IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya
digunakan untuk DAS Ciliwung Hulu mulai tahun 2003 sampai 2007. Hal ini disebabkan data debit harian yang ada untuk DAS Ciliwung Hulu dimulai pada tahun 2003 dan tidak tersedianya data debit harian untuk DAS Cisadane Hulu. Koefisien regim sungai (KRS) adalah bilangan yang merupakan perbandingan debit harian maksimum dan debit harian minimum. Makin kecil nilai KRS berarti makin baik kondisi hidrologis suatu DAS (Suripin, 2001). Data debit harian maksimum dan minimum, tanggal terjadi debit maksimum dan nilai KRS DAS Ciliwung Hulu ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Debit Maksimum-Minimum dan KRS DAS Ciliwung Hulu Tahun
Q Maksimum
Q Minimum
CH Wilayah saat Q Maksimum (mm)
2003 2004 2005 2006 2007
17,60 21,14 26,08 44,73 132,79
1,70 2,86 4,14 3,13 0,48
65,43 42,02 94,8 61,44 117,96
Tanggal Q Maksimum 29/04/2003 19/02/2004 18/01/2005 09/02/2006 03/02/2007
Koefisien Regim Sungai (KRS) 10,35 7,39 6,29 14,29 276,64
Berdasarkan tabel di atas, nilai KRS Ciliwung Hulu sejak tahun 2003 hingga 2006 tidak menunjukkan fluktuasi yang ekstrim karena nilai yang dihasilkan tidak jauh berbeda tiap tahunnya. Fluktuasi ekstrim hanya terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 276,64. Fluktuasi debit dapat dijadikan petunjuk keadaan air sepanjang tahun dari DAS yang bersangkutan. Fluktuasi debit sungai yang semakin kecil menunjukkan keadaan tata airnya semakin baik dan penyebaran air sepanjang
tahun
merata.
Sebaliknya
apabila
fluktuasi
semakin
tinggi
menunjukkan keadaan tata airnya kurang baik sehingga penyebaran airnya tidak merata
300
140
250
120 100
200
80
150
60
100
40
50
Curah hujan (mm)
Koefisien Regim Sungai
18
20
0
0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun Pengamatan Koefisien Regim Sungai
Curah Hujan Wilayah
Gambar 5. Grafik Hubungan Curah Hujan Wilayah saat Q maksimum dengan Koefisien Regim Sungai DAS Ciliwung Hulu Jika dikaitkan antara debit harian dengan curah hujan wilayah maka KRS tertinggi pada tahun 2007 disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di Ciliwung Hulu pada tanggal 3 Februari 2007 yaitu sebesar 117,96 mm. Curah hujan tinggi yang melebihi kapasitas infiltrasi menyebabkan sebagian besar hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Selain itu, Haridjaja et al. (1991) menjelaskan bahwa hujan deras pada hilir DAS akan meningkatkan debit di titik pembuangannya (outlet) karena hujan akan sedikit terinfiltrasi. Karena itu, hujan di outlet DAS Ciliwung Hulu, yaitu Katulampa, akan lebih berpengaruh dalam meningkatkan debit aliran dibandingkan dengan hujan di Gunung Mas dan Citeko. Menurut Asdak (2004), total volume aliran permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun curah hujan total untuk kedua hujan tersebut sama besarnya. Nilai KRS yang tinggi menunjukkan kisaran perbedaan Q max dan Q min yang besar atau secara tidak langsung kondisi ini menunjukkan bahwa lahan di DAS kurang mampu menyerap, menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh sehingga banyak air run off yang terus masuk ke sungai dan terbuang ke laut. Kejadian tersebut menyebabkan ketersediaan air di DAS saat musim kemarau sedikit.
19
4.2.
Hubungan Koefisien Run Off dengan Curah Hujan Tahunan DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu Koefisien aliran permukaan tahunan merupakan nisbah jumlah aliran (run
off) dengan curah hujan pada suatu DAS. Koefisien aliran permukaan yang semakin
besar
menunjukkan
jumlah
curah
hujan
yang
diserap
atau
dievapotranspirasi berkurang dan jumlah air yang mengalir (hasil air) di titik pelepasan sungai semakin besar. Secara umum, mulai tahun 1998-2006 di DAS Ciliwung Hulu tidak terjadi fluktuasi yang ekstrim untuk nilai koefisien run off (Gambar 6). Kondisi klimaks koefisien run off di DAS Ciliwung Hulu terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 0,86. Artinya sebesar 86 % (1.745 mm) dari curah hujan tahun 1997 (2.599 mm) menjadi run off (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun tersebut merupakan kondisi terburuk selama 12 tahun pengamatan. Nilai koefisien run off terendah atau kondisi terbaik selama 12 tahun pengamatan terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 0,37 yang berarti sebesar 37 % (1.616 mm) dari curah hujan menjadi run off.
Gambar 6. Grafik Hubungan Curah Hujan-Koefisien Run Off DAS Cisadane Hulu dan Ciliwung Hulu Periode 1996-2007
20
Tabel 3. Tabel koefisien Run Off, Curah Hujan Wilayah, dan Curah Hujan Yang Menjadi Run Off di DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu Koefisien Run Off Tahun
Ciliwung Hulu 0,79 0,86 0,69 0,45 0,37 0,54 0,72 0,41 0,61 0,54 0,51 0,78
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Cisadane Hulu 0,62 0,66 0,55 0,66 0,55 0,66 0,65 0,43 0,69 0,43 0,38 0,41
CH Wilayah (mm) Ciliwung Hulu 4.038 2.599 4.109 3.860 3.299 4.099 3.407 3.157 3.466 3.825 2.898 3.473
Cisadane Hulu 3.802 2.657 4.142 3.294 2.925 3.582 3.878 3.838 3.778 3.515 2.737 3.315
CH Yang Menjadi Run Off (mm) Ciliwung Cisadane Hulu Hulu 2.349,62 3.191,43 1.745,26 2.239,88 2.296,61 2.821,88 2.179,73 1.730,22 1.616,22 1.227,50 2.372,56 2.199,84 2.526,59 2.439,61 1.644,47 1.309,14 2.625,00 2.111,43 1.496,11 2.052,46 1.042,37 1.491,36 1.344,00 2.722,63
Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa tidak terjadi fluktuasi yang ekstrim terhadap nilai koefisien run off di DAS Cisadane Hulu selama 12 tahun pengamatan yang ditunjukkan dengan kecenderungan pola yang relatif datar pada grafik. Kondisi klimaks koefisien run off di DAS Cisadane Hulu terjadi pada tahun 1997 sebesar 0,66. Artinya dengan rata-rata curah hujan sebesar 2.679 mm selama tahun 1997, sebanyak 66 % atau 2.239 mm menjadi run off dan selebihnya sebagai air evapotranspirasi dan infiltrasi ke dalam tanah untuk selanjutnya menjadi cadangan air (Tabel 3). Sedangkan nilai koefisien run off terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 0,43 yang berarti 43 % dari curah hujan menjadi run off. Untuk mengetahui apakah tingginya koefisien run off tahunan terkait dengan faktor curah hujan atau tidak, maka digunakan analisis korelasi regresi linear. Hasil analisis korelasi regresi linier menunjukkan bahwa curah hujan tahunan Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu mempunyai hubungan yang tidak erat terhadap koefisien run off. Artinya hubungan antara curah hujan dan run off tidak dapat dijelaskan melalui persamaan linier. Hubungan tersebut mungkin dapat dijelaskan melalui persamaan kuadrat, parabola dan lainnya. Hubungan tidak erat ini dapat terjadi karena curah hujan yang digunakan adalah curah hujan tahunan sehingga tidak diketahui dengan pasti hubungan antara waktu terjadinya curah
21
hujan harian dengan aliran permukaan harian yang ditimbulkan dari curah hujan tersebut. 4.3.
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu dan DAS Cisadane Hulu Perubahan penggunaan lahan merupakan perubahan aktivitas yang terjadi
pada sebidang lahan. Dengan menggunakan peta penggunaan lahan pada series tahun berbeda dapat dianalisis perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama periode tertentu. Series penggunaan lahan yang digunakan pada DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu adalah series tahun 2001, 2004 dan 2008. Pada wilayah DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu dijumpai empat jenis penggunaan lahan yaitu hutan, pemukiman, lahan pertanian (ladang, tegalan, sawah) dan semak belukar. Luas penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu tahun 2001, 2004, dan 2008 beserta perubahannya disajikan pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu Tahun 2001,2004, dan 2008 serta Perubahannya Penggunaan Lahan Hutan Pemukiman Lahan Pertanian (Ladang, Tegalan, Sawah) Semak belukar
2001 49,59 10,8
Luas penggunaan Lahan (%) 2004 Perubahan* 2008 Perubahan** 28,37 - 21,22 6,96 - 21,41 17,13 + 7,5 63,74 + 46,61
27,67
30,91
+ 3,24
26,99
- 3,92
2,52
23,57
+ 21,05
2,29
- 21,28
* Penambahan (+) dan pengurangan (-) penggunaan lahan dari tahun 2001 ke tahun 2004 ** Penambahan (+) dan pengurangan (-) penggunaan lahan tahun 2004 ke tahun 2008
Tabel 4 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada DAS Ciliwung Hulu periode 2001 hingga 2008 cukup signifikan. Perubahan ini menyangkut penambahan dan pengurangan luas penggunaan lahan. Penambahan luas yang terjadi dari 2001 hingga 2008 adalah penggunaan lahan pemukiman sedangkan hutan terus menurun hingga 6,96 % di tahun 2008. Luas lahan pertanian dan semak belukar mengalami peningkatan dari tahun 2001 hingga 2004, namun pada tahun 2008 kedua penggunaan lahan tersebut menurun. Penurunan areal hutan yang terjadi di Ciliwung Hulu dari tahun 2001 hingga 2004 sebagian besar terkonversi menjadi semak belukar dan areal pertanian. Di sisi lain, penambahan areal semak belukar dan pemukiman dari tahun 2001 hingga
22
2004 sebagian besar akibat konversi dari hutan dan lahan pertanian (Gambar Lampiran 3 dan 4). Pada periode 2004-2008, pengurangan luas hutan berkurang sebesar 21,41 % yang terkonversi menjadi pemukiman. Sedangkan luas semak belukar berkurang terkonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman (Gambar Lampiran 4 dan 5) Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan DAS Cisadane Hulu Tahun 2001, 2004, dan 2008 serta Perubahannya Penggunaan Lahan Hutan Pemukiman Lahan Pertanian (Ladang, Tegalan, Sawah) Semak belukar
2001 63,53 10,13
Luas penggunaan Lahan (%) 2004 Perubahan* 2008 Perubahan** 39,99 - 23,54 15,41 - 24,58 12,11 + 1,98 34,66 + 22,55
24,56
25,58
- 1,02
45,61
+ 20,03
1,78
22,32
+ 20,54
4,52
- 16,02
*Penambahan (+) dan pengurangan (-) penggunaan lahan dari tahun 2001 ke tahun 2004 **Penambahan (+) dan pengurangan (-) penggunaan lahan tahun 2004 ke tahun 2008
Penambahan luas penggunaan lahan yang terus terjadi di Cisadane Hulu hingga tahun 2008 adalah penggunaan lahan pemukiman dan lahan pertanian sedangkan hutan mengalami penurunan (Tabel 5). Semak belukar mengalami peningkatan dari tahun 2001 hingga 2004 dan menurun pada tahun 2008. Periode 2001-2004, penurunan luas areal hutan sebagian besar terkonversi menjadi lahan pertanian dan semak belukar (Gambar Lampiran 6 dan 7). Sedangkan penurunan luas areal hutan sebesar 24,58 % mulai tahun 2004 hingga 2008 akibat terkonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman (Gambar Lampiran 7 dan 8). 4.4.
Hubungan Luas Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Regim Sungai Ciliwung Hulu dan Koefisien Run Off Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu. Perubahan penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap kondisi
hidrologis setempat seperti berubahnya debit aliran sungai, volume aliran permukaan, dan waktu yang dibutuhkan aliran untuk sampai ke outlet (waktu konsentrasi). Total aliran permukaan, debit aliran sungai dan waktu konsentrasi dapat meningkat atau menurun tergantung dari penggunaan lahan yang berubah. Untuk mengetahui penggunaan/penutupan lahan yang paling berpengaruh nyata terhadap koefisien run off tahunan DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu dan KRS Ciliwung Hulu, maka digunakan analisis korelasi antara luas penggunaan/penutupan lahan dengan koefisien run off dan koefisien regim sungai.
23
Tabel korelasi luas antara penggunaan lahan dengan koefisien run off DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil korelasi antara luas penggunaan lahan dengan koefisien run off menunjukkan bahwa luas penggunaan/penutupan lahan hutan, pemukiman dan lahan pertanian (ladang, tegalan, sawah) di DAS Ciliwung Hulu nyata mempunyai hubungan yang sangat erat dengan nilai koefisien run off dengan koefisien korelasi sebesar 0,95; 0,99 dan 0,85 (Tabel 6). Penggunaan lahan hutan dan lahan pertanian berkorelasi negatif terhadap koefisien run off tahunan di Ciliwung Hulu yang artinya penurunan luas hutan maka akan menaikkan nilai koefisien run off. Sementara semak belukar di Ciliwung Hulu mempunyai hubungan yang tidak erat. Tabel 6. Tabel Korelasi antara Luas Penggunaan Lahan dengan Koefisien Run Off di DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu Wilayah DAS Ciliwung Hulu
Cisadane Hulu
Penggunaan/Penutupan Lahan Hutan Pemukiman Lahan Pertanian (Ladang, Tegalan, Sawah) Semak Belukar Hutan Pemukiman Lahan Pertanian (Ladang, Tegalan, Sawah) Semak Belukar
Korelasi -0,95 * 0,99 * -0,85 * -0,32 -0,90 * 0,99 * 0,57 0,44
R2 (%) 90,3 99,4 71,6 10,4 81,4 98,4 33 19,5
Keterangan : * Menunjukkan bahwa Penggunaan Lahan Mempunyai Hubungan Yang Sangat Erat Dengan Koefisien Run Off.
Di sisi lain, penggunaan/penutupan lahan di Cisadane Hulu yang mempunyai hubungan sangat erat mempengaruhi koefisien run off adalah hutan dan pemukiman dengan koefisien korelasi sebesar - 0,90 dan 0,99 (Tabel 6), sedangkan lahan pertanian dan semak belukar mempunyai hubungan yang tidak erat. Semakin rendah luas hutan dan semakin luas pemukiman, run off yang terjadi makin besar. Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa penggunaan lahan hutan dan pemukiman mempunyai hubungan yang sangat erat dalam mempengaruhi nilai koefisien regim sungai sedangkan lahan pertanian dan semak belukar di Ciliwung Hulu mempunyai hubungan yang erat. Arti hubungan sangat erat dalam koefisien korelasi adalah sebagian besar letak titik-titik berada pada garis regresi linear dengan sifat bahwa harga X (luas penggunaan lahan) yang besar berpasangan
24
dengan harga Y (koefisien run off atau koefisien regim sungai) yang besar, sedangkan harga X yang kecil berpasangan dengan yang kecil pula. Hubungan tidak erat dalam koefisen korelasi menunjukkan bahwa sebagian besar letak titiktitik berada di luar garis regresi linier sehingga nilai koefisien korelasi antara X dan Y menjadi kecil. Untuk hubungan yang erat menunjukkan hubungan X dan Y berada di antara sifat sangat erat dan tidak erat. Tabel 7. Tabel Korelasi antara Penggunaan Lahan dengan Koefisien Regim Sungai di DAS Ciliwung Hulu Penggunaan/Penutupan Lahan Korelasi R2 Hutan -0,81 * 67 % Pemukiman 0,91 * 82,2 % Lahan Pertanian (Ladang, Tegalan, Sawah) -0,61 36,9% Semak Belukar -0,63 40 % Keterangan : * Menunjukkan Bahwa Penggunaan Lahan Mempunyai Hubungan Yang Sangat Erat Dengan Koefisien Run Off
Bila dikaitkan antara nilai KRS dengan pengaruh penggunaan lahan, peningkatan nilai KRS tahun 2007 sebesar 94,69 % dari tahun sebelumnya merupakan akibat meningkatnya jumlah pemukiman yang ada di wilayah Ciliwung Hulu sebesar 56,61 % dari tahun 2004. Viesman et al. (1977) mengatakan bahwa penggunaan lahan pemukiman akan berpengaruh terhadap kondisi hidrologi yang umumnya meningkatkan volume aliran permukaan. Infiltrasi merupakan hal yang paling penting dalam pengisian air bawah tanah. Namun dengan adanya penggunaan lahan pemukiman dapat menurunkan kapasitas infiltrasi tanah. Hal ini karena daerah pemukiman merupakan daerah dengan banyak lapisan kedap (roof, paving block, dan peluran semen). Ketika daerah pemukiman diperluas maka jumlah air bawah tanah akan berkurang. Hal tersebut menyebabkan tingginya rasio antara debit maksimum dan minimum selama setahun. Selain itu, peningkatan nilai KRS tahun 2007 juga dapat disebabkan berkurangnya luas hutan hingga 6,96 % di tahun 2008. Asdak (2004) menyatakan peranan hutan dalam menurunkan aliran permukaan adalah melalui peran perlindungannya terhadap permukaan tanah dari tenaga kinetis air hujan (proses terjadinya erosi). Peran tersebut antara lain dalam bentuk tajuk hutan berperan sebagai penampung air hujan untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer
25
(intersepsi) dan sebagian air akan tertahan (sementara) dalam lapisan permukaan daun. Sebagian air hujan yang sempat jatuh ke atas permukaan tanah (air lolos) masih akan tertahan oleh serasah organik di lantai hutan. Lapisan permukaan tanah hutan yang umumnya mempunyai pori-pori tanah besar (karena aktivitas mikroorganisme dan akar vegetasi hutan) akan memperbesar infiltrasi. Dengan kata lain, keseluruhan pengaruh hutan terhadap aliran air adalah bahwa keberadaan hutan dapat mengurangi konsentrasi aliran air yang jatuh diatasnya dibandingkan kalau hujan diatas wilayah tidak berhutan.
4.5.
Hubungan Luas Gerhan Terhadap Nilai KRS Ciliwung Hulu dan Koefisien Run Off DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau disingkat Gerhan adalah suatu
gerakan perbaikan lingkungan yang dilakukan pemerintah yang bertujuan sebagai upaya penanggulangan bencana banjir, longsor, dan kekeringan secara terpadu sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal. Kegiatan Gerhan yang dilaksanakan di beberapa daerah mulai tahun 2003 sampai tahun 2007 (5 tahun pelaksanaan) dan tahun 2008 (lanjutan 2007) terbagi dalam dua kegiatan yaitu kegiatan vegetatif dan sipil teknis. Total luas Gerhan untuk kegiatan vegetatif khusus Kabupaten Bogor dan Kota Bogor masing-masing sebesar 9600,9 Ha dan 389,8 Ha yang terdiri dari beberapa bagian kegiatan antara lain : (1) Aksi gerakan perempuan tanam, pelihara, dan tebar pohon; (2) Aksi hari menanam pohon Indonesia dan bulan menanam nasional; (3) Aksi penghijauan lingkungan ORMAS; (4) Hutan Rakyat dan; (5) Penghijauan kota. Sedangkan luas Gerhan untuk sipil teknis di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor masing-masing sebesar 509 unit dan 380 unit dengan kegiatan yang terdiri dari tiga jenis bangunan konservasi yaitu dam penahan, gully plug, dan sumur resapan air. Rekapitulasi data Gerhan tahun 2003 sampai 2007 Kabupaten Bogor dan Kota Bogor untuk kegiatan vegetatif dan sipil teknis selengkapnya tertera pada Lampiran 17 dan 18. Metode vegetatif adalah metode konservasi yang menggunakan tanaman dan tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya mengurangi erosi tanah. Sedangkan metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap tanah dan
26
bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Luas Gerhan untuk kegiatan vegetatif di DAS Cisadane Hulu mulai tahun 2003 sampai 2007 adalah sebesar 287,51 Ha dengan luas Gerhan di Kabupaten Bogor sebesar 230 Ha dan Kota Bogor sebesar 57,51 Ha. Luas Gerhan untuk kegiatan sipil teknis di Cisadane Hulu adalah sebesar 64 unit dengan luas Gerhan di Kabupaten Bogor sebesar 34 unit dan Kota Bogor sebesar 30 unit. Kegiatan Gerhan yang dilakukan di Cisadane Hulu untuk vegetatif dan sipil teknis berupa hutan rakyat dan sumur resapan air. Luas Gerhan yang dilakukan di Ciliwung Hulu sebesar 111 unit untuk kegiatan sipil teknis dengan luas Gerhan di Kabupaten Bogor sebesar 81 Unit dan Kota Bogor sebesar 30 Unit. Kegiatan vegetatif di Ciliwung Hulu sebesar 539,5 Ha dengan luas Gerhan di Kabupaten Bogor sebesar 535 Ha dan sebesar 4,5 Ha di Kota Bogor. Data mengenai luas Gerhan yang dilakukan di Kecamatan dan desadesa di Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu tertera pada Tabel Lampiran 19, 20, 21 dan 22. Dam penghambat (check dam) dan sumur resapan air merupakan bangunan konservasi yang fungsinya selain mengurangi jumlah dan kecepatan air, juga memaksa air masuk kedalam tanah sehingga akan menambah atau mengganti air tanah atau air bawah tanah. Dam penghambat (check dam) dibuat dengan menempatkan (memasang) papan, balok kayu, bata, batu atau tumpukan tanah untuk mengurangi erosi pada parit atau selokan sehingga menghambat kecepatan aliran air, dan tanah terendapkan pada tempat tersebut. Untuk mengatasi erosi parit (gully erosian) menurut Arsyad (2004) dapat juga digunakan dam penghambat yang terdiri atas tumpukan cabang dan ranting. Sumur resapan air merupakan rekayasa teknik konservasi yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan dari atas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah (Dephut, 1994). Dalam pembuatan sumur resapan air diperlukan persyaratan teknis pemilihan lokasi dan jumlah sumur resapan yang meliputi : (1) dibuat pada lahan yang lolos air dan tahan longsor, (2) penentuan jumlah sumur resapan air ditentukan berdasarkan curah hujan maksimum, permeabilitas dan luas bidang tanah.
27
Pengaruh program Gerhan yang dilakukan di Cisadane Hulu dan Ciliwung Hulu terhadap run off dan KRS melalui kegiatan vegetatif tidak dapat dianalisis. Hal ini disebabkan tanaman yang di tanam melalui program Gerhan masih kecil sehingga tajuk dan akar tanaman belum dapat melindungi tanah dari tumbukan hujan. Analisis hubungan antara Gerhan dengan run off dan KRS hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sipil teknis. Berdasarkan analisis korelasi antara luas Gerhan melalui kegiatan sipil teknis dengan run off di Cisadane hulu menunjukkan hubungan sangat erat dengan nilai r = 0,89. Hal ini berarti bahwa kegiatan sipil teknis di Cisadane Hulu mampu mengurangi aliran permukaan yang ada di DAS tersebut. Sedangkan hubungan antara luas Gerhan melalui kegiatan sipil teknis dengan run off dan KRS di Ciliwung Hulu menunjukkan hubungan yang tidak erat. Artinya dam penahan dan sumur resapan air yang telah dibuat di Ciliwung hulu belum mampu menahan aliran permukaan. Penyebab tidak eratnya hubungan antara Gerhan dengan KRS dan run off di Ciliwung Hulu karena tingginya pengurangan luas hutan, sebesar 3.194,37 Ha, dan meningkatnya pemukiman sebesar 6.894,53 Ha dari tahun 2004 sampai 2008 dibandingkan dengan lahan yang direhabilitasi melalui program Gerhan, sebesar 539,5 Ha.