IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penyebaran Populasi Macan Tutul Jawa 4.1.1. Penyebaran Menurut Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Dari 20 KPH yang diteliti terdapat 15 KPH yang wilayahnya masih menjadi daerah sebaran macan tutul jawa. Dari 15 KPH tersebut terdapat 48 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah disajikan pada Tabel 4.1. Sebaran populasi macan tutul jawa berdasarkan lokasi ditemukannya pada unit area pengelolaan hutan terkecil (Resort Pemangkuan Hutan/RPH), satuan ekosistem dan kisaran ketinggian wilayahnya disajikan pada Tabel 4.2. Beberapa titik mungkin overlap atau sebenarnya merupakan satu populasi, misalnya jika dalam satu hamparan hutan yang kompak ditemukan beberapa titik indikasi keberadaan macan tutul seperti di KPH Pekalongan Timur, Pekalongan Barat dan Pemalang. Beberapa titik lainnya tampak secara jelas merupakan satu populasi tersendiri. Populasi ini bisa menjadi bagian dari metapopulasi di suatu wilayah (region) atau populasi yang terisolasi yang tidak memiliki peluang berinteraksi dengan populasi lainnya karena adanya penghalang (barrier) yang tidak dapat dilewati. Contoh populasi yang terisolasi antara lain populasi macan tutul jawa di Pulau Nusakambangan yang tidak terhubung dengan populasi macan tutul jawa di daratan Pulau Jawa seperti populasi macan tutul jawa di Majenang, Pesahangan, Cimanggu dan Mandirancan-Kebasen.
Populasi-populasi di puncak-puncak gunung yang di
sekililingnya telah berubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman juga menjadi populasi yang terisolasi. Dari Tabel 4.2. tampak bahwa ada sembilan lokasi indikasi macan tutul jawa yang memiliki ketinggian 1.000 m atau lebih dari permukaan laut.
Lokasi-lokasi
tersebut umumnya merupakan gunung-gunung yang hutannya telah ditetapkan sebagai hutan lindung yaitu : Gunung Slamet, G. Prahu, G. Sindoro, G. Sumbing, G. Merapi, G. Merbabu, G. Lawu, G. Ungaran dan.G. Muria. Sementara itu, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 2004 (Departemen Kehutanan, 2007b).
69
Tabel 4.1. Keberadaan macan tutul jawa menurut wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
No.
Luas (Ha)
Kesatuan Pemangkuan Hutan
Tanaman Utama (Kelas Perushaan)
1
Banyumas Barat
39.466,30
Pinus1,5
2
Banyumas Timur
12.776,00
Pinus
3
4
5 6
Kedu Selatan
Kedu Utara
Surakarta Semarang
2
2.947,90
Damar
29.792,00
Pinus
10.665,80
Damar
4.263,90
Jati3
25.079,00
Pinus
Vegetasi Habitat Macan Tutul
Jumlah Lokasi Temuan Macan Tutul Jawa
Campuran; Pinus; Hutan alam dataran rendah
4
Pinus; Hutan alam pegunungan
2
Campuran; Hutan alam dataran rendah; Jati
2
Hutan alam pegunungan
6
Hutan alam pegunungan
1
Jati
0
4
11.274,39
Mahoni
10.799,90
Jati
22.350,10
Pinus
29.119,40
Jati
7
Telawah
18.272,70
Jati
Jati
1
8
Gundih
30.049,50
Jati
Jati
0
9
Purwodadi
19.636,50
Jati
Jati
1
10
Blora
15.105,00
Jati
Jati
0
11
Randublatung
32.464,10
Jati
Jati
1
12
Cepu
33.047,30
Jati
Jati
1
13
Kebunharjo
17.801,36
Jati
Jati
1
14
Mantingan
16.746,13
Jati
Jati
0
15
Pati
38.544,20
Jati
Hutan alam dataran rendah
1
16
Kendal
20.389,70
Jati
Jati; Campuran; Hutan alam dataran rendah
3
17
Pekalongan Timur
52.791,40
Pinus
Pinus
6
5
Pinus
12
18
Pekalongan Barat
40.797,76
Pinus
19
Pemalang
24.423,40
Jati
Jati
6
20
Balapulang
29.790,13
Jati
Jati
0
Jumlah 1
Keterangan : Pinus merkusii oocarpa
588.393,87 2
Agathis alba
Jumlah 3
Tectona grandis
4
Swietenia macrophylla
48 5
Pinus
70
Tabel 4.2. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut unit areal pengelolaan hutan terkecil, satuan ekosistem, ketinggian tempat, kelas lereng dan tipe curah hujan di Provinsi Jawa Tengah. Wilayah KPH
Banyumas Timur
Banyumas Barat
Unit areal manajemen hutan terkecil 1
Satuan Ekosistem Kompak 2
1.
RPH Mandirancan – RPH Kebasen*
RPH Mandirancan –RPH Kebasen (kecil terisolasi)
2.
RPH Tunjungmuli *
Gunung Slamet RPH Majenang-RPH Pesahangan-RPH Dayeuhluhur
Ketinggian dpl (m)5
Kelas Lereng (%)3
Tipe Curah Hujan4
200-350 25-40%
A
750-1.000
25-40%
A
350-500
0-8%
B
0-8%
B
0-8%
B
3.
RPH Pesahangan*
4.
RPH Mejenang*
5.
RPH Cimanggu*
RPH Cimanggu (kecil terisolasi)
200-400
6.
Cagar Alam Nusakambangan*
Pulau Nusakambangan (kecil terisolasi)
0-200
Kedu Selatan
7.
RPH Pringombo*
BKPH Banjarnegara
8.
RPH Karangsambung
Kedu Utara
9.
RPH Kwadungan
10.
RPH Kemloko - RPH Kecepit
Gunung Sumbing
2.000-3.000
11.
RPH Gempol
Gununug Ungaran
12.
Taman Nasional Merapi
Gunung Merapi
1.000-2.900
13.
Taman Nasional Merbabu*
Gunung Merbabu
1.200-3.142
500 – 1.000
0-8%
B
530-930
25-40%
B
BKPH Kebumen
300-500
25-40%
B
Gunung Sindoro
2.000-3.300
> 40%
C
25-40%
C
25-40%
C
25-40%
C
25-40%
C
> 40%
C
1.000 – 2.050
14.
RPH Kenjuran
Gunung Prahu
2.000-2.500
Surakarta
15.
BKPH Lawu Utara BKPH Lawu Selatan
Gunung Lawu
1.000-3.265 15-25%
D
Telawa
16.
RPH Karangwinong*
BH Karangsono
100-300
0-8%
C&D
Purwodadi
17.
BKPH Sambirejo*
BKPH Sambirejo
60-560
0-8%
C
Randublatung
18.
RPH Soko*
BH Ngliron
100-300
0-8%
C&D
Cepu
19.
RPH Cabak
BKPH Cabak
100-300
0-8%
C&D
Kebonharjo
20.
BKPH NgandangBKPH Sale*
BKPH Ngandang- Sale
100-300
Pati
21.
Bagian Hutan Muria
Gunung Muria
Kendal
22.
RPH Darupono*
BKPH Boja- MangkangKalibodri
100-200
23.
RPH Besokor*
RPH Besokor (kecil terisolasi)
200-300
24.
RPH Jatisari Utara*
BKPH Subah- Plelen (terfragmentasi jalan provinsi)
50-200
25.
RPH Brondong*
300-500
26.
RPH Pedagung*
Bagian Hutan Paninggaran – Bagian Hutan Bandar
300-500
0-8%
D
27.
RPH Paninggaran*
300-500
8-15%
A&B
28.
RPHWinduaji*
300-500
0-8%
A&B
29.
RPH Jolotigo*
300-500
0-8%
D
30.
RPH Lemah Abang
300-500
0-8%
D
31.
RPH Winduasri*
500 – 1.000
> 40%
D
32.
RPH Indrajaya
33.
RPH Cikuning*
Pekalongan Timur
Pekalongan Barat
Bagian Hutan Bantarkawung
800 – 1.000
0-8%
C
25-40%
A, C, D & E
0-8%
C&D
8-15%
C&D
0-8%
C&D
0-8%
D
200 -500
0-8%
B
200 -500
25-40%
D
71
Wilayah KPH
Pemalang
Unit areal manajemen hutan terkecil 1
Satuan Ekosistem Kompak 2 Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
Ketinggian dpl (m)5
Kelas Lereng (%)3
Tipe Curah Hujan4
400-500
25-40%
B
15-25%
B
25-40%
B
15-25%
B
34.
RPH Kretek*
35.
RPH Sirampok*
36.
RPH Kalikidang*
37.
RPH Igiriklanceng*
38.
RPH Dukuh Tengah*
Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
1.100 – 1400
39.
RPH Guci *
1.000 - 1.250
40.
RPH Karangsari*
Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
41.
RPH Kalibakung*
RPH Kalibakung (kecil terisolasi)
400-500
42.
RPH Moga*
RPH Moga (kecil terisolasi)
500-900
43.
RPH Cipero – RPH Dukuhrandu*
50-250
44.
RPH Mangunsari*
Bagian Hutan Bantarbolang-JatinegaraComal
45.
RPH Kenyere*
46.
RPH Lobongkok
47.
RPH Kejene*
48.
RPH Karangasem*
1.000-1.200
Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
1.000 – 1.300 900-1.000 1.000 – 1.300
1.000-1.300
25-40%
B
8-15%
B
0-8%
B
8-15%
B
> 40%
B
0-8%
A&B
500-1000
25-40%
A&B
500 -1000
25-40%
A&B
200-500
0-8%
A&B
1.000-1.200
0-8%
A&B
> 40%
A&B
Keterangan: 1
Satuan areal terkecil yang dapat diidentifikasi sebagai habitat macan tutul Jawa (Smallest unit area that can be identified as habitat of Javan leopard) 2 Unit area hutan yang masih menyambung atau kompak menjadi kesatuan ekosistem integral (Unit of forested area that have continuity or compactness so can be defined as unity of an integrated ecosystem). 3 Kelas lereng di lokasi indikasi keberadaan macan tutul berdasarkan overlay antara peta sebaran indikasi macan tutul dengan peta topografi yang telah diklasifikasi. Klasifikasi lereng berdasarkan: KepMentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung Sangat Curam (40 % atau lebih); Curam (25 – 40 %); Agak Curam (15 – 25 %); Landai (8 – 15 %); Datar (0 – 8 % ) 4 Tipe curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson. 5. Hasil pengukuran menggu nakan altimeter pada saat survei lapangan untuk lokasi yang disurvei; berdasarkan peta topografi masng-masing KPH untuk titik indikasi macan tutul yang tidak disurvei. * Berdasrkan survei lapangan. (36 lokasi)
Peta indikasi sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah yang diplotkan pada peta kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah disajikan pada Gambar 4.1. Label nomor titik-titik sebaran macan tutul jawa mengacu pada Tabel 4.2 dan titik-titik sebaran macan tutul jawa yang punah mengacu pada Tabel 4.7.
72
Data indikasi tahun 2009 diplotkan ke peta tutupan lahan tahun 2006 pada kawasan hutan Label nomor titik indikasi sebaran mengacu pada Tabel 4.2 dan indikasi punah lokal Tabel 4.7.
Gambar 4.1. Peta indikasi sebaran macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009. 73
4.1.2. Penyebaran Menurut Tipe Hutan Di Provinsi Jawa Tengah, hutan tanaman jati memiliki proporsi luas paling besar yaitu mencakup 55,3% dari total kawasan hutan, diikuti hutan tanaman pinus 36,3%, Hutan alam pegunungan 6,1%, hutan tanaman campuran 1,5% dan hutan alam dataran rendah 0,7% (Perum Perhutani, 2006). Meskipun demikian, dari 48 titik lokasi indikasi sebaran macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ditemukan di hutan pinus (43,8%) diikuti hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan tanaman campuran (8,3%) dan hutan alam dataran rendah (6,3%) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.2. Table 4.3. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah. No.
Tipe Hutan
Luas (Ha)
Persentase
Jumlah Lokasi Macan tutul
Persentase
1
Tanaman Campuran1
9.633,1
1,57
4
8,33
2
Tanaman Jati
340.453,2
55,34
13
27,08
3
Tanaman Pinus
223.052,6
36,25
21
43,75
4
Hutan Alam Dataran Rendah
4.379,1
0,71
3
6,25
5
Hutan Alam Pegunungan
37.725,6 615.243,6
6,13 100,00
7 48
14,58 100,00
Jumlah Keterangan:
Campuran dari dua atau lebih jenis-jenis : Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain.
Gambar 4.2.
Lokasi sebaran populasi macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di lima tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah.
74
Hutan produksi tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vries dan Pinus oocarpa Schiede ex Schltdl.) tersebar di tujuh wilayah KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah seperti dapat dilihat pada Tabel 4.4. Luas keseluruhan hutan pinus di Provinsi Jawa Tengah adalah 244.121,41 Ha, namun yang masih dikelola oleh Perum Perhutani 238.946.26 Ha, sedangkan selebihnya telah diserahkan menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu dan Taman Nasional Gunung Merapi. Dari seluruh hutan pinus yang ada di Provinsi Jawa Tengah, sebagian besar merupakan hutan produksi (74,58%) dan 20,81% merupakan hutan lindung, sementara sisanya merupakan bagian dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (4,62%) (Perum Perhutani, 2006) . Tabel 4.4. Luas, sebaran dan fungsi kawasan hutan tanaman pinus (Pinus spp.) di Provinsi Jawa Tengah. Luas Hutan Ha
KPH
Hutan Pinus
Fungsi Produksi Luas (Ha)
Lindung
1
%
Luas (Ha)
Konservasi
2
%
3
Luas (Ha)
%
Surakarta
33.150,00
22.350,10
6.937,10
31,04
15.413,00
68,96
0,00
0,00
Pekalongan Timur
52.791,40
52.791,40
47.990,50
90,91
4.790,80
9,07
10,10
0,02
Pekalongan Barat
40.591,36
40.591,36
29.801,55
73,42
10.734,11
26,44
55,70
0,14
Banyumas Barat
55.546,20
39.466,30
39.387,00
99,80
79,30
0,20
0,00
0,00
Banyumas Timur
46.624,20
28.876,10
18.531,20
64,17
10.344,90
35,83
0,00
0,00
Kedu Selatan
44.721,70
29.792,00
25.578,80
85,86
4.213,20
14,14
0,00
0,00
Kedu Utara
36.353,39
25.079,00
13.867,80
55,30
11.211,20
44,70
0,00
0,00
309.778,25
238.946,26
182.093,95
76,21
56.786,51
23,77
65,80
0,03
Jumlah
Sumber : Perum Perhutani. (2006). Keterangan : 1) Termasuk tanaman yang tidak produktif tetapi peruntukannya produksi . 2) Termasuk alur, tetapi tidak termasuk hutan lindung terbatas. 3) Yang sudah menjadi bagian TN. Gunung Merapi dan TN. Gunung Merbabu, dikeluarkan dari wilayah kerja Perum Perhutani.
Sebagian besar hutan pinus tersebar di daerah yang memiliki ketinggian di atas 500 m dpl dengan iklim yang relatif basah yaitu berdasarkan tipe curah hujan Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A atau B. Ada sebagian kecil hutan pinus terletak di ketinggian kurang dari 500 m dpl yaitu di RPH Mandirancan-RPH Kebasen (KPH Banyumas Timur) dan RPH Cimanggu (KPH Banyumas Barat). Sebagian besar (lebih dari 50%) kawasan hutan pinus memiliki topografi bergelombang (15-25%) sampai curam (> 40%) (Tabel 4.5).
75
Tabel 4.5. Ketinggian, iklim dan topografi habitat macan tutul jawa di lansekap hutan pinus. KPH
Lokasi Macan Tutul
Ketinggian m dpl
Tipe Curah Hujan Dominan
1. Banyumas Timur
RPH Mandirancan – RPH Kebasen
200-350
A
79,65 % agak curam sampai sangat curam
B
48,62 % agak curam sampai sangat curam
B
83,6% agak curam sampai sangat curam
RPH Tunjungmuli 2. Banyumas Barat
3. Kedu Selatan
RPH Pesahangan
6. Pekalongan Timur
7. Pekalongan Barat
350-500 500 - 1000
RPH Cimanggu
200-400
RPH Pringombo
530-930 300-500
RPH Kwadungan
2.000-3.300
RPH Kemloko - RPH Kecepit
2.000-3.000
RPH Gempol
5. Surakarta
750-1.000
RPH Mejenang
RPH Karangsambung 4. Kedu Utara
A dan B
93,84% agak curam sampai sangat curam
68,36 % agak curam sampai sangat curam
1.000 – 2.050
Taman Nasional Merapi
1.000-2.900
Taman Nasional Merbabu
1.200-3.142
RPH Kenjuran
2.000-2.500
BKPH Lawu Utara BKPH Lawu Selatan
1.000-3.265
A A dan B
RPH Brondong
300-500
RPH Pedagung
300-500
RPH Paninggaran
300-500
RPHWinduaji
300-500
RPH Jolotigo
300-500
RPH Lemah Abang
300-500
RPH Winduasri
500 – 1.000
RPH Indrajaya
200 -500
RPH Cikuning
200 -500
RPH Kretek
400-500
RPH Sirampok
1.000 – 1.300
RPH Kalikidang
900-1.000
RPH Igiriklanceng
Dominasi topografi wilayah *
B
68 % agak curam sampai sangat curam
85,2 % agak curam sampai sangat curam
1.000 – 1.300
RPH Dukuh Tengah
1.100 – 1400
RPH Guci
1.000 - 1.250
RPH Karangsari
1.000-1.300
RPH Kalibakung
400-500
RPH Moga
500-900
76
Menurut Chundawat (1990), salah satu karakteristik habitat yang disukai macan tutul adalah topografi yang curam dengan lereng-lereng yang lebih dari 40% dan patahan tebing.
Sementara dataran yang dihuni macan tutul umumnya merupakan
dataran di puncak atau punggung bukit yang dekat dengan patahan tebing. Chundawat (1990) mendapati dari 52 lokasi macan tutul salju (Panthera uncia) di Hemis National Park, India, 40% berlereng curam, bahkan dari 52 lokasi tersebut, 57% berada patahan tebing dan 32% berada di dekat patahan tebing. Prefernsi terhadap tempat berlereng curam tampaknya juga dimiliki oleh macan tutul jawa. Berdasarkan Tabel 4.5 terlihat bahwa dari tujuh KPH kelas perusahaan pinus yang menjadi sebaran macan tutul jawa (Banyumas Timur, Banyumas Barat, Kedu Selatan, Kedu Utara, Surakarta, Pekalongan Timur, Pekalongan Barat), enam di antaranya memiliki wilayah dominan (>65%) dengan topografi bergelombang sampai curam. Sementara hanya satu KPH (Banyumas Barat) 48,62 % wilayahnya memiliki topografi bergelombang sampai curam.
4.1.3. Perkiraan Populasi Macan Tutul Jawa Dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan populasi melalui sensus, tetapi pendugaan populasi dilakukan berdasarkan pendekatan-pendekatan yang ditujukan hanya untuk memberi gambaran umum kelimpahan dan sebaran relatif populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Pendugaan jumlah individu pada setiap populasi dilakukan berdasarkan metode sebagaimana diuraikan pada sub bab 3.5.1. Berdasarkan metode tersebut diperoleh perkiraan populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah total terendah 234 ekor dan tertinggi 383 ekor (Lampiran 2). Populasi tertinggi terdapat di KPH Pekalongan Barat, diikuti Pekalongan Timur dan Kedu Utara (Gambar 4.3). KPH Pekalongan Barat dan KPH Pekalongan Tmur merupakan kelas perusahaan pinus, sedangkan KPH Kedu Utara merupakan kelas perusahaan pinus dan kayu rimba (mahoni, damar dan puspa).
77
Gambar 4.3.
Perkiraan populasi macan tutul jawa di 15 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
Berdasarkan tutupan vegertasi hutan yang dominan, 77,8% populasi macan tutul jawa tersebar di kelas perusahaan pinus dan sisanya 22,2% tersebar di kelas perusahaan jati (Gambar 4.4). Hal ini dapat menjadi indikasi awal bahwa lansekap hutan pinus memiliki kesesuaian habitat lebih tinggi bagi macan tutul jawa dibandingkan lansekap hutan jati. Dengan perkataan lain hutan tanaman pinus memiliki peranan penting bagi kelestarian macan tutul jawa. Dengan menggunakan formula 3.1a dan formula 3.1b dapat dihitung perkiraan jumlah individu macan tutul jawa pada setiap patch habitat macan tutul jawa berdasarkan model pemanfaatan habitat (Lampiran 2).
Dari perhitungan tersebut
diperoleh jumlah minimal macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah adalah 240 ekor dan maksimal 400 ekor.
Perkiraan jumlah minimal hasil inventarisasi dan hasil
perhitungan berdasarkan model pemanfaatan tidak berbeda secara signifikan (thitung = 2,1149 < t(0,05;76). Perkiraan jumlah maksimal hasil inventarisasi dan hasil perhitungan berdasarkan model pemanfaatan juga tidak berbeda secara signifikan (thitung = -2.1857 < t(0,05;76).
78
Gam mbar 4.4.
Taksiran miinimum dann maksimum m sebaran poopulasi maccan tutul jaw wa m menurut kellas perusahaaan KPH Peerum Perhuttani Unit I Jawa Tengaah b berdasarkan n hasil inventtarisasi.
Perkiraaan kepadataan populasi macan tutuul jawa di Jawa Tengah h berdasarkaan hassil inventarissasi dan penndekatan moodel kesesuaaian habitat disajikan pada tabel 4..6. Darri Tabel 4.6 tampak bahw wa kepadataan populasi macan m tutul di ketinggian n > 500 m dpl d ham mpir dua kalli dari kepaddatan di daerrah dengan ketinggian k 00-500 m dpl.. Hal ini jugga mem mperkuat buukti bahwa macan m tutul lebih menyu ukai daerah dengan ketiinggian > 5000 dpll. Preferenssi ini didugaa karena fakktor keamannan habitat dan keterseddiaan mangsa yan ng lebih baikk daripada dii daerah denggan ketinggiian 0-500 m dpl. Tabbel 4.6. Keppadatan popu ulasi macan tutul jawa menurut kettinggian di Provinsi P Jaw wa teng gah. Kepadatan n Populasi (In ndividu per Km K 2) Metode Peenghitungan
Kettinggian 0-50 00 m dpl
Ketinggian >500 m dpl
1. Inventarisasii •
Minimuum
0.0747
0.15533
•
Maksim mum
0.1228
0.25299
2. Model Kesessuaian Habitaat •
Minimuum
0.1002
0.10066
•
Maksim mum
0.1535
0.19977
4.1.4. Populasi yang Mengalami Kepunahan Lokal Jika dibandingkan dengan sebaran populasi macan tutul jawa pada 10-20 tahun sebelumnya yang diperoleh dari berbagai sumber literatur, maka ada beberapa lokasi yang sekarang tidak lagi menjadi sebarannya. Ada 15 lokasi macan tutul jawa di Jawa Tengah dan dua lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diperkirakan telah kehilangan populasinya. Jumlah tersebut cukup signifikan jika dibandingkan dengan lokasi macan tutul jawa yang masih ada saat ini (48 lokasi). Hal ini berarti populasi macan tutul jawa yang diduga telah mengalami kepunahan lokal sekitar 26% dalam kurun waktu sekitar 20 tahun. Lokasi-lokasi sebaran populasi macan tutul jawa yang telah punah secara lokal disajikan pada Tabel 4.7. Kepunahan lokal macan tutul jawa di sebagian besar lokasi terjadi setelah tahun 2000. Hal ini diduga ada kaitannya dengan degradasi hutan di Jawa yang terjadi setelah gerakan reformasi tahun 1998-1999 yang menghasilkan euforia berlebihan dalam bentuk penebangan liar dan perambahan hutan untuk bercocok tanam secara besarbesaran. Dari 17 lokasi populasi macan tutul jawa yang punah lokal, 16 diantaranya (94%) merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, hanya satu lokasi merupakan kawasan hutan cagar alam, yaitu Cagar Alam Gunung Clering (1.328,4 ha). Empat belas lokasi (82%) merupakan hutan tanaman jati, dua lokasi (12%) hutan tanaman pinus dan satu lokasi (6%) merupakan hutan alam dataran rendah. Kawasan hutan produksi dengan tanaman jati tampaknya lebih rentan terhadap perambahan yang mengancam keberadaan macan tutul jawa. Hal ini diduga karena: 1. Hutan jati umumnya ada di daerah dataran rendah dengan topografi relatif datar dan landai sehingga menarik untuk bercocok tanam apalagi lokasinya yang dekat dengan pemukiman dan akses jalannya mudah. 2. Kayu jati bernilai ekonomis tinggi dengan akses jalan sampai ke pasar yang sangat mudah (jaringan jalan perhutani terhubung dengan jalan umum). 3. Kegiatan tumpangsari atau PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat) secara ekstensif sebagai respon atas krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan berkurangnya ruang habitat satwa mangsa dan meningkatnya intensitas aktivitas manusia yang mengganggu satwaliar, khususnya macan tutul jawa.
80
Tabel 4.7. Lokasi yang pernah dilaporkan ada populasi macan tutul jawa tetapi sekarang telah mengalami kepunahan lokal. Lokasi/Wilayah
Tipe Hutan
Fungsi Kawasan
Kelas Ketinggian (m dpl)
Kelas Lereng (%)
Perkiraan punah
Sumber Informasi
1. KPH Blora RPH Krocok, BKPH Ngapus, KPH Blora
Jati
HP
0-500
0-8%
2002*
Wakil KKPH/KSKPH Blora (Pers. Comm., 2009) Gunawan (1988)
2. RPH Segorogunung, BKPH Segorogunung, KPH Gundih BKPH Monggot dan BKPH Panunggalan, KPH Gundih
Jati
HP
0-500
0-8%
2006*
KSS Perencanaan KPH Gundih (Pers. Comm., 2009) Gunawan (1988)
3. Gunung Lasem, KPH Mantingan
Jati
HP
500-1.000
0-8%
2003*
Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009)
4. BKPH Barisan, KPH Pati
Jati
HP
0-500
0-8%
Akhir 1990an
Gunawan (1988)
5. RPH Pasedan, BKPH Medang, RPH Mantingan
Jati
HP
0-500
25-40%
2002
Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009)
6. Gunung Surojoyo, RPH Ngiri, KPH Mantingan
Jati
HP
0-500
0-8%
2002
Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009)
7. KPH Semarang Resort KSDA Manggal; Gunung Pati; Ngalian (Tugu)
Jati
HP
0-500
8-15%
Akhir 1990an
8. Resort KSDA Gunung Clering, Pati Barat
Alam
Cagar Alam
0-500
> 40%
2000 an
9. BH Sragen, KPH Telawa
Jati
HP
0-500
0-8%
2000-2005
Direktorat Jenderal PHPA (1987)
10. RPH Pagersari, BKPH Baturetno (Kab. Wonogiri), KPH Surakarta
Jati
HP
0-500
15-25%
2002-2003
BKSDA (pers comm 2008)
11. Notog (RPH Sidamulih), BKPH Kebasen, KPH Banyumas Timur
Jati
HP
0-500
15-25%
2000
Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
12. BKPH Jatilawang, KPH Banyumas Timur
Pinus
HP
0-500
0-8%
2000
Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
13. Karangkobar, KPH Banyumas Timur
Pinus
HP
500-1.000
15-25%
1990-1995 2001*
14. Kulonprogo, KPH Kedu Selatan Kokap, Kuonprogo, Dishut DIY**
Jati Jati
HP
500-1.000
8-15%
Akhir 1990an
15. RPH Bruno, BKPH Purwareja, KPH Kedu Selatan
Jati
HP
0-500
25-40%
1995-2000
KSS Perencanaan KPH Kedu Selatan (Pers. Comm, 2009)
16. KPH Balapulang
Jati
HP
0-500
8-15%
2000
Kasi PSDAH KPH Balapulang (Pers. Comm., 2009); Gunawan (1988)
17. RPH Gubug rubuh, RPH Giring Campuran HP 0-500 0-8% 2000* (BDH Playen); RPH Candi (BDH Karangmojo); RPH Kedungmangu (BDH Paliyan) Gunung Kidul, Dinas Kehutanan DIY** Keterangan : *) Temuan terakhir berdasarkan informasi Didik Raharyono, Ketua LSM Peduli Karnivora Jawa **) No. 14 dan 17 masuk wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
Hoogerwerf (1970) Gunawan (1988) Gunawan (1988)
KBKPH Banjarnegara (Pers. Comm, 2009) Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
81
Sementara itu, hutan pinus memiliki beberapa kelebihan dibandingkan hutan jati dalam hal keamanan dari gangguan aktivitas manusia, yaitu antara lain: 1. Umumnya hutan pinus ada di daerah dataran tinggi atau mendekati pegunungan dengan topografi relatif lebih berat, jauh dari pemukiman dan akses jalan lebih rendah sehingga kurang menarik untuk lahan pertanian. 2. Sifat alelopati tegakan pinus dan sifat asam tanahnya membuat kurang disenangi untuk kegiatan tumpangsari. 3. Getahnya disadap setiap hari oleh masyarakat sehingga ketergantungan masyarakat pada keutuhan hutan sangat tinggi dan masyarakat merasa perlu ikut menjaga. 4. Kayu pinus bernilai ekonomis rendah dan akses jalan sampai ke pasar lebih sulit (umumnya jalan setapak untuk patroli dan jauh dari jalan umum). Dari 15 populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 86,67% berada di daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl dan 46,67% memiliki topografi datar (Gambar 4.5 A dan B). Hal ini sejalan dengan dugaan bahwa kepunahan macan tutul jawa di suatu lokasi berkaitan erat dengan faktor keamanan (tekanan dari penduduk) di sekitar hutan.
Gambar 4.5.
Proporsi sebaran macan tutul jawa yang punah lokal menurut ketinggian tempat (A) dan kelas lereng (B).
Secara statistik hubungan kondisi topografi terhadap kepunahan lokal macan tutul jawa tidak signifikan. Dari Tabel 4.8. diperoleh nilai χ2hitung = 5,1368 lebih rendah
82
daripada χ2(0,05;4), sehingga keputusannya menerima Ho dengan kesimpulan tidak ada hubungan antara kondisi topografi dengan kepunahan lokal macan tutul jawa. Hubungan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal macan tutul jawa adalah signifikan karena χ2hitung (= 7,2367) lebih besar daripada χ2(0,05;2). Perhitungan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.8. Hubungan ketinggian dengan kepunahan lokal diduga tidak terkait dengan kesesuaian ekologis tetapi berhubungan dengan faktor keamanan. Ada kecenderungan bahwa di satu sisi semakin tinggi tempat, pemukiman semakin jarang di sisi lainnya semakin tinggi tempat kawasan hutan semakin terlindungi karena banyak yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Tabel 4.8. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor topografi dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa. Kelas Lereng
Populasi Bertahan Observasi
Sangat curam > 40%
Populasi Punah Lokal 1
1
Observasi
Jumlah Observasi
5
Harapan 4,4308
1
Harapan 1,5692
17
6
15
12,5538
2
4,4462
Agak curam 15-25%
4
5,1692
3
1,8308
7
Landai 8-15%
3
4,4308
3
1,5692
6
21
21,4154
8
7,5846
29
Curam 25-40%
Datar 0-8%
Jumlah Observasi 48 17 Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ2hitung = 5,1368 < χ2(0,05;4)
65
Tabel 4.9. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa. Ketinggian Tempat
Populasi Bertahan Observasi
< 500 dpl 500-1000 m dpl > 1000 m dpl
25
Populasi Punah Lokal 1
Harapan
28,8000
Observasi
1
Harapan
14
10,2000
Jumlah Observasi 39
8
8,1231
3
2,8769
11
15
11,0769
0
3,9231
15
Jumlah Observasi 48 17 Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ2hitung = 7,2367 > χ2(0,05;2)
65
Sementara faktor tipe hutan (vegetasi) juga berhubungan signifikan dengan kepunahan lokal macan tutul jawa (χ2hitung = 13,8646 lebih besar daripada χ2(0,05;4). Sebagian besar (76,47%) lokasi kepunahan lokal macan tutul jawa merupakan hutan
83
tanaman jati. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.10. Secara ekologis macan tutul dapat hidup di berbagai tipe vegetasi hutan. Hubungan tipe vegetasi hutan dengan kepunahan lokal macan tutul jawa diduga bekerja pada mekanisme pengelolaannya. Sebagai contoh, hutan jati sebagai tipe vegetasi hutan yan paling banyak kehilangan populasi macan tutul jawa dikelola dengan sistem tebang habis dan dalam pemeliharaannya ada kegiatan penjarangan serta tumpangsari. Sistem silvikultur tersebut sangat mempengaruhi keamanan habitat macan tutul jawa, karena dapat berdampak pada pengurangan atau penghilangan habitat, fragmentasi habitat dan penurunan kualitas habitat (seperti menurunnya jumlah mangsa dan kualitas pelindung). Tabel 4.10. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor tipe hutan (vegetasi) dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa. Tipe Hutan
Populasi Bertahan
Populasi Punah Lokal 1
1
Observasi Harapan Observasi Harapan Tanaman Jati 13 19,2000 13 6,8000 Tanaman Pinus 21 16,9846 2 6,0154 Tanaman Campuran 4 3,6923 1 1,3077 Hutan Dataran rendah 3 2,9538 1 1,0462 Hutan Pegunungan 7 5,1692 0 1,8308 Jumlah Observasi 48 17 Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ2hitung = 13,8646 > χ2(0,05;4)
Jumlah Observasi 26 23 5 4 7 65
Kepunahan lokal macan tutul jawa di beberapa lokasi diduga kuat banyak dipengaruhi oleh faktor keamanan habitat dan isolasi habitat. Dari Gambar 4.1. tampak bahwa dari 17 lokasi macan tutul jawa yang punah, tujuh (41,28%) diantaranya merupakan populasi yang terisolasi yaitu populasi-populasi di Gunung Clering, Gunung Lasem, Pasedan, Notog, Jatilawang, Gunung Kidul dan Kulonprogo. Sementara 10 lokasi (28,82%) diduga disebabkan oleh faktor keamanan habitat. Perambahan yang ekstensif sejak tahun 2000 diduga menyebabkan hilangnya vegetasi hutan yang penting sebagai tempat berlindung yang aman bagi macan tutul jawa. 4.2. Seleksi Habitat Terkait dengan proporsi sebaran macan tutul jawa di berbagai tipe hutan, diduga macan tutul melakukan seleksi dalam menempati habitatnya. Untuk itu perlu dilakukan uji Chi Square (χ2) dengan hipotesis null (Ho): macan tutul jawa tidak melakukan
84
seleksi terhadap habitat yang ditempatinya. Kaidah keputusannya menolak Ho apabila nilai χ2hitung lebih besar dari χ2tabel yang berarti macan tutul menyeleksi tipe hutan tertentu sebagai habitatnya.
Untuk itu, dari Tabel 4.3 diturunkan perhitungan
sebagaimana Tabel 4.11. Berdasarakan perhitungan pada Tabel 4.11 diperoleh nilai χ2hitung = 47,98. Karena nilai χ2hitung lebih besar dari χ2(0,05; 4) maka Ho ditolak dan kesimpulannya macan tutul jawa menyeleksi habitatnya. Dengan perkataan lain, tipe hutan merupakan faktor yang berpengaruh bagi macan tutul jawa, oleh karena itu dalam pembuatan model kesesuaian habitat, tipe hutan termasuk sebagai faktor penyusun model. Untuk mengetahui tipe hutan yang paling disukai oleh macan tutul jawa maka dilakukan penghitungan indeks seleksi Neu sebagaimana disajikan pada Tabel 4.12. Dari Tabel 4.12 tampak bahwa hutan alam dataran rendah memiliki nilai indeks seleksi tertinggi (w = 8,5560) diikuti oleh hutan tanaman campuran (w = 5,8911), hutan alam pegunungan (w = 2,9795) dan hutan tanaman pinus (w = 1,1758). Hutan jati walaupun memiliki proporsi luas paling besar tetapi tidak disukai oleh macan tutul jawa karena nilai indeks seleksinya kurang dari satu (w = 0,4769). Tabel 4.11. Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk uji signifikansi seleksi tipe hutan oleh macan tutul jawa. Tipe Hutan
Luas (Ha)
1
%
2 9.633,1
3 1,57
Tanaman Jati
340.453,2
Tanaman Pinus
Tanaman Campuran1
Hutan Alam Dataran Rendah Hutan Alam Pegunungan Jumlah
Frekuensi Observasi (Oi)
Frekuensi Harapan (Ei)
(Oi-Ei)2/Ei
4
5
6
4
0,75
14,04
55,34
13
26,56
6,92
223.052,6
36,25
21
17,40
0,74
4.379,1
0,71
3
0,75
20,68
37.725,6
6,13
7
2,94
5,59
615.243,6
100,00
48
48,00
47,98
Keterangan: 1 Campuran dari dua atau lebih jenis seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain. Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 6) = kolom 3 x jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ2hitung = 47,98 > χ2(0.05;4)
85
Tabel 4.12. Indeks seleksi Neu untuk habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Tipe Hutan
Ketersediaan Hutan Luas Proporsi (Ha) (a)
Lokasi Macan Tutul Tercatat Proporsi (r)
Seleksi (w)
Indeks Terstandar
Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 0,71 3 6,25 8,7810 0,4831 Hutan Tanaman Campuran1) 9.633,1 1,57 4 8,33 5,3223 0,2928 Hutan Alam Pegunungan 37.725,6 6,13 7 14,58 2,3783 0,1308 Tanaman Pinus 223.052,6 36,25 21 43,75 1,2068 0,0664 Tanaman Jati 340.453,2 55,34 13 27,08 0,4894 0,0269 100,00 100,00 18,1778 1,0000 Jumlah 615.243,6 48 Keterangan : 1 Campuran dari dua atau lebih jenis seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain.
4.3. Karaketristik Habitat 4.3.1. Luas Ruang (Space) Habitat Empat puluh delapan titik indikasi macan tutul jawa tersebar di 30 patches habitat dengan luasan terkecil 619,90 ha yaitu patch hutan Kalibakung, KPH Pekalongan Barat dan terbesar 41.090,30 ha yang merupakan lansekap hutan BrondongPedagung-Paninggaran di KPH Pekalongan Timur. Rata-rata luas patches yang dihuni macan tutul jawa adalah 8.008,96 ha. Luas total patches hutan di Provinsi Jawa tengah yang menjadi habitat macan tutul jawa adalah 240.268,86 ha atau hanya 39,05% dari total luas hutan yang ada. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu luas patch minimal yang dianggap mampu mendukung kehidupan macan tutul adalah 600 ha tampaknya benar. Hal ini terbukti dari patch hutan yang ditemukan menjadi habitat macan tutul luasnya lebih dari 600 ha.
4.3.2. Vegetasi Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.2. macan tutul jawa tersebar di berbagai tipe vegetasi hutan di Jawa Tengah, yaitu di hutan pinus (43,8%), hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan tanaman campuran (8,3%) dan hutan alam dataran rendah (6,3%). Vegetasi sebagai cover seringkali lebih penting strukturnya daripada jenisnya. Cover biasanya digunakan oleh predator untuk mengintai mangsa, perlindungan terhadap iklim yang ekstrim, mendukung perkembangbiakan, penjelajahan, melarikan
86
diri, bersarang dan beristirahat (Bailey, 1984; Shaw, 1985). Struktur vegetasi yang direspon oleh satwa antara lain bentuk vegetasi, kerapatan (Bailey, 1984) dan persentasi penutupan pohon (Palomares, 2001). Macan tutul jawa adalah satwa arboreal, yang berarti mereka banyak melakukan aktivitas di atas pohon seperti makan, tidur dan memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton, 1998).
Dengan demikian struktur vegetasi pohon vertikal (strata) dan
horisontal (kerapatan) menjadi penting .
Untuk mengetahui struktur vertikal dan
horisontal vegetasi habitat macan tutul jawa maka dibuat bisect dari suatu jalur contoh (Soerianegara dan Indrawan, 1980), sepanjang 50-100 m di setiap tipe habitat macan tutul. Diagram profil vegetasi habitat macan tutul jawa disajikan pada Gambar 4.6 sampai 4.13. Tinggi (m)
30m
Tanaman Tectona grandis umur 40 tahun Di RPH Darupono 1
1
1
1
1
1
1
20m
10m
1a
1a
1a 1a
1a 1a
1a
1a
1a 1a
1a
50m
0m Keterangan: 1. Tectona grandis
Gambar 4.6.
1a. Anakan alami Tectona grandis
Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 40 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Daruponon, KPH Kendal.
Gambar 4.6 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman jati umur 40 tahun di RPH Darupono (KPH Kendal) di sekitar Cagar Alam Pagerwunung Darupono yang merupakan habitat tempat berlindung dan beristirahat macan tutul jawa. Tampak pada diagram profil tersebut banyak terdapat anakan jati yang tumbuh secara alami berasal dari biji-biji jati yang jatuh dan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara. Tegakan ini telah dijarangi sebanyak sembilan kali sehingga jarak antar pohon berkisar antara 5 – 10 m dengan kerapatan berkisar antara 331 – 430 pohon per hektar. Tumbuhan bawah
87
yang dominan antara lain Eupathorium sp., Oplismenus burmanni, Lantana camara Panicum uncinatum dan Carallia lucida dengan tinggi rata-rata kurang dari satu meter. Gambar 4.7. menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman jati umur 30 tahun di RPH Jatisari Utara (KPH Kendal) sekitar Cagar Alam Ulolanang. Tegakan hutan jati ini telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan setempat sehinga relatif tidak ada kegiatan pemeliharaan atau penggarapan tumpangsari. Di tegakan ini juga terdapat banyak anakan jati yang tumbuh secara alami dari biji-biji yang jatuh. Tegakan ini telah mengalami penjarangan tujuh kali sehingga jarak antar pohon berkisar 4-5 m dan memiliki kerapatan sekitar 783 pohon per hektar. Tumbuhan bawah yang dominan antara lain Eupathorium sp., Ischaemum tomorense, Polytrias praemorsa, Oplismenus burmanni, Lantana camara, Panicum uncinatum dan Carallia lucida dengan tinggi ratarata kurang dari 1,5 meter. Disamping itu juga terdapat rotan (Calamus sp.) dan pandan (Pandanus sp.).
Tinggi (m)
30m
Tanaman Tectona grandis umur 30 tahun Di RPH Jatisari Utara 1
1
1
1
1
1
20m
10m
1a
2
1a 1a 1a
1a
1a 1a
1a
1a 1a 1a
1a 3
0m
50m Keterangan : 1. Tectona grandis 2. Calamus sp.
Gambar 4.7.
1a. Anakan alami Tectona grandis 3. Pandanus sp.
Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Jatisari Utara, KPH Kendal.
Gambar 4.8 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman campuran di RPH Besokor, KPH Kendal.
Petak hutan ini ditetapkan sebagai hutan lindung karena
lerengnya yang terjal dengan tebing-tebing tegak dan berlubang yang diduga sebagai persembunyian macan tutul jawa. Hutan tanaman campuran ini sudah menyerupai hutan alam dengan strata yang beragam dan pohon-pohonnya sudah beregenerasi secara
88
alami. Beberapa jenis pohon yang ditanam pada petak hutan ini adalah: Swietenia macrophylla,
Lagerstroemia
speciosa,
Cassia
siamea,
Dracontomelon
dao,
Pithecelobium jiringa, Pterospermum javanicum dan Spondias pinnata. Beberapa jenis pohon yang tumbuh secara alami antara lain: Garcinia dulcis, Macaranga tanaria, Gluta renghas, Artocarpus elasticus, Ficus altiissima dan Ficus variegata. Tumbuhan bawah pada petak ini sangat rapat dan tingginya mencapai 2 meter atau lebih sehingga sangat cocok menjadi tempat perlindungan dan persembunyian macan tutul jawa. Tinggi (m)
30m
20m
10m 100m
0m
Keterangan: 1. Spondias pinnata 2. Ficus variegata 3. Pterocymbium javanicum 4. Ficus altiissima 5. Neonauclea obtusa 6. Artocarpus elasticus
Gambar 4.8.
7. Pithecelobium jiringa 8. Garcinia dulcis 9. Butea monosperma 10. Macaranga tanaria 11. Pterospermum javanicum 12. Gluta renhas .
13. Swietenia macrophylla 14. Lagerstroemia speciosa 15. Cassia siamea 16. Sterculia longifolia 17. Dracontomelon dao
Diagram profil hutan tanaman campuran habitat macan tutul di RPH Besokor, KPH Kendal.
Gambar 4.9 menggambarkan profil vegetasi hutan alam Cagar Alam Pagerwunung di RPH Darupono, KPH Kendal. Vegetasi ini merupakan vegetasi alami dengan jenis-jenis pohon hutan alam dataran rendah.
Cagar Alam Pagerwunung
diperuntukan bagi konservasi pohon jati alam, namun vegetasi di dalamnya lebih banyak didominasi oleh jenis-jenis selain jati. Vegetasi di cagar alam ini memiliki strata tajuk yang lengkap seperti halnya hutan tropis dataran rendah (5 strata). Beberapa jenis pohon raksasa di hutan ini antara lain: Lithocarpus elegans, Tectona grandis, Artocarpus elastica, Pterospermum javanicum, Toona sureni, Tetrameles nudiflora dan Ficus benjamina.
Pada strata di bawahnya antara lain Baccaurea rcemosa,
Pithecelobium jiringa, Vitex pubescens, Azedarachta indica dan Cinnamomum sintoc.
89
Jenis-jenis pohon kecil (tingkat pancang) antara lain: Eugenia densiflora, Streblus asper, Protium javanicum, Leea indica, Phyllanthus emblica dan Eriglossum rubiginosum. Tumbuhan bawah di cagar alam ini cukup rapat sehingga cocok sebagai tempat bersembunyi atau berlindung macan tutul jawa..
Tinggi (m)
30m
17
23
5
4
16
15 7
19
4
22
14
20m 18
2 10m
1
26 3
6
3
8 1
13
10
1
9 11
20
8
14
8
24
1 21
25
12
0m
100m
Keterangan: 1. Eugenia densiflora 2. Dracontomelon dao 3. Garcinia dulcis 6. Protium javanicum 4. Lithocarpus elegans 5. Ficus benjamina 7. Baccaurea rcemosa
Gambar 4.9.
8. Streblus asper 9. Eriglossum rubiginosim 10. Leea indica 11. Schleichera oleosa 12. Lagerstremia speciosa 13. Arenga pinnata 14. Pithecelobium jiringa
15. Tetrameles nudiflora 16. Toona sureni 17. Tectona grandis 18. Vitex pubescens 19. Artocarpus elastica 20. Phyllanthus emblica 21. Cinnamomum sintoc
22. Azedarachta indica 23. Pterospermum javanicum 24. Cinnamomum iners 25. Actinophora buurmani 26. Calamus sp .
Diagram profil hutan alam dataran rendah sekunder habitat macan tutul jawa di Cagar Alam Pagerwunung, RPH Darupono, KPH Kendal.
Gambar 4.10 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman pinus (Pinus merkusii) berumur 33 tahun yang ditetapkan sebagai hutan lindung di RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur. Hutan lindung ini merupakan habitat macan tutul jawa yang tersisa di fragment hutan yang terisolasi. terdapat beberapa pohon jati tanaman.
Pada tegakan pinus ini juga
Tumbuhan bawah tegakan pinus di RPH
Mandicarancan ini relatif jarang, namun banyak dijumpai perdu jenis Ficus spp dan rotan (Calamus sp.). Gambar 4.11 menggambarkan diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 30 tahun di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalonga Barat. Pohon-pohon pinus tersebut memiliki jarak antar pohon sekitar 4-5 m dan masih disadap getahnya. Hutan tanaman pinus ini terletak pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl dan berbatasan langsung dengan hutan alam pegunungan Gunung Slamet yang merupkan
90
hutan lindung.. Hutan pinus di RPH Dukuh Tengah memiliki tumbuhan bawah yang relatif rapat dengan tinggi sampai 1,5 meter. Berbeda dengan Pinus merkusii, Pinus oocarpa relatif lebih tinggi.
30m
Pinus merkusii umur 33 tahun 1
1
1
4
1
1
1
1
4
1
Tinggi (m)
20m
10m 2
2
3
2
2
2
0m
50m
Keterangan: 1. Pinus merkusii
2. Ficus spp. 3. Calamus sp.
4. Tectona grandis
Gambar 4.10. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus merkusii umur 33 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur.
Tinggi (m)
30m
Pinus oocarpa umur 30 tahun
20m
10m
0m
50m
Gambar 4.11. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat. Gambar 4.12 menggambarkan diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 20 tahun di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat. Tegakan pinus ini
91
disadap getahnya sehingga terpelihara dengan baik.
Tanaman pinus di daerah ini
berbatasan langsung dengan hutan lindung yang bervegetasi hutan alam. Vegetasi alami juga terdapat di sepanjang kiri dan kanan sungai.
Vegetasi alami tersebut diduga
merupakan tempat berlindung dan bersembunyi macan tutul jawa. Tumbuhan bawah di tegakan Pinus oocarpa relatif jarang dengan tinggi sekitar satu meter. Hutan di wilayah RPH Pesahangan berbatasa langsung dengan hutan di wilayah Salem, KPH Pekalongan Barat sehingga merupakan satu bentang lansekap yang tak terpisahkan.
Tinggi (m)
30m
Pinus oocarpa umur 20 tahun
20m
10m
0m
50m
Gambar 4.12. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 20 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat. Gambar 4.13. menggambarkan diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan di Gunung Slamet, di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat.
Vegetasi ini
memiliki strata tajuk yang lengkap dan relatif rapat. Tumbuhan bawahnya sangat rapat dengan tinggi mencapai dua meter sehingga sangat cocok sebagai tempat bersembunyi atau berlindung macan tutul jawa. Pohon-pohon raksasa di hutan ini antara lain Podocarpus imbricata, Castanopsis argentea, Glochidion zeylanicum, Quercus blumeana, Sterculia javanica dan Gluta renghas.
Tumbuhan bawah yang banyak
ditemui adalah pisang hutan (Musa sp.), Pakis tiang (Alsophila glauca) dan rotan (Calamus sp.). Hutan alam Gunung Slamet bersama-sama dengan hutan tanaman Pinus oocarpa di sekitarnya merupakan habitat macan tutul jawa di wilayah RPH Dukuh Tengah.
92
30m Tinggi (m)
20m
7
4
9
5
2
12
10
3 1
17
6
8
10m
13
11
14
16
2
2
70m
0m 16
Keterangan: 1. Alsophila glauca 2. Musa sp. 3. Ficus fistulosa 4. Podocarpus imbricata 5. Laportea ardens 6. Litsea javanica
2
16
7. Castanopsis argentea 8. Cinnamomum parthenoxylon 9. Glochidion zeylanicum 10. Mallotus sp. 11. Quercus blumeana 12. Turpinia sphaerocarpa
1
15
13. Sterculia javanica 14. Schefflera aromatica 15. Garcinia dulcis 16. Calamus sp. 17. Gluta renghas
Gambar 4.13. Diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan habitat macan tutul jawa di Gunung Slamet, RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat. Perbandingan antara kerapatan tumbuhan bawah di habitat tempat berlindung dan bukan tempat berlindung macan tutul jawa dapat dilihat pada Gambar 4.14. Dari Gambar 4.14 tampak bahwa tempat berlindung macan tutul jawa umumnya memiliki kerapatan tumbuhan bawah yang tinggi yaitu lebih dari 300.000 individu per hektar. Sementara yang bukan tempat berlindung memiliki kerapatan tumbuhan bawah yang relatif lebih rendah yaitu kurang dari 13.000 individu per hektar. Tampaknya kerapatan pohon dan tumbuhan bawah menjadi faktor penting bagi macan tutul jawa dalam pemilihan tempat bersembunyi atau berlindung. Tempat yang memiliki pohon dan tumbuhan bawah dengan kerapatan tinggi umumnya adalah hutan lindung, baik berupa hutan alam maupun hutan tanaman. Hutan tanaman sejenis maupun campuran yang memiliki tumbuhan bawah dengan kerapatan tinggi, sama-sama digunakan sebagai habitat tempat berlindung atau bersembunyi.
93
Keterangan Bukan tempat berlindung macan tutul jawa Tempat berlindung macan tutul jawa
Gambar 4.14. Kerapatan tumbuhan bawah di berbagai tipe hutan habitat macan tutul jawa. 4.3.3. Mangsa a. Keanekaragaman Jenis Mangsa Berdasarkan hasil inventarisasi satwa di enam lokasi contoh ditemukan 21 jenis satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul jawa (Tabel 4.13). Sebagaimana disebutkan dalam berbagai literatur, mangsa utama macan tutul adalah primata dan ungulata maka dari Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa mangsa utama macan tutul jawa yang potensial di Jawa Tengah adalah : monyet, lutung, owa jawa, surili, rekrekan, kukang jawa, babi hutan, kijang, rusa, dan kancil. Dengan menggunakan Formula 3.3, Formula 3.5 dan Formula 3.6 maka diperoleh nilai indeks Shannon untuk keanekaragaman jenis (H’) dan keseragaman atau evenness (E) serta variance H’ untuk tiga lokasi contoh di KPH kelas perusahaan jati (Tabel 4.14).
Untuk mengetahui perbedaan nilai H’ di antara ketiga lokasi maka
dilakukan uji t. Hipotesis (Ho) yang akan diuji adalah tidak ada perbedaan indeks keanekaragaman jenis (H’) antar lokasi dengan kaidah menerima Ho apabila nilai thitung kurang dari ttabel pada taraf α = 5%.
94
Tabel 4.13. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul di enam lokasi contoh.
No.
Jumlah individu dijumpai saat inventarisasi (ni) di Lokasi Contoh* A B C D E F
Jenis Satwa
1
Monyet (Macaca fascicularis Raffles, 1821)
24
28
0
24
32
26
2
Lutung (Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812)
20
10
0
15
10
12
3
Owa jawa (Hylobates molloch Audebert , 1798)
0
0
0
4
0
5
4
Surili (Presbytis comata Desmarest, 1822)
0
0
0
5
0
0
5
Rek-rekan (Presbytis fredericae Sody, 1930)
0
0
0
2
0
4
6
Kukang Jawa (Nycticebus coucang Boddaert, 1785)
0
0
0
1
3
0
7
Babi hutan (Sus scrofa Linnaeus, 1758)
4
8
10
12
20
20
8
Kijang (Muntiacus muntjak Rafinesque, 1815)
2
2
1
3
4
4
9
Rusa (Rusa timorensis, Blainville, 1822)
1
1
0
0
0
0
10
Kancil (Tragulus javanicus Osbeck ,1765)
2
1
1
1
0
0
11
Lingsang (Prionodon linsang Hardwicke, 1821)
2
1
0
4
8
4
12
Garangan (Herpestes javanicus E. Geoffroy-Hilaire, 1818)
4
1
2
0
0
0
13
Landak (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
2
1
1
2
1
3
14
Luwak (Paradoxurus hermaphroditus Pallas, 1777)
1
2
3
6
3
2
15
Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)
1
1
1
0
0
0
16
Kucing hutan (Prionailurus bengalensis Kerr, 1792)
1
1
1
0
0
0
17
Kelelawar (Pteropus sp.)
1
1
3
0
0
0
18
Cukbo (Iomys horsfieldii, Waterhuse, 1838)
3
2
1
0
0
0
19
Bajing (Callosciurus sp.)
3
2
2
0
0
0
20
Tikus (Rattus rattus Linnaeus, 1758)
6
1
5
0
0
0
21
Tupai (Tupaia sp.)
8
4
13
0
0
0
Jumlah total individu (N)
85
67
44
79
81
80
Jumlah total jenis (S)
17
17
13
12
8
9
*Keterangan: A B C D E F
: Cagar Alam Pagerwunung, Darupono dengan vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl), KPH Kendal : Hutan Lindung Besokor dengan vegetasi tanaman rimba campuran (100-200 m dpl), KPH Kendal : Hutan Produksi dengan tanaman jati, Jatisari Utara (50-100 m dpl), KPH Kendal : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet (1.000 – 1.200 m dpl) KPH Pekalongan Barat : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus oocarpa (500-700 m dpl), RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus merkusii (300-400 m dpl), RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur
95
Tabel 4.14. Rekapitulasi Indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks keseragaman (E) komunitas mangsa macan tutul di tiga tipe habitat di hutan produksi kelas perusahaan Jati*. Keseragaman (E)
Variance H’
Indeks Shannon No.
Lokasi Habitat*
Keanekaragaman jenis (H’)
1.
Cagar Alam Pagerwunung
2,245
0,792
0,08356
2.
Hutan Lindung Besokor
2,055
0,725
0,02057
3.
Hutan Produksi tanaman jati Jatisari Utara
2,107
0,821
0,01598
*Keterangan: Cagar Alam Pagerwunung
: Vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl), KPH Kendal Hutan Lindung Besokor : Vegetasi tanaman rimba campuran (100-200 m dpl), KPH Kendal Hutan Produksi Jatisari Utara : Vegetasi tanaman jati (50-100 m dpl), KPH Kendal
Dengan menggunakan Formula 3.7 dan Formula 3.8 diperoleh nilai thitung dari pasangan lokasi yang diuji sebagaimana disajikan pada Tabel 4.16. Berdasarkan uji t antar masing-masing lokasi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa yang signifikan antar pasangan lokasi di KPH kelas perusahaan jati yang diperbandingkan. Indeks Shannon untuk keanekaragaman jenis (H’) dan keseragaman (E) serta variance H’ untuk tiga lokasi contoh di KPH kelas perusahaan pinus disajikan pada Tabel 4.15. Berdasarkan uji t antar masing-masing lokasi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa antar pasangan lokasi yang diperbandingkan di KPH kelas perusahaan pinus (Tabel 4.16) Tabel 4.15. Rekapitulasi indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks keseragaman (E) mangsa macan tutul di tiga lokasi hutan produksi kelas perusahaan pinus. Indeks No.
Lokasi Habitat*
Keanekaragaman jenis (H’)
Keseragaman (E)
Variance H’
1.
Pekalongan Barat
2,057
0,828
0,00829
2.
Banyumas Barat
1,646
0,792
0,07320
3. Banyumas Timur 1,834 0,835 0,00734 *Keterangan: KPH Pekalongan Barat : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet (1.000 – 1.200 m dpl) KPH Banyumas Barat : Hutan Produksi dengan tanaman pinus (500-700 m dpl) KPH Banyumas Timur : Hutan Produksi dengan tanaman pinus (300-400 m dpl)
96
Berdasarkan pembandingan sembilan kombinasi pasangan lokasi contoh (kelas perusahaan jati dan kelas perusahaan pinus) juga diperoleh kesimpulan tidak ada perbedaan yang signifikan antara semua pasangan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa yang diperbandingkan (Tabel 4.16). Tabel 4.16. Rekapitulasi uji t pembandingan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa macan tutul jawa antar sembilan kombinasi pasangan lokasi. Tipe Habitat Hutan alam dataran rendah1 Hutan alam pegunungan2
Hutan alam dataran rendah1
Hutan alam pegunungan2 0,62030 ns
Hutan Pinus oocarpa3
Hutan Pinus merkusii4
Hutan tanaman campuran5
Hutan tanaman jati6
1,51287 ns
1,36320 ns
0,58880 ns
0,43739 ns
1,43974 ns
1,78384 ns
0,29433 ns
0,32093 ns
-0,66246 ns
1,33567 ns
1,54370 ns
1,32305 ns
1,78783 ns
Hutan Pinus oocarpa3 Hutan Pinus merkusii4
-0,27201 ns
Hutan tanaman campuran5 Hutan tanaman jati6
Keterangan: ns = tidak nyata (not significant) 1 Cagar Alam Pagerwunung, RPH Darupono, KPH Kendal 2 Hutan Lindung RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat 3 RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat 4 RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur 5 Hutan Lindung RPH Besokor, KPH Kendal 6 RPH Jatisari Utara, KPH Kendal
Jika
masing-masing komunitas satwa mangsa dibandingkan kemiripannya
menggunakan indeks kemiripan Sorensen (Similarity index) seperti pada Formula 3.9, maka diperoleh nilai-nilai indeks kemiripan komunitas sebagaimana disajikan pada Tabel 4.17. Dalam Tabel 4.17 tersebut tampak bahwa komunitas satwa mangsa di tiga lokasi di dalam kelas perusahaan jati KPH Kendal memiliki indeks kemiripan yang tinggi (0,867 – 1,000). Demikian juga komunitas satwa mangsa di tiga lokasi dalam kelas perusahaan pinus memiliki indeks kemiripan yang tinggi (0,762 – 0,824). Perbandingan antar komunitas dari kelas perusahaan yang berbeda menghasilkan nilai indeks kemiripan yang lebih rendah (0,364 - 0,560).
97
Tabel 4.17. Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas satwa mangsa di enam lokasi contoh habitat macan tutul jawa. Lokasi* Lokasi* A
A
B
C
D
E
F
1,000
0,867
0,552
0,560
0,538
0,867
0,552
0,560
0,538
0,400
0,381
0,364
0,800
0,762
B C D
0,824
E F
*Keterangan: A : Cagar Alam Darupono dengan vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl), KPH Kendal B : Hutan Lindung Besokor dengan vegetasi tanaman rimba campuran (100-200 m dpl), KPH Kendal C : Hutan Produksi dengan tanaman jati, Jatisari Utara (50-100 m dpl), KPH Kendal D : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet (1.000 – 1.200 m dpl) KPH Pekalongan Barat E F
: Hutan Produksi dengan tanaman Pinus oocarpa (500-700 m dpl), RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus merkusii (300-400 m dpl), RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur
Nilai indeks kemiripan komunitas yang semakin rendah menunjukan adanya perbedaan yang semakin tinggi dalam struktur jenis-jenis penyusun komunitas tersebut. Meskipun demikian, secara umum semua tipe habitat macan tutul jawa yang diteliti masih memiliki jenis-jenis satwa mangsa utama macan tutul jawa, yaitu primata dan ungulata.
b. Klasifikasi Kekayaan Jenis Mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Mengingat bahwa dari segi struktur dan keanekaragaman jenis satwa mangsa di KPH kelas perusahaan jati dan pinus relatif seragam, maka dalam pembuatan pemodelan kesesuaian habitat, faktor satwa mangsa yang dipertimbangkan hanya kekayaan jenis satwa mangsa utama, yaitu primata dan ungulata. Dari data margasatwa Perum Perhutani dan BKSDA Jawa Tengah dibuat rekapitulasi dan klasifikasi kekayaan jenis satwa mangsa menurut wilayah KPH Kekayaan jenis satwa mangsa dikelompokkan menjadi tiga kelas dengan kriteria sebagaimana diuraikan pada Tabel 4.18.
Berdasarkan kriteria pada Tabel 4.18.
diperoleh rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa yang disajikan pada (Tabel 4.19). Terdapat empat KPH yang memiliki kelas kekayaan jenis mangsa tinggi, lima KPH memiliki kekayaan jenis mangsa sedang dan 11 KPH memiliki
98
kekayaan jenis satwa mangsa rendah. Kelas keakayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan beberapa faktor lainnya selanjutnya akan digunakan dalam membuat pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa. Tabel 4.18. Kriteria kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa di wiilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kelas kekayaan jenis mangsa
Kriteria
1. Kekayaan Tinggi
6 jenis atau lebih
2. Kekayaan Sedang
4-5 jenis
3. Kekayaan Rendah
3 jenis atau kurang
Tabel 4.19. Rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
KPH
Banyumas Barat Banyumas Timur Pekalongan Timur Pekalongan Barat Kedu Utara Kedu Selatan Semarang Pemalang Kendal Mantingan Telawa Surakarta Gundih Purwodadi Pati Balapulang Randublatung Cepu Blora Kebonharjo
Jumlah jenis mangsa utama* Ungulata Primata 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2
Jumlah Jenis
Kategori Kelas Kekayaan
6 6 6 6 5 4 3 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Sedang
Keterangan: *) Berdasarkan laporan bulanan margasatwa Perum Perhutani Unit I dan BKSDA Jawa Tengah
99
4.3.4. Sumber Air Hasil evaluasi peta kerja 20 KPH Perum Perhutani dan tutupan lahan hasil interpretasi citra, di 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa memiliki sumber air berupa sungai dan anak sungai yang selalu berair sepanjang tahun. Secara umum ketersediaan air tidak menjadi masalah di habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Secara visual dalam observasi lapangan, tampak bahwa ketersediaan air cenderung lebih melimpah di kawasan hutan kelas perusahaan pinus dibandingkan kelas perusahaan jati. Hal ini disebabkan oleh kondisi iklim dominan di kelas perusahaan pinus adalah iklim basah, menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe curah hujan A dan B. Sementara di kelas perusahaan jati umumnya memiliki ikilim lebih kering yaitu tipe curah hujan C, D dan E. Sumber air lebih penting bagi satwa mangsa macan tutul jawa seperti babi hutan, kijang, kancil, monyet dan lingsang. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tanda-tanda jejak dan feces satwa-satwa tersebut di sekitar sumber air.
Karena merupakan tempat
berkumpul satwa, maka sumber air juga menjadi tempat mencari mangsa yang mudah bagi macan tutul jawa.
4.3.5. Iklim Daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah terdiri dari berbagai kondisi iklim. Berdasarkan klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson meliputi tipe A, B, C, D dan E. Untuk keperluan pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa, wilayah 20 KPH Perum Perhutani unit I Jawa tengah dapat diklasifikasikan berdesarkan tipe curah hujan dominannya sebagaimana disajikan pada Tabel 4.20. Dari Tabel 4.20 tampak bahwa ada tujuh KPH yang memiliki tipe curah hujan dominan A dan B. Ketujuh KPH tersebut merupakan kelas perusahaan pinus, dimana tanaman pinus (Pinus merkusii dan P. oocarpa) menjadi tanaman utama disamping tenaman jenis lain seperti mahoni (Swietenia macrophylla) dan damar (Agathis alba). Sepuluh KPH memiliki tipe curah hujan dominan C dan D, sedangkan tiga KPH memiliki tipe curah hujan D atau E. Iklim tidak berpengaruh langsung pada keberadaan macan tutul jawa, tetapi iklim berpengaruh pada kondisi tumbuhan bawah. Selanjutnya tumbuhan bawah akan mempengaruhi kelimpahan satwa herbivora (Marker and Dickman, 2005) seperti rusa,
100
kijang, kancil, babi hutan dan monyet. Satwa herbivora merupakan mangsa macan tutul jawa. Tabel 4.20. Kelas tipe curah hujan untuk kesesuaian habitat macan tutul Jawa di 20 KPH Perum Perhutani Uni1 I Jawa Tengah. No.
KPH
Tipe Curah Hujan Dominan
Kategori* Skor
1.
Banyumas Barat
B
Tinggi
10
2.
Banyumas Timur
A
Tinggi
10
3.
Pekalongan Timur
A, B
Tinggi
10
4.
Pekalongan Barat
B
Tinggi
10
5.
Kedu Utara
A, B
Tinggi
10
6.
Kedu Selatan
B
Tinggi
10
7.
Semarang
C dan D
Sedang
5
8.
Pemalang
D
Rendah
1
9.
Kendal
C dan D
Sedang
5
10. Mantingan
C dan D
Sedang
5
11. Telawa
C dan D
Sedang
5
12. Surakarta
A
Tinggi
10
13. Gundih
D
Rendah
1
14. Purwodadi
C
Sedang
5
A, C, D, E
Sedang
5
15. Pati 16. Balapulang
D
Rendah
1
17. Randublatung
C dan D
Sedang
5
18. Cepu
C dan D
Sedang
5
19. Blora
C
Sedang
5
20. Kebonharjo
C
Sedang
5
*) Keterangan : A dan/atau B Kesesuaian Tinggi C dan D Kesesuaian Sedang D dan/atau E Kesesuaian Rendah
Diduga ada hubungan antara frekuensi keberadaan macan tutul jawa di suatu wilayah dengan kondisi ikim (tipe curah hujan). Untuk itu perlu dilakkan uji χ2. Hipotesis null (Ho) yang diuji adalah: tidak ada hubungan antara kehadiran macan tutul jawa di suatu wilayah dengan kondisi iklim. Kaidah keputusannya menolak Ho jika nilai χ2hitung lebih besar dari χ2tabel pada taraf α 5%. Hasil perhitungan uji χ2 disajikan pada Tabel 4.21.
101
Tabel 4.21. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kondisi iklim dengan wilayah sebaran macan tutul jawa. Tipe Curah Hujan Dominan
Jumlah KPH
1
2
Prakiraan Luas (Ha)
3
Proporsi
Frekuensi Observasi macan tutul jawa (Oi)
Frekuensi Harapan macan tutul jawa (Ei)
5
6
4
(Oi-Ei)2/Ei 7
AB
7
263.004,45
0,45
33
21
6,212
CD
10
271.175,89
0,46
9
22
7,784
D/E
3
54.213,53
0,09
6
4
0,563
Jumlah 20 588.393,87 1,00 48 48 Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 6) = kolom 4 x kolom jumlah kolom 5 (Gaspersz, 1994). 2 Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ hitung = 14,558 > χ2(0.05;2).
14,558
Berdasarkan Tabel 4.21 diperoleh nilai χ2hitung lebih besar daripada χ2tabel sehingga keputusannya menolak Ho dan kesimpulannya ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi iklim (tipe curah hujan) di suatu wilayah. Dalam hal ini tampak bahwa macan tutul jawa lebih banyak dijumpai daerah beriklim basah (A dan B) (68,75%) daripada di daerah beriklim kering (C, D, E) (31,25%). Dengan
demikian,
curah
hujan
merupakan
faktor
lingkungan
yang
perlu
dipertimbangkan dalam pembuatan model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Iklim (curah hujan) diduga berpengaruh terhadap keberadaan satwa mangsa macan tutul yang merupakan herbivora. Satwa herbivora tergantung pada ketersediaan hijauan pakan yang umumnya merupakan tumbuhan bawah. Kelimpahan tumbuhan bawah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan setempat.
4.3.6. Status Fungsi Kawasan Status fungsi kawasan berpengaruh pada intensitas gangguan manusia terhadap kawasan. Kawasan yang berfungsi Hutan Konservasi (HK) seperti taman nasional, cagar alam dan suaka margasatwa relatif lebih aman bagi satwaliar dibandingkan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP). Hal ini karena dalam pengelolaan hutan konservasi, misalnya taman nasional, tidak diperbolehkan adanya kegiatan yang bersifat eksploitatif, bahkan di zona inti sama sekali tidak boleh ada kegiatan kecuali penelitian (UU No. 5/1990; PP 68/1998).
102
Di hutan lindung relatif lebih aman daripada hutan produksi karena di hutan lindung juga ada pembatasan kegiatan pemanfaatan, yaitu hanya diperbolehkan kegiatan yang tidak menebang pohon (PP34/2002). Sementara hutan produksi paling rentan terhadap gangguan manusia, karena ada aktifitas penanaman, pemeliharaan dan penebangan pohon. Di samping itu, sistem pengelolaa hutan produksi dengan program tumpang sari atau PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) membolehkan adanya kegiatan budidaya pertanian di antara tegakan hutan. Pentingnya status fungsi kawasan hutan bagi kesesuaian habitat macan tutul jawa juga ditunjukkan oleh fakta bahwa dari 17 lokasi sebaran macan tutul yang mengalami kepunahan lokal, 94% (16) di antaranya berada di hutan produksi dan hanya satu yang berada di hutan konservasi (hutan alam). Dari 16 lokasi sebaran macan tutul jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 87,5% (14) diantaranya merupakan hutan tanaman jati dan hanya dua lokasi yang merupakan hutan tanaman pinus (Tabel 4.8). Dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 14,58% tersebar di kawasan hutan lindung, 6,25% di hutan konservasi dan 79,17% di hutan produksi (Gambar 4.15). Pada penelitian ini tidak ditemukan macan tutul di hutan rakyat. Demikian juga berdasarkan laporan dari Perhutani Unit I dan BKSDA Jawa Tengah tidak ada macan tutul menggunakan habitat hutan rakyat. Hutan Konservasi yang masih memiliki macan tutul jawa di Jawa Tengah adalah Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Gunung Merbabu dan Cagar Alam Nusa Kambangan (Barat dan Timur). Hutan konservasi yang tersebar secara mosaik di dalam lansekap hutan produksi, merupakan tempat berlindung dan berkembangbiak yang aman bagi macan tutul jawa. Hal ini seperti yang terjadi di CA Ulolanang dan CA Pagerwunung di KPH Kendal, CA Pringombo di KPH Kedu Selatan, CA Cabak di KPH Cepu dan CA Gunung Butak di KPH Kebonharjo. Dalam pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa, status fungsi kawasan merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan tingkat kerawanan (vulnerability) habitat terhadap gangguan. Hal ini berkaitan dengan intensitas gangguan (disturbance) yang potensial dapat mempengaruhi kesesuaian habitat secara umum (Marker and Dickman, 2005).
103
Gambar 4.15. Komposisi sebaran macan tutul jawa menurut status fungsi kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah. 4.3.7. Topografi Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan di dekat patahan tebing atau puncak punggung bukit yang dekat dengan tebing. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia (Chundawat, 1990; Marker and Dickman, 2005). Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di hutan-hutan dengan kisaran topografi yang beragam, namun ada kecenderungan macan tutul jawa banyak ditemukan di daerah dengan lereng yang curam sampai sangat curam. Hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi macan tutul dengan peta topografi yang diklasifikasikan menjadi lima kelas diperoleh sebaran macan tutul jawa menurut kelas lereng sebagaimana disajikan pada Gambar 4.16. Dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa, sebagian besar ditemukan pada kelas lereng datar (43,8%), curam (31,3%) dan sisanya hampir merata tersebar di kelas lereng landai, agak curam dan sangat curam. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kelas lereng dan keberadaan macan tutul jawa maka dilakukan uji χ2 dengan hipotesis null (Ho) : tidak ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi topografi (lereng).
Kaidah
keputusannya menolak Ho jika χ2hitung lebih besar dari χ2tabel pada taraf α 5%. Hasil perhitungan χ2 disajikan pada Tabel 4.22.
104
Keterangan : Datar = kelerengan 0 – 8% Landai = kelerengan 8-15% Agak curam = kelerengan 15-25%
Curam = kelerengan 25 – 40% Sangat curam = kelerengan > 40%
Gambar 4.16. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas lereng di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 4.22. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kondisi kelerengan dengan sebaran macan tutul jawa. Kelas Lereng
Luas (Ha)
1
2
Sangat curam > 40% Curam 25-40% Agak curam 15-25% Landai 8-15% Datar 0-8% Jumlah
27.015,21 68.966,61 44.955,80 27.826,58 281.319,11 450.083,31
Proporsi 3
0,06 0,15 0,10 0,06 0,63 1,00
Frekuensi Observasi macan tutul jawa (O) 4
Frekuensi Harapan macan tutul jawa (E) 5
5 15 4 3 21 48
2,88 7,36 4,79 2,97 30,00 48
(0-E)2/E 6
1,56 7,95 0,13 0,00 2,70 12.34
Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 5) = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). 2 Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ hitung = 12,34 > χ2(0.05;4).
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.22 diperoleh nilai χ2hitung yang lebih besar dari χ2tabel pada taraf α = 5%, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi kelerengan habitatnya. Untuk mengetahui kondisi lereng yang paling banyak digunakan maka dilakukan uji lanjutan dengan menghitung nilai indeks neu sebagaimana disajikan pada Tabel 4.23.
105
Tabel 4.23. Indeks Neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap kondisi kelerengan habitatnya. Kelas Lereng
Availability
Curam 25-40% Sangat curam > 40% Landai 8-15% Agak curam 15-25% Datar 0-8%
68.966,61 27.015,21 27.826,58 44.955,80 281.319,11
Proporsi (a) 0,15 0,06 0,06 0,10 0,63
450.083.31
1,00
Jumlah
Records 15 5 3 4 21
Proporsi (r) 0,31 0,10 0,06 0,08 0,44
48
1.00
Indeks Seleksi w Terstandar 2,04 0,32 1,74 0,27 1,01 0,16 0,83 0,13 0,70 0,11 6,32
1,00
Berdasarkan hasil perhitungan indeks seleksi (w) ternyata macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat dengan kondisi lereng curam (w = 2,04) dan sangat curam (w = 1,74). Kondisi datar justru memiliki nilai indeks seleksi kurang dari satu (w = 0,70) yang berarti tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Dengan demikian, benar bahwa macan tutul lebih menyukai kondisi topografi yang berat. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor keamanan habitat, karena pada kondisi toporafi yang berat umumnya tingkat kerawanan terhadap gangguan oleh manusianya rendah. Faktanya di lapangan memang kawasan hutan bertoografi berat jarang dirambah manusia dan umumnya juga merupakan hutan lindung yang terjaga dan tidak ada kegiatan eksploitasi. Pentingnya faktor topografi juga ditunjukkan pada sub bab 4.1.3 dan Gambar 4.16 dimana dari 15 populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal di Provinsi Jawa Tengah, 46,67% memiliki topografi datar. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor kerawanan terhadap gangguan manusia di sekitar hutan (tekanan dari penduduk). Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa topogrofi kemirinagn lereng ) merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa.
Untuk keperluan pemodelan, kelerengan
dikelompokkan ke dalam tiga kelas sebagaimana Tabel 4.24.
106
Tabel 4.24. Klasifikasi dan skoring kelas lereng untuk pemodelan kesesuaian habitat macan tutul jawa. Kelas lereng
Kategori Kesesuaian
Skor
Datar – Landai 0-15%
Rendah
1
Agak curam 15-25%
Sedang
5
Curam – sangat curam >25%
Tinggi
10
4.3.8. Ketinggian Tempat (Altitude) Berdasarkan hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi keberadaan macan tutul dengan peta ketinggian (altitude) di atas permukaan laut (dpl), dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ada di ketinggian 0 – 500 m dpl (52,1%) diikuti ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (31,3%) dan ketinggian 500-1.000 m dpl (16,7%) (Gambar 4.17)
Gambar 4.17. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas ketinggian (altitude) di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kondisi ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa maka dilakukan uji χ2 dengan hipotesis null (Ho) : tidak ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat (altitude). Kaidah keputusannya menolak Ho jika χ2hitung lebih besar dari χ2tabel pada taraf α 5%. Hasil perhitungan χ2 disajikan pada Tabel 4.25.
107
Tabel 4.25. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa. Kelas ketinggian
Availability
Proporsi (%)
Frekuensi observasi macan tutul jawa (O)
Frekuensi harapan amcan tutul jawa (E)
2
3
4
5
1 0-500 m dpl
(O-E)2/E
6
30.3698,19
0,67
25
32,39
1,69
500-1000 m dpl
68.363,76
0,15
8
7,29
0,07
> 1000 m dpl
78.021,36
0,17
15
8,32
5,36
450.083,31
1,00
48
48
7,12
Jumlah
Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 5) = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). 2 Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ hitung = 7.12 > χ2(0.05;2).
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.25 diperoleh nilai χ2hitung yang lebih besar dari χ2tabel pada taraf α = 5%, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat.
Untuk
mengetahui kondisi ketinggian tempat yang paling banyak digunakan (prefered) maka dilakukan uji lanjutan dengan menghitung nilai indeks Neu sebagaimana disajikan pada Tabel 4.26. Tabel 4.26. Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap ketinggian tempat di atas permukaan laut. Kelas ketinggian tempat
Availability
Proporsi (a)
Records
Proporsi (r)
Indeks Seleksi w
Terstandar
> 1000
78.021,36
0,17
15
0,31
1,80
0,49
500-1000
68.363,76
0,15
8
0,17
1,10
0,30
303.698,19
0,67
25
0,52
0,77
0,21
450.083,31
1,00
48
1,00
3,67
1,00
0-500 Jumlah
Meskipun dalam berbagai literatur disebutkan bahwa sebaran macan tutul tidak dibatasi oleh ketinggian tempat, namun macan tutul jawa ditemukan banyak menggunakan daerah ketinggian.
Dari Tabel 4.26 tampak bahwa lokasi dengan
ketinggian kurang dari 500 m dpl memiliki indeks seleksi kurang dari satu (w = 0,77), artinya tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Sementara indeks seleksi tertinggi adalah pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (w = 1,80) atau paling disukai.
108
Hubungan ketinggian tempat dengan pemanfaatan habitat oleh macan tutul jawa diduga berkaitan dengan faktor kerawanan terhadap gangguan.
Dalam hal ini
kerawanan terhadap tekanan masyarakat pada hutan. Perkampungan dan pemukiman padat umumnya berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 1.000 m dpl, oleh karena itu hutan-hutan di dataran rendah banyak dikelilingi oleh pemukiman. Disamping itu, kawasan hutan di daerah ketinggian lebih dari 1.000 m dpl banyak yang merupakan kawasan hutan lindung, khususnya di gunung-gunung seperti Gunung Slamet, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Lawu dan Gunung Muria serta merupakan taman nasional yaitu TN Gunung Merapi dan TN Gunung Merbabu Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu dari enam provinsi di Indonesia yang memiliki proporsi tertinggi rumah tangga rawan pangan yang berkisar antara 37,3 – 54,2% (Salem et al., 2005). Pada tahun 2008, dari 34.142.100 jiwa penduduk Jawa tengah, 17,23% (5.883.310 jiwa) di antaranya merupakan penduduk miskin (Munhur, 2009). Oleh karena itu, Provinsi Jawa Tengah juga memiliki laju deforestasi yang tinggi, yaitu antara tahun 2000-2005 rata-rata 142.560 ha per tahun. Dari segi luasan, deforestasi di Jawa Tengah (2003-2006) 5.073,2 ha merupakan yang terbesar (80,6%) dari total deforestasi di Pulau Jawa) (Departemen Kehutanan, 2007a). Pentingnya faktor ketinggian tempat (altitude) juga diuraikan pada subab 4.1.3 dan Gambar 4.2. di mana dari 15 populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 86,67% berada di daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl. Hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor kerawanan terhadap tekanan dari penduduk di sekitar hutan yang lebih tinggi di daerah dataran rendah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketinggian tempat merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Walaupun berbagai literatur menyebutkan bahwa ketinggian tempat bukan merupakan faktor pembatas, namun dalam penelitian ini terbukti macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat di tempat-tempat ketinggian.
Untuk keperluan
penyusunan model kesesuaian habitat, ketinggian tempat diklasifikasikan menjadi tiga kelas seperti disajikan pada Tabel 4.27.
109
Tabel 4.27.
Klasifikasi dan skoring ketingian tempat untuk penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa.
Kelas Ketinggian tempat
Kategori Kesesuaian
Skor
< 500 m dpl
Rendah
1
500 – 1.000 m dpl
Sedang
5
> 1.000 m dpl.
Tinggi
10
4.4. Fragmentasi Hutan Alam Kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah seluas 656.193,89 ha, sebagian besar
(83,84%) merupakan hutan tanaman, sementara sisanya (16,16%) merupakan hutan alam (Perum Perhutani, 2006). Hutan alam di Jawa Tengah tersebar secara mosaik di antara hutan tanaman dan berfungsi sebagai kantong-kantong habitat perlindungan macan tutul jawa. Dari panelitian ini juga terbukti bahwa hutan alam merupakan tipe tutupan lahan paling disukai oleh macan tutul jawa dengan nilai indeks seleksi Neu (w) 8,5560. Di sisi lain, dari tahun ke tahun hutan alam di Provinsi Jawa Tengah terus mengalami deforestasi dan fragmentasi. Dalam kurun waktu 16 tahun (1990-2006) provinsi ini telah kehilangan hutan alamnya seluas 446.561,09 Ha atau 88,0%. Puncak laju deforestasi di Provinsi Jawa Tengah terjadi antara tahun 2000 – 2005 yaitu seluas 142.560 hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2007a). Secara umum sisa-sisa hutan alam di Pulau Jawa ada di sekitar puncak-puncak gunung yang pada umumnya jauh dari jangkauan manusia dan sulit diakses oleh masyarakat untuk pertanian dan pemukiman.
Meskipun demikian, seiring dengan
berjalannya waktu, sisa-sisa hutan alam di gunung-gunung di Jawa Tengah juga mengalami fragmentasi sehingga terjadi kehilangan habitat (habitat loss) dan isolasi habitat (isolation). Sebagai contoh, Gunung Muria telah kehilangan hutan alamnya 85,50%, kemudian disusul oleh Gunung Slamet (83,91%), Gunung Lawu (77,51%) dan Gunung Ungaran (75,33%).
110
1990
A
2000
B
2006
C
Gambar 4.18. Perubahan tutupan hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah (A) tahun 1990; (B) tahun 2000; (C) tahun 2006. 111
Fragmentasi telah terjadi di semua hutan alam yang tersisa di gunung-gunung lainnya seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan.
Gunung-gunung tersebut merupakan
daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah (Gunawan, 1988). Proses fragmentasi membuat habitat menjadi tidak sesuai bagi satwaliar atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat (Hunter, 1997). Dengan demikian, keberadaan macan tutul jawa menjadi semakin terancam kelestariannya. Dari Gambar 4.19 dan Gambar 4.20 tampak jelas perubahan jumlah fragment (patches) hutan maupun luas hutan.
Jumlah fragment dan luas yang menurun
menunjukkan telah terjadi fragmentasi habitat dan kehilangan habitat (habitat loss). Pada tahun 1990, luas hutan alam lahan kering masih 507.407,51 Ha yang tersebar dalam 108 fragment hutan. Tahun 2000 menurun drastis (77,5%) menjadi 114.044,23 Ha dalam 88 fragment hutan dan pada tahun 2006 hutan alam lahan kering yang tersisa tinggal 60.846,42 Ha dalam 39 fragment hutan atau menurun 46,6% dari tahun 2000. Secara total dari tahun 1990 sampai tahun 2006 Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alam lahan kering seluas 446.561,09 Ha (88,0%) atau rata-rata 27.910 hektar per tahun. Fragmentasi hutan alam lahan kering di Jawa Tengah juga dapat diihat dari parameter Total Edge (TE). Total edge hutan alam lahan kering yang terus menurun dari tahun 1990 sampai tahun 2006 menunjukkan bahwa fragmentasi disamping memecah patches hutan juga diikuti oleh hilangnya patches hutan tersebut. TE tahun 1990 adalah 42,43 km menurun menjadi 15,08 km pada tahun 2000 dan pada tahun 2006 total edge hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah menjadi 8,75 km (Gambar 4.21). Edge Density (ED) hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah juga menurun dari tahun 1990-2006 yang juga menunjukkan bahwa fragmentasi bukan saja memecah patches tetapi juga disusul dengan hilangnya patches. ED pada tahun 1990 adalah 151.061,78 m2/ha kemudian menurun menjadi 53.342,70 m2/ha pada tahun 2000 dan menjadi 31.076,62 m2/ha pada tahun 2006 (Gambar 4.22).
112
600000
Luas (Ha)
500000 400000 300000 200000 100000 0 1990
2000
2006
Gambar 4.19. Perkembangan luas hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1990 – 2006.
200 180
Jumlah Patches
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1990
2000
2006
Gambar 4.20. Perkembangan jumlah patches hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1990 – 2006.
113
Gambar 4.21. Perkembangan Total Edge (TE) hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah.
Gambar 4.22. Perkembangan Edge Density hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah. Pada skala fragment (patch) hutan individual, hilangnya vegetasi hutan dan fragmentasi dapat memiliki pengaruh luas pada survival populasi, interaksi ekologi dan keanekaragaman hayati (Fahrig & Grez, 1996). Seiring fragment hutan mengecil, populasi cenderung lebih rentan untuk punah karena resiko-resiko demografik, lingkungan atau genetik (Gilpin, 1987; Goodman, 1987). Ketika fragment-fragment hutan menjadi terisolasi tanpa adanya ketersambungan di antara mereka, migrasi organisme bisa terhalangi (Kareiva, 1987). Fragment hutan yang kecil juga memiliki
114
ratio edge:interior yang lebih tinggi. Untuk spesies hutan interior (seperti macan tutul jawa), hal ini juga berarti kehilangan habitat lebih luas daripada luas fragment sebenarnya yang hilang (Wilcove et al., 1986; Williams-Linera, 1990). Besarnya pengaruh tergantung pada pola kehilangan hutan pada skala lansekap yang akan menentukan jumlah fragment yang tersisa, ukurannya, bentuknya, jarak antara fragment dan kondisi matrix habitat di sekitarnya (Groom & Schumaker, 1993). Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992), ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : (1) spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi. Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwaliar generalis. Fragmentasi memberikan pengaruh negatif ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh aktifitas non kehutanan; dan (4) jumlah edge meningkat karena fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes, 2000). Untuk kasus di Provinsi Jawa Tengah tampaknya hilangnya habitat lebih berperan bagi kepunahan macan tutul jawa secara lokal, karena hilangnya habitat tidak saja menyebabkan penurunan total habitat tetapi juga menyebabkan terputusnya penyebaran habitat yang tersisa. Terputusnya kesinambungan habitat tersebut antara lain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk pertanian, pemukiman, jalan raya, irigasi, waduk dan jaringan listrik saluran udara tegangan esktra tinggi (SUTET).
115
KPH Kendal
a
b
KPH Pemalang
c Alas roban KPH Kendal
d
KPH Kendal
e Besokor, KPH Kendal
f
KPH Pemalang
Gambar 4.23.
Beberapa penyebab fragmentasi hutan di Provinsi Jawa Tengah: (a) sistem tebang habis; (b) perambahan hutan; (c) jaringan jalan raya; (d) jaringan listrik SUTET; (e) pertanian; (f) jaringan irigasi.
4.5. Metapopulasi Fragmentasi hutan telah menyebabkan pemecahan suatu populasi macan tutul jawa menjadi beberapa sub populasi di kantong-kantong habitat (patches) yang terpisahkan satu sama lain. Populasi macan tutul jawa yang menyebar di Provinsi Jawa Tengah dapat dipandang sebagai empat tipe metapopulasi seperti yang diklasifikasikan oleh Harrison & Taylor (1997) yaitu: (1) classic metapopulation; (2) mainland-island metapopulation; (3) non equilibrium metapopulation; dan (4) patchy population.
116
1. Non equilibrium population Contoh metapopulasi tipe non equilibrium di Provinsi Jawa Tengah adalah populasi di Gunung Muria (KPH Pati), populasi di Mandirancan dan sekitarnya (di KPH banyumas Timur dan Banyumas Barat), populasi di Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran dan Gunung Sindoro; serta populasi di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo.
E F
D
A B C
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.24.
Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Muria dan sekitarnya (KPH Pati).
Di Gunung Muria dan sekitarnya (Gambar 4.24), fragmentasi menyebabkan kantong-kantong habitat terpisah cukup jauh dan ada penghalang berupa pemukiman di antara kantong habitat tersebut. Populasi di patch Gunung Muria (A) yang sebelumnya mungkin merupakan sumber (mainland) bagi patches di sekitarnya (B, C, D, E, F) telah terpisah jauh akibat fragmentasi oleh pemukiman. Akibatnya populasi Gunung Muria tidak dapat melakukan kolonisasi terhadap patches tersebut. Populasi macan tutul di kantong habitat C (Gunung Clering) mengalami kepunahan lokal pada tahun 2000an akibat perambahan hutan dan tidak ada konektifitas untuk migrasi ke patches lain serta tidak adanya rekolonisasi dari Gunung Muria karena tidak ada konektifitas. Populasi macan tutul jawa di Mandirancan (C) dan sekitarnya (Gambar 4.25), terfragmentasi dan terpisah jauh dengan populasi di Notog (D), Jatilawang (B), RPH
117
Kretek (E), Cimanggu (F) dan Nusakambangan (A). Populasi Mandirancan berdekatan dengan populasi Notog namun terfragmentasi secara alami oleh Sungai Serayu dan jalan raya Purwokerto-Cilacap. Sementara populasi Nusakambangan terfragmentasi secara alami oleh Segara Anakan sehinga terpisahkan dari populasi macan tutul di daratan Pulau Jawa. Populasi Cimanggu dan Kretek terpisahkan dari populasi lainnya oleh jalan raya dan pemukiman yang berkembang di sekitar hutan.
Dengan kondisi
demikian, populasi-populasi tersebut diperkirakan rentan terhadap kepunahan, bahkan populasi Notog dan Jatilawang telah mengalami kepunahan lokal. Dalam metapopulasi ini, populasi Mandirancan, Cimanggu dan Nusakambangan diperkirakan tidak akan bertahan lama. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya konektifitas dengan populasi lain dan luasan habitat yang kecil, yaitu Nusakambangan 952 ha, Mandirancan 1.228,4 ha dan Cimanggu 1.750,8 ha.
Sementara Populasi RPH Kretek diperkirakan dapat
bertahan karena memiliki habitat yang lebih luas dan adanya kemungkinan rekolonisasi dari Gunung Slamet.
F
E
D C B
A
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.25.
Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di RPH Mandirancan (KPH Banyumas Timur) dan sekitarnya.
Pada Gambar 4.26 tampak bahwa populasi macan tutul jawa di Gunung Sindoro (D), Gunung Sumbing (C), Gunung Ungaran (F), Gunung Merapi (A) dan Gunung Merbabu (B) dapat dianggap sebagai populasi tunggal yang terisolasi karena tidak ada
118
konektifitas satu sama lain. Dalam beberapa tahun mendatang, meskipun terisolasi, populasi ini diperkirakan masih dapat bertahan karena luasan habitatnya cukup luas sekitar 5000 ha atau lebih dan jumlah individu dalam populasi tersebut diperkirakan masih cukup banyak. Populasi macan tutul jawa di puncak-puncak gunung juga relatif sedikit mendapat tekanan atau gangguan dari manusia.
F
E D
C B A Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.26.
Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di beberapa gunung di Jawa Tengah.
Populasi macan tutul jawa di Gunung Lawu (B), Gunungkidul (C), Kulonprogo (D) dan Gunung Merapi (A) terpisah jauh, mungkin sejak lama (Gambar 4.27). Populasi-populasi tersebut tidak memiliki konektifitas satu sama lain sehingga tidak ada migrasi untuk kolonisasi atau rekolonisasi.
Akibatnya populasi Gunungkidul dan
Kolonprogo telah mengalami kepunahan lokal dan tidak akan pernah mendapat rekolonisasi dari populasi Gunung Merapi maupun Gunung Lawu. Populasi Gunung Lawu dan Gunung Merapi menjadi populasi tunggal yang terisolasi.
Meskipun
terisolasi, kedua populasi tersebut diperkirakan akan dapat bertahan dalam beberapa dekade mendatang karena berada di kawasan hutan yang terlindungi (Taman Nasional Gunung Merapi dan Hutan Lindung Gunung Lawu) yang memiliki luasan cukup besar serta tekanan penduduk yang kecil karena berada di puncak-puncak gunung yang bertopografi berat.
119
A B
C D
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.27. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo. Tipe non equilibrium metapopulation juga terjadi pada populsi di KPH Kendal dan sekitarnya (Gambar 4.28). Populasi Subah (A), Besokor (B) dan Darupono (C) terpisah cukup jauh dan tidak ada konektifitas satu sama lain sehingga tidak dapat saling bertukar individu. Demikian juga dengan populasi di Gunung Prahu (F) dan Gunung Ungaran (D) di KPH Kedu Utara. Kelima populasi tersebut tidak terhubungkan satu sama lain sehingga dalam jangka panjang rentan terhadap kepunahan lokal. Populasi yang diperkirakan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah populasi Darupono, Gunung Ungaran dan Gunung Prahu karena memiliki luasan habitat yang relatif besar (Darupono 13.568,14 ha; Gunung Prahu 2.402.,32 ha; Gunung Ungaran 4.711,97 ha). Disamping itu, kantong habitat di Gunung Ungaran dan Gunung Prahu merupakan hutan lindung sehingga relatif lebih aman dibandingkan populasi di hutan produksi (A, B, C).
120
A C B
D F
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.28. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jwa di KPH Kendal dan sekitarnya. Populasi yang paling rawan menghadapi kepunahan lokal dalam waktu dekat adalah populasi Besokor. Hal ini disebabkan oleh luasan habitat yang kecil (692,1 ha) dan tidak memiliki konektifitas dengan populasi Subah karena fragmentasi oleh pertanian dan jalan raya Semarang – Pekalongan serta terfragmentasi dengan populasi Darupono oleh lahan pertanian dan jalan raya Weleri-Temanggung. Sementara populasi Subah memiliki luasan yang lebih besar (2.422,77 ha). Populasi non equilibrium lainnya yang ditemukan di Jawa Tengah adalah kumpulan populasi di KPH Kedu Selatan (Gambar 4.29). Populasi Pringombo (B) terpisah jauh dengan populasi Karangsembung (A) dan populasi Bruno (C). Populasi Bruno telah mengalami kepunahan lokal dan tampaknya sulit mendapatkan kolonisasi kembali dari populasi Pringombo maupun Karangsembung karena jaraknya jauh dan adanya fragmentasi hutan.
Populasi Pringombo dan Karangsembung tampakanya
memiliki resiko kepunahan lokal yang sama besar karena tekanan penduduk dan kerusakan hutan akibat perambahan yang terjadi setelah gerakan reformasi tahun 1998.
121
B
A
C
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.29. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di KPH Kedu Selatan. 2. Mainland-island metapopulation Mainland-island metapopulation merupakan sistem dari habitat patches (islands) berlokasi di dalam jarak sebaran dari suatu habitat yang sangat besar (mainland) di mana populasi lokal tidak akan pernah punah (Harrison & Taylor 1997). Tipe metapopulasi Mainland-island bisa digambarkan dengan populasi macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya (Gambar 4.30). Populasi macan tutul jawa di Gunung Slamet merupakan mainland population yang menjadi sumber kolonisasi bagi patches hutan di sekitarnya seperti patch hutan RPH Kretek (B), Balapulang (C); Kalibakung (D) Moga (E) dan Paninggaran (F).
122
C
D E
F
A B
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.30. Tipe mainland-islands metapopulation macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya. Populasi Balapulang (C) telah mengalami kepunahan lokal akibat perambahan hutan dan tidak ada rekolonisasi dari Gunung Slamet karena tidak ada konektifitas akibat fragmentasi. Sementara populasi Moga (E) terisolasi dari mainland Gunung Slamet (A) dan populasi Paninggaran (F). Beberapa tahun mendatang populasi yang rentan mengalami kepunahan lokal adalah populasi Moga karena terisolasi dan luasannya kecil (2.513,6 ha) dan populasi Kalibakung (D) yang luasnya hanya 619,9 ha. Sementara patch hutan Balapulang (C) masih bisa diharapkan menerima migrasi dari populasi Kalibakung (D) jika ada koridor untuk migrasi.
3. Classic (Levins) Metapopulation Classic metapopulation merupakan suatu jaringan besar dari patches kecil yang serupa, dengan dinamika lokal terjadi pada skala waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dinamika metapopulasi, dalam arti luas digunakan untuk sistem di mana semua populasi lokal, meski mungkin mereka berbeda dalam ukuran, tapi memiliki satu resiko kepunahan yang signifikan (Harrison & Taylor 1997).
123
Populasi-populasi di Jawa Tengah bagian Timur (KPH Semarang, Telawa, Gundih,
Purwodadi,
Blora,
Randublatung,
Cepu
dan
Kebonharjo)
dapat
menggambarkan tipe Classic metapopulation (Gambar 4.31) memiliki resiko kepunahan lokal yang sama signifikannya karena memiliki kondisi hutan yang sama dan tingkat ancaman yang relatif sama.
Beberapa populasi telah mengalami kepunahan lokal
namun masih ada harapan direkolonisasi oleh populasi yang masih ada di dekatnya. Populasi Gunung Lasem (M) dan Pasedan (L) mungkin akan sulit untuk mendapatkan rekolonisasi dari populasi Kebonharjo (G) karena tidak ada konektifitas. Sementara populasi Kebonharjo (G) masih ada konektifitas dengan populasi Cepu (F) dan Randublatung (E).
M L J G
K H
F
I D
A C
E
B
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.31. Tipe classic metapopulation macan tutul jawa di Jawa Tengah bagian timur. Populasi Karangsono, Telawa (C) dapat menjadi sumber kolonisasi populasi yang telah punah lokal di Gunung Pati, Semarang (A), Sragen, Telawa (B) dan Segorogunung, Gundih (D). Populasi Cepu (F) juga memiliki konektifitas dengan
124
Populasi Segorounung (D) tetapi jaraknya cukup jauh. Populasi Barisan, Pati (J), Ngiri, Mantingan (K) dan Krocok, Blora (H) hanya memiliki konektifitas dengan populasi Sambirejo, Purwodadi (I).
Sementara populasi Kebonharjo (G) tidak memiliki
konektifitas dengan ketiga populasi yang telah mengalami kepunahan lokal tersebut (J, K, H) sehingga tidak bisa diharapkan mengkolonisasi ketiga patches hutan yang telah kehilangan macan tutul jawa tersebut. Dengan demikian populasi Karangsono, Telawa (C) dan populasi Sambirejo, Purwodadi (I) memiliki peranan yang sangat penting untuk melakukan kolonisasi kembali bekas-bekas kantong habitat macan tutul jawa yang telah kosong di sekitarnya. opulasi Kebonharjo, Cepu dan Randublatung diperkirakan masih akan bertahan dalam waktu yang lama ke depan karena ketiganya memiliki konektifitas sehinga dapat saling bertukar individu.
4. Patchy population Patchy population adalah suatu model metapopulasi di mana laju migrasi antar sub populasi sangat tinggi sehingga dapat dapat dikatakan secara efektif merupakan satu populasi. Dalam patchy population, suatu individu mungkin merupakan bagian dari lebih satu sub populasi sepanjang hidupnya (Harrison & Taylor 1997). Patchy population dapat digambarkan oleh metapoulasi di kelompok hutan Salem (KPH Pekalongan Barat) yang menyambung dengan kelompok hutan Majenang (KPH Banyumas Barat) (Gambar 4.32). Populasi macan tutul di Majenang (A) dan Pesahangan (B) di KPH Banyumas Barat serta populasi di Indrajaya (C), Winduasri (E) dan Cikuning (D) di KPH Pekalongan Barat saling terhubung sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran individu. Lansekap hutan masih tersambungkan meskipun ada fragmentasi oleh pemukiman dan lahan pertanian. Metapopulasi ini diperkirakan akan terus bertahan dalam beberapa dekade mendatang.
Hal ini disebabkan hutannya
merupakan tanaman pinus yang disadap getahnya sehingga relatif tidak ada kegiatan penebangan dan sebagian merupakan hutan lindung, seperti di Indrajaya (C) dan Cikuning (D).
125
E D
C B A
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.32. Tipe patchy population macan tutul jawa di kelompok hutan Salem, KPH Pekalongan Barat dan kelompok hutan Majenang, KPH Banyuas Barat. Patchy population juga ada di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya (Gambar 4.33). Patchy population yang pertama adalah populasi macan tutul jawa di Brondong (A), Lemahabang (B) dan Pedagung (C) di KPH Pekalongan Timur yang masih terhubungkan satu sama lain. Patchy population kedua terdiri dari populasi macan tutul jawa di Jolotigo, Pekalongan Timur (D), Cipero, Pemalang (G), Winduaji, Pekalongan Timur (F) dan Paninggaran, Pekalongan Timur (E) yang masih saling terhubungkan sehingga dapat saling migrasi.
Sementara di sekitarnya ada populasi kecil, yaitu
Lobongkok, Pemalang (H) seluas 1.463,1 ha dan Moga, Pekalongan Barat (I) seluas 2.513,6 ha yang terisolasi dari kedua kelompok patchy population tersebut. Kedua populasi kecil dan terisolasi tersebut diperkirakan akan mengalami kepunahan lokal dalam beberapa tahun mendatang apabila tidak ada konektifitas ke populasi lain di dekatnya.
126
A
B
D
C
H G
E F I
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.33. Tipe patchy population macan tutul jawa di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya. Tipe patchy population juga ada di KPH Pemalang dan sekitarnya (Gambar 4.34). Populasi macan tutul jawa di Mangunsari (A), Karangasem (D), Kenyere (C) dan Kejene (E) di KPH Pemalang serta populasi di Gunung prahu (B) di KPH Kedu Utara saling terhubungkan satu sama lain sehingga arus pertukaran individunya lancar. Metapopulasi ini diperkirakan akan terus bertahan.
Metapopulasi tersebut tidak
memiliki konektifitas ke populasi di Karangkobar (F) yang telah mengalami kepunahan lokal beberapa tahun yang lalu. Populasi di Gunung Sindoro (G) juga terfragmentasi dari patchy population tersebut.
127
A C B E
D F G
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
Gambar 4.34. Tipe Patchy population macan tutul jawa di KPH Pemalang dan sekitarnya. Dari analisis terhadap metapopulasi, populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar dalam empat tipe metapopulasi.
Terdapat enam
kelompok populasi yang membentuk non-equilibrium metapopulation yang melibatkan 15 populasi (lokasi indikasi macan tutul jawa) atau 31,25% dari seluruh populasi. Terdapat satu satu metapopulasi tipe mainland-islands yaitu di Gunung Slamet dan sekitarnya yang melibatkan 11 populasi atau 22,92% dari seluruh populasi. Hanya terdapat satu classic metapopulation yang melibatkan lima populasi atau 10,42% dari seluruh populasi dan tiga patchy population yang melibatkan 17 populasi atau 35,42% dari seluruh populasi (Tabel 4.28). Dari analisis terhadap metapopulasi macan tutul jawa tersebut tampak bahwa non equilibrium metaoipulation cukup besar (31,25%). Hal ini tentu mengkhawatirkan kelestarian macan tutul jawa di masa mendatang karena populasi-populasi tersebut
128
rentan terhadap kepunahan lokal akibat tidak adanya konektifitas untuk migrasi antar populasi Tabel 4.28. Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Tipe Metapopulasi
Jumlah Kelompok
Jumlah populasi
Proporsi (%)
1. Non Equilibrium Metapopulation
6
15
31,25
2. Mainland-Islands Metapopulation
1
11
22,92
3. Classic Metapopulation
1
5
10,42
4. Patchy Population
4
17
35,42
12
48
100,00
Jumlah
Populasi yang diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah yang berada di Gunung Slamet dan sekitarnya yang membentuk metapopulasi mainlandislands. Gunung Slamet menjadi patch sumber (source) kolonisasi (mainland) bagi populasi-populasi di sekitarnya (islands) yang menjadi penerima (sink). Populasi yang juga diperkirakan akan terus bertahan dalam jangka pajang ke depan adalah populasipopulasi yang tersebar dalam pola patchy population seperti di KPH Pekalongan BaratKPH Banyumas Barat (Salem-Majenang), Pekalongan Timur (Brondong–Paninggaran dan sekitarnya), dan KPH Pemalang dan sekitarnya. Populasi-populasi macan tutul di hutan jati banyak yang tersebar dalam pola Classic metapopulation antara lain mulai dari KPH Semarang, KPH Telawah, KPH Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Mantingan dan KPH Pati.
Beberapa populasi pada tipe ini ini juga menghadapi
ancaman kepunahan lokal yang serius karena tidak adanya konektifitas, baik sementara akibat penebangan hutan jati maupun permanen akibat konversi untuk pemukiman, jalan dan lahan pertanian. Berdasarkan analisis metapopulasi tersebut dapat dibuat peta resiko kepunahan lokal macan tutul jawa sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.35. Dari Gambar 4.35 tampak ada delapan populasi (17%) yang memiliki resiko kepunahan lokal tinggi. Hal ini disebabkan oleh luas habitatnya yang kecil dan terisolasi atau terdegradasi berat. Sembilan belas populasi (39%) memiliki resiko kepunahan lokal sedang dan 21 populasi (44%) memiliki resiko kepunahan lokal rendah (Lampiran 3).
129
Gambar 4.35. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe metapopulasinya 130
4.6. Model Spasial Kesesuaian Habitat Berdasarkan delapan komponen habitat macan tutul jawa yang telah dikaji dan dievaluasi pada sub bab 4.3 (Karakteristik Habitat) dapat dibuat pemodelan spasial kesesuaian habitat menggunakan program ArcView 3.2. Kesesuaian habitat dibangun dari dua kelompok komponen habitat, yaitu komponen yang terkait dengan kebutuhan hidup macan tutul (pemanfaatan habitat) dan komponen yang terkait dengan keamanan dari gangguan (disturbance) (kerawanan habitat). Komponen yang yang terkait dengan kebutuhan hidup macan tutul jawa adalah : (1) luas (ruang); (2) mangsa; (3) vegetasi pelindung (cover); (4) air dan (5) iklim.
Sementara komponen yang terkait dengan
kerawanan habitat terhadap gangguan didekati dengan: (1) status kawasan hutan; (2) topografi dan (3) ketinggian dari permukaan laut (altitude). 4.6.1. Model Pemanfaatan Habitat Macan Tutul Jawa Hasil overlay lima faktor pemanfaatan habitat (luasan, mangsa, tipe hutan, badan air dan curah hujan) memberikan hasil seperti ditunjukan pada Gambar 4.36. Secara kuantitatif jumlah dan luasan kantong habitat (habitat patches) menurut kelas pemanfaatannya disajikan pada Tabel 4.29. Tabel 4.29. Luas dan jumlah patches habitat menurut kelas pemanfaatannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006. Kelas Pemanfaatan Habitat
Kisaran Total Skor
Jumlah Patches
Proporsi (%)
Luas Total (Ha)
Proporsi (%)
Tinggi
5,83-8,50
177.097
64,00
294.253,63
42,96
Sedang
3,17-5,83
78.624
28,41
342.240,66
49,97
Rendah
0,5-3,17
20.988
7,58
48.417,25
7,07
276.709
100,00
684.911,54
100,00
Jumlah
Dalam Tabel 4.29. tampak bahwa sebagian besar (64,00%) kantong habitat (habitat patches) hutan di Provinsi Jawa Tengah memiliki tingkat pemanfaatan yang tinggi sebagai habitat macan tutul jawa. Hanya sebagian kecil patches hutan yang memiliki kelas pemanfaatan rendah (7,58%) dan selebihnya (28,41%) memiliki kelas pemanfaatan sedang.
Menurut luasnya, habitat yang memiliki pemanfaatan tinggi
42,96%, sedang 49,97% dan rendah 7,07% Secara umum kawasan berhutan di Jawa Tengah masih memiliki tingkat pemanfaatan yang tinggi dan sedang sebagai habitat macan tutul jawa. Hal ini juga berarti masih memiliki kesesuaian yang tinggi bagi
131
habitat macan tutul jawa. Kantong-kantong habitat yang memiliki pemanfaatan rendah, terutama disebabkan oleh luasan yang kecil (<600 ha) dan ketiadaan satwa mangsa utama. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan habitat disajikan pada Tabel 4.30. Dari Tabel 4.30 tampak bahwa distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa mengikuti pola distribusi kelas pemanfaatan habitat (Tabel 4.30), yaitu macan tutul jawa terkonsentrasi di kantong-kantong habitat (patches) dengan kelas pemanfaatan tinggi (68,75%), diikuti kelas pemanfaatan sedang (29,17%) dan hanya 2,08% berada di habitat dengan kelas pemanfaatan rendah. Tabel 4.30. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan habitat. Kelas Pemanfaatan
Jumlah Lokasi Indikasi
Proporsi (%)
Rendah
1
2,08
Sedang
14
29,17
Tinggi
33
68,75
48
100,00
Jumlah
Untuk menguji hipotesis null (Ho): ditribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti disribusi proporsi kelas pemanfaatan habitat maka dilakukan uji proporsi (χ2). Kaidah keputusannya adalah menerima Ho jika χ2hitung kurang dari χ2tabel pada taraf α = 5%. Dengan menggunakan formula 3.20 diperoleh nilai χ2hitung = 5,86 lebih kecil daripada χ2 (0,05;2), sehingga keputusannya menerima Ho yaitu distribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti distribusi proporsi kelas pemanfaatan habitat. Dengan demikian kesimpulannya adalah model pemanfaatan habitat sesuai dengan kondisi sebaran populasi aktual di lapangan saat ini. Dengan menggunakan formula 3.19 diperoleh validitas model 97,92%. Hal ini juga menunjukkan bahwa model yang dibuat dapat diandalkan untuk kondisi saat ini di Jawa Tengah.
132
Gambar 4.36. Peta pemanfaatan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah. 133
4.6.2. Model Kerawanan Habitat Macan Tutul Jawa Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap potensi gangguan aktifitas manusia, patches hutan di Provinsi Jawa Tengah hanya sedikit yang memiliki kelas kerawanan rendah (aman) untuk habitat macan tutul jawa yaitu 16,90%. Sementara selebihnya memiliki kerawanan
tinggi atau tidakn aman (40,74%) dan sedang (42,36%).
Berdasarkan luasnya, areal berhutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah atau aman untuk habitat macan tutul jawa hanya 11,07%, sedangkan sebagian besar lainnya memiliki tingkat kerawanan tinggi atau tidak aman (69,19%) dan sedang (19,73%) (Tabel 4.31). Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Jawa Tengah disajikan pada Gambar 4.37. Tabel 4.31. Jumlah dan luas patches habitat menurut kelas kerawanannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006. Kelas Kerawanan Habitat
Kisaran Total Skor
Jumlah Patches
Proporsi (%)
Luas Total (Ha)
Proporsi (%)
Rendah
1,07-1,50
46.751
16,90
75.837,10
11,07
Sedang
0,63-1,07
117.221
42,36
135.153,23
19,73
Tinggi
0,20-0,63
112.737
40,74
473.921,20
69,19
276.709
100,00
684.911,54
100,00
Jumlah
Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut tingkat kerawanan habitatnya disajikan pada Tabel 4.32. Dari Tabel 4.32 tampak bahwa distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa 40,74% berada di kantong-kantong habitat (patches) dengan tingkat kerawanan tinggi (tidak aman), 42,36% di habitat dengan tingkat kerawanan sedang dan hanya 1,7% berada di habitat dengan kerawanan rendah (aman). Hal ini menunjukan bahwa macan tutul jawa dalam kondisi terancam karena sebagian besar habitatnya tidak aman. Tabel 4.32. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kerawanan habitat. Kelas Kerawanan
Jumlah Lokasi Indikasi
Proporsi (%)
Tinggi
21
43,75
Sedang
17
35,42
Rendah
10
20,83
48
100,00
Jumlah
134
Uji χ2 terhadap model dilakukan dengan hipotesis null (Ho) : distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa mengikuti distribusi proporsi kelas kerawanan habitat. Dengan menggunakan formula 3.20. menghasilkan nilai χ2hitung =0,030 (kurang dari χ2 (0,05;2))
sehingga keputusannya menerima Ho dan dapat disimpulkan model keamanan
habitat tersebut sesuai dengan fakta di lapangan saat ini. Faktor keamanan sangat penting dalam analisis kesesuaian habitat macan tutul jawa karena dari hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa 66,67% populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal berada di lokasi dengan kerawanan habitat tinggi atau tingkat keamanannya rendah dan 33,33% berada di lokasi dengan tingkat keamanan sedang (Tabel 4.33). Tabel 4.33.
Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal menurut kelas kerawanan habitatnya.
Kelas kerawanan
Jumlah Lokasi Indikasi
Proporsi (%)
Tinggi
10
66,67
Sedang
5
33,33
Rendah
0
00,00
Jumlah 15* 100,00 *Hanya yang di Jawa Tengah (dua lokasi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta)
135
Gambar 4.37. Peta kerawnan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah. 136
4.6.3. Model Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) Macan Tutul Jawa Hasil overlay antara model pemanfaatan dan model kerawanan habitat menghasilkan kesesuaian habitat yang disajikan pada Tabel 4.34. dan Gambar 4.38. Pada Tabel 4.34. tampak bahwa 7,67% patches hutan kelas kesesuaian habitat rendah, 36,92% memiliki kelas kesesuaian sedang dan 55,41% memiliki kesesuaian tinggi. Sementara dari segi luasan, areal berhutan yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi adalah 30,86%, kelas kesesuaian habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat rendah 7,90%. Tabel 4.34. Jumlah dan luas patches habitat menurut kesesuaian berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006. Kelas Kesesuaian Habitat Tinggi Sedang Rendah
Kisaran Total Skor 6,9-10 3,8-6,9 0,7-3,8 Jumlah
Jumlah Patches 153.319 102.166 21.224 276.709
Proporsi (%) 55,41 36,92 7,67 100,00
Luas (Ha) 211.366,58 419.425,73 54.119,23 684.911,54
Proporsi (%) 30,86 61,24 7,90 100,00
Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kesesuaian habitatnya disajikan pada Tabel 4.35. Dari Tabel 4.35 tampak bahwa lokasi indikasi macan tutul terkonsentrasi di habitat-habitat dengan kelas kesesuaian tinggi (54,17%), diikuti dengan kelas kesesuaian sedang (41,67%) dan kelas kesesuaian rendah (4,16%). Tabel 4.35. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kesesuaian habitatnya. Kelas Kesesuaian
Lokasi Indikasi
Proporsi (%)
Rendah
2
4,16
Sedang
20
41,67
Tinggi
26
54,17
48
100,00
Jumlah
137
Gambar 4.38. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah. 138
Untuk menguji apakah model kesesuaiandan habitat macan tutul sesuai dengan kondisi aktual di lapangan saat ini, maka dilakukan uji χ2 dengan hipotesis null (Ho): ditribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti disribusi proporsi kelas kesesuaian habitat. Kaidah keputusannya adalah menerima Ho jika χ2hitung kurang dari χ2tabel pada taraf α = 5%. Dengan menggunakan formula 3.20 diperoleh nilai χ2hitung = 3,00 lebih kecil daripada χ2 (0,05;2), sehingga keputusannya menerima Ho yaitu distribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti distribusi proporsi kelas kesesuaian habitat. Dengan demikian kesimpulannya adalah model kesesuaian habitat tersebut sesuai dengan kondisi lapangan saat ini. Uji valditas model diperoleh nilai 95,83%, sehingga model ini dapat diandalkan (valid) Apabila dilakukan analisis secara pivot antara kelas pemanfaatan dan kelas kerawanan habitat maka diperoleh sembilan kelas kombinasi pemanfaatan dan kerawanan habitat sebagaimana disajikan pada Tabel 4.36. Pada Tabel 4.36 tampak bahwa patches hutan yang pemanfaatannya tinggi oleh macan tutul dan memiliki kerawanan rendah (aman) hanya 8,70% sedangkan yang kerawanannya tinggi mencapai 20,83%.
Dari luasannya, habitat yang pemanfaatannya tinggi dan kerawanannya
rendah (aman) hanya 12,45% sedangkan yang kerawanannya tinggi mencapai 22,05%. Tabel 4.36. Jumlah dan luas kantong-kantong habitat menurut kelas pemanfaatan dan kerawanannya. No.
Pemanfaatan-Kerawanan
Luas (Ha)
Proporsi (%)
Jumlah Patches
Proporsi (%)
1 Rendah-Rendah
1,013.99
0.15
856
0.31
2 Rendah-Sedang
8,636.60
1.26
7,155
2.59
3 Rendah-Tinggi
38,766.67
5.66
12,977
4.69
4 Sedang-Rendah
15,236.78
2.22
11,454
4.14
5 Sedang-Sedang
34,539.02
5.04
28,421
10.27
6 Sedang-Tinggi
292,464.85
42.70
38,749
14.00
7 Tinggi-Rendah
59,586.34
8.70
34,441
12.45
8 Tinggi-Sedang
91,977.62
13.43
81,645
29.51
9 Tinggi-Tinggi
142,689.68
20.83
61,011
22.05
684,911.54
100.00
276,709
100.00
Jumlah
139
4.7. Implikasi Pengelolaan 4.7.1. Pengelolaan Habitat a. Pengelolaan Kerawanan Habitat Dari penelitian ini diketahui bahwa 55,41% kantong-kantong (patches) hutan di Provinsi Jawa Tengah memiliki kesesuaian habitat yang tinggi dan 36,92% memiliki kelas kesesuaian sedang bagi macan tutul jawa. Menurut luasnya, areal berhutan yang memiliki kesesuaian tinggi bagi habitat macan tutul jawa adalah 30.86% dan sedang 61,24%. Meskipun demikian, dari aspek keamanan habitat, hanya 16,90% dari patches hutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah (keamaan tinggi) bagi habitat macan tutul jawa, bahkan berdasarkan luasannya hanya 11,07% areal berhutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah (keamanan tinggi). Faktor keamanan habitat memegang peranan penting bagi kelestarian macan tutul jawa. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal berada di lokasi dengan tingkat kerawanan tinggi (66,67%) dan sedang (33,33%).
Habitat macan tutul jawa yang memiliki tingkat keamanan
rendah, karena rawan terhadap gangguan dari aktifitas manusia seperti perambahan, penebangan liar, penggarapan tumpang sari pada segala kelas umur tegakan dan aktifitas lainnya di dalam hutan. Dalam pengelolaan habitat dan populasi macan tutul jawa ke depan, aspek keamanan harus menjadi fokus perhatian.
Lokasi-lokasi yang memiliki tingkat
kerawanan tinggi (keamanan rendah) dapat diketahui dengan pendekatan topografi, ketingian dan status kawasan. Daerah bertopografi datar di dataran rendah dengan status kawasan hutan produksi merupakan daerah dengan tingkat kerawanan tinggi (keamanan rendah) karena rawan terhadap ancaman perambahan dan aktifitas lainnya di dalam hutan
seperti kegiatan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),
penebangan, tumpangsari, pemanenan kayu bakar, perburuan dan lain-lain. Di sisi lain, lahan pada ketinggian 0-500 m dpl umumnya sudah dikepung oleh pemukiman padat sehingga rawan terhadap deforestasi akibat perambahan karena tekanan ekonomi. Sejak gerakan reformasi tahun 1999, perambahan kawasan hutan umum terjadi di KPH-KPH yang topografinya relatif datar dan dikelilingi pemukiman padat. Puncak laju deforestasi di Provinsi Jawa Tengah terjadi antara tahun 2000 – 2005 yaitu seluas 142.560 hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2007a). 140
Mengingat habitat macan tutul jawa telah dibuat peta kerawanannya, maka untuk efektifitas pengelolaan habitat, perlu dilakukan tindakan pengelolaan sesuai dengan masing-masing kelas kerawanannya sebagai berikut: (1) Habitat dengan tingkat kerawanan rendah (keamanan tinggi)
Mempertahankan kondisi keamanan habitat melalui patroli rutin.
Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kondisi habitat terutama untuk areal-areal yang rawan gangguan.
Memberikan pnyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya mempertahankan kelestarian hutan di daerahnya.
Menjaga hubungan antara petugas kehutanan dengan masyarakat sekitar hutan dan bekerjasama apabila terjadi permasalahan dengan macan tutul jawa (seperti pemangsaan ternak atau masuk kampung)
(2) Habitat dengan tingkat kerawnan sedang
Mengurangi intensitas gangguan manusia dengan membatasi jenis dan lokasi kegiatan yang diperbolehkan di dalam kawasan hutan.
Membuat buffer terhadap “core” habitat macan tutul jawa, misalnya dengan tidak melakukan penebangan hutan produksi di sekitar area HCVF (High Conservation Value Forest) atau hutan konservasi.yang menjadi habitat inti macan tutul jawa..
Meningkatkan pengamanan melalui patroli rutin
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan yang menjadi habitat macan tutul jawa.
(3) Habitat dengan tingkat kerawanan tinggi (keamanan rendah)
Bila masih terdapat macan tutul jawa maka perlu dilakukan upaya-upaya seperti pada butir (2) di atas.
Bila sering terjadi gangguan macan tutul memangsa ternak atau masuk ke kampung, maka masyarakat perlu disarankan untuk mengandangkan ternaknya.
Menghentikan semua kegiatan non kehutanan di kawasan hutan yang menjadi habitat macan tutul jawa ini, seperti tumpangsari dan PHBM.
141
Apabila upaya-upaya tersebut tidak memungkinkan dilaksanakan, maka perlu dipertimbangkan untuk translokasi ke habitat baru yang lebih aman dengan didahului penelitian secara menyeluruh.
b. Pengelolaan Habitat Berdasarkan Kesesuaiannya Untuk efektifitas pengelolaan, maka habitat macan tutul jawa harus dikelola berdasarkan kelas kesesuaiannya.
Tindakan pengelolaan terhadap ketiga kelas
kesesuaian habitat yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: (1) Habitat dengan kesesuaian tinggi
Mempertahankan kekompakan habitat agar tidak terfragmentasi.
Pemeliharaan dengan tujuan mempertahankan kondisi habitat agar tidak terjadi dergadasi, baik kualitas maupun kuantitasnya
Monitoring dan evaluasi komponen habitat secara berkala, khususnya populasi satwa mangsa.
Menjaga agar tidak terjadi penurunan populasi satwa mangsa
Menjaga agar tidak terjadi gangguan manusia seperti perburuan, perambahan atau penebangan liar.
(2) Habitat dengan kesesuaian sedang
Peningkatan ketersediaan populasi satwa herbivora yang menjadi mangsa macan tutul jawa, misalnya melalui pengayaan habitat satwa mangsa.
Peningkatan ketersediaan tempat berlindung dan berkembang biak melalui revegetasi kawasan hutan yang gundul.
Perluasan ruang habitat melalui rehabilitasi kawasan hutan yang rusak di sekitar habitat macan tutul jawa.
Meningkatkan konektifitas dengan kantong-kantong habitat di sekitarnya melalui pembuatan koridor antar kantong-kantong habitat.
(3) Habitat dengan kesesuaian rendah Jika masih terdapat macan tutul jawa maka perlu dilakukan pengayaan habitat (habitat improvement) berupa peningkatan populasi satwa mangsa yang diawali dengan program perbaikan atau pengayaan habitat satwa mangsa.
142
Jika masih terdapat macan tutul maka harus dilakukan perluasan ruang habitat melalui restorasi hutan yang rudak dan membuat konektivitas dengan fragmentfragment hutan di sekitarnya.
Bila butir kesatu dan kedua tidak mungkin dilaksanakan, maka perlu dipertimbangkan untuk translokasi yang didahului dengan penelitian yang komprehensif terhadap calon lokasi habitat baru.
c. Penetapan dan Pengelolaan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi Hutan alam merupakan tipe vegetasi paling disukai (prefered) oleh macan tutul jawa sebagai habitatnya. Disamping karena keanekaragaman jenis satwa mangsanya tinggi, juga karena strukturnya yang rapat dan statusnya yang umumnya berada di kawasan konservasi atau hutan lindung sehingga relatif lebih aman dibandingkan hutan tanaman. Di sisi lain, hutan alam terus mengalami deforestasi sehingga luasannya semakin menurun dan terfragmentasi.
Dalam kurun waktu 16 tahun (1990-2006)
Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alamnya seluas 446.561,09 Ha atau 88,0%. Hutan-hutan alam yang tersisa kini tersebar secara mosaik di dalam lansekap hutan tanaman. Keberadaan mosaik hutan alam di hutan tanaman memiliki fungsi yang penting sebagai tempat berlindung dan berkembang biak bagi macan tutul jawa atau tempat pengungsian ketika hutan tanaman di sekitarnya ditebang. Hal ini karena hutan alam umumnya berstatus sebagai hutan lindung atau kawasan lindung dan hutan konservasi sehingga tidak ada kegiatan eksploitasi serta jarang ada aktifitas manusia. Dalam rangka pengelolaan berkelanjutan dan sertifikasi hutan tanaman di Pulau Jawa, maka keberadaan hutan alam secara`mosaik di lansekap hutan tanaman yang homogen perlu dipertahankan dan dikuatkan statusnya menjadi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest). Dalam pengelolaan hutan tanaman ke depan, perlu dirancang untuk menciptakan kantong-kantong hutan yang tidak dieksploitasi yang tersebar secara mosaik di dalam lansekap hutan tanaman sebagai tempat perlindungan atau pengungsian macan tutul jawa dan satwa mangsanya ketika hutan tanaman di sekitarnya dieksploitasi. Kantonglantong hutan seperti ini dapat berupa hutan lindung, kawasan lindung, hutan konservasi atau hutan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest). Kantong-
143
kantong hutan tersebut harus dikelola dengan tujuan melestarikan keanekaragaman hayati bernilai konservasi tinggi seperti macan tutul jawa. Penetapan dan pengelolaan HCVF di lansekap hutan produksi sangat penting untuk mendukung konservasi macan tutul yang tidak mungkin hanya ditopang oleh hutan konservasi yang hanya 16.413 ha (2,54%) di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia (Konsorsium Revisi HCV Tollkit Indonesia, 2008), habitat-habitat yang menjadi tempat perlindungan macan tutul jawa termasuk kategori High Conservation Value (HCV) 1 yaitu area dengan keanekaragaman hayati bernilai penting yang dapat teridiri dari :
Area yang memiliki atau mendukung fungsi perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati.
Spesies yang kritis terancam punah (Critically Endangered)
Area yang memiliki habitat untuk kelangsungan populasi terancam punah, sebaran terbatas atau spesies dilindungi
Area yang memiliki habitat yang digunakan sementara oleh spesies atau kelompok spesies.
d. Zonasi Taman Nasional Dalam zonasi taman nasional, habitat yang menjadi tempat berlindung atau memelihara anak macan tutul sebaiknya ditetapkan sebagai zona inti, karena macan tutul memerlukan tempat dengan tingkat keamanan yang tinggi dari gangguan aktivitas manusia untuk berlindung dan memelihara anak. Daerah jelajah untuk aktivitas harian seperti mencari makan dan mencari pasangan sebaiknya ditetapkan sebagai zona rimba. Sedapat mungkin tidak membuat zona pemanfaatan di daerah jelajah macan tutul jawa apalagi di teritori tempat berlindung dan memelihara anak Untuk itu, penetapan zonasi di taman nasional yang memiliki macan tutul jawa, sebaiknya didahului dengan penelitian tipe-tipe habitat dan sebaran macan tutul jawa tersebut. e. Restorasi Habitat Fakta menunjukkan bahwa habitat-habitat yang ditinggalkan oleh macan tutul jawa merupakan hutan-hutan yang mengalami degradasi kualitas sebagai habitat macan
144
tutul jawa. Degradasi kualitas habitat ini disebabkan oleh kerusakan atau kehilangan vegetasi akibat perambahan dan penggarapan untuk budidaya pertanian. Kawasan hutan yang mengalami degradasi tersebut, perlu dipulihkan melalui kegiatan restorasi. Mengingat kompleksnya proses-proses dan fungsi ekosistem dan luasnya jelajah macan tutul jawa maka untuk dapat memperoleh kembali fungsi-fungsi ekosistem hutan sebagai habitat macan tutul jawa, restorasi harus dilakukan pada level lansekap. Dalam pendekatan restorasi ekosistem hutan, masyarakat disertakan untuk mengidentifikasi dan menetapkan secara tepat praktek-praktek penggunaan lahan yang akan membantu pemulihan fungsi hutan secara keseluruhan lansekap. Dalam hal ini difokuskan pada pemulihan fungsi-fungsi hutan pada level lansekap untuk optimalisasi fungsi ekologi hutan dan pemeliharaan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini adalah memperkuat hubungan antara pembangunan pedesaan, kehutanan dan manajemen konservasi sumberdaya alam lainnya. Dengan perkataan lain lebih mengutamakan pada optimalisasi penyediaan manfaat hutan dalam lansekap yang lebih luas (IUCN, 2005).
4.7.2. Pengelolaan Metapopulasi a. Pembuatan Koridor Populasi-populasi macan tutul jawa yang berada dalam non equilibrium metapopulation memiliki resiko kepunahan jangka pendek lebih tinggi dibandingkan tipe metapopulasi lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya konektifitas antar populasi sehingga setiap populasi memiliki resiko punah lokal karena erosi genetik akibat inbreeding atau faktor demografik seperti tidak tersedianya jantan atau betina dalam populasi tersebut. Jumlah populasi yang tersebar dalam non equilibriium population cukup besar yaitu 31,25% dari seluruh populasi yang ada di Jawa Tengah. Oleh karena itu, dalam pengelolaan di masa mendatang perlu mendapat perhatian. Tindakan pengelolaan terhadap non equilibrium metapopulation yang perlu segera dilakukan adalah menghubungkan populasi-populasi yang terisolasi dari populasi terdekatnya. Dalam hal ini pembuatan koridor satwaliar dapat dipertimbangkan untuk menghubungkan populasi-populasi tersebut.
Dengan memberikan lintasan untuk
perpindahan antar populasi melalui koridor maka dapat meningkatkan peluangnya untuk 145
survival (Meret, 2007).
Manfaat atau keuntungan potensial dari koridor satwaliar
adalah (Meret, 2007): (1)
Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman,
meningkatkan
ukuran
populasi,
menurunkan
kemungkinan
kepunahan dan menghindarkan inbreeding. (2)
Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas.
(3)
Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan gangguan lainnya. Beberapa populasi macan tutul yang dalam jangka panjang perlu dihubungkan
dengan koridor antara lain : (1)
Populasi di Gunung Merapi dengan populasi di Gunung Merbabu
(2)
Populasi di Gunung Sindoro dengan populasi di Gunung Sumbing
(3)
Populasi di Gunung Sindoro dengan populasi di Pegunungan Dieng dan kelompok hutan Petungkriono (KPH Pekalongan Timur)
(4)
Populasi di Gunung Slamet dengan populasi di KPH Pemalang dan KPH Banyumas Barat (Kebasen, Majenang)
(5)
Populasi di KPH Banyumas Barat (Majenang) dengan populasi di KPH Ciamis dan KPH Kuningan (Jawa Barat). Berdasarkan analisis metapopulasi terdapat 21 populasi macan tutul yang perlu
mendapat prioritas pengelolaan karena memiliki resiko kepunahan lokal tinggi dan sedang seperti disajikan pada Lampiran 4. Delapan populasi macan tutul jawa yang memiliki resiko kepunahan tinggi dan perlu mendapat prioritas penyelamatannya adalah: RPH Lobongkok, RPH Mandirancan – RPH Kebasen, RPH Cimanggu, RPH Pringombo, RPH Karangsambung, RPH Karangwinong, RPH Besokor dan BKPH Sambirejo. Upaya-upaya yang harus dilakukan pada setiap populasi yang terancam punah tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4.
b. Translokasi atau Reintroduksi Translokasi adalah pemindahan dan pelepasan satwa dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Translokasi merupakan metode pengendalian populasi tetapi hanya cocok 146
dilakukan pada situasi yang sangat spesifik dan terbatas (Michigan Department of Natural Resources, 2000). Translokasi bertujuan membangun populasi yang viable di lokasi baru dan menghindarkannya dari kepunahan lokal akibat perburuan, degradasi habitat dan bencana seperti epidemi dan kebakaran di lokasi lama. Translokasi juga bertujuan untuk meminimalkan konflik antara satwa dan masyarakat sekitarnya yang dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian satwa tersebut (WWF, 2003.). Reintroduksi (Re-introduction) merupakan usaha membangun kembali populasi suatu spesies di suatu tempat yang secara historis pernah menjadi daerah sebarannya, tetapi kini telah punah. Reontroduksi bertujuan meningkatkan daya hidup spesies dalam jangka panjang; membangun kembali populasi spesies kunci (keystone species) dalam suatu ekosstem; memelihara atau merestorasi keanekaragaman hayati alami; memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal dan nasional; dan mempromosikan kepedulian konservasi. Reintroduksi harus dilakukan di daerah yang pernah menjadi sebaran alaminya dan harus dikelola dalam jangka panjang (IUCN/SSC Re-introduction Specialist Group, 1998). Translokasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena mengandung banyak resiko, seperti resiko bagi satwa yang ditranslokasi dan satwa yang sudah ada di lokasi baru, resiko keselamatan masyarakat dan resiko bagi kondisi ekosistem di lokasi baru (Michigan Department of Natural Resources, 2000; Sainsbury, 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan dengan perencanaan yang matang sebelum dilaksanakan dan evaluasi serta monitoring setelahnya (Sainsbury, 2009) Suatu ketika mungkin tindakan translokasi perlu dilakukan terhadap macan tutul jawa
dengan
tujuan
untuk
membangun
populasi
baru
yang
viable
dan
menghindarkannya dari kepunahan di suatu lokasi yang sudah tidak sesuai (sutable) lagi sebagai habitatnya. Oleh karena itu pemetaan kesesuaian habitat macan tutul jawa menjadi sangat penting untuk pengelolaan populasi dan habitat macan tutul jawa, khususnya berkaitan dengan rencana translokasi. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan dalam melakukan translokasi macan tutul jawa antara lain:
Jika sering terjadi konflik antara masyarakat dengan macan tutul jawa, misalnya sering terjadi pemangsaan ternak dan macan tutul jawa terancam karena masyarakat memasang jerat atau perangkap.
Dalam kasus ini, mungkin 147
ketersediaan mangsa di habitatnya sudah sangat menurun, sehingga macan tutul memperluas penjelajahannya mencari mangsa sampai ke kebun penduduk dan perkampungan.
Jika habitatnya terisolasi dan tidak memungkinkan dibuat koridor ke hutan di sekitarnya. Dalam kasus ini translokasi juga bertujuan menghindarkan inbreeding dan untuk penyegaran genetik.
Jika terjadi penambahan populasi yang menyebabkan luas habitat yang ada tidak mencukupi lagi untuk pembagian teritori individu jantan.
Dalam kasus ini
kemungkinan makanan masih tersedia tetapi ruang terirori yang terbatas. Kasus seperti ini diindikasikan dengan keluarnya macan tutul jawa jantan muda dari habitatnya untuk mencari teritori baru karena tidak dapat bersaing dengan jantan dewasa (induknya).
Jika habitatnya sudah tidak sesuai lagi, misalnya adanya perambahan atau kegiatan manusia yang intensif, kebakaran hutan dan penyempitan kawasan berhutan yang drastis. Keadaan seperti ini, jika tidak ditangani segera maka dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian macan tutul jawa. Perencanaan translokasi harus mencakup : tujuan program translokasi; jenis
satwa yang ditranslokasi; waktu translokasi; ekosistem sumber dan tujuan translokasi; metode dan protokol veteriner yang digunakan; manfaat dan resiko; potensi resiko kesehatan satwa serta resiko ekologi dan ekonomi (CCWHC-OIE, 2001). Metodemetode dan prosedur yang perlu diperhatikan dalam translokasi antara lain : penangkapan satwa, transportasi satwa, pengelolaan dalam kandang sebelum dipindahkan, pakan, prosedur veteriner (kesehatan dan karantina) (CCWHC-OIE, 2001). Bagi habitat tujuan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Memiliki luasan yang cukup untuk membangun satu populasi yang sehat (viable).
Memiliki ketersediaan satwa mangsa yang mampu mendukung kehidupan populasi macan tutul secara terus menerus.
Ada jaminan bahwa tidak ada macan tutul jawa yang masih menghuni lokasi tersebut, karena macan tutul jawa merupakan satwa teritorial, apabila di lokasi
148
tujuan sudah ada macan tutul jawa bisa terjadi penolakan atau perebutan teritori dan yang kalah akan keluar (bisa menggangu masyarakat sekitarnya).
Diutamakan yang memiliki konektivitas dengan populasi macan tutul jawa lain di sekitarnya.
Diutamakan kawasan hutannya tidak berbatasan langsung dengan pemukiman tetapi memiliki buffer berupa hutan negara
Belum pernah ada konflik antara masyarakat dengan satwaliar.
Calon lokasi tujuan translokasi harus diteliti secara ilmiah yang melibatkan lembaga penelitian.
Sebelum dilakukan translokasi harus didahului dengan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar hutan yang menjadi tujuan translokasi. Diperlukan paradigma holistik untuk reintroduksi yang memfokuskan pada
sumber dampak dan penerima dampak dari empat kelompok variabel: (1) pertimbangan biologi (ekologi, genetik, teknik reintroduksi, dll.); (2) issue kekuatan kewenangan (pengendalian sumberdaya, peraturan dan perundangan, hubungan antar aktor, dll.); (3) aspek organisasi (struktur program, perilaku birokrasi, kultur organisasi, dll.); dan (4) pertimbangan sosial ekonomi (nilai-nilai dalam masyarakat, sikap, persepsi, kondisi perekonomian, dll.).
Paradigma ini dapat membantu masyarakat untuk peduli dan
berpartisipasi sehingga reintroduksi dapat berhasil (Richard et al., 2002). Reintroduksi memerlukan pendekatan multi-disiplin yang melibatkan tim dari beragam latar belakang seperti dari lembaga-lembaga pemerintah (kehutanan dan lingkungan hidup), LSM, lembaga donor, universitas, lembaga veteriner, kebun binatang dan taman safari dengan keahlian yang relevan. Salah satu kunci sukses reintroduksi
adalah
sosialisai
atau
penyuluhan
masyarakat
akan
pentingnya
menyelamatkan spesies yang diintroduksi, karena banyak kematian dan kepunahan spesies disebabkan oleh konflik dengan masyarakat.
4.7.3. Penetapan Mainland Population sebagai Kawasan Konservasi Gunung Slemet sebagai “mainland” populasi macan tutul jawa yang menjadi sumber rekolonisasi kantong-kantong habitat di sekitarnya sebaiknya diusulkan menjadi kawasan konservasi, khususnya taman nasional agar dapat lebih menjamin kelestarian macan tutul jawa khususnya dan keanekaragaman hayati di Provinsi Jawa Tengah pada 149
umumnya. Hal ini karena disamping sebagai pusat populasi macan tutul jawa yang relatif aman, Gunung Slamet juga merupakan pusat keanekaragaman hayati langka lainnya di Jawa Tengah, seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi) (Raptor Indonesia, 2010); owa jawa (Hylobates moloch), rekrekan (Presbytis fredericae) dan lutung (Presbytis comata) (Java Primate Center, 2010). Gunung Slamet juga memiliki potensi dan peranan hidrologis yang penting bagi delapan Kabupaten/Kota di sekitarnya (Tegal, Slawi, Brebes, Pemalang, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas dan Cilacap). Dari Gunung Slamet ini mengalir 11 sungai penting yaitu sungai Banjaran, S. Logawa, S. Bojo, S. Penaki, S. Gronggongan, S. Lembarang, S. Gung, S.Brengkah, S. Comal, S. Batur, S. Erang (Kompleet, 2001). Selain potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, kawasan lansekap Gunung Slamet dan sekitarnya juga memiliki potensi wisata alam yang menarik dan sudah berkembang pesat. Kawasan ini juga menyambung dengan bentang alam dataran tinggi Dieng yang memiliki kekayaan peninggalan budaya dan keindahan alam yang bernilai tinggi.
Penetapan kawasan Gunung Slamet sebagai kawasan konservasi akan
menambah kawasan konservasi daratan di Provinsi Jawa Tengah yang relatif masih sedikit (2,54%). 4.7.4. Penataan Ruang Wilayah Kepunahan dan keterancaman macan tutul jawa banyak disebabkan oleh fragmentasi hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat, degradasi habitat dan pemecahan habitat. Fragmentasi merupakan konsekuensi yang tak dapat dihindari dari pembangunan. Pembangunan itu sendiri diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Agar kegiatan pembangunan dapat harmoni dan sinergi dengan konservasi keanekaragaman hayati umumnya dan macan tutul jawa khususnya maka kebijakan penataan ruang merupakan awal kunci keberhasilannya. Pada level regional (provinsi) maupun kabupaten, kebijakan yang dapat berdampak pada kelestarian macan tutul jawa adalah kebijakan tata ruang wilayah yang mencakup pola pemanfaatan ruang dan arahan pengelolaannya. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya masuk dalam pola pemanfaatan ruang Kawasan Lindung. Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya provinsi merupakan arahan umum yang harus ditindak-lanjuti dengan kebijakan di tingkat Kabupaten/Kota. Di
150
Provinsi Jawa Tengah, kawasan yang ditetapkan berfungsi lindung seluas 283.946 hektar, atau sekitar 8,7% dari luas wilayah provinsi. Di sini terlihat bahwa hutan lindung merupakan sub kawasan lindung yang paling besar (4,23%).
Sementara
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya hanya 0,45% (BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah, 2003). Dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah termasuk lebih sedikit memiliki kawasan hutan konservasi daratan, sehingga kelestarian satwa langka lebih banyak bergantung pada hutan produksi Issue fragmentasi habitat masih kurang mendapat perhatian para pengambil kebijakan tata ruang, karena kurangnya pemahaman. Para pembuat kebijakan tata ruang di daerah umumnya masih berpegang pada komposisi luasan dengan standar luas hutan minimal 30% dari luas wilayah. Dari penelitian ini ditemukan tingkat fragmentasi hutan alam yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada level daerah, masih terdapat dua kelemahan utama dalam kebijakan tata ruang wilayah. Pertama adalah belum dipertimbangkannya konsep kekompakan lansekap hutan dan konektifitas antar kelompok hutan.
Kedua belum adanya keterpaduan antar sektor terkait dalam
implementasi kebijakan yang menyangkut pemanfaatan pola ruang, sehingga sering terjadi konflik kepentingan ruang antar sektor.
4.7.5. Kebijakan Nasional Konservasi Macan Tutul Jawa Macan tutul jawa hanya terdapat di Pulau Jawa dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Macan tutul jawa merupakan salah satu dari delapan sup spesies macan tutul yang ada di dunia yang kondisinya palinig terancam (Critically Endangered). Oleh karena itu, konservasi macan tutul jawa menjadi issue yang harus ditangani secara nasional. Dalam level nasional, Kementerian Kehutanan telah menetapkan macan tutul jawa sebagai salah satu satwa langka yang menjadi prioritas untuk dibuat strategi dan rencana aksi konservasinya. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dan dapat menjadi masukan yang penting bagi penyusunan strategi konservasi macan tutul jawa tersebut. Untuk Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten dapat dilakukan penelitian yang sama untuk mengetahui status habitat dan populasi macan tutul jawa di ketiga provinsi tersebut guna melengkapi strategi konservasi macan tutul jawa yang sedang disusun.
151