IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada tahap penelitian pendahuluan ini diawali dengan karakterisasi media limbah cucian RPH, limbah cucian ternak, dan Limbah cucian pabrik gula. Hasil karakterisasi ketiga media limbah tersebut bisa dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Hasil karakterisasi limbah cair organik tahap 1 Parameter N (mg/L) P (mg/L) K (mg/L) COD (mg/L)
Limbah RPH
Limbah Ternak
Limbah Pabrik Gula
350 4.8 113.45 3,692.8
1,490 3 304.7 32,000
0 0.21 107.7 3,200
Dari tabel 8 bisa dilihat bahwa baik media limbah cucian RPH maupun media limbah cucian ternak sama-sama mengandung nutrien yang bisa memicu pertumbuhan mikroalga, yaitu komponen N dan P. Media limbah cucian RPH memiliki kadar N yang jauh lebih rendah dibanding media limbah cucian ternak, yaitu sebesar 350 mg/L sedangkan kadar N media cucian ternak sebesar 1,490 mg/L. Untuk kadar P, media limbah cucian RPH justru memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding media limbah cucian ternak. Media limbah cucian RPH memiliki kadar P sebesar 4.8 mg/L sedangkan media limbah cucian ternak memiliki kadar P sebesar 3 mg/L. Untuk nilai pH, media limbah cucian RPH memiliki pH 7.13 dan media limbah cucian ternak memiliki pH 8.83. Kedua media ini memiliki pH yang berada pada kisaran pH yang cocok untuk pertumbuhan mikroalga, yaitu pH 7-9. Setelah dilakukan karakterisasi media, selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap konsorsium mikroalga yang akan dikultur. Dari hasil karakterisasi ini diperoleh kerapatan sel sebesar 2.25 × 106 sel/ml dan biomassa sel sebesar 24 mg/L. Setelah dilakukan karakterisasi terhadap media limbah dan konsorsium mikroalga, selanjutnya pengenceran terhadap limbah karena kadar nitrogen, kalium dan COD-nya cukup tinggi, dikhawatirkan mikroalganya tidak tumbuh dengan baik. Limbah diencerkan sehingga diharapkan kadar masing-masing nutriennya seperti pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Hasil pengenceran limbah cair organik Parameter N (mg/L) P (mg/L) K (mg/L) COD (mg/L)
Limbah RPH
Limbah Ternak
Limbah Pabrik Gula
85 1.2 27.60 898.2
362 1 74.1 7,784
0 0.05 26.2 778
Setelah dilakukan pengenceran limbah, selanjutnya dilakukan proses kultivasi dan pengamatan terhadap kultur konsorsium mikroalga. Pengamatan dilakukan sampai akhir periode kultivasi, yaitu sampai pertumbuhan konsorsium mikroalga memasuki fase kematian. Gambar 9 berikut adalah proses karakterisasinya.
(c) (a) (b)
Gambar 9. Proses kultivasi pendahuluan: (a) Kultur limbah cucian RPH; (b) Kultur limbah cucian ternak; (c) Kultur limbah cucian pabrik gula Pertumbuhan pada organisme uniseluler didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa sel dan disertai bertambahnya ukuran oleh sintesis makromolekul yang menghasilkan struktur baru (Becker 1994). Nilai kerapatan sel yang didapat dari perhitungan selanjutnya diturunkan dengan pendekatan logaritmik kemudian diplotkan ke dalam suau grafik sehingga didapatkan kurva pertumbuhan. Gambar 10 berikut adalah kurva log kerapatan dan biomassa sel yang diperoleh dari hasil pengamatan.
(a)
(b)
Gambar 10. Kurva log kerapatan sel dan biomassa sel penelitian pendahuluan: (a) Kurva log kerapatan sel dan (b) Kurva biomassa sel Dari kurva pada Gambar 10 bisa dilihat bahwa kultur konsorsium mikroalga pada media cucian limbah RPH dan ternak menunjukan pola pertumbuhan. Hal ini ditunjukkan dengan berubahnya warna media kultur menjadi hijau untuk media limbah cucian RPH dan merah kecoklatan untuk media limbah cucian ternak yang didukung oleh perubahan nilai kerapatan dan biomassa sel. Satu periode fase kehidupannya sampai kultur tersebut melewati fase kematian kira-kira membutuhkan waktu 1516 hari. Perubahan warna konsorsium mikroalga pada limbah cucian pabrik gula tidak seperti pada limbah RPH dan peternakan, kurvanya cenderung stasioner. Warna hanya berubah dari bening ke bening kecoklatan. Berdasarkan pengamatan mikroskopik, kultur pada limbah cucian pabrik gula sangat sedikit kandungan mikroalganya. Hal ini kemungkinan dikarenakan limbah cucian pabrik gula sedikit sekali kandungan N dan P-nya. Kandungan nutrien limbah cucian pabrik gula yang tertinggi biasanya unsur karbon (C) yang merupakan salah satu unsur yang menyusun gula. Dominasi kelompok mikroalga tertentu dapat menyebabkan warna air berbeda-beda. Warna yang sering ditemukan antara lain, warna hijau muda, hijau tua, kuning kecoklatan, dan hijau kecoklatan. Warna hijau kecoklatan dikarenakan di dalam airnya banyak mengandung diatom. Penyebab utama
22
timbulnya warna hijau muda adalah Dunaliella sp. dan Chlorella sp. Keduanya termasuk Chlorophyceae (alga hijau). Kadang-kadang warna hijau muda juga disebabkan oleh Chaetomorpha dan Enteromorpha yang bentuknya seperti filamen. Warna hijau tua disebabkan oleh Chyanophyceae (blue green algae). Jenis Chyanophyceae yang sering ditemukan adalah Mycrocytis sp., Spirulina sp., Oscillatoria sp., dan Phormidium sp. Keberadaan alga biru menunjukkan banyaknya kandungan bahan organik. Warna kuning kecoklatan disebabkan oleh adanya fitoplankton dari jenis Bacillariophyceae (diatom). Jenis Bacillariophyceae yang banyak ditemukan adalah jenis Chaetoceros sp., Gyrosigma sp., Skeletonema sp., Melosira sp., Navicula sp., Asterionella sp., dan Nitzschia sp., serta berbagai jenis yang lain. Warna hijau kecoklatan dan warna air keruh hal ini disebabkan oleh partikel-partikel tanah yang terlarut (Techner 1996). Pada media limbah cucian RPH, kemungkinan mikroalga yang mendominasi adalah mikroalga Cholophyceae (hijau muda) dan Cyanophyceae (hijau tua). Pada media limbah cucian ternak kemungkinan yang mendominasi adalah bakteri dan Bacillariophyceae (kuning kecoklatan). Menurut data kerapatan sel, kultur pada media limbah cucian RPH mengalami fase adaptasi dari hari ke-0 sampai hari ke-3, fase eksponensial dari hari ke-3 sampai hari ke-5, fase deklinasi dari hari ke-5 sampai hari ke-7, fase stasioner dari hari ke-7 sampai hari ke-12, dan fase kematian dari hari ke12 sampai hari ke-16. Untuk kultur pada media limbah cucian ternak, mengalami fase adaptasi dari hari ke-0 sampai hari ke-3, fase eksponensial dari hari ke-3 sampai hari ke-7, fase deklinasi dari hari ke-7 sampai hari ke-9, fase stasioner dari hari ke-9 sampai hari ke-11, dan fase kematian dari hari ke11 sampai hari ke-15. Dari kurva terlihat bahwa baik kerapatan sel maupun biomassa sel pada media kultur limbah cucian ternak lebih tinggi nilainya dibanding kultur pada media limbah cucian RPH. Hal ini disangsikan apakah nilai tersebut benar-benar nilai kerapatan dan biomassa sel dari konsorsium mikroalga atau bukan. Pada nilai kerapatan sel ini kemungkinan sel bakteri dan sisa-sisa pakan ternak yang kebetulan bentuknya hampir sama dengan mikroalga juga ikut terukur karena sama-sama mengandung polisakarida yang akan terwarnai jika diberi lugol. Untuk media limbah cucian pabrik gula cenderung tidak menunjukkan adanya pola pertumbuhan konsorsium mikrolaga seperti yang ditunjukkan pada media limbah cucian RPH dan ternak. Menurut data biomassa sel, kultur pada media limbah cucian RPH mengalami fase adaptasi dari hari ke-0 sampai hari ke-5, fase eksponensial dari hari ke-5 sampai hari ke-6, fase stasioner dari hari ke-6 sampai hari ke-8, dan fase kematian dari hari ke-8 sampai hari ke-11. Untuk kultur pada media limbah cucian ternak mengalami fase adaptasi dari hari ke-0 sampai hari ke-5, fase eksponensial dari hari ke-5 sampai hari ke-6, fase stasioner dari hari ke-6 sampai hari ke-8, dan fase kematian dari hari ke-8 sampai hari ke-11. Terlihat bahwa nilai biomassa sel pada media ini lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa sel pada media limbah cucian RPH. Hal ini kemungkinan sisa-sisa pakan yang tersuspensi ikut terukur juga sehingga biomassa yang tersaring menjadi tinggi. Untuk kultur pada media limbah cucian pabrik gula terlihat mengalami pertumbuhan meskipun lebih singkat dari kultur lainnya, yaitu mengalami fase adaptasi dari hari ke-0 sampai hari ke-2, fase eksponensial dari hari ke2 sampai hari ke-4, dan fase kematian dari hari ke-4 sampai hari ke-8. Pada media limbah cucian pabrik gula ini diduga bahwa pertumbuhan tersebut bukanlah pertumbuhan konsorsium mikroalga melainkan sel mikroorganisme kontaminan (bakteri) karena dari segi perubahan warna tidak meyakinkan bahwa mikroba yang tumbuh adalah mikroalga. Bisa kita lihat bahwa bentuk kurva pertumbuhan menurut kerapatan sel berbeda dengan bentuk kurva pertumbuhan menurut biomassa sel. Seharusnya bentuk kurva ini hampir sama karena pertambahan kerapatan sel sebanding dengan pertambahan biomassa sel. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh ketidakseragaman ukuran dan bobot sel sehingga akan sangat mempengaruhi nilai biomassa sel. Selain itu juga pada saat perhitungan kerapatan sel, satu sel indivudu dengan satu koloni yang terdiri lebih dari satu sel, sama-sama dihitung satu individu sehingga akan sangat mempengaruhi nilai biomassa sel dan implikasinya bentuk kurva biomassa sel menjadi agak berbeda dengan bentuk kurva kerapatan sel. Pada penelitian ini banyak sekali faktor-faktor pengganggu, salah satunya mikroba kontaminan dan faktor lingkungan yang berubah-ubah karena kultivasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan lapangan dimana faktor lingkungan sangat sulit untuk dikontrol. Mikroba kontaminan yang terdapat di dalam kultur biasanya adalah bakteri. Keberadaan bakteri ini sebenarnya bisa menguntungkan dan bisa juga merugikan. Bakteri heterotrof akan mengubah bahan organik menjadi bahan anorganik yang sangat dibutuhkan oleh mikroalga, yaitu amonium, fosfat, karbondioksida, dan lain sebagainya. Namun, pada kondisi aerobik untuk keperluan sintetis sel bakteri yang baru, ternyata bakteri membutuhkan bahan organik dan bisa juga amonium sebagai salah satu komponen yang dibutuhkan oleh mikroalga. Oleh karena itu, kemungkinan bisa menjadi kompetitor mikroalga.
23
Apalagi jika bahan organik di dalam kultur adalah bahan organik yang tidak mengandung komponen nitrogen, misal glukosa, asam asetat atau asam piruvat maka bakteri dan mikroalga akan bersaing dalam penggunaan sumber nitrogen. Persamaan umum pembentukan sel bakteri baik secara aerobik ini menurut Mangunwijaya dan Suryani (1994), yaitu: a(substrat) + bO2 + cNH4+
(biomassa) + dCO2 + eH2O
Substrat pada reaksi di atas bisa mengandung nitrogen, bisa juga tidak. Waktu kultivasi kultur selanjutnya yang akan dibuat bisa lebih lama atau lebih sebentar dari waktu kultivasi pada penelitian pendahuluan ini, tergantung kondisi lingkungan.
B. PENELITIAN UTAMA 1. Kultivasi pada limbah cair organik tahap 1 Sebelum dilakukan tahap kultivasi, terlebih dahulu dilakukan karakterisasi konsorsium mikroalga. Karakterisasi konsorsium mikroalga yang dilakukan meliputi perhitungan kerapatan sel, pengukuran biomassa sel dan prevalensi serta dominasi jenis mikroalga. Penelitian tentang kandungan fitoplankton di berbagai perairan menunjukan adanya keragaman baik dalam jumlah maupun jenisnya, baik antar wilayah perairan maupun inter perairan tertentu meskipun lokasinya berdekatan. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu angin, arus, upwelling, suhu, sanilitas, zat hara, kedalaman perairan, dan pencampuran massa (Davis 1995). Oleh karena itu, waktu pengambilan sampel yang berbeda akan menghasilkan karakterisasi yang berbeda walaupun lokasi pengambilannya sama. Hasil perhitungan kerapatan selnya adalah 2.25 × 106 sel/ml. Dari hasil prevalensi dan dominasi konsorsium mikroalga diketahui bahwa jenis mikroalga yang mendominasi adalah kelompok Chlorophyceae dan Cyanophyceae. Rincian hasil prevalensi dan dominasi konsorsium mikroalga diuraikan pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Prevalensi dan dominasi konsorsium mikroalga Organisme CYANOPHYCEAE: Microcystis sp. EUGLENOPHYCEAE: Euglena sp. Trachelomonas sp. CHLOROPHYCEAE: Ankistrodesmus sp. Dictyosphaerium sp. Gloeocystis sp. Westella sp. Gloeotilla sp. Kirchneriella sp. Selenastrum sp. XANTHOPHYCEAE: Centritractus sp. CRYPTOPHYCEAE: Cryptomonas sp. DINOPHYCEAE: Glenodinium sp. Jumlah taksa Kelimpahan total (ind/L) Indeks keragaman Indeks keseragaman Indeks dominansi
Kelimpahan (sel/L) 4,444 356 178 8,800 5,600 266 4,622 3,733 2,311 18,400 89 711 178 13 49,688 1.87 0.73 0.206
24
Setelah dilakukan karakterisasi terhadap konsorsium mikroalga, selanjutnya dilakukan kultivasi. Proses kultivasinya sendiri bisa dilihat pada Gambar 11.
(a)
(b)
(c)
Gambar 11. Proses kultivasi media limbah cair organik tahap 1: (a) Kultur pada media limbah cucian RPH; (b) Kultur pada media limbah cucian ternak; dan (c) Kultur pada media limbah cucian pabrik gula Warna media limbah terlihat cukup pekat, tidak seperti pada penelitian pendahuluan karena tidak dilakukan pengenceran terhadap limbah. Pengamatan terhadap kultur sama-sama dilakukan sampai akhir kultivasi seperti pada penelitian pendahuluan. Hasil pengamatan terhadap kerapatan sel dan biomassa selnya bisa dilihat pada Gambar 12.
(a)
(b)
Gambar 12. Kurva log kerapatan sel dan biomassa sel limbah cair organik tahap 1: (a) Kurva log kerapatan sel dan (b) Kurva biomassa sel Dari kurva pertumbuhan pada Gambar 12, terlihat bahwa kurva tersebut tidak sebagus seperti kurva pertumbuhan pada penelitian pendahuluan. Kurva yang sesuai dengan kurva pertumbuhan sel mikroalga adalah kurva pertumbuhan kultur media limbah cucian RPH, itupun hanya kurva log kerapatan selnya. Namun, periode kultivasi hingga mencapai fase kematian membutuhkan waktu yang lebih lama, yaitu kira-kira 20 hari. Pada kultur media limbah cucian RPH, fase adaptasi terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-2, fase eksponensial terjadi pada hari ke-2 sampai hari ke-5, fase stasioner terjadi pada hari ke-5 sampai hari hari ke-18, dan fase kematian terjadi pada hari ke-18 sampai hari ke-20. Untuk kultur pada media limbah cucian ternak dan pabrik gula sama-sama tidak menunjukkan pola pertumbuhan konsorsium mikroalga. Hal ini terlihat pada kurva yang cenderung stasioner. Pada media limbah cucian ternak terlihat ada pertumbuhan sampai hari ke-3 kemudian kurva turun naik-turun naik. Kemungkinan pada awal kultivasi mikroba yang tumbuh adalah konsorsium mikroalga yang mencoba beradaptasi dengan kondisi sistem dan lingkungan. Selanjutnya mikroalga mati karena kekurangan cahaya. Cahaya sulit masuk ke dalam media karena setelah beberapa hari dari
25
awal kultivasi ditemukan selaput di permukaan media. Dari hasil perhitungan kerapatan sel dan biomassa sel terlihat bahwa kurva pertumbuhan kultur konsorsium mikroalga pada media limbah cucian ternak berada di atas kultur media limbah cucian RPH. Seperti pada penelitian pendahuluan, kemungkinan hal ini dikarenakan sisa-sisa pakan ternak yang tersuspensi ikut teridentifikasi karena mengandung polisakarida yang sama-sama bisa terwarnai oleh lugol seperti halnya mikroalga dan ikut tersaring saat pengujian biomassa sel. Begitupun yang terjadi dengan kultur pada media limbah cucian pabrik gula, nilai kearapatan sel yang tinggi bisa diakibatkan karena media limbah ini banyak mengandung polisakarida dari ampas tebu yang tersuspensi. Dari kurva terlihat bahwa bentuk kurva pada penelitian tahap ini sangat jauh berbeda dibanding dengan bentuk kurva saat penelitian pendahuluan padahal media yang digunakan sama, berasal dari sumber yang sama tetapi waktu pengambilannya berbeda. Beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab perbedaan ini adalah dengan waktu pengambilan yang berbeda kemungkinan karakteristrik media juga berbeda sehingga akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan konsorsium mikroalga. Selain itu, pada penelitian pendahuluan ditambahkan air yang bisa mengencerkan media sehingga kadar nutrien menjadi jauh lebih kecil dan warna media pun menjadi tidak sepekat media yang tanpa pengenceran sehingga lebih memudahkan penetrasi cahaya untuk sampai ke dasar media. Volume yang lebih besar yang didukung dengan ketinggian pun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga karena cahaya semakin sulit untuk tembus sampai dasar media. Ditambah lagi bak yang terbuat dari fiberglass yang berwarna dan tidak transparan akan lebih menyulitkan cahaya dari samping untuk tembus sampai ke media.
2. Kultivasi pada limbah cair organik tahap 2 Sebelum dilakukan kultivasi terlebih dahulu dilakukan karakterisasi media karena walaupun media tersebut berasal dari sumber yang sama, belum tentu memiliki karakteristrik yang sama pula. Pada tahap ini hanya dua jenis limbah yang digunakan untuk kultivasi, yaitu RPH dan ternak dengan pertimbangan pada hasil penelitian sebelumnya bahwa pada kedua jenis limbah tersebut mikroalga bisa tumbuh sedangkan pada limbah pabrik gula tidak. Hasil karakterisasi limbah cair organik pada tahap 2 ini bisa kita lihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Hasil karakterisasi limbah cair organik tahap 2 Parameter N (mg/L) P (mg/L) K (mg/L) COD (mg/L)
Limbah RPH
Limbah Ternak
30.907 3.872 2.048 8,240
37.426 4.044 4.617 12,360
Dari tabel 11 bisa dilihat bahwa media limbah cucian RPH memiliki kadar N yang jauh lebih rendah dibandingkan media limbah cucian ternak, yaitu sebesar 30.907 mg/L sedangkan kadar N media cucian ternak sebesar 37.426 mg/L. Untuk kadar P, media limbah cucian RPH juga memiliki nilai yang lebih rendah dibanding media limbah cucian ternak. Media limbah cucian RPH memiliki kadar P sebesar 3.872 mg/L sedangkan media limbah cucian ternak memiliki kadar P sebesar 4.044 mg/L. Untuk kadar K, media limbah cucian RPH memiliki kadar 2.048 mg/L. Kadar K pun masih lebih rendah dibanding dengan media limbah cucian ternak yang memiliki kadar K sebesar 4.617 mg/L. Begitupun dengan kadar COD, kadar COD media limbah cucian RPH lebih rendah dibanding media limbah cucian ternak, yaitu 8,240 mg/L sedangkan media limbah cucian ternak sebesar 12,360 mg/L. Hasil karakterisasi pada tahap ini memiliki nilai N, K dan COD yang sangat jauh berbeda dibanding dengan hasil karakterisasi pada tahap 1, baik itu limbah cucian ternak maupun limbah cucian RPH. Hampir semua komponen N, K dan COD memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil karakterisasi yang sebelumnya dilakukan. Hal ini bisa dikarenakan waktu pengambilan sampel limbah yang berbeda sehingga penggunaan air untuk pencucian pun berbeda. Karena kadarnya lebih rendah, kemungkinan penggunaan air untuk pencucian lebih banyak atau limbah yang dihasilkan lebih sedikit sedangkan air yang digunakan untuk mencuci jumlahnya sama sehingga menyebabkan pengenceran pada limbah. Setelah dilakukan karakterisasi terhadap limbah, selanjutnya dilakukan
26
kultivasi dan pengamatan terhadap kultur. Sama seperti pada penelitian sebelumnya, pengamatan tetap dilakukan setiap hari dari hari ke-0 sampai akhir periode kultivasi. Parameter-parameter yang diamati atau diuji meliputi kerapatan sel, biomassa sel, suhu, dan pH. Gambar 13 adalah hasil pengamatan terhadap kerapatan dan biomassa selnya.
(a)
(b)
Gambar 13. Kurva log kerapatan sel dan biomassa sel media limbah cair organik tahap 2: (a) Kurva log kerapatan sel dan (b) Kurva biomassa sel media alami tahap 2 Selama kultivasi berlangsung, dari hari ke hari warna kultur berubah. Untuk media limbah cucian RPH, warna berubah dari merah menjadi merah kecoklatan dan selanjutnya menjadi merah kehijauan. Kurva kehidupan mikroalga pada media ini tidak dimulai pada fase adaptasi, hal ini terjadi karena masa adaptasi berjalan cepat sesaat sebelum fase eksponensial sehingga yang nampak pada kurva langsung memasuki fase eksponensial (Richmond 2004). Berbeda dengan kultur pada media limbah cucian RPH, kultur pada media limbah cucian ternak mengalami masa adaptasi dari hari ke-0 sampai hari ke-2. Pada fase adaptasi ini jumlah sel belum ada peningkatan yang berarti karena sel masih belum aktif melakukan pembelahan. Seperti pada penelitian sebelumnya, terlihat perbedaan kerapatan sel pada fase awal kehidupan kedua kultur. Walaupun sama-sama menggunakan konsorsium mikroalga yang sama dan dengan konsentrasi yang sama karena diambil dari sumber dan waktu yang sama, ternyata kerapatan selnya berbeda. Kultur pada media limbah cucian RPH memiliki nilai kerapatan sel awal sebesar 5.0 x 106 sel/ml sedangkan kultur pada media limbah cucian ternak memiliki nilai 6.0 x 106 sel/ml. Hal ini jelas terlihat kemungkinan adanya mikroba kontaminan (bakteri) di dalam media limbah yang menyebabkan perbedaan nilai kerapatan sel di awal kultivasi. Pada kultur media limbah cucian RPH, fase eksponensial terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-6, fase stasioner terjadi pada hari ke-6 sampai hari ke-10, dan fase kematian terjadi pada hari ke-10 sampai hari ke-15. Untuk kultur pada media limbah cucian ternak fase adaptasi terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-2, fase eksponensial terjadi pada hari ke-2 sampai hari ke-3, fase stasioner terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6, dan fase kematian terjadi pada hari ke-6 sampai hari ke-11. Pada media limbah cucian ternak periode kultivasinya lebih sebentar dibanding dengan periode kultivasi pada media limbah cucian RPH. Hal ini bisa diakibatkan karena adanya faktor kontaminan bakteri dan faktor penghambat lainnya, yaitu kadar COD yang lebih tinggi akibat banyaknya bahan-bahan organik yang tersuspensi, salah satunya sisa pakan. Untuk kondisi kultur, kultur media RPH memiliki pH pada kisaran 6.6-8.4 dan kisaran suhu 24.5 oC – 26.17 oC sedangkan kultur media ternak memiliki pH pada kisaran 7.6-8.4 dan kisaran suhu 24.5 oC – 30.83oC. Dilihat dari nilai biomassa selnya, baik media limbah cucian RPH maupun limbah cucian ternak tidak menunjukkan kurva seperti yang diharapkan. Pada kurva kultur media limbah cucian RPH, terlihat fase adaptasi pada hari ke-0 sampai hari ke-1, fase eksponensial terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-3, fase stasioner terjadi pada hari ke-3 sampai hari hari ke-5, dan fase kematian terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-8. Untuk kultur pada media limbah cucian ternak cenderung terus menaik. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh bertambahnya bahan tersuspensi. Tingginya bahan tersuspensi ini bisa diakibatkan oleh terdegradasinya bahan-bahan yang tidak larut (mengendap) dalam media. Hal ini ditunjukan oleh semakin pekatnya warna media. Proses degradasi ini diakibatkan oleh bakteri
27
yang ada di dalamnya. Tingginya bahan yang tersuspensi inilah yang menyebabkan konsorsium mikroalga yang tumbuh menjadi segera mati. Hasil pengamatan kultivasi pada limbah cair organik tahap 1 dan tahap 2 ini bisa dibandingkan dengan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya yang sama-sama menggunakan limbah cair organik. Gambar 14 adalah hasil pengamatan pada limbah cair pabrik minuman seperti yang ada dalam literatur.
Gambar 14. Kurva log kerapatan sel Chlorella pada limbah pabrik minuman (Nian 2002) Pada Gambar 14, hasil pengamatan hanya dilakukan sampai fase stasioner. Terlihat bahwa fase adaptasi terjadi pada hari ke-0 samapai hari ke-2. Fase eksponensial terjadi pada hari ke-2 sampai hari ke-3, fase deklinasi dari hari ke-3 sampai hari ke-4 dan fase stasioner dari hari ke-4 sampai selesai. Jika dilihat dari bentuk kurvanya, pertumbuhan sel Chlorella ini lebih mirip dengan pertumbuhan konsorsium mikroalga pada limbah cair organik tahap 2. Namun, kadar nutrien awal yang terkandung pada limbah pabrik minuman ini tidak dicantumkan sehingga tidak diketahui apakah kadar nutriennya lebih mirip dengan kadar nutrien pada limbah cair organik tahap 1 atau tahap 2. Dari bentuk kurvanya, kemungkinan kadar nutriennya lebih mirip dengan kadar nutrien pada limbah cair organik tahap 2.
3. Kultivasi pada media sintetik Sebelum dilakukan kultivasi, terlebih dahulu dilakukan karakterisasi pupuk Urea (kadar N), SP-36 (kadar P), KCl (kadar K), dan gula pasir (kadar COD). Dari hasil karakterisasi diperoleh data yang bisa dilihat pada Lampiran 8. Selanjutnya dibuat media kultur sintetik I, II dan III dengan komposisi N, P dan K seperti pada Gambar 5. Berdasarkan data pengukuran yang diperoleh maka komposisi masing-masing media adalah sebagai berikut. Media sintetik I dibuat dengan melarutkan 61.47 gram urea, 19.62 gram SP-36, 0.8685 gram KCl, dan 331.5735 gram gula pasir ke dalam 45 liter air. Media sintetik II dibuat dengan melarutkan 60.1073 gram urea, 28.777 gram SP-36, 0.8509 gram KCl, dan 324.2071 gram gula pasir ke dalam 44 liter air. Media sintetik III dibuat dengan melarutkan 60.1044 gram urea, 38.3688 gram SP-36, 0.8499 gram KCl, dan 324.2054 gram gula pasir ke dalam 44 liter air. Setelah dilakukan pembuatan media kultur sintetik, selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap media tersebut. Hal ini seperti yang dicantumkan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil karakterisasi media sintetik Parameter N (mg/L) P (mg/L) K (mg/L) COD (mg/L)
Media I
Media II
Media III
48 11.23 10.1 824
46.382 15.08 10.1 1,000
49 22.50 10 1,000
28
Dari tabel hasil karakterisasi limbah sintetik yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa kadar masingmasing nutrien yang terkandung rata-rata mendekati kadar nutrien yang diinginkan untuk masingmasing media. Setelah dilakukan karakterisasi pupuk, pembuatan dan karakterisasi media, selanjutnya dilakukan kultivasi konsorsium mikroalga. Parameter-parameter yang diamati atau diuji pada tahap ini meliputi kerapatan sel, biomassa sel, suhu, pH, kadar nitrogen, kadar fosfor, kadar COD, dan kadar minyak. Gambar 15 adalah hasil pengamatan terhadap kerapatan dan biomassa sel semua media.
(a)
(b)
Gambar 15. Kurva log kerapatan sel dan biomassa sel media sintetik: (a) Kurva log kerapatan sel dan (b) Kurva biomassa sel media sintetik Dari kurva di atas baik kurva kerapatan sel maupun biomassa sel menunjukan bahwa kultur pada semua media mengalami masa atau periode kultivasi yang lebih lama dari biasanya, yaitu sekitar 2432 hari. Ada kultur yang masa adaptasinya lama dan ada yang sebentar. Hal ini dipengaruhi oleh komposisi media. Selama kultivasi masing-masing kultur mengalami perubahan warna dengan masa yang berbeda-beda. Hal ini terinci sebagai berikut. Perubahan warna Media I Ulangan 1 = putih bening (H0) – putih susu (H3) – krem (H8) – hijau (H11) – abu-abu (H14) – merah (H20). Ulangan 2 = putih bening (H0) – putih susu (H3) – krem (H8) – hijau (H13) – merah (H22). Perubahan warna Media II Ulangan 1 = putih bening (H0) – putih susu (H3) – krem (H5) – abu-abu (H8) – hijau (H12). Ulangan 2 = putih bening (H0) – putih susu (H3) – krem (H5) – abu-abu (H9) – hijau (H12). Perubahan warna III Ulangan 1 = putih bening (H0) – putih susu (H3) – krem (H4) – abu-abu (H9) – merah (H10) – hijau (H16). Ulangan 2 = putih bening (H0) – putih susu (H3) – krem (H5) – abu-abu (H7) – abu-abu kehijauan (H13) – hijau (H14). Pada awal kultivasi terjadi perubahan warna media yang tadinya bening menjadi putih susu (keruh) dan terbentuk busa di permukaan media. Hal ini terjadi karena adanya proses fermentasi di dalam kultur. Dalam arti sempit fermentasi adalah suatu proses kimia dimana terjadi pembentukan gas dan busa (Sastrawihardja 1981 diacu dalam Abun 2006). Fermentasi dalam arti luas adalah proses perubahan kimia dari senyawa-senyawa organik (karbohidrat, protein, lemak, dan bahan organik lain) melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba (Gandjar 1977 diacu dalam Abun 2006). Startleff dan Aoyagi (1979) diacu dalam Abun (2006) membuktikan bahwa fermentasi adalah hasil pengembangbiakan beberapa tipe mikroorganisme khususnya bakteri, ragi dan jamur pada media tertentu yang aktivitasnya menyebabkan perubahan kimia pada makanan tersebut. Perubahan tersebut disebabkan aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau enzim yang berada dalam bahan pakan tersebut yang dikenal dengan enzim endogenous. Fermentasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana mikroorganisme atau enzim mengubah bahan-bahan organik komplek seperti protein, karbohidrat, lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna
29
(Winarno 1993). Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop dapat disimpulkan bahwa fermentasi ini terjadi oleh aktivitas bakteri. Proses fermentasinya bisa dilihat pada Gambar 16.
(a)
(b)
Gambar 16. Kultur pada media I: (a) Kultur media I hari ke-0 dan (b) Kultur media I hari ke-3 Fermentasi dalam arti luas adalah proses perubahan kimia dari senyawa-senyawa organik (karbohidrat, protein, lemak, dan bahan organik lain) melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba (Gandjar 1977 diacu dalam Abun 2006). Startleff dan Aoyagi (1979) diacu dalam Abun (2006) membuktikan bahwa fermentasi adalah hasil pengembangbiakan beberapa tipe mikroorganisme khususnya bakteri, ragi dan jamur pada media tertentu yang aktivitasnya menyebabkan perubahan kimia pada makanan tersebut. Perubahan tersebut disebabkan aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau enzim yang berada dalam bahan pakan tersebut yang dikenal dengan enzim endogenous. Fermentasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana mikroorganisme atau enzim mengubah bahan-bahan organik komplek seperti protein, karbohidrat, lemak menjadi molekulmolekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna (Winarno 1993). Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop dapat disimpulkan bahwa fermentasi ini terjadi oleh aktivitas bakteri. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Davis dan Cornwell diacu dalam Effendi 1999). Perubahan warna yang terjadi bukan menandakan perubahan warna mikroalga melainkan zat hasil metabolisme mikroba yang ada di dalamnya. Kesimpulan ini diambil berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop, yaitu walaupun warna media tidak hijau tetapi mikroalga yang mendominasi adalah mikroalga jenis Chlorophyceae. Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan adanya partikel koloid dan suspensi dari suatu polutan. Kekeruhan air merupakan salah satu faktor penting untuk mengontrol produktivitas. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari. Oleh karena itu, dapat membatasi proses fotosintesis dan produktivitas primer perairan (Wardoyo 1981). Walaupun komposisi nutrien sama, ternyata perubahan warna yang dialami berbeda-beda. Hal ini tergantung kondisi di dalam media, dari segi kandunngan mikroba dan reaksi–reaksi yang terjadi di dalamnya. Peningkatan kelimpahan mikroalga terkait dengan ketersediaan unsur hara. Sementara jenis-jenis atau komposisi mikroalga yang tumbuh dipengaruhi juga oleh komposisi unsur hara terutama perbandingan N terhadap P (N-P rasio). Namun kenyataan di perairan sering kali unsur hara tidak selalu tersedia dalam keadaan stabil dan dengan rasio yang tepat untuk dapat mendukung komposisi jenis-jenis mikroalga yang diinginkan. Menurut Cook dan Clifford (1998) Bacillariophyceae dan Chlorophyceae akan tumbuh dengan baik pada perairan dengan komposisi utama unsur hara utama N dan P dengan perbandingan antara 15-20 : 1. Makin kecil perbandingan N dan P dominansi Cyanophyceae akan meningkat. Di samping N dan P sebagai makronutrien utama, mikroalga juga membutuhkan makronutrien Ca, Mg, S, dan Si untuk diatom dan silicoflagellata. Selain makronutrien dibutuhkan juga mikronutrien seperti Al, Bo, Co, Cu, Fe, Mn, Mo, Va dan Zn. Oleh karena itu, perlu juga diukur jenis dan kadar mikronutrien di dalam media untuk mengetahui kecukupannya. Dari kurva log kerapatan sel bisa dilihat bahwa semua kurva menunjukkan pertumbuhan kultur. Kultur pada media I dan II memiliki periode kultivasi sekitar 24 hari sedangkan media III memiliki periode kultivasi yang lebih lama, yaitu sekitar 31 hari. Hal ini karena media yang digunakan untuk kultivasi bukan berupa media alami melainkan media sintetik sehingga kemungkinan kontaminasi oleh mikroba lain sangat kecil.
30
Pada kultur media I, fase adaptasi terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-3, fase eksponensial terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-12, fase stasioner terjadi pada hari ke-12 sampai hari hari ke-19, dan fase kematian terjadi pada hari ke-19 sampai hari ke-24. Pada kultur media II, fase adaptasi terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-1, fase eksponensial terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-10, fase stasioner terjadi pada hari ke-10 sampai hari hari ke-21, dan fase kematian terjadi pada hari ke-21 sampai hari ke-24. Pada kultur media III, fase adaptasi terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-7, fase eksponensial terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-14, fase stasioner terjadi pada hari ke-14 sampai hari ke-29, dan fase kematian terjadi pada hari ke-29 sampai hari ke-31. Baik berdasarkan nilai kerapatan sel maupun berdasarkan nilai biomassa sel terlihat bahwa pertumbuhan yang paling bagus adalah kultur pada media II. Selain nilai kerapatan dan biomassa selnya yang cenderung selalu di atas nilai kerapatan dan biomassa sel kultur media I dan III, masa adaptasi yang dilalui kultur media II juga relatif sebentar dibanding yang lainnya, yaitu kira-kira hanya membutuhkan waktu sekitar 1-2 hari. Hasil pegamatan pada media sintetik ini juga dibandingkan dengan hasil penelitian yang terdapat pada literatur dengan komposisi media yang sama-sama bersumber dari pupuk urea dan pupuk fosfat (TSP) dengan lama penyinaran 12 jam dan 24 jam. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Kurva log kerapatan sel dan biomassa sel dengan lama penyinaran 12 jam dan 24 jam (Aprimara 2010) Bisa dilihat pada Gambar 17, masa kultivasi kedua perlakuan berlangsung selama 27 hari. Hal ini hampir mirip dengan masa kultivasi pada media sintetik yang berada pada rentang 24-32 hari. Masa kultivasi yang bisa bertahan lebih lama ini bisa dikarenakan nutrien yang berupa bahan anorganik yang terdapat dalam media cenderung selalu tersedia dengan perbandingan yang cenderung berada pada rentang yang tetap. Dalam hal ini, mikroalga tidak harus selalu menunggu bakteri terlebih dahulu untuk menguraikan bahan organik menjadi bahan anorganik sehingga bisa diserap oleh mikroalga. Selama proses kultivasi, selain diamati kerapatan dan biomassa sel kultur, diamati juga perubahan kandungan nutrien yang terkandung di dalam media. Hal ini terkait dengan peran mikroalga yang mampu berperan dalam mengeliminasi nutrien yang terkandung dalam limbah sehingga perlu diketahui seberapa besar mikroalga ini berperan dalam mengeliminasi nutrien yang terkandung dalam media. Dalam kaitannya dengan lingkungan, mikroalga berperan dalam mengurangi kadar CO2 di udara maupun di perairan. Selain itu, mikroalga juga berperan dalam mengurangi bahan anorganik yang terkandung dalam limbah cair, seperti amonium, fosfat, kalium, besi dan juga logam-logam berat yang berbahaya sehingga mikroalga ini bisa digunakan untuk treatmen limbah. Namun, karena mikroalga ini merupakan salah satu komponen organik, jika digunakan treatmen limbah dengan mikroalga secara suspended maka akan memperbesar nilai BOD dan COD kecuali jika diikuti dengan pemanenan mikroalga. Cara lain jika tidak dilakukan pemanenan adalah dengan mengimobilisasi mikroalga yang akan digunakan untuk treatmen. Beberapa kadar nutrien yang diamati terdiri dari kadar nitrogen, kadar fosfor dan kadar COD (salah satu sumber CO2). Hasil pengamatan terhadap perubahan kadar nitrogen bisa dilihat pada Gambar 18.
31
Gambar 18. Kurva kadar nitrogen kultur media sintetik Bisa dilihat kadar nitrogen cenderung mengalami penurunan untuk masing-masing media dengan kadar penurunan yang berbeda-beda. Penurunan kadar nitrogen tertinggi terdapat pada kultur media I, yang tadinya berkadar 35.727 mg/L menjadi 25.927 mg/L dengan persentase removal sebesar 27.43%. Selanjutnya disusul oleh media II dengan persentase removal kadar nitrogen sebesar 14.89% dan media III sebesar 11.77%. Perbedaan penurunan kadar nitrogen ini menunjukkan tingkat penyerapan nutrien yang berbeda pada masing-masing kultur. Hal ini bisa dipengaruhi oleh jumlah populasi mikroalga dan juga tingkat efisiensi penyerapan nutrien dari mikroalga yang dikultur. Tingkat efisiensi penyerapan nutrien ini dipengaruhi oleh jenis mikroalga dan kondisi kultur. Jika dihitung laju penyerapan nitrogen rata-rata setiap selnya, untuk kultur media I sebesar 1.346 x 10-9 mg/sel, kultur media II sebesar 8.458 x 10-10 mg/sel dan kultur media III sebesar 1.831 x 10-9 mg/sel. Berarti tingkat efisiensi penyerapan nitrogen yang paling tinggi adalah kultur pada media III kemudian disusul dengan media I dan media II. Tingkat efisiensi penyerapan nutrien kultur media III adalah yang paling besar tetapi memiliki nilai persentase removal yang kecil. Hal ini karena jumlah mikroalga yang tumbuh di dalamnya lebih sedikit dibanding yang lainnya. Penurunan kadar nutrien ini juga dibandingkan dengan penurunan kadar nutrien yang terdapat di literatur dengan media sama-sama menggunakan media limbah sintetik. Gambar 16 adalah data hasil pengamatannya.
Gambar 19. Perubahan kadar N-NH4+ pada media dengan kadar N-NH4+ yang bervariasi (kadar NNH4+, mg/L (■) 410; (□) 388; (●) 316; (○) 282; (♦) 192; (◊) 149; (▲) 129; (∆) 92.8; (Ж ) 74.7; (×) 59; (+) 41.8; (. . .. . .) 21.2; (– – –) 13.2; (—) kontrol pada kadar N-NH4+ 39 mg/L) (Aslan dan Kapdan 2006) Penurunan kadar nitrogen pada literatur pun bervariasi. Kultur yang ditanam adalah Chlorella vulgaris. Kadar N-NH4+ secara lengkap dieliminasi pada konsentrasi antara 13.2 dan 21.2 mg/L. Akan tetapi, efisiensi pengeliminasian kadar N-NH4+ berkisar 50% untuk kadar N-NH4+ antara 41.8-92.8
32
mg/L dan selanjutnya menurun kurang dari 24% ketika kadar N-NH4+ lebih tinggi dari 129 mg/L. Hasil ini mengindikasikan bahwa Chlorella vulgaris sangat efektif menurunkan kadar nitrogen pada kadar N-NH4+ < 22 mg/L. Kadar nitrogen pada penelitian ini adalah 50 mg/L dan terlihat penurunan kadar nitrogen oleh konsorsium mikroalga kurang efektif, % removal tertinggi hanya 27,43% atau < 30%. Berdasarkan literatur hal ini wajar karena kadar nitrogennya > dari 22 mg/L. Baik berdasarkan hasil penelitian ini maupun berdasarkan literatur dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar nutrien (baik nitrogen maupun fosfor) maka persentase removal kadar nitrogennya semakin menurun. Setelah diamati kadar nitrogennya, selanjutnya diamati penurunan kadar fosfor yang terdapat pada masing-masing media, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Kurva kadar fosfor kultur media sintetik Seperti terlihat pada Gambar 20, kadar fosfor pada masing-masing media pun mengalami penurunan dengan kadar penurunan yang berbeda-beda. Penurunan kadar fosfor tertinggi terdapat pada kultur media II dengan persentase removal sebesar 25.54% kemudian media III sebesar 17.21% dan media I sebesar 5.40%. Kadar fosfor media I berubah dari 8.457 mg/L menjadi 8.00 mg/L, media II dari 11.0 mg/L menjadi 8.19 mg/L dan media III dari 16.79 mg/L menjadi 13.90 mg/L. Laju penyerapan fosfor rata-rata setiap sel, untuk kultur media I sebesar 6.259 x 10-10 mg/sel, kultur media II sebesar 5.873 x 10-10 mg/sel dan kultur media III sebesar 1.970 x 10-9 mg/sel. Berarti tingkat efisiensi penyerapan fosfornya yang paling tinggi adalah kultur pada media III kemudian disusul dengan media I dan media II. Perbandingan perubahan kadar fosfor ini bisa dibandingkan dengan literatur seperti yang terlihat pada Gambar 21 berikut.
Gambar 21. Perubahan kadar fosfor dalam medium dengan waktu selama kultivasi Batch pada kadar P-PO43- yang bervariasi (kadar P-PO43-, mg/L (■) 199; (□) 175; (●) 149; (○) 139; (♦) 93.5; (◊) 71.6; (▲) 60.4; (∆) 50; (Ж) 41; (×) 33; (+) 21.4; (. . .. . .) 15.4; (– – –) 7.7; (—) kontrol pada kadar P-PO43- 19.4 mg/L) (Aslan dan Kapdan 2006)
33
Kadar fosfor akhir sekitar 1.7 mg/L dengan efisiensi removal 78% untuk kadar kadar fosfor 7.7 mg/L. kadar fosfor yang lebih tinggi kebanyakan menghasilkan % removal kurang dari 30%. Hasil ini mengindikasikan bahwa Chlorella vulgaris sangat efektif menurunkan kadar nutrien pada kadar fosfor < 7.7 mg/L. Pada hasil penelitian dengan menggunakan konsorsium mikroalga, % removal tertinggi dicapai pada kadar fosfor media II (kadar fosfor 22 mg/L) sebesar 25.54%. Berdasarkan hasil yang ada dalam literatur, semua kadar fosfor yang menjadi perlakuan pada penelitian ini akan memiliki % removal P-PO43- kurang dari 30% karena kadar fosfornya > 7.7 mg/L. Hal ini sangat sesuai dengan data yang diperoleh. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap perubahan kadar COD seperti terlihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Kurva kadar COD kultur media sintetik Nilai COD yang terdapat dalam media bersumber dari glukosa. Glukosa ini secara tidak langsung digunakan oleh mikroalga karena harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa CO2 oleh mikroorganisme lain melalui reaksi glikolisis dimana salah satu tahapannya adalah reaksi fermentasi. Reaksi ini hanya akan terjadi jika terdapat komponen fosfor di dalam media karena salah satu tahapannya membutuhkan komponen fosfor untuk pembentukan energi ADP dan ATP yang akan digunakan untuk reaksi selanjutnya. Hal ini terbukti pada saat pembuatan media, ketika larutan masing-masing pupuk dan gula belum dicampur, tidak terlihat adanya reaksi. Setelah larutan pupuk dan gula dicampurkan dan didiamkan dalam hitungan hari, terlihat adanya gas dan busa yang terbentuk. Hal ini menandakan adanya reaksi dan disimpulkan bahwa reaksi yang terjadi adalah reaksi fermentasi. Reaksi fermentasi yang mungkin terjadi, yaitu:
Glukosa Glukosa Glukosa Glukosa
2 etanol + 2 CO2 2 asam laktat 1 asam laktat + 1 asam asetat + asam format 1 asam laktat + 1 asam asetat + H2 + CO2
(1) (2) (3) (4)
(Madigan et al. 1997) Reaksi fermentasi poin (1) terjadi jika di dalam kultur terdapat khamir sedangkan reaksi fermentasi (2), (3) dan (4) terjadi jika di dalam kultur terdapat bakteri fermentasi seperti Lactobacillus sp. Jadi, kemungkinan reaksi yang terjadi adalah reaksi poin (2), (3) dan (4) karena mikroorganisme fermentasi yang terdapat di dalam kultur adalah bakteri. Pada Gambar 22 bisa dilihat bahwa penurunan kadar COD untuk semua media lebih curam dibandingkan dengan penurunan kadar nitrogen dan kadar fosfor. Penurunan kadar COD pun berbeda untuk masing-masing media seperti kadar nutrien yang lainnya. Penurunan kadar COD selain oleh bakteri juga bisa diakibatkan oleh konsorsium mikroalga. Karena kulturnya berupa konsorsium, kemungkinan terdapat mikroalga autotrof, heterotrof dan miksotrof. Walaupun ganggang memiliki klorofil maupun pigmen fotosintesis lain yang menyebabkan ganggang tersebut dapat melakukan fotosintesis untuk menghasilkan makanannya, namun pada beberapa jenis protista fotosintetik, mereka mengalami siklus hidup dimana ada saatnya mereka menjadi organisme heterotrof dengan menjadi parasit bagi makhluk hidup lainnya dan ada saat
34
dimana mereka harus menggunakan klorofilnya untuk berfotosintesis serta memperoleh makanan. Hal ini dipengaruhi fase pertumbuhan pada siklus hidupnya maupun disebabkan pengaruh lingkungan (Anonim 2010). Euglenoid (Euglenophyta) dapat hidup dengan dua cara yaitu dengan cara melakukan aktivitas fotosintesis dan dengan memakan bahan organik yang tersedia di lingkungan sehingga ia disebut makhluk hidup fotoautotrof sekaligus heterotrof (miksotrof). Euglenoid, contohnya Euglena, hidup secara heterotrof dengan cara menyerap nutrien organik dari lingkungannya pada saat ia ditempatkan di tempat gelap. Namun beberapa spesies yang berkerabat dengan Euglena tidak memiliki kloroplas dan menelan makanan dengan cara fagositosis. Ganggang keemasan hidup secara fotoautotrof, artinya dapat mensintesis makanan sendiri dengan memanfaatkan klorofilnya untuk berfotosintesis. Namun beberapa spesies adalah miksotrofik, yang menyerap senyawa organik yang terlarut atau menjulurkan pseudopodianya untuk menelan partikel makanan dan bakteri. Ganggang api ada yang hidup secara fotoautotrof dan ada yang hidup secara heterotrof parasitik. Sejumlah dinoflagelata heterotrofik, seperti Pfiesteria piscicida, dapat menjadi autotrofik untuk sementara waktu dengan cara mengekstraksi kloroplas dari protista fotosintetik. Contoh alga merah yang banyak ditemukan di laut dalam yaitu Gelidium dan Gracillaria, sedangkan Euchema spinosum menyukai laut dangkal. Alga merah umumnya bersifat autotrof, namun ada pula yang heterotrof, yaitu yang tidak memiliki kromatofora dan biasanya parasit pada alga merah lain. Ganggang hijau hidup secara autotrof. Namun ada pula yang bersimbiosis dengan organisme lain, misalnya dengan jamur membentuk lumut kerak atau lichen (Campbell 2003 diacu dalam Anonim 2010). Penurunan kadar COD tertinggi terdapat pada kultur media III dengan persentase removal sebesar 84.62% kemudian media I sebesar 80.64% dan media I sebesar 77.78%. Kadar fosfor media I berubah dari 620 mg/L menjadi 120 mg/L, media II dari 741.6 mg/L menjadi 164.8 mg/L dan media III dari 780 mg/L menjadi 120 mg/L. Laju penyerapan bahan organik rata-rata setiap selnya, untuk kultur media I sebesar 3.772 x 10-8 mg/sel, kultur media II sebesar 2.859 x 10-8 mg/sel dan kultur media III sebesar 7.076 x 10-8 mg/sel. Berarti tingkat efisiensi penyerapan COD-nya yang paling tinggi adalah kultur pada media III kemudian disusul dengan media I dan media II. Perubahan nilai COD ini bisa dibandingkan dengan literatur seperti terlihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Perubahan kadar COD dalam medium dengan kadar COD yang bervariasi selama percobaan (Travieso et al. 2006) Gambar 23 menunjukan perubahan kadar variasi COD dengan waktu selama percobaan dengan kultur strain Chlorella vulgaris. Konsentrasi COD menurun dengan waktu akibat penyerapan bahan organik oleh kultur tercampur. Persentase removal COD pada jam ke-190 atau hari awal hari ke-16 adalah 88.0%, 57.5%, 55.6%, 56.5%, 60.6% dan 20.6% untuk kadar COD berturut-turut 250, 400, 520, 650, 800 dan 1100 mg/L. hasil ini menunjukan bahwa efisiensi removal substrat menurun secara signifikan pada kadar COD 1100 mg/L akibat adanya inhibisi. Hal ini diketahui bahwa removal bahan organik menurun dengan konsentrasi mikroorganisme pada rentang konsentrasi COD 250 hingga 800 mg/L tetapi menurun ketika konsentrasi substrat dinaikan menjadi 1100 mg/L. Jika dibandingkan dengan literatur, hasil penelitian ini menunjukan nilai yang lebih bagus karena persentase removal COD-nya berkisar dari 77.78% sampai 84.62% walaupun kadar COD-nya tinggi,
35
yaitu 1000 mg/L. Hal ini bisa diakibatkan karena kultur yang ditanam berbeda karena masing-masing kultur memiliki penyesuaian tersendiri terhadap kondisi lingkungan yang ada. Konsorsium mikroalga terdiri dari berbagai jenis mikroalga, kemungkinan akan lebih mampu bertahan pada kondisi yang sangat ekstrim sekalipun. Di akhir kultivasi, biasanya nutrien tidak habis karena pada saat memasuki fase kematian bukan berarti sama sekali tidak ada mikroalga yang hidup. Beberapa mikroalga masih hidup dan kemudian beradaptasi serta tumbuh kembali. Hal ini berdasarkan hasil pengamatan terhadap kultur yang didiamkan dalam waktu yang cukup lama setelah memasuki fase kematian ternyata kultur menghijau kembali. Dilihat dari warnanya (hijau bening), kemungkinan mikroalga yang tumbuh adalah sejenis kelompok Chlorophyceae terutama Chlorella sp. karena mikroalga jenis ini adalah mikroalga yang paling mampu bertahan dalam kondisi ekstrim. Pada sistem terbuka, memungkinkan adanya tambahan nutrien yang diperoleh dari hasil degradasi sel mikroalga yang mati, tetapi pertumbuhan pada tahap ini semakin banyak faktor pengganggunya karena adanya zat toksik yang terakumulasi dari hasil metabolisme mikroalga itu sendiri. Untuk kondisi kultur, semua media berada pada kisaran pH dan suhu yang hampir sama, dengan kisaran pH 4-8 dan kisaran suhu 27oC - 34oC. Untuk pH, awal-awal memang terlalu asam sehingga pertumbuhan mikroalga kurang bagus tetapi pada saat pertengahan dan akhir kultivasi, pH berada pada rentang pH yang normal untuk pertumbuhan mikroalga. Penyebab pH media yang lumayan asam ini adalah adanya proses fermentasi di awal kultivasi yang menghasilkan beberapa senyawa golongan asam karboksilat. Untuk suhunya sendiri sudah menunjukkan kisaran suhu yang sesuai untuk pertumbuhan mikroalga, dengan suhu optimum berkisar 20 oC - 30oC.
a. Pengaruh Kadar Fosfor terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Konsorsium Mikroalga Perbandingan ketiga media juga bisa dilihat dari kurva laju pertumbuhannya, yaitu seperti yang terlhat pada Gambar 24 berikut.
Gambar 24. Kurva laju pertumbuhan spesifik kultur media sintetik Berdasarkan kurva laju pertumbuhan kultur pada Gambar 24 bisa dilihat bahwa kurva kultur media II cenderung berada di atas kurva yang lainnya kemudian disusul dengan kurva media I dan media III. Namun, kurva laju pertumbuhan kultur media II, mempunyai kecenderungan untuk terus turun sedangkan untuk kultur media I dan III nilai laju pertumbuhan pertama-tama cenderung naik kemudian nilainya tetap selama beberapa saat, barulah setelah itu nilainya turun. Hal ini karena pada awal kultivasi sempat terjadi peningkatan jumlah sel yang signifikan sedangkan setelah itu pertambahan jumlah sel menurun. Nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum untuk media I adalah 0.1413 pembelahan sel/hari, media II 0.2691 pembelahan sel/hari dan media III 0.1320 pembelahan sel/hari. Secara keseluruhan, berdasarkan nilai laju pertumbuhan sel, media terbaik berturut-turut adalah media II, media I dan media III. Dari hasil yang diperoleh, hubungan kadar fosfor terhadap laju pertumbuhan spesifik sel ini bisa dikatakan berbanding lurus untuk kadar fosfor < 16.5 mg/L karena
36
setelah ditingkatkan kadar fosfornya > 16.5 mg/L, laju pertumbuhan spesifik sel malah menurun. Nilai laju pertumbuhan ini dibandingkan dengan literatur seperti yang terlihat pada Gambar 25 dan 26.
Gambar 25. Kurva laju pertumbuhan spesifik sel yang terbentuk dari data penelitian Aprimara dengan lama penyinaran 12 jam dan 24 jam (Aprimara 2010) Nilai laju pertumbuhan spesifik hasil penelitian Aprimara ini lumayan cukup tinggi. Untuk lama penyinaran 12 jam, nilai maksimumnya sebesar 0.08675 pembelahan sel/hari sedangkan untuk lama penyinaran 24 jam maksimumnya sebesar 0.8279 pembelahan sel/hari. Nilai laju pertumbuhan spesifik sel maksimum ini sama-sama terjadi di awal kultivasi tetapi setelah itu laju pertumbuhan spesifik keduanya cenderung menurun pada kisaran seperti pada Gambar 24. Nilai laju pertumbuhan spesifik ini juga bisa dibandingkan dengan hasil penelitian Lika (2009) seperti terlihat pada Gambar 26 berikut.
Gambar 26. Kurva laju pertumbuhan spesifik sel pada media fenolik sebagai sumber karbon, () keadaan terang dan (….) keadaan gelap (Lika 2009) Laju pertumbuhan spesifik sel pada Gambar 26 ini menggunakan satuan (per hari) tetapi sebenarnya maksudnya sama, yaitu banyaknya pembelahan sel yang terjadi setiap harinya. Nilainya sama-sama cenderung terus turun dengan kisaran nilai antara -0.05/hari sampai 0.20/hari. Nilai laju pertumbuhan spesifik sel ini juga berada pada kisaran nilai seperti yang terlihat pada Gambar 24.
37
b. Pengaruh Kadar Fosfor terhadap Produktivitas Biomassa Konsorsium Mikroalga Perbandingan ketiga media juga bisa dilihat dari kurva produktivitas masing-masing kultur. Hal seperti terlihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Kurva produktivitas sel kultur media sintetik Berdasarkan kurva produktivitas kultur pada Gambar 27 bisa dilihat bahwa kurva kultur media II cenderung berada di atas kurva yang lainnya kemudian disusul dengan kurva media I dan media III. Namun, kurva produktivitas kultur media II mempunyai kecenderungan untuk terus turun sedangkan untuk kultur media I dan III nilai produktivitasnya pertama-tama cenderung naik kemudian nilainya tetap selama beberapa saat, barulah setelah itu nilainya turun. Hal ini hampir sama dengan laju pertumbuhan, hanya pada kurva laju pertumbuhan spesifik penurunan kurva pada media II tidak seekstrim penurunan kurva produktivitasnya. Sebaliknya untuk penurunan kurva laju petumbuhan spesifik pada media I dan III tidak selandai kurva penurunan produktivitasnya. Nilai produktivitas maksimum pada media I adalah 0.039 mg/(ml.hari) pada hari ke-12, media II 0.220 mg/(ml.hari) pada hari ke-6 dan media III 0.059 mg/(ml.hari) pada hari ke-14. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kultur terbaik berturut-turut adalah kultur pada media II, media III dan media I. Hubungan antara kadar fosfor dengan produktivitas biomassa ini cenderung berbanding lurus untuk kadar fosfor < 16.5 mg/L sedangkan jika kadar fosfor ini ditingkatkan > 16.5 mg/L, produksi biomassanya akan menurun. Hasil penelitian ini bisa dibandingkan dengan hasil penelitian Aprimara (2010), nilai produktivitas maksimum yang dicapai pada lama penyinaran 12 jam adalah 0.09 g/(L.hari) atau 0.09 mg/(ml.hari) yang dicapai pada fase logaritmik (eksponensial) sedangkan untuk lama penyinaran 24 jam hanya bernilai 0.06 g/(L.hari) atau 0.06 mg/(ml.hari). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai produktivitas biomassa pada media I dan III sedangkan untuk media II memiliki nilai produktivitas yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan yang lainnya. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Hsieh dan Wu (2009), media II memiliki nilai produktivitas yang lebih mirip dengan hasil penelitian mereka. Penelitian Hsieh dan Wu ini menggunakan variasi ukuran TRC (transparent rectangular chambers) dengan tank kontrol tanpa TRC (TRC1, TRC2 dan TRC3) yang bervolume 27 L (OT1) dan 28 L (OT2). Data hasil pengamatannya bisa dilihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Performa variasi fotobioreaktor setelah kultivasi selama 13 hari
Sumber: Hsieh dan Wu (2009)
38
c. Pengaruh Kadar Fosfor terhadap Produksi Minyak Konsorsium Mikroalga Perbandingan ketiga media dapat dilihat dari kadar minyak masing-masing kultur dalam persentase bobot kering (%). Kadar minyak masing-masing kultur bisa dilihat pada Gambar 28 berikut.
Gambar 28. Kurva kadar minyak (%) kultur media sintetik Dari kurva pada Gambar 28 bisa dilihat bahwa kurva kadar minyak tertinggi terdapat pada kultur media III dengan nilai maksimum sebesar 9.78 % pada hari ke 18. Kadar minyak terus naik dari hari ke-0 sampai hari ke-18 kemudian turun kembali pada hari ke-24 menjadi 7.27% dan naik kembali sampai hari ke-30. Nilai maksimum tertinggi selanjutnya dicapai oleh kultur pada media I, yaitu sebesar 8.67% yang terjadi pada hari ke-16. Pertama-tama kurva naik dari hari ke-0 sampai hari ke-16 dan selanjutnya cenderung turun sampai akhir periode kultivasi. Pada kultur media II, kurva memiliki kecenderungan untuk terus turun walaupun sempat naik turun-naik turun beberapa kali. Nilai kadar minyak maksimum dicapai pada hari ke-14 sebesar 6.57%. Hubungan antara kadar minyak dan kadar fosfor ini berbanding lurus pada rentang kadar fosfor 16.5-22 mg/L dan cenderung turun pada rentang kadar fosfor 11-16.5 mg/L. Hasil penelitian ini bisa dibandingkan dengan dengan hasil penelitian Hsieh dan Wu (2009) dengan menggunakan strain Chlorella sp. seperti terlihat pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Efek konsentrasi urea terhadap laju pertumbuhan spesifik, konsentrasi biomassa dan konsentrasi minyak setelah 6 hari kutivasi pada kultur batch
Sumber: Hsieh dan Wu (2009) Pada Tabel 14 terlihat kadar minyak yang dihasilkan cukup tinggi dengan nilai tertinggi sebesar 0.661 g/g atau 66,1%. Jika dibandingkan dengan literatur, hasil kadar minyak dari penelitian dengan kadar fosfor ini sangat jauh lebih kecil. Hal ini karena kultur yang digunakan berbeda. Jika kultur yang digunakan adalah konsorsium mikroalga, maka kemungkinan ada mikroalga yang memproduksi minyak dalam jumlah sangat kecil sehingga akan memperkecil nilai kadar minyak per bobot biomassanya walaupun di dalamnya terdapat mikroalga yang mampu memproduksi minyak yang cukup tinggi. Apalagi jika di dalamnya didominasi oleh sel mikroalga autotrof, kemungkinan minyak yang diproduksi akan kecil sedangkan jika di dalamnya didominasi oleh sel mikroalga heterotrof, kemungkinan minyak yang diproduksi akan lebih besar. Hal ini karena sel mikroalga heterotrof cenderung memproduksi protein sedangkan sel mikroalga heterotrof cenderung memproduksi minyak atau lipid. Perbandingan produksi komponen kimia (salah satunya minyak) antara sel autotrof dan heterotrof pada C. protothecoides bisa dilihat pada Tabel 15 berikut.
39
Tabel 15. Kadar komponen kimia utama sel autotrof dan sel heterotrof C. protothecoides (Miao dan Wu 2005)
Secara keseluruhan baik berdasarkan nilai laju pertumbuhan sel, produktivitas biomassa dan kadar minyak kultur, kultur terbaik adalah kultur media II. Selanjutnya disusul oleh media III dan media I. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selalu semakin tinggi kadar fosfor maka kultur yang tumbuh semakin bagus. Pertumbuhan kultur konsorsium mikroalga mempunyai titik kritis terhadap peningkatan kadar nutrien tertentu, salah satunya kadar fosfor. Dari tiga variasi kadar fosfor yang dibuat (11 mg/L, 16.5 mg/L dan 22 mg/L) dapat ditentukan bahwa kadar fosfor terbaik kadar fosfor dengan nilai 16.5 mg/L. Hasil penelitian ini diharapkan bisa diaplikasikan pada limbah cair organik yang sama-sama mengandung komponen nutrien untuk pertumbuhan mikroalga dan juga bahan organik. Selain itu, diharapkan juga bisa diaplikasikan di industri dengan menggunakan media limbah cair. Untuk desain sistem bioreaktornya lebih disarankan menggunakan sistem open pond karena selain murah juga lebih mudah untuk aplikasinya dan lebih baik juga jika terintegrasi dengan sumber limbah cair jika akan menggunakan media dengan limbah cair untuk mengurangi biaya transportasi pengangkutan limbah. Untuk dimensi sistem bioreaktor ini disarankan menggunakan ukuran 50 m x 5 m x 0.4 m agar bisa mencapai optimasi produksi mikroalga. Desain produksi mikroalga dengan menggunakan limbah cair ini bisa dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Produksi mikroalga dengan sistem fotosintetsis open pond (Huang et al. 2010)
40