29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Akar Wangi Karakteristik akar wangi hasil pengeringan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil karakterisasi akar wangi Perlakuan
Kadar Air (% bb)
Kadar Minyak (% bb)
P1 (1 bar)
10.0
3.8
P2 (2 bar)
8.4
3.5
P3 (3 bar)
8.3
3.1
V1 (1 l/j kg)
10.7
3.1
V2 (1,5 l/j kg)
10.0
3.0
V3 (2 l/j kg)
9.4
3.2
V4 (bertahap)
9.5
3.3
Dari Tabel 8, terlihat bahwa akar wangi yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air berkisar antara 8-11%. Nilai ini menunjukkan bahwa akar wangi ini memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan kadar air akar wangi yang umum digunakan masyarakat dengan kondisi kebun yaitu sebesar 42%. Hanya sebagian kecil agroindustri penyulingan akar wangi di Garut yang memakai bahan baku akar wangi kering jemur hingga kadar air 15% (Indrawanto 2006). Pada penelitian ini, sebelum proses penyulingan dilakukan penjemuran selama ± 25 jam. Nilai hasil analisa kadar minyak pada Tabel 8 menunjukkan persentase kadar minyak yang terkandung di dalam akar wangi yang digunakan pada penelitian ini berkisar antara 3-4%. Perbedaan kadar air dan kadar minyak akar wangi yang digunakan pada penelitian ini mungkin disebabkan karena terjadi penguapan selama proses penyimpanan. 4.2. Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Tekanan Konstan Penyulingan minyak akar wangi selama 9 jam pada tiga tekanan berbeda yaitu 1, 2, dan 3 bar menghasilkan recovery minyak yang berbeda (Gambar 8). Peningkatan tekanan akan meningkatkan recovery minyak. Semakin tinggi
30
tekanan, maka recovery yang dihasilkan memiliki kecenderungan meningkat. Recovery minyak akar wangi pada tekanan 1, 2 dan 3 bar berturut-turut 78.31 %, 88.88 %, dan 90.37 %. Pada penggunaan tekanan 1 bar dihasilkan recovery minyak yang paling kecil (78.31%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tekanan 1 bar pada penyulingan minyak akar wangi tidak efektif karena membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menghasilkan recovery yang sama dengan tekanan 2 dan 3 bar. Penggunaan tekanan 4 bar dapat merusak minyak karena dengan tekanan 4 bar temperatur jenuh uap mencapai 150 0C, sehingga ada kemungkinan minyak teroksidasi (Triharyo 2007). Oleh karena itu penelitian selanjutnya menggunakan tekanan 2-3 bar. 100
90.37%
90
88.88%
Akumulasi recovery (%)
80
78.31%
70 60
P1=1 bar P2=2 bar P3=3 bar
50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 8. Akumulasi recovery minyak terhadap waktu penyulingan Perbedaan recovery dari kenaikan tekanan disebabkan oleh jumlah minyak akar wangi dengan komponen bertitik didih tinggi lebih banyak yang ikut menguap. Suryatmi (2006) memperoleh rendemen 1%, 1.057%, dan 1.124% pada penyulingan dengan tekanan 1, 2, dan 3 atm selama 16 jam. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan, maka recovery yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan paling cepat terjadi pada waktu 0-3 jam, lalu setelah itu kenaikannya cenderung sedikit. Waktu penyulingan akar wangi selama 9 jam diperkirakan sudah dapat mengeluarkan sebagian besar minyak, karena setelah 9 jam kenaikan recovery minyak sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah bahan bakar yang dikeluarkan (tidak efisien).
31
Hasil penelitian Triharyo (2007) juga diperoleh pola yang sama untuk tekanan hingga 3 bar selama 24 jam. Peningkatan jumlah minyak yang signifikan terjadi pada 0-8 jam. Laju distilat yang keluar dari kondensor diasumsikan sama dengan laju uap yang masuk ke ketel suling. Hasil pengukuran laju alir pada setiap penyulingan dengan tekanan berbeda ditampilkan pada Gambar 9. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan konstan 1, 2, dan 3 bar bervariasi dengan ratarata 2.8, 2.7, dan 2.4 l/j kg bahan. Secara umum, penggunaan tekanan yang lebih tinggi menghasilkan laju uap yang lebih rendah. Tanpa adanya alat kontrol, uap yang masuk ke ketel sangat tergantung kemampuan boiler dan pengaturan katup baik di boiler maupun kondensor. Guenther (1990) menyebutkan bahwa pada penyulingan dengan tekanan rendah mengakibatkan suhu proses yang rendah, tetapi membutuhkan jumlah uap yang lebih besar per satuan berat minyak sereh wangi yang dihasilkan. 3.5
Laju steam (l/j kg bhn)
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 1 bar
0.5
2 bar
3 bar
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 9. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan konstan Hukum
hidrodestilasi
menyebutkan
bahwa
peningkatan
suhu
mengakibatkan perbandingan jumlah air dan minyak menurun, yang berarti adanya peningkatan jumlah minyak. Guenther (1990) telah memperlihatkan pengaruh tekanan uap terhadap perbandingan air dan minyak pada penyulingan minyak sereh wangi dengan sistem penyulingan uap. Pada tekanan 152.2 mmHg perbandingan air dan minyak dalam destilat 6.6, sedangkan pada tekanan 1109.1 mmHg hanya 3.7.
32
Penggunaan laju alir uap yang lebih besar diduga dapat meningkatkan recovery minyak. Moestafa (1991) memperoleh rendemen 2.47% pada laju uap 600 gram uap/jam. Nilai ini lebih besar daripada penyulingan dengan laju uap 500 gram uap/jam yang menghasilkan rendemen 2.17%. Oleh karena itu penyulingan dengan perlakuan laju alir uap akan dilakukan pada penelitian ini.
4.3. Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Hipotesa yang digunakan untuk memperbaiki performa penyulingan minyak akar wangi terkait efisiensi proses (energi dan biaya) adalah dengan meningkatkan tekanan secara bertahap selama penyulingan berlangsung. Peningkatan tekanan dimaksudkan untuk merusak kesetimbangan fase uap yang terjadi dalam ketel. Keadaan setimbang terjadi jika tekanan campuran uap air dan minyak sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing. Sesuai dengan hukum hidrodestilasi, pemberian tekanan uap air yang lebih besar akan menurunkan perbandingan berat air dan minyak dalam campuran. Pengeluaran minyak dari tanaman tergantung dari titik didih atau tekanan parsialnya. Guenther (1990) menyebutkan bahwa minyak atsiri terdiri dari berbagai komponen yang memiliki sifat berbeda. Titik didih komponen minyak berkisar antara 150-300 oC pada tekanan 1 atm. Pada awal pemanasan (suhu rendah), komponen minyak yang bertitik didih lebih rendah akan menguap lebih dahulu. Jika komponen minyak bertitik didih lebih tinggi dalam uap dominan dan jumlah uap minyak dalam fase uap mulai berkurang, maka suhu akan naik secara bertahap sampai mencapai suhu uap jenuh pada tekanan operasional (Guenther 1990). Penggunaan tekanan dan penentuan waktu untuk menaikkan tekanan didasarkan pada trend laju recovery minyak yang dihasilkan dari penyulingan dengan penggunaan tekanan konstan (1, 2, dan 3 bar). Recovery minyak untuk penyulingan pada semua tekanan 1, 2, dan 3 bar menunjukkan penurunan selama proses (Gambar 10). Penurunan recovery minyak terhadap lama penyulingan diduga akibat difusi antara uap dan minyak dari dalam bahan yang semakin lambat serta kandungan minyak dalam bahan yang terus berkurang.
33
30 25
1 bar 2 bar
2,5 bar
Recovery (%)
3 bar
20 15
3 bar
10
2 bar 5 0 1
2
3
4
5 6 Waktu (jam)
7
8
9
Gambar 10. Recovery minyak terhadap waktu penyulingan Penurunan recovery minyak dapat diperlihatkan dari kemiringan grafik (slope). Dari kemiringan garis dapat dibedakan atas 3 fase yaitu pada jam ke 0-2, 2-5, dan 5-9, dimana semakin lama penyulingan laju recovery minyak semakin kecil (Tabel 9). Fase penurunan recovery untuk masing-masing tekanan terjadi setelah jam ke 2 dan ke 5. Oleh karena itu fase ini menjadi patokan waktu untuk menaikkan tekanan. Pada penelitian selanjutnya pengamatan terhadap recovery diamati setelah 2, 5, dan 9 jam.
Tabel 9. Recovery minyak pada penyulingan tekanan konstan Tekanan
Recovery minyak (%) Jam ke 2-5 (3 jam) Jam ke 5-9 (4 jam) 30.9152 16.2236
1 bar
Jam ke 0-2 (2 jam) 31.1688
2 bar
43.8854
31.1662
13.8287
3 bar
49.2812
30.2373
10.8520
Telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan tekanan akan memperkecil perbandingan antara jumlah air dan minyak yang berimplikasi pada penurunan perbandingan berat air dan minyak (hukum hidrodistilasi). Oleh karena itu, peningkatan tekanan dapat dilakukan untuk memperoleh berat minyak yang lebih banyak. Peningkatan tekanan secara bertahap dalam proses penyulingan minyak akar wangi diharapkan mampu menghasilkan recovery minyak yang tinggi
34
dengan mutu yang lebih baik serta waktu yang dibutuhkan lebih singkat, sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Pada subbab sebelumnya telah ditetapkan bahwa penelitian utama menggunakan tekanan berkisar antara 2-3 bar. Dengan asumsi bahwa minyak akar wangi memiliki komponen dengan titik didih tinggi, sedang, dan rendah, maka penggunaan tekanan disesuaikan menjadi tiga tahap. Oleh karena itu tekanan yang digunakan adalah 2, 2.5, dan 3 bar. Sedangkan waktu untuk menaikkan tekanan adalah pada jam ke 2 dan ke 5.
4.4. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap Tanpa Pengaturan Laju Alir Uap Minyak akar wangi yang dihasilkan dari penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap memperlihatkan pola yang lebih baik dengan jumlah recovery yang lebih besar dibandingkan pada tekanan konstan 2 dan 3 bar. Akumulasi recovery minyak untuk penggunaan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap yaitu 92,58%. Nilai ini lebih besar dibanding penyulingan konstan 2 dan 3 bar yaitu 88.88% dan 90.37%. 100
92.58% 90.37% 88.88%
Akumulasi recovery (%)
80
60
2 bar 3 bar Tek Bertahap
40
20
2 bar
2,5 bar
3 bar
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 11. Recovery minyak tersuling pada tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan tekanan konstan Gambar 11 memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan 2, 2.5, dan 3 bar secara bertahap mampu mendorong minyak keluar lebih banyak jika dibandingkan pada penggunaan tekanan konstan. Sakiah (2006) melakukan
35
penyulingan minyak pala dengan peningkatan tekanan 0, 0.5, dan 1.5 bar selama 10 jam dapat meningkatkan rendemen lebih tinggi (15.30% untuk biji pala dan 16.73% untuk fuli pala) dibandingkan dengan penyulingan pada penggunaan tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (14.20% untuk biji pala dan 15.41% untuk fuli pala). Laju alir uap rata-rata yang diperoleh pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir berkisar 2.4-3.0 l/j kg. Nilai ini lebih tinggi dibanding pada penyulingan dengan tekanan konstan 3 bar yaitu 2.2-2.6 l/j kg (Gambar 12). Hal ini dikarenakan laju uap yang masuk ke ketel ditentukan oleh kemampuan boiler untuk mensuplai uap. Pada perangkat penyulingan yang tidak dilengkapi dengan alat kontrol tekanan PRV (Pressure Reducing Valve), maka pengaturan tekanan ditentukan dari besar kecilnya bukaan valve pada kondensor. Pembukaan katup ini juga mempengaruhi laju alir uap yang masuk ke ketel.
3.5
Laju steam (l/j kg bhn)
3.0 2.5 2.0 1.5
2 bar
2,5 bar
3 bar
V =2.90
1.0 3 bar
Tek. Bertahap
V =2.71
0.5 V =2.69
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 12. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju Recovery minyak yang tinggi akibat penggunaan laju uap yang lebih besar juga dihasilkan oleh Milojevic et al. (2008) pada biji juniper. Rendemen 1.42% diperoleh dari penyulingan biji juniper pada laju 11.7 ml/menit sedangkan pada laju 0.13 ml/menit diperoleh rendemen 0.65% (Milojevic et al. 2008).
36
4.5.
Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap Konstan Penyulingan dengan tekanan bertahap menggunakan variasi laju alir uap
1, 1.5, dan 2 l/j kg bahan menghasilkan recovery minyak berbeda satu sama lain (Gambar 13). Penyulingan dengan laju alir uap 1 l/j kg bahan hanya mampu merecovery sekitar 76,60% minyak. Sementara recovery minyak pada laju 1,5 l/j kg dan 2 l/j kg bahan berturut-turut sebesar 83,05% dan 90,42%. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan laju yang lebih tinggi (2 l/j kg bahan) dihasilkan recovery minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan laju yang lebih rendah. Menurut Guenther (1990), uap dengan kecepatan tinggi menimbulkan perbedaan tekanan dalam ketel suling, sehingga uap mencegah stagnasi pada bagian bahan yang padat. Oleh karena itu peningkatan laju alir uap akan mempercepat pengeluaran minyak dari dalam bahan tanaman (Deny 2001). 60
Recovery, %
2 bar
2,5 bar
3 bar
40
83.05% V1 = 1 l/j/kg
20
76.60%
V2 = 1.5 l/j/kg V3 = 2 l/j/kg
90.42%
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
Gambar 13. Recovery minyak pada penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan selama 9 jam. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan yang bervariasi juga memberikan recovery minyak yang berbeda pada setiap tahapannya. Pada tekanan 2 dan 2,5 bar, penyulingan dengan menggunakan laju alir uap 2 l/j kg bahan masih menghasilkan jumlah minyak paling tinggi yaitu 39,58% dan 38,02%. Namun saat tekanan dinaikkan menjadi 3 bar, penggunaan laju uap 2 l/j kg bahan menghasilkan minyak paling sedikit (12,81%). Hal ini diduga minyak yang masih terkandung dalam bahan merupakan minyak yang
37
memiliki titik didih tinggi dengan jumlah yang semakin berkurang dan hampir habis. Hal yang menarik adalah recovery minyak pada penyulingan dengan laju 1.5 l/j kg yang lebih banyak daripada penyulingan dengan laju 1 l/j kg ketika tekanan dinaikkan menjadi 3 bar. Walaupun recovery minyak yang dihasilkan keduanya pada tekanan 2 dan 2.5 bar hampir sama, namun perbedaan laju uap yang digunakan dapat mendorong minyak keluar lebih banyak. Hasil kajian Moestafa et al. (1991) pada akar wangi juga menunjukkan bahwa penggunaan laju uap yang lebih besar menghasilkan minyak yang lebih banyak. Dimana penyulingan pada laju 0,6 kg uap/jam diperoleh minyak 2.47% dan pada laju penyulingan 0,5 kg uap/jam dihasilkan minyak 2.17%.
4.6. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap Penyulingan dengan peningkatan tekanan 2, 2.5, 3 bar dan laju alir uap 1, 1.5, 2 l/j kg bahan secara bertahap terhadap waktu juga dilakukan dalam penelitian ini. Recovery minyak terlihat terus meningkat dengan kenaikan tekanan dan laju alir uap (Gambar 14). Peningkatan tekanan yang berarti juga peningkatan suhu mampu mempercepat proses difusi minyak. Sedangkan peningkatan laju alir uap menjadikan proses ekstraksi berjalan sempurna. Recovery minyak yang dihasilkan pada perlakuan tekanan dan laju alir uap bertahap ini masih lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan. Perlakuan dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan mampu merecovery minyak hingga 90,42% sedangkan perlakuan laju bertahap ini hanya menghasilkan 73,03%. Diperkirakan jumlah minyak pada penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap masih dapat diperbesar hingga menyamai jumlah minyak pada perlakuan peningkatan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan, tetapi diperlukan waktu yang lebih lama. Akantetapi penambahan waktu penyulingan membutuhkan energi yang lebih besar, sehingga biaya produksi untuk bahan bakar meningkat.
38
60
Recovery, %
2 bar
2,5 bar
3 bar 38.02
40 39.58
25.73 25.42
20
21.88
12.81 V4 = Bertahap V3 = 2 l/j/kg
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
Gambar 14. Recovery minyak pada tekanan dan laju alir uap bertahap Kajian Milojevic et al. (2008) terhadap biji juniper juga diperoleh hasil yang sama dimana rendemen minyak dari peningkatan laju alir uap 0.13 ml/menit menjadi 10 ml/menit secara bertahap (0.94 g minyak/100 g bahan) lebih rendah dibandingkan dengan rendemen minyak pada penyulingan dengan laju alir uap konstan 10 ml/menit (1.4 g minyak/100 g bahan).
4.7. Mutu Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan Tekanan Bertahap Setiap jenis minyak atsiri mempunyai sifat khas tersendiri. Sifat ini tergantung dari komponen senyawa penyusunnya. Sifat-sifat khas dan mutu minyak dapat berubah mulai dari minyak yang masih berada dalam bahan, selama proses ekstraksi, penyimpanan dan pemasaran (Ketaren 1985). Mutu minyak atsiri didasarkan atas kriteria atau batasan yang dituangkan dalam standar mutu.
Warna dan Aroma Warna merupakan salah satu parameter mutu yang menjadi salah satu pertimbangan konsumen minyak akar wangi. Umumnya warna yang bening lebih disukai dari pada warna yang gelap. Warna minyak hasil penyulingan bertahap lebih baik dibanding minyak hasil penyulingan tekanan konstan. Minyak yang dihasilkan pada fraksi 1 (tekanan 2 bar, jam ke 0-2) berwarna lebih muda yaitu kuning dan jernih. Minyak hasil fraksi 2 (tekanan 2.5 bar, jam ke 2-5) berwarna kuning kecoklatan, dan dari fraksi 3 (tekanan 3 bar, jam ke 5-9) berwarna coklat
39
kemerahan. Sementara minyak hasil penyulingan konstan 3 bar fraksi 1 terlihat lebih gelap. Minyak yang dihasilkan dari penyulingan tekanan bertahap (dengan maupun tanpa pengaturan laju alir uap), secara visual menunjukkan warna yang cenderung semakin gelap seiring dengan bertambahnya waktu penyulingan. Semua hasil yang diperoleh pada setiap fraksi masih memenuhi SNI. Perbedaan warna yang dihasilkan dari tiap-tiap fraksi diduga akibat perbedaan tekanan yang digunakan pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan uap juga akan menaikkan suhu dalam ketel suling. Pada suhu yang tinggi ini komponen minyak yang memiliki titik didih tinggi berwarna kecoklatan. Selain itu, suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya proses browning dan reaksi polimerisasi yaitu kemungkinan rusaknya minyak (Brown dan Islip 1953) dan warna minyak menjadi lebih gelap. Penampilan visual warna minyak akar wangi masing-masing fraksi dapat dilihat pada Gambar 15. Warna minyak akar wangi dari semua penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini, memberikan warna yang lebih baik jika dibandingkan dengan warna minyak dari penyulingan rakyat yaitu coklat kehitaman. Warna yang gelap ini memiliki kualitas yang rendah yang ditandai oleh kerusakan beberapa komponen (senyawa) minyak. Aroma minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini khas akar wangi. Minyak akar wangi fraksi 3 beraroma lebih kuat dibandingkan minyak hasil fraksi 1 dan 2. Hasil analisa GC-MS menunjukkan persentase komponen α-vetivon dan β-vetivone (yang memberikan aroma khas akar wangi) pada fraksi 3 lebih tinggi dari fraksi 1 dan 2. Namun keseluruhan minyak dari semua perlakuan tidak berbau gosong seperti halnya minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat.
F1
F2
F3
Penyulingan tekanan bertahap
Penyulingan rakyat
40
F1
F2
F3
Penyulingan tekanan 2 bar
F1
F2
F3
Penyulingan tekanan 3 bar
Gambar 15. Tampilan warna minyak akar wangi Bobot jenis, indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester Berdasarkan SNI 2006 kisaran bobot jenis adalah 0.980–1.003. Untuk itu hanya minyak hasil fraksi 1 yang memenuhi standar (Gambar 16). Sementara fraksi 2 dan 3 dari setiap perlakuan berada di atas rentang tersebut. Fenomena ini sangat mungkin terjadi karena SNI melakukan uji terhadap seluruh minyak yang disuling dari awal hingga akhir, sementara pada penelitian ini sampel minyak diambil berdasarkan peningkatan tekanan yang terbagi menjadi 3 fraksi. Sedangkan nilai indeks bias minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap memberikan nilai yang sesuai dengan kisaran standar yang telah ditetapkan SNI yaitu 1.520–1.530. Gambar 16a dan 16b memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap pada setiap perlakuan meningkatkan nilai bobot jenis dan indeks bias. Peningkatan tekanan uap akan menyebabkan kenaikan suhu di dalam ketel yang berimplikasi pada peningkatan titih didih penguapan minyak. Komponen minyak yang bertitik didih rendah dapat menguap pada suhu yang rendah, begitupula sebaliknya komponen minyak yang bertitik didih tinggi menguap pada suhu yang tinggi. Bobot jenis dan indeks bias minyak berbanding lurus dengan titik didih komponen yang terdapat dalam minyak tersebut. Pada tekanan rendah, minyak yang tersuling umumnya memiliki titik didih yang rendah seperti monoterpen dan monoterpen-O yang mempunyai bobot jenis rendah. Pada tekanan tinggi komponen minyak yang bertitik didih tinggi seperti sesquiterpen dan sesquiterpen-O tersuling dan akan meningkatkan bobot jenis minyak. Menurut
41
Ketaren dan Djatmiko (1978) nilai indeks bias yang tinggi dapat disebabkan karena komponen-komponen terpen teroksigenasinya mengandung molekul berantai panjang dengan ikatan tak jenuh atau mengandung banyak gugus oksigen. Peningkatan nilai bobot jenis dan indeks bias minyak akar wangi ini juga dapat dideteksi melalui hasil analisa GC-MS. Komponen khusimene dan khusimone yang merupakan komponen dengan titik didih yang rendah dapat menguap pada fraksi 1 dan 2. Sedangkan pada fraksi 3 komponen ini sudah tidak keluar lagi. Kemungkinan disebabkan jumlah komponen tersebut dalam bahan telah semakin berkurang atau bahkan telah habis. Nilai bobot jenis dan indeks bias yang melampaui batasan SNI dan ISO mengindikasikan adanya zat pengotor maupun kerusakan pada komponen-komponen minyak. Standar mutu untuk bilangan asam minyak akar wangi berada pada kisaran 10–35 (SNI 2006). Namun nilai bilangan asam hasil penelitian berkisar antara 2.5–9.5. Nilai bilangan asam yang rendah ini dapat dikarenakan kondisi penyulingan yang cukup terkontrol, sehingga hidrolisis ester yang menjadi pemicu naiknya bilangan asam dapat diminimalkan. Jika dibandingkan dengan standar mutu internasional (ISO 2002), bilangan asam minyak akar wangi hasil penelitian masuk dalam kriteria yaitu maksimal 35. Ini berarti bahwa minyak yang dihasilkan dari penelitian ini tergolong cukup baik. Sementara nilai bilangan ester berkisar 4-20. Bilangan ester yang diperoleh dari minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap secara umum berada dalam rentang nilai baik sesuai dengan SNI. Rata-rata dari ketiga fraksi, dihasilkan minyak akar wangi sesuai dengan standar baik SNI maupun ISO.
42
1.0500 1.0400
Bobot jenis
1.0300 1.0200
V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
1.0100 1.0000 0.9900 0.9800
2 bar
2,5 bar
3 bar
0.9700 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
(a) 1.5280 1.5270 Indeks bias
1.5260 1.5250 V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
1.5240 1.5230 1.5220
2 bar
1.5210
2,5 bar
3 bar
1.5200 0
2
4 6 Waktu, jam
8
10
(b) 10
Bilangan asam
8
6
V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
4
2
2 bar
2,5 bar
3 bar
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
(c) 25
2 bar
2,5 bar
3 bar
Bilanganester
20
15
10
V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
5
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
(d) Gambar 16. Mutu minyak akar wangi pada penyulingan tekanan bertahap (a) Bobot jenis; (b) Indeks bias; (c) Bil. asam; (d) Bil. ester
43
Gambar 16c dan 16d memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap pada setiap perlakuan meningkatkan bilangan asam dan bilangan ester. Peningkatan tekanan mengakibatkan jumlah ester yang menguap meningkat serta terjadinya hidrolisa dari ester-ester seperti vetivenyl-vetivenat bereaksi dengan air sehingga membentuk asam dan alkohol (Hardjono et al. 1973). Rusli (1974) menyebutkan bahwa ester-ester yang terdapat dalam minyak atsiri merupakan fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Penggunaan laju uap yang tinggi juga menghasilkan nilai bilangan asam dan ester yang tinggi pula. Hal ini menurut Milojevic et al. (2008) dikarenakan oleh transformasi hidrolisis persenyawaan minyak terhadap peningkatan jumlah air/uap.Laju uap yang rendah menyebabkan proses hidrodifusi berjalan kurang sempurna karena uap air yang kontak dengan bahan sedikit sehingga ester-ester yang memiliki berat molekul tinggi tidak dapat tersuling. Mutu minyak hasil penelitian ini dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat. Nilai bobot jenis dan indeks bias hasil penyulingan rakyat masih memenuhi standar, namun nilai bilangan asam dan ester tidak terpenuhi (Tabel 10). Nilai bilangan asam minyak akar wangi hasil penyulingan rakyat berkisar antara 26–51 (Mulyono 2007). Sementara batasan standar mutu internasional untuk bilangan asam minyak akar wangi adalah maksimal 35. Bilangan asam yang tinggi umumnya menjadi tanda adanya penurunan mutu minyak. Penyebab kerusakan yang mengakibatkan nilai bilangan asam menjadi lebih tinggi adalah proses oksidasi golongan terpen menjadi asam rantai pendek dan proses hidrolisa ester yang mengubah komponen ester dalam minyak menjadi asam. Proses penyulingan yang lama (± 18 jam) yang biasa digunakan oleh masyarakat bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya proses oksidasi dan hidrolisa.
44
Tabel 10. Perbandingan mutu minyak hasil penelitian dan penyulingan rakyat Parameter • Warna • Bobot jenis 20/20 oC • Indeks bias pada 20oC • Bilangan asam • Kelarutan dalam etanol 80 % pada 20oC • Bilangan ester • Vetiverol total (asetilasi) • Kadar vetiverol (GC)
Penelitian
Penyulingan Rakyat
Kuning – coklat kemerahan
Coklat tua / gelap
0,997 – 1,001 1,5228 – 1,5267 < 10
0,9882 – 0,9870 1,5178 – 1,5221 26,82 – 51,17
Standar Mutu Reunion Coklat merah kecoklatan 0,99 – 0,980 – 1,003 1,015 1,5220 – 1,520 – 1,530 1,5300
Indonesia Kuning muda coklat kemerahan
Haiti Coklat merah kecoklatan 0,986 – 0,998 1,521 – 1,526
10 - 35
Maks. 35
Maks. 14
1:1
1:1
1:1
Maks. 1 : 2
Maks. 1 : 2
4,86 – 20,69
3,17 – 17,82
5 – 26
5 - 16
5 – 16
46,01 – 70,28
-
Min 50
-
-
13,45 – 22,84
4,44 – 6,31
-
-
-
Sumber : Mulyono et al.(2007), SNI (2006), ISO (2002).
4.8. Distribusi Komponen Minyak Akar Wangi Komponen penyusun minyak akar wangi diidentifikasi dengan metode GC-MS. Analisa ini dilakukan untuk setiap fraksi pada minyak hasil penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan dan laju alir uap bertahap. Hasil yang diperoleh berupa dugaan komponen, waktu retensi, dan persen area komponen minyak akar wangi. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil GCMS ini berdasarkan pendugaan dengan menggunakan referensi data base WILEY275. Komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan diperlihatkan pada Gambar 17. Sedangkan komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan dan laju alir uap bertahap disajikan pada Gambar 18. Berdasarkan spektrum massa komponen-komponen minyak akar wangi, terdapat 8 komponen yang diduga sebagai sidik jari minyak akar wangi. Komponen-komponen tersebut antara lain: khusimene, khusimone, cyclopropan emethanol, 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne, beta gamma nootkatone, khusenic
acid,
4-fluoro-4’-methoxybiphenyl dan nootkatone.
Spektrum massa hasil GCMS dibandingkan dengan spektrum massa minyak akar wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002), komponen-komponen yang tersebut adalah : Cycloporopan emethanol sebagai trisiklovetiverol; 4-(1cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne
sebagai
β-vetivon;
beta
45
gamma nootkatone sebagai α-vetivone; dan 4-fluoro-4’-methoxybiphenyl sebagai vetiver alkohol. Secara umum Gambar 17 dan 18 menunjukkan bahwa komposisi komponen penyusun minyak akar wangi dipengaruhi oleh tekanan. Kedua gambar memperlihatkan kesamaan pola peak pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan (gambar a, b, dan c) mengakibatkan peak dengan luas area besar bergeser ke kanan. Pergeseran pola peak antar fraksi menunjukkan komponen dengan waktu retensi rendah keluar lebih banyak pada tekanan rendah, begitupula sebaliknya. Waktu retensi pada gambar hasil GC MS menunjukkan titik didih setiap komponen. Sehingga komponen yang terdeteksi di awal memiliki titik didih lebih rendah daripada komponen yang terdeteksi di akhir. Tabel 11 menyajikan luas area masing-masing komponen dalam minyak akar wangi pada masing-masing fraksi. Tabel 11. Distribusi luas area GCMS minyak akar wangi Komponen Khusimene Khusimone Trisiklovetiverol β-vetivone α-vetivone Khusenic acid Vetiver alkohol Nootkatone
Titik didih (oC) 100 100 110 110 110 158 120
% Area V3 Fraksi 1 1,18 3,22 17,21 1,35 3,15 0,29 -
Fraksi 2 0,26 1,97 17,12 2,66 6,03 10,79 0,42 -
V4 Fraksi 3 13,45 2,60 7,29 34,45 0,70 1,73
Fraksi 1 1,27 16,84 1,11 2,65 3,25 -
Fraksi 2 0,51 2,14 22,84 2,45 5,16 8,51 -
Fraksi 3 16,76 2,43 5,92 31,15 0,99 1,59
46
3
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid
2 5 1
4 6
(a) 3
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 5
4 6
2 1
7
(b) 3
6 5
3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone
4
8 7
(c) Gambar 17. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V3 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)
47
3
1. Khusimene 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 5 1 4
6
(a) 3
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 5
4 6 2 1
(b) 3
6 5
3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone
4
8 7
(c) Gambar 18. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V4 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)
48
4.9. Model Kinetika Penyulingan Minyak Akar Wangi Model yang digunakan pada penelitian ini adalah model persamaan kinetik untuk proses penyulingan minyak atsiri seperti yang dilakukan Milojevic (2008). Persamaan tersebut adalah : t = 0 ; q = qw
atau
q q = w = b qo qo
qo − q = (1 − b ) . e − kt qo
(4)
(5)
Atau
qo − q = ln (1 − b ) − kt (6) qo Yield minyak awal (qo) dalam bahan dan yield minyak pada waktu ln
tertentu (q) diambil dari hasil penelitian. Pengembangan model matematis untuk kinetika penyulingan minyak atsiri menggunakan mekanisme yang sama seperti pada isolasi bahan tanaman melalui ekstraksi pelarut. Berdasarkan mekanisme tersebut, penyulingan minyak akar wangi terdiri dari 2 tahap : (1) penyulingan cepat yaitu pelepasan minyak atsiri yang berada di sekitar permukaan luar bahan tanaman diawal proses. Pada kondisi ini koefisiennya (b) diartikan sebagai jumlah minyak yang terekstrak pada saat t = 0. (2) penyulingan lambat yaitu pelepasan minyak atsiri dari bagian dalam bahan menuju ke permukaan luar bahan. Koefisien distilasi pada penyulingan lambat (k) ini merupakan konstanta kinetika pada keseluruhan proses penyulingan. Nilai koefisien distilasi dihitung dari transformasi data menggunakan model eksponensial (Chapra & Canale 1991). Transformasi dilakukan dengan memplotkan kurva hubungan ln[(qo-q)/qo] terhadap waktu (persamaan 6).
49
0 0
2
4
6
8
10
ln [(qo-q)/qo]
-0.5 -1 -1.5 -2
V1
V2
V3
-2.5
Waktu (jam)
Gambar 19. Kinetika penyulingan minyak akar wangi Nilai koefisien distilasi, k, merupakan kemiringan (slope) kurva, sedangkan nilai koefisien distilasi b, merupakan perpotongan (intercept) kurva. Nilai koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai koefisien distilasi Perlakuan
k (s-1)
b (1)
R2
V1
1 l/j kg
0,1629
0,0158
0,9988
V2
1,5 l/j kg
0,1911
0,0224
0,9971
V3
2 l/j kg
0,2369
0,0450
0,9855
Nilai koefisien distilasi meningkat seiring dengan peningkatan laju alir uap. Nilai koefisien k lebih besar daripada koefisien b. Hal ini menyatakan bahwa laju alir uap lebih besar pengaruhnya terhadap koefisien k dari pada koefisien b. Artinya peningkatan laju alir uap pada proses penyulingan lebih berperan pada proses pelepasan minyak yang terdapat dari dalam bahan menuju ke permukaan bahan dan bukan pada pelepasan minyak yang ada di dekat permukaan bahan. Penentuan model hubungan antara parameter kinetik (koefisien distilasi) terhadap laju alir uap diperoleh dengan metode penyesuaian kurva kuadrat terkecil (least square curve fitting method) dengan menggunakan persamaan pangkat sederhana (power). Plot masing-masing nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap disajikan pada Gambar 20.
50
0.050
0.25
0.040
0.20
0.030
k
b
0.15 0.10
0.020
0.05
0.010
0.00
0.000 0
0.5
1
1.5
2
2.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Laju
Laju
Gambar 20. Plot nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap Berdasarkan Gambar 20, maka model persamaan matematis untuk masing-masing parameter kinetik disajikan pada Tabel 13. Penelitian mengenai model persamaan kinetika pada penyulingan biji juniper dengan menggunakan tekanan konstan juga dilakukan oleh Milojevic (2008). Model persamaan yang dihasilkan juga disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Model matematis untuk parameter kinetika penyulingan Penelitian
Koefisien distilasi
R2
Keterangan proses
Milojevic (2008)
k = 0.984 V0.532
0,995
• Tekanan konstan
0.167
0,946
• Laju konstan
0.530
0,967
• Tekanan bertahap
.446
0,920
• Laju konstan
b = 0.871 V Tutuarima (2009)
k = 0.840 V
b = 0.985 V1
Masing-masing persamaan pada Tabel 13 memperlihatkan ada sedikit perbedaan yang dihasilkan dari kedua penelitian tersebut. Pada penelitian Milojevic (2008) nilai k lebih besar daripada nilai b. Ini berbanding terbalik dengan penelitian ini yang menghasilkan nilai k yang lebih kecil daripada nilai b. Nilai k yang besar berarti kinetika yang terjadi selama proses penyulingan berjalan cepat. Pada penelitian Milojevic (2008) penyulingan dilakukan terhadap biji jintan yang telah dihancurkan/bubuk (comminuted ripe juniper berries). Guenther (1990) menyebutkan bahwa penyulingan bahan tanaman dengan ukuran yang lebih kecil mempermudah proses hidrodifusi. Hal ini berarti bahan tanaman dengan ukuran yang lebih kecil lebih mudah menguap daripada bahan dalam keadaan utuh. Sementara pada penelitian ini bahan akar wangi juga telah
51
diperkecil. Namun jika dibandingkan dengan ukuran bubuk juniper, maka ukuran ini masih lebih besar. Perbedaaan ukuran bahan yang disuling inilah yang diduga menjadi penyebab terjadinya perbedaan konstanta kinetika. Percobaan dengan peningkatan laju alir uap secara bertahap pada periode waktu tertentu selama proses penyulingan juga dilakukan pada penelitian ini. Peningkatan laju alir uap secara bertahap tidak mampu memberikan jumlah minyak yang lebih tinggi dari pada minyak yang dihasilkan dengan menggunakan laju alir uap konstan yang tertinggi, dalam hal ini 2 l/j kg bahan (lihat Gambar 14). Nilai koefisien distilasi dari kedua parameter untuk penyulingan dengan laju alir uap bertahap (k = 0,1336 min-1; b = 0,0214) lebih rendah daripada nilai koefisien parameter kinetika pada penyulingan dengan laju alir uap konstan tertinggi. Oleh karena itu diduga laju alir uap yang rendah pada awal penyulingan tidak cukup mampu membebaskan seluruh minyak dari akar wangi. Model persamaan kinetika penyulingan minyak akar wangi yang dihasilkan pada Tabel 13, diujicobakan pada percobaan penyulingan dengan peningkatan laju alir uap secara bertahap. Hasil perhitungan dari persamaan kinetika dibandingkan dengan hasil percobaan (Gambar 21). 0.04 0.03
0.029
q , g /g
0.021
0.024
0.02 0.016
0.009 0.01
q hit
0.007
q perc
0.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu, jam
Gambar 21. Perbandingan konsentrasi minyak hasil percobaan dan hasil prediksi model pada V = bertahap. Gambar 21 menunjukkan adanya perbedaan antara konsentrasi minyak hasil percobaan dengan hasil perhitungan. Konsentrasi minyak hasil percobaan lebih kecil dibandingkan dengan hasil perhitungan, tetapi keduanya menunjukkan
52
pola kedekatan nilai yang cukup baik. Peningkatan laju alir uap dan penambahan waktu penyulingan memperbesar perbedaan nilai hasil perhitungan dan percobaan. Perbedaan konsentrasi minyak antara hasil perhitungan dan percobaan tidak terlalu besar dan masih dapat ditoleransi, hanya berkisar antar 0.002–0.005 g/g minyak. Perbedaan ini diduga akibat terjadinya kendala teknis selama penyulingan seperti terjadinya kondensasi uap dalam ketel suling yang mengakibatkan minyak yang telah dibawa uap tidak terpisah, beberapa komponen minyak yang larut dan teremulsi ke dalam air destilat serta faktor-faktor luar yang diabaikan saat melakukan perhitungan.