IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Gambar 2 menunjukkan adanya penambahan biomass dari masing-masing ikan uji. Biomass rata-rata awal ikan uji perlakuan A (0 ml/kg) adalah sebesar 46,9 g sedangkan pada akhir pemeliharaan menjadi 297,7 g atau terjadi penambahan biomass sekitar
6,4 kali lipat. Pada perlakuan B (200 ml/kg)
memiliki biomass rata-rata awal sebesar 52,7 g dan biomass rata-rata akhir 317,5 g atau terjadi peningkatan sebesar 6,1 kali lipat. Perlakuan C (400 ml/kg) memiliki biomass rata-rata awal sebesar 47,3 g dan biomass rata-rata akhir 268 g atau terjadi peningkatan biomass sebesar 5,7 kali lipat. Perlakuan D (600 ml/kg) memiliki biomass rata-rata awal sebesar 49,8 g dan biomass akhir 341,5 atau terjadi peningkatan biomass sebesar 6,9 kali lipat. Pada perlakuan E (komersil) terjadi peningkatan biomass sekitar 6,9 kali lipat dimana biomass ratarata awal sebesar 48,3 g dan bioamass akhir sebesar 332,1 g.
Gambar 2. Grafik biomass rata-rata awal dan akhir ikan uji. Tabel 5. Komposisi proksimat tubuh ikan nila Awal
Perlakuan (ml/kg pakan)
Parameter 0
1.
200
Protein
11.37
15.09±3.84
Lemak
4.46
5.21±0.38
Air
75.24
74.16±0.94
a
a
15.43±1.12 6.05±0.54
a
400 a
a
73.93±3.57
15.80±0.80 5.48±0.26
a
600 a
a
73.09±0.68
16.02±1.26 5.40±0.51
a
komersil a
a
73.11±1.48
15.32±2.31 5.50±1.00
a
a
a
73.13±0.77
a
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0.05). 2. Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata + simpangan baku. Analisis statistik terdapat pada Lampiran 5.
18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pemakaian pakan berbasis bahan nabati dengan penambahan crude enzim (0 ml/kg, 200 ml/kg, 400 ml/kg, 600 ml/kg) dan pakan komersil tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada jumlah konsumsi pakan, efisiensi pakan, laju pertumbuhan spesifik, dan retensi protein (P>0,05). Sedangkan terdapat perbedaan yang nyata pada parameter retensi lemak dan kelangsungan hidup (P<0,05). Parameter yang diukur selama penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6.Jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), dan laju sintasan (SR) selama 54 hari pemeliharaan. Parameter JKP(gram)
A (0 ml/kg) a 356.4±6.9
EP (%) LPS (%) RP (%)
70.5± 7.5 a 3.5± 0.2 a 41.8 ± 9.1
RL (%) SR (%)
a
41.3±8.2
a
91.7±7.2
bc
B (200 ml/kg) a 342±20.1 77.1 ± 11.2 a 3.4± 0.1 a 43.4±4.9 52.9± 7.5
a
ab
87.5±0.0
b
Perlakuan C (400 ml/kg) a 308 ± 11.8 a
83.2 ±13.1 a 3.6 ±0.3 a 48.6 ±5.6
ab
51.6± 4.3
71.5 ± 5.7 a 3.3 ± 0.2 a 46.5 ± 3.9 43.2 ± 1.2 91.7 ±7.2
D (600 ml/kg) a 351 ± 21.9
bc
a
Komersil a 409.4±12.1 a
69.4 ±7.6 a 3.6 ±0.2 a 42.8 ±1.4
ab
56.5±0.9
c
70.83 ±7.2
100 ±0.0
b a
1. Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata p<0,05. 2. Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata + simpangan baku. Analisis statistik terdapat pada Lampiran 5.
4.2 Pembahasan Setelah pemeliharaan selama 54 hari terlihat adanya penambahan bobot biomass rata-rata individu ikan nila Oreochromis niloticus pada setiap perlakuan (Gambar 2). Ikan nila merupakan ikan yang efisien dalam menggunakan pakan, bersifat omnivora sehingga dapat mengkonsumsi pakan dalam bentuk pelet yang diberikan. Selain itu, ikan nila juga merupakan ikan yang cepat tumbuh. Pada awal pemeliharaan bobot rata-rata ikan sebesar 6,09 ± 0,46 gram, sedangkan pada akhir pemeliharaan berkisar antara 35,60 ± 3,81 gram – 47,95 ± 1,39 gram. Peningkatan bobot rata-rata ikan pada setiap perlakuan menunjukkan bahwa pakan dapat dimanfaatkan oleh ikan. Hasil pengujian menunjukkan pemakaian pakan berbasis bahan nabati dengan penambahan crude enzim (0 ml/kg, 200 ml/kg, 400 ml/kg, 600 ml/kg) dan pakan komersil tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada jumlah konsumsi pakan (p>0,05). Hal inilah yang menyebabkan efisiensi pakan dan laju pertumbuhan spesifik pada masing-masing perlakuan menjadi tidak berbeda nyata. Nilai efisiensi pakan berkisar antara 69,38 – 83,16%, sedangkan laju pertumbuhan spesifik berkisar antara 3,26 – 3,63%. Jumlah konsumsi pakan yang tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa pallatabilitas dan energi yang
19
terkandung dalam pakan perlakuan cenderung sama. Nilai energi yang terkandung dalam pakan (gross energy) perlakuan berkisar antara 397,58 – 415,06 kkal/100 g pakan. Menurut Affandi dan Tang (2002) kebutuhan energi untuk metabolisme harus dipenuhi terlebih dahulu, baru apabila berlebih maka kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan. Protein nabati merupakan salah satu sumber energi pada pakan yang relatif murah dibandingkan dengan protein hewani. Dalam formula pakan uji terdapat empat jenis bahan baku sumber protein nabati meliputi Distiller Dried Grains with Sollubles (DDGS), tepung bungkil kelapa sawit (Palm Kernel Meal), tepung bungkil kedelai dan pollard. DDGS dan PKM merupakan sumber protein nabati utama dalam pakan uji. Secara umum menurut Hertrampf dan Pascual (2000) DDGS dapat digunakan untuk ikan dengan jumlah 10 - 35 %. Penelitian yang dilakukan oleh Lim (2001) pada ikan tilapia Oreochromis niloticus menunjukkan bahwa penggunaan PKM 30% dalam pakan memberikan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ikan yang diberi pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 43% dan SBM 20,75% sebagai sumber protein. Pemanfaatan PKM sebagai bahan baku pakan dibatasi penggunaanya, karena kandungan yang tinggi dari serat kasar 20,79%. Selain itu, profil asam amino esensial tepung kelapa sawit rendah akan lisin dan metionin (Hertrampf dan Pascual, 2000). Menurut Hertrampf dan Pascual (2000), DDGS dapat berfungsi sebagai sumber protein maupun energi. Penambahan lysine dibutuhkan pada DDGS yang berbahan dasar jagung. Sedangkan DDGS memiliki kadar serat kasar 18,27%. DDGS merupakan sumber fosfor yang baik, namun rendah akan kalsium. DDGS mengandung 0.15 % kalsium dan 0.7 % fosfor. Santiago dan Lovell (1988) menyatakan bahwa defisiensi asam amino esensial dapat diatasi dengan menambahkan asam amino esensial yang menjadi pembatas. Pakan uji yang digunakan diberi perlakuan penambahan crude enzim dari cairan rumen domba. Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama sellulase dan xillanase (Trinci et el, 1994). Di dalam retikulo rumen terdapat mikroba rumen yang terdiri atas protozoa dan bakteri yang berfungsi melaksanakan fermentasi untuk mensintesis asam amino, vitamin B-komplek dan vitamin K sebagai sumber zat makanan bagi hewan induk (Hungate, 1966). Mikroba-mikroba rumen mensekeresikan enzim-
20
enzim pencernaan
ke dalam cairan rumen untuk membantu mendegradasi
partikel makanan. Enzim-enzim tersebut antara lain adalah enzim yang mendegradasi substrat selulosa yaitu selulase, hemiselulosa/xylosa adalah hemiselulase/sylanase, pati adalah amilase, pektin adalah pektinase, lipid/lemak adalah lipase, protein adalah protease dan lain-lain (Kamra, 2005). Aktivitas enzim dalam cairan rumen tergantung dari komposisi atau perlakuan makanan (Moharrery dan Das, 2001). Perlakuan dosis enzim 0 ml/kg, 200 ml/kg, 400 ml/kg dan 600 ml/kg dalam pakan uji tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter biologis penelitian yang meliputi jumlah konsumsi pakan, laju pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan, dan retensi protein. Hal ini dikarenakan aktivitas enzim dari cairan rumen domba yang digunakan masih belum maksimal. Nilai aktivitas enzim protease sebesar 0,0067 unit/ml.menit, amilase 0,0436 unit/ml.menit, lipase 1,6295 unit/ml.menit dan sellulase 0,8516 unit/ml.menit. Nilai aktivitas enzim dari cairan rumen domba dalam penelitian jauh lebih lebih rendah apabila dibandingkan dengan nilai aktivitas enzim yang telah dipetakan oleh Lee et al (2002) dalam Tabel 1. Selain itu, menurut Moharerry dan Das (2001) usia domba akan mempengaruhi nilai aktivitas enzim cairan rumen. Nilai aktivitas yang lebih rendah tersebut diduga disebabkan oleh domba yang digunakan adalah domba yang dipotong untuk dijadikan sate dengan usia 5-6 bulan. Sedangkan aktivitas yang lebih tinggi telah dipetakan oleh Lee et al (2002) terdapat pada domba dewasa yang berusia lebih dari 2 tahun. Aktivitas enzim bergantung pada konsentrasi enzim dan substrat, suhu, pH dan inhibitor (Poedjiadi, 1994). Dalam penelitian ini, substrat yang dihidrolisa adalah pakan berbasis bahan nabati berupa DDGS, PKM, tepung bungkil kedelai dan pollard. Serat kasar yang terkandung dalam DDGS yaitu hemiselulosa, PKM yaitu mannan, Pollard yaitu arabinoxylan dan bungkil kedelai yaitu selulosa. Jika dihubungkan dengan aktivitas enzim yang terdapat dalam cairan rumen (Tabel 2), maka bahan-bahan yang dapat dihidrolisa oleh enzim cairan rumen adalah tepung bungkil kedelai. Hal ini disebabkan oleh keberadaan selulase dalam cairan rumen domba sehingga diduga bahan tersebut terhidrolisa. DDGS, pollard dan PKM diduga tidak terhidrolisa karena di dalam crude enzim cairan rumen domba
tidak
terdapat
aktivitas
hemiselulase,
xylanase
dan
mannase.
Xylanase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan 1,4yang
terdapat pada hemiselulosa dalam hal ini ialah xilan atau polimer dari
21
xilosa dan xilooligosakarida (Richana, 2002). Xilanase juga mengubah hemiselulosa menjadi gula sederhana sehingga nutrisi yang awalnya terjerat dalam dinding sel hemiselulosa akan dilepaskan dan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Mannan bisa dihidrolisa menjadi mannosa maupun manno-oligosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik oleh enzim endo mannan mannanohydrolase dan exo
-mannanase (1,4- -D-
-manosidase ( -D-mannanopyranoside
hydrolase (Puls and Scuseill, 1993). Untuk proses hidrolisa mannan tersebut selain mannanase diperlukan enzim glukosidase atau galaktosidase (McCleary, 1988). Salah satu komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan energi tumbuh adalah protein. Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan, yang dapat diserap dan dimanfaatkan untuk membangun dan memperbaiki sel tubuh yang rusak, serta dimanfaatkan tubuh bagi metabolisme harian (Halver, 1989). Pemberian enzim dalam pakan berbasis bahan nabati tidak memberikan pengaruh terhadap nilai retensi protein dari ikan uji. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata pada nilai komposisi proksimat protein tubuh ikan (Tabel 5). Selain protein, lemak merupakan penyumbang energi bagi kelangsungan hidup ikan. Kandungan energi lemak paling besar dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam protein atau karbohidrat (NRC, 1993). Kadar lemak yang terkandung pada pakan uji berkisar antara 7.91 – 10.62%. Jumlah lemak dalam pakan uji diduga telah mencukupi kebutuhan lemak untuk ikan nila. Hal ini sesuai dengan Chou dan Shiau (1996) dalam Webster (2002) bahwa kadar lemak dalam pakan sebesar 5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila. Nilai retensi lemak dari pakan berbasis sumber protein nabati dengan penambahan crude enzim 0 ml/kg, 200 ml/kg, 400 ml/kg dan 600 ml/kg tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Namun, nilai retensi lemak pakan komersil berbeda nyata dengan pakan berbasis nabati 0 ml/kg. Hal ini diduga nilai karbohidrat dalam bentuk Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen pakan komersil lebih tinggi yaitu sebesar 42,63% dibandingkan dengan pakan berbasis sumber protein nabati tanpa enzim sebesar 36,98%. Pada proses pencernaan makanan, karbohidrat mengalami proses hidrolisis, baik dalam mulut, lambung maupun usus. Hasil akhir proses pencernaan karbohidrat ini ialah glukosa, fruktosa, galaktosa dan manosa serta monosakarida lainnya. Senyawa – senyawa ini kemudian diabsorbsi melalui
22
dinding usus dan dibawa ke hati oleh darah. Glukosa atau monosakarida akan dioksidasi menjadi asam piruvat, kemudian asam piruvat akan mengalami dekarboksilasi menjadi Asilkoenzim A (Poedjiadi,1994). Selanjutnya, apabila kadar karbohidrat dalam pakan berlebih, maka asilkoenzim A akan masuk ke jalur metabolisme lemak (lipogenesis) dan menghasilkan asam lemak. Sehingga akan menyebabkan nilai retensi lemak perlakuan pakan komersil lebih tinggi. Hasil pengujian terhadap kelangsungan hidup dari masing-masing ikan uji, menunjukkan bahwa perlakuan pakan komersil memiliki nilai kelangsungan hidup yang lebih rendah yaitu sebesar 70,83% dan berbeda nyata dengan pakan berbasis sumber protein nabati baik ataupun tidak dengan penambahan crude enzim (P<0,05). Hal ini diduga karena pakan komersil yang digunakan disimpan dalam waktu yang lama dari distributor dan pengecer sehingga memungkinkan berkurangnya kandungan vitamin, akhirnya ikan mengalami stress dan mati.