: kendala dari segi modus operandi yang digunakan semakin canggih sehingga sulit untuk dilacak oleh petugas, kendala dari segi teknologi informasi aparat penegak hukum yang masih terbatas, dimana teknologi yang dimilki oleh aparat penegak hukum tidak sebanding dengan perkembangan teknologi yang semikin canggih yang dimilki oleh perantara narkotika.
22
C. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Perantara Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 139 /Pid.B/2010/PN.Kbm)
Penerapan sanksi pidana terhadap perantara narkotika sudah diatur dengan jelas dalam pasal 114 ayat 1, pasal 114 ayat 2, pasal 119 ayat 1, pasal 119 ayat 2, pasal 124 ayat 1, dan pasal 124 ayat 2. Pemberian sanksi pidana terhadap perantara dapat berbeda-beda. Perbedaan pemberian sanksi pidana di lihat dari penggolongan dan beratnya. Sedangkan pemberian sanksi pidana terhadap perantara anak mengacu kepada ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menganut Double Track system, yaitu sistem dua jalur yang selain mengatur sanksi pidana juga mengatur tindak pidana. Penerapan sanksi pidana terhadap anak di bawah umur haruslah memperhatikan batas batasan usia anak, dimana batasan usia anak sangat berkaitan erat dengan pertanggung jawaban pidana. Sementara penerapan sanksi pidana terhadap perantara narkotika pada kasus ini, menurut penulis hakim telah menjatuhkan putusan yang tepat karena Putusan Hakim yang memutuskan untuk menjatuhkan Dakwaan Primair yaitu melanggar Pasal 114 Ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah benar, karena Pasal 114 Ayat 1 ini lebih mengkhususkan lagi untuk diterapkan kepada perantara narkotika dibandingkan Pasal 112 Ayat 1. Sehingga oleh karena terbukti Dakwaan Primair maka Dakwaan Subsidair tidak perlu dibuktikan. Selain karena putusan hakim yang memperhatikan pertimbangan yuridis yaitu dengan memutuskan untuk menjatuhkan Dakwaan Primair kepada terdakwa. putusan hakim juga dianggap tepat menurut penulis karena putusan tersebut juga didasarkan pada pertimbangan non yuridis
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penulisan jumal proposal tesis ini adalah: 1.
Bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan sanksi pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika diatur mulai dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148, sedangkan untuk upaya pencegahan dan pemberantasan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika melibatkan lembaga yang berau terbentuk yaitu BNN dan juga peran aktif masyarakat. Pada proses penyidikan, penuntutan,dan persidangan dimuka pengadilan diatur dalam Pasal 71, Pasal 84, dan Pasal 73.
2.
Bahwa kendala pemberantasan narkotika secara umum meliputi: kendala dari segi padatnya penduduk, letak geografis, kendala dari segi rehabilitasi, dan kendala dalam penerapan Undag-Undang Nomor 35 Tahun 2009. sedangkan kendala pemberantasan perantara narkotika meliputi: kendala modus operandi semakin canggih dan kendala dari segi keterbatasan teknologi aparat penegak hukum.
3.
Bahwa penerapan sanksi pidana untuk perantara diatur mulai dari Pasal 114 Ayat 1 dan 2, Pasal 119 Ayat 1 dan 2, Pasal 124 Ayat 1 dan 2, sedangkan untuk perantara anak penerpan sanksi pidana anak mengacu pada UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Sementara
23
24
untuk kasus parwoto menurut penulis Hakim telah tepat menjatuhi putusan karena putusan hakim didasarkan pada pertimbangan yuridis dan non yuridis B. Saran 1. Undang-undang narkotika diharapkan dapat sejalan dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat yang semakin hari semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Para pegiat hukum, masyarakat dan terutama pemerintah harus saling bersinergi dalam hal melakukan pembaharuan terhadap undang-undang narkotika ini, agar dalam hal pemberantasan narkotika dapat berjalan dengan baik dan diharapkan semakin menumnnya kasus narkotika di Indonesia. 2. Sebaiknya perlu ada perbaikan serta penyempurnaan terhadap UU. No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, karena masih banyaknya kendala-kendala yang ditemukan pada praktek dilapangan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, sehingga apabila telah diadakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang tersebut maka diharapkan penyempurnaan tersebut dapat menanggulangi kendala-kendala yang selama ini terjadi. 3. kepada para penegak hukum harus dapat menjalankan hukum sesuai dengan
apa yang di atur oleh undang-undang. Setiap praktek yang di lakukan di lapangan harus sesuai dengan aturan yang telah ada. Diharapkan adanya pengawasan terhadap proses penegakkan hukum di lapangan, kalau perlu, melakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Diharapakan juga mengatur sanksi pidana terhadap perantara anak di dalamUU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Dirdjosiswono Soedjono, 1990, Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung H.Siswanto.S, 2012, ’’Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta Hamzah Andi, 1994, Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Ibrahim Jhonny, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, Bayu Media Publishing, Jakarta Sunggono Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta. Soekanto Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Ul-Press, Jakarta. Taufik Moh, Makarao, Suhasril, H. Moh. Zakky, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta. Widnyana I Made, 2010.” Asas-Asas Hukum Pidana. ” Fikahati Aneska, Jakarta Koran atau Surat Kabar: Kompas, Selasa, 28 Juli 2015, hal. 26 Waspada, Selasa, 7 Juli 2015, Hal A3 Waspada, Rabu, 5 Agustus 2015, h a l . A4 Akses Internet: m. merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-pada-2015-capai-58juta-jiwa.html (di akses tanggal 8 april 2015) M.hukumonline. com/ klinik/ detail/ It4f7481 c7df82d/ hak-hak - masyarakat dalam -pemberantasan - kejahatan - narkotika (di akses tanggal 8 april 2015) M.liputan6.com/news/read/221936/indonesia-darurat-narkoba (di akses tanggal 8 April 2015)
25