IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji, sedangkan penggilingan untuk memperluas permukaan bidang keluar minyak dari sel-sel biji kesambi. Biji yang sudah digiling kemudian diekstrak dengan cara pengepresan. Pengepresan dilakukan dengan keadaan suhu bahan sekitar 60-70oC dan tekanan pres sekitar 150-200 kN selama kurang lebih 15 menit. Pemanasan bertujuan untuk mempemudah keluarnya minyak karena dengan suhu yang lebih tinggi viskositas minyak menjadi lebih rendah (encer), sehingga minyak akan mudah keluar dari sel-sel biji. Bungkil biji kesambi sisa pengepresan dilakukan pengepresan ulang untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dari pengepresan yang telah dilakukan, didapat rendemen minyak rata-rata sebesar 27,5% (b/b). Hasil ini tidak jauh berbeda dari penelitian yang dilakukan Sujana (2007) yaitu sebesar 27,98%. Rendemen yang dihasilkan sangat jauh dari yang didapat oleh Heyne (1987) dengan menggunakan pres biji yaitu sekitar 70%. Perbedaan ini dimungkinkan terjadi karena biji kesambi pada penelitian kali ini tidak mengalami pengupasan kulit sebelum dilakukan pengepresan dan perbedaan alat serta kondisi pengepresan yang dilakukan. 2. Kadar Air dan Bilangan Asam Bahan Umumnya minyak nabati hasil pengepresan masih memiliki kandungan air dan nilai bilangan asam yang cukup tinggi. Kadar air dalam minyak kesambi sebesar 0,21%. Tingginya nilai bilangan asam dalam bahan menurut Ketaren (2005) disebabkan oleh kombinasi kerja enzim lipase dalam jaringan dan enzim yang dihasilkan oleh kontaminasi mikroba. Enzim lipase akan mengkatalis reaksi hidrolisis yang memecah minyak (trigliserida) menjadi asam lemak bebas dan gliserol. 18
Kadar air merupakan parameter penting dalam penentuan kualitas minyak. Air yang tedapat dalam minyak akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis trigliserida (Gambar 3) menjadi asam lemak dan gliserol, sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebas (FFA). Kandungan asam lemak bebas (free fatty acid) yang tinggi (bisa dilihat dari nilai bilangan asam) akan menurunkan rendemen biodiesel yang akan diproduksi. Bilangan asam minyak kesambi hasil pengepresan sekitar 17 mg KOH/g minyak.
Panas
Trigliserida
Asam lemak bebas
Air
Gliserol
Gambar 3. Hidrolis Trigliserida (Khan, 2002) Perlakuan pasca panen berupa penyimpanan biji, pengeringan, pengepresan dan cara penyimpanan minyak hasil pengepresan akan mempengaruhi kandungan air dan bilangan asam minyak yang dihasilkan. Penurunan kadar air dalam minyak dapat dilakukan dengan cara pengeringan secara optimal. B. PENELITIAN UTAMA Tahapan proses yang melibatkan esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan transesterifikasi (ET) adalah metode pembuatan biodiesel yang sekarang ini paling banyak dilakukan oleh para peneliti (Prakoso et al., 2003). Namun demikian dalam penelitian ini dicoba juga dengan metode yang lain yaitu ENT (esterifikasi - netralisasi - transesterifikasi) dan ETN (esterifikasi transesterifikasi - netralisasi). Metode ENT dan ETN dicoba karena hasil dari ET yang dilakukan belum cukup untuk menurunkan bilangan asam minyak kesambi mencapai standar. Metanol dan etanol umumnya dipakai dalam transesterifikasi minyak nabati dan lemak, tetapi jenis alkohol lain juga bisa digunakan. Namun
19
demikian, rendemen alkil ester yang tertinggi adalah dengan metanol. Hal tersebut disebabkan metanol merupakan alkohol yang memiliki rantai terpendek dan lebih reaktif dengan minyak. Keuntungan tambahan penggunaan metanol yaitu katalis alkali mudah larut dalam alkohol ini. Jumlah metanol yang digunakan akan lebih bagus jika berlebih untuk menggeser reaksi ke arah pembentukan produk. Untuk itu dalam penelitian ini jumlah metanol divariasikan dengan nisbah molar metanol dengan minyak yaitu 15:1 dan 20:1. Analisa sidik ragam (α=0,05) pada Lampiran 4 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada hasil-hasil yang diperoleh akibat perlakuan waktu yang diberikan karena waktu 30 menit sudah mencukupi untuk terjadinya sebagian besar reaksi. Akibatnya, penambahan waktu hingga 60 menit tidak begitu berpengaruh. Penambahan waktu akan sangat berpengaruh jika skala produksi lebih besar, karena pereaksi membutuhkan waktu untuk kontak dan mengubah pereaksi menjadi produk. 1. Esterifikasi, Transesterifikasi dan Netralisasi a. Esterifikasi Proses esterifikasi dilakukan untuk menurunkan nilai Bilangan Asam minyak mentah. Proses esterifikasi ini dipengaruhi oleh suhu, jumlah katalis, jumlah metanol yang digunakan serta lama waktu reaksi. Suhu esterifikasi adalah 60oC dan katalis yang digunakan adalah HCl 37%. Bilangan asam minyak awal setelah degumming sekitar 17 mg KOH/g minyak. Setelah diesterifikasi bilangan asam turun menjadi 4-10 mg KOH/g minyak. Jumlah katalis (HCl) yang digunakan adalah 1,0% (v/v). Jumlah ini sudah cukup menurunkan bilangan asam minyak kesambi yang diesterifikasi. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah molekul katalis HCl yang digunakan sudah cukup membawa pereaksi-pereaksi menuju kondisi yang efektif. Interaksi antara asam lemak dan alkohol bersifat reversibel dan prosesnya sangat lambat. Mekanisme reaksi esterifikasi berkatalisis asam
20
melibatkan proses pertukaran gugus hidroksil dari suatu karboksilat dengan gugus alkil dari alkohol dan pembentukan molekul air.
Asam lemak bebas
Alkohol
Alkil ester
Air
Gambar 4. Reaksi esterifikasi (Khan, 2002) Reaksi pertukaran antara molekul alkohol (metanol) dengan asam lemak merupakan proses yang sangat lambat dan sangat menentukan proses reaksi keseluruhan. Jumlah alkohol yang cukup banyak sangat membantu tahapan ini karena akan mendorong reaksi ke arah kanan (produk). Dalam kasus minyak kesambi, sebenarnya jumlah metanol dengan rasio 15:1 sudah mencukupi untuk proses esterifikasi karena perbandingan molar yang tepat adalah 1:1 seperti terlihat pada Gambar 4 (1 mol asam lemak bebas tepat bereaksi dengan 1 mol alkohol), namun penggunaan metanol dengan nisbah 20:1 terbukti memberikan penurunan bilangan asam yang lebih besar Dalam proses esterifikasi, selain dihasilkan alkil ester juga dihasilkan air. Kandungan air yang tinggi pada minyak hasil proses esterifikasi
harus
dikurangi
agar
tidak
mengganggu
proses
transesterifikasi. Jika kandungan air dalam minyak hasil esterifikasi terlalu tinggi, akan terjadi reaksi hidrolisis yang akan menjadi reaksi tandingan untuk reaksi transesterifikasi. Sebaliknya kandungan air yang rendah di dalam minyak tidak akan mengganggu reaksi transesterifikasi, karena anion metoksida (CH3O-) lebih kuat dibanding dengan anion hidroksida (OH-) dari air, sehingga pembentukan ikatan ester dengan alkohol lebih dominan terjadi dibandingkan dengan reaksi hidrolisis. Kandungan air maksimum yang tidak akan mengganggu reaksi transesterifikasi adalah sebesar 7% (Gerpen et al., 2004).
21
1.4 1.253 1.2 1.052 1 0.8
0.866
0.800
0.755
0.691
ET ENT
0.6
ETN 0.4 0.2 0
15:1 20:1 1.0 2.0 Nisbah molar metanol-minyak
Gambar 5. Histogram pengaruh jumlah metanol terhadap bilangan asam Bilangan asam dipengaruhi oleh jumlah metanol yang diberikan. Pada tahapan ET, ENT maupun ETN menunjukkan penurunan bilangan asam jika dilakukan penambahan jumlah metanol (Gambar 5). b. Netralisasi Dalam penelitian ini juga dicoba penambahan tahapan proses yaitu netralisasi. Penambahan tahapan ini dilakukan setelah esterifikasi (ENT) dan setelah transesterifikasi (ETN). Netralisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penetralan atau penghilangan asam lemak bebas yang masih tersisa pada minyak/biodiesel. Proses yang terjadi dalam netralisasi sering disebut proses penyabunan (saponification). Netralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH. Senyawa ini dipilih karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan senyawa yang lain (NaCO3). Selain itu penggunaan senyawa NaOH juga membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran berupa getah dan lendir dalam minyak (Ketaren, 2005). Reaksi penyabunan bisa dilihat pada Gambar 6.
22
Panas
Asam lemak bebas
Basa
Sabun (garam)
Air
a. Penyabunan dari asam lemak bebas atau
Air
Basa
Sabun (garam)
Alkohol sederhana
b. Penyabunan dari ester
Gambar 6. Reaksi penyabunan (Khan, 2002) Dalam reaksi penyabunan (netralisasi), akan dihasilkan sabun sekaligus pengurangan/penghilangan asam lemak bebas (penurunan bilangan asam). Walaupun mampu mengurangi asam lemak bebas, netralisasi juga berdampak terhadap pengurangan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena NaOH tidak hanya bereaksi dengan asam lemak bebas tetapi bereaksi pula dengan ester, sehingga terjadi penurunan jumlah ester (Gambar 6). Jika dilihat dari nilai bilangan asam, proses ENT menghasilkan nilai yang paling rendah dan ETN terlihat lebih tinggi. Namun demikian, dengan uji lanjut Duncan perbedaan nilai bilangan asam antara ENT dan ETN tidak signifikan (Lampiran 4). c. Transesterifikasi Reaksi transesterifikasi dilakukan untuk mengkonversi minyak kesambi yang sudah diesterifikasi (netral) menjadi metil ester asam lemaknya. Reaksi ini dipengaruhi oleh kondisi dari minyak dan kondisi yang berasal dari luar minyak. Pengaruh dari kondisi minyak itu sendiri misalnya kandungan air, kandungan asam lemak bebas, dan kandungan zat
23
terlarut maupun tak terlarut yang dapat mempengaruhi reaksi. Pengaruh yang bukan berasal dari minyak dan dapat mempengaruhi reaksi diantaranya adalah suhu, waktu, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis dan jumlah rasio molar metanol terhadap minyak. asam oleat
Gambar 7. Transesterifikasi (Bajpai dan Tyagi, 2006)
Transesterifikasi adalah reaksi kimia berkatalis yang melibatkan minyak (minyak nabati) dan alkohol untuk menghasilkan fatty acid alkil ester dan gliserol. Transesterifikasi juga disebut alkoholisis yang merupakan penggantian gugus alkohol dari ester dengan alkohol lain. Dalam prosesnya mirip dengan hidrolisis, kecuali alkohol dibutuhkan sedangkan air tidak. Trigliserida sebagai komponen utama minyak nabati, terdiri dari tiga asam lemak rantai panjang yang terikat pada gliserol. Saat trigliserida bereaksi dengan alkohol (metanol), tiga asam lemak dibebaskan dari gliserol dan bergabung dengan alkohol untuk membentuk fatty acid metil ester (FAME atau biodiesel). Berbeda dengan reaksi esterifikasi yang berkatalis asam, reaksi transesterifikasi berkatalis basa (NaOH) tidak melalui proses protonasi gugus karbonil asam lemak dan tidak melalui tahapan pertukaran antara ion oksonium dengan alkohol. Sebagai gantinya, terjadi pertukaran antara ion karboksilat dengan ion metoksida. Ion metoksida, berasal dari reaksi metanol dengan katalis basa, merupakan nukleofilik kuat yang dapat dengan mudah menukarganti gugus karbonil pada asam lemak (Anonim,
24
2008). Karena alasan tersebut, reaksi transesterifikasi dapat berjalan dengan cepat. Selain itu reaksi ini juga bersifat eksoterm, sehingga panas yang dihasilkan dapat mempercepat reaksi. Menurut Janulis et al., (2005), laju reaksi transesterifikasi tercepat terjadi pada 15 menit pertama dan rendemen hampir tidak berubah setelah 30 menit. Penggunaan katalis basa dalam transesterifikasi memiliki resiko terbentuknya sabun karena adanya reaksi penyabunan antara asam lemak bebas dengan kation alkali (Na+) dari katalis basa yang digunakan. Jenis katalis yang sering dipakai adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH). Penggunaan NaOH sebagai katalis dipilih karena lebih reaktif dan lebih murah dibandingkan dengan KOH. Reaktan yang dipakai dalam transesterifikasi adalah metanol. Metanol lebih ekonomis (murah) dibandingkan etanol atau alkohol berantai panjang lain. Nisbah molar metanol dengan minyak yang digunakan adalah 6:1. Sebenarnya perbandingan yang tepat adalah 3:1 (3 mol alkohol dengan 1 mol ester atau trigliserida). Perbandingan 6:1 dipilih dengan tujuan mendorong reaksi ke arah produk. Perbandingan molar metanol terhadap minyak yang terlalu besar akan menyulitkan dalam proses pemisahan gliserol karena akan meningkatkan kelarutan gliserol di dalam metil ester (Meher et al., 2006). Dalam proses esterifikasi dan transesterifikasi, selain jumlah pereaksi dan jumlah katalis, faktor lain yang menentukan adalah suhu dan pengadukan. Suhu diperlukan untuk mencapai kondisi reaksi, sedangkan pengadukan bertujuan untuk meningkatkan kontak antar reaktan yang juga akan mempercepat reaksi. 2. Biodiesel a. Bilangan Asam Dari percobaan yang dilakukan dengan faktor tahapan reaksi (ET, ENT dan ETN), rasio metanol (15:1 dan 20:1) dan waktu esterifikasi (30 menit dan 60 menit) diperoleh biodiesel yang memiliki bilangan asam terendah adalah dari proses dengan tahapan ENT suhu 60oC dan rasio
25
metanol dengan minyak 20:1 yaitu sebesar 0,625 mg KOH/g minyak (Lampiran 3). Dari analisis ragam (Lampiran 4), diperoleh bahwa faktor tahapan proses, jumlah metanol dan waktu berpengaruh nyata terhadap hasil yang diperoleh. Interaksi antara faktor tahapan proses, jumlah metanol dan waktu esterifikasi juga berpengaruh nyata. Berikut pengaruh tahapan proses dan jumlah metanol terhadap nilai bilangan asam. 1.4 1.2
1.153
1.0
0.833
0.723
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 ET
ENT Tahapan proses
ETN
Gambar 8. Histogram pengaruh tahapan proses terhadap bilangan asam Dari Gambar 8 ditunjukkan bahwa tahapan proses yang memiliki bilangan asam terendah adalah ENT dengan nilai rata-rata bilangan asam paling rendah yaitu 0.723 mg KOH/g minyak. 1.2 1.0
0.958 0.848
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 15:1 20:1 Nisbah molar metanol-minyak
Gambar 9. Histogram pengaruh jumlah metanol terhadap bilangan asam
26
Dari Gambar 9 ditunjukkan bahwa rasio metanol 20:1 memberikan pengaruh penurunan bilangan asam yang lebih besar. Pembuatan biodiesel dengan rasio metanol-minyak 20:1 memberikan nilai rata-rata bilangan asam terendah yaitu 0.848 mg KOH/g minyak. Untuk melihat tahapan proses yang berbeda nyata terhadap nilai bilangan asam, dilakukan uji lanjut Duncan. Dari uji tersebut (Lampiran 4), tahapan proses ET berbeda nyata dengan tahapan lainnya, sedangkan tahapan ENT dan ETN memberikan hasil yang hampir sama atau tidak berbeda nyata. Bilangan asam dan FFA (free fatty acid) menggambarkan jumlah asam lemak bebas dari sampel dalam basis yang berbeda. Bilangan asam adalah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan grup karboksil bebas dari satu gram sampel. Kadar FFA merupakan kandungan asam oleat yang terdapat pada sampel yang dinyatakan dalam persen. Asam lemak bebas pada minyak maupun metil ester akan meningkat dengan adanya proses hidrolisis yang dikatalisa asam, terutama jika produk memiliki kadar air yang tinggi. Proses hidrolisis juga dipercepat oleh peningkatan suhu. Selama hidrolisis terjadi pemecahan ikatan ester yang menghasilkan asam lemak bebas, monogliserida, dan digliserida. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 3. Kadar FFA sebanding dengan nilai bilangan asam, yaitu semakin tinggi nilai bilangan asam semakin tinggi pula kadar FFA. Nilai bilangan asam hasil uji dari beragai percobaan dapat dilihat di Lampiran 3 dan digambarkan oleh Gambar 10. Penurunan kadar FFA dari minyak setelah proses ET terjadi karena pada proses esterifikasi asam-asam lemak bebas dalam minyak sebagian besar terkonversi menjadi metil ester. Selain metil ester, dari proses esterifikasi dihasilkan air. Adanya air inilah yang menyebabkan proses hidrolisis terjadi, terutama pada saat transesterifikasi, ditambah dengan adanya peningkatan suhu selama proses. Hidrolisis asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat dan linoleat lebih mudah terjadi karena kelarutannya dalam air cukup tinggi. Adanya kandungan asam lemak bebas pada produk saat transesterifikasi menyebabkan terbentuknya sabun yang akan
27
menyulitkan proses pemisahan metil ester dari gliserol karena sifat pengemulsinya.
1.333
1.4 1.2
1.173
1.0
1.106
0.999
0.917 0.803
0.8
0.708 0.758
0.815 0.817 0.783
0.625
0.6 0.4 0.2 0.0
Perlakuan Keterangan :
A1B1C1 : ET, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A1B1C2 : ET, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A1B2C1 : ET, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A1B2C2 : ET, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit A2B1C1 : ENT, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A2B1C2 : ENT, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A2B2C1 : ENT, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A2B2C2 : ENT, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit A3B1C1 : ETN, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A3B1C2 : ETN, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A3B2C1 : ETN, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A3B2C2 : ETN, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit
Gambar 10. Nilai bilangan asam dari berbagai perlakuan percobaan Keasaman biodiesel dapat menyebabkan korosi dan kerusakan pada mesin diesel, sehingga hal ini menjadi salah satu faktor penting dalam penentuan proses pembuatan biodiesel. Rata-rata bilangan asam biodiesel belum memenuhi syarat biodiesel yang diharuskan oleh ASTM D 6751 dan SNI 04-7182-2006 (Lampiran 5), walaupun untuk ENT sebagian besar memenuhi standar. Hal tersebut dikarenakan pada proses esterifikasi asamasam lemak bebas pada minyak belum terkonversi secara sempurna
28
menjadi metil ester. Selain itu, pada proses pemisahan, pencucian dan pengeringan biodiesel yang dilakukan belum sempurna. b. Rendemen Rendemen massa biodiesel dihitung untuk mengetahui jumlah biodiesel kasar yang diperoleh setelah settling dibandingkan dengan total minyak awal (%b/b). Pemisahan dilakukan secara settling di corong pemisah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pemisahan tersebut adalah viskositas, perbedaan densitas antara gliserol serta senyawasenyawa hidrofilik lainnya dan biodiesel. Gliserol dan partikel dari senyawa-senyawa lain akan membentuk suatu agregat yang kompak dan padat. Akibatnya, gliserol serta partikel-partikel senyawa lain yang larut di dalamnya akan terpisah dari biodiesel. Hal ini juga dipengaruhi oleh densitas gliserol (1,26 g/cm3) yang memang lebih besar daripada biodiesel serta sifatnya yang tidak larut dalam biodiesel. Pemisahan bidodiesel dari senyawa lain yang tidak dibutuhkan merupakan titik kritis dimana pemisahan yang tidak optimal akan menyebabkan turunnya rendemen. Selain itu senyawa lain yang masih terkandung dalam biodiesel akan menurunkan kualitas (karakteristik yang diperlukan) biodiesel. Bilangan asam untuk ENT (A2) memiliki nilai rata-rata terkecil, namun jika dilihat dari biodiesel yang diperoleh (Lampiran 3), ENT menunjukkan nilai rata-rata yang paling rendah. Hal ini disebabkan karena proses netralisasi mengurangi jumlah ester pada minyak cukup besar, sehingga biodiesel yang didapat menurun drastis. c. Viskositas Viskositas yang tinggi adalah kelemahan pokok minyak nabati karena nilainya jauh lebih besar (10 kali lipat) dari viskositas solar, sehingga akan menyulitkan pemompaan bahan bakar dari tangki ke ruang bakar mesin. Viskositas asam lemak lebih tinggi daripada metil atau etil esternya karena adanya ikatan hidrogen intermolekular dalam asam di luar grup karboksil. Viskositas metil ester tidak jenuh akan menurun dengan 29
adanya ketidakjenuhan, tetapi ikatan rangkap berturut-turut tidak terlalu berpengaruh terhadap fluiditas dibandingkan ikatan rangkap tunggal dalam rantai asam lemak (Formo, 1979). Percabangan memiliki efek yang tidak signifikan terhadap viskositas kinematik dibandingkan adanya ikatan rangkap, namun posisi ikatan rangkap tidak terlalu mempengaruhi viskositas. Alkohol bercabang tidak mempengaruhi viskositas secara signifikan dibandingkan rantai lurus, sedangkan adanya asam lemak bebas akan meningkatkan viskositas secara nyata. Kisaran viskositas campuran asam lebih besar daripada berbagai macam hidrokarbon yang terdapat dalam petrodiesel. Viskositas kinematik akan meningkat seiring dengan panjang rantai asam lemak dan alkohol dalam ester asam atau dalam hidrokarbon alifatik (Knothe dan Steidley, 2005) Biodiesel adalah campuran dari ester-ester asam lemak yang masing-masing komponennya berkontribusi terhadap viskositas kinematik biodiesel secara keseluruhan. Dengan demikian, dapat diduga bahwa viskositas biodiesel dipengaruhi oleh panjang rantai dan komposisi asam lemak, posisi dan jumlah ikatan rangkap (derajat ketidakjenuhan) dalam biodiesel serta jenis alkohol yang digunakan untuk proses. Hasil uji viskositas kinematik dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 11. Viskositas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan pemisahan gliserol dari biodiesel selain densitas. Gliserol merupakan salah satu senyawa yang dapat meningkatkan viskositas biodiesel. Dari data yang diperoleh terlihat adanya penurunan viskositas kinematik yang signifikan setelah minyak kesambi diolah menjadi biodiesel. Viskositas minyak kesambi awal adalah 25,07 cSt (4 kali lipat dari maksimum standar). Biodiesel kesambi yang dihasilkan rata-rata memiliki viskositas dua kali lipat dari viskositas standar. Viskositas biodiesel juga dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak bereaksi dengan metanol, komposisi asam lemak penyusun metil ester biodiesel serta senyawa intermediet seperti monogliserida dan digliserida yang mempunyai polaritas dan bobot molekul yang cukup
30
tinggi.
Digliserida
dan
monogliserida
merupakan
senyawa
yang
mempunyai sifat aktif permukaan atau menurunkan tegangan permukaan lebih baik daripada trigliserida. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
14.4
14.6
16.0
17.9
16.4
14.9 13.0
12.7
16.3 14.6
15.2
13.2
Perlakuan Keterangan :
A1B1C1 : ET, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A1B1C2 : ET, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A1B2C1 : ET, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A1B2C2 : ET, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit A2B1C1 : ENT, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A2B1C2 : ENT, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A2B2C1 : ENT, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A2B2C2 : ENT, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit A3B1C1 : ETN, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A3B1C2 : ETN, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A3B2C1 : ETN, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A3B2C2 : ETN, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit
Gambar 11.Histogram viskositas dari berbagai perlakuan percobaan Rata-rata viskositas yang diperoleh lebih besar dari standar, hal ini disebabkan pemisahan (settling) tidak efektif dan kurang sempurna. Untuk mengatasi hal itu bisa dilakukan alternatif cara pemisahan yang lain seperti sentrifugasi atau dengan pemisahan vakum. Selain itu, zat-zat pengotor yang
masih
terdapat
dalam
biodiesel
setelah
pemisahan
akan
meningkatkan viskositas biodiesel. Zat-zat pengotor ini dapat berupa
31
gliserol serta katalis basa dan monogliserida yang bersifat lebih polar (larut dalam gliserol) dibandingkan biodiesel. d. Kadar Air Kadar air biodiesel mempengaruhi penyimpanan biodiesel dan juga proses pencampuran dengan solar karena sifatnya yang higroskopis. Kadar air biodiesel yang tinggi dapat menyebabkan mikroba mudah tumbuh, sehingga mengotori biodiesel, korosi pada mesin, dan pada suhu rendah menyebabkan pemisahan biodiesel murni maupun blending. Selain itu adanya air dalam biodiesel dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan kadar FFA (bilangan asam). Hasil uji kadar air dapat dilihat pada Lampiran 3. Peningkatan kadar air minyak kesambi setelah menjadi biodiesel disebabkan adanya akumulasi air pada minyak sebelum proses transesterifikasi yaitu hasil samping proses esterifikasi. Peningkatan kadar air ini dapat mendorong terjadinya proses hidrolisis antara trigliserida dan molekul air, sehingga membentuk gliserol dan asam lemak bebas. Rata-rata kandungan air dalam biodiesel masih tinggi. Hal ini disebabkan oleh pemisahan dan pengeringan yang tidak sempurna. Selain itu kadar air biodiesel lebih banyak dipengaruhi oleh karakteristik fisik minyak awal. e. Densitas Parameter seperti densitas atau berat jenis minyak dan metil ester (biodiesel) dipengaruhi oleh panjang rantai asam lemak, ketidakjenuhan, dan temperatur lingkungan (Formo, 1979). Seperti halnya viskositas, semakin panjang rantai asam lemak, maka densitas akan semakin meningkat. Ketidakjenuhan juga mempengaruhi densitas, dimana semakin banyak jumlah ikatan rangkap yang terdapat dalam produk akan terjadi penurunan densitas. Biodiesel harus stabil pada suhu rendah, semakin rendah suhu, maka berat jenis biodiesel akan semakin tinggi dan begitu juga sebaliknya. Keberadaan gliserol dalam biodiesel mempengaruhi densitas biodiesel karena gliserol memiliki densitas yang cukup tinggi
32
(1,26 g/cm3), sehingga jika gliserol tidak terpisah dengan baik dari biodiesel, maka densitas biodiesel pun akan meningkat. Hasil uji densitas biodiesel pada suhu 20°C dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 12. Proses
esterifikasi,
transesterifikasi
dan
netralisasi
dapat
menurunkan densitas minyak kesambi karena sebagian besar trigliserida telah terkonversi menjadi metil ester yang memiliki densitas lebih kecil daripada minyak. Selama proses esterifikasi atau transesterifikasi rantairantai asam lemak dalam minyak kesambi akan terpecah menjadi rantai metil ester yang lebih pendek, sehingga densitas pun akan menurun seiring dengan penurunan bobot molekul. 0.925 0.920
0.920
0.915 0.910
0.911
0.909 0.911 0.911 0.906
0.908
0.906
0.908 0.907 0.909 0.907
0.905 0.900 0.895
Perlakuan Keterangan :
A1B1C1 : ET, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A1B1C2 : ET, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A1B2C1 : ET, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A1B2C2 : ET, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit A2B1C1 : ENT, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A2B1C2 : ENT, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A2B2C1 : ENT, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A2B2C2 : ENT, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit A3B1C1 : ETN, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 30 menit A3B1C2 : ETN, nisbah metanol-minyak 15:1, waktu 60 menit A3B2C1 : ETN, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 30 menit A3B2C2 : ETN, nisbah metanol-minyak 20:1, waktu 60 menit
Gambar 12. Histogram densitas biodiesel dari berbagai perlakuan
33
Rata-rata densitas biodiesel adalah sebesar 0,909 g/cm3. Nilai ini masih lebih besar dari densitas standar yaitu 0,890 g/cm3. Hal ini dapat disebabkan karena senyawa-senyawa seperti sabun, katalis basa dan metanol masih dimungkinkan ada dalam biodiesel akibat pemisahan yang kurang sempurna. Solusi untuk menurunkan densitas mirip dengan solusi untuk menurunkan viskositas yaitu pemisahan harus dilakukan dengan sempurna dengan menggunakan alternatif cara pemisahan yang lain. 3. Perbandingan Biodiesel dengan SNI Biodiesel yang diperoleh dari minyak kesambi dengan berbagai perlakuan menunjukkan bahwa nilai rata-rata untuk beberapa karakteristik yang diuji masih belum memenuhi stándar yang telah ditetapkan (SNI). Berikut tabel perbandingan nilai masing-masing karakteristik biodiesel dari minyak kesambi yang diperoleh, karakteristik biodiesel dari minyak jarak dan dengan SNI. Tabel 4. Perbandingan karakteristik biodiesel Karakteristik Bilangan asam (mg KOH/ g minyak) Kadar air (% vol) Densitas (g/cm3) Viskositas (mm2/s (cSt)
Kesambi ETN
Ratarata
Jarak*
SNI
1,153 0,723 0,833
0,877
0,240
< 0,8
0,65
0,28
0,49
0,16
0,913 0,908 0,908
0,909
0,879
15,3
14,8
4,84
< 0,05 0,8500,890 2,3 – 6,0
ET
ENT
0,41
14,6
14,8
*Gubitz et al. (1999) Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa hampir semua karakteristik yang diuji belum memenuhi standar. Nilai yang memenuhi standar hanya bilangan asam dari proses ENT. Hasil ini bisa disebabkan oleh banyak faktor misalnya proses yang dilakukan tidak sempurna dan peralatan yang digunakan masih belum cocok atau tidak memadai.
34