IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 4.1.1 Kurva Standar Berdasarkan percobaan yang dilakukan untuk mendapatkan nilai kurva standar, didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi AS dalam akuades maka nilai absorban methylene blue terukur semakin tinggi. Kurva standar AS dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Grafik kurva standar Alkyl sulfate Berdasarkan nilai absorban methylene blue pada Gambar 2 didapatkan nilai persamaan linear Y= 0,072x+0,257. Persamaan linear ini digunakan untuk mengukur konsentrasi residu surfaktan pada saat uji akut 4.1.2 Uji Mencari Nilai Kisaran (Range Finding Test) Berdasarkan percobaan mencari nilai kisaran, didapatkan bahwa pada konsentarsi terendah yaitu 4 mg/l terjadi kematian sebesar 0 %, sedangkan konsentrasi tertinggi yaitu 34 mg/l terjadi kematian sebesar 99 %. Dari data tersebut diambil nilai konsentrasi AS dengan nilai ambang bawah 5 mg/l dan ambang atas 40 mg/l untuk menjadi nilai ambang pada saat uji akut. Dari nilai ambang bawah dan ambang atas tersebut maka didapatkan nilai-nilai konsentrasi AS untuk uji akut yaitu 8,41 mg/l; 14,14mg/l; 23,77 mg/l; dan 39,96 mg/l. Untuk contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 14.
4.1.3 Uji Akut Berdasarkan uji akut yang dilakukan, ditemukan bahwa derajat kematian udang galah hybrid, udang galah Sukabumi dan udang galah Kalimantan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentasi AS. 4.1.3.1 Mortalitas Hasil pengamatan mortalitas selama uji akut 96 jam pada udang galah hybrid, udang galah Sukabumi dan udang galah Kalimantan ditunjukkan pada Gambar 3 dan Tabel 2.
Gambar 3 Mortalitas udang galah pada uji akut 96 jam Tabel 2 Mortalitas udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan saat uji akut Mortalitas (%) Konsentrasi Hybrid Sukabumi Kalimantan ax ax 0 mg/l 5±7,1 0±0 0±0 a x 8,41 mg/l 0±0 a x 0±0 a x 0±0 a x 14,14 mg/l 5±7,1 a x 5±7,1 a x 25±35,4 a x 23,77 mg/l 70±28,3 b x 20±14,1 b x 80±0 b x 39,96 mg/l 80±28,3 b x 55±35,4 b x 80±0 b x Keterangan : nilai yang diikuti oleh huruf superscript yang sama menunjukkan tidak perbedaan yang nyata (P>0,05).
ada
Hasil uji Duncan memperlihatan bahwa tingkat kematian pada konsetrasi AS 23,77 mg/l dan 39,96 mg/l memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
kontrol (0 mg/l). Namun perbedaan strain udang galah tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05). Pengamatan tingkat kelangsungan hidup udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan jam ke 24, 48, 72 dan 96 pada konsentrasi 14,14 mg/l, 23,77 mg/l dan 39,96 mg/l dapat dilihat pada Gambar 4, 5 dan 6.
Gambar 4 Pengamatan SR pada konsentrasi AS 14,14 mg/l
Gambar 5 Pengamatan SR pada konsentrasi AS 23,77 mg/l
Gambar 6 Pengamatan SR pada konsentrasi 39,96 mg/l
Berdasarkan analisa probit (Finney, 1971) pada Gambar 7 didapatkan nilai LC50 strain Hybrid dan strain Sukabumi pada jam ke 96 masing-masing adalah
34,67 mg/l dan 57,54 mg/l. Sedangkan LC50 strain Kalimantan pada jam ke 24, 48, 72 dan 96 berturut-turut yaitu 87,90 mg/l, 37,49 mg/l, 29,44 mg/l dan 28,18 mg/l.
Gambar 7 Grafik nilai LC50 AS pada jam pengamatan tertentu 4.1.3.2. Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati pada uji akut 96 jam ini meliputi suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, kesadahan, alkalinitas, amoniak dan residu Alkyl sulfate untuk strain hybrid, Sukabumi dan Kalimantan. Pengukuran semua parameter kualitas air ini dilakukan sebelum dan sesudah ganti air pada saat uji akut. Hasil pengamatan terhadap parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 3 dan grafik seperti pada Gambar 8, 9 dan 10. Tabel 3 Parameter kualitas air pada uji akut 96 jam Hybrid Sebelum Sesudah
Sukabumi Sebelum Sesudah
Kalimantan Sebelum Sesudah
Suhu (0C)
25,9-26,3
25,6-26,3
26,2-26,8
26,2-26,2
26,2-26,8
26,2-26,6
DO (mg/l)
4-6,5
5,6-6,3
4-5,4
5,3-5,5
3,64-6,83
7,12-7,34
6,25-7,39
6,9-7,7
6,6-7,05
7,19-7,44
6,78-7,18
6,78-7,18
Kesadahan (mg/l CaCO3)
30,55-39,28
26,18-39,28
30,55-39,28
30,55-39,28
30,55-39,28
30,55-39,28
Alkanititas (mg/l CaCO3)
8-16
8-16
8-20
8-20
8-16
16-20
Amonia (mg/l)
0,001-0,0033
0,0007-0,0063
0,0002-0,0018
0,003-0,01
0,0002-0,008
0,0005-0,007
Parameter
pH
Gambar 8 Residu AS pada media strain hybrid
Gambar 9 Residu AS pada media strain Sukabumi
Gambar 10 Residu AS pada media strain Kalimantan
4.1.4 Kondisi Udang Galah Pasca Uji Akut pada Media Tanpa Alkyl Sulfate Kondisi udang galah pasca uji akut per perlakuan ditujukan melalui pengamatan parameter laju pertumbuhan bobot harian, histopatologi insang dan hepatopankreas. 4.1.4.1 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh data mengenai laju pertumbuhan bobot harian (%) udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan yang ditujukkan pada Gambar 11 dan Tabel 4.
Gambar 11 Laju pertumbuhan bobot harian udang galah Tabel 4 Pertumbuhan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan selama 30 hari Pertumbuhan (%) Konsentrasi hybrid Sukabumi Kalimantan ax ax 0 mg/l 6,99±0,27 6,91 ± 0,97 5,12 ± 0,89a x 8,41 mg/l 14,14 mg/l 23,77 mg/l 39,96 mg/l Keterangan :
5,19±0,10ab x 5,15±1,50ab x 5,59±1,74b x 1,40±0,00b y
6,59 ± 1,22ab x 5,74 ± 0,42ab x 5,91 ± 1,48b x 4,47 ± 0,09b x
4,68 ± 0,46ab x 4,62 ± 0,51ab x 3,37 ± 0,97b x 3,40± 0,00b x
nilai yang diikuti oleh huruf superscript yang sama menunjukkan tidak perbedaan yang nyata (P>0,05).
ada
Pertumbuhan bobot harian pada udang galah pada strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil uji Duncan memperlihatkan bahwa perlakuan konsentrasi AS 23,77 mg/l dan 39,96 mg/l memberikan pengaruh yang nyata. Pada perlakuan konsentrasi AS 39,96 mg/l
perbedaan strain memberikan pengaruh yang nyata. Namun pada konsentrasi lainya perbedaan strain tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05). 4.1.4.2 Histologi Hasil pengamatan histopatogi hepatopankreas dan insang dapat dilihat pada Gambar 12-21.
a
10μm
10μm
Gambar12 Histologi hepatopankreas Gambar13 Histologi hepatopankreas pada konsentrasi AS 0 mg/l pada konsentrasi AS 8,41 mg/l
c b
10μm
10μm
Gambar 14 Histologi hepatopankreas pada Gambar 15 Histologi hepatopankreas konsentrasi AS 14,41 mg/l pada konsentrasi AS 23,77 mg/l
d 10μm
Gambar 16 Histologi hepatopankreas pada Gambar 17 Histologi insang pada konsentrasi AS 39,96 mg/l konsentrasi AS 0 mg/l
10μm
f e
10μm
10μm
Gambar 18 Histologi insang pada konsentrasi AS 8,41 mg/l
Gambar 19 Histologi insang pada konsentrasi AS 14,14 mg/l
i h g 10 μm
Gambar 20 Histologi insang pada konsentrasi AS 23,77 mg/l
Keterangan : a : Edema
b : Edema
c : hipertropi d : lyisis e : deskuamasi f : telangiektasis g : hipertropi h : hyperplasia I : hipertropi
10μm
Gambar 21 Histologi insang pada konsentrasi AS 39,96 mg/l
= suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam ronggarongga tubuh atau didalam ruang-ruang interstitial dari jaringan dan organ. = suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam ronggarongga tubuh atau didalam ruang-ruang interstitial dari jaringan dan organ. = bertambahnya ukuran atau volume dari suatu bagian tubuh karena suatu peningkatan ukuran dari sel-sel individu. = pecahnya sel = terlihat dengan epitel insang yang lepas dari organ. = terlihat pada ujung lamela sekunder yang membesar dan membulat sehingga terlihat seperti gelembung balon. = bertambahnya ukuran atau volume dari suatu bagian tubuh karena suatu peningkatan ukuran dari sel-sel individu. = lamela sekunder insang yang mengalami penebalan = bertambahnya ukuran atau volume dari suatu bagian tubuh karena suatu peningkatan ukuran dari sel-sel individu.
4.1.4.3. Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur selama pemeliharaan meliputi suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, kesadahan, alkalinitas, dan TAN untuk strain hybrid, Sukabumi dan Kalimantan. Pengukuran semua parameter kualitas air ini dilakukan setiap 10 hari sekali. Hasil pengukuran terhadap parameter kualitas air disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter kualitas air selama penelitian Kualitas air strain hybrid
strain Sukabumi
strain Kalimantan
Suhu (0C)
27,1-28,4
27,6 - 29,1
27,1-28,1
DO (mg/l)
5,5-8,22
5,43-7,30
6,22-8,80
pH
7,45-7,83
7,57-7,54
6,94-8,2
TAN
0,075-0,08
0,15-0,16
0,18-0,6
Kesadahan (mg/l CaCO3)
119-134
186-223
179-216
Alkanitas (mg/l CaCO3)
14-26
18-40
24-48
Parameter
4.2 Pembahasan 4.2.1 Uji Akut 4.2.1.1 Mortalitas Uji akut adalah uji tunggal yang dilakukan atas suatu zat kimia yang ada kaitannya dengan kepentingan biologi (Loomis, 1978). Uji akut terdiri atas pemberian suatu zat kimia kepada hewan uji dalam waktu yang relatif pendek dengan dosis atau kadar yang relatif tinggi. Sebagian besar penelitian ini dirancang untuk menentukan dosis letal median (LC50) toksikan. LC50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diharapkan akan membunuh 50 % hewan uji. Pengujian ini juga dapat menunjukan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaikanya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 2006). Hasil uji akut pemaparan Alkyl sulfate (AS) selama 96 jam terhadap tingkat kematian udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan pada Tabel 1 didapatkan bahwa tingkat kematian (MR) udang galah terendah yaitu pada konsentrasi AS 0 mg/l untuk strain hybrid sebesar 5±7,1 %; strain Sukabumi 0±0 % dan strain Kalimantan 0±0 %. Sedangkan yang tertinggi yaitu pada konsentasi 39,96 mg/l untuk udang galah strain hybrid sebesar 80 ±28,3 %; strain Sukabumi 55±35,4 %; dan strain Kalimantan 80±0%. Berdasarkan analisis statistik diperoleh bahwa konsentrasi 23,77 mg/l dan 39,96 mg/l memberikan pengaruh yang nyata terhadap kontrol namun perbedaan strain tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kematian (P>0,05), meskipun demikian strain Sukabumi memiliki kecenderungan lebih tahan dibandingankan strain hybrid dan strain Kalimantan. Pengukuran nilai kematian dengan mengukur nilai LC50-96 jam seringkali digunakan untuk mencari tingkatan aman dari kontak dengan racun, misalnya 1% dari nilai LC50-jam, yang dapat berfungsi sebagai kriteria kualitas air untuk racun (Connel dan Miller, 1995). Berdasarkan hasil pengamatan, besarnya nilai LC 50-96 jam pada strain hybrid adalah 34,67 mg/l dengan ambang bawah 33,48 mg/l dan ambang atas 35,88; strain Sukabumi 57,54 mg/l dengan ambang bawah 56,32 mg/l dan ambang atas 58,75, strain Kalimantan 28,18 mg/l dengan ambang bawah 26,97 mg/l dan ambang atas 29,39 mg/l.
Perbedaan nilai LC50 pada masing-masing strain sesuai dengan pernyataan Carlson (1987) bahwa setiap strain akan memiliki respon yang berbeda terhadap polutan atau zat toksik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Clemens et al.(1979); Hill et al. (1975) dalam Carlson (1987) didapatkan bahwa toksisitas kloroform empat kali lebih resisten pada tikus strain C57BL/6J dibandingkan dengan tikus strain DBA/2J. Hal ini disebabkan karena kerja dari salah satu gen intermediate inheritance atau multifactorial genetic control over chloroform toxicity (Carlson, 1987). Kelenturan fenotif adalah kemampuan suatu individu atau genotif untuk menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologis dan atau tingkah laku sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan (WestEberhard, 1989; Noor, 1996 dalam Hadie et al., 2004). Sultan (1987) dan Taylor & Aarssen (1988) dalam Hadie et al., (2004) mendefinisikan kelenturan fenotip sebagai variasi ekspresi fenotip dari suatu genotip sebagai respon terhadap kondisi lingkungan tertentu, dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan bereproduksi pada kondisi lingkungan tersebut. Udang galah strain Sukabumi diduga telah meiliki kelenturan fenotip yang tinggi karena berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan strain ini memilki ketahan yang lebih tinggi terhadap paparan surfaktan AS dibandingkan dengan udang galah strain lainnya yaitu hybrid dan strain Kalimanatan. Koeman (1987) menyatakan bahwa kepekaan terhadap zat beracun dapat sangat bervariasi anatara jenis yang satu dengan jenis yang lainya dan antara individu yang satu dengan individu lainnya di dalam satu jenis. Pada umumnya hal ini didasarkan pada perbedaan yang mendasar dalam anatomi dan fisiologi jenis dan pada variabilitas dalam sifat keturunan dan kondisi individu dalam satu jenis. Selain itu hal ini diduga udang galah strain Sukabumi memiliki daya adaptasi genetik. Sebagaimana diketahui bahwa perairan di pulau Jawa termasuk perairan Pelabuhan Ratu memiliki tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan perairan yang ada di Sulawesi maupun Kalimantan. Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa dalam sistem yang tercemar, makhluk hidup terseleksi terhadap toleransi, yang dapat menyebabkan adaptasi genetik. Setelah beberapa waktu dengan generasi selanjutnya yang menjadi lebih toleran terhadap kondisi pencemaran.
Kematian udang galah diduga karena tubuh udang menyerap air yang mengandung surfaktan AS yang menyebabkan pecahnya sel dan berinteraksi dengan protein dan membrane semipermiabel (Supriyono et al., 1998 dalam Berlianti, 2005). Selain itu kematian dapat pula diakibatkan adanya detergen pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan dua sampai tiga kali dari keadaan normal karena adanya kerusakan epithelium insang (Matelev et al., 1971 dalam Fahmi, 2000). Dan berdasarkan hasil penelitian Berlianti (2005) disebutkan bahwa insang udang windu yang dipaparkan AS dengan konsentrasi 34,99 mg/l mengalami kerusakan berupa kondensasi, fusi, nekrosis dan hipertropi. Sifat toksis dari polutan termasuk Surfaktan AS dapat menimbulkan gangguan pada saraf pusat sehingga ikan tidak bergerak atau bernafas akibatnya cepat mati (Nicodemus, 2003 dalam Jalius, 2008). 4.2.1.2 Tingkah Laku Pengamatan tingkah laku udang galah pada strain hybrid, Sukabumi dan Kalimantan menunjukkan bahwa beberapa jam setelah perlakuan uji akut di mulai, udang pada akuarium perlakuan mulai mengalami gangguan dan menunjukkan tingkah laku yang berbeda dengan udang pada akuarium kontrol. Mulai jam ke-4 waktu pengamatan pada semua strain, sebagian besar udang diam di dasar akuarium dan sebagian kecil berenang ke permukaan. Pada jam ke 48 waktu pengamatan pada semua strain, udang pada perlakuan dengan konsentrasi AS 23,77 mg/l dan 39,96 mg/l mulai hilang keseimbangan dengan posisi tubuh miring. Hasil pengamatan terhadap tingkah laku ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Jika perubahan tingkah laku udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan akibat perlakuan AS dibandingkan dengan perlakuan insektisida triklorfon (Pong-Masak, 2003) dan perlakuan AS pada post larva udang Windu (Berlianti, 2005), maka didapatkan bahwa perubahan tingkah laku udang akibat kedua bahan toksik tersebut mempunyai pola yang cukup serupa. Penelitian Pong-Masak (2003) menunjukkan bahwa pada perlakuan pemberian insektisida triklorfon pada media pemeliharaan dapat menyebabkan perubahan tingkah laku dimana udang berenang tidak teratur, terkadang meloncat-loncat, dan akhirnya kaku/ mati. Respon tersebut diduga karena adanya pengaruh sifat
toksikan yang menyerang system saraf pusat sebagai jaringan sasaran (PongMasak, 2003). Udang yang berenang dan diam dekat permukaan air menunjukkan bahwa udang tersebut kesulitan untuk mendapatkan oksigen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Metelev et al., (1971) dalam Berlianti (2005) yang menyatakan bahwa detergen pada konsentrasi tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan dua sampai tiga kali dari keadaan normal kemudian terjadi kerusakan system respirasi, yaitu pada epithelium insang. Adanya perubahan tingkah laku udang menunjukkan bahwa AS dapat digolongkan sebagai salah satu polutan yang dapat bereaksi pada salah satu atau semua reseptor dan mempengaruhi system saraf pusat (Heat, 1987). 4.2.1.3 Kualitas Air Pengukuran parameter kualitas air dilakukan sebelum dan sesudah ganti air pada saat uji akut 96 jam. Dari hasil pengukuran didapatkan kisaran suhu media pemeliharaan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan sesudah ganti air berturut-turut adalah 25,6-26,30C (Tabel 3); 26,226,60C (Tabel 3); 26,2-26,60C (Tabel 3). Sedangkan untuk kisaran suhu sebelum ganti air adalah 25,9-26,30C (Tabel 3); 26,2-26,80C (Tabel 3); 26,2-26,80C (Tabel 3). New (2002) mengemukakan bahwa suhu yang optimum untuk pemeliharaan udang galah adalah 260C hingga 290C, sehingga suhu pada penelitian ini mendekati kisaran suhu yang optimum untuk pemeliharaan udang galah. Pada saat percobaan terjadi peningkatan suhu, hal ini diduga karena aktivitas udang di dalam media pemeliharaan. Menurut Haslam (1995) dalam Effendi (2003), peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH4 serta mempercepat metabolisme dan respirasi organisme air. Dari hasil pengamatan pada penelitian ini, kisaran kandungan oksigen terlarut media pemeliharaan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan
sesudah ganti air berturut-turut adalah 5-6,3 mg/l (Tabel 3);
5,3-5,5 mg/l (Tabel 3); 7,12-7,34 mg/l (Tabel 3). Sedangkan untuk kisaran kandungan oksigen terlarut sebelum ganti air adalah 4-6,5 mg/l (Tabel 3); 4-5,4 mg/l (Tabel 3); 3,64-6,83 mg/l (Tabel 3). Berdasarkan pengamatan nilai DO
(Dissolved Oxygen) semakin menurun dengan pekatnya konsentrasi AS (dapat dilihat pada Tabel 3). Hal ini diduga karena kelarutan oksigen menjadi menurun karena adanya molekul-molekul surfaktan di dalam air. Prat dan Giraud (1961) dalam Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa lapisan permukaan molekul surfaktan pada batas antar fase udara dan air dapat mencegah perpindahan oksigen. Walaupun nilai DO cenderung turun beberapa waktu setelah uji akut dilakukan, nilai-nilai DO tersebut masih layak bagi pemeliharaan udang galah karena sesuai dengan pernyataan New (2002), bahwa udang galah dapat tumbuh dengan baik di lingkungan dengan kandungan oksigen terlarutnya di atas 3 mg/l. Kisaran pH media pemeliharaan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan sesudah ganti air berturut-turut adalah 6,9-7,7 (Tabel 3); 7,19-7,44 (Tabel 3); 7,18-7,65 (Tabel 3). Sedangkan untuk kisaran pH sebelum ganti air adalah 6,25–7,93 (Tabel 3); 6,6-7,05 (Tabel 3); 6,78-7,18 (Tabel 3). Menurut Boyd (1982) kandungan pH sebesar 5-9 dapat menunjang kehidupan organisme perairan secara normal sehingga kisaran nilai pH pada penelitian ini masih berada pada kisaran optimum. Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua) (Effendi, 2003). Nilai kesadahan media pemeliharaan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan
sesudah ganti air berturut-turut adalah 26,18-
39,28 mg/l CaCO3 (Tabel 3); 30,55-39,28 mg/l CaCO3 (Tabel 3); 30,55-39,28 mg/l CaCO3 (Tabel 3). Sedangkan untuk kisaran kesadahan sebelum ganti air adalah 30,55-39,28 (Tabel 3); 30,55-39,28 mg/l CaCO3 (Tabel 3); 30,55-39,28 mg/l CaCO3 (Tabel 3). Menurut Lelono (1986) dalam Mukti (2006) menyatakan bahwa kesadahan yang baik untuk menunjang kehidupan organisme perairan berkisar antara 20-150 mg/l CaCO3 ekuivalen. Berdasarkan hasil yang diperoleh, kisaran nilai alkalinitas media pemeliharaan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan sesudah ganti air berturut-turut adalah 8-16 mg/l CaCO3 (Tabel 3); 8-20 mg/l CaCO3 (Tabel 3); 16-20 mg/l CaCO3 (Tabel 3). Sedangkan untuk kisaran alkalinitas sebelum ganti air adalah 8-16 mg/l CaCO3 (Tabel 3); 8-20 mg/l CaCO3 (Tabel 3); 8-16 mg/l CaCO3 (Tabel 3) Zaidi (2007) dalam Putri (2009) menjelaskan bahwa total alkanitas tidak boleh lebih dari 180 mg/l.
Kisaran nilai amonia media pemeliharaan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan sesudah ganti air berturut-turut adalah 0,00070,0063 mg/l (Tabel 3); 0,0027- 0,0095 mg/l (Tabel 3); 0,0005- 0,0074 mg/l (Tabel 3). Sedangkan untuk kisaran amonia sebelum ganti air adalah 0,0002- 0,0034 mg/l (Tabel 3); 0,0001-0,0033 (Tabel 3); 0,0002-0,0018 mg/l (Tabel 3). Menurut New (2002), kadar amoniak tak terionisasi yang dapat ditolerir udang galah adalah < 0,3 mg/l. dengan demikian, kandungan amonia tak terionisasi pada semua media pmeliharaan masih dalam batas toleransi pemeliharaan udang galah dan tidak bersifat toksik bagi udang. Hasil pengukuran residu surfaktan media pemeliharan udang galah strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan
dapat dilihat pada Gambar 8, 9
dan 10. Berdasrkan hasil pengukuran tersebut didapatkan bahwa residu surfaktan mengalami penurunan beberapa saat setelah uji akut. Hal ini diduga bahwa AS mengalami peluruhan secara alami seiring berjalannya waktu selain itu diduga pula adanya penyerapan AS oleh tubuh udang. Peluruhan AS terjadi karena adanya sifat degradasi, volatil, perbedaan kelarutan oksigen dan sifat fisika kimia air lainnya (Brungs, 1973 dalam Pong-Masak, 2003).
4.2.2 Kondisi Udang galah Pasca Uji Akut pada Media Tanpa Alkyl Sulfate Kondisi udang galah pasca uji akut per perlakuan ditujukan melalui pengamatan parameter laju pertumbuhan bobot harian, histopatologi insang dan hepatopankreas. Nilai laju pertumbuhan bobot harian pada Tabel 4 menunjukan bahwa pertumbuhan strain hybrid, strain Sukabumi dan strain Kalimantan pada perlakuan konsentrasi AS 23,77 mg/l dan 39,96 mg/l memberikan pengaruh yang nyata, dan pada perlakuan konsentrasi AS 39,96 mg/l perbedaan strain memberikan pengaruh yang nyata. Namun pada konsentrasi lainya perbedaan strain tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) Dari Gambar 11 terlihat bahwa laju pertumbuhan bobot harian semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi AS. Meningkatnya konsentrasi AS pada media perlakuan diduga berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan sehingga secara langsung mempengaruhi pertumbuhan udang. Hal ini sesuai
dengan penelitian Abel (1974) dalam Darmono (2003), terhadap ikan zebra (Branchydanio rerio) didapatkan bahwa pada kondisi normal (tanpa detergen) ikan lebih cepat mengkonsumsi makanan yang diberikan, sedangkan pada kondisi perlakuan (diberi detergen) lebih lambat mengkonsumsi makanan yang diberikan, hal
ini
kemungkinan
dikarenakan
syaraf
penerima
rangsangan
makanan/kemoreseptor menjadi rusak. Berlianti (2005) juga menyebutkan bahwa pengaruh kronis surfaktan detergen pada ikan adalah hilangnya nafsu makan, menganggu respirasi, menghambat pertumbuhan, menghambat perkembangan telur, dan daya hidup larva rendah. Histopatologi adalah ilmu yang mempelajari pengamatan sel, jaringan atau organ makhluk hidup (hewan) di bawah mikroskop untuk melihat diagnosa suatu penyakit. Pada penelitian ini dilakukan histologi jaringan insang dan hepatopankreas pada hewan uji yang telah dipelihara selama 30 hari pada media tanpa pemberian surfaktan AS. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa insang (Gambar 17-21) ataupun hepatopankreas (Gambar 12-16) udang
yang
diberikankan AS saat uji akut 96 jam mengalami kerusakan. Kerusakan organ meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi AS yang diberikan. Kerusakan yang terjadi yaitu berupa telangiektasis, hipertropi, hyperplasia, yaitu lamella sekunder yang membesar dan membulat sehingga terlihat seperti gelembung balon, hal ini karena pada ujung lamella sekunder tersebut mengalami pembendungan atau penggumpalan darah. Setelah itu kemudian diikuti oleh hipertropi yaitu peningkatan komponen sel dalam jaringan atau sel. Untuk tingkat kerusakan yang parah yaitu berupa nekrosis yaitu matinya sel dan akan berujung pada deskuamasi yaitu lepasnya epitel insang dari organ. Menurut Robert (2001) telangiektasis dapat terjadi pada insang yang berada pada kualitas air yang buruk, ada serangan parasit, penumpukan sisa metabolisme dan polutan kimia. Kerusakan hepatopankreas pada udang uji yaitu berupa edema terlihat seperti ruang kosong berwarna putih (Gambar 14), telangiektasis, hipertropi dan nekrosis. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Berlianti (2005) dimana udang windu yang dipaparkan AS pada konsentrasi 34,99 mg/l mengalami kerusakan pada insang berupa kondensasi, fusi, hipertropi dan nekrosis sedangkan untuk kerusakan hepatopankreas berupa hipertropi, nekrosis dan degenarasi lemak.