49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembangunan Model 4.1.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi Rumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi meliputi 2 (dua) aspek yang dipertimbangkan, yaitu: aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 7 (tujuh) kriteria hipotetik kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan diperoleh 17 kriteria dari rekapitulasi kriteria hasil wawancara pakar yang selanjutnya dirumuskan menjadi 8 (delapan) kriteria (Lampiran 5). Adapun berdasarkan hasil pembobotan terhadap 8 (delapan) kriteria tersebut oleh pengambil kebijakan dapat diketahui bahwa bobot kriteria untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi (Gambar 10) terdiri atas: keberadaan jenis langka dan dilindungi (bobot: 0,310), keanekaragaman tipe ekosistem (bobot: 0,181), potensi keanekaragaman jenis (bobot: 0,142), ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir (bobot: 0,127), pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari oleh stakeholders (bobot: 0,122), lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam (bobot: 0,050), tempat peninggalan budaya (bobot: 0,035), dan logistik bagi penelitian dan pendidikan (bobot: 0,033).
Gambar 10 Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan konservasi
50
Berdasarkan uraian tersebut, nampak jelas bahwa kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan yang memiliki bobot dominan adalah sebanyak 5 (lima) kriteria, yaitu: keberadaan jenis langka dan dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem, potensi keanekaragaman
jenis,
ekosistem
penting
sebagai
penyedia
air
dan
pengendalian banjir, dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari oleh stakeholders. Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi secara lebih detail dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Keanekaragaman tipe ekosistem Deskripsi kriteria: Keberadaan beberapa tipe ekosistem dalam suatu kawasan hutan konservasi, seperti: ekosistem hutan mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan rawa, ekosistem hutan gambut, ekosistem hutan musim, ekosistem hutan kerangas, ekosistem padang rumput/savana, ekosistem danau, ekosistem hutan hujan dataran rendah, ekosistem hutan hujan dataran tinggi (500 – 1.000 mdpl), ekosistem hutan hujan pegunungan bawah (submontana) (1.000 – 1.500 mdpl), ekosistem hutan hujan pegunungan (montana) (> 1.500 – 2.400 mdpl), ekosistem hutan hujan subalpin (> 2.400 – 4.150 mdpl), ekosistem hutan hujan alpin (> 4.150 mdpl). Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,181 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah tipe ekosistem yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi 2.
Potensi keanekaragaman jenis Deskripsi kriteria: Keberadaan berbagai jenis tumbuhan dan satwaliar di suatu kawasan hutan konservasi Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,142
51
Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah tumbuhan dan satwaliar yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi 3.
Keberadaan jenis langka dan dilindungi Deskripsi kriteria: Keberadaan jenis-jenis tumbuhan dan satwaliar yang tergolong jenis langka dan dilindungi di suatu kawasan hutan konservasi Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,310 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya jenis tumbuhan dan satwaliar langka dan dilindungi di suatu kawasan hutan konservasi
4.
Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir Deskripsi kriteria: Ekosistem yang mempunyai peran dan fungsi penting dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat dan sebagai pengendali banjir bagi daerah-daerah di sekitar suatu kawasan hutan konservasi Ekosistem yang termasuk ke dalam ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir adalah sebagai berikut: hutan berawan; hutan pada punggung gunung (ridge forest); ekosistem riparian; hutan karst/batu kapur; berbagai ekosistem lahan basah, termasuk lahan gambut (terutama yang masih berhutan), hutan rawa air tawar, hutan bakau, danau, dan rawa padang rumput. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,127 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
5.
Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam Deskripsi kriteria: Keberadaan lansekap atau ciri geofisik yang dapat menjadi obyek wisata alam di suatu kawasan hutan konservasi, seperti: gua, air terjun, danau, mata air panas, puncak gunung, kawah.
52
Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,050 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi 6.
Tempat peninggalan budaya Deskripsi kriteria: Keberadaan situs/tempat peninggalan budaya di suatu kawasan hutan konservasi.
Situs/tempat peninggalan budaya tersebut dapat berupa:
makam keramat, hutan yang dikeramatkan, situs keramat/bersejarah (candi, kuil, galian purbakala), tempat ritual upacara/pemujaan. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,035 Persyaratan yang harus dipenuhi: Keaktifan/pemanfaatan tempat peninggalan budaya di suatu kawasan hutan konservasi dan keberadaan masyarakat adat yang memanfaatkan tempat peninggalan budaya tersebut 7.
Logistik bagi penelitian dan pendidikan Deskripsi kriteria: Ketersediaan logistik bagi kegiatan penelitian dan pendidikan di suatu kawasan hutan konservasi. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,033 Persyaratan yang harus dipenuhi: Tersedianya logistik bagi kegiatan penelitian dan pendidikan di suatu kawasan hutan konservasi yang meliputi: tersedianya sarana dan prasarana penelitian, obyek penelitian mudah dijumpai/ditemukan, terdapatnya sistem pengelolaan data base penelitian, tersedianya pendamping lapangan yang profesional, tersedianya peralatan penelitian yang memadai
53
8.
Pemanfaatan SDA secara lestari oleh stakeholders Deskripsi kriteria: Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) secara lestari oleh stakeholders di suatu kawasan hutan konservasi, seperti: pemanfaatan air, jasa wisata alam, panas bumi, penelitian, pendidikan. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,122 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya beberapa persyaratan agar kegiatan pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi oleh stakeholders dapat lestari, yaitu: - Adanya MoU (nota kesepakatan) antara stakeholders pemanfaat SDA dengan pihak pengelola suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemulihan SDA di suatu kawasan hutan konservasi apabila terjadi kerusakan SDA akibat kegiatan pemanfaatan SDA tersebut Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 4 (empat) kriteria
hipotetik kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan diperoleh 9 (sembilan) kriteria dari rekapitulasi kriteria hasil wawancara pakar yang selanjutnya dirumuskan menjadi 7 (tujuh) kriteria (Lampiran 5). Adapun berdasarkan hasil pembobotan terhadap 7 (tujuh) kriteria tersebut oleh pengambil kebijakan dapat diketahui bahwa bobot kriteria untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi (Gambar 11) terdiri atas: akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,287), besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi (bobot: 0,182), bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,162), persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,132), macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,106), luasan suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,069), dan keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,062).
Secara detail, perhitungan
perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi disajikan pada Lampiran 17.
54
Gambar 11 Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi Berdasarkan uraian tersebut, nampak jelas bahwa kriteria kawasan hutan konservasi
yang
perlu
segera
direstorasi
berdasarkan
aspek
tingkat
kemendesakan yang memiliki bobot dominan adalah sebanyak 4 (empat) kriteria, yaitu: akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat, bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, dan persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi. Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi
yang
perlu
segera
direstorasi
berdasarkan
aspek
tingkat
kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi secara lebih detail dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi apabila dibandingkan dengan luas suatu kawasan hutan konservasi tersebut. Kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi didekati dari konsep deforestasi hutan.
Deforestasi berarti terjadinya perubahan dari kondisi
berhutan menjadi kondisi tidak berhutan. Kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, seperti: terjadinya
penebangan
liar,
perambahan
hutan,
kebakaran
hutan,
pertambangan, dan bencana alam. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,132
55
Persyaratan yang harus dipenuhi: Besarnya persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi 2. Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Bentuk dan sebaran kerusakan hutan yang terjadi di suatu kawasan hutan konservasi. Bentuk kerusakannya dapat membulat, memanjang, tidak beraturan. Sedangkan sebaran kerusakannya dapat menyebar, mengumpul, tidak beraturan. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,162 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jenis bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi 3.
Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi dapat berupa terjadinya banjir, erosi, tanah longsor, kekeringan, penurunan kualitas air, maupun bencana alam lainnya. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,287 Persyaratan yang harus dipenuhi: Frekuensi terjadinya bencana alam sebagai akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi.
4.
Luasan suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Luas wilayah suatu kawasan hutan konservasi Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,069 Persyaratan yang harus dipenuhi: Ukuran/luas wilayah suatu kawasan hutan konservasi
56
5.
Keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Keberadaan hutan dengan jenis-jenis tumbuhan yang sedikit/cenderung homogen di suatu kawasan hutan konservasi yang tidak alami, misalya berupa hutan eks hutan tanaman yang kemudian beralih fungsi menjadi hutan konservasi. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,062 Persyaratan yang harus dipenuhi: Besarnya persentase hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi apabila dibandingkan dengan luas seluruh kawasan hutan konservasi tersebut.
6.
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi.
Macam aktivitas masyarakat tersebut dapat berupa aktivitas
yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kawasan hutan (berladang, berkebun, menambang mineral) maupun aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan (hasil hutan kayu: mengambil kayu, maupun hasil hutan nonkayu: menyadap getah, mengambil buah, daun, madu, berburu) Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,106 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi 7.
Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi.
57
Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,182 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya kontribusi stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi seperti yang telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya memiliki variabel penilaian dan skala intensitas seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Kriteria dalam merumuskan kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi No. I. 1.
2.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi 0,310 Terdapatnya jenis Tidak terdapat Keberadaan jenis tumbuhan dan tumbuhan langka langka dan satwaliar langka dan dan dilindungi dilindungi *) dilindungi di suatu serta tidak kawasan hutan terdapat satwaliar konservasi langka dan dilindungi Terdapat tumbuhan langka atau dilindungi serta terdapat satwaliar langka atau dilindungi Terdapat tumbuhan langka dan dilindungi serta terdapat satwaliar langka atau dilindungi Terdapat tumbuhan langka atau dilindungi serta terdapat satwaliar langka dan dilindungi Terdapat tumbuhan langka dan dilindungi serta terdapat satwaliar langka dan dilindungi Keanekaragaman tipe ekosistem *)
0,181
Jumlah tipe ekosistem yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
< 3 tipe ekosistem
Skala Intensitas 1
2
3
4
5
1
58
No.
3.
4.
5.
Kriteria
Potensi keanekaragaman jenis
Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian *) banjir
Pemanfaatan SDA secara lestari oleh stakeholders
Bobot
0,142
0,127
0,122
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Jumlah tumbuhan dan satwaliar yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
Jumlah ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
Terdapatnya beberapa persyaratan agar kegiatan pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi oleh stakeholders dapat lestari, yaitu: - Adanya MoU (nota kesepakatan) antara stakeholders pemanfaat SDA dengan pihak pengelola suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemulihan SDA di suatu kawasan hutan konservasi apabila
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
3 – 4 tipe ekosistem 5 – 6 tipe ekosistem 7 – 8 tipe ekosistem > 8 tipe ekosistem
2
Tidak terdapat tumbuhan dan tidak terdapat satwaliar < 500 jenis tumbuhan dan < 100 jenis satwaliar ≥ 500 jenis tumbuhan dan < 100 jenis satwaliar < 500 jenis tumbuhan dan ≥ 100 jenis satwaliar ≥ 500 jenis tumbuhan dan ≥ 100 jenis satwaliar
1
3 4 5
2 3 4 5
≤ 1 ekosistem penting 2 ekosistem penting 3 ekosistem penting 4 ekosistem penting > 4 ekosistem penting
1
0% (tidak ada) stakeholders memenuhi persyaratan < 25% stakeholders memenuhi persyaratan 25% - 50% stakeholders memenuhi persyaratan > 50% - 75% stakeholders memenuhi persyaratan > 75% stakeholders memenuhi persyaratan
1
2 3 4 5
2
3
4
5
59
Kriteria
No.
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
≤ 1 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam 2 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam 3 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam 4 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam > 4 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam
1
Tidak pernah dikunjungi lagi Kadang-kadang dikunjungi dan tidak terdapat masyarakat adat Kadang-kadang dikunjungi dan masih terdapat masyarakat adat Rutin dikunjungi dan tidak terdapat masyarakat adat Rutin dikunjungi dan masih terdapat masyarakat adat
1
terjadi kerusakan SDA akibat kegiatan pemanfaatan SDA tersebut 6.
Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam
0,050
*)
7.
8.
Tempat peninggalan budaya *)
Logistik bagi penelitian dan pendidikan
0,035
0,033
Jumlah lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
Keaktifan/pemanfaatan tempat peninggalan budaya di suatu kawasan hutan konservasi dan keberadaan masyarakat adat yang memanfaatkan tempat peninggalan budaya tersebut
Tersedianya logistik bagi kegiatan penelitian dan pendidikan di suatu kawasan hutan konservasi yang meliputi: - Tersedianya sarana dan prasarana penelitian - Obyek penelitian mudah dijumpai/ditemukan - Terdapatnya sistem pengelolaan data
1 persyaratan terpenuhi 2 persyaratan terpenuhi 3 persyaratan terpenuhi 4 persyaratan terpenuhi 5 persyaratan terpenuhi
2
3
4
5
2
3
4 5
1 2 3 4 5
60
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
base penelitian - Tersedianya pendamping lapangan yang profesional - Tersedianya peralatan penelitian yang memadai II. 1.
2.
Aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi direstorasi: Akibat yang 0,287 Frekuensi terjadinya Bencana alam ditimbulkan dari bencana alam sebagai terjadi ≤ 1 kerusakan hutan di akibat yang kali/tahun suatu kawasan ditimbulkan dari Bencana alam hutan konservasi kerusakan hutan di terjadi 2 kali/tahun suatu kawasan hutan Bencana alam konservasi terjadi 3 kali/tahun Bencana alam terjadi 4 kali/tahun Bencana alam terjadi > 4 kali/tahun Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi
0,182
Terdapatnya kontribusi stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar
0% (tidak ada) stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar < 25% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar 25% - 50% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar > 50% - 75% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian
untuk 1 2 3 4 5
1
2
3
4
61
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar > 75% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar
3.
4.
5.
Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
0,162
0,132
0,106
Jenis bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Besarnya persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Terdapatnya macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar di suatu
Bentuk kerusakan dan sebaran kerusakan tidak beraturan Bentuk kerusakan memanjang dan sebaran kerusakan menyebar Bentuk kerusakan membulat dan sebaran kerusakan menyebar Bentuk kerusakan memanjang dan sebaran kerusakan mengumpul Bentuk kerusakan membulat dan sebaran kerusakan mengumpul
Skala Intensitas
5
1
2
3
4
5
0% (tidak ada) mengalami kerusakan hutan
1
< 25% mengalami kerusakan hutan 25% - 50% mengalami kerusakan hutan > 50% - 75% mengalami kerusakan hutan > 75% mengalami kerusakan hutan
2
Tidak ada aktivitas pengelolaan lahan dan tidak ada aktivitas
1
3 4 5
62
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi kawasan hutan konservasi
6.
7.
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
Keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi
Keterangan:
*)
0,069
0,062
Ukuran/luas wilayah suatu kawasan hutan konservasi
Besarnya persentase hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi apabila dibandingkan dengan luas seluruh kawasan hutan konservasi tersebut
Variabel Penilaian pemanfaatan hasil hutan Hanya ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan nonkayu Tidak ada aktivitas pengelolaan lahan dan ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu Ada aktivitas pengelolaan lahan dan tidak ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu Ada aktivitas pengelolaan lahan dan ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu
Skala Intensitas
2
3
4
5
≥ 40.000 ha 30.000 ha - < 40.000 ha 20.000 ha - < 30.000 ha 10.000 ha - < 20.000 ha < 10.000 ha
1 2
0% (tidak ada) kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) < 25% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) 25% - 50% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) > 50% - 75% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) > 75% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman)
1
3 4 5
2
3
4
5
Modifikasi dari Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (MacKinnon, 1993)
63
4.1.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi Berdasarkan hasil studi literatur dapat diketahui bahwa kawasan hutan konservasi berupa taman nasional saat ini berjumlah 50 unit, yang terbagi menjadi 24 unit (48%) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan dataran rendah dan 26 unit (52%) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan pegunungan. Secara umum, ke-50 taman nasional tersebut memiliki kondisi umum yang sama, yaitu berupa: penutupan lahan, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka atau dilindungi, lereng, elevasi, jenis tanah, intensitas hujan, luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kepadatan penduduk
di
desa-desa
sekitar
kawasan
hutan
konservasi,
dan
luas
pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi.
Secara lebih detail kondisi umum ke-50 taman nasional
tersebut disajikan pada Lampiran 3 – Lampiran 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 9 (sembilan) kriteria hipotetik lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi diperoleh 15 kriteria dari rekapitulasi kriteria hasil wawancara pakar yang selanjutnya dirumuskan menjadi 10 kriteria (Lampiran 6).
Adapun
berdasarkan hasil pembobotan terhadap 10 kriteria tersebut oleh pengambil kebijakan dapat diketahui bahwa bobot kriteria untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi (Gambar 12) terdiri atas: luas kerusakan kawasan hutan konservasi (bobot: 0,219), kekayaan jenis tumbuhan (bobot: 0,151), sebaran satwaliar langka atau dilindungi (bobot: 0,128), penutupan lahan (bobot: 0,117), lereng (slope) (bobot: 0,110), intensitas hujan (curah hujan tahunan rata-rata/hari hujan total dalam satu tahun) (bobot: 0,065), kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi (bobot: 0,063), jenis tanah (kepekaan terhadap erosi) (bobot: 0,054), elevasi/ketinggian (bobot: 0,051), dan luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi (bobot: 0,041).
Dengan demikian kriteria
lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi yang terpenting adalah luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka dan dilindungi, penutupan lahan, dan lereng.
Secara detail, perhitungan perbandingan berpasangan (pairwise
comparisons) kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi disajikan pada Lampiran 18.
64
Gambar 12 Bobot kriteria dalam menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi seperti yang telah disebutkan dalam uraian sebelumnya memiliki variabel penilaian dan skala intensitas seperti terlihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
1.
Luas kerusakan kawasan hutan konservasi
0,219
Besarnya/luasnya kerusakan kawasan hutan konservasi
< 0,25 ha 0,25 – 0,5 ha > 0,5 – 0,75 ha > 0,75 – 1 ha > 1 ha
1 2 3 4 5
2.
Kekayaan jenis tumbuhan
0,151
Jumlah jenis tumbuhan di kawasan hutan konservasi
< 31 31 – 60 61 – 91 91 – 120 > 120
5 4 3 2 1
3.
Sebaran satwaliar langka atau dilindungi
0,128
< 2 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis > 4 jenis
5 4 3 2 1
4.
Penutupan lahan
0,117
Jumlah beserta sebaran (wilayah jelajah) satwaliar langka atau dilindungi di kawasan hutan konservasi Tipe penutupan lahan di kawasan hutan konservasi
Hutan primer Hutan sekunder Hutan tanaman Semak/belukar Lahan terbuka
1 2 3 4 5
5.
Lereng (slope)
Tipe kelas lereng (slope) di kawasan
0–8% > 8 – 15 %
1 2
*)
0,110
65
No.
6.
Kriteria
Bobot
*)
Intensitas hujan
7.
Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
8.
Jenis tanah
9.
10.
*) **)
Elevasi/ketinggian
Luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi
0,065
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
hutan konservasi
> 15 – 25 % > 25 – 45 % > 45 %
3 4 5
Curah hujan tahunan rata-rata/hari hujan total dalam satu tahun di kawasan hutan konservasi
< 13,6 mm/hari 13,6 – 20,7 mm/hari > 20,7 – 27,7 mm/hari > 27,7 – 34,8 mm/hari > 34,8 mm/hari
1 2
2
3 4 5
0,063
Jumlah kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
< 125 jiwa/km 2 125 – 249 jiwa/km 250 – 374 jiwa/km2 375 – 499 jiwa/km2 2 > 499 jiwa/km
1 2 3 4 5
0,054
Tipe kelas jenis tanah berdasarkan kepekaan terhadap erosi di kawasan hutan konservasi
Entisol, aquic, alfisol/aqualf, aquult Ultisol Inceptisol, alfisol Andisol, oxisol, vertisol, spodosol Entisol, histosol, rendoll
1
0,051
0,041
Tipe kelas elevasi/ketinggian di kawasan hutan konservasi
Ukuran/luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
2 3 4 5
< 1.000 mdpl 1.000 – 1.500 mdpl > 1.500 – 2.000 mdpl > 2.000 – 2.500 mdpl > 2.500 mdpl
1 2 3
< 0,25 ha 0,25 – 0,5 ha > 0,5 – 0,75 ha > 0,75 – 1 ha > 1 ha
5 4 3 2 1
4 5
Keterangan: *) Diadopsi dari SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. **) Nama tanah menurut USDA Soil Taxonomy 1975 (Hardjowigeno, 2003).
Secara lebih detail, kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penutupan lahan Penutupan
lahan
merupakan
istilah
yang
berkaitan
dengan
kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand et al., 1990).
jenis
66
Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin buruk kondisi penutupan lahan di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin baik kondisi penutupan lahan di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut
dikarenakan semakin buruknya/tidak adanya tutupan lahan di suatu lokasi dapat mengakibatkan semakin besarnya kerusakan hutan dan lahan yang terjadi di lokasi tersebut. 2. Kekayaan jenis tumbuhan Kekayaan jenis tumbuhan merupakan jumlah jenis tumbuhan yang terdapat pada suatu ekosistem. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan jenis tumbuhan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin rendah kekayaan jenis tumbuhan di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin tinggi kekayaan jenis tumbuhan di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi-lokasi yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang rendah cenderung memiliki kondisi ekosistem yang kurang stabil apabila dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang tinggi. 3. Sebaran satwaliar langka atau dilindungi Sebaran satwaliar langka atau dilindungi merupakan distribusi/penyebaran jenis-jenis satwaliar yang tergolong langka atau dilindungi pada suatu ekosistem berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, baik secara global maupun nasional. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: semakin sedikit sebaran satwaliar langka atau dilindungi di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin banyak sebaran
satwaliar langka atau dilindungi di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut didasarkan pada
penjelasan berikut ini. Kawasan hutan konservasi pada dasarnya merupakan
67
habitat bagi berbagai jenis satwaliar yang berada di kawasan tersebut, sehingga apabila di suatu lokasi di kawasan hutan konservasi tidak ditemukan satwaliar, maka di lokasi tersebut perlu upaya restorasi hutan agar kondisi habitat satwaliar dapat menjadi lebih baik dan menunjang kehidupan satwaliar di lokasi tersebut. 4. Lereng (slope) Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin curam lereng di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin
landai lereng di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi yang memiliki kelerengan yang curam memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor. 5. Elevasi/ketinggian Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria elevasi/ketinggian untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin tinggi elevasi/ketinggian di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah elevasi/ketinggian di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada ekosistem yang memiliki elevasi/ketinggian yang tinggi secara ekologis lebih rentan apabila mengalami gangguan.
Sedikit saja terjadi gangguan pada
ekosistem tersebut, maka dapat mengakibatkan dampak yang cukup besar terhadap ekosistem tersebut maupun ekosistem di bawahnya. 6. Jenis tanah Jenis tanah sangat berkaitan erat dengan kepekaan terhadap erosi di suatu lokasi. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin peka jenis tanah di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya,
semakin kurang peka jenis tanah di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan jenis-jenis
68
tanah yang peka memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap terjadinya erosi dan longsor di suatu lokasi. 7. Intensitas hujan Intensitas hujan merupakan curah hujan tahunan rata-rata dibagi dengan hari hujan total dalam satu tahun. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas hujan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin tinggi intensitas hujan, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin
rendah intensitas hujan, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan intensitas hujan yang tinggi di suatu
lokasi dapat mengakibatkan terjadinya erosi, longsor, dan banjir yang lebih besar apabila dibandingkan dengan lokasi yang memiliki intensitas hujan yang lebih rendah. 8. Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kerusakan kawasan hutan konservasi yang terjadi di kawasan konservasi didekati dari konsep deforestasi. Deforestasi berarti terjadinya perubahan dari kondisi berhutan menjadi kondisi tidak berhutan. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas kerusakan kawasan hutan konservasi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin besar luas kerusakan kawasan hutan di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil luas kerusakan kawasan hutan di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan pada lokasi yang
memiliki luas kerusakan kawasan hutan yang besar, maka memiliki dampak yang besar terhadap terganggunya fungsi-fungsi suatu ekosistem. Selain itu, pada lokasi yang memiliki luas kerusakan kawasan hutan yang besar akan lebih sulit untuk memulihkan kondisi hutan tersebut melalui proses suksesi alami, sehingga untuk membantu mempercepat proses suksesi pada kawasan hutan tersebut diperlukan adanya upaya restorasi kawasan hutan. 9. Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per km persegi (BPS, 2011).
69
Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin tinggi kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan pada lokasi yang
memiliki kepadatan penduduk tinggi, jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan potensi yang dapat dikelola untuk meningkatkan partisipasi penduduk sekitar dalam kegiatan restorasi kawasan hutan.
Keberadaan
penduduk sekitar jangan dianggap sebagai penghambat kegiatan restorasi, tetapi justru sebaliknya keberadaan penduduk sekitar harus dianggap sebagai suatu hal yang positif dalam menunjang keberhasilan kegiatan restorasi kawasan hutan. Kegiatan restorasi tidak akan berhasil apabila tidak mendapatkan dukungan dari penduduk sekitar. Selain itu, kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi harus mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar. 10. Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi merupakan luas lahan yang dimiliki/dikuasai oleh masyarakat sekitar yang terdapat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi. Kartasubrata
Rumahtangga di pedesaan menurut Sajogyo (1978) dalam (1986) dapat
digolongkan
menjadi:
rumahtangga
yang
menguasai kurang dari 0,25 ha atau tak bertanah, rumahtangga yang menguasai lahan antara 0,25 ha – 0,5 ha, dan rumahtangga yang menguasai lahan lebih dari 0,5 ha. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin kecil luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi lokasi tersebut.
Demikian pula
sebaliknya, semakin besar luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin
70
rendah prioritas restorasi lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan luas pemilikan/penguasaan lahan berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil pengelolaan lahan yang dikuasai/dimilikinya tersebut. Masyarakat yang menguasai/memiliki lahan yang sempit cenderung memiliki pendapatan yang lebih rendah dari kegiatannya mengelola lahan tersebut. Kondisi demikian dapat mengakibatkan masyarakat tersebut harus mencari tambahan pendapatan melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya, dalam hal ini kawasan hutan konservasi.
Oleh karena itu,
maka pada lokasi tersebut perlu mendapatkan prioritas yang tinggi untuk dilakukan restorasi hutan.
Restorasi kawasan hutan bukan berarti hanya
menanam pohon saja, tetapi juga harus sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Kegiatan restorasi kawasan hutan harus dilakukan satu paket dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar (community development). 4.1.3. Penentuan Acuan Restorasi Penentuan acuan restorasi dapat didekati melalui kajian komposisi dan struktur jenis vegetasi pada hutan alam yang belum mengalami gangguan di suatu kawasan hutan tertentu. Komposisi dan struktur vegetasi merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam kegiatan restorasi hutan. Whitmore dalam (Lugo dan Lowe, 1995), lebih jauh mengemukakan bahwa perubahan komposisi dan struktur hutan sangat dipengaruhi oleh adanya gangguan baik yang bersifat alami maupun antropogenik. Restorasi hutan yang mengalami
kerusakan
harus
dilakukan
dengan
tujuan
utama
untuk
mengembalikan komposisi dan struktur vegetasi mendekati kondisi semula sebelum terjadi kerusakan, sehingga ekosistem hutan tersebut dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai kawasan hutan konservasi. Secara lebih praktis, dimensi-dimensi acuan restorasi terdiri atas kekayaan jenis flora asli dan parameter struktur horizontal vegetasi yang didapat dari ekosistem atau bioregion yang sama dengan ekosistem yang akan direstorasi. Kekayaan jenis flora asli dapat berupa daftar jumlah jenis (species list) flora. Adapun parameter struktur horizontal vegetasi dapat berupa sebaran individu dan kelimpahan tiap jenis tumbuhan yang ada.
Kelimpahan (abundance)
tumbuhan yang ada dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan nilai kerapatan
71
(density) atau berat kering bahan atau bagian tumbuhan yang dihasilkan per satuan luas (Fachrul, 2007). 4.1.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih Untuk dapat menentukan prioritas jenis terpilih dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat dilakukan melalui pendekatan terhadap jenisjenis tumbuhan yang termasuk jenis acuan yang mampu hidup dan berkembang pada lokasi-lokasi yang perlu segera direstorasi. Oleh karena itu, maka selain dilakukan analisis vegetasi pada hutan alam sebagai ekosistem/tipe vegetasi hutan acuan restorasi, juga perlu dilakukan analisis vegetasi pada berbagai tipe vegetasi hutan yang ada pada suatu kawasan hutan konservasi.
Hasil dari
kegiatan analisis vegetasi pada berbagai tipe vegetasi hutan tersebut dapat menghasilkan matriks yang berisikan jenis-jenis tumbuhan yang mampu hidup dan berkembang di seluruh lokasi pada suatu kawasan hutan konservasi. Jenisjenis ini diharapkan mampu menjadi vegetasi awal dalam kegiatan restorasi pada suatu kawasan hutan konservasi. 4.2. Uji Coba Model 4.2.1. Lokasi Uji Coba Model di TNGGP 4.2.1.1. Letak dan Aksesibilitas Secara administratif pemerintahan lokasi uji coba model terletak di wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Secara administratif pengelolaan hutan, lokasi uji coba model termasuk ke dalam wilayah kerja Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sedangkan secara geografis lokasi penelitian terletak pada koordinat 106°51’ 107°02’ BT dan 6°41’ - 6°51’ LS. Untuk mencapai lokasi uji coba model dapat ditempuh melalui enam pintu masuk utama, yaitu:
pintu masuk Cibodas dan pintu masuk Gunung Putri
(Kabupaten Cianjur), pintu masuk Selabintana dan pintu masuk Situ Gunung (Kabupaten Sukabumi), pintu masuk Bodogol dan pintu masuk Cisarua (Kabupaten Bogor). Secara lebih detail, jalur yang ditempuh untuk mencapai lokasi uji coba model melalui masing-masing pintu masuk utama beserta informasi jarak dan waktu tempuhnya disajikan pada Tabel 5 berikut ini.
72
Tabel 5 Jalur, jarak, dan waktu tempuh untuk mencapai lokasi uji coba model Pintu Masuk Cibodas Gunung Putri Selabintana Situ Gunung Bodogol Cisarua
Jalur Jakarta-Ciawi/Bogor-Puncak-Cibodas Bandung-Cianjur-Cipanas-Cibodas Jakarta-Ciawi/Bogor-Puncak-Cipanas-Gn. Putri Bandung-Cianjur-Cipanas-Gn. Putri Jakarta-Ciawi/Bogor-Sukabumi-Selabintana Bandung-Cianjur-Sukabumi-Selabintana Jakarta-Ciawi/Bogor-Cisaat-Situgunung Bandung-Cianjur-Sukabumi-Cisaat-Situ Gunung Jakarta-Ciawi/Bogor-Cicurug-Bodogol Bandung-Cianjur-Puncak-Ciawi/Bogor-Cicurug-Bodogol Jakarta-Ciawi/Bogor-Cisarua Bandung-Cianjur-Puncak-Cisarua
Jarak (km) 103 90 115 93 156 92 135 161 61 125 57 91
Waktu (jam) 2,5 3 2,5 3,5 3,5 3,5 3,5 4 2 4,5 2 3,5
4.2.1.2. Kondisi Fisik 4.2.1.2.1. Topografi dan Kelerengan Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Shuttle Radar Topography Mission, USGS dapat diketahui bahwa topografi di kawasan hutan TNGGP bervariasi mulai dari landai hingga bergunung dengan kisaran ketinggian antara 700 m dpl sampai 3.000 m dpl. Ketinggian yang dominan di kawasan hutan TNGGP terdapat pada kisaran < 1.000 mdpl dan kisaran 1.000 mdpl – 1.500 mdpl, yaitu masing-masing sebesar 29,9% dan 32% dari luas total kawasan hutan TNGGP.
Adapun kawasan TNGGP yang memiliki ketinggian
>1.500 mdpl – 2.000 mdpl, >2.000 mdpl – 2.500 mdpl, dan >2.500 mdpl masingmasing memiliki persentase sebesar 21,4%; 12%; dan 4,7% (Gambar 13). Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Shuttle Radar Topography Mission, USGS juga dapat diketahui bahwa kelerengan di kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki kelerengan yang curam dengan kelerengan >45%, yaitu sebesar 64,9% dari luas total kawasan hutan TNGGP. Adapun kawasan TNGGP dengan kelerengan 0-8%, 9-15%, 16-25%, dan 2645% masing-masing memiliki persentase sebesar 3,1%; 2,8%; 7,1%; dan 22,1% (Gambar 14). 4.2.1.2.2. Tanah Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Balai Penelitian Tanah Bogor dapat diketahui jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan hutan TNGGP adalah andisol sebesar 43,8%; ultisol sebesar 37,2%; dan entisol sebesar 19%. Peta jenis tanah di kawasan hutan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 15.
73
Gambar 13 Peta elevasi/ketinggian di kawasan hutan TNGGP
Gambar 14 Peta lereng (slope) di kawasan hutan TNGGP
74
Gambar 15 Peta jenis tanah di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.2.3. Curah Hujan dan Iklim Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Badan Meteorologi dan Geofisika dapat diketahui bahwa kawasan hutan TNGGP berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson termasuk ke dalam tipe iklim A dengan curah hujan yang tinggi. Curah hujan rata-rata di kawasan ini berkisar antara 3.000 – 3.500 mm sebesar 23,8% dan 3.500 – 4.000 mm sebesar 76,2% (BTNGGP, 2007). Adapun intensitas hujan (curah hujan tahunan rata-rata/hari hujan total dalam satu tahun) di kawasan hutan TNGGP ini berkisar antara 18 – 33 mm/hari (Gambar 16). 4.2.1.2.4. Hidrologi Secara hidrologi, kawasan hutan TNGGP dibagi menjadi 4 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdiri atas: DAS Citarum (Kabupaten Cianjur), DAS Ciliwung (Kabupaten Bogor), DAS Cisadane (Kabupaten Bogor), dan DAS Cimandiri (Kabupaten Sukabumi), yang terdiri atas 58 sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil (BTNGGP, 2007).
75
Gambar 16 Peta intensitas hujan di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.3. Kondisi Biotik 4.2.1.3.1. Vegetasi Kawasan hutan TNGGP memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi. Kawasan ini memiliki sekitar 1.000 jenis flora dengan 57 famili, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis, dan jenis ganggang, spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya (BTNGGP, 2007). Kekayaan jenis tumbuhan tertinggi di kawasan hutan TNGGP ini dapat dijumpai pada tipe vegetasi hutan/ekosistem hutan alam, sedangkan kekayaan jenis tumbuhan terendah di kawasan hutan TNGGP ini dapat dijumpai pada tipe vegetasi hutan/ekosistem hutan miskin jenis (hutan tanaman) dengan jenis eksotik (Gambar 17). 4.2.1.3.2. Satwaliar Kawasan hutan TNGGP merupakan habitat bagi beraneka ragam jenis satwaliar, antara lain mamalia, reptilia, amphibia, aves, insect dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Pada kawasan hutan TNGGP tersebut terdapat burung (aves) sebanyak 251 jenis atau lebih dari 50% dari jenis burung yang
76
hidup di Jawa. Beberapa jenis satwaliar yang hidup di kawasan hutan tersebut adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), anjing hutan (Cuon alpinus), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus) (BTNGGP, 2007). Sebaran beberapa jenis satwaliar langka atau dilindungi yang terdapat di kawasan hutan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 17 Peta kekayaan jenis tumbuhan di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.3.3. Ekosistem Berdasarkan ketinggiannya tipe-tipe ekosistem yang terdapat di kawasan hutan TNGGP terdiri atas: ekosistem hutan dataran tinggi (500 – < 1.000 mdpl), ekosistem submontana (1.000 – 1.500 mdpl), ekosistem montana (> 1.500 – 2.400 mdpl), dan ekosistem subalpin (> 2.400 – 4.150 mdpl).
Ekosistem
submontana dan montana memiliki keanekaragaman hayati vegetasi yang tinggi dengan pohon-pohon besar, tinggi, dan memiliki 3 strata tajuk. Strata paling tinggi (30 – 40 m) didominasi oleh jenis Litsea spp. Selain empat tipe ekosistem tersebut, di kawasan hutan TNGGP ditemukan pula beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat, yang terdiri atas:
77
ekosistem rawa, ekosistem kawah, ekosistem alun-alun, ekosistem danau, dan ekosistem hutan tanaman (BTNGGP, 2007).
Gambar 18 Peta sebaran satwaliar langka atau dilindungi di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.4. Kondisi Sosial 4.2.1.4.1. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk merupakan banyaknya penduduk per km persegi. Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Potensi Desa 2009 dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP pada umumnya tergolong tinggi, yaitu mencapai > 499 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP yang tergolong tinggi tersebut pada umumnya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Peta kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP disajikan pada Gambar 19 berikut ini.
78
Gambar 19 Peta kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP
4.2.1.4.2. Luas Pemilikan/Penguasaan Lahan Rata-rata Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Potensi Desa 2009 dapat diketahui bahwa luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP pada umumnya tergolong rendah, yaitu berkisar antara < 0,25 ha dan 0,25 ha – 0,5 ha. Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP yang tergolong rendah tersebut pada umumnya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.
Peta luas
pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP disajikan pada Gambar 20. 4.2.1.5. Kawasan Perluasan TNGGP Sejarah TNGGP mempunyai posisi yang penting dalam sejarah konservasi Indonesia. Sejarah konservasi kawasan TNGGP diawali dengan Cagar Biosfer Cibodas oleh UNESCO melalui Program Man and Biosphere tahun 1977 dan
79
TNGGP sebagai zona inti Cagar Biosfer. Dilanjutkan dengan deklarasi Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 bahwa kawasan TNGGP ditetapkan sebagai kawasan Pelestarian Alam TNGGP dengan luas 15.196 hektar. Kemudian pada tahun 1995 ditetapkan sebagai Sister Park. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003, tanggal 10 Juni 2003, luas kawasan TNGGP diperluas menjadi kurang lebih 21.975 hektar yang merupakan perluasan area eks Perum Perhutani. Kemudian atas dasar Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Nomor002/BAST-HUKAMAS/III/2009 Nomor 1237/II-TU/2//2009 tanggal 6 Agustus 2009 dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan banten Kepada BB TNGGP, luas kawasan yang diserahkan adalah seluas 7.655,030 hektar. Dengan Demikian total luas TNGGP adalah 22.851,030 hektar.
Gambar 20 Peta luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desadesa sekitar kawasan hutan TNGGP Permasalahan yang terjadi di kawasan perluasan TNGGP berkaitan erat dengan perubahan status dan fungsi kawasan hutan dari kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan
80
hutan konservasi (taman nasional) yang dikelola oleh Dephut, c.q. Ditjen PHKA. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan tersebut juga secara langsung menyebabkan
perubahan
prinsip-prinsip
pengelolaan
hutan
di
kawasan
perluasan TNGGP tersebut. Adapun beberapa permasalahan yang terjadi di kawasan perluasan TNGGP, yaitu berupa gangguan terhadap kawasan perluasan TNGGP, seperti terjadinya pengambilan kayu bakar, pengambilan kayu pertukangan (terutama di Resort Nagrak), pengambilan hasil hutan nonkayu, dan perambahan lahan oleh penggarap,
Permasalahan berupa
gangguan hutan di kawasan perluasan TNGGP dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hutan di kawasan hutan tersebut. Peta kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP, disajikan pada Gambar 21 berikut ini. Secara keseluruhan, persentase luas kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP adalah sebesar 8,9%.
Gambar 21 Peta luas kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP Permasalahan lainnya yang terjadi di kawasan perluasan TNGGP adalah terdapatnya hutan tanaman terutama jenis pohon eksotik. Keberadaan hutan tanaman dengan jenis pohon eksotik di kawasan hutan konservasi tersebut tidaklah sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Adapun peta sebaran jenis
81
pohon eksotik dan asli di kawasan perluasan TNGGP berdasarkan data yang diolah dari BB TNGGP dan citra landsat TM 7 disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22 Peta sebaran jenis tumbuhan eksotik dan asli di kawasan perluasan TNGGP Hutan tanaman dengan jenis pohon eksotik di kawasan perluasan TNGGP terdiri atas jenis pinus, damar, dan eucalyptus. Sebaran hutan tanaman dengan jenis pohon eksotik, sebagian besar terdapat di wilayah Sukabumi. Sedangkan hutan tanaman dengan jenis pohon asli di kawasan perluasan TNGGP terdiri atas jenis puspa dan rasamala. 4.2.2. Kategori Prioritas Restorasi TNGGP Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian terhadap kondisi nilai variabel penilaian yang dimiliki oleh kawasan TNGGP sesuai dengan model yang telah dirumuskan dapat diketahui bahwa kawasan TNGGP memiliki nilai aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi sebesar 4,427 dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi sebesar 2,546 (Tabel 6). Secara detail, variabel penilaian kategori prioritas restorasi TNGGP disajikan pada Lampiran 14.
82
Tabel 6 Penilaian kategori prioritas restorasi TNGGP No.
Uraian kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi
Bobot
Skala Intensitas
Skor
Aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi
I 1
Keberadaan jenis langka dan dilindungi
0,310
5
1,550
2
Keanekaragaman tipe ekosistem
0,181
4
0,724
3
0,142
5
0,710
4
Potensi keanekaragaman jenis Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir
0,127
3
0,381
5
Pemanfaatan SDA secara lestari oleh stakeholders
0,122
5
0,610
6
Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam
0,050
5
0,250
7
Tempat peninggalan budaya
0,035
2
0,070
Logistik bagi penelitian dan pendidikan
0,033
4
8
Total skor aspek tingkat kepentingan:
1
0,132 4,427
Aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi
II 1
Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
0,287
1
0,287
2
Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi
0,182
5
0,910
3
Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
0,162
1
0,162
4
Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
0,132
2
0,264
5
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
0,106
5
0,530
6
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
0,069
3
0,207
7
Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan hutan konservasi
0,062
3
0,186
Total skor aspek tingkat kemendesakan:
1
2,546
Titik koordinat (4,427; 2,546) yang merupakan hasil penilaian prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang diterapkan/ diujicobakan pada kawasan hutan TNGGP terletak pada kuadran III (Gambar 23). Posisi kategori prioritas restorasi yang terletak pada kuadran III tersebut tergolong ke dalam Prioritas III. Hal tersebut memberikan arti bahwa kawasan TNGGP memiliki tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi yang tergolong tinggi, namun memiliki tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi yang tergolong rendah.
83
Tinggi
Posisi prioritas restorasi (4,427; 2,546)
T i n g k a t
Kuadran III (Prioritas III)
k e p e n t i n g a n
1
2
5
Kuadran I (Prioritas I)
4
3
Kuadran IV (Prioritas IV)
4
2
5
Kuadran II (Prioritas II)
1 Rendah Rendah
Tingkat kemendesakan
Tinggi
Gambar 23 Posisi kuadran kategori prioritas kawasan TNGGP untuk direstorasi Kawasan TNGGP memiliki tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi dikarenakan kawasan tersebut memang memiliki peranan yang cukup penting bagi lingkungan di sekitarnya, terutama dalam mengatur fungsi hidroorologi, menjaga keanekaragaman hayati, dan
menghasilkan
jasa-jasa
lingkungan
lainnya.
Sedangkan
tingkat
kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi yang dimiliki kawasan TNGGP yang cenderung rendah dapat disebabkan oleh karena kawasan TNGGP dijaga dengan baik ataupun gangguan alam yang terjadi sedikit. 4.2.3. Penentuan Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Penentuan
lokasi/bagian
TNGGP
yang
perlu
segera
direstorasi
memerlukan beberapa data berupa penutupan lahan, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka atau dilindungi, lereng (slope), elevasi/ketinggian, jenis tanah, intensitas hujan, luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, dan luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi.
Untuk memperoleh data penutupan lahan dilakukan melalui
84
interpretasi citra landsat, sedangkan untuk memperoleh data lainnya dilakukan melalui pengumpulan data sekunder/studi literatur. 4.2.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP Penutupan lahan merupakan kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand et al., 1990).
Adapun penutupan lahan di kawasan TNGGP pada
tahun 2010 berdasarkan citra landsat TM 7 dan hasil interpretasi citra landsat tersebut dapat dilihat pada Gambar 24 – Gambar 25 berikut ini.
Gambar 24 Citra landsat kawasan TNGGP tahun 2010 Hasil penelitian (Tabel 7) menunjukkan bahwa penutupan lahan yang dominan di kawasan TNGGP pada tahun 2010 adalah berupa hutan sekunder, yaitu seluas 9.752 ha atau 40%.
Tipe ini merupakan tipe penutupan yang
dominan di kawasan ini. Kawasan TNGGP memiliki penutupan hutan primer dengan kondisi yang cukup baik. Hutan primer di kawasan ini memiliki luasan sekitar 25% dari total luas kawasan TNGGP. Hutan primer di TNGGP menempati wilayah pegunungan (1.500 – 2.400 m dpl) hingga wilayah sub-alpin (2.400 - 3.019 m dpl).
85
Gambar 25 Penutupan lahan hasil interpretasi citra landsat di kawasan hutan TNGGP tahun 2010 Tabel 7 Luas penutupan lahan kawasan TNGGP tahun 2010 (dalam ha) Penutupan Lahan Tahun 2010 Belukar Hutan primer Hutan sekunder Hutan tanaman Pertanian campur semak Perkebunan Pemukiman Pertanian lahan kering Sawah Lahan terbuka Badan air Awan Total
1.090 6.267 9.752 4.055 503 1.046 116 272 734 24 12 465 24.336
Sumber: Citra satelit Landsat 7 tahun 2010
Di sekitar bagian terluar kawasan TNGGP tersebar hutan tanaman eks Perum Perhutani yang terdiri dari jenis pinus dan damar. Kedua jenis tumbuhan
86
ini merupakan tumbuhan jenis eksotik yang ditanam pada saat kawasan tersebut masih dikelola oleh Perum Perhutani sebagai hutan produksi. Persentase hutan tanaman di kawasan TNGGP pada tahun 2010 mencapai 16,6% dari total wilayah dengan sebaran meliputi bagian barat, tenggara, dan timur kawasan TNGGP. Belukar menempati posisi tipe penutupan lahan keempat terluas di kawasan TNGGP. Belukar di kawasan ini memiliki luasan hingga 4,5% dari total luas kawasan TNGGP. Karena struktur vegetasi yang hampir sama, vegetasi eidelweis di TNGGP diidentifikasi oleh citra landsat sebagai belukar, lokasi vegetasi khas ini dijumpai di bagian puncak kawasan TNGGP.
Di luar tipe
vegetasi alami, belukar merupakan indikator yang menunjukkan terganggunya suatu kawasan hutan.
Pada kawasan TNGGP ini tipe belukar banyak
bersanding dengan tipe pertanian lahan kering dan pertanian campur semak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebaran belukar dipengaruhi oleh tekanan penduduk dan kebutuhan akan lahan pertanian. Peningkatan kepadatan penduduk di sekitar kawasan hutan TNGGP, memberikan dampak tidak langsung berupa peningkatan kebutuhan lahan-lahan pertanian masyarakat sekitar. Hal tersebut dikarenakan matapencaharian utama masyarakat sekitar kawasan hutan TNGGP pada umumnya masih didominasi jenis matapencaharian berupa pertanian dan perkebunan.
Peningkatan
kebutuhan lahan pertanian memberikan tekanan tersendiri bagi kawasan hutan TNGGP dan perlahan tapi pasti perluasan lahan pertanian di luar kawasan hutan TNGGP terus terjadi seiring dengan peningkatan jumlah pemukiman di daerah tersebut. Untuk mengukur keakuratan hasil interpretasi citra landsat tersebut telah dilakukan uji akurasi klasifikasi dengan nilai akurasi sebesar 88,71%. Nilai uji akurasi klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa hasil interpretasi citra landsat cukup akurat karena memiliki nilai ≥ 85%.
Secara lengkap hasil uji akurasi
klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 26) bahwa berdasarkan pemberian skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan dalam
menentukan
lokasi/bagian
kawasan
TNGGP
yang
perlu
segera
direstorasi, maka dapat diketahui bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan yang
87
cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan dan cenderung tinggi di bagian terluar/tepi kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi penutupan lahan di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP cenderung lebih baik apabila dibandingkan dengan kondisi penutupan lahan di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP. Pada bagian terluar/tepi kawasan TNGGP, terutama pada kawasan perluasan TNGGP eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani, pada umumnya banyak mengalami gangguan sebagai akibat dari berbagai aktivitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya.
Gambar 26 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan di kawasan TNGGP 4.2.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP Selain kriteria berupa penutupan lahan, terdapat 9 (sembilan) kriteria lainnya dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi, yaitu: kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka atau dilindungi, lereng (slope), elevasi/ketinggian, jenis tanah, intensitas hujan, luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kepadatan penduduk di desa-desa sekitar
88
kawasan hutan konservasi, dan luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pemberian skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada 9 (sembilan) kriteria tersebut, maka dapat diketahui bahwa peta skala intensitas variabel penilaian pada 9 (sembilan) kriteria tersebut dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: 1. Kekayaan jenis tumbuhan Hasil penelitian (Gambar 27) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan jenis tumbuhan yang cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan dan cenderung tinggi di bagian terluar/tepi kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi kekayaan jenis tumbuhan di bagian terdalam/tengah kawasan hutan TNGGP cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kekayaan jenis tumbuhan di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP. Secara umum, pada bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP kekayaan jenis tumbuhannya lebih rendah dikarenakan kawasan tersebut sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi eks Perum Perhutani yang memiliki jenis-jenis tumbuhan yang sedikit. 2. Sebaran satwaliar langka atau dilindungi Hasil penelitian (Gambar 28) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi yang cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan, kecuali di bagian puncak gunung skala intensitas variabel penilaiannya cenderung tinggi.
Sedangkan skala
intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP cenderung tinggi. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi sebaran satwaliar langka atau dilindungi di bagian terdalam/tengah kawasan hutan TNGGP, kecuali di bagian puncak gunung, cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sebaran satwaliar langka atau dilindungi di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP.
89
Gambar 27 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan jenis tumbuhan di kawasan TNGGP
Gambar 28 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi di kawasan TNGGP
90
3. Lereng (slope) Hasil penelitian (Gambar 29) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) yang cenderung tinggi di semua bagian kawasan hutan dan hanya sedikit bagian kawasan hutan yang memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) yang rendah, yaitu pada umumnya terdapat di bagian terluar/tepi kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi lereng (slope) di semua bagian kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki lereng yang curam dan hanya sedikit saja bagian kawasan hutan TNGGP yang memiliki lereng yang landai, yaitu pada umumnya terdapat di bagian terluar/tepi kawasan hutan.
Gambar 29 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) di kawasan TNGGP 4. Elevasi/ketinggian Hasil penelitian (Gambar 30) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria elevasi/ ketinggian yang cenderung tinggi di bagian utara dan timur kawasan hutan yang mendekati puncak gunung dan cenderung rendah di bagian barat
91
dan selatan kawasan hutan yang menjauhi puncak gunung. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi elevasi/ketinggian di bagian utara dan timur kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki elevasi/ketinggian yang tinggi dan kondisi elevasi/ketinggian di bagian barat dan selatan kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki elevasi/ketinggian yang rendah.
Gambar 30 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria elevasi/ ketinggian di kawasan TNGGP 5. Jenis tanah Hasil penelitian (Gambar 31) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah yang cenderung tinggi di bagian timur kawasan hutan, terutama yang mendekati puncak gunung dan cenderung rendah di bagian barat kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi jenis tanah di bagian timur kawasan hutan TNGGP, terutama yang mendekati puncak gunung cenderung memiliki jenis tanah yang peka dan jenis tanah di bagian barat kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki jenis tanah yang kurang peka.
92
Gambar 31 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah di kawasan TNGGP 6. Intensitas hujan Hasil penelitian (Gambar 32) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas hujan yang cenderung tinggi di bagian timur dan selatan kawasan hutan dan cenderung rendah di bagian utara kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi intensitas hujan di bagian timur dan selatan kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki intensitas hujan yang tinggi dan intensitas hujan di bagian utara kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki intensitas hujan yang lebih rendah. 7. Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Hasil penelitian (Gambar 33) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas kerusakan kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi di bagian terluar/tepi kawasan hutan dan cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi luas kerusakan kawasan hutan konservasi di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP cenderung
93
memiliki luas kerusakan kawasan hutan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan kondisi luas kerusakan kawasan hutan di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP.
Gambar 32 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas hujan di kawasan TNGGP 8. Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Hasil penelitian (Gambar 34) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan hutan (wilayah Bogor dan Cianjur) dan cenderung lebih rendah di bagian barat kawasan hutan (wilayah Sukabumi).
Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi kepadatan
penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan TNGGP (wilayah Bogor dan Cianjur) cenderung memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kondisi kepadatan penduduk di bagian barat kawasan TNGGP (wilayah Sukabumi).
94
Gambar 33 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas kerusakan hutan di kawasan TNGGP
Gambar 34 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan TNGGP
95
9. Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Hasil penelitian (Gambar 35) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan hutan (wilayah Bogor dan Cianjur) dan cenderung lebih rendah di bagian barat kawasan hutan (wilayah Sukabumi). Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan hutan TNGGP (wilayah Bogor dan Cianjur) cenderung memiliki luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan kondisi luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata di bagian barat kawasan hutan TNGGP (wilayah Sukabumi).
Gambar 35 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan TNGGP
96
4.2.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pembobotan dan overlay terhadap peta-peta kriteria untuk menentukan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi, maka dapat diketahui prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP (Prioritas I, Prioritas II, Prioritas III, dan Prioritas IV) seperti terlihat pada Gambar 36. Rumus yang digunakan dalam menentukan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: n
Y = ∑ BixSi i =1
dimana: Y = Nilai prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi Bi = Bobot kriteria ke-i Si = Skala intensitas kriteria ke-i Adapun penentuan panjang selang interval untuk tiap kategori penilaian ditentukan dengan rumus:
P=
Ymax - Ymin ∑n
Dimana: P = Panjang selang interval tiap kategori penilaian Ymax = Nilai maksimum Ymin = Nilai minimum n = Jumlah kategori penilaian Kategori penilaian untuk merumuskan lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: (5)
Prioritas I (Prioritas Sangat Tinggi), nilai selang interval: >4 – 5
(6)
Prioritas II (Prioritas Tinggi), nilai selang interval: >3 – 4
(7)
Prioritas III (Prioritas Sedang), nilai selang interval: >2 – 3
(8)
Prioritas IV (Prioritas Rendah), nilai selang interval: 1 – 2 Untuk kawasan hutan konservasi yang berupa hutan tanaman dengan
tegakan penyusunnya jenis eksotik secara otomatis dimasukkan ke dalam kategori Prioritas I, karena menurut kaidah konservasi terdapatnya keaslian di suatu kawasan hutan konservasi merupakan hal yang mutlak.
97
Gambar 36 Peta prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP Berdasarkan peta prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP tersebut dapat diketahui bahwa Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi banyak terdapat di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP, sedangkan Prioritas III dan Prioritas IV lokasi restorasi banyak terdapat di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP. Sesuai dengan urutan prioritasnya, maka Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi ini merupakan prioritas lokasi yang perlu diutamakan/didahulukan upaya restorasinya apabila dibandingkan dengan prioritas lokasi lainnya, yaitu Prioritas III dan Prioritas IV lokasi restorasi. Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi kawasan TNGGP ini pada umumnya terdapat di kawasan perluasan TNGGP, yaitu kawasan yang mengalami alih fungsi dari kawasan hutan produksi eks Perum Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi yang kini dikelola sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan TNGGP. Pada lokasi kawasan perluasan TNGGP ini memang banyak mengalami gangguan akibat berbagai aktivitas yang terjadi di kawasan tersebut, seperti: penebangan liar, pengambilan hasil hutan nonkayu, pengambilan kayu bakar, perambahan lahan, dan aktivitas penyadapan getah damar dan pinus serta kegiatan tumpangsari yang masih belum berhenti setelah
98
terjadinya alih fungsi kawasan hutan tersebut. Berbagai gangguan yang terjadi di kawasan hutan tersebut dapat menyebabkan kerusakan kawasan hutan. Selain itu, pada lokasi kawasan perluasan TNGGP ini juga dapat dijumpai jenis-jenis tumbuhan yang tergolong eksotik berupa hutan tanaman miskin jenis. Keberadaan jenis-jenis tumbuhan eksotik di suatu kawasan hutan konservasi tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan terjaganya keaslian jenis tumbuhan di kawasan hutan konservasi tersebut, sehingga untuk mengatasi keberadaan hutan miskin jenis dengan jenis-jenis tumbuhan eksotik di dalamnya tersebut harus direstorasi dengan menggunakan jenis-jenis tumbuhan asli agar dapat kembali seperti kondisi hutan/ekosistem awal yang diketahui. Berbeda dengan Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi, Prioritas III dan Prioritas IV lokasi restorasi pada umumnya terdapat di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP, yang merupakan kawasan TNGGP awal sebelum adanya perluasan kawasan TNGGP. Adapun luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: Prioritas I lokasi restorasi memiliki luas sebesar 2.622 ha, Prioritas II lokasi restorasi memiliki luas sebesar 3.220 ha, Prioritas III lokasi restorasi memiliki luas sebesar 18.480 ha, dan Prioritas IV lokasi restorasi memiliki luas sebesar 14 ha. Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8 Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP (dalam ha) Luas (ha) Resort
Grand Total
Prioritas I
Prioritas
Prioritas
Prioritas
II
III
IV
Bodogol
342
151
2.373
6
2.872
Cimande
30
119
2.092
2
2.244
Cisarua
113
157
2.031
1
2.302
Gn. Putri
132
330
538
0
1.000
Goalpara
47
124
693
0
865
Mandalawangi
257
296
917
0
1.471
Nagrak
640
428
1.722
0
2.790
Pasir Hantap
159
227
781
1
1.168
Sarongge
226
490
456
0
1
Selabintana
157
204
2.070
1
2.432
Situgunung
294
368
2.751
0
3.414
99
Luas (ha) Resort Tapos Tegallega Grand Total
Grand Total
Prioritas I
Prioritas
Prioritas
Prioritas
II
III
IV
43
89
915
2
1.049
181
237
1.140
1
1.558
2.622
3.220
18.480
14
24.336
Adapun luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP berdasarkan pembagian resort dan penutupan lahan disajikan secara detail pada Lampiran 16. Secara umum, penutupan lahan yang termasuk prioritas I dan prioritas II adalah berupa belukar dan hutan tanaman jenis eksotik, sedangkan penutupan lahan yang termasuk prioritas III dan prioritas IV adalah berupa hutan sekunder dan hutan primer.
Prioritas lokasi restorasi ini juga dapat menjadi indikasi
mengenai sensitifitas suatu lokasi untuk direstorasi, artinya jika suatu lokasi kawasan hutan konservasi tertentu mengalami kerusakan hutan, maka restorasi dilakukan berdasarkan urutan prioritas yang dimiliki oleh lokasi tersebut. 4.2.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP
Bentuk struktur tegakan horizontal suatu tegakan hutan alam pada umumnya cenderung mendekati bentuk sebaran huruf J-terbalik (eksponensial negatif) seperti terlihat pada Gambar 37. Struktur horizontal tegakan tersebut menunjukkan bahwa pohon berukuran kecil yang menyusun ekosistem tersebut cenderung lebih rapat dibandingkan dengan pohon berukuran besar.
Gambar 37 Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan pada hutan alam
100
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot pengamatan seluas 3 ha di Hutan Alam pada kawasan hutan TNGGP ditemukan 78 jenis asli yang tergolong ke dalam 37 famili. Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan di kawasan TNGGP disajikan dalam Lampiran 8.
Sedangkan hasil analisis vegetasi pada tipe
vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP secara detail dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. 4.2.4.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Alam TNGGP
Hasil perhitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan indeks nilai penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi hutan alam di kawasan TNGGP disajikan pada Tabel 9, sedangkan perhitungan analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 9. Tabel 9 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
2
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
19,2555
11,1486
35,9049
66,3090
8,7291
7,9392
5,2493
21,9176
3
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
6,9320
6,5878
4,2930
17,8128
4
Manglietia glauca Bl
Manglid
6,2901
5,5743
5,3992
17,2636
5
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
3,0809
3,5473
7,9591
14,5873
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Jumlah individu atau pohon dari 78 jenis tumbuhan yang ditemukan pada tipe vegetasi Hutan Alam adalah 260 individu/ha dengan nilai kerapatan tertinggi ditemukan pada jenis Schima wallichii (DC.) Korth sebesar 50 individu/ha atau 19,2555% dari jumlah individu yang menyusun tegakan tersebut. Nilai kerapatan suatu jenis tumbuhan menunjukkan jumlah individu jenis tumbuhan bersangkutan pada satuan luas tertentu, maka nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah jenis tumbuhan tersebut pada suatu ekosistem/tipe vegetasi hutan. Namun demikian, nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran distribusi dan pola penyebaran tumbuhan yang bersangkutan pada lokasi penelitian. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tumbuhan tertentu dapat dilihat pada nilai frekuensinya. Nilai frekuensi tertinggi pada Hutan Alam ditemukan pada jenis Schima wallichii (DC.) Korth, yaitu sebesar 0,88 atau 11,1486%. Nilai frekuensi tersebut menunjukkan kehadiran jenis pohon tersebut pada 66 plot dari 75 plot yang terdapat di lokasi penelitian. Secara umum, jenis
101
tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan tinggi juga memiliki nilai frekuensi yang tinggi, sehingga jenis tumbuhan tersebut selain jumlahnya banyak juga tersebar pada lokasi tersebut. Jenis tumbuhan yang memiliki jumlah banyak dan tersebar pada lokasi penelitian akan memiliki nilai kerapatan dan frekuensi tertinggi. Jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam jenis ini biasanya memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungannya. Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungannya. Beberapa jenis tumbuhan di hutan tropika teradaptasi dengan kondisi di bawah kanopi, pertengahan, dan di atas kanopi yang intensitas cahayanya berbeda-beda (Balakrishnan et al., 1994). Keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk mengokupasi suatu area dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban), faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi, parasitisme), dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah yang saling berinteraksi (Krebs, 1994). Nilai dominansi masing-masing jenis tumbuhan juga bervariasi pada masing-masing tipe vegetasi hutan. Hutan Alam di kawasan TNGGP memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 22,0735 m2/ha. Nilai dominansi masingmasing jenis tumbuhan tersebut dihitung berdasarkan besarnya diameter batang setinggi dada, sehingga besarnya nilai dominansi juga dipengaruhi oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang masing-masing pohon pada jenis yang sama. Jenis pohon tertentu memiliki nilai dominansi tertinggi karena rata-rata ukuran diameter batang masing-masing pohon tersebut lebih tinggi dari jenis pohon lainnya serta jumlahnya banyak. Indeks nilai penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi pada setiap jenis tumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) dapat diketahui bahwa nilai INP tertinggi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam dimiliki oleh jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (66,3090%), Macropanax dispermum (Bl.) (21,9176%), Glochidion rubrum Bl. (17,8128%), Manglietia glauca Bl (17,2636%), dan Castanopsis argentea (Bl.) DC (14,5873%).
Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), indeks nilai penting merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi
102
penelitian. Jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (puspa) secara umum merupakan jenis yang mendominasi pada ekosistem Hutan Alam karena memiliki nilai INP tertinggi. Kehadiran suatu jenis pohon pada daerah tertentu menunjukkan kemampuan pohon tersebut untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga jenis yang mendominasi suatu areal dapat dinyatakan sebagai jenis yang memiliki kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan. Laporan penelitian terdahulu mengemukakan kondisi pohon pada lokasi Kebun Raya Cibodas dengan ketinggian 1.450-1.500 m dpl bervariasi dengan kerapatan tinggi. Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa pohonpohon yang dominan di lokasi tersebut adalah Altingia excelsa yang merupakan jenis emergen dengan tinggi mencapai 62-81 m, Castanopsis javanica dengan tinggi mencapai 58 m, Schima wallichii dengan tinggi mencapai 45 m, Villebrunea rubescens, dan beberapa jenis yang tergolong dalam famili Fagaceae pada
strata yang lebih rendah di bawahnya (Jacobs, 1981). Yamada yang melakukan penelitian pada tahun 1975 di lokasi Cibodas juga mencatat bahwa jenis Schima wallichii dan Castanopsis javanica merupakan jenis yang mendominasi pada
lokasi tersebut dan ditemukan pada lapisan tajuk pertama dengan tinggi > 26 m. Sedangkan Meijer (1959) dan Seifriz (1923) mencatat bahwa Altingia excelsa adalah jenis yang mendominasi hutan di daerah Cibodas pada ketinggian 1.4001.660 m dpl. INP seluruh jenis selanjutnya menjadi dasar untuk menghitung indeks keanekaragaman (H’) Shannon, sedangkan nilai kemerataan jenis dalam komunitas tersebut ditentukan berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenisnya. Nilai-nilai parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di TNGGP Tingkat pertumbuhan
Pohon
Jumlah Jenis (∑) 54
Indeks Indeks Keanekaragaman Kemerataan Jenis (H’) Jenis (J’) 3,2917
0,8252
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6) dapat diketahui bahwa pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP memiliki jumlah jenis tumbuhan tingkat pohon sebanyak 54 jenis, nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) sebesar
103
3,2917, dan nilai indeks kemerataan jenis (J’) sebesar 0,8252.
Jika
menggunakan kriteria Barbour et al. (1987) maka indeks keanekaragaman jenis sebesar 3,2917 tersebut termasuk dalam kategori tinggi. Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan keanekaragaman jenis pohon yang berada pada tipe vegetasi Hutan Alam TNGGP. Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi setiap jenis pada masing-masing plot secara merata. Semakin merata suatu jenis dalam suatu ekosistem/tipe vegetasi hutan, maka semakin tinggi nilai kemerataannya. Demikian juga sebaliknya, semakin tidak merata suatu jenis dalam suatu ekosistem/tipe vegetasi hutan, maka semakin rendah nilai kemerataannya. 4.2.4.2. Vegetasi Tingkat Permudaan di Hutan Alam TNGGP
Ketersediaan tingkat permudaan yang mencukupi merupakan salah satu prasyarat keberlangsungan regenerasi alami suatu ekosistem.
Hasil analisis
vegetasi permudaan (semai, pancang, dan tiang) pada tipe vegetasi Hutan Alam disajikan pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat semai, pancang, dan tiang pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
0
32,4123
Tingkat Semai: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
18,4397
13,9726
2
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
14,7754
9,5890
0
24,3645
3
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
6,9740
5,7534
0
12,7274
4
Acronychia laurifolia Bl.
Ki jeruk
4,6099
5,2055
0
9,8154
5
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
3,9007
4,3836
0
8,2843
15,6627
9,2199
5,7961
30,6786
Tingkat Pancang: 1
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
2
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
7,6923
5,1418
9,8935
22,7277
3
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
5,2827
5,8511
9,2742
20,4079
4
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
8,9898
5,6738
4,5313
19,1948
5
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
3,8925
3,9007
8,9731
16,7663
Tingkat Tiang: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
15,6627
13,4884
15,4910
44,6420
2
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
10,0402
8,8372
9,3142
28,1916
3
Polyosma integrifolia Bl.
Ki Jebug
7,2289
6,5116
6,5227
20,2633
4
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
6,0241
6,0465
5,4837
17,5544
5
Manglietia glauca Bl
Manglid
5,6225
5,5814
5,6645
16,8684
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
104
Nilai kerapatan tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Alam adalah sebesar 28.200 individu/ha.
Adapun nilai kerapatan tertinggi suatu jenis
tumbuhan tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Alam dimiliki oleh Schima wallichii (DC.) Korth. sebesar 5.200 individu/ha.
Perbedaan nilai kerapatan
masing-masing jenis disebabkan karena adanya perbedaan ketersediaan pohon sumber benih, kemampuan reproduksi, penyebaran, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Secara umum, jenis-jenis tumbuhan yang jumlahnya banyak juga tersebar pada masing-masing tipe vegetasi hutan, hal ini ditunjukkan dengan nilai frekuensi yang berkorelasi dengan nilai kerapatan. Pada masing-masing tipe vegetasi hutan dijumpai jenis tumbuhan dengan kerapatan tertinggi juga mempunyai nilai frekuensi yang tertinggi. Distribusi jenis tumbuhan pada suatu ekosistem tersebut dibatasi oleh kondisi lingkungan, sehingga keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk mengokupasi suatu area menggambarkan kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor biotik dan abiotik pada ekosistem tersebut. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP dimiliki oleh jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (32,4123%), Symplocos cochinchinensis
(Lour.)
S.
Moore
(24,3645%),
Plectronia
didyma
Kurz
(12,7274%), Acronychia laurifolia Bl. (9,8154%), dan Beilschrriedia wightii Benth. (8,2843%). Indeks nilai penting pada tingkat semai merupakan hasil penjumlahan nilai relatif dua parameter (kerapatan relatif dan frekuensi relatif) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya sangat tergantung pada kedua parameter tersebut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara umum jenis yang mempunyai kerapatan tertinggi juga mempunyai nilai frekuensi tertinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis tersebutlah yang mempunyai INP tertinggi, yaitu Schima wallichii (DC.) Korth. pada tipe vegetasi Hutan Alam. Besarnya INP jenis tersebut menunjukkan tingkat peranan jenis yang bersangkutan pada ekosistem tersebut. Keberlanjutan pertumbuhan vegetasi dari tingkat semai ke tingkat pertumbuhan berikutnya yaitu pancang, tiang, dan selanjutnya hingga tumbuh menjadi pohon besar sangat dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi jenis tumbuhan tersebut.
Secara umum, jenis-jenis tumbuhan pada tingkat semai
105
yang mempunyai INP tertinggi akan tumbuh menjadi tumbuhan pada tingkat pancang.
Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan dijumpainya jenis-jenis
tumbuhan tersebut pada tingkat pancang meskipun terjadi perbedaan tingkat INP pada tingkat semai dan tingkat pancang. Jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai INP tertinggi pada tingkat semai belum tentu mempunyai INP tertinggi pada tingkat pancang. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) juga dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Alam terdiri atas jenis Plectronia didyma Kurz (30,6786%), Antidesma tetandrum Bl. (22,7277%), Schima wallichii (DC.) Korth. (20,4079%), Symplocos cochinchinensis (Lour.) S.
Moore (19,1948%), dan Macropanax dispermum (Bl.) (16,7663%). Jenis tumbuhan yang mempunyai INP tinggi tidak selamanya mempunyai tingkat dominansi yang tinggi. Tingkat dominansi menggambarkan tingkat penutupan areal oleh jenis-jenis tumbuhan tersebut, nilai dominansi diperoleh dari fungsi kerapatan jenis dan diameter batang. Pada suatu jenis tumbuhan yang mempunyai kerapatan tinggi tetapi mempunyai tingkat dominansi yang rendah menunjukkan bahwa rata-rata diameter jenis tersebut kecil tetapi jumlahnya banyak. Sedangkan pada jenis tumbuhan tertentu seperti Antidesma tetandrum Bl. dijumpai mempunyai kerapatan lebih rendah tetapi mempunyai
tingkat dominansi yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut mempunyai rata-rata diameter yang lebih besar tetapi jumlahnya lebih sedikit pada lokasi tersebut. Tingkat pertumbuhan berikutnya setelah tingkat pancang adalah tingkat tiang. Beberapa peneliti juga sudah mengklasifikasikan tingkat ini sebagai pohon tetapi berupa pohon kecil. Kemampuan jenis tumbuhan tertentu hingga dapat tumbuh mencapai tingkat tiang menggambarkan semakin tingginya daya adaptabiliti jenis tumbuhan tersebut pada suatu tipe vegetasi hutan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) juga dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP terdiri atas jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (44,6420%), Macropanax dispermum (Bl.) (28,1916%), Polyosma integrifolia Bl. (20,2633%), Antidesma tetandrum Bl. (17,5544%), dan Manglietia glauca Bl (16,8684%). Jenis Schima wallichii (DC.) Korth. secara konsisten mempunyai INP tertinggi pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP.
106
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 12) dapat diketahui mengenai gambaran keanekaragaman jenis tumbuhan dan kemerataan jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada tipe vegetasi Hutan Alam memiliki nilai sebesar 3,3084 pada tingkat semai, 3,5350 pada tingkat pancang, dan 3,2984 pada tingkat tiang.
Adapun kemerataan jenis tumbuhan pada tipe vegetasi
Hutan Alam memiliki nilai sebesar 0,8294 pada tingkat semai, 0,8321 pada tingkat pancang, dan 0,8665 pada tingkat tiang. Tabel 12 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Alam TNGGP Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang
Jumlah Jenis (∑) 54 70 45
Parameter Keanekaragaman Jenis (H’) 3,3084 3,5350 3,2984
Kemerataan Jenis (J’) 0,8294 0,8321 0,8665
4.2.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa secara umum bentuk grafik struktur horisontal tegakan hutan pada ekosistem hutan yang mengalami kerusakan ataupun hutan tanaman eks hutan produksi Perum Perhutani (Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus) berada di bawah grafik struktur horisontal tegakan Hutan Alam yang menjadi ekosistem acuan (Gambar 38). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerapatan vegetasi pada ekosistem hutan yang rusak ataupun hutan tanaman eks hutan produksi Perum Perhutani telah mengalami penurunan sehingga diperlukan tindakan pengayaan dengan teknik silvikultur yang tepat untuk meningkatan kerapatan mendekati ekosistem hutan alam yang belum mengalami kerusakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ekosistem hutan yang mengalami kerusakan ataupun hutan tanaman eks hutan produksi Perum Perhutani di kawasan hutan TNGGP mengalami penurunan jumlah jenis dan sangat memungkinkan mengalami perubahan komposisi jenis yang secara jelas dapat dilihat pada ekosistem Hutan Pinus. Ekosistem Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP pada tingkat pohon hanya terdapat satu jenis pohon, yaitu pinus (Pinus merkusii). Ekosistem Hutan Rasamala Campuran memiliki jumlah jenis tertinggi diantara ekosistem hutan lain yang mengalami kerusakan ataupun hutan
107
tanaman lainnya. Namun demikian, upaya pengayaan jenis dengan penanaman jenis-jenis yang hilang mutlak untuk dilakukan.
Gambar 38 Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada ekosistem hutan yang telah mengalami gangguan ataupun hutan tanaman, yaitu 3 ha di Hutan Rasamala Campuran, 2,4 ha di Hutan Puspa Campuran, 2,8 ha di Hutan Damar, dan 2 ha di Hutan Pinus pada kawasan hutan TNGGP masing-masing ditemukan 63 jenis yang tergolong ke dalam 34 famili pada Hutan Rasamala Campuran, 47 jenis yang tergolong ke dalam 25 famili pada Hutan Puspa Campuran, 56 jenis yang tergolong ke dalam 26 famili pada Hutan Damar, serta 26 jenis yang tergolong ke dalam 18 famili pada Hutan Pinus. Hutan Pinus merupakan ekosistem yang memiliki jumlah jenis paling rendah terutama pada tingkat pohon, hal ini dikarenakan kawasan hutan tersebut sebelumnya merupakan hutan produksi eks Perum Perhutani berupa hutan tanaman monokultur jenis pinus (Pinus merkusii), sehingga tindakan pemeliharaan dilakukan secara intensif.
Selain itu,
terdapatnya pengaruh allelopati (pengaruh yang bersifat meracun) yang dihasilkan oleh serasah pinus dapat berdampak pada terhambatnya regenerasi yang dihasilkan. Terdapatnya jenis lain selain pinus pada tingkat permudaan dimungkinkan terjadi setelah alih fungsi hutan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi.
Setelah
beralih
menjadi
hutan
konservasi,
maka
kegiatan
108
pemeliharaan di Hutan Pinus tidak dilakukan lagi, sehingga berdampak pada tumbuhnya jenis-jenis lain yang dapat beradaptasi dengan kondisi tegakan pinus. Secara lebih detail, hasil analisis vegetasi pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan TNGGP dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. 4.2.5.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP
Hasil perhitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan indeks nilai penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP disajikan pada Tabel 13, sedangkan perhitungan analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 10 – Lampiran 13. Tabel 13 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
77,2300
43,6047
89,5170
210,3517
5,6338
13,9535
2,9519
22,5392
Hutan Rasamala Campuran: 1
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3
Maesopsis eminii Engl.
Kayu afrika
2,5822
6,3953
1,0164
9,9939
4
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
2,3474
5,8140
0,7777
8,9391
5
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
2,1127
5,2326
1,4120
8,7572
Hutan Puspa Campuran: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
25,0943
21,6102
24,1402
70,8447
2
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
24,7170
20,7627
23,9375
69,4172
3
Manglietia glauca Bl
Manglid
24,7170
10,5932
4,8715
40,1817
4
Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
Tunggeureuk
2,8302
3,8136
23,4838
30,1276
5
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
4,5283
7,2034
6,0310
17,7627
Hutan Damar: 1
Agathis dammara
Damar
93,6306
69,3069
99,1803
262,1178
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
0,6369
13,8614
0,4783
14,9767
3
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
1,2739
3,9604
0,1073
5,3416
4
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
0,9554
2,9703
0,0383
3,9640
5
Artocarpus elasticus (Bl.) DC
Teureup
0,6369
1,9802
0,0387
2,6559
100
100
100
300
Hutan Pinus: 1
Pinus merkusii
Pinus
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
109
Jenis Schima wallichii (DC.) Korth tercatat memiliki kerapatan tertinggi pada Hutan Puspa Campuran, yaitu sebesar 25,0943 % dari 221 individu/ha yang menyusun tegakan Hutan Puspa Campuran. Pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ditemukan lebih dari 75% individu yang menyusun tegakan tersebut adalah satu jenis tumbuhan tertentu. Altingia excelsa Noronha menyusun 77,2300% individu yang ada pada tipe
vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Agathis dammara menyusun 93,6306% individu yang ada pada tipe vegetasi Hutan Damar, bahkan pada tipe vegetasi Hutan Pinus 100% individu pohon penyusun tegakan tersebut adalah jenis Pinus merkusii. Hal ini bersesuaian dengan fungsi kawasan hutan sebelumnya sebagai
kawasan hutan produksi yang dikelola sebagai hutan tanaman dimana pohonpohon tersebut merupakan tanaman pokok pada masing-masing tipe vegetasi hutan. Hutan Damar memiliki luas bidang dasar tertutupi oleh tegakan pohon paling tinggi diantara tipe vegetasi hutan lainnya, yaitu 100,2814 m2/ha. Sedangkan nilai dominansi jenis tumbuhan pada tipe vegetasi hutan lainnya adalah sebagai berikut: Hutan Rasamala Campuran memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 21,2743 m2/ha, Hutan Puspa Campuran memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 12,5991 m2/ha, dan Hutan Pinus memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 33,8115 m2/ha. Pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon diperoleh dari jenis Altingia excelsa Noronha (210,3517%), Schima wallichii
(DC.)
Korth.
(22,5392%),
Maesopsis
eminii
Engl.
(9,9939%),
Beilschrriedia wightii Benth. (8,9391%), dan Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
(8,7572%).
Pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran nilai INP tertinggi
vegetasi tingkat pohon diperoleh dari jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (70,8447%), Altingia excelsa Noronha (69,4172%), Manglietia glauca Bl (40,1817%), Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC. (30,1276%), dan Castanopsis argentea (Bl.) DC. (17,7627%).
Pada tipe vegetasi Hutan Damar nilai INP
tertinggi vegetasi tingkat pohon diperoleh dari jenis Agathis dammara (262,1178%), Schima wallichii (DC.) Korth. (14,9767%), Altingia excelsa Noronha (5,3416%), Beilschrriedia wightii Benth. (3,9640%), Artocarpus elasticus (Bl.) DC (2,6559%). Pada tipe vegetasi Hutan Pinus nilai INP tertinggi diperoleh dari jenis Pinus merkusii, yaitu sebesar 300%.
110
Secara umum, pada tipe vegetasi hutan yang telah mengalami gangguan ataupun hutan tanaman terjadi penurunan keanekaragaman jenis tumbuhan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP (Tabel 14). Tabel 14 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP Tipe Hutan Hutan Rasamala Campuran Hutan Puspa Campuran Hutan Damar Hutan Pinus
Jumlah Jenis (∑) 17 23 13 1
Indeks Indeks Keanekaragaman Kemerataan Jenis (H’) Jenis (J’) 1,3218 0,4665 2,3056 0,7353 0,6349 0,2475 0 -
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 14) dapat diketahui bahwa pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran dan Hutan Damar terjadi penurunan hampir 50% dari tingkat keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis dibandingkan pada Hutan Alam, bahkan mencapai 100% pada ekosistem/tipe vegetasi Hutan Pinus. 4.2.5.2. Vegetasi Tingkat Permudaan di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP
Hasil analisis vegetasi permudaan (semai, pancang, dan tiang) secara berturut-turut disajikan pada Tabel 15, Tabel 16, dan Tabel 17. Pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus setelah alih fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi yang berdampak pada perubahan teknik silvikultur yang dilakukan, mulai ditemukan permudaan jenis-jenis pioner yang pada umumnya ditemukan pada ekosistem yang mengalami gangguan seperti Macaranga sp., Vernonia arborea, Trema sp. serta jenis-jenis tumbuhan sekunder lainnya, seperti: Villebrunea rubescens, Ficus fistulosa, Ficus ribes, bahkan beberapa permudaan
komunitas hutan primer seperti Schima wallichii (DC.) Korth., Macropanax dispermum (Bl.), Glochidion rubrum Bl., Manglietia glauca Bl., dan Castanopsis argentea (Bl.) DC mulai ditemukan pada beberapa tipe ekosistem/tipe vegetasi
hutan yang mengalami gangguan ataupun hutan tanaman sehingga proses regenerasi secara alami sebenarnya mulai terjadi.
Namun demikian, upaya
untuk mempercepat proses suksesi yang terjadi secara alami mutlak diperlukan
111
terlebih pada tipe vegetasi Hutan Pinus yang hanya didominasi oleh Pinus merkusii pada tingkat pohon dimana ketersediaan pohon lain sebagai sumber
benih tidak ada. Proses regenerasi alami ini sangat tergantung dengan jarak dan ketersediaan pohon sumber benih dari ekosistem/tipe vegetasi hutan alam yang ada di dekatnya. Tabel 15 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat semai pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
INP (%)
Hutan Rasamala Campuran: 1
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
9,2511
9,2920
18,5431
2
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
7,4890
7,5221
15,0111
3
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
6,1674
6,1947
12,3621
4
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
4,8458
4,8673
9,7131
5
Polyosma integrifolia Bl.
Ki jebug
4,4053
4,4248
8,8301
21,25
42,3680
Hutan Puspa Campuran: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
21,1180
2
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
9,9379
10
19,9379
3
Ficus lepicarpa Bl.
Bisoro
9,3168
9,375
18,6918
4
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
6,8323
6,875
13,7073
5
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
4,9689
5
9,9689
Huru Kondang beunying
15,6522
12,6316
28,2838
10,2174
11,0526
21,2700
Hutan Damar: 1
Beilschrriedia wightii Benth.
2
Ficus fistulosa Reiwn.
3
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
4
Litsea monopetala Pers.
Huru manuk
5
Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
7,3913
10,0000
17,3913
13,0435
4,2105
17,2540
4,5652
7,3684
11,9336
Walen
28,7879
28,7879
57,5758
15,1515
Hutan Pinus: 1
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
2
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
15,1515
30,3030
3
Schima wallichii (DC.) Korth.
7,5758
7,5758
15,1515
4
Ficus fistulosa Reiwn. Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder
Puspa Kondang beunying
6,0606
6,0606
12,1212
Ki amis
6,0606
6,0606
12,1212
5
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Nilai kerapatan tingkat semai pada berbagai tipe vegetasi hutan tersebut adalah sebagai berikut: 7.567 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, 6.708 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran, 16.429 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Damar, dan 3.300 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Pinus. Nilai kerapatan merupakan gambaran jumlah jenis pada
112
masing-masing tipe tipe vegetasi hutan. Tipe vegetasi Hutan Pinus mempunyai jumlah individu suatu jenis yang paling sedikit, sedangkan tipe vegetasi hutan lainnya mempunyai jumlah individu suatu jenis > 5000 individu/ha. Hal yang menarik dapat dilihat pada tipe vegetasi Hutan Pinus dan Hutan Damar dimana tidak dijumpai permudaan tingkat semai tumbuhan pokok pada masing-masing tipe hutan tersebut, tetapi mulai dijumpai jenis-jenis permudaan yang terdapat pada Hutan Alam. Nilai kerapatan tertinggi suatu jenis tumbuhan pada masing-masing tipe vegetasi hutan adalah sebagai berikut: Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (700 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan
Rasamala Campuran, Schima wallichii (DC.) Korth. (1.417 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran, Beilschrriedia wightii Benth. (2.571 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan Damar, dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (950 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan Pinus. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 15) dapat diketahui INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran dimiliki oleh jenis Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (18,5431%), Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (15,0111%), Beilschrriedia wightii Benth.
(12,3621%), Macropanax dispermum (Bl.) (9,7131%), dan Polyosma integrifolia Bl. (8,8301%). INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran dimiliki oleh jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (42,3680%), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (19,9379%), Ficus lepicarpa Bl.
(18,6918%), Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore (13,7073%), dan Macropanax dispermum (Bl.) (9,9689%). INP tertinggi vegetasi tingkat semai
pada tipe vegetasi Hutan Damar dimiliki oleh jenis Beilschrriedia wightii Benth. (28,2838%), Ficus fistulosa Reiwn. (21,2700%), Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (17,3913%), Litsea monopetala Pers. (17,2540%), dan Camelia sinensis (L.) O.K. (11,9336%). INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Pinus berasal jenis Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (57,5758%), Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (30,3030%), Schima wallichii (DC.) Korth. (15,1515%), Ficus fistulosa Reiwn. (12,1212%), Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder (12,1212%). Hasil perhitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan indeks nilai penting tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP disajikan pada Tabel 16 berikut ini.
113
Tabel 16 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%) 29,3772
Hutan Rasamala Campuran: 1
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
8,6826
8,5938
12,1008
2
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
9,5808
6,2500
3,9720
19,8028
3
Cryptocarya tomentosa
Huru tangkil
6,8862
6,6406
5,5476
19,0744
4
Turpinia obtusa
Ki bangkong
3,5928
4,6875
9,0854
17,3657
5
Pygeum latifolium Miq Bl.
Salam banen
6,5868
5,0781
3,7069
15,3719
Hutan Puspa Campuran: 1
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
12,6984
7,6336
14,9162
35,2482
2
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
8,7302
8,3969
4,7234
21,8506
3
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3,9683
6,1069
10,4101
20,4852
4
Manglietia glauca Bl
Manglid
3,9683
3,8168
10,7245
18,5095
5
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
4,7619
5,3435
6,8759
16,9813
Hutan Damar: 1
Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
15,6934
11,8750
14,0219
41,5904
2
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
13,8686
11,2500
7,8842
33,0028
3
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
5,1095
6,2500
15,8627
27,2222
4
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
11,6788
7,5000
6,9077
26,0865
5
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3,6496
4,3750
5,8706
13,8952
Hutan Pinus: 1
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
Ki sereh
20,625
18,6047
26,0063
65,2360
2
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
9,375
10,4651
14,2141
34,0542
3
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
13,75
6,9767
10,8587
31,5854
4
Ficus fistulosa Reiwn.
Walen Kondang beunying
5
Macaranga semiglobosa J.J.S
Mara
7,5
13,9535
4,6084
26,0618
10
10,4651
3,1558
23,6209
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 16) dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran terdiri atas jenis Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (29,3772%), Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (19,8028%), Cryptocarya tomentosa (19,0744%), Turpinia obtusa (17,3657%), dan Pygeum latifolium Miq Bl (15,3719%).
INP
tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran terdiri atas jenis Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (35,2482%), Glochidion rubrum Bl. (21,8506%), Schima wallichii (DC.) Korth. (20,4852%), Manglietia glauca Bl (18,5095%), dan Macropanax dispermum (Bl.) (16,9813%).
INP tertinggi
vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Damar terdiri atas jenis Camelia sinensis (L.) O.K. (41,5904%), Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg.
114
(Bl.) M.A. (33,0028%), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (27,2222%), Eugenia densiflora (Bl.) Duthie (26,0865%), dan Schima wallichii (DC.) Korth.
(13,8952%). INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Pinus terdiri atas jenis Cinnamomum parthenoxylon Meissn. (65,2360%), Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (34,0542%), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex
Blume (31,5854%), Ficus fistulosa Reiwn. (26,0618%), dan Macaranga semiglobosa J.J.S (23,6209%).
Hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Tabel 17 berikut ini. Tabel 17 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
Hutan Rasamala Campuran: 1
Turpinia obtusa
Ki bangkong
8,0645
8,3333
8,5549
24,9527
2
Evodia latifola DC
8,0645
8,3333
7,3969
23,7947
3
Dysoxylum excelsum Bl.
Ki sampang Pingku tanglar
8,0645
8,3333
5,7687
22,1665
4
Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Haruman
6,4516
6,6667
8,0713
21,1896
5
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
6,4516
5,0000
8,0641
19,5157
21,9780
14,1593
19,9102
56,0476
1,9442
13,2743
17,5712
32,7897
Hutan Puspa Campuran: 1
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
4
Manglietia glauca Bl
Manglid
5
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
9,2984
9,7345
8,1401
27,1730
10,1437
8,8496
7,7575
26,7507
6,7625
5,3097
5,9938
18,0660 42,1792
Hutan Damar: 1
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
13,3333
13,3333
15,5125
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
13,3333
13,3333
15,0099
41,6765
3
Evodia latifola DC
Ki sampang
6,6667
6,6667
7,4568
20,7902
4
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
6,6667
6,6667
7,3532
20,6866
5
Laportea stimulans (L.f.) Miq.
Pulus
6,6667
6,6667
5,3453
18,6787
Hutan Pinus: 1
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
Ki sereh
75
75
78,9141
228,9141
2
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
25
25
21,0859
71,0859
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 17) dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran terdiri atas jenis Turpinia obtusa (24,9527%), Evodia latifola DC (23,7947%), Dysoxylum
115
excelsum Bl. (22,1665%), Abarema clypearia (Jack) Kosterm. (21,1896%), Altingia excelsa Noronha (19,5157%). INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada
tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran terdiri atas jenis Altingia excelsa Noronha (56,0476%), Schima wallichii (DC.) Korth. (32,7897%), Ficus alba Burm.f. (27,1730%), Manglietia glauca Bl (26,7507%), dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (18,0660%).
INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe
vegetasi Hutan Damar terdiri atas jenis Altingia excelsa Noronha (42,1792%), Schima wallichii (DC.) Korth. (41,6765%), Evodia latifola DC (20,7902%), Ficus alba Burm.f. (20,6866%), dan Laportea stimulans (L.f.) Miq. (18,6787%). INP
tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Pinus terdiri atas jenis Cinnamomum parthenoxylon Meissn. (228,9141%) dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl.
Reinw. Ex Blume (71,0859%). Jenis Schima wallichii (DC.) Korth. secara konsisten mempunyai INP tertinggi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran.
Pada tipe vegetasi Hutan Pinus dijumpai
bahwa Pinus merkusii tidak ditemukan pada tingkat semai, pancang, dan tiang. Pinus merkusii hanya ditemukan pada tingkat pohon. Hal tersebut menunjukkan
kemungkinan akan terjadinya perubahan komposisi jenis tumbuhan penyusun tipe vegetasi hutan tersebut. Jenis tumbuhan Cinnamomum parthenoxylon Meissn. dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume merupakan jenis tumbuhan yang berpotensi menggantikan dominansi Pinus merkusii pada tingkat pohon karena jenis-jenis tumbuhan tersebut mempunyai permudaan yang mencukupi dan secara konsisten mempunyai INP tinggi pada tingkat semai dan tingkat pancang. Bahkan pada tingkat tiang 100% individu penyusun tipe vegetasi Hutan Pinus adalah kedua jenis tumbuhan tersebut meskipun dengan kerapatan rendah, yaitu hanya 8 individu/ha. Hal yang berbeda terjadi pada tipe vegetasi Hutan Damar, proses regenerasi tumbuhan pokok penyusun tipe vegetasi hutan tersebut, yaitu Agathis dammara, akan tetap berlangsung karena masih tersedianya permudaan pada
tingkat pancang dan tingkat tiang meskipun dengan tingkat kerapatan yang rendah, yaitu sebesar 11 individu/ha pada tingkat pancang dan hanya 3 individu/ha pada tingkat tiang.
Jenis Altingia excelsa Noronha dan Schima
wallichii (DC.) Korth. merupakan jenis tumbuhan yang berpotensi menggantikan
dominansi Agathis dammara, dimana jenis-jenis tumbuhan tersebut merupakan
116
jenis yang mendominasi pada tingkat tiang, yaitu dengan jumlah individu paling banyak, tersebar, dan luas bidang dasar yang paling besar. Pada tingkat pohon kedua jenis tumbuhan tersebut juga menduduki peringkat kedua dan ketiga jenis tumbuhan yang mempunyai INP tertinggi setelah Agathis dammara. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 18) dapat diketahui mengenai gambaran keanekaragaman jenis tumbuhan dan kemerataan jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan pada masing-masing tipe vegetasi hutan di kawasan hutan TNGGP. Secara umum, keanekaragaman jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, dan Hutan Damar mendekati keanekaragaman jenis tumbuhan pada Hutan Alam. Hutan Pinus merupakan tipe vegetasi hutan yang memiliki nilai keanekaragaman jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan yang paling rendah diantara tipe vegetasi hutan lainnya, yaitu sebesar 2,4063 pada tingkat semai, 2,6087 pada tingkat pancang, dan hanya 0,5475 pada tingkat tiang. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat diketahui mengenai gambaran kemerataan jenis atau distribusi jenis pada masing-masing tipe vegetasi hutan untuk tingkat permudaan. Nilai kemerataan jenis tumbuhan pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, dan Hutan Damar mendekati nilai kemerataan jenis tumbuhan pada tipe vegetasi Hutan Alam dan bahkan cenderung lebih tinggi. Tabel 18 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat permudaan pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus Tipe Hutan Hutan Rasamala Campuran Hutan Puspa Campuran Hutan Damar Hutan Pinus
Semai ∑ H’ J’ 48 3,5221 0,9098
Tingkat Pertumbuhan Pancang ∑ H’ J’ 54 3,5226 0,8831
Tiang ∑ H’ J’ 25 3,0831 0,9578
30 2,9401 0,8644
32 3,2104 0,9263
23 2,7692 0,8832
40 3,1361 0,8502 17 2,4063 0,8493
45 3,2377 0,8505 23 2,6087 0,8320
20 2,8279 0,9440 2 0,5475 0,7899
Keterangan: ∑ = Jumlah jenis, H’ = Keanekaragaman Jenis, J’ = Kemerataan Jenis
Hasil
penelitian
juga
menunjukkan
bahwa
vegetasi
pada
tingkat
pertumbuhan pancang mempunyai tingkat keanekaragaman jenis paling tinggi diantara tingkat pertumbuhan lainnya pada tingkat permudaan bahkan tingkat pohon. Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan juga ditemukan semakin menurun pada tingkat pertumbuhan pancang hingga pohon. Hal tersebut menunjukkan
117
bahwa semakin berkurangnya jenis-jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi dan memenangkan kompetisi untuk dapat tumbuh hingga tingkat pertumbuhan pohon. 4.2.5.3. Komposisi Jenis Tumbuhan pada Kelima Lokasi Analisis Vegetasi di Kawasan TNGGP
Hasil penelitian (Tabel 19) menunjukkan bahwa komposisi jenis yang tercatat dari hasil analisis vegetasi pada plot pengamatan Hutan Alam, Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan TNGGP dapat dilihat pada matriks komposisi jenis berikut ini. Tabel 19. Matrik komposisi jenis hasil analisis vegetasi pada plot pengamatan Hutan Alam (HA), Hutan Rasamala Campuran (HRC), Hutan Puspa Campuran (HPC), Hutan Damar (HD), dan Hutan Pinus (HP) No.
Jenis
Tipe Vegetasi HA
HRC
HPC
HD
HP
1
Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
S T Ph
SPT
-
SP
-
2
Acer laurinum Hassk.
S P T Ph
-
-
-
-
3
Acronychia laurifolia Bl.
S P T Ph
SP
-
SP
-
4
Agathis dammara
-
-
-
P T Ph
-
5
Alangium chinense (Lour.) Rehder.
6
Alangium villosum Wang
7
Alseodaphne elmeri
-
P
-
SPT
-
8
Altingia excelsa Noronha
S P T Ph
S P T Ph
S P T Ph
S P T Ph
P
S P T Ph
SPT
SPT
SPT
-
-
SP
-
T Ph
-
9
Antidesma tetandrum Bl.
10
Artocarpus elasticus (Bl.) DC
11
Astronia macrophylla Bl.
12
Beilschrriedia wightii Benth.
13
Brassaiopsis glomerulata (BI.) Regel
14
Bridelia glauca Bl.
15
Bruismia styracoides Boerl. & Koord.
16
Buchanania arborescens Bl.
17
Camelia sinensis (L.) O.K.
18
Canarium hirsutum Willd var. hirsutum
19
Carallia brachiata Merr.
S
-
-
-
-
P T Ph
PT
SP
-
-
P
P T Ph
-
-
-
S P T Ph
S P T Ph
S P T Ph
S P Ph
-
SP
-
-
-
-
-
P
-
-
-
Ph
-
-
T
-
S P T Ph
SP
SP
SP
SP
SPT
SP
-
S P T Ph
-
SP
SP
-
P
-
SP
-
-
SP
-
20
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
S P T Ph
S
T Ph
SP
-
21
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
S P T Ph
SP
S P T Ph
S
SP
22
Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
S P T Ph
-
S Ph
-
-
23
Chrysophyllum cainito L.
-
P
-
-
-
24
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
25
Claoxylon polot Merr.
-
-
P T Ph
P
PT
SP
-
-
-
-
26
Cryptocarya tomentosa
P
SPT
-
-
-
27
Daphniphyllum glaucescens Bl.
P
-
-
-
-
118
No.
Jenis
Tipe Vegetasi HA
HRC
HPC
HD
HP
S P Ph
SPT
SP
SP
-
28
Decaspermum fruticosum J.R.& G.
29
Dysoxylum alliaceum Bl.
S P T Ph
SP
-
-
-
30
Dysoxylum excelsum Bl.
-
SPT
SP
P
-
31
Dysoxylum parasiticum (osb.) Kosterm.
32
Elaeocarpus pierrei Kds. & Val.
33
Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl.
34
Eounymus javanicus Bl.
35
Eugenia cuprea K.et V.
36
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
37
Evodia latifola DC
38
Ficus alba Burm.f.
39
Ficus ampelas Burm.f.
40
Ficus fistulosa Reiwn.
41
Ficus hispida
42
Ficus lepicarpa Bl.
43
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
44
Ficus septica Burm.f.
45
Ficus variegata Bl.
46
Flacourtia rukam Zoll. & Mor
47
Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms
48
Gironniera subaequalis Planch
49
Glochidion lucidum
50
Glochidion rubrum Bl.
51
Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder
52
Gynotroches axillaris Bl.
53
Laportea stimulans (L.f.) Miq.
54
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd.
55
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
56
Litsea cubeba Pers.
57
Litsea javanica Bl.
58
Litsea monopetala Pers.
59
Litsea resinosa Bl.
P
-
-
-
-
P T Ph
-
Ph
-
-
T Ph
S
T
-
-
P T Ph
-
P
-
-
Ph
-
-
-
-
S P T Ph
SPT
SP
SP
-
P T Ph
S P T Ph
-
P T Ph
-
S P T Ph
P T Ph
P T Ph
SPT
SP
-
SP
-
SP
-
S P T Ph
-
SPT
SPT
SP
-
-
-
-
P
S
-
S
SP
-
S P T Ph
SPT
S P T Ph
SPT
SPT
P
S
-
-
-
T Ph
-
Ph
P Ph
-
S P Ph
SPT
-
-
SP
SP
SP
-
-
-
P
-
-
-
-
S P Ph
P
P
P
S
S P T Ph
Ph
SPT
T Ph
-
-
-
-
-
SP
SP
-
-
-
-
-
SPT
-
SPT
-
SPT
P
S
P Ph
-
S P Ph
S P Ph
S Ph
Ph
P
P
-
-
-
-
S P Ph
-
-
-
-
S P Ph
S P T Ph
P
SP
SP
-
-
-
S
-
60
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
S P T Ph
S P T Ph
S T Ph
SPT
-
61
Macaranga semiglobosa J.J.S
-
-
-
-
SP
62
Macropanax dispermum (Bl.)
S P T Ph
SP
S P T Ph
S
SP
63
Maesopsis eminii Engl.
-
P T Ph
-
-
S
64
Magnolia candollii (Bl.) H.Keng
P
-
-
-
-
65
Manglietia glauca Bl
S P T Ph
S
S P T Ph
P Ph
SP
66
Michellia montana Bl.
PT
-
-
-
-
67
Neonauclea lanceolata Merr.
-
P
SP
SP
-
68
Neonauclea obtusa (Bl.) Meer.
-
-
-
P
-
69
Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
Ph
S
-
SP
-
119
No.
Tipe Vegetasi
Jenis
HA
HRC
HPC
HD
HP
P T Ph
SPT
-
SP
-
P
-
-
-
P
-
P
-
-
-
S P T Ph
SP
S Ph
S
P
-
-
-
-
Ph
Plectronia didyma Kurz
S P T Ph
SP
P
SP
-
70
Ostodes paniculata Bl.
71
Pavetta indica L.
72
Peronema canescens Jack.
73
Persea excelsa (Bl.) Kost.
74
Pinus merkusii
75 76
Polyosma integrifolia Bl.
S P T Ph
S P T Ph
-
S
-
77
Pygeum latifolium Miq Bl.
-
SPT
-
-
-
78
Quercus tyesmannii Bl.
S P T Ph
S P Ph
S P Ph
SPT
-
79
Rauwolfia javanica K. et V.
SP
SP
SP
-
-
80
Saurauia blumiana Benn.
S P T Ph
SP
S P T Ph
SPT
SP
81
Saurauia cauliflora DC.
S P T Ph
P
SPT
SPT
-
82
Saurauia nudiflora
-
-
-
P
-
83
Sauraunia reinwardtiana Bl.
-
-
-
S
-
84
Schima sp1.
P Ph
-
P
-
-
85
Schima wallichii (DC.) Korth.
S P T Ph
S P Ph
S P T Ph
S P T Ph
SP
86
Sloanea sigun (Bl.) K. Schum
S P T Ph
P
PT
-
SP
87
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
S P T Ph
P Ph
S Ph
S
-
88
Symplocos fasciculata Zoll.
SP
S Ph
S
-
-
89
Syzigium antisepticum (Bl.) Merr. & Perry
P Ph
-
-
-
-
90
Syzygium polyanthum Wight.
S P T Ph
S
P T Ph
-
-
91
Timonius sp.
S P T Ph
-
-
-
-
92
Toona sureni (Bl.) Merr.
-
-
Ph
-
-
93
Trema orientalis (L.) Bl.
Ph
-
Ph
SP
-
94
Turpinia obtusa
S P T Ph
S P T Ph
PT
SP
P
95
Turpinia sphaerocarpa Hassk
P
P
-
-
-
96
Urophyllum arboreum Korth.
S P T Ph
SPT
-
P
P
97
Vernonia arborea Ham.
S P T Ph
ST
T Ph
-
-
98
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
S P T Ph
S P T Ph
SPT
SPT
SP
99
Weinmannia blumei Planch.
S P T Ph
SP
SPT
S P T Ph
-
100
Xanthophylum excelsum miq
SP
SP
-
SP
-
Keterangan : S=Semai, P=Pancang, T=Tiang, Ph=Pohon,
= jenis vegetasi ditemukan pada kelima lokasi
Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa terdapat 15 jenis tumbuhan yang tergolong ke dalam 12 famili dapat ditemukan pada ekosistem Hutan Alam maupun ekosistem hutan lainnya di kawasan hutan TNGGP yang menjadi plot pengamatan atau sekitar 19,23% dari total jenis tumbuhan pada ekosistem Hutan Alam masih dapat ditemukan pada ekosistem hutan yang telah mengalami gangguan ataupun ekosistem hutan tanaman (Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus). Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat pada kelima lokasi analisis vegetasi tersebut, yaitu: Altingia
120
excelsa Noronha (rasamala), Buchanania arborescens Bl. (ki tanjung), Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. (riung anak), Ficus alba Burm.f. (hamerang), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (walen), Glochidion lucidum
(mareme), Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd (pasang kayang), Litsea monopetala Pers.(huru manuk), Macropanax dispermum (Bl.) (ki racun), Manglietia glauca Bl (manglid), Persea excelsa (Bl.) Kost. (huru leueur), Saurauia blumiana Benn. (ki leho), Schima wallichii (DC.) Korth. (puspa), Turpinia obtusa (ki bangkong), dan Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (nangsi).
Keberadaan 15 jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima tipe vegetasi hutan di kawasan TNGGP tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk pemilihan jenis tumbuhan awal yang dapat digunakan dalam kegiatan restorasi kawasan TNGGP.
Hal tersebut dikarenakan ke-15 jenis tumbuhan tersebut
mampu tumbuh pada semua kondisi tipe vegetasi hutan di kawasan TNGGP. Setelah jenis-jenis tumbuhan awal tersebut tumbuh, barulah dapat dimasukkan jenis-jenis tumbuhan lainnya seperti yang terdapat pada tipe vegetasi Hutan Alam sebagai ekosistem acuan di kawasan TNGGP. 4.2.5.4. Ekologi 15 Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada Kelima Lokasi Analisis Vegetasi di Kawasan Hutan TNGGP
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan sebelumnya dapat diketahui bahwa terdapat 15 jenis tumbuhan yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Tabel 20). Hal tersebut dikarenakan ke-15 jenis tumbuhan tersebut dapat ditemukan pada seluruh lokasi analisis vegetasi di kawasan hutan TNGGP, baik pada tipe vegetasi Hutan Alam maupun pada tipe vegetasi hutan yang mengalami gangguan ataupun tipe vegetasi hutan tanaman, yaitu Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus yang tentu saja mempunyai kondisi ingkungan baik biotik maupun abiotik yang berbedabeda. Tabel 20 Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi analisis vegetasi di kawasan TNGGP No. 1 2 3 4
Nama Ilmiah Altingia excelsa Noronha Buchanania arborescens Bl. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Ficus alba Burm.f.
Nama Lokal Rasamala Ki tanjung Riung anak Hamerang
Famili Hamamelidaceae Anacardiaceae Fagaceae Moraceae
121
No.
Nama Ilmiah
Nama Lokal
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Glochidion lucidum Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd Litsea monopetala Pers. Macropanax dispermum (Bl.) Manglietia glauca Bl. Persea excelsa (Bl.) Kost. Saurauia blumiana Benn. Schima wallichii (DC.) Korth. Turpinia obtusa Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Walen Mareme Pasang kayang Huru manuk Ki racun Manglid Huru leueur Ki leho Puspa Ki bangkong Nangsi
Famili Moraceae Euphorbiaceae Fagaceae Lauraceae Araliaceae Magnoliaceae Lauraceae Saurauiaceae Theaceae Staphyleacea Urticaceae
Adapun ekologi ke-15 jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi analisis vegetasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: 1) Altingia excelsa Noronha (Rasamala) Altingia excelsa Noronha menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah
lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan ketinggian 500-1.500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Jenis ini tumbuh alami terutama pada tapak lembab dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik. Pada ekosistem hutan pegunungan TNGGP, jenis ini merupakan salah satu jenis yang mendominasi tegakan dan secara umum tumbuh mengelompok. Di Jawa, jenis ini berbunga dan berbuah sepanjang tahun, tetapi puncak pembungaannya terjadi pada bulan April – Mei. Puncak pembuahan terjadi pada bulan Agustus – Oktober.
Jenis Altingia excelsa Noronha saat ini banyak
digunakan untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan teknik silvikultur ditanam pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari. 2) Buchanania arborescens Bl. (Ki tanjung) Buchanania arborescens Bl. atau yang dikenal dengan Ki tanjung di
wilayah Jawa Barat merupakan pohon kecil hingga besar dengan tinggi hingga 35 – 42 m dan diameter hingga 100 cm, pada umumya terdapat banir dengan ketinggian 1 – 4 m. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan hutan sekunder hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian 600 – 1000 mdpl. Selain itu, jenis ini juga ditemukan di hutan kerangas, daerah pantai berpasir dan berbatu, dan kadang juga di hutan gambut, serta di tepi sungai.
122
3) Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. (Riung anak) Sebaran Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. meliputi Peninsular Malaysia, Sumatra, Borneo, dan Jawa Barat.
Jenis tumbuhan ini dapat mencapai
ketinggian hingga 40 m dengan diameter dapat mencapai 100 – 150 cm. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. tumbuh di hutan dataran rendah hingga
pegunungan,
ditemukan
tumbuh
mengelompok
pada
ekosistem
hutan
pegunungan TNGGP, pada umumnya ditemukan pada ketinggian 1000 – 1500 m, tetapi juga dapat ditemukan pada ketinggian 2500 m. Jenis tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah tetapi tidak berbatu (limestone). Jenis tumbuhan ini berbunga pada bulan Januari - Agustus dan berbuah pada bulan April – Nopember. 4) Ficus alba Burm.f. (Hamerang) Ficus alba Burm.f. merupakan tumbuhan kecil, tumbuh pada ketinggian di
bawah 1700 m. 5) Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (Walen) Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume merupakan tumbuhan pohon
dengan tinggi 15 m dan diameter 30 cm, tumbuh pada ketinggian 100 – 1500 m dpl di hutan pegunungan. 6) Glochidion lucidum (Mareme) Glochidion lucidum tersebar di Peninsular Malaysia, Sumatera, Jawa,
Sulawesi, Morotai dan Papua New Guinea. Pohon ini memiliki tinggi hingga 25 m dan diameter 45 cm, tumbuh pada ketinggian kurang dari 900 mdpl. 7) Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd (Pasang kayang) Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd merupakan pohon besar yang pada
umumnya memiliki akar papan, tinggi pohon dapat mencapai hingga 44 m dan diameter 1,5 m, tumbuh pada ketinggian 50 – 1.600 m dpl dalam keadaan lembab. Jenis tumbuhan ini merupakan salah satu karakter jenis tumbuhan pada hutan pegunungan bawah (submontana) sampai hutan pegunungan (montana). Secara umum, Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd ditemukan pada daerah beriklim lembab serta tumbuh pada berbagai tipe tanah (limestone, peat, podsolik). Namun demikian, jenis tumbuhan ini tergolong jenis tumbuhan tidak tahan api. 8) Litsea monopetala Pers. (Huru manuk) Litsea monopetala Pers. tersebar di India, Burma, Indo-china, Thailand,
Peninsular Malaysia, dan Jawa.
Jenis tumbuhan ini merupakan pohon kecil,
tinggi sampai 18 m, dan diameter 60 cm, serta terdapat pada ketinggian 1.250 m
123
dpl. Jenis tumbuhan ini ditemukan pada berbagai tipe habitat, sebagian besar ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder dengan drainase yang baik. 9) Macropanax dispermum (Bl.) (Ki racun) Macropanax dispermum (Bl.) ditemukan tumbuh pada hutan primer
pegunungan pada ketinggian 1.750 – 2.050 m dpl dan tumbuh secara mengelompok. 10) Manglietia glauca Bl. (Manglid) Manglietia glauca Bl. tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan sedikit di
Jawa Barat. Pohon ini berukuran besar, tingginya dapat mencapai hingga 40 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 25 m dan diameter hingga 150 cm. Manglietia glauca Bl. berbunga dan berbuah hampir setiap tahun. Secara umum,
jenis tumbuhan ini ditemukan di hutan primer dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggan 450 – 2.400 m dpl. 11) Persea excelsa (Bl.) Kost. (Huru leueur) Persea excelsa (Bl.) Kost. tersebar di Thailand, Peninsular Malaysia, Jawa,
dan Bali. Jenis tumbuhan ini merupakan pohon evergreen, memiliki tinggi hingga mencapai 30 – 40 m dan diameter 80 – 90 cm. Jenis tumbuhan ini ditemukan pada hutan dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggian kurang dari 1.500 m dpl. 12) Saurauia blumiana Benn. (Ki leho) Saurauia blumiana Benn. merupakan jenis pohon yang ditemukan tumbuh
pada hutan pengunungan bawah (submontana) (1.000 – 1.600 m dpl) dengan pola sebaran berkelompok dan berasosiasi dengan Antidesma tetrandrum. 13) Schima wallichii (DC.) Korth. (Puspa) Schima wallichii (DC.) Korth.merupakan pohon sangat tinggi hingga
mencapai 30 m, memiliki batang besar (80 cm) dan tegap seperti tiang, bertajuk lebat, tumbuh di hutan dengan ketinggian 250 – 2.600 m dpl, tetapi lebih banyak ditemukan pada ketinggian 1.300 – 1.600 m dpl. Jenis tumbuhan pohon ini merupakan salah satu jenis yang mendominasi pada ekosistem hutan TNGGP. Jenis tumbuhan ini memiliki musim berbuah pada bulan Agustus – Nopember . 14) Turpinia obtusa (Ki bangkong) Turpinia obtusa merupakan pohon dengan tinggi mencapai hingga 20 m
dan memiliki besar batang hingga 60 cm, tumbuh tersebar di Asia Tenggara pada hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Jenis tumbuhan ini terdapat pada ketinggian 200 – 1.750 m dpl.
124
15) Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (Nangsi) Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. merupakan pohon kecil/perdu yang cepat
tumbuh dengan tinggi 3 – 8 m, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.600 m dpl, kecuali di daerah musim kering jenis tumbuhan ini tumbuh di area yang mendapat naungan pada lereng-lereng jurang. 4.2.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP
Kawasan TNGGP sejak tahun 2003 mengalami perluasan kawasan hutan yang berasal dari alih fungsi kawasan hutan produksi dan hutan lindung eks Perum Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi seluas 7.655,030 ha, sehingga secara legal kini kawasan TNGGP memiliki luas kawasan hutan sebesar 22.851,030 ha. Perluasan kawasan TNGGP tersebut telah menambah kompleksitas kondisi kawasan TNGGP baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Secara ekologi, kawasan TNGGP kini memiliki beberapa tipe vegetasi hutan selain hutan alam yang berasal dari eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani, yaitu: hutan tanaman dengan jenis tumbuhan eksotik (pinus, damar, eucalyptus), hutan tanaman dengan jenis tumbuhan asli (rasamala, puspa), dan hutan tanaman dengan jenis tumbuhan campuran (eksotik dan asli).
Secara
ekonomi, kawasan TNGGP yang berasal dari eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani hingga kini masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang biasanya menggarap lahan di kawasan tersebut melalui pola tumpangsari, yaitu masyarakat penggarap menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman semusim, seperti sayuran dan palawija di antara tanaman/pohon pokok kehutanan. Secara sosial, masyarakat sekitar yang biasanya memanfaatkan/ menggarap lahan di kawasan TNGGP eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani tersebut telah memiliki nilai-nilai tersendiri yang tumbuh dari aktivitasnya mengelola lahan di kawasan hutan tersebut, seperti: tumbuhnya semangat kebersamaan dalam mengolah lahan, terbentuknya kelembagaan kelompok
tani,
dan
tumbuhnya
nilai
sosial
lainnya
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Keberadaan hutan tanaman di kawasan TNGGP dengan jenis eksotik tentunya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan keaslian jenis di suatu kawasan hutan konservasi. Oleh karena itu, maka upaya restorasi hutan selain dilakukan di kawasan-kawasan hutan yang mengalami kerusakan ataupun tidak bervegetasi (kawasan hutan yang gundul) juga perlu
125
dilakukan di kawasan-kawasan hutan tanaman yang terdiri atas jenis eksotik. Melalui upaya restorasi hutan diharapkan agar kondisi kawasan hutan tersebut dapat kembali seperti/mendekati kondisi semula (kondisi awal yang diketahui). Mengingat kompleksnya kondisi kawasan TNGGP setelah
perluasan
kawasan, maka kegiatan restorasi di kawasan TNGGP perlu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal.
Menghadapi kondisi/keadaan tersebut,
seringkali pengelola kawasan hutan konservasi merasa ragu-ragu untuk bertindak dalam melaksanakan kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan konservasi karena di satu sisi kegiatan/tindakan restorasi hutan perlu dilakukan untuk memenuhi kaidah-kaidah konservasi yang berlaku, namun di sisi lain kegiatan/tindakan restorasi hutan tersebut dapat menimbulkan preseden buruk atau salah pengertian dari masyarakat sekitar maupun institusi lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka diharapkan kajian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu acuan yang dapat digunakan bagi pengelola kawasan hutan konservasi dalam melakukan kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan konservasi yang memiliki kondisi/keadaan sama dengan kasus kawasan hutan konservasi yang akan dikaji dalam penelitian ini. diketahui
prioritas
alternatif
kegiatan/tindakan
Melalui kajian ini dapat restorasi
kawasan
hutan
konservasi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang dihasilkan melalui survey pakar dan pengambil kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan perumusan yang telah dilakukan oleh pakar/ahli dapat diketahui bahwa kriteria, subkriteria, dan alternatif kegiatan/tindakan yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada uraian berikut ini. Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Ekologi Kegiatan/tindakan restorasi secara ekologi diharapkan dapat meningkatkan peran dan fungsi ekologi suatu kawasan hutan konservasi, terutama keanekaragaman hayati dan hidroorologi. 2. Ekonomi Kegiatan/tindakan restorasi secara ekonomi diharapkan dapat memberikan nilai tambah/meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
126
3. Sosial-Budaya Kegiatan/tindakan
restorasi
secara
sosial-budaya
diharapkan
dapat
meningkatkan nilai-nilai sosial budaya di masyarakat Subkriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Hutan tanaman jenis eksotik Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis eksotik (hutan jenis pinus eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP, hutan jenis damar eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP). 2. Hutan tanaman jenis asli Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli (hutan jenis rasamala dan puspa eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP). 3. Hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli yang di dalamnya terdapat beberapa pohon jenis eksotik yang letaknya terpencar (hutan jenis asli eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik). 4. Hutan alam ada jenis eksotik Merupakan hutan alam yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli yang di dalamnya terdapat beberapa pohon jenis eksotik yang letaknya terpencar (hutan primer di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik, hutan sekunder di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik). 5. Tidak bervegetasi pohon Merupakan kawasan hutan yang tidak memiliki pohon (lahan terbuka di kawasan TNGGP, semak/belukar di kawasan TNGGP). Adapun alternatif kegiatan/tindakan yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Restorasi Alami/Dibiarkan Secara Alami/Tanpa Tindakan (RA) Merupakan kondisi hutan yang dibiarkan tanpa ada tindakan/pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami 2. Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman
secara
selektif/terbatas,
selanjutnya
dibiarkan
tanpa
ada
127
pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan
restorasi
tersebut
dilakukan
dengan
melibatkan
masyarakat sekitar. 3. Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman
secara
selektif/terbatas,
selanjutnya
dibiarkan
tanpa
ada
pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 4. Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 5. Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 6. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 7. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada
128
bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 8. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 9. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 10. Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan).
Kegiatan/tindakan restorasi tersebut
dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 11. Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan).
Kegiatan/tindakan restorasi tersebut
dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Adapun struktur hirarki/struktur AHP yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 39 berikut ini.
129
Tujuan
Menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP
Kriteria
Ekologi
Ekonomi
Sosial-Budaya
Hutan tanaman jenis asli
Hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik
Hutan alam ada jenis eksotik
Hutan tanaman jenis eksotik
Sub Kriteria
Alternatif Kegiatan/ Tindakan
Restorasi Alami/ Dibiarkan Secara Alami/ Tanpa Tindakan (RA)
Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM)
Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRATMM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRBTMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRBMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRBTMM)
Gambar 39 Struktur AHP prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRBMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRBTMM)
Tidak bervegetasi pohon
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB-TMM)
130
Hasil penelitian (Gambar 40) menunjukkan bahwa pembobotan kriteria dan subkriteria yang telah dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi kawasan TNGGP dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. Nilai bobot kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: ekologi (bobot: 0,600), ekonomi (bobot: 0,200), sosial-budaya (bobot: 0,200). Nilai bobot subkriteria pada kriteria ekologi yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,211), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,092), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,160), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,121), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,417). Adapun nilai bobot subkriteria pada kriteria ekonomi yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,123), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,107), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,162), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,186), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,423). kriteria
sosial-budaya
yang
Sedangkan nilai bobot subkriteria pada
digunakan
untuk
menentukan
prioritas
kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,216), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,056), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,132), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,056), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,540). Berdasarkan pemilihan kriteria tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam kegiatan/tindakan restorasi di suatu kawasan hutan konservasi (kasus kawasan TNGGP) perlu dilakukan secara holistik dengan memperhatikan berbagai aspek, meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya agar kegiatan/tindakan restorasi hutan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan di sekitarnya.
Pemilihan subkriteria dengan
memperhatikan kondisi penutupan hutan beserta kondisi vegetasi yang terdapat di dalamnya dapat menjelaskan bahwa kegiatan/tindakan restorasi di suatu kawasan hutan konservasi (kasus kawasan TNGGP) dilakukan untuk mengatasi permasalahan terkait kondisi hutan beserta vegetasi penyusunnya yang saat ini pada umumnya banyak dialami oleh beberapa kawasan hutan konservasi yang mengalami perluasan kawasan. Sebagai akibat terjadinya perluasan kawasan hutan konservasi tersebut, pada umumnya kawasan perluasan tersebut memiliki
131
penutupan hutan beserta tipe vegetasi yang bervariasi bahkan berbeda dengan kawasan hutan konservasi yang ada sebelumnya/awalnya.
Gambar 40 Bobot kriteria dan subkriteria dalam menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP Hasil penelitian (Gambar 41) juga menunjukkan bahwa prioritas alternatif kegiatan/tindakan
restorasi
di
kawasan
TNGGP
yang
telah
diurutkan
berdasarkan ranking-nya adalah sebagai berikut: 1. Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) (nilai: 0,225) 2. Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM) (nilai: 0,158) 3. Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) (nilai: 0,117) 4. Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-TMM) (nilai: 0,087) 5. Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) (nilai: 0,076) 6. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM) (nilai: 0,066) 7. Restorasi Alami/Dibiarkan Secara Alami/Tanpa Tindakan (RA) (nilai: 0,061) 8. Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM) (nilai: 0,056)
132
9. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM) (nilai: 0,055) 10. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM) (nilai: 0,049) 11. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM) (nilai: 0,049)
Gambar 41 Prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP Secara lebih detail, nilai-nilai prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP disajikan pada Lampiran 19 – Lampiran 20. Berdasarkan prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP dapat dijelaskan bahwa prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi secara garis besar sesuai urutannya adalah sebagai berikut: enrichment planting restorasi buatan, tebang pilih restorasi buatan, tebang pilih restorasi
alami, tebang habis skala kecil restorasi buatan, restorasi alami, dan tebang habis skala besar restorasi buatan.
Restorasi buatan mendapatkan prioritas
lebih tinggi daripada restorasi alami dikarenakan saat ini pada umumnya kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi jauh lebih cepat apabila dibandingkan dengan kemampuan hutan tersebut dalam memulihkan sendiri kondisinya akibat gangguan yang terjadi.
Oleh karena itu, maka diperlukan
adanya bantuan dari luar untuk mempercepat proses pemulihan kondisi hutan yang mengalami kerusakan/gangguan tersebut melalui restorasi buatan. Enrichment planting (penanaman pengayaan) restorasi buatan ataupun
penanaman memiliki prioritas tertinggi karena merupakan kegiatan/tindakan teraman/beresiko kecil dalam melakukan kegiatan restorasi di kawasan hutan konservasi. Hal tersebut dikarenakan setiap kegiatan yang dilakukan di suatu
133
kawasan hutan konservasi harus sesuai/tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah/prinsip-prinsip konservasi, termasuk dalam pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi. Urutan prioritas berikutnya adalah tebang pilih restorasi buatan.
Alternatif kegiatan/tindakan restorasi tersebut pada
umumnya dilakukan terhadap kawasan hutan miskin jenis terutama yang terdiri dari jenis-jenis tumbuhan eksotik. Urutan prioritas terakhir adalah tebang habis skala besar restorasi buatan.
Alternatif kegiatan/tindakan restorasi tersebut
memiliki prioritas terendah dikarenakan beresiko besar dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dan berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi kondisi lingkungan di sekitarnya. Berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi, alternatif kegiatan/tindakan restorasi yang melibatkan masyarakat lebih mendapatkan prioritas apabila dibandingkan dengan alternatif kegiatan/tindakan restorasi yang tidak melibatkan masyarakat.
Hal tersebut
dapat dimengerti karena keberhasilan suatu kegiatan di kawasan hutan konservasi sangat tergantung dari dukungan dan partisipasi aktif masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan hutan konservasi tersebut, termasuk juga kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi pada kawasan hutan TNGGP. 4.2.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa masyarakat sekitar di kedua desa yang menjadi lokasi sampel penelitian, yaitu Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar pada umumnya telah mengetahui tentang beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGGP (kawasan perluasan TNGGP) (Tabel 21). Tabel 21 Pengetahuan beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGGP (kawasan perluasan TNGGP) Jawaban Tahu Tidak Tahu
Desa Ciputri Cihanyawar Jumlah % Jumlah % 27 90,00 30 100,00 3 10,00 0 0,00
Total Jumlah % 57 95,00 3 5,00
Informasi tentang telah beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGGP pada umumnya diperoleh masyarakat sekitar dari petugas Balai Besar TNGGP ataupun petugas Perum Perhutani dan dari media massa. Namun demikian, pengetahuan masyarakat
134
tentang telah terjadinya alih fungsi kawasan hutan tersebut tidak serta merta menghentikan aktivitas yang biasa masyarakat sekitar lakukan di kawasan hutan tersebut.
Kondisi demikian dikarenakan masyarakat sekitar masih memiliki
ketergantungan terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebagian besar masyarakat sekitar yang biasa menggarap kawasan hutan tersebut hingga saat ini masih belum memiliki matapencaharian lain sebagai pengganti matapencaharian yang biasa mereka lakukan di kawasan hutan tersebut. Berkaitan dengan kondisi kawasan TNGGP, terutama di kawasan perluasan TNGGP apabila dibandingkan kondisinya pada saat 8 tahun yang lalu ketika kawasan tersebut baru beralih fungsi dari kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi, masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar menyatakan bahwa kondisinya lebih baik saat ini, yaitu masing-masing sebanyak 76,67% dan 63,33%; kondisinya sama saja, yaitu masing-masing sebanyak 6,67% dan 20%; dan kondisinya lebih buruk saat ini, yaitu masing-masing sebanyak 16,67% dan 16,67% (Gambar 42).
Gambar 42 Histogram perbandingan kondisi kawasan TNGGP, terutama di kawasan perluasan TNGGP, 8 tahun yang lalu Masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang berpendapat bahwa kondisi kawasan hutan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP lebih baik kondisinya saat ini memiliki alasan bahwa kondisi tersebut dapat tercapai karena adanya program penanaman pohon yang dilakukan oleh pihak Balai Besar TNGGP (masing-masing sebanyak 76,67% dan 46,67%) dan hutan terlihat lebih hijau (masing-masing sebanyak 0% dan 16,67%).
Masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa
135
Cihanyawar yang berpendapat bahwa kondisi kawasan hutan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP sama saja kondisinya memiliki alasan bahwa hingga saat ini kondisi di kawasan hutan tersebut belum terlihat adanya perubahan (masing-masing sebanyak 13,33% dan 26,67%). Sedangkan masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang berpendapat bahwa kondisi kawasan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP lebih buruk kondisinya saat ini memiliki alasan bahwa kondisi tersebut dapat terjadi karena banyak tanaman yang rusak (masing-masing sebanyak 10,00% dan 6,67%) dan kawasan hutan tersebut lebih terbuka (masing-masing sebanyak 0% dan 3,33%) (Tabel 22). Tabel 22 Alasan perbandingan kondisi hutan TNGGP 8 tahun yang lalu Desa Jawaban Adanya program penanaman Belum terlihat perubahan Hutan lebih hijau Banyak tanaman yang rusak Kawasan lebih terbuka
Ciputri Jumlah % 23 76,67 4 13,33 0 0,00 3 10,00 0 0,00
Cihanyawar Jumlah % 14 46,67 8 26,67 5 16,67 2 6,67 1 3,33
Total Jumlah % 37 61,67 12 20,00 5 8,33 5 8,33 1 1,67
Masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar sebagian besar berpendapat bahwa kegiatan restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP dapat bermanfaat untuk memperbaiki kondisi hutan (masingmasing sebanyak 86,67% dan 56,67%), menjaga ketersediaan air bersih (masing-masing sebanyak 76,67% dan 70%), dan mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor (masing-masing sebanyak 60% dan 30%) (Tabel 23). Tabel 23 Manfaat restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP Jawaban Menjaga ketersediaan air bersih Memperbaiki kondisi hutan Mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor Menyediakan udara yang bersih dan lingkungan yang asri Mencegah terjadinya banjir Manfaat lainnya Tidak ada manfaat
Desa Ciputri Jumlah % 23 76,67 26 86,67
Desa Cihanyawar Jumlah % 21 70,00 17 56,67
Total Jumlah % 44 73,33 43 71,67
18
60,00
9
30,00
27
45,00
5 4 2 1
16,67 13,33 6,67 3,33
3 2 2 0
10,00 6,67 6,67 0,00
8 6 4 1
13,33 10,00 6,67 1,67
Adapun karakteristik pohon yang cocok dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP menurut pendapat sebagian besar masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar adalah jenis pohon yang cepat tumbuh (masing-masing sebanyak 73,33% dan 66,67%), jenis pohon yang
136
mampu beradaptasi (masing-masing sebanyak 46,67% dan 63,33%), dan jenis pohon asli/lokal (masing-masing sebanyak 36,67% dan 20%) (Tabel 24). Tabel 24 Karakteristik pohon yang cocok dalam kegiatan restorasi Jawaban Jenis pohon yang cepat tumbuh Jenis pohon yang mampu beradaptasi Jenis pohon asli/lokal Jenis pohon yang membutuhkan sedikit nutrisi Jenis pohon yang mudah diperbanyak dan dipelihara Jenis pohon yang membutuhkan biaya rendah dalam penanaman dan pemeliharaan
Desa Ciputri Jumlah % 22 73,33
Desa Cihanyawar Jumlah % 20 66,67
Total Jumlah % 42 70,00
14 11
46,67 36,67
19 6
63,33 20,00
33 17
55,00 28,33
2
6,67
3
10,00
5
8,33
1
3,33
4
13,33
5
8,33
0
0,00
1
3,33
1
1,67
Selain itu, masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang menjadi responden juga berpendapat bahwa agar kegiatan restorasi kawasan TNGGP dapat berjalan baik dan lancar, maka diperlukan adanya aturan-aturan yang mengatur mengenai pemilihan jenis tumbuhan, penanaman (pola tanam), pemeliharaan, penentuan lokasi restorasi, pemberdayaan masyarakat, serta pembagian hak dan tanggung jawab para pihak yang terlibat kegiatan restorasi kawasan TNGGP. 4.2.6.2. Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP
Hasil penelitian (Tabel 25) menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang menjadi responden, masing-masing sebanyak 80% dan 83,33% pernah ikut serta dalam kegiatan restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP. Tabel 25 Keikutsertaan dalam upaya restorasi (pemulihan) kawasan TNGGP Jawaban Ya Tidak
Desa Ciputri Cihanyawar Jumlah % Jumlah % 24 80,00 25 83,33 6 20,00 5 16,67
Total Jumlah % 49 81,67 11 18,33
Bentuk-bentuk kegiatan yang pernah diikuti/dilakukan dalam rangka restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP oleh masyarakat Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar pada umumnya adalah kegiatan adopsi pohon (masing-masing sebanyak 76,67% dan 66,67%) dan kegiatan gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) (masing-masing sebanyak 3,33% dan 30%). Kegiatan adopsi pohon merupakan kegiatan yang disponsori/diselenggarakan oleh Balai Besar
137
TNGGP, CI-Indonesia Program,
dan Green Radio.
Sedangkan kegiatan
gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) disponsori/diselenggarakan oleh Balai Besar TNGGP dan BPDAS. Jenis-jenis tumbuhan yang ditanam melalui kegiatan ini adalah rasamala, puspa, saninten, pasang, jamuju, huru, suren, manglid, dan ki sireum. Hasil penelitian (Tabel 26) menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar pada umumnya menginginkan agar sistem pengelolaan dalam
kegiatan
restorasi
kawasan
TNGGP
dilaksanakan
secara
bersama/kolaborasi antara pihak Balai Besar TNGGP dengan masyarakat sekitar, yaitu masing-masing sebesar 90% dan 86,67%. Tabel 26 Sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP Jawaban Dilaksanakan secara bersama/kolaborasi antara pihak Balai Besar TNGGP dan masyarakat Dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat Tidak menjawab/tidak tahu Dilaksanakan sepenuhnya oleh Balai Besar TNGGP
Desa Ciputri Jumlah %
Desa Cihanyawar Jumlah %
Total Jumlah %
27
90,00
26
86,67
53
88,33
0 3
0,00 10,00
3 0
10,00 0,00
3 3
5,00 5,00
0
0,00
1
3,33
1
1,67
Adanya keinginan masyarakat sekitar agar sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP dilaksanakan secara bersama/ kolaborasi antara pihak Balai Besar TNGGP dengan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa telah terdapat kesadaran masyarakat sekitar untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP. Terdapatnya partisipasi masyarakat sekitar dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP sangat penting dalam menjamin keberhasilan kegiatan restorasi di kawasan hutan tersebut. ITTO (2002) dan Kobayashi (2004) menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan restorasi ekologi dan rehabilitasi hutan yang terdegradasi hanya akan tercapai apabila masyarakat lokal berperan serta dalam kegiatan tersebut dan masyarakat pengguna hutan memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek, serta manfaat lain di masa datang. Keberhasilan restorasi menurut Walters (1997) antara lain ditandai dengan indikator sebagai berikut: 6) Restorasi dipandang oleh masyarakat lokal dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi mereka. 7) Restorasi disusun sesuai dengan pola pemanfaatan sumberdaya dan lahan oleh masyarakat.
138
8) Pengetahuan lokal dan keahlian yang terkait dengan restorasi berhasil didokumentasikan oleh proyek. 9) Kelompok masyarakat/organisasi lokal secara efektif dimobilisasi untuk mendukung dan mengimplementasikan kegiatan restorasi. 10) Kebijakan yang terkait dan faktor politik mendukung upaya restorasi. Berkaitan dengan kegiatan perekonomian ataupun pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian besar masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar berkeinginan jika memungkinkan dalam kegiatan restorasi ataupun penanaman pohon di kawasan hutan TNGGP masih diperbolehkan menanam tanaman semusim di sela-sela pohon tersebut dengan jenis sayur-mayur maupun jenis palawija. Keinginan masyarakat tersebut dapat dimengerti karena sebelumnya masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar tersebut memanfaatkan lahan di kawasan hutan TNGGP yang merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani melalui pola tumpang sari, yaitu masing-masing sebanyak 90% dan 66,67% responden. Hasil penelitian (Tabel 27) menunjukkan bahwa masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar sebenarnya mau meninggalkan lahan garapannya atau tidak memanfaatkan sumberdaya alam di kawasan hutan TNGGP yang biasa digarapnya/dimanfaatkannya asalkan diberikan kompensasi untuk
menggantikan/mengalihkan
matapencahariannya
dalam
memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari, yaitu berupa: diberikannya ganti rugi berupa uang
(masing-masing
sebanyak
3,33%
dan
0%),
disediakannya
matapencaharian baru (masing-masing sebanyak 0% dan 20%), diberikannya lahan garapan baru di luar kawasan hutan TNGGP (masing-masing sebanyak 63,33% dan 30%), diberikannya bantuan modal usaha (masing-masing sebanyak 3,33% dan 13,33%), diberikannya bantuan sarana produksi pertanian (peralatan, pupuk, bibit), pemasaran, dan bimbingan teknis pertanian (masing-masing sebanyak 26,67% dan 26,67%), dan kompensasi lainnya yang diberikan pemerintah (masing-masing 20% dan 20%). Melalui kegiatan restorasi kawasan TNGGP ini, masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang menjadi responden berharap agar kawasan hutan TNGGP kembali hijau (masing-masing sebanyak 90% dan 76,67%), masyarakat menjadi sejahtera (masing-masing sebanyak 60% dan 56,67%), dan air bersih tetap berlimpah (masing-masing sebanyak 23,33% dan 20%).
139
Tabel 27 Kompensasi untuk tidak menggarap/memanfaatkan SDA di kawasan hutan TNGGP Desa Ciputri Jumlah %
Jawaban Diberikan lahan garapan baru di luar kawasan TNGGP Diberikan bantuan sarana produksi pertanian (peralatan, pupuk, bibit), pemasaran dan bimbingan teknis pertanian Kompensasi lainnya Disediakan matapencaharian baru Diberikan bantuan modal usaha Diberikan ganti rugi berupa uang
Total Jumlah %
Cihanyawar Jumlah %
19
63,33
9
30,00
28
46,67
8 6 0 1 1
26,67 20,00 0,00 3,33 3,33
8 6 6 4 0
26,67 20,00 20,00 13,33 0,00
16 12 6 5 1
26,67 20,00 10,00 8,33 1,67
4.2.7. Rekomendasi Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP
Keberadaan kawasan hutan konservasi, termasuk kawasan TNGGP, memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat sekitar, terutama dalam perlindungan fungsi hidroorologis dan keanekaragaman hayati.
Namun
demikian, kawasan hutan konservasi di Indonesia pada umumnya mengalami gangguan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan di kawasan hutan konservasi tersebut.
Seringkali laju kerusakan hutan konservasi yang terjadi
lebih cepat daripada kemampuan hutan tersebut untuk memulihkan kondisinya secara alami.
Adapun kerusakan hutan konservasi yang terjadi di kawasan
TNGGP berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2010 adalah sebesar 2.164 ha atau 9,47% dari luas seluruh kawasan hutan TNGGP.
Selain itu,
kawasan TNGGP juga memiliki hutan tanaman yang terdiri atas jenis eksotik maupun jenis asli. Terdapatnya hutan tanaman tersebut berasal dari eks hutan produksi Perum Perhutani yang sejak tahun 2003 dialihfungsikan menjadi hutan konservasi sebagai bagian dari kawasan hutan TNGGP.
Keberadaan hutan
tanaman di suatu kawasan hutan konservasi terutama dengan jenis-jenis eksotik tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan bahwa suatu kawasan hutan konservasi memiliki ciri keaslian jenis yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka kegiatan restorasi kawasan TNGGP sebagai salah satu kawasan hutan konservasi di Indonesia perlu dilakukan mengingat pentingnya peranan kawasan hutan konservasi tersebut bagi lingkungan di sekitarnya.
Kegiatan restorasi hutan konservasi ini pada
hakekatnya adalah untuk membantu percepatan proses suksesi/pemulihan
140
kondisi hutan di suatu kawasan hutan konservasi.
Dalam kegiatan restorasi
kawasan hutan konservasi, tidak hanya kondisi hutannya saja yang perlu dipulihkan seperti kondisi semula (kondisi awal yang diketahui), melainkan juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan hutan konservasi tersebut. Oleh karena itu, agar kegiatan restorasi kawasan TNGGP dapat berhasil, maka kegiatan restorasi kawasan hutan tersebut perlu meliputi 2 hal berikut ini: (1) restorasi (pemulihan) kondisi hutan di kawasan TNGGP, (2) pemberdayaan/ peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNGGP. 4.2.7.1. Upaya Restorasi (Pemulihan) Kondisi Hutan di Kawasan TNGGP
Upaya restorasi (pemulihan) kondisi hutan di kawasan TNGGP perlu dilakukan sesuai dengan prioritas lokasi restorasi kawasan TNGGP agar kegiatan restorasi dapat lebih efektif dan efisien. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa prioritas lokasi restorasi kawasan TNGGP yang mendapatkan prioritas tinggi pada umumnya terletak di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP yang merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani. Upaya
restorasi
kawasan
TNGGP
juga
perlu
dilakukan
dengan
memperhatikan tipe vegetasi hutan/ekosistem dan kondisi vegetasi penyusun tegakan hutan tersebut untuk menentukan jenis kegiatan/tindakan restorasi hutan yang perlu dilakukan serta menentukan jumlah dan jenis tumbuhan yang digunakan dalam kegiatan restorasi berdasarkan komposisi dan struktur vegetasi pada ekosistem acuan (reference ecosystem).
Ekosistem acuan yang dapat
digunakan dalam rangka restorasi kawasan TNGGP adalah berupa ekosistem hutan alam di kawasan TNGGP yang kondisinya masih alami/belum mengalami gangguan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat 15 jenis tumbuhan yang mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai tipe vegetasi hutan/ekosistem sebagai jenis awal, yaitu: Altingia excelsa Noronha (rasamala), Buchanania arborescens Bl. (ki tanjung), Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. (riung
anak), Ficus alba Burm.f. (hamerang), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (walen), Glochidion lucidum (mareme), Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd (pasang kayang), Litsea monopetala Pers.(huru manuk), Macropanax dispermum (Bl.) (ki racun), Manglietia glauca Bl (manglid), Persea excelsa (Bl.) Kost. (huru leueur), Saurauia blumiana Benn. (ki leho), Schima wallichii (DC.) Korth. (puspa),
141
Turpinia obtusa (ki bangkong), dan Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (nangsi). Ke-
15 jenis tumbuhan tersebut berpotensi tinggi untuk dapat digunakan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP dan perlu dikembangkan teknik perbanyakannya. Dalam upaya restorasi kawasan TNGGP ini, kegiatan pemeliharaan dan pengamanan hasil restorasi hutan merupakan hal yang penting dilakukan untuk menjamin keberhasilan kegiatan restorasi di kawasan TNGGP.
Selain itu,
pendekatan yang digunakan dalam melihat keberhasilan kegiatan restorasi hutan ini adalah bukan pada jumlah yang berhasil ditanam melainkan jumlah tumbuhan yang berhasil hidup, sehingga apabila terdapat tumbuhan hasil penanaman kegiatan restorasi hutan yang mati, maka tumbuhan yang mati tersebut harus segera disulam/ditanam ulang. 4.2.7.2. Upaya Pemberdayaan/Peningkatan Sekitar Kawasan TNGGP
Kesejahteraan
Masyarakat
Masyarakat sekitar kawasan TNGGP pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang berpotensi tinggi dalam memanfaatkan sumberdaya alam ataupun menggarap lahan kawasan TNGGP untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Potensi tersebut perlu diarahkan atau diubah agar menjadi potensi yang bersifat positif dalam upaya restorasi kawasan TNGGP. Berdasarkan uraian tersebut, masyarakat sekitar kawasan TNGGP perlu dilibatkan secara aktif dalam kegiatan restorasi kawasan TNGGP mulai dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, hingga pengamanan hasil restorasi hutan. Berkaitan
dengan
upaya
pemberdayaan/peningkatan
kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan TNGGP, kegiatan restorasi kawasan TNGGP harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Melalui kegiatan
restorasi hutan tersebut, masyarakat sekitar dapat memperoleh pendapatan dari penyediaan bibit untuk kegiatan restorasi dan tenaga kerja dalam kegiatan restorasi, misalnya: tenaga kerja penanaman, tenaga kerja pemeliharaan, dan tenaga kerja pengamanan hasil restorasi. Selain peningkatan kesejahteraan melalui pendapatan secara langsung dari
keikutsertaan
dalam
kegiatan
restorasi
kawasan
TNGGP,
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dalam jangka panjang perlu pula dilakukan pemberdayaan/peningkatan perekonomian masyarakat sekitar melalui pengembangan berbagai kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan
142
masyarakat sekitar sekaligus sebagai upaya untuk memberikan alternatif matapencaharian pengganti agar tidak lagi memanfaatkan/menggarap kawasan TNGGP. Namun demikian, dalam mencari alternatif matapencaharian pengganti bagi masyarakat sekitar, sebaiknya tidak terlalu jauh atau tidak terlalu bertolak belakang dengan keahlian/keterampilan masyarakat sekitar yang biasa mereka lakukan sebelumnya.
Selain itu, dalam mencari alternatif matapencaharian
pengganti bagi masyarakat sekitar, juga perlu memperhatikan kondisi dan potensi yang terdapat di lingkungan sekitar masyarakat tersebut berada dan cukup realistis untuk dapat dilaksanakan saat ini. Beberapa
kegiatan
yang
dapat
dijadikan
sebagai
alternatif
matapencaharian pengganti masyarakat sekitar kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan kebun bibit di lahan desa Desa-desa yang terdapat di sekitar kawasan TNGGP pada umumnya memiliki lahan desa yang dikelola oleh desa tersebut. Keberadaan lahan desa di sekitar kawasan TNGGP dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kebun bibit bagi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kegiatan restorasi kawasan TNGGP maupun kegiatan restorasi di kawasan hutan lainnya. Pihak BB TNGGP dapat berperan untuk membina kegiatan usaha pengembangan kebun bibit tersebut melalui pendampingan dan memberikan pelatihan teknik-teknik perbanyakan bibit untuk memperoleh bibit yang berkualitas. 2. Intensifikasi lahan pekarangan untuk kegiatan pertanian Masyarakat sekitar kawasan TNGGP, meskipun tidak memiliki lahan pertanian pada umumnya masih memiliki lahan pekarangan di sekitar rumahnya. Lahan pekarangan tersebut, meskipun sempit, seringkali tidak digunakan oleh masyarakat secara intensif. Untuk mengoptimalkan lahan pekarangan tersebut bagi kegiatan pertanian perlu adanya suatu bimbingan dari
pihak-pihak
terkait
agar
lahan-lahan
pekarangan
yang
dimiliki
masyarakat sekitar dapat dimanfaatkan secara intensif bagi kegiatan pertanian. Masyarakat sekitar dapat membentuk koperasi untuk membantu pengumpulan dan pemasaran hasil-hasil pertanian yang dihasilkan dari pemanfaatan lahan pekarangan mereka secara intensif.
Dengan adanya
intensifikasi lahan pekarangan masyarakat sekitar untuk kegiatan pertanian, maka diharapkan lahan-lahan garapan masyarakat di kawasan hutan
143
TNGGP secara perlahan-lahan dapat ditinggalkan dan direstorasi menjadi hutan kembali sesuai kondisi semula. 3. Pengembangan usaha bunga hias/bunga potong Pengembangan usaha bunga hias/bunga potong juga dapat dilakukan di lahan pekarangan masyarakat yang terletak di daerah yang dingin. Untuk pengembangan usaha bunga hias/bunga potong oleh masyarakat sekitar kawasan TNGGP ini, pihak BB TNGGP perlu membuat kesepakatan (MoU) dengan perusahaan bunga potong/bunga hias yang berusaha di sekitar kawasan hutan TNGGP agar perusahaan tersebut mau menampung bunga hias/bunga potong yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar sebagai wujud kepedulian perusahaan tersebut dalam pengembangan perekonomian masyarakat sekitarnya sekaligus sebagai wujud kepedulian perusahaan tersebut dalam menjaga kelestarian kawasan TNGGP.
Untuk menjaga
kualitas bunga potong/bunga hias yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar, perusahaan bunga potong/bunga hias tersebut perlu memberikan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat sekitar. 4.3. Implikasi Model
Model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang dihasilkan melalui penelitian ini memiliki beberapa implikasi sebagai berikut: 1). Karena variabel penilaian yang dipakai untuk seluruh kriteria bersifat umum, maka model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi hasil penelitian ini berlaku untuk seluruh kawasan hutan konservasi. 2). Model prioritas kegiatan/tindakan restorasi kawasan hutan konservasi yang dikembangkan/dibangun untuk kawasan TNGGP dapat diterapkan untuk kawasan hutan konservasi lainnya yang memiliki atau akan melakukan perluasan kawasan, terutama bagi 2 taman nasional yang saat ini memiliki kawasan perluasan, yaitu: Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, termasuk 3 kawasan taman nasional yang baru dibentuk yang memiliki permasalahan sosial ekonomi yang sama dengan kawasan perluasan TNGGP, yaitu: Taman Nasional Gunung Ciremai, Taman Nasional Merapi, dan Taman Nasional Gunung Merbabu.